Firman R
Serial Pendekar Gila
dalam episode 21:
1
Di pagi buta yang dingin suasana tampak remang-
remang. Kabut merayap menyelimuti bumi. Dari
kejauhan terdengar beberapa kali ayam jantan
berkokok. Sementara itu pula, samar-samar ter-
dengar derap langkah kaki-kaki kuda menembus
keheningan pagi.
“Hea...! Hea...! Heaaa...!”
Dari suara teriakan sang Pengendali, kuda-kuda itu
tampaknya terus dipacu agar berlari lebih kencang.
Gemuruh kaki-kaki kuda itu semakin jelas ter-
dengar. Ternyata dari arah timur tampak samar-
samar sebuah kereta tengah melintas di jalan ber-
batu, menuju Pegunungan Sasakan.
“Hea..., hea...!”
Kusir kereta itu terus menggebah kuda-kudanya
agar berlari semakin kencang. Lelaki berusia sakitar
empat puluh lima tahun dengan wajah nampak lugu
itu, sesekali menoleh ke belakang. Seakan ada
sesuatu yang ditakutkan.
Kuda-kuda penarik kereta yang sedang merangkak
di jalan menanjak itu sambil terus berlari, nampak
kepayahan. Sesekali terdengar ringkikannya yang
keras sambil terus berlari perlahan-lahan.
“Hea, hea, hea...!”
Sang Kusir terus berteriak sambil menghentak-
hentakkan tali kekang di tangannya. Kereta beroda
empat itu ternyata mengangkut seorang wanita
berusia sekitar tiga puluh tahun yang memangku
putranya. Wajah wanita cantik berpakaian merah
jingga itu menggambarkan kedukaan yang bercampur
dengan rasa takut. Seolah-olah ada sesuatu yang
tengah dicemaskan dalam hatinya.
“Hhh...! Aku tak habis pikir, kenapa ketiga lelaki itu
menghabisi nyawa suamiku secara kejam,” gumam
wanita itu dalam hati. “Tapi, kalau aku tak salah
dengar, tadi mereka menanyakan tentang sebuah
kitab. Kitab...? Kita apa yang mereka ributkan itu...?
Setahuku Kakang Karto Pari tak pernah berbuat
jahat. Suamiku lelaki yang baik...”
Wanita itu terus bergelut dengan pikirannya
sendiri. Semetara itu kereta berkuda yang tengah
melintas di jalan terjal dan berbatu-batu, tampak
terguncang ke kanan dan kiri.
“Nyi...! Nyi Ambar...!” terdengar suara sang Kusir
memanggil wanita di dalam kereta itu.
“Ada apa, Kakang Trenggana...?” sahut wanita
yang dipanggil Nyi Ambar. Wanita itu masih memeluk
bocah berusia lima tahunan di pangkuannya. “Ya,
ya..., aku tahu! Aku masih mengawasi terus ke
belakang,” ujarnya.
Ambar Sari memang tetap terus mengawasi ke
belakang. Hatinya khawatir kalau para lelaki yang
telah membunuh suaminya akan mengejar kereta itu.
“Ibu, hendak ke manakah kita?” tanya bocah kecil
itu sambil menatap wajah ibunya penuh perhatian.
“Entahlah, Purbaya... Mungkin Trenggana akan
membawa kita ke rumah pamanmu,” jawab sang Ibu
lirih dengan tatapan penuh kasih.
“Masih jauhkah rumah paman dari sini, Bu...?”
tanya bocah kecil yang ternyata bernama Purbaya itu.
Wajahnya yang mungil tampak cemas, seperti juga
sang Ibu yang terus memeluknya penuh kasih.
“Masih, Anakku! Mungkin setengah hari perjalanan
lagi,” sahut Ambar Sari.
Ambar Sari masih memeluk anaknya sambil
sesekali menoleh ke belakang dengan pandangan
cemas. Hatinya takut kalau ketiga orang yang
mengejarnya akan terus mengikuti.
Di depan, kusir kereta bernama Trenggana itu
terus beruaha menjalankan kereta melalui jalan yang
menanjak.
Kini kereta itu melaju, menelusuri jalanan yang
tidak rata. Jalanan berbatuan yang sangat sulit untuk
dilintasi. Tetapi Trenggana terus berusaha mengen-
dalikan kuda-kuda itu dengan sebaik mungkin. Di
wajahnya masih tergambar perasaan takut, kalau
ketiga orang yang mengejarnya akan dapat menyusul
kereta mereka.
“Hea, hea, heaaa...!”
“Kakang Trenggana, tak dapatkah kau percepat
sedikit lagi lari keretanya?” tanya Ambar Sari sambil
membelai-belai rambut Purbaya, ketika tiba-tiba
matanya melihat tiga lelaki penungang kuda tengah
mengejar kereta itu. Seketika hatinya tersetak kaget
“Kakang Trenggana..., lihatlah di belakang! Mereka
mengejar kita, Kang.”
Tanpa banyak kata, Trenggana segera menghentak
tali kekang kuda. Setelah dicambuk dua kali
binatang-binatang itu langsung berlari lebih kencang.
“Hea, hea, heaaa...!”
Trak! Trak...!
Ketika sampai di jalan yang agak rata, kuda-kuda
penarik kereta itu berlari kian kencang. Sementara itu
ketiga lelaki berwajah beringas yang memburunya,
terus menggebah kuda-kuda tunggangan mereka.
“Hea, hea...!”
Suara teriakan mereka terdengar ditingkahi
gemuruh dan bunyi gemeretak bebatuan kecil,
tersepak kaki-kaki kuda. Kabut tipis yang menyelimuti
jalan berbatu di Pegunungan Sasakan serta hawa
dingin yang menusuk tulang sumsum tak mereka
hiraukan. Ketiga lelaki berwajah beringas itu terus
menggebah kuda mereka, mengejar kereta yang
sudah mulai tampak di depan.
Kereta yang ditarik dua ekor kuda itu terus melaju
dengan cepat. Kini kereta itu tampak semakin
bertambah cepat, karena jalanan mulai menurun.
“Hea, hea...!”
Namun kenyataan pahit tetap harus dialami
keluarga Kerto Pati. Betapapun kuda-kuda penarik
kereta itu dapat berlari kencang, tetap tak mampu
menandingi kecepatan ketiga kuda di belakang.
Sehingga, pada sebuah tikungan jalan yang cukup
tajam ketiga lelaki yang mengejar berhasil menyusul.
Bahkan akhirnya mereka menghadang di depan
kereta itu.
“Hop...!”
“Ha ha ha...!”
“Kenapa kalian menghadang kami?!” tanya Ambar
Sari dengan suara membentak. Matanya melotot
menatap ketiga lelaki bermuka garang yang masih
duduk di punggung kuda.
“He he he...! Kau tampak semakin cantik jika
marah begitu, Ambar. Hm...! Menyenangkan sekali.
Mungkin di atas ranjang pun kau akan segalak itu. He
he he...!” gumam lelaki berkepala botak dan ber-
hidung mancung. Alis matanya yang tebal bergerak-
gerak ke atas. Dengan senyum nakal lelaki bernama
Watu Gunung itu menatap penuh nafsu pada Ambar
Sari.
“Ambar! Katakan, di mana kau simpan Kitab Ajian
Dewa?” tanya lelaki bertubuh gempal.
“Orang-orang tua tak tahu malu!” suara bentakan
terdengar dari mulut Purbaya yang masih dalam
pelukan sang Ibu. Bocah kecil itu sepertinya tak
merasa takut sama sekali. Bahkan matanya yang
indah tampak menatap penuh kebencian pada ketiga
lelaki garang di depan keretanya. “Telah kalian bunuh
ayah. Kini, kalian menghadang kami! Apa sebenarnya
yang kalian inginkan dari kami?!”
Ketiga lelaki berwajah garang itu tersentak kaget
mendengar bentakan Purbaya. Mereka tak
menyangka, kalau bocah sekecil itu akan berani.
Bahkan sedikit pun tak tampak rasa takut di wajah
mungil bocah itu.
“He he he...! Kau terlalu berani, Bocah?” sentak
lelaki bermata sipit dan berkumis melintang. Lelaki
berpakaian seperti kulit harimau itu melotot tajam
pada Purbaya.
“Ambar! Katakan, di mana kitab itu kau simpan!
Atau anakmu akan kulempar ke dasar jurang itu!”
ancam lelaki berkepala botak yang ternyata bernama
Sodra.
Mendengar pertanyaan Sodra, seketika Ambar Sari
terdiam. Dia berusaha mengingat-ingat kitab macam
apa. Dia memang pernah mendengar dari Kerto Pati,
suaminya tentang sebuah kitab yang dititipkan oleh
Pendekar Gila, yang katanya kitab itu harus diberikan
pada murid dari Pendekar Gila itu. Sejak saat itulah,
Pendekar Gila menghilang.
“Mungkinkah kitab itu yang ditanyakan mereka?”
tanya Ambar Sari dalam hati.
“Aku tak tahu!” sentak Ambar Sari sengit
“He he he...! Kami tak percaya. Bagaimanapun,
kau istri Kerto Pati. Kau tentu tahu di mana suamimu
menyimpan kitab itu!” tukas Lombang lelaki berusia
empat puluhan yang mengenakan pakaian ungu.
“Terserah kalian! Yang pasti, aku tak tahu tentang
kitab yang kalian kehendaki itu!” bentak Ambar Sari
tanpa rasa takut sedikit pun. Tangannya mendekap
tubuh Purbaya, berusaha melindungi sang Anak dari
ancaman ketiga lelaki bertampang beringas itu.
“Ha ha ha...!”
Ketiga lelaki bermuka garang itu tertawa terbahak-
bahak. Kemudian melompat dan segera mendekati
kereta.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan.
Trenggana yang tak ingin majikannya celaka tampak
geram dan marah. Dengan berani, kusir kereta itu
melompat lalu menatap wajah Sodra.
“Hea!”
Sodra yang tak menduga akan mendapat serangan
mendadak itu tersetak kaget Dia berusaha meng-
elakkan serangan dengan memiringkan tubuh ke
samping kiri. Namun tak urung dagunya terkena
tendangan Trenggana.
Begkh!
“Ukh! Setan! Kau mencari mati, Kusir Keparat!”
dengus Sodra dengan tubuh terhuyung-huyung ke
belakang. Mulutnya meringis kesakitan.
Melihat temannya diserang dengan dahyat,
Lombang dan Watu Gunung menggeram sengit.
Keduanya segera berlari mengejar Trenggana yang
telah siap berdiri tegak.
“Kusir keparat! Rupanya kau mencari mampus!”
dengus Lombang geram. Mata lelaki berpakaian
seperti kulit macan itu melotot marah.
“Kupecahkan batok kepalamu, Kusir Keparat!”
bentak Watu Gunung sambil melesat melancarkan
pukulan tangan kanan ke tubuh Trenggana.
“Hih?! Uts...!” dengan cepat Trenggana menggeser
kaki kanan ke samping. Kemudian diikuti dengan me-
miringkan tubuh. Namun hampir bersamaan dengan
gerakan itu Trenggana melancarkan sebuah ten-
dangan kaki kiri.
Wut!
“Uts!” dengan cepat Watu Gunung mengelit.
Sementara itu kaki kirinya melancarkan sebuah
tendangan keras, dilanjutkan dengan jotosan tangan
kanan ke dada Trenggana.
“Hih! Heaaa...!”
Pertarungan Trenggana melawan ketiga orang
yang mengeroyoknya bertambah seru. Ternyata kusir
kereta itu bukan orang sembarangan. Badannya yang
kurus, dengan gesit berkelebat ke sana kemari meng-
elakkan serangan ketiga lawannya.
Melihat Trenggana memberi isyarat agar Ambar
Sari dan anaknya pergi. Wanita itu tak menyia-
nyiakan waktu. Diajaknya Purbaya pergi meninggal-
kan tempat itu.
“Ayo Purbaya, kita harus secepatnya meninggalkan
tempat ini!” ajak Ambar Sari sambil menggandeng
tangan anaknya pergi meninggalkan tempat itu.
“Bagaimana dengan Paman Trenggana, Bu?
Kasihan dia sendirian. Nanti dibunuh ketiga orang
jahat itu,” ujar Purbaya berusaha berhenti. Tetapi
Ambar Sari terus menarik tangannya. Bocah itu terus
menoleh ke belakang, meyakinkan pertarungan
antara Trenggana dengan ketiga lelaki bermuka
bengis itu sampai di mana.
“Biarlah, Purbaya! Paman Trenggana telah
menyuruh kita segera pergi,” kata Ambar Sari sambil
terus menggandeng tangan anaknya agar mengikuti
langkahnya.
“Tapi, Bu. Kita harus menolongnya!”
“Tidak mungkin, Anakku. Kita tak memiliki
kekuatan untuk melawan mereka. Ayo cepat...!” ajak
Ambar Sari sambil menarik tangan Purbaya yang
hendak berhenti.
Dengan masih menoleh ke tempat pertarungan
antara Trenggana dan ketiga orang bermuka bengis
itu, Purbaya pun mengikuti langkah kaki ibunya.
Kedua ibu dan anak itu dengan tergesa-gesa berlari.
Kaki Purbaya tampak terseret-seret mengikut langkah
sang Ibu. Mereka terus berlari ke selatan menuju
hutan belantara Gandracupa yang membentang
seperti menutupi Pegunungan Sasakan.
***
Pertarungan antara Trenggana melawan ketiga
orang pengeroyoknya masih berjalan seru. Sang Kusir
yang nampak lugu dan bodoh, ternyata mampu
bertahan dari gempuran ketiga lelaki bengis itu.
Malah terkadang dia mampu balas menyerang
dengan tak kalah cepat. Tangannya bergerak
memukul ke sana kemari. Disusul dengan tendangan-
tendangan keras kedua kakinya.
Ketiga lawannya yang tidak menyangka akan
menemukan lawan cukup tangguh itu, tersentak
kaget. Mereka tak menduga sama sekali kalau kusir
kereta itu memiliki ilmu silat yang cukup tinggi.
“Kurang ajar! Punya isi juga kau, Kusir Keparat!”
dengus Sodra sengit. Kemudian dengan cepat,
direntangkan kedua tangannya ke atas dengan jari-
jari membentuk paruh menghadap ke bawah. Itulah
jurus 'Paruh Gagak Mematuk'. Sesaat kemudian
kedua tangan yang masih membentuk paruh itu
bergerak begitu cepat menyerang ke seluruh bagian
tubuh Trenggana.
Namun, Trenggana yang mendapat serangan
ganas itu tak tampak gugup. Dengan cepat diegoskan
kakinya dan memiringkan tubuh ke kanan dan kiri
menghindari serangan yang dilancarkan Sodra.
Wrt!
“Hait! Hih...?!” dengan cepat Trenggana melancar-
kan tendangan keras yang menjadikan lawan ter-
sentak kaget. Sodra berusaha mengelit, tetapi
dengan cepat Trenggana kembali melancarkan
serangan dengan kaki kirinya. Begitu cepat
tendangan susulan itu, membuat Sodra tersentak
kaget. Lelaki berpakaian merah tua hendak bergerak
menghindar tetapi terlambat. Tendangan kaki kiri
Trenggana yang tak terduga, menghantam telak di
janggutnya.
Degkh!
“Ukh!” Sodra terpekik. Kepalanya terdongak ke
belakang dengan darah meleleh dari sela bibirnya.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan
mulut meringis-ringis menahan sakit.
“Kurang ajar! Kubunuh kau, Kusir Keparat!”
dengus Watu Gunung seraya melesat maju
menyerang dengan pukulan telapak tangan kanan
yang disebut 'Telapak Naga'.
“Heaaa...!”
Tangan kanan Watu Gunung bergerak cepat,
menyerang ke dada Trenggana. Namun, dengan
cepat Trenggana memiringkan tubuh ke samping kiri.
Lalu dengan cepat pula, menangkis dengan tangan
kanan. Bersamaan dengan itu kaki kanannya me-
lancarkan tendangan keras.
“Hea!”
Trak!
Wrt!
Tendangan kaki kanan Trenggana melesat ke dada
lawan. Namun dengan cepat Watu Gunung segera
mundur selangkah. Kemudian digerakkan tangan
kirinya memapak serangan, disusul sebuah pukulan
keras tangan kanan ke dada lawan.
Prak!
“Hea!”
“Hih!”
Melihat lawan bergerak cepat memapak serangan-
nya, Trenggana tak tinggal diam. Tangannya segera
menangkap serangan balasan yang dilakukan Sodra.
Wrt!
Trep!
Tangan keduanya saling pegang, berusaha
menarik tubuh lawan. Namun kekuatan keduanya
tampak berimbang. Keduanya segera melanjutkan
serangan dengan kedua kaki. Sementara tangan
mereka masih saling berpegangan, lalu men-
cengkeram pergelangan tangan lawan masing-
masing.
“Hea!” Trenggana berusaha membetot tangannya
yang berada dalam cengkeraman Watu Gunung.
Sedangkan kaki kanannya bergerak menendang.
Namun dengan kuat, Watu Gunung tetap men-
cengkeram tangan lawan. Sementara itu kaki kirinya
bergerak memapaki tendangan kaki Trenggana.
“Hea!”
Trak!
Dua kaki saling beradu, namun keduanya masih
terus mencengkeram tangan. Trenggana berusaha
menghentakkan sikunya ke muka Watu Gunung.
Namun Watu Gunung segera balas menyikut ke wajah
Trenggana.
Melihat keduanya masih terus bertarung dengan
cara seperti itu. Sodra dan Lombang yang sudah tak
sabar segera mencabut pedang dari warangkanya.
Mata mereka menatap penuh kebengisan pada
Trenggana.
Srt! Srt!
“Mampuslah kau, Kusir Keparat! Heaaa...!” Sodra
melesat dengan pedang siap menusuk ke punggung
Trenggana. Sedangkan Lombang kini bergerak dari
arah samping. Pedang di tangan kanannya, menebas
ke leher Trenggana.
Melihat kedua lawannya melakukan serangan dari
belakang, Trenggana sekali lagi berusaha melepas-
kan cengkeraman tangan Watu Gunung. Kaki-kakinya
terus bergerak menendang kaki Watu Gunung.
Namun nampaknya Watu Gunung tak mau melepas-
kan cengkeramannya pada tangan Trenggana.
Sementara kakinya juga terus menangkis tendangan
Trenggana.
Trak!
“Hih! Heaaa...!” sambil berteriak keras Trenggana
berusaha membanting tubuh lawan sambil mem-
bungkuk. Namun pertahanan lelaki berpakaian ungu
itu, tampak begitu kuat. Sehingga meskipun telah
mengerahkan seluruh kemampuannya Trenggana tak
berhasil membanting tubuh Watu Gunung. Tubuhnya
mulai basah karena keringat yang bercucuran.
Sementara kedua lawannya yang lain telah berada
semakin dekat untuk melakukan serangan.
“Yeaaa...!”
“Heaaa...!”
Sodra dan Lombang telah siap melakukan
serangan dengan pedang di tangan masing-masing.
“Celaka...!” pekik Trenggana semakin tegang,
menyaksikan kedua lawannya semakin bertambah
cepat memburu dirinya. Pedang di tangan mereka
yang berkilat tajam, bagaikan siap memenggal kepala
serta tubuhnya. Dikerahkan seluruh tenaga dalam-
nya, tetapi cengkeraman Watu Gunung benar-benar
kuat.
“Heaaa...!”
Wrt!
Sodra dan Lombang melancarkan serangan cepat
dengan membabatkan pedang.
Cras! Jrab!
“Akh...!” tanpa ampun lagi, leher dan punggung
Trenggana tertebas dan tertusuk pedang kedua
lawannya. Kusir yang malang itu, limbung dengan
darah mengucur membasahi tubuhnya. Sesaat
kemudian tubuhnya ambruk dan tak berkutik lagi.
“Hm, akhirnya mampus juga kusir tolol ini,” dengus
Watu Gunung sambil menendang tubuh Trenggana
yang terkulai berlumuran darah.
Ketiga lelaki berwajah beringas itu tertawa ter-
bahak-bahak, menunjukkan kesombongan. Mereka
seperti melupakan Ambar Sari dan Purbaya yang lari
dari tempat itu. Dengan kuat Watu Gunung me-
nendang mayat Trenggana ke jurang.
“Hua ha ha...! Kini tak ada lagi yang menghalangi
kita untuk menanyai Ambar,” ujar Lombang. Namun
seketika matanya membelalak, ketika mengawasi ke
dalam kereta yang telah kosong. “Hai, ke mana
Ambar?!”
“Hah?! Dia telah pergi. Kurang ajar...! Kita harus
cari dia!” dengus Sodra seraya melesat pergi ke timur
diikuti kedua tangannya. Mereka hendak mengejar
Ambar Sari dan anaknya.
***
2
Ambar Sari yang menggandeng Purbaya terus berlari
berusaha menyelamatkan diri dari kejaran orang-
orang jahat yang telah membunuh Kerto Pati. Wanita
cantik berpakaian merah jingga itu seperti tak kenal
lelah, terus menggandeng tangan anaknya. Padahal
napasnya telah tersengal-sengal setelah menempuh
perjalanan yang cukup jauh.
“Ayo Purbaya! Kita harus cepat agar mereka tak
dapat mengejar kita,” ajak Ambar Sari terus menyeret
tangan anaknya. Sementara Purbaya yang masih kecil
itu tampak terengah-engah dan kelelahan mengikuti
lari sang Ibu yang terus menyeretnya, karena
ketakutan.
“Bu, kenapa sih mereka mengejar kita dan mem-
bunuh ayah?” tanya Purbaya dengan suara tersengal-
sengal sambil terus berlari. Wajah bocahnya tampak
penasaran. Hatinya bingung kenapa para penjahat itu
membunuh sang Ayah lalu mengejar ibunya.
“Mereka memang orang jahat, Anakku. Cepatlah,
jangan banyak tanya dulu tentang hal itu yang penting
kita harus segera sampai di rumah pamanmu,” ajak
Ambar Sari sambil terus menggandeng tangan
Purbaya. Kedua ibu dan anak itu kini tengah melintasi
semak-semak di hutan yang membentang di kaki
Pegunungan Sasakan.
“Mengapa mereka jahat terhadap kita, Bu? Bukan-
kah kita tak pernah bersalah pada mereka?” tanya
bocah berpakaian rompi biru tua itu sambil terus
melangkah. Bocah kecil itu menatap wajah sang Ibu
yang tampak diliputi rasa cemas. Kening Purbaya
mengerut, karena belum juga mengerti, mengapa
ibunya tampak ketakutan. Dalam hatinya terbersit
sebuah pertanyaan. Mengapa orang-orang itu mem-
bunuh ayahnya dan kini mengejar mereka?
“Kau belum mengerti, Anakku. Mereka memang
orang jahat yang sangat kejam. Sudahlah, ayo kita
teruskan!” ajak Ambar Sari sambil terus meng-
gandeng tangan anaknya.
“Tapi, Bu. Kakiku sakit sekali. Aku ingin istirahat
dulu di sini,” pinta Purbaya sambil meringis menahan
rasa sakit. Ternyata telapak kakinya tertusuk onak
dan duri. Tampak darah menetes dari telapak kaki
bocah itu.
Ambar Sari semakin bingung. Bagaimanapun diri-
nya harus segera meninggalkan tempat itu. Namun,
anaknya nampak sangat letih, setelah berjalan
hampir setengah hari.
Mata Ambar Sari menatap ke sekelilingnya, takut
kalau ketiga orang penjahat itu mengejarnya.
“Hhh...! Haruskah aku memberi tahu, di mana
Kitab Ajian Dewa berada?” gumam Ambar Sari dalam
hati. “Tetapi Kangmas Kerto Pati menyuruhku agar
tidak memberitahukannya. Namun jika aku tidak
memberi tahu, aku takut mereka akan terus
mengejarku.”
“Bu, mengapa Ibu termenung? Ibu memikirkan
ayah...?” tanya Purbaya dengan mata menatap tajam
wajah ibunya. Bocah kecil itu seakan merasa kasihan
melihat kesedihan dan ketakutan sang Ibu karena
kematian ayahnya.
“Ah, tidak..., Ibu tidak apa-apa. Kita lanjutkan ya,
Sayang?” ajak sang Ibu sambil menggandeng tangan
Purbaya untuk meneruskan perjalanan.
“Bagaimana dengan Paman Trenggana, Bu?”
“Entahlah. Kita harus memikirkan nasib kita,
Anakku.”
“Apakah paman juga dibunuh seperti ayah, Bu?”
“Entahlah, Anakku. Ibu tak tahu yang penting
harus selamat. Itu yang ibu pikirkan. Ayo...!” ajak
Ambar Sari sambil terus menggandeng tangan anak-
nya.
Bocah kecil itu menurut. Meski kakinya sakit
lertusuk onak dan duri, Purbaya tetap saja me-
langkah. Sepertinya anak itu mengerti keadaan.
Namun baru beberapa langkah keduanya berjalan,
tiba-tiba....
“He he he...! Mau lari ke mana kau, Ambar?!” di
hadapan mereka, telah berdiri tiga lelaki bermuka
garang.
“Orang jahat! Mengapa kalian mengejar kami?!”
bentak Purbaya lantang. Bocah kecil itu sepertinya
tak takut sama sekali pada ketiga orang yang meng-
hadangnya. Matanya menatap tajam wajah ketiga
lelaki di hadapannya.
“Bocah sontoloyo! Lancang mulutmu. Kalau saja
kau sudah besar. Hhh...! Kurobek mulutmu!” bentak
Watu Gunung garang. Gigi-giginya bergemerutuk
menahan marah, mendengar bentakan bocah kecil
itu.
“Sabar, Watu Gunung! Kita tidak perlu mereka.
Yang kita perlukan hanya Kitab Ajian Dewa,” tukas
Lombang berusaha menenangkan Watu Gunung.
Kemudian dengan bibir mengurai senyum yang
dibuat-buat. Lelaki berpakaian kulit harimau itu
melangkah mendekati Ambar Sari.
“Ambar, katakan-lah di mana suamimu menyim-
pan Kitab Ajian Dewa!” ujarnya perlahan.
“Sudah kukatakan, aku tak peduli dengan kitab
yang kau maksudkan. Aku tak tahu!” jawab Ambar
Sari sambil memegangi tangan Purbaya, agar anak itu
tak jauh-jauh dari dirinya.
Ketiganya tertawa terkekeh-kekeh. Mata mereka
yang garang, menatap tajam kedua ibu dan anak
yang masih berdiri sekitar tiga tombak di hadapannya.
Sementara Ambar Sari dan Purbaya menatap
penuh kebencian pada ketiga lelaki beringas itu yang
telah membuat mereka menderita.
“He he he...! Masihkah kau tak mau mengatakan
di mana kitab itu disimpan, Ambar?” tanya Sodra
dengan senyum sinis mengembang di bibirnya. Lelaki
itu kemudian memerintahkan dengan isyarat kepala
pada kedua temannya agar menangkap Purbaya.
Purbaya yang melihat kedua orang jahat itu
hendak menangkap dirinya, segera melepaskan diri
dari genggaman ibunya. Kemudian dia mendahului
memburu kedua orang yang hendak menangkap.
Ingatan Purbaya kembali melayang pada sang Ayah
yang pernah mengajarinya ilmu silat. Sehingga bocah
kecil yang cerdas itu, berusaha melakukan apa yang
pernah diajarkan Kerto Pati. Apalagi saat ini, dirinya
dalam keadaan terancam bahaya. Nalurinya sebagai
seorang bocah, seakan menuntunnya untuk nekat
melakukan sesuatu.
“Bocah setan!” maki Watu Gunung geram, ketika
secara tak terduga Purbaya menyeruduk ke tubuhnya.
Hampir saja dirinya terjengkang, kalau tidak dengan
segera mengelit ke samping kiri. Kemudian dengan
penuh kegeraman, Watu Gunung dan Lombang
segera memburu bocah kecil itu.
“Hea!”
Purbaya dengan cepat menubruk kedua lelaki yang
hendak menangkap tubuhnya. Sehingga Watu
Gunung dan Lombang saling bertubrukan satu sama
lain.
Brukkk!
“Aduh!”
“Akh...!”
Tubuh kedua lelaki itu terjengkang dengan mulut
meringis kesakitan. Melihat Purbaya yang tampak
tersenyum dan cengengesan Watu Gunung dan
Lombang semakin geram dan marah.
“Bocah setan! Kuhancurkan kepalamu!” dengus
Lombang seraya bangkit dari duduknya. Lalu dengan
menggeram. Lombang dan Watu Gunung kembali
memburu Purbaya. Kedua lelaki bertampang seram
itu tampak sangat bemafsu untuk menangkap bocah
kecil yang berani mengejek mereka.
Sementara itu, Sodra tampak mendekati Ambar
Sari. Matanya yang beringas, menatap tajam wajah
Ambar Sari yang semakin ketakutan. Mata lelaki
berpakaian ungu itu tak hanya menggambarkan
keberingasan semata, tetapi juga diliputi nafsu yang
membara terhadap kecantikan Ambar Sari.
“He he he...! Sebentar lagi anakmu akan mati di
tangan kedua temanku. Dan kau..., he he he...! Kau
akan bersenang-senang denganku, Ambar. Tetapi jika
kau mau mengatakan di mana Kerto Pati menyimpan
Kitab Ajian Dewa, maka kau dan anakmu akan
selamat,” ujar Sodra seraya tertawa terkekeh-kekeh.
Kakinya melangkah mendekati Ambar Sari. Wanita
cantik itu melangkah mundur dengan mata menatap
penuh kebencian pada Sodra.
“Jangan...! Jangan lakukan itu!” pinta Ambar Sari
sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Matanya
yang sayu tampak membelalak ketakutan. Apalagi
ketika melihat Purbaya yang masih diburu kedua
lelaki yang tampak begitu marah dan bernafsu
meringkusnya.
“He he he...! Kau dan anakmu akan kami lepas-
kan, asalkan kau mau mengatakan di mana Kitab
Ajian Dewa itu disembunyikan suamimu,” Sodra
dengan mulut masih menyeringai, tersenyum sinis
dan memandang dengan tatapan garang.
“Sungguh, aku tak tahu.”
“Bohong!” bentak Sodra sambil terus melangkah
mendekati Ambar Sari yang kian mundur ketakutan.
Matanya terpicing memandang wajah wanita
cantik yang kian merasa tegang itu. “Kau istrinya, kau
tentu tahu di mana Kerto Pati menyimpan kitab itu!”
“Kitab itu bukan milik kalian! Kitab itu memiliki si
Gila yang dititipkan pada suamiku yang akan
disampaikan pada murid atau cucu murid si Gila dari
Goa Setan,” tukas Ambar Sari berusaha menjelaskan,
bahwa Sodra dan kedua temannya tak berhak atas
kitab pusaka itu.
“He he he...! Kau tahu kalau kitab itu milik si Gila.
Bukankah Kerto Pati yang memberi tahu? Suamimu
pun tentu memberi tahu, di mana kitab itu dia
sembunyikan, bukan...?” tanya Sodra sambil terus
melangkah mendekati Ambar Sari. Wanita itu
semakin melangkah mundur ketakutan. Matanya
membelalak tegang, ketika menyadari dirinya telah
berada di tepi jurang yang sangat dalam.
Melihat Ambar Sari dalam keadaan tegang, Sodra
semakin terkekeh. Dia tahu kalau wanita itu kini
dalam keadaan panik, karena kakinya telah berada di
tepi jurang.
“He he he...! Mau ke mana kau, Manis? Sebaiknya
kau katakan di mana kitab sakti itu,” pinta Sodra
dengan senyum sinis masih menghias di bibirnya.
Matanya melotot menatap dengan menelengkan
kepala meledek Ambar Sari yang tampak semakin
ketakutan.
“Tidak! Aku tidak tahu...!” seru Ambar Sari sambil
menggeleng-gelengkan kepala. Rasa tegang dan
panik, tergambar jelas di wajahnya yang kuning
langsat dan bersih. Kepalanya sesekali menoleh ke
belakang. Tampaklah jurang dalam dan terjal mem-
bentang. Lalu kembali menatap wajah Sodra yang
masih berdiri lima tombak di hadapannya.
Namun sepertinya Sodra merasa khawatir, kalau
Ambar Sari akan nekat terjun ke jurang. Kalau hal itu
terjadi, tak ada lagi kesempatan baginya untuk
menikmati tubuh bahenol wanita itu. Dan yang jelas
dia akan kehilangan jejak untuk mencari Kitab Ajian
Dewa yang disembunyikan Kerto Pati.
Sementara itu, Purbaya masih terus berusaha
melepaskan diri dari kejaran kedua orang yang terus
berusaha menangkapnya. Anak itu semakin ber-
tambah jauh dari Ambar Sari, sang Ibu yang bagaikan
telor di ujung tanduk. Berdiri membelakangi jurang
terjal yang dalam. Sementara di hadapannya Sodra,
bagaikan harimau lapar yang siap menerkam
mangsa.
Lombang dan Watu Gunung terus berlari mengejar
Purbaya yang lari ke selatan, jauh dari Hutan
Gandracupa.
“Mau lari ke mana, Bocah Setan!” dengus Watu
Gunung sambil terus mengejar Purbaya yang terus
berlari berusaha menyelamatkan diri. Kini ketiganya
sampai ke Lembah Karangkati. Lembah yang sangat
angker dan terkenal sebagai lembah maut. Banyak
tulang-belulang tampak berserakan di sana-sini,
menambah suasana Lembah Karangkati semakin
menyeramkan.
Dengan sekuat tenaga Purbaya terus berlari.
Dirinya tak peduli dengan pemandangan yang tampak
di depan mata. Baginya yang penting dapat
menyelamatkan diri dari pengejaran kedua lelaki
jahat itu. Bocah kecil itu bagaikan tak merasa takut
sedikit pun. Hanya sesekali kakinya tampak ber-
jingkat, setiap kakinya menendang atau menginjak
tulang-belulang yang berserakan. Kemudian dengan
telapak tangan, Purbaya menutup hidungnya dari bau
busuk yang menyengat sambil terus menelusuri
Lembah Karangkati.
“Heh?! Bocah itu lari ke Lembah Karangkati!”
pekik Lombang dengan mata membelalak.
“Bocah setan! Berani sekali dia lari ke lembah itu.
Huh, mampuslah kau di situ, Bocah!” dengus Watu
Gunung dengan mata tak kalah membelalaknya.
Dirinya tahu kalau lembah itu merupakan tempat
yang angker. Lembah yang dihuni entah makhuk
seperti apa. Yang jelas selama ini belum ada orang
yang bisa selamat di lembah itu.
“Apakah tidak kita kejar saja bocah itu, Kakang?”
tanya Lombang bimbang. Matanya tak lepas
mengawasi Lembah Karangkati yang terbentang di
bawahnya. Sedangkan si bocah kecil Purbaya terus
berlari ke tengah-tengah lembah.
“Huh, mau mencari mampus! Biarkan saja bocah
setan itu mampus di sana! Ayo kita temui Sodra!” ajak
Watu Gunung sambil melangkah meninggalkan Bukit
Katesan yang memisahkan Hutan Gandracupa
dengan Lembah Karangkati di bawahnya!
***
“He he he...! Anakmu sudah mati, Ambar Sari.
Menyerahlah! Lebih baik kau mau jadi istri ketua
kami. Ketua kami tentu akan merasa senang jika kau
menjadi istrinya,” ujar Sodra berusaha membujuk
Ambar Sari. Maksudnya agar wanita itu tak nekat
bunuh diri terjun ke jurang.
“Tidak! Tidak mungkin...! Oh, Purbayaaa..., hu hu
hu...! Kalian jahat! Kalian bajingan! Bunuh aku
sekalian! Bunuuuh...!” Ambar Sari berteriak sejadi-
jadinya, setelah mendengar anaknya mati. Seketika
tubuhnya lemas. Gairah untuk hidup kini hilang.
Baginya tak ada lagi artinya hidup, kalau sudah tak
punya siapa-siapa lagi. Tak punya suami. Tak punya
anak yang sangat dicintai dan menjadi tumpuan
hidup setelah sang Suami tewas terbunuh.
Ambar Sari merasakan dunia tiba-tiba berubah
gelap. Tanah yang dipijaknya serasa bergoyang cepat.
Tubuhnya limbung. Namun, sebelum tubuhnya jatuh,
dengan cepat Sodra melompat menangkapnya. Maka
Ambar Sari pun jatuh pingsan dalam pelukan lelaki
berpakaian merah itu.
“Bagaimana anak itu?” tanya Sodra.
“Dia lari ke Lembah Karangkati,” sahut Watu
Gunung.
“Hm... Mencari mati,” gumam Sodra.
“Apakah tidak kita buktikan lagi?” tanya Lombang.
“Untuk apa? Kita tak perlu bocah itu. Yang kita
perlukan Kitab Ajian Dewa. Dan yang tahu hanya
Ambar Sari. Lagi pula, Wanara pasti akan senang jika
kita beri Ambar Sari sebagai istrinya,” tutur Sodra
sambil tersenyum. Matanya memperhatikan seluruh
lekuk tubuh wanita cantik itu dengan penuh nafsu.
Apalagi ketika menatap bibir ranum milik Ambar Sari.
Jantungnya terasa berdebar keras. Hasrat kelelakian-
nya bergejolak hebat bagaikan air mendidih.
“Sebelum diserahkan pada Wanara, sebaiknya kita
dulu yang mencicipinya, Sodra!” usul Watu Gunung
sambil meleletkan lidahnya. Dirinya pun merasakan
gejolak birahi yang menggelegar di dalam liwanya.
“Benar! Lebih baik kita dulu yang mencicipinya!”
sambung Lombang.
Ketiganya tertawa terkekeh-kekeh. Kemudian
mereka pun menggarap tubuh Ambar Sari di tempat
yanga sepi dan tidak memungkinkan untuk dilalui
orang. Mereka bergantian melakukannya dengan
kepuasan.
Ambar Sari yang diperkosa ketiga lelaki itu, hanya
dapat mengeluh dan merintih kesakitan. Sampai
akhirnya, tubuhnya kembali terkulai pingsan.
Setelah puas memperkosa tubuh Ambar Sari
dengan gelak tawa Sodra, Watu Gunung, dan
Lombang segera menggebah kuda meninggalkan
Pegunungan Sasakan. Mereka membawa Ambar Sari
untuk diserahkan kepada Wanara.
Sementara itu, Purbaya yang berada di Lembah
Karangkati nampak kebingungan. Dari empat penjuru
angin, muncul kabut hitam yang pekat. Kemunculan
kabut-kabut hitam itu diikuti hembusan angin
kencang dan dingin serta suara-suara yang sangat
aneh. Hal itu membuat bocah itu ketakutan. Matanya
terbelalak menatap ke sekelilingnya yang kini
semakin menyeramkan.
“Oh, apa yang akan terjadi di sini? Semuanya
gelap. O, Jalan yang tadi kulalui, kini tertutup kabut.
O, ibu, apa yang terjadi padamu?” keluh Purbaya
kebingungan. Matanya semakin membeliak tegang,
menatap kabut hitam yang seperti mengepung
tubuhnya.
“Hua ha ha...! Nyem nyem nyem...!” dari dalam
kabut-kabut hitam itu, keluar suara tawa keras
menggelegar. Suara tawa yang membuat bulu kuduk
Purbaya meremang berdiri. Tengkuknya terasa dingin,
kaku karena takut.
Mata Purbaya terus mengawasi dengan rasa takut
ke sekitarnya tampak sunyi mencekam. Hanya kabut
hitam saja yang terus mendekat dan mengepung
dirinya. Seakan kabut-kabut hitam yang tadi
mengeluarkan suara itu, hendak mencengkeram
tubuhnya yang kecil.
“Makhluk yang ada di dalam kabut, kalau kau mau
memangsaku, mangsalah! Mangsalah aku...!” tantang
Purbaya. Dirinya nekat memberanikan diri karena
merasa telah terjepit. Matanya yang semula nampak
redup dan tegang, kini menatap beringas. “Aku sudah
tak punya ayah dan ibu. Kalau kau mau, mangsalah
aku! Ayo..., makanlah tubuhku!”
“Hua ha ha...! Nyem nyem nyem...!” kembali suara
menyeramkan itu terdengar bergema. Seolah-olah
berasal dari semua arah. Namun Purbaya seperti tak
merasa takut sedikit pun. Bocah kecil itu menatap
tajam ke sekelilingnya. Kabut hitam itu terus
mengepung dirinya.
“Hoi...! Makhluk yang ada di dalam kabut, keluar-
lah! Makanlah aku, kalau kau ingin memangsaku!
Ayo...!” tantang Purbaya dengan lantang. Matanya
terus menatap tajam ke sekeliling. Kabut hitam itu
tampak semakin tebal dan berarak-arak bergerak
mengepung tubuh bocah itu.
“Hua ha ha...! Kau berani menginjakkan kaki di
lembah ini, Bocah! Maka kau memang akan menjadi
mangsaku!” suara bergema yang berasal dari balik
kabut-kabut hitam kembali terdengar.
“Mangsalah! Aku tak takut...!” tantang Purbaya
dengan berani. Matanya kini mengawasi kabut hitam
yang datangnya dari arah selatan. Hatinya yakin,
suara itu berasal dari selatan.
“Bocah bandel! Kau benar-benar minta mati...!”
dengus suara berat bergema menyeramkan itu.
“Ya! Kalau kau memang mau memangsaku,
mangsalah! Aku kini hanya sebatang kara. Ayah dan
ibuku mati dibunuh orang-orang jahat! Untuk apa lagi
aku hidup...?! Tak ada gunanya aku hidup!” seru
Purbaya dengan lantang.
“Hm...! Nyem nyem nyem...!” kabut-kabut itu ber-
gerak semakin mendekat. Dari dalam kabut hitam
yang kini mengapung mendadak muncul sebuah
tangan hitam legam dan besar. Tangan itu menjulur
keluar hendak menangkap tubuh bocah itu. Namun
Purbaya tampak tetap tenang. Tak ada rasa gentar
menghadapi ancaman maut itu.
Tangan hitam legam berkuku panjang dan runcing
itu, semakin dekat dengan tubuh Purbaya. Hampir
saja, tangan-tangan hitam besar berkuku tajam
menyeramkan itu mencengkeram dan mungkin akan
mencabik-cabik tubuh Purbaya. Namun tiba-tiba
sebuah bayangan putih berkelebat menerobos kabut
hitam sambil melontarkan pukulan beruntun ke arah
kedua tangan hitam legam yang keluar dari kabut itu.
Wrt!
Glar! Glarrr...!
Wrt!
Suara ledakan menggelegar terdengar, ketika
sosok bayangan putih itu berkelebat sambil meng-
hantamkan serangan cepat. Seketika itu pula
bayangan putih yang ternyata seorang lelaki bertubuh
bungkuk dan berjubah putih menyambar tubuh
Purbaya. Secepat kilat lelaki itu melesat ke barat
meninggalkan Lembah Karangkati.
***
Sudra, Watu Gunung, dan Lombang telah sampai
di Hutan Selapetir, tempat kediaman pimpinan
mereka. Di hutan itu Wanara tengah menunggu hasil
pekerjaan anak buahnya mencari Kitab Ajian Dewa.
Dari luar terdengar suara derap langkah kaki kuda
menuju markas tempat Wanara menunggu ketiga
anak buahnya. Dengan cepat Wanara melangkah
keluar, untuk menemui ketiga anak buahnya.
“Siapa yang kalian bawa?!” tanya Wanara.
Wanara ternyata manusia bermuka kera. Tubuh-
nya yang besar mengenakan jubah hitam. Matanya
tampak berwama merah, dengan hidung agak pesek.
“Istri Kerto Pati!” sahut Watu Gulung.
“Benar, Ketua. Kami membawanya, dengan
harapan ketua sudi menerimanya,” sambung Sodra.
“Bodoh! Tolol...! Yang kubutuhkan bukan wanita,
tetapi Kitab Ajian Dewa!” bentak Wanara sengit
dengan mata membara merah. Mulutnya yang
menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang kuning-
kekuningan. Di kanan dan kiri mulutnya tampak
sepasang taring.
Ketiga anak buahnya terdiam. Tak seorang pun
yang berani menjawab bentakan Wanara. Bahkan
beradu pandang pun mereka tak berani. Ketiganya
menundukkan kepala, seperti ketakutan.
Wanara memperhatikan wanita cantik di punggung
kuda yang ditunggangi Watu Gunung. Matanya
bersinar-sinar, ketika melihat bagian pakaian Ambar
Sari tersingkap. Kejantanannya seketika menyeruak.
Napasnya mendengus, bergolak penuh nafsu.
“Bawa dia ke kamar!” perintahnya. Ketiga anak
buah Wanara segera melompat. Watu Gunung meng-
angkat tubuh Ambar Sari melangkah masuk ke kamar
tempat tidur Wanara. Tak lama kemudian, Watu
Gunung telah kembali keluar.
“Sudah, Ketua,” ujar Watu Gunung.
“Bagaimana hasil kalian?!” tanya Wanara.
“Tak berhasil, Ketua. Wanita itu lebih baik memilih
mati, daripada mengatakan tempat penyimpanan
kitab tersebut. Itu sebabnya kami membawanya
kemari. Bukankah jika Ketua yang menangani siapa
tahu dia akan membuka mulut?” ujar Lombang
sambil tersenyum-senyum.
“Diam! Bodoh...! Menghadapi seorang wanita saja
kalian tak becus!” maki Wanara. “Lalu bagaimana
anaknya?”
“Mungkin mati, Ketua,” jawab Sodra dengan
kepala masih menunduk.
“Hm, dari mana kalian tahu?!”
“Bocah itu lari ke Lembah Karangkati, Ketua,”
sahut Sodra.
Wanara mengangguk-anggukkan kepala. Kemudi-
an dengan mengegoskan kepala, Wanara memerin-
tahkan pada ketiga anak buahnya untuk me-
ninggalkan tempat itu. Setelah ketiga anak buahnya
berlalu, Wanara segera masuk ke kamar di mana
tubuh Ambar Sari dibaringkan.
Setelah menutup pintu kamar Wanara menatap
tubuh Ambar Sari. Lelaki berwajah mirip kera itu
tampaknya terpukau kecantikan Ambar Sari. Mulut
Wanara menyeringai. Matanya semakin bersinar-sinar
penuh nafsu melihat paha Ambar Sari yang
tersingkap. Paha mulus itu sangat menggairahkan
dan menantangnya.
“Hm, benar-benar menggiurkan!” gumam Wanara
sambil melangkah mendekati tempat tidur di mana
tubuh Ambar Sari masih terbaring diam. Dipandangi
sekujur tubuh Ambar Sari, kemudian dengan buas
tangannya yang berkuku panjang merenggut pakaian
Ambar Sari.
Bret!
“Auh!” Ambar Sari tersentak kaget. Matanya mem-
belalak, melihat manusia bermuka kera dengan mata
penuh nafsu menatap tubuhnya. Wanita itu menyurut
mundur ketakutan.
“Tiga orang anak buah manusia bermuka kera itu
telah memperkosaku. Kini manusia bermuka kera ini
pun hendak memperkosaku,” pikir Ambar Sari sambil
menyurut mundur ketakutan.
“He he he...! Tak kuduga, kalau tubuhmu sangat
menggiurkan, Manis...,” ujar Wanara sambil mem-
buka pakaiannya sendiri, yang menjadikan Ambar
Sari semakin ketakutan.
“Jangan! Tidaaak...!” teriak Ambar Sari sambil
terus menyurut mundur.
“He he he...! Suamimu sudah mati. Sebaiknya kau
menjadi istriku!” ujar Wanara sambil melangkah,
mendekati Ambar Sari yang semakin ketakutan.
“Tidak! Jangaaan...!” pekik Ambar Sari berusaha
menolak, ketika Wanara dengan buas menubruknya.
Namun karena Ambar Sari lemas, Wanara dengan
mudah dapat menubruknya. Kemudian dengan buas
lelaki berwajah kera itu menggeluti tubuhnya dengan
diselingi bisikan merayu.
“Cah Ayu, kalau kau mau menjadi istriku. Kau akan
enak. Katakanlah, di mana Kerto Pati menyimpan
Kitab Ajian Dewa itu,” bisik Wanara sambil terus
menggeluti tubuh Ambar Sari yang terus berusaha
berontak dan meronta.
“Tidak! Lepaskan...! Aku tak tahu! Aku tak mau...!”
teriak Ambar Sari sambil terus berusaha melepaskan
diri dari dekapan Wanara. Namun karena tubuhnya
lemas dan kehabisan tenaga tak mampu melawan.
“He he he...! Baiklah, Cah Ayu. Mungkin kali ini kau
tak mau mengatakan di mana kitab itu berada. Tapi
suatu saat, kau harus mengatakannya,” kata Wanara
semakin buas menggeluti tubuh Ambar Sari yang
telah telanjang.
Ambar Sari masih berusaha memberontak, tetapi
tetap tak mampu. Akhirnya Ambar Sari hanya bisa
merintih dan menangis, menyesali nasibnya yang
malang. Suami mati, anak entah bagaimana nasib-
nya. Dirinya pun harus menjadi budak pemuas nafsu
manusia-manusia keji itu.
Ambar Sari masih menangis, ketika Wanara
dengan tertawa senang berlalu meninggalkan kamar
dan menutup pintunya setelah terlebih dahulu
berkata kalau sejak saat itu Ambar Sari dijadikan
istrinya.
Ingin Ambar Sari berontak, tetapi tak kuasa. Dia
hanya seorang wanita yang lemah, yang tak dapat
berbuat apa-apa untuk melepaskan cengkeraman
tangan para penjahat itu.
***
3
Waktu berjalan terus. Musim demi musim terlewati.
Dua puluh tahun telah berlalu sejak terbunuhnya
Kerto Pati. Sampai saat ini Wanara dan ketiga
rekannya masih terus berusaha mencari Kitab Ajian
Dewa yang belum juga dapat ditemukan. Bahkan kini
mereka telah membentuk sebuah perkumpulan besar
dengan nama Partai Kera Hitam, yang diketuai
Wanara.
Partai Kera Hitam tidak hanya berusaha mencari
Kitab Ajian Dewa semata. Kumpulan itu pun me-
lakukan aksi yang biadab dan keji. Merampok,
menculik para gadis, membunuh dan macam-macam
tindakan sesat. Tak tanggung-tanggung, hampir
seluruh wilayah Desa Kranggan dan sekitarnya di-
kuasai Partai Kera Hitam. Nama gerombolan itu,
menjadi momok yang menyeramkan bagi warga Desa
Kranggan dan sekitarnya.
Di Hutan Selapetir, tempat markas Partai Kera
Hitam berada, saat itu Wanara tengah duduk di atas
singgasana, didampingi gadis-gadis cantik. Di
hadapannya, duduk bersila para anak buahnya.
Mereka duduk berderet. Di depan, tiga orang lelaki
bermuka garang dengan pakaian merah, biru, dan
loreng harimau. Mereka tiada lain Sodra, Lombang,
dan Watu Gunung.
Ketiga lelaki beringas itu, kini bukan lagi orang dua
puluh tahun silam. Ilmu mereka telah banyak
mengalami perkembangan. Sejalan dengan per-
tambahan usia, ilmu mereka semakin tinggi dan
sempurna. Ketiganya menjadi tangan kanan Wanara
sejak lebih dari dua puluh tahun Silam. Hal itu juga
dialami Wanara. Manusia berwajah mirip kera itu
dalam usianya yang telah mencapai enam puluh lima
tahu merupakan tokoh tua yang sakti. Ilmu kedig-
dayaannya sulit dicari tandingan. Tak mengherankan
kalau kedudukannya sebagai Pimpinan Partai Kera
Hitam semakin kuat.
Sore itu, nampaknya mereka tengah mengadakan
pertemuan membahas masalah lama, mengenai
Kitab Ajian Dewa yang sampai saat ini belum juga
diketemukan. Ambar Sari yang telah menjadi istri
resmi bahkan sebagai permaisuri Wanara, masih
tetap bungkam. Dia selalu menolak jika ditanya
tentang kitab tersebut.
“Sodra, Lombang, dan kau, Watu Gunung.
Sebarkan pengumuman ke segenap penjuru wilayah
Kadipaten Banureja. Siapa yang tahu rumah Rupaksi,
harus melapor ke sini! Juga kuperingatkan pada
kalian semua, cari orang yang bernama Rupaksi...!”
“Untuk apa, Ketua...?” tanya Sodra dengan kening
mengerut.
“Bodoh! Kudengar, dialah yang dititipi Kerto Pati,
Kitab Ajian Dewa,” sentak Wanara dengan suara
keras. Sodra seketika menundukkan kepala. “Bawa
beberapa orang anak buah! Sementara kau,
Lombang. Tanyakan pada Ki Lurah Janur Biru, apakah
dia sudah bosan hidup! Kalau dia masih ingin hidup,
perintahkan agar segera membayar upeti dari
pertanian!”
“Baik, Ketua. Akan saya laksanakan,” sahut
Lombang sambil menganggukkan kepala.
“Bawa sepuluh orang untuk mengobrak-abrik Desa
Kecipir, jika Ki Lurah Janur Biru masih saja
membandel!” perintah Wanara dengan tegas.
“Akan saya laksanakan dengan baik,” jawab
Lombang.
“Bagus...! Watu Gunung, kau kuperintahkan untuk
mengundang tokoh-tokoh hitam rimba persilatan.
Sekaligus menyebar udangan dan pemberitahuan
mengenai Kitab Ajian Dewa. Tulis dalam
pengumuman itu, kalau kitab tersebut milik kita!”
“Baik, Ketua! Akan segera saya laksanakan,”
jawab Watu Gunung. Tubuh lelaki berkepala botak itu
tampak semakin gempal. Kumis dan jenggot tebal,
membuat tampangnya semakin seram dan garang.
“Yang lainnya, kuperintahkan tetap bekerja seperti
biasa! Kumpulkan harta sebanyak mungkin, untuk
mendirikan sebuah partai besar! Selama Wanara
masih menjadi pimpinan kalian, Partai Kera Hitam tak
akan dapat tertandingi perguruan maupun partai
lainnya. Tundukkan semua perguruan dan partai yang
ada di wilayah Kadipaten Banureja!”
“Hidup Ketua...!”
“Hidup Kera Hitam...!”
“Hidup Ketua Wanara...!”
Anak buah Partai Kera Hitam yang berjumlah
puluhan, seketika berteriak-teriak menyerukan
sanjungan. Hal itu membuat Wanara semakin tertawa
bangga. Dipeluknya gadis-gadis cantik di samping
kanan dan kirinya. Gadis-gadis itu menurut, seperti-
nya malah senang diciumi lelaki bermuka kera itu.
Mereka semua merupakan gadis-gadis culikan.
Sebenarnya mereka benci pada Wanara dan anak
buahnya. Namun mereka tak mampu berbuat banyak,
karena lemah. Jangankan mereka yang hanya wanita,
orang lelaki saja banyak yang menjadi korban
keganasan Wanara dan anak buahnya. Itu sebabnya
gadis-gadis itu hanya pasrah, membiarkan tubuh
mereka menjadi pemuas nafsu Wanara. Hanya ada
satu harapan bagi mereka, yang penting tidak
disingkirkan atau dengan kata lain dibunuh.
Dari luar, seorang gadis muda berusia sekitar dua
puluh tahun melangkah masuk. Gadis berambut
panjang diikat ekor kuda yang di punggungnya
tersandang golok, melangkah dengan mantap.
Matanya yang tajam menatap tajam para anak buah
Partai Kera Hitam. Mendadak mereka semua terdiam.
Seluruh anak buah Partai Kera Hitam tak ada yang
berani untuk beradu pandang dengan gadis itu.
“Ada apa, Seruni?” tanya Wanara pada gadis
berpakaian merah jingga yang melangkah mantap
sambil menatap tajam ke sekeliling ruangan itu.
“Ayah, ada dua orang lelaki yang mau menghadang
Ayah,” ujar Seruni, “Mereka katanya ingin bergabung
dengan partai kita.”
“Hm, begitu. Di mana mereka?” tanya Wanara.
“Mereka ada di luar.”
“Suruh mereka masuk.”
“Baik, Ayah.”
Gadis cantik serta muda belia namun ilmu
goloknya yang tinggi itu menjura hormat, yang dibalas
dengan anggukan kepala serta senyum di bibir
Wanara. Kemudian Seruni melangkah keluar, untuk
menemui kedua tamunya.
Di pintu gerbang Partai Kera Hitam, nampak dua
orang berusia sekitar tiga puluh tahun berdiri dengan
sabar menunggu. Satu lagi seorang lelaki bermuka
bulat dengan badan agak pendek dan gemuk.
Satunya lagi berbadan tegap, dengan wajah tampan
namun sinis. Yang bertubuh gemuk, rambutnya diikat
ekor kuda. Di punggungnya tersandang caping lebar.
Dia bernama Sungo Karu. Sementara yang tampan
namun sinis, yang di punggungnya terdapat sebuah
tongkat terbuat dari kayu cendana, bernama
Ketawang
Seruni nampak kelaur dari bangunan utama
markas Partai Kera Hitam. Gadis itu langsung
menemui kedua lelaki muda berusia sekitar tiga
puluh tahunan yang tersenyum melihat kedatangan-
nya.
“Bagaimana, Ni?” tanya Sungo Karu.
“Ayahku menerima kalian. Kalian dipersilakan
masuk,” jawab Seruni dengan wajah acuh.
“Terima kasih,” sahut keduanya sambil melangkah
masuk, setelah kedua penjaga pintu gerbang mem-
buka tombak yang semula disilangkan. Mata kedua-
nya menatap ke sekeliling bangunan utama yang
nampak megah. Seakan ada sesuatu yang menjadi
perhatian mereka.
“Mampukah aku melakukan tugas ini?” tanya
Ketawang dalam hati. Matanya masih mengawasi
sekeliling bangunan markas Partai Kera Hitam yang
dijaga ketat. “Semua penjuru dijaga ketat. Hm, tapi ini
semua tugas dari guru. Aku harus menyelidiki, apakah
Nyi Ambar Sari masih hidup.”
Sambil terus melangkah, Ketawang yang sebenar-
nya murid Resi Rupaksi terus berusaha mempelajari
tempat itu. Matanya mengawasi dan mencari-cari
jalan yang digunakan untuk lari kalau saat kepergok.
Namun tampaknya lingkungan ini tertutup rapat.
Semua jalan dijaga ketat empat orang prajurit.
Seperti halnya Ketawang, Sungo Karu pun tengah
berpikir unguk mencari jalan keluarnya jika
penyusupan yang mereka lakukan ini terbongkar.
“Celaka! Semua tempat di sini dijaga ketat. Hm,
apakah aku dan Ketawang mampu menambus
benteng Partai Kera Hitam yang kokoh ini? Guru,
kami mengharap doa darimu, agar kami berhasil
menunaikan tugas,” gumam Sungo Karu dalam hati.
Dia merasa kecut juga menyaksikan pertahanan dan
penjagaan di lingkungan markas Partai Kera Hitam.
Tak lama kemudian keduanya sampai di pelataran
markas Partai Kera Hitam. Tiba-tiba dari dalam
muncul para anak buah Wanara yang bermuka
berangasan membuat lingkaran besar. Sepertinya
mereka telah diperintahkan untuk mengurung kedua
orang tamu itu.
“Hm, apa-apaan ini, Nisanak?” tanya Ketawang tak
mengerti, melihat puluhan anak buah Partai Kera
Hitam telah mengurung mereka. Mata Ketawang
mengawasi orang-orang berpakaian rompi merah
yang di tangan mereka telah siap senjata berupa
golok dan pedang.
Seruni tersenyum, sepertinya tak peduli dengan
kekagetan Ketawang dan Sungo Karu.
“Untuk menjadi anggota Partai Kera Hitam, kalian
harus mendapatkan ujian dulu,” ujar Seruni tenang.
Bibirnya yang merah mengurai senyum dingin. “Apa
kalian siap?”
Ketawang dan Sungo Karu saling pandang,
kemudian keduanya beralih menatap wajah Seruni
yang masih tersenyum dingin.
“Kalau memang ini caranya kami siap!” sahut
Ketawang.
“Bagus!” dari dalam terdengar seruan keras, diikuti
kemunculan seorang lelaki berusia sekitar enam
puluh lima yang berwajah mirip kera. Di belakang
lelaki berjubah hitam yang tak lain Wanara itu
melangkah. Tiga lelaki yang berusia sebaya dengan
Pimpinan Partai Kera Hitam itu tak lain, Sodra, Watu
Gunung, dan Lombang.
Wanara dan ketiga anak buahnya terbahak-bahak.
Mereka menatapi dua lelaki muda berpakaian
kembar hijau lumut panjang sampai lutut yang telah
dikepung anak buah Partai Kera Hitam. Keempatnya
kemudian mendekati Ketawang dan Sungo Karu yang
berusaha tenang.
“Sebutkan nama kalian!” perintah Wanara.
“Namaku Ketawang. Orang sering menyebutku si
Toya Sakti,” sahut Ketawang memperkenalkan diri
sambil menjura hormat.
“Tentunya manusia bermuka kera inilah yang ber-
nama Wanara,” gumam Ketawang dalam hati. “Dia
berilmu tinggi. Menurut guru, ilmu silumannya mampu
menjelmakan diri menjadi seekor kera raksasa.”
“Hua ha ha...! Nama yang bagus, dan tentunya
ilmumu pun tidak mengecewakan,” gumam Wanara
sambil tertawa terbahak-bahak, hingga tampaklah
gigi-giginya yang dihiasi sepasang taring tajam.
“Sekarang namamu, Bogel?!”
“Namaku, Sungo Karu. Orang biasa menyebutku si
Caping Maut,” jawab Sungo Karu sambil menjura
hormat.
“Hua ha ha...! Seharusnya namamu bukan Sungo
Karu, tetapi Bulus...!” ejek Wanara sambil tertawa
terbahak-bahak, diikuti ketiga tangan kanannya.
“Kurang ajar!” maki Sungo Karu dalam hati.
“Sayang, guru memesanku harus hati-hati terhadap
keempat orang ini. Tentunya ketiga orang itu tangan
kanan Wanara. Yang tinggi itu, tentunya Sodra. Yang
berkepala botak di tangan, pasti Watu Gunung, dan
yang bertubuh kekar pasti yang bernama Lombang.
Hm, mereka bukanlah tokoh sembarangan. Sayang
Kitab Ajian Dewa tak dapat kami pelajari. Kalau saja
Kitab Ajian Dewa dapat kami pelajari, sudah
kuhancurkan partai tekutuk ini!”
Meski di dalam hati mencaci maki pada keempat
tokoh tua itu Sungo Karu tak dapat berbuat apa-apa.
Di samping sedang menyamar, dirinya juga menyadari
kalau ilmunya belum tentu bisa menandingi keempat
lelaki kejam dan sadis itu. Itu sebabnya Sungo Karu
hanya menundukkan kepala, membiarkan Wanara
dan ketiga tangan kanannya mengejek.
“Jadi kalian telah siap untuk diuji..?” tanya
Wanara.
“Kami siap!” sahut kedua kakak beradik seper-
guruan dengan mantap sambil menganggukkan
kepala. Kemudian mata mereka mengedarkan
pandangan memperhatikan puluhan lelaki berwajah
beringas, yang telah siap menunggu perintah.
“Bagus..., bagus!” seru Wanara sambil meng-
anggukkan kepala. “Untuk ujian pertama, kalian
harus mampu menghadapi lawan sebanyak lima
orang!”
“Kami siap!” sahut keduanya hampir bersamaan.
“Bagus!” Wanara segera menggerakkan kepala,
memerintah pada sepuluh orang anak buahnya untuk
maju. “Terserah kalian mau memakai cara apa. Kalau
perlu gunakan senjata kalian.”
“Terima kasih. Kami coba menggunakan tangan
kosong,” jawab Ketawang, yang membuat Wanara
dan ketiga tangan kanannya membelalak. Mereka tak
menyangka, kalau kedua lelaki muda itu berani
menghadapi lima anak buah Partai Kera Hitam yang
terkenal beringas dan kejam hanya dengan meng-
andalkan tangan kosong.
“Hua ha ha...! Hebat! Apakah kalian telah berpikir
masak-masak? Ingat, nyawa bagi Partai Kera Hitam
tak ada artinya sama sekali!” ujar Wanara mencoba
mengingatkan pada calon anggota barunya. “Jika
kalian kalah, nyawa sebagai taruhan dalam uji coba
ini. Untuk itu, pikirkan sekali lagi.”
“Kami sudah siap dengan tangan kosong,” tegas
Sungo Karu.
“Hua ha ha! Baiklah kalau begitu.”
Setelah memberi isyarat pada kesepuluh anak
buahnya, Wanara segera mundur bersama ketiga
tangan kanannya serta anaknya.
***
Sepuluh orang anak buah Partai Kera Hitam telah
mencabut golok dan pedang mereka. Kini kesepuluh
orang itu terbagi dua kelompok. Lima orang
mengepung Ketawang, sedang lima orang lagi
mengepung Sungo Karu. Namun Ketawang dan
Sungo Karu tampak masih tenang. Dengan tajam
mata keduanya mengawasi setiap gerak-gerik kelima
lawannya.
“Heaaa!”
Wrt!
Kesepuluh anak buah Partai Kera Hitam memulai
menyerang dengan senjata. Golok dan pedang di
tangan mereka, membabat dan menusuk tubuh
lawan. Namun Ketawang dan Sungo Karu dengan
gesit bergerak mengelit. Tubuh keduanya melesat
cepat, disusul dengan tendangan dan pukulan
tangan.
“Hea!”
“Yea!”
Ketawang dan Sungo Karu sengaja tak
mengeluarkan jurus 'Elang Sakti', karena jurus itu
tentunya sudah dikenal keempat tokoh utama Partai
Kera Hitam. Karena mereka pernah bentrok dengan
paman seperguruan mereka, Kerto Pati.
Ketawang dan Sungo Kartu kini bergerak meng-
atasi serangan lawan dengan jurus 'Walang Keket'.
Sebuah jurus ciptaan sang Guru yang dipersiapkan
untuk keduanya, sebelum ditugaskan menyusup ke
markas Partai Kera Hitam.
Tangan dan kaki kedua lelaki berpakaian hijau itu
bagaikan kaki-kaki dan sayap belalang. Gerakan
mereka gesit dan lincah. Sebentar melesat
menyerang dengan cakaran dan hantaman,
kemudian melejit mengelak.
Wanara dan ketiga tangan kanannya dibuat kagum
dengan jurus yang dipakai Ketawang dan Sungo Karu.
Meski tubuh Sungo Karu seperti kura-kura besar
gemuk dan pendek, namun dengan jurus 'Walang
Keket', Sungo Karu ternyata mampu bergerak cepat.
Tubuhnya melompat ke sana kemari, dengan sesekali
menendang dan mencakar ke dada lawan-lawannya
Degkh!
Crat!
“Akh...!” jeritan keras terdengar susul-menyusul
dari kelima anak buah Partai Kera Hitam. Muka
mereka tergores cakaran tangan Ketawang dan
Sungo Karu. Sementara lawan yang terhantam
tendangan kaki terpental ke belakang dengan mulut
meringis kesakitan.
Plok! Plok! Plok...!
Wanara bertepuk tangan, diikuti seluruh anak
buahnya. Lelaki bermuka kera itu menyeringai
senang, melihat kehebatan ilmu kedua lelaki muda
itu. Hanya dalam beberapa gebrakan, keduanya
mampu menjatuhkan ke lima anak buah Partai Kera
Hitam.
“Hebat...! Hebat! Kalian memang bukan orang
sembarangan. Hm, tapi itu ujian pertama. Ada dua
ujian yang akan kalian hadapi. Bagaimana, apa kalian
telah siap dengan ujian terakhir?” tanya Wanara
seraya tersenyum menatap kedua tamunya itu.
“Kami siap!” sahut Ketawang yakin.
“Ayah, biar aku yang menguji mereka!” usul Seruni.
Matanya menatap tajam wajah kedua lelaki di
hadapannya. Bibirnya yang merah menyunggingkan
senyum meremehkan.
“Nah, dengar! Kalian akan berhadapan dengan
anakku. Apakah kalian siap...?” tanya Wanara sambil
tersenyum.
“Siap!” sahut Sungo Karu.
“Baik! Seruni...!” seru Wanara seraya meng-
gelengkan kepala memerintahkan putrinya itu.
“Baik, Ayah.”
Seruni maju dua tindak, berhadap-hadapan
dengan kedua lawannya. Ketawang dan Sungo Karu
masih belum tahu, siapa gadis cantik muda belia di
hadapannya. Menurut cerita guru mereka, Ambar Sari
hanya memiliki seorang anak lelaki yang entah hidup
atau mati. Tetapi kini keduanya berhadapan dengan
seorang gadis yang menyebut ayah terhadap Wanara.
Padahal Wanara hanya kawin dengan Ambar Sari.
Gadis-gadis lain, hanya sebagai pemuas nafsu
belaka.
“Kalian telah siap?” tanya Seruni.
“Ya!” sahut Ketawang.
“Apa yang kalian inginkan? Tangan kosong, atau
senjata?” tantang Seruni.
“Tangan kosong!” jawab Sungo Karu.
“Baik. Sebagai tamu dan akan menjadi anggota
baru, kalian boleh menyerang lebih dahulu sekaligus
berdua!”
Ketawang dan Sungo Karu tersentak kaget men-
dengar tantangan itu. Mereka tak menduga, kalau
Seruni akan berani menantang mereka langsung
berdua.
“Benar-benar nekat dan sombong gadis ini,”
gumam Ketawang dalam hati. Matanya menatap
tajam wajah Seruni, seolah-olah tak percaya kalau
gadis belia itu akan berlaku gegabah terhadap
mereka berdua.
“Kenapa kalian diam? Ayo, lakukanlah!” tantang
Seruni dengan angkuhnya. Gadis itu seakan meng-
anggap kedua lelaki di hadapannya tak berarti sama
ekali. Bahkan sikapnya tampak sangat meremehkan
Ketawang dan Sungo Karu.
“Baiklah. Jangan menyesal jika tubuhmu yang
mulus tersentuh tangan kami!” jawab Ketawang
sambil bergerak maju menyerang Seruni dengan jurus
'Walang Keket Mencolek Daun'. Tangannya bergerak
laksana kaki belalang yang menyibak dedaunan,
menyerang dada gadis cantik itu.
“Cabul!” maki Seruni seraya berkelit ke samping,
kemudian dengan cepat gadis itu mengeluarkan jurus
'Tarian Bius Seribu'. Tubuhnya bergerak gemulai tapi
cepat. Tangannya meliuk-liuk seperti melakukan
gerakan tari Bali. Matanya melotot dan bergerak-
gerak dengan lincah.
Dari jurus-jurus mirip tarian itu, menimbulkan
rangkaian gerakan yang menantang dan merangsang.
Hal itu membuat Ketawang dan Sungo Karu tersentak
kaget. Mata mereka melotot, dengan jakun turun
naik.
Melihat kedua lawannya terpengaruh gerakannya,
Seruni tersenyum. Memang hal itulah yang di-
kehendaki. Karena dengan begitu, dirinya akan
mudah menjatuhkan kedua lawannya.
Ketawang tersentak kaget, ketika sebuah
hentakan keras dilakukan Seruni. Dengan cepat
Ketawang melompat mundur. Matanya membelalak,
tak percaya dengan apa yang baru saja dialami.
Sementara Sungo Karu yang masih terpengaruh
gerakan tubuh gemulai itu, tak mampu lagi meng-
elakkan tamparan tangan kiri Seruni. Tanpa ampun
lagi, tangan mulus milik Seruni yiang disaluri tenaga
dalam menghantam pipi kanan.
Prat!
“Akh!” Sungo Karu terpekik. Tubuhnya yang gemuk
dan bulat seperti kura-kura, terhuyung ke belakang
dengan mata melotot kaget. Dari sela bibirnya,
meleleh darah segar.
“Hi hi hi...!” Seruni tertawa cekikikan. Hatinya puas
telah dapat mempecundangi salah seorang dari
kedua lawannya. Gadis itu kini berdiri dengan sikap
angkuh. Senyum sinis menghias di bibirnya, seakan
menantang kedua lawan untuk kembali maju.
“Hati-hati, Sungo! Ternyata jurusnya mengandung
bius yang akan membuat kita terpengaruh. Kita harus
membuat pandangan ke tempat lain. Mari kita serang
lagi! Heaaa...!” Ketawang kembali bergerak dengan
jurus 'Walang Keket Merentang Sayap'. Kedua
tangannya direntangkan, kemudian secara bergantian
menyerang tubuh Seruni dengan cepat dan beruntun.
Sungo Karu yang sudah terkena tamparan Seruni,
tak mau tinggal diam. Dengan jurus 'Walang Keket
Menggigit Daun' dirinya bergerak menyerang. Kedua
tangannya bagaikan mulut seekor belalang yang
hendak menggigit daun.
Mendapat serangan beruntun dari kedua lawan,
Seruni kembali melakukan gerakan jurus 'Tarian Bius
Seribu'. Tubuhnya meliuk-liuk seperti menari. Namun
Ketawang dan Sungo Karu yang sudah tahu
kehebatan jurus itu, tak mau menatap tubuh Seruni.
Sambil membuang pandangan ke tempat lain,
keduanya terus menyerang.
Seruni tersentak kaget karena tak menyangka,
kalau lawan telah tahu kelemahan jurusnya. Dengan
cepat Seruni melentingkan tubuh ke atas. Setelah
bersalto beberapa kali akhirnya mendarat dengan
ringan di tanah.
“Cukup!” seru Wanara, “Kalian telah lulus! Kini
kalian resmi menjadi anggota Partai Kera Hitam.''
“Terima kasih,” jawab keduanya sambil menjura
hormat
“Sebagaimana biasanya, maka hari ini kita akan
merayakan penerimaan anggota baru! Mari...!”
Hari itu, Partai Kera Hitam pun mengadakan pesta
untuk merayakan masuknya anggota baru. Semua
anggota Partai Kera Hitam bergembira.
Hanya seorang wanita berusia sekitar lima puluh
tahun yang tampak termenung seorang diri. Wanita
tengah baya yang masih menampakkan kecantikan-
nya itu, tiada lain Ambar Sari.
Dari kedua mata wanita setengah baya itu,
mengalir mata. Hatinya sedih jika melihat anaknya,
Seruni yang adat dan kesombongannya menyerupai
sang ayah, Wanara. Ingatannya kembali melayang
pada anak lelakinya, Purbaya. Yang entah hidup atau
mati.
***
4
Goa Kalong yang terletak di Pegunungan Kapur pagi
itu terasa dingin. Namun seorang pemuda berambut
putih keperakan nampak masih menggelantung di
dinding goa dengan kaki di atas, tak ubahnya seperti
seekor kelelawar. Tubuh pemuda itu sangat kekar.
Wajahnya tampan dan bersih. Dari tubuhnya yang
menggelantung dengan tangan bersidekap, menetes
air bening turun lewat kaki ke rambutnya yang putih
perak.
Ketika itu dari dalam goa, muncul seorang lelaki
tua berusia sekitar tujuh puluh lima tahun. Lelaki
berjubah seperti pakaian resi warna putih sesaat
berdiri memperhatikan pemuda yang menggelantung
di atasnya. Lelaki tua berambut putih itu, tak lain Resi
Turangga Weni. Salah seorang resi sakti yang puluhan
tahun silam namanya sejajar dengan Pendekar Gila
dari Goa Setan, guru dari Sena.
“Purbaya, sudah cukup kau melakukan semadi.
Empat puluh hari lamanya kau melakukan hal seperti
itu. Sekarang bangunlah, Anakku!” perintah Resi
Turangga Weni.
Perlahan-lahan mata pemuda berambut keperakan
yang dipanggil Purbaya membuka, kemudian me-
mandang Resi Turangga Weni.
Resi Turangga Weni tersenyum.
“Turunlah, Cucuku! Hari ini, semuanya telah
selesai. Dua puluh tahun sudah kau berada di Goa
Kalong ini.”
“Eyang menyuruhku?” tanya Purbaya.
“Benar. Turunlah!”
Purbaya berjumpalitan sesaat di udara, kemudian
dengan ringan mendarat di depan gurunya sambil
melakukan sembah. Hal itu membuat Resi Turangga
Weni tersenyum semakin senang melihat tingkah laku
muridnya yang sopan.
“Ada gerangan apa Eyang Guru membangunkan
semadiku?” tanya Purbaya setelah melakukan
sembah.
Resi Turangga Weni memegang pundak Purbaya
yang bertelanjang dada. Di bibirnya masih mengurai
senyum kekagumam pada sang Murid. Dielus-elusnya
pundak Purbaya yang masih berlutut di hadapan sang
guru. Ada gambaran rasa cinta kasih di wajah lelaki
tua itu.
“Cucuku, dua puluh tahun sudah kau berada di
Goa Kalong. Semua ilmu yang kuajarkan, telah kau
serap semua. Bahkan ajian 'Rambut Api' yang selama
ini belum pernah kuperdalami. Tetapi syukurlah,
akhirnya kau yang berjodoh dengan ajian itu!” tutur
Resi Turangga Weni sambil terus membelai-belai
pundak Purbaya. Wajahnya ditengadahkan, me-
mandang ke langit-langit goa yang meneteskan air
bening dan menebarkan hawa dingin. “Kini saatnya
bagimu turun gunung, mengamalkan semua yang
telah kau peroleh di sini!” ujarnya dengan suara
pelan.
“Tapi, Eyang...?” Purbaya hendak menolak apa
yang disarankan eyang gurunya. Sepertinya pemuda
itu tidak ingin berpisah dengan Resi Turangga Weni,
juga Goa Kalong yang telah dua puluh tahun menjadi
tempat tinggalnya.
Resi Turangga Weni tersenyum sambil meng-
geleng-gelengkan kepala. Tangannya masih
membelai-belai rambut pemuda tampan yang ber-
warna putih keperakan itu.
“Kau tidak bisa begitu, Cucuku. Ada pertemuan,
tentu ada perpisahan. Ada kehidupan, pasti ada
kematian. Cepat atau lambat, usia manusia akan
terus bertambah. Jangan sia-siakan usiamu!
Gunakanlah kesempatan hidup yang hanya sebentar
ini. Untuk mengabdi pada kebenaran dan keadilan,”
tutur Resi Turangga Weni menasihatkan.
“Saya mengerti, Eyang.”
“Syukurlah kalau begitu!” ujar Resi Turangg Weni
dengan mengangguk-anggukkan kepala, “Sekarang
mandilah dulu di telaga. Aku telah mempersiapkan
pakaian untukmu.”
“Baik, Eyang.”
Purbaya pun segera melangkah keluar dari Goa
Kalong untuk mandi di telaga yang tak jauh dari goa
itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Purbaya yang
sudah empat puluh hari tak mandi, langsung
menceburkan diri ke telaga. Dia mandi sepuas-
puasnya.
Dari dalam goa, Resi Turangga Weni keluar mem-
bawa setumpuk pakaian warna putih dengan ikat
pinggang merah menyala.
“Ini pakaianmu, Purbaya. Setelah mandi, pakailah!
Kemudian temui aku di dalam!” perintah Resi
Turangga Weni. Ditaruhnya pakaian itu di tepi telaga
kemudian lelaki itu kembali melangkah meninggalkan
telaga, menuju goa.
Resi Turangga Weni duduk di atas sebuah batu
besar dan rata dalam Goa Kalong itu. Tidak lama
kemudian, dari luar muncul Purbaya yang telah
mengenakan jubah putih terbuat dari serat benang
sutera. Ikat pinggangnya yang merah menyala,
semakin menambah kegagahan pemuda tampan itu.
“Duduklah!”
“Terima kasih, Eyang.” Purbaya pun segera duduk
bersila di hadapan Resi Turangga Weni. Rambutnya
yang putih keperakan dibiarkan terurai panjang.
Udara di dalam Goa Kalong seketika terasa segar.
Ada sesuatu yang keluar dari rambut keperakan
pemuda tampan itu. Sehingga membuat suasana di
dalam Goa Kalong terasa segar, seakan dari rambut
Purbaya, menghembuskan hawa hangat yang mampu
menekan hawa dingin.
“Purbaya, Cucuku. Kurasa tak banyak yang akan
kusampaikan padamu, sebagai bekal perjalananmu.
Hanya satu pesanku. Janganlah dirimu menjadi
sombong dan takabur. Kesombongan dan
ketakaburan akan membuat kita celaka. Menurut
kabar yang kudengar, ibumu masih hidup. Tapi entah
di mana...,” tutur Resi Turangga Weni.
Mendengar ucapan sang Guru, Purbaya seketika
tersentak kaget. Matanya terbelalak seakan-akan tak
percaya pada apa yang baru didengarnya. “Ibu masih
hidup?”
“Benar, Anakku. Itu yang pernah kudengar.”
“O, syukurlah! Ingin sekali aku bertemu dengan-
nya. Apakah mungkin ibu juga tahu kalau aku masih
hidup, Eyang?” tanya Purbaya ingin tahu.
“Entahlah, Cucuku. Tapi kau memiliki kalung ini.
Tentunya jika ibumu melihat, dia akan ingat. Kini,
berangkatlah! Tegakkan kebenaran dan keadilan. Tak
ada yang dapat Eyang berikan padamu untuk bekal.
Hanya doa Eyang yang akan menyertaimu...,” tutur
Resi Turangga Weni.
''Terima kasih, Eyang. Aku mohon pamit!” pinta
Purbaya sambil melakukan sembah. Sedangkan Resi
Turangga Weni dengan penuh kasih membelai
rambutnya.
“Hati-hatilah, Cucuku!”
Dengan menahan perasaan sedih Purbaya
melangkah meninggalkan Resi Turangga Weni dan
Goa Kalong. Dalam hatinya berjanji, akan menegak-
kan kebenaran dan keadilan di muka bumi ini.
Namun, kini tujuan utama akan mencari sang Ibu
yang menurut berita masih hidup.
“Di manakah ibu?” gumam Purbaya, sambil terus
melangkah keluar dari dalam goa. Sesaat pemuda itu
berdiri mematung di depan mulut goa, menatap ke
langit yang biru dan bening. Kemudian setelah
menoleh ke belakang memandang Goa Kalong.
Purbaya kembali meneruskan langkah menuruni
Pegunungan Kapur.
Dengan langkah mantap dan pasti, pemuda
berambut panjang putih keperakan itu terus
melangkah menelusuri lereng Pegunungan Kapur.
Dirinya tak tahu harus ke mana, hanya mengikuti ke
mana kaki melangkah. Rasa rindu ingin bertemu
ibunya, membuat langkah Purbaya semakin mantap.
Dengan berlari-lari kecil, pemuda itu terus menuruni
lereng Pegunungan Kapur yang tampak putih dan
kering tertimpa terik matahari.
Pegunungan Kapur memang tandus. Di sana sini
yang tampak hanya bebatuan kapur dan granit.
Hanya di sekitar Goa Kalong tumbuh pepohonan yang
tak begitu rimbun, karena tanah di situ memang agak
subur. Maka jika dilihat dari kejauhan, Pegunungan
Kapur hanya sebagian puncaknya yang ditumbuhi
pepohonan rimbun, sedangkan lainnya hanya
bebatuan kapur dan gramit.
Sesampainya di bawah lereng Pegunungan Kapur,
Purbaya sesaat berhenti. Dirinya nampak bingung
harus melangkah ke mana, karena belum pernah
tahu di mana Desa Kranggan, tempat kelahirannya.
Desa yang akan senantiasa diingat. Di mana dirinya
dan kedua orangtuanya tinggal, hidup aman sejahtera
dan berbahagia sampai akhirnya para penjahat itu
datang mengacau dan membunuh ayahnya, Kerto
Pati.
Empat orang lelaki, yang salah satunya bermuka
kera datang ke rumahnya. Mereka mengeroyok
ayahnya, setelah menanyakan Kitab Ajian Dewa. Sang
Ayah, akhirnya mati, di tangan keempat lelaki jahat
itu.
Ingatan Purbaya kembali melayang. Semua
kejadian semasa dirinya berusia lima tahun, kembali
terlintas dalam benaknya. Dari kematian sang Ayah,
sampai kematian kusir kereta yang bernama
Trenggana dan entah bagaimana nasib ibunya.
“Ibu, mungkin kau menyangka aku telah mati. O,
ingin sekali aku bertemu denganmu, Bu. Kerinduan
selama dua puluh tahun kupendam, karena aku tak
tahu harus berbuat apa,” desah Purbaya lirih sambil
menghela napas dalam-dalam. Ditatapnya sinar
mentari pagi yang terasa hangat. Kemudian mata
pemuda tampan berambut putih keperakan itu
menatap ke sekeliling.
Di kejauhan tampak desa-desa kecil terhampar di
bawah. Pepohonan tumbuh subur menutup desa-
desa yang tampak di sebelah utara, barat, dan timur.
Seketika itu pula pikiran Purbaya kembali teringat
Desa Kranggan yang dua puluh tahun lalu ditinggal-
kan. Entah seperti apa desa itu kini.
Setelah menghela napas dalam-dalam, kini
Purbaya kembali meneruskan langkahnya untuk
mengembara dan mencari ibunya yang menurut
Eyang Resi Turangga Weni masih hidup. Sekaligus
mencari pembunuh sang Ayah yang dianggapnya
telah membuat kehancuran keluarganya.
***
Siang itu suasana terasa aneh, matahari sangat
panas, menyengat dan seakan hendak memanggang
seluruh makhluk bumi. Tampak para peladang mulai
berteduh di bawah pepohonan di sekitar ladang
mereka. Terik matahari siang itu, juga dirasakan
penduduk Desa Kranggan. Mereka mulai menghenti-
kan pekerjaan dan pulang ke rumah masing-masing.
Berkumpul kembali dengan anak istri mereka, dan
berlindung dari terik matahari yang begitu panas.
Di tengah suasana panas itu nampak seorang
pemuda berambut panjang keperakan tengah
melangkah dengan tenang. Pemuda berjubah putih
itu seakan-akan tak merasa kepanasan sedikit pun.
Tak ada keringat yang keluar dari tubuhnya. Matahari
yang begitu terik sepertinya tak berarti baginya.
Pemuda yanga tiada lain Purbaya itu, terus
melangkah menelusuri jalan tanah yang membelah
Desa Kranggan untuk mencari kedai. Perutnya yang
empat puluh hari melakukan tapa, terasa begitu
lapar. Tadi ketika dia hendak meninggalkan Goa
Kalong, dirinya lupa untuk mengisi perut.
Purbaya masih melangkah, tak menghiraukan
panas terik yang menyengat. Ternyata seluruh tubuh-
nya memang tak merasakan hawa panas sedikit pun.
Hal itu dikarenakan pengaruh dari rambutnya yang
seperti mengandung air serta mengeluarkan hawa
sejuk dan segar.
Tak jauh dari tempat Purbaya berada, tampak
sebuah kedai yang ramai pengunjungnya. Semua
orang yang melihat pemuda itu melangkah bagaikan
terkesima. Mata mereka kini tertuju pada pemuda
berambut keperakan tampak segar. Tanpa keringat
bercucuran, tanpa rasa lelah dan kepanasan.
Padahal, terik matahari bagaikan hendak
memanggang.
Di antara para penduduk Desa Kranggan yang
tengah berteduh di dalam kedai itu, tampak seorang
pemuda berambut gondrong memakai rompi kulit
ular. Pemuda bertingkah laku aneh itu tak lain Sena
Manggala atau yang lebih dikenal dengan julukan
Pendekar Gila. Di sampingnya berdiri seorang gadis
cantik berpakaian hijau daun. Pendekar Gila tampak
mengerutkan kening sambil cengengesan menatap
Purbaya.
Gadis di samping Pendekar Gila yang ternyata Mei
Lie tampak heran. Orang-orang di kedai itu semakin
heran, tak terkecuali Pendekar Gila dan Mei Lie ketika
Purbaya berada semakin dekat dengan mereka. Hal
itu karena tiba-tiba ada hawa sejuk berhembus dari
rambut keperakan milik pemuda itu.
“Aha, kau merasakan sesuatu keanehan, Mei Lie?”
tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala dengan
mulut cengengesan sambil menoleh pada wajah Mei
Lie.
“Ya, aku merasakan hawa yang sejuk. Kurasa
pemuda itulah sumbernya. Lihat, Kakang! Rambutnya
seperti berair,” gumam Mei Lie.
''Ya ya ya, kurasa memang dialah yang penyebab-
nya. Aha, baru kali ini kulihat orang yang mampu
mengeluarkan hawa sejuk,” gumam Sena dengan
tangan tetap menggaruk-garuk kepala. Mulutnya
cengengesan, dengan mata menatap Purbaya yang
kini semakin bertambah dekat dengan kedai.
“Kurasa dia bukan orang sembarangan, Kakang,”
tukas Mei Lie sambil terus memperhatikan Purbaya
yang tampak mulai dikerumuni orang-orang desa.
Pemuda berambut keperakan itu kini berada di depan
kedai lalu duduk di dipan bambu.
Melihat orang-orang bertambah banyak
mengerumuni Purbaya, Pendekar Gila bangkit dari
duduknya, lalu melangkah mendekati kerumunan itu.
“Aha, bubarlah semua...! Bubar...!” perintah Sena
pada orang-orang yang mengerumuni Purbaya.
Mereka menganggap pemuda berambut keperakan
itu orang aneh yang patut ditonton.
Para warga desa dan anak-anak yang berkumpul
mengelilingi Purbaya seketika bubar meninggalkan
kedai. Mereka bersorak-sorai, mengolok-olok
Purbaya. Namun pemuda berambut keperakan itu
sepertinya tak marah. Justru tampak tersenyum-
senyum.
“Hush! Pergi-pergi...!” bentak Mei Lie dengan mata
melotot, membuat anak-anak kecil yang tadi masih
berolok-olok langsung bubar meninggalkan tempat
itu.
“Aha, kurasa lebih baik kita ke dalam, Kisanak!”
ajak Sena dengan tingkah lakunya yang persis orang
gila. “Kulihat kau pun lapar. Ayolah...! Ah ah ah...!”
“Terima kasih. Kau baik sekali, Kisanak. Namaku
Purbaya,” ujar Purbaya memperkenalkan diri. Kening-
nya mengerut menyaksikan tingkah laku Pendekar
Gila yang aneh itu.
“Aha, namaku Sena Manggala. Dan temanku ini
bernama Mei Lie,” Pendekar Gila memperkenalkan
diri dan nama kekasihnya.
“Hm, sudah kuduga, kalau Nini Mei Lie orang
Cina,” tukas Purbaya berseloroh.
“Aha, tepat sekali. Dia memang dari Cina. Tetapi
sekarang hidup di dusun. Hi hi hi...!” Sena menimpali
seloroh Purbaya yang membuat Mei Lie melotot
sengit.
Ketiganya tersenyum.
“Aha, mari masuk!” ajak Sena sambil membimbing
Purbaya melangkah masuk ke kedai. Kemudian
pemuda itu diajak duduk di sampingnya. “Pelayan,
beri Kisanak ini makanan yang enak!”
“Baik, Tuan.”
Pelayan kedai segera mengambil makanan yang
dipesan Pendekar Gila. Tidak lama kemudian,
pelayan itu telah kembali dengan membawakan
makanan.
“Ini pesanan, Tuan.”
“'Terima kasih. Taruhlah di sini!” perinta Sena yang
segera dilaksanakan pelayan kedai itu. “Silakan,
Kisanak!”
“Kalian...?” tanya Purbaya.
“Kami baru saja,” jawab Mei Lie sambil tersenyum
menganggukkan kepala. “Bersantaplah yang enak!”
“Terima kasih.”
Purbaya pun menyantap makanan itu dengan
lahap. Sehingga dalam waktu sebentar saja makanan
telah habis tak tersisa.
“Mau tambah, Kisanak?” tanya Sena.
“Ah tidak, terima kasih,” sahut Purbaya sambil
tersenyum.
“Aha, kalau kau memang masih lapar, nambahlah!
Biar aku yang membayar semuanya,” ujar Sena
ramah.
''Terima kasih. Cukup! Kalau nambah, kurasa
perutku tak akan sanggup menampungnya,” jawab
Purbaya sambil tersenyum, membuat Sena dan Mei
Lie turut tersenyum.
“Maaf, ng..., Purbaya. Kalau boleh kami tahu,
hendak ke manakah tujuanmu?” tanya Mei Lie.
Purbaya terdiam sesaat. Ditariknya napas dalam-
dalam. Kemudian diedarkan matanya ke sekeliling
kedai, seperti tengah mencari sesuatu. Kemudian
dengan helaan napas panjang, pemuda itu men-
ceritakan tujuannya.
“Aku ingin mencari kampung halamanku, sekaligus
mencari ibuku yang kabarnya masih hidup. Lalu yang
kedua, aku bermaksud mencari Kitab Ajian Dewa
yang dahulu dititipkan Pendekar Gila pada ayahku.
Entah di mana kitab itu berada sekarang. Aku
khawatir orang-orang jahat yang membunuh ayahku
berhasil mendapatkannya,” tutur Purbaya. Wajah
pemuda itu menyiratkan kepedihan dalam hatinya.
“Pendekar Gila...?” tanya Mei Lie dengan kening
mengerut, sepertinya hendak meyakinkan pen-
dengarannya.
''Ya!” sahut Purbaya. “Dulu, ketika ayahku masih
hidup, ayahku pernah bercerita tentang seorang
pendekar yang tingkah lakunya persis orang gila. Itu
sebabnya dia dikenal dengan sebutan Pendekar Gila.
Antara ayahku, dengan Pendekar Gila saling ber-
sahabat. Pada masa hendak menghilang dari rimba
persilatan, Pendekar Gila menitipkan Kitab Ajian
Dewa pada ayahku. Dia berpesan agar ayah mem-
beritahukan kitab itu kepada murid atau keturunan-
nya kelak.”
Mei Lie semakin mengernyitkan kening, men-
dengar penuturan Purbaya. Kemudian matanya
menatap wajah Pendekar Gila yang tampak
cengengesan, sepertinya tak peduli penuturan
pemuda berambut keperakan di hadapannya.
“Apakah Nini Mei Lie kenal dengan pendekar sakti
itu?” tanya Purbaya seraya menatap wajah gadis
cantik itu.
“Ya.”
“O, syukurlah! Aku ingin meminta maaf atas nama
ayahku, yang tidak bisa menjaga barang titipannya.
Tetapi mungkin juga masih disimpan ayahku. Hanya
ibuku yang tahu, di mana kitab itu disimpan,” ujar
Purbaya. “Kalau boleh saya tahu, di mana pendekar
itu?”
“Bukankah ada di sampingmu?” tanya Mei Lie
sambil menoleh dan tersenyum pada Pendekar Gila
yang hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala.
Seketika Purbaya membelalakkan mata kaget.
Hatinya hampir tak percaya kalau orang yang di
sampingnya ternyata Pendekar Gila. Pemuda itu
segera menoleh dan menatap wajah Sena yang
tampak tersenyum-senyum.
“O, maafkanlah kebutaanku, Tuan Pendekar!
Sungguh tak pernah kusangka, kalau aku bisa
bertemu dengan Pendekar Gila,” ujar Purbaya sambil
menjura
“Aha, kau salah, Kisanak. Mungkin yang dimaksud
ayahmu adalah guruku. Memang semua pendekar
yang keluar dari Goa Setan, akan dijuluki orang
sebagai Pendekar Gila. Eyang guru, guruku, dan
aku...,” tutur Sena menjelaskan. “Semua mendapat
julukan Pendekar Gila.”
Purbaya mengangguk-anggukkan kepala, men-
dengar penuturan Sena tentang gelar Pendekar Gila.
Namun meski dulu yang menjadi sahabat ayahnya
adalah guru Sena. Purbaya tetap merasa, tak salah
jika minta maaf pada Sena. Karena dirinya merasa
Kitab Ajian Dewa yang hingga kini belum di-
ketemukan, merupakan hak Sena sebagai murid
Pendekar Gila.
“Meskipun kau muridnya, aku merasa sepantas-
nya minta maaf, karena kitab itu belum bisa
kuberikan padamu,” ujar Purbaya.
“Aha tak menjadi masalah, Kisanak. Bukankah kita
bisa mencarinya bersama-sama?” sahut Sena ber-
usaha meyakinkah Purbaya, agar pemuda berambut
keperakan itu tenang dan tidak merasa bersalah.
“Terima kasih atas kebaikanmu, Pendekar.”
“Aha, mengapa kau sebut pendekar? Namaku
Sena?” ujar Sena dengan cengengesan sambil
tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat
Mei Lie melotot gemas dan mencubit pinggang
kekasihnya. Pendekar Gila terpekik karena kesakitan.
Sementara Purbaya tampak tersenyum-senyum
melihat tingkah keduanya.
“Dasar gila!” sungut Mei Lie.
“Hi hi hi...! Bukankah aku gila karenamu?” goda
Sena yang semakin membuat Mei Lie melotot gemas.
Ketika mereka tengah bercanda, tiba-tiba....
“Tolong...! Tolooong...!”
Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dari
arah barat.
“Heh?!”
“Aha, ada apa gerangan?” gumam Sena.
“Pasti gerombolan Partai Kera Hitam!” sahut
pemilik kedai. Mendengar hal itu Sena, Mei Lie, dan
Purbaya mengerutkan kening.
“Gerombolan Partai Kera Hitam? Apa maksudmu,
Ki?” tanya Mei Lie ingin tahu.
“Gerombolan kejam yang selalu berusaha ingin
berkuasa dan mencari seseorang di desa ini,” tutur
pemilik kedai menjelaskan. Baik Pendekar Gila, Mei
Lie, maupun Purbaya sama-sama tercengang men-
dengar penjelasan pemilik kedai itu.
“Tolong...! Tolooong...!” suara teriakan itu pun ter-
dengar lagi, bahkan semakin dekat dari kedai. Hal itu
membuat Purbaya, Pendekar Gila, dan Mei Lie
langsung melesat keluar ingin tahu apa yang terjadi.
***
5
Dari arah barat, nampak segerombolan lelaki
berwajah garang berpakaian rompi merah menyala.
Mereka tengah mengejar seorang gadis cantik jelita
berpakaian biru laut. Gadis itu berlari terbirit-birit
ketakutan, karena sepuluh lelaki beringas terus mem-
burunya, tanpa menghiraukan jeritan ketakutan.
“'Tolong...! Tolooong...!”
Semua warga Desa Kranggan yang semula berada
di jalanan atau di sawah, seketika langsung ber-
sembunyi. Mereka tidak berusaha menolong gadis
yang tengah dicekam rasa takut itu, melainkan
bersembunyi. Hal itu karena para penduduk tahu
gerombolan itu adalah Partai Kera Hitam.
Gadis cantik berambut panjang itu terus berlari
semakin ketakutan, karena tak seorang pun warga
desa yang menolongnya. Sambil menjerit-jerit
ketakutan dia terus berlari, berusaha meninggalkan
pengejarnya.
“Tolong...! Tuan, tolong...!” seru gadis itu ketika
melihat tiga orang di depan kedai. Hatinya benar-
benar berharap pertolongan dari ketiga orang yang
tidak bersembunyi seperti warga desa lainnya.
“Aha, ada tikus-tikus yang sedang memburu
mangsa! Hi hi hi...! Lucu sekali!” gumam Sena dengan
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Tolong Tuan! Mereka mau menangkapku,” ratap
gadis cantik itu pada Pendekar Gila.
Ingatan Mei Lie seketika melayang pada suatu
peristiwa ketika dia baru tiba di Tanah Jawa Dwipa.
Saat itu dirinya dikejar-kejar gerombolan Segara
Wedi.
Kemarahannya seketika meledak. Harga dirinya
sebagai seorang wanita, bagaikan memberontak.
Matanya menatap garang pada kesepuluh lelaki yang
berlari-lari menuju kedai.
“Nisanak, siapa mereka?” tanya Mie Lie.
“Mereka gerombolan Partai Kera Hitam. Tolonglah
saya...! Saya tak mau dijadikan budak nafsunya.
Tolonglah saya, Ni Pendekar,” ratap gadis cantik itu
pada Mie Lie.
“Mundurlah, biar aku yang menghadapi mereka!”
ujar Mei Lie geram.
Sementara Pendekar Gila dan Purbaya masih
tenang. Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala. Sepertinya merasa tenang,
melihat kekasihnya kini melangkah maju. Hatinya tak
merasa khawatir terhadap Mei Lie, karena paham
benar gadis cantik yang mempunyai julukan angker
'Bidadari Pencabut Nyawa Iblis' itu.
“Tuan Pendekar..., mengapa kita berdiam diri? Kita
harus membantu Nini Mei Lie,” ujar Purbaya, merasa
heran melihat Pendekar Gila cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepalanya.
“Aha, biarkan saja, Kisanak! Kita lihat saja dulu,”
sahut Pendekar Gila sambil tersenyum-senyum,
melihat Mei Lie melangkah mantap menghadang
kesepuluh lelaki bermuka beringas.
“He he he...! Kawan-kawan, rupanya kita melepas-
kan burung merpati, kini dapat burung merak indah,”
teriak pimpinan gerombolan dari Partai Kera Hitam
pada rekan-rekannya yang terbahak-bahak melihat
gadis cantik berada di depan mereka.
“Hm, kau menginginkan aku?” tanya Mei Lie
sambil tersenyum dan mengerlingkan mata.
“Bukan hanya kami. Pimpinan kami pun tentu
senang, jika kami dapat membawamu ke markas,”
sahut lelaki bertubuh tinggi tegap dengan wajah
ditumbuhi cambang bawuk lebat itu.
“Baik, tangkaplah aku kalau kalian sanggup!”
tantang Mei Lie sambil tersenyum mengejek. Namun
matanya menatap garang anak buah Partai Kera
Hitam.
“He he he..., apa susahnya menangkap burung
merak seindah dirimu, Nini?” sahut Kuncupala,
pimpinan gerombolan itu sambil terkekeh. Lelaki
bercambang bauk itu meremehkan Mei Lie. Kalau
saja dirinya tahu siapa gadis Cina itu, tentunya akan
berpikir seribu kali untuk menghadapinya.
“Hm, begitu? Tangkaplah kalau bisa!” tantang Mei
Lie dengan senyum sinis di bibirnya.
“He he he...! Tangkap burung merak itu!” perintah
Kuncupala pada anak buahnya.
“Hea!”
Lima orang segera mengepung Mei Lie. Kemudian
dengan beringas, langsung menubruk Mie Lie.
Namun, dengan cepat Mie Lie melompat ke atas,
sehingga kelimanya saling berbenturan satu sama
lain.
Brukkk!
“Aaa...!”
“Ha ha ha...!” Mei Lie tertawa terbahak-bahak
melihat kelima lelaki yang hendak menangkapnya
saling bertabrakan. Tampak tiga orang mengusap-
usap kepala karena benjol. “Kalian seperti
menangkap kodok. Ha ha ha...!”
“Hi hi hi...! Lucu..., lucu sekali!” gumam Sena
sambil menggaruk-garuk kepala, melihat kejadian itu.
Purbaya pun yang semula diam dan tegang, takut
kalau-kalau Mie Lie tertangkap kini tertawa terbahak-
bahak.
“Ah, rupanya aku yang belum berpengalaman ini,
mesti belajar banyak dari kalian, Tuan Pendekar,”
gumam Purbaya sambil menggeleng-geleng kepala
kagum pada Mei Lie. Matanya yang tajam me-
mandang sambil menertawakan kelima anak buah
Partai Kera Hitam yang meringis-ringis kesakitan.
Merasa ditertawakan oleh Pendekar Gila, Purbaya,
dan Mei Lie. Kuncupala sang Pimpinan gerombolan
tampak semakin marah.
“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Ayo..., habisi
mereka!” perintahnya sambil menggerakkan tangan.
Para anak buahnya segera merangsek dan
menyerang Pendekar Gila dan Purbaya.
“Aha, kita akan main-main Mei Lie, minggirlah
dulu! Atau masuklah ke dalam kedai, biar kami main-
main dengan cecurut-cecurut ini!” seru Sena sambil
tersenyum cengengesan dengan tangan menggaruk-
garuk kepala.
“Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Pemuda
Gila! Bunuh mereka...!” teriak Kuncupala sambil
melesat. Para anak buahnya segera mencabut
pedang masing-masing.
Srt! Srt!
“Hi hi hi...!” Sena tertawa cekikikan, melihat tiga
orang dari anak buah Partai Kera Hitam menghunus
pedang dan mengurung Pendekar Gila.
“Hea!”
Wrt! Wrt!
Ketiga anak buah Partai Kera Hitam langsung
menggebrak dengan sabetan dan babatan pedang
mereka ke tubuh lawan. Namun dengan masih
cengengesan Pendekar Gila segera bergerak meng-
elak. Tubuhnya dirundukkan, lalu meliuk. Bersamaan
dengan gerakan itu kaki kirinya menyapu ke kaki
lawan.
Wrt!
Ketiga orang yang menyerang melompat ke
belakang, mengelakkan tendangan Pendekar Gila.
Mereka saling pandang sesaat, lalu melesat
melancarkan serangan lagi. Ketiga pedang tampak
berkelebatan dan berputar serta membabat tubuh
Pendekar Gila.
“Hea!”
“Putus lehermu, Pemuda Gila! Hih...!”
Wrt!
“Uts! Aha, kurang tepat, Tikus Busuk! Hih...!”
Sena langsung bergerak dengan jurus 'Gila Menari
Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari
sambil cengengesan, kemudian disusul dengan
tepukan tangannya ke dada lawan. Sedangkan kaki
kirinya menyerang dengan gerakan menebas dada
lawan yang menyerang.
Ketiga lawannya yang menyerang terkesima
melihat gerakan ilmu silat pemuda bertingkah laku
gila. Mereka menyangka gerakan lambat dan lemah
yang dilancarkan Pendekar Gila akan mudah mereka
tembus. Dengan cepat mereka merangsek masuk,
membabatkan pedang ke tubuh Pendekar Gila.
“Yea!”
Wrt! Wrt!
“Uts! Hi hi hi...! Ini untukmu, Kecoa!” Pendekar Gila
kembali meliuk, kemudian tangan kanan dan kirinya
dihentakkan ke samping melakukan tepukan.
Dua orang yang menyerangnya tersentak kaget.
Mereka tak menyangka kalau gerakan yang kelihatan
pelan dan lemah, ternyata memiliki kekuatan dan
kecepatan luar biasa.
“Celaka!”
“Heits...!”
Ketiga orang anggota Partai Kera Hitam yang
menyerang Sena tersentak kaget dengan mata
membelalak tegang. Mereka berusaha mengelakkan
tepukan dan sapuan kaki lawan. Namun ternyata
gerakan yang dilancarkan Pendekar Gila datang
begitu cepat. Sehingga....
“Akh...!”
Dua orang terpekik. Tubuh mereka terpental deras
ke belakang, bagaikan terdorong suatu kekuatan
dahsyat. Tubuh keduanya terus melayang ke
belakang, sampai akhirnya menerjang pohon pinang.
Brak!
“Ukh...!” terdengar erangan dari mulut mereka
yang tampak mengeluarkan darah. Sementara
seorang lagi, kini terpelanting akibat kakinya ter-
sambar tendangan keras Pendekar Gila. Orang ini pun
meringis-ringis. Tulang pantatnya bagaikan remuk,
karena tubuhnya bagaikan dibanting dengan keras.
“Hi hi hi...! Kenapa kau meringis, Kisanak? Aha,
sakit...?” tanya Sena meledek. Kemudian tertawa
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala.
Lelaki berwajah beringas itu membelalakkan mata
melihat tingkah Pendekar Gila.
“Pendekar Gila...!” pekiknya kaget.
“Hi hi hi...! Gila? Aha, kau gila rupanya, Kisanak.
Pantas..., pantas, kau meringis-ringis kesenangan.
Padahal kau tentu sakit. Tetapi kau tampak girang,”
gumam Pendekar Gila sambil masih cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Melihat sikap Sena, lelaki berwajah beringas itu
tampak tegang, takut kalau Pendekar Gila akan
membunuhnya.
Melihat Pendekar Gila semakin mendekati dirinya
orang itu kian tegang. Sehingga dengan cepat kakinya
melangkah mundur tapi terasa sakit. Matanya
melotot karena tegang dan panik.
“Jangan...! Jangan...!” teriak lelaki bertubuh tinggi
dengan hidung besar dan berambut kumal. Dirinya
terus beringsut menggeser pantat yang kesakitan.
Matanya masih menatap nanar pada Sena yang
hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala,
melangkah mendekat lelaki berhidung besar itu.
“Aha, kau seperti kesenangan, Kisanak. Hi hi hi...,
lucu sekali! Lucu...!” tukas Pendekar Gila sambil terus
melangkah maju, membuat lawannya bertambah
tegang. Perasaan takut yang terus mendera jiwanya,
membuat lelaki tinggi kurus dengan hidung besar itu
nekat.
“Heaaa...!”
Diiringi teriakan keras, lelaki itu melompat
menyerang dengan mengayunkan pedang. Namun
dengan cepat, Pendekar Gila merundukkan tubuh
dengan kepala dan sebagian badan condong ke
muka. Hal itu mengakibatkan serangan lawan
meleset. Kemudian, dengan cepat ditangkapnya kaki
lawan yang tengah melayang di atasnya.
Trap!
“Heaaa...!” dengan pengerahan tenaga dalam
dilemparkan tubuh lawan ke angkasa.
Wrt!
“Akh...! Tolong...!” teriak lelaki berhidung besar itu
ketakutan. Tubuhnya melenting tinggi sekali.
Kemudian menukik ke bawah dengan deras. Sampai
akhirnya, jatuh dengan kepala menancap di tanah
persawahan yang basah dan berair.
Jrot!
“Hi hi hi...! Ha ha ha...!” Pendekar Gila tertawa-
tawa sambil menggaruk-garuk kepala, melihat
kejadian yang dianggapnya sangat lucu. Kemudian
dengan tenang melangkah ke bangku di depan kedai,
lalu duduk dengan santai sambil meniup Suling Naga
Sakti. Dialunkan lagu sendu dan mendayu biru.
Sementara pertarungan antara Mei Lie dan
Purbaya melawan ketujuh anak buah Partai Kera
Hitam masih berjalan seru. Mei Lie dan Purbaya
masih mengandalkan tangan kosong, membiarkan
lawan menyerang dengan senjata. Sejauh itu mereka
tampak hanya mengelak sambil sesekali balas
menyerang dengan tangan kosong
“Hea!”
Wrt!
Sebuah babatan pedang menderu ke kepala
Purbaya. Hal itu membuat pemuda itu segera
memutar kepala untuk mengelak. Namun sungguh di
luar dugaan, tiba-tiba rambut panjang keperakan di
kepala Purbaya mengeluarkan sinar putih keperakan.
Sinar itu langsung melesat menerjang orang yang
hendak menyerang dari belakang.
Sudah barang tentu orang-orang tersentak kaget
melihat kejadian itu. Bahkan Pendekar Gila yang
sedang santai dengan meniup Suling Naga Saktinya
terlonjak dengan mata melotot. Seakan-akan dirinya
tak percaya, kalau rambut Purbaya yang keperakan
itu dapat mengeluarkan sinar keperakan.
Srattt...!
Bret!
Lanjutannya ⇢⇢
Emoticon