1
Malam merangkak perlahan, membawa kegelapan
yang terasa mencekam. Angin semilir menghembus-
sum-sum. Bulan sabit di langit kelabu, menyusup di
balik awan-awan berarak yang menghadangnya.
Malam terus merangkak, gelap menyelubungi
bumi. Keadaan itu membuat Istana Telaga Mas yang
terletak di tengah-tengah dan dikelilingi hutan serta
pegunungan, tampak sepi bagaikan mati. Semua
penghuni istana itu telah terlelap dalam tidur. Hanya
sepuluh orang pranjurit jaga yang masih membuka
mata. Mereka tengah berjaga-jaga di sekitar istana
dengan bersenjata tombak.
Meskipun rasa kantuk yang berat menyergap
mata, mereka tetap berusaha bertahan. Kesetiaan
dan rasa tanggung jawab terhadap amanat yang di-
bebankan membuat kesepuluh prajurit itu tetap
menjalani tugas.
Kesepuluh prajurit yang mengenakan pakaian
rompi hitam dengan hiasan keemasan di depan dada,
berjalan-jalan memeriksa keadaan di sekeliling
istana. Mata mereka yang tajam laksana mata burung
hantu terus mengawasi segenapa penjuru istana.
Mereka dibagi menjadi empat kelompok. Tiga di
depan, tiga di belakang, dua di samping kanan, dan
dua lagi di samping kiri. Hal itu dimaksudkan, jika
terjadi sesuatu dari semua penjuru, mereka akan
segera mengetahui. Kesepuluh prajurit itu terus men-
jaga keamanan lingkungan istana. Sesekali antar
pemimpin kelompok saling bertemu, untuk melapor-
kan keadaan di tempat jaga masing-masing.
"Bagaimana keadaan di belakang?" tanya prajurit
bertubuh tinggi besar dengan kumis melintang.
Matanya tajam dan lebar, beralis lebat. Lelaki itu
bernama Kaung.
"Aman," sahut lelaki bertubuh tinggi kekar. Hidung-
nya besar dan bermulut agak lebar. Kumis tipis meng-
hias di atas bibirnya. Dia bernama Kebir, pimpinan
jaga di belakang istana.
"Samping juga aman," tambah kedua prajurit yang
berjaga di samping. Yang satu bernama Udel, seorang
lagi bernama Jirin. Keduanya sama-sama bertubuh
tinggi.
Kaung mengangguk-anggukkan kepala, men-
dengar laporan ketiga temannya.
"Bagaimana depan?" tanya Kabir pada Kaung.
"Beres."
"Kurasa keadaan memang aman," tukas Udel.
"Tapi bagaimanapun, kita harus tetap waspada,"
ujar Kaung.
"Benar! Karena bahaya bisa saja datang setiap
saat," sambung Kebir.
"Ya, ya," gumam Udel.
"Baiklah, kita kembali ke tempat kita masing-
masing!" kata Kaung mengakhiri pertemuan, yang
senantiasa dilakukan dalam selang waktu yang tidak
lama, untuk mengetahui keamanan rekan-rekan yang
lain.
Mereka pun segera kembali ke tempat tugas,
berbaur dengan teman-teman yang masih berjaga di
pos masing-masing.
Sementara itu dari sebelah barat telaga yang
mengelilingi Istana Telaga Mas, sesosok tubuh yang
terbalut pakaian serba hitam dengan muka ditutup
topeng kain hitam berkelebat menuju tepian telaga
itu. Gulungan tali besar tersangkut di pundak orang
itu.
Dari kedua lubang yang memperlihatkan mukanya,
tampak kalau sosok itu ternyata seorang lelaki. Mata-
nya yang tajam mengawasi istana yang terletak di
tengah-tengah telaga itu. Sebentar kemudian me-
natap air telaga yang tampak kekuningan.
"Hm, mampukah aku menyeberangi telaga seluas
ini?" gumam lelaki bertubuh tinggi tegap berpakaian
lengan panjang dan bertopeng selubung hitam.
Sebentar kemudian sepasang matanya yang tampak
dari lubang jelalatan memandang ke sana kemari.
Mata lelaki itu kembali memandang istana. Jika
dilihat dari belakang dan samping, Istana Telaga Mas
seolah-olah berada di tengah telaga. Namun dari
depan, akan tampak terletak di tanah biasa. Hal itu
karena di depan Istana Telaga Mas memang tanah
biasa. Bahkan luas tanahnya bisa digunakan sebagai
alun-alun.
"Pantas kalau telaga ini dinamakan Telaga Mas.
Airnya kekuning-kuningan dan berkilauan seperti
emas," gumam lelaki itu sambil menyapukan
pandangan ke depan. Benaknya berputar mencari
jalan, bagaimana caranya untuk dapat menyeberangi
telaga yang luas itu.
Lelaki berpakaian serba hitam itu menghela napas
panjang. Dia masih bingung untuk menyeberangi
telaga itu.
"Hm, kalaupun bisa menyeberangi, mampukah aku
menjalankan tugasku?" dari suaranya tercermin
keraguan. Seakan ada sesuatu yang membuatnya
bimbang. "Menurut Rama Mangunda, prajurit di
Istana Telaga Mas bukan prajurit sembarangan.
Mereka para prajurit pilihan yang gagah berani...."
Lelaki itu nampak masih mematung termangu-
mangu memandangi tembok istana yang tinggi.
Keraguan akan kamampuan dirinya terus bergayut
dalam hati. Orang-orang kalangan rimba persilatan
menjuluki dia sebagai Kalong Maut. Namun, entah
mengapa, kini hatinya bimbang. Padahal selama ini
sepak terjangnya sebagai pembunuh bayaran, tak
pernah gagal.
Kini, untuk melaksanakan perintah dari Rama
Mangunda, Kalong Maut tiba-tiba kebingungan.
Apalagi ketika ingat kata-kata Rama Mangunda,
bahwa prajurit di Istana Telaga Mas bukanlah prajurit
biasa.
"Ah, bukan Kalong Maut kalau gagal melakukan
pekerjaan ini," gumamnya berusaha menepis
perasaan gelisah dan kebimbangan.
Kalong Maut terdiam sesaat. Sejurus kemudian
matanya kembali menatap sekitar Hutan Wiring
tempat dia kini berada. Lelaki itu kemudian
melangkah perlahan, seperti mencari-cari sesuatu.
Tak lama kemudian, di tangannya telah tergenggam
sebatang cabang pohon.
Crakkk!
Dengan golok panjangnya, batang kayu itu
dipotong menjadi sepanjang lengan.
Crakkk!
Satu lagi Kalong Maut memotong kayu sepanjang
lengannya. Setelah selesai membuat dua kayu
pendek, Kalong Maut melangkah ke tepi telaga.
"Hm, dengan kayu ini, mungkin aku bisa
mengarungi telaga luas ini," gumam Kalong Maut.
Kemudian dilemparkan kedua kayu itu ke air telaga.
"Hih...!"
Pluk! Pluk!
Kayu itu sesaat tenggelam. Namun, tak lama
kemudian telah muncul kembali ke permukaan air.
Sejurus kemudian, Kalong Maut terdiam sambil
menyatukan kedua telapak tangan di dada. Lalu
ditariknya napas dalam-dalam. Dan...
"Hoppp...!"
Tubuh Kalong Maut melenting ke atas dan bersalto
dua kali di udara. Kemudian dengan ringan kedua
kaki Kalong Maut hinggap di atas kedua kayu yang
mengambang di permukaan air.
"Ups! Akhirnya bisa juga," gumam Kalong Maut.
Kedua kayu itu bagaikan tak tertekan beban
barang sedikit pun, tetap mengapung di atas air.
Dilihat dari caranya, jelas Kalong Maut memiliki ilmu
meringankan tubuh yang telah sempurna.
Dengan ilmu 'Kalong Mengayuh' Kalong Maut
menjalankan kedua kayu itu. Seketika tubuhnya yang
berpijak di kedua kayu melesat menuju Istana Telaga
Mas. Bagaikan sebuah kendaraan yang sangat cepat
benda itu membawanya menyeberangi air.
"Heaaa...!"
Srrrts!
Kedua kayu terus meluncur dengan cepat. Tubuh
Kalong Maut bagaikan tak memiliki beban barang
sedikit pun berdiri memijak di atasnya.
"Hm, akhirnya aku berhasil. Kini yang harus ku-
pikirkan, bagaimana caranya agar bisa masuk
istana?" tanya Kalong Maut pada diri sendiri. Dari
suaranya menunjukkan keraguan kembali menggayut
di lubuk hatinya. "Ah, itu urusan nanti."
Kalong Maut berusaha menepiskan kebimbangan
sambil berusaha meyakinkan diri, kalau selama ini
usahanya selalu berhasil. Belum pernah sekali pun
mengalami kegagalan.
***
Kayu yang dinaiki Kalong Maut terus melaju ke
Istana Telaga Mas dengan cepat bagaikan didorong
tenaga yang begitu besar. Tak berapa lama
kemudian, Kalong Maut sampai di tembok belakang
istana.
"Aku harus bersembunyi. Hooop...!" lelaki gagah
berselubung hitam itu melompat lalu menyelinap di
antara tembok tinggi yang mengelilingi istana.
"Hm, para prajurit itu tengah berjaga-jaga."
Mata Kalong Maut sejenak menatap ke atas,
seakan hendak mengukur ketinggian tembok itu.
"Akan kucoba melewatinya. Hooop...!"
Kalong Maut melompat bagaikan terbang. Lalu
dengan ringan hinggap di atas tembok. Sejenak
matanya yang tampak dari dua lubang selubung
hitam, mengawasi ke bawah.
"Hooop...!"
Seketika lelaki berpakaian serba hitam melompat
turun, kembali keluar tembok. Hal itu karena tiba-tiba
dilihatnya dua orang prajurit jaga berjalan.
"Untung mereka tak melihatku. Kalau keduanya
tahu, huhhh..., bagaimana jadinya aku!" rungutnya
dalam hati.
"Kakang, aku rasa keadaan aman. Apa tak
sebaiknya kita ke depan saja?" terdengar suara
prajurit berkata.
"Ya. Ke depan saja kalian!" ujar Kalong Maut
dalam hati.
"Ah, bukankah di depan sudah ada prajurit jaga?
Biarlah kita di belakang saja. Toh kita berdua di sini,"
jawab prajurit lainnya.
"Sial...," sungut Kalong Maut dalam hati. "Prajurit
ini minta dihajar!"
Sesaat kemudian tak terdengar lagi pembicaraan
mereka. Hal itu sempat membuat Kalong Maut
mengernyitkan keningnya. Sejenak lelaki berselubung
kepala hitam itu menarik napas sambil
mengandalkan ilmu menangkap suara, untuk coba
mendengarkan desah napas para prajurit tadi.
"Hm, mereka ada di sebelah kiriku," gumam
Kalong Maut. "Akan kulumpuhkan mereka. Hooop...!"
Kalong Maut kembali melompat ke atas tembok,
dengan ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
Dengan tajam matanya mengawasi kedua prajurit
yang sedang duduk-duduk sambil menghisap rokok
kawungnya.
"Aku harus menenangkan mereka. Yeaaa...!"
Kalong Maut segera melompat menuju dua prajurit
itu untuk menotok tubuh mereka agar tak ribut.
Namun tampaknya kedua prajurit itu merasa ada
seseorang melompat. Seketika mereka memalingkan
wajah ke belakang.
"Siapa kau?!" bentak salah seorang dari kedua
prajurit dengan keras.
"Setan! Harus cepat dibereskan!" gerutu Kalong
Maut dalam hati. Dengan cepat tangannya bergerak,
menotok ke arah kedua prajurit itu.
"Hih...!"
Tuk! Tuk!
"Ukh!"
"Ekh!"
Seketika tubuh mereka terkulai lemas, tak mampu
bergerak sedikit pun. Kemudian terjatuh ke tanah.
Bentakan keras tadi tampaknya sempat didengar
prajurit lain. Seketika mereka berhamburan menuju
belakang istana, tempat kedua rekannya berada.
"Penjahat! Tangkaaap...!"
"Jangan biarkan dia lolos...!"
"Maliiing...! Maliiing...!"
Seruan-seruan para prajurit, menyentakkan Kalong
Maut yang sedang menyeret tubuh kedua prajurit
yang telah ditotoknya.
"Celaka!" gumam Kalong Kalong lirih. Matanya
terbelalak, menatap delapan prajurit yang kini
berhamburan memburu dia dengan senjata siap
menyerang. Mereka langsung mengepung Kalong
Maut, yang beringas, nekat karena telah terjepit.
"Seraaang...!"
"Tangkap dia...!"
"Hea!"
Wuttt!
Kalong Maut tersentak kaget, ketika tombak salah
seorang prajurit melesat begitu cepat ke tubuhnya.
Dengan cepat pula lelaki berpakaian serba hitam itu
memiringkan tubuhnya untuk mengelakkan serangan
itu.
"Uts! Hih...!"
Tombak yang dilemparkan prajurit, melesat
beberapa jengkal di sampingnya. Namun dengan
cepat para prajurit lain melakukan serangan gencar.
"Celaka! Tak ada pilihan lagi, kecuali harus
membereskan mereka semua," gumam Kalong Maut
dalam hati. Kemudian dengan cepat dan lincah
tubuhnya bergerak mengelak dari serangan tombak
para prajurit. Kakinya menjejak dan melompat ke
sana kemari, mengelitkan tusukan dan sabetan
senjata lawan.
Wrrrt!
"Hahhh...!"
Kalong Maut kembali tersentak kaget, ketika
sebilah pedang hendak menyambar lehernya. Dengan
cepat tubuhnya merunduk. Pedang pun melesat di
atas kepalanya.
"Edan! Aku benar-benar akan dibikin perkedel!"
Wrrrt!
Bugkh!
Prajurit yang menyerangnya tak mampu
mengelakkan tendangan lawan yang datang begitu
cepat. Tak ampun lagi kaki Kalong Maut mendarat
telak di dadanya.
"Aaakh...!"
Prajurit itu terpekik keras. Tubunya terdorong ke
belakang dan jatuh duduk di tanah. Mulutnya
meringis karena dada dan tulang pantatnya dirasakan
nyeri.
"Bedebah kubunuh kau...!" dengan sisa tenaga
yang ada, prajurit itu kembali bangkit dan kembali
menyerang.
"Heaaa...!"
"Menyerahlah, Maling!" bentak salah seorang
prajurit
"Huh...!" hanya suara itu yang keluar dari mulut
Kalong Maut. Tampaknya dia benar-benar tak mau
menyerah. Dia tahu menyerah berarti mati di tiang
gantungan. Meski tak menyerah, mungkin kematian
pun dapat merenggutnya. Sebab para prajurit Istana
Telaga Mas tampak kian bertambah jumlahnya.
"Bangsat! Kau tak mau menyerah? Seraaang...!"
Wuttt! Wuttt!
Beberapa batang tombak dan pedang terus
memburu dan berkelebat ke tubuh Kalong Maut.
"Mampus kau, Bangsaaat...!"
"Cincang tubuhnya...!" teriak prajurit yang
memegang tombak. Senjatanya menusuk ke perut
lawan. Namun, dengan cepat dan ringan Kalong Maut
mengelak dari tusukan itu. Bahkan tangannya yang
terbungkus pakaian hitam sempat melancarkan satu
pukulan keras.
"Ini untuk kalian. Hiaaat...!"
Wrrrt! Wrrrt!
Tangan kanan dan kiri Kalong Maut menderu-deru
begitu cepatnya menyerang. Hal itu begitu
mengejutkan para prajurit yang tak menyangka akan
mendapat balasan pukulan cepat dan keras. Mereka
melompat mundur. Namun ada juga yang dengan
gagah berani memapaki serangan itu dengan sabetan
golok besar yang berada di tangannya.
"Buntung lenganmu, Iblis!"
Wrrrt!
Kalong Maut tersentak ketika golok besar di
tangan prajurit itu membabat tangannya. Dengan
cepat ditarik kembali serangannya. Namun tiba-tiba
prajurit yang memegang golok besar kembali
merengsek dengan tebasan-tebasan goloknya
mengarah ke tubuh Kalong Maut.
Wuttt! Wuttt!
Bertubi-tubi golok besar itu menderu menyerang
ke tubuh lelaki berpakaian serba hitam. Namun
dengan gerakan yang tak kalah cepatnya, Kalong
Maut terus mengelakkan serangan itu. Matanya
mengawasi gerakan golok lawan sambil mencari
kesempatan untuk melakukan serangan balik.
Wuttt...!
"Eittt...!"
Kalong Maut melompat ke samping. Kaki kirinya
berjinjit dengan kaki kanan masih terangkat. Dan
ketika tubuh prajurit bersenjata golok merangsek,
segera kaki kanannya melesat ke perut lawan.
"Ini untukmu! Hih...!"
Wuttt!
Prajurit bergolok tersentak, dia bermaksud
menangkis tendangan Kalong Maut dengan goloknya.
Namun, ternyata tendangan lawan datang lebih cepat
dari apa yang dibayangkan. Sehingga....
Bugkh!
"Aaakh...!"
Prajurit bergolok itu terpekik pendek. Perutnya
dirasakan nyeri dan mual. Tubuhnya terhuyung ke
belakang, menjadikan dia kini bagaikan seekor babi
terlempar.
Blukkk!
Lelaki itu terbanting di tanah. Dan...
"Hoaaakh...! Hoaaakh...!"
Tampak cairan merah mengalir dari mulutnya.
Tendangan keras Kalong Maut terasa membuat
perutnya bagai diaduk-aduk. Mual dan rasa nyeri
bercampur jadi satu.
Melihat hal itu, para prajurit lainnya segera
menyerbu. Namun, Kalong Maut nampak tak gentar
sedikit pun. Dia kembali melakukan serangan cepat
dan menangkis setiap serangan yang datang.
***
Pertarungan antara Kalong Maut dengan para
prajurit di Istana Telaga Mas berlangsung kian seru.
Seakan-akan tak bakal selesai dalam malam itu. Para
prajurit semakin bertambah banyak. Mereka
berdatangan setelah mendengar suara ribut
pertarungan di belakang istana itu.
Kalong Maut yang menghadapi keroyokan,
semakin tegang. Pengeroyoknya bukan hanya
sepuluh orang, melainkan telah puluhan jumlahnya.
Dan tampaknya mereka adalah para prajurit pilihan.
"Tangkap maling itu...!" teriak Patih Arya Denta
memerintah pada prajuritnya. Sementara Kalong
Maut terus berusaha melawan prajurit yang berusaha
mendesaknya.
"Celaka! Prajurit semakin banyak," gumam Kalong
Maut dalam hati, sambil berusaha mengelakkan
tusukan dan babatan senjata lawan. Tubuhnya
melompat ke sana kemari, menghindari serangan-
serangan cepat yang dilancarkan lawan.
"Yeaaa...!"
"Mampus kau!"
Teriakan-teriakan keras mengiringi setiap
serangan yang dilancarkan para prajurit.
Wuttt!
Sebuah tombak melesat terarah ke perut Kalong
Maut Hampir menusuk perutnya, kalau saja lelaki
berpakaian hitam itu tak secepat kilat berkelit ke
samping dan melompat ke belakang.
"Uts! Celaka...! Tak ada kesempatan bagiku
melakukan serangan balas...," gumam Kalong Maut
sambil terus berusaha mencari celah untuk me-
loloskan diri. Dia merasa tak ada kesempatan lagi.
Bahkan kini nyawanya dalam ancaman karena terus-
menerus menghadapi kepungan para prajurit Istana
Telaga Mas yang semakin bertambah jumlahnya.
"Tangkap dia...!" kembali Patih Arya Denta berseru,
memerintah pada prajuritnya.
"Tak ada jalan lain," desis Kalong Maut, "Hanya
dengan jalan ini. Hih...!"
Kalong Maut dengan cepat melemparkan sesuatu
yang diambilnya dari balik bajunya, mendahului
serangan gencar para prajurit.
Dummm! Duarrr!
Ledakan-ledakan yang disertai gulungan asap
tebal terdengar. Para prajurit tersentak lalu ber-
lompatan mundur, mengelakkan asap hitam itu.
Seketika itu pula, dengan cepat Kalong Maut melesat
meninggalkan tempat pertarungan. Tubuhnya me-
lenting ke atas pagar istana, lalu melompat ke air
telaga yang tampak begitu tenang.
Byurrr!
Tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu langsung
tenggelam, bagai ditelan air telaga yang dalam.
"Cari dia...!"
Terdengar suara Patih Arya Denta, memerintah
pada prajuritnya untuk mencari orang yang telah
membuat onar. Sepertinya lelaki bertubuh tinggi
tegap dan berwajah tampan yang dihiasi kumis tipis
itu sangat marah karena Istana Telaga Mas hampir
saja kemasukan penjahat.
Para prajurit serentak berhamburan keluar untuk
mengejar Kalong Maut. Namun, mereka tak menemu-
kannya. Para prajurit terus menunggu sampai Kalong
Maut muncul ke permukaan air. Namun sampai men-
jelang pagi, lelaki berselubung kepala dan berpakaian
serba hitam itu belum juga muncul ke permukaan air
telaga.
***
2
Pagi datang membawa kecerahan. Kicau burung
menambah indahnya suasana pagi. Semilir angin
yang bertiup mengusir embun, terasa sejuk di badan.
Mentari baru terbit, ketika seorang pemuda berambut
gondrong dengan pakaian terbuat dari kulit ular tanpa
lengan membuka matanya, setelah semalaman tidur
pulas.
Pemuda yang tak lain Pendekar Gila, kini menye-
ngirkan mulutnya. Matanya agak menyipit karena di-
terpa cahaya matahari pagi yang telah sepenggalah
tingginya. Ditutupinya mulut yang terbuka karena
menguap.
"Huaaahhh..., enak sekali aku tidur," gumam
Pendekar Gila sambil cengengesan. Dipicingkan
matanya, mengintip matahari yang muncul ke per-
mukaan bumi dengan perlahan.
Pendekar Gila bangun dari tidurnya lalu duduk di
cabang pohon, tempat semalam dia tertidur. Sena
termenung menikmati keindahan pagi di Hutan
Selendang Manyar, yang terletak tak jauh dari Istana
Telaga Mas yang luas itu. Tangannya menggaruk-
garuk kepala, dengan mulut masih nyengir kuda.
"Hop! Yeaaa...!"
Tubuh Pendekar Gila melompat dan bersalto
beberapa kali di udara, sebelum mendarat begitu
ringan di bawah pohon itu. Tangannya kembali meng-
garuk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan. Kemudi-
an kakinya melangkah menuju telaga yang tak jauh
dari Hutan Selendang Manyar.
Diraupnya air telaga yang bening dan bersih itu.
Dicucinya wajah dengan air telaga itu. Kemudian,
mulutnya berkumur-kumur untuk menghilangkan rasa
tak enak yang ada di mulutnya.
"Wuah, segar sekali!" gumam Pendekar Gila.
Pemuda tampan itu kemudian bangkit berdiri. Mata-
nya manatap hamparan telaga luas itu. Namun men-
dadak keningnya berkerut. Matanya melihat sesosok
tubuh terapung di permukaan air yang tampak
keemasan dan berkilauan diterpa cahaya matahari.
Mata Sena terbelalak menatap sesosok tubuh
terapung di permukaan air. Tangannya menggaruk-
garuk kepala, dengan mulut nyengir.
"Aha, mayat siapa itu?" gumam Pendekar Gila
masih terus memperhatikan sosok tubuh terbungkus
pakaian hitam mengapung di air. Tampaknya lelaki itu
telah menjadi mayat. Sosok tubuhnya terapung dan
terus terbawa riak air menepi mendekati Pendekar
Gila.
Ketika sosok berpakaian hitam kian dekat,
Pendekar Gila menjejakkan kaki dan melenting ke
udara. Setelah bersalto beberapa kali, dengan jurus
'Gila Menyambar' Sena menukik sambil menyambar
tubuh yang terapung itu.
"Hih!"
Direnggutnya tubuh itu dengan tangan kanannya.
Kemudian Pendekar Gila kembali melenting ke udara.
Setelah berjumpalitan dua kali di udara, kakinya
menjejak di atas tanah tepian telaga sambil mem-
bopong tubuh terbungkus kain hitam.
"Aha, rupanya masih hidup," gumam Pendekar Gila
setelah memeriksa denyut nadinya. Matanya me-
natapi sosok tubuh yang pingsan tertutup kain hitam.
Tangannya perlahan-lahan membuka selubung
kepala orang itu. Seketika tampaklah wajah lelaki
garang dengan codet menghiasi pipi sebelah kirinya.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, matanya
masih menatap wajah lelaki bercodet yang tak lain
Kalong Maut.
"Hm, kurasa lelaki ini bukan orang baik-baik,"
gumam Pendekar Gila dalam hati. Keningnya semakin
berkerut dengan hati penuh rasa heran melihat
seorang lelaki pingsan di telaga itu. "Bukankah di
tengah telaga ini Istana Telaga Mas berdiri? Hm, apa
yang sebenarnya dilakukan orang ini?"
Sebagai seorang pendekar, Sena tak memandang
siapa pun yang perlu pertolongannya. Meski lelaki itu
orang jahat, Pendekar Gila tetap menolongnya.
Dibantunya Kalong Maut untuk mengeluarkan air
yang telah masuk ke perutnya.
"Hoakkk!"
"Teruskan, Kisanak! Kau harus mengeluarkan air
yang telah masuk ke perutmu," ujar Sena sambil terus
menekan perut Kalong Maut. Ditelungkupkan tubuh
lelaki berpakaian serba hitam, lalu diangkat perutnya
berulang-ulang. Sehingga...
"Hoakkk!"
Air keluar dari mulut Kalong Maut yang semakin
bertambah banyak, setelah Pendekar Gila turut
menopangnya. Perlahan-lahan lelaki berpakaian
hitam itu mulai siuman dari pingsannya. Matanya
membuka, memandang ke sekeliling, kemudian
tertuju ke wajah Pendekar Gila yang tersenyum
sambil menggaruk-garuk kepala. Keningnya yang
masih basah berkerut seperti belum yakin kalau dia
masih dalam keadaan hidup.
"Di mana aku...?" desisnya.
"Aha, jelas kau masih hidup, Kisanak," jawab
Pendekar Gila masih dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Kalong Maut mengerutkan kening,
merasa heran dengan tingkah laku pemuda yang
menolongnya.
"Siapa pemuda ini? Tingkah lakunya seperti orang
gila. Tapi dilihat dari pakaian dan tubuhnya yang
bersih, jelas dia bukan orang gila biasa. Hm....
Siapakah pemuda bertingkah laku gila ini?" tanya
Kalong Maut dalam hati. Matanya tak berkedip
menatap wajah Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Anak muda, terima kasih atas pertolonganmu,"
ujar Kalong Maut seraya berusaha bangkit.
"Aha, sudah sewajarnya semua orang tolong-
menolong dengan sesamanya," tukas Pendekar Gila
masih cengengesan, gerak-geriknya kian membuat
Kalong Maut semakin mengerutkan kening.
"Mungkinkah dia yang berjuluk Pendekar Gila? Ah,
bahaya sekali jika dia tahu siapa aku?" gumam
Kalong Maut dalam hati, merasa was-was takut kalau
pemuda yang diduganya Pendekar Gila sampai tahu
siapa dirinya.
Hati Kalong Maut benar-benar gelisah, setelah
yakin siapa pemuda yang bertingkah laku seperti
orang gila itu. Rasa takut kalau pendekar itu meng-
hukumnya, membuatnya kelabakan bingung sendiri.
"Kisanak, kenapa kau sampai pingsan di telaga
ini?" tanya Pendekar Gila setelah lama terdiam dan
menatap Kalong Maut yang tampak membisu.
Kalong Maut semakin was-was mendengar per-
tanyaan yang dilontarkan Pendekar Gila. Rasa takut
kalau Pendekar Gila akan mengetahui siapa dirinya,
semakin membuat lelaki berpakaian serba hitam
bertambah takut. Matanya menatap tak berkedip ke
wajah Pendekar Gila yang masih berdiri. Degup
jantungnya semakin memburu kencang.
"Aha, kau tampak gelisah, Kisanak? Kenapa...?"
tanya Pendekar Gila seraya menatap tajam wajah
lelaki yang wajahnya berubah pucat. Kalong Maut
bagai dihadapkan pada Dewa Pengadilan. Keringat
dingin pun mengalir di keningnya, meskipun dingin
masih menyelimuti tubuhnya. Hal itu membuat
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening,
memandang heran melihat perubahan wajah Kalong
Maut yang pucat pasi.
"Ampunilah aku, Pendekar! Memang aku ber-
salah," ujar Kalong Maut merasa takut sendiri.
Sehingga dia tiba-tiba mengakui kesalahannya. Hal
itu tentu saja membuat Pendekar Gila semakin heran,
dengan mata menyipit Sena menatap tajam wajah
Kalong Maut.
"Aha, kenapa kau berkata begitu, Kisanak?
Kurasa, tadi aku tak bertanya tentang kesalahanmu.
Aku hanya bertanya, mengapa kau sampai pingsan di
telaga ini?" tanya Pendekar Gila dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan mulutnya tetap
cengengesan.
"Ya, semua hendak kukatakan padamu. Meskipun
aku belum tahu siapa kau sebenarnya, tapi aku yakin
kalau kaulah yang sering disebut sebagai Pendekar
Gila. Bukan begitu...?" sahut Kalong Maut mencoba
menduga-duga siapa sebenarnya pemuda bertingkah
laku seperti orang gila itu.
"Aha, terlalu tinggi sebutan itu untukku, Kisanak.
Ah, sudahlah, tak perlu kau pikirkan nama itu. Kini,
aku ingin tahu, mengapa kau sampai pingsan di
telaga ini?" desak Pendekar Gila penasaran.
Dengan takut-takut Kalong Maut akhirnya me-
nuturkan siapa dirinya. Dan mengapa dia sampai
pingsan di dalam telaga itu.
"Saya diperintah seseorang untuk membunuh anak
dan keluarga Baginda Aji Wardana," tutur Kalong
Maut mengakhiri ceritanya.
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, men-
dengar penuturan Kalong Maut.
"Aha, mengapa anak Baginda Aji Wardana harus
kau bunuh? Dan siapa sebenarnya yang menyuruh
membunuh...?" tanya Pendekar Gila semakin tertarik.
"Aku sendiri tak tahu. Aku hanya diperintah
seseorang untuk membunuhnya dengan imbalan
cukup besar," jawab Kalong Maut.
"Aha, rupanya kau pembunuh bayaran. Siapa yang
menyuruhmu, Kisanak...?" tanya Pendekar Gila ber-
usaha membongkar siapa sebenarnya orang yang
bermaksud membuat pertumpahan darah di Istana
Telaga Mas.
“Yang menyuruhku, Rama...." Belum juga selesai
ucapan Kalong Maut tiba-tiba....
Swing, swing!
Jrep, jrep!
"Aaakh...!"
Kalong Maut memekik tertahan dengan mata
terbelalak ketika dua bilah senjata rahasia meng-
hujam tenggorokan dan dadanya. Sesaat tubuhnya
mengejang, kemudian ambruk tanpa nyawa. Hal itu
membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Lalu dengan
cepat segera mendekati tubuh Kalong Maut Dibalik-
kan tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu,
tampaklah dua bilah senjata berupa bintang kecil
terbuat dari logam.
"Ah, siapa pula yang telah membunuhnya?"
gumam Pendekar Gila sambil mengedarkan
pandangan ke sekeliling tempat itu.
Kresek!
Terdengar dari dalam hutan suara langkah kaki
berlari. Pendekar Gila menoleh lalu cepat melompat,
berusaha mengejar orang itu.
"Hai, jangan lari!" seru Pendekar Gila sambil terus
melesat mengejar orang yang diduganya telah mem-
bunuh Kalong Maut. "Aha, rupanya kau mau main
kucing-kucingan denganku. Baik...!"
Pendekar Gila terus melesat dengan cepat,
memburu suara orang berlari di dalam hutan itu.
Pendekar Gila terus mengejar orang yang telah
membunuh Kalong Maut dengan senjata rahasianya
yang berupa bintang. Namun sampai di tengah hutan,
dirinya hanya mendapati kesunyian, tak ada siapa
pun. Seperti tak ada seorang manusia pun di dalam
hutan itu.
"Ah, aneh sekali," gumam Pendekar Gila dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Keningnya
mengerut berlipat-lipat, merasa aneh dengan apa
yang dilihat. "Ah, siapa yang telah menyerang Kalong
Maut? Tapi yang jelas, pasti orang-suruhan."
Pendekar Gila masih mengawasi sekeliling hutan
itu dengan segenap kemampuan penglihatan dan
pendengaran. Dia berusaha mencari orang yang telah
menyerang Kalong Maut secara gelap. Namun tetap
tak berhasil menemukan orang dalam hutan ini.
"Aha, kenapa menghilang?" gumam Pendekar Gila
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Hi hi hi...
lucu sekali! Orang itu bisa menghilang seperti tuyul."
Pendekar Gila cengengesan sendiri sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. Matanya masih merayapi
sekelilingnya, berusaha mencari-cari orang yang dia
yakini ada dalam hutan ini. Tetap saja tak juga
dilihatnya siapa pun di dalam hutan ini.
Tangan kirinya menepuk-nepuk kening. Matanya
masih memandang ke sekeliling yang sunyi dan sepi,
tak dilihat adanya tanda-tanda bekas orang lewat di
hutan ini.
Pendekar Gila nyengir kuda, tangannya kembali
menggaruk-garuk kepalanya.
"Hua ha ha...! Lucu sekali.... Hoi, di mana kau?!"
serunya berteriak-teriak memanggil. Tapi tak ada
sahutan. "Hi hi hi...! Tolol sekali aku! Bagaimana
mungkin orang akan menyahuti teriakanku?"
Dengan menggeleng-geleng kepala sambil
cengengesan, Pendekar Gila melangkah keluar hutan.
Dia bermaksud kembali ke tempat mayat Kalong
Maut berada. Namun, tiba-tiba terdengar suara orang-
orang berteriak....
"Itu dia orangnya!"
"Tangkap dia...!"
Mata Pendekar Gila terbelalak, ketika melihat
siapa yang berteriak-teriak itu. Ternyata para prajurit
dari Istana Telaga Mas. Keningnya berkerut ketika
hatinya menyadari bahwa orang-orang itu semua
menudingkan tangan padanya.
"Aha, ada apa sebenarnya?" gumam Pendekar Gila
tak mengerti.
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos...!" seru lelaki
bertelanjang dada dengan hiasan kalung akar bahar
yang terjuntai di perutnya. Rambutnya digelung ke
atas, dengan wajah dihiasi kumis tebal. Dilihat dari
sosok tubuhnya yang tinggi besar dan pakaian bawah
yang dipakainya, lelaki berbadan kekar itu tentu
senopati perang kerajaan.
Pendekar Gila tersentak kaget. Benaknya semakin
tak mengerti, mengapa kini dia diburu pihak kerajaan.
Padahal dia sama sekali tidak tahu apa-apa.
"Menyerahlah kau, Anak Muda?!" bentak Senapati
Awong Purbo yang membuat Pendekar Gila semakin
mengerutkan kening, karena tak tahu apa yang
sebenarnya terjadi.
"Aha, ada apa pihak kerajaan memburuku?" tanya
Pendekar Gila penasaran.
"Kaulah yang semalam membuat kerusuhan di
istana! Kau harus ditangkap!" bentak Senapati Awong
Purbo dengan wajah menggambarkan kemarahan.
Pendekar Gila tersentak mendengar bentakan
Senapati Kerajaan Telaga Mas yang menuduhnya
sebagai perusuh. Namun, Pendekar Gila hanya
cengengesan, seakan tak menghiraukan ucapan
Senapati Awong Purbo yang sudah marah.
"Aha, lucu sekali kau, Senapati? Kenapa kau
menuduhku sembarangan tanpa bukti?"
"Cuih! Masih juga kau menyangkal, Bocah Edan! Di
sini tak ada orang lain, hanya kau! Dan kami tahu,
perusuh itu lari ke tempat ini setelah menceburkan
diri ke telaga!" tukas Senapati Awong Purbo semakin
marah, melihat tingkat laku pemuda yang seperti
orang gila itu.
"Aha, apa kalian tak melihat ada sesosok tubuh di
tepi telaga itu?!" seru Pendekar Gila berusaha
membela diri.
"Bedebah! Kau pikir kami dapat dikibuli, Bocah
Edan! Di sini tak ada siapa-siapa! Keluarlah kau dan
menyerahlah!" seru Senapati Awong Purbo sengit,
karena Pendekar Gila belum juga mau menyerah.
Pendekar Gila mengerutkan kening, merasa aneh
dengan apa yang terjadi. "Ke mana mayat Kalong
Maut?" tanya dalam hati. Tangannya menggaruk-
garuk kepala, sepertinya merasa tak mengerti dengan
apa yang terjadi.
"Ah, ke mana mayat lelaki bermuka codet tadi?"
gumam Sena semakin bingung dan heran mendengar
penuturan senapati yang mengatakan kalau di tepi
telaga tak ada siapa-siapa dan tak ada mayat.
"Bocah, keluarlah!" seru Senapati Awong Purbo.
"Jangan kau di dalam terus dengan tingkah lakumu
yang memuakkan!"
"Aha, baiklah, aku akan keluar. Tapi kurasa kalian
telah salah sangka," tukas Pendekar Gila sambil
melangkah keluar dari Hutan Selendang Manyar.
Mata Pendekar Gila terbelalak ketika tak melihat
lagi sosok mayat lelaki bermuka codet yang tadi
ditolongnya.
"Lihat! Kau tak melihat apa-apa, bukan? Masihkah
kau membantah tuduhan. Kaulah pelaku kekacauan
yang semalam terjadi di belakang istana?" bentak
Senapati Awong Purbo dengan mata melotot,
semakin bertambah galak. Namun Pendekar Gila
justru cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi.... Lucu sekali! Bukankah tadi di sini ada
mayat lelaki bermuka codet?" tanya Pendekar Gila
pada senapati dan para prajurit yang telah berada tak
jauh di depannya.
"Banyak omong! Tangkap diaaa...!" perintah
Senapati Awong Purbo pada para prajuritnya. Para
prajurit Istana Telaga Mas pun segera bergerak
mengepung Pendekar Gila dengan senjata lengkap.
Pendekar Gila tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha...! Lucu sekali kalian? Mau berburu apa
kalian dengan senjata itu?" tanya Sena berkelakar,
membuat mata semua prajurit mendelik. Tapi Sena
yang memang konyol malah cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
"Jangan banyak omong, Bocah Edan! Ikut kami ke
Istana Telaga Mas!" perintah Senapati Awong Purbo
sambil menggerakkan tangan kanannya, memerintah
para prajuritnya untuk menggiring Pendekar Gila ke
istana.
"Aha, baiklah, aku menurut. Tapi perlu kalian
ketahui, aku tak tahu-menahu dengan masalah
kalian," ujar Pendekar Gila sambil melangkah
mengikuti perintah senapati.
Sepeninggal Pendekar Gila yang digiring para
prajurit kerajaan, tampak sesosok tubuh berpakaian
merah tersenyum sinis memandangi mereka. Dilihat
dari bentuknya sosok berpakaian merah itu seorang
wanita. Senyum bibirnya menggambarkan rasa puas
atas tertangkapnya Pendekar Gila di tangan prajurit
Istana Telaga Mas.
***
3
Pendekar Gila dihadapkan pada sidang para sesepuh
kerajaan yang dipimpin Baginda Aji Wardana. Meski
pun dihadapkan pada sidang kerajaan, Sena yang
memang konyol masih bertingkah laku seperti orang
gila. Kadang tertawa-tawa seorang diri atau meng-
garuk-garuk kepalanya. Hal itu tentu saja membuat
para sesepuh kerajaan yang terdiri dari Ki Gede
Mundu, Ki Gede Semperan, Nyi Ageng Durgageni, dan
Ki Ageng Martayupa hanya mampu menggeleng-
gelengkan kepala.
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Ki Gede Mundu
membuka pertanyaan dalam sidang.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian orang-orang tua? Tapi
baiklah, namaku Sena Manggala," jawab Pendekar
Gila memperkenalkan nama dirinya.
Ki Gede Mundu mengangguk-anggukkan kepala.
Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila. Lelaki
berusia sekitar tujuh puluh tahun berpakaian resi dan
berjenggut panjang itu menatap wajah Pendekar Gila.
Wajahnya yang tenang menggambarkan kesabaran
jiwanya. Tatapan matanya seakan tengah menyelami
jiwa Sena.
"Sena, benarkah kau telah membuat kerusuhan
semalam di istana ini?" tanya Ki Gede Semperan.
Lelaki berusia enam puluh delapan tahun yang
wajahnya terhias kumis putih lebat. Tatapan matanya
yang lebar, juga menyiratkan rasa ingin mendalami
sifat pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila.
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. Kepalanya mendongak ke
atas seakan ada sesuatu yang dilihatnya di atas
genting. Kemudian....
"Aha, kenapa kau mengintip, Sobat! Hih...!"
Semua orang yang ada di ruang sidang tersentak
kaget, ketika tanpa diduga sebelumnya Pendekar Gila
menghantamkan sebuah pukulan ke atas.
Wrttt!
Brak!
"Wuaaa...!"
Dari atas genting, sesosok tubuh meluncur dan
terbanting ke lantai seketika.
Blukkk...!
Keempat pemuka istana yang menyidang
Pendekar Gila terbelalak kaget. Mereka tegang ber-
campur rasa kagum melihat ketajaman naluri
pemuda gila itu.
Lelaki yang terbanting di lantai akibat pukulan
jarak jauh yang dilakukan Pendekar Gila ternyata
seorang prajurit.
Mata Baginda Aji Wardana terbelalak, ketika tahu
siapa yang telah mengintai jalannya persidangan itu.
Baginda Aji Wardana segera bangkit dari duduknya.
Dengan mata beringas, dihampirinya prajurit yang
terkapar di lantai. Kemudian dengan geram dicing-
keramnya pundak sang Prajurit.
"Siapa yang menyuruhmu?" dengus Baginda Aji
Wardana marah.
"Aaa.... Ampun, Baginda..., saya..., saya.... Aaakh!"
Belum sempat prajurit itu menjawab tiba-tiba
sebilah senjata rahasia berbentuk bintang meng-
hujam tenggorokannya. Tak seorang pun tahu dari
mana datangnya senjata rahasia itu.
"Aha, kau ada di sini rupanya!" seru Pendekar Gila
seraya melesat mengejar ke tempat datangnya
senjata rahasia itu. Hal itu membuat para sesepuh
yang ada di tempat itu terkejut. Namun, mereka tak
dapat berbuat apa-apa, melihat Pendekar Gila
melesat keluar.
Mulanya senapati hendak mengejar Pendekar Gila
yang lari dari tempat sidang. Namun Baginda Aji
Wardana segera mencegahnya.
"Senapati, tunggu! Biarkan dia mengejar orang
yang telah membunuh prajurit ini!"
"Daulat, Baginda," sahut Senapati Awong Purbo
seraya mengurungkan niatnya.
Tak berapa lama kemudian Pendekar Gila telah
kembali masuk dengan cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala. Di pundaknya terdapat seorang
prajurit yang telah ditotoknya.
"Wredamukta...!" sentak semua orang di ruang
idang, setelah tahu siapa yang dipanggul Pendekar
Gila. Mata mereka terbelalak, seperti tak percaya
kalau pembunuh prajurit yang mengintai itu, pimpinan
prajurit Istana Telaga Emas.
Betapa marahnya Baginda Aji Wardana, menyaksi-
kan orang yang telah mengganggu acara sidang,
ternyata pimpinan prajuritnya.
"Aha, bagaimana mungkin kalian menyidangku?
Kalau kalian kini telah tahu sendiri, sesungguhnya di
istana ini telah menyusup para pemberontak...?"
tanya Pendekar Gila sambil melemparkan tubuh
Wredamukta ke depan tempat sidang.
Semua orang di ruang sidang saling pandang.
Mata mereka membuka lebar, merasa malu dengan
apa yang telah terjadi.
Baginda Aji Wardana semakin murka ketika
mengetahui bahwa dalam istananya ada prajurit yang
bersekongkol dengan pemberontak. Dada sang Raja
bergerak turun naik. Hatinya diliputi amarah yang
meluap-luap.
"Hukuman gantung buat dia!" perintah Baginda Aji
Wardana dengan penuh amarah.
"Ampun.... Ampunilah hamba, Baginda," ratap
Wredamukta.
"Bawa dia pergi!" perintah Baginda Raja Wardana
pada Senapati Awong Purbo.
"Daulat, Baginda," jawab Senapati Awong Purbo.
Kemudian setelah menyembah, Senapati Awong
Purbo segera menyeret Wredamukta.
"Ampunkanlah nyawa hamba, Baginda," ratap
Wredamukta berusaha memohon ampunan dari
Baginda Aji Wardana. Namun Senapati Awong Purbo
telah menyeretnya, bagaikan tak menghiraukan
ratapan Wredamukta.
Baginda Aji Wardana menghela napas panjang,
lalu kembali duduk. Matanya kini menatap sosok
pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila,
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Bocah edan! Bisakah kau membuktikan kalau di
Istana ini telah dimasuki kaum pemberontak?!"
bentak Baginda Aji Wardana.
"Aha, kurasa Baginda yang bijaksana nanti akan
mengetahui sendiri. Untuk apa prajurit itu mengintai
jalannya sidang, kemudian untuk apa pula pimpinan
prajurit ini membunuh anak buahnya?" kilah
Pendekar Gila mengajukan pendapat.
Semua kepala mengangguk-angguk, tampaknya
memahami apa yang dikemukan Pendekar Giia.
Namun mereka tak mau percaya begitu saja.
Bagaimana pun, Pendekar Gila orang asing dan baru
di tempat ini. Wajar kalau mereka mencurigai setiap
orang baru.
"Baiklah, Kisanak! Kali ini kau kubebaskan. Tapi
dengan satu sarat," ujar Baginda Aji Wardana.
"Aha, apakah saratnya, Baginda?" tanya Sena ingin
tahu.
"Jangan sesekali kau berkeliaran di sekitar wilayah
kerajaan ini," jawab Baginda Aji Wardana tegas.
"Aha, bagaimana kalau kebetulan aku lewat di
wilayah ini, Baginda...?" tanya Sena yang merasa
keputusan Baginda Aji Wardana kurang adil.
"Kau akan kami tangkap," sahut Baginda Aji
Wardana tegas.
"Hm, baiklah. Tapi perlu kuingatkan pada kalian.
Sesungguhnya banyak pemberontak yang menyusup
di kerajaan ini. Hati-hatilah!" ujar Sena memperingat-
kan Baginda Aji Wardana.
"Tutup mulutmu! Pergi cepat dari sini, jangan
sampai pikiranku jadi berubah!" bentak Baginda Aji
Wardana sengit. Bagaimanapun dia merasa malu
karena pemuda itu seakan-akan memberi petuah
padanya. Padahal sebenarnya Pendekar Gila ber-
maksud baik. Dia tak ingin raja yang sudah tua
usianya itu menghadapi perebutan kekuasaan
dengan pertumpahan darah.
"Baiklah, hamba mohon pamit," kata Sena sambil
berkelebat meninggalkan ruang sidang. Namun
hatinya tetap merasa tak bisa meninggalkan wilayah
Istana Telaga Emas begitu saja. Dia merasa Baginda
Aji Wardana kini dalam ancaman pemberontak yang
siap menggulingkan kekuasaannya.
"Hm, siapakah pimpinan pemberontak itu?
Rama...? Ah..., sayang lelaki bermuka codet itu hanya
menyebut nama Rama. Rama siapa...?" tanya Sena
sambil terus melangkah meninggalkan Istana Telaga
Emas. Pikirannya masih diliputi ketidakmengertian
akan semua yang terjadi di istana itu. Kelihatannya
ada penjahat yang berusaha menggulingkan tahta
Baginda Aji Wardana.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, seperti
kegirangan. Kakinya terus melangkah, semakin jauh
dari istana. Namun, hatinya tetap berjanji akan terus
berusaha mengawasi Istana Telaga Emas. Dia merasa
yakin, kalau ada orang-orang yang bertujuan hendak
menggulingkan tahta Baginda Aji Wardana.
"Ah, bagaimana aku harus menyelidiki semuanya?"
pikir Sena kebingungan. "Aku tak ingin bentrok
dengan pihak kerajaan. Tapi, aku juga tak boleh
tinggal diam. Bagaimanapun kerajaan itu harus bisa
diselamatkan dari ancaman penggulingan ke-
kuasaan."
Dengan masih berpikir-pikir, bagaimana cara
terbaik agar bisa menyelamatkan keluarga Baginda
Aji Wardana, Pendekar Gila terus melangkah.
Benaknya masih ingat kata-kata Kalong Maut yang
mengatakan hendak membunuh keturunan dan
keluarga Baginda Aji Wardana.
"Aha, aku ada akal...! Baiklah, aku akan
menyelidiki dari kejauhan secara sembunyi-
sembunyi," gumam Sena sambil terus melangkah
meninggalkan Istana Telaga Emas yang semakin jauh.
***
Malam datang dengan perlahan, menggantikan
siang. Kegelapan menyelimuti bumi persada.
Semenjak terjadinya usaha pembunuhan Kalong
Maut dan peristiwa di ruang sidang yang berhasil
digagalkan Pendekar Gila, penjagaan Istana Telaga
Emas semakin diperketat
Malam telah semakin larut, nampak sesosok
bayangan bergerak berjalan mengendap-endap
menuju sebuah bangunan di samping kiri istana.
Bangunan itu tempat anak-anak Baginda Aji Wardana
tidur. Sepertinya ada sesuatu yagn hendak dilakukan
sosok bayangan itu. Sehingga jalannya dia harus
mengendap-endap untuk mendekati bangunan besar
di samping kiri istana.
Lingkungan istana kerajaan memang dibagi
menjadi lima bagian. Bagian pertama istana, diapit
dua bangunan. Sebelah kiri bangunan tempat tidur
bagi anak-anak sang Raja, serta para emban. Sebelah
kanan, untuk tidur sang Raja dan permaisuri serta
selirnya.
Di belakang istana, ada dua bangunan yang
disediakan bagi para sesepuh dan pembesar istana.
Malam itu, Baginda Aji Wardana tengah berada di
kamar permaisuri yang bernama Dewi Ayu Tunjung
Sari. Sehingga dengan leluasa, Nyi Mas Lindri keluar
meninggalkan kamarnya.
"Hm, rupanya semua telah tidur. Para prajurit itu
kurasa tak menjadi masalah. Mereka merupakan
orang-orang yang telah memihak padaku," gumam
orang itu. Dilihat dari nada suara dan bentuk
tubuhnya jelas sosok itu seorang wanita muda.
Pakaian yang dikenakannya merah jambu.
Wanita itu terus mengendap-endap, mendekat ke
bangunan tempat anak-anak Baginda Aji Wardana
malam itu telah terlelap dalam tidurnya.
"Hm, dengan matinya Sulara, baginda akan
menjadi lemah jiwanya. Bukankah dengan begitu, aku
akan bisa mempengaruhinya?" gumam wanita ber-
pakaian serba merah jambu sambil terus mengendap-
endap semakin mendekat ke bangunan itu.
Sesaat matanya mengawasi ke sekeliling tempat
itu. Kemudian, setelah merasa tak seorang pun yang
melihatnya, wanita berwajah terselubung kain merah
jambu itu perlahan-lahan membuka jendela salah
satu kamar pada bangunan besar itu.
Kreeettt...!
Meski jendela itu dibuka dengan pelan sekali,
suara terbukanya daun jendela masih terdengar. Hal
itu membuat wanita itu sesaat menghentikan
gerakannya. Matanya mengawasi sekeliling tempat
itu. Kemudian dengan perlahan-lahan, kembali
dibukanya jendela kamar tempat Sulara.
"Hm, aman...," gumam wanita itu. Kemudian degan
ringannya tubuh wanita itu melompat masuk lalu
dengan hati-hati ditutupnya kembali jendela kamar
itu.
Pemuda berwajah tampan dengan rambut terurai
yang masih teradur pulas itu, nampaknya tidak
terjaga oleh kedatangan seseorang yang tak
diundang ke dalam kamarnya.
Wanita berpakaian merah jambu menyunggingkan
senyum di bibir. Tangan kanannya mengambil
sesuatu dari balik pakaiannya. Dan kini tergenggam
di tangannya sebilah pisau tajam dan runcing, berkilat
putih.
"Mampuslah kau, Sulara!" dengus wanita
berpakaian merah jambu itu sambil melangkah,
mendekati tubuh Sulara, yang tersentak kaget dan
bangun.
"Siapa kau...?!"
Wrrrt!
Wanita itu menghujamkan pisau di tangannya ke
dada Sulara.
Jrebbb!
"Aaakh...!"
Malam yang semula sepi, seketika dipecahkan
suara jeritan kematian dari mulut Sulara. Bersamaan
dengan itu, sosok bayangan merah jambu berkelebat
meninggalkan kamar Sulara. Begitu cepat bayangan
itu melesat, sehingga dalam sekejap saja bayangan
itu telah menghilang di kegelapan malam.
Para prajurit yang mendengar teriakan, serentak
berhamburan menuju kamar tempat Sulara. Mereka
berteriak-teriak.
"Pembunuhan...! Pembunuhaaan...!"
Dalam sekejap saja, seluruh penghuni istana
berhamburan keluar. Mereka semua terkejut bukan
kepalang. Baginda Raja Wardana tergesa-gesa berlari
ke kamar putranya. Seketika mata sang Raja ter-
belalak lebar, ketika melihat apa yang terjadi.
"Sulara...!" pekik Baginda Aji Wardana, setelah
melihat tubuh putranya telah terkapar berlumur
darah. Dadanya terhujam belati yang mengandung
racun. Sedangkan permaisuri Dewi Ayu Bitari,
seketika pingsan. Wanita itu tampaknya tak kuat
menahan kesedihan atas kematian putra sulung,
yang diharapkan bakal menggantikan suaminya
sebagai raja.
Baginda Aji Wardana benar-benar murka atas
kematian anaknya. Matanya menatap tajam ke
seluruh prajurit yang jaga malam itu. Napasnya
tersengal-sengal, diliputi amarah yang meluap-luap.
"Prajurit-prajurit bodoh! Tak ada gunanya kalian
berjaga!" bentak Baginda Aji Wardana murka.
Dicabutnya keris pusaka yang ada di pinggang.
Sret!
"Kalian harus mati, sebagai pengganti anakku!"
Bagaikan banteng terluka sang Raja hendak
mengamuk dan bermaksud menyerang sepuluh
prajurit jaga malam itu. Beruntung Ki Gede Mundu
segera datang menyabarkanya.
"Sabar, Anak Agung. Tak baik kau menuruti nafsu
amarah. Mereka memang salah. Tapi sebagai
seorang raja, kau tak boleh berlaku menuruti nafsu
angkara murkamu. Mereka hanya lalai dalam
menjalankan tugas," tutur Ki Gede Mundu terus
berusaha menyabarkan Baginda Aji Wardana.
"Tapi putra mahkota telah mati, Ki Gede. Dan
semua ini karena kelalaiannya mereka," kilah
Baginda Aji Wardana masih kelihatan marah. Keris
pusaka yang mengeluarkan sinar kuning bernama
Kyai Peget, masih tergenggam di tangannya.
"Aku tahu, Anak Agung. Kami pun turut berduka
cita atas kematian putra mahkota. Kini, cari
pembunuh itu...!" kata Ki Gede Mundu setengah
memerintah para prajurit untuk mencari pelaku
pembunuhan terhadap putra mahkota.
Prajurit yang dari tadi diam, serentak beranjak
untuk mencari pelaku pembunuh Sulara. Seluruh
lingkungan istana mereka lacak, tapi mereka tak
menemukan tanda-tanda kalau pembunuh masih
berada di dalam lingkungan istana.
"Lingkungan istana telah kami lacak, tetapi kami
tak menemukan tanda-tanda kalau pembunuh masih
berada di lingkungan istana," lapor senapati kerajaan
yang memimpin langsung pelacakan terhadap pelaku
pembunuhan.
"Bodoh! Cari di luar...!" bentak sang Raja gusar.
Matanya terbelalak marah, menerima laporan
senapatinya. Sedangkan permaisuri masih pingsan.
Memang masih ada tiga anak lagi. Tetapi permaisuri
merasa sedih, karena anak sulungnya harus mati.
"Daulat, Baginda," Senapati Awong Purba
menyembah, kemudian bersama puluhan prajurit
segera melanjutkan tugas pelacakan di luar istana.
Mereka kembali menelusuri tepian Telaga Mas,
tempat mereka menemukan Pendekar Gila siang tadi.
Hingga menjelang pagi mereka terus menyelidiki
Telaga Mas dalam usahanya mencari orang yang
patut dicurigai sebagai pelaku pembunuhan. Namun,
mereka tak dapat menemukan jejak pembunuh.
Meski begitu mereka tak mau putus asa. Mereka
terus menelusuri tepian Telaga Mas, dengan mata
mengawasi telaga.
Kalau-kalau pelaku yang kabur tercebur di air
telaga dan akan muncul.
***
Tanpa mereka ketahui, Pendekar Gila mem-
perhatikan gerak-gerik para prajurit dari kejauhan.
Sena yang sudah menaruh curiga kalau akan terjadi
sesuatu di Istana Telaga Mas, sengaja tak mau
meninggalkan wilayah sekitar telaga itu. Dengan
sembunyi-sembunyi, Sena berusaha mengawasi apa
yang bakal terjadi di stana itu.
"Hm, rupanya telah terjadi sesuatu di istana.
Mungkinkah apa yang dikatakan Kalong Maut
benar?" jumam Sena lirih. "Tampaknya pembunuhan
terhadap keluarga Baginda Aji Wardana telah terjadi."
***
"Cari pembunuh itu...!" teriak Senapati Awong
Purbo pada para prajuritnya. "Kita harus segera
nenangkap pembunuh itu!"
"Tapi, Kanjeng Senapati, nampaknya tak ada
tanda-tanda kalau pelaku itu mencebur ke telaga ini,"
salah seorang prajurit menjawab.
"Aha, rupanya benar apa yang kuduga. Di istana
telah terjadi sesuatu," gumam Sena sambil meng-
garuk-garuk kepala. "Kurasa di dalam istana telah
dimasuki para pemberontak."
Pendekar Gila terus memperhatikan gerak-gerik
para prajurit yang dipimpin Senapati Awong Purbo.
Mereka masih mencari pelaku pembunuhan di
sekeliling Telaga Mas. Sesekali wajahnya tampak
termenung, seperti sedang berusaha memikirkan
siapa sebenarnya yang dimaksud Kalong Maut.
"Rama.... Ah, Rama siapakah? Lelaki bercodet itu
seakan hendak mengatakan nama seseorang.
Sayang, dia telah terbunuh," gumam Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. "Aku harus menolong keluarga istana dari
ancaman maut. Hm. Jelas sekali, kalau pelaku
pembunuhan berada dalam istana. Sudah dari tadi
aku di sini mengawasi Istana Telaga Mas, tapi belum
kulihat ada orang yang mencurigakan."
Sementara dari kejauhan, masih terlihat Senapati
Awong Purbo dan para prajuritnya terus berusaha
mencari orang yang dicurigai di sekitar Telaga Mas.
Tapi sampai pagi mereka tak juga menemukan tanda-
tanda kalau orang yang dicari akan muncul.
"Tak ada, Kanjeng Senapati...!" seru salah seorang
prajurit.
"Ya! Nampaknya pembunuh itu tak keluar," gumam
Senapati Awong Purbo sambil mengangguk-angguk
kepala. "Jelas pelakunya berada di dalam istana."
Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala,
mendengar ucapan Senapati Awong Purbo. Mulutnya
tersenyum-senyum, dengan tangan menggaruk-garuk
kepalanya.
"Aha, apa yang kau katakan benar, Senapati. Ah,
sayang sekarang kalian tak mengizinkan aku ke
istana. Kalau saja aku diperbolehkan ke istana, ingin
rasanya aku menangkap pengkhianat itu," geram
Sena. Kemudian dengan cepat tubuhnya melesat
meninggalkan tempat itu, ketika Senapati Awong
Purbo dan para prajuritnya juga meninggalkan tepian
Telaga Mas.
Di ufuk timur, mentari merangkak naik perlahan.
Diikuti kicau burung, berdendang riang.
***
4
Pendekar Gila yang berusaha mencari tahu dalang
dari pelaku pembunuhan di Istana Telaga Mas,
tampaknya menemui kesulitan. Karena sumber yang
dapat dimintai keterangan tak ada. Orang yang
semula dapat dijadikan sumber telah tewas sebelum
menjelaskan siapa sebenarnya tokoh yang berdiri di
balik peristiwa pembunuhan di Istana Telaga Mas.
Pagi itu, Pendekar Gila telah sampai di Desa
Kembang Puan, yang terletak di sebelah selatan
Istana Telaga Mas. Saat itu, di sebuah kedai yang
terletak di persimpangan jalan di Desa Kembang
Puan, ramai pengunjung berdatangan. Nampaknya
kedai itu sangat disukai orang-orang yang kebetulan
lewat. Di antara mereka juga ada yang sengaja
datang ke kedai itu.
Tampaknya ada sesuatu yang menarik di kedai itu,
hingga mampu mengundang kehadiran banyak orang,
terutama kaum lelaki. Baik dari kalangan persilatan,
maupun orang-orang biasa.
Ketika Pendekar Gila masuk, keningnya berkerut
menyaksikan banyaknya orang yang mengunjungi
kedai itu. Sehingga ruangan kedai penuh sesak.
Kehadiran Sena yang tingkah lakunya seperti
orang gila, membuat orang-orang menoleh padanya.
Ada yang mengerutkan kening, ada yang tersenyum-
senyum. Bahkan ada yang menggerutu seakan tak
suka melihat kehadiran Pendekar Gila di kedai ini.
"Bocah edan, mau apa dia masuk kedai ini?!" dengus
lelaki berhidung mancung dan bermata sipit dengan
alis melengkung ke atas.
Tampaknya lelaki dari Jepang yang bernama
Takakira itu tak suka atas kehadiran Pendekar Gila di
kedai itu. Mata lelaki berusia tiga puluh lima tahun
itu, menatap tajam wajah Pendekar Gila.
"Hi hi hi.... ha ha ha! Banyak sekali orang di sini!
Sepertinya ada pesta," gumam Sena cengengesan
sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah
lakunya yang seperti orang gila, membuat pengunjung
kedai yang tak suka padanya bertambah kesal dan
benci.
"Bocah edan, mau apa kau kemari?!" sentak
seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun
berpakaian abu-abu. Tangannya memegang sebuah
payung yang gagangnya terbuat dari kayu. Dilihat dari
payung yang dipegangnya wanita tua itu tak lain Nyi
Pinggi Weni atau si Payung Sakti dari Walaparu.
"Aha, yang jelas aku pun ingin ikut berpesta
dengan kalian semua," sahut Pendekar Gila sambil
berusaha mencari tempat duduk di antara padatnya
pengunjung kedai itu. Gerak-geriknya masih seperti
orang gila. Orang-orang pun muak melihat tingkah
lakunya.
"Huh! Bocah edan sepertimu, tahu apa dengan
urusan kita. Cepat pergi dari kedai ini!" bentak
seorang lelaki tua dengan pakaian seperti resi
berwarna ungu. Rambut digelung ke atas, tangan
memegang sebuah senjata berbentuk tasbih ungu.
Matanya yang tajam, menatap penuh selidik terhadap
pendekar gila.
"Hi hi hi.... Kenapa kau galak sekali, Ki? Bukankah
aku kemari untuk ikut berpesta dengan kalian? Ha ha
ha, kupikir di sini akan ada pesta besar. Rasanya, tak
ada salahnya aku turut serta untuk menghabiskan
sisa makanan yang tak habis kalian santap," ujar
Sena sambil duduk di bangku yang masih kosong.
"Bocah edan! Aku tak mengundangmu. Enyahlah
dari sini!" bentak lelaki tua berusia enam puluh tahun
itu bengis. Sepotong paha ayam dilemparkan ke arah
pendekar gila.
Swit!
Paha ayam itu melesat cepat, seperti mengandung
kekuatan tenaga dalam. Menderu keras dekat muka
Pendekar Gila.
"Eit!"
Trep!
Dengan sedikit merundukkan kepala serta tangan
kanan bergerak cepat, Pendekar Gila menyambar
paha ayam itu. Hal itu membuat lelaki tua berkumis
putih serta semua orang di kedai itu terbelalak.
"Hi hi hi...! Terima kasih, Ki! Kau baik sekali,"
dengan tak acuh Sena segera menyantap paha ayam
itu hingga habis. Lelaki tua itu semakin geram,
setelah tahu kalau pemuda yang bertingkah laku gila
mampu menangkap lemparan yang disertai tenaga
dalam.
"Hm, bocah itu bukan orang sembarangan. Tapi
aku ingin tahu, sampai seberapa kehebatan tenaga
dalamnya," gumam lelaki tua itu dalam hati.
Tangannya segera mengambil guci arak yang ada di
hadapannya.
"Minum ini! Hik...!"
Wusss!
Guci arak itu melesat berputar-putar dengan cepat
ke arah Pendekar Gila yang masih menggerogoti sisa-
sisa daging paha ayam. Sementara tangan kanan
memegang tulang paha ayam di mulutnya, sedangkan
tangan kirinya diangkat...
Trap!
Dengan ringan dan mudah sekali Pendekar Gila
menangkap guci yang melesat begitu cepat, karena
dilemparkan dengan kekuatan tenaga dalam.
"Ha ha ha! Kau ternyata baik sekali, Ki," Sena
langsung menuang arak dari guci. Hal itu membuat
mata semua orang yang ada di kedai semakin
terbelalak. Semua orang yang tahu siapa lelaki tua
yang melemparkan guci arak, hanya melongo
bengong melihat Pendekar Gila dengan mudah
menangkap lemparannya.
Lelaki tua berpakaian ungu itu menelan ludah.
Matanya terbelalak, menyaksikan barang yang
dilemparkannya, dengan mudah ditangkap pemuda
bertingkah laku gila itu.
"Hm, benar apa yang kuduga. Ternyata pemuda itu
bukan orang sembarangan," desis hati lelaki tua ang
tiada lain Rama Mangunda. "Bahaya, kalau bocah itu
tahu siapa aku dan hendak apa kami berkumpul di
kedai ini."
"Aha, terima kasih atas jamuanmu, Ki! Kukembali-
kan guci arakmu."
Pendekar Gila segera mendorong guci arak dengan
sentilan jari tangannya ke arah Ki Rama Mangunda.
Wrrr!
Guci arak itu berputar keras seperti gasing,
melesat menuju Ki Rama Mangunda. Mata lelaki tua
itu terbelalak. Ki Rama Mangunda tak menyangka,
kalau telaga dalam pemuda itu sangat hebat.
Buktinya, hanya dengan menyentilkan jari tangannya,
dia mampu membuat guci arak yang berat itu melesat
dan berputar cepat seperti gasing, menderu ke
tubuhnya.
Wrrr!
Guci arak masih berputar dengan cepat, menderu
dekat Ki Rama Mangunda. Lelaki tua itu tersentak
kaget, merasakan hawa panas yang menderu. Dia tak
berani menangkap guci itu. Segera dimiringkan
tubuhnya ke samping agak merendah, mengelakkan
terjangan guci arak itu.
"Celaka! Bocah ini bukan orang gila biasa!" pekik
Ki Rama Mangunda sambil mengelakkan sambaran
guci arah yang terus menderu ke arahnya.
Wrrr!
Guci arak itu melesat beberapa jari di atas
kepalanya, terus menderu dengan putaran cepat
seperti gasing. Akhirnya guci itu pun menghantam
kayu penyangga kedai.
Brakkk!
Duarrr...!
Ledakan menggeiegar terdengar bersamaan
dengan getaran dahsyat yang terasa meng-
guncangkan kedai. Guci pecah berantakan, araknya
muncrat dan langsung menyiram orang-orang yang
berada dekat tiang penyangga kedai.
Crattt!
"Aduh...!"
Mereka yang terkena percikan arak itu terpekik
kesakitan. Pakaian yang terkena arak, seketika
mengeluarkan asap bagai terbakar. Hal itu membuat
Ki Rama Mangunda terbelalak heran. Begitu juga
dengan lelaki berhidung seperti betet dan si Payung
Sakti.
"Bocah edan! Berani lancang kau bertingkah di
sini!" bentak si Hidung Betet geram. Lelaki bersenjata
sepasang pedang itu langsung bangkit dari tempat
duduknya, melangkah mendekati Pendekar Gila yang
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Pemuda berompi dari kulit ular itu masih tenang-
tenang saja, padahal si Hidung Betet telah
menunjukkan kemerahannya.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki? Mukamu pucat
seperti tikus. Ha ha ha...!" dengan suara lepas,
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mengejek
Rama Mangunda yang kian bertambah marah
mendengar ejekan Sena.
"Bocah edan! Siapa kau?!" bentak Rama
Mangunda marah. Wajahnya yang pucat, kini merah
bagai terbakar api amarahnya yang meluap-luap. Dia
merasa telah dipermainkan Pendekar Gila di depan
para pengikutnya.
"Kurang ajar! Kupecahkan batok kepalamu!"
bentak si Hidung Betet. Tangannya dengan kekuatan
tenaga dalam penuh, menyambar cepat kepada
Sena.
Wuttt
Dengan masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala, Sena bagaikan tak melihat serangan
lawan, begitu cepat merundukkan tubuh. Hal itu
mengakibatkan serangan si Hidung Betet meleset di
atas kepala.
"Wua kau galak sekali, Betet Jelek!"
Setelah berkata begitu, Pendekar Gila men-
dorongkan kedua telapak tangannya ke dada lelaki
berhidung seperti paruh betet yang rambutnya diikat
ekor kuda.
Bukkk!
"Ukh!"
Si Hidung Betet yang tak menyangka kalau bocah
gila itu menyerangnya, tak mampu mengelak. Tak
ampun lagi, tubuhnya terdorong kuat ke belakang,
dan baru berhenti, setelah menghantam salah satu
meja di kedai itu.
Brakkk...!
"Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak
sambil berjingkrakkan seperto monyet "Lucu..., hi hi
hi...! Lucu sekali kau, Betet! Kenapa kau seperti
mabuk?! Hua ha ha...!"
"Ukh..., Setan! Kubunuh kau, Bocah Gila!" maki si
Hidung Betet sengit, merasa telah dipermainkan.
Dengan cepat tubuhnya bangun. Tangannya menarik
dua pedang yang berada di punggung.
Srekkk!
Sena semakin tertawa terbahak-bahak, melihat si
Hidung Betet telah mengeluarkan kedua pedang
kembarnya. Tangannya masih menggaruk-garuk
kepala. Tubuhnya berjingkrakan tak ubahnya seperti
monyet.
"Hi hi hi...! Kau benar-benar seperti burung betet
marah," gumam Sena yang membuat si Hidung Betet
bertambah marah.
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan!"
Si Hidung Betet segera bergerak menyerang
dengan kedua senjatanya, memburu Sena yang tetap
tenang sambil cengengesan.
"Putus lehermu! Hih...!"
Lelaki berpakaian seperti pesilat Jepang yang
bernama Takakira membabatkan pedangnya ke
tubuh lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila
merunduk, hingga pedang Takakira melesat di atas
tubuhnya. Kemudian dengan cepat pula, me-
lancarkan dengan pukulan telapak tangan kirinya ke
dada lawan.
"Hih!"
"Uts!" lelaki Jepang itu tersentak melihat serangan
yang datang secara tiba-tiba. Dengan cepat dia
membabatkan pedang di tangan kirinya ke bawah,
berusaha melindungi dadanya dari serangan lawan.
***
Pendekar Gila dengan jurus 'Gila Menari Menepuk
Lalat' bergerak meliuk-liuk menyerang dan terus
mendesak Takakira. Lelaki berhidung betet itu
tersenak kaget melihat gerakan ilmu silat yang
dilancarkan Sena. Gerakan meliuk-liuk tubuh
Pendekar Gila, seperti orang menari. Kemudian
gerakan menepuknya, seperti main-main.
Bukan hanya si Hidung Betet yang mengerutkan
kening dengan mata terbelalak, melainkan semua
orang yang ada di situ termasuk Rama Mangunda
dan si Payung Sakti. Mereka dibuat kaget melihat
gerakan ilmu silat Pendekar Gila. Gerakannya aneh,
sekilas seperti main-main dan sangat lemah. Namun,
dengan gerakan seperti itu, mampu membuat
Takakira harus kerepotan menghadapi gempuran
yang dilancarkan Sena.
"Celaka! Bocah itu bukan bocah gila
sembarangan." desis Rama Mangunda dalam hati,
merasa tegang menyaksikan bagaimana Takakira
yang menjadi salah satu andalannya terdesak terus
menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan
Pendekar Gila. Bahkan kalau Pendekar Gila mau,
sudah sejak tadi Takakira dapat dikalahkan.
Rama Mangunda tak ingin berlarut-larut. Melihat
pertarungan Takakira dengan bocah gila itu segera
melesat mendekati keduanya.
"Hentikan!" bentaknya keras.
Takakira dan Pendekar Gila segera melompat ke
belakang, menghentikan pertarungan itu.
"Aha, mengapa kau menyuruh berhenti, Ki?
Bukankah di sini memang akan ada pesta? Apakah
tak sebaiknya pesta itu didahului oleh arak? Hi hi hi...!
Seperti pesta yang lainnya?" ujar Sena sambil
cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Rama Mangunda benar-benar marah dan ter-
singgung dengan sikap Pendekar Gila. Namun
ketajaman pikiran dan perasaannya dapat membaca
siapa sesungguhnya pemuda yang bertingkah laku
seperti orang gila itu. Menghadapi pemuda ber-
pakaian rompi dari kulit ular itu berarti mencari
penyakit Rama Mangunda bermaksud melerai
bahkan ingin membujuknya agar dapat diajak bekerja
sama.
"Kisanak, di sini tak ada pesta. Kalau kau mau
makan, mintalah! Biar nanti aku yang membayarnya,"
ujar Rama Mangunda berusaha membujuk Sena.
"Aha, ternyata kau tak seburuk temanmu, Orang
Tua. Ha ha ha perutku memang lapar sekali. Paha
ayam yang kau berikan, rasanya kurang mengganjal
perutku. Begitu juga dengan arak yang kau beri,
belum cukup menghilangkan rasa hausku," jawab
Sena dengan cengengesan.
Rama Mangunda tersenyum-senyum, lalu
mengedipkan mata pada Takakira dan si Payung
Sakti. Tangannya menepuk-nepuk pundak Pendekar
Gila.
"Kisanak, kau boleh minta sesuka hatimu. Setelah
itu, kau boleh pergi dari sini! Pak Tua, beri dia
makanan yang enak-enak!" perintah Rama Mangunda
sambil mengedipkan mata, memberi isyarat pada
pemilik kedai agar makanan yang akan disajikan
pada Pendekar Gila dibubuhi racun.
Pemilik kedai ternyata tersenyum dan meng-
anggukkan kepala. Hal itu tertangkap Pendekar Gila
yang hanya cengengesan sambil terus menggaruk-
garuk kepala. Sepertinya Sena tak tahu, niat buruk
Rama Mangunda itu.
"Kisanak, duduklah di kursiku. Sebentar lagi kau
akan menikmati makanan enak," ujar Rama
Mangunda sambil mengiringi Sena yang masih
bertingkah laku seperti orang gila menuju ke
bangkunya.
"Hi hi hi...! Lucu sekali jenggotmu, Ki! Seperti
jenggot kambing...," celoteh Sena sambil menunjuk
jenggot Rama Mangunda, "Aha, ada kutunya, Ki!"
Pret!
"Aaakh...!"
Tangan Sena mencabut jenggot Rama Mangunda
dengan keras, membuat lelaki tua itu terpekik
kesakitan dengan mata terbelalak marah. Hampir
saja Takakira dan si Payung Sakti melabrak pemuda
bertingkah laku konyol dan seperti orang gila itu,
kalau saja Rama Mangunda tak segera melarangnya.
Lelaki tua itu mengedipkan mata, memberi isyarat
agar tak usah melawan bocah gila itu, karena
menurutnya Sena tentu akan mati oleh racun yang
ditaburkan di makanan.
"Hi hi hi...! Sakit, Ki...? Ah, maaf! Aku hanya ingin
mengambil kutunya," kata Sena dengan seenaknya,
bagaikan tak bersalah.
Rama Mangunda tersenyum terpaksa sambil
menganggukkan kepalanya, meski dalam hatinya
memaki sengit dan merutuki perbuatan Pendekar Gila
yang dianggapnya terlalu kurang ajar.
"Bocah edan! Sebentar lagi kau akan mampus,
masih bisa bertingkah!" geram Rama Mangunda
dalam hati.
"Ah, rupanya makanan sudah siap, Kisanak.
Kuharap kau dapat menyantapnya dengan sepuas
hatimu!" ujar Rama Mangunda berusaha menunjuk-
kan keramahan, agar pemuda itu tak curiga, kalau
makanan yang dihidangkan padanya mengandung
racun ganas. Racun yang bagi manusia biasa tak
mungkin mampu bertahan hidup seketika.
"Aha, kelihatannya sangat enak, Ki! Apakah kau
tak ikut bersantap denganku? Ayolah!" ajak Sena,
yang membuat mata Rama Mangunda terbelalak,
dengan wajah pucat pasi. Bagaimanapun dirinya tahu
racun apa yang ditaburkan pada makanan itu.
Rama Mangunda kelabakan, bingung mendengar
ajakan Sena. Ditelan ludahnya beberapa kali, ber-
usaha membasahi kerengkongannya yang kering.
"Aha ayolah, Ki!" ajak Sena sambil menarik tangan
Rama Mangunda untuk makan bersama. "Kurasa
antara kita telah terjalin rasa kesetiakawanan. Kau
telah memberiku makanan yang enak-enak. Bukan-
kah sebaiknya kita makan bersama?"
"Ah, tidak..., terima kasih! Kami sudah makan tadi.
Bagaimana kami bisa makan lagi? Nanti aku tak kuat
jalan," jawab Rama Mangunda berusaha menolak.
"Benar, Sobat. Kami tadi habis makan," sambung
Takakira berusaha meyakinkan Pendekar Gila.
"Aha, jadi kalian tak makan?" tanya Sena sambil
cengengesan. "Baiklah, kumakan sendiri."
Dengan lahap Sena menyantap makanan itu. Dia
yang kebal segala macam racun dan tahu kalau
makanan itu beracun, pura-pura merasakan pening.
Kemudian tergeletak tidur. Hal itu dilakukan karena
ingin tahu, apa yang sebenarnya hendak direncana-
kan mereka selanjutnya.
"Mampuslah kau, Bocah!" dengus Rama
Mangunda sambil tersenyum kecut, "Buang Dia...!"
perintahnya pada anak buahnya.
Empat lelaki berbadan kekar dengan kepala botak
melangkah menghampiri tubuh Pendekar Gila
kemudian bagaikan menenteng bangkai, keempatnya
membawa tubuh Pendekar Gila yang dianggap
mereka orang gila.
***
5
Keempat lelaki berkepala botak dan berbadan kekar
itu terus membawa tubuh Pendekar Gila menuju
perbatasan Desa Kembang Puan. Di sana ada sebuah
sungai yang cukup besar dan deras airnya.
"Kita buang saja ke sungai ini," usul salah seorang
dari mereka.
"Aha, enak sekali kalian ngomong," tiba-tiba Sena
bangun.
Keempat lelaki yang memegangi tangan dan kaki
Pendekar Gila tercekat kaget bukan kepalang.
Mereka mengira pemuda yang dibawanya benar-
benar telah mati oleh racun. Apalagi ketika tiba-tiba
tubuh Pendekar Gita melenting ke atas dan berputar
cepat sekali.
Krakkk!
Kretek!
Suara gemeretak seperti tulang patah terdengar
bersama berputarnya tubuh Pendekar Gila.
"Aduh!"
"Aaakh...!"
Keempat lelaki berbadan tegap dengan kepala
botak itu terpekik keras, ketika tulang tangannya
bagaikan patah akibat hentakan tubuh Pendekar Gila.
Tangan mereka yang memegang tangan dan kaki
Sena, seketika lepas. Bahkan kini keempat lelaki
berkepala botak itu meringis-ringis kesakitan.
"Hua ha ha...! Kalian kena tipu! Hi hi hi...!" Sena
tertawa-tawa sambil berjingkrakkan seperti seekor
monyet. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu
membuat geram keempat lelaki berkepala botak.
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu, Bocah edan!"
dengus lelaki berkepala botak dengan hidung besar
sambil meluruk ke tubuh Pendekar Gila dengan
kepalan tangannya yang besar.
Wuttt!
"Eit! Ada kebo ngamuk! Ha ha ha...!"
Sambil tertawa-tawa dan menggaruk-garuk kepala,
Sena menarik kaki kanannya ke samping. Kemudian
menekuknya ke bawah. Dan ketika lelaki berkepala
botak itu menyerang, dengan cepat Sena me-
miringkan tubuhnya ke samping sambil mengangkat
kaki kirinya ke atas.
Deggg!
Serangan lawan luput, malah lutut Pendekar Gila
menghantam keras ke dada lawan. Tak ampun lagi,
tubuh besar itu terjungkal ke tanah dan langsung
terpelanting ke sungai yang deras airnya.
Byurrr!
"Happp! Tolooong...!" lelaki berhidung besar itu
berteriak. Tangannya berusaha menggapai-gapai,
mencari pegangan. Namun, arus sungai yang deras,
terus menyeret tubuhnya yang besar.
Ketiga temannya yang menyaksikan kejadian itu,
seketika marah. Mata mereka menatap penuh
kebengisan pada Pendekar Gila yang masih
cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya, bagai-
kan tak menghiraukan kemarahan ketiga lawannya.
"Bocah edan. Kubunuh kauuu...!" lelaki beralis
lebat dan mata lebar membentak. Kemudian
ketiganya serentak menyerang Pendekar Gila dengan
pukulan dan sambaran tangan mereka yang besar
dan kekar.
Wrrrt!
Emoticon