Firman Raharja
Serial Pendekar Gila
dalam episode: Murka Sang Iblis
1
Senja itu di Desa Pakis tengah terjadi
pertarungan seru antara Ki Angkara, seorang bekas
penduduk desa itu, melawan Kepala Desa Pakis, Ki
Lurah Padri. Ki Angkara yang juga dikenal sebagai
seorang lintah darat itu melampiaskan dendam pada
Ki Lurah Padri, karena kepala desa itu memberikan
anak gadisnya kepada Kandanu.
Kejadian itu dirasa memang aneh, karena
ketika Ki Angkara datang ke Desa Pakis, warga
desa menyambut dengan gembira. Lelaki tua itu
dianggap orang baik, karena banyak membantu
mereka yang lemah, dengan memberi pinjaman.
Namun, lama kelamaan warga banyak yang merasa
keberatan. Jika dalam kurun waktu yang telah
ditentukan, mereka tak mampu mengembalikan
pinjaman, maka dikenakan bunga yang tinggi
Kian hari warga yang berhutang pada Ki
Angkara kian menderita dan sengsara. Bukan saja
karena perekonomian warga semakin tertekan. Jika
warga tak mampu membayar utang, Ki Angkara pun
tak segan- segan menyiksa.
Apalagi ketika pembelian hasil panen
dilakukan secara ijon, penderitaan warga Desa
Pakis semakin hebat. Sampai ketika seorang
pemuda bemama Kandanu kembali ke Desa Pakis.
Kandanu yang tahu orang tuanya juga korban Ki
Angkara, dengan gigih berusaha menumpas
kekejaman Ki Angkara.
Kemarahan Kandanu semakin memuncak,
setelah tahu bahwa Ki Angkara yang menyebabkan
kematian orang tuanya Apalagi ketika mendengar
Ki Angkara hendak memperistri Murti Dewi,
kekasihnya.
Mengetahui Kandanu membenci lelaki tua
yang Juga berjuluk Iblis Berkedok Dewa itu, warga
menjadi berani. Mereka segera angkat senjata
berusaha mengusir Ki Angkara.
Sore itu Ki Angkara tsngah membabi buta,
melabrak serta membunuh setiap orang yang berani
melawan dan menghalanginya.
'Heaaa..!"
Bukkk!
Plak!
Pukulan dan tsndangan keras Ki Angkara
terus menghajar orang-orang yang berani melawan
dan menghalangi.
"Aaakh...!"
Pekikan keras terdengar menyayat, disusul
tubuh- tubuh bergelimpangan berlumuran darah. Di
Sana sini yang dilewati Ki Angkara tampak mayat-
mayat terkapar mengenaskan. Ki Lurah Padri yang
juga memiliki llmu silat cukup lumayan pun tak
mampu menghalangi tindakan Ki Angkara yang
penuh dendam itu.
Lima orang keamanan desa yang memiliki ilmu
silat tinggi, dengan sekali gebrak saja tak berdaya
menghadapi keganasan Iblis Berkedok Dewa itu.
Darah berceceran di mana-mana,
menimbulkan bau anyir. Korban semakin banyak
yang bergelimpangan, mati dalam keadaan
mengenaskan. Ada yang terbabat lehemya sampei
putus, ada yang kepalanya terbelah, dan ada pula
yang dadanya hangus terbakar surtn berbakas
telapak tangan Ki Angkara. Karena lelaki bengis itu
menggunakan ilmu 'Pukulan Iblis Berbisa'.
Ki Lurah Padri hampir saja menjadi korban,
kalau tak segera melompat mundur.
"'Pukula Iblis Berbisa'," desah Ki Lurah Padri
dengan mata menatap nanar pada Ki Angkara.
Ki Lurah Padri lalu mengambil tindakan untuk
mengamankan diri Hal itu dilakukan bukan karena
takut mati, tapi karena merasa harus segera
memberi kabar pada Kandanu, menantunya yang
saat itu berada di istana kerajaan.
"Karto...!" seru Ki Lurah Padri memanggil
seorang pemuda yang hendak turut mengeroyok Ki
Angkara. Pemuda itu segera menghampiri Ki Lurah
Padri yang berada di belakang sebuah rumah
penduduk.
Kau segera ke istana dan beri tahu
Kandanu..., cepat'"
Karto segera berlari menjalankan perintah
kepala desanya. Ki Lurah Padri agak lega, pemuda
itu telah melesat pergi dari Desa Pakis, menuju
istana untuk memberi tahu Kandanu tentang
kejadian itu.
Mendung yang sejak tadi bergayut di langit
kian menebal, membuat suasana Desa Pakis semakin
tercekam. Apalagi sebentar-sebentar suara petir
terdengar seakan hendak memecahkan bumi.
Pembantaian masih terus berlangsung. Iblis
Berkedok Dewa semakin merajalela membunuh
orang- orang desa.
"Mampus kalian...! Heaaa...!" geram Ki
Angkara dengan mata melotot memancarkan sinar
kebencian. "Kemana lurahmu yang tukang bohong
itu...?!"
Sambil berkata begitu, Ki Angkara terus
menghajar dan menghantam orang-orang yang
mengeroyoknya. Golok dan senjata lain dengan
mudah dipatahkan, lalu dihantamkan ke pemiliknya.
"Aaakh...!"
"Wuaaa...!"
Sementara itu, Ki Lurah Padri tengah
berusaha mcnyelamatkan putrinya, Murti Dewi,
yang sedang hamil muda.
"Cepat, Murti.... Kita harus segera pergi.
Cepat...! Sebelum iblis itu menangkap kita. Ayo,
cepat..!" perintah Ki Lurah Padri cemas pada
anaknya.
Murti Dewi dengan perasaan tegang terus
berlari mengikuti ayahnya. Ki Lurah Padri cepat
memegang lengan Murti Dewi yang nampak
ketakutan. Mereka terus berlari menembus hujan
lebat, berusaha menjauhi rumah yang akan disatroni
Ki Angkara.
Hujan pun turun semakin deras, bagai disiram
dari atas. Pembantaian masih berlangsung. Teriakan
dan jeritan panjang tiada henti, terdengar di sana
sini. Dan kini Ki Angkara telah sampai dekat rumah
Ki Lurah Padri yang telah sepi. Beberapa wanita
tua muda berlarian sambil menangis dan menjerit
mencari suami atau anak mereka yang mungkin
tewas dalam pertempuran menghadapi keberingasan
Iblis Berkedok Dewa.
Iblis Berkedok Dewa memasuki rumah Ki
Lurah Padri dengan cara menghancurkan pintu
rumah itu. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba dari
arah timur nampak beberapa lelaki penunggang
kuda memasuki Desa Pakis. Derap kaki-kaki kuda
bergemuruh, seakan bersaing dengan suara hujan
lebat. Sepuluh prajurit dengan seragam kerajaan
berwama kuning menggebah terus kuda mereka.
Seolah-olah mereka tak sabar untuk segera sampai
di Desa Pakis.
Kuda putih yang berada paling depan
ditunggangi seorang lelaki gagah perkasa. Dilihat
dari pakaiannya, lelaki itu adalah seorang senapati
atau panglima perang kerajaan. Dialah Senapati
Kandanu yang juga berjuluk Macan Kaligis.
Ki Angkara yang mengetahui kedatangan
pasukan prajurit kerajaan, segera melesat pergi
dengan hati geram dan marah. Lelaki tua beijubah
merah darah itu terus melesat menembus lebatnya
hujan.
Senapati Kandanu memerintahkan anak
buahnya untuk memeriksa rumah Ki Lurah Padri.
Ternyata rumah besar itu telah kosong. Beberapa
peralatan rumah tampak hancur berantakan.
Mengetahui keadaan sepi di rumah
mertuanya, Senapati Kandanu melompat dari
punggung kuda. Kemudian mencoba masuk ke
rumah.
"Kau temukan istriku dan Ki Lurah...?" tanya
Senapati Kandanu pada anak buahnya yang telah
memeriksa dalam rumah.
"Tidak seorang pun di dalam rumah ini,
Senapati," jawab prajurit itu.
Mendengar jawaban itu, Senapati Kandanu
tersentak kaget dan cemas. Sejenak dia berpikir,
lalu segera memerintahkan anak buahnya untuk
mencari ke seluruh penjuru desa.
"Kau beri tahu yang lain, cari sampai
ketemu...!" perintah Senapati Kandanu kepada anak
buahnya agar memberi tahu prajurit lain yang tidak
ikut ke rumah Ki lurah Padri.
"Baik, Senapati!"
Setelah prajurit itu pergi, Senapati Kandanu
masih memutar pikiran, ke mana istri dan mertuanya
pergi. Hatinya semakin diliputi kecemasan, karena
sang Istri tengah hamil.
"Keparat tua bangka itu! Kubunuh kau,
Iblis...!"
Kemudian dengan hati diliputi amarah dan
kecemasan, Senapati Kandanu menggebah kuda,
meninggalkan rumah Ki Lurah Padri, untuk
menyusul para anak buahnya yang telah menyebar
mengejar Iblis Berkedok Dewa.
Iblis Berkedok Dewa ternyata memang sengaja
membuat keonaran di Desa Pakis. Hal itu dilakukan
dengan tujuan untuk membuat malu Senapati
Kandanu yang telah mempersunting Murti Dewi.
Lelaki tua itu pun telah lama menyimpan dendam
dan amarah pada Kepala Desa Pakis. Ki Lurah
Padri dianggapnya telah berkhianat dan berbohong
padanya.
Dahulu, sebelum Murti Dewi yang menjadi
Kembang Desa Pakis dipinang Senapati Kandanu,
Iblis Berkedok Dewa yang juga lintah darat itu
telah beberapa kali mempengaruh] Ki Lurah Padri
agar menyerahkan putrinya untuk dijadikan istri.
Berulang kali bujukan dilakukan, tapi Ki Lurah
Padri selalu menolak dengan halus. Alasannya,
putrinya belum berminat menikah atau berumah
tangga.
Ki Angkara rupanya mengerti dan tetap
bersedia menunggu. Namun manakala mendengar
bahwa orang yang diharapkan ternyata dipersunting
Senapati Kandanu, Ki Angkara marah bukan
kepalang. Dendamnya semakin membara setelah
Murti Dewi dinikahi Senapati Kandanu. Itulah
sebabnya setelah menghilang dari Desa Pakis, Iblis
Berkedok Dewa selalu membuat keonaran di desa
yang dipimpin Ki Lurah Padri itu Berulangkali lelaki
tua itu selalu lolos dari kejaran Senapati Kandanu
dan prajurit kerajaan.
Belakangan diketahui kalau Ki Angkara
menjadi mata-mata Kerajaan Kelabang Sewu,
sebuah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan
Kerajaan Mandra Kulawa. Kerajaan Kelabang Sewu
ingin memisahkan diri dari kekuasaan Kerajaan
Mandra Kulawa. Namun cita-cita itu selalu
terkubur, apalagi setelah panglima perang Kerajaan
Mandra Kulawa dipegang Senapati Kandanu, si
Macan Kaligis!
Malam telah tiba, tapi hujan belum reda.
Seakan- akan hendak turut menyembunyikan jejak
Iblis Berkedok Dewa. Sementara itu, Senapati
Kandanu atau Macan Kaligis hampir putus asa. Di
wajahnya nampak kecemasan bercampur amarah
terhadap tindakan Iblis Berkedok Dewa.
Namun, ketika Senapati Kandanu baru saja
memerintahkan para anak buahnya untuk kembali
berkumpul, tiba-tiba dari arah selatan tampak dua
orang berlarian menembus hujan. Keduanya menuju
para prajurit kerajaan yang dipimpin Senapati
Kandanu. Kedua orang itu ternyata Ki Lurah Padri
dan Murti Dewi, yang tampak pucat dan basah
kuyup.
Melihat siapa yang datang, Senapati Kandanu
segera menghambur menyambut istrinya.
Dipeluknya wanlta yang tengah hamil muda itu
dengan kelegaan hati dan rasa kasih sayang.
Sementara, dua orang prajurit membimbing Ki
Lurah Padri membawa ke rumahnya. Senapati
Kandanu pun segera menuntun istrinya, masuk ke
rumah.
"Maafkan Kakang, Murti...," bisik Senapati
Kandanu pada Murti Dewi. Lalu direbahkannya
sang istri di ranjang. Dikeringkan sekujur tubuh
istrinya yang masih pucat dan lemas. Tak lama
kemudian wanita cantik itu tertidur kelelahan.
Malam terus merangkak. Di luar hujan mulai
reda. Murti Dewi pun mulai kembali sehat setelah
tertidur pulas cukup lama. Senapati Kandanu yang
menunggui selama sang Istri tidur, segera mendekat
dan duduk di tepi ranjang.
"Kakang...! Kakang...!" suara Murti Dewi
terdengar lirih dan lembut memanggil suaminya.
"Ya, Diajeng. Ini Kakang," sahut Senapati
Kandanu sambil mengusap lembut kepala Murti
Dewi dengan penuh kasih sayang. Bibirnya
tersenyum gembira melihat istrinya tampak mulai
segar.
"Aku takut, Kakang...," desah Murti Dewi
sambil meremas tangan Senapati Kandanu.
"Tenang, Diajeng! Yang penting kau selamat.
Kakang yang salah. Maafkan Kakang...! Sekarang
tak perlu kau takut dan khawatir. Kakang akan
selalu bersamamu, Diajeng...," Senapati Kandanu
mencoba menenangkan istrinya yang tampak masih
diliputi kecemasan.
Murti Dewi tersenyum manis seraya
memegangi pipi sang Suami dengan jari tangannya
yang halus. Senapati Kandanu lalu mencium lembut
kening Murti Dewi. Wanita cantik itu tersenyum
bahagia.
"Kakang, mudah-mudahan bayi dalam perut ini
lahir dengan selamat..! Aku khawatir nanti...,"
Murti Dewi tak meneruskan ucapannya karena
Senapati Kandanu menutup bibirnya dengan jari
telunjuk sambil tersenyum serta menggelengkan
kepala. Kemudian dipeluknya erat-erat tubuh sang
Istri dengan penuh kasih sayang.
"Jangan kau mempunyai perasaan begitu,
Diajeng. Percayalah pada Hyang Widhi, bayi itu
akan lahir dengan sehat, tanpa kekurangan apa
pun...!" Senapati Kandanu menghibur istrinya.
Murti Dewi takut akan keselamatan bayinya,
karena dirinya mengalami jatuh dua kali sewaktu
tadi berlari untuk bersembunyi di luar desa. Itulah
yang kecemasan dan ketakutan di hatinya, jika sang
Bayi kelak lahir.
Senapati Kandanu memeluk dan menciumi
sang Istri dengan penuh kasih, terus berusaha
menenangkan hati Murti Dewi. Sementara, di luar
malam semakin larut. Kegelapan menyelimuti Desa
Pakis. Hujan rintik-rintik menambah suasana
mencekam di desa yang baru saja mengalami
pembantaian oleh seorang tokoh sakti durjana.
Di tengah kegelapan malam dan rinai gerimis,
tampak para warga desa dibantu para prajurit
kerajaan inulai mengumpulkan mayat-mayat yang
tewas oleh nmukan Iblis Berkedok Dewa.
Malam itu juga mereka menguburkan para
korban diiringi derai tangis dan air mata seluruh
warga Desa Pakis. Obor-obor bambu terpancang di
sekitar pemakaman, seakan turut menyaksikan duka
cita warga Desa Pakis.
***
Semenjak peristiwa mengenaskan itu, Senapati
Kandanu memutuskan untuk lebih sering
mengunjungi Desa Pakis, menjenguk istrinya yang
tengah hamil. Atau kadang kadang, kalau terpaksa
dirinya tak bisa datang karena urusan di istana
kerajaan, terpaksa mengutus beberapa prajurit
untuk mengawasi Ki Lurah Padri dan Murti Dewi,
istrinya.
Tak terasa beberapa purnama telah berlalu.
Kini kandungan Murti Dewi telah sampai waktunya
untuk melahirkan. Sore itu, Senapati Kandanu pun
datang ke rumah mertuanya, Ki Lurah Padri.
Setelah menemui Istrinya yang berada di kamar
ditemani Nyi Ipah, seorang dukun bayi, Senapati
Kandanu berbincang- bincang dengan Ki Lurah
Padri di serambi depan rumah.
"Aku ikut bersalah, Nak Senapati. Aku tak
berte rus terang pada Ki Angkara waktu itu. Tapi
apa aku juga bersalah kalau menolak permintaan
lelaki tua itu meminang Murti...?" ujar Ki Lurah
Padri membuka permasalahan yang telah lama
terpendam di hati. Wajahnya nampak muram,
cemas.
"Tidak, Rama. Menolak atau menerima adalah
hak Rama. Ki Angkara memang manusia berhati
iblis yang periu ditumpas Aku telah berjanji dan
bersumpah untuk membunuhnya, bila tertangkap
nanti. Dia telah berani membuat onar di desa ini
dengan ilmu hitamnya. Aku harus menangkapnya,
cepat atau lambat..!" ujar Senapati Kandanu
sungguh-sungguh.
Ki Lurah Padri diam. Dihisapnya rokok
kawungnya, kemudian perlahan-lahan dihembuskan
asapnya. Senapati Kandanu pun diam. Keadaan
sejenak hening.
Waktu berputar begjtu cepat, malam pun
datang menyelimuti bumi. Awan hitam menutupi
bulan yang bersinar terang. Bumi berubah redup,
menambah sua- sana mencekam.
Malam itu Senapati Kandanu dan Ki Lurah
Padri kembali meneruskan pembicaraan mereka. Nyi
Ipah yang memang masih kerabat dekat dengan Ki
Lurah Padri malam itu tetap menjaga Murti Dewi.
Perempuan tua itu mengeluarkan minuman dan
makanan untuk Ki Lurah Padri dan menantunya,
Senapati Kandanu.
"Sampai di mana obrolan kita tadl..?" tanya Ki
Lurah Padri pada Senapati Kandanu.
"Ng..., soal ilmu yang dimiliki Ki Angkara,
Rama," jawab Senapati Kandanu.
"Hm..., ya. Aku tak habis pikir, dari mana dia
mendapatkan ilmu aneh itu."
"Ya, begitulah, Rama. Yang jelas Ki Angkara
telah menguasai ilmu sesat itu Namun sedikit pun
aku tak takut. Apalagi kini pihak Kerajaan Mandra
Kulawa telah mendengar bahwa si Iblis Berkedok
Dewa itu merupakan mata-mata dari Kerajaan
Kelabang Sewu. Berarti Ki Angkara, jelas musuh
Kerajaan Mandra Kulawa. Dan sebagai senapati
yang bertanggung jawab atas keamanan dan
ketenteraman rakyat, aku harus menangkap hidup
atau mati Ki Angkara!"
Ki Lurah Padri manggut-manggut, tanda
mengerti clan membenarkan ucapan menantunya.
"Ya, ya. Tapi Nak Senapati tetap harus
waspada dan hati-hati, menghadapi manusia licik
seperti Ki Angkara itu. Manusia seperti dia itu
pandai mengutamakan berbagai tipu muslihat.
Apalagi kudengar dia juga pandai menyamar," ujar
Ki Lurah Padri, tampak mencemaskan menantunya.
Senapati Kandanu nampak tak langsung
menjawab, la sedikit kaget mendengar penjelasan Ki
Lurah Padri. Dia tampak berpikir sejenak.
"Hmm... , aku justru belum tahu tentang itu,
Rama. Namum plhak kerajaan telah memutuskan
untuk membinasakan Iblis itu. Aku sendiri turut
merasa berdosa terhadap penduduk Desa Pakis
yang telah banyak menjadi korban kebiadabannya.
Untuk itu, aku pertaruhkan nynwa demi menangkap
Ki Angkara...!" ujar Senapati Kandanu yang telah
diliputi amarah, dan malu, akibat ulah Iblis
Berkedok Dewa.
Ya.. ya.. Aku memaklumi perasaanmu, sebagai
seorang abdi Kerajaan Mandra Kulawa. Tapi sekati
lagi, aku berpesan agar kau lebih tenang
menghadapi masalah iril. Dengan ketenangan jiwa
kau akan lebih inampu mencari siasat untuk
menaklukkan manusia iluijana seperti Ki Angkara.
Semoga Hyang Widhi berpihak pada kita....!"
"Terima kasih, Rama! Aku akan mencoba
melaksanakan nasihat Rama...," jawab Senapati
Kandanu sambil mengangguk penuh rasa hormat
terhadap mertuanya.
Sejenak keduanya kembali diam. Suasana
hening menyelimuti malam. Hanya bunyi jangkrik
dan sesekali celetukan burung hantu terdengar
memecah keheningan. Ki Lurah Padri meneguk
kopinya. Sementara Senapati Kandanu nampak
tengah memikirkan sesuatu.
***
2
Air hujan yang mengguyur Desa Pakis sejak
sore, membuat desa yang indah itu seketika
bagaikan mati. Kesunyian terus mencekam bersama
datangnya hawa dingin yang menusuk tulang
sumsum. Sesekali hujan berhenti, tapi kemudian
tercurah kembali.
Sementara itu di dalam kamamya, Murti Dewi
tengah berjuang mati-matian menghadapi kelahiran
anaknya.
"Aduh, Nyi! Oh, sakit sekali...!" keluh Murti
Dewi.
Wanita cantik itu terus mengeluh dan
mengaduh kvwkltan. Napasnya tersengal-sengal.
Keringat membanjiri sekujur tubuhnya, meskipun
hawa dingin menyelimuti malam itu. Namun
perasaan dan upayanya untuk mampu mengeluarkan
jabang bayi di dalam perut telah membuat tubuh
wanita cantik itu basah kuyup.
"Sabar, Murti...! Sabar...!" bisik Nyi Nipah,
sang dukun bayi, sambi terus berusaha membantu
Murti Dewi mengeluarkan bayi dalam
kandungannya.
"Ayo, Murti...! Cepat sedikit..., ayo...!" Nyi
terus memberi semangat, agar Murti Dewi
menghempaskan napasnya karena kepala bayi itu
telah mulai keluar.
"Hmh , ahhh! Ohhh...!" Murti Dewi menurut,
segera dikerahkan seluruh tenaganya untuk dapat
mengeluarkan sang bayi yanq sudah mulai keluar
kepalanya.
"Terus, Mur! Ayo, terus!" seru Nyi Nipah
memberi semanyat, supaya Murti Dewi tak
menghentikan hempasan tenaganya.
Wajah wanita muda itu kini nampak tegang
dan pucat. Keringat terus membanjiri selurah
tubuhnya. Meskipun tubuhnya tampak letih, Murti
Dewi terus berusaha mengeluarkan jabang bayinya.
Dihempaskan tenaganya dan....
"Oaaa...! Oaaa...!"
Terdengar suara bayi memecah keheningan
malam, seakan hendak membelah kegelapan malam
dan suara hujan.
Seketika Senapati Kandanu berucap syukur
kepada Sang Hyang Widhi. Hatinya diliputi perasaan
bahagia yang tak terkira. Wajah Senapati Kerajaan
Mandra Kulawa itu tampak ceria, karena sang
Anak yang ditunggunya telah lahir dengan selamat.
"Nak Senapati, ke sini! Lihat anakmul Besar
dan tampan, bukan?" tanya Nyi Nipah sambil
menimang bayi yang masih dengan ari-arinya. "Aku
melihat ada kelebihan pada bayi ini."
"Ah, Nyi Nipah ada-ada saja...," sahut
Senapati Kandanu seraya tersenyum.
"Nak Senapati ini dikasih tahu orang tua tidak
percaya. Cobalah perhatikan anakmu...."
"Benar kata Nyi Nipah, Nak Kandanu," Ki
Lurah Padri menimpali.
Senapati Kandanu hanya menyunggingkan
senyum. Bagi dirinya, mempunyai keistimewaan atau
tidak, yang jelas anaknya kelak harus dapat
mewarisi watak yang baik Dalam hatinya, Senapati
Kandanu berharap anaknya kelak akan menjadi
orang yang dapat diandalkan. Anak yang berbakti
kepada orang tua, negara, dan Hyang Widhi.
"Semuanya saya serahkan pada Hyang Widhi,
Rama," ujar Senapati Kandanu menanggapi ucapan
mertuanya.
Ki Lurah Padri dan Nyi Nipah mengangguk-
anggukkan kepala. Dalam hati, mereka merasa
bangga akan kerendahan hati Senapati Kandanu.
Meskipun seorang pendekar dan punya kedudukan
tinggi di kerajaan, lelaki muda itu tak pemah
angkuh dan tinggi hati.
Senapati Kandanu memang sangat dihormati
dan dihargai penduduk Desa Pakis. Maklum, karena
dialah satu-satunya orang Desa Pakis yang mampu
membuat harum nama desanya. Dan pembangunan
Desa Pakis ini kian maju semenjak Kandanu menjadi
pembesar diKerajaan Mandra Kulawa.
Kini Desa Pakis bukan desa yang terbelakang
seperti satu atau dua dasawarsa silam. Desa Pakis
kini merupakan desa yang ramai, tidak sedikit
saudagar kaya bertempat tinggal di desa yang aman
dan tentram itu. Ketenteraman dan keamanan
Desa Pakis . dan sekitarnya itu tak dapat
dilepaskan dari jasa Senapati Kandanu yang
mengirim pasukan prajurit ke desa itu empat kali
dalam satu purnama.
Senapati Kandanu menikah dengan Murti
Dewi dua tahun yang silam, tepatnya ketika
Senapati Kandanu kembali ke Desa Pakis. Mulai
saat itu pula Desa pakis mengalami banyak
perubahan.
Ketenangan dan ketenteraman warga Desa
Pakis kian bertambah pula semenjak menghilangnya
Ki Angkara. Lintah darat yang kejam itu kini tak
hanya dimusuhi warga desa Pakis, tapi merupakan
musuh Kerajaan Mandra Kulawa. Iblis Berkedok
Dewa itu kini menjadi buronan para prajurit
kerajaan.
Betapa bangga dan bahagia seluruh warga
Desa Pakis. Mereka semakin bangga dan kagum
terhadap Senapati Kandanu.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan warga
Desa Pakis yang sedang dilanda kebahagiaan dan
baru menyambut kelahiran bayi pertama dari
pasangan yang sangat dipuja-puja, Iblis Berkedok
Dewa masih berupaya terus mencari cara membalas
dendam pada Ki Lurah Padri.
Iblis Berkedok Dewa belum puas sebelum
mampu membalas dendam terhadap Ki Lurah Padri
dan Senapati Kandanu. Lelaki tua itu terus
berupaya mencari cara membuat malu Senapati
Kandanu di mata rakyat Kerajaan Mandra Kulawa.
Meskipun untuk melaksanakan maksud itu Ki
Angkara harus menghadapi rintangan berat,
menghadapi para prajurit kerajaan di bawah
pimpinan Senapati Kandanu.
Kemarahan Iblis Berkedok Dewa semakin
menjadi-jadi setelah salah seorang anak buahnya
memberi kabar bahwa Murti Dewi telah melahirkan
anak Kandanu. Mendengar berita tidak
menyenangkan itu, Ki Angkara segera memeras
otak, mencari jalan untuk membuat keonaran.
Sementara Ki Angkara sendiri mulai kesal setelah
menyadari bahwa dirinya menjadi buronan Kerajaan
Mandra Kulawa.
"Mungkinkah ini tanda-tanda kelak ia akan
menjadi orang besar seperti ayahnya?" ujar Nyi
Nipah. Pertanyaan itu seperti ditujukan pada diri
sendiri. "Cobalah Kakang Padri pegang tulang
belakang anak ini yang tampak begitu kokoh."
Sebagai seorang kakek, Ki Lurah Padri pun
menu rut memegang tubuh cucunya. Dielusnya
perlahan bagian belakang tubuh bayi itu.
"Benar apa katamu, Nyi!" seru Ki Lurah Padri
girang.
"Sudah kuduga, bahwa bayi ini kelak akan
menjadi seorang pemuda yang bakal menyamai
ayahnya."
Senapati Kandanu hanya tersenyum-senyum
mendengar ucapan kedua orang tua itu. Walau
begitu dalam hatinya memang mengharapkan bahwa
anaknya kelak akan menjadi orang yang baik, paling
tidak akan dapat mampu menggantikan dirinya. "Oh,
Hyang Widhi, puji syukur hamba panjatkan ke
hadiratMu," bisik Senapati Kandanu berdoa dalam
hati.
Senapati Kandanu sebenarnya ingin sekali
menimang bayinya, tapi merasa belum mampu,
karena terlalu kasar dirinya untuk ukuran tubuh
seorang bayi.
'Nyi Nipah, apa boleh aku menengok istriku?"
tanya Senapati Kandanu.
"Ya, boleh. Memangnya kenapa?" Nyi Nipah
balik bertanya.
"Ah, tldak apa-apa. Aku hanya takut kalau-
kalau nanti akan membuat istriku lemah saja."
Kau ini ada-ada saja, Nak Kandanu. Justru
istrimu akan bertambah semangat bila
didampingimu," tukas Nyi Nipah.
Senapatl Kandanu tersipu-sipu melihat Nyi
Nipah menyunggingkan senyum menggoda.
Kemudian dia segera meninggalkan ruangan tengah
dan masuk ke kamar Muill Dewi.
Breeet
Pintu kamar terbuka.
“Kakang..” desis Murti Dewi lirih.
Senapati Kandanu tersenyum, lalu
melangkahkan kakinya perlahan menghampiri
istrinya yang masih berbaring. Wajah Murti Dewi
tampak letih, setelah susah payah berjuang
melahirkan sang Bayi. Menurut orang tua,
melahirkan sama saja dengan berjuang menentukan
hidup atau mati. Nyawa sebagai taruhan dalam
melahirkan. Hal itu juga dialami Murti Dewi, yang
saat itu baru pertama kali melahirkan.
Senapati Kandanu mendekat, lalu perlahan
duduk di tepi ranjang tempat istrinya terbaring.
Murti Dewi menatapnya dengan pandangan sayu.
"Hm, kau sudah melihat anak kita, Kakang?"
"Sudah."
"Bagaimana, Kakang?"
Senapati Kandanu tidak menjawab, hanya
tersenyum. Perlahan dengan lembut diciuminya
kening Murti Dewi. Matanya menatap penuh
pancaran kasih sayang pada istrinya.
"Anak kita laki-laki, mirip denganku," jawab
Kandanu dengan bangga, membuat Murti Dewi
mencibir. "Hm, kau tak percaya, Diajeng?"
"Bukan tak percaya, Kakang. Aku percaya,
kok."
Senapati Kandanu tersenyum, begitu juga
Murti Dew. Keduanya nampak sangat bahagia.
Kemudian keduanya terdiam, seakan hanya
dengan tatapan mata sudah cukup bagi suami istri
itu untuk menyatakan apa yang ada dalam hati
masing- masing.
"Oaaa...! Oaaa...!"
"Dengarlah tangisnya, Diajeng."
"Ya. Tangisnya keras. Dia ingin .menunjukkan
bahwa dirinya mampu," jawab Murti Dewi.
"Kelak, mungkin dia akan melebihiku,
Diajeng," ujar Senapati Kandanu seraya
menggeleng-gelengkan kepala.
"Ya. Semoga saja, Kakang...."
Untuk kedua kalinya suami istri itu terdiam
tanpa kata, dan hanya napas mereka saja yang
terdengar mendesah berat.
Sementara itu di luar tamu-tamu tampak
berda- tangan walau hujan masih belum reda.
Kedatangan para tamu membuat pembantu-
pembantu Ki Lurah Padri bertambah repot. Namun
begitu, di wajah para pelayan nampak keceriaan .
Karena dengan begitu mereka akan turut
menikmati segala macam makanan yang belum tentu
tiap hari mereka rasakan.
"Wah, kini kau telah dlpanggil kakek, Adi
Padri," ujar Ki Purba, seorang sesepuh desa, yan
masih saudara seperguruan dengan Ki Lurah Padri.
"Usiamu kini makin bertambah, tapi telah ada calon
penerusmu."
"Ah, Kakang Purba bisa saja," gumam Ki
Lurah Padri mencoba berkelakar. "Bukankah
memang seharusnya begitu, Kakang?"
'Tepat. Sebagai orang tua, kita memang harus
menyadari bahwa sudah dekat dengan masa
istirahat kita. Jangan seperti Ki Angkara yang kini
entah di mana rimbanya."
"Maksudmu, Kakang?" tanya Ki Lurah Padri.
"Kau toh mengerti, Adi Padri. Ki Angkara
dulu pemah tergila-gila pada putrimu. Bayangkan
saja, kalau hal itu terjadi...."
Ki Lurah Padri menarik napas dalam-dalam.
"Memang, Ki Angkara sepertinya tak
menyadari usia. Seharusnya di usia yang setua itu,
Ki Angkara sadar, bahwa dirinya tak akan lama lagi
hidup di dunia." ,
Percakapan dua orang seperguruan itu
terhenti, ketika nampak rombongan dari kelurahan
lain datang. Di antara mereka tampak Ki Lurah
Rejo Sari, Muntilan, Ki Serono, serta lurah-lurah
lainnya yang semua merupakan kawan-kawan Ki
Lurah Padri.
Namun kedatangan mereka bukan semata-
mata karena Ki Lurah Padri, melainkan karena
Macan Kaligis. Sebagai lurah yang desanya
termasuk dalam wilayah Kerajaan Mandra Kulawa,
sudah sepantasnya mereka datang menjenguk, dan
turut menyatakan rasa bahagia atas kelahiran putra
Senapati Kandanu.
"Eh, ada tamu jauh...? Apa kabar semuanya?"
tanya Ki Lurah Padri menyambut para tamu.
"Bagaimana keadaan rakyat di desa kalian. Mudah-
mudahan selalu dalam kemuliaan."
"Regitulah seperti apa yang kau lihat, Ki
Padri," jawab Lurah Muntilan. "Kami datang
sebagai pernyataan rasa suka cita atas kelahiran
cucumu, Ki."
"Terima kasih. Sungguh kalian merupakan
kawan- kawan yang selalu memberikan bantuan dan
memberikan kebahagiaan."
Ki Lurah Padri segera mempersilakan kelima
lurah agar duduk di kursi yang telah disediakan.
Sementara dirinya pun harus segera menemui para
tamu yang lainnya. Kelima lurah itu pun dijamu
dengan ditemani sesepuh Desa Pakis, Ki Purba.
Namun kedatangan para tamu itu tampaknya
cukup mengherankan tuan rumah. Entah siapa yang
telah memberitahukan pada mereka, bahwa Maean
Kaligis telah mempunyai putra. Memang rasa-
rasanya tidak masuk akal kalau mereka tahu sendiri,
karena kebanyakan para tamu datang dari jauh.
Dari tempat yang harus menempuh peijalanan
mungkin sehari penuh. Kabar itu layaknya
disampaikan sehari atau dua hari yang lalu.
"Kalau boleh aku bertanya, kapankah Ki
Lurah sekalian mendengar kabar suka cita ini?" Ki
Purba yang cerdik, mencoba mencari keterangan
dari kelima lurah yang kini ditemaninya. Lelaki tua
itu berharap akan mampu menjawab dugaan
hatinya. Karena dia telah menduga adanya sesuatu
yang kurang berkenan di hatinya.
Kelima lurah itu saling pandang, sepertinya
kaget mendengar pertanyaan itu.
"Kami diberi tahu seorang lelaki tua yang
mengaku mempunyai hubungan dekat dengan Ki
Padri," jawab Ki Lurah Sura Gading.
Mendengar jawaban itu, Ki Purba tercengang.
Seketika keningnya berkerut karena heran.
"Lelaki tua...?" desis Ki Purba kaget.
"Benar," sahut Ki Lurah Muntilan. "Dia
mengatakan bahwa dirinya masih ada hubungan
saudara dengan Ki Padri."
"Ah...!" pekik Ki Purba lirih.
"Kenapa, Ki? tanya Ki Reja Sanga, melihat
keterkejutan Ki Purba. "Apa ada yang tidak beres,
Ki?"
Ki Purba menganggukkan kepala membuat
kelima lurah itu seketika membeliakkan mata.
"Jadi semua omongan orang itu dusta?" tanya
kelimanya serentak.
"Tidak semuanya," jawab Ki Purba.
Kelima lurah itu makin tak mengerti. Ki Purba
yang tahu gelagat, saat melihat kelimanya terkejut
segera menerangkan maksudnya.
"Memang benar apa yang dikatakan orang itu.
Akan tetapi orang itu bukanlah sanak saudara
kami."
"Heh?! Mengapa Ki Purba berkata begitu?"
tanya Ki Lurah Reja Sanga tak yakin. "Sedangkan
orang itu mengatakan bahwa dirinya adalah sanak
saudara Ki Padri."
Ki Purba terdiam, sulit untuk menerka siapa
sebenarnya orang itu. Bersamaan dengan
ketidakmampuan Ki Purba menjawab segala
pertanyaan kelima lurah itu, dari dalam tampak
Macan Kaligis keluar. Serta merta para tamu
bangkit dari tempat duduk Tanpa diperintah,
mereka menjura hormat.
"Salam sejahtera dan suka cita kami ucapkan,
Kanjeng Senapati!"
"Oh, selamat datang Ki Lurah sekalian!
Terima kasih atas segalanya!" sambut Senapati
Kandanu sadar bahwa dirinya jauh lebih muda bila
dibandingkan kelima lurah itu. Sepantasnya dirinya
menaruh hormat pada mereka. "Silakan duduk!"
Kelima lurah itu pun kembali duduk. Kali ini
kelimanya ditemani langsung orang yang mereka
hormati, Senapati Kandanu. Mereka kini diam.
Tiada seorang pun di antara mereka yang berani
membuka kata terlebih dulu untuk mengawali
pembicaraan. Di mata kelima lurah itu, Senapati
Kandanu merupakan orang yang amat disegani.
Padahal bagi Senapati Kandanu sendiri merekalah
yang sepantasnya dihormati. Pertama mereka
sebagai tamu, kedua mereka orang-orang tua yang
mempunyai pengalaman serta wawasan yang jauh
lebih banyak djbanding dengan dirinya. Hanya
karena soal nasib yang membedakan dirinya dengan
kelima lurah tersebut.
"Ki Lurah sekalian, kalau ini tidak
menyinggung hati Ki Lurah, saya ingin bertanya,"
akhirnya Senapati Kandanu membuka keheningan
yang menyelimuti mereka.
"Tentang apakah, Kanjeng Senapati?" Ki
Lurah Purwa Jati yang menimpali balik bertanya. Ki
Purwa Jati memang orang yang paling tua di antara
kelimanya. "Katakanlah kalau memang itu sangat
penting bagi Kanjeng Senapati."
Senapati Kandanu terdiam sejenak,
mengerutkan kening.
"Maaf! Kalau boleh aku tahu, dari siapa Ki
Lurah sekalian tahu, istriku hari ini melahirkan?"
tanya Senapati Kandanu setelah memandang
kelimanya satu persatu.
Kelima lurah itu tak segera menjawab.
Mereka menghela napas dalam-dalam lalu saling
pandang sejenak.
"Kami diberi tahu seorang lelaki tua," jawab Ki
Purwa Jati.
"Orang tua?" Senapati Kandanu balik bertanya
dengan kening berkerut.
"Ya!" jawab Ki Purwa Jati. "Orang tua
berjubah merah!"
Senapati Kandanu dan Ki Purba tersentak
mendengar penuturan Ki Purwa Jati. Mata
keduanya terbelalak. Mereka nampak seperti tak
percaya pada ucapan Ki Purwa Jati.
"Bagaimana mungkin Ki Angkara berani
lancang menampilkan diri?" tanya Senapati Kandanu
dalam hati. "Mungkinkah ia menyamar? Ah, tak
mungkin!"
"Kapan berita itu sampai Ki Lurah?" tanya Ki
Purba kemudian.
"Dua malam yang lalu," jawab Ki Purwa Jati.
Senapati Kandanu terdiam. Pandangan
matanya dllemparkan pada Ki Purba. Ki Purba yang
menangkap tatapan itu, sepertinya juga tidak tahu
harus berbuat apa. Lelaki tua itu tak mengerti apa
yang harus dilakukan. Untuk menangkap Ki
Angkara, jelas dia tak tahu keberadaannya.
"Ki Lurah sekalian! Kalau kalian tahu orang
itu, harap tangkap. Bukankah Ki Lurah telah
mendengar pengumuman dari kerajaan?" tanya
Senapati Kandanu.
Kelima lurah dan beberapa tamu yang
mendengar ucapan Maean Kaligis, tersentak kaget.
"Jadi...?" Ki Purwa Jati hendak bertanya
ketika dengan cepat Senapati Kandanu menyahut.
"Ya! Dialah Ki Angkara, orang yang kini
tengah diburu pihak kerajaan setelah berbuat onar
di sini dan terbuka kedoknya sebagai mata-mata.
Dia juga sering disebut Iblis Berkedok Dewa,"
papar Senapati Kandanu.
Kelima lurah itu mengangguk-anggukkan
kepala.
"Bila Ki Lurah sekalian mampu menangkapnya
hidup atau mati, akan mendapatkan imbalan dari
Kanjeng Gusti Galih Waskita."
Kelima lurah itu nampak gembira mendengar
imbalan yang dijanjikan raja bila mampu menangkap
Ki Angkara. Mereka telah membayangkan
bagaimana mereka akan memperoleh kedudukan
yang lebih tinggi bila dapat melaksanakan tugas itu
"Baiklah, akan kami perhatikan apa yang
Kanjeng Senapati katakan," jawab Ki Purwa Jati
yang diikuti keempat lurah lain.
"Kami juga tak dapat lama-lama di sini!"
tambah Ki Sura Gendring.
"Oh, mengapa mesti buru-buru?" Senapati
Kandanu mencoba mencegah.
"Maafkan kami! Kami harus mengurus apa
yang kami lakukan menjelang kunjungan Kanjeng
Gusti Galih Waskita untuk memeriksa desa kami!"
Ki Purwa Jati kembali menjawab.
"Baiklah! Hati-hatilah, dan ingat Ki Lurah,
bahwa sudah menjadi tugas kita menangkap
penjahat kerajaan!" tegas Senapati Kandanu.
"Akan kami perhatikan, Kanjeng Senapati,"
jawab kelimanya serempak.
Kelima lurah itu segera mohon pamit, pada Ki
Padri dan Ki Purba. Setelah menimang sang Bayi
yang nampak tenang, mereka menjura hormat pada
Senapati Kandanu, lalu meninggalkan rumah Kepala
Desa Pakis.
***
3
Kelima lurah yang pulang dari rumah Ki Lurah
Padri tampak beijalan diiringi para pengawal mereka
masing masing. Rombongan itu baru saja melewati
ta- pal batas Desa Pakis.
"Bagaimana menurutmu, Kakang Purwa Jati?"
tanya Ki Reja Sanga.
"Apa maksudmu, Adi Sanga?"
"Itu, mengenai Ki Angkara yang menjadi
buronan kerajaan. Apakah kita tak ikut mencari?
Siapa tahu kita yang beruntung mendapatkan
imbalan Itu, Kakang."
Ki Purwa Jati terdiam memikirkan pendapat
Ki Reja Sanga. Sebenarnya dalam hati Ki Purwa
Jati tak punya keinginan untuk mendapatkan
kedudukan yang lebih tinggi, seperti yang
diharapkan keempat lurah lainnya. Memang bagi Ki
Purwa Jati yang sudah tua, apalah arti jabatan
tinggi. Bahkan dirinya merasa sudah pantas
melepaskan segala urusan duniawi.
"Sebenarnya aku juga tertarik, tapi usiaku
tidaklah memungkinkan untuk terus memegang
Jabatan yang lebih tinggi. Untuk jabatan lurah saja,
kurasa sudah terlalu berat bagiku," jawab Ki Purwa
Jati polos. "Tapi, aku akan berusaha membantu
kalian."
"Kalau begitu, Kakang Purwa bersedia
membantu kami," kata Ki Sura Gandring.
"Aku akan berusaha," jawab Ki Purwa Jati.
"Karena ini menyangkut urusan kerajaan. Sekalian
membantu jika kalian benar-benar berminat dengan
tugas Int."
"Ah, terima kasih sebelumnya, Kakang Purwa!"
ujar Ki Kuncara, yang paling muda di antara kelima
lurah itu.
Kelimanya terus melangkah menyusuri jalan
becek, hingga alas kaki mereka kotor oleh lumpur.
Kelima lurah itu terdiam. Tak satu pun yang
berbicara. Begitu juga kesepuluh orang pengawal
mereka. Semua membisu, seakan-akan tengah
hanyut dalam pikiran masing-masing. Hanya suara
langkah kaki mereka yang terdengar di tengah
kegelapan malam yang dingin.
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat di
hadupan mereka. Kelima belas orang itu tampak
tersentak kaget, ketika mendadak sesosok tubuh
telah menghadang langkah mereka.
"Hah! Siapa kau...?!" bentak Ki Sura Gandring
seraya menghentikan langkah.
"Ha ha ha...! Ternyata kalian orang-orang yang
sangat menghormati senapati kerajaan itu. Ha ha
ha...l Tentunya kalian telah membuktikan bahwa
Senapati Kandanu benar telah mendapat
keturunan, bukan?" terdengar suara keras dari
sosok yang berdiri di depan kelima lurah itu.
Tampak di depan mata kelima lurah itu,
seorang lelaki tua berjubah merah darah. Pancatan
sinar matanya menunjukkan bahwa lelaki tua itu
memiliki ilmu tinggi.
"Tentunya kalian mendapat petuah-petuah
dari Senapati Kandanu, bukan?"
"Hm! Kau...! Kau Iblis Berkedok Dewa!" Ki
Reja Sanga tersentak.
"Kebetulan! Kebetulan sekali kau muncul,
Iblis!" lambah Ki Kuncara.
"Haaa...! Apa maksudmu, Ki Lurah?!" tanya
lelaki berjubah merah yang temyata Iblis Berkedok
Dewa. Matanya melotot tajam pada Ki Kuncara.
"Kami hendak mencarimu untuk ditangkap...!"
jawab Ki Purwa Jati.
"Menangkapku?! Hua ha ha...! Kalian ini lucu
dan aneh," sahut Iblis Berkedok Dewa dengan
menyipitkan mata seraya tertawa seenaknya. "Apa
aku tak salah dengar?"
"Tidak! Kau tak salah dengar! Kami memang
akan meringkusmu untuk diserahkan pada
kerajaan!" jawab IS Purwa Jati tenang. "Kau
merupakan musuh keraaan!"
"Ha ha ha...! Gila..., gila! Kalian temyata benar-
benar orang lucu dan aneh. Kalian anjing penjilat
raja...!" dengus Ki Angkara dengan membelalakkan
mata menatap tajam kelima lurah itu.
"Bangsat! Lancang kau, Iblis!" maki Ki
Kuncara geram. "Manusia busuk! Lintah darat!
Seraaang...!"
Ki Kuncara tampaknya tak sabar untuk
bertele-tele mengadu mulut. Tangannya dikibaskan,
memberikan isyarat pada kesepuluh pengawalnya
agar menyerang, Melihat perintah itu, kesepuluh
pengawal melesat maju mengepung si Iblis Berkedok
Dewa.
"He he he...! Mengapa meski cecunguk-
cecunguk ini yang maju?! Bukankah lebih baik
kalian?" Ki Angkara terkekeh, seolah-olah tak
memandang sebelah mata pun pada kesepuluh
pengawal lima lurah itu. Bahkan ucapan Ki Angkara
itu seakan engejek pada kelima lurah itu.
"Dasar manusia iblis! Belum sepantasnya kami
maju..!" gertak Ki Kuncara marah. Sementara
keempat lurah lain masih tampak tenang tanpa
tanggapan. Mereka hanya mengawasi gerak-gerik
Iblis Berkedok Dewa.
"Pintar...! Pintar sekali kalian. He he he...!
Baik, kalau itu yang kalian inginkan! Hiaaa...!"
Tanpa banyak kata lagi, Ki Angkara melesat
menyerang kesepuluh pengawal itu. Kaki dan
tangannya bergerak begitu cepat, sepertinya ingin
segera menjatuhkan kesepuluh pengawal lurah.
Namun kesepuluh pengawal lurah itu tampaknya
bukan orang-orang sembarangan. Gerakan mereka
tampak lincah dan gesit
Tangan Iblis Berkedok Dewa menyodok ke
depan, bergerak ke kanan dan kiri. Itulah jurus
'Sapuan Iblis'. Dari pukulan dan tendangan yang
cepat menimbulkan deru angin keras. Bersamaan
dengan serangan-serangan yang keras dan cepat
tubuh lelaki berjubah merah itu tampak bergerak
ke sana kemari menghindari para pengawal lurah
itu.
"Mampus kau...!" seru Ki Angkara.
Wut...!"
"Belum, Iblis Laknat!" sahut Sawar seraya
tangannya bergerak mencengkeram ke tubuh lawan.
Wret!
Iblis Berkedok Dewa rupanya tahu gerakan
lawan. Sehingga dengan cepat tangannya ditarik
sambi! menyikut musuh di belakangnya yang hendak
menyerang. Sementara kaki kanannya mengayun ke
depan, menggantikan tangan yang ditatik ke
belakang. Gerakan Iblis Berkedok Dewa ini begitu
cepat, sehingga kedua orang yang diserangnya tak
sempat bergerak menghindar. Keduanya nampak
mati langkah, sehingga gerakan mereka nampak
kaku dan lambat. Hal Itu membuat kedua pengawal
itu tak mampu mengelak. Dan....
Wuttt!
Bukkk! Bukkk...!"
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Sawar dan Parmin terpekik keras, ketika
tangan dan kaki lawan mendarat telak di wajah dan
bawah perut mereka. Kedua pengawal lurah itu
terhuyung-huyung dengan mulut meringis kesakitan.
Melihat kedua kawan mereka mendapat
serangan lawan, kedelapan pengawal lain segera
melompat me- nyerang secara serempak. Dengan
kemampuan yang ada, mereka melakukan serangan.
Empat orang menyerang dari depan, sedangkan
empat orang lain siap menggempur Iblis Berkedok
Dewa dari belakang.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Empat pasang tangan dari keempat pengawal
lurah bergerak menyerang. Meskipun serangan yang
dilancarkan tampak cepat dan ganas, tapi Iblis
Berkedok Dewa dengan enak berkelebat ke sana
kemari mengelakkan pukulan-pukulan gencar itu.
"Yeaaa...!"
Wut!
Kembali empat orang lainnya menyerang
dengan cakaran tangan. Namun seperti empat
rekannya yang mendahului menyerang, mereka tak
mampu mendaratkan serangan ke tubuh lawan.
Bahkan kini Iblis Berkedok Dewa mampu
melancarkan serangan balasan dengan tendangan
dan pukulan secara cepat dan beruntun.
Jurus yang digunakan Iblis Berkedok Dewa
sungguh aneh, tampak kaku dan tak beraturan.
Namun dalam setiap gerakan mampu menimbulkan
desir nngin keras. Hal itu menandakan kekuatan
tenaga dalam yang dikerahkan dalam setiap
serangan.
"Heaaa...!"
Wut!
Tangan Iblis Berkedok Dewa menjulur ke
depan. ltulah jurus 'Cakar Iblis', sebuah jurus yang
sukar untuk diikuti karena kecepatan gerakannya.
Tidak ketinggalan, kedua kakinya nampak menekuk
agak rendah, membuat tubuh lelaki beijubah merah
itu selalu lepas dari serangan lawan.
"Mampus kau...!" bentak Ki Angkara seraya
menjulurkan tangan kanannya agak panjang ke
depan.
Wret!
Flak! Plak!
"Akh...!"
Pekikan tertahan terdengar dari dua
pengawal lurah yang terhantam serangan tangan
Iblis Berkedok Dewa. Dirasakan hawa panas
menjalar ke tubuh mereka yang seketika membeliak.
Bahkan kemudian dirasakan tulangnya bagaikan
remuk.
"Heaaa...!"
Ki Angkara kembali melancarkan serangan
keras dengan pukulan tangan. Dengan cepat kedua
orang yang terluka itu melompat ke belakang
mengelakkan serangan. Kemudian dua pengawal lain
telah melesat menggantikan serangan kedua teman
mereka yang terluka.
Kelima lurah yang menyaksikan pertarungan
para pengawal mereka melawan Iblis Berkedok
Dewa tampaknya merasa khawatir. Mereka mulai
menyadari bahwa lelaki berjubah merah itu bukan
lawan sembarangan.
"Rasanya kita harus turun tangan, Kakang!"
ujar Ki Reja Sanga pada Ki Purwa Jati.
"Hm...! Kau benar. Kalau kita tak segera
turun tangan, aku yakin mereka tak mampu
mengalahkan manusia iblis itu...," sahut Ki Purwa
Jati.
"Tapi, apa tak sebaiknya kita serang
sekarang?" tanya Ki Kuncara, menimpali. "Kurasa
dalam keadaan seperti sekarang ini kita sangat
tepat untuk menyerangnya."
"Nanti kita akan dibilang pengecut," sahut Ki
Sura Gandring.
"Alaaah...! Mengapa Kakang Sura berpikir
sampai sejauh itu? Dalam menghadapi musuh
seperti itu, kita tak perlu banyak memikirkan
pengecut atau tidak," Ki Serana yang dari tadi diam
kini ikut menimpali. Hatinya sudah tak sabar untuk
segera membekuk Ki Angkara. "Ayo kita serang!
Hiaaat...!"
Keempat lurah tersentak melihat Ki Serana
telah mendahului menyerang.
"Ha ha ha...! Hebat! Kalau begini aku suka.
Ayo yang lain, maju agar aku kirim kalian ke
neraka...!"
Sambil berteriak begitu, tangan Iblis Berkedok
Dewa bergerak menyambar. Sementara kaki
kanannya menendang ke belakang.
Dukkk! Bukkk!
"Aaah...!"
Pekikan keras kembali memecahkan
keheningan malam ketika dua orang pengawal
terhantam serangan Iblis Berkedok Dewa.
Keduanya mengerang kesakitan, lalu jatuh ke
tanah.
Melihat hal itu, kelima lurah segera
melancarkan serangan. Kini Iblis Berkedok Dewa
harus menghadapi orang-orang yang mungkin
ilmunya lebih tinggi dibanding kesepuluh pengawal
mereka.
Kelima lurah secara serentak melakukan
serangan gencar. Hal itu membuat Iblis Berkedok
Dewa terkesiap kaget.
"Heaaa...!"
Wut!
Ki Purwa Jati mengibaskan tangan ke depan,
mencoba membabat wajah lawan. Namun gerakan
cepat itu tampak tak lepas dari perhatian Iblis
Berkedok Dewa. Lelaki tua berjubah merah itu
segera melompat ke belakang mengelakkan pukulan
Ki Purwa Jati.
Melihat lawan bergerak mundur, para
pengawal lurah segera merangsek dari belakang.
Namun Iblis Berkedok Dewa begitu awas matanya.
Dengan cepat kedua tangannya dikibaskan untuk
memapak serangan dari para pengawal.
Wut!
Plak! Plak...!
"Akh...!"
"Wuaaa...!"
Enam orang pengawal lurah terpekik keras.
Tangan mereka melepuh seperti terbakar. Hawa
panas seketika menjalar ke seluruh tubuh. Entah
ilmu macam apa yang dikeluarkan Ki Angkara.
Keenam pengawal lurah itu mengerang menahan
sakit sambil melangkah mundur. Sementara itu
kelima lurah langsung menggebrak dengan serangan
gencar.
"Heaaa...!"
Teriakan,keras mengiringi serangan gencar
kelima lurah.
Wret!
Bukkk!
"Aaah...!"
Ki Reja Sanga teipekik keras. Tubuhnya
sempoyongan ke belakang ketika tangan Iblis
Berkedok Dewa menghantam telak dadanya.
Seketika dadanya dirasakan panas dan perih. Dia
semakin tersentak kaget dengan mata terbelalak
ketika di dadanya menggurat hitam bekas tangan
Iblis Berkedok Dewa.
'"Pukulan Iblis Berbisa'...," desis Ki Reja Sanga
pelan.
"He he he...! Kau tahu juga, Ki Lurah!
Sebaiknya kalian segera minggat dari sini!"
Ki Angkara tertawa mengejek sambil
tangannya terus bergerak memapak dan menyerang.
Sementara keempat lurah lain tampak lebih berhati-
hati meng-hadapi lelaki berjubah merah itu. Iblis
Berkedok Dewa ternyata bukan lawan
sembarangan, melainkan seorang yang sangat
berbahaya dengan ilmu 'Pukulan Iblis Berbisa'nya.
Wut!
"Awas...!" Ki Purwa Jati memperingatkan pada
ketiga rekannya untuk hati-hati.
Keempat lurah dengan cepat melompat
mundur. Namun ternyata serangan Iblis Berkedok
Dewa hanya tipuan belaka. Serangan itu sebenarnya
ditujukan kepada keenam pengawal yang telah
kembali menyerang. Sungguh suatu gerakan yang
sukar diduga. Begitu cepat lelaki betjubah merah
itu memutar tubuh sambil memapak serangan
lawan.
Keenam pengawal lurah tersentak kaget
mendapati serangan cepat dan tiba-tiba itu.
Mereka berusaha mengelak, tapi gerakan tangan
Iblis Berkedok Dewa ternyata datang lebih cepat.
Sehingga....
"Heaaa...!"
Buk! Buk!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Jeritan kematian terdengar susul-menyusul,
ketika dada keenam pengawal terhantam tangan
Iblis Berkedok Dewa. Tubuh mereka terlontar
beberapa langkah ke belakang, dengan dada hangus
bagai terbakar. Lalu terbanBng beberapa tombak di
depan Ki Angkara. Mulut keenam lelaki muda itu
mengerang-erang. Sejenak mereka berkelojotan,
tapi kemudian diam dan mati.
Kini tinggal kelima lurah yang masih mampu
bertahan. Mata mereka menatap nanar pada
keenam pengawal yang terkapar tak bemyawa lagi.
Belum sempat rasa kaget mereka lenyap, tiba-tiba
Iblis Berkedok Dewa telah melesat melakukan
serangan.
"Terimalah 'Pukulan Iblis Berbisa'ku. Hiaaa...!"
"Bedebah! Kubunuh kau, Keparat!" geram Ki
Purwa Jati. "Seraaang...!"
Keempat lurah segera menyerbu melakukan
serangan. Sementara itu Ki Reja Sanga yang terluka
dadanya tidak ikut melakukan serangan.
"Hiaaat..!"
Wuttt"
Wret!
Tangan dan kaki keempat lurah secara
serentak melakukan serangan. Sementara Iblis
Berkedok Dewa tampak lebih berwaspada
menghadapi keempat lawannya. Tubuhnya
berkelebat ke kanan dan kin berusaha mengelakkan
serangan gencar yang terus mencecar ke tubuhnya.
“Hiaa….”
"Plak!
“Buk!
Ki Purwa Jati dan Ki Kuncara berhasil
mendaratkan dua pukulan telak ke tubuh Iblis
Berkedok Dewa. Seketika tubuh lelaki berjubah
merah itu terhuyung-huyung beberapa langkah ke
samping, lalu terjatuh ke tanah. Dua pukulan lawan
mendarat telak di dada dan IhVlian rusuknya.
Namun dengan cepat tubuhnya telah kembali
bangkit berdiri. Tampak tangannya meraba dada
dan tulang rusuk yang dirasakan amat nyeri
"Kurang ajar! Kalian berani menentangku,
Cecunguk!" geram Iblis Berkedok Dewa. Lalu
tubuhnya melesat berusaha membalas serangan
keempat lurah.
Melihat kegeraman Iblis Berkedok Dewa,
keempat lurah tampak tenang. Dengan
mengandalkan jurus- jurus ringan, mereka bergerak
untuk mengelakkan serangan membabi-buta lawan.
Namun sesekali mereka masih mampu melakukan
serangan ke tubuh lelaki berjubah merah itu.
"Hiaaa...! Kubunuh kalian...!"
Wret!
Dengan kedua tangan membentuk cakar, Iblis
Berkedok Dewa melesat melakukan serangan
dahsyat Yang dituju Ki Purwa Jati. Lelaki berjubah
merah itu tampaknya mampu membaca bahwa
kekuatan lawan berada pada Ki Purwa Jati.
Sementara itu, Ki Purwa Jati pun mengetahui
gelagat lawan. Maka dengan cepat dia melakukan
gerakan untuk mengatasi serangan Iblis Berkedok
Dewa.
"'Laksa Genta'...! Hiaaa...!"
Dengan jurus 'Laksa Genta' Ki Purwa Jati
melen ting ke udara untuk melakukan serangan
dahsyat Ketiga lurah yang lain segera menyusul. Kini
keempat sekawan itu melayang di udara.
"Hiaaa...!"
"Yeaaah...!"
Iblis Berkedok Dewa yang segera mengetahui
bahaya bakal mengancam dirinya, dengan cepat
mencelat untuk mengatasi serangan lawan.
Tampaklah lima sosok tubuh melesat begitu
cepat dan melayang di udara. Seketika lima
kekuatan tenaga dalam bertemu dan saling beradu.
Glarrr...!
Seketika itu pula sebuah ledakan keras
mengge- legar terdengar memekakkan telinga,
ketika keempat kekuatan beradu dengan kekuatan
Iblis Berkedok Dewa. Keempat tubuh lurah
melayang tak tentu arah, lalu terjatuh sekitar
delapan tombak dari tempat pertarungan.
Keempatnya tak mampu lagi bangkit, karena
seketika itu pula nyawa mereka telah melayang dari
raga. Di dada masing-masing tergambar tanda
telapak tangan Iblis Berkedok Dewa.
"Huk...l Huaaak..., akhhh...!" Iblis Berkedok
Dewa memuntahkan darah, seolah-olah hendak
membuang rasa sakit yang mendera sekujur tubuh.
Setelah muntah, lelaki berjubah merah itu segera
bangkit berdiri lalu melesat meninggalkan kelima
belas mayat yang terkapar di tanah basah.
Angin malam menderu, hujan makin deras,
seakan-akan turut menyaksikan kejadian
mengenaskan yang dialami lima lurah dan kesepuluh
pengawal mereka.
***
4
Pagi terasa sangat sejuk. Angin yang bertiup
lembut, membelai dedaunan. Di antara kicauan
burung- burung di pepohonan terdengar suara
suling mengalun merdu menyeruak memecahkan
suasana pagi itu. Alunan itu seakan-akan ditiup
seseorang yang hatinya tengah hanyut dalam
penghayatan terhadap keindah- an atam.
Di sebelah barat, tampak seorang pemuda
berpakaian rompi kulit ular tengah duduk di bawah
sebuah pohon rindang, pada sebatang akar yang
mencuat di atas tanah. Pemuda yang tak lain Sena
Manggala, atau lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Gila itu nampak begitu asyik meniup
Suling Naga Saktinya. Melantunkan lagu merdu,
lagu pujaan terhadap indahnya alam.
Akar pohon tempat duduk Pendekar Gila
berada di tepi sebuah telaga, di sekitar Hutan
Randu Kembar. Karena begitu jerruh air telaga
yang tak seberapa luas itu tampak berkilauan
ditimpa sinar matahari pagj. Menciptakan sebuah
panorama indah laksana pelangi, menghiasi sekitar
hutan itu.
Mei Lie
Andai kau ada di sampingku
Ingin aku bercerita
Tentang indahnya dunia ini
Tentang sepinya hatiku ini
Itulah bait-bait syair yang tengah
didendangkan Pendekar Gila, sebagai pelipur sepi
hatinya. Kemudian ditiupnya kembali Suling Naga
Sakti, mengalunkan irama lembut mendayu sukma.
Seakan burung pun turut terharu, mendengar
nyanyian yang dialunkan suling itu. Alam hening,
angin semilir lembut, seakan turut merasakan pilu
hati Pendekar Gila.
Namun tiba-tiba dari kejauhan tampak lima
orang penunggang kuda berlari menuju telaga
tempat Pendekar Gila berada. Dilihat dari pakaian
yang dikenakan, kelima orang itu adalah para
prajurit Mereka terburu-buru, menggebah kuda
tunggangan agar terus berlari. Wajah para prajurit
itu lampak diliputi kecemasan, seakan ada sesuatu
yang terjadi.
"Hai, sepertinya mereka prajurit Kerajaan
Mandra Kulawa. Ada apa mereka nampak terburu-
buru...?" gumam Sena seraya menghentikan tiupan
sulingnya. Matanya memperhatikan lima prajurit
Kerajaan Mandra Kuwala yang semakin dekat
dengan telaga tempat dirinya berada.
"Hop! Kita istirahat di sini dulu..!" seru salah
seorang prajurit yang bertubuh tinggi tegap dengan
kumis tebal. Dilihat dari pakaian yang
dikenakannya, lelaki ini tentu sebagai pimpinan dari
keempat prajurit lainnya.
Kelima prajurit itu pun menghentikan kuda
mereka. Kemudian segera turun dari punggung
kuda, lalu melangkah mendekat ke arah Pendekar
Gila yang masih duduk sambil meniup Suling Naga
Sakti.
"Kisanak, suara sulingmu merdu sekali. Terasa
sejuk dan menyentuh jiwa," ujar pimpinan prajurit
dengan bibir tersenyum. Pimpinan prajurit itu
melangkah, lalu duduk di samping Pendekar Gila
yang segera menghentikan tiupan sulingnya.
"Aha, terima kasih! Hanya begitulah yang
dapat kulakukan," sahut Sena sambil menggaruk-
garuk kepala, sedangkan mulutnya nyengir. Hal itu
membuat pimpinan prajurit mengerutkan kening,
sepertinya kaget melihat tingkah laku pemuda yang
persis orang gila itu.
"Hai, kaukah yang sering disebut sebagai
Pendekar Gila, Kisanak...?" tanya pimpinan prajurit
Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila,
seakan hendak meyakinkan kalau pemuda di
hadapannya memang Pendekar Gila.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Dimasukkan Suling Naga Sakti ke ikat
pinggangnya. Lalu dengan tersenyum-senyum lucu
mi rip orang gila, Sena bangkit dari duduknya.
"Ah ah ah, terlalu tinggi, Tuan Senapati!
Namaku Sena. Hanya orang-orang sering
menyebutkan Pendekar Gila. Hi hi hi...! Mungkin
karena aku gila," ujar Sena sambil menggaruk-garuk
kepala.
"O, sungguh tak kusangka! Terimalah salam
kami, Pendekar Gila! Maaf jika kami
mengganggumu!" ujar pimpinan prajurit itu sambil
menjura hormat Tindakan itu membuat keempat
prajurit lain turut melakukan hai yang sama.
"Janganlah Tuan Pendekar sebut diriku sebagai
Tuan Senapati! Karena sesungguhnya aku ini
sebagai senapati rendah. Masih ada seorang
senapati di atasku. Namaku Braja."
"Ah ah ah, sudahlaK Tak perlu kalian berlaku
begitu!" ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Seharusnya akulah yang memberi hormat pada
kalian. Bukan malah sebaliknya."
Melihat sikap ramah yang ditunjukkan
Pendekar Gila, kelima prajurit itu langsung berubah
sikap. Lalu mereka duduk di samping Pendekar
Gila, sambil menikmati keindahan pagi yang sejuk.
"Pagi ini sangat indah," gumam Senapati Braja
sambil melepaskan pandang ke telaga yang aimya
jemih. "Sungguh, pagi akan semakin bertambah
in¬dah, jika kau mau mendendangkan irama
sulingmu, Tuan Pendekar. Kudengar suara sulingmu
sangat merdu. Cocok sekali dengan suasana pagi
ini."
Pendekar Gila hanya cengengesan dengan
tangan kembali menggaruk-garuk kepala. Matanya
turut memandang ke telaga yang tampak tenang.
Lalu tangannya memungut sebuah kerikil dan
langsung dilemparkan ke telaga. Seketika,
gelombang air melingkar- lingkar di tepinya.
"Aha, kurasa tiupan sulingku sangat sumbang,
Tuan Senapati. Apalah artinya aku yang bodoh ini,"
jawab Sena berusaha merendahkan diri.
"Ah, kau terlalu merendahkan diri, Sena,"
tukas Senapati Braja. "Apa salahnya, jika sekali lagi
kami mendengamya?"
Pendekar Gila tertawa sambil menggaruk-
garuk kepala mendengar ucapan Senapati Braja.
Lalu kaki nya melangkah menuju akar pohon yang
menonjol tempat duduknya tadi. Diambilnya Suling
Naga Sakti, lalu kembali ditiupnya, mengalunkan
irama merdu mendayu-dayu.
Senapati Braja dan keempat prajuritnya
mengangguk-anggukkan kepala menikmati irama
merdu yang ditiupkan Pendekar Gila. Mereka
bagaikan diajak untuk menghayati indahnya alam,
sampai-sampai ini mereka lupa akan tujuan yang
sebenarnya. Sukma mereka bagai hanyut, bersama
alunan irama suling Pendekar Gila.
"Aha, kiranya Tuan Senapati ada kepentingan.
Mengapa harus bersantai-santai di sini?" tanya Sena
mencoba mengingatkan Senapati Braja.
"O, benar. Aha, mendengar irama sulingmu,
membuatku terhanyut dan lupa akan tugas yang
tengah kuemban," gumam Senapati Braja sambil
tersenyum dengan kepala menggeleng-geleng. Kalau
saja Pendekar Gila tidak segera menyadarkan,
sudah pasti dirinya dan keempat prajurit lain akan
tetap berada di tepi telaga itu.
"Hi hi hi...! Tuan Senapati, kalau boleh aku
tahu, hendak ke mana tujuan Tuan?" tanya Sena,
tanpa mengurangi rasa hormatnya.
"Aku hendak mengunjungi Desa Pakis,
terutama ke rumah Ki Lurah Padri. Ini merupakan
tugas semenjak istri Senapati Kandanu melahirkan,"
jawab Senapati Braja.
"Aha, jadi Kanjeng Senapati Kandanu telah
dikaruniai putra...?" tanya Sena, agak terkejut.
"Begitulah, Tuan Pendekar."
"O..., aku turut bersuka cita kalau begitu.
Kuharap putranya kelak akan jadi anak yang baik.
Anak yang menuruni sifat ksatria ayahnya," ujar
Sena setengah bergumam.
"Terima kasih, semoga begitulah anak itu
kelak!" sahut Senapati Braja. "Apakah Tuan
Pendekar berkenan berangkat ke sana bersama
kami?"
Sena masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Matanya memandang ke langit yang
bening, biru menghampar luas.
"Ah ah ah, terima kasih! Gampang, nanti aku
menyusul," jawab Sena, menolak secara halus.
"Baiklah kalau begitu, kami berangkat
sekarang! Semoga Hyang Widhi mempertemukan
kita kembali," kata Senapati Braja sambil menjura
hormat, diikuti keempat prajurit lainnya. Lalu
setelah Pendekar Gila membalas menjura, kelima
prajurit Kerajaan Mandra Kulawa itu melangkah
menuju ke kuda mereka yang sedang merumput di
tepi telaga.
Pendekar Gila berdiri mematung, memandangi
kelima prajurit itu. Tangannya menggaruk-garuk
kepala, dengan mulut cengengesan. Suling Naga
Saktinya dimasukkan ke ikat pinggangnya kembali.
"Hati-hati, Senapati!" seru Sena mengingatkan.
"Terima kasih!" sahut Senapati Braja sambil
naik ke kudanya. Kemudian dengan melambaikan
tangan, kelima prajurit itu menggebah kuda mereka
meninggalkan tepi telaga, menuju ke barat.
Pendekar Gila tersenyum sambil mengangguk-
anggukkan kepala melepas kepergian kelima prajurit
Kerajaan Mandra Kulawa.
Pendekar Gila kembali duduk sambil
memandang ke telaga. Sesaat dirinya termenung.
Ingatannya melayang pada Mei Lie, gadis Cina yang
sangat dicintainya, tapi kini jauh di mata.
"Ah, Mei Lie.... Mungkinkah kau rindu
padaku?" gumam Sena dengan masih termenung,
membayangkan saat-saat indah bersama gadis Cina
itu. Entah mengapa kini tiba-tiba ingatannya pada
Mei Lie meng- gugah persaannya, membangkitkan
kerinduan yang sangat dalam.
Belum lenyap ketermenungan Pendekar Gila,
tiba-tiba telinganya mendengar derap langkah kaki
kuda dari arah barat. Sena tersentak, ketika
melihat seorang prajurit datang dengan wajah
diliputi rasa takut
"Aha, ada apa, Kisanak? Di mana Senapati
Braja ?" tanya Pendekar Gila dengan kening
berkerut, merasa rasa heran karena kedatangan
prajurit yang tidak bersama temannya.
"Tuan Pendekar, tolong! Tolong..., Senapati
Braja ..."
"Aha, kau begitu gugup. Ada apa...?"
Prajurit berusia sekitar empat puluh tahun
itu menghela napas dalam-dalam, berusaha
menenangkan perasaannya. Beberapa kali hal itu
dilakukan, tapi jantungnya tetap berdegup keras
dengan napas tersengal-sengaL
"Kami dihadang seorang lelaki tua yang
mengaku bemama Iblis Berkedok Dewa. Dia..., dia
menyerang kami. Kini, dia masih bertarung dengan
Senapati Braja dan teman-taman," tutur prajurit itu
dengan suara terbata-bata, dan napas tersengal-
sengal.
"Aha, yang menurut cerita Senapati Kandanu,
si lintah sawah itu? Hi hi hi...!" Sena tertawa
cekikikan sambil menutupi mulutnya.
"Lintah darat, Tuan Pendekar!" sahut prajurit
itu, akan-akan ingin membenarkan ucapan Pendekar
Cilia
"Aha, benar! Lintah darat. Ah ah ah! Rupanya
dia masih suka menghisap darah. Hi hi hi...!" kembali
IVndekar Gila tertawa cekikikan sambil menutupi
mulut dengan telapak tangannya.
"Cepatlah, Tuan Pendekar! Aku khawatir
teman- teman dan Panglima tak mampu
menghadapinya!" desak prajurit itu tak sabar.
Wajahnya tampak semakin tcgang mencemaskan
keempat kawannya.
"Aha, ayolah!"
"Naik kudaku, Tuan!"
"Aha, terima kasih."
Pendekar Gila langsung melompat. Dan
setelah bersalto beberapa kali, dengan ringan
hinggap di punggung kuda yang tinggi besar warna
coklat tua itu.
"Hap!"
Trep!
"Heaaa...!"
Kuda itu melesat, membawa Pendekar Gila
dan prajurit kerajaan, menuju ke tempat Senapati
Braja dan ketiga prajuritnya sedang bertarung
melawan Iblis Berkedok Dewa.
"Hea...! Cepat lari, Puyuh! Hea...!" prajurit itu
terus menggebah kudanya, dengan harapan segera
sampai di tempat tujuan.
"Hua ha ha...! Mana bisa kuda ini lari kencang,
Prajurit? Dia keberatan," ujar Sena. "Kasihan dia!
Dia pun punya perasaan."
'Tapi kita harus segera sampai, Tuan
Pendekar."
"Aha, terserah kau saja, Prajurit."
"Hayo, Puyuh. Cepat sedikit! Hea he...!"
Kuda bernama Puyuh itu bagaikan memahami
perintah tuannya. Seketika larinya bertambah
kencang, terus melesat ke arah barat.
Sementara itu di tengah Hutan Randu
Kembar nampak sebuah pertarungan sengit tengah
berlangsung seru. Seorang lelaki tua berjubah
merah tengah menghadapi empat orang prajurit
Kerajaan Mandra
Kulawa.
"Kalian harus mampus, Cecunguk!" bentak Ki
Angkara sambil bergerak mencakar Senapati Braja.
Wrt!
"Hits!"
Senapati Braja segera menarik tubuh ke
belakang, lalu dengan cepat kerisnya dibabatkan,
untuk memapak tangan lawan yang berkelebat di
depan wajah. Lalu diteruskan dengan tusukan ke
dada lawan.
"Heaaa...!"
Wrt!
"Eits! Kuhancurkan kepalamu, Senapati
Keparat! Hih...!"
Iblis Berkedok Dewa kembali bergerak
menghindar, sambil melancarkan tendangan keras
ke depan. Kemudian dengan cepat, disambung
sebuah hantaman tangan kanan ke dada Senapati
Braja.
"Celaka!" pekik Senapati Braja, karena
tersentak kaget mendapatkan serangan yang begitu
cepat Dia berusaha mengelakkan serangan dengan
membabatkan kerisnya. Namun serangan lawan
datang terlalu cepat untuk dielakkan.
Wrt!
"Heaaa...!"
Tangan Ki Angkara hampir saja
mencengkeram dada Senapati Braja. Namun dengan
cepat para prajuritnya yang telah terluka dalam
akibat hantaman Iblis Berkedok Dewa bangkit dan
dengan tombak menyerang lelaki tua beijubah
merah itu.
"Heaaa...!"
Wrt!
"Haps! Kurang ajar! Rupanya kalian cari
mampus!
Hih...!"
Karena serangannya pada Senapati Braja
gagal, Iblis Berkedok Dewa langsung
menghantamkan pukul-an jarak jauh kepada tiga
prajurit Kerajaan Mandra Kulawa.
Srtt
Bruk!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Ketiga prajurit itu terpekik keras, ketika
tubuh mereka hangus terhantam pukulan jarak jauh
Iblis Berkedok Dewa. Kenyataan itu membuat
Senapati Braja bertambah marah. Matanya
membelalak penuh amarah, dengan napas
mendengus.
"Bedebah! Kupertaruhkan nyawaku untuk
membunuhmu, Iblis! Heaaa...!"
Dengan amarah yang meluap-luap, Senapati
Braja kembali melesat menyerang. Keris di
tangannya ditusukkan ke dada lawan, kemudian
disabetkan ke samping kiri dan kanan. Hal itu
membuat Ki Angkara harus melompat ke sana
kemari, guna mengelitkan serangan cepat itu.
Senapati Braja terus mencecar lawan dengan
tusukan dan sabetan keris. Namun kemarahan yang
tak terkendali, membuat serangan-serangannya tak
tera- rah. Sabetan dan tusukan keras senjatanya
tak menemukan sasaran. Bahkan Ki Angkara kini
tampak semakin berada di atas angin karena mampu
membaca serangan lawan.
"Heaaa...!"
Wut..!
Senapati Braja benar-benar tak mampu
menguasai keadaan. Dia terus menyerang dengan
membabi-buta, bagaikan tak memperhitungkan
tenaganya. Walau uslanya masih lebih muda
dibandingkan dengan Kl Angkara, ilmu silat dan
tenaga dalam yang dimiliki belumlah sebanding
dengan Iblis Berkedok Dewa. Hal ini nampaknya tak
diperhatikan, sehingga Senapati Braja semakin
ganas melakukan serangan dengan mengerahkan
tenaga dalam.
Melihat kemampuan lawan yang semakin-
goyah, Iblis Berkedok Dewa tampak begitu mudah
bergerak kesana - kemari mengelakkan serangan.
Selain itu, dalam beberapa kesempatan lelaki tua
itu mampu melancarkan serangan balasan dengan
jurus 'Pukulan Cakar Iblis'.
"Heaaa...!"
Wret! Alts!"
Senapati Braja berusaha mengelitkan serangan
lawan. Kakinya melompat ke samping kanan, lalu
dengan repat tangan kin memapaki cakaran tangan
lawan
Wrt!
Trak!
Akh...!"
Senapati Braja menjerit, ketika pergelangan
tangan klrlnya terasa patah akibat berbenturan
dengan tangan lawan. Senapati Braja melompat ke
belakang dengan mata mendelik kaget. Seakan-akan
dirinya tak percaya, tangannya yang kokoh dan
besar dapat patah akibat henturan dengan lelaki
tua itu.
"Klnl saatnya kau mampus, Senapati Busuk!"
dengus Iblis Berkedok Dewa sambil melesat, siap
melakukan serangan pamungkas untuk mengakhiri
pertarungan itu. "Heaaa ..!"
Tubuh Iblis Berkedok Dewa berkelebat, lalu
dengan cepat melakukan serangan dahsyat ke
tubuh Senapati Braja. Jurus 'Pukulan Arang
Neraka' yang dikerahkan Ki Angkara mampu
membuat tangan lelaki tua itu tampak hitam
bagaikan arang. Lalu tiba-tiba dari telapak
tangannya keluar asap seperti bekas pembakaran.
"Heaaa...!"
Wrt!
"Celaka! mati aku...!" pekik Senapati Braja
dengan mata terbelalak nanar, menyaksikan lawan
telah dekat dengan tubuhnya. Kerongkongannya
bagaikan kering, tak setetes ludah pun yang
membasahi.
"Heaaa...! Mampuslah kau, Senapati Keparat!
Hih!"
Degk!
"Aaakh...!" Senapati Braja menjerit keras.
Tubuhnya terpental deras ke belakang, melayang
bagaikan terbang. Saat itu pula, sesosok bayangan
berkelebat menangkap tubuh Senapati Braja.
Trep!
"Pendekar Gila! Kubunuh kau! Hih...!"
Iblis Berkedok Dewa melihat Pendekar Gila
yang menolong Senapati Braja, segera mengirimkan
pukulan jarak jauhnya yang bernama 'Kelabang
Iblis'.
Wrets!
"Haits! Hi hi hi...!"
Sambil memondong tubuh Senapati Braja,
Pendekar Gila beijumpalitan mengelakkan serangan
yang dilancarkan Iblis Berkedok Dewa. Sehingga
pukulan jarak jauh itu melesat lewat bawah kakinya.
Dan....
Brak!
Suara berderak keras terdengar ketika
pukulan itu menghantam sebatang pohon.
Belum sempat mendaratkan kakinya di tanah,
Pendekar Gila sempat melancarkan sebuah
serangan dengan jurus 'Si Gila Melempar Batu'.
Wret!
"Celaka! Aku harus pergi! Hih..!"
Ki Angkara melesat ke samping, mengelakkan
hantaman angin yang dilancarkan Pendekar Gila.
Kemudian balas menyerang sambil melompat mening
galkan tempat itu.
"Hih!"
"Aha, mau lari ke mana kau, Lintah Sawah! Hi
hi hi...!"
Pendekar Gila beijumpalitan, kemudian
dengan cepat mengelakkan serangan lawan. Sinar
biru melesat beberapa jengkal di bawahnya. Dan ...
Glarrr...!
Suara menggelegar keras terdengar, ketika
sinar biru dari tangan Iblis Berkedok Dewa
menghantam sebatang pohon randu besar hingga
tumbang. Pendekar Gila terus melesat berusaha
mengejar, tapi lelaki tua beijubah merah itu telah
menghilang dari Hutan Ran¬du Kembar.
"Bukan main! Cepat sekali lintah itu pergi!"
maki Sena sambil melangkah ke tempat semula.
"Aha, kenapa kau diam saja, Prajurit? Turunlah dari
kuda- mu!"
Prajurit itu pun menurut turun, lalu
membantu Sena mengurusi Senapati Braja yang
terluka parah. Pendekar Gila segera membuka
pakaian Senapati Kerajaan Mandra Kulawa itu,
setelah memeriksa detak jantungnya, ternyata
masih ada.
"Aha, pukulan iblis!" gumam Sena setelah
melihat bekas pukulan yang membekas di dada
Senapati Braja. Sebuah gambar telapak tangan
berwarna hitam legam bagaikan terbakar.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala. Sedangkan prajurit itu tampak masih
cemas. Matanya menatap ke sekeliling Hutan
Randu Kembar. Seakan-akan merasa takut kalau-
kalau Iblis Berkedok Dewa akan muncul lagi dan
menyerang mereka.
"Aha, kenapa kau masih bengong, Prajurit?
Cepat carikan daun randu kuning. Hanya dengan
daun itu nyawa Senapati Braja dapat diselamatkan,"
kata Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Prajurit itu masih bingung dan takut, sehingga
hanya bisa diam dan bengong. Di wajahnya tergurat
kecemasan dan rasa takut kalau-kalau Iblis
Berkedok Dewa akan muncul dan menyerang.
"Aha, mengapa kau seperti kerbau dungu,
Prajurit! Cepatlah kau cari daun randu itu. Atau
kau jagalah Senapati, blar aku yang mencarinya,"
ujar Sena agak jengkel, melihat prajurit itu hanya
diam.
"Ba..., baik! Aku akan mencarinya," sahut
prajurit itu menggeragap. Kemudian segera
melangkah meninggalkan Pendekar Gila dan
Senapati Braja untuk mencari daun randu kuning.
***
5
Pendekar Gila menoleh ke sana kemari sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, karena
prajurit yang disuruh mencari daun randu kuning
belum juga datang.
"Ah, ke mana prajurit itu?" gumam Sena
merasa heran dengan prajurit yang disuruh mencari
daun randu kuning. Padahal keadaan Senapati
Braja sudah sangat mengkhawatirkan Lelaki berusia
hampir setengah baya itu hanya mampu merintih
lirih, merasakan sakit hebat. Tubuhnya pun sangat
panas, bagaikan dipanggang di atas perapian.
Pendekar Gila benar-benar merasa gelisah, me-
nyaksikan keadaan Senapati Braja. Keringat terus
membanjir, membasahi keningnya. Hal itu
menandakan betapa panas tubuh Senapati Braja.
Namun prajurit yang mencari daun randu kuning
belum juga muncul. Padahal sudah lama Pendekar
Gila menunggunya.
"Aha, ke mana dia pergi...?" gumam Sena
sambil menggaruk-garuk kepala. Sesekali dilihatnya
Senapati Braja yang masih mengerang-erang
kesakitan. Untung Pendekar Gila telah menotok
tubuh senapati itu. Sehingga rasa sakit pun agak
berkurang. Kalau saja tubuh Senapati Brzga masih
dalam keadaan terbebas, tak akan mampu menahan
rasa sakit yang tiada taranya itu.
Sena kembali mengawasi ke sekelilingnya,
berusaha mencari prajurit itu. Namun belum ada
tanda- tanda akan muncul. Hal itu membuatnya
semakin kebingungan, merasa heran dengan apa
yang terjadi. Kalau tetjadi sesuatu, prajurit itu
tentu menjerit, meminta tolong. Namun dari tadi
tidak didengamya suara apa pun. Lagi pula menurut
dugaannya Iblis Berkedok Dewa pasti telah
meninggalkan Hutan Randu Kembar itu.
"Serahkan senapati itu pada kami!"
Pendekar Gila tersentak kaget, ketika tiba-
tiba terdengar suara seseorang membentak dari
belakangnya. Dengan cepat, sambil menggendong
tubuh Senapati Braja, tubuhnya cepat dibalikkan
ke belakang. Matanya membelalak kaget ketika
melihat dua orang berkepala botak dengan tubuh
gemuk dan bersenjatakan kapak besar telah
menyandera sang Prajurit
"Hua ha ha.... Rupanya ada dua ekor babi yang
datang tanpa diundang," seru Sena sambil tertawa
terbahak-bahak. Hal itu tentu saja membuat mata
kedua lelaki berkepala botak itu mendadak marah.
Dua lelaki berusia empat puluh lima tahunan
itu mendengus geram. Mata mereka melotot penuh
kemarahan. Sambil menekan gigi karena geram,
hingga terdengar suara bergemeretuk keras.
"Kurang ajar! Jangan main-main dengan
Sepasang Jalak Neraka, Bocah Edan!" bentak Jalak
Kuning, yang di lehernya terikat kain kuning
keemasan. Matanya semakin melotot lebar, dengan
tangan kanan memegang senjata kapak besar. Hal
itu membuat prajurit yang ditahannya semakin
ketakutan.
Mendengar bentakan itu, Pendekar Gila
justru tertawa kian keras. Masih memondong
tubuh Senapati Braja, Sena menggaruk-garu kepala
denga tangan kiri dan mulutnya cengengesa
"Aha rupanya aku sedang berhadapan dengan
dua jalak botak! Hi hi hi...!"
"Kurang ajar!" dengus Jalak Biru geram.
"Rupanya kau ngin kami menggorok leher prajurit
ini, Bocah!"
"Wawww, jangan ..! Lebih baik, kalian gorok
leher kalian sendiri. Hi hi hi...!" Sea kembali tertawa
meledek. Tentu saja Sepasang Jalak Neraka
bertambah marah.
"Kurang ajar! Kau berani menghina Sepasang
Jalak Neraka, Bocah Edan! Apa kau sudah memiliki
nyawa rangkap, heh?!" bentak Jalak Kuning dengan
napas mendengus keras. Gigi-giginya saling beradu,
menimbulkan suara bergemerutuk keras. Tangan
kirinya yang menjepit leher prajurit, semakin
ditekankan.
“Aduh sakit! Oh, Tuan Pendekar. Tolonglah
saya!" ratap prajurit itu, dengan wajah pucat
ketakutan.
"Kau dengar, Bocah Edan! Temanmu ini
meminta tolong padamu! Cepat, serahkan senapati
itu pada kami. Atau nyawa prajurit ini akan
melayang!" bentak Jalak Biru mengancam. Mata
kapak besar yang tajam itu ditempelkan ke leher
sang Prajurit yang semakin ketakutan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-gelengkan kepala, melihat ketakutan
sang Prajurit. Seakan tak peduli dengan perasaan
yang dialami prajurit itu.
"Aha, silakan kalian berbuat sesuka hati
terhadap prajurit itu Hi hi hi...! Bukankah memang
prajurit itu tak ada artinya?" tanya Sena yang
membuat prajurit llu bertambah membelalakkan
matanya. Wajahnya memucat bagaikan tak
berdarah, mendengar ucapan Pendekar Gila.
Sepasang Jalak Neraka tersentak kaget,
merasa telah dipecundangi pemuda gila di hadapan
mereka. Memang benar, prajurit itu tak berarti
sama sekali bagi mrreka.
"Pintar juga bocah edan ini!" gumam Jalak
Kuning dalam hati. Bukankah Senapati Braja yang
dibutuhkan mereka? Untuk apa seorang prajurit
yang tak ada artinya. Namun Sepasang Jalak
Neraka tak mau kalah gertak. Mereka menatap
tajam wajah Pendekar Gila yang masih tertawa
cengengesan sambil menggaruk garuk kepala dengan
tangan kirinya.
"Hua ha ha...! Ambillah nyawanya untuk
kalian!" seru Sena sambil masih tertawa terbahak-
bahak, kemudian memonyongkan mulutnya ke
depan.
Brut!
Pendekar GBa kembali tertawa keras. Melihat
ledekan itu, Sepasang Jalak Neraka bertambah
marah. Gigi-glgi mereka beradu, mengeluarkan suara
gemenitukan menahan geram.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!"
dengus Jalak Biru seraya maju menyerang. Kapak
besar yang bergagang panjang dibabatkan ke tubuh
Pendekar Gila.
Wrets...!
"Aha, aku bukan pohon, Jalak Botak! Hi hi
hi...!" sambil menggoda, Pendekar Gila melompat ke
atas dengan tetap memondong tubuh Senapati
Braja. "Eittss…"
Jalak biru yang sudah marah segera memburu
ke mana Pendekar Gila melesat. Kemudian kembali
kapak besarnya dibabatkan menyerang Pendekar
Gila.
Wret!
"Putus lehermu, Bocah Edan!"
"Eits! Aha, tak segampang itu, Jalak Botak! Hi
hi hi...!"
Pendekar Gila kembali melompat ke atas,
sehingga kapak besar itu menderu di bawahnya.
Tubuhnya lalu hinggap pada sebuah cabang pohon
randu. Mulutnya tetap tertawa-tawa sambil
menggoda dengan menjulur-julurkan lidah.
"Setan!"
Melihat Pendekar Gila berada di atas, Jalak
Kuning mendorong tubuh prajurit ke depan sampai
tersuru'k dan jatuh mencium tanah. Lalu dengan
penuh amarah, lelaki berpakaian kuning itu
melompat ke atas.
"Heaaa! Kucincang tubuhmu, Bocah Edan!"
Tubuh Jalak Kuning melesat ke atas, tetapi
dengan cepat Sena melompat ke cabang pohon
randu yang lain sambil menunggingkan pantatnya,
disertal suara kentut yang keluar dari mulutnya.
Lalu kembali tertawa terbahak-bahak, yang
membuat Sepasang Jalak Neraka semakin marah.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Jalak Kuning kembali melesat sambil
mengayungkan kapak besarnya, membabat tubuh
Pendekar Gila. Namun lagi-lagi dengan cepat
Pendekar Gila telah melesat pergi dari cabang
pohon itu. Sehingga yang menjadi sasaran kapak
Jalak Kuning cabang pohon itu.
Wrt!
Crak!
"Akh...!"
Jalak Kuning terpekik, karena keseimbangan
tubuhnya seketika hilang Tubuhnya meluncur
dengan kepala di bawah. Hal itu membuat Pendekar
Gila tertawa terbahak-bahak, menyaksikan kejadian
lucu itu. Beruntung Jalak Kuning segera dapat
menguasai diri. Tubuhnya bersalto tiga kali di
udara, lalu dengan ringan menapakkan kedua
kakinya di atas tanah.
Jleg!
"Hua ha ha...! Makanya, punya badan jangan
seperti kerbau...!" ujar Sena berolok-olok.
"Cuih! Kurang ajar! Turun kau, Bocah Edan!"
dengUus Jalak Biru sengit.
"Aha, naiklah! Bukankah kalian tak bisa naik?
Hi hi hi...! Tubuh kalian yang gembrot itu, tak akan
dapat naik," goda Sena sambil tertawa terbahak-
bahak. Kemudian mulutnya dimonyongkan,
sedangkan ta¬ngan kirinya melambai-lambai "Wek...!"
"Kurang ajar! Kuhancurkan kepalamu, Bocah
Edan! Heaaa...!"
Jalak Biru meiesat ke atas, memburu
Pendekar Gila. Kapak besar di tangannya, menderu
membabat ke tubuh Pendekar Gila.
Wrt!
"Eits!"
Pendekar Gila melompat meninggalkan cabang
pohon itu dan betjumpalitan sambil memanggul
tubuh Senapati Braja. Tangannya memberi isyarat
pada prajurit agar segera berlalu pergi.
"Mau lari ke mana, Prajurit Tolol! Hih...!"
bentak Jalak Kuning sambil mencengkeram leher
prajurit itu. Lalu...
Tuk! Tuk! Tuk!
Tiga kali jari telunjuk Jalak Kuning menoto'k
punggung sang Prajurit. Seketika membuat tubuh
prajurit Itu tak mampu bergerak. Pendekar Gila kini
merasa harus berjuang untuk dapat membebaskan
prajurit itu dari totokan.
"Hm, sulit juga. Prajurit itu tertotok.
Sedangkan Senapati Braja dalam keadaan luka,"
gumam Pendekar Gila dalam hati sambil terus
mengawasi kedua lawannya yang semakin bernafsu
ingin cepat membunuhnya. Tak ada jalan lain, aku
harus menggunakan barang ini.
Srt!
Pendekar Gila segera meloloskan Suling Naga
Sakti dari ikat pinggangnya. Kemudian dilemparkan
ke bawah, dekat Sepasang Jalak Neraka.
Glarrr...!
Ledakan dahsyat menggelegar terdengar,
disertai asap kuning tebal. Sekelika Sepasang Jalak
Neraka melangkah mundur. Dari gumpalan asap
kuning Itu, samar-samar tampak sesosok ular besar
berwarna kuning keemasan.
"Szzz...!"
"Wuaaa! Tolooong...!"
Sepasang Jalak Neraka serta-merta lari
terbirit- birit, ketika tiba-tiba di hadapan mereka
telah muncul seekor ular naga besar berwarna
kuning keemasan yang mulutnya membuka lebar
seakan hendak mene lan keduanya.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak,
kemudian dengan tenaga dalam tangannya menarik
Suling Naga Sakti yang berubah kembali menjadi
suling. Setelah itu sambil tertawa, Pendekar Gila
melayang turun.
Tuk! Tuk! Tuk!
Tiga kali Pendekar Gila membuka totokan di
tubuh sang Prajurit, sehingga prajurit itu bisa
bergerak seperti sedia kala. Tetapi baru saja sadar,
prajurit itu terkulai kembali, pingsan dengan wajah
pucat. Rupanya kehadiran Naga Sakti, menjadikan
jiwanya terguncang.
Pendekar Gila hanya menggeleng-gelengkan
kepala, kemudian direnggutnya tubuh sang Prajurit
dan dibawanya pergi meninggalkan Hutan Randu
Kembar yang rusak akibat pertarungan tadi.
***
Sena terus berlari membawa dua sosok tubuh
di pundaknya. Dengan menggunakan ilmu lari 'Sapta
Bayu', dalam sekejap saja dia telah berada jauh. Kini
dia telah sampai di depan pintu gerbang Kerajaan
Mandra Kulawa.
"Berhenti! Siapa kau? Dan ada keperluan apa
kau ke istana?" tanya prajurit jaga sambil
menyilangkan tombaknya, menghalangi langkah
Sena.
"Hi hi hi...! Aha, apakah kalian tak melihat
kedua teman kalian dalam keadaan luka dalam?"
tanya Sena sambil cengengesan.
Keempat prajurit jaga pintu gerbang
mengerutkan kening, lalu memeriksa dua tubuh
yang berada di atas pundak Sena.
"Senapati Braja dan Tamtama Galatra...!"
pekik keempat prajurit jaga dengan mata
membelalak kaget.
"Apa yang terjadi pada mereka? Di mana yang
lainnya?" tanya prajurit yang bertubuh gemuk dan
berwajah bulat.
"Aaakh...! Aduh, panaaas...!"
"Aaakh...!" Senapati Braja menjerit, ketika
daun randu kuning dioleskan di lukanya. Asap
mengepul, keluar dari luka di dada sebelah kiri itu
Tubuh Senapati Braja menggeliat-geliat kesakitan.
Namun Pendekar Gila tak menghiraukannya. Kini
telapak tangannya disatukan di dada Senapati Braja
yang terluka.
Emoticon