“Akh...!” pekikan keras terdengar dari orang-orang
yang terhantam sinar itu. Betapa dahsyat kekuatan
sinar keperakan dari rambut Purbaya. Kulit tubuh
gosong seperti terbakar. Mulut mereka mengerang-
erang menahan panas dan rasa sakit yang hebat.
Melihat kejadian itu, lima orang anak buah Partai
Kera Hitam yang masih hidup berusaha kabur dari
tempat pertempuran karena ketakutan. Melihat
gelagat lawan-lawannya dengan cepat Purbaya segera
bergerak mencegat mereka.
“Mau lari ke mana kalian?!” bentak Purbaya
geram.
“Ampun! Jangan bunuh kami…!” ratap pimpinan
mereka sambil bersujud ketakutan, mengharap
ampunan Purbaya.
“Hm, manusia macam kalian tak ada ampunan!
Terimalah kematian kalian! Heaaa...!”
Dengan cepat Purbaya menggerakkan kepala ke
arah lima lelaki yang masih memegang pedang dan
golok. Seketika itu juga rambut panjangnya
berkelebat memancarkan cahaya berkilauan. Dan
dari kilatan cahaya menyilaukan itu melesat sinar
putih keperakan. Itulah ajian 'Rambut Api' Purbaya.
“Heaaa...!”
Wuttt!
Slats! Slats!
“Akh...!” Lima orang terpekik bersamaan ketika
sinar yang melesat dari ajian 'Rambut Api' Purbaya
menghantam telak tubuh mereka. Seketika tubuh
kelima lelaki beringas itu meleleh hingga ber-
sembulan tulang-belulang dengan cairan merah
kehitaman. Seketika suasana berubah hening, tak
ada lagi suara erangan atas atau jeritan kesakitan.
Karena kelima anak buah Partai Kera Hitam langsung
mati saat sinar keperakan menghantam tubuh
mereka.
Pendekar Gila dan Mei Lie terlonjak kaget.
Keduanya tidak menduga kalau Purbaya akan
berbuat seperti itu. Pendekar Gila hanya mampu
menarik napas, sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Dirinya sebenarnya tak setuju jika Purbaya
menghabisi nyawa mereka. Karena orang-orang itu
tadi telah meratap minta ampun.
“Ah ah ah...! Kawan, mengapa kau lakukan itu?
Bukankah mereka sudah minta ampun?” tanya Sena
dengan meringis sambil menggaruk-garuk kepala.
“Maafkan aku, Kawan. Hatiku telah terbawa
perasaan, ketika tiba-tiba teringat kejadian dua puluh
tahun silam. Manakala orang-orang jahat yang
mungkin pimpinan mereka membunuh ayah, serta
membuat keluargaku berantakan,” tutur Purbaya
seakan menyesali tindakannya.
Pendekar Gila menghela napas dalam-dalam.
Kemudian dengan cengengesan sambil tangan kanan
menggaruk-garuk kepala, diliriknya Mei Lie yang
hanya diam membisu, seakan tak berniat meng-
ucapkan kata-kata.
“Adi Purbaya, mungkin jalan hidupmu masih
lumayan dibandingkan nasibku. Ayah dan ibuku mati
dibantai. Sedangkan kau masih punya ibu.
Bersyukurlah, karena kau masih punya kesempatan
untuk dapat bertemu dengan ibumu,” tutur Sena
sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
“Sedangkan aku, tak punya siapa-siapa. Memang
menurut cerita paman dan bibiku masih hidup. Tapi...,
entah di mana.”
Purbaya terdiam mendengar cerita yang dituturkan
Pendekar Gila. Hatinya merasa tutur kata pendekar
itu sangat bijaksana dan menunjukkan ketabahan
serta kesabaran. Dirinya sendiri baru saja terpancing
amarah. Padahal penderitaannya, belum seberapa
dibandingkan yang dialami Pendekar Gila (Untuk lebih
jelasnya, silakan ikuti serial Pendekar Gila dalam
episode pertamanya yang berjudul 'Suling Naga
Sakti').
“Ah ah ah, sudahlah! Semua telah terjadi. Tak
perlu kita sesalkan dan permasalahkan. Oh, aku lupa
untuk membayar makanan yang tadi kita makan.
Ayo...!” ajak Sena sambil melangkah menuju ke kedai.
Setelah membayar makanan yang telah mereka
makan, Pendekar Gila kembali keluar menemui
Purbaya yang tengah duduk di serambi depan kedai.
Mei Lie mengikuti di belakangnya.
“Sekarang, hendak ke mana kau pergi?”
“Hm..., sebenarnya aku akan pergi ke Desa
Kranggan untuk mencari kuburan ayahku.”
“Desa Kranggan? Bukankah ini Desa Kranggan?”
balik Mei Lie bertanya, nadanya menjelaskan pada
Purbaya kalau desa di mana mereka kini berada
adalah desa yang tengah dicari oleh Purbaya.
“O, jadi ini Desa Kranggan?” tanya Purbaya.
“Benar, Adi Purbaya...,” sahut Mei Lie tersenyum
pada Purbaya.
“Ke arah manakah kalian hendak melangkah?”
tanya Purbaya seraya menatap wajah Mei Lie dan
Pendekar Gila bergantian.
“Aha, entahlah. Kami berdua hanyalah
pengembara. Kami pergi tanpa tujuan yang pasti,”
jawab Sena tersenyum cengengesan sambil menoleh
ke wajah Mei Lie. Gadis itu tersenyum dan
mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu. Aku hendak tinggal
beberapa saat di desa ini. Kalau ada umur panjang,
mungkin kita akan bertemu lagi. Bukan begitu, Tuan
Pendekar?” tanya Purbaya.
“Aha, benar juga katamu, Adi Purbaya. Baiklah,
aku dan Mei Lie memohon pamit,” ujar Sena.
“Sampai jumpa lagi, Purbaya,” sahut Mei Lie
sambil melangkah seiring dengan Sena, meninggal-
kan Purbaya. Pemuda itu berdiri mematung, menatap
langkah sepasang pendekar meninggalkan tempat
itu.
“Sungguh seorang pendekar yang berbudi luhur.
Meski tingkah lakunya seperti orang gila, jiwanya
sangat agung. Semoga kita bisa bertemu lagi, Tuan
Pendekar! Dan semoga aku akan segera men-
dapatkan kitab milikmu,” gumam Purbaya sambil
melangkah meninggalkan pelataran kedai.
Orang-orang yang ada di kedai itu tampak
memperhatikan sambil menggeleng-geleng kepala.
Mereka semua merasa kagum terhadap kehebatan
pemuda berambut keperakan itu.
“'Tuan Pendekar, Tunggu...!” seru gadis cantik yang
tadi ditolongnya. Gadis itu berlari mengejar Purbaya
yang seketika berhenti, lalu menoleh ke belakang.
“Ada apa, Nisanak?” tanya Purbaya.
“Tadi ku-dengar kau mengatakan dari Desa
Kranggan ini. Siapakah, kakang...?”
“Namaku Purbaya.”
“Hah?! Kau Purbaya...? Purbaya anak Paman Kerto
Pati?” tanya gadis cantik itu berusaha menegaskan.
Matanya terbelalak, seakan tak percaya pada apa
yang baru saja didengar.
“Benar. Siapakah kau, Nisanak?” tanya Purbaya
ingin tahu.
“Aku Suheni, anak Ki Marno. Kepala Desa
Kranggan ini,” jawab gadis berpakaian biru laut itu.
“O, jadi kau Suheni? Tak kusangka, kita bisa
bertemu lagi!” gumam Purbaya sambil menggeleng-
geleng kepala. “Bagaimana kabar Paman Marno dan
Bibi Sami?”
“Ayah dan ibu, mati dibantai mereka. Ayah
menolak memberi upeti pada Partai Kera Hitam yang
dipimpin Wanara. Orang itu juga yang dulu mem-
bunuh Paman Kerto Pati,” tutur Suheni. Mendengar
penuturan gadis cantik itu Purbaya tersentak kaget
dengan mata terbelalak. Orang yang menghabisi
nyawa ayahnya ternyata masih hidup. Dihelanya
napas dalam-dalam, seakan-akan berusaha mereda-
kan amarahnya.
“Sudah kuduga, kalau kesepuluh orang tadi anak
buah si manusia kera itu,” gumam Purbaya,
“Beruntung Sena menasihatiku. Kalau tidak mungkin
aku tak dapat menahan amarah.”
Purbaya menunduk sedih, ketika teringat pada
peristiwa yang pernah terjadi dua puluh tahun silam.
Suheni pun terdiam, seakan mulutnya terasa kelu tak
dapat berkata lagi.
“Apakah kau tahu, di mana ibuku?”
“Entahlah, Purbaya! Aku tak tahu. Tapi, mungkin
Paman Gendo mengetahuinya,” ujar Suheni. “Sebaik-
nya kau menginap di sini dulu, Purbaya.”
“Baiklah. Aku akan ke kuburan ayah dulu,” ujar
Purbaya sambil melangkah diiringi Suheni menuju ke
arah barat, tempat dulu rumahnya berada.
Semua orang yang sejak tadi memperhatikan
Purbaya bercakap-cakap dengan Suheni seketika
mengikuti langkah pemuda itu. Mereka seketika
merasa memiliki gairah hidup lagi, setelah tahu siapa
pemuda berambut putih keperakan itu.
“Hidup Purbaya...”
“Hidup Malaikat Berambut Perak...!”
Para warga mengelu-elukan kedatangan Purbaya
ke Desa Kranggan. Kini semua harapan warga
tertumpu pada Purbaya. Mereka mengharap pemuda
itu akan mampu membela Desa Kranggan dari
ancaman Partai Kera Hitam.
“Hidup Purbaya...!”
“Hidup Malaikat Berambut Perak...!”
“Hidup anak Kerto Pati...!”
Warga Desa Kranggan terus mengikuti ke mana
langkah Purbaya pergi. Orang-orang yang berada di
dalam rumah pun bermunculan keluar, ingin melihat
anak Kerto Pati yang telah kembali. Suasana Desa
Kranggan seketika menjadi riuh. Para penduduk
seakan-akan merasa baru saja terjaga dari mimpi
buruk, setelah dua puluh tahun lebih dicekam
ketakutan.
***
6
Pendekar Gila dan Mei Lie masih melangkah
menelusuri jalanan di tepi Sungai Blongkeng yang
membelah Hutan Kenjer Kuning. Kedua muda-mudi
itu sekali-sekali bercanda ria sambil menikmati
indahnya suasana senja yang sejuk. Di atas
pepohonan di sepanjang tepian sungai terdengar
suara kicau burung-burung yang hendak pulang ke
sarangnya.
Betapa gembiranya Mei Lie saat itu setelah lama
berpisah dengan Pendekar Gila. Rasa rindu yang
selama ini dipendamnya, dicurahkan pada pemuda
tampan namun tingkah lakunya seperti orang gila itu.
“Ayo kejar, Kakang...!” seru Mei Lie sambil lari,
setelah mencubit pinggang kekasihnya. Sena tampak
meringis-ringis kesakitan, akibat cubitan itu.
“Hi hi hi...! Akan kukejar ke mana pun kau pergi,
Mei Lie Sayang...!” seru Sena sambil berlari mengejar
Mei Lie yang berlari sambil tertawa-tawa.
Kedua sejoli itu terus berkejaran dengan diselingi
canda ria. Suasana sore itu dirasakan bertambah
indah. Alam sekelilingnya seakan turut bergembira
menyaksikan kebahagiaan keduanya.
“Ayo Kakang, kejar aku...!” Mei Lie kembali berseru
sambil terus berlari dengan tawanya yang merdu.
“Aha, akan kukejar!” seru Sena sambil kembali
berlari mengejar. Keduanya terus berkejar-kejaran.
Tak terasa keduanya sampai di tengah Hutan Kenjer
Kuning. Namun tiba-tiba Mei Lie berhenti. Keningnya
berkerut karena mendadak kupingnya mendengar
suara kaki-kaki menginjak dedaunan.
Kresek! Krak!
“Hm!” gumam Mei Lie sambil memasang telinga
tajam-tajam, berusaha meyakinkan pendengarannya.
Matanya yang lembut dan sayu menatap tajam ke
sekelilingnya. Kepalanya meneleng seakan-akan ingin
memastikan dari mana asal suara-suara itu.
“Aha, ada apa, Mei Lie...?” tanya Sena yang
melihat Mei Lie nampak diam dengan mata terpicing
dan dahi berkernyit.
“Ssst!” Mei Lie memberi isyarat pada Pendekar
Gila agar diam.
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian dia pun memasang telinganya dengan
tajam, untuk mendengar apa yang diisyaratkan
kekasihnya.
Kresek!
Krek!
Pendekar Gila cengengesan, mendengar suara
langkah kaki menginjak dedaunan kering.
“Hi hi hi...! Rupanya ada babi hutannya juga, Mei
Lie!” tukas Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mei
Lie melototkan mata gemas. Dicubitnya pinggang
Sena, yang membuat Sena meringis.
“Cerewet! Diam dulu...!” sungut Mei Lie dengan
wajah cemberut. Pendekar Gila semakin
cengengesan. Tetapi gadis cantik itu, tidak cemberut
lagi. Bahkan diam sambil tersenyum. “Diam! Nanti
mereka lari!”
“Aha, keluarlah kalian jika tidak ingin kulempar
dengan tanah!” seru Sena yang membuat Mei Lie
mendengus kesal bercampur geram.
Seketika dari balik semak-semak muncul lima
lelaki berpakaian coklat tua lengan panjang. Rambut
mereka panjang, diikat dengan kain membentuk
segitiga. Namun wajah kelima lelaki berwajah bersih
itu tak menggambarkan kebengisan sebagaimana
layaknya para penjahat. Ada perasaan sabar
tergambar di wajah mereka.
“Siapa kalian?!” tanya salah seorang yang
berkumis tipis.
“Aha, kami hanya petualang biasa. Kami tak
membawa apa-apa,” jawab Sena sambil tersenyum-
senyum dan menggaruk-garuk kepala. Kelima lelaki
muda itu mengerutkan kening, menyaksikan tingkah
laku Pendekar Gila.
Sejenak Pendekar Gila dan Mei Lie saling tatap
dengan kelima lelaki berambut panjang itu.
“Kami adalah Lima Jelanga dari Sawo Jajar.
Apakah kalian utusan gerombolan Partai Kera Hitam
yang ditugaskan untuk mengejar kami?” tanya
Jelanga Patra, yang merupakan orang tertua dari
kelimanya.
“Hi hi hi...! Apakah pantas kami sebagai anak buah
Partai Kera Hitam?” tanya Sena sambil tersenyum
dan menggeleng-geleng kepala. Lalu matanya
memandang Mei Lie yang juga tersenyum sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
“Kisanak, kami sendiri tak kenal dengan
gerombolan Partai Kera Hitam itu. Ah, mengapa
kalian mesti takut pada gerombolan itu?” tanya Mei
Lie semakin tertarik ingin tahu.
“Hm, semua orang sepertinya merasa takut pada
gerombolan Partai Kera Hitam. Apa sebenarnya yang
terjadi?” tanya Mei Lie dalam hati. Dirinya merasa
heran karena sudah dua kali ini mendengar Partai
Kera Hitam disebut. Pertama di Desa Kranggan,
ketika seorang gadis lari ketakutan hendak diculik
gerombolan dari Partai Kera Hitam. Dan sekarang,
kelima orang itu pun sepertinya takut dengan Partai
Kera Hitam.
Kelima Jelanga dari Sawo Jajar nampak belum
percaya. Kelimanya memperhatikan dengan
seksama, kedua muda-mudi berada lima tombak di
hadapannya. Mereka merasa pemuda itu mirip orang
gila. Sedang yang satu lagi seorang wanita yang
tampaknya bukan bangsa pribumi.
“Benarkah kalian bukan orang-orang Partai Kera
Hitam?” tanya Jelanga Patri, seakan-akan ingin
memastikan, kalau kedua orang itu benar-benar
bukan anggota Partai Kera Hitam yang terkenal ganas
dan kejam.
“Aha, kalian lucu sekali! Kalian tampaknya tak
percaya pada kami. Kalau begitu, lebih baik kami
pergi. Ayo Mei Lie!” ajak Sena dengan cengengesan.
Mendengar nama Mei Lie disebut, kelima Jelanga
dari Sawo Jajar membelalakkan mata. Kening mereka
mengerut. Sepertinya mereka sedang mengingat-
ingat sesuatu. Ketika Mei Lie bersama Pendekar Gila
hendak melangkah pergi, Jelanga Kantra berseru.
“Bidadari Pencabut Nyawa Iblis, tunggu...!”
Pendekar Gila dan Mei Lie seketika tersentak
kaget lalu menghentikan langkah. Keduanya
mengerutkan kening, mendengar seruan dari Jelanga
Kantra, yang menyebut gelar Mei Lie.
Kelima Jelanga dari Sawo Jajar segera memburu
Mei Lie dan Pendekar Gila. Mereka segera menjura
hormat bersama. Melihat sikap kelima lelaki yang
belum dikenalnya itu Pendekar Gila mengernyitkan
kening. Namun mulutnya kembali cengengesan.
“Aha, kenapa kalian ini?” tanya Sena sambil
menggaruk-garuk kepala.
“Maafkan kami! Terimalah hormat kami! Sungguh
hal yang bodoh dan tolol tak tahu kalau di hadapan
kami telah berdiri dua pendekar sakti,” ujar Jelanga
Patra, sambil memimpin keempat saudara
seperguruannya memberi hormat.
“Aha, sudahlah! Tak perlu kalian berlaku begitu.
Kami manusia biasa seperti kalian,” ujar Sena
tersenyum.
“Benar Kisanak sekalian. Tak perlu Kisanak
berlaku merendah seperti itu. Oh ya, kalau boleh kami
tahu, siapa Kisanak sekalian? Dan mengapa ada di
dalam hutan?” tanya Mei Lie ingin tahu.
Jelanga Patra menghela napas dalam-dalam
seraya memejamkan mata, seakan-akan hendak
menekan perasaannya. Kemudian mulai menuturkan
kenapa mereka berada di dalam Hutan Kenjer
Kuning.
“Kami berlima sedang menjaga Ki Rupaksi, guru
kami yang terluka parah akibat bentrok dengan
gerombolan dari Partai Kera Hitam. Wanara ketua
Partai Kera Hitam terus menginginkan para anak
buahnya mencari Kitab Ajian Dewa yang berada di
tangan Ki Rupaksi...”
Pendekar Gila dan Mei Lie serta keempat adik
seperguruan Jelanga Patra terdiam. Di wajah kelima
Jelanga dari Sawo Jajar tampak kedukaan yang
dalam.
“Akhirnya guru kami harus mengalami luka dalam
yang parah...,” lanjut Jelanga Patra. “Sedangkan Kitab
Ajian Dewa kini telah berpindah ke tangan Wanara...
Mei Lie tampak mengangguk-anggukkan kepala,
seakan memahami penuturan murid Ki Rupaksi itu.
Sementara itu Pendekar Gila hanya cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
“Dengan luka dalam yang berat, guru kami bawa
ke tempat ini. Kami berusaha menolong guru,
menyembuhkan luka dalam, tetapi tak mampu.
Lukanya terlalu berat. Kalau saja guru sudah bertemu
dengan Tuan, mungkin kematiannya akan tenang.
Karena guru pernah berkata, akan sangat menyesal
jika mati belum bertemu dengan Pendekar Gila.
Karena Ki Rupaksi merasa berhutang budi, serta
harus bertanggung jawab pada Pendekar Gila atas
kitab itu,” ujar Jelanga Patra mengakhiri ceritanya.
''Aha, kalau begitu Ki Rupaksi ada di sini?” tanya
Sena.
“Benar, Tuan Pendekar.”
“Boleh kami bertemu?” tanya Mei Lie.
“Tentu saja, mari!” ajak Jelanga Patra.
Mei Lei dan Sena diantar kelima Jelanga dari Sawo
Jajar memasuki Hutan Kenjer Kuning, tempat Ki
Rupaksi berada. Keduanya dibawa ke sebuah gubuk
yang sangat tersembunyi letaknya hingga sulit
diketemukan orang Iain.
Di depan gubuk, terdapat empat orang yang
berpakaian merah muda lengan panjang dengan ikat
kepala sama seperti yang dipakai Lima Jelanga dari
Sawo Jajar. Mereka langsung menjura dan memberi
jalan, ketika Pendekar Gila dan Mei Lei da tang.
Di sebuah pembaringan kayu seorang lelaki
berusia sekitar enam puluh lima tahun tampak
terkulai lemas, itulah Ki Rupaksi. Di dadanya yang tak
tertutup nampak terdapat goresan-goresan hitam
seperti terbakar, karena terpukul ketika bertarung
melawan anak buah Wanara.
Pendekar Gila dan Mei Lie mendekati Ki Rupaksi
yang tampak lemah sekali.
“Guru..., guru, kami datang,” bisik Jelanga Patra.
Mata tua Ki Rupaksi perlahan-lahan membuka.
Kemudian memandang dengan tatapan kosong pada
sang Murid yang berjongkok di sampingnya.
“Ada... apa, Patra...?” tanya Ki Rupaksi dengan
uara berat dan lemah sekali. “Kau...! Oh..., apakah
gerombolan... itu datang...?”
“'Tidak, Guru. Kami membawa Pendekar Gila,”
bisik Jelanga Patra lirih.
“Pen..., dekar Gila?” tanya Ki Rupaksi lirih. “Huk!
Huk...!”
“Benar, Guru. Lihatlah...!” Jelanga Patra pun
menoleh pada kedua tamunya yang berdiri dua
tombak dari pembaringan sang Guru. Pendekar Gila
yang mengerti maksud Jelanga Patra segera
melangkah mendekati Ki Rupaksi diikuti Mei Lie.
Sesaat keduanya terdiam, menatapi wajah lelaki tua
itu.
“Ki Rupaksi, apa yang terjadi?” tanya Sena.
“Pendekar... Gila..., huk...! Benar..., kah kau
Pendekar Gi..., la...?” tanya Ki Rupaksi dengan suara
terputus-putus. Tangannya memegangi dadanya yang
terasa sakit.
“Aku muridnya, Ki,” jawab Pendekar Gila pelan
sambil mengerahkan tenaga dalam yang disalurkan
lewat kerongkongannya. Hal itu dimaksudkan untuk
memberi pendengaran Ki Rupaksi agar jelas. Itulah
ilmu 'Penyusup Suara'.
“O..., syukurlah kau akhirnya datang...! Tetapi...,
aku tak mampu menjaga kitab itu...,” keluh Ki
Rupaksi lirih, hampir tak terdengar, “Mereka...,
mereka telah mengambilnya. Aku... minta maaf,
Pendekar Gila!”
“Ah, sudahlah, Ki! Kau tak perlu memikirkan hal
itu. Kalau memang kitab itu jodoh, tentu mereka akan
mampu mempelajarinya. Tetapi jika tidak, mereka
pun tak akan mampu memaksakan,” tutur Pendekar
Gila berusaha menenangkan dan memberi semangat
pada Ki Rupaksi agar tetap bertahan hidup.
“Benar, Ki. Dan kalau begitu, kau adalah adik Ki
Kerto Pati, ayah Purbaya, bukan...?” tanya Mei Lie
yang juga ingin memberi semangat hidup pada lelaki
tua yang berbaring lemah dalam sakitnya.
“Purbaya...? O, sungguh malang nasibnya. Entah di
mana anak itu kini,” keluh Ki Rupaksi lirih. Dari kedua
matanya, mengalir air mata.
“Dia masih hidup, Ki,” ujar Mei Lie, “Bahkan kami
telah bertemu.”
“O..., syukurlah.”
Sesaat mereka terdiam dalam kebisuan dan
kesedihan, menyaksikan penderitaan Ki Rupaksi.
Hanya karena Kitab Ajian Dewa yang dititipkan
Pendekar Gila dari Goa Setan, membuat dirinya kini
menderita. Sena benar-benar merasa turut prihatin
terhadap kejadian itu. Namun juga merasa tertarik
ingin tahu kitab macam apa sebenarnya yang
dititipkan gurunya, sehingga menjadi rebutan di
kalangan rimba persilatan.
“Pendekar Gila...!”
“Saya, Ki.”
“Kuminta padamu, jagalah Purbaya. Dialah
penerus kami satu-satunya, setelah Kerto Pati dan
aku tak ada. Beritahukan padanya, kalau ibunya
masih hidup. Kini berada di markas Partai Kera
Hitam, dijadikan istri Ketua Partai Kera Hitam.
Uhuk...! Jaga pula Ketawang dan Sungo Karu,” pesan
Ki Rupaksi kepada Pendekar Gila.
“Di mana keduanya, Ki?” tanya Sena ingin tahu.
“Kami akan berusaha.”
“Keduanya sedang mengemban tugas, menye-
lamatkan Nyi Ambar Sari dari... Wanara. Oh...!” Ki
Rupaksi terkulai lemas. Nyawanya melayang
meninggalkan raga.
“Guru...! Guru, jangan tinggalkan kami...!” para
murid dari Perguruan Sawo Jajar menangis
memanggil-manggil sang Guru yang telah pergi untuk
selamanya. Begitupun lima Jelanga dari Sawo Jajar.
Mereka tak dapat menahan sedih atas kepergian Ki
Rupaksi.
Pendekar Gila dan Mei Lie tampak menundukkan
kepala sebagai penghormatan pada Ki Rupaksi.
“Kera Hitam...! Hm, siapakah sebenarnya Pimpinan
Partai Kera Hitam?” tanya Sena dalam hati. Dia pun
turut sedih, melihat kematian Ki Rupaksi yang juga
sahabat gurunya. Sebagai pewaris Kitab Ajian Dewa,
Pendekar Gila merasa turut bertanggung jawab atas
kitab itu. “Mengapa guru tak mengatakan padaku,
kalau dia memiliki Kitab Ajian Dewa yang dititipkan
pada seseorang? Mungkinkah dia lupa?”
Sore itu pula, mayat Ki Rupaksi dikebumikan.
Dengan rasa duka yang dalam para muridnya turut
menghadiri upacara pemakaman itu. Namun ketika
mereka tengah melakukan doa terakhir, tiba-tiba....
“Heaaa...!”
***
Serangan yang datang tiba-tiba itu, cukup
menyentakkan semua yang berada di sekitar kuburan
Ki Rupaksi. Tidak terkecuali Pendekar Gila dan Mei
Lie.
“Awas...!” teriak Mei Lie mengingatkan pada murid-
murid Ki Rupaksi yang juga terkejut mendapatkan
serangan secara tiba-tiba. Perasaan duka cita yang
dalam serta perhatian yang tertuju pada kuburan Ki
Rupaksi membuat mereka tak menyadari kalau ada
yang mengawasi dari jauh.
“Hea...!”
“Hea...!”
Dua puluh lelaki berwajah beringas dan ber-
pakaian sama melakukan serangan mendadak
dengan pedang. Hal itu membuat kesepuluh murid Ki
Rupaksi berlompatan dan bergulingan untuk
mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan cepat,
mereka mencabut senjata masing-masing.
Srt!
“Hea!”
Trang! Trang!
Suara pekikan keras bercampur dengan dentang
nyaring dari pedang dan golok yang saling beradu,
seketika memecahkan suasana hening di Hutan
Kenjer Kuning. Sesaat kemudian jeritan-jeritan
kematian menyusul. Suasana hening senja itu
berubah riuh dan ramai. Perasaan duka cita di hati
para murid Ki Rupaksi beruah menjadi kemarahan
yang hebat. Bagaikan banteng-banteng terluka
mereka menghadang lawan yang ternyata anak buah
Partai Kera Hitam. Apalagi ketika menyadari di pihak
mereka ada Pendekar Gila dan si Bidadari Pencabut
Nyawa Iblis.
“Hea!”
“Yea!”
Trang! Trang!
Suara dentangan pedang semakin membisingkan.
Dua puluh anak buah Partai Kera Hitam yang ganas,
terus menggebrak dengan babatan dan tusukan
pedang. Namun kesepuluh murid Ki Rupaksi yang
sudah marah pun tak tinggal diam. Mereka
menghadang dan membalas serangan dengan tak
kalah ganas.
“Hea!”
“Yea!”
Mei Lie yang juga menjadi sasaran keberingasan
orang-orang Partai Kera Hitam tak tinggal diam.
Segera dicabutnya Pedang Bidadari yang mampu
mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan.
Kemudian dengan jurus-jurus 'Bidadari'nya, gadis itu
berkelebat memapaki serangan lawan-lawannya.
“Yea!”
Trang! Trang!
Dengan pekikan nyaring Mei Lie melompat
menerjang lawan-lawannya. Tubuhnya melesat ke
sana kemari menangkis dan menyerang dengan
cepat.
Trak! Trak!
“Hah?!”
“Heh?!”
Dua orang yang berhadapan dengan Mei Lie
tersentak kaget, ketika pedang mereka patah
terbabat Pedang Bidadari. Mereka sesaat terbelalak
keheranan, sehingga ketika Mei Lie membabatkan
pedangnya lagi, tanpa ampun mereka tak sempat
bergerak mengelak. Dan....
“Hea!”
Wrt!
Jrab! Jrab!
“Akh...!” kedua lawannya terpekik keras. Tubuh
kedua lelaki berwajah beringas itu tampak masih
utuh, seperti tak berbekas babatan pedang. Mereka
berdiri tegak mematung. Namun sesaat kemudian,
ketika ada angin kencang bertiup tubuh mereka tiba-
tiba telah lebur menjadi serpihan-serpihan debu.
Sementara itu, Pendekar Gila pun tampak dengan
ringan menghadapi kedua penyerangnya. Sambil
cengengesan dan sesekali menggaruk-garuk kepala-
nya, Pendekar Gila terus bergerak mengelakkan
serangan-serangan kedua lawannya.
“Hea!”
Wrt! Wrt!
“Hi hi hi...! Kurang ajar, Kecoa Busuk! Ini untuk
kalian!” dengan meliukkan tubuh, Pendekar Gila
segera menepuk dada kedua lawannya yang karena
melakukan serangan dada mereka terbuka.
“Hih...!”
Plak! Plak!
“Wua...!”
Pekikan keras seketika terdengar, ketika serangan
Pendekar Gila mendarat telak di dada kedua
lawannya. Bagaikan didorong suatu kekuatan tenaga
yang hebat kedua tubuh lelaki itu terpental deras ke
belakang.
Brak! Brak!
Tubuh keduanya terhenti ketika menerjang pohon-
pohon jati besar.
“Akh...!” pekik kematian terdengar ketika tubuh
kedua lelaki itu ambruk. Darah muncrat dari mulut|
mereka yang hancur karena membentur batang
pohon jati. Sementara itu Pendekar Gila tampak
hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Di pihak murid Ki Rupaksi, nampaknya
pertarungan mereka malawan keenam belas anak
buah Partai Kera Hitam berjalan seimbang. Empat
murid Perguruan Sawo Jajar mati. Sedangkan di pihak
lawan, delapan orang telah bergelimpangan tewas tak
jauh dari kuburan Ki Rupaksi. Kini tinggal enam orang
melawan delapan anggota Partai Kera Hitam.
Mengetahui teman-temannya banyak yang mati,
apalagi melihat Pendekar Gila dan Mei Lei telah
menyelesaikan pertarungan, kedelapan anak buah
Partai Kera Hitam merasa takut. Pertarungan mereka
dibebani perasaan takut, kalau-kalau Mei Lie dan
Pendekar Gila membantu kelima murid Ki Rupaksi
Hal itu mengakibatkan pertarungan mereka nampak
kacau dan kurang mantap.
“Hea...!”
Cras!
“Akh!”
Tiga orang anggota Partai Kera Hitam terbabat
pedang murid-murid Ki Rupaksi. Tinggal lima orang
lagi yang masih hidup. Namun, tampaknya nyali
mereka semakin ciut, sehingga gerakan mereka kian
tak beraturan. Pertahanan yang mereka lakukan
pecah dan kian melemah. Sehingga akhirnya dalam
waktu sebentar mereka telah terbabat habis, jatuh
bergelimpangan dan tewas.
“Sayang, semua mati,” gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
“Ya. Padahal kita mestinya menangkap hidup-
hidup salah satu dari mereka untuk menanyakan di
mana markas Partai Kera Hitam,” sahut Mei Lie
sepertinya menyesal, tak dapat menangkap salah
satu dari anggota Partai Kera Hitam.
“Kurasa hutan ini sudah tak aman lagi, Kisanak,”
ujar Sena memberi keterangan. “Sebaiknya kalian
segera pergi dari sini! Kami akan meneruskan
perjalanan untuk mencari markas Partai Kera Hitam
dan sekaligus melaksanakan pesan Ki Rupaksi.”
“Baiklah, Tuan Pendekar. Selamat jalan dan
selamat berjuang! Semoga Hyang Widhi senantiasa
bersama kalian,” ucap Jelanga Patra.
“Terima kasih,” sahut Mei Lie dengan tersenyum,
lalu mengajak Pendekar Gila utuk segera beranjak
meninggalkan tempat itu. Dengan diikuti pandangan
mata kelima murid Ki Rupaksi, kedua pendekar itu
melesat meninggalkan Hutan Kenjer Kuning.
Sepeninggal Pendekar Gila dan Mei Lie, Lima
Jelanga dari Sawo Jajar nampak masih menatap
makam gurunya. Perasaan duka masih menggurat di
wajah mereka.
“Guru, kami berjanji akan membalas semua ini!”
ujar Jelanga Patra dengan suara berat menahan
perasaan. “Tunggulah pembalasan kami, Wanara...!”
lanjutnya dengan mengepalkan tangan dan meng-
gertakkan gigi.
Setelah melakukan sembah di depan makam Ki
Rupaksi Lima Jelanga dari Sawo Jajar itu
meninggalkan Hutan Kenjer Kuning untuk mencari
markas Partai Kera Hitam.
***
7
Betapa marahnya Wanara, setelah mendengar kabar
banyak anak buahnya yang mati di tangan se-pasang
pendekar muda. Ditambah pula rencana-ren-cana
yang senantiasa kandas, karena digagalkan seorang
pemuda berambut keperakan. Kemarahannya
semakin menjadi-jadi. Segala rencana yang dijalan-
kan selalu saja telah diketahui orang yang akan di-
jadikan sasaran. Seolah-olah ada pihak tertentu yang
telah dengan sengaja membocorkan rencana
Pimpinan Partai Kera Hitam itu.
“Sodra, Lombang, dan Watu Gunung, kalian kuutus
untuk memimpin semua anak buah. Sodra, cari
sepasang pendekar muda-mudi dan pemuda
berambut keperakan! Lombang, kau dan anak
buahmu cari tahu, siapa yang telah menjadi musuh
dalam selimut! Bunuh dia...! Watu Gunung, kau
kutugaskan untuk meminta upeti kepada semua
kepala desa yang ada di sekitar Hutan Palapiring ini.
Bila membangkang, bakar desanya!”
“Baik, Ketua!” sahut ketiganya serentak.
“Kerjakan sekarang juga!”
“Akan kami lakukan,” jawab ketiganya sambil
menjura. Kemudian ketiga tangan kanan Wanara
bersama anak buahnya meninggalkan markas Partai
Kera Hitam.
Wanara benar-benar dibuat marah atas kejadian-
kejadian merugikan perkumpulannya. Dirinya tak
habis pikir, siapa sebenarnya tiga pemuda yang telah
membunuh banyak anak buahnya, serta meng-
gagalkan semua rencananya. Pimpinan Partai Kera
Hitam juga tak habis pikir, siapa yang telah mem-
bocorkan semua rencananya.
Dengan terburu-buru, Wanara berjalan menuju
bangunan yang terletak di sebelah kanan bangunan
utama, tempat tinggal Ambar Sari istrinya. Tiba-tiba
ada dorongan untuk bertanya pada Ambar Sari
tentang kecurigaannya terhadap orang dalam sebagai
pelaku pembocoran rencana selama ini.
Ambar Sari tampak duduk di tempat tidur dalam
kamarnya. Wanita berusia sekitar lima puluh lima
tahun yang masih menampakkan kecantikan wajah-
nya itu setiap hari selalu mengurung diri. Dirinya tak
pernah keluar dari kamar jika tak ada hal yang sangat
penting. Di dalam kamar itu, Ambar Sari ditemani tiga
orang wanita seusianya, yang ditugaskan Wanara
untuk menghibur.
Tok! Tok! Tok!
Pintu kamar diketuk dari luar. Ketiga dayang yang
menemani Ambar Sari segera menyingkir ke samping.
Sesaat kemudian pintu terbuka. Dari luar masuk
Wanara dengan mata menatap tajam pada Ambar
Sari. Wanita itu diam, membalas dengan tatapan
mata sayu.
“Nyi, kuharap kau jangan menyembunyikan
sesuatu terhadapku. Katakan, siapa yang selalu
membocorkan rahasia rencanaku?” tanya Wanara
dengan napas memburu. Matanya yang merah, terus
menatap tajam wajah Ambar Sari. Namun wanita itu
bagaikan tak merasa takut sedikit pun. Matanya yang
sendu membalas tatapan sang Suami.
“Aku tak tahu,” sahut Ambar Sari lirih.
“Bohong! Siapa lagi yang menjadi musuh dalam
selimut di sini, kalau bukan kau?!” tuduh Wanara
dengan suara keras. Kakinya melangkah mendekati
Ambar Sari yang nampak mulai ketakutan. Napas
lelaki berwajah kera itu tersengal-sengal karena
diliputi amarah yang meluap-luap.
“Bunuh aku, kalau kau ingin membunuhku!”
dengus Ambar Sari. “Aku sudah dari dulu benci
padamu! Juga orang-orangmu yang telah membunuh
suamiku, bahkan anakku yang masih kecil!”
“Diam!” bentak Wanara geram. Matanya mem-
belalak semakin merah membara. “Kau tentu tahu,
siapa sepasang muda-mudi yang akhir-akhir ini telah
banyak membantai anak buahku.”
“Aku tak tahu!” sentak Ambar Sari.
Plak!
“Akh...!” sebuah tamparan keras mendarat di pipi
Ambar Sari. Wanita cantik itu terhempas ke kasur.
“Katakan, siapa mereka?! Dan siapa pula pemuda
berambut keperakan yang selalu menggagalkan
semua rencanaku!” bentak Wanara dengan suara
keras.
“Aku tak tahu!” jawab Nyi Ambar dengan suara
terisak-isak menangis, merasakan rasa sakit di
pipinya akibat tamparan tangan Wanara.
“Masih juga kau tak mengaku, Setan Betina!
Hih...!” Wanara mengangkat tangannya, hendak
memukul Ambar Sari. Namun....
“Ayah! Hentikan...!”
Dari luar muncul gadis cantik berwajah sinis yang
tak lain Seruni. Gadis itu langsung memeluk Ambar
Sari. Kemudian dengan berani matanya menatap
tajam wajah sang Ayah. Napas gadis itu memburu,
karena tengah dilanda perasaan marah.
“Kalau Ayah mau menyakiti ibu, bunuhlah aku!
Bunuhlah.... Ayah!” tantang Seruni dengan tangan
masih memeluk tubuh ibunya.
“Seruni, kau tak boleh berkata begitu, Nak!” sahut
Ambar Sari menasihati anaknya. “Dia ayahmu.”
“Aku tahu, Bu. Ibu pun ibuku. Tak rela hatiku jika
Ibu menderita. Lebih baik aku yang mati, kalau harus
Ibu yang mati. Ibu telah lama menderita,” sergah
Seruni sambil terus memeluk tubuh ibunya.
Kemudian matanya yang tajam menatap lekat
Wanara sang Ayah yang berwajah kera. Gadis itu
seakan-akan hendak menentang perbuatan ayahnya
yang selalu menyakiti sang Ibu. “Ayah! Sekali lagi
kulihat Ayah menyakiti ibu, aku tak akan tinggal
diam,” ujarnya seraya menatap tajam.
Wanara menghela napas. Entah mengapa jika
gadis cantik itu telah mengancamnya, tiba-tiba
hatinya melemah. Dirinya memang sangat
menyayangi Seruni. Bahkan bila anak itu meminta
bulan dan bintang, mungkin akan diusahakan
mendapatkannya agar sang Anak senang.
“Kau tak tahu, Anakku! Ibumu telah mengkhianati
Partai Kera Hitam,” desah Wanara berusaha memberi
pengertian pada anak kesayanganya itu.
“Bohong! Aku tahu, setiap hari ibu berada di dalam
kamar. Ibu tak pernah pergi ke mana-mana!” bantah
Seruni tak percaya. “Mungkin anak buah Ayah yang
telah melakukan pengkhianatan!”
Wanara kembali menghela napas dalam-dalam.
Dirinya tak dapat berbuat apa-apa, jika Seruni telah
ikut campur dengan urusan ini.
“Ayah jangan menuduh sembarangan. Itu seba-
bnya aku selalu mengingatkan, agar hati-hati ter-
hadap anggota baru. Tetapi Ayah selalu meremehkan
urusan sepele seperti itu. Ayah menganggap hal itu
tak berarti bagi Ayah,” ujar Seruni seakan
memojokkan Wanara.
Wanara terdiam, dirinya tak mampu mengelak dari
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan anaknya. Bagai-
manapun juga, apa yang dikatakan Seruni ada
benarnya. Selama ini, dirinya terlalu mempercayakan
semua anak buahnya. Sehingga seenaknya saja
menerima anggota baru, tanpa diteliti dengan
seksama terlebih dahulu.
“Cobalah Ayah pikir! Apakah tak mungkin, seorang,
dua orang, atau bahkan lebih dari separuh anggota
kita menjadi mata-mata,” tukas Seruni berusaha
menyadarkan sang Ayah. “Janganlah Ayah menuduh
ibu yang tak tahu apa-apa.”
“Hm!” Wanara menggumam tak jelas. Ditariknya
napas dalam-dalam, seakan berusaha menenangkan
perasaannya yang diliputi kemarahan. Pikirannya
mulai terbuka untuk mencoba menuruti apa yang
dikatakan Seruni.
“Benar juga,” gumam Wanara dalam hati. “Apa
yang dikatakan anakku, benar. Keparat! Siapa yang
telah berani menyusup ke dalam markasku?”
“Bagaimana, Ayah?” tanya Seruni.
Wanara tak menjawab. Dirinya hanya mampu
mengangguk-anggukkan kepala. Wanara sepertinya
membenarkan kata-kata Seruni. Kemudian setelah
menghela napas panjang, lelaki tua itu melangkah
keluar meninggalkan kamar Ambar Sari. Pikirannya
masih diliputi kejengkelan dan kemarahan. Terlebih-
lebih jika ingat akan tiga anak muda yang sepak
terjangnya sangat membahayakan kedudukan
Pimpinan Partai Kera Hitam itu.
Wanara melangkah menuju bangunan utama, yang
menjadi markas Partai Kera Hitam. Dengan lesu
dirinya kembali duduk di singgasananya. Matanya
memperhatikan sekitar ruangan yang cukup luas dan
sepi, tak ada seorang pun berada dalam ruangan itu
selain dirinya.
“Hhh! Mengapa aku harus takut terhadap mereka?
Wanara tak akan dapat terkalahkan! Hua ha ha...!”
bagaikan orang gila, Wanara tertawa terbahak-bahak.
Setelah puas tertawa-tawa. Lelaki berwajah kera
itu bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah ke
ruangan khusus. Tempat yang hanya dirinya boleh
memasuki. Tak seorang pun dari para anggota
maupun ketiga tangan kanannya boleh masuk tanpa
seizin darinya. Di dalam ruangan khusus itulah. Kitab
Ajian Dewa yang berhasil direbut dari Ki Rupaksi
tersimpan.
Wanara melangkah dengan mantap. Dirinya ingin
sekali mempelajari isi kitab sakti itu. Jika telah
mampu memecahkan semua isi Kitab Ajian Dewa.
Wanara akan menjadi orang yang paling sakti di dunia
persilatan. Tak seorang pun akan mampu mengalah-
kannya, karena dirinya akan dapat disejajarkan
dengan dewa.
Krekkk!
Wanara membuka pintu. Matanya mengawasi ke
dalam ruangan khusus tempat menyimpan segala
macam senjata pusaka dan kitab-kitab sakti. Namun,
tiba-tiba hatinya tersentak kaget dengan mata
terbelalak ketika melihat kotak penyimpanan Kitab
Ajian Dewa telah terbuka.
“Heh?!”
Wanara segera berlari untuk melihat isi kotak.
Betapa marah dan gusarnya lelaki berwajah kera itu,
ketika melihat isi kotak telah hilang.
“Kurang ajar! Siapa yang telah berani mencuri
Kitab Ajian Dewa!” geram Wanara dengan napas
memburu. Dadanya naik turun karena marah.
Sementara kedua telapak tangan terkepal, gigi-
giginya bergemeretukan menahan geram.
Brakkk!
Dibantingnya pintu kamar khusus itu dengan
keras, kemudian berlari keluar menuju singgasana.
Matanya yang merah, semakin membara. Dirinya
benar-benar murka. Karena Kitab Ajian Dewa yang
telah didapat dengan perjuangan selama dua puluh
tahun lebih itu kembali dicuri.
“Bedebah! Benar apa yang dikatakan Seruni. Ada
pengkhianatan di dalam Partai Kera Hitam. Hm,
kuremukkan kepalanya!” dengus Wanara bertambah
marah dan geram, merasa telah dikhianati. Tangan
kanan terkepal, lalu memukul-mukul telapak tangan
kirinya.
Plok! Plok!
Wanara bertepuk dua kali. Sesaat kemudian
berdatangan beberapa anak buahnya yang masih
berada di lingkungan markas. Mereka langsung
menyembah, kemudian duduk di lantai dengan
kepala menunduk. Hanya Ambar Sari dan Seruni yang
berdiri tanpa rasa takut, meski keduanya mengetahui
Wanara tengah murka.
“Katakan, siapa di antara kalian yang tahu pencuri
Kitab Ajian Dewa? Jawab...!” bentak Wanara dengan
keras. Matanya yang membara, mengawasi satu
persatu orang-orang yang berkumpul di ruangan itu.
“Ampun Ketua, kami tak tahu,” sahut mereka
serempak.
“Bodoh...! Percuma kalian hidup! Heaaa...!”
dengan geram Wanara mengeluarkan ajian 'Sabut
Beracun'nya. Lalu tanpa diduga sang Pimpinan
menghantamkan ajian itu.
Wrt!
“Ayah! Hentikan...!” teriak Seruni berusaha
menyadarkan ayahnya. Namun bagaikan kesetanan
Wanara menghantam semua orang yang ada di
hadapannya, Seruni dan Ambar Sari.
Bluk! Bluk!
“Wuaaa...!”
“Akh...!'.'
Lolongan kematian terdengar susul-menyusul.
Dada mereka, tergurat goresan-goresan hitam legam.
Tampak dari mulut orang-orang itu menyemburkan
darah segar. Dalam sekejap saja semua telah ambruk
bergelimpangan dengan mata membelalak seperti
menahan rasa sakit yang mendera.
“Ayah! Mengapa Ayah melakukan ini? Belum tentu
mereka bersalah!” bentak Seruni menentang
tindakan sang Ayah yang dianggapnya terlalu biadab
dan kejam.
Wanara tak menjawab. Dirinya hanya diam sambil
menundukkan kepala, karena benar-benar tak
mampu menahan amarahnya.
“Tinggalkan aku, Seruni! Tinggalkan Ayah di sini...!”
desah Wanara dengan suara bergetar. Kemudian
dihelanya napas dalam-dalam seakan berusaha
membuang perasaan amarah yang terus-menerus
membakar jiwa.
Seruni dan ibunya tak membantah. Keduanya
segera meninggalkan Wanara yang masih terduduk di
singgasananya. Sedangkan di hadapannya, terkapar
kaku puluhan manusia mati. Mereka adalah para
prajurit dan gadis-gadis yang selama ini dijadikan
pemuas nafsunya.
***
Senja yang cerah membiaskan cahaya merah di
langit sebelah barat. Dari arah timur nampak dua
orang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun berlari-
lari cepat menuju Desa Kendal. Wajah kedua lelaki
yang ternyata Ketawang dan Sungo Karu menyiratkan
ketegangan. Di punggung Ketawang, terpondong
bungkusan yang tak lain Kitab Ajian Dewa. Mereka
baru saja mengambil dari kamar khusus di markas
Partai Kera Hitam.
“Kita harus segera sampai di Desa Kendal dan
bertemu dengan Ki Jambe Biru,” ujar Ketawang
dengan napas terengah-engah. Sementara Sungo
Karu yang berlari di sampingnya seperti tak meng-
hiraukan ucapan itu, karena napasnya juga terus
memburu.
“Guru kita kabarnya telah mati, Adi Ketawang,”
Sungo Karu menyela.
“Ya! Wanara benar-benar iblis! Ingin rasanya aku
meremukkan batok kepalanya,” sahut Ketawang
dengan sengitnya. Sekali-sekali wajahnya menoleh ke
belakang, takut kalau ada yang mengikuti mereka.
Kalau saja Wanara dan ketiga tangan kanannya
tidak turut serta dalam penyerangan ke Padepokan
Sawo Jajar, tentunya guru mereka, Ki Rupaksi tak
akan mengalami kematian. Keduanya mungkin juga
bisa menolong guru mereka dan membasmi
gerombolan Partai Kera Hitam. Namun, waktu itu
penyerbuan langsung dipimpin Wanara dan ketiga
tangan kanannya.
Keduanya merasa sedih dan menyesal kerena tak
dapat menyaksikan kematian sang Guru. Selama ini
mereka diutus Ki Rupaksi untuk menyusup ke markas
Partai Kera Hitam. Sehingga ketika gerombolan itu
menyerang guru mereka Ketawang dan Sungo Karu
tak dapat membantu.
“Wanara keparat! Tunggulah pembalasanku!”
dengus Ketawang geram, ketika kembali teringat
bagaimana dengan kekejian Wanara membokong
gurunya dengan pukulan 'Sabut Beracun'nya yang
dahsyat. Mungkin jika tidak dibokong, Ki Rupaksi
akan mampu mengelakkan serangan itu.
“Kita harus menitipkan kitab ini terlebih dahulu,
Ketawang. Nanti malam, kita harus melakukan
perhitungan dengan Wanara,” saran Sungo Karu.
“Tapi, bagaimana dengan Nyi Ambar Sari?
Bukankah kita juga diperintahkan untuk menjaga-
nya?” tanya Ketawang bimbang. “Kalau kita harus
bentrok dengan mereka, aku khawatir terhadap
keselamatan Nyi Ambar Sari..., Kakang Sungo.”
“Itu tak menjadi masalah, Ketawang. Bukankah Nyi
Ambar Sari belum dicurigai? Kalau sampai kita kalah,
semoga saja ada pendekar sakti yang akan meng-
hancurkan Partai Kera Hitam biadab itu!” ujar Sungo
Karu berusaha membesarkan hati saudara se-
perguruannya itu.
Tidak lama kemudian, Ketawang dan Sungo Karu
sampai di perbatasan Desa Kendal. Namun, baru saja
keduanya berlari memasuki Desa Kendal, tiba-tiba
mereka dikejutkan bentakan keras.
“Berhenti...!”
Kedua kakak beradik seperguruan itu tersentak.
Mata mereka terbelalak mengawasi sekelilingnya.
Saat itu, dari balik pepohonan dan semak belukar
muncul anak buah Partai Kera Hitam, diikuti
pimpinannya yang tiada lain Watu Gulung.
“Kalian...?!” seru Ketawang tersentak kaget.
“He he he...! Rupanya kalian berdua pengkhianat
busuk itu. Tak kusangka,” gumam Watu Gunung
dengan tertawa terkekeh-kekeh sambil menggeleng-
geleng, “Sayang, kini kalian harus mampus!”
“Cuih!” Ketawang meludah, “Jangan kira semudah
itu, Watu Gunung! Kaulah yang harus mampus,
sebagai penebus nyawa guru kami!”
“Hm, rupanya kalian murid Ki Rupaksi!”
“Benar! Kami rela bersabung nyawa guna mem-
basmi manusia-manusia keji macam kalian!” dengus
Sungo Karu sengit. Matanya menatap tajam dua
puluh anak buah Partai Kera Hitam yang telah
mengepung mereka.
“Huah! Hebat sekali sesumbarmu, Kura-kura
Jelek!” bentak Watu Gunung. “Habisi mereka...!”
serunya kepada para anak buah.
Mendengar perintah dari sang Pimpinan, kedua
puluh anak buahnya langsung mencabut senjata.
Kemudian dengan cepat mereka langsung menyerang
Ketawang dan Sungo Karu.
“Hea!”
“Yea!”
“Tak ada jalan lain, Kang Sungo,” desah Ketawang.
“Ya! Terpaksa, sekarang pun boleh!”
Srt! Srt!
Kedua kakak beradik seperguruan itu langsung
mencabut senjata masing-masing. Sungo Karu
dengan cepat melemparkan capingnya yang lebar
menyerang mereka yang menyerbu.
“Heaaa...!”
Wrrr...!
Caping besar itu berputar cepat, bergerak
menyerang kedua puluh orang lawannya. Dari
putaran caping itu, keluar angin besar yang mampu
menyentakkan lawan.
“Heaaa!”
Melihat caping itu berputar cepat hendak
menyerang, anak buah Partai Kera Hitam secepat
kilat membabatkan pedang. Namun....
Wrt!
Crakkk! Crakkk!
“Aaakh...!” empat orang anak buah Partai Kera
Hitam terpekik keras, ketika caping besar itu
menerjang tangan mereka yang memegang pedang.
Empat tangan mereka putus, berjatuhan ke tanah
dengan, darah menyembur. Tubuh mereka ambruk
lalu bergulingan kesakitan sambil memegangi tangan
yang terpotong.
“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!” dengan
penuh amarah, Watu Gunung melesat melakukan
serangan. Pedang di tangannya, berkelebat cepat
dalam jurus 'Seribu Tangan Iblis'. Seketika pedang itu
bagaikan digerakkan seribu tangan. Begitu pula
dengan serangan-serangan tangan kirinya, sangat
cepat dan beruntun.
Sungo Karu dan Ketawang tersentak kaget,
menyaksikan jurus yang begitu cepat. Keduanya
segera bergerak mengelak sambil balas menyerang
dengan senjata masing-masing.
Ketawang memutar toyanya dengan cepat, hingga
menimbulkan angin yang keras. Sedangkan Sungo
Karu terus memutar capingnya di depan tubuh,
sebagai tameng.
“Hea!”
“Yea!”
Jlegar!”
“Akh...!” tubuh Ketawang dan Sungo Karu
terpental ke belakang, melayang bagaikan diterbang-
kan angin. Hampir saja tubuh keduanya membentur
pohon. Namun tiba-tiba sosok bayangan berkelebat
cepat menangkap tubuh mereka. Bersamaan dengan
kejadian itu muncul pula sosok bayangan lain di
belakang mereka.
Trep! Trep!
“Kakang Sena...!”
“Aha, kita bersua lagi, Purbaya,” sahut Sena ketika
melihat orang yang menolong lelaki gemuk seperti
kura-kura ternyata Purbaya.
“Nini Mei Lie, selamat bertemu lagi!” sapa Purbaya
seraya tersenyum.
“Terima kasih,” sahut Mei Lie sambil meng-
hentikan langkahnya. Kini mereka bertiga berdiri tiga
tombak di hadapan anak buah Partai Kera Hitam.
Watu Gunung dan para anak buahnya terbelalak
melihat siapa yang datang menolong kedua peng-
khianat itu.
“Sepasang pendekar dan pemuda berambut
keperakan!” gumam mereka dengan mata mem-
belalak.
***
8
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Purbaya masih berdiri,
tenang. Pendekar Gila menurunkan tubuh Ketawang
yang dipondongnya. Begitu pula dengan Purbaya.
“Mengapa, Kisanak berurusan dengan kera-kera
iblis itu...?” tanya Purbaya kepada Ketawang. Mata-
nya kemudian menatap para anak buah Partai Kera
Hitam. Ketika matanya beradu pandang dengan mata
Watu Gunung, Purbaya menarik napas dalam-dalam.
Ingatannya tiba-tiba melayang pada peristiwa dua
puluh tahun silam. Dirinya dan sang Ibu dikejar-kejar
tiga orang rekan Wanara. Purbaya masih ingat, salah
satunya Watu Gunung.
“Mereka orang jahat, Kisanak. Guru kami telah
mereka bunuh dengan keji,” sahut Sungo Karu
dengan mata berapi-api, menatap tajam wajah Watu
Gunung serta anak buahnya.
“Aha, siapakah guru kalian?” tanya Sena menyela.
“Ki Rupaksi,” jawab Ketawang seraya menoleh
wajah Pendekar Gila.
“Aha, kalau begitu, bukankah kalian Ketawang dan
Sungo Karu?” tanya Sena berusaha memastikan.
Ketawang dan Sungo Karu mengerutkan kening.
Keduanya heran, karena pemuda itu telah mengenal
mereka.
“Dari mana Tuan tahu? Siapakah Tuan sebenar-
nya?” tanya Ketawang menatap Pendekar Gila lalu
beralih ke wajah Mei Lie di sampingnya.
“Namaku Mei Lie, sedangkan temanku Sena
Manggala. Kami telah bertemu dengan guru kalian,
ketika dalam keadaan sekarat. Kemudian Ki Rupaksi
menceritakan tentang kalian,” tutur Mei Lie.
Kemudian, dengan singkat Mei Lie menceritakan
tentang Ki Rupaksi, yang menyangkut juga masalah
Purbaya.
“Jadi, pamanku telah meninggal?” sela Purbaya
dengan wajah sedih, setelah tahu kalau Ki Rupaksi
ternyata pamannya. Kemudian wajahnya menoleh ke
Ketawang dan Sungo Karu. “Kalian berdua saudara
seperguruan,” ujarnya.
Ketawang dan Sungo Karu merasa terharu dapat
bertemu dengan anak Ki Kerto Pati, saudara guru
mereka. Begitu pula Purbaya tak akan mampu
menahan rasa harunya. Namun...
“Hea...!”
Tiba-tiba gerombolan itu merangsek maju
menyerang dengan ganas. Pendekar Gila dan Mei Lie
yang ingin membiarkan kawan-kawan mereka
melepas kerinduan, segera melesat. Keduanya
bergerak cepat memapaki serangan beringas itu. Tak
tanggung-tanggung lagi Pendekar Gila dan Mei Lie
langsung mencabut senjata masing-masing.
“Hea!”
“Hea!”Yea!”
Wrt! Wrt!
Trang! Trang!
Mei Lie yang dikenal dengan julukan Bidadari
Pencabut Nyawa Iblis, dengan Pedang Bidadarinya
membabat pedang lawan yang menyerangnya.
Kemudian dengan cepat, melakukan serangan
balasan.
“Hea!”
Wrt!
Cras!
“Akh...!” jeritan kematian terdengar, ketika Pedang
Bidadari yang digerakkan dengan jurus 'Bidadari
Menebas Gunung' membabat tubuh lawan.
Sementara itu Pendekar Gila tampak menghadapi
keroyokan itu. Tingkah lakunya yang konyol, membuat
lawan-lawannya bertambah penasaran. Sepuluh
orang serentak menyerbu dengan senjata bergerak
menebas dan menusuk tubuh Pendekar Gila.
“Pecah kepalamu...!”
“Hancur tubuhmu, Bocah Edan! Hih...!”
Wrt! Wrt!
“Hi hi hi...! Aha, masih belum, Kisanak!” ejek Sena
sambil mengelak dengan membungkukkan badan.
Sementara tangannya memegangi kepala, seakan
ketakutan. “Wadau...! Galak sekali kalian...!”
Pendekar Gila bergerak seperti orang mabuk.
Kemudian tampak tubuhnya memutar mengelakkan
serangan lawan. Itulah jurus 'Dewa Mabuk Menjerat
Sukma' yang dipadu dengan jurus 'Si Gila Melepas
Lilitan Benang'.
“Hi hi hi...! Weee...!” Pendekar Gila mengejek
sambil bergerak sempoyongan mirip orang mabuk.
Gerakan itu membuat kesepuluh lawannya semakin
nafsu untuk segera dapat mengalahkan Pendekar
Gila. Secara serentak mereka langsung menyerang
dengan babatan pedang.
“Hea...!”
Wrt! Wrt!
Dengan cepat Pendekar Gila, menjatuhkan tubuh-
nya ke tanah. Kedua kakinya direntangkan, kemudian
bergerak menyapu kaki-kaki lawan. Hal itu membuat
kesepuluh lawannya yang hendak menyerang,
tersentak kaget. Mereka tak sempat mengelakkan
sapuan kaki Pendekar Gila yang menggunakan jurus
'Dewa Mabuk Menjerat Sukma'.
Wuttt!
“Wadauw...!”
Kesepuluh orang lawannya yang hendak
menyerang, seketika terjengkang ke belakang. Kaki
mereka diterjang sapuan kaki Pendekar Gila.
“Hi hi hi...! Lucu sekali kalian! Mengapa kalian tak
melihat ke bawah?” ejek Sena tertawa cekikikan
sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara tangan
kanannya yang masih memegang Suling Naga Sakti
memukul-mukulkan perlahan suling itu ke pahanya.
Betapa marahnya kesepuluh orang lawannya,
diejek Pendekar Gila. Segera mereka bangkit,
kemudian serentak kembali melakukan serangan.
“Hea!”
“Hi hi hi...! Belum kapok juga kalian?!” seru Sena
sambil melompat ke atas dengan jurus 'Si Gila
Terbang Mencengkeram Mangsa'. Setelah bersalto
dengan cepat menotokkan kepala Suling Naga Sakti
ke kepala lawan-lawannya. “Ini untuk kalian! Hi hi hi!”
Pletak!
“Wadauw...!”
“Hi hi hi...! Ini untukmu!” Pendekar Gila semakin
cepat bergerak, sambil memukulkan Suling Naga
Sakti ke kepala lawan-lawannya.
Pletak! Pletak!
Suara benturan Suling Naga Sakti yang memukul
kepala terdengar beberapa kali. Jeritan-jeritan
kesakitan keluar dari mulut mereka yang terpukul.
Tangan lawan tampak saling memegangi kepala
masing-masing seakan membuang rasa sakit.
“Aduh...!”
“Tobat!”
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala. Telunjuknya menuding
sepuluh orang yang kini meraung-raung kesakitan.
Purbaya, Ketawang, dan Sungo Karu yang melihat
tingkah laku Pendekar Gila dan kesepuluh lawannya
yang kini sedang kesakitan, tak dapat menahan tawa.
Mereka tertawa terpingkal-pingkal, melihat kelucuan
dan kekonyolan Pendekar Gila.
Watu Gunung yang menyaksikan kesepuluh anak
buahnya dibuat konyol, tampak menggeram marah.
“Kubunuh kau, Gila! Hea...!”
Wrt!
Lelaki tua itu melesat melakukan serangan cepat.
“Aha, rupanya biang kecoanya turun. Hi hi hi...!”
ejek Sena sambil berkelit dengan melebarkan kaki
kiri ke samping. Sedangkan yang kanan ditekuk.
Namun kemudian dengan cepat tubuhnya berputar
ke samping.
Wesss!
Serangan Watu Gunung meleset beberapa jengkal
dari rusuk kiri Pendekar Gila. Pendekar Gila cepat
balas menyerang dengan mengangkat lutut kanannya
ke atas. Tak ampun tubuh Watu Gunung yang tengah
melesat tak sempat mengelak.
Degkh!
“Ukh...!” Watu Gunung terpekik lirih, ketika
perutnya terhantam lutut Pendekar Gila. Tubuh lelaki
tua itu terpental dan jatuh ke tanah. Matanya tampak
semakin beringas. “Kurang ajar! Kubunuh kau, Gila!
Heaaa...!”
“Hi hi hi...!” sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila
menggerakkan tubuhnya meliuk laksana menari,
kemudian disertai sebuah tepukan ke dada Watu
Gunung.
“Hah?!” Watu Gunung tersentak kaget, merasakan
ada hawa tepukan dari tangan Pendekar Gila yang
begitu kuat. Hampir saja dirinya terkena hantaman
tepukan itu, kalau saja dia tak segera mengelak.
“Jurus siluman...!”
“He he he... Lucu sekali kau, Ki!” sahut Sena
meledak sambil turun bergerak dengan jurus 'Gila
Menari Menepuk Lalat'. Watu Gunung semakin
tersentak kaget. Tubuhnya bersalto ke belakang
mengelak. Namun belum sampai kakinya menginjak
tanah, tiba-tiba tepukan telah memburunya.
Plok!
“Heh?!” Watu Gunung tersentak, dia kembali
melentingkan tubuhnya mengelakkan serangan yang
dilancarkan Pendekar Gila. “Seraaang...!” teriak Watu
Gunung kepada para anak buahnya.
Serentak kesepuluh anak buah yang sudah tak
merasa sakit lagi, bergerak menyerang. Namun
dengan cepat Pendekar Gila melejit ke atas,
kemudian Suling Naga Sakti kembali mematuki
kepala lawan satu persatu.
Pletak!
“Akh...!”
Pletak!
“Waduh!”
Kesepuluh pengeroyoknya kembali dibuat kalang
kabut seraya menjerit-jerit kesakitan. Tubuh mereka
berputaran sambil memegangi kepalanya yang sakit
dan berdenyut-denyut.
“Hua ha ha..! Pendekar Gila tertawa terbahak-
bahak. Begitu pula Purbaya, Ketawang, dan Sungo
Karu, yang tak kuat menahan tawanya melihat
kejadian lucu itu.
Sementara itu, di sisi lain Mei Lei masih terus
bertarung dengan sengitnya. Dua orang kini meng-
gebrak Mei Lei dengan sabetan dan tusukan pedang-
nya. Dengan cepat Mei Lie merundukkan kepala,
lalu..., menggeser kaki kiri ke samping. Tubuhnya
bergerak bagaikan menari dengan cepat. Sedangkan
pedang diarahkan ke dada lawan yang ada di depan.
Sementara telapak tangan kirinya menghantam ke
arah selangkangan lawan yang ada di samping.
“Heaaa!”
Pekikan keras mengiringi serangan cepat Mei Lie.
Crab!
Jrot!
“Akh!”
“Wua!” dua orang terpekik keras, yang satu
dadanya bolong terkena tusukan pedang. Sedangkan
satunya lagi kini memegangi kemaluannya yang
terkena hantaman telapak tangan Mei Lie. Keduanya
langsung sekarat dan mati.
Melihat rekannya mati, tidak membuat anggota
Partai Kera Hitam lainnya gentar. Bahkan kini empat
orang dengan ganas menggebrak Mei Lie, secara
bersamaan. Mereka menyerang dari empat arah,
dengan tebasan dan tusukan pedang. Namun,
dengan cepat Mei Lie mengelak, lalu dengan cepat
dikeluarkan jurus 'Tebasan Sukma'. Sebuah jurus
pamungkas yang selama ini belum ada tandingannya
dalam jurus pedang.
“Hea!”
Wut! Wut!
Pedang Bidadari di tangan Mei Lie bergerak
memutar. Kelihatan gerakan pedang itu lambat.
Namun ternyata begitu cepat menggores leher
keempat lawannya.
Cras! Cras!
“Akh?!”
“Ukh?!” empat lawannya memekik tertahan.
Mereka pun terbelalak kaget melihat leher masing-
masing tetap utuh bagai tak terluka.
Bahkan Watu Gunung pun tercengang dengan
mulut ternganga menyaksikan kejadian yang sangat
aneh itu. Padahal matanya melihat persis kalau ujung
pedang di tangan gadis Cina itu membabat leher
keempat anak buahnya.
Rasa kaget Watu Gunung belum habis, ketika tiba-
tiba terjadi sesuatu yang lebih mengejutkan lagi.
Tubuh keempat anak buahnya yang semula berdiri
tegak dan utuh seketika lebur menjadi debu ketika
angin bertiup.
“Hah?! O, ilmu apa yang digunakannya?!” gumam
Watu Gunung dengan mata membelalak kaget,
menyaksikan hal aneh yang baru saat ini dilihatnya.
Dirinya juga jago memainkan pedangnya. Namun,
baru kali ini dia melihat sebuah jurus pedang yang
aneh dan sangat hebat. “Celaka...! Jelas gadis ini
bukan gadis sembarangan! Anak-anak, mundur...!”
Mendengar perintah dari pimpinan, anak buah
Partai Kera Hitam segera ambil langkah seribu.
“Hoi, mau lari ke mana kalian!” bentak Purbaya
geram. Kemudian digerakkan rambutnya. Seketika itu
juga melesat sinar putih keperakan dari rambutnya
yang panjang.
Slats! Slats!
Sinar keperakan itu melesat cepat memburu sisa
gerombolan dari Partai Kera Hitam yang hendak
melarikan diri. Dalam sekejap dua larik sinar itu
menerjang orang yang paling belakang.
Jrat!
“Akh...!” kesepuluh anak buah Watu Gunung
mengerang-erang kesakitan. Sinar keperakan yang
menerjang tadi ternyata begitu dahsyat. Tubuh
mereka meleleh bagaikan lilin yang terbakar. Melihat
kejadian itu Ketawang dan Sungo Karu terbelalak
karena perasaan heran, kaget, dan ngeri
menyaksikan kejadian menggiriskan itu.
Melihat Watu Gunung dapat lolos dari hantaman
'Rambut Api'nya Purbaya hendak mengejar. Namun
dengan cepat Pendekar Gila mencegah.
“Biarkan dia hidup. Karena dialah yang akan
memberitahukan pada Wanara,” cegah Sena sambil
memegang bahu Purbaya. Pemuda berambut
keperakan ini menurut.
''Tapi dia salah seorang pembunuh ayahku, Sena,”
kata Purbaya.
“Aha, itu suatu kebetulan. Bukankah dengan
begitu, tentunya kera-kera jelek yang membunuh
ayahmu akan keluar. Ah ah ah! Kita tak perlu susah-
susah mencari mereka!” gumam Sena sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Kemudian diselipkan Suling Naga Sakti ke ikat
pinggangnya.
''Kakang Purbaya, siapakah kedua Tuan Pendekar
ini?” tanya Ketawang.
“Ini Sena Manggala yang lebih dikenal dengan
julukan Pendekar Gila. Sedangkan yang ini, Mei Lie
yang juga berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa Iblis,”
kata Purbaya memperkenalkan nama dan julukan
keduanya.
“O, ampunilah kami, Pendekar Gila! Sungguh dari
tadi kami tak menyangka kalau di hadapan kami,
ternyata dua pendekar yang namanya menjadi buah
bibir semua tokoh rimba persilatan,” desah Ketawang
sambil menjura hormat, diikuti Sungo Karu.
“Aha, janganlah Kisanak berdua berlaku begitu
terhadap kami. Kami juga manusia seperti kalian,”
sahut Sena sambil cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala.
“Benar, Kisanak. Jangan kalian terlalu memuji
kami dengan gelar itu. Gelar belum tentu
menggambarkan sifat manusia yang menyandangnya.
Kebaikan budi pekerti, itu yang paling utama,”
sambung Mei Lie. Ketawang dan Sungo Karu semakin
bertambah kagum terhadap kedua sejoli pendekar
itu.
“Pendekar, kebetulan sekali kita bertemu. Guru
berpesan, jika bertemu Pendekar Gila kami harus
menyerahkan Kitab Ajian Dewa ini,” Ketawang segera
melepas kain yang digendong di punggungnya.
Kemudian diberikannya Kitab Ajian Dewa pada Sena.
“Ini Kitab Ajian Dewa milik gurumu.”
Pendekar Gila menerimanya, kemudian sambil
menggaruk-garuk kepala matanya mengamati dengan
teliti kitab itu.
“Sungguh bukan kitab sembarangan. Hm, pantas
kalau kitab ini menjadi rebutan,” gumam Sena dalam
hati, merasa kagum melihat kitab yang berisikan
ajian-ajian sakti.
“Aha, terima kasih! Betapa telah banyak sekali
jasa kalian. Sekian lama menjaga kitab ini dengan
mempertaruhkan jiwa dan nyawa kalian. Aha, dengan
apa aku harus membalas kebaikan kalian?” tanya
Pendekar Gila sambil mendesah pelan, lalu
memperhatikan kembali Kitab Ajian Dewa yang masih
dalam genggamannya.
“Oh, tidak mengapa, Pendekar. Bagaimanapun
antara guru kita telah terjalin persahabatan. Sebagai
sahabat, sewajarnya kita harus bantu-membantu,”
sahut Ketawang sambil mengurai senyum, “Oh ya,
Kakang Purbaya. Bibi Ambar berada di markas Partai
Kera Hitam.”
“Heh...?!”
Purbaya tersentak hatinya mendengar sang Ibu
masih ada. Perasaan rindu yang selama dua puluh
tahun dipendam, kembali menyeruak keluar
mengusik hatinya. Namun sementara itu pula
jantungnya berdegub keras. Darah di kepala bagaikan
mendidih karena dendam kesumatnya yang tiba-tiba
pula terbangkit, ketika teringat peristiwa yang
mengakibatkan keluarganya berantakan.
“Apakah ibu dalam keadaan sehat?” tanya
Purbaya dengan suara bergetar.
“Bibi dalam keadaan sehat. Bibi pernah bercerita
pada kami, kalau bibi selalu teringat pada Kakang.
Bibi menyangka Kakang telah meninggal,” tutur
Sungo Karu.
Purbaya menghela napas dalam-dalam. Ingatannya
kembali melayang ke masa dua puluh tahun yang
silam.
“Sudah kuduga, kalau ibu akan menyangka aku
telah mati!” gumam Purbaya dengan wajah sedih.
Ingin sekali dirinya menemui sang Ibu untuk
mencurahkan rasa rindunya.
“Aha, kurasa kita harus segera mengatur recana.
Partai Kera Hitam bukan partai kecil. Kita harus hati-
hati dan menghimpun pendukung untuk melakukan
penyerbuan...!” kata Sena menjelaskan.
“Benar!” sambut Mei Lie, “Kita harus mengumpul-
kan warga desa yang selama ini menderita, tertindas
keangkaramurkaan. Kita harus segera membasmi
kebiadan ini!” seru Mei Lie.
Tengah mereka berbincang-bincang, dari empat
penjuru muncul para lurah diikuti warga desanya.
Kepala Desa Kranggan, Kepala Desa Sangitan, dan
Kepala Desa Kendal melangkah mendekati Pendekar
Gila dan kawan-kawannya. Sesaat kemudian muncul
pula dari utara dan timur beberapa lurah yang juga
disertai para warga desanya. Ada yang meng-
herankan, entah siapa yang memberitahu mereka
kalau Pendekar Gila dan Purbaya hendak menyerbu
markas Partai Kera Hitam.
“Kami ikut...!”
“Kami siap membantu kalian!”
“Kami telah bosan ditindas Partai Kera Hitam!”
“Tumpas Partai Kera Hitam...!”
Pendekar Gila, Mei Lie, Purbaya, Sungo Karu, dan
Ketawang tercengang mendengar ucapan serta
kesungguhan di wajah orang-orang desa itu. Mereka
tak tahu, siapa yang telah mengerahkan para kepala
desa dan warganya untuk memberontak terhadap
Partai Kera Hitam.
“Hi hi hi...! Lucu sekali! Baru saja kami hendak
mengumpulkan kalian. Tetapi kalian telah datang
sendiri,” gumam Sena sambil menggaruk-garuk
kepala.
“Kami telah dihubungi Lima Jelanga dari Sawo
Jajar!” seru Ki Jambe Biru, Kepala Desa Kendal.
“Aha, rupanya murid-murid Ki Rupaksi! Di mana
mereka?” tanya Sena.
“Kami di sini, Pendekar!” jawab Lima Jelanga dari
Sawo Jajar yang baru datang dari arah selatan.
“Adik Jelanga...!” seru Ketawang dan Sungo Karu
hampir bersamaan, melihat kelima adik seperguruan
mereka telah datang.
“Semua telah berkumpul. Kurasa cukup untuk
melakukan penyerbuan, Kakang,” kata Mei Lie.
“Aha, kau benar! Kita tinggal memimpin mereka
dan membagi menjadi kelompok-kelompk,” usul
Pendekar Gila dengan cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala. “Bagaimana, Adi Purbaya?”
“Aku setuju, Tuan Pendekar. Kita memang harus
secepatnya menumpas Partai Kera Hitam,” sahut
Purbaya.
“Setuju...!” sahut para warga desa serentak.
“Hidup Malaikat Berambut Perak...!” seru warga
Desa Kranggan yang dipimpin seorang lurah baru.
“Hidup Penegak Keadilan...!” sambut warga desa
lainnya.
“Hi hi hi...! Baiklah, kita bagi menjadi lima. Masing-
masing bergerak dari arah selatan, barat, dan timur.
Dan satu kelompok lagi bersiap di depan markas,”
ujar Sena mengatur kelompok-kelompok penye-
rangan.
“Kakang, apakah tidak sebaiknya kita ke sana
lebih dahulu?” tanya Mei Lie mengusulkan.
“Aha, benar. Kami berlima akan berangkat lebih
dahulu ke sana. Kalian menyusul...!” kata Sena.
“Setuju...!” sahut semua warga desa.
“Aha, kita akan memburu kera. Hi hi hi...!”
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggaruk-
garuk kepala. Kemudian mereka berlima segera
meninggalkan Desa Kendal. Tidak lama para warga
desa yang dipimpin Lima Jelanga dari Sawo Jajar pun
melangkah menyusul.
***
Sementara di Markas Partai Kera Hitam, Wanara
sedang memimpin anak buahnya yang telah kembali
setelah melakukan tugas mereka. Dua orang tangan
kanannya, Sodra dan Lombang, juga ada di situ.
Hanya Watu Gunung yang belum datang.
“Ke mana Watu Gunung?” tanya Wanara.
“Bukankah dia sedang menjalankan tugasnya di
Kendal, Ketua?” sahut Sodra balik bertanya.
“Hm, mengapa sampai saat ini belum datang
juga?” gumam Wanara dengan wajah cemas,
“Barangkali dia mengalami kesulitan?”
“Entahlah. Kalau memang benar, tentu ketiga
anak muda itu berada di Desa Kendal,” sahut
Lombang.
“Kalau begitu, kita akan melakukan sapu bersih
terhadap kelima desa di sekitar Hutan Palapiring. Biar
mereka tahu siapa kita!” dengus Wanara masih men-
duga ketiga pendekar muda itu kembali membuat
rencananya berantakan. Belum lagi memikirkan
pengkhianatan yang telah masuk ke dalam
markasnya.
Ketika mereka memikirkan Watu Gunung yang
mencemaskannya, tiba-tiba dari luar terdengar suara
penjaga berseru, memberitahukan kalau Watu
Gunung telah datang.
“Watu Gunung datang...!”
“Hm, dia akhirnya datang juga!” gumam Wanara.
Dari luar, nampak Watu Gunung tergesa-gesa
melangkah masuk. Wajahnya pucat pasi dilanda rasa
takut. Hal itu membuat semua yang ada di dalam
ruangan markas memperhatikan Watu Gunung.
“Watu Gunung, ke mana anak buahmu?” tanya
Wanara dengan kening mengerut menatap wajah
Watu Gunung nampak begitu tegang dan pucat,
seperti diburu hantu.
“Ampun Ketua, tiga pendekar muda itu ada di
Desa Kendal. Kami bentrok dengan mereka. Tetapi
pemuda berambut keperakan itu sangat hebat.
Rambut peraknya mampu mengeluarkan sinar yang
panas laksana petir!” tutur Watu Gunung.
Semua mata terbelalak, mendengar penuturan
Watu Gunung. Mereka memang akhir-akhir ini
mendengar sepak terjang ketiga pendekar muda yang
di antaranya pemuda berambut keperakan. Namun
mereka tak menduga, kalau pemuda berambut
keperakan itu mampu mengeluarkan sinar panas
membara.
“Bodoh! Menghadapi anak-anak muda saja kau
tak becus!” bentak Wanara marah, “Percuma dua
puluh tahun kau bersamaku, Watu Gunung.”
“Ampun, Ketua! Mereka memang bukan anak
muda sembarangan,” ujar Watu Gunung.
“Bodoh!” bentak Wanara dengan penuh amarah.
Napasnya mendengus keras. Tangannya mengepal,
menandakan kalau hatinya sangat merah. “Kau tak
ada gunanya, Watu Gunung!”
“'Tapi, Ketua...”
“Tapi apa?!” sentak Wanara geram, “Kau akan
mengelak dengan mengatakan mereka itu manusia-
manusia sakti. Hua ha ha...! Tak ada yang lebih sakti
dari Wanara!”
Semua terdiam, tak ada yang berani menyahuti.
Para anak buahnya benar-benar takut, kalau Wanara
akan semakin bertambah marah. Mereka tahu, kalau
sang Pimpinan sudah marah, tak ada ampunan lagi.
Hukuman mati pasti tak terelakan.
“Sodra, Lombang, kuperintahkan kalian agar mem-
persiapkan pasukan. Kita gempur Desa Kendal!
Tangkap ketiga pendekar muda itu! Seruni...!”
“Saya, Ayah,” sahut Seruni. “Kutugaskan kau
membunuh dua orang pengkhianat itu!” perintah
Wanara.
“Siapa yang Ayah maksudkan?” tanya Seruni ingin
tahu.
“Ketawang dan Sungo Karu!” sahut Wanara,
“Dialah yang telah mencuri Kitab Ajian Dewa.”
“Hm, semula memang sudah kuduga, Ayah. Aku
sudah tak percaya semenjak mereka hendak menjadi
anak buah Partai Kera Hitam,” dengus Seruni dengan
mata menatap tajam.
Semua anak buah Partai Kera Hitam kembali
terdiam, tak seorang pun yang berani membuka
suara. Suasana di tempat itu seketika hening dan
tegang. Semua dicekam ketakutan kalau Wanara
sampai murka. Mereka tahu siapa lelaki berwajah
mirip kera itu.
Wanara bangkit dari duduknya, lalu melangkah
hilir mudik dengan tangan mengepal. Wajahnya
diselimuti amarah yang meluap-luap. Dirinya merasa
semua sepak terjang Partai Kera Hitam akhir-akhir ini
banyak gagal akibat ketiga pendekar muda itu.
“Kuperintahkan pada semuanya, cari dan bunuh
ketiga pendekar muda itu!” perintah Wanara dengan
penuh amarah. Seakan tak sabar ingin segera
melihat ketiga pendekar muda itu mati.
“Hua ha ha...! Kau tak usah susah-susah mencari
kami, Wanara! Kami telah datang...!” terdengar suara
seorang anak muda berseru dari luar.
“Mereka datang...!” seru Watu Gunung.
Wanara dan anak buahnya langsung berhamburan
keluar, untuk melihat siapa yang telah berani ber-
teriak lantang itu.
***
9
Di halaman markas Partai Kera Hitam telah berdiri
tenang lima orang muda. Dua di antara mereka yang
telah dikenal di kalangan perkumpulan itu, Ketawang
dan Sungo Karu. Sedang tiga orang lagi bagi Wanara
masih asing, karena baru kali ini dilihatnya. Satu
pemuda berpakaian rompi kulit ular bertingkah laku
seperti orang gila. Di sampingnya seorang gadis Cina
yang cantik dengan pedang tersandang di punggung-
nya. Dan di sebelah kanan gadis cantik itu berdiri
tegap seorang pemuda bertubuh gagah mengenakan
jubah putih. Rambutnya yang panjang tergerai, ber-
warna keperakan.
“Hi hi hi...! Aneh sekali. Sekarang ada monyet
memimpin manusia,” ujar Sena sambil cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Cuih! Bocah edan! Kalian berani datang ke
markas Partai Kera Hitam! Berarti kalian mencari
mampus!” dengus Wanara geram. Matanya yang
merah menatap tajam wajah Pendekar Gila yang
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Monyet! Kurasa
kedatangan kami, justru mau berburu monyet
sepertimu!” seru Sena sambil tertawa terbahak-
bahak. Melihat sikap pemuda gila di depannya.
Wanara semakin geram dan marah.
“Bocah edan! Tutup mulutmu...!” bentak Wanara
dengan suara keras.
“Aha, lucu sekali! Ada kera bisa berbicara seperti
manusia. He he he...!”
“Nguiiik...! Grrr...!”
Suara lengkingan keras memekakkan telinga, tiba-
tiba keluar dari mulut Wanara, disusul dengan suara
geraman menggelegar. Pepohonan di sekitar tempat
markas itu bergetar hebat. Dedaunan berguguran.
Bumi dan bangunan-bangunan markas terguncang
seperti terjadi gempa. Sementara itu para anak buah
Partai Kera Hitam saling menutupi telinga masing-
masing sambil memutar-mutar kepala. Tampaknya
mereka tak mampu menahan getaran akibat suara
yang dikeluarkan dengan tenaga dalam sangat kuat
itu. Beberapa orang di antara mereka terdengar
merintih dan menjerit kesakitan.
Mei Lie dan Purbaya tampak mengerahkan tenaga
dalam untuk menahan getaran suara Wanara. Begitu
juga yang lainnya. Bahkan yang tak kuat langsung
jatuh berlutut. Namun, Pendekar Gila justru tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Dengan cepat dicabutnya Suling Naga Sakti lalu
ditiupnya.
Suara Suling Naga Sakti mengalun. Mulanya
lembut, tetapi semakin lama semakin keras,
menyentak dan melengking melambung tinggi.
“Nguiiing...!”
Glarrr...!
Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika
suara Suling Naga Sakti beradu dengan suara jeritan
Wanara. Tubuh Wanara tampak terhuyung beberapa
langkah ke belakang dengan mata membelalak
kaget. Hatinya tak percaya kalau ajian 'Teriakan Kera
Mengguncang Buana'nya dapat ditandingi suara
suling pemuda gila itu.
“Kurang ajar! Bunuh mereka...!” teriak Wanara
memerintah anak buahnya. Serentak semua anak
buahnya bergerak maju menyerbu Pendekar Gila dan
keempat kawannya.
Melihat lawan mulai menyerang, Mei Lie segera
mencabut Pedang Bidadari dari punggungnya. Begitu
juga dengan Ketawang dan Sungo Karu keduanya
segera melepas senjata mereka lalu memapaki
serangan lawan.
“Hea!”
“Yea!”
Bagaikan Bidadari Pencabut Nyawa, Mei Lie
dengan Pedang Bidadari-nya langsung menggempur
sepuluh orang anak buah Partai Kera Hitam yang
menyerang dirinya. Pedang di tangannya bergerak
cepat, membabat ke arah lawan-lawannya.
Wrt!
Bret!
“Akh!” pekikan kematian terdengar, bersamaan
ambruknya serang anak buah Partai Kera Hitam yang
menyerang Mei Lie. Lehernya terpenggal.
Sementara Pendekar Gila yang menghadapi
keroyokan empat orang tokoh utama Partai Kera
Hitam, tampak dengan cepat bergerak lincah ke sana
ke-mari. Serangan-serangan yang dilancarkan Watu
Gunung, Sodra, Lombang, dan Wanara bukanlah
serangan enteng. Keempatnya yang telah mendengar
sepak terjang pendekar muda itu, tak mau bertindak
ceroboh. Mereka langsung menggebrak dengan
serangan-serangan dahsyat dan memarikan.
“Hi hi hi..! Kalian tidak ubahnya kera-kera
kelaparan!” ejek Pendekar Gila. Mendengar ejekan
lawan, keempat orang itu semakin sengit dan marah.
Apalagi Wanara, yang merasa kalau manusia kera itu
langsung meledak kemarahannya.
“Grrr! Kurang ajar! Kusobek mulutmu, Bocah Edan!
Hea...!”
Dengan jurus 'Cengkeraman Cakar Kera' Wanara
melesat menyerang Pendekar Gila. Tangannya mem-
bentuk cakar, bergerak mencakar ke tubuh lawan.
Pendekar Gila segera bergerak mundur serta ber-
gerak ke kanan dan kiri mengelakkan serangan itu.
Kemudian dengan mulut cengengesan Pendekar Gila
segera membalas serangan lewat jurus 'Gila Menari
Menepuk Lalat'.
“Hea!”
Wrt!
Wanara tersentak kaget sambil melompat mundur
untuk mengelakkan tepukan tangan lawan. Matanya
terbelalak seakan tak percaya kalau tepukan yang
kelihatannya pelan, ternyata menimbulkan angin
keras dan menyentakkan.
“Haits...! Bedebah! Gila! Jurus gila..!” gumam
Wanara sambil melompat mundur. Matanya semakin
membelalak, kaget melihat serangan yang dilancar-
kan lawan. Jurus-jurus yang dilakukan Pendekar Gila
kelihatan lambat dan pelan, tetapi ternyata mampu
memburu gerakannya yang cepat.
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil meng-
garuk-garuk kepala, melihat lawannya terkejut.
Tingkahnya yang konyol, membuat Wanara ber-
tambah marah.
“Serang dia...!” teriak Wanara pada ketiga tangan
kanannya. Sodra, Lombang dan Watu Gunung
serentak langsung merangsek Pendekar Gila.
“Hea!”
“Yea!”
Watu Gunung dengan jurus 'Gempa Gunung'nya
bergerak menyerang. Kedua tangannya mengepal,
lalu secara bersamaan menghantam dada lawan.
Namun dengan cepat dan masih cengengesan,
Pendekar Gila merentangkan kaki kiri. Kemudian
dalam keadaan tubuhnya miring bertumpu pada kaki
kanan yang di tekuk, Pendekar Gila bergerak cepat
menepuk. Telapak tangannya yang terbuka
memapaki pukulan Watu Gunung.
“Hea!”
Glarrr...!
“Ukh...!” pekikan tertahan terdengar diringi
terpentalnya tubuh Watu Gunung. Dari mulutnya
muncrat darah merah. Kedua tangannya tampak
gosong bagaikan terbakar. Tubuh lelaki tua berkepala
botak itu terus melesat ke belakang. Dan...
Brak...!
Seketika kepala Watu Gunung pecah, setelah
menghantam tembok gapura. Tanpa suara erangan
tubuh berlumuran darah itu tewas. Kepalanya pecah
berantakan di atas gapura.
Wanara, Sodra dan Lombang tersentak kaget
dengan mata terbelalak. Mereka hampir tak percaya,
kalau 'Pukulan Gempa Gunung' yang memiliki
kekuatan penghancur gunung ternyata mampu
ditahan pukulan pemuda gila itu. Ketiganya meng-
geleng-geleng kepala kagum bercampur heran
melihat pukulan yang tampaknya begitu lemah dan
lamban ternyata mengandung kekuatan dahsyat
sekali.
“Kurang ajar! Kau telah membunuh anak buahku!
Kau harus mati! Seraaang...!” teriak Wanara
memerintah Sodra dan Lombang agar segera
membunuh Pendekar Gila.
“Hea!”
“Yea!”
Melihat ketiganya melancarkan serangan
Pendekar Gila dengan cepat bergerak untuk
menghindari. Kemudian dengan jurus 'Dewa Mabuk
Menjerat Sukma' dirinya balas menyerang ketiga
lawannya. Gerakan yang seperti seorang mabuk,
membuat ketiga lawan tertarik untuk melancarkan
serangan. Mereka menyangka gerakan Pendekar Gila
tak memiliki kekuatan untuk bertahan.
“'Jalaraga'! Heaaa...!” dengan pukulan andalan
bernama 'Jalaraga' Sodra melesat menyerang.
Tangannya kini terbalut gulungan sinar biru berkabut
Kehebatan pukulan itu mampu membunuh lawan
dalam sekejap. Karena pukulan itu sebenarnya
mengandung 'Racun Biru' yang sangat ganas.
“'Palagendana'...! Heaaa...!” Lombang pun tak
tinggal diam, segera mengerahkan pukulan saktinya
dengan membuka telapak tangan. Tiba-tiba cahaya
seperti warna pelangi bergulung-gulung keluar dari
telapak tangan Lombang. Sinar berwarna-warni dan
membentuk tali tambang itu melingkar-lingkar di
seputar tubuh Pendekar Gila.
Melihat kedua orang lawan telah mengeluarkan
pukulan sakti, Pendekar Gila justru malah tertawa
terbahak-bahak. Namun kemudian disatukan kedua
telapak tangannya di depan dada. Lalu direntangkan
ke atas, disusul dengan tarikan napas dalam-dalam
sambil menarik kedua tangan sampai ke pinggang.
Itulah pembuka jurus sakti 'Si Gila Melebur Gunung
Karang'.
“Hea!”
“Yea!”
“Heaaa...!” Sodra dan Lombang melesat ber-
samaan melakukan serangan dengan pukulan sakti
mereka. Pendekar Gila dengan cepat memiringkan
tubuh untuk mengelak, lalu dengan menyalurkan
tenaga dalam penuh, dihantamkan telapak tangan-
nya.
“Hea...!”
Wrt!
Glar!
Suara ledakan terdengar ketika pukulan Pendekar
Gila mengenai sasaran.
“Akh...!”
“Wua...!”
Sodra dan Lombang menjerit keras diiringi tubuh
mereka bergetar hebat. Dan tiba-tiba kedua lelaki tua
itu berubah retak-retak bagaikan patung batu yang
hampir pecah. Kemudian dengan diikuti jeritan
menyayat, tubuh mereka hancur menjadi debu dan
berhamburan di tanah.
Semua mata yang menyaksikan kejadian itu
terbelalak ngeri. Kehebatan pukulan 'Si Gila Melebur
Gunung Karang' memang tak dapat dianggap remeh.
Jangankan manusia atau hewan, gunung karang saja
dapat hancur menjadi debu terkena pukulan itu.
Wanara bertambah murka menyaksikan kedua
anak buahnya telah mati secara mengerikan. Dengan
menggeram, tubuhnya melompat melancarkan
serangan terhadap lawannya. Namun tampaknya
Pendekar Gila mengetahui gerakan cepat Wanara.
Dengan cepat tubuhnya bergerak untuk mengelak.
Serangan-serangan dahsyat saling dilancarkan.
Keduanya merasa lawan bukan orang sembarangan.
Sehingga baik Pendekar Gila maupun Wanara tak
ingin bertindak gegabah. Pukulan demi pukulan yang
dahsyat dan menggetarkan terus berlangsung seru.
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu
menggeleng-geleng kepala kagum. Baru kali ini
mereka menyaksikan sebuah pertarungan yang
hebat. Bumi bagaikan terlanda gempa. Bergetar dan
terguncang.
***
Di sisi lain, pertarungan pun masih berjalan
dengan seru. Mei Lie terus mengamuk dengan jurus-
jurus 'Bidadari'nya yang sangat ampuh dan dahsyat.
Pedangnya setiap bergerak, pasti diikuti jeritan-jeritan
kematian.
Wrt! Wrt! Cras!
“Akh...!” dua orang ambruk dengan nyawa
melayang, tertebas Pedang Bidadari di tangan Mei
Lei.
Sementara itu Ketawang dan Sungo Karu pun tak
kalah hebat, tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini
untuk menggempur para anak buah Partai Kera
Hitam.
Dengan senjata andalan berupa caping Sungo
Karu terus menggebrak pertahanan lawan. Ketawang
pun dengan toyanya tampak merajalela membabat
dan memukul setiap lawan yang menyerang.
Wuttt! Wuttt...!
Pletak!
Wrrrs...!
Crak!
“Akh...!” lengkingan kematian terdengar susul-
menyusul, ketika senjata toya dan tudung caping
menghantam anak buah Partai Kera Hitam.
Melihat kejadian itu Wanara semakin bertambah
marah. Dengan menggeram, lelaki berwajah mirip
kera itu melesat melakukan serangan.
“Hea! Kubunuh kalian!” dengus Wanara geram
sambil melompat dengan jurus 'Kera Menerkam
Mangsa'. Tubuhnya laksana seekor kera, menerkam
tubuh Pendekar Gila.
Sementara itu, Seruni dengan pedang terhunus
telah menyerang Purbaya.
“Hea!”
Teriakan keras membubung tinggi mengiringi
serangan yang dilakukan Seruni.
“Seruni, jangan! Dia kakakmu...!”
Tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita
setengah baya, yang tiada lain Ambar Sari. Wanita tua
itu merasa yakin, kalau pemuda berambut keperakan
itu Purbaya, anaknya. Hal itu karena Ambar Sari tiba-
tiba melihat kalung di leher Purbaya berjubah putih.
Kalung inilah yang mendadak membangkitkan
ingatannya terhadap sang Anak yang hilang dua puluh
tahun silam.
Seruni yang hendak melakukan serangan, ter-
sentak kaget ketika mendengar seruan ibunya. Begitu
pula dengan Purbaya, hatinya terkejut bukan
kepalang. Sehingga segera menghentikan serangan.
Matanya menoleh ke tempat asal suara. Dilihatnya
seorang wanita setengah baya berlari-lari meng-
hampiri mereka.
“Hentikan! Dia kakakmu, Seruni! Purbaya,
Anakku...! Seruni ini adikmu,” ujar Ambar Sari dengan
suara bergetar. Hal itu karena baru kali ini matanya
dapat melihat sang Anak. Sementara hatinya masih
diliputi rasa takut kalau kedua anak itu akan saling
membunuh.
“Ibu...!” Seruni dan Purbaya berteriak keras.
Keduanya langsung memburu Ambar Sari yang jatuh
lemas. Keduanya segera memeluk tubuh ibu mereka.
“Ibu, ini Purbaya, Bu!” desah Purbaya berusaha
meyakinkan kalau wanita setengah baya itu ibunya.
“Anakku,” dengan tangis berderai, Nyi Ambar Sari
langsung memeluk Purbaya.
Seruni hanya mampu menundukkan kepala, tak
tahu harus berbuat apa, setelah tahu kalau Purbaya
ternyata kakak kandungnya. Seorang pemuda yang
selama beberapa hari ini begitu dimusuhi sang Ayah.
Sementara itu, Mei Lie masih nampak mengamuk.
Pedang di tangannya bergerak cepat, membabat
lawan-lawannya dengan jurus 'Tarian Badadari
Menyapu Gelombang'.
“Hea!”
Wrt! Wrt!
Cras! Cras!
“Akh...!”
Sekali Pedang Bidadari di tangan Mei Lie
berkelebat, seketika tiga orang lawan harus terjatuh.
Mei Lie benar-benar seperti Bidadari Pencabut
Nyawa. Pedangnya bergerak cepat hingga tak
nampak bentuk aslinya.
Pertarungan masih berjalan dengan seru, ketika
dari luar tembok markas terdengar suara teriakan
keras.
“Seraaang...!”
“Serbuuu...!”
“Hancurkan Partai Kera Hitaaam...!”
“Hancurkan keangkaramurkaan...!”
Bersamaan dengan seruan itu, pintu gapura
terjebol. Tidak hanya dari pintu gapura, melainkan
dari samping dan belakang tembok berlompatan para
warga desa. Dengan bermacam-macam senjata
mereka langsung menyerbu ke halaman markas
Partai Kera Hitam yang menjadi ajang pertarungan.
Trang! Trang!
Jleb!
“Akh!” jeritan kematian terdengar susul-menyusul,
semakin membuat suasana malam di markas Partai
Kera Hitam bertambah riuh. Tembok-tembok
bangunan markas dirobohkan. Markas itu hancur
berantakan.
Semakin larut, pertarungan semakin bertambah
seru. Namun, di pihak Partai Kera Hitam tampaknya
semakin terdesak.
Melihat keadaan itu Wanara tampak begitu murka.
Diiringi suara menggeram keras perlahan-lahan
tubuhnya membesar. Semakin lama semakin
membesar, hingga berubah menjadi sesosok makhluk
menyeramkan. Rambutnya yang panjang tampak
kumal dan gembel. Wajahnya yang seram dihiasi
mata merah membara dan sepasang gigi taring
panjang di mulut
“Grrr! Kuhancurkan kalian!” seru Wanara dengan
penuh amarah. Kemudian tangannya bergerak
menyambar ke tempat pertarungan. Sepuluh warga
desa seketika tercengang, lalu diremasnya sampai
remuk.
Pendekar Gila tersentak kaget, menyaksikan
kejadian itu. Kakinya segera melangkah mundur.
“Mundur semua...!” seru Pendekar Gila.
Mendengar perintah itu, Mei Lie, dan semua warga
desa langsung bergerak mundur ketakutan.
“Grrr! Kubunuh kalian semua! Kuhancurkan...!”
Wrt! Wrt!
Tangan Wanara yang besar dan berbulu lebat
hitam kembali menyerang Pendekar Gila. Namun
dengan cepat, Pendekar Gila melancarkan pukulan 'Si
Gila Melebur Gunung Karang'.
“Hea!”
Wrt!
Jras!
Pukulan sakti itu menghantam telapak wajah
Wanara. Sesaat tubuh besar dan berbulu itu
terhuyung ke belakang. Namun dengan cepat sosok
tubuh aneh itu kembali tegak berdiri. Bahkan
kemudian langsung melancarkan serangan lebih
cepat. Kedua tangannya yang besar dan kekar serta
berbulu menyambar cepat.
Wrt!
“Setan! Ini untukmu! 'Inti Api'. Heaaa...!” Pendekar
Gila langsung mengirimkan pukulan sakti 'Inti Api' ke
wajah Wanara. Dari telapak tangannya keluar
serangkum api yang langsung memburu Wanara.
Zrot!
Byar!
Api itu seketika membakar wajah Wanara. Sambil
menggeram, lelaki bertubuh raksasa itu memukul-
mukulkan telapak tangan mematikan apa yang
menyala di wajahnya. Setelah api padam, dengan
geram Wanara kembali mengamuk. Tangannya
semakin cepat menyambar dan mencengkeram tubuh
para warga desa yang tampak ketakutan. Seketika
puluhan orang terpelanting dan bergelimpangan di
tanah.
Purbaya yang melihat kejadian itu, segera melesat
melakukan serangan.
“Wanara, aku lawanmu! Heaaa...!”
Wrt!
Rambut Purbaya yang panjang dan keperakan
dikibaskan dengan kuat. Seketika dari rambut itu
keluar selarik sinar keperakan, yang langsung
menerjang tubuh Wanara yang besar dan berbulu.
Srrrts...! Glarrr...!
Tubuh Wanara seketika terbakar. Namun, tidak
meleleh seperti lawan-lawan tubuh Purbaya
terdahulu. Bahkan dengan cepat Wanara
memadamkan api yang membakar tubuhnya. Sesaat
kemudian matanya yang besar dan melotot
mengeluarkan api yang langsung melesat memburu
Purbaya.
Srattt...!
“Haits! Celaka...!” pekik Purbaya kaget sambil
melompat mengelakkan serangan ganas itu.
“Aha, kita harus bersatu, Adi Purbaya. Mari kita
tumpas iblis ini!” seru Pendekar Gila yang telah
melesat sambil membawa suling Naga Saktinya.
“Hea...!”
Wrt!
Suling Naga Sakti itu bagaikan hidup, meliuk-liuk
menghadap ke tubuh Wanara yang besar. Lalu tiba-
tiba menghantam ke dada Wanara.
Desss!
“Wua! Kuremukkan tubuhmu, Pendekar Gila!
Grrr...!'' bentak Wanara sambil menggerakkan tangan
menyambar tubuh Pendekar Gila yang tengah
melesat. Namun dari arah kiri Purbaya melancarkan
serangan dengan 'Rambut Api'nya.
“Hea!”
Srat! Srat..!
Byarrr...!
“Grrr...! Kurang ajar! Kalian akan kuremukan!”
Dengan membabi buta, Wanara menggerakkan
kedua tangan berusaha menangkap kedua lawannya.
Namun dengan cepat Pendekar Gila dan Purbaya
saling bergerak ke samping. Sehingga sambaran
tangan manusia itu tak mengenai sasaran. Hal itu
menjadikan Wanara semakin geram karena murka.
“Mundur semua...! Kalian mundur...!” seru
Pendekar Gila. Dirinya tak ingin teman-temannya dan
para warga desa menjadi korban keganasan manusia
kera raksasa itu.
“Mundur...!” seru Mei Lie turut berteriak.
Mendengar perintah dari kedua pendekar itu, para
warga desa berlarian keluar dari lingkungan markas
Partai Kera Hitam.
Pertarungan antara Pendekar Gila dan Purbaya
melawan Wanara semakin bertambah seru. Kedua
pendekar itu terus melancarkan pukulan-pukulan
sakti mereka untuk menumpas Wanara yang semakin
merajalela mengamuk. Namun, semua pukulan sakti,
bagaikan tiada artinya sama sekali bagi Pimpinan
Partai Kera Hitam.
Mei Lie yang melihat hal itu, merasa tak sabar.
Sambil mengayunkan Pedang Bidadari gadis itu
segera melompat turut menyerang dengan jurus
'Tebasan Batin'. Pedangnya berkelebat cepat
menebas tangan kiri Wanara yang hendak
menyambar Pendekar Gila.
“Kakang, kubantu! Heaaa...!”
Wrt!
Jrabs...!
Tebasan Pedang Bidadari mendarat telak di
tangan kiri Wanara. Penggalan lengan besar dan
berbulu lebat itu terpental ke tanah. Sesaat
kemudian, ketika angin bertiup cukup kencang
lengan itu hancur menjadi debu dan berhamburan.
“Aha, kau hebat juga, Mei Lie! Hi hi hi...!” seru
Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dan
menggaruk-garuk kepala, “Purbaya, tangan kanannya
bagianku atau baginmu...?”
“Biar aku, Tuan Pendekar!” jawab Purbaya.
Kemudian dengan cepat dikibaskan rambutnya.
Seketika rambut panjang keperakan itu bergerak
cepat menyabet tangan kanan Wanara.
Srats!
Crakkks!
“Wua! Grrr...!”
Tangan kanan Wanara putus tersabet rambut
Purbaya. Dengan hilangnya kedua tangan, tubuh
Wanara yang besar itu tampak lucu.
“Aha, kini giliranku!” Pendekar Gila yang telah
memegang Suling Naga Sakti segera meniup dengan
suara melengking. Tiba-tiba dari kedua mata Naga
Sakti keluar selarik sinar merah yang langsung
melesat memburu tubuh Wanara.
Srt!
Brets!
“Akh...!”
Pekikan keras menggelegar seketika terdengar
ketika sinar merah dari mata Naga Sakti menerjang
tubuh Wanara. Asap putih seketika mengepul diikuti
lengan melelehnya kulit serta tulang-belulang tubuh
raksasa Wanara.
Melihat manusia kera itu binasa, seketika semua
warga desa kembali menyerbu ke dalam. Mereka
yang dendam, bagaikan tak menghiraukan pada
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Purbaya. Mereka
langsung membantai sisa-sisa anggota Partai Kera
Hitam. Hanya Seruni dan Ambar Sari yang dibiarkan
hidup. Keduanya kini saling bertangisan dan
berpelukan dengan Purbaya.
Saat itu pula, Purbaya diangkat sebagai pimpinan
di markas bekas Pertai Kera Hitam yang diganti
dengan sebutan Perguruan Rambut Perak.
Pagi datang menghembuskan hawa yang dingin,
ketika Pendekar Gila dan Mei Lie meneruskan
pengembaraan.
“Mengapa tidak tinggal beberapa hari di sini, Tuan
Pendekar?” tanya Purbaya seraya menatap wajah
Pendekar Gila dan Mei Lie.
“Aha, masih banyak tugas yang harus kami emban,
Adi Purbaya. Semoga kita dapat bertemu lagi!” ujar
Pendekar Gila menggandeng tangan Mei Lie
melangkah meninggalkan martars Perguruan Rambut
Perak.
SELESAI
Emoticon