SATU
TIDAK
seperti biasanya, kota Kadipaten Watu Kambang kelihatan ramai. Hampir di setiap
sudut kota terpancang umbul-umbul dan berbagai macam hiasan yang menyemaraki
suasana. Semua orang dari berbagai kalangan, tumpah ruah di jalan utama yang
membelah kota Kadipaten Watu Kambang menjadi dua bagian. Semua rakyat di
kadipaten ini memang tengah melampiaskan kegembiraannya, karena akan
mendapatkan seorang pengganti adipati yang sudah lanjut usia.
Semua
orang sudah tahu, siapa pengganti Adipati Baka Witara itu. Pengganti adipati
itu memang disambut gembira, karena mereka sudah mengenal baik. Dia adalah
putra Adipati Baka Witara sendiri. Seorang pemuda gagah dan selalu dekat dengan
siapa saja. Bahkan tidak pernah memandang derajat atau pangkat seseorang.
Keramaian
yang berlangsung di istana kadipaten itu juga tidak kalah meriahnya. Terlebih
lagi, Adipati Baka Witara mengadakan pertandingan adu kekuatan jago-jago
pilihan di kadipaten ini. Mereka yang memiliki kemampuan tertinggi, akan
diangkat sebagai pegawai pribadi adipati yang baru. Pertandingan itu
berlangsung di halaman depan istana yang luas.
Saat
itu, di atas panggung sedang berlaga dua orang jago kadipaten. Dan sampai
tengah hari ini, sudah lebih dari sepuluh pertandingan dilangsungkan. Namun,
belum juga ada yang berkenan di hati Raden Wikalpa, calon pengganti ayahnya
yang akan menduduki jabatan adipati di Kadipaten Watu Kambang ini.
“Sudah
sepuluh orang yang bertanding, Wikalpa. Apakah pilihanmu sudah kau dapatkan?”
tanya Adipati Baka Witara.
“Belum,”
sahut Raden Wikalpa yang duduk di samping ayahnya.
“Mereka
semua berkemampuan tinggi, Wikalpa. Dan mereka adalah jago-jago pilihan yang
ada di seluruh kadipaten ini,” jelas Adipati Baka Witara.
“Mereka
memang tangguh, tapi tidak bisa menghilangkan keangkuhannya, Ayah. Aku tidak
suka orang yang angkuh dan kasar,” Raden Wikalpa beralasan.
“Dalam
suatu pertarungan, memang diperlukan keangkuhan, Wikalpa.”
“Tidak
selamanya, Ayah. Kerendahan hati biasanya akan membawa kemenangan yang
sesungguhnya.”
“Tapi
mereka akan patuh pada perintahmu. Jika kau memerintahkan mereka, tak akan ada
yang berani menentang.”
Raden
Wikalpa hanya tersenyum saja. Saat itu pertarungan di atas panggung sudah
berakhir, dan dimenangkan oleh seorang laki-laki berusia setengah baya. Tubuhnya
tinggi tegap dan wajahnya mencerminkan ketegasan dan kekerasan. Laki-laki
setengah baya itu membungkuk memberi hormat pada Adipati Baka Witara dan
putranya, kemudian berdiri tegak di atas panggung, bersikap menantang siapa
saja.
“Siapa
dia, Ayah?” tanya Raden Wikalpa. Matanya tidak berkedip mengamati laki-laki
setengah baya di atas panggung itu.
“Jaran
Amoksa,” sahut Adipati Baka Witara. “Dia jago terakhir, dan tidak terkalahkan
sejak pertarungan tadi.”
“Dari
mana asalnya?”
“Desa
Gandul.Tepatnya, dari Padepokan GagakPutih.”
“Apakah
ilmu olah kanuragannya hanya sampai di situ saja, Ayah?”
“Aku
tidak tahu.”
Raden
Wikalpa bangkit berdiri. Dipanggilnya pembawa acara yang berdiri di sudut dekat
panggung. Laki-laki tua yang mengenakan baju putih panjang itu bergegas
menghampiri. Tubuhnya dibungkukkan untuk memberi hormat pada Raden Wikalpa.
“Hamba
menghadap, Raden.”
“Paman
Legiwa, umumkanlah. Pertandingan ini akan dilanjutkan sampai tiga hari, dan
terbuka pada siapa saja. Untuk sementara, boleh ditetapkan kalau Jaran Amoksa
adalah pemenangnya. Maka, dia harus bersedia melayani siapa saja yang
menantangnya,” ujar Raden Wikalpa.
“Hamba
laksanakan, Raden.” Laki-laki tua yang dipanggil Paman Legiwa itu bergegas naik
ke atas panggung. Kemudian dengan suara lantang, diumumkanlah perintah Raden
Wikalpa tadi. Tentu saja pengumuman ini sangat mengejutkan, tapi disambut
gembira.
Sementara
Raden Wikalpa sudah kembali duduk di samping ayahnya. Saat itu Paman Legiwa
sudah turun dari panggung. Bergegas dihampirinya Raden Wikalpa yang melambaikan
tangannya memanggil.
“Hamba,
Raden....”
“Perintahkan
beberapa prajurit untuk mengumumkan hal itu ke seluruh pelosok kadipaten, dan
buka pintu gerbang lebar-lebar. Biarkan seluruh rakyat menikmatinya,” kata
Raden Wikalpa lagi.
“Hamba
laksanakan, Raden,” sahut Paman Legiwa, bersikap penuh hormat.
“Satu
lagi, Paman.”
“Hamba,
Raden.”
“Sepuluh
orang itu akan menjadi pengawalku, tapi harus tunduk pada pimpinannya nanti,”
ujar Raden Wikalpa.
“Hamba,
Raden”
“Beritahukan
hal itu secepatnya. Ingat, pertarungan ini dilaksanakan selama tiga hari.”
Paman
Legiwa kembali membungkuk memberi hormat, kemudian bergegas pergi. Raden
Wikalpa menyandarkan punggungnya seraya menghembuskan napas panjang. Sedangkan
ayahnya yang duduk di sampingnya, hanya tersenyum saja. Memang, sebenarnya adu
ketangkasan ini sengaja diperintahkan agar dilaksanakan tertutup. Dia memang
ingin menguji putranya ini yang sebentar lagi akan menggantikan kedudukannya.
Dan
ternyata Raden Wikalpa tidak puas kalau adu ketangkasan ini tidak tersebar luas
ke seluruh pelosok Kadipaten Watu Kambang ini. Dia ingin pengawal pribadinya
nanti benar-benar seorang yang tangguh dan berkepandaian tinggi. Jadi, bukan
orang pilihan yang ditentukan begitu saja. Tapi yang terpenting lagi, Raden
Wikalpa menginginkan yang terbaik dalam arti keseluruhan.
“Kau
yakin bisa mendapatkan orang yang kau inginkan, Wikalpa?” tanya Adipati Baka
Witara.
Raden
Wikalpa tidak menyahut, dan hanya tersenyum saja.
“Bagaimana
kalau ada wanita yang ikut, dan ternyata sangat tangguh?” tanya Adipati Baka
Witara lagi.
“Tidak
ada bedanya, Ayah,” sahut Raden Wikalpa. “Kalau ada seorang wanita yang mampu
dan pantas menduduki jabatan kepala pengawal, mengapa harus ditolak? Aku tidak
pernah membedakan kedudukan antara laki-laki dan wanita.”
Adipati
Baka Witara sempat menggelengkan kepalanya, tapi dalam hati sungguh mengagumi
putranya ini. Seorang anak yang benar-benar sangat membanggakan dan
membahagiakan hatinya.
Keramaian
di Kadipaten Watu Kambang, semakin semarak saja. Ini karena adanya pengumuman
yang menggembirakan dari Raden Wikalpa. Bukan hanya rakyat yang menyambut
gembira. Bahkan mereka yang merasa mempunyai kemampuan ilmu olah kanuragan
mencoba untuk mengadu nasib menjadi pemimpin pengawal pribadi pemuda yang akan
menduduki jabatan adipati Itu.
Begitu
banyaknya peminat, sehingga membuat Adipati Baka Witara yang jadi pusing tujuh
keliling. Masalahnya, waktu yang ditentukan Raden Wikalpa sudah terlewati, tapi
belum semua peminat mendapat giliran menunjukkan kebolehannya. Dan terpaksa,
waktu pertandingan diperpanjang hingga tidak terbatas. Karena sampai lima hari,
belum juga ada yang berkenan di hati pemuda itu.
“Wikalpa,
apa sebenarnya yang kau inginkan?” tanya Adipati Baka Witara saat pertandingan
sudah memasuki hari keenam.
Raden
Wikalpa yang ditanya demikian hanya tersenyum saja. Dia tahu kalau ayahnya
mulai tidak sabar lagi. Tapi pemuda itu tetap ingin menyelesaikan adu
ketangkasan ini. Padahal dari daftar peminat yang sudah ada, tidak cukup
sepuluh hari lagi untuk menyelesaikan pertandingan ini.
“Kemarin
sudah datang utusan dari istana. Gusti Prabu sudah mendesak untuk mengangkatmu
menjadi adipati, Wikalpa,” jelas Adipati Baka Witara.
“Tunggu
saja sampai semua ini selesai, Ayah,” ujar Wikalpa kalem.
“Sampai
kapan?” jelas sekali kalau nada suara Adipati Baka Witara mengandung
ketidaksabaran lagi.
Raden
Wikalpa tidak menyahut, tapi malah tersenyum saja. Bahkan pandangannya tetap
tertuju ke arah panggung. Tampak di atas panggung yang cukup besar itu tengah
berlaga dua orang anak muda yang memiliki kepandaian tanggung. Tidak heran
kalau pertandingan itu sangat membosankan. Tapi itu berlangsung tidak lama,
karena salah seorang sudah terjungkal keluar panggung.
Tak
berapa lama kemudian, seorang gadis muda yang cantik, melompat naik ke atas
panggung. Gerakannya sungguh ringan, sehingga tanpa menimbulkan suara sedikit
pun, kakinya mendarat lunak di atas papan panggung. Matanya sempat mengerling
sedikit pada Raden Wikalpa yang duduk di samping ayahnya.
“Siapa
gadis itu, Paman?” tanya Raden Wikalpa pada laki-laki tua yang berdiri tepat di
sampingnya.
“Dia
mendaftarkan diri dengan nama Dewi Lanjani, Raden,” jawab Paman Legiwa.
“Hm...,
berapa orang wanita yang ada di dalam daftar?”
“Hanya
dua.”
“Siapa
seorang lagi?”
Belum
juga Paman Legiwa menjawab, tiba-tiba saja terdengar seruan keras dari arah
panggung.
“Orang
tua...! Kapan pertandingan ini dimulai...?”
Paman
Legiwa langsung berpaling menatap gadis berbaju kuning yang berdiri di atas
panggung. Raden Wikalpa juga menatap ke arah yang sama. Sedangkan Adipati Baka
Witara, tampak kurang senang pada sikap gadis yang berdiri congkak dengan
tangan bertolak pinggang di atas panggung.
“Silakan
dimulai, Paman,” perintah Raden Wikalpa.
Paman
Legiwa memerintahkan agar pertarungan segera dimulai. Dan sebelum suara
laki-laki tua itu menghilang, gadis yang mengaku bernama Dewi Lanjani sudah
melompat menerjang pemuda yang baru saja mengalahkan dua orang peserta itu.
“Heh...?!”
pemuda itu terkejut bukan main. Buru-buru tubuhnya diegoskan ke kanan,
menghindari pukulan keras yang dilontarkan Dewi Lanjani ke arah dadanya. Namun
begitu pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu lewat, mendadak saja
tubuh Dewi Lanjani berputar cepat, dan kakinya melayang deras.
Hal
ini sama sekali tidak diduga oleh pemuda itu, sehingga tidak sempat lagi
berkelit. Sepakan kaki Dewi Lanjani yang keras dan cepat luar biasa itu tak
terbendung lagi, tepat menghantam dada pemuda yang belum sempat melakukan
sesuatu.
Degkh!
“Akh...!”
pemuda itu memekik keras. Seketika tubuhnya terlontar deras ke luar panggung.
Seketika sorak sorai menggemuruh meledak, menyambut kemenangan gadis itu.
Sungguh hanya sekali gebrak saja, lawannya sudah dibuat mengerang di tanah.
Beberapa prajurit bergegas menghampiri pemuda itu, dan menggotongnya menjauhi
arena pertandingan.
Dewi
Lanjani berdiri tegak dan bersikap angkuh di atas panggung. Lagi-lagi matanya
mengerling dan melemparkan senyuman pada Raden Wikalpa. Sikap gadis itu membuat
Adipati Baka Witara jadi muak, dan perutnya terasa mual. Meskipun hanya diam
saja, namun dalam hatinya berharap kalau gadis itu dapat dikalahkan dalam
pertandingan selanjutnya. Sama sekali dia tidak menginginkan gadis itu menjadi
ketua pengawal untuk putranya.
Namun
harapan Adipati Baka Witara seperti pupus begitu saja. Karena beberapa orang
telah mencoba, semuanya harus terpaksa terjungkal ke luar panggung. Tak ada
satu pun lawan-lawan berikutnya yang mampu menandingi lebih dari dua jurus.
Bahkan beberapa orang yang sudah mendaftar, terpaksa mundur melihat kedigdayaan
gadis itu.
“Paman,
dari mana dia berasal?” tanya Raden Wikalpa ingin tahu. Karena sudah lebih dari
sepuluh orang yang mencoba, namun semuanya gagal.
“Dia
tidak menyebutkan asalnya, Raden,” sahut Paman Legiwa.
“Hm...,
apakah masih ada lagi yang harus dihadapinya?” tanya Raden Wikalpa.
“Masih
tiga orang lagi, Raden.”
“Tiga
orang lagi...?!” Raden Wikalpa tampak terkejut.
“Benar,
Raden. Hampir semua peserta yang sudah mendaftar mengundurkan diri. Dan kini
masih tersisa tiga orang lagi.”
“Hm...,”
gumam Raden Wikalpa tidak jelas. “Lanjutkan pertarungan ini, Paman.”
“Hamba,
Raden.”
Raden
Wikalpa memiringkan tubuhnya, mendekati ayahnya yang duduk di samping sebelah
kiri. Sementara itu Paman Legiwa sudah memanggil seorang peserta yang masih
terdaftar. Muncullah seorang laki-laki berusia setengah baya yang bertubuh
tinggi tegap dan berotot bersembulan keluar. Sebilah golok besar tersandang,
berkilatan tertimpa cahaya matahari.
Meskipun
tubuhnya besar, namun gerakannya sangat ringan ketika melompat ke atas
panggung. Sedikit pun tidak terdengar suara begitu kakinya menjejak papan
panggung itu. Paman Legiwa tadi memanggilnya dengan nama Buto Kampara.
“He
he he.... Apakah pertandingan ini sudah bisa dimulai, Gusti Adipati?” terdengar
berat sekali suara Buto Kampara.
“Silakan
kalian mulai,” Paman Legiwa yang menyahut.
“He
he he...,” Buto Kampara tertawa terkekeh seraya memutar tubuhnya, menghadap
Dewi Lanjani.
Sementara
itu, Adipati Baka Witara semakin muak saja menyaksikan pertandingan ini. Tapi
dia masih mencoba bertahan di tempat duduknya, karena tidak ingin mengecewakan
anaknya yang tampaknya menikmati sekali acara ini. Dan memang, Raden Wikalpa menggemari
ilmu¬-ilmu olah kanuragan tingkat tinggi. Pemuda itu akan belajar pada siapa
saja yang memiliki kepandaian lebih tinggi darinya, tanpa peduli apakah ilmu
yang dipelajari beraliran putih atau sesat.
Bagi
Raden Wikalpa, semua ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang ada di dunia ini
tidak ada yang putih ataupun hitam. Semuanya sama saja. Hanya mereka saja yang
menggolongkan demikian karena menggunakannya berdasarkan jalan masing-masing.
Jadi, itu tinggal tergantung bagaimana orangnya. Malah bukannya tidak mungkin,
orang yang memiliki ilmu dianggap sesat, justru akan digunakan untuk jalan
kebaikan. Dan itu sering terjadi. Hanya saja, sebagian besar orang-orang kaum
rimba persilatan menilai suatu ilmu dari sumber ilmu yang diperolehnya.
Sementara
itu, pertarungan di atas panggung sudah dimulai. Tampak sekali kalau Buto
Kampara sangat bernafsu untuk memenangkan pertarungan ini. Beberapa kali Dewi
Lanjani dirangsek dengan jurus-jurus permainan goloknya yang cepat dan
berbahaya sekali.
Namun
Dewi Lanjani bukanlah gadis kosong yang begitu saja mudah ditaklukkan. Tingkat
kepandaian yang dimilikinya cukup tinggi, sehingga sukar bagi Buto Kampara
untuk cepat menjatuhkan gadis itu. Bahkan beberapa kali Buto Kampara terpaksa
membanting tubuhnya menghindari serangan-serangan yang dilancarkan gadis itu.
“Lepas...!”
tiba-tiba saja Dewi Lanjani berteriak nyaring.
Dan
seketika itu juga tangannya dihentakkan ke pergelangan tangan Buto Kampara yang
memegang golok. Hentakan tangan gadis itu demikian cepat dan keras sekali,
karena disertai pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Sesaat Buto Kampara
terperangah, namun cepat menarik tangannya yang sudah terulur hendak menusukkan
goloknya ke dada gadis itu. Namun gerakan Buto Kampara sedikit tertambat.
Akibatnya....
Plak!
“Akh...!”
Buto Kampara memekik tertahan. Dan sebelum laki-laki tinggi besar berotot itu
menyadari apa yang terjadi, mendadak saja pergelangan tangannya terasa seperti
remuk. Tanpa dapat dicegah lagi, golok yang tergenggam di tangannya itu
mencelat ke udara.
“Hiyaaa...!”
Buto Kampara bergegas melentingkan tubuhnya ke angkasa mengejar golok yang
melayang deras, begitu terlepas dari genggaman tangannya.
“Hup!
Yeaaah...!” Namun Dewi Lanjani tidak diam begitu saja. Dengan cepat gadis yang
mengenakan baju warna kuning itu melesat mengejar Buto Kampara. Dan secepat itu
pula pedangnya dibabatkan ke arah perut.
Bet!
Cras!
“Aaakh...!”
Untuk kedua kalinya Buto Kampara menjerit melengking tinggi. Sebelum laki-laki
tinggi besar dan berwajah kasar penuh brewok itu bisa melakukan tindakan
apa-apa, kembali Dewi Lanjani sudah memberi satu tendangan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi. Tendangan menggeledek itu tak mungkin
terbendung lagi, sehingga tepat mendarat keras di dada Buto Kampara.
Degkh!
“Akh...!”
Lagi-lagi Buto Kampara memekik keras. Tubuh tinggi besar itu seketika terlempar
deras ke bawah, dan langsung mendarat di tanah keras sekali. Tepat saat tubuh
tinggi besar itu mendarat di tanah, Dewi Lanjani berhasil mengambil golok besar
lawannya yang masih di udara. Dan ketika Buto Kampara tengah meregang nyawa,
wanita itu langsung melemparkan golok pada pemiliknya. Akibatnya, golok itu
menancap dalam di dada pemiliknya sendiri. Sebelum jeritan melengking Buto
Kampara lenyap dari pendengaran, Dewi Lanjani sudah menjejakkan kakinya di atas
papan panggung. Tangannya bertolak pinggang, bersikap angkuh sekali.
Pandangan
Dewi Lanjani kini tertuju langsung pada Raden Wikalpa yang masih tetap duduk
tenang di samping ayahnya. Pemuda itu kini memberi senyuman pada wanita yang
telah berhasil baik mengatasi lawan-lawannya. Bahkan baru saja merobohkan
seorang lawan yang tangguh dan berkepandaian cukup tinggi.
“Siapa
lagi berikutnya, Paman?” tanya Raden Wikalpa. Pandangannya sedikit pun tidak
berpaling dari gadis cantik berbaju kuning muda di atas panggung itu.
“Nyai
Raka Wulung, Raden,” sahut Paman Legiwa.
“Hadapkan
pada gadis itu,” perintah Raden Wikalpa.
“Baik,
Raden.”
Paman
Legiwa melangkah maju tiga tindak. Kemudian dengan suara keras dan lantang,
dipanggilnya Nyai Raka Wulung untuk naik ke atas panggung menjadi lawan Dewi
Lanjani berikutnya. Dan belum lagi suara Paman Legiwa menghilang dari
pendengaran, mendadak saja sebuah bayangan merah berkelebat cepat. Tahu-tahu di
atas panggung sudah berdiri seorang perempuan tua mengenakan baju panjang dan
longgar berwarna merah menyala. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tongkat
berbentuk seekor ular merah yang menjulurkan lidahnya.
“Hik
hik hik...!”
DUA
Setelah
Paman Legiwa memberi isyarat, seketika itu juga Nyai Raka Wulung melompat
menerjang Dewi Lanjani dengan tebasan tongkatnya. Deru angin yang ditimbulkan
tongkat ular hitam sudah menandakan kalau perempuan tua berjubah merah itu
berkepandaian tinggi sekali. Terutama tenaga dalamnya. Tidak heran kalau
kebutan tongkatnya menimbulkan suara angin menderu bagai topan.
“Hup!
Yeaaah...!” Gerakan Dewi Lanjani manis sekali, sehingga berhasil mengelakkan
serangan perempuan tua itu. Dan sebelum Nyai Raka Wulung bisa menarik kembali
tongkatnya, mendadak saja Dewi Lanjani sudah memberi satu hentakan tangan kanan
yang cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
Bet!
“Ikh...!”
Nyai Raka Wulung sempat terpekik kaget. Namun, cepat sekali tubuhnya diegoskan,
sehingga sodokan gadis itu dapat dihindari dengan manis.
Bergegas
Nyai Raka Wulung melompat ke belakang tiga tindak, begitu berhasil
menghindarkan sodokan Dewi Lanjani. Tapi rupanya Dewi Lanjani tidak membiarkan
begitu saja. Cepat sekali dia melompat sambil melontarkan pukulan dua kali
berturut-turut. Pukulan yang dilontarkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi
itu sempat pula membuat Nyai Raka Wulung kerepotan tak karuan.
Bukan
hanya sampai di situ saja Dewi Lanjani melancarkan pukulannya. Buktinya, kini
dilanjutkan dengan tendangan keras menggeledek, yang kemudian disusul sodokan
dan pukulan secara beruntun. Serangan gadis ini begitu cepat luar biasa,
membuat Nyai Raka Wulung semakin terdesak.
“Setan!”
dengus Nyai Raka Wulung geram. Perempuan tua itu cepat-cepat melompat ke
belakang disertai tebasan tongkatnya yang dialiri tenaga dalam tinggi. Tebasan
tongkat ular merah itu hampir saja menggedor Dewi Lanjani, kalau saja tubuhnya
tidak cepat¬cepat ditarik ke belakang. Gadis itu berputaran dua kali, sebelum
menjejakkan kakinya di papan panggung pertandingan dengan manis.
Kini
kedua wanita itu saling berdiri berhadapan, berjarak sekitar satu setengah
tombak saja. Mereka saling menatap tajam. Gebrakan pertama yang cepat dan
dahsyat itu, sungguh memukau semua orang di sekitar panggung. Sehingga suasana
begitu senyap, seakan-akan semua orang ikut merasakan ketegangan yang dialami
dua perempuan di atas panggung itu.
“Kau
benar-benar hebat, Dewi Lanjani. Siapa gurumu?” agak dingin suara Nyai Raka
wulung.
“Kau
akan terkejut dan langsung kabur jika kusebutkan, NenekTua,” sahut Dewi Lanjani
agak sinis.
“Phuih!
Jurus ‘Angsa Menari’ yang kau pamerkan tadi memang ampuh. Tapi itu belum cukup
tangguh untuk mengalahkan aku, Bocah!” dengus Nyai Raka Wulung.
Nyai
Raka Wulung paling benci jika dipanggil nenek tua. Meskipun disadari kalau
dirinya memang sudah tua, tapi dia paling tidak suka jika dipanggil seperti
itu. Sebutan itu membuat darahnya seketika saja bergolak mendidih. Gerahamnya
bergemeletuk menahan kemarahan yang meluap seketika. Namun nampaknya, perempuan
tua itu masih mencoba untuk menahan diri dan bersikap sabar. Disadari kalau
sekarang ini sedang berada di panggung pertandingan.
“Hm....
Kau sudah tahu jurus pertamaku, Nenek Tua. Tentu juga sudah tahu, dari mana aku
mendapatkannya,” tetap sinis nada suara Dewi Lanjani.
“Meskipun
datang dari neraka sekali pun, kau harus turun dari panggung ini, Bocah. Kau
tidak pantas menduduki jabatan ketua pengawal!”
“Ha
ha ha.... Siapa yang menginginkan itu? Kedatanganku justru untuk membunuh anak
muda itu!” keras sekali suara Dewi Lanjani.
Kata-kata
Dewi Lanjani yang begitu keras membuat semua orang yang berada di sekitar
panggung terkejut setengah mati. Bahkan Adipati Baka Witara sampai terlonjak
bangkit dari duduknya. Kata-kata Dewi Lanjani begitu keras dan terdengar jelas
sekali. Memang, dalam suara itu terkandung pengerahan tenaga dalam yang tinggi.
Dan
sebelum semua orang menyadari, Dewi Lanjani cepat sekali melesat ke arah Raden
Wikalpa yang masih tetap duduk di kursinya. Lesatan gadis itu demikian cepat,
sehingga tidak sempat disadari siapapun juga. Namun begitu Dewi Lanjani hampir
mencapai Raden Wikalpa, mendadak saja....
Plak!
“Akh...!”
Dewi Lanjani terpekik kaget. Gadis itu terpental balik, lalu berputaran di
udara. Namun manis sekali kakinya mendarat di tanah. Dan bersamaan dengan itu,
Raden Wikalpa sudah berdiri tegak di depannya. Entah kapan pemuda itu bergerak,
tak ada seorang pun yang mengetahuinya.
“Bedebah...!”
dengus Dewi Lanjani geram. Sungguh tidak disangka, ternyata pemuda yang
kelihatan tenang dan tidak mempunyai daya itu mampu bergerak cepat di saat-saat
yang genting itu. Hampir saja sodokan tangan kanan Raden Wikalpa tadi mendarat
di dadanya, kalau saja Dewi Lanjani tadi tidak cepat menghentakkan tangan.
Akibatnya kedua tangan mereka beradu keras.
Namun
Dewi Lanjani sempat juga merasakan seluruh pergelangan tangannya seperti
tersengat ribuan kala berbisa ketika beradu tangan dengan pemuda itu. Dan
sampai sekarang masih merasa kesemutan. Gadis itu menyadari kalau Raden Wikalpa
memiliki tingkat kepandaian dan tenaga dalam yang cukup tinggi.
“Siapa
kau sebenarnya, Nisanak?” tanya Raden Wikalpa, agak dingin nada suaranya.
“Hhh!
Manusia macam dirimu, tidak pantas mengetahui tentang diriku!” sahut Dewi
Lanjani sinis.
Saat
itu para prajurit dan jago-jago Kadipaten Watu Kambang ini sudah bergerak
mengepung tempat itu. Terlebih lagi sepuluh orang jago yang baru saja disetujui
Raden Wikalpa untuk menjadi pengawalnya. Mereka langsung saja berlompatan
mengepung paling depan. Karena sudah mengetahui tingkat kepandaian gadis
berbaju kuning itu, maka mereka langsung menghunus senjata masing-masing.
“Nisanak,
mengapa kau hendak membunuhku? Apakah ada sesuatu yang salah pada diriku,
sehingga ingin membunuhku?” tanya Raden Wikalpa lagi, masih bersikap sabar dan
sopan.
“Tidak
perlu bersikap merendah begitu, Wikalpa. Bersiaplah untuk mati...!” desis Dewi
Lanjani semakin dingin suaranya. “Aku tidak akan gentar meskipun seluruh
prajurit dan jago-jagomu dikerahkan.”
Setelah
berkata demikian, Dewi Lanjani langsung melompat menyerang Raden Wikalpa.
Lesatannya begitu cepat, bagaikan anak panah lepas dari busur. Namun hanya
sedikit saja mengegoskan tubuh, Raden Wikalpa sudah berhasil menghindari satu
pukulan keras menggeledek bertenaga dalam tinggi itu.
Dan
sebelum Dewi Lanjani bisa menarik kembali pukulannya yang tidak menemui
sasaran, Raden Wikalpa sudah mengibaskan tangannya, menyodok ke arah perut
gadis itu. Sodokan yang cepat dan tidak terduga itu masih juga terlihat oleh
Dewi Lanjani. Cepat sekali perut gadis itu ditarik ke belakang. Dan bersamaan
dengan itu, diberikannya satu pukulan lurus ke arah wajah.
“Yeaaah...!”
“Uts!”
Raden Wikalpa cepat-cepat menarik kembali sodokannya, lalu melompat mundur dua
tindak ke belakang. Pada saat itu, sepuluh orang jago yang baru terpilih, sudah
melompat menerjang Dewi Lanjani.
“Tahan...!”
sentak Raden Wikalpa keras. Suara yang keras karena disertai pengerahan tenaga
dalam tinggi membuat sepuluh orang jago itu seketika menghentikan serangannya.
Mereka langsung berlompatan mundur sejauh lima langkah. Sementara Raden Wikalpa
melangkah maju dua tindak.
“Sebaiknya
kau cepat pergi, Nisanak. Ini lebih baik, sebelum kami bertindak kejam padamu,”
tegas Raden Wikalpa setengah mengancam.
“Kau
pikir aku akan mundur, heh...?! Tidak bakalan aku pergi sebelum kau mampus,
Wikalpa!” dengus Dewi Lanjani ketus.
“Aku
hanya memberi kesempatan sekali, Nisanak. Pergunakanlah sebelum aku mengambil
tindakan,” kembali Raden Wikalpa memperingatkan gadis itu.
“Kau
terlalu angkuh, Wikalpa...! Terimalah ini.... Hiyaaat!”
Seketika
itu juga Dewi Lanjani melompat menerjang Raden Wikalpa sambil mencabut
pedangnya. Raden Wikalpa sesaat terhenyak kaget. Namun cepat sekali kepalanya
dirundukkan ketika pedang berwarna keperakan dan berkilatan tertimpa cahaya
matahari itu berkelebat cepat ke arah kepala.
Wut!
Pedang itu hanya sedikit saja lewat di atas kepala Raden Wikalpa. Dan sebelum
pemuda itu sempat berbuat sesuatu, mendadak Dewi Lanjani sudah memberi satu
tendangan keras dengan tubuh sedikit diputar yang bertumpu pada kaki sebelah.
“Yeaaah...!”
“Hap!”
Secepat kilat, tubuh Raden Wikalpa melenting ke belakang. Pemuda itu berputaran
dua kali di udara sebelum menjejak tanah berumput. Entah kapan pemuda itu
bergerak, tahu-tahu di tangannya sudah tergenggam sebilah pedang pendek yang
ujungnya bercabang dua.
“Yeaaah...!”
Raden Wikalpa langsung mengebutkan pedangnya ke arah gadis berbaju kuning itu,
tepat pada bagian dada. Dewi Lanjani yang sudah melompat hendak menerjang, jadi
terkejut setengah mati. Buru-buru pedangnya dikibaskan di depan dada.
Trang!
Satu
benturan keras dari dua bilah pedang menimbulkan suara keras berdentang.
Percikan bunga api memendar saat dua mata pedang beradu, sedikit di depan Dewi
Lanjani. Pada saat yang hampir bersamaan, Raden Wikalpa mengibaskan tangannya,
menyodok perut gadis itu.
Bet!
Begkh!
“Heghk...!”
Dewi Lanjani mengeluh pendek. Sodokan tangan kiri Raden Wikalpa kali ini tepat
menusuk perut Dewi Lanjani. Sodokan itu sangat keras, karena disertai hempasan
tenaga dalam tinggi. Tampak Dewi Lanjani terhuyung-huyung ke belakang sambil
mendekap perutnya. Raut wajah gadis itu mendadak saja memucat, dan gerahamnya
bergemeletuk keras menahan kemarahan.
“Hih!”
Dewi Lanjani segera cepat menggerak-gerakkan tangannya di depan dada kemudian
menarik napas dalam¬-dalam. Sebentar kemudian, gadis itu sudah kembali normal
seperti semula.
“Hiyaaat...!”
Bagaikan kilat, Dewi Lanjani kembali melompat menyerang Raden Wikalpa yang
telah menduga kalau gadis itu akan tewas seketika. Namun, kini Dewi Lanjani
malah kembali menyerang dahsyat. Dua kali gadis itu melontarkan pukulan ke arah
RadenWikalpa.
“Hiyaaat...!”
“Upfs...!”
Bergegas Raden Wikalpa mengegoskan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, sehingga dua
pukulan beruntun dan cepat itu tidak sampai mengenai sasaran. Dan hal ini
membuat Dewi Lanjani semakin geram. Gadis itu terus memberi serangan-serangan
cepat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Pertarungan antara Raden
Wikalpa melawan Dewi Lanjani lebih seru daripada pertandingan-pertandingan
tadi. Mereka sudah sama-sama mengeluarkan jurus-jurus dahsyat. Pertarungan itu
berjalan cepat sekali, sehingga hanya dua bayangan yang terlihat berkelebat
saling sambar.
“Akh...!”
Tiba-tiba saja terdengar satu jeritan tertahan. Tampak Dewi Lanjani
terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya. Dari sudut bibirnya
mengalir darah kental. Sebelum gadis itu bisa menguasai keseimbangan tubuh,
Raden Wikalpa sudah melesat cepat bagaikan kilat menerjangnya.
“Yeaaah...!”
Raden Wikalpa melontarkan satu pukulan keras ke arah dada gadis itu. Begitu
cepatnya serangan yang dilancarkan, sehingga Dewi Lanjani tidak mungkin menghindarinya.
Des!
“Akh!”
Untuk kedua kalinya Dewi Lanjani terpekik keras. Gadis itu terpental ke
belakang, lalu terjungkal keras ke tanah. Sebelum Dewi Lanjani bisa melakukan
sesuatu, Raden Wikalpa sudah kembali melesat cepat ke arahnya. Tahu-tahu pemuda
itu sudah berdiri di sampingnya. Cepat sekali Raden Wikalpa merenggut tubuh
gadis itu hingga berdiri, lalu memutarnya. Dan kini pemuda itu sudah meringkus
Dewi Lanjani dengan memutar tangannya ke punggung.
“Masukkan
dia ke penjara!” sentak Raden Wikalpa dengan napas agak tersengal.
Paman
Legiwa bergegas menggantikan. Seketika seorang prajurit kadipaten menghampiri
sambil membawa rantai belenggu untuk tawanan. Prajurit itu membelenggu kedua
tangan dan kaki Dewi Lanjani dengan rantai yang kuat dan cukup besar. Gadis itu
sempat menatap tajam Raden Wikalpa penuh dendam. Kemudian, dia sudah tidak
mampu lagi melakukan sesuatu, kecuali menuruti Paman Legiwa yang menggiringnya
menuju penjara.
Raden
Wikalpa kembali mendekati ayahnya yang masih tetap duduk di kursi bersikap
tenang. Laki-laki tua itu tersenyum bangga menyambut anaknya. Sambil
menghembuskan napas panjang, pemuda itu menghempaskan tubuhnya di kursi.
“Tangguh
sekali gadis itu...,” desah Raden Wikalpa.
“Kau
mengenalnya, Wikalpa?” tanya Adipati Baka Witara.
“Entahlah.
Rasanya, baru kali ini aku melihatnya,” sahut Raden Wikalpa agak mendesah.
“Hm...,”
Adipati Baka Witara hanya menggumam saja.
Tak
berapa lama kemudian, Paman Legiwa sudah kembali lagi. Dia memberi hormat pada
Adipati Baka Witara dan Raden Wikalpa, kemudian melaporkan kalau Dewi Lanjani
sudah berada di dalam penjara yang dijaga empat orang prajurit. Laki-laki tua
yang usianya hampir sebaya dengan Adipati Baka Witara itu kini menghampiri
Raden Wikalpa yang memberi isyarat agar mendekat.
“Hamba,
Raden...”
“Hadapkan
Nyai Raka Wulung dan peserta lainnya padaku, sekarang,” perintah Raden Wikalpa.
“Hamba
laksanakan segera, Raden.”
Paman
Legiwa bergegas menghampiri Nyai Raka Wulung yang masih berada di atas
panggung. Kemudian dipanggilnya seorang peserta lagi yang masih tersisa dan
belum sempat melakukan pertarungan. Kedua peserta itu menghampiri Raden
Wikalpa, kemudian berdiri tegak setelah memberi hormat pada pemuda itu.
“Siapa
namamu?” tanya Raden Wikalpa seraya memandang seorang pemuda yang berdiri di
samping Nyai Raka Wulung.
“Jaka
Kumbara, Gusti,” jawab pemuda itu sopan.
Raden
Wikalpa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya pemuda yang mungkin
berusia sebaya dengannya. Wajahnya cukup tampan, dan kulitnya kuning langsat.
Dia mengenakan baju warna putih bersih yang agak ketat, sehingga membentuk
tubuh yang tegap, berotot. Pemuda yang mengaku bernama Jaka Kumbara itu seperti
putra seorang bangsawan saja.
“Dari
mana asalmu?” tanya Raden Wikalpa lagi.
“Desa
Giri,” sahut Jaka Kumbara, tetap bersikap sopan.
Kembali
Raden Wikalpa mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia tahu kalau Desa Giri masih
termasuk wilayah Kadipaten Watu Kambang ini. Malah letaknya juga tidak terlalu
jauh dari kota kadipaten ini. Dan kini Raden Wikalpa memandang Nyai Raka
Wulung. Dia sudah mengenal namanya, tapi belum mengetahui asal perempuan tua
itu.
“Nyai,
mengapa kau ikut mendaftar jadi ketua pengawal khusus untukku?” tanya Raden
Wikalpa.
“Hamba
hanya ingin mengabdi, Raden,” sahut Nyai Raka Wulung, bersikap sopan. Berbeda
sekali ketika berada di atas panggung tadi.
“Hm...!
Kau sepertinya mengenal gadis itu tadi. Siapa dia sebenarnya?” tanya Raden
Wikalpa menyelidik.
“Hamba
tidak tahu, Raden. Tapi ilmu-ilmu yang dimilikinya hamba tahu betul. Ilmu-ilmu
itu berasal dari si Raja Musang Hitam. Hamba tidak tahu, apakah gadis itu
muridnya atau bukan, Raden,” sahut Nyai Raka Wulung.
“Hm...,
baiklah. Aku rasa pertandingan ini tidak perlu diteruskan lagi...,” ujar Raden
Wikalpa seraya berpaling pada Paman Legiwa.
Laki-laki
tua yang berada di samping pemuda itu segera membungkukkan tubuhnya memberi
hormat.
“Umumkan
kalau pertandingan sudah berakhir,” perintah Raden Wikalpa.
“Hamba
laksanakan, Raden,” sahut Paman Legiwa.
Bergegas
laki-laki tua itu melangkah menuju panggung. Raden Wikalpa kemudian bangkit
berdiri setelah ayahnya berdiri. Pemuda itu memberi hormat saat Adipati Baka
Witara melangkah meninggalkan tempat itu. Dan Adipati Baka Witara sempat
melirik anaknya ini. Memang, Raden Wikalpa tahu kalau ayahnya ingin bicara
dengannya, berdua saja.
“Kalian
berdua tunggu di sini,” pesan Raden Wikalpa
pada
kedua peserta yang tersisa itu.
“Baik,
Raden.”
“Hamba,
Gusti.”
Raden
Wikalpa bergegas mengejar ayahnya yang sudah berjalan agak jauh meninggalkan
arena pertandingan itu. Dengan langkah cepat, sebentar saja pemuda itu sudah
mensejajarkan langkahnya di samping Adipati Baka Witara. Mereka berjalan agak
pelahan menuju istana kadipaten yang tampak megah dan anggun.
“Kalau
kau suka mengikuti saranku, sebaiknya pemuda itu yang dipilih, Wikalpa. Nyai
Raka Wulung tidak pantas menduduki jabatan ketua pengawal,” tegas Adipati Baka
Witara.
“Aku
akan menguji mereka, Ayah,” ujar Raden Wikalpa.
“Apa
lagi yang akan kau lakukan?” tanya Adipati Baka Witara tidak mengerti akan
segala maksud anaknya ini.
Raden
Wikalpa tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja sambil terus mengayunkan
kakinya di samping laki¬-laki tua itu. Mereka kemudian memasuki bangunan besar
dan megah itu. Sementara hari sudah merangkak memasuki senja. Sedangkan halaman
depan istana kadipaten ini sudah mulai dikosongkan. Seluruh rakyat yang
menyaksikan pertandingan tadi mulai meninggalkan tempat itu. Di samping itu,
para prajurit pun sudah sibuk membereskan sekitarnya.
Tampak
Paman Legiwa membawa Nyai Raka Wulung dan Jaka Kumbara ke bangsal keprajuritan
yang berada di bagian kanan bangunan istana ini. Sementara Raden Wikalpa dan
Adipati Baka Witara sudah lenyap di dalam Istana Kadipaten Watu Kambang ini.
***
TIGA
....hanya
menggelengkan kepalanya. Pemuda yang juga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti
memang selalu tidak ingin mencampuri urusan orang lain. Tapi jika sudah
terlibat, tidak akan ditinggalkan begitu saja sebelum semuanya tuntas.
Sedangkan lain halnya dengan Pandan Wangi. Gadis ini selalu ingin tahu jika ada
sesuatu yang menarik perhatiannya. Bahkan persoalan sepele saja, pasti ingin
tahu. Kalau sudah begitu, gadis yang berjuluk si Kipas Maut ini tak pernah
tinggal diam, dan akan mencampuri persoalan.
Memang,
Rangga mengakui kalau Pandan Wangi terlalu jeli jika memandang sesuatu
persoalan. Bahkan sepertinya bisa menduga tepat, meskipun persoalan yang
dihadapi masih mengambang. Hal ini kerap membuat Rangga kelabakan, karena
Pandan Wangi sering kali tidak bisa menyelesaikannya sendiri. Terpaksa Pendekar
Rajawali Sakti yang harus turun tangan, jika keselamatan gadis ini mulai
terancam.
“Sudah
makannya, Pandan?” tanya Rangga.
“Sudah,”
jawab Pandan Wangi singkat
Rangga
memanggil laki-laki tua pemilik kedai ini. Setelah membayar semua makanan dan
minuman yang dinikmati, kemudian kedua pendekar muda itu melangkah meninggalkan
kedai. Pendekar Rajawali Sakti melompat naik ke punggung kudanya yang tertambat
di depan kedai. Pandan Wangi mengikuti dengan gerakan indah dan ringan sekali.
Tak
lama berselang, mereka sudah berkuda perlahan-lahan menyusuri jalan yang cukup
lebar dan berdebu. Jalan ini membelah kota Kadipaten Watu Kambang seperti
menjadi dua bagian. Mereka berkuda sambil menikmati keindahan kota yang jarang
ditemui dalam pengembaraan. Selama ini mereka hanya bertemu desa-desa kumuh
yang selalu menyediakan berbagai macam permasalahan.
“Rasanya
aku ingin sekali hidup tenang, tanpa harus bergelut dengan berbagai macam
persoalan dan kekerasan,” ujar Rangga. Nada bicaranya setengah bergumam,
seperti berbicara pada dirinya sendiri.
“Kenapa
tidak tinggal saja di istana...?” sambut Pandan Wangi.
“Aku
tidak cocok tinggal di lingkungan istana, Pandan. Meskipun terlahir di sana,
tapi seluruh kehidupanku berada di alam bebas.”
“Sudah
tahu begitu, masih juga mengeluh,” rungut Pandan Wangi.
“Bukannya
mengeluh. Aku hanya ingin sesekali menikmati ketenangan tanpa gangguan apapun
juga,” Rangga beralasan.
“Kalau
kau ingin, Kakang, cari tempat yang sepi dan tenang di gunung, atau di tengah
hutan. Aku yakin, kau akan menikmati kesunyian alam tanpa ada gangguan apapun
juga,” saran Pandan Wangi.
“Kadang-kadang
kau pintar juga, Pandan,” puji Rangga.
“Huuu...,”
Pandan Wangi mencibir senang mendapat pujian Pendekar Rajawali Sakti.
“Ayo,
Pandan. Kita cari tempat yang kau maksud,” ajak Rangga, langsung saja
menyetujui usul Pandan Wangi tadi.
“Heh...!
Kau bersungguh-sungguh, Kakang?” Pandan Wangi malah terkejut.
Padahal,
tadi gadis itu hanya asal bicara saja, tidak ada maksud bersungguh-sungguh.
Tapi rupanya Rangga benar-benar menanggapinya. Dan sekarang Pendekar Rajawali
Sakti malah ingin menikmati ketenangan yang diinginkannya. Tinggal Pandan Wangi
yang kelabakan.
“Ayo,
Pandan. Tunjukkan tempat yang nyaman padaku,” desak Rangga.
“Aku
tidak tahu,” sahut Pandan Wangi.
“Kau
pernah ke sini, bukan?”
“Iya,
tapi....”
“Jangan
bohongi aku, Pandan. Dulu kau bercerita kalau pernah tinggal di sini hampir
tiga bulan. Pasti kau tahu seluk-beluk tempat ini,” desak Rangga lagi.
“Hhh...,”
Pandan Wangi hanya mengeluh sambil mengangkat bahunya.
Gadis
itu tidak bisa lagi menghindar. Dia memang pernah cerita pada Rangga kalau dulu
pernah tinggal di Kadipaten Watu Kambang ini. Bahkan sampai tiga bulan lamanya.
Kedatangan Rangga ke kadipaten ini juga atas permintaan Pandan Wangi. Sedangkan
Pendekar Rajawali Sakti hanya menurutinya. Sekarang si Kipas Maut itu diminta
untuk menunjukkan tempat yang tenang agar bisa menyendiri.
“Baiklah.
Aku tahu tempat yang indah dan tenang dipinggiran kota,” kata Pandan Wangi
menyerah.
“Kita
ke sana sekarang, Pandan,” ajak Rangga.
“Ayo
deh....”
Mereka
kemudian menggebah cepat kudanya menuju tempat yang dimaksudkan Pandan Wangi.
Rangga sengaja mengendalikan kudanya agar berada agak ke belakang dari kuda
gadis itu. Diikuti saja, ke mana Pandan Wangi mengajaknya. Pendekar Rajawali
Sakti itu sudah membayangkan suatu tempat yang indah dengan udaranya yang
sejuk, nyaman, dan damai. Suatu perasaan wajar yang selalu didambakan setiap
manusia di dunia ini.
***
Rangga
berdecak kagum menyaksikan keindahan alam yang ditunjukkan Pandan Wangi.
Rasanya seperti berada di taman nirwana milik para Dewa Kahyangan. Begitu
indahnya, sehingga Pendekar Rajawali Sakti itu baru tersadar setelah Pandan
Wangi mencolek lengannya. Dan mendadak saja Rangga terkejut. Ternyata begitu
berpaling, bukan hanya mereka berdua saja di tempat ini. Masih ada seorang lagi
yang berdiri tegak di atas sebongkah batu besar yang tidak seberapa jauh dari
kedua pendekar muda itu berdiri.
Rangga
mengamati seorang perempuan yang tidak bisa dikatakan muda lagi. Namun, raut
wajahnya masih kelihatan cantik, dengan bentuk tubuh indah. Begitu indahnya,
sehingga sanggup membuat mata laki-laki tidak berkedip memandangnya. Wanita itu
mengenakan baju merah muda yang agak ketat dan tipis sekali, sehingga
memperlihatkan pakaian dalamnya yang juga agak tipis. Rangga sampai terpana
memandanginya, dan kembali baru tersadar begitu Pandan Wangi menyikut iganya.
“Siapa
kalian?! Untuk apa berada di sini?!” lantang sekali suara wanita itu, namun
tidak menghilangkan kelembutannya.
“Siapa
pun kami, tidak ada urusannya denganmu!” sahut Pandan Wangi ketus. “Tempat ini
bebas didatangi siapa saja.”
“Sopan
sedikit, Pandan,” tegur Rangga dengan suara agak berbisik.
“Ah!
Ternyata kau cukup lembut juga, Bocah Bagus,” kata wanita itu disertai
kerlingan mata pada Rangga.
Kerlingan
itu membuat hati Pandan Wangi panas seketika. Bahkan darahnya langsung
menggolak mendidih bagai terbakar. Wanita berbaju merah muda itu memang cantik,
meskipun usianya sudah tidak muda lagi. Mungkin sudah mencapai empat puluh
tahun. Hanya saja sikapnya yang begitu genit, sehingga membuat Pandan Wangi
sengit melihat tingkahnya. Terlebih lagi, matanya tidak lepas-lepasnya
memandangi Rangga dengan sikap menggoda.
“Perempuan
jalang...,” desis Pandan Wangi tidak lahan lagi.
“Hi
hi hi.... Rupanya teman gadismu ini besar juga cemburunya,” wanita cantik itu
semakin membuat Pandan Wangi mengkelap panas.
Sama
sekali si Kipas Maut yang sudah sesak napas tidak dipedulikannya. Wanita itu
melompat turun dari batu. Gerakannya ringan dan indah sekali. Tanpa menimbulkan
suara sedikit pun, kakinya dijejakkan sekitar dua langkah di depan Rangga.
Senyumnya terkembang manis, sementara sepasang bola matanya berputar indah menggoda.
“Kakang,
sini...!” sentak Pandan Wangi seraya menarik tangan Rangga.
Pendekar
Rajawali Sakti itu hampir saja terjatuh, namun cepat menguasai keseimbangan
tubuhnya. Kini Rangga berada di belakang Pandan Wangi yang berkacak pinggang
memasang muka merah menahan kemarahan dan cemburu yang menggelegak seketika
setelah melihat tingkah wanita genit itu.
“Jangan
coba-coba menggoda, ya...?!” sentak Pandan Wangi berang.
“He...?!
Kenapa kau yang marah, Adik Manis?”
“Setan...!
Aku bukan anak kecil!” bentak Pandan Wangi semakin berang.
“Kau
memang sudah besar. Tapi..., aku rasa belum cukup pantas untuk Bocah Bagus
ini.”
“Keparat...!
Kurobek mulutmu, Iblis...!”
Pandan
Wangi tidak dapat lagi mengendalikan kemarahannya. Dengan cepat sekali, si
Kipas Maut itu menyentakkan tangan kanannya, memberi pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Uts!”
Namun hanya sedikit saja wanita itu memiringkan tubuhnya, pukulan Pandan Wangi
tidak mengenai sasaran. Bahkan wanita itu manis sekali menyodokkan tangannya ke
arah perut. Sodokan yang cepat dan tidak terduga membuat Pandan Wangi
terkesiap. Buru-buru kakinya melangkah ke belakang, namun tidak ingat kalau
Rangga berada di situ.
Hampir
saja gadis itu menabrak Pendekar Rajawali Sakti, kalau saja pemuda berbaju
rompi putih itu tidak segera menggeser kaki ke samping. Dan saat itu, wanita
berbaju merah muda yang cantik ini kembali melontarkan satu pukulan lurus ke
arah dada si Kipas Maut.
“Yeah...!”
“Hap!”
Bet!
Cepat
sekali Pandan Wangi mencabut senjata kipasnya yang terselip di pinggang. Lalu
dengan cepat pula, dikebutkan ke depan dadanya. Kebutan kipas baja putih yang
langsung terkembang, membuat wanita berbaju merah muda itu terbeliak terkejut.
Bergegas pukulannya ditarik kembali, sebelum mengenai kipas baja putih di
tangan Pandan Wangi.
Pada
saat itu, Pandan Wangi segera mempergunakan kesempatan yang sempit ini. Maka
diberikannya serangan beruntun dan cepat sekali. Kipas Maut-nya berkelebat
mengincar sasaran empuk tubuh wanita berbaju merah muda itu. Beberapa kali
kipas Pandan Wangi hampir menyambar, namun manis sekali serangan itu berhasil
dielakkan lawan.
“Hop!
Yeaaah...!”
Tiba-tiba
saja wanita cantik berbaju merah muda itu melentingkan tubuhnya ke belakang,
lalu berputaran beberapa kali, tepat ketika Pandan Wangi mengebutkan kipasnya
ke arah dada. Gerakan wanita itu membuat Pandan Wangi sempat terlongong juga.
Tapi sebelum rasa terkejut si Kipas Maut itu hilang, mendadak saja wanita
berbaju merah itu sudah menghentakkan tangannya begitu mendarat di tanah.
“Yeaaah...!”
“Awas...!”
seru Rangga yang sejak tadi memperhatikan jalannya pertarungan itu.
Dari
sela-sela jari tangan wanita itu meluncur sinar¬-sinar merah berbentuk jarum
halus ke arah Pandan Wangi. Bergegas tubuh si Kipas Maut melenting ke udara,
dan berjumpalitan beberapa kali. Namun wanita itu terus cepat mengebutkan
tangannya secara bergantian, mengikuti arah gerakan Pandan Wangi yang tengah
berjumpalitan di udara.
Jarum-jarum
halus berwarna merah itu terus meluncur deras seperti tidak pernah ada
habisnya. Pandan Wangi semakin kelabakan saja. Beberapa kali kebutan kipas
gadis itu berhasil merontokkan, namun jarum-jarum merah lainnya terus
berdatangan mengincar tubuhnya.
“Hentikan...!”
sentak Rangga tiba-tiba.
Seruan
Pendekar Rajawali Sakti yang disertai pengerahan tenaga dalam, membuat wanita
berbaju merah itu terkejut. Dan seketika itu juga serangan-serangannya
dihentikan. Pada saat itu, Pandan Wangi cepat menjejakkan kakinya di tanah.
Namun demikian, hampir saja dia melompat menerjang. Untung saja Rangga cepat
mencekal pergelangan tangannya.
“Mundur
kau, Pandan,” kata Rangga meminta.
“Kakang...,”
Pandan Wangi ingin memprotes.
Tapi
melihat mata Pendekar Rajawali Sakti mendelik, Pandan Wangi terpaksa mundur.
Hanya saja hatinya menggerutu kesal dan tidak puas. Dia yakin kalau masih
sanggup menandingi perempuan berbaju merah itu, meskipun tadi sempat terdesak
sekali oleh serangan jarum-jarum merah. Meskipun hatinya kesal, tapi dia
berterima kasih juga. Masalahnya Rangga cepat menghentikan ancaman, di saat
dirinya hampir kehabisan napas menghindari serbuan jarum-jarum merah tadi. Dan
tentu saja, Pandan Wangi hanya mengucapkannya dalam hati.
“Maaf,
kalau kedatangan kami membuatmu terusik,” ucap Rangga, sopan.
“Hm....
Sama sekali aku tidak terusik. Tapi, gadismu itu...,” wanita berbaju merah itu
melirik Pandan Wangi.
Pada
saat yang sama, Pandan Wangi mendelikkan matanya. Si Kipas Maut itu benar-benar
masih penasaran pada wanita genit yang telah membakar api kecemburuannya. Ingin
rasanya Pandan Wangi menelannya mentah-mentah
“Berani
merebut Kakang Rangga dariku..., kubunuh kau,” desis Pandan Wangi dalam hati.
Pandan
Wangi semakin muak saja melihat tingkah wanita yang bertambah genit di depan
Rangga. Dan hatinya juga kesal, karena tampaknya Rangga melayani. Bahkan
sepertinya menikmati kecantikan dan kemolekan tubuhnya. Pandan Wangi jadi
menggerutu sendiri dalam hati, namun harus bisa menahan diri. Dia tidak ingin
terjebak lagi di dalam kecemburuan yang tidak beralasan sama sekali.
Pengalamannya bersama Rangga selama ini sudah membuktikan kalau kekasihnya itu
memang setia, tidak mudah berpaling pada gadis mana pun juga.
“Boleh
aku tahu, siapa namamu, Nisanak?” tanya Rangga.
“Kalau
gadismu tidak keberatan,” sahut wanita itu diiringi senyuman menggoda.
“Tentu
saja tidak. Iya kan, Pandan...?”
“Huh!”
Pandan Wangi hanya mendengus saja.
Kembali
Rangga menatap wanita cantik di depannya. Sedangkan wanita itu semakin genit
saja. Bahkan memberikan kerlingan mata yang indah menggairahkan. Sengaja
tubuhnya digerakkan gemulai saat melangkah mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
Dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar dua langkah lagi. Saat itu juga.
Rangga merasakan hidungnya mencium aroma semerbak yang menyebar dari tubuh
wanita ini.
Aroma
harum itu membuat jantung Rangga seakan¬-akan berhenti berdetak. Namun Pendekar
Rajawali Sakti mencoba menenangkan dirinya yang mendadak jadi tidak menentu.
Dia sendiri tidak mengerti, mengapa tiba-tiba saja jadi begini. Mungkin karena
keharuman yang menusuk hidung, sehingga membuatnya seperti terangsang.
“Ah!
Sebaiknya, kami pergi saja. Ayo, Pandan...,” cepat¬cepat Rangga melangkah
mundur.
Pendekar
Rajawali Sakti sadar kalau wanita itu jenis wanita penggoda laki-laki. Makanya,
dia tidak ingin terjebak dalam arus rangsangan yang akan membuat dirinya
sengsara dan menyesal seumur hidup. Bergegas Pendekar Rajawali Sakti pergi
mengajak Pandan Wangi. Tentu saja gadis itu senang. Mereka segera melompat ke
punggung kuda masing-masing, lalu cepat menggebahnya. Sementara wanita berbaju
merah muda itu hanya memandangi saja dengan bibir menyunggingkan senyum.
“Ha
ha ha...!” tiba-tiba saja wanita berbaju merah muda itu tertawa lepas
terbahak-bahak.
Sementara
Rangga dan Pandan Wangi sudah jauh meninggalkan tempat itu. Mereka memacu cepat
kudanya, membuat kepulan debu di angkasa. Sementara wanita berbaju merah muda
itu masih tetap berdiri memandangi kepergian sepasang anak muda tadi, hingga
lenyap dari pandangan.
“Eh...!”
wanita itu terperanjat ketika baru saja memutar tubuhnya.
Tahu-tahu
di depannya kini sudah berdiri seorang gadis berwajah cantik, mengenakan baju
warna kuning. Sebilah pedang bertengger di punggungnya. Wanita berbaju merah
muda itu melangkah menghampiri sambil tersenyum.
“Siapa
mereka, Bibi?” tanya gadis berbaju kuning itu.
“Ah,
cuma orang kesasar saja,” sahut wanita yang dipanggil bibi.
Gadis
berbaju kuning itu tidak bertanya lagi. Mereka kemudian berjalan berdampingan
meninggalkan tempat itu. Sebuah tempat yang indah dengan bunga-bunga
bermekaran, menyebarkan aroma harum semerbak.
EMPAT
“Sial...!”
rutuk Rangga seraya melompat turun dari punggung kuda hitamnya.
Pandan
Wangi juga ikut turun dari kuda. Sementara Rangga sudah menghenyakkan tubuhnya,
duduk di bawah sebatang pohon yang cukup rindang. Dibiarkan saja Dewa Bayu
melenggang, mencari rerumputan segar. Gemericik air sungai kecil yang menghadang
di depan, seakan-akan mengundang dua ekor kuda itu untuk mendekatinya. Bahkan
Pandan Wangi juga mendekati sungai itu.
Setelah
membasuh wajah dan tangan, Pandan Wangi menghampiri Rangga yang tengah duduk
bersandar di pohon. Kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti itu terpejam. Pandan
Wangi menempatkan dirinya duduk di samping pemuda itu. Dia ikut menyandarkan
tubuhnya, merapat dengan pemuda berbaju rompi putih itu.
“Sepertinya
semua tempat tidak ada yang memberi ketenangan...,” desah Rangga bernada
mengeluh.
“Aku
rasa masih banyak, Kakang,” Pandan Wangi tidak sependapat.
“Di
mana...?” Rangga seakan-akan menuntut.
“Di
surga,” kelakar Pandan Wangi.
“Huuu...,”
dengus Rangga seraya memukul bahu gadis itu.
Tapi
Pandan Wangi hanya tertawa saja. Dan memang, pukulan Rangga tidak keras. Malah,
terasa lembut bagi gadis itu. Rangga hanya memberengut, tapi akhirnya tersenyum
juga. Seketika pinggang gadis itu diraih, dan dibawanya ke dalam pelukan.
Pandan Wangi jadi manja. Tubuhnya langsung dirapatkan ke tubuh Pendekar
Rajawali Sakti itu.
Untuk
beberapa saat mereka hanya berdiam diri saja. Dan baru saja Rangga hendak
membuka mulut, mendadak telinganya mendengar derap langkah kaki kuda yang
mendekati tempat ini. Pandan Wangi rupanya juga mendengar. Bergegas pelukannya
pada Pendekar Rajawali Sakti dilepaskan. Kemudian duduknya bergeser menjauh.
Saat itu muncul beberapa ekor kuda yang penunggangnya sebagian mengenakan
seragam prajurit kadipaten dan sebagian lagi seperti orang dari kaum rimba
persilatan.
Rangga
bangkit berdiri begitu para penunggang kuda itu berhenti. Salah seorang yang
mengenakan baju putih dan sudah cukup berumur, melompat turun. Laki-laki itu
adalah Paman Legiwa, orang kepercayaan Adipati Baka Witara. Dihampirinya Rangga
yang berdiri di dekat Pandan Wangi.
“Kisanak,
boleh bertanya sedikit?” ujar Paman Legiwa sopan.
“Silakan,”
sahut Rangga.
“Apakah
Kisanak melihat dua orang wanita dan seorang laki-laki lewat di tempat ini?”
tanya Paman Legiwa lagi.
“Tidak.
Kami baru saja berada di tempat ini,” sahut Rangga tanpa berpikir lagi.
Dan
memang, Pendekar Rajawali Sakti baru saja sampai di tempat ini. Sementara Paman
Legiwa memandang Pandan Wangi, namun gadis itu hanya menggelengkan kepalanya
saja.
“Hhh...,”
Paman Legiwa menarik napas panjang.
“Bagaimana,
Paman?” tanya salah seorang laki-laki bertubuh kekar yang menunggang kuda putih
dan berkaki belang coklat.
“Kalian
kembali saja ke istana. Laporkan pada Gusti Adipati semuanya,” sahut Paman
Legiwa.
“Paman
sendiri?” tanya orang itu lagi.
“Aku
akan terus melanjutkan pencarian.”
“Kami
ikut, Paman.”
“Tidak!
Kalian harus kembali secepatnya. Keselamatan Gusti Adipati lebih penting
dariku,” tegas Paman Legiwa.
Sekitar
dua puluh orang berseragam prajurit dan dua belas orang berpakaian biasa, satu
di antaranya adalah perempuan tua, tidak berbicara lagi. Dan kuda mereka segera
digebah meninggalkan tempat itu, menuju ke Kadipaten Watu Kambang kembali.
Tinggal dua orang yang tersisa selain Paman Legiwa sendiri. Mereka adalah
perempuan tua berbaju merah dan seorang pemuda yang cukup tampan berbaju putih.
Kedua orang itu yang dikenal bernama Nyai Raka Wulung dan Jaka Kumbara. Mereka
melompat turun dari kuda masing-masing, kemudian menghampiri Paman Legiwa yang
masih berada di depan Pendekar Rajawali Sakti dan si Kipas Maut.
“Maaf,
Paman. Ada apa gerangan yang terjadi?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Kami
kehilangan Raden Wikalpa, calon adipati kami,” sahut Paman Legiwa.
Suara
laki-laki tua itu terdengar pelan sekali. Tampak jelas kalau wajahnya diliputi
mendung yang mendalam. Sementara Pandan Wangi menatap Rangga. Sedangkan yang
ditatap hanya membalas kosong, tanpa gairah sama sekali. Rangga tahu, dan bisa
membaca arti tatapan gadis itu. Tapi kali ini Pendekar Rajawali Sakti memang
sedang enggan melakukan sesuatu. Hanya satu yang diinginkannya, yakni bisa
beristirahat tenang dan melupakan semua yang pernah dialami. Mencari ketenangan
baru, untuk mengusir kejenuhan yang mulai melanda dirinya.
“Oh,
ya. Jika Kisanak dan Nini melihat Raden Wikalpa, tolong beritahukan kami
secepatnya di istana,” pesan Paman Legiwa.
“Akan
kami usahakan, Paman,” sahut Pandan Wangi yang ikut memanggil laki-laki tua itu
dengan sebutan paman.
“Terima
kasih.”
Paman
Legiwa membalikkan tubuhnya, kemudian menghampiri kudanya. Dengan gerakan indah
dan ringan sekali, laki-laki tua itu melompat naik ke punggung kuda dan
menggebahnya perlahan-lahan. Sedangkan Nyai Raka Wulung dan Jaka Kumbara saling
berpandangan sejenak, kemudian sama-sama bergegas melompat ke punggung kuda
masing-masing. Mereka terus mengikuti laki-laki tua yang sudah meninggalkan
tempat itu lebih dahulu. Dari arah yang ditempuh, jelas kalau mereka tidak
menuju kota Kadipaten Watu Kambang.
Paman
Legiwa memacu cepat kudanya, meskipun hutan yang dilalui semakin terasa sempit,
dengan pepohonan yang merapat dan bertaut menjadi satu. Namun laki-laki tua itu
tetap saja memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Sementara Nyai Raka Wulung
dan Jaka Kumbara susah-payah mengikuti sambil mengendalikan kudanya hati-hati.
Mereka memang tidak selincah Paman Legiwa, karena memang belum terbiasa
menunggang kuda. Hal ini bisa dimaklumi. Kebanyakan orang kalangan rimba
persilatan memang lebih suka berjalan sambil berlatih ilmu meringankan tubuh.
Hanya beberapa saja yang berpetualang menunggang kuda itupun yang merasa ilmu
meringankan tubuhnya telah mencapai taraf kesempurnaan.
Mereka
kemudian tiba di suatu tempat yang sangat indah, seperti berada di dalam sebuah
taman yang tertata apik. Paman Legiwa menghentikan lari kudanya. Sejenak
matanya terpaku menyaksikan keindahan alam ini. Belum pernah tempat yang indah
ini dilihatnya. Bahkan sama sekali dia tidak tahu kalau di wilayah Kadipaten
Watu Kambang terdapat sebuah tempat yang begitu mempesona.
“Paman,
awas...!” tiba-tiba terdengar seruan keras dari arah belakang.
Paman
Legiwa terperanjat begitu mukanya dipalingkan ke kanan. Bergegas laki-laki tua
itu melompat turun dari punggung kudanya, dan bergulingan beberapa kali di
tanah. Saat itu juga, terdengar ringkik kuda yang keras.
Tampak
kuda yang ditungganginya jatuh menggelepar di tanah. Di tubuhnya tertancap
jarum-jarum halus berwarna merah.
“Hup!”
Paman
Legiwa bergegas melompat bangkit berdiri. Namun sebelum bisa berdiri tegak,
mendadak saja sebuah bayangan merah muda berkelebat cepat menyambar ke arahnya.
Sesaat laki-laki tua itu terperangah. Namun sebelum keadaan dirinya sempat
terkuasai, mendadak Paman Legiwa merasakan sesuatu yang keras menghantam
dadanya.
Degkh!
“Akh...!”
Paman Legiwa terpekik keras. Laki-laki tua itu terpental ke belakang sejauh dua
batang tombak. Keras sekali tubuhnya menghantam tanah, lalu bergulingan
beberapa kali. Seketika dari mulutnya menyemburkan darah kental agak kehitaman.
Dan sebelum Paman Legiwa bisa bangkit berdiri, kembali bayangan merah muda itu
meluruk deras ke arahnya. Namun sebelum sampai, Nyai Raka Wulung sudah lebih
cepat lagi melesat dari punggung kudanya. Langsung dijegalnya bayangan merah
muda itu.
“Hiyaaa...!”
“Hih!”
Glarrr...!
Ledakan keras terjadi begitu dua bayangan yang berkelebat cepat itu saling
berbenturan keras sekali. Tampak kedua bayangan itu saling berpentalan ke belakang.
Nyai Raka Wulung yang menjegal bayangan merah muda itu langsung bergulingan di
tanah. Sementara bayangan tadi manis sekali mendarat di tanah berumput, setelah
berjumpalitan beberapa kali di udara.
Kini
di depan Nyai Raka Wulung dan Paman Legiwa, sudah berdiri seorang wanita cantik
yang bentuk tubuhnya indah menggiurkan. Meskipun usianya sudah tidak muda lagi,
namun penampilannya masih mampu membuat mata laki-laki tidak berkedip
memandangnya.
“Dewi
Asmara Maut...,” desis Nyai Raka Wulung mengenali wanita cantik itu.
“Hik
hik hik...!” wanita cantik berbaju merah muda yang dikenal berjuluk Dewi Asmara
Maut itu tertawa mengikik.
Matanya
sempat melirik Jaka Kumbara yang tengah membantu Paman Legiwa berdiri. Sudut
ekor matanya sempat memberi kerlingan pada pemuda itu. Namun Jaka Kumbara tidak
mempedulikan, karena perhatiannya tertumpah pada Paman Legiwa yang tampaknya
mengalami luka dalam cukup parah juga. Sementara Nyai Raka Wulung sudah berada
di samping Jaka Kumbara yang memapah Paman Legiwa berdiri.
“Bawa
dia ke tempat aman. Perempuan iblis ini berbahaya sekali,” ujar Nyai Raka
Wulung setengah berbisik.
“Hati-hatilah,”
Jaka Kumbara memperingatkan. Pemuda itu membawa Paman Legiwa ke tempat yang
agak jauh dan teduh, kemudian membantu laki-laki tua itu duduk bersila.
Sementara Nyai Raka Wulung sudah bersiap untuk bertarung. Dia tahu, siapa
perempuan cantik di hadapannya ini. Perempuan itu adalah salah satu tokoh rimba
persilatan yang julukannya sudah kondang. Mereka yang berhadapan dengan wanita
itu harus berpikir seribu kali sebelum mengambil tindakan. Terutama, laki¬laki
muda yang gagah dan tampan.
Sesuai
julukannya, Dewi Asmara Maut selalu menyebarkan benih-benih asmara setiap kali
singgah di suatu tempat. Dan setiap kali muncul, selalu saja ada korban berupa
anak-anak muda yang cukup tampan dan gagah. Dan sebelum korbannya dibunuh, Dewi
Asmara Maut akan memuaskan dirinya dulu dengan permainan asmara yang membuat
setiap laki-laki tak mampu lagi berpikir waras.
“Hik
hik hik...!”
“Hm....”
“Beruntung
sekali bisa bertemu denganmu di sini, Ular Merah,” lembut sekali suara Dewi
Asmara Maut. Tapi di balik kelembutannya, tersimpan suatu nada ancaman.
“Untuk
apa kau datang ke sini?!” dengus Nyai Raka Wulung yang tadi dipanggil dengan
julukan Ular Merah.
“Untuk
apa...? Hik hik hik.... Tentu saja jauh-jauh datang ke sini untuk membawamu
kembali, Ular Merah.”
“Phuih!
Jangan sangkutkan aku lagi dengan perkumpulan setanmu!” bentak Nyai Raka Wulung
ketus.
“Hm....
Kau sudah berani menghina perkumpulan, Ular Merah,” dingin sekali nada suara
Dewi Asmara Maut. “Kau tahu, apa hukumannya bagi orang sepertimu...?”
“Meskipun
kau wakil si Raja Musang Hitam, aku tidak akan gentar. Dewi Asmara Maut,
majulah...! Kita selesaikan perbedaan ini dengan pertarungan,” tantang Nyai
Raka Wulung.
“Kau
memang harus mampus, Ular Merah. Aku khawatir, rahasia perkumpulan sudah kau
bocorkan.”
Setelah
berkata demikian, tangan Dewi Asmara Maut segera bergerak, kemudian disilangkan
di depan dada. Saat itu juga Nyai Raka Wulung segera memutar tongkat merahnya
perlahan-lahan sambil menggeser kakinya ke samping beberapa tindak. Disadari
kalau lawan yang akan dihadapinya ini bukanlah tokoh sembarangan. Dewi Asmara
Maut bukan saja pandai memikat laki-laki, tapi juga memiliki kemampuan yang
sangat tinggi
“Tahan
seranganku! Hiyaaat...!” seru Dewi Asmara Maut tiba-tiba. Bagaikan kilat,
wanita cantik berbaju merah muda itu melompat menerjang Nyai Raka Wulung. Dua
kali pukulannya yang keras bertenaga dalam tinggi dilontarkan. Namun lewat satu
gerakan manis, Nyai Raka Wulung dapat menghindari serangan wanita berbaju merah
itu.
Dan
pada kesempatan lain, Nyai Raka Wulung sudah memberi serangan-serangan balasan
yang tidak kalah dahsyatnya. Pertempuran antara dua wanita itu tidak dapat
dihindari lagi. Karena sudah menyadari akan kemampuan satu sama lain, mereka
tidak tanggung¬tanggung lagi. Jurus-jurus yang dikeluarkan begitu dahsyat dan
selalu mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Tidak mengherankan kalau
sebentar saja keadaan di sekitar pertarungan jadi rusak berantakan.
Sementara
tidak jauh dari tempat pertarungan, Jaka Kumbara masih berusaha menyembuhkan
luka dalam yang diderita Paman Legiwa. Namun luka dalam itu demikian parah.
Apalagi usia Paman Legiwa yang sudah memasuki ambang senja, sangat menyulitkan
pemuda itu untuk menyembuhkannya.
“Sudah
cukup, Jaka. Jangan terlalu membuang tenaga untukku,” kata Paman Legiwa
menghentikan usaha Jaka Kumbara.
“Tapi
lukamu cukup parah, Paman.”
“Kau
sudah cukup meringankan, Jaka Kumbara. Yang penting tenagamu harus dihemat,
karena masih banyak yang harus dihadapi nanti.”
Jaka
Kumbara melepaskan kedua telapak tangannya dari punggung laki-laki tua itu.
Kemudian duduknya pindah di depan Paman Legiwa yang bersila dengan tangan
berada di atas lutut. Sementara pertarungan antara Dewi Asmara Maut melawan
Nyai Raka Wulung masih terus berlangsung sengit. Jaka Kumbara sempat
memperhatikan pertarungan itu sebentar.
“Siapa
yang bertarung dengan Nyai Raka Wulung, Paman?” tanya Jaka Kumbara.
“Entahlah,
aku tidak tahu,” sahut Paman Legiwa yang juga memperhatikan pertarungan itu.
Mereka
memang tidak sempat memperhatikan percakapan yang terjadi antara Nyai Raka
Wulung dan Dewi Asmara Maut tadi. Terlebih lagi, Jaka Kumbara harus memusatkan
pikirannya pada penyembuhan luka dalam yang diderita Paman Legiwa. Sedangkan
laki-laki tua itu seperti tidak mampu berbuat apa-apa karena lukanya.
“Tampaknya
Nyai Raka Wulung sulit menandinginya, Paman,” duga Jaka Kumbara setengah
bergumam, seakan¬ akan berbicara pada dirinya sendiri.
“Kita
lihat saja, Jaka.”
Dugaan
Jaka Kumbara tidak meleset. Belum begitu lama dugaannya dilontarkan, sudah
terlihat kalau Nyai Raka Wulung terdesak sekali. Beberapa kali terlihat Dewi
Asmara Maut berhasil mendaratkan pukulan maupun tendangan keras. Untung saja
hanya di bagian-bagian tubuh yang tidak membahayakan. Maka tak heran kalau Nyai
Raka Wulung masih bisa melayaninya, walaupun semakin terdesak.
Jaka
Kumbara yang hendak membantu perempuan tua itu cepat dicegah Paman Legiwa.
Terpaksa niatnya diurungkan, dan hanya memperhatikan saja pertarungan itu.
Hatinya kelihatan cemas melihat Nyai Raka Wulung kini menjadi bulan-bulanan,
tanpa mampu lagi memberi serangan balasan.
“Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras, mendadak saja Dewi Asmara Maut melontarkan satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi ke arah dada Nyai Raka Wulung. Namun perempuan tua
itu masih mampu menghindarinya. Hanya saja kali ini dia tidak mungkin lagi
mengelak ketika Dewi Asmara Maut mencabut pedangnya, dan langsung dikibaskan ke
arah leher perempuan tua itu.
“Mampus!
Yeaaah...!”
“Uts!”
Cepat-cepat Nyai Raka Wulung mengibaskan tongkat untuk menangkis tebasan pedang
yang begitu cepat bagai kilat
Trak!
“Akh...!”
Nyai Raka Wulung terpekik agak tertahan. Belum lagi sempat mengusir rasa
terkejut akibat tongkatnya terpotong dua, kembali datang serangan berupa
tendangan keras menggeledek ke arah dada. Tendangan Dewi Asmara Maut yang cepat
luar biasa itu, tak dapat dihindari lagi oleh Nyai Raka Wulung.
Des!
“Aaakh...!”
Lagi-laki Nyai Raka Wulung menjerit keras. Begitu perempuan tua itu terlontar
deras ke belakang, dengan cepat bagai kilat Dewi Asmara Maut melesat memburu.
Dan secepat itu pula pedangnya ditusukkan ke arah dada perempuan tua itu.
Wut!
“Aaa...!”
Bruk!
Nyai Raka Wulung terbanting keras ke tanah begitu pedang Dewi Asmara Maut
menusuk perutnya hingga tembus ke punggung. Darah seketika mengalir deras dari
perut dan punggung wanita tua itu. Hanya sebentar Nyai Raka Wulung mampu
menggelepar dan mengerang, kemudian diam tak berkutik lagi.
“Keparat...!”
desis Jaka Kumbara geram melihat Nyai Raka Wulung tewas. Tanpa menghiraukan
larangan Paman Legiwa, pemuda itu cepat melompat menerjang Dewi Asmara Maut.
Serangan yang dilancarkannya sungguh cepat luar biasa. Akibatnya, perempuan
berbaju merah muda itu sejenak terperangah, namun cepat menghindari beberapa
pukulan bertenaga dalam tinggi yang dilancarkan Jaka Kumbara.
“Upf...!”
Paman Legiwa memaksakan diri untuk bangkit berdiri. Hatinya begitu khawatir
melihat Jaka Kumbara menyerang Dewi Asmara Maut. Namun pertarungan itu tidak
bisa lagi dicegah. Bahkan sudah berlangsung sengit sekali.
Jurus
demi jurus berlalu cepat. Dan sudah mulai terlihat kalau Dewi Asmara Maut
berada di atas Jaka Kumbara. Tingkat kepandaian wanita itu memang tinggi, dan
sukar dicari tandingannya.
“Jaka,
mundur...!” teriak Paman Legiwa keras.
Namun
peringatan laki-laki tua itu tidak dihiraukan sama sekali. Jaka Kumbara terus
mencecar Dewi Asmara Maut lewat serangan-serangan cepat dan dahsyat. Namun
tampaknya wanita itu malah mempermainkan Jaka Kembara. Dia hanya berkelit dan
menghindar tanpa sedikitpun menyerang.
Melihat
ketampanan Jaka Kumbara, wanita itu langsung tertarik. Rasanya sayang sekali
melepaskan pemuda ini begitu saja. Tidak heran kalau Dewi Asmara Maut hanya
menghindar dan mengelak saja. Yang diinginkan hanyalah menguras habis tenaga
Jaka Kumbara, sebelum melakukan serangan khusus yang sudah terbayang di dalam
benaknya.
“Hiyaaa...!”
Melihat pertarungan yang berjalan tidak seimbang itu, Paman Legiwa tidak dapat
menahan diri lagi. Terlebih lagi saat melihat Dewi Asmara Maut mengerahkan
jurus ‘Bunga Memikat Kumbang’. Paman Legiwa jadi terkejut, dan langsung
mengetahui, siapa perempuan berwajah cantik yang bentuk tubuhnya indah
menggairahkan itu. Seketika dia melompat menerjang, karena tidak ingin Jaka
Kumbara jatuh ke dalam perangkap yang mulai ditebarkan wanita itu.
“Heh...?!”
Dewi Asmara Maut agak terkejut juga begitu mendapatkan serangan dari laki-laki
tua yang telah dibuatnya tidak berdaya tadi. Perhatiannya jadi terpecah, dan
geram bukan main, karena rencananya untuk menaklukkan Jaka Kumbara dengan jurus
‘Bunga Memikat Kumbang’ yang sangat ampuh itu jadi terpecah sasarannya.
“Tua
bangka keparat! Yeaaah...!”
Perhatian
Dewi Asmara Maut terpaksa dialihkan. Dan kini segera dilancarkan
serangan-serangan kilat dan dahsyat ke arah laki-laki tua itu.
Serangan-serangan yang dilancarkannya memang sungguh dahsyat dan luar biasa. Maka
dalam beberapa gebrak saja, Paman Legiwa sudah kewalahan. Dan pada suatu
saat...
“Jebol...!”
sentak Dewi Asmara Maut tiba-tiba.
Seketika
itu juga, tubuhnya dimiringkan ke kanan sedikit. Dan dengan kecepatan luar
biasa, wanita berbaju merah itu sudah memberi satu pukulan keras bertenaga
dalam tinggi sekali ke arah dada.
Des!
“Akh...!”
Paman Legiwa memekik keras. Dalam keadaan terluka dalam, gerakan laki-laki tua
itu memang tidak sempurna lagi. Bahkan cenderung lamban. Maka tidak heran kalau
pukulan Dewi Asmara Maut tak dapat dihindari lagi. Laki-laki tua itu terpental
deras ke belakang, dan baru berhenti setelah punggungnya menghantam sebatang
pohon yang sangat besar.
“Iblis...!”
desis Jaka Kumbara semakin geram. Pemuda itu benar-benar marah melihat Paman
Legiwa tergeletak di bawah pohon. Dia tidak tahu apakah laki-laki tua itu masih
hidup atau sudah mati, karena harus kembali sibuk menghadang serangan yang
dilancarkan wanita cantik itu.
“Akh!”
tiba-tiba saja Jaka Kumbara terpekik agak tertahan. Padahal Dewi Asmara Maut
tidak memberikan satu pukulan pun! Seketika pemuda itu terhuyung-huyung ke
belakang sambil memegangi kepalanya. Sementara Dewi Asmara Maut memain-mainkan
kalung hitam yang melilit lehernya. Bibirnya tersenyum-senyum, dan bola matanya
berputaran memandangi Jaka Kumbara yang mengerang sambil mengejang dan
menggelepar.
“Ha
ha ha...!” Dewi Asmara Maut tertawa terbahak¬-bahak.
Saat
itu Jaka Kumbara sudah tergeletak diam tak bergerak-gerak lagi, seperti sedang
tertidur pulas. Dewi Asmara Maut segera menghampirinya. Tampak ayunan
langkahnya begitu gemulai dan bibirnya menyunggingkan senyuman menawan.
Sebentar dipandanginya pemuda itu, kemudian ringan sekali tubuh Jaka Kumbara
diangkat, seperti mengangkat segumpal kapas saja.
“Hik
hik hik..!” Sambil tertawa mengikik, Dewi Asmara Maut melesat cepat
meninggalkan tempat itu sambil membawa Jaka Kumbara. Lesatannya sungguh cepat.
Dan dalam sekejapan saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas lagi. Dan
kini keadaan di tempat itu pun kembali sunyi, seperti tidak pernah terjadi
sesuatu.
Alam
yang semula indah dan sedap dipandang kini jadi hancur berantakan akibat
pertarungan tadi. Tampak dua tubuh tergeletak. Yang seorang sudah tewas dengan
perut berlumuran darah. Sedangkan yang seorang lagi...
“Ohhh..."
***
LIMA
Pagi
baru saja mengunjungi mayapada ini. Matahari masih mengintip malu-malu dengan
pancaran sinarnya yang menyemburat dari balik sebuah gunung yang angkuh
menjulang tinggi. Sementara kabut masih menyelimuti seluruh permukaan bumi ini,
dan hanya sedikit saja yang tersibak. Di antara gumpalan kabut itu, tampak
sesosok tubuh tua terseok-seok berjalan menuruni lereng gunung itu. Bajunya
yang putih hampir tidak terlihat lagi warnanya, dikotori oleh debu dan darah
kering.
Walaupun
beberapa kali jatuh terguling, namun dengan susah-payah orang tua itu bangkit
kembali. Bahkan melangkah lagi, walau dengan kaki terseret. Beberapa kali dia
mengeluh sambil memegangi dadanya. Tampak darah masih mengucur pelahan dari
sudut bibirnya. Tiba-tiba langkahnya terhenti dan kepalanya terangkat ketika
mendengar langkah kaki kuda yang sepertinya tidak jauh terdengar.
“Hoooi...!”
teriak laki-laki tua itu sekeras-kerasnya. Namun kemudian dia terbatuk, dan
jatuh bergulingan ditanah berumput yang masih basah olehembun.
“Hoooi...!
Tolooong...!” laki-laki tua itu tidak mempedulikan nyeri yang menyerang
dadanya, dan kembali berteriak keras.
Suara
teriakannya menggema, menyelusup di antara pepohonan, lalu terpantul
dinding-dinding bebatuan di lereng gunung ini. Laki-laki tua itu kembali terbatuk,
dan berusaha bangkit berdiri. Namun sebelum bisa berdiri, terlihat dua ekor
kuda berpacu cepat menuju ke arahnya, muncul dari gumpalan kabut yang mulai
memudar.
“Tolong...,”
rintih laki-laki tua itu. Tubuhnya langsung jatuh terkulai ketika dua orang
penunggang kuda yang mungkin telah mendengar teriakan laki-laki tua itu tiba.
Tampak seorang penunggang kuda mengenakan baju rompi putih dan berwajah tampan,
melompat cepat turun dari punggung kudanya. Tubuhnya tegap berotot, menyiratkan
keperkasaannya.
Sementara
seorang lagi adalah wanita cantik. Bajunya biru muda, diimbangi oleh bentuk
tubuhnya yang ramping. Dia bergegas mengikuti, memburu laki-laki tua yang
tergeletak di tanah dalam keadaan terluka cukup parah.
“Paman
Legiwa...,” desis gadis berbaju biru, mengenali laki-laki tua itu.
“Cepat
cari air, Pandan,” perintah pemuda berbaju rompi putih.
Gadis
berbaju biru yang ternyata memang Pandan Wangi, bergegas meninggalkan tempat
itu untuk mencari air yang diminta pemuda tampan berbaju rompi pulih itu.
Pemuda itu tak lain Rangga yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Rajawali
Sakti. Dipindahkannya Paman Legiwa ke tempat yang agak nyaman, dan
dibaringkannya perlahan-lahan sekali. Sebentar diperiksanya tubuh Paman Legiwa.
Pada saat itu, Pandan Wangi sudah kembali lagi.
“Mana
airnya?” tanya Rangga langsung.
“Tidak
ada,” sahut Pandan Wangi seraya mengangkat bahunya.
Rangga
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Hutan ini memang subur, tapi di
sekitarnya tidak ada sungai satu pun. Sementara Pandan Wangi berdiri saja di
samping Pendekar Rajawali Sakti itu. Matanya memandangi laki-laki tua yang
pernah bertemu dengannya tidak jauh dari tempat ini, dan masih di lereng gunung
ini juga.
“Luka
dalamnya cukup parah. Beberapa tulang iganya patah. Aku tidak mungkin bisa
menolongnya, Pandan,” jelas Rangga seraya berpaling memandangi Pandan Wangi.
“Aku
kenal seorang tabib di sini,” Pandan Wangi memberi harapan.
“Jauh?”
tanya Rangga.
“Setengah
hari berkuda. Itu pun kalau tidak ada halangan,” jawab Pandan Wangi.
“Percuma
saja, Pandan Wangi. Belum sampai ke tempat tabib itu, dia pasti sudah tidak
tertolong lagi. Kau lihat, mulutnya terus mengeluarkan darah.”
“Hentikan
saja jalan darahnya, Kakang,” usul Pandan Wangi.
“Tidak
ada gunanya, Pandan. Orang yang melakukan pukulan memiliki tenaga dalam tinggi.
Apalagi arah pukulannya sempurna sekali, sehingga seluruh aliran jalan darahnya
terbuka lebar. Kalau kututup dengan totokan, pernapasannya juga akan tersumbat,
itu berarti mempercepat kematiannya.”
“Tapi
kita harus coba menolongnya, Kakang,” desak Pandan Wangi.
Rangga
terdiam beberapa saat, kemudian membalikkan tubuh laki-laki tua itu hingga
menelungkup. Jari-jari tangan Pendekar Rajawali Sakti itu kemudian
menekan-nekan punggung Paman Legiwa yang tidak sadarkan diri.
“Mungkin
dengan cara ini masih bisa tertolong,” ujar Rangga agak mendesah.
“Apa
yang kau lakukan tadi, Kakang?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Memperlambat
aliran darah dan mengurangi rasa sakitnya. Tapi itu hanya untuk sementara saja.
Mungkin sampai setengah hari,” jelas Rangga.
“Sudah
cukup, Kakang. Ayo kita segera berangkat...!” seru Pandan Wangi cepat.
Gadis
itu bergegas menghampiri kudanya, lalu melompat naik. Sebentar kemudian,
dituntunnya kuda Pendekar Rajawali Sakti. Saat itu Rangga sudah memondong tubuh
Paman Legiwa, dan langsung melompat naik ke punggung kudanya. Kemudian dengan
cepat kuda hitamnya digebah.
“Hiyaaa!”
“Hiyaaa...!”
Seketika
itu juga kedua ekor kuda itu berlari cepat menuju timur. Rangga sengaja berada
di belakang Pandan Wangi yang mengetahui tempat tabib yang dimaksudkan. Mereka
harus bergerak cepat agar laki-laki tua ini bisa tertolong. Sehingga kedua
pendekar muda itu memacu cepat kudanya, tidak mempedulikan kalau jalan yang
dilalui sangat lebat oleh pepohonan dan semak belukar. Mereka terus menggebah
cepat kudanya.
***
Rangga
duduk mencangkung di sebuah balai-balai bambu, di beranda depan sebuah pondok
kecil. Seluruh dindingnya terbuat dari anyaman bambu, dan atapnya dari
daun-daun rumbia yang dirangkai rapat. Sementara di depan pondok itu terlihat
Pandan Wangi tengah bermain-main bersama seorang anak perempuan berusia sekitar
tujuh tahun. Beberapa kali Pendekar Rajawali Sakti itu menjulurkan kepalanya ke
arah pintu pondok yang tertutup rapat.
Pemuda
berbaju rompi putih itu bangkit berdiri ketika pintu pondok terbuka. Dari dalam
muncul seorang laki¬laki tua mengenakan jubah lusuh yang warnanya sudah
memudar. Seluruh rambutnya sudah memutih semua. Janggutnya yang putih,
terjuntai panjang sampai melewati lehernya.
“Bagaimana,
Ki...?” tanya Rangga langsung.
“Keadaannya
parah sekali. Hhh...! Untung belum terlambat dibawa ke sini,” sahut laki-laki
tua itu.
Dari
Pandan Wangi, Rangga tahu kalau laki-laki tua ini bernama Ki Raksapati. Dia
seorang tabib yang sangat pandai, di samping seorang pertapa yang berilmu
tinggi sekali. Laki-laki tua itu menghenyakkan tubuhnya di balai¬-balai bambu
yang tadi diduduki Rangga. Sementara Pendekar Rajawali Sakti itu pun duduk
kembali di samping Ki Raksapati.
“Ada
sesuatu yang ingin kutanyakan padamu, Anak Muda,” ungkap Ki Raksapati dengan
suara agak berat
“Apa,
Ki?”
“Tahukah
kau, siapa yang melukainya?” tanya Ki Raksapati dengan tatapan agak tajam,
tertuju langsung ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berada di
sampingnya.
“Kami
menemukannya sudah demikian, Ki,” sahut Rangga.
“Hm....
Terlalu berani kalau dia sampai berurusan dengan Dewi Asmara Maut...,” suara Ki
Raksapati seperti bergumam.
“Dewi
Asmara Maut...? Siapa dia, Ki?” tanya Rangga.
Ki
Raksapati belum menjawab, namun Pandan Wangi sudah datang menghampiri sambil
menggendong bocah perempuan yang tadi bermain-main dengannya. Anak kecil itu
langsung berpindah ke pangkuan Ki Raksapati. Kelihatannya dia begitu manja
sekali. Sementara Rangga memberikan senyuman padanya.
“Bagaimana
keadaannya, Kakang? Apa masih bisa disembuhkan?” tanya Pandan Wangi seraya
duduk di samping Rangga.
“Mudah-mudahan,”
sahut Rangga, langsung menoleh ke arah Pandan Wangi.
“Kemungkinan
untuk sembuh memang ada. Tapi, aku tidak bisa menjamin akan pulih seperti
semula,” Ki Raksapati mengakui secara jujur.
“Maksudmu?”
Pandan Wangi ingin memastikan.
“Ada
kemungkinan dia lumpuh, atau kehilangan kekuatannya sama sekali,” sahut Ki
Raksapati.
“Begitu
parah...?!” Pandan Wangi terkejut.
“Ya...!
Itulah akibat pukulan ‘Tarian Bunga Berbisa’. Memang tidak langsung mematikan,
tapi akibatnya sangat menyakitkan,” jelas Ki Raksapati.
Pandan
Wangi memandang laki-laki tua itu dalam¬dalam, kemudian beralih pada Rangga
yang berada di sampingnya. Sedangkan yang dipandang hanya diam saja. Kembali si
Kipas Maut itu menatap Ki Raksapati.
“Siapa
yang melakukan itu, Ki?” tanya Pandan Wangi ingin tahu.
“Jurus
‘Tarian Bunga Berbisa’ hanya dimiliki Dewi Asmara Maut. Tapi aku tidak yakin
kalau perempuan itu berkeliaran sampai ke daerah ini,” sahut Ki Raksapati, agak
ragu-ragu nada suaranya.
Kembali
Pandan Wangi menatap Rangga. Dia tahu kalau Pendekar Rajawali Sakti membutuhkan
suasana tenang dan damai. Tapi tampaknya kali ini tidak ada kesempatan lagi
untuk menikmati ketenangan yang diinginkannya. Pandan Wangi kasihan juga
melihat kekasihnya yang tampaknya lelah sekali. Hampir setiap hari Pendekar
Rajawali Sakti itu harus bergelut dengan segala macam kekerasan dan bergelimang
darah. Dan itu memang sudah risiko seorang pendekar.
Memang,
bagaimanapun digdayanya seorang pendekar, tetap saja tidak bisa melupakan
kodratnya sebagai manusia biasa. Yang pasti, dirinya akan mengalami kelelahan
dan kejenuhan. Dan ini bisa hilang dengan beristirahat dalam satu atau dua
hari. Hanya saja, memang tidak mudah bagi seorang pendekar seperti Rangga untuk
bisa tetap diam begitu saja, sementara satu persoalan menghadang di depannya.
“Pesanku
pada kalian, jika ingin berhadapan dengan Dewi Asmara Maut, berhati-hatilah.
Perempuan itu sangat licik. Terutama untukmu, Rangga. Kegemarannya pada
anak-anak muda yang tampan dan gagah sangat besar. Yang pasti, korbannya tidak
akan dilepaskan begitu saja dari cengkeramannya,” jelas Ki Raksapati.
“Pasti
perempuan genit itu...,” desis Pandan Wangi langsung bisa menangkap kata-kata
Ki Raksapati.
“Ah!
Apakah kalian sudah pernah bertemu?” tanya Ki Raksapati agak terkejut mendengar
desisan Pandan Wangi.
“Kalau
yang kau maksudkan perempuan cantik berbaju merah muda, kami memang pernah
bentrok. Aku benci melihat tingkahnya yang genit,” nada suara Pandan Wangi
terdengar sengit. Gadis itu sempat melirik Pendekar Rajawali Sakti yang hanya
diam saja mendengarkan.
“Ah....,
sangat berbahaya bagi kalian. Terutama untukmu, Rangga. Mungkin kalian masih
beruntung bisa terlepas darinya. Tapi aku yakin, itu hanya sementara saja. Yang
jelas, dia pasti akan mencari kalian berdua,” kata Ki Raksapati agak mendesah.
“Itu
lebih baik, Ki. Biar kubuat rusak wajahnya. Sembarangan saja mau...,” Pandan
Wangi tidak melanjutkan.
Hampir
saja si Kipas Maut itu membongkar sendiri hubungannya dengan Rangga. Untung dia
masih bisa mengekang diri. Bahkan Rangga sudah mendelik pada gadis itu. Dan
pada saat mereka tengah terdiam, mendadak saja dikejutkan oleh suara tawa
mengikik yang menggema.
“Hik
hik hik....”
Rangga
dan Pandan Wangi langsung melompat keluar dari beranda depan pondok kecil itu.
Gerakan mereka sungguh cepat dan ringan, dan tahu-tahu sudah berada di
tengah-tengah halaman pondok. Suara tawa mengikik itu masih juga terdengar
menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru mata angin. Sementara Ki
Raksapati tetap duduk di tempatnya sambil memeluk anak perempuan kecil yang
ketakutan mendengar suara tawa itu.
“Hei,
Pengecut...! Keluar kau...!” bentak Pandan Wangi lantang.
Bentakan
si Kipas Maut itu seketika menghentikan tawa mengikik itu. Dan tiba-tiba saja
sebuah bayangan merah muda berkelebat cepat ke arah kedua pendekar muda itu.
Dan kini di depan mereka sudah berdiri seorang wanita cantik mengenakan baju
agak ketat berwarna merah muda. Usianya memang sudah tidak bisa dikatakan muda
lagi. Namun wajah dan bentuk tubuhnya benar-benar membuat mata laki-laki tidak
berkedip memandangnya.
“Sulit
sekali mencarimu, Bocah Bagus,” ujar wanita itu seraya mengerling genit pada
Rangga.
“Kakang
Rangga tidak akan melayanimu, Perempuan Jalang!” sentak Pandan Wangi ketus.
“Ow...!
Rupanya adik manis ini masih galak juga...,” wanita itu benar-benar meremehkan
Pandan Wangi.
“Setan.
Aku bukan anak kecil lagi!” bentak Pandan Wangi langsung meluap amarahnya.
“Sabar,
Pandan...,” Rangga mencoba menyabarkan si Kipas Maut itu.
“Huh!”
dengus Pandan Wangi.
Rangga
melangkah maju dua tindak mendekati wanita berbaju merah muda dan cantik itu.
Sementara, wanita itu semakin kelihatan genit saat Rangga memberi senyuman
padanya. Hal ini membuat Pandan Wangi semakin geram saja. Meskipun gadis itu
sangat percaya kalau Rangga seorang laki-laki yang tidak mudah terpikat, tapi
Dewi Asmara Maut cantik sekali. Laki-laki mana pun pasti akan terpikat padanya.
Dan Pendekar Rajawali Sakti juga manusia biasa, yang tidak mungkin luput dari
nafsu kelaki-lakiannya.
“Kaukah
yang berjuluk Dewi Asmara Maut?” tanya Rangga dengan suara lembut.
“Ah...,
rupanya kau bisa cepat mengetahui tentang diriku, Bocah Bagus,” sahut wanita
itu diiringi senyuman menawan dan kerlingan mata menggoda.
“Tentu
saja. Siapa pun akan mencari kabar tentang wanita cantik yang pernah
dijumpainya,” kata Rangga lagi.
“Kakang...!”
sentak Pandan Wangi terkejut mendengar kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.
“Gadismu
marah lagi tuh.”
“Biarkan
saja,” sahut Rangga.
“Keparat..!”
geram Pandan Wangi langsung memuncak amarahnya.
Si
Kipas Maut itu tidak bisa lagi mengendalikan amarahnya. Sambil berteriak keras,
gadis itu menerjang wanita cantik berbaju merah muda yang tak lain Dewi Asmara
Maut. Senjata andalannya yang berupa sebuah kipas baja putih, langsung dicabut.
“Hiyaaa...!”
Bet!
Tiba-tiba
Rangga mengebutkan tangannya, dan langsung menyambar perut Pandan Wangi.
Kibasan itu membuat Pandan Wangi begitu terkejut, dan tidak bisa lagi mengelak
“Akh...!”
Pandan Wangi terpekik agak tertahan. Gadis itu terpental balik ke belakang.
Namun setelah melakukan putaran dua kali, kakinya mendarat manis sekali di
tanah. Pandan Wangi menatap Rangga dengan sinar mata tidak percaya. Sedangkan
Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri di samping Dewi Asmara Maut.
“Kakang..,
kau...,” tercekat suara Pandan Wangi.
Benar-benar
tidak bisa dipercayai, apa yang dilakukan Rangga padanya tadi. Pendekar
Rajawali Sakti itu telah berubah dalam waktu singkat! Dan kini... Pandan Wangi
jadi gusar, marah, dan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya. Jelas
sekali kalau Rangga benar-benar menyukai wanita itu. Bahkan membiarkan wanita
cantik itu melingkarkan tangan ke pinggangnya. Rangga dipeluk manja. Wanita itu
benar-benar menunjukkan kemesraan secara liar.
“Setan...!”
desis Pandan Wangi menggeram. Ledakan api cemburunya seketika bergolak dalam
dada. Hatinya marah, cemburu, kesal, juga tidak percaya. Yang jelas, berbagai
macam perasaan berkecamuk dalam dadanya. Napasnya tersengal, wajahnya memerah
bagai besi terbakar. Pandan Wangi tak mampu lagi menahan diri. Kembali dia
melompat cepat penuh kemarahan menggelegak dalam dada.
“Hiyaaat..!”
Bet!
Bet!
Pandan
Wangi langsung memberi serangan beruntun dengan kebutan kipas ke arah Dewi
Asmara Maut. Namun manis sekali, wanita cantik berbaju merah muda itu
menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun. Bahkan licik sekali,
menjadikan Rangga sebagai tameng untuk dirinya. Maka beberapa kali Pandan Wangi
terpaksa menarik cepat serangannya, karena tidak ingin melukai Pendekar Rajawali
Sakti.
Yang
membuat si Kipas Maut ini keheranan, Rangga sama sekali tidak bertindak
apa-apa. Bahkan hanya diam saja dijadikan benteng hidup oleh Dewi Asmara Maut.
Hal ini membuat Pandan Wangi jadi semakin geram. Timbul niatnya untuk menyerang
Rangga Namun....
“Hentikan,
Pandan....”
“Heh...?!”
bukan main terkejutnya Pandan Wangi, sampai-sampai langsung melompat mundur
beberapa tindak.
Suara
itu jelas sekali terdengar di telinganya. Dan suara itu dikenalinya betul.
Jelas itu adalah suara Rangga. Tapi, sama sekali tidak terlihat Rangga
berbicara tadi
“Jangan
berhenti, Pandan. Terus serang aku,” kembali terdengar bisikan halus di telinga
Pandan Wangi.
Tentu
saja gadis itu kebingungan. Tapi begitu Rangga mengerdipkan matanya, Pandan
Wangi hampir tertawa dibuatnya. Namun, dirinya masih bisa dikendalikan. Dan
dengan cepat, si Kipas Maut melompat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Kini
Pandan Wangi bisa mengetahui, kalau sikap Rangga yang demikian ternyata
tidaklah bersungguh-sungguh. Meskipun tidak mengetahui rencana sebenarnya
Pendekar Rajawali Sakti itu, tapi kerdipan mata tadi sudah memberikan suatu
isyarat yang sekaligus membuat hati gadis itu jadi tenang.
“Hiya!
Hiyaaa...!” Pandan Wangi terus menyerang Pendekar Rajawali Sakti, dan
menganggapnya sebagai latihan saja. Meskipun menyerang sungguh-sungguh, tapi
gadis itu yakin kalau tidak akan mungkin mampu mengalahkan Pendekar Rajawali
Sakti. Untuk membuatnya terdesak saja, tidak akan bisa dilakukan. Menyadari hal
ini, gadis itu tidak tanggung-tanggung lagi memberi serangan. Tentu saja
kejadian ini membuat Dewi Asmara Maut tertawa kesenangan. Itu berarti tidak
perlu lagi bersusah-payah memisahkan Rangga dari gadis itu.
“Biarkan
aku pergi, Pandan. Percayalah! Aku tetap mencintaimu,” kembali Pandan Wangi mendengar
bisikan halus.
Sambil
terus menyerang, si Kipas Maut menganggukkan kepalanya. Dan ini dilakukan dalam
waktu yang tepat, sehingga tidak terlihat sama sekali.
“Bagus.
Sekarang, biarkan aku memukulmu. Kau boleh mengikutiku nanti. Jangan khawatir,
aku akan menunjukkan jalan padamu,” kembali Pandan Wangi mendengar bisikan
halus.
Dan
sebelum gadis itu menyetujui, mendadak saja Rangga sudah memberi satu pukulan
ke dada gadis itu. Tentu saja Pandan Wangi terkejut, tapi tidak bisa berkelit
lagi. Dan memang, pukulan itu telak menghantam dadanya. Namun Pandan Wangi jadi
terkejut bukan main. Ternyata dia tidak merasakan apa-apa setelah terkena
pukulan, meskipun tubuhnya terpental deras ke belakang.
Pandan
Wangi jatuh bergulingan di tanah beberapa kali, dan langsung diam menggeletak
tak bergerak-gerak lagi. Sementara Dewi Asmara Maut tertawa terbahak-bahak
kesenangan. Dihampirinya Pendekar Rajawali Sakti yang berdiri tegak dan memberi
senyuman manis pada wanita itu.
“Ayo,
Bocah Bagus. Kita tinggalkan tempat ini,” ajak Dewi Asmara Maut.
Rangga
kembali tersenyum dan mengangguk. Mereka kemudian berjalan meninggalkan tempat
itu. Sementara Ki Raksapati bergegas menghampiri Pandan Wangi yang tergeletak
di tanah. Saat itu Rangga dan Dewi Asmara Maut sudah jauh masuk ke dalam hutan.
Mereka berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga sebentar saja
sudah tidak terlihat bayangannya.
“Pandan...,”
agak tersedak suara Ki Raksapati.
“Aku
tidak apa-apa, Ki,” jelas Pandan Wangi seraya membuka matanya.
“Oh..!”
Ki Raksapati mendesah lega.
Pandan
Wangi bangkit berdiri. Debu yang melekat di bajunya dikibaskan. Gadis itu
menyelipkan kembali kipas andalannya ke balik ikat pinggang. Sementara Ki
Raksapati memandangi, namun sinar matanya penuh diliputi berbagai macam tanda
tanya atas kejadian yang baru saja disaksikannya.
“Kau
benar tidak apa-apa, Pandan...?” tanya Ki Raksapati.
“Tidak.
Tadi Kakang Rangga hanya berpura-pura saja. Pukulannya tidak terasa apa-apa,
kok,” sahut Pandan Wangi seraya tersenyum.
“Tapi...,”
Ki Raksapati tidak melanjutkan, lalu matanya memandang ke arah kepergian Rangga
dan Dewi Asmara Maut tadi.
“Aku
pergi dulu, Ki...,” pamit Pandan Wangi yang saat itu mendengar bisikan halus di
telinganya.
Dan
sebelum Ki Raksapati bisa menjawab, gadis itu sudah melesat cepat bagai kilat.
Kini tinggal laki-laki tua itu yang terbengong tidak mengerti. Kepalanya
digeleng¬gelengkan sambil menghembuskan napas panjang.
“Hhh...,
anak-anak muda sekarang....”
***
ENAM
Rangga
duduk di tepi pembaringan besar di dalam sebuah ruangan yang cukup luas dan
tertata indah. Seluruh dindingnya dari belahan papan tebal berwarna coklat muda
agak kemerahan, persis seperti buah mahoni. Sedangkan lantainya beralaskan
permadani tebal yang warnanya sama dengan dinding. Ruangan ini seperti kamar
seorang putri bangsawan.
Pendekar
Rajawali Sakti itu tidak menyangka kalau di Puncak Gunung Jangkar ini ada
sebuah bangunan megah seperti istana. Dan sekarang dirinya berada dalam salah
satu ruangan bangunan itu. Juga tidak dimengerti, mengapa Dewi Asmara Maut
membawanya ke bangunan yang katanya sebagai istananya ini. Hanya satu yang
membuat Pendekar Rajawali Sakti itu merasa heran, sejak berada di tempat ini,
tidak satu pun terlihat ada orang lain di sekitar bangunan yang cukup besar dan
megah ini.
“Kakang....”
Rangga tersentak ketika mendengar suara halus dari arah jendela yang tertutup
rapat. Bergegas dia bangkit dari pembaringan itu, kemudian menghampiri jendela.
Perlahan dan hati-hati Pendekar Rajawali Sakti itu membuka jendela kamar ini.
Begitu terbuka, menyembul seraut wajah cantik.
“Pandan....
Bagaimana kau bisa tahu aku ada di kamar ini?” tanya Rangga.
“Nanti
aku jelaskan. Cepat keluar dari sini,” sahut Pandan Wangi yang berada di luar
jendela.
Rangga
bergegas melompat ke luar. Gerakannya ringan sekali, sehingga tak terdengar
suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah berumput. Pandan Wangi bergegas
menutup kembali jendela itu, kemudian menarik tangan Rangga dan membawanya
pergi menjauh. Mereka berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Sepasang
pendekar itu baru berhenti setelah cukup jauh dari bangunan besar dan megah
itu. Rangga memutar tubuhnya, memandang ke arah bangunan besar bagai istana
yang masih terlihat jelas, meskipun jaraknya sudah begitu jauh. Sedangkan
Pandan Wangi berdiri di sampingnya.
“Seharusnya
kau tidak datang secepat ini, Pandan,” ungkap Rangga.
“Mengapa?
Menyesal...?” agak ketus suara Pandan Wangi
“Aku
belum sempat melakukan apa-apa.”
“Jangan
harap aku membiarkanmu bercumbu dengan perempuan itu!”dengus Pandan Wangi.
Rangga
menghembuskan napas panjang. Memang sukar jika menyelesaikan satu persoalan
yang dicampur perasaan cemburu. Jelas sekali kalau Pandan Wangi cemburu pada
Dewi Asmara Maut. Dan ini ditunjukkannya secara jelas, tanpa ditutup-tutupi.
Tapi Rangga bisa memaklumi. Memang, Dewi Asmara Maut sangat cantik, meskipun
usianya sudah tidak muda lagi. Lekuk-lekuk tubuhnya sungguh menggairahkan. Rangga
sendiri mengakui kalau wanita itu memang cantik dan menggairahkan sekali.
Tapi,
ada sesuatu yang selalu menjadi pegangan kuat Pendekar Rajawali Sakti itu. Dia
tidak bisa bermain cinta dengan wanita mana pun juga. Terlebih lagi sampai
melangkah jauh. Belum sampai perbuatan kotor itu terjadi, pasti sudah
diperingatkan oleh Rajawali Putih yang selalu mengawasi, meskipun dari tempat
yang sangat jauh.
“Ada
berapa orang di dalam sana, Kakang?” tanya Pandan Wangi.
“Tidak
ada siapa-siapa,” sahut Rangga.
“Kau
tidak melihat seorang pun di sana?” Pandan Wangi tidak percaya.
Rangga
hanya menggelengkan kepalanya saja, seraya menatap gadis itu dalam-dalam.
Tatapan itu seakan-akan hendak meyakinkan kalau memang tidak ada seorang pun di
dalam bangunan berbentuk istana itu. Tapi rupanya Pandan Wangi tidak juga mau
percaya.
“Lalu,
apa kau juga melihat orang lain di sana, Pandan?” tanya Rangga.
“Ya,
seorang gadis,” sahut Pandan Wangi.
“Siapa?”
“Mana
aku tahu...,” sahut Pandan Wangi seraya mengangkat pundaknya.
Kembali
mereka terdiam dengan pandangan lurus ke arah bangunan itu. Entah apa yang ada
di dalam pikiran masing-masing. Dan tampaknya perhatian Rangga mulai tertumpah
pada masalah ini. Bahkan keinginannya untuk bisa menikmati ketenangan dalam
satu atau dua hari saja seperti terlupakan.
“Mungkin
sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini, Pandan,” ajak Rangga tiba-tiba.
“Heh...?!”
Pandan Wangi tersentak kaget.
“Rasanya
tidak ada gunanya berada di tempat ini. Kita tidak tahu, untuk apa dan ada
urusan apa berada di sini,” kata Rangga lagi.
“Kau
ini aneh, Kakang. Apakah kau sudah lupa perkataan Ki Raksapati...? Selama
perempuan itu masih hidup, akan semakin banyak korban yang jatuh. Bisa-bisa
semua anak muda di dunia ini habis olehnya,” tegas Pandan Wangi.
“Kau
ingin membunuhnya?” tanya Rangga.
“Harus,”
sahut Pandan Wangi mantap.
“Dengan
alasan apa?”
Kali
ini Pandan Wangi tidak menjawab. Memang mereka berdua tidak ada persoalan
apa-apa terhadap Dewi Asmara Maut. Maka, tidak ada alasan untuk membunuh wanita
itu. Kalau toh hanya karena persoalan cemburu, rasanya riskan sekali. Dan itu
tidak perlu sampai terjadi pertumpahan darah.
“Merunduk,
Pandan...!” desis Rangga tiba-tiba.
Pandan
Wangi segera merundukkan kepalanya ketika melihat Dewi Asmara Maut keluar dari
bangunan istana itu. Meskipun jarak mereka terlalu jauh, tapi bisa melihat
jelas. Memang, puncak gunung ini merupakan padang rumput luas, sehingga bisa
memandang jauh ke segala arah secara leluasa.
Jelas
sekali kalau wanita berbaju merah muda itu sedang mencari sesuatu. Dan sudah
bisa ditebak kalau Rangga lah yang dicari, karena kabur dari kamarnya. Dewi
Asmara Maut tampak kesal. Tak lama kemudian, dari dalam bangunan itu keluar
seorang gadis berbaju kuning, diikuti seorang laki-laki tua berjubah hitam.
Pada tangan kanannya terdapat sebatang tongkat yang bagian ujungnya berbentuk
kepala seekor musang.
Tak
lama kemudian, dari dalam bangunan itu bermunculan orang-orang berpakaian
segala bentuk, corak, dan warna. Melihat dari penampilan dan senjata yang
tersandang, jelas kalau mereka semua dari rimba persilatan.
“Heran...,
dari mana mereka berdatangan...?” gumam Pandan Wangi seperti bertanya pada
dirinya sendiri.
Entah
apa yang mereka bicarakan, terlalu jauh untuk bisa didengar. Bisa saja Rangga
mempergunakan Ilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Tapi dikhawatirkan getarannya
akan tertangkap. Bisa-bisa malah menimbulkan kesulitan. Pendekar Rajawali Sakti
yakin kalau mereka rata-rata memiliki kepandaian tinggi. Hal ini bisa terlihat
dari sorot mata dan penampilannya.
“Ayo,
Pandan. Kita pergi,” ajak Rangga ketika orang-orang itu kembali masuk ke dalam
bangunan megah bagai istana.
“Tunggu
dulu,Kakang,”cegah PandanWangi.
“Ada
apa lagi?”
“Aku
jadi ingin tahu, apa yang mereka kerjakan di sini,” sahut Pandan Wangi.
“Jangan
edan-edanan, Pandan...!” sentak Rangga dengan suara pelan.
Pandan
Wangi tidak menanggapi. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa mendesah
dan menggelengkan kepalanya saja. Memang sudah menjadi watak Pandan Wangi yang
selalu saja ingin tahu, setiap kali tertarik pada suatu kejadian. Dan kali ini
Rangga benar-benar khawatir jika rasa keingintahuan kekasihnya itu begitu
menggebu. Sudah bisa diduga kalau orang-orang yang berada di dalam bangunan
istana itu berasal dari rimba persilatan golongan hitam. Tentang apa yang
mereka lakukan di sana, sebenarnya bukan urusannya. Tapi....
“Heh!
Pandan...!”
Rangga
tersentak ketika tiba-tiba Pandan Wangi melesat cepat mendekati bangunan besar
dan megah itu. Namun gadis itu sudah tidak bisa dicegah lagi, karena sudah
berlari jauh dan semakin mendekati bangunan megah itu. Rangga tak punya pilihan
lain lagi. Maka dia cepat melompat dan berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh.
Begitu
sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti. Tidak
heran kalau sebelum Pandan Wangi mencapai bangunan istana itu, dia sudah
berhasil mengejarnya. Rangga mengurangi kecepatan larinya, dan mensejajarkan
diri di samping gadis itu.
“Kau
gila, Pandan!” sentak Rangga.
Pandan
Wangi hanya diam saja, tidak mempedulikan gerutuan pemuda berbaju rompi putih
itu. Gadis itu terus berlari, dan melompat cepat bagai kilat begitu dekat
bangunan itu. Dan kini, tahu-tahu si Kipas Maut itu sudah merapat di dinding.
Secepat kilat, Rangga mengikuti. Hanya sekali lesatan saja, Pendekar Rajawali
Sakti itu sudah berada di samping Pandan Wangi. Mereka merapatkan punggung ke
dinding yang agak terlindung oleh tanaman rambat.
“Tunggulah
aku di sini, Kakang,” pinta Panda Wangi.
“Mau
ke mana?” tanya Rangga berbisik.
“Aku
akan menyelidiki ke dalam.”
Rangga
tidak sempat lagi mencegah, karena tubuh Pandan Wangi sudah melenting ke atas.
Dan dengan ringan sekali, gadis itu hinggap di atap bangunan ini. Sementara
Rangga hanya bisa memandangi sambil menarik napas dalam-dalam. Dan sebelum bisa
berbuat sesuatu, Pandan Wangi sudah menghilang entah ke mana. Pendekar Rajawali
Sakti itu tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain mengedarkan pandangannya ke
sekeliling.
“Nekat..!”
dengus Rangga dalam hati. Kembali Pendekar Rajawali Sakti itu memandang ke
atap, tapi tidak lagi melihat Pandan Wangi lagi di sana. Pandangannya kini
tertumbuk pada sebuah jendela. Di balik jendela itulah dirinya pernah berada,
di sebuah kamar indah dan tertata apik.
“Apa
yang harus kulakukan sekarang...?” Rangga bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Sebentar
Pendekar Rajawali Sakti itu terdiam berpikir keras, kemudian melompat cepat dan
ringan sekali mendekati jendela kamar itu. Sebentar telinganya ditempelkan ke
daun jendela itu, lalu mendadak saja dia tersentak. Seketika wajahnya jadi
berubah pucat, lalu kembali berubah memerah.
“Laknat..!”
desis Rangga dalam hati. Pendekar Rajawali Sakti itu mendongak, lalu tubuhnya
melenting ke atas. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, pemuda berbaju rompi
putih itu hinggap di atap, tepat di atas kamar itu. Pelahan Rangga membuka atap
yang terbuat dari belahan kayu yang dihaluskan. Hanya sedikit, tapi cukup untuk
melihat ke dalam kamar itu.
Seketika
dadanya berdebar keras. Bahkan seluruh aliran darahnya seperti berhenti
mengalir, saat menyaksikan dua manusia berlainan jenis tengah berpacu dalam gelombang
lautan birahi di atas ranjang. Desah napas dan rintihan lirih tertahan
terdengar jelas menguak telinga. Rangga yang tak sanggup lagi menyaksikan
adegan itu segera melompat menjauhi atap kamar. Sekali lesatan saja, Pendekar
Rajawali Sakti itu sudah berada di bagian atap lain, di dekat cerobong asap.
“Hm...,”
gumam Rangga pelahan. Tapi belum juga niatnya untuk masuk melalui cerobong asap
terlaksana, entah dari mana mendadak saja pundaknya terasa ditepuk dari
belakang. Dan belum juga kepala Pendekar Rajawali Sakti bisa menoleh, seketika
satu hantaman keras mendarat di punggungnya. Rangga sadar betul kalau hatinya
diliputi ketegangan, sehingga tak menyadari adanya bahaya.
Deghk!
“Akh...!”
Rangga memekik tertahan. Pendekar Rajawali Sakti itu jatuh tersungkur, dan
bergulingan di atap yang miring. Namun dia cepat melesat bangkit berdiri. Dan
pada saat itu, sebuah bayangan hitam berkelebat cepat menerjang ke arahnya.
Slap!
“Uts...!”
Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kanan, maka bayangan itu lewat sedikit di
sampingnya. Seketika Rangga mengibaskan tangannya menyampok bayangan hitam itu.
Namun tanpa diduga sama sekali, bayangan hitam itu mampu menghindar dengan
manis sekali. Bahkan cepat berputar, dan kembali menyerang.
“Yeaaah...!”
Tak ada pilihan lain bagi Pendekar Rajawali Sakti kecuali menghentakkan cepat
kedua tangan ke depan sambil memutar tubuhnya menghadap bayangan hitam itu. Tak
pelak lagi, tangan mereka berbenturan keras.
“Akh...!”
Terdengar jeritan keras, tepat saat bayangan hitam itu terpental. Sedangkan
Rangga sendiri sempat terdorong sekitar tiga langkah ke belakang. Seketika
Pendekar Rajawali Sakti cepat melompat mengejar bayangan hitam itu, sebelum
jatuh terguling ke tanah.
“Yeaaah...!”
Degkh!
Kembali terdengar jeritan keras melengking tinggi begitu pukulan yang
dilontarkan Pendekar Rajawali Sakti menghantam bayangan hitam itu. Deras sekali
sosok tubuh berbaju hitam itu terpental jatuh ke tanah. Hanya sebentar tubuhnya
mampu menggeliat, kemudian diam tak berkutik lagi.
Sementara
Rangga berdiri tegak di pinggir atap. Pandangannya lurus pada sosok tubuh
berbaju hitam yang tergeletak tak bernyawa di atas tanah berumput. Dari mulut,
hidung, dan telinga orang itu mengucurkan darah. Tampak dadanya melesak ke
dalam dengan tulang-tulang hancur terhantam pukulan Pendekar Rajawali Sakti
yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna tadi.
Pertarungan
yang singkat itu rupanya membuat keributan juga. Dan sebelum Rangga bisa
melakukan sesuatu, tampak dari dalam bangunan besar ini bermunculan orang-orang
rimba persilatan. Mereka tampak terkejut begitu melihat sosok tubuh berbaju
hitam tergeletak di dekat jendela.
“Itu
dia di atas...!” Seorang laki-laki bertubuh tegap mengenakan pakaian kulit
binatang menunjuk ke atap bangunan besar bagai istana ini. Maka sekitar delapan
orang yang ada di situ seketika menengadahkan kepalanya ke arah Pendekar
Rajawali Sakti yang masih berdiri di sana.
“Sial...!”
dengus Rangga. Tidak ada kesempatan lagi bagi Pendekar Rajawali Sakti untuk
menghindar, karena delapan orang itu sudah berlompatan ke atap bangunan ini.
Gerakan mereka yang ringan dan cepat, sudah menandakan kalau rata-rata memiliki
kepandaian cukup tinggi.
“Hup!”
Rangga bergegas melompat mundur beberapa tindak. Saat itu delapan orang rimba
persilatan itu sudah berada di atas atap dan langsung bergerak mengepung.
Seketika senjata mereka dimain-mainkan lincah sekali. Deru angin terdengar dari
delapan penjuru. Perlahan-lahan Rangga memutar tubuh mengamati delapan orang
yang sudah mengepungnya.
“Hhh!
Terpaksa...!” desah Rangga berat di dalam hati. Memang Rangga tidak punya
pilihan lain lagi selain menghadapi delapan orang ini. Padahal mereka tidak
pernah saling bertemu, apalagi mengenal. Tapi tampaknya kedelapan orang ini
tidak bersahabat. Buktinya sebelum Rangga sempat membuka mulut untuk bertanya,
dua orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya sudah berlompatan menyerang.
“Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
“Hap!”
Kaki Rangga segera bergeser sedikit ke belakang, dan manis sekali tubuhnya
diliukkan menghindari serangan dari dua arah itu. Namun sebelum tubuhnya sempat
ditarik kembali, serangan berikut datang dari depan. Bahkan disusul dari arah
belakang. Rangga benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bicara lagi.
Sedangkan untuk menarik napas sebentar saja, rasanya sulit sekali. Delapan
orang ini menyerang secara bergantian dan cepat sekali dari delapan arah.
Serangan
yang dilakukan delapan orang ini sungguh cepat dan berbahaya. Setiap pukulan,
tusukan, dan tebasan senjata mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Akibatnya Pendekar Rajawali Sakti kerepotan juga menghadapinya. Malah beberapa
kali terpaksa mengumpat, karena hampir saja terkena pukulan atau tebasan
senjata lawan-lawannya. Namun sampai sejauh ini Pendekar Rajawali Sakti itu
masih bisa mengimbangi, meskipun tidak memiliki kesempatan untuk balas
menyerang.
“Aaakh...!”
Mendadak saja terdengar jeritan panjang melengking tinggi. Tampak seorang yang
mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti terjungkal dengan kepala hampir terpisah.
Darah seketika muncrat keluar dari lubang yang menganga di leher. Bukan hanya
tujuh orang saja yang terkejut. Bahkan Rangga pun tersentak kaget, karena tadi
tidak merasa memberi serangan.
Dan
sebelum keterkejutan mereka lenyap, mendadak seorang lagi menjerit keras dan langsung
terjungkal deras turun dari atap ini. Pada saat itu, Rangga melihat sebuah
bayangan putih berkelebat cepat. Dan tak lama kemudian, kembali terdengar dua
jeritan panjang melengking tinggi. Dalam waktu sebentar saja, sudah empat orang
terjungkal tak bernyawa lagi.
“Hiyaaa...!”
Merasa ada kesempatan untuk bisa selamat dari keroyokan ini, maka cepat sekali
Pendekar Rajawali Sakti melesat. Tubuhnya berputaran cepat menghajar dua orang
sekaligus yang berada di dekatnya. Saat itu Rangga mengerahkan jurus ‘Pukulan
Maut Paruh Rajawali’ pada tingkatan yang terakhir, sehingga kedua kepalan
tangannya memerah membara bagai besi terbakar.
“Akh!”
“Aaa...!”
Dua
kali jeritan menyayat terdengar saling susul. Kemudian disambung oleh
pekikan-pekikan panjang melengking tinggi. Dalam waktu singkat saja, tinggal
dua orang yang masih hidup. Dan tampaknya mereka sudah gentar melihat enam
orang sudah tergeletak tak bernyawa lagi. Namun sebelum mereka mengambil
tindakan, Rangga sudah memberi satu pukulan keras lewat jurus ‘Pukulan Maut
Paruh Rajawali’.
Pada
saat yang sama, bayangan putih itu menerjang yang seorang lagi. Sesaat kemudian
kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi dan menyayat. Dalam waktu
yang hampir bersamaan, kedua orang itu terjungkal deras ke bawah. Keras sekali
tubuh mereka terbanting ke tanah berumput halus. Hanya sebentar mereka mampu
menggeliat, sesaat kemudian sudah diam tak bernyawa lagi.
Rangga
memutar tubuhnya, tepat ketika bayangan putih itu mendarat tidak jauh dari
tempat berdirinya. Kini di depan Rangga berdiri seorang pemuda berwajah tampan.
Bajunya berwarna putih agak ketat, sehingga membentuk tubuhnya yang tegap,
padat, dan berotot.
“Maaf,
aku terpaksa ikut campur,” ucap pemuda itu, sopan sekali.
“Terima
kasih. Kau datang tepat pada waktunya,” ucap Rangga merendah.
Padahal,
Pendekar Rajawali Sakti itu masih mampu menghadapi delapan orang itu sendirian.
Hanya saja dia tidak ingin jumawa. Yang jelas, dengan adanya pemuda itu
pekerjaannya semakin ringan, dan tidak perlu menguras tenaga terlalu banyak.
“Kalau
boleh kutahu, siapakah Kisanak ini?” tanya Rangga, sopan dan lembut sekali.
“Aku
Wikalpa, dan kau sendiri?” pemuda itu kini balik bertanya.
“Rangga,”sahut
Rangga memperkenalkan namanya.
“Hm...,
sepertinya aku pernah mendengar namamu. Jika kau pernah singgah di Kadipaten....”
“Ah...,
ya! Benar sekali. Pasti kau Raden Wikalpa, putra tunggal Adipati Baka Witara,”
potong Rangga cepat
Pemuda
berbaju putih ketat itu hanya tersenyum saja. Dia memang putra tunggal Adipati
Baka Witara. Semua orang di seluruh Kadipaten Watu Kambang selalu memanggilnya
dengan sebutan raden. Suatu sebutan yang hanya diberikan untuk bangsawan atau
orang berdarah biru. Dan sebutan itu biasanya berlaku untuk putra keluarga
istana, atau putra pembesar dan bangsawan. Tapi sebenarnya Raden Wikalpa tidak
menyukai sebutan itu. Anggapannya dengan adanya sebutan itu justru akan
menimbulkan jurang pemisah saja. Namun dia tidak bisa melarang dan memberontak.
Sebutan itu sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu hingga sekarang ini.
“Kudengar,
kau menghilang dari istana kadipaten. Boleh aku tahu, kenapa kau berada di
tempat ini?” tanya Rangga kembali.
“Cukup
panjang ceritanya. Tapi yang jelas, sebagian besar rencanaku sudah berjalan
mulus,” sahut Raden Wikalpa.
Rangga
mengangkat bahunya sedikit. Dia tahu kalau Raden Wikalpa merasa keberatan atas
pertanyaannya. Namun keberatan itu hanya ditunjukkan lewat sikap dan kata-kata
yang halus sekali, sehingga tidak sampai menyinggung perasaan lawan bicaranya.
“Raden,
sebaiknya kita menyingkir dulu dari sini,” ajak Rangga yang merasa tempat ini
kurang cocok bagi mereka untuk saling membagi pengalaman selama ini.
“Baiklah.
Ayo!”
***
TUJUH
Rangga
tercenung memandangi bangunan megah yang berada cukup jauh di hadapannya.
Sementara Raden Wikalpa sendiri hanya diam saja setelah menceritakan kalau Dewi
Lanjani sengaja dilepaskan. Memang, calon adipati ini ingin mengetahui maksud
sebenarnya, mengapa Dewi Lanjani hendak membunuhnya. Kemudian pemuda itu terus
membuntuti Dewi Lanjani sampai ke puncak gunung ini, tapi menemui jalan buntu.
Memang tidak mudah untuk menyelidiki lebih jauh lagi. Apalagi untuk masuk ke
dalam bangunan istana itu.
Bangunan
itu memang dijaga ketat, meskipun kelihatannya tidak ada seorang pun yang
menghuni bangunan megah itu. Dan ini sudah dibuktikan sendiri oleh Rangga tadi,
yang mencoba masuk ke dalam sana. Belum juga keinginannya sempat terlaksana,
serangan sudah keburu datang.
“Temanku
ada di dalam sana,” jelas Rangga pelan seperti untuk dirinya sendiri.
“Sama.
Calon ketua pengawalku juga ada di dalam sana,” sahut Raden Wikalpa.
Rangga
menatap pemuda yang berdiri di sampingnya.
“Aku
melihat seorang wanita membawa Jaka Kumbara, calon ketua pengawalku. Aku
sendiri tidak tahu, mengapa dia sampai bisa tidak berdaya begitu,” jelas Raden
Wikalpa.
Rangga
masih terdiam. Bisa ditebak, kalau wanita yang dimaksudkan pemuda ini pasti
Dewi Asmara Maut. Seorang wanita yang memiliki ilmu untuk melemahkan dan
memperdaya laki. Gairah laki-laki akan bangkit tanpa disadarinya. Hal ini
pernah terjadi pada Pendekar Rajawali Sakti itu, meskipun masih mampu
melawannya.
Dan
Rangga sempat berada di dalam istana itu, atas keinginannya sendiri untuk
mengikuti Dewi Asmara Maut. Kalau memang Raden Wikalpa selalu mengamati
bangunan megah itu, tentu juga melihat Rangga masuk ke dalam bangunan itu.
“Kau
melihatku pernah masuk ke sana?” tanya Rangga ingin tahu.
“Ya!
Tampaknya kau akrab sekali dengan wanita itu,” sahut Raden Wikalpa tanpa
berpaling sedikit pun.
“Semula
aku hanya ingin menyelidiki saja. Tapi belum sempat melakukan sesuatu, Pandan
Wangi sudah keburu datang. Dan sekarang dia berada di dalam sana,” Rangga
mencoba menjelaskan.
Tentu
saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengatakan kalau di dalam kamar itu hampir
saja ia terlena dan tidak sadar oleh rangsangan yang diberikan Dewi Asmara
Maut. Untung saja ada seseorang yang memanggil wanita itu. Entah untuk
keperluan apa. Yang jelas, gadis yang memanggil, baru diketahui Rangga setelah
Raden Wikalpa menceritakan tentang dirinya.
Pada
saat itu, dari dalam bangunan megah terlihat sebuah bayangan biru berkelebat
cepat keluar. Rangga sedikit tersentak begitu mengetahui kalau bayangan yang berkelebat
itu ternyata Pandan Wangi. Dan sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu sempat
bergerak untuk menjemput, mendadak saja dari dalam bangunan istana itu juga
berkelebat sebuah bayangan lagi yang langsung menghadang Pandan Wangi.
“Celaka...!”
desis Rangga begitu melihat Pandan Wangi sudah diserang seorang laki-laki tua,
berjubah kuning gading.
Belum
berapa lama mereka bertarung, dari dalam bangunan istana itu bermunculan
orang-orang bersenjata beraneka ragam bentuknya. Mereka berlarian cepat ke arah
pertarungan itu. Tentu saja Rangga tidak bisa lagi menahan diri ketika Pandan
Wangi mulai dikeroyok tidak kurang dari sepuluh orang.
Bagaikan
kilat, Pendekar Rajawali Sakti melesat ke arah halaman depan bangunan istana.
Cukup jauh juga jarak antara Rangga dengan tempat itu. Dan setibanya di sana,
pemuda berbaju rompi putih itu langsung masuk dalam arena pertarungan. Segera
dikerahkannya jurus-jurus dari rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’ yang
dahsyat dan sukar dicari tandingannya.
Kedatangan
Pendekar Rajawali Sakti membuat Pandan Wangi semakin bersemangat lagi. Bahkan
gadis itu menggunakan dua senjata sekaligus. Kipas Maut di tangan kiri, dan
Pedang Naga Geni berada di tangan kanannya. Dengan kedua senjata maut itu,
Pandan Wangi seperti sosok malaikat pencabut nyawa.
Sementara
Rangga masih menggunakan tangan kosong. Namun begitu, seorang lawan pun tidak
berhasil mendesaknya, karena jurus-jurus yang dimainkan Pendekar Rajawali Sakti
itu sangat cepat dan dahsyat luar biasa.
“Modar...!”
seru Rangga tiba-tiba. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti itu melentingkan
tubuhnya ke udara, lalu meluruk deras mempergunakan Jurus ‘Rajawali Menukik
Menyambar Mangsa’. Kedua kakinya bergerak cepat mengarah kepada salah seorang
pengeroyoknya. Serangan yang cepat dan dahsyat itu tak bisa dihindari lagi.
Sehingga....
Prak!
“Aaa...!”
Jeritan panjang melengking seketika terdengar menyayat. Tampak orang yang
menggunakan senjata rantai, berputaran sambil meraung-raung memegangi
kepalanya. Dan sebelum orang itu sempat menyadari apa yang terjadi, Rangga
sudah memberi satu pukulan keras lewat jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.
“Yeaaah...!”
Des!
“Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan melengking tinggi. Seketika orang itu terjungkal
keras menghantam tanah setelah terlontar sejauh tiga batang tombak. Hanya
sebentar dia mampu menggelepar, kemudian diam tidak bergerak-gerak lagi.
Empat
orang yang juga mengeroyok Pendekar Rajawali Sakti terkejut bukan main. Karena
gerakan Rangga begitu cepat luar biasa, sehingga sukar diikuti pandangan mata
biasa. Dan sebelum mereka bisa menyadari, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali
bergerak. Tubuhnya melayang berputaran dengan tangan terentang lebar ke
samping. Kali ini jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ dikerahkan.
Tak
lama kemudian, terdengar jeritan melengking dan menyayat saling sambut. Rangga
yang sudah menguasai dengan sempurna jurus-jurus ‘Rajawali Sakti’, memang sukar
ditandingi. Terlebih lagi oleh empat orang yang hanya memiliki kepandaian
tanggung. Tak heran kalau mereka tidak sempat lagi menghindari serangan cepat
dan dahsyat itu. Empat orang pengeroyok itu kini sudah menggelepar dengan dada
koyak mengucurkan darah. Dengan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’, kedua
tangan Rangga memang seperti mata pedang saja. Tubuh manusia bisa terbelah bila
terkena tebasannya!
Pada
saat itu, Pandan Wangi juga sudah berhasil menjatuhkan tiga orang lawannya. Dan
kini tinggal dua orang lagi yang tampaknya lebih tangguh dari yang lain.
Terutama sekali laki-laki tua berbaju kuning gading yang memegang tongkat
berkeluk tak beraturan itu.
“Serahkan
satu padaku, Pandan...!” seru Rangga. Bagaikan kilat, Pendekar Rajawali Sakti
itu melompat. Langsung diserangnya laki-laki tua berbaju kuning gading.
Terjangan yang cepat dan tidak terduga itu membuat laki-laki tua berbaju kuning
gading jadi kelabakan juga. Semampunya tongkatnya dikibaskan mencoba menghalau
serangan Rangga yang cepat itu. Namun serangan-serangan yang dilancarkan
Pendekar Rajawali Sakti itu memang dahsyat sekali. Tak heran dalam beberapa
gebrakan saja, laki-laki tua berbaju kuning gading itu sudah terpekik terkena
pukulan keras di dada.
“Akh...!”
“Nih,
satu lagi... Hih! Yeaaah...!” teriak Rangga keras.
Secepat
kilat Pendekar Rajawali Sakti itu melontarkan satu pukulan keras dari jurus
‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’. Serangan yang datangnya sangat cepat dan
mendadak itu tidak bisa lagi dihindari.
Degkh!
“Aaa...!”
Laki-laki tua itu menjerit keras.
Tubuhnya
yang kurus terbungkus baju kuning gading yang longgar, terpental deras
menghantam sebatang pohon. Dan hanya sebentar saja tubuhnya mampu menggeliat,
kemudian tak bergerak-gerak lagi. Pada saat yang sama, Pandan Wangi juga sudah
menyelesaikan pertarungannya, setelah menusukkan pedangnya ke perut lawan.
Gadis itu langsung melompat begitu melihat lawannya telah tewas. Segera
dihampirinya Rangga yang tampaknya seperti sedang berpikir sesuatu.
Sebenarnya
Pendekar Rajawali Sakti sangat heran juga, sebab dedengkot penghuni bangunan
istana itu tidak muncul. Padahal pasti suara pertarungan tadi terdengar sampai
ke dalam. Timbullah berbagai dugaan dalam benak Rangga. Mungkinkah Dewi Asmara
Maut tengah mengatur siasat untuk menjeratnya kembali? Atau mungkin sengaja
mengorbankan anak buahnya untuk memenuhi hasratnya lebih dulu? Lalu, ke mana
anak buah Dewi Asmara Maut yang lain. Apakah hanya sekian jumlahnya...?
“Kakang,”
panggil Pandan Wangi.
“Ada
apa?” tanya Rangga.
“Benarkah
dia putra adipati?” Pandan Wangi balik bertanya.
“Tidak
kuragukan lagi,” sahut Rangga
“Kalau
begitu, harus kusampaikan padanya kalau orang-orang di dalam sana sedang
merencanakan untuk menyerang Kadipaten Watu Kambang,” ungkap Pandan Wangi
memberi tahu hasil penyelidikannya di dalam bangunan megah itu.
Rangga
mengerutkan keningnya.
“Semula
aku menduga kalau Dewi Asmara Maut yang memimpin. Tapi ternyata masih ada lagi,
Kakang,” lanjut Pandan Wangi.
“Siapa?”
tanya Rangga.
“Raja
Musang Hitam.”
Kembali
kening Rangga berkerut. Dia memang pernah mendengar julukan itu. Raja Musang
Hitam adalah tokoh beraliran sesat yang sangat tinggi keandalannya. Selama ini
dia selalu merajai rimba persilatan bagian timur. Dan Kadipaten Watu Kambang
ini memang termasuk wilayah timur. Tapi apa maksud Raja Musang Hitam hendak
menyerang Kadipaten Watu Kambang? Pertanyaan ini tiba-tiba saja timbul dalam
benak Pendekar Rajawali Sakti itu. Satu pertanyaan yang belum bisa terjawab
saat ini.
Rangga
kemudian bergegas menghampiri Raden Wikalpa, diikuti Pandan Wangi. Pendekar
Rajawali Sakti itu menyuruh Pandan Wangi untuk mengatakan apa saja yang
diketahuinya selama berada di dalam bangunan megah bagai istana itu. Maka
dengan gamblang, si Kipas Maut itu menceritakan semua yang diketahuinya.
“Raja
Musang Hitam...,” desis Raden Wikalpa setengah bergumam.
“Kau
mengenalnya, Raden?” tanya Rangga.
“Tidak.
Tapi aku pernah mendengarnya,” sahut Raden Wikalpa.
Untuk
beberapa saat mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Sebentar Raden
Wikalpa memandang Pandan Wangi, dan sebentar kemudian beralih ke arah bangunan
megah di depannya. Beberapa kali napasnya ditarik panjang-panjang, dan
dihembuskannya kuat-kuat.
“Hm,
aku ingat. Ayahku pernah bertarung dengannya ketika sama-sama masih muda. Dan
aku sendiri belum lahir waktu itu. Memang, pernah kudengar kalau Raja Musang
Hitam beberapa kali sering mencoba menyerang Kadipaten Watu Kambang, tapi tidak
pernah berhasil. Hhh.... Rupanya kali ini dia ingin mengulangnya lagi,” ujar
Raden Wikalpa, pelan suaranya.
“Kau
tahu persoalannya?” tanya Rangga.
“Kalau
tidak salah, karena memperebutkan ibuku,” sahut Raden Wikalpa.
“Dendam
lama...,” desah Rangga dalam hati.
Tapi
kini bukan lagi persoalan pribadi antara si Raja Musang Hitam dengan Adipati
Baka Witara. Persoalan itu sudah melibatkan banyak orang dari kalangan
persilatan. Dan kalau mereka sampai benar-benar menyerang, sudah pasti
prajurit-prajurit kadipaten tidak akan sanggup menghadapinya.
Rangga
sudah beberapa kali berhadapan, sehingga sudah bisa mengukur kekuatannya.
Pendekar Rajawali Sakti itu juga sudah mengetahui tentang kekuatan
prajurit-prajurit kadipaten. Yang pasti, tidak akan jauh berbeda dengan
prajurit-prajurit kadipaten lainnya. Mereka biasanya hanya mengerti ilmu olah
kanuragan yang sedikit saja. Jangankan prajurit kadipaten, prajurit yang kuat
sekalipun tidak akan sanggup menghadapi orang-orang persilatan yang rata-rata
berkemampuan tinggi.
“Aku
harus bertindak lebih dahulu sebelum mereka menyengsarakan rakyat,” tekad Raden
Wikalpa mantap.
“Jumlah
mereka cukup banyak, Raden,” Pandan Wangi memberi tahu.
“Berapa
orang?” tanya Raden Wikalpa.
“Mungkin
dua puluh, tiga puluh, atau mungkin juga lebih dari lima puluh orang. Aku tidak
tahu pasti. Yang jelas, jumlah mereka cukup untuk menghancurkan sebuah
kadipaten hanya dalam waktu satu hari saja.”
“Lalu,
mengapa waktu kita bertempur di sana, mereka tidak menyerang kita semuanya?”
tanya Raden Wikalpa lagi.
“Itu
memang sengaja, Raden. Raja Musang Hitam memang tidak ingin mengorbankan
pasukannya secara sia-sia. Yang penting baginya menyusun siasat, lalu sama-sama
menghancurkan atau dihancurkan,” jelas Pandan Wangi.
Raden
Wikalpa terdiam. Disadari kalau kekuatan prajurit Kadipaten Watu Kambang tidak
seberapa. Sedangkan untuk meminta bantuan kerajaan, tidaklah mungkin.
Masalahnya, Pandan Wangi bilang kalau mereka akan menyerang dua atau tiga hari
lagi. Dan untuk meminta bantuan dari istana kerajaan, paling tidak membutuhkan
waktu sedikitnya dua belas hari perjalanan pulang pergi.
“Kalian
punya saran?” pinta Raden Wikalpa seperti putus asa.
Rangga
dan Pandan Wangi saling berpandangan Dalam keadaan seperti ini, memang sukar
untuk berpikir wajar. Terlebih lagi keadaan sudah begitu mendesak. Dan mereka
semua tentu saja tidak menginginkan Kadipaten Watu Kambang yang tenteram,
damai, dan makmur, hancur karena persoalan dendam pribadi.
Tapi
yang jelas, Raden Wikalpa tidak akan mungkin membiarkan si Raja Musang Hitam
memenggal leher ayahnya. Untuk melakukan pertarungan pun, rasanya Adipati Baka
Witara tidak mampu lagi. Ini karena usianya yang sudah demikian lanjut.
Terlebih lagi, sudah puluhan tahun Adipati Baka Witara tidak pernah melatih
jurus-jurusnya lagi. Malah Raden Wikalpa pernah mengalahkannya dalam satu kali
latihan. Apalagi sekarang harus menghadapi si Raja Musang Hitam yang
sehari-harinya jelas selalu bergelut dengan kekerasan.
“Apa
tidak sebaiknya hal ini diberitahukan Adipati Baka Witara saja,” Pandan Wangi
memberikan saran.
“Bagaimana,
Raden?” tanya Rangga agak mendesak.
Raden
Wikalpa tidak segera menjawab, dan tampaknya sedang berpikir keras. Meskipun
masalah ini menyangkut orang tuanya, tapi rasanya sungkan untuk melibatkannya.
Dia ingin menyelesaikan persoalan ini tanpa melibatkan pihak kadipaten. Tapi
calon adipati itu jadi berpikir juga setelah Pandan Wangi tadi memberitahukan
kalau kekuatan musuh tidak mungkin dihadapi seorang diri saja.
“Kalian
pasti berkemampuan tinggi. Bagaimana kalau kuminta untuk membantuku menumpas
mereka...?” pinta Raden Wikalpa seraya memandangi Rangga dan Pandan Wangi
bergantian.
Sedangkan
yang dipandangi malah saling melontarkan pandangan. Permintaan Raden Wikalpa
memang tidak pernah terpikirkan sama sekali. Terlebih lagi Rangga, yang
sebenarnya lebih menyetujui pendapat Pandan Wangi untuk memberitahukan hal ini
pada penguasa Kadipaten Watu Kambang ini. Namun tampaknya Raden Wikalpa ingin
menyelesaikannya tanpa melibatkan seorang pun dari kadipaten.
“Raden,
kalau hanya kita bertiga, rasanya tidak mungkin menghadapi mereka,” kilah
Pandan Wangi yang sudah tahu persis kekuatan orang-orang di dalam bangunan
istana itu.
“Memang.
Tapi kita bisa melakukannya dengan cara mengurangi kekuatan mereka sedikit demi
sedikit,” jelas Raden Wikalpa.
“Maksud
Raden?” tanya Pandan Wangi tidak mengerti.
“Serang,
lalu menghilang,” usul Raden Wikalpa.
Pandan
Wangi masih belum bisa memahami, sedangkan Rangga sudah bisa menangkap maksud
Raden Wikalpa. Memang cara seperti itu bisa saja dilakukan. Tapi itu akan
membuat mereka semakin berang. Dan tentu saja ini bisa lebih berbahaya. Mungkin
belum separuh kekuatan lenyap, sudah membuat mereka menyerang Kadipaten Watu
Kambang secara brutal. Bahkan bukannya tidak mungkin, akan membalas lebih
menyakitkan lagi. Sedangkan untuk saat ini saja, mereka sudah kehilangan
kekuatan yang tidak sedikit. Dan Rangga sudah bisa menduga kalau saat ini
mereka pasti tengah menyusun rencana dan kekuatan yang lebih berlipat ganda.
***
DELAPAN
Malam
sudah merayap menyelimuti seluruh permukaan puncak gunung ini. Kesunyian begitu
terasa mencekam, setelah kabut mulai menggumpal tebal. Sementara itu, di salah
satu ruangan di dalam bangunan megah bagai istana di puncak gunung ini, tampak
Dewi Asmara Maut berdiri tegak membelakangi jendela besar yang terbuka lebar.
Pandangan
wanita itu tidak berkedip menjilati seorang pemuda yang tergeletak di atas
pembaringan. Perlahan-lahan wanita cantik yang sudah tidak muda lagi itu
melangkah menghampiri pembaringan besar beralaskan kain sutra halus berwarna
jingga. Kemudian tubuhnya dibaringkan di samping pemuda itu dengan posisi
miring.
“Tidak
kusangka, kau begitu kuat dan perkasa, Jaka Kumbara,” kata Dewi Asmara Maut
lembut.
Pemuda
tampan bertubuh tegap dan berotot itu membuka matanya. Bibirnya tersenyum
melihat Dewi Asmara Maut sudah berada di sampingnya. Perlahan tangan pemuda
yang memang Jaka Kumbara itu menjulur dan melingkar di pinggang yang ramping.
Kemudian dipeluk dan langsung dilumatnya bibir Dewi Asmara Maut disertai gairah
menggelegak.
“Ah...,”
desah Dewi Asmara Maut lirih. Wanita itu menggeliat-geliat ketika jari-jari
tangan Jaka Kumbara mulai menjelajahi bagian-bagian tubuhnya yang peka. Kembali
bibirnya merintih dan mendesis, dan tubuhnya agak mengejang. Cepat sekali
gairah wanita itu bangkit setelah mendapat cumbuan yang begitu liar, tapi
menghanyutkan. Sampai-sampai tidak dirasakan lagi kalau Jaka Kumbara telah
melepaskan pakaiannya. Hampir saja seluruh pakaian wanita itu terlepas semua,
ketika terdengar ketukan pintu dari luar.
“Setan...!”
maki Dewi Asmara Maut kesal. Didorongnya tubuh Jaka Kumbara hingga
menggelimpang ke samping ketika dirinya akan dipeluk. Tapi pemuda itu malah
menarik tangan Dewi Asmara Maut dan memeluknya kuat-kuat. Sementara ketukan di
pintu kembali terdengar lebih keras. Dewi Asmara Maut mencoba melepaskan
pelukan pemuda itu, tapi Jaka Kumbara malah memagut bibirnya. Bahkan melumatnya
liar sekali.
“Hih!”
Dengan
kasar sekali Dewi Asmara Maut mendorong tubuh pemuda itu. Dan segera saja dia
melompat bangkit berdiri. Jaka Kumbara yang sudah tidak ingat dirinya lagi,
mencoba memburu. Namun Dewi Asmara Maut sudah lebih dulu menotok pemuda itu
hingga terkulai seketika. Bergegas wanita itu memungut pakaiannya, dan langsung
cepat mengenakannya. Ketukan di pintu kembali terdengar keras.
“Tunggu...!”
seru Dewi Asmara Maut. Sebentar wanita itu memandang Jaka Kumbara yang
tergeletak lemas di pembaringan, kemudian bergegas menghampiri pintu kamar yang
tertutup rapat. Dewi Asmara Maut kembali memandang Jaka Kumbara. Sebenarnya
pemuda tampan yang begitu perkasa di atas ranjang itu disukainya. Dan baru kali
ini seorang pemuda ditahannya sampai satu hari lebih. Biasanya, kalau sudah
dinikmati keperkasaannya, langsung dicampakkan begitu saja.
Tapi
kali ini Dewi Asmara Maut seperti merasa sayang melenyapkan Jaka Kumbara
cepat-cepat. Terasa ada sesuatu yang lain dalam permainan asmara dengan pemuda
itu. Suatu perasaan yang belum pernah dialaminya selama ini. Dewi Asmara Maut
tidak jadi membuka pintu, tapi kembali menghampiri pemuda itu. Seketika
diberikannya totokan beberapa kali.
“Tidak
lama kau akan bisa bergerak lagi, Bocah Bagus,” kata Dewi Asmara Maut.
Wanita
itu bergegas menghampiri pintu yang kembali diketuk keras, kemudian membukanya.
Tampak seorang gadis berbaju kuning berdiri di ambang pintu kamar ini.
“Dewi
Lanjani.... Ada apa?” agak kesal nada suara Dewi Asmara Maut.
“Maaf,
Bibi Dewi. Raja Musang Hitam memanggilmu.”
“Hm....
Ada apa malam-malam begini memanggilku...?” Dewi Asmara Maut mengerutkan
keningnya.
“Barangkali
minta dipijat,” sahut Dewi Lanjani seraya tersenyum dikulum.
“Setan
kau!” dengus Dewi Asmara Maut.
Dewi
Lanjani hanya terkikik geli sambil beranjak pergi. Sedangkan Dewi Asmara Maut
menutup pintu kamarnya, dan melangkah setelah gadis itu tidak terlihat lagi.
Ayunan kakinya cepat dan bergegas menuju ujung lorong yang agak gelap ini. Tapi
di dalam benaknya terus bertanya-tanya, tidak biasanya Raja Musang Hitam
memanggilnya tengah malam begini.
Wanita
itu berhenti melangkah di depan sebuah pintu yang sedikit terbuka.
Perlahan-lahan diketuknya pintu itu. Tak ada jawaban sama sekali dari dalam.
Kemudian kembali diketuk lebih keras lagi.
“Masuk...!”
Dewi
Asmara Maut melangkah masuk setelah terdengar suara berat dari dalam. Kemudian
ditutupnya pintu kamar yang keadaannya tidak terlalu terang. Hanya sebuah
pelita kecil yang menyala redup di sudut ruangan besar ini. Pandangan wanita
itu langsung tertuju pada sesosok tubuh yang setengah terbaring di ranjang.
Separuh tubuhnya tertutup kain berwarna biru tua. Dia seorang laki-laki yang
berusia setengah baya, namun masih kelihatan gagah dan tegap.
“Kemarilah....”
Dewi
Asmara Maut mendekat, lalu hanya berdiri saja di dekat pembaringan itu. Sedikit
bibirnya digigit ketika tangan laki-laki itu menjulur dan meraba pahanya.
Pelahan Dewi Asmara Maut naik ke atas ranjang itu, lalu tubuhnya direbahkan di
sana.
“Malam
ini kau tidur di sini, Dewi.”
Dewi
Asmara Maut tidak menjawab, karena laki-laki setengah baya itu sudah melumat
bibirnya, ganas dan liar sekali. Wanita itu memang tidak bisa menolak ajakan
laki¬-laki setengah baya yang dikenal berjuluk si Raja Musang Hitam ini, dan
selalu tunduk dalam pelukannya.
“Ohhh...,”
desah Dewi Asmara Maut.
Memang
sudah menjadi kebiasaan si Raja Musang Hitam. Tak banyak bicara, tapi
rangsangan dan cumbuan yang diberikan membuat wanita itu seketika merintih dan
menggeliat sehingga tak mampu menguasai dirinya lagi. Di dalam kamar yang
diterangi sebuah pelita kecil itu, hanya terdengar desah napas dan rintihan
lirih. Tak ada kata-kata terucapkan, karena mereka langsung tenggelam dalam
deburan ombak gairah yang berdebur meruntuhkan seluruh persendian.
***
“Heh...?!”
Raja Musang Hitam terperanjat ketika tiba-tiba terdengar suara-suara teriakan
dan denting senjata beradu keras. Seketika laki-laki setengah baya itu melompat
dari pembaringan, lalu cepat menyambar pakaian dan mengenakannya. Sementara
Dewi Asmara Maut juga bergegas mengenakan pakaiannya kembali. Raja Musang Hitam
segera menyambar tongkatnya dan melompat keluar dari kamar ini.
“Setan
alas...!” umpat Dewi Asmara Maut seraya bergegas berlari keluar dari kamar ini.
Wanita itu berlari-lari mengikuti Raja Musang Hitam. Mereka langsung keluar
dari bangunan megah bagai istana itu. Betapa terkejutnya mereka begitu sampai
di luar, karena suara-suara teriakan dan denting senjata beradu tadi sudah
tidak terdengar lagi. Namun yang lebih mengejutkan, di pelataran bangunan besar
ini sudah tergeletak mayat-mayat yang masih mengucurkan darah.
Raja
Musang Hitam baru menyadari kalau gerombolannya kalah cepat. Waktu Rangga dan
Pandan Wangi menyerbu ke sini, dia menyangka kalau dua pendekar itu pasti bisa
dikalahkan. Makanya, laki-laki setengah baya itu tidak mengeluarkan seluruh
anak buahnya.
“Bangsat!
Mereka telah mendahului kita lagi!” sentak Raja Musang Hitam seraya memandangi
mayat-mayat yang bergelimpangan saling tumpang tindih.
“Masa
kehancuranmu, Raja Musang Hitam....”
“Heh...?!”
Bukan main terkejutnya Raja Musang Hitam begitu tiba-tiba terdengar suara
menyahuti. Dan begitu kepalanya diangkat, tahu-tahu tidak jauh di depannya
sudah berdiri dua orang pemuda dan seorang gadis.
“Siapa
kalian?!” bentak Raja Musang Hitam.
“Aku
putra Adipati Baka Witara,” sahut pemuda yang berdiri di tengah, yang ternyata
memang Raden Wikalpa.
Sedangkan
yang dua orang lagi tak lain adalah Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi.
Rupanya mereka benar-benar melaksanakan rencana yang dicetuskan Raden Wikalpa.
Menyerang secara diam-diam dan bertahap. Hanya saja pada pertarungan di depan
pintu utama bangunan istana ini, seluruh penghuni keluar semua.
Untung
semuanya sudah diperhitungkan secara matang, sehingga tidak ada kesukaran bagi
mereka bertiga untuk membabat habis orang-orang itu. Terlebih lagi, Rangga
telah menggunakan pedang pusakanya yang tak ada tandingannya di jagad ini.
Pedang Rajawali Sakti memang sangat dahsyat dan luar biasa.
“Dewi
Asmara Maut, perintahkan mereka semua keluar!” perintah Raja Musang Hitam. Dia
menyangka anak buahnya masih berada di dalam.
“Tidak
ada gunanya, Raja Musang Hitam. Semua anak buahmu sudah tidak ada lagi,” Raden
Wikalpa yang menyahuti.
“Keparat..!”
desis Raja Musang Hitam menggeram.
Saat
itu, dari arah samping bangunan istana, Dewi Lanjani berlari-lari. Gadis itu
tampak terkejut melihat Raden Wikalpa sudah berdiri berhadap-hadapan dengan
Raja Musang Hitam.
“Dari
mana saja kau?! Ke mana yang lain?!” tanya Raja Musang Hitam ketus, begitu
melihat Dewi Lanjani.
“Keliling.
Dan mereka..., mereka semua tewas,” sahut Dewi Lanjani seraya melirik Raden
Wikalpa.
“Phuih...!”
Raja Musang Hitam menyemburkan ludahnya.
Sementara,
Raden Wikalpa tersenyum-senyum penuh kemenangan. Ternyata semua rencananya
berjalan lancar. Dan sekarang tinggal tiga orang lagi yang harus dihadapinya.
“Terimalah
kematianmu, Musang Hitam! Hiyaa...!”
Cepat
sekali Raden Wikalpa melompat sambil mencabut pedangnya yang masih berlumuran
darah. Seketika itu juga pedangnya dikebutkan ke arah dada si Raja Musang
Hitam. Namun dengan gerakan manis, laki-laki setengah baya itu mengegoskan
tubuhnya. Maka serangan Raden Wikalpa hanya menyambar tempat kosong.
Pada
Saat yang sama, Dewi Asmara Maut sudah menyerang Pandan Wangi. Wanita itu
memang memiliki satu persoalan yang belum terselesaikan dengan si Kipas Maut.
Dewi Asmara Maut menganggap Pandan Wangi hanya sebagai penghalang dalam
menjerat Pendekar Rajawali Sakti ke dalam pelukannya. Sementara itu, Dewi
Lanjani kelihatan ragu-ragu untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Keraguan
gadis itu dapat diketahui Rangga.
“Kalau
kau akan pergi, aku memberi kesempatan padamu,” kata Rangga.
Dewi
Lanjani tidak menjawab, dan semakin kelihatan bimbang. Sementara dua
pertarungan sudah berjalan sengit. Gadis itu menatap Pendekar Rajawali Sakti
dalam-dalam, kemudian memandang ke arah pertarungan antara Raja Musang Hitam
dan Raden Wikalpa.
“Sebaiknya
kau bantu Raden Wikalpa. Dia tidak akan mampu menandingi Raja Musang Hitam,”
kata Dewi Lanjani.
Rangga
hanya tersenyum saja. Saat itu Dewi Lanjani menghampiri Pendekar Rajawali
Sakti.
“Aku
ingin agar dia hidup. Katakan, satu saat aku akan datang membalaskan dendam
ayahku,” kata Dewi Lanjani setengah berbisik.
“Hm....
Raden Wikalpa membunuh ayahmu?” tanya Rangga.
“Dialah
yang memberi perintah hukuman mati pada ayahku.”
“Kenapa?”
“Tanyakan
saja padanya!” sahut Dewi Lanjani ketus.
“Siapa
nama ayahmu?” tanya Rangga.
“Bromokati.”
Dewi Lanjani langsung melesat pergi, tepat ketika Raja Musang Hitam mendaratkan
satu pukulan tongkatnya ke punggung Raden Wikalpa.
“Akh...!”
Raden Wikalpa terhuyung-huyung. Dan pada saat yang tepat, Raja Musang Hitam
sudah melompat sambil menusukkan salah satu ujung tongkatnya yang runcing ke
arah dada pemuda itu. Tak ada kesempatan lagi bagi Raden Wikalpa. Namun ketika
ujung tongkat sedikit lagi menembus dada Raden Wikalpa, dengan cepat sekali
Pendekar Rajawali Sakti melompat. Langsung ditotoknya ujung tongkat laki-laki
berbaju serba hitam itu.
Tak!
“Heh...?!”
Raja Musang Hitam terperanjat. Buru-buru tongkatnya ditarik pulang ketika
terasa bergetar terkena totokan jari Pendekar Rajawali Sakti yang mengandung
pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Bantu
Pandan Wangi, Raden,” ujar Rangga.
Sebelum
Raden Wikalpa menjawab, Rangga sudah cepat melompat bagai kilat menyerang Raja
Musang Hitam. Dua kali Pendekar Rajawali Sakti itu melontarkan pukulan
beruntun, disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi sekali.
“Hiyaaat..!”
“Uts!”
Bergegas Raja Musang Hitam mengegoskan tubuhnya ke samping, menghindari
serangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Namun sebelum bisa menarik kembali
tubuhnya agar tegak, Pendekar Rajawali Sakti sudah memberi serangan cepat dan
beruntun. Serangan-serangan itu demikian dahsyat, membuat Raja Musang Hitam
kedodoran menghindarinya.
Sementara
Raden Wikalpa sudah membantu Pandan Wangi menyerang Dewi Asmara Maut. Saat itu
pagi sudah mulai datang menjelang. Rona merah menyemburat keluar dari balik
gunung sebelah timur. Sedangkan pertarungan masih terus berlangsung sengit
sekali. Entah sudah berapa jurus pertarungan itu berlangsung. Dan kini masih
saja berlangsung semakin sengit. Hingga matahari semakin naik tinggi,
pertarungan seperti tidak akan berhenti.
“Hup!
Heyaaa...!” Tiba-tiba saja Raja Musang Hitam melompat ke belakang beberapa
langkah. Tongkatnya ditancapkan di samping kakinya. Sedangkan Rangga berdiri
tegak, menunggu apa yang akan dilakukan laki-laki setengah baya berbaju hitam
itu. Beberapa saat mereka saling menatap tajam.
“Hm.
Rupanya dia hendak mengeluarkan ilmu kesaktian,” gumam Rangga dalam hati. Dan
memang, Raja Musang Hitam tengah memusatkan perhatiannya untuk mengerahkan aji
kesaktiannya. Kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada. Kemudian
tubuhnya dimiringkan sedikit ke kanan, lalu perlahan ditarik ke kiri dengan
kaki terentang lebar. Begitu tubuhnya kembali tegak, tampak dari sela-sela jari
tangannya mengepulkan asap hitam yang berbau tidak sedap.
“Hep...!”
Rangga segera bersiap sambil menahan napas, lalu memindahkan pernapasannya ke
perut. Kedua telapak tangannya dirapatkan di depan dada, lalu diangkat hingga
sampai ke atas kepala. Kemudian kedua tangan itu ditarik cepat sampai sejajar
pinggang.
“Yeaaah...!”
“Hup!”
Tepat ketika kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti memancarkan sinar biru, Raja
Musang Hitam melompat menerjang sambil menjulurkan kedua telapak tangannya yang
terbuka lebar ke depan. Rangga segera melebarkan kakinya ke samping. Dan dengan
cepat sekali tangannya dihentakkan ke depan, menyambut serangan laki-laki
setengah baya itu.
“Aji
‘Cakra Buana Sukma’. Yeaaah...!” seru Rangga keras menggelegar.
Glarrr!
“Aaakh...!”
Raja Musang Hitam menjerit melengking tinggi ketika kedua telapak tangannya
beradu dengan telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Laki-laki berbaju hitam
itu menggeliat-geliat dengan tangan melekat erat pada tangan Rangga. Sementara
sinar biru langsung menyelimuti seluruh tubuh laki-laki setengah baya itu.
“Yeaaah...!”
Mendadak saja Rangga berteriak keras. Dan seketika tangannya cepat dihentakkan,
melebar ke samping. Secepat itu pula, kepala Raja Musang Hitam dikeprak dengan
keras sekali.
Prak!
Blarrr...!
Ledakan keras seketika terdengar menggelegar. Rangga langsung melompat mundur
begitu tubuh Raja Musang Hitam meledak dan hancur seketika. Kepingan-kepingan
tubuhnya bertebaran ke segala arah. Ledakan yang keras menggelegar itu membuat
Dewi Asmara Maut yang tengah dikeroyok Pandan Wangi dan Raden Wikalpa jadi
terkejut, dan lengah. Kesempatan ini tidak disia-siakan Raden Wikalpa. Seketika
itu juga dia melompat cepat sambil menusukkan pedangnya tepat ke arah ulu hati
wanita itu.
“Hiyaaat...!”
Crab!
“Aaa...!”
Dewi Asmara Maut memang tidak sempat lagi berkelit. Tusukan pedang Raden
Wikalpa begitu cepat dan kuat, karena disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Sebentar wanita itu masih mampu berdiri, kemudian setelah pedang Raden Wikalpa
ditarik kembali, tubuh itu pun ambruk di tanah. Darah segar seketika mengalir
dari dadanya.
“Hhh...!”
Raden Wikalpa menarik napas panjang. Segera pedangnya yang berlumuran darah itu
dimasukkan ke dalam sarungnya.
Saat
itu Pandan Wangi sudah menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Kalau saja tidak
cepat dicegah, pasti gadis itu sudah memeluknya. Sementara Raden Wikalpa masih
berdiri mematung memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan. Baru pertama kali
ini dia melakukan pertarungan yang begitu lama dan melelahkan. Tapi hatinya
puas, karena bisa menyelesaikan semuanya tanpa harus menyertakan orang-orang
kadipaten.
Raden
Wikalpa memutar tubuhnya dan langsung menghampiri Rangga dan Pandan Wangi.
Sebentar pemuda itu memandangi Rangga, kemudian mengulurkan tangannya. Dengan
hangat Pendekar Rajawali Sakti itu menyambutnya.
“Terima
kasih. Sungguh tak kusangka kalau akan berhasil menghancurkan gerombolan
pengacau kadipaten. Padahal, tadinya aku tak bermaksud ke arah itu. Aku hanya
bermaksud menjalankan rencanaku saja,” ucap Raden Wikalpa, sedikit terharu.
“Sudah
sewajarnya sesama manusia saling tolong, Raden,” ucap Rangga merendah. “Hm.
Raden, ada persoalan yang masih mengganjal benakku. Tadi kau mengatakan bahwa
tengah menjalankan rencana. Apa rencanamu itu?” desak Rangga kembali ketika
teringat kalau Raden Wikalpa belum menceritakan semuanya.
“Tujuan
utama, kau sudah tahu. Aku ingin mencari penyebab mengapa Dewi Lanjani ingin
membunuhku. Tapi, sebenarnya rencana kedualah yang paling penting,” jelas Raden
Wikalpa.
“Apa
itu?” desak Rangga.
“Mencari
dan menguji calon pengawal pribadiku.”
“Lho!
Bukankah calon pengawal pribadimu ada di dalam istana itu?”
“Benar.
Tapi dia sudah tak berdaya.”
“Lalu?”
“Aku
sudah mendapatkan penggantinya!” tegas Raden Wikalpa.
“Siapa?”
Rangga jadi ingin tahu.
“Diriku
sendiri.”
Rangga
tersentak, tapi langsung kagum terhadap pemuda itu. Betapa tidak? Jelas kalau
pemuda itu sudah cukup dewasa untuk menjadi adipati. Sebab, sebagai seorang
adipati sebenarnya tak perlu merisaukan adanya pengawal pribadi. Dan yang
jelas, kepercayaan pada diri sendirilah yang diperlukan. Dan sebenarnya, hanya
kepercayaan pada diri sendirilah yang menjadi pengawal pribadi seorang
pemimpin. Masalahnya, banyak pengawal pribadi yang justru berkhianat pada
junjungannya sendiri.
“Oh,
ya. Ada pesan dari Dewi Lanjani, Raden,” kata Rangga.
“Hm...,
ke mana dia?” Raden Wikalpa baru menyadari kalau Dewi Lanjani sudah tidak ada
lagi.
“Dia
akan datang kembali, khusus untuk menuntut balas atas kematian ayahnya yang
bernama Bromokati,” kata Rangga menyampaikan pesan Dewi Lanjani.
Raden
Wikalpa sedikit tersentak. Kini jelas sudah, mengapa Dewi Lanjani berniat ingin
membunuhnya. Ternyata diri gadis itu diselimuti dendam. Bahkan dia sampai
bergabung dengan Raja Musang Hitam dan Dewi Asmara Maut untuk melenyapkannya.
“Hm,
ya. Kini aku ingat. Bromokati memang terpaksa kuhukum penggal. Dia sebenarnya
seorang patih, tapi mencoba memberontak. Dan aku ditugaskan Gusti Prabu untuk
menangkap dan menghukum mati. Tapi sungguh tak kusangka kalau dia memiliki
seorang anak yang kini hendak membalas dendam padaku,” jelas Raden Wikalpa
tanpa diminta.
“Kalau
begitu kami tidak perlu ikut campur, Raden,” tegas Rangga.
“Ah!
Kau sudah banyak membantuku. Memang sebaiknya persoalanku dengan Dewi Lanjani
menjadi urusanku sendiri. Hm, kapan dia akan menemuiku?”
“Suatu
saat, katanya.”
“Baiklah.
Akan kutunggu dia.”
Mereka
tidak berbicara lagi, kemudian perlahan meninggalkan tempat itu. Tiga orang itu
berpisah setelah sampai di lereng gunung ini. Pandan Wangi sempat memberi tahu
kalau Paman Legiwa sedang terluka dalam dan kini tengah berada dalam perawatan
seorang tabib. Raden Wikalpa langsung menuju pondok tabib yang disebutkan
Pandan Wangi.
“Mungkin
sekarang aku bisa tenang, Pandan,” kata Rangga.
“Yah,
mudah-mudahan saja ada persoalan lagi,” desah Pandan Wangi menggoda.
“Hus...!”
“Ha
ha ha...!”
TAMAT
EPISODE
SELANJUTNYA:
SETAN
PEDANG PERAK
Emoticon