SATU
Glarrr!
Ledakan
menggelegar terdengar dahsyat, memecah kesunyian pagi di Puncak Gunung Karang
Hawu. Tampak debu mengepul, membumbung tinggi ke angkasa sehingga membentuk
seperti sebuah jamur raksasa. Seluruh badan gunung yang selalu terselimut kabut
tebal itu bergetar hebat, bagaikan hendak runtuh oleh ledakan dahsyat tadi.
Terlihat
sesosok tubuh ramping yang terbungkus baju warna hijau daun, tengah berdiri
tegak sambil memandangi jamur raksasa dari kepulan debu dan pecahan bebatuan. Kedua
tangannya terentang lurus ke depan, dengan telapak terbuka dan jari-jari tangan
menyatu rapat. Pelahan-lahan sepasang tangan berkulit kuning langsat dan lentik
itu bergerak turun.
Di
antara selimut kabut, jelas terlihat kalau sosok tubuh ramping itu ternyata
milik seorang gadis ber-wajah cantik bagai bidadari. Kulitnya yang kuning
langsat, cocok sekali dengan bajunya yang berwarna hijau daun dan sangat ketat.
Mau tak mau, bentuk tubuhnya yang ramping dan indah itu seperti terpetakan di
balik bajunya itu.
"Hm...,"
gadis itu bergumam perlahan. Perlahan tubuhnya diputar. Pandangan matanya
langsung tertumbuk pada seorang laki-laki tua bertubuh bungkuk yang mengenakan
baju jubah panjang berwarna kusam. Sebatang tongkat tak beraturan bentuknya,
tergenggam di tangan, untuk menyangga tubuhnya yang terbungkuk.
"Sejak
kapan kau berada di sini, Orang Tua?" terdengar ketus sekali nada suara
gadis itu.
"Tampaknya
kau tidak suka melihat kehadiranku, Rara Ayu Ningrum...," ujar laki-laki
tua itu kalem.
"Heh...?!
Dari mana kau tahu namaku...?" sentak gadis yang dipanggil Rara Ayu
Ningrum, terkejut.
Orang
tua berjubah kusam itu hanya tertawa terkekeh saja. Tubuhnya yang bungkuk
nampak terguncang-guncang menahan tawa terkekehnya. Sedangkan gadis cantik berbaju
hijau daun yang bernama Rara Ayu Ningrum itu semakin tajam memandangi orang tua
di depannya.
"Siapa
kau, Orang Tua?! Apa keperluanmu berada di sini?!" tanya Rara Ayu Ningrum.
Nada suaranya ketus penuh kecurigaan.
"He
he he.... Aku hanya orang tua hina yang tidak berarti bagimu, Rara Ayu
Ningrum," sahut orang tua itu diiringi tawanya yang terkekeh.
"Aku
tanya namamu!" bentak Rara Ayu Ningrum kesal.
"Untuk
apa kau ingin tahu namaku?"
"Baik.
Jika kau tidak ingin menyebutkan nama, aku ingin tahu, untuk apa kau datang ke
sini...?" desis Rara Ayu Ningrum gusar.
"He
he he...," laki-laki tua itu hanya terkekeh saja.
"Kau
benar-benar menyebalkan...!" desis Rara Ayu Ningrum setengah menggeram.
Bet!
Rara Ayu Ningrum mengebutkan tangan, langsung bersiap hendak menyerang
laki-laki tua yang telah membuatnya gusar setengah mati. Kedua tangannya sudah
terkepal di depan dada. Sementara sorot matanya tajam menusuk langsung ke bola
mata orang tua berjubah kumal di depannya.
"Eee....
Sabar, Nini. Kendalikan amarahmu...," cepat-cepat orang tua itu mencoba
meredakan kemarahan Rara Ayu Ningrum.
"Sebutkan
namamu, dan apa keperluanmu datang ke sini. Atau terpaksa kau kukirim ke
neraka...!" desis Rara Ayu Ningrum dingin menggetarkan.
"Kau
tidak bisa memaksaku, Nini," sergah orang tua itu.
"Oh....
Rupanya kau keras kepala juga.... Baik, terimalah seranganku ini!
Hiyaaat...!"
"Eh,
sabar...!
"
uts!" Namun serangan Rara Ayu Ningrum tidak bisa ditarik kembali. Sambil
berteriak keras menggelegar, gadis berbaju hijau daun itu secepat kilat
inelompat seraya mengirimkan dua pukulan beruntun ke arah dada laki-laki tua
berjubah kumal itu.
Serangan
Rara Ayu Ningrum membuat laki-laki tua itu terperanjat sesaat. Untungnya cepat
sekali tubuhnya meliuk, menghindari serangan yang dilancarkan gadis itu.
Secepat itu pula, laki-laki tua itu melompat ke belakang sejauh tiga tindak.
Namun Rara Ayu Ningrum tak ingin melepaskannya begitu saja. Kembali
dirangseknya lawan dengan lontaran pukulan yang dahsyat dan mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
Beberapa
kali orang tua berbaju kumal itu harus bergulingan di tanah berumput yang
basah, menghindari serangan-serangan Rara Ayu Ningrum. Sudah lebih sepuluh
jurus, namun gadis berbaju hijau daun itu belum juga berhasil menyarangkan satu
pukulan pun ke tubuh lawan. Meskipun kelihatannya rapuh, laki-laki tua itu
ternyata tangguh juga.
"Cukup,
Rara Ayu...!" bentak orang tua itu tiba-tiba.
Dan
secepat itu pula tubuhnya melenting ke belakang sejauh dua batang tombak. Manis
sekali orang tua itu mendarat di tanah. Sedangkan Rara Ayu Ningrum terpaksa
menghentikan serangannya. Gadis Itu sendiri sebenarnya kagum pada ketangkasan
orang tua ini. Dia bisa melesat ke belakang dengan manis sekali selagi mendapat
serangan gencar. Tidak sembarang orang bisa melakukan hal demikian.
"Tidak
ada gunanya meneruskan pertarungan ini," tegas orang tua itu.
"Kenapa...?
Kau takut menghadapiku...?" dengus Rara Ayu Ningrum sinis.
"Jangan
salah paham, Rara Ayu. Kalau aku mau, mudah sekali aku bisa
menjatuhkanmu," orang tua itu jadi sengit juga.
"Oh...?!
Mengapa tidak kau lakukan?"
Sebenarnya
Rara Ayu Ningrum terkejut juga mendengar perkataan orang tua itu tadi. Hatinya
memang mengakui kalau orang tua itu bisa saja melawan. Namun, Rara Ayu bisa
mengetahui kalau orang tua yang tidak dikenalnya ini sama sekali tidak memberi
perlawanan berarti. Dan sudah lebih dari sepuluh jurus dikeluarkan, namun tak
satu pun yang berhasil. Rara Ayu Ningrum menyadari kalau orang tua ini tidak
bisa dianggap enteng. Tapi kegentarannya tidak akan ditampakkan begitu saja.
"Dengar,
Rara Ayu. Kedatanganku ke sini tidak bermaksud bermusuhan denganmu," kata
laki-laki tua itu lagi.
"Terlambat.
Kau sudah membuatku kesal," desis Rara Ayu Ningrum.
"Maafkan.
Tapi aku memang tidak bisa memperkenalkan diri padamu," ujar orang tua
itu.
"Kalau
begitu, enyahlah dari sini!" bentak Rara Ayu Ningrum masih merasa kesal.
Orang
tua berbaju kumal itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kalau
kau tidak mau pergi, aku yang akan pergi!"
Rara
Ayu Ningrum langsung saja melesat cepat sekali, meninggalkan tempat itu.
"He...! Tunggu...!" sentak orang tua itu terkejut.
Namun
bayangan tubuh Rara Ayu Ningrum sudah tidak terlihat lagi. Cepat sekali
lesatannya, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari pandangan.
"Huh...!
Bengal juga dia," dengus orang tua itu. Kembali kepalanya
menggeleng-geleng, kemudian kakinya terayun melangkah cepat meninggalkan Puncak
Gunung Karang Hawu yang selalu terselimut kabut tebal. Namun belum begitu jauh
berjalan, mendadak saja ayunan langkahnya terhenti ketika tiba-tiba terdengar
tawa kering mengikik.
"Hik
hik hik...!"
"Hm...,"
orang tua itu menggumam seraya menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.
Suara
tawa itu jelas sekali terdengar, seakan-akan begitu dekat sumbernya, namun
sukar untuk ditentukan arahnya. Karena, suara tawa itu terdengar menggema.
Seolah-olah datang dari segala penjuru mata angin saja layaknya.
"Memalukan...!
Nama besar Malaikat Jari Delapan, begitu mudah tunduk di depan bocah kemarin
sore...!" terdengar suara kering yang agak serak, setelah suara tawa
berhenti.
"Apakah
dirimu, Setan Putih...?!" agak keras suara prang tua berjubah kumal itu.
"Hik
hik hik...! Ternyata kau masih juga mengenaliku, Malaikat Jari Delapan. "
Orang
tua berbaju kumal itu memutar tubuhnya. Dan kini di depannya sudah berdiri
seorang perempuan tua yang usianya mungkin sudah lebih dari tujuh puluh tahun.
Seluruh rambutnya sudah memutih. Dia mengenakan baju panjang yang longgar,
berwarna putih bersih. Tampik seekor ular belang hitam dan kuning melilit
tangan kanannya. Sedangkan tangan kiri membelai-belai halus kepala ular itu.
"Apa
keperluanmu sehingga datang ke sini, Setan Putih?" tanya laki-laki tua
berjubah kumal yang ternyata berjuluk Malaikat Jari Delapan.
Dan
memang, kalau diperhatikan baik-baik, kedua tangannya tidak memiliki jari
kelingking. Sehingga, jumlah jari tangannya hanya ada delapan. Itulah sebabnya,
mengapa dia dijuluki Malaikat Jari Delapan. Dan sampai sekarang, tak ada yang
bisa mengetahui lagi, siapa nama sebenarnya.
"Seharusnya
aku yang bertanya begitu, Malaikat Jari Delapan," dengus perempuan tua
yang dipanggil Setan Putih.
"Hm....
Kita selalu saja bertemu dalam suasana yang tidak mengenakkan," suara
Malaikat Jari Delapan terdengar setengah bergumam.
"Karena
kau selalu mencampuri urusanku!" sentak Setan Putih.
"Aku
baru dua hari di sini. Jadi mana mungkin tahu tentang urusanmu di sini, Setan
Putih. Belum-belum sudah menuduhku!" ada ketidaksenangan dalam suara
Malaikat Jari Delapan.
"Kedatanganmulah
yang membuatku harus memperingatkanmu!" desis Setan Putih dingin.
"Oh
... Jadi kau merasa terganggu atas kedatanganku?"
"Tidak
perlu kukatakan lagi, Malaikat Jari Delapan," masih terdengar dingin nada
suara Setan Putih.
Malaikat
Jari Delapan hanya terdiam disertai senyuman tipis yang tersungging di bibir
bernada sinis. Meskipun tidak diucapkan, tapi sudah bisa dipahami maksud
perempuan tua ini. Dan hal ini membuat Malaikat Jari Delapan jadi penasaran.
Timbul rasa keingintahuannya dengan apa yang sedang dilakukan Setan Putih di
gunung yang jarang dijamah manusia ini.
Malaikat
Jari Delapan juga sudah bisa menebak pekerjaan yang sedang dilakukan si Setan
Putih di tempat yang sunyi ini. Meskipun belum tahu pasti, namun dari beberapa
pertemuan antara mereka, Malaikat Jari Delapan sudah mengetahui watak dan
tingkah laku perempuan tua itu. Laki-laki tua bungkuk itu merasa yakin kalau
Setan Putih sedang melakukan sesuatu yang tidak boleh diketahuinya.
"Kekacauan
apa lagi yang akan kau buat di tempat ini, Setan Putih?" tanya Malaikat
Jari Delapan.
"Hik
hik hik...," Setan Putih hanya mengikik saja.
"Itu
bukan urusanmu!" dengus Setan Putih.
"Selama
kau masih membuat kekacauan, itu selalu menjadi urusanku, Setan Putih,"
tegas Malaikat Jari Delapan.
"Phuih!
Kau selalu saja mencari perkara, Malaikat Jari Delapan! Rasanya semakin muak
saja melihat tampangmu. Huh...! Memang sudah seharusnya kau tinggal di
neraka...!" suara Setan Putih terdengar, mendesis tajam.
Begitu
suaranya hilang, perempuan tua itu cepat mengebutkan tangan kanannya. Seketika
itu juga, ular belang hitam dan kuning yang melingkar di tangan kanannya
melesat cepat ke arah dada Malaikat Jari Delapan.
"Uts...
!" Malaikat Jari Delapan cepat mengegoskan tubuhnya ke kanan, maka ular
belang itu lewat sedikit di depan dadanya yang agak miring. Namun sebelum
laki-laki tua berjubah kumal itu bisa menarik tubuhnya kembali, mendadak saja
si Setan Putih sudah melontarkan satu pukulan menggeledek bertenaga dalam
tinggi.
"Hiyaaa...
!"
Wus!
Angin
pukulan perempuan tua itu sungguh keras, sehingga menimbulkan suara menderu
bagai badai. Saat Itu, tak ada pilihan lagi bagi Malaikat Jari Delapann untuk
bisa menghindari diri dari serangan 'itu. Maka segera dikempos tenaga dalamnya.
Secepat kilat tangannya dihentakkan ke depan.
Plak!
Dua
pukulan bertenaga dalam tinggi, beradu pada satu titik. Akibatnya, dua orang
tua itu terpental ke belakang sejauh tiga batang tombak. Namun masing-masing
bisa mendarat mulus sekali, dan kembali bersiap melakukan pertarungan lagi.
Rupanya tenaga dalam yang dimiliki satu sama lain seimbang tingkatannya. Jadi
tak heran kalau mereka rnasih mampu berdiri tegak.
"Hosss...!"
"Heh...?!"
Malaikat Jari Delapan terkejut bukan main ketika secara tiba-tiba dari arah
samping kanannya melesat cepat seekor ular belang hitam dan kuning. Ular itu
meluncur deras bagaikan sebatang anak panah lepas dari busur.
"Yeaaah...!"
Malaikat Jari Delapan segera menghentakkan tangan sambil memutar tubuhnya.
Namun laki-laki tua itu jadi terkejut bukan main. Ternyata ular itu meliukkan
badan, sehingga pukulan yang dilepaskan Malaikat Jari Delapan tidak menemui
sasaran yang tepat.
Tanpa
diduga sama sekali, ular belang itu terus meluruk sambil meliukkan tubuhnya
yang berada di udara. Hal ini membuat Malaikat Jari Delapan terkejut bukan
main. Buru-buru tubuhnya melenting, berputar ke belakang beberapa kali. Namun
begitu kakinya menjejak tanah, dari arah lain sudah datang serangan cepat dan
menggeledek.
"Hiyaaa...
!"
Bet!
"Ikh...!"
Malaikat Jari Delapan cepat-cepat menjatuhkan tubuhnya, lalu bergulingan di
tanah beberapa kali ketika sebuah pukulan keras yang dahsyat dan tiba-tiba
mengarah ke kepalanya. Pada saat itu, ular belang hitam dan kuning sudah cepat
menyusur tanah mengejar Malaikat Jari Delapan yang terus bergulingan di tanah.
"Hup...!"
Malaikat Jari Delapan bergegas melompat bangkit. Tubuhnya melenting ke udara,
lalu hinggap di sebuah cabang pohon yang cukup tinggi. Matanya menatap tajam
Setan Putih yang pukulannya salah sasaran sehingga menghantam tanah sampai
terbongkar membentuk lubang yang cukup besar juga. Padahal di situlah terakhir
kali si Malaikat Jari Delapan bergulingan. Memang sungguh luar biasa pukulan
itu.
"Gila...!
llmu yang dimilikinya semakin dahsyat," desis Malaikat Jari Delapan.
Laki-laki
tua itu memang tidak menyangka akan mendapatkan serangan yang begitu gencar,
dahsyat luar biasa. Hampir saja serangan yang dilancarkan si Setan Putih dan
ular belang peliharaannya tidak mampu dibendungnya.
"Turun
kau, Keparat...!" bentak Setan Putih dengan kepala terdongak dan mata
memerah tajam menatap Malaikat Jari Delapan yang bertengger di dahan pohon yang
cukup tinggi juga.
"Maaf,
Setan Putih. Kali ini aku tidak punya selera untuk bertarung denganmu,"
kata Malaikat Jari Delapan.
Setelah
berkata demikian, Malaikat Jari Delapan melesat cepat bagaikan kilat. Begitu
cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
terlihat lagi.
"Monyet!
Keparat...!" Setan Putih memaki-maki sendiri. Dipungutnya ular belang
hitam dan kuning yang berada di samping kakinya. Kemudian ular itu dibelitkan
kembali ke tangan kanannya.
"Manusia
keparat itu harus mampus, Belang. Dialah satu-satunya yang selalu menghalangi
kita," ujar Setan Putih lagi.
***
DUA
Malam
sudah demikian larut. Kegelapan menyelimuti seluruh mayapada di sekitar Gunung
Karang Hawu. Cahaya bulan yang redup, seakan-akan tak kuasa menerangi alam ini.
Di bawah siraman keredupan cahaya bulan, terlihat dua ekor kuda berjalan
perlahan-lahan menyusuri Lereng Gunung Karang Hawu. Dua orang penunggangnya
tidak henti-hentinya berbicara. Begitu banyak yang dibicarakan, seakanakan
tidak pernah habis.
Mereka
adalah seorang pemuda berwajah tampan, mengenakan baju warna putih tanpa
lengan. Sebilah pedang bergagang kepala burung, tersampir di punggung. Dia
menunggang kuda hitam yang tinggi dan tegap. Sedangkan seorang lagi, gadis
berbaju biru muda. Wajahnya cantik sekali, bagai bidadari dari kahyangan.
Sebatang pedang bergagang kepala naga juga tersampir di punggungnya. Tampak
sekali kalau gadis itulah yang lebih banyak berbicara.
"Kelihatannya
tidak ada sebuah perkampungan pun di sekitar sini, Kakang," tegas gadis
itu seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
"Sebaiknya
kita bermalam di sini saja, Pandan," ujar pemuda itu.
"Terlalu
riskan, Kakang. Perasaanku tidak enak, dan seperti akan ada sesuatu di sekitar
tempat ini," sahut gadis itu yang dipanggil dengan nama Pandan.
Gadis
itu memang Pandan Wangi, yang lebih dikenal berjuluk si Kipas Maut. Sedangkan
pemuda yang berkuda di sebelahnya adalah Rangga yang bergelar Pendekar Rajawali
Sakti. Mereka terus mengarahkan kudanya agar tetap berjalan perlahan.
"Kau
selalu saja berperasaan begitu jika memasuki daerah baru," sergah Rangga.
Suaranya terdengar setengah bergumam, seolah-olah bicara untuk dirinya sendiri.
"Sudah
sepantasnya begitu, Kakang. Kita tidak pernah tahu daerah apa yang dimasuki.
Kewaspadaan itu perlu, Kakang," kilah Pandan Wangi tidak mau kalah.
"Memang.
Asal, jangan terlalu dipaksakan. Bisa-bisa kita malah selalu mencurigai setiap
orang, dan takut memasuki daerah yang belum dikenal."
"Apa
aku ada tampang seperti itu...?"
"Mungkin."
"Konyol...,"
dengus Pandan Wangi memberengut.
Rangga
hanya tersenyum saja. Diliriknya sedikit Pandan Wangi yang tampak semakin
cantik jika memberengut seperti itu. Dan Rangga memang mengakui kalau Pandan
Wangi sangat cantik. Rasanya tidak ada seorang gadis pun yang bisa menandingi
kecantikannya.
"Ada
apa senyum-senyum?" tegur Pandan Wangi.
"Tidak...,"
sahut Rangga semakin lebar senyumnya.
"Kau
menertawakan aku, ya...?"
"Tidak..."
"Bohong!"
sentak Pandan Wangi semakin memberengut manja.
Dan
Rangga semakin lebar senyumnya. Sungguh, senang melihat Pandan Wangi
memberengut begitu. Memang benar kata orang. Jika ingin melihat kecantikan
seorang gadis yang sesungguhnya, pandanglah di saat gadis itu sedang marah. Dan
Rangga mengakui kebenarannya. Makanya Pendekar Rajawali Sakti selalu senang
bila melihat Pandan Wangi memberengut seperti itu.
"Kau
cantik sekali, Pandan," bisik Rangga tidak bisa lagi menahan hatinya yang
ingin memuji gadis ini.
"Konyol...,"
dengus Pandan Wangi seraya mencibirkan bibirnya.
Rangga
terpaksa menelan ludahnya yang terasa getir melihat keindahan bibir yang
mencibir itu.
"Aku
berkata jujur, Pandan. Kau memang cantik sekali," tegas Rangga serius.
"Sudah,
ah! Aku tidak suka dirayu," sentak Pandan Wangi jengah.
Padahal,
berani sumpah kalau gadis itu merasa senang mendapatkan pujian Pendekar
Rajawali Sakti. Jarang sekali Rangga melontarkan pujian tulus yang keluar dari
hatinya yang paling dalam. Hal ini dapat dipahami, karena mereka juga jarang
bertemu. Apalagi bersama-sama seperti ini.
Mereka
menghentikan kudanya setelah menemukan sungai kecil yang berair jernih. Hampir
bersamaan mereka melompat turun dari punggung kuda masing-masing. Pandan Wangi
langsung menuju sungai itu, kemudian membasuh muka dan lengannya. Sementara
Rangga mengumpulkan ranting kering yang ada di sekitar situ untuk dibuat api
unggun. Kini kegelapan mulai terusik oleh cahaya api. Namun mendadak saja....
"Kakang...!"
jerit Pandan Wangi tiba-tiba.
Seketika
Rangga melompat begitu mendengar jeritan Pandan Wangi yang berdiri di tepi
sungai. Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali Sakti itu sudah berada di
samping Pandan Wangi.
"Ada
apa?" tanya Rangga.
"Itu...,"
Pandan Wangi menunjuk ke tengah sungai.
Dalam
keremangan cahaya api, Rangga bisa melihat sesosok tubuh tersangkut batu di
tengah sungai. Tampaknya seorang laki-laki mengenakan baju kuning gading,
dengan warangka pedang tersampir di pinggangnya. Padahal, sosok tubuh itu sudah
sejak tadi tersangkut di situ. Mungkin karena hatinya tengah berbunga-bunga,
Pandan Wangi tidak menyadarinya.
"Hup...!"
bergegas Rangga melompat masuk ke dalam sungai itu.
Ternyata
air sungai ini memang tidak dalam dan hanya sebatas lutut saja. Pendekar
Rajawali Sakti mengambil tubuh yang tersangkut itu, kemudian kembali melesat ke
tepi. Indah sekali gerakannya. Tanpa mendapatkan hambatan sama sekali, pemuda
berbaju rompi putih itu sudah berada di samping Pandan Wangi kembali. Kemudian
kakinya bergegas melangkah mendekati api unggun. Hati-hati sekali Pendekar
Rajawali Sakti meletakkan tubuh laki-laki berbaju kuning gading itu di dekat
api unggun yang dibuatnya tadi. Sementara Pandan Wangi berada di sampingnya.
"Bagaimana,
Kakang?" tanya Pandan Wangi setelah Rangga memeriksa laki-laki itu.
"Masih
hidup. Tapi, dia mendapat luka dalam yang cukup parah," sahut Rangga.
"Apa
bisa diselamatkan, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Mungkin,"
sahut Rangga setengah mendesah.
"Kita
coba, Kakang. Barangkali saja masih bisa diselamatkan," tegas Pandan
Wangi.
Kembali
Rangga memeriksa seluruh tubuh laki-laki yang tidak sadarkan diri itu.
Sementara Pandan Wangi hanya memperhatikan saja di samping Pendekar Rajawali
Sakti. Tampak, Rangga memberi beberapa totokanan di sekitar dada laki-laki yang
kelihatan masih muda itu. Kemudian ditempelkannya kedua telapak tangan di dada
pemuda itu.
Pandan
Wangi terus memperhatikan semua yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti sehingga
sedikit pun matanya tidak berkedip. Gadis itu tahu kalau Rangga sedang
mengerahkan hawa murni setelah membuka beberapa jalan darah, serta menutup
aliran darah lain di beberapa tempat. Apa yang dilakukan Rangga, tidak asing lagi
bagi Pandan Wangi. Semua tokoh rimba persilatan bisa melakukan hal seperti itu.
Namun itu pun tergantung tinggi rendahnya tingkatan ilmu yang dimiliki.
"Huh...!"
Rangga menghembuskan napasnya begitu telapak tangannya terlepas dari dada
pemuda yang terbaring di depannya.
Pandan
Wangi memperhatikan wajah Pendekar Rajawali Sakti itu. Tampak keringat mengucur
deras, seakan-akan Rangga baru saja melakukan pekerjaan yang berat sekali.
Pandan Wangi mengambil saputangan, lalu menyeka keringat yang membanjiri wajah
Pendekar Rajawali Sakti.
"Terima
kasih," ucap Rangga seraya berpaling menatap gadis di sebelahnya.
Pandan
Wangi hanya tersenyum saja, kemudian menyimpan kembali saputangannya di balik
ikat pinggang yang terbuat dari kulit binatang dan berlapiskan emas serta
bermanik-manik batu permata. Ikat pinggang ini adalah hadiah pertama yang
diberikan Rangga padanya.
"Bagaimana
keadaannya?" tanya Pandan Wangi.
"Tunggu
saja sampai besok pagi," sahut Rangga.
Pendekar
Rajawali Sakti kemudian memberi beberapa totokan lagi di tubuh pemuda yang
mengenakan baju warna kuning gading itu. Kemudian duduknya bergeser, lalu
bersandar pada pohon. Pandan Wangi melirik Pendekar Rajawali Sakti sebentar di
belakangnya, kemudian mendekati dan duduk merapat di sampingnya. Rangga
melingkarkan tangannya di pinggang gadis yang ramping itu. Pandan Wangi semakin
manja, dan semakin merapatkan tubuhnya, seakan-akan hendak mencari kehangatan
dari Pendekar Rajawali Sakti ini.
"Kau
pasti lelah dan mengantuk sekali. Tidurlah, Pandan. Biar aku yang menjaga malam
ini," ujar Rangga agak berbisik di telinga gadis itu.
"Aku
belum ngantuk," sahut Pandan Wangi perlahan.
"Seharian
kau berkuda. Kau pasti lelah, Pandan."
"Kau
juga, Kakang," Pandan Wangi tidak mau kalah.
Rangga
menghembuskan napas panjang. Sedangkan Pandan Wangi hanya memperhatikan wajah
tampan itu. Wajah mereka begitu dekat, sehingga desah napas satu sama lain
saling menerpa kulit wajah, dan terasa hangat sekali. Rangga merengkuh kepala
gadis itu dan diletakkan di dadanya. Kemudian tangannya dilingkarkan ke tubuh
gadis itu. Sementara Pandan Wangi yang semakin manja, langsung balas memeluk
dengan mesra.
Tak
ada lagi yang mengeluarkan kata-kata. Tak ada yang memejamkan mata. Mereka
terjaga bersama pikirannya masing-masing. Entah apa yang dipikirkan saat ini,
yang jelas Pandan Wangi seperti tidak ingin melepaskan Pendekar Rajawali Sakti
kali ini. Gadis itu ingin agar malam ini terus berada dalam dekapan Rangga.
Begitu hangat dan mesra sekali. Meskipun tak ada yang mengucapkan kata-kata
sedikit pun juga, namun sudah terasa betapa hangatnya cinta mereka berdua.
***
Rangga
membangunkan Pandan Wangi yang tertidur dalam pelukannya. Dia sendiri juga
sempat tertidur, meskipun hanya sebentar saja. Pendekar Rajawali Sakti menatap
pemuda berbaju kuning gading yang kini tengah duduk bersemadi. Pandan Wangi
bergegas bangun dan melepaskan pelukannya ketika melihat pemuda yang ditolong
semalam tengah duduk bersemadi tidak jauh di depannya.
Tak
berapa lama kemudian pemuda itu membuka matanya pelahan-lahan. Pandangannya
langsung tertuju pada Rangga dan Pandan Wangi yang duduk berdampingan di bawah
pohon. Seonggok bara yang masih mengepulkan asap, menjadi pemisah di antara
mereka.
"Bagaimana
keadaanmu, Kisanak? Apakah mulai membaik?" Rangga lebih dahulu membuka
suara.
"Mendingan,"
sahut pemuda itu. "Apakah Kisanak dan Nini yang menolongku?"
"Hanya
kebetulan saja kami melihatmu tersangkut di batu sungai," sahut Rangga
merendah.
"Oh...,
terima kasih. Rupanya Hyang Widi belum berkenan mencabut nyawaku," desah
pemuda itu.
Untuk
beberapa saat mereka berdiam diri. Sementara tara Pandan Wangi menggeser
duduknya agak menjauh dari Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun di hati mereka
terpatri perasaan cinta yang dalam, namun hal Itu tidak pernah ditunjukkan di
depan orang lain. Dan mereka merasa kecolongan, karena pemuda itu melihat
mereka berdua tidur berpelukan. Ada rasa malu terselip di hati si Kipas Maut
itu.
"Boleh
aku tahu, mengapa Kisanak sampai terluka dalam cukup parah dan tersangkut di
batu sungai...?" tanya Rangga. Nada suaranya terdengar lembut dan sopan
sekali.
Pemuda
berbaju kuning gading itu tidak langsung menjawab. Ditariknya napas dalam-dalam
dan dihembuskannya kuat-kuat sambil mendongakkan kepalanya. Namun tiba-tiba
saja tangan kanannya bergerak cepat memungut batu kerikil, lalu menjentikkannya
ke atas.
Rangga
dan Pandan Wangi langsung mendongak. Pada saat itu, seekor burung ayaman yang
sedang terbang di atas mereka mendadak saja meluncur jatuh, tepat di depan
pemuda berbaju kuning gading itu. Memang cukup besar juga. Pemuda itu
memungutnya disertai senyuman di bibir.
"Aku
rasa cukup untuk mengganjal perut kita bertiga," katanya.
Rangga
dan Pandan Wangi saling berpandangan sejenak. Kemudian, Pandan Wangi bangkit
berdiri dan mengambil burung ayaman dari tangan pemuda itu. Dia mendekati bara
yang masih mengepulkan asap. Dengan menambah sedikit ranting, api unggun sudah
kembali berkobar. Pandan Wangi menyiangi burung ayaman yang pecah kepalanya
terlempar kerikil tadi. Sementara Rangga menghampiri pemuda berbaju kuning gading
yang memang belum dikenalnya.
"Namaku
Dipa Pangga," pemuda itu memperkenalkan diri sebelum Rangga menanyakannya.
"Aku
Rangga, dan itu Pandan Wangi," Rangga juga memperkenalkan dirinya dan
Pandan Wangi.
"Nampaknya
kalian seperti pengelana," tebak pemuda berbaju kuning gading yang
menamakan dirinya Dipa Pangga.
"Kami
memang pengembara," sahut Rangga jadi lupa pada pertanyaannya yang belum
terjawab tadi.
"Ke
mana tujuan kalian?" tanya Dipa Pangga lagi.
Rangga
hanya mengangkat bahunya saja. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak tahu
tujuannya yang pasti. Mereka mengembara mengelilingi rimba persilatan dengan
satu tujuan. Menegakkan keadilan dan kebenaran! Sementara Dipa Pangga
rnenyunggingkan senyumannya yang manis. Pemuda itu seperti membodohi dirinya
sendiri dengan pertanyaan yang tolol tadi. Sudah tentu jika sedang mengembara,
Rangga dan Pandan Wangi tidak akan mempunyal tujuan tetap. Seperti pada umumnya
pendekar-pendekar lain yang juga selalu mengembara dari satu tempat ke tempat
lain.
"Oh,
ya. Kau pasti ingin tahu, kenapa aku bisa terluka," ujar Dipa Pangga
setelah beberapa saat berdiam diri.
Lagi-lagi
Rangga mengangkat bahunya sedikit sambil menaikkan alisnya. Tadi hal itu memang
sudah ditanya, namun belum memperoleh jawaban. Sekarang Dipa Pangga sendiri
yang mengingatkan dirinya untuk menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku
sedang mengantarkan barang, tiba-tiba segerombolan perampok menghadangku.
Pemimpinnya berhasil melukai dan membuangku ke sungai," tutur Dipa Pangga,
singkat.
"Di
tempat ini?" tanya Rangga.
"Benar,"
sahut Dipa Pangga.
Pandangan
Rangga beredar ke sekeliling. Rasanya sejak semalam dia berada di tempat ini,
tidak ada tanda-tanda bekas terjadinya pertempuran. Bahkan satu mayat atau
bercak darah sekali pun, tidak terlihat sama sekali. Pendekar Rajawali Sakti
agak tidak percaya pada cerita Dipa Pangga. Tapi dia tidak ingin mendesak
pemuda berbaju kuning gading ini untuk menceritakan kejadian yang sesungguhnya.
"Kau
pasti tidak percaya. Tapi itulah yang sesungguhnya terjadi padaku," tegas
Dipa Pangga, seperti mengetahui ketidakpercayaan Pendekar Rajawali Sakti.
Lagi-lagi
Rangga mengangkat sedikit bahunya. Pendekar Rajawali Sakti memang tidak percaya
dengan cerita Dipa Pangga barusan. Namun apa pun yang dikatakan pemuda itu,
Rangga tidak ambil peduli. Dan yang pasti, jika Dipa Pangga berbohong, tentu
punya alasan tersendiri.
"Mereka
mungkin menghanyutkan mayat-mayat temanku ke sungai," jelas Dipa Pangga
lagi.
"Mungkin
juga," desah Rangga enggan.
"Gerombolan
perampok itu memang sudah terkenal, dan menguasai seluruh Gunung Karang Hawu
ini. Aku sendiri sebenarnya enggan membawa barang melewati gunung ini. Tapi aku
tidak bisa menolak tugas yang sudah menjadi kewajibanku," keluh Dipa
Pangga lagi.
"Barang
apa yang kau bawa?" tanya Rangga.
"Upeti
untuk raja," sahut Dipa Pangga.
"Kau
bekerja di istana?" tanya Rangga lagi.
"Tidak.
Aku hanya sebagai pengantar barang dari Kadipaten Sangu ke Istana Randukara.
Setiap tahun aku selalu mengantarkan upeti itu, tapi baru kali ini melewati
Gunung Karang Hawu."
"Biasanya
kau lewat mana?"
"Kadipaten
Antal Jati. Tapi, suasana di sana sedang tidak memungkinkan untuk dilewati.
Kadipatan Antal Jati tengah melakukan pemberontakan, dan ingin memisahkan diri
dari Kerajaan Randukara. Jadi, aku terpaksa memutar lewat gunung ini."
"Lantas,
ke mana tujuanmu selanjutnya?" Tanya Rangga lagi.
"Secepatnya
kejadian ini harus kulaporkan pada Gusti Prabu Sarajingga," sahut Dipa
Pangga.
Rangga
terdiam.
"Oh,
ya. Kau dan temanmu kuharap sudi menjadi saksi di istana. Tolonglah bantu aku
sekali lagi, Kisanak," pinta Dipa Pangga berharap.
"Aku
tanyakan dulu pada Pandan Wangi," sahut Rangga tidak langsung memutuskan.
"Kalau
kau tidak sudi memberi kesaksian, aku harus merelakan kepalaku dipenggal.
Hukuman itu sudah menjadi keputusan tetap bagi siapa saja yang menghilangkan
upeti. Kecuali, ada saksi yang mengatakan kalau upeti itu telah dibegal di
tengah jalan. Paling tidak, aku harus mendapatkan upeti itu kembali dalam
keadaan utuh," jelas Dipa Pangga bernada mendesak.
"Itu
bisa kumengerti, tapi aku tidak bisa memutuskannya sendiri," kilah Rangga.
"Aku
sangat berterima kasih sekali jika kau bersedia menolongku sekali lagi
saja," lagi-lagi Dipa Pangga berharap.
"Akan
kuusahakan," sahut Rangga.
"Terima
kasih."
Rangga
menepuk pundak pemuda berbaju kuning gading itu, kemudian bangkit berdiri dan
menghampiri Pandan Wangi yang sedang asyik memanggang burung ayaman yang cukup
besar. Gadis itu melirik sedikit pada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah berada
di dekatnya.
"Pembicaraan
tadi sudah kudengar semua. Terserah kau saja, Kakang," kata Pandan Wangi
mendahului sebelum Rangga sempat membuka suaranya.
"Kau
sendiri?" tanya Rangga.
"Terserah.
Aku sih, tinggal ikut saja," sahut Pandan Wangi.
Rangga
melirik Dipa Pangga yang kini berdiri di tepi sungai. Agak jauh jarak mereka,
sehingga tidak mungkin terdengar pemuda berbaju kuning gading itu. Kecuali,
jika dia punya ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'. Ilmu itu memang mudah, dan bisa
dikuasai tokoh mana pun dalam rimba persilatan. Hanya tingkatannya saja yang
membedakan.
"Sudahlah,
Kakang. Putuskan saja. Aku bisa mengerti kalau kau tidak pernah menyetujui
dengan adanya segala macam upeti. Tapi ini bukan di Karang Setra, Kakang.
Setiap kerajaan ada peraturannya sendiri," desah Pandan Wangi bisa
merasakan apa yang sedang dirasakan Pendekar Rajawali Sakti itu.
"Kalau
aku tidak membantunya, dia pasti mati dipenggal, Pandan. Sedangkan aku sendiri,
paling enggan berurusan dengan raja-raja yang selalu memaksa rakyat untuk
membayar upeti, " tegas Rangga pelan.
"Menurutku,
kita tinggal memberi kesaksian saja. Setelah itu, kita bisa pergi dan tidak
akan berurusan lagi," ujar Pandan Wangi mengemukakan pendapat.
"Segala
urusan yang menyangkut kerajaan, tidak akan selesai begitu saja, Pandan."
"Aku
tahu, Kakang. Mudah-mudahan tidak ada persoalan macam-macam. Kalaupun ada, kita
bisa pergi begitu saja tanpa ada seorang pun yang bisa melarang. "
Rangga
menggeleng-gelengkan kepalanya disertai senyuman tipis. Kadang-kadang Pandan
Wangi suka memberi usul yang bernada konyol juga. Tapi Pendekar Rajawali Sakti
mengakui kalau gadis ini cerdas sekali, meskipun terkadang cetusannya seperti
terlahir begitu saja tanpa dipikirkan lebih dahulu. Memang kalau tidak begitu,
bukan Pandan Wangi namanya.
"Baiklah.
Kita membantunya sekali lagi saja. Setelah itu, harus cepat pergi dan tidak
peduli dengan kelanjutannya," Rangga akhirnya memutuskan.
Dan
memang, meskipun agak konyol, tapi Rangga sering juga melaksanakan cetusan yang
disampaikan Pandan Wangi. Kali ini juga, Pendekar Rajawali Sakti melihat
kebenarannya. Maka, diputuskan kalau dirinya akan membantu Dipa Pangga agar
terhindar dari hukuman penggal kepala. Rangga kemudian menghampiri Dipa Pangga
yang masih tetap berdiri di tepi sungai dengan pandangan lurus ke depan.
***
TIGA
Kotaraja
Randukara cukup ramai juga. Kota ini cukup padat dan besar. Tidak heran kalau
udara terasa panas menyengat kulit, meskipun keadaan mendung. Tampak awan tebal
agak menghitam menyelimuti angkasa di atas Kerajaan Randukara ini. Keadaan alam
yang nampaknya tidak bersahabat, tidak mengganggu kesibukan orang-orang yang
menghuni Kota-raja Randukara ini. Mereka tetap dengan kesibukan-nya
sendiri-sendiri.
Hari
ini memang hari pasaran. Jadi, hampir seluruh rakyat Kerajaan Randukara tumpah
ruah ke kota ini. Sepanjang jalan dipadati manusia. Juga kedai-kedai makan dan
minum serta rumah-rumah penginapan, tak sepi pengunjung. Begitu padatnya,
sehingga untuk melangkah saja sudah begitu sulit. Memang pada hari-hari pasaran
begini, tak ada lagi tempat yang lapang. Seluruh pelosok kotaraja bagai tak
mampu lagi menampung luapan penduduk.
Di
antara sedan banyak orang, terlihat tiga anak muda menunggang kuda. Mereka
adalah Rangga, Pandan Wangi, dan Dipa Pangga. Pemuda berbaju kuning gading itu
memperoleh kudanya lagi dalam perjalanan ke Kotaraja Randukara ini. Agak sukar
juga bagi mereka untuk mengendalikan kuda agar lebih cepat lagi. Karena, jalan
yang dilalui, seperti jalan semut.
"Apakah
setiap hari keadaannya selalu begini?" tanya Pandan Wangi yang baru
pertama kali melihat sebuah kota begitu padat dan ramai.
"Tentu
saja tidak, Pandan. Ini adalah hari pasaran, dan hanya satu kali dalam tiga
purnama," jelas Dipa Pangga.
"Dan
setiap hari pasaran selalu seperti ini?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Biasanya
lebih ramai lagi, Pandan."
"Berapa
lama hal ini berlangsung?"
"Tujuh
hari. "
Pandan
Wangi melirik Rangga yang berkuda di sampingnya. Sedangkan Pendekar Rajawali
Sakti seperti tidak mendengar percakapan tadi. Pandangannya tetap lurus ke
depan. Pandan Wangi tahu kalau kekasihnya ini hanya berpura-pura tidak
mendengar saja. Juga, gadis itu tahu kalau Rangga tidak senang jika diminta
untuk tinggal beberapa hari saja, menikmati keramaian yang jarang terjadi ini.
"Biasanya
pada saat seperti ini, Gusti Prabu Sarajingga mengadakan perlombaan adu
ketangkasan. Beliau juga akan memilih tamtama-tamtama baru dari adu ketangkasan
itu. Bahkan tidak jarang mengambil satu atau dua orang panglima perang dari
kalangan mana saja untuk memperkuat barisap prajuritnya," kembali Dipa
Pangga memberi keterangan tentang keadaan di kotaraja ini.
"Pasti
menarik sekali," sambut Pandan Wangi seraya melirik Rangga.
"Memang
menarik. Karena mereka yang memiliki tingkat kepandaian tinggi, akan berlomba
meraih jabatan tinggi yang langsung diangkat Gusti Prabu. Hanya saja sukar
sekali untuk mendapatkan jabatan panglima karena harus mengalahkan paling tidak
tiga orang panglima yang memiliki kepandaian tinggi sekali," jelas Dipa
Pangga lagi.
Lagi-lagi
Pandan Wangi melirik Rangga, namun tetap saja tidak dipedulikan. Pendekar
Rajawali Sakti tetap berpura-pura tidak mendengarkan percakapan itu. Namun
Pandan Wangi sudah menduga kalau Rangga pasti tidak menginginkannya agar tidak
banyak bertanya. Hal ini bisa diketahui gadis itu dari lirikan Pendekar
Rajawali Sakti yang hanya sekilas, namun terasa tajam dan menusuk sekali.
Pandan
Wangi yang memang senang membuat kesal orang, jadi timbul keisengannya. Gadis
itu jadi tersenyum-senyum sendiri. Beberapa kali matanya melirik Rangga yang
semakin tidak senang saja. Tidak itu saja, bahkan malah semakin banyak bertanya
tentang keadaan di Kerajaan Randukara ini, sampai kepada seluk-beluk istananya.
Dengan senang hati, Dipa Pangga menjelaskan semuanya tanpa ada yang ditutupi.
Bahkan diakuinya sendiri kalau dirinya terpilih menjadi pengantar barang upeti
juga dari hasil pertandingan pada hari-hari pasaran seperti ini.
Dan
semua jabatan itu selalu ditentukan oleh tinggi rendahnya ilmu olah kanuragan
yang dimiliki. Hal ini membuat Pandan Wangi semakin tertarik saja. Tapi tidak
demikian halnya dengan Pendekar Rajawali Sakti. Ketidaksenangan Rangga, malah
membuat si Kipas Maut itu semakin menjadi-jadi. Hal ini memang disengaja karena
merasa punya kesempatan yang sangat jarang didapatkan.
"Apa
selama ini ada wanita yang ikut, Dipa Pangga?" tanya Pandan Wangi seraya
melirik Pendekar Rajawali Sakti.
"Tidak
ada," sahut Dipa Pangga.
"Kenapa?"
tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Setiap
kali, memang ada peserta wanita yang ikut, tapi mereka tidak ada yang mampu
melampaui ujian. Gusti Prabu sendiri tidak pernah memilih wanita untuk
menduduki satu jabatan penting. Biasanya, ujian yang diberikan berat sekali.
Lebih berat dari laki-lakinya," jelas Dipa Pangga lagi.
"Kenapa
begitu?" tanya Pandan Wangi.
Dipa
Pangga tidak sempat menjawab, karena mereka sudah berada di depan pintu gerbang
Istana Randukara. Dua orang prajurit penjaga bergegas membuka pintu gerbang
begitu Dipa Pangga menunjukkan sesuatu yang dikalungkan di lehemya. Mereka pun
menggebah kudanya melewati pintu gerbang itu.
***
Rangga
bangkit berdiri diikuti Pandan Wangi saat melihat seorang prajurit menghampiri
mereka. Prajurit berpangkat tamtama itu membungkukkan sedikit tubuhnya setelah
tiba di depan kedua pendekar muda itu. Mereka memang diminta untuk menunggu di
ruangan depan istana, sedangkan Dipa Pangga lebih dahulu masuk ke dalam.
"Gusti
Prabu meminta Kisanak dan Nini menemuinya," ujar prajurit itu, penuh rasa
hormat.
"Di
mana?" tanya Rangga.
"Mari,
hamba tunjukkan," sahut prajurat itu.
Rangga
dan Pandan Wangi saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama mengayunkan
kaki mengikuti prajurit yang sudah lebih dahulu berjalan di depan. Mereka
melewati bangsal utama. Ada beberapa orang di rungan itu, dan tampaknya adalah
para pembesar istana. Juga, ada beberapa orang berpakaian panglima perang serta
beberapa prajurit yang menjaga pintu serta jendela. Mereka memandangi Rangga
dan Pandan Wangi yang berjalan mengikuti prajurit.
Kedua
pendekar muda itu terus berjalan menyurusi lorong, mengikuti prajurit yang
berjalan di depan. Setelah melalui lorong yang cukup panjang dan memiliki
beberapa cabang serta belokan, akhimya mereka sampai di sebuah ruangan yang
cukup besar dan tertata indah. DI dalam ruangan ini, telah menunggu Dipa Pangga
yang duduk bersila di depan seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh
tahun. Dia mengenakan baju indah dari bahan sutra halus bersulamkan
benang-benang emas. Duduknya di sebuah kursi kecil berbantal beludru merah
menyala.
"Silakan
mengambil tempat yang enak," ujar laki-laki berbaju indah itu
mempersilakan.
"Terima
kasih," ucap Rangga seraya duduk di samping Dipa Pangga.
Pandan
Wangi ikut duduk di samping Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun tidak
diperkenalkan, namun mereka sudah tahu kalau laki-laki yang duduk di kursi
kecil adalah Prabu Sarajingga. Tak ada lagi orang lain di ruangan ini, selain
mereka berempat. Bahkan seorang prajurit pun tak terlihat di sini. Rangga
sempat memperhatikan keadaan ruangan yang cukup besar dan indah ini.
"Aku
sudah mendengar tentang kalian berdua dari Dipa Pangga. Aku pribadi mengucapkan
terima kasih karena kalian telah menyelamatkan Dipa Pangga," ucap Prabu
Sarajingga. Suaranya terdengar agak berat dan penuh kewibawaan.
"Kami
hanya kebetulan saja lewat, Gusti Prabu," sahut Rangga merendah.
"Sebenarnya
aku sangat kehilangan sekali, karena ada sesuatu yang berharga ikut
hilang," lanjut Prabu Sarajingga.
Rangga
melirik Pandan Wangi. Sedangkan yang ditirik hanya menundukkan kepalanya saja.
Gadis itu tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti memintanya untuk tidak berbicara
kalau tidak diminta. Kali ini Pandan Wangi tidak berani melepaskan pikiran
isengnya. Disadari, sekali saja melontarkan kata-kata iseng, akan berakibat
tidak baik bagi mereka berdua.
"Untuk
itu, jika kalian berdua tidak berkeberatan, aku meminta kalian mencari
gerombolan perampok itu dan mengembalikan barang-barang yang dirampas dari Dipa
Pangga," sambung Prabu Sarajingga.
"Maaf,
Gusti Prabu. Bukannya hendak menolak, tapi kami masih punya urusan lain yang
harus diselesaikan," tolak Rangga, halus.
Lagi-lagi
Pendekar Rajawali Sakti melirik Pandan Wangi. Dan yang dilirik tetap saja
tertunduk. Namun dari sudut ekor matanya, gadis itu tahu kalau Pendekar
Rajawali Sakti menyesalinya karena telah banyak bicara tadi sebelum sampai di
istana ini pada Dipa Pangga.
"Sayang
sekali. Jika diizinkan, aku akan memerintahkan pembesar-pembesarku untuk
menyelesaikan persoalan kalian. Tapi yang jelas, persoalan ini lebih penting
dari yang kalian duga. Mereka semakin merajalela, dan tidak peduli kalau yang
dihadang adalah utusan pribadiku," jelas Prabu Sarajingga. Nada bicaranya
agak menyesali penolakan Rangga.
"Apakah
mereka begitu kuat, Gusti Prabu?" tanya Pandan Wangi yang tidak bisa
menahan diri.
Saat
itu juga Rangga mendelikkan matanya pada Pandan Wangi. Dan gadis itu buru-buru
menundukkan kepalanya. Sungguh disesali kalau dirinya telah asal bicara saja.
Padahal Rangga tadi sempat membisikinya untuk diam saja. Dan beberapa kali
Pendekar Rajawali Sakti memperingatkan untuk diam lewat lirikan mata yang agak
tajam. Namun, si Kipas Maut itu memang sukar mengendalikan diri jika mendengar
sesuatu yang membuat darahnya langsung bergolak mendidih.
"Sudah
beberapa kali panglimaku mencoba menghancurkan mereka, tapi sampai saat ini
belum juga ada yang berhasil. Mereka terlalu kuat. Terlebih lagi, sekarang ini
mereka mendapatkan pemimpin baru yang berkemampuan sangat tinggi," jelas
Prabu Sarajingga kemudian.
Hampir
saja Pandan Wangi membuka suara lagi. Untung Rangga cepat menekan ujung jari
kakinya. Gadis itu sempat meringis kesakitan, dan langsung terdiam.
"Maaf,
Gusti Prabu. Sebenarnya kami ingin sekali membantu, tapi persoalan kami sendiri
harus cepat diselesaikan. Hamba berjanji, jika sudah selesai akan membantu
menyelesaikan persoalan ini," ujar Rangga cepat-cepat.
"Yaaah....
Aku memang tidak bisa memaksa. Tapi kuharap kalian bisa secepatnya kembali lagi
ke sini. Istanaku ini terbuka kapan saja untuk kalian berdua," kata Prabu
Sarajingga agak mendesah.
"Kalau
begitu, kami mohon diri," pamit Rangga.
"Silakan,"
Prabu Sarajingga mempersilakan dengan merentangkan sedikit tangannya ke depan.
Rangga
memberi penghormatan dengan merapatkan kedua tangannya di depan hidung, diikuti
Pandan Wangi. Mereka kemudian bangkit berdiri.
"Dipa
Pangga, antarkan mereka sampai ke pintu gerbang," perintah Prabu
Sarajingga.
"Hamba,
Gusti Prabu," sahut Dipa Pangga penuh hormat. Dipa Pangga bergegas bangkit
berdiri dan memberikan sembah dengan merapatkan kedua tangannya di depan
hidung. Kemudian Rangga dan Pandan Wangi keluar dari ruangan ini. Mereka
berjalan tanpa tergesa-gesa. Sedangkan Prabu Sarajingga tanpa berkedip
memandangi punggung Pendekar Rajawali Sakti.
"Hm....
Aku yakin kalau dia Pendekar Rajawali Sakti...," gumam Prabu Sarajingga
pelan.
Saat
itu Rangga dan Pandan Wangi yang diantar Dipa Pangga sudah menghilang di balik
pintu. Tak lama kemudian, dari pintu lain muncul dua orang laki-laki berusia
sekitar tiga puluhan tahun yang kemudian langsung memberi hormat pada Prabu
Sarajingga. Masing-masing mengenakan pakaian yang sama bentuknya, dan hanya
warna saja yang berbeda. Mereka juga menyandang pedang yang tersampir di
pinggang.
"Jalak
Ireng, Banteng Giri...."
"Hamba
Gusti Prabu," sahut kedua orang itu bersamaan.
"lkuti
kedua tamuku tadi, dan laporkan semua yang dilakukannya padaku. Cari
keterangan, siapa mereka sebenarnya," perintah Prabu Sarajingga.
"Hamba,
Gusti Prabu."
Kedua
orang yang bernama Jalak Ireng dan Banteng Giri kembali memberi sembah dengan
merapatkan kedua tangan di depan hidung. Kemudian, mereka bergegas melangkah
keluar dari ruangan itu. Prabu Sarajingga masih tetap duduk, dan keningnya
terlihat agak berkerut dalam. Namun mendadak saja bibirnya tersenyum ketika
seorang gadis berwajah cantik mengenakan baju warna hijau daun muncul dari
pintu lain.
Gadis
itu berdiri saja di ambang pintu. Dan Prabu Sarajingga bangkit berdiri dari
duduknya. Penguasa Kerajaan Randukara itu berjalan menghampiri disertai
senyuman lebar.
"Ada
yang kau perlukan, Anakku?" tanya Prabu Sarajingga setelah dekat dengan
gadis itu.
"Ada.
Tapi tidak di sini," sahut gadis itu seraya membalikkan tubuhnya dan
berjalan menjauhi ruangan itu.
Prabu
Sarajingga mengikuti. Ditutupnya pintu yang memisahkan ruangan untuk menerima
tamu khusus itu dengan ruangan-ruangan lain. Ruangan itu memang tidak memiliki
jendela, tapi dikelilingi delapan buah pintu yang serupa bentuknya. Hanya
orang-orang tertentu saja yang mengetahui kegunaan setiap pintu ruangan itu.
Dan
ruangan yang cukup besar itu kembali sunyi sepi, tak ada seorang pun yang
terlihat. Namun setelah Prabu Sarajingga lenyap ditelan satu pintu, dari pintu
lain muncul sekitar sepuluh orang berpakaian prajurit dan bersenjatakan tombak
dan pedang. Mereka mengelilingi ruangan itu dan mengambil tempat untuk menjaga
ruangan yang kosong ini. Memang, itu adalah suatu ruangan khusus, sehingga
membutuhkan sepuluh prajurit berpangkat tamtama untuk menjaga.
***
Rangga
baru menggebah kudanya agar berlari cepat setelah melewati gerbang perbatasan
Kotaraja Randukara. Pandan Wangi yang selalu menyertainya juga segera menggebah
kudanya agar tetap berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Debu mengepul ke
angkasa tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat. Sebenarnya kalau Rangga
menggebah kudanya lebih cepat lagi, Pandan Wangi tak mungkin bisa mengejar.
Karena, kuda tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu bukan binatang sembarangan.
Kuda itu adalah hadiah Dewa Bayu, sehingga kuda itu juga dinamakan Dewa Bayu.
"Kenapa
cepat-cepat, Kakang?" tanya Pandan Wangi, agak keras suaranya.
Rangga
tidak menjawab, dan terus saja menggebah kudanya agar berlari kencang. Pandan
Wangi tetap berusaha berada di samping Pendekar Rajawali Sakti, meskipun kuda
yang ditungganginya nampak kewalahan. Namun Pandan Wangi tidak peduli. Kudanya
terus digebah cepat untuk mengimbangi lari kuda hitam itu.
"Kau
marah padaku, Kakang...?" kembali Pandan Wangi bertanya dengan suara
keras.
Tetap
saja Rangga tidak menyahut. Pandan Wangi tahu kalau Rangga marah karena
kelancangannya yang tidak mau menuruti kata-kata pemuda berbaju rompi putih
itu. Dia menyesal karena tidak mematuhi permintaan Rangga tadi di depan Prabu
Sarajingga.
"Maafkan
aku, Kakang... !" seru Pandan Wangi masih dengan suara keras.
Tetap
saja Rangga tidak mempedulikannya. Sementara kuda hitam yang ditungganginya
semakin cepat berlari. Sedangkan kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi mulai
tertinggal.
"Kakang,
tunggu...!" teriak Pandan Wangi keras.
Kali
ini Rangga berpaling ke belakang. Dan nampak kalau lari kudanya diperlambat.
Pandan Wangi terus cepat menggebah kudanya, sehingga kembali berada di samping
Pendekar Rajawali Sakti.
"Kalau
kau tetap marah, aku akan berhenti!" rungut Pandan Wangi ikut ngambek.
"Jangan
banyak omong! Terus gebah kudamu...!" bentak Rangga, agak kasar suaranya.
"Heh...?!"
Pandan Wangi terkejut mendengar bentakan yang bernada kasar itu.
Belum
pernah Rangga berlaku kasar seperti ini sebelumnya. Namun Pandan Wangi tidak
punya kesempatan untuk mencari penjelasan, karena kembali tertinggal. Si Kipas
Maut kembali menggebah kudanya agar bisa berada di samping kuda yang
ditunggangi Pendekar Rajawali Sakti.
Namun
mendadak saja Rangga menghentikan lari kudanya, dan secepat itu pula melompat
turun. Begitu kakinya menjejak tanah, Pendekar Rajawali Sakti kembali
melentingkan tubuhnya, dan langsung menyambar Pandan Wangi yang masih berada di
punggung kuda.
"Bawa
dia menjauh, Dewa Bayu!" seru Rangga memerintahkan kudanya.
Kuda
hitam yang dipanggil Dewa Bayu itu meringkik keras sekali, kemudian menggiring
kuda putih menjauhi tempat itu. Sementara Rangga yang mengepit pinggang Pandan
Wangi sudah kembali melenting ke angkasa, lalu hinggap di cabang pohon yang
cukup tinggi dan berdaun lebat.
"Apa-apaan
kau ini, Kakang...?!" sentak Pandan Wangi begitu Rangga melepaskan
tangannya dari pinggangnya.
"Diam...!"
desis Rangga.
"Ap...!"
Pandan
Wangi tak bisa lagi bersuara ketika Rangga dengan cepat membekap mulutnya. Pada
saat itu, terdengar derap kaki kuda yang dipacu cepat. Pelahan-lahan Rangga
melepaskan bekapannya pada mulut Pandan Wangi. Dan gadis itu tidak bersuara
lagi. Matanya langsung terarah pada debu yang mengepul semakin dekat.
Tak
berapa lama kemudian, tampak dua ekor kuda dipacu cepat menuju ke arah pohon
yang cukup lebat daunnya, tempat Rangga dan Pandan Wangi bertengger di situ.
Dua orang penunggang kuda menggebah cepat kudanya. Mereka berusia rata-rata
sekitar tiga puluh tahunan lebih, dan masing-masing menyandang pedang yang
tersampir di pinggang.
"Hiyaaa...!"
tiba-tiba saja Rangga melompat turun.
Pendekar
Rajawali Sakti langsung meluruk ke arah dua orang penunggang kuda itu. Cepat
sekali gerakannya, sehingga kedua orang penunggangnya tidak sempat berbuat,
sesuatu. Dan mendadak saja mereka terpental jatuh, lalu beberapa kali
bergulingan di tanah. Pada saat itu, Rangga sudah menjejakkan kakinya di tanah
dengan mulus sekali. Sedangkan dua ekor kuda yang masih berlari kencang, tak
mempedulikan penunggangnya yang terjatuh.
"Bangun...!"
bentak Rangga keras.
Kedua
orang yang mengenakan baju berpotongan sama berwarna merah dan hijau itu,
bangkit berdiri sambil meringis memegangi dadanya. Rupanya, tadi Rangga memberi
pukulan lumayan keras ke dada mereka berdua. Untung saja Pendekar Rajawali
Sakti tidak mengerahkan kekuatan tenaga dalam, sehingga kedua orang itu tidak
mengalami cidera sedikit pun juga. Namun demikian, rongga dada mereka terasa
sesak juga akibat terkena pukulan Pendekar Rajawali Sakti.
"Untuk
apa kalian membuntutiku?!" tanya Rangga agak membentak.
"Kami
hanya menjalankan perintah," sahut orang yang mengenakan baju warna hijau.
"Perintah
siapa?" tanya Rangga lagi.
Kedua
orang itu tidak menjawab, dan hanya saling berpandangan sejenak. Kemudian
mereka kembali menatap Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu dari atas pohon,
meluncur Pandan Wangi. Gadis itu langsung mendarat di samping kanan Rangga.
"Jawab
pertanyaanku! Siapa yang memberi perintah pada kalian untuk membuntutiku?"
bentak Rangga lagi.
Namun
sebelum kedua orang itu menjawab pertanyaan Rangga, mendadak saja sebuah
bayangan berkelebat cepat bagai kilat. Bayangan hijau itu langsung meluruk ke
arah dua orang yang masih terdiam, belum menjawab pertanyaan Pendekar Rajawali
Sakti tadi. Tapi, rupanya kedua orang itu memiliki ketangkasan yang lumayan
juga. Mereka cepat melompat mundur, sehingga terjangan bayangan hijau itu tidak
sempat menghajarnya.
Dan
sebelum kedua orang laki-laki itu bisa menguasai keseimbangan tubuh, kemball
bayangan hijau itu berbalik cepat dan langsung melesat ke acah mereka. Tapi
pada saat itu juga, Rangga bertindak cepat. Pendekar Rajawali Sakti melesat
cepat bagai kilat, lalu memberikan satu dorongan kuat disertai pengerahan
tenaga dalam yang tidak penuh.
Deghk!
"Ikh...
!"
Bayangan
hijau itu terpental balik dan berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat
di tanah. Sementara Rangga sudah lebih dahulu menjejakkan kakinya di tanah,
sehingga satu batang tombak di samping dua orang yang membuntutinya tadi.
Nampak, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang gadis yang
mengenakan baju warna hijau yang wajahnya sebagian tertutup cadar agak tipis
berwarna hijau. Hanya bagian matanya saja yang masih terlihat, dan nampak indah
dan bening.
"Siapa
kau?!" sentak Rangga bertanya.
"Kau
tidak perlu tahu siapa aku. Kedua orang ini harus mati sekarang juga!"
sahut wanita berbaju hijau itu.
"Hei...
!"
Namun
sebelum keterkejutan Rangga hilang, wanita bercadar itu sudah melesat cepat
menyerang dua orang yang berada di samping Pendekar Rajawali Sakti. Gerakannya
sungguh cepat luar biasa, sehingga tidak sempat disadari Rangga lebih dahulu.
Tahu-tahu sudah terdengar suara jeritan panjang dan menyayat, bersamaan dengan
terdengarnya dentingan senjata beradu.
Tampak
laki-laki yang mengenakan baju hijau terhuyung-huyung sambil mendekap dada yang
mengucurkan darah. Sedangkan seorang lain yang mengenakan baju warna merah,
tengah sibuk menghindari gempuran wanita berbaju hijau bercadar.
"Hiyaaat...!"
Seketika itu juga Rangga melompat sambil mem-beri satu pukulan keras ke arah
wanita yang tiba-tiba saja datang mencampuri urusannya. Namun pukulan Pendekar
Rajawali Sakti tidak mengenai sasaran. Karena, manis sekali wanita itu
mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali
Sakti. Dan tubuhnya melenting berputaran beberapa kali ke belakang.
"Tunggu
giliranmu, Pendekar Rajawali Sakti!" bentak wanita itu berang begitu
kakinya menjejak tanah.
"Hei...!
Siapa kau ini sebenarnya? Dari mana kau tahu namaku?" Rangga jadi terkejut
bukan main.
"Aku
tidak akan berkata dua kali, Pendekar Rajawali Sakti," dingin sekali nada
suara wanita itu.
"Menyingkirlah
kau," ujar Rangga pada laki-laki berbaju merah yang berada agak ke
belakang darinya.
"Huh!
Baiklah..., hari ini kau boleh bernapas lega Jalak Ireng. Tapi, ingatlah. Kau
tidak akan bisa kembali ke Istana Randukara," tegas wanita itu dingin, kemudian
kembali menatap Rangga. "Dan kau, Pendekar Sakti...! Jangan harap bisa
keluar dari wilayah ini dengan selamat."
Setelah
berkata demikian, wanita berbaju hijau dan bercadar itu langsung bergerak
cepat. Tubuhnya melesat bagai kilat. Dalam sekejapan mata saja, bayangannya
sudah lenyap tak terlihat lagi.
"Hm...,"
gumam Rangga perlahan. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya, menghadap
laki-laki berbaju merah yang kini tengah menyangga temannya yang terluka. Darah
terus mengalir dari dada yang terbelah cukup panjang dan lebar.
"Benar
kalian dari Istana Randukara?" tanya Rangga seraya menghampirl orang yang
menguntitnya tadi.
"Benar.
Maafkan kami, Kisanak," sahut laki-laki berbaju merah yang namanya tadi
disebut sebagai Jalak Ireng.
Rangga
memeriksa luka di dada orang yang mengenakan baju hijau, kemudian memberikan
beberapa totokan di sekitar luka itu. Darah seketika berhenti mengalir. Tapi
laki-laki berbaju hijau yang juga dihiasi kumis tipis di atas bibirnya itu
sudah tidak sadarkan diri lagi.
"Baringkan
dia di tempat yang teduh," kata Rangga.
Jalak
Ireng membawa temannya yang terluka dan tidak sadarkan diri itu. Kemudian,
dibaringkannya di bawah sebatang pohon rindang, sehingga matahari tidak bisa
langsung menyinarinya. Saat itu Pandan Wangi bergegas memeriksa luka laki-laki
berbaju hijau itu, kemudian mengambil sebuah kantung kulit dari balik sabuknya.
Dari kantung kulit itu ditaburkan bubuk berwarna kuning pada luka di dada yang
menganga cukup besar.
"Hanya
luka luar, dan tidak begitu parah," jelas Pandan Wangi yang sudah berdiri
di samping Rangga.
Sedangkan
Jalak Ireng masih duduk di samping temannya yang terbaring tidak sadarkan diri
lagi. Dipandanginya Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
"Hanya
tiga hari lukanya pasti kering," kata Pandan Wangi memberitahu.
"Maaf,
kami tidak bermaksud jahat. Kalian kami buntuti karena hanya menjalankan
perintah saja," jelas Jalak Ireng.
"Siapa
yang memerintahkanmu, Kisanak?" tanya Rangga dengan nada suara yang tidak
lagi kasar.
"Gusti
Prabu Sarajingga," sahut Jalak Ireng.
"Untuk
apa?" tanya Rangga lagi.
"Kami
hanya diperintahkan untuk membuntuti saja, dan mencari keterangan siapa
sebenarnya Kisanak dan Nini ini."
"Hm...,"
Rangga mengerutkan keningnya.
"Kenapa
Prabu Sarajingga ingin mengetahui tentang kami?" tanya Pandan Wangi.
"Aku
tidak tahu, tapi Gusti Prabu menduga kalau Kisanak adalah Pendekar Rajawali
Sakti. "
"Kalau
memang benar, lalu apa kemauan rajamu itu?" tanya Rangga lagi.
"Maaf,
aku tidak tahu. Aku dan temanku ini hanya menjalankan perintah saja. Hanya itu
saja yang diketahui, Kisanak."
"Aneh...,"
gumam Pandan Wangi. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres, Kakang."
Rangga
tidak menyahuti. Nampaknya Pendekar Rajawali Sakti sedang berpikir keras. Hal
ini bisa diketahui dari kerutan yang dalam di keningnya. Sedangkan Pandan Wangi
sendiri jadi tidak mengerti akan sikap Prabu Sarajingga yang ingin mengetahui
tentang Pendekar Rajawali Sakti.
"Kisanak.
Kau tahu, siapa wanita yang menyerangmu tadi?" tanya Rangga setelah berdiam
diri cukup lama juga.
"Perempuan
itu dijuluki Kembang Karang Hawu," sahut Jalak Ireng.
"Kembang
Karang Hawu...?" kembali Rangga mengerutkan keningnya hingga matanya jadi
menyipit.
Sedangkan
Pandan Wangi juga agak terkejut mendengar wanita berbaju hijau tadi ternyata
Kembang Karang Hawu. Dia pernah mendengar nama itu, karena Prabu Sarajingga
pernah menyebut-nyebut nama itu. Dan Raja Randukara itu mengatakan kalau
Kembang Karang Hawu sekarang ini yang memimpin gerombolan begal di sekitar
Gunung Karang Hawu, yang sangat ditakuti di seluruh wilayah Kerajaan Randukara
ini.
Tapi
yang menjadi beban pikiran Rangga dan Pandan Wangi, untuk apa wanita itu
menyerang dua orang yang tengah menjalankan perintah rajanya? Dan tampaknya
wanita yang dijuluki Kembang Karang Hawu itu juga tidak menyukai kehadiran
Pendekar Rajawali Sakti di wilayah kerajaan ini. Saat itu juga, berbagai macam
pertanyaan mengalir keluar dalam benak Pendekar Rajawali Sakti maupun si Kipas
Maut.
***
EMPAT
Rangga
duduk mencangkung di atas sebongkah batu yang tidak begitu besar. Sedangkan di
depannya, Pandan Wangi berdiri saja sambil membenahi pelana kudanya. Sejak
Jalak Ireng pergi membawa temannya yang terluka, Pendekar Rajawali Sakti belum
juga membuka suara sedikit pun. Dan Pandan Wangi sendiri sepertinya tidak mau
mengusik. Gadis itu lebih memilih menyibukkan dirinya dengan memeriksa pelana
kuda dan membetulkannya agar kelihatan lebih rapi dan kuat.
"Sampai
kapan akan terus duduk melamun, Kakang...?" Pandan Wangi tidak tahan juga
melihat Rangga seperti itu terus-menerus.
"Hhh...!"
Rangga menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat.
Pendekar
Rajawali Sakti melompat turun dari batu yang didudukinya, kemudian menghampiri
kudanya yang berada di sebelah kuda putih milik Pandan Wangi. Tanpa bicara
sedikit pun, Rangga melompat naik ke punggung kudanya. Dipandangnya Pandan
Wangi yang masih tetap berdiri sambil memandangnya juga di samping kudanya.
"Kita
kembali ke kota, Pandan," kata Rangga, agak mendesah suaranya.
"Heh...!
Kenapa cepat sekali kau berubah...?!" Pandan Wangi terkejut.
"Jangan
mengolok, Pandan. Ini bukan saatnya bercanda!" sentak Rangga.
"Siapa
yang bercanda? Aku hanya terkejut dengan perubahanmu yang mendadak itu. Tadinya
kau ingin cepat-cepat meninggalkan kerajaan ini, tapi mendadak saja malah ingin
kembali lagi ke sana."
"Sudah
jangan mengomel. Ayo naik...!"
"Untuk
apa kembali lagi ke sana?" tanya Pandan Wangi seraya melompat naik ke
punggung kudanya.
"Aku
merasa ada sesuatu yang tidak beres di sana," sahut Rangga sambil
menghentakkan tali kekang kudanya.
"Maksudmu?"
tanya Pandan Wangi ingin tahu. Dia juga menjalankan kudanya pelahan di samping
Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku
tidak tahu. Tapi, kejadian tadi membuatku jadi penasaran," sahut Rangga.
"Ooo...,
kau ingin mengetahui maksud Prabu Sarajingga, begitu?" Pandan Wangi
langsung menebak.
"Bukan
itu saja, Pandan. Aku telah menduga kalau ada hubungan antara Prabu Sarajingga
dengan si Kembang Karang Hawu. "
"Jangan
berprasangka buruk, Kakang. Tidak baik mempunyai dugaan buruk pada orang
lain."
"Bukannya
berprasangka buruk. Aku hanya merasakan adanya satu kejanggalan. Rasanya tidak
mungkin bila si Kembang Karang Hawu menyerang dua orang dari Istana Randukara
tanpa alasan pasti. Dan lagi, dari mana dia tahu tentang diriku? Sedangkan
Jalak Ireng mengatakan kalau Prabu Sarajingga menduga kalau aku ini Pendekar
Rajawali Sakti. Aku ingin tahu apa keinginannya kalau sudah tahu bahwa aku ini
memang Pendekar Rajawali Sakti," Rangga mencoba menjelaskan apa yang
mengganjal pikirannya sejak tadi.
"Lantas,
apa yang akan kau lakukan, Kakang?" tanya Pandan Wangi ingin tahu.
Rangga
tidak langsung menjawab. Memang, Pendekar Rajawali Sakti sendiri belum tahu,
apa yang akan dilakukannya di Kotaraja Randukara nanti. Satu rencana pun belum
dipunyai. Sementara kuda yang mereka tunggangi, terus berjalan pelahan menuju
Kotaraja Randukara yang sudah terlihat di depan sana. Sebuah kota yang ramai
karena hari pasaran yang selalu terjadi setiap tiga purnama sekali.
***
Plak!
Satu
tamparan keras menyebabkan Jalak Ireng terpental melintir hingga terjatuh di
lantai yang keras dan dingin. Pipi kirinya langsung memerah, ber-gambar lima
jari tangan. Jalak Ireng langsung duduk bersimpuh dengan kepala tertunduk
dalam, dan sedikit pun tidak mengeluarkan suara mengaduh.
"Bodoh!
Dasar otak kerbau! Baru segitu saja sudah tidak becus!" bentak Prabu
Sarajingga berang.
Wajahnya
memerah, dan matanya berkilat berapi-api menahan kemarahan yang meluap.
Sedangkan Jalak Ireng tetap duduk bersimpuh sambil menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Untuk mengangkat kepala saja, terasa berat sekali. Apalagi
mengeluarkan suara. Rasanya tidak sanggup memandang wajah Prabu Sarajingga yang
sedang diliputi kemarahan besar atas kegagalan Jalak Ireng.
"Seharusnya
kau mati daripada kembali lagi ke sini, Jalak Ireng," desis Prabu
Sarajingga dingin.
"Ampun,
Gusti. Titah sudah hamba laksanakan sebaik-baiknya. Tapi, mendadak saja Kembang
Karang Hawu muncul dan langsung saja menyerang hamba, Gusti," jelas Jalak
Ireng dengan suara bergetar.
"Lagi-lagi
itu yang kau katakan!" dengus Prabu Sarajingga.
"Tapi
hamba sudah mengetahui kalau pemuda itu memang Pendekar Rajawali Sakti,
Gusti," tegas Jalak Ireng lagi.
"Apa
jaminanmu, Jalak Ireng?"
"Kembang
Karang Hawu memanggilnya demikian, Gusti. Bahkan pemuda itu juga mengakui
dirinya bergelar Pendekar Rajawali Sakti," sahut Jalak Ireng. "Lalu,
apakah kau tahu maksud kedatangannya ke sini?" tanya Prabu Sarajingga
lagi.
"Tidak,
Gusti," sahut Jalak Ireng.
"Itulah
kebodohanmu, Jalak Ireng! Kau kuperintahkan bukan hanya mencari tahu pemuda
itu, tapi juga mengorek maksud kedatangannya ke sini. Mengerti?" bentak
Prabu Sarajingga keras.
"Ampunkan
hamba, Gusti Prabu," ucap Jalak Ireng pelan.
"Huh!"
Prabu Sarajingga mendengus keras. Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun
dan masih kelihatan gagah itu menghenyakkan tubuhnya di kursi kecil
berbantalkan beludru merah darah. Sedangkan Jalak Ireng masih tetap duduk
bersimpuh di lantai dengan kepala tertunduk dalam.
"Dengar,
Jalak Ireng. Aku tidak mau tahu bagaimana caranya, yang penting kau harus bisa
mengetahui maksud kedatangan pemuda itu ke sini. Mengerti...?!" keras
sekali suara Prabu Sarajingga.
"Hamba,
Gusti Prabu," sahut Jalak Ireng seraya memberi sembah dengan merapatkan
kedua telapak tangannya di depan hidung.
"Kau
berangkat sekarang juga, dan jangan kembali sebelum memperoleh keterangan itu.
"
"Hamba
mohon diri, Gusti."
Prabu
Sarajingga hanya mendengus saja. Jalak lreng kembali memberi sembah, kemudian
bangkit berdiri dan berjalan keluar ruangan yang besar dan indah ini. Namun
Jalak Ireng terkejut ketika pintu dibuka, di sana sudah menunggu Dipa Pangga.
Bergegas Jalak lreng menutup pintu itu, dan langsung merapatkan kedua telapak
tangannya di depan hidung dengan tubuh sedikit membungkuk.
"Ikut
aku, Jalak Ireng," kata Dipa Pangga.
"Hamba,
Raden," sahut Jalak Ireng hormat.
Mereka
kemudian berjalan cepat menyusuri lorong yang tidak begitu panjang. Dipa Pangga
membuka sebuah pintu yang berada di ujung lorong ini. Kemudian kakinya
melangkah masuk ke dalam ruangan yang tidak seberapa besar. Di situ terdapat
sebuah pembaringan kayu kecil serta sebuah meja kecil dan dua kursi di
sampingnya. Jalak Ireng bergegas masuk dan menutup pintunya kembali. Sikapnya
begitu hormat pada Dipa Pangga. Dia duduk bersila di lantai, tepat saat Dipa
Pangga duduk pada salah satu kursi di samping meja yang membelakangi jendela
besar dan terbuka lebar.
"Ada
apa Raden meminta hamba ke sini?" tanya Jalak Ireng.
"Kau
harus menjawab jujur, Jalak Ireng," tegas Dipa Pangga.
"Hamba,
Raden," Jalak Ireng merapatkan kedua tangannya di depan hidung memberi
sembah.
"Apa
yang diperintahkan Paman padamu?" tanya Dipa Pangga Ingin tahu.
Jalak
Ireng terkejut, meskipun sudah menduga kalau pemuda ini akan bertanya seperti
itu. Tidak mudah baginya untuk menjawab terus terang. Karena, tugas yang
diberikan padanya rahasia sekali, meskipun Prabu Sarajingga tidak mengatakan
terus terang. Tapi Jalak Ireng sudah tahu, kalau Prabu Sarajingga memberi suatu
tugas di dalam ruangan khusus, itu berarti tugas rahasia yang seorang pun tidak
boleh mengetahuinya. Termasuk anggota keluarga istana.
"Kuminta
kau tidak menutup-nutupinya, Jalak Ireng. Ingat! Paman Sarajingga hanya
sementara menduduki tahta selama aku belum mempunyai istri. Itulah yang
diamanatkan mendiang Ayahanda Prabu sebelum mangkat. Jadi aku wajib mengetahui
segala yang diperintahkan Paman Sarajingga. Aku tidak ingin ada kekacauan
terselubung di dalam istana ini. Kau harus bisa mengerti itu, Jalak
Ireng," tegas Dipa Pangga.
"Hamba
mengerti, Raden. Tapi...," ucapan Jalak Ireng terputus.
"Tapi
apa?" desak Dipa Pangga.
"Hamba
takut kalau Gusti Prabu akan murka."
"Paman
Sarajingga tidak akan tahu selama kau bisa tutup mulut. Dan aku tidak akan
mengatakan apa pun," selak Dipa Pangga tegas sekali.
Beberapa
saat Jalak Ireng terdiam berpikir keras, kemudian mengatakan tugas yang harus
diembannya. Tugas rahasia yang diberikan langsung oleh Penguasa Kerajaan
Randukara ini. Sedangkan Dipa Pangga mendengarkan penuh perhatian. Pemuda itu
tidak berbicara sedikit pun meski Jalak Ireng telah menyelesaikan penuturannya.
Tangan
Dipa Pangga memberi isyarat saja agar Jalak Ireng meninggalkan kamar ini.
Setelah member sembah, Jalak Ireng bergegas keluar dari situ. Sedangkan Dipa
Pangga masih duduk di kursi. Pandangannya kosong dan lurus ke depan. Dipa
Pangga baru mengangkat kepalanya ketika mendengar suara ketukan di pintu.
"Masuk...!"
seru Dipa Pangga tidak terlalu keras.
Pintu
kamar terkuak pelahan, kemudian muncul seorang gadis yang cantik sekali.
Bajunya ketat berwarna hijau. Dengan langkah gemulai, gadis itu melangkah masuk
tanpa mempedulikan pintu yang terbuka. Dipa Pangga bangkit berdiri dan
melangkah menghampiri pintu, lalu menutup rapat-rapat. Sedangkan gadis cantik
berbaju hijau itu menghenyakkan tubuhnya di kursi yang tadi diduduki Dipa
Pangga. Sementara Dipa Pangga sendiri kemudian duduk di tepi pembaringan.
"Ada
sesuatu yang ingin disampaikan, Adik Ningrum?" tanya Dipa Pangga lembut.
"Tidak....
Hanya ingin ngobrol denganmu saja, Kakang," sahut gadis itu yang dipanggil
Ningrum.
Gadis
berbaju hijau daun itu memang Rara Ayu Ningrum, putri bungsu Prabu Sarajingga.
Sedangkan seorang kakak laki-lakinya kini sedang menuntut ilmu di Padepokan
Walet Putih. Letaknya tidak jauh dari Kotaraja Randukara ini. Tepatnya di Bukit
Salak, sebelah Selatan kotaraja ini.
"Kau
datang tidak disuruh ayahmu, bukan?" nada suara Dipa Pangga mengandung
kecurigaan.
"Jangan
memandangku buruk begitu, Kakang," ujar Rara Ayu Ningrum.
Dipa
Pangga hanya tersenyum saja. Namun senyuman itu sangat tipis dan hambar. Rara
Ayu Ningrum melepaskan ikatan pedangnya dan meletakkan di meja yang berada di
sampingnya. Sikapnya seperti tidak mempedulikan sorot mata Dipa Pangga dengan
senyumnya yang mengandung kesinisan.
"Aku
memang dekat dengan ayah, Kakang. Tapi itu tidak berarti selalu bisa menerima
segala sikap dan tindakannya. Aku sudah mengatakan hal ini padamu lebih dari
seribu kali. Tapi, mengapa masih saja memandangku sinis, Kakang?" ujar
Rara Ayu Ningrum, agak dalam nada suaranya.
Dipa
Pangga hanya mengangkat pundaknya saja.
"Kedatanganku
ke sini bukan untuk berdebat. Yang jelas, ada yang ingin kukatakan padamu, dan
ini rahasia sekali. Aku juga tidak tahu, kenapa hal ini harus kukatakan
padamu," kata Rara Ayu Ningrum lagi. Tidak peduli dengan sikap sinis yang
diberikan Dipa Pangga padanya.
"Rahasia
apa?" tanya Dipa Pangga tanpa menanggapi serius.
"Tentang
ayah, aku, kau, dan kakakku. Bahkan menyangkut keutuhan negeri ini,
Kakang."
"Ah!
Kau ini tahu apa, Ningrum...?"
"Aku
tahu semuanya, Kakang. Bahkan tahu kalau ayah mencurigai kedatangan Pendekar
Rajawali Sakti bukan hanya sekadar lewat saja. Tapi, memang sengaja kau undang
ke sini," dengus Rara Ayu Ningrum agak keras, karena Dipa Pangga hanya
menanggapinya bagai angin lalu saja.
"Heh...!
Kau ini bicara apa, Ningrum...? Siapa itu Pendekar Rajawali Sakti?" Dipa
Pangga terkejut tidak mengerti.
"Orang
yang menolongmu dari kematian di Gunung Karang Hawu."
"Apa...?!"
Dipa Pangga benar-benar terkejut.
Pemuda
itu sampai terlompat dari pembaringan yang didudukinya. Matanya tajam memandang
gadis cantik yang duduk di depannya, seakan-akan hendak mencari kesungguhan
dari ucapan gadis ini tadi.
"Aku
pergi dulu, Kakang," kata Rara Ayu Ningrum seraya bangkit berdiri.
"Eh,
tunggu dulu...!" cegah Dipa Pangga cepat.
"Percuma
saja, Kakang. Toh kau tidak akan menanggapi. Kau pasti akan menyangka aku hanya
mencari perhatian dan memperburuk kedudukanmu saja," tegas Rara Ayu
Ningrum.
"Tidak!
Aku akan sungguh-sungguh menanggapinya. Katakan, apa saja yang kau ketahui
selama ini," selak Dipa Pangga sambil memasang wajah sungguh-sungguh.
"Sungguh...?"
Rara Ayu Ningrum seperti mempermainkan.
"Jangan
main-main, Ningrum...!" dengus Dipa Pangga.
"Siapa
yang main-main'? Kau sendiri yang tidak pernah sudi menanggapi sungguh-sungguh.
"
"Maaf,
Ningrum. Aku tidak tahu kalau kau bukan gadis kecil yang manja dan hanya bisa
bermain dan mempermainkan orang saja. "
"Sudah!
Kalau begitu aku tidak jadi."
"Baik....
Baik.., aku tidak akan mengatakan kau gadis manja lagi. Aku janji..., tapi apa
saja yang diketahui selama ini harus kau katakan."
Rara
Ayu Ningrum mencibirkan bibirnya. Sementara Dipa Pangga sempat juga menelan
ludahnya, membasahi tenggorokan yang mendadak saja jadi terasa kering. Gadis
ini memang cantik sekali. Kalau saja bukan putri pamannya, pasti sudah
dipersunting untuk dijadikan istri yang kelak akan menjadi permaisuri,
mendampinginya memerintah kerajaan yang besar dan megah ini. Tapi sayang, Rara
Ayu Ningrum adalah putri pamannya, adik dari ayahnya sendiri.
"Ayo
katakan, Ningrum," pinta Dipa Pangga seraya menghilangkan pikiran kotor
yahg mendadak saja timbul di kepalanya tadi.
"Baik.
Tapi, tidak di sini," sahut Rara Ayu Ningrum.
"Di
mana?"
"Di
kaputren saja. Biar tidak ada yang curiga."
Dipa
Pangga mengangkat bahunya. Memang tidak enak berada berdua di dalam kamar
seperti ini, karena mereka hanya saudara sepupu. Tanpa bicara lagi, mereka
kemudian berjalan meninggalkan kamar ini.
***
Sementara
itu di perbatasan Kotaraja Randukara, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi
dihadang sekitar lima puluh prajurit bersenjata lengkap. Mereka dipimpin
seorang panglima perang yang menggunakan senjata golok besar dan panjang.
Namanya Panglima Narakin. Dia memang seorang panglima pilihan Prabu Sarajingga
yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Terutama jurus 'Pedang Maut' yang
menjadi andalannya.
"Kenapa
kami tidak boleh masuk?" tanya Rangga agak heran juga.
"Kalian
tidak tercatat sebagai penduduk di kerajaan ini. Jadi, kami tidak bisa
mengizinkan kalian menetap lama di sini," tegas Panglima Narakin.
"Dengar,
Panglima. Kami baru saja menyelamatkan seorang pengantar barang pribadi Prabu
Sarajingga. Dan kami ingin bertemu dia lagi," selak Pandan Wangi, agak
gusar nada suaranya.
Kalau
saja Rangga tidak menyabarkan, mungkin Pandan Wangi sudah menerjang panglima
yang angkuh itu. Seluruh aliran darah si Kipas Maut memang sudah bergolak
mendidih, dan hampir tidak bisa mengendalikan diri. Namun sekuat daya, Pandan
Wangi masih bisa bertahan melihat tingkah panglima yang angkuh itu.
"Ha
ha ha...! Kalian mulai mengoceh tidak karuan!" Panglima Narakin tertawa
terbahak-bahak.
"He...
! Kau seorang panglima, kenapa tidak tahu kalau pengirim barang pribadi rajamu
hampir mati...?" sentak Pandan Wangi semakin gusar.
"Sudahlah.
Sebaiknya, kalian pergi saja jauh-jauh dari sini. Gusti Prabu Sarajingga tidak
memiliki pengantar barang pribadi. Tidak ada gunanya membual," sinis
sekali nada suara Panglima Narakin.
Pandan
Wangi mendelik geram. Diliriknya Pendekar Rajawali Sakti yang berada di
sampingnya. Mereka masih berada di atas punggung kuda masing-masing. Sementara
itu Rangga tampak mulai geram, karena merasa dipermainkan. Hal ini terlihat
jelas dari raut wajahnya yang memerah dan gerahamnya bergemeletuk keras.
"Ayo,
Pandan. Kita pergi," ajak Rangga seraya memutar kudanya.
"Tapi,
Kakang...!"
Rangga
cepat mengerdipkan matanya, maka Pandan Wangi tidak membantah lagi. Segera
kudanya diputar mengikuti Pendekar Rajawali Sakti itu. Sesaat kemudian, dua
ekor kuda itu sudah berpacu cepat meninggalkan kepulan debu yang membumbung
tinggi di angkasa.
Kepergian
kedua pendekar muda itu diiringi tawa terbahak-bahak dari Panglima Narakin.
Sementara Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh meninggalkan perbatasan kota.
Namun demikian si Kipas Maut itu masih belum puas atas perlakuan panglima tadi.
Lari kudanya seketika dihentikkan setelah melewati tikungan yang menuju Gunung
Karang Hawu.
"Berhenti
dulu, Kakang..,!" seru Pandan Wangi.
Rangga
menghentikan lari kudanya, kemudian menghampiri Pandan Wangi yang sudah turun
dari punggung kuda putihnya. Pendekar Rajawali Sakti pun segera melompat turun
dengan satu lompatan indah dan manis sekali. Kakinya langsung mendarat di depan
Pandan Wangi. Mereka membiarkan kuda-kuda menjauh menghampiri hamparan rumput
yang menghijau subur di tepi sungai kecil yang berair jernih, mengalir pelahan.
"Ada
apa, Pandan?" tanya Rangga.
"Aku
tidak ingin pergi begitu saja. Panglima itu telah menghina kita, Kakang.
Penghinaan ini harus dibalas!" dengus Pandan Wangi masih geram dengan
tingkah Panglima Narakin yang begitu congkak.
"Aku
juga tidak suka terhadap sikapnya, Pandan. Tapi dia hanya menjalankan tugas
saja," sergah Rangga mencoba menenangkan Pandan Wangi. Padahal dia sendiri
sedang berusaha meredam kemarahannya, karena juga merasa terhina atas sikap
panglima itu.
"Tugas....
Huh! Kau juga punya banyak panglima, Kakang. Tapi tidak ada yang seperti
itu," dengus Pandan Wangi masih kesal.
"Sudahlah,
Pandan. Sebaiknya kita pergi saja dari sini," Rangga masih mencoba untuk
bersabar.
"Tidak!
Aku akan menghajar mulut panglima edan itu!" sentak Pandan Wangi. Seketika
itu juga Pandan Wangi melesat cepat, dan langsung berlari kencang mempergunakan
ilmu meringankan tubuh.
"Pandan...!"
Rangga terkejut.
Tapi
Pandan Wangi sudah begitu jauh, lenyap di tikungan jalan. Rangga yang tidak
ingin melihat gadis itu celaka, bergegas ikut berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai taraf kesempurnaan. Begitu cepatnya,
sehingga Pendekar Rajawali Sakti bagaikan berlari di atas angin. Kaki-kakinya
yang bergerak cepat, seperti tidak menapak pada tanah. Dalam waktu yang tidak
berapa lama, Rangga sudah bisa mengejar Pandan Wangi yang sudah mendekati
perbatasan kota. Tampaknya para prajurit dan Panglima Narakin masih berada di
sana.
"Pandan,
tunggu dulu! Jangan gegabah...!" sentak Rangga memperingatkan.
Tapi
Pandan Wangi tidak peduli lagi, dan cepat melesat begitu jaraknya dengan
perbatasan itu tinggal beberapa tombak lagi. Gadis itu langsung meluruk ke arah
Panglima Narakin yang terkejut begitu tiba-tiba mendapat serangan dari Pandan
Wangi. Dua kali si Kipas Maut itu melontarkan pukulan beruntun disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hiyaaat...!"
"Heh...?!
Ufs!"
***
Cepat
sekali Panglima Narakin mengegoskan tubuhnya, menghindari serangan Pandan
Wangi. Dua pukulan Pandan Wangi yang tidak menemui sasaran itu langsung
menghajar dua orang prajurit yang berada di dekatnya. Seketika dua jeritan
panjang melengking tinggi terdengar saling sambut. Tampak dua orang prajurit
terpental, ambruk ke tanah. Seketika itu juga mereka tewas dengan dada remuk.
Dari mulutnya mengucurkan darah kental agak kehitaman.
"Perempuan
setan...!" geram Panglima Narakin gusar.
Sret!
Panglima Narakin langsung mencabut pedangnya. Dan secepat itu pula, dikibaskan
ke arah tubuh Pandan Wangi. Namun cepat sekali, si Kipas Maut mencabut kipas
baja putih yang langsung cepat dikebutkan, menyampok pedang panglima itu.
Wut!
Trang!
"Heh...?!"
Panglima Narakin terkejut setengah mati begitu pedangnya membentur kipas baja
putih di tangan Pandan Wangi. Pedangnya terpental balik, dan seluruh persendian
tangannya terasa nyeri bergetar hebat.
Dan
belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja Pandan Wangi sudah
menerjang panglima itu. Kipasnya yang terbuka lebar, berkelebat cepat mengancam
tubuh panglima congkak itu. Beberapa kali ujung kipas baja putih itu hampir
merobek tubuh Panglima Narakin, tapi masih bisa dihindari dengan manis sekali.
Sementara
itu Rangga sudah menghadang para prajurit. Dia memang harus mencegah
prajurit-prajurit itu dalam pertarungan antara Pandan Wangi dan Panglima Narakin.
Pendekar Rajawali Sakti tahu kalau Pandan Wangi hanya menggempur Panglima
Narakin, dan tidak bermaksud menggempur prajurit-prajurit.
"Jangan
ikut campur! Kami bisa dengan mudah membunuh kalian semua...!" Rangga
memperingatkan dengan suara dingin menggetarkan.
Para
prajurit itu tidak ada yang berani bertindak. mereka saling melemparkan
pandangan, tapi tak seorang pun berani melakukan tindakan penyerangan.
Sementara pertarungan antara Pandan Wangi dan Panglima Narakin masih
berlangsung sengit sekali. Jurus demi jurus berlalu cepat. Panglima itu memang
tangguh juga, meskipun dalam adu senjata tadi sudah bisa diketahui kalau
tingkat tenaga dalamnya masih di bawah Pandan Wangi.
Itu
bisa diketahui jelas, karena Panglima Narakin beberapa kali menghindari
benturan senjata. Dan ini sangat disadari Pandan Wangi, sehingga semakin gencar
memberikan serangan-serangan lewata jurus-jurusnya yang dahsyat dan cepat luar
biasa. Setiap serangan yang dilakukannya mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi.
Lewat
sepuluh jurus, Panglima Narakin mulai kelihatan terdesak. Dia semakin kewalahan
saja menghindari serangan-serangan yang dilancarkan Pandan Wangi. Beberapa kali
senjata satu sama lain berbenturan tanpa dapat dihindari Panglima Narakin. Dan
setiap kali pedangnya membentur kipas Pandan Wangi, panglima itu selalu
terpekik. Bahkan pedangnya terpental hampir lepas dari pegangan tangan.
"Lepas...!
Yeaaah...!" tiba-tiba Pandan Wangi berseru keras sekali.
Dan
seketika itu juga kakinya dihentakkan ke arah perut Panglima Narakin. Namun
panglima itu bisa menghindari dengan menarik tubuhnya ke belakang. Dan pada
saat tubuh panglima itu agak membungkuk, cepat sekali Pandan Wangi mengibaskan
tangan kanannya ke arah pergelangan tangan kanan Panglima Narakin yang memegang
senjata.
Bet!
Cras!
"Akh...!"
Panglima Narakin tersentak, dan memekik keras ketika ujung Kipas Maut itu
menyambar pergelangan tangan kanannya. Panglima itu tak bisa lagi mencegah
pergelangan tangan kanannya yang buntung terbabat ujung Kipas Maut Pandan
Wangi. Tangan dan pedangnya terpental jatuh ke tanah. Seketika darah segar
muncrat keluar deras sekali. Dan sebelum Panglima Narakin bisa menyadari apa
yang terjadi, dengan kecepatan tinggi sekali Pandan Wangi memberi satu
tendangan menggeledek bertenaga dalam tinggi ke dadanya.
"Hiyaaa...!"
Deghk!
"Aaakh...!"
kembali Panglima Narakin menjerit.
Tendangan
Pandan Wangi yang cepat dan keras itu tak bisa dihindari lagi, telak menghantam
dada Panglima Narakin. Akibatnya, laki-laki itu terpental sejauh dua batang
tombak ke belakang. Pandan Wangi cepat, menjentikkan ujung jari kakinya pada
pedang panglima yang tergeletak di tanah. Seketika pedang itu terpental ke
atas. Secepat kilat, Pandan Wangi melesat menyambar pedang itu. Tubuhnya
langsung meluruk deras ke arah Panglima Narakin yang baru saja berusaha bangkit
berdiri.
"Hiyaaa...!"
"Hah...!"
Panglima Narakin tersentak melihat Pandan Wangi meluruk deras ke arahnya.
Dengan ujung pedang terentang lurus ke arah dada, gadis itu terus meluruk deras
sehingga panglima itu tak sempat melakukan sesuatu lagi. Memang serangan si
Kipas Maut itu demikian cepat bagaikan kilat. Sehingga....
Bres!
"Aaa...!"
Jeritan melengking tinggi terdengar menyayat bersamaan dengan amblasnya pedang
itu ke bahu kanan Panglima Narakin. Selagi panglima itu limbung, datang lagi
satu pukulan ke kepala panglima itu.
"Yeaaah...!"
Prak!
"Aaa...!"
kembali Panglima Narakin menjerit keras melengking tinggi. Kali ini adalah
jeritannya yang terakhir. Karena, panglima perang itu langsung ambruk ke tanah
tak berkutik lagi. Darah mengucur deras dari bahu yang tertembus pedangnya
sendiri.
"Phuih...!"
Pandan Wangi mendenguskan napasnya dengan kencang. Gadis itu langsung memutar
tubuhnya memandang Rangga yang tengah menghalangi para prajurit agar tidak ikut
campur dalam masalah ini. Pandan Wangi berdiri tegak bertolak pinggang seperti
sosok malaikat maut yang siap mencabut nyawa saja. Kipas Mautnya sudah kembali
tersimpan di balik ikat pinggang.
"Suruh
mereka pergi, Kakang. Aku muak melihat tampang-tampang jelek itu!" dengus
Pandan Wangi kasar.
Dan
sebelum Rangga membuka mulutnya, semua prajurit langsung berlarian kabur.
Mereka seketika gentar melihat panglimanya kalah di tangan seorang gadis muda
berwajah cantik bagai bidadari itu.
"Seharusnya
kau tidak perlu berbuat begitu, Pandan," kata Rangga seraya melangkah
menghampiri gadis itu.
"Hanya
menidurkannya sebentar," sahut Pandan Wangi seenaknya.
Rangga
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Memang tidak mudah merubah watak Pandan
Wangi yang hidup dan dibesarkan di kalangan rimba persilatan. Gadis ini tidak
lagi asing melihat darah muncrat dari tubuh seseorang. Tapi selama si Kipas
Maut itu bersama Pendekar Rajawali Sakti, sedikit-sedikit keliarannya mulai
terhapus. Meskipun terkadang masih saja timbul kenakalannya.
"Ayo
kita pergi," ajak Rangga.
"Untuk
apa, Kakang? Mereka pasti akan kembali lagi. Aku akan menghadapi mereka yang
sudah bosan hidup," sahut Pandan Wangi.
"Jangan
edan-edanan, Pandan...!" sentak Rangga.
"Aku
sudah membunuh seorang panglima mereka, dan tentu banyak yang tidak senang. Aku
nanti akan menjelaskannya. Dan kalau mereka tidak terima, boleh berhadapan
denganku," tegas sekali suara Pandan Wangi.
"Heeeh...!
Kau ini selalu saja cari penyakit, Pandan...," keluh Rangga.
"Tanggung,
Kakang. Sudah kadung basah, sekalian saja nyebur," sahut Pandan Wangi
kalem.
Kembali
Rangga hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saja. Dia tidak bisa mencegah,
apalagi meninggalkan gadis ini seorang diri. Mau tidak mau Pendekar Rajawali
Sakti harus ikut juga dalam persoalan ini. Korban sudah jatuh, dan memang tidak
mungkin menghindar begitu saja. Mereka bukan orang-orang pengecut yang bisanya
hanya lari dengan meninggalkan tanggung jawab. Toh mereka tidak bersalah sama
sekali. Memang sudah sepantasnya panglima itu menerima hukumannya.
Tapi
yang sangat disesalkan Rangga, tidak semestinya Pandan Wangi membunuh panglima
itu. Seharusnya pertarungan dihentikannya saat Pandan Wangi berhasil
membuntungi tangan panglima itu. Namun Rangga memang tidak bisa sepenuhnya
menyalahkan Pandan Wangi. Dia melihat sendiri kalau Panglima Narakin masih
tetap berusaha menyerang.
"Tunggu
saja di sini, Kakang. Aku ingin tahu, seberapa banyak Prabu Sarajingga
mengerahkan jagonya," tegas Pandan Wangi.
"Terserah
kaulah...," desah Rangga.
Pandan
Wangi tersenyum kecut. Dia tahu kalau Rangga terpaksa menuruti, karena memang
sudah kepalang basah. Dan tentu saja harus dihadapi bersama.
***
Saat
itu, di dalam Istana Randukara, Dipa Pangga tertegun di balik pintu. Pemuda itu
mendengar Prabu Sarajingga marah-marah sampai menggebrak meja. Keras sekali
gebrakannya hingga menimbulkan suara berisik, mengganggu telinga. Dipa Pangga
tahu kalau tadi dua orang punggawa masuk ke dalam ruangan ini. Memang sukar
baginya untuk mendengar lebih jelas lagi, karena hanya terdengar samar-samar
namun keningnya jadi berkerut saat mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti
disebut-sebut.
Dipa
Pangga tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti adalah Rangga. Pemuda pengembara yang
mengenakan baju rompi putih dan sudah menyelamatkan nyawanya dari kematian di
Lereng Gunung Karang Hawu.
Plak!
"Oh...!"
Dipa Pangga tersentak kaget ketika tiba-tiba saja punggungnya ada yang menepuk
dari belakang.
Pemuda
itu terlonjak langsung berbalik. Hampir dia memaki begitu melihat Rara Ayu
Ningrum yang telah membuatnya terkejut setengah mati. Tapi gadis itu sudah
lebih cepat menarik tangannya meninggalkan tempat itu. Mereka langsung masuk ke
dalam taman belakang istana yang hanya bisa dimasuki anggota keluarga istana
saja.
"Ada
apa?" tanya Dipa Pangga.
"Panglima
Narakin mati," sahut Rara Ayu Ningrum setengah berbisik.
"Apa...?!"
Dipa Pangga terperanjat mendengar berita itu.
"Si
Kipas Maut yang membunuhnya," Rara Ayu Ningrum kembali memberitahu.
"Siapa
itu si Kipas Maut?" tanya Dipa Pangga.
"Gadis
teman Pendekar Rajawali Sakti," sahut Rara Ayu Ningrum lagi.
"Kau
jangan main-main, Adik Ningrum," Dipa Pangga tidak percaya.
"Tidak
percaya, ya sudah...!" Rara Ayu Ningrum memberengut.
"Tapi...,
kenapa Pandan Wangi membunuh Panglima Narakin?" Dipa Pangga seperti
bertanya pada diri sendiri.
"Panglima
Narakin meminta mereka meninggalkan Kerajaan Randukara ini, tapi ditolak.
Panglima, Narakin terpaksa mengusir mereka. Namun si Kipas Maut langsung saja
menyerang dan membunuhnya," jelas Rara Ayu Ningrum.
"Dari
mana kau tahu semua itu, Ningrum?" Tanya Dipa Pangga. Nada suaranya
seperti tidak percaya.
"Aku
mendengarnya dari bilik serambi ruangan itu. Dari tempatku kan bisa mendengar
jelas, Kakang."
"Tapi,
kenapa kau memberitahuku?"
"Huh...!
Kau selalu saja mencurigaiku, Kakang. Percayalah kalau aku tidak suka terhadap
tindakan ayahku sendiri. Aku ingin membantumu. Lagi pula, sebenarnya kan ayah
tidak berhak menduduki tahta. Kaulah yang berhak, Kakang."
"Kau
mengkhianati ayahmu sendiri, Ningrum."
"Demi
kebenaran, Kakang. Aku rela mati asalkan kebenaran ditegakkan di negeri
ini."
"Apakah
ayahmu tahu kalau kau mengkhianatinya?"
"Tidak.
Ah, sudahlah.... Sebaiknya kau cepat temui mereka sebelum ayah mengerahkan para
prajurit. "
Dipa
Pangga terdiam beberapa saat. Dipertimbangkannya semua kata-kata gadis ini.
Sungguh tidak disangka kalau Rara Ayu Ningrum diam-diam selalu mendengarkan
semua yang diucapkan Prabu Sarajingga. Bahkan diam-diam pula gadis ini
mengamati semua yang dilakukan ayahnya. Ternyata Rara Ayu Ningrum memiliki
pengamatan yang baik terhadap sikap dan perbuatan ayahnya yang tidak ingin
menyerahkan tahta yang didudukinya pada Dipa Pangga. Padahal, pemuda itulah
sebenarnya yang berhak menduduki tahta itu daripada pamannya, Sarajingga.
"Cepat,
Kakang. Jangan buang-buang waktu lagi," desak Rara Ayu Ningrum.
"Di
mana mereka?" tanya Dipa Pangga.
"Di
perbatasan dekat Gunung Karang Hawu," sahut Rara Ayu Ningrum memberitahu.
"Lalu,
kau sendiri?"
"Aku
akan mencoba menghadang prajurit. Tentu jumlah mereka sangat banyak,"
sahut Rara Ayu Ningrum.
"Kau
akan menghalau mereka, Ningrum?"
"Jangan
banyak tanya, Kakang. Ayo cepat pergi, sana...!" sentak Rara Ayu Ningrum.
"Baiklah.,
Tapi jangan ada prajurit yang terbunuh. Kalau kau terpaksa bertarung, hadapi
saja orang-orang ayahmu. Bukan para prajuritnya," pesan Dipa Pangga.
"Aku
usahakan," janji Rara Ayu Ningrum.
Dipa
Pangga bergegas meninggalkan taman istana itu. Sementara Rara Ayu Ningrum cepat
menuju kamarnya. Sambil berjalan cepat, Dipa Pangga masih belum bisa mengerti
akan sikap adik sepupunya itu. Sama sekali tidak disangka kalau Rara Ayu
Ningrum berpihak padanya, dan memusuhi ayahnya sendiri. Pemuda itu juga tidak
menduga kalau adik sepupunya memiliki kegiatan tersembunyi yang dipersiapkan
untuk menggulingkan ayahnya sendiri dengan menggantikan Dipa Pangga menjadi
raja di Kerajaan Randukara ini.'
Meskipun
Rara Ayu Ningrum sudah menunjukkan dukungannya, tapi Dipa Pangga belum bisa
mempercayai begitu saja. Sikapnya masih tetap berhati-hati terhadap gadis itu.
Kesetiaan Rara Ayu Ningrum, memang perlu dibuktikan dalam waktu yang panjang.
***
Dipa
Pangga menggebah cepat kudanya membelah jalan yang berdebu. Dia terus menuju
perbatasan dekat Gunung Karang Hawu. Orang-orang yang berada di jalan itu,
terpaksa cepat-cepat menyingkir. Tidak ada seorang pun yang menggerutu begitu
mengetahui yang berkuda ugal-ugalan itu adalah Dipa Pangga, putra mahkota yang
belum juga naik tahta. Padahal usianya sudah cukup dewasa. Hanya karena belum
menikah saja, Dipa Pangga tidak bisa menduduki tahta yang kini sementara
diduduki pamannya. Itu terjadi karena memang sudah amanat raja yang terdahulu
sebelum mangkat.
Dipa
Pangga terus menggebah cepat kudanya meninggalkan keramaian kota. Kini dia
mulai memasuki daerah yang sepi. Sepanjang jalan yang dilalui hanya pepohonan
dan sawah serta dataran yang menanjak naik membentuk hamparan bukit. Dipa
Pangga semakin cepat menggebah kudanya begitu melihat gerbang perbatasan di
depannya.
"Hooop...!"
Dipa Pangga menghentikan kudanya begitu sampai di gerbang perbatasan Kotaraja
Randukara. Begitu kudanya berhenti berlari, dia cepat melompat turun dari
kudanya. Gerakannya demikian indah dan ringan sekali. Ketika kakinya menjejak
tanah, sedikit pun tidak menimbulkan suara.
"Rangga...!
Pandan Wangi...!" teriak Dipa Pangga memanggil dengan suara yang keras.
Teriakan
pemuda itu menggema, terpantul oleh tebing batu dan pepohonan, dan tersapu
angin yang berhembus kencang. Namun suaranya tenggelam begitu saja tanpa ada
sahutan sama sekali. Pandangan Dipa Pangga beredar ke sekeliling.
Dipa
Pangga jadi keheranan juga, karena tidak ada seorang pun di tempat ini.
Teriakannya yang keras disertai sedikit pengerahah tenaga dalam itu, tidak
mendapat sambutan sama sekali. Kembali Dipa Pangga berteriak memanggil Pendekar
Rajawali Sakti dan si Kipas Maut, tapi tetap saja tidak ada sahutan.
"Hm...,
jangan jangan....?"
Belum
sempat Dipa Pangga melanjutkan pikirannya, mendadak saja sebuah bayangan hijau
berkelebat cepat menyambar pemuda itu. Sejenak Dipa Pangga terperangah kaget,
namun cepat sekali membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Kemudian tubuhnya melesat bangkit berdiri.
Dipa
Pangga tertegup sejenak begitu melihat seorang wanita berambut panjang terikat
pita hijau, sudah berdiri di depannya. Wanita itu mengenakan baju ketat
berwarna hijau daun yang menutup rapat seluruh tubuhnya. Wajahnya mengenakan
cadar yang juga berwarna hijau dart bahan sutra. Hanya matanya saja yang
terlihat jelas.
"Kembang
Karang Hawu...," desis Dipa Pangga, agak bergetar suaranya begitu
mengenali wanita yang berdiri sekitar dua batang tombak di depannya.
"Kali
ini kau tidak mungkin lolos dari tanganku, Dipa Pangga," dengus wanita
berbaju serba hijau yang dijuluki Kembang Karang Hawu itu.
Dipa
Pangga yang pernah bentrok sekali dengan wanita berkepandaian lebih tinggi
darinya itu, langsung bersiap. Kakinya digeser beberapa tindak ke samping.
Kemudian pelahan-lahan pedangnya diloloskan. Sedikit pun matanya tidak berkedip
memperhatikan wanita berbaju hijau itu.
"Sebenarnya
aku tidak ingin membunuhmu, Dipa Pangga. Tapi kau terlalu bandel, karena masih
saja berkeliaran di Randukara ini," dingin sekali nada suara Kembang
Karang Hawu itu.
"Kau
tidak berhak mengusirku dari negeri ini, Perempuan Iblis!" dengus Dipa
Pangga ketus.
"Ha
ha ha... ! Aku bisa berbuat apa saja padamu, Dipa Pangga," si Kembang
Karang Hawu tertawa terbahak-bahak.
Namun
Dipa Pangga bisa membedakan kalau suara tawa dan nada bicara perempuan yang
berjuluk Kembang Karang Hawu itu sangat dibuat-buat. Wanita berbaju hijau itu
terlalu membesarkan suaranya dan nadanya sedikit ditahan. Sehingga suaranya
terdengar datar tanpa tekanan sama sekali.
"Hm....
Kau selalu muncul menggunakan cadar. Siapa sebenarnya kau ini, Nisanak?"
suara Dipa Pangga sedikit terdengar bergumam.
"Aku
Kembang Karang Hawu. Jelas...?!" agak keras jawaban wanita berbaju hijau
itu.
"Di
balik julukanmu, kau tentu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya. Kenapa tidak
kau tunjukkan saja dirimu yang sebenarnya, Nisanak? Aku yakin, di balik cadarmu
itu kau menyembunyikan wajah buruk menjijikkan," Dipa Pangga memanasi.
"Kau
terlalu polos untuk bisa memancing kemarahan orang, Dipa Pangga," desis si
Kembang Karang Hawu sinis.
"Oh...?!
Kau ingin aku, yang membuka cadarmu itu...? Baik bersiaplah...!
Hiyaaat...!"
Dipa
Pangga langsung saja melompat cepat menerjang wanita berbaju hijau itu.
Pedangnya dikibaskan beberapa kali mengarah ke bagian-bagian tubuh wanita itu.
Namun lincah dan manis sekali si Kembang Karang Hawu berkelit, menghindari
se.tiap serangan gencar yang datang.
Beberapa
kali Dipa Pangga hampir membabatkan pedangnya ke tubuh wanita itu, namun
beberapa kali pula wanita itu bisa menghindarinya. Dan Dipa Pangga seperti
tidak ingin memberi kesempatan si Kembang Karang Hawu untuk balas menyerang.
Dia terus mencecar lewat jurus-jurusnya yang cepat dan dahsyat. Setiap serangan
yang dilancarkan Dipa Pangga mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup
tinggi.
"Hiyaaa...!"
tiba-tiba saja si Kembang Karang Hawu berteriak keras.
Seketika
itu juga tubuhnya melenting ke udara ketika Dipa Pangga membabatkan pedangnya
ke arah kaki. Secepat itu pula, wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup
cadar, meluruk deras sambil melontarkan satu pukulan menggeledek bertenaga
dalam tinggi ke arah kepala Dipa Pangga.
"Uts...!"
Cepat-cepat Dipa Pangga menarik dirinya ke belakang beberapa tindak mengegoskan
kepalanya, menghindari serangan balasan itu. Pukulan si Kembang Karang Hawu
tidak mengenai sasaran, dan hanya mengenai tanah tempat Dipa Pangga tadi
berdiri.
Seketika
ledakan keras terdengar, bersamaan dengan terbongkamya tanah yang terkena
pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi. Dipa Pangga sampai terlompat mundur.
Dan belum juga lenyap keterkejutan pemuda itu, si Kembang Karang Hawu sudah
cepat melancarkan serangan kembali.
"Hiyaaa...
!" Serangan yang dilancarkan wanita berbaju hitam itu sungguh cepat luar
biasa, dan beruntun tanpa henti. Sehingga, Dipa Pangga menjadi kewalahan
menghindarinya. Hingga suatu ketika, di saat Dipa Pangga baru saja menghindari
tendangan yang mengarah ke pinggangnya, mendadak saja...
Bughk!
"Akh...
!"
ENAM
Dipa
Pangga menjerit keras ketika tiba-tiba saja satu pukulan keras bertenaga dalam
tinggi mendarat di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke
belakang, menghantam sebongkah batu yang cukup besar.
"Hoeeek...!"
Dipa Pangga memuntahkan darah kental ketika mencoba bangkit berdiri. Dia tidak
tahu lagi, ke mana pedangnya tadi terpental ketika mendapat satu pukulan keras
di dadanya. Dan baru saja bisa bangkit berdiri, mendadak terasa ada benda
dingin yang tipis menempel di lehernya. Dipa Pangga tersentak kaget, karena si
Kembang Karang Hawu sudah menempel-kan ujung pedang ke lehemya. Lebih terkejut
lagi, karena pedang yang digunakan wanita bercadar itu ternyata miliknya
sendiri.
"Hhh!
Hanya sampai di sinikah kemampuan calon raja...?" ejek si Kembang Karang
Hawu sinis.
"Kau
punya kesempatan untuk membunuhku, Iblis!" desis Dipa Pangga seraya
menahan rasa nyeri di dadanya.
"Terlalu
enak kalau mati begitu saja, Dipa Pangga. Kau harus bisa merasakan pedihnya
penderitaan yang pernah kualami," dingin sekali nada suara wanita bercadar
hijau itu.
"Aku
tidak pernah menyakiti orang. Terlebih lagi untuk mengenal dirimu! Kenapa kau ingin
membuatku menderita...?" masih terdengar ketus nada suara Dipa Pangga.
"Sayang
sekali, ayahmu keburu mati. Jadi kau yang harus menggantikannya, Dipa
Pangga," desis si Kembang Karang Hawu itu lagi, semakin dingin nada
suaranya.
"Apa
yang telah dilakukan mendiang Ayahanda Prabu padamu?" tanya Dipa Pangga
ingin tahu.
"Kau
memang perlu tahu, Dipa Pangga. Karena sebentar lagi kau akan merasakan
bagaimana tersiksanya dalam penderitaan, terhina, dan malu yang tak akan hilang
seumur hidup...," kali ini nada suara wanita itu agak tertekan.
"Aku
akan menerima lapang dada, jika memang ayahku bersalah," tegas Dipa
Pangga.
"Suka
atau tidak suka, kau memang harus menerima, Dipa Pangga."
"Katakan,
apa yang telah dilakukan ayahku. Maka, kau bisa melakukan apa saja
padaku," desak Dipa Pangga.
Si
Kembang Karang Hawu melangkah mundur dua tindak. Pelahan pedang yang tadi
menempel di leher Dipa Pangga diturunkan. Kemudian pedang itu dilemparkan ke
depan kaki pemuda itu. Namun, Dipa Pangga mendepak jauh pedang yang tergeletak
di depan kakinya.
Perbuatan
Dipa Pangga ini, membuat sepasang bola mata yang indah itu menyipit.
Dipandanginya Dipa Pangga yang tengah membuka baju, kemudian melemparkannya
begitu saja. Tampak pada pinggang pemuda itu berbaris pisau kecil yang berjumlah
lebih dari lima puluh buah. Pemuda itu melepaskan wadah pisau yang terbuat dari
kulit, lalu melemparkannya jauh-jauh. Kemudian, diambilnya lagi dari kaki kanan
dan kirinya pisau-pisau yang masing-masing berjumlah sepuluh buah.
Dipa
Pangga kemudian melepaskan sabuknya yang terbuat dari kulit bermanik-manik batu
permata. Dari sabuknya dikeluarkannya benda-benda bulat kecil sebesar biji
kacang kedelal yang berwarna merah. Semua benda-benda yang menjadi senjata
rahasia yang melekat di tubuhnya, dibuangnya untuk meyakinkan wanita itu kalau
dirinya akan menerima akibat dari perbuatan mendiang ayahnya. "Kenapa kau
lakukan semua itu, Dipa Pangga?" tanya si Kembang Karang Hawu tidak bisa
menahan keheranannya atas sikap Dipa Pangga yang nampanya siap menerima pembalasan.
"Agar
kau lebih mudah untuk menyiksaku," sahut Dipa Pangga kalem.
Wanita
bercadar hijau itu jadi terpaku. Sungguh tidak disangka kalau Dipa Pangga akan
berbuat seperti itu. Rela menerima segala akibat yang dilakukan mendiang
ayahnya. Dan sekarang, pemuda itu benar-benar polos, tak memiliki senjata apa
pun juga.
"Setan
kau, Dipa Pangga...," desis si Kembang Karang Hawu.
"Nah!
Sekarang aku sudah tidak bersenjata lagi. Lakukan apa saja sesukamu, agar
dendammu terbalaskan," kata Dipa Pangga kalem.
Wanita
bercadar hijau itu tidak menanggapi, tapi malah memandangi Dipa Pangga dengan
sinar mata yang sukar untuk diartikan. Sepertinya sikapnya ragu-ragu untuk
melakukan sesuatu pada pemuda yang rela mengorbankan diri demi baktinya pada
orang tua.
"Huh...!"
si Kembang Karang Hawu mendengus berat. Mendadak saja tubuhnya melesat cepat.
Dan dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi.
Dipa Pangga masih berdiri tegak dengan tubuh tanpa baju lagi. Matanya tak
berkedip memandangi arah kepergian wanita bercadar yang pergi begitu saja
melihat kerelaan Dipa Pangga mengorbankan dirinya.
Dipa
Pangga memutar tubuhnya ketika telinganya mendengar tepukan tangan satu-satu
dari arah belakang. Tampak di depannya kini sudah berdiri Pendekar Rajawah
Sakti dan si Kipas Maut. Pemuda berbaju rompi putih itu masih bertepuk tangan
sambil mengulas senyuman lebar.
"Rupanya
kau ada di sini sejak tadi, Rangga," desis Dipa Pangga seraya memungut
kembali baju dan senjata-senjatanya, kemudian mengenakan pelahanlahan.
"Maaf.
Kami telah mencuri dengar semua yang terjadi," ucap Rangga seraya
melangkah mendekat.
"Sebenarnya
tadi kami ingin keluar, tapi tidak jadi," sambung Pandan Wangi ikut
mendekati Dipa Pangga.
"Wanita
itu yang membuatmu terkapar tempo hari, Raden?" tanya Rangga yang sudah
mengetahui kalau pemuda di depannya ini adalah Raden Dipa Pangga, pewaris
tunggal tahta Kerajaan Randukara ini.
"Benar.
Tapi aku agak heran, karena dia tidak membunuhku," sahut Dipa Pangga.
"Rangga, sebaiknya jangan panggil aku dengan sebutan raden."
"Kenapa?"
tanya Pandan Wangi ingin tahu.
"Di
istana, kau boleh memanggilku begitu. Tapi di sini, aku orang biasa yang sama
seperti lainnya," sahut Dipa Pangga.
Pandan
Wangi tertawa seraya melirik Rangga yang berdiri di sampingnya. "Sama dong
seperti...," ucapan Pandan Wangi terputus begitu mata Rangga mendelik
padanya.
"Dengan
siapa?" tanya Raden Dipa Pangga ingin tahu.
"Yaaah...,
dengan raden dari kerajaan lain," sahut Pandan Wangi seraya mengangkat
bahunya sedikit.
Hampir
saja Pandan Wangi keterlepasan bicara, membuka penyamaran Pendekar Rajawali
Sakti. Pendekar muda itu sebenarnya juga seorang raja di Kerajaan Karang Setra.
Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak pernah menggunakan kedudukannya jika sedang
mengembara seperti ini. Bahkan tidak suka jika ada yang memanggilnya dengan
sebutan Gusti Prabu di luar istana. Rangga lebih senang jika dipanggil dengan
namanya saja.
Sikap
yang dimiliki Raden Dipa Pangga sama persis dengan Pendekar Rajawali Sakti,
yang tidak ingin menonjolkan diri dengan memanfaatkan kedudukan tinggi. Hal ini
membuat Rangga dan Pandan Wangi jadi bersimpati. Terlebih lagi Pendekar
Rajawali Sakti. Pendekar itu memang menyukai kesederhanaan serta menyadari
kalau semua manusia di bumi ini adalah sama. Hanya pangkat dan kedudukan saja
yang membedakannya.
***
Malam
ini udara terasa begitu dingin. Dan dinginnya udara, sama sekali tak dihiraukan
Rangga dan Pandan Wangi yang tidak lepas mengamati bagian dalam kamar Prabu
Sarajingga dari tempat tersembunyi. Mereka bisa berada di lingkungan istana ini
berkat bantuan Dipa Pangga melalui jalan rahasia.
Raden
Dipa Pangga sudah menceritakan tentang maksud Prabu Sarajingga yang tidak
bersedia turun tahta dan menyerahkannya pada ahli waris yang sah. Hal ini
diketahuinya dari penuturan Rara Ayu Ningrum. Dari penuturan Dipa Pangga,
Rangga akhirnya mengambil satu keputusan untuk mengamati Prabu Sarajingga.
"Sudah
waktunya kau mengamati Rara Ayu Ningrum, Pandan," bisik Rangga.
"Aku
lupa kamarnya, Kakang," sahut Pandan Wangi juga berbisik.
"Tidak
jauh dari kamar Raden Dipa Pangga," Rangga mengingatkan.
"Sebelah
mana?"
"Pokoknya
di depan jendelanya ada pohon kemuning. Itulah kamar Rara Ayu Ningrum."
"Oh,
iya. Aku ingat sekarang. "
"Sudah
sana, cepat. "
"lya,
sabar ah.... "
Rangga
mendengus saja melihat sikap Pandan Wangi yang seenaknya. Dan sebelum Pendekar
Rajawali Sakti menyuruh kedua kali, Pandan Wangi sudah melesat cepat menuju
kamar Rara Ayu Ningrum. Mereka memang sudah diberitahu tentang keadaan dan
letak setiap bagian dari istana ini oleh Raden Dipa Pangga. Sehingga rasanya
tidak sulit bagi Rangga untuk mengamati keadaan istana ini. Terutama sekali,
dia harus mengamati segala tindakan Prabu Sarajingga.
Pendekar
Rajawali Sakti menduga kalau antara Prabu Sarajingga dengan si Kembang Karang
Hawu ada hubungan erat. Bahkan diduga, si Kembang Karang Hawu itu sebenarnya
adalah Rara Ayu Ningrum. Hanya saja belum bisa dipastikan, maksud dari semua
ini.
Sementara
malam terus merambat semakin larut. Tampak di dalam kamar yang kelihatan besar
dan terang benderang itu, Prabu Sarajingga tengah berbicara bersama seorang
perempuan tua yang mengenakan baju warna putih. Di lengan kanannya terlilit
seekor ular belang benuama hitam dan kuning bergaris-garis.
"Hm...,
siapa perempuan tua itu...?" gumam Rangga bertanya sendiri di dalam hati.
"Akan kugunakan ilmu 'Pembeda Gerak dan Suara'."
Pendekar
Rajawali Sakti langsung menarik napas dalam-dalam dan menahannya beberapa saat,
kemudian merapalkan ajiannya. Perlahan kemudian napasnya dihembuskan
dalam-dalam. Kemudian pendengarannya mulai terasa lebih terang. Dan kini
Pendekar Rajawali Sakti mengarahkan pendengarannya pada kamar yang sedang
diamati, sehingga bisa mendengar semua pembicaraan itu dengan jelas sekali.
"Hm...,
jadi si Malaikat Jari Delapan ada di sini...?" suara Prabu Sarajingga
seperti bergumam, bertanya pada dirinya sendiri.
"Itulah
yang tidak kumengerti, Sarajingga."
"Kau
melihat ada tindakan yang mencurigakan, Nyai Setan Putih?" tanya Prabu
Sarajingga lagi.
Perempuan
tua berbaju putih itu hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan Prabu
Sarajingga. Perlahan-lahan kepalanya menggeleng. Prabu Sarajingga bangkit dari
duduknya, kemudian berjalan ke jendela. Laki-laki berusia sekitar empat puluh
lima tahun itu berdiri di depan jendela, memandang bulan yang, menggantung di
langit. Sedangkan perempuan tua berbaju putih yang memang ternyata si Setan
Putih, masih tetap duduk di kursinya.
"Sebaiknya
lupakan saja si Malaikat Jari Delapan itu. Bagiku dia bukanlah halangan yang
berarti," tegas Prabu Sarajingga seraya memutar tubuhnya membelakangi
jendela yang terbuka lebar.
"Dia
sudah tahu tentang...."
"Ya,
aku tahu," potong Prabu Sarajingga.
Setan
Putih kembali terdiam.
"Ada
persoalan yang lebih penting lagi, Nyai Setan Putih," kata Prabu
Sarajingga. "
"Tentang
apa?"
"Dua
orang pendekar yang tidak bisa dianggap enteng."
"Siapa?"
"Pendekar
Rajawali Sakti dan si Kipas Maut."
"Siapa...?!"
Setan Putih terperanjat mendengar nama Pendekar Rajawali Sakti disebut.
"lni
yang membuatku jadi tidak tenang, Nyai Setan Putih. Masalahnya, Dipa Pangga
sudah begitu dekat dengan mereka," jelas Prabu Sarajingga lagi.
"Hm...,
untuk apa dia ada di sini?" tanya Setan Putih setengah bergumam,
sepertinya pertanyaan itu untuk dirinya sendiri.
"Sampai
saat ini aku belum tahu, Nyai. Aku sudah berusaha mencari tahu, tapi seorang
panglima kepercayaanku malah tewas di tangannya. "
"Dan
kau hanya diam saja?"
"Aku
sudah berusaha, tapi pendekar itu malah menghilang. "
"Maksudmu?"
Setan Putih tidak mengerti.
"Aku
sudah menyebar prajurit dan telik sandi. Bahkan seluruh pelosok kota dijaga
ketat. Tapi, Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut tidak terlihat
lagi," Prabu Sarajingga menjelaskan dengan nada cemas.
"Mungkin
mereka sudah pergi, Sarajingga," ujar Setan Putih mencoba menenangkan
Prabu Sarajingga.
"Tidak,
Nyai. Aku merasa kalau Pendekar Rajawali Sakti masih berada di sini. Aku yakin,
kau juga sering mendengar sepak terjangnya. Dia tidak akan pergi begitu saja,
terlebih lagi setelah menewaskan seorang panglimaku. Dan ini akan membuatnya
jadi penasaran dan ingin tahu. Itu yang menjadikan beban pikiranku saat
ini," lagi-lagi nada suara Prabu Sarajingga terdengar mengeluh.
"Lalu,
apa yang harus kulakukan?" tanya Setan Putih.
"Cari
dan temukan dia. Kalau perlu, bunuh...! Pendekar Rajawali Sakti bisa menjadi
ancaman yang serius," tegas sekali perintah Prabu Sarajingga.
"Hm...,
kenapa tidak kau perintahkan saja para panglima dan jago-jagomu?"
"Jangan
berpikir edan, Nyai...! Aku belum akan menarik perhatian. Dia bisa bertambah
gila jika para panglima dan jago-jagoku bertindak."
"Lalu,
kenapa harus aku?"
"Jika
kau yang melakukannya, dia tidak akan menaruh perhatian pada istana ini.
Terutama padaku," sahut Prabu Sarajingga.
"Seharusnya
tugas ini kau serahkan pada si Kembang Karang Hawu, Sarajingga. Di sana kau
sisipkan jago-jagomu. Dengan demikian, perhatiannya akan terpusat pada mereka.
Bukannya pada dirimu," Setan Putih mengajukan saran.
"Ita
juga akan kulakukan, Nyai. Tapi lebih baik kau juga berperan, agar perhatiannya
semakin terpecah belah. Dengan demikian, aku bisa leluasa mengatur segalanya di
istana ini."
Setan
putih terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Dalam had, diakui kalau
rencana Prabu Sarajingga ini memang bisa dikatakan cemerlang.
"Siapa
yang akan menghubungi si Kembang Karang Hawu?" tanya Setan Putih setelah
beberapa saat lamanya terdiam.
"Biar
aku saja. Aku bisa mudah melakukannya," sahut Prabu Sarajingga.
"Baiklah....
Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit Setan Putih seraya beranjak bangkit
berdiri.
"Kau
lewat jalan biasa saja, Nyai."
Setan
Putih tidak menyahuti, tapi tiba-tiba saja melesat cepat bagai kilat menerobos
jendela. Kalau saja Prabu Sarajingga tidak segera memiringkan tubuhnya, pasti
terlanda perempuan tua berbaju putih itu.
"Edan...!"
dengus Prabu Sarajingga.
Prabu
Sarajingga memandang keluar sejenak. Dia tidak lagi bisa melihat bayangan si
Setan Putih yang sudah lenyap cepat sekali. Kemudian jendela kamar itu
ditutupnya. Tak berapa lama kernudian, kamar itu jadi gelap.
Sementara
Rangga yang berada di persembunyiannya masih belum bergerak. Ajiannya segera
ditarik kembali. Suatu ajian yang digunakan untuk men-dengarkan percakapan di
dalam kamar itu tadi.
"Setan
Putih...," desis Rangga pelahan.
Begitu
pelannya, sehingga suara desisan itu hampir tidak terdengar oleh telinganya
sendiri. Rangga masih berada di tempat persembunyiannya. Pandangannya
berkeliling, mengamati suasana di sekitarnya. Tak seorang prajurit pun terlihat
berkeliaran, kecuali dua orang prajurit bersenjata lembing yang berditi di
samping pintu masuk ke dalam istana itu.
"Aku
yakin kalau Raden Dipa Pangga tidak mengetahui hubungan pamannya itu dengan
seorang tokoh rimba persilatan," kembali Rangga, bergumarn perlahan.
Pendekar
Rajawali Sakti kembali berpikir keras. Rangga mempertimbangkan untuk
memberitahu Raden Dipa Pangga tentang si Setan Putih atau tidak. Namun, dia
segera memutuskan untuk menunda lebih dahulu. Ingin diketahuinya dulu dengan
pasti, tentang hubungan yang terjalin antara Prabu Sarajingga dengan si Setan
Putih. Bahkan juga harus mengetahui lebih dahulu tentang si Kembang Karang
Hawu.
"Sudah
jelas sekarang kalau si Kembang Karang Hawu bekerjasama dengan Prabu
Sarajingga. Tapi...."
Rangga
tidak melanjutkan, karena mendadak saja terlihat sebuah bayangan hijau
berkelebat cepat melompati pagar benteng Istana ini yang disusul oleh sebuah
bayangan lagi. Tak lama kemudian, terlihat sebuah bayangan lagi berkelebat
cepat. Bayangan biru yang berkelebat cepat, mengikuti dua bayangan tadi.
"Pandan
Wangi...," desis Rangga.
Tanpa
berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melompat keluar dari
tempat persembunyiannya. Pemuda berbaju rompi putih itu melesat cepat menuju ke
arah dua bayangan yang dilihatnya tadi. Gerakannya sangat cepat sekali.
Sehingga dalam sekejap mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah lenyap di balik
tembok benteng istana ini.
TUJUH
Slap!
"Heh...?!"
Rangga
tersentak kaget. Ketika baru saja menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja
sebuah bayangan putih berkelebat menyambar ke arahnya. Begitu cepatnya,
sehingga Pendekar Rajawali Sakti tidak sempat berbuat sesuatu untuk menghindar
dari terjangan bayangan putih itu.
Des!
"Ughk...!"
Rangga mengeluh pendek ketika merasakan satu benturan keras di perutnya.
Pendekar Rajawali Sakti terhuyung-huyung ke belakang beberapa tindak. Dan
sebelum sempat mengurangi rasa mual yang mendadak menyerang perutnya, kembali
bayangan putih itu berkelebat cepat ke arahnya.
"Hap...!"
Bergegas Pendekar Rajawali Sakti membanting tubuhnya ke tanah dan bergulingan
beberapa kali, dan secepat itu pula melompat bangkit. Segera tangannya
digerak-gerakkan di depan dada sambil menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya kuat-kuat. Rasa mual di perutnya berangsur berkurang.
Pada
saat itu, bayangan putih tadi sudah kembali meluruk ke arahnya cepat sekali.
Tapi kini Pendekar Rajawali Sakti itu sudah siap menyambutnya. Dan begitu
bayangan putih itu sudah berada di dalam jangkauannya, mendadak Rangga
menghentakkan kedua tangannya ke depan.
"Yeaaah...!"
Des!
Satu benturan keras terjadi. Tampak Rangga kembali terhuyung ke belakang
beberapa langkah. Sedangkan bayangan putih itu terpental balik, lalu berputaran
beberapa kali di udara. Dan sebelum mendarat di tanah, tubuh Rangga sudah
melenting mengejar. Dua pukulan beruntun, dilepaskan disertai pengerahan tenaga
dalam yang tinggi sekali.
"Hiyaaa...!"
Namun mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya sambil menarik
kembali pukulannya yang hampir terlontar. Pemuda berbaju rompi putih itu
memutar tubuhnya dua kali di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah tidak
jauh dari benteng Istana Randukara
"Hik
hik hik...!"
Suara
tawa mengikik terdengar.
"Setan
Putih...," desis Rangga mengenali perempuan tua yang kini berdiri tegak di
hadapannya. Tangan kanan perempuan tua itu menjulur ke depan memegangi ekor
seekor ular belang berwarna kuning dan hitam. Ular itu menegang kaku seperti
sebatang tongkat kayu. Namun lidah yang bercabang menjulur bergetar keluar,
menandakan kalau ular itu masih hidup.
"Huh...!
Untung saja aku cepat melihat," desis Rangga dalam hati. Memang, kalau
saja tadi Pendekar Rajawali Sakti itu tidak menarik serangannya, pasti ular
belang yang pasti beracun itu bakal mematuk tangannya. Rangga menggeser kakinya
ke kanan beberapa tindak.
"Apa
yang kau lakukan di istana ini, Pendekar Rajawali Sakti...?!" sentak Setan
Putih dengan nada suara yang dingin menggetarkan.
"Kau
sendiri, apa yang dilakukan di sini?" Rangga malah balik bertanya.
"Aku
yang bertanya padamu, Bocah!" sentak Setan Putih gusar.
"Aku
juga berhak bertanya," Rangga terus membalikkan.
Setan
Putih menggeram gusar.
"Aku
sering mendengar sepak terjangmu, Setan Putih. Rasanya tidak mungkin kau hanya
sekadar lewat di sini," kata Rangga, agak sinis nada suaranya.
"Itu
bukan urusanmu, Bocah!" bentak Setan Putih semakin berang.
"Tentu
saja jadi urusanku, jika kau berhubungan dengan Prabu Sarajingga,"
terdengar tenang nada suara Rangga.
"Keparat!
Rupanya kau memata-mataiku, heh?!" geram Setan Putih semakin berang.
Rangga mengangkat pundaknya sedikit.
"Kau
harus mampus, Bocah Keparat...!" desis Setan Putih. "Hiyaaat...
!"
Seketika
itu juga Setan Putih melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti dengan
kecepatan bagai kilat. Namun terjangan perempuan tua berbaju putih itu memang
sudah diduga. Sehingga manis sekali, Pendekar Rajawali Sakti mengegoskan
tubuhnya ke samping. Dan memang serangan si Setan Putih tidak sampai mengenai
sasaran.
Namun
perempuan tua itu kembali menyerang dahsyat. Untung Rangga terus berkelit manis
sekali. Pendekar Rajawali Sakti jelas mempergunakan jurus Sembilan Langkah
Ajaib, sehingga sukar bagi si Setan Putih untuk menyarangkan pukulan maupun
tendangannya. Padahal ular belangnya sudah dipergunakan sebagai senjata yang
sangat ganas dan berbahaya.
Jurus
demi jurus berlalu cepat. Dan Rangga sendiri entah sudah menghabiskan berapa
jurus. Namun pertarungannya melawan si Setan Putih masih terus berlangsung
sengit sekali. Kegelapan malam dan dinginnya udara, tidak menghalangi
pertarungan ihi. Mereka bergerak semakin menjauhi tembok benteng Istana
Randukara. Dan ini memang disengaja oleh Pendekar Rajawali Sakti, agar tidak
menarik per-hatian orang.
Hingga
tanpa disadari, mereka sudah berada di tepi sebuah hutan yang cukup lebat dan
menghitam pekat. Karena, cahaya bulan yang mengintip dari balik awan, tidak
kuasa menerangi hutan itu. Pertarungan Itu semakin kelihatan dahsyat.
Tempat-tempat yang dijadikan ajang pertarungan sudah tidak beraturan lagi
bentuknya. Pohon-pohon bertumbangan, dan bebatuan pecah berserakan terkena
pukulan-pukulan bertenaga dalam tinggi yang tidak menemui sasaran.
Wusss!
Sambil
melompat mundur dua langkah, tiba-tiba saja si Setan Putih melemparkan ularnya
ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Lemparannya begitu cepat, sehingga Rangga
tidak sempat lagi menghindar karena jaraknya begitu dekat. Dan dengan cepat
sekali, Pendekar Rajawali Sakti menyatukan telapak tangannya, menangkap ular
belang itu.
Tap!
"Hesss...
!" Ular belang itu mendesis keras dan ekornya menggeliat-geliat. Sementara
kepalanya berada di dalam jepitan tangan Pendekar Rajawall Sakti. Hanya sedikit
saja kepalanya menyembul keluar. Rangga menatap ular itu dalam-dalam.
"Kau
sudah melanggar peraturan Satria Naga Emas, Belang..." desis Rangga.
Ular
belang itu langsung tidak bergerak. Tampak sinar matanya seketika meredup
mendengar suara Pendekar Rajawali Sakti yang mendesis bagai suara ular. Saat
itu, Rangga memang menggunakan ilmu yang diberikan Satria Naga Emas. Suatu ilmu
yang sangat langka, karena bisa berbicara dengan jenis ular yang hidup di bumi
ini.
"Pergi
kau! Mohon ampun pada rajamu!" sentak Rangga seraya melemparkan ular itu
ke tanah.
Ular
belang hitam kuning itu menggeliat sedikit begitu berada di atas tanah, lalu
mendesis seraya mengangkat kepalanya. Sedangkan Rangga menatapnya dengan tajam.
Perlahan kemudian, ular belang Itu merayap pergi.
"Keparat...!"
geram Setan Putih yang menyaksikan ular kebanggaannya tidak mampu berbuat
sesuatu pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Dia
ingin kebebasan, Setan Putih," ujar Rangga seraya tersenyum sinis.
"Belang,
kembali...!" bentak Setan Putih.
Tapi
ular belang itu hanya menoleh sedikit pada si Setan Putih, kemudian terus
merayap masuk ke dalam semak. Melihat kenyataan ini, si Setan Putih semakin
marah saja. Belum pernah didapatkan lawan seperti Pendekar Rajawali Sakti,
sehingga ular kebanggaannya tidak lagi mau menuruti perintahnya. Bahkan
meninggalkannya begitu saja.
"Keparat
kau, Pendekar Rajawali Sakti...," geram Setan PutIh mendesis sambil
menahan kemarahan yang meluap. Setan Putih langsung menggerakkan tangannya di
depan dada. Kaki kanannya ditarik ke samping, lalu membuat putaran dengan kaki
kanannya. Dari bibirnya yang keriput. Tampak kedua bola matanya memancarkan
sinar merah, kemudian pelahan-lahan seluruh tubuhnya mengeluarkan cahaya merah
menyala bagai terbakar.
"Hm...!"
Rangga menggumam kecil. Pendekar Rajawali Sakti itu tahu kalau si Setan Putih
sudah bersiap mengerahkan aji kesaktiannya. Melihat seluruh tubuh perempuan tua
itu sudah memancarkan sinar merah, Rangga tidak ingin bermain-main dan
menganggapnya enteng.
"Hep...!"
Pendekar
Rajawali Sakti segera mengerahkan ilmu kesaktian juga. Dia tidak lagi
tanggung-tanggung saat merasakan adanya udara panas yang menyelimuti seluruh
udara. lni pasti akibat dari aji kesaktian yang dikerahkan si Setan Putih.
Sementara Rangga, tengah mempersiapkan aji 'Cakra Buana Sukma', yang telah
dikuasai Pendekar Rajawali Sakti itu dengan sempurna. Sehingga Pendekar
Rajawali Sakti tidak lagi memerlukan pedang pusakanya untuk mengerahkan ajian
itu.
"Sekarang
kau pasti mampus, Bocah!" dengus Setan Putih. Setelah berkata demikian,
Setan Putih langsung melesat cepat menerjang Pendekar Rajawali Sakti.
Pada
saat yang sama, pemuda berbaju rompi putih itu menghentakkan kedua tangan yang
berselimut cahaya biru ke depan. "Aji 'Cakra Buana Sukma'...!
Yeaaah...!" teriak Rangga keras menggelegar.
Satu
benturan keras terjadi antara dua pasang telapak tangan yang terbuka lebar.
Benturan itu menimbulkan ledakan keras menggelegar dahsyat. Tampak tubuh si
Setan Putih terpental balik ke belakang, sehingga dirinya tidak bisa dikendalikan.
Tubuhnya meluruk deras, menghantam beberapa pohon hingga bertumbangan.
Sementara
Rangga juga sempat terlempar ke belakang, dan jatuh bergulingan beberapa kali.
Namun Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat bangkit berdiri. Pada saat yang
sama Setan Putih juga sudah berdiri, meskipun limbung. Dari sudut bibimya
mengucurkan darah kental agak kehitaman.
"Hm....
Ilmu yang dimiliki perempuan tua ini pasti memiliki watak yang' sama dengan aji
'Cakra Buana Sukma'," gumam Rangga dalam hati.
Aji
'Cakra Buana Sukma' memang tidak akan bisa menyerap kekuatan tenaga lawan, jika
lawannya menggunakan ilmu dengan sifat yang sama. Itulah kelemahan dari aji
'Cakra Buana Sukma' yang belum bisa ditutupi Pendekar Rajawall Sakti. Dengan
ilmu yang berwatak sama, jelas akan merugikan diri sendiri jika terus
dipergunakan. Dan Rangga sangat menyadari betul hal itu. Maka segera
dipersiapkan ajian lainnya, begitu melihat si Setan Putih kembali mempersiapkan
ajian yang serupa. Namun Rangga bisa memastikan kalau tingkatannya tentu lebih
tinggi lagi.
"Hm....
Akan kucoba aji Batara Naga" gumam Rangga dalam hati.
Pendekar
Rajawali Sakti segera merapatkan kedua tangannya di depan perut, dan tangan
kirinya berada di bawah telapak tangan kanannya. Sebentar napasnya ditarik
dalam-dalam, kemudian dirapalkannya aji 'Batara Naga'. Satu aji kesaktian yang
diperolehnya dari Satria Naga Emas. Dan belum pernah digunakan dalam
pertempuran (Untuk mengetahui asal-usulnya, silakan simak serial Pendekar
Rajawali Sakti dalam kisah "Asmara Maut)
Pelahan-lahan
namun pasti, telapak tangan Rangga yang menyatu rapat di depan perut, memancarkan
sinar kuning keemasan. Sinar itu semakin jelas terlihat, di antara sela-sela
jari tangan dan lipatan telapak tangan yang menyatu rapat.
"Hiyaaa...!"
tiba-tiba saja si Setan Putih berteriak keras.
Dan
seketika itu juga, perempuan tua berbaju putih itu melompat cepat. Sementara
kedua tangannya terbuka, terentang lurus ke depan. Tepat ketika si Setan Putih
berada di udara, Rangga cepat menghentakkan tangannya, mendorong ke arah
perempuan tua itu.
"Yeaaah...!"
seru Rangga keras menggelegar. Tampak seberkas cahaya kuning keemasan yang
berbentuk bulat pipih meluncur deras dari kedua telapak tangan yang seketika
terbuka begitu dihentakkan kuat-kuat. Sinar kuning keemasan itu meluncur deras
menghantam si Setan Putih yang saat itu tengah meluncur di udara deras sekali.
Glarrr!
Satu ledakan keras terdengar dahsyat sekali, begitu sinar kuning keemasan
menghantam tubuh si Setan Putih.
"Aaa...!"
terdengar suara jeritan panjang melengking tinggi. Tampak tubuh si Setan Putih
terpental balik, langsung jatuh keras menghantam tanah. Perempuan tua itu
mengerang dan menggelepar di tanah. Seluruh tubuhnya mengepulkan asap tipis.
Tak berapa lama kemudian, tubuh perempuan tua itu tidak bergerak-gerak lagi.
"Oh...,"
Rangga mengeluh panjang tatkala melihat keadaan tubuh si Setan Putih.
Seluruh
tubuh perempuan tua itu membengkak, sehingga membentuk benjolan-benjolan
sebesar telur ayam. Benjolan-benjolan itu kemudian pecah, menyemburkan cairan
merah bercampur kuning kehijauan. Pelahan-lahan kemudian, seluruh tubuh
perempuan tua itu mencair, dan akhirnya tinggal seonggok tulang saja yang
tergeletak di atas genangan daging yang mencair bercampur darah.
Sementara
itu, Rangga bergerak mundur beberapa langkah. Sedangkan matanya tidak berkedip
memandangi tubuh si Setan Putih yang kini tinggal tulang belulang saja. Sungguh
dahsyat aji Batara Naga yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga
sendiri tidak menyangka kalau akan seperti itu akibatnya pada manusia. Sangat
dahsyat dan mengerikan hasilnya.
"Maaf,
Nyai. Aku terpaksa membunuhmu," ucap Rangga pelan.
Pendekar
Rajawali Sakti memandangi onggokan tulang si Setan Putih. Kemudian tubuhnya
berbalik dan melangkah pergi. Namun baru beberapa langkah berjalan, ayunan
kakinya terhenti. Beberapa saat Pendekar Rajawali Sakti itu tercenung dengan
kening sedikit berkerut.
"Aku
seperti mendengar suara pertarungan...," desis Rangga pelan.
Pendekar
Rajawali Sakti memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Kemudian
pandangannya lurus tertuju ke arah kanan. Kembali keningnya berkerut dan
matanya agak menyipit. Di sebelah kanannya terdapat sebuah gunung yang
menjulang angkuh menghitam pekat.
"Pandan
Wangi...!" sentak Rangga agak mendesis. Pendekar Rajawali Sakti langsung
teringat pada Pandan Wangi begitu mengetahui gunung itu adalah Gunung Karang
Hawu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melesat ke arah gunung
itu. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang di miliki. Sehingga, dalam
sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi.
***
DELAPAN
Sementara
itu di Lereng Gunung Karang Hawu sebelah Timur, tengah terjadi pertarungan
sengit antara Pandan Wangi melawan seorang wanita berbaju hijau yang wajahnya
tertutup cadar tipis berwarna hijau pula. Rupanya pertarungan itu sudah
mencapai taraf tinggi. Ini bisa dilihat dari jurus-jurus yang digunakan.
Tak
jauh dari arena pertarungan itu, terlihat sesosok tubuh berbaju putih
tergeletak di tanah. Dari sudut bibirnya mengalir darah segar. Kelopak matanya
terpejam. Gerakan halus pada dadanya menandakan kalau laki-laki berusia muda
itu masih hidup.
"Pandan,
awas...!" Tiba-tiba terdengar seruan keras, tepat ketika ujung selendang
kuning wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar menyambar ke arah dada
Pandan Wangi. Mendengar seruan keras dan tiba-tiba itu, Pandan Wangi
cepat-cepat mengebutkan kipasnya yang terbuka ke depan dada.
Plas!
"Ikh...!"
Pandan Wangi tersentak. Bergegas gadis itu melompat mundur dua tindak. Dari
sudut ekor matanya, sempat terlihat kalau Rangga sudah berada di tempat ini.
Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat, dan tahu-tahu sudah berdiri di samping
Pandan Wangi.
"Kau
periksa Raden Dipa Pangga saja, Kakang. Kelihatannya dia terluka cukup
parah," kata Pandan Wangi dengan napas agak tersengal.
"Bagaimana
dia bisa berada di sini?" tanya Rangga.
"Dia
bertarung lebih dulu. Aku terlambat datang," sahut Pandan Wangi cepat.
Rangga
berpaling menatap Dipa Pangga yang tergeletak di tanah, kemudian beralih pada
wanita berbaju hijau yang mengenakan cadar. Selembar selendang berwarna kuning,
tergenggam di tangannya.
"Hati-hatilah,"
ujar Rangga.
Pandan
Wangi hanya tersenyum saja, kemudian melangkah mendekati wanita berbaju serba
hijau itu. Si Kipas Maut menyadari kalau tenaga dalam yang dimilikinya berada
di bawah satu tingkat dibandingkan dengan wanita berbaju hijau yang dikenal
berjuluk Kembang Karang Hawu. Tapi hatinya tidak gentar sama sekali, meskipun
sudah merasakan akibat dari benturan senjata yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi.
Sementara
itu Rangga sudah menghampiri Dipa Pangga yang tergeletak tak berdaya di tanah.
Pendekar Rajawali Sakti memeriksa keadaan Dipa Pangga, kemudian membawanya ke
tempat yang lebih teduh di bawah pohon berdaun rindang. Pada saat itu, Pandan
Wangi sudah kembali terlibat dalam pertarungan sengit melawan si Kembang Karang
Hawu. Kali ini Pandan Wangi mengeluarkan Pedang Naga Geni yang diperolehnya di
Bukit Setan. Karena, pedang pusaka inilah dia bisa bertemu Pendekar Rajawali
Sakti yang sekarang menjadi kekasihnya.
Dengan
Pedang Naga Geni, Pandan Wangi kelihatan semakin dahsyat saja jurus-jurusnya.
Dan pada jurus-jurus permulaan, tampak kalau si Kembang Karang Hawu agak
kewalahan juga membendung serangan-serangan yang dilancarkan si Kipas Maut.
Namun setelah lewat sepuluh jurus, wanita berbaju hijau itu mulai bisa meredam
setiap serangan yang dilancarkan Pandan Wangi.
"Hiyaaat...!"
tiba-tiba saja si Kembang Karang Hawu berteriak keras menggelegar.
Pada
saat itu tubuhnya melenting ke udara, lalu cepat sekali selendang kuningnya
dikebutkan ke arah kepala si Kipas Maut. Serangan yang dilancarkan wanita itu
demikian cepat sekali, sehingga Pandan Wangi tidak memiliki kesempatan lagi
untuk menghindar.
"Yeaaah...!"
Tak ada pilihan lain lagi bagi Pandan Wangi. Cepat-cepat pedangnya dikibaskan
menyampok ujung selendang kuning yang meluruk deras mengancam kepalanya.
Rrrt...
!
"Heh...?!"
Pandan Wangi terkejut bukan main. Ternyata mendadak saja selendang 'kuning itu
meliuk, dan langsung membelit pedangnya kuat-kuat. Dan sebelum gadis itu bisa
menyadari apa yang terjadi, mendadak merasakan ada satu sentakan kuat.
"Akh...!"
Pandan Wangi terpekik. Buru-buru pegangannya pada pedang itu dilepaskan. Kalau
tidak, bukannya tidak mungkin tangannya juga ikut terbetot buntung. Pedang Naga
Geni yang berwarna merah itu melayang ke udara terbelit ujung selendang kuning
Kembang, Karang Hawu.
"Hiyaaa...
Sebelum Pandan Wangi bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja si Kembang
Karang Hawu sudah meluruk deras ke arah si Kipas Maut. Dua pukulan dan satu
tendangan dilontarkan cepat, mengandung tenaga dalam tinggi.
Des!
Bughk!
"Akh..."
lagi-lagi Pandan Wangi memekik keras.
Satu
pukulan dan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan si
Kembang Karang Hawu tidak bisa dihindari lagi. Pandan Wangi terpental jauh ke
belakang, lalu keras sekali tubuhnya terbanting ke tanah. Tubuhnya bergulingan
beberapa kali, dan baru berhenti setelah menghantam sebongkah batu yang cukup
besar.
"Pandan...!"
pekik Rangga terkejut melihat Pandan Wangi tergeletak dengan darah mengalir
dari bibirnya.
Rangga
yang tengah berusaha menolong Raden Dipa Pangga, segera melesat ke arah Pandan
Wangi. Matanya berputar seakan-akan tidak percaya melihat gadis itu tergeletak
tak bergerak sedikit pun. Tampak pada dadanya tergambar telapak tangan hitam
yang menghanguskan bajunya.
"Keparat..!"
geram Rangga marah. Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Wajahnya memerah
dan matanya berkilatan tajam menahan kemarahan yang meluap. Gerahamnya
bergemeletuk menahan kemarahan yang meluap-luap. Sebentar matanya melirik
Pandan Wangi yang tergeletak di dekat batu.
"Perempuan
iblis...! Kubunuh kau!" geram Rangga. "Hiyaaat...!"
Seketika
itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melesat cepat bagaikan kilat menerjang si
Kembang Karang Hawu. Dua kali pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna dilontarkan. Serangan Pendekar Rajawali Sakti yang begitu cepat,
membuat wanita berbaju hijau yang wajahnya tertutup cadar hijau itu jadi
terperangah. Namun dia cepat melompat ke samping, sehingga dua pukulan yang
dilepaskan Rangga hanya menghantam sebatang pohon yang tadi berada di belakang
si Kembang Karang Hawu.
Glarrr...!
Ledakan keras terjadi seketika bersamaan dengan hancurnya pohon yang cukup
besar itu.
"Gila...!"
si Kembang Karang Hawu tersentak kaget.
Pukulan
yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti memang luar biasa sekali. Memang,
tenaga yang dimilikinya sudah mencapai pada tingkatan yang sempurna. Sehingga,
pohon besar itu hancur berkeping-keping terkena pukulannya yang keras dan
dahsyat. Si Kembang Karang Hawu terkesiap juga melihat kedahsyatan pukulan
lawannya itu. Namun dia tidak mungkin lagi menghindari bentrokan ini, karena
Rangga sudah kembali menyerang cepat dan dahsyat.
"Hiya!
Hiyaaa...!"
"Ufs...!"
Beberapa kali Rangga melontarkan pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna. Dan beberapa kali pula, pukulannya hampir mengenai sasaran. Namun si
Kembang Karang Hawu, lincah sekali masih bisa menghindar, meskipun jadi
kewalahan juga menghadapi serangan gencar yang datang bertubi-tubi itu.
Pertarungan
berlangsung dahsyat sekali. Beberapa kali terdengar ledakan keras menggelegar,
setiap kali pukulan Rangga menghantam batu atau pepohonan. Sebentar saja,
tempat di sekitar pertarungan sudah tidak karuan lagi bentuknya. Pepohonan dan
bebatuan berhamburan, pecah berantakan ke mana-mana. Tanah terbongkar
berhamburan menimbulkan kepulan debu yang bercampur asap dan kabut, sehingga
menambah pengapnya udara malam ini. Namun pertarungan itu terus berlangsung
semakin sengit saja.
Jurus
demi jurus berlalu cepat. Sementara beberapa kali si Kembang Karang Hawu mampu
memberi serangan balasan. Namun setiap kali melancarkan serangan, selalu dapat
dimentahkan dengan mudah oleh Pendekar Rajawali Sakti. Meskipun wanita bercadar
hijau itu sudah mempergunakan selendang saktinya, tetap saja tidak mampu
membendung serangan Rangga yang tengah diliputi kemarahan itu. Selendang
saktinya seperti tidak memiliki arti sama sekali terhadap Pendekar Rajawali
Sakti.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Rangga berseru keras. Maka seketika itu juga tubuhnya melenting
ke udara, lalu secepat kilat meluruk deras dengan kedua kakinya bergerak lincah
mengarah ke kepala si Kembang Karang Hawu.
"Edan...!
Hih...!" Si Kembang Karang Hawu jadi kelabakan menghindari serangan kedua
kaki Pendekar Rajawali Sakti yang gencar. Bahkan tubuh Rangga berputaran cepat
yang ditingkahi kibasan tangan yang merentang lebar ke samping. Saat itu,
Rangga memadukan dua jurus sekaligus dalam serangannya. Jurus Sayap Rajawali
Membelah Mega dan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa.
"Yeaaah...!"
Menghadapi dua gabungan jurus maut itu, si Kembang Karang Hawu tak bisa lagi
berbuat banyak. Maka dengan cepat sekali tubuhnya melompat ke belakang sambil
melontarkan selendang ke arah dada Rangga yang berada di udara.
Wusss!
"Yeaaah...
!"
Bet!
Cepat
sekali Rangga mengibaskan tangannya sambil memutar tubuh bagai gasing.
Sementara tangan yang merentang kaku itu langsung menebas selendang kuning yang
meluncur deras ke arahnya. Tangan yang lebih mirip pedang itu, membabat buntung
selendang kuning kebanggaan Kembang Karang Hawu itu.
"Heh...!"
si Kembang Karang Hawu terperanjat melihat selendangnya buntung. Dan sebelum
wanita bercadar itu bisa menguasai keterkejutannya, mendadak saja Rangga sudah
meluruk deras sambil mencabut senjatanya. Seketika itu juga cahaya biru
menyilaukan memancar terang begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangka.
"Hiyaaa...
!"
Bet!
Wut!
Si
Kembang Karang Hawu jadi kelabakan menghindari serangan Pendekar Rajawali
Sakti. Beberapa kali kebutan pedang bercahaya biru itu hampir membelah
tubuhnya, namun wanita bercadar hijau itu masih bisa menghindar. Kali ini
Rangga mengerahkan jurus 'Pedang Pemecah Sukma'. Satu jurus andalan yang sangat
dahsyat dan jarang sekali dikeluarkan jika tidak perlu sekali. Tapi kini
Pendekar Rajawali Sakti ingin cepat menyelesaikan pertarungan, disertai luapan
amarah yang menggelegak dalam dada.
"Uh...!"
si Kembang Karang Hawu mulai merasakan akibat dari jurus yang dilancarkan
Pendekar Rajawali Sakti. Jiwanya mulai tercabik, dan perhatiannya terpecah.
Gerakan-gerakannya jadi tidak beraturan lagi. Semakin berusaha untuk
memantapkan diri, semakin sukar jiwa dan perhatiannya dikendalikan. Pelahan
namun pasti, si Kembang Karang Hawu mulai merasakan kepalanya pening dan
matanya mengabur. Dia seperti melihat Pendekar Rajawali Sakti terpecah menjadi
dua..., tiga, bahkan terus bertambah. Seakan-akan dirinya sudah dikelilingi
pemuda berbaju rompi putih itu.
"Hiyaaa...
!" mendadak saja Rangga berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga
Pedang Rajawali Sakti dikebutkan ke arah dada si Kembang Karang Hawu. Dalam
keadaan jiwa dan perhatian terpecah, wanita bercadar hijau itu tidak bisa lagi
memastikan, dari mana dan ke mana arah serangan Pendekar Rajawali Sakti.
Sehingga...
Cras!
"Aaa...!"
si Kembang Karang Hawu menjerit melengking tinggi dan menyayat.
Si
Kembang Karang Hawu terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang tertebas
pedang Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat itu, satu tendangan keras bertenaga
dalam sempurna mendarat di perutnya. Tak pelak lagi, wanita bercadar hijau itu
terpental ambruk ke tanah dengan keras sekali. Kembali dia memekik tinggi
begitu tubuhnya menghantam tanah.
"Hiyaaa...!"
Saat itu Rangga sudah melompat dengan ujung pedang tertuju langsung ke dada
yang terbelah mengucurkan darah. Sementara si Kembang Karang Hawu sudah tidak
memiliki daya lagi untuk menghindar. Matanya hanya bisa dipejamkan, menunggu
ajal yang sebentar lagi akan menjemput.
"Rangga,
jangan...!"
Tiba-tiba
saja terdengar seruan keras, tepat ketika ujung pedang Pendekar Rajawali Sakti
berada di dada si Kembang Karang Hawu. Seketika itu juga Rangga menghentikan
gerakan pedangnya, dan langsung berpaling ke arah datangnya suara keras tadi.
"Dipa
Pangga...," desis Rangga.
Tampak
Dipa Pangga berjalan tertatih-tatih menghampiri sambil memegangi dadanya.
Pemuda itu langsung berlutut di samping si Kembang Karang Hawu. Dengan tangan
gemetar, pemuda itu melepaskan cadar yang menutupi wajah si Kembang Karang
Hawu. Tampak seraut wajah cantik terpampang di balik cadar berwarna hijau.
"Ningrum...,"
ujar Dipa Pangga dengan suara yang pelan.
Pelahan
Rangga mengangkat pedangnya, kemudian memasukkan pedang pusaka itu ke dalam
warangka di punggung. Pendekar Rajawali bakti melangkah mundur dua tindak.
Sementara Dipa Pangga mengangkat tubuh wanita yang ternyata Rara Ayu Ningrum,
adik sepupunya sendiri.
"Kenapa
kau lakukan ini padaku, Ningrum?" tanya Dipa Pangga dengan suara yang
lemah.
Rara
Ayu Ningrum tidak menyahut, tapi malah tersenyum saja dengan bibir yang semakin
memucat. Cahaya matanya juga terlihat semakin redup. Sementara dari dadanya
terus mengucurkan darah segar. Keadaan si Kembang Karang Hawu itu memang parah
sekali.
Sementara
itu Rangga beranjak mundur, lalu menghampiri Pandan Wangi yang masih tergeletak
tak bergerak sedikit pun juga. Sedangkan Dipa Pangga masih mencoba bicara pada
si Kembang Karang Hawu.
"Aku
tidak mengerti maksud tindakanmu, Ningrum. Kau adikku, aku menyayangimu. Kenapa
malah memusuhiku...?" lirih sekali nada suara Dipa Pangga.
Rara
Ayu Ningrum tetap diam. Matanya yang semakin redup, tidak berkedip memandangi
wajah pemuda itu. Bibir yang memucat, bergerak-gerak lemah, seakan-akan ingin
mengucapkan sesuatu.
"Ningrum....
Apa yang membuatmu merasa dendam. Apa yang telah dilakukan ayahku padamu?"
tanya Dipa Pangga lagi.
"Dia...,
dia telah membunuh kakakku," sahut Rara Ayu Ningrum tersendat suaranya.
"Oh...!
Bukankah kakakmu sedang menuntut ilmu di..."
"Tidak,
Kakang. Sudah setahun kakakku mati dibunuh ayahmu," potong Rara Ayu
Ningrum.
"Tapi...,
kenapa?" Dipa Pangga ingin tahu.
"Hanya
kecelakaan...," tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang Dipa Pangga.
Cepat
Dipa Pangga berpaling. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di belakang pemuda
itu sudah berdiri seorang laki-laki tua mengenakan jubah kumal memegang tongkat
yang tidak beraturan bentuknya.
"Siapa
kau?" tanya Dipa Pangga.
"Aku
Malaikat Jari Delapan, sahabat ayahmu, Raden. Aku tahu persis kejadiannya
sehingga kakak Rara Ayu Ningrum tewas," sahut laki-laki tua yang ternyata
memang si Malaikat Jari Delapan.
"Apa
yang terjadi sebenarnya?" tanya Raden Dipa Pangga ingin tahu. Pemuda ini
memang tidak pernah diberitahu peristiwa yang menyebabkan kakak Ningrum tewas.
Terlebih lagi saat itu dia tengah menuntut ilmu.
"Waktu
itu ayahmu mengajak seluruh anggota keluarganya berburu. Dan di hutan, ayahmu
tidak sengaja membidikkan panahnya hingga mengenai dada kakak Rara Ayu Ningrum.
Sejak itu, Sarajingga dan gadis ini menyimpan dendam. Tapi tidak ditunjukkan
sama sekali. Dan kematian ayahmu juga karena racun yang diberikan Sarajingga
dalam minumannya. Racun yang lemah dan tidak terasa cara kerjanya, sehingga tidak
ada yang mencurigai kematian ayahmu, Raden," jelas Malaikat Jari Delapan.
"Bagaimana
kau bisa tahu?" tanya Raden Dipa Pangga.
"Aku
sahabat dekat ayahmu, Raden. Dan sebelum meninggal, beliau menceritakan
semuanya padaku. Ayahmu tahu kalau dirinya diracuni, tapi tak kuasa untuk
menolakkan racun yang sudah merasuki jantungnya."
Raden
Dipa Pangga memandang Rara Ayu Ningrum kembali. Dan gadis itu juga memandangi
pemuda yang masih menyangga tubuhnya ini.
"Kalau
kau izinkan, aku akan merawat luka-lukanya," kata Malaikat Jari Delapan
menawarkan jasa.
"Apakah
masih bisa diselamatkan?" tanya Dipa Pangga.
"Mudah-mudahan
saja, selama Pendekar Rajawali Sakti masih bermurah hati," sahut Malaikat
Jari Delapan.
Dipa
Pangga langsung memandang Rangga yang sudah berhasil menyadarkan Pandan Wangi.
Tampak Pendekar Rajawali Sakti itu memapah Pandan Wangi yang kelihatan lemah
menghampiri mereka. Pemuda berbaju rompi putih berhenti sekitar satu batang
tombak jaraknya di depan Raden Dipa Pangga.
"Jika
kalian ingin menyembuhkannya, berikan hawa murni sedikit-sedikit selama tujuh
hari. Jangan biarkan darah mengalir ke lukanya," kata Rangga memberitahu
cara penyembuhan luka yang diderita si Kembang Karang Hawu.
"Kau
akan ke mana?" tanya Raden Dipa Pangga.
"Aku
akan menyembuhkan Pandan Wangi dulu," sahut Rangga.
"Di
mana?" tanya Raden Dipa Pangga lagi.
Rangga
tidak menyahut.
"Rangga,
sebaiknya bawa saja ke istana. Aku akan memberikan kamar khusus untukmu,"
pinta Raden Dipa Pangga.
"Terima
kasih...," ucap Rangga ingin menolak.
"Jangan
kecewakan Raden Dipa Pangga, Pendekar Rajawali Sakti," selak Malaikat Jari
Delapan.
Rangga
tidak bisa menolak lagi, karena Raden Dipa Pangga terus meninggalkan Lereng
Gunung Karang Hawu itu. Rangga memapah Pandan Wangi, sedangkan Malaikat Jari
Delapan memondong tubuh Rara Ayu Ningrum yang selama ini dikenal berjuluk si
Kembang Karang Hawu.
"Kita
lewat jalan rahasia saja," usul Raden Dipa Pangga yang berjalan di samping
Pendekar Rajawali Sakti.
"Untuk
apa, Raden?" ujar Malaikat Jari Delapan.
"Aku
tidak ingin Paman Sarajingga mengetahui kejadian ini," sahut Raden Dipa
Pangga.
"Tidak
perlu khawatir, Raden."
"Hm.
Apa maksudmu, Ki?" tanya Raden Dipa Pangga tidak mengerti.
"Di
istana sudah terjadi penggulingan tahta. Dan Sarajingga tewas," Malaikat
Jari Delapan memberi tahu.
"Tewas...?"
Raden Dipa Pangga terkejut.
"Bunuh
diri, begitu bala tentaranya dapat dilumpuhkan. "
"Siapa
yang memimpin makar itu?" tanya Raden Dipa Pangga.
"Panglima
Kalawedi. "
"Oh...,"
desah Raden Dipa Pangga.
Pemuda
itu tahu kalau Panglima Kalawedi memang sudah merencanakan makar untuk
menggulingkan kekuasaan Prabu Sarajingga. Panglima Kalawedi memang tidak pernah
menyukai kepemimpinan Prabu Sarajingga, namun selalu mendukungnya. Terlebih
lagi setelah niat Prabu Sarajingga untuk menyingkirkan Raden Dipa Pangga
diketahuinya. Walaupun itu dilakukan Prabu Sarajingga dengan halus dan
pelahan-lahan, seperti yang dilakukan pada ayah pemuda ini.
Sementara
itu, Rangga memperlambat jalannya. Dan tanpa ada yang menyadari, Pendekar
Rajawali SaktI itu berjalan di belakang. Lalu, disaat mereka semua lengah,
mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti itu melesat pergi. Namun kepergiannya
rupanya diketahui juga oleh Malaikat Jari Delapan. Dan orang tua itu hanya
tersenyum saja.
"He...!
Kemana Rangga?" sentak Raden Dipa Pangga begitu menyadari kalau Rangga
tidak berada di sampingnya.
"Sudah
pergi," sahut Malaikat Jari Delapan.
"Pergi...?
Kenapa?" tanya Raden Dipa Pangga seperti untuk dirinya sendiri.
"Mungkin
merasa tidak ada lagi yang perlu dilakukan di sini, Raden."
"Tapi...,
Pandan Wangi terluka. "
"Pendekar
Rajawali Sakti bukan pendekar sembarangan, Raden. Dia pasti bisa mengobati luka
yang diderita Pandan Wangi. Ah, sudahlah..., memang itu sudah wataknya. Watak
seorang pendekar sejati, Raden. "
"Yaaah....
Sayang sekali, dia tidak bisa menyaksikan penobatanku," desah Raden Dipa
Pangga menyesali.
Sedangkan
Malaikat Jari Delapan hanya tersenyum saja. Dia sendiri sebenarnya merasa sudah
terlepas dari kewajibannya. Kini tidak ada lagi yang perlu dijaga dan
dilindunginya. Amanat terakhir sahabatnya sudah dilaksanakan dengan baik, yakni
menjaga dan melindungi Raden Dipa Pangga dari maksud-maksud kotor manusia
berhati iblis. Tapi orang tua itu tidak ingin pergi begitu saja sebelum
benar-benar melihat ketenteraman berlangsung di Istana Randukara.
TAMAT
EPISODE
SELANJUTNYA:
HURU
HARA DI WATU KAMBANG
Emoticon