Getaran kuat terjadi, ketika Pendekar Gila
menarik racun yang melekat di luka itu Sedangkan
Senapati Braja menjerit melengking dan keras,
menggeliat-geliat liar. Keringat sebesar biji biji
jagung, deras keluar dari seluruh pori-pori
tubuhnya.
"Hm... ng.... Hops...!"
Pendekar Gila terus mengerahkan tenaga
dalam nya, untuk menarik racun yang melekat di
tubuh Senapati Braja. Tangannya yang disaluri
tenaga dalam, tergetar dengan hebat. Dari
kepalanya, keluar asap ungu bergulung-gulung.
Lama sekali Pendekar Gila melakukan hal itu,
sampai akhirnya tubuh Senapati Braja turut
membara dan terkulai pingsan, ketika kedua
tangannya dilepas dari dada senapati itu.
"Bukan manusia sembarangan," gumam
Senapati Kandanu, menyaksikan apa yang diperbuat
Pendekar Gila. Dia tahu sangat berat untuk
melakukan pekerjaan yang seperti itu. Namun
Pendekar Gila tak kelihatan letih sedikit pun. Lebih
mengejutkan, ketika asap ungu keluar dari ubun-
ubunnya yang tidak lain Racun Kabut Ungu.
Sebuah racun dahsyat, tapi Pendekar Gila dapat
menguasai dan menjinakkannya. Padahal, selama
seratus tahun, tak seorang pun yang tahan
terhadap Racun Kabut Ungu.
Pendekar Gila tampak masih duduk bersila
sambil mengatur pernapasan yang sudah tersengal-
sengal, setelah melakukan pekerjaan yang sangat
melelahkan itu. Kini dengan sikap duduk seperti
bersemadi Pendekar Gila mengheningkan cipta.
Senapati Kandanu kembali membelalakkan
mata, ketika melihat tubuh Pendekar Gila membara
merah bagaikan diselimuti api. Ruangan di sekitar
tempat itu, seketika bertambah terang oleh cahaya
merah yang keluar dari tubuh Pendekar Gila.
"Hei, apa lagi yang dilakukannya?" gumam
Senapati Kandanu dalam hati dengan kedua mata
terbelalak kaget, hampir tak percaya dengan apa
yang kini dilihatnya.
Setelah kejadian itu berlangsung agak lama,
Pendekar Gila akhimya membuka mata perlahan.
Dihelanya napas panjang, berusaha menghirup
udara sebanyak-banyaknya guna menggantikan yang
di paru- parunya. Dan sesaat kembali mulutnya
cengengesan, dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Sena, Baginda telah menunggu," ujar
Senapati Kandanu.
"Aha, ayolah!" ajak Sena seraya bangkit dari
duduknya. Lalu bersama Senapati Kandanu
melangkah meninggalkan barak menuju bangunan
utama istana.
Keduanya langsung menyembah, ketika sampai
di hadapan Prabu Galih Waskita
"Silakan duduk, Pendekar Gila!"
"Terima kasih, Baginda!" Sena pun.duduk
bersila di hadapan Prabu Galih Waskita. Kepalanya
ditundukkan, berusaha bertingkah laku sopan.
"Ada apa gerangan Baginda mengundangku?"
***
Malam kembali bergayut menyelimuti bumi.
Desa Ngadireja pun sepi, bagaikan desa yang mati.
Warga Desa Ngadireja tengah dilanda perasaan
berkabung, duka yang dalam. Selama tiga pumama
belakangan ini, desa mereka dijarah gerombolan
pengacau yang mengaku diperintah Pendekar Gila.
Sementara itu, Pendekar Gila nampak sedang
terbaring di atas dipan. Matanya belum t«rpejam.
Sejak kemarin dirinya berada di Desa Ngadireja,
menginap di kedai Ki Lampit. Malam kemarin dilalui
dengan tenang, tak ada tanda-tanda kemunculan
gerombolan yang mengaku anak buahnya. Seakan
mereka tahu, kalau Pendekar Gila berada di desa
itu.
Di samping Pendekar Gila di sebuah dipan lain
tampak Ki Lampit tengah berbaring pula. Orang tua
ltu pun belum tidur. Malam itu Ki Lampit masih
bertanya tanya dalam hati. Siapa sebenarnya
pemuda bertingkah laku gila yang kerjanya cepat
dan tengah membantunya dalam pekeijaan di
kedainya. Semua pekerjaan diambil alih pemuda
bertingkah laku gila itu.
Kadang kala Ki Lampit ingin tertawa, jika
melihat tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan
lucu. Namun dirinya selalu menahannya, takut
kalau-kalau pemuda bertingkah laku gila itu akan
tersinggung. Jika hal itu terjadi, dia akan kerepotan
seperti kemarin lusa. Padahal semenjak Pendekar
Gila bersamanya, pekerjaan menjadi ringan.
"Dua hari kita bersama, tetapi selama ini aku
belum tahu siapa kau sebenarnya," gumam Ki
Lampit dengan tarikan napasnya yang berat.
"Semenjak kau berada di sini, aku merasa aneh."
"Aha, apa yang kau anggap aneh, Ki?" tanya
Sena seraya bangun dari pembaringan. Mulutnya
cengengesan. Lalu tangannya mengambil bulu
burung di ikat pinggangnya. Kemudian dikorek
telinga kanannya dengan bulu burung itu. Mulut
nyengir merasa kenik- matan.
"Gerombolan itu, biasanya datang tujuh hari
sekali. Tetapi semenjak kau datang, mereka tidak
datang. Sepertinya, kehadiranmu membuat mereka
takut."
Pendekar Gila tertawa mendengar penuturan
Ki Lampit, yang dianggapnya terlalu mengada ada.
Bagaimana mungkin orang tahu dirinya di Desa
Ngadireja. Lagi pula, mengapa gerombolan itu harus
takut terhadapnya. Pendekar Gila menggeleng-
gelengkan kepala, dengan tangan kiri menggaruk-
garuk kepala.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Bagaimana
mungkin mereka takut pada orang gila sepertiku?
mengatas namakan Pendekar Gila," tutur Ki Lampit
Pendekar Gila tersentak mendengar cerita Ki
Lampit. Bahwa namanya dijadikan sebagai biang
keladi pembunuhan itu. Kemudian sambil
cengengesan, ditariknya napas dalam dalam. Ada
perasaan marah dan jengkel dalam hatinya.
"Hi hi hi..., lucu sekali! Mengapa orang-orang
semakin suka melakukan hal-hal aneh? Lucu
sekali...!" gumam Pendekar Gila sambil menggeleng
gelengkan kepala. Dirinya merasa tak habis pikir
mengapa penjahat lebih suka menggunakan gelarnya
untuk melakukan aksi kejahatannya.
"Kau tak takut, Pendekar?" tanya Ki Lampit
"Hi hi hi..., takut? Mengapa harus takut? Hyang
Widhi akan senantiasa melindungi orang yang benar,
Ki. Kalau kita tak salah, mengapa harus takut?"
Sena balik bertanya dengan masih cengengesan.
"Ah, kau memang sangat bijaksana, Pendekar.
Sungguh jahat orang-orang yang telah mencemarkan
nama baikmu. Mereka tidak ubahnya iblis!" dengus
Ki Lampit, sepertinya turut jengkel mendengar
berita Pendekar Gila dijadikan kedok kejahatan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala, seakan-akan melihat
kelucuan. Namun dilihat dari sinar matanya, jelas
hatinya benar-benar marah. Merasa telah
dipermainkan seenak nya oleh para durjana.
"Ini tidak bisa didiamkan. Para warok pun
tentu menuduh aku pelakunya," gumam Pendekar
Gila dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ah, sudahlah, Ki! Malam telah larut.
Tidurlah dahulu, nanti kau sakit!" ujar Sena kepada
Ki Lampit nqar segera tidur. Dirinya tak ingin orang
tua sebatang kara itu akan mengalami sakit.
"Kau...?"
"Hi hi hi..., nanti aku pun tidur," sahut
Pendekar Gila
Ki Lampit pun segera merebahkan tubuh.
Perlahan lahan dipejamkan matanya. Dan tidak lama
kemudian, lelaki tua itu telah pulas dalam tempat
tidur. Sedangkan Pendekar Gila nampak masih
duduk sambil menyandarkan tubuh pada dinding.
Mulutnya masih cengengesan, dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Benaknya masih
memikirkan tentang semua kejadian yang
mengaitkan julukannya.
Pendekar Gila menengadahkan wajah ke atas,
seakan hendak mencari sesuatu. Dihelanya napas
dalam- dalam, berusaha menenangkan perasaannya.
"Hyang Jagat Dewa Batara, semoga Engkau
inemberi kekuatan pada hambamu ini!" desahnya
lirih, sambil memejamkan mata perlahan.
Malam semakin larut suasana pun bertambah
sepi. Tiba-tiba dari arah barat terdengar suara
jeritan memecah keheningan malam. D'isusul suara
gelak tawa.
"Tolong...! Rampok...!"
"Hua ha ha...! Jangan melawan! Kami anak
buah Pendekar Gila. Percuma kalian melawan...!"
Sena yang mendengar gelarnya disebut,
tersentak kaget. Dengan bibir tersenyum, tubuhnya
melesat cepat meninggalkan kamar bilik di kedai Ki
Lampit.
"Hi hi hi...! Pucuk dicinta ulam tiba. Rupanya
apa yang dikatakan Ki Lampit benar. Aha, malam ini
aku lkan berburu kecoa-kecoa busuk!" dengus
Pendekar Gila sambil terus melesat menuju tempat
asal jeritan.
Sementara warga desa masih hiruk-pikuk
ketakutan ditingkahi dengan suara jerit kematian,
di tempat yang sepi Caraka Wanda nampak semakin
beringas. Matanya menyala-nyala menatap tubuh
gadis cantik yang kini setengah telanjang.
"Lepaskan aku! Tolooong...!"
"He he he...! Jangan takut, Manis! Kita akan
menikmati indahnya malam ini," ujar Caraka Wanda
sambil berusaha menggeluti tubuh gadis cantik
kembang Desa Ngadireja. Namun tiba-tiba...,
"Hua ha ha...! Begitukah tingkah anak buah
Pendekar Gila? Ah ah ah, lucu sekali. Kecoa-kecoa
busuk mengaku anak buah Pendekar Gila...!" dari
kegelapan, terdengar suara tawa susul-menyusul,
Pendekar Gila.
Caraka Wanda dan Jabil tersentak kaget.
Keduanya langsung menoleh ke tempat datangnya
suara pemuda itu. Mata mereka membelalak tegang
Apalagi Caraka Wanda yang telah kenal siapa
pemilik suara itu
"Pendekar Gila...?!" desis Caraka Wanda
dengan mata membelalak tegang.
"Dia ada di sini?!" tanya Jabil tak kalah kaget
dan tegang, setelah tahu siapa yang tertawa itu.
"Aha, apa kabar, Ki Sanak...?" tahu-tahu
Pendekar Gila telah berdiri beijarak satu tombak di
samping mereka. Hal itu semakin membuat
keduanya terlonjak kaget karena tak tahu kapan
dan dari mana datangnya. Gadis yang hendak
diperkosa bangkit dan langsung berlari ke belakang
Pendekar Gila. Tetapi Ayu Wuni pun kelihatannya
masih takut, setelah tahu siapa pemuda bertingkah
laku gila itu.
"Kau...? Kau Pendekar Gila...?!" tanyanya
dengan mata terbelalak ketakutan.
"Hua ha ha...! Jangan takut, Ni Sanak! Aku
memang Pendekar Gila, tetapi bukan pimpinan para
kecoa busuk itu! Hi hi hi...! Lucu sekali. Rupanya
kecoa-kecoa busuk kini pada bertingkah," gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
Ditatapnya kedua lelaki bermata jalang itu
dengan tajam. Kemudian dengan cengengesan,
tangannya menggaruk-garuk kepala. Lalu dipandangi
gadis cantik yang berpakaian telah compang
akibat reng gutan tangan Caraka Wanda.
"Aha, tak kusangka, kalau anak seorang warok
berbuat sekeji ini. Hi hi hi... lucu sekali. Dunia ini
memang semakin lama semakin bertambah gila,"
gumam Pendekar Gila dengan mulut masih
cengengesan. Sedangkan tangannya tetap
menggaruk-garuk kepala. Lalu diambil Suling Naga
Sakti. Ditiupkan dengan merdu, mendendangkan
nyanyian tentang seekor anak domba yang berusaha
menjadi serigala. Anak domba itu terus berusaha
agar bisa jadi serigala. Sampai akhimya, anak si
domba membabi buta.
"Cuih! Lancang sekali kau, Pendekar Gila!"
bentak Cakra Wanda dengan napas mendengus,
"Jangan kira aku tak mengerti nyanyian sulingmu!"
"Hi hi hi..! Ah, baguslah kalau kau mengerti.
Rupanya kau anak warok yang pintar. Sayang...,
sayang sekali perbuatanmu tak sesuai dengan
pribadi orang tuamu," ujar Pendekar Gila sambil
tertawa cekikikan dengan kepala menggeleng-
geleng, seakan sangat menyesalkan atas perbuatan
Caraka Wanda.
"Cuih!" Caraka Wanda membuang ludah
jengkel.
Mata Ayu Wuni terus memperhatikan
pertarungan itu dengan harap-harap cemas. Takut
kalau kalau pemuda tampan bertingkah gila kalah.
"Heaaa...!"
Wret! Wret!
Pedang di tangan Caraka Wanda dan Jabil
menderu dengan cepat ke tubuh Pendekar Gila.
Tetapi dengan cepat pula, Pendekar Gila
mundurkan kaki kanan. Kemudian menggeser kaki
kiri agak merentang sambil meliukkan tubuh.
"Celaka...!" pekik kedua lawannya kaget,
karena pedang mereka tetap belum berhasil
bersarang di tubuh lawan. Bahkan pedang itu kini
melesat ke tubuh temannya. Mata keduanya
terbelalak tegang, menyadari gerakan masing-masing
yang kacau.
Melihat kedua lawannya dalam keadaan mati
langkah, sambil menggaruk garuk kepala Pendekar
Gila menendangkan kaki kanan ke tubuh Jabil.
Sementara tangan kiri, menghantam tubuh Caiaka
Wanda.
"Hi hi hi ..! Hea...!"
Caraka Wanda dan Jabil yang mati langkah,
tersentak kaget. Keduanya kebingungan. Kalau
meneruskan membabatkan pedang dapat
membahayakan kawannya. Sedang kalau berhenti
jelas gerakan Pendekar Gila akan lebih leluasa
menyerang.
"Hea!"
Dalam kebingungan dan kagetnya, Caraka
Wanda melentingkan tubuh ke belakang untuk
mengelak. Sehingga Jabil yang teriambat, tak ampun
lag! menjadi sasaran tendangan kaki Pendekar Gila.
Begk!
"Akh...!" Jabil memekik keras. Tubuhnya
terlontar deras ke belakang, bagaikan didorong
sebuah kekuatan yang dahsyat Tubuh itu baru
berhenti, ketika menghantam pepohonan bambu.
Gosrak!
"Akh!"
Tanpa ampun lagi, Jabil terjepit batang
batang bambu. Sesaat Jabil meregang, kemudian
terkulai mati.
Menyaksikan temannya tewas, Caraka Wanda
bertambah beringas. Dengan napas mendengus
keras, lelaki muda itu kembali bergerak menyerang.
Jurus, 'Semilir Angin Meniup Daun Kering' segera
dikeluarkan. Nampaknya Caraka Wanda sudah tak
sabar lagi untuk membinasakan Pendekar Gila.
"Heaaa...!"
Wrt! Wrt...!
Pedang di tangan Caraka Wanda bergerak
laksana angin yang bertiup semilir. Kelebatannya
sangat halus dan pelan. Hal itu karena Caraka
Wanda menggunakan tenaga dalam yang cukup
tinggi, juga pengerahan batin yang sempurna.
Kakinya melangkah secara beraturan, seperti
memakai hitungan-hitungan tertentu.
Melihat jurus yang dilakukan Caraka Wanda,
seketika Pendekar Gila mengerutkan kening.
Dengan memandang lewat sudut mata sambil
nyengir, pikirannya berusaha mengingat-ingat
gerakan yang dilakukan Caraka Wanda.
"Hm, bukankah itu gerakan Macan Barong
yang kulihat di Ponorogo?" tanya Pendekar Gila
dalam hati brrusaha mengingat-ingat gerakan-
gerakan yang dilakukan Caraka Wanda. "Aha,
benar! Itu gerakan yang dilakukan Macan Barong
Hm, kalau begitu yang menjadi Maean Barong
tentunya pemuda ini."
"Pendekar Gila, kau harus mampus!
Bersiaplah!" dengus Caraka Wanda.
"Bocah Edan! Kubunuh kau! Hea...!" seorang
anak buah Surotama membabatkan golok ke tubuh
lawan yang sedang menungging. Namun dengan
jurus „Gila Mabuk Mencabut Rumput? Pendekar
Gila segera bergerak mengelit. Tubuhnya seperti
orang gila yang sedang mabuk. Jumpalitan ke sana
kemari, dengan tangan bergerak mencengkeram dan
memukul Sedangkan kedua kakinya bergerak
melakukan serangan dengan lutut dan tendangan
"Hi hi hi! Heaaa...!"
Dugk!
"Ukh...!" orang yang berada di belakang
terjengkang, karena terkena tendangan kaki kiri
Pendekar Gila. Mulutnya meringis kesakitan dan
tampak darah mengalir dari sela bibir. Tangannya
memegangi dada yang terasa nyeri hebat. Bahkan
dirasakan pukulan keras tadi meremukkan tulang
rusuknya.
Pertarungan semakin seru. Gerombolan itu
langsung mengeroyok Pendekar Gila.
"Hea!"
Wuttt!
"Uts! He he he...!" Pendekar Gila tertawa
terkekeh sambil terus bergerak dengan jurus 'Gila
Mabuk Mencabut Rumput' digabung dengan jurus
'Gila Menari Menepuk Lalat'. Suling Naga Sakti di
tangannya, bergerak dengan cepat menangkis
serangan lawan. Dilanjutkan dengan memukul ke
dada, dan punggung lawan yang terdekat
"Mampus kau, Pendekar Gila! Hea...!" Wuttt!
"Uts! He he he...! Ini bagianmu, Kecoa Tolol!"
Pendekar Gila mengelakkan serangan lawan dengan
meliuk ke samping. Kemudian bergerak ke belakang
tubuh lawan dengan cepat, sambil memukulkan
Suling Naga Sakti ke punggung lawan.
Begk!
"Akh..." pekikan tertahan terdengar ketika
seorang lawan terpukul Suling Naga Sakti. Tulang
punggungnya dirasakan remuk. Mulutnya meringis.
Dari sela bibimya meleleh darah. Kemudian tubuh
orang itu ambruk ke tanah.
Pertarungan semakin seru. Sepertinya
gerombolan Caraka Wanda dan Surotama tak takut
sedikit pun. Mereka terus menyerang dengan
sabetan dan tusukan pedang serta gdok,
"Heat"
Wuttt! Wuttt!
"Haiiit..!"
Dengan cepat Pendekar Gila mengelit dengan
merundukkan tubuh. Kemudian dengan cepat pula
dipukulkan Suling Naga Saktinya ke tubuh lawan.
Wuttt!
"Heh?!" orang itu tersentak kaget dengan
mata membeliak. Dirinya berusaha menghindar
tetapi gerak yang dilancarkan Pendekar Gila sangat
cepat. Sehingga...,
Begk!
"Wua...!"
Korban kembali jatuh dengan tulang iga
remuk akibat gebukan Suling Naga Sakti.
Kenyataan itu membuat Caraka Wanda dan
Surotama bertambah marah dan beringas.
"Kubunuh kau, Pendekar Gila...!" Surotama
melompat ke depan. Dengan jurus 'Serimpi Kipasan
Maut' Surotama membabatkan pedangnya ke tubuh
Pendekar Gila.
Warga Desa Ngadireja yang semula merasa
takut, akhimya mendatangi tempat pertarungan
menyertai kepala desa. Mereka angsung membantu
Pendekar Gila yang dianggap telah menyelamatkan
desa mereka.
Gerombolan penjahat yang menjarah Desa
Ngadireja akhimya terjepit. Bahkan kini, Pendekar
Gila dengan cepat menggebukkan Suling Naga Sakti
ke punggung Surotama.
Bukkk!
"Akh...! Ukh...!
Tubuh Surotama menggeliat-geliat karena
punggungnya remuk terhantam Suling Naga Sakti.
Dari mulutnya muncrat darah segar. Selamanya
mulut lelaki muda itu mengerang-erang sebelum
akhirnya mati.
Melihat pimpinan mereka mati, keenam
anggota gerombolan yang masih hidup, semakin
panik. Dalam sekejap mata, mereka dapat didesak
para warga Desa Ngadireja.
"Mampuslah kalian! Hea...!"
Jrab!
Jrabs!
"Akh...!" lengkingan kematian, seketika
terdengar susul-menyusu! Dengan ganas karena
marah para warga Desa Ngadireja membantai habis
anggota gerombolan yang mengatasnamakan
Pendeka Gila sebagai pimpinan.
Ki Lampit tertatih-tatih mendekati Pendekar
Gila. Di bibirnya tersungging senyuman. Orang tua
yang sebenarnya Kepala Desa Ngadireja itu merasa
senang atas kemenangan mereka.
"Kau, Ki?" Pendekar Gila terkejut melihat Ki
Lampit yang semula tua renta kini tampak wajah
aslinya, setelah membuka kedok. Ki Lampit ternyata
seorang lelaki bertubuh tegap, berusia sekitar lima
puluh tahun. Wajahnya cukup tampan terhias
jenggot dan kumis tipis.
"Terima kasih atas pertolonganmu, Tuan
Pendekar!"
"Aku tak mengerti, siapa kau sebenarnya, Ki?"
tanya Pendekar Gila dengan mulut nyengir serta
ta¬ngan menggaruk-garuk kepala.
Ki Lampit memegang pundak Pendekar Gila,
lalu sambil melangkah lelaki setengah baya itu
menceritakan siapa dirinya. Diceritakan, mengapa
harus menyamar, karena dirinya takut kepergok
Pendekar Gila yang kabarnya menjadi pimpinan
gerombolan itu. Ki Lampit merasa tak akan mampu
menghadapi Pendekar Gila yang kesohor dengan
kesaktiannya.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi tiba-tiba tawa-
nya terhenti, ketika matanya melihat sesosok
bayangan kuning berkelebat mencurigakan. Mata
yang lain mungkin tak melihat karena suasana gelap.
"Hai, tunggu...!" teriak Pendekar Gila.
Kemudian dengan menggunakan ilmu larinya segera
mengejar sosok bayangan kuning itu. Dalam sekejap
saja Pendekar Gila telah berhasil menghadang
orang itu. "Aha, mau lari ke mana kau? Hi hi hi...!"
"Ampun, jangan bunuh saya!" ratap lelaki
muda berpakaian kuning sambil bersujud di depan
Pendekar Gila. "Saya hanya diperintah tiga warok
Ponorogo."
"Kau juga anggota mereka?" tanya Pendekar
Gila.
"Be... benar."
"Jadi kalian diperintah tiga warok Ponorogo
untuk membuat keonaran di desa ini?" tanya
Pendekar Gila tegas, walau mulutnya masih
cengengesan.
Pendekar Gila melesat cepat. Sehingga ketika
keduanya melihat ke depan lagi, pemuda yang
diikuti telah menghilang entah ke mana.
"Heh?!"
"Lho...?l"
Kastro dan Jawir tersentak kaget. Mata
keduanya terbelalak dengan mulut terlongong
bengong, kehe ranan.
"Dia hilang!" gumam Jawir.
"Mungkin dia dedemit," tukas Kastro.
"Aha, mana ada dedemit pagi-pagi begini?"
ban- tah Jawir tak percaya.
"Buktinya dia hilang," sahut Kastro sambil
mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat
itu. Namun, Pendekar Gila telah benar-benar
hilang. "Kalau dia lari, mana ada yang bisa lari
secepat angin?"
'lya, ya? Kok aneh...?!" kini Jawir mengangguk-
anggukkan kepala dengan mulut masih bengong.
"Vvah, untung dia tak jahat! Coba kalau jahat,
kita sudah dlcekik," ujar Kastro bergidik.
"Hih..., benar! Kalau dia jahat, kita pasti
dicekiknya," sahut Jawir seraya mengedarkan
pandangannya dengan rasa takut
"Ayo, kita pergi! Siapa tahu siluman itu masih
di sini," ajak Kastro.
Keduanya pun segera lari tunggang langgang,
meninggalkan perbatasan Desa Babareja.
***
Warok Gandu Pala tertawa terkekeh-kekeh,
merasa senang setelah mendengar ketiga warok tua
yang juga sesepuh di Desa Ponorogo itu akhirnya
dapat juga diadu domba.
Semua anak buahnya mengerutkan kening, tak
mengerti mengapa Warok Gandu Pala tertawa-
tawa. Padahal banyak anak buahnya yang mati di
tangan Pendekar Gila. Nampaknya para pengikutnya
tidak memahami jalan pikiran yang telah
direncanakan sang Ketua.
"Nanti malam, kita kembali mengadakan
gerakan. Bunuh kedua calon lurah yang masih ada!"
perintah Warok Gandu Pala sambil tertawa
terbahak-bahak. "Kalau mereka sudah lenyap
semua, bukankah aku yang akan menduduki kursi
kepala desa?"
Semua anak buahnya yang tersisa Ema belas o-
rang itu tertawa mengikuti pimpinannya yang juga
tertawa terbahak-bahak
"Benar, Ketua! Kalau Ketua menjadi Kepala
Desa Ponorogo, kita akan enak...," ujar Sumogiri,
"Bukan begitu teman-teman?"
"Benar!" sahut keempat belas rekannya,
termasuk Sekati yang juga berada di tempat itu.
Gadis itu nampak lebih banyak diam, semenjak
hamil. Hal itu mungkin karena hatinya merasa
berdosa, telah membohongi sang Ayah. Juga
terhadap Pendekar Gila yang telah difitnahnya.
Hati nurani Sekati mulai tergugah. Batinnya
yang semula tertutup, kini terbuka. Dirinya merasa,
semua tindakannya selama ini suatu perbuatan yang
salah. Begitu berani menentang sang Ayah. Juga
Paman Warok Sura Pati dan Warok Sito Kuta.
"O, mengapa aku seperti ini? Mengapa harus
menuruti setiap ucapan Paman Warok Gandu Pala?"
keluh Sekati dalam hati, merasakan kesalahannya
selama ini. Kini dirinya bagaikan baru terbuka mata
hatinya yang selama ini tertutup kabut gelap.
Selama ini, Sekati terpengaruh janji-janji muluk dan
rayuan gombal Warok Gandu Pala. Sampai akhimya,
peristiwa itu terjadi. Ketika semua anak buah
tengah menjalankan perintah tinggallah mereka
berdua. Warok Gandu Pala menggagahinya.
Mulanya Sekati berusaha melawan, tetapi ketika
matanya beradu dengan mata Warok Gandu Pala,
tiba-tiba hatinya luluh. Dibiarkan tubuhnya digeluti
orang yang mengaku sebagai pamannya sendiri.
Semenjak itu, Warok Gandu Pala selalu
berusaha mendapatkan kepuasan dari Sekati. Dan
anehnya, gadis itu bagaikan tak mampu melawan.
Sekati pasrah, membiarkan kehormatannya
direnggut. Membiarkan tubuhnya dijadikan
pelampiasan nafsu lelaki yang dianggap sebagai
paman sendiri, karena sesama warok seperti
ayahnya.
Sampai akhirnya, Sekati hamil. Semula hatinya
sangat takut, lalu mengadukan kehamilannya pada
Warok Gandu Pala. Namun tanggapan Warok
Gandu Pala justru membuat hatinya sakit. Warok
Gandu Pala menyuruhnya untuk memfitnah
Pendekar Gila dan mengadukan pada ayahnya, kalau
kehamilan itu perbuatan Pendekar Gila. Bukankah
dengan begitu, ketiga warok tua bangka itu akan
memusuhi bahkan membunuh Pendekar Gila?"
"O, kasihan Pendekar Gila. Dia tak tahu apa-
apa, terlalu polos, dan tak mengerti apa yang
terijadi," keluh Sekati dalam hati. Lamunannya
terus mengalir, teringat akan Pendekar Gila yang
bertingkah laku konyol dan persis orang gila.
"Mengapa harus dia yang menjadi korban fitnah?
Tentunya ayah tak akan membiarkannya begitu saja.
Entah kenapa Sekati mau mengaku Pendekar
Gila yang melakukannya. Perlahan-lahan, bayangan
kejadian kemarin tergambar kembali dalam benak
Warok Singo Lodra.
Dirinya baru saja pulang dari kebun, ketika
langkahnya tiba-tiba terhenti saat telinganya
mendengar suara Sekati muntah-muntah. Dengan
kening mengerut, Warok Singo Lodra melangkah
mendekati anaknya yang sedang muntah di samping
rumah.
"Sekati, kenapa kau?"
Sekati tersentak kaget. Dengan mata
memandang takut, gadis itu bangun dari
jongkoknya. Lalu kakinya melangkah mundur
dengan wajah pucat karena takut.
"Anakku, kau tak perlu takut pada ayah.
Katakan, apa yang sebenarnya terjadi...?" tanya
Warok Singo Lodra dengan suara pelan, berusaha
menenangkan sang Anak.
Sekati langsung menangis. Dipeluknya erat-
erat tubuh sang Ayah. Hal itu membuat hati Warok
Singo Lodra ierenyuh da luluh. Dengan lembut,
dibelai-be- lainya rambut Sekati.
"Anakku, ceritakanlah apa yang telah terjadi!"
pinta Warok Singo Lodra dengan tangan masih
membelai-belai rambut anaknya.
Perlahan-lahan Sekati mendongak. Ditatapnya
dalam-dalam wajah sang Ayah. Tangisnya masih
berderai, bahkan semakin sesenggukan. Hati Warok
Singo Lodra pun luluh-lantak dan merasa kasihan.
Dibimbingnya sang Anak masuk ke rumah.
Kemudian diajaknya duduk.
"Ceritakanlah, Anakku!"
"Apakah Ayah tak akan marah?" tanya Sekati
takut.
Warok Singo Lodra berusaha tersenyum.
Digeleng-gelengkan kepalanya, berusaha meyakinkan
sang Anak agar mau menceritakan apa sebenarnya
yang terjadi.
"Sekati hamil, Ayah."
"Apa?!" bagaikan disengat kalajengking Warok
Singo Lodra terbelalak kaget. Lelaki tua itu
tersentak bangkit dari duduknya. Dengan napas
tersengal karena perasaan marah dan terkejut mata
Warok Singo Lodra menatap tajam anaknya.
Sementara Sekati hanya mampu menangis dengan
menundukkan kepala dalam-dalam.
"Siapa yang menghamilimu, Sekati? Akan
kulabrak dia!"
."Pendekar Gila, Ayah!"
"Hah?!" semakin membelalak mata Warok Singo
Lodra, mendengar jawaban anaknya. Dihelanya
napas dalam-dalam lalu dihembuskan dengan kuat.
Kedua tangannya mengepal keras sambil
menggemeretakkan gigi menahan geram.
Warok Singo Lodra melangkah bimbang
dengan hati dilanda amarah. Tangan kanannya
masih mengepal. Matanya memandang tajam pada
anaknya yang masih menangis sambil menundukkan
kepala.
"Kapan hai itu terjadi?" tanya Warok Singo
Lodra.
"Tiga bulan yang lalu, Ayah," jawab Sekati
dengan masih menangis sambil menundukkan
kepala.
"Kurang ajar! Pendekar Gila keparat!" maki
Warok Singo Lodra geram. Napas tuanya kian
memburu, bagaikan harimau marah. Matanya
semakin memerah karena marah, "Sekati, kau tidak
berbohong?!"
"Sungguh, Ayah. Sekati rela mati, jika
berdusta," jawab gadis cantik berbaju kuning muda
itu sambil terisak-isak.
"Pendekar Gila, telah cukup aku menahan
amarah. Ternyata kau menggunakan nama besarmu
untuk perbuatan terkutuk! Tak akan kubiarkan kau
mempermainkan anakku seakan mengharapkan
kesaksian langit biru pada janji dan tekadnya.
Ketiga warok lainnya terdiam mendengar
ucapan Warok Singo Lodra. Bagaimanapun ilmu
mereka masih di bawah Warok Singo Lodra. Mereka
juga menganggap kalau pimpinan para warok itu
yang harus dituakan karena memang dirinya orang
pertama dan paling tua di kalangan warok
Ponorogo.
"Kini tak ada persoalan lagi. Kita harus
menguburkan mayat-mayat itu!" ujar Warok Singo
Lodra. "Kita sebagai orang-orang tua dan dihormati
yang menjadi panutan harus memberi contoh baik.
Ayo bantu warga!"
Tanpa membantah, ketiga warok lain segera
mengikuti Warok Singo Lodra mengurusi mayat-
mayat di rumah Ki Renda Peksa.
6
Semenjak kelahiran putra Senapati Kandanu,
Desa Pakis bertambah ramai. Prajurit kerajaan
bergantian menjaga desa itu, apalagi kini Prabu
Galih Waskita sendiri yang memerintahkan
penjagaan terhadap Desa Pakis. Prabu Galih
Waskita telah tahu kalau Ki Angkara mendendam
pada panglima utama kerajaan, karena cintanya
yang gagal untuk mendapatkan Murti Dewi. Siapa
tahu setelah anak Senapati Kandanu lahir, Ki
Angkara akan membuat kerusuhan lagi. Atau
menculik bayi itu. ltulah yang dikhawatirkan pihak
kerajaan.
Malam menyelimuti Desa Pakis,
menghamparkan kegelapan yang sepi. Rumah-rumah
penduduk sudah tertutup rapat, hanya di rumah Ki
Lurah Padri yang masih ramai Masih banyak orang
serta beberapa prajurit yang sedang berjaga-jaga.
Malam terus merangkak dengan kegelapan
serta kesepian yang menyelimutinya. Angin yang
berhembus pelan, meniup dedaunan, menimbulkan
suara gemerisik, Hal itu membuat suasana malam
bertambah mencekam.
Malam telah agak larut, ketika dari arah
selatan Desa Pakis nampak berkelebat sesosok
bayangan merah menuju rumah keluarga Ki Lurah
Padri. Bayangan merah itu terus melesat dengan
cepat, lalu menyelinap di balik pepohonan, ketika
nampak dua orang prajurit tengah memeriksa ke
sekeliling rumah Ki Lurah Padri diikuti dua orang
jawara kepala desa itu.
Hmm, semakin banyak juga prajurit kerajaan,"
gumam bayangan merah yang ternyata Ki Angkara.
Matanya mengawasi dua orang prajurit yang masih
berjalan, memeriksa sekeliling. "Aku harus
membungkam mereka."
Empat orang itu terus melangkah, memeriksa
sekelilingnya. Mata mereka dipasang terus dengan
kewaspadaan, seakan tak ingin kecolongan.
"Ini yang terakhir," desis Ki Angkara perlahan.
Kemudian dengan ringan tubuhnya bergerak,
mencengkeram prajurit yang melangkah paling
depan.
"Hop!"
Trep!
"Hih!"
Prajurit itu berusaha meronta, tetapi dengan
cepat KI Angkara telah mendahului membungkam
mulutnya dengan tiga totokan.
Tuk! Tuk! Tuk!
Seketika prajurit itu terkulai. Ki Angkara
segera menyeret ke semak-semak. Kemudian
kembali melesat cepat, memburu ketiga orang yang
masih melangkah.
Srt!
"Hai! Siapa itu?!"
Rupanya salah seorang dari mereka melihat
bayangan Ki Angkara berkelebat, sehingga
berteriak membentak. Hal itu membuat kedua
temannya langsung menghentikan langkah. Mereka
langsung mengawasi pepohonan yang tumbuh di
sekitar tempat itu.
"Ada apa, Kapin?"
"Kulihat ada orang mengikuti kita," sahut
lelaki yang disusul dengan jerit kematian.
"Heaaa!"
Crab!
"Akh...!"
"Lancang sekali kau, Ki Angkara!" bentak Ki
Purba sengit seraya merentangkan tangannya, meng-
halangl langkah Ki Angkara yang hendak masuk.
Na¬mun, lelaki tua berjubah merah itu tak peduli.
Malah dengan enaknya, ditepiskannya tangan Ki
Purba.
"Minggir! Jangan halangi aku!"
Hal itu tentu membuat Ki Lurah Padri dan Ki
Purba marah. "Kurang ajar! Lancang sekali kau,
Angkara! Hih.. !"
Lurah Padri bergerak cepat, tangannya
mendorong dada Ki Angkara disertai tenaga dalam
yang cukup kuat, sehingga menyebabkan lelaki tua
berjubah merah itu tersentak Cepat-cepat dia
mundur, mengelakkan dorongan itu.
Wsss!
"Ukh! Hebat juga tenaga dalammu, Ki," ejek
Ki Angkara sambil mengelak.
Ki Lurah Padri agak terhuyung ke depan.
Beruntung dengan cepat lelaki tua berbaju coklat
itu segera mampu menguasai diri. Sehingga luput
dari jatuh.
"Kurang ajar! Kau benar-benar iblis. Pergi dari
sini, sebelum kupanggilkan para prajurit!" bentak Ki
Lurah Padri sengit
"Panggil prajurit yang sudah pada mampus!"
ejek Ki Angkara, yang seketika membuat kedua
orang tua itu bertambah marah.
Sementara orang-orang yang di dalam kini
keluar, setelah mendengar suara ribut-ribut.
Melihat Ki Angkara ada di tempat itu, lima warga
desa yang masih berada di rumah Ki Lurah Padri
seketika berhamburan menyerang Ki Angkara.
"Tangkap iblis itu...!" perintah Ki Purba seraya
merangsek turut menyerang dengan sengit.
"Jangan biarkan lolos! Jika kalian bisa
menangkap nya, maka kalian akan mendapatkan
pahala dari baginda raja!" seru Ki Lurah Padri
memberi semangat pada kelima warga desanya yang
serentak mencabut golok dan menyerang Iblis
Berkedok Dewa itu.
"He he he...! Bagus! Sebelum baginda raja
kalian memberi hadiah pada kalian, maka aku lebih
dahulu memberikan. Heaaa...!"
Dengan jurus 'Iblis Merenda Api' Ki Angkara
berlelebat menyerang lima warga desa yang dibantu
Ki Lurah Padri dan Ki Purba.
"Heaaa...!"
"Jangan beri dia kesempatan!" teriak Ki Purba
mengingatkan pada kelima warga, sedangkan dirinya
langsung menyerang Ki Angkara dengan jurus
'Belahan Jagat'. Sebuah jurus yang cukup
berbahaya bagi lawan. Tangan Ki Purba bergerak
bagaikan hendak membelah dada Ki Angkara.
Sesekali disertai dengan hentakan-hentakan
pukulan dan tendangan.
"Heaaa!"
"Hih! Ini untukmu...!" Dengus Ki Angkara
sambil menghantamkan tangan kanannya ke arah
lima warga desa yang menyerang, setelah
merundukkan tubuh incngelakkan babatan golok
lawan.
Wrt!
Plak!
"Wuaaa...!"
Salah seorang warga desa itu menjerit,
terkena hantaman tangan Ki Angkara. Tubuhnya
terpental ke belakang, lalu ambruk dalam keadaan
telah tewas.
"Bedebah! Kubunuh kau, Iblis!" dengus Ki
Lurah Padri marah
Ki Lurah Padri dan Ki Angkara kini sama-
sama melenting ke atas. Dalam keadaan tubuh
melayang di udara, keduanya saling melancarkan
pukulan dengan jurus andalan masing-masing. Ki
Lurah Padri dengan jurus 'Bayu Menyibak Mega',
sedangkan Ki Angkara tetap dengan jurus 'Seribu
Tangan Iblis'.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Keduanya mengawali serangan dahsyat dengan
teriakan keras membahana, memecahkan kesunyian
malam.
Prat!
Glarrr...!
"Aaakh...!"
Ki Lurah Padri menjerit keras. Darah
muncrat dari mulutnya. Lalu tubuhnya terlontar
deras ke belakang tak ada keseimbangan, hingga
akhimya terbanting di atap rumahnya sampai jebol.
Brak!
"Ayah...!" jerit Murti Dewi, ketika melihat
tubuh ayahnya jatuh di rumah dalam keadaan
mengenaskan. Wanita cantik yang baru saja
melahirkan itu langsung menubruk tubuh ayahnya,
menangisi kematian sang Ayah.
Nyi Nipah yang mendengar tangisan Murti
Dewi segera masuk.
"Kakang...!"
Nyi Nipah pun mendekat, lalu menangisi
kematian Ki Lurah Padri yang mengerikan. Kepala
lelaki setengah baya itu pecah dengan dada hancur!
***
Sementara itu di luar pertarungan masih
betjalan dengan seru, walaupun kini Ki Angkara
lebih menguasai jalannya pertarungan. Hal itu
karena Ki Purba dalam keadaan luka parah. Namun
sesepuh Desa Pakis itu benar-benar tahan. Dengan
sisa-sisa tenaganya dia terus bergerak menyerang.
"Kau pun harus mati, Purba! Hiaaa...!" tangan
Ki Angkara bergerak, menghantam ke dada Ki
Purba.
Ki Purba berusaha menghindar, tetapi luka
dalamnya menyebabkan gerakannya lambat
Sehingga....
Jret!
Degk!
"Aaakh...!"
Ki Purba terpekik keras seraya memuntahkan
darah segar dari mulutnya. Sebuah pukulan keras
ber- hasil menghantam dadanya. Tubuhnya
terpental deras ke belakang, lalu terbanting ke
tanah dalam keadaan tak bernyawa lagi.
"He he he...! Kini tak ada lagi penghalang
bagiku untuk memiliki Murti Dewi," gumam Ki
Angkara sambil melangkah mendekat ke pintu
rumah, melangkahi majat-mayat bergelimpangan
mengerikan.
"Lelaki busuk! Keparat! Kau bunuh ayahku!
Kau bunuh pamanku!" maki Murti Dewi, ketika
melihat Iblis Berkedok Dewa mendekat ke rumah.
"He he he...!" Ki Angkara terkekeh. Matanya
menatap penuh nafsu pada Murti Dewi. Terlebih,
setelah melahirkan wajah putri Ki Lurah Padri itu
tampak cantik. Hal itu menambah nafsu Ki
Angkara. "He he he.... Kau semakin menggairahkan
saja, Manis!"
"Cuih! Kubunuh kau!" dengus Murti Dewi
sambil melesat melakukan serangan dengan sebilah
pisau. Namun, dengan cepat Ki Angkara
menangkap tangan menyerang Murti Dewi.
Aku tak layak bagimu, Kakang," rintih Murti
Dewi sambil berusaha bangkit, lalu melangkah
meninggalkan tempat tidur. Kakinya terus
melangkah ke belakang, menuju dapur. Diambilnya
sebilah pisau, lalu menangis lagi.
Murti Dewi terus menangis. Dia merasa harga
dirinya tak ada lagi di mata Senapati Kandanu,
suaminya. Ditatapnya pisau tajam di genggaman
tangannya.
"Kakang Kandanu, maafkan aku. Sungguh,
aku tak kuasa melawannya. Selamat tinggal,
Kakang...!"
Pisau dapur itu kini diangkatnya tlnggi-tinggi.
Kemudian dengan sekuat tenaga, dihunjamkan ke
dadanya....
"Murti, jangan...!" Nyi Nipah yang sudah
siuman, dengan tertatih-tatih berusaha mencegah
tindakan Murti Dewi. Namun pisau itu begitu
cepat. Sehingga....
Crab!
"Aaakh...! Nyi...!"
Murti Dewi mengerang panjang, ketika pisau
di tangannya telah menusuk dadanya.
"Murti...!"
Nyi Nipah menjerit keras, lalu memeluk tubuh
Murti Dewi yang limbung ke samping. Wanita tua
itu menangis sesenggukan, mendekap tubuh Murti
Dewi yang sekarat.
"Nyi..., katakana pada Kakang Kandanu.
Dia..., dia telah memperkosaku. Selamat tinggal,
Nyi.... Akh...!"
"Murti! Tidaaak...!" Nyi Nipah terus menjerit-
jerit.
"Malam itu, para tetangga yang semula tak
berani mendekat, berdatangan ke rumah Ki Lurah
Padri. Mereka pun tiba-tiba merasa marah dan
kasihan melihat mayat-mayat yang bergelimpangan.
"Cari iblis itu! Kita harus berani
menghadapinya!" perintah salah seorang warga desa
dengan geram setelah mendengar cerita Nyi Nipah.
"Hubungi Kanjeng Senapati Kandanu!"
perintah yang lain.
Malam itu semua sibuk. Ada yang mencari Ki
Angkara, ada yang menolong Nyi Nipah, dan
mengurusi para korban yang tewas. Sementara
beberapa orang berangkat ke Kerajaan Mandra
Kulawa untuk menga- barkan pada Senapati
Kandanu.
Senapati Kandanu benar-benar terguncang
jiwanya, setelah melihat keadaan mayat istrinya.
Murti Dewi mati bunuh diri setelah diperkosa Ki
Angkara, sedangkan bayinya kini hilang entah ke
mana. Menurut Nyi Nipah, bayinya dibawa kabur Ki
Angkara.
"Ki Angkara keparat! Belum tenang batinku
sebelum mencungkil kedua mata dan mencabut
jantungnya...!" teriak Senapati Kandanu bersumpah.
Dengan membawa kemarahan dan dendam
kesumat pada Ki Angkara, si Macan Kaligis itu
menggebah kudanya. Dia benar-benar bertekad
mencari Iblis Berkedok Dewa yang telah
menghancurkan kehidupan rumah tangganya.
"Hea! Heaaa...!"
Senapati Kandanu terus menggebah kudanya
dengan cepat, melesat ke selatan menuju Gunung
Paparan. Kini dia telah sampai di perbatasan Desa
Babareja.
Matahari merangkak semakin tinggi. Kedai
yang berada di sebelah barat Desa Babareja siang
itu nampak tamai dikunjungi orang. Di depan kedai,
seekor kuda putih besar dan kekar tertambat di
bawah pohon mangga besar. Kuda itu tengah
merumput, Sedangkan pemiliknya, yang tak lain
Senapati Kandanu berada di dalam kedai
Saat itu, si Macan Kaligis tengah kalut
setelah kematian istrinya dan sang Bayi yang hilang
entah ke mana. Senapati Kerajaan Mandra Kulawa
itu tampak tengah menenggak arak, seakan-akan
berusaha menenangkan pikirannya. Sudah tiga guci
arak diminumnya, tapi kekalutan pikiran bukan kian
berkurang, bahkan terasa semakin membuatnya
pusing tak karuan.
Brak!
Macan Kaligis menggebrak meja di depannya.
Seketika meja kayu itu terpecah jadi dua. Tiga guci
arak terjatuh dan pecah, berhamburan di lantai.
Orang-orang yang tengah menikmati santapan di
kedai itu tersentak kaget. Namun, mereka langsung
diam. Tak satu pun yang berani berucap kata,
ketika mengetahui orang itu senapati yang paling
dihormati di Kerajaan Mandra Kulawa.
"Siapa di antara kalian yang tahu
persembunyian Ki Angkara?!" tanya Senapati
Kandanu dengan mata merah, menatap tajam pada
semua orang dalam kedai.
Semua terdiam, tak satu pun yang berani
membuka mulut Hal itu membuat Senapati
Kandanu semakin marah. Tangannya kembali
menggebrak meja yang ada di sampingnya.
"Jawab...!"
Brak!
Pukulan keras yang kedua menghancurkan
meja kayu jati itu. Mata Macan Kaligis yang merah
menatap semua yang ada di kedai itu.
"Siapa yang berani mencari Ki Angkara, keluar
lah!"
Dari luar terdengar suara lantang seseorang.
Mendengar seruan itu, semua pengunjung kedai
berhamburan ke luar untuk membuktikan siapa
orang yang telah lancang dan berani menantang
mereka.
Senapati Kandanu yang melihat kudanya mati
tertusuk sebilah pisau, turut keluar bersama
Pendekar Gila, untuk melihat siapa yang telah
membunuh kudanya.
***
8
Lima lelaki berwajah garang berdiri di sebelah
se latan kedai. Dua orang lelaki bertubuh besar
dengan kepala botak, Mereka sudah dikenal
Pendekar Gila, bahkan pernah bentrok di Hutan
Randu Kembar. Keduanya tidak lain Sepasang Jalak
Neraka. Satu Jalak Kuning, yang memakai kain
selempang kuning keemasan terikat di leher. Sedang
yang lain Jalak Biru, dengan kain pengikat leher
berwarna biru.
Sedang tiga lelaki lainnya, sama-sama
berambut kasar dan kotor. Wajah mereka yang
garang, ditumbuhi cambang bauk tebal. Yang
pertama tangan ki- rinya terbuat dari baja. Karena
itu, dia dikenal sebagai si Tangan Baja. Lelaki
berusia sekitar empat puluh tahun ini masih tampak
gagah, dengan pakaian lengan panjang berwarna
merah.
Orang kedua bertubuh gemuk, dengan kaki
sebelah pincang dan terbuat dari baja. Lelaki ini
terkenal dengan sebutan si Kaki Baja.
Orang ketlga, nampaknya Iain dari keduanya.
Dia tidak cacat tangan atau kaki. Namun, lehernya
bengkok ke kiri. Senjata yang digunakan si Leher
Patah ini berupa tombak bergerigi. Mereka dikenal
dengan julukan Tiga Demit Cacat.
Pisau yang menancap di leher kuda milik
Senapati Kandanu merupakan senjata si Kaki Baja.
Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pisau yang
melekat di tubuhnya, menyilang di depan dada
sampai ke bawah.
"Aha, rupanya mereka lagi! Hi hi hi...! Apa
kabar kalian, Jalak Botak?" sapa Sena dengan
tertawa ce- kikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
Jalak Kuning menoleh pada Jalak Biru, seperti
hendak mengatakan sesuatu. Begitu halnya dengan
Jalak Biru. Keduanya merasa kaget melihat pemuda
gila itu.
"Kita jangan menghadapi dia! Biar Tiga Demit
Cacat saja yang menghadapinya," bisik Jalak
Kuning.
"Ya. Percuma saja kita menghadapinya," sahut
Jalak Biru dengan berbisik pula. Kemudian
keduanya kembali mengawasi orang-orang yang
keluar dari kedai, lalu mengalihkan pandangan
mereka pada Senapati Kandanu yang menggendong
bayi.
"Kurasa senapati itu bagian kita, Jalak Biru,"
bisik Jalak Kuning.
"Ya. Lebih baik menghadapi dia, kelirnbang
menghadapi pemuda gila itu," sahut Jalak Biru, juga
dengan berbisik.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak
mendengar bisik bisik Sepasang Jalak Neraka.
Sementara para penduduk yang ikut bersama
Senapati Kandanu, tampak sudah tak sabar. Mata
mereka menatap tajam pada Sepasang Jalak Neraka
dan Tiga Demit Cacat.
"Kanjeng Senapati, biar kami ringkus mereka!"
pinta warga desa penuh semangat.
"Izinkan kami menangkap iblis-iblis itu,
Kanjeng Senapati!" sambung yang lain.
"Hm...," gumam Senapati Kandanu dengan
mata masih menatap tajam pada lima orang di
depannya.
"Siapa kalian?!"
"Itu tak penting Kanjeng Senapati. Yang jelas
kami akan menghalangi usaha kalian menangkap Ki
Angkara," sahut si Tangan Baja.
"Aha, rupanya kalian antek lintah sawah itu.
Hi Hi hi...! Kebetulan sekali. Kalau begitu kalian tak
ubahnya cecurut busukl Hi hi hi...!" sergah Sena
sambil tertawa cekikikan. Lalu tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Bocah edan, tutup mulutmu! Jangan sampai
kusobek mulutmu!" bentak si Kaki Baja dengan
mata membelalak marah, napasnya mendengus
keras.
"Hi hi hi...! Ah ah ah, seharusnya mulut kalian
yang disobek. Agar tak lancang seperti itu. Hi hi
hi...!" Sena masih menunjukkan kekonyolan.
Mulutnya di- monyongkan ke depan.
"Bocah edan! Kubunuh kau!" dengus si Leher
Patah tak kalah sengit, sambil menggerak-gerakkan
lehemya yang bengkok, sehingga nampak lucu. Hal
itu pula yang membuat Pendekar Gila semakin
memperkeras tawanya.
"Hua ha ha...! Rupanya ada juga lintah yang
kena penyakit ayan...!" ujar Sena sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Lalu menirukan gerakan seperti
orang terkena penyakit ayan. Sudah barang tentu
Tiga Demit Cacat marah melihat sikap konyol itu.
"Bocah edan! Kubunuh kau...!" dengus si Kaki
Baja.
"Hi hi hi...!" Sena masih saja bertingkah konyol.
Kakinya dijalankan pincang, meniru si Kaki Baja.
Tangannya dipengkorkan meniru si Tangan Baja,
sedangkan lehemya dibengkokkan. Sehingga keada-
annya semakin lucu dan konyol. Apalagi ditambah
dengan mulutnya yang sesekali monyong, sesekali
nyengir.
Tiga Demit Cacat semakin marah Sementara
itu, Sepasang Jalak Neraka tak dapat berbuat
banyak. Keduanya telah tahu keberadaan Pendekar
Gila. Itu sebabnya mereka lebih baik menghadapi
Senapati Kandanu dan warga desa.
"Kubunuh kau, Bocah Edan! Heaaa..!" si
Tangan Baja melesat maju, berusaha menyerang
Pendekar Gila.
Melihat lawan telah memulai, si Macan Kaligis
yang memang sudah marah, tak tinggal diam.
"Serang...!"
Warga desa yang mendengar seruan Senapati
Kandanu, seketika bergerak dengan senjata masing-
masing. Mereka tidak merasa dihantui perasaan
takut sedikit pun, terus merangsek kelima lelaki
berwajah bengis itu.
"Heaaa...!"
"Serbu...!"
"Cincang...!"
"Jangan biarkan mereka hidup...!" seru warga
desa yang penuh amarah itu sambil bergerak maju
melancarkan serangaa Dalam sekejap saja, halaman
kedai yang semula tenang, berubah menjadi ajang
per-tarungan yang sengit. Debu beterbangan, tanah
ha¬laman kedai berhamburan. Suara dentang
senjata dan pekikan-pekikan keras seakan
memecahkan suasana siang di Desa Babareja.
Pendekar Gila kini bergerak mengelit dengan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya
meliuk-liuk laksana menari, dengan sesekali
tangannya menepuk ke dada lawan.
"Heaaa...!"
"Yeaaat...!"
Si Tangan Baja yang sudah sengit pada
Pendekar Gila, terus menyerang dengan sabetan
tangannya yang terbuat dari baja. Dengan
menggunakan jurus 'Garukan Cakar Maut', si
Tangan Baja terus bergerak menyerang. Tangan
kirinya yang cacat, bergerak menggaruk dan
mencakar ke tubuh Pendekar Gila. Sedangkan
tangan kanannya memukul.
"Yeaaat!" "Hih!"
Si Tangan Baja menyambarkan cakarnya ke
wajah lawan. Tetapi dengan cepat Pendekar Gila
meliukkan tubuh ke bawah untuk mengelakkan
serangan itu. Kemudian disusul serangan dengan
sebuah tepukan ke- dada lawan. "Hih!" "Eits!"
Dengan cepat si Tangan Baja melompat ke
samping. Matanya membelalak kaget, karena tak
menyangka gerak lawan yang kelihatannya lambat
tahu- tahu mampu mengejarnya.
Pendekar Gila cengengesan, kemudian
tangannya menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah! Kenapa kau, Lintah Sawah...? Hi hi
hi...!" seru Sena sambil tertawa cekikikan Mulutnya
monyong, kemudian kakinya kembali digerakkan pin-
cang. Tangannya agak ditekuk menyerupai tangan
pengkor. Sedangkan lehernya dibengkokkan ke kiri.
Kemudian kakinya melangkah, menimbulkan tingkah
laku lucu dan konyol.
"Cuih!" si Tangan Baja meludah. Matanya me-
mandang penuh amarah kepada Pendekar Gila yang
meledeknya. "Jangan harap aku takut menghadapi-
mu, Bocah Edan!"
"Hi hi hi...! Kurasa aku tak perlu kau takuti,
Lintah Busuk! Aku manusia, bukan pemakan
lintah...!" tukas Sena sambil memonyongkan mulut
dengan tingkah konyol, seperti orang cacat kaki,
tangan, dan leher.
"Setan gila! Heaaa...!"
Si Tangan Baja kembali berkelebat menyerang
ke tubuh Pendekar Gila. Kali ini si Kaki Baja dan si
Leher Patah pun membantu. Sepertinya kedua
orang cacat lainnya lebih suka menyerang Pendekar
Gila. Walau mereka sedang menghadapi serangan
warga desa yang-dibantu Senapati Kandanu.
"Kubantu kau, Tangan Baja!" seru si Kaki Baja
sambil menendang ke tubuh Pendekar Gila yang
dengan cepat bergerak menghindar. Kemudian
dengan cepat pula balas menyerang ke arah si Kaki
Baja.
"Hi hi hi...! Kakimu kaku sekali, Lintah Sawah!
Ah, biar kulemaskan. Hih...!"
Pendekar Gila bergerak, tangannya
menangkap kaki milik si Kaki Baja. Namun, si Leher
Patah telah menyerangnya dengan senjata tombak
cakranya.
Wrt!
"Haps!"
Pendekar Gila cepat menarik serangan ke
belakang, kemudian mengalihkan serangan pada si
Leher Patah yang tadi menyerangnya. Tubuhnya
meliuk-liuk laksana menari, menjadikan serangan
lawan selalu gagal dan melesat di samping atau di
atas tubuhnya. Lalu dengan gerakan aneh,
tangannya menepuk ke dada lawan.
"Hah...?!"
"Aits!"
Si Leher Patah tersentak kaget dengan mata
terbelalak, ketika secara tiba-tiba dan aneh
tepukan tangan Pendekar Gila hampir menjangkau
dadanya.
Si Leher Patah melompat ke belakang,
mengelak. Disusul si Tangan Baja yang ganti
menyerang dengan sabetan tangannya yang terbuat
dari baja.
"Heaaa...!" Wrt!
"Ats!"
Pendekar Gila segera menggeser kakinya ke
samping, dan meliukkan tubuhnya ke bawah. Lalu
sambil berbalik, kakinya menendang lawan yang
me¬nyerang. Disusul dengan hentakan telapak
tangan kanan ke dada lawan yang lain. Sebuah
serangan balik yang cepat dan mengejutkan.
"Heh?!"
Si Tangan Baja tersentak kaget dengan mata
melotot. Dia berusaha berkelit, tetapi karena kaget
membuatnya mati langkah. Tanpa ampun lagi,
tendangan kaki kiri Pendekar Gila menghantam di
perutnya.
Begk!
"Ukh!" tubuh si Tangan Baja terlontar ke
belakang, lalu jatuh terduduk dengan mulut
meringis kesakitan.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!"
dengus si Kaki Baja sambil menyerang dengan
tendangan-tendangan kilatnya. Kakinya yang
terbuat dari baja, bergerak menendang dengan
cepat secara beruntun. Hal itu membuat Pendekar
Gila agak kerepotan, bergerak meliuk dan melompat
ke sana kemari menghindari tendangan cepat itu.
"HihI Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Belum sempat dapat menguasai keadaan dari
serangan yang dilakukan si Kaki Baja, si Leher
Patah telah bergerak membantu dengan tusukan
tombak cakranya. Hal itu semakin membuat
Pendekar Gila harus menghadapi dua lawan
sekaligus.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak,
diserang secara bersamaan seperti itu Dia bukannya
takut, justru tingkahnya yang gila semakin menjadi-
jadi. Dengan meniru gaya ketiga orang lawannya,
Sena terus bergerak menyerang dan mengelakkan
serangan lawan.
***
Sementara itu di sisi lain, pertarungan pun
masih berjalan seru. Senapati Kandanu meski
dengan mendekap sang Bayi, masih mampu
memimpin pertarungan. Bahkan Jalak Biru dibuat
kaget, karena tak menyangka ilmu Maean Kaligis
begitu hebat. Gerakan- gerakan senapati itu masih
gesit dan lincah meskipun sambil menggendong bayi.
"Yeaaa...!"
Senapati Kandanu dengan jurus cakarnya
yang dinamakan 'Kumbang Mencakar Mendung'
bergerak menyerang Jalak Biru. Tangan kirinya
masih menggendong bayi, hanya dengan tangan
kanan dan kakinya Senapati Kandanu menyerang.
Namun julukan yang disandangnya sebagai Maean
Kaligis, benar- benar bukan julukan kosong.
Senapati muda itu bagaikan seekor harirnau yang
garang, menyerang ke sana kemari tak mau
memberikan kesempatan lawan.
"Hm, rupanya nama Macan Kaligis bukan nama
kosong," gumam Jalak Biru sambil berkelit ke
samping, mengelakkan serangan yang dilancarkan
Sena pati Kandanu. Kemudian dengan cepat, kapak
besarnya diayunkan ke tubuh lawan.
Wrt!
Melihat lawan mengayunkan kapak, Senapati
Kandanu segera bergerak mengelak ke samping.
Merundukkan tubuhnya, lalu dengan cepat lompat
ke belakang.
Jreb!
Senjata besar itu menghunjam di tanah,
menye- babkan tanah yang terkena hancur dan
berhamburan. Senapati Kandanu segera menarik
pedangnya yang sejak tadi melekat di punggung.
Sring!
"Yeaaa...!"
"Heaaat...!"
Kembali keduanya melesat, hendak melakukan
serangan lagi. Dengan pedang, Senapati Kandanu
bergerak tak kalah cepat jika dibandingkan ketika
tangan kosong. Pedangnya bergerak sangat cepat,
hingga mengeluarkan angin menderu. Pedang itu
pun bagaikan menghilang, tinggal bayangan putih
berkelebatan saja yang kelihatan.
"Heh?!"
Jalak Biru tersentak kaget dengan mata
melotot, menyaksikan serangan yang dilancarkan
Senapati Kandanu. Dia tak menyangka kalau
lawannya yang membawa bayi mampu melakukan
gerakan silat begitu sempurna dan cepat, tanpa
terganggu sedikit pun.
"Yeaaa...!"
"Ukh! Hiaaa...!"
Trang!
Dua senjata beradu, disertai lompatan
keduanya mengelitkan serangan selanjutnya.
Kemudian disertai pekikan menggelegar, keduanya
kembali bergerak.
Senapati Kandanu memutar pedangnya
dengan cepat, lalu bergerak menusuk dan
membabat. Sedang kan Jalak Biru kini tak mau
diam. Lelaki gagah itu bergerak menyerang dengan
kapak besarnya, membabat dan mengayun ke tubuh
lawan.
'Yeaaa...!"
"Heaaa t...!"
Trang!
"Ukh!"
Jalak Biru terpekik pelan, ketika tangannya
terasa kesemutan setelah senjatanya beradu
dengan pedang Senapati Kandanu. Meski tubuhnya
lebih besar daripada Senapati Kandanu, tetapi
ternyata tenaga dalamnya berada setingkat di
bawah Senapati Kandanu. Hal itu dirasakannya,
setelah saling beradu kekuatan dalam benturan.
Mata Jalak Biru membelalak, hampir tak
percaya dengan apa yang terjadi.
Senapati Kandanu mendengus sengit, kembali
memutar pedangnya dengan jurus pamungkas
'Rayuan Angin Gunung'. Pedang di tangannya
bagaikan mengalun, laksana angin yang tertiup ke
pegunungan, lalu turun dengan desingan yang
menggiris hati.
Jalak Biru tersentak. Hatinya merasa tergetar
melihat jurus yang kini dilakukan si Maean Kaligis.
Sungguh tak menyangka kalau Senapati Kandanu
telah menguasai jurus yang hebat itu. Perpaduan
antara jurus angin bergerak dengan langkah
harimau.
"Hm, rupanya dia memang bukan sembarangan
senapati!" gumam Jalak Biru dalam hati, dengan
mata menatap tak berkedip pada lawannya yang
bergerak dalam jurus 'Rayuan Angin Gunung'nya.
"Bersiaplah, Jalak Biru!" dengus Senapati
Kandanu.
"Aku telah siap!" sahut Jalak Biru.
"Bagus! Yeaaa...!"
"Heaaa...!"
Keduanya kembali bergerak, melakukan
serangan.
Bayi yang berada di gendongan Senapati
Kandanu seakan mengerti kalau ayahnya sedang
bertarung. Bayi itu tak menangis, malah tersenyum.
Seakan-akan ingin memberi semangat pada ayahnya
untuk menumpas lawan. Hal itu juga yang membuat
Senapati Kandanu semakin bersemangat. Dia
bergerak laksana seekor harimau marah, disertai
dengan babatan pedangnya yang semakin cepat.
"Yeaaa...!"
Wut! Wut!
Pedang di tangan Senapati Kandanu terus
berputar cepat, kemudian dilanjutkan dengan
tusukan dan babatan.
Melihat serangan lawan yang sangat cepat,
Jalak Biru segera mengubah jurusnya. Dengan jurus
'Jalak Merentang Sayap Mematuk' dia melesat
cepat. Kapak besar di tangannya diangkat tinggi-
tinggi, siap untuk membelah tubuh lawannya.
"Yeaaa...!" Wrt!
Trang!
Benturan dua senjata terjadi, tapi serangan
tetap berlangsung terus.
Trak!
Wrt!
"Ih! Celaka...!" pekik Jalak Biru, ketika
senjatanya terpenggal pedang Senapati Kandanu.
Senapati Kandanu semakin buas, menyaksikan
lawan sudah tak bersenjata lagi. Pedang di
tangannya terus memburu, membabat, dan menusuk
dengan cepat. Hal itu membuat Jalak Biru semakin
kewalahan. Dia hanya mampu mengelak dan
melompat ke sana kemari.
"Heaaa...!"
Wrt!
Bret!
"Aaakh...!" Jalak Biru menjerit panjang, ketika
perutnya yang gendut terbabat pedang Senapati
Kandanu. Darah muncrat keluar, tubuh Jalak biru
terhuyung ke belakang dengan mata membelalak.
"Kau...?! Akh...!"
Tubuh Jalak Biru akhirnya ambruk lalu tewas.
Darah bersimbah, keluar dari perutnya yang luka
lebar.
***
Sementara itu, warga desa yang menghadapi
Jalak Kuning kini semakin berkurang jumlahnya.
Warga yang semula ada dua puluh lima orang, kini
tinggal sepuluh. Mayat-mayat warga desa telah
bergelimpangan, menemui ajal tersambar kapak
besar di tangan Jalak Kuning.
Jalak Kuning yang semakin bertambah
beringas terus menyerang. Kapak besarnya terus
terayun dan membelah tubuh lawan.
"Heaaa...!"
Crak!
"Aaa...!"
Kembali terdengar jeritan kematian dari
warga desa yang tersambar kapak besar Jalak
Kuning. Darah semakin membanjiri tempat
pertarungan. Namun, warga desa bagaikan tak
takut sedikit pun. Mereka terus bergerak
menyerang, seakan telah siap untuk mati.
"Serang terus...!"
Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara
perintah. Diikuti suara derap kaki kuda dan derap
lari orang menuju ke tempat itu Seketika mereka
memandang ke asal suara itu. Nampak prajurit
kerajaan yang dipimpin Senapati Braja datang.
Mereka dalam jumlah yang cukup besar.
Tergetar hati keempat orang lawan, melihat
prajurit-prajurit Kerajaan Mandra Kulawa
berdatangan. Mereka hendak lari, tapi dari arah
selatan terdengar suara perintah untuk menyerang.
"Jangan takut! Kami datang...!" teriak
seseorang yang tiada lain Adipati Branjang
memerintah pada keempatnya agar tidak lari.
Nampaknya Adipati Branjang yang sudah
terpengaruh Ki Angkara, kembali bermaksud
melakukan pemberontakan.
"Serang...!"
"Hadang mereka...!" teriak Senapati Braja.
Tak terelakkan lagi, pertarungan sengit antara
dua kekuatan besar itu pun terjadi. Kini halaman
kedai dan sekelilingnya semakin riuh. Suara gaduh
pertarungan dua prajurit yang berusaha saling
bantai satu sama lain.
Pendekar Gila yang melihat akan terjadi
banyak korban, segera mempercepat serangannya
pada tiap lawan. Dengan menggunakan jurus 'Si Gila
Terbang Mencengkeram Mangsa' Pendekar Gila
kini melabrak tiga orang law&nnya.
"Heaaa...!"
"Eits! Heaaa...!"
Pertarungan semakin seru, karena Tiga Demit
Cacat merasa diberi semangat dengan kehadiran
prajurit Kadipaten Branjang. Ketiganya tak kalah
cepat, menyerang ke arah Pendekar Gila.
Wrt!
Si Tangan Baja menyerang dengan
menghantamkan tangan bajanya ke tubuh Sena.
Namun, dengan cepat Pendekar Gila berkelit ke
samping, lalu melesat ke atas laksana terbang,
kemudian kembali menukik dengan kedua kaki
langsung menginjak pundak si Tangan Baja.
Trep!
"Hi hi hi..! Enak sekafi berdiri di pundakmu,
Lintah Sawah!" kata Sena sambil menari-nari di atas
pundak si Tangan Baja yang terus berusaha
menyerang ke atas. Namun, dengan enaknya
Pendekar Gila menangkis dan memukul
"Heaaa...!"
Trep!
"Hih!
Pertarungan keduanya terus terjadi. Setiap
kali si Tangan Baja menyerang, dengan cepat
Pendekar Gila menangkap dan menangkisnya.
Melihat temannya dalam kesulitan, si Kaki
Baja dan si Leher Patah menggeram marah.
Kemudian keduanya melesat menyerang Pendekar
Gila.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Si Kaki Baja dengan tendangannya yang
secepat kilat, sedangkan si Leher Patah menyerang
dengan tombak cakranya.
"Hua ha ha...!" Pendekar Gila tertawa
terbahak- bahak sambil menggaruk-garuk kepala,
kemudian menari-nari, membuat kedua
penyerangnya semakin geram. Namun, ketika
keduanya semakin dekat, dengan cepat tubuhnya
melenting ke atas. Sehingga....
Degk!
Crak!
"Aaakh...!"
Si Tangan Baja terpekik keras ketika kepala
dan dadanya terkena serangan kedua temannya.
Kepalanya tertusuk tombak cakra di tangan si
Leher Patah. Sedangkan dadanya terkena
tendangan si Kaki Baja. Dari mulut si Tangan Baja,
muncrat darah segar. Matanya mendelik.
"Kalian...?! Ukh!"
"Heh?!"
"Hah?!"
Kedua temannya terbelalak kaget,
menyaksikan si Tangan Baja sekarat. Keduanya tak
menyangka, kalau serangan mereka mengenai
temannya. Sedangkan Pendekar Gila kini tertawa
terbahak-bahak di atas po¬hon.
"Hua ha ha...! Kenapa kalian membunuh
teman? All ah ah, jahat sekali kalian...!" seru Sena
sambil memonyongkan mulut, mengejek si Kaki Baja
dan si I rlier Patah yang semakin beringas.
"Bocah edan! Turun kau...!" seru si Leher
Patah sengit.
"Aha, naiklah kalau mau!" jawab Sena dengan
tertawawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk
kepala.
"Kurang ajar. Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Si Kaki Baja dan si Leher Patah melesat
menyerang dari dua arah ke atas. Tubuh mereka
melesat, kemudian menghantam Pendekar Gila
bersamaan. Saat itu pula, ketika jarak mereka
semakin dekat, Pendekar Gila meneelat ke atas dan
turun. Maka....
"Heaaa...!"
Brak!
Glarrr!
"Aaa...!"
"Wuaaa...!"
Si Kaki Baja dan si Leher Patah menjerit
keras. Tubuhnya keduanya terlontar ke belakang
dengan mulut memuncratkan darah akibat serangan
mereka sendiri. Wajah si Kaki Baja morat-marit
terkena sabetan senjata si Leher Patah. Sedangkan
si Leher Patah dadanya jebol, terkena tendangan si
Kaki Baja. Keduanya ambruk ke tanah dengan
keadaan sekarat, lalu diam tak berkutik. Mati!
Melihat teman-temannya tewas, Jalak Kuning
dan para prajurit Kadipaten Branjang hendak
kabur. Tetapi Pendekar Gila dengan cepa
menangkap salah seorang prajurit Kadipaten
Branjang.
"Aha, katakan di mana Ki Angkara berada?!"
bentak Sena dengan geram.
"Ampun, jangan bunuh aku!" ratap prajuri
Kadi¬paten Branjang itu dengar wajah pucat.
"Cepat katakan! Di mana Ki Angkara
bersembunyi!" bentak Senapati Kandanu sambil
menempelkan pedangnya di leher prajurit itu.
"Ba..., baik. Akan aku katakan. Tetapi
ampunilah aku,” ratap prajurit itu.
Baik. Ayo katakan!" dengus Senapati Braja tak
sabar.
"Dia...."
Belum juga prajurit itu selesai berbicara, tiba-
tiba brhuapa buah senjata rahasia menderu dan
menghunjam di dadanya. "Akh...!"
"Kurang ajar. Lintah darat keparat ! Jangan
lari...!" seru Sena yang melihat bayangan merah
berkelebat.
Kita ikuti!" ajak Senapati Kandanu.
Para prajurit Kerajaan Mandra Kulawa pun
segera bergerak untuk mengikuti Pendekar Gila
yang melesat mengejar Ki Angkara.
Suasana di depan kedai kembali sepi. Hanya
mayat-mayat bergelimpangan tampak berlumuran
darah lalam keadaan mengenaskan.
Matahari telah condong ke arah barat,
dengan membawa semilirnya angin sore.
***
Sesosok bayangan melesat tepat ketika kaki
Iblis Berkedok Dewa hendak menglnjak bayi itu.
Wusss...!
Crap!
"Kurang ajar! Siapa yang berani mengambil bayi
itu?!" dengus Ki Angkara, ketika bayi merah yang
hendak diinjaknya telah lenyap, bersamaan
berkelebatnya sesosok bayangan yang melesat
begjtu cepat
"Hua ha ha...! Rupanya kau benar-benar lintah
keparat! Terhadap bayi saja, kau masih tega!" seru
Pendekar Gila yang telah bertengger pada cabang
sebuah pohon sangat besar sambil menggendong
bayi itu. "Cup, Sayang. Diam...! Tenang, akan
kujinakkan lintah keparat itu."
"Cuih! Jangan banyak bicara kau, Bocah
Edan! Heaaa...!" Iblis Berkedok Dewa langsung
menghantamkan sebuah pukulan jarak jauh yang
bernama 'Gandra Iblis', terarah ke tubuh Pendekar
Gila yang bertengger di atas cabang pohon.
Slats!
Selark sinar merah kekuningan melesat cepat
memburu Pendekar Gila. Melihat serangan dahsyat
itu, Sena segera melompat dari cabang pohon
tempatnya bertengger
Glarrr!
Brak!
Sebuah ledakan menggelegar, diiringi
hancurnya cabang pohon besar itu, terhantam sinar
merah dari tangan Iblis Berkedok Dewa. Sementara
Pendekar Gila telah bertengger di atas sebuah batu
besar.
"Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak
sambil memonyongkan mulutnya. "Aha, hebat juga
kau, Lintah Sawah! Hi hi hi...!"
"Setan gila, kubunuh kau! Heaaa...!"
Ki Angkara kembali melontarkan pukulan
jarak jauh menyerang Pendekar Gila. Serangkum
sinar biru berkilauan melesat begitu cepat. Itulah
pukulan 'Kelabang Maut Seribu', yang mengandung
racun ganas.
"Aha, rupanya kau mengajak main-main, Ki. Ba
ik...! Hi hi hi...!" ujar Pendekar Gila seraya
menghentakkan telapak tangan kanan, setelah
menariknya ke belakang terlebih dahulu. Dan...
Wusss...!
Dari telapak tangan Pendekar Gila, keluar
serangkum angin kencang yang melesat begitu
cepat. Angin itu bergulung-gulung bagaikan badai,
hingga menerbangkan dedaunan. Bahkan beberapa
batang pohon besar tumbang, terhempas pukulan
'lnti Bayu' itu. Angin membadai itu terus melesat
dan bergulung-gulung menangkis sinar biru.
Werrrs...!
Brats!
"Hah?!"
Iblis Berkedok Dewa tersentak kaget, ketika
sinar biru yang terhantam pukulan 'lnti Bayu'
berbalik melesat ke tubuhnya. Dengan cepat lelaki
tua berjubah merah itu melesat, lalu lenyap di
antara pepohonan Hutan Welir.
Slats!
Glarrr...!
Brak!
Suara menggelegar terdengar, lalu beberapa
batang pohon besar bertumbangan. Sekejap pohon
itu mengepulkan asap, bagaikan terbakar.
Kemudian kering kerontang menghitam. Sungguh
dahsyat pukulan yang dilontarkan Ki Angkara, itu
sebabnya dirinya lebih mengutamakan keselamatan
bayi dalam gendongannya.
9
Cahaya bulan purnama menerangi sekitar
Lembah Tengkorak. Sebuah lembah yang tak pemah
diinjak manusia, karena dikenal angker. Menurut
cerita, Lembah Tengkorak didiami makhluk halus
yang jahat. Namun di tengah cahaya temaram
bulan, nampak se- sosok bayangan merah berkelebat
menuju lembah itu
Sosok bayangan merah yang tak lain Iblis
Berkedok Dewa itu berhenti di dekat sebuah
jurang. Entah mengapa Ki Angkara memilih Lembah
Tengkorak, dan berhenti di pinggir jurang.
Kemudian matanya menatap jauh ke utara, tempat
dia tadi berasal.
"Garpala...! Garpala...! Apakah kau mendengar
panggilanku?!" seru Ki Angkara berteriak-teriak ke
bawah jurang.
"Ha ha ha...! Aku mendengar! Ada apa,
Angkara?!" terdengar suara berat dan menggema
dari dalam jurang. Itu mungkin suara Garpala. Dari
suaranya yang terdengar begitu keras dan
menggema, jelas- dia bukan tokoh sembarangan.
"Keluarlah, Garpala! Aku membutuhkan
bantuan mu," seru Ki Angkara.
"Hm, kau mengganggu tidurku saja, Angkara.
Ada apa...?" bersamaan dengan pertanyaan itu,
sesosok tubuh tinggi besar melesat ke atas dan
berdiri di hadapan Ki Angkara. Tinggi makhluk yang
dipanggil Garpala ini dua kali lipat dibandlngkan Ki
Angkara.
Mata makhluk raksasa yang hanya
mengenakan celana cawat itu besar berwarna
merah dengan alis tebal. Mulutnya menyeringai,
dengan hiasan taring yang panjang dan runcing.
Rambutnya kotor dan berantakan. Di tangannya
yang besar dan kekar, tergenggam sebuah senjata
gada sebesar paha manusia dewasa, penuh dengan
duri-duri tajam.
"Ada apa kau memanggilku, Angkara?!" tanya
Garpala dengan napas yang terdengar keras.
"Aku butuh bantuanmu."
"Katakan, apa yang harus kulakukan."
"Pendekar Gila mengejarku."
"Hua ha ha...! Dengan bocah edan saja kau
takut, Angkara! Hm, mana bocah murid Singo Edan
itu?!" tanya Garpala.
"Mungkin sebentar lagi dia sampai, Garpala."
"Bagus! Akan kuremukkan tulang tubuhnya.
Ha ha ha...!" Garpala tertawa terbahak-bahak
membuat taringnya yang runcing mencuat ke luar.
"Hua ha ha...! Aha, ada raksasa di sini. Lucu
sekali," tiba-tiba dari arah utara terdengar suara
Pendekar Gila.
Iblis Berkedok Dewa dan Garpala seketika
tersentak kaget.
"Dia datang, Garpala."
"Huah, bagus! Bocah edan, keluar kau!" seru
Garpala menantang. "Hadapi aku!"
"Hua ha ha...! Rupanya raksasa dungu!"
Bersamaan dengan ucapan itu, sesosok
bayangan berkelebat. Tiba-tiba Pendekar Gila telah
berdiri sekitar llina tombak di depan Garpala
dengan mulut cengengesan.
"Hm, rupanya ini yang bernama Pendekar
Gila?!" dengus Garpala dengan mata melotot garang,
berwarna merah membara. Napasnya yang
mendengus besar, menyentakkan Pendekar Gila.
"Hi hi hi..! Dasar raksasa dungu! Mau saja kau
diperalat lintah sawah itu. Ah ah ah, memang kalian
sama-sama jahat!" ujar Sena yang membuat Garpala
menggeram marah.
"Kurang ajar! Kuhancurkan kepalamu, Bocah
Edan!"
Wut!
Dengan agak membungkuk, Garpala
mengayunkan gadanya ke arah Pendekar Gila.
Namun dengan cepat, Sena mencelat ke samping
mengelakkan serangan itu.
Bruk!
Tanah yang terkena hantaman gada Garpala
berhamburan. Kalau saja Pendekar Gila tidak
segera berkelit, sudah pasti tubuhnya akan remuk
terhantam gada berduri di tangan raksasa itu.
"Hi hi hi...! Dasar raksasa dungu! Aku di
sini...!" seru Sena sambil mencibir. Kemudian
pantatnya ditunggingkan, meledek Garpala. Hal itu
membuat Garpala bertambah marah.
"Ghrrr...! Kuhancurkan tubuhmu, Bocah
Edan!"
Wut!
Garpala kembali menghantamkan gadanya yang
besar ke tubuh Pendekar Gila. Namun lagi-lagi
dengan cepat Pendekar Gila melesat mengelakkan
serangan senjata besar itu. Sehingga tanah yang
dipijaknya yang menjadi sasaran.
Bruk!
"Ghrrr...! Kau benar-benar membuatku marah,
Bocah Edan!"
Tangan Garpala bergerak hendak
mencengkeram pundak Pendekar Gila. Namun
secepat kilat Pendekar Gila mencelat mengelak.
Lalu tertawa terbahak-bahak sambil
menghantamkan pukulan ke perut raksasa itu.
Bugk!
"He he he...!" Garpala terkekeh, merasa
seperti dipijit.
Pukulan yang mampu meremukkan batu
sebesar badan kerbau itu tak berarti sama sekali
bagi Garpala. Bahkan sambil tertawa terbahak-
bahak raksasa itu kembali menyerang. Tangannya
bergerak menceng-keram ke tubuh Pendekar Gila.
Sementara dari arah utara, bermunculan
Senapati Kandanu dan Senapati Braja serta para
prajuritnya ke tempat itu. Mereka langsung
membantu Pendekar Gila, menyerang Garpala.
Sedangkan si Macan Kaligis dan Senapati Braja
langsung menyerang Ki Angkara, dibantu beberapa
orang prajurit.
Lembah Tengkorak berubah riuh karena
pertarungan itu. Debu-debu dan batu kecil,
beterbangan terkena sapuan dan tendangan mereka
yang bertarung.
"Ghrrr...! Bagus! Dengan majunya kalian, maka
aku akan semakin banyak makan daging manusia!"
seru Garpala sambil bergerak menyerang para
prajurit yang membantu Pendekar Gila. Gada di
tangannya diayunkan, memukul ke arah lawan.
Wrt! Jrt!
"Tobaaat...!"
"Wuaaa...!"
Dua orang prajurit terkena hantaman gada
Garpala Tubuh mereka hancur seketika, terhunjam
duri- duri tajam di gada itu. Darah muncrat dari
tubuh yang hancur berantakan.
"Ghrrr...!"
Garpala kembali mengayunkan gadanya
menyam bar para prajurit yang menyerang. Kembali
jeritan kematian terdengar dari tiga orang prajurit.
Tubuh mereka terbanting beberapa tombak ke
belakang, terhantam pukulan gada Garpala.
"Aha, celaka kalau begini!" gumam Sena
dengan kening berkerut, menyaksikan banyaknya
korban di pihak prajurit kerajaan. "Ah, kalau begini
terus pasti akan celaka. Prajurit kerajaan tak
mampu menghadapi raksasa itu."
Pendekar Gila terus berkelebat sambil
melontar- kan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung
Karang' ke arah raksasa Garpala, yang sedang sibuk
menghadapi keroyokan para prajurit.
Duk...!
Tubuh Garpala tergontai ke belakang, terkena
hantaman Pendekar Gila. Mulutnya menyeringai,
menunjukkan taringnya yang tajam dan runcing.
Namun, tubuhnya tak mengalami luka sedikit pun.
"Celaka...! Dia kebal terhadap pukulan,"
gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
Sedangkan Garpala yang terkena pukulan 'Si Gila
Melebur Gunung Karang' kini semakin marah. Dia
langsung mengamuk membabi-buta. Gada berduri di
tangannya, menghantam para prajurit yang berada
di dekatnya.
Wrt!
Bug!
"Aaakh...!"
Jeritan kematian seketika menggema, keluar
dari mulut para prajurit yang terhantam gada
Garpala yang terus mengamuk.
Pendekar Gila, kuremukkan tubuhmu!" maki
Garpala semakin buas. Dia berusaha menyerang kea
rah Sena. Tangannya bergerak, berusaha
mencengkeram tubuh Pendekar Gila.
Wiit!
'Eits… Hih...!"
Sambil melompat, Pendekar Gila melontarkan
pukulan 'lnti Bayu'. Seketika angin kencang
menderu menyerbu tubuh Garpala. Tubuh besar
raksasa itu terdorong kuat ke belakang.
"Ghrrr...! Kubunuh kau, Bocah Edan!"
Wusss!
Garpala menghantamkan gadanya ke tubuh
Sena, tetapi dengan cepat dapat dielakkan.
Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Sakti
dari ikat pinggangnya, lalu dihantamkan untuk
memapak gada besar itu.
Bletak...!
Glarrr...!
Suara gemeretak keras terdengar dari
benturan dua senjata. Menyaksikan kejadian itu,
Garpala tersentak kaget.
"Hah?!
“Hancur...?!" gumam Garpala bengong, melihat
gadanya hancur berantakan setelah beradu dengan
suling kecil di tangan Pendekar Gila.
"Hua ha ha...! Raksasa dungu! Tolol! Pergi dari
sini, sebelum kami membuat tubuhmu menjadi sate!"
ancam Sena dengan terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Ghrrr...! Mulutmu lancang sekali, Bocah
Edan! Hmh...!"
Dengan mendengus sengit, Garpala kembali
melancarkan serangan ke arah Pendekar Gila
dengan tangan kanannya. Sedangkan tangan kirinya,
memu kul ke arah prajurit yang menyerang. Wrt!
"Eits!"
Pendekar Gila melompat dan mengelitkan
serangan, kemudian balas menyerang dengan ajian
'Inti Api' ke wajah raksasa itu. Para prajurit yang
tak dapat menghindar, terhantam sambaran tangan
Garpala. Tiga orang prajurit mati dalam keadaan
tubuh remuk, sedangkan lima orang lainnya
terpental lalu jatuh, tapi hanya pingsan.
Wusss!
Gulungan api mendera ke wajah Garpala,
membuat raksasa itu tersentak kaget. Matanya
membelalak merah, melihat gulungan api menderu
ke wajahnya. Cepat-cepat Garpala menghempaskan
napasnya, meniup gulungan api itu.
Wusss...!
Serangkum angin menderu, membuat gulungan
api itu berbalik melesat ke arah Pendekar Gila.
Beruntung Pendekar Gila cepat berkelit.
"Eits! Raksasa sialan! Ini untukmu! Heaaa...!"
Pendekar Gila segera mengarahkan kepala
Naga Sakti ke wajah Garpala Kemudian ditiupnya
dengan suara keras dan melengking.
Slats!
Sepasang sinar merah melesat keluar dari
mata kepala Naga Sakti, dan terus meluncur cepat
memburu Garpala. Raksasa itu tersentak dengan
mata membelalak lebar.
"Hah...?!"
Jret!
"Tobaaat...!" Garpala menjerit keias, ketika
matanya terkena sepasang sinar mata Naga Sakti.
Tubuhnya langsung terpental ke jurang dengan
jeritan menggelegar.
Brukkk...!
Suara keras jatuhnya tubuh Garpala, mampu
mengguncang Lembah Tengkorak. Tubuh raksasa
itu terkapar di dasar jurang dengan kepala hancur
setelah terhempas di batu cadas besar.
***
Sementara itu, pertarungan antara Ki
Angkara melawan dua senapati dibantu lima
prajurit kerajaan, masih berlangsung seru.
Nampaknya, meski dikeroyok tujuh orang, Ki
Angkara sulit untuk dikalahkan. Serangan-
serangannya malah membuat Senapati Kandanu dan
Senapati Braja terkejut
Malah kedua panglima itu dibuat kalang-kabut
dengan serangan-serangan dahsyat Iblis Berkedok
Dewa. Sebenarnya Macan Kaligis pun memiliki jurus
yang lebih tinggi tingkatannya dibandingkan dengan
jurus 'Cakar Iblis Beracun' yang tengah digunakan
lawannya. Namun 'Cakar Ib6s Beracun' yang
dilontarkan Ki Angkara mengandung racun ganas,
membuat Senapati Kandanu dan Senapati Braja tak
mampu berbuat banyak
Tubuh mereka belum sempat menghindar,
hawa racun yang menyesakkan dada telah
menyengat. Hal itu mengakibatkan keduanya
mengurungkan serangan yang hendak dilancarkan.
"Mampuslah kalian. Heaaa...!"
Ki Angkara yang melihat kedua lawannya
nampak tidak berani melakukan serangan dengan
jarak dekat, kini semakin berada di atas angin.
Tubuhnya berke¬lebat cepat, menyerang dengan
cakaran-cakaran yang mengandung racun ganas.
Wrt!
"Celaka, Kakang Kandanu! Kita tak bisa
begini terus-menerus. Dia mengeluarkan racun
ganas!" gumam Senapati Braja dengan mata
membelalak, menyaksikan serangan lawan yang
sangat membahayakan.
Senapati Kandanu bagaikan tak peduli dengan
ucapan Senapati Braja. Dan dengan nekat
pedangnya dicabut, lalu bergerak menyerang
memapaki serangan Ki Angkara.
Hawa racun yang keluar dari serangan tangan
Ki Angkara, menyentakkan Senapati Kandanu.
Namun hatinya yang telah terbakar dendam itu
bagaikan tak menghiraukan keadaan. Dengan masih
menggendong anaknya, Maean Kaligis terus
melakukan pedawanan dengan serangan cepat
"Heaaa...!"
"Celaka! Kakang Kandanu...!" Senapati Braja
berusaha menghalangi, tetapi Senapati Kandanu
telah melesat dengan pedangnya.
Pendekar Gila yang menyaksikan hai yang
membahayakan itu, dengan cepat melesat.
Tubuhnya bersalto sambil menghantamkan
pukulannya ke tubuh Ki Angkara.
"Heaaa...!" Glarrr...!
Ledakan dahsyat menggelegar terdengar,
ketika dua telapak tangan mereka saling beradu. Ki
Angkara terhuyung-huyung beberapa langkah ke
belakang dengan mata terbelalak.
"Kau...?!"
"Aku lawanmu, Ki Angkara!" dengus Sena
yang masih berdiri tegak dengan senyum
menyeringai. "Kanjeng Senapati, kurasa iblis ini tak
bisa dibiarkan lama-lama."
Senapati Kandanu hanya mampu mengangguk.
Dia dan Senapati Braja memang merasa kewalahan
menghadapi Iblis Berkedok Dewa, yang memiliki
beberapa pukulan andalan berbahaya. Dalam
beberapa jurus saja lelaki tua berjubah merah itu
telah berhasil menggempur beberapa prajurit.
"Aha, kau memang iblis, Ki Angkara.
Perbuatanmu sangat biadab. Dengan bayi saja, kau
akan tega membunuhnya," kata Sena dengan mata
tajam, me¬natap lekat ke wajah Ki Angkara. Lelaki
tua itu masih mematung dengan mata tajam
membalas tatapan Pendekar Gila.
"Cuih! Jangan kira kau akan kebal terhadap
racunku, Pendekar Gila! Heaaa...!"
Ki Angkara yang merasa racunnya mampu
membinasakan Pendekar Gila, langsung melesat
menyerang dengan jurus andalannya, 'Cakar Iblis
Beracun'. Tangannya bergerak dengan cepat,
mencakar ke tu buh Pendekar Gila. Namun dengan
cepat, Sena meliukkan tubuhnya bagaikan menari,
mengelakkan serangan yang dilancarkan Iblis
Berkedok Dewa itu.
"Hi hi hi...! Rupanya kau gesit juga di darat.
Aha, padahal biasanya hidup di sawah," ejek Sena,
memancing amarah lawan
"Kubunuh kau, Bocah Edan! Heaaa...!"
Seketika tangan Ki Angkara mengeluarkan
asap biru, bergulung-gulung menyelimuti tempat
pertarungan. Namun, asap beracun itu bagaikan
tak berarti sama sekali bagi Pendekar Gila yang
memang kebal terhadap semua jenis racun.
Ditembusnya asap beracun itu, kemudian dengan
cepat menyerang dengan tepukan ke dada lelaki tua
itu.
"Heaaa...!"
Wrt!
"Heh...?!"
Ki Angkara tersentak. Kaki kirinya segera
ditarik ke samping. Lalu tubuhnya didoyongkan ke
kanan, mengelakkan serangan lawan. Kemudian
dengan cepat kaki kanannya menendang ke dada
Pendekar Gila.
"Yeaaa...!"
Wrt!
Melihat Ki Angkara menendang, Pendekar
Gila langsurg melompat ke atas. Kemudian dengan
jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa' Sena
menyerang. Kedua tangannya bagaikan
cengkeraman yang kuat, mengarah ke wajah Ki
Angkara.
"Eits!" Ki Angkara menyambarkan cakaran ke
atas, ketika tangan Pendekar Gila hendak
menceng¬keram wajahnya.
Plak!
Dua telapak tangan saling beradu, membuat
kaki Ki Angkara tergetar. Sedangkan Pendekar Gila
terpental, berjumpalitan tiga kali di udara, lalu
dengan ringannya mendarat. Tawanya kembali
menggelegar keras, diikuti gerak-gerik konyolnya.
"Cuih! Bedebah! Heaaa...!"
Ki Angkara yang semakin murka, kembali
melesat dengan jurs 'Pukulan Iblis Berbisa'.
Tangannya menghitam legam, bagaikan sebuah
arang. Hawa panas menyengat, bagaikan hendak
memanggang sekeliling tempat itu.
"Pukulan 'lnti Salju'. Heaaa...!"
Pendekar Gila mengangkat kedua tangan ke
atas, lalu dengan mengerahkan tenaga dalam,
ditariknya ke bawah dan ditaruh di pinggang.
Kemudian dengan didahului pekik menggelegar,
tubuhnya melesat menyerang.
"Heaaa...!"
Dua orang dengan jurus-jurus pamungkas
andalan masing-masing, saling menyerang. Hawa
panas dan dingin yang dikeluarkan keduanya beradu
menjadi satu. Seakan kedua hawa murni itu hendak
saling mengalahkan.
"Heaaa...!"
"Yeaaat..!"
Tubuh orang-orang yang berada di Lembah
Tengkorak tergetar merasakan pengaruh dari
pertarungan dua tenaga dalam yang sama-sama
mengeluarkan hawa mumi.
Rintik hujan salju yang turun dan langit, terus
berjatuhan berusaha mengurung tubuh Ki Angkara.
Namun, orang tua itu dengan cepat menggerakkan
tangannya yang sudah disaluri ajian 'Pukulan Iblis
Ber¬bisa'. Salju-salju itu meleleh, tersapu kibasan
tangan Ki Angkara.
"Kubunuh kau, Bocah Edan! Heaaa...!"
Tubuh Ki Angkara yang sudah terbebas dari
salju, melesat menerjang Pendekar Gila dengan
pukulan maut. Melihat hal itu, Sena segera
mencabut Suling Naga Sakti. Kemudian dengan
meniup suling, tubuhnya melesat sambil
mengarahkan mata Naga Sakti ke kaki Ki Angkara.
Slats!
Jret! Jret!
"Akh!" Ki Angkara memekik tertahan, ketika
kakinya terkena hantaman sinar merah yang keluar
dari sepasang mata Naga Sakti. Lututnya seketika
le mas, membuat Ki Angkara terjatuh berlutut,
Ki Angkara mengerang, berusaha bangkit
Namun kedua lututnya yang terkena hantaman
sepasang sinar merah itu, bagaikan membatu dan
tak dapat digerakkan.
"Bocah edan, lepaskan totokanmu! Kita
bertarung sampai mati!" dengus Ki Angkara penuh
amarah, dengan mata membara merah. Dia
berusaha menghantamkan pukulan, tetapi
kekuatannya bagaikan hilang. Tak ada tenaga sama
sekali.
"Hi hi hi...! Lintah darat keparat, aku bukan
berurusan denganmu. Masih ada yang hendak
berurusan denganmu!" seru Sena. "Kanjeng
Senapati, si lakan..!"
Senapati Kandanu mendengus sengit Dengan
pedang terhunus, kakinya melangkah mendekati Ki
Angkara yang bertambah ketakutan.
"Tidak! Jangan...! Ampuuun...!" ratap Ki
Angkara dengan wajah pucat pasi, membiaskan rasa
takut yang tiada terkira.
"Ki Angkara! Aku bersumpah, akan
mencungkil kedua biji matamu. Akan mengambil
jantungmu yang busuk! Heaaa...!" Senapati Kandanu
mengangkat pedang ke atas, lalu....
Crat! Crat!
"Aaa...!" Ki Angkara melolong setinggi langit,
ketika ujung pedang Senapati Kandanu mencungkil
kedua biji matanya. Darah keluar dari kelopak
mata yang sudah berlubang. Tubuh berjubah merah
itu menggelepar-gelapar menahan sakit yang tak
terkira, dengan kedua tangan memegangi matanya
yang telah keluar.
"Kini jantungmu, Ki!"
"Tidaaak...! Jangan...!" Ki Angkara meratap,
me- mohon ampun. Namun Senapati Kandanu tak
peduli. Kembali pedangnya diangkat Lalu....
Wrt!
Crab!
Bret!
"Aaa...!"
Ki Angkara kembali melolong selinggi langit.
Dan lolongan kali ini, merupakan yang terakhir.
Dadanya terbelah lebar. Saat itu pula, Senapati
Kandanu mencengkeramkan tangannya ke jantung
Ki Angkara. Ditariknya jantung lelaki tua berhati
iblis itu sampai putus.
Bret!
"Istriku...! Semoga kau dan orang-orang yang
menjadi korban iblis ini tenang di alam sana...!"
teriak Senapati Kandanu sambil mengangkat
jantung Ki Angkara ke atas tinggi-tinggi.
Semua terdiam. Tak ada yang berkata sepatah
kata pun.
***
Malam menjelang pagi dengan hawa dingin,
menjadi saksi akhir dari kehidupan Iblis Berkedok
Dewa. Satu persatu, mereka meninggalkan Lembah
Tengkorak yang akhirnya sepi. Tinggal Senapati
Kandanu, Senapati Braja, dan Sena yang masih
berdiri mematung.
"Kita pulang, Kakang Senapati," ajak Senapati
Braja, menyentakkan Senapati Kandanu dari
lamunan.
"Oh...!" desah Senapati Kandanu setengah me-
ngeluh. "Sena, Baginda tentunya akan memberimu
hadiah. Man...!" ajak Senapati Kandanu.
"Aha, terima kasih. Sampaikan saja salamku
pada Baginda," jawab Pendekar Gila. "Aku akan
meneruskan pengembaraanku."
"Tidakkah kau ingin menetap di istana, Sena?"
tanya Senapati Braja.
"Aha, kurasa tidak. Atau mungkin belum
saatnya. Tugasku masih banyak. Nah, selamat
tinggal...!"
Usai berkata begitu, Pendekar Gila melesat
meninggalkan kedua senapati yang hanya mampu
berdecak kagum sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Sungguh pendekar yang arif dan bijaksana...!"
gumam Senapati Braja sambil menggeleng-gelengkan
kepala.
"Ya. Belum pernah kutemui pendekar yang
tanpa pamrih seperti dia," sambung Senapati
Kandanu dengan mata masih menatap kepergian
Pendekar Gila dari hadapan mereka.
Di ufuk timur, tampak bias merah di kaki
langit. Pertanda pagi hampir menjelang. Kedua
senapati itu menghela napas panjang, kemudian
melangkah meninggalkan Lembah Tengkorak.
Meninggalkan mayat- mayat yang bergelimpangan.
SELESAI
Emoticon