"Hait! Hi hi hi...! Kalian tak ubahnya seperti tiga
kerbo dungu. Tenaga saja yang besar, tapi otak kalian
di dengkul," sambil tertawa-tawa, Pendekar Gila terus
lawannya yang semakin bertambah sengit.
Ketiga lelaki berbadan tinggi tegap dan berpakaian
hijau lumut itu kembali menghantamkan tangannya
berbarengan ke kepala lawan.
"Remuk kepalamu, Bocah Edan!"
Wrrrt!
"Aha! Belum, Sobat.... Hi hi hi!" Sena mengegoskan
tubuhnya, ke samping sambil mengangkat kaki
kanannya. Saat itu pula, salah seorang dari ketiganya
yang menyerang tak mampu menarik serangannya.
Tanpa ampun lagi....
Degkh!
"Ukh...!" lelaki itu terpekik. Tubuhnya terhuyung
huyung ke belakang, mendekat ke tepi sungai yang
cukup dalam itu. Beruntung salah seorang dengan
cepat mencekal tangannya. Kalau tidak, tubuh lelaki
itu tentu tercebur dan terbawa arus, seperti temannya
yang pertama.
"Bedebah! Rupanya kau harus dihajar, Bocah
Edan!" geram lelaki bercambang bauk lebat. Tangan-
nya yang mengepal terangkat ke atas. Kemudian
bagaikan banteng, lelaki bercambang bauk itu
menyeruduk. Tangannya bergantian menyerang tubuh
Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Gayamu persis kerbo, Sobat! Ah, lucu
sekali!" dengan melompat ke sana kemari meng-
elakkan serangan lawan yang menyeruduk, Pendekar
Gila terus menggoda dan berusaha membuat
lawannya marah.
"Hea!"
Lelaki bercambang bauk lebat itu terus mencecar
dengan hantaman-hantaman keras. Rerumputan dan
tanah di tepi sungai berhamburan terkena hantaman-
hantaman tangannya. Dahsyat sekali jurus 'Banteng
Menyelak' yang dilancarkan lelaki itu. Sehingga tepian
sungai bagaikan diguncang gempa bumi. Pendekar
Gila tak merasa gentar, bahkan dari mulutnya terus
terdengar ejekan. Hal itu membuat lawan bertambah
geram. Kedua temannya kini turut menggempur
lawan dengan jurus yang tak kalah dahsyat.
"Heaaa...!"
Wrrrt!
"Hi hi hi...! Bagus! Rupanya ada tiga kerbo yang
ngamuk. Aha, kebetulan sekali," Sena segera me-
lentingkan tubuhnya ke atas, lalu dengan cepat
menjejakkan kakinya di salah seorang. Dengan
enaknya Sena berpijak di pundak lelaki berhidung
besar dengan mulut lebar. Pijakan itu disertai
tekanan yang kuat. Akibatnya kaki lawan amblas ke
tanah sampai sebatas lutut.
Menyaksikan tingkah laku pemuda gila yang
menari-nari di atas pundak, kedua temannya ber-
tambah marah.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Kedua lelaki bertubuh besar menyerang dari
samping kanan dan kiri secara bersamaan, dengan
pukulan keras.
"Heaaa...!"
"Yeaaa...!"
Ketika tangan keduanya melesat dan hampir
sampai, dengan cepat. Pendekar Gila melompat ke
atas. Dan...
Jrot!
"Wuaaa...!"
Orang yang tadi dijadikan pijakan kedua kaki Sena,
menjerit keras. Kepalanya terkena pukulan kedua
temannya. Sampai-sampai kepalanya hancur
berantakan, memuncratkan darah dan otak.
Terbelalak mata kedua temannya yang menyerang,
ketika menyadari apa yang terjadi. Sedangkan
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil duduk
di atas cabang pohon di tepi sungai. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
"Ha ha ha...! Lucu sekali kalian ini. Mengapa
kepala teman kalian pukul?" ejek Sena sambil
tertawa.
"Bedebah! Turun kau, Bocah Edan!" bentak lelaki
bercambang bauk lebat seraya menghantamkan
pukulan jarak jauhnya yang disertai tenaga dalam
yang kuat.
"Heaaa...!"
Wrrrt!
"Hi hi hi...!" Sena segera melompat, berjumpalitan
di udara mengelakkan serangan. Pukulan lelaki
bercambang bauk menerjang pohon.
Jlegar!
Brakkk!
Cabang pohon itu hancur, dan jatuh ke sungai.
Sedangkan Pendekar Gila kini dengan tingkah laku
seperti orang tolol telah berada di belakang mereka.
"He he ha, apa yang kalian cari?" tanya Sena
menyentakkan keduanya.
Kedua lelaki tinggi besar berkepala botak itu
membalikkan tubuh. Secepat itu pula Sena men-
dorong tubuh keduanya ke belakang.
"Hea!"
"Wua...!"
Kedua lelaki berkepala botak itu terpekik
ketakutan, karena tubuh mereka kini terdorong keras
ke sungai. Keduanya berusaha menghentikan kaki
agar tak tercebur. Namun dorongan tangan Sena
sangat kuat, sehingga mereka tak mampu menahan
kedua kaki mereka. Dan....
"Wuaaa!"
Byurrr!
Keduanya tercebur ke sungai yang sangat deras.
Tangan keduanya berusaha menggapai-gapai, me-
minta tolong. Pendekar Gila hanya tertawa-tawa
sambil berjingkrakan.
"Ha ha ha...! Mandilah, biar badan kalian tak bau!"
seru Sena. Kemudian dengan cepat Sena melesat
meninggalkan tepian sungai, kembali masuk ke Desa
Kembang Puan.
***
Secara diam-diam, Sena berusaha menyelidiki apa
yang hendak dilakukan orang-orang yang berkumpul
di kedai. Tubuhnya segera melompat ke atas se-
batang pohon di samping kedai itu. Kemudian dengan
cepat dikerahkan ilmu 'Penyadap Suara'nya agar
dengan jelas dapat mendengar pembicaraan orang-
orang di kedai.
"Bagaimana kalau kita melakukannya sekarang
saja, Rama?" terdengar suara si Payung Sakti ber-
kata. Si Payung Sakti ternyata istri Rama Mangunda.
Pendekar Gila berkerut keningnya, mendengar nama
Rama disebut-sebut si Payung Sakti.
"Hm, tentunya Rama itulah yang dimaksud lelaki
bermuka codetan," gumam Sena sambil terus
memasang pendengarannya untuk dapat mengikuti
pembicaraan orang-orang di dalam kedai.
"Kurasa kita harus sabar, tunggu perkembangan
selanjutnya. Kita juga harus menunggu kabar dari Nyi
Mas Lindri, bagaimana perkembangan di istana," kini
terdengar suara lelaki tua yang dipanggil Rama.
"Aha, ternyata lelaki tua berpakaian resi itulah
yang bernama Rama," gumam Sena dalah hati, "Hm,
siapakah Nyi Mas Lindri itu? Kudengar dia berada di
dalam istana. Ah, celaka dua belas! Rupanya benar
dugaanku, istana dalam kekuasaan para pem-
berontak. Tinggal menunggu saatnya, pemberontakan
akan terjadi."
"Hampir separo lebih prajurit kerajaan telah
memihak pada kita. Kita tinggal bergerak saja, maka
kekuasaan Aji Wardana dungu itu akan hancur. Ha ha
ha...!" Rama Mangunda terdengar tertawa senang.
Sepertinya dia merasa apa yang dicita-citakan akan
terlaksana.
Pendekar Gila semakin mengerutkan keningnya
mendengar penuturan Rama Mangunda. Hatinya kian
yakin, kalau kehancuran kekuasaan Baginda Aji
Wardana kini berada di ambang pintu.
"Aku harus menolong Baginda," bisik Sena lirih.
"Anakku memang hebat, dia mampu menarik hati
Aji Wardana, sampai-sampai raja tolol itu tidak tahu,
siapa sesungguhnya Nyi Mas Lindri," kembali
terdengar suara Rama Mangunda berkata bangga,
merasa anaknya telah mampu menyusup ke Istana
Telaga Mas bersama beberapa pengawalnya. Bahkan,
mereka telah mampu mengajak para prajurit-prajurit
Istana Telaga Mas, untuk ikut bersama mereka.
Mereka kini siap untuk merebut kekuasaan Baginda
Aji Wardana.
Saat itu, dari arah timur nampak seorang wanita
cantik berpakaian merah jambu melesat di atas
kudanya yang putih polos.
"Tentunya wanita ini yang bernama Nyi Mas Lindri.
Kelihatannya wanita cantik ini hendak menuju ke
kedai," gumam Sena dalam hati sambil terus
memperhatikan kuda putih yang ditunggangi wanita
itu. Langkah kuda semakin perlahan ketika men-
dekati kedai.
"Hop!" Nyi Mas Lindri menghentikan lari kudanya,
ketika matanya melihat seseorang berpakaian rompi
kulit ular bertengger di atas pohon akasia. "Bocah
edan! Rupanya kau dari tadi memata-matai kami!"
Orang-orang yang ada di kedai berhamburan
keluar ketika mendengar suara bentakan Nyi Mas
Lindri. Mereka semakin bertambah marah, setelah
melihat Pendekar Gila ternyata masih hidup. Bahkan
kini tertawa terbahak-bahak di atas cabang pohon
akasia.
"Bocah setan! Kubunuh kau!" dengus si Payung
Sakti sambil membuka payungnya yang terbuat dari
kulit, kemudian melesat bermaksud menyerang
Pendekar Gila.
Brat!
"Hea!"
Payung itu diputar dengan cepat, menimbulkan
angin yang keras, menderu ke arah Pendekar Gila.
"Hi hi hi...! Genit sekali kau, Nyi! Sudah tua masih
main payung. Bukankah tak ada hujan?" ejek Sena
sambil melompat, mengelak dari hantaman Payung
Sakti itu.
Brak! Krak!
Cabang pohon itu, hancur berantakan diterjang
angin dahsyat dari payung. Kalau saja Sena masih
berada di situ, mungkin tubuhnya ikut hancur
terhantam payung di tangan si Payung Sakti.
"Aha, payungmu seperti kapak saja, Nyi! Ah, kurasa
kau juga termasuk penebang kayu yang hebat," ejek
Sena cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Hal itu membuat si Payung Sakti bertambah
marah.
"Bocah edan! Kubunuh kau! Heaaa...!"
Wrrrt!
Payungnya kembali dibuka lalu diputar, menimbul-
kan angin yang menderu keras menerpa ke
sekelilingnya. Tapi Pendekar Gila malah tertawa
terbahak-bahak. Tingkah lakunya masih konyol.
Bahkan dalam keadaan kosong diserang begitu,
mulutnya sempat mengejek.
"Hi hi hi...! Kau mau main tari payung, Nyi?" Sena
langsung membuang tubuh ke samping, meng-
elakkan serangan payung lawan yang menderu keras.
Kemudian dengan cepat, tubuhnya bersalto di udara.
Menyaksikan lawan dapat mengelakkan serangan-
nya, si Payung Sakti semakin beringas. Semakin
kencang perempuan tua itu memutar payungnya,
berusaha mengeluarkan angin lebih besar agar
mampu menghantam Sena.
Wrrr!
Angin membadai keluar dari putaran payung di
tangan si Payung Sakti. Daun-daun kering beterbang-
an. Pohon-pohon kecil bertumbangan, terhempas
dah-yatnya angin dari Payung Sakti.
"Ha ha ha, kau perusak lingkungan, Nyi! Payung
bubutmu itu bagaikan hama saja," ejek Sena sambil
berkelit cepat, ketika si Payung Sakti menyerang
tubuhnya. Seketika itu pula, kakinya menendang ke
punggung si Payung Sakti yang masih melesat maju.
Perempuan tua itu tak mampu lagi mengelakkan
tendangan. Tanpa ampun lagi....
Degkh!
"Ukh!"
Tubuh si Payung Sakti terhuyung-huyung ke depan,
malah hampir tersungkur mencium tanah. Pendekar
Gila tertawa terbahak-bahak sambil berjingkrak lan
menggaruk-garuk kepala.
Melihat hal itu, Nyi Mas Lindri yang sudah jengkel
ejak pertama kali melihat Pendekar Gila di istana,
segera memerintahkan anak buahnya untuk
menyerang.
"Serang dan tangkap hidup atau mati...!"
Serentak semua orang yang ada di situ bergerak
maju, berusaha menangkap Pendekar Gila. Pendekar
Gila tersentak kaget, tapi dengan cepat segera
melesat meninggalkan tempat itu. Hal itu membuat
Nyi Mas Lindri dan anak buahnya semakin geram,
mereka langsung mengejarnya.
"Tangkap jangan sampai kabur!" perintah wanita
cantik itu kepada anak buahnya agar mengejar
Pendekar Gila. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah
menghilang.
Nyi Mas Lindri semakin marah karena gagal
menangkap Pendekar Gila. Matanya yang indah,
mengawasi ke sekelilingnya, berusaha mencari
Pendekar Gila. Namun tak juga menemukan pemuda
berambut gondrong dengan pakaian rompi dari kulit
ular itu.
"Dia Pendekar Gila, Rama," sahut Nyi Mas Lindri.
"Apa?!"
Mata Rama Mangunda terbelalak kaget, ketika
tahu siapa sebenarnya pemuda itu. Dia sering men-
dengar nama itu, tetapi tak pernah menyangka kalau
Pendekar Gila ternyata masih sangat muda.
"Sudah kuduga, kalau pemuda itu si Pendekar Gila.
Tapi aku masih ragu," gumam Rama Mangunda
sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Tapi, benarkah
dia Pendekar Gila, Anakku?!"
"Benar, Rama. Dialah Pendekar Gila," tutur Nyi Mas
Lindri.
"Pendekar Gila dari Goa Setan?" menegaskan
Rama Mangunda.
"Ya."
"Hm, pantas. Pantas kalau begitu," gumam Rama
Mangunda sambil menggaruk-garuk kepala. Tangan
kanannya mengelus-elus jenggotnya yang putih.
"Bagaimana, Ki? Apakah dengan adanya Pendekar
Gila kita akan menghentikan semuanya...?" tanya si
Payung Sakti. Didengar dari nada suaranya, wanita
tua itu merasa gentar mendengar nama Pendekar
Gila. Dia pun telah sering mendengar sepak terjang
pemuda itu. Namun baru kali ini melihat orangnya.
"Tidak! Kita harus meneruskan rencana untuk
mencapai cita-cita. Kita harus bisa mempengaruhi
semua prajurit, agar dapat berpihak pada kita. Dan
yang penting, kau harus bisa mempengaruhi
senapati, Anakku," tutur Rama Mangunda.
"Baik, Rama. Aku akan tetap menjalankan tugasku
dengan baik," sahut Nyi Mas Lindri, "Aku harus segera
ke istana, untuk memberitahukan bahwa Pendekar
Gila masih ada di wilayah ini. Kalian bersiap-siaplah!
Lusa malam, kita akan melaksanakan semuanya."
"Siap!" sahut anak buahnya serempak.
Setelah menjura hormat kepada ayah dan ibunya
Nyi Mas Lindri segera melompat ke punggung kuda
lalu menggebahnya. Kuda putih polos itu pun
seketika berlari kencang meninggalkan Desa
Kembang Puan, untuk kembali ke Istana Telaga Mas.
Dia harus mendahului Pendekar Gila, agar raja tak
manaruh curiga padanya.
***
6
Meski telah diancam akan dijebloskan ke penjara
bawah tanah oleh Baginda Aji Wardana, jika
kedapatan masih berada di sekitar Istana Telaga
Mas, Pendekar Gila tetap nekat. Hal itu karena dirinya
tak suka melihat kejahatan yang bakal menimpa
keluarga istana. Hati Pendekar Gila tak tenang kalau
belum memberi tahu pada Baginda Aji Wardana,
mengenai rencana pemberontakan Rama Mangunda
dan para pengikutnya.
Dengan masih cengengesan dan bertingkah laku
konyol, Pendekar Gila mendekat ke pintu gerbang
Istana Telaga Mas.
"He he he...! Selamat pagi!" sapa Sena masih
cengengesan.
Senapati Awong Purbo tersentak ketika melihat
siapa yang menyapanya. Matanya terbelalak, dan
jengkel dan kagum akan keberanian Pendekar Gila.
Meski telah diancam, pemuda gila itu nekat datang.
"Bocah edan! Mau apa lagi kau datang ke istana?!"
bentak Senapati Awong Purbo dengan kepala meng-
geleng-geleng, melihat Pendekar Gila datang lagi ke
istana. Padahal Baginda Aji Wardana telah meng-
ancamnya.
"Aha, aku ingin bertemu dengan baginda," sahut
Sena.
"Bukankah kau sudah diancam akan dihukum jika
berani datang kemari?!" dengus Senapati Awong
Purbo semakin jengkel, soalnya saat itu istana tengah
dalam suasana duka cita atas kematian putra
mahkota.
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala, mendengar bentakan Senapati Awong
Purbo. Sepertinya pemuda itu tak takut sama sekali
akan ancaman yang bakal membuatnya masuk ke
penjara bawah tanah. Niatnya telah bulat. Dia harus
memberitahukan pada Baginda Aji Wardana, kalau
akan terjadi pemberontakan di istana.
"Aha, apa pun yang akan kuterima, aku telah siap.
Aku hanya ingin memberitahukan pada baginda
tentang sesuatu yang sangat berbahaya," tutur Sena
dengan cengengesan.
"Katakan padaku, kemudian cepat pergi!" perintah
Senapati Awong Purbo tegas. "Aku tak ingin
melihatmu masuk ke penjara bawah tanah."
"Ha ha ha, sudah kukatakan. Aku tak takut
dihukum, asalkan aku telah berjasa pada kerajaan,
menyelamatkan baginda dan rakyat kerajaan yang
tak berdosa."
"Jadi kau memaksa ingin bertemu baginda, Bocah
Edan?!"
"Ya," jawab Sena tegas.
"Hm, mencari penyakit!" dengus Senapati Awong
Purbo. "Prajurit, jaga dia!"
"Hi hi hi, aku tak akan lari, Senapati!" seru Sena
sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Senapati Awong Purbo, meninggalkan
Pendekar Gila untuk melaporkan pada baginda.
Tak lama kemudian, Senapati Awong Purbo telah
kembali dengan muka kelihatan suram. Nampaknya
lelaki bertubuh besar itu mendapatkan amarah dari
Baginda Aji Wardana.
"Tangkap dia!" perintah Senapati Awong Purbo
pada prajurit-prajurit yang langsung bergerak
menangkap Sena.
"Aha, beginikah caranya orang-orang kerajaan
memperlakukan seorang tamu...?" sindir Sena
dengan mulut masih cengengesan, tanpa rasa takut
sedikit pun. Bahkan ketika diseret para prajurit
menghadap baginda, tingkahnya tetap konyol seperti
orang gila.
"Jangan bawanyak omong! Nanti bicara saja
dengan baginda!" bentak Senapati Awong Purbo terus
mengiringi kedua prajurit yang membawa Pendekar
Gila masuk ke istana.
Setelah berada di hadapan Baginda Aji Wardana,
Senapati Awong Purbo menyembah. Kemudian
menyurut mundur beberapa langkah, lalu duduk
bersila.
"Ampun Baginda Yang Mulia, pemuda inilah yang
hamba maksud."
Baginda Aji Wardana sesaat terdiam. Matanya
menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih
cengengesan, tanpa menunjukkan rasa takut sedikit
pun.
"Anak muda, masihkah kau ingat apa yang
kukatakan beberapa hari lalu?" tanya Baginda Aji
Wardana seraya menggerakkan tangan kanan
memerintah prajurit melepaskan pegangan pada
Pendekar Gila.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala sambil
cengengesan, kemudian menyembah sebagaimana
layaknya menghadap seorang raja. Lalu dengan
tindak-tanduk sopan. Sena duduk dengan rapi.
Baginda Aji Wardana berkerut keningnya melihat
sikap pemuda di hadapannya.
"Ampun, Baginda! Apa yang Baginda sabdakan,
hamba masih ingat," jawab Sena sambil menyembah.
"Lalu, mengapa kau datang lagi?"
"Ampun, Baginda! Kedatangan hamba, semata-
mata hendak memberitahukan pada Baginda, kalau
pemberontakan akan segera terjadi. Dan kalau
hamba diperkenankan memberitahukan siapa dalang
dari semuanya, hamba bersedia menunjukkan."
Baginda Aji Wardana semakin mengerutkan kening
mendengar penuturan Pendekar Gila. Sepertinya dia
tengah menimbang apa yang dikatakan pemuda gila
itu.
"Anak muda, jangan kau berkata sembarangan!
Atau mungkin justru kaulah yang hendak membuat
keonaran!" bentak Baginda Aji Wardana gusar.
"Ampun, Baginda Yang Mulia! Kalau memang
hamba pembuat keonaran, manalah sudi hamba
menghadap Baginda?" kilah Sena masih menujukkan
sikapnya yang sopan seperti orang sehat dan waras.
Hal itu membuat Baginda Aji Wardana semakin heran
menyaksikan tindak-tanduk pemuda itu yang telah
dianggap gila.
"Hm, kalau benar apa katamu, katakan siapa
dalang pemberontakan yang akan terjadi?" tanya
Baginda Aji Wardana tertarik ingin tahu.
"Nyi Mas Lindri, Baginda," jawab Sena.
"Apa?!" bentak Baginda Aji Wardana dengan mata
terbelalak, karena merasa ucapan Sena hanyalah
mengada-ada. "Prajurit, tangkap dan masukkan ke
penjara! Jelas, dialah yang telah membunuh anakku!"
"Tapi, Baginda...," Sena berusaha membela diri,
tetapi kedua pranjurit telah menangkap dan menyeret
tubuhnya meninggalkan ruangan itu. "Baginda,
berhati-hatilah, karena pemberontakan akan terjadi!"
"Phuih! Rupanya kaulah dalang dari semua
kejadian ini, Bocah Edan! Pantas tingkah lakumu
pura-pura gila!" dengus Baginda Aji Wardana marah.
"Seret dia dan jebloskan ke penjara bawah tanah!"
Kedua prajurit terus menyeret tubuh Sena dari
hadapan baginda. Kemudian membawanya menuju
penjara bawah tanah, tempat bagi orang-orang yang
hendak berkhianat pada kerajaan.
"Ini tempatmu, Bocah Edan!" bentak salah seorang
prajurit sambil mendorong masuk tubuh Sena.
Kemudian mengunci pintu yang terbuat dari besi.
"Ha ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak sambil
menggeleng-geleng kepala. Tanpa memperlihatkan
rasa takut sedikit pun. "Prajurit pengkhianat! Kalian
pantas dijuluki Tikus-tikus Busuk! Hua ha ha...!"
Kedua prajurit seketika marah, mendengar ejekan
Pendekar Gila. Namun, belum sempat mereka ber-
buat sesuatu, tiba-tiba muncul sesosok wanita
berpakaian merah jambu.
"Percuma kalian mengurusi bocah edan itu," ujar
wanita cantik yang tak lain Nyi Mas Lindri.
"O, Gusti Ayu! Apakah pertemuan sudah selesai?"
tanya kedua prajurit hampir bersamaan.
"Gara-gara bocah edan itu, semuanya berantakan.
Tapi bersiaplah! Lusa malam, kita akan segera mulai.
Beri tahu yang lain!" ujar wanita itu setengah berbisik,
dengan mata melirik pada Pendekar Gila yang hanya
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Sendika, Gusti Ayu," sahut kedua prajurit hampir
bersamaan.
"Pergilah!"
"Daulat, Gusti Ayu."
Keduanya segera menyembah, kemudian beranjak
meninggalkan ruangan bawah tanah tempat
menyekap Sena. Sepeninggal kedua prajurit, Nyi Mas
Lindri mendekat ke pintu penjara tempat Sena
berada. Bibir Nyi Mas Lindri mengurai senyuman
menggoda.
"Anak bagus, kalau kau mau jadi kekasihku, kau
akan enak. Maukah kau mendampingiku, jika kelak
aku duduk sebagai ratu...?" tanya Nyi Mas Lindri
dengan bibir masih mengurai senyum.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, mendengar
ucapan Nyi Mas Lindri. Tangannya menggaruk-garuk
kepala. Hal itu membuat wanita cantik itu semakin
merekahkan senyum, menyangka kalau Pendekar
Gila itu bersedia menerima tawarannya.
"Ha ha ha, kau memang cantik, Nyi! Sayang, kau
akan menjadi ratu maksiat. Hi hi hi...!"
Terbelalak mata Nyi Mas Lindri, mendengar ejekan
Pendekar Gila. Napasnya memburu, dilanda
kemarahan. Seketika wajah wanita berpakaian merah
jambu itu memerah. Gigi-giginya saling beradu,
menahan geram yang meluap-luap.
"Pemuda dungu! Dikasih hati, malah minta
rempela! Huh, tunggu saja saatnya nanti! Kalau
semua rencana berjalan lancar, kau akan men-
dapatkan ini...!" Nyi Mas Lindri menggorokkan
tangannya ke lehernya.
"Hua ha ha...! Kau mau pesta kambing guling, Nyi?"
ejek Sena sambil tertawa cekikikan dengan kepala
tergeleng-geleng.
Mata wanita cantik itu semakin melotot garang.
Namun melihat mata Nyi Mas Lindri yang melotot,
Sena semakin mengeraskan suara tawanya.
"Bocah edan! Tunggu saja saatnya nanti!" bentak
Nyi Mas Lindri geram.
"Ha ha ha...! Nyi Ayu, tunggu saja saatnya nanti!
Tubuhmu yang elok, akan dijadikan santapan warga
kerajaan!" balas Sena sambil tertawa berbahak-
bahak. Tangannya menggaruk-garuk kepalanya,
sedangkan tubuhnya berjingkrakan seperti monyet.
Nyi Mas Lindri menggeram sengit. Ingin rasanya
menghajar mulut pemuda tampan itu. Namun niatnya
diurungkan. Dia takut kalau membuka pintu itu, Sena
akan keluar. Dan dapat membuat repot. Apalagi telah
diketahui Pendekar Gila berilmu tinggi. Sulit baginya
meladeni ilmunya. Meski selama ini keduanya belum
pernah saling bentrok.
"Hua ha ha...! Kalau marah, makin cantik saja kau,
Nyi?" ejek Sena. "Sayang sekali, kau terlalu angkuh
dan serakah!"
"Tutup mulutmu, Pendekar Gila! Kau benar-benar
cari penyakit! Kalau saja kau jadi kekasihku, aku
yakin kau akan hidup bahagia!" ujar Nyi Mas Lindri
masih berusaha merayu Pendekar Gila.
"Aha, menyenangkan sekali tawaranmu, Nyi! Siapa
yang tak tergiur mendengar tawaran dari wanita
secantik kau? Sayang, kau melangkah di jalan yang
kurang menyenangkan. Terlalu besar hasratmu,
membuat gelap mata dan melawan arus yang telah
digariskan Hyang Widhi," tukas Sena dengan
cengengesan.
"Huh, dasar bocah edan! Tak tahu barang enak...!"
dengus Nyi Mas Lindri seraya melangkah meninggal-
kan Sena yang masih tertawa dan menggeleng-
gelengkan kepala.
***
Malam datang membawa kegelapan yang kian
mencekam. Angin malam yang bagaikan enggan
bertiup, membuat suasana malam itu terasa panas.
Sesosok bayangan tampak berjalan, mengendap-
endap menuju bangunan di samping kiri istana.
Bayangan itu ternyata sesosok tubuh berpakaian
merah jambu. Langkahnya tampak tenang, bagaikan
tak merasa takut sedikit pun. Para prajurit yang
tengah jaga malam seperti tak mempedulikan
kejadian yang bakal terjadi.
Sosok berpakaian merah jambu yang tak lain Nyi
Mas Lindri terus melangkah, mengendap-endap
menuju kamar anak-anak Baginda Aji Wardana yang
tinggal dua orang lagi. Jika dua anak baginda Aji
Wardana semuanya telah binasa, maka jalan untuk
mendapatkan tahta kerajaan telah berada di ambang
pintu.
Nyi Mas Lindri terus mengendap-endap, semakin
mendekat ke sebuah jendela kamar anak kedua
Baginda Aji Wardana yang bernama Kindra Wasa.
Setelah membuka jendela dengan pelan, wanita itu
segera melompat masuk. Namun, tiba-tiba sesosok
bayangan bergerak cepat dan menyergap tubuhnya.
"Siapa kau?! Mau apa kau masuk ke kamar Raden
Kindra Wasa?"
Nyi Mas Lindri bukan takut, malah tersenyum
manis ketika tahu orang yang menangkapnya.
Dengan manja, wanita itu malah merapatkan
tubuhnya ke tubuh Senapati Awong Purbo.
"Kakangmas Senapati, tentunya kau kedinginan
malam ini, bukan? Ikutlah denganku, aku bersedia
jadi istrimu, Kakang," bisik Nyi Mas Lindri merayu
sambil tangannya mengusap-usap dada Senapati
Awong Purbo dengan lembut. Didongakkan
kepalanya, dengan mata perlahan-lahan memejam.
Senapati Awong Purbo kelabakan mendapat
rayuan Nyi Mas Lindri. Darah kejantanannya meng-
gelegak, seakan mendidih dibakar gejolak nafsu
birahi. Apalagi tangan lembut wanita cantik dan
mempesona itu, kini merayap perlahan di dadanya,
menambah deburan jantungnya semakin kencang.
"Berjanjilah, Kakang! Berjanjilah, Kakang mau
memihak padaku! Kalau Kakang mau, aku bersedia
jadi istrimu, jika semua rencana ini telah selesai."
Setelah berkata begitu, Nyi Mas Lindri mengajak
Senapati Awong Purbo pergi dari tempat itu, menuju
bangunan keputren yang terletak di sebelah kiri
istana, tempat kamarnya berada.
Senapati Awong Purbo bagai kerbau dicocok
hidung, mengikuti langkah Nyi Mas Lindri. Pikirannya
kini sudah tak terkendali lagi. Bagaimanapun dirinya
tak dapat menolak tawaran wanita cantik selir sang
Raja ini. Baginya ini satu kesempatan untuk dapat
menikmati tubuh Nyi Mas Lindri yang montok dan
bahenol itu.
Keduanya masuk ke sebuah kamar yang ada di
keputren. Nyi Mas Lindri segera mengunci pintu
kamar, agar tak diketahui yang lainnya.
Dengan langkah melenggok bak macan lapar, istri
selir raja itu melangkah ke tempat tidur. Matanya
yang bening dengan nakal menatap wajah Senapati
Awong Purbo. Lelaki gagah itu tak berkedip
memandang lenggak-lenggok tubuh Nyi Mas Lindri.
Nyi Mas Lindri semakin menjadi-jadi setelah
merasa Senapati Awong Purbo kini berada dalam
perangkapnya. Satu persatu pakaiannya dibuka. Hal
itu membuat mata lelaki itu semakin terbelalak lebar.
Senapati Awong Purbo tak berkedip menatap tubuh
yang mulus dan indah itu.
"Ayolah, Kakang!" ajak Nyi Mas Lindri sambil
merebahkan tubuhnya yang sudah telanjang, ke atas
pembaringan. Mulutnya mendesah-desah. Matanya
mengerjap-ngerjap, semakin mengundang birahi
Senapati Awong Purbo.
Sekuat apa pun iman Senapati Awong Purbo,
digoda begitu rupa, akhirnya jatuh juga. Matanya tak
berkedip, seakan takut kalau-kalau pemandangan
menarik di depannya hilang. Kemudian kakinya
melangkah mendekat ke ranjang tempat di mana
tubuh Nyi Mas Lindri terbaring dengan keadaan
telentang dan sangat menantang itu.
"Gusti Asyu, mengapa kau lakukan ini?" desah
Senapati Awong Purbo berusaha menyadarkan selir
rajanya.
Wanita itu tersenyum, mengulurkan kedua tangan-
nya untuk memeluk leher Senapati Awong Purbo.
Melihat hal itu, senapati muda itu merundukkan
kepala. Sehingga tangan Nyi Mas Lindri kini memeluk
dan mulai membawa turun leher lelaki bertubuh
gagah itu.
"Kau mau membantuku, Kakang Senapati?" tanya
Nyi Mas Lindri.
"Apa rencanamu, Gusti Ayu?"
"Berjanjilah dulu, Kakang! Jika kau telah berjanji,
maka kelak aku bersedia jadi istrimu," bisik Nyi Mas
Lindri sambil merapatkan tubuhnya. Ditekannya leher
Senapati Awong Purbo, yang semakin bertambah
dekat dengan wajahnya.
"Baiklah, aku berjanji. Tapi aku harus jadi suami-
mu, jika semua yang kau cita-citakan terlaksana,"
jawab Senapati Awong Purbo.
"Terima kasih, Kakang! Aku akan menjadi ratu, dan
kelak kau menjadi raja di kerajaan ini. Bagaimana...?"
Senapati Awong Purbo tersentak kaget mendengar
penuturan Nyi Mas Lindri. Hampir saja lelaki itu
terlonjak kalau saja tangan wanita itu tak menekan
lehernya semakin mendekat ke wajahnya.
"Bagaimana, Kakang?"
"Kau tak main-main, Gusti Ayu?"
"Tidak," sahut Nyi Mas Lindri dengan senyum
semakin menawan, yang membuat hati Senapati
Awong Purbo bertambah gemas ingin segera melumat
bibirnya.
"Apa telah kau pikirkan masak-masak?"
"Sudah. Lusa, semuanya akan beres," sahut Nyi
Mas Lindri sambil mendekap tubuh Senapati Awong
Purbo yang seketika lekat dengan tubuh halus mulus
itu.
"Bagaimana dengan Pendekar Gila itu?" tanya
Senapati Awong Purbo. "Dia sangat berbahaya."
"Itu urusan gampang, Kakang. Jika semuanya
sudah beres, kita singkirkan dia. Kita akan menjadi
raja dan ratu, bukan?" Nyi Mas Lindri terus menciumi
wajah Senapati Awong Purbo yang membuat lelaki
bertubuh kekar itu bertambah nafsu.
"Baiklah, aku berpihak padamu," jawab Senapati
Awong Purbo membalas ciuman Nyi Mas Lindri.
Kemudian tak begitu lama, keduanya telah membisu.
Hanya rintihan dan lenguhan kenikmatan yang
terdengar dari mulut Nyi Mas Lindri.
Keduanya terus berpacu, berusaha menumpahkan
nafsu yang telah menggelegak. Beberapa saat
lamanya mereka bergelut, sampai akhirnya kedua
tubuh tergeletak kelelahan.
Di luar, ketika hawa malam semakin tak nyaman,
sesosok bayangan berkelebat menuju bangunan
sebelah kiri istana. Sosok bayangan itu terus
melangkah menuju kamar anak Baginda Aji Wardana.
Setelah mengawasi sekitarnya, sosok itu perlahan-
lahan membuka jendela kamar yang ditempati putra
Baginda Aji Wardana.
"Tentunya bocah ini masih tidur," gumam sosok
yang dari suaranya ternyata seorang lelaki. Dengan
cepat, lelaki itu bergerak menusukkan sebuah benda
tajam berkilat ke tubuh yang masih terlelap di tempat
tidurnya.
Crab!
"Aaakh...!"
Pekikan tertahan terdengar dari mulut orang
terbaring di tempat tidur. Sesaat tubuhnya
mengejang, kemudian diam tanpa nyawa. Darah
membasahi tempat tidur. Sosok pembunuh itu
langsung melesat cepat meninggalkan kamar, lalu
menghilang di kegelapan malam.
Istana Telaga Mas geger oleh teriakan para prajurit
jaga yang berlarian menuju kamar putra raja, setelah
mendengar teriakan.
***
7
Pendekar Gila disekap dalam penjara bawah tanah
nampak tengah duduk bersila, mengheningkan cipta
guna memusatkan hati dan pikiran. Kedua telapak
tangannya saling menyatu diletakkan di depan dada.
Matanya memejam rapat, memusatkan batinnya.
Saat itu, tampaknya Pendekar Gila tengah
mengerahkan telepati untuk menghubungi gurunya.
Dia ingin meminta petunjuk sang Guru, bagaimana
untuk dapat menebus dinding bawah tanah. Telah
beberapa ilmu yang dimiliki dikerahkan, tapi tak
mampu menghancurkan dinding penjara itu.
"Ada apa kau memanggilku, Sena?" terdengar
gema suara Singo Edan bertanya.
"Guru, kau menerima panggilanku?"
"Ya, ada apa?"
"Aku mengalami kesulitan, Guru."
"Jangan suka mengeluh, Sena! Bagi seorang
pendekar, pantang untuk mengeluh. Nyawa seorang
pendekar, merupakan taruhan bakti bagi kebenaran
dari keadilan!" seru Singo Edan.
"Ampun, Guru! Bukan aku mengeluh, tapi aku kini
benar-benar dalam kesulitan," ujar Sena berusaha
meyakinkan gurunya, kalau dirinya tengah dalam
keadaan sulit.
"Katakan, apa yang membuatmu begitu?!"
"Kini aku dihadapkan pada sebuah masalah. Aku
harus menolong keluarga Baginda Aji Wardana, yang
dalam ancaman pemberontakan. Tapi kini aku dalam
tahanan bawah tanah," tutur Sena.
"Gunakan pukulan 'Gila Melebur Gunung
Karangmu'."
"Sudah, tak bisa."
"Ajianmu 'Inti Api'?"
"Sudah, Guru. Tetap tak bisa?" sahut Sena.
"Inti Bayu'?"
"Semua ajian telah kukerahkan. Tetapi dinding ini
terlalu kuat untuk diruntuhkan," sahut Sena.
"Hm," hanya suara gumam lirih yang terdengar.
Sepertinya Singo Edan maupun Pendekar Gila tengah
berpikir mencari jalan yang baik guna mengeluarkan
Sena dari tahanan bawah tanah.
"Apakah kau tak bermaksud menjebol pintu
besinya?" tanya Singo Edan.
"Percuma, Guru. Semua prajurit akan mendengar,"
jawab Sena.
Suasana kembali hening. Singo Edan seakan
tengah berpikir-pikir mencari jalan keluar guna
membebaskan muridnya. Sedangkan Pendekar Gila
masih melakukan semadi, menyatukan batinnya
dengan sang Guru.
"Apa kau sudah coba memanggil Naga Sakti?"
tanya suara Singo Edan.
"Belum, Guru. Tapi..., aha, aku ada akal! Aku akan
memanggil Bocah Sakti itu," ujar Sena sambil tertawa
cengengesan.
"Bocah gila! Dalam kesulitan masih tertawa-tawa!"
maki Singo Edan, "Siapa yang kau maksud Bocah
Sakti itu?"
"Anak angkat dan murid Paman Naga Brahma,"
jawab Sena.
"Naga Brahma...?" terdengar suara Singo Edan
bertanya setengah bergumam, "Hm, adik seperguruan
Naga Sakti?"
"Benar, Guru."
"Kapan kau bertemu?"
"Sudan agak lama, Guru. Sejak kejadian di Lembah
Akherat," jawab Sena menuturkan (Untuk mengetahui
kisah Bocah Sakti, ikuti serial Pendekar Gila dalam
episode "Perjalanan ke Akherat").
"Hm, cobalah! Mumpung masih malam," seru Singo
Edan.
"Terima kasih, Guru!"
Pendekar Gila segera memusatkan batinnya untuk
memanggil adik seperguruannya, Supit Songong, yang
ada di Pulau Karang Api di Danau Sambak Neraka.
Srt!
Pendekar Gila mencabut Suling Naga Saktinya.
Kemudian dihujamkan ujung suling itu ke tanah.
Crab!
Setelah menghujamkan suling itu sampai berdiri di
tanah, Sena pun segera kembali duduk bersila.
Matanya kini menatap lekat ke kepala Naga Sakti.
"Supit.., Supit.., datanglah!" bisik Sena, "Aku butuh
bantuanmu!"
Saat itu nun jauh di sebelah barat Gunung Kapur,
terlihat air Danau Sambak Neraka bergejolak hebat.
Dua Naga Api yang menghuni danau itu, muncul dari
dalam air dengan suaranya yang menggelegar.
Gerrr!
Supit Songong dan Naga Brahma yang sedang
melakukan semadi tersentak bangun, ketika tiba-tiba
di hadapan mereka muncul seorang Naga Sakti. Naga
yang berwarna emas dengan mahkota di kepalanya
juga berwarna emas.
"Kakang Naga Sakti, ada apa kau datang?" tanya
Naga Brahma kaget
"Aku memerlukan anak angkatmu, untuk mem-
bongkar penjara bawah tanah tempat Pendekar Gila
disekap," jawab Naga Sakti.
"Ah, bagaimana mungkin Pendekar Gila bisa
berada di penjara bawah tanah, Kakang? Bukankah
dia memiliki beribu macam akal dan kepandaian?"
tanya Naga Brahma sepertinya tak yakin dengan apa
yang disampaikan Naga Sakti.
"Memang Pendekar Gila bisa saja menghancurkan
penjara bawah tanah itu. Tetapi dia tak ingin
kebebasannya mengundang perhatian orang banyak,"
ujar Naga Sakti.
"Lalu apa yang harus kami perbuat, Kakang?"
"Buatlah terowongan di malam ini, dari sini sampai
Istana Telaga Mas yang ada di sebelah timur Gunung
Kapur."
"Akan kulakukan, Kakang."
"Cepatlah, jangan sampai terlambat!" ujar Naga
Sakti.
"Baik, Kakang."
Setelah Naga Sakti raib, menghilang dari
pandangan mata Naga Sakti, ular naga besar itu
dengan dibantu Supit Songong, segera melakukan
perintah Naga Sakti. Membuat lubang yang akan
tembus sampai penjara bawah tanah di Istana Telaga
Mas.
Suling Naga Sakti yang ditancapkan di tanah oleh
Pendekar Gila kini nampak bergetar. Hal itu
menandakan kalau sukma Naga Sakti telah kembali
menyatu dalam suling mas itu. Dengan cepat Sena
mencabut Suling Naga Saktinya. Kemudian
menyelipkan ke pinggang, ketika nampak dua orang
prajurit datang memeriksa tempat itu.
"Masih ada, Kakang," terdengar suara seorang
prajurit berkata pada kawannya.
"Beres. Bocah itu sangat berbahaya," sahut yang
lain.
"Ayo kita pergi!" ajak prajurit pertama. Sepertinya
mereka takut kalau-kalau Pendekar Gila keluar dan
menyerang mereka. Kedua prajurit jaga itu pun
kembali meninggalkan penjara bawah tanah.
Sementara itu, Naga Brahma dan Supit Songong
masih terus membuat lorong panjang, yang meng-
hubungkan penjara bawah tanah di Istana Telaga
Mas dengan Pulau Karang Api.
"Ayo Supit! Kita harus menyelesaikan pekerjaan
malam ini juga," ujar Naga Brahma memberi
semangat pada anak angkatnya, sekaligus muridnya.
"Baik, Rama."
Bocah kecil berusia sekitar sepuluh tahun yang
sekujur tubuhnya ditumbuhi sisik itu terus menggali
lubang, dibantu Naga Brahma. Supit Songong tak
ubahnya seperti seekor tikus yang menggali lubang.
Begitu cepat hingga dalam sebentar saja, lorong itu
telah sampai di pertengahan jalan.
Supit Songong yang merasa sudah sampai, segera
merangkak naik untuk melihat sudah sampai di mana
dia menggali lubang. Kini kepala bocah bersisik itu
muncul di permukaan tanah, menimbulkan sebuah
lubang di kaki Gunung Kapur.
"Ah, belum sampai," gumamnya seraya turun lagi.
"Bagaimana, Supit?"
"Belum, Rama. Kita baru sampai di Gunung
Kapur," jawab bocah kecil itu.
"Berarti tinggal sedikit lagi. Ayo, kita harus cepat!"
ajak Naga Brahma sambil terus bekerja membuat
lubang besar dan panjang itu.
Dos!
Tanah yang menjadi dinding panjang bawah tanah,
seketika jebol. Hal itu membuat Pendekar Gila
tersentak kaget. Namun ketika tahu siapa yang
datang, dengan senang disambutnya mereka.
"Aha, Paman rupanya yang datang. Terimalah
sembahku, Paman."
"Ah, sudahlah, jangan buang-buang waktu! Kau
harus segera keluar dari sini," sahut Naga Brahma.
"Ikutiah aku!"
"Baik, Paman."
"Supit, tutup lagi terowongan ini dengan rapi, agar
tak diketahui orang lain," perintah Naga Brahma pada
anak angkatnya, si bocah bersisik dan berlidah ular.
"Baik, Rama."
Supit Songong segera bekerja dengan giat,
menutupi kembali lubang yang telah dibuatnya.
Dalam sekejap saja, dinding penjara bawah tanah itu
kembali seperti semula bagaikan tak pernah terjadi
apa-apa.
***
Pendekar Gila dan Naga Brahma serta Supit
Songong akhirnya sampai di Pulau Karang Api,
tempat bersemayam Naga Brahma dan Supit
Songong.
"Wuah, segar sekali! Tiga hari aku terkurung di
bawah tanah," gumam Sena sambil merentangkan
kedua tangan menghirup udara terbuka yang terasa
sangat segar. Mulutnya kembali cengengesan,
dengan tangan tak luput menggaruk-garuk kepala.
"Apa yang sebenarnya terjadi di Istana Telaga Mas,
Sena?" tanya Naga Brahma ingin tahu.
"Rumit, Paman," jawab Sena seenaknya sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Apanya yang rumit?"
"Mungkin lusa, Istana Telaga Mas akan berdarah,"
desah Sena. "Pertumpahan darah tak akan bisa
dihindarkan. Kasihan Baginda Aji Wardana."
Naga Brahma dan Supit Songong terdiam, men-
dengar penuturan Pendekar Gila. Sedangkan
Pendekar Gila, cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Kemudian terdengar suara lenguhannya.
"Ah, kasihan raja tua itu. Dia tak sadar, kalau
musuh telah menyusup ke dalam istana," kembali
Sena bergumam.
"Bisakah kau menjelaskan, apa yang sebenarnya
tengah berkemelut di Istana Telaga Mas, Sena?" pinta
Naga Brahma.
"Aha, dengan senang hati," jawab Sena.
Pendekar Gila kemudian menuturkan apa yang
telah terjadi di Istana Telaga Mas. Tentang selir raja
yang berambisi merebut kekuasaan suaminya. Nyi
Mas Lindri berhasrat dan begitu bersemangat untuk
menjadi ratu. Hal itu karena wanita cantik itu seorang
wanita cabul. Bila dirinya menjadi ratu, sudah dapat
dipastikan, tak akan ada pemuda tampan yang
berkeliaran. Para pemuda akan menjadi pemuas
nafsunya.
Nyi Mas Lindri dengan ayahnya, kini menghimpun
kekuatan untuk menyerbu ke istana. Bahkan diduga
pelaku pembunuhan terhadap dua orang anak
Baginda Aji Wardana, tak lain orang-orang dalam
istana sendiri.
"Nah, begitulah kisahnya. Kini Istana Telaga Mas
dalam bahaya, tinggal menunggu saatnya, istana itu
akan berdarah. Pertumpahan darah akan terjadi di
Sana," tutur Sena mengakhiri ceritanya.
"Walah..., pertanda bahaya...!" gumam Naga
Brahma turut merasa sedih mendengar apa yang
bakal terjadi di Istana Telaga Mas.
"Begitulah, Paman. Aku sendiri sedang bingung,
harus bagaimana menolong Baginda Aji Wardana. Di
pihak lain, tentunya aku harus menghadapi para
pemberontak, yang nampaknya berjumlah besar,"
tukas Sena seperti ingin meminta pendapat Naga
Brama
"Selamatkan saja Baginda Aji Wardana! Mengenai
pemberontak, biar Supit yang menghadapinya.
Setelah menyelamatkan baginda, barulah kau
membantu Supit. Bagaimana dengan cara itu, apa
kau setuju dengan cara yang kukatakan?" tanya Naga
Brahma.
"Hm, betul juga. Baiklah kalau begitu, Paman.
Memang jalan satu-satunya harus menyelamatkan
Baginda Aji Wardana dan sisa kelurganya yang hidup,
jika pemberontakan itu meletus," gumam Sena.
"Bagaimana Supit, apakah kau siap?" tanya Naga
Brahma.
"Saya siap, Rama," jawab Supit Songong yang
sedari tadi diam.
"Bagus kalau memang begitu. Bantulah kakakmu,
Supit!"
"Baik, Rama. Bahkan jika Rama mengizinkan, ingin
sekali aku ikut terus dengan Kakang Sena," kata
bocah bersisik ular itu dengan senyum mengembang
di bibirnya. Matanya memandang Pendekar Gila yang
cengengesan sambil garuk-garuk kepala.
"Aha, kalau aku tak keberatan, Supit. Tetapi, kau
tentunya harus menyelesaikan dulu semua ilmu yang
Paman turunkan! Bukan begitu, Paman?"
"Ya, benar. Kau harus menyelesaikan semua ilmu
yang Rama berikan, Supit."
"Baik, Paman."
"Kembali pada masalah yang tadi kau ceritakan,
hanya menyelematkan Baginda Aji Wardana, jalan
terbaik. Ajaklah Baginda Aji Wardana ke lorong itu.
Lewat lorong itu, tak ada yang mengetahui. Para
pemberontak pun tak mungkin dapat mengejar,"
saran Naga Brahma.
"Wah, betul pendapatmu, Paman. Ah, ternyata aku
semakin tolol saja," gumam Pendekar Gila sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya.
"Ah, kau terlalu merendah, Pendekar Gila. Mana
mungkin Dewata memilihmu sebagai penegak
kebenaran dan keadilan, jika kau tolol?" tanya Naga
Brahma. "Hyang Widhi telah menggariskan, dirimu
sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Kurasa,
Hyang Widhi tak seenaknya menurunkan seseorang
untuk menjadi pendekar. Hyang Widhi telah memilih
janin bayi yang akan keluar dari rahim manusia."
"Aha, sungguh berharga sekali apa yang kau
tuturkan, Paman. Ah, aku semakin bertambah kerdil
dan bodoh di hadapanmu," gumam Sena dengan
mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala-
nya.
"Jangan berkecil hati begitu, Sena! Jiwamu agung.
Bayangkan abdimu adalah Kakang Naga Sakti, yang
jika murka tak dapat seorang manusia atau dewa pun
mampu menanggulanginya. Tapi di tanganmu,
Kakang Naga Sakti begitu patuh dan setia. Bukankah
itu pertanda kebesaranmu...?!" ujar Naga Brahma
berusaha meyakinkan Pendekar Gila.
"Benar, Kakang. Sungguh kau sangat beruntung,
menjadi tuan dari Paman Naga Sakti," sambung Supit
Songong.
Pendekar Gila mengerutkan kening, mendengar
penuturan Naga Brahma. Naga Sakti yang menjelma
suling dan menjadi senjatanya memang sangat sakti.
Tapi menurutnya, bukan karena dirinya yang sakti.
Dibandingkan dengan Hyang Widhi, ilmunya belum
seberapa. Itu pula yang menjadikan Pendekar Gila
senantiasa sadar, bahwa apa yang semuanya terjadi
tak luput dari pengamatan mata Hyang Widhi yang
maha mengetahui.
Keakraban telah terjalin antara mereka berdua.
Meski Pendekar Gila manusia, sedangkan Naga
Brahma seekor ular naga. Hal itu karena antara
mereka ada hubungan kuat saling menghargai satu
sama lain. Sifat saling hormat dan mencintai antar
sesama makhluk ciptaan Hyang Widhi, membuat
mereka bisa melakukan hubungan baik.
Setelah bertukar pikiran sampai larut, Sena
akhirnya meminta diri untuk tidur di dalam goa.
Waktu itu Supit Songong telah tidur. Namun, cara
tidur bocah bersisik itu aneh. Bukan merebah,
melainkan berdiri dengan salah satu kakinya
diangkat, bertengger di kaki yang lainnya.
"Hai, sedang apa pula Adik Supit, Paman?" tanya
Sena ketika melihat cara tidur Supit Songong.
"Itulah cara tapa yang Paman ajarkan padanya. Dia
bisa tidur sambil berdiri, dengan salah satu kakinya
terangkat."
"Aha, lucu sekali! Untuk apa hal itu dilakukan,
Paman?" tanya Sena semakin ingin tahu, apa
gunanya cara tidur sambil berdiri itu.
"Dengan membiasakan tidur berdiri seperti itu,
batinnya akan senantiasa mampu mengendalikan
hawa nafsu. Selain itu dapat membedakan gerak
benda sekecil apa pun dengan mata terpejam. Dia
tahu, kau kini sedang berada di hadapannya, meski
pun tertidur," tutur Naga Brahma menjelaskan.
Pendekar Gila semakin terkagum-kagum men-
dengar penuturan Naga Brahma. Dia baru melihat,
cara tidur yang aneh. Dengan cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala, kakinya melangkah men-
dekat ke Supit Songong. Kemudian berusaha ikut
melakukan hal seperti yang dilakukan Supit Songong.
"Aha, enak juga, Paman!" ujar Sena dengan
kekonyolannya.
Naga Brahma tertawa terbahak-bahak menimbul-
kan suaranya yang menggelegar.
Malam pun semakin jauh, membawa mereka ke
dalam kegelapan bersama hawa dingin yang
perlahan-lahan menyelimuti tubuh. Namun, karena
telah terbiasa dalam keadaan begitu, mereka pun tak
merasakan. Mereka segera tertidur nyenyak.
Sementara itu, jauh di Istana Telaga Mas, malam
itu kembali di istana gempar karena terbunuhnya
anak bungsu Baginda Aji Wardana. Semua peristiwa
itu sama. Korban ditusuk sebilah senjata yang
menghujam dada, dalam keadaan tidur pulas. Hal itu
membuat Baginda Aji Wardana bertambah marah dan
putus asa. Bagaimanapun, kini ketiga anaknya telah
tiada. Semua tewas terbunuh. Namun, sampai sejauh
itu, belum juga diketemukan siapa pelaku dari semua
peristiwa itu.
"Geledah istana! Siapa pun pelakunya, harus
dihukum mati!" seru Baginda Aji Wardana pada para
prajurit. "Paman Path Arya Denta, kau kutugaskan
membersihkan istana ini dari para pemberontak.
Rupanya apa yang dikatakan pemuda gila itu benar
adanya. Di sini telah kemasukan para pemberontak."
"Daulat, Baginda. Segala titah yang Baginda
sabdakan, akan hamba lakukan," jawab patih Arda
Denta. "Prajurit, ikut aku!"
Malam itu juga, Patih Arya Denta beserta para
prajurit melaksanakan apa yang dititahkan Baginda
Aji Wardana. Mereka langsung melakukan peng-
geledahan terhadap semua yang ada di Istana Telaga
Mas dan sekitarnya. Namun mereka tak juga dapat
menemukan tanda-tanda adanya pemberontakan
yang menyusup di istana.
"Penjagaan harus dilipatgandakan!" perintah Patih
Arda Denta menegaskan. "Jelas pemberontak telah
menyusup ke dalam istana. Siapa pun yang dicurigai,
harus ditangkap untuk ketertiban dan keamanan!"
Kini Istana Telaga Mas benar-benar berdarah,
meski belum banjir. Tiga nyawa putra Baginda Aji
Wardana, menjadi korban. Namun sejauh itu, belum
juga didapat tanda-tanda akan terjadi pem-
berontakan.
***
8
Istana Telaga Mas kini benar-benar dilanda
ketegangan. Ancaman pemberontak bagaikan men-
cekam jiwa para penghuni istana yang setia pada
sang Baginda Aji Wardana. Siang itu Baginda Aji
Wardana, dan para sesepuh kerajaan serta Patih Arya
Denta mengadakan pertemuan. Mereka membahas
masalah pembunuhan yang telah merenggut ketiga
putra Baginda Aji Wardana. Baginda semakin cemas
terhadap keselamatan dirinya dan sang Permaisuri.
Karena bagaimanapun, pembunuh biadab yang di-
duga orang dalam istana itu tentu ingin menyingkir-
kan raja dan permaisuri.
Suasana ruang pertemuan yang dinamakan ruang
Inggil Kepanggihan nampak hening. Tak ada seorang
pun yang berani membuka mulut, seperti tercekam
perasaan mereka sendiri, setelah kejadian pem-
bunuhan demi pembunuhan melanda putra-putra
Baginda Aji Wardana. Apalagi kini baginda nampak
bermu-am durja. Kilatan matanya, menggambarkan
kemarahan yang terpendam.
Lama suasana ruang Inggil Kepanggilan hening.
Hanya desah napas yang terdengar.
"Istana kini sudah tak aman lagi," kata Baginda Aji
Wardana setengah mengeluh. "Sampai saat ini,
belum juga diketemukan tanda-tanda dan jejak si
pembunuh biadab itu!"
Semua yang hadir pada persidangan itu tak ada
yang menyahut. Mereka diam membisu, tak ada yang
hendak membuka suara. Baik para sesepuh maupun
para pembesar istana, seperti Patih Arya Denta,
Senapati Awong Purbo, dan para hulubalang. Mereka
yang sebenarnya tahu, pelaku dari pembunuhan-
pembunuhan keji itu, membungkam mulut.
"Mungkin benar apa kata Pendekar Gila, kalau Nyi
Mas Lindri terlibat di dalamnya," tutur Baginda Aji
Wardana kemudian, setelah lama tak ada yang
menyahut.
Kembali baginda memandangkan matanya ke
seluruh dewan sidang yang hadir. Tetapi semuanya
kembali hanya diam, malah menundukkan kepala,
ketika baginda menatap pada mereka.
"Kenapa diam? Kalian sudah seperti kerbau
dicocok hidungnya? Kalian sebagai prajurit, tak ubah-
nya seperti kerbau-kerbau dungu!" dengus Baginda Aji
Wardana antara marah dan panik.
Para prajurit tetap diam dan hanya tertunduk
mendengar kemarahan sang Baginda.
"Bawa pemuda gila itu ke tempat sidang!" perintah
Baginda Aji Wardana pada prajurit pengawal.
"Daulat, Baginda," kedua prajurit pengawal
menyembah, kemudian melangkah meninggalkan
ruang sidang.
Wajah Baginda Aji Wardana kini benar-benar
diliputi ketakutan dan rasa cemas. Dia bagaikan
menerima siksaan batin yang sangat kuat. Namun,
Baginda Aji Wardana sadar, kalau sampai dia jatuh
sakit, tentunya para pemberontak akan dengan
mudah merebut singgasana kerajaan. Pemberontak
mungkin akan mengumumkan pada rakyat, bahwa
raja mereka dalam keadaan tak berdaya dan anak-
anaknya terbunuh.
Baginda Aji Wardana tak ingin kejadian itu ber-
langsung di kerajaannya. Hatinya tak ingin Istana
Telaga Mas dikuasai orang-orang yang tak ber-
tanggung jawab. Orang-orang yang akan menyalah-
gunakan tanggung jawab dan wewenang.
Sebenarnya Baginda Aji Wardana juga mau turun
tahta. Namun karena dipandangnya belum ada yang
pantas untuk menggantikan dirinya, maka tetap
dipegangnya tampak pimpinan kerajaan.
Dua orang prajurit yang diperintah untuk meng-
ambil Pendekar Gila dari tahanan bawah tanah, telah
kembali dengan wajah nampak tegang. Hal itu
membuat Baginda Aji Wardana mengerutkan kening.
"Mana bocah itu?" tanya Baginda Aji Wardana.
"Pendekar itu menghilang, Gusti."
"Apa?! Apakah kau tak berdusta, Prajurit? Mana
mungkin di penjara bawah tanah dapat lepas!" bentak
Baginda Aji Wardana semakin marah, "Apakah telah
kalian periksa, mungkin pemuda itu merusak
sesuatu?"
"Ampun, Baginda! Tak ada kerusakan sekecil apa
pun. Anak muda itu benar-benar menghilang," jawab
kedua prajurit itu setelah menyembah lagi.
Terbelalak semua mata yang ada di tempat sidang
mendengar laporan kedua prajurit. Baginda Aji
Wardana semakin tegang, Pikirannya kini ber-
kecamuk dengan rasa takut yang mendera jiwanya.
"Mungkinkah pendekar itu juga pemberontak?"
tanya Baginda Aji Wardana dalam hati bimbang.
"Ampun, Baginda Yang Mulia! Hamba rasa, pelaku
pembunuhan itu Pendekar Gila." Senapati Awong
Purbo, berusaha mengambil kesempatan baik itu
untuk mengecohkan pikiran Baginda Raja Aji
Wardana yang semakin kacau dan bimbang.
"Hm, kalau memang benar dia bisa menghilang,
kurasa benar apa katamu, Senapati. Cari pendekar
itu, tangkap hidup atau mati!" perintah Baginda Aji
Wardana.
"Daulat, Baginda Yang Mulia. Hamba pamit
mundur," pinta Senapati Awong Purbo sambil
menyembah. Kemudian segera meninggalkan
ruangan sidang. Sang Baginda yang duduk di atas
singgasananya tampak hanya mengangguk. Sedang-
kan para sesepuh duduk diam di samping kanan dan
kirinya. Patih Arya Denta duduk di sisi para sesepuh
istana. Sedangkan para hulubalang dan petinggi
istana, duduk bersila di bawah.
"Paman Patih, Bagaimana menurut pendapatmu?"
tanya Baginda Aji Wardana menatap wajah patihnya.
"Ampun, Baginda! Hamba rasa Baginda harus
berhati-hati. Jelas sekali, kalau para pemberontak
telah menyusup dalam istana. Bahkan mungkin, para
prajurit sebagian besar telah ditutup mulutnya agar
tak memberitahukan pada kita," tutur Patih Arya
Denta.
Baginda Aji Wardana mengangguk-anggukkan
kepala, menyetujui ucapan patihnya.
"Ki Gede Mundu, bagaimana menurut pendapat-
mu?" tanya Baginda Aji Wardana kepada penasihat-
nya.
"Ampun, Baginda! Menurut hamba, apa yang
dikatakan Paman Path benar adanya. Baginda harus
hati-hati, jangan terlalu sering mengadakan per-
temuan seperti ini! Karena mata-mata musuh,
mungkin akan mendengar dan melaporkan pada
pimpinan pemberontak."
"Baiklah, sidang kububarkan," Baginda Aji
Wardana pun menutup pertemuan itu, setelah
merasa ucapan Patih Aya Denta dan Ki Gede Mundu
dianggapnya benar. Mereka pun segera meninggal-
kan ruang sidang untuk kembali bekerja pada
tempatnya masing-masing.
***
Malam merangkak dengan suasana agak gelap.
Bulan sabit tampak berada di langit sebelah barat.
Angin malam bertiup semilir basah, membawa rasa
dingin. Para prajurit tampak masih berjaga-jaga di
sekitar Istana Telaga Mas. Mereka kini dilipat-
gandakan jumlahnya, agar sewaktu-waktu terjadi
pemberontakan mereka telah siap.
Di kejauhan lolongan anjing hutan terdengar
menyayat, terasa kian mencekam. Angin terus
menghembuskan hawa dingin yang menusuk tulang
sum-sum. Juga membawa rasa kantuk.
Para penjaga masih berusaha menahan rasa
kantuk yang menyerang mata, ketika tiba-tiba
terdengar suara pekikan dari luar benteng istana.
"Serbuuu...!"
"Seraaang...!"
"Singkirkan raja tua tak berarti ituuu...!"
Para prajurit segera bersiap. Mereka langsung
menabuh kentongan untuk membangunkan prajurit
lain. Namun para prajurit yang bermunculan dari
belakang istana tiba-tiba menyerang dan membunuh
prajurit jaga. Hal itu mengakibatkan suasana makin
kacau. Banyak prajurit istana yang masih setia pada
Baginda Aji Wardana tersentak kaget, melihat teman-
teman mereka banyak yang memihak kepada
pemberontak.
"Bedebah! Rupanya kalian pemberontak yang telah
menyusup ke istana!" dengus para prajurit yang setia
pada Baginda Aji Wardana. Kemudian dengan gagah
berani tanpa merasa takut sedikit pun, prajurit
pengikut Baginda Aji Wardana menghadang serangan
dari luar dan dalam.
"Hea!"
"Tumpas pemberontak...!" teriak Patih Arya Denta
yang baru bangun dari tidur, karena kaget mendengar
teriakan para prajuritnya.
"Patih keparat! Aku lawanmu!" tiba-tiba Senapati
Awong Purbo menghadang. Hal itu membuat Patih
Arya Denta membelalakkan mata.
"Keparat! Rupanya kau pun biang pemberontak,
Senapati! Kubunuh kau! Heaaa...!"
"Hea!"
Dengan senjata berupa keris di tangan mereka,
kini patih dan senapati saling serang. Pertarungan
antara pemberontak dengan pihak kerajaan pun
semakin seru.
"Hea!"
Trang!'
Pekikan-pekikan keras yang ditingkahi dentang
senjata berbenturan kian memecah suasana malam.
Crab!
"Wua!"
Pekikan-pekikan pun tak luput mulai terdengar dari
prajurit yang gugur. Suasana di alun-alun Istana
Telaga Mas yang semula sepi kini hiruk-pikuk dari
suara-suara jeritan prajurit dan beradunya senjata.
Pertarungan antara Patih Arya Denta melawan
Senapati Awong Purbo berjalan dengan seru. Dengan
senjata berupa keris, mereka terus berkelebat saling
serang.
"Hea!"
"Yea!"
Trang!
"Mampuslah, Senapati Keparat!" dengus Patih Arya
Denta seraya terus mendesak Senapati Awong Purbo
dengan sabetan dan tusukan kerisnya. Senapati
muda itu tampak kewalahan dan hanya bisa
mengelak.
"Celaka! Matilah aku...!" Pekik Senapati Awong
Purbo dalam hati, agak ciut nyalinya menyaksikan
serangan-serangan gencar yang dilakukan Patih Arya
Denta.
"Tamatlah riwayatmu, Pengkhianat! Heaaa...!"
Patih Arya Denta beringas melakukan serangan.
Keris di tangannya berkelebat cepat, menusuk ke
dada lawan yang telah terdesak hebat
"Mati aku...!" keluh Senapati Awong Purbo dengan
mata terbelalak, ketika keris di tangan Patih Arya
Denta semakin cepat menusuk ke dadanya. Tak ada
kesempatan lagi baginya untuk dapat mengelakkan
serangan lawan yang sangat cepat dan mematikan
itu. Sesaat lagi, nyawa senapati pengkhianat itu
hampir mati di tangan Patih Arya Denta. Namun, tiba-
tiba....
Trang!
"Ukh!" Patih Arya Denta terpekik sambil melompat
mundur, ketika senjatanya beradu dengan senjata
berupa dua bilah pedang kembar di tangan orang
asing berhidung betet "Siapa kau?! Kenapa kau ikut
campur dalam pemberontakan ini, Orang Asing!"
bentak Patih Arya Denta.
"He he he...! Siapa aku sebenarnya, tak jadi
masalah. Yang pasti, kau dan rajamu harus
disingkirkan!" jawab lelaki berhidung betet yang
bernama Takakira dengan mencibirkan bibirnya.
"Keparat, kubunuh kau!" dengus Patih Arya Denta
sengit sambil bergerak hendak menyerang. Namun
mendadak terdengar teriakan seorang pemuda
didahului gelak tawa membahana.
"Hua ha ha...! Paman Patih, biarkan mereka!
Adikku yang menghadapi! Kau bantulah baginda
menyelamatkan diri!" seru Sena.
Patih Arya Denta dan prajurit yang masih setia
pada Baginda Aji Wardana, juga para pemberontak
tersentak kaget, mendengar seruan Pendekar Gila.
Apalagi Rama Mangunda serta si Payung Sakti dan
Takakira yang telah tahu siapa pemuda itu. Mereka
kaget melihat kehadiran Pendekar Gila yang secara
tiba-tiba.
"Bukankah dia berada dalam penjara?" tanya
Rama Mangunda seperti bertanya pada diri sendiri.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian! Tikus-tikus Busuk!
Rupanya kalian mencari mati! Hua ha ha...! Supit,
hadapi mereka!" seru Sena sambil terus tertawa
terbahak-bahak dengart tangan menggaruk-garuk
kepala.
"Baik, Kakang," jawab bocah bersisik ular yang tak
lain Supit Songong. Semua orang yang ada di alun-
alun istana terbelalak melihat keanehan bocah kecil
berusia sekitar sepuluh tahun itu.
"Hadang mereka, jangan sampai mengejar kami,
Supit," seru Sena lagi.
"Baik, Kakang. Pergilah bersama Paman Patih! Biar
kulabrak orang-orang itu," jawab Supit Songon sambil
menyeringai geram menunjukkan lidahnya yang
merah dan bercabang. Matanya yang merah mem-
bara, menatap tajam para pemberontak di bawah
pimpinan Rama Mangunda.
"Ayo Paman Patih, kita tak punya waktu!" ajak
Sena. Dengan cepat Pendekar Gila melesat ke istana
diikuti Patih Arya Denta.
Takakira dan Senapati Awong Purbo hendak
mengejar, tetapi bocah ular Supit Songong telah
menghadangnya. Hal itu membuat keduanya ter-
sentak dan mengurungkan niat mengejar Pendekar
Gila dan Patih Arya Denta.
"Grrr! Hoarrr...!"
Supit Songong mengeluarkan suaranya yang
menggelegar, dan memekakkan telinga. Hal itu
semakin membuat Senapati Awong Purbo dan
Takakira tersentak. Mereka belum sempat melakukan
serangan, bocah ular itu telah menyerangnya dengan
cengkeraman tangan yang berkuku panjang dan
tajam.
"Grrr! Hoarrr!"
"Awaaas...!"
Wrt
Tangan kecil berkuku runcing berkelebat ke muka
kedua lawannya. Mereka tersentak kaget. Cepat-
cepat keduanya mengelit ke samping. Kemudian
melepaskan pukulan ke tubuh Supit Songong. Namun
dengan cepat, bocah sakti itu melentingkan tubuh ke
atas. Dan dengan cepat pula, menukik menyerang
dengan cengkeraman mautnya.
"Grrr! Hoarrr...!"
Kedua lawannya dibuat kalang kabut menghadang
serangan-serangan bocah bersisik ular itu. Bocah
yang matanya membara seperti api itu terus bergerak
cepat menyerang kedua lawannya.
***
Sementara itu, Pendekar Gila dan Patih Arya Denta
telah masuk istana. Keduanya terus menerobos
masuk ke kamar baginda. Firasat mereka mengata-
kan kalau Baginda Aji Wardana kini dalam ancaman
Nyi Mas Lindri, terbukti wanita cantik berhati iblis itu
tak tampak di luar.
Brakkk!
Pendekar Gila mendobrak pintu kamar. Saat itu
pula Nyi Mas Lindri yang sedang menyerang Baginda
Aji Wardana dan istrinya tersentak kaget. Matanya
terbelalak, ketika melihat kehadiran Pendekar Gila.
Bukan hanya Nyi Mas Lindri yang kaget atas
kehadiran Pendekar Gila. Baginda dan permaisuri pun
kaget.
"Pendekar Gila...!" desis mereka barbarengan.
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan
cengengesan dan menggeleng-gelengkan kepala
melangkah mendekati Nyi Mas Lindri.
"Pemberontak busuk! Ha ha ha, wajahmu cantik
sekali, Nyi! Sayang, hatimu iblis! Kau harus ditangkap!
Hi hi hi!"
Sena bergerak hendak menangkap Nyi Mas Lindri,
tetapi dengan cepat wanita cantik itu mengelak.
Kemudian dengan menabrak jendela kamar serta
melompati Baginda Aji Wardana, Nyi Mas Lindri
melesat keluar.
"Aha, mau lari ke mana kau, Iblis Betina! Hua ha
ha...! Maaf, Baginda!"
Pendekar Gila melesat mengejar Nyi Mas Lindri.
Seperti tak ingin kehilangan buruannya yang cantik
tetapi berhati iblis.
Nyi Mas Lindri ternyata berlari ke alun-alun,
bergabung dengan para pemberontak yang dipimpin
ayahnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin
tertawa terbahak-bahak, karena memang itulah yang
diharapkan. Dengan begitu, dia dapat leluasa meng-
gempur para pemberontak.
"Paman Patih, selamatkan baginda! Biar aku dan
Supit Songong yang menghadang mereka!" seru
Sena, lalu melesat menuju alun-alun istana. Para
prajurit yang masih setia dengan Baginda Aji Wardana
serta para sesepuh istana menghadapi para
pemberontak yang dipimpin Rama Mangunda.
Pendekar Gila terus melesat dengan cepat,
menuju alun-alun yang terletak di depan Istana
Telaga Mas. Sementara Patih Arya Denta menye-
lamatkan baginda dan permaisurinya meninggalkan
istana.
"Hua ha ha...! Prajurit yang setia, serang terus!
Tikus-tikus busuk itu memang harus dibasmi. Hi hi
hi..!" dengan tingkah lakunya yang konyol, Pendekar
Gila berjingkrakan sambil menggaruk-garuk kepala.
Dia segera membantu para prajurit dan sesepuh
istana yang masih terus berusaha menghadang
serangan lawan.
Dengan kehadiran Pendekar Gila dan bocah sakti
membuat semangat para prajurit istana yang masih
setia pada Baginda Aji Wardana kembali pulih.
Mereka dengan gagah berani, terus berusaha
menghadapi lawan.
"Tumpas pemberontak...!"seru Ki Gede Mundu.
"Aha, benar katamu, Ki. Tikus-tikus itu memang
harus ditumpas dari muka bumi! Hi hi hi...!" dengan
cengengesan, Pendekar Gila bergerak menghadang si
Payung Sakti yang sedang mengamuk. Sedangkan Ki
Gede Mundu dan keempat sesepuh istana lainnya
menghadapi Nyi Mas Lindri dan Rama Mangunda.
Sementara, Supit Songon semakin mendesak kedua
lawannya.
"Seraaang...!" perintah Ki Gede Mundu.
Prajurit istana yang semula ciut nyalinya, kini
makin bersemangat. Apalagi kini telah hadir dua
orang sakti yang patut diandalkan. Seorang pemuda
gila dan seorang bocah ular yang sakti. Dalam
beberapa gebrakan saja mereka mampu mendesak
lawan.
"He he he! Supit, bereskan kedua tikus itu! Hua ha
ha...!" seru Sena pada Supit Songong. Sedangkan dia
kini bergerak menggempur si Payung Sakti. Tubuhnya
meliuk-liuk, bagaikan menari-nari. Sesekali tangannya
menepuk ke tubuh lawan.
"Pendekar Gila! Kini akhir hidupmu! Heaaa...!"
Si Payung Sakti memutar payungnya dengan cepat,
menimbulkan angin yang menderu ke tubuh lawan.
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke atas. Lalu
menukik sambil menghantamkan pukulan tenaga
dalamnya dengan jurus 'Gila Terbang Mencengkeram'
"Hih!"
"Akh!" si Payung Sakti tersentak kaget, men-
dapatkan serangan yang cepat dan tiba-tiba itu.
Tubuhnya bergerak mengelak, tetapi payungnya ter-
hantam pukulan dahsyat Pendekar Gila.
Jlegar!
"Hi hi hi...! Payung bututmu kini seperti tubuhmu,
Nyi!" ejek Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepalanya.
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila!
Terimalah ajian 'Garang Gati'ku. Heaaa...!"
"Aha, mengapa gergaji kau bawa, Nyi? Hi hi hi...!"
Wrt!
Angin menderu kencang dari tangan si Payung
Sakti. Pendekar Gila tetap diam, kedua tangannya
disatukan. Kemudian dengan cepat dihempaskan
kedua telapak tangannya ke arah muka.
"Ini untukmu, Nyi! 'Inti Bayu', heaaa...!"
Wesss!
Segumpal angin kencang menderu keras ke tubuh
lawan.
Srt!
Jret!
"Akh...!" si Payung Sakti terpekik, ketika tubuhnya
tersapu angin topan yang keluar dari tangan
Pendekar Gila. Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak
sambil menggaruk-garuk kepala dengan tubuh ber-
jingkrak-jingkrak, menyaksikan tubuh si Payung Sakti
terlempar sapuan angin pukulannya.
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Nyi! Kenapa kau
main burung-burungan?!" ejek Sena terpingkal-
pingkal, dengan telunjuk menuding tubuh si Payung
Sakti yang terus melayang ke belakang. Tubuh
perempuan tua itu baru berhenti, setelah menerjang
pepohonan di luar istana.
Brakkk!
"Akh...!"
Lolongan kematian terdengar memecah malam,
ketika kepala si Payung Sakti pecah membentur
batang pohon besar.
"Pendekar Gila, aku lawanmu! Heaaa...!" Nyi Lindri
melihat ibunya mati, semakin marah. Tangannya kini
menyerang Sena dengan pukulan 'Gelap
Ngampar'nya. Perempuan cantik berpakaian merah
jambu itu penuh nafsu menyerang Pendekar Gila.
Wrt!
"Uts! Hi hi hi...!"
"Gelap gulitamu masih mentah, Nyi!" ejek Sena
sambil meliukkan tubuhnya mengelakkan hantaman
ajian 'Gelap Ngampar'.
Kekuatan ajian 'Gelap Ngampar' Nyi Mas Lindri
mampu membuat suasana malam bertambah gelap
Mendung di langit tiba-tiba menebal. Awan
berarak-arak menutupi langit di atas Istana Telaga
Mas.
"Kubunuh kau, Pendekar Gila! 'Gelap Ngampar',
yeaaa...!"
Wrrr!
Pendekar Gila yang diserang dengan ajian sakti
'Gelap Ngampar' malah tertawa terbahak-bahak.
Sepertinya sedikit pun tak terpengaruh pukulan-
pukulan yang mendatangkan kegelapan. Malah
dengan berjingkrak-jingkraan, Pendekar Gila balas
menyerang dengan jurus-jurus gilanya yang aneh dan
mengandung kekuatan dahsyat.
Pertarungan keduanya semakin seru. Sementara,
para prajurit dan pemberontak yang tengah ber-
tempur merasa keder melihat suasana yang tiba-tiba
berubah gelap gulita. Hanya Supit Songong yang
masih terus menggempur kedua lawannya.
"Grrr! Hoarrr...!"
Wrt!
Cakar-cakar tangan bocah bersisik ular itu melesat
begitu cepat ke tubuh lawan. Dan....
Crab, crab!
"Wuaaa...!"
Senapati Awong Purbo dan Takakira yang tak
dapat mengelakkan cengkeraman kuku-kuku tajam
Supit Songong, terpekik keras. Tubuh mereka
menggelepar-gelepar dengan leher terkoyak
berantakan terkena kuku-kuku tajam Supit Songong.
Kemudian ambruk dengan nyawa melayang.
Melihat kedua lawannya binasa, Supit Songo kini
beralih menyerang Rama Mangunda. Pimpinan
pemberontakan itu masih bertarung melawan kelima
sesepuh istana yang nampak kewalahan dengan
serangan-serangan lelaki tua itu. Apalagi dengan ajian
'Gelap Ngampar' yang dilancarkan Nyi Mas Lindri,
membuat kelima sesepuh istana itu bertambah
kalang kabut.
"Grrr! Oarrr...! Aku lawanmu, Pemberontak!" maki
Supit Songong seraya bergerak menyerang Rama
Mangunda yang tersentak kaget, melihat bocah ular
itu tiba-tiba menyerang dirinya dengan cakaran-
cakaran mautnya.
"Uts! Celaka...!" pekik Rama Mangunda kaget.
Cepat-cepat tubuhnya dilempar, berusaha meng-
hindar. Namun, Supit Songong kembali memburunya.
Hal itu membuat Rama Mangunda kian tersentak
kaget, dan terus berusaha mengelak sambil
melancarkan serangan-serangan balasan.
"Heaaa...!"
"Grrr! Goarrr!"
Supit Songong mengelit, kemudian dengan cepat
kembali menyerang.
Di tempat lain, Nyi Mas Lindri semakin ciut
nyalinya, melihat banyak korban di pihaknya. Apalagi
Pendekar Gila kini bagaikan tak mempan terhadap
serangan-serangan yang dilancarkannya.
"Celaka! Rama sepertinya juga terdesak. Ah, tak
ada pilihan lain, aku harus kabur dari tempat ini,"
desis Nyi Mas Lindri dalam hati.
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku!
Heaaa...!" tangan Nyi Mas Lindri mengambil sesuatu
dari balik bajunya. Kemudian dengan cepat
melemparkannya ke depan Pendekar Gila, yang
tersentak kaget.
Jlegar! Jlegarrr...!
Dua kali ledakan dahsyat menggelegar,
menyentakkan Pendekar Gila yang langsung
melompat ke belakang. Asap tebal mengepul
menutupi pandangannya.
"Aha, rupanya kau mau main-main petasan, Nyi!"
ujar Sena. Kemudian dengan ajian 'Inti Bayu'nya,
disapunya asap tebal itu sampai hilang. Seketika
matanya terbelalak, melihat Nyi Mas Lindri telah
menghilang dari pandangannya.
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil meng-
geleng-geleng kepala. Tangannya menggaruk-garuk
kepala.
"Hua ha ha, licik sekali kau, Nyi! Hm, ke mana pun
kau pergi, akan kukejar. Tapi biarlah, aku harus
membantu para prajurit menyelamatkan pem-
berontak itu," kata Sena sambil melangkah ke tempat
para prajurit yang tengah bertempur,
Dengan masuknya Pendekar Gila membantu para
prajurit yang masih setia pada Baginda Aji Wardana,
para pemberontak yang sudah ciut nyalinya karena
pimpinan-pimpinan mereka kabur dan mati dan dapat
didesak.
Sementara itu pula Supit Songong yang meng-
gunakan jurus 'Cakar Naga Sakti'nya terus memburu
Rama Mangunda. Tangannya bergerak cepat, men-
cakar ke muka dan dada lelaki tua itu.
"Grrr! Heaaa...!"
Wrt!
"Uts! Anak setan!" maki Rama Mangunda sambil
bergerak mengelak. Kemudian dengan cepat
membalas serangan dengan jurus 'Sapu Buana'.
Tangannya menghentak keras, mengeluarkan angin
pukulan yang dahsyat. Namun Supit Songong
bagaikan tak takut. Dengan cepat tubuhnya yang
kecil melompat dan terbang, lalu menukik melakukan
serangan balasan.
"Grrr! Kau harus mati, Orang Tua! Heaaa...!"
Supit Songong melesat cepat ke belakang tubuh
Rama Mangunda. Kemudian dengan cepat kedua
kakinya hinggap di pundak lelaki tua itu. Lalu secepat
kilat, sebelum lawannya sempat berbuat sesuatu
kedua tangan Supit Songong mencengkeram leher
Rama Mangunda. Digigit leher itu dengan giginya
yang tajam bertaring.
Crab!
"Aaakh...!"
Rama Mangunda terpekik, dia berusaha menying-
kirkan Supit Songong dari pundaknya. Namun, bocah
itu bagaikan tak peduli, terus mencengkeram dan
menggigit leher Rama Mangunda. Hal itu membua
orang tua itu kelojotan dengan mata melotot. Lalu
tubuhnya menggelepar-gelepar bagaikan ayam
disembelih, sebelum akhirnya ambruk dan mati.
Melihat para pimpinannya mati, prajurit pem-
berontak pun segera menyerah. Mereka segera
dilucuti senjatanya, lalu diperintahkan berkumpul di
alun-alun istana.
***
Dengan menyerahnya para pemberontak,
Pendekar Gila segera menyusul Baginda Aji Wardana
dan Patih Arya Denta yang mengungsi di Hutan
Kalaspitung. Hari itu pula, baginda dan patih kembali
ke istana, untuk kembali memegang tampuk
pimpinan sebagai Raja Istana Telaga Mas.
Pagi yang cerah, ketika mentari bersinar terang di
ufuk timur, di alun-alun istana rakyat berbondong-
bondong. Mereka datang setelah mendengar kabar
tentang pemberontakan yang dapat digagalkan.
"Hukum gantung saja para pemberontak itu!"
"Penggal saja kepala mereka...!"
"Jangan dikasih ampun...!"
Teriakan-teriakan rakyat Kerajaan Telaga Mas yang
marah, memecah pagi. Baginda Aji Wardana yang
duduk di singgasananya, menitikkan air mata. Sedih,
bahagia, serta bermacam perasaan beraduk jadi satu
di dadanya. Begitu pula dengan permaisuri tampak
bersedih.
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Telaga Mas...!"
"Gantung para pemberontak...!"
Rakyat terus berteriak karena marah yang meluap-
luap. Bahkan ada beberapa warga yang berusaha
memukul prajurit-prajurit pemberontak. Beruntung
sesepuh kerajaan dan Patih Arya Denta segera
melerainya.
"Mana Nyi Mas Lindri! Gantung saja dia...!"
"Ya, gantung saja!"
"Gantung iblis jahanam ituuu...!"
Baginda Aji Wardana masih mengurai air mata.
Berdiri di samping kiri dan kanannya, Pendekar Gila
dan Patih Arya Denta. Di samping Pendekar Gila yang
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, berdiri
bocah kecil yang tubuhnya dipenuhi sisi ular.
"Tenang..., tenanglah, Rakyatku," kata Baginda Aji
Wardana setelah lama terdiam. Rakyat kerajaan pun
seketika menurut, tenang dan diam. "Kita harus
bersyukur, karena Hyang Widhi masih mempercaya-
kan tampuk kerajaan ini padaku...!"
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Telaga Mas,..!"
Teriak rakyat penuh bersemangat, memecahkan
Kesunyian yang sekejap terjadi.
"Rakyatku yang kucintai, kita harus berterima kaah
pula atas pertolongan Hyang Widhi yang mengutus
dua orang pendekar guna menumpas keangkara-
murkaan yang melanda kerajaan ini. Dialah Sena
Menggala dan Supit Songong. Jika kalian rakyatku tak
keberatan, aku bermaksud mengangkat Sena sebagai
Senapati di Istana Telaga Mas ini," ujar Baginda Aji
Wardana.
"Setujuuu...!" sahut rakyat penuh semangat. "Hidup
senapati baru...!"
"Bagaimana, Sena? Rakyat Telaga Mas, meng-
harapkan kau bersedia jadi senapati di Istana Telaga
ini," kata Baginda Aji Wardana seraya menoleh pada
Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Ampun, Baginda! Sungguh suatu kehormatan
yang sangat tinggi bagi hamba, mendapat
kepercayaan menjadi senapati. Namun, hamba rasa
masih banyak yang lainnya. Apalah artinya hamba
yang bodoh dan liar ini. Seorang pengembara yang
tak pernah punya arah tujuan. Sekali lagi, hamba
mohon ampun, dengan menyesal hamba menolak.
Biarkanlah hamba mengabdi pada kehidupan ini. Lagi
pula, hamba masih harus menyelesaikan tugas
hamba, menangkap Nyi Lindri," ujar Sena dengan
rendah hati.
"Ya, kalau memang begitu, kami tak bisa
memaksamu, Sena. Yang kuharapkan, bantuanmu,
menangkap Nyi Mas Lindri hidup atau mati. Rasanya
belum tenang kerajaan ini, jika wanita iblis itu masih
berkeliaran," tutur Baginda Aji Wardana.
"Akan hamba usahakan, Baginda. Sekarang juga,
hamba mohon pamit!" pinta Sena.
"Doaku dan seluruh rakyat Istana Telaga Mas,
menyertaimu, Sena. Bagaimana dengan Anak Supit?"
tanya Baginda Aji Wardana.
"Adi Supit, akan kembali ke Pulau Karang Api lewat
lorong di penjara bawah tanah," tutur Sena yang
membuat baginda tersentak kaget. "Ampun, Baginda!
Sebenarnya dulu bukanlah hamba menghilang. Tetapi
Paman Naga Brahma dan Adi Supit-lah yang telah
menolong hamba, membuat terowongan yang meng-
hubungkan kerajaan ini dengan Danau Sambak
Neraka."
"O, begitu...?" ujar Baginda Aji Wardana. "Bolehkah
aku melihatnya?"
"Dengan senang hati, Baginda," jawab Supit.
Mereka pun mengantar Supit Songong ke penjara
bawah tanah. Kemudian dengan disaksikan baginda
serta yang lainnya, Supit Songong masuk ke penjara
bawah tanah. Di situ, Supit Songong membuka
terowongan yang tertutup. Lalu masuk ke lubang
besar itu. Baginda Aji Wardana melongong bengong
melihatnya.
"Wahai rakyatku sekalian! Sejak saat ini, Ki Naga
Brahma dan Anakmas Supit Songong, menjadi
saudara kita!" sabda Baginda Aji Wardana,
"Terowongan ini, sebagai lambang persaudaraan
kita."
"Hidup Baginda Aji Wardana...!"
"Hidup Ki Naga Brahma...!"
Sejak saat itu, antara Baginda Aji Wardana dan
Naga Brahma serta Supit Songong resmi terjalin
hubungan persaudaraan. Terowongan bawah tanah
yang ada di kerajaan, tetap dipelihara. Bahkan
Baginda Aji Wardana memerintah tenaga-tenaga ahli
untuk memperbaiki penjara bawah tanah itu sebagai
tempat yang indah. Tempat yang akan digunakannya
untuk mengadakan pertemuan dengan Naga Brahma
atau pendekar golongan putih yang lain.
Nah, bagaimana dengan Nyi Mas Lindri?
Mampukah Pendekar Gila menangkap wanita cantik
berhati iblis itu? Untuk lebih jelasnya, ikuti lanjutan
kisah "Istana Berdarah" ini dalam judul:
"Pengkhianatan Joko Galing".
SELESAI
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
Emoticon