Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode:
1
Sore hari itu pertempuran seru terjadi di hala-
man Kadipaten Pakisaji. Mayat bergelimpangan menge-
rikan di sekitar tempat itu. Jeritan para prajurit ter-
dengar menyayat hati.
Lelaki tinggi besar berjubah hitam sedang men-
gamuk. Kuku-kukunya yang panjang dan tajam men-
cengkeram prajurit Kadipaten Pakisaji dengan ganas.
Orang itu membunuh dengan mudah, karena memiliki
ilmu yang sangat tinggi.
"Aaakh...!"
"Ukh...!"
Jeritan kematian senantiasa terdengar. Dan le-
laki berwajah sangat seram itu tertawa tergelak-gelak.
Alisnya tebal. Kumis dan jenggotnya juga lebat. Se-
dang-kan matanya memerah bagai darah, tajam mena-
tap setiap orang.
"Ha ha ha...!"
Lelaki itu tampak puas melihat mayat-mayat
bergelimpangan di halaman Kadipaten Pakisaji.
Sudah puluhan prajurit dibunuhnya. Mereka
memang tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi ke-
saktian lawan. Setangguh-tangguhnya seorang praju-
rit, tak akan mampu menandingi tokoh golongan hitam
seperti lelaki berwajah setan itu.
Sedangkan orang yang dapat diandalkan untuk
menghadapi lawan yang ganas itu tidak ada sama se-
kali. Para senapati yang memiliki kesaktian lebih tinggi
dari para prajurit saat itu tidak berada di sana. Mereka
sedang mengejar seseorang yang telah melakukan
pembunuhan terhadap Adipati Prakasi. Pemimpin me-
reka itu dibunuh dengan cara keji. Lehernya tertembus
oleh kerisnya sendiri setelah terlibat pertarungan seru
dengan lawan yang membunuhnya.
Maka tak pelak lagi, lelaki berwajah setan itu
dengan leluasa memporak-porandakan Kadipaten Pa-
kisaji.
"Ha ha ha...! Aku puas! Aku puas! Satu persatu
akan kuhancurkan kadipaten-kadipaten yang kuat di
tanah Jawa Dwipa ini. Ha ha ha...!"
Lelaki berwajah setan itu terus tertawa-tawa
sambil menghajari prajurit yang menyerangnya. Me-
nendang dan membanting mereka dengan seenaknya,
tanpa belas kasihan sedikit pun. Seperti membunuh
sekawanan kelinci saja. Jiwa manusia seperti tak be-
rarti baginya.
Sebagian prajurit yang tak memiliki nyali, ka-
bur meninggalkan kadipaten. Sedangkan para pendu-
duk kalang-kabut berlarian tunggang-langgang sambil
berjeritan. Para wanita, anak-anak berteriak dan me-
nangis. Karena suami atau ayahnya mati dibunuh le-
laki berwajah setan itu.
Ada lima prajurit yang memiliki ilmu silat agak
lumayan coba melawannya berbarengan.
"Heaaat...!"
Golok-golok kelima prajurit itu membabat ke
tubuh lelaki berjubah serba hitam itu. Namun begitu
membabat tubuh lelaki berwajah setan itu golok-golok
itu malah patah dua.
"Hah...?!"
"Ha ha ha...!" lelaki berwajah setan itu tertawa
tergelak-gelak.
Lima prajurit yang menyerang menjadi kehera-
nan. Wajah mereka seketika pucat pasi. Seluruh tubuh
kelima prajurit itu gemetaran. Mereka mau lari, tapi
tak bisa. Kaki mereka mendadak terasa berat. Maka le-
laki berwajah setan dengan amat mudah menghajar
kelima prajurit itu sampai mati.
Jeritan panjang dari kelima prajurit malang itu
terdengar menyayat hati. Mereka terjerembab ke tanah
dengan tubuh berlumuran darah. Seorang wanita ber-
lari sambil berteriak-teriak dan menangis, menghampi-
ri mayat suaminya yang baru saja dibunuh lelaki ber-
wajah setan itu.
"Kakang... Kakang...!" seru wanita itu sambil
menangis, meratapi kematian suaminya.
Lelaki berwajah setan malah tertawa melihat
wanita itu meratapi suaminya yang baru saja terbu-
nuh.
"Ha ha ha.... Kau tak perlu lagi menangisi sua-
mimu. Aku bersedia menjadi penggantinya. Ha ha
ha...!" kata lelaki berwajah setan dengan suara yang
besar menakutkan.
"Kau manusia biadab!" teriak wanita itu seraya
berdiri
Tangan kanan wanita itu telah menggapai golok
yang tergeletak di tanah. Lalu diserangnya lelaki ber-
wajah setan. Namun dengan mudah lelaki itu meme-
gang lengannya dan dengan sekali totok, dia telah
pingsan.
"Akh...!" pekik wanita itu perlahan.
"Kau akan jadi santapan ku hari ini, Perem-
puan Ayu. Ha ha ha...!"
Dengan langkah tenang lelaki itu pergi dari ha-
laman Kadipaten Pakisaji. Sementara para penduduk
yang melihatnya makin ketakutan. Mereka hanya
mengintip dari balik pohon dan semak-semak di seki-
tar kadipaten yang telah porak-poranda itu.
Sampai di ujung jalan, lelaki berwajah setan itu
tiba-tiba menghilang.
Barulah orang-orang yang tadi bersembunyi
berhamburan keluar. Para wanita dan anak-anak me-
nangis mencari suami atau orangtua mereka yang
mungkin mati dibunuh lelaki tadi.
Sementara mereka dilanda kesedihan, lima se-
napati bersaudara muncul. Kelimanya berpakaian sa-
ma, dengan blangkon menutupi kepala mereka. Dan di
pinggang masing-masing terselip semacam senjata ke-
lewang.
"Ya, Gusti...! Apa yang telah terjadi...?" gumam
Sentanu, orang tertua dari lima bersaudara itu.
Mereka segera berlari menghampiri kerumunan
dengan perasaan tak karuan.
"Apa yang telah terjadi, Kisanak..?" tanya Sen-
tanu pada seorang prajurit yang sempat lolos dari tan-
gan lelaki berwajah setan.
"Ma... manusia setan itu.... Di... dia datang la-
gi.... Akh...," prajurit itu tak kuasa lagi meneruskan
ucapannya. Kemudian dia terkulai tanpa nyawa lagi.
Rupanya luka-luka di sekujur tubuhnya tak tertahan
lagi.
"Edan! Biadab...! Tak salah lagi, ini pasti per-
buatan si Rekso!" desis Sentanu perlahan. Wajahnya
tampak penuh kesedihan bercampur kemarahan.
"Benar-benar binatang! Bukan manusia yang
membunuh demikian keji...," gerutu Sancaka yang
berdiri di sebelah kanan Sentanu.
"Siapa kiranya yang berbuat ini semua, Ka-
kang...?" tanya Sandika pada Sentanu.
"Rekso Bagaspati!" jawab Sentanu tegas. Wa-
jahnya tampak penuh geram dan dendam. "Kita harus
cepat mencarinya. Sudah tiga bulan terakhir kejadian
seperti ini terjadi di kadipaten lain."
"Rupanya Rekso ingin menghancurkan orang-
orang perguruan aliran putih, agar maksudnya terlak-
sana...," sahut Sancaka penuh geram. Telapak tangan-
nya mengepal kuat-kuat. Sedangkan dadanya naik tu-
run dengan cepat, menandakan kemarahannya sudah
memuncak.
"Kita kecolongan, Kakang...," keluh Sandika de-
ngan suara lirih.
"Ya.... Mari kita makamkan jasad mereka....
Kumpulkan semua prajurit yang masih hidup untuk
menguburkan prajurit dan penduduk yang mati," pe-
rintah Sentanu pada adik-adiknya.
"Baik, Kakang...," keempat adiknya menjawab
bersamaan. Lalu mereka segera pergi untuk mengum-
pulkan prajurit yang masih hidup.
Sentanu kembali memandangi jasad para pra-
jurit. Ia berjongkok perlahan dengan perasaan yang
tak karuan. Ia merasa bersalah telah meninggalkan
Adipati Prakasi.
"Aku merasa bersalah, semestinya aku tak pergi
bersama keempat adikku...," keluh Sentanu.
***
Pagi itu udara tak begitu terik. Angin semilir
menyapu lembah yang menghijau. Sepasang kaki me-
langkah mantap menapaki jalan berumput di lereng
lembah itu. Kaki tersebut milik seorang pemuda ber-
tubuh tegap dan berwajah ganteng. Rambutnya sedikit
ikal, panjang sebatas bahu. Tubuhnya ditutup rompi
kulit ular sanca dengan suling berkepala naga keema-
san di pinggangnya. Siapa lagi kalau bukan Pendekar
Gila atau Sena Manggala.
Sena tampak riang pagi itu. Pemuda itu terta-
wa-tawa kecil sambil menggaruk-garuk kepala, dan se-
sekali menepuk-nepuk pantat. Tingkahnya memang
mirip orang gila. Terkadang dia berjingkrak-jingkrak,
seperti monyet.
"Daerah ini tampaknya cukup nyaman dan
aman. Mudah-mudahan di depan, di bawah lembah ini
ada desa. Aku sudah lapar...," gumam Sena, berbicara
pada diri sendiri.
Sena kemudian menuruni jalan yang berbelok-
belok. Di kanan dan kirinya berjajar pepohonan. Se-
sampai di bawah, pada dataran yang rata dan luas,
Sena berhenti sejenak. Ia memandang ke sekeliling.
"Hi hi hi.... Sepi. Tapi aku suka tempat ini. Ka-
lau saja perutku tidak keroncongan, ingin rasanya aku
beristirahat lama di sini," kata Sena.
Sambil tertawa-tawa sendiri tak beda dengan
orang gila, Sena terus menyapukan pandangan ke se-
keliling daerah itu.
"Hah...?!" serunya tertahan.
Sena tampak gembira ketika matanya melihat
sebuah telaga yang cukup besar di depan kanannya.
Sena segera berlari kecil mendekati sambil tertawa dan
berjingkrakan.
"Sebaiknya aku menyegarkan badan dulu di te-
laga ini...," gumam Sena. Tangannya mempermainkan
air telaga yang bening dan dingin itu.
Tapi baru saja Sena hendak membuka pakaian,
pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah
di belakangnya. Sena sengaja tak segera bertindak,
seakan ia tak mendengar suara itu. Sena terus mem-
bersihkan wajahnya dengan air telaga itu.
Rupanya Sentanu bersaudara muncul dari ba-
lik baru dan semak di sekitar tempat itu. Kelima lelaki
itu melompat gagah di belakang tubuh Pendekar Gila.
"Hai! Kisanak...!" tegur Sentanu dengan nada
tinggi.
Sena acuh, seakan tidak mendengar seruan ta-
di. Dia tetap saja membersihkan wajah dan lengannya
dengan air telaga.
"Hei! Apa kau tuli...?!" bentak Sentanu kemu-
dian, karena tegurannya tidak diacuhkan Sena.
Sancaka yang berwatak agak keras dan mudah
marah, segera melangkah mendekati Sena. Dengan ka-
sar ditariknya rompi Sena. Namun tubuh pemuda itu
tidak bergeming sedikit pun.
"Hah... ?!" Sancaka jadi kaget dan heran. Ma-
tanya membelalak. "Edan! Orang ini rupanya bukan
orang biasa...."
Sentanu dan ketiga saudaranya yang lain juga
ikut heran dan bertanya-tanya dalam hati. Siapa pe-
muda berompi kulit ular sanca itu?
"Hi hi hi...."
Tubuh Sena tiba-tiba berbalik lalu dengan ge-
rakan lemah ia bangkit sambil cengengesan dan meng-
garuk-garuk kepala. Tentu saja Sancaka yang berada
di dekatnya menjadi kaget. Kakinya menyurut satu
tombak dari Sena.
Kelima bersaudara itu mengerutkan kening
menyaksikan ulah Sena yang seperti orang tak waras.
Sentanu saling pandang dengan saudara-saudaranya.
"Mungkin orang ini jelmaan Rekso, Kakang.
Bukankah Rekso dapat berubah wujud...? ujar Sandi-
ka mengingatkan Sentanu.
"Benar, Kakang. Kita harus waspada...," timpal
Sumbaga.
Sentanu hanya mengangguk perlahan.
"Kisanak...! Siapa kau dan dari mana asalmu?!"
tanya Sentanu dengan nada agak tinggi pada Sena.
"Hi hi hi...!"
Sena kembali tertawa sambil menggaruk-garuk
kepala dan menepuk-nepuk pantat. Membuat Sentanu
dan keempat adiknya kembali mengerutkan kening.
Mereka benar-benar dibuat terheran-heran.
"Hei...! Apa kau tuli?! Aku tahu kau coba men-
gelabui aku, Rekso!" bentak Sentanu sambil menuding
ke arah Sena.
Sena yang mendengar ucapan Sentanu jadi me-
ngerutkan kening.
"Rekso...?!" gumam Sena tak mengerti. Lalu bi-
birnya cengengesan seraya berjingkrak-jingkrak "Hi hi
hi...!"
"Keparat! Ditanya malah cengengesan...!" Sen-
tanu mulai marah.
"Sebaiknya kita ringkus dia, Kakang...," kata
Sancaka dengan geram.
Di bentak oleh Sancaka begitu rupa tidak men-
jadikan Sena takut. Dia bertingkah semakin menggila.
Tubuhnya melompat-lompat sambil menggaruk-garuk
kepala dan menepuk pantat, disertai derai tawa geli.
"Kurang ajar! Ini tak bisa dibiarkan, Kakang...!"
seru Sancaka lagi. Ia cepat mencabut kelewangnya, di-
ikuti ketiga saudaranya. Hanya Sentanu yang agak te-
nang.
"Tunggu. Kalian jangan gegabah...!" sergah Sen-
tanu, melarang keempat adiknya yang sudah menghu-
nus kelewang. Mereka pun telah mengurung Sena.
Sancaka yang dicegah oleh Sentanu merasa
kesal. Giginya bergemerutuk menahan kekesalan. De-
mikian pula dengan yang lain.
"Kisanak, sebelum kesabaran kami hilang, ka-
takan siapa kau dan apa tujuanmu memasuki daerah
ini...?!" tanya Sentanu dengan suara keras.
"Apakah ada larangan untuk memasuki daerah
ini?" Sena balik bertanya dengan tingkah masih seperti
orang gila.
"Kurang ajar...! Tangkap...!" seru Sentanu me-
merintahkan adik-adiknya untuk menangkap Sena.
Tampaknya dia telah kehilangan kesabaran.
Keempat lelaki yang telah mengurung Sena se-
gera melompat serempak sambil mengayunkan kele-
wangnya.
"Heaaa...!"
"Mampus kau, Orang Gila...!" teriak Sancaka.
Namun belum lagi senjata mereka sampai ke
tubuhnya, dengan cepat Sena melompat ke udara
sambil bersalto melewati empat lelaki bersaudara itu.
"Hah...?!"
Keempatnya berseru heran. Biasanya jurus itu
tak pernah gagal menundukkan lawan. Tapi kali ini se-
rangan mereka gagal. Melihat serangan adik-adiknya
gagal, Sentanu segera melompat membantu mereka.
Kini kelima bersaudara itu dengan serempak menye-
rang Sena yang tetap cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala.
"Heaaat...!"
Wut! Wut! Wut...!
Suara kelewang mendesing di atas kepala Pen-
dekar Gila yang merunduk. Sedangkan Sentanu yang
belum mencabut kelewangnya menghantamkan puku-
lan tangan kosong ke arah wajah Pendekar Gila yang
sedang merunduk. Namun pendekar muda itu sudah
mengetahuinya. Dipapakinya pukulan Sentanu dengan
serangan balik yang cepat, yang sukar dilakukan oleh
orang lain. Karena saat itu Sena dalam posisi merun-
duk. Jika bukan dia, tak mungkin dapat melakukan
serangan balik itu.
Dengan gerakan yang terlihat pelan, tapi sebe-
narnya cepat, Sena menghentakkan kedua telapak
tangannya.
"Heaaa...!"
Blarrr!
"Akh...!" Sentanu memekik, tubuhnya ter-
huyung tiga tombak ke belakang.
Sena lalu cepat berkelit sambil bersalto bebera-
pa kali di tanah. Kemudian dengan gerakan cepat ia
sudah berdiri tiga tombak di depan lawan-lawannya.
Empat dari kelima lelaki yang menamakan diri
mereka Kelewang Maut itu segera menyerang Sena
kembali. Namun Sena tetap tenang. Tubuhnya tak ber-
gerak sedikit pun. Dia tak menghindar dari serangan
keempat Kelewang Maut.
"Heaaa...!"
Wut! Wut...!
"Heaaat...!"
Hanya dengan memiringkan tubuh ke kanan
dan kiri, Pendekar Gila mengelakkan sabetan keempat
kelewang yang mengarah ke leher dan dadanya. Diak-
hiri dengan lompatan, Sena menendang sambil berpu-
tar di udara.
Krak!
Desss!
"Aaakh...!"
Tendangan sepasang kaki Pendekar Gila tepat
menghajar kepala keempat Kelewang Maut. Mereka
berjatuhan diiringi jerit kesakitan.
Melihat keempat adiknya gagal menangkap Se-
na dan malah mendapat cidera, Sentanu bangkit dan
mencabut kelewangnya. Tak dipedulikannya rasa sakit
yang masih bersarang di dadanya.
"Pemuda gila! Kali ini kau tak akan lolos dari
tanganku. Ayo kita adu ilmu satu lawan satu!" tantang
Sentanu dengan geram.
Sentanu mulai mengumpulkan tenaga dalam-
nya dengan merentangkan kedua tangannya lebar-
lebar bagai elang akan terbang. Sedangkan kedua ka-
kinya membuat kuda-kuda yang mantap. Kelewang di
tangan kanannya dengan cepat dipermainkan di atas
kepala. Kemudian dengan gerakan membabat, Sentanu
memperagakan jurus-jurus mautnya. Jurus 'Kelewang
Maut Mencabut Nyawa'.
"Hi hi hi.... Kisanak.... Maaf, aku sebenarnya ti-
dak mau berselisih dengan kalian. Masih banyak hal
penting yang harus kukerjakan. Maaf, aku tak ada
waktu lagi meladeni kalian...," kata Sena dengan
gayanya yang khas. Lalu secepat kilat tubuhnya mele-
sat meninggalkan tempat itu.
Sentanu menjadi jengkel bukan main.
"Sancaka, Sandika... Sumbaga, Sumirta. Ayo
kita kejar pemuda gila itu...!" serunya cepat.
Maka kelima Kelewang Maut itu pun melesat
mengejar Sena, meninggalkan tempat itu
2
Lima bersaudara Kelewang Maut masih menge-
jar Pendekar Gila. Sudah cukup jauh berlari. Namun
tak ada tanda-tanda kalau orang yang diburu akan
terkejar.
Aneh?! Pemuda gila itu begitu cepat menghi-
lang. Ilmu apa yang digunakannya? Padahal aku dan
adik-adikku telah menggunakan tenaga dalam penuh!
Gumam Sentanu dalam hari. Nafasnya naik turun, ke-
ringat membasahi kening dan tubuhnya. Begitu pula
dengan keempat adiknya.
"Dugaanku tak meleset, Kakang. Orang gila itu
pasti jelmaan Rekso Bagaspati yang kita cari. Manusia
laknat!" geram Sancaka. Walaupun wajahnya tampak
kelelahan.
"Yah, Kakang. Kalau bukan Rekso, siapa lagi?!
Manusia biasa tidak mungkin secepat itu menghi-
lang...," tambah Sandika sambil menyeka keringat di
keningnya.
"Ya. Tapi kalau kuperhatikan perlawanannya
terhadap kita, tampaknya dia tak bermaksud mencide-
rai atau membunuh kita. Sedangkan kita semua tahu
kalau Rekso tidak pernah membiarkan lawannya hi-
dup. Apalagi kabur seperti pemuda itu...," ucap Senta-
nu pada adik-adiknya. Sentanu berpikir keras. Siapa
sebenarnya pemuda berompi kulit ular sanca itu.
Belum lagi Sentanu mendapatkan jawaban, ti-
ba-tiba Sancaka yang berwatak keras dan gampang
marah berkata,
"Kakang tak usah ragu. Orang gila itu pasti
Rekso Bagaspati. Kita harus segera meringkusnya hi-
dup atau mati! Rasanya kita berdosa kalau tidak dapat
meringkus atau membunuhnya. Penduduk Pakisaji te-
lah banyak mati dibunuh manusia iblis itu. Jadi kita
harus berani berkorban juga demi kebenaran dan ke-
tenteraman rimba persilatan."
Sentanu menganggukkan kepala perlahan
sambil memegang dagu.
"Benar. Tapi kita harus hati-hati, tak boleh ge-
gabah. Kita harus memakai otak, jangan hanya dengan
kekuatan. Namun menurut perasaanku, pemuda yang
bertingkah aneh seperti orang gila itu...."
"Bukan Rekso...! Begitu maksud Kakang?" po-
tong Sancaka cepat sebelum Sentanu meneruskan ka-
limatnya.
Sentanu menatap Sancaka tajam-tajam, lalu
kepalanya mengangguk perlahan.
"Kakang tak usah berkhayal. Sebaiknya kita
cepat mencari manusia iblis itu. Kalau tidak, hidup ki-
ta seperti dalam neraka...!" sungut Sancaka.
"Benar, Kakang. Kita juga harus bisa mele-
nyapkan kalung keramat itu. Kalau tidak, Rekso akan
kebal terus. Dia akan lebih sering melakukan pembu-
nuhan dan menculik gadis-gadis desa, demi kekeba-
lannya," sambung Sandika dengan nada lebih lunak
dari Sancaka.
"Aku mengerti. Dan kita harus memusnahkan
manusia iblis itu. Tapi kita harus jujur, bahwa sebe-
narnya kekuatan kita belum tentu mampu mengalah-
kan Rekso yang berilmu sangat tinggi. Apalagi dengan
benda keramat berupa kalung itu," tutur Sentanu
mengingatkan adik-adiknya.
"Tapi kita sudah sepakat untuk berkorban me-
lawan manusia keparat itu!" kembali Sancaka mene-
gaskan dengan penuh emosi.
Rupanya tanpa sepengetahuan mereka, seseo-
rang duduk dengan santai di atas cabang pohon yang
besar. Dia dengan tenang mendengar seluruh percaka-
pan Lima Kelewang Maut. Orang itu tak lain Sena
Manggala. Bibirnya cengar-cengir mendengar perdeba-
tan lima bersaudara di bawahnya. Sambil mengorek-
ngorek telinganya dengan bulu ayam, Sena terus men-
gawasi mereka.
"Hi hi hi...!"
Tiba-tiba tawa Sena meledak, karena rasa geli
di telinganya. Hingga orang yang berada di bawah ter-
sentak kaget dan mencari-cari asal suara tawa itu.
Kelima Kelewang Maut berpencar seraya me-
mandangi sekeliling tempat itu. Sentanu akhirnya me-
nemukan Sena yang tampak tak peduli dirinya diketa-
hui oleh kelima bersaudara itu. Dia terus asyik terta-
wa-tawa geli sambil mengorek telinga dengan bulu
ayam. Entah kapan Sena mendapatkan bulu ayam itu.
Sancaka yang sudah tak sabar segera melenting ke
atas. Lelaki itu bermaksud menghajar Sena. Namun
belum sempat Sancaka membabatkan kelewangnya,
Pendekar Gila yang terlihat acuh tiba-tiba saja menen-
dang. Kakinya mendarat tepat di tangan kanan San-
caka yang menggenggam kelewang. Senjata itu jatuh
disusul tubuh Sancaka. Rupanya Sena melancarkan
pukulan tangan kirinya dengan cepat setelah menen-
dang.
Melihat Sancaka gagal, Sentanu menjadi murka
dan....
"Heaaa...!"
Sentanu melompat sambil membabatkan kele-
wangnya. Namun Sena sudah siap menghadapi se-
rangan itu. Dengan cepat tubuhnya dijatuhkan, seperti
pesenam. Ia berkelit lincah di cabang pohon itu. De-
ngan kepala di bawah, kedua kakinya ditekuk dan ber-
tahan di cabang pohon. Akibatnya kelewang Sentanu
hanya menghajar pangkal cabang pohon tersebut.
Krak!
Cabang pohon itu patah. Namun tubuh Pende-
kar Gila sudah bersalto turun. Lalu mendarat dengan
mantap di tanah berumput.
Di bawah, Sena sudah ditunggu oleh Sumbaga,
Sumirta dan Sandika. Ketiganya langsung menyerang
Sena.
Wut! Wut!
"Heaaa...!"
Sena menangkis serangan mereka dengan ke-
dua tangan dan terkadang merunduk atau berkelit ba-
gai belut. Kelewang-kelewang itu nyaris mengenai leher
Pendekar Gila. Sabetan dan tusukan ketiganya begitu
cepat dan beragam, membuat Sena tak bisa main-ma-
in. Maka dengan cerdik Sena melompat ke udara lalu
bersalto melewati ketiganya. Pendekar Gila mendarat
di dekat Sancaka yang sudah siap menantinya. Pende-
kar Gila bergerak mundur dan kelima Kelewang Maut
cepat mengurungnya.
Pendekar Gila kembali menggaruk-garuk kepala
sambil tertawa cengengesan. Kemudian kepalanya
menggeleng berulang-ulang.
"Kalian ini lucu. Hi hi hi.... Sudah kukatakan
aku tak mau ribut dengan kalian...."
"Kali ini kami sudah tidak dapat memberi am-
pun kepada orang macam kau! Aku tak bisa kau kela-
bui, Rekso...!" bentak Sentanu geram.
"Rekso...?" ulang Sena sambil mengerutkan ke-
ning. "Hei...! Kau menyebut namaku Rekso? Hi hi hi.....
Benar-benar lucu. Edan!"
"Kau yang edan! Sengaja kau rubah wujud mu
seperti itu agar kami tak mengenalmu. Kami bukan
orang-orang bodoh, Rekso...! Kau boleh pergi setelah
menyerahkan kalung keramat penyebar maut itu pa-
daku, sebelum kesabaran kami hilang...!" timpal Sen-
tanu gusar.
"Ayo serahkan kalung keramat Safir Mata Iblis
itu!" ancam Sandika yang berada tepat di depan Sena.
Sambil menggaruk-garuk kepala, Sena mencoba berpi-
kir. Tapi belum sempat menemukan jawaban, seorang
dari lima Kelewang Maut kembali membentak dengan
suara keras.
"Jangan kau coba mencari jalan untuk menipu
kami, Rekso! Sebaiknya cepat kau serahkan kalung
itu...!"
"Hi hi hi...! Kalian ini memang orang-orang bo-
doh! Kalian tahu?! Namaku bukan Rekso! Enak saja
namaku dirubah. Hi hi hi...!" kata Sena. Kali ini dia
agak kesal. Nada suaranya terdengar tinggi dan berwi-
bawa.
Sejenak Sentanu dan keempat adiknya saling
pandang. Suara Sena yang penuh wibawa, membuat
mereka mengerutkan kening. Suara Sena tadi seolah
suara dewa yang mengingatkan mereka.
Namun Sancaka cepat berujar dengan penuh
kemarahan.
"Kami sudah tak bisa memperpanjang kesaba-
ran lagi. Sebaiknya cepat kau serahkan kalung kera-
mat itu...!"
Sancaka menghunus kelewangnya ke wajah
Sena.
"Sabar, Kisanak. Sabar...."
"Aaah.... Jangan banyak mulut! Kau telah
membunuh prajurit-prajurit Kadipaten Pakisaji dan
Adipati Prakasi dengan keji! Kini kau harus menerima
pembalasan...!"
Suara Sancaka terdengar lantang penuh kema-
rahan. Seketika itu juga mereka mengurung Pendekar
Gila.
Sena yang dikurung bukannya gentar, dia ma-
lah cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala dan
menepuk-nepuk pantatnya, persis orang gila.
"Kalian ini memang orang-orang yang suka
membuat keonaran dan tidak bersahabat. Menuduh
orang seenaknya! Aku belum pernah membunuh. Apa-
lagi datang ke Kadipaten Pakisaji. Aku baru menden-
gar nama kadipaten itu dari mulut kalian! Dan aku ti-
dak memiliki kalung keramat yang kalian sebut-sebut
itu...!" bantah Sena santai.
Kemudian dicabutnya Suling Naga Sakti dari
ikat pinggangnya. Diangkatnya tinggi-tinggi benda itu.
Mendadak selarik sinar membias dari kepala naga
berwarna keemasan itu. "Yang kumiliki hanya ini...."
Lima Kelewang Maut mendadak terkesiap saat
mata mereka melihat sinar yang menggetarkan mem-
bersit dari mata naga di pangkal suling itu. Dengan
warna sinar keperakan, sinar itu menyilaukan mata
mereka.
Sentanu yang tertua dari kelima bersaudara itu
ingin menanyakan sesuatu. Tapi karena keempat
adiknya sudah tak sabar untuk meringkus Sena, maka
Sentanu terpaksa ikut menyerang dengan membabat-
kan kelewangnya berbareng ke arah Sena.
Pendekar Gila dengan cepat melenting ke atas.
Maka tebasan kelima orang itu hanya membabat an-
gin. Sedangkan Pendekar Gila sudah bertengger pada
sebuah cabang pohon sambil menggaruk-garuk kepala
dan mulut cengengesan.
Kelima penyerangnya jadi semakin kesal. Se-
rentak mereka menyerang Sena dengan cepat. Tubuh
kelima orang itu melompat ke arah Pendekar Gila
sambil menghunjamkan kelewangnya dengan ganas.
Secepat itu pula Sena melenting dan turun kembali
dengan ringan.
Orang-orang ini rupanya tidak bisa dikasih ha-
ti. Hampir saja perutku jadi sasaran senjata mereka!
Gerutu Sena dalam hari. Begitu kaki para pengeroyok
mendarat di tanah, mereka langsung menyerbu Sena
lagi dengan lebih ganas.
Namun Pendekar Gila dengan cepat merebah-
kan tubuhnya ke belakang dibarengi dengan tendan-
gan kaki kanannya ke seorang lawan yang berada di
depan. Tak pelak lagi, perut orang itu bagai dihantam
benda yang berat. Dia terpental deras lima tombak ke
belakang.
Melihat saudaranya terluka, empat orang lain-
nya makin kalap. Dengan memutar-mutar senjata, me-
reka mengurung Sena untuk memulai jurus ampuh
mereka. Namun Pendekar Gila yang tak mau lebih la-
ma lagi berurusan dengan kelima bersaudara itu, sege-
ra membuka jurus mautnya. Setelah mencium Suling
Naga Saktinya, Sena mempermainkan suling itu den-
gan gerakan bagai menari.
Pada saat Sena hendak menghentakkan Suling
Naga Sakti ke para lawannya, tiba-tiba Sentanu berse-
ru,
"Tunggu, Kisanak...! Tunggu!"
Seruan Sentanu membuat keempat saudaranya
bingung. Mereka saling pandang tak mengerti.
"Ada apa, Kakang...?!" tanya Sancaka kesal.
"Diam kau...!" bentak Sentanu,
Sena sebenarnya memang tak ingin mengguna-
kan Suling Naga Saktinya untuk menghancurkan ke-
lima orang itu.
Sejenak kelimanya saling pandang. Sena kem-
bali menggaruk-garuk kepala. Suling Naga Saktinya
yang berada dalam genggaman tangan kanannya ditu-
runkan.
"Kisanak, siapa kau sebenarnya?" tanya Senta-
nu, dengan suara tak segarang tadi.
Sena tak langsung menjawab. Tangannya ma-
lah menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan. Di-
pandanginya kelima orang yang masih dalam kehera-
nan itu.
"Hi hi hi.... Baiklah kalau kalian ingin tahu sia-
pa aku sebenarnya. Yang jelas aku bukan Rekso seper-
ti yang kalian tuduhkan padaku, Aku Sena, Sena
Manggala...."
Kelimanya saling pandang dengan mata yang
bersinar terkejut.
"Sena Manggala...?" ulang Sentanu perlahan.
"Kisanak, kalau kami boleh tahu, apa nama senjata,
yang Kisanak miliki itu?"
Sena hanya cengar-cengir bodoh.
"Hi hi hi.... Kalian ini seperti anak kecil. Pakai
tanya segala. Ini hanya sebuah suling. Guruku mem-
beri nama Suling Naga Sakti," ucap Sena sambil cen-
gengesan.
Lima orang di sekelilingnya tersentak kaget bu-
kan main. Mereka lagi-lagi saling pandang.
"Sudah kuduga ketika kulihat kepala suling ta-
di...," gumam Sentanu lirih.
"Oh.... Kalau begitu, Kisanak adalah Pendekar
Gila?"
Sena tak menjawab meski ucapan orang di de-
pannya memang benar. Sena malah menggaruk-garuk
kepala.
"Maaf..., kami telah salah sangka. Harap Tuan
Pendekar mau memaafkan kami. Hanya saja, apakah
Tuan Pendekar dapat menjelaskan maksud kehadiran
Tuan Pendekar di kawasan kami...?"
Sena sebenarnya ingin lekas-lekas meninggal-
kan tempat itu. Namun diam-diam dia pun ingin men-
getahui lebih jauh siapa Rekso Bagaspati. Juga tentang
kalung keramat yang sempat didengarnya dari kelima
bersaudara itu.
"Sebelum ku jelaskan maksud dan tujuanku.
Aku ingin tahu, Siapa kalian sebenarnya?" tanya Sena
sambil menyelipkan Suling Naga Sakti ke pinggang.
"Kami lima bersaudara dari Kadipaten Pakisaji.
Aku yang tertua. Namaku Sentanu. Kami dikenal de-
ngan julukan Lima Kelewang Maut."
Sena mengernyitkan kening. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala.
"Melihat pakaian dan wajah kalian, aku percaya
kalian adalah orang-orang persilatan dari aliran putih.
Tapi gerak-gerik kalian siang ini tidak beda dengan ge-
rombolan perampok. Tidak kusangka, kalian yang se-
lama ini disegani ternyata bertindak memalukan."
"Kami memang salah," ucap Sentanu. "Semua
terjadi karena kejengkelan kami sudah di puncaknya.
Kami bermaksud menangkap hidup atau mati manusia
Iblis bernama Rekso Bagaspati, serta melenyapkan ka-
lung keramat pembawa petaka itu. Walaupun kami ha-
rus mengorbankan nyawa sekalipun."
"Benar, Tuan Pendekar. Kadipaten Pakisaji di-
porak-porandakan. Adipati Prakasi dibunuh dengan
keji, demikian juga penduduk dan prajurit kadipaten.
Sedangkan wanita-wanitanya diculik untuk pemuas
nafsu iblisnya," sambung Sancaka. Kali ini suaranya
tak segarang sebelum dia tahu siapa pemuda berompi
kulit ular sanca itu.
"Edan! Benar-benar edan...!" maki Sena. Rasa
bencinya timbul setelah mendengar penuturan Sen-
tanu dan Sencaka.
"Kalau Tuan Pendekar mau membantu kami
untuk menangkap atau membunuh Rekso Bagaspati,
serta merebut kalung pembawa petaka itu..., kami
sangat berterima kasih."
Sena tak langsung menjawab. Dia tampak ber-
pikir sambil menggaruk-garuk kepala. Dan sambil ter-
senyum, kepalanya digelengkan.
"Kami sangat mengharapkan Tuan Pendekar
mau membantu kami. Kami berlima tak mungkin da-
pat mengalahkan manusia iblis itu."
Pendekar Gila menatap tajam Sentanu, lalu
memandang yang lainnya satu persatu.
"Aku bukannya tidak mau membantu kalian.
Tapi aku pun banyak pekerjaan yang lebih berat dari
apa yang kalian hadapi...," tolak Sena berbohong.
Sebenarnya, Pendekar Gila tertarik juga akan
keterangan Sentanu tadi. Tapi dia ingin menyelidiki
sendiri kebenaran cerita Sentanu. Sena pun paling
benci dan murka jika ada orang semacam Rekso Ba-
gaspati itu.
Sentanu dan keempat saudaranya tampak ke-
cewa. Itu terlihat dari wajah mereka yang lusuh dan
tak bersemangat. Hanya Sentanu yang bisa sedikit me-
redam kekecewaannya.
Sementara itu Sena telah melangkah jauh me-
ninggalkan mereka. Menaiki lembah ke arah timur.
Sentanu dan keempat saudaranya memandang
kepergian Pendekar Gila dengan perasaan masing-
masing. Yang pasti mereka kecewa akan sikap Pende-
kar Gila.
"Kita tak bisa mendesaknya. Tingkah laku seo-
rang pendekar tersohor terkadang memang aneh, mis-
terius. Tapi aku yakin Pendekar Gila punya cara ter-
sendiri untuk menumpas kejahatan, demi ketentera-
man rimba persilatan ini...," kata Sentanu seperti ber-
desah.
3
Sinar matahari yang semula bersinar terang,
mulai berubah kemerahan. Tanda hari menjelang sen-
ja. Saat itu Sena tengah melangkahkan kakinya me-
masuki sebuah kedai makan yang cukup luas.
Di sana ada beberapa meja berukuran besar
dan sedang. Sena cepat-cepat mengambil tempat pal-
ing sudut. Selama seharian penuh dia memang mena-
han lapar. Itu sebabnya Sena tampak agak bergegas.
Perutnya sudah tidak bisa diajak berdamai lagi. Sena
segera memesan makanan.
Selang beberapa saat, makanan datang. Sena
segera menyantap makanan dengan lahap. Dia tak
mempedulikan sekelilingnya. Yang penting perutnya
bisa cepat terisi.
Tapi nafsu makannya jadi agak menurun ketika
tanpa sengaja matanya memandang lelaki bercaping
pandan. Pakaiannya serba hitam, dan juga kotor.
Apakah orang itu yang bernama Rekso Bagas-
pati? Tanya Sena dalam hari. Dia menghentikan ma-
kannya. Kemudian tangannya dicuci dengan air yang
telah disediakan dalam kobokan terbuat dari tanah liat
Mata Sena terus memandangi lelaki bercaping
itu.
Melihat gerak-geriknya yang aneh dan mencu-
rigakan.... Ah, kenapa aku jadi pusing? Kata Sena lagi
dalam hati. Lalu dia mencoba mengalihkan pandan-
gannya ke arah lain sambil meneguk air minumnya.
Tapi ketika Sena menoleh kembali ke arah
orang bercaping tadi, ternyata lelaki itu telah menghi-
lang.
"Hah?! Edan...! Ke mana manusia itu?" gumam
Sena kesal.
Matanya terus menyapu ke seluruh ruangan.
Tapi, lelaki itu tak juga ditemukannya. Mungkin lelaki
bercaping itu ke belakang untuk buang air kecil. Begi-
tu pikir Sena. Namun setelah cukup lama menunggu,
lelaki bercaping itu tak muncul-muncul.
"Ki...!" Sena segera memanggil pemilik kedai
dan cepat membayar makanan dan minuman.
"Terima kasih, Den," kata pemilik kedai sambil
menerima uang dari Sena.
Sena pun segera bangkit dan keluar dari kedai.
Sejenak Sena berhenti di ambang pintu masuk kedai,
matanya menyapu ke sekeliling dengan tajam. Setelah
itu barulah dia melangkah meninggalkan tempat itu
untuk mengejar lelaki bercaping tadi.
"Setan alas...! Ke mana kunyuk itu pergi?!" ma-
ki Sena seraya terus memburu cepat.
Sementara itu sang Surya makin condong ke
barat. Sinarnya semakin memerah. Menjadikan suasa-
na tidak seterang tadi. Angin pun terasa dingin oleh
angin semilir.
Ketika sampai di ujung jalan dekat sebuah
bangunan kosong, Sena menghentikan langkahnya.
Dia menggaruk-garuk kepala, kemudian menghela na-
pas panjang.
"Edan, benar-benar iblis! Baru saja tadi kulihat
dia berbelok ke sini...!" rutuk Sena kesal ketika me-
nyadari buruannya telah menghilang.
Baru saja Sena akan melangkah pergi, tiba-tiba
sesosok bayangan muncul menghadangnya. Sena agak
terkejut. Tapi sesaat kemudian mulutnya cengengesan
sambil tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Aku tidak suka ada orang yang menguntit
ku...!" ucap orang bercaping itu dengan nada suara
yang tegas dan berat.
"Hi hi hi.... Ternyata kau memiliki ilmu yang
tinggi.... Maaf kan aku," jawab Sena dengan tenang
sambil cengar-cengir.
"Karena kau telah lancang membuntuti ku,
maka kau harus menerima ganjaran...."
Selesai berkata demikian, lelaki bercaping itu
segera melancarkan pukulan ke arah Sena.
"Heaaa...!"
Wut! Wut!
Sena tersentak kaget. Serangan lelaki bercaping
itu ternyata begitu cepat. Hampir saja dadanya terkena
pukulan. Untunglah Pendekar Gila tidak lengah. De-
ngan satu gerakan indah, dia bergerak ke samping.
Serangannya yang hanya mengenai angin,
membuat lelaki bercaping itu makin penasaran.
"Heaaat..! Rasakan ini, Pemuda Edan!"
Kembali lelaki bercaping itu menyusulkan pu-
kulan kedua, ketiga, dan seterusnya. Namun Pendekar
Gila hanya berkelit dan menangkis dengan tangan kiri
atau kanan untuk meladeni serangan cepat itu.
Namun dalam hati, Sena sesungguhnya men-
gakui kemampuan lawan. Apalagi kalau menilik dari
tendangan dan pukulan lawan yang keras, mematikan
serta menimbulkan suara angin yang kencang.
Wut! Wut!
Karena serangannya tidak mengenai sasaran,
lelaki bercaping itu berusaha kabur. Namun Sena ce-
pat bertindak menghalangi lelaki itu. Dia melompat
melewati tubuh lelaki bercaping itu, lalu mendarat te-
pat di hadapannya. Namun lelaki yang dihadang itu
dengan cepat pula menghindar. Tubuhnya melompat
ke belakang Sena.
Kesabaran Pendekar Gila habis. Dengan jengkel
dia kembali menghadang dan langsung meninju ke da-
da orang berbaju serba hitam itu. Dia hanya ingin
menjatuhkannya. Karena itu serangannya hanya dila-
kukan dengan tenaga luar yang keras, ditambah sedi-
kit tenaga dalam. Namun saat tangan kirinya hampir
menyentuh tubuh lawan, lelaki bercaping lebar itu su-
dah berkelebat cepat sekali. Tubuhnya mengelak ke
samping kiri. Lalu dia segera melepas serangan bala-
san berupa tusukan dua jari ke leher Sena. Entah mau
menotok atau menusuk tembus batang leher Pendekar
Gila.
Perkelahian akhirnya berlanjut kembali. Kali ini
malah lebih seru.
Setelah mengelakkan tusukan jari yang ganas
itu Sena menghantamkan sikut kirinya ke rusuk la-
wan. Namun lagi-lagi lawannya berhasil mementahkan
serangan itu dengan satu kemplangan deras ke batok
kepala Sena. Pendekar Gila cepat mengelak dengan
memiringkan tubuhnya ke samping.
Hebat juga orang ini. Batok kepalaku hampir
remuk dibuatnya! Gumam Sena dalam hati.
Setelah berkelahi hampir dua belas jurus, Pen-
dekar Gila segera menyadari bahwa dalam ilmu silat
dan tenaga dalam, lawan jauh berada di bawahnya.
Tapi satu hal yang membuat orang itu sulit dikalah-
kan. Dia memiliki kecepatan gerak yang luar biasa.
Tubuhnya dengan ringan berkelebat kian kemari. Ka-
lau saja yang dihadapinya bukan Pendekar Gila,
mungkin sudah berapa kali orang berbaju serba hitam
itu berhasil menggebuk lawan tandingnya.
Enam belas jurus telah dilampaui. Pendekar Gi-
la mulai dapat mencium kelelahan lawannya. Ternyata
lawan yang dihadapinya memang masih mentah dalam
pengalaman. Maka Sena pun mulai melancarkan se-
rangan-serangan tipuan.
Pendekar Gila mulai menari dengan jurus 'Si
Gila Menari Menepuk Lalat'. Sedangkan lelaki bercap-
ing kini mengeluarkan jurus andalannya yang berna-
ma 'Tapak Sakti'.
Pada suatu saat pukulan 'Tapak Sakti' orang
bercaping meluncur ganas ke dada Sena. Anehnya,
Sena belum juga terlihat hendak berkelit. Bahkan ke-
tika pukulan itu tinggal sejengkal lagi dari dadanya.
Rupanya dia sengaja melakukan itu untuk
menjajal kekuatan tenaga dalam lawan. Tapi Sena ti-
dak mau sembarangan, dia pun telah mengerahkan
tenaga dalam untuk membentengi dadanya.
Bukkk!
Jotosan keras tepat melanda dada Sena. Tu-
buhnya berguncang keras. Sambil menahan sakit,
Pendekar Gila melihat lawannya mundur. Apakah
orang itu turut merasakan sakit pada tangan kanan-
nya? Yang jelas tangannya yang semula mengepal
membentuk tinju, kini merenggangkan jari-jarinya ke-
luar, tanda dia dijalari rasa sakit. Di saat itulah Pen-
dekar Gila menyergap ke depan. Gerakannya seperti
hendak membuntal pinggang lawan. Tetapi tanpa di-
duga tangan kirinya tiba-tiba melayang ke atas lalu
menarik lepas caping lebar di kepala lawan. Mulut
orang itu mengeluarkan suara tertahan ketika caping
yang terbuat dari daun pandan lepas dari kepalanya.
Dan secepat kilat orang itu melesat pergi me-
ninggalkan Sena yang belum sempat melihat jelas wa-
jah lelaki itu.
Sena menggerutu kesal sambil memegangi cap-
ing di tangan kirinya.
"Dasar belut! Hari ini aku mendapat sial. Tapi
apakah dia benar si Rekso itu?!" tanya Sena pada diri
sendiri. Kemudian dia menggaruk-garuk kepala sambil
menepuk-nepuk pantat.
Sena memandangi caping pandan itu sejenak.
Lalu tubuhnya berbalik dan berjalan menuju desa
kembali untuk bermalam dan istirahat, setelah sekian
hari kurang tidur. Sena mengayunkan langkah dengan
mantap. Tangan kirinya masih memegang caping lebar
tadi.
Malam pun mulai datang, suasana di Desa
Pandawa tampak tenang sekali. Lampu-lampu yang
terbuat dari bambu yang diberi sumbu tertancap di
depan rumah penduduk desa. Angin berhembus ken-
cang menambah sejuknya udara di malam yang tenang
itu.
***
Esok paginya Sena tampak sudah meninggal-
kan Desa Pandawa. Dia melangkah cepat menuruni le-
reng bukit menuju timur. Terkadang dia melompat
dengan ringan untuk memotong jalan.
Wajah Pendekar Gila pagi itu tampak segar.
Langkah dan lompatan kakinya menggambarkan ke-
riangan. Sesekali tubuhnya melompat di antara beba-
tuan. Dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh
yang sempurna sekali, lompatan Sena bagai seekor ru-
sa yang melesat. Tubuhnya melompat dan melayang
dengan ringan, lalu hinggap di atas sebuah batu besar
yang agak tinggi.
Sesaat Sena berhenti. Matanya memandang se-
keliling tempat itu. Sekilas dia terbayang akan Mei Lie,
gadis ayu dan lugu dari Cina. Ingin rasanya Sena cepat
menemui Mei Lie. Namun tugas dan petualangannya
belum selesai.
Saat Sena merenungi masa-masa pertemuan-
nya dengan Mei Lie sambil memandang ke arah pe-
mandangan di bawah sana, tiba-tiba sebuah bayangan
berkelebat dengan cepat.
Sena merasakan itu. Dia tersentak dari lamu-
nannya. Bergegas tubuhnya berbalik, sedangkan ma-
tanya menyapu sekeliling tempat itu. Sesaat kemudian
ia menghela napas panjang.
Ah.... Mungkin hanya perasaanku. Atau me-
mang ada orang yang sedang memperhatikan ku? Pi-
kirnya kemudian. Pendekar Gila lalu menggaruk-garuk
kepala dengan tangan kirinya seraya cengengesan. Ta-
pi baru saja kakinya hendak melangkah untuk melan-
jutkan perjalanan, tiba-tiba....
"Tuan Pendekar....!" seru seseorang dari arah
belakang.
Suara itu seperti dikenali Sena. Dia menghenti-
kan langkahnya. Perlahan kepalanya menoleh. Ternya-
ta Sentanu dan ketiga adiknya.
"Tuan Pendekar....!"
Dengan terengah-engah Sentanu berkata. Wa-
jahnya tampak kelelahan dan memendam beban.
"Kau...? Ada apa, Sobat?" tanya Sena kalem.
"Rekso membunuh adik kami yang bernama
Sancaka. Kami sempat bentrok dengan manusia iblis
itu," cerita Sentanu penuh getar pada suaranya. Seje-
nak Sentanu menghentikan ucapannya.
Sena menggaruk-garuk kepala, dia merasa iba
sekaligus heran.
"Itu sebabnya kami mencarimu. Dengan jujur
kami mengaku kalau kami tak mampu melawannya.
Kami terpaksa lari menghindar...," kembali Sentanu
men-jelaskan pada Sena.
Apakah orang bercaping itu benar jelmaan Rek-
so...? Atau...? Sena menerka-nerka sendiri dalam hari.
Karena dia mendengar dari keterangan Sentanu ketika
pertama kali bertemu, bahwa Rekso memiliki kepan-
daian menyamar.
"Kapan kalian bertemu dengannya?" tanya Sena
pada Sentanu.
"Kemarin, menjelang magrib...! Dia muncul de-
ngan tiba-tiba untuk menghadang kami, ketika kami
berusaha mencari Tuan Pendekar...," jawab Sentanu
tegas dan jelas.
Sena mengangguk-angguk. Kemudian tangan-
nya menggaruk-garuk kepala. Keningnya berkerut. Ma-
tanya memandangi Sentanu dan ketiga saudaranya.
"Kami merasa gagal total dan malu! Kami tidak
akan kembali ke kadipaten...," kata Sentanu dengan
nada lemah dan suara serak.
Sena merasa ikut bersalah tidak membantu
mereka. Tapi dia tak ingin diikuti Sentanu bersaudara.
Dia hanya ingin menyelidiki di mana sarang Rekso Ba-
gaspati. Lagi pula, saat itu Sena belum percaya penuh
pada keterangan Sentanu. Tapi kini dia mulai percaya
padanya. Apalagi mendengar Sancaka, adik Sentanu
yang paling berani dan berilmu lebih tinggi dari ketiga
adiknya yang lain telah tewas di tangan Rekso Bagas-
pati.
Sena menghela napas dalam-dalam. Kembali
dipandanginya Sentanu dan ketiga adiknya.
"Kisanak. Maafkan aku. Namun bukan aku
bermaksud buruk. Aku sebenarnya mau membelamu,
dengan caraku sendiri. Harap Kisanak mengerti dan
memaklumi ku...," tutur Sena.
"Kami dapat mengerti, Tuan Pendekar Kami
bersyukur kalau Tuan Pendekar memang mau mem-
bantu kami untuk melenyapkan manusia iblis itu,"
ucap Sentanu sambil menjura pada Sena.
"Kisanak jangan menjura begitu. Aku bukan ra-
ja atau raden. Aku sama seperti kalian, hanya orang
biasa...," cegah Sena tegas.
Sejenak mereka terdiam. Tak ada yang bicara.
Tangan Sena kembali menggaruk-garuk kepala seraya
cengar-cengir.
"Apakah orang-orang aliran putih tidak mau
bersatu untuk melawan Rekso Bagaspati...?" tanya Se-
na pada Sentanu
"Pada purnama yang lalu telah diadakan per-
temuan rahasia para tokoh persilatan se-Jawa Tengah
di Pantai Parangtritis. Pertemuan juga dihadiri oleh se-
sepuh persilatan terkemuka dari selatan dan utara.
Kami telah setuju untuk menumpas Rekso dan mere-
but kalung itu. Namun tak ada di antara kami yang
berhasil...," kata Sentanu, menjelaskan pada Sena.
Sena memegang bahu Sentanu dengan lembut
"Percayalah, Kisanak... Dengan keyakinan dan
percaya diri, kita akan dapat menemukan manusia ib-
lis itu. Dan aku akan memusnahkannya. Namun kita
harus mempergunakan akal untuk menaklukkan ma-
nusia macam Rekso...," ucap Sena, memberi semangat
pada Sentanu.
"Ya.... Terima kasih, Tuan Pendekar. Rasanya
hari ini hati kami mulai lega. Karena Tuan Pendekar
mau bekerja sama dengan kami. Kalau ingin menda-
patkan kemenangan, kita memang harus berani ber-
korban. Dan Sancaka mati demi saya dan adik-adik
saya yang lain.... Lalu, sekarang apa yang harus kita
lakukan, Tuan Pendekar?" tanya Sentanu, setelah ter-
diam beberapa saat.
"Mari kita mencari tempat bicara yang nyaman.
Hm.....Apakah di dekat sini ada kedai untuk istirahat
dan melepas lelah? Tentunya Kisanak cukup lelah, bu-
kan?" tanya Sena bersahabat.
"Ada di balik bukit itu," jawab Sentanu sambil
menunjuk ke suatu tempat.
Kemudian, kelima lelaki itu segera menuju ke-
dai yang dimaksud Sentanu. Tak berapa lama berjalan,
mereka pun tiba.
Kedai itu tampak dipadati pengunjung. Dari
luar sudah terdengar suara tawa gaduh di dalam ru-
mah makan itu. Suara tawa itu terlontar dari mulut ti-
ga orang berparas angker dan buruk di salah satu me-
ja. Salah seorang yang bertingkah angkuh, berpakaian
merah menyerupai jubah dengan pakaian dalam ber-
warna hitam, celana hitam serta ikat kepala merah
dengan bulatan-bulatan hitam. Rambutnya terurai
panjang tak teratur sebatas bahu. Wajahnya panjang
dengan hidung mancung ke bawah. Kumisnya tipis.
Sedangkan tubuhnya sedikit kurus. Matanya cekung
dan garang, bagai mata setan. Dia dikenal dengan ju-
lukan Muka Setan atau si Pedang Akherat.
Penduduk di desa itu rata-rata tidak suka pada
si Muka Setan. Selain kejam, penindas kaum lemah,
orang itu juga selalu membuat onar. Kesombongannya
berpangkal dari kepandaiannya memainkan pedang.
Selain ayahnya, hanya dia jago pedang kelas satu di
tanah Jawa, begitu koarnya. Karena itu semua orang
harus hormat dan tunduk padanya. Harus melakukan
apa saja yang dimintanya.
Sambil mempertunjukkan kebolehannya main
pedang, si Muka Setan yang nama sebenarnya Ronggo
Lawe, tertawa-tawa sambil memegang kendi arak di
tangan kirinya.
Kedua temannya berpakaian sama seperti
Ronggo Lawe. Hanya saja berlengan pendek dan tidak
memakai ikat kepala. Rambut keduanya terlepas pan-
jang tak teratur dengan alis tebal dan sinar mata ga-
rang. Bibirnya pun tebal seperti bibir kuda. Wajah ke-
duanya, persegi empat, buruk sekali.
Dengan pedangnya, Ronggo Lawe membabat la-
lat yang beterbangan di ruangan kedai. Sudah berpu-
luh-puluh lalat dapat dibabatnya. Bayangkan, bagai-
mana kalau manusia?
Tiba-tiba Ronggo Lawe menendang salah satu
kursi yang ada di dekatnya.
"Kalian lihat semua! Jangan ada yang berkedip.
Lalat-lalat ini perlu dibikin mampus!" serunya.
Dengan gerakan cepat sambil tertawa-tawa se-
perti pemabuk, Ronggo Lawe kembali memamerkan
kebolehannya. Para pengunjung yang memang benci,
tak menghiraukannya. Hanya sebagian saja dari mere-
ka yang menyaksikan. Ini membuat Ronggo Lawe ma-
rah. Tanpa banyak mulut lagi, segera dihampirinya sa-
lah seorang yang tak sudi melihat kebolehannya.
Tengkuk orang yang sedang menikmati makanannya
itu ditendang, hingga makanan yang ada di mulutnya
tersembur keluar bersama cairan merah dari mulut-
nya. Seketika orang itu tak bergerak lagi.
Setelah itu Ronggo Lawe tertawa. tergelak-
gelak. Pada saat itulah Sena, Sentanu dan ketiga sau-
daranya memasuki kedai itu. Mereka segera duduk di
meja paling luar dekat pintu masuk, karena hanya me-
ja itu yang masih kosong. Saat itu pula beberapa orang
bergegas keluar dengan wajah ketakutan. Sekilas Pen-
dekar Gila melirik Ronggo Lawe yang sedang memper-
mainkan pedangnya.
Sena dan Sentanu bersaudara segera duduk
dengan tenang. Namun sesaat kemudian, Sentanu
membisikkan sesuatu ke telinga Sena. Pendekar Gila
mengerutkan kening sambil menggaruk-garuk kepala.
Kemudian Sentanu berbisik pada saudara-saudaranya.
Wajah mereka tampak jadi waspada.
"Ternyata di rimba persilatan banyak orang
edan!" gumam Sena sambil cengar-cengir.
Salah seorang dari anak buah Ronggo Lawe ru-
panya mengenali Sena setelah melihat pakaiannya.
Namun orang itu terlihat sedikit ragu. Matanya terus
mengawasi gerak-gerik Sena dan Sentanu bersaudara.
Seorang pelayan segera menghampiri meja Se-
na. Tapi baru saja pelayan itu melangkah, salah seo-
rang anak buah Ronggo Lawe yang tadi mengawasi Se-
na, segera melarangnya dan mendorong pelayan itu de-
ngan kasar.
"Kau tak perlu melayani orang asing itu. Biar
aku yang melayaninya," kata anak buah Ronggo Lawe
yang bernama Kebo Ireng pada pelayan. Lalu dengan
langkah tegap, dihampirinya meja Sena dan kawan-
kawan.
Sena menyambut Kebo Ireng dengan ramah,
mengajaknya duduk sambil cengengesan. Sedangkan
Sentanu bersaudara sedikit tegang.
"Silakan, Kisanak..," hatur Sena menyilakan
Kebo Ireng yang bibirnya tebal mirip bibir kuda itu.
Tapi Kebo Ireng membalasnya dengan kasar. Ia
menggebrak meja dengan tangan kanannya yang kekar
dan berbulu lebat
Brak!
"Ha ha ha...!"
Kebo Ireng tertawa tertawa-tawa bangga. Sena
ikut tertawa dan menggaruk-garuk kepala, tapi Senta-
nu sebaliknya. Ia menjadi marah dan berdiri hendak
menyerang Kebo Ireng. Tapi segera dicegah oleh Sena;
dengan merentangkan tangan kirinya.
"Sabar, Sobat. Tenanglah! Memang di rimba
persilatan saat ini banyak orang-orang edan!"
Mendengar ucapan Sena, kontan saja Kebo
Ireng, naik pitam. Tanpa basa-basi lagi, Kebo Ireng
mengantarkan pukulan ke dada Sena. Pukulan yang
tiba-tiba dan dahsyat itu dielakkan Sena hanya dengan
memiringkan tubuh ke samping kanan disertai tangki-
san tangan kanannya yang langsung mengunci lengan
Kebo Ireng. Disusul dengan hentakan tangan kirinya
yang keras.
"Akh...!"
Brak!
Kebo Ireng terpental tiga tombak dan jatuh di
atas meja dekat Ronggo Lawe yang kaget dibuatnya.
Meja itu hancur tertimpa tubuh Kebo Ireng yang besar.
Sena kembali cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Sementara itu, Sentanu dan saudara-
saudaranya makin tegang. Mereka kian waspada.
"Kalian tak perlu ikut campur. Biar kuselesai-
kan sendiri. Orang-orang macam ini perlu diberi pela-
jaran," ucap Sena pada Sentanu dan saudaranya.
"Hei! Setan mana yang berani menciderai ka-
wanku!" seru Ronggo Lawe dengan mata melotot lebar
sambil menghunus pedang.
Sementara, para pengunjung yang berada di si-
tu diam seribu bahasa. Di dalam hati, mereka merasa
senang dan gembira kalau ada orang yang bisa meng-
hajar Ronggo Lawe dan kawan-kawannya.
"Pemuda gila itu ternyata hebat, ya?" bisik seo-
rang pengunjung kedai pada temannya.
"Ya.... Biar tahu rasa si muka buruk itu. Mam-
pus kau!" timpal yang lain, ikut berbisik
Ronggo Lawe sudah berada di dekat meja Sena.
Dengan geram dan angkuh, kaki kanannya diangkat
ke atas meja, tepat di depan wajah Sena. Sena hanya
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Seakan tak
menghiraukan tindakan Ronggo Lawe.
"Hei, Kunyuk! Rupanya kau tidak sayang pada
nyawamu!" hardik Ronggo Lawe seraya mengusap-
usap dada dan tertawa-tawa. "Kau rupanya punya nya-
li besar, Orang Asing. Ha ha ha...!"
Sena tak melihat tangan lelaki berwajah buruk
itu bergerak, tahu-tahu dirasakannya sambaran angin
di atas kepalanya. Seekor lalat naas yang melayang
mengitari kepala Sena terbabat putus, lalu jatuh pada
permukaan meja di hadapannya.
Gerakan ilmu pedang yang luar biasa cepat!
"Kau memang hebat, Kisanak..," puji Sena de-
ngan tingkah seperti orang gila. Namun nadanya ter-
dengar mengejek
Ronggo Lawe tahu kalau dia diejek. Dengan ma-
rah sekali ditendangnya Sena, dibarengi dengan baba-
tan pedang.
Dengan cepat namun tampak gemulai, Pende-
kar Gila mengelak dan tahu-tahu Sena sudah duduk di
atas kursi lain. Pemuda itu tertawa-tawa dan meng-
garuk-garuk kepalanya. Membuat Ronggo Lawe makin
naik pitam.
"Orang asing keparat!" bentak Ronggo Lawe.
"Kau rasakan pedangku ini. Heaaa...!"
4
Sena yang diserang mengelak dengan merebah-
kan tubuhnya ke belakang. Gerakannya seperti sangat
pelan, bagai sedang menari dengan menundukkan ke-
pala. Lalu tubuhnya berkelebat ke kanan sambil me-
nyapukan kaki ke pinggang Ronggo Lawe.
Buk!
Ronggo Lawe memekik dan tersentak. Sama se-
kali tidak diduganya kalau dalam keadaan demikian
Pendekar Gila bisa melakukan serangan balik dengan
cepat. Sementara kedua teman Ronggo Lawe hanya
menonton sambil meneguk arak. Keduanya merasa
yakin kalau akan mampu mengalahkan Pendekar Gila.
Sedangkan Sentanu dan ketiga saudaranya tetap men-
gawasi dengan sikap waspada. Sentanu yakin kalau
Sena akan mudah mengatasi Ronggo Lawe.
"Hi hi hi...!"
Pendekar Gila tertawa-tawa mengejek sambil
menggaruk-garuk kepala dan menepuk pantatnya se-
perti monyet. Membuat Ronggo Lawe semakin marah.
"Mampus kau, Pemuda Gila! Heaaa...!"
Swing! Swing!
Dua sabetan dan tusukan mengarah ke dada
Sena.
"Phuih! Hanya tusukan dan sabetan tipuan! Hi
ha ha...!" ejek Sena sambil cengengesan, dan mengga-
ruk-garuk kepala.
Ronggo Lawe terkesiap. Serangan yang dilan-
carkan tadi memang hanya merupakan satu tipuan.
Bagaimana lawan bisa mengetahuinya?!
Edan, dia bisa membaca tipuan ku! Kunyuk!
Siapa orang sinting ini?! Umpat Rongga Lawe dalam
hati. Dia mulai berhati-hati untuk menyerang.
Para pengunjung yang menyaksikan pertarun-
gan itu tampak merasa senang melihat Ronggo Lawe
dipermainkan oleh pemuda bertingkah gila itu. Wajah
mereka berbinar-binar, mendukung Pendekar Gila.
"Rasakan kau! Orang jahat harus dikasih gan-
jaran...!" umpat salah seorang yang ada di kedai itu.
"Iya! Biar tahu rasa! Modar kau...!" timpal te-
man di sebelahnya sambil mencibir. Sedangkan pemi-
lik kedai hanya tersenyum-senyum, tak lagi setegang
tadi.
Setelah mementahkan serangan Ronggo Lawe,
Pendekar Gila dengan cepat menyiapkan pukulan yang
dahsyat dengan jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Jari-
jari tangannya mengembang lurus ke atas. Mulanya
menyatu, kemudian direntangkan melebar. Diteruskan
dengan menghantam ke atas dengan telapak tangan.
Namun tidak sepenuhnya Sena menggunakan jurus
itu. Dia tidak mau membunuh Ronggo Lawe.
Sepasang tangan Sena menyapu dalam gerakan
gelombang. Kecepatannya sangat luar biasa. Tangan-
nya terlihat menjadi berpuluh-puluh pasang serta ber-
gelombang dahsyat menciptakan angin deras yang
mengejutkan Ronggo Lawe. Keterpanaan lawan diman-
faatkan Pendekar Gila dengan baik. Tangan kanannya
mendadak terlontar dari gerak gelombang yang dicip-
takannya, lalu menghajar telak dada lawan. Tak pelak
lagi tubuh Ronggo Lawe terpental keluar dari kedai itu
dan membentur pohon besar di halaman kedai.
"Ternyata kepandaianmu hanya sedikit, tapi
mulutmu besar! Ayo bangun!" bentak Sena setelah tiba
di hadapan Ronggo Lawe.
Mulut Ronggo Lawe tampak memuntahkan da-
rah segar, demikian juga dari lubang hidung, dan te-
linganya.
"Manusia pemeras seperti kau memang harus
mendapat ganjaran setimpal!" lanjut Sena dengan nada
mengejek. Tangan kanannya merenggut rambut Rong-
go Lawe yang sudah tak berdaya itu.
Sementara itu, Kebo Ireng dan Kebo Ijo yang
melihat pemimpin mereka dicundangi, segera men-
gambil langkah seribu. Sedangkan penduduk yang tadi
berada di dalam kedai malah menyerbu ke luar. Mere-
ka beramai-ramai meminta agar Sena membunuh
Ronggo Lawe. Kalau tidak, manusia durjana itu akan
kembali memeras dan menindas orang-orang lemah.
"Bunuh saja, Tuan Pendekar! Bunuh...!" seru
mereka beramai-ramai.
Mendengar teriakan orang-orang itu, Sena dan
Sentanu yang telah berada di sampingnya mengerut-
kan kening dan saling pandang.
"Apakah orang ini masih mempunyai pemim-
pin?" tanya Sentanu ingin tahu.
"Ayahnya sendiri pemimpinnya. Tapi kami tak
pernah melihat wujud ayah Ronggo Lawe," sahut seo-
rang pemuda di dekat Sentanu.
"Kalian tahu siapa nama ayahnya Ronggo
Lawe?" tanya Sentanu tak sabar.
"Orang-orang menyebutnya Penguasa Jagat...
Hanya itu yang kami tahu," jawab yang lain.
Tangan kiri Sena menggaruk-garuk kepala, se-
mentara bibirnya cengar-cengir. Sedang tangan kanan-
nya yang merenggut kepala Ronggo Lawe direnggang-
kan. Tubuh Ronggo Lawe pun jatuh lemas di tanah.
Nafasnya tampak sesak
Dan di saat semuanya sedang berpikir, tiba-tiba
sesosok bayangan hitam besar berkelebat cepat diser-
tai angin kencang menerpa mereka. Bayangan itu me-
lepas pukulan berupa selarik sinar ungu yang meng-
gumpal bagai asap. Kemudian segera menyambar be-
berapa orang di sana, termasuk Pendekar Gila, Sen-
tanu dan saudara-saudaranya.
Serangan yang mendadak itu membuat Pende-
kar Gila tak sempat menghindar, namun dia masih bi-
sa menangkis dan menyerang dengan pukulan 'Inti
Api'.
Ledakan besar pecah di tempat itu, mencipta-
kan lidah api yang membersit terang, karena serangan
bayangan tadi bentrok dengan pukulan 'Inti Api' milik
Pendekar Gila. Setelah sinar akibat ledakan itu hilang,
Ronggo Lawe pun lenyap entah ke mana. Hanya asap
tebal mengepul di tempat Ronggo Lawe tadi tergeletak
Pendekar Gila memulihkan kembali tenaga da-
lamnya yang banyak terkuras, akibat bentrokan puku-
lan tadi. Setelah usai, didekatinya Sentanu yang terge-
letak akibat pukulan maut milik sosok tak dikenal ta-
di.
"Bagaimana keadaanmu, Kisanak?" tanya Sena
perlahan, sambil memegangi bahu Sentanu.
"Dadaku sesak sekali. Ohhh...! Mungkinkah ta-
di Rekso?"
"Entahlah...."
Sentanu memegangi dadanya. Darah segar me-
leleh dari sudut bibirnya.
"Bisa kami menumpang di tempatmu, Ki?"
tanya Sena pada pemilik kedai.
"Oh, dengan senang hati, Tuan Pendekar. Kami
akan siapkan segala keperluan, Tuan. Karena Tuan
Pendekar telah menyelamatkan kami semua...," jawab
pemilik kedai dengan sangat gembira. Dia merasa
aman kalau Sena dan Sentanu bersaudara bisa tinggal
bersamanya.
Hari makin sore. Sinar matahari makin meme-
rah dan condong ke arah barat. Sena mengobati luka
dalam Sentanu dengan ramuan-ramuan dedaunan
disertai tenaga dalamnya. Rupanya Sentanu masih da-
pat diselamatkan.
"Kau terkena Racun Pemusnah Jiwa...! Tapi un-
tung kau segera mendapatkan perawatan. Kalau ti-
dak..."
"Hah?! Racun Pemusnah Jiwa...?" ujar Sentanu
memotong ucapan Sena. "Kalau memang benar... tak
salah lagi! Sosok bayangan itu adalah Rekso...! Karena
kematian salah seorang saudara seperguruanku juga
akibat Racun Pemusnah Jiwa, tatkala kami mencoba
menangkap si keparat itu beberapa bulan lalu."
Sementara itu, Sena tetap mengobati Sentanu
dengan ilmu 'Pelebur Racun’ yang didapat dari gu-
runya. Sengaja Sena tak menanggapi ucapan Sentanu.
Dia tidak ingin perhatiannya saat menyalurkan ilmu
'Pelebur Racun' jadi terpecah hingga bisa membahaya-
kan diri Sentanu sendiri.
Malam pun tiba. Suasana di Desa Pandawa
nampak sunyi mencekam. Tak ada seorang pun yang
keluar rumah atau duduk-duduk di teras rumah me-
reka. Para penduduk masih diliputi rasa takut dan
khawatir dengan munculnya orang tua Ronggo Lawe
yang menyebut dirinya, Penguasa Jagat!
Namun kedai yang sekaligus menjadi tempat
tinggal pemiliknya tampak masih menyalakan lente-
ranya. Pertanda orang yang berada di dalam kedai itu
masih belum tidur, walaupun hari makin larut malam.
Sentanu sudah kelihatan segar. Lelaki itu du-
duk di atas balai-balai ditemani oleh ketiga adiknya.
Sedangkan Sena berdiri di dekat jendela sambil bersi-
dekap, memandang ke luar. Pemilik kedai dengan hati
senang menyiapkan minuman dan makanan untuk
mereka. Dibantu seorang bocah lelaki yang bertubuh
kurus tanpa baju. Pemilik kedai yang nampak lugu
dan sedikit penakut itu lalu membawa minuman dan
ubi rebus ke tempat duduk Sentanu bersaudara.
"Silakan diminum, Tuan-tuan.... Maaf kalau
kurang berkenan di hati Tuan-tuan. Maklum makanan
desa.... He he he...," ujar pemilik kedai dengan sopan
sambil membungkukkan tubuh.
Pemilik kedai segera pergi setelah memberi
hormat, diikuti oleh bocah kecil di belakangnya. Sen-
tanu bergerak mengambil cangkir yang terbuat dari
kayu dan menuangkan air di dalam teko tanah liat ke
cangkirnya, kemudian diikuti oleh ketiga adiknya.
Pada saat itu Sena seakan merasakan keganji-
lan dalam kedai itu. Telinganya lamat-lamat menang-
kap bisikan halus suara gurunya.
"Sena, jangan kau minum air itu. Minuman itu
mengandung racun...!"
Sena tersentak mendengar suara itu. Cepat tu-
buhnya berbalik dan bermaksud untuk mencegah Sen-
tanu bersaudara agar tidak meminum air yang dis-
uguhkan pemilik kedai. Namun terlambat! Sentanu
dan ketiga saudaranya ternyata baru saja selesai me-
neguk air teh itu.
"Ya, Gusti...!" desis Sena penuh penyesalan.
Tak sampai satu menit kemudian, wajah Sentanu dan
ketiga saudaranya mulai pucat, dan membiru. Dan se-
saat kemudian, darah segar keluar dari mulut, hidung,
telinga dan mata mereka.
"Aaakh...! To... tolong.... Aaa...!"
Tubuh keempat bersaudara itu kejang-kejang
dengan mata melotot
"Kisanak, kuatkan dirimu. Aku akan meno-
longmu...!"
Sena segera bersila di dekat Sentanu yang se-
karat untuk mengumpulkan hawa murninya. Dia mu-
lai melawan racun ganas yang telah memasuki tubuh
Sentanu. Beberapa saat kemudian keringat keluar dari
pori-porinya. Tubuhnya mulai berasap dan segera tan-
gan kanannya ditempelkan ke dada Sentanu.
Tubuh Sentanu bergetar bagai orang terkena
tegangan listrik yang besar. Begitu pun tubuh Sena
yang tengah mengeluarkan ilmu 'Inti Sukma'. Tubuh-
nya bergetar kencang.... Dan tiba-tiba terdengar teria-
kan yang menyayat dari mulut Sentanu, bagai meme-
cah kesunyian malam yang mencekam. Dibarengi den-
gan hentakan telapak tangan Sena yang mengeluarkan
sinar ungu bercampur sinar kuning. Sinar kuning itu
adalah Racun Pemusnah Jiwa.
Sena mengangkat sinar itu, kemudian tangan-
nya dihentakkan dengan keras ke arah jendela. Bau-
ran dua sinar itu melesat dan sungguh aneh, sinar tadi
mengeluarkan lengkingan nyaring. Seperti suara
kambing yang sedang disembelih! Sinar ungu bercam-
pur kuning itu meledak. Kembali menjadi sosok mak-
hluk halus yang menyeramkan, lalu menghilang di ke-
gelapan malam.
Sena menarik napas panjang, dia merasa lega.
Peluh membasahi seluruh wajah dan tubuhnya. Se-
dangkan Sentanu kini tertidur. Di dadanya tampak
tanda merah kebiruan. Sena membuka matanya perla-
han, memandangi tubuh Sentanu yang masih tergele-
tak di balai-balai bambu. Sentanu memang dapat dis-
elamatkan oleh Sena, namun ketiga adiknya tak terto-
long. Mereka tewas dengan seluruh tubuh membiru.
Sena bergerak bangun dan mencari pemilik
rumah makan itu. Namun tak seorang pun ia temui di
kamar. Ternyata di dalam kamar pemilik kedai tak ada
tempat tidur atau lemari. Kecuali sebuah kuburan tua
yang tanahnya berlubang.
"Ya, Gusti...! Iblis keparat itu rupanya telah
mencoba menipuku...," gumam Sena dengan kesal. Ke-
tika kakinya hendak melangkah ke luar, tiba-tiba ter-
dengar ucapan ganjil.
"He he he...! Anak Muda, ternyata kau mudah
terkecoh. Hidupmu tak akan lama, Anak Muda. He he
he...!"
Suara itu terdengar sangat menyeramkan. Keti-
ka Sena memusatkan pikirannya sambil memejamkan
mata, dilihatnya bayangan wajah Ronggo Lawe yang
menyeramkan itu menyeringai menatap dirinya. Sena
segera menghentakkan tangan kanannya ke depan
dengan mengerahkan pukulan 'Inti Api’. Bersamaan
dengan itu terdengar teriakan keras yang sangat keras,
ketika api dari telapak tangan Sena membakar kubur-
an tua itu. Jeritan panjang yang menyeramkan terus
terdengar. Kemudian Sena segera keluar. Ia cepat
membopong tubuh Sentanu yang masih tertidur pulas.
Dibawanya tubuh Sentanu keluar dari kedai
misterius itu dengan ilmu lari 'Sapta Bayu'. Bagai kilat,
tubuhnya meluncur seperti anak panah menjauhi ru-
mah makan itu. Sementara itu kedai yang ditinggal-
kannya sudah mulai terbakar oleh api yang dikelua-
rkan tangan Sena. Dan suara jeritan perlahan-lahan
menghilang, tertelan asap hitam.
Sena kini sudah berdiri di atas bukit dengan
membopong tubuh Sentanu, jauh dari tempat tadi. Ma-
tanya memandangi rumah makan yang masih ter-
bakar. Api membubung tinggi bagai menerangi kege-
lapan malam yang mencekam itu.
"Rupanya iblis-iblis itu ingin menguasai manu-
sia dengan cara apa saja. Aku harus lebih hati-hati
dan waspada...," desah Sena perlahan. Lalu tubuhnya
melesat kembali dengan membawa Sentanu.
***
Mentari pagi kembali menerangi bumi. Angin
laut bertiup sepoi-sepoi menerpa daun nyiur. Daun-
daun itu bergerak bagai menari-nari. Kicau burung
laut membangunkan Sena yang tidur di bawah pohon
nyiur di pesisir pantai. Di sebelahnya masih terbujur
tubuh Sentanu.
Sena berdiri tegak. Sejenak otot-ototnya yang
kaku dilemaskan. Ia melakukan gerakan-gerakan in-
dah beberapa kali untuk memulihkan kondisi tubuh-
nya. Lalu duduk bersila, memusatkan pikiran dengan
memejamkan mata. Tubuhnya menghadap Laut Banja-
ran, tak bergerak bagai patung, walaupun angin ken-
cang menerpanya.
Tak berapa lama kemudian, barulah Sena
membuka mata dan menarik napas panjang. Lalu me-
noleh ke arah Sentanu. Lelaki itu tampak mulai bisa
menggerakkan badannya, walaupun perlahan. Bibir
Sena tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Uh...! Di mana aku...?"
Terdengar suara Sentanu ketika matanya dibu-
ka dan bergerak bangun sambil memegangi dadanya
yang masih merasa sakit.
"Kau telah bebas dari maut, Sobat," kata Sena
yang masih bersila di tempatnya semula.
"Ke mana ketiga adik-adikku, Tuan Pende-
kar...?" tanya Sentanu ingin tahu.
Sena mengalihkan pandangan ke laut lepas.
Dari dia mulai menceritakan tentang pemilik kedai
yang menghidangkan minuman beracun, sampai ia
menemukan kuburan tua dalam kamarnya. Sentanu
langsung dapat menebak kalau ketiga adiknya tewas
karena racun yang dicampur pada minuman itu.
"Maafkan aku, karena tak dapat menolong jiwa
adik-adikmu...," sesal Sena setelah mengakhiri ceri-
tanya.
"Aku bisa mengerti. Kau telah menyelamatkan
jiwaku, Tuan Pendekar. Terima kasih. Aku akan mem-
balas segala kebaikanmu...," ujar Sentanu dengan sua-
ra masih terdengar lemah.
"Ah! Janganlah kau berterima kasih padaku.
Kau harus mengucapkannya pada Yang Maha Kuasa.
Aku hanya perantara. Semua nasib dan umur manusia
hanya Sang Hyang Widhi yang menetapkan."
Selesai berkata begitu, Sena segera bangkit
mendekati Sentanu.
"Bagaimana dadamu? Apakah masih terasa
nyeri?" tanya Sena kemudian.
"Agak lebih enak, namun tubuhku masih le-
mas...," jawab Sentanu perlahan.
"Sebaiknya kau istirahat beberapa hari. Biar
kau kuantar pulang."
"Tidak usah. Terima kasih.... Aku dapat pulang
sendiri. Aku sudah cukup merepotkan Tuan Pende-
kar...."
"Jangan lagi kau menyebutku Tuan Pendekar.
Panggil saja aku Sena," ujar Sena.
"Baiklah."
"Ayolah, biar kau kuantar sampai perbatasan
desa ini...," kata Sena, sambil bergerak membantu
Sentanu bangun. Sentanu masih terlihat lemas, mem-
buat Pendekar Gila tak tega melepas lelaki itu pulang
sendiri ke Kadipaten Pakisaji.
"Sobat, biarlah aku menemanimu ke kadipaten.
Aku tak ingin terjadi lagi hal yang tak diharapkan me-
nimpa dirimu."
Dengan tulus Sena berkata pada lelaki di sam-
pingnya. Sentanu terharu mendengar ucapan Sena.
"Oh, Gusti...! Ternyata masih ada orang yang
mau berbaik hari menolongku. Terima kasih, Sena...,"
Sentanu memeluk Sena dengan penuh kegembiraan
bercampur haru.
Pendekar Gila hanya cengengesan dan memba-
las pelukan Sena. Setelah melepas pelukan, Sena
menggaruk-garuk kepala seperti kebiasaannya. Kedua
lelaki itu kemudian melangkah menuruni jalan yang
landai menuju arah barat.
5
Goa Neraka tampak menyeramkan meskipun
diterangi obor di beberapa bagian dindingnya. Karena
hampir di setiap sudut dinding terpajang tengkorak
manusia dan tubuh binatang buas yang diawetkan.
Seperti ular sebesar paha manusia yang melingkar te-
pat di atas sebuah singgasana yang terdapat di dalam
ruangan goa. Ular sanca yang telah dikeringkan itu
bagai masih hidup dengan mulut menganga. Tak ku-
rang dari sepuluh meter panjang ular langka itu. Goa
Neraka adalah goa tempat tinggal Rekso Bagaspati.
Saat itu dia sedang duduk di singgasananya. Wajahnya
tampak memerah karena menahan amarah. Dan tiba-
tiba Rekso Bagaspati berdiri sambil mendengus keras.
"Huh!"
Kemudian Rekso Bagaspati mondar-mandir de-
ngan langkah lebar. Tangan kirinya terus mengusap-
usap kumisnya yang lebat, sedang tangan kanannya
bertolak pinggang. Langkahnya yang berdebam keras
seperti akan meruntuhkan dinding goa itu.
"Ghrrr.... Bodoh! Gegabah! Seharusnya kau bi-
sa membunuhnya! Dan aku heran, kenapa pemuda gi-
la itu dapat mengetahui racun yang kau campur dalam
minuman itu? Mungkin kau memancing kecurigaan
pemuda itu, Ronggo...!" hardik Rekso Bagaspati dengan
suara menggema.
"Ampuni aku, Ayah. Tapi seingatku, pemuda itu
berdiri di dekat jendela dan tidak mempedulikan ku...,!
jawab Ronggo Lawe sambil menunduk, tak berani me-
natap wajah ayah angkatnya.
"Aneh, benar-benar aneh! Rupanya pemuda
sinting itu memiliki ilmu cukup tinggi. Mungkinkah
pemuda itu yang kita cari...?"
Sejenak Rekso Bagaspati berpikir dan duduk
kembali di singgasananya.
"Ha ha ha.... Aku ingat pada jurus dan lagak-
nya. Ya, tak salah lagi. Dia pasti Pendekar Gila yang
tersohor itu!"
"Pendekar Gila?!" ulang Ronggo Lawe kaget. La-
lu menatap Rekso Bagaspati yang masih tertawa terge-
lak-gelak.
"Kali ini aku tak akan gagal mengupas kulitnya!
Ha ha ha.... Ronggo! Kemari kau!" perintah Rekso Ba-
gaspati.
Ronggo Lawe segera mendekati. Kemudian Rek-
so Bagaspati membisikkan sesuatu pada anak angkat-
nya. Ronggo Lawe mengangguk-angguk sambil terse-
nyum, tanda setuju.
"Suatu rencana yang sempurna, Ayah. Ha ha
ha...!"
"Ingat pesanku tadi. Kali ini jangan sampai
gagal. Kita akan lebih leluasa kalau Pendekar Gila
mampus! Aku akan menguasai jagat ini, rimba persila-
tan ini. Ha ha ha...!"
Suara tawa Rekso Bagaspati menggema sampai
keluar goa yang terletak di dalam hutan angker itu.
Binatang-binatang yang malam itu sedang tertidur,
mendadak terbangun mendengar tawa manusia iblis
itu. Binatang yang telah dikeringkan di dalam goa itu
seperti ikut tertawa juga. Sementara ular sanca yang
melingkar di atas singgasana Rekso Bagaspati pun ba-
gai hidup. Matanya memancarkan sinar merah darah,
dan lidahnya seakan menjulur panjang keluar, menji-
lati kepala Rekso Bagaspati yang berada tepat di ba-
wahnya.
Tawa Rekso Bagaspati perlahan-lahan hilang.
Suasana kembali sepi mencekam. Kemudian Rekso
Bagaspati bangkit dan melangkah ke sebuah pintu goa
yang tertutup. Dengan menghentakkan tangan kanan-
nya ke dinding pintu itu, seketika pintu itu terbuka.
Asap merah bercampur biru mengepul ke luar. Rekso
Bagaspati melangkah masuk, lalu pintu tertutup kem-
bali.
Di dalam ruangan yang cukup luas, terdapat
sebuah ranjang bulat berukuran lebar yang cukup un-
tuk empat orang. Ranjang itu terbuat dari batu-batu
besar yang ditata sedemikian rupa. Di atasnya tertum-
puk dedaunan yang telah dikeringkan sebagai kasur,
dan dialasi oleh kulit rusa. Di kanan dan kiri ranjang
aneh itu ada obor besar untuk menerangi ruangan.
Begitu Rekso Bagaspati merebahkan tubuhnya
di ranjang itu, empat wanita muda yang cantik-cantik
masuk dari pintu-pintu rahasia. Pakaian mereka mi-
nim dengan bagian dada dan bawah hanya ditutupi
kulit binatang. Keempatnya langsung naik ke atas ran-
jang mereka siap melayani nafsu Rekso Bagaspati yang
luar biasa. Tak heran karena Rekso Bagaspati seten-
gah manusia, setengah setan! Ia titisan setan dengan
kalung Safir Bermata Iblis!
Dengan buasnya Rekso Bagaspati menerkam,
menciumi dan menggeluti salah seorang dari empat pe-
rempuan muda itu. Sedang yang lain terus membang-
kitkan birahi Rekso Bagaspati dengan segala cara. Me-
reka harus bisa memuaskan Rekso Bagaspati dan me-
nuruti semua kehendaknya. Kalau tidak, perempuan-
perempuan itu akan lebih cepat dibunuh dan darah
serta dagingnya dimakan untuk memperpanjang ilmu
setan Rekso Bagaspati.
Setiap bulan purnama, pasti akan ada korban
untuk persembahan bagi guru Rekso Bagaspati yang
tak lain arwah bekas pemimpin orang-orang aliran se-
tan yang dikenal dengan sebutan Dedemit Kolobendo-
no. Ia baru menampakkan dirinya jika Rekso Bagaspati
telah menyediakan darah perawan! Wujudnya sangat
menyeramkan. Akibatnya Rekso Bagaspati harus men-
dapatkan darah perawan bila waktunya tiba. Jika ti-
dak, dia akan kehilangan ilmu sekaligus jiwanya.
Seringkali Rekso Bagaspati turun sendiri untuk
mencari darah perawan. Itu sebabnya Rekso Bagaspati
sangat ingin sekali memusnahkan Pendekar Gila yang
selalu membela kaum lemah. Dan Pendekar Gila me-
rupakan musuh utamanya! Dan harus dibinasakan de-
ngan segala cara.
***
Sena Manggala berada di Kadipaten Pakisaji,
tempat Sentanu tinggal. Tampak dia baru saja ingin
meninggalkan kadipaten itu setelah mengantar Senta-
nu. Karena dia harus kembali meneruskan pencarian
jejak Rekso Bagaspati.
"Sebenarnya kami ingin menahanmu tinggal sa-
tu-dua hari lagi di sini. Tapi kami tak bisa memaksa.
Namun demikian, sudilah kau mampir lagi ke tempat
yang sederhana ini," ujar Sentanu, melepas kepergian
Sena.
Sena hanya tersenyum sambil menggaruk-
garuk kepala.
"Terima kasih. Kalau Tuhan mengizinkan, aku
akan kembali kemari," jawab Sena bersahabat.
Selesai berkata begitu, Pendekar Gila segera
melangkah pergi. Sentanu memperhatikannya dengan
penuh haru, mengiringi kepergian Sena. Seraya me-
langkah, Sena melambaikan tangan. Dan dibalas oleh
Sentanu dan beberapa muridnya. Perpisahan yang
sangat mengharukan bagi mereka. Namun mereka sa-
ma-sama menyadari, bahwa sebagai manusia, mereka
tidak bisa menghindar dari perpisahan. Terlebih perpi-
sahan tersebut terjadi karena Sena harus melanjutkan
tugasnya untuk menegakkan kebenaran.
Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap
tubuh Sena telah berada di pesisir Pantai Banjaran, di
mana sehari sebelumnya dia bermalam di tempat itu
bersama Sentanu.
Sejenak Sena menghentikan larinya. Matanya
memandang ke sekeliling tempat itu. Kemudian perja-
lanannya diteruskan. Sena tiba di perbukitan yang
tampak sepi.
Sementara itu matahari yang tadi berada di se-
belah timur, kini telah berada di atas kepala Sena. Te-
rik matahari membuat Pendekar Gila menyeka kerin-
gat yang membasahi keningnya. Kemudian tubuhnya
melesat pergi ke arah timur.
Ketika Sena sampai di tempat lapang yang dike-
lilingi batu cadas, terdengar keributan dari arah bawah
tempatnya berdiri. Hal itu mengundang perhatian pe-
muda tampan itu. Bergegas tubuhnya mencelat ke
pinggir jurang. Dari tempat itu, mata Sena dapat meli-
hat seorang wanita berbaju warna biru muda tengah
dikeroyok dua lelaki berwajah bengis.
Ditilik dari penampilan dan sikap kedua lelaki
itu, tampaknya mereka bermaksud merampok sekali-
gus hendak menggagahi gadis yang dikeroyok.
Wanita yang rambutnya digelung dengan seba-
gian sisa rambutnya dibiarkan terurai di bagian bela-
kangnya, tampak gesit menangkis atau menyerang ke-
dua perampok yang bertingkah konyol itu. Pedang wa-
nita itu beradu dengan senjata perampok yang berben-
tuk tombak bermata tiga dengan panjang hanya seten-
gah tombak biasa.
Karena kain yang dikenakan wanita itu memili-
ki belahan di depan tanpa celana panjang di baliknya
maka ketika kakinya menendang tinggi, terlihat jelas
paha dan betisnya yang putih dan mulus.
Saat itu kedua pengeroyoknya sesaat menghen-
tikan serangan. Mata mereka langsung melotot me-
nyaksikan keindahan yang luar biasa tersebut.
Melihat lawannya terkesima, wanita yang dike-
royok tak menyia-nyiakan kesempatan baik yang dimi-
likinya.
"Heaaa...!"
Dengan cepat wanita itu membabatkan pedang-
nya ke arah kedua perampok itu. Kontan saja mereka
yang menghentikan serangannya karena terpana akan
kemulusan paha dan betis wanita ayu itu, menjadi pu-
cat.
Seorang dari mereka yang terlambat menghin-
dar hampir saja tergores ujung pedang wanita itu, ka-
lau saja temannya tidak menubruknya ke samping
dengan cepat
"Hah?! Hampir saja leherku amblas!" maki lela-
ki yang hampir terbabat lehernya itu.
Mereka segera siap menyerang wanita itu kem-
bali. Keduanya melabrak serentak dengan senjata mas-
ing-masing, seolah begitu bernafsu untuk menjadikan
wanita itu sebagai bulan-bulanan mereka.
Pedang perempuan itu kembali beradu dengan
tombak bermata tiga milik para penyerangnya. Namun
kemampuannya untuk bertahan menghadapi senjata-
senjata maut itu tidaklah lama. Kedudukannya makin
tidak menguntungkan, dikepung dari dua penjuru.
Sampai akhirnya sinar putih berkelebat di depan hi-
dung wanita itu dari atas ke bawah dan....
Bret! Bret! Bret..!
Ketika wanita itu memandang ke bawah, ter-
nyata tiga kancing bajunya tersingkap lebar. Sepasang
mata lelaki botak dan kawannya langsung membelalak
menyaksikan satu pemandangan yang begitu menggi-
urkan.
Wanita itu cepat-cepat menutupi pakaiannya
seraya melompat mundur. Si botak tertawa tergelak-
gelak dan tampak dia menelan ludah, lalu menjulur-
kan lidahnya. Belum sempat wanita itu merapikan pa-
kaian atasnya, tiba-tiba terdengar derap langkah kuda
menuju tempat itu.
Ternyata pengendaranya adalah seorang lelaki
berwajah jelek dan berikat kepala kulit macan tutul.
Mata sebelah kirinya rusak seperti bekas bacokan. Wa-
jahnya yang persegi dihiasi alis tebal, hidung lebar dan
kumis lebat yang panjang. Tak terlihat keramahan di
bibir penunggang kuda itu, terlebih untuk memperli-
hatkan senyum. Dialah pemimpin dua orang yang
mengeroyok wanita itu. Pundaknya menyandang pe-
dang, tanpa memakai baju. Dadanya yang berbulu le-
bat bagai orang utan membuat perempuan itu makin
dilanda ketakutan. Apalagi ketika lelaki yang baru da-
tang itu dengan kasar menarik tubuhnya ke atas kuda.
"Ha ha ha.... Kakang, kau datang tepat pada
waktunya! Untuk menikmati santapan lezat ini, bu-
kan...? Ha ha ha...!" sambut lelaki berkepala botak
sambil memegangi perutnya yang buncit tanpa tertu-
tup baju
"Jangan...! Lepaskan... lepaskan!" teriak pe-
rempuan itu sambil berusaha berontak ketika hendak
dinaikkan ke punggung kuda.
"He he he.... Jangan nakal, Manis.... Nanti kau
akan merasakan nikmatnya surga dunia.... Ha ha
ha...!" ujar lelaki berkepala botak. Didorong dan dire-
masnya pantat perempuan yang padat itu agar dapat
segera naik ke punggung kuda milik pemimpinnya.
"Auw! Kurang ajar!" bentak perempuan itu se-
raya terus meronta liar.
Tanpa rasa kasihan, lelaki yang berada di atas
punggung kuda terus menjambak rambut perempuan
itu.
"Akh...!"
Perempuan itu memekik kesakitan. Pada saat
itu lelaki berkepala botak dengan kuat mendorong tu-
buhnya ke atas kuda sampai terduduk di depan lelaki
berwajah jelek
"Dimas berdua tunggu di sini. Aku akan me-
nikmati betina ini sepuas-puasnya. Setelah itu, baru
Dimas berdua boleh ambil," ujar lelaki berwajah jelek
itu, setelah menotok wanita di depannya.
Selesai berkata demikian, lelaki itu melarikan
kudanya. Tapi baru saja kudanya dilarikan lima tom-
bak, tiba-tiba muncul seseorang menghadang lari ku-
danya.
"Bangsat..! Siapa kau...?! Kurang ajar!" bentak
orang itu keras dengan suara serak. Matanya mendelik
marah sekali!
"Kau yang kurang ajar, Lelaki Pengecut! Kau
hanya berani sama perempuan! Manusia macam ka-
lian memang perlu diberi pelajaran!" umpat Pendekar
Gila sambil menggaruk-garuk kepala serta cengenge-
san. Tingkahnya yang aneh seperti orang gila itu mem-
buat lelaki berwajah jelek marah karena merasa dihina
begitu rupa.
"Kau benar-benar cari mampus, Pemuda Sin-
ting! Kau bicara seenaknya. Apa kau tidak tahu tengah
berhadapan dengan siapa?!" geramnya penuh amarah.
"Dengan orang utan yang tidak mengerti adat!
He he he...!" jawab Sena disusul tawa mengejek
"Bangsat! Minggir kau, atau..."
Lelaki itu tak melanjutkan ucapannya. Dia
bermaksud langsung menerjang Sena dengan ku-
danya. Namun entah kenapa kuda itu tak mau berge-
rak, seakan takut pada Pendekar Gila yang berdiri te-
nang tempatnya sambil menggaruk-garuk kepala. Tu-
buhnya tak bergerak sejengkal pun.
Mau tak mau orang itu melompat cepat dari
kuda. Diikuti dengan jatuhnya tubuh perempuan ma-
lang yang masih tertotok kaku.
Lelaki berkepala botak beserta kawannya sege-
ra mengurung pemuda tampan namun bertingkah
aneh yang mencari perkara. Senjata mereka terhunus
di tangan masing-masing. Tombak bermata tiga seperti
mengancam tubuh Sena dengan pantulan sinar di
ujung-ujungnya.
Tapi hal itu sama sekali tidak membuat Sena
bergeming dari tempatnya.
"Orang-orang utan ini kenapa jadi marah-
marah tak karuan? Hi hi hi...!" ejek Sena.
"Setan alas!"
Amarah lelaki berwajah jelek itu meledak.
"Kau mau mengantar nyawa pada Baga Sura!"
Sret!
Lelaki berwajah jelek yang mengaku bernama
Baga Sura itu menghunus pedangnya
"Cincang saja tubuhnya, Kakang...!" seru lelaki
berkepala botak sambil memainkan tombak bermata
tiganya, diikuti temannya yang ternyata bisu. Lelaki itu
hanya bisa tertawa dan mengangguk.
Baga Sura mengayunkan pedangnya di depan
hidung Sena. Pendekar Gila hanya menundukkan ke-
pala. Lalu dengan gerakan yang sukar ditangkap mata,
tubuhnya berkelebat ke kanan dan menghantamkan
pukulan ke rusuk Baga Sura.
Des!
"Aaa...!"
Baga Sura memekik panjang. Tubuhnya ter-
huyung lima tombak ke belakang. Lelaki berkepala bo-
tak dan temannya tersentak dan mulai ragu untuk
menyerang Pendekar Gila yang tetap cengengesan
mengejek mereka.
"Ternyata kalian hanya orang-orang besar mu-
lut! Tak cocok dengan tampang seram kalian!" ejek Se-
na lagi, lalu tertawa riuh rendah.
Baga Sura yang masih sempoyongan berusaha
menyerang Sena kembali. Dia tidak peduli lagi pada
darah segar yang menetes dari mulutnya. Matanya
mendelik penuh amarah, siap melabrak
"Heaaa...!"
Baga Sura membabatkan pedangnya beberapa
kali dengan cepat sambil menerjang ke wajah. Pedang-
nya berkelebat bertubi-tubi. Ilmu pedangnya asing dan
aneh di mata Sena. Tapi Pendekar Gila mampu meng-
hadapinya dengan ilmu meringankan tubuh yang sem-
purna. Gerakannya seperti lamban, namun sebenarnya
tidak. Itu karena ilmu yang dimiliki Sena sangat tinggi.
Akibatnya tebasan pedang Baga Sura hanya membabat
angin dan batang pohon.
Cras!
Pendekar Gila bersalto beberapa kali di udara.
Kemudian kakinya mendarat ke tanah dengan ringan
di belakang Baga Sura. Dicoleknya punggung Baga Su-
ra dari belakang.
Baga Sura membalik cepat. Dia kaget. Saat itu
Sena menyentakkan pukulan yang tak begitu keras di
dada Baga Sura.
Desss!
Baga Sura kembali terpental ke belakang dan
membentur anak buahnya yang berkepala botak yang
sejak tadi hanya menonton. Melihat ketangguhan ilmu
silat Pendekar Gila, nyali lelaki berkepala botak itu jadi
menciut. Dia segera memutuskan untuk cepat-cepat
menggotong Baga Sura yang terkulai tanpa daya.
Sementara itu wanita yang belum diketahui
namanya masih tergeletak di tempatnya dalam kea-
daan tertotok. Sena segera menghampirinya dan den-
gan satu gerakan, Sena melenyapkan totokan itu. Wa-
nita yang berparas cantik dan bertubuh bahenol itu
tersadar.
"Oh...! Ke mana manusia-manusia keparat
itu?!" seru perempuan itu, lalu dia berdiri dan membe-
reskan pakaiannya yang koyak.
Sena diam tak menjawab. Pendekar muda itu
nampak acuh saja melihat tingkah perempuan di de-
katnya.
"Tentunya Tuan yang telah menolongku. Terima
kasih. Aku tak akan lupa membalas kebaikan Tuan...,"
ucap perempuan itu dengan suara lembut sambil men-
dekati Sena yang terus menggaruk-garuk kepala. "Na-
maku Sekarsari.... Tuan siapa?"
Pendekar Gila segan menjawab pertanyaan wa-
nita yang mengaku bernama Sekarsari itu. Kakinya
malah melangkah menjauhi tempat itu.
"Sebaiknya kau pergi. Pulanglah ke desamu.
Hari sudah menjelang malam. Tak baik seorang pe-
rempuan berjalan bersama laki-laki. Lagi pula, aku
bukan laki-laki yang suka ditemani perempuan."
Mendengar tutur kata Sena, Sekarsari hanya
tersenyum. Perempuan itu makin mendekati Sena
yang terus berjalan meninggalkannya. Merasa tidak
dipedulikan, Sekarsari mulai mencari akal. Sejenak dia
berpikir sambil terus menguntit Sena.
Beberapa hari ini aku menemukan orang yang
aneh-aneh. Pertama orang bercaping dengan pakaian
sama dengan Rekso Bagaspati yang begitu saja meng-
hilang. Kini aku bertemu perempuan yang cukup can-
tik. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang aneh pada
diri perempuan yang mengaku bernama Sekarsari ini.
Ah...! Dunia makin tua. Makin banyak orang aneh! Ge-
rutu Sena dalam hati sambil melangkah. Sena terus
berpikir tentang manusia-manusia aneh yang begitu
muncul terus menghilang. Seperti halnya orang ber-
caping yang ditemuinya di kedai.
"Aaa...!"
Tiba-tiba terdengar jeritan Sekarsari yang mem-
buat Sena menghentikan langkahnya dan menoleh ke
belakang. Dilihatnya perempuan muda yang cantik
dengan dandanan seronok itu terjatuh. Sepasang tan-
gannya memegangi kaki kanannya yang mungkin ter-
kilir atau digigit binatang. Sena tak langsung meng-
hampiri. Pemuda itu hanya menggaruk-garuk kepala
sambil cengar-cengir.
"Tolong...! Tolong kakiku, Tuan. Aduh....
Huuu...!" rengek Sekarsari. Wajahnya tampak mena-
han sakit. Sena yang memang tidak bisa melihat wani-
ta dalam kesusahan, mau tak mau melangkah mende-
kati Sekarsari yang sedang meringis kesakitan.
"Tolong kakiku, Tuan... Di bagian ini terasa ke-
jang," ujar Sekarsari sambil menunjuk bagian pahanya
yang tersingkap dengan tangan kanan. Paha mulus itu
terlihat jelas di mata Sena. Sena membuang muka
sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu dia kembali ber-
diri dan melangkah meninggalkan Sekarsari. Ternyata
Sekarsari hanya berpura-pura, karena dia tak ingin di-
tinggal oleh Sena. Sekarsari tersenyum genit seraya
menggigit bibirnya. Kemudian dia bangkit mengejar
Sena yang sudah tiga tombak di depannya.
"Apakah Tuan marah padaku?" tanya Sekarsari
setelah berada di samping Sena.
Sena tak menjawab. Pandangannya lurus ke
depan. Wajahnya tampak kesal.
"Maafkan aku, Tuan. Tapi bukan maksudku
mempermainkan Tuan. Aku hanya tak ingin ditinggal
sendirian di daerah yang penuh dengan orang-orang
jahat ini," ujar Sekarsari dengan suara masih lembut
Sena menghentikan langkahnya, lalu menatap
Sekarsari dengan pandangan menyelidik. Tatapan ma-
ta Sena tajam, bagai menembus sukma perempuan itu.
Sekarsari yang dipandang demikian rupa jadi gugup.
Kepalanya segera menunduk. Sena malah cengengesan
dan menggaruk-garuk kepala.
"Kau belum menceritakan kenapa kau sampai
dihadang oleh orang-orang tadi. Lalu, apa tujuanmu
memasuki daerah rawan ini?" tanya Sena menyelidik.
Nada suaranya tegas.
"Mungkin... aku akan menjawab pertanyaan-
mu, jika kau lebih dulu mau menerangkan siapa diri-
mu dan mengapa mau menolongku," ungkap Sekarsari
dengan suara lebih tegas. Tak selembut tadi.
Sena menggaruk-garuk kepalanya lagi, lalu
menggeleng-geleng.
Kau tak perlu tahu namaku, aku hanya manu-
sia biasa yang tak tentu tujuan. Dan kau tanya kenapa
aku mau menolongmu? Itu memang sudah kewajiban-
ku. Aku selalu rela menolong orang yang lemah dan
tertindas. Begitulah aku...," tutur Sena tanpa maksud
menyombong.
"Untung aku bertemu dengan Tuan. Kalau ti-
dak, mungkin aku sudah menjadi santapan manusia-
manusia keparat tadi. Sekali lagi ku mohon Tuan mau
memberi tahu nama Tuan. Biar hatiku lega...," ucap
Sekarsari setengah mendesak.
Sena memandang wajah perempuan muda itu
dalam-dalam. Kemudian kepalanya mengangguk-
angguk.
"Baiklah. Aku Sena.... Dan, sekarang kuminta
kau menjelaskan tujuanmu. Kalau tidak, aku akan se-
gera pergi. Banyak hal yang harus kuselesaikan," kata
Sena agak mengancam.
"Baik..," ujar Sekarsari. "Aku datang dari jauh,
dari sebuah perkampungan nelayan di Pantai Selatan.
Letaknya tak jauh dari Kadipaten Pakisaji. Sedangkan
tujuanku ke tempat ini untuk mencari seseorang."
"Mencari seseorang?" ulang Sena. "Siapa orang
itu? Suamimu? Atau...?"
Sena mengerutkan kening dan menggaruk-
garuk kepala.
"Rekso Bagaspati!" jawab Sekarsari mantap.
Pendekar Gila terkejut mendengar jawaban pe-
rempuan cantik itu.
"Ada urusan apa kau dengannya? Soal kalung
keramat itu juga, atau apa?"
"Bagaimana kau tahu tentang kalung itu...?!"
tanya Sekarsari. Dia juga tampak terkejut "Kalung itu
tak habis-habisnya menimbulkan malapetaka!"
Sena jadi makin ingin tahu tentang siapa dan
apa tujuan wanita itu.
"Jadi kau tahu banyak tentang kalung itu...?
tanya Sena.
Yang ditanya tidak menjawab.
"Ayo, jawablah. Mungkin kita bisa bekerja sa-
ma...," bujuk Sena,
"Dunia ini, terutama rimba persilatan, penuh
liku-liku dan bahaya. Malapetaka mengancam setiap
saat. Apalagi bagi kami, kaum hawa..."
"Ucapanmu mungkin benar. Hanya saja, tentu
kau mempunyai alasan untuk mencari Rekso Bagaspa-
ti yang juga pernah mau membunuhku...," ujar Sena
menjelaskan.
Sekarsari yang mendengar keterangan Sena ja-
di mengerutkan kening. Ditatapnya Sena dengan pan-
dangan tajam, seakan menyelidik kebenaran ucapan
Sena. Lalu setelah merasa kalau Sena berkata jujur,
Sekarsari menarik napas panjang. Pandangannya di-
alihkan ke depan. Matanya menerawang jauh.
"Aku ingin membunuh Rekso Bagaspati!"
Jawaban Sekarsari itu membuat Sena kaget
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dan cengenge-
san. Dia merasa Sekarsari terlalu nekat.
"Membunuh orang seperti Rekso Bagaspati bu-
kan soal mudah. Apalagi kau seorang perempuan. Bu-
kan aku merendahkan ilmumu. Kau tahu lebih banyak
tentang kesaktian kalung keramat itu, bukan?"
Sekarsari kembali berpaling ke arah Sena. Pe-
rempuan cantik itu menyeringai.
"Jika kita memakai otak, apa pun pasti bisa di-
lakukan."
Sena mengangguk-angguk. "Dia telah membu-
nuh suamiku!" ujar Sekarsari kembali. Nada suaranya
begitu geram.
"Ooo...! Urusan dendam kesumat rupanya?" ka-
ta Sena pula. "Tapi mengapa sampai Rakso Bagaspati
membunuh suamimu?"
"Dia merampas kalung itu! Kalung itu milik su-
amiku!"
"Apa...?!" Sena kembali terkejut
"Kalung itu mulanya milik Kakang Waskita, su-
amiku...," tutur Sekarsari kemudian. Suaranya agak
tersendat.
Sena kembali mengangguk-angguk. Kemudian
dia menghela napas panjang. Sena tampak tertarik
dengan ucapan Sekarsari tadi.
"Apakah kau tahu dari mana suamimu menda-
patkan kalung keramat itu...?" tanya Sena tiba-tiba,
membuat Sekarsari agak kaget.
Wanita itu mengerutkan kening. Ditatapnya wa-
jah Sena penuh selidik. Sena yang dipandangi seperti
itu hanya menggaruk-garuk kepala dan tersenyum.
Setelah berpikir beberapa saat dan menganggap
pendekar yang telah menyelamatkannya adalah orang
baik-baik, maka Sekarsari memulai ceritanya.
"Sepuluh tahun silam, suamiku bertengkar
denganku. Malam harinya dia pergi ke Pantai Karang
Loh. Seperti biasa, jika habis bertengkar denganku,
suamiku melakukan hal demikian. Dia menyendiri,
untuk menghindari pertengkaran lebih jauh. Suamiku
sebenarnya sangat mencintai ku. Hanya terkadang aku
sering tak tahan dengan kemiskinan yang kami ala-
mi.... Itulah yang terkadang membuatku suka marah-
marah."
Emoticon