Ki Praba menepuk bahu Sena, lalu merangkulnya.
“Aku bagaikan mimpi bertemu dengan murid Singo
Edan yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi.
Dan kuharap kau mau tinggal di desa ini sesuka hati,
“Kami berdua bukan hanya setuju, Ki. Bahkan
dengan sangat hormat mengharapkan Pendekar mau
mengabulkan permohonan kami,” jawab Sanjaya
dengan wajah berseri-seri penuh harap.
“Bukankah kita telah saling akrab? Walaupun
semula kami berdua merasa curiga terhadap
Pendekar...,” sahut Purnama menyambung kata-kata
kakaknya.
“Benar,” Kembali Sanjaya membenarkan, “Maaf-
kan atas kecurigaan kami itu...!”
Pendekar Gila hanya tertawa sambil menggaruk-
garuk kepala. Matanya menatap wajah Purnama dan
Sanjaya dengan mulut cengengesan.
“Sudah pernah kukatakan kepada Purnama
bahwa aku tak ingin melihat orang lemah tertindas,
diperas, dan disakiti. Aku sangat senang dapat
berkawan, bahkan menjalin persaudaraan dengan
kalian berdua. Juga semua penduduk di desa ini. Tapi
aku tak bisa tinggal lebih lama di sini...,” ujar Sena.
Mendengar ucapan akhir Sena wajah mereka
nampak berubah, penuh kekecewaan. Harapan
mereka agar pendekar itu bisa memberikan
ketenangan bagi warga Desa Karang Galuh.
Melihat itu, Sena memahami dan harinya
tergugah.
“Tapi..., demi Ki Praba dan kalian, serta semua
penduduk Desa Karang Galuh..., aku setuju. Tapi
mungkin hanya satu atau dua hari saja...,” ujar Sena
seraya cengengesan.
Walaupun merasa kurang puas dengan jawaban
Sena. Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama nampak
sedikit gembira. Setidak-tidaknya mereka dapat
terhibur. Dan dapat bertukar pikiran dengan Sena
yang mereka segani dan kagumi.
Sena merangkul Sanjaya dan Purnama, dengan
penuh keakraban.
“Ayolah, kita kembali ke rumah...!” ajak Ki Praba
kemudian.
“Bagaimana dengan mayat-mayat ini, Ki?” tanya
Purnama.
“Oh, ya. Sebaiknya kita bereskan dan kita kubur
mereka,” jawab Kepala Desa Karang Galuh itu.
Maka bergegaslah mereka mengumpulkan para
penduduk untuk menguburkan mayat-mayat itu.
***
Sore telah berganti malam. Suasana di Desa
Karang Galuh nampak mulai tenang. Terdengar suara
gamelan dari salah satu rumah penduduk. Gending
yang dibawakan begitu meresap, lalu mengalun
merdu suara seorang wanita yang diiringi gending
Jawa itu.
Nyanyian itu menggambarkan kesuburan desa dan
gagahnya pendekar pelindung kaum lemah. Gamelan
dan gending mengalun terus sampai jauh malam.
“Alangkah senang dan tenteramnya hati, jika kita
dapat merasakan keadaan seperti ini selama-
lamanya...!” ujar seorang lelaki yang duduk di serambi
rumah bersama beberapa orang warga desa lainnya.
'Ya..., aku selalu berdoa agar pendekar itu tetap
tinggal di desa ini...!” sahut seorang pemuda yang
duduk di sisinya.
“Tapi, kurasa cukup Den Sanjaya dan Purnama
saja. Keduanya juga memiliki ilmu yang cukup
lumayan,” sahut yang lainnya.
“Benar. Tapi kau lihat tadi. Kalau saja pendekar itu
tak cepat bertindak, tentu Den Sanjaya dan Purnama
akan dapat dikalahkan oleh orang-orang jahat itu.
Bahkan mungkin juga Ki Lurah,” sahut yang lain lagi.
“Ya, gerakan dan serangan yang dilakukan sukar
dilihat dengan mata. Tahu-tahu lawan sudah ambruk,
mati!”
Kemudian mereka kembali terdiam, mendengar-
kan gending yang masih tetap berkumandang itu.
Malam itu Desa Karang Galuh tampak tenang dan
aman. Walaupun ada sebagian penduduk yang sedih,
karena suami atau anak mereka tewas dalam
pertarungan tadi sore.
Sementara di rumah Ki Praba, tampak Sena,
Sanjaya, Purnama, dan Ki Praba tengah terlihat
dalam pembicaraan di ruang tengah. Mereka duduk
bersila di lantai beralaskan tikar. Meski ada meja
kursi di ruangan cukup luas itu, mereka memilih
duduk di lantai.
Itulah kebiasaan Ki Praba jika sedang merunding-
kan atau membicarakan suatu masalah yang penting.
Suasana terasa lebih akrab dan tidak kaku.
Di luar suasana gelap. Angin bertiup lebih
kencang, menghembuskan hawa dingin. Gemerisik
dedaunan dan angin menerpa dinding rumah Ki
Praba terdengar di antara sayup-sayup alunan
gamelan.
Lampu-lampu rumah penduduk sudah mulai
dipadamkan. Hanya obor-obor bambu yang ter-
pancang di depan rumah penduduk masih menyala
terang. Apinya bergoyang-goyang tertiup angin malam.
Sementara itu alunan gamelan sudah tak terdengar
lagi. Suasana berubah sepi. Dingin dan mencekam.
Namun di rumah kepala desa masih menyala
lampu ruangan tengah. Ki Praba masih berbincang-
bincang dengan Sena serta kakak beradik Sanjaya
dan Purnama.
“Menurutku kejadian tadi ada hubungannya
dengan kematian Raden Kumbara. Aku yakin mereka
orang-orang dari Serigala Hitam pimpinan Kala
Bendana. Dan kabarnya ia mendapat bantuan dari
orang-orang aliran hitam lain...,” tutur Ki Praba
perlahan.
“Tapi apa sebenarnya maksud tujuan mereka,
Ki...?” tanya Sanjaya seperti orang bodoh.
“Kamu ini apa sudah linglung?! Pertama Raden
Kumbara terbunuh olehmu. Kedua, tampaknya Kala
Bendana berhasrat tetap ingin menguasai desa kita
yang subur ini...,” ujar Ki Praba.
“Tapi, mereka yang lebih dulu mencari gara-gara!
Memancing kemarahan kita dengan membawa Ranti
seenaknya tanpa ada basa-basi pada Ki Praba. Dan
juga pantas Kakang Sanjaya membunuhnya, karena
Raden Kumbara adalah saudara Beruk Ireng yang
dengan keji membunuh Kak Lestari,” sahut Purnama
membela kakaknya.
“Aku mengerti..., aku mengerti. Tapi desa kita akan
dibumihanguskan! Mereka kini sangat kuat.
Bagaimana nanti nasib penduduk desa ini...? Ini yang
sangat aku khawatirkan! Bukan karena aku takut
terhadap mereka. Mereka memang harus dimusnah-
kan. Tapi bagaimana caranya untuk melawan
mereka...?” tutur Ki Praba dengan suara bergetar
cemas.
Keempat lelaki itu diam tak bersuara beberapa
saat. Hanya wajah-wajah mereka yang menunjukkan
ketegangan dan cemas.
Namun Sena tampak tenang. Tangan kanannya
mengusap-usap kening, lalu menggaruk-garuk kepala,
sambil mulutnya cengengesan.
“Apakah ada maksud lain, selain mereka ingin
menguasai Desa Karang Galuh ini, Ki?” tanya Sena
membuka kesunyian.
“Aku rasa tak ada. Memang aku mendengar kabar,
bahwa mereka telah mengumpulkan kekuatan untuk
menguasai desa-desa di Jawadwipa ini. Mereka ingin
memusnahkan tokoh-tokoh aliran putih dengan cara
mereka,” tutur Kepala Desa Karang Galuh memberi-
kan keterangan. “Menurut kabar, kelompok Serigala
Hitam pun bersekutu dengan Purba Kelakon.
Pimpinan orang-orang aliran sesat! Purba Kelakon
memiliki ilmu dalam tiga puluh dua jurus yang tak
terlihat; Alias semu! Selain itu dia pun memiliki
serbuk beracun; yang mematikan. Tak sampai lima
belas langkah, orang yang terkena serbuk racun
'Pemunah Jiwa' akan mati! Mungkin hanya Nak Sena
yang dapat melawan racun ganas itu...,” ujar Ki Praba
seraya menatap wajah Sena.
“Aku tak tahu, Ki Lurah. Apa diriku mampu
melawan racun itu. Walaupun aku menguasai ilmu
pemunah racun seperti itu. Kekuatan racun ber-
macam-macam...,” jawab Sena kalem.
Mendengar jawaban Sena, Ki Praba mengangguk-
angguk sambil mengusap jenggotnya. Sementara,
Sanjaya dan Purnama nampak cemas dan me-
nundukkan kepala.
Pada saat mereka terdiam tiba-tiba Sena melesat
ke atas atap rumah, hingga jebol.
“Hih!”
Brukkk!
Sanjaya, Purnama, dan Ki Praba hanya mampu
terperangah melihat gerakan Sena melesat.
Ternyata di atas rumah kepala desa ada sesosok
tubuh manusia berwajah kera berpakaian serba
hitam yang tengah berusaha kabur. Rupanya orang
itu tadi mendengarkan pembicaraan mereka.
“Kau lagi rupanya!” bentak Sena pada orang
bermuka kera itu, yang pernah menghadang Sena
ketika memasuki Desa Karang Galuh tiga hari yang
lalu.
Tokoh bermuka kera itu tiba-tiba menyerang Sena
dengan senjata rahasia. Pendekar Gila terkesiap
dibuatnya. Namun, karena dirinya memiliki ilmu yang
cukup tinggi, senjata rahasia yang dilemparkan
manusia kera itu melesat. Pendekar Gila melenting ke
udara sambil bersalto berulang kali. Kemudian sangat
ringan kakinya mendarat di atap rumah di belakang
manusia berwajah kera itu. Pendekar Gila segera
membalas dengan tendangan dan pukulan yang
cepat ke dada dan muka lawannya.
Plakkk! Blukkk!
“Ukh...!”
Lelaki bermuka kera itu terpekik, ketika tendangan
dan pukulan Pendekar Gila mendarat di punggung-
nya. Namun seakan tak merasa sakit, tubuhnya
segera bangkit. Kemudian dengan cepat goloknya
menyabet kaki Pendekar Gila. Secepat kilat Pendekar
Gila melompat meluncurkan tendangan.
Plak!
Kembali tendangan Pendekar Gila mendarat wajah
lawannya. Karena terdesak, orang bermuka kera itu
melompat turun sambil bersalto ke tanah. Pendekar
Gila mengejarnya. Belum sampai kaki orang bermuka
kera itu menginjak tanah, Pendekar Gila sudah
mendahului, dengan menendang sambil berputar ke
muka dan dada lawan.
“Heaaa...!”
Blukkk!
“Aaa...!”
Orang bermuka kera itu tersungkur bergulingan di
tanah. Tangannya memegangi dada. Darah segar
keluar dari mulutnya. Pendekar Gila segera meng-
hampiri dan memegang baju orang itu.
“Katakan, apa maksudmu mengintai dan men-
dengarkan kami bicara?! Siapa yang menyuruhmu?!”
tanya Pendekar Gila dengan geram.
Pada saat itu Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama.
Sudah berada di dekat Pendekar Gila, berdiri me-
mandangi orang bermuka kera itu.
“Ayo, katakan! Kalau tidak kau kubunuh...!” bentak
Sanjaya dengan keras sambil mengacungkan golok-
nya ke kepala orang bermuka kera itu.
“Ayo, katakan! Kami tak akan membunuhmu...,”
kata Sena lagi. Nadanya lebih perlahan.
Belum sempat orang bermuka kera itu memberi-
kan jawaban, tiba-tiba berontak. Sanjaya bermaksud
menjambak rambutnya. Namun alangkah terkejutnya
mereka semua. Ternyata rambut itu lepas dari
kepalanya.
“Hah?!”
Semua membelalakkan mata. Karena ternyata
orang itu mengenakan topeng. Dan seorang wanita
muda berparas cantik yang tak lain Ranti tampak
tersentak pula.
“Ya, Gusti...!” gumam Ki Praba.
Belum sempat mereka menanyakan sesuatu pada
Ranti, tiba-tiba mata gadis itu mendelik dan mulutnya
terbuka lebar, dengan lidah terjulur panjang. Sesaat
tubuhnya berkelojotan, tapi kemudian diam tak
bergerak. Mati!
“Ilmu setan...!” gumam Pendekar Gila lirih.
“Apa hubungan Ranti dengan mereka...?!” tanya
Sanjaya pada dirinya sendiri.
“Ranti diperalat oleh Purba Kelakon yang
menguasai ilmu sesat. Ilmu setan, ilmu sihir! Dan
Ranti sudah dimasuki pikiran dan kekuatan gaib
manusia itu. Mengerikan...,” tutur Ki Praba sambil
menggeleng kepala.
“Kalau begitu mungkin Nyi Karti juga diperalat
mereka, Ki,” kata Purnama yang teringat akan Nyi
Karti, ibunya Ranti.
“Bisa jadi. Ayo, kita cari Nyi Karti,” ajak Ki Praba.
Mereka segera pergi dengan cepat ke rumah Nyi
Karti.
“Aku yakin mereka juga ingin membunuhku...,”
ujar Sena dalam hati.
***
Ketika Sanjaya dan Purnama memasuki rumah Nyi
Karti, ternyata wanita separo baya itu telah mati
dengan keadaan mengerikan. Dadanya berlubang,
seperti terhantam senjata tajam.
“Ya, Gusti...!” gumam Ki Praba. Lelaki itu kembali
menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Biadab...!” dengus Sanjaya dengan geram.
“Lalu siapa orang bertopeng kera satu lagi...?!”
tanya Sena dalam hati.
Sena menggaruk-garuk kepala. Sepertinya tak
menghiraukan keadaan yang sudah mulai mencekam
dan seram itu. Pemuda berompi kulit ular itu nampak
tak sedikit pun merasa tegang. Dirinya bahkan terus
cengengesan.
“Bagaimana menurut pendapatmu, Nak Sena?”
tanya Ki Praba yang nampak mulai gelisah.
Sena menggaruk-garuk kepala. Sejenak matanya
menatap Sanjaya dan Purnama sambil cengengesan.
“Sebelum penduduk menjadi korban lagi,
sebaiknya kita melakukan penyelidikan secepat
mungkin ke tempat mereka. Apa ada yang tahu di
mana sarang manusia-manusia keparat itu...?” tanya
Sena ingin tahu.
“Kami belum tahu dengan jelas. Karena mereka
sangat pintar. Tak seorang pun mengetahui sarang
mereka dengan pasti. Namun menurut perasaanku di
dua tempat itu. Pertama di seberang, di Pulau
Neraka. Dan satu lagi di bekas bangunan tempat
tinggal Pangeran Cakra Sentana. Karena waktu
Raden Kumbara menculik Ranti, datang dengan
kereta kuda bekas milik Pangeran Cakra Sentana!”
kata Sanjaya memberikan keterangan.
“Hm...!” Sena manggut-manggut sambil meng-
garuk-garuk kepala dan cengengesan. Lalu tertawa-
tawa sendiri, membuat ketiga orang yang me-
nemaninya bingung serta merasa aneh melihat Sena.
Namun ketiganya segera memaklumi.
“Kita harus merencanakan sesuatu...!” usul Sena
sambil melangkah dan menggaruk-garuk kepala
tanpa mempedulikan ketiga orang yang diajak bicara.
Melihat Sena yang seperti orang acuh itu, Ki Praba,
Sanjaya, dan Purnama terpaksa beranjak dari
tempatnya dan mengikutinya. Sena terus berjalan
menuju rumah Ki Praba.
“Pendekar ini memang aneh. Namun menyenang-
kan...,” gumam Sanjaya lirih.
Tiba-tiba Sena menghentikan langkahnya, demi-
kian juga Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama.
“Aku sudah menemukan cara untuk menemukan
sarang mereka...,” kata Sena dengan wajah ceria
sambil menggaruk-garuk kepala. “Ssst! Ssst...!” lalu
Sena membisikkan sesuatu ke telinga Sanjaya.
Sanjaya mengangguk dan tersenyum.
Pada saat itu sepasang mata mengamati gerak-
gerik mereka dari balik semak-semak, tak jauh dari
rumah Ki Praba. Kemudian sepasang mata itu
melesat hilang di kegelapan malam.
Sena bersama Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama
lalu masuk rumah Ki Praba. Suasana kembali sunyi,
sepi, dan makin mencekam. Hanya suara binatang-
binatang malam yang terdengar, memecah ke-
heningan malam yang gelap gulita.
***
5
Sinar matahari pagi menghangatkan bumi. Suasana
cerah melingkupi sekitar pantai. Angin yang bertiup
kencang dari laut menerpa pepohonan. Ombak laut
tampak bergulung-gulung berkejaran menuju pantai.
Seakan hendak mendorong sebuah perahu yang
tengah berlayar perlahan menuju daratan. Tak lama
kemudian perahu yang tidak terlalu besar itu telah
sampai di pantai.
Dari perahu itu tampak berlompatan tiga orang
lelaki berwajah garang. Baru saja berjalan beberapa
langkah ketiganya dikejutkan adanya suara seperti
tiupan suling di kejauhan.
“Heh, suara suling...!” desis salah seorang dari
ketiga lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun,
berpakaian rompi belang merah hitam.
“Ya! Suara suling itu aneh,” sambung lelaki
bermuka lonjong, tapi hampir mirip dengan yang
pertama. Hanya berbeda pada hidungnya yang besar,
meski mancung.
“Kurasa itu bukan suling biasa,” sambut lelaki
berbadan agak pendek dengan cambang bauk lebat.
Ketiga lelaki itu terkenal dengan julukan 'Tiga Mata
Setan'.
Tiga Mata Setan merupakan anak buah Purba
Kelakon yang ditugaskan untuk datang ke Desa
Karang Galuh. Orang pertama dari Tiga Mata Setan
bernama Tangkur Wulung. Yang kedua bernama Braja
Wulun. Dan yang ketiga bernama Barong Wulung.
Ketiganya bersenjatakan sama, rantai besi berduri.
Sementara itu suara suling makin terdengar jelas
di telinga mereka. Tiga Mata Setan segera melangkah
ke darat.
“Suara suling itu membuat kupingku bisa tuli...!”
sungut Tangkur Wulung sambil matanya mencari-cari
dari mana asal suara suling itu.
“Kenapa kau pusingkan suara suling itu. Tujuan
kita mencari makan, perempuan, dan harta!” sahut
Braja Wulung yang berjalan di sisi kirinya.
Suara suling makin jelas lagi ketika ketiganya telah
melewati beberapa gubuk milik penduduk di pinggir
pantai itu dan terus naik ke daratan yang lebih tinggi.
Tiba-tiba Barong Wulung yang bertubuh paling besar
itu menghentikan langkah. Sepertinya ada sesuatu
yang dilihatnya. Hal itu dilakukan pula kedua kawan-
nya. Ketiganya melihat seorang pemuda bertengger di
pohon besar dan rindang.
“Sepertinya aku kenal pemuda yang memainkan
suling di atas cabang pohon itu. Hati-hati, kalau
dugaanku benar kita harus menangkapnya!” ujar
Barong Wulung. Matanya terus menatap tajam
pemuda berpakaian rompi dari kulit ular yang terus
meniup sulingnya.
“Siapa pemuda itu Kakang Barong...?!” tanya Braja
Wulung sambil melemparkan pandangan ke atas
pohon.
“Dia Pendekar Gila yang kita cari. Kau lupa bahwa
Kala Bendana akan memberikan hadiah pada siapa
pun yang dapat menangkap Pendekar Gila itu hidup
atau mati, untuk diserahkan padanya...! He he he...!”
jawab Barong Wulung sambil memelintir kumisnya.
“Kalau begitu kita segera ringkus pemuda itu...,
kata Tangkur Wulung yang berbadan lebih kecil dari
dua temannya.
“Kau jangan gegabah! Pemuda itu bukan pendekar
sembarangan, bisa-bisa kita yang jadi korbannya!”
jawab Barong Wulung. “Kita berpencar! Kalian berdua
harus selalu siap dan bergerak cepat jika aku dalam
kesulitan. Ayo, kita mulai pekerjaan kita!”
Pemuda yang tengah meniup suling memang tak
salah lagi, dia Sena Manggala atau lebih dikenal
dengan julukan si Pendekar Gila. Pemuda tampan
berambut gondrong itu masih asyik mengalunkan
lagu merdu dengan Suling Naga Saktinya. Seakan-
akan tak menghiraukan sama sekali ada tiga orang
yang tengah mengancam jiwanya. Tak bergeming
sedikit pun dari tempatnya. Tubuhnya dengan enak
berbaring di sebatang cabang pohon dengan kaki
terjuntai ke bawah, Barong Wulung makin dekat dari
tempat Sena berada. Ketika lelaki bertubuh besar
dan berkumis melintang itu berada sekitar delapan
tombak dari pohon tiba-tiba melancarkan serangan
kilat. Tangannya yang kokoh besar melontarkan
senjata berupa rantai ke tubuh Sena yang masih
terbaring di atas cabang pohon.
Srattt! Crakkk...! .
Suara yang ditimbulkan dari lontaran senjata itu
keras sekali, dan senjata yang berupa baja bulat
berduri itu menghantam batang pohon di dekat
kepala Pendekar Gila.
Namun tanpa terkejut sedikit pun, kepala
Pendekar Gila dengan perlahan menoleh ke Barong
Wulung yang tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba
Pendekar Gila ikut tertawa-tawa sambil menggaruk-
garuk kepala. Lalu mulutnya cengengesan persis
orang gila.
“Hi hi hi...! Kau rupanya punya mainan yang
menarik, Kisanak!” seru Pendekar Gila dari atas
pohon. Tampak tangannya menggaruk-garuk kepala.
Mendengar ucapan Pendekar Gila, Barong Wulung
terbelalak marah. Kemudian dengan geram me-
langkah mendekati pohon tempat Pendekar Gila ber-
tengger.
“Hei! Kau pemuda gila, turun...! Jangan berlagak
bodoh kau! Tunjukkan kebolehanmu! Aku sengaja
datang untuk mencincangmu, Pendekar Gila!” teriak
Barong Wulung sambil menuding-nudingkan tangan-
nya ke atas pohon.
“Hi hi hi...! Lucu sekali orang ini! He he he...! Ha ha
ha...! Pagi-pagi aku bertemu badut berkumis
melintang! Hi hi hi...!” ejek Pendekar Gila yang kini
telah duduk di cabang pohon menghadap Barong
Wulung.
Sementara itu dari dua arah kiri dan kanan
Pendekar Gila muncul Tangkur Wulung dan Braja
Wulung sambil memutar-mutarkan bola baja berduri
terikat rantai. Keduanya tersenyum sinis dengan
mata merah membara.
“Ha ha ha...! Hi hi hi...!”
Pendekar Gila tertawa-tawa terus sambil meng-
garuk-garuk kepala. Tingkah laku aneh itu membuat
Tiga Mata Setan semakin geram.
“Orang gila! Mulutmu perlu merasakan senjataku
ini...!”
Selesai berkata begitu, Barong Wulung dengan
cepat melancarkan serangan dengan menghantam-
kan senjatanya ke kepala Pendekar Gila.
Srattt! Wrettt! Wusss!
Hembusan angin dari lontaran ketiga senjata
berbentuk bola duri itu terasa menyentakkan
dedaunan.
Namun Pendekar Gila dengan cepat pula men-
jatuhkan tubuhnya sambil bersalto ke belakang
beberapa kali untuk mengelakkan serangan dahsyat
itu.
Blarrr! Brakkk!
Suara ledakan terdengar ketika dua bola berduri
itu menghantam batang pohon. Seketika batang
pohon itu hancur dan roboh. Bagai tersambar petir.
Sementara itu, Pendekar Gila sudah mendaratkan
kakinya di tanah. Dengan cengengesan tangan
kanannya menepuk-nepuk pantat sambil gelang-
geleng kepala. Tingkah lakunya yang lucu, persis
orang gila.
“Hi hi hi...! Ternyata kalian ini pengecut. Tak cocok
dengan badan kalian yang seperti kebo,” ejek
Pendekar Gila.
Mendengar ejekan itu, wajah Tiga Mata Setan
berubah merah. Dengan cepat dan geram Braja
Wulung melontarkan senjatanya menyerang Pendekar
Gila. Serangan dahsyat kali ini disertai pergerakan
tenaga dalam yang kuat.
“Nih rasakan..., mampus kau, Gila! Heaaa...!”
Bola baja berduri itu melesat cepat. Deru anginnya
terasa menggetarkan. Namun Pendekar Gila dengan
cepat mengelak, hanya dengan memiringkan tubuh-
nya ke samping. Kemudian dengan cepat pula
pemuda itu melancarkan serangan balasan yang tak
terduga sama sekali.
“Heaaa...!”
Wusss!
Plakkk!
“Ugkh...!”
Braja Wulung terpekik ketika pukulan jarak jauh
yang dilancarkan Pendekar Gila menghantamnya,
tubuhnya terhuyung beberapa tombak ke belakang.
Melihat kawannya terjatuh, Barong Wulung dan
Tangkur Wulung kaget. Mereka kian murka. Matanya
membelalak lebar merah menahan geram. Mata itu
bagai mempunyai kekuatan gaib, mampu mengeluar-
kan sinar merah. Diiringi teriakan keras menggelegar
Barong Wulung dan Tangkur Wulung bergerak
menyerang.
“Heaaa...!”
“Heaaa...!”
Melihat sinar merah yang cukup membahayakan
itu, Pendekar Gila segera mencabut senjata andalan-
nya. Dengan cepat dan kuat Suling Naga Sakti
dihentakkan untuk memapak sinar merah serta
gempuran bola baja berduri yang meluncur
menyerangnya.
Trakkk!
Jglarrr. !
“Uaaakhhh...!”
Teriakan panjang terdengar dari kedua Mata Setan
itu. Karena tangkisan Pendekar Gila dengan Suling
Naga Saktinya mampu membalikkan serangan
mereka. Sehingga sinar merah dari mata Barong
Wulung dan Tangkur Wulung berbalik dan meng-
hantam tubuh mereka. Maka tak ayal lagi, tubuh
kedua Mata Setan terpental deras sekitar lima
tombak ke belakang. Sementara itu, Pendekar Gila
tetap berdiri dengan kuda-kudanya yang mantap.
Dengan cengengesan matanya menatap kedua lawan
yang terkapar tak berkutik. Dada kedua lelaki ber-
wajah garang itu hangus terhantam kekuatan senjata
mereka.
Sementara itu Barong Wulung yang tadi terkena
pukulan jarak jauh, berusaha bangkit dan hendak
menyerang Pendekar Gila.
“Hei...! Kalau kau masih ingin hidup jangan coba-
coba melawanku!” ujar Pendekar Gila sambil
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. “Kau
rupanya orang-orang Beruk Ireng dan Kala
Bendana...!”
Tiga Mata Setan tak menjawab karena masih
merasa kesakitan. Mereka saling mendekap dada
dengan mulut meringis-ringis.
Pada saat itu tiba-tiba muncul Sanjaya dengan
wajah geram menatap ketiga begundal. Begitu pula
Purnama yang muncul dari arah lain.
Sanjaya yang mengenali Tiga Mata Setan dengan
bengis menatap mereka penuh dendam.
“Apa benar ketiga orang ini antek-antek Kala
Bendana dan Purba Kelakon?” tanya Pendekar Gila
pada Sanjaya.
“Hm...,benar, Pendekar. Mereka manusia keparat
yang harus kita hukum setimpal dengan perbuatan
mereka selama ini. Ketiga orang inilah yang menjadi
mata-mata serta tukang cari perempuan-perempuan
desa untuk dipersembahkan kepada Purba Kelakon
si penganut ilmu setan itu!” tutur Sanjaya dengan
geram. Seakan-akan sudah tak sabar untuk me-
musnahkan Tiga Mata Setan.
Sena menggangguk-angguk sambil menggaruk
kepala dengan cengengesan. Kemudian menyelipkan
Suling Naga Saktinya di pinggang.
“Tapi kita tidak boleh menghukum sendiri.
Sebaiknya mereka kita bawa ke desa agar diadili...!”
ujar Sena.
“Hhh... Aku kurang setuju, Sena. Percuma orang
macam mereka ini diadili. Dan aku punya rencana...,”
sanggah Purnama yang dari tadi diam.
Purnama mendekati Sena dan membisikkan
sesuatu di telinganya. Sena mengerutkan kening, lalu
tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala.
Setelah itu tangannya menepuk-nepuk pantat, persis
seperti kera.
“Hi hi hi.... He he he...! Ternyata saudara yang satu
ini punya gagasan baik. Coba kau beritahu
Sanjaya...!” ujar Pendekar Gila sambil terus meng-
garuk-garuk kepala.
Purnama pun segera membisikkan hal yang sama
pada kakaknya. Sanjaya mengerutkan kening lalu
menganggukkan kepala menyetujui rencana adiknya.
“Hei! Kalau kalian masih ingin hidup, tunjukkan di
mana pimpinan kalian bersembunyi saat ini?! Cepat
katakan atau kalian pilih mati!” perintah Sanjaya
dengan suara keras.
Tiga Mata Setan diam, tak menjawab. Seakan-
akan mereka lebih memilih mati daripada hidup.
Karena mereka pikir sama saja. Tiga Mata Setan
bungkam sambil menundukkan kepala.
Melihat ketiganya seperti tak menghiraukan per-
mintaannya, Sanjaya makin marah. Dengan geram
ditendangnya salah seorang dari Tiga Mata Setan.
Namun Pendekar Gila cepat melarang ketika Sanjaya
hendak melakukan lagi.
“Tunggu Sanjaya! Sabarlah, lebih baik kita lepas
saja mereka. Tak ada gunanya lagi orang macam
begini. Biarlah mereka pergi...!” ujar Pendekar Gila
sambil mengedipkan mata pada Sanjaya. Sanjaya
mengerti maksud isyarat itu.
“Tidak, Pendekar. Jangan seenaknya kita melepas
orang-orang ini! Mereka nanti akan terus berbuat
seenaknya. Tunggu apa lagi! Sebaiknya kita kubur
mereka di sini! Atau kita bunuh saja, baru kita ikat di
pohon, biar semua orang tahu! Dan pasti pimpinan
mereka akan murka, lalu kita dapat menangkapnya,”
ujar Sanjaya dengan penuh emosi dan marah.
“Tenang, tenang! Kita tak boleh gegabah dan
bertindak di luar batas. Aku yakin mereka akan
memberitahukan di mana sarang mereka sebenar-
nya,” sahut Sena dengan kalem sambil cengar-cengir
dan terus menggaruk-garuk kepala.
Purnama sudah mengerti maksud Sena. Matanya
melirik pada Sanjaya dan menghela napas dalam-
dalam. Sena, Sanjaya, dan Purnama sudah mem-
punyai cara dan rencana untuk memancing Tiga Mata
Setan.
Sena kemudian berjongkok, dengan perlahan
bertanya pada Barong Wulung yang tertua dari
ketiganya.
“Kisanak, sebaiknya Kisanak memberitahukan, di
mana Kala Bendana dan Purba Kelakon berada. Kami
ingin kejujuran Kisanak. Kami akan melepaskan
kalian bertiga. Percayalah...! Bagaimana?”
Tiga Mata Setan tetap bungkam, tak mau mem-
beritahu atau buka mulut. Bahkan tiba-tiba mereka
mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya dan dengan
cepat menelannya. Dan..., tak beberapa lama ke-
mudian Tiga Mata Setan kejang-kejang dan mukanya
membiru. Matanya melotot bagai mau keluar...! Mati!
Sena mengetahui maksud mereka. Dengan cepat
berusaha menghalangi. Namun terlambat karena
racun yang mereka telan itu telah bekerja dengan
kecepatan luar biasa. Itulah racun 'Pencabut Nyawa'
Rupanya Tiga Mata Setan itu sangat setia akan janji
sumpah mereka. Mungkin karena pengaruh ilmu sihir
milik Purba Kelakon.
“Rupanya mereka telah terkena ilmu sihir manusia
setan itu. Sampai ketiganya rela mati demi sang
Pemimpin mereka yang murka itu. Gila! Gila...!”
dengus Sanjaya geram. Purnama menggeleng-
gelengkan kepala tak mengerti. Sedangkan Sena
menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir....
“Hhh..! Kita terlambat,” desah Sanjaya merasa
kecewa sekali, karena tak dapat mengorek
keterangan dari Tiga Mata Setan.
“Aha, kau benar! Kita terlambat,” sahut Sena.
Ketiganya terdiam sesaat, sepertinya sedang
mencari jalan lain untuk mendapat keterangan
mengenai markas Purba Kelakon dan Kala Bendana
berada.
“Jika mereka senantiasa menghilangkan jejak sulit
bagi kita untuk dapat menemukan tempat mereka,”
gumam Purnama sambil menghela napas pelan.
“Kau benar, Dimas. Kalau mereka selalu bunuh
diri seperti ini kita tak akan dapat menemukan
markas mereka,” timpal Sanjaya dengan wajah meng-
gambarkan kejengkelan. Selama ini, dendamnya
pada Kala Bendana dan para begundalnya yang telah
membunuh istri dan anaknya beberapa tahun yang
lalu terus berkobar-kobar di dada.
Sena nampak masih tak menanggapi ucapan ke-
iua kakak-beradik itu. Dirinya masih berpikir keras
sendiri. Meskipun mulutnya tampak cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya
memandang lepas ke arah utara, tempat Pulau
Neraka nerada. Di tempat itu Kala Bendana dan
antek-anteknya bersembunyi.
Sebenarnya Sena ingin berangkat ke tempat itu,
tapi menurut kabar, tempat itu sangat sulit ditempuh.
Di samping jauh dan keadaannya sangat berbahaya,
markas mereka pun sangat tersembunyi.
“Aha, mengapa tak kukirim saja mayat ketiga
orang ini?” gumam Sena dalam hati, “Bukankah de
ngan sampainya ketiga mayat ini ke markas mereka,
akan dapat membuat Kala Bendana mengirim anak
buahnya untuk datang lagi?”
Sena semakin cengengesan dengan tangan
kembali menggaruk-garuk kepala. Sambil menepuk-
nepuk kening dengan tangan kiri Sena melangkah
mendekati Sanjaya dan Purnama yang masih diam
tercenung. Keduanya nampak masih memikirkan
bagaimana un tuk dapat mengundang Kala Bendana
dan antek-anteknya datang ke desa itu.
“Aha, mengapa kalian masih juga melamun?”
tanya Sena dengan tingkah lakunya yang konyol.
Mulutnya cengengesan, sedangkan tangannya meng-
garuk-garuk kepala.
“Kami sedang berpikir, bagaimana caranya dapat
mengundang Kala Bendana dan Purba Kelakon
datang ke desa ini,” jawab Sanjaya dengan tangan
mengepal.
“Aha, apakah kalian siap kalau mereka datang?'
tanya Sena, yang membuat kakak-beradik Sanjaya
dan Purnama mengerutkan kening dan memandai
lekat wajahnya.
“Apa maksudmu, Sena?” tanya Purnama.
“Apa kau mengira kami takut pada Kala Bendana
dan Purba Kelakon?” sergah Sanjaya, sepertinya me
rasa tak senang dirinya diremehkan Sena.
“Aha, kurasa bukan itu maksudku,” tukas Sena.
Mulutnya tetap cengengesan dengan tangan masih
menggaruk-garuk kepala. Matanya kembali me-
mandang ke utara. Tampak lautan membentang luas
dan di tengahnya terdapat sebuah pulau karang yang
disebut Pulau Neraka.
“Lalu...?” desak Sanjaya.
Sena tak langsung menjawab. Dirinya merenung
sejenak dengan kening mengerut. Ditengadahkan
wajahnya memandang ke langit yang biru bening.
Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian dihempas-
kan secara perlahan.
“Hi hi hi...! Kalian memang tak takut pada Kala
Bendana dan Purba Kelakon. Namun, bagaimana
dengan warga desa ini?” tanya Sena, balik bertanya
sambil memandang lekat wajah kakak-beradik itu.
Keduanya terdiam, seakan-akan merenungkan kata-
kata yang diucapkan Sena.
Apa yang dikatakan Sena benar. Kedua kakak-
beradik itu memang tak akan takut terhadap Kala
Bendana dan Purba Kelakon. Tetapi, bagaimana
dengan penduduk desa yang tak berdosa? Tentunya
Kala Bendana dan Purba Kelakon tak datang
sendirian. Sudah barang tentu mereka akan mem-
bawa laskar. Dan bukan tak mungkin kalau laskarnya
akan membuat kerusuhan. Bukankah dengan begitu
rakyat yang akan menanggung akibatnya?
Sanjaya menghela napas pelan. Matanya kini
memandang ke arah Pulau Neraka, tempat markas
Kala Bendana berada.
“Kau memang benar, Sena. Memang, kalau Kala
Bendana datang bersama pasukan sudah barang
tentu rakyat akan turut terlibat di dalamnya,” desah
Sanjaya menyadari akan kekeliruannya dalam
berpikir. Selama ini dirinya selalu diperbudak nafsu
dan dendam, yang membuatnya tak mampu berpikir
secara jernih. Yang lipikirkan hanyalah pembalasan
dendam dan kebencian, serta antipati terhadap Kala
Bendana dan Purba Kelakon serta antek-anteknya
yang telah membuat mah tangganya berantakan.
“Ya. Aku pun merasa ucapan Sena benar. Tetapi,
kalau Kala Bendana dan Purba Kelakon belum kita
tumpas, desa ini tak akan pernah aman,” tutur
Purnama.
“Sena tersenyum seraya mengangguk-anggukkan
kepala. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala.
Matanya masih menatapi langit yang biru.
Angin bertiup lembut, menerpa rambut ketiganya.
Sena dan dua kakak-beradik Sanjaya dan Purnama
masih berdiri mematung di tempat itu. Mereka masih
merenungkan bagaimana cara yang baik untuk
menumpas Kala Bendana dan Purba Kelakon serta
antek-anteknya tanpa harus melibatkan penduduk
desa.
“Bagaimana kalau kita menantang Kala
Bendana?” tanya Sanjaya meminta saran, tentu
kepada Sena. Karena tatapan matanya kini tertuju
kepada Sena yang masih cengengesan dengan
tangan menggaruki garuk kepala.
“Bagaimana, Saudara Sena?” tanya Purnama me-'
minta kepastian pendapat dari Pendekar Gila.
“Aha, kalau memang itu sudah menjadi keputusan
kalian, aku hanya setuju,'“, sahut Sena, 'Tapi, apakah!
kalian yakin Kala Bendana mau datang seorang
diri?”i Sanjaya dan Purnama kembali diam dan salinjjj
pandang. Kening keduanya mengerut. Hati mereka
kembali bimbang. Memang ucapan Sena benar. TentJ
Kala Bendana yang licik, tak akan bersedia datang
se»' orang diri. Sudah barang tentu, Kala Bendana
akan datang bersama anak buahnya. Hal itu sudah
dapat dipikirkan, karena kebanyakkan tokoh sesat
berla” seperti itu. Mereka tak akan menghargai jiwa
ksatria.
Mereka akan menghalalkan segala macam cara.
Yang ada dalam benak mereka, hanyalah
kemenangan dan kepuasan.
“Benar juga katamu, Sena. Bukan menjadi rahasia
umum lagi, kalau tokoh hitam akan menghalalkan
segala cara,” gumam Sanjaya sambil menggaruk-
garuk kepala. Dihelanya napas panjang-panjang,
seakan berusaha membuang perasaan gemasnya
yang selalu melekat di dada.
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Sena? Kami tak
bisa menunggu sampai datangnya para dewa yang
akan menolong kami,” ujar Purnama dengan penuh
harap terhadap gagasan Sena yang akan mampu
memberi pandangan baik bagi mereka dan warga
Desa Karang Galuh.
“Aha, kurasa hanya ada satu jalan,” ujar Sena yang
langsung mendapat tanggapan dari kakak-beradik itu.
“Apa itu, Sena?” tanya keduanya bersamaan
sambil memandang penuh harap ke wajah Sena.
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya tampak
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Tatapan matanya kini tertuju kepada mayat
Tiga Mata Setan yang tergeletak tak jauh dari mereka.
Sepertinya ada sesuatu gagasan untuk menggunakan
mayat ketiganya dalam menempuh jalan bagi
mereka.
“Hi hi hi...! Kalian lihat tiga mayat itu?”
'Ya,” sahut Sanjaya dengan kening mengerut, tak
mengerti maksud Sena yang sebenarnya. Begitu pula
halnya dengan Purnama, dia masih belum mengerti
maksud Sena. Matanya menatap Sena dengan
pandangan tak mengerti. Keningnya mengerut,
berlipat-lipat. Mulutnya bungkam, menunggu jawaban
dari Sena yang masih cengengesan itu. “Untuk apa
mayat mereka?”
“Aha, aku ada akal! Dengan mayat mereka,
tentunya Kala Bendana akan marah. Dia akan
mengirim pasukan. Kita tinggal menunggu mereka,”
ujar Sena membeberkan gagasannya.
“Aku belum mengerti,” dengus Sanjaya.
“Ya! Katakanlah apa sebenarnya rencanamu itu!”
pinta Purnama yang masih bingung.
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya nyengir
kuda, sedang matanya memandang lepas ke lautan
luas. Kemudian tangannya menepuk-nepuk pantat.
Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihempas-
kan penahan.
“Baik..., hi hi hi...! Akan kuterangkan,” ujar Sena.
Kemudian setelah cengengesan dengan tangan
kembali menggaruk-garuk kepala sesaat, dirinya
mulai menjelaskan. “Dengan ketiga mayat itu, kita
akan memancing Kala Bendana, agar keluar. Kita
kirim ketiga mayat itu ke Pulau Neraka.”
“Dengan apa?” sela Sanjaya tak sabar.
“Ya! Siapa yang akan membawa mereka ke sana?”
tanya Purnama masih belum mengerti.
“Aha, kurasa kita tak perlu repot mengutus
seseorang. Ketiga mayat itu, kita kirim dengan meng-
gunakan peti,” sahut Sena.
Sanjaya dan Purnama melongo bengong men-
dengar penuturan Sena. Mereka tak menyangka,
kalau Sena berpikiran begitu tajam. Padahal pemuda
berpakaian rompi kulit ular itu persis orang gila.
Namun ternyata pikirannya sangat tajam.
“Bagaimana, Kisanak?” tanya Sena.
“Aku setuju,” sahut Sanjaya.
“Aku juga,” sahut Purnama menimpali.
“Aha, kini semuanya sudah kita sepakati. Kita
tinggal meminta pendapat pada Ki Lurah. Bagai-
manapun Ki Praba merupakan orang tua di desa ini.
Sudah selayaknya dia kita mintai pendapat,” tutur
Sena.
“Bagaimana dengan ketiga mayat itu?” tanya
Sanjaya, “Aku khawatir ada orang yang akan mem-
bawanya. Bukankah dengan begitu gagal rencana
kita?”
Sena memonyongkan mulutnya. Kemudian
cengengesan dengan tangan kembali menggaruk-
garuk kepala. Matanya menatap ketiga mayat itu,
kemudian menengadah ke langit, seakan mencari
sesuatu di atas sana.
“Aha, kalau begitu, kita harus membawanya,” kata
Sena sambil menoleh pada Sanjaya dan Purnama
yang saling pandang. “Bagaimana?”
“Baiklah.”
Mereka segera mengangkat seorang satu mayat
Tiga Mata Setan. Ketiganya kemudian melangkah
menuju rumah Kepala Desa Karang Galuh, untuk
meminta pendapat orang tua itu atas rencana
mereka.
Di timur, mentari nampak merangkak perlahan
naik menyinari bumi. Penduduk Desa Karang Galuh
pun kelihatan mulai sibuk dengan pekerjaan masing-
masing.
***
6
Siang dengan terik mentari yang panas bagaikan
hendak memanggang bumi dan seisinya. Namun
orang-orang penduduk Desa Karang Galuh nampak
tetap bekerja. Mereka bagaikan tak mengenal lelah,
terus bekerja untuk mengolah hidup dan kehidupan.
Mereka bertani sibuk di sawah. Yang nelayan tampak
tengah mempersiapkan jaring dan perahunya.
Pemandangan seperti itulah yang tampak setiap hari
di Desa Karang Galuh yang memang tak jauh letaknya
dari pantai.
Di bale-bale bambu di rumah Ki Praba nampak
empat lelaki duduk bersila. Di hadapan mereka,
terdapat empat cangkir kopi dengan dua piring ubi
rebus yang hjngat Keempat lelaki itu, tiga masih
muda sedangkan seorang lagi tua. Mereka tiada lain
Ki Praba, Sanjaya, Purnama, dan Sena. Nampaknya
mereka tengah berbincang-bincang.
Di ruangan depan rumah Kepala Desa Karang
Galuh itu tampak tergeletak tiga sosok mayat. Ketiga
mayat itu tak lain Tiga Mata Setan. Ketiga mayat itu
sedang dijaga beberapa penduduk desa yang sengaja
diundang Ki Praba.
“Apa rencana kalian?” tanya Ki Praba seraya
mengangkat cangkir kopinya. Matanya memandang
satu persatu wajah tiga lelaki muda yang ada di
hadapannya. Kemudian tatapan mata lelaki tua itu,
tertuju pada wajah Sanjaya.
“Kami mempunyai rencana mengirim ketiga mayat
anak buah Kala Bendana, Ki,” sahut Sanjaya.
Ki Praba mengerutkan kening. Matanya menyipit,
masih menatap wajah Sanjaya. Kepalanya meng-
angguk-angguk, sedangkan tangannya membelai-
belai jenggot yang tak begitu panjang dan berwarna
keputihan.
“Dengan apa?”
“Dengan peti kayu, Ki,” sahut Purnama.
“Untuk apa...?” kini tatapan mata lelaki tua Kepala
Desa Karang Galuh tertuju pada Purnama yang
menjawab pertanyaannya tadi.
“Saudara Sena yang akan menjelaskannya, Ki,”
ujar Purnama melimpahkan jawaban pada Sena yang
masih cengengesan sambil menundukkan kepala.
Sedangkan tangannya kini menggaruk-garuk kepala.
Sementara tangan kirinya, mempermainkan tikar
yang terbuat dari-pandan.
“Katakanlah, Nak Sena!” pinta Ki Praba ingin tahu
apa yang direncanakan Sena. Pemuda tampan
berambut gondrong yang mengikat kepalanya dengan
kulit ular itu masih tampak cengengesan. Setelah
mengelus-elus rompinya yang juga terbuat dari kulit
ular, pendekar yang sangat kesohor di rimba per-
silatan itu muiai membuka mulut
“Aha, begini, Ki. Selama ini, kita tak dapat
menumpas gerombolan Kala Bendana. Hal itu karena
kita tak mampu menghadapinya secara langsung.
Kabarnya persembunyian mereka sulit ditembus.
Untuk itulah kami bermaksud mengirim mayat Tiga
Mata Setan. Aku berharap Kala Bendana akan keluar
dari sarang dan menghadapi kita. Hal ini kuanggap
cara paling tepat untuk dapat menghadapi dan
menumpasnya....”
Ki Praba sejenak terdiam dengan kening mengerut
Nampaknya lelaki tua itu tengah mempertimbangkan
gagasan Sena. Bagaimanapun, sebagai kepala desa
dirinya harus mempertimbangkan segala sesuatu
sebelum melakukan tindakan. Karena semuanya
menyangkut keselamatan hidup warga desanya.
“Dengan kata lain, kalian akan menantang Kala
Bendana dan Purba Kelakon ke desa ini?” tanya Ki
Praba.
“Begitulah, Ki,” sahut Sanjaya. “Bagaimana jika
yang datang anak buahnya?” “Aha, itu memang yang
kami inginkan,” jawab Sena.
“Maksudmu...?” tanya Ki Praba masih tak
mengerti.
“Aha, bukankah dengan kedatangan anak
buahnya, kita akan semakin ringan? Semakin banyak
anak buah Kala Bendana yang tertumpas, semakin
kecil kekuatannya. Cepat atau lambat Kala Bendana
akan keluar,” ujarnya dengan mulut cengengesan
sambil tangan kirinya masih mempermainkan tikar
pandan.
Ki Praba mengangguk-anggukkan kepala, men-
dengar keterangan Sena. Seulas senyum
mengembang di bibirnya yang tua. Seakan gagasan
Sena memberi jalan terang baginya, untuk -dapat
melepaskan desa dan penduduknya dari ancaman
Kala Bendana yang selama ini masih terus meng-
hantui.
“Bagaimana, Ki?” tanya Sanjaya meminta
kepastian.
“Gagasan yang bagus!” puji Ki Praba, “Aku setuju.”
“Aha, terima kasih,” sahut Sena sambil menunduk-
kan kepala.
“Kalau begitu, kita harus membuat peti untuk
ketiga mayat itu,” kata Purnama.
“Benar! Sebaiknya, kita kumpulkan warga desa
untuk membantu kita membuat peti,” usul Ki Praba.
“Kami setuju,” jawab Sanjaya.
“Kamil...!” seru Ki Praba memanggil salah seorang
penduduk desanya yang sedang menjaga ketiga
mayat Tiga Mata Setan.
“Saya, Ki!” sahut seorang lelaki berusia sekitar
empat puluh tahunan, dengan perawakan kurus
tinggi. Lelaki yang dipanggil Kamil melangkah men-
dekati tempat kepala desanya dan Sena serta kakak-
beradik Sanjaya dan Purnama berada. Kemudian
lelaki itu menjura, memberi hormat, “Ada apa, Ki?”
“Aku perintahkan agar seluruh warga desa
berkumpul di sini,” ujar Ki Praba.
“Baik, Ki. Sekarang juga, Ki Lurah?” sahut Kamil.
“Ya sekarang. Kapan lagi?”
“Baik, akan saya laksanakan.”
Setelah menjura memberi hormat pada keempat
lelaki yang duduk di bale-bale, Kamil pun beriari-lari
untuk memberitahukan pada penduduk Desa Karang
Galuh akan panggilan Ki Praba. Sedangkan temannya
yang lain, segera membunyikan kentongan panggilan.
Dalam sekejap saja, semua penduduk desa yang
mendengar suara kentongan ditabuh dengan keras,
berduyun-duyun datang ke rumah kepala desa. Di
wajah mereka, tergambar ketidakmengertian akan
panggilan itu.
Ki Praba, Sanjaya, dan Sena atau Pendekar Gila
sepontan bangun dari duduknya melihat warga desa
berbondong-bondong datang. Sesaat kemudian
halaman rumah Kepala Desa Karang Galuh telah
dipadati warga desa. Terdengar mulut-mulut mereka
bertanya-tanya.
“Ada apa Ki Lurah memanggil kami?” salah
seorang warga bertanya. “Apakah Kala Bendana
hendak menyerang desa kita?”
“Tidak! Bahkan kitalah yang akan menumpas
gerombolan Kala Bendana!” sahut Ki Praba dengan
mata berbinar-binar, merasa gembira melihat
warganya masih menurut dan sangat patuh terhadap
semua aturan.
“Apakah kita mampu, Ki Lurah?” warga yang lain
bertanya.
Ki Praba tersenyum, kemudian menoleh ke wajah
Sanjaya, Purnama, dan Sena.
“Kalian lihat, tiga orang anak buah Kala Bendana
telah mati di tangan Sena. Berarti kekuatan Kala
Bendana dapat kita kurangi. Maka itu pula, aku
mengundang saudara-saudara untuk datang. Aku
ingin meminta dukungan pada seluruh warga desa
untuk membuat peti bagi ketiga mayat itu!” ujar Ki
Praba sambil menunjuk mayat-mayat Tiga Mata Setan
yang tergeletak di sisi kanan depan rumah dan
sedang dijaga sepuluh warga desa.
Semua warga seketika memandang ke arah tiga
mayat yang ditunjuk Ki Praba. Mata mereka
membelalak, setelah tahu siapa ketiga mayat itu.
Tanpa sadar, dari mulut mereka serentak terdengar
menyebut gelar ketiganya.
“Tiga Mata Setan...?!”
“Benar! Mereka Tiga Mata Setan, yang selama ini
kita takuti. Namun dengan adanya Pendekar Gila di
desa kita ini, kita tak perlu takut pada mereka,” ujar
Ki Praba sambil menoleh ke wajah Sena yang
cengengesan memandang ke langit dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Seketika semua warga
kembali tersentak kaget mendengar Ki Praba
menyebut Pendekar Gila. Tentu saja para warga
terkejut melihat pendekar muda yang sangat kesohor
itu ada di rumah kepala desa.
“Pendekar Gila?!” seru warga.
“Ya!”
“Apakah kau tidak hanya berusaha menenangkan
hati kami, Ki Lurah?” tanya warga desa tak percaya
kalau di desa mereka telah datang Pendekar Gila.
Pendekar yang namanya akhir-akhir ini menjadi
perbincangan dan sangat dikenal baik di kalangan
rimba persilatan maupun orang-orang biasa.
“Tidak! Aku tak pernah berdusta. Lihat oleh kalian
sendiri! Yang berdiri di sebelah kiri Purnama, adalah
Pendekar Gila, murid Singo Edan dari Goa Setan,”
tutur Ki Praba memperkenalkan Sena pada warga
desanya. Orang-orang semakin membuka mata
dengan mulut ternganga, setelah tahu kalau selama
ini orang yang bertingkah laku gila di desanya
ternyata pendekar sakti.
Secara serentak semua warga desa menjura,
padahal tak ada yang memerintah. Mereka baru
menyadari kalau pemuda berpakaian rompi kulit ular
itu Pendekar Gila.
“Terimalah hormat kami, Tuan Pendekar!” seru
beberapa orang yang di barisan depan.
“Aha, mengapa kalian berlaku begitu? Aku bukan-
lah dewa, yang patut kalian sembah. Aku manusia
seperti kalian. Aku datang, karena panggilan nurani-
ku, yang tak suka pada tindak kejahatan. Marilah,
kita bahu-membahu menghancurkan kejahatan!” ujar
Sena dengan tingkah lakunya yang konyol persis
orang gila. Sambil berkata begitu mulutnya
cengengesa sambil menggaruk-garuk kepala dengan
tangan kanan.
“Setuju...!”
“Kami siap!”
“Perintahkan pada kami! Kami telah siap men-
jalankan perintah! Demi keselamatan warga desa...!
Demi Desa Karang Galuh!”
“Ya, kita ganyang Kala Bendana!”
“Kita tumpas kejahatan...!”
Sorak-sorai yang gemuruh riuh warga desa tampak
bersemangat menyambut Pendekar Gila, laksana air
bah yang tak terbendung lagi. Mereka mengeluarkan
perasaan yang selama ini terpendam, karena tekanan
rasa takut terhadap Kala Bendana yang mempunyai
mata-mata di mana-mana. Namun dengan adanya
Sena, semangat warga desa, yang semula hampir
padam, kini menyala berkobar.
“Terima kasih... terima kasih atas kesediaan kali
an. Namun belum saatnya kita berperang. Aku hanya
meminta kalian, untuk membuatkan tiga peti.
Kemudian, kuharap semua warga berwaspada dan
selalu siap. Karena jika ketiga peti mati itu sampai di
tempat Kala Bendana, bukan tak mungkin Kala
Bendana akan mengirim pasukan,” ujar Ki Praba
penuh wibawa. Peringatan itu tampaknya disambut
baik seluruh warga desa. Mereka mengangguk-
anggukkan kepala tanda setuju.
“Kapan kami membuat peti, Ki Lurah?” tanya
warga.
“Bila mungkin, saat ini juga!” sahut Sanjaya. “Baik.
Kami akan membuatnya!” Warga desa dengan hati
penuh harap agar di nya terbebas dari Kala Bendana,
segera bekerja. Mereka langsung menebang pohon.
Ada yang membelah, Ada yang menggergaji. Ada yang
menghaluskan serta membuat dan merancang.
Mereka bekerja dengan penuh semangat, bergotong
royong.
Ketika mentari bergeser agak ke barat, tiga peti
yang diminta kepala desa pun telah selesai dibuat.
Warga Desa Karang Galuh segera memasukkan
ketiga mayat itu ke dalam peti. Kemudian mereka
langsung menggotong ketiga peti itu ke tepi laut
Dengan menggunakan getek, ketiga peti mati yang
berisi mayat Tiga Mata Setan dialirkan ke tengah.
“Kita harus senantiasa siap!” ujar Ki Praba
kembali memperingatkan warga desanya.
“Kami siap...!” sahut seluruh warga sambil
mengangkat ke atas tangan kanan yang memegang
golok.
Di laut, getek yang membawa tiga peti mati,
perlahan-lahan terus bergerak ke tengah. Cepat atau
lambat getek itu pasti akan ditemukan para anak
buah Kala Bendana di Pulau Neraka sana.
***
Senja telah datang, sinar mentari redup tak
sepanas ketika siang. Di Pulau Neraka, nampak dua
orang prajurit bersenjatakan tombak sedang
mengawasi sekitar pulau itu. Mata mereka yang
tajam, memandang ke selatan. Tampaklah samar-
samar daratan tanah Jawa yang hijau. Ketika
keduanya menajamkan pandangan ke lautan, tiba-
tiba keduanya dikejutkan dengan adanya sebuah
getek atau rakit yang menuju Pulau Neraka, tempat
mereka berada. Di atas rakit itu, terdapat tiga peti
mati.
“Kala Kuning! Lihat, ada tiga peti di atas rakit!”
seru Kala Hijau pada temannya sambil menunjuk ke
laut. Rakit itu bergerak perlahan, semakin mendekat
ke tepian Pulau Neraka.
“Hai, benar! Siapakah yang telah mengirim peti
mati itu?” gumam Kala Kuning dengan mata masih
menatap rakit yang di atasnya terdapat tiga peti.
“Apakah Tiga Mata Setan yang mengirimnya,
karena mereka telah berhasil membunuh Ki Praba
serta dua saudara Sanjaya dan Purnama?” tanya Kala
Hijau menerka-nerka. Matanya terus menatap tajam
rakit pembawa tiga peti mati.
“Mungkin juga. Sebaiknya kau lapor pada
pimpinan, biar aku menunggu di sini!” usul Kala
Kuning.
“Baiklah kalau begitu.”
Kala Hijau pun bergegas meninggalkan tepian
Pulau Neraka untuk melaporkan hal itu pada
ketuanya, Kala Bendana. Sementara, Kala Kuning
menunggu sampai rakit itu menepi, untuk
mengetahui apa isi peti mati itu.
Kala Hijau dengan terburu-buru melangkah ke;
markasnya, di mana tiga pimpinannya berada. Saat
itu, Kala Bendana, Braga Kunta dan Purba Kelakon
tengah berkumpul. Nampaknya ketiga pimpinan
Gerombolan Iblis Merah sedang membicarakan
sesuatu.
“Ampun Ketua, Kalau Hijau menghadap,” seru
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan
wajaH garang berpakaian hijau. Kala Hijau menjura
hormat.
Ketiga pimpinan Gerombolan Iblis Merah seketika
menghentikan pembicaraan mereka. Ketiganya
langsung menoleh kepada Kala Hijau.
“Ada apa, Kala Hijau?” tanya lelaki bermuka kasar
dengan cambang bauk tebal yang tak lain Ka
Bendana.
“Kami melihat rakit membawa tiga peti mati,” ujar
Kala Hijau melaporkan.
“Hm, apakah kalian telah memeriksa isinya?”
tanya lelaki bertubuh gagah berpakaian serba hitam.
“Belum, Ketua. Itu sebabnya hamba menghadap,”
jawab Kala Hijau.
“Baiklah, kami akan segera ke sana,” kali ini yang
berkata lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun
dengan jenggot dan kumis tebal yang tak lain Purba
Kelakon.
Ketiga lelaki yang memimpin Gerombolan Iblis
Merah itu melangkah meninggalkan ruang per-
temuan, keluar dari tempat itu. Kala Hijau mengikuti
di belakang. Mereka melangkah menuju tempat Kala
Hijau dan Kala Kuning bertugas hari itu.
“Hm, mungkinkah Tiga Mata Setan telah berhasil
menunaikan tugasnya?” gumam Kala Bendana.
“Mungkin juga, Kakang. Tetapi, mengapa hanya
tiga? Tidak sekalian dengan Pendekar Gila?” tanya
Braja Kunta, lelaki berusia sekitar enam puluh tahun,
mengenakan pakaian coklat Pertanyaannya seperti
bergumam padajdiri sendiri. Matanya memandang ke
rakit yang semakin mendekat ke pantai.
“Cepat kau panggilkan teman-temanmu untuk
menarik rakit itu ke sini!” perintah lelaki berjubah
ungu dan mengenakan blangkon batik berwarna
hitam yang bernama Purba Kelakon.
“Baik, Ketua!” jawab Kala Kuning. Tanpa di-
perintah kedua kalinya, Kala Kuning segera ber-
kelebat pergi untuk memanggil rekan-rekannya. Tidak
lama kemudian, Kala Kuning telah kembali datang
dengan dua puluh orang anak buah Gerombolan Iblis
Merah. Gerombolan Iblis Merah merupakan nama
baru gabungan antara anak buah Kala Bendana
dengan Purba Kelakon.
“Kala Kuning, tarik rakit itu dan angkat peti itu...!”
perintah Kala Bendana.
“Daulat, Ketua!”
Kala Kuning dan kedua puluh rekannya segera
menceburkan diri ke laut untuk menarik rakit yang
jaraknya tinggal lima belas tombak dari daratan.
Kedua puluh satu anak buah Kala Bendana segera
berenang mendekati rakit. Kemudian mereka
menarik dan mendorong rakit kayu itu, semakin
mendekat ke pimpinan mereka yang menunggu di
daratan.
Rakit itu pun sampai. Kala Bendana dan dua ketua
lainnya segera mendekati anak buah yang meng-
angkat rakit ke daratan.
Kala Bendana segera membuka satu persatu peti
mati itu. Seketika mata mereka membelalak, setelah
tahu isi peti mati itu. Dari mulut mereka mendesis,
menyebutkan nama ketiga orang yang telah mati.
“Tiga Mata Setan...!”
“Kurang ajar! Mereka benar-benar mencari
penyakit! Berani benar mereka menghinaku!” dengus
Kala Bendana geram. Gigi-giginya saling beradu,
menandakan kemarahannya sudah tak terbendung
lagi. Tangannya mengepal-ngepal; sepertinya siap
meremukkan batok kepala orang yang telah berani
mengirim mayat ketiga anak buah kepadanya, “Akan
kuremukkan batok kepalanya!”
“Sabar, Adi Kala Bendana! Kita tidak boleh
terbawa perasaan kita,” ujar Purba Kelakon berusaha
menyabarkan rekannya yang tampak sudah sangat
marah, “Kau harus ingat. Tentunya orang yang
mengirim Tiga Mata Setan bukanlah tokoh sem-
barangan. Tiga Mata Setan bukan orang-orang
sembarangan. Ilmu mereka jelas tinggi. Namun
mengapa mereka sampai mati dengan muka
gosong?”
Kala Bendana terdiam. Namun wajahnya masih
menggambarkan amarah yang meluap-luap. Dia
benar-benar merasa dihina oleh orang yang mengirim
ketiga peti mati beserta isinya.
“Benar, Kakang. Apa yang dikatakan Kakang
Purba Kelakon memang benar. Jelas yang melakukan
semua ini, bukan orang sembarangan seperti Ki
Praba dan dua bersaudara Sanjaya dan Purnama.
Hm, aku jadi yakin, tentunya pendekar itu ada di Desa
Karang Galuh,” gumam Braga Kunta, bekas anggota
Gerombolan Serigala Hitam itu. Braga Kunta adalah
kawan seperguruan dengan Beruk Ireng yang dibunuh
Sanjaya dalam pesta gila.
“Bagaimana kau bisa yakin kalau ini semua
tindakan Pendekar Gila...?” tanya Kala Bendana
dengan kening mengerut, belum percaya.
“Kau lihat wajah mereka seperti terbakar,
Kakang?”
“Ya!”
“Kau tahu, kenapa mereka, Kakang?”
“Tidak!” sahut Kala Bendana cepat.
Braga Kunta menarik napas dalam-dalam.
Matanya menatap tajam pada mayat Tiga Mata
Setan. Ada dua kemungkinan yang sedang dipikirkan.
Kala Bendana memandangi wajah adik seperguruan-
nya yang nampak kalem, seakan ada sesuatu yang
sedang dipikirkan Braga Kunta.
“Ada dua kemungkinan yang menjadikan ketiga-
nya mati.”
“Apa itu?” desak Kala Bendana ingin tahu.
“Pertama, mereka menyerang dengan ilmu Mata
Setan, dan ditangkis oleh Suling Naga Sakti milik
Pendekar Gila...,” tutur Braga Kunta.
“Ah, bagaimana mungkin hanya sebuah suling bisa
mengembalikan sinar api mereka?” bantah Kala
Bendana tak percaya.
Braga Kunta tersenyum sambil menghela napas,
kemudian digeleng-gelengkan kepalanya.
“Memang kalau belum melihat dengan mata
kepala sendiri, sulit untuk dipercaya, Kakang. Suling
itu memang merupakan senjata sakti bagi Pendekar
Gila. Itu pula yang menjadikannya semakin ber-
tambah sakti,” jawab Braga Kunta.
“Hm,” gumam Kala Bendana tak jelas, “Lalu
kemungkinan kedua?”
Braga Kunta tak langsung menjawab. Kembali dia
menghela napas panjang, berusaha menenangkan
hatinya. Bagaimanapun dirinya belum pernah bentrok
melawan Pendekar Gila. Namun setidaknya tokoh
dalam Serigala Hitam ini sering mendengar sepak
terjang pendekar muda itu. Dan selama ini, di-
dengarnya kalau pendekar muda itu belum ada yang
mampu mengalahkannya. Itu juga yang membuat
Braga Kunta merasa cemas, karena bagaimanapun
tidak mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan
pendekar murid Singo Edan penghuni Goa Setan itu
“Kemungkinan kedua, Tiga Mata Setan terkena
sinar sakti dari sepasang mata kepala Naga di Suling
Naga Sakti milik Pendekar Gila.”
“Heh?!”
“Hah?!” Kala Bendana dan Purba Kelakon
tersentak mendengar penuturan Braga Kunta.
Mereka baru mendengar tentang suling yang mampu
mengeluarkan sinar sakti. Selama ini, mereka
menganggap senjata-senjata mereka yang berbentuk
caping maut dan sangat besar merupakan senjata-
senjata sakti, dan tak ada lagi senjata sakti lainya.
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya
Bendana minta pendapat dari adik seperguruannya
yang lebih cerdas dibandingkan dengan dirinya.
“Kita kirim pasukan ke Desa Karang Galuh.
Sebisanya, harus ada yang hidup untuk melaporkan
pada kita akan apa yang sebenarnya ada di Desa
Karan Galuh,” usul Braga Kunta.
“Benar! Aku setuju,” sambut Purba Kelakon.
“Baiklah kalau begitu. Kala Hijau, kau pimpin d puluh
orang untuk menyerbu ke Desa Karang Galuh.
Sebisanya, kau harus memberi laporan ke sini!” pe
rintah Kala Bendana.
“Baik, Ketua!” jawab Kala Hijau. Sore itu pula, Kala
Hijau dengan dua puluh anak buah Gerombolan Iblis
Merah berangkat untuk mela kukan penyerbuan ke
Desa Karang Galuh sekali memeriksa benar tidaknya
kalau Pendekar Gilaa di desa tersebut.
***
7
Malam baru saja tiba dengan gelap yang menyelimuti
bumi. Begitu pula keadaan di Desa Karang Galuh,
gelap bagaikan sebuah kelambu raksasa yang
membentang dan menyelimuti desa itu. Namun, lain
dengan malam-malam biasa yang sepi, malam itu
Desa Karang Galuh kelihatan masih hidup. Masih
banyak warga yang berlalu-lalang di pantai. Atau di
dalam desa yang terletak di pesisir laut itu.
Semenjak sore Sena, Sanjaya, dan Purnama
berada di rumah Ki Praba. Seperti biasanya, mereka
duduk-duduk di bale-bale bambu di ruang tengah.
Malam itu mereka menyusun rencana untuk dapat
menghancurkan Gerombolan Iblis Merah. Namun
saat itu, bukan hanya keempat orang pendekar saja.
Ada sekitar sepuluh orang warga desa ikut ber-
bincang-bincang bersama kepala desa mereka.
“Apakah Nak Sena yakin kalau Kala Bendana akan
mengirim pasukannya?” tanya Ki Praba seperti belum
yakin, kalau Kala Bendana akan mengirim pasukan.
“Aha, kurasa begitu, Ki. Dengan kematian tiga
orang utusannya, Kala Bendana akan marah,” jawab
Sena dengan mulut cengengesan.
“Hm, tetapi sudah malam, mereka belum datang,”
gumam Ki Praba melemparkan pandangan ke utara.
Jarak rumah Ki Praba dengan pesisir, tidak begitu
jauh. Hanya sekitar seratus tombak.
“Mungkin Kala Bendana sedang mengatur siasat.
“Ya! Kurasa begitu,” Purnama menimpali. “Bagai-
manapun penjagaan di pesisir harus kuat. Kita juga
harus siap jika Kala Bendana menggunakan siasat
yang di luar dugaan kita. Bukan begitu, Kakang
Sena?” Kali ini Purnama menyebut kakang terhadap
Pendekar Gila, sebagai tanda hormatnya.
“Aha, kau benar, Purnama. Bisa saja Kala
Bendana melakukan serangan tidak dari laut.
Mungkin saja dari arah timur, barat, ataupun
selatan,” jawab Pendekar Gila. Jawaban itu membuat
Ki Praba mengangguk-anggukkan kepala.
“Parlan, apakah batas desa telah dijaga ketat?”
tanya Ki Praba kepada utusannya yang bernama
Parlan.
“Sudah, Ki.” jawab Parlan tegas.
“Bagus! Kurasa kita memang harus waspada.
Selain licik, mereka terkenal bengis dan buas. Mereka
tak segan-segan membunuh siapa saja, tanpa
mengenal belas kasihan,” gumam Ki Praba.
Tiba-tiba dari arah utara seorang penduduk desa
nampak berlari-lari menuju rumah. Hal itu membu?
orang-orang yang berada di rumah kepala desa
seketika menoleh kepada lelaki, berusia sekitar tiga
puluh tahun yang menuju ke tempat itu.
“Musuh datang, Ki Lurah,” seru lelaki kurus ber
kumis tipis itu dengan napas tersengal-sengal.
“Hm, benar juga dugaanmu, Nak Sena. Mari, kita
sambut kedatangan mereka! Parlan, perintahkan
para para penjaga batas desa untuk ke pesisir!”
perintah Praba kepada Parlan.
“Baik, Ki Lurah.”
“Ah ah ah...! Kurasa malam ini kita akan pesta
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Kita harus ke pesisir. Ayo...!” ajak Ki Praba.
Mereka pun segera berlarian menuju pesisir untuk
menyambut kedatangan anak buah Gerombolan Iblis
Merah. Sedangkan Parlan, kini berlari untuk meng-
hubungi rekan-rekannya yang bertugas menjaga di
perbatasan Desa Karang Galuh.
***
Dari arah utara, masih dalam jarak sekitar seratus
tombak nampak sebuah perahu berlayar menuju ke
pesisir. Di dalam perahu itu, terlihat dua puluh satu
orang mengenakan pakaian serba hitam dengan
wajah tertutup kain ala ninja. Di punggung mereka,
bertengger pedang panjang.
“Jangan kita serang dulu, sebelum mereka turun!”
perintah Ki Praba pada warga desa yang bersembunyi
di balik rerumputan tinggi yang tumbuh di pesisir
pantai. Sedangkan Sena, kini dengan tenang duduk
bertengger di sebuah cabang pohon besar.
Mata Sena terus mengawasi gerak-gerik pasukan
berpakaian hitam yang masih berada di atas perahu.
Mulutnya cengengesan, tangannya menggaruk-garuk
kepala. Sengaja Sena naik ke pohon, agar dapat
memantau gerak-gerik kedua puluh satu orang yang
semakin bertambah dekat ke pesisir.
“Aha, kurasa sebentar lagi akan ada pesta besar,”
jumam Sena dengan mulut cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Matanya kemudian me-
mandang rerumputan yang paling dekat dengan
pantai, empat Sanjaya dan Purnama, serta Ki Praba
berada. Orang-orang berpakaian serba hitam itu
berlompatan turun dari perahu, karena telah sampai
di depan. Mata mereka memandang tajam ke
sekeliling tempat itu. Kemudian seorang yang ber-
jalan di depan menggerakkan tangan kanan, me-
merintah pada kedua puluh temannya agar bergerak
maju.
Mereka baru saja berjalan sekitar sepuluh langkah
meninggalkan perahu ketika tiba-tiba dari semak-
semak terdengar seruan Ki Praba memerintah pada
warganya untuk menyerang.
“Serang...!”
“Hea!”
“Yea!”
Dari semak-semak yang lebat, bermunculan warga
desa dengan senjata terhunus menyerang dua puluh
satu manusia berpakaian hitam. Pasukan ber-
selubung kain hitam itu tersentak kaget. Lalu segera
mencabuti pedang yang tersampir di pundak masing-
masing.
“Serbu!” perintah Kala Hijau terdengar. Tangan-
nnya bergerak memberi isyarat agar menyerang.
Kedua puluh anak buah segera merangsek maju
memapak serangan dari warga Desa Karang Galuh.
Srtttl Srttt!
“Heaaa...!”
Trang! Trang! Trang!
“Heaaa...!”
Malam itu pun pertarungan seru tak dapat di-
cegah. Mereka membaur dalam persabungan nyawa
yang menggariskan. Siapa yang lengah, akan
menemui ajal. Suasana di pesisir yang semula tenang
dan indah seketika berubah menjadi ajang per-
tarungan. Jeritan-jeritan kematian dan pekikan
menyerang, terdengar membelah kegelapan malam.
Kemarahan seluruh warga Desa Karang Galuh seperti
menemukan tempat pelampiasan. Mereka bertemu
dengan sepasukan berpakaian hitam yang marah
karena Tiga Mata Setan terbunuh.
Sena masih bertengger di atas cabang sebuah
pohon sambil cengengesan dengan tangan meng-
garuk-garuk kepala. Matanya terus menyaksikan per-
tarungan seru itu. Digeleng-gelengkan kepalanya,
seakan berusaha membuang perasaan hatinya yang
sedih. Sedih melihat nyawa-nyawa manusia harus
melayang. Sedih melihat keangkaramurkaan se-
nantiasa datang menjarah dan menyusahkan
manusia yang tidak berdosa. Seperti yang sedang
dialami warga Desa Karang Galuh.
“Jagat Dewa Batara! Sampai kapan pertumpahan
darah berakhir?” gumam Sena sambil menggaruk-
garuk kepala.
“Bantu Ki Lurah! Serang...!” dari arah timur, dua
puluh warga langsung membantu Ki Praba meng-
hadapi pasukan yang dikirim Kala Bendana.
“Hea!”
Wrttt!
Trangngng!
Dentang suara benturan pedang, golok, dan keris
terus terdengar memecah keheningan malam.
Teriakan dan pekikan keras penuh kemarahan ber-
baur dengan suara ombak laut.
Cras!
“Akh...!”
Bersamaan jeritan itu, menggelepar sesosok tubuh
manusia, terbanting di pasir. Sesaat tubuh itu menge-
ang sekarat, kemudian diam bersimbah darah.
Meski dikeroyok puluhan warga desa, nampaknya
anak buah Kala Bendana tidak gentar sedikit pun.
Mereka terus menghadang serangan dengan penuh
keberanian. Pedang panjang di tangan mereka ber-
gerak cepat membabat dan menangkis seran golok
warga desa yang juga kalap. Pertarungan semakin
seru. Seakan-akan tak ada tanda bakal berhenti.
Sementara angin laut bertiup kencang. Dingin men-
cekam.
“Habisi mereka...!” teriak Sanjaya dengan lantang,
kemudian tubuhnya berkelebat menghadang Kala
Hijau yang sedang mengamuk sambil menebaskan
pedangnya menyerang lima warga desa yang
menyerangnya,
“Aku lawanmu! Hea...!”
Dengan penuh kemarahan dan dendam, Sanjaya
segera menyerang Kala Hijau. Pedang di tangannya
bergerak cepat dengan jurus 'Tapak-Tapak Dewa Air'
Gerakan pedang di tangan Sanjaya, tak ubahnya se
perti air yang mengalir. Sekali serangan gagal, tahu-
tahu pedangnya telah kembali menyerang dengan
tusukan dan tebasan ke tubuh lawan. Cepat dan
beruntun!
“Heaaa...!”
Wuttt! Wuttt!
“Aits...!” Kala Hijau tersentak kaget, segera
dimiringkan tubuhnya ke samping kiri mengelak. Hal
itu membuat tusukan pedang Sanjaya melesat
beberapa jari di samping kanannya. Namun belum
juga Kala Hijau mengubah kedudukan, dengan cepat
Sanjaya telah mengirimkan sebuah tendangan kaki
kanannya.
“Yea!”
Wrettt!
“Heh?!” Kala Hijau tersentak kaget, tak
menyangka kalau lawan akan menyerang dengan
tendangan! Dirinya berusaha menangkis dengan
membabatkan pedang ke kaki lawan.
“Hih...!”
Wuttt!
Sanjaya segera menarik kaki kanannya dengan
cepat. Kemudian menyusulkan pukulan tangan kiri-
nya ke dada lawan secepat pedang lawan terangkat.
“Hea!”
Degk!
“Ukh...!” Kala Hijau melenguh tertahan. Tubuhnya
terhuyung-huyung ke belakang. Matanya memandang
ke sekelilingnya, berusaha mencari Pendekar Gila.
Namun tak dilihatnya Pendekar Gila berada di tempat
itu.
“Hm, aku harus pergi untuk memberitahukan pada
Ketua, bahwa di sini tak ada Pendekar Gila,” gumam
hati Kala Hijau sambil berusaha mengelakkan
serangan-serangan Sanjaya yang cepat dan me-
matikan.
“Mampuslah kau, Bajingan! Hea...!” dengan di-
landasi perasaan marah dan dendam, Sanjaya terus
menyerang. Pedang di tangannya menyambar-nyabar
ke tubuh Kala Hijau. Namun, dengan cepat Kala Hijau
melentingkan tubuh ke atas. Kemudian dengan
lompatan ' Harimau'-nya Kala Hijau melesat menuju
laut. Dan tanpa rasa takut, Kala Hijau langsung men-
cebur ke laut.
Byurrr!
“Hai, mau lari ke mana kau, Bajingan!” bentak
Sanjaya seraya mengejar. Namun tubuh Kala Hijau
telah menghilang, tenggelam ke dalam laut. Sanjaya
tak peduli, terus memandangi laut tempat tubuh Kala
Hijau tenggelam, menunggu sampai Kala Hijau
muncul.
Lama sekali Sanjaya menunggu, tetapi Kala Hijau
tak juga muncul ke permukaan. Kala Hijau bagaikan
tenggelam di dasar laut Merasa lawan sudah tak aka
muncul lagi, Sanjaya pun kembali berkelebat ke
tempat pertempuran.
***
Pertarungan semakin seru, dengan kehadiran
Sanjaya yang langsung mengganas. Namun, per-
tempuran kini nampak tak seimbang lagi. Kedua
puluh lawan, mulai terdesak. Apalagi dengan
kehadiran Sanjaya. Pedang di tangan pemuda ber-
pakaian kuning itu bagaikan haus darah. Sekali
berkelebat, seketika itu pula nyawa melayang.
“Hea!”
Wrt!
“Akh...!” satu orang lawan terbabat pedang
Sanjaya. Perutnya terkoyak dengan usus terburai
keluar. Tubuh lelaki berpakaian hitam itu meregang.
Kemudian menggelepar-gelepar dan diam tak
bernyawa.
Sanjaya dan Purnama bagaikan dua ekor banteng
teriuka. Marah! Pedang di tangan mereka, bergerak
cepat dengan jurus andalan 'Sepasang Pedang Dewa
Angin'. Jurus itu sangat dahsyat, terbukti pedang di
tangan kedua kakak-beradik itu bagaikan meng-
hilang. Yang nampak hanya kilatan-kilatan samar.
“Heaaa!”
“Yeaaa!”
Wrt! Wrttt!
Dengan jurus pemungkas, Sanjaya dan Purnama
terus merangsek lawan-lawannya. Pedang mereka
menebas dan menusuk sangat cepat. Sehingga sulit
bagi lawan untuk dapat mengelakkan serangan
mereka.
Wrttt!
Brettt!
“Akh...!” kembali pedang di tangan Sanjaya me-
minta korban. Kali ini leher lawannya sebagai
sasaran. Leher itu hampir putus. Darah menyembur
deras. Sesaat tubuh korban menggelepar, kemudian
diam. Tewas!
Purnama pun tak mau kalah. Dengan jurus yang
sama pemuda itu bergerak cepat menusukkan
pedang ke lawan-lawannya. Gerakan menusuknya
sangat cepat. Sehingga lawan tak mampu bergerak
untuk mengelak.
“Hea!”
Wrttt!
Blesss!
“Aaakh...!” seorang lawan tertembus pedang di
tangan Purnama sampai ke punggung. Dan ketika
Purnama mencabut pedangnya, saat itu pula nampak
tubuh bagian dada lawan berlubang dan menyem-
burkan darah deras, membasahi sekujur tubuh. Lelaki
berpakaian hitam itu terbelalak. Tubuhnya menge-
jang, kemudian ambruk mencium tanah dan mati.
Di pihak lain, Ki Praba dan warga desa pun tak
mau kalah. Mereka mengamuk dengan ganas, men-
desak lawan-lawannya.
“Bunuh semuanya..!” teriak Ki Praba.
“Habisi mereka...!” warga menyahuti dengan
mengangkat senjata mereka. Salah seorang warga
membawa pentungan sepanjang lengan. Dipentung-
kannya kayu itu ke rubuh manusia berpakaian hitam
dari belakang.
Pletakkk!
“Aduh...!” orang itu menjerit. Pedangnya terlepas.
Kemudian tangannya langsung memegangi kepala
yang pecah akibat pentungan salah seorang warga
desa. Tubuhnya berputar-putar sambil terus men-
dekap kepalanya yang pecah. Darah merembes
keluar bercampur otak. Tubuhnya melemas, lalu
ambruk mencium pasir pantai.
Pendekar Gila yang masih bertengger di atas
cabang pohon tak mau tinggal diam. Ketika ada salah
seorang lawan melenting ke udara, dengan cepat
tangannya bergerak menyambar pakaian orang itu.
Trep!
“Hi hi hi...! Mau lari ke mana, Kawan?” tanya Sena
sambil cengengesan dengan tangan kiri menggaruk-
garuk kepala. Diangkatnya tubuh orang itu tinggi-
tinggi. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam
dilemparkan tubuh orang itu ke atas.
Werrr!
“Wuaaa...! Tolooong...!” tubuh orang itu terlontar
ke atas, kemudian menukik ke bawah dengan cepat
Kepalanya berada di bawah. Sehingga ketika sampai
di tanah, tubuh itu langsung menancap dengan
kepala terbenam di tanah.
“Hua ha ha...!” Sena tertawa terbahak-bahak
sambil menggaruk-garuk kepala, menganggap
kejadian itu sebuah lelucon. “Lucu...! Lucu sekali! Ada
juga orang yang main akrobat dalam pertempuran
seperti ini.”
Sisa pasukan berpakaian hitam yang tinggal lima
orang itu, kini semakin bertambah ketakutan. Apalagi
setelah mereka tahu kalau Pendekar Gila ada di situ.
Mereka merasa telah ditipu mentah-mentah oleh
Pendekar Gila, yang bersembunyi dan bertengger di
cabang pohon.
“Heaaa!”
Salah seorang dari kelima menusia berpakaian
hitam itu melesa hendak menyerang Pendekar Gila,
namun ketika tubuhnya sedang melayang ke atas, Ki
Praba mendadak membabatkan pedangnya ke atas.
“Hih!”
Wrt!
Cras!
“Akh...!” orang yang melayang hendak menyerang
Pendekar Gila seketika terbanting. Perutnya me-
nganga, tersambar pedang kepala desa itu.
“Hua ha ha...!” Pendekar Gila tertawa-tawa sambil
berjingkrakan seperti seekor kera di atas pohon, “Ah
ah ah, kau telah berjasa padaku, Ki.”
Ki Praba hanya tersenyum melihat tingkah laku
Sena yang konyol. Yang lain bertempur, Pendekar Gila
justru berjingkrakan sambil tertawa terbahak-bahak
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kalau saja
yang bertingkah begitu bukan Pendekar Gila, Kepala
Desa Karang Galuh itu tentu marah dan menganggap
orang itu pengecut yang hanya berani sembunyi.
Pertarungan semakin tak seimbang. Empat orang
berpakaian hitam terdesak semakin hebat Apalagi
dua di antara gerombolan itu kini harus menghadapi
Sanjaya dan Purnama yang berilmu di atas mereka.
“Hea!”
Dengan penuh amarah Sanjaya menggebrak.
Dengan jurus 'Angin Menuai Bunga' pemuda itu
membabatkan pedangnya ke tubuh lawan yang
semakin kewalahan. Lawan kini bagaikan tak diberi
kesempatan sedikit pun untuk melakukan serangan.
Bahkan kini untuk mengelak pun seperti kehilangan
ruang geraknya. Ke mana dia melesat, ke situ pula
pedang Sanjaya memburu. Sampai akhirnya....
“Heaaa...!”
Bret!
“Akh...! pedang Sanjaya kembali memakan korban.
Tubuh lawan sesaat menggelepar dengan perut mem-
burai. Kemudian diam tak bernyawa. Bersamaan
dengan itu pula, Purnama pun menusukkan pedang-
nya ke leher lawan.
“Hea!”
Suiiit! Bret!
“Akh...!”
Leher lawan pun seketika tertembus pedang
Purnama, hingga hampir putus. Dalam sekejap saja,
kini anak buah Kala Bendana habis tak tersisa lagi.
Warga Desa Karang Galuh bersorak-sorai penuh
kemenangan, meski pengorbanan di pihak mereka
tidak sedikit
“Hidup Ki Praba...!”
“Hidup dua pendekar bersaudara...!”
“Hidup Desa Karang Galuh...!”
Warga desa segera mengangkat tubuh Ki Praba,
dan membawanya ke desa. Mereka bagaikan melupa-
kan apa yang baru saja terjadi, bahkan melupakan
korban-korban yang bergeletakan ke pasir pantai.
Warga desa terus mengarak kepala desa mereka
berkeliling desa dengan penuh kegembiraan.
***
8
Kala Hijau yang luput dari kematian setelah bertarung
melawan warga Desa Karang Galuh, dengan ilmu
'Katak'-nya berhasil mencapai Pulau Neraka. Namun
begitu, dadanya terasa sakit akibat pukulan Sanjaya.
Dengan sisa-sisa tenaganya Kala Bendana terus
berusaha menuju Pulau Neraka, tempat markasnya
berada.
“Ukh! Sakit sekali dadaku,” keluh Kala Hijau
sambil terus berenang.
“Hai?! Kala Hijau, kaukah itu...?!” terdengar suara
Kala Kuning berseru.
“Ukh! Tolong aku, Kuning,” pinta Kala Hijau sambil
menggapai-gapaikan tangan kanannya.
Kala Kuning yang saat itu sedang jaga bersama
Kala Merah dan Kala Biru segera mendekat dan
menolong Kala Hijau. Mereka memapah tubuh Kala
Hijau yang lemas ke darat Kemudian ketiganya
mengantar Kala Hijau menemui pimpinan mereka, di
dalam markas.
Saat itu Kala Bendana tengah merenung seorang
diri, menunggu kedatangan salah seorang anak
buahnya. Dirinya terkejut, ketika Kala Hijau dengan
dipapah tiga temannya datang menghadap.
“Kala Hijau, kau telah pulang. Bagaimana keadaan
di Desa Karang Galuh...?” tanya Kala Bendana.
“Ampun, Ketua. Di sana tak ada Pendekar Gila.
Yang ada hanya Sanjaya dan Purnama. Namun
begitu, ternyata ilmu silat Sanjaya dan Purnama
sangat tinggi. Entah bagaimana nasib kedua puluh
rekan hamba,” Kala Hijau melaporkan sambil
meringis-ringis menahan rasa sakit di dadanya.
“Apakah kau yakin, di sana tak ada Pendekar
Gila?” tiba-tiba dari dalam muncul Braga Kunta diikuti
Purba Kelakon.
“Yakin, Ketua. Hamba telah berusaha mencari
Pendekar Gila, tapi memang tak ada;” ujar Kala Hijau
meyakinkan.
“Hm...!” gumam Braga Kunta tak jelas. Diangguk-
anggukkan kepalanya, seperti percaya. Namun
kemudian menggeleng-geleng dengan bibir mengurai
senyum, “Aku tak percaya, Kala Hijau. Betapapun
kehebatan Sanjaya dan Purnama, mereka tak akan
mungkin dapat mengalahkan Tiga Mata Setan!”
ujarnya dengan sinis.
“Tapi, Ketua...!”
“Kau tak tahu, kalau Pendekar Gila mungkin
sengaja sembunyi, dengan harapan dapat me-
mancing kami,” ujar Purba Kelakon dengan senyum
sinis mengembang di bibirnya. Kepalanya meng-
geleng-geleng, tak percaya.
“Jelas, Pendekar Gila memang menantang kami!”
timpal Braga Kunta dengan suara penuh ketegasan.
“Kita harus ke sana! Masak menghadapi Pendekar
Gila kita akan kalah?!” dengus Kala Bendana tak
sabar. Ingin rasanya Kala Bendana segera berangkat
ke Desa Karang Galuh, untuk bertemu dengan
Pendekar Gila. Dirinya memang belum pernah ber-
temu dengan Pendekar Gila. Sehingga ingin menjajaki
sampai sejauh mana ilmu silat pendekar muda, yang
namanya sangat kesohor itu.
“Sabar, Kakang! Kita....”
Belum selesai Braga Kunta berkata, Kala Bendana
telah menukasnya dengan cepat.
“Braga Kunta, sejak kapan kau menjadi pengecut,
heh?! Kalau kau takut menghadapi Pendekar Gila,
biar aku sendiri yang menghadapinya! Kau dan
Kakang Purba Kelakon menghadapi Ki Praba dengan
dua orang cecunguknya!” sentak Kala Bendana keras
dan tajam. Sehingga Braga Kunta tak dapat berkata-
kata, untuk membantah. Dirinya tahu bagaimana sifat
kakak seperguruannya. Jika sudah menentukan,
maka tak ada yang bakal mampu menghalanginya.
“Aku tak takut, Kakang!”
“Kalau begitu, kita segera ke sana!”
“Malam ini juga...?” tanya Purba Kelakon.
“Ya! Malam ini juga.”
Malam itu juga, Kala Bendana dan sepuluh anak
buahnya berangkat ke Desa Karang Galuh untuk
melakukan penyerbuan kedua. Kala Bendana tak
sabar lagi untuk segera menyingkirkan Ki Praba dan
dua kakak-beradik Sanjaya dan Purnama. Dengan
menggunakan perahu, mereka pun berangkat
menyeberangi laut menuju selatan.
***
Di rumah Kepala Desa Karang Galuh, malam itu
penduduk desa nampak berkumpul. Setelah
kemenangan atas pertarungan melawan anak buah
Kala Bendana, mereka hendak melakukan syukuran.
Mereka sibuk dengan kegiatan di rumah Ki Praba.
Acara syukuran atas kemenangan mereka ber-
tarung melawan anak buah Kala Bendana baru saja
hampir dilakukan. Namun ketika Ki Praba hendak
membaca doa tiba....
“Tolooong...! Tolooong...!”
Dari arah barat, terdengar jeritan ketakutan
seorang wanita. Hal itu membuat semua orang yang
berkumpul di rumah Ki Praba tersentak kaget.
Serentak mereka saling pandang, kemudian bangkit
dan segera berhamburan keluar.
Di sebelah barat nampak api berkobar-kobar.
Sepertinya tengah terjadi kebakaran. Dari arah yang
sama, beberapa orang wanita berlarian menuju
rumah kepala desa.
“Aha, kurasa itu bukan kebakaran biasa, Ki,” ujar
Sena dengan mata menyipit serta kening mengerut
Firasatnya sebagai seorang pendekar, mengatakan
bahwa kebakaran di sebelah barat Desa Karang
Galuh, bukan kebakaran biasa. Pasti ada yang
sengaja membakar. Telinganya yang tajam, men-
dengar suara gelak tawa seseorang yang bersuara
besar dan keras di tempat kebakaran itu.
“Maksudmu?” tanya Ki Lurah Praba.
“Apakah Kala Bendana memiliki suara berat dan
keras?” Pendekar Gila balik bertanya.
“Benar,” sahut Sanjaya.
“Aha, kalau begitu mereka datang, Ki Lurah!”
“Kala Bendana...?!” hampir semua tersentak kaget
mendengar, ucapan Sena.
“Benar! Kala Bendana datang,” jawab Sena tegas.
Mereka semakin tersentak kaget, ketika lima
orang wanita yang berlari menuju rumah Ki Lurah
berteriak-teriak menyebut nama Kala Bendana.
“Tolong, Ki Lurah! Kala Bendana mengamuk,
mencari Ki Lurah dan Pendekar Gila...!” salah seorang
dari wanita penduduk Desa Karang Galuh menutur-
kan dengan wajah cemas.
“Hm, mengapa tak langsung ke rumahku saja?”
gumam Ki Lurah Praba.
“Mereka membakari rumah, memperkosa anak
kami,” tutur yang lain.
“Aha, jelas ini tak bisa didiamkan, Ki. Aku akan ke
sana,” ujar Sena. Kemudian sebelum Ki Praba
sempat berkata, tubuhnya telah melesat laksana
terbang menghilang di kegelapan malam.
“Kita harus membantunya! Ayo...!” ajak Ki Praba.
Kini semua bergerak menuju tempat kobaran api
kebakaran.
***
Kala Bendana dan anak buahnya benar-benar
melampiaskan kemarahan dengan membakar rumah-
rumah penduduk. Menyeret anak gadis, kemudian
dengan biadab memperkosa di tempat terbuka,
disaksikan anak buahnya.
“Hua ha ha...!” Kala Bendana tertawa terbahak-
bahak setelah melampiaskan nafsu setannya pada
seorang gadis. “Mana Pendekar Gila, hadapi aku!
Lihat Pendekar Gila, aku Kala Bendana telah datang
menantangmu! Keluarlah kau, Pangecut.”
Braga Kunta saudara seperguruannya hanya
mampu menghela napas panjang mendengar seruan
Kala Bendana yang sangat keterlaluan. Bagaimana
pun, Braga Kunta merasa kalau kakak seper-
guruannya terlalu sombong dan takabur. Apalagi
dengan memperkosa gadis, yang merupakan
pantangan baginya. Namun Kala Bendana nampak-
nya tak peduli. Keangkuhan dan kesombongannya,
telah membuat Kala Bendana merasa, di dunia ini tak
ada yang sakti, kecu
“Ayo, keluarlah Pendekar Gila, Pengecut! Hua ha
ha...! Rupanya Pendekar Gila hanya seekor kecoa
busuk yang pengecut dan penakut! Hua ha ha...!”
Kala Bendana tertawa terbahak-bahak disertai
dengan ejakan dan hinaan yang ditujukan pada
Pendekar Gila.
“Hua ha ha...! Lucu sekali..., lucu sekali! Ada babi
tolol yang berteriak di tengah malam!”
Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari kejauhan.
Hal itu membuat Kala Bendana dan para anak
buahnya tersentak kaget. Suara itu dirasakan begitu
keras hingga memekakkan telinga yang mendengar.
“Pendekar Gila...!” seru Braga Kunta yang merasa
yakin kalau suara itu milik Pendekar Gila.
“Cuih! Kalau kau benar Pendekar Gila, keluarlah!”
tantang Kala Bendana, “Apa kau tak melihat, aku
memperkosa gadis! Kalau kau memang berani,
hadapi aku!” teriaknya dengan suara lantang.
“Aku di sini, Babi Tolol. Hi hi hi...!”
Kala Bendana dan anak buahnya semakin
terperanjat. Mata mereka terbelalak ketika entah dari
mana, tiba-tiba Pendekar Gila telah berdiri di
belakang Kala Bendana berjarak sekitar tiga tombak.
Tingkahnya cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala dengan tangan.
Dilihat dari cara keluar dan kemunculannya yang
tiba-tiba dan tak diketahui, seharusnya Kala Bendana
menyadari kalau ilmu pemuda bertingkah laku gila itu
tinggi. Namun, kesombongan dan kecongkakan, telah
menyebabkan Kala Bendana tak mau membuka
mata. Bahkan dia semakin bertambah angkuh.
“Hm, jadi kau Pendekar Gila itu?!” bentak Kala
Bendana dengan mata membelalak tajam pada
Pendekar Gila.
Wajah Pendekar Gila pun telah berubah merah.
Hal itu sebagai tanda kalau hatinya telah marah,
menyaksikan semua tindakan Kala Bendana yang
sangat biadab.
“Ya! Aku Pendekar Gila,” jawab Sena dengan
tegas. Meski masih cengengesan, wajahnya yang
merah membara tak dapat menyembunyikan
kemarahan. “Percuma kau memiliki ilmu setinggi
langit, Kala Bendana, kalau kesombongan dan ke-
angkaramurkaan tak dapat kau atasi!”
“Cuih! Lancang sekali kau berani mengguruiku,
Bocah Edan!” bentak Kala Bendana, tak menaruh
rasa takut sedikit pun pada Pendekar Gila yang sudah
memuncak amarahnya.
“Hm, jadi kau tak mau sadar, Kala Bendana?!”
“Phuih...! Lagakmu seperti seorang resi! Hadapi
aku, jangan banyak mulut! Akan kukirim kau ke
akherat sana! Dan di sana kau boleh mengajar para
dedemit! Hua ha ha...!” ejek Kala Bendana yang
semakin membuat Pendekar Gila bertambah marah.
“Aku layani tantanganmu, Kala Bendana!
Waspadalah!”
Baik Kala Bendana maupun Pendekar Gila kini
menyurut mundur tiga tindak. Semua orang yang ada
di situ, kini membentuk lingkaran. Mereka yang
semula hendak bertarung, kini hanya menjadi
penonton. Mereka semua hendak menyaksikan duel
Kala Bendana melawan Pendekar Gila.
“Bersiaplah untuk mampus, Bocah Edan! Hea...!”
Kala Bendana langsung menggebrak dengan jurus
andalannya 'Serigala Iblis Merangsek Rusa'. Tangan-
nya mencengkeram ke sana kemari. Namun dengan
enteng Pendekar Gila berkelit. Tubuhnya meliuk-iiui
sana menari, disertai dengan pukulan telapak tangan.
“Hea!”
Plakkk!
“Ukh!”
Tubuh Kala .Bendana yang gendut besar itu ter-
huyung-huyung ke belakang, terkena pukulan telapak
tangan Pendekar Gila. Matanya terbelalak kaget
Hampir tak percaya kalau pemuda bertingkah laku
gila itu dalam segebrakan saja mampu menghantam-
kan pukulan aneh ke dadanya.
“Cuih! Jangan dikira kau akan menang me-
lawanku, Bocah Edan! Terimalah ajian 'Lumpur Maut'-
ku. Hea...!”
Zrttt!
“Aits!” dengan cepat Pendekar Gila melentingkan
tubuh ke atas untuk mengelak. Namun Kala Bendana
tak mau membiarkan Pendekar Gila lepas dari ajian
mautnya. Lelaki bertubuh gendut itu mencecar
dengan ajian 'Lumpur Maut'-nya.
“Hea!”
Zrttt! Zrttts!
“Aits!” Pendekar Gila melompat dan berjumpalitan
mengelakkan hantaman ajian maut itu. Sehingga
serangan itu menerjang sebatang pohon. Aneh!
Pohon yang terhantam ajian itu seketika mengecil
dan semakin kecil sampai akhirnya hilang. “Demi
setan! Aku tak bisa terus begini!” dengusnya.
Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga
Saktinya, kemudian dengan cepat dibabatkan tepat
pada ajian 'Lumpur Maut' yang meluncur mem-
burunya.
Zrttt!
Wrt!
'Lumpur Maut' itu seketika berbalik ke pemiliknya.
Kala Bendana tersentak kaget Dengan mata
terbelalak dirinya berusaha menghindar. Kala
Bendana sungguh tak menyangka akan mendapat
serangan balik dari ajiannya. Tanpa ampun lagi,
tubuhnya harus menjadi sasaran ajiannya sendiri.
Zrttt!
“Tobaaat...!” Kala Bendana menjerit setinggi langit
dan berusaha melepaskan diri dari lumpur mautnya.
Namun, lumpur hitam itu telah menggulungnya.
Kejadian aneh pun terjadi. Tubuh Kala Bendana
semakin lama semakin kecil dan akhirnya hilang
bersama lumpur maut itu.
Melihat pimpinan mereka mati, para anak buah
Kala Bendana pun segera menyerah. Bahkan Braga
Kunta yang mendahului menyerah bersama Purba
Kelakon.
Mereka digiring ke balai desa, untuk mendapat
hukuman yang setimpal.
Pagi telah datang, ketika Pendekar Gila meminta
izin untuk meneruskan perjalanannya mengembara.
Ki Praba, Purnama, dan Sanjaya serta warga Desa
Karang Galuh berusaha mencegah. Namun akhirnya
mereka melepas juga kepergian Pendekar Gila.
Mereka memahami tanggung jawab yang diemban
Pendekar Gila sebagai penegak dan pembela
kebenaran....
SELESAI
Emoticon