SATU
“Mega...!”
Suatu
teriakan keras tiba-tiba mengejutkan dua anak muda yang tengah duduk
berdampingan di lereng sebuah bukit, menghadap ke arah lembah yang subur dengan
sawah menguning dan kicauan burung pipit berebut padi. Seketika dua anak
manusia itu saling berpandangan. Sementara, wajah pucat nampak tersirat pada
gadis cantik yang duduk merapat di sebelah pemuda yang mengenakan baju kulit
binatang tanpa lengan. Wajahnya cukup tampan, dengan rambut panjang tergelung
ke atas.
“Mega...!”
Terdengar
lagi suara panggilan keras dari arah kaki lereng gunung ini. Suaranya terdengar
keras. Bahkan seakan-akan begitu dekat, terpantul oleh dinding tebing batu yang
hampir memenuhi seluruh permukaan Lereng Gunung Parakan ini. Wajah gadis itu
semakin terlihat pucat. Dan pemuda itu meraih tangannya, menggenggam hangat.
Bibirnya menyunggingkan senyum manis, seakan-akan hendak mengatakan sesuatu.
“Pulanglah
dulu. Ayahmu sudah memanggil, Mega,” lembut sekali suara pemuda itu.
“Maafkan
aku, Kakang Partanu,” ucap Mega lirih.
“Aku
sudah cukup bahagia jika kau selalu mencintaiku, Mega,” tetap lembut nada suara
Partanu.
“Hhh...!
Mengapa ayah selalu begitu...? Kenapa dia begitu benci padamu, Kakang...?” nada
suara Mega terdengar mengeluh.
“Mega....”
Mereka
saling bertatapan mesra, kemudian perlahan-lahan pemuda itu merengkuh tubuh
Mega dan membawanya ke dalam pelukan. Mega menyandarkan kepalanya di dada yang
bidang dan kekar itu, seakan hendak mendengarkan suara hati kekasihnya ini.
Pelahan mereka saling melepaskan pelukan, dan kembali saling bertatapan.
“Pulanglah.
Sebentar lagi malam,” ujar Partanu lagi. Tetap lembut suaranya.
“Aku
besok akan datang lagi ke sini, Kakang,” jelas Mega.
“Jangan
terlalu sering. Aku tidak ingin ayahmu jadi kalap. Nanti kau sendiri yang akan
susah, Mega,” Partanu menasihati.
“Kakang...
Sebenarnya aku ingin sekali kau membawaku pergi ke mana saja, asal jauh dari
desa ini. Jauh dari orang-orang yang selalu membencimu. Kau bersedia membawaku
pergi kan, Kakang...?” nada suara Mega penuh harap.
Partanu
hanya tersenyum saja, kemudian menarik napas dalam-dalam dan bangkit berdiri.
Mega ikut berdiri dibantu pemuda itu.
“Mega...!
Di mana kau...?”
Terdengar
lagi suara keras bernada panggilan dari arah kaki gunung ini. Mega memandangi
wajah kekasihnya dalam-dalam, seakan enggan untuk berpisah lagi. Gadis itu
tahu, kalau sudah berpisah sukar untuk bertemu lagi.
“Aku
pulang dulu, Kakang,” ucap Mega pelan.
“Pulanglah,”
desah Partanu.
Mega
melangkah mundur beberapa tindak. Sebentar dipandanginya pemuda itu, kemudian
tubuhnya berbalik dan langsung berlari menuruni lereng. Sementara Partanu masih
berdiri mematung memandangi gadis itu yang semakin jauh menuruni lereng.
“Hhh...!”
Partanu menghembuskan napas panjang begitu bayangan tubuh Mega sudah lenyap
ditelan kerimbunan pepohonan.
Partanu
masih berdiri mematung, dan pandangannya tidak berkedip ke arah kaki gunung
ini. Beberapa kali ditarik napas panjang dan dihembuskannya kuat-kuat. Terngiang-ngiang
lagi kata-kata Mega yang meminta untuk membawanya lari. Gadis itu sudah tidak
tahan lagi berada dalam kungkungan dan pengawasan ayahnya yang ketat. Sebentar
saja menghilang, pasti sudah dicari.
“Kasihan
kau, Mega. Sudah terlalu banyak penderitaan yang kau alami. Aku tidak ingin
membuatmu semakin menderita...,” desah Partanu pelan.
“Partanu...!”
“Oh!”
Partanu tersentak ketika mendengar suara panggilan dari arah belakang.
Pemuda
itu cepat memutar rubuhnya, dan ter¬senyum begitu melihat seorang laki-laki
berusia sekitar enam puluh tahun tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya. Sungguh
tidak diketahuinya, kapan laki-laki bertubuh tegap yang wajahnya dihiasi brewok
ada di situ. Gagang golok menyembul keluar dari balik ikat pinggangnya.
“Ayah....
Aku tidak tahu kalau Ayah ada di sini,” ujar Partanu buru-buru.
“Aku
sudah ada di sini sejak tadi, Partanu,” berat dan besar sekali suara laki-laki
itu. Namanya Puliga, tapi orang-orang lebih mengenalnya sebagai Iblis Gunung
Parakan. Itu julukannya.
“Oh...!”
Partanu mendesah kaget.
“Kau
mencintai anak si Anta itu, Partanu?” langsung saja Puliga bertanya.
“Benar,
Ayah,” sahut Partanu seraya tertunduk. Pemuda itu benar-benar tidak sanggup
menatap sinar mata ayahnya yang tajam memerah bagai sepasang bola api.
“Kau
sanggup menanggung segala akibatnya?”
“Maksud
Ayah...?!” Partanu tidak mengerti. Langsung diangkat kepalanya, menatap wajah
laki-laki berwajah kasar itu.
“Partanu,
tidak ada seorang pun yang akan sudi menerimamu. Kau adalah anak Puliga, si
Iblis Gunung Parakan yang sudah terkenal tukang begal, perampok, dan pembunuh
berdarah dingin. Tak ada seorang pun yang akan menerimamu, Partanu,” jelas
Puliga lagi.
”Tapi
kami sudah bertekad, Ayah,” mantap suara Partanu.
“Jika
itu memang tekadmu, kau harus mendapatkannya dengan cara apa pun juga. Dan yang
lebih penting lagi, kau harus menghadapi segala tantangan. Sanggup?”
“Sanggup!”
jawab Partanu langsung tanpa berpikir lagi.
“Ha
ha ha...!”
***
Di
saat sinar matahari bersinar terik menyengat kulit, yang utama ada dalam
pikiran setiap orang adalah air. Dalam keadaan panas seperti ini, semua orang
pasti akan mencari tempat-tempat yang dekat air. Bahkan lebih menyenangkan lagi
jika berendam di sungai.
Siang
ini, seluruh udara di atas permukaan bumi Desa Parakan, terasa begitu panas
menyengat. Matahari bersinar amat terik, seakan-akan hendak menghanguskan
seluruh mayapada. Hampir semua penduduk desa itu jadi enggan pergi ke ladang,
dan lebih senang berangin-angin di bawah rindangnya pohon. Atau bahkan merendam
diri di dalam sejuknya air sungai. Sungai yang biasanya hanya ramai di waktu
pagi dan sore, kini setiap saat selalu didatangi orang.
“Huh...!
Panas sekali...,” keluh seorang pemuda yang tengah duduk di bawah pohon yang
cukup rindang.
Meskipun
daun yang menaunginya sempat menahan sinar matahari, namun udara panas tetap
saja tak mampu dihalangi. Seluruh tubuhnya telah dibasahi keringat. Bahkan
wajahnya begitu memerah bagai terbakar. Dipandanginya orang-orang yang tengah
berendam di dalam sungai, seakan-akan tidak ada lagi tempat kosong di sekitar
sungai itu.
“Kakang
Rangga....”
Pemuda
berbaju rompi putih itu menoleh ketika mendengar suara yang memanggil namanya.
Bibir yang tipis dan agak memerah, menyunggingkan senyuman ketika melihat
seorang laki-laki berusia sekitar lima belas tahun berlari-lari kecil
menghampiri dalam keadaan basah kuyup. Langsung saja dihempaskan tubuhnya,
duduk di samping pemuda berbaju rompi putih itu.
“Kotor
nanti bajumu, Carika,” kata pemuda itu memperingatkan.
“Biarlah.
Habis, panas sekali sih...,” sahut pemuda yang dipanggil Carika. “Segar rasanya
berada di dalam air. Banyak gadis-gadisnya, Kang,” sambungnya seraya
cengar-cengir.
“Kau
ini..., belum waktunya melirik gadis!”
Pemuda
belasan tahun itu hanya tertawa saja. Begitu renyah suara tawanya, lepas
berderai memperlihatkan baris gigi yang putih dan rapi. Sedangkan pemuda
berbaju rompi putih yang memang Rangga, hanya tersenyum saja. Pendekar Rajawali
Sakti itu kembali mengarahkan pandangannya ke sungai. Memang, di sana banyak
gadis yang tengah merendam diri, melindungi kulitnya yang putih dari sengatan
sinar matahari.
“Carika,
sebaiknya kita lanjutkan perjalanan saja,” ajak Rangga.
“Mau
ke mana lagi, Kakang? Ini kan Desa Parakan.”
“Sudah
tiga hari kita di sini, tapi pamanmu tidak ada. Bahkan tidak ada yang kenal
dengan pamanmu di sini. Barangkali kau salah, Carika,” ujar Rangga mengemukakan
alasannya.
Carika
tertunduk diam. Wajahnya langsung saja berubah murung. Dikorek-koreknya tanah
dengan sebatang ranting di ujung jari kakinya, sambil memeluk lutut Rangga
menggeser duduknya lebih mendekat. Diraihnya kepala Carika dan diusap-usapnya.
Carika mengangkat kepalanya, langsung menatap sepasang bola mata Pendekar
Rajawali Sakti.
“Maaf,
aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” ucap Rangga lembut.
“Kau
memang benar, Kakang. Mungkin aku yang salah,” ujar Carika lirih.
Rangga
hanya tersenyum saja, mencoba memberi ketabahan pada pemuda belasan tahun itu.
“Maaf.
Aku jadi menyusahkanmu, Kakang,” ucap Carika lagi. Suaranya terdengar semakin
lirih.
“Sama
sekali tidak. Aku senang jika kau menemukan pamanmu,” sahut Rangga diiringi
senyum manis.
“Aku
jadi ragu-ragu, Kakang...,” ada nada keputusasaan dalam suara Carika.
“Kenapa?”
tanya Rangga.
“Barangkali
pamanku memang tidak pernah ada.”
“Kalau
tidak ada, dari mana kau dapatkan benda itu?” tanya Rangga lagi.
“Ibu.”
“Kau
masih ingat pesan ibumu, bukan?” Carika mengangguk.
“Kau
tidak boleh putus asa, Carika. Tunjukkan kalau kau adalah anak yang berbakti
pada orang tua. Temukan pamanmu, di mana pun berada. Berikan benda itu padanya.
Setelah itu, kau boleh bebas menentukan jalan hidupmu sendiri,” Rangga memberi
dorongan semangat dan kepercayaan.
''Ya...,
aku memang tidak boleh putus asa. Satu-satunya keluargaku hanya paman yang
masih ada,” desah Carika.
“Bagus!
Ayo, kita jalan lagi. Tidak betah rasanya aku di sini terus. Panas...!” ajak
Rangga.
Mereka
kemudian bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan tempat itu. Tak ada lagi
yang membuka suara. Mereka berjalan perlahan-lahan menyusuri jalan berdebu.
Beberapa kali Carika menendang batu kerikil sambil mendengus. Rangga hanya
memperhatikan saja tingkah anak itu, namun merasa iba juga.
Pendekar
Rajawali Sakti jadi teringat saat pertama kali bertemu Carika. Saat itu, anak
ini tengah dikejar-kejar sambil memondong ibunya yang terluka parah akibat
sebuah anak panah menembus dadanya.
Keadaannya
sudah demikian parah. Dan Carika tidak bisa lagi berlari sambil memondong
ibunya, sehingga jatuh tergulir. Tapi untung pada saat orang-orang yang
mengejarnya datang, Pendekar Rajawali Sakti tiba. Langsung saja dia menolong
Carika yang hampir saja terpenggal lehernya.
Meskipun
sudah berusaha, tapi anak panah yang menembus sampai ke jantung tak bisa lagi
menyelamatkan nyawa ibu Carika. Dia tewas, tapi masih sempat menitipkan anaknya
pada Rangga. Wanita itu memang sempat meminta pada Rangga untuk membantu Carika
mencari pamannya. Tapi Rangga tidak tahu-menahu kalau Carika telah dititipkan
sebuah benda yang terbungkus kain putih. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak
tahu, mengapa orang-orang itu mengejar dan membunuhnya.
“Tolooong...!”
“Heh...?!”
Rangga tersentak ketika tiba-tiba mendengar teriakan itu.
Sejenak
Rangga menatap Carika, dan rupanya anak itu juga mendengar suara jeritan tadi.
“Tolooong...!”
Begitu
terdengar suara jeritan lagi, Rangga langsung melompat cepat ke arah suara
teriakan itu. Carika tidak mau kalah, lalu cepat berlari sekuatnya mengejar
Pendekar Rajawali Sakti yang sudah lenyap tidak terlihat lagi dalam sekejap
mata saja.
“Hiyaaa...!”
Rangga
langsung melompat sambil melontarkan tendangan keras ke arah punggung seorang
laki-laki yang sedang berusaha membawa paksa seorang gadis. Laki-laki bertubuh
tinggi besar itu terjungkal mencium tanah. Pendekar Rajawali Sakti langsung
menarik tangan wanita itu, dan membawanya menjauh.
“Ghrrr...!”
laki-laki bertubuh tinggi besar itu meng¬gereng marah, dan langsung cepat
melompat bangkit
Sementara
Rangga sudah membawa wanita itu menyingkir ke tempat yang aman, kemudian
melangkah beberapa tindak ke depan. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu
bisa berbuat sesuatu, dari arah belakang laki-laki bertubuh tinggi besar itu
muncul dua orang lagi berperawakan sama. Mereka semua menggenggam sebilah golok
besar, bagai tukang jagal binatang.
Tanpa
ada yang bicara sedikit pun, ketiga orang itu langsung berteriak keras
menggelegar. Lalu dengan kecepatan luar biasa, mereka berlompatan menyerang
Pendekar Rajawali Sakti.
“Hup!
Yeaaah...!”
Cepat
Rangga melompat, dan secepat itu pula melepaskan dua pukulan keras disertai
satu ten¬dangan menggeledek. Tindakan Pendekar Rajawali Sakti itu memang cepat
luar biasa. Sehingga sebelum ketiga orang itu sempat melakukan penyerangan,
telah lebih dulu mendapat serangan yang tidak bisa terelakkan lagi.
Ketiga
orang itu menjerit keras begitu terkena pukulan dan tendangan yang dilepaskan
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka jatuh bergulingan di tanah. Pada saat yang
sama, Rangga sudah kembali bergerak seraya mengibaskan tangannya.
Entah
bagaimana caranya, tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berdiri tegak
tidak jauh dari ketiga laki-laki yang merintih bergelimpangan di tanah. Di
tangan pemuda berbaju rompi putih itu tergenggam tiga buah golok besar. Ketiga
orang itu serentak bangkit berdiri, tapi menjadi terkejut bukan main saat
melihat senjatanya sudah terampas.
Trak!
Hanya
sekali hentak saja, Rangga mematahkan golok-golok itu jadi dua bagian, lalu
melemparkannya ke depan tiga orang laki laki bertubuh besar dan berwajah kasar
itu. Mereka jadi terlongong dengan mulut terbuka lebar dan mata mendelik hampir
tidak percaya terhadap apa yang dilihatnya. Golok-golok besar itu patah hanya
sekali sentakan saja.
“Yaaa...!”
teriak Rangga keras.
Teriakan
Pendekar Rajawali Sakti itu, membuat ketiga laki-laki berwajah kasar itu
langsung lari lintang pukang dan sekuat tenaga meninggalkan tempat itu. Rangga
tersenyum melihat tingkah ketiga orang itu. Tubuhnya berbalik lalu menghampiri
gadis cantik yang hanya mengenakan selembar kain agak basah melilit tubuhnya.
Bagian bahu dan sedikit dadanya terbuka lebar, memperlihatkan kulitnya yang
putih halus. Pada saat itu Carika muncul, dan langsung menghampiri Rangga yang
sudah berada di depan gadis itu.
“Kau
tidak apa-apa, Nisanak?” tanya Rangga.
“Ada
apa...?” celetuk Carika bertanya, sebelum gadis itu menjawab pertanyaan Rangga.
Gadis
itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Wajahnya yang cantik, masih
terlihat pucat, dan tubuhnya bergetar.
“Terima
kasih, kau telah menolongku,” ucap gadis itu perlahan. Suaranya masih terdengar
bergetar.
“Di
mana rumahmu? Mari kuantarkan pulang,” Rangga menawarkan jasa.
“Tidak
jauh dari sini, di Desa Parakan,” sahut gadis itu lagi.
Rangga
berpaling pada Carika yang berada di sampingnya. “Kau masih punya simpanan
baju, Carika?” tanya Rangga.
“Ada...,”
sahut Carika.
Anak
itu buru-buru membuka buntalan yang selalu tersampir di pundaknya. Diambilnya
sepotong baju berwarna merah muda, dan diberikannya pada gadis itu. Dengan
ragu-ragu, gadis itu menerima setelah didesak Carika. Dikenakannya baju itu
dengan wajah masih terlihat memucat. Memang kebesaran bajunya, karena tubuh
Carika lebih besar daripada tubuh gadis itu. Tapi cukup untuk melindungi
tubuhnya agar tidak terlalu terbuka.
“Ayo,
kuantarkan pulang,” ajak Rangga.
Mereka
kemudian berjalan meninggalkan tempat itu. Carika kembali menyampirkan buntalan
kainnya di pundak, lalu berjalan di samping Pendekar Rajawali Sakti. Tak ada
yang berbicara. Semuanya terdiam membisu. Sedangkan beberapa kali Carika
mencuri-curi pandang pada gadis cantik yang berjalan di samping Rangga.
“Ada
apa sih tadi, Kakang?” tanya Carika memecah kebisuan.
“Hanya
berandal-berandal tengik yang mencoba mengganggunya,” sahut Rangga seraya
melirik gadis di sebelahnya.
“Mega.
Namaku Mega,” selak gadis itu memperkenalkan diri.
“Aku
Carika, dan ini kakakku. Namanya Rangga,” sahut Carika langsung saja
memperkenalkan Rangga sebagai kakaknya.
Sedikit
Rangga melirik pada anak itu, tapi hatinya mengatakan kalau tidak keberatan
Carika mengakuinya sebagai kakak. Dan memang sebaiknya begitu, daripada membuat
persoalan yang bisa menghambat perjalanan mereka.
“Kalian
pasti bukan dari desa ini,” tebak Mega.
“Benar.
Kami hanya pengembara,” sahut Rangga cepat, sebelum diserobot Carika.
“Apakah
di desa ini banyak berandalnya, Kak?” tanya Carika.
“Sebenarnya
tidak. Tapi entah, belakangan ini selalu saja terjadi kerusuhan,” sahut Mega
agak mendesah.
“Wah....
Jangan khawatir, Kak. Kakang Rangga pasti bisa mengusir mereka,” kata Carika
lagi seraya menyikut iga Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga
jadi mendengus dalam hati. Carika memang terlalu banyak bicara, dan selalu
membesar-besarkan. Terlebih lagi, selalu memuji-muji Rangga di depan siapa saja
yang ditemuinya. Akibatnya, memang tidak jarang mereka mendapat kesulitan dalam
perjalanan ini.
“Oh...,
apakah Kakang seorang pendekar?” tanya Mega.
“Ti....”
“Iya,
Kak. Tidak ada yang bisa mengalahkannya. Kakang Rangga seorang pendekar
tangguh,” selak Carika cepat sebelum Rangga sempat menjawab tuntas.
Rangga
jadi mendelik, tapi Carika tidak peduli. Bahkan malah pindah ke samping Mega.
Hal ini membuat Rangga jadi kesal juga, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Carika
memang selalu begitu, tapi Rangga sebenarnya menyenangi. Memang, Carika begitu
periang dan penuh kelakar yang membuat hati siapa saja akan senang padanya.
Sikapnya memang selalu menyenangkan orang lain, meskipun kadang-kadang suka
menjengkelkan.
“Kemarin,
Kakang Rangga baru saja membabat habis sepuluh perampok, Kak. Pokoknya, ilmunya
tinggi..., deh,” bual Carika memuji Rangga setinggi langit
“Carika...!”
desis Rangga mencoba menghentikan bualan anak itu.
“Biasa,
Kak.... Orang yang punya ilmu tinggi biasanya selalu merendah. Lain dengan aku,
tidak punya apa-apa. Paling-paling kalau ketemu maling, ambil langkah seribu!”
sergah Carika tidak mempedulikan peringatan Rangga.
Mega
tertawa mendengar kelakar Carika. Hilang sudah ketakutannya akibat kekasaran
tiga laki-laki berandal tadi. Dan gadis itu semakin sering tertawa mendengar
gurauan Carika. Namun kadang-kadang omongan anak itu terlalu lepas. Dan ini
membuat Rangga semakin sering menahan jengkel.
“Kalian
harus ketemu ayah. Pasti ayah senang berkenalan dengan kalian,” kata Mega
seraya melirik pada Rangga.
“'Terima
kasih, tapi...,” ucap Rangga terputus.
“Dengan
senang hati kami menerima, Kak,” selak Carika cepat
Lagi-lagi
Rangga hanya bisa mendengus dan matanya mendelik pada Carika. Namun anak itu
malah memalingkan mukanya ke arah lain, bahkan langsung saja berkicau membuat
kelakar-kelakar yang kali ini dirasakan Rangga tidak menggelitik. Tapi, membuat
Mega terus-menerus tertawa.
DUA
Rangga
benar-benar tidak bisa lagi berkata apa-apa, saat Ki Anta menawarkannya untuk
tinggal beberapa hari di rumahnya. Karena Carika sudah langsung menyetujui.
Bahkan anak itu semakin membual besar dengan menyanjung-nyanjung Pendekar
Rajawali Sakti. Hal ini semakin membuat Ki Anta tertarik. Memang, sebenarnya
laki-laki itu memerlukan bantuan seorang pendekar digdaya untuk menghadapi
gerombolan pengacau yang akhir-akhir ini selalu mengganggu ketenteraman
penduduk.
“Kau
keterlaluan, Carika!” dengus Rangga saat mereka berdua saja di dalam kamar yang
disediakan Ki Anta.
“Keterlaluan
bagaimana, Kakang...?” ringan sekali suara Carika seraya menghempaskan tubuhnya
di pembaringan.
“'Tidak
perlu kau bercerita begitu banyak tentang diriku. Kau tidak pernah bisa
menghilangkan kebiasaan burukmu. Membual itu tidak baik, Carika...,” Rangga
menasihati.
“Tapi
yang kukatakan itu benar, bukan?”
“Tidak
seluruhnya!” dengus Rangga.
“Paling
tidak, ada benarnya,” Carika tidak mau kalah.
Rangga
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Sungguh tidak dimengerti sikap anak
ini. Bisa dikatakan nakal, tapi juga pandai. Beberapa hari bersama Carika,
Rangga sudah bisa mengetahui wataknya. Dan sudah bisa diduga, sikap Carika kali
ini tentu ada maksudnya. Carika tidak akan bertingkah seperti ini secara
berlebihan jika tidak mempunyai maksud tertentu. Hanya saja anak itu tidak akan
mengatakannya, meskipun didesak.
“Lumayan,
Kakang. Malam ini kita tidak perlu tidur di dalam hutan lagi,” kata Carika
lagi.
“Iya!
Tapi kau mempertaruhkan nyawaku!” dengus Rangga masih jengkel.
“Ah...,
paling juga hanya berandal biasa, Kakang. Tidak perlu dipikirkan. Aku juga
hanya berandalan biasa, dan juga bisa menghadapinya. Aku pernah belajar ilmu
olah kanuragan dari ayah. Memang tidak tinggi, tapi cukup untuk menjaga diri,”
jelas Carika lagi.
Rangga
baru akan membuka mulutnya, ketika terdengar suara ketukan di pintu. Carika
langsung melompat turun dari pembaringan dan membuka pintu. Di ambang pintu
muncul Mega yang sudah berganti baju. Gadis itu membawa baki berisi makanan dan
minuman serta beberapa potong buah pepaya.
Mega
kelihatan cantik sekali dengan baju warna biru muda yang agak ketat, sehingga
membentuk lekuk tubuhnya yang ramping dan indah. Baju bagian dada yang agak
rendah, menampakkan tonjolan berkulit putih mulus. Sejenak Rangga terpesona
menatapnya, tapi buru-buru mengusir semua bayangan tentang gadis itu dari
benaknya. Mega melangkah masuk, lalu menyerahkan baki di tangannya pada Carika.
Dengan senang hati Carika menerimanya dan langsung membawa ke meja.
“Ayah
ingin bicara denganmu setelah makan, Kakang,” kata Mega memberi tahu. Suaranya
begitu lembut, bagai seorang putri bangsawan.
“Sebaiknya
kutemui saja sekarang,” kata Rangga.
“Kau
tidak makan dulu...?”
“Aku
masih kenyang. Itu juga nanti habis oleh Carika sendirian.”
“Dia
lagi marah, Kak,” celetuk Carika.
“Marah...?
Memangnya kenapa?” tanya Mega.
Rangga
mendengus. Dihampirinya Carika seraya menyambar sepotong ikan. Lalu dengan
cepat disumpalkan ikan itu ke mulut Carika. Anak itu jadi gelagapan. Mega
tertawa terpingkal-pingkal melihat kejadian itu.
“Sial...!”
rutuk Carika seraya meletakkan lagi ikan yang disumpalkan ke mulutnya.
“Sudahlah.
Kalian ini selalu saja bertengkar,” Mega melerai.
“Kalau
kau bukan kakakku, pasti sudah kubalas!” dengus Carika, tapi bibirnya tersenyum
juga.
Dan
Rangga jadi tidak tahan juga melihat mimik muka anak itu. Buru-buru kakinya
melangkah keluar sebelum tawanya meledak. Tapi belum juga jauh meninggalkan
kamar itu, terdengar suara Carika yang terbahak-bahak dibarengi tawa Mega yang
lembut dan merdu. Rangga terus saja berjalan meninggalkan kamar itu.
Kelakuan
Carika memang membuatnya jengkel. Tapi entah kenapa, Rangga tidak bisa marah
padanya. Bahkan kalau dia ingin marah, selalu saja Carika bisa membuatnya jadi
tertawa. Dan hampir saja tawanya tidak bisa ditahan kalau tidak segera keluar.
Rangga
terus melangkah keluar. Pendekar Rajawali Sakti melihat Ki Anta sedang
mengelus-elus kuda hitam gagah yang tertambat di bawah pohon. Rangga jadi
teringat kudanya sendiri. Kuda Dewa Bayu yang sudah lama sekali tidak
dijumpainya. Tapi dia memang belum memerlukan kuda itu, yang kini tentu ada di
istal Istana Karang Setra.
“Ah,
Rangga.... Kemarilah!” panggil Ki Anta begitu melihat Rangga.
Pendekar
Rajawali Sakti itu melangkah menghampiri. Sedangkan Ki Anta terus mematut-matut
kudanya. Ditepuk-tepuknya leher kuda hitam itu, lalu laki-laki itu duduk di
bangku di bawah pohon tidak jauh dari kuda. Rangga langsung duduk di sampingnya
begitu Ki Anta menyuruhnya duduk.
“Ada
sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu, Nak Rangga. Sesuatu yang sebenarnya
sangat pribadi, tapi menyangkut ketenteraman seluruh warga Desa Palakan ini,”
jelas Ki Anta.
“Katakan,
Ki. Mungkin bisa kubantu,” sambut Rangga.
“Begini.
Sebenarnya, aku sudah tahu siapa dirimu....”
Rangga
agak terkejut juga mendengarnya, tapi cepat-cepat menyembunyikan
keterkejutannya.
“Aku
tahu kalau kau adalah Pendekar Rajawali Sakti. Tidak ada seorang pun yang
mempunyai ciri sepertimu. Muda, memakai baju putih tanpa lengan, membawa pedang
bergagang kepala burung. Itu merupakan tanda kalau kau adalah Pendekar Rajawali
Sakti,” sambung Ki Anta.
“Rupanya
aku tidak bisa menyembunyikan tentang diriku di depanmu, Ki,” Rangga mengakui.
“Aku
gembira sekali atas kedatanganmu di desa ini. Dan aku memang mengharapkan
adanya seorang pendekar yang singgah. Ternyata harapanku kini terkabul,” ungkap
Ki Anta dengan wajah cerah.
“Sebenarnya
apa yang hendak kau bicarakan denganku, Ki?” tanya Rangga tidak ingin berlarut-larut.
“Aku
tidak tahu, apakah kau kenal atau tidak. Tapi terus terang saja, aku tidak
sanggup menghadapinya. Bahkan seluruh warga desa ini pun tidak akan mampu
menghadapinya. Dia seorang yang berkepandaian sangat tinggi dan kejam. Hhh...!”
Ki Anta menghembuskan napas panjang.
“Siapa
orang yang kau maksudkan, Ki?” tanya Rangga mendesak.
“Puliga.
Dia dikenal berjuluk Iblis Gunung Parakan. Sudah lama sekali desa ini berada di
dalam cengkeramannya. Dan selama kami masih sanggup menyediakan upeti, dia
tidak akan mengganggu. Tapi belakangan ini, orang-orangnya selalu membuat
keributan. Yaaah..., semua ini gara-gara anakku yang susah diatur,” ada nada
keluhan pada suara Ki Anta.
“Mega...?”
“Benar.
Dia anakku satu-satunya. Sudah sering kuperingatkan agar tidak berhubungan
dengan Partanu, tapi masih saja membandel. Bahkan selalu mengadakan pertemuan
secara sembunyi-sembunyi.”
“Siapa
itu Partanu?”
“Anak
laki-laki Puliga. Dia juga punya kemampuan olah kanuragan tinggi. Bahkan
kabarnya hampir setaraf dengan ayahnya.”
Rangga
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah bisa dimengerti, apa kesulitan yang kini
dihadapi Ki Anta. Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa mengambil keputusan
begitu saja, karena ini persoalan pribadi. Persoalan cinta dua anak manusia
dengan latar belakang kehidupan yang berbeda dan saling bertolak belakang.
Tidak
mudah menyelesaikan persoalan ini. Masalah cinta bukanlah masalah sepele.
Meskipun kelihatannya kecil sekali, tapi bisa berakibat sangat fatal. Bahkan
bukannya tidak mungkin bisa menimbulkan pertumpahan darah. Terlebih lagi, yang
dihadapi Ki Anta adalah seorang tokoh sakti rimba persilatan yang berkemampuan
sangat tinggi dan kejam.
“Boleh
kutahu, Ki. Kenapa kau tidak menyetujui hubungan mereka?” tanya Rangga hanya
ingin tahu isi hati laki-laki tua Kepala Desa Parakan ini.
“Nak
Rangga..., orang tua mana yang sudi anaknya berhubungan dengan keturunan si
Iblis Gunung Parakan? Hanya orang tua gila saja yang mengizinkan anaknya punya
hubungan dengan Partanu. Sudah pasti anak itu tidak jauh berbeda dengan
ayahnya,” sahut Ki Anta.
“Apakah
tindakan Partanu memang mengikuti jejak ayahnya?” tanya Rangga lagi.
“Terus
terang, sampai saat ini aku belum pernah mendengar Partanu melakukan perampokan
atau tindak kejahatan lainnya. Bahkan aku belum pernah mendengar dia bertarung.
Apalagi membunuh orang,” sahut Ki Anta jujur.
“Maaf,
Ki. Sebenarnya aku tidak berhak ikut campur dalam urusan ini. Tapi menurutku,
sebaiknya selidikilah dulu lebih jauh lagi tentang Partanu. Mungkin dia tidak
seperti ayahnya,” kilah Rangga bijaksana.
“Tapi,
Nak Rangga.... Seorang anak tidak akan mungkin jauh dari ayahnya. Terlebih lagi
sejak kecil selalu hidup dalam lingkungan para perampok. Malah, ayahnya sendiri
yang menjadi pemimpin perampok itu. Maka sudah pasti dia tidak jauh berbeda
dengan ayahnya,” bantah Ki Anta.
“Yaaah....
Sayang sekali, Ki. Aku tidak bisa melakukan apa-apa,” ujar Rangga agak
mendesah.
“Tolonglah,
Nak Rangga. Pada siapa lagi aku harus meminta bantuan...?” rengek Ki Anta.
“Seandainya
aku mau, apa yang harus kulakukan untukmu, Ki?”
“Hancurkan
mereka. Bunuh si keparat Partanu dan ayahnya itu. Dengan demikian, bukan saja
kau menolong keluargaku, tapi juga membebaskan rakyat dari cengkeraman dan
kekejamannya,” tegas Ki Anta.
Rangga
tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang, bukannya Pendekar
Rajawali Sakti tidak bersedia membantu, tapi memang tidak terlihat adanya
sesuatu yang bisa dilakukan. Sedangkan masalah yang dikemukakan Ki Anta,
menurutnya hanya persoalan cinta dua anak manusia. Persoalan yang tidak perlu
dibesar-besarkan, asal tidak ada yang mengipasi bara.
“Yaaah...,
mungkin aku terlalu berlebihan. Kau seorang pendekar digdaya, dan tentunya
lebih sempurna cara memandangnya daripada diriku,” kata Ki Anta bernada
mengeluh.
“Maaf,
Ki. Bukan maksudku membuatmu kecewa,” ujar Rangga menyesal.
“Tidak.
Hal ini bisa kupahami. Kau pasti akan bertindak bijaksana. Memang seharusnya
aku tidak perlu membesar-besarkan persoalan ini,” balas Ki Anta.
Rangga
menepuk punggung tangan laki-laki tua itu, kemudian bangkit berdiri. Namun
sebelum kakinya terayun, terlihat Mega berlari-lari kecil keluar dari dalam
rumah. Gadis itu langsung menghampiri.
“Kakang,
boleh aku minta tolong padamu?” pinta Mega langsung begitu mendekat.
“Tentu,”
sahut Rangga.
“Aku
ingin ke pusara ibu. Apakah kau mau mengantarku ke sana, Kakang?”
“Jika
ayahmu mengizinkan.”
“Pergilah.
Tapi jangan terlalu sore pulangnya,” kata Ki Anta langsung mengizinkan sebelum
anaknya meminta.
Dengan
sikap manja dan riang sekali, Mega menggamit tangan Pendekar Rajawali Sakti
itu, dan mengajaknya pergi. Sebentar Rangga masih sempat melirik Ki Anta yang
tersenyum-senyum melihat keceriaan anak gadisnya. Setelah beberapa hari
belakangan ini, baru kali ini Mega terlihat begitu gembira.
“Ah,
mudah-mudahan dia sudah melupakan Partanu,” desah Ki Anta berharap.
Mega
berjalan lincah di samping pendekar muda berbaju rompi putih. Wajah gadis itu
begitu riang, sekali-kali terdengar senandung kecilnya yang merdu terdengar di
telinga. Rangga berjalan perlahan-lahan, sehingga kadang-kadang Mega harus
menarik tangan pemuda itu agar lebih cepat lagi berjalan.
“Sebentar,
Mega. Bukankah ini tidak menuju...?”
“Memang
bukan,” sahut Mega cepat sebelum Rangga menyelesaikan pertanyaannya.
“Lalu,
kenapa mengajakku ke sini?” tanya Rangga seraya menghentikan ayunan langkahnya.
Mega
tidak langsung menjawab, dan juga berhenti berjalan. Perlahan tubuhnya diputar,
maka pandangannya langsung terarah ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti di
depannya. Mendadak saja wajah gadis itu menjadi murung.
“Maaf,
aku telah membuatmu tersinggung,” ucap Rangga buru-buru.
“Tidak,”
sahut Mega pelan. “Aku memang sengaja mengajakmu ke sini. Aku ingin bicara
berdua saja denganmu. Itu jika kau tidak keberatan, Kakang.”
“Tentu
saja tidak. Tapi, kenapa di sini? Bukankah di rumah lebih baik?”
“Tidak
ada yang bisa mendengar di tempat ini. Aku tidak sebebas yang kau kira bila
berada di rumah, Kakang,” ada kesenduan pada nada suara Mega.
Rangga
jadi tertegun, dan langsung teringat kembali percakapannya dengan Ki Anta tadi.
Dan Pendekar Rajawali Sakti itu sudah bisa menebak, apa yang akan dibicarakan
gadis ini.
“Mungkin
di dunia ini aku adalah orang yang paling tidak bahagia, Kakang,” ungkap Mega
memulai.
Rangga
masih tetap diam.
“Aku
tahu, ayah telah banyak cerita tentang diriku, hubunganku dengan Partanu, dan
sikap ayah yang menentang hubungan kami. Dan pasti ayah memintamu untuk
memisahkan aku dengan Partanu untuk selama-lamanya,” sambung Mega lagi.
Rangga
hanya mengangkat bahu saja.
“Aku
memang berhutang budi padamu, Kakang. Tapi kumohon, jangan campuri urusanku.
Apalagi menerima permintaan ayah. Partanu orangnya baik, pengertian, dan penuh
rasa tanggung jawab. Meskipun ayahnya kejam, perampok, pembunuh dan pemerkosa
gadis-gadis. Tapi Partanu tidak pernah melakukan semua itu. Bahkan sangat
menentang ayahnya. Dia sungguh-sungguh mencintaiku. Dan aku...,” suara Mega
terputus.
Rangga
merengkuh gadis itu saat air mata mulai menitik membasahi pipi yang putih
halus. Mega tidak kuasa lagi membendung air matanya, langsung menangis di dalam
pelukan Pendekar Rajawali Sakti.
“Aku
selalu mencoba gembira di depan ayah, karena tidak ingin membuat ayah sedih.
Padahal hatiku selalu menjerit..,” rintih Mega di sela isak tangisnya.
“Aku
mengerti, Mega,” bisik Rangga lembut.
Bisikan
Rangga yang begitu lembut, membuat tangis Mega semakin keras. Namun gadis itu
berusaha menahan, sehingga tubuhnya jadi berguncang menahan isaknya yang
tersendat. Rangga membiarkan saja dadanya dibasahi air mata. Dia bisa merasakan
apa yang kini tengah dirasakan gadis itu.
“Mega...!”
tiba-tiba saja terdengar bentakan keras.
Baik
Rangga maupun Mega, jadi tersentak kaget. Cepat gadis itu melepaskan
pelukannya. Dan dia semakin terkejut ketika melihat seorang pemuda berbaju
kulit binatang, tiba-tiba sudah berdiri di depan mereka.
“Kakang
Partanu...,” desis Mega hampir tidak terdengar suaranya.
Rangga
sedikit melirik Mega yang kelihatan kebingungan, karena dipergoki sedang
memeluk seorang pemuda. Buru-buru diseka air matanya, lalu melangkah mendekati
Partanu.
“Berhenti
di situ, Mega!” bentak Partanu keras.
Mega
langsung menghentikan langkahnya.
“Kakang...,”
tersendat suara Mega.
“Kau
tidak perlu mengatakan apa-apa, Mega. Pantas kau semakin jarang menemuiku lagi,
rupanya sudah punya laki-laki lain!” dengus Partanu dingin.
“Kakang...!”
sentak Mega terperanjat mendengar tuduhan itu.
“Kau
tidak perlu mengatakan apa-apa, Mega. Kau milikku. Tidak seorang pun yang boleh
menjamahmu!” bentak Partanu.
“Kisanak,
akan kujelaskan yang se...”
“Tutup
mulutmu!” bentak Partanu memutus ucapan Rangga.
Pendekar
Rajawali Sakti itu langsung menutup mulutnya.
“Menyingkir
kau, Mega...,” desis Partanu memerintah.
“Kakang...!”
“Menyingkir
kataku...!” bentak Partanu berang.
Mega
jadi kelabakan melihat Partanu begitu marah. Gadis itu memandang Rangga, dan
hanya dibalas dengan anggukan kepala sedikit disertai senyum di bibir. Dengan
wajah memucat dan tubuh gemetar, Mega bergerak menyingkir menjauh.
Sementara
itu, Partanu sudah menggeser kakinya sedikit ke samping. Diloloskan pedang
dengan sarungnya dari pinggang. Sarung pedang itu dipegang tepat pada bagian
tengah. Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung ke bola mata Pendekar
Rajawali Sakti. Sedangkan Rangga masih berdiri tegak dan bersikap tenang.
Namun, matanya tidak berkedip memperhatikan setiap gerakan kaki Partanu yang
menggeser menyusur tanah perlahan-lahan.
Tring!
Partanu
melemparkan pedangnya ke tanah. Pemuda itu ingin menunjukkan kalau dirinya
seorang laki-laki jantan dan menghendaki pertarungan jujur. Melihat itu, Rangga
jadi kagum akan jiwa besar Partanu. Maka kemudian Pendekar Rajawali Sakti
melepaskan tali pengikat pedangnya, dan meletakkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti
perlahan-lahan ke tanah di samping kakinya.
“Bagus!
Rupanya kau punya nyali besar juga, Keparat!” dengus Partanu mendesis dingin.
“Masih
ada waktu untuk memberi penjelasan padamu, Partanu,” kata Rangga mencoba
menghindari pertarungan yang tidak ada gunanya ini baginya.
“Sayang
sekali, waktumu sudah habis!” dengus Partanu.
“Aku....”
“Cukup!
Hiyaaat...!” keras sekali suara Partanu.
Bagaikan
kilat, mendadak saja pemuda itu melesat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Seketika itu juga, Partanu melontarkan dua pukulan beruntun bertenaga dalam tinggi.
Sementara Rangga cepat-cepat menggeser kakinya ke samping, lalu meliukkan
tubuhnya ke kiri dan ke kanan dengan manis sekali. Hasilnya, dua pukulan
beruntun yang dilepaskan Partanu tidak mengenai sasaran.
Namun
pemuda berbaju kulit binatang itu, cepat menarik kembali tangannya. Dan
seketika itu juga, dihentakkan kakinya ke depan. Cepat sekali gerakan Partanu,
sehingga Rangga sempat terkesiap. Namun dengan cepat, Pendekar Rajawali Sakti
itu menarik tubuhnya ke belakang, maka tendangan Partanu luput dari sasaran.
“Hiya!
Yeaaah...!”
Dua
kali Partanu melancarkan serangan, namun berhasil dihindari dengan mudah.
Akibatnya pemuda itu semakin geram saja. Partanu segera me¬ningkatkan
serangan-serangannya. Dikerahkan kekuatan tenaga dalam setiap kali melontarkan
pukulan ataupun tendangan. Sementara Rangga masih tetap menghindar,
meliuk-liukkan tubuhnya diimbangi gerakan kakinya yang lincah dan cepat dalam
pengerahan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'. Suatu jurus yang selalu digunakan
dalam awal pertarungan seperti ini.
Meskipun
kelihatannya Rangga terdesak dan hanya bisa berkelit menghindar, namun sampai
lima jurus berlalu Partanu belum juga mampu menyarangkan satu pukulan atau
tendangan ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti. Hal ini membuat kemarahan Partanu
semakin memuncak.
Sambil
berteriak keras menggelegar, pemuda berbaju kulit binatang itu meningkatkan
jurus-jurusnya. Bahkan kini menggunakan jurus-jurus yang sangat dahsyat dan
berbahaya. Peningkatan serangan dalam kadar yang tinggi dan berbahaya ini
sangat dirasakan Rangga. Maka Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin mengambil
resiko dengan terus-menerus mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib'.
Cepat-cepat Pendekar Rajawali Sakti itu merubah jurusnya, mengambil jurus-jurus
dari lima rangkaian jurus 'Rajawali Sakti'.
“Modar...!”
tiba-tiba Partanu berteriak keras.
Seketika
itu juga dilepaskan satu pukulan keras ke arah dada Pendekar Rajawali Sakti
yang kelihatan lowong setelah menghindari sepakan kaki yang mengarah ke kaki.
Namun cepat sekali Rangga menyilangkan tangannya di depan dada, sehingga
pukulan Partanu menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Blarrr!
Satu
ledakan keras terdengar ketika pukulan Partanu menghantam tangan Rangga. Tampak
Partanu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Sedangkan Pendekar
Rajawali Sakti terdorong enam langkah ke belakang. Cepat Rangga
menggerak-gerakkan tangannya di depan dada. Sementara Partanu juga melakukan
hal yang sama. Meskipun gerakan mereka berbeda, namun mempunyai tujuan sama.
“Hup!
Hiyaaa...!”
Tiba-tiba
saja, Partanu mengebutkan tangannya ke depan. Maka seketika itu juga melesat
sebuah benda kecil berwarna keperakan dari tangan kanan pemuda itu. Cepat
sekali benda keperakan itu meluncur, membuat Rangga agak terperangah sesaat.
“Hup...!”
Cepat
Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke angkasa, sehingga benda
keperakan itu lewat di bawah kakinya. Dua kali Rangga berputaran di udara. Pada
saat itu, Partanu melompat, lalu bergulingan di tanah beberapa kali mendekati
pedangnya. Secepat pedangnya yang menggeletak di tanah diraih, maka secepat itu
pula dicabut. Langsung pedang itu dikibaskan ke arah Pendekar Rajawali Sakti
yang saat itu tengah turun.
Sret!
Wut!
“Uts...!
Yeaaah...!”
Buru-buru
Rangga memutar tubuhnya, dan manis sekali menotok ujung pedang Partanu dengan
kakinya. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu melenting ke udara sambil
berputaran beberapa kali, kemudian hinggap di batang dahan pohon.
“Yeaaah...!”
Sambil
berteriak nyaring melengking tinggi, Partanu memindahkan pedangnya ke tangan
kiri. Dengan cepat sekali dihentakkan tangan kanannya ke arah pohon yang
dihinggapi Pendekar Rajawali Sakti.
Srat...!
TIGA
Secercah
sinar merah meluncur deras keluar dari telapak tangan Partanu, dan langsung
menghantam dahan pohon yang dihinggapi Rangga.
Glarrr!
Kembali
terdengar ledakan dahsyat begitu sinar merah menghantam pohon. Tampak pohon itu
hancur berkeping-keping, menyebar ke segala arah. Pada saat yang bersamaan,
tubuh Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Setelah berputaran beberapa
kali, kakinya segera mendarat ringan, tepat di samping pedangnya yang
tergeletak di tanah. Cepat Rangga memungut pedang pusakanya, dan menggenggam
tepat di tengah-tengah sarung pedangnya.
“Hiyaaa...!”
Kembali
Partanu menghentakkan tangannya ke depan, mengarah kepada Pendekar Rajawali
Sakti. Kembali sinar merah melunak deras dengan kecepatan bagai kilat
“Hup!”
Rangga
cepat melompat menghindari terjangan sinar merah itu. Seketika ledakan dahsyat
kembali terdengar saat sinar merah itu menghantam tanah. Debu langsung mengepul
membumbung tinggi ke angkasa, dan tanah itu berlubang besar bagai sebuah lubang
kuburan gajah. Sementara, beberapa kali Rangga bergulingan di tanah, lalu cepat
melompat bangkit berdiri
“Hhh!
Rupanya kau cukup tangguh juga, Monyet Keparat..!” geram Partanu dingin.
“Hm...,”
Rangga hanya menggumam pelan tidak jelas.
Saat
itu, Partanu merentangkan kakinya lebar-lebar ke samping. Pedangnya dimasukkan
kembali ke dalam sarung, dan disampirkan ke pinggang, lalu perlahan menjauh.
Kemudian tangan itu bergerak perlahan seperti melambai turun naik dengan
gemulai.
Sedangkan
Rangga perlahan-lahan menggeser kakinya sambil memasang kembali pedangnya di
punggung. Juga, segera dirapatkan kedua tangannya di depan dada, tepat di saat
kedua tangan Partanu yang kini memerah bagai bara, berada di pinggang. Lalu
perlahan-lahan seluruh tubuh pemuda itu terselimuti cahaya merah.
“Hm...,”
kembali Rangga bergumam pelan.
Udara
di sekitarnya jadi terasa panas menyesakkan. Dan Rangga langsung bersiap
menghadapi serangan selanjutnya. Pelahan Pendekar Rajawali Sakti itu menurunkan
kedua tangannya, lalu memutar tangan kanan di depan dada, dan meletakkannya di
samping pinggang. Sedangkan tangan kirinya terbuka dengan ibu jari menempel
pada dada.
“Yeaaah...!”
tiba-tiba Partanu berteriak keras melengking tinggi.
“Yaaa...!”
Rangga juga berteriak keras.
Hampir
bersamaan, mereka melompat ke depan dengan kecepatan yang tinggi sekali.
Masing-masing tangan merentang lurus ke depan dengan telapak terbuka dan
jari-jari merapat menjadi satu.
“Hiyaaa...!”
''Yeaaah...!”
Glarrr...!
Ledakan
keras menggelegar kembali terdengar. Kali ini lebih dahsyat dari sebelumnya,
tepat ketika dua pasang telapak tangan beradu di udara. Tampak, kedua tubuh
berpentalan ke belakang, lalu jatuh bergulingan di tanah. Mereka sama-sama
memuntahkan darah dari mulut, tapi dengan cepat bangkit berdiri kembali.
Sret!
Partanu
langsung mencabut pedang, lalu menyilangkannya di depan dada. Sedangkan Rangga
menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, karena merasa jalan pemapasannya
menjadi agak tersendat. Namun hanya sedikit mengerahkan hawa murni,
pernapasannya kembali seperti semula.
“Hiyaaat..!”
Partanu
sudah kembali melompat menyerang sambil menghunus pedang di tangan. Pada saat
itu, Rangga baru saja selesai mengatur pernapasannya kembali. Terjangan Partanu
demikian cepat, membuat Pendekar Rajawali Sakti itu sedikit tergagap. Namun
cepat sekali dijatuhkan dirinya ke tanah di saat Partanu menebaskan pedang ke
arah leher.
“Hup!”
Bergegas
Rangga melompat bangkit berdiri, karena pada saat itu Partanu sudah kembali
menyerang lewat tebasan pedangnya yang dahsyat dan cepat luar biasa. Kembali
mereka terlibat pertarungan sengit. Namun sampai sejauh ini, Rangga belum
menggunakan senjata karena masih sanggup melayaninya dengan tangan kosong.
Tapi
setelah pertarungan itu sudah lebih dari sepuluh jurus. Pendekar Rajawali Sakti
mulai merasa terdesak. Serangan-serangan yang dilancarkan Partanu semakin
dahsyat, terlebih lagi sekarang ini menggunakan senjata pedang.
“Phuih...!”
Rangga mendengus dalam hati. Tepat ketika pedang Partanu mengibas ke arah
kepala, Rangga cepat-cepat menarik kepalanya ke belakang. Dan begitu pedang
Partanu lewat, dengan cepat dicabut pedang pusakanya dari warangka di punggung.
Sret!
Cring!
Tepat
pada saat itu, Partanu sudah kembali menebaskan pedangnya ke arah dada.
Seketika, Rangga membabatkan pedang yang memancarkan cahaya biru berkilau itu
ke arah pedang lawannya.
Trang!
“Hah...?!”
Partanu
terbeliak kaget begitu melihat pedangnya terbabat buntung jadi dua. Dan lebih
terkejut lagi, pegangannya pada pedang juga terlepas, disertai rasa nyeri pada
seluruh persendian lengan. Buru-buru pemuda itu melompat mundur sejauh lima
langkah. Sinar matanya masih belum bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi.
Tapi kenyataannya, pedangnya kini tergeletak di tanah dalam keadaan buntung.
Sedangkan Rangga berdiri tegak dengan pedang bersinar biru melintang di depan
dada.
“Kali
ini kau boleh bangga, Kisanak. Tapi tunggulah pembalasanku!” desis Partanu
menggeram.
Setelah
berkata demikian, Partanu langsung berbalik dan melesat pergi. Cepat sekali
lesatan pemuda itu. Sehingga dalam waktu sekejap mata saja, bayangan tubuhnya
sudah lenyap dari pandangan mata. Rangga memasukkan kembali Pedang Pusaka
Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung, dan seketika sinar biru
lenyap. Pendekar Rajawali Sakti itu memutar tubuhnya dan menghampiri Mega yang
masih berdiri agak jauh dari tempat pertarungan tadi.
***
Sudah
dua hari ini Mega selalu kelihatan murung, dan lebih senang menyendiri. Sejak
pertarungan Rangga dengan Partanu yang berlangsung di depannya, gadis itu jadi
berubah. Bahkan di depan ayahnya, dia tidak bisa lagi berpura-pura gembira. Hal
ini membuat Ki Anta jadi bertanya-tanya. Tapi setiap kali dia ingin bicara,
gadis itu selalu menghindar disertai berbagai macam alasan. Sepertinya Mega
benar-benar tidak ingin bicara pada siapa pun juga.
Sejak
pagi tadi Mega duduk menyendiri di halaman belakang rumahnya. Tidak dipedulikan
lagi sengatan matahari yang begitu terik membakar kulit. Bahkan gadis itu tidak
menyadari kalau Rangga sudah berdiri di dekatnya. Mega baru tersadar saat
mendengar batuk kecil. Kepala gadis itu berpaling sebentar menatap Pendekar
Rajawali Sakti itu, kemudian kembali menatap kosong lurus ke depan. Rangga
duduk di sampingnya tanpa diminta lebih dahulu lagi.
“Kalau
kau datang ke sini karena permintaan ayah, sebaiknya pergi saja dan jangan
temui aku lagi,” kata Mega, ketus nada suaranya.
“Tidak,”
sahut Rangga lembut “Justru aku menemuimu untuk berpamitan.”
Mega
langsung menatap pemuda berbaju rompi putih itu. Memang tidak bisa lagi
disembunyikan keterkejutannya mendengar Rangga akan berpamitan. Dan itu
berarti, pemuda ini tidak lagi tinggal di rumahnya. Dan itu berarti pula,
mereka tidak lagi bisa bertemu. Agak lama juga Mega memandangi wajah pemuda
itu, seakan-akan hendak mencari kebenaran dari ucapan Rangga tadi.
“Mega,
aku juga menyesalkan kejadian dua hari yang lalu itu. Sungguh tidak
kukehendaki, tapi dia terus mendesakku,” kata Rangga pelan dengan nada penuh
penyesalan.
“Lupakan
saja, Kakang. Aku tahu, kau memang tidak bersalah. Kakang Partanu memang keras,
tapi sangat mencintaiku. Aku tahu itu, Kakang. Dan mungkin sekarang dia sudah
membenciku,” ujar Mega lirih.
“Mega.
Jika kau mengizinkan, aku akan menemui dan bicara dengannya,” tegas Rangga.
“Untuk
apa...?” Mega terkejut
“Aku
akan menjelaskan hal yang sebenarnya. Aku yakin, dia bisa memahami.”
“Sebaiknya
jangan lakukan itu, Kakang. Kau akan celaka. Terlebih lagi bila bertemu
ayahnya. Aku tidak ingin kau celaka gara-gara...,” Mega tidak melanjutkan
ucapannya.
Gadis
itu kemudian menundukkan kepalanya, menekuri ujung jari kakinya sendiri. Untuk
beberapa saat mereka hanya berdiam diri membisu. Mega kembali mengangkat
kepalanya perlahan seraya menghembuskan napas panjang.
“Kakang,
ke mana kau akan pergi?” tanya Mega.
“Aku
tidak tahu. Yang jelas, terserah kakiku melangkah,” sahut Rangga.
“Kau
tidak akan kembali ke sini lagi?” tanya Mega lagi.
Rangga
tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja. Diambilnya tangan gadis itu, dan
digenggamnya dengan hangat Mega membiarkan saja tangannya digenggam. Entah
kenapa, terasakan adanya suatu kedamaian setiap kali Rangga menggenggam
tangannya. Dan perasaan ini tidak pernah didapatkan meskipun yang melakukan itu
adalah Partanu.
Mega
sendiri tidak mengerti, mengapa bisa menangis di dalam pelukan pemuda ini.
Bahkan saat mendengar suaranya yang lembut, Mega benar-benar merasakan bagaikan
tersiram air sejuk di tengah¬-tengah kegersangan hatinya. Dan saat Rangga
mengatakan hendak berpamitan, terasa seperti akan ada yang hilang. Yaaa... Mega
tidak bisa lagi mem¬bohongi dirinya. Dia akan kehilangan sekeping hatinya.
Gadis itu sendiri jadi tidak mengerti, mengapa sejak bertemu pemuda ini, dia
selalu membanding-bandingkannya dengan Partanu. Sesuatu yang belum pernah
dilakukan sebelumnya.
Terlebih
lagi setelah disaksikan sendiri, bagaimana Rangga mencoba bertahan dari
gempuran Partanu. Pendekar Rajawali Sakti ini benar-benar tidak ingin
mencelakakan Partanu, meskipun sebenarnya bisa saja mengalahkannya dengan
cepat. Tapi sepertinya hal itu disengaja, bahkan Rangga ingin menjelaskan hal
yang sebenarnya. Hanya saja Partanu tidak memberi kesempatan, karena telah
hangus terbakar api cemburu.
“Kapan
kau akan berangkat, Kakang?” tanya Mega setelah bisa menguasai diri kembali.
“Sebentar
lagi,” sahut Rangga.
“Kenapa
secepat ini...?” tanya Mega tanpa sadar.
“Mega,
aku pasti akan segera kembali setelah bisa mempertemukan Carika dengan
pamannya. Kuharap, saat aku kembali nanti, kau sudah menjadi istri yang baik
bagi Partanu,” ucap Rangga.
“Ah,
Kakang. Kau hanya menghiburku saja,” desah Mega tersipu.
Wajah
gadis itu memerah. Namun sinar matanya mengandung arti yang lain, dan terlihat
sangat bertentangan. Mega memaki dirinya sendiri dalam hati. Dirutuki dirinya
yang mudah sekali terpikat pada pemuda berbaju rompi putih ini. Bahkan nama
Partanu serasa semakin jauh terkikis dari hatinya, dan berganti dengan nama
Rangga yang semakin nyata terukir.
“Aku
pergi dulu, Mega,” pamit Rangga seraya bangkit berdiri.
Mega
hanya bisa menganggukkan kepalanya saja. Sebenarnya gadis itu ingin meminta
agar Rangga bersedia tinggal barang satu atau dua hari lagi saja. Tapi lidahnya
terasa kelu, dan sukar diajak bicara. Mega hanya bisa memandangi wajah pemuda
itu dengan sinar mata begitu banyak menyiratkan kata¬kata yang tak terucapkan.
Pelahan Rangga membungkukkan tubuhnya, dan dengan lembut sekali mengecup kening
gadis itu.
“Aku
harap kau bisa berbahagia nanti,” bisik Rangga lembut
Pendekar
Rajawali Sakti itu bergegas pergi. Sementara Mega semakin terpaku, kaku tak
mampu berbuat apa-apa lagi. Dia hanya bisa memandangi punggung Pendekar
Rajawali Sakti yang semakin jauh dan menghilang di dalam rumah. Mega masih
duduk tanpa berkedip menerawang jauh. Kecupan lembut di keningnya masih terasa
hangat dan membekas dalam di hati.
“Rangga...,”
desah Mega.
***
Carika
bersiul-siul, dan kakinya terayun ringan di samping Rangga. Dari seorang
perambah hutan yang ditemui, mereka mendapat keterangan kalau Paman Sentanu
berada tidak jauh di Lereng Bukit Langgang sebelah Selatan. Dan itu berarti
hanya tinggal sedikit lagi sampai di tempat tinggal paman anak ini
“Kau
tampaknya gembira sekali, Carika,” tebak Rangga memperhatikan tingkah anak itu.
“Ya!
Aku gembira sekali, Kakang. Karena sebentar lagi bisa bertemu Paman Sentanu,”
sahut Carika, berbinar sinar matanya.
“Apa
yang akan kau lakukan bila bertemu pamanmu?” tanya Rangga ingin tahu.
“Apa
ya...?”
Rangga
memandangi anak itu sambil terus berjalan.
“Tidak
tahu, ah! Pokoknya aku senang....”
“Ya,
sudah. Itu berarti tugasku sudah selesai,” kata Rangga tidak memaksa.
“Selesai...?”
Carika mengerutkan keningnya.
“Iya,
kenapa?”
“Tidak
apa-apa,” desah Carika.
Rangga
bisa melihat adanya perubahan di wajah Carika. Direngkuhnya pundak anak itu,
dan dipeluknya dengan penuh rasa sayang. Carika melingkarkan tangannya di pinggang
Rangga. Mereka terus berjalan tanpa bicara lagi.
Setelah
melewati sebuah sungai kecil, mereka sampai di sebuah tempat yang sangat indah.
Padang rumput nampak terhampar luas, dihiasi ratusan ekor domba tengah merumput
tenang di sana. Sebuah sungai kecil berair jernih yang mengalir di tepi padang
rumput itu, seakan-akan membatasi padang rumput itu dengan hutan yang lebat.
Tampak di dekat sungai, berdiri sebuah pondok yang tidak seberapa besar.
Di
depan pondok, terlihat seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun
tengah mengayunkan kapaknya membelah kayu. Kulit tubuhnya yang kecokelatan,
berkilat tertimpa sinar matahari. Otot-ototnya bersembulan saat kapaknya
diayunkan.
“Paman...!”
teriak Carika begitu dekat.
Laki-laki
itu menghentikan ayunan kapaknya yang sudah berada di atas kepala. Dia
berpaling memandang Carika yang berlari-lari kecil menghampiri. Sepertinya
tidak dipercayai ketika melihat anak berusia sekitar lima belas tahun itu
berlari-lari menghampiri.
“Carika...!”
Laki-laki
itu langsung melemparkan kapaknya, dan tangannya merentang lebar. Carika
langsung masuk dalam pelukannya, tidak peduli kalau tubuh laki-laki itu penuh
keringat Sementara Rangga terus saja berjalan menghampiri disertai senyum di
bibir. Mereka berpelukan lama sekali, seakan-akan hendak melepaskan seluruh
kerinduannya yang selama ini terpendam.
Mereka
baru melepaskan pelukan setelah Rangga berada dekat di belakang Carika.
Laki-laki kekar berkulit kecokelatan itu memandangi Rangga. Carika buru-buru menarik
tangan Pendekar Rajawali Sakti itu, dan memperkenalkannya pada pamannya.
“Kakang,
ini pamanku. Paman Sentanu.”
Mereka
saling berjabatan tangan sambil menyebutkan nama masing-masing. Paman Sentanu
mempersilakan tamunya masuk ke dalam pondoknya, tapi Rangga dan Carika masih
senang berada di luar sambil menghirup udara segar dan menikmati keindahan alam
di sini.
“Paman,
Kakang Rangga ini banyak menolongku. Kalau tidak ada Kakang Rangga, mungkin aku
tidak bisa sampai di sini,” jelas Carika.
“Aku
tidak tahu, harus bagaimana mengucapkan terima kasih padamu,” ucap Paman
Sentanu.
“Aku
hanya memenuhi pesan mendiang ibunya saja, Paman,” sahut Rangga merendah.
“Mendiang...?!”
Paman Carika terkejut mendengar Rangga menyebut ibu Carika dengan tambahan kata
mendiang.
“Benar,
Paman. Ibu sudah meninggal,” jelas Carika.
Tanpa
diminta lagi, Carika menuturkan semua kejadian yang dialaminya. Dari dia dan
ibunya dikejar-kejar, sampai ditolong oleh Rangga. Paman Sentanu mendengarkan
dengan wajah mendung dan mata berkaca-kaca. Mulutnya masih membisu walaupun
Carika telah selesai bercerita. Carika juga menyerahkan benda yang terbungkus
kain putih pada laki-laki hampir separuh baya itu. Kedua bola mata Paman
Sentanu semakin merembang berkaca-kaca.
“Sudah
kuduga, ini pasti akan terjadi. Seharusnya ayah dan ibumu mau menuruti
kata-kataku,” ujar Paman Sentanu lirih.
Paman
Sentanu merengkuh pundak Carika dan memeluknya. Anak itu membiarkan saja,
meskipun meringis merasakan sakit mendapat pelukan yang begitu kuat. Untung saja
tidak lama, jadi tulang-tulang anak itu tidak remuk. Tubuh Paman Sentanu memang
kekar, dan otot-ototnya bersembulan. Tenaganya pasti besar sekali, membuat
Carika menggeliatkan tubuhnya begitu terlepas dari pelukannya.
“Tapi,
biarlah. Semua yang sudah terjadi tak perlu disesalkan lagi. Aku gembira kau
sekarang sudah berada di sini, Carika,” ujar Paman Sentanu mencoba tersenyum,
meskipun terasa getir.
“Aku
juga senang, Paman,” sambut Carika.
Paman
Sentanu mengusap-usap kepala anak itu, dan Carika membiarkan saja.
“Tapi
aku lapar, Paman...”
“Kau
belum makan...?”
“Cuma
kelinci bakar,” sahut Carika meringis.
Paman
Sentanu tidak bisa lagi menahan gelak tawanya. Ditepuknya punggung Carika dan
disuruhnya cepat makan. Carika menawarkan pada Rangga, tapi ditolak. Tanpa
menunggu waktu lagi, Carika masuk ke dalam pondok, tapi tidak lama menyembulkan
kepalanya.
“Habiskan
saja sekuat perutmu, aku sudah makan tadi,” kata Paman Sentanu sebelum Carika
membuka mulut.
Carika
menyengir kuda. Kepalanya kembali tenggelam di dalam pondok. Paman Sentanu
menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menarik napas panjang.
“Anak
itu..., sepertinya tidak pernah merasakan kesedihan. Selalu saja membuat orang
jadi lupa akan persoalan hidup,” ujar Paman Sentanu seperti untuk dirinya
sendiri.
“Tapi
menyenangkan, meskipun kadang-kadang menjengkelkan,” sambung Rangga jujur.
“Memang.
Aku juga sering dibuatnya jengkel. Tapi aku sangat sayang padanya. Biar begitu,
dia cerdas dan tidak malas. Yaaah..., terkadang tingkah lakunya sangat konyol,
membuat orang sering jengkel. Tapi tak ada yang bisa marah padanya, karena
selalu saja bisa membuat orang jadi tertawa,” kata Paman Sentanu lagi seraya
tersenyum.
Rangga
jadi ikut tersenyum. Juga dirasakan, beberapa hari bersama Carika sepertinya
ada kelainan dalam jalan kehidupannya. Namun, terkadang Rangga jadi suka
berpikir juga tentang anak itu. Carika sepertinya selalu menganggap enteng
segala sesuatu yang dihadapi. Jika sikap seperti ini terus berlanjut sampai
dewasa, dia tidak akan punya pegangan dalam mengarungi kehidupan yang ganas
ini.
***
EMPAT
Setelah
dua hari tinggal di pondok Paman Sentanu, Rangga baru kembali melanjutkan
perjalanannya. Pendekar Rajawali Sakti merasakan kali ini tidak ada beban yang
harus ditanggung, sehingga berjalan enak tanpa harus diburu-buru. Sengaja jalan
yang diambil dengan memutari Bukit Langgang. Tapi sungguh tidak disadari kalau
jalan yang ditempuhnya ini, justru menuju Gunung Parakan. Dan Pendekar Rajawali
Sakti itu baru menyadari setelah melihat dua buah batu kembar yang berdiri
berdampingan bagai menyerupai gerbang. Batu itu merupakan sebuah tanda memasuki
daerah Gunung Parakan.
“Berhenti...!”
Rangga
tersentak kaget ketika tiba-tiba mendengar bentakan keras. Dan belum juga
hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja muncul seorang laki-laki setengah
baya berwajah kasar penuh brewok. Bajunya warna hijau tua yang ketat, membentuk
tubuhnya yang kekar berotot. Sebuah gagang golok berwarna hitam, menyembul dari
balik pinggang.
“Kau
yang bernama Rangga...?” tanya laki-laki setengah baya itu. Suaranya besar dan
terdengar berat sekali.
“Benar,
dan kau siapa?” Rangga balik bertanya.
“Aku
Puliga.”
Rangga
mengerutkan alisnya begitu mendengar laki-laki berbaju hijau tua itu
menyebutkan namanya. Dia teringat cerita Ki Anta. Ternyata orang ini yang
bernama Puliga dan berjuluk si Iblis Gunung Parakan. Saat itu juga Rangga sudah
bisa menebak maksud laki-laki itu mencegatnya di tempat ini.
“Kau
memang cukup gagah, Rangga. Tapi itu bukan berarti bisa seenaknya saja merebut
kekasih orang. Kau tahu, apa akibatnya bila berani berurusan dengan Iblis
Gunung Parakan?” jelas sekali kalau nada suara Puliga mengandung ancaman.
“Aku
tidak mengerti maksudmu...?” Rangga berpura-pura.
“Phuih!”
Puliga menyemburkan ludahnya. “Jangan berpura-pura di depanku, Bocah! Kau bisa
saja berbangga hati telah mengalahkan anakku, tapi jangan harap bisa lepas dari
tanganku!”
“Hm...,”
Rangga mengerutkan keningnya, sehingga matanya hampir menyipit.
Sementara
Puliga sudah menggeser kakinya ke samping agak ke depan. Sorot mata laki-laki
berbaju hijau tua itu demikian tajam menusuk langsung bola mata Pendekar
Rajawali Sakti. Digesernya gagang golok dengan ujung sikutnya. Dua kali
ludahnya disemburkan, mencoba menggertak pemuda yang kelihatan tenang di
depannya.
“Dengar,
Anak Muda. Aku akan memberi kesempatan hidup jika kau bersedia berjanji untuk
menjauhi Mega. Dia calon istri anakku!” dengus Puliga, dingin nada suaranya.
“Maaf,
aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Mega. Sedangkan pertarunganku melawan
anakmu, karena aku diserang lebih dahulu. Aku hanya mempertahankan diri,” sahut
Rangga mencoba menjelaskan.
“Setan...!
Kau merendahkan anakku!” geram Puliga, langsung memerah wajahnya.
“Aku
tidak bermaksud begitu, aku hanya...!”
“Cukup!”
bentak Puliga memutus ucapan Rangga. “Ternyata kau memang tidak bisa dikasih
hati, Bocah! Sekarang bersiaplah untuk mati...!”
Setelah
berkata demikian, Puliga mengecutkan kedua tangannya di depan dada. Lalu sambil
berteriak nyaring melengking tinggi, laki-laki setengah baya berbaju hijau tua
itu melompat cepat. Dua kali dilontarkan pukulan dahsyat disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi.
“Hup...!”
Cepat
Rangga menggeser kakinya ke belakang sedikit, kemudian mengegoskan tubuhnya,
mencoba menghindari terjangan si Iblis Gunung Parakan itu. Namun setelah
serangan pertamanya itu lolos, Puliga langsung menyambung dengan serangan berikut.
Dan ini membuat Rangga sedikit kerepotan juga. Cepat-cepat dikerahkan jurus
'Sembilan Langkah Ajaib', sehingga serangan-serangan yang dilancarkan Puliga
tidak ada yang mengenai sasaran.
Pertarungan
itu terus berlangsung semakin sengit. Jurus demi jurus berganti cepat, namun
belum ada tanda-tanda kalau pertarungan itu bakal berakhir. Mereka sama-sama
memiliki kepandaian yang sangat tinggi, dan sama-sama mempunyai jurus-jurus
ampuh dan dahsyat
Sekitar
tempat pertarungan sudah porak-poranda tidak berbentuk lagi. Batu-batu
berhamburan dan pecah berkeping-keping. Pepohonan juga bertumbangan tak tentu
arah, terkena sambaran pukulan bertenaga dalam tinggi yang nyasar. Meskipun
mereka sudah sama-sama mengerahkan jurus andalan, namun tampaknya pertarungan
masih akan berlangsung lama.
“Hhh!
Tangguh juga dia...,” ujar Rangga mengakui dalam hati ketangguhan lawannya.
“Sepuluh
orang seperti dia, bisa mengancam kehidupanku,” desah Puliga dalam hati.
Di
dalam hati masing-masing, satu sama lain saling mengakui dan memuji ketangguhan
lawan. Tapi mereka tidak akan menunjukkan pujian itu di saat bertarung seperti
ini. Entah sudah berapa jurus berlangsung, tapi belum juga ada tanda-tanda
bakal mengakhiri pertarungan.
“Hup!
Hiyaaa...!”
Tiba-tiba
saja Puliga melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sekali tubuhnya
berputaran di udara, kemudian mendarat manis sekali di tanah. Saat itu juga
langsung dicabut golok hitamnya yang mengepulkan asap tipis berwarna kehitaman.
Puliga
melintangkan goloknya di depan dada. Kakinya perlahan bergeser ke samping.
Matanya menyorot tajam memerah, bagai hendak membakar hangus seluruh tubuh
Pendekar Rajawali Sakti. Sementara Rangga masih belum mau mencabut senjatanya,
karena diyakini dirinya masih bisa menandingi laki-laki setengah baya berbaju
hijau tua itu dengan tangan kosong. Namun demikian kewaspadaannya semakin
bertambah, melihat golok di tangan Puliga semakin tebal mengeluarkan asap
kehitaman.
“Hiyaaat..!”
Tiba-tiba
saja Puliga melompat cepat sambil mengibaskan goloknya tiga kali ke arah bagian
tubuh Rangga yang mematikan.
“Hup!
Yeaaah...!”
Cepat
Rangga menggeser kakinya ke kanan, lalu menarik tubuhnya ke belakang seraya
meliuk menghindarkan diri dari tebasan golok berwarna hitam pekat itu. Namun
mendadak saja hatinya terkejut, karena cuping hidungnya langsung kembang kempis
begitu menghirup asap hitam yang keluar dari golok itu.
''Hap...!”
Buru-buru
Rangga melompat berjumpalitan ke belakang, tepat pada saat Puliga mengibaskan
senjatanya ke arah kaki. Dua kali Rangga berjumpalitan di udara, kemudian
mendarat ringan di tanah. Saat itu, Puliga sudah kembali melompat menerjangnya.
Gerakan laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu, sungguh cepat luar
biasa, sehingga membuat Rangga sedikit terperangah. Namun Pendekar Rajawali
Sakti itu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya berkelit, saat golok hitam
mengepulkan asap itu mengibas ke arah dada.
“Hap!
Yeaaah...!”
Rangga
cepat-cepat menghentakkan tangannya ke depan begitu golok hitam itu lewat di
depan dada. Dan sentakan tangan kanan Pendekar Rajawali Sakti itu memang tepat
menghantam dada si Iblis Gunung Parakan yang lowong tak terjaga keselamatannya.
Dughk!
“Akh...!”
Rangga memekik agak tertahan.
Bukan
main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, ketika pukulannya tepat menghantam
dada Puliga. Saat itu juga Rangga merasakan seperti menghantam sebongkah bukit
baja yang keras luar biasa. Tulang-tulang tangannya berkeretak seperti remuk.
Buru-buru Rangga melompat mundur sambil menarik pulang tangannya.
“Ha
ha ha...!” Puliga tertawa terbahak-bahak.
“Gila!
Ilmu apa yang dipakainya?” dengus Rangga dalam hati.
Sebelum
keterkejutan Pendekar Rajawali Sakti lenyap, Puliga sudah kembali melompat
sambil berteriak keras menggelegar. Dikibaskan goloknya cepat-cepat ke arah
leher lawan. Buru-buru Rangga menarik kepalanya ke belakang, maka tebasan golok
berwarna hitam yang mengepulkan asap itu lewat sedikit di depan tenggorokannya.
Namun
sebelum Rangga bisa menarik kembali kepalanya ke depan, si Iblis Gunung Parakan
sudah memberi satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi ke arah perut.
“Yeaaah...!”
Beghk!
“Ughk...!”
Rangga
mengeluh pendek begitu merasakan perutnya seperti terhantam sebuah palu godam
baja yang sangat berat dan keras. Seketika perutnya terasa mual, dan kepalanya
jadi pening dengan mata berkunang-kunang. Pendekar Rajawali Sakti itu
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap perutnya.
“Hih!
Hsss...!”
Cepat
Rangga mengerahkan hawa murni sambil mengatur jalan napasnya. Sebentar
digerak-gerakkan tangannya, mencoba mengusir rasa mual dan pening yang
menyerang, akibat tendangan Si Iblis Gunung Parakan yang bertenaga dalam cukup
tinggi. Meskipun rasa pening dan mual bisa terusir, namun masih juga perutnya
terasa kaku.
“'Terimalah
kematianmu, Rangga! Hiyaaa...!” seru Puliga keras menggelegar.
Seketika
itu juga, si Iblis Gunung Parakan itu melompat bagai kilat seraya mengibaskan
goloknya beberapa kali ke tubuh Pendekar Rajawali Sakti.
“Hih!”
Sret!
Secepat
Rangga mencabut senjata pusakanya, secepat itu pula dikibaskan. Disampoknya
tebasan pertama golok berwarna hitam itu.
Trang!
Dua
senjata sakti beradu keras di udara, membuat percikan api yang menyebar ke
segala arah disertai dentingan memekakkan telinga. Tampak mereka sama-sama
berlompatan mundur sejauh tiga langkah.
“Setan...!”
desis Puliga menggeram.
Bet!
Bet!
Dua
kali Puliga mengecutkan goloknya di depan dada. Tampak asap yang mengepul
keluar dari mata golok itu berubah menjadi hitam bercampur kemerahan. Saat itu,
perlahan-lahan Rangga melintangkan pedangnya di depan dada. Telapak tangan
diletakkan pada mata pedang yang bersinar biru berkilau itu. Tapi, dia tidak
jadi mengerahkan aji 'Cakra Buana Sukma'.
“Hm....
Racun yang menyebar semakin kuat,” gumam Rangga dalam hati.
Memang,
asap yang mengepul dari golok di tangan si Iblis Gunung Parakan itu mengandung
hawa racun yang begitu kuat dan dahsyat mematikan. Namun bagaimanapun kuatnya
racun, Pendekar Rajawali Sakti tidak akan berpengaruh apa-apa. Namun demikian,
dia masih juga menjaganya dengan menutup bagian-bagian penang pada jalan darah
lewat penyaluran hawa murni.
Meskipun
Pendekar Rajawali Sakti kebal terhadap segala jenis racun, tapi tidak pernah
memanjakan kekebalannya. Dia selalu berhati-hati terhadap racun. Setiap kali
berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu beracun, jalan darah terpentingnya
selalu ditutup lewat penyaluran hawa murni. Bahkan dengan cara itu pula, dia
bisa menyaring udara yang terhisap ke dalam paru-paru. Hal ini dimaksudkan agar
selalu mendapatkan udara bersih, tanpa harus mengotori paru-parunya dengan
udara beracun.
“Sebut
nama gurumu sebelum kukirim ke neraka, Rangga!” desis Puliga dingin.
“Kita
lihat, siapa yang lebih dahulu terbang ke neraka!” balas Rangga tidak kalah
dinginnya.
“Bersiaplah!
Hiyaaat...!”
Bagaikan
kilat, Puliga melompat menerjang sambil mengibaskan goloknya beberapa kali.
Seketika asap yang keluar dari senjata itu menyebar memenuhi sekitar tempat
pertarungan ini.
“Yeaaah...!”
Pada
saat yang bersamaan, Rangga juga melompat menyambut serangan dahsyat si Iblis
Gunung Parakan itu.
Trang!
Glarrr!
Tepat
pada satu titik temu, dua senjata sakti beradu keras di udara sehingga
menimbulkan ledakan dahsyat, membuat tempat sekitarnya berguncang hebat. Namun
tak ada seorang pun yang terpental balik. Bahkan mereka sama-sama mendarat
manis di tanah, dengan senjata masih tetap saling menempel. Pada saat mereka
mendarat bersamaan, cepat sekali Puliga menghentakkan kakinya mengarah ke perut
Rangga disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Yaaa...!”
“Uts!”
Rangga
cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, sehingga tendangan Puliga tidak
mengenai sasaran. Namun sebelum Pendekar Rajawali Sakti bisa menarik kembali
tubuhnya seperti semula, Puliga sudah menghentakkan senjatanya pulang. Lalu
dengan cepat, dikibaskan ke arah kaki seraya menekuk kedua kakinya, hingga
lutut hampir menyentuh tanah.
Wut!
“Hap...!”
Cepat
Rangga melompat menghindari tebasan golok hitam yang mengepulkan asap itu. Dan
secepat itu pula, Rangga mengibaskan pedangnya ke arah kepala si Iblis Gunung
Parakan sambil cepat memutar tubuhnya.
Wut!
“Hih...!”
Puliga
cepat mengibaskan goloknya ke atas kepala, menyampok tebasan pedang yang
bersinar biru berkilau itu.
Trang!
Kembali
dua senjata sakti beradu di atas kepala Puliga. Pada saat yang bersamaan, si
Iblis Gunung Parakan itu menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dan langsung
bergulingan beberapa kali sebelum cepat melompat bangkit berdiri. Golok
hitamnya sudah bersilang di depan dada, begitu kedua kakinya tegak menjejak
tanah. Saat itu, Rangga juga sudah berdiri tegak.
“Kita
tuntaskan pertarungan ini dengan aji pamungkas, Rangga,” dengus Puliga.
“Baik,
kerahkan aji pamungkas yang paling kau andalkan,” sambut Rangga.
Trek!
Rangga
memasukkan pedang pusaka ke dalam warangkanya kembali di punggung. Melihat
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menggunakan senjata, si Iblis Gunung Parakan
juga memasukkan goloknya dalam sarungnya di pinggang. Mereka berdiri
berhadapan, berjarak sekitar enam langkah.
Mereka
saling menatap tajam, seakan-akan sedang mengukur kekuatan ajian yang
digunakan. Perlahan-lahan Puliga merapatkan kedua telapak di depan dada.
Napasnya ditarik dalam-dalam, dan perlahan-lahan tangan kanannya naik sejajar
tangan kiri yang masih berada di depan dada.
Sedangkan
Rangga mulai menggerakkan perlahan kedua tangannya di depan. Secara bersamaan
dirapatkan kedua telapak tangan di depan dada, dan langsung dimiringkan
tubuhnya ke kiri. Kemudian dengan cepat tubuhnya bergerak agak memutar ke
kanan. Perlahan-lahan pula Pendekar Rajawali Sakti itu menurunkan tangannya
hingga sejajar pinggang, begitu tubuhnya kembali tegak.
Pada
saat Puliga menghentakkan tangan kanannya ke depan, Rangga juga menghentakkan
tangan kirinya ke depan. Dan hampir bersamaan, mereka berlari cepat menerjang.
Satu tangan masing-masing merentang lurus ke depan dengan telapak tangan
terbuka.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaa...!”
Begitu
telapak tangan mereka saling berbenturan, dengan cepat pula mereka sama-sama
menghentakkan tangan yang satunya lagi ke depan. Akibatnya kembali kedua
telapak tangan saling berbenturan, menimbulkan ledakan dahsyat. Tampak, tubuh
mereka sama-sama berpentalan ke belakang, dan bergulingan di tanah beberapa
kali. Namun mereka cepat bangkit berdiri, dan kembali mempersiapkan ajian lagi.
“Hup!”
“Hap...!”
Puliga
cepat mengecutkan tangannya beberapa kali. Sementara Rangga masih berdiri
tegak, lalu menaikkan tangan kanannya ke atas hingga sejajar hidung. Lalu
perlahan-lahan tangan kanannya turun ke bawah, sedangkan tangan kirinya
terkepal ke samping pinggang. Saat itu, Rangga mengerahkan aji 'Cakra Buana
Sukma'. Ini bisa diketahui dari sinar biru yang memancar pada kedua tangannya.
“Yeaaah...!”
tiba-tiba Puliga berteriak keras.
Seketika
tubuhnya meluncur deras ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu, Rangga masih
berdiri tegak dengan kedua tangan terkepal di samping pinggang. Kedua kakinya
merentang lebar agak tertekuk. Dia menunggu datangnya serangan si Iblis Gunung
Parakan itu.
“Aji
'Cakra Buana Sukma'...! Hiyaaa...!”
Sambil
berteriak kencang, Rangga menghentakkan kedua tangannya yang langsung terbuka
lebar dengan jari-jari menegang kaku. Pada saat itu, kedua tangan Puliga sudah
begitu dekat dengan tubuh Pendekar Rajawali Sakti, sehingga benturan dua pasang
tangan tak dapat dihindari lagi.
Glarrr...!
LIMA
“Akh...!”
Rangga memekik keras. Pendekar Rajawali Sakti itu terpental jauh ke belakang,
langsung menghantam lima buah pohon hingga hancur berkeping-keping. Tubuhnya
terhenti setelah menghancurkan sebongkah batu cadas yang cukup besar. Rangga
menggeliat sambil merintih lirih. Tampak dari mulut dan hidungnya mengucurkan
darah segar dan kental. Sungguh dia tidak tahu kalau ajian yang dilepaskan Ki
Puliga bisa menahan aji 'Cakra Buana Sukma'. Rangga langsung menyadari kalau
ajian yang dimiliki Ki Puliga satu aliran dengan ajian yang dimilikinya. Dan
hal ini memang kelemahan aji 'Cakra Buana Sukma', yang tidak bisa digunakan
untuk melawan ajian sealiran.
“Ha
ha ha...!” Ki Puliga tertawa terbahak-bahak. Laki-laki tinggi besar itu berdiri
tegak sambil bertolak pinggang. Dengan mantap, diayunkan kakinya mendekati
Rangga yang masih menggeletak di atas reruntuhan batu sambil mengerang menahan
rasa sakit. Sekujur tubuhnya terasa seperti remuk.
“Tiba
saatmu untuk pergi ke neraka, Pendekar Rajawali Sakti!” desis Ki Puliga dingin.
Sret!
Ki
Puliga mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Golok hitam itu mengepulkan
asap agak kehitaman yang mengandung racun. Sambil menyeringai, langkahnya terus
semakin mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
“Hiyaaa...!”
Ki Puliga berteriak keras menggelegar.
Cepat
sekali si Iblis Gunung Parakan itu melompat sambil mengayunkan goloknya ke
tubuh Rangga yang masih tergeletak sambil menggeliat dan merintih merasakan
sakit pada sekujur tubuhnya.
Bet!
Bagaikan
kilat, golok Iblis Gunung Parakan mengibas ke arah leher Pendekar Rajawali
Sakti. Saat itu, Rangga benar-benar sudah tidak berdaya untuk menghindar. Dia
hanya bisa memejamkan mata saja. Pikirannya mengatakan kalau mungkin ini adalah
akhir dari segala petualangannya. Namun sebelum golok berwarna hitam mengepulkan
asap itu sampai pada sasaran di leher Pendekar Rajawali Sakti, mendadak saja
sebuah bayangan berkelebat cepat, langsung menyambar tubuh Rangga yang
tergeletak tak berdaya.
Cras!
Golok Ki Puliga menghantam tanah berbatu.
“Setan...!”
geram Ki Puliga marah.
Cepat-cepat
dilayangkan pandangannya, namun bayangan yang menyambar tubuh Pendekar Rajawali
Sakti sudah lenyap tak berbekas lagi. Ki Puliga memaki-maki dan menggeram
marah. Kakinya menendang batu-batuan yang berserakan di sekitarnya. Dia
mengamuk, membabatkan goloknya pada pepohonan untuk melampiaskan kemarahan.
“Aku
tidak akan puas sebelum kau mampus, Rangga...!” geram Ki Puliga dengan suara
keras.
Suara
si Iblis Gunung Parakan itu menggema keras, karena dikeluarkan lewat pengerahan
tenaga dalam tinggi. Suara itu masih terdengar menggema meskipun tubuhnya sudah
melesat pergi dengan kecepatan luar biasa.
***
Malam
itu udara di seluruh permukaan Desa Parakan dingin sekali. Angin bertiup
kencang, seakan-akan hendak merobohkan seluruh rumah penduduk. Debu beterbangan
bercampur daun-daun yang berguguran. Suara angin yang bertiup keras,
menderu-deru, membuat jantung terasa bergetar mendengarnya. Dalam keadaan cuaca
seperti ini, tak ada seorang pun yang ingin meninggalkan rumahnya.
Namun
tidak demikian halnya dengan seseorang yang bergerak cepat menyelinap dari satu
rumah ke rumah lainnya. Gerakannya demikian ringan, tak menimbulkan suara
sedikit pun. Terlebih lagi suara angin yang menderu kencang, cukup membantu
untuk tidak terdengar. Sosok tubuh yang mengenakan baju hitam itu berhenti
bergerak setelah dekat dengan sebuah rumah besar dan berhalaman luas. Matanya
yang tajam, mengamati rumah itu tanpa berkedip.
“Hup.
.!”
Ringan
sekali tubuhnya melesat, langsung hinggap di atas atap rumah itu. Sebentar dia
diam sambil agak merapatkan tubuhnya di atap. Matanya semakin tajam
memperhatikan sekelilingnya, lalu bayangan itu kembali melesat turun ke bagian
samping. Namun sebelum melakukan sesuatu, mendadak saja terdengar suara
bentakan keras.
“Hei...!
Siapa itu...?”
“Sial...!”
dengus bayangan itu kesal.
Dan
sebelum sempat menyembunyikan diri, dari pintu ke luar seorang laki-laki
setengah baya sambil menghunus sebilah golok berkilat. Sosok bertubuh hitam itu
tidak bisa menyembunyikan diri lagi.
“Siapa
kau?! Mau apa malam-malam menyelinap ke sini?!” bentak laki-laki setengah baya
yang tak lain adalah Ki Anta, Kepala Desa Parakan ini.
Pertanyaan
Ki Anta tidak dijawab orang berbaju hitam gelap. Laki-laki setengah baya itu
mencoba mempertajam penglihatannya. Namun sukar baginya untuk bisa mengenali
wajah dalam keadaan gelap seperti ini. Terlebih lagi, jarak mereka cukup jauh,
sekitar tiga batang tombak lebih.
“Yeaaah...!”
Tiba-tiba
saja orang berbaju hitam itu berteriak keras, seraya mengelebatkan tangan
kanannya cepat ke depan dengan tubuh sedikit membungkuk ke samping. Seketika
dari tangan kanannya melesat deras dua buah benda kecil berwarna keperakan.
Begitu cepatnya, sehingga membuat Ki Anta terperangah.
Crab!
Crab!
Kedua
benda itu langsung menembus dada Ki Anta. “Aaa...!” Ki Anta berteriak keras
melengking tinggi
Hanya
sebentar laki-laki setengah baya itu mampu berdiri tegak, kemudian ambruk
menggelepar di tanah. Darah merembes keluar dari dadanya yang bolong tertembus
dua benda berwarna keperakan. Pada saat itu, dari dalam rumah keluar seorang
gadis yang ternyata Mega, putri Kepala Desa Parakan itu.
“Ayah...!”
jerit Mega terkejut melihat ayahnya menggelepar di tanah meregang nyawa.
“Mega,
lari...!” seru Ki Anta memperingatkan.
Laki-laki
tua itu mencoba bangkit berdiri. Namun sebelum bisa bangkit, sosok tubuh
berbaju hitam itu sudah lebih cepat melesat. Seketika, dilontarkan satu pukulan
keras, langsung ke kepala Ki Anta.
“Aaa...!”
sekali lagi Ki Anta menjerit melengking tinggi.
“Ayah...!”
teriak Mega.
Gadis
itu langsung berlari memburu ayahnya. Tapi sebelum sampai, orang berbaju hitam
itu sudah lebih cepat lagi melesat dan langsung menyambarnya.
“Oh,
aaakh...!” Mega memekik terkejut.
Tapi
jeritan Mega hanya sampai di situ saja. Ternyata orang itu sudah menggerakkan
tangannya untuk menotok jalan darah gadis itu, sehingga membuat Mega jatuh
lemas seketika. Orang itu memanggul tubuh ramping di pundaknya. Sebentar
dipandangi mayat Ki Anta yang bergelimang darah. Kepalanya hancur tak berbentuk
lagi.
“Hup!”
Hanya
sekali lesatan saja, orang berbaju hitam itu udah lenyap bagai ditelan bumi.
Kejadiannya begitu cepat, tanpa disaksikan seorang pun. Suasana kembali sunyi,
hanya deru angin saja yang masih terdengar, disertai bergemeretaknya
rumah-rumah yang bergetar tertiup angin kencang. Sementara malam terus merayap
semakin larut Angin terus berhembus kencang menyebarkan udara dingin yang
menggigilkan.
***
Di
sebuah tempat yang tidak jauh letaknya di sebelah Selatan Desa Parakan, Mega terbaring
di sebuah dipan kayu beralaskan kain berwarna biru muda. Gadis itu tampak
tertidur pulas. Tidak jauh di sampingnya, berdiri seorang berbaju hitam yang
seluruh kepalanya terselubung kain hitam pula. Hanya bagian matanya saja yang
terlihat. Orang berpakaian serba hitam itu menggerakkan jari tangannya ke dada
Mega bagian atas. Sebentar kemudian, gadis itu mulai mengeluh lirih, dan
kepalanya menggeleng lemah. Perlahan-lahan kelopak matanya mulai terbuka.
“Ah...!”
Mega terpekik kaget begitu tersadar. Gadis itu mencoba bangkit, namun seluruh
tubuhnya terasa sulit digerakkan. Hanya bagian kepalanya saja yang bisa
digerakkan. Mega memandangi orang berbaju hitam yang seluruh kepalanya
terselubung kain hitam itu. Dia berdiri tidak seberapa jauh dari pembaringan
yang ditiduri Mega.
“Siapa
kau? Di mana aku...?”“ tanya Mega seraya memandangi berkeliling.
“Kau
ada di tempat pribadiku, Mega,” sahut orang itu. Suaranya terdengar begitu
berat seperti dibuat-buat.
“Siapa
kau sebenarnya?” tanya Mega memberanikan diri.
“Kau
tidak perlu tahu siapa aku, Mega. Aku hanya melakukan menurut perintah,” sahut
orang itu lagi.
“Perintah?
Siapa yang memerintahkanmu?”
“Sayang
sekali, aku tidak boleh mengatakannya padamu. Dan aku sudah bersumpah untuk
merahasiakannya. “
“Kau
membunuh ayahku, dan sekarang menculikku. Apa maksudmu sebenarnya...?” agak
kasar nada suara Mega.
“Maaf,
aku harus segera pergi. Kau aman di sini. Hm.... Sebentar lagi pengaruh totokan
di tubuhmu lenyap, dan kau bisa bebas bergerak. Tapi, jangan coba-coba lari
dari sini,” tegas orang berselubung hitam itu setengah mengancam.
Setelah
berkata demikian, dia bergegas berbalik dan melangkah meninggalkan ruangan ini.
“Hei,
tunggu...!” seru Mega.
Tapi
orang itu acuh saja, dan langsung keluar dan menutup pintu kamar ini. Terdengar
suara pintu dikunci dari luar. Dan Mega sadar kalau kamar ini sudah terkunci.
Matanya beredar berkeliling. Sebuah ruangan yang cukup indah dan besar, tapi
tak ada sebuah jendela pun di ruangan ini. Hanya sebuah pelita dan perapian
yang selalu menyala membuat ruangan ini terasa hangat dan terang.
Mega
memandangi pintu yang hanya satu-satunya di ruangan ini. Tampaknya pintu itu
terbuat dari kayu jati yang tebal dan kokoh. Mega mencoba menggerakkan
tubuhnya, dan merasakan kalau dirinya kali ini bisa bergerak kembali. Bergegas
tubuhnya menggelinjang bangkit berdiri, langsung turun dari pembaringan. Gadis
itu melangkah cepat menghampiri pintu. Dia mencoba untuk membuka, tapi pintu
ini benar-benar terkunci.
“Hhh...!”
Mega menghembuskan napas berat.
Gadis
itu menyandarkan punggungnya ke dinding di samping pintu. Kembali diedarkan
pandangannya berkeliling. Tak ada yang bisa dilakukannya di sini. Ruangan ini
benar-benar tertutup, tak ada celah untuk bisa meloloskan diri. Mega kembali
menghampiri pembaringan, lalu duduk di tepinya. Matanya kembali beredar,
mengamati setiap sudut ruangan ini, hingga ke atapnya. Dan begitu memandang ke
atas, tahulah kini bahwa ruangan ini merupakan sebuah gua batu. Gadis itu
menghembuskan napas panjang. Disadari kalau tidak ada peluang sedikit pun untuk
bisa meloloskan diri.
Kreeek...!
Mega mengangkat kepalanya ketika mendengar suara derik pintu. Matanya langsung
menatap ke arah pintu yang terbuka perlahan-lahan. Tak berapa lama kemudian,
muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus kering. Pakaiannya lusuh, dan
warnanya sudah memudar. Dia membawa sebuah baki yang penuh berisi makanan,
minuman, dan buah. Ditutupnya pintu kembali sebelum melangkah menghampiri meja
yang terletak di samping pembaringan. Seperti tidak melihat ada orang di
ruangan ini, diletakkannya baki penuh berisi makanan itu di atas meja,
sementara Mega hanya memperhatikan saja.
“Tunggu
dulu...!” sentak Mega ketika laki-laki tua itu hendak meninggalkan kamar ini.
Laki-laki
tua itu mengurungkan langkahnya. Tubuhnya berbalik, menghadap pada Mega yang
masih tetap duduk di tepi pembaringan. Sinar mata yang cekung itu begitu sayu,
seperti tak memiliki gairah sama sekali. Laki-laki tua ini benar-benar kumuh,
tak lebih dari seorang gembel jalanan.
“Siapa
namamu, Ki?” tanya Mega.
“Jamat,”
sahut laki-laki tua itu. Suaranya pelan dan sedikit bergetar.
“Kau
tahu, apa nama tempat ini?” tanya Mega langsung.
“Maaf,
aku harus pergi. Silakan Gusti Ayu menikmati hidangan itu,” ucap Ki Jamat
buru-buru.
“He,
tunggu dulu...!” sentak Mega.
Gadis
itu langsung melompat bangkit. Setengah berlari, dihadangnya Ki Jamat yang
sudah berbalik dan melangkah hendak keluar dari kamar ini. Ki Jamat berhenti
melangkah.
“Maaf,
Gusti Ayu. Jangan paksa hamba untuk banyak bicara. Hamba hanya bertugas untuk
melayani kebutuhan Gusti Ayu. Maafkan hamba, Gusti Ayu...,” ucap Ki Jamat
bernada penuh permohonan.
Setelah
berkata demikian, Ki Jamat kembali berjalan mendekati pintu. Ketika pintu itu
diketuk, seketika terbuka. Ki Jamat bergegas keluar, dan pintu kembali
tertutup. Mega hanya bisa memandangi saja. Kini baru jelas kalau di depan pintu
ada penjaganya.
Mega
berjalan mondar-mandir di ruangan ini. Dicobanya untuk bisa memahami semua
peristiwa yang dialami, hingga sampai ke ruangan yang sama sekali asing. Tapi
sedemikian keras mencoba untuk memahami, tetap saja sulit dimengerti.
Dia
tidak tahu. siapa orang yang menculik dan membunuh ayahnya. Apalagi, untuk
mengetahui apa maksudnya orang itu menculiknya. Sedangkan dari suaranya, sama
sekali tidak bisa dikenali. Seluruh kepala dan wajahnya terselubung kain hitam,
kecuali matanya saja yang terlihat.
“Hhh....
Apakah ini ada hubungannya dengan ancaman Ki Puliga...?” desah Mega
bertanya-tanya sendiri dengan suara setengah bergumam.
Gadis
itu teringat akan kedatangan Ki Puliga ke rumahnya kemarin. Terang-terangan si
Iblis Gunung Parakan itu meminta agar secepatnya menikahkan Mega dengan
anaknya. Tapi Ki Anta tegas-tegas menolak. Bahkan terang-terangan mengatakan
kalau tidak akan sudi punya menantu keturunan manusia iblis seperti Ki Puliga.
Penolakan
Ki Anta membuat si Iblis Gunung Parakan jadi berang, bahkan mengeluarkan
kata-kata ancaman akan membunuh kepala desa itu dan akan menculik putrinya.
Hanya saja, Mega bukan untuk dikawinkan dengan anaknya, melainkan untuk
dijadikan budak agar seumur hidupnya menderita. Mengingat itu semua, Mega jadi
bergidik. Sungguh sikap ayahnya sangat disesali karena terlihat kasar saat
menolak lamaran Ki Puliga.
“Tapi...,
apakah Ki Puliga akan melakukan ini semua...?” gumam Mega kembali
bertanya-tanya di dalam hatinya.
***
Saat
itu, di Puncak Gunung Parakan yang selalu berkabut, tampak Partanu tengah duduk
menyendiri di bawah pohon. Sejak pagi tadi pemuda itu berada di sana, menghadap
ke arah Desa Parakan yang berada di kaki gunung ini. Sudah begitu lama Partanu
tidak pernah bertemu Mega lagi. Hatinya begitu rindu. Namun kala mengingat Mega
berpelukan dengan seorang pemuda lain, kecemburuan dan sakit hati membuatnya
harus bisa meredam kerinduannya.
Partanu
menghembuskan napas panjang saat telinganya mendengar langkah kaki menghampiri.
Sedikit ujung matanya melirik. Tampak seorang laki-laki setengah baya
berperawakan tinggi besar dan berotot, datang menghampiri. Bajunya warna hijau
tua dengan sebilah golok bergagang hitam terselip di pinggang. Laki-laki yang
tak lain Ki Puliga itu duduk di samping anaknya.
“Kau
masih memikirkan gadis itu, Partanu?” tebak Ki Puliga langsung.
“Entahlah...,”
sahut Partanu mendesah. “Tapi aku benar-benar mencintainya, Ayah.”
“Lupakan
saja gadis itu, Partanu. Kau bisa mendapatkan gadis-gadis yang lebih cantik.
Tidak ada persoalan bagimu untuk memperoleh gadis-gadis cantik di dunia ini,
Partanu.”
Partanu
hanya diam saja.
“Kau
harus ingat, kalau dia sudah mengkhianatimu. Jadi tidak sepatutnya kalau kau
masih mencintainya. Dengar, Partanu. Aku tidak ingin melihatmu terus larut
dalam kesedihan. Kau bukan pemuda cengeng yang mudah larut hanya karena seorang
gadis. Aku akan lebih senang jika kau suka melupakannya. Bahkan kalau mungkin,
kau bunuh pemuda itu, gadis itu, dan seluruh keluarganya,” tegas Ki Puliga
membangkitkan semangat anaknya yang telah layu.
“Mungkin
Ayah bisa melakukannya, tapi aku tidak bisa menyakiti Mega,” tegas Partanu.
Ki
Puliga tersenyum. Ditepuknya pundak pemuda itu. Sedangkan Partanu memandangi
tajam ayahnya. Terasa ada sesuatu yang disembunyikan si Iblis Gunung Parakan
ini. Tidak mudah ayahnya tersenyum semanis ini. Kalaupun ayahnya tersenyum,
tentu ada yang disembunyikan.
“Apa
yang telah Ayah lakukan pada Mega,” Partanu langsung menebak.
"Tidak,
aku tidak melakukan apa-apa. Tapi...,” sahut Ki Puliga.
“Tapi
apa...?” desak Partanu disertai hati berdebar.
“Aku
telah menemui sainganmu. Tapi, aku tidak yakin apakah dia masih hidup atau
sudah mati sekarang,” Ki Puliga memberi tahu pertarungannya dengan Pendekar
Rajawali Sakti. “Anak muda itu memang tangguh. Bahkan hampir saja aku kalah.
Pantas saja kau kehilangan golok kesayanganmu, Partanu.”
“Ayah
bertarung dengan si keparat itu...?!” Partanu seperti tidak percaya.
“Ya,”
sahut Ki Puliga. “'Tapi sayang, saat nyawanya akan kuhabisi, seseorang telah
menolongnya, dan cepat membawanya pergi. Aku tidak sempat mengetahui, apalagi
mengenalnya.”
“Kalau
begitu, aku harus menemui Mega!” sentak Partanu cepat, dan langsung bangkit
berdiri.
“Untuk
apa...?” tanya Ki Puliga ringan.
“Untuk
membawanya ke sini, Ayah. Mega pasti mau kuajak ke sini. Dia pernah bilang
kalau bersedia pergi asal bersamaku ke mana saja.”
“Itu
dulu, Partanu. Sekarang mungkin tidak lagi.”
“Kenapa
Ayah berkata begitu?”
“Karena
dia sudah memilih pemuda lain. Lagi pula, ayahnya tidak akan membiarkannya
begitu saja. Aku sudah mencoba melamarnya secara baik-baik, tapi ditolaknya
dengan kasar.”
“Kapan
Ayah melamarnya?” tanya Partanu yang memang tidak tahu.
“Kemarin,
sehari setelah aku bertarung dengan sainganmu.”
“Aku
akan menculiknya, Ayah!” tegas Partanu.
“Ha
ha ha...!” Ki Puliga hanya tertawa saja. Partanu merasakan ada nada ejekan pada
suara ayahnya, tapi tidak dipedulikannya. Dengan cepat sekali ditinggalkannya
laki-laki setengah baya itu. Ayunan kakinya begitu cepat menuruni Lereng Gunung
Parakan ini. Sementara Ki Puliga hanya memandanginya saja dengan bibir
menyunggingkan senyuman.
Pada
saat bayangan tubuh Partanu sudah tidak terlihat lagi, datang dua orang
laki-laki tinggi tegap berwajah kasar. Mereka langsung menghampiri Ki Puliga,
dan membungkukkan tubuhnya setelah dekat.
“Rakat,
Badir, bagaimana pekerjaanmu?” tanya Ki Puliga langsung.
Iblis
Gunung Parakan itu memandangi dua orang yang masing-masing mengenakan baju
warna merah dan hitam bercampur merah. Rakat dan Badir menjura lagi memberi
hormat. Mereka masing-masing menyandang senjata yang berlainan. Rakat memakai
baju warna merah menyala. Di pinggangnya penuh pisau, bahkan sampai ke dada.
Julukannya adalah si Pisau Terbang, karena keahliannya memang melemparkan
pisau.
Sedangkan
Badir mengenakan pakaian berwarna hitam campur merah. Sebuah golok besar yang
ujung gagangnya berkepala tengkorak, tersandang di pundaknya. Tangan kanannya
memegangi gagang golok yang besar dan berkilat itu. Selain bernama Badir, dia
dikenal berjuluk si Golok Setan. Mereka adalah orang-orang kepercayaan Ki
Puliga.
“Kami
sudah menyelidiki seluruh Lereng Gunung Parakan ini, Ki. Tapi tidak menemukan
ada tanda-tanda di mana Rangga berada sekarang,” lapor Badir.
“Sudah
kami sebar sebagian anak buah untuk menyelidiki seluruh desa di sekitar Kaki
Gunung Parakan ini, Ki,” sambung Rakat.
“Apa
kalian sudah mencari sampai ke luar wilayah Gunung Parakan ini?” tanya Ki
Puliga.
“Sudah.
Bahkan sampai ke perbatasan kerajaan,” sahut Rakat
“Hm...,
pasti dia ada di suatu tempat. Dia tidak akan pergi jauh dalam keadaan terluka.
Hm..., tapi orang itu...,” Ki Puliga menggumam pelan, seperti bicara untuk
dirinya sendiri.
“Ada
sesuatu yang hendak kusampaikan, Ki,” celetuk Badir.
“Katakan,”
sahut Ki Puliga.
“Ada
sesuatu yang terjadi di Desa Parakan. Ki Anta didapati tewas terbunuh semalam,
dan anak gadisnya menghilang,” lapor Badir.
“Ha
ha ha...,” tiba-tiba saja Ki Puliga tertawa terbahak-bahak mendengar laporan
itu.
Hal
ini membuat Badir dan Rakat jadi saling berpandangan tidak mengerti. Mereka
buru-buru menjura memberi hormat saat suara tawa si Iblis Gunung Parakan itu
berhenti.
“Apa
lagi yang kau dengar dari sana?” tanya Ki Puliga.
“Mereka
menuduh kita yang melakukannya, Ki,” sahut Rakat
“Keparat..!”
geram Ki Puliga. “Rupanya mereka sudah bosan hidup, berani menuduh
sembarangan!”
“Benar,
Ki. Sudah saatnya mereka diberi peringatan. Selama ini Partai Iblis Gunung
Parakan selalu memberi hati, sehingga mereka semakin berani dan kurang ajar,” sambut
Badir penuh semangat
“Akan
kuberi pelajaran pada mereka...!” desis Ki Puliga menggeram. “Badir! Kau
selidiki, siapa saja yang berani melontarkan tuduhan itu. Secepatnya kau
laporkan padaku!”
“Baik,
Ki,” sahut Badir seraya menjura memberi hormat.
“Dan
kau, Rakat. Buat keonaran, tapi jangan sampai ada korban jatuh. Mengerti...?”
“Siap
menjalankan perintah, Ki,” sahut Rakat
“Ingat!
Satu nyawa penduduk, berarti satu nyawa anggotamu. Kau harus ingat itu, Rakat!”
“Mengerti,
Ki.”
“Berangkatlah
sekarang!”
Kedua
orang itu menjura memberi hormat sekali lagi, kemudian bergegas pergi. Ki
Puliga tersenyum-senyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian terdengar
suara tawanya yang pecah menggelegar.
***
ENAM
Apakah
Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tewas di tangan si Iblis Gunung Parakan?
Kalau tidak, di manakah pendekar yang selalu mengenakan baju rompi putih itu
berada?
Rangga
sebenarnya berada tidak jauh dari Gunung Parakan. Tepatnya di Bukit Langgang.
Saat itu Rangga tengah duduk bersemadi di sebuah ruangan yang tidak begitu
besar, namun tertutup rapat sehingga tidak ada sedikit pun cahaya matahari yang
bisa menerobos masuk. Hanya sebuah pelita kecil yang menerangi ruangan itu,
berada tepat di depan Rangga.
Sedangkan
tepat di depan pintu ruangan itu, duduk dua orang laki-laki. Yang seorang masih
begitu muda, dan berusia sekitar lima belas tahun. Sedangkan seorang lagi sudah
setengah baya. Tubuhnya yang kecoklatan dan tidak mengenakan baju, terlihat
berkilat oleh keringat. Otot-otot bersembulan keluar, membuat tubuhnya semakin
terlihat tegap, meskipun usianya sudah berkepala lima.
“Paman,
apakah Kakang Rangga akan sembuh lagi?” tanya pemuda belasan tahun yang tak
lain adalah Carika.
“Rangga
seorang pendekar tangguh, sehingga pasti bisa memulihkan kekuatannya kembali,”
sahut Paman Sentanu.
"Tapi,
sudah tiga hari dia mengurung diri di dalam kamar. Aku khawatir, Paman...,”
Carika tidak bisa membendung kecemasannya.
“Tenanglah.
Kalau sampai besok belum juga keluar, aku akan melihatnya ke dalam.
Luka-lukanya memang cukup parah, tapi tidak mungkin akan merenggut jiwanya.
Daya tahan tubuhnya sungguh luar biasa. Belum pernah aku melihat orang yang
begitu perkasa.”
“Tapi,
Paman. Dia juga manusia biasa. Buktinya, dia sampai terluka parah begitu.”
“Kau
benar, Carika. Setinggi apa pun tingkat kepandaian seorang pendekar, dia masih
manusia biasa yang tidak luput dari penderitaan dan kematian. Ah, sudahlah....
tidak perlu kau cemaskan. Aku yakin, dia pasti bisa mengatasi keadaannya,”
Paman Sentanu mencoba menenangkan hati keponakannya itu.
Namun
demikian, Carika masih tetap saja merasa khawatir, karena Rangga belum juga
keluar dari kamar semadinya. Sebuah kamar khusus yang berada paling belakang
dari pondok ini. Beberapa kali pemuda tanggung itu menarik napas panjang setiap
kali memandang pintu yang masih saja tertutup rapat.
Waktu
terus berjalan. Carika merasakan sang waktu berjalan begitu lambat. Hatinya
semakin gelisah saja manakala matahari sudah condong ke Barat, tapi Rangga
belum juga keluar dari kamar semadinya. Sejak kemarin, pemuda tanggung itu
tidak meninggalkan tempatnya. Bahkan makan dan tidur di situ, sambil menunggu
Pendekar Rajawali Sakti yang tengah bersemadi memulihkan kekuatan tubuhnya
kembali.
Sementara
itu Paman Sentanu sudah sejak tadi pergi ke samping pondok. Dia meneruskan
pekerjaannya membelah kayu bakar yang sudah menipis persediaannya. Suara ayunan
kapak membelah kayu begitu keras terdengar, seakan-akan merupakan pertanda bagi
perjalanan sang waktu.
“Paman...!”
seru Carika tiba-tiba. Paman Sentanu yang baru saja mengayunkan kapaknya,
langsung melompat berlari. Kapaknya dibuang begitu saja. Dan setibanya di
bagian belakang, tampak Carika tengah memeluk Rangga yang berdiri di depan
pintu kamar semadi. Paman Sentanu buru-buru menghampiri, dan Carika langsung
melepaskan pelukannya. Rangga tersenyum seraya menganggukkan kepalanya sedikit
pada laki-laki setengah baya itu. Paman Sentanu membalasnya dengan anggukan
kepala juga.
“Bagaimana
keadaanmu?” tanya Paman Sentanu.
“Sudah
membaik,” sahut Rangga. “Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku, Paman.”
“Ah,
sudahlah. Aku hanya bisa melakukan apa yang bisa kulakukan,” Paman Sentanu
merendah.
Mereka
semua kemudian menuju ruangan depan pondok ini, kemudian duduk melingkar di
atas tikar daun pandan. Memang tidak ada kursi ataupun meja di ruangan ini.
“Carika,
sebaiknya kau siapkan makan untuk Rangga,” kata Paman Sentanu.
“Oh,
iya.... Sudah tiga hari Kakang tidak makan. Sebentar, kusiapkan makanan yang
terlezat buatanku,” sahut Carika langsung beranjak pergi dari ruangan ini.
Rangga
hanya tersenyum saja melihat kejenakaan pemuda tanggung itu.
“Rangga,
bagaimana kau bisa bentrok dengan si Iblis Gunung Parakan?” tanya Paman Sentanu
setelah Carika menghilang dari ruangan depan ini.
“Aku
sendiri tidak tahu, Paman. Tiba-tiba saja dia muncul menghadangku,” sahut
Rangga kembali mengingat-ingat semua kejadian selama berada di sekitar Gunung
Parakan, terutama di Desa Parakan yang terletak di kaki gunung itu.
“Hm....
Kudengar kau pernah bentrok dengan Partanu. Benar...?” agak bergumam suara
Paman Sentanu.
“Ah,
pasti Carika melebih-lebihkan,” Rangga langsung sudah bisa menebak.
“Anak
itu memang selalu melebih-lebihkan, tapi tidak seluruhnya kupercayai. Itu
sebabnya, kenapa aku ingin kau sendiri yang bercerita,” pinta Paman Sentanu.
“Hanya
salah paham saja, Paman,” jelas Rangga.
Tanpa
diminta dua kali, Rangga kemudian menceritakan pertemuannya dengan Mega secara
tidak sengaja. Kemudian bentrokannya dengan Partanu, anak si Iblis Gunung
Parakan. Semua diceritakan Rangga tanpa ada yang dikurangi sedikit pun.
Sedangkan Paman Sentanu mendengarkan penuh perhatian.
Paman
Sentanu masih diam membisu meskipun Rangga sudah menyelesaikan ceritanya. Untuk
beberapa saat, mereka hanya berdiam diri saja. Perlahan Paman Sentanu
mengangkat kepalanya, langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang
duduk di depannya.
“Meskipun
kau hanya memandangnya sebagai kesalahpahaman belaka, tapi persoalan itu akan
berbuntut panjang, Rangga,” jelas Paman Sentanu pelan, seperti bergumam
terdengarnya.
“Mungkin...,”
desah Rangga kurang yakin.
“Rangga,
ada sesuatu yang hendak kusampaikan padamu,” kali ini suara Paman Sentanu
terdengar agak berbisik.
“Sesuatu...?
Tentang apa, Paman?” tanya Rangga dengan kening berkerut dalam.
“Ki
Anta dan putrinya,” sahut Paman Sentanu.
“Maksud,
Paman...?” seketika Rangga merasakan darahnya jadi lebih cepat mengalir begitu
mendengar nama Ki Anta dan Mega disebut.
“Ki
Anta sudah tewas terbunuh, sedangkan Mega menghilang entah ke mana.”
Rangga
hampir tidak percaya mendengarnya. Dipandanginya Paman Sentanu dalam-dalam,
seakan akan ingin mencari kebenaran di dalam sorot mata laki-laki setengah baya
itu. Namun saat mendapatkan kesungguhan dalam raut wajahnya, Rangga mau tidak
mau harus mempercayai apa yang baru saja didengarnya.
“Itulah
yang kukatakan. Persoalan ini akan berbuntut panjang, Rangga,” kata Paman
Sentanu lagi. Masih terdengar pelan suaranya.
“Dari
mana kau dengar berita itu, Paman?” tanya Rangga jadi serius.
“Seorang
pemburu yang kebetulan lewat sini. Dia berasal dari Desa Parakan, jadi banyak
mengetahui tentang situasi desa sekarang ini. Terlebih lagi setelah Ki Anta
tewas terbunuh. Dia sendiri membawa keluarganya meninggalkan desa itu, dan
sekarang menetap di seberang lembah sana,” jelas Paman Sentanu.
Rangga
jadi terdiam membisu. Sungguh tidak disangka kalau persoalan itu jadi panjang,
bahkan sekarang sudah meminta korban nyawa.
***
Pagi-pagi
sekali Rangga sudah bersiap hendak meninggalkan Lereng Bukit Langgang.
Kesehatan tubuhnya sudah benar-benar pulih seperti sediakala. Pendekar Rajawali
Sakti itu mengayunkan kakinya keluar dari dalam pondok. Hatinya tertegun ketika
melihat Paman Sentanu dan Carika sudah menunggu di depan pintu.
“Jadi
pergi hari ini, Rangga?” tanya Paman Sentanu.
“Ya,
sepertinya aku harus menghadapi Puliga lagi,” sahut Rangga.
“Aku
tidak bisa melarangmu, Rangga. Hati-hatilah. Kepandaian Puliga sangat tinggi,
di samping licik. Dan yang paling penting, jangan sampai terpancing,”
Paman
Sentanu memperingatkan. Rangga hanya tersenyum saja. Semalam Pendekar Rajawali
Sakti memang sudah mengetahui tentang si Iblis Gunung Parakan itu dari Paman
Sentanu. Sungguh Rangga tidak menyangka kalau sebenarnya Paman Sentanu sendiri
punya persoalan pribadi dengan si Iblis Gunung Parakan itu. Istrinya tewas
dibunuh setelah sebelumnya diperkosa. Dan Paman Sentanu mencoba membalas
dendam, tapi ilmu yang dimilikinya masih di bawah Ki Puliga.
Itulah
sebabnya, mengapa Paman Sentanu menyepi di Bukit Langgang ini. Di samping
menunggu kesempatan balas dendam, dia juga memperdalam ilmu olah kanuragan dan
kesaktiannya. Tapi setelah bertahun-tahun memperdalam ilmunya, tetap saja tidak
mampu menghadapi si Iblis Gunung Parakan itu.
Pada
pertarungannya yang terakhir, hampir saja Paman Sentanu tewas kalau saja tidak
ditolong seorang tua berilmu tinggi. Sayang sekali, orang tua itu tidak berumur
panjang. Tapi berkat orang tua itu, Paman Sentanu sedikit demi sedikit bisa
menghilangkan perasaan dendam di hatinya.
“Aku
pergi dulu,” pamit Rangga. Setelah berbasa-basi sebentar, Pendekar Rajawali
Sakti itu bergegas pergi. Sementara Paman Sentanu dan Carika hanya memandangi
saja kepergiannya. Mereka masih berdiri di depan pintu rumahnya sampai Rangga
benar-benar tidak terlihat lagi.
“Ayo,
Carika. Hari ini kau harus berlatih tenaga dalam,” kata Paman Sentanu.
“Ada
apa?”
“Apakah
dengan ilmu kesaktian yang kupelajari nanti bisa seperti Kakang Rangga?” tanya
Carika.
“Tergantung
kesungguhanmu dalam mempelajari ilmu-ilmu olah kanuragan dan kesaktian,” sahut
Paman Sentanu.
“Harus
berapa lama belajarnya?” tanya Carika lagi
“Jika
kau rajin dan bersungguh-sungguh, aku rasa tidak akan lama.”
“Aku
akan berlatih bersungguh-sungguh, Paman.”
“Kalau
begitu, sekarang kau harus berlatih tenaga dalam. Karena, tenaga dalam sangat
penting untuk bisa menguasai segala jenis ilmu olah kanuragan dan ilmu
kesaktian. Tanpa tenaga dalam, semua yang kau pelajari tidak akan ada gunanya.”
“Segala
macam ilmu, Paman...?”
“Benar,
segala macam ilmu.”
“Berarti,
aku juga bisa mempelajari ilmu-ilmu yang dimiliki Kakang Rangga?”
“Tentu.
Tapi untuk sekarang ini, kau harus menguasai lebih dahulu ilmu yang aku miliki.
Ah, sudahlah. Nanti kau akan kuberi sedikit pengetahuan tentang ilmu olah
kanuragan dan ilmu-ilmu kesaktian. Di samping itu, kau juga harus mengetahui
perkembangan dunia persilatan agar tidak tertinggal. Sebab, dunia persilatan
terus berkembang dengan banyak bermunculannya ilmu baru yang lebih tinggi dan
dahsyat. Kau harus mengikuti perkembangannya jika tidak ingin tertinggal.”
Carika
hanya menganggukkan kepalanya saja. Hatinya bertekad untuk berlatih
sungguh-sungguh. Yaaah..., kalau saja sejak dulu berlatih ilmu olah kanuragan,
tentu dia bisa menyelamatkan ibunya dari kematian. Carika menyesali dirinya
yang malas berlatih waktu itu. Yang jelas, sekarang tekadnya telah bulat untuk
berlatih sungguh-sungguh.
“Ayo,
Paman. Kita mulai sekarang. Aku ingin bisa menyamaimu,” ajak Carika bersemangat
“Bukan
hanya menyamai, tapi harus lebih dariku.”
“Mana
mungkin, Paman...? Umurku jauh lebih muda dari Paman, mana mungkin bisa
menandingi Paman.”
“Usia
bukan ukuran untuk tinggi rendahnya suatu ilmu olah kanuragan dan kesaktian.
Kau lihat sendiri, Rangga lebih muda usianya dariku. Tapi ilmu yang dimilikinya
beberapa tingkat di atasku.”
“Apakah
itu mungkin, Paman?”
“Kenapa
tidak? Kau ingat bungkusan kain putih yang kau serahkan padaku...?”
Carika
mengangguk.
“Bungkusan
kain putih itu berisi kitab dan senjata pusaka peninggalan kakekmu. Kitab itu
berisi ilmu-ilmu yang sangat tinggi tingkatannya. Jauh lebih tinggi dari yang
kumiliki. Carika, kelak aku akan menyerahkan pusaka itu padamu setelah kau bisa
menguasai seluruh ilmu yang kumiliki. Dan kau harus bisa menguasai seluruh ilmu
yang tertulis dalam kitab itu. Kau mengerti...?”
“Mengerti,
Paman.”
“Ayo,
kita mulai berlatih. Kau harus mampu menguasai tenaga dalam agar sempurna.
Dengan demikian, kau akan bisa menguasai ilmu-ilmu yang ada dalam kitab pusaka
itu.”
Tanpa
membantah sedikit pun, Carika mengikuti pamannya yang berjalan ke samping
rumah. Ayunan langkah kakinya begitu ringan dan riang. Dia ingin sekali
menguasai ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian agar kelak bisa melanglang
buana membasmi keangkaramurkaan.
***
Sementara
itu, Rangga sudah sampai di Kaki Gunung Parakan. Pendekar Rajawali Sakti
berdiri tegak di atas sebuah tebing batu yang cukup tinggi. Dari atas tebing
batu ini, Desa Parakan bisa terlihat dengan leluasa. Tampak jelas sekali,
suasana desa itu demikian sunyi, tidak seperti pertama kali Rangga menginjakkan
kakinya di sana. Desa Parakan kini bagaikan sebuah desa mati yang tidak
berpenghuni.
Sepanjang
jalan sepi lengang, tak terlihat seorang pun berada di luar rumah. Hanya ayam
dan anjing-anjing liar saja yang berkeliaran di antara rumah-rumah penduduk
yang kelihatan sunyi bagai tak berpenghuni. Rangga mengayunkan kakinya menuruni
tebing batu ini. Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, mudah dan cepat
sekali Pendekar Rajawali Sakti menuruni tebing batu yang sedikit curam itu.
Sebentar
saja dia sudah sampai di bawah tebing, dan terus berjalan menuju Desa Parakan
yang kelihatan sunyi. Semakin dekat ke desa itu, semakin terasa kesunyian yang
mencekam. Pendekar Rajawali Sakti itu merasakan adanya hawa maut yang
menyelimuti seluruh angkasa desa itu. Dan perasaan Rangga langsung terbukti
ketika baru saja menginjakkan kakinya di batas desa yang langsung berbatasan
dengan hutan di Kaki Gunung Parakan ini.
“Ha
ha ha...!”
Rangga
langsung menghentikan ayunan langkahnya ketika tiba-tiba mendengar suara tawa
keras menggelegar terbahak-bahak. Suara itu seperti datang dari segala penjuru
mata angin. Rangga langsung bisa menebak kalau tawa itu dikeluarkan dengan
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
“Hm...,”
Rangga bergumam saat telinganya mulai terasa sakit akibat suara tawa yang
mengandung pengerahan tenaga dalam itu.
Sebentar
Pendekar Rajawali Sakti itu menarik napas dalam-dalam, kemudian menahan
napasnya selama mungkin. Lalu...
“Yeaaah...!”
Suara
tawa itu berhenti seketika saat Rangga berteriak keras. Akibat teriakan yang
disertai penyaluran tenaga dalam itu, adalah getaran dahsyat, sehingga pohon
dan bebatuan berguncang. Bumi yang dipijak terasa bergetar bagai terjadi gempa.
Daun-daun pohon berguguran layu, beterbangan terbawa tiupan angin yang sedikit
kencang.
Srak!
Srak...!
Saat
itu juga, bermunculan manusia berpakaian serba hitam dari balik gerumbul semak
dan atas pohon. Sebentar saja, di sekeliling Pendekar Rajawali Sakti sudah
berdiri sekitar sepuluh orang yang semuanya memegang senjata golok bergagang
hitam dari tanduk kerbau.
“Serang...!”
tiba-tiba terdengar teriakan keras memberi perintah.
“He...,
tunggu!” sentak Rangga terkejut “Siapa kalian?”
Tapi
pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak ada yang menjawab, karena sepuluh
orang berpakaian serba hitam itu sudah cepat dan serentak menyerang. Beberapa
buah golok berkelebatan di sekitar tubuh Rangga, sehingga membuatnya harus
berlompatan sambil meliukkan tubuh menghindari serangan golok yang datang
secara beruntun dan gencar itu.
Mereka
sama sekali tidak memberi kesempatan pada Rangga untuk bisa membalas. Pendekar
Rajawali Sakti diserang secara bergantian dan cepat sekali. Terkadang tiga
orang serentak menyerang maju, disusul yang lainnya. Rangga kelihatan kelabakan
juga, karena mereka rata-rata memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Namun
Pendekar Rajawali Sakti itu cepat menguasai keadaan dirinya yang sangat tidak
menguntungkan ini.
“Yeaaah...!”
Tepat
ketika sebuah golok menyambar ke arah dada, dengan cepat sekali Rangga menarik
tubuhnya ke belakang. Dan secepat itu pula, tangannya bergerak bagaikan kilat
menepak pergelangan tangan lawan.
Plak!
“Akh...!”
orang itu memekik keras.
Tring!
Goloknya
terlepas jatuh ke tanah yang agak berbatu. Dan sebelum lawan sempat menyadari
apa yang terjadi, Rangga cepat memutar tangan orang itu, dan membalikkan
tubuhnya, sehingga membelakangi. Pada saat yang sama, dari arah depan datang
satu serangan lagi. Sebuah golok terhunus datang sangat cepat, dan tidak bisa
terbendung lagi arusnya. Hingga....
Crab!
“Aaa...!”
orang yang dipelintir tangannya itu menjerit keras ketika golok temannya
menghunjam ke dadanya.
“Hih...!”
Rangga
mendorong tubuh yang berlumuran darah itu, hingga terjajar ke depan. Orang yang
berada di depannya jadi terkejut. Dilepaskan goloknya yang tertancap di dada
temannya sendiri. Dan sebelum bisa menyadari apa yang terjadi, Rangga sudah
melompat cepat bagaikan kilat
“Hiyaaa...!”
Seketika
itu juga Rangga melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Serangan kaki Pendekar
Rajawali Sakti itu tidak bisa terbendung lagi, tepat menghantam kepala orang
itu.
Prak!
“Aaa...!”
kembali terdengar jeritan melengking menyayat hati. Orang berbaju hitam itu
melintir sambil memegangi kepalanya yang pecah terhantam tendangan Pendekar
Rajawali Sakti. Darah langsung bercucuran membasahi seluruh tubuhnya. Hanya
beberapa saat dia masih mampu berdiri, kemudian ambruk tak berkutik lagi. Dua
orang tewas dalam waktu singkat, membuat delapan orang lainnya jadi terpana.
Sesaat mereka jadi berhenti menyerang.
***
TUJUH
Kesempatan
yang hanya sesaat ini, dimanfaatkan Pendekar Rajawali Sakti untuk keluar dari
kepungan. Pemuda berbaju rompi putih itu melesat cepat bagaikan kilat, dan
tahu-tahu sudah berada di luar kepungan. Delapan orang itu langsung tersadar.
Mereka cepat berbalik, dan seketika berlompatan menyerang kembali.
“Tunggu...!”
bentak Rangga keras menggelegar. Bentakan itu begitu keras karena disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Akibatnya delapan orang berbaju hitam itu
berhenti bergerak seketika.
“Aku
tidak tahu siapa kalian. Kenapa menyerangku?” tanya Rangga.
“Mereka
semua anak buahku!”
Rangga
langsung berpaling ke kiri ketika mendengar jawaban dari arah kiri. Entah kapan
dan dari mana datangnya, tahu-tahu tidak jauh dari tempat itu sudah berdiri
seorang pemuda berwajah cukup tampan. Pemuda itu mengenakan baju kulit
binatang. Tampak sebilah pedang panjang tergantung di pinggang. Dia juga
memegang sebuah tombak yang ujungnya berkeluk runcing dan berwarna keemasan.
Mata tombak itu seperti sebilah keris.
Rangga
langsung mengenali pemuda berbaju kulit binatang itu. Dia adalah Partanu, putra
Ki Puliga, si Iblis Gunung Parakan. Dan Pendekar Rajawali Sakti itu tidak perlu
lagi meminta penjelasan, karena sudah tahu maksud Partanu. Sudah pasti anak
muda itu ingin membalas kekalahannya waktu itu.
“Tidak
kusangka, ternyata kau masih hidup, Rangga,” dingin sekali nada suara Partanu.
Kakinya melangkah beberapa tindak mendekati. Pemuda itu berhenti setelah
jaraknya tinggal satu batang tombak lagi di depan Pendekar Rajawali Sakti.
Sedangkan
delapan orang berbaju hitam, kini berada di belakang Partanu. Mereka masih
menghunus golok, siap menerima perintah dari putra si Iblis Gunung Parakan itu.
Rangga sendiri menggeser kakinya ke kanan dua tindak. Pandangannya tajam
merayapi orang-orang yang berada di depannya.
“Sekarang
saatnya kau harus mampus, penculik busuk!” desis Partanu menggeram.
“Penculik...?
Apa maksudmu?” tanya Rangga tidak mengerti.
“Aku
tidak ada waktu berdebat denganmu, Rangga. Sebelum kau mati, tunjukkan, di mana
Mega kau sembunyikan?!” bentak Partanu menggeram.
Rangga
langsung mengerti arti tuduhan Partanu tadi. Tapi Pendekar Rajawali Sakti jadi
memiliki pertanyaan. Jika bukan Partanu yang menculik Mega, lalu siapa lagi...?
Sedangkan Paman Sentanu mengatakan, kalau Mega diculik Ki Puliga, ayah pemuda
berbaju kulit binatang itu. Dan kalau memang benar Ki Puliga yang menculik,
mengapa anaknya tidak tahu...?
Rangga
masih bertanya-tanya dalam hati. Namun sebelum pertanyaan itu terjawab,
mendadak saja Partanu sudah berteriak memberi perintah pada orang-orangnya
untuk menyerang.
“Bunuh
dia...!”
Seketika
itu juga, delapan orang berpakaian serba hitam, berlompatan menyerang Pendekar
Rajawali Sakti sambil berteriak keras. Golok mereka berkelebatan, langsung
mengurung ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Hiyaaa...!”
Rangga
tidak punya pilihan lain lagi. Disadarinya kalau orang-orang ini tidak bisa
lagi diajak damai. Serangan-serangan yang dilancarkan sungguh dahsyat. Sedikit
kelengahan saja bisa berakibat fatal yang amat sangat Dan Rangga tidak ingin
mati konyol. Dia sudah berusaha untuk mencari jalan damai, tapi mereka
tampaknya lebih senang menyelesaikan dengan jalan kekerasan. Ini tentu saja
dengan resiko, di antara mereka semua ada yang tewas. Dan Pendekar Rajawali
Sakti itu lebih memilih hidup daripada mati terancang. Semua orang pasti akan
memilih hal yang sama.
“Uts...!”
Rangga merundukkan kepalanya ketika sebuah golok menyambar ke arah kepala. Pada
saat yang sama, dikibaskan tangannya menyodok salah seorang yang berada dekat
di samping kanan. Sodokan yang cepat dan bertenaga dalam tinggi itu, tidak bisa
terhindarkan lagi.
“Hughk...!”
Orang itu mengeluh keras. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat itu,
Rangga cepat mengibaskan tangannya, sebelum orang itu jauh dari jangkauan.
“Aaakh...”
Satu jeritan panjang melengking tinggi, terdengar menyayat. Seketika itu juga
orang itu terpental ke belakang dan keras sekali ambruk ke tanah. Sebentar dia
menggeliat, lalu diam tak bernyawa lagi. Kibasan tangan Rangga tepat menghantam
dadanya hingga remuk. Tampak dari mulutnya mengeluarkan darah kental.
“Yeaaah...!”
Mendapat satu kesempatan baik, Rangga cepat memutar tubuhnya. Dan seketika,
dikerahkan jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' yang terkenal sangat dahsyat.
Meskipun Pendekar Rajawali Sakti itu hanya mengerahkan pada tingkatan yang
ketiga, tapi hasilnya sungguh luar biasa. Mereka yang berada dekat dengannya,
tidak bisa lagi mengelak. Jeritan-jeritan melengking mulai terdengar saling
susul. Setiap pukulan yang dilontarkan Rangga, berakibat fatal sekali. Tak ada
yang bisa membendung pukulan keras bertenaga dalam sempurna itu.
Satu
persatu, Rangga dapat merobohkan lawan-lawannya. Hingga pada akhirnya, mereka
tinggal tiga orang saja. Pada saat itu, Partanu sudah melompat terjun ke dalam
pertempuran. Dengan senjata tombak di tangan, pemuda itu terus mencecar
Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan tiga orang yang tersisa dari sepuluh orang
berpakaian serba hitam, tidak berarti lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan
pada satu kesempatan, Rangga berhasil memasukkan pukulan keras pada salah
seorang, disusul satu tendangan menggeledek untuk seorang lagi.
Dua
kali jeritan melengking terdengar menyayat. Dua orang itu terpental ke belakang
dan ambruk bergelimpangan di tanah. Seketika mereka tewas tanpa mampu berkutik
lagi. Sedangkan seorang lagi langsung bergetar hatinya. Dia mencoba kabur,
namun Partanu bisa melihat tindakan anak buahnya itu.
“Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras, Partanu melompat ke arah orang yang mencoba melarikan
diri itu. Seketika dilemparkan tombaknya, dan langsung menancap di punggung
orang berbaju hitam itu hingga tembus ke perutnya. Jeritan melengking tinggi
kembali terdengar menyayat. Dan sebelum orang itu ambruk ke tanah, Partanu
sudah mencabut tombaknya.
“Hih!”
Rangga
yang melihat kekejaman anak muda itu, jadi mendidih darahnya. Hanya manusia
berhati iblis saja yang tega membunuh anak buahnya sendiri di saat menyadari
tidak mampu lagi menghadapi lawan. Dan ini dilakukan Partanu dengan hati
dingin.
Pelahan
Partanu memutar tubuhnya, berhadapan kembali dengan Pendekar Rajawali Sakti.
Tampak jelas pada raut wajah Rangga, kalau dirinya begitu muak melihat sorot
mata Partanu yang begitu dingin mencerminkan kekejaman. Sebaik apa pun Partanu,
watak-watak ayahnya pasti akan menurun, meskipun hanya sedikit. Dan sifat
kekejaman ayahnya kini mulai memancar jelas pada wajah pemuda berbaju kulit
binatang itu.
“Kau
memang tangguh, Rangga. Tapi jangan berbangga dulu bisa mengalahkan sepuluh
anak buahku!” desis Partanu dingin.
“Aku
tidak membunuh, tapi mereka sendiri yang mempercepat kematiannya,” bantah
Rangga.
“Phuih!
Kau dan aku, atau siapa saja tidak lebih busuk! Aku tidak berdebat. Aku hanya
ingin di antara kita ada yang mati! Atau kita sama-sama mati agar tidak ada
yang bisa memiliki Mega!” dengus Partanu menggeram.
“Kau
salah besar kalau menuduhku telah merebut Mega, Partanu. Sama sekali aku tidak
ada hubungan dengan kekasihmu itu,” kilah Rangga.
“Jangan
mungkir lagi dariku, Rangga! Kau boleh merasa menang karena Mega sekarang
berada bersamamu. Tapi itu hanya sebentar saja, karena sebentar lagi kau akan
mampus!”
“Hm....
Kau mencoba memutarbalikkan kenyataan, Partanu.”
“Jangan
banyak omong! Ayo kita buktikan, siapa di antara kita yang lebih pantas
mendapatkan Mega!” bentak Partanu geram.
“Sungguh
memalukan! Bertarung hanya karena seorang gadis,” desis Rangga tidak senang.
“Setan...!
Mampus kau, hiyaaat..!”
Partanu
langsung melompat cepat bagai kilat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.
Serangannya sungguh cepat luar biasa. Sedangkan kibasan tombaknya menimbulkan
suara angin menderu bagai topan. Rangga langsung menggeser kakinya ke samping
seraya meliukkan tubuhnya menghindari tebasan tombak Partanu. Namun pemuda
berbaju kulit binatang itu sudah tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya.
Partanu
gencar sekali menyerang. Jurus-jurus yang dikeluarkan sungguh cepat dan
dahsyat. Dalam hati, Rangga mengakui kehebatan Partanu dalam memainkan tombak.
Ujung tombaknya seperti hidup dan memiliki mata saja, dan mampu bergerak cepat
mengincar setiap bagian tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang sangat mematikan.
Wuk!
Partanu
menusukkan ujung tombaknya ke arah dada Rangga yang kelihatan lowong. Namun
begitu ujung tombak hampir mencapai dada, Rangga cepat sekali menarik dadanya
ke samping dengan sedikit memiringkan tubuh. Maka ujung tombak itu lewat di
depan dadanya. Pada saat yang tepat, Rangga menghentakkan tangannya ke arah batang
tombak itu. Sentakan Pendekar Rajawali Sakti itu sungguh cepat luar biasa,
sehingga Partanu terlambat menarik tombaknya pulang.
“Yeaaah...!”
Trak!
Partanu
mendelik begitu melihat tombaknya patah terpukul tangan kiri Pendekar Rajawali
Sakti. Sambil mendengus menyemburkan ludahnya, Partanu membuang sisa patahan
tombaknya ke arah Rangga. Lemparan Partanu begitu kuat, karena disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Wus!
“Uts...!”
Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, maka potongan tombak itu lewat di
samping tubuhnya. Belum lagi Pendekar Rajawali Sakti itu menarik pulang
tubuhnya, Partanu sudah kembali menyerang sambil mencabut pedang yang
seluruhnya berwarna keemasan.
“Hiyaaat..!”
teriak Partanu.
Sret!
Bet!
“Hup...!”
Cepat
Rangga melompat ke belakang, membuat tebasan pedang Partanu hanya menyambar
angin kosong saja. Namun pemuda berbaju kulit binatang itu sudah kembali
melompat menerjang. Sepertinya dia benar-benar tidak ingin memberi kesempatan
pada lawan untuk bisa membalas menyerang. Pedangnya berkelebat cepat mengurung
ruang gerak Pendekar Rajawali Sakti. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat
hanya kelebatan cahaya kuning keemasan di sekitar tubuh pemuda berbaju rompi
putih itu.
Serangan-serangan
Partanu yang begitu cepat dan dahsyat, membuat Rangga sedikit kerepotan juga.
Namun karena mempergunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib', Pendekar Rajawali
Sakti itu mampu mengatasi. Hanya saja sialnya, dia sama sekali tidak bisa
membalas serangan yang dilancarkan Partanu. Karena memang, jurus 'Sembilan
Langkah Ajaib' tidak diperuntukkan untuk menyerang lawan, melainkan hanya untuk
menghindar sambil mempelajari kepandaian lawan. Meskipun ada satu dua serangan
balasan, namun tidak berarti sama sekali.
“Keluarkan
senjatamu, Keparat!” bentak Partanu tanpa menghentikan serangan sedikit pun.
Namun
tidak mudah bagi Rangga untuk mengeluarkan senjata pusakanya, karena untuk
keluar dari serangan ini saja terasa sulit
“Ha
ha ha...!” Partanu tertawa terbahak-bahak mengira Rangga sudah begitu terdesak
dan tidak mampu lagi balas menyerang.
Melihat
posisi Rangga yang kelihatannya semakin terdesak, Partanu semakin meningkatkan
serangan-serangannya. Hal ini membuat Rangga jadi tak mampu lagi menahan diri.
Malah beberapa kali ujung pedang Partanu hampir merobek kulit tubuhnya. Dan
tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak ingin mati dalam keadaan seperti ini,
tanpa bisa membalas menyerang.
“Huh!
Aku tidak peduli apakah kau kekasih Mega! Kau sudah keterlaluan, Partanu...!”
dengus Rangga dalam hati.
Wut..!
Pada
saat itu, Partanu mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Maka kesempatan ini tidak
disia-siakan Rangga. Dengan cepat dilentingkan tubuhnya ke udara. Namun rupanya
serangan Partanu hanya pancingan saja. Karena, begitu Rangga berada di udara,
tiba-tiba saja Partanu cepat-cepat memindahkan pedangnya ke tangan kiri.
Secepat itu pula, dihentakkan tangan kanannya ke arah Pendekar Rajawali Sakti
yang masih berjumpalitan di udara.
Set!
Slap...!
“Heh...?!”
Bukan
main terperanjatnya Rangga ketika melihat Partanu bermain curang. Cepat Rangga
memutar tubuhnya di udara, menghindari serbuan senjata rahasia yang dilepaskan
Partanu padanya.
“Yeaaah...!”
Sret!
Tak
ada pilihan lain lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti. Senjata-senjata rahasia
yang dilepaskan Partanu, memang meluncur deras bagaikan hujan. Maka, cahaya
biru langsung menyemburat menyilaukan mata begitu Rangga mencabut Pedang Pusaka
Rajawali Sakti dari warangkanya di punggung. Secepat itu pula, Rangga cepat
memutar pedangnya melindungi diri dari serbuan senjata rahasia lawan.
“Hup,
hiyaaa...!”
Cepat
Rangga meluruk turun, namun terus memutar-mutar pedangnya cepat bagai
baling-baling, membentuk tameng. Bentuk pedang itu lenyap, dan tinggal cahaya
biru melingkar yang terlihat melindungi tubuh Rangga dari serangan senjata
rahasia. Ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti itu mendarat di tanah.
“Hiyaaa...!”
Pada
saat itu juga, tubuh Rangga melenting kembali. Kali ini Pendekar Rajawali Sakti
meluruk deras ke arah Partanu dengan pedang masih berputaran cepat Sejenak
Partanu terbeliak kaget. Namun dengan cepat pedangnya dipindahkan ke tangan
kanan. Dan seketika itu juga dikibaskan pedangnya, mencoba menangkis serangan
yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti.
Trang!
Trek!
“Heh...?!”
Sepasang
bola mata Partanu semakin terbeliak lebar bagaikan hendak keluar, begitu
melihat pedangnya terpenggal jadi dua bagian saat membabat pedang Pendekar
Rajawali Sakti. Dan sebelum pemuda berbaju kulit binatang itu sempat menyadari
apa yang terjadi, Rangga sudah cepat melompat sambil melontarkan tendangan
keras menggeledek.
“Hiyaaat...!”
Deghk!
“Akh...!”
Partanu menjerit keras. Tendangan Pendekar Rajawali Sakti tepat menghantam
dada, sehingga membuat Partanu terjajar ke belakang sejauh dua batang tombak.
Namun belum juga Partanu bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, kembali Rangga
sudah melancarkan serangan cepat luar biasa. Dua pukulan langsung dilontarkan
secara beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi sekali.
Deghk!
Des...!.
“Aaakh...!”
Kembali
Partanu memekik keras melengking tinggi. Lagi-lagi tubuh pemuda berbaju kulit
binatang itu terjengkang ke belakang. Namun sebelum tubuhnya mencapai tanah,
mendadak saja sebuah bayangan berkelebat cepat bagai kilat menyambar tubuh
pemuda itu.
“Hey...!”
Rangga terkejut.
“Hup...!”
Seketika
Rangga melesat cepat bagaikan kilat mengejar bayangan biru yang menyambar tubuh
Partanu dengan kecepatan luar biasa itu. Namun ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki Pendekar Rajawali Sakti sudah mencapai taraf kesempurnaan, sehingga
masih bisa mengejar orang itu.
"Tunggu...!
Yeaaah...!” teriak Rangga keras. “Siapa kau?”
“Sekarang
ini dia bukan lawanmu, Pendekar Rajawali Sakti!” terdengar dingin sekali suara
orang itu.
Rangga
mengamati orang yang memanggul tubuh Partanu itu. Sama sekali tidak dikenalinya
laki-laki tua ini.
“Apakah
kau gurunya Partanu?” tanya Rangga.
“Kalau
kau ingin tahu, datanglah ke Lembah Kematian! ''
"Heh…?!"
Slap!
Pendekar
Rajawali Sakti itu melentingkan tubuhnya ke udara, dan berhasil melewati kepala
orang yang membawa Partanu. Dan tahu-tahu Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri
tegak menghadang di depan. Orang itu langsung menghentikan larinya, namun
tiba-tiba saja, tangannya mengibas cepat.
Bet!
“Heh...?!”
Bukan
main terperanjatnya Pendekar Rajawali Sakti. Ternyata dari lengan jubah
panjangnya yang besar dan longgar, orang itu melontarkan puluhan senjata
rahasia sekaligus.
“Hup...”
Cepat-cepat
Rangga melompat dan berputaran sambil mengibaskan pedangnya beberapa kali untuk
menghalau serangan senjata rahasia itu. Manis sekali Rangga kembali mendarat di
tanah. Tapi Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main, karena orang yang
tidak kelihatan wajahnya itu sudah lenyap membawa tubuh Partanu.
“Bedebah...!”
geram Rangga. Pendekar Rajawali Sakti itu mengedarkan pandangannya berkeliling,
tapi sama sekali tidak melihat adanya sesosok bayangan pun di sekitarnya. Dia
mendongak ke atas, kalau-kalau orang itu bersembunyi di atas pohon, tapi tetap
saja tidak ada.
“Huh...!”
dengus Rangga kesal. “Lembah Kematian.... Hm, apakah dia....”
Cring!
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak melanjutkan dugaannya, dimasukkan pedangnya
kembali ke dalam warangkanya di punggung, maka cahaya biru langsung lenyap
seketika. Sebentar pemuda berbaju rompi putih itu mengedarkan pandangannya
kembali berkeliling, kemudian melangkah kesal meninggalkan tempat itu. Pendekar
Rajawali Sakti kini menuju Desa Parakan.
DELAPAN
Belum
juga Rangga berjalan jauh, tiba-tiba ayunan kakinya terhenti. Telinganya yang
tajam, seketika mendengar suara langkah kaki terseret. Cepat Pendekar Rajawali
Sakti itu melesat ke atas, lalu hinggap di atas dahan pohon. Pandangannya lurus
tak berkedip menatap ke arah datangnya suara itu.
Tak
berapa lama kemudian, muncul seorang laki-laki tua bertubuh kurus mengenakan
baju kumal dan sudah pudar warnanya. Dia membawa keranjang bambu cukup besar.
Dua orang laki-laki bersenjata golok di pinggang, mengikuti dari belakang.
Mereka berjalan agak cepat menaiki Lereng Gunung Parakan ini.
“Ayo
lebih cepat lagi Ki Jamat. Kau tidak boleh terlambat memberi makan buat Mega!”
bentak seorang yang berjalan di belakang laki-laki tua kurus itu.
“Uh!
Apa kalian tidak tahu kalau yang kubawa ini berat...!” rungut Ki Jamat.
“Huh!
Mentang-mentang sudah dipercaya Ki Puliga, kau sekarang berani bertingkah!”
dengus seorang lagi.
Laki-laki
tua yang dipanggil Ki Jamat itu tampak bersungut-sungut. Sementara Rangga yang
berada di atas pohon, bisa mendengar semua percakapan itu. Darahnya langsung
mendidih begitu mendengar nama Mega disebut-sebut. Setelah berpikir sejenak,
Pendekar Rajawali Sakti itu melesat turun, dan langsung memberi dua pukulan
beruntun ke arah dua orang yang berjalan di belakang Ki Jamat
“Hiyaaat..!”
Dughk!
Beghk!
Tanpa
mengeluarkan suara sedikit pun, dua orang itu langsung ambruk ke tanah dan tak
berkutik lagi. Ki Jamat terkejut bukan main. Laki-laki tua itu langsung terpaku
dengan lutut gemetar begitu melihat di depannya kini sudah berdiri seorang
pemuda tampan mengenakan baju rompi putih. Terlebih lagi saat melihat dua orang
yang menyertainya sudah tergeletak tak bergerak-gerak lagi.
“Aku
tidak akan melukaimu, jika kau tunjukkan di mana Mega,” kata Rangga, tajam
suaranya.
“Oh...,”
Ki Jamat tergagap. Seketika itu juga, wajah laki-laki tua kurus itu jadi pucat
pasi. Seluruh tubuhnya gemetaran, sehingga tidak kuat lagi menahan beban
keranjang bambu yang dibawanya. Keranjang bambu itu jatuh ke tanah. Semua
isinya yang ternyata bahan makanan mentah, berserakan.
“Tidak
perlu takut padaku, Ki. Kau hanya kuminta menunjukkan, di mana Mega
disembunyikan. Dan kau bisa bebas meneruskan perjalananmu kembali,” kata Rangga
mencoba lembut.
“Sss...,
siapa kau...?” tanya Ki Jamat masih tergagap.
“Aku
Rangga,” sahut Rangga.
“Rangga...?!”
Tiba-tiba saja Ki Jamat jatuh terkulai di tanah begitu Rangga menyebutkan
namanya. Seluruh wajahnya semakin pucat pasi. Keringat sebesar butiran jagung
menitik membasahi wajah dan lehernya. Tubuhnya semakin keras bergemetaran.
“Kau
tidak perlu takut padaku, Ki. Aku tidak akan menyakitimu,” kata Rangga
meyakinkan.
“Tap...,
tapi...,” suara Ki Jamat terputus.
Rangga
mendekati laki-laki tua itu, lalu membawanya berdiri. Meskipun sikap Pendekar
Rajawali Sakti menunjukkan sikap persahabatan, namun Ki Jamat masih juga
ketakutan. Masalahnya, nama Rangga yang kini menjadi musuh besar majikannya
pernah didengarnya. Malah juga sudah mendengar kalau ilmu kesaktian yang
dimiliki pemuda ini tinggi sekali, sehingga Ki Puliga hampir dikalahkan. Tapi
karena kesalahan yang kecil saja, si Iblis Gunung Parakan itu berhasil membuat
Rangga terluka parah. Dan sekarang pemuda berbaju rompi putih itu ada di
depannya.
“Kau
takut pada majikanmu, Ki?” tebak Rangga langsung.
Ki
Jamat tidak langsung menjawab. Sebenarnya laki-laki tua kurus itu memang takut
pada Ki Puliga. Kalau sampai menunjukkan tempat Mega kini berada, sudah dapat
dibayangkan kalau kematian akan cepat merenggutnya. Iblis Gunung Parakan tidak
akan segan-segan memenggal kepala siapa saja yang mengkhianatinya. Bahkan
lawan-lawannya tidak ada yang dibiarkan hidup.
“Dengar,
Ki. Aku berjanji akan melindungi keselamatanmu jika kau bersedia menunjukkan,
di mana Mega sekarang berada,” bujuk Rangga.
“Aku...,
aku tidak tahu,” sahut Ki Jamat tergagap.
“Kau
tidak bisa membohongiku, Ki. Kau pasti tahu, di mana Mega berada. Aku mendengar
percakapanmu dengan dua orang itu tadi,” desak Rangga.
Ki
Jamat jadi serba salah. Diliriknya dua orang yang menyertainya. Dia tidak tahu,
apakah dua orang itu sudah mati atau hanya pingsan saja.
“Aku
hanya membuatnya pingsan, dan mereka akan sadar kembali,” kata Rangga
seolah-olah bisa menebak jalan pikiran laki-laki tua kurus itu.
Ki
Jamat merayapi wajah Rangga di depannya, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya
sendiri kalau pemuda tampan berbaju rompi putih ini bukanlah manusia kejam
seperti majikannya. Karena semua yang didengarnya mengenai Rangga, mengatakan
kalau pemuda ini lebih kejam daripada Ki Puliga. Tapi Ki Jamat jadi ragu-ragu
juga.
“Baiklah.
Tapi kau harus berjanji melindungiku dari kekejaman Ki Puliga dan
orang-orangnya,” Ki Jamat menyerah setelah berpikir cukup lama juga.
“Aku
janji,” sahut Rangga tersenyum.
***
Rangga
mengamati bangunan batu yang tampaknya hanya terdiri dari satu ruangan saja.
Tak ada jendela, hanya sebuah pintu yang dijaga dua orang saja. Sementara Ki
Jamat menyembunyikan diri di balik batang pohon yang sangat besar di samping
Pendekar Rajawali Sakti itu.
“Kau
harus ke sana sendiri, Rangga,” bisik Ki Jamat
“Baik.
Kau tunggu saja di sini,” sahut Rangga.
Slap!
Tanpa
menunda-nunda waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti itu langsung melesat cepat ke
arah bangunan batu itu. Dua orang penjaga pintu seketika terkejut. Namun
sebelum mereka berbuat sesuatu yang berarti, Rangga sudah memberi dua pukulan
beruntun. Maka dua orang itu langsung ambruk tanpa sempat bersuara sedikit pun.
Cepat
Rangga membuka kunci pintu itu, dan mendorongnya hingga terbuka lebar. Tampak
di dalam ruangan yang cukup besar dan indah, Mega tengah duduk lesu di tepi
pembaringan. Gadis itu terkejut begitu melihat Rangga muncul, lalu langsung
bangkit berdiri dan berlari menghampiri.
“Kakang....”
“Ayo!
Cepatlah, sebelum yang lain datang,” kata Rangga.
Cepat
Pendekar Rajawali Sakti itu menarik tangan Mega, dan membawanya berlari
meninggalkan bangunan batu itu. Tapi sebelum jauh berlari, terdengar teriakan
keras menggelegar.
“Berhenti...!”
“Kakang...,”
tercekat suara Mega.
“Kau
terus berlari ke sana,” perintah Rangga.
“Kau...?”
“Cepatlah,
sebelum mereka sampai!” desak Rangga seraya mendorong tubuh gadis itu.
Pada
saat itu terlihat sekitar dua puluh orang berlarian ke arah mereka. Sebentar
Mega memandangi pemuda berbaju rompi putih itu, kemudian berlari ke arah yang
ditunjuk Rangga tadi. Namun begitu sampai ke dekat pohon, mendadak saja ada
yang menarik tangan gadis itu.
“Ah...!”
Mega terpekik.
Gadis
itu terjatuh. Matanya membeliak begitu melihat yang menarik tangannya adalah Ki
Jamat
“Ssst..,
aku akan membawamu keluar dari sini,” bisik Ki Jamat
Mega
kelihatan tidak percaya.
“Aku
yang membawa Rangga ke sini. Ayo cepat, nanti keburu ketahuan mereka!”
Mega
tidak bisa lagi menolak ketika tangannya ditarik laki-laki tua kurus itu.
Mereka kemudian berlari secepatnya menembus kelebatan Hutan Gunung Parakan ini.
Sementara itu, Rangga masih berdiri tegak menanti kedatangan dua puluh orang
yang berlarian ke arahnya. Dan mereka semua mengenakan baju hitam,
bersenjatakan golok yang teracung di atas kepala.
“Kepung...!”
terdengar teriakan memerintah.
Sekitar
dua puluh orang berpakaian serba hitam itu langsung berlompatan mengepung
Pendekar Rajawali Sakti. Mereka menggerak-gerakkan goloknya melintang di depan
dada. Sedangkan Rangga hanya merayapi gerak-gerik orang-orang berpakaian serba
hitam Itu dengan sikap waspada. Dicobanya untuk mengukur rata-rata kepandaian
para pengepungnya ini.
“Ha
ha ha...! Kau terlalu berani mendatangi tempatku, Rangga!”
Rangga
berpaling begitu mendengar suara keras yang sudah dikenalnya. Pandangannya
langsung tertumbuk pada seorang laki-laki setengah baya yang mengenakan baju
hijau tua. Tampak sebilah golok bergagang hitam terselip di pinggangnya. Dia
diapit dua orang yang berwajah kasar dan bengis.
“Seharusnya
kau tidak perlu datang ke sini, karena hanya akan mengantarkan nyawamu saja,
Rangga,” kata Ki Puliga mengejek.
“Aku
khawatir, kedatanganku justru akan membuat kau terbang ke neraka,” balas Rangga
sinis.
“Ha
ha ha...!” Ki Puliga tertawa terbahak-bahak mendengar balasan Rangga yang
bernada sinis.
Sedangkan
Rangga hanya diam saja dengan mata bersorot tajam. Orang-orang yang berada di
sekitarnya ikut tertawa, meskipun tidak sekeras tawa si Iblis Gunung Parakan
itu.
“Rangga,
kuhargai kedatanganmu ke sini. Sebagai rasa hormatku, aku akan mengajakmu bertarung
sebagai seorang laki-laki jantan!” tantang Ki Puliga lantang dan tegas.
“Dengan
senang hati, kuterima tawaranmu,” sambut Rangga.
“Bagus.
Ha Ha ha...!”
Iblis
Gunung Parakan itu melompat cepat, dan mendarat sekitar lima langkah di depan
Pendekar Rajawali Sakti. Tangannya dikibaskan ke samping, dan semua orang yang
berada di sekeliling tempat itu langsung bergerak mundur menjauh. Rangga
tersenyum menyaksikan kejantanan laki-laki setengah baya itu. Jarang sekali
seorang tokoh hitam memiliki jiwa seperti Ki Puliga ini. Dan itu sangat
dihargai Pendekar Rajawali Sakti.
“Karena
kau tamu di sini, aku beri kesempatan padamu untuk menyerang lebih dahulu,”
kata Ki Puliga.
“Terima
kasih. Tapi, aku perlu sambutan darimu,” tolak Rangga halus.
“Ha
ha ha...! Kau memang benar-benar seorang ksatria, Rangga. Baik, bersiaplah!
Hiyaaat...!”
“Hup!”
Rangga langsung menggeser kakinya ke samping ketika Ki Puliga melompat
menerjang seraya melontarkan dua pukulan beruntun. Hanya dengan sedikit
meliukkan tubuh, Pendekar Rajawali Sakti itu dapat menghindari serangan si
Iblis Gunung Parakan itu. Tapi Rangga sempat terkejut juga. Karena, ternyata
serangan awal yang dilancarkan Ki Puliga mengandung pengerahan tenaga dalam
yang tinggi sekali. Jadi, tak heran kalau angin pukulannya membuat tubuh Rangga
sedikit goyah. Cepat Rangga menggeser kakinya ke belakang, dan langsung kembali
bersiap pada saat Ki Puliga melancarkan serangan berikut
“Hiyaaat..!”
Ki Puliga berteriak keras.
Si
Iblis Gunung Parakan itu langsung menerjang melontarkan pukulan keras bertenaga
dalam tinggi ke arah dada. Cepat sekali Rangga menarik tubuhnya ke samping agak
miring, maka pukulan Ki Puliga lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti itu.
Namun tanpa diduga sama sekali, si Iblis Gunung Parakan itu mengibaskan kakinya
menyamping ke arah perut
“Hup...!”
Cepat
Rangga melentingkan tubuhnya berputar ke belakang, membuat sepakan kaki Ki
Puliga tidak mengenai sasaran. Si Iblis Gunung Parakan itu terus melancarkan
serangan-serangan dahsyat, meskipun Rangga selalu bisa menghindari dengan manis
sekali. Tak terasa, laki-laki setengah baya berbaju hijau tua itu sudah
menghabiskan lima jurus dalam waktu singkat. Tapi sampai saat ini belum ada
satu serangan pun yang berhasil mengenai sasaran. Hal ini membuatnya jadi berang.
Sret!
Ki Puliga tidak bisa lagi menahan geramnya. Langsung dicabut goloknya. Asap
hitam seketika berkepul dari golok yang berwarna hitam pekat itu. Buru-buru
Rangga melompat mundur sebanyak tiga tindak. Dia sudah pernah menghadapi si
Iblis Gunung Parakan yang bersenjatakan golok itu. Maka Pendekar Rajawali Sakti
tidak mau melakukan dua kali kesalahan yang bisa mengakibatkan kerugian besar
pada dirinya
Cring!
Ki Puliga melompat mundur dua tindak begitu Rangga mencabut pedang pusakanya.
Tampak pedang itu memancarkan cahaya biru berkilauan menyilaukan mata.
Sementara orang-orang yang berada di sekelilingnya juga langsung terkejut.
Mereka kontan merasakan matanya jadi pedih, tak sanggup menentang sinar biru
yang berkilauan itu.
“Hm...!”
Ki Puliga menggumam kecil.
Bet!
Wuk!
Laki-laki
setengah baya yang mengenakan baju warna hijau tua itu langsung cepat
mengecutkan goloknya. Dan seketika itu juga asap yang mengepul, semakin banyak.
Bahkan kini bercampur asap merah. Rangga segera memiringkan tubuhnya sedikit ke
kanan, dan telapak tangan kirinya menempel pada mata pedang. Lalu dengan cepat
ditarik tubuhnya ke kanan, seraya mengebutkan pedangnya ke depan. Gerakan itu
menandakan kalau Rangga sedang mempersiapkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu
jurus andalan yang jarang sekali digunakan kalau tidak mendapatkan lawan yang
tangguh.
“Hiyaaat...!”
sambil berteriak nyaring, Ki Puliga melompat menerjang dengan kecepatan bagai
kilat.
Wut!
“Yeaaah...!”
Swing!
Secepat
itu pula tubuh Rangga melenting sambil mengibaskan pedang, tepat saat si Iblis
Gunung Parakan itu juga membabatkan goloknya. Tak dapat dihindari lagi,
seketika dua senjata sakti beradu keras di udara.
Glarrr!
Satu ledakan keras menggelegar, membuat jantung siapa saja yang mendengarnya
akan terasa bagai pecah. Tampak dua orang itu sama-sama terpental ke belakang,
namun dengan manis sekali mendarat di tanah. Ki Puliga langsung cepat
menggerakkan kakinya menyusur tanah sambil berteriak keras melengking tinggi.
“Hiyaaat...!”
“Hup!”
Cepat
sekali Rangga mengegoskan tubuhnya menghindari sodokan ujung golok yang
mengepulkan asap beracun itu. Pada saat yang bersamaan, Pendekar Rajawali Sakti
itu cepat mengibaskan pedangnya ke arah kaki. Ki Puliga langsung melompat
seraya menarik goloknya kembali. Namun sebelum mendarat, Rangga sudah memberi
serangan dengan mengibaskan cepat pedangnya beberapa kali. Hal ini membuat Ki
Puliga agak kelabakan juga menghindarinya. Beberapa kali pedang Pendekar
Rajawali Sakti itu ditangkis dengan goloknya.
Jurus
'Pedang Pemecah Sukma' yang dimainkan Pendekar Rajawali Sakti memang dahsyat
sekali. Gerakannya begitu cepat, dan kibasan pedangnya berbahaya sekali. Begitu
cepatnya, sehingga yang terlihat hanya kelebatan cahaya biru dan putih yang
mengurung tubuh si Iblis Gunung Parakan. Namun Ki Puliga juga bergerak cepat
seraya mengecutkan goloknya. Akibatnya, asap hitam semakin menggumpal,
seakan-akan melindungi dirinya dari incaran maut Pedang Rajawali Sakti.
“Uh...!”
tiba-tiba saja Ki Puliga mengeluh mendengus kencang.
Si
Iblis Gunung Parakan itu mencoba melompat keluar dari arena pertarungan, tapi
Rangga tidak membiarkannya. Dia cepat memburunya dengan pedang yang
berkelebatan cepat mengarah ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Jelas
sekali, kalau gerakan-gerakan yang dilakukan si Iblis Gunung Parakan itu mulai
tidak beraturan. Entah kenapa, perhatian laki-laki setengah baya itu jadi
pecah. Memang tanpa disadarinya, semua yang terjadi pada dirinya akibat
pengaruh dari jurus 'Pedang Pemecah Sukma' yang dilancarkan Pendekar Rajawali
Sakti.
“Setan!
Yeaaah...!” tiba-tiba saja Iblis Gunung Parakan berteriak keras.
Cepat-cepat
dikebutkan goloknya, tepat di saat ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti hampir
menghunjam dadanya. Begitu senjata mereka beradu, secepat itu pula Ki Puliga
melompat ke belakang sejauh satu batang tombak. Dia langsung membuat
gerakan-gerakan cepat untuk menguasai kembali keseimbangan jiwanya yang hampir
terpecah belah.
“Phuih...!”
dengus Ki Puliga geram.
Kembali
dibuatnya gerakan-gerakan cepat. Goloknya berkelebatan mengelilingi tubuhnya.
Seketika, seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu berselimut asap hitam agak
kemerahan. Rangga yang menyaksikan itu semua, langsung menempelkan telapak
tangannya pada mata pedang. Perlahan digosok mata pedang itu. Kini mereka
sama-sama mempersiapkan satu ajian pamungkas yang paling dahsyat.
“Hiyaaat..!”
Ki Puliga berteriak keras sambil melompat cepat bagaikan kilat.
“Aji
'Cakra Buana Sukma'...! Yeaah...!” teriak Rangga menggelegar.
Tepat
pada saat golok Ki Puliga membabat ke arah dada, Rangga cepat sekali
menangkisnya dengan pedang yang melintang di depan dada.
Trang!
Glarrr!
“Hih!”
Ki Puliga mencoba menarik goloknya, namun jadi terkejut setengah mati. Ternyata
goloknya menempel kuat pada pedang yang bersinar biru itu. Ki Puliga
mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya untuk melepaskan goloknya. Namun
semakin berusaha keras, goloknya semakin erat menempel.
“Setan...!”
dengus Ki Puliga menggeram. Si Iblis Gunung Parakan itu semakin geram bercampur
rasa keheranan yang amat sangat. Karena saat mencoba melepaskan pegangannya
pada tangkai golok, telapak tangannya bagai terpatri kuat, tak bisa dilepaskan
lagi. Kemudian darahnya terasa cepat mengalir. Ki Puliga terkejut bukan main.
Baru disadari kalau kekuatannya mulai mengalir keluar. Dan dia tidak punya
kesempatan lagi untuk mengerahkan ajian yang digunakannya sewaktu melawan
Rangga dulu.
“Hih...!”
Buru-buru si Iblis Gunung Parakan itu menahan aliran kekuatannya. Tapi semakin
mencoba bertahan, semakin kuat saja tenaganya tersedot tanpa bisa dikendalikan
lagi. Saat itu juga, terlihat cahaya biru menggumpal menjalar menyelubungi
tangan si Iblis Gunung Parakan itu. Dan terus menjalar perlahan, namun pasti.
“Uh!
Ilmu apa yang digunakannya...?” dengus Ki Puliga bertanya-tanya di dalam hati.
Semakin
kuat Iblis Gunung Parakan itu membuat perlawanan, semakin cepat cahaya biru
menjalar menyelimuti dirinya. Bahkan semakin kuat pula tenaganya tersedot
keluar. Keringat mulai membanjiri seluruh tubuhnya. Dan Ki Puliga merasa lebih
dari separuh kekuatannya sudah tersedot.
“Ughk!
Aaakh...!” Ki Puliga mulai menggeliat dan berteriak-teriak.
Namun
Rangga semakin kokoh. Memang, Pendekar Rajawali Sakti telah mengerahkan aji
'Cakra Buana Sukma' pada tahapan terakhir, sehingga membuat seluruh tubuhnya
membiru dan bersinar terang. Daya tahan yang dimiliki Ki Puliga, membuat
Pendekar Rajawali Sakti itu tidak bisa lagi menahan arus kekuatan aji 'Cakra
Buana Sukma'.
“Aaakh...!”
Ki Puliga kembali memekik keras. Seluruh tubuh si Iblis Gunung Parakan itu
menggeletar hebat. Sementara itu, dua orang pembantu utamanya menjadi geram
menyaksikan pemimpinnya berkelojotan meregang nyawa. Tanpa berpikir panjang
lagi, mereka berlompatan sambil mencabut goloknya, langsung dibabatkan ke tubuh
Rangga. Tapi keajaiban seketika terjadi. Pada saat golok mereka menghantam
tubuh Pendekar Rajawali Sakti, tubuh dua orang itu terpental deras diiringi
pekikan keras melengking tinggi.
“Aaa...!”
“Aaa...!”
Rakat
dan Badir, langsung menggelepar di tanah. Tampak seluruh tubuh mereka membiru.
Dari mulut, hidung, dan telinga mengucurkan darah kental kehitaman. Tak berapa
lama kemudian, dua pembantu utama si Iblis Gunung Parakan itu diam tak bernyawa
lagi. Sedangkan Rangga masih tetap berdiri tegak tak bergeming sedikit pun. Dia
hanya melirik sedikit pada dua orang yang menggeletak tak bernyawa lagi.
“Hih!
Yeaaah...!” tiba-tiba saja Rangga berteriak keras.
Seketika
itu juga pedangnya ditarik, dan dengan cepat sekali dikibaskannya ke leher Ki
Puliga. Tebasan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat dan tiba-tiba, tak
mampu dihindari lagi. Hingga...
Cras!
“Aaa...!”
Sebentar
Ki Puliga masih mampu berdiri tegak, kemudian ambruk dengan kepala terpisah
dari leher. Darah langsung menyembur dari leher yang buntung tanpa kepala lagi.
Sebentar Ki Puliga masih mampu bergerak, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
“Hhh...!”
Rangga menarik napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti itu melangkah mundur
beberapa tindak. Pandangannya beredar pada semua orang yang berada di
sekitarnya. Tiba-tiba saja, mereka semua membuang senjata dan menjatuhkan diri
berlutut
Pada
saat itu, terdengar suara-suara langkah kaki orang banyak disertai
teriakan-teriakan keras membahana. Tak berapa lama kemudian, muncul para
penduduk Desa Parakan. Mereka tampak terkejut begitu melihat mayat si Iblis
Gunung Parakan dan dua orang pembantu utamanya tewas tergeletak berlumuran
darah. Juga tampak sekitar dua puluh orang lebih berpakaian serba hitam tengah
berlutut dengan kepala tertunduk di depan Rangga. Di antara para penduduk desa
itu, terlihat Mega dan Ki Jamat. Gadis itu bergegas berlari menghampiri Rangga.
“Kakang...,”
desah Mega seraya memeluk Pendekar Rajawali Sakti itu.
Rangga
menepuk-nepuk punggung gadis itu, dan melepaskan pelukannya dengan halus.
Dipandangnya Ki Jamat yang tersenyum-senyum. Sinar mata laki-laki tua itu
tampak memancarkan kegairahan hidup lagi, tidak seperti pertama kali Rangga
melihatnya. Pendekar Rajawali Sakti itu membalas tersenyum dan menganggukkan
kepalanya sedikit
“Ayo,
tangkap mereka semua...!” seru Ki Jamat memberi perintah.
Dan
para penduduk Desa Parakan, langsung bergerak. Mereka mengikat tangan
orang-orang berbaju hitam itu dengan tambang, lalu menggiringnya menuruni
Gunung Parakan ini. Sorak-sorai terdengar gegap gempita, seakan-akan hendak
meruntuhkan gunung ini. Penduduk Desa Parakan itu benar-benar bergembira karena
Iblis Gunung Parakan telah musnah. Mereka jadi melupakan Rangga yang hanya
memandangi disertai senyum di bibir, didampingi Mega.
“Kakang,
apakah kau tidak melihat Kakang Partanu?” tanya Mega.
Rangga
menoleh, menatap gadis itu. Ditariknya napas panjang dan dihembuskannya
kuat-kuat. Sukar untuk menjelaskan pada gadis ini, karena dia sendiri tidak
tahu, di mana Partanu kini berada. Apakah masih hidup atau sudah tewas. Karena
luka yang diderita pemuda itu cukup parah akibat pertarungannya melawan
Pendekar Rajawali Sakti.
“Nanti
akan kujelaskan,” kata Rangga agak mendesah.
Pendekar
Rajawali Sakti itu mengajak Mega meninggalkan tempat ini. Mega masih belum
puas, dan terus mendesak Rangga agar mengatakan keberadaan Partanu. Dan Rangga
semakin iba melihat gadis ini. Cintanya begitu besar, sehingga tidak peduli
kalau ayahnya tewas oleh orang tua kekasihnya itu. Dia juga tidak peduli kalau
pernah dikurung si Iblis Gunung Parakan, ayah dari Partanu.
Rangga
tak punya pilihan lain lagi. Diceritakannya semuanya tentang Partanu. Dari
mulai pertarungannya, hingga pemuda itu lenyap dibawa seorang laki-laki tua
dari Lembah Kematian. Terdengar suara isak perlahan dari gadis itu. Tapi,
rupanya Mega mencoba untuk bertahan agar tidak larut.
“Maafkan
aku, Mega. Aku sudah berusaha, tapi rupanya takdir memang menentukan lain,”
ucap Rangga menyesal.
“Tidak,
Kakang. Kau tidak perlu meminta maaf. Mungkin memang belum jodoh,” sergah Mega
agak tersendat.
“Jika
Hyang Widi menghendaki, aku yakin kau akan dipertemukan kembali dengan
Partanu,” hibur Rangga.
“Apakah
itu mungkin, Kakang?”
“Ya!
Semuanya bisa saja terjadi tanpa kita ketahui sebelumnya. Aku sendiri yakin
kalau Partanu masih hidup. Tapi entah di mana sekarang,” sahut Rangga.
“Kakang!
Kalau kau bertemu Kakang Partanu, katakan kalau aku masih menunggu di Desa
Parakan. Kau bersedia, bukan?” pinta Mega berharap.
“Tentu,”
sahut Rangga untuk menyenangkan hati gadis itu.
“Terima
kasih, Kakang.”
TAMAT
EPISODE
SELANJUTNYA:
KEMBANG
KARANG HAWU
Emoticon