Sejenak Sekarsari menghentikan ceritanya. Wa-
jahnya menampakkan kesedihan yang dalam. Bola ma-
tanya yang bening, kini sudah digenangi air mata.
Setelah menyeka air mata, Sekarsari kembali
"Sejak itu Kakang Waskita menghilang entah ke
mana. Saat itu hidupku terasa seperti neraka. Untung
para tetangga senasib, semuanya baik terhadapku.
Mereka semua memperhatikan keadaanku. Dan rupa-
nya suamiku ingin membahagiakan aku. Dia mencari
ilmu dengan bertapa di sebuah goa di tepian Pantai Se-
latan. Tapi dia selalu gagal. Godaan selalu menghalan-
ginya. Akhirnya suamiku pergi ke sebuah pulau kecil
yang bernama Pulau Kandaran. Di pulau itulah sua-
miku mendapatkan satu benda keramat berupa kalung
iblis dengan rantai kayu hitam bermata safir. Menurut
suamiku, seorang lelaki tua renta mula-mula muncul
di hadapannya. Dan secara perlahan lelaki tua itu be-
rubah wujud menjadi sosok makhluk menyeramkan.
Makhluk itu tinggi besar bagai raksasa. Wajahnya di-
penuhi dengan darah serta bertaring. Matanya berlu-
bang seperti tengkorak. Telinganya panjang. Mengeri-
kan! Suamiku mula-mula takut, tubuhnya gemetaran,
dan wajahnya pucat. Namun secara mendadak ketaku-
tannya hilang begitu saja ketika makhluk menakutkan
itu menghembuskan napas yang bau amis! Makhluk
itu berjalan di atas air laut menghampiri suamiku yang
masih duduk bersila di dalam sebuah goa karang di
tepian pantai pulau itu...."
Sejenak Sekarsari menghentikan ceritanya. Dia
menarik napas panjang. Sementara Sena memperhati-
kan wanita itu sambil menggaruk-garuk kepala. Cukup
aneh dan mengerikan juga ceritanya....! Nilai Sena da-
lam hati. Matanya dengan tajam menatap Sekarsari.
"Lalu, bagaimana selanjutnya?" tanya Sena per-
lahan.
Sekarsari menoleh ke arah Sena. Sejenak dita-
tapnya pemuda gagah itu. Kemudian Sekarsari memu-
lai ceritanya lagi.
"Menurut suamiku, makhluk itu bisa berubah-
ubah wujud. Sebelum, memberi kalung itu, makhluk
itu mencoba tekad suamiku. Kalau suamiku gagal, dia
akan mati. Tapi kalau berhasil, kalung keramat itu
akan menjadi miliknya. Makhluk ini menjelma menjadi
seorang wanita yang sangat cantik. Dengan segala cara
dia mencoba merayu agar iman suamiku runtuh. Tapi
ternyata suamiku tabah. Setiap cobaan lain yang lebih
menyeramkan dan menggiurkan dapat dilawan oleh
suamiku. Sampai akhirnya kalung berkekuatan gaib
itu diberikan pada suamiku. Menurutnya, ketika ka-
lung keramat itu ada di pangkuannya, seluruh badan-
nya terasa panas dingin beberapa saat. Namun kemu-
dian kembali seperti biasa dan dia merasa lebih segar
dan kuat..."
Sena yang mendengarkan mengangguk-angguk
tanda mengerti.
"Sungguh aku salut akan ketabahan suamimu.
Lalu, bagaimana ceritanya kalung itu bisa jatuh ke
tangan orang lain...?" tanya Sena ingin tahu lebih jauh.
Sekarsari menghela napas panjang. Kemudian
memulai kembali cerita tentang suaminya.
"Rupanya kesaktian dan keampuhan kalung
keramat itu sudah tersebar ke mana-mana. Terutama
ke telinga Pangeran Pari Ongso yang tamak. Dia orang
yang paling tergiur untuk memiliki kalung keramat itu.
Dengan berbagai cara dia berusaha agar suamiku mau
menyerahkan kalungnya. Suamiku dibujuk dengan
imbalan harta, uang, serta kedudukan yang terhormat
di kadipaten. Namun suamiku menolaknya. Karena
kami ingin ketenangan. Apalagi aku sedang hamil tua.
Lagi pula, suamiku termasuk salah seorang yang pal-
ing benci pada Pangeran Pari Ongso. Karena pangeran
itu licik. Sifatnya buruk, tidak ada belas kasihan pada
rakyat kecil."
Kembali Sekarsari menghentikan ceritanya. Dia
menelan ludah sejenak. Kesempatan itu digunakan
Sena untuk bertanya lagi.
"Lalu, bagaimana tindakan pangeran itu selan-
jutnya? Dan juga suamimu?"
"Pangeran menyewa jawara-jawara untuk mem-
bunuh suamiku serta menteror ku. Tapi suamiku sela-
lu dapat mengalahkan orang-orang sewaan Pangeran
Pari Ongso. Karena rencananya selalu gagal, maka
dengan licik dia pura-pura bertobat akan perbuatan-
nya. Setelah suamiku tahu kalau yang merencanakan
pembunuhan terhadap dirinya adalah Pangeran Pari
Ongso. Dasar suamiku orang yang lugu serta mudah
memaafkan. Maka suamiku tak jadi membunuh pa-
ngeran itu. Dengan siasat liciknya, pada suatu malam
pangeran mengundang suamiku untuk merayakan
persahabatan mereka. Tapi ternyata suamiku diracuni
oleh pangeran. Minuman untuk suamiku diberi bubuk
racun ganas. Seketika suamiku sekarat dan mati, ma-
ka dengan mudah kalung keramat itu pindah ke tan-
gan Pangeran Pari Ongso.... Kematian suamiku menge-
jutkan semua orang, terlebih diriku. Sedangkan mayat
suamiku tak dapat ditemukan," Sekarsari menghen-
tikan ceritanya. Tanpa terasa dia telah menangis.
Sena yang melihatnya jadi merasa iba. Bebera-
pa saat hening, hanya isak tangis Sekarsari yang terde-
ngar.
"Setelah Pangeran Pari Ongso mendapatkan ka-
lung itu, dia menghilang entah ke mana. Tumenggung
Adipura yang mengetahui kebusukannya, dibunuhnya
juga. Aku telah kehilangan segalanya. Sementara itu
kandungan ku semakin membesar. Aku jatuh sakit..."
Sena makin iba mendengar akhir cerita Sekar-
sari. Dia coba menenangkan hati Sekarsari dengan
memegang bahu wanita itu dengan lembut
"Maaf.... Seharusnya aku tak menanyakan lebih
jauh padamu, Sekar...."
"Tidak apa-apa...," sahut Sekarsari sambil
menggelengkan kepalanya. "Biar kau mengerti kea-
daanku sebenarnya.... Bayiku mati begitu lahir...."
Kembali Sekarsari terisak-isak. Sedih saat te-
ringat masa silamnya. Sementara Sena hanya menghe-
la napas panjang seraya menggeleng perlahan. Wajah-
nya masih tampak terharu.
"Manusia iblis itu harus dilenyapkan secepat-
nya," gumam Sena geram.
Sekarsari masih terisak-isak. Disekanya air ma-
ta yang membasahi pipinya dengan kain.
"Setelah seminggu melahirkan bayiku, aku me-
ninggalkan Desa Karang Loh untuk menghilangkan
kenangan buruk yang ku alami. Pikiranku kacau. Kui-
kuti langkah kaki. Jika sudah merasa lelah, baru aku
istirahat di mana saja...."
"Kenapa kau tidak mencari handai taulan atau
sanak saudara?" tanya Sena lembut dan hati-hati, ta-
kut kalau Sekarsari tersinggung.
"Aku tak mempunyai siapa-siapa lagi. Aku anak
tunggal...," jawab Sekarsari lemah. "Di benakku saat
itu hanya ada satu tekad untuk membalas dendam
pada Pangeran Pati Ongso yang telah tersohor dengan
nama Rekso Bagaspati...! Tapi aku tak memiliki ke-
pandaian ilmu silat. Didorong oleh tekad dan rasa den-
dam yang membara dalam diriku, aku mencari tahu di
mana tempat perguruan silat yang paling tersohor....
Sampai ujung dunia pun aku akan datangi, asal aku
bisa menjadi pendekar wanita yang tangguh. Namun
harapanku selalu gagal. Rasanya tidak ada titik terang
dalam kehidupanku...."
Sekarsari menarik napas panjang. Dipandan-
ginya Sena sebentar dengan tatapan sayu. Sementara
Sena hanya diam. Lalu tangannya menggaruk-garuk
kepala. Bibirnya tersenyum tulus. Sungguh malang
nasib wanita ini...! Kata Sena dalam hati.
"Rupanya Hyang Widhi masih memberikan
ujian padaku. Semua orang sepertinya jijik bila berte-
mu denganku, karena pakaianku seperti gembel. Ra-
sanya saat itu aku ingin mati saja. Habis cobaan satu,
muncul cobaan lain yang lebih menyakitkan...."
Sejenak Sekarsari menghentikan ucapannya.
"Pernah suatu hari menjelang magrib, aku ber-
maksud berteduh di sebuah gubuk kecil di luar se-
buah desa, jauh dari rumah penduduk. Baru saja ku
rebahkan badan untuk melepas lelah, tiba-tiba muncul
tiga lelaki berbadan kekar dan berwajah garang dengan
memakai baju serba hitam. Ketiganya menerkam den-
gan buas. Mereka hendak memperkosaku. Aku tak ku-
asa melawan, walaupun seluruh tenagaku sudah ku
kerahkan. Jangankan tiga orang yang memegang ku,
satu orang pun aku tak sanggup. Apalagi saat itu me-
reka memegang kedua kaki dan tanganku, lalu diren-
tangkan lebar-lebar. Sangat mengerikan!"
Kembali Sekarsari menghentikan kata-katanya.
Dia bergidik sendiri.
"Aku hanya bisa berteriak minta tolong, minta
dikasihani oleh mereka. Namun manusia-manusia itu
seakan sudah diselimuti nafsu birahi yang besar. Me-
reka tak menghiraukan lagi ucapanku. Mereka makin
ganas.... Namun pada saat kritis, tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat bagai angin kencang. Dan seketi-
ka ketiga lelaki yang hendak memperkosaku tergeletak
tanpa nyawa lagi. Selanjutnya aku sudah tak ingat
apa-apa lagi, aku pingsan. Tahu-tahu aku sudah bera-
da di sebuah pondok di lereng gunung. Di situlah aku
mendapatkan pelajaran ilmu silat dari seorang lelaki
tua.... Aku merasa senang sekali...," Sekarsari men-
gakhiri ceritanya yang cukup panjang itu dengan me-
narik napas lega.
Sena tersenyum. Dia merasa ikut senang men-
dengar cerita Sekarsari, wanita malang itu. Kemudian
tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Lalu, sekarang kau hendak ke Tawang Sewu
untuk membalas dendam atas kematian suamimu...?"
Walau tak menjawab, tapi Sena tahu perem-
puan itu membenarkan ucapannya
"Lebih baik kau kembali ke desa dan melupa-
kan Pangeran Pari Ongso yang kini menjadi Rekso Ba-
gaspati itu. Susah untuk menandinginya. Apalagi ka-
lung keramat itu masih di tangannya. Tentu kau tahu
keampuhan kalung maut itu, bukan? Salah-salah kau
sendiri yang celaka!"
"Aku memang sudah siap untuk menyusul su-
amiku," sahut Sekarsari.
Sena menggaruk-garuk kepala.
"Apakah kau berniat mendapatkan kalung itu
kembali?" tanya Sena kemudian.
"Kalaupun kudapat, kalung sakti itu akan ku-
kembalikan ke asalnya. Dibuang ke dalam laut..."
"Tidak mudah mendapatkan kalung itu kemba-
li. Tidak gampang mencari Rekso Bagaspati, manusia
seribu muka yang kini menguasainya.... Dan mana
aku tahu kalau kau bukan Rekso Bagaspati yang me-
nyamar menjadi perempuan...?"
Ucapan Sena itu membuat Sekarsari tersentak.
Ditatapnya Sena dengan pandangan menyelidik seraya
menghela napas panjang. Sena yang dipandang begitu
hanya cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Tapi aku percaya kalau kau bukan Rekso Ba-
gaspati. Wajah dan sinar matamu menunjukkan kau
adalah seorang pendekar yang cukup disegani. Hanya
tingkah Tuan agak aneh. Dan itu yang mengingatkan
aku pada berita di rimba persilatan tentang munculnya
Pendekar Gila...," ucap Sekarsari kemudian.
Kini Sena-lah yang tersentak mendengar tutur
kata Sekarsari yang seperti tahu siapa dia sebenarnya.
Sena jadi makin cepat menggaruk-garuk kepala sambil
cengar-cengir. Lalu dia tertawa-tawa pada Sekarsari
yang terus mengawasi gerak-gerik Sena.
"Kau bicara apa? Lucu-lucu sekali. Bicaramu
ngelantur!" ujar Sena. Lalu dia melangkah pergi. Se-
karsari segera memburunya, lalu berjalan di sebelah
kiri Sena.
"Apakah Tuan mau membantuku untuk-
menemukan dan memusnahkan manusia yang berna-
ma Rekso Bagaspati itu...?"
"Sebaiknya kau jangan panggil aku tuan.... Aku
hanya orang biasa. Panggil saja Sena...," kata Sena.
"Baik, Sena. Tapi kau belum menjawab maksud
ku...," tukas Sekarsari kemudian.
"Oya..., ya...."
"Jadi kita pergi sama-sama mencarinya?"
"Kita katamu?" tanya Sena.
Sekarsari tersenyum manis.
"Bukankah kau mau membantuku untuk men-
cari dan menumpas Rekso Bagaspati...? Dan seperti
yang kau katakan, tak mungkin aku sendiri bisa me-
nemukan dan mengalahkan manusia iblis itu...."
Sena terus menggaruk-garuk kepala. Dia tam-
pak bingung sekali. Bagaimana caranya agar Sekar ti-
dak bersamanya dalam mencari Rekso Bagaspati? Be-
lum sempat Sena mendapatkan cara, Sekarsari dengan
nada memohon kembali berucap.
"Kalau kau tak mau membantuku dan mem-
biarkan aku berjalan bersamamu, aku akan bunuh di-
ri...," ujar Sekarsari seraya mengeluarkan pedang dari
sarungnya.
"Eh! Tunggu...! Tunggu...!" cegah Sena yang tak
tega menyaksikan Sekarsari mau bunuh diri. Sebenar-
nya Sena hanya mencoba sampai di mana kemantapan
hati Sekarsari. "Baiklah. Tapi, aku ingin kau menya-
mar sebagai laki-laki. Sebab aku risih berjalan bersa-
ma perempuan. Apalagi secantik kau, bisa terjadi ma-
cam-macam."
"Hm.... Usul yang bagus! Tapi, di mana aku bi-
sa mendapatkan kumis dan jenggot palsu...?" keluh
Sekarsari pada Sena.
"Iya, ya. Hm..., gampang. Kita mampir di Desa
Tegal Sari. Itu, di bawah bukit sana...."
Sekarsari mengangguk dan tersenyum. Sena
tak banyak kata lagi. Kakinya diayunkan meninggal-
kan tempat itu diikuti Sekarsari.
6
Sena dan Sekarsari yang telah memasuki se-
buah desa mengamati daerah sekitarnya. Tampaknya
desa itu biasa-biasa saja. Kesibukan para penduduk-
nya seperti desa-desa lain yang aman dan tenteram.
Mereka berlalu-lalang dengan kesibukan masing-
masing.
Namun di sudut jalan dekat warung kopi, terli-
hat sekumpulan orang yang sedang berjudi. Pakaian
dan wajah mereka menunjukkan kalau mereka bukan
orang baik-baik. Sepertinya bukan penduduk desa itu.
Dan hampir semuanya menyandang golok di pinggang.
Sambil minum, mereka terus berjudi. Tingkah
laku mereka sungguh tak sedap dipandang mata. Bila
ada gadis desa yang sedang lewat, tak segan-segan me-
reka menggoda atau menjamah tubuh gadis itu dengan
kasar. Bahkan pada saat Sena dan Sekarsari melintasi
tempat judi itu, mata keduanya sempat melihat seo-
rang dari penjudi yang tidak ikut bermain sedang me-
rangkul seorang wanita muda dengan paksa seraya
menciumi dan meremas-remas buah dadanya. Wanita
itu hanya bisa menangis sambil mengeluh. Sementara
orang-orang yang lewat tak ada yang berani melarang
atau membela wanita muda itu.
"Keparat! Ternyata orang edan ada di mana-
mana. Aku yakin mereka itu komplotan lelaki yang
mengeroyokku tadi...!" kata Sekarsari dengan geram.
Tanpa banyak omong lagi, dia melesat ke arah para
penjudi itu.
Sena yang tak menduga sama sekali tindakan
Sekarsari, tak sempat mencegah. Dia hanya dapat
memperhatikan dari tempatnya. Sena ingin tahu, sam-
pai di mana keberanian dan kepandaian ilmu silat Se-
karsari yang sesungguhnya.
"Hei, Monyet! Lepaskan wanita itu!" bentak Se-
karsari sambil bertolak pinggang pada orang-orang
yang sedang menggerayangi tubuh wanita muda tadi
Orang yang sedang mempermainkan wanita itu
kaget, termasuk orang yang sedang berjudi. Mereka
menoleh ke arah Sekarsari yang menatap dengan pan-
dangan sinis.
"Phuih! Kalian manusia laknat yang perlu diberi
pelajaran...! Lepaskan wanita itu kataku!" bentak Se-
karsari lagi karena lelaki kurang ajar itu belum mele-
paskan wanita yang baju bagian atasnya sudah terbu-
ka. Lelaki itu berkumis dan bercambang lebat dengan
satu mata kirinya ditutup kain hitam. Codetnya melin-
tang di pipi sebelah kanannya.
"He he he...!"
Lelaki itu malah tertawa tergelak-gelak sambil
terus menciumi wanita di pelukannya.
"Kalau kau ingin merasakan ciuman dan rema-
sanku juga, kemarilah! He he he...," ujar lelaki bermata
satu, menggoda Sekarsari. Yang lain jadi tertawa ter-
bahak-bahak. Sebagian dari para penjudi itu kini ber-
paling dan menghadap ke arah Sekarsari.
"He he he...! Edan, ini baru santapan lezat!
Ayo..., kemarilah, Manis. Jangan galak-galak. He he
he...!" celetuk seorang penjudi sambil menoleh ke arah
Sekarsari. Lalu dia bergerak bangkit, setelah melempa-
ri kartunya ke atas meja, diikuti yang lain.
Kini mereka menghentikan permainan judi. Se-
mua berdiri dengan tingkah laku yang memuakkan
Sekarsari. Konyol dan kurang ajar.
"Biasanya wanita yang galak malah lebih panas
mainnya...!" seloroh orang berperut gendut dan ber-
wajah persegi dengan ikat kepala menutupi seluruh
rambutnya.
Lantas saja semua tertawa tergelak-gelak, Se-
karsari sudah tak sabar. Tiba-tiba tubuhnya menyer-
gap orang yang memegangi wanita desa. Dengan cepat
pula Sekarsari melancarkan pukulan beruntun disusul
dengan tendangan keras ke arah perut dan wajah
orang itu.
"Aaa.... Ukh...!"
Dengan gesit Sekarsari melakukan pengama-
nan terhadap wanita desa itu. Dibawanya dia menjauhi
tempat itu. Lalu Sekarsari kembali menghadapi para
penjudi.
Keenam penjudi itu menjadi marah melihat te-
mannya dipermalukan di depan orang-orang desa yang
sedang berlalu lalang.
"Bangsat! Wanita ini rupanya mau cari mam-
pus. Mau dikasih kenikmatan malah cari perkara! Se-
rang.,.!" perintah orang berpakaian lebih bagus dari
kelima lelaki lain. Rambutnya panjang melebihi bahu,
serta berikat kepala hitam yang menutupi bagian ram-
but atasnya. Bajunya lengan panjang berwarna hijau
tua, celana hitam dan ikat pinggang lebar dari kulit. Di
pinggangnya terselip golok panjang.
Lima penjudi itu serentak menyerang Sekarsari
dengan membacokkan golok masing-masing. Namun
Sekarsari cepat meloncat seraya mencabut pedangnya.
Wanita itu hinggap di atas meja judi.
Wut! Wut...!
Lima batang golok segera membabat kaki Se-
karsari. Sekarsari kembali melenting ke udara sambil
menendang dengan sepasang kakinya ke arah dua
orang yang berada di kiri dan kanannya.
Buk! Buk..!
"Hukh!"
"Akh...!"
Kedua lelaki yang terkena tendangan Sekarsari
terhuyung dua tombak ke belakang. Sekarsari berdiri
tegak kembali di atas meja judi tadi dengan senyum
mengejek
"Ayo..., maju kalian semua! Kau juga!" tantang
Sekarsari sambil menunjuk ke arah orang berbaju hi-
tam yang sejak tadi hanya melihat kawannya berta-
rung melawan Sekarsari.
Melihat semua itu, Sena yang masih berdiri
tempatnya hanya cengengesan sambil menggaruk ga-
ruk kepala.
"Boleh juga ilmu silat perempuan misterius ini"
gumam Sena pada diri sendiri.
Sementara itu pemimpin para penjudi yang
berbaju hijau, telah ikut menyerang Sekarsari dengan
menebaskan golok panjangnya dengan cepat. Batok
kepala Sekarsari pasti akan tertebas, jika dia terlambat
mengelak
"Edan!" maki Sekarsari sambil bersalto ke bela-
kang. Lalu dia kembali berdiri. Dan tanpa menunggu
lama, Sekarsari balik menyerang dengan sabetan pe-
dangnya. Secepat kilat senjatanya membabat ke tubuh
lawan. Wajah orang yang berikat kepala hitam bagai
bajak laut itu langsung pucat.
Melihat pemimpinnya dalam keadaan genting,
kelima kawannya kembali menyerang Sekarsari den-
gan golok. Sekarsari yang sudah benar-benar muak
dengan orang-orang keparat itu segera memapaki se-
rangan lawan. Dengan mempermainkan pedangnya se-
demikian rupa, dia menangkis golok-golok yang di-
arahkan kepadanya.
Trang! Trang...!
Pedang dan golok beradu, hingga menciptakan
pijaran api. Sementara golok di tangan kelima lawan
patah, lalu terlepas dari genggaman mereka. Mendapa-
ti kenyataan itu, kelima penjudi yang bertampang se-
ram dan buruk itu kaget bukan kepalang. Kelimanya
saling pandang. Mereka tampak mulai gentar. Perla-
han-lahan mereka melangkah mundur seraya meman-
dang Sekarsari yang berdiri dengan tertawa mengejek
"Ayo, maju. Atau aku yang maju untuk meme-
lukmu! Katanya tadi kalian ingin menikmati tubuhku,
ayo...!" ujar Sekarsari sinis.
Kelima penjudi tadi tak menjawab. Mereka ter-
paku.
Tiba-tiba lelaki berbaju hijau tanpa diduga me-
nyerang Sekarsari dari belakang. Namun Sekarsari ru-
panya sudah menduganya. Dengan cepat tubuhnya
me-loncat ke udara, lalu berbalik arah sambil meng-
hunus pedangnya. Dan ditebasnya pedang tersebut ke
dada lawan dengan cepat.
Sret! Cras!
"Aaakh...!"
Orang berbaju hijau memekik. Dadanya ter-
sayat. Belum sempat lawan balik menyerang, Sekarsari
sudah menendang telak ke dada dan wajah orang ber-
baju hijau itu. Kembali lawan memekik dengan tubuh
terpental tiga tombak ke belakang. Tubuhnya langsung
membentur meja judi.
Brak!
Orang itu tak berkutik lagi. Sementara itu, ke-
lima kawannya berusaha melarikan diri. Namun Pen-
dekar Gila segera menghadang mereka.
"Hei, kalian belum meminta maaf pada wanita
itu. Cepat kembali!" perintah Sena penuh wibawa.
Kelima orang yang belum mengenal Sena, me-
nurut saja seperti anak sapi. Kini orang-orang yang
semula ditakuti penduduk desa, tak ubahnya seperti
tikus.
Sena hanya cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala memandangi kelima orang yang berjalan ke
arah Sekarsari sambil menatap lelaki berbaju hijau
yang masih pingsan dengan darah mengucur dari mu-
lutnya. Sedangkan dadanya membiru akibat tendang-
an Sekarsari tadi.
Sekarsari menoleh ke arah Sena. Sena membe-
rikan isyarat Sekarsari mengangguk. Lalu kembali me-
lihat kelima lelaki yang terbungkuk-bungkuk mende-
katinya.
"Hei! Cepat kalian ke sini!" bentak Sekarsari
"Kalian sudah membuat penduduk desa ini ketakutan
dan menderita. Kini kalian harus menerima ganjaran!"
"Ampun... ampuni kami. Kami tidak akan ber-
buat buruk lagi...," ratap lelaki bermata satu. Diikuti
teman-temannya.
"Kau tadi yang mengganggu wanita itu?! Mata-
mu yang tinggal satu itu lebih baik ku butakan seka-
lian, biar kau tidak dapat melihat tubuh wanita yang
montok dan cantik..!" ancam Sekarsari sambil meng-
hunuskan pedangnya ke mata lelaki bermata satu.
Kontan lelaki itu menyembah bersujud di kaki Sekar-
sari.
"Ampun... ampuni saya.... Ampuni saya. Saya
berjanji tidak akan mengulangi lagi," rengeknya den-
gan tubuh gemetaran, karena ujung pedang Sekarsari
masih berada di dekat matanya. Peluh membasahi wa-
jah lelaki itu.
"Ha ha ha.... Dasar lelaki kerdil! Hei, sekarang
aku tanya, siapa yang menyuruhmu memeras orang
desa dan berbuat seenak udel mu di sini?!" bentak Se-
karsari kemudian.
Sementara itu lelaki berbaju hijau mulai sadar.
Dengan meringis dia berusaha bangkit, namun tubuh-
nya masih terasa sakit. Tapi ketika melihat Sekarsari
mengancam kawannya, secara diam-diam dan licik dia
ingin mengambil kesempatan itu untuk menyerang Se-
karsari dari belakang. Dengan cepat dia bangkit dan
membabatkan golok panjangnya ke leher Sekarsari.
Namun belum sempat pedang itu mendarat di leher
Sekarsari....
"Aaa...!"
Sekarsari kaget dan berbalik sambil melompat
mundur selangkah. Terlihatlah tubuh orang yang hen-
dak membokongnya mengejang dengan mata melotot.
Setelah itu dia tewas.
Sekarsari memandang Sena. Pemuda yang di-
pandang hanya cengar-cengir sambil menggaruk-garuk
kepala. Lalu dia melangkah menuju kedai kopi.
Sekarsari menghela napas panjang. Ia tahu ka-
lau Sena yang menyelamatkan jiwanya. Kemudian tu-
buhnya berbalik ke arah kelima orang tadi.
"Pergi kalian! Katakan pada pemimpin kalian,
bahwa aku menunggu di desa ini. Cepat pergi atau ku-
bunuh kalian!" perintah Sekarsari keras. Kontan keli-
ma orang itu kabur bagai dikejar setan, keluar dari
Desa Tegal Sari.
Pemilik kedai dan orang-orang yang melihat ke-
jadian tadi tampak kagum pada kehebatan Sekarsari.
Tapi mereka tidak berani menunjukkan kegembiraan.
Terlihat dari wajah mereka yang tegang, seperti ada se-
suatu yang membuat mereka takut
"Terima kasih. Kau telah menyelamatkan jiwa-
ku," ucap Sekarsari ketika sudah berada di dekat Se-
na.
Pendekar Gila tak menjawab. Dia tetap diam
sambil cengar-cengir, membuat Sekarsari merasa agak
kesal karena terima kasihnya seolah tidak ditanggapi
Sena. Tapi akhirnya Sekarsari mengerti sifat Sena yang
aneh dan terkadang seperti orang gila itu.
"Sekarang apa rencana kita selanjutnya? Apa-
kah kita perlu tinggal di sini untuk satu-dua hari?"
tanya Sekarsari pada Sena.
Sena tak langsung menjawab. Dia hanya me-
mandang Sekarsari demikian rupa. Sekilas terbayang
wajah Mei Lie yang sangat dikasihi dan dicintainya.
Sena tersenyum sendiri.
Melihat senyum Sena yang begitu manis, Se-
karsari jadi mengerutkan kening. Justru dia yang me-
rasa risih. Wajahnya jadi bersemu merah. Kepalanya
ditundukkan.
"Kenapa kau memandangku begitu, Sena?"
tanya Sekarsari perlahan.
Sena yang mendengar pertanyaan perempuan
itu jadi tersentak dari lamunannya.
"Oh.... Apa kau bilang tadi... He he he...!" Sena
balik bertanya seraya menggaruk-garuk kepala. Wa-
jahnya tampak memerah juga. Dia merasa Sekarsari
tahu apa yang sedang dipikirkannya.
Keduanya lalu diam. Sekarsari tidak menjawab
pertanyaan Sena. Dia hanya mengulum bibirnya. Bi-
birnya yang kini basah karena dikulum, nampak se-
makin menggairahkan.
"Sebaiknya kita mencari tahu tentang para pen-
judi tadi," usul Sena tiba-tiba. "Ki, siapa orang yang
menjadi kepala desa di sini?" lanjut Sena, bertanya pa-
da pemilik kedai.
"Oh, rumahnya di sebelah sana, Den. Ki Sapto
namanya. Dia seorang muslim yang taat beribadah.
"Terima kasih, Ki. Permisi...," ucap Sena setelah
membayar pemilik warung itu.
Setelah Sena dan Sekarsari berlalu, penduduk
Desa Tegal Sari mulai ramai membicarakan keduanya.
Mereka pada umumnya merasa senang dengan kehadi-
ran Sena dan Sekarsari. Penduduk desa itu memang
sangat membutuhkan orang-orang semacam mereka.
Kalau tidak, ketenangan tak akan kunjung datang.
Mereka akan selalu was-was dan ketakutan setiap
saat. Sebab, orang-orang semacam penjudi-penjudi ta-
di akan datang lagi setiap waktu.
Sena dan Sekarsari akhirnya bertemu dengan
Ki Sapto, Kepala Desa Tegal Sari. Mereka dipersilakan
masuk oleh Ki Sapto yang sebagian rambutnya telah
memutih. Dengan blangkon dan berbaju lengan pan-
jang serta kain seperti layaknya orang Jawa, Ki Sapto
menerima Sena dan Sekarsari dengan ramah.
"Silakan, silakan... !" sambut Ki Sapto.
"Terima kasih, Ki," jawab Sekarsari perlahan.
Setelah mereka duduk, barulah Ki Sapto menje-
laskan keadaan Desa Tegal Sari.
"Mereka memang orang-orang biadab, tak ada
orang lain yang dapat melawan mereka. Aku sendiri
bukannya tidak berani.... Tapi, percuma saja menen-
tang. Mereka didalangi oleh manusia yang berilmu
tinggi. Aku tidak mau penduduk desa ini dibantai....
Itu sebabnya selama ini aku hanya bisa menahan sakit
di dada. Rasanya aku sudah tidak bisa menangis lagi
jika mendengar atau melihat gadis-gadis desa ini dicu-
lik untuk dijadikan persembahan manusia iblis itu."
"Persembahan? Siapa manusia iblis yang Ki
Sapto maksud?" Sena tampak sangat ingin tahu. Begi-
tu pula Sekarsari. Wajah wanita itu mulai sedikit te-
gang.
"Siapa lagi kalau bukan Rekso Bagaspati. Ga-
dis-gadis itu dipersembahkan sebagai tumbal ilmu se-
tannya. Setiap bulan purnama manusia iblis itu mela-
kukannya. Jika dia tidak mendapatkan gadis-gadis
yang masih perawan, ilmunya akan hilang...," jawab Ki
Sapto, setelah menghela napas sejenak
"Tak salah lagi. Pasti ini berkaitan dengan ka-
lung keramat keparat itu!" potong Sekarsari penuh ge-
jolak kemarahan. "Di mana sarang manusia iblis itu,
Ki?"
"Aku tidak bisa menjelaskan. Manusia itu bagai
setan. Tidak seorang pun yang tahu di mana sarang-
nya.... Inilah yang merepotkan," jawab Ki Sapto sambil
memegangi keningnya. Lelaki setengah baya itu tam-
paknya sedang berpikir.
Sekarsari menarik napas panjang. Kepalanya
menoleh ke arah Sena yang tengah menggaruk-garuk
kepala.
Ki Sapto terdiam, seakan digelayuti kekhawati-
ran setelah memberi tahu semua hal tadi pada Sena
dan Sekarsari. Sena tahu, apa yang sedang dipikirkan
Ki Sapto.
"Ki Sapto tidak usah takut. Tak ada orang yang
akan mengganggu Aki," tutur Sena pada Ki Sapto.
"Kalau diizinkan, biarlah malam ini kami men-
ginap di rumahmu, Ki," timpal Sekarsari, memutuskan
dengan tiba-tiba.
Sena tentu saja menjadi tersentak. Dia sempat
mendelik ke arah Sekarsari yang dianggapnya lancing.
Sekarsari hanya mencibir pada Sena.
"Ooo.... aku malah lebih senang kalau kalian
berdua mau bermalam di rumah yang jelek ini...," ja-
wab Ki Sapto penuh kegembiraan. "Ayo, silakan dimi-
num Den..."
"Terima kasih, Ki...," kata Sekarsari sambil
menganggukkan kepala.
Sena menarik napas panjang. Dia menggeleng-
geleng sambil menggaruk-garuk kepala.
Malam pun tiba perlahan. Sepi mencekam hari
yang kian kelam. Suasana sangat angker. Tak seorang
pun berani keluar rumah. Sebagian lampu rumah su-
dah dipadamkan. Padahal hari baru lepas magrib.
Angin bertiup kencang dari arah hutan di sebe-
lah barat Desa Tegal Sari. Disertai lolongan anjing hu-
tan yang melengking panjang.
Sena terlihat berada di serambi rumah Ki Sap-
to. Pemuda itu duduk bersila di atas sebuah balai-balai
beralaskan tikar yang agak usang. Matanya menatap
tajam ke depan. Seperti patung, ia tak bergerak sedikit
pun. Rupanya Sena sedang memusatkan pikirannya.
Dari pintu tampak Sekarsari muncul. Sesaat
wanita itu berhenti memandangi Sena yang sedang
bersemadi. Sekarsari tak ingin mengganggu. Dia sen-
gaja menunggu sampai Sena selesai.
Setelah Sena selesai bersemadi, barulah Sekar-
sari mendekati dan duduk di sebelahnya. Sena meng-
geser tubuhnya agak jauh dari Sekarsari. Namun Se-
karsari tidak tersinggung, karena dia tahu kalau Sena
memang tidak seperti lelaki lain.
"Kenapa kau belum juga tidur?" tanya Sena da-
tar.
"Belum ngantuk. Kau sendiri...?" Sekarsari ba-
lik bertanya. Suaranya terdengar manja.
Sena makin kesal. Ingin rasanya dia pergi me-
ninggalkan perempuan itu, tapi dia tidak mau melukai
perasaan wanita. Jadi dia hanya bisa menahan hati
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Penduduk desa ini rupanya begitu takut den-
gan Rekso. Lihat, semua pintu rumah tertutup rapat.
Sepi, sepi sekali. Mungkinkah Rekso malam ini akan
muncul seperti ucapan Ki Sapto tadi sore?" Sekarsari
langsung bicara soal Desa Tegal Sari yang dilanda ben-
cana yang diciptakan Rekso Bagaspati dan anak
buahnya.
"Kita tunggu saja. Tapi menurut firasat ku,
Rekso tak mungkin muncul. Dia akan muncul pada
bulan purnama nanti," jawab Sena.
"Kalau begitu, sekitar empat hari lagi. Tapi pe-
rasaanku berkata lain. Dia akan muncul malam ini.
Karena dia tahu kita sedang berada di sini untuk men-
carinya," ujar Sekarsari mantap dan penuh keyakinan.
Baru saja Sekarsari selesai berkata, tiba-tiba
terlihat selarik sinar kemerahan meluncur dari ujung
desa sebelah barat. Sena segera bangkit. Demikian pu-
la Sekarsari. Malah Wanita itu hendak bergegas pergi.
Namun Sena cepat menahannya sambil memberi isya-
rat agar Sekarsari duduk kembali.
"Aaa...!"
Tiba-tiba saja terdengar jeritan yang menge-
jutkan Sena dan Sekarsari dari dalam rumah Ki Sapto.
Sena segera melesat masuk ke dalam rumah, disusul
oleh Sekarsari.
Apa yang mereka lihat? Tubuh istri Ki Sapto
kaku membiru. Sedangkan Ki Sapto tampak tertunduk
menghadapi mayat istrinya. Terdengar desah napas
dan isak tangis Ki Sapto yang masih membelakangi
Sena dan Sekarsari.
Tanpa curiga apa-apa, Sekarsari segera mende-
kati Ki Sapto. Baru saja dia menyentuh punggung lela-
ki setengah baya yang dikenal sebagai muslim yang
taat beribadah, mendadak dia berbalik dan menyerang
Sekarsari.
Wajah Ki Sapto tidak lagi terlihat lembut dan
soleh. Wajahnya telah berubah garang, dengan mata
merah serta gigi yang dibasahi darah.
Sekarsari segera terkena pukulan dan terpental
tiga tombak ke belakang. Tubuhnya membentur dind-
ing rumah dari bilik hingga jebol. Sena yang melihat
hal itu, dengan cepat menghadang Ki Sapto yang hen-
dak menyerang Sekarsari. Dengan pukulan beruntun,
Pendekar Gila menghantam dada Ki Sapto yang ru-
panya telah dirasuki roh Rekso Bagaspati.
Rupanya, sinar merah tadi yang menjadi pe-
nyebab, bisik Sena dalam hati sambil terus melancar-
kan serangan.
Satu tendangan kaki kanan Sena tepat menge-
nai ulu hati Ki Sapto. Lelaki itu mengerang. Suara
yang terdengar bukan seperti manusia. Erangannya
bagai erangan makhluk halus yang melengking aneh.
Sena segera mengumpulkan tenaga dalamnya untuk
menghadapi setiap kemungkinan.
Kesiagaan Sena ternyata beralasan. Tiba-tiba
jari telunjuk Ki Sapto retak-retak dan mengeluarkan
selarik sinar merah yang meluncur ke arah Sena. Pen-
dekar Gila cepat memapak sinar itu dengan menghen-
takkan kedua telapak tangannya.
"Heaaa...!"
Blar! Blar!
Terdengar ledakan yang dahsyat. Tubuh Sena
terhuyung selangkah ke belakang. Dan Ki Sapto tam-
pak pucat. Kemudian secara tiba-tiba tubuhnya men-
jadi biru. Bibirnya menyeringai sebelum tubuhnya am-
bruk. Bersamaan dengan itu, terdengar gelak tawa dari
seseorang. Dan Pendekar Gila segera berbalik, ternyata
Rekso Bagaspati telah menampakkan wujudnya yang
asli. Dengan pongah manusia iblis itu berdiri meman-
dang Sena dengan tajam. Tangan kirinya tampak me-
nenteng tubuh Sekarsari.
Sena terbelalak melihat Sekarsari dalam ceng-
keraman Rekso Bagaspati.
"Ha ha ha.... Ternyata Pendekar Gila yang ter-
sohor di rimba persilatan sangat mudah tertipu oleh
ku. Ha ha ha...! Kini sudah saatnya kau mati, Pende-
kar Gila. Dan aku akan lebih leluasa melaksanakan
keinginan untuk menguasai jagat. Ha ha ha...!" ejek
Rekso Bagaspati sambil tertawa tergelak-gelak.
Pendekar Gila hanya menggaruk-garuk kepala.
Meski begitu dia tetap waspada dan siap melancarkan
serangan ke arah Rekso Bagaspati. Tapi sebelum Pen-
dekar Gila melancarkan serangan, dari tubuh Rekso
Bagaspati tiba-tiba bermunculan manusia-manusia
aneh mirip mayat hidup dengan tubuh dan wajah ber-
lumuran darah.
Sena agak terkejut menyaksikan lima orang
mengerikan keluar dari tubuh Rekso Bagaspati. Gelak
tawa Rekso Bagaspati masih terdengar. Seakan meng-
ejek dan ingin membuyarkan perhatian Pendekar Gila.
Namun Pendekar Gila tak menghiraukan.
Dengan gerakan cepat, Pendekar Gila menge-
lakkan serangan makhluk jelmaan itu. Tubuhnya ber-
salto ke udara, disusul dengan pukulan dan tendan-
gannya.
Des! Des!
Rekso Bagaspati jejadian itu terpekik ketika se-
rangan Sena mengenai sasaran. Namun sesaat kemu-
dian mereka kembali menyerang Sena dari semua
arah. Pendekar Gila segera mengerahkan kembali pu-
kulan dan tendangannya sambil melompat
"Heaaa...!"
Des, des...!
Herannya makhluk-makhluk itu tetap kebal
terhadap pukulan dan tendangan Sena. Tanpa terasa,
pertarungan telah berlangsung jauh di luar rumah Ki
Sapto.
Kini Pendekar Gila mengerahkan tenaga da-
lamnya, setelah bersalto menjauhi kelima makhluk itu.
Dengan gerakan cepat Sena mengangkat kedua tan-
gannya, lalu langsung menghentakkan tangan kanan-
nya ketika lawan-lawannya menyerang bersamaan.
"Heaaa...!"
Selarik sinar merah membara yang keluar dari
tangan Pendekar Gila menghajar kelima makhluk jeja-
dian itu.
Glarrr...!
"Aaarghhh...!"
Makhluk-makhluk jejadian itu kontan saja ter-
bakar. Sesaat kemudian mereka hilang, berganti den-
gan asap ungu yang bergulung di depan Sena.
Gelak tawa Rekso Bagaspati kembali terdengar
bagai mengguncang bumi.
"Ha ha ha... Pendekar Gila! Kali ini kau berhasil
mengalahkan aku, tapi kau tak akan bisa membunuh-
ku...! Ha ha ha...!"
Disertai hembusan angin yang kencang, suara
Rekso Bagaspati perlahan-lahan menghilang. Keadaan
kembali sepi.
Setelah itu Pendekar Gila melesat kembali ke
rumah Ki Sapto. Ternyata rumah itu telah terbakar
habis. Sementara itu orang-orang desa menjerit, seraya
berhamburan ke luar rumah, karena rumah mereka
tiba-tiba ikut terbakar.
Perempuan, lelaki yang muda dan tua menjerit
atau menangis minta tolong. Sena sangat terenyuh me-
lihat semua kejadian tersebut. Segera dia membantu
penduduk untuk memadamkan api. Dengan ilmunya,
Sena akhirnya dapat memadamkan api yang memba-
kar rumah-rumah penduduk Desa Tegal Sari.
"Terima kasih, Den. Terima kasih.... Kalau tidak
ada Aden, mungkin kami sudah tak memiliki apa-apa
lagi," ucap seorang lelaki tua sambil menggendong cu-
cu perempuannya yang bertelanjang dada.
"Sudahlah, Ki. Sekarang tenangkan dulu hati-
mu. Biarlah saya yang akan membereskan rumahmu,"
ujar Sena tenang. Lalu tangannya menggaruk-garuk
kepala. Setelah itu, dia berlalu dari tempat berkeru-
mun para penduduk desa untuk melanjutkan perjala-
nannya mencari Rekso Bagaspati.
Seorang lelaki muda tiba-tiba mengejar Sena.
Setelah dekat, tubuhnya membungkuk memberi hor-
mat.
"Maaf, Tuan Pendekar.... Nama saya Guntoro....
Saya ingin memberitahukan sesuatu pada Tuan Pen-
dekar," ujar lelaki muda yang mengaku bernama Gun-
toro itu.
Sena mengerutkan kening seraya menatap ta-
jam pemuda itu.
"Ada apa?" tanya pendek.
"Saya diutus seseorang untuk menyampaikan
pesan pada Tuan Pendekar."
"Pesan? Dari siapa?" tanya Sena heran.
"Dia tidak menyebutkan namanya. Tapi ini pe-
sannya," kata Guntoro sambil mengulurkan secarik
surat yang terbuat dari daun kering.
Sena mengambil surat itu dari tangan Guntoro.
Dibacanya isi surat itu.
Pendekar Gila! Kalau kau ingin temanmu sela-
mat, kau harus menemuiku besok di Bukit Tengkorak
menjelang magrib.
Rekso Bagaspati
Selesai membaca surat, Sena menarik napas
dalam-dalam sambil menggaruk-garuk kepala. Tapi
begitu hendak berkata dengan pemuda yang membaca
surat itu, si pemuda yang bernama Guntoro tadi
menghilang entah ke mana. Sena jadi kaget. Dia me-
mandang ke sekeliling tempat itu dengan tajam, tapi
pemuda itu tak terlihat olehnya.
Sena segera berkelebat meninggalkan Desa
Tegal Sari. Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', Sena sudah
berada di suatu tempat yang asing baginya. Tempat
tersebut seakan tidak berpenghuni. Sedangkan tanah-
nya gersang. Batu-batu cadas yang menjulang tinggi
menambah keangkeran dan kesan gersang daerah itu
7
Sena terus melangkah menuruni jalan berdebu
di antara tebing cadas. Hari semakin sore ketika Sena
memasuki sebuah desa kecil yang porak-poranda.
Langkahnya dihentikan. Dipandanginya sekeliling desa
kecil itu. Yang tampak hanya serakan mayat-mayat di
sana-sini. Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Ia menggelengkan kepala.
"Edan! Ini pasti perbuatan Rekso dan antek-
anteknya...! Huh...!" rutuk Sena.
Asap mengepul hampir di seluruh desa. Entah
apa nama desa itu, Sena sendiri tak mengenalnya. Se-
na kembali melangkah perlahan. Diperhatikannya se-
sosok mayat perempuan dengan seorang anak kecil
yang mati secara mengerikan di sebelahnya. Muka dan
dadanya hancur. Darah di tubuh keduanya telah men-
gering.
"Keparat..! Aku harus cepat membinasakan ma-
nusia iblis itu!" desis Sena penuh luapan kemarahan.
Tiba-tiba sebuah gerobak besar muncul dari
ujung desa sebelah utara. Sena segera waspada. Pan-
dangannya tak lepas pada gerobak yang ditarik dua
ekor kuda.
Binatang-binatang itu tampak letih. Itu bisa
terlihat ketika kedua kuda penarik gerobak berhenti di
depan sebuah reruntuhan rumah di ujung jalan desa
itu.
Sena cepat mendekati gerobak itu. Kusirnya
seorang lelaki muda beralis tebal dan berbibir dower
turun dari gerobak. Mata sebelah kanannya rusak. Dia
tampak acuh, seakan tak melihat Sena yang berada se-
tengah tombak dari gerobak
"Kisanak. Barang apa yang kau bawa?" tanya
Sena ingin tahu.
Kusir yang ditanya hanya angkat bahu sambil
terus melangkah.
"Kalau mau tahu, periksa saja," ucapnya sera,
tanpa memandang Sena.
Sena mengerutkan kening, lalu menggaruk-
garuk kepala. Orang ini aneh! Gumam Sena dalam ha-
ti. Lalu didekatinya gerobak itu untuk diperiksa. Tan-
gannya segera menyingkap sebuah karung. Sena terke-
jut. Matanya membelalak.
"Mayat manusia!" desisnya.
Pendekar Gila menoleh ke arah di mana kusir
tadi berada. Namun kusir gerobak itu sudah lenyap
entah ke mana. Suasana jadi makin mencekam. Ha-
tinya jadi sedikit was-was.
"Kurang ajar, aku telah masuk daerah kekua-
saan Rekso. Dia ingin mencoba ilmu setannya... Edan!"
maki Sena setengah berteriak.
Sena cepat melesat meninggalkan tempat itu.
Baru saja kakinya mendarat di tanah, tiba-tiba bebe-
rapa benda tajam berbentuk anak panah meluncur ke
arahnya. Sena yang sudah siap menghadapi segala
kemungkinan dengan cepat memapaki senjata-senjata
beracun itu. Kedua telapak tangannya dihentakkan
hingga ajian 'Si Gila Melebur Gunung Karang' meng-
hantam senjata-senjata itu.
Glar! Glar!
Kilatan cahaya merah melebur senjata-senjata
itu hingga hancur. Bersamaan dengan itu, terdengar
pekikan panjang di kejauhan. Disusul dengan jatuh-
nya lima orang dengan tubuh terbakar.
Sena mundur beberapa langkah dan meman-
dangi lima tubuh tak dikenal. Rupanya merekalah pe-
nyerang Sena tadi. Ketika senjatanya hancur oleh se-
rangan balik Sena, pemiliknya pun terbakar dan mati.
Pendekar Gila menarik napas panjang-panjang
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Antek-antek Rekso lagi. Orang-orang ini sudah
dirasuki ilmu setan Rekso, hingga menjadi buas dan
tak memiliki perasaan lagi," gumam Sena pada diri
sendiri.
Sementara itu hari mulai gelap. Sena kembali
melanjutkan perjalanannya untuk memenuhi tantan-
gan Rekso Bagaspati sekaligus menyelamatkan Sekar-
sari. Angin berhembus kencang menerpa wajah Sena
yang makin tegang dan keras. Tak ada senyum sedikit
pun di bibirnya. Dia hanya memikirkan bagaimana ca-
ra melenyapkan Rekso Bagaspati, manusia setengah
setan itu.
***
Di dalam goa tempat Rekso Bagaspati bermu-
kim tampak sedang diadakan pesta menyambut ke-
berhasilan Rekso Bagaspati membawa Sekarsari. Pesta
berlangsung cukup meriah.
Lima gadis berpakaian minim sedang menari.
Tariannya sangat erotis dan berbau mesum. Sedang-
kan Ronggo Lawe dan beberapa orang lain asyik berpa-
sangan dengan wanita-wanita muda yang hanya men-
genakan kain panjang dan penutup dada tipis berwar-
na hitam.
Tingkah laku anak buah Rekso Bagaspati su-
dah tak karuan. Hampir di setiap sudut pasangan lela-
ki dan wanita bergumul dan bercumbu secara bebas.
Sedangkan Rekso Bagaspati yang sedang menikmati
tarian erotis, ditemani oleh empat wanita muda yang
berpakaian minim juga. Tubuh setengah tiduran, se-
mentara empat wanita itu mengerumuninya. Sebentar-
sebentar dia merangkul dan menciumi wanita-wanita
itu dengan rakus sambil sesekali meneguk arak.
Di tengah-tengah arena tari terdapat semacam
sumur berisi darah manusia yang telah menjadi tum-
bal ilmu setan Rekso Bagaspati. Di sebelah kanan ter-
lihat Sekarsari telentang dengan kedua tangan dan ka-
ki terikat. Pakaiannya sudah tampak lusuh dan ter-
koyak-koyak.
Tarian terus berjalan hingga tengah malam. Se-
bagian dari mereka sudah mabuk, namun tarian ma-
kin erotis dan berani. Orang-orang yang bermesraan
sudah tak menghiraukan lagi tarian itu. Mereka asyik
bergumul di kamar-kamar goa yang beralaskan de-
daunan kering.
Rekso Bagaspati mendekati Sekarsari yang ma-
kin lemah keadaannya.
"Kau ternyata amat cantik dan menawan, Se-
kar...," ucap Rekso Bagaspati sambil menggerakkan
tangannya ke tubuh Sekarsari. Kemudian dengan ra-
kus leher Sekarsari diciuminya.
Sekar yang tidak bisa berbuat apa-apa lagi
hanya pasrah dalam tangis.
"He he he.... Kalau kau menangis, aku makin
bernafsu untuk segera menikmati tubuhmu yang ke-
nyal ini. He he he...! Tapi belum saatnya. Ha ha ha...!"
Kembali Rekso Bagaspati menggerayangi tubuh
Sekarsari, hingga wanita cantik itu menggelinjang.
"Phuih!" Sekarsari meludahi wajah Rekso Ba-
gaspati.
Orang yang diludahi tidak marah. Tangannya
malah kian ganas menggerayangi tubuh Sekarsari
membuat wanita itu terus menggelinjang.
"Auw...!"
Sekarsari memekik tertahan dan berusaha be-
rontak, namun sia-sia. Rekso Bagaspati yang makin
bernafsu menahan tubuh Sekarsari agar tidak berge-
rak, dan dia mulai menciumi tubuh Sekarsari sepuas
puasnya.
"Oh, Gusti. Beri aku kekuatan. Aku bersumpah
akan mencincang tubuh manusia laknat ini," rintih
Sekarsari dalam hati.
Tiba-tiba bahu Rekso Bagaspati ditepuk seseo-
rang dari belakang. Rekso Bagaspati tersentak dan
langsung berbalik.
"Bangsat! Ada apa...?!" bentak Rekso Bagaspati
dengan mata melotot Ternyata Ronggo Lawe yang me-
nepuknya.
"Pendekar Gila telah masuk perangkap kita
Ayah," lapor Ronggo Lawe pada Rekso Bagaspati
"Ha ha ha.... Sebentar lagi Pendekar Gila akan
mampus! Ronggo, kau habisi pemuda gila itu. Jangan
sampai gagal. Cepat!" perintah Rekso Bagaspati.
Ronggo Lawe segera berlalu dengan wajah yang
terlihat setengah mabuk.
Setelah Ronggo Lawe tidak terlihat lagi, Rekso
Bagaspati kembali melirik Sekarsari.
"Kau masih akan kusimpan untuk nanti. Sete-
lah Pendekar Gila mampus, aku baru akan menikmati
tubuhmu yang bahenol ini. Ha ha ha...!" kata Rekso
Bagaspati. Kemudian dia berlalu sambil terus tertawa
tergelak-gelak.
***
Sesosok bayangan hitam berkelebat di antara
pepohonan hutan belantara. Malam mulai akan ber-
ganti pagi. Saat itu suasana di sekitar sarang Resi Ba-
gaspati tampak sepi. Bayangan hitam itu terus melesat
bagai anak panah yang dilepas dari busurnya. Sesekali
bayangan hitam itu berhenti sebentar, sepertinya men-
gamati keadaan di sekelilingnya. Setelah itu dia kem-
bali melesat cepat bagai terbang.
Ketika sosok bayangan itu menubruk salah sa-
tu ranting pohon beringin, melesatlah bambu-bambu
runcing ke tubuhnya.
Zing! Zing..!
Rupanya orang itu memilik panca indera kee-
nam yang kuat serta ilmu yang tinggi. Hanya dalam
waktu singkat, dia dapat mengelak dari hunjaman je-
bakan itu.
"Keparat! Rupanya hutan ini banyak perang-
kap! Aku harus lebih waspada" dengus orang itu. Lalu
tubuhnya kembali melesat bagai anak panah. Orang
itu terus ke arah goa tempat tinggal Rekso Bagaspati.
Orang itu tak lain Pendekar Gila.
Sena mengamati tempat itu, dan merasakan
keganjilan dengan indera keenamnya yang begitu ta-
jam. Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala.
"Hm.... Rupanya Rekso ingin menjebakku. Dan
dia tahu kalau aku ingin datang lebih awal dari renca-
na dalam surat itu...," gumam Sena lirih.
Selesai berpikir, Sena cepat melesat ke arah ja-
lan menuju kediaman Rekso Bagaspati. Namun tiba-
tiba saja dua buah senjata rahasia berupa bintang se-
besar piring kecil meluncur ke arah Pendekar Gila.
Swing! Swing!
"Heaaat...!"
Sena melejit dengan bersalto ke udara, dibaren-
gi hentakan tangan kanannya ke arah senjata rahasia
tadi. Selarik sinar keperakan langsung menghantam
senjata-senjata itu.
Wesss!
Senjata itu berbalik arah dan....
"Aaa...!"
Lengkingan dari dua orang pembokongnya
membuat Sena tertawa di udara. Setelah itu tubuhnya
kembali mendarat ke tanah.
Tak lama berselang, muncul makhluk-makhluk
aneh dari berbagai penjuru, Sena kaget. Dia segera
mengerahkan ilmunya. Ditariknya napas dalam-dalam
dan mulai siap menyerang.
Makhluk-makhluk ini tak boleh diberi hati. Aku
harus segera membereskan mereka! Tekad Sena dalam
hari. Langsung saja Pendekar Gila melancarkan seran-
gan jarak jauh. Kembali selarik sinar keperakan me-
luncur dari kedua telapak tangannya, lalu menghan-
tam makhluk-makhluk aneh itu.
Blarrr!
Makhluk-makhluk itu terbakar oleh pukulan
'Inti Api' yang digabung dengan 'Inti Bayu'. Tubuh me-
reka kemudian meleleh bagai lilin, dan akhirnya men-
jadi abu.
Bersamaan dengan itu angin kencang menyapu
tubuh Pendekar Gila. Dia menahan dengan mengge-
rakkan kedua tangannya ke depan.
"Hm.... Asap ini mengandung racun. Bang-
sat...!" geramnya.
Sena segera mengeluarkan ajian 'Pelebur Ra-
cun’ disertai ilmu 'Si Gila Membelah Angkasa'. Maka
terjadilah perang yang dahsyat antara ilmu Pendekar
Gila dengan ilmu Ronggo Lawe yang belum menam-
pakkan diri
Darrr!
Ledakan dahsyat terjadi setelah sinar kepera-
kan beradu dengan sinar merah kebiru-biruan. Ber-
samaan dengan itu sesosok tubuh yang dikenal seba-
gai Ronggo Lawe muncul. Dengan beringas dia lang-
sung menyerang Pendekar Gila.
Serangkaian angin menyapu ganas ke arah Se-
na. Sena segera mengelak dengan memiringkan tu-
buhnya ke belakang, disusul oleh tendangan kaki ka-
nannya ke dada Ronggo Lawe, sambil bersalto ke bela-
kang. Ronggo Lawe tahu akan serangan itu. Dia sigap
mengelak dengan melompat setombak ke belakang.
Pada saat itulah, Pendekar Gila dengan gerakan yang
sukar diikuti mata, melesat ke arah Ronggo Lawe den-
gan dua pukulan hebat.
Duk! Duk!
"Akh...! Hukh...!"
"Akh...! Hukh...!"
Tubuh Ronggo Lawe terpental tiga tombak. Mu-
lutnya kini menyemburkan darah kental. Matanya me-
lotot garang.
"Kau tak akan bisa lolos, Pendekar Gila!
Heaaa...!" bentaknya seraya bangkit untuk menyerang
kembali.
8
Sena berkelebat menghindari serangan Ronggo
Lawe yang mulai tak terarah serta penuh emosi. Se-
raya cengengesan, Sena menepuk kedua tangannya la-
lu mengejek Ronggo Lawe.
"Ha ha ha.... Manusia jelek! Kau ini berkelahi
seperti orang mabuk! Mana bisa melawanku...."
Ronggo Lawe sekali lagi melancarkan serangan
ke arah Pendekar Gila. Dia membuat gerakan aneh.
Kedua kakinya melebar agak ditekuk. Kedua tangan-
nya pun direntangkan ke atas. Kemudian tubuhnya
melompat dibarengi dengan teriakan nyaring.
"Heaaa...!"
Pendekar Gila yang sudah siap, segera mema-
paki serangan itu dengan tenaga dalamnya yang sem-
purna. Sena juga melompat ke udara. Dan terjadilah
pertarungan di udara beberapa saat. Keduanya saling
pukul dan tangkis. Namun dengan cerdik Sena dapat
menyarangkan pukulannya ke dada Ronggo Lawe.
Blasss!
"Aaa... ukh!" pekik Ronggo Lawe. Tubuhnya
terpental cukup jauh, lalu menimpa tanah.
Namun begitu Ronggo Lawe masih kuat bang-
kit. Sesaat Ronggo Lawe tampak mengumpulkan kem-
bali tenaga dalamnya. Dan....
"Heaaa...!"
Serangan Ronggo Lawe kini terarah kembali.
Hampir saja rusuk Sena tersodok oleh jarinya yang
menegang. Namun Sena yang memang sudah tahu
akan serangan itu segera membalas sambil meloncat,
dia melepas tendangan kaki kanan, disusul tendangan
kaki kiri.
Des! Des!
Tendangan Pendekar Gila tepat mengenai ra-
hang dan dada Ronggo Lawe. Tak pelak lagi tubuh
Ronggo Lawe terhuyung hebat lima tombak ke bela-
kang. Sena yang melihat Ronggo Lawe mulai goyah,
kembali menyerang dengan tendangan dan pukulan
bertubi-tubi. Hingga akhirnya Ronggo Lawe menyerah.
"Di mana Rekso?! Katakan cepat! Atau kupa-
tahkan lehermu," bentak Sena.
"Aku... aku... ti... tidak tahu," jawab Ronggo
Lawe lemah. Dadanya sudah hangus terbakar.
"Rupanya kau lebih suka mati!" Sena tak ber-
niat memberi ampun lagi. Dia mengangkat tangan ka-
nannya tinggi-tinggi, hendak menghantam kepala
Ronggo Lawe. Tapi....
"Tunggu...!" seru Ronggo Lawe.
Sena mengurungkan niatnya.
"Dia... dia ada di goa itu...!" kata Ronggo Lawe
dengan suara yang sudah makin melemah.
"Arah mana? Cepat katakan...!"
"Sana...," jawabnya singkat sambil menunjuk
ke arah utara.
Selesai memberi tahu, Ronggo Lawe menghem-
buskan napas terakhirnya.
Sena mencampakkan tubuh Ronggo Lawe ke
tanah. Lalu tubuhnya melesat cepat dari tempat itu.
Sena memasuki hutan belantara yang makin
angker. Pepohonan besar mengelilingi daerah itu. Se-
sekali tubuhnya melenting ke udara, bila dirasanya
ada jebakan-jebakan yang mematikan di depan.
"Setan belang. Rupanya di sekitar tempat ini
banyak perangkap yang sangat berbahaya...," rutuk
Sena.
Saat itu langit sudah membiru, tanda sang
Surya sebentar lagi akan muncul menerangi bumi. Se-
na kini sudah masuk ke dalam sarang Rekso Bagaspati
dengan ilmu menghilangnya. Ajian 'Tanpa Wujud'. Tu-
buhnya menembus dinding goa yang angker. Ketika
Sena keluar, dia telah berada di ruang yang hanya di-
terangi oleh satu obor besar di dinding goa itu.
Sementara itu Rekso Bagaspati sedang tidur
nyenyak. Tampaknya manusia iblis itu kelelahan kare-
na telah mencumbu empat wanita muda semalam sun-
tuk. Dan dia merasa yakin kalau Pendekar Gila akan
dapat diringkus oleh Ronggo Lawe dan anak buahnya.
Paling tidak musuhnya itu akan terganyang oleh jeba-
kan-jebakannya. Maka dalam dirinya tak ada rasa cu-
riga sedikit pun. Padahal Sena sudah berada di dalam
sarangnya.
Sena memasuki ruangan lain. Dengan ilmu me-
ringankan tubuh dia berjalan ringan, hingga seperti
melayang. Dilewatinya lorong yang lebarnya satu me-
ter. Di kanan dan kirinya banyak pintu-pintu. Sena
berhenti sejenak untuk memeriksa pintu-pintu itu. Da-
lam sekejap dia dapat membuka salah satu pintu.
Dilihatnya seorang lelaki dan dua wanita dalam
keadaan bugil bagai bayi-bayi yang tidur dengan pulas.
Mereka saling peluk.
Sena menarik napas panjang dan segera keluar.
Dia menggelengkan kepala dan cengengesan, lalu
menggaruk-garuk kepalanya sambil melangkah ke pin-
tu lain. Kamar lain pun tak jauh berbeda dengan ka-
mar tadi. Hanya di kamar yang ke sekian, terlihat seo-
rang wanita muda cantik telentang dalam keadaan bu-
gil. Dia dirangkul oleh dua orang lelaki berparas bu-
ruk. Kembali Sena menarik napas panjang dan bergu-
mam lirih.
"Edan! Edan...! Dunia sudah edan! Terkutuklah
kalian, Manusia-manusia Bejat!"
Semua yang dilihat Sena itu tak lain orang-
orang yang telah terkena ilmu sihir dan pengaruh se-
tan Rekso Bagaspati. Sengaja mereka dibuat menjadi
lupa diri dan tidak mempunyai perasaan.
Sena terus menyelidiki ruangan demi ruangan
sambil mencari Sekarsari. Ketika Sena memasuki se-
buah ruangan yang luas, matanya melihat Sekarsari
dalam keadaan yang menyedihkan sekali. Sena mem-
belalakkan mata.
"Ya, Gusti!" desahnya.
Cepat Sena melompat dan melepas ikatannya.
Di ruangan itu berserakan empat pasang pria dan wa-
nita yang juga dalam keadaan bugil. Mereka saling tin-
dih, menjijikkan. Sena segera menyadarkan Sekarsari
yang tampaknya pingsan karena kelaparan dan ke-
hausan.
"Sekar.... Sekar, sadarlah...," suara Sena seperti
berbisik di telinga Sekarsari.
"Akh...!" pekik Sekarsari tiba-tiba.
Sena cepat menutup mulutnya.
"Ssst...," cegah Sena seraya memberi isyarat.
Sekar masih belum sadar betul. Ia hanya terpaku me-
lihat Sena. Dia seperti tak percaya. Namun setelah Se-
na memegang pipinya dan dia pun memegang tangan
Sena perlahan, barulah Sekarsari yakin kalau orang di
depannya adalah Sena.
"Oh, Sena...," keluh Sekarsari, serak dari lirih
sekali. Dipeluknya Sena erat-erat "Terima kasih. Den-
gan apa aku harus membalas semua ini...?"
"Ssst... Sebaiknya kita cepat pergi. Kita tak
akan dapat melawan Rekso di dalam tempat ini."
Selesai berkata begitu, cepat Sena membopong
tubuh Sekarsari yang masih belum pulih benar. Tubuh
Sena melesat menembus dinding goa.
***
Setelah Sekarsari sudah pulih betul tenaganya,
Sena segera mengajak Sekarsari pergi dari tempat itu.
Namun tiba-tiba muncul seseorang menghadang mere-
ka. Bagaikan burung elang turun dari udara, orang itu
menjejak tanah di depan Sekarsari dan Sena.
Sena mengernyitkan kening ketika orang itu
makin jelas di matanya.
"Kau...?!" gumam Sena sambil menunjuk orang
yang berdiri dengan tegap. Orang yang kini berdiri di
hadapan Sena dan Sekar adalah lelaki bercaping yang
pernah bentrok dengan Sena beberapa waktu lalu.
"Kau kaget melihatku, Pendekar Muda?" tanya
lelaki bercaping dengan suara berat.
Sekarsari yang mendengar suara lelaki bercap-
ing itu menjadi berkerut keningnya. Matanya menatap
tajam pada lelaki bercaping itu.
"Siapa kau, Kisanak? Aku sepertinya mengenai
suaramu," tanya Sekarsari pada lelaki bercaping itu.
"Ha ha ha... Cah ayu ini rupanya masih ingat
dengan suaraku. Bagus, bagus...," sahut lelaki bercap-
ing sambil mengusap-usap dagunya.
Sekarsari makin penasaran. Kakinya melang-
kah lebih dekat ke depan sambil terus menatap lelaki
bercaping itu. Sena jadi agak bingung.
"Kau mengenalnya...?" tanya Sena pada Sekar-
sari
Sekarsari tak menjawab. Dia hanya meman-
dangi lelaki di depannya.
"Kalau kau mengenalku, tunjukkan wajahmu.
Atau aku yang harus membuka caping itu dengan
paksa...," ucap Sekarsari seraya bergerak hendak
menggapai caping lelaki itu. Namun belum lagi tangan
Sekarsari sampai, entah kapan lelaki itu menggerak-
kan tangannya. Dan tahu-tahu tangan Sekarsari telah
dicengkeramnya.
"He he he.... Cah ayu ini memang nakal. Minta
dihajar, ya?!"
Sekarsari yang mulai ingat pada suara itu serta
panggilan cah ayu, mendadak berubah. Kalau tadi wa-
jah Sekarsari garang dan sinis, kini menjadi cerah lalu
dengan gerakan silat yang indah, dilepasnya cengke-
raman tangan lelaki bercaping itu. Disusul dengan ge-
rakan tangan kanannya yang menyambar caping itu.
Entah kenapa lelaki bercaping itu seakan
membiarkan Sekarsari menyerangnya. Lelaki itu hanya
menangkis dengan lemah serangan Sekarsari.
Setelah caping itu terlepas dan berpindah di
tangan Sekarsari, wajah lelaki tua berambut panjang
itu terlihat jelas. Dialah Ki Kinasih, guru Sekarsari.
Lelaki setengah baya itu memiliki ilmu silat
yang cukup tinggi. Itu terlihat dari sorot matanya. Wa-
jahnya menunjukkkan kesabaran. Pembawaannya te-
nang. Namun cukup tegas bila menghadapi sesuatu
persoalan. Dan dia sangat menyayangi Sekarsari.
Sena mengerutkan kening, lalu menggaruk-
garuk kepala ketika melihat Sekarsari langsung meme-
luk, kemudian bersujud pada lelaki tua yang gagah itu.
Lelaki itu memegang bahu Sekarsari dan membawanya
berdiri.
"Kau adalah muridku satu-satunya, Cah Ayu.
Eyang sangat khawatir akan keselamatanmu...," ucap
Ki Kinasih dengan penuh kasih pada Sekarsari.
"Saya mohon ampun telah pergi tanpa memberi
tahu Eyang. Hukumlah saya, Eyang...," ucap Sekarsari
dengan menunduk dalam.
"He he he.... Siapa yang mau menghukum mu,
Cah Ayu.... Eyang malah bangga mempunyai murid
walau seorang wanita, tapi pemberani. Eyang sebenar-
nya sudah tahu rencanamu. He he he...."
Sekarsari tampak gembira. Dia kembali bersu-
jud, kemudian menjelaskan pada Ki Kinasih siapa Se-
na sebenarnya. Sekarsari menceritakan semuanya ten-
tang kebaikan Sena. Lelaki tua yang gagah itu men-
gangguk-angguk sambil memegangi jenggot putihnya
yang panjang.
"Eyang juga sudah pernah bertemu dengan pe-
muda gagah ini, Cah Ayu. Malah Eyang sempat ben-
trok dengannya...," tutur Ki Kinasih.
"Jadi Eyang pernah berkelahi dengan Sena...?!"
tanya Sekarsari kaget. Sekarsari menoleh ke arah Sena
yang menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir.
"Rupanya kita hanya salah paham. Pemuda ga-
gah ini mengira aku ini Rekso! He he he.... Sudahlah.
Yang penting persoalanmu sekarang sudah jelas. Nah
kita tidak boleh lama-lama di tempat terpuruk ini. Ayo
kita bicara kan soal Rekso di tempat lain...," ajak Ki
Kinasih, begitu berwibawa dan tegas. Selesai bicara,
mereka cepat pergi dari tempat itu.
Sementara itu Rekso Bagaspati terbangun. Dia
merasakan sesuatu yang tak beres. Matanya men-
dadak melotot lebar dan merah.
"Ghrrr....!" Rekso Bagaspati menggeram bagai
harimau. Tiba-tiba goa di mana dia berada berguncang
keras bagai gempa bumi. "Setan alas....! Siapa yang be-
rani menggangguku di pagi buta ini...?!"
Rekso Bagaspati cepat mengenakan jubahnya
dan memakai kalung keramat ke lehernya. Dilihatnya
sejenak keempat wanita muda yang masih tertidur da-
lam keadaan bugil. Lalu Rekso Bagaspati melangkah
keluar dari kamar maksiat itu. Alangkah terkejutnya
dia ketika melihat Sekarsari tak ada di ruang penyik-
saan.
"Kurang ajar...! Kenapa bisa terjadi?! Pasti ini
perbuatan pemuda gila itu!" geram Rekso Bagaspati.
Kemudian dia melompat keluar dari goa itu dengan
kemarahan meluap-luap.
Sementara itu di suatu tempat, tak jauh dari
kediaman Rekso Bagaspati, Sena, Sekarsari dan Ki Ki-
nasih sedang menunggu kedatangan Rekso Bagaspati.
Sena dan Sekarsari berada di depan, sedangkan Ki Ki-
nasih di belakang mereka.
"Ingat, Sekar. Kau harus dapat mengambil ka-
lung itu, begitu ada kesempatan. Biar Sena mengacau-
kan perhatiannya. Dan aku menunggu kesempatan
untuk menghabisi manusia iblis itu," ucap Ki Kinasih
tegas pada Sekarsari.
"Baik, Eyang," jawab Sekarsari singkat. Lalu
matanya melirik Sena.
Angin kencang tiba-tiba menerpa mereka dis-
usul dengan erangan aneh memecah kesunyian pagi
buta itu. Disusul dengan tawa yang menggelegar.
"Ha ha ha...! Kalian manusia-manusia mencari
mampus! Ha ha ha...!"
Sena cepat memejamkan matanya. Kemudian
dengan gerakan cepat, kedua tangannya diangkat ke
atas diselingi gerakan seperti menari. Dengan cepat
pula Sena melancarkan pukulan 'Tamparan Sukma'
yang dahsyat.
Blarrr...!
Pukulan Sena tepat mengenai raga Rekso Ba-
gaspati yang tak terlihat itu.
"Aaa...!"
Pekikan panjang bergema. Seketika itu juga
wujud Rekso muncul. Tubuhnya terhuyung-huyung
karena terkena pukulan Sena. Sedangkan tangannya
memegangi dada yang luka membiru. Namun manusia
iblis itu bagai memiliki tubuh sekokoh baja. Dia kem-
bali siap untuk menyerang Sena.
"Bangsat! Kau menyerangku sebelum waktu
yang ku tentukan! Terimalah kematianmu, Pemuda Gi-
la...! Heaaat...!"
Blarrr...!
Percikan sinar merah menyebar di udara, kare-
na Sena memapaki serangan lawan. Sena cepat me-
lenting ke udara sambil bersalto, dan mendarat dengan
mantap ketika Rekso Bagaspati menyerangnya lagi.
Rekso Bagaspati yang melihat Sena sudah ada di da-
rat, kembali melancarkan serangan. Sena pun kembali
mengelak dengan melenting ke udara. Dan kali ini dia
balas menyerang, Kepala Rekso Bagaspati jadi sasaran.
Plak, plak!
"Aaargh...!"
Rekso Bagaspati kembali memekik dan menge-
rang bagai harimau luka. Melihat keadaan Rekso Ba-
gaspati yang masih terhuyung, Sena kembali mengha-
jarnya dengan tendangan kaki kanannya yang cukup
keras.
"Heaaat..!"
Bukkk!
"Aaargh...!"
Tubuh Rekso Bagaspati terpental lima tombak
dengan deras ke belakang. Lalu membentur pepoho-
nan yang tumbuh di sekitar situ. Sekarsari yang me-
lihat kesempatan itu cepat menyerangnya, tapi Rekso
Bagaspati telah mengetahui. Maka tergoreslah lengan
Sekarsari oleh kuku-kuku Rekso Bagaspati yang ta-
jam.
"Akh...!" pekik Sekarsari.
Melihat itu Sena kembali menyerang. Namun
Rekso Bagaspati melompat mundur. Manusia iblis ini
cukup cerdik juga. Kalau saja dia tidak mundur, nis-
caya dia akan terkena pukulan dahsyat Pendekar Gila.
Melihat hal itu, Ki Kinasih dan Sekarsari segera
mengambil kesempatan untuk menyerang Rekso Ba-
gaspati yang sedang didesak Sena. Guru dan murid itu
melompat bagai terbang menyerang Rekso Bagaspati
yang membelakangi mereka.
"Heaaat..!"
"Hiaaa...!"
Desss! Plakkk!
"Ghrrr...!"
Rekso Bagaspati hanya mengerang dan cepat
berbalik sambil balas menyerang ke arah Sekarsari
dan Ki Kinasih. Pukulan Ki Kinasih dan Sekarsari
hanya menimbulkan memar di punggungnya. Sedang-
kan serangan balik Rekso Bagaspati, dengan mengi-
baskan jubah dan cakarannya, kembali mengenai dada
Sekarsari. Sementara Ki Kinasih sempat tergores kuku
tajam Rekso Bagaspati di lengan kirinya.
"Hah?! Kuku itu beracun!" desis Ki Kinasih. La-
lu segera Ki Kinasih melompat mendekati Sekarsari
yang mulai terserang racun kuku Rekso Bagaspati. Ke-
ringat mengucur membasahi kening wanita itu.
"Cah Ayu.... Pusatkan pikiranmu. Eyang akan
mengeluarkan racun itu...," ucap Ki Kinasih setelah
membawa Sekarsari ke tempat yang agak jauh.
Rekso Bagaspati mengejar Ki Kinasih dan Se-
karsari. Namun Sena tak sudi membiarkan lawan pergi
begitu saja. Dia segera melesat memburu Rekso Ba-
gaspati yang masuk ke dalam hutan.
Sena tak menunggu lama lagi, begitu dia meli-
hat Rekso Bagaspati. Cepat diserangnya manusia iblis
itu dengan pukulan 'Inti Api'. Namun Rekso Bagaspati
yang kebal itu cepat mengelak. Hingga serangan Sena
hanya mengenai pepohonan besar.
Glarrr!
Ledakan keras terdengar ketika pukulan Sena
menghantam pohon. Rekso Bagaspati tertawa tergelak-
gelak. Sementara Sena menggaruk-garuk kepala, lalu
dengan cepat melesat kembali untuk menyerang Rekso
Bagaspati dengan pukulan beruntun ke arah dada dan
leher lawan dengan gerakan yang lemah gemulai bagai
menari. Namun sebenarnya gerakan itu cepat sekali.
Membuat Rekso Bagaspati kali ini kerepotan mengelak
serangan yang dilancarkan Sena dengan jurus-jurus
dahsyat dan aneh sambil tetap cengengesan.
Plak! Plak!
Pukulan Pendekar Gila kali ini masuk dengan
telak ke ulu hati Rekso Bagaspati disusul dengan ten-
dangan kaki kanan Sena yang dahsyat ke rahang Rek-
so Bagaspati.
"Aaargkh...!" Rekso Bagaspati memekik keras.
Pendekar Gila tak memberi kesempatan lagi pada.
Rekso Bagaspati yang masih terhuyung tiga tombak ke
belakang sambil memegangi ulu hatinya. Dengan satu
hentakan, tubuhnya meluruk ke arah lawan. Namun
ketika tubuh Sena masih di udara, tiba-tiba Rekso Ba-
gaspati memapaki serangan itu. Kontan Sena terkejut.
Karena Rekso Bagaspati mengeluarkan ilmu setannya
dengan melancarkan serangan balik yang dahsyat. Da-
ri ujung kukunya keluar dua larik sinar merah bagai
anak panah mengarah ke mata Sena. Pendekar Gila
cepat bersalto sambil menyerang balik dengan meng-
hentakkan tangan kanannya untuk melepas pukulan
'Si Gila Menyibak Mega'. Dan serangan keduanya be-
radu.
Glarrr...!
Ledakan dahsyat kembali terdengar. Bagai si-
nar matahari, percikan ledakan itu menerangi hutan di
pagi buta.
Ki Kinasih yang sedang menyembuhkan luka
Sekarsari menjadi tersentak. Dia menoleh ke arah sua-
ra ledakan itu.
"Mereka mengadu ilmu.... Aku harus memban-
tu Pendekar Gila.... Cah Ayu, kuatkan dirimu, Eyang
segera kembali..."
Selesai bicara pada Sekarsari yang nampak be-
lum pulih dari luka yang diderita, Ki Kinasih melesat
pergi
Pertarungan Pendekar Gila dan Rekso Bagaspa-
ti makin seru. Mereka saling adu ilmu. Pendekar Gila
kini mulai mengeluarkan jurus-jurus saktinya untuk
melawan ilmu setan Rekso Bagaspati yang sulit ditak-
lukkan, disebabkan kekuatan yang ada pada kalung dl
lehernya.
Sena kini menggunakan ilmu lari 'Sapta Bayu'
untuk mempermainkan Rekso Bagaspati yang mulai
tak terarah serangannya. Sena sengaja menguras dan
membangkitkan amarah Rekso Bagaspati. Hingga
manusia iblis itu makin ceroboh, membuat Sena ter-
tawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.
"Pendekar Gila...! Kali ini kau akan mampus di
tanganku.... Heaaa!"
Rekso Bagaspati kembali menyerang. Tapi Sena
selalu menghindar sambil sekali-kali melancarkan se-
rangan balik yang membuat Rekso Bagaspati makin
terdesak
Pada saat Rekso Bagaspati mulai goyah, tiba-
tiba Ki Kinasih muncul dengan melompat lalu mengin-
jak kedua bahunya. Secepat kilat dia menundukkan
kepalanya dan dengan cepat tangan Ki Kinasih me-
nyambar kalung di leher Rekso Bagaspati. Kalung itu
terlepas. Kini benda pembawa malapetaka itu berada
dalam cengkeraman tangan Ki Kinasih. Namun naas
bagi Ki Kinasih, karena secepat itu pula Rekso Bagas-
pati mematahkan tangan Ki Kinasih yang mencengke-
ram kalung keramat itu.
Krak!
"Aaakh...!"
Ki Kinasih menjerit kesakitan. Tangan kanan-
nya putus. Kalung keramat itu terlepas. Rekso Bagas-
pati hendak segera mengambilnya. Namun Pendekar
Gila lebih cepat. Dengan kesaktiannya, kalung keramat
itu dapat diamankan, sekaligus meraih tubuh Ki Kina-
sih. Sena segera membawa tubuh lelaki tua itu ke
tempat yang aman.
Rekso Bagaspati kini makin murka. Dia menge-
luarkan pedang saktinya, lalu segera mengejar Sena.
"Ki, tenanglah di sini. Biar kuhadapi manusia
iblis itu...," ucap Sena. Setelah merebahkan Ki Kinasih
di bawah pohon besar. Sena segera melesat pergi.
Sementara itu, dengan kalap Rekso Bagaspati
menghunus pedang saktinya.
"Akan kucincang kau, Pendekar Gila! Ayo ke-
luar! Hadapi aku secara jantan!" seru Rekso Bagaspati
penuh amarah. Matanya makin merah membara, bagai
serigala.
Pendekar Gila hanya menggaruk-garuk kepala.
Dia kini berdiri di atas cabang pohon menyaksikan
Rekso Bagaspati yang geram.
"Aku di sini, Monyet!" seru Sena sambil mema-
merkan kalung di tangannya.
Rekso Bagaspati mendongak ke atas. Matanya
melotot garang. Lalu tanpa banyak bicara tubuhnya
melesat ke atas sambil menghunus pedang ke arah
Pendekar Gila yang masih berada di cabang pohon.
Pendekar Gila telah siap menghadapi serangan Rekso
Bagaspati. Rekso Bagaspati tiba-tiba membabat kaki
Sena yang berdiri di cabang pohon. Sena melompat tu-
run sambil bersalto melewati kepala manusia iblis, itu.
Dan ketika dia berada di belakang Rekso Bagaspati,
dengan cepat Sena menyarangkan pukulan ke pung-
gungnya.
Blasss!
"Aaa...!"
Kembali Rekso Bagaspati menjerit panjang. Tu-
buhnya melayang jatuh ke tanah, bersamaan dengan
mendaratnya kaki Sena di tanah. Pendekar Gila berdiri
tiga tombak di depan Rekso Bagaspati yang jatuh te-
lentang.
Namun manusia iblis itu masih bisa bangun.
Dia terlihat masih kuat, walaupun kalung keramat itu
tidak lagi ada pada dirinya. Kembali pedang Rekso Ba-
gaspati menyambar kepala Sena.
Sena mengelak dengan merunduk lalu bersalto
dua kali ke belakang. Bagai burung garuda, Pendekar
Gila yang berada di udara menukik dengan kedua tan-
gannya menghantarkan pukulan jarak jauh ke arah
Rekso Bagaspati.
Rekso Bagaspati mengetahuinya. Dia memapaki
dengan melompat pula sambil membabatkan pedang-
nya ke arah Sena yang masih dalam keadaan menukik.
Hampir saja leher Sena tertebas pedang Rekso Bagas-
pati. Untung pedang itu lebih dulu menebas cabang
pohon. Hingga Sena masih dapat mengelak sambil me-
lompat turun. Melihat lawannya mendarat, Rekso ce-
pat menyerang Sena dengan jurus-jurus pedang sak-
tinya.
Swing! Swing!
Sabetan pedang yang begitu cepat dan dahsyat
membuat Sena harus melenting ke udara beberapa
kali sambil melancarkan serangan balik yang tak kalah
dahsyatnya.
Blar! Blar!
Suara beradunya pukulan Pendekar Gila den-
gan pedang Rekso Bagaspati begitu keras, sehingga
menyakitkan telinga Ki Kinasih yang berusaha bangkit
sambil memegangi tangan kanannya yang buntung.
Darah terus mengucur keluar. Dengan sedikit sem-
poyongan, Ki Kinasih mencari Sekarsari yang diting-
galkannya tadi. Sebentar-sebentar matanya melihat ke
arah Sena yang bertempur dengan Rekso Bagaspati.
Sementara Sekarsari sendiri sudah mulai pulih
tenaganya. Wanita muda itu tampak mengumpulkan
kembali tenaga dalamnya dengan bersemadi beberapa
saat. Dia duduk bersila dengan kedua tangan berside-
kap dan mata terpejam.
Sementara Pendekar Gila makin seru bertarung
dengan Rekso Bagaspati. Pedang lelaki iblis itu kini
mengeluarkan sinar biru, sangat menyilaukan mata
Pendekar Gila. Sinar itu bagai ingin membutakan mata
Sena. Maka dengan cepat Pendekar Gila mengeluarkan
pukulan 'Inti Api' yang dirangkai dengan 'Inti Bayu'.
Hingga terjadilah suatu pemandangan yang sangat
aneh. Pedang Rekso Bagaspati terbakar dan mendadak
angin topan dan sinar perak menghantam tubuh Rekso
Bagaspati dengan dahsyat
"Aaa...!"
9
Rekso Bagaspati memekik panjang. Tubuhnya
terpental enam tombak dari tempat semula. Pedang
pun terlepas dari genggamannya. Kemudian tubuhnya
membentur pohon besar.
Bug...!
Pohon itu retak, namun tubuh Rekso Bagaspati
tak sedikit pun terluka. Pendekar Gila yang melihat ke-
jadian itu jadi agak heran dan bertanya-tanya dalam
hati. Edan! Padahal kalung keramat itu ada di tangan-
ku...! Ilmu apa lagi yang dimiliki manusia laknat ini?
Pada saat Sena sedang berpikir, tiba-tiba Rekso
Bagaspati meloncat bagai seekor harimau menyerang
mangsa. Karuan saja Pendekar Gila kaget. Dengan ce-
pat tubuhnya dimiringkan ke samping sambil memu-
kulkan tangan kanannya ke iga Rekso Bagaspati.
Desss!
"Ukhhh...!"
Rekso Bagaspati mengerang kesakitan. Namun
manusia setengah setan ini tetap saja kuat. Malah dia
makin garang, walaupun kali ini sudah tampak lelah,
sedangkan darah terus meleleh dari mulut dan hi-
dungnya. Anehnya, darah itu bukan berwarna merah
namun kuning kental. Sena yang melihat hal itu yakin
kalau Rekso Bagaspati kali ini bukan manusia lagi me-
lainkan iblis berwujud manusia! Dan tanpa diduga
oleh Sena, kalung yang diselipkan di pinggangnya telah
berada di tangan Rekso Bagaspati kembali.
"He he he.... Pendekar Gila, ternyata kau ku-
rang jeli. Ha ha ha.... Kini saatnya kau mampus! Ka-
lung ini akan membunuhmu.... Ha ha ha...!"
Selesai berkata begitu, mata Rekso Bagaspati
kini memancarkan api merah menyala yang tertuju
pada Sena.
Sena dengan cepat kembali melenting ke udara,
menghindari semburan api yang keluar dari mata Rek-
so Bagaspati.
Edan! Dia menggunakan ilmu setan! Rutuk Se-
na dalam hati sambil terus bersalto di udara, menge-
lakkan serangan dahsyat Rekso Bagaspati.
Sedangkan Rekso Bagaspati tak tinggal diam.
Dengan cakaran dan tendangan, dia menyusul ke uda-
ra. Kini kedua tokoh sakti itu bertarung di atas cabang
pohon.
Dua pukulan keras Sena bersarang di tubuh Rekso
Bagaspati. Menyusul satu jotosan menghantam ru-
suknya. Rekso Bagaspati jatuh ke tanah. Tetapi sebe-
lum menyentuh tanah, tubuhnya terbang kembali un-
tuk menyerang Sena dengan cakaran dan tendangan
ke dada. Kali ini Pendekar Gila terkena tendangan
Rekso Bagaspati. Sena melompat turun sambil bersal-
to. Sejenak dadanya yang terasa sesak diusap. Namun
Sena segera mengumpulkan lagi tenaga dalamnya.
Dengan menghela napas dalam-dalam seraya mengge-
rakkan kedua tangannya ke depan. Dan dua larik si-
nar putih kemerahan meluncur cepat lalu menghan-
tam tubuh Rekso Bagaspati yang baru saja mendarat
Blarrr! Blarrr!
Ledakan keras kembali terdengar. Rekso Ba-
gaspati terpental jauh keluar hutan dengan dada han-
gus
"Aaargh...! Setan alas! Kurang ajar kau, Pende-
kar Gila! Kau tak akan bisa membunuhku!"
Sena mengejar Rekso Bagaspati yang terhan-
tam pukulannya. Tanpa mereka sadari, kini keduanya
berada di tepi Laut Selatan. Ombak tinggi memburu
menuju pantai, kemudian menerpa tubuh Rekso Ba-
gaspati yang telah berdiri sambil tertawa terbahak-
bahak.
Edan! Ilmu apa lagi yang berada dalam tubuh
manusia iblis ini...? Gumam Sena dalam hati sambil
menggaruk-garuk kepala. Pendekar Gila terus menga-
wasi setiap gerak lawan dengan sikap waspada. Kuda-
kudanya tertanam kuat di pasir pantai. Pada saat itu
muncul Sekarsari dan Ki Kinasih dari arah barat. Me-
lihat kedatangan mereka, Rekso Bagaspati tiba-tiba
melayang bagai elang untuk menyambar Sekarsari
yang tidak dalam keadaan siaga penuh. Sambil me-
nyambar Sekarsari, kaki Rekso Bagaspati menendang
Ki Kinasih. Disusul dengan menghantamkan kalung
maut ke kepala Ki Kinasih.
Ki Kinasih cepat menjatuhkan tubuhnya sambil
berguling ke pasir pantai. Lalu berdiri kembali dengan
memasang kuda-kuda.
Melihat Sekarsari dibawa Rekso Bagaspati ke
atas karang yang menjulang di tepian pantai, Sena ce-
pat bertindak. Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', Pendekar
Gila berhasil menghadang Rekso Bagaspati yang mem-
bopong Sekarsari dalam keadaan tertotok.
"Ha ha ha.... Kalau kau maju selangkah lagi
kubunuh wanita ini!" ancam Rekso Bagaspati pada
Sena yang kini berdiri di hadapannya.
"He he he.... Terserah kau, Manusia Keparat!
Wanita itu tak berguna bagiku... Bunuh saja! Yang
pasti aku akan membunuhmu pula!" pancing Sena
sambil mengejek dengan tingkah laku seperti orang gi-
la.
"Huh! Seharusnya kau sudah mampus di hutan
itu!" bentak Rekso Bagaspati dengan geram. Tanpa
disadari, kegeramannya membuat dia lengah. Kesem-
patan itu ingin segera dimanfaatkan Sena.
Sebelum Sena melancarkan serangan, tiba-tiba
Ki Kinasih melenting ke udara untuk menyerang Rekso
Bagaspati dengan tendangan dan pukulan dahsyat
Rekso Bagaspati yang sempat terkejut mema-
paki serangan lawan dengan tangan kanannya, lalu
tubuhnya melompat ke batu karang yang lain di bela-
kang. Ki Kinasih terus mengejar. Mau tak mau Rekso
Bagaspati melemparkan tubuh Sekarsari ke pasir. Se-
telah merasa lebih leluasa, cepat dihadapinya serangan
lawan. Dua pukulan keras Rekso Bagaspati bersarang
di tubuh Ki Kinasih serta satu cakaran di wajahnya.
Buk! Buk!
Cras!
"Aaa...!"
Ki Kinasih memekik keras sambil memegangi
wajahnya yang tergores kuku beracun Rekso Bagas-
pati. Namun Ki Kinasih tak mau mundur.
Kepalang tanggung! Mati pun aku rela demi ke-
benaran...! Tekad Ki Kinasih dalam hati.
Lelaki itu kembali menyerang Rekso Bagaspati
dengan jurus-jurus ampuhnya. Sementara racun di
wajahnya yang tergores, mulai menjalar sedikit demi
sedikit Cepat atau lambat maut pasti akan merenggut-
nya. Di lain sisi, Sena sedang berusaha membuka to-
tokan pada tubuh Sekarsari.
"Kau tetap di sini, biar aku yang membereskan
manusia iblis itu!" cegah Sena ketika Sekar ingin turut
menyerang Rekso begitu terbebas dari totokan.
"Tidak! Aku harus membunuh manusia keparat
itu! Agar dendam ku terkabul...!" sahut Sekar dengan
tegas.
Lalu tubuh wanita itu melesat ke arah Rekso
Bagaspati yang sedang mendesak gurunya. Dengan pe-
dangnya, Sekarsari membabat tubuh Rekso Bagaspati
sambil melompat, sekaligus melancarkan senjata raha-
sianya dengan menghentakkan tangan kiri. Maka me-
luncurlah beberapa benda tajam bagai kepala anak
panah. Satu di antara senjata rahasia itu mengenai
kening Rekso Bagaspati. Lelaki iblis itu mengerang ke-
ras. Namun dia cepat mencabut senjata yang menan-
cap di keningnya dan melemparkannya kembali ke
arah Sekarsari.
Sekarsari kelabakan karena serangan balik itu
begitu cepat. Pada saat yang gawat itu, Pendekar Gila
kembali menyelamatkan nyawa Sekarsari. Sena melan-
carkan pukulan jarak jauh ke arah senjata rahasia
yang menuju ke tubuh Sekarsari. Senjata itu hancur
disertai percikan sinar kemerahan.
Mendapat kenyataan itu, Rekso Bagaspati ma-
kin marah. Dengan berteriak keras dia merentangkan
kalung keramat di tangannya. Sejenak matanya dipe-
jamkan. Sesaat kemudian, tubuhnya perlahan beru-
bah menjadi besar bagai raksasa.
"Ilmu setan! Edan....! Sekar! kau harus lebih
berhati-hati....!" seru Sena sambil menggerakkan ke-
dua tangannya untuk mengumpulkan tenaga dalam.
Sementara itu, Ki Kinasih masih tampak tertunduk
lemah di batu karang. Sebagian tubuhnya bagai terke-
na percikan ombak. Wajahnya mulai membiru. Sekar
yang melihat keadaannya menjadi was-was. Segera dia
berlari mendekati Ki Kinasih.
"Eyang... Eyang Guru...," keluh Sekarsari den-
gan sedih.
"Jangan kau menambah kesedihan dan kepahi-
tan, Cah Ayu. Kuatkan hatimu. Aku yakin Pendekar
Gila akan bisa menumpas Rekso. Untuk itu kau harus
selalu siap membantunya. Jika ada kesempatan, per-
gunakanlah untuk merebut kalung itu," pesan Ki Ki-
nasih. "Jangan cengeng! Eyang tak suka punya murid
cengeng."
Sekarsari mengangguk. Dipeluknya tubuh Ki
Kinasih. Kemudian dia berdiri dan melesat ke arah
pertarungan kembali.
***
Sekarsari mendaratkan kakinya di pasir. Lalu
segera melabrak Rekso Bagaspati dari arah kanan.
Rekso Bagaspati yang tengah bertarung dengan Sena
sempat melihatnya. Maka dengan cepat Rekso Bagas-
pati yang sudah menjadi raksasa melancarkan puku-
lan dengan tangan kanannya ke arah Sekarsari yang
tak menduga sama sekali.
Blarrr!
"Aaa...!" pekik Sekarsari panjang.
Tubuh wanita itu terpental lima tombak ke be-
lakang, kemudian membentur karang. Pada kesempa-
tan itu Sena melancarkan serangan dahsyat bertubi-
tubi ke arah Rekso Bagaspati. Hingga manusia iblis itu
terdesak dan tubuhnya jatuh ke laut
Namun tubuh raksasa itu kembali bangkit dari
dalam air laut. Pendekar Gila yang sudah menge-
luarkan berbagai jurus, namun belum mampu meng-
habisi manusia iblis itu, segera melompat dengan ber-
salto ke udara. Dilancarkannya serangan dahsyat den-
gan pukulan-pukulan mematikan ke tubuh lawan,
kemudian menukik.
Rekso Bagaspati dengan tangannya ingin me-
nyambar tubuh Sena yang masih melayang di udara.
Namun Pendekar Gila dengan cepat melenting ke be-
lakang tubuh lawan, dan tusukan jari tangannya tepat
bersarang di tengkuk Rekso Bagaspati!
"Aaarghhh...!"
Rekso Bagaspati mengamuk sambil mengerang
keras. Bumi terasa bergetar karena erangannya.
Pendekar Gila mendaratkan kakinya di permu-
kaan air laut. Bagai di atas tanah saja, Pendekar Gila
berlari di sana. Lalu melompat kembali untuk menen-
dang tubuh Rekso Bagaspati yang baru berbalik ke
arahnya.
Desss!
Tendangan Pendekar Gila menghajar telak dada
lawan. Tubuh Rekso Bagaspati terhuyung dengan da-
rah berwarna kuning tersembur dari mulut, hidung
dan matanya. Sebagian tubuhnya hangus karena pu-
kulan 'Inti Api' Sena. Melihat kesempatan baik Sena
berteriak pada Sekarsari yang terbengong menyaksi-
kan kesaktiannya.
"Sekar, cepat ambil kalung itu! Cepat....!" Men-
dengar teriakan itu, Sekarsari bagai tersadar dari
mimpi. Dengan cepat dia bangkit. Padahal tubuhnya
sudah lemah karena terbentur baru karang, mengaki-
batkan kepala bagian belakangnya mengeluarkan da-
rah. Didorong rasa dendam yang luar biasa, Sekarsari
seakan mendapatkan kekuatan baru. Dia menyambar
kalung di leher Rekso Bagaspati yang sedang limbung.
Disusul dengan sabetan pedangnya berkali-kali ke tu-
buh Rekso Bagaspati. Dan diakhiri dengan tusukan ke
jantung manusia iblis itu.
"Mampus kau, Manusia Keparat! Mampus
kau...! Mampus....!"
Bagai orang kerasukan, Sekarsari terus meng-
hujani tubuh Rekso Bagaspati yang sudah tak berdaya
itu hingga darah berwarna kuning memerciki wajah-
nya. Bersamaan dengan itu, tubuh Rekso Bagaspati
hangus terbakar menjadi abu.
Sekarsari berdiri sambil mengangkat kalung di
tangannya tinggi-tinggi.
"Huh! Ha ha ha.... Kakang Waskita, aku telah
melunasinya.... Aku telah membunuhnya, Kakang
Waskita.... Hi hi hi....!"
Bagai orang kehilangan akal, Sekarsari berte-
riak-teriak kegirangan.
Sena yang melihat Sekarsari bagai orang gila
segera mendekatinya. Namun herannya ketika dekat,
dilihatnya wajah Sekarsari berubah garang. Matanya
me-merah, memancarkan kebencian.
"Hah?! Sekar...?!" seru Sena keheranan. Melihat
gelagat yang aneh dan keadaan Sekarsari yang beru-
bah itu, Sena segera teringat akan ucapan Sentanu
tentang kalung setan itu.
Siapa pun orangnya, jika telah memegang ka-
lung penyebar maut itu, watak dan perangainya pasti
akan berubah. Sebab kalung itu sangat berbahaya.
Terkecuali bagi Pendekar Gila atau Sena. Karena dia
memiliki kemurnian hati serta ilmu 'Tamparan Sukma'
Selain dapat mengalahkan setan, siluman, atau makh-
luk halus, ilmu 'Tamparan Sukma' sangat ampuh se-
bagai benteng bagi dirinya.
Sena mengerutkan kening. Matanya terus me-
natap tajam pada Sekarsari yang menggenggam kalung
penyebar maut di tangan kanannya.
"Sekar...! Kau sadar, Sekar? Ini aku Sena...,"
kata Sena tegas sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Ha ha ha.... Hi hi hi...!"
Tiba-tiba Sekarsari tergelak-gelak. Matanya
menatap tajam pada Sena. Wajah Sekarsari yang pe-
nuh dengan darah berwarna kuning itu makin tampak
seram.
Sementara itu ombak laut semakin ganas me-
nerpa tepian pantai dan bongkahan karang di tepi pan-
tai. Cuaca kini berubah mendung. Angin bertiup ken-
cang sekali, menciptakan gemuruh yang menambah
keangkeran suasana.
Sena mundur beberapa langkah sambil terus
mengamati keadaan Sekarsari yang makin berubah.
Wajahnya yang ayu tiba-tiba menjadi menakutkan! Dia
menyeringai pada Sena.
Aneh?! Kalau begitu kalung keramat penyebar
maut memang dapat cepat merubah watak dan wajah
seseorang.... Sungguh menakutkan...! Desis Sena da-
lam hati. Hm.... Aku harus cepat memusnahkan ka-
lung itu.
"Sekar...?!" tegur Sena, masih mencoba memas-
tikan apakah Sekarsari masih sadar. Ternyata Sekar-
sari malah memelototi Sena. Berbarengan kalung itu
dikenakan di lehernya, Sekarsari berucap garang.
"Ha ha ha.... Aku yang berkuasa! Akulah orang
tersakti di dunia persilatan. Dan kau Pendekar Gila
yang tersohor akan mati di tanganku...! Ha ha ha...!"
Selesai berkata begitu, terdengar petir me-
nyambar. Sekarsari menyeringai menakutkan. Wajah
sudah berubah seram.
"Aneh...!" gumam Sena.
Kini keadaan makin gelap. Awan hitam yang te-
lah menutupi sekitar pantai itu. Sungguh aneh dan
menakjubkan. Kemudian hujan pun turun, namun tak
deras. Disertai petir yang bersahutan.
"Heaaa...!"
Sekarsari menyerang Pendekar Gila dengan pe-
dangnya. Serangannya yang cepat dan membabi buta
itu dihadapi oleh Sena dengan tenang. Sambil melom-
pat mundur, Sena mengelakkan serangan Sekar yang
telah dipengaruhi ilmu setan kalung pembawa maut
itu.
"Sekar?!" pekik Ki Kinasih, saat melihat murid-
nya berubah seperti itu. "Ini harus segera dihenti-
kan...!"
Ki Kinasih memaksakan diri untuk berdiri. Ra-
cun iblis yang telah menyerangnya masih dapat dita-
han dengan kesaktian yang dimiliki, walaupun hanya
untuk sesaat. Dengan tertatih-tatih dia berlari mende-
kati arena pertarungan yang bakal meletus antara Se-
na dan Sekarsari. Ki Kinasih berusaha menengahi me-
reka. Dia berdiri di tengah, di antara Sena dan Se-
karsari. Namun Sekarsari yang telah dirasuki ilmu se-
tan Rekso Bagaspati malah menghantam Ki Kinasih.
Desss!
"Ugkh...!"
Ki Kinasih terpental dan jatuh ke pasir. Mulut-
nya mengeluarkan darah segar.
"Sekar...!" desah Ki Kinasih lirih sambil meme-
gangi dadanya yang sesak. Dia tak tahu kalau murid-
nya telah dirasuki Rekso Bagaspati. Di dalam tubuh
Sekarsari ada Rekso Bagaspati yang sebenarnya belum
mati. Darah berwarna kuning yang mengenai wajah
dan badan Sekarsari, menyebabkan roh Rekso Bagas-
pati masuk ke dalam tubuhnya. Ditambah dengan ka-
lung penyebar maut yang kini dipakai Sekarsari, Rekso
Bagaspati semakin kuat menguasai Sekarsari.
Sena yang telah mengetahui siapa lawan yang
dihadapinya kini, tak sungkan-sungkan lagi untuk me-
lancarkan pukulan-pukulan saktinya ke arah Sekar-
sari. Dia sangat tahu kalau jurus-jurus pedang yang
digunakan Sekarsari bukanlah jurus pedang yang di-
milikinya. Tapi jurus pedang setan milik Rekso Bagas-
pati.
"Ha ha ha...! Kini giliranmu mati di tanganku,
Pendekar Gila...!"
Suara Sekarsari berubah besar seperti suara
Rekso Bagaspati. Kini Sena makin yakin. Tubuhnya te-
rus melesat dan menghindar dari serangan Sekarsari.
Sambil melancarkan serangan balik, Pendekar Gila te-
rus mencari kelemahan lawan.
Edan! Aku tak boleh main-main lagi. Bisa ga-
wat! Gerutu Sena dalam hati.
Setelah mematahkan serangan lawan, Pendekar
Gila menerjang ke wajah. Tangan kanan dan kirinya
bergerak seperti menari, namun sebenarnya sangat ce-
pat. Dia menangkis dan menyarangkan pukulan ke tu-
buh Sekarsari. Tanpa diduga tiba-tiba Sekarsari me-
nyerang Sena dengan gerakan yang sukar diikuti mata.
Untung Sena memiliki ilmu meringankan tubuh yang
sempurna. Secepat kilat dia mengelakkan semua se-
rangan Sekarsari. Di sini tampak kalau ilmu pedang
Sekarsari yang bercampur dengan ilmu pedang Rekso
Bagaspati sangat berbahaya dan membingungkan
Pendekar Gila.
***
Sekarsari memutar pedangnya dengan cepat
hingga sinar kebiruan tampak bergulung-gulung. Di-
cobanya menerobos ke depan untuk membuyarkan se-
rangan Sena yang seolah-olah membuntal dirinya.
Namun usahanya tak kunjung berhasil, walaupun dia
sudah mengerahkan seluruh kepandaian dan ilmu se-
tannya. Karena yang dihadapinya bukanlah pendekar
picisan, tapi Pendekar Gila!
Sena malah masih sempat menepak punggung
Sekarsari dengan jurus 'Si Gila Menari Sambil Mene-
puk Lalat'. Hingga tubuh Sekarsari terhuyung-huyung
dan jatuh ke laut. Namun cepat pula Sekarsari bang-
kit. Dengan ganas dia menyerang Sena dengan jurus-
jurus pedang setannya yang aneh. Sabetannya begitu
cepat ke kanan dan ke kiri. Disusul sabetan dari atas
ke bawah dan sebaliknya.
Pendekar Gila terpaksa bersalto di udara bebe-
rapa kali dan menghindar lebih jauh untuk mengatur
siasat. Menentukan serangan balik yang mantap. Se-
bab dia tidak bisa melawan Sekarsari dengan cara
langsung. Karena yang dihadapinya kini bukanlah seo-
rang wanita muda yang mempunyai perasaan, melain-
kan manusia jejadian!
Aku harus mendapatkan kalung itu lebih dahu-
lu! Tekad Sena dalam hati.
Setelah berpikir begitu, Sena segera memapaki
serangan Sekarsari yang makin cepat dan terarah.
"Edan!" maki Sena sambil merobohkan tubuh-
nya ke belakang, karena tahu-tahu ujung pedang Se-
karsari sudah berada di dekat lehernya. Ketika Sekar-
sari membabatkan pedangnya ke tubuh Sena yang
masih rebah di pasir, Pendekar Gila lebih cepat meng-
hantam rusuk kanan Sekarsari dengan telak.
Buk!
"Aaa.... Uhk!"
Sekarsari menjerit. Jeritannya terdengar seperti
suara Rekso Bagaspati, bukan suara seorang wanita.
Darah keluar dari mulutnya. Setelah itu Sekar-
sari makin menggila menyerang lawan. Kali ini tidak
hanya dengan pedang, tapi dibarengi senjata raha-
sianya. Beberapa buah senjata rahasia keluar dari te-
lapak tangan kiri Sekarsari.
Swing, swing...!
Namun Pendekar Gila telah siap dengan seran-
gan yang bertubi-tubi itu. Tubuhnya melenting ke uda-
ra sambil menangkap senjata rahasia berupa benda ta-
jam seperti mata panah yang sangat beracun. Dengan
kedua tangannya, Sena berhasil menangkap empat
senjata rahasia itu. Secepat kilat, Sena mengembalikan
benda itu ke arah lawan.
Swing, swing...!
Trang, trang...!
Dua benda itu dapat ditangkis dengan pedang-
nya, namun dua lagi meluncur tak terelakkan ke arah
Sekar. Satu menancap pada kening, sedang yang lain
bersarang di leher, tepat memutuskan rantai kalung
keramat itu.
"Aaa...! Aaakh...!"
Lolong kematian terdengar berkali-kali begitu
senjata itu menancap. Dengan cepat Sena menyambar
kalung yang terlepas dari leher Sekarsari. Lalu mem-
buangnya ke laut
Kalung keramat warisan iblis itu melayang ce-
pat menuju permukaan laut yang berombak. Tatkala
mata kalung dari safir itu menyentuh air laut, ledakan
membahana terdengar. Kekuatan ledakannya bagai je-
rit seribu iblis di malam buta.
Bersamaan dengan meledaknya kalung penye-
bar maut, saat itu pula terdengar tawa Rekso Bagaspa-
ti. Dari tubuh Sekarsari yang sekarat manusia iblis itu
keluar. Mula-mula berbentuk asap, lama kelamaan
bentuknya makin jelas.
Sementara itu tubuh Sekarsari menggelepar-
gelepar seperti kambing disembelih. Kulit tubuhnya
membiru, dengan kening pecah. Sebelum tewas, sem-
pat terdengar desah suaranya.
"Terima kasih, Sena.... Maafkan aku, Kakang
Waskita.... Egkkk.."
Sekarsari menghembuskan napas terakhirnya
dengan sangat menyedihkan. Sena menutup mata Se-
ka yang melotot. Dia menarik napas panjang. Matanya
memandang ke lautan bebas. Ombak bergulung tinggi
saling berkejaran. Di sana terlihat Rekso Bagaspati hi-
dup kembali setelah memakai raga Sekarsari dan me-
nyerap ilmunya.
"Manusia iblis itu benar-benar keparat!" rutuk
Sena geram. Kali ini Pendekar Gila sangat marah. Ma-
tanya mulai bersinar bagai api. Lalu dia menyeringai.
Dengan kemarahan yang telah sampai di ubun-ubun
Pendekar Gila melabrak Rekso Bagaspati
Kembali terjadi pertarungan seru dan sengit an-
tara Sena dan Rekso Bagaspati. Mereka saling pukul
dari tendang. Ilmu Rekso Bagaspati semakin bertam-
bah, walaupun kalung penyebar maut telah musnah.
Ternyata Rekso Bagaspati mendapat kekuatan setan
yang lebih dahsyat setelah menyerap darah Sekarsari.
Pendekar Gila tak henti-hentinya melakukan
salto ke belakang untuk menghindari serangan dah-
syat Rekso Bagaspati. Serangan Rekso Bagaspati kini
makin berbahaya. Pukulan, cakaran serta tenaga da-
lamnya makin hebat, karena ilmu Sekarsari menjadi
satu dengan ilmu iblis Rekso Bagaspati. Semua jurus
milik Pendekar Gila dapat dielakkan, bahkan kini Pen-
dekar Gila mulai terdesak. Dan pada jurus ke dua pu-
luh, Pendekar Gila malah terkena pukulan lawan, te-
pat di dadanya. Hingga, dia terhuyung tiga tombak ke
belakang.
"Ukh...! Edan! Dadaku terasa panas!" keluh Se-
na sesaat
"Ha ha ha...! Pendekar Gila, kini saatnya kau
kukirim ke neraka!"
Selesai berkata begitu, secepat kilat Rekso Ba-
gaspati melepas pukulan mautnya ke arah Sena yang
masih menahan rasa sakit
Glarrr!
Ledakan keras terdengar, pertanda beradunya
ilmu mereka. Sinar merah dan putih yang menyilau-
kan terlihat. Tubuh Rekso Bagaspati terpental jauh
membentur karang. Sedangkan tubuh Sena tetap di
tempatnya, masih dalam keadaan seperti orang bersu-
jud dengan kedua kaki ditekuk ke belakang. Kedua ta-
ngannya masih meregang ke depan. Wajahnya menge-
ras saat menahan pukulan Rekso Bagaspati tadi. Ke-
ringat membasahi kening Pendekar Gila. Kemudian
Pendekar Gila berdiri dengan cepat setelah memulih-
kan tenaga dalamnya yang telah banyak dikeluarkan
untuk menghadapi ketangguhan Rekso Bagaspati.
Di lain tempat Rekso Bagaspati tampak menge-
rang seraya berusaha bangun. Dadanya terlihat seperti
terbakar, akibat pukulan 'Inti Api' yang disatukan den-
gan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang'. Namun
Rekso Bagaspati tak juga tewas!
"Hm...! Kali ini kau akan mampus, Manusia ib-
lis!" geram Sena, menunggu terjangan lawan. Dia yakin
Rekso Bagaspati akan dapat bangkit kembali. Untuk
itu, dia siap siaga menghadapi serangan Rekso Bagas-
pati berikutnya.
Benar juga dugaan Sena. Rekso Bagaspati me-
rentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Kakinya
memasang kuda-kuda yang kuat, lalu kaki kirinya di-
naikkan. Sedangkan sepasang tangannya kini dikede-
pankan dalam keadaan mengepal kuat. Seluruh otot-
ototnya keluar serta giginya bergemeretak keras, me-
nandakan kemarahannya. Matanya bagai api merah
membara. Kemudian kaki yang diangkat tadi dihen-
takkan ke pasir dengan keras, hingga menimbulkan
guncangan bagai gempa!
Pendekar Gila hanya menggaruk-garuk kepala.
Namun begitu dia tetap waspada dan siap
menghadapi setiap serangan Rekso Bagaspati.
Bumi berguncang, disusul tawa yang aneh Rek-
so Bagaspati. Tawa itu membuat telinga Sena sakit.
Pendekar Gila cepat tanggap. Dia segera melancarkan
serangan 'Tamparan Sukma' untuk menghentikan ta-
wa aneh itu. Ternyata berhasil. Namun secepat itu pu-
la Rekso menyerang Pendekar Gila dengan tendangan
yang keras. Kalau saja Pendekar Gila terlambat menge-
lak, tubuhnya pasti akan remuk. Karena tendangan itu
disertai tenaga dalam yang sangat kuat. Untunglah
tendangan itu hanya mengenai batu karang di bela-
kangnya. Batu karang itu hancur. Sedangkan Pende-
kar Gila telah berdiri di atas batu karang yang berada
di pinggir laut.
Rekso Bagaspati makin naik darah. Tubuhnya
segera melesat ke atas dan terjadi pertarungan yang
seru. Rekso Bagaspati menyambar kaki Sena. Sedang-
kan Pendekar Gila hanya mengangkat kaki kanannya
lalu langsung menendang rahang lawan yang menun-
duk.
"Hih!"
Rekso Bagaspati mendongak untuk menghinda-
ri tendangan Pendekar Gila. Belum sempat lawan ber-
napas lega. Dia terus mengejar. Sena menghentakkan
tangan kanannya ke dada Rekso Bagaspati.
Degk!
Tubuh Rekso Bagaspati jatuh ke laut. Sena tak
berhenti sampai di situ. Hingga terjadilah pertarungan
di atas lautan lepas.
Terkadang Pendekar Gila melenting ke udara
dan kembali mendarat di permukaan air laut. Bagai-
kan jalan di tanah saja, kedua tokoh itu saling bertu-
kar jurus. Serangan-serangan Rekso Bagaspati tampak
makin tak terarah, walaupun tetap ganas dan berba-
haya. Rupanya Pendekar Gila menguras tenaga Rekso
Bagaspati dengan mempermainkannya. Dengan cepat
pukulan mautnya disarangkan tepat ke rusuk kiri
Rekso Bagaspati. Namun manusia iblis itu hanya me-
mekik sebentar dan kembali balik menghantam tubuh
Pendekar Gila yang sempat lengah.
Desss!
"Ukh...!"
Pendekar Gila tersentak. Belum juga hilang ra-
sa kagetnya, Rekso Bagaspati sudah menyerang kem-
bali dengan cakaran-cakarannya.
Bret! Bret!
Sena terluka di dadanya. Mau tak mau Sena se-
gera melompat ke belakang dengan terlebih dulu me-
nyarangkan serangan kilatnya. Rekso Bagaspati kaget
dan satu tendangan kaki kanan Sena masuk, tepat di
rusuk kirinya.
Desss!
Manusia iblis itu terpental. Pada kesempatan
itu, Sena mengumpulkan tenaga dalam untuk me-
nyembuhkan luka cakaran Rekso Bagaspati yang bera-
cun. Untung dia memiliki ilmu penawar racun ungu.
Kalau tidak Sena akan menemui ajalnya, sebab racun
itu sangat ganas. Dengan sekali usap luka itu pun le-
nyap. Tanpa ada bekas goresan.
Sedangkan Rekso Bagaspati yang terkena ten-
dangan Sena tadi, masih mengerang dan berusaha
bangkit. Tenaganya mulai berkurang. Tampak dan ge-
rakan silatnya yang sudah tak kukuh lagi. Hal itu
membuat Rekso Bagaspati memutuskan untuk menge-
luarkan jurus pamungkasnya. 'Ilmu Seribu Wujud'.
Gerakannya aneh dan tiba-tiba. Mata Sena ba-
gai melihat berpuluh Rekso Bagaspati di hadapannya.
"Hah?! Edan! 'Ilmu Seribu Wujud'!" desis Pende-
kar Gila, agak tersentak. Segera dia menyiapkan pu-
kulan 'Si Gila Menyibak Mega'.
"Heaaa...!"
Sena melepas pukulan 'Si Gila Menyibak Mega'
ke arah Rekso Bagaspati yang menjadi banyak itu.
Blar! Blar...!
Pukulan Pendekar Gila mengenai beberapa wu-
jud Rekso Bagaspati dan yang terkena langsung hi-
lang. Namun makin banyak Rekso Bagaspati yang ter-
kena pukulannya, makin banyak pula Rekso Bagaspati
lain yang muncul. Membuat Pendekar Gila jadi menge-
rutkan kening. Namun dia kemudian merangkum pu-
kulan 'Si Gila Menyibak Mega' dengan pukulan 'Inti
Bayu'. Seketika gulungan angin topan menyapu tubuh
Rekso Bagaspati.
Glarrr!
Selarik sinar keperakan terlihat. Dan pekikan
panjang terdengar dari mulut Rekso Bagaspati. Tubuh
manusia iblis itu seperti dililit oleh tali yang tak terli-
hat, karena pukulan 'Inti Bayu' itulah yang mengikat
tubuh Rekso Bagaspati.
"Aaa.... Akh. Lepaskan aku, Pemuda Gila!" seru
Rekso Bagaspati geram.
"He he he... Kau katanya mau membunuhku?!|
Tapi ternyata sebaliknya. Aku yang akan memusnah-
kan mu, Manusia Iblis!" ejek Sena sambil menggaruk-
garuk kepala. Kemudian didekatinya Rekso Bagaspati
dengan sikap waspada, kalau-kalau sikap Rekso Ba-
gaspati hanya tipu muslihat. Benar saja! Begitu Sena
sudah berada setengah tombak di depannya, menda-
dak Rekso Bagaspati menyemburkan sesuatu ke wajah
Sena. Untung Pendekar Gila memiliki perasaan dan ge-
rakan yang cepat. Dia merebahkan tubuhnya ke bela-
kang.
Semburan ludah itu ternyata beracun. Terbukti
ketika mengenai batang pohon yang tumbuh di pesisir
pantai, pohon itu langsung hangus!
Rekso Bagaspati yang melihat Pendekar Gila
masih rebah cepat menyerang kembali. Dia melompat
bagai macan kumbang sambil mencakar ke wajah dan
dada Sena. Namun Pendekar Gila sudah tahu kalau
Rekso Bagaspati akan menyerangnya. Dia bersalto ke
belakang kemudian melompat mundur dua belas tom-
bak. Dan dengan cepat dan sukar dilihat oleh mata bi-
asa, tubuh Pendekar Gila berputar bagai gangsing ke
arah Rekso Bagaspati yang matanya terbelalak. Manu-
sia iblis itu benar-benar terkejut. Dia, tak sempat be-
reaksi atau mengelakkan serangan kilat Pendekar Gila.
Glarrr...!
Pukulan Pendekar Gila bersarang telak di dada
Rekso Bagaspati. Dada itu remuk.
Glarrr...!
Pada saat pukulan itu bersarang, tubuh Pende-
kar Gila cepat melenting ke udara. Ketika sampai di
atas kepala Rekso Bagaspati, dengan cepat Pendekar
Gila turun sambil menghantam batok kepala manusia
iblis itu.
Glarrr...!
Kepala Rekso Bagaspati terbelah dua. Manusia
iblis itu menjerit keras. Suaranya bagai memecah bu-
mi. Tubuhnya roboh, lalu menggelepar-gelepar seperti
kambing disembelih.
Beberapa saat kemudian, pukulan 'Si Gila Me-
lebur Gunung Karang' yang dapat menghancurkan ba-
tu karang itu, menghancurkan tubuh Rekso Bagaspati
bagai abu.
Kini hanya cairan kuning kental yang memben-
tuk tubuh Rekso Bagaspati. Kemudian perlahan-lahan
cairan kuning itu berubah menjadi tengkorak Rekso
Bagaspati yang hangus seperti terbakar dan menge-
luarkan asap ungu. Kemudian asap itu melayang ter-
tiup angin. Itulah roh makhluk jahat yang bersarang
dalam tubuh dan jiwa Rekso Bagaspati.
***
Langit yang semula gelap diselimuti hujan rin-
tik-rintik, kini kembali terang benderang. Awan hitam
telah berganti dengan awan putih bersih di langit yang
membiru. Hujan pun reda.
Sena merunduk dalam di sisi jenazah Sekarsari
yang terbujur kaku dan membiru. Tak ada yang bisa
diucapkannya saat itu, kecuali kata maaf karena telan
terpaksa membunuh wanita itu. Bersama tiupan angin
Sena mengucapkan penyesalannya dalam desah pan-
jang.
Digotongnya mayat wanita itu dengan perasaan
galau. Sena meninggalkan tempat itu, membawa mayat
Sekarsari untuk dikuburkan di tempat yang layak di
luar Desa Tegal Sari. Di belakangnya Ki Kinasih men-
gikuti dengan langkah tersuruk-suruk. Kepala lelaki
tua itu terlihat merunduk dalam. Bukan luka yang
membuatnya teramat menderita, melainkan kepergian
seorang murid kesayangannya yang kini membujur da-
lam bopongan Sena.
SELESAI
Scan/E-Book: Abu Keisel
Juru Edit: Fujidenkikagawa
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon