SATU
"Hiya! Hiyaaa...!"
Debu mengepul tinggi ke udara, tersepak kaki
kuda coklat belang putih yang dipacu cepat oleh seorang pemuda berbaju biru
tua. Pemuda itu terus menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi, sambil
berteriak kencang. Sesekali kepalanya menoleh ke belakang. Memang ada
kekhawatiran terlintas di wajahnya. Dari kejauhan tampak debu mengepul tinggi
ke angkasa. Pemuda berbaju biru tua itu semakin kencang memacu kudanya.
Tidak dipedulikan lagi kudanya yang sudah
kelelahan. Demikian pula debu dan keringat yang membasahi tubuhnya. Kudanya
terus digebah. Menuju sebuah lembah yang di tengah-tengahnya terdapat bangunan
besar yang dikelilingi gelondongan kayu pohon yang besar dan tinggi, membentuk
pagar. Bangunan itu lebih mirip benteng pertahanan, atau padepokan. Tapi melihat
letaknya yang terpencil di tengah-tengah lembah, bangunan itu layak disebut
sebuah sarang salah satu partai persilatan.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pemuda itu kembali menggebah kudanya saat
menoleh ke belakang. Terlihat gerombolan orang berkuda yang jumlahnya tidak
kurang dari dua puluh orang itu semakin mendekati. Itulah yang
dikhawatirkannya. Pemuda itu memang tengah dikejar-kejar karena suatu
persoalan. Jarak mereka semakin dekat, membuat udara kian pengap oleh debu yang
mengepul tinggi di angkasa.
"Hiegh...!"
Tiba-tiba saja kuda yang ditunggangi pemuda
berbaju biru tua itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya
tinggi-tinggi. Kuda coklat belang putih itu ber-henti seketika. Malah
penunggangnya nyaris terpelanting, kalau saja tidak cepat melompat turun dari
punggung kudanya. Dua kali dia berputaran di udara. Kemudian mudah sekali
kakinya mendarat di tanah, tidak jauh dari kudanya yang menggelepar-gelepar di
tanah. Tampak pada bagian pinggul binatang itu tertancap sebatang anak panah
yang cukup dalam. Sebentar kemudian kuda itu diam tidak bergerak-gerak lagi.
"Keparat...!" desis pemuda itu
geram.
"Cepat...! Tangkap dan bunuh iblis
itu...!" terdengar teriakan keras.
Dua puluh orang berkuda yang mengejar tadi
serentak melompat, sebelum tunggangan mereka berhenti berpacu. Gerakan mereka
sungguh indah dan ringan sekali. Dapat dipastikan rata-rata memiliki ilmu olah
kanuragan yang cukup tinggi. Dengan golok terhunus, mereka mengepung pemuda itu
dari segala arah.
"He... he... he.... Kau tidak akan dapat
lari lagi, Bocah Keparat!" dengus laki-laki setengah baya yang berdiri
tepat di depan pemuda berbaju biru tua itu.
Dia terkekeh-kekeh memamerkan baris-baris
giginya yang hitam dan nyaris ompong. Tangannya memegang sebilah golok besar
yang berkilatan dijilat cahaya matahari. Sedangkan pemuda berbaju biru tua itu
pandangannya beredar ke sekeliling. Pengepungnya yang rata-rata bersenjatakan
golok beraneka ragam, siap menunggu perintah. Pemuda berbaju biru tua itu
mencabut pedangnya yang sejak tadi tersampir di pinggang. Tampak sebilah pedang
keperakan yang panjang dan sangat tipis, berkilatan tertimpa cahaya matahari.
"Sudah kukatakan, jangan harap bisa
melarikan diri, Palaka," tegas laki-laki setengah baya berbaju hijau daun
itu.
"Hm.... Aku tidak melarikan diri,
Guritan! Aku hanya menghindari keroyokanmu! Kalau kau berani, hadapilah aku
secara jantan!" bentak pemuda yang dipanggil Palaka itu.
"Ha... ha... ha...," laki-laki
setengah baya yang bernama Guritan itu hanya tertawa saja, lalu memberi aba-aba
melalui jentikan dua jarinya.
Seketika dari empat jurusan, empat orang
langsung berlompatan ke depan sambil berteriak keras. Kini pemuda berbaju biru
tua makin terkepung rapat. Kaki mereka bergeser, sambil memainkan golok di
depan dada.
"Haaat!" "Hiyaaat..!"
Dua orang yang berada di samping kanan dan di
depan, langsung melompat sambil menebaskan goloknya ke arah Palaka. Secepat
kilat pemuda itu mundur satu langkah, lalu tubuhnya dimiringkan ke kiri.
Tebasan golok dari samping kanan hanya menyambar tempat kosong. Secepat golok
itu lewat, secepat itu pula Palaka menghentakkan kakinya ke kanan. Dan kembali
tubuhnya ditarik mundur, menghindari sabetan golok dari depan.
"Uts...!" Palaka buru-buru
memiringkan tubuhnya ke kanan ketika datang satu serangan lagi dari samping
kiri. Namun belum sempat tubuhnya diseimbangkan, datang serangan lain dari
belakang. Kemudian dibarengi serangan dari arah kanan dan depan. Empat orang
itu menyerang bertubi-tubi, disertai permainan golok yang cepat dan sangat
gencar. Mereka menyerang secara bergantian, dan dalam tempo cepat.
Hal ini membuat Palaka kewalahan
menghadapinya. Tidak ada kesempatan baginya untuk balas menyerang. Bahkan untuk
mengambil napas saja, terasa sukar sekali. Ruang geraknya benar-benar tertutup.
Tak ada celah sedikit pun untuk keleluasaan geraknya. Semuanya tertutup oleh
kelebatan golok yang cepat. Sehingga hanya kilatan sinar keperakan yang tampak
berkelebatan mengurung tubuh Palaka.
Deghk! Palaka terkejut ketika tiba-tiba
sebuah tendangan keras mendarat di punggungnya. Dan begitu tubuhnya terjajar ke
depan, sebilah golok menyambar cepat bagai kilat. Namun pemuda berbaju biru tua
itu cepat-cepat mengibaskan pedangnya untuk menyampok tebasan golok yang
mengarah ke dada.
Trang! Bunga api memercik saat dua senjata
beradu keras yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Seketika Palaka
merasakan pergelangan tangannya nyeri saat pedangnya beradu dengan golok salah
seorang penyerangnya. Palaka menyadari kalau tenaga dalam yang dimilikinya seimbang
dengan tenaga dalam lawannya. Itu berarti dirinya harus waspada dan
berhati-hati dalam menghadapi mereka yang rata-rata memiliki tenaga dalam sama.
"Hiyaaa...!" Tiba-tiba saja sebelum
Palaka bisa menguasai keseimbangan tubuhnya, seorang lawan telah melancarkan
serangan kilat. Goloknya yang besar dan berkilat, berkelebat mengincar dada
pemuda berbaju biru tua itu. Secepat kilat Palaka mundur satu langkah, sehingga
tebasan golok itu lewat di depan dadanya. Namun belum juga posisi tubuhnya bisa
ditarik kembali, satu tendangan keras dari arah kanan, meluncur cepat sekali.
Dalam posisi sulit seperti ini Palaka tidak sempat lagi menghindar.
Deghk!
"Akh...!" Palaka memekik keras agak
tertahan. Kembali pemuda itu terhuyung karena bahunya terhantam tendangan keras
mengandung pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Pada saat tubuhnya
terhuyung, datang lagi satu serangan golok yang mengarah ke lehernya. Cepat
sekali datangnya serangan itu, sehingga Palaka tidak bisa menghindar.
"Mati aku...," desah Palaka dalam
hati. Pada saat yang genting itu, tiba-tiba sebuah bayangan putih berkelebat
cepat menyambar orang yang menebaskan golok ke leher Palaka.
Des!
"Akh!" orang itu memekik keras,
tepat saat tubuhnya terpental jauh ke belakang. Tiga orang lainnya terperanjat.
Namun sebelum sempat menyadari apa yang terjadi, bayangan putih itu kembali
berkelebat cepat menyambar mereka. Kembali terdengar jeritan melengking panjang
saling susul. Ketiga orang itu mental jauh ke belakang dan tersuruk di tanah.
Hanya sebentar mereka mampu menggeliat. Sesaat kemudian, sudah tak bernyawa
lagi. Bukan hanya para pengepung Palaka yang terperanjat menyaksikan kejadian
itu. Bahkan pemuda itu terpaku dan mulutnya ternganga lebar, melihat empat
tubuh tergeletak dengan leher koyak berlumuran darah. Empat orang itu tewas
seketika. Kesunyian langsung mewarnai tempat ini.
"Ha... ha... ha...!"
Tiba-tiba terdengar tawa menggelegar memecah
kesunyian yang terjadi. Semua orang yang berada di tempat itu kembali terkejut.
Mereka kebingungan, karena tawa itu terdengar tanpa ada orangnya. Malah suara
tawa itu menggema ke segala penjuru.
"Hantu...!" teriak salah seorang
tiba-tiba. Seketika itu juga yang lainnya berlarian pontang-panting mengikuti
orang itu. Mereka melompat ke punggung kuda masing-masing, dan langsung
menggebahnya meninggalkan tempat itu.
"Hei! Kembali...!" teriak Guritan.
Tapi tak ada seorang pun yang mengindahkan
teriakan Guritan. Menyadari hanya tinggal seorang diri di tempat ini, Guritan
tidak ingin ambil risiko. Cepat dia berlari dan melompat naik ke punggung
kudanya.
"Hiyaaa!" Guritan langsung mengebah
cepat kudanya. Debu langsung membumbung tinggi ke angkasa ketika kuda hitamnya
melesat kencang meninggalkan Palaka yang kini tinggal seorang diri di tempat
sunyi ini.
"Hm...," Palaka menggumam kecil.
Pandangan pemuda berbaju biru tua itu beredar ke sekeliling. Tak seorang pun
terlihat di tempat yang sunyi ini. Suara tawa menggelegar itu pun sudah tidak
terdengar lagi, tepat saat Guritan pergi menyusul teman-temannya.
"Aku tidak tahu, siapa dirimu. Tapi jika
kau bermaksud baik, keluarlah. Kita bisa bicara baik-baik," kata Palaka,
agak lantang suaranya.
Untuk sesaat suasana sunyi sepi. Tak
terdengar suara sedikit pun kecuali angin yang berhembus perlahan menebarkan
udara dingin. Palaka mengedarkan pandangannya berkeliling. Telinganya dipasang
tajam-tajam agar bisa mendengar suara sekecil apa pun, tapi tetap saja tidak
terdengar apa-apa.
Namun tidak lama kemudian, terdengar siulan
yang tidak beraturan bunyinya. Suara itu datang dari arah belakang pemuda
berbaju biru tua itu. Perlahan-lahan Palaka memutar tubuhnya, dan langsung
terperanjat. Ternyata di depannya sudah duduk seorang pemuda berbaju putih
bersih agak ketat. Sama dengan Palaka, dia juga mengenakan ikat kepala berwarna
putih. Wajahnya cukup tampan, dan kulitnya kuning langsat. Tapi ketampanan
wajahnya ternoda oleh luka codet memanjang yang membelah pipi kanannya, hingga
batas bibir. Palaka memandangi pemuda yang usianya tidak berbeda jauh darinya.
Atau mungkin juga masih sebaya. Sedangkan pemuda berbaju putih itu tampak tidak
mempedulikan. Bibirnya yang agak monyong terus mengalungkan siulan yang tidak
beraturan iramanya.
"Kau tadi yang membunuh mereka...?"
tanya Palaka langsung menebak.
"Hanya sekadar menyelamatkan nyawamu.
Kelihatannya kau perlu bantuan," sahut pemuda berbaju putih itu kalem.
"Aku memang terdesak. Tapi tidak ada
niatan di hatiku untuk membunuh mereka. Kau menambah beban persoalanku
saja!" dengus Palaka kurang senang dengan pertolongan pemuda itu.
"Kendalikan dulu dirimu,
Palaka...," masih terdengar tenang suara pemuda berbaju putih itu.
Palaka tersentak kaget. Betapa tidak...?
Laki-laki muda berbaju putih ini mengetahui namanya. Dari mana pemuda itu
mengetahui namanya...? Pertanyaan ini yang mengganggu benak Palaka, di balik
keterkejutannya yang amat sangat.
"Dari mana kau mengenalku...?!"
tanya Palaka, agak keras suaranya.
"Tidak terlalu sukar untuk mengetahui
namamu, Palaka. Bahkan aku juga tahu tujuanmu datang ke daerah ini. Kau hendak
menuju lembah itu, bukan...?" masih terdengar tenang nada suara pemuda
berbaju putih itu. Bahkan sedikit pun tidak berpaling memandang Palaka yang
berdiri tidak seberapa jauh di depannya.
Sementara itu Palaka terus memandangi.
Tatapan matanya memancarkan ketidakpercayaan kalau pemuda yang belum dikenalnya
ini mengetahui tentang dirinya. Bahkan mengetahui tujuannya datang ke lembah
ini. Mendadak saja ada perasaan khawatir di hatinya, yang memancar lewat sorot
matanya.
"Bagaimana kau bisa tahu tentang diriku?
Siapa kau sebenarnya?" tanya Palaka. Nada suaranya terdengar tajam.
"Aku Sangaji. Tentang dirimu, kuketahui
dari seseorang yang patut dipercaya. Itu sebabnya aku langsung datang ke sini.
Tapi kedatanganku rupanya agak sedikit terlambat," sahut pemuda berbaju
putih itu kalem.
"Siapa yang mengatakan itu padamu?"
kejar Palaka ingin tahu.
"Sayang sekali, aku sudah berjanji untuk
tidak mengatakannya padamu."
"Lalu, apa maksudmu menemuiku?"
tanya Palaka lagi.
"Hanya untuk mengatakan agar kau jangan
ke lembah sana. Terlebih lagi benteng itu," sahut Sangaji ringan seraya
menunjuk ke arah benteng di tengah lembah sana.
"He...! Kau tidak bisa seenaknya
melarangku!" bentak Palaka sengit.
"Aku hanya menyampaikan amanat saja.
Terserah jika kau tidak sudi mendengarnya," terdengar ringan sekali suara
Sangaji.
"Huh! Kau sudah menambah persoalanku,
malah sekarang akan membuat persoalan lagi!" dengus Palaka memberengut.
Palaka membalikkan tubuhnya, kemudian
berjalan meninggalkan tempat itu. Tujuannya sudah jelas, lembah yang terletak
di bawah lereng tebing itu. Sama sekali tidak dihiraukan peringatan pemuda
berbaju putih yang mengaku bernama Sangaji itu.
"Kau pasti akan memerlukan aku, Palaka.
Aku akan menunggu di sini," ujar Sangaji setengah berteriak.
Palaka benar-benar tidak peduli lagi. Malah
semakin dipercepat ayunan kakinya. Pemuda berbaju biru tua itu berjalan dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Sehingga dalam waktu singkat sudah menempuh
perjalanan begitu jauh.
Sementara Sangaji masih tetap duduk bersandar
pada pohon. Dipandanginya Palaka yang semakin menjauh. Tampak di bibir tipisnya
terulas senyuman kecil. Palaka menghentikan ayunan langkahnya ketika tiba di
depan pintu gerbang benteng yang berada di tengah-tengah lembah ini. Pemuda itu
seketika tertegun melihat daun pintu gerbang benteng telah hancur berantakan.
Perlahan-lahan kakinya terayun memasuki benteng itu. Dan kini, dia kembali
tertegun. Bola matanya terbeliak lebar.
"Apa yang terjadi di sini...?" desis
Palaka dalam hati.
Kakinya terayun kembali semakin jauh memasuki
benteng itu. Matanya beredar ke sekeliling. Tampak dua buah bangunan besar yang
berada di dalam lingkaran benteng itu sudah hancur tidak berbentuk lagi. Bau
anyir darah tercium menusuk hidung, terbawa hembusan angin yang cukup kencang.
Perlahan-lahan pemuda itu melanjutkan
langkahnya. Beberapa kali kakinya terpaksa harus melangkahi mayatmayat yang
bergelimpangan tak tentu arah. Palaka dapat mengenali sebagian besar
mayat-mayat itu dari pakaiannya, kecuali beberapa mayat yang berjubah putih.
"Oh...! Eyang...!" sentak Palaka
ketika matanya tertumbuk pada sesosok tubuh yang terbaring di antara tumpukan
balok yang menghitam hangus.
Bergegas Palaka menghampiri sosok tubuh tua
berjubah putih yang tertelungkup itu. Ketika tubuh laki-laki tua dibalikkan,
pemuda itu terkejut. Ternyata sebagian wajah mayat laki-laki tua itu sudah
hancur. Bergegas diletak-kannya kembali mayat laki-laki tua yang tadi
dipanggilnya eyang itu. Untuk beberapa saat dipandanginya mayat laki-laki tua
itu. Lalu, ditariknya napas panjang, dan terasa berat sekali.
"To... looong...!" tiba-tiba
terdengar rintihan lirih.
Palaka langsung memalingkan kepalanya ke arah
suara rintihan lirih itu. Tak ada yang bergerak, meskipun banyak mayat yang
bergelimpangan.
"Siapa di situ...?" kembali
terdengar rintihan lirih.
"Di manakah kau, Kisanak?" tanya
Palaka, agak keras suaranya.
"Di sini...."
Palaka langsung menghampiri ketika melihat
sepotong tangan menyembul dari reruntuhan balok kayu dan batu yang tengah
bergerak-gerak lemah. Gerakan tangan itu baru terhenti begitu Palaka dekat.
"Paman...!" sentak Palaka begitu
melihat adanya gambar seekor macan tercetak pada tangan yang kotor berlumuran
darah kering dan debu.
Bergegas pemuda itu mengangkat balok-balok
kayu dan bebatuan yang menimbun laki-laki yang dipanggil paman oleh Palaka.
Puing-puing itu dilemparkannya begitu saja, tidak peduli kalau jatuh menimpa
mayat-mayat yang bergelimpangan di sekitarnya. Palaka semakin bersemangat saat sudah
bisa menyingkirkan sebagian reruntuhan yang menimbun seorang laki-laki setengah
baya.
"Paman..., Paman Tirta...," panggil
Palaka seraya membersihkan kotoran dan darah kering di wajah laki-laki setengah
baya itu.
"Ohhh...," laki-laki setengah baya
itu hanya mampu merintih lirih.
Palaka bergegas mengambil tempayan yang
berada tidak jauh dari tempat itu. Airnya masih ada setengah.
"Ohhh.... Apakah kau Palaka...?"
terdengar lirih suara Paman Tirta.
"Benar. Aku Palaka, Paman," sahut
Palaka sambil terus membawa tempayan.
Paman Tirta kembali merintih lirih, kemudian
terbatukbatuk. Laki-laki setengah baya itu mencoba bangkit duduk, tapi Palaka
cepat-cepat mencegah.
"Palaka, cepatlah kau pergi dari sini
sebelum mereka datang kembali," ujar Paman Tirta pelan, hampir tidak
terdengar. "Kau tidak usah mengobatiku, Palaka! Percuma...! Aku telah
terkena racun...!"
"Apa yang terjadi di sini, Paman?"
tanya Palaka tidak peduli dengan peringatan laki-laki setengah baya itu.
"Oh.... Palaka..., cepatlah kau pergi.
Mereka pasti akan datang lagi ke sini."
"Siapa mereka, Paman? Apa yang mereka
inginkan di sini?" tanya Palaka mendesak.
"Oh...," Paman Tirta mendesah
seraya menghembuskan napas panjang. Tubuhnya tampak semakin lemah.
"Paman...."
"Palaka! Pergilah ke Karang Setra. Temui
Pendekar Rajawali Sakti di sana...," suara Paman Tirta terputus.
"Paman...!"
"Katakan padanya tentang keadaan di
sini. Berikan cincin ini padanya. Dia pasti bisa mengerti jika cincinku kau
berikan padanya...," setelah berkata demikian, Paman Tirta terbatuk-batuk.
"Paman...."
"Cepatlah pergi, dan jangan sampai ada
yang tahu kedatanganmu ke sini!"
Paman Tirta kembali terbatuk-batuk. Kali ini
dari mulut-nya menyemburkan darah kental berwarna kehitaman bercampur cairan
hijau kekuningan. Palaka terkejut melihatnya.
"Paman...!" sentak Palaka ketika
kepala laki-laki setengah baya itu terkulai.
Diguncang-guncangkan tubuh laki-laki setengah
baya itu sambil terus memanggil namanya. Tapi Paman Tirta sudah tidak bernyawa
lagi. Telapak tangan Palaka mengusap wajah pamannya itu. Sebentar pemuda
berbaju biru tua itu tertunduk, kemudian melepaskan cincin dari jari manis
laki-laki setengah baya itu.
"Akan kulaksanakan amanatmu yang
terakhir, Paman," ujar Palaka lirih.
Perlahan-lahan pemuda berbaju biru tua itu
bangkit. Tubuh laki-laki setengah baya yang sudah tidak bernyawa masih
dipandanginya. Kemudian kakinya melangkah perlahan, meninggalkan benteng yang
sudah tidak berbentuk itu. Hanya bagian pagarnya saja yang masih kelihatan
utuh. Tapi seluruh bagian dalamnya sudah tidak beraturan lagi. Sungguh
pemandangan yang tidak sedap dipandang mata.
"Kasihan kalian...," desah Palaka
lirih.
***
DUA
Pagi masih terlalu dini. Matahari belum
menampakkan dirinya, meskipun kokok ayam jantan sudah sejak tadi terdengar
saling sambut. Kicauan burung menambah semaraknya pagi yang masih gelap ini.
Kegelapan memang masih menyelimuti Desa Gadakan. Sebuah desa yang tidak terlalu
besar, dan terletak di Kaki Gunung Gadakan, atau lebih tepat bila dikatakan
berada di lereng gunung.
Semua penduduk desa itu masih terlelap dalam
buaian mimpi. Udara yang teramat dingin ini membuat orang malas beranjak dari
pembaringan. Tapi tidak demikian halnya seorang pemuda berambut panjang agak
tergelung sedikit ke atas. Dia malah berjalan perlahan-lahan sambil menuntun
seekor kuda hitam yang tinggi dan tegap berotot.
Sambil terus berjalan menikmati kesegaran
udara pagi hari, pemuda tampan berbaju rompi putih itu terus melangkah tenang.
Padahal kegelapan masih menyelimuti sekitarnya, ditambah udara dingin menusuk
kulit. Seakan-akan, semuanya bukanlah penghalang untuk melangkahkan kakinya.
"Hiegh...! Hgrrr...."
Tiba-tiba saja kuda hitamnya meringkik keras
dan mendengus-dengus sambil mengangguk-anggukkan kepala. Sementara kaki
depannya dihentak-hentakkan. Pemuda berbaju rompi putih itu menghentikan ayunan
kakinya. Matanya memanearkan keheranan memandangi kudanya yang mendadak gelisah
itu.
"Hsss..., diam...," pemuda itu
berusaha meredakan kegelisahan kudanya. Namun kuda hitam itu malah meringkik
keras sambil meronta, mencoba melepaskan pegangan tali kekangnya. Pemuda itu
semakin keheranan. Namun sebelum sempat diketahui penyebabnya, mendadak
secercah cahaya kemerahan berkelebat bagai kilat menuju ke arahnya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Secepat kilat pemuda berbaju rompi putih itu
melompat ke atas sambil menepuk punggung kudanya. Tepat saat tubuhnya melesat,
kuda itu langsung melompat deras ke samping. Cahaya kemerahan itu lewat, tidak
berhasil menyentuh sasaran. Dengan gerakan ringan, pemuda berbaju rompi putih
itu mendarat di tanah setelah berputaran beberapa kali.
Sebentar pemuda itu melirik kuda hitamnya
yang sudah menepi. Binatang itu kelihatan tenang kembali. Malah kini tengah
merundukkan kepalanya masuk ke saluran air, di tepi jalan ini. Pemuda berbaju
rompi putih itu mengedarkan pandangannya berkeliling, dan langsung tertuju ke
arah datangnya sinar kemerahan tadi.
"Hm...," gumamnya perlahan. Saat
kudanya hendak dipanggil mendadak dari depan kembali melesat seberkas cahaya
kemerahan. Pemuda berbaju rompi putih itu langsung memiringkan tubuh sedikit ke
kanan, sementara tangan kirinya bergerak cepat menghadang cahaya kemerahan itu.
Tap! Pemuda tampan itu langsung mengamati
benda yang berhasil ditangkapnya. Benda itu sebesar telapak tangan bayi
berwarna kemerahan dan berbentuk lempengan seperti piring. Saat matanya
mengarah ke depan, terlihat sebuah bayangan berkelebat cepat. Seketika itu juga
tangan kirinya dihentakkan, untuk melemparkan benda bulat pipih berwarna
kemerahan itu.
Benda kemerahan itu melesat cepat bagai
kilat, langsung menembus kegelapan pagi buta ini. Seketika itu juga, terdengar
jeritan melengking tinggi, disusul ambruknya sesosok tubuh yang keluar dari
dalam semak belukar.
"Hup...!" Pemuda tampan itu
langsung melompat. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya mendarat manis
di dekat sosok tubuh yang tergeletak tak bernyawa. Tampak benda kemerahan itu
tertanam dalam di tenggorokannya. Darah merembes keluar dari tenggorokan yang
tertancap benda berbentuk lempengan itu.
Namun sebelum mayat itu sempat diperiksa,
mendadak dari dalam kegelapan bermunculan beberapa sosok tubuh berbaju putih.
Pemuda tampan berbaju rompi putih itu bergegas melompat ke belakang beberapa
tindak. Semen-tara sosok-sosok tubuh yang bermunculan itu langsung bergerak
membuat lingkaran mengepung. Jumlahnya tidak kurang dari tiga puluh orang, dan
semuanya berseragam putih ketat Masing-masing memegang tombak panjang merah
bermata tiga.
"Siapa kalian...?" tanya pemuda
itu. Namun sebelum mendapat jawaban, pemuda itu kembali dikejutkan oleh
munculnya seorang laki-laki kurus mengenakan jubah longgar berwarna kuning.
Tubuhnya agak bungkuk, disangga sebatang tongkat hitam berkeluk yang tergenggam
di tangannya.
"He... he... he...!" laki-laki tua
berjubah kuning itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Eyang Bangkal...," desis pemuda
berbaju rompi putih itu perlahan. Rupanya dia mengenali laki-laki tua di
hadapannya.
"Kita bertemu lagi, Pendekar Rajawali
Sakti. He... he... he...," laki-laki tua bungkuk yang dikenal bernama
Eyang Bangkal itu kembali terkekeh, yang lebih mirip sebuah seringai.
"Hm...," pemuda berbaju rompi putih
yang memang Pendekar Rajawali Sakti hanya menggumam kecil saja.
Pemuda itu membalas tatapan Eyang Bangkal
dengan tajam pula. Sedikit pun kelopak matanya tidak berkedip. Mereka memang
pernah bertemu, bahkan sempat bentrok di Gunung Gadakan ini.
"Serang...!" tiba-tiba saja Eyang
Bangkal berteriak lantang memberi perintah.
"Hiya...!" "Hiyaaa...!"
Seketika itu juga orang-orang berbaju putih
itu berlompatan menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Tombak mereka berkelebatan
cepat, menusuk ke bagian-bagian tubuh yang mematikan. Sambil berteriak keras
menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti bergerak memutar tubuhnya. Maka seketika
itu juga jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' dikerahkan.
Cepat sekali gerakan yang dilakukan Rangga.
Kedua tangannya bergerak secepat kilat diikuti gerakan tubuh yang meliuk-liuk
dan gerakan kaki yang begitu lincah, cepat luar biasa. Dalam beberapa gebrakan
saja, sudah terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi. Dan kini
tampak beberapa sosok tubuh berbaju putih bergelimpangan di tanah dengan kepala
pecah. Dalam waktu singkat saja, sudah lima orang tergeletak tak bernyawa.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras melengking, pendekar
muda yang selalu mengenakan baju rompi putih itu melentingkan tubuhnya ke
angkasa. Tubuhnya diputar indah sekali di udara, kemudian meluruk deras ke arah
kudanya yang berada di tepi jalan. Manis sekali Pendekar Rajawali Sakti hinggap
di punggung kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu.
"Hieeeghk...!" Dewa Bayu meringkik
keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi.
Rangga mengendalikan kudanya agar bisa
tenang. Sebentar kemudian dipandanginya orang-orang yang berada tidak seberapa
jauh di depan. Dan kini tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung pada
Eyang Bangkal.
"Kau akan menyesal jika terus mencari
urusan denganku, Eyang Bangkal," tegas Rangga, dingin nada suaranya.
"Kau harus dilenyapkan, Pendekar
Rajawali Sakti! Kau selalu menjadi penghalangku...!" geram Eyang Bangkal.
Tapi geraman orang tua itu tidak dihiraukan
sama sekali. Rangga cepat memutar kudanya, dan langsung menggebah dengan
kecepatan tinggi. Kuda hitam itu melesat bagai kilat, hingga dalam sekejap
sudah lenyap dari pandangan mata.
"Jangan lari kau...!" teriak Eyang
Bangkal geram setengah mati.
Tapi bayangan kuda hitam yang ditunggangi
Pendekar Rajawali Sakti itu sudah tidak terlihat lagi. Eyang Bangkal
memaki-maki sambil menghentak-hentakkan tongkatnya ke tanah. Kemudian, matanya
merayapi mayat anak buahnya yang tergeletak di tanah. Sementara itu matahari
mulai menyemburat, mengintip malu-malu. Sinarnya yang kemerahan, begitu lembut
menyapu seluruh permukaan alam ini.
"Ayo kembali!" sentak Eyang Bangkal
kesal. Laki-laki tua bungkuk berjubah kuning itu langsung melesat cepat
meninggalkan tempat itu, diikuti orang-orang berbaju putih pekat. Sebentar saja
tempat itu sudah sunyi. Dan kini hanya tinggal lima sosok mayat yang tergeletak
dengan kepala hancur berantakan.
***
Sampai matahari tepat di atas kepala, Rangga
baru menghentikan lari kudanya. Tampak sebuah sungai yang cukup besar
menghadang di depan. Pendekar Rajawali Sakti itu melompat turun dari punggung
kudanya, lalu berjalan menghampiri sungai yang terlihat jernih airnya itu.
Namun ketika tangannya dicelupkan, mendadak air sungai itu bergolak mendidih
mengepulkan uap tipis kebiruan.
"Akh...!" Rangga memekik keras
tertahan. Buru-buru tangannya diangkat keluar dari dalam sungai. Pendekar
Rajawali Sakti itu melompat mundur dua tindak. Seketika matanya memandangi
tangan yang berubah memerah. Tangannya terasa panas sekali bagai terbakar.
Rangga merasakan panas itu menjalar hingga ke seluruh tubuhnya.
"Uh! Aaakh...!" kembali Rangga
memekik keras tertahan. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu bergetar ketika panas
yang menjalar ke seluruh tubuhnya semakin tak tertahankan lagi. Buru-buru ia
duduk bersila dan menggerak-gerakkan tangannya cepat di depan dada. Lalu kedua
telapak tangannya merapat di depan dada.
"Hap! Hsss...!"
Perlahan Rangga memejamkan mata. Tubuhnya
masih terasa panas dan bergetar, meskipun tidak sehebat tadi. Namun mendadak
saja....
Desss!
Satu tendangan yang bertenaga dalam tinggi,
tiba-tiba mendarat di punggungnya. Seketika tubuhnya terguling beberapa kali di
tanah. Sebelum Pendekar Rajawali Sakti itu sempat bangkit, satu tendangan yang
sangat keras dari penyerang gelap itu kembali tiba. Dan kemudian, beberapa
tendangan lagi susul-menyusul menghajar tubuhnya, tanpa sedikit pun dia mampu
menghindar. Pada saat itu Pendekar Rajawali Sakti benar-benar tidak berdaya
melawan rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya. Sehingga tidak mampu
melawan sama sekali. Rangga merasakan pepohon di sekelilingnya berputar.
Kemudian dia pun tak ingat apa-apa lagi. Pingsan! Tak lama setelah itu,
bermunculan orang-orang berjubah putih yang wajahnya tertutup tudung berbentuk
kerucut.
"Angkat dia," perintah orang yang
membokong Pendekar Rajawali Sakti tadi. Dua orang bergerak maju, lalu
mengangkat tubuh Rangga yang sudah tidak sadarkan diri. Dada yang ber-gerak
lemah turun naik, menandakan kalau pemuda berbaju rompi putih itu masih hidup.
Tanpa banyak bicara lagi, lima orang berjubah putih panjang hingga menggeser
tanah itu bergerak meninggalkan tepian sungai. Salah seorang sempat melemparkan
sebuah benda berbentuk seperti bola yang besarnya sekepalan tangan ke arah
sungai. Bola berwarna keperakan itu langsung melesak begitu menyentuh permukaan
air sungai.
Suara ledakannya terdengar menggelegar,
membuat bumi yang dipijak berguncang dahsyat. Namun getaran dan ledakan itu
tidak membuat lima orang berjubah putih panjang itu menghentikan ayunan
langkahnya. Mereka terus melangkah menembus kelebatan hutan.
Kuda Dewa Bayu yang semenjak tadi
memperhatikan majikannya dibuat tak berdaya, segera meringkik keras sambil
menengadahkan kepalanya. Sesaat kemudian, kuda hitam itu berlari cepat bagaikan
anak panah melesat dari busur. Begitu cepatnya binatang liu berlari, sehingga
dalam waktu singkat sudah lenyap dari pandangan mata.
***
Sementara itu, kuda hitam tunggangan Pendekar
Rajawali Sakti sudah sampai di perbatasan gerbang Kotaraja Karang Setra. Kuda
yang bernama Dewa Bayu itu terus berpacu cepat menuju istana kerajaan yang
berada di tengah-tengah pusat kota. Orang-orang yang melihat kuda itu berlari
cepat tanpa penunggang, jadi bertanya-tanya. Bahkan dua orang prajurit penjaga
pintu gerbang istana, buru-buru membuka pintu begitu melihat kuda tunggangan
rajanya kembali tanpa ada orangnya.
Hanya saja para prajurit itu tidak terkejut
lagi melihat Dewa Bayu kembali sendiri tanpa Pendekar Rajawali Sakti. Memang
sudah sering kuda itu keluar masuk sendirian. Bahkan bisa lebih satu purnama
kuda itu menghilang, kemudian tiba-tiba muncul lagi tanpa penunggang, meskipun
punggungnya terpasang pelana. Namun kehadiran kuda hitam yang kelihatannya
terburu-buru itu tidak seperti biasanya.
"Hieeeghk...!" Kuda hitam itu
langsung meringkik keras begitu tiba di depan istana. Beberapa prajurit yang
kebetulan bertugas di sana, tentu saja terkejut, karena kuda itu kelihatan liar
sekali. Binatang itu melonjak-lonjak sambil meringkik keras. Beberapa kali
diangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil meringkik keras.
Keributan di depan istana itu membuat semua
orang yang berada di dalam, berlarian keluar. Tampak Danupaksi dan Cempaka juga
bergegas berlari ke luar. Mereka ter-kejut melihat tingkah laku Dewa Bayu.
Sejenak mereka saling berpandangan. Sementara sekitar dua puluh orang prajurit
sudah mengelilingi kuda itu dengan tambang tergenggam di tangan.
"Mau apa kalian di situ...?
Minggir...!" bentak Cempaka keras.
Para prajurit langsung membungkukkan badannya
memberi hormat, lalu bergegas menyingkir jauh. Cempaka melangkah tegap
menghampiri kuda hitam yang mendengus-dengus seraya menganggukkan kepalanya
berulang-ulang. Sedikit demi sedikit, Cempaka mendekati kuda hitam itu.
Melihat Cempaka menghampiri, Dewa Bayu
berangsur jinak. Kakinya melangkah menghampiri gadis berbaju merah muda ketat
yang dihiasi beberapa sulaman benang emas pada bahunya. Kuda hitam itu
menyorongkan kepalanya pada Cempaka yang langsung memeluk penuh kasih sayang.
"Ada apa, Dewa Bayu?" tanya Cempaka
lembut seraya membelai-belai kepala kuda hitam pekat berkilat itu.
Dewa Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan
kakinya dihentak-hentakkan ke tanah. Cempaka yang berusaha untuk mengerti
isyarat kuda itu, jadi kebingungan sendiri. Memang tidak ada yang bisa mengerti
isyarat yang diberikan Dewa Bayu selain Pendekar Rajawali Sakti.
Menyadari kalau Cempaka kebingungan, kuda itu
menggigit ujung baju gadis itu. Segera diseretnya Cempaka hingga ke dekat
punggung. Kemudian kuda itu merendahkan tubuhnya, lalu kepalanya menoleh ke
belakang. Dan dengan ujung moncongnya, ditepuk-tepuknya punggungnya sendiri.
"Kau menyuruhku naik...?" tanya
Cempaka dengan kening berkerut dalam.
Kuda hitam itu terangguk-angguk.
"Ah, tidak.... Aku tidak berani
menunggangimu," tolak Cempaka seraya bergerak mundur.
Tapi kuda itu lebih cepat menggigit ujung
baju gadis itu. Kembali Cempaka jadi kebingungan juga. Belum ada seorang pun
yang menunggangi kuda ini, yang memang tidak bisa ditunggangi siapa pun. Dia akan
lebih liar daripada kuda liar yang ada di bukit, jika ada orang yang tidak
dikenal berusaha menungganginya.
"Baik.... Baik, tapi aku tidak mau
bertanggung jawab. Kau yang menyuruhku, Dewa Bayu," kata Cempaka menyerah.
Cempaka segera naik ke punggung kuda hitam
itu, sambil memegangi tali kekangnya. Tapi belum juga sempurna duduknya di
punggung kuda itu, mendadak saja Dewa Bayu meringkik keras dan langsung melesat
cepat keluar dari halaman depan Istana Karang Setra.
"Aaah...!" Cempaka menjerit
terkejut. Buru-buru tali kekang kuda itu dipegangi erat-erat. Sementara para
prajurit yang menyaksikan, bergegas menghadang sebelum kuda itu mencapai pintu
gerbang. Tapi kuda itu malah melompat tinggi, melewati barisan kepala para
prajurit. Cempaka sampai berteriak karena merasa ciut hatinya berada di
punggung kuda ini.
"Buka pintunya...!" teriak Cempaka
keras. Dua prajurit penjaga pintu gerbang itu malah berdiri tegak, sambil
mengarahkan ujung tombak ke depan. Cempaka jadi geram. Padahal, kuda ini
sebentar lagi sampai. Tapi, mendadak saja Dewa Bayu melompat tinggi.
"Aaah...!" jerit Cempaka
melengking. Bukan hanya Cempaka saja yang merasa ngeri. Bahkan semua prajurit
dan pembesar istana yang menyaksikan harus menahan napas. Kuda Dewa Bayu
tunggangan Pendekar Rajawali Sakti itu melompat tinggi, dan terus meluncur melewati
gerbang istana yang tinggi. Sebentar kemudian, kuda itu menghilang di balik
benteng yang mengelilingi bangunan istana.
"Siapkan kudaku, cepat...? Kejar kuda
itu...!" teriak Danupaksi menggelegar.
Sebentar saja, pintu gerbang terbuka tebar.
Maka dari arah samping istana sebelah kanan, berhamburan sekitar lima puluh
prajurit dan dua tamtama serta seorang panglima memacu kudanya dengan cepat
keluar dari istana ini. Danupaksi sendiri langsung melompat ke punggung kuda
putihnya begitu seorang pengurus kuda datang membawa tunggangannya. Langsung
saja pemuda itu menggebah cepat kudanya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
***
TIGA
Cempaka memegangi tali kekang kuda hitam itu
kuat-kuat. Tubuhnya terguncang-guncang mengikuti irama derap kaki kuda yang
berlari cepat bagai terbang saja. Sama sekali kuda hitam tunggangan kakak
tirinya itu tidak bisa dikendalikan. Kuda hitam yang bernama Dewa Bayu itu
terus berlari seperti tak mempedulikan raut wajah Cempaka yang pucat pasi.
Meskipun gadis itu memiliki tingkat kepandaian tinggi, tapi belum pernah
menunggang kuda demikian cepat.
"Pelankan larimu, Dewa Bayu...!"
seru Cempaka keras di dekat telinga kuda hitam itu.
Tapi permintaan gadis itu tidak dipedulikan
sama sekali. Dewa Bayu terus berlari kencang, membuat kepulan debu di angkasa.
Cempaka berpaling ke belakang, agar berharap ada yang mengikutinya. Ternyata
itu hanya sia-sia belaka, karena tak ada seorang prajurit pun yang terlihat
menyusulnya. Dan disadari betul kalau kecepatan lari kuda ini tidak ada
tandingannya. Meskipun ada prajurit yang mengejar, tapi tidak akan mungkin bisa
menyusul. Jangankan menyusul. Mendekat saja tidak akan mungkin. Cempaka jadi
pasrah. Diturutinya saja, ke mana kuda ini membawa pergi. Namun pegangannya
pada tali kekang kuda hitam ini tidak ingin dikendorkan.
"Kau akan membawaku ke mana...?"
tanya Cempaka sambil mengurangi rasa takutnya.
Kuda hitam itu terus saja berlari,
seakan-akan tidak mendengar suara penunggangnya yang begitu keras, mengalahkan
suara derap langkah kakinya. Memang cukup jauh perjalanan yang ditempuh.
Setelah melewati Kaki Gunung Gadakan, kuda itu memutari kaki gunung ini, dan
terus menuju ke arah bukit yang bersebelahan dengan gunung ini. Kuda itu baru
berhenti setelah sampai di tepi sungai yang cukup besar dan berair jernih.
Sungai itu bagaikan sebuah pembatas antara Gunung Gadakan dengan bukit di
seberang sana.
"Hup!" Cempaka langsung saja
melompat turun dari punggung kuda hitam itu. Sebentar dipandanginya sungai yang
terbentang di depannya, kemudian beralih pada kuda hitam yang mendengus-dengus
sambil menghentak-hentakkan kakinya di tanah berumput berbatu kerikil. Sebentar
Cempaka mengamati kuda hitam itu, lalu meng-hampirinya.
"Ada apa?" tanya Cempaka.
Kuda hitam itu masih mendengus-dengus
menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Sejenak Cempaka mengamati kuda
itu, kemudian mengarahkan pandangan-nya pada tanah berumput yang dipenuhi
kerikil itu. Kelopak matanya agak terbeliak, begitu melihat kerikil itu
berwarna merah dan rerumputan di sekitarnya hangus bagai terbakar. Namun yang
lebih mengejutkan lagi, di antara batu-batu kerikil itu tercecer untaian kalung
berbentuk segitiga yang memiliki beberapa lingkaran di tengah-tengahnya.
Cempaka memungut kalung itu, dan memandanginya beberapa saat.
"Kakang Rangga...," desis Cempaka
sambil memandangi sekitar tepian sungai ini. Kini diyakini kalau Rangga
mendapatkan kesulitan. Pantas saja Dewa Bayu membawanya ke sini. Dan dengan
ditemukannya kalung segitiga yang memiliki beberapa lingkaran di tengah itu,
Cempaka semakin yakin kalau Rangga membutuhkan pertolongan.
Meskipun Pendekar Rajawali Sakti memiliki
kepandaian tinggi, namun bagaimanapun juga tetap manusia biasa. Dan tak seorang
pun di dunia ini yang memiliki kesempurnaan dalam hal ilmu olah kanuragan dan
kesaktian. Cempaka semakin menajamkan penglihatannya, mengamati tanah berumput
yang banyak kerikil itu.
"Hm...," Cempaka menggumam kecil
ketika melihat ada jejak kaki pada rerumputan yang kelihatannya masih baru.
Tanpa ragu-ragu lagi, gadis itu mengikuti jejak-jejak kaki yang tertera cukup
jelas di tanah berumput kering ini. Sedangkan Dewa Bayu mengikuti dari
belakang. Kuda itu mendengus-dengus, dan kaki depannya selalu
dihentak-hentakkan saat melangkah mengikuti ayunan kaki Cempaka di depannya.
"Sebaiknya kau tunggu saja di sini, Dewa
Bayu. Mudah-mudahan ada prajurit yang datang," kata Cempaka.
Kuda hitam itu mendengus kecil, kemudian
tidak lagi mengikuti gadis itu. Sedangkan Cempaka terus mengayunkan kakinya
perlahan-lahan mengikuti jejak yang tertera jelas di tanah berumput. Gadis itu
berjalan dengan kepala tertunduk agak dalam. Matanya tidak berkedip mengamati
jejak-jejak yang ditelusurinya.
"Hm..., jejak ini berhenti di
sini," gumam Cempaka saat tidak melihat jejak lagi.
Jejak langkah kaki itu memang terputus tepat
di tengah hutan yang tidak seberapa lebat ini. Cempaka mengangkat kepalanya,
lalu pandangannya beredar ke sekeliling. Tak ada lagi petunjuk, ke mana jejak
itu menuju. Sedangkan tempat ini hanya dipenuhi pepohonan besar dan kecil serta
semak belukar yang kelihatannya sudah mengering.
Namun belum juga gadis itu memperoleh
petunjuk, mendadak terdengar suara mendesing dari arah samping kanan. Cepat
sekali Cempaka menarik tubuhnya ke belakang ketika melihat seberkas cahaya
kemerahan berkelebat deras ke arahnya. Kilatan cahaya itu lewat sedikit di
depan tubuhnya. Namun, gadis itu merasakan adanya hawa panas yang sangat
menyengat ketika benda ber-warna merah itu lewat.
"Hup...!"
Buru-buru Cempaka melentingkan tubuhnya ke
belakang sambil berputaran dua kali. Namun baru saja kakinya mendarat, mendadak
sebuah bayangan putih berkelebat cepat menyambar ke arahnya.
"Hup! Yeaaah...!"
Cempaka bergegas melompat kembali ke
belakang, lalu memutar tubuhnya beberapa kali ketika melihat bayangan keperakan
berkelebatan di sekitar tubuhnya. Adik tiri Pendekar Rajawali Sakti itu tak
sempat lagi memperhatikan. Karena, belum sempat menarik napas panjang, muncul
lagi satu bayangan putih yang langsung menyerangnya pula.
"Hup! Hiyaaa...!"
Kembali Cempaka melentingkan tubuhnya ketika
cahaya keperakan berkelebat mengarah ke kakinya. Gerakan tubuh gadis itu
sungguh ringan, sehingga tahu-tahu sudah di atas dahan pohon. Kini Cempaka
dapat melihat jelas kalau di bawahnya ada dua orang berpakaian putih panjang
hingga ke kaki. Seluruh kepalanya tertutup kain berbentuk kerucut. Sehingga
mukanya tidak begitu jelas terlihat, karena penutup kepala itu cukup besar.
"Hap...!"
Cempaka langsung melentingkan tubuhnya ketika
secercah cahaya merah kembali meluncur deras ke arahnya. Beberapa kali gadis
itu berjumpalitan di udara, kemudian manis sekali mendarat di tanah, berjarak
sekitar dua batang tombak dari dua orang berbaju putih itu.
Namun sebelum Cempaka bisa melakukan sesuatu,
dua orang berpakaian aneh itu kembali menyerangnya. Sungguh aneh! Mereka
bertarung tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. Bahkan setiap gerakannya sangat
halus, sehingga tak terdengar suara sedikitpun. Padahal bajunya lebar dan
panjang berkibaran tersapu angin.
Bet!
Cempaka tersentak ketika tiba-tiba saja salah
seorang mengebutkan tangannya. Bergegas gadis itu melompat ke samping. Namun
pada saat itu, seorang lagi sudah ber-gerak cepat seraya melepaskan pukulan
bertenaga dalam cukup tinggi.
Deghk!
"Akh...!" Cempaka terpekik agak
tertahan. Pukulan orang berbaju putih aneh itu tidak bisa dihindari lagi, dan
tepat menghantam bahu kanan Cempaka. Akibat-nya gadis itu terhuyung-huyung ke
belakang. Pada saat itu, salah seorang mengeluarkan tambang dari balik lipatan
bajunya.
Sambil melompat cepat, orang berbaju putih
itu melemparkan tambangnya. Dengan cepat ujung tambang itu ditangkap oleh
kawannya. Seketika mereka bergerak cepat memutari tubuh Cempaka yang tidak bisa
berbuat apa-apa. Dan kini tahu-tahu tubuhnya sudah terlilit tambang. Cempaka
tidak bisa menguasai keseimbangan tubuhnya lagi, kemudian jatuh tersuruk. Tanpa
berbicara sedikit pun, dua orang berpakaian putih aneh itu langsung berlari
masuk ke hutan menyeret tubuh Cempaka yang tak berdaya terlilit tambang. Gadis
itu meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun jeratan tambang itu kuat
sekali.
"Akh...!" Cempaka memekik tertahan
ketika sebongkah batu besar membentur kepalanya.
Seketika itu juga Cempaka tak sadarkan diri.
Tubuh gadis itu terus diseret ke dalam hutan. Namun, yang jelas gadis itu tak
tahu, ke mana dirinya dibawa pergi.
***
Sementara itu di tepian sungai, Danupaksi
baru saja sampai bersama beberapa orang prajurit dan panglima. Pemuda itu
langsung melompat turun dari punggung kuda begitu melihat kuda hitam tunggangan
Pendekar Rajawali Sakti berada sendirian di tepi sungai itu. Binatang itu
mendengus-dengus seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Bergegas Danupaksi
menghampiri kuda itu.
"Dewa Bayu, di mana Cempaka?" tanya
Danupaksi.
Kuda hitam itu mendengus-dengus seraya
menghentak-hentakkan kaki depannya ke tanah. Danupaksi langsung memandang ke
tanah. Keningnya berkerut ketika melihat tanah berumput itu banyak terdapat
jejak kaki yang masih baru.
"Kalian ikuti jejak ini...!" seru
Danupaksi memberi perintah.
Perintah adik tiri Pendekar Rajawali Sakti
itu diteruskan oleh dua orang panglima kepada para prajuritnya. Serentak mereka
melaksanakan perintah, langsung bergerak mengikuti jejak yang tertera cukup
jelas di tanah berumput kering ini. Sedangkan Danupaksi sendiri berjalan di
depan. Tidak dipedulikan lagi kudanya yang ditinggal di tepi sungai. Seorang
prajurit bergegas mengambil kuda pemuda itu dan menuntunnya.
Sementara Dewa Bayu mengayunkan langkahnya
mengikuti Danupaksi dari belakang. Jejak yang tertera di tanah berumput itu
demikian jelas terlihat, sehingga mereka bisa cepat bergerak. Sebentar saja
mereka sudah sampai di dalam hutan. Di tempat ini, jejak-jejak itu semakin
nyata. Terutama di tempat Cempaka bertarung melawan dua orang berbaju putih
yang berbentuk aneh.
"Hm...!" Danupaksi menggumam dengan
kening agak berkerut. Pemuda yang mengenakan baju warna putih itu langsung
mengetahui kalau di tempat ini baru saja berlangsung pertarungan. Danupaksi
jadi cemas, karena tidak menemukan adik tirinya di sini. Sedangkan jejak yang
ditemukannya sangat jelas terlihat.
"Ke sini...!" Tiba-tiba salah
seorang prajurit berseru keras. Seketika itu juga Danupaksi menghampiri
prajurit itu. Matanya terbeliak begitu melihat rerumputan patah-patah, hampir
rata dengan tanah. Danupaksi semakin bertambah cemas. Jelas sekali kalau itu
adalah bekas-bekas seseorang yang terseret. Dengan hati diliputi kecemasan yang
amat sangat, Danupaksi bergegas melangkah cepat mengikuti alur jejak yang
begitu jelas tertera di tanah. Jejak itu semakin jauh masuk ke hutan.
"Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa
dengan dirimu, Cempaka...," desah Danupaksi dalam hati.
"Awas...!" tiba-tiba salah seorang
panglima yang berjalan di belakang Danupaksi, berteriak keras.
Begitu Danupaksi mengangkat kepalanya, tampak
sebuah sinar kemerahan meluncur deras ke arahnya.
"Hup!" Buru-buru tubuh pemuda itu
dimiringkan ke kanan, maka benda berwarna kemerahan itu langsung melesat lewat
sedikit di depan dadanya. Hanya saja, sayangnya benda kemerahan itu menghantam dada
salah seorang prajurit yang berada di belakang Danupaksi. Prajurit yang sial
itu menggeletar beberapa saat, kemudian ambruk di tanah. Sebentar kemudian dia
telah kehilangan nyawanya. Dadanya berlubang tertembus benda berwarna kemerahan
tadi. Tampak darah mengucur deras dari dadanya.
"Waspada...!" seru Danupaksi. Namun
seruan pemuda berbaju putih itu, langsung disambut oleh munculnya orang-orang
berpakaian aneh berwarna putih. Ada enam orang, tapi wajah mereka tidak
terlihat jelas. Seluruh kepala mereka terselubung kain putih berbentuk kerucut
yang menyatu dengan jubahnya.
Dan sebelum Danupaksi dan para prajuritnya
bisa berbuat sesuatu, lima orang berpakaian serba putih itu langsung bergerak
cepat tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Satu orang menerjang Danupaksi,
sedangkan lima orang lainnya menyerang para prajurit yang masih diliputi
keterkejutan. Seketika itu juga terdengar jeritan melengking tinggi, disusul
bergelimpangannya tubuh-tubuh prajurit. Sungguh luar biasa!
Dalam sekali gebrak saja, sudah sepuluh orang
prajurit yang tewas dengan dada dan leher terkoyak lebar. Sementara Danupaksi
tidak sempat lagi memperhatikan para prajuritnya. Karena, pemuda itu sendiri
sibuk menghadang serangan-serangan yang dilancarkan orang berjubah putih
panjang dan longgar itu. Sementara jeritan-jeritan melengking tinggi, semakin
sering terdengar menyayat.
"Keparat..!" geram Danupaksi ketika
sempat melirik ke arah para prajuritnya.
Bagaimana tidak geram? Karena dalam waktu
sebentar saja, sudah lebih dari separuh prajuritnya bergelimpangan tak
bernyawa. Darah menggenang membanjiri tanah berumput kering di hutan ini. Lima
orang berpakaian putih aneh itu, sangat cepat gerakannya. Sehingga para
prajurit tidak sempat lagi berbuat banyak.
Sesaat Danupaksi lengah. Maka kelengahan ini
membuat dirinya celaka. Pemuda berbaju putih ketat itu tidak menyadari ketika
lawannya mendaratkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke dada. Tubuh
Danupaksi terhuyung-huyung ke belakang seraya mendekap dada yang mendadak sesak
dan nyeri sekali. Tulang-tulang dadanya seakan-akan patah terkena pukulan
bertenaga dalam tinggi tadi. Selagi Danupaksi terjajar, orang berpakaian aneh
itu, sudah melompat cepat bagai kilat menerjang pemuda itu.
"Cukup...!" tiba-tiba saja
terdengar bentakan keras.
Seketika orang-orang berbaju putih itu
langsung menghentikan serangannya. Mereka langsung melompat mundur, berdiri
berjajar dengan kepala agak tertunduk seperti sengaja menyembunyikan wajahnya.
Danupaksi yang dadanya masih terasa nyeri dan sesak, mencoba memperhatikan raut
wajah seorang laki-laki muda berpakaian warna putih ketat. Pemuda yang baru
muncul itu berdiri tegak di atas sebongkah batu yang cukup besar. Danupaksi
agak bergidik juga melihat wajah yang sebenarnya tampan, namun dirusak oleh
luka memanjang yang membelah pipi kanannya.
"Danupaksi! Jika kau mencari Cempaka,
aku akan membebaskannya setelah dia menjalani hukuman kelancangannya memasuki
wilayahku tanpa ijin. Tapi jika hendak mencari Rangga, maka yang kau dapatkan
hanya kematian...!" lantang dan tegas sekali kata-kata pemuda itu.
Danupaksi ingin berkata, tapi dadanya terasa.
Seakan-akan kata-katanya berubah menjadi desahan. Namun, pandangan matanya
begitu tajam menusuk ke bola mata pemuda berbaju putih dengan luka codet yang
membelah pipi kanannya. Dan belum sempat Danupaksi bersuara, pemuda itu
langsung melesat, lenyap bagai tertelan bumi. Pada saat yang sama, enam orang
berpakaian aneh berwarna putih itu juga menghilang tak tahu ke mana. Begitu
cepatnya bergerak, sehingga tak ada seorang pun yang bisa mengetahui kepergian
mereka.
"Uh...!" Danupaksi mendengus,
menghembuskan napas panjang. Sakit di dadanya begitu mengganggu sekali. Paling
tidak dibutuhkan waktu satu hari penuh untuk bersemadi agar kesehatannya pulih.
Pemuda itu memandangi para prajuritnya yang tinggal tujuh orang. Sementara
seorang panglimanya tewas. Tanpa berkata apa-apa lagi, Danupaksi mengayunkan
kakinya meninggalkan tempat itu.
Sisa prajurit itu bergerak lesu mengikuti
Danupaksi. Begitu banyak yang tewas, dan Danupaksi tidak ingin mengambil risiko
terlalu tinggi. Paling tidak, dia sudah mengetahui kalau Rangga dan Cempaka
kini menjadi tawanan seorang pemuda bermuka codet yang tidak diketahuinya.
"Aku harus mencari cara untuk bisa
membebaskan mereka," tekad Danupaksi dalam hati.
***
EMPAT
Cempaka menggeliatkan tubuhnya sambil
merintih lirih. Perlahan-lahan kelopak matanya terbuka, lalu dikerjapkan
sebentar. Dan kini matanya kembali terbuka lebar. Gadis itu mengedarkan
pandangannya berkeliling. Baru disadari kalau dirinya berada di suatu ruangan
sempit yang seluruh dindingnya dari batu hitam yang berlumut tebal.
"Oh...," Cempaka kembali merintih
lirih ketika sadar kalau kedua tangan dan kakinya terikat rantai kuat-kuat.
Gadis itu hanya bisa terbaring menelentang,
karena lehernya juga terikat rantai yang menyatu dengan pembaringan batu yang
ditidurinya. Cempaka hanya bisa menggerak-gerakkan kepala saja. Itu pun tidak
terlalu bebas. Belenggu yang menjerat leher, membuat kebebasannya jadi sangat
terbatas.
Cempaka berusaha mengingat-ingat peristiwa
yang dialaminya. Yang diingat, dirinya diseret oleh orang ber-pakaian aneh.
Kepalanya sempat terantuk batu, selanjutnya dia tidak sadarkan diri.
"Mungkin inilah sarang manusia-manusia
aneh itu...," gumam Cempaka dalam hati. "Tapi..., apakah Kakang
Rangga juga ada di sini...?"
Cempaka belum bisa menjawab pertanyaannya
sendiri ketika terdengar suara berderit. Gadis itu sedikit memalingkan mukanya.
Dari sudut ekor mata, dia bisa melihat pintu ruangan sempit ini terbuka
perlahan-lahan.
Dari balik pintu besi baja hitam itu, muncul sosok
berpakaian putih yang bentuknya aneh. Orang itu berjalan perlahan menghampiri
Cempaka yang terbaring dengan tangan, kaki, dan leher terbelenggu rantai. Orang
ber-pakaian serba putih panjang dan longgar itu berdiri tepat di samping
Cempaka. Tidak mudah untuk mengenali, karena kerudung berbentuk kerucut yang
dikenakan menutupi hampir seluruh kepalanya.
"Seharusnya kau tidak perlu datang ke
sini, Cempaka," ujar orang itu.
Meskipun Cempaka sudah berusaha melihat,
tetap saja tidak bisa dikenalinya wajah yang berada di balik kerudung berbentuk
aneh itu.
"Siapa kau?" tanya Cempaka dengan
suara yang agak tajam.
"Sayang sekali, saat ini aku tidak bisa
menunjukkan jati diriku padamu, Cempaka," sahut orang itu. "Tapi aku
sangat menyesalkan atas tindakanmu yang gegabah."
Cempaka diam saja. Matanya disipitkan
berusaha untuk bisa melihat jelas wajah orang berkerudung putih itu, tapi hanya
kegelapan saja yang tampak. Sepertinya wajah orang ini terselubung kain hitam
di balik kerudung putihnya.
"Kau akan kulepaskan jika bersedia
berjanji untuk tidak kembali lagi ke sini. Terlebih lagi mencari Rangga,"
ada sedikit tekanan pada suaranya ketika menyebut nama Rangga.
"Di mana Kakang Rangga?!" tanya
Cempaka, agak keras suaranya.
"Aku tidak bisa menjelaskannya padamu,
Cempaka. Yang perlu kau ketahui tidak lama lagi Rangga akan mati!"
"Tidak mungkin...!" desis Cempaka
menggeram. "Tidak mungkin kau dan teman-temanmu bisa menghadapinya!"
"Bicaralah sepuasmu, Cempaka. Nanti kau
akan melihat mayatnya saja."
"Biadab...! Lepaskan aku! Biar kubunuh
kau...!" teriak Cempaka berang.
Orang berpakaian aneh itu hanya diam saja.
Beberapa saat dia hanya berdiri mematung, kemudian tubuhnya berbalik dan
berjalan meninggalkan ruangan itu.
"Lepaskan aku...! Kubunuh kau...!"
teriak Cempaka berapi-api. Cempaka benar-benar berang setelah mendengar kalau
orang-orang aneh itu akan melenyapkan Rangga selama-selamanya.
"Aku harus keluar dari tempat ini.
Mereka tidak boleh membunuh Kakang Rangga...!" desis Cempaka.
Tapi begitu menyadari dirinya terbelenggu,
gadis itu mendesah panjang dan berat. Tidak mungkin Cempaka bisa melepaskan
diri dari belenggu ini. Rantai yang membelenggu tangan, kaki, dan lehernya
begitu kuat. Namun Cempaka berusaha melepaskan belenggu itu dengan mengerahkan
kekuatan tenaga dalamnya.
"Uh...!" Cempaka mendengus kencang.
Meskipun seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan, tapi rantai yang
membelenggunya tetap sulit diputuskan. Bahkan pergelangan tangannya kini terasa
sakit sekali. Kini Cempaka menghentikan usahanya. Keringat sudah membanjiri
sekujur tubuhnya yang terbelenggu.
***
Entah sudah berapa lama Cempaka berada dalam
ruangan batu yang sempit ini. Yang pasti, tubuhnya terasa semakin lemas.
Sedikit pun tak ada makanan atau air masuk ke mulutnya. Dia juga tidak tahu
apakah hari sudah berganti atau belum. Ruangan batu ini tidak ada lubang
sedikit pun, sehingga terasa pengap. Hanya sebuah pelita kecil yang menerangi
ruangan ini. Sama sekali tak ada cahaya matahari masuk ke dalam ruangan ini.
Krieeet!
Cempaka memalingkan kepalanya sedikit ketika
pintu yang terbuat dari besi baja hitam itu terbuka. Sebentar kemudian muncul
seorang laki-laki muda mengenakan baju ketat warna putih, diiringi enam orang
berpakaian aneh yang berwarna putih juga. Mereka menghampiri, lalu berdiri
mengelilingi altar batu yang di atasnya terbaring tak berdaya tubuh ramping
berbaju merah muda yang berhiaskan sulaman benang emas pada bagian bahunya.
Trek!
Laki-laki muda yang pipi kanannya terdapat
luka membentuk garis memanjang itu, menjentikkan ujung jarinya. Dua orang
berpakaian aneh berwarna putih, seketika bergerak mendekati Cempaka. Kemudian
mereka membuka belenggu yang mengikat tangan, kaki serta leher gadis itu. Dan
sebelum Cempaka merasakan kebebasan, mendadak salah seorang menggerakkan jari
tangannya beberapa kali. Seketika itu Cempaka merasakan tubuhnya semakin lemas,
kemudian tidak sadarkan diri lagi.
"Bawa gadis ini ke dalam hutan, dan
tinggalkan di sana," perintah pemuda yang mukanya terdapat luka codet di
pipi kanan itu.
Tak ada yang bersuara sedikit pun. Dua orang
segera menggotong tubuh Cempaka dan membawanya keluar. Dua orang lagi mengikuti
dari belakang. Sedangkan sisanya masih berada di ruangan itu bersama pemuda
yang mengenakan baju putih ketat. Mereka kemudian meninggalkan ruangan itu
setelah empat orang yang membawa Cempaka sudah tidak terlihat lagi. Pintu baja
hitam kembali tertutup rapat, saat ruangan batu itu kosong.
***
Siang itu udara begitu panas. Matahari
bersinar terik, tanpa awan yang menghalangi. Cempaka merintih lirih ketika
terasa adanya sesuatu yang dingin melekat di keningnya. Perlahan-lahan kelopak
mata gadis itu terbuka. Ketika matanya melihat seraut wajah yang tidak
dikenalnya sama sekali, dia langsung menggerinjang bangkit duduk.
"Siapa kau? Mengapa aku ada di
sini...?" tanya Cempaka seraya memandangi pemuda berbaju biru tua yang
duduk tidak jauh di depannya.
"Namaku Palaka. Dirimu kudapatkan tengah
tak sadarkan diri di hutan ini," jelas pemuda berbaju biru tua itu.
Suaranya lembut, diiringi senyuman.
"Ohhh...," Cempaka mendesah panjang
seraya memegangi keningnya yang terasa agak pening.
Gadis itu mencoba kembali mengingat-ingat apa
yang telah terjadi pada dirinya. Ya...! Kini dia ingat kalau sebelumnya berada
di suatu tempat yang pengap dan sempit. Kemudian, Cempaka tidak tahu lagi
kelanjutannya, karena langsung tidak sadarkan diri ketika belenggunya dibuka setelah
mendapat beberapa totokan pada dadanya. Kini dia berada di dalam hutan bersama
seorang pemuda yang tidak dikenal sama sekali. Cempaka memandangi pemuda
berbaju biru yang mengaku bemama Palaka itu.
"Berapa lama aku tidak sadarkan
diri?" tanya Cempaka. Kali ini suaranya tidak lagi ketus.
"Lumayan juga. Semalaman kau tidak
sadar. Dan baru tengah hari begini kau sadar," jawab Palaka.
"Ohhh...," lagi-lagi Cempaka
mengeluh lirih. Gadis itu merasakan perutnya melilit, minta diisi. Tubuhnya
menggeliat sambil meringis, menahan rasa perih yang mendadak saja menyerang,
setelah mengetahui kalau semalaman tidak sadarkan diri.
"Kenapa? Sakit..?" tanya Palaka
melihat gadis itu meringis sambil menggeliatkan tubuhnya.
"Tidak...," sahut Cempaka seraya
meringis sambil menekan perutnya.
"Lalu...?"
"Lapar," sahut Cempaka yang sudah
tidak dapat bertahan lagi.
"Ha... ha... ha...!" Palaka tertawa
terbahak-bahak.
Sedangkan Cempaka memberengut saja, tapi
akhirnya tertawa juga. Palaka mengambil buntalan kain lusuh yang berada di
belakang tubuhnya, kemudian menyodorkannya pada Cempaka. Tentu saja gadis itu
jadi keheranan. Dipandanginya Palaka dalam-dalam.
"Ada bekal di situ. Makan saja,"
jelas Palaka.
Cempaka mengambil buntalan kain itu, kemudian
membuka ikatannya. Kembali dipandanginya Palaka yang tersenyum-senyum saja. Ada
beberapa bungkusan daun waru di dalam buntalan kain ini. Palaka mengulurkan
tangannya, kemudian mengambil satu bungkus. Cempaka jadi bengong, karena Palaka
langsung membuka bungkusan daun waru itu. Ternyata, di dalamnya berisi nasi dan
lauk. Melihat Palaka begitu nikmat makannya, Cempaka meng-ambil sebungkus. Kini
mereka mulai menikmati makanan itu.
"Kenapa banyak sekali
bungkusannya?" tanya Cempaka melihat ada lima bungkus bekal yang dibawa
Palaka.
"Semalaman kau tidak sadarkan diri
Apalagi aku tidak tahu, sudah berapa hari kau berada di sini. Pasti perutmu
lapar sekali," sahut Palaka seenaknya.
Cempaka tersenyum-senyum saja. Meskipun
sehari-harinya tinggal di dalam lingkungan istana, tapi makan di atas daun dan
duduk di tanah berumput begitu terasa nikmat sekali. Terlebih lagi, perutnya
memang kosong. Tidak terasa Cempaka sudah menghabiskan dua bungkus nasi itu.
"Ambil saja lagi kalau kurang,"
kata Palaka menawarkan.
"Sudah cukup. Terima kasih makannya,"
sahut Cempaka.
"Kalau kau suka arak, minum saja. Guci
itu masih penuh."
Lagi-lagi Cempaka tersenyum. Dalam hatinya
mengatakan kalau pemuda itu itu baik dan juga ramah sekali. Tanpa malu-malu
lagi, diambilnya guci arak itu dan lalu dibuka tutupnya. Sedikit arak itu
ditenggak, kemudian disodorkan pada Palaka. Pemuda berbaju biru tua itu
menerima dan langsung menenggaknya. Cempaka mem-perhatikan jakun pemuda itu
yang turun naik pada saat tenggorokannya dilewati cairan mak manis itu.
"Kau berasal dari Desa Gadakan,
ya?" tanya Cempaka.
"Bukan," sahut Palaka.
"Kupikir kau berasal dari sana. Habis,
arak itu berasal dari sana, sih. Dan lagi, aku bisa membedakan arak dan tempat
asalnya," jelas Cempaka.
"Aku memang beli dari sana. Tidak jauh
dari sini," sahut Palaka lagi.
"Lalu, kau berasal dari mana?"
tanya Cempaka ingin tahu.
"Dari Lembah Teratai," sahut Palaka
lagi.
"Lembah Teratai...?!" Cempaka
tersentak mendengar nama lembah itu.
"Benar, kenapa...? Tampaknya kau
terkejut sekali mendengar lembah itu."
"Apakah kau berasal dari Padepokan
Guruwatu?"
Palaka tidak langsung menjawab, tapi malah
memandangi Cempaka dalam-dalam.
"Hampir semua orang di padepokan itu aku
mengenalnya. Terutama Eyang Langsara," jelas Cempaka yang bisa membaca
adanya kecurigaan pada sorot mata pemuda berbaju biru tua itu.
"Siapa kau sebenarnya, Nisanak?"
tanya Palaka, agak dalam nada suaranya.
"Aku Cempaka, berasal dari Karang Setra.
Kau pasti tahu Karang Setra kalau memang berasal dari Lembah Teratai,"
tegas Cempaka.
"Bagaimana kau bisa mengetahui tentang
Padepokan Guruwatu?" tanya Palaka lagi.
"Ha... ha... ha.... Kau ini aneh,
Palaka. Tentu saja aku mengetahui tentang padepokan itu, karena Kakang Rangga
bersahabat baik dengan Paman Tirta dan Eyang Langsara."
"Rangga.... Kau juga tahu tentang
Pendekar Rajawali Sakti itu...?!"
Kini gantian Cempaka yang terperanjat bengong
melihat raut wajah Palaka yang teriongong dan mulut terbuka lebar. Untuk
beberapa saat mereka tidak berbicara. Masing-masing diliputi berbagai macam
ketidak-mengertian. Namun dari sorot mata mereka, terpancar sinar kecurigaan.
Mereka sama-sama mengalami kejadian yang membuat mereka harus saling
mencurigai.
"Cempaka, apa hubunganmu dengan
Rangga?" tanya Palaka lagi.
"Dia kakakku," sahut Cempaka.
"Apa...?!"
***
Bukan main terperanjatnya Palaka begitu
mendengar pengakuan Cempaka yang tidak terduga sama sekali. Pemuda itu memang tidak
mengetahui tentang keluarga Pendekar Rajawali Sakti. Dia hanya diminta Paman
Tirta untuk pergi ke Karang Setra dan menemui Rangga di istana. Pemuda itu juga
tidak tahu, siapa Rangga yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Yang
diketahuinya, Pendekar Rajawali Sakti adalah sahabat baik guru-gurunya di
Padepokan Guruwatu yang terletak di Lembah Teratai.
"Ada apa, Palaka? Mengapa begitu
terkejut sekali?" tanya Cempaka.
"Bagaimana bisa kupercayai kalau kau
adiknya Rangga?" Palaka malah balik bertanya.
Cempaka jadi mengerutkan keningnya. Gadis itu
tidak mengerti atas sikap pemuda yang cukup tampan ini. Dipandanginya Palaka
dalam-dalam dengan benak dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Gadis itu
benar-benar tidak mengerti, kenapa akhir-akhir ini begitu banyak orang yang
mempunyai hubungan dengan Pendekar Rajawali Sakti...? Bukan hanya hubungan baik
saja, tapi juga hubungan yang berdasarkan balas dendam. Dan sekarang ini ada
seorang pemuda yang tampaknya juga sedang mencari Pendekar Rajawali Sakti.
"Cempaka! Jika kau memang benar adik
Rangga, pasti tahu di mana dia sekarang," tegas Palaka.
"Untuk apa kau bertanya demikian?"
"Aku harus bertemu dengannya. Ada
sesuatu yang penting dan harus kusampaikan secepatnya," sahut Palaka.
"Belakangan ini memang banyak yang
mencari Kakang Rangga. Apakah kau ingin membalas dendam?"
"Tidak. Justru aku jauh-jauh mencarinya
ke sini karena ada hal penting yang menyangkut Padepokan Guruwatu."
"Sayang sekali, saat ini Kakang Rangga
tidak jelas berada di mana...," desah Cempaka.
"Kau tidak tahu di mana dia...?"
ada nada kekecewaan pada suara Palaka.
"Mungkin ada di Gunung Gadakan ini. Tapi
aku tidak tahu pastinya," sahut Cempaka sendu.
Cempaka teringat ketika berada di dalam
sebuah kamar batu yang sempit dan pengap. Sayangnya gadis itu tidak tahu di
mana tempat itu terletak. Padahal dia yakin kalau Rangga ditawan di tempat itu.
"Palaka! Apakah kau benar-benar ingin
bertemu Kakang Rangga?" tanya Cempaka tiba-tiba, setelah cukup lama saling
berdiam diri.
Palaka hanya menganggukkan kepalanya saja.
"Kau membawa pesan dari Eyang
Langsara?" tanya Cempaka lagi.
"Bukan, tapi dari Paman Tirta,"
sahut Palaka.
"Saat ini, sebenarnya aku juga sedang
mencari Kakang Rangga. Tapi aku menemukan jalan buntu...."
Tanpa ragu-ragu lagi, Cempaka menceritakan
kejadian yang sebenarnya, hingga berada di hutan ini. Gadis itu juga berterus
terang kalau Pendekar Rajawali Sakti itu kemungkinan ditawan orang-orang
berjubah putih dan berkerudung kain berbentuk kerucut.
Palaka mendengarkan penuh perhatian. Meskipun
gadis itu sudah menyelesaikan ceritanya, Palaka masih diam saja dengan kening
agak berkerut dalam. Memang, pemuda itu agak terkejut mendengar dugaan Cempaka
kalau Pendekar Rajawali Sakti kini tertawan. Siapa saja yang mendengarnya,
pasti tidak akan mempercayai hal ini. Terlebih lagi jika sudah mengenal jauh
tentang diri Pendekar Rajawali Sakti. Apakah mungkin seorang pendekar digdaya
yang tingkat kepandaiannya sukar dicari tandingannya itu bisa tertawan...?
Ataukah ini hanya gurauan saja? Memang sukar dipercayai. Dan ini membuat Palaka
tertarik untuk membuktikannya.
"Di mana kau pertama kali bertemu
mereka?" tanya Palaka setelah cukup lama juga berdiam diri.
"Kau akan ke sana...?"
"Akan kubuktikan apakah ceritamu itu
benar atau tidak"
"Aku juga tidak percaya."
"Kalau begitu, kita buktikan sama-sama."
"Baik! Ayo kita berangkat
sekarang."
***
LIMA
Di suatu tempat yang masih berada di daerah
Gunung Gadakan, Rangga berdiri terkulai dengan tangan serta kaki terentang
terikat rantai. Bahkan seluruh tubuhnya terlilit rantai baja hitam yang menyatu
dengan dinding batu di belakangnya. Sebuah ruangan batu yang tidak seberapa
besar menjadi sebuah kurungan buat Pendekar Rajawali Sakti.
Meskipun matanya terbuka, tapi kepala pemuda
berbaju rompi putih itu terkulai lemas bagai tak memiliki tenaga.
Perlahan-lahan kepalanya diangkat. Terdengar suara rintihan lirih, nyaris tidak
terdengar. Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangannya berkeliling,
kemudian memandangi tubuhnya sendiri.
"Uh...!" Pendekar Rajawali Sakti
berusaha melepaskan belenggu pada seluruh tubuhnya, tapi rantai baja hitam itu
sungguh kuat dan keras. Beberapa kali kekuatan tenaga dalamnya dikerahkan, tapi
selalu gagal.
Rangga menghentikan usahanya ketika mendengar
suara derit pintu. Buru-buru kepalanya dirundukkan hingga terkulai, dan
digunakannya pernapasan perut Maka kini seluruh otot-ototnya jadi lemas bagai
dalam keadaan pingsan.
Rangga tetap diam dengan kepala terkulai.
Telinganya mendengar suara langkah kaki yang mendekati, dan berhenti tepat di
depannya. Dengan sudut ekor mata yang setengah terpejam, Pendekar Rajawali
Sakti bisa mengetahui siapa yang datang. Tapi dia tertegun begitu mendengar
kembali langkah kaki dari enam orang terdengar memasuki ruangan ini. Dan suara
itu berhenti tidak jauh di depannya.
"Dia masih belum sadar juga,"
terdengar suara setengah bergumam.
Rangga sempat terkejut ketika mengenali suara
itu. Jelas, itu suara seorang laki-laki muda yang di pipi kanan-nya terdapat
luka codet memanjang. Ya, laki-laki itu pasti Sangaji. Pemuda itu memang pernah
dipecundangi Pendekar Rajawali Sakti beberapa purnama yang lalu.
"Pandan, apakah kau mengenal pemuda
itu?" tanya Sangaji.
Hampir saja Rangga mengangkat kepalanya
ketika nama Pandan Wangi disebut. Betapa tidak? Sebab, mengapa kini Pandan
Wangi bersekongkol dengan Sangaji. Itukah cara Pandan Wangi membalas dendam
pada dirinya, karena cemburu melihat Rangga akrab dengan seorang wanita yang
belum dikenalnya? Apakah Pandan Wangi terpedaya oleh Sangaji? Atau memang
sengaja ingin melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti? Berbagai pertanyaan
berkecamuk dalam benak Rangga. Tapi, belum juga terjawab, tiba-tiba....
"Dia.... Oh, tidak...! Kalian... kalian
tidak boleh membunuh Kakang Rangga!" Pandan Wangi jadi histeris.
Gadis itu melangkah mundur beberapa tindak.
Dipandanginya wajah-wajah yang berada di sekitarnya. Seketika itu juga raut
wajahnya berubah menegang. Pandan Wangi menyadari kekeliruannya selama ini. Dia
merasa terpedaya oleh Sangaji dan Eyang Bangkal. Gadis itu dirayu untuk
mengikuti segala rencana mereka, yang menyebutkan tujuannya akan menangkap
seorang tokoh sesat. Sehingga dia mau saja melakukan perintah dari pemuda yang
pipinya codet itu. Kini setelah mengetahui 'tokoh sesat' itu adalah Rangga,
gadis itu marah sekali. Dia merasa ditipu mentah-mentah. Sorot matanya begitu
tajam menusuk langsung ke wajah-wajah yang berada di dalam ruangan berdinding
batu ini. Salah satu di antaranya adalah Eyang Bangkal.
"Kubunuh kalian semua. Hiyaaat...!"
teriak Pandan Wangi keras melengking tinggi.
"Pandan...!" sentak Sangaji
terperanjat. Tapi si Kipas Maut itu sudah melompat menyerangnya sambil
melontarkan dua pukulan beruntun disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Uts...!" Sangaji langsung mundur
satu tindak. Kemudian secepat kilat tubuhnya dimiringkan ke kiri dan ke kanan,
menghindari serangan yang dilancarkan Pandan Wangi. Begitu cepatnya Pandan
Wangi menyerang, sehingga membuat orang-orang yang berada di ruangan ini
terpana. Dan sebelum ada yang menyadari apa yang terjadi, Pandan Wangi sudah
memutar cepat tubuhnya. Sungguh luar biasa kecepatannya. Seketika pedangnya
sudah tercabut, dan langsung dikibaskan ke arah lima orang yang masih terpana
dengan kejadian yang cepat ini.
"Awas...!" teriak Sangaji
memperingatkan. Kelima orang yang memiliki kepandaian tinggi itu buru-buru
berlompatan mundur, menghindari tebasan pedang Pandan Wangi yang begitu cepat
luar biasa. Namun malang bagi dua orang berpakaian putih yang berada di
belakang agak ke samping dari Eyang Bangkal. Mereka tidak sempat lagi
menghindar, sehingga pedang si Kipas Maut itu langsung menyambar dadanya.
Jeritan panjang melengking saling susul
terdengar, bersama ambruknya dua orang berbaju putih itu. Darah langsung
menyemburat keluar dari dada yang sobek terbabat pedang berwarna merah itu.
Pandan Wangi yang dalam keadaan mengamuk masih sempat melihat isyarat dari
kerdipan mata Rangga yang menyuruhnya kabur. Tentu saja gadis itu terkejut
bukan main, karena tidak menyangka kalau Pendekar Rajawali Sakti tidak pingsan
seperti yang diduga semua orang.
Agak lama juga dipikirkannya arti dari
kerdipan mata Pendekar Rajawali Sakti, namun karena sering berjalan
bersama-sama, Pandan Wangi segera mengerti arti kerdipan mata Rangga yang
menyuruhnya keluar dari tempat itu.
"Hiyaaat..!" Sambil berteriak
nyaring, Pandan Wangi melentingkan tubuhnya. Maka seketika itu juga
diterobosnya pintu keluar sambil membabatkan pedangnya beberapa kali. Kembali
terdengar jeritan melengking tinggi, lalu terlihat lagi tiga orang berpakaian
serba putih menggelepar di tanah. Dada dan leher mereka tertebas pedang si
Kipas Maut.
"Pandan...!" panggil Sangaji
berteriak lantang. Tapi Pandan Wangi sudah lenyap keluar dari ruangan
berdinding batu ini.
Sementara Eyang Bangkal hanya bisa melongo
melihat lima orang anak buahnya tewas hanya dalam beberapa gebrakan saja.
"Kejar gadis itu! Bunuh bila
melawan...!" seru Sangaji berang.
Empat orang langsung bergerak cepat keluar.
Sedangkan Eyang Bangkal masih berdiri terpaku merayapi lima mayat anak buahnya
yang tewas terbabat pedang Pandan Wangi. Saat itu Sangaji bersungut-sungut
memaki-maki. Kemudian dipandanginya Rangga yang masih terkulai. Keningnya
langsung berkerut melihat wajah yang tertunduk lemas itu memucat bagai tak
teraliri darah.
Bergegas pemuda berbaju putih ketat, dengan
luka codet membelah pipinya itu menghampiri. Langsung dipegangnya pergelangan
tangan Pendekar Rajawali Sakti itu. Hampir saja Sangaji terlonjak mundur begitu
merasakan pergelangan tangan Rangga begitu dingin. Segera jari-jari tangannya
ditempelkan di leher dan sekitar dada pemuda berbaju rompi putih itu. Dan kali
ini dia benar-benar terlonjak mundur beberapa tindak.
"Mustahil...!" desis Sangaji.
Sangaji memandangi Rangga yang terkulai dengan seluruh tubuh terbelenggu rantai
baja hitam terikat ke dinding. Kepalanya bergerak menggeleng-geleng beberapa
kali. Pandangan matanya memancarkan ketidakpercayaan. Tapi, buktinya Pendekar
Rajawali Sakti sepertinya memang sudah tewas.
"Ada apa, Sangaji...?" tanya Eyang
Bangkal yang masih berada di ruangan ini.
"Mustahil...! Tidak mungkin aku salah
meramu obat!" desis Sangaji dengan nada suara sumbang.
Eyang Bangkal melangkah mendekati Rangga,
kemudian memegang leher pemuda berbaju rompi putih itu. Eyang Bangkal
melepaskan tangannya, maka kepala Rangga kembali terkulai lemas. Laki-laki tua
bertubuh kurus agak bungkuk yang mengenakan jubah kuning itu memandangi wajah
Sangaji yang tampak kebingungan.
"Aku tidak akan membunuhnya, sebelum dia
kusiksa. Aku tidak menginginkan cara kematian yang begitu mudah untuknya!"
geram Sangaji. Kepalanya menggeleng-geleng beberapa kali.
"Tapi dia sudah mati, Sangaji,"
tegas Eyang Bangkal pelan.
"Setan! Hiyaaat...!"
Sangaji melampiaskan kekesalan dengan
menghantamkan pukulan ke dinding di sampingnya. Demikian dahsyat pukulan pemuda
bermuka codet itu, sehingga....
Blarrr! Dinding batu yang tebal hitam
berlumut itu hancur terkena pukulan bertenaga dalam tinggi. Suara ledakan
terdengar memekakkan telinga. Debu mengepul menambah sesaknya udara di ruangan
yang memang sudah pengap ini. Dinding batu itu berlubang cukup besar.
"Buang dia ke hutan!" dengus
Sangaji berang.
Pemuda berbaju putih ketat yang pipi kanannya
terdapat luka codet itu, langsung melangkah keluar sambil menghentakkan kaki
saat melangkah. Sedangkan Eyang Bangkal masih tertegun sejenak. Walaupun
dirinya ter-masuk tokoh tua yang berilmu tinggi, tapi masih juga terkagum-kagum
melihat kekuatan pukulan Sangaji tadi. Dinding batu yang begitu tebal dan kuat
itu, langsung hancur berkeping-keping hanya sekali pukul saja.
"Lepaskan dia," perintah Eyang
Bangkal pada anak buahnya.
Tanpa banyak bicara, empat orang berpakaian
serbah putih, langsung bergerak maju. Mereka melepaskan rantai yang membelenggu
seluruh tubuh Rangga, kemudian menggotongnya. Eyang Bangkal berjalan paling
depan, diikuti empat orang berpakaian serba putih yang meng-gotong tubuh
Pendekar Rajawali Sakti. Masih ada sekitar lima belas orang lagi mengikuti dari
belakang. Mereka semua mengenakan pakaian serba putih dengan golok terselip di
pinggang.
Mereka langsung keluar menyusuri lorong yang
tidak begitu panjang. Ketika tiba di luar, hutan lebat langsung menghadang.
Eyang Bangkal berjalan paling depan diikuti anak buahnya menembus kelebatan
hutan. Empat orang masih menggotong tubuh Pendekar Rajawali Sakti yang
kelihatan pucat dan terkulai.
"Ayo, cepat..!" Eyang Bangkal
memerintah anak buahnya untuk bergerak lebih cepat.
Mereka bergerak cepat menerobos hutan, hingga
akhirnya sampai di tepi sebuah sungai. Di sinilah beberapa hari yang lalu
mereka menjebak Rangga dengan menaburkan ramuan yang membuat orang tidak
sadarkan diri, hanya dengan menyentuh air sungai itu saja. Bahkan jika tidak
memiliki daya tahan tubuh yang kuat, bisa langsung tewas seketika. Apalagi bila
meminumnya. Tapi air sungai ini bisa normal apabila ditaburkan obat
penangkalnya yang berbentuk bulatan sebesar kepalan tangan bayi berwarna
keperakan.
"Ceburkan dia ke sungai, biar disantap
buaya liar," perintah Eyang Bangkal.
Empat orang yang menggotong Pendekar Rajawali
Sakti itu, segera mendekati sungai. Tubuh Rangga diayun-ayunkan, lalu
dilemparkan dengan kekuatan penuh. Tubuh pemuda berbaju rompi putih itu
melayang ke tengah sungai. Namun sebelum tubuhnya menyentuh air, men-dadak saja
kembali terangkat naik dan melayang ke tepi.
"Heh...?!" Eyang Bangkal terbeliak
kaget. Demikian pula orang-orang berpakaian serba putih yang berjumlah hampir
dua puluh orang itu. Mereka seketika terpaku dengan mata membeliak lebar tidak
berkedip.
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti itu terus
melayang perlahan-lahan menuju ke tepi, kemudian mendarat di tepian sungai.
Perlahan Rangga membuka mata, lalu menyunggingkan senyuman tipis. Wajahnya
tidak lagi memucat. Dan tubuhnya juga tidak membiru. Pendekar Rajawali Sakti
langsung mengayunkan kakinya ke depan beberapa langkah, kemudian berhenti
setelah jaraknya dengan Eyang Bangkal tinggal dua batang tombak lagi.
"Heh...?! Bagaimana mungkin kau bisa
hidup lagi...?!" agak bergetar suara Eyang Bangkal.
"Bukannya hidup lagi, Eyang Bangkal.
Tapi aku memang belum mati," jawab Rangga kalem. Bibirnya tetap
menyunggingkan senyuman tipis.
"Tidak...! Mustahil jika belum mati!"
"Seharusnya kau mengetahui apa yang
kulakukan, Eyang Bangkal. Dengan menghentikan aliran darah dan menyumbatnya
dengan hawa murni, ditambah pengaturan pernapasan melalui perut, maka orang
akan seperti mati. Kau pun bisa melakukannya. Tapi sayang, kau dan Sangaji
tidak bisa berpikir jernih. Bahkan malah cepat panik dan tidak tenang
menghadapi persoalan," Ranga menjelaskan.
"Setan...! Kau menipuku!" geram
Eyang Bangkal baru menyadari.
Memang apa yang dikatakan Rangga barusan
benar adanya. Setiap orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan pasti bisa
melakukannya. Terlebih lagi jika sudah menguasai pengerahan hawa murni secara
sempurna. Tak akan sulit mengelabui orang hingga tampak seperti sudah mati.
"Aku tidak menipu, Eyang Bangkal!"
tegas Rangga sambil bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang akan
terjadi.
Bukan main geramnya Eyang Bangkal karena
merasa dirinya terpedaya. Sebagai tokoh rimba persilatan, lebih baik kalah dalam
pertarungan daripada terpedaya oleh akal cerdik seperti ini. Sesuatu yang
sangat memalukan. Terlebih lagi yang memperdaya adalah seorang tokoh rimba
persilatan yang tergolong muda dibandingkan dengan dirinya yang sudah banyak
pengalaman.
"Kau harus mampus, Bocah Setan!
Hiyaaat..!"
"Hap...!"
***
ENAM
Kemarahan Eyang Bangkal benar-benar meluap
kali ini. Dengan satu lesatan cepat, diterjangnya Pendekar Rajawali Sakti.
Namun serangan-serangan yang dilancarkan laki-laki tua setengah bungkuk itu,
mampu diredam Rangga.
Sekarang, beberapa kali Pendekar Rajawali
Sakti itu memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya. Setiap kali
Rangga balas menyerang, Eyang Bangkal tampak kewalahan menghindarinya. Beberapa
kali serangan balik yang dilancarkan Rangga nyaris mengenai sasaran. Namun
rupanya laki-laki tua berjubah kuning gading itu masih mampu menghindari. Malah
kecepatan-nya sungguh luar biasa.
"Hup...!"
Eyang Bangkal melompat ke belakang, tepat
ketika Rangga memberi satu pukulan keras ke arah dada. Laki-laki tua berjubah
kuning gading itu berputar beberapa kali di udara, kemudian dengan manis
mendarat dekat anak buahnya. Eyang Bangkal merebut tongkat yang dipegang salah
seorang anak buahnya. Tongkat yang berkeluk tidak beraturan itu langsung diputar-putar,
membelah-belah udara kosong.
Wuk! Wuk! Wuk...!
Suara putaran tongkat itu demikian dahsyat,
menimbulkan hembusan angin yang cukup kencang. Daun-daun pohon di sekitar Eyang
Bangkal berguguran terkena hembusan anginnya. Saat itu juga, Rangga menggerakkan
kedua tangannya di depan dada.
"Hiyaaa...!" Eyang Bangkal
berteriak nyaring.
"Yeaaah...!" pada saat yang sama,
Rangga juga memekik keras.
Kedua tokoh persilatan itu sama-sama melompat
menyerang. Cepat sekali Eyang Bangkal mengebutkan tongkat ke arah dada Pendekar
Rajawali Sakti. Namun dengan tenang Rangga berhasil menghindari tebasan tongkat
itu. Dan tanpa diduga sama sekali, tangannya menghentak ke depan.
Bet!
"Ufs...!" Eyang Bangkal buru-buru
melentingkan tubuhnya, lalu beberapa kali berputaran di udara. Namun pada saat
yang sama, Rangga juga melentingkan tubuhnya seraya mem-beri satu tebasan
tangan kanan lewat pengerahan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'.
Eyang Bangkal terkejut setengah mati. Tak ada
kesempatan lagi untuk berkelit. Buru-buru diangkat tongkatnya, guna menangkis
tebasan tangan Pendekar Rajawali Sakti itu.
Trak!
Kedua orang itu berpentalan ke belakang
begitu tangan dan tongkat beradu keras. Beberapa kali mereka berjumpalitan di
udara sebelum mendarat di tanah.
"Heh...?!"
Eyang Bangkal terkejut setengah mati begitu
melihat tongkatnya tinggal sepotong. Sedangkan potongan lainnya berada di
tangan Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebelum lenyap rasa terkejutnya, tiba-tiba
Rangga melemparkan potongan tongkat itu disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi.
Wus!
Potongan tongkat itu meluncur deras ke arah
Eyang Bangkal. Buru-buru laki-laki tua bungkuk itu memiringkan tubuhnya menghindari
potongan tongkatnya sendiri. Maka potongan tongkat itu terus meluncur, lewat di
samping tubuh Eyang Bangkal.
"Aaa...!" Tiba-tiba saja terdengar
jeritan panjang menyayat. Tampak salah seorang anak buah Eyang Bangkal ambruk
di tanah. Dadanya tertembus potongan tongkat yang dilemparkan Pendekar Rajawali
Sakti tadi.
"Edan...!" dengus Eyang Bangkal
marah. Eyang Bangkal membuang potongan tongkatnya. Dipandanginya Pendekar
Rajawali Sakti yang berdiri tegak dengan tenangnya.
"Serang! Bunuh dia...!" seru Eyang
Bangkal lantang.
Seketika itu juga orang-orang berjubah putih,
berlompatan menerjang Pendekar Rajawali Sakti sambil berteriak-teriak dan
mengayun-ayunkan goloknya. Namun sebelum sampai, mendadak saja orang-orang
berjubah putih itu menjerit melengking tinggi. Dan tahu-tahu mereka telah
bergelimpangan sambil mengerang. Tampak pada tubuh, kepala, serta leher mereka,
tertancap ranting-ranting kering. Tidak kurang dari enam orang yang menggelepar
di tanah sambil merintih dan mengerang kesakitan. Sedangkan yang lainnya jadi
terbeliak, menghentikan terjangannya pada Pendekar Rajawali Sakti.
"Kakang...!" tiba-tiba terdengar
seruan keras.
Rangga langsung berpaling ke arah datangnya
suara itu. "Cempaka...."
Seorang gadis mengenakan baju merah muda,
tampak berlari-lari menghampiri Pendekar Rajawali Sakti. Di belakangnya
mengikuti seorang pemuda berbaju biru tua, dengan buntalan kain pada bahu
kirinya. Gadis yang ternyata Cempaka itu, berhenti setelah dekat dengan Rangga.
"Jangan bengong, Kakang.
Bajingan-bajingan itu harus dihabisi," Cempaka memperingatkan.
Dan belum juga Rangga sempat membuka suara,
Cempaka sudah melompat menerjang orang-orang berjubah putih itu. Gerakannya
cepat, dan tak terbendung lagi. Langsung saja dilepaskannya beberapa pukulan
keras secara beruntun.
Seketika itu juga terdengar jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi. Sementara itu Rangga belum berbuat apa-apa. Sebentar
dipandanginya Cempaka yang tengah mengamuk menghajar orang-orang berpakaian
serba putih itu. Kemudian perhatiannya dialihkan pada Eyang Bangkal. Rupanya
laki-laki tua berjubah kuning gading itu hendak kabur. Melihat gelagat
kepengecutan Eyang Bangkal, secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat.
"Hiyaaat..!"
Tahu-tahu Rangga sudah berdiri di depan Eyang
Bangkal, sehingga laki-laki tua itu terkejut setengah mati. Namun belum hilang
rasa terkejutnya, mendadak saja Rangga sudah memberi satu pukulan lurus
disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai kesempurnaan ke arah dada.
Serangan yang dilancarkan Pendekar Rajawali Sakti sangat cepat sehingga tak
bisa dihindari lagi.
Deghk!
"Akh...!" Eyang Bangkal memekik
keras. Pukulan Rangga tepat menghajar dadanya. Akibatnya laki-laki tua berjubah
kuning gading itu terpental ke belakang sejauh lima tombak. Namun sebelum
tubuhnya menghantam tanah, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali melompat
cepat. Seketika dikerahkannya jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali
"Yeaaah...!" teriak Rangga
menggelegar.
Des!
"Aaa...!" untuk kedua kalinya Eyang
Bangkal menjerit keras melengking tinggi. Tubuh laki-laki tua berjubah kuning
gading itu langsung menghantam tanah ketika pukulan Rangga telak menghajar
dadanya kembali. Laki-laki tua itu kini mengerang dan menggeliat menahan sakit.
Namun hanya sebentar saja mampu menggeliat, kemudian Eyang Bangkal langsung diam
tak bernyawa lagi. Dadanya melesak masuk dan hancur. Tampak dari mulutnya
mengalir darah segar.
"Hehhh...!" Rangga menghembuskan
napas panjang. Pendekar Rajawali Sakti itu memalingkan kepalanya pada Cempaka.
Dan rupanya pedang gadis itu baru saja membabat lawan terakhir hingga tewas
seketika. Sambil menyarungkan pedangnya kembali, Cempaka bergegas menghampiri
pemuda berbaju rompi putih itu. Dia berhenti setelah jaraknya hingga dua
langkah lagi. Rangga sempat melirik pemuda yang datang bersama adik tirinya ini.
"Kau tidak apa-apa, Kakang...?"
agak terengah suara Cempaka.
"Tidak," sahut Rangga.
"Tapi wajahmu kelihatan agak
pucat."
Rangga hanya tersenyum saja. Ditepuknya bahu
gadis itu, lembut sekali. Wajahnya memang masih terlihat sedikit memucat,
karena aliran darahnya belum begitu sempurna. Masalahnya, cukup lama aliran
darahnya tertahan. Mungkin kalau tidak segera dibawa ke luar, Pendekar Rajawali
Sakti itu tidak akan bisa terselamatkan lagi. Apalagi hambatan pada jalan
darahnya tidak segera dibuka.
"Apa yang kau lakukan di sini,
Cempaka?" tanya Rangga seraya melirik pemuda yang berdiri agak jauh.
"Mencari Kakang," sahut Cempaka
agak manja.
"Untuk apa mencariku? Aku bukan anak
kecil lagi, Cempaka...."
"Aku tahu. Tapi, kau tiba-tiba saja
menghilang, sementara Kuda Dewa Bayu pulang sendiri dan langsung
meringkik-ringkik terus. Dialah yang membawaku ke sini," jelas Cempaka.
"Hm...." Pendekar Rajawali Sakti
hanya bergumam kecil. Kembali Rangga melirik pemuda yang masih berdiri di
tempatnya.
"Siapa dia?" tanya Rangga jadi
ingin tahu.
"Oh, iya.... Aku sampai lupa,"
sentak Cempaka, langsung ingat dengan pemuda yang bersamanya ke tempat ini.
Cempaka melambaikan tangannya memanggil
pemuda berbaju biru tua itu. Maka pemuda yang bernama Palaka itu berjalan
menghampiri. Cempaka langsung memperkenalkan begitu Palaka sudah dekat Rangga
menyalami pemuda itu diiringi senyuman penuh persahabatan.
"Kakang Palaka sengaja datang ke sini
karena ingin bertemu denganmu, Kakang," kata Cempaka memberitahu.
"Oh.... Kau datang dari mana?"
tanya Rangga.
"Lembah Teratai," sahut Palaka.
"Lembah Teratai...?!" Rangga
mengerutkan keningnya. Pendekar Rajawali Sakti itu langsung teringat kepada
sahabatnya yang tinggal di lembah itu. Di situ terdapat sebuah padepokan silat
yang bernama Padepokan Guruwatu. Memang sudah lama Rangga tidak singgah ke
lembah itu, terutama ke Padepokan Guruwatu.
"Kau murid Padepokan Guruwatu?"
tanya Rangga ingin memastikan.
"Benar," sahut Palaka.
"Bagaimana keadaan Eyang...?"
Rangga tidak meneruskan pertanyaannya saat melihat ada perubahan pada air muka
Palaka.
Beberapa saat Rangga memperhatikan wajah
Palaka yang kini tertunduk terselimut duka. Pendekar Rajawali Sakti jadi
keheranan. Berbagai pikiran dan dugaan langsung memenuhi benaknya.
"Apa yang terjadi dengan Padepokan
Guruwatu?" tanya Rangga langsung menduga.
"Eyang Guru tewas. Dan...," Palaka
tidak melanjutkan.
"Ada apa, Palaka? Apa yang telah
terjadi...?!" desak Rangga.
Sebentar Palaka terdiam sambil menarik napas
dalam-dalam. Kemudian kepalanya terangkat seraya menghembuskan napas
perlahan-lahan. Dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti itu. Rangga kemudian
membawa Palaka ke tempat yang lebih teduh dan nyaman. Sedangkan Cempaka hanya
mengikuti saja tanpa membuka suara sedikit pun.
"Ceritakan, apa yang telah terjadi,
Palaka...?" pinta Rangga.
Tanpa diminta dua kali, Palaka langsung
menceritakan apa yang telah dijumpainya di sana. Juga, diserahkannya cincin
yang diberikan Paman Tirta pada Pendekar Rajawali Sakti. Rangga menerima cincin
itu dan menggenggamnya erat-erat. Kini baru dipercayainya cerita Palaka. Dia
tahu kalau Paman Tirta tidak akan pernah melepaskan cincin ini kalau belum
meninggal.
Dan sekarang cincin ini telah terlepas dari
jari tangannya. Itu berarti, Paman Tirta memang telah meninggal. Hanya
sayangnya, Palaka tidak mengetahui, siapa yang menghancurkan Padepokan Guruwatu
itu. Karena pada saat kejadian itu, dia sedang ditugaskan untuk menumpas para
perampok yang dipimpin Guritan. Pemuda berbaju biru tua itu juga menceritakan
pertemuannya dengan seorang pemuda yang pipi kanannya dibelah oleh luka
memanjang, pada saat dirinya sedang diserang oleh Guritan dan anak buahnya.
"Sangaji...," desis Rangga dalam
hati. Dikenalinya betul pemuda yang disebutkan ciri-cirinya oleh Palaka.
"Lalu berhasilkah kau menumpas gerombolan perampok itu?"
"Tidak. Mereka terlalu tangguh dan
banyak jumlahnya. Malah aku hampir tewas kalau tidak ditolong pemuda berwajah
codet itu."
"Kau ditolong olehnya?" tanya
Rangga heran. "Hm... dia pasti sudah merencanakan semua ini dan sengaja
menolong agar kau bisa melaporkannya padaku!"
Pendekar Rajawali Sakti langsung mengetahui,
siapa yang menghancurkan padepokan milik sahabatnya. Memang bukan hanya Palaka
yang melaporkan tentang kehancuran sebuah padepokan silat. Seingat Rangga sudah
tiga kali, dan ini yang keempat dia mendapatkan laporan yang sama. Dan
padepokan-padepokan yang hancur itu adalah milik sahabatnya. Rangga jadi geram.
Ternyata Sangaji dan para begundalnya bukan saja mendendam, tapi juga
menghancurkan sahabat-sahabat Pendekar Rajawali Sakti.
Dan ini tentu saja tidak bisa didiamkan
begitu saja. Seluruh aliran darah di tubuh Pendekar Rajawali Sakti mendidih
seketika. Terlebih lagi Sangaji ternyata telah berhasil mempengaruhi Pandan
Wangi agar membenciya. Dan itu tidak pernah terjadi sebelumnya terhadap gadis
itu. Tidak mungkin Pandan Wangi bisa marah hanya karena cemburu. Tapi sekarang
Rangga tidak tahu, ke mana kekasihnya pergi dalam keadaan terguncang jiwanya.
Yang dia tahu, Pandan Wangi telah menyadari kesalahannya. Terbukti dari
tindakan gadis itu melawan para pengikut Sangaji di saat terbelenggu.
***
Cempaka memandangi bangunan tua yang
kelihatan begitu angker tak terurus. Pepohonan rambat hampir menutupi
dinding-dindingnya. Sementara Rangga membuka pintu bangunan yang seluruhnya
terbuat dari batu itu. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam dengan
hati-hati sekali.
Keadaan di dalam bangunan ini sangat kotor.
Debu tebal bertebaran di lantai. Hampir seluruh dindingnya dipenuhi sarang
laba-laba. Bahkan tidak jarang mereka menemukan bangkai binatang maupun
kotorannya. Udara dalam sini memang begitu pengap, membuat dada terasa sesak.
Mereka terus masuk lebih ke dalam lagi. Kemudian melewati sebuah lorong pendek
yang di kanan kirinya terdapat pintu yang sudah hancur. Tapi ada beberapa pintu
yang terbuat dari besi baja hitam, dan semuanya dalam keadaan tertutup. Rangga
membuka setiap pintu yang tertutup itu.
Pendekar Rajawali Sakti berhenti di depan
sebuah pintu kamar. Beberapa saat dia tertegun. Di kamar inilah dirinya
dikurung oleh Sangaji dan para begundalnya. Tapi Cempaka justru memandangi
kamar yang berada di sebelahnya. Gadis itu ingat, karena juga pernah dikurung
di dalam kamar ini beberapa hari yang lalu.
"Kelihatannya mereka sudah tidak ada
lagi di sini, Kakang," tegas Cempaka.
"Ya.... Mari kita keluar," ajak
Rangga, agak mendesah suaranya.
Mereka kembali berjalan keluar dari bangunan
tua itu. Cempaka langsung menari napas dalam-dalam begitu berada di luar
bangunan yang pengap dan kotor itu. Sementara Palaka yang sejak tadi menunggu
di luar, bergegas menghampiri.
"Ada yang kau lihat, Palaka?" tanya
Rangga langsung begitu Palaka dekat.
"Aku menemukan jejak-jejak kaki kuda,"
jawab Palaka. "Dan kelihatannya menuju Selatan."
"Mereka ke Karang Setra,
Kakang...," desis Cempaka, agak bergetar suaranya.
"Mereka harus dicegah sebelum sampai ke
kota!" desis Rangga, terdengar dalam suaranya.
Pendekar Rajawali Sakti itu langsung saja
melesat pergi tanpa berkata-kata lagi. Begitu sempurnanya ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki, sehingga dalam sekejap mata, bayangan tubuhnya sudah tidak
terlihat lagi.
"Kakang, tunggu...!" seru Cempaka.
Tapi teriakan gadis itu hanya terbawa angin
saja. Rangga tidak kelihatan lagi bayangannya, lenyap ditelan lebatnya hutan
ini. Cempaka mengarahkan pandangannya pada Palaka yang masih berada di
sampingnya. Tapi, yang dipandangi hanya mengangkat bahu saja. Tanpa berkata
apa-apa lagi, mereka langsung berlari cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Karena hutan ini begini lebat, tentu saja kecepatan lari mereka
terhambat. Bahkan beberapa kali harus menyibakkan pohon rambat yang begitu
tebal dan rapat.
"Ikuti aku, Cempaka!" seru Palaka.
Pemuda yang memakai baju biru itu langsung melesat ke atas. Dengan ringan
kakinya hinggap di atas dahan pohon. Lalu tubuhnya kembali dilentingkan, dan
hinggap lagi di dahan pohon lainnya.
"Hup...!" Cempaka langsung melompat
mengikuti Palaka. Ringan juga gerakan gadis itu yang berkelebat dari satu
cabang, ke cabang pohon lainnya. Dan gadis itu tidak mau kalah. Dia malah
berlompatan di puncak pohon. Melihat itu, Palaka langsung mengikuti. Mereka
bagaikan dua burung yang saling berkejaran di atas pohon. Gerakan mereka
sungguh cepat dan ringan, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan
berkelebatan dari satu pohon ke pohon lain.
"Palaka, tunggu...!" teriak Cempaka
tiba-tiba.
Palaka langsung berhenti dan berpaling. Pada
saat itu, Cempaka melesat turun. Tanpa membuang waktu lagi, Palaka segera
mengikuti. Cepat sekali gerakan pemuda itu. Tidak heran dalam sekejap sudah
berada di samping Cempaka yang telah mendarat lebih dahulu. Palaka sempat
tertegun begitu melihat gadis berbaju biru muda tengah bertarung sengit melawan
lima orang.
"Itu Kak Pandan. Kita harus membantunya,
Palaka," tegas Cempaka.
"Siapa dia?" tanya Palaka.
Tapi pertanyaan itu tidak terjawab, karena
Cempaka sudah melompat cepat dan langsung terjun dalam kancah pertempuran. Pedang
gadis itu segera dicabut, dan langsung dikibaskan ke salah seorang yang
mengeroyok Pandan Wangi.
Ikutnya Cempaka dalam pertarungan ini,
membuat empat orang yang mengeroyok Pandan Wangi jadi terpecah. Tentu saja hal
ini membuat keuntungan bagi si Kipas Maut itu. Dengan padang di tangan kanan
dan kipas baja putih yang menjadi ciri khasnya di tangan kiri, Pandan Wangi
semakin meningkatkan tempo pertarungan begitu melihat kehadiran Cempaka yang
langsung membantunya. Sementara itu, Palaka masih berdiri menyaksikan
pertarungan. Dia tidak tahu, mengapa tiba-tiba saja Cempaka membantu gadis
berbaju biru muda itu.
"Palaka..., cepat bantu aku...!"
teriak Cempaka selagi bisa melirik ke arah Palaka.
"Baik...!" sahut Palaka keras.
"Hiyaaat..!"
Palaka langsung melompat ke dalam kancah
pertempuran. Hal ini semakin membuat empat orang itu jadi kalang kabut.
Menghadapi Pandan Wangi sendirian saja, mereka sudah mendapatkan kesulitan.
Apalagi dengan adanya bantuan dari dua orang yang memiliki tingkat kepandaian
cukup tinggi. Maka empat orang itu semakin kewalahan saja.
"Lari...!" Tiba-tiba salah seorang
berteriak keras. Seketika itu juga, empat orang itu berhamburan melarikan diri.
Namun Cempaka sempat mengibaskan pedangnya cepat ke arah salah seorang lawan
dan tak bisa dihindari lagi. Ujung pedang Cempaka menghantam bahu kanan orang
itu.
Cras!
"Aaa...!" orang yang memakai baju
warna putih itu menjerit keras. Darah langsung mengucur dari luka di bahunya.
Dan pada saat tubuh lawan limbung, Cempaka melompat sambil berteriak nyaring.
Seketika pedangnya ditusukkan ke arah dada orang itu.
"Cempaka, jangan...!" seru Pandan
Wangi.
Crab!
"Aaa...!" Peringatan Pandan Wangi
terlambat datangnya. Atau mungkin Cempaka tidak menghiraukannya. Sehingga
pedang gadis itu menembus dada orang berbaju putih itu hingga tembus ke
punggung. Sambil melirik Pandan Wangi, Cempaka mencabut pedangnya dan langsung
disarungkan kembali ke warangkanya di punggung.
"Tidak seharusnya kau membunuh setiap
lawanmu, Cempaka," dengus Pandan Wangi mengomel.
"Maaf, Kak," sahut Cempaka
menyadari kekeliruannya.
Pandan Wangi menghampiri adik tiri Pendekar
Rajawali Sakti itu. Sedangkan Palaka masih saja berdiri tidak seberapa jauh di
samping Cempaka.
"Siapa mereka tadi, Kak?" tanya
Cempaka.
"Seharusnya aku yang tanya padamu. Untuk
apa kau berkeliaran di tempat ini...?" Pandan Wangi malah balik bertanya.
"Aku mencari Kakang Rangga," sahut
Cempaka. "Kak Pandan sendiri, kenapa berada di sini...?"
"Ada sesuatu yang harus kuselesaikan di
sini."
"Hm..., Kak Pandan lihat Kakang Rangga
lewat sini?" tanya Cempaka lagi.
idak," sahut Pandan Wangi singkat.
"Padahal Kakang Rangga menuju Karang
Setra mengejar seseorang. Dan pasti tadi lewat sini," kata Cempaka agak
bergumam, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Wajah Pandan Wangi sedikit berubah, namun
cepat-cepat disembunyikannya. Ada perasaan bersalah di dalam hati gadis itu
yang kelewat cemburu, sehingga hampir saja mencelakakan Pendekar Rajawali
Sakti. Namun ada kegembiraan, karena ternyata Rangga berhasil mengelabui
Sangaji dan lolos dari sana. Rasa bersalah, kegembiraan, dan juga keheranan
bercampur menjadi satu di dalam hatinya.
"Ada apa, Kak...?" tegur Cempaka.
"Oh! Tidak ada apa-apa," buru-buru
Pandan Wangi menyahuti. "Oh, iya. Ke arah mana Kakang Rangga pergi?"
"Selatan," sahut Cempaka.
"Palaka menemukan jejak kaki kuda, dan Kakang Rangga langsung
mengikuti."
"Jejak kaki kuda...?" Pandan Wangi
mengernyitkan alisnya.
"Iya. Memangnya, kenapa...?"
"Tidak apa-apa. Ayo, Cempaka. Sebaiknya
kita susul sebelum terlambat."
Tanpa membuang-buang waktu, mereka langsung
berlari cepat menggunakan ilmu meringankan tubuh. Pandan Wangi mengimbangi ilmu
meringankan tubuh Cempaka yang masih satu tingkat di bawahnya. Dia berlari di
samping gadis itu. Sementara Palaka mengikuti saja dari belakang.
"Siapa dia, Cempaka?" tanya Pandan
Wangi setengah berbisik sambil terus berlari di sampingnya.
"Murid Padepokan Guruwatu yang hendak
menemui Kakang Rangga," sahut Cempaka.
"Apa keperluannya murid Padepokan
Guruwatu ke sini?" Pandan Wangi seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Kenapa tidak kau tanyakan saja padanya,
Kak. Aku juga tidak begitu paham," sahut Cempaka.
"Nanti saja," desah Pandan Wangi.
"Atau tanyakan pada Kakang Rangga
nanti," balas Cempaka lagi.
Pandan Wangi langsung terdiam. Dia sendiri
masih bingung, apakah berani bertemu muka lagi dengan Rangga atau tidak.
Kesalahan yang diperbuatnya kali ini cukup besar. Pandan Wangi tidak tahu, apa
yang akan dikatakannya jika bertemu Rangga.
Pandan Wangi benar-benar menyesal karena
tidak bisa mengendalikan diri dari kecemburuan. Dia begitu mudah terbawa emosi.
Padahal mungkin Rangga sedang membicarakan hal yang penting dengan Bidadari
Bintang Emas! Ah, semoga lain kali dia tidak membuat kesalahan lagi. Dia harus
percaya sepenuhnya pada Rangga.
Sementara mereka terus bergerak cepat menuju
Karang Setra. Kedua gadis itu masih tetap berlari di depan. Sedangkan Palaka
hanya mengikuti dari belakang sambil mengimbangi ilmu meringankan tubuh yang
digunakan kedua gadis itu.
***
DELAPAN
Rangga berdiri tegak di puncak bukit.
Pandangannya lurus ke arah Kerajaan Karang Setra. Matanya tidak berkedip
meneliti setiap sudut kota yang selalu ramai itu. Dari ketinggian puncak bukit
ini, Pendekar Rajawali Sakti dapat melihat jelas setiap sudut kota. Bahkan
bangunan istana yang megah itu pun terlihat jelas bagian-bagiannya.
"Tidak ada tanda-tanda kalau Sangaji
akan menyerang Kota Karang Setra," gumam Rangga dalam hati.
Memang suasana kota kelihatan tenang dan
damai. Tak terlihat sedikit pun tanda-tanda kalau akan terjadi sesuatu. Rangga
jadi ragu-ragu juga. Terlebih, sikap Sangaji yang dinilainya begitu jantan dan
ksatria. Rasanya tidak mungkin kalau Sangaji akan melakukan tindakan bodoh
menyerang kota. Karena, paling tidak membutuhkan angkatan perang yang tidak
sedikit jumlahnya dan harus terlatih baik untuk bisa meruntuhkan Kerajaan
Karang Setra. Angkatan Perang Karang Setra memang terkenal kuat dan tangkas.
Mendapat pikiran seperti itu, Pendekar
Rajawali Sakti langsung menuruni bukit. Gerakannya cepat dan ringan sekali
meskipun tidak mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Bahkan kakinya seolah-olah
tidak menyentuh tanah saat melangkah.
"Sudah diperoleh yang kau cari,
Rangga...?" tiba-tiba terdengar teguran lembut.
Rangga langsung menghentikan ayunan kakinya.
Tubuhnya diputar sedikit dan kepalanya berpaling ke arah suara tadi. Tampak
seorang gadis berwajah cantik bagai bidadari turun dari kahyangan, sedang duduk
menyendiri di bawah pohon yang cukup rindang.
"Bidadari Bintang Emas...?" gumam
Rangga mengenali gadis cantik yang selalu mengenakan baju kuning warna emas.
Sementara ciri lain gadis itu adalah selalu
membawa senjata yang berbentuk bintang berwarna kuning keemasan. Wanita inilah
yang membuat Pandan Wangi cemburu bukan main. Sebab sudah beberapa kali Rangga
bertemu dengannya. Pendekar Rajawali Sakti menghampiri, kemudian duduk di atas
sebatang pohon yang tumbang tidak jauh di depan Bidadari Bintang Emas. Untuk
beberapa saat lamanya, mereka tidak berbicara. Rangga memandangi sekelilingnya,
kemudian beralih pada gadis cantik di depannya.
"Kau tahu apa yang sedang kucari,
Bidadari Bintang Emas?" tanya Rangga bernada memancing.
Bidadari Bintang Emas tertawa renyah. Merdu
sekali suara tawanya, sehingga membuat hati siapa saja yang mendengarnya akan
terhibur. Rangga sampai menelan ludahnya sendiri saat melihat baris-baris gigi
yang rapi dan putih bagai mutiara.
"Tak ada seorang pun yang bisa
menyembunyikan sesuatu dariku, Pendekar Rajawali Sakti," kata Bidadari
Bintang Emas. Memang tokoh satu ini terkenal banyak tahu hal-hal rahasia.
Rangga hanya tersenyum saja.
"Hanya membuang-buang waktu saja jika
masih tetap berada di sini, Pendekar Rajawali Sakti," kata Bidadari
Bintang Emas lagi. Masih tetap lembut dan merdu sekali suaranya.
"Aku memang sudah menduga kalau dia
tidak mungkin datang ke kota," tegas Rangga pelan. Rangga sudah menduga
sebelumnya kalau Bidadari Bintang Emas pun pasti tahu persoalan yang sedang
dihadapinya.
"Kenapa kau tidak mencarinya di tempat
lain?"
"Sudah. Tapi dia seperti lenyap begitu
saja."
"Kau akan menghadapi kesulitan besar,
Rangga. Dan harus hati-hati menghadapinya. Bisa saja kecerdikanmu akan mengelabuinya.
Tapi jangan disangka kalau Sangaji itu orang pandir. Tipu dayanya banyak sekali
untuk mengelabui dan mempermainkan orang lain. Bahkan mampu merebut tahta tanpa
sedikit pun meneteskan darah orang lain."
"Oooh.... Ck ck ck...," Rangga
berdecak kagum mendengar keterangan tentang Sangaji dari gadis cantik ini.
Keistimewaan Bidadari Bintang Emas ini memang
sukar dicari tandingannya. Dia bisa mengetahui persis tentang pribadi orang.
Bahkan sampai hal yang terkecil sekalipun! Di samping itu, Bidadari Bintang
Emas juga memiliki kemampuan ilmu olah kanuragan dan kesaktian yang tinggi.
Jadi tidak mudah pula menaklukkan gadis ini.
"Rupanya kau tahu banyak tentang
Sangaji, Bintang Emas," kata Rangga setengah bergumam.
"Tidak juga. Aku hanya sedikit mengenalnya,"
sahut Bidadari Bintang Emas, agak sedikit ditahan pada kata-kata yang terakhir.
Meskipun hanya sebentar, namun Pendekar
Rajawali Sakti bisa menangkap adanya perubahan pada wajah gadis yang selalu
mengenakan baju berwarna kuning keemasan itu. Namun Rangga tidak ingin
mengungkit-ungkit lebih jauh lagi, meskipun memang ada sesuatu yang
disembunyikan Bidadari Bintang Emas. Apalagi tidak seperti biasanya gadis ini
begitu memperhatikan dan mengikuti terus perkembangan sesuatu persoalan yang
bukan menyangkut dirinya. Suatu hal yang belum pernah dilakukan oleh Bidadari
Bintang Emas pada orang lain. Apalagi orang itu dianggap sebagai musuhnya.
Meskipun belum pernah bentrok secara
langsung, tapi Rangga pernah mendengar kalau Bidadari Bintang Emas pernah
menantangnya. Menurutnya, Pendekar Rajawali Sakti adalah salah satu musuhnya
yang harus bertarung dengannya. Hal ini untuk menentukan siapa di antara mereka
yang lebih tinggi kepandaian dan kedigdayaannya dalam ilmu olah kanuragan
maupun ilmu kesaktian.
"Rangga! Mungkin Sangaji sudah tidak ada
lagi di wilayah Karang Setra ini. Sebaiknya lupakan saja persoalan ini,"
ujar Bidadari Bintang Emas setelah cukup lama berdiam diri.
Rangga hanya tersenyum saja mendengar
peringatan gadis ini. Tapi kali ini, Pendekar Rajawali Sakti bisa menangkap
adanya nada permintaan, meskipun tidak diucapkan secara langsung.
"Dia memang tidak akan diam dan puas
sebelum maksudnya tercapai. Tapi aku khawatir jika apa yang diinginkannya
tercapai, maka seluruh rimba persilatan akan merasa kehilangan sekali,"
sambung Bidadari Bintang Emas.
"Ah! Kenapa kau berkata seperti itu,
Bintang Emas?"
"Karena kau akan sukar menghadapinya.
Dia bukan lagi Sangaji yang dulu, tapi sekarang dia adalah si Setan Pedang
Perak," Bidadari Bintang Emas memberi tahu.
"Ha... ha... ha...!" Rangga tertawa
terbahak-bahak.
"Kau bisa saja tertawa, Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi jangan menyesal nantinya," agak dingin nada suara
Bidadari Bintang Emas kali ini.
"Maaf. Bukannya aku ingin merendahkan
dan meremehkanmu, Bintang Emas. Tapi hatiku merasa tergelitik mendengar kalau
Sangaji adalah si Setan Pedang Perak," jelas Rangga.
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti itu
tergelitik. Memang, dia tahu siapa si Setan Pedang Perak yang sesungguhnya.
Karena, tokoh itu sudah tewas dalam pertarungan dengannya beberapa purnama yang
lalu. Dan dia juga tahu kalau si Setan Pedang Perak tidak mempunyai keturunan.
Tapi, mendadak saja Pendekar Rajawali Sakti
itu jadi tertegun. Kini baru diingat, ternyata pemuda yang memiliki dendam di
hatinya itu mengenakan pakaian yang sama persis dengan si Setan Pedang Perak.
Bahkan bukan hanya warnanya, tapi juga potongan serta bentuk pakaian. Dan yang
tidak pernah diperhatikannya, pemuda yang ada luka codet di pipi kanannya itu
juga memiliki sepasang pedang yang menyembul di balik punggung. Rangga menepak
keningnya sendiri. Kini baru disadari kalau Sangaji membawa pedang yang sama
persis bentuknya dengan pedang si Setan Pedang Perak. Dan...
"Aaah...," Rangga mendesah panjang
seraya mendongakkan kepalanya memandang langit.
Kemudian kepalanya digeleng-gelengkan
disertai hembusan napas panjang dari terasa berat sekali. Sedangkan Bidadari
Bintang Emas hanya memperhatikan, disertai senyuman manis di bibir. Dia
sepertinya mengetahui semua yang sedang dipikirkan Rangga saat ini. Pendekar
Rajawali Sakti memandangi Bidadari Bintang Emas dalam-dalam.
"Siapa sebenarnya Sangaji itu...?"
tanya Rangga seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti itu
bertanya-tanya pada dirinya sendiri, karena baru sadar kalau waktu itu sempat
terkena ramuan racun Setan Pedang Perak yang sudah terkenal keampuhannya. Dan
dikenali betul jenis racun itu walaupun tidak berarti banyak bagi dirinya yang
kebal terhadap segala jenis racun. Memang, racun itu tidak mematikan, dan hanya
membuat orang yang terkena jadi tidak sadarkan diri. Paling tidak, untuk waktu
dua atau tiga hari lamanya. Dan tentu saja racun itu milik si Setan Pedang
Perak. Tak ada seorang pun yang bisa memiliki dan menguasai, baik cara
membuatnya maupun menggunakannya dengan tepat.
"Sangaji adalah si Setan Pedang
Perak," tegas Bidadari Bintang Emas, pelan suaranya.
Rangga semakin dalam memandangi gadis berbaju
kuning keemasan itu. Kalau Sangaji benar si Setan Pedang Perak, lalu siapa yang
bertarung dengannya tiga purnama yang lalu,..? Rangga semakin tidak mengerti
dengan situasi yang dihadapinya sekarang. Herannya lagi, kenapa Sangaji tidak
memberi perlawanan ketika Rangga melukai pipinya hingga membekas dan membuat
wajahnya jadi kelihatan menyeramkan. Terlalu banyak pertanyaan yang sukar
dijawab yang muncul dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti.
Pada saat itu Bidadari Bintang Emas bangkit
berdiri. Sebentar tubuhnya digeliat-geliatkan, menimbulkan gerakan-gerakan
indah yang membuat Rangga sempat tidak berkedip memperhatikannya. Wajah dan
bentuk tubuh gadis itu memang luar biasa cantiknya. Bahkan seorang laki-laki
yang kuat mentalnya, tentu hatinya akan bergetar juga bila menatap gadis
berbaju kuning keemasan itu. Rasanya sulit untuk menyamai kecantikan Bidadari
Bintang Emas. Gadis ini benar-benar bagai seorang bidadari. Selain memiliki
wajah cantik, bentuk tubuhnya indah menggiurkan.
"Kenapa kau memandangku begitu?"
tegur Bidadari Bintang Emas agak ketus.
"Ah, tidak...," sahut Rangga
buru-buru memalingkan mukanya ke arah lain, sehingga tidak bisa mengetahui
senyuman tipis yang tersungging di bibir indah gadis itu.
"Kau memang tampan dan berkemampuan
tinggi, Rangga. Tapi ingatlah, kalau kau sudah memiliki kekasih," kata
Bidadari Bintang Emas seperti bisa membaca pikiran Rangga.
Kata-kata Bidadari Bintang Emas barusan,
membuat Rangga tersentak seperti diingatkan. Bukan saja diingatkan pada Pandan
Wangi, tapi juga diingatkan karena sempat mempunyai pikiran kotor pada diri
gadis itu. Rangga langsung berpaling memandang ke arah Bidadari Bintang Emas.
Namun betapa terperanjatnya begitu mengetahui kalau gadis berbaju kuning keemasan
itu sudah tidak ada lagi. Entah ke mana perginya.
Memang tidak ada yang tahu kalau Bidadari
Bintang Emas pernah punya hubungan dengan Sangaji. Dan karena kepandaian pemuda
itu masih di bawahnya, mau tak mau Sangaji merasa minder. Tapi setelah memakai
julukan si Setan Pedang Perak, Bidadari bintang Emas berniat menyambung kembali
hubungannya dengan Sangaji.
"Gadis yang aneh...," desah Rangga
pelan.
***
Rangga memandangi Puncak Gunung Gadakan yang
selalu terselimut kabut tebal. Seakan-akan, kabut itu merupakan tabir misteri
yang menantang siapa saja untuk mengungkapnya. Di puncak gunung yang berkabut
itulah dia pernah bertemu Sangaji yang kata Bidadari Bintang Emas adalah si
Setan Pedang Perak yang asli. Namun Pendekar Rajawali Sakti tidak mau mempercayai
begitu saja, karena yakin kalau si Setan Pedang Perak sudah tewas dalam
pertarungan dengannya.
Meskipun begitu, Pendekar Rajawali Sakti jadi
penasaran juga. Dia ingin mengetahui lebih jauh lagi, siapa sebenarnya Sangaji
itu...? Apakah memang benar dia adalah si Setan Pedang Perak? Kalau memang
benar, siapa sebenarnya yang tewas tiga purnama yang lalu? Terlalu banyak
pertanyaan yang mengganggu pikiran Rangga saat ini. Dan semua pertanyaan itu
merupakan tantangan yang menarik baginya. Rangga bertekad untuk bisa membongkar
semua misteri yang kini menghadangnya.
Trang! Tring!
"Heh...?!" Rangga tersentak ketika
tiba-tiba saja terdengar suara senjata beradu tidak jauh dari tempatnya berdiri
saat ini. Malah, kadang-kadang diwarnai oleh teriakan-teriakan keras sebuah
pertarungan.
"Hup...!" Rangga melesat cepat
bagai kilat. Begitu cepatnya, sehingga yang terlihat hanya bayangan putih
berkelebatan menuju ke sumber suara pertarungan yang didengarnya. Hanya
beberapa kali lesatan dan lari yang disertai pengerahan tenaga dalam tinggi,
Rangga bisa mencapai tempat pertarungan dalam waktu sebentar saja.
Hampir saja Pendekar Rajawali Sakti terbeliak
begitu melihat Pandan Wangi, Cempaka, dan Palaka tengah bertarung sengit. Lawan
mereka adalah empat orang tokoh persilatan yang bergabung dengan Sangaji, dalam
usahanya membalas dendam pada Pendekar Rajawali Sakti. Mereka juga dibantu
orang-orang berpakaian serba putih. Rangga tahu kalau mereka yang berpakaian
serba putih dan bersenjata golok itu adalah murid Eyang Bangkal. Sedangkan
Eyang Bangkal sendiri sudah tewas.
Rangga memandangi Pandan Wangi yang bertarung
mempergunakan senjata pusakanya berupa kipas baja putih yang bagian ujungnya
runcing. Perhatian pemuda berompi putih itu beralih pada Cempaka. Gadis itu
bertarung mempergunakan sebilah pedang, yang memang ahli mempermainkan
senjatanya.
Lain lagi dengan Palaka. Murid dari Padepokan
Guruwatu itu hanya bertarung dengan tangan kosong saja. Pemuda itu berhadapan
dengan orang-orang berpakaian serba putih. Namun meskipun dikeroyok sekitar
sepuluh orang, Palaka masih mampu bertahan. Bahkan serangan balasan yang berupa
pukulan serta tendangan, membuat lawan lawannya kerepotan juga.
Pendekar Rajawali Sakti hanya memperhatikan
saja jalannya pertarungan dari jarak yang tidak seberapa jauh. Dia memang tidak
ingin terjun dalam pertarungan itu, karena Pandan Wangi, Cempaka, dan Palaka
masih bisa mengatasi lawan-lawannya.
"Akh...!" Tiba-tiba saja Rangga
dikejutkan satu teriakan keras agak tertahan. Pendekar Rajawali Sakti langsung
melayangkan pandangan ke arah datangnya suara tadi. Tampak Pandan Wangi
terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya. Pada saat itu terlihat salah seorang
lawannya yang mengenakan baju putih dan celana putih sebatas lutut, sudah
melompat cepat. Senjatanya berupa kapak yang bagian ujungnya berbentuk seperti
mata tombak, terayun ke arah gadis itu.
"Hiyaaa...!"
Wut!
Ketika kapak itu menyambar, cepat sekali
gadis berbaju biru muda itu mengegoskan kepalanya ke samping. Maka tebasan
kapak itu lewat sedikit di depan mukanya. Namun sebelum gadis itu bisa melakukan
sesuatu, dari arah samping kanannya sudah melesat orang lainnya yang mengenakan
baju merah. Tombak panjangnya yang bermata tiga diayunkan, dan langsung
ditusukkan ke arah dada Pandan Wangi.
Untuk kali ini, Pandan Wangi tak mungkin bisa
menghindar lagi. Karena pada saat yang sama, dari arah depannya juga berkelebat
sebilah pedang. Sementara pada saat itu, perhatian Pandan Wangi tengah terpusat
pada penyerangnya yang berada di depan. Maka, mana mungkin sempat memperhatikan
adanya serangan gelap yang datang dari arah samping.
"Yeaaah...!"
Melihat keselamatan Pandan Wangi terancam,
Rangga langsung melompat. Dan seketika itu juga ujung jarinya dijentikkan pada
mata tombak yang sedikit lagi menancap di dada si Kipas Maut itu.
Tring!
"Heh...! Orang berbaju merah yang
menggunakan senjata tombak itu, terkejut setengah mati. Tombaknya terpental
balik dan dirinya terjajar sekitar tiga langkah ke belakang. Laki-laki berusia
sekitar enam puluhan tahun yang dikenal berjuluk si Tombak Mayat itu langsung
melompat mundur, ketika melihat Pendekar Rajawali Sakti tahu-tahu sudah berdiri
di samping Pandan Wangi.
Bahkan dua orang lainnya yang juga bertarung
melawan si Kipas Maut itu juga langsung berlompatan mundur beberapa tindak.
Demikian pula sekitar delapan orang berpakaian serba putih yang membantu
mengeroyok gadis berbaju biru itu. Seketika mereka menghentikan serangannya.
"Berhenti...!" teriak Rangga keras
dan tiba-tiba. Bentakan Pendekar Rajawali Sakti yang dikeuarkan lewat
pengerahan tenaga dalam tinggi itu sangat luar biasa akibatnya.
Seketika pertarungan yang berlangsung
terhenti. Bahkan seorang tokoh persilatan yang sedang bertarung melawan Cempaka
juga bergegas melompat mundur mendekati temannya yang lain. Mereka saling
berpandangan satu sama lainnya untuk beberapa saat. Sementara Palaka dan
Cempaka juga bergegas bergabung dengan Pandan Wangi dan Rangga. Sedangkan
orang-orang berbaju putih, sudah bergerak membuat lingkaran mengurung mereka
semua.
"Untung kau cepat datang, Kakang,"
ujar Cempaka yang sudah berada di samping kakak tirinya itu.
Rangga hanya melirik saja sedikit pada
Cempaka, kemudian melangkah maju dua tindak. Pandangan matanya tajam menusuk ke
arah empat orang laki-laki yang memiliki dendam pribadi pada Pendekar Rajawali
Sakti. Rangga mengenali betul satu persatu. Mereka memang pernah bentrok
dengannya, tapi tak ada satu pun yang memiliki kepandaian tinggi untuk bisa
menandingi Pendekar Rajawali Sakti.
"Sebenarnya aku sudah enggan berurusan
dengan kalian. Tapi rupanya kalian tidak bisa menerima kebaikan, dan selalu
mencari kesempatan untuk menghabisiku...!" terdengar dingin sekali nada
suara Rangga.
Empat orang laki-laki yang rata-rata usianya
sudah hampir setengah baya, bahkan ada yang lebih itu, saling berpandangan satu
sama lain. Mereka memang menyadari sudah beberapa kali berusaha, namun selalu
gagal. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti masih memberi ampunan padanya.
"Sekarang aku tidak ingin banyak bicara
lagi, dan kuserahkan nasib pada kalian sendiri untuk menentukannya!" tegas
Rangga bernada mengancam.
Dua orang segera bergerak mundur, tapi dua
orang lagi masih tetap berdiri pada tempatnya. Mereka adalah si Tombak Mayat
dan si Kapak Iblis yang kemudian saling berpandangan sejenak dengan sudut ekor
mata masing-masing.
"Dulu kau boleh berbangga, Pendekar
Rajawali Sakti. Tapi sekarang, jangan harap bisa mengalahkanku!" bentak si
Tombak Mayat lantang.
"Hari ini kau akan jadi santapan cacing
tanah, Pendekar Rajawali Sakti...!" sambung si Kapak Iblis menggeram.
"Majulah, jika hal itu membuat kalian
puas," sambut Rangga seraya merentangkan tangannya ke samping.
"Hiyaaat..!"
"Yiaaah...!"
Kedua orang itu langsung berlompatan
menyerang Pendekar Rajawali Sakti. Senjata mereka dikebutkan dengan cepat,
mengarah ke beberapa bagian tubuh Rangga. Namun rupanya pemuda berbaju rompi
putih itu sudah siap menerima serangan. Begitu dua senjata mengarah ke
tubuhnya, dengan manis sekali badannya meliuk menghindari serangan dahsyat itu.
Rangga langsung menggunakan jurus 'Sembilan Langkah Ajaib yang seringkali
digunakan dalam menghadapi lawan.
Serangan yang dilancarkan kedua orang itu
sungguh cepat dan dahsyat Rangga memang merasakan adanya suatu kemajuan yang
dicapai kedua orang itu. Tebasan dan tusukan senjatanya mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi, sehingga menimbulkan deru angin.
"Hup...!" Mendadak saja tubuh
Rangga melenting ke atas ketika tombak bermata tiga mengibas ke arah kaki. Lalu
cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti itu menukik seraya mempergunakan jurus
'Rajawali Menukik Menyambar Mangsa'. Dua kali tubuhnya berputaran di udara,
lalu kakinya cepat diarahkan ke kepala si Tombak Mayat.
"Hiyaaa...!"
Prak!
"Aaakh...!" si Tombak Mayat
menjerit melengking tinggi begitu kaki Pendekar Rajawali Sakti menghantam keras
kepalanya. Dan sebelum jeritan melengking tinggi itu hilang, seketika itu juga
Rangga merubah jurusnya menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali'. Satu pukulannya
langsung diarahkan ke arah si Kapak Iblis. Serangan Rangga yang begitu cepat
dan tidak terduga itu tak dapat terhindarkan lagi. Sehingga...
Des!
"Aaa...!" si Kapak Iblis menjerit
keras. Dalam waktu hampir bersamaan, kedua orang itu menggelepar di tanah.
Si Tombak Mayat menggelepar sambil memegangi
kepalanya yang pecah. Tampak darah merembes keluar dari sela-sela jari
tangannya yang memegangi kepala. Sedangkan si Kapak Iblis hanya sebentar saja
menggelepar, kemudian nyawanya melayang. Tampak dadanya memerah dan melesak ke
dalam akibat terkena 'Pukulan Maut Paruh Rajawali. Kedua tokoh persilatan yang
menyimpan dendam di hati itu kini tergeletak tak bernyawa lagi.
Melihat dua orang berkepandaian cukup tinggi
itu tewas dengan mudah, orang-orang berpakaian serba putih seketika itu juga
berlarian kabur sambil membuang goloknya. Sementara dua orang lagi masih
berdiri terpaku, kemudian juga segera pergi dengan cepat.
***
"Kakang...." Cempaka langsung
menghambur, memeluk Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang dipeluk malah
menatap Pandan Wangi yang tengah menundukkan kepalanya. Seakan-akan tidak
sanggup membalas sorot mata pemuda yang sangat dicintainya itu.
Dengan halus sekali, Rangga melepaskan
pelukan Cempaka, kemudian menghampiri Pandan Wangi yang masih menundukkan
kepalanya. Rangga berdiri sekitar dua langkah di depan gadis berbaju biru itu.
Sementara Cempaka menghampiri Palaka, dan langsung menarik tangan pemuda itu
untuk diajak menjauh.
Pandan Wangi memang sudah menceritakan
semuanya pada Cempaka. Dan gadis itu ikut prihatin dengan apa yang telah
terjadi. Bahkan Cempaka menganjurkan agar Pandan Wangi mengakui saja
kesalahannya pada Rangga. Memang tidak mudah, tapi hanya itu satu-satunya cara
yang harus dilakukan Pandan Wangi.
"Pandan," terdengar lembut suara
Rangga memanggil nama si Kipas Maut.
Perlahan-lahan kepala Pandan Wangi terangkat.
Mereka langsung bertatapan. Namun gadis itu kembali menundukkan kepalanya
begitu sorot mata Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam kepadanya. Dan sebelum
kepala si Kipas Maut itu tertunduk benar, Rangga sudah menyentuh dagu gadis itu
dengan ujung jari. Lalu dengan lembut dagu berbentuk indah itu diangkatnya.
Maka mau tak mau, Pandan Wangi harus menatap bola mata pemuda itu.
"Kau tidak perlu mengatakan apa-apa padaku,
Pandan. Aku tahu semuanya. Anggaplah semua ini sebagai satu pelajaran yang baik
untuk kita semua," ujar Rangga dengan suara lembut sekali.
Pandan Wangi masih terdiam membisu. Bibirnya
bergetar seakan-akan hendak mengatakan sesuatu. Namun tak ada sepatah kata pun
yang terucapkan. Pandan Wangi tidak tahu, apa yang harus diucapkannya. Terlalu
banyak kata-kata terlintas di benaknya, namun tak satu pun bisa diungkapkan.
Lidahnya mendadak jadi kaku seketika.
"Aku menyadari kalau di antara kita ada
perbedaan. Tapi itu bukanlah suatu persoalan yang perlu dibesar-besarkan. Tidak
ada dua makhluk hidup yang sama dan serupa di dunia ini. Paling tidak, pasti
ada perbedaannya walau hanya sedikit sekali. Dan perbedaan itulah yang membuat
manusia bisa bersatu hingga memperbanyak keturunan untuk memenuhi bumi
ini," jelas Rangga lagi.
"Maafkan aku, Kakang. Aku mengaku
bersalah," ucap Pandan Wangi, lirih dan agak bergetar suaranya.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Pandan.
Bukan hanya kau yang memiliki kesalahan. Tapi aku juga," ungkap Rangga.
"Seharusnya hal ini tidak perlu terjadi
jika saja aku bisa menahan diri," kata Pandan Wangi menyesal.
"Kau tidak usah menyesali apa yang telah
terjadi, Pandan. Semua yang terjadi sudah digariskan Hyang Widi. Jadi kita
tidak boleh menghindarinya, terlebih menyesali," Rangga menasihati.
"Yaaah..., memang apa yang telah terjadi
di dunia ini sudah kehendak Hyang Widi," desah Pandan Wangi.
"Dan yang pasti, dari semua kejadian
ini, kita bisa memetik hikmahnya," sambung Rangga seraya memberikan
senyum.
Pandan Wangi jadi ikut tersenyum. Seketika
hilang sudah perasaan cemas dan keraguannya akan sikap Rangga yang diduga akan
membencinya. Ternyata dugaannya selama ini meleset jauh. Rangga yang sekarang,
masih seperti Rangga yang dulu. Bahkan sekarang lebih matang dan lebih
bijaksana. Baik dalam sikap, sifat, dan perbuatannya. Pandan Wangi semakin
merasa kecil dan tak berarti di hadapan Pendekar Rajawali Sakti ini. Seketika
itu pula, rasa cintanya semakin bertambah besar.
Entah ada dorongan apa, tiba-tiba saja Pandan
Wangi memeluk Pendekar Rajawali Sakti. Langsung diberikannya kecupan hangat di
pipi Rangga dan juga di bibir pemuda itu. Rangga jadi gelagapan. Buru-buru
pelukan gadis itu dilepaskan. Matanya sempat melirik Cempaka dan Palaka yang
berada tidak seberapa jauh. Tampak sekali kalau Cempaka langsung memalingkan
muka begitu Pandan Wangi memeluk Rangga.
"Ada Cempaka, Pandan," bisik
Rangga.
"Oh...!" Pandan Wangi tersentak.
Seketika wajah Pandan Wangi memerah begitu
sadar kalau di tempat ini bukan hanya mereka berdua saja, tapi juga ada Cempaka
dan Palaka. Buru-buru Pandan Wangi menjauhkan diri. Wajahnya segera dipalingkan
untuk menyembunyikan rasa malu akibat tidak bisa menahan luapan kegembiraan
yang menyelimuti perasaannya.
"Yuk...?" ajak Rangga seraya
menggamit lengan Pandan Wangi.
"Ke mana?" tanya Pandan Wangi
seraya menepiskan tangan Rangga dengan halus.
"Tidak enak membiarkan mereka di
sana," sahut Rangga seraya ekor matanya menunjuk Cempaka dan Palaka.
Pandan Wangi seperti tak sanggup melihat
Cempaka. Ada terselip rasa malu karena luapan kegembiraan tadi. Sungguh tidak
disadari ada orang lain di tempat ini selain mereka berdua. Dan ini baru
pertama kali gadis itu mencium Rangga di depan orang lain. Kalau saja bisa,
ingin rasanya Pandan Wangi menyembunyikan wajah di balik bajunya.
Pandan Wangi mengikuti ayunan kaki Pendekar
Rajawali Sakti yang menghampiri adik tirinya dan Palaka. Si Kipas Maut itu
masih menundukkan kepalanya begitu berada di samping Cempaka. Sementara itu
Rangga menghampiri Palaka dan mengajaknya berjalan. Pandan Wangi bergegas
mengikuti, dan sepertinya tidak ingin tertinggal jauh dari Pendekar Rajawali
Sakti. Atau mungkin juga ingin menghindari ledekan Cempaka, karena tahu kalau
gadis itu paling pintar menggoda.
"Kak Pandan...."
Pandan Wangi agak tersentak ketika Cempaka
tiba-tiba memanggilnya. Bahkan Cempaka menarik tangannya agar tidak terlalu
cepat berjalan. Sepertinya gadis itu memang sengaja agar Pandan Wangi tidak
terlalu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ada apa?" tanya Pandan Wangi,
berdebar.
idak apa-apa," sahut Cempaka.
Pandan Wangi sempat melirik gadis itu, dan
tampak Cempaka tersenyum-senyum dikulum. Seketika itu juga wajah Pandan Wangi
langsung memerah bagai kepiting rebus. Gadis itu buru-buru memalingkan mukanya,
memandang ke arah lain. Jantungnya semakin keras berdebar. Dia tahu kalau
Cempaka mulai melancarkan aksi untuk menggoda. Dan ini yang sejak tadi
dicemaskan Pandan Wangi.
"Kak.... Rasanya ciuman itu bagaimana
sih?" tanya Cempaka. Suaranya terdengar pelan setengah berbisik.
Seketika itu juga Pandan Wangi merasakan
jantungnya copot. Tidak mungkin pertanyaan konyol itu dijawab. Dan dia tahu
kalau itu merupakan awal malapetaka kecil yang akan dihadapinya. Memang, dulu
dirinya seorang gadis yang nakal dan agak liar. Tapi Pandan Wangi yang sekarang
bukanlah Pandan Wangi yang dulu. Kalau saja gadis ini masih seperti dulu, tentu
pertanyaan konyol itu akan dijawab konyol juga.
"Kapan-kapan ajari aku ya, Kak?"
kata Cempaka lagi semakin lebar senyumannya.
"Edan...!" dengus Pandan Wangi
dalam hati.
Cempaka tersenyum lebar melihat wajah Pandan
Wangi memerah. Bahkan jadi tidak bisa menahan tawanya lagi saat melihat Pandan
Wangi menggerutu kecil.
"Sudahlah, Cempaka. Nanti kau juga akan
merasakannya sendiri," Pandan Wangi mulai meledek.
"Sama siapa...."
"Tuuuh...," Pandan Wangi menunjuk
Palaka yang berjalan di depan bersama Rangga.
"Edan!" dengus Cempaka seraya
meninju bahu Pandan Wangi.
Pandan Wangi jadi tertawa terbahak-bahak
karena bisa membalas godaan gadis itu. Dan Cempaka juga ikut tertawa, membuat
Rangga dan Palaka jadi berpaling. Tapi mendadak saja kedua gadis itu berhenti
tertawa.
***
Baru saja Rangga menghenyakkan tubuhnya di
kursi kamar pribadinya di Istana Karang Setra, mendadak terdengar ketukan di
pintu. Rangga mendengus seraya memandang ke arah pintu yang tertutup rapat tapi
tidak terkunci itu. Memang sukar bila berada di istana ini untuk beristirahat.
Makanya Rangga lebih senang mengembara, dibanding berada dalam istana yang
megah ini.
"Masuk...!" seru Rangga.
Pintu kamar yang terbuat dari kayu jati tebal
dan berukir itu, perlahan-lahan terbuka. Ternyata Danupaksi yang muncul.
Terlihat dua orang prajurit penjaga berada di samping kiri dan kanan pintu.
Rangga memberi isyarat untuk menutup pintu kembali. Danupaksi bergegas menutup
pintu, kemudian menghampiri Raja Karang Setra itu.
"Ada apa?" tanya Rangga tanpa
beranjak dari kursinya.
"Ampun, Kakang Prabu...."
"Yang wajar saja!" sentak Rangga
melihat Danupaksi memberi sembah padanya dengan merapatkan kedua tangan di
depan hidung.
"Tapi ini di...."
"Aku tahu, kau boleh bersikap begitu di
depan orang lain. Tapi di sini tidak ada siapa-siapa," potong Rangga
cepat.
"Maaf, Kakang."
"Katakan, apa yang hendak kau
sampaikan?"
"Hanya ingin menyampaikan ini"
Danupaksi mengeluarkan sebuah gulungan daun
lontar dari balik lipatan bajunya. Langsung diserahkannya pada Pendekar
Rajawali Sakti, Rangga cepat menerimanya. Segera dibukanya pita merah tua yang
mengikat gulungan daun lontar itu. Matanya tidak berkedip memandangi daun
lontar itu. Kemudian daun lontar itu digulung kembali, dan langsung ditatapnya
Danupaksi. Sedangkan yang ditatap hanya sedikit tertunduk.
"Kau sudah tahu isinya, Danupaksi?"
tanya Rangga.
Danupaksi hanya menggelengkan kepala.
"Siapa yang membawa surat ini?"
tanya Rangga.
"Seorang rakyat biasa yang
sehari-harinya mencari kayu bakar di hutan," sahut Danupaksi
. Rangga bangkit berdiri dan berjalan
perlahan-lahan menuju jendela yang dibuka lebar. Dia berdiri tegak di depan
jendela itu sambil memandang lurus ke depan. Sedangkan Danupaksi hanya
memperhatikan dengan benak diliputi berbagai macam pertanyaan. Karena sikap
Pendekar Rajawali Sakti mendadak berubah begitu selesai membaca surat itu.
"Apa isi surat itu, Kakang?" tanya
Danupaksi seraya menghampiri Rangga yang sudah berdiri di depan jendela yang
dibuka lebar-lebar.
antangan," sahut Rangga seraya memberi
gulungan surat daun lontar itu.
Danupaksi menerima gulungan surat itu,
kemudian membukanya. Sebentar dibacanya surat yang hanya berisi beberapa
kalimat saja. Kemudian, matanya tertuju pada Rangga yang tengah mengarahkan
pandangan ke arah Puncak Gunung Gadakan. Dari jendela kamar ini, memang bisa
terlihat pemandangan indah di puncak gunung yang selalu terselimut kabut itu.
"Kau mengenali orang yang mengirim surat
itu, Danupaksi?" tanya Rangga lagi.
Kini Pendekar Rajawali Sakti tahu, kalau
sekarang ini Sangaji hanya seorang diri. Para pengikutnya sudah kabur entah ke
mana, dan tidak sedikit yang tewas di dalam pertarungan. Dan Rangga sendiri
masih belum yakin kalau Sangaji adalah si Setan Pedang Perak.
"Dia masih muda. Tubuhnya kotor serta
pakaiannya lusuh. Ada bekas luka di pipi kanannya. Juga...."
"Sangaji...," desis Rangga
memutuskan ucapan Danupaksi.
Desisan yang seperti tidak sadar terucapkan,
membuat Danupaksi memandangi Pendekar Rajawali Sakti dalam-dalam. Sedangkan
Rangga langsung memutar cepat tubuhnya. Kembali wajahnya mengalami perubahan.
Kemudian adik tirinya itu dipandangi dalam-dalam. Tiba-tiba saja Rangga memberi
beberapa totokan pada dada Danupaksi Akibatnya pemuda itu tersentak kaget dan
memekik tertahan.
"He...?" Dan sebelum Danupaksi
sadar akan apa yang baru saja dilakukan Pendekar Rajawali Sakti itu, tiba-tiba
saja seluruh tubuhnya terasa jadi panas. Dan semakin lama semakin panas bagai
terbakar. Seluruh tubuh Danupaksi memerah, dan mengepulkan asap tipis berwarna
kemerahan.
"Hih!"
Tiba-tiba saja Rangga menghentakkan telapak
tangan kanannya yang terbuka.
Deghk!
Telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti itu
langsung menghantam dada Danupaksi. Akibatnya, pemuda itu terpental ke belakang
dan menghantam dinding. Seluruh dinding ruangan ini bergetar begitu punggung
Danupaksi menghantamnya. Pemuda berbaju putih dan bercelana biru itu langsung melorot
jatuh ke lantai.
"Hoeeekh...!"
Danupaksi berdahak dan memuntahkan darah
kental bercampur cairan merah kehijauan yang mengepulkan uap tipis. Tiga kali
pemuda itu memuntahkan darah disertai cairan kental, kemudian pada muntahan
yang keempat, baru keluar darah segar.
"Hih...!" Kembali Rangga memberi
totokan di dada pemuda itu. Danupaksi tidak lagi bisa bersuara, karena sudah
begitu lemas. Pandangan matanya sayu terarah pada Pendekar Rajawali Sakti yang
berdiri tegak di depannya. Seluruh tubuhnya terasa lemas, dan kepalanya jadi
pening. Namun panas yang tadi dirasakan, mendadak saja lenyap.
"Apa yang kau lakukan padaku,
Kakang?" tanya Danupaksi, lemah suaranya.
"Kau terkena hawa racun yang disebarkan
Sangaji," sahut Rangga.
"Ohhh...," Danupaksi mendesah
panjang dan lirih.
"Siapa saja yang bertemu
dengannya?" tanya Rangga.
Danupaksi menyebutkan beberapa nama.
"Setelah kau sehat, lakukan apa yang
baru saja kulakukan padamu. Minta bantuan Ki Lintuk dan beberapa patih yang
bertenaga dalam tinggi. Jelaskan pada mereka sebelum kau melakukannya,"
jelas Rangga seraya melangkah keluar dari kamar ini.
Danupaksi hanya bisa mengangguk saja. Masih
belum dipercayai apa yang baru dalaminya. Tapi melihat cairan yang keluar dari
dalam perutnya, pemuda itu harus bisa mempercayai kata-kata Pendekar Rajawali
Sakti. Perlahan-lahan Danupaksi bangkit berdiri setelah Rangga lenyap di balik
pintu. Tangannya digerak-gerakkan untuk menyalurkan tenaga dalam dan hawa
murni. Tubuhnya kini mulai terasa segar kembali. Bergegas pemuda itu keluar
dari kamar kakak tirinya. Langkahnya cepat, karena harus melaksanakan perintah
Rangga secepatnya sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
***
"Ha... ha... ha...!"
Rangga hanya menggumam kecil ketika suara
tawa keras menggelegar itu tiba-tiba saja terdengar. Padahal dirinya baru saja
tiba di Puncak Gunung Gadakan. Suara tawa itu menggema, seakan-akan datang dari
segala penjuru mata angin. Namun pandangan Pendekar Rajawali Sakti diarahkan ke
satu arah, tempat terdapatnya sebuah dinding batu yang cukup tinggi dengan
sebuah lubang berada pada tengah-tengahnya.
Pendekar Rajawali Sakti menepuk-nepuk leher
kuda hitamnya yang bertubuh tinggi tegap berotot. Dan seperti bisa mengetahui
keinginan Pendekar Rajawali Sakti, kuda itu melangkah menjauh. Sepertinya kuda
yang bernama Dewa Bayu itu bisa juga merasakan situasi yang tengah terjadi di
puncak gunung yang selalu terselimut kabut ini.
Sementara itu, jauh di belakang Rangga,
terlihat Pandan Wangi dan Cempaka serta Palaka yang berdiri di samping kuda
masing-masing. Mereka sengaja ikut untuk melihat pertarungan antara Pendekar
Rajawali Sakti melawan si Setan Pedang Perak.
Pada saat itu tampak berkelebat sebuah
bayangan putih memotong di depan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tahu-tahu di
depan pemuda berbaju rompi putih itu sudah berdiri seorang laki-laki muda.
Pakaiannya serba putih dan ketat. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai pada
bagian belakangnya. Sedangkan rambut atas kepalanya digelung, dihiasi pita
putih. Tampak dua gagang pedang menonjol keluar dari balik punggungnya. Dia
berdiri tegak sambil menatap tajam Pendekar Rajawali Sakti.
"Sangaji, apa maksudmu memakai julukan
Setan Pedang Perak?" tanya Rangga langsung.
"Akulah Setan Pedang Perak, Pendekar
Rajawali Sakti," sahut Sangaji tegas. Bahkan nada suaranya terdengar
dingin sekali.
"Kau pikir aku tidak tahu siapa Setan
Pedang Perak, Sangaji," terdengar sinis nada suara Rangga.
"Ha... ha... ha...! Baiklah! Aku mengaku
sebagai Setan Pedang Perak, karena akulah pewaris tunggalnya. Kau tahu, Setan
Pedang Perak adalah pamanku! Dan kini aku sudah menguasai lebih baik dari
pemiliknya sendiri. Sekarang aku akan menagih nyawa pamanku...!" geram
Sangaji.
"Aku tidak pernah melakukan sesuatu
tanpa alasan yang tepat, Sangaji. Pamanmu adalah tokoh sesat yang harus
dilenyapkan!"
"Aku tidak peduli apa alasanmu! Sekarang
kita tentukan, siapa di antara kita yang paling berarti di dunia ini!"
Setelah berkata demikian, Sangaji langsung
merentangkan tangannya seraya menggeser kaki kanan sedikit ke depan. Lalu cepat
sekali, pemuda itu menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah, seperti kepakan
sayap seekor burung. Dan Rangga tahu kalau itu merupakan jurus andalan si Setan
Pedang Perak. Pendekar Rajawali Sakti yang sudah bertarung melawan si Setan
Pedang Perak sesungguhnya, tidak akan menganggap enteng Sangaji. Segera
disiapkannya jurus andalan yang pertama kali didapatkan dalam penguasaan ilmu
olah kanuragan.
"Hiyaaat..!"
"Yeaaah...!"
Kedua pemuda yang sudah bersiap dengan jurus
masing-masing, langsung berlompatan saling menerjang. Dan mereka bertemu di
udara pada satu titik. Cepat sekali tangan mereka bergerak saling menyerang dan
menangkis. Suatu pertarungan di udara yang sangat cepat dan luar biasa. Hingga
pada suatu ketika, masing-masing melepaskan satu pukulan lurus ke arah dada.
Tak ada seorang pun yang berusaha menangkis, sehingga langsung telak mengenai
sasaran masing-masing.
Des! Beghk!
Tak ada pekikan yang terdengar. Tubuh kedua
pemuda itu sama-sama terpental ke belakang, dan berputaran beberapa kali di
udara. Lalu dengan manis, mereka menjejakkan kaki di tanah. Dan seketika,
Sangaji mencabut kedua pedang peraknya.
Tring!
Pemuda berbaju putih ketat itu, mengadukan
pedangnya hingga menimbulkan percikan bunga api. Melihat pedang yang pernah
dihadapinya tiga purnama yang lalu, Rangga tidak ingin mengambil risiko terlalu
tinggi.
Sret!
Pendekar Rajawali Sakti itu pun langsung saja
mencabut senjata pusakanya. Seketika itu juga cahaya biru berkilauan
menyemburat begitu Pedang Rajawali Sakti keluar dari warangkanya.
"Hiyaaat..!" Kembali Sangaji
melompat menyerang cepat bagai kilat.
"Hap! Yeaaah...!" Rangga langsung
mengebutkan pedangnya begitu dua pedang Sangaji berkelebatan di depan wajah dan
dadanya. Dua benturan senjata terdengar menimbulkan ledakan dahsyat. Namun
mereka masih terus mempergunakan jurus-jurus mautnya yang terkenal dahsyat
serta ampuh itu.
Jurus demi jurus berlalu cepat Dan semakin
lama pertarungan berjalan semakin seru dan seimbang. Sementara tiga orang yang
menyaksikan, beberapa kali menarik napas panjang. Mereka tentu saja
mengharapkan agar Rangga bisa memenangkan pertarungan itu. Namun mereka juga
menyadari kalau lawan Pendekar Rajawali Sakti itu juga memiliki kepandaian
tinggi. Dan yang pasti Rangga akan mengalami kesukaran untuk menyudahi
pertarungan ini.
Tanpa terasa, pertarungan sudah berjalan
lebih dari tiga puluh jurus. Namun masing-masing masih kelihatan tangguh. Belum
ada tanda-tanda kalau pertarungan akan berakhir. Waktu terus berjalan tanpa
mempedulikan peristiwa yang sedang berlangsung di puncak gunung itu. Tak
terasa, siang pun berganti senja, dan terus berganti malam. Namun pertarungan
antara Pendekar Rajawali Sakti dan Sangaji, masih terus berlangsung. Memang tak
ada yang menghentikan pertarungan itu.
Sementara Palaka sudah membuat api unggun
untuk menghangatkan udara dingin yang membekukan tubuh. Sudah satu hari satu
malam, namun pertarungan itu belum juga berakhir. Entah sudah berapa ratus
jurus dikeluarkan. Malam yang dingin, kembali berganti pagi. Hingga matahari
sampai sepenggalan, pertarungan itu masih terus berlangsung sengit.
Sedangkan tiga orang yang menyaksikan malah
kelihatan lelah, karena tidak memicingkan mata sekejap pun. Mereka tidak ingin
tertinggal meski hanya satu jurus saja. Baru kali ini disaksikan satu
pertarungan yang berlangsung begitu lama tanpa mengenal lelah atau istirahat.
"Hup!"
"Haps...!"
Tepat di saat matahari hampir tenggelam di
balik cakrawala belahan Barat, kedua pemuda yang tengah bertarung sengit itu
melompat mundur beberapa tindak.
Tring!
Sangaji membuang kedua pedangnya ke belakang.
Melihat lawannya melemparkan senjata, Rangga segera memasukkan pedang pusaka ke
dalam warangkanya, lalu melepaskannya dari punggung. Segera dilemparkannya
pedang itu ke belakang. Pada saat itu, Pandan Wangi melesat bagaikan kilat.
Tap!
Gadis itu menangkap pedang yang dilemparkan
Rangga, lalu melesat ke arah dua orang yang menunggunya. Pandan Wangi memegangi
pedang Pendekar Rajawali Sakti. Sementara kedua pemuda yang saling berdiri
berhadapan, sudah mempersiapkan ilmu pamungkas. Tampak sekali kalau Rangga
mengeluarkan aji 'Cakra Buana Sukma' tanpa menggunakan pedang sebagai
sarananya. Karena, ajian itu memang sudah dikuasainya dengan sempurna.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Sangaji
berteriak menggelegar sambil melompat deras. Kedua tangannya terbuka lurus ke
depan.
"Aji 'Cakra Buana Sukma'...!
Yeaaah...!" pekik Rangga keras menggelegar.
Blarrr! Ledakan dahsyat terdengar menggelegar
begitu tangan-tangan mereka yang terbuka lebar, saling berbenturan. Namun tak
ada seorang pun yang terpental. Kedua telapak tangan mereka saling menyatu
rapat dengan kaki agak merentang berpijak pada tanah. Tampak cahaya biru mulai
menjalar dari tangan Pendekar Rajawali Sakti ke tangan Sangaji.
Perlahan namun pasti, sinar biru itu terus
merayap. Dan Sangaji mulai berkeringat. Tubuhnya agak bergetar merasakan ajian
yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti. Wajah pemuda itu mulai memerah. Tampak
jelas kalau dia tengah berusaha mengeluarkan seluruh tenaganya untuk menahan
gempuran aji 'Cakra Buana Sukma' yang dahsyat.
"Akh...!" tiba-tiba saja Sangaji
menjerit keras. Pemuda berpipi codet itu menggeliat-geliat dan berusaha
melepaskan tangannya dari telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti. Namun semakin
keras berusaha, semakin sukar untuk melepaskan diri. Bahkan tenaganya terasa
tersedot keluar tanpa dapat dikendalikan lagi. Sementara cahaya biru semakin
menyelimuti dirinya.
"Aaa...!" Sangaji memekik keras
melengking.
"Yeaaah...!" tiba-tiba saja Rangga
berteriak keras menggelegar. Dan seketika itu juga tangannya ditarik. Dan
dengan cepat sekali, tangannya dihentakkan, tepat menghantam kepala pewaris si
Setan Pedang Perak itu.
Glarrr! Seketika itu juga tubuh Sangaji
hancur berkeping-keping. Pada saat yang sama, Rangga melompat mundur.
Dipandanginya kepingan tubuh Sangaji yang sudah tidak berbentuk lagi. Rangga
menarik napas panjang sambil mundur beberapa tindak. Kepalanya menoleh ketika
mendengar seruan memanggil namanya.
"Kakang....!"
Rangga tersenyum, dan tidak bisa menolak
ketika Pandan Wangi dan Cempaka berebut memeluknya. Pendekar Rajawali Sakti
hanya merentangkan tangannya saat dipeluk dua orang gadis yang sangat dicintainya
itu. Sementara Palaka hanya memandangi dengan bibir tersenyum. Sungguh senang
hatinya melihat Pendekar Rajawali Sakti bisa memenangkan pertarungan panjang
dan mendebarkan ini. Hatinya juga begitu haru melihat adanya kasih sayang dan
cinta pada keluarga pendekar itu.
"Palaka, untuk sementara kau tinggal
saja di istana. Bahkan untuk selamanya pun tidak apa-apa," kata Rangga
seraya melepaskan pelukan kedua gadis yang sedang dilanda kegembiraan itu.
"Terima kasih," ucap Palaka sambil
menyambut uluran tangan Rangga, disertai senyuman lebar dan penuh persaudaraan.
"Terima saja, Palaka," desak Pandan
Wangi seraya melirik Cempaka.
Sedangkan yang dilirik hanya mencibir saja.
Palaka tak mungkin menolak permintaan itu. Matanya juga sempat melirik Cempaka,
namun kemudian kepalanya mengangguk.
"Ayo, kita kembali ke istana," ajak
Rangga.
TAMAT
EPISODE SELANJUTNYA:
SATRIA BAJA HITAM
Emoticon