1
Pagi dengan sinar mentarinya yang hangat menerangi
alam persada. Mentari baru saja naik dari peraduannya. Namun para kuli yang
bekerja pada pembuatan jalan tampak telah mulai bekerja. Di antara puluhan kuli
berdiri belasan lelaki bertampang beringas tengah mengawasi. Dari tampang
mereka tampak ke tidak relaan jika para kuli itu bekerja lamban, apalagi
beristirahat sebelum waktunya.
Tidak jauh dari tempat itu, tampak seorang lelaki
tua tengah tertatih-tatih membawa bongkahan batu yang tak seimbang dengan keadaan
tubuhnya.
Meskipun suasana masih pagi, tubuh kurus lelaki tua
itu bercucuran keringat. Sesekali langkahnya terhenti.
Napas tuanya tersengal-sengal. Lalu setelah
meletakkan batu yang dibawa ke tanah, tangannya menyeka keringat yang hampir
mengalir ke mata. Ditelan air lu-dahnya guna membasahi kerongkongan yang basah
kehausan. Kepalanya menggeleng-geleng, seolah hendak mengatakan bahwa dirinya
tak mampu.
Namun orang-orang berpakaian rompi hitam yang
bertugas sebagai pengawas itu tampaknya tak peduli. Mereka bagaikan iblis-iblis
kejam. Tak ada belas kasihan sama sekali terhadap para pekerja yang sudah
dibayar oleh juragan yang menangani pembuatan jalan. Siapa yang berani
membangkang, akan mendapat siksa yang berat "Uhhh..." lelaki tua
bertubuh kurus itu melen-guh lirih dengan mulut meringis. Tubuhnya tampak
gemetaran, seakan menggambarkan betapa berat beban yang tengah dijalani.
Begitupun guratan-guratan di wajah lelaki tua itu menyiratkan derita hidup yang
telah menghimpit jiwanya.
"Hyang Widhi Oh..., sampai kapan penderitaan
ini berakhir? Sampai kapan derita yang harus ditanggung warga Desa Kaliamba
ini...?" keluh lelaki tua hampir tak berdaya. Wajahnya yang berpeluh
menengadah, memandang ke langit. Seakan-akan tengah mengadukan nasibnya kepada
Yang Maha Kuasa.
Baru beberapa kali tarikan napas lelaki itu
termenung, tiba-tiba dari belakang seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh
tahun bermuka beringas menghampiri. Tanpa banyak bicara, lelaki beringas yang
ternya-ta penjaga para pekerja menendang tubuh lelaki tua itu.
Dugkh "Tua bangka tak tahu diri Sudah dibayar
masih malas-malasan kau?" hardiknya dengan mata melotot. Lelaki tua renta
yang ditendang, terjungkal. Beruntung batu yang dibawa terlontar agak jauh, tak
mengenai tubuhnya. Dengan tertatih-tatih, lelaki tua renta itu berusaha bangun.
Wajahnya memandang mengiba, berusaha meminta belas kasihan.
"Saya..., saya sakit, Den," ujar lelaki
tua itu dengan suara gemetar.
"Ah..., alasan lagi Cepat bangun dan kerja
Jangan sampai hilang kesabaranku" hardik si penjaga dengan muka semakin
menampakkan kegarangan.
Kakinya dengan enteng, kembali menendang pantat
lelaki tua itu.
Dugkh "Aduh Ampun, Den" Lelaki tua renta
itu terjungkal dengan muka mencium tanah. Namun, sepertinya si penjaga tak
merasa kasihan sedikit pun. Bahkan dengan angkuhnya, lelaki muda bermuka garang
itu tersenyum sinis.
Orang-orang yang sedang bekerja, hendak membantu
lelaki tua malang itu. Namun tiba-tiba....
"Jangan turut campur Atau kalian akan
mendapatkan hal serupa dengan orang tua yang hampir mampus itu?" terdengar
suara keras membentak. Sehingga pekerja paksa itu mengurungkan niat mereka.
Namun mata para pekerja paksa itu memandang penuh
kebencian pada lelaki berpakaian hijau sepanjang lutut yang dirangkapi pakaian
dalam warna kuning.
Lelaki berperut buncit dan bermuka bengis itu, tak
lain juragan yang menangani pekerjaan pembuatan jalan. Dia bernama Durka Pela,
warga desa yang terkenal pelit dan kikir. Namun karena pintar mengambil hati
para pembesar, dirinya dipercaya untuk menangani masalah pembebasan tanah dan
pengerjaan pembuatan jalan.
Pertentangan antara Juragan Durka Pela dengan warga
Desa Kaliamba mengenai pembebasan tanah dan upah yang sangat kecil, sudah
sering terjadi.
Namun selama ini, warga selalu kalah. Hal itu
karena Juragan Durka Pela beserta para centengnya melakukan penekanan dan
penyiksaan, yang membuat warga semakin menderita.
"Kalian telah tahu, apa yang akan kalian
dapatkan, jika berani menentangku" bentak Juragan Durka Pela dengan
tingkah sombong. Kedua tangannya bertolak pinggang. Matanya memandang penuh
kebengisan pada para pekerja yang seketika mengurungkan niat mereka untuk
melakukan pemberontakan. Juragan Durka Pela tersenyum sinis. Keangkuhannya
semakin menjadi-jadi. Matanya disapukan ke sekeliling tempat pembuatan jalan
dengan tajam, yang membuat semua pekerja semakin ketakutan.
"Ayo, kalian kerja lagi" seru Juragan Durka
Pe-la pada para pekerja paksa yang masih diam, memandang penuh kebencian
kepadanya. Namun Juragan Durka Pela tak peduli. Dengan angkuh, juragan kikir
ini bertolak pinggang. Kepalanya digerakkan, memberi perintah pada anak buah
agar menangani para pekerja. Kemudian dengan tanpa mempedulikan para pekerja.
Juragan Durka Pela beranjak meninggalkan tempat itu diikuti dua orang
pengawalnya.
Para penjaga yang bertugas mengawasi para pekerja,
kembali berlaku kasar. Siapa saja yang malas-malas mereka siksa dengan
tendangan dan pukulan.
Sehingga para pekerja tak ada yang berani
membangkang. Meski merasa tertekan dan tersiksa, mereka terpaksa bekerja. Meski
keringat bercucuran membasahi tubuh, mereka tetap bekerja.
Mentari terus merangkak naik dengan sinarnya yang
semakin panas. Para pekerja tetap bekerja, tanpa ada waktu beristirahat.
Apalagi para penjaga tampak semakin beringas dan kejam setiap menghadapi
pekerja yang mencoba melawan. Para penjaga tak memandang bulu pada siapa saja.
Tak peduli pada orang tua, ataupun anak muda. Sekali saja kedapatan
beristirahat atau malas, siksa hukuman akan menimpa dirinya.
***
Kereta yang
ditarik dua ekor kuda nampak melaju meninggalkan tempat pembuatan jalan. Di
dalam kereta itu, duduk seorang lelaki gemuk berperut buncit. Di kanan kirinya,
dua orang centeng dengan mata tajam mengawasi sekelilingnya. Lagak mereka
seperti seorang pendekar sakti, yang setiap saat siap menyelamatkan sang
Juragan dari ancaman orang-orang yang merasa tidak suka.
"He he he... Semakin lama pekerjaan itu, akan
semakin banyak uang yang masuk ke kantongku," gumam Juragan Durka Pela
sambil tertawa terkekeh.
Kedua orang centeng turut tertawa senang, karena
mereka juga akan mendapatkan cipratan uang dari juragannya. Ketika mereka
melintasi jalanan berbukit, tiba-tiba dari arah yang berlawanan berkelebat
sesosok bayangan biru di depan kuda-kuda itu.
"Hiiieeeh... Hiiieeehhh..." Kedua kuda
penarik kereta langsung meringkik, dengan kaki-kaki terangkat ke atas. Hal itu
membuat orang-orang yang berada di dalam kereta terkejut "Ada apa,
Kusir?" sentak Juragan Durka Pela bertanya.
"Ampun Juragan Ada orang menghadang kita"
sahut sang Kusir.
"Huh Cecunguk macam apa lagi yang berani
menghadang perjalanan kita?" dengus Juragan Durka Pela. "Barda dan
kau Gopal, bereskan dia Mengganggu saja" "Beres, Gan," jawab
kedua centeng yang langsung melompat keluar untuk melihat orang yang berani
menghadang perjalanan juragannya.
Seorang lelaki berpakaian biru tua nampak berdiri
tegap. Matanya menatap tajam dua orang centeng Juragan Durka Pela. Lelaki
bercadar biru itu seakan mengejek kedua centeng yang telah banyak membuat
penderitaan warga Desa Kaliamba.
"Siapa kau? Untuk apa kau menghadang
perjalanan kami?" bentak centeng yang berkepala botak.
Matanya yang juling menatap wajah lelaki yang
terhalang kain biru itu. Dari sikapnya seperti dibuat-buat, centeng yang
bernama Barda itu jelas memperlihatkan sifat penjilat. Lagaknya seperti seorang
jagoan yang tak tertandingi siapa pun.
"Siapa diriku, kalian tak perlu tahu Aku ingin
bertemu dengan juragan kalian," sahut lelaki bercadar biru tegas. Matanya
menentang tatapan kedua centeng yang garang. Sepertinya lelaki berpakaian biru
panjang sampai selutut itu tak merasa takut sedikit pun.
"Untuk apa kau ingin bertemu juragan
kami?" bentak Gopal. Hidungnya yang besar tampak berkembang kempis.
"Aku tak butuh kalian Mana juragan
kalian?" bentak lelaki bercadar biru tak kalah kerasnya. Hal itu membuat
kedua centeng Juragan Durka Pela tersentak kaget. Barda dan Gopal tak menyangka
kalau lelaki bercadar biru akan berani membalas bentakan mereka. "Cepat
suruh juragan kalian keluar" "Kurang ajar Lancang sekali kau Nih...,
hadapi dulu kedua centengnya" bentak Barda. Kepalanya yang botak manggut-manggut
"Hua ha ha... Untuk menghadapi kalian, kurasa tak ada artinya"
tiba-tiba lelaki bercadar biru tertawa keras terbahak-bahak, mengejek kedua
centeng yang semakin bertambah geram.
"Kurang ajar Sombong kau Heaaa..."
"Kuremukan kepalamu" Barda dan Gopal segera mencabut golok mereka.
Kemudian dengan pekikan menggelepar, kedua centeng
itu langsung merangsek lawan yang tampak masih berdiri tegap di depan kereta
kuda Juragan Durka Pela.
"Hea" "Yea" Golok di tangan
kedua centeng itu membabat cepat. Namun dengan ringan lelaki bercadar biru
segera bergerak mengelak. Kaki kanannya ditarik ke belakang, sedang kaki kiri
ditekuk membentuk kuda-kuda.
Lalu dengan gerak cepat, kedua tangannya menghantam
pundak kanan dan kiri kedua lawannya setelah serangan mereka lepas.
Degkh Degkh "Ukh" "Akh" Kedua
centeng itu seketika terhuyung-huyung ke belakang, terkena hantaman tangan
lelaki bercadar.
Mata keduanya membelalak sedangkan dari mulut
mereka melelehkan darah. Barda dan Gopal merasakan sesak dan nyeri di dada
mereka.
"Hua ha ha..." lelaki bercadar biru
tertawa terbahak-bahak, sehingga tubuhnya tampak terguncang.
Kemudian setelah mendengus, lelaki yang belum
dikenal itu berkata, "Kalau aku mau tak sulit mengirim nyawa kalian ke
neraka" Ucapan lelaki bercadar biru tidak menyadarkan kedua centeng
Juragan Durka Pela. Mereka justru bertambah marah karena merasa diremehkan.
"Cuih..." Barda membuang ludah ke tanah.
Kemudian disekanya dengan telapak tangan, darah
yang meleleh di bibirnya. Matanya menatap penuh kebengisan, "Kau kira
mudah menakuti kami? Huh, jangan kira kami akan takluk di tanganmu"
"Hm, begitu? Rupanya kalian memang hams kusingkirkan dari dunia ini
Bersiaplah... Heaaa..." dengan lompatan cepat, seperti terbang, lelaki
bercadar biru membuka serangan. Kedua tangannya telah siap menghajar kedua
centeng Juragan Durka Pela.
Kedua centeng Juragan Durka Pela tersentak,
menyaksikan jurus silat yang sangat cepat dan seperti mengandung tenaga dalam
yang kuat. Sesaat lagi, serangan lelaki bercadar biru itu akan menghantam tubuh
kedua centeng itu. Namun tiba-tiba....
"Hentikan" dari dalam kereta muncul
Juragan Durka Pela. Sehingga lelaki bercadar biru seketika menghentikan
gerakannya.
"Bagus Rupanya kau tahu diri, Durka Pela Kalau
saja kau tak segera keluar, kedua kunyuk jelekmu ini sudah kukirim ke
neraka" dengus lelaki bercadar sengit "Apa maumu? Kau telah kenal
namaku, tetapi aku tak mengenalmu," ujar Juragan Durka Kepala dengan mata
terus menyelidik, siapa adanya lelaki gagah yang sebagian wajahnya ditutup
cadar. Sekilas Juragan Durka Pela mengenal sosok tubuh lelaki itu.
Namun hatinya ragu, karena tak melihat jelas wajah
lelaki itu "Hm, tak banyak," sahut lelaki bercadar biru.
"Katakan, apa?" Lelaki bercadar biru tak
langsung menjawab.
Matanya menatap tajam wajah Juragan Durka Pela.
Seolah-olah hendak menyelidik, apakah Juragan Durka
Pela benar-benar akan memenuhi permintaannya.
Atau sebaliknya, dengan kelicikan akan menipu
dirinya. "Baik, aku minta kau bersedia menyerahkan potongan gaji kuli-kuli
itu" Membelalak mata Juragan Durka Pela, mendengar permintaan lelaki
bercadar. Kedua centengnya pun tersentak kaget, sekaligus marah karena lelaki
bercadar biru dianggap telah berani turut campur dalam urusan mereka.
"Huh? Lancang sekali mulutmu" dengus
Barda geram. Centeng botak itu hendak maju, tetapi Juragan Durka Pela
melarangnya.
"Tenang" "Dia terlalu kurang ajar,
Juragan," ujar Barda sengit "Tenang..., tenang saja Jangan kira aku
akan menuruti permintaan itu" bisik Juragan Durka Pela pada kedua
centengnya dengan bibir tersenyum sinis.
"Bagaimana, Durka Pela?" tanya lelaki
bercadar biru.
"Mereka telah kubayar sesuai dengan
perjanjian," jawab Juragan Durka Pela.
"Hm, jangan kira aku tak tahu, kalau kau telah
memaksa mereka agar mau menerima tiga kali Bukan itu saja, kau juga telah
menekan pemilik tanah yang terkena jalur pembuatan jalan dengan harga semurah
mungkin" ujar lelaki bercadar biru. Hal itu membuat muka Durka Pela
seketika merah membara.
"Kurang ajar Lancang sekali mulutmu, hai...
Lelaki Bercadar" dengus Barda geram. Tubuhnya
seketika melesat seraya mengayunkan golok menyerang.
"Mampus kau Hih..." Wrt "Uts Kurasa
kaulah yang harus mampus Hea..." usai berkelit lelaki bercadar biru segera
menghantamkan telapak tangan kanannya ke dada Barda.
Barda yang tubuhnya doyong ke depan setelah gagal
menyerang, tersentak kaget. Dirinya berusaha berkelit sambil membabatkan golok
ke tubuh lelaki bercadar.
"Heaaa" Wrt Lelaki bercadar menarik
mundur serangannya, kemudian sambil memutar tubuh, kaki kanannya menendang
punggung Barda dengan keras.
Degkh "Akh..." Tubuh Barda
terhuyung-huyung ke depan. Dari mulutnya memuncratkan darah segar. Matanya
melotot lebar. Sesaat tubuhnya meregang, berbalik memandang lelaki bercadar.
"Kau...." Belum habis ucapan Barda,
seketika tubuhnya ambruk dengan mata masih membelalak. Nyawanya melayang. Hal
itu semakin membuat Gopal dan Juragan Durka Pela membelalakkan mata marah.
"Kurang ajar Kau telah berani membunuh temanku
Kau harus mampus Heaaa..." Gopal seketika melesat dengan goloknya,
membabat dan memburu lawan. Namun dengan cepat lelaki bercadar biru mengelitkan
serangan-serangan gencar dan keras yang dilancarkan Gopal.
"Hea" Dengan melompat ke sana kemari
lelaki bercadar biru terus mengelitkan serangan gencar yang dilancarkan Gopal.
Sesekali lelaki bercadar biru itu balik menyerang dengan pukulan dan tendangan.
Namun ternyata serangan balasan itu tak bisa dianggap remeh. Buktinya Gopal
tampak kelabakan dibuatnya.
Gopal harus berjuang mati-matian agar bisa lepas
dari serangan lawan.
"Yea" Lelaki bercadar berkelit dengan
tubuh memutar ke belakang. Kemudian dengan cepat dan beruntun tangan dan
kakinya menghantam punggung dan kepala Gopal.
"Hea" Degkh Degkh "Ukh Akh..."
Tubuh Gopal terhuyung-huyung cepat ke depan. Dari mulutnya muncrat darah segar.
Kemudian, diiringi serangan keras tubuhnya ambruk ke tanah.
Dan tewas seketika.
Melihat kedua centengnya mati, Juragan Durka Pela
hendak lari ke kereta. Namun dengan cepat, lelaki bercadar biru telah melesat
menghadangnya.
"Mau lari ke mana, Durka Pela?" bentak
lelaki bercadar biru dengan suara geram. Mendengar ancaman yang tampak dari
sikap lelaki itu Juragan Durka Pela gemetar ketakutan. Keringat dingin mengucur
deras mulai membasahi sekujur tubuhnya.
"Ampun, jangan bunuh aku" pinta Juragan
Durka Pela sambil menyembah-nyembah.
"Aku akan mengampunimu, asalkan kau
mengembalikan uang potongan gaji pekerja. Kembalikan pula uang pembebasan tanah
yang juga telah kau potong" perintah lelaki bercadar biru mengancam.
"Tapi... tapi...." "Tapi apa?"
bentak lelaki bercadar keras, "Kau akan mengatakan uangmu habis untuk
mengumpul-kan gundik dan membeli rumah-rumah mewah. Begitu, kan?" Juragan
Durka Pela menundukkan kepala sambil mengangguk, membenarkan apa yang
dituduhkan lelaki bercadar biru. Lelaki berperut gendut itu tak mampu menahan
rasa takutnya, sehingga sampai ter-kencing-kencing.
"Baiklah kalau memang hari ini tak ada.
Kutunggu sampai tiga hari. Kuminta kau menyerahkannya di Bukit Kucing"
perintah lelaki bercadar. Kemudian tanpa menghiraukan Juragan Durka Pela,
lelaki bercadar biru melesat meninggalkan tempat ini.
Dengan sempoyongan dan gemetaran Juragan Durka Pela
melangkah menghampiri keretanya. Wajahnya menggambarkan kepanikan dan bingung.
Lelaki bercadar biru, bukanlah orang sembarangan. Terbukti dua orang centengnya
dalam sekali gebrak saja dapat dibinasakan.
"Bagaimana aku akan memberi
permintaannya," keluh Juragan Durka Pela sambil melangkah ke keretanya.
Kemudian tanpa bicara, lelaki gemuk berperut buncit itu naik ke keretanya,
"Jalan" Sang Kusir menurut, menjalankan keretanya.
***
2
Waktu yang dijanjikan lelaki bercadar biru hampir
tiba. Besok, Juragan Durka Pela harus menyerahkan uang sisa pemotongan gaji dan
pembebasan tanah warga. Namun uang yang diminta, benar-benar tak ada. Keadaan
ini membuat Juragan Durka Pela nampak kebingungan. Melaporkan kepada para
pejabat kerajaan, rasanya tak mungkin. Kalau hal itu dilakukan, hanya akan
mempermalukan dirinya karena para pembesar istana telah menyerahkan pembuatan
jalan itu kepadanya. Apapun yang terjadi, semua tanggung jawabnya.
Di samping itu, pembesar istana sebenarnya telah
membayar semua pembiayaan. Ada pun pembayaran terhadap para kuli dan pembebasan
tanah, semua di tangan Juragan Durka Pela. Dirinya pula yang memotong bayaran
setengah lebih dari jumlah yang harus dibayarkan.
Malam ini, Juragan Durka Pela merasa bingung.
Matanya tak dapat diajak tidur. Benaknya terus gelisah, memikirkan lelaki
bercadar biru yang telah membunuh dua orang centengnya hanya dengan sekali
gebrak. Juga mengingat tuntutan lelaki bercadar biru, yang menyuruhnya
membawakan uang pemotongan pembayaran pembebasan tanah serta uang kuli.
"Dari mana aku mendapatkan uang sebanyak
itu?" gumam Juragan Durka Pela masih kebingungan.
Kakinya melangkah hilir mudik. Otaknya terus
bekerja, diperas untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dalam
hatinya.
Kebingungan masih melanda pikiran Juragan Durka
Pela, ketika delapan orang wanita cantik yang menjadi gundik-gundiknya masuk.
Kedelapan gadis cantik berpakaian seronok mendekati Juragan Durka Pela. Ada yang
melenggak-lenggokkan tubuhnya. Ada yang langsung membuka pakaiannya sehingga
telanjang bulat. Juga ada yang langsung memberi ciuman dan rangsangan pada
juragan berperut gendut itu.
"Kenapa Kakang nampak kebingungan?"
seorang gadis berpakaian merah jambu yang masih muda sekali, berusia sekitar
delapan belas tahun, mencoba bertanya.
"Ah, tidak apa-apa," jawab Juragan Durka
Pela sambil membalas semua yang dilakukan kedelapan wanita cantik yang
dijadikan gundiknya.
Meski pikirannya sedang kusut oleh masalah yang
sedang dihadapinya, Juragan Durka Pela berusaha menghilangkannya. Direngkuhnya
kedelapan wanita cantik itu. Kemudian dengan tertawa-tawa, mereka meladeni
Juragan Durka Pela.
Ada yang ditindih, ada yang memijit dan segala
macam tingkah laku yang menjijikkan. Semua mereka lakukan dengan keadaan tubuh
tak tertutup sehelai benang pun. Juragan Durka Pela tidak ubahnya buaya darat
yang sangat rakus. Meski usianya sudah setengah abad, lelaki gendut itu nampak
masih sanggup meladeni kedelapan gundiknya. Dengan penuh nafsu, Juragan Durka
Pela terus menggumuli kedelapan gundiknya secara bergantian.
Hilang sudah pikirannya yang pusing, memikirkan
lelaki bercadar biru yang menuntut uang pemotongan gaji dan pembebasan tanah.
Seakan Juragan Durka Pela melupakan apa yang akan terjadi, jika besok dia tidak
dapat memenuhi permintaan lelaki bercadar biru itu.
"Persetan dengan lelaki bercadar itu"
maki Juragan Durka Pela dalam hati sambil terus menggeluti kedelapan gundiknya
bergantian, yang tertawa-tawa senang. Kedelapan gundik Juragan Durka Pela,
merasa senang dengan perbuatannya.
Tengah Juragan Durka Pela melampiaskan nafsunya
pada kedelapan gundik, tiba-tiba....
Brak Dinding papan rumahnya dijebol dua sosok
lelaki yang mengenakan cadar biru dan ungu. Mata kedua lelaki berpakaian
seperti cadar, memandang tajam wajah Juragan Durka Pela dan kedelapan gundiknya
yang terkejut. Sehingga mereka langsung berlarian sambil mengenakan kain
masing-masing.
"Siapa kalian? Lancang sekali masuk tanpa
izinku" bentak juragan Durka Pela sengit seraya membetulkan pakaiannya.
"Hhh..., tak jadi soal siapa kami berdua
Sekarang juga, kuminta serahkan hartamu Cepat.." bentak lelaki bercadar
ungu. Matanya menatap tajam pada Juragan Durka Pela. Sebilah pedang telah
ditudingkan ke muka Juragan Durka Pela yang masih tampak terkejut tak mampu
berbicara.
"Kami harap jangan melawan" sambung
lelaki bercadar biru.
"Kau?" kaget Juragan Durka Pela,
mengenali suara lelaki bercadar biru yang dikenalnya. Ya. Orang itu tak lain
lelaki yang telah menghadangnya kemarin.
"Ya Sengaja aku datang ke rumahmu, karena
kurasa kau tak akan memberikan apa yang kuminta.
Manusia licik sepertimu, tak dapat dipercaya,"
sahut lelaki bercadar biru sambil menghunus pedangnya.
"Bu..., bukankah kau minta besok?" tanya
Juragan Durka Pela dengan tubuh gemetaran. "Besok aku akan menyerahkan
padamu." "Hm, begitu?" "Ya." "Kau kira aku
percaya pada bualanmu, Durka Pela?" bentak lelaki bercadar biru, "Aku
tak sebodoh itu Sekarang serahkan sisa uang yang kau potong dari gaji para kuli
dan pembebasan tanah" "Tapi.., tapi..." "Jangan membantah,
Durka Pela" bentak lelaki bercadar ungu seraya mendekatkan ujung pedangnya
ke leher Juragan Durka Pela, yang menjadikan lelaki berperut gendut itu semakin
ketakutan. Namun pada saat itu pula, dari luar masuk anak buah Juragan Durka
Pela berjumlah sepuluh orang.
"Ada apa, Juragan?" "Bunuh
mereka" teriak Juragan Durka Pela.
Seketika terbangkit keberaniannya, setelah melihat
kedatangan sepuluh anak buahnya.
Mendengar perintah juragannya, sepuluh lelaki
berpakaian rompi hitam dan berwajah bengis itu langsung menjalankan perintah.
Mereka langsung mengurung kedua lelaki gagah yang mengenakan cadar.
"Heaaa..." "Kalian mencari
mampus" dengus lelaki bercadar biru. Kemudian dengan cepat tangan kanannya
bergerak, membabat dan menusukkan pedang memapak serangan lawan-lawannya.
"Huh Jangan banyak bicara Pergi saja kalian dengan
tenang, atau terpaksa kami tak segan-segan membinasakan kalian berdua"
bentak lelaki berbadan tinggi besar dengan kumis tebal. Tampaknya orang ini
pimpinan dari kesepuluh orang berompi hitam, yang merupakan centeng bayaran
Juragan Durka Pela.
"Hm, kalian juga penghisap darah rakyat kecil
Kalian bersuka ria di atas penderitaan orang miskin Jangan harap kami
membiarkan kalian hidup Heaaa..." lelaki bercadar ungu mendengus marah
sambil memutar pedang dengan cepat memapaki serangan lima orang lawannya.
Trang Trang...
"Heaaa" Dentangan nyaring pun terdengar
ketika beberapa pedang saling bentur. Lelaki bercadar ungu terus membabatkan
pedang, tak ingin serangan lawan mendahului. Hingga....
Bret Crab "Aaakh..." dua orang lawan
menjerit, ketika dadanya terbabat pedang lelaki bercadar ungu. Tubuh kedua
centeng Juragan Durka Pela itu meregang mendongak dengan dada mengucurkan
darah. Kemudian keduanya ambruk dan tewas.
Melihat kedua temannya mati, tiga orang lainnya
bukan takut. Mereka justru bertambah beringas dan marah. Dengan ganas ketiganya
langsung melakukan serangan secara serentak. Berkelebatan pedang mereka menusuk
dan membabat tubuh lelaki bercadar ungu. "Heaaa... Mampuslah kau,
Pengacau" dengus salah seorang dari ketiganya sambil membabatkan pedang.
Namun babatan pedang lelaki bercambang lebat itu dengan mudah dapat dielakkan
lelaki bercadar ungu, yang kemudian melakukan serangan balasan ke tubuh lelaki
brewok itu.
"Yeaaa..." Wrt Cras "Akh..."
lelaki bercambang bauk itu menjerit.
Tubuhnya terlempar ke belakang dengan perut robek
akibat babatan pedang lelaki bercadar ungu. Sesaat tubuhnya masih mampu
bertahan. Namun kemudian ambruk dan tewas dengan darah membanjir membasahi
sekujur tubuh.
Di sisi lain, lelaki bercadar biru pun tak kalah
hebat dalam menghadapi lawan-lawannya. Pedang di tangannya bergerak sangat
cepat. Sehingga yang tampak hanya kelebatan-kelebatan cahaya putih, disertai
suara berdecit terus memapak dan menyerang lima orang lawannya.
"Heaaa..." Wrt Wrt Pedang di tangan
lelaki bercadar biru itu laksana sebuah baling-baling yang kuat dan cepat.
Kelima lawannya membelalakkan mata kaget tak menyangka kalau ilmu pedang lawan
begitu tinggi. Namun mereka tetap berusaha menghalau serangan lelaki bercadar
biru dengan sambutan pedang mereka.
"Heaaa..." Serentak kelima lelaki
berpakaian rompi hitam membabatkan pedang ke tubuh lelaki bercadar biru,
sehingga pedang mereka saling bertemu dan beradu.
Trang Trang Trang...
Prak Prak Prak...
Suara berdentang dan gemeretak keras terdengar.
Seperti ada benda-benda keras patah oleh tebasan
pedang.
"Heh?" "Hah?" Kelima centeng
Juragan Durka Pela langsung melompat ke belakang dengan mulut ternganga lebar.
Lima lelaki berompi hitam itu terkejut ketika
melihat pedang mereka patah terbabat pedang lawan. Mata mereka saling
berpandangan, penuh keheranan. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka
menjerit "Awaaas..." "Heaaa..." Lelaki bercadar biru rupanya
telah kembali menyerang dengan babatan pedangnya yang cepat dan mematikan. Hal
itu membuat kelima lawannya yang masih diliputi rasa kaget tersentak kaget.
Cepat-cepat mereka berusaha mengelak. Akan tetapi....
Crab Crab...
"Aaakh..." "Aaakh..." Bagaikan
baling-baling yang tajam, pedang di tangan lelaki bercadar biru membabatkan
perut lawanlawannya dengan cepat. Sehingga kelima lelaki berompi hitam itu tak
berhasil mengelakkan tubuh mereka dari sambaran pedang lawan. Seketika tubuh
mereka sempoyongan sambil memegangi perut yang terkoyak lebar. Darah mengucur
dari sobekan perut kelima centeng Juragan Durka Pela. Tubuh mereka gemetar,
dengan mulut meringis menahan sakit. Karena darah terlalu banyak keluar, mereka
tak mampu bertahan lama. Kelima lelaki berompi hitam ambruk mencium tanah.
Sementara itu, lelaki bercadar ungu masih berusaha keras menghadapi
lawan-lawannya. Di lain tempat dua orang lawannya terpental dengan keadaan tak
kalah mengerikannya. Leher dan dada mereka terkoyak mengucurkan darah.
"Kau..., kkk..., Aaakh..." kedua orang
lawannya seketika ambruk dan tak mampu bangun lagi.
"Hm, mana bajingan itu?" tanya lelaki
bercadar biru pada temannya.
"Nampaknya dia lari, Kanjeng Pangeran,"
sahut lelaki bercadar ungu.
"Ssst Jangan kau panggil itu," bisik
lelaki bercadar biru "Baik, Cadar Biru." "Kita harus mencari
hartanya," ujar lelaki bercadar biru yang ternyata Pangeran Prapanca.
"Ayo, kita harus segera membagikan harta Juragan Durka Pela pada rakyat
yang menderita." "Mari" Pangeran Prapanca dan rekannya Pranala
segera melesat meninggalkan kamar itu. Keduanya langsung mengobrak-abrik rumah
Juragan Durka Pela mencari harta milik juragan kejam itu. Tidak lama kemudian
keduanya telah melesat keluar dari rumah Juragan Durka Pela membawa dua karung
barang berharga. Malam terus merangkak perlahan, membawa hawa dingin yang
menusuk tulang sumsum. Kedua pendekar bercadar itu terus melesat menembus
kegelapan malam.
***
Malam
semakin terasa mencekam, merambat perlahan menutupi bumi dengan kegelapannya.
Angin bertiup menghembuskan hawa dingin yang menusuk tulang sumsum. Langit
kelabu. Tak ada bintang maupun rembulan. Padahal mestinya bulan hampir purnama.
Keadaan Desa Kaliamba pun nampak sunyi dan sepi, bagaikan tak ada tanda-tanda
kehidupan. Semua warga telah terlelap dalam tidurnya.
"Ayo, kita harus cepat, Pranala" ajak
Pangeran Prapanca.
Pranala segera mempercepat larinya, agar dapat
mengimbangi kecepatan lari Pangeran Prapanca. Kemudian keduanya saling
berpencar. Pangeran Prapanca menuju arah timur, sedangkan Pranala ke arah
barat.
Keduanya membagi-bagikan barang berharga yang
mereka bawa, dengan cara melemparkan dari atas. Sehingga orang di dalam rumah
mengira kalau barang berharga itu diturunkan Hyang Widhi dari langit.
Tidak begitu lama, keduanya telah menyelesaikan
pekerjaannya itu. Mereka tersenyum puas sambil melangkah dengan tenang
meninggalkan Desa Kaliamba yang seketika heboh karena para penduduk kejatuhan
rejeki dari langit Warga Desa Kaliamba berbondong-bondong keluar dari rumah
mereka. Kemudian semua warga berkumpul di tengah lapangan. Dipimpin oleh
seorang tetua kampung, warga desa memanjatkan doa syukuran atas pemberian
rejeki pada mereka.
"Hyang Jagad Dewa Batara, terimalah sembah
kami... Kau telah mengutus malaikat-malaikat-Mu, untuk memberi rejeki pada
kami," seru tetua kampung sambil menengadahkan wajah ke langit. Sedang
kedua tangannya kini terbuka. Begitu pun yang dilakukan para warga desa lain,
yang rupanya juga menerima anugerah yang sama malam itu.
Warga Desa Kaliamba benar-benar mengira kalau yang
memberi rejeki itu malaikat-malaikat utusan Hyang Widhi. Itu sebabnya mereka
melakukan upacara pemanjatan doa syukuran, karena merasa telah terbebas dari
penderitaan dan kemiskinan yang selama ini mereka terima. Semenjak Juragan
Durka Pela berkuasa dan mendapat kepercayaan dalam pembuatan jalan dari para
pembesar istana, kehidupan warga Desa Kaliamba semakin buruk.
Warga desa dipaksa pindah dari tanah pekarangan
yang mereka tempati. Mereka juga dipaksa bekerja dengan upah kecil, serta
tindakan penindasan lainnya yang membuat warga desa semakin sengsara.
Sementara para kepala desa di sekitar Desa Kaliamba
pun tak berdaya menghadapi tindakan itu. Karena pada umumnya mereka dihukum dan
terus ditakutitakuti oleh para anak buah Juragan Durka Pela.
Malam semakin dingin, ketika warga Desa Kaliamba
satu persatu meninggalkan tanah lapang di tengah-tengah desa. Sampai akhirnya
lapangan di tengah desa itu sepi. Hanya asap bekas perapian untuk memanjatkan
doa yang masih mengepul. Asap itu membubung tinggi ke angkasa.
Cahaya rembulan yang redup, semakin meredup.
Rembulan perlahan-lahan bergerak ke barat, pertanda kalau hari menjelang pagi.
***
Pagi baru
saja datang, ketika seorang lelaki berperut buncit nampak berlari-lari di jalan
terjal per-bukitan di sebelah selatan Desa Kaliamba. Lelaki berpakaian hijau
dan panjang sampai ke lutut itu tak lain Juragan Durka Pela. Nampaknya lelaki
setengah baya ini berlari terburu-buru, setelah semalam mengalami kejadian
menakutkan yang hampir saja merenggut nyawanya.
"Hhh... Biadab Mereka benar-benar biadab"
gerutu Juragan Durka Pela dengan napas terengahengah. Masih terbayang dalam
ingatan, bagaimana semalam rumahnya disatroni, dua lelaki bercadar yang
merampok dan membunuh para centeng, "Tunggulah pembalasanku,
Manusia-manusia Keparat" Juragan Durka Pela berlari bagaikan tidak
mengenal lelah, meski keringat bercucuran dan nafasnya tersengal-sengal.
Dendamnya pada kedua lelaki bercadar yang telah memporak-porandakan rumahnya,
serta mengambil harta benda miliknya membuat lelaki gemuk berperut gendut ini
marah. Semangatnya terpacu untuk segera sampai di tempat kediaman orang biasa
dimintai pertolongan. Orang tua itu tak lain Ki Jalna Wangga atau si Pukulan
Petir.
Antara Juragan Durka Pela dan Ki Jalna Wangga
memang tak ada hubungan apapun. Namun telah terikat dalam kesepakatan yang
dibuat oleh guru dari Ki Jalna Wangga dan orangtua Juragan Durka Pela.
Sebelum meninggal, guru Ki Jalna Wangga pernah
berpesan pada ayah Juragan Durka Pela bahwa antara Juragan Durka Pela dengan si
Pukulan Petir
akan selalu memiliki kaitan erat. Ki Jalna Wangga
harus mau menolong Juragan Durka Pela, jika Juragan Durka Pela membutuhkan
pertolongan. Itu sebabnya guru Ki Jalna Wangga memberi batu mustika biru pada
ayah Juragan Durka Pela, agar setiap waktu jika anaknya membutuhkan, bisa
diminta tolong pada Ki Jalna Wangga.
Matahari belum tinggi ketika Juragan Durka Pela
sampai di sebuah bangunan tua yang terletak di puncak Bukit Pawean. Bangunan
itulah tempat tinggal Ki Jalna Wangga setelah beberapa tahun lalu meninggalkan
dunia persilatan. Lelaki berjuluk si Pukulan Petir itu sengaja mengasingkan
diri dari keramaian rimba persilatan yang telah lama digelutinya.
"Siapa di luar?" terdengar suara serak
dan berat bertanya dari dalam bangunan menyerupai pura.
Ditilik dari suaranya, tentu pemiliknya lelaki
berusia enam puluh tahunan.
"Aku, Durka Pela" sahut Juragan Durka
Pela dengan napas tersengal-sengal.
"Masuk" terdengar perintah Ki Jalna
Wangga.
Juragan Durka Pela menurut. Kakinya perlahan
melangkah menaiki tangga kayu yang menuju serambi rumah panggung itu. Berulang
kali Juragan Durka Pela menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatur agar tidak
tersengal-sengal. Kakinya terus melangkah ke pintu yang telah terbuka.
"Masuklah" Juragan Durka Pela menapakkan
kakinya melangkahi pintu. Tampaklah seorang lelaki bertubuh tinggi tegar
berdiri membelakanginya. Dialah Ki Jalna Wangga atau si Pukulan Petir.
Rambutnya yang panjang terurai diikat kain hijau.
"Ada apa kau datang ke tempatku?" tanya
lelaki berpakaian mirip jubah warna coklat itu masih dengan tubuh membelakangi.
Seakan lelaki ini enggan untuk membalikkan tubuh. Belum juga Juragan Durka Pela
menjawab, Ki Jalna Wangga kembali memerintah, "Duduklah" Juragan
Durka Pela cukup tergetar juga menghadapi lelaki aneh ini. Jantungnya dirasakan
berdebar keras. Dengan perlahan-lahan, Juragan Durka Pela menurut duduk.
Juragan Durka Pela terdiam dengan muka menunduk. Lidahnya terasa sangat kelu
untuk memulai berkata.
"Mengapa kau diam?" tanya Ki Jalna
Wangga.
Kemudian perlahan-lahan lelaki tinggi besar
berambut terurai panjang itu membalikkan tubuhnya. Dan kini nampak sesosok
lelaki bermuka garang namun tenang.
"Aku mendapatkan kesulitan, Saudaraku,"
kata Juragan Durka Pela setelah lama terdiam.
"Hm, kesulitan apa...?" "Rumahku
diobrak-abrik lelaki bercadar biru." "Lalu apa maumu?" "Aku
ingin kau membunuhnya, Jalna." "Apakah kau kira mudah membunuh?"
tanya Ki Jalna Wangga sinis.
"Aku yakin, kau mampu." "Hm,"
Ki Jalna Wangga menggumam tak jelas.
Matanya menatap tajam Juragan Durka Pela. Yang
dipandang hanya menundukkan kepala. Ki Jalna Wangga menarik napas dalam.
"Kalau saja antara guruku dan orangtuamu tak ada hubungan baik, sudah dari
tadi kusingkirkan kau, Durka Bukankah sudah kuperingatkan padamu, jangan serakah.
Tetapi kau tak pernah menghiraukan peringatanku. Dan kini, kau datang memintaku
untuk membunuh orang yang melakukan tindak kebajikan itu. Hm, permainan macam
apa ini?" "Dari mana kau tahu mereka baik, Jalna?" tanya Juragan
Durka Pela agak terkejut.
"Hhh..., aku telah mendengar tentang sepak
terjang mereka. Mereka memang pencuri. Tetapi, bukan untuk mereka sendiri.
Mereka mencuri untuk rakyat yang kau tindas" tukas Ki Jalna Wangga, yang
membuat Juragan Durka Pela terdiam. "Bagaimana, Durka?" "Itu terserahmu,
Jalna. Kau boleh menolak, namun batu mustika biru akan tetap kupegang,"
ancam Juragan Durka Pela.
Mendengar ucapan Juragan Durka Pela mata Ki Jalna
Wangga membeliak. Selama mustika biru ada di tangan Juragan Durka Pela, maka
dirinya tak akan bisa lepas dari ikatan timbal balik yang telah dirintis kedua
orangtua mereka. Itu sama saja dengan menjerumuskan dirinya ke lembah sesat
"Bagaimana, Jalna?" tanya Juragan Durka Pela mulai berani menatap
wajah, Ki Jalna Wangga.
"Hm, licik sekali kau, Durka. Tapi baiklah,
kalau benar setelah kupenuhi permintaanmu kau kembalikan mustika itu, aku akan
melakukan tugas ini Ingat, jika kau berbohong, tak segan-segan aku
membunuhmu" ancam Ki Jalna Wangga. Wajahnya memerah merasa terpaksa
terhadap permintaan Juragan Durka Pela.
"Jangan khawatir Selama ini, aku tak pernah
menyusahkanmu, bukan?" jawab Juragan Durka Pela dengan senyum mengembang
di bibir. Sepertinya juragan berperut gendut itu merasa yakin, kalau Ki Jalna
Wangga akan dapat menyingkirkan lelaki bercadar biru "Pulanglah Jika aku
telah menjalankan tugas, maka aku akan ke rumahmu," ujar Ki Jalna Wangga.
"Baik Kutunggu." Juragan Durka Pela
tersenyum puas, kemudian bangkit dari duduknya. Setelah menjura, lelaki
berperut gendut itu melangkah keluar meninggalkan tempat peristirahatan si
Pukulan Petir.
Ki Jalna Wangga terpaku berdiri dengan mata
memandang kosong. Nafasnya mendesah, seakan ada sesuatu yang menjadi beban
pikirannya. Kemudian dengan menarik napas lagi, lelaki berambut panjang itu
melangkah masuk. Ditutupnya pintu pesanggrahannya.
"Aku tak tahu, sampai kapan manusia licik itu
akan mengadu domba diriku dengan para pendekar," gumamnya sambil melangkah
masuk.
***
3
Pagi cerah dengan langit biru membentang,
melingkupi Desa Kaliamba. Burung-burung berlompatan dan berkicau riang di
pepohonan. Suasana Desa Kaliamba yang biasanya sepi, kini ramai. Penduduk
bersuka ria dan ramai membicarakan rejeki yang datang dari langit Pembicaraan
masalah harta benda yang datang sekonyong-konyong dari langit menyebar, tak
hanya di wilayah Desa Kaliamba. Hampir semua penduduk membicarakan masalah
rejeki itu. Sampai-sampai, penduduk Desa Kaliamba tak ada yang mau bekerja.
Mereka masih diliputi kebahagiaan.
Di pagi yang cerah itu, dari arah timur nampak
seorang remaja melangkah memasuki mulut Desa Kaliamba. Yang satu pemuda
berpakaian rompi kulit ular. Tingkah lakunya lucu. Mulutnya tampak cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala dengan tangan kanan. Pemuda tampan berambut
gondrong itu tak lain Sena Manggala atau lebih dikenal dengan julukan Pendekar
Gila. Tingkah lakunya yang konyol membuat setiap orang yang melihat tersenyum
sambil geleng-geleng kepala.
Berjalan di sampingnya dengan senyum menawan,
seorang gadis berparas elok laksana Dewi Kwan Im. Pakaiannya yang hijau
berlengan panjang tampak mencolok dengan warna kulitnya yang putih. Dipundaknya
tersandang sebilah pedang. Gadis cantik berparas Cina itu, tiada lain Bidadari
Pencabut Nyawa, atau Mei Lei.
Keduanya tengah melanjutkan perjalanan menuju
tempat kediaman guru Sena, di Goa Setan.
"Kakang, sepertinya ada pembuatan jalan baru
di desa ini," ujar Mei Lie sambil memandangi tempat yang kelihatan banyak
bebatuan menumpuk. Sebagian lagi, sudah menjadi hamparan yang rata.
"Eh, benar juga. Tapi, mengapa sepi?"
tanya Sena dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Ah ah ah, padahal belum
selesai. Ah, kurasa ada sesuatu yang menjadikan pembuatan jalan jadi
terhenti." "Sesuatu apa, Kakang?" tanya Mei Lie dengan kening
berkerut, ingin tahu apa yang dimaksudkan Pendekar Gila. Matanya memandang
lekat wajah Pendekar Gila yang menggaruk-garuk kepala sambil cengengesan.
Pendekar Gila tak langsung menjawab. Sambil
cengengesan, tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. Dipandanginya bebatuan
menumpuk di kanan kiri tanah yang akan dibuat jalan. Sebagian jalanan sudah
tertutup bebatuan sebesar kepalan. Pepohonan pun banyak yang ditebangi,
potongan-potongan kayu tertumpuk di pinggir tanah yang telah terbuka untuk
jalan. "Entahlah, Mei. Tapi.... Ah, apakah kau tak ingat, Mei? Bukankah di
perjalanan kita mendengar kalau Baginda Awangga sedang membuat jalan yang akan
menghubungkan antara Kerajaan Surya Langit dengan Kerajaan Bayu Bumi?"
tutur Sena menjelaskan. "Untuk apa, Kakang? Bukankah menurut kabar, dua
kerajaan itu selama ini saling bermusuhan? Keduanya saling memperebutkan Desa
Kaliamba ini...?" tanya Mei Lie semakin ingin tahu. "Tapi, mengapa
kini kedua kerajaan itu bisa rukun. Bahkan tampaknya berusaha saling mempererat
hubungan. Buktinya mereka membuat jalan di sekitar perbatasan kedua kerajaan.
Ah..., mungkin ada sebab-sebab tertentu, Kakang," lanjut Mei Lie sambil
memandangi jalan yang tampak masih berserakan itu.
"Entahlah, Mei. Kau kira aku ini dewa, yang
tahu semua kehidupan di Mayapada ini? Hi hi hi..." Sena tertawa cekikikan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat Mei Lie melototkan mata.
Gadis itu gemas sekali melihat tingkah laku kekasihnya. Kemudian dengan pelan
dicubitnya pinggang Sena. "Nakal" "Aduh... Bisa sobek kulit
pinggangku," rungut Sena sambil cengengesan.
"Kakang sih, nakal," gerutu Mei Lie
manja. Matanya nampak meredup, membuat Pendekar Gila semakin merasa senang.
Semakin cemberut, kecantikan gadis itu semakin tampak jelas.
"Hua ha ha..." Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak, Mei Lie pun kembali melotot. Namun kemudian turut tersenyum.
Tangannya dengan manja menggelayut di pundak kekasihnya. Kedua pendekar itu
kembali melangkah beriringan meneruskan perjalanan. Keduanya saling bercanda ria.
***
Dari arah
barat, nampak seorang lelaki bertubuh tinggi tegap melangkah menuju ke arah
Bukit Yuyu. Wajah lelaki ini kelihatan keras. Namun dilihat dari sorot matanya
lelaki berusia sekitar enam puluh tahun berpakaian jubah coklat itu tampaknya
orang berbudi baik. Lelaki ini yang tiada lain Jalna Wangga, nampaknya sedang
mencari lelaki bercadar biru, yang diceritakan Juragan Durka Pela.
Jalna Wangga sebenarnya tak ingin menjalankan
perintah itu, karena sudah tak mau turut campur dalam urusan rimba persilatan.
Namun karena ikatan persaudaraan yang dibina gurunya dengan ayah Jalna Wangga,
menyebabkan dirinya terpaksa harus melaksanakannya. Hal yang kedua, karena
Juragan Durka Pela telah berjanji akan menyerahkan batu mustika biru, jika
Jalna Wangga menjalankan permintaan tersebut "Hm, ke mana aku harus
mencari lelaki bercadar biru?" tanya Jalna Wangga bergumam sendiri. Di
rimba persilatan banyak manusia memakai cadar untuk menyembunyikan wajahnya.
Sulit bagi si Pukulan Petir itu mencari orang yang dimaksudkan Juragan Durka
Pela.
Jalna Wangga terus melangkah, menelusuri Bukit Yuyu
yang membentang panjang dari barat sampai ke timur. Tiba-tiba dari kejauhan
matanya melihat sepasang muda-mudi tengah melangkah berlawanan arah dengannya.
Tak lama kemudian kedua mudamudi itu telah sampai di depannya.
"Kisanak dan Nisanak, dilihat dari pakaian dan
senjata yang disandang Nisanak, tentunya kalian dari rimba persilatan,
bukan?" sapa Jalna Wangga atau si Pukulan Petir.
Mei Lie mengerutkan kening, lalu menoleh ke wajah
kekasihnya. Kemudian Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk
kepala. Mata Jalna Wangga terbelalak, merasa heran menyaksikan tingkah laku
pemuda di hadapannya.
Tingkah laku pemuda di hadapannya yang seperti
orang gila, mengingatkan Jalna Wangga pada seseorang yang sangat dikaguminya.
Orang gila yang kesaktiannya belum tertandingi hingga saat ini. Namun Jalna
Wangga sepertinya belum yakin, karena pernah didengarnya kalau Pendekar Gila
dari Goa Setan sangat aneh. Dia tak pernah mengambil murid.
"Siapa pemuda gila ini?" gumam Jalna
Wangga dalam hati, "Dilihat dari gerak-geriknya, sama persis dengan
Pendekar Gila dari Goa Setan. Tapi, apa benar dia muridnya?"
"Kisanak, kau memang benar. Kami memang dari persilatan. Ada apa
gerangan...?" tanya Mei Lie mendahului Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, rupanya penglihatanku masih waras,"
gumam Jalna Wangga. Kemudian dengan mata masih memandang Pendekar Gila, lelaki
berjubah coklat itu bertanya, "Kalau memang mataku yang tua ini
benar-benar belum rabun, apakah benar Kisanak ada hubungan dengan Pendekar Gila
dari Goa Setan?" Mei Lie menoleh ke wajah Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, dari mana kau tahu, Ki?" tanya Sena
memandang dengan mata terpicing.
"Dari tingkah lakumu, Anak Muda."
"Aha... Bagaimana mungkin kau yakin aku seorang pendekar? Ah, aku hanya
pemuda gila," jawab Sena, "Bagaimana mungkin aku dapat dihubungkan
dengan Pendekar Gila dari Goa Setan?" Jalna Wangga tersenyum. Hatinya
merasa tak ragu, kalau pemuda ini bukan pemuda gila sembarangan. Atau memang
ada hubungannya dengan Pendekar Gila dari Goa Setan yang pernah menggemparkan
rimba persilatan puluhan tahun yang silam. Apalagi ketika Jalna Wangga melihat
suling yang terselip di ikat pinggang pemuda gila itu. Matanya seketika
membelalak, hampir tak percaya pada penglihatannya.
"Suling Naga Sakti Kau...? Kau Pendekar Gila
dari Goa Setan?" tanya Jalna Wangga dengan mata masih membelalak. Hatinya
hampir tak percaya, kalau kini sedang berhadapan dengan pendekar yang sangat
kesohor itu. Namun Jalna Wangga tiba-tiba kembali ragu, karena menurutnya,
tentu Pendekar Gila sudah berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Sedangkan pendekar
yang memegang Suling Naga Sakti ini, baru dua puluh empat tahunan.
"Ah ah ah... Kau mungkin salah, Ki. Sudah
kukatakan, aku hanya pemuda gila biasa yang tiada arti. Bagaimana mungkin kau
mengatakan aku Pendekar Gila dari Goa Setan? Lucu sekali..." gumam Sena
sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mulutnya cengengesan, sementara tangannya
menggaruk-garuk kepala. "Tapi aku tak dapat kau bohongi, Pendekar.
Suling Naga Sakti ada di tanganmu. Namun, benarkah
kau Singo Edan? Seharusnya pendekar sakti itu sudah berusia tujuh puluh tahun
lebih," ujar Jalna Wangga masih belum yakin dengan penglihatannya.
"Hi hi hi... Kau kira ada orang seperti Dewa,
yang bisa mengubah usia? Lucu sekali kau, Ki," gumam Sena masih
cengengesan dengan kepala menggeleng-geleng.
"Kisanak, sebenarnya temanku bukanlah Pendekar
Gila dari Goa Setan. Namun dia adalah murid tunggalnya," tutur Mei Lie
menjelaskan.
Semakin membelalak kaget mata Jalna Wangga
mendengar penuturan Mei Lie. Hatinya tak menyangka, kalau Singo Edan ternyata
memiliki seorang murid.
Kalau gurunya saja selama ini belum ada yang
menandingi, muridnya tentu memiliki ilmu-ilmu gila yang lebih dahsyat. Pikir
Jalna Wangga.
"Oh, terimalah salah hormatku, Tuan
Pendekar" ujar Jalna Wangga sambil menjura hormat.
"Aha, kurasa tak semestinya kau berlaku
begitu, Ki. Seharusnya kami yang muda, melakukan hal itu. Ah, sudahlah, kami
tak punya waktu banyak.
Maaf, kami harus segera meneruskan perjalanan untuk
menemui guru," kata Sena mohon diri.
"Jadi Tuan Pendekar hendak menemui guru
Tuan?" tanya Jalna Wangga.
"Begitulah. Ada apa?" tanya Sena.
"Sampaikan salam hormatku pada guru
Tuan," pinta Jalna Wangga. "Sampaikan pada guru Tuan, Jalna Wangga
menghaturkan hormat" "Baik, Ki. Akan kusampaikan. Kami mohon
diri," ujar Sena sambil menjura. Begitu pula yang dilakukan Mei Lie. Namun
ketika mereka hendak melangkah, tiba-tiba Jalna Wangga berseru. "Tuan
Pendekar, tunggu" "Aha, ada apa lagi, Ki?" tanya Sena dengan
kening mengerut Mei Lie menghela napas. Sepertinya gadis itu tak suka dengan
Jalna Wangga, yang menghentikan langkah mereka kembali. Seakan-akan Mei Lie
melihat kalau orang tua ini tak mempercayai mereka. Bahkan tampaknya hendak
menyelidiki Pendekar Gila dan dirinya. "Maaf, saya kembali mengganggu"
"Cepat katakan Kami tak ada waktu lagi," desak Mei Lie tak sabar.
"Kalau boleh ku tahu, apakah Tuan berdua
melihat lelaki bercadar biru?" tanya Jalna Wangga.
"Tidak" sahut Mei Lie cepat, "Sudah
tak ada la-gi?" "Terima kasih," jawab Jalna Wangga. Kemudian
setelah menjura hormat Si Pukulan Petir meninggalkan kedua pendekar yang
kembali melanjutkan perjalanan ke barat "Orang tua aneh. Untuk apa dia
mencari lelaki bercadar biru?" tanya Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Sudahlah, Kakang Mengapa kita memikirkan
orang tua itu? Ayo kita teruskan" ajak Mei Lie sambil menggandeng tangan
Pendekar Gila untuk meneruskan perjalanan.
"Tapi, Mei. Kurasa ada sesuatu yang menarik di
desa itu," kata Sena dengan mata menyapu ke sekeliling Bukit Yuyu.
Kemudian ditolehkan kembali wajahnya ke Desa Kaliamba. Ada sesuatu yang menarik
perhatiannya. Apalagi setelah bertemu Jalna Wangga yang bertanya tentang lelaki
bercadar biru.
"Ah, kau ini ada-ada saja, Kakang. Sudahlah,
kita pergi" ajak Mei Lie.
"Tunggu, Mei Aku yakin, orang tua itu ada
hubungannya dengan kemacetan pembuatan jalan. Ah, kurasa ada yang kurang beres
di Desa Kaliamba itu.
Apakah tak sebaiknya kita singgah dulu di desa
ini?" ajak Sena sambil nyengir dengan mata memandang penuh harap pada Mei
Lie. Sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala, yang menjadikan tingkahnya
nampak semakin bertambah lucu.
"Hhh..." Mei Lie menghela napas pelan.
"Baiklah, aku setuju." "Hua ha ha..." Pendekar Gila tertawa
terbahak-bahak. Sementara Mei Lie justru cemberut. Kemudian dengan nakal, Mei
Lie mencubit pinggang Sena. Lalu keduanya berlari-lari menuruni Bukit Yuyu,
menuju Desa Kaliamba.
Desa yang juga dituju Jalna Wangga
***
Jalna Wangga
kini melangkah memasuki sebuah kedai yang nampaknya baru dibuka, setelah sekian
lama tertutup. Semenjak Juragan Durka Pela dipercaya pihak kerajaan menangani
pembuatan jalan dan pembebasan tanah kedai itu pun tutup. Karena para warga
diwajibkan ikut bekerja dalam pembuatan jalan baru.
Namun semenjak peristiwa yang terjadi di rumah
Juragan Durka Pela beberapa hari lalu, warga desa mulai merasa agak bebas. Para
centeng bayaran juragan itu telah dibunuh habis oleh dua lelaki bercadar yang
belum dikenal. Kedai di ujung desa itu pun mulai buka kembali.
Para pengunjung kedai, nampak sedang membicarakan
masalah dua orang bercadar yang telah merampok rumah Juragan Durka Pela dan
membagikan harta rampokannya kepada penduduk.
"Wah, kalau begitu, berarti mereka yang
memberi pada kita," kata lelaki bertubuh kurus dengan jenggot panjang.
"Ya Baik sekali mereka. Baru kali ini, ada
maling yang membagi-bagikan barang colongannya pada warga desa," sambung
yang lainnya.
Jalna Wangga yang mendengar pembicaraan orang-orang
di kedai seketika tergetar hatinya. Kalau benar apa yang diceritakan
orang-orang tentang dua maling budiman itu, berarti mereka berbuat demi
kemanusiaan.
"Hm, pantaskah aku mengabulkan permintaan
Durka? Kalau sebenarnya kedua lelaki bercadar itu bertujuan baik?" gumam
Jalna Wangga. Hatinya mas-gul, setelah mendengar cerita warga Desa Kaliamba di
kedai ini.
Ketika semua orang membicarakan tentang dua orang
lelaki bercadar yang membagi-bagikan rejeki, da-ri luar masuk dua orang lelaki
yang sedang mereka bicarakan. Sepontan semua yang ada di kedai membungkuk
memberi hormat. Hal itu menjadikan kedua orang bercadar biru dan ungu
mengerutkan keningnya. "Hai, mengapa kalian memberi hormat padaku?"
tanya lelaki bercadar biru, "Aku bukan siapa-siapa. Aku manusia seperti
kalian. Kedatangan kami kemari, semata-mata ingin meminta makan."
Mendengar permintaan manusia bercadar biru, dengan tergopoh-gopoh pemilik kedai
segera menghampiri. Kemudian segera menjura hormat "Silakan,
Tuan-tuan..." sambutnya penuh ramah. "Terima kasih, Ki. Kami lapar,
ingin makan," pinta lelaki bercadar ungu.
Pemilik kedai segera memerintah pelayannya agar
membawakan makanan yang lezat-lezat. Tidak lama kemudian, makanan pun datang.
Hal itu membuat kedua manusia bercadar terkejut, tak menyangka akan dihidangkan
makanan yang lezat-lezat dan tentu sangat mahal harganya.
"Ki, tentunya makanan selezat ini sangat mahal
harganya. Bagaimana aku akan membayarnya?" tanya lelaki bercadar biru, tak
mengerti mengapa pemilik kedai memberi mereka makanan yang lezat-lezat. Padahal
mereka belum memesan makanan apapun.
"Ah, untuk Tuan berdua, kami tak meminta
bayar. Kami telah tahu, siapa Tuan berdua," jawab pemilik kedai sambil
membungkuk hormat. Di bibir lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun dan
bertubuh kurus itu menyunggingkan senyum ramah. Senyum yang tulus, tanpa
dibuat-buat "Tapi, Ki" Lelaki bercadar ungu hendak menolak, namun
pemilik kedai telah mendahului.
"Ah, sudahlah Betapa kami warga Desa Kaliamba
sangat berterima kasih atas pertolongan Tuantuan," sahut pemilik kedai,
yang semakin membuat kedua lelaki bercadar saling pandang.
"Aku tak mengerti, Ki," kata manusia
bercadar ungu. "Sudahlah, Tuan Jika memang harus bayar, biar kami yang
membayarnya," salah seorang warga Desa Kaliamba yang ada di kedai
menyahuti. "Tuan berdua telah menolong kami. Sudah sepantasnya kami
membalas Tuan berdua." Kedua lelaki bercadar itu tak berkata lagi. Sesaat
keduanya saling pandang. Kemudian lelaki bercadar biru memandangi pemilik kedai
yang masih tersenyum penuh hormat "Baiklah kalau begitu. Tolong kau
bungkuskan" "Dengan senang hati, Tuan. Pelayan tolong bungkus"
perintah pemilik kedai dengan gembira, karena pemberiannya tidak ditolak kedua
manusia bercadar itu.
Setelah mendapat dua bungkusan, kedua manusia
bercadar itu segera melesat keluar meninggalkan kedai. Namun tanpa mereka
ketahui, seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun dengan jubah coklat
mengikuti mereka dari belakang.
Pendekar Gila dan Mei Lie sejak tadi mengawasi
gerak-gerik kedua manusia bercadar yang kini dikejar Jalna Wangga. Kedua
pendekar muda-mudi itu kemudian menguntit ketiganya.
"Kita harus tahu, Mei. Ah, jelas ini suatu
keganjilan," ujar Pendekar Gila sambil terus berlari ke selatan membuntuti
Jalna Wangga.
"Kalau begitu, kedua manusia bercadar itu
orang baik, Kakang?" tukas Mei Lie.
"Mungkin, Mei," sahut Sena. "Kita
tak tahu apa maksud mereka sesungguhnya." "Ya, kuharap mereka
benar-benar bermaksud baik," gumam Mei Lie sambil terus mengikuti Pendekar
Gila mengikuti Jalna Wangga yang tengah mengejar kedua manusia bercadar.
Sampai di Hutan Jabara, pada sebuah tanah lapang
yang sepi Jalna Wangga berhasil mengejar kedua manusia bercadar. Sementara itu,
Pendekar Gila dan Mei Lie segera menyelinap bersembunyi di balik semak belukar
yang lebat, mengintai apa yang akan terjadi. "Kisanak, sedari tadi kami
perhatikan kau menguntit kami, ada apa?" tanya lelaki bercadar biru
setelah menghentikan langkahnya.
"Kalian kenal dengan Durka Pela, bukan?"
tanya Jalna Wangga.
"Ya Ada apa?" tanya lelaki bercadar ungu.
"Kutunggu kalian di Bukit Yuyu nanti malam,
untuk menyelesaikan apa yang berhubungan antara kalian dan saudaraku" usai
berkata begitu, tanpa menghiraukan kedua manusia bercadar lelaki tua berjuluk
si Pukulan Petir itu melesat pergi.
"Manusia aneh," gumam lelaki bercadar
ungu, "Apakah Kanjeng Pangeran akan melayaninya?" "Ya
Bagaimanapun, aku harus bertanggung jawab, Pranala. Meski nyawaku sebagai
taruhannya.
Demi rakyat yang menderita aku siap
berkorban," jawab Pangeran Prapanca.
"Kalau begitu, aku harus ikut, Kanjeng."
"Baiklah, kita hilangkan pikiran itu. Ayo..." ajak Pangeran Prapanca.
Keduanya pun seketika melesat meninggalkan Hutan Jabara, tanpa tahu dua orang
yang sejak tadi mengawasi mereka. Ya, Pendekar Gila dan Mei Lie yang tampak
kebingungan karena belum mengerti.
"Aku semakin tertarik, Mei. Kurasa, lebih baik
kita melihat apa yang terjadi nanti malam," ujar Sena sambil cengengesan
dengan kepala menggeleng-geleng.
"Terserah kau saja, Kakang," sahut Mei Lie.
"Ayo kita ke kedai Perutku sudah lapar. Hi hi
hi..." Dengan tertawa cekikikan, Pendekar Gila melangkah meninggalkan
Hutan Jabara.
4
Malam perlahan-lahan turun. Di sebelah timur, bulan
kelihatan merambat naik perlahan. Sinarnya yang redup, memancar menerangi bumi
walau remangremang. Dua sosok bayangan yang tak lain Pendekar Gila dan Mei Lie,
berkelebat cepat menuju Bukit Yuyu.
Sampai sejauh itu kedua pendekar muda itu belum
mengerti penyelesaian macam apa yang diinginkan Ki Jalna Wangga.
Setelah sampai di Bukit Yuyu yang masih sepi,
Pendekar Gila segera mengajak Mei Lie bersembunyi di balik semak-semak yang
cukup rimbun. Hal itu dimaksudkan agar kehadiran mereka tak diketahui Ki Jalna
Wangga maupun kedua lelaki bercadar.
"Ingat, Kakang. Kau jangan cekikikan"
ujar Mei Lie mengingatkan Pendekar Gila. Sebab kebiasaan konyol kekasihnya akan
menyebabkan persembunyian mereka diketahui.
"Aha, tenanglah, Mei aku akan berusaha,"
sahut Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Lihat, dua lelaki bercadar itu datang,"
bisik Mei Lie. "Aha, kau benar. Kurasa, malam ini akan terjadi pertarungan
yang seru, Mei," kata Sena masih dengan mulut cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Dari arah barat, melesat dua sosok tubuh menuju tanah
lapang yang ada di Bukit Yuyu. Tidak lama kemudian, dari arah selatan melesat
pula sesosok tubuh tinggi besar. Ketiganya pun bertemu, saling pandang satu
sama lain.
Pendekar Gila dan Mei Lie ingin tahu apa sebenarnya
yang akan terjadi. Keduanya berusaha tenang di persembunyian. Mata mereka
memandang tajam ke tanah lapang tempat tiga orang lelaki saling berhadapan.
"Kau telah siap, Cadar Biru?" tanya Ki Jalna Wangga.
"Aku siap. Apapun yang hendak kau lakukan, aku
telah siap menghadapinya," jawab Pangeran Prapanca tegas.
"Bagus Tapi terlebih dahulu kukatakan, bahwa
aku hanya menjalankan tugas yang diperintahkan Durka Pela," tutur Ki Jalna
Wangga.
"Aku tahu," jawab Pangeran Prapanca yang
mengenakan cadar biru.
"Baik, bersiaplah Heaaa..." Ki Jalna
Wangga melesat dengan serangan pertamanya yang bernama 'Pukulan Gempa'. Kedua
tangannya direntangkan dengan jari-jari mengepal. Tangan kiri ditaruh di bawah
siku tangan kanan. Sedangkan tangan kanan digerakkan ke samping, yang
diteruskan ke depan lurus.
"Mundurlah, Cadar Ungu" perintah Cadar
Biru tak menyebut nama rekannya. Setelah Pranala mundur, Pangeran Prapanca pun
segera membuka jurusnya. Kaki kanannya digeser agak ke depan setengah ditekuk.
Kedua tangannya menyatu di depan dada. Lalu tangan kanan membuka dan ditarik ke
atas, diikuti dengan tangan kiri diangkat ke atas kepala. Itulah jurus pembuka
'Bangau Merentang Sayap' diteruskan dengan jurus 'Kepakan Sayap Bangau'.
"Hea" "Yea" Tubuh keduanya
melesat ke depan. Tidak hanya tangan yang bergerak menyerang, kedua kaki mereka
pun turut menendang dan menyapu. Dalam sekejap saja, keduanya telah terlibat
pertarungan yang seru. "Jaga igamu, Cadar Biru" seru Ki Jalna Wangga.
Kemudian dihantamkan pukulan tangan kanannya ke dada sebelah kiri lawan. Namun dengan
cepat Pangeran Prapanca berkelit, sehingga pukulan lawan hanya mendesir
beberapa jari di samping tubuhnya.
Setelah lepas dari serangan lawan, dengan cepat
Pangeran Prapanca memutar tubuhnya setengah lingkaran. Kemudian dengan gerakan
ringan, lelaki bercadar biru itu mengibaskan telapak tangan kirinya ke tulang
rusuk sebelah kanan lawan.
"Rusukmu, Ki Hea..." Wrt "Hait"
Dengan berguling, Ki Jalna Wangga mengelitkan serangan lawan. Sambil berguling
pula, lelaki tua itu melancarkan tendangan dengan jurus 'Kaki Jengkrik
Menjentik'.
"Hea..." Pangeran Prapanca mencelat ke
belakang, mengelakkan tendangan kaki lawan. Melihat lawan melompat, dengan
cepat Ki Jalna Wangga melakukan salto. Kemudian dilentingkan tubuhnya ke atas,
sambil bergerak melakukan serangan. Kaki kanan menendang tubuh lawan dalam
keadaan masih melayang.
"Heaaa" Melihat lawan menyerang dengan
tendangan, Pangeran Prapanca segera memiringkan tubuh ke samping kanan lalu
merunduk. Kemudian dengan jarijari terbuka tangan kanannya dikibaskan ke tubuh
Ki Jalna Wangga.
"Yea" Wrt "Heh?" Ki Jalna
Wangga kaget bukan kepalang karena tak menyangka lawan akan menyerang begitu
cepat. Dengan cepat lelaki berambut panjang itu menarik serangan. Tubuhnya
dilontarkan ke atas. Setelah berjumpalitan di udara dengan ringan kakinya
mendarat sambil tertawa-tawa.
"Hua ha ha... Hebat Kau benar-benar hebat
Cadar Biru. Tapi itu baru pemula, bukan? Kini kau yang menyerang" seru Ki
Jalna Wangga.
"Baik Bersiaplah" "Aku telah
siap," jawab Ki Jalna Wangga.
Pangeran Prapanca segera menarik kaki kanan ke
belakang. Kaki kiri agak ditekuk. Tangannya menyilang ke bawah, kemudian
digerakkan ke atas. Itulah jurus 'Bangau Menyibak Air'. Sebuah jurus pembuka
yang cukup berbahaya. Sasarannya dada dan jantung lawan. "Yea"
"Hea" Kedua tubuh melesat ke udara. Pangeran Prapanca mengembangkan
kedua tangan ke samping.
Kemudian dengan cepat tangan kanannya memburu ke
depan. Disusul dengan tangan kiri untuk menangkis.
"Hea" Ki Jalna Wangga pun nampaknya tak
mau kalah. Tangannya dijotoskan ke muka, disusul dengan tangkisan tangan
kirinya. Mereka terus bertarung di udara laksana burung terbang.
Pendekar Gila dan Mei Lie yang menyaksikan
pertarungan itu terkesiap kaget Mata keduanya membelakak, takut kalau-kalau
salah seorang di antara keduanya akan menjadi korban. Namun untuk ikut campur
dalam urusan itu, Sena tak mau. Dirinya belum tahu apa sebenarnya yang terjadi.
"Kakang, apa kita akan tinggal diam?"
tanya Mei Lie berbisik lirih, sepertinya khawatir menyaksikan pertarungan itu.
"Aha, rupanya kau yang cerewet, Mei. Bukankah
kau tadi melarangku berbicara?" sahut Pendekar Gila dengan mulut
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tapi, aku khawatir salah satu mati percuma,
Kakang." "Aha, kau semakin cerewet saja seperti seorang nenek,
Mei." "Tapi, Kakang...." "Aha, sudahlah. Rimba persilatan
memang begitu, Mei. Kita lihat saja. Bukankah kita tak tahu apaapa?" ujar
Sena berusaha mengingatkan kekasihnya yang kelihatan tak sabar.
"Tapi kelihatannya mereka orang baik-baik.
Rasanya tak pantas sealiran harus bertarung," tukas Mei Lie masih berusaha
mengajak Pendekar Gila agar melerai pertarungan itu.
Tampak kini keduanya bertarung sambil bergulingan
ke bawah. Mereka masih saling pukul dan tendang. "Kau harus ingat, Mei.
Ini pelajaran untukmu.
Dalam urusan pribadi, kita tak bisa ikut
campur," ujar Sena berusaha menjelaskan pada kekasihnya. "Aha,
bukankah lebih baik kita melihat?" Mei Lie pun menurut diam. Dengan cemas
gadis itu menyaksikan pertarungan yang semakin seru.
Kini tubuh keduanya masih bergulingan di tanah.
Namun begitu, keduanya bagaikan dua ekor kucing.
Meski dengan tubuh menggelinding dari atas bukit
itu, keduanya tetap berusaha saling menyerang.
"Hea" "Yea" Tangan mereka terus
bergerak, memukul dan menangkis. Begitu pula dengan kedua kaki mereka, saling
kait dan tendang. Sebuah perkelahian yang sangat seru. Tampaknya kedua orang
itu memiliki ilmu setaraf. Trak "Heaaa..." Trep Tangan Pangeran
Prapanca menyerang. Namun dengan cepat tangan kiri Ki Jalna Wangga menangkis
dan menangkapnya. Lelaki bercadar biru itu berusaha menarik tangannya.
Disodokkan sikunya menyerang, tetapi kembali Ki Jalna Wangga menangkis dengan
siku tangan kiri.
"Hea" Trak Keduanya saling dorong dan
tarik. Sampai akhirnya, mereka berada di bawah. Keduanya masih saja saling
dorong dan tarik, kemudian tiba-tiba telapak tangan dan jotosan mereka beradu.
Plakkk "Hea" "Yea" Pangeran
Prapanca melenting ke atas, dengan tubuh jumpalitan. Kemudian dengan ringan
mendaratkan kaki di atas bukit. Begitu juga dengan Ki Jalna Wangga. Lelaki tua
itu pun melakukan hal yang serupa. Setelah berjumpalitan mencelat ke atas,
dengan ringan kedua kakinya mendarat di atas bukit. Seketika pertarungan mereka
berlanjut. Mata mereka saling pandang seakan berusaha mengukur ilmu
masingmasing. "Bagaimana, Cadar Biru? Apakah akan diteruskan?" tanya
Ki Jalna Wangga, "Sengaja aku tidak mengeluarkan jurus andalanku yang
bernama jurus 'Pukulan Petir'. Karena jika aku keluarkan jurus itu, maka kau
akan mengalami kematian." Diam-diam di hati Cadar Biru tersirat rasa kagum
pada lelaki setengah baya itu. Dia pun menyadari, kalau lelaki bermuka garang
itu mau, maka dalam beberapa gebrakan saja dia akan kalah. Tetapi rupanya
lelaki berjubah coklat itu hanya menjajal sampai seberapa ilmunya.
"Hm, kita teruskan," sahut Cadar Biru
yang ju-ga ingin melihat sampai sejauh mana kepandaian lelaki bermuka garang
namun matanya mencerminkan ketenangan dan persahabatan ini.
"Cadar Biru, biar aku yang meneruskan, karena
aku pun terlibat di
dalamnya," tiba-tiba Cadar Ungu yang tak lain
Pranala berseru.
"Hm, dua-duanya pun boleh" sela Ki Jalna
Wangga, yang membuat kedua lelaki bercadar saling pandang sesaat. Napas
keduanya memburu, terlebihlebih Pangeran Prapanca yang merasa diremehkan.
Mata di balik cadar biru itu menyorot tajam ke
wajah Ki Jalna Wangga. Seakan tak mampu lagi ditahan kemarahannya yang bergayut
dalam hati. Hal itu karena dirinya merasa lelaki tua itu telah ikut campur
urusannya terhadap Juragan Durka Pela.
"Kita teruskan Biar aku yang
menghadapimu" tantang Pangeran Prapanca, "Mari kita gunakan senjata
kita" "Hm, begitu? Baiklah." Ki Jalna Wangga tersenyum sinis
seraya memicingkan mata memandang wajah Cadar Biru.
Sret Pangeran Prapanca menarik pedang dari
warangkanya. Begitupula yang dilakukan Ki Jalna Wangga. Lelaki tua itu mencabut
golok panjangnya dari warangka. Keduanya mundur dua tindak dengan mata saling
menatap tajam.
"Hai... Mereka benar-benar hendak saling
membunuh, Kakang," kata Mei Lie berbisik.
"Aha, biarkan saja Inilah rimba persilatan,
Mei.
Kadang kala, manusia tak lebihnya seperti hewan.
Tak mengenal belas kasihan terhadap sesamanya," gumam Sena sambil
menggaruk-garuk kepala. "Kita lihat saja, Mei" Mei Lie kembali diam
sambil memperhatikan kedua orang yang siap melakukan pertarungan maut.
Keduanya sama-sama telah mengeluarkan senjata. Satu
bersenjata pedang, sedangkan yang satunya bersenjatakan golok panjang
bergerigi.
***
Pangeran
Prapanca dengan mata tajam menatap wajah Ki Jalna Wangga. Diletakkan pedangnya
ke depan wajah. Sementara tangan kirinya, kini diletakkan di pinggang dengan
jari-jari terbuka. Kakinya bergerak teratur, melangkah membentuk siku.
"Yea" Dengan jurus 'Bangau Terbang',
Pangeran Prapanca membuka serangan. Pedang di tangan kanannya digerakkan dengan
cepat. Mulanya ke bawah, kemudian dengan cepat diangkat dan dibabatkan sambil
melesat ke depan. Sedang tangan kirinya tak mau ketinggalan, bergerak memukul dengan
telapak terbuka.
"Hea" Menyaksikan lawan telah membuka
serangan, Ki Jalna Wangga pun dengan cepat membuka jurus 'Simpul Golok Maut'.
Golok di tangannya digerakkan naik turun, lalu dilanjutkan dengan babatan
mendatar. Disertai pekikan menggelegar, membuat suasana sepi di Bukit Yuyu
berubah riuh, Ki Jalna Wangga melesat menyerang.
"Yeaaa..." Wrt Dua tubuh berkelebat cepat
dengan senjata siap membantai satu sama lain. Pedang dan golok tampak
berkelebat begitu cepat. Sehingga kedua senjata itu bagaikan menghilang. Yang
kelihatan hanya sinar yang berkeredep, keluar dari gerakan kedua senjata.
Wrt Trang Golok dan pedang tajam itu beradu,
mengeluarkan pijaran api. Ki Jalna Wangga dan Pangeran Prapanca tampak saling
melompat ke belakang. Namun sebentar kemudian, dengan pekikan menggelegar,
keduanya kembali melesat maju.
"Hea" Wut Wut "Yeaaa..."
Keduanya kembali menyerang, menggerakkan senjata masing-masing untuk membabat
dan menusuk ke tubuh lawan. Namun kedua-duanya sama-sama lincah dan gesit Tubuh
mereka berkelebat-kelebat dalam mengelitkan dan menangkis serangan lawan.
Wrt Trang Dengan memutar cepat pedangnya, Pangeran
Prapanca berusaha mendesak lawan. Pedangnya membabat dan menusuk ke bagian atas
tubuh Ki Jalna Wangga. Namun orang tua berambut panjang itu nampak tak
mengalami kesulitan menghadapi seranganserangan lawan. Dengan melompat ke sana
kemari Ki Jalna Wangga menangkis dan mengelak.
"Hea" Trang "Hih" Pangeran
Prapanca menarik pedangnya, lalu melancarkan pukulan ke dada. Namun dengan
cepat Ki Jalna Wangga merundukkan tubuh. Digeser kaki kiri ke samping, diikuti
dengan tubuhnya yang doyong.
Sehingga serangan Pangeran Prapanca hanya mengenai
tempat kosong. Ki Jalna Wangga segera membalas serangan dengan tubuh masih agak
membungkuk. Di tusukkan goloknya ke perut lawan.
"Jaga perutmu, Cadar Biru Heaaa..." Wrt
"Aits Hebat..." teriak Pangeran Prapanca tak sadar, karena kaget
mendapatkan serangan yang tiba-tiba itu. Dengan cepat lelaki bercadar biru itu
melompat ke belakang. Kemudian bersamaan dengan itu diputarnya pedang ke bawah
menangkis serangan lawan. "Hea" Trang Mei Lie yang ahli bermain
pedang menggelenggelengkan kepala, menyaksikan pertarungan lelaki bercadar biru
melawan Ki Jalna Wangga. Sebenarnya menurut pandangan Mei Lie, Ki Jalna Wangga
dapat dengan mudah mengalahkan lawannya. Mei Lie melihat titik lemah lelaki
bercadar biru itu. Namun nampaknya Ki Jalna Wangga masih berusaha menjajaki
sampai seberapa ilmu pedang lelaki bercadar biru itu, sehingga orang tua
bermuka garang itu nampaknya tak bermaksud menyudahi pertarungan dengan cepat.
"Kakang, kulihat orang tua itu bertarung tak
sungguh-sungguh," bisik Mei Lie pada Pendekar Gila.
"Aha, kau benar, Mei. Nampaknya Ki Jalna
Wangga memang sedang mendalami sampai seberapa ilmu lelaki bercadar biru,"
sahut Sena dengan wajah meringis sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tak kusangka, orang tua bermuka garang itu,
ternyata memiliki hati yang baik juga," gumam Mei Lie sambil terus
memperhatikan jalannya pertarungan yang masih berlangsung seru.
Kini nampak dengan gerakan cepat mereka saling
menyerang. Tubuh keduanya berkelebat saling menghindar dan menangkis. Golok dan
pedang pun terdengar terus berbenturan. Suaranya memecah keheningan malam.
Trang "Heaaa..." Pangeran Prapanca dan Ki
Jalna Wangga terus bergerak melangkah ke samping sambil saling menangkis
serangan. Sungguh sebuah gerakan silat yang sangat indah ditonton.
Pranala yang ilmunya memang berada di bawah ilmu
Pangeran Prapanca, hanya terbengong kagum.
Hatinya hampir tak percaya, kalau Pangeran Prapanca
akan dapat mengeluarkan jurus silat yang indah dan cepat Selama ini, keduanya
memang bersama-sama.
Namun Pranala belum pernah melihat Pangeran
Prapanca mengeluarkan jurus ‘Angin Meniup Daun’.
Tubuh keduanya terus bergerak ke samping dengan
masih diiringi benturan senjata saling serang.
Kaki-kaki mereka bergerak dengan teratur, kadang
menyilang dan kadang merentang. Sedangkan tangan kiri keduanya, bergerak
mengepak-ngepak atau terkadang menekan ke belakang dan samping. Sepertinya
tangan kiri itu sengaja digunakan untuk menjaga keseimbangan tubuh mereka dalam
menyerang.
Trang Trang Senjata mereka terus beradu. Namun pada
suatu kesempatan, Pangeran Prapanca berhasil menarik golok di tangan Ki Jalna
Wangga.
"Hea" Wrt Trakkk "Akh..." Ki Jalna
Wangga tersentak kaget dengan mata terbelalak. Dirinya tak menyangka kalau
lawan akan dapat membuang senjatanya. Kini Ki Jalna Wangga nampak pasrah,
ketika Pangeran Prapanca menempelkan ujung pedangnya ke leher. "Kalau kau
mau membunuhku, bunuhlah" "Hm, membunuhmu mudah saja. Tapi aku tak
pernah sembarang membunuh orang. Dan untuk itu sebaiknya kau cepat tinggalkan
tempat ini, sebelum pikiranku berubah" perintah Pangeran Prapanca.
Ki Jalna Wangga hanya diam saja tak berkata
apa-apa. Dirinya hanya bergumam dalam hati. "Kalau saja aku tak tahu siapa
kau sebenarnya, hhh..., tak segan aku membunuhmu. Tapi aku tahu siapa kau
sebenarnya. Aku bersalah jika membunuh atau menangkapmu...." Kemudian Ki
Jalna Wangga cepat pergi meninggalkan tempat itu, Pangeran Prapanca
mengikutinya dengan pandangan tajam. Pranala yang melihat Pangeran Prapanca
cemas segera menghampiri.
"Kenapa orang itu dilepas begitu saja,
Pangeran?" tanya Pranala agak gusar.
"Biarlah. Kita tak perlu membunuh orang
seperti dia. Tujuan kita bukan itu," jawab Pangeran Prapanca. "Ah,
sudahlah Mari kita pergi" Keduanya pun melesat pergi meninggalkan Bukit
Yuyu yang kembali sepi.
Sementara itu Pendekar Gila dan Mei Lie pun keluar
dari tempat sembunyi.
"Orang tua aneh," gumam Mei Lie.
"Hi hi hi.... Kau benar, Mei. Tapi yang ku
herankan, siapa sebenarnya lelaki bercadar biru? Rekannya tadi memanggil dengan
sebutan 'pangeran'. Ah ah ah... aneh sekali" gumam Sena dengan cekikikan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hm, memang aneh, Kakang. Kalau dia seorang
pangeran, dari kerajaan mana? Lalu untuk apa dia memakai cadar dan
merampok?" tanya Mei Lie turut heran. "Aha, kurasa kita akan tertunda
di sini, Mei. Ini benar-benar keanehan. Hi hi hi..." kata Sena sambil
cekikikan, membuat mata Mei Lie melotot gemas. Namun gadis itu tak mencubit
pinggang, kekasihnya bahkan kini merapatkan diri ke tubuh Pendekar Gila.
Pendekar Gila dan Mei Lie pun segera meninggalkan
Bukit Yuyu yang kembali sepi. Bulan kelabu mengiringi perjalanan kedua pendekar
muda itu.
***
5
Malam yang disinari bulan kelabu terus menyelimuti
bumi. Membawa para penghuni bumi terlelap dalam tidur. Begitu pula dengan
keadaan lingkungan Kadipaten Wungkalan yang masih termasuk dalam wilayah
Kerajaan Surya Langit, nampak sepi. Hanya ada empat orang prajurit yang belum
tertidur. Mereka sedang melakukan tugas, menjaga keamanan lingkungan kadipaten
Malam semakin larut, ketika dari luar benteng kadipaten melesat dua sosok
bayangan melompati tembok tinggi yang mengelilingi lingkungan kadipaten.
"Hop" Kedua sosok itu kini berdiri di
atas tembok.
Mata mereka yang sebagian wajahnya tertutup cadar
biru dan ungu mengawasi sekeliling bangunan kadipaten itu. "Hati-hati,
kita harus bergerak cepat" ujar Pangeran Prapanca mengingatkan pada
Pranala.
"Apa tak sebaiknya kita lumpuhkan keempat
penjaga ini, Pangeran?" ucap Pranala.
"Kurasa tak perlu. Kalau kepergok apa boleh
buat," jawab Pangeran Prapanca. "Ayo, kita beraksi" Kedua lelaki
bercadar itu melesat turun. Dengan ringan tanpa menimbulkan suara, keduanya
mendarat di pekarangan sebelah barat kadipaten.
"Hop" "Ya Hm, kita harus cepat
beraksi," ujar Pangeran Prapanca dengan mata memanjang tajam ke
sekelilingnya.
"Pangeran, lihat" bisik Pranala sambil
menunjuk ke salah sebuah kamar yang nampak masih terang. Dari bayangan di dalam
kamar itu, menunjukkan masih banyak orang yang belum tidur. "Nampaknya
mereka belum tidur, Pangeran." "Hm, benar. Tapi...," Pangeran
Prapanca mena-jamkan pandangannya. Nampak bukan bayangan lelaki melainkan ada
lima orang wanita di dalam kamar itu. "Kurasa mereka perempuan, Pranala.
Hanya satu lelaki. "Mungkinkah wanita simpanan adipati cabul itu,
Pangeran?" tanya Pranala.
"Bisa jadi. Dasar adipati keparat Tak
memperhatikan rakyatnya yang menderita, malah enakenakan bersama wanita-wanita
simpanannya," dengus Pangeran Prapanca geram. Matanya membelalak semakin
lebar, "Ayo..." Kedua sosok itu melesat cepat menuju kamar tempat
bercengkerama itu. Keduanya mendekat, kemudian perlahan-lahan mengintip apa yang
terjadi di dalam kamar itu lewat celah jendela.
Membelalak mata Pangeran Prapanca dan Pranala
melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Keduanya terkejut. Di dalam kamar
itu, Adipati Jata Sura sedang asyik bercumbu bersama kelima gundiknya yang masih
muda-muda.
"Adipati keparat" dengus Pangeran
Prapanca dalam hati. Kemudian segera menggerakkan kepala memberi isyarat kepada
Pranala agar masuk.
Brak Suara berderak keras terdengar. Adipati Jata
Sura dan kelima gundiknya yang masih dalam keadaan telanjang tersentak kaget.
Serentak mereka menjerit melihat jendela kamar telah jebol. Mereka hendak lari,
namun Pranala telah menghadang di pintu kamar.
Srang "Jangan lari Serahkan hartamu, Adipati
Atau nyawamu yang akan melayang" ancam Pangeran Prapanca sambil
mengacungkan pedang ke arah leher Kanjeng Adipati Jata Sura yang ketakutan.
Sehingga wajahnya kelihatan sangat pucat. Tubuh gemetaran.
Begitu pula dengan kelima wanita cantik yang masih
dalam keadaan telanjang bulat mereka menggigil ketakutan. "Cepat katakan,
di mana hartamu?" "Ampun..., jangan bunuh kami" ratap Adipati
Jata Sura mengiba dengan keringat dingin bercucuran, "Ambillah semua
hartaku Asal jangan kalian apa-apa-kan aku" "Baik Cepat katakan"
bentak Pangeran Prapanca semakin menempelkan pedangnya ke leher sang Adipati.
"Ayo, tunjukkan di mana kau menyimpannya." Dengan ketakutan, Adipati
Jata Sura pun menurut Kakinya melangkah di bawah ancaman pedang Pangeran
Prapanca. Sedangkan Pranala menahan kelima wanita gundik yang semakin
ketakutan. Mereka berdiri mengumpul di sudut kamar itu, sambil menutupi tubuh
mereka.
Adipati Jata Sura terus melangkah menuju kamar lain
Sedangkan Pangeran Prapanca terus menodongkan pedangnya di leher sang Adipati.
Namun tak terduga, tiba-tiba Adipati Jata Sura memberontak sampai lepas.
Kemudian lari keluar.
"Prajurit Maliiing..." teriak Adipati
Jata Sura membuat para prajuritnya yang tidur seketika terban-gun. Mereka
serentak lari menghampiri.
"Ada apa, Kanjeng Adipati?" "Tolol
Mengapa kalian tak tahu kalau ada dua orang maling masuk?" bentak Adipati
Jata Sura, "Tangkap mereka" Prajurit-prajurit kadipaten yang
berjumlah sepuluh orang langsung menyerbu ke dalam.
"Tangkap maling" "Celaka, Pangeran,
kita tak bisa apa-apa lagi," bisik Pranala.
"Apa boleh buat. Kita layani" Dua lelaki
bercadar itu segera melesat memapaki serangan kesepuluh prajurit kadipaten yang
memburu ke tempat mereka. Pedang di tangan Pangeran Prapanca dan Pranala
bergerak cepat memapaki serangan pedang dan tombak lawan.
"Hea" Wrt Wrt Trang Trang Pangeran
Prapanca dan Pranala nampaknya tak ingin berlama-lama menghadapi kesepuluh
prajurit kadipaten. Keduanya langsung mengeluarkan jurus silat andalan. Pedang
mereka bergerak semakin cepat, berputar laksana baling-baling. Dari putaran
pedang itu keluar deru angin yang menyentak.
"Kita tak ada waktu, Cadar Ungu Tumpas
saja" perintah Pangeran Prapanca.
"Baik, Cadar Biru Heaaa..."
"Yea" Suara riuh rendah, teriakan dan dentang senjata seketika
memecah kesunyian malam di lingkungan kadipaten itu.
"Tangkap mereka..." seru Adipati Jata
Sura merasa berani karena para prajuritnya kini menghadang kedua maling itu.
Para prajurit berusaha merangsek kedua lawannya.
Namun dengan cepat keduanya memutar pedang. Lalu tubuh keduanya turut berputar,
mengikuti gerakan pedang. Kejadian itu sangat cepat, dan....
Wrt Wrt Cras Cras "Akh..." Tiga orang
prajurit menjerit. Perut mereka terbabat pedang Pranala. Begitu juga dengan
yang dilakukan Pangeran Prapanca. Tiga orang yang mengeroyoknya, harus rela
melepaskan nyawa mereka. Dada dan muka mereka terbabat pedang. Darah pun
seketika berceceran di tempat pertarungan itu.
Melihat teman-temannya mati, keempat prajurit yang
masih hidup seketika merasa kecut. Mereka menyurut mundur dengan tubuh
gemetaran. Namun terdengar Adipati Jata Sura berteriak, memerintah mereka agar
menyerang....
"Seraaang Bunuh saja kedua maling itu..."
Mau tak mau, keempat prajurit kadipaten itu kembali bergerak menyerang. Namun
dengan keadaan tekanan jiwa, menjadikan keempat prajurit itu kaku dan kewalahan
menghadapi serangan lawan. Tanpa kesulitan Pangeran Prapanca dan Pranala
membabatkan pedang mereka menghalau para prajurit itu.
Wrt Cras Cras "Akh..," Keempat prajurit
kadipaten langsung mendongak sekarat, dengan tangan memegangi perut yang
terbabat pedang. Kemudian dengan mendelik, mereka ambruk ke tanah dan tewas.
Kejadian itu tentu saja membuat Adipati Jata Sura kembali membelalakkan mata.
Tubuhnya gemetaran. Terlebih lagi ketika Pangeran Prapanca mendekati dirinya
dengan pedang berlumuran darah.
"Kau mau seperti mereka, Adipati?" ancam
Pangeran Prapanca sambil mengajukan pedangnya.
"Ampun..., tidak. Ambillah semua hartaku, asal
jangan kalian bunuh aku" ratap Adipati Jata Sura dengan tubuh semakin
gemetaran.
"Cadar Ungu," Pangeran Prapanca memberi
isyarat pada Pranala agar mengikat tangan dan kaki Kanjeng Adipati Jata Sura.
Setelah menyumbat mulut Adipati Jata Sura, Pranala
segera membantu Pangeran Prapanca menguras habis harta milik Adipati Jata Sura.
Dua karung harta berharga mereka bawa, kemudian
dengan cepat meninggalkan kadipaten.
"Ayo, kita harus cepat Waktu tak ada
lagi," ajak Pangeran Prapanca sambil melompati pagar tembok kadipaten,
diikuti Pranala.
"Hop" Dengan ringan kedua lelaki bercadar
itu melompat dan hinggap di pagar tembok. Kemudian langsung melompat keluar
dari lingkungan kadipaten. Keduanya berlari meninggalkan lingkungan Kadipaten
Wungkalan, menembus gelapnya malam.
Tidak lama kemudian, kelima gundik Adipati Jata
Sura ribut. Hal itu mengundang perhatian warga yang dekat dengan kadipaten,
juga orang-orang yang bekerja pada kadipaten. Malam itu juga, gempar. Kadipaten
telah didatangi maling.
Sementara Pangeran Prapanca dan Pranala seperti
biasanya, langsung membagikan hasil curian kepada orang-orang miskin yang
membutuhkan.
Kini mereka berada di Desa Kuniran yang masih
termasuk wilayah Kadipaten Wungkalan. Keduanya langsung meletakkan
barang-barang berharga di depan pintu rumah mereka. Setelah selesai
membagi-bagikan hasil curian, mereka kembali melesat pergi menuju ke barat,
tempat Hutan Aseman berada. Mereka pun menghilang di dalam hutan itu.
***
Kejadian
yang menimpa Adipati Jata Sura bukan hanya mengejutkan para pembesar kerajaan.
Juragan Durka Pela yang menyangka kedua lelaki bercadar itu sudah mati di
tangan Ki Jalna Wangga pun kaget. Bagaimana mungkin orang-orang yang sudah mati
bisa melakukan kejahatan lagi? Juragan Durka Pela tak habis pikir, mendengar
berita tentang dua lelaki bercadar menjarah Kadipaten Wungkalan.
Satu pihak, mengutuk perbuatan kedua maling
budiman. Pihak ini tentunya berasal dari kalangan orang-orang besar, para
pejabat kerajaan. Namun di pihak lain, terutama rakyat yang menderita merasa
bersyukur dengan kehadiran kedua maling budiman yang banyak menolong mereka.
Pagi itu, di ruang pertemuan Istana Kerajaan Surya
Langit nampak hadir seluruh pembesar istana.
Perdana Menteri Giri Gantra, Panglima Utama Rawa
Sekti, sesepuh kerajaan yang terdiri dari lima orang dan Baginda Raja sendiri,
Prabu Awangga telah hadir di balai pertemuan.
Sementara dari luar istana, telah datang para
adipati. Di situ juga hadir Juragan Durka Pela, serta beberapa tokoh rimba
persilatan yang sengaja diundang baginda raja. Di antara tokoh rimba
persilatan, nampak Tirta Kayonan atau yang lebih terkenal dengan sebutan Pisau
Maut. Buto Gege, seorang tokoh persilatan aliran sesat yang tubuhnya tinggi
bagaikan raksasa. Bermuka menyeramkan dan telanjang dada.
Senjata yang digunakan sebuah martil besar bernama
Martil Dewa.
Selain kedua tokoh itu, hadir pula lima orang tokoh
rimba persilatan lainnya. Di antara mereka terdapat Ki Naga Wilis, Nyi Rara
Cenil serta sepasang pendekar muda bergelar Sepasang Jalak Sakti dari Desa
Kumbar. Sedangkan seorang lagi, tak lain seorang resi gemuk berkepala botak dengan
senjata tasbih besar dari Perguruan Kuil Perak.
"Saudara-saudara sekalian, tentunya kalian
saya undang kemari telah mengerti apa yang akan kita bicarakan," ujar
Baginda Prabu Awangga, membuka pertemuan itu.
Semua menganggukkan kepala.
"Akhir-akhir ini, wilayah kita dihebohkan
adanya dua orang maling yang oleh rakyat dianggap maling budiman. Padahal,
sebulan lagi putriku akan me-langsungkan pernikahan dengan pangeran dari
Kerajaan Bayu Bumi. Kalau sampai masanya suasana belum juga tenang, bagaimana tanggapan
Kerajaan Bayu Bumi terhadap kita? Untuk itulah, kuharap secepatnya bereskan
kedua maling itu," perintah Baginda Awangga menekankan.
"Daulat, Baginda..." jawab semua para
undangan. "Saya tak tahu, apa kedua maling itu dari kerajaan kita, atau
dari kerajaan lain yang sengaja disusupkan kemari," kembali baginda
berkata, setelah menarik napas dalam-dalam. "Selama ini, kerajaan ki-ta
aman. Namun entah mengapa, tiba-tiba kini ketika putriku hendak melangsungkan
perkawinan, muncul kekacauan. Bagaimana menurutmu, Paman Perdana Menteri?"
Perdana Menteri Giri Gantra menjura dengan menganggukkan kepala. Wajah lelaki
berusia sekitar lima puluh lima tahun ini, nampak menggambarkan kelicikan dan
keserakahan.
"Ampun, Baginda Apa yang Baginda titahkan
memang sudah sepantasnya. Karena kalau dibiarkan kerajaan kita bisa buruk di
mata kerajaan lain," ujar Perdana Menteri Giri Gantra, nadanya menjilat.
"Lalu, bagaimana rencanamu, Paman?" tanya
Baginda Raja ingin tahu, apa rencana yang ada dalam pemikiran Perdana Menteri
Giri Gantra.
"Menurut hamba, kita sebar sayembara. Barang
siapa bisa mendapatkan kedua maling itu, maka padanya akan kita berikan
kedudukan di istana sekaligus harta," tutur lelaki penjilat ini sambil
menganggukkan kepala. Matanya yang mengandung kelicikan, melirik pada Buto Gege
yang menyeringai.
"Aku setuju. Bahkan bila perlu, aku rela
memberi putriku yang kedua untuk istrinya, jika dia memang lelaki. Tapi jika
wanita, maka akan kujadikan permaisuriku." Baginda Awangga bagaikan tanpa
sadar mengucapkan perintah itu.
"Ampun, Baginda Apakah Baginda sadar bersabda
begitu?" tanya Ki Samaika, salah seorang sesepuh istana yang dianggap
paling tua serta sangat dihormati.
"Memangnya kenapa, Ki Resi? Apakah salah jika
aku bersabda begitu?" tanya Baginda Awangga belum menyadari.
"Ampun, Baginda Memang sabda seorang raja tak
salah. Tetapi, mungkin ada kekeliruan yang harus dibenahi atau dipertimbangkan
kembali," ujar Ki Samaika berusaha mengingatkan.
"Tidak bisa, Ki Kau jangan menentang
Baginda" hardik Perdana Menteri Giri Gantra, "Sabda Baginda berarti
hukum Dan sabda seorang raja, disaksikan serta diperintahkan para dewata.
Adalah hal yang tidak benar, jika seorang raja menarik sabda yang telah diucapkan."
Ki Samaika terdiam. Nampaknya orang tua berusia sekitar tujuh puluh lima tahun
ini, tak mau ber-debat dengan perdana menteri kerajaan. Itu pula yang membuat
Ki Samaika hanya mengalah diam.
"Ampun Baginda Yang Mulia Bukan maksud hamba
melancangi titah Baginda," kata Perdana Menteri Giri Gantra sambil
menyembah.
"Tidak apa, Paman. Memang apa yang kau katakan
benar adanya. Sabda seorang raja, tidak boleh ditarik kembali. Maka itu, besok
perintahkan sebar sayembara itu. Siapa pun orangnya, berhak mengikuti sayembara
ini" titah Baginda Prabu Awangga. Semua terdiam, tak ada yang dapat lagi
berkata-kata, termasuk Ki Samaika. Walau dalam hati orang tua itu menyesalkan
sabda Baginda Raja, tetapi sebagai seorang penasihat dirinya tak mungkin
menentang keputusan saja. Keputusan seorang raja, merupakan hukum kuat yang
harus dijalankan semua orang yang menjadi rakyat kerajaan.
"Daulat, Baginda Segala titah Baginda, akan
segera hamba laksanakan," jawab Perdana Menteri Giri Gantra sambil
menyembah. Senyum tipis mengembang di bibirnya.
"Kurasa tak ada masalah lagi. Maka itu,
pertemuan saya tutup" kata Baginda Raja, kemudian berlalu meninggalkan
ruang pertemuan.
Satu persatu semuanya pergi, kini di dalam ruang
pertemuan tinggal lima orang sesepuh kerajaan yang masih termenung. Mereka
nampaknya masih memikirkan tentang keputusan baginda. Mulut mereka bungkam.
Hanya mata mereka yang dihias alis putih tampak saling berpandangan satu sama
lain.
***
6
Empat orang prajurit Kerajaan Surya Langit nampak
memacu kuda mereka yang berlari ke arah barat, menuju Desa Kaliamba. Di tangan
salah seorang prajurit yang paling depan, tergenggam selembar gulungan kain.
Keempatnya berhenti tepat di depan sebuah kedai. Setelah menambatkan kuda,
mereka langsung memasang gulungan kain yang bertuliskan pengumuman pada pohon
mangga di depan kedai itu Setelah memasang pengumuman itu, keempat prajurit
kerajaan segera meninggalkan tempat itu.
Orang-orang yang ada di kedai, termasuk Pendekar
Gila dan Mei Lie, keluar ingin tahu apa isi pengumuman itu.
"Kakang, nampaknya pihak kerajaan tak suka
dengan kedua lelaki bercadar itu," kata Mei Lie setelah membaca isi
pengumuman sayembara itu.
"Aha, kau benar. Nampaknya kedua orang itu
kini menjadi perhatian pihak kerajaan," gumam Sena sambil cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Lalu, apa yang harus kita lakukan,
Kakang?" tanya Mei Lie.
"Kita?" gumam Sena sambil mengerutkan
kening. Kemudian terdengar tawanya yang lepas sambil menggaruk-garuk kepala.
Hal itu menjadikan Mei Lie cemberut "Lucu sekali... Hi hi hi... Untuk apa
kita mesti pusing-pusing? Kita belum jelas masalahnya, Mei Lie."
"Tapi, pihak kerajaan nampaknya sangat membutuhkan pertolongan kita,"
tukas Mei Lie.
Pendekar Gila tak langsung menjawab. Sesaat
wajahnya nampak tercenung. Namun, kemudian kembali terdengar suara tawanya yang
nyaring. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat semua orang yang
melihat tingkah lakunya, memandang heran pada Pendekar Gila. Namun Sena tak
menghiraukannya. Mulutnya masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Ah, dunia ini memang sulit...," gumamnya
setengah mengeluh. "Kadang kala, orang benar disalahkan. Tetapi, orang
salah dibenarkan. Seperti hukum rimba. Kalau yang kuat akan semakin di atas.
Sedangkan yang lemah, akan semakin di bawah bahkan terinjak." "Apa
maksudmu, Kakang?" tanya Mei Lie belum memahami ungkapan yang baru saja
dikatakan Sena.
Mata gadis Cina yang cantik itu, memandang lekat
wajah kekasihnya yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala "Ah
ah ah..., kadang aku bingung, atau memang aku yang sudah gila? Hi hi hi... Lucu
sekali" gumam Sena lagi sambil tertawa cekikikan, "Gila...? Ah,
memang aku ini gila Namun kurasa masih banyak orang yang melebihi aku
gilanya." "Aku tak mengerti, Kakang," keluh Mei Lie dengan
kening masih mengerut, menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila. Tingkah laku dan
ucapannya. Semakin aneh bagi Mei Lie. Kadang kala, mimik muka Pendekar Gila
tercenung. Tetapi sebentar kemudian tersenyum cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. "Inikah kehidupan yang beradab...?" tanya
Se-na, seperti bertanya pada diri sendiri. "Ah ah ah, sangat lucu sekali
Kadang orang menutupi kejahatan dengan kebaikan. Lucu... Hi hi hi..." Mei
Lie semakin tak mengerti dengan kata-kata yang diucapkan Pendekar Gila. Dirinya
memang belum begitu dalam menghayati kehidupan. Tidak seperti Sena, yang telah
lama menghayati kehidupan dengan berkelana. Perasaan mereka pun berbeda. Mei
Lie senantiasa cepat emosi dan tersinggung. Sebaliknya Sena nampak tenang dan
selalu berusaha memahami kejadian di sekitarnya dengan pikiran tenang. Bahkan
sekilas seperti bercanda. Cekikikan, cengengesan, tertawa terbahak-bahak atau
tersenyum-senyum sambil menggaruk-garuk kepala.
"Mei Lie, kau baca sekali lagi isi pengumuman
itu Lalu resapilah maksudnya," ujar Sena seraya menunjuk pengumuman
sayembara itu.
Mei Lie menurut, dengan lafal terputus-putus
bahasanya dia membaca isi pengumuman itu.
Barang siapa yang dapat menangkap hidup atau mati,
penjahat-penjahat kerajaan yang telah membuat keonaran dengan mencuri dan
merampok beberapa orang pembesar kerajaan, maka akan mendapat ganjaran dari
Baginda Raja. Jika yang berhasil menangkap kedua maling lelaki, akan dinikahkan
dengan putri baginda yang kedua, Putri Dyah Ayu Pitasari, adik Putri Dyah Sari
Sekar Arum.
Kedua penjahat itu sangat berbahaya jika dibiarkan.
Terbukti sejak kemunculannya, telah meng-hambat pembangunan jalan. Hal itu
karena adanya kejadian yang menimpa Ki Durka Pela dan Adipati Jata Sura yang
bertanggung jawab dalam pembuatan jalan tersebut.
Baginda Raja Sutya Langit.
Prabu Awangga.
"Aha, bagaimana menurutmu, Mei?" tanya
Sena setelah melihat Mei Lie selesai membaca.
Mei Lie menggeleng-gelengkan kepala. Pendekar Gila
tersenyum cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Aku tak mengerti, Kakang. Kurasa, pihak
kerajaan benar," sahut Mei Lie, yang membuat Pendekar Gila tertawa.
Sepertinya ucapan Mei Lie lucu sekali.
"Hua ha ha..." Mei Lie yang merasa
ditertawakan merengut, Pendekar Gila menghentikan tawanya. Kemudian dengan
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala, Sena berujar.
"Ah ah ah..., kurasa kau tak bisa menyalahkan
dan membenarkan salah satu pihak, tanpa lebih dahulu mengetahui masalah yang
sebenarnya, Mei." "Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang?"
tanya Mei Lie meminta saran, "Kalau kita hanya diam kurasa pihak kerajaan
akan menuduh kita bersekong-kol dengan mereka." Pendekar Gila tidak
langsung menjawab. Tangannya mencabut bulu burung yang terselip di ikat
pinggangnya. Kemudian dikoreknya telinga dengan bulu burung itu. Mulutnya cengengesan,
sedang matanya memandang ke atas.
"Ah ah ah, sulit..., sulit memang Tapi kita
harus bisa bertemu dengan kedua maling itu," ujar Sena.
"Untuk apa, Kakang?" "Aha, kurasa
mereka melakukan pencurian dan membagi-bagikan harta hasil curian pada
penduduk, karena ada alasan tertentu, Mei," ujar Sena berusaha
menjelaskan. "Ah, lebih baik kita masuk ke kedai, daripada di sini terkena
terik matahari." Mei Lie pun menurut, melangkah seiring bersama kekasihnya
kembali ke dalam kedai. Keduanya baru saja hendak masuk, ketika dari arah timur
nampak dua orang lelaki satu menunggang kuda dan satunya lagi berjalan menuju
kedai.
Pendekar Gila dan Mei Lie tak peduli dengan
kedatangan kedua orang berwajah garang itu. Orang yang berjalan, bertubuh
tinggi besar seperti raksasa.
Dadanya berbulu lebat. Matanya garang. Orang ini
tak lain Buto Gege. Sedangkan orang yang naik kuda, meski badannya besar, tetap
tak sebesar dan setinggi manusia raksasa itu.
Penunggang kuda itu kalau dilihat dari pakaiannya
terbentuk jubah tentu seorang resi. Kepalanya botak plontos. Di lehernya
tergantung sebuah kalung tasbih besar. Dialah Resi Wisangkara, dari Kuil Perak.
Kuda yang ditungganginya terus melangkah ringan, seakan tak membawa beban sama
sekali.
Kedua tokoh hitam itu terus menuju kedai di ujung
Desa Kaliamba. Pendekar Gila dan Mei Lie nampak telah berada di dalam kedai,
seakan tak mempedulikan kedatangan dua lelaki bertubuh besar itu.
Namun baru saja Pendekar Gila dan Mei Lie hendak
duduk, tiba-tiba keduanya disentakkan oleh suara keras dan menggelegar laksana
guruh.
"Di mana maling pengecut itu? Hai..., katakan
Di mana maling-maling tolol itu? Atau Buto Gege akan memangsa kalian?"
bentak Buto Gege sambil menyeringai, menunjukkan gigi-giginya yang coklat
menyeramkan. Matanya yang lebar, melotot menatap ke kedai.
Pendekar Gila karena terkejut, mengurungkan niatnya
untuk duduk. Matanya memandang keluar.
Terdengar suara tawa nyaring dari mulutnya ketika
melihat dua manusia besar itu membentak-bentak orang-orang di kedai.
"Hua ha ha... Kau lihat sendiri, Mei? Lucu
sekali mereka itu. Mereka tak ubahnya cecurut besar yang suka menjilat kotoran.
Hua ha ha..." seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Hal itu tentu saja
membuat kedua manusia besar di luar tersentak kaget.
Seketika mata keduanya memperhatikan ke dalam
kedai, seakan ingin membuktikan orang yang berani mentertawai mereka.
"Bocah gila Sinting... Lancang sekali mulutmu
Rupanya kau teman kedua maling tolol itu?" bentak Resi Wisangkara dengan
suara keras dan parau.
Hatinya marah mendengar ejekan Pendekar Gila.
Sementara itu orang-orang yang berada di dalam
kedai tampak bingung dan serba salah. Mereka ketakutan dan cemas menyaksikan
kedua manusia bertubuh besar yang masih berada di luar kedai. Namun untuk turut
campur jelas tak ada yang berani.
Mata mereka silih berganti memperhatikan pemuda
gila yang berada di dalam kedai, lalu menoleh pada kedua lelaki yang sedang marah-marah
itu.
Para pengunjung kedai itu merasa heran pula melihat
keberanian pemuda gila mengejek Buto Gege dan Resi Wisangkara. Namun semua
hanya diam membisu, ketakutan. Tak ada yang menyahuti katakata kedua orang
besar itu.
"Hua ha ha... Lihat Mei Lie, kurasa merekalah
yang tolol Karena mereka menjilati kotoran. Hi hi hi..." teriak Sena
sambil tertawa-tawa dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Sikapnya yang konyol
membuat Buto Gege dan Resi Wisangkara terbelalak karena begitu marah. Hati
mereka benar-benar tersinggung mendengar ucapan seenaknya dari mulut pemuda
bertingkah laku mirip orang gila itu.
"Grrr Keluarlah kau, Bocah Sinting?"
geram Buto Gege sambil mengayunkan martilnya yang besar hingga menimbulkan
angin. Lalu dengan kuat dihantamkan martil raksasa itu ke kedai.
Wuttt Brakkk Kedai itu porak-poranda terhantam
Martil Dewa di tangan Buto Gege. Orang-orang di dalam kedai berteriak-teriak
ketakutan. Ada di antara mereka yang ter-luka, tertimpa kayu bangunan. Bagi
mereka yang telah lebih dulu lari menghindar tentu saja selamat dari ke-jatuhan
dinding kayu kedai itu. Sementara Pendekar Gila dan Mei Lie yang telah melompat
keluar tak terke-na hantaman Martil Dewa itu.
"Hua ha ha... Dasar raksasa tolol" seru
Sena sambil cengengesan. Kini tubuhnya telah berada sepuluh tombak dari kedai
yang hancur. "Ah ah ah, kurasa binatang hutan ini harus dijinakkan,
Mei?" "Kakang, apakah Kakang akan diam dan menimbang-nimbang lagi
jika sudah begini?" tanya Mei Lie nampak sudah tak sabar. Matanya menatap
tajam ke arah dua manusia besar yang kini melangkah menuju ke arah mereka.
"Aha, kurasa tidak, Mei. Jelas mereka mengajak
kita main-main," jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Aku juga muak melihat kedua manusia sombong
itu," rungut Mei Lie dengan pandangan penuh kebencian terhadap dua manusia
besar yang kelihatan angkuh. Seakan, keduanya hendak menyombongkan diri,
sehingga melangkah pun dengan cara membusungkan dada.
"Aha, kurasa mereka memang tikus-tikus sombong.
Badan mereka saja yang besar, tetapi berotak kerbau" ujar Pendekar Gila
sambil tertawa-tawa. Hal itu sengaja untuk memancing kemarahan kedua manusia
besar itu.
"Kurang ajar Bocah gila, jika kau ingin
selamat, cepat katakan, di mana kedua maling itu berada?" bentak Resi
Wisangkara dengan menggeram marah. Tasbih besar yang tadi dikalungkan di leher,
kini telah berada di tangan kanannya. Setelah melompat dari kuda, kakinya
perlahan-lahan melangkah mendekati Pendekar Gila dan Mei Lie yang berada di sebelah
barat sepuluh tombak dari kedua lelaki besar itu.
"Hm... Grrr Rupanya tulang tubuhmu minta
kuremukkan, Bocah Edan" bentak Buto Gege marah merasa dihina sebagai
kerbau dungu. Martil Dewa di tangannya diputar dengan cepat hingga mengeluarkan
suara menderu-deru disertai angin.
Werrr Werrr
***
Buto Gege
terus memutar Martil Dewa semakin kencang. Angin yang keluar laksana topan.
Orangorang yang terkena sambaran angin dari Martil Dewa di tangan Buto Gege,
seketika terpental seperti dihem-paskan suatu kekuatan dahsyat. Kedai yang
ambruk, turut tersapu angin besar itu.
Werrr Werrr Srakkk Srakkk "Hua ha ha...."
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak seperti merasa ada sesuatu yang lucu.
Tangannya terus menggaruk-garuk kepala. Buto Gege yang merasa ditertawakan
seperti itu meledaklah kemarahannya. Serta merta dipercepat gerakan tangannya
memutar Martil Dewa.
Werrr Werrr Angin pun menderu bertambah kencang.
Para pengunjung kedai sudah tak berani berada di dekat kedai. Namun Pendekar
Gila masih berdiri dengan suara tawanya yang semakin keras. Seakan-akan angin
besar itu tak berarti sama sekali baginya. Sementara itu, Mei Lie tampak telah
menggenggam erat-erat Pedang Bidadarinya, berusaha menahan serangan kekuatan
dahsyat dari Martil Dewa.
"Hua ha ha Lucu sekali kau, Buto Tolol?"
ejek Sena sambil terus tertawa terbahak-bahak dengan tangan menggaruk-garuk
kepala. Bahkan sesekali mulutnya terdengar bernyanyi-nyanyi. Matanya
memejam-mejam seperti hendak tidur. "Ah, segar sekali Mengapa tak dari
kemarin kau mengipas tubuhku ini? Hua ha ha... Hua ha ha... Terus, putar terus
kipasmu..." Buto Gege dan Resi Wisangkara tersentak kaget menyaksikan
Pendekar Gila tak terpengaruh sama sekali. Mata mereka membelalak seakan tak
percaya dengan apa yang mereka saksikan. Bagi kedua manusia besar itu sungguh
tak masuk akal. Tubuh pemuda berompi kulit ular itu ternyata mampu bertahan
terhadap serangan angin besar yang keluar dari putaran Martil Dewa di tangan
Buto Gege. Bahkan pemuda gila itu tertawa semakin keras sambil memejam-mejamkan
mata. "Bocah sombong Rupanya kau mencari mampus, berani menghina Buto
Gege" dengus Buto Gege sambil menghantamkan martil raksasanya ke tubuh
Pendekar Gila. "Remuk tubuhmu Heaaa..." "Mei Lie, awaaas"
teriak Sena mengingatkan kekasihnya yang langsung melompat ke samping.
Sementara dia sendiri langsung melenting ke atas.
Wuttt Glarrr...
Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika
Martil Dewa menghantam tanah. Tanah yang terkena hantaman martil itu, hancur
berhamburan menganga dan cukup dalam.
"Hua ha ha... Kau benar-benar tolol, Buto?
Kenapa tanah kosong kau hantam?" ejek Sena yang telah bertengger di atas
sebatang cabang pohon sambil masih terdengar pula suara tawanya. Tingkah
lakunya mirip seekor kera. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Sedangkan tubuhnya
berjingkrak-jingkrakan. Sehingga dedaunan pohon itu tampak bergetar.
"Kurang ajar" "Kau hadapi dia, Buto
Biar aku meringkus gadis cantik itu," seru Resi Wisangkara sambil menatap
Mei Lie. "Baik Tapi kalau berhasil, akulah yang lebih dahulu" sahut
Buto Gege sambil menolehkan kepala kepada Mei Lie yang masih menggenggam erat
pedangnya.
"Baik," sahut Resi Wisangkara sambil
tersenyum, kemudian dia segera melangkah ke arah Mei Lie yang nampaknya sudah
siap dengan sambutannya.
Mei Lie segera menggerakkan Pedang Bidadarinya
dengan jurus 'Tarian Bidadari'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari.
"Hea" "He he he... Nisanak lebih
baik menyerah Kau akan kujadikan istriku yang ketiga kalau kau mau
menyerah," ujar Resi Wisangkara sambil terkekeh, merendahkan siapa gadis
yang hendak dihadapinya.
Bahkan resi dari Kuil Perak itu nampak tenang,
menganggap Mei Lie bukan lawan yang perlu ditakuti "Huh, kalau memang aku
kalah, aku rela mati di tanganmu" dengus Mei Lie dengan sengit. Kemudian
dengan masih bergerak menari, gadis itu mulai melakukan serangan pada Resi
Wisangkara.
"Heaaa..." Wut Wuttt Pedang Bidadari yang
mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan semakin mendekat ke tubuh lawan.
Lelaki tua berkepala botak itu tiba-tiba tersentak kaget. "Heh?"
Dengan mata terbelalak kaget, Resi Wisangkara melompat ke belakang. Matanya
memandang tajam, hampir tak percaya pada apa yang dialaminya barusan. Dirinya
tak menyangka, kalau gadis Cina di hadapannya ternyata bukan gadis sembarangan.
Terbukti dengan serangan yang hampir saja merenggut nyawanya. Kalau saja
kakinya tak segera melompat ke belakang, pedang Mei Lei yang mampu
menghancurkan tubuh lawan itu pasti membabatnya.
"Hm, rupanya kau bukan gadis sembarangan,
Nisanak? Baik, aku pun tak segan-segan meladenimu," kata Resi Wisangkara
sambil memutar tasbih be-sarnya yang berwarna hijau.
Wrt Srakkk...
"Hm, memang itulah yang kuinginkan, Resi Cabul
Heaaa..." "Yea" Mei Lie segera melesat dengan jurus 'Bidadari
Menyentak Selendang'. Tangannya bergerak merentang dan kaki kanannya diajukan.
Kemudian dengan cepat, kedua tangannya yang merentang bergerak menyerang.
Pedang Bidadari di tangan kanannya terus berkelebat memburu sasaran. Dari
gerakan pedang itu keluar hawa panas.
Wuttt Wuttt "Aits" Dengan cepat Resi
Wisangkara merundukkan tubuh sambil menggeser kedudukan kakinya tiga langkah ke
kanan. Lalu dengan jurus 'Musang Menyelimut Tubuh', lelaki tua berkepala botak
itu membalas serangan. Dikibaskan dan diputar-putar tasbihnya menyerang Mei
Lie.
Wert Crakkk...
Cletarrr...
"Haits... Hea..." Dengan memiringkan
tubuh, Mei Lie mengelakkan sambaran tasbih hijau itu. Lalu setelah berhasil
lolos dari serangan lawan, dengan cepat Mei Lie melancarkan tendangan kaki kiri
ke dada lawan.
Melihat lawan menendang, Resi Wisangkara segera
memapakinya dengan pukulan tangan kiri. Namun, ternyata tendangan yang
dilakukan Mei Lie hanya se-bagai gerak tipu. Ketika lawan menangkis, dengan
cepat Mei Lie menarik serangan. Lalu tanpa diduga gadis cantik berpakaian hijau
itu melancarkan sebuah pukulan dahsyat.
"Hea" Wuttt "Heh?" Resi
Wisangkara yang tak menduga akan diserang begitu cepat, berusaha mengelak.
Namun gerakan tangan Mei Lie yang disertai pengerahan tenaga dalam, datang
lebih cepat. Tak ada kesempatan bagi lelaki berkepala botak itu untuk mengelak.
Yang dapat dilakukan hanya balas menyerang dengan tasbih be-sarnya. Tanpa
sungkan lagi, Resi Wisangkara segera mengibaskan tasbihnya ke tangan Mei Lie.
"Hea" Melihat lawan hendak menyerang
dengan tasbihnya, Mei Lie segera menarik pukulan tangannya.
Kemudian sambil mengelit ke samping dengan cepat
dibabatkan Pedang Bidadari, memapak tasbih yang menderu di atas kepalanya.
Jletarrr Prakkk Ledakan keras memekakkan telinga
terdengar ketika pedang Mei Lie berhasil menyambar tasbih lawan. Prelll
"Hah..." Mata Resi Wisangkara terbelalak kaget. Lelaki besar
berkepala botak dan bermuka bengis itu, melompat ke belakang. Matanya
memandangi tasbihnya yang hancur berantakan, terbabat pedang Mei Lie.
"Celaka Dia bukan gadis biasa" gumam Resi
Wisangkara dengan wajah menampakkan ketegangan.
Dia benar-benar tak menyangka kalau tasbihnya yang
merupakan senjata sakti dan terbuat dari batu-batu pualam rontok terbabat
pedang lawan.
Merasa tak unggulan menghadapi gadis Cina itu,
tanpa membuang waktu lagi Resi Wisangkara melesat kabur. Wajahnya begitu pucat,
setelah menyadari kalau lawan menghendaki biasa saja menghabisi nyawanya.
"Mungkinkah dia yang bernama Bidadari Pencabut Nyawa?" gumam Resi
Wisangkara sambil terus berlari, meninggalkan Mei Lie yang tampak tersenyum.
"Celakalah aku kalau dia benar-benar Bidadari
Pencabut Nyawa" Sementara, Pendekar Gila yang menghadapi Buto Gege masih
bergerak ke sana kemari, mengelakkan hantaman-hantaman Martil Dewa. Buto Gege
tampaknya tak ingin lawan dapat melakukan serangan balasan. Diserangnya terus
Pendekar Gila tanpa henti.
Wrt Wrt Glarrr...
Brakkk Martil Dewa kembali menghantam pohon, hingga
hancur berantakan. Sedangkan Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi... Aku di sini, Buto Tolol"
seru Sena sambil tertawa-tawa.
"Grrr Kurang ajar Remuk tubuhmu" Buto
Gege kembali menghantamkan Martil Dewa ke pohon tempat Pendekar Gila
bertengger. Namun dengan cepat pemuda itu melompat berpindah ke pohon lain.
Wrt Brakkk "Hua ha ha... Matamu buta, Raksasa
Tolol.
Mengapa pohon kau hantam?" ejek Sena sambil
terta-wa. Tanpa diketahui tiba-tiba tubuhnya telah bertengger di cabang pohon
yang lain. "Ah ah ah... Tempatmu di hutan. Tetapi, mengapa kau merusak
pepohonan?" "Kurang ajar Kali ini tak akan luput dari Martil Dewaku,
Bocah Gila Hm... Hiaaa..." Buto Gege yang marah karena sejak tadi diledek
oleh Pendekar Gila, segera memutar Martil Dewanya. Angin menderu-deru keras dan
menggetarkan disertai hawa panas yang menyengat. Semakin cepat Martil Dewa
diputar, nampak martil itu mengalami perubahan. Dari Martil itu, keluar lidah
api.
"Heaaa" Wusss...
Melihat Buto Gege mengarahkan lidah api yang keluar
dari kepala martil dengan cepat Pendekar Gila mengeluarkan ajian 'Inti
Bayu'nya.
"Heaaa" Wusss Wusss...
Besss...
Dua kekuatan sakti saling bertemu. Api yang semula
hendak menyerang ke tubuh Pendekar Gila, seketika padam terhempas hawa dingin
dari angin yang keluar dari ajian 'Inti Bayu'.
Disertai amarah meledak-ledak Buto Gege memutar
Martil Dewa dengan kekuatan tenaga dalam yang luar biasa. Dari putaran senjata
itu muncul angin dahsyat yang menghembuskan hawa dingin. Orang-orang yang
berada di sekitar tempat pertarungan merasa menggigil kedinginan.
"Hi hi hi... Enak sekali kipasmu," kata
Sena sambil tertawa cekikikan "Ah, membuatku mengantuk sekali."
Dengan mata memejam-mejam seperti orang mengantuk, Pendekar Gila mengerahkan
tenaga in-tinya ke seluruh tubuh. Sehingga tubuhnya tidak merasa dingin. Yang
dirasakan hanya hawa sejuk.
"Kurang ajar Kuremukkan tubuhmu, Bocah
Gila" Buto Gege kini mengangkat martilnya tinggi-tinggi. Kemudian dengan
kuat dihantamkan martil besar itu ke tubuh lawan. Namun sebelum senjata lawan
sempat menerjang, dengan cepat Pendekar Gila mencabut Suling Naga Saktinya. Dan
secepat kilat pula disabetkan suling itu untuk menangkis Martil Dewa.
Wrt Srt Trakkk "Heh?" Membelalak mata
Buto Gege, melihat suling di tangan Pendekar Gila. Mulutnya menganga dan
tubuhnya seketika menggigil bagai kedinginan, "Kau? Kau Pendekar
Gila...?" "Aha, kenapa tubuhmu Buto Gege?" tanya Sena dengan
mulut cengengesan Sedangkan tangannya masih menangkiskan Suling Naga Sakti ke
senjata lawan yang semakin lama semakin melemah.
"Tidak Ampuuun..." teriak Buto Gege
sambil menarik senjatanya. Kemudian manusia raksasa itu berlutut, sambil
melakukan sembah. Keadaan itu membuat Pendekar Gila dan Mei Lie mengerutkan
kening, tak mengerti mengapa manusia raksasa itu berbuat begitu.
"Aha, kenapa kau seperti dikejar setan,
Raksasa?" tanya Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap
keheranan pada Buto Gege yang masih bersujud sambil meraung-raung bagaikan
ketakutan.
"Ampun, Tuan... Ampun... Hukumlah hambamu yang
bodoh dan dungu ini" Buto Gege terus meraung-raung minta ampun sambil
bersujud di depan Pendekar Gila. Seolah akan diterimanya apapun hukuman dari
Pendekar Gila.
Namun Pendekar Gila dan Mei Lie masih tak mengerti,
mengapa Buto Gege berlaku begitu.
"Ah ah ah, kau aneh sekali, Raksasa? Aku...,
aku tak mengerti dengan tingkahmu. Hi hi hi..." Sena cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala.
"Kenapa dia, Kakang?" tanya Mei Lie yang
juga heran melihat keganasan Buto Gege yang tiba-tiba hilang. "Aha, mana
aku tahu?" sahut Sena sambil cengengesan dengan tangan masih
menggaruk-garuk kepala. "Aha, bangunlah, dan ceritakan mengapa kau
ini" Dengan perlahan Buto Gege bangun. Kepalanya tertunduk, tak berani
memandang Pendekar Gila. Hal itu membuat Sena semakin tak mengerti. Mulutnya
semakin cengengesan.
"Aha, kenapa kau, Raksasa?" tanya Sena.
Buto Gege sejenak melakukan sembah sambil berdiri,
kemudian dengan suara berat dan besar Buto Gege pun menceritakan siapa dia
sebenarnya. Dikatakan, bahwa dirinya saudara dari Kemuning Wangi.
Kemuning Wangi adalah kekasih dari Pendekar Gila.
Puluhan tahun yang silam, keduanya menjalin cinta.
Keduanya saling menyayangi. Namun cinta mereka
kandas, setelah kehadiran Buto Gege.
"Aha, mengapa kau salah, Raksasa. Aku bukan
Pendekar Gila yang kau maksudkan. Aku hanyalah muridnya," ujar Sena
menjelaskan.
"Jadi, kau murid Kakang Singo Edan?"
tanya Buto Gege.
"Aha, benar" jawab Sena.
"Oh, syukurlah kalau begitu Walau kau
muridnya, aku tetap mau meminta maaf padanya lewat kau. Aku merasa bersalah.
Karena semenjak kehadiranku, mengakibatkan kakakku menderita. Sampaisampai
kakakku tak mau melihat dunia lagi," tutur Buto Gege.
"Maksudmu?" tanya Mei Lie menyala.
"Siapa dia, Pendekar...?" tanya Buto
Gege, seraya menoleh pada Mei Lie.
"Dia temanku, namanya Mei Lie. Dan aku Sena
Manggala," jawab Pendekar Gila memperkenalkan diri.
Buto Gege yang semula ganas, kini menjura hormat
pada Mei Lie dengan cara menganggukkan kepala. Kedua telapak tangannya
menyembah di depan dada. "Terimalah hormatku, Nisanak" "Terima
kasih," jawab Mei Lie.
Buto Gege pun menceritakan peristiwa yang dialami
puluhan tahun silam. Kejadian yang menyebabkan hubungan Kemuning Wangi dengan
Singo Edan putus. Ketika Buto Gege datang menemui Kemuning Wangi, sang Kakak
merasa malu memiliki adik seorang raksasa. Namun Singo Edan berusaha meyakinkan
Kemuning Wangi, agar mau menerima adiknya.
Kemuning Wangi mulanya hendak menerima, namun
kekerasan hatinya menolak. Apalagi setelah tahu adiknya berhaluan sesat.
Pertentangan antara Singo Edan dan Kemuning Wangi terjadi. Sampai akhirnya Buto
Gege menyangka kalau Singo Edan yang tak suka padanya. Raksasa itu menantang
Singo Edan bertarung.
Mulanya Singo Edan menolak. Namun setelah diejek
dan dituduh menyakiti hati Kemuning Wangi, akhirnya Singo Edan menerima
tantangan Buto Gege.
Mereka pun bertarung. Rupanya ilmu Singo Edan jauh
lebih tinggi daripada ilmu Buto Gege. Sehingga Buto Gege dapat dikalahkan. Buto
Gege dilemparkan ke Gunung Gelangan.
Sejak kejadian itu, Kemuning Wangi justru menuduh
Singo Edan tak punya perasaan dan tega melemparkan adiknya. Kemuning Wangi pun
akhirnya meninggalkan Singo Edan, untuk mencari sang Adik.
"Kami benar-benar menyesal, karena merasa
benar sendiri. Penyesalan kami, benar-benar tak dapat tuntas sebelum meminta
ampun pada Kakang Singo Edan. Walau kakakku telah membutakan matanya.
untuk tidak melihat dunia lagi," kata Buto
Gege mengakhiri ceritanya. Wajahnya nampak sedih. Kepalanya ditundukkan
dalam-dalam.
"Aha, kurasa guru pun akan mengampuni
kalian," ujar Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Terima kasih. Ku mohon padamu, jika sampai di
tempat gurumu, sampaikan permintaan maaf kami" pinta Buto Gege penuh
harap, "Kami benar-benar merasa tak akan pernah tenang, sebelum Kakang
Singo Edan memaafkan tindakan kami." Mei Lie yang mendengar cerita Buto
Gege, matanya tampak membasah. Hatinya turut iba, setelah tahu bagaimana nasib
manusia raksasa itu. Sementara Pendekar Gila kini nampak mengulum bibir dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. Sepertinya Pendekar Gila pun turut merasa
prihatin dengan nasib Buto Gege dan kekasih gurunya, Kemuning Wangi.
"Itukah sebabnya Eyang Guru tak
menikah...?" tanya Sena dalam hati.
"Sena, aku harus segera pergi.
Hati-hatilah" ujar Buto Gege.
Setelah menjura, manusia raksasa itu pun melangkah
meninggalkan Pendekar Gila dan Mei Lie yang masih terpaku memperhatikan sosok
raksasa itu.
Langkah kaki Buto Gege, lima kali langkah mereka.
Namun di balik tubuhnya yang besar, tersembunyi
duka dan kesedihan serta keburukan nasibnya.
Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala sambil
tersenyum cengengesan. Dimasukkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya. Lalu
dipandang wajah Mei Lie yang tersenyum, sepertinya merasa tenang ada bersama
sang Kekasih.
Keduanya saling pandang. Di bibir mereka, mengurai
senyum.
***
Malam
kembali hadir dengan kegelapannya.
Suasana sunyi memperjelas suara lolongan
anjinganjing hutan yang semakin mencekam malam di Desa Sawangan dan sekitarnya.
Sehingga suasana mirip pedesaan yang mati. Seperti desa yang tak berpenghuni.
Apalagi angin yang berhembus agak kencang meniupkan
hawa dingin. Dinginnya terasa menusuk ke tulang sumsum. Sementara itu langit
tampak mendung.
Kilat pun sesekali menyambar, dengan sinarnya yang
hanya sekejap menerangi bumi. Sesaat kemudian, terdengar suara guruh di langit.
Hujan rintik-rintik mulai membasahi bumi, bagaikan
tangis Dewi Malam yang sedang dirundung duka. Angin semakin kencang berhembus.
Dan orangorang yang tidur, semakin terlelap dalam mimpinya.
Di bawah rintik hujan gerimis, dua sosok tubuh
berlari-lari kecil berusaha mencari tempat berteduh.
Kedua orang itu, tak lain Pendekar Gila dan Mei
Lie.
Keduanya terus berlari-lari, untuk mencari tempat
berteduh. "Hujan sialan Dingin sekali, Kakang," keluh Mei Lie sambil
berlari-lari mengikuti Pendekar Gila yang hanya tertawa cekikikan.
"Aha, kenapa kau memaki-maki hujan? Hi hi
hi... Bagaimana kalau kita cari pohon saja yang rindang?" ajak Sena sambil
terus berlari ke timur, karena di sana nampak banyak pepohonan besar.
Mei Lie tak menyahuti, kakinya terus lari mengikuti
langkah kaki Pendekar Gila. Keduanya sampai di bawah sebatang pohon beringin
yang besar.
"Bagaimana, Mei?" tanya Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Ah, kenapa kau harus kedinginan seperti
ini?" "Aku tak apa-apa, Kakang. Bahkan kini merasa lebih dekat dengan
alam," sahut Mei Lie sambil mere-bahkan kepalanya di pundak sang Kekasih.
Pendekar Gila dengan penuh kasih sayang membelai
rambut dan memeluk tubuh Mei Lie, berusaha agar gadis itu tak merasa
kedinginan. Suasana malam di bawah rinai gerimis dan hawa dingin dirasakan
begitu indah oleh Pendekar Gila dan Mei Lie. Paduan kasih sayang yang mereka
bina selama ini, kian menyentuh dan terasa di dalam alunan jiwa yang bersih dan
suci.
Pendekar Gila masih berdiri di bawah pohon beringin
besar itu, ketika dari arah timur nampak dua sosok bayangan berlari-lari.
Keduanya ternyata dua sosok tubuh. Di pundak mereka terpanggul dua karung besar
yang terus dibawa lari ke selatan.
"Kakang, lihat... Bukankah itu orang yang
dicari-cari pihak kerajaan?" ujar Mei Lie sambil menunjuk dua orang
bercadar yang di pundaknya memanggul kantung.
"Aha, kurasa benar, Mei. Ayo, kita kejar
mereka" ajak Sena.
Keduanya segera melesat meninggalkan pohon
beringin, memburu kedua lelaki bercadar yang membawa kantung di pundak. Dengan
mengerahkan ilmu lari, dalam sekejap mereka dapat menghadang kedua lelaki
bercadar.
"Berhenti" seru Mei Lie, yang membuat
kedua lelaki bercadar menghentikan langkah mereka. Mata kedua maling budiman
yang tiada lain Pangeran Prapanca dan temannya, Pranala memandang tajam pada
Mei Lie dan Pendekar Gila.
"Ada apa kalian menghadangku?" tanya
Pangeran Prapanca.
"Benarkah kalian yang sering disebut maling
budiman?" tanya Mei Lie.
"Ah, kurasa kami bukan maling budiman. Kami
hanya ingin membantu penduduk desa yang miskin, yang haknya diambil oleh
orang-orang kaya dan para pembesar," sahut Pangeran Prapanca yang bercadar
biru. "Apapun alasannya, kerajaan memerintahkan untuk menangkap
kalian," kata Mei Lie.
Kedua maling budiman saling padang. Kemudian
Pangeran Prapanca memandang lekat wajah Pendekar Gila yang bertingkah laku
aneh, membuatnya mengerutkan kening. Sepertinya Pangeran Prapanca berusaha
mengingat-ingat akan sesuatu.
"Jadi, kalian yang disebut sebagai penegak
kebenaran dan keadilan pun hendak menangkap kami?" tanya Pangeran Prapanca
setengah mengejek.
"Aha, lucu sekali ucapanmu, Maling Budiman
Meski kau mengatakan bertujuan baik, bagaimana mungkin kami akan percaya dengan
omongan kalian, jika sebagian muka kalian ditutupi," ujar Sena sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Cadar Biru, tak ada waktu lagi untuk
berteletele" ujar Pranala mengingatkan Pangeran Prapanca.
"Benar Kalian mau apa?" tanya Pangeran
Prapanca dengan tegas, "Apakah kalian pun akan menangkap kami untuk
mendapatkan hadiah dari Baginda Awangga? Silakan kalau mampu" "Hm,
begitu? Ah, sungguh lucu sekali Hi hi hi... Kisanak, kami bukan atas dasar
sayembara itu hendak menangkap kalian. Tetapi atas dasar keadilan dan keamanan
saja yang mendorong kami untuk menangkap kalian," ujar Sena berusaha
menjelaskan apa yang menyebabkan dia turut berusaha menangkap Sepasang Maling
Budiman.
"Keadilan...? Hua ha ha... Keamanan...?"
Pangeran Prapanca tertawa terbahak-bahak, mendengar Pendekar Gila menyebut
keadilan dan keamanan. Diliriknya Pranala yang juga tertawa.
"Hua ha ha..." Sena tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak. Hal itu membuat kedua maling budiman terdiam. Keduanya kembali
saling pandang, kemudian menatap wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kisanak, kalau kau mengatakan keadilan dan
keamanan, keadilan macam apa? Keamanan macam apa?" tanya Pangeran
Prapanca.
"Ah ah ah, kenapa kau tanyakan hal itu
padaku?" tanya Sena. Tingkahnya masih cengengesan dan menggaruk-garuk
kepala. "Seharusnya, kalian tanyakan hal itu pada warga yang merasa
terganggu dengan perbuatan kalian." Pangeran Prapanca dan Pranala kembali
saling pandang, lalu kembali keduanya tertawa terbahakbahak. Hal itu menjadikan
Pendekar Gila turut tertawa keras sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kisanak, tingkah lakumu seperti orang gila.
Namun tutur katamu, sangat pintar. Hm, meski aku
belum kenal siapa kalian, tetapi kurasa kalian pendekar yang berjiwa
besar," tukas Pangeran Prapanca, "Kalau kau tidak bertanya, maka kini
aku ingin mengajukan pertanyaan pada kalian." "Aha, kau lucu sekali,
Kisanak," kata Sena sambil cengengesan. "Tapi kalau memang itu maumu,
katakanlah" "Kita terlalu bertele-tele, Kakang. Mereka sudah ketahuan
mencuri, mengapa kita masih membiarkan?" kata Mei Lie tak sabar.
"Aha, tenanglah, Mei," sahut Sena masih
cengengesan. "Nah, Kisanak, katakanlah apa yang akan kau tanyakan pada
kami" Pangeran Prapanca sesaat terdiam. Dipandangi tingkah laku Pendekar
Gila yang konyol dan lucu.
Bahkan dapat mengundang tawa. Ditariknya napas
dalam-dalam, lalu dengan masih memandang lekat pada wajah Sena berkata.
"Kisanak, jika seandainya Kisanak benar orang
yang menjunjung kebenaran dan keadilan, kemudian melihat ada yang tidak benar,
bagaimana? Di sebuah kerajaan, rakyatnya menderita, sementara orang-orang besar
semakin sewenang-wenang, memperlakukan mereka. Bahkan, rakyat dianggap sebagai
manusiamanusia yang tak punya arti, apa tindakanmu?" tanpa Pangeran
Prapanca, yang menjadikan Pendekar Gila mengerutkan kening. Dipandanginya Mei
Lie yang juga terdiam. Kemudian nampak mulutnya cengengesan lagi dengan tangan
menggaruk-garuk kepala.
"Ah ah ah... Jadi rupanya kalian hendak
berkedok dengan hal yang kalian katakan tadi? Kulihat rakyat di sini tak
menderita seperti yang kau katakan, Kisanak," sahut Sena membantah
penuturan Pangeran Prapanca.
"Itu karena kau tak melihat kenyataannya,
Kisanak. Kau tak melihat, bagaimana rakyat dipaksa meninggalkan sawah atau
pekarangan Kalian juga tidak melihat, bagaimana para kuli dipaksa untuk
menerima bayaran yang sangat rendah. Padahal menurut perjanjian, para kuli
dibayar sepuluh tail," tutur Pangeran Prapanca dengan suara berapi-api,
"Kalau kalian masih tidak percaya, kini kami siap menghadapi kalian"
"Alasan" dengus Mei Lie.
"Terserah apa yang kau katakan, Nisanak"
sahut Pangeran Prapanca.
"Baik, bersiaplah kalian untuk kami
tangkap" kata Mei Lie sambil bergerak menyerang Pangeran Prapanca dan
Pranala yang tersentak kaget.
Dengan cepat kedua lelaki bercadar bergerak ke
samping. Namun rupanya serangan Mei Lie tak berhenti sampai di situ. Mei Lie
kembali bergerak menyerang. "Tunggu Hentikan, Mei" seru Sena yang
membuat Mei Lie menghentikan serangan. Namun nampaknya wajah gadis itu tak
senang, kekasihnya melerai pertarungan.
"Ada apa lagi, Kakang? Bukankah kedua maling
ini sudah ketahuan belangnya?" tanya Mei Lie dengan wajah bersungut.
"Aha, sabarlah sedikit, Mei" Pendekar
Gila kembali melangkahkan kakinya mendekati Pangeran Prapanca. Tingkah lakunya
masih kelihatan konyol, cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. "Aha,
pertarungan tak akan membawa sebuah persoalan menjadi selesai. Bahkan
sebaliknya akan membuat masalah semakin panjang" gumam Sena dengan
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
Matanya memandang Pangeran Prapanca dan Pranala,
yang tertegun sejenak. Mereka tak menyangka, kalau pemuda gila di hadapannya
dapat bertutur kata dengan baik. Bahkan berbicara dengan menggunakan filsafat.
"Kisanak, didengar dari tutur katamu, kau orang yang bijaksana," ujar
Pangeran Prapanca polos.
"Namun, mengapa kau sepertinya hendak
menghalangi kami? Kami melakukan semua ini, untuk menolong orang yang
menderita. Kami mencuri pun bukan pada sembarang orang. Kamu mencuri pada
orang-orang yang kaya namun kikir. Atau pada pembesar yang culas, yang suka
memakan uang rakyat." "Aku tak percaya" seru Mei Lie.
"Itu terserah kalian. Mau percaya atau tidak
pada kami, tetapi Hyang Widhi-lah yang tahu semuanya," jawab Pangeran
Prapanca tenang.
"Nisanak, kau dan kekasihmu boleh mengikuti
kami, jika belum juga percaya," Pranala yang sedari tadi diam, kini angkat
bicara.
"Benar Jika belum juga yakin apa yang kami
katakan, kalian boleh mengikuti kami Itu pun kalau kalian benar-benar orang
bijaksana, yang senantiasa mementingkan keadilan dan kebenaran," sambung
Pangeran Prapanca, setelah yakin kalau kedua pendekar itu tak bermaksud
menangkap mereka atas perintah kerajaan. Terbukti Pendekar Gila malah mencegah
Mei Lie meneruskan pertarungan.
"Aha, kalian jangan takut Kami bukanlah
orang-orang yang berkepala dua," ujar Sena sambil masih cengengesan dengan
tangan menggaruk-garuk kepala. "Hm, baik. Mari ikut kami, untuk
membuktikan kalau kami bukanlah berbuat atas dasar keserakahan" ajak
Pangeran Prapanca. Kemudian dengan diikuti Pendekar Gila dan Mei Lie. Pangeran
Prapanca dan Pranala pun melesat menuju Desa Sawangan. Mereka segera menaruh
harta curian di depan pintu rumah semua penduduk Desa Sawangan.
***
Pendekar
Gila dan Mei Lie yang sudah melihat dengan mata kepala bagaimana sebenarnya
Sepasang Maling Budiman itu, kini percaya. Setelah selesai menaruh semua harta
curian, mereka pun berlalu meninggalkan Desa Sawangan. Keempatnya baru saja
meninggalkan batas Desa Sawangan, ketika tiba-tiba terdengar derap kaki kuda
menuju tempat mereka. Pada saat itu pula.
"Berhenti..." Keempat orang itu seketika
berhenti, membalikkan tubuh memandang ke tempat asal suara. Nampak sepuluh
orang berkuda mendekati mereka. Tiga di antara mereka, merupakan orang-orang
persilatan.
Tentunya mereka diutus Baginda Raja Awangga untuk
menangkap kedua maling budiman.
Tiga orang penunggang kuda itu, satu di antaranya
seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun. Wajahnya masih cantik,
matanya memandang dengan genit pada Pendekar Gila. Hal itu membuat Mei Lie
cemberut, cemburu, dan jengkel atas tingkah laku wanita genit itu.
"Rupanya kita akan menemukan kedua maling ini,
Kakang Gagak Selo," ujar Gagak Praja, dengan bibir mengurai senyum kecut
senyum merendahkan kedua lelaki bercadar yang diketahui sebagai maling budiman.
"Benar, Adik. Rupanya keberuntungan ada di tangan kita," sahut lelaki
beralis naik dengan mata lebar. "Nyi Roro Cenil kau kenalkah dengan kedua
pemuda itu?" "Tidak Lagi pula, kita tak punya urusan dengan mereka.
Kita hanya akan menangkap kedua maling itu," ujar Nyi Roro Cenil dengan
senyum merekah di bibirnya. Matanya masih memandang dengan genit Pendekar Gila
yang cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
"Hua ha ha... Lucu sekali kalian semua.
Bagaimanapun kami ini teman kedua Maling Budiman.
Kalau kalian mau menangkap keduanya, bukankah itu
sama saja kalian berurusan dengan kami?" ujar Pendekar Gila sambil
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya melirik Mei Lie yang
kelihatannya sudah jengkel atas tingkah laku Nyi Roro Cenil yang genit dan
nampaknya senang pada Pendekar Gila.
"Benar Dan kalau kalian hendak menangkap
keduanya, berarti kalian tak punya perasaan dan hanya mementingkan diri
sendiri" dengus Mei Lie sengit. Matanya kini memandang tajam penuh
kebencian pada Nyi Roro Cenil yang genit. Mei Lie benar-benar tak suka pada
wanita yang genit, karena khawatir kekasihnya akan dapat dirayu wanita genit
itu.
"Tapi, Kisanak. Kalian tak tahu apa-apa. Kami
yang berbuat," selak Pangeran Prapanca seakan-akan menolak maksud Pendekar
Gila.
"Aha, kau keliru, Kisanak. Bukankah dengan
menunjukkan apa yang kalian lakukan, berarti secara tak langsung kalian telah
percaya pada kami?" sahut Sena sambil masih cengengesan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap wajah Pangeran Prapanca dan Pranala.
"Bagus Jadi kalian pun rupanya sama-sama
maling yang harus ditangkap juga," bentak Gagak Selo.
"Prajurit, tangkap mereka..." Mendengar
perintah Gagak Pelo, tujuh orang prajurit langsung mengurung keempat orang
pendekar.
Serentak mereka menyerang dengan pedang dan tombak
yang menjadi senjata mereka.
"Heaaa..." "Heaaa..." Mendapat
serangan dari tujuh orang prajurit itu, keempat pendekar itu tak mengalami
kewalahan.
Meski masih mengandalkan tangan kosong, mereka
dapat menghadapi ketujuh orang lawannya yang bersenjata. "Hea Hea..."
"Hi hi hi..." Dengan tertawa cekikikan Pendekar Gila bergerak
mengelakkan serangan para prajurit. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan menari,
kemudian tangannya menepuk dengan pelahan ke tubuh lawan. "Aha, kura-sa
kalian harus istirahat, Kisanak
Tidurlah..." Dengan gerakan aneh, Pendekar
Gila menepukkan kedua tangannya ke dada kedua orang prajurit kerajaan. Kedua
orang prajurit tersentak. Mereka berusaha mengelak, tetapi gerakan aneh yang
dilakukan Pendekar Gila ternyata datang begitu cepat. Padahal mereka baru saja
melihat gerakan Pendekar Gila itu sangat pelan.
Plak Plak "Ukh" Kedua prajurit terpekik,
kemudian terdiam mematung tak mampu bergerak sedikit pun. Sementara Pendekar
Gila tertawa terbahak-bahak dengan tingkah lakunya yang konyol, menggelitik.
"Kurang ajar Rupanya bocah gila itu bukan
sembarangan, Kakang Kita harus menangkapnya," ka-ta Gagak Sura. Kemudian
kakinya melompat dari kuda, langsung menghadang dan menyerang Pendekar Gila.
"Heaaa..." Mendapat serangan dari Gagak Sura, Pendekar Gila dengan
cepat berkelit ke samping. Kemudian dengan masih cengengesan, dibalas dengan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari
sambil sesekali menyodokkan telapak tangan.
Gerakan tarian dan tepukan tangannya nampak pelan,
lemah, dan seperti tak bertenaga. Namun kenyataannya, cukup membuat Gagak Sura
tersentak kaget bukan kepalang.
"Gila..." pekik Gagak Sura sambil
melompat mundur. Matanya membelalak, hampir tak percaya dengan apa yang baru saja
hampir terjadi. Tepukan tangan Pendekar Gila nampak pelan dan lemah, tetapi
mampu mengeluarkan angin keras yang hampir menerjangnya.
"Celaka Dia bukan pemuda gila biasa..."
gumam lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan muka garang. Matanya mengerut,
dengan alis terjungkit ke atas.
"Hi hi hi..." Pendekar Gila cekikikan.
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah lakunya yang bertambah konyol,
menjadikan lawan semakin mengerutkan kening. "Aha, kau sangat lucu,
Kisanak. Mu-kamu pucat seperti mayat" Diejek begitu rupa, Gagak Sura
menggeram marah. Kemudian dengan geram, dicabutnya pedang yang bertengger di
punggungnya.
Srattt "Bocah gila, jangan kira kau mampu
mengalahkanku Cabut senjatamu" tantang Gagak Sura dengan penuh kemarahan,
membuat Pendekar Gila kian tertawa terbahak-bahak.
"Hua ha ha... Senjata? Ah, kedua tanganku
adalah senjata. Kurasa kedua tangan dan kakiku, mampu menghadapimu," sahut
Sena sengaja berusaha terus memancing kemarahan lawan.
"Sombong Jangan salahkan kalau nyawa gilamu
tercabut oleh pedangku" dengus Gagak Sura sengit. Kemudian dengan cepat
bergerak menyerang Pendekar Gila dengan pedangnya.
"Hi hi hi..." Sambil tertawa cekikikan
Pendekar Gila segera mengelitkan serangan pedang Gagak Sura. Tubuhnya melenting
ke atas, kemudian menyambar ke bawah sambil menukik. Itulah jurus 'Gila Terbang
Menyambar Mangsa', sebuah jurus yang menggunakan ilmu meringankan tubuh
sempurna, disertai tenaga dalam yang tinggi. Kalau tidak, maka tubuhnya akan
menukik dan jatuh ke tanah.
Semakin tersentak kaget Gagak Sura, mendapatkan
serangan yang sangat aneh itu. Hampir saja tubuhnya terkena sambaran tangan dan
jejakkan kaki Pendekar Gila, kalau tidak cepat melompat ke belakang. "Gila
Benar-benar jurus gila" rutuk Gagak Su-ra sambil berjumpalitan beberapa
kali, mengelakkan serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun ternyata jurus
'Gila Terbang Menyambar Mangsa', sangat cepat. Di mata lawan gerakan itu tampak
lamban dan lemah. Hingga....
Degkh "Ukh" Gagak Sura memekik tertahan.
Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang dengan mata terbelalak.
Dari mulutnya, menyembur darah segar pertanda
mengalami luka dalam. Dadanya yang terkena jejakkan kaki Pendekar Gila terasa
sangat sesak.
"Kau.... Hkkk.... Ukh" Gagak Sura ambruk
pingsan.
Sementara itu, di pihak Pangeran Prapanca dan
Pranala yang dibantu Mei Lie pun dengan mudah mengalahkan lawan-lawannya. Lima
orang prajurit dan Gagak Selo serta Nyi Roro Cenil dapat didesak. Bahkan lima
orang prajurit, kini telah mengalami luka dalam akibat pukulan dan hantaman
ketiga orang pendekar.
Gagak Selo dan Nyi Roro Cenil yang merasa tak
mungkin menandingi, segera meninggalkan tempat itu.
Keduanya membiarkan teman-temannya berjatuhan.
Digebah kuda mereka dengan cepat, berusaha
secepatnya meninggalkan tempat tersebut.
"Aha, kurasa kita harus segera pergi dari
sini," ajak Sena setelah kepergian dua orang kerajaan, yang dapat mereka
kalahkan. "Mereka pasti akan mengundang bala bantuan." "Lalu,
bagaimana dengan para prajurit ini, Kakang?" tanya Mei Lie.
"Ah ah ah, biarkan saja Ayo kita pergi"
ajak Sena yang segera diikuti Mei Lie dan Pangeran Prapanca serta Pranala.
Mereka lari ke arah barat, menembus kegelapan malam
***
8
Pagi nampak sangat cerah, dengan sinar matahari
yang terasa hangat di kulit. Di sebuah bangunan bilik yang terletak di tengah
hutan bambu, nampak empat orang sedang duduk-duduk bersila beralaskan tikar
pandan. Keempat orang itu, tiga lelaki dan seorang lagi wanita. Mereka tak lain
Pangeran Prapanca, Pranala, dan Pendekar Gila serta si Bidadari Pencabut Nyawa.
Keempat pendekar itu, nampaknya tengah mengadakan pembicaraan yang serius.
Pangeran Prapanca sepertinya sedang menuturkan sesuatu pada Pendekar Gila.
Cadar yang biasa dikenakan, kini telah terbuka. Sehingga nampaklah seraut wajah
tampan, dengan hiasan kumis tipis. Wajahnya yang bersih, menunjukkan kalau
Pangeran Prapanca bukanlah orang kebanyakan.
Di samping Pangeran Prapanca, duduk Pranala.
Lelaki muda yang berusia sekitar dua puluh empat
tahun ini pun berwajah tampan. Hidungnya mancung, dengan lesung pipit pada
kedua pipinya. Senyumnya menawan. Namun nampak ketegasan dari sorot matanya.
"Kami merupakan kawan akrab sejak kecil, yang juga saudara
seperguruan," kata Pangeran Prapanca membuka pembicaraan, setelah Pendekar
Gila dan Mei Lie bertanya siapa mereka sebenarnya, "Lima belas tahun yang
lalu, ketika ayahku masih bertahta sebagai raja, aku dititipkan pada Resi
Sureng Pari untuk dididik dari diajarkan ilmu." Pangeran Prapanca pun
dengan nada sendu, akhirnya menceritakan semua yang terjadi dan mengapa dirinya
bersama Pranala melakukan tindakan yang telah diketahui Pendekar Gila.
Hari demi hari Pangeran Prapanca dan Pranala
dididik dan digembleng oleh Resi Sureng Pari. Semua ilmu yang dimiliki Resi
Sureng Pari, diturunkan pada Pangeran Prapanca dan Pranala. Baik ilmu bela
diri, ilmu tata negara, maupun ilmu kesusastraan.
Sampai pada suatu hari, ketika Resi Sureng Pari
pulang dari Kota Praja, wajahnya tampak bermuram durja. Keadaan yang tak
seperti biasanya itu membuat Pangeran Prapanca heran. Kemudian dengan penuh
hormat, pemuda itu memberanikan diri bertanya kepada sang Guru.
"Ampun, Guru Jika Guru berkenan, aku hendak
bertanya." Resi Sureng Pari memandang dengan tatapan iba pada muridnya
yang sudah berusia dua puluh tahun. Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian
menggeleng-gelengkan kepala, sepertinya sang Resi sangat berat untuk menuturkan
apa yang sebenarnya terjadi.
"Guru, kalau pertanyaanku membuat Guru sedih,
aku siap dihukum," kata Pangeran Prapanca sambil menyembah, menunjukkan
betapa hormat Pangeran Prapanca terhadap Resi Sureng Pari.
"Tidak, Anakku. Bangunlah dan duduklah"
ka-ta Resi Sureng Pari sambil memegang pundak Pangeran Prapanca dan membantu
pemuda itu duduk di hadapannya.
"Guru, apa sebenarnya yang terjadi?" tanya
Pangeran Prapanca semakin ingin tahu, mengapa gurunya yang baru datang dari
Kota Praja tiba-tiba bermuram durja. Sepertinya ada berita buruk yang dibawanya
dari kota.
"Anakku tabahkanlah hatimu" hanya kata
itu yang terucap dari mulut Resi Sureng Pari. Mata lelaki tua berjenggot
panjang itu tampak mulai berkaca-kaca, berusaha menahan tangis.
"Guru, katakanlah, apa yang sebenarnya
terjadi" pinta Pangeran Prapanca semakin penasaran ingin tahu, apa yang
terpendam dalam hati gurunya.
Resi Sureng Pad membelai-belai jenggotnya.
Kemudian dipegangnya pundak Pangeran Prapanca,
seraya menarik napas dalam-dalam, seakan hendak membuang kegundahan di hatinya.
Matanya yang bening menatap lurus ke depan, menyiratkan kebimbangan di hatinya.
Bibirnya bergerak-gerak, sepertinya hendak berbicara. Namun nampaknya sulit.
Seakan ada ganjalan yang menyumbat mulutnya untuk membuka kata.
Pangeran Prapanca yang menyaksikan kesedihan di
wajah gurunya, hanya mampu diam membisu.
Matanya memandang lekat ke wajah gurunya. Ingin
sekali Pangeran Prapanca bertanya. Namun dirinya pun merasa tak kuasa. Hatinya
melarang untuk bertanya. Hatinya memerintahkan agar diam, menunggu apa yang
akan dikatakan sang Guru.
Lama Pangeran Prapanca menunggu apa yang bakal
dikatakan Resi Sureng Pari. Suasana hening menyelimuti kedua guru dan murid
itu.
"Anakku, kuharap kau tabah mendengar berita
yang baru saja kuterima di Kota Praja," kata Resi Sureng Pari masih dengan
wajah duka. Hal itu membuat Pangeran Prapanca mengerutkan kening, tak mengerti
mengapa dengan gurunya. Dan bertanya apa yang disampaikan sang Guru padanya.
"Guru, kalau boleh aku tahu, berita apa yang
Guru terima? Apakah mengenai ayahanda? Atau ibunda dan adik-adik di
istana?" tanya Pangeran Prapanca tak sabar ingin segera tahu.
Resi Sureng Pati menganggukkan kepala. "Kenapa
mereka, Guru?" desak Pangeran Prapanca ingin tahu. "Anakku, di
kerajaan telah terjadi pemberontakan oleh orang-orang yang tak suka terhadap
kepemimpinan ayahandamu. Menurut kabar, keluargamu mati semua. Beruntung
pamanmu dapat segera menangani kakacauan itu. Pamanmu dengan dibantu Perdana
Menteri Giri Gantra, segera melakukan penumpasan terhadap para pemberontak.
Maka dalam waktu singkat pemerintah dapat diambil alih dari para
pemberontak," tutur Resi Sureng Pari dengan sedih.
"Jadi...," Pangeran Prapanca belum
selesai berbicara, ketika Resi Sureng Pari telah mendahuluinya.
"Benar, Anakku," selak Resi Sureng Pari,
"Namun, aku merasa belum yakin dengan berita yang disampaikan Perdana
Menteri Giri Gantra itu." "Mengapa, Guru?" tanya Pangeran
Prapanca ingin tahu. Ditatapnya wajah sang Guru dengan penuh harap, agar mau
menceritakan segalanya secara gamblang. Pangeran Prapanca mengharap, gurunya
mau membuka tabir rahasia yang nampaknya tengah menyelimuti Kerajaan Surya
Langit Kalau memang sang Ayah masih hidup, dia akan berusaha mencarinya.
Namun jika telah mati, maka dia pun harus melihat
kuburannya.
"Ada keanehannya," gumam Resi Sureng
Pari.
"Maksud Guru?" "Makam keluargamu tak
ada." "Apakah paman tak mengetahui mayat keluargaku?"
"Entahlah, Anakku. Itulah yang kumaksudkan.
Semuanya sangat aneh dan tak masuk akal. Kulihat,
keadaan Kota Praja masih seperti dulu, tenang. Rasanya sangat sulit, kita
bayangkan kalau telah terjadi pemberontakan," gumam Resi Sureng Pari
sambil membelai-belai jenggotnya yang panjang.
"Lalu apa yang meski kulakukan, Guru?"
Resi Sureng Pari sesaat terdiam. Sepertinya sang Resi sedang memikirkan
bagaimana untuk mencari jalan guna menyingkap rahasia yang menyelimuti Kerajaan
Surya Langit.
"Anakku...," desis Resi Sureng Pari.
"Saya, Guru." "Sebagai putra
mahkota, kau tak boleh tinggal diam mendengar kejadian ini. Kau harus berusaha
mencari tahu, apa sebenarnya yang terjadi. Namun, kurasa kau akan mengalami
kesulitan. Maka itu, jika kau hendak turun gunung dan berusaha mencari bukti,
kau harus hati-hati. Menyamarlah Bantulah rakyatmu yang kau lihat sangat
menderita." "Menderita?" pekik Pangeran Prapanca tanpa sadar
dengan mata membelalak, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan
gurunya. Wajahnya seketika membara. Matanya berlinang-linang sedih.
"Ya, menderita." "Bagaimana mungkin,
Guru? Ketika ayahanda masih bertahta, rakyat sangat makmur. Kemiskinan dapat
diberantas. Mengapa sekarang justru sebaliknya?" tanya Pangeran Prapanca
sambil berlinang air mata. Kepalanya menggeleng-geleng, seakan tak percaya
dengan apa yang didengarnya.
"Begitulah keadaannya, Anakku. Aku pun tak
tahu, mengapa begitu," gumam Resi Sureng Pari setengah mengeluh, diikuti
desah nafasnya yang berat.
"Hhh... Kasihan" gumam Pangeran Prapanca
lirih. "Bukan hanya kasihan, Anakku. Tetapi sangat menyedihkan," kata
Resi Sureng Pari dengan suara lirih pula. "Kini rakyat sangat mengharapkan
kehadiran penolongnya." "Apa yang sebenarnya telah terjadi,
Guru?" "Penyiksaan. Penindasan terhadap rakyat," jawab Resi
Sureng Pari masih dengan mata berkacakaca. Orang tua berjubah putih ala resi
ini, tak sanggup menyaksikan penderitaan rakyat Kerajaan Surya Langit,
"Memang sepintas orang akan melihat bahwa kerajaan makmur, karena
banyaknya pembangunan.
Tetapi kenyataannya, rakyatlah yang menderita.
Mereka dipaksa untuk menjual tanahnya dengan harga yang serendah mungkin.
Rakyat diperintah untuk hidup hemat, sementara orang-orang besar hidup
bermewah-mewah. Bahkan mereka bersenang-senang di atas penderitaan rakyat. Mereka
memelihara gunduk bukan hanya satu, tetapi empat atau lima." Pangeran
Prapanca tanpa sadar mengepalkan tinjunya. Jiwanya menggelora, setelah
mendengar penuturan sang Guru. Hatinya benar-benar marah. Kalau saja hanya
keluarganya yang menjadi korban, mungkin tidaklah seperti itu kemarahannya.
Namun ini rakyat, yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban. Keji Sangat
keji perbuatan itu. Di atas penderitaan rakyat, orang-orang yang mengaku
sebagai pemimpin, dan orang pintar, justru berpesta-pora. Menghambur-hamburkan
uang mereka, untuk bersenangsenang dengan gundik-gundik jelita.
"Guru, izinkanlah aku turun Bagaimanapun aku
tak tega jika rakyat harus menderita seperti itu.
Ini harus dihentikan, Guru" "Aku tahu,
Anakku. Tetapi, kita tak mungkin melakukan seorang diri. Kita lemah,"
desah sedih Resi Sureng Pari, "Kalau kau memang mau turun gunung, aku
merestui. Tolonglah rakyat Kerajaan Surya Langit yang menderita. Tegakan
kebenaran dan keadilan. Satu hal yang harus kau ingat, jangan kau menampakkan
diri. Karena hal itu akan membahayakan dirimu." "Kenapa, Guru?"
tanya Pangeran Prapanca ingin tahu.
"Dengan kehadiranmu, rakyat tentu sangat
mengharapkan kau mau menjadi raja. Ketika itu bukan tak mungkin ada orang yang
menginginkan kematianmu, Anakku," kata Resi Sureng Pari menasihati sang
Murid.
"Baiklah, Guru. Muridmu akan selalu
ingat." "Satu hal lagi yang harus kau perhatikan, Anakku."
"Kalau aku boleh tahu, apa itu, Guru?" tanya Pangeran Prapanca.
"Menurut kabar yang kudengar, sekarang telah
muncul seorang pendekar yang usianya sebaya dengan usiamu, Anakku. Dia terkenal
dengan sebutan Pendekar Gila. Dia penegak kebenaran dan keadilan. Selain itu,
ada seorang wanita yang mungkin usianya sebaya denganmu dan dia merupakan
kekasih dari Pendekar Gila. Dia bernama Mei Lie, atau lebih dikenal dengan
sebutan Bidadari Pencabut Nyawa. Kalau kau bertemu dengan mereka, usahakan
jangan sampai bentrok. Karena ilmu mereka sangat tinggi. Bahkan aku pun belum
apa-apa dibandingkan dengan mereka. Mintalah bantuan mereka Kuharap mereka akan
mau membantumu." "Baiklah, Guru. Semua petuah yang Guru berikan, akan
aku ingat" Keesokkan harinya, Pangeran Prapanca bermaksud meninggalkan
perguruan. Saat itu, Pranala yang melihat kakak seperguruannya hendak pergi,
meminta pada Resi Sureng Pari agar diizinkan ikut ser-ta.
"Guru, izinkanlah murid menemani Kakang
Prapanca" "Kalau memang itu kehendakmu, ikutlah Temani kakakmu dalam
suka dan duka," pesan Resi Sureng Pari.
"Baik, Guru." Hari itu, kedua kakak
beradik seperguruan pun melakukan perjalanan untuk melihat apa yang sebenarnya
tengah terjadi di Kerajaan Surya Langit "Apa yang dikatakan guru, ternyata
benar," desah Pangeran Prapanca mengakhiri ceritanya. "Penindasan,
dan kesewenang-wenangan terjadi di sana sini.
Akhirnya, kami bersepakat mencuri, lalu hasilnya
kami bagikan pada rakyat yang menderita." Pendekar Gila menarik napas
dalam-dalam.
Ada perasaan sedih di wajahnya. Namun tingkah
lakunya yang konyol, kembali muncul. Mulutnya cengengesan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan Mei Lie, kini kelihatannya terhanyut dalam
cerita yang tadi disampaikan Pangeran Prapanca.
"Aha, jadi kalian murid Resi Sureng
Pari?" tanya Pendekar Gila, dengan tingkah lakunya yang masih konyol.
Mulutnya cengengesan, sedangkan jari tangannya menyentil-nyentil serabut tikar
yang mencuat ke atas.
"Begitulah, Tuan," jawab Pangeran
Prapanca.
"Ah ah ah, jangan kau sebut aku 'tuan'. Namaku
Sena," sahut Pendekar Gila memperkenalkan diri.
"Oh, sudah kuduga, kalau Tuan-lah Pendekar
Gila yang dimaksudkan guru. Dan tentunya, Nisanak ini pasti Mei Lie atau
Bidadari Pencabut Nyawa," kata Pangeran Prapanca.
"Hi hi hi... Dan tentunya, kau Pangeran
Prapanca, bukan?" tebak Sena.
"Pranala. Hua ha ha..." lanjutnya sambil
menuding Pranala.
Betapa senangnya Pangeran Prapanca, setelah tahu
kalau kini sedang berhadap-hadapan dengan Pendekar Gila. Tak terkira rasa
terharu, di dalam hati putra mahkota itu. Dipeluknya Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Tuan Pendekar, tolonglah rakyatku" harap
Pangeran Prapanca.
"Ah ah ah, mengapa kau seperti anak kecil,
Pangeran? Bangunlah Lucu sekali, kalau seorang pendekar menangis seperti anak
kecil. Tak layak, meratap memelas meminta dikasihani," ujar Pendekar Gi-la
sambil berusaha membantu Pangeran Prapanca bangun. "Pangeran, kebenaran
dan keadilan, senantiasa dalam lingkungan Hyang Widhi. Aku, dan Mei Lie akan
membantumu. Kau tetaplah berjuang, membantu rakyat yang menderita Kami berdua,
akan turut di belakangmu. Kita bangkitkan semangat rakyat" "Oh,
terima kasih, Tuan." "Sena," sahut Pendekar Gila.
"Terima kasih, Sena, Mei Lie. Sungguh tak
terkira bahagianya hatiku, mendengar kalian bersedia membantuku," ujar
Pangeran Prapanca sambil menggeleng-gelengkan kepala. Matanya menatap penuh
persahabatan pada Pendekar Gila dan Mei Lie, yang tersenyum saling pandang.
"Kurasa, bukan kami berdua saja yang akan
membantumu, Pangeran. Buto Gege pun, akan kuminta bantuannya. Kuharap dia
bersedia membantu kita Mei Lie dan aku, akan berusaha menghimpun para
pendekar," ujar Sena.
"Terima kasih..., terima kasih...."
"Eh eh eh, aku bukanlah raja yang harus disembah," kata Sena sambil
membangunkan Pangeran Prapanca dan Pranala yang hendak menyembah. "Sebagai
kawan, sepantasnya aku berjuang demi rakyat kerajaan mu, tanpa pamrih,"
ujarnya kemudian.
Pangeran Prapanca dan Pranala terpaku mendengar
penuturan Pendekar Gila. Mata mereka memandang pemuda bertingkah seperti orang
gila itu.
Sedangkan mulut mereka melongo bengong. Tak
menyangka, kalau mereka akan mendengar petuah yang begitu bijaksana dari
seorang pemuda sebayanya yang bertingkah laku gila.
"Oh, kau benar-benar seorang kawan sejati,
Sena. Betapa kecil dan tak berartinya diriku, dibandingkan dengan kalian,"
kata Pangeran Prapanca dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Ah..., tidak Pangeran," kilah Mei Lie
yang sedari tadi masih diam dengan senyum mengembang, yang menjadikannya
semakin bertambah cantik. "Semua manusia sama, ada kelebihan dan ada
kekurangannya." "Benar apa yang kau katakan, Mei Lie. Sungguh
beruntung sekali, aku menemukan kawan-kawan yang berjiwa besar," gumam
Pangeran Prapanca sambil melirik pada Pranala yang juga tersenyum.
"Kurasa, ki-ta harus merayakan pertemuan ini. Pranala, apakah arak masih
ada?" "Masih, Kakang," jawab Pranala.
"Ambillah Kita rayakan persahabatan ini,"
perintah Pangeran Prapanca pada saudara seperguruannya yang juga merupakan
sahabat sejak kecil itu.
"Baik, Kakang." Pranala pun segera
berlalu meninggalkan mereka untuk mengambil guci-guci arak.
Tidak lama kemudian, Pranala telah keluar membawa
empat guci yang berisi arak. Ditaruhnya keempat guci itu di atas tikar daun
pandan.
"Mari, saudara Sena dan Mei Lie Sebagai tanda
persaudaraan kita, kita rayakan dengan meminum arak" ajak Pangeran
Prapanca.
"Mari" jawab Mei Lie dan Sena bareng.
Namun tiba-tiba dari luar terdengar bentakan keras,
yang menyebabkan mereka mengurungkan meminum arak.
"Orang-orang pengacau Keluar kalian Tempat
kalian telah kami kepung..." "Heh?" Sena tersentak.
"Hah?"
***
Keempat
pendekar itu segera menaruh guci arak di atas tikar. Mata mereka terbelalak
saling pandang. Pendekar Gila cengengesan sambil menggarukgaruk kepala.
Sepertinya pemuda itu tak merasa takut sedikit pun. Bahkan kini terdengar gelak
tawanya memecah keheningan.
"Hua ha ha... Orang-orang tolol yang ada di
luar. Kalau kalian mau ikut pesta, masuklah" seru Sena sambil memberi kode
pada ketiga orang temannya yang mengangguk mengerti.
"Cuih Bocah gila dari mana yang berani
berkoar?" terdengar suara mendengus marah. "Prajurit, serang
mereka" Sena cengengesan dengan tangan menggarukgaruk kepala.
"Aha, kita akan berpesta besar, Kawan.
Bersiaplah menyambut lalat-lalat sombong itu" ujar Sena.
Srt Srt Pangeran Prapanca dan Pranala segera
mencabut pedang mereka. Sementara Pendekar Gila dan Mei Lie nampak masih
tenang, mengintai keluar. Nampak sepuluh prajurit dengan senjata siap di
tangan, berlari ke gubuk tempat keempat pendekar muda berada.
"Seraaang..." Terdengar seruan dari luar,
memerintah pada prajurit untuk melakukan serangan.
"Aha, kita akan mulai pesta, Kawan"
Dengan cepat Pendekar Gila membuka pintu itu. Kemudian dengan cepat pula
dihantamkan pukulan jarak jauh. Begitu pula dengan Mei Lie, langsung
menghantamkan pukulan jarak jauhnya yang tak kalah dahsyat.
"Hea" "Yea" Angin kencang
melesat cepat memburu sepuluh prajurit yang hendak menyerang ke gubuk. Angin
itu, keluar dari pukulan yang dilontarkan Pendekar Gila.
Dibarengi larikan sinar merah kuning yang panas,
yang keluar dari hantaman tangan Mei Lie.
Zrt Srt Prattts "Akh..." sepuluh orang
prajurit langsung memekik. Ada yang terpental ke belakang kemudian membentur
pepohonan. Ada yang terbakar dan hangus. Dalam sekejap saja, tubuh mereka
berhamburan tak menentu arah. Hal itu membuat Perdana Menteri Giri Gantra yang memimpin
langsung penyerbuan dengan dibantu beberapa tokoh hitam, semakin bertambah
marah.
"Kurang ajar Seraaang..." teriak Perdana
Menteri Giri Gantra sambil menggerakkan tangan. Seketika para prajurit kerajaan
yang berjumlah dua puluh orang melakukan serangan susulan.
Kedua puluh orang prajurit itu, langsung menyerbu
dengan senjata diayun-ayunkan. Sementara Perdana Menteri Giri Gantra, dengan
senyum sinis seperti yakin akan menang duduk di atas kuda dengan angkuhnya. Di
samping kanan dan kirinya, duduk di punggung kuda dua tokoh aliran hitam.
Keduanya tak lain Ki Naga Wilis dan Panglima Utama Rawa Sekti.
Di belakang mereka, juga menunggang kuda empat
tokoh dunia persilatan. Mereka tak lain, Nyi Ro-ro Cenil, Tirta Kayonan atau si
Pisau Maut, Gagak Selo, dan Resi Wisangkara. Sementara Buto Gege tak nampak
bersama mereka. Nampaknya sejak pertemuan dengan Pendekar Gila, manusia raksasa
itu tak mau lagi membantu pihak kerajaan. Karena dirinya tahu, akan berhadapan
dengan Pendekar Gila yang ilmu kesaktiannya tentu sama dengan kesaktian
gurunya, Singo Edan.
Sementara Pendekar Gila yang melihat dua puluh
prajurit menyerang, tak mau diam begitu saja. Segera dicabutnya Suling Naga
Sakti. Begitu juga dengan Mei Lie. Gadis itu segera mencabut Pedang
Bidadarinya. "Aha, mendekatlah, Tikus-tikus Tolol Kita pesta bersama"
seru Sena.
"Kita harus menghadang mereka, Kakang"
ujar Mei Lie. "Kau takut?" tanya Sena.
"Tidak" jawab Mei Lie.
"Aha, bagus Sebagai calon istriku, kau tak
boleh takut," kata Sena yang membuat pipi Mei Lie me-rona merah karena
malu. Sebab di situ ada Pangeran Prapanca dan Pranala, yang tampak
tersenyumsenyum mendengar ucapan Pendekar Gila.
"Sena, mereka semakin dekat" seru
Pangeran Prapanca mengingatkan.
"Aha, kita ladeni mereka" sahut Pendekar
Gila dengan cengengesan dan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan
berjingkrak seperti seekor kera Pendekar Gila, melangkah keluar diikuti Mei Lie
dan Pangeran Prapanca dan Pranala.
"Heaaa..." Trang Trang Prakkk Pertarungan
seru antara keempat pendekar melawan para prajurit kerajaan pun tak terelakkan.
Dalam sekejap saja, mereka telah terlibat dalam pertempuran sengit. Suasana
hutan bambu yang semula sepi, seketika berubah hiruk-pikuk. Suara jeritan dan
pekikan keras terdengar ditingkahi pula dentangan nyaring pedang dan golok atau
tombak saling beradu. Pepohonan bambu morat-marit bertumbangan terterjang dan
terbabat senjata yang saling dikerahkan dengan tenaga dalam.
"Heaaa..." "Hi hi hi... Kurasa pesta akan semakin meriah,
Kawan," kata Pendekar Gila sambil cengengesan. Tangannya yang memegang
Suling Naga Sakti, tak hentihentinya menyambar ke tubuh lawan. Ucapannya
ditujukan pada Pangeran Prapanca yang sudah mengenakan kembali cadar birunya,
sehingga tidak dapat dikenali. Pendekar Gila dengan jurus 'Gila Terbang
Menyambar Mangsa', melesat ke sana kemari sambil membabatkan sulingnya.
Sebentar kemudian tampak tubuhnya telah berayun-ayun di pohon-pohon bambu,
mirip kera. Sementara tak henti-henti sulingnya dipukulkan ke kepala lawan yang
berusaha menyerang.
Mulutnya terus tertawa terbahak-bahak jika melihat
lawan terpental lalu pingsan tersambar senjatanya yang terus berkelebat.
"Hi hi hi... Kawan, puaskan hatimu
berpesta" seru Sena pada Pangeran Prapanca dan Pranala yang menyerang
lawan-lawannya tak kalah ganas. Pedang di tangan mereka, bergerak cepat
membabat Setiap babatan pedang mereka, membuat nyawa prajurit melayang.
"Hea" Wrt Crab "Akh..." dua
orang prajurit terjungkal terbabat pedang di tangan Pangeran Prapanca dan
Pranala.
Mei Lie pun yang dekat dengan Pendekar Gila,
bagaikan harimau betina yang garang. Julukannya sebagai Bidadari Pencabut Nyawa
ternyata bukan julukan kosong. Sekali tangannya bergerak menggunakan jurus
'Tebasan Bidadari Menyapu Jagad' sangat dahsyat. Sekali pedangnya bergerak, lima
prajurit terpekik keras dengan tubuh berlumuran darah.
"Hea" Wrt Cras Cras Crasss...
"Okh?" Lima prajurit seketika ambruk,
Pangeran Prapanca dan Pranala terbelalak kaget. Mereka baru melihat sebuah
jurus ilmu pedang yang sangat dahsyat.
Sekali gerak, lima prajurit terbabat perutnya.
"Hah... Siapa perempuan itu...?" Bahkan
bukan hanya Pangeran Prapanca dan Pranala saja yang membelalakkan mata,
menyaksikan kehebatan jurus pedang Mei Lie. Semua yang ada di hutan bambu
terbelalak kaget. Hanya Pendekar Gila yang masih cengengesan dengan tubuh
berayun-ayun tak ubahnya seekor kera sambil cengengesan dan terus
menggaruk-garuk kepala.
"Aha, rupanya kau sedang haus darah, Mei Hi hi
hi...' Resi Wisangkara yang sudah menjajaki ilmu pedang Mei Lie, nampak
bergidik menyaksikan bagaimana dahsyatnya ilmu pedang gadis Cina itu. Dia tak
dapat membayangkan kalau beberapa waktu lalu ketika mereka bertarung, Mei Lie
melakukan hal serupa.
Tentu tubuhnya yang gemuk dan tinggi besar itu akan
hancur. Mengerikan Melihat banyak prajuritnya mati, bukan membuat Perdana
Menteri Giri Gantra menyadari kalau lawan tidak enteng. Bahkan Perdana Menteri
Giri Gantra semakin marah. Hatinya semakin penasaran, ingin melihat sampai
sejauh mana keempat pendekar menghadapi anak buahnya.
"Roro Cenil, Gagak Selo, Tirta Kayon, dan Resi
Wisangkara, pimpinan prajurit Tangkap mereka..." perintah Perdana Menteri
Giri Gantra semakin bertambah gusar, menyaksikan kedua puluh prajuritnya
kocar-kacir dan banyak yang mati. Kini tinggal empat orang prajurit Itu pun
sudah kelihatan tak bakal hidup lagi, mengingat keempat pendekar bukanlah lawan
yang enteng.
"Baik" jawab Tirta Kayon, merasa yakin
akan menang menghadapi keempat pendekar. Sementara Gagak Selo, Nyi Roro Cenil,
dan Resi Wisangkara yang sudah pernah bentrok dengan mereka kelihatan agak ciut
nyalinya. Mereka tak berani sesumbar. Keempat tokoh persilatan itu segera
melesat dengan diikuti dua puluh orang prajurit lagi untuk menggempur Pendekar
Gila dan teman-temannya.
"Seraaang..." teriak Tirta Kayon memerintah.
"Aha, bagus Semakin besar pestanya,
Kawan" seru Sena sekaligus sebagai isyarat perintah bagi Pangeran Prapanca
dan Pranala serta Mei Lie untuk memapaki serangan prajurit kerajaan yang
dibantu keempat tokoh persilatan.
Pertarungan seru berlangsung lagi. Kini Pendekar
Gila yang melihat keempat orang persilatan turut serta, tak mau menganggap
remeh. Dengan jurus 'Gila Terbang Menyambar Mangsa', Pendekar Gila bergerak
menyerang lawan-lawannya. Suling Naga Sakti di tangan kanannya, bergerak
menghantam kepala para prajurit yang mengurungnya.
Tuk Tuk Tukkk...
"Aduh" "Wuaaa..." Lima orang
prajurit yang terkena patukan kepala Suling Naga Sakti, seketika berputar-putar
sempoyongan. Pandangan mereka berkunang-kunang. Kepala mereka berdenyut-denyut
sakit, kemudian ambruk ke tanah dan pingsan.
Melihat kelima anak buahnya dalam sekali gebrak
dapat dirobohkan oleh Pendekar Gila, si Pisau Maut segera melemparkan puluhan
pisau kecil yang menghias di dadanya.
"Hea" Swing Swing Lima pisau kecil
beracun melesat ke tubuh Pendekar Gila, namun dengan cepat Pendekar Gila mengelak.
Tubuhnya melejit ke atas, kemudian dengan gerakan ringan tangannya mengibaskan
Suling Naga Sakti memapak pisau-pisau itu.
Trang Trang Pluk Pluk Pisau-pisau itu berpentalan
jatuh dan patah karena tersambar Suling Naga Sakti. Hal itu membuat Tirta Kayon
tersentak kaget dengan mata terbelalak.
Sepertinya tak percaya, kalau pisau-pisau mautnya
yang terkenal tak pernah luput memburu lawan, kini dengan sekali kibas saja
berguguran ke tanah.
"Heh?" "Hua ha ha... Pisaumu terlalu
tumpul, Kawan" ejek Pendekar Gila dengan tawanya yang nyaring, berusaha
membangkitkan amarah lawan. Namun Tirta Kayon yang menyadari kalau pemuda gila
itu bukan lawan sembarangan, kini nampak hati-hati.
"Hm, pemuda ini bukan pemuda sembarangan.
Meski tingkah lakunya persis orang gila, ilmunya
sangat tinggi. Apalagi suling berkepala naga itu," gumam Tirta Kayon dalam
hari. Matanya memandang tajam menyelidik Pendekar Gila yang masih cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
***
Sementara
itu, Mei Lie yang menghadapi Nyi Roro Cenil dan kelima prajurit, nampak
bergerak dengan cepat. Pedang Bidadari di tangannya, bagaikan pencabut nyawa.
Setiap kelebatan mengeluarkan hawa panas yang menyentakkan Nyi Roro Cenil.
"Hea" Wrt Wrt "Uhhh..." keluh
Nyi Roro Cenil sambil melompat ke belakang dengan mata membelalak. Dirasakan
serangan lawan begitu membahayakan dan mengeluarkan hawa panas. Namun baru saja
melompat, terdengar olehnya pekikan kematian kelima prajuritnya yang terbabat
pedang Mei Lie.
Cras Cras Crasss...
"Akh..." Mei Lie yang sudah menyelesaikan
kelima prajurit, segera memburu Nyi Roro Cenil. Dengan jurus 'Tebasan Bidadari
Memenggali Gunung', gadis itu terus menyerang Nyi Roro Cenil yang tampak
kelabakan.
"Hea" Wrt Wrt "Celaka" pekik
Nyi Roro Cenil sambil berusaha mengelakkan serangan pedang lawan. Tangannya
yang memegang pedang, dengan cepat dibabatkan memapak pedang lawan yang hendak
menyerang. "Tak ada jalan lain. Heaaa..." Wrt Trang Prak
"Hah?" Nyi Roro Cenil mendelik, mendapatkan pedangnya dapat dibabat
pedang lawan. Pedangnya kini patah menjadi dua. Belum juga Nyi Roro Cenil
hilang rasa kagetnya, tiba-tiba Mei Lie telah kembali membabatkan Pedang
Bidadari-nya yang mengeluarkan sinar kuning keemasan-emasan.
"Hea" Wrt Nyi Roro Cenil yang tersentak
kaget, dengan cepat berkelit ke samping kanan. Namun gerakan pedang Mei Lie,
ternyata jauh lebih cepat. Sehingga....
Cras "Akh... Tobat.." Nyi Roro Cenil
memekik, ketika bahu tangan kirinya terbabat Pedang Bidadari. Seketika itu
pula, tangan kin Nyi Roro Cenil putus dan jatuh ke tanah dengan darah menyembur
keluar. Perempuan setengah baya itu menjerit kemudian lari meninggalkan
pertarungan sambil mencaci-maki.
"Tunggulah pembalasanku, Bidadari...,"
Nyi
Roro Cenil terus melesat semakin jauh.
Tak menghiraukan ancaman Nyi Roro Cenil yang terus
lari meninggalkan hutan bambu, Mei Lie yang melihat Pranala dalam keadaan
terjepit diserang Gagak Selo segera membantu. Namun belum juga Mei Lie
menyerang, lima prajurit Gagak Selo telah menghadangnya. Sedangkan Gagak Selo
kini terus menyerang Pranala, bahkan....
"Heaaa" Wrt "Ukh..." Pranala
tersentak, ketika cadarnya terbuka. Seketika semua orang yang melihat tersentak
kaget, tak urung Perdana Menteri Giri Gantra sendiri "Kau?" mata
Perdana Menteri Giri Gantra membelalak, setelah mengenali siapa lelaki bercadar
ungu. Gagak Selo yang terkesiap setelah tahu siapa maling budiman, tak dapat
mengelitkan sebuah pukulan telak yang dilancarkan Pranala. Dan....
Degkh "Ukh Hoakh..." Gagak Selo
memuntahkan darah segar, kemudian ambruk pingsan dengan luka dalam. Para
prajurit pun mati dengan perut terbabat pedang di tangan Mei Lie.
Sementara Pangeran Prapanca yang bertarung
menghadapi Resi Wisangkara, nampak masih terus berusaha melepaskan diri dari
desakan lelaki tinggi besar itu, yang terus mencecar dengan cakaran tangannya.
"Hea" kembali Resi Wisangkara mencakar ke
wajah lawan. Gerakannya sangat cepat, membuat Pangeran Prapanca tersentak
kaget. Pangeran muda itu, berusaha menghindar ke samping sambil membabatkan
pedangnya. Namun ternyata serangan Resi Wisangkara itu hanya pancingan. Ketika
pedang lawan, membabat tangan kanannya, dengan cepat Resi Wisangkara menarik
serangannya. Kemudian dengan cepat menggerakkan tangan kiri, mencakar ke wajah
lawan dan merenggut cadar biru yang menutupinya.
"Hih..." Bret "Hah...?" Semua
mata terbelalak, menyaksikan siapa sebenarnya maling budiman itu. Bahkan Resi
Wisangkara sampai melototkan mata hampir keluar, setelah tahu siapa lawannya.
Sedangkan Perdana Menteri Giri Gantra terpaku di punggung kudanya, memandang
bagai tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Nah, bagaimana kelanjutan dari kisah "Sepasang
Maling Budiman" ini? Apakah akan tertangkap? Bagaimana pula dengan
Pendekar Gila dan Mei Lie? Apakah mereka dapat membantu Pangeran Prapanca untuk
mendapatkan haknya, atas Kerajaan Surya Langit? Untuk lebih jelasnya, ikuti
serial Pendekar Gila dalam episode: "Undangan Maut".
SELESAI
Emoticon