Firman R
Serial Pendekar Gila
dalam episode 23:
1
Senja itu cuaca tampak mendung. Kesunyian
menyelimuti daerah sekitar Hutan Merawan. Angin
yang menerpa dedaunan menimbulkan suara
gemerisik. Di mana-mana tampak dedaunan kering
berserakan. Langit gelap. Suasana kian mencekam
ketika beberakali terdengar suara guntur meng-
gelegar, diiringi kilat-kilat petir yang menyambar.
Pada sebuah tanah yang agak lapang di dalam
hutan itu tampak seorang pemuda sedang bersila
menghadapi dua buah kuburan yang nisannya
nampak sudah rusak. Pemuda itu nampak sedang
tepekur, wajahnya penuh kesedihan. Matanya me-
natapi kedua kuburan itu. Wajah pemuda itu belum
begitu jelas, karena kepalanya yang masih tertunduk.
Namun dilihat dari pakaian yang dikenakannya, tak
salah lagi, pemuda itu adalah Sena Manggala atau
yang dikenal dengan julukan Pendekar Gila.
Kini Sena tampak bersujud di samping kuburan
itu. Ternyata itulah kuburan tempat kedua orang-
tuanya bersemayam. Dalam hatinya pemuda itu me-
minta restu dan kekuatan serta keselamatan dalam
menjalankan tugas kehidupan sebagai pendekar yang
bertanggung jawab menegakkan kebenaran dan
keadilan.
“Maafkan anakmu ini, Ayah, Ibu...! Karena baru
kali ini aku bisa datang kemari,” gumam Sena per-
lahan dengan perasaan sedih. Pendekar muda ber-
wajah tampan itu sepertinya berat untuk segera
meninggalkan tempat itu, walaupun sudah hampir
setengah hari dirinya bersila di samping kuburan
kedua orang-tuanya. Seakan-akan tak dipedulikannya
malam yang hampir tiba. Kalau saja tak ingat akan
tugasnya yang masih perlu diselesaikan, mungkin
Sena tak akan beranjak dari tempat itu.
Perlahan-lahan Sena mulai berdiri. Namun mata-
nya tak lepas, terus menatap kedua kuburan itu.
Sampai akhirnya ia berdiri tegak.
“Kalau saja kedua orangtuaku masih hidup,
alangkah bahagianya aku. Ayah, Ibu, lindungi dan
berilah kekuatan pada anakmu ini!” ujar Sena dalam
hati. Kemudian ditariknya napas dalam-dalam.
Sementara itu langit mulai gelap. Petir sebentar-
sebentar menyambar permukaan bumi. Suaranya
keras menyakitkan telinga. Angin pun semakin
kencang tertiup menerpa dedaunan pohon dan wajah
Sena. Rambutnya yang panjang sebahu tersapu
angin, hingga sebagian menutupi wajah Sena. Namun
pemuda berompi kulit ular itu membiarkannya.
Matanya terus memandangi kedua nisan itu.
“Aku pergi dulu, Ayah, Ibu...,” ucap Sena pelan
sekali.
Kemudian tubuhnya melesat pergi, bagai burung
elang terbang ke udara. Rupanya Sena mengerahkan
ilmu lari 'Sapta Bayu'. Hingga dalam waktu singkat
pendekar muda itu sudah berada di luar Hutan
Merawan.
Di sebuah dataran luas yang sunyi Sena berjalan
cepat ke arah timur. Saat itu malam pun mulai tiba.
Terpaksa Sena harus mencari tempat untuk ber-
malam. Langkahnya semakin dipercepat agar segera
sampai di desa terdekat.
Malam makin sunyi dan sepi. Tidak ada seorang
manusia pun yang berjalan di malam itu, kecuali
Sena.
Ketika Sena sampai di suatu jalan lurus yang di
kanan kirinya terbentang sawah yang luas, hati Sena
sedikit lega karena merasa yakin sudah dekat dengan
daerah pedesaan.
Sena memang merasa masih asing dengan daerah
itu. Karena ketika dirinya datang mengunjungi
kuburan orangtuanya, dia datang dari arah barat, Dan
karena ingin melanjutkan petualangan ke timur Pulau
Jawa maka Sena lewat jalan yang belum pernah
dilaluinya.
“Kurasa tak jauh lagi di depan sana ada desa,”
gumam Sena dalam hati.
Pemuda gagah itu terus melangkahkan kakinya
dengan mantap dan lebih cepat lagi.
***
Sena masih melangkah menyelusuri jalan
pematang sawah, ketika tiba-tiba ada sosok
bayangan berkelebat di depan matanya. Karena
suasana malam gelap, bayangan itu hanya nampak
hitam. Sena menghentikan langkahnya. Matanya
memandang ke sekeliling mencoba mengawasi
keadaan. Begitu pula telinganya, dipasang untuk
mendengar. Namun sesaat kemudian pemuda
berambut gondrong itu kembali mengayunkan
langkah dengan mantap. Matanya memandang lurus
ke depan, seakan tak menghiraukan apa pun yang
baru saja dilihatnya.
Ketika sampai perempatan jalan menuju desa,
tiba-tiba matanya melihat lagi dua sosok bayangan
berkelebat. Namun, Sena tetap tenang tak me-
nanggapi sedikit pun. Kakinya terus melangkah
dengan mantap. Tangannya mulai menggaruk-garuk
kepala dan mulutnya tersenyum-senyum cenge-
ngesan.
“Hi hi hi...!”
Sena mengambil jalan yang ke kanan. Di kanan-
kiri sepanjang jalan itu ditumbuhi pepohonan rindang
dan semak belukar.
“Berhenti...!”
Suara bentakan keras tiba-tiba terdengar, disusul
kemunculan dua sosok bayangan menghadang di
depan Sena.
Sena berhenti. Tangannya menggaruk-garuk
kepala sambil cengengesan. Kilatan petir sekejap me-
nerangi tempat itu. Saat itu Sena dapat melihat
kedua orang yang berdiri lima tombak di hadapannya.
Wajah mereka seperti kera. Sedangkan pakaian
keduanya serba hitam dengan ikat pinggang merah.
Rambut mereka terurai panjang melewati bahu.
Kedua sosok berwajah kera itu tampak memegang
golok bergigi seperti gergaji di ujungnya.
“Hah?! Manusia kera...!” gumam Sena setelah
sempat mengamati kedua penghadang itu sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
Dua penghadang itu dikenal dengan nama
'Sepasang Manusia Kera' yang ditakuti orang-orang
Kadipaten Singa Raja dan para tuan tanah.
“Apa maksud tujuanmu memasuki daerah ini?”
tanya salah seorang dari mereka yang bertubuh agak
tinggi.
“Hi hi hi...! Aku hanya ingin lewat, Kisanak,” jawab
Sena dengan cengengesan, “Kalau boleh tahu, apa
nama desa ini?”
“Bohong! Apa maksud tujuanmu? Untuk apa kau
datang kemari?! jawab!” bentak yang lebih pendek.
Suaranya lebih kasar dan keras.
“Hi hi hi lucu sekali! Bukankah sudah kukatakan,
aku hanya ingin lewat. Aku tak punya maksud lain,”
jawab Sena sambil cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala. Melihat sikap Sena itu, orang yang
bertanya menjadi geram, dan ingin segera
menyerang. Namun kawannya segera melarang
dengan merentangkan tangan kanan.
“Orang gila! Sebaiknya kau bilang terus terang!
Apa tujuanmu datang ke Desa Karang Galuh ini?”
tanya manusia kera bertubuh tinggi, yang mencegah
temannya, ketika hendak menyerang Sena.
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya cengar-
cengir sambil tangan kanannya menggaruk-garuk
kepala.
“Jawab! Sebelum hilang kesabaran kami...!”
bentak orang yang bertubuh agak pendek. Dirinya
memang berperangai lebih keras dibandingkan
kawannya.
“Hi hi hi...! Lucu sekali, Kisanak! Apa yang ku-
katakan tadi rasanya sudah jelas terdengar di telinga
kalian,” sahut Sena agak sinis. Hal itu membuat
kedua orang bermuka kera itu bertambah marah.
Hampir bersamaan dengan suara geledek yang di-
dahului kilatan cahaya kedua orang berwajah kera itu
melesat menyerang. Lompatan cepat yang mereka
lakukan mirip kera.
Sena terkesima sesaat, karena serangan kedua
manusia kera itu begitu cepat. Jurus-jurusnya pun
aneh, seperti gerakan kera. Kedua golok berkelebat
cepat memburu di muka Sena.
Wrt! Wrt! Wrt!
“Hah?! Hi hi hi...!”
Pendekar Gila cepat melompat mundur untuk
mengelak, lalu membalas dengan tendangan kedua
kakinya.
“Hea...!”
Degk! Degk!
“Huk!”
“Ukh!”
Kedua manusia kera itu terhuyung dua tombak ke
belakang terkena tendangan. Pendekar Gila kembali
cengengesan. Kedua manusia kera itu makin geram
dan marah, melihat tingkah laku lawan yang dianggap
mengejek mereka. Cepat-cepat keduanya membenar-
kan kedudukan. Mata mereka yang tajam menatap
penuh kegeraman.
“Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan!” dengus
keduanya hampir bersamaan.
Kedua manusia kera itu, kemudian mengeluarkan
jurus-jurus pembukaan dengan gerakan mirip kera.
Keduanya menggaruk-garuk ketiak sambil merunduk-
kan kepala.
“Nguk...! Nguk...!”
“Nguk...!”
Sena mengerutkan kening, melihat jurus-jurus lucu
dan aneh kedua manusia kera itu. Seakan-akan
tengah memikirkan sesuatu. Kemudian cengengesan
sambil meniru gaya mereka. Kedua manusia kera itu
kembali menyerangnya dengan terus berteriak seperti
kera.
Dengan cepat kedua manusia kera melancarkan
pukulan maut. Sebentar kemudian gerakan mereka
berubah mencakar dan menendang ke tubuh Sena.
“Nguk...!”
“Nguk...!”
Melihat serangan yang cepat dan membahayakan,
dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala
Pendekar Gila segera berkelit. Kemudian dengan
jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' segera me-
lancarkan serangan balasan.
“Nguk...!”
“Hi hi hi...! Hea...!”
Plakkk! Brettt!
Tangan mereka beradu, saling pukul dan tangkis
dengan cepat. Salah seorang dari manusia kera mem-
babatkan goloknya ke kaki Pendekar Gila. Sedangkan
satunya lagi menebas kepala. Kalau saja yang
dihadapi bukan Pendekar Gila, golok-golok itu sudah
memutuskan kaki dan kepala lawan. Namun dengan
kecepatan yang sukar ditangkap mata biasa
pendekar itu melenting ke udara sambil kakinya
menendang kedua manusia kera itu.
Degk! Degk!
“Aaa...!”
“Ukh...!”
Kedua manusia kera itu terhuyung dua tombak ke
belakang. Keduanya saling pandang. Lalu kembali
membuat gerakan untuk menyerang Pendekar Gila.
“Aha, Kisanak sebaiknya kita tak perlu adu
kekuatan begini! Aku tak bermaksud jahat,
percayalah!” ujar Pendekar Gila berusaha untuk tak
melanjutkan bentrokan dengan kedua lawannya.
Namun rupanya kedua manusia kera itu tak meng-
hiraukan ucapan Pendekar Gila. Mereka kembali
menyerang dengan jurus-jurus maut. Kedua manusia
kera itu membabatkan golok mereka dengan cepat.
Golok itu bagaikan kipas diputar, kemudian ditusuk-
kan ke tubuh Pendekar Gila.
Wrttt!
“Hea...!”
Wrttt!
“Aits! He he he...!”
Pendekar Gila mengelak dengan melompat ke atas
dan bersalto di udara. Kemudian Pendekar Gila
mendaratkan kakinya lima tombak dari kedua
manusia kera yang kini berada di belakang Pendekar
Gila.
“Nguik...! Ger!”
“Heaaa...! Herrr!”
Kedua manusia kera itu pun berbalik cepat
dengan berjumpalitan di tanah. Keduanya bagai
seekor kera, bergulingan di tanah sambil menyerang.
Suara mereka yang keras seperti kera sedang
ngamuk.
Wuttt! Wuttt!
Kedua manusia kera itu membabatkan golok
menyerang lawan.
Pendekar Gila mengelak dengan merundukkan
kepala, kemudian dengan cepat kedua kakinya
direntangkan lebar-lebar ke tanah. Sehingga
serangan lawan melewati kepalanya. Pada saat
kedua manusia kera itu berada di atasnya, dengan
cepat Pendekar Gila melancarkan serangan dengan
pukulan 'Gila Menari Menepuk Lalat'.
Deg! Deg!
“Aaa...!”
“Hrrr...!”
Kedua manusia kera itu terpekik. Tubuh mereka
terdorong ke belakang, lalu bergulingan sampai
akhirnya membentur batang pohon besar.
Brak!
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
“Hi hi hi...! Ha ha ha...! Lucu...! Lucu sekali...!”
Darah meleleh di sela bibir kedua manusia kera
itu. Keduanya merasakan sesak di dada. Namun,
seperti tak menghiraukan keadaan, mereka segera
bangkit berdiri. Dengan geram mata kedua manusia
kera itu menatap Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Jangan kau anggap kami tak dapat menangkap-
mu, Pemuda Gila!” dengus salah seorang dari
manusia kera itu sambil membuat kuda-kuda untuk
menyiapkan jurus lain. Kedua tangan mereka
menjulur ke depan. Sedang kedua kaki mereka ber-
geser, bersamaan bergerak ke depan. Tangan-tangan
terbalur pakaian hitam itu bergerak-gerak bagaikan
menari. Kemudian bersamaan dengan hentakan
keras kaki mereka terdengar teriakan keras meng-
gelegar....
“Hea...! Hrrr...!”
Wusss! Wusss!
Serangan angin ganas, datang dari telapak tangan
kedua manusia kera itu. Itulah jurus 'Topan Beracun',
Ilmu andalan kedua manusia kera itu. Pendekar Gila
nelompat ke udara. Serangan itu dapat dihindari.
Namun keduanya segera mengejar Pendekar Gila
dengan melompat pula ke udara. Terjadilah per-
tarungan di udara beberapa saat lamanya. Kedua
manusia kera itu mengapit di sebelah kanan dan kiri
Pendekar Gila.
“Hea...!”
“Grrr. .!”
Setelah saling pukul dan tangkis. Pendekar Gila
akhirnya sempat memasukkan pukulan ke dada
kedua manusia kera itu.
Degk!
“Akh..!”
“Akh...!”
Bersamaan dengan terdengarnya pekikan
panjang, tubuh kedua manusia kera terlempar jauh
dan bergulingan di tanah. Dengan cepat Pendekar
Gila meluncur. Dengan ringan kakinya mendarat di
atas tanah. Mulutnya cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala.
“Aha, Kisanak sekalian! Kurasa antara kita tak ada
urusan apa-apa,” ujar Pendekar Gila dengan tingkah
lakunya yang masih konyol.
Belum sempat kedua manusia kera itu berkata,
Pendekar Gila telah melesat meninggalkan tempat
itu. Saat itu petir menyambar-nyambar, dengan
kilatnya yang menerangani bumi. Kedua manusia
kera menggeram, merasa kecewa atas kekalahan
mereka dengan pemuda bertingkah laku seperti
orang gila. Kedua manusia kera itu masih mematung
dengan mata menatap ke arah melesatnya Pendekar
Gila. Seakan mereka tengah bertanya-tanya, siapa
sebenarnya pemuda gila itu.
“Dimas Anila, siapa sebenarnya pemuda itu? Rasa-
rasanya aku pernah mendengar namanya yang
disebut-sebut banyak orang.”
“Maksud Kakang Anggada...?” tanya Anila dengan
kening berkerut.
“Aku pernah mendengar namanya. Nama gelarnya
yang sama dengan tingkah lakunya,” tutur Anggada.
“Maksud Kakang, Pendekar Gila?”
“Benar.”
“Kurasa juga begitu, Kang.”
“Kau yakin, Dimas Anila?” tanya Anggada.
“Entahlah,” sahut Anila.
“Kalau begitu, kita selidiki saja!”
“Ayo, Kakang!”
Kedua manusia kera yang ternyata bernama Anila
dan Anggada segera melesat dari tempat itu.
Keduanya menembus kegelapan malam yang
nampaknya akan segera turun hujan.
***
Pagi nampak sangat cerah. Seperti biasa, Desa
Karang Galuh yang aman dan subur itu mulai nampak
sibuk. Penduduk desa berlalu-lalang dengan ke-
sibukan masing-masing. Di desa itu udara cukup
sejuk, karena terletak di kaki Gunung Anjasmara.
Sena nampak tengah duduk di serambi depan
sebuah rumah bilik cukup besar, yang terletak agak di
tengah desa. Tidak jauh dari rumah tempat Sena
berada, ada sebuah kedai nasi. Di kedai itu nampak
empat lelaki sedang bersantap.
“Aku sangat berterima kasih padamu, Ki. Karena
kau telah sudi menerimaku bermalam di rumah ini...,”
ucap Sena dengan sopan dan kalem. Tidak me-
nunjukkan tingkah lakunya yang seperti orang gila.
“Ah...! Itu biasa bapak lakukan pada orang yang
membutuhkan, Nak. Asal kau bermaksud baik,”
jawab Ki Praba, yang tak lain Kepala Desa Karang
Galuh itu.
“Terima kasih, Ki!” ucap Sena sambil meng-
anggukkan kepala, “Saya sangat senang melihat desa
yang aman tenteram seperti Desa Karang Galuh ini.
Tentunya semua ini tak luput dari kepemimpinan Ki
lurah sebagai kepala desa...”
Ki Praba hanya mengusap-usap jenggotnya yang
tak begitu panjang. Wajahnya nampak kalem, penuh
kebapakan tapi tegas. Dari bentuk tubuh dan
pancaran sinar matanya, menyiratkan bahwa dirinya
memiliki ilmu silat yang cukup lumayan. Meski begitu,
lelaki tua itu sangat ramah. Dan itu sebabnya
penduduk Desa Karang Galuh sangat menghormati
dan menyegani Ki Praba.
“Ah, bisa saja, Nak Sena. Sebenarnya bukan
bapak saja yang membuat desa ini aman dari
gangguan orang-orang jahat,” tutur Ki Praba dengan
polos.
“Oh... jadi, siapa yang membantu Bapak dalam
mengamankan desa ini?” tanya Sena ingin tahu
sambil mengangguk-anggukkan kepala.
“Ada dua saudara. Sanjaya dan Purnama yang
selalu membantuku,” jawab Ki Praba. Sena meng-
angguk-anggukkan kepala perlahan. Mulutnya ter-
senyum ramah menggambarkan rasa kagum ter-
hadap lelaki tua, kepala desa itu.
“Ah, beruntung Ki Praba memiliki warga desa
seperti mereka berdua. Aku ikut senang men-
dengarnya. Sayang aku belum bisa berkenalan
dengan mereka,” ujar Sena dengan ramah. Mulutnya
tersenyum dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Biasanya Sanjaya dan Purnama datang kemari,
jika ada sesuatu masalah. Keduanya selalu minta
pendapat padaku,” tutur Ki Praba dengan tenang.
“Selamat pagi, Ki...?”
Terdengar suara dari samping rumah. Ki Praba
menoleh untuk mengetahui siapa yang baru saja
memberi salam.
“Selamat pagi! Nah, ini dia orang yang kukatakan
tadi, Sena,” kata Ki Praba dengan wajah gembira, lalu
menyilakan kedua bersaudara Sanjaya dan Purnama.
Sejenak Sanjaya dan Purnama menatap wajah
Sena dengan pandangan penuh selidik. Seakan
keduanya menaruh curiga pada tamu Ki Praba.
Sena yang merasa dicurigai hanya tersenyum-
senyum. Sebentar kemudian berubah cengengesan
sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Sikapnya
itu membuat, Sanjaya dan adiknya mengerutkan
kening. Matanya semakin tajam menatap wajah
Sena. Kemudian kedua lelaki yang memakai pakaian
serba kuning itu saling pandang. Tampaknya mereka
merasa tak senang menyaksikan tingkah laku Sena
yang konyol itu.
“Hhh!” Sanjaya yang berkumis tebal dengan
blangkon hitam mendesah. Sementara adiknya hanya
menarik napas dalam-dalam. Sepertinya Purnama
berusaha sabar.
Memang di antara kedua kakak beradik itu, ada
perbedaan. Kalau Sanjaya berwatak keras dan cepat
marah, sebaliknya Purnama agak penyabar.
Keadaan semakin kaku di antara mereka.
Beruntung Ki Praba cepat tanggap.
“Ayo, duduklah! Kebetulan kami sedang mem-
bicarakan kalian berdua...,” kata Ki Praba sambil
menggeser duduknya di dekat Sena. Mereka duduk di
bale-bale lebar beralaskan tikar pandan.
Mendengar ucapan Ki Praba, kedua bersaudara itu
saling pandang. Keduanya seakan kurang senang.
Namun karena Ki Praba sudah dianggap seperti
orang-tua sendiri, Sanjaya dan Purnama menurut.
Mereka duduk di sebelah kiri Ki Praba, berhadapan
dengan Sena.
“Nak Sena ini, ingin berkenalan dengan kalian.
Tadi kuceritakan sedikit tentang kalian berdua. Nak
Sena merasa ikut senang desa ini aman karena
kalian berdua...,” tutur Ki Praba membuka per-
cakapan.
“Terima kasih, Kisanak! Kami berdua juga ingin
berkenalan dengan Kisanak,” sambut Sanjaya sambil
menatap Sena dengan pandangan menyelidik.
Sena yang ditatap begitu hanya tersenyum-senyum
sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara Purnama
yang lebih tenang hanya diam menundukkan kepala.
“Namaku Sanjaya, dan ini adikku Purnama...,”
kata Sanjaya memperkenalkan diri.
“Aku Sena. Senang aku dapat bertemu dan ber-
kenalan dengan kalian berdua. Sebab orang-orang
macam kalian sangat dibutuhkan oleh orang-orang
yang lemah dan perlu pertolongan, untuk ke-
tenteraman desanya,” kata Sena bernada memuji.
“Terima kasih...,” sahut Sanjaya datar, “Namun
kalau boleh aku tahu, apa tujuan Kisanak datang ke
Desa Karang Galuh ini...?”
“Nak Sena hanya menumpang nginap di rumah ini
tadi malam,” sela Ki Praba. “Kebetulan semalam Nak
Sena ini ketemu bapak di kedai sebelah. Dia perlu
tempat untuk bermalam. Dan bapak tahu, Nak Sena
bukan orang jahat. Percayalah, Sanjaya...!”
Sanjaya manggut-manggut. Namun tatapannya
masih menunjukkan perasaan curiga. Sena melawan
tatapan mata Sanjaya. Sesaat keduanya saling tatap
dengan tajam. Namun, akhirnya Sanjaya mengalihkan
pandangannya ke wajah Ki Praba.
“Ki Lurah, sudah waktunya aku mohon pamit
Terima kasih atas segala kesediaan dan keramahan
dalam menerimaku untuk bermalam di sini,” kata
Sena tiba-tiba, “Aku harus segera pergi. Masih banyak
tugas yang harus saya kerjakan.”
Sena bangkit dari duduknya.
“Lho, kok buru-buru...? Bapak tak keberatan kalau
Nak Sena mau tinggal di desa ini satu dua hari lagi...,”
sahut Ki Praba dengan penuh persahabatan. Lelaki
tua itu lalu berdiri dari duduknya serta diikuti Sanjaya
dan Purnama.
“Mungkin kisanak ini ada tugas yang sangat
penting, Ki,” sindir Sanjaya dengan nada sinis.
“Ah, kamu ini...,” ujar Ki Praba sambil memegang
bahu Sanjaya.
Sena hanya nyengir kuda mendengar ucapan
Sanjaya. Hatinya sudah mengerti apa maksud ucapan
Sanjaya itu. Namun dirinya membalas dengan
senyuman sambil menggaruk-garuk kepala.
“Terima kasih, Ki! Mungkin lain waktu aku mampir
kemari. Aku mohon diri...,” kata Sena sambil
menyalami tangan Ki Praba. Kemudian mengangguk
pada Sanjaya dan Purnama yang memandanginya
dengan pandangan agak sinis.
Baru saja Sena melangkahkan kakinya dua tindak,
tiba-tiba....
“Tolong...! Tolong...! Tolong...!”
Terdengar teriak seorang wanita setengah baya
yang berlari ketakutan menuju rumah Ki Lurah Praba.
Sena menghentikan langkahnya. Matanya mem-
perhatikan wanita setengah baya yang berlari
mendekati Ki Praba. Sanjaya dan Purnama nampak
sedikit cemas. Matanya terus menatap tajam pada
Sena.
“Tolong, Ki! Tolong, Ranti dibawa oleh Raden
Kumbara bersama anak buahnya!” kata wanita itu
sambil menangis.
“Raden Kumbara?! dari mana kau tahu, kalau dia
Kaden Kumbara?” tanya Ki Praba, kaget.
“Lelaki muda itu menyebutkan namanya! Mem-
bawa Ranti dengan kereta kuda. Mereka juga mem-
bunuh suamiku, Ki!” ujar Nyi Karti sambil terus
menangis.
Kontan Sanjaya dan Purnama melesat cepat bagai
terbang, tanpa permisi dulu pada Ki Praba.
Sena segera mendekati Ki Praba yang masih
berusaha menenangkan Nyi Karti. Wanita setengah
baya itu terus menangis. Hal itu karena mencemas-
kan anak gadisnya, yang pasti tidak akan kembali
lagi. Dirinya tahu kalau Ranti, anaknya akan dijadikan
gundik setelah direnggut keperawanannya oleh
Raden Kumbara.
“Ki Lurah, kalau boleh aku bertanya, siapakah
Raden Kumbara itu? Dari kadipaten atau kerajaan
mana?” tanya Sena ingin tahu.
“Hm...! Dia sebenarnya bukan raden. Dia manusia
yang berkhianat!” jawab Ki Praba dengan suara
sedikit bergetar, menunjukkan kemarahannya.
Mendengar ucapan Kepala Desa Karang Galuh itu
Sena mengerutkan kening, tak mengerti.
“Apa maksud Ki Lurah...?” tanya Sena dengan
mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Panjang ceritanya, Nak Sena. Sebaiknya kita
menyusul Sanjaya dan Purnama dulu!” ajak Ki Praba.
Sena masih merasa heran. Kenapa tiba-tiba desa
yang katanya aman dan tenteram ini, tiba-tiba saja
kacau karena ulah seorang yang disebut Raden
Kumbara.
“Siapa Raden Kumbara itu?” tanya Sena dalam
hati.
“Nyi Karti tunggulah di sini! Biar aku menyusul
mereka...,” ujar Ki Praba berusaha menenangkan hati
Nyi Karti yang masih terus menangis sedih. “Nyimas,
tolong jaga Nyi Karti!” seru Ki Praba kepada istrinya
yang keluar ketika mendengar tangis Nyi Karti. Wanita
itu hanya menganggukkan kepala.
“Ayo, Nyi!” ajak Nyi Praba sambil membimbing
masuk wanita berusia lima puluh tahun itu.
Dengan langkah cepat, Ki Praba segera pergi
diikuti Sena menuju utara desa, arah yang dituju
Sanjaya dan Purnama.
***
2
Kereta kuda yang membawa Ranti dipacu kencang
oleh sang Kusir. Di belakang kereta itu enam orang
penunggang kuda mengiringi. Mereka semua ber-
pakaian hijau-hijau dengan blangkon yang juga ber-
warna hijau. Keenam pengawal itu bersenjata golok
berukuran panjang, terselip di pinggang. Tampang
mereka garang, semuanya berkumis tebal.
Sesampai di jalan yang cukup lapang menuju
pantai, tiba-tiba kereta kuda itu berhenti. Kuda-kuda
yang menarik kereta itu mengangkat kedua kaki
depan sambil meringkik.
Dua orang lelaki yang tak lain Sanjaya dan
Purnama, menghadang lajunya kereta kuda. Hal itu
membuat kusir kereta kuda itu terkejut, hingga jatuh
bergulingan ke tanah.
Sedangkan di dalam kereta itu terdengar teriakan
Ranti yang meratap ketakutan.
“Tolong...! Tolong...!”.
Sanjaya yang berwatak lebih keras dan cepat naik
darah dibandingkan Purnama, segera membabatkan
goloknya ke kusir kuda itu.
“Mampus kau! Heaaa...!” bentak Purnama.
Wrt!
Crak!
“Aaa...!”
Seketika kusir kereta kuda itu terkapar tewas ber-
lumuran darah. Golok Sanjaya mendarat telak di
lehernya. Tidak lama kemudian keluarlah lelaki muda
bertampang culas dengan sedikit kumis di bibirnya,
wajahnya yang bengis menunjukkan jiwanya yang
licik.
“Bedebah! Siapa yang telah berani melawanku!”
dengus lelaki berpakaian hitam yang baru keluar dari
kereta.
“Kami!” bentak Sanjaya gusar. Matanya menatap
tajam wajah Raden Kumbara, seakan menyimpan
kebencian yang meluap-luap. Gigi-giginya saling
gemerutuk menahan kegeraman.
Lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun, bermuka
bengis yang di tangannya memegang keris, seketika
memandang kedua kakak beradik itu. Mata lelaki
yang mengaku sebagai Raden Kumbara itu ter-
belalak, selelah tahu siapa yang menghadangnya.
“Hai..., Cecurut-cecurut..! Jangan coba-coba men-
dekatiku. Wanita ini akan kugorok lehernya...!” ancam
Raden Kumbara dengan pongahnya, sambil men-
dekap Ranti dengan menempelkan keris di leher
gadis cantik itu.
“Biadab kau, Kumbara! Pengkhianat...!” dengus
Sanjaya dengan geram dan marah, “Dimas Purnama,
Kita harus menggunakan siasat untuk menghadapi-
nya, dia sangat licik!”
Purnama mengangguk. Matanya terus menatap
tajam wajah Raden Kumbara yang mulai melangkah
mundur, membawa Ranti dengan ancaman akan
membunuhnya.
Enam orang anak buah Raden Kumbara segera
mengepung Sanjaya dan Purnama dengan senjata
terhunus.
“Tunggu apa lagi...! Habisi kedua monyet busuk
itu!” perintah Raden Kumbara pada anak buahnya
yang menunggu perintahnya.
Keenam anak buahnya langsung menyerang
Sanjaya yang masih dengan tenang berdiri di tempat-
nya.
“Serang...!” teriak pimpinan dari keenam anak
buah Raden Kumbara itu.
“Heaaa...!”
Trang! Trang! Trang!
Senjata mereka saling beradu. Sanjaya nampak
dengan tenang menghadapi keenam anak buah
Raden Kumbara. Dirinya hanya berkelit ke kiri dan ke
kanan, serta melompat mundur dan menangkis
serangan mereka. Kemudian sesekali melancarkan
serangan balik yang mematikan.
“Heaaa...!”
“Aaa...!”
“Ukh...!”
Maka terdengarlah teriakan kematian dari anak
buah Raden Kumbara yang ilmu silatnya memang
jauh di bawah Sanjaya. Sehingga hanya dalam be-
berapa gebrakan Sanjaya sudah dapat menghabisi
empat orang.
Sementara itu Purnama melenting ke udara sambil
bersalto, mencoba menghadang Raden Kumbara
yang berusaha lari dari tempat itu menuju pantai.
“Heaaa...!”
Raden Kumbara terkejut ketika ia berbalik ter-
nyata Purnama sudah ada di hadapannya. Dituding-
kan kerisnya lurus ke arah Purnama yang dengan
tenang melangkah mendekati. Lelaki berpakaian
serba hitam itu melangkah mundur sambil meng-
ancam Purnama.
“Ha ha ha...! Kau mau jadi pahlawan untuk gadis
ini, hah?! Gadis ini akan jadi gundikku. Tak ada
seorang pun yang bisa menghalangiku! He he he...!”
ujar Raden Kumbara sambil menempelkan keris ke
leher Ranti yang sudah makin pucat wajahnya.
Karena begitu ketakutan gadis itu nampak seperti
pasrah, tak berdaya.
Raden Kumbara terus mundur menuju pantai. Di
sana terlihat sebuah perahu berukuran besar
tertambat di pinggiran pantai.
“Rupanya bangsat ini sudah menyiapkan perahu
untuk membawa Ranti ke Pulau Neraka itu...!”
gumam Purnama dalam hati.
Raden Kumbara terus menyeret Ranti dengan
kasar menuju perahu itu. Purnama pun terus
mengawasi gerak-gerik Raden Kumbara sambil
menahan rasa geram.
Sementara itu Sanjaya terus berusaha melumpuh-
kan dua pengawal Raden Kumbara yang ilmu silatnya
lumayan tangguh. Dengan cepat Sanjaya membabat-
kan golok bergigi itu ke perut kedua lawannya.
“Heaaa...! Mampus kau...!” seru Sanjaya dengan
penuh kegeraman.
Wret! Jrabs!
“Aaakh...!”
“Aaa...!”
Perut kedua pengawal Raden Kumbara terkoyak
lebar terbabat senjata Sanjaya. Namun orang keper-
cayaan Kepala Desa Karang Galuh itu tampaknya
belum puas. Dengan bengis kembali dibabarkan
goloknya ke leher kedua lawan.
Crak! Crak!
“Aaa...!”
Darah segar muncrat dari leher kedua pengawal
Raden Kumbara yang terjungkal ke tanah. Mereka
langsung tewas seketika dengan leher putus.
Sanjaya tertawa puas, kemudian melesat mening-
galkan dua mayat tersebut.
***
Baru saja Sanjaya pergi, Ki Praba dan Sena tiba di
tempat itu.
“Ya, Tuhan...!” gumam Ki Praba ketika melihat
keenam pengawal Raden Kumbara yang mati dengan
keadaan mengerikan. Apalagi ketika melihat dua di
antara enam mayat itu kepalanya putus.
Sena menggaruk-garuk kepala melihat mayat-
mayat tergeletak di jalan itu, Ki Praba tiba-tiba
melesat cepat meninggalkan Sena. Melihat kepala
desa itu telah hilang dari dekatnya, Sena
cengengesan.
“Hebat juga lelaki tua itu...,” gumamnya dalam
hati.
Kemudian Sena pun melesat dengan ilmu lari
'Sapta Bayu'-nya. Bagai terbang Sena melesat dari
tempat itu.
Sementara itu di tepi Pantai Karang, Raden
Kumbara sudah berada di atas perahu. Namun ketika
siap membawa kabur Ranti, tiba-tiba saja lelaki muda
itu terpekik keras. Bersamaan dengan itu Ranti
terlepas dari pegangannya. Gadis malang itu terjatuh
di dalam perahu. Rupanya senjata rahasia yang
sempat dilontarkan Purnama mendarat telak di bahu
Raden Kumbara.
Ranti yang terbebas dari ancaman Raden
Kumbara dengan ketakutan berusaha lari meninggal-
kan pesisir.
Raden Kumbara yang kesakitan, tak mampu
mengejar Ranti, sehingga gadis itu dengan aman
berlari berusaha menjauhi perahu Raden Kumbara.
Kesempatan itu dipergunakan Purnama dengan
baik. Tubuhnya melesat bagai seekor elang menuju
perahu untuk menyelamatkan Ranti. Namun sial
baginya, Raden Kumbara rupanya telah mengetahui
maksud Purnama. Maka...,
“Heaaa...!”
Bukkk! Plakk!
Purnama tak menyangka kalau Raden Kumbara
akan dapat menyerangnya setelah terkena senjata
rahasianya. Sehingga dirinya tak mampu melakukan
gerakan untuk menghindar ketika pukulan telapak
tangan Raden Kumbara mendarat di dadanya.
“Huk!”
Purnama terhuyung ke belakang lalu terjengkang
ke pasir pantai. Sambil merintih, tangannya meraba
dada yang berbekas telapak tangan biru kehitaman.
Seketika mata Purnama terbelalak kaget.
“Hah?! Pukulan 'Tapak Maut'!” gumam Purnama
sambil menahan sakit
Tepat ketika Purnama menghadapi keadaan
bahaya, Sanjaya datang. Melihat adiknya dalam
keadaan terluka parah Sanjaya langsung menyerang
Raden Kumbara dengan sabetan dan tusukan
goloknya.
Raden Kumbara yang sudah berada di pasir pantai
dengan cepat melakukan lompatan untuk mengelak
sambil balas menyerang dengan sebatang kerisnya
ke rusuk Sanjaya yang berada di sebelah kirinya.
Sanjaya tersentak kaget mendapat serangan balik
dari Raden Kumbara.
“Heaaa...!”
Bret!
Baju Sanjaya tersambar keris Raden Kumbara.
Robek! Kalau saja Sanjaya terlambat mengelak ke
belakang, tak pelak lagi rusuknya akan tergores
senjata tajam itu.
“Bangsat! Hampir igaku remuk!” gumam Sanjaya
dalam hati.
Kemudian Sanjaya kembali dengan kuda-kudanya
untuk siap melakukan serangan dengan jurus maut-
nya. Kaki kanan dan kirinya bergerak perlahan ke
kanan dan ke kiri. Sedang tangannya yang memegang
golok dipermainkan dengan cepat, diputarnya hingga
golok itu bagai kipas.
Wukkk! Wukkk!
Sementara itu, Raden Kumbara tak mau kalah.
Dirinya juga mempersiapkan kuda-kuda yang mantap.
Kaki kirinya diangkat sambil ditekuk, kemudian
diturunkan kembali dengan mantap bersama dengan
gerakan tangannya yang memegang keris. Tampak-
nya lelaki berpakaian serba hitam itu hendak menge-
rahkan jurus ampuhnya.
Mata kedua lelaki ini saling tatap dengan tajam.
Tak berkedip sedetik pun. Sebab sekali berkedip saja
serangan lawan dapat membuyarkan dirinya. Setelah
cukup lama mereka berpandangan dan memper-
siapkan kuda-kuda, tiba-tiba keduanya saling me-
mekik keras.
“Heaaa...!”
“Heaaa...!”
Trangngng!
Keduanya sama-sama menyerang maju, dan saling
papak. Golok dan keris beradu. Saling tebas dan
tusuk. Sanjaya kemudian melenting ke udara sambil
membabatkan goloknya ke kepala Raden Kumbara.
Wrettt!
“Ukh...!” pekik Raden Kumbara.
Blangkonnya rusak dan terlepas dari kepala.
Sehingga rambutnya terurai. Belum lagi Raden
Kumbara sempat melancarkan serangan balik,
Sanjaya sudah mendahului dengan tendangan keras
ke punggungnya
“Heaaa...!”
Bluk!
“Akh...!”
Raden Kumbara terhuyung-huyung hingga me-
nabrak perahu yang masih berada di atas pasir
pantai. Sanjaya yang sudah sangat marah dan benci
terhadap Raden Kumbara, kembali melancarkan
serangan susulan.
“Heaaa...! Sekarang mampus kau, Pengkhianat!”
teriak Sanjaya sambil melompat ke tubuh Raden
Kumbara yang berusaha mengelak serangan Sanjaya.
Namun, karena Raden Kumbara sudah terluka,
babatan golok Sanjaya yang cepat bagai kilat
menyambar leher Raden Kumbara....
Jrabs!
“Aaa...!”
Leher Raden Kumbara terkoyak hampir putus!
Namun tak hanya sampai di situ. Sanjaya yang sudah
kalap dan dihinggapi oleh kebencian yang mendalam
menghujani tusukan ke perut dan membabat tangan
kanan Raden Kumbara yang masih menggenggam
keris.
Crak! Crakkk!
Darah segar muncrat ke wajah dan pakaian
Sanjaya. Raden Kumbara mati dengan keadaan
mengerikan. Tangan kanannya putus dengan masih
menggenggam keris. Sanjaya tertawa terbahak-
bahak. Hatinya benar-benar merasa puas.
Kemudian diambilnya keris dalam genggaman
tangan Raden Kumbara yang sudah kaku itu dengan
jalan memotong jari-jarinya dengan bengis dan sadis
sekali. Diselipkan keris itu ke pinggang dengan
tangan kirinya. Sanjaya mengangkat goloknya hendak
memotong kepala Raden Kumbara.
“Tunggu...!”
Terdengar seruan dari seorang lelaki! Suara itu
begitu berwibawa. Sanjaya mengurungkan niatnya.
Kepalanya menoleh ke belakang. Ternyata Ki Praba
yang berseru tadi. Di belakangnya nampak Sena
tengah menggaruk-garuk kepalanya, sambil me-
mandangi mayat Raden Kumbara yang tergeletak di
dekat perahu dengan leher hampir putus.
“Aku tak menyangka kalau kau akan melakukan
semua ini dengan keji, Sanjaya,” ucap Ki Praba
dengan nada suara agak marah.
“Dia pantas mendapat ganjaran seperti ini, Ki.
Sudah banyak harta, nyawa, serta kemerdekaan kita
diinjak-injak oleh kelompok orang-orang yang
mengaku seorang raden, ini. Yang sebenarnya adalah
pengkhianat-pengkhianat Kadipaten Singa Raja,”
jawab Sanjaya dengan napas terengah-engah.
Dadanya naik turun pertanda kemarahannya yang
menggelegak.
“Aku mengerti. Tapi bagaimana nantinya, jika
terdengar ayah Raden Kumbara bahwa putranya mati
oleh orang Karang Galuh!” ujar Ki Praba sambil
menunjuk ke wajah Sanjaya. Lalu bergeleng kepala,
“baru berjalan lima bulan ini desa kita aman.... Kini
kembali akan menjadi neraka bagi kita...,” tambahnya
sambil terus menggeleng-gelengkan kepala.
Sementara itu Sena sedang menolong Purnama
yang sudah nampak pucat dan agak kebiruan. Lelaki
berpakaian kuning itu terkena racun keris Raden
Kumbara. Sena berusaha menyembuhkan dan meng-
hilangkan racun itu dengan ilmu 'Penawar Racun
Ungu'.
Tangan Sena menotok bagian tubuh tempat racun
itu bersarang. Tubuh Purnama bergoncang bagai
kena setrum bertegangan tinggi. Mulutnya berteriak-
teriak keras, mendengar itu, Sanjaya dan Ki Praba
segera mendekati Sena yang sedang mengobati
Purnama.
“Hai...! Kau! Mau kau apakan adikku?! Kau
rupanya orang-orang dari Pulau Neraka itu...!” bentak
Sanjaya marah dan ingin menyerang Sena. Namun Ki
Praba cepat melarang dengan menahan Sanjaya.
Sanjaya tak berani melawan, karena Ki Praba sudah
seperti orangtuanya sendiri. Karena sejak Sanjaya
dan Purnama jadi anak-anak yatim, Ki Praba yang tak
mempunyai keturunan, mengangkat mereka sebagai
anak angkat.
Sanjaya hanya dapat menahan rasa cemas,
khawatir terhadap keadaan adiknya.
Setelah beberapa lama Sena mengobati, Purnama
yang tadinya pucat, kini nampak mulai sehat kembali.
Wajahnya sudah kembali berubah segar. Bahkan
sesaat kemudian Purnama tertidur dengan tenang.
Sanjaya menarik napas lega. Begitu pula Ki Praba.
Lelaki tua itu menyalami Sena.
“Nak Sena..., kalau ada kata-kata yang lebih ber-
harga dari terima kasih, itulah yang akan kuucapkan
kepadamu...,” ujar Ki Praba dengan wajah gembira.
“Ah, sudah kewajiban bagiku menolong sesama
manusia, Ki. Bukan hanya Purnama, tapi semua
orang yang perlu pertolongan... “ jawab Sena dengan
santai sambil mengusap wajahnya yang berkeringat,
setelah mengeluarkan tenaga dalam cukup banyak.
“Begitu mulia hatimu, Nak Sena...!” puji Ki Praba
lagi sambil menepuk-nepuk bahu Sena yang hanya
cengar cengir.
“Jangan terlalu memujiku, Ki! Aku hanyalah
manusia biasa yang bisa saja melakukan kesalahan.
Semua ini kehendak Yang Maha Kuasa. Tanpa
bantuan dan kehendak-Nya, tak mungkin aku bisa
menyembuhkan Purnama...,” ujar Sena dengan
mantap.
Ki Praba manggut-manggut sambil memegangi
jenggotnya. Lelaki tua itu nampak begitu kagum akan
jawaban Sena yang tulus dan polos itu.
“Baru kali ini kudengar ucapan anak muda seperti
ini.... Siapa sebenarnya pemuda gagah ini. Walaupun
tingkah lakunya terkadang seperti orang sinting,
gila..., tapi...,” ujar Ki Praba dalam mulai bertanya-
tanya sendiri.
Sanjaya pun mulai sadar, bahwa Sena bukanlah
pemuda sembarangan. Dan dirinya pun tak lupa
mengucapkan terima kasih pada Sena, dan ber-
jabatan tangan erat, menunjukkan bahwa keduanya
mengikat persahabatan yang dalam.
Ki Praba memandangi dengan hati penuh gembira
dan haru. Lelaki tua itu tersenyum-senyum.
“Jaya...,” panggil Ki Praba pada Sanjaya.
“Ya, Ki...”
“Sebaiknya kita kubur dulu mayat Raden Kumbara
itu...! Biar pun jahat, pernah melukai hati dan
memeras kita, dia juga manusia.... Ayo!” perintah Ki
Praba lalu melangkah mendekati mayat Raden
Kumbara, diikuti Sanjaya dan Sena.
“Oh, ya. Ke mana si Ranti...?” tanya Sanjaya yang
tiba-tiba teringat gadis anak Nyi Karti itu.
“He he he...! Kulihat gadis itu tadi sudah pergi
meninggalkan tempat ini,” sahut Sena dengan
cengengesan.
“Iya. Mungkin dia tak tega menyaksikan tindakan-
mu, Sanjaya,” ujar Ki Praba.
Setelah mengubur mayat Raden Kumbara tak jauh
dari pantai itu, Sena dan Sanjaya menggotong
Purnama yang belum sadarkan diri.
***
3
Malam-itu suasana Desa Karang Galuh yang biasanya
tenang, seketika diselimuti ketegangan. Semenjak
kejadian tadi pagi, yang menyebabkan tewasnya
Raden Kumbara, para penduduk terutama Ki Praba
justru tak tenang. Hal itu karena mereka takut kalau-
kalau pimpinan Raden Kumbara yang tiada lain Kala
Bendana akan kembali memerintah anak buahnya
untuk membuat kekacauan di Desa Karang Galuh.
Malam itu, di rumah kepala desa, nampak masih
ada tiga orang berkumpul. Dua duduk di bale-bale,
sedangkan seorang lagi ngobrol bersama Ki Praba di
dalam. Kedua orang yang duduk di bale-bale, tak lain
Purnama dan Sena, sedangkan yang tengah ber-
bincang di dalam bersama Ki Praba, tiada lain
Sanjaya.
Purnama bersandar di dinding rumah, duduk
bersila. Sedangkan Sena duduk di sebelah kanannya.
“Hhh...! Aku telah berhutang budi padamu,” desah
Purnama lirih dengan penuh perasaan terima kasih.
Wajahnya menoleh kepada Sena yang cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
“Aha, mengapa kau bicara begitu, Kisanak?” tanya
Sena seraya menggeleng-gelengkan kepala.
“Ya, jika tidak kau tolong, mungkin aku sudah
mati.”
“Aha, tidak juga, Kisanak. Kurasa, aku bukan apa-
apa. Semua hanya karena Hyang Widi semata,” ujar
Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala.
“Ya, aku tahu. Tapi kalau tak ada kau dan Ki
Praba, tak mungkin ada orang yang bisa menyem-
buhkan dan membunuh racun keris milik Raden
Kumbara,” kata Purnama masih tetap berkeyakinan,
kalau semua perbuatan Sena merupakan budi baik
yang tak terhingga.
“Aha, lupakanlah!”
Beberapa saat kemudian, keduanya terdiam.
Hanya perasaan dan pikiran mereka yang berbicara.
Keduanya saling tatap penuh persahabatan.
Kemudian di bibir keduanya mengurai senyum.
“Ah, tak kusangka, kalau pemuda bertingkah laku
gila ini memiliki budi pekerti yang luhur,” gumam
Purnama dalam hati, “Sungguh bukan sembarangan
pendekar. Betapa berdosanya aku, yang semula
menaruh syak wasangka yang tak baik kepadanya.”
“Aha, kau termenung, kenapa...?” tanya Sena
sambil mengambil bulu burung yang terselip di ikat
pinggang. Kemudian dikorek telinganya dengan bulu
burung. Tampak mulutnya cengar-cengir kegelian.
Matanya merem-melek memandang wajah Purnama
yang menggeleng-geleng kepala sambil mendesah
berat.
“Tidak..., tidak apa-apa,” sahut Purnama lirih, ber-
usaha menutupi apa yang sebenarnya berkecamuk
dalam pikirannya.
“Ah ah ah...! Kurasa tak baik melamun, Kisanak,”
seloroh Sena sambil terus mengorek telinga. Mulut-
nya cengengesan, membuat Purnama tersenyum
menggeleng-gelengkan kepala.
Purnama benar-benar tersindir mendengar
selorohan yang diucapkan Sena. Namun hatinya
senang, karena tiba-tiba merasa terhibur kelucuan
Sena.
“Aha, kalau boleh kutahu, mengapa kakakmu
Sanjaya begitu benci pada Raden Kumbara? Sampai-
sampai tadi pagi Sanjaya seperti hendak melumatkan
Raden Kumbara. Sepertinya ada dendam di hati-
nya...,” tanya Sena berusaha ingin tahu.
Tersentak Purnama mendengar ucapan Sena.
Keningnya mengerut, matanya menyipit memandang
Sena dengan agak menyelidik. Namun Sena nampak
masih tenang, cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala.
“Aha, janganlah berprasangka buruk, Kisanak! Aku
hanya ingin tahu. Mungkin kita sejalan, karena aku
pun tak senang pada penindasan dan pemerasan
terhadap kaum lemah,” ujar Sena sebelum Purnama
menyahut. Sena melihat tatapan mata Purnama agak
menaruh prasangka tak baik terhadap dirinya.
Purnama tercenung diam. Sepertinya dia tengah
berpikir dan menerka-nerka siapa Sena sebenarnya.
Setelah yakin kalau Sena bukan orang yang patut
dicurigai, dengan helaan napas panjang, Purnama
menuturkan apa yang sebenarnya telah terjadi pada
dirinya dan Sanjaya.
“Baiklah, sahabat. Aku akan menceritakan pada-
mu mengenai kami berdua, juga mengenai desa ini.
Karena semua kejadian ini ada sangkut pautnya,”
ujar Purnama.
***
Lima tahun yang silam, Sanjaya dan Purnama
pulang dari mencari kayu di hutan. Hal itu dilakukan
mereka setiap tiga hari sekali. Istri Sanjaya yang
bernama Lestari, anak Tumenggung Kalisewu, selalu
menyambut kedatangan suami dan adik iparnya
dengan senyum manis dan ramah. Hal itu menjadikan
rasa lelah kedua kakak-beradik itu hilang.
Antara Sanjaya dan Lestari sangat saling men-
cintai. Hal itu dibuktikan Lestari, yang sudi me-
ninggalkan ketumenggungan dan kekayaan untuk
hidup miskin bersama lelaki yang sangat dicintainya.
Namun, hubungan mereka tidak direstui orangtua
Lestari.
Setelah kabur dari ketumenggungan, Sanjaya dan
istri serta adiknya hidup di lereng bukit yang jauh dari
keramaian. Hal itu dimaksudkan agar orang-orang
ketumenggungan tak ada yang tahu tempat mereka.
Di lereng Bukit Kadal, mereka hidup bersama dua
tetangga lain. Beruntung kedua tetangga mereka
sangat baik, bahkan menganggap anak pada mereka.
Hari demi hari kehidupan mereka tenang, terlepas
dari perasaan was-was. Hal itu karena mereka terlarut
dalam suasana kekeluargaan yang erat, yang satu
sama lain tolong-menolong. Hingga sampai pada
suatu hari....
“Purnama,” panggil Sanjaya pada adiknya.
“Ada apa, Kang?”
“Aku tiba-tiba mendapat firasat tak baik,” desah
Sanjaya dengan wajah diluputi kecemasan. Seperti-
nya ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Hal itu
membuat Purnama mengerutkan kening, menatap
pada kakaknya dengan perasaan tak mengerti.
“Tentang apa, Kang?” tanya Purnama ingin tahu.
“Duduklah dulu!” perintah Sanjaya.
Purnama menurut duduk di samping kakaknya
yang tampak murung. Beberapa kali Sanjaya menarik
napas dalam-dalam, atau terkadang menengadah ke
atap rumahnya. Seakan-akan hatinya sangat berat
untuk berbicara.
“Katakanlah, Kang!” pinta Purnama.
“Aku mendapat firasat, kalau orang-orang jahat
akan datang ke tempat kita,” desah Sanjaya setelah
termenung agak lama. Mendengar ucapan itu
Purnama tersentak kaget.
“Maksudmu, Kang!” tanya Purnama semakin
penasaran.
“Entahlah, sejak kakakmu melahirkan, perasaanku
mengatakan bencana akan datang.”
“Mungkin itu hanya perasaanmu, Kang. Karena
kau sangat menyanyangi Mbakyu Lestari,” tukas
Purnama berusaha menghibur Sanjaya dari ke-
gelisahan.
“Mungkin juga,” tukas Sanjaya, “Kuharap tak ada
apa-apa.”
“Begitu juga denganku, Kang.”
“Ah, sudahlah! Hari sudah larut, bukankah kita
besok akan mencari kayu?” ujar Sanjaya meng-
ingatkan adiknya.
“Biarlah aku saja yang pergi, Kang! Sementara
Kakang tetap di rumah saja menjaga mbakyu,” kata
Purnama mengusulkan. Dirinya tak ingin Lestari yang
baru tiga bulan melahirkan harus ditinggal seorang
diri. Meski di tempat itu ada Ki Praba dan Nyi Bawok
serta suaminya. Namun alangkah baiknya jika
Sanjaya menjaga istri dan bayinya.
“Itu gampang. Sekarang tidurlah.”
Purnama menuruti kata-kata kakaknya. Dia pun
berlalu meninggalkan Sanjaya yang masih duduk
termenung memikirkan firasatnya.
***
Purnama menarik napas dalam-dalam, seakan-
akan berusaha mengisi rongga paru-parunya yang
kering. Sedangkan Pendekar Gila nyengir dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya melihat
perubahan wajah Purnama, yang tengah mengenang
kejadian pahit yang pernah dialami.
“He he he...!” Sena tertawa terkekeh-kekeh.
Purnama mencoba tersenyum, meski senyuman-
nya terasa sangat hambar. Matanya menatap wajah
Pendekar Gila yang bertingkah laku konyol. Kemudian
Purnama tersenyum-senyum. Ada perasaan senang,
bisa berteman dengan pemuda lucu yang mampu
menghibur hatinya di kala duka seperti itu.
“Aha, lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Sena
ingin tahu. Purnama tersenyum.
“Baiklah, kurasa tak ada salahnya kau mengetahui
semuanya.”
Setelah menarik napas dalam-dalam, Purnama
pun melanjutkan ceritanya.
Pagi itu, Purnama melihat kebimbangan di wajah
kakaknya. Hal itu membuat Purnama mengerutkan
kening. Dirinya yang sudah siap mencari kayu,
melangkah menghampiri Sanjaya.
“Kang, kalau Kakang bimbang, biarlah aku saja
yang pergi mencari kayu!” pinta Purnama.
Sanjaya menghela napas panjang, kemudian ia
menggelangkan kepala sambil memandang wajah
adiknya.
“Tidak, Adikku. Aku akan turut bersamamu.”
“Tapi, Kang. Bagaimanapun Kakang harus men-
jaga mbakyu dan Ragil. Mereka baru tiga bulan lepas
dari perjuangan hidup,” Purnama berusaha men-
cegah niat kakaknya. “Lagi pula, bukankah Kakang
merasa ada firasat tak enak?”
Sanjaya menarik napas dalam-dalam. Seolah-olah
dirinya masih dalam kebimbangan. Saat itu Nyi Tarsih
dan suaminya datang. Seperti biasanya, kedua suami
istri itu setiap pagi berkunjung untuk menjenguk bayi
Sanjaya. Keduanya memang sangat menyayangi
Ragil, dan menganggap cucu mereka sendiri.
Sanjaya menuturkan pada Nyi Bawok dan suami-
nya, bahwa dia dalam keadaan bimbang untuk pergi
mencari kayu. Hal itu karena dia masih memikirkan
istri dan anaknya.
“Ah, Nak Sanjaya tak perlu khawatir. Biarlah kami
yang menjaga mereka! Pergilah mencari kayu!
Percayalah, kami akan menjaga keduanya dengan
sebaik mungkin!” saran Nyi Bawok berusaha me-
nenangkan hati Sanjaya.
Sanjaya tercenung. Sepertinya tengah memper-
timbangkan saran Nyi Tarsih.
“Baiklah kalau begitu, Nyi. Tolong jaga mereka!”
ujar Sanjaya.
Kemudian Sanjaya melangkah mendekati Lestari
yang sedang menidurkan bayinya. “Diajeng, hati-hati,
ya! Kakang pergi mencari kayu.”
“Kakang juga harus hati-hati,” sahut Lestari.
Pagi itu juga, Sanjaya dan Purnama pergi untuk
mencari kayu bakar.
***
Dari kedua belah mata Purnama, nampak meleleh
air mata. Sepertinya Purnama merasa duka, jika
mengingat kejadian yang pernah dialaminya.
Melihat hal itu, Sena meringis. Tangannya meng-
garuk-garuk kepala. Disimpannya bulu burung di ikat
pinggang. Wajahnya pun turut berduka.
“Oh, kenapa kau sedih, Kisanak?” tanya Sena
dengan wajah sedih. Namun secepat itu pula, kembali
pada tingkahnya yang konyol. Cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
Melihat tingkah laku Sena yang lucu, meski
menangis Purnama tersenyum juga. Dirinya benar-
benar tak mengerti, mengapa Sena yang tadi ber-
sedih tiba-tiba tersenyum-senyum.
“Benar-benar gila!” pikir Purnama dalam hati
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Aha, kurasa tak sebaiknya menangis, Kisanak. Hi
hi hi...! Zaman ini memang aneh. Hi hi hi... lucu
sekali,” gumam Sena dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
Purnama menarik napas dalam-dalam. Disekanya
air mata yang meleleh. Bibirnya semakin melebarkan
senyum, geli menyaksikan ucapan dan tingkah laku
pemuda mirip orang gila di sampingnya. Baru kali ini
Purnama melihat tingkah laku konyol itu.
“Ah, kau memang benar-benar mampu menghibur
orang yang sedang sedih, Kisanak,” ujar Purnama
polos, memuji Sena yang semakin cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
“Ah ah ah...! Memang aku gila. Tetapi, kurasa ada
yang lebih gila. Ya, orang-orang yang berhasrat besar
dengan keduniaan. Hi hi hi...! Bukankah begitu,
Kisanak?” tanya Sena masih cengengesan.
“Ya, kau benar, Pendekar.”
“Aha, mengapa kau panggil aku pendekar? Sebut
saja kawan atau Sena. Hi hi hi...!”
“Baiklah,” sahut Purnama.
“Aha, lalu apa yang terjadi selanjutnya?” tanya
Sena ingin tahu.
Purnama tak langsung bercerita. Lama dirinya
terdiam dengan mata menatap lepas ke depan.
Dihelanya napas dalamnya.
“Kejadian keji itu kami tak tahu. Tapi kami men-
dengarnya dari Ki Kerta, yang masih hidup dan
menyaksikan kejadian itu dengan sembunyi.”
Purnama menarik napas dalam-dalam. Kemudian
menceritakan apa yang diceritakan Ki Kerta kepada-
nya.
Sore itu Lestari merasa tak betah diam di rumah,
badannya terasa tambah lemas kalau tak bekerja.
Maka dirinya segera membawa bakul berisi pakaian
kotor untuk dicuci di sungai.
“Lho...! Mau ke mana kamu Lestari...?” tanya Nyi
Bawok yang sedang memberesi kayu-kayu bakar di
halaman rumahnya.
“Mau mencuci pakaian kotor, Nek...!” jawab
Lestari lemah sambil melangkah mendekati wanita
tua itu.
“Sudah...! Sudah...! Cari penyakit. Kamu kan sudah
dipesan sama suamimu? Agar jangan ke mana-
mana,” kata Nyi Bawok mengingatkan Lestari. “Dan
lagi anakmu di dalam sendirian..., walah Tari, Tari...?
Bagaimana kamu ini. Ayo, jangan pergi, nanti aku
kena salah kalau kamu pergi... Sana masuk lagi...!”
kata Nyi Bawok dengan nada memerintah pada
Lestari.
“Tapi Nek... saya juga ingin mandi. Badan terasa
panas dan tak enak rasanya. Sebentar kok Nek....
Tolong jagakan si Ragil ya, Nek...!” kata Lestari.
Nyi Bawok menghela napas panjang dan meng-
gelengkan kepala, tanda tak menyetujui maksud
Lestari. Namun Lestari dengan manjanya meminta
agar N Bawok mau memberikan izin untuknya.
“Kamu ini memang bandel Tari! Tapi Nenek juga
kasihan. Baiklah..., tapi jangan lama-lama! Tuh, lihat
mendung...!” ujarnya pada Lestari sambil menunjuk
ke atas. Langit memang mulai mendung. Walaupun
biasanya sinar matahari masih dapat menerangi
bumi.
Lestari tertawa senang karena Nyi Bawok meng-
izinkannya.
“Terima kasih, Nek...!”
Selesai berkata demikian, Lestari segera berlalu
meninggalkan Nyi Bawok sambil membawa bakul
tempat pakaian kotor. Perempuan muda itu menuju
sungai yang ada di bawah bukit, tak berapa jauh dari
rumahnya.
Kaki Lestari menuruni jalan setapak yang
berumput. Langkah kakinya cepat. Dan tak lama
kemudian Lestari sudah sampai di sungai yang tak
begitu besar. Airnya jernih dan bersih. Di pinggir
sungai itu ada batu-batu hitam. Di situlah Lestari
mencuci pakaian-pakaian kotor itu. Selesai mencuci
Lestari mulai mandi dengan hanya mengenakan kain
sarungnya.
Tanpa disadarinya sepasang mata mengamati
tubuh mulus yang sedang mandi itu dari balik semak-
semak di seberang sungai.
Lestari masih asyik mandi dengan tenang sambil
bersenandung kecil, menggosoki tubuh dan wajah-
nya. Kemudian dibenamkan wajahnya ke air sungai
yang jernih itu. Lalu timbul lagi dengan menggerak-
gerakkan kepalanya ke kiri dan kanan, meremas-
remas rambutnya yang panjang dengan kedua belah
tangannya.
Setelah merasa cukup segar merendam di air
sungai itu, Lestari segera mengeringkan tubuhnya
dengan kain kering. Menggelung rambut sedemikian
rupa, lalu melangkah meninggalkan tempat itu.
Wajahnya nampak puas, karena merasa segar
habis mandi. Kembali Lestari melangkahkan kakinya
di jalan setapak yang berumput itu. Namun kali ini ia
menaiki jalan yang menanjak menuju rumahnya.
Tanpa dia sadari, ada langkah-langkah kaki mengikuti
jejaknya. Dan ketika Lestari ingin mencapai bukit,
kakinya tiba-tiba menginjak duri pohon.
“Aaa...!”
Lestari memekik lirih, lalu menghentikan langkah
dan mengangkat kaki kirinya yang menginjak duri
tadi. Darah keluar tak begitu banyak ketika duri di
telapak kaki dicabutnya.
“Aneh, tak biasanya ada duri di jalan...?!” gumam
nya dalam hati.
Setelah selesai mengikat kaki yang terkena duri
dengan sobekan kain bekas mengeringkan badan
tadi, Lestari kembali melanjutkan langkah menuju
rumah.
“Hah...?!”
Lestari sangat terkejut ketika melihat kandang
ayam dan tempat penyimpanan kayu bakar
berantakan. Segera Lestari berlari menuju rumahnya.
Dengan, perasaan cemas dan khawatir.
Benar, ketika Lestari masuk rumah, anaknya tak
ada di tempat tidurnya. Dengan panik Lestari kembali
keluar.
“Nek...! Nek Bawok...!” panggil Lestari sambi ber-
lari menuju rumah Nyi Bawok yang tak jauh dari
rumahnya. Karena ia pikir bayinya pasti ada di rumah
Nyi Bawok.
Namun apa yang dilihatnya sangat mengejutkan.
Nyi Bawok bersama suaminya Ki Harja telah mati
dengan leher terbabat senjata tajam. Kedua orang itu
terkapar di lantai pondoknya.
“Hah?! Aaaa..!”
Lestari menjerit karena ketakutan dan kaget.
Kakinya segera berlari ke luar sambil berteriak minta
tolong.
Pada saat itu Ki Kerta yang sejak tadi bersembunyi
di semak-semak, ingin menolong dan mem-
beritahukan Lestari. Namun dirinya takut. Karena
empat orang lelaki tak dikenal telah membunuh Nyi
Bawok dan Ki Harja.... Serta menyandera bayi Lestari
yang baru berumur tiga bulan itu.
Ketika Lestari ingin kembali ke rumahnya, tiba-tiba
muncul lelaki muda berwajah culas dengan kumis
tipis di atas bibirnya. Matanya menatap penuh birahi
sambil tertawa terbahak-bahak. Di tangan kirinya
menjinjing bayi Lestari.
“Siapa kau?! Kembalikan anakku...!” bentak
Lestari dengan marah. Lalu mencoba merebut anak-
nya lari tangan lelaki muda itu. Namun lelaki itu mem-
permainkan Lestari dengan tertawa-tawa men-
jauhinya sambil menjinjing anak yang tak berdosa itu.
“Ha ha ha...!” lelaki muda itu tertawa-tawa diikuti
ketiga temannya yang berpakaian serba hijau dengan
ikat kepala hitam. Wajah ketiganya tak sedap di-
pandang alias buruk rupa. Salah seorang bermata
juling. Ketiganya bersenjatakan tombak.
Lelaki yang menjinjing bayi Lestari rupanya
pimpinan mereka. Dilihat dari pakaiannya, lebih
bagus.
Kepalanya ditutupi blangkon hitam. Rambutnya
dibiarkan lepas sepanjang bahu. Sedang bajunya
yang hitam berlengan panjang. Kancing bagian atas
sengaja dibuka, hingga terlihat dadanya yang penuh
bulu itu, terselip sebilah keris di pinggangnya.
“Kau tentunya sangat sayang dengan anakmu ini,
bukan...? He he he...!” ejek lelaki muda itu.
Lestari menangis sambil terus berusaha men-
dapatkan bayinya. Wanita itu mencakar dan me-
mukuli lelaki muda itu. Namun tiba-tiba Lestari
didorongnya dengan kasar, hingga terhuyung dan
jatuh. Kainnya yang hanya diikatkan sampai ke dada
dengan mudah terlepas dan terselip. Tubuh kuning
dan kedua paha, serta betisnya yang mulus jelas
terlihat oleh keempat lelaki itu.
Mata mereka membelalak melihat keindahan
tubuh Lestari yang cantik itu. Keempatnya menelan
ludah. Lestari yang sadar kalau kainnya terlepas,
dengan cepat merapikannya kembali. Lalu lari ke
dalam rumah bermaksud ingin mengambil golok.
Ketika Lestari keluar memegang golok, salah seorang
berpakaian hijau yang bermata juling merenggutnya
dengan kasar. Lestari berontak sambil berteriak-
teriak. Karena lelaki itu lebih kuat usaha Lestari sia-
sia. Namun karena didorong tekadnya untuk
menyelamatkan diri dan mengambil anaknya, wanita
itu akhirnya berhasil, digigitnya lengan lelaki juling itu.
Lalu dengan cepat membabatkan goloknya sem-
barangan menyerang lelaki juling itu.
“Aaa... ukkk!” pekikan panjang terdengar dari
lelaki juling. Perutnya ternyata tergores golok Lestari.
Dan melihat wanita itu mulai kalap. Lelaki lainnya
segera melompat dan mengepung Lestari. Karena
Lestari tak punya ilmu silat, dalam sekejap wanita itu
dapat dijinakkan oleh kedua lelaki berpakaian hijau.
Kaki Lestari dipegang kedua lelaki berbaju hijau
yang berhasil menangkapnya, kemudian direntang-
kan lebar-lebar dengan paksa. Kedua tangannya
direntang pula, lalu diikat di tanah. Lestari berusaha
memberotak, tapi sia-sia. Sambil menjinjing bayi,
lelaki muda berpakaian hitam melangkah dengan
pongah mendekati tubuh Lestari yang sudah terikat di
tanah itu. Kedua anak buahnya memegangi kaki
Lestari. Lelaki juling yang dilukai Lestari memegangi
kedua tangan wanita itu sambil menjulurkan lidah,
serta mengancam Lestari dengan tombaknya.
“Lepaskan! Lepaskan...! Tolooong, tolooong...!”
teriakan Lestari tak ada yang mendengar. Karena
tempat itu sangat terpencil dari desa mana pun.
Akhirnya wanita malang itu hanya menerima
kenyataan yang sangat menyedihkan.
Lelaki muda itu menyetubuhi Lestari sepuas-puas
hatinya. Setelah puas, ketiga anak buahnya pun
diberi kesempatan menikmati secara bergantian.
Sampai akhirnya Lestari pingsan. Dengan darah terus
mengucur dari kedua selangkangan.
Setelah itu Lestari dilepas begitu saja. Dan bayi
yang tak berdosa itu ditaruh di dekat ibunya yang tak
berdaya. Namun, entah dari mana Lestari men-
dapatkan kekuatan, tubuhnya menggeliat bangkit lalu
menyerang salah seorang berpakaian hijau dengan
menusukkan golok yang sempat dipungut di tanah.
Jrabs!
“Aaa...!”
Tusukan Lestari yang sepenuh tenaga itu tembus
ke dada lelaki itu. Ambruklah tubuh lelaki berpakaian
hijau itu. Namun, ketika Lestari hendak mem-
babatkan pedang lagi, tiba-tiba sebuah pukulan keras
mendarat di dadanya.
“Akh...!”
Lestari terpekik keras dan tubuhnya langsung
roboh ke belakang. Dan menindih bayinya! Kontan
bayi itu mati.
Melihat Lestari mati bersama bayinya, lelaki muda
itu memerintahkan anak buahnya agar segera pergi.
“Ayo, kita segera kembali ke seberang! Tapi kita
perlu mengambil hadiah pekerjaan ini. Lalu kita habisi
sekalian tumenggung bodoh itu...!” perintah lelaki
muda bertampang culas itu.
“Ya...! Kita habisi Tumenggung Kalisewu itu
bersama seluruh anak buahnya. Kita kuras harta
mereka! Ha ha ha...!” sahut si juling dengan tertawa
terbahak-bahak.
Dengan cepat mereka meninggalkan tempat itu.
Ki Kerta yang sejak tadi menyaksikan kejadian itu,
tak mampu berbuat apa-apa. Sekujur tubuhnya
gemetaran. Rasanya tak kuat berdiri.
Sementara itu langit makin gelap, awan hitam
bergulung bagai ombak laut. Dan sebentar-sebentar
geledek dan petir menyambar. Seakan langit akan
runtuh! Angin pun bertiup sangat kencang. Hingga
pondok Lestari dan lainnya bagai hendak roboh
terkena tiupan angin yang sangat kencang itu.
Ki Kerta masih saja bersembunyi di tempatnya,
dengan tubuh gemetaran. Matanya menatap mayat
Lestari yang tertelungkup di tanah menindih bayinya.
Ki Kerta berusaha berdiri, tapi terasa berat. Mungkin
karena rasa takut yang berlebihan, serta kesedihan
melihat kejadian mengenaskan dan biadab tadi.
Kembali petir menyambar, diiringi suara guntur
mengelegar. Awan hitam berarak-arakan tertiup angin
semakin menambah suasana yang mencekam saat
itu.
Dari arah barat tampak dua lelaki memanggul
kayu bakar berjalan menuju rumah Lestari. Kedua
orang itu tak lain Sanjaya dan Purnama. Wajah
mereka nampak kelelahan. Keringat membasahi
kening dan mukanya, walaupun udara saat itu dingin
karena hembusan angin yang kencang.
Ketika Purnama dan Sanjaya memasuki pagar
halaman rumah, mereka tersentak kaget bukan
kepalang. Sanjaya menatap tubuh wanita yang begitu
dikenalnya tertelungkup dengan darah di bagian
perut.
“Lestari...! Tari...?!” teriak Sanjaya setelah sadar
kalau yang dilihat ternyata istrinya.
Dengan gemetaran Sanjaya membalikkan tubuh
Lestari yang telah mati. Dan...
“Hah...?! Anakku, anakku...?!” Sanjaya makin
membelalakkan mata ketika melihat bayinya telah
mati tertindih tubuh Lestari.
“Hah...?! Setan, Iblis siapa yang berani berbuat
semua ini! Aaahhh...! Oh, Gusti! Gusti...! Kenapa tidak
diriku saja yang menjadi korban kebiadapan manusia
itu...! Keluar kau Iblis, dedemit...! Ayo hadapi akuuu...,
keluaaar...!”
Sanjaya berteriak-teriak karena marah, jengkel,
menyesal, dan kecewa. Bagai orang gila, lari ke sana
kemari dengan memegang golok terhunus. Purnama
berusaha mencegahnya. Namun justru dipukul dan
ditendangnya.
“Sabar, Kang! Sabarlah...!” Purnama coba me-
nenangkan kakaknya. Namun Sanjaya tetap saja
ngamuk, semua yang ada di depannya ditendang dan
dihancurkan. Matanya merah bagai banteng marah.
Giginya beradu, bergemeretakan. Dadanya naik turun
dengan cepat. Menandakan lelaki itu sangat marah.
Saat itu muncul Ki Kerta dari balik semak-semak.
“Nak Purnama... tolong! Tolooong saya..., Nak
Purnama...!” seru Ki Kerta yang berusaha berdiri, tapi
jatuh lagi. Purnama menoleh ke asal suara panggilan
itu, setelah mencari sebentar, muncul kembali kepala
Ki Kerta dari balik semak-semak.
“Hah?! Ki Kerta...?!” pekik Purnama lirih, lalu
melompat.
Dalam sekejap Purnama telah sampai di dekat Ki
Kerta. Purnama segera menggotong Ki Kerta.
Sementara itu Sanjaya masih mengamuk. Setelah
hujan mulai turun, barulah Sanjaya agak sadar. Diri-
nya berlutut di dekat mayat Lestari. Dipeluknya tubuh
Lestari lalu digendongnya sang Bayi yang tak berdosa
itu. Sungguh hancur hati dan perasaan Sanjaya. Di-
ciuminya pipi bayi itu berulang-ulang.
“Oh, Gusti..., tunjukkan siapa yang melakukan
semua ini! Aku harus membuat pembalasan...! Oh,
anakku! Maafkan ayahmu...!” Sanjaya memeluk
bayinya penuh kasih sayang dan kembali menciumi.
Purnama yang telah membawa masuk Ki Kerta ke
pondok, kembali keluar menghampiri Sanjaya. Kaki-
nya ikut berjongkok, memandangi kakaknya dengan
perasaan iba.
“Kang, sebaiknya Mbakyu Lestari kita bawa
masuk! Kasihan dia...,” ucap Purnama kemudian
dengan suara pelahan.
Sanjaya tak menjawab dan tidak menoleh sedikit
pun. Lelaki yang malang itu terus saja menciumi
bayinya. Lalu memandangi mayat istrinya yang cantik
dan berhati mulia itu.
“Kalau saja aku tak membawanya pergi..., tak
mungkin semua ini terjadi! Aku telah berdosa,”
gumam Sanjaya lirih sekali.
Hujan semakin deras. Petir menyambar, me-
nambah suasana makin keruh dan mencekam. Langit
semakin gelap oleh awan hitam yang bergayut.
Segelap hati Sanjaya saat itu.
“Kang, kasihan istrimu. Hujan semakin deras...,”
ajar Purnama lagi. Namun Sanjaya tetap diam, hanya
memandangi wajah istrinya yang telah menjadi mayat
itu.
Purnama yang merasa tak tahan melihat mayat
kakak iparnya tergeletak dan basah diguyur hujan,
segera mengangkatnya. Dibawanya tubuh basah
berlumur darah itu ke dalam pondoknya.
Sanjaya rupanya kaget dan sadar. Dengan meng-
gendong mayat bayinya, Sanjaya pun berdiri dan
melangkah pelahan ke pondoknya. Sehari setelah
penguburan Lestari, Sanjaya suka menyendiri. Setiap
hari duduk melamun di makam istrinya. Nafsu
makannya berkurang, tidak mau kerja lagi kecuali
termenung dan menyendiri. Keadaan seperti itu
berjalan hampir sebulan. Untung Ki Praba datang
ketika mendengar peristiwa itu.
“Jaya..., sebaiknya kau lupakan peristiwa itu! Kalau
terus-menerus begini tak akan ada habisnya,” nasihat
Ki Praba dengan nada berat. “Sekarang, sebaiknya
kau mulai memperdalam ilmu silatmu. Untuk mem-
balas dendammu demi istri dan anakmu,” lanjut Ki
Praba.
Sanjaya yang masih duduk bersila di atas
potongan batang pohon besar di dalam pondoknya
hanya menghela napas panjang.
“Menurut keterangan Ki Kerta, sebelum mereka
pergi menyebutkan kata ke seberang. Dan menyebut
juga Tumenggung Kalisewu, orangtua istri kakakmu
bukan begitu Purnama?!” tanya Ki Praba sambil
menoleh ke Purnama.
“Benar, Ki,” jawab Purnama perlahan sambil
mengangguk.
“Jelas sudah. Setelah aku mendengar berita itu
aku dan beberapa penduduk desa menyelidiki ke-
adaan Ketumenggungan Kalisewu. Ternyata Ke-
tumenggungan Kalisewu telah musnah porak
poranda. Pangeran Cakra dan Tumenggung Rogo
Kusuma, ayah Lestari mati terbunuh!” tutur Ki Praba
tegas.
“Hah?! Mati...?” gumam Sanjaya kaget dan tak
mengerti. Matanya terbelalak menatap Ki Praba dan
Purnama bergantian. Dengan kening berkerut mulut-
nya terbuka sepertinya ingin menanyakan sesuatu,
tapi tak bisa keluar suaranya.
“Kau tentu heran, dan bertanya siapa pembunuh
itu, bukan?” ujar Ki Praba tiba-tiba, “Pembunuhnya
tak lain orang yang dibayar oleh orangtua Lestari
untuk membunuhmu!” sambung Ki Praba.
Sanjaya kembali terkejut, matanya terbelalak
lebar. Dadanya naik turun dengan cepat, menahan
amarah. Dirinya masih belum bisa mengeluarkan
kata-kata.
“Tapi karena kau tak ada, dan melihat istrimu yang
cantik itu. Manusia-manusia biadab itu membunuh
Lestari setelah menggauli Lestari,” sejenak Ki Praba
menghentikan kata-katanya. Lelaki itu tahu kalau hati
Sanjaya sedang menahan marah dan dendam yang
amat besar.
“Dan Lestari yang juga sudah kuanggap sebagai
anakku akhirnya menemui ajalnya. Karena ia kena
pukulan lelaki itu, setelah Lestari berhasil membunuh
salah satu dari mereka...!” ucap Ki Praba lagi
mengakhirinya.
“Siapa lelaki itu, Ki?” tanya Sanjaya dengan suara
bergetar.
Ki Praba tak segera menjawab. Lelaki itu menatap
sejenak wajah Sanjaya. Kemudian mengalihkan
pandangan ke tempat lain seraya menghela napas
panjang.
“Beruk Ireng! Salah satu dari tiga bersaudara
dalam kelompok Serigala Hitam! Rupanya orang-
orang yang dibayar oleh Tumenggung Rogo Kusuma,
mertuamu itu berkhianat! Mereka menghancurkan
ketumenggungan itu dengan licik dan keji....”
“Beruk Ireng!” Sanjaya geram. Giginya ber-
gemeretak. Sedang matanya membeliak tajam.
Jemari tangannya mengepal kuat, seakan menahan
amarah yang menggelegak.
***
4
Selesai bercerita panjang lebar, Purnama lalu
bergerak turun dari bale-bale. Kemudian melangkah
mendekati tiang penyangga rumah bilik itu. Kedua
tangannya dilipat di dadanya. Matanya menatap jauh
kegelapan malam. Ditariknya napas dalam-dalam.
Seakan-akan hatinya kembali sedih teringat peristiwa
lima tahun silam.
Sena manggut-manggut, lalu menggaruk-garuk
kepalanya.
“Ah mengharukan.... Lalu bagaimana nasib dan
kelanjutan Ketumenggungan Kalisewu...?” tanya
Sena lagi.
Purnama menoleh ke wajah Sena, lalu kembali
memandang ke depan.
“Ketumenggungan itu dikuasai kelompok Serigala
Hitam bersaudara. Karena dendam kami yang
membara. Maka aku dan Kakang Sanjaya, dibantu
penduduk desa, melawan mereka. Kami serang
mereka ketika tengah mengadakan pesta gila!
Tengah malam, Ketika mereka mabuk dan tertidur
karena minuman tuak, kami menyerang. Dengan
mudah kami dapat membasmi manusia-manusia
pengkhianat dan pemeras itu. Beruk Ireng yang
terbangun mendengar ribut-ribut, keluar dari sebuah
kamar dalam keadaan mabuk. Dan Kakang Sanjaya
yang melihatnya tak memberikan kesempatan!
Dihabisi si Beruk Ireng dengan memenggal kepala-
nya. Kemudian tubuhnya dicincang. Habis...!”
Purnama menghentikan kata-katanya sejenak,
ditariknya napas panjang. “Kalau saja Beruk Ireng
dalam keadaan sadar, tak mungkin Kakang Sanjaya
dapat mengalahkannya. Sebab ilmu Beruk Ireng
cukup tinggi! Namun sayang, kami tak dapat
menemukan Raden Kumbara dan saudara tertuanya,
yaitu Kala Bendana! Ilmunya sangat tinggi. Dan dialah
dalang semua kejahatan ini!”
“Jadi sejak itu mereka lalu mencari tempat di
seberang? Atau...,” tanya Sena ingin tahu.
“Ya. Mereka tinggal di pulau seberang sana. Dan
orang-orang rimba persilatan menjuluki dengan nama
Pulau Neraka,” jawab Purnama.
“Tapi bagaimana tadi dia mendapatkan kereta
kuda dan beberapa kuda? Dan kenapa Raden
Kumbara tiba-tiba muncul dengan sengaja me-
mancing kekeruhan lagi?!” tanya Sena.
Mendengar pertanyaan Sena, Purnama jadi
berpikir. Dirinya sendiri merasa agak aneh. Lalu
Purnama menoleh ke wajah Sena dan melangkah ke
bale-bale lagi, lalu duduk di pinggirnya.
“Aku sendiri masih mencari-cari jawabannya,”
sahut Purnama dengan nada datar.
“Dan aku heran, mengapa baru sekarang mereka
membalas dendam itu. Semestinya kalau mereka
memang orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi,
akan segera membalas kalian!” ujar Sena mencoba
memberi pendapat pada Purnama.
Purnama manggut-manggut sambil memegang
keningnya. Pemuda itu masih berpikir keras.
“Mungkinkah mereka menyusun kekuatan! Karena
semua antek-anteknya telah kami habisi. Tinggal
Raden Kumbara dan Kala Bendana yang saat itu tak
kami temukan. Sebenarnya mereka tak memiliki ilmu
silat yang tinggi. Hanya keberanian dan kelicikan yang
membuat mereka disegani dan dianggap jago di
rimba persilatan...!” ujar Purnama setelah men-
dapatkan jawaban dan dugaan. Purnama kembali
berdiri dan mondar-mandir dengan kedua tangannya
di belakang. Kepalanya tertunduk menatapi lantai
tanah.
“Aha! Pendapatmu agak masuk akal. Tapi kita
harus tetap waspada. Dan perlu aku beritahukan,
kemarin malam ketika aku hendak memasuki Desa
Karang Galuh ini, aku dicegat dua manusia yang mirip
kera! Apakah mereka itu orang Serigala Hitam...?”
tanya Sena.
Mendengar keterangan Sena, Purnama merasa
kaget. Segera dibalikkan tubuhnya menghadap ke
Sena. Matanya menatap wajah Sena seakan
menyelidik. Lalu kembali membuang muka dan
mondar-mandir.
Melihat sikap Purnama, Sena tercenung. Kening-
nya tampak terkemyit, dan menggaruk-garuk kepala
dengan tangan kanan. Kemudian cengar-cengir
sendiri.
“Apakah pertanyaanku tadi menyinggung perasa-
annya? Atau...,” gumam Sena lirih. Sambil terus
menggaruk-garuk kepalanya.
Pada saat itu keluarlah Ki Praba dari dalam
rumah.
“Rupanya kalian berdua sangat akrab. Apa yang
sedang kalian obrolkan...?” tanya Ki Praba seraya
tersenyum.
“Kami hanya bercerita tentang masa lalu, Ki.
Untuk menghilangkan kantuk. Sebab kita harus
berjaga-jaga. Siapa tahu orang-orang Serigala Hitam
menyerang kita,” jawab Purnama sambil menunduk-
kan kepala. Purnama maupun Sanjaya sangat meng-
hargai kepala desa yang telah dianggap orangtua
mereka.
Mendengar jawaban Purnama, Ki Praba hanya
manggut-manggut sambil memegangi jenggotnya.
“Bagus! Malam ini memang terasa panjang bagi
kita. Seakan tak akan berganti pagi. Ini semua
merupakan cobaan dan ujian bagi kita semua. Benar
kan, Nak Sena...?” tanya Ki Praba kemudian. Matanya
menatap Sena.
“Benar, Ki,” jawab Sena singkat. Ki Praba ter-
senyum. Lalu kembali masuk ke rumahnya. Kali ini
Purnama yang mengikutinya.
“Sebentar aku ambilkan minum di dalam...!” kata
Purnama pada Sena yang masih duduk bersila di
bale-bale. Sena hanya menganggukkan kepala.
“Kenapa Purnama tampak terkejut dan gelisah
ketika aku tanya tentang kedua manusia kera?” kata
Sena dalam hati. “Ada apa sebenarnya? Atau...?”
Sena lalu kembali cengengesan sendiri sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
***
Malam terlewati tanpa kejadian apa-apa. Suasana
di Desa Karang Galuh tampak sepi dan sunyi. Tak
seperti hari-hari sebelum kejadian penculikan Ranti
anak Nyi Karti.
Sore harinya ketika penduduk tampak sibuk
dengan pekerjaan masing-masing. Ki Praba, Sena,
Sanjaya, dan Purnama tengah terlibat dalam per-
bincangan di serambi depan rumah kepala desa itu.
Tiba-tiba terdengar derap kaki-kaki kuda me-
masuki Desa Karang Galuh. Sepuluh orang pe-
nunggang kuda, lengkap dengan senjata tombak
menggebah kuda mereka memasuki mulut desa.
Pakaian mereka beraneka ragam. Ada yang coklat,
hitam, merah, hijau, dan abu-abu! Tampang mereka
yang tampak garang terhias kumis tebal. Semua
mengenakan ikat kepala berwarna-warni.
Ketika memasuki desa, sepuluh orang berkuda itu
berpencar. Dengan teriakan-teriakan keras mereka
mengobrak-abrik rumah para penduduk! Melukai
orang yang berlarian ketakutan. Mereka tak segan-
segan membabat dan menusuk, serta memukulkan
tombak masing-masing ke tubuh penduduk desa yang
berpapasan. Tak peduli lelaki atau perempuan.
Dengan bengis mereka dibunuh dan dilukai.
Jeitan dan teriakan orang-orang desa didengar Ki
Praba, Sena, dan Purnama. Keempat orang itu ter-
kejut. Namun Sena tampak lebih tenang. Sena tak
segera bangkit. Bahkan justru menggaruk-garuk
kepalanya seperti merasa gatal.
Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama melesat keluar
dari serambi rumah.
Crak! Crak!
“Aaa...!”
“Ukh...!”
“Tolooong...! Tolooong...!”
Teriakan dan jeritan kematian terdengar di sana-
sini. Dan orang-orang berkuda itu seperti kesetanan,
tanpa belas kasihan sedikit pun. Mereka terus
memporak-porandakan desa itu.
“Heaaa...!”
Sanjaya dan Purnama segera melompat sambil
bersalto ke tempat orang-orang berkuda. Sanjaya dan
Purnama menghadang mereka sambil membabatkan
goloknya dengan geram dan ganas!
Crakkk! Jrabs!
“Aaakh...!”
“Ukh...!”
Dua orang dari gerombolan itu terpelanting dari
punggung kuda ketika golok Sanjaya dan Purnama
membabat perut mereka. Kedua kakak-beradik itu
kemudian berpencar, sama-sama menghadapi lawan.
Ketika Sanjaya sedang bertarung dan berhasil men-
jatuhkan salah seorang dari kuda, tiba-tiba dari
belakang, seorang lawan yang lain melarikan kudanya
dengan kencang. Tampaknya lelaki bersenjata
tombak itu hendak menerjang Sanjaya.
“Heaaa...!”
Namun belum sempat orang berkuda itu me-
nerjang dan menusukkan tombaknya tahu-tahu
terpekik keras. Tubuhnya terjungkal dengan kepala
pecah membentur tanah.
Sanjaya yang baru sadar, menoleh cepat. Dilihat-
nya orang itu sudah mati. Lalu dengan cepat lelaki
muda berpakaian serba kuning itu menghadapi
lawannya yang sudah terluka sabetan goloknya.
“Manusia macam kalian ini mesti mampus...!”
dengus Sanjaya. Dengan geram orang kepercayaan
kepala desa itu melesat menyerang. Tombak dan
golok saling beradu.
Trang! Trang! Trang!
Dukkk!
“Ukh...!”
Orang itu terpekik ketika tinju Sanjaya mendarat
telak dirusuknya. Seketika tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang dengan mulut meringis
kesakitan. Sanjaya tak ingin memberi kesempatan
pada lawannya. Tangannya kembali membabatkan
goloknya dengan sekuat tenaga.
Jrab! Jrabs!
Perut dan leher penjahat itu hampir putus! Darah
segar muncrat membasahi sekujur tubuhnya yang
telah terkapar tak bernyawa. Melihat lawannya telah
roboh Sanjaya mengalihkan perhatian ke tempat
pertempuran lain. Tampak Purnama, adiknya tengah
berusaha menghadapi dua orang lawan.
“Heat...!”
Trak! Trakkk!
Dengan gesit dan tangkas Purnama menghadang
serangan dua lawannya yang sudah turun dari kuda.
Golok Purnama beradu keras, dengan dua tombak
lawan. Lalu dengan cepat sekali kakinya menendang
perut lawan sambil berputar.
“Hea...!”
Bluk! Bluk!
“Aaakh...!”
Kedua lawan itu terhuyung, namun segera kembali
memasang kuda-kuda dan siap menyerang secara
bersamaan.
“Heaaa...!”
“Heaaa...!”
“Heh?!”
Kedua penjahat itu tersentak kaget, ketika melihat
Purnama tiba-tiba melenting ke udara. Tubuh terbalut
pakaian serba kuning itu melesat cepat sambil mem-
babatkan goloknya ke leher kedua lawan.
Jrab! Brettt!
“Aaakh...!”
Pekikan keras terdengar dari kedua lelaki itu
ketika golok Purnama membabat telak leher mereka.
Telah lima orang dari gerombolan berkuda tewas di
tangan kedua kakak-beradik itu.
Tak jauh dari rumah kepala desa, tampak Ki Praba
tengah menghadapi dua lawan yang masih berada di
punggung kuda. Ki Praba yang memiliki ilmu silat
cukup lumayan dapat mengimbangi kedua lawannya.
“Hah?! Mampus kau, Kakek Tua!” seru salah
seorang penunggang kuda sambil menusukkan
tombak ke dada Ki Praba. Kepala Desa Karang Galuh
itu menoleh sambil tetap mencekal kuat tombak
lawan yang lain.
Wuttt!
Ki Praba mengelak dengan merebahkan badan
disertai tarikan kuat tangan kanannya yang mengunci
tombak lawan. Sehingga tombak itu dapat dikuasai Ki
Praba.
Melihat Ki Praba telentang di tanah sambil me-
megang tombak, penjahat yang gagal mencederai
lelaki tua itu bergerak. Dengan cepat ditancapkan
tombaknya ke dada Ki Praba.
Namun bersamaan dengan itu tiba-tiba sesosok
bayangan berkelebat cepat merenggut tubuh kepala
desa itu dari ancaman maut.
Entah kapan sosok penolong Ki Praba itu me-
lancarkan serangan. Gerakannya yang begitu cepat
tak tertangkap mata biasa. Ki Praba sendiri tersentak
kaget melihat lawannya tiba-tiba telah ambruk
dengan dada hangus seperti terbakar.
Ternyata Sena yang menolong Ki Praba dari
bahaya kematian. Pemuda berompi kulit ular itu
mengamankan kepala desa di serambi rumahnya.
Lalu dengan cepat kembali melesat ke arena per-
tempuran.
Gerombolan itu kini tinggal tiga orang. Nampaknya
ketiganya memiliki ilmu yang tak boleh diremehkan.
Nyatanya Sanjaya dan Purnama yang menghadapi
mereka nampak terus terdesak dan kewalahan.
Permainan tombak mereka tampak begitu
sempurna. Dibabatkan ke sana kemari dengan cepat
dan terkadang diputar-putarnya tombak itu hingga
seperti baling-baling.
“Heaaa...!”
“Hah...!”
Wuttt! Wuttt!
Trang! Trang! Trang!
Dentang nyaring terdengar beberapa kali ketika
senjata mereka saling beradu keras.
“Aaa...!” tiba-tiba Purnama terpekik. Ternyata
rusuknya terserempet ujung tombak lawan. Darah
segar mengucur. Namun pemuda itu kembali
menyerang dibantu kakaknya yang mengetahui
bahwa Purnama terluka.
Namun ketiga lawan tampaknya mampu membaca
serangan yang dilancarkan kedua kakak-beradik
berpakaian kuning itu. Sehingga tanpa menemui
kesulitan, ketiga orang jahat itu mematahkan
serangan Purnama dan Sanjaya.
“Heaaa...!”
“Heaaa...!”
Teriakan-teriakan keras menggelegar mengiringi
serangan mereka.
Trang! Trang! Trang! Crabs! Jrabs!
“Hukh..!”
“Aaa...!”
Pekikan keras terdengar susul-menyusul. Dada
Sanjaya tertusuk tombak lawan. Begitu pula yang
dialami Purnama. Wajahnya tersambar tombak
hingga robek dan mengucurkan darah. Pada saat
kedua bersaudara ini sudah mulai terhuyung-huyung
menahan sakit, ketiga orang itu secara serentak
melancarkan serangan, tanpa memberi ampun.
“Heaaa...!”
“Heaaa...!”
Ketiga anggota gerombolan itu melompat cepat ke
udara untuk menghabisi nyawa Sanjaya dan
Purnama. Namun tanpa diduga sama sekali sesosok
bayangan berkelebat begitu cepat memapak
serangan dahsyat mereka.
Pletak!
Blukkk!
“Akh...!”
“Aaa...!”
Kejadian itu berlangsung begitu cepat. Dalam
sekejap mata ketiga anggota gerombolan jahat telah
bergelimpangan tewas di tanah. Di antara ketiga
mayat itu berdiri seorang pemuda berpakaian rompi
dari kulit ular. Siapa lagi kalau bukan Pendekar Gila.
Sanjaya dan Purnama yang telah terluka sempat
tersentak kaget. Apalagi ketika mata mereka melihat
benda yang digenggam pemuda bertingkah laku aneh
itu. Sena tersenyum lucu sambil memegangi Suling
Naga Saktinya.
Keterkejutan pun dialami Ki Praba. Kepala desa
itu tengah memegangi tangannya yang terluka karena
terinjak kaki-kaki kuda, ketika tadi menjatuhkan diri
menghindari serangan musuh. Dari serambi rumah-
nya Ki Praba sempat melihat senjata Sena yang tadi
dipergunakan untuk menghabisi ketiga lawannya.
Sebuah suling berkepala ular naga!
“Sudah kuduga dari semula.... Pemuda gagah ini
bukan pemuda biasa. Benda yang digenggamnya itu
menunjukkan siapa Nak Sena sebenarnya. Nak Sena
ini...,” gumam Ki Praba lirih sambil manggut-manggut.
Nampaknya lelaki tua itu telah tahu, kalau Sena tak
lain si Pendekar Gila dari Goa Setan. Murid Singo
Edan yang sudah kesohor di dunia persilatan.
Sepuluh mayat nampak bergeletakan di sana-sini.
Sena masih berdiri di tempatnya. Matanya me-
mandangi mayat-mayat dengan perasaan tak karuan.
Hatinya merasa iba pada penduduk desa yang lemah,
menjadi korban para durjana tak dikenal itu.
“Apa ini ada hubungannya dengan kematian
Raden Kumbara...?!” gumam Sena dalam hati.
Ketika Sanjaya dan Purnama mendekatinya, Sena
menyelipkan kembali Suling Naga Sakti ke pinggang.
“Terima kasih... Pendekar...,” ucap Sanjaya dengan
lemah.
Sena yang disebut pendekar tampak mengerutkan
kening. Lalu menggaruk-garuk kepalanya.
“Ah ah ah...! Kenapa kau menyebutku
pendekar...?!” tanya Sena sambil menggeleng-geleng
kepala dan cengengesan.
“Kau pantas disebut, pendekar, Sena...!”
Terdengar suara Ki Praba yang berjalan mendekati
mereka.
Sena dan Sanjaya, serta Purnama menoleh pada
Ki Praba. Sena kembali menggaruk-garuk kepala
sambil cengengesan. Hal itu membuat Ki Praba
makin yakin terhadap dugaannya.
“Bukan saja karena Nak Sena telah membantu
dan menolong kami. Tapi karena benda yang terselip
di pinggangmu itu. Aku mengenal benda itu milik
seseorang yang sangat kukagumi sampai saat ini.
Dan kaulah Pendekar Gila dari Goa Setan, murid
Singo Edan!” ucap Ki Praba jelas dan mantap.
“Ah ah ah...! Ki Praba mungkin salah. Aku hanya
seorang pemuda biasa dan bodoh!” sahut Sena
sambil cengengesan.
Lanjut ⇉
Emoticon