1
Sore yang indah melingkupi bumi. Cahaya merah
tembaga di kaki langit sebelah barat menandakan bahwa sang Raja Siang belum
sampai di peraduannya. Bekas perjalanannya masih jelas
membias dalam bentuk lembayung.
Sementara itu di Desa Karang Bale pun suasana
tampak cerah. Desa yang subur dan makmur itu terletak di antara Pegunungan
Sarangan dan Bukit Kundang. Sehingga wajar kalau tak jauh di sebelah selatan
desa itu terdapat telaga yang sangat bening airnya. Apalagi pada suasana senja
yang cerah seperti sekarang ini. Ketika langit membiaskan cahaya merah
lembayung, air telaga tampak begitu indah. Berkilauan karena tertiup angin yang
menimbulkan riak-riak kecil di tengahnya.
Seperti biasanya, di suasana senja seperti itu
gadis-gadis Desa Karang Bale menikmati air telaga.
Mereka mandi dan mencuci sambil bercanda ria,
sesuka hati. Sore itu tampak lima orang gadis berusia dua puluh tahunan tengah
mandi sambil bersenda gurau di air telaga.
Lima gadis desa yang tengah mandi itu, tak menduga
kalau tingkah laku mereka dalam
pengawasan sepasang mata tajam. Sepasang mata milik
sesosok tubuh yang bersembunyi di balik semak-semak tak jauh dari telaga itu.
“Hm.... Rupanya di sini gadis-gadis mandi,”
gumam pemilik sepasang mata merah yang terus
mengawasi tingkah laku kelima gadis itu. Di bibir lelaki berbadan tinggi besar
dan berwajah garang itu tersungging senyuman. “Hm... Akan tercapai cita-citaku menjadi
orang tersakti di rimba persilatan He he he...”
Lelaki berwajah garang dengan cambang bauk lebat
itu terus bersembunyi sambil mengawasi kelima gadis yang sedang asyik mandi di
telaga. Matanya kini tertuju pada gadis yang sedang asyik mandi di telaga.
Matanya kini tertuju pada seorang gadis berkain
warna hijau daun. Gadis itu tampak cantik sekali.
“Sss...,” lelaki bertubuh kekar berpakaian jubah
abu-abu itu mendesis. Seakan-akan desakan nafsu yang menggebu-gebu, menyaksikan
kemolekan tubuh gadis berkain hijau itu. Beberapa kali lelaki berusia sekitar
enam puluh tahun yang sosoknya masih gagah itu menelan ludah, berusaha menahan
gejolak birahinya. “Sungguh menggairahkan...”
Kelima gadis Desa Karang Bale itu masih mandi
dengan tenang, tak tahu kalau mereka dalam pengawasan sepasang mata tajam.
Apalagi gadis berkain hijau yang menjadi tatapan utama lelaki garang itu,
nampak sangat riang. Senyumnya yang indah, tersumbar lepas.
“Wirani, kau tak pulang?” tanya gadis berkain lurik
merah yang tampak sudah naik ke darat. Gadis itu segera membuka kainnya yang
basah tanpa canggung-canggung. Dia tak menduga kalau ada sepasang mata dan
balik semak-semak belukar, yang memandang dengan melotot penuh nafsu.
“Nanti saja Aku masih ingin mandi...,” sahut gadis
berkain hijau yang dipanggil Wirani. Dia masih berendam di telaga bersama tiga
orang temannya.
“Kalau begitu, aku pulang dulu,” ujar gadis berkain
lurik merah, lalu melangkah meninggalkan keempat temannya yang masih mandi.
“Hati-hati, Watiri...” seru Wirani mengingatkan
sambil tertawa riang.
“Memangnya ada apa...?” tanya gadis yang
dipanggil Watiri.
“Siapa tahu ada genderuwo yang suka jahil...”
ambut gadis berkain biru. Kemudian keempat gadis
itu tertawa lepas, ketika melihat Watiri melotot.
Watiri terus melangkah meninggalkan telaga.
Hatinya agak cemas setelah mendengar godaan keempat
temannya. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang diri, berjalan di senja dan
harus melintasi ladang yang penuh dengan pepohonan.
Watiri melangkah tergesa-gesa. Hatinya tiba-tiba
berubah takut atas ucapan teman-temannya.
Matanya memandang ke sekeliling yang sepi, karena
sebentar lagi suasana akan gelap. Dengan langkah-langkah cepat, Watiri terus
berjalan melintasi ladang yang di sekitarnya ditumbuhi pepohonan besar.
Ucapan keempat temannya dirasakan seperti sebuah
peringatan baginya. Hatinya semakin tercekam, ketika tiba-tiba nalurinya
mengatakan ada seseorang yang menguntit di belakang.
Watiri menengok ke belakang. Namun matanya tak
melihat siapa pun. Sepi sekali. Keadaan di sekelilingnya semakin meremang
gelap, karena tertutup rimbun pepohonan. Berkali-kali matanya mengawasi ke
sekeliling dan memberanikan diri menengok ke belakang dengan perasaan takut.
“Oh, mengapa bulu kudukku meremang?” keluh Watiri
sambil memegangi tengkuknya yang terasa sangat dingin. Matanya masih menyapu ke
sekeliling yang gelap dan sepi. Rasa takut pun semakin mencekam.
Angin senja berhembus perlahan, membawa
hawa dingin yang menusuk ke kulit. Namun tubuh
Watiri justru mengeluarkan keringat, bercampur air telaga yang belum kering
benar dari kulitnya.
Langkahnya kembali terhenti, ketika merasakan ada
seseorang yang mengikuti. Kembali dia menyapukan pandangannya ke sekeliling
tempat itu. Namun tetap tak dilihatnya orang atau apa saja yang menguntit di
belakang. Hanya kesunyian dengan hembusan angin yang semakin membuat Watiri
bertambah tercekam rasa takut. Gadis itu tidak berlari. Seakan hatinya menuntut
agar tetap berada di tempat itu, untuk mengetahui siapa yang sejak tadi
menguntitnya.
“Mungkinkah teman-teman yang sedang meng-
goda dan menakut-nakutiku?” tanya Watiri dalam hati
menduga-duga. Matanya kembali memandang ke sekeliling, berusaha meyakinkan diri
kalau di sekitar tempat itu memang tidak ada apa-apa.
Watiri hendak melanjutkan langkahnya pulang.
Namun tiba-tiba terdengar suara gemeresak, seperti
kaki seseorang yang menginjak daun kering.
Kresek
Watiri tersentak. Langkahnya langsung terhenti.
Kemudian kepalanya menoleh ke belakang. Lagi-lagi
tak ada siapa-siapa di belakangnya. Sepi Tak ada seorang manusia pun di tempat
itu selain dirinya.
Perasaan takut semakin mencekam jiwa gadis itu.
Tanpa berteriak atau berlari, Watiri membalikkan
tubuh ke belakang, lalu berdiri mematung sambil mengawasi tempat asal suara
tadi. Dia tahu pasti, kalau kebun karet itu tak ada apa-apanya. Hampir setiap
sore selama bertahun-tahun dilewatinya tempat itu. Tak pernah terjadi sesuatu
yang aneh dan menakutkan.
“Ah, mungkin hanya angin atau binatang,” gumam
Watiri berusaha menghibur diri. Gadis itu kemudian melanjutkan langkah kakinya.
Namun tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat muncul dari balik pohon karet
besar. Watiri tersentak kaget. Dia hendak menjerit tapi sosok bayangan besar
itu telah mendahului menotok tubuh Watiri.
Tuk Tuk
“Ukh”
Keluhan kecil terdengar dari mulut Watiri.
Kemudian tubuh gadis berkain lurik merah itu
terkulai pingsan tak sadarkan diri. Secepat itu pula, sosok tubuh besar
menyambar tubuh Watiri dan membawa pergi menuju selatan. ***
Empat gadis cantik warga Desa Karang Bale yang
masih di telaga bergerak naik, ketika suasana mulai menggelap. Tanpa menaruh
curiga, kalau ada orang yang mengintip, mereka langsung membuka kain basahan.
Kemudian segera berganti dengan gaun mereka.
“Kita pulang, yuk” ajak gadis bergaun jingga.
“Ayo Sebentar lagi gelap,” timpal gadis bergaun
biru.
Dengan diselingi canda ria, keempat gadis itu
meninggalkan telaga untuk kembali ke rumah masing-masing. Tentu saja mereka pun
melintasi jalan di ladang Kemudian masuk ke perkebunan karet, sama dengan yang
dilewati Watiri. Karena hanya jalan itulah yang terdekat sampai di kampung
mereka.
Suasana sudah mulai gelap. Apalagi di dalam
perkebunan karet itu, cahaya lembayung di langit barat benar-benar tertutup
rimbun dedaunan karet.
“Tentunya Wati ketakutan mendengar gurauan kita,
Wirani,” ujar gadis bergaun coklat.
“Hi hi hi..., kasihan dia, ya?” sahut Wirani,
sepertinya merasa bersalah telah menakut-nakuti temannya.
“Ah, tapi kau tak ada apa-apa,” selak gadis bergaun
kuning.
“Ya. Memangnya ada apa? Setiap hari kita lewat
sini, tak ada gendaruwo seperti yang kamu katakan.”
Keempat gadis itu terus melangkah sambil
bercanda ria penuh kebahagiaan, melintasi kebun
karet yang telah mulai gelap dan sepi.
“Sebentar lagi gelap. Kita harus segera sampai di
rumah,” ajak Wirani pada ketiga temannya. Mereka pun melangkah semakin cepat,
sampai akhirnya tiba di kampung. Keempatnya saling berpisah untuk menuju rumah
masing-masing. ***
Kegelisahan seketika melanda kedua orang tua
Watiri, setelah sejak sore menanti, anaknya belum juga pulang. Padahal biasanya
Watiri telah pulang sejak sore tadi. Bahkan gadis itu biasanya sudah tidur.
“Kang, kenapa anak kita belum pulang?” tanya
seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun dengan wajah cemas, sambil
melangkah mendekati sang Suami yang sedang duduk di dipan ruang tamu rumahnya.
Lelaki setengah baya itu pun, nampaknya sedang menunggu anaknya. Hari telah
malam.
Biasanya saat seperti ini Watiri sudah tidur di
kamarnya.
“Iya, ya? Ke mana tuh anak?” gumam lelaki
berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan wajah
gelisah. Nampaknya lelaki ini sangat mencemaskan k-selamatan putrinya.
“Apa tidak sebaiknya kau tanyakan pada Wirani atau
Rumi, Kang?” saran istrinya.
Ayah Watiri diam. Ditariknya napas dalam-dalam
seakan berusaha membuang perasaan yang meng-gelisahkan jiwanya. Betapa tidak
Malam telah semakin larut. Suasana kian sepi, tapi Watiri, anaknya belum juga
sampai di rumah.
“Baiklah. Aku akan menanyakan pada anak Ki Lurah
Sentana,” ujar ayah Watiri.
“Hati-hati di rumah, Rah Aku pergi dulu untuk
mencari Watiri.”
“Hati-hati, Kang Sebaiknya kau bawa golok,” ujar
Nyi Samirah menyarankan. “Meskipun Desa Karang Bale aman, hal-hal yang tak
terpikirkan, bisa saja terjadi. Bisa saja ada binatang malam yang ganas.
Bukankah dengan membawa senjata bisa jaga diri?”
pikir ibu Watiri. Itu sebabnya perempuan itu
menyarankan suaminya agar membawa golok.
“Ya ya, kau benar. Tolong ambilkan goloknya”
pinta lelaki kurus dengan tubuh jangkung itu.
Nyi Sumirah bergegas mengambilkan golok
suaminya. Tak lama kemudian telah keluar dengan
membawa golok. “Ini, Kang.”
Dimasukkan golok itu ke ikat pinggangnya.
Kemudian lelaki setengah baya berpakaian coklat itu
melangkah meninggalkan rumah untuk mencari tahu, di mana anaknya berada.
Dengan langkah tergesa-gesa, ayah Watiri menuju
rumah Ki Lurah Sentana. Saat itu di rumah Kepala Desa Karang Bale tampak masih
terang. Sepertinya di rumah Ki Lurah Sentana sedang kedatangan tamu.
“Selamat malam...” sapa ayah Watiri pada kedua
penjaga rumah Ki Lurah Sentana.
“Selamat malam,” sahut kedua penjaga itu
hampir bersamaan.
“Ada apa, Ki Pardi?” tanya salah seorang dari kedua
penjaga yang berbadan tegak tinggi dengan alis mata tebal. “Sepertinya ada
keperluan penting, Ki. Tak seperti biasanya malam-malam begini kau datang.”
“Ah, tidak, Ki Barman. Aku hanya ingin bertemu Ki
Lurah,” jawab ayah Watiri yang ternyata bernama Pardi.
“Sebentar, aku sampaikan pada Ki Lurah,” jawab Ki
Barman. Kemudian lelaki berusia lima puluh tahun berpakaian loreng itu
melangkah meninggalkan serambi rumah, untuk menemui Ki Lurah Sentana.
“Suruh dia masuk, Barman” dari dalam terdengar
suara Ki Lurah Sentana memerintah centeng itu.
Ki Barman melangkah keluar untuk menemui
tamu Ki Lurah itu. Ki Pardi mengangguk dengan mulut
mengurai senyum, karena tadi mendengar suara Ki Lurah Sentana dari dalam
rumahnya.
“Ki Pardi, kau disuruh masuk,” ujar Ki Barman.
“Terima kasih,” jawab Ki Pardi. Kemudian setelah
memberi hormat pada kedua jawara penjaga rumah Ki Lurah Sentana lelaki setengah
baya itu masuk.
Di dalam rumah Kepala Desa Sentana saat itu ada
seorang tamu yang tak lain adik Ki Lurah Sentana sendiri. Kedua kakak beradik
itu tengah berbincang-bincang. Seketika mereka menghentikan obrolan, ketika Ki
Pardi masuk.
“Selamat malam, Ki Lurah” sapa Ki Pardi sambil
menjura hormat pada Ki Lurah Sentana dan adiknya, Ki Tunjung Melur atau yang
dikenal dengan sebutan Pendekar Kali Bengawan. Lelaki bertubuh tegap itu
mengurai senyum menerima kedatangan penduduk desa itu.
“Selamat malam,” jawab Ki Lurah Sentana.
“Silakan duduk, Ki”
Ki Pardi pun menurut duduk.
“Ada apa malam-malam begini kau datang, Ki?”
tanya Kepala Desa Karang Bale itu.
“Maaf, Ki Lurah Apakah Nini Wirani sudah
pulang?” Ki Pardi balik bertanya.
Mendengar pertanyaan aneh itu Ki Lurah Sentana dan
Ki Tunjung Melur mengerutkan kening. Ki Lurah Sentana langsung menatap lekat
wajah Ki Pardi yang menunduk, sepertinya merasa keheranan dan tak mengerti apa
sebenarnya yang terjadi.
“Sudah. Ada apa, Ki?” tanya lelaki berusia sekitar
enam puluh tahun dengan wajah nampak tenang penuh wibawa. Mata Ki Lurah Sentana
tetap menatap wajah Ki Pardi, seakan ingin menyelidik apa yang sesungguhnya
terjadi.
“Anak saya belum pulang, Ki,” ujar Ki Pardi,
menjawab pertanyaan Ki Lurah Sentana.
“Hah? Anakmu, Watiri belum pulang?” ulang Ki Lurah
Sentana. Matanya terbelalak kaget mendengar pemberitahuan Ki Pardi.
“Benar, Ki,” jawab Ki Pardi sambil meng-
anggukkan kepala. Tidak hanya Ki Lurah Sentana,
adiknya Ki Tunjung Melur pun membelalakkan mata karena terkejut.
“Kau tak bergurau, Ki Pardi?” tanya Ki Lurah
Sentana.
“Mana mungkin saya berani bercanda padamu, Ki
Lurah?”
“Hm,” gumam Ki Lurah Sentana. Wajahnya
seketika berubah kelabu. “Sebentar, kupanggil
Wirani dulu..., Wirani...”
“Saya, Ayah...” sahut Wirani dari dalam.
“Kemari sebentar” perintah Ki Lurah Sentana.
Dari dalam, muncul Wirani dan ibunya. Keduanya
mendekat dan duduk di kursi yang masih kosong.
“Ada apa, Ayah?” tanya Wirani dengan kening
mengerut, melihat ayah Watiri ada di rumahnya.
Gadis itu tak tahu apa yang sebenarnya telah
terjadi.
“Apakah kau tadi mandi bersama Watiri?” tanya Ki
Lurah Sentana seraya menatap wajah putrinya.
“Benar, Ayah.” Wirani mengangguk seraya
menoleh ke wajah Ki Pardi.
“Pulangnya...? Apa kau bersama dia?”
“Tidak, Ayah. Watiri lebih dahulu pulang,” jawab
Wirani, “Memangnya ada apa, Ayah?”
“Dia belum pulang,” sahut Ki Lurah Sentana.
“Hah?”
Wirani tersentak kaget, mendengar jawaban
ayahnya. “Bagaimana mungkin?” pikir Warani.
“Bukankah Watiri pulang lebih dahulu? Bahkan hari
belum begitu petang. Masa dia tersesat?”
“Kau tahu ke mana dia, Wirani?”
“Tidak, Ayah. Kami semua tahu kalau dia telah
pulang lebih dahulu. Dan kami pikir Watiri telah sampai di rumah, ketika kami
naik dari telaga,” tutur Wirani masih dengan kening mengerut. Gadis itu seakan
tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
“Mungkinkah ucapanku yang hanya bergurau
benar terjadi?” tanya Wirani dalam hati. “Apakah
benar ada. gendruwo yang suka menculik gadis? Ah, aneh sekali... Ke mana Watiri
sebenarnya?”
Semua yang ada di dalam terdiam dengan
perasaan yang masih bergelut di hati masing-masing.
Mereka heran, mengapa Watiri yang pulang lebih awal
justru belum sampai di rumah? Mungkinkah Watiri tersesat? Rasanya aneh, kalau
sampai tersesat. Karena Watiri sejak kecil hidup di Desa Karang Bale. Seperti
gadis-gadis desa atau warga yang lain, telah belasan tahun lamanya Watiri
memahami benar daerah sekitar telaga. Sejak umur lima atau tujuh tahun mereka
telah akrab dengan tempat itu. Sungguh aneh dan tak masuk akal kalau Watiri
tersesat
“Apakah Ki Pardi telah mencari ke rumah
tetangga terdekat?” tanya Ki Tunjung Melur memecahkan
kesunyian.
“Belum,” sahut Ki Pardi.
“Cobalah Ki Pardi Kalau memang tak ada dan belum
juga pulang, tabuhlah kentongan dua kali.
Kami akan segera ke rumah Ki Pardi,” saran Ki
Tunjung Melur.
“Baiklah kalau begitu, saya mohon diri”
“Silakan” sahut Ki Lurah Sentana.
“Selamat malam...”
“Selamat malam” sahut Ki Lurah Sentana dan
keluarganya.
Ki Pardi pun segera melangkah keluar dengan
perasaan yang semakin tak menentu. Hatinya gelisah dan diliputi kecemasan,
karena tak tahu ke mana anak gadisnya hingga malam begini belum juga pulang.
Apa lagi setelah mendengar penuturan Wirani bahwa anaknya telah pulang lebih
dulu daripada teman-temannya.
“Jangan-jangan, anakku diculik,” pikir Ki Pardi
semakin gelisah. Langkah kakinya semakin cepat, seakan tak sabar untuk segera
sampai di rumah.
Hatinya berharap benar sampai di rumah Watiri telah
kembali.
Malam yang gelap, semakin terasa mencekam
jiwanya yang sedang dilanda kegelisahan.
Langkah-langkah kaki Ki Pardi semakin cepat, bahkan kini mulai berlari. Hatinya
berharap segera sampai di rumah dan menemukan anaknya pulang.
Ki Pardi sampai di rumah dengan napas
terengah-engah dan tubuh basah berkeringat setelah menghela napas agar tak
tersengal-sengal, tangannya mengetuk pintu.
“Siapa...?” terdengar Nyi Sumirah dari dalam
bertanya.
“Aku...,” sahut Ki Pardi.
Tak lama kemudian, pintu sudah terbuka. Dari dalam
muncul istrinya.
“Bagaimana, Kang?” tanya Nyi Sumirah penuh harap.
“Hh, Nini Wirani telah pulang. Katanya anak kita
malah pulang lebih awal,” desah Ki Pardi seraya menghempaskan napas
panjang-panjang.
“Ke mana anak kita ya, Kang?”
“Itulah yang tak kumengerti. Jangan-jangan...”
“Jangan-jangan kenapa, Kang?” tanya Nyi
Sumirah semakin bertambah cemas.
“Anak kita diculik, Rah.”
“Kang...,” desis Nyi Sumirah semakin cemas.
Ki Pardi segera berjalan mendekati kentongan di
depan rumahnya. Segera dipukulnya kentongan itu.
depan rumahnya. Segera dipukulnya kentongan itu.
Terdengar bunyi keras kentongan sebanyak dua kali.
Tong Tong...
Tak lama kemudian, Ki Lurah Sentana dan adiknya
serta Ki Barman, salah seorang jawara penjaga rumah Ki Lurah telah datang.
“Bagaimana, Ki, apakah sudah kau temukan?”
tanya Ki Lurah Sentana.
“Belum, Ki Lurah. Saya menduga, anak saya
diculik,” ujar Ki Pardi.
“Jangan menduga yang tak baik, Ki Sebaiknya kita
panggil warga untuk mencari Watiri,” ujar Ki Lurah Sentana. “Barman, kau tabuh
tiga kali kentongan agar warga keluar”
“Baik, Ki Lurah.”
Tong Tong Tong...
Ki Barman menabuh kentongan sebanyak tiga
kali, sesaat kemudian terdengar suara kentongan
lain saling menyambut. Warga Desa Karang Bale bergegas keluar dan langsung
menuju rumah Ki Pardi, tempat awal kentongan pertama terdengar. Wajah warga
Desa Karang Bale diselimuti ketidakmengertian, untuk apa Ki Pardi memanggil
mereka.
“Ada apa, Ki Lurah?” tanya warga ingin tahu.
“Saudara-saudaraku, anak Ki Pardi belum pulang
Untuk itu, sebagai saudara sedesa, kita patut
membantu mencarinya” seru Ki Lurah Sentana.
“Siapkan obor, kita akan mencari anak Ki Pardi”
Tanpa diperintah dua kali, warga Desa Karang Bale
pun segera menjalankan perintah kepala desa.
Tidak lama kemudian, warga desa yang dipimpin
langsung kepala desa berusaha mencari Watiri.
Mereka mengelilingi Desa Karang Bale dengan membawa
obor. Namun setelah seluruh penjuru desa dikelilingi, mereka tak menemukan
gadis itu.
“Mungkin diculik gendruwo, Ki Lurah” seru salah
seorang warga nyeletuk.
“Ngawur” bentak Ki Lurah Sentana. “Kita ke telaga
Siapa tahu dia kembali ke telaga.”
Mereka pun segera berjalan menuju telaga
tempat tadi sore Watiri dan teman-temannya mandi.
Namun, sampai di sana, mereka tak menemukan
siapa-siapa.
“Tak ada siapa-siapa, Ki Lurah,” lapor salah
seorang warga.
“Hm, apa benar diculik gendruwo?” gumam Ki Lurah
Sentana setengah percaya, setengah tidak.
Rasanya aneh, kalau gendruwo menculik gadis. Lagi
pula, kalau memang ada gendruwo, bukankah sejak dulu ada kejadian seperti
sekarang ini?
“Bagaimana, Ki Lurah? Apa kita akan terus
mencari?” tanya warga desa.
“Tidak Kita pulang saja” jawab Ki Lurah Sentana.
Dengan tanpa hasil, warga desa dan Ki Lurah Sentana
kembali ke desa. Malam semakin kelam, menjadikan suasana kian mencekam.
*** 2
Watiri menggeliat. Tubuhnya dirasakan lemas seperti
tak bertulang, setelah semalaman pingsan karena keadaan tertotok. Mata gadis
itu perlahan-lahan membuka, memandang ke sekelilingnya yang terasa sangat
asing. Di sekelilingnya hanya dinding-dinding batu cadas. Dingin dan lembab.
“Uh...” Watiri melenguh ketika dirasakan tangan dan
kakinya tak dapat digerakkan. Ternyata tangan dan kakinya diikat pada
ujung-ujung sebuah meja batu. “Oh, di mana aku? Mengapa tangan dan kakiku
diikat?”
Watiri kembali memandang ke sekeliling tempat itu,
berusaha mengetahui di mana dirinya berada.
Matanya hanya melihat dinding-dinding batu cadas.
“Goa...? Oh, mengapa aku berada di dalam goa?”
keluh Watiri dengan perasaan cemas dan takut,
karena suasana yang sangat sunyi di goa itu. Apalagi ketika Watiri
menengadahkan kepala, tubuhnya bergidik. Di atas kepalanya, tampak sebuah golok
besar dan tajam. Golok itu terletak di atas dua buah batu, menghadap ke kepala
Watiri.
“Oh, untuk apa golok itu?” pikir Watiri, semakin
dilanda kecemasan. “Mungkinkah aku akan disembelih? Oh, tidak... Aku tak mau,
disembelih”
Watiri semakin dicekam perasaan takut, ketika
terlintas dalam benaknya bahwa mungkin dirinya akan dijadikan korban
persembahan. Dia tak tahu, siapa orang yang telah membawanya ke goa itu. Yang
sempat diingatnya hanya sesosok tubuh tinggi dan besar yang melesat mendekati
tubuhnya. Namun setelah itu tak ingat apa-apa lagi karena tubuhnya tertotok.
Tiba-tiba dari dalam goa muncul seorang laki-laki
tinggi besar berpakaian abu-abu. Matanya yang tajam memandang penuh nafsu.
Dengan bibir mengurai senyum menyeringai, lelaki bertubuh tinggi besar itu
melangkah menghampiri Watiri yang semakin
ketakutan.
“Siapa kau, Ki?” tanya Watiri dengan ketakutan,
memandang tajam wajah lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang tampak masih
gagah.
“He he he... Sungguh menggiurkan Kau memang seorang
gadis yang sangat menggiurkan. Aku Datuk Raja Beracun.... He he he” ujar lelaki
tua itu sambil tertawa terkekeh-kekeh. Matanya tak berkedip merayapi tubuh
Watiri yang dalam keadaan setengah telanjang.
Watiri kian ketakutan melihat kebuasan yang
tersirat dalam tatapan tajam lelaki bernama Datuk Raja Beracun itu.
“Siapa kau? Kenapa kau ikat aku seperti ini?”
bentak Watiri dengan suara bergemetar. Matanya yang
bening melotot penuh kebencian setelah dapat menduga kalau lelaki tua
berpakaian abu-abu itu tentu hendak berbuat jahat terhadapnya. “Kembalikan aku
pada orangtuaku”
“He he he..., nanti akan kukembalikan, Manis.
Tenanglah dahulu Kita akan menikmati sesuatu yang
belum pernah kau alami,” ujar Datuk Raja Beracun sambil tertawa terkekeh.
Kemudian tanpa menghiraukan Watiri yang meronta-ronta, berusaha melepaskan
diri, Datuk Raja Beracun berlalu meninggalkan tempat itu. Sambil tertawa
terbahak- bahak lelaki tua itu terus melangkah ke ruangan dalam.
Watiri semakin tegang dan gelisah, setelah
mendengar kata-kata yang baru saja diucapkan Datuk Raja huracun. Hatinya
semakin benci
bercampur marah dan ketakutan. Ucapan lelaki tua
itu dianggapnya sangat menjijikkan. Namun
bagaimana harus menghindarinya. Dirinya tak sudi
melayani nafsu datuk tua itu. Sementara tangan dan kaki terbelenggu di meja
batu. Untuk bergerak saja sulit, apalagi melepaskan diri. Jelas tak mungkin.
Berapa besar kekuatan seorang wanita seperti
dirinya. Rasa putus asa pun mulai menjalar di hati gadis cantik itu.
“Hyang Widi, lindungilah hambamu ini” seru Watiri
dengan suara lirih. Ditengadahkan wajahnya, memandang langit-langit goa. Tidak
terasa air matanya meleleh. Watiri merasa sedih, cemas dan takut saat itu.
Apalagi setelah mendengar ucapan lelaki tua yang sama sekali belum pernah
dikenalnya itu.
Sementara itu, di dalam goa Datuk Raja Beracun
nampak tengah duduk bersila. Di hadapannya, terdapat sebuah perapian yang
mengepulkan asap lebat. Rupanya sang Datuk tengah melakukan upacara, memanggil
arwah yang menjadi sesem-bahannya.
Matanya terpejam. Bibirnya bergerak, mengucapkan
mantera-mantera yang sulit untuk diikuti. Sesaat kemudian dari perapian
mengepul asap yang
semakin lama semakin tebal, seiring dengan
kecepatan mantera yang dirapalkan Datuk Raja Beracun. Dari kepulan asap tebal
itu samar-samar muncul sebuah bayangan. Lama kelamaan bayangan itu semakin
membesar dan membentuk sosok
manusia. Namun bukan sosok manusia biasa.
Melainkan manusia berkepala serigala.
Dan anehnya lagi di kepala terdapat tiga buah
tanduk. Dua tanduk di sisi kanan dan kiri, sedangkan sebuah lagi di atas.
“Auuu...”
“Ada apa kau memanggilku, Raja Beracun?”
suara keras bergetar dan parau terdengar dari mulut
manusia serigala itu. Kepala yang hitam dengan sorot mata tajam tampak menatap
Datuk Raja Beracun yang tengah menyembah.
“Ampun, Guru Sengaja saya mengundang Guru,
semata-mata karena hendak melakukan
penyempurnaan ajian 'Walik Akal',” jawab Datuk Raja
Beracun penuh hormat
“Hua ha ha... Jadi kau ingin memiliki ajian itu,
Raja Beracun...? Bukankah kau telah memiliki ajian
'Serigala Hitam'? Masih belum cukupkah?” tanya
manusia berkepala serigala sambil tertawa terbahak-bahak. Suaranya bergema
keras memenuhi ruangan dalam goa itu.
Datuk Raja Beracun hanya mampu menundukkan kepala.
Sepertinya lelaki tinggi besar bermuka garang dihiasi cambang bauk tebal itu
tersindir oleh ucapan makhluk berkepala serigala.
“Itu kalau Guru berkenan,” desah Raja Beracun lirih
dengan kepala masih tertunduk.
“Hua ha ha... Aku sebagai gurumu, tentu saja
mendukung keinginanmu...,” ujar manusia berkepala serigala. “'Tapi, apa
sebenarnya maksudmu mem-pelajari ajian 'Walik Akal'? He he he... Apa yang
sedang kau cita-citakan, Raja Beracun?”
Datuk Raja Beracun terdiam. Namun kepalanya tampak
terangguk-angguk.
“Hm, katakanlah”
“Sebenarnya, saya ingin menjadi orang yang paling
sakti di rimba persilatan, Guru,” jawab Datuk Raja Beracun.
“Hanya itu?” tanya manusia berkepala serigala.
Sesaat Datuk Raja Beracun terdiam. Dihelanya napas
dalam-dalam, seakan ingin membuang
perasaan di dalam hatinya yang bergejolak. Ada
keinginan lain yang sebenarnya tersembunyi di hati kecilnya. Dirinya ingin
menjadi pimpinan para pendekar, sekaligus orang yang ditakuti setaraf dengan
raja, baik oleh para pendekar maupun orang biasa.
“Ada lagi, Guru.”
“Katakan, apa lagi?” tanya manusia berkepala
serigala.
“Saya ingin menjadi pimpinan di rimba
persilatan,” jawab Raja Beracun.
“Hua ha ha... Sebenarnya, tanpa ajian 'Walik Akal'
pun, kau akan mampu melakukan semua yang kau
inginkan,” tutur manusia berkepala serigala.
“Belum, Guru. Karena masih banyak pendekar aliran
lurus yang memiliki ilmu tinggi. Mereka tak mudah untuk ditaklukkan,” ujar
Datuk Raja Beracun tetap dengan kepala tertunduk, tak berani beradu pandang
dengan manusia serigala di hadapannya.
“Auuu... Jadi kau tetap bertekad mendalami ajian
itu, Raja Beracun?” tanya manusia berkepala serigala.
“Benar, Guru.”
“Hm... Apakah kau tahu, apa yang harus
dilakukan untuk menyempumakan ajianmu?” tanya
manusia serigala itu dengan suara menggeram keras. “Tahu, Guru.”
“Tujuh gadis tumbal. Sanggupkah kau men-
dapatkan gadis-gadis itu?”
Tampaknya manusia berkepala serigala pun
merasa khawatir kalau-kalau muridnya, Datuk Raja
Beracun akan mengalami kesulitan. Menculik tujuh perawan bukanlah pekerjaan
mudah.
“Sanggup, Guru.”
“Hm, kalau begitu, aku tak bisa menolak
permintaanmu. Siapkanlah tujuh orang perawan. Dan
yang harus kau ingat, jangan mengambil gadis yang lahir pada malam satu Sura,”
ujar manusia berkepala serigala mengingatkan, menjadikan Datuk Raja Beracun
tersentak dan mengerutkan kening.
“Kenapa, Guru?” tanya Datuk Raja Beracun.
“Ketahuilah olehmu Kalau kau menggeluti gadis yang
lahir malam satu Sura, maka bukan ilmu 'Walik Akal' yang kau dapatkan Malah kau
akan kehilangan segala-galanya,” kata manusia berkepala serigala menjelaskan.
“Bukan itu saja. Penguasa alam kegelapan akan murka sekali.”
“Baik, Guru. Segala petuah yang Guru berikan, akan
saya ingat selalu,” jawab Datuk Raja Beracun.
“Nanti malam, tepat Bintang Pari berada di
tengah-tengah, lakukanlah pengorbanan itu,”
perintah manusia berkepala serigala. “Sekarang aku
pergi. Ingat baik-baik pesanku tadi...”
Datuk Raja Beracun mengangguk-angguk tanda
menyetujui persyaratan yang diajukan gurunya.
Manusia berkepala serigala itu pun perlahan-lahan
berubah samar-samar, kemudian menyatu dengan asap perapian yang tebal.
Datuk Raja Beracun melakukan sembah,
kemudian bangun dan segera melangkah dari ruangan
pemujaan, menuju tempat Watiri berada.
Gadis itu nampak semakin ketakutan, menyaksikan
lelaki bertubuh besar itu mendekatinya. Apalagi melihat senyum menyeringai di
bibir sang Datuk, membuat Watiri semakin gemetar tak karuan.
“Lepaskan aku Kembalikan aku pada orang
tuaku,” pinta Watiri setengah mengiba dengan
lelehan air mata membasahi kedua pipinya. Gadis itu tampak berusaha meronta,
tetapi tak mampu karena kedua tangan dan kakinya diikat.
“He he he... Sabar, Cah Ayu Besok, kau akan
kembali. He he he” Datuk Raja Beracun melangkah mendekati tubuh Watiri yang
hanya terbungkus kain lurik merah sampai ke dada. Matanya merah penuh nafsu,
memandang lekat tubuh Watiri yang mulus itu.
Jakunnya turun naik. Beberapa kali lelaki tua
berwajah beringas itu, menelan ludah. Tampaknya tak mampu menahan gejolak
birahi yang menggebu-gebu.
Perlahan-lahan, tangan sang Datuk menjulur ke dada
Watiri yang menonjol. Kemudian dengan nakal, meraba kedua buah dada gadis itu.
“Iblis Lepaskan aku...” Watiri berteriak-teriak
memaki. Namun Datuk Raja Beracun tak meng-hiraukannya. Dengan bibir masih mengurai
senyum, tangannya terus menjamah tubuh gadis itu. Diremas-remasnya kedua buah
dada Watiri. Gadis itu tampak kian marah. Wajahnya memerah. Namun seketika itu
juga, tiba-tiba dirasakan ada suatu hawa aneh menjalar di dalam tubuhnya.
Napasnya memburu.
Sedangkan kepalanya terasa pening dengan
pandangan berkunang-kunang. Semakin lama tubuhnya
semakin tegang, gemetaran, dan bergairah.
“He he he...” Datuk Raja Beracun yang terus
meremasi buah dada Watiri, sambil terkekeh senang.
Ternyata Racun Birahi yang disalurkan melalui
telapak tangannya, telah bekerja sebagaimana yang diharapkan. Terbukti gadis
montok itu kini mendesis dengan mata mengerjap-ngerjap. Bahkan kini tak
terdengar caci-maki dari mulutnya. Gadis itu seperti dilanda nafsu birahi yang
bergejolak hebat. “Aaah...
Oh,..”
Hanya lenguhan dan desisan yang keluar dari mulut
Watiri, yang membuat nafsu Datuk Raja Beracun semakin menggebu-gebu.
Bergejolak, laksana api yang membakar tubuhnya. Tangan Datuk Raja Beracun
merobek kain yang masih menutupi tubuh Watiri.
Bret
Kini tubuh Watiri polos, tak tertutup sehelai
benang pun. Gadis itu semakin mendesis keras, dengan mata terpejam.
“Oh, Ki...”
“He he he Sabar, Cah Ayu Belum saatnya kita
melakukan apa yang kau harapkan. Tunggulah nanti malam” ujar Daluk Raja Beracun
sambil terkekeh-kekeh. Dan tiba-tiba lelaki tua itu melepaskan remasan
tangannya, kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Tinggal Watiri yang
tersiksa dengan gejolak birahi yang membakar jiwanya. ***
Malam yang dinantikan oleh Datuk Raja Beracun
akhirnya datang. Berarti upacara tumbal perawan sebagai syarat utama untuk
mendapatkan ajian Walik Akal sebentar lagi akan berlangsung, saat Bintang Pari
tepat berada di atas kepala. “Auuu... Auuu...”
Lolongan anjing hutan terdengar bersahut-
sahutan. Seakan binatang-binatang itu merasakan
adanya sesuatu yang akan terjadi. Sesuatu kejadian yang sangat mengerikan.
Anjing-anjing itu seperti tengah memberi peringatan kepada manusia. Suara-suara
lolongan itu terasa mampu membuat merinding tubuh orang yang mendengarnya.
Begitu pula dengan Watiri yang kini terkapar di
atas altar batu. Gadis itu semakin ketakutan. Namun hatinya telah pasrah karena
tak mampu berbuat apa-apa.
Watiri merasakan hawa dingin yang menggigilkan.
Bulu kuduknya semakin meremang berdiri,
mendengar lolongan anjing hutan. Apalagi suasana di
dalam goa itu sangat sepi, tak ada siapa-siapa. Hanya dirinya sendiri, dengan
tangan dan kaki terbelenggu pada meja batu.
“Oh Hyang Widi, apa yang akan terjadi pada diriku?”
keluh Watiri dengan suara bergetar karena kedinginan dan rasa takut. Sementara
itu lolongan anjing terdengar semakin bersahutan. Sepertinya binatang-binatang
itu memberi tahu akan terjadi sesuatu pada dirinya. Air mata gadis itu meleleh,
sedih, dan takut beraduk menjadi satu di dalam dadanya. Matanya yang menangis,
memandang ke atas, pada langit-langit goa yang gelap. Tangisnya semakin
berderai keras, merasakan takut yang tiada terkira.
Malam semakin larut, dengan hawa dingin yang terasa
menusuk tulang sumsum. Suasana di dalam goa tempat Watiri berada, semakin
mencekam. Gadis itu pun semakin merasakan ketakutan. Tangisnya semakin keras,
terdengar. Gemanya berputar-putar dipantulkan dinding goa.
“He he he...”
Dari dalam goa, muncul Datuk Raja Beracun.
Matanya yang merah, menatap penuh nafsu pada gadis
yang semakin bertambah ketakutan itu. Lelaki tua bertubuh tinggi itu, melangkah
mendekati Watiri yang terbaring dan terikat di atas batu.
“Tidak Jangan dekati aku... Lepaskan ikatan ini”
teriak Watiri sambil berusaha membuka. Namun tangan
dan kakinya yang terikat, membuat tubuhnya tak mampu bergerak apalagi bangkit
dari ter-baringnya. Semakin keras dia meronta, semakin terasa sakit pergelangan
tangan dan kakinya yang terikat.
“He he he... Percuma kau meronta-ronta, Cah Ayu”
ujar Datuk Raja Beracun sambil melangkah mendekati batu besar itu. Matanya yang
merah, tak berkedip menatap tubuh Watiri yang dalam keadaan telanjang bulat.
Perlahan-lahan Datuk Raja Beracun membuka
pakaiannya. Kemudian dengan bibir mengurai senyum,
mendekati tubuh Watiri yang telanjang.
“Tidak Jangaaan...” teriak Watiri berusaha menolak
apa yang akan dilakukan Datuk Raja Beracun terhadap dirinya. Dilempar-lemparkan
kepalanya, berusaha menolak perbuatan lelaki tua itu. Namun percuma saja
melakukan itu, karena Datuk Raja Beracun bagaikan tak peduli. Lelaki berusia
enam puluh tahun yang masih gagah itu, kini tampak semakin buas. Tubuhnya yang
juga telanjang, menindih tubuh Watiri.
“He he he... Sebentar lagi, kau akan merasa
kenikmatan, Cah Ayu,” desisnya sambil terus merayap naik. “Lepaskan... Oh....
Ah... Sss...” Watiri kini benar-benar merasakan gejolak birahi yang
menggebu-gebu.
Rupanya Racun Birahi yang dilancarkan Datuk Raja
Beracun melalui remasan dan usapan tangan pada buah dadanya telah bekerja. Hal
itu yang membuat Watiri mulai terseret ke dalam gelombang nafsu meluap-luap.
Tak ada lagi perasaan marah yang melekat dalam hatinya. Yang ada hanyalah
perasaan nafsu yang menggebu-gebu.
Datuk Raja Beracun semakin menjadi-jadi,
merasa Racun Birahi yang dijalankan lewat usapan
dan remasan tangannya telah mempengaruhi Watiri.
Kini dengan penuh kebuasan, lelaki tua berwajah
beringas itu menggumuli tubuh Watiri. Gadis itu kian menggerinjang dengan desahan-desahan
lirih.
“Ah... Oh... Sss...”
Datuk Raja
Beracun kian cepat bergerak.
Matanya yang merah, semakin membara penuh
birahi. Sementara Watiri dalam keadaan tak sadar,
menerima perbuatan Datuk Raja Beracun. Matanya mengerjap-ngerjap, dengan
desisan-desisan penuh kepuasan.
“Ukh...”
“Ahk...”
Keduanya mengejang dengan mata membeliak,
lalu terkulai penuh kepuasan.
Setelah pingsan beberapa saat, terdengar isak
tangis dari mulut Watiri. Kemudian perlahan-lahan matanya membuka jalang. Dari
mulutnya keluar pekikan keras, menyesali apa yang telah terjadi terhadap
dirinya. Kehormatannya telah direnggut lelaki berbadan tinggi besar yang kini
tersenyum menyeringai.
“Tidak... Bajingan Lebih baik aku mati” teriak
Watiri sambil berusaha bunuh diri dengan
membantingkan kepala, namun karena kaki dan
tangannya terikat, gerakannya sangat sulit Gadis itu benar-benar merasa putus asa,
setelah menyadari kalau keperawanannya telah terenggut
Sementara Datuk Raja Beracun yang telah mendapatkan
semuanya, terkekeh senang. Perlahan bangun dari duduknya. Dikenakan kembali
pakaiannya.
“He he he... Bagaimana, Cah Ayu?”
“Kurang ajar Iblis... Laknat...” maki Watiri di
sela isak tangisnya. Namun Datuk Raja Beracun tak marah meski dicaci maki
begitu rupa. Bahkan, lelaki tinggi besar bermuka garang itu semakin tertawa
terkekeh.
Kemudian, tanpa menghiraukan Watiri yang
menangis penuh penyesalan, Datuk Raja Beracun
berlalu meninggalkan ruangan itu menuju keluar goa untuk melihat Bintang Pari.
Datuk Raja Beracun berdiri di depan pintu goa.
Wajahnya menengadah ke langit yang bening.
Bintang-gemintang tampak berkerlap-kerlip. Bintang
Pari yang dijadikan pedoman, nampak telah berada di atas kepalanya. Berarti
dirinya harus segera menjalankan upacara persembahan itu.
“He he he... Akulah yang akan menjadi orang nomor
satu di rimba persilatan,” ujar Datuk Raja Beracun sambil tertawa
terbahak-bahak. Datuk Raja Beracun melangkah ke dalam goa. Sesaat berhenti di
dekat altar batu, tempat Watiri masih menangis sambil mencaci maki.
“Iblis Lepaskan aku Atau bunuhlah aku...” teriak
Watiri kalap. Dia berusaha meronta sekuat tenaga-nya, dengan kepala dicobanya
untuk dibenturkan pada alas altar. Namun tak juga sampai, karena kaki dan
tangannya terpentang.
“He he he... Sabar, Cah Ayu Sebentar lagi kau akan
pulang,” ujar Datuk Raja Beracun sambil melangkah menuju dua batu tinggi,
tempat sebuah golok besar tergantung. Diambilnya golok itu.
Mulutnya menyeringai seperti mengejek Watiri.
Ditimang-timangnya golok besar dan tajam itu. “He
he he...”
Mata Watiri membuka lebar menyaksikan golok besar
dan tajam kini telah terangkat di tangan Datuk Kaja Beracun. Golok itu tampak
mengerikan, seakan-akan menyimpan hawa pembunuhan.
“Tidak...” jerit Watiri dengan mata membeliak
ketakutan, menyaksikan golok besar dan tajam terayun ke lehernya. Watiri
berusaha mengelak, tapi karena tangan dan kakinya diikat dan direntang, sulit
baginya untuk mengelak. Hingga....
Wrt
“Aaa...”
Crak
Watiri hanya sempat berteriak pendek, karena golok
itu telah menebas lehernya. Seketika kepalanya lepas dan menggelinding di
lantai goa. Darah muncrat dari leher gadis itu. Dengan mata terpicing, Datuk
Raja Beracun mendekati tubuh Watiri yang sudah tak berkepala lagi. Diraupnya
darah yang tergenang di sekitar rubuh gadis itu, lalu digunakan untuk mencuci
wajahnya. Bahkan kemudian diminumnya darah yang masih mengalir lewat leher yang
buntung itu.
“Nyem nyem... Hua ha ha... Akulah yang akan menjadi
orang paling sakti di rimba persilatan ini”
Datuk Raja Beracun tak puas hanya sampai di situ.
Dengan kuku-kukunya yang panjang, dibelahnya dada Watiri. Kemudian bagaikan tak
mengenal belas kasih, dicopotnya jantung Watiri, lalu dimakan sampai habis.
Bersamaan dengan habisnya jantung Watiri,
tubuh Datuk Raja Beracun nampak merah membara.
Mulutnya menyeringai penuh kepuasan. Matanya yang
merah, semakin membara, menatap sosok mayat Watiri yang terkapar bersimbah
darah.
“Hua ha ha...”
Datuk Raja Beracun tertawa terbahak-bahak
bagaikan orang tak waras. Kemudian dibukanya ikatan
di tangan dan kaki mayat Watiri. Lalu diangkatnya tubuh Watiri. Setelah
mengambil kepalanya yang tadi menggelinding, Datuk Raja Beracun melesat
meninggalkan goa tempatnya berdiam diri.
Angin malam menghembuskan hawa dingin
diikuti dengan lolongan anjing hutan yang mampu
membuat bulu kuduk berdiri. Datuk Raja Beracun terus berkelebat pergi menembus
kegelapan malam sambil memanggul mayat Watiri. Sedangkan tangan kiri menenteng
kepala gadis itu yang matanya membelalak.
“Hua ha ha...”
Dengan tertawa-tawa bagaikan orang gila, Datuk Raja
Beracun terus berlari menuruni lereng Gunung Welirang. Larinya yang begitu
cepat, menunjukkan kalau Datuk Raja Beracun pun menguasai ilmu silat yang cukup
tinggi. Hal itu dapat dilihat dari betapa ringan kakinya menuruni lereng
pegunungan sambil memanggul tubuh Watiri.
Datuk Raja Racun terus berlari ke utara, menuju
Desa Karang Bale. Malam semakin mencekam,
dengan hawa dingin yang terasa menusuk tulang
sum-sum. 3
Pagi-pagi sekali, warga Desa Karang Bale tiba-tiba
digegerkan dengan ditemukannya mayat Watiri di depan rumahnya. Kepala mayat itu
tergeletak di samping tubuhnya. Dan yang lebih mengerikan, dada gadis itu
berlubang dengan jantung sudah tak ada lagi. Darah kering berserakan di
tubuhnya.
Nyi Sumirah menjerit sejadi-jadinya, ketika
mendapati anaknya sudah menjadi bangkai dengan keadaan yang sangat mengenaskan.
Sedangkan Ki Pardi hanya dapat meneteskan air mata duka.
“Benar-benar perbuatan biadab” pikirnya dengan hati
kesal.
Ki Lurah Sentana ketika mendengar kabar
tentang peristiwa itu, langsung berangkat menuju
rumah Ki Pardi. Adiknya, Ki Tunjung Melur pun tak mau ketinggalan, segera
mengikuti, berangkat ke rumah ayah Watiri. Mereka sebagai orang-orang yang
dipercaya untuk memimpin Desa Karang Bale, merasa bertanggung jawab atas
kejadian yang menimpa warganya.
“Biadab” dengus Ki Sentana dengan mata
membeliak, menyaksikan keadaan mayat Watiri.
“Jelas ini bukan tindakan dedemit atau iblis. Ini
tindakan manusia yang sangat biadab”
“Kakang, nampaknya sebelum dibunuh, Watiri
di-perkosa dahulu,” ujar Ki Tunjung Melur, ketika matanya menyaksikan sesuatu
kerusakan pada kemaluan Watiri. Napas Ki Tunjung Melur terasa berat. Bagaimana
pun sebagai adik Ki Sentana, Kepala Desa Karang Bale, dirinya merasa
ber-kewajiban membantu dalam keamanan desa itu.
Ki Sentana mencoba membuktikan dugaan
adiknya. Dan memang benar, matanya dapat melihat
ada bekas-bekas tindak perkosaan. Hal itu membuat Ki Lurah Sentana semakin
bertambah geram
terhadap pelaku yang sampai saat ini belum
diketahui orangnya.
“Bedebah Ini benar-benar penghinaan bagi kita
Rupanya ada orang yang hendak menggunting dalam
lipatan,” ujar Ki Sentana dengan wajah memerah marah. Namun, dirinya tak dapat
berbuat apa-apa, karena tak tahu orang yang harus dicurigai. Kepala desa itu
pun tak tahu siapa sebenarnya pelaku pembunuhan secara keji itu. Peristiwa itu
telah membuat gempar warga desa. Desa Karang Bale yang selama ini tenang dan
damai, tiba-tiba saja dikejutkan dengan adanya pembunuhan keji itu.
“Apakah kita tak pantas mencurigai seseorang, Ki?”
tanya Ki Pardi. Sebagai seorang ayah, dirinya benar-benar sedih, melihat
kejadian yang menimpa anaknya.
Ki Sentana terdiam dengan mengulum bibir.
Pandangan matanya kosong sepertinya tengah berpikir
dan mencoba mereka-reka siapa yang pantas untuk dicurigai. Dihelanya napas
dalam-dalam, berusaha melonggarkan dada yang terasa bergemuruh.
“Sepuluh tahun sudah peristiwa seperti ini berlalu.
Ketika Ki Boleng menghilang, kejadian semacam ini pun ikut hilang. Namun kini,
tiba-tiba peristiwa yang pernah terjadi, kembali muncul,”
gumam Ki Sentana dengan suara berat. “Mungkinkah Ki
Boleng muncul kembali, Kang?”
tanya Ki Tunjung Melur.
“Entahlah,” sahut Ki Sentana. “Menurut kabar, Ki
Boleng telah mati di tangan Singo Edan, si Pendekar Gila dari Goa Setan.”
Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi yang mendengar Ki
Boleng telah mati mengerutkan kening, “Kalau Ki Boleng penganut ilmu setan
dengan cara
mengorbankan gadis telah mati, lalu siapa yang kini
melakukan pembunuhan ini?” pikir hati mereka bertanya-tanya heran.
“Mungkin muridnya, Kang?” tanya Ki Tunjung Melur
mencoba mereka-reka.
“Tidak,” sahut Ki Lurah Sentana.
“Kenapa, Kakang? Bukankah mungkin saja sang Murid
mewarisi ilmu gurunya...?” tanya Ki Tunjung Melur.
“Ki Boleng tak punya murid,” sahut Ki Sentana.
Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi terdiam mendengar
ucapan Ki Sentana. Kalau benar Ki Boleng tak memiliki murid, lalu siapa lagi
yang melakukan kekejian itu? Hati mereka diliputi ketidakmengertian.
Jelas orang-orang yang mengorbankan perawan untuk
tumbal, pasti orang-orang yang menganut aliran seperti Ki Boleng.
“Atau mungkin saudara seperguruannya, Kang,”
ujar Ki Tunjung Melur.
Ki Sentana terdiam. Keningnya berkerut,
seolah-olah, tengah mencoba berpikir. Kalau memang saudara seperguruan Ki
Boleng, jelas hal itu bisa saja terjadi. Tetapi, siapa saudara seperguruan Ki
Boleng?
Selama mi, Ki Sentana tak pernah mendengar kalau Ki
Boleng memiliki saudara seperguruan. “Kurasa Ki Boleng tak memiliki saudara
seperguruan,” desah Ki Sentana. “Ki Boleng murid
tunggal Ki Persasi, seorang resi sakti. Ki Persasi sebenarnya berhaluan lurus,
itu sebabnya dirinya sangat murka ketika mengetahui sang Murid berlaku sesat.
Bahkan muridnya melebihi iblis. Dan oleh karena itu pula, Ki Persasi akhirnya
meminta tolong pada Singo Edan, Pendekar Gila dari Goa Setan untuk menghentikan
sepak terjang sang Murid. Dan setelah muridnya binasa, Ki Persasi pun
menghilang entah ke mana.”
Secara singkat dan jelas, Ki Sentana menuturkan
kisah tentang Ki Boleng, tokoh yang sepuluh tahun silam pernah menggemparkan
Desa Karang Bale dengan perbuatannya yang keji. Kini, setelah sepuluh tahun
tokoh sesat itu binasa di tangan Singo Edan, muncul lagi kejadian yang hampir
sama.
“Mungkinkah arwahnya bangkit kembali?” tanya Ki
Tunjung Melur semakin penasaran. Karena kejadian itu sama persis dengan
tindakan Ki Boleng.
“Bisa jadi,” gumam Ki Sentana. “Tapi...”
“Tapi apa, Kang?”
“Apa mungkin?” tanya Ki Sentana seperti tak percaya
kalau semua kejadian yang dialami Watiri merupakan perbuatan arwah Ki Boleng.
“Mengapa Kakang berkata begitu?” tanya Ki
Tunjung Melur dengan kening mengerut. Matanya
menatap wajah Ki Sentana, seakan-akan ingin mengetahui apa yang sebenarnya
tersimpan dalam benak kakaknya.
“Kurasa arwah tak akan memperkosa,” sahut Ki
Sentana, membuat Ki Tunjung Melur dan Ki Pardi manggut-manggut. Apa yang
dikatakan kepala desa itu tidak salah. Arwah merupakan makhluk gaib tak mungkin
melakukan perkosaan. Apalagi terhadap manusia. Namun seandainya benar yang
melakukan arwah, mungkin kemaluan Watiri tak akan sampai hancur seperti itu.
Semua terdiam, tak ada yang bisa menjawab
keganjilan itu.
Sementara itu, warga Desa Karang Bale nampak mulai
berdatangan ke rumah Ki Pardi untuk melayat.
Di wajah mereka tercermin iba bercampur takut,
terhadap kejadian aneh itu. Apalagi para warga yang memiliki anak gadis, lebih
merasa cemas dan ketakutan. Mereka khawatir kalau-kalau anak perawan mereka
menjadi korban selanjutnya dari perbuatan penculik gelap itu. ***
Siang yang panas, cahaya matahari terasa sangat menyengat.
Angin yang berhembus pun meniupkan hawa yang kurang nyaman di kulit. Dari arah
utara tampak sesosok lelaki muda berambut gondrong tengah melangkah memasuki
mulut Desa Karang Bale. Pemuda tampan berpakaian rompi terbuat dari kulit ular
itu bertingkah laku seperti orang gila.
Mulutnya tampak cengengesan. Lalu terdengar
bernyanyi-nyanyi sendirian sambil berjingkrak-jingkrakan. Sebentar kemudian
tangannya menggaruk-garuk kepala seperti kegatalan. Mulutnya terus
cengar-cengir. Tingkah lakunya yang aneh itu tentu saja membuat setiap orang
yang melihat atau berpapasan merasa heran. Atau bahkan mungkin ada pula yang
menaruh rasa curiga terhadap tingkah lakunya yang konyol itu. “Pemuda gila...,”
gumam salah seorang lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan tubuh
tinggi tegap. “Kasihan, pemuda setampan dia harus gila “Iya, ya? Sayang sekali,
pemuda tampan begitu jiwanya tak waras” sambung rekannya. Lelaki berusia
sekitar lima puluh tahun berbadan tinggi kurus dengan kumis panjang. Kedua
lelaki setengah baya itu tak henti-hentinya menatap pemuda gila yang tak lain
Sena Manggala atau lebih terkenal dengan julukan Pendekar Gila.
“Ah ah ah, panas sekali” gumam Sena dengan mulut
cengengesan.
Sejenak Pendekar Gila menghentikan langkahnya.
Memandang dengan mata menyipit dan mulut nyengir ke
sekelilingnya. Seakan-akan tengah mencari tempat untuk berteduh dari panasnya
mentari.
Kedua orang lelaki setengah baya itu masih
memperhatikan tingkah laku Pendekar Gila yang lucu.
Bahkan tingkah lakunya semakin lucu dan konyol
ketika hendak menghindar dari panas matahari.
“Aha, Kisanak sekalian, di manakah ada kedai
sekitar sini...?” tanya Sena setelah menyadari sejak tadi dirinya menjadi
perhatian kedua lelaki setengah baya itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala,
mulutnya cengengesan. Kemudian kakinya melangkah mendekati kedua lelaki tua
itu, yang tersentak kaget dan berlari terbirit-birit ketakutan.
“Orang gila itu mengejar kita”
“Cepat lari”
Kedua orang tua itu lari tunggang-langgang, takut
kalau-kalau pemuda bertingkah laku gila akan mengamuk. Biasanya memang mereka
melihat orang gila mengamuk jika diperhatikan. Itu sebabnya mereka langsung
kabur ketika Pendekar Gila menghampiri.
Pendekar Gila tertawa cekikikan menyaksikan
kejadian lucu itu. Tangannya menggaruk-garuk kepala dengan mulut cengengesan.
“Ah ah ah, lucu sekali Aneh memang dunia ini.
Kadangkala, orang gila menjadi sasaran tuduhan. Hi
hi hi...” gumamnya sambil menggeleng-geleng kepala.
Setelah memperhatikan kedua orang tua yang lari terbirit-birit,
dengan masih cengengesan sambil bernyanyi-nyanyi Pendekar Gila meneruskan
langkahnya. ***
Pendekar Gila yang sedang mencari sebuah kedai
untuk beristirahat, seketika menghentikan langkah ketika lima orang lelaki
bermuka garang berdiri menghadang di hadapannya. Kelima lelaki berpakaian sama
dan bersenjata golok terselip di pinggang itu, menatap tajam wajahnya. Satu
orang yang berkumis tebal dengan rambut terurai lurus, melangkah maju.
“Desa ini sedang tak aman, siapa kau?” bentak
lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun dengan tegas. Matanya yang lebar,
menatap tajam pada Pendekar Gila penuh selidik.
“Hi hi hi..., lucu sekali” gumam Sena seperti tak
menghiraukan pertanyaan lelaki ini. Mulutnya cengengesan, dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat lelaki berpakaian biru mengkilap
seperti beludru itu semakin gusar. “Bocah Gila, katakan siapa kau sebenarnya?”
bentak Walang Kejer dengan gusar, karena merasa
pertanyaannya tak dihiraukan.
“Hi hi hi..a Gila...? Aha, memang aku gila. Tetapi
aku tidak segila kau, yang main bentak pada orang,”
sahut Sena disertai tawa cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala, yang membuat Walang Kejer
berserta keempat walang lainnya bertambah geram.
“Bocah Edan Ditanya malah cengengesan”
sentak Walang Kerik.
Nampaknya lelaki bertubuh kurus dengan kumis tipis
itu, tak sabar melihat tingkah laku Pendekar Gila yang konyol. Lelaki berusia
sekitar empat puluh tahun itu, melangkah maju sambil tangannya meraba gagang
golok.
“Aha, beginikah sambutan pendekar Desa Karang
Bale?” gumam Sena dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya
memandang
Walang Kerik yang sedang meraba gagang golok. “Ah
ah ah Kurasa tak sepantasnya kalian berbuat seperti itu. Bukankah warga Desa
Karang Bale terkenal dengan keramahannya?”
Kelima Walang Sakti itu saling pandang,
mendengar ucapan Pendekar Gila.
“Ah, aku mendengar warga Desa Karang Bale
sangat menghormati tamunya. Mengapa kini kulihat
lain?” tanya Pendekar Gila seperti bergumam.
Kemudian dengan mulut cengengesan,
digeleng-gelengkan kepalanya.
“Bocah Gila, katakan siapa kau sebenarnya dan ada
maksud apa kau datang ke desa ini?” tanya Walang Kejer. Amarahnya agak mereda,
setelah memperhatikan gerak-gerik dan penuturan Pendekar Gila, nampaknya Walang
Kejer mengetahui suatu kekuatan yang dimiliki diri pemuda bertingkah laku gila
itu.
“Aha, aku hanya seorang pemuda gila yang tak tentu
arah. Kemana pikiran gilaku mengajak, ke sana aku melangkah,” tutur Pendekar
Gila setengah berfilsafat yang menjadikan Walang Kejer semakin mengerutkan
kening. Pikirannya semakin ber-sungguh-sungguh menyelidik Pendekar Gila yang
nampak masih cengengesan.
“Kau petualang?” tanya Walang Kejer me-
mastikan.
“Hi hi hi... Kau tahu dari mana, Kisanak?” tanya
Sena sambil cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Dasar bocah gila Bukankah tadi kau yang
mengatakannya?” bentak Walang Kerik dengan geram.
Matanya melotot memandang penuh
kebencian pada Pendekar Gila.
“Aha, kau nampaknya pemarah, Kisanak? Ah ah ah,
sangat berbahaya Kurasa, tak sepantasnya kau marah. Sebagai pendekar desa kau
haruslah sabar dan berjiwa besar,” ujar Pendekar Gila bernada menggurui.
Mendengar ucapan Pendekar Gila barusan,
kelima Walang Sakti tersentak marah. Mereka
sepertinya merasa tersinggung.
“Kurang ajar Lancang sekali kau mengguruiku, Bocah
Gila” dengus Walang Kerik seraya melangkah maju dengan tangan kanan siap
mencabut golok.
Namun dengan cepat, Walang Kejer sebagai orang
tertua di dalam Lima Walang Sakti segera
mencegahnya.
“Sabar Apa yang dikatakannya memang benar. Kita tak
boleh sembarangan mencurigai seseorang.”
“Tapi nampaknya dia perlu kita curigai, Kang,”
kilah Walang Kerik.
“Hm, kurasa memang begitu, karena dia orang asing
di Desa Karang Bale ini. Namun, keramah-tamahan dan sikap sopan santun yang
sudah dikenal banyak orang tak boleh kita lupakan. Sabarlah dulu”
usai menenangkan adiknya, Walang Kejer mendekati
Pendekar Gila yang masih cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Hi hi hi... Aneh..., aneh... Dunia ini memang
aneh,” gumam Pendekar Gila. Kemudian tanpa menghiraukan kelima Walang Sakti,
dia bernyanyi-nyanyi sendiri. Sambil mendongak, memandang langit biru Pendekar
Gila melolos Suling Naga Sakti yang terselip diikat pinggangnya. Lalu dengan
enaknya ditiupnya suling itu, mengalunkan nyanyian yang merdu.
Lima Walang Sakti hanya bisa bengong
menyaksikan tingkah laku Pendekar Gila. Walang
Kerik yang paling tak suka tampak geram dengan wajah merah. Hatinya benar-benar
jengkel melihat tingkah laku Pendekar Gila yang baginya menyebal-kan. Ditanya
benar-benar justru dengan enak-enakan bernyanyi sambil meniup sulingnya.
“Bocah Edan Hentikan tiupan sulingmu yang sumbang
itu” bentak Walang Kerik.
Pendekar Gila menghentikan tiupan sulingnya.
Matanya menoleh ke wajah Walang Kerik. Mulutnya
cengengesan. Kemudian setelah menyelipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggang,
tangannya menggaruk-garuk kepala.
“Aha, rupanya kau tak suka bernyanyi, Kisanak?
Pantas..., pantas kalau kau pemarah,” sindir
Pendekar Gila dengan tingkahnya yang konyol. Hal itu tentu saja membuat Walang
Kerik semakin marah.
“Kurang ajar Dia memang perlu dihajar, Kakang
Biarkan aku menghajarnya” dengus Walang Kerik
sambil mencelat maju dengan tangan menarik gagang golok.
Srt
“Kuhajar kau, Bocah Gila Hea...” tangan Walang
Kerik membabatkan goloknya dengan gerakan
melengkung.
Wrt
Mendapat serangan begitu cepat, Pendekar Gila
segera berkelit dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Ditundukkan
tubuhnya ke bawah, kemudian meliuk-liuk ke kanan dan ke kiri dengan gerakan
lemah gemulai.
Wut
Golok yang dibabatkan Walang Kerik menderu hanya
beberapa jari di sebelah kanannya. Dengan cepat, Pendekar Gila mengibaskan kaki
kanannya menendang kaki kiri Walang Kerik yang menekuk dan berada di depan.
“Hea”
Wrt
Dengan cepat Walang Kerik bergerak sambil
membabatkan goloknya. namun....
Plak Bugk
“Aduh”
Walang Kerik terpekik keras. Tubuhnya yang belum
mantap setelah menyerang, tanpa ampun lagi harus terjengkang jatuh karena
sambaran kaki Pendekar Gila. Walang Kerik meringis, ketika dirasakan tulang
mata kakinya sakit. Sedangkan Pendekar Gila kini berjingkrakan sambil terkikik
nyaring dengan tangan menggaruk-garuk kepala, persis seekor kera kegirangan.
Keempat Walang Sakti lainnya yang menyaksikan
tingkah laku Pendekar Gila, terperangah kagum bercampur keheranan. Mereka tak
menyangka kalau dalam satu jurus saja, pemuda bertingkah gila itu dapat
menjatuhkan Walang Kerik.
“Kurang ajar Jangan kau girang dulu, Bocah Gila
Aku akan mengadu nyawa denganmu” dengus
Walang Kerik semakin marah, karena merasa diejek
begitu rupa di depan keempat saudaranya. Tubuhnya segera bangkit berdiri.
Kemudian dengan cepat mengatur kedudukan kuda-kudanya. Matanya
menatap penuh amarah pada Pendekar Gila yang masih
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Tahan” tiba-tiba dari arah barat, terdengar suara
seseorang berseru. Bentakan keras itu membuat Walang Kerik yang hendak
menyerang, seketika menghentikan geraknya. Serentak mereka semua menoleh ke
tempat asal suara tadi.
Seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun
dengan pakaian warna merah bata lengan panjang melangkah menghampiri Lima
Walang Sakti yang seketika menjura memberi hormat. Di belakangnya lelaki
berwajah tenang dan berwibawa berjalan mengiringi.
“Ampun, Ki Lurah Ada seorang pemuda berpura-pura
gila hendak membuat onar di Desa Karang Bale ini,” tutur Walang Kerik sambil
menjura pada Ki Lurah Sentana yang datang bersama adiknya Ki Tunjung Melur.
Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur seketika
memperhatikan tingkah laku Pendekar Gila. Kening keduanya mengerut, apalagi
setelah melihat Suling Naga Sakti terselip di ikat pinggang pemuda berompi
kulit ular itu. Tanpa disadari mata Ki Lurah Sentana terbelalak. Begitu pun Ki
Tunjung Melur yang seolah telah mengenal betul jati diri pemuda gila itu.
Dengan suara lirih Kepala Desa Karang Bale itu berdesis.
“Suling Naga Sakti...”
Kelima Walang Sakti yang belum mengetahui
siapa pemuda gila itu pun turut terperanjat
mendengar nama suling milik pemuda gila
berpakaian rompi kulit ular itu.
“Kisanak, ada hubungan apa kau dengan Singo Edan,
Pendekar Gila dari Goa Setan?” tanya Ki Lurah Sentana dengan mata memperhatikan
tingkah laku Pendekar Gila yang konyol.
“Hi hi hi..., lucu sekali Dunia ini memang aneh.
Atau memang sudah menjadi peradatan, kalau yang
masih muda akan bertingkah ugal-ugalan?” gumam Sena, seakan tak menghiraukan
pertanyaan yang dilontarkan kepala desa itu. Namun nampaknya Ki Sentana
memahami tutur kata Pendekar Gila. Hal itu terlihat dari tatapan mata lelaki
tua itu pada Lima Walang Sakti yang serentak menundukkan kepala.
Mereka berlima seolah-olah merasa bersalah.
“Maafkan atas kesalahan mereka, Kisanak
Mereka hanya menjalankan tugas, menjaga
keamanan desa ni yang baru saja tertimpa
kemalangan,” ujar Ki Sentana membuka percakapan.
Suaranya begitu tenang ian berwibawa. “Kalau boleh
kami tahu, ada hubungan apa Kisanak dengan Singo Edan sahabat kami?”
“Aha, aku murid tunggalnya, Ki,” jawab Sena dengan
tingkah laku yang masih konyol. Tangannya kembali manggaruk-garuk kepala.
“Heh...?” Tersentak Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur
setelah tahu kalau pemuda bertingkah gila itu murid
Singo Edan. Pantas kalau pemuda ini memiliki Suling Naga Sakti, senjata sakti
yang sampai saat ini belum ada tandingannya.
“Oh, maafkan kami, Tuan Pendekar Kalau begitu,
Tuanlah yang bergelar Pendekar Gila,” ujar Ki Sentana sambil menjura hormat
pada Pendekar Gila.
“Ah ah ah, mengapa kau panggil aku Tuan
Pendekar? Lucu sekali Sangat lucu...” gumam Sena
sambil cengengesan dengan kepala menggeleng.
“Kalau kau dan guruku bersahabat, maka tak
sepantasnya menyebut diriku Tuan Pendekar.
Namaku Sena Manggala.”
Ki Lurah Sentana dan Ki Tunjung Melur, serta Lima
Walang Sakti terperangah mendengar jawaban Pendekar Gila. Pemuda gila itu
ternyata memiliki budi pekerti yang luhur.
“Baiklah, Sena. Kuanggap kebetulan sekali, kau
datang ke desa kami,” kata Ki Sentana sambil menarik napas dalam-dalam.
Wajahnya seketika berubah muram, membuat Pendekar Gila mengerutkan kening dan
memandang keheranan.
“Aha, kalau boleh aku tahu, apa sebenarnya yang
telah menimpa desa ini?” tanya Pendekar GUa ingin tahu.
“Kalau kau berkenan, singgahlah dulu di rumahku.
Nanti akan kuceritakan apa yang telah terjadi...,”
ajak Ki Lurah Sentana.
“Aha, baiklah. Aku pun sebenarnya ingin melepas
lelah,” jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala,
yang membuat Walang Kerik tampak jengkel. Hal itu terlihat dari tatapan mata
yang sinis, penuh kebencian. “Huh, bertingkah” sungut Walang Kerik dalam hati.
“Siapa pun kau, aku tak suka Hm, tunggu saja saatnya.”
Pendekar Gila pun melangkah, mengikuti Ki
Sentana dan Ki Tunjung Melur meninggalkan mulut
desa tempat Lima Walang Sakti masih berdiri.
*** 4
Siang itu Ki Lurah Sentana mengajak Pendekar Gila
untuk bersantap di rumahnya. Sambil menyantap makanan, kepala desa itu pun
menceritakan
peristiwa yang baru saja dialami di desanya.
Diceritakan bahwa setelah hampir sepuluh tahun Ki
Boleng mati di tangan guru Pendekar Gila, peristiwa penculikan dan pembunuhan
terhadap perawan-perawan desa tak ada lagi. Namun tiba-tiba hari ini, Desa
Karang Bale dikejutkan dengan kematian Watiri secara mengerikan.
Pendekar Gila menggaruk-garuk kepala dengan tangan
kiri. Mulutnya nyengir, seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan. Setelah itu
kembali mengunyah makanan yang baru saja dimasukkannya ke dalam mulut.
“Aha, aneh sekali,” gumam Sena dengan mulut
nyengir. “Apakah kau tak mencurigai seseorang, Ki?”
“Itulah yang sulit, Sena. Kami tak pernah
mencurigai seseorang, karena sejak dulu kami
berusaha menunjukkan keramahan dan itikad baik pada siapa pun yang datang ke
desa ini,” sahut Ki Sentana setengah menyesal.
Pendekar Gila sesaat terdiam. Tangan kirinya
kembali menggaruk-garuk kepala. Kemudian nampak mulutnya yang nyengir, seperti
orang tolol sedang kebingungan.
“Bagaimana menurut pendapatmu, Sena?” tanya Ki
Tunjung Melur.
Mendengar pertanyaan itu Pendekar Gila semakin
cengengesan dengan tangan kian cepat menggaruk.
Dirinya pun sedang bingung untuk mencari jejak
pertama guna memperkirakan siapa sebenarnya pelaku dari kejadian yang dialami
anak Ki Pardi.
“Huh, tolol sekali aku ini” gumam Pendekar Gila
sambil menepuk-nepuk keningnya dengan tangan kiri.
“Ah, kenapa aku bodoh? Hm..., sulit amat...”
Ki Lurah Sentana dan adiknya tampak tersenyum
keheranan melihat tingkah laku pemuda di hadapan mereka.
“Apakah kau tak memiliki pandangan, Sena?”
tanya Ki Sentana.
Pendekar Gila tercenung diam. Keningnya
mengerut, kemudian mulutnya cengengesan.
“Pandangan? Aha, kau benar kita memang harus
memiliki pandangan,” sahut Sena. Kemudian nampak dirinya kembali tercenung,
lalu cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur
hampir tertawa melihat tingkah laku Pendekar Gila. Kalau saja mereka tak segera
sadar bahwa tamunya Pendekar Gila, mungkin Ki Lurah pun sudah meninggalkan
pemuda yang bertingkah konyol itu.
Pendekar Gila tak meneruskan kata-katanya,
melainkan terus menyantap makanannya dengan lahap. Hal itu membuat Ki Sentana dan
Ki Tunjung Melur tersenyum-senyum. Mereka senang menyaksikan Pendekar Gila
lahap menyantap hidangan yang telah disajikan.
“Aha, aku ada akal” seru Sena tiba-tiba dengan
mulut masih mengunyah makanannya. Suara keras itu membuat Ki Sentana dan Ki
Tunjung Melur tersentak kaget.
Ki Tunjung Melur dan Ki Sentana kembali
tersenyum sambil menarik napas dalam-dalam. “Apa
itu, Sena?” tanya Ki Sentana.
“Ya, katakanlah Kami memang sangat meng-
harapkan buah pikirmu, juga bantuanmu,” tambah Ki
Tunjung Melur.
“Ah ah ah, tanpa kalian minta pun, aku akan
berusaha membantu kalian,” sahut Sena, “Kalian teman-teman guruku. Sudah
sepantasnya kalau aku turut membantu.”
“Terima kasih atas kesediaanmu, Sena,” ujar Ki
Lurah Sentana.
“Ah, sudahlah, Ki Kini kita harus berpikir mencari
jalan, bagaimana untuk dapat mengetahui siapa sebenarnya pelaku dari pembunuhan
keji itu,” usul Pendekar Gila sambil menyantap makanan.
“Ya ya, kau benar,” sahut Ki Tunjung Melur, “Kita
memang harus secepatnya membekuk pelaku keji itu.
Sebelum ada korban lain yang jatuh ke tangannya.”
“Aha, tepat sekali. Kurasa, aku harus menyelidiki
semuanya,” kata Pendekar Gila.
“Kau akan pergi?” tanya Ki Sentana, kaget.
“Begitulah,” sahut Pendekar Gila.
“Mengapa harus pergi? Bukankah lebih baik kau
tinggal di rumahku?” saran kepala desa itu berusaha mencegah agar Pendekar Gila
tak meninggalkan Desa Karang Bale.
“Ah, terlalu merepotkan, Ki,” sahut Pendekar Gila.
“Biarlah aku menyelidiki semuanya dari jauh
Maksudku agar gerak-gerikku labih bebas.”
Ki Sentana terdiam beberapa saat, berusaha mencerna
ucapan Pendekar Gila. Memang benar apa yang dikatakan pemuda itu. Dengan
kehadiran Pendekar Gila di Desa Karang Bale, pelaku
pembunuhan itu tentu akan menahan diri, jika ada
rencana untuk berbuat lagi. Sebab bukan tak mungkin kalau pelaku itu telah
mengenal siapa Pendekar Gila sebenarnya. Seorang tokoh muda yang namanya telah
kesohor di kalangan rimba persilatan.
“Benar katamu, Sena. Kurasa kalau kau berada di
sini terus, penjahat itu akan tahu,” tukas Ki Tunjung Melur.
“Ya ya, kau benar. Tetapi, kuharap kau tidak
melepaskan begitu saja, Sena,” harap Ki Sentana.
“Aha, aku akan berusaha, Ki. Ah ah ah, kenyang
sekali perutku Wah, bisa-bisa aku ketiduran, Ki,” ujar Sena berseloroh sambil
mengelus-elus perutnya yang terasa kenyang, setelah menyantap makannya.
“Kalau memang kau ngantuk, tidurlah di sini, Sena”
ujar Ki Sentana menawarkan.
“Aha, terima kasih, Ki. Kau telah berbaik hati
padaku. Izinkanlah aku meneruskan perjalananku dulu,” sahut Sena.
“Kau jadi pergi juga, Sena?” tanya Ki Sentana
dengan kening mengerut, seakan tak percaya kalau Pendekar Gila akan meneruskan
perjalanannya.
Padahal Desa Karang Bale sedang membutuhkan
Pendekar Gila.
“Aha, jangan khawatir, Ki Kurasa kalian mengerti
maksudku,” ujar Pendekar Gila. Kemudian setelah bangun dan memberi hormat pada
Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur, Pendekar Gila melangkah keluar untuk
meneruskan perjalanannya.
“Jangan lupa, Sena”
“Aha, akan kuingat” sahut Pendekar Gila sambil
menoleh pada Ki Sentana.
“Titip salam pada gurumu,” ujar Tunjung Melur
pura-pura sambil melambaikan tangan, yang dibalas Pendekar Gila dengan lambaian
tangan pula.
Pendekar Gila terus melangkah, seakan tak tahu ada
sepasang mata mengikuti langkah kakinya dengan pandangan penuh kebencian. Di
bibir orang itu, tersungging senyum sinis dan dendam.
“Tunggulah saatnya, Pendekar Gila” dengus pemilik
senyum bengis dengan tatapan tajam penuh dendam. Sekejap kemudian sesosok
bayangan
berkelebat meninggalkan semak belukar tempat
dirinya mengintip Pendekar Gila.
Pendekar Gila yang sebenarnya tahu hanya
tersenyum-senyum sambil menggeleng-gelengkan
kepala. Dengan tangan menggaruk-garuk kepala, dirinya terus melangkah
meninggalkan Desa Karang Bale.
“Aha, kurasa orang itu bukan orang baik-baik. Hm,
kulihat saja nanti,” gumam Pendekar Gila sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk
kepala. Kakinya melangkah cepat, seakan-akan ingin
segera meninggalkan Desa Karang Bale. ***
Mentari mulai condong ke barat, menandakan bahwa
hari menjelang senja. Empat orang gadis berusia sekitar dua puluh tahunan
tampak melintasi hutan karet. Sambil bercanda ria mereka berjalan menuju telaga
yang terletak di selatan Desa Karang Bale. Nampaknya mereka hendak mandi sore.
Di perbatasan desa, mereka bertemu dengan dua jawara pengawal Ki Sentana.
“Mau ke mana, Den Putri?” sapa Ki Barman pada
Wirani, anak Ki Lurah Sentana yang berjalan bersama ketiga gadis temannya.
“Mau ke telaga, Paman,” sahut Wirani.
“Hati-hati, Den Putri Kalau ada apa-apa di telaga,
berteriaklah agar kami cepat mendengar” saran Ki Sobrah.
“Memangnya kenapa, Paman?”
“Tidak apa-apa. Bukankah Den Putri melihat sendiri
kejadian yang dialami anak Ki Pardi?” tanya Ki Barman setengah mengingatkan.
“Baiklah, Paman. Saya pergi dulu”
“Ya ya, hati-hati...,” kata Ki Sobrah kembali
mengingatkan.
Keempat gadis itu menganggukkan kepala,
kemudian meneruskan perjalanan ke telaga.
Sementara Ki Barman dan Ki Sobrah masih
memperhatikan keempatnya yang terus melangkah.
Sepertinya ada sesuatu yang dikhawatirkan kedua
jawara desa itu.
Keempat gadis itu terus melangkah sambil terus
berbincang-bincang.
“Kasihan ya Watiri? Aku tak menyangka, kalau dia
akan mengalami hal semacam itu,” ujar Wirani membuka percakapan. Wajahnya kini
menggambarkan kesedihan. Antara dia dan Watiri memang sangat akrab.
“Iya ya?” sambung gadis berkain kuning. “Coba saja
kalau waktu itu dia tak pulang dahulu, tentunya tak akan terjadi hal seperti
itu.”
“Namanya saja sudah suratan takdir,” selak gadis
berpakaian coklat. “Bagaimanapun juga, kalau yang kuasa menghendaki, kita tak
bisa lepas.”
“Tapi nampaknya itu bukan kehendak Hyang Widi,
Serani. Hyang Widi tak akan setega itu, melepaskan nyawa manusia dengan
menghancurkan raganya,”
bantah Wirani tak setuju dengan pendapat temannya
yang mengatakan kematian Watiri karena sudah kehendak Hyang Widi. “Bukankah
kita diciptakan untuk berusaha?”
“Ya ya ya, kau benar, Wirani. Ah, sudahlah Jadi
merinding bulu kudukku,” tukas Serani berusaha mengakhiri pembicaraan mereka
terhadap Watiri.
Ketiga temannya tertawa, melihat Serani takut.
Namun keempatnya menurut diam. Mereka pun terus
berjalan. Kini mereka telah semakin dekat dengan telaga.
Sambil bercanda ria, keempat gadis itu segera
menceburkan di ke telaga. Pecahlah suara tawa mereka. Bermain siram-siraman
sambil menikmati hangatnya air telaga yang bening itu.
Sementara mentari sore mengawasi gadis-gadis cantik
itu bahkan menjilati kulit tubuh-tubuh mulus itu. Mereka tak mempedulikan
keadaan di sekitar telaga yang tampak sunyi. Mereka tak tahu kalau dari balik
semak-semak di sekitar telaga ternyata ada sepasang mata durjana tengah
mengawasi. Sepasang mata merah, karena menahan nafsu yang bergejolak di
hatinya.
“Hm, sangat menggairahkan anak Ki Lurah itu,”
gumam pemilik sepasang mata merah membara
sambil terus memandangi tubuh Wirani yang mulus dan
menggiurkan.
“Aha, rupanya ada buaya yang mengintai gadis-gadis
mandi”
Tiba-tiba terdengar seruan yang cukup mengejut-kan
pemilik sepasang mata merah itu. Seketika sesosok tubuh melesat meninggalkan
semak-semak di tepian telaga.
“Aaa...”
Bukan hanya lelaki bertubuh tinggi besar yang
kaget, tetapi keempat gadis yang tengah bersendau gurau di telaga pun
terperanjat. Mereka tak menyangka sejak tadi ada yang mengawasi.
“Tolong... Tolooong...” teriak keempat gadis itu.
“Hai, jangan lari” teriak Pendekar Gila sambil
melesat cepat memburu sesosok tubuh tinggi besar
berpakaian abu-abu. ***
Pendekar Gila menduga orang bertubuh tinggi besar
dan berpakaian abu-abu itu pasti punya maksud jahat terhadap gadis-gadis yang
sedang mandi. Itulah sebabnya pendekar muda itu terus mengejarnya.
“Aha, mau lari ke mana kau, Buaya?” teriak Pendekar
Gila sambil terus mengejar sosok tinggi besar berpakaian abu-abu yang terus
melesat meninggalkan telaga.
Kejar-mengejar antara Pendekar Gila dengan lelaki
tinggi besar berpakaian abu-abu pun terus berlangsung. Sena hampir saja mampu
mencapai lelaki itu. Namun tiba-tiba lelaki berambut putin terurai panjang itu
melemparkan sesuatu dari tangannya.
Wusss
Glaaar...
Ledakan keras terdengar, disusul kepulan asap tebal
berwarna hijau. Melihat asap tebal itu mengepung dirinya, Pendekar Gila
terkejut. Dengan gerakan cepat tubuhnya melompat menghindar dari sergapan asap
beracun itu. Namun ketika terbebas dari kepungan asap, Pendekar Gila sudah tak
melihat lagi lelaki berpakaian abu-abu yang dikejarnya.
“Ah, tolol sekali aku ini” gumam Pendekar Gila
dengan mulut cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang ke
sekeliling tempat itu, berusaha mencari ke mana lelaki berbadan tinggi besar
lari. Namun tetap tak ditemukannya lelaki berambut putih panjang tadi.
Dipasangnya mata dan telinga dengan sikap waspada
penuh. Dipusatkan seluruh kemampuan untuk mengawasi tempat itu. Namun ternyata
tak ada suara apapun, kecuali desau angin menerpa dedaunan dan beberapa kicau
burung pulang ke sarangnya.
“Aha, kurasa ada baiknya aku menyelidiki di dalam
hutan ini. Siapa tahu ada yang mencurigakan,”
pikir Sena. Kakinya segera melangkah masuk ke
hutan. Mata dan telinganya dipasang tajam-tajam dan waspada.
Swing
Tiba-tiba, sebuah belati kecil melesat kencang ke
arah kepalanya.
“Aits” dengan cepat Pendekar Gila memiringkan tubuh
ke samping kiri, mengelakkan sambaran pisau itu. Sehingga benda itu hanya
beberapa jari melesat di samping kanan kepalanya.
Jrabs
Pisau itu menancap di batang pohon tak jauh dari
tempat Pendekar Gila.
“Edan Hi hi hi... Rupanya kau mau main-main, Setan
Belang” teriak Pendekar Gila seraya melesat ke tempat asal pisau itu. Tubuhnya
melesat cepat.
Namun baru beberapa langkah dia berlari, seketika
langkahnya terhenti. Di hadapannya berdiri dengan garang sesosok serigala hitam
bertubuh sangat besar. Serigala itu luar biasa besarnya. Matanya yang merah
kehitaman mencorong tajam memperlihatkan kebuasan.
“Auuu... Grrr... Aaauuung...” Pendekar Gila kaget
dan keheranan melihat
kehadiran serigala besar yang secara tiba-tiba.
Dengan kening berkerut dan mata terus mengawasi
makhluk aneh itu, Pendekar Gila melangkah mundur beberapa tindak. Hatinya
kembali tersentak kaget ketika serigala hitam itu mengeluarkan suara keras
menggelegar dan memekakkan telinga. Tampak gigi-giginya yang runcing ketika
moncongnya terbuka.
“Aauuu... Grrr.. Aaauuu...”
“Aha rupanya kau hendak main-main denganku, Raja
Hutan? Hi hi hi...” Pendekar Gila cekikikan dengan kaki masih melangkah mundur.
Matanya masih menatap tajam kepada serigala itu. Binatang buas itu terus
membuka mulutnya yang mengeluarkan cairan bening, lidahnya menjulur-julur
seolah-olah menjanjikan kematian bagi siapa pun yang berani melawannya.
Merasa mendapat tantangan dari Pendekar Gila,
binatang itu tampak kian marah. Kepalanya yang besar digetar-getarkan, hingga
air liur dari mulutnya terciprat ke rerumputan. Kemudian, dengan cepat
tiba-tiba serigala hitam itu melompat menyerang Pendekar Gila. Kedua kaki
depan, dengan kuku-kukunya yang tajam siap menerkam kepala pemuda itu. Dan
moncongnya pun membuka lebar, memperlihatkan gigi-giginya yang runcing.
“Aits Hea...”
Dengan cepat Pendekar Gila melompat ke
samping. Dilebarkan kaki kirinya, sementara kaki
kanannya ditekuk. Lalu dengan cepat, tangan kanannya menghantam perut serigala
yang melompat di samping tubuhnya.
“Hih...”
Begk “Auuu Grrr...”
Serigala besar itu menggeram sengit. Tubuhnya
terpental ke depan, karena terkena hantaman tangan Pendekar Gila. Setelah
bergulingan, dengan penuh amarah serigala besar itu kembali berdiri siap
menerkam. Mulutnya dibuka, menunjukkan gigi-giginya yang runcing. Sedang
sepasang matanya yang merah kehitaman menyorot tajam mangsanya.
“Auuu Grrr... Aauuu...”
“Aha, rupanya kau kuat juga, Kawan Hi hi hi...
Baiklah kalau kau mau main-main denganku,”
gumam Sena sambil cengengsan dengan tangan
menggaruk-garuk kepala. Dengan cepat Pendekar Gila membuka jurusnya yang
bernama 'Kera Gila Menari Mencengkeram Mangsa'. Gerak-gerik
tubuhnya seperti seekor kera gila, menari-nari
dengan kedua tangan bergerak mencengkeram dan
mencakar.
“Auuu Grrr.. Aaauuu...”
Dengan penuh amarah, serigala besar itu kembali
melompat. Namun dengan gerakan aneh, Pendekar Gila segera meliukkan tubuh.
Tingkah lakunya persis seperti seekor kera.
“Hi hi hi... Nguk.... Nguk” Sambil menggaruk-garuk
kepala dan menepuk-nepuk pantat, Pendekar Gila mengejek lawannya. Hal itu
membuat serigala besar itu bertambah marah. Dengan menggeram keras, binatang
itu melompat hendak mencengkeram Pendekar Gila.
“Auuu... Grrr Auuu...”
Wrrr
“Aits Hi hi hi... Tak kena, Binatang Tolol” ejek
Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang konyol.
Mulutnya cengengesan, tangannya bergerak-gerak
seperti seekor kera yang kegirangan dengan kaki berjingkrakan.
Serigala besar itu tampaknya sangat marah
melihat tingkah laku Pendekar Gila. Sepertinya
binatang buas itu, ada yang memerintah atau dalam pengaruh sihir. Hal itu dapat
dilihat dari sikap dan gerak-geriknya yang mirip makhluk berakal. Binatang itu
seakan menaruh dendam dan rasa benci terhadap Pendekar Gila.
“Aha, kurasa ada yang menyuruh kau, Binatang Tolol
Baiklah, aku akan meladenimu,” tantang Pendekar Gila sambil membuka jurus 'Si
Gila Menari Menepuk Lalat'.
“Grrr... Auuu...”
Binatang besar itu melompat dengan cakaran
kuku-kukunya yang tajam. Namun dengan cepat, Pendekar Gila melompat pula ke
samping. Tangannya bergerak menepuk ke kepala binatang besar dan ganas itu.
“Heaaa”
Plak
“Auuu... Grrr”
Serigala itu seketika melolong keras kesakitan.
Tubuhnya terpental ke belakang. Kepalanya hancur,
terhantam telapak tangan Pendekar Gila. Binatang itu terus melayang, dan baru
berhenti ketika menghantam pohon, dan jaruh dengan menimbulkan suara gedebum
yang sangat keras.
Buggg
Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam.
Kepalanya digeleng-gelengkan. Seakan dirinya merasa
tak tega untuk membunuh binatang itu.
Namun jika tak dibunuh, dialah yang menjadi mangsa
binatang buas itu. “Ah, kasihan sekali kau, Binatang malang
Tuanmu memang jahat, menyuruhmu menghantar nyawa.
Ah ah ah, tuanmu itu pengecut sekali,”
gumam Sena. Matanya menatap bangkai serigala yang
tubuhnya hancur. Kemudian dengan
menggeleng kepala, Pendekar Gila segera melangkah
meninggalkan tempat itu.
Mentari telah tenggelam di bumi sebelah barat,
menjadikan keadaan di sekitar Desa Karang Bale gelap. Di telaga yang tadi
tampak beberapa gadis-gadis Desa Karang Bale, kini telah sepi. Hanya air telaga
yang masih mengerucuk dari pancuran.
*** 5
Malam terus merayap dengan kegelapan yang
menyelimuti bumi. Suasana Desa Karang Bale nampak
sepi. Pintu rumah-rumah penduduk sudah tertutup. Warga Desa Karang Bale dicekam
rasa takut. Terutama mereka yang memiliki anak perawan.
Mereka takut kalau anaknya diculik seperti yang
terjadi pada Watiri, anak Ki Pardi. Namun meski rumah-rumah penduduk nampak
sepi, di pos-pos ronda, beberapa warga desa nampak melakukan penjagaan.
Setiap gardu, nampak lima orang berjaga-jaga.
Kegiatan itu memang diperintah kepala desa mereka,
agar tak terulang kembali kejadian yang menimpa keluarga Ki Pardi. Bahkan
anak-anak gadis, sejak sore telah dilarang keluar dari rumah.
Malam semakin larut, dengan hawa dingin yang terasa
menusuk tulang. Rasa kantuk pun mulai menyerang para petugas ronda. Namun
mereka tetap berusaha untuk melek, agar tidak tertidur dalam nienjalankan
ronda.
“Huah, kenapa mataku ngantuk sekali?” keluh Walang
Keket.
“Ya, aku pun merasakan hal itu,” sambung
Walang Kadut.
Kelima Walang Sakti seketika merasakan hawa kantuk
yang tak terkira. Namun salah seorang di antara mereka, ada yang nampaknya
berpura-pura mengantuk. Walang Kerik memang berpura-pura mengantuk. Sebenarnya
lelaki itu belum mengantuk sama sekali, nampaknya ada sesuatu yang hendak
direncanakannya.
Satu persatu, keempat saudara seperguruannya pun
tertidur lelap tak tahan diserang kantuk. Walang Kerik tampak tersenyum penuh
kemenangan. Dengan tenang, dirinya melangkah meninggalkan gardu tempat keempat
saudara seperguruannya tertidur.
“Pendekar Gila, kini terimalah pembalasanku”
dengus Walang Kerik penuh dendam. Rupanya
kejadian siang tadi, masih terus melekat di dalam
dadanya. Dirinya merasa dipermalukan di depan orang oleh Pendekar Gila.
Dengan langkah mantap, Walang Kerik menuju sebuah
rumah seorang saudagar. Matanya
memandang ke sekelilingnya, berusaha meyakinkan
diri kalau malam itu tak seorang pun yang melihat perbuatannya.
Sesaat Walang Kerik menyelinap di semak-
semak. Matanya terus memperhatikan rumah
Juragan Kanca. Kemudian setelah tak nampak
tanda-tanda adanya tanggapan pemilik rumah, Walang Kerik keluar. Kemudian
dengan menggunakan golok, dicongkelnya pintu rumah Juragan Kanca.
Ternyata tadi Walang Kerik melemparkan tanah yang
telah dijampi-jampi dengan ilmu sirep 'Siti Silem'
yang membuat penghuni rumah terlelap dalam
tidurnya. Dengan bebas, Walang Kerik pun segera bergerak menggasak harta milik
Juragan Kanca tanpa ada seorang pun yang memergoki. *** Sementara itu, sesosok
bayangan tinggi besar berkelebat cepat dengan tenangnya. Bayangan abu-abu itu,
sepertinya tak mengalami kesulitan sedikit pun untuk masuk ke Desa Karang Bale.
Bahkan sambil tertawa terbahak-bahak terus melangkah menuju sebuah rumah
penduduk.
“Hua ha ha... Orang-orang bodoh Mereka kira Datuk
Raja Beracun tak akan mampu masuk ke Desa Karang Bale,” ujar sosok bayangan itu
yang ternyata Datuk Raja Beracun. Langkah kakinya lebar-lebar, menuju rumah Ki
Palongan.
Desa Karang Bale bagaikan tertidur. Tak ada seorang
pun yang masih terjaga. Semua warga desa terkena ajian sirep yang dilancarkan
Datuk Raja Beracun. Bahkan Walang Kerik yang semula hendak bermaksud jahat
terhadap Pendekar Gila, kini nampak tertidur pulas di bawah sebatang pohon asam
yang tumbuh di tepi jalan.
Datuk Raja Beracun terus melangkah menyelusuri
jalanan Desa Karang Bale dengan aman. Di bibirnya tersungging senyum, ketika
melihat seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahun dengan pakaian
seorang pesilat berwarna biru mengkilap tertidur pulas. Di sampingnya
tergeletak barang-barang berharga.
“Maling tolol” gumam Datuk Raja Beracun. “Hm, tapi
kurasa dia orang Desa Karang Bale juga. Biar lebih baik nanti kubawa saja.”
Setelah memperhatikan Walang Kerik sesaat, lelaki
bertubuh tinggi besar itu meneruskan langkahnya. Tak lama kemudian, Datuk Raja
Beracun telah sampai di rumah yang dituju. Perlahan Datuk Raja Beracun
mengintai lewat celah bilik rumah itu.
Bibirnya tersenyum, menyaksikan seorang gadis
tertidur dengan pakaian tersingkap. Sehingga pahanya nampak terbuka, mengundang
rangsang kelelakiannya.
“Hm,” gumam Datuk Raja Beracun tersenyum.
Perlahan-lahan kuku jarinya yang panjang,
men-congkel daun jendela kamar itu. Kemudian dengan tenang, Datuk Raja Beracun
melangkahi jendela kamar Serani. Sementara gadis itu masih tertidur dengan
pulas. Pahanya yang terbuka, menjadikan mata Datuk Raja Beracun yang merah
melotot tak berkedip. Beberapa kali lelaki berusia sekitar enam puluh tahun itu
harus menelan ludah.
Dengan senyum terulas di bibir, perlahan-lahan
Datuk Raja Beracun mengangkat tubuh Serani.
Kemudian dengan cepat, melesat meninggalkan rumah
Ki Palongan. Namun tiba-tiba....
“Aha, rupanya kau iblisnya” terdengar suara sapaan
keras dari arah barat. Bersamaan dengan itu, muncul seorang pemuda berpakaian
rompi kulit ular yang tingkah lakunya seperti orang gila. Mulutnya cengengesan,
sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala.
Datuk Raja Beracun tersentak kaget. Matanya yang
merah, menatap dengan tajam pada Pendekar Gila. “Bocah Gila, kau selalu ikut
campur urusanku”
bentak Datuk Raja Beracun geram. Gigi-giginya
saling bergemeratukan menahan marah. Matanya yang merah membara, tampak semakin
garang bagaikan mengandung bara api.
“Hi hi hi..., lucu sekali Bagaimana aku tak ikut
campur, Iblis Cabul? Tentunya kaulah yang telah membunuh salah seorang gadis
desa ini serta memperkosanya,” tukas Pendekar Gila dengan mulut cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala.
“Kurang ajar Apa urusanmu” bentak Datuk Raja
Beracun sengit.
“Aha ha ha, bukankah sudah kukatakan, aku tak suka
dengan perbuatanmu” balas Sena tak mau kalah.
“Hm, kalau begitu kau harus mampus Hea...”
dengan penuh amarah, Datuk Raja Beracun segera
menyerang Pendekar Gila. Dirinya menyangka kalau Pendekar Gila, tak ubahnya
orang-orang gila yang sering dilihatnya. Itu sebabnya Datuk Raja Beracun
menyerang dengan tak sepenuhnya.
Melihat lawan melakukan serangan, dengan
cepat Pendekar Gila bergerak menghindar.
Diguna-kannya jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya meliuk-liuk
laksana menari, kemudian setelah lepas dari serangan lawan, Pendekar Gila
menepuk-kan tangannya.
“Hats He...”
Wrt
“Heh?” Datuk Raja Beracun tersentak kaget dengan
mata semakin melebar. Kumisnya yang tebal, tampak naik turun karena keheranan
bercampur geram menyaksikan kejadian aneh. Gerakan liukan dan tepukan yang
dilakukan pemuda gila itu, kelihatan pelan dan lemah. Namun kalau saja Datuk
Raja Beracun tak segera melompat, niscaya dadanya akan jebol terkena tepukan
itu.
“Hm, rupanya pemuda ini bukan sembarangan
gila. Dari gerak-geriknya, mengingatkan aku pada
seorang pendekar yang puluhan tahun pernah malang-melintang tak terkalahkan.
Hm, ada
hubungan apa dia dengan Pendekar Gila dari Goa
Setan itu?” tanya Datuk Raja Beracun dalam hati dengan tatapan mata tajam pada
Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Bocah Gila, siapa gurumu” bentak Datuk Raja
Beracun.
“Hi hi hi... Lucu sekali kau, Ki. Mengapa kau mesti
bertanya tentang guruku? Hm, kalau guruku yang melihat perbuatanmu, maka guruku
tak akan mengampunimu” balas Pendekar Gila membentak keras. Namun tingkahnya
masih tetap gila.
Cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Sombong Kau kira gurumu akan berani meng-hadapiku”
dengus Datuk Raja Beracun pongah. “Tak ada yang berani menghadapi Datuk Raja
Beracun di rimba persilatan”
“Aha, kurasa kaulah orang yang paling sombong,
Datuk Iblis Baiklah, kukatakan padamu bahwa aku murid Singo Edan atau cucu
murid Pendekar Gila dari Goa Setan” ujar Sena tegas. Hal itu membuat mata Datuk
Raja Beracun membelalak kaget. Perlahan kakinya melangkah mundur beberapa
tindak, setelah mendengar siapa sebenarnya pemuda gila di
hadapannya.
“Heh? Kau...?”
“Hua ha ha... Kurasa kau harus segera sadar, Datuk
Iblis Lepaskan gadis itu, lalu ikut aku” ajak Pendekar Gila.
“Cuih Walau kau cucu murid Pendekar Gila dari Goa
Setan, aku Datuk Raja Beracun tak akan mundur Hea...”
Dengan masih memanggul tubuh Serani, Datuk Raja
Beracun menyerang Pendekar Gila. Tangannya yang berkuku panjang hitam
mengandung racun, bergerak mencakar dan menusuk dada serta wajah Pendekar Gila.
Wrt
“Uts Aha, kau memang manusia jorok, Datuk Iblis
Sampai kuku-kuku saja tak kau urus” ledek Pendekar Gila dengan harapan Datuk
Raja Beracun akan marah sekali, sehingga dia akan terus mengulur waktu sampai
semua warga Desa Karang Bale
terjaga.
“Cuih Jangan banyak mulut Terimalah jurus
'Sengatan Kala'ku ini Hea...” meski dengan tangan
satu, Datuk Raja Beracun terus bergerak menyerang Pendekar Gila. Namun dengan
jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat' Pendekar Gila terus bergerak meliuk ke
sana ke mari menghindari serangan kemarahan Datuk Raja Beracun.
“Cuih Sayang aku tak ada waktu untukmu, Bocah Gila
Terimalah ini” bersamaan dengan habisnya kata-kata itu, tangan Datuk Raja
Beracun melemparkan tiga buah benda ke arah Pendekar Gila.
Wrt Wrt Wrt
“Uts”
Dengan cepat Pendekar Gila melompat dan
ber-jumpalitan beberapa kali ke belakang menghindari serangan rahasia itu itu.
Dar Dar
Glarrr
Ledakan dahsyat menggelegar terdengar. Dan seketika
di sekitar tempat Pendekar Gila berada tertutup asap merah yang pekat dan mengandung
racun.
“Uh Hea...” Pendekar Gila segera menarik napas
dalam-dalam, kemudian diangkatnya kedua tangan ke atas. Lalu ditarik dan
diletakkan di pinggang.
Kemudian dengan cepat, didorongkan kedua telapak
tangan mengerahkan ajian 'Inti Bayu' ke arah kabut tebal yang menyelimuti
sekelilingnya.
Wus
Angin kencang bergulung-gulung seketika keluar dari
kedua telapak tangannya. Dalam sekejap kabut merah beracun telah tersapu
bersih. Namun kembali Pendekar Gila tak menemukan Datuk Raja Beracun.
“Ah, setan Dia lepas lagi” geram Sena. Dua kali dia
mengalami kegagalan mengejar Datuk Raja Beracun. “Hi hi hi..., tolol sekali aku
ini”
Dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala, Pendekar Gila melangkah meninggalkan tempat
itu. Namun baru saja dia melangkah, dia bertemu dengan Ki Tunjung Melur dan Ki
Lurah Sentana.
“Oh, kau rupanya, Sena. Tadi kudengar ada
pertarungan. Kaukah yang bertarung?” tanya Ki
Sentana.
“Aha, aku memang bodoh, Ki. Aku tak dapat
menangkap pelakunya. Dia berhasil lolos,” geram
Sena. Namun mulutnya masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. Hanya
sorot mata yang memperlihatkan kalau dirinya sedang kesal dan marah.
“Jadi...?” tanya Ki Tunjung Melur. Pendekar Gila
menarik napas dalam-dalam. Kemudian kembali pada tingkah lakunya yang konyol.
Bibirnya tersenyum-senyum, dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Kalian kenal Datuk Raja Beracun?” tanya Sena.
“Datuk Raja Beracun?” desis Ki Lurah Sentana dan Ki
Tunjung Melur hampir bersamaan. Mata keduanya membelalak lebar, sepertinya
kaget mendengar sebutan itu.
“Aha, benar. Apakah kalian kenal?” tanya Sena
menegaskan.
“Tidak. Selama ini, kami tak pernah mendengar
seorang datuk berada di desa ini,” jawab Ki Lurah Sentana yang menjadikan
Pendekar Gila nyengir dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Ah ah ah, sulit. Bagaimanapun aku harus bisa
menangkapnya. Mungkin kalau tertangkap, kalian akan mengenalnya,” ujar Sena
dengan nada agak menyesal.
“Tapi kau harus hati-hati, Sena. Datuk bukanlah
orang sembarangan,” ujar Ki Tunjung Melur mengingatkan.
“Aha, benar. Tetapi sehebat apa pun seorang datuk,
jika melangkah di jalan sesat, Hyang Widi tak akan merestui,” ujar Sena
setengah berfilsafat
“Ya ya, kau benar,” sahut Ki Sentana. “Oh ya,
apakah dia juga membawa gadis?”
“Benar, Ki. Gadis anak pemilik rumah itu,” jawab
Sena sambil menunjuk rumah keluarga Ki Palongan.
“Hah?”
Ki Sentana dan Ki Tunjung Melur terbelalak.
“Ayo kita ke sana” ajak Ki Sentana.
Mereka pun segera berlari ke rumah Ki Palongan.
Di situ Ki Sentana menemukan bekas ledakan. Hal itu
terlihat dari semburatan tanah. Namun mereka tahu, tentunya bekas ledakan itu
dilakukan Datuk Raja Beracun untuk menghindar dari kejaran Pendekar Gila.
Malam itu pula, Desa Karang Bale gempar
dengan hilangnya Serani. Warga desa yang baru
terjaga akibat ajian sirep 'Mega Mendung' yang ditebarkan Datuk Raja Beracun,
berbondong-bondong datang ke tempat kejadian. ***
Esok paginya, belum juga selesai masalah
hilangnya Serani, mereka digemparkan dengan
diketemukannya Walang Kerik mencuri di rumah Juragan Kanca. Hal itu menjadikan
Ki Sentana, Ki Tunjung Melur dan Pendekar Gila tersentak kaget.
Mereka yang mendapat laporan dari warga segera
berangkat ke balai desa. Sementara Walang Kerik telah berada di sana bersama
beberapa warga yang membawanya.
Betapa gusar dan marahnya Ki Lurah Sentana, merasa
nama baiknya sebagai Kepala Desa Karang Bale dicemarkan oleh Walang Kerik.
“Kau tahu, apa akibat dari perbuatanmu, Walang
Kerik?” bentak Ki Lurah Sentana di balai desa.
Walang Kerik tidak menyahut. Dirinya hanya
menundukkan kepala, tak berani bertatap mata dengan Ki Lurah Sentana dan Ki
Tunjung Melur.
“Dengan tindakanmu, seorang gadis hilang. Dan kau
sudah tahu, apa yang bakal terjadi” bentak Ki Tunjung Melur geram. Matanya
menatap tajam pada Walang Kerik yang masih menunduk, tak berani beradu pandang.
“Memalukan” dengus Ki Lurah Sentana.
“Maafkan saya, Ki. Sebenarnya bukan maksud saya
melakukan hal tercela itu,” ujar Walang Kerik penuh rasa sesal. Kepalanya masih
menunduk dalam.
“Hm, apa sebenarnya alasanmu melakukan
tindakan tercela itu, Walang Kerik?” bentak Ki
Tunjung Melur ingin tahu, mengapa anak buahnya tiba-tiba berlaku pengecut dan
melakukan tindakan tak terpuji. Lama Walang Kerik tak menyahuti pertanyaan Ki
Tunjung Melur. Perlahan-lahan wajahnya ditengadahkan, kemudian melirik wajah
Pendekar Gila yang berdiri di samping Ki Sentana.
“Saya..., saya ingin mencelakakan Pendekar Gila.
Dengan mencuri, lalu mengatakan bahwa Pendekar Gila
yang melakukannya...,” jawab Walang Kerik yang membuat Ki Sentana dan Ki
Tunjung Melur serta keempat saudara seperguruannya terbelalak kaget.
Bahkan Walang Kejer dengan mendengus,
melangkah maju mendekati adik seperguruannya itu.
Tangannya meraba gagang golok.
“Daripada hidup, lebih baik kau mati saja, Walang
Kerik Kurasa kau pun telah meracuni kami semalam, sehingga kami tertidur”
Srt
“Tunggu” tiba-tiba Pendekar Gila berseru,
menghentikan apa yang hendak dilakukan Walang Kejer. “Kurasa tak baik jika kita
saling bantai.
Bukankah kita sedang menghadapi masalah yang cukup
berat?”
“Tapi dia benar-benar telah membuat muka kami
tercoreng, Tuan Pendekar,” kilah Walang Kejer.
“Aha, tidak juga, Kisanak. Kalau Hyang Widi mau
mengampuni hambanya yang bersalah, mengapa kita sebagai sesama manusia tidak?”
ujar Pendekar Gila yang menjadikan semua orang yang ada di balai desa bengong.
Mereka tak percaya kalau pemuda gila itu mampu
berpikir jernih bahkan mengandung filsafat. Seakan pemuda itu bukan pemuda
gila. Mereka semua mulai sadar, bahwa pemuda itu berilmu tinggi. Berpikiran
bijaksana dan sopan sikapnya. Meskipun kadangkala tampak menjengkelkan.
Pendekar Gila melangkah mendekati Walang
Kerik. Dengan bibir masih cengengesan, dipegangnya
pundak Walang Kerik.
“Aha, kau tak bersalah, Kisanak. Hawa nafsu telah
mempengaruhimu,” tutur Sena dengan
perasaan penuh persahabatan. Hal itu menjadikan
Walang Kerik terkesima, tak percaya kalau Pendekar Gila akan sebaik itu.
“Kau mau memaafkan aku, Tuan Pendekar?”
tanya Walang Kerik.
“Aha, mengapa tidak? Sebagai hamba Hyang
Widi, sepantasnyalah kita saling memaafkan,” sahut
Sena seraya menepuk-nepuk pundak Walang Kerik.
Di bibirnya masih mengurai senyum, berusaha
meyakinkan Walang Kerik.
Dengan malu-malu, Walang Kerik menjura hormat pada
Pendekar Gila.
“Kau sungguh baik, Tuan. Betapa kerdilnya aku ini,
yang tak mau melihat kedamaian di hadapanku,”
desah Walang Kerik sambil memeluk Pendekar Gila.
“Sekiranya aku harus dihukum, aku siap.”
“Aha, tak perlu itu terjadi. Bukankah milik Juragan
Kanca masih utuh?” tanya Sena.
“Masih. Memang aku tak bermaksud mencuri,”
jawab Walang Kerik.
“Aha, kalau begitu tak ada masalah. Kini tinggal
meminta maaf pada Juragan Kanca.”
Nampaknya Juragan Kanca yang berada di balai desa,
memaafkan tindakan Walang Kerik. Sehingga Walang Kerik pun dibebaskan.
“Kita kini menghadapi masalah yang rumit. Maka itu,
kita harus menggalang persatuan dan
berwaspada” kata Ki Lurah Sentana menegaskan.
Pendekar Gila memang telah tahu siapa pelakunya,
tapi di mana tempatnya kita belum tahu.”
“Kita cari saja” seru warga desa.
“Ke mana...?” tanya Ki Tunjung Melur.
Semua warga diam. Mereka tak tahu, harus dari mana
mencari Datuk Raja Beracun. Sedangkan kalau ketemu pun, mereka tak mungkin
dapat mengalahkan Datuk Raja Beracun. Tentunya Datuk itu bergelar Raja Beracun,
karena memiliki ilmu racun yang sangat hebat
“Aha, biarlah aku yang akan berusaha mencarinya”
Sena mengusulkan. “Kurasa, kini tinggal bagaimana memperkuat keamanan Desa
Karang Bale ini. “
“Baiklah kalau begitu. Memang kita harus bisa
secepatnya menghentikan sepak terjang Datuk Raja Beracun,” sambut Ki Lurah
Sentana.
“Aha, kalau begitu aku mohon pamit.”
“Hati-hati, Sena Kami berdoa untukmu. Semoga kau
selalu dalam lindungan Hyang Widi, sehingga kita bisa bertemu lagi,” ucap Ki
Tunjung Melur.
Pendekar Gila tampak menjura hormat pada
kepala desa dan seluruh warga yang ada di balai
desa itu kemudian melangkah keluar. Setelah sampai di halaman balai desa,
tiba-tiba secepat kilat Pendekar Gila melesat meninggalkan tempat itu.
Mata orang-orang yang berada di balai desa
terbelalak kaget menyaksikan kepergian pemuda itu.
Mereka menggeleng-geleng kepala karena kagum.
Sebagian dari mereka bahkan ada yang tak sempat
melihat gerakan Pendekar Gila.
“Hah Gila Manusia apa dia?” gumam yang lain.
“Wuah, dia manusia atau siluman?” tanya yang lain.
“Malaikat kali tuh,” sahut rekannya.
Semua benar-benar terperangah, menyaksikan
bagaimana pemuda bertingkah gila itu melesat bagaikan angin. Sehingga dalam
sekejap saja telah menghilang. Bukan hanya para warga, tetapi Ki Lurah Sentana
dan Ki Tunjung Melur serta Lima Walang Sakti turut menggeleng-gelengkan kepala.
“Benar-benar bukan pendekar sembarangan,”
gumam Ki Sentana dengan terkagum-kagum.
“Untung dia mau memaafkanmu, Walang Kerik.
Kalau saja dia tak mau, entah sudah menjadi apa
kau,” jumam Ki Tunjung Melur seraya menarik napas dalam-dalam.
“Saudara-saudara, seperti apa yang dikatakan
Pendekar Gila, kita harus meningkatkan keamanan desa kita” kata Ki Lurah
Sentana. “Kita harus meningkatkan kewaspadaan”
“Setuju...” sahut Warga.
“Kita juga harus menyelidiki orang-orang yang
pantas kita curigai,” kata Ki Tunjung Melur menambahkan.
“Setuju...” seru warga penuh semangat
*** 6
Pagi dengan sinar mataharinya yang terasa hangat,
menyelimuti Desa Serotan. Kicau burung yang riang, menambah keindahan suasana
pagi. Ditingkahi pula desiran angin yang meniup dedaunan, menghembuskan hawa
sejuk.
Pagi itu, Pendekar Gila nampak sedang me-
langkah di jalan utama Desa Serotan untuk
meneruskan perjalanan dalam rangka mencari Datuk Raja Beracun. Sambil
bersenandung kecil, Sena terus melangkahkan kakinya.
“Ah, ke mana aku mencari datuk iblis itu?”
gumam Sena dengan mulut cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Dua hari sudah dia berusaha mencari tempat
persembunyian Datuk Raja Beracun. Tetapi tak juga dapat menemukannya.
Padahal hampir semua bukit dan pegunungan telah
didaki. Beberapa desa telah dilalui sambil bertanya pada kepala desa mengenai
Datuk Raja Beracun.
Namun anehnya semua tak ada yang mengenai.
Pagi ini, dia telah sampai di Desa Serotan, desa
kelima yang menjadi persinggahannya, selama mencari Datuk Raja Beracun. Kalau
di Desa Serotan dia tak menemukan persembunyian Datuk Raja Beracun, entah di
mana lagi harus mencari.
Pendekar Gila terus melangkah menyelusuri
jalanan yang membelah Desa Serotan, ketika
tiba-tiba matanya melihat orang-orang berkerumun. Nampaknya ada sesuatu yang
menjadi perhatian orang-orang itu. “Heh, ada apa di sana?” gumam Sena dengan
kening mengerut. Matanya menyipit, memperhatikan
kerumunan orang yang tampaknya tengah melihat sesuatu. Hatinya tertarik untuk
mengetahui apa sebenarnya yang terjadi.
Pendekar Gila bergegas melangkah mendekati
kerumunan orang di bawah sebatang pohon ara di depan sebuah kedai.
“Aha, Kisanak. Kalau boleh kutahu, ada apa
gerangan?” tanya Sena pada seorang lelaki muda berpakaian petani yang baru saja
keluar dari kerumunan.
“Seorang gadis diketemukan mati dengan
keadaan mengerikan,” sahut lelaki muda petani
dengan wajah meringis, setelah melihat keadaan gadis yang disebutnya.
“Maksud Kisanak?” tanya Sena ingin tahu.
“Ada seseorang yang telah menculik gadis desa ini,
lalu menaruh mayat seorang gadis dari desa lain yang keadaannya sangat
mengerikan,” tutur lelaki muda berusia sekitar tiga puluh tahun itu dengan
tubuh bergidik.
“Aha, terima kasih.”
Setelah mengangguk, Pendekar Gila pun segera menuju
tempat kerumunan. Dengan menyeruak di sela-sela kerumunan orang, dia berusaha
membuktikan sendiri.
“Hah?”
Mata Pendekar Gila membeliak dengan mulut
ternganga lebar, setelah mengetahui siapa mayat
itu.
Meskipun dadanya berantakan dan kepalanya
terpisah dari leher, Pendekar Gila masih mampu
mengenalinya. Mayat itu ternyata gadis Desa Karang Bale yang tak lain Serani.
“Ah ah ah, benar-benar biadab Iblis keparat..”
Sena memaki-maki sendiri. Hal itu menarik perhatian
orang-orang yang tengah ramai melihat mayatnya.
Orang-orang Desa Serotan mengerutkan kening,
menyaksikan tingkah laku aneh pemuda itu.
“Pemuda gila, mau apa dia?” sungut seorang lelaki
berbadan tinggi tegap dengan muka garang.
Sepertinya lelaki berusia sekitar lima puluh tahun
ini, tak suka dengan tutur kata Pendekar Gila dan sikapnya.
“Bocah gila, pergi sana” bentak teman lelaki tinggi
tegap itu mengusir Pendekar Gila yang justru tertawa cekikikan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala.
“Aha, galak sekali kau, Ki,” ujar Pendekar Gila masih
cengengesan.
“Huh, kau tak ada gunanya”
Lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun
dengan tubuh gempal serta kepala botak itu berusaha mendorong tubuh Pendekar
Gila. Namun dengan cepat, Sena menggeser kakinya melebar ke samping. Sehingga
dorongan tangan orang itu hanya mengenai angin.
Lelaki berpakaian kuning itu terhuyung hampir jatuh
karena dorongannya tak mengenai sasaran.
Betapa marahnya dia karena melihat pemuda itu mampu
menghindari dorongannya.
“Kurang ajar Rupanya kau bukan orang gila sembarangan”
bentak lelaki tinggi besar marah, melihat pemuda gila itu mampu mempermainkan
temannya. “Rupanya kau datang ke Desa Serotan mau membuat keributan”
“Aha, kurasa sebaliknya, Ki. Kalian berdualah yang
hendak mengail di air keruh,” tukas Sena sambil cengengesan dengan tangan
menggaruk-garuk
kepala. Hal itu membuat kemarahan kedua lelaki
berwajah jarang itu semakin memuncak.
“Kurang ajar Rupanya kau harus berkenalan dulu
dengan Sepasang Banteng Kuning” dengus lelaki tinggi tegap beralis tebal.
“Aha, cocok sekali nama kalian banteng. Ah ah ah,
tak tahunya kalian memang seperti banteng dungu,” ejek Sena sengaja memancing
kemarahan kedua orang yang mengaku sebagai Sepasang
Banteng Kuning. Mulutnya masih cengengesan, dengan
tangan menggaruk-garuk kepala.
“Kurang ajar Kau memang harus dihajar, Bocah Gila”
geram lelaki berbadan gempal dan agak pendek. Matanya membelalak marah. Sambil
mendengus keras, giginya saling beradu karena
menahan amarah.
“Aha, kurasa justru kalian yang perlu dihajar,”
sahut Sena seraya tertawa cekikikan, yang membuat
Sepasang Banteng Kuning bertambah marah.
“Bedebah Kuremukkan kepalamu, Bocah Gila”
Lelaki tinggi besar itu melesat menyerang dengan
menghantamkan pukulan yang dinamakan 'Banteng Menanduk'.
“Remuk kepalamu Heaaa...”
“Uts Hi hi hi... Belum, Banteng Tolol” sahut Sena
sambil berkelit dengan jurus 'Si Gila Menari Menepuk Lalat'. Tubuhnya
meliuk-liuk laksana menari, diikuti gerakan kedua kakinya yang kadang melebar,
menekuk, atau menyilang dengan tubuh agak
merendah. Sementara tangannya tak tinggal diam,
melakukan tamparan dengan telapak tangan ke dada lawan.
Wrt “Heh?”
Lelaki bertubuh tinggi besar itu tersentak kaget
bukan kepalang menghadapi serangan aneh yang dilakukan lawannya. Matanya
terbelalak keheranan seakan tak percaya pada gerakan lawan yang baru saja
dilihatnya. Gerakan meliuk dan menepuk yang dilakukan Pendekar Gila, nampaknya
sangat pelan dan lemah. Namun pukulan-pukulan itu ternyata mengandung kekuatan
dahsyat yang berbahaya.
“Ilmu gila” seru lelaki berbadan gempal yang juga
terkejut bukan main menyaksikan jurus-jurus yang dilakukan Pendekar Gila. Belum
pernah ditemukannya jurus aneh seperti yang sekarang disaksikan.
“Celaka Dia bukan orang sembarangan, Wungul,”
ujar lelaki tinggi besar pada temannya.
“Ya. Gerakannya nampak aneh. Sepintas
kelihatan pelan dan tak bertenaga, Pulut,” sahut
Wungul. “Kita harus berhati-hati Siapa tahu dia yang dimaksud oleh datuk.”
“Maksudmu Pendekar Gila?” tanya Pulut.
“Ya. Kulihat dari tadi gerak-geraiknya sama dengan
yang dikatakan datuk,” jawab Wungul berbisik. Sedangkan matanya masih
memperhatikan gerak-gerik Pendekar Gila yang konyol, sepertinya hendak
menyelidiki pemuda itu.
“Kau benar, Wungul. Hm, kita harus segera pergi.
Pemuda itu menurut datuk, bukan lawan kita,” bisik
Pulut mengingatkan temannya.
“Tapi...”
“Ayolah” ajak Pulut.
“Celaka kalau kita pergi, karena pemuda gila ini
tentu mengikuti kita. Bahaya, ini tak boleh terjadi.
Datuk sudah berpesan tak seorang pun boleh tahu
tempat persembunyiannya....” “Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya Pulut
“Tak ada lain, menyingkirkannya atau kita yang
tersingkir dari dunia,” sahut Wungul yang membuat Pulut menghela napas berat.
Dia menyadari, menghadapi pemuda gila itu bukan hal yang mudah.
Mungkin ilmu mereka masih jauh di bawah lawan yang
masih muda belia itu.
“Itu gila” rungut Pulut. “Ilmu kita tak sebanding
dengan ilmunya”
“Tapi tak ada jalan lain.”
“Itu sama saja kita bunuh diri,” Pulut masih
bersungut-sungut, tak setuju dengan apa yang diusulkan temannya. Bagaimanapun
dia merasa kalau ilmu mereka tak berarti jika dibandingkan dengan ilmu yang
dimiliki Pendekar Gila. Jangankan mereka, Datuk Raja Beracun pun mungkin harus
berpikir tujuh kali untuk menghadapi pemuda gila ini.
“Ya, kau memang benar. Tapi tak ada cara lain.”
“Bodoh Pakai otakmu, Wungul Lebih baik kita pergi
ke mana saja, asal pemuda ini tak mengejar kita. Meskipun mengejar, dia tak
akan tahu di mana datuk berada,” kata Pulut.
“Baiklah. Ayo kita pergi” ajak Wungul.
Tanpa menghiraukan bagaimana tanggapan
orang-orang yang ada di tempat itu, Wungul dan
Pulut segera melesat kabur meninggalkan Pendekar Gila.
“Aha, kedua orang itu sangat mencurigakan,”
gumam Sena. “Kudengar tadi mereka menyebut datuk.
Hm, kurasa Datuk Raja Beracun yang
disebutnya.”
Pendekar Gila yang tadi menggunakan ajian
'Penyadap Rungu', tahu apa yang mereka bisikkan.
Namun mulutnya sejak tadi hanya cengengesan,
berpura-pura tak tahu apa yang mereka bicarakan. “Aha, aku harus mengejar
mereka,” gumam Sena, kemudian secepat kilat tubuhnya melesat
meninggalkan Desa Serotan menuju selatan, arah yang
dituju Sepasang Banteng Kuning. ***
Dengan ilmu lari 'Sapta Bayu', dalam sekejap saja
Pendekar Gila dapat memburu kedua orang suruhan Datuk Raja Beracun. Bahkan
mampu mendahului di depan mereka.
Sepasang Banteng Kuning terus
berlari. Namun tiba-tiba keduanya tersentak dan
berhenti, ketika di hadapan mereka telah berdiri Pendekar Gila. Pemuda
berpakaian rompi dari kulit ular itu berdiri membelakangi Sepasang Banteng
Kuning.
“Heh?”
“Hah...?”
Sepasang Banteng Kuning tersentak kaget dan saling
pandang. Keduanya sungguh tak mengira, kalau Pendekar Gila telah sampai di
tempat itu.
Padahal Hutan Barok telah jauh dari Desa Serotan.
Bagaimana mungkin pemuda gila ini tahu-tahu telah
berada di Hutan Barok? Pikir keduanya keheranan.
Padahal mereka telah mengerahkan tenaga dalam-nya
untuk berlari secepat mungkin.
“Hua ha ha... Selamat bertemu kembali,
Kisanak” sapa Pendekar Gila sambil membalikkan
tubuh dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Mulutnya cengengesan, semakin membuat Sepasang
Banteng Kuning membelalakkan mata.
“Ah?”
“Uh...?”
“Aha, mengapa wajah kalian pucat? Apa kalian sedang
sakit? Ah ah ah, kasihan...” seloroh Pendekar Gila sambil tertawa
terkekeh-kekeh.
Sepasang Banteng Kuning tampak semakin
tegang menghadapi Pendekar Gila. Keduanya tahu ilmu
yang dimiliki pemuda itu jauh lebih tinggi dari mereka. dari ilmu meringankan
tubuh yang
dikerahkan untuk mengejar, kedua lelaki berpakaian
serba kuning itu dapat mengetahui kehebatan lawan.
Betapa tidak Mereka tak melihat pemuda itu
mengejar. Namun tiba-tiba saja telah menghadang di hadapan mereka.
“Bagaimana, Wungul?” tanya Pulut berbisik.
“Tak ada jalan lain,” sahut Wungul dengan suara
mendesis.
“Kita lawan dia?” tanya Pulut memasukan.
“Ya Tapi kita harus memanggil teman-teman kita.
Yang jelas kita tak akan mampu menghadapinya,”
usul Wungul. Kemudian tiba-tiba Wungul mengeluarkan
suara mirip lolongan serigala. Begitu juga dengan Pulut.
“Auuu..”
“Auuu...”
Pendekar Gila tersentak kaget mendengar
lolongan keras yang keluar dari mulut Sepasang
Banteng Kuning. Namun kemudian kembali bertingkah konyol. Mulutnya cengengesan
dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
“Ah ah ah, baru kali ini kulihat kerbau bisa
melolong seperti serigala,” gumam Pendekar Gila yang tertawa-tawa, merasa lucu
melihat tingkah kedua orang itu.
“Auuu...”
Srakkk
Dari dalam hutan, tiba-tiba muncul lima ekor
serigala besar menuju tempat Sepasang Banteng Kuning dan Pendekar Gila berada.
Pendekar Gila terkejut, tak menyangka kalau lolongan kedua lelaki tinggi besar
itu dapat mengundang lima ekor serigala besar.
“Aha, rupanya kalian bangsa binatang juga. Hi hi
hi...” ejek Sena sambil tertawa cekikikan.
“Auuu Serang dia...”
Tiba-tiba Pulut berseru sambil mengarahkan
telunjuknya menuding Pendekar Gila. Seketika itu pula, kelima serigala itu
berlompatan mengepung Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil
menggaruk-garuk kepala. Kaki-kaki kelima serigala itu mencakar-cakar tanah
rerumputan, dengan lidah terjulur. Cairan bening pun menetes dari mulut mereka.
“Aha, rupanya kalian binatang-binatang tolol yang
mau diperdaya manusia-manusia durjana,” gumam Pendekar Gila sambil cengengesan.
“Auuu Grrr...”
Lima serigala besar-besar itu terus mengerubungi
Pendekar Gila. Mata kelima binatang buas itu, sepertinya menaruh kebencian pada
calon mangsa mereka. Namun pemuda berompi kulit ular itu tampak masih tenang.
Bahkan mulutnya terus cengengesan.
“Hi hi hi... Nguk, nguk” Pendekar Gila mulai
meledek dengan tingkah lakunya yang seperti kera.
“Bunuh dia...” seru Wungul sambil menuding Pendekar
Gila.
“Ghrrr...”
“Auuu...”
Kelima binatang buas itu dengan ganas dan
penuh amarah bergerak menyerang. Namun dengan cepat
Pendekar Gila melenting ke atas, mengelakkan serangan kelima serigala itu.
Wsss
“Hop” dengan enaknya, Pendekar Gila langsung
hinggap di atas cabang sebatang pohon. “Hi hi hi...
Ayo, siapa yang mau mengejarku, naiklah”
“Auuu...”
Kelima serigala itu nampak kebingungan. Mereka
tampak semakin garang. Suara lolongan dan erangan keras terdengar
bersahut-sahutan. Serigala-serigala itu melompat-lompat dan memutari pohon
tempat Pendekar Gila bertengger. Dengan lidah terjulur dan mengeluarkan cairan,
mereka meraung-raung dan melolong keras. Seakan-akan tak sabar untuk segera
memangsa Pendekar Gila.
“Pengecut Turun kau, Pendekar Gila?” teriak Pulut
menantang.
“Aha, baiklah”
Dengan cepat Pendekar Gila melompat turun.
Namun tubuhnya langsung melayang ke tempat Pulut
dan Wungul. Dicabutnya Suling Naga Sakti dan langsung dikibaskan ke kepala
Sepasang Banteng Kuning.
Wrt
“Heh?”
“Hah?”
Sepasang Banteng Kuning tersentak kaget, ketika
Suling Naga Sakti dikibaskan ke arah mereka. Dalam pandangan mereka, suling itu
berbentuk seekor ular naga besar yang menyeramkan. Mulutnya menganga lebar,
siap memangsa kedua lelaki berpakaian kuning
“Wua, tidaaak...” Sepasang Banteng Kuning menjerit
ketakutan dengan mata membeliak. Keduanya lari tunggang-langgang sambil
menjerit-jerit. Hal itu membuat Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala. Kelima serigala besar itu pun langsung kabur setelah
kedua tuannya pergi.
“Ah ah ah..., dunia ini semakin aneh saja”
gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala dan
melangkah meninggalkan Hutan Barok untuk mengikuti kedua orang yang diduga
utusan Datuk Raja Beracun.
*** 7
Malam berselimut dengan sepi. Kegelapan
bagaikan sebuah kelambu hitam raksasa yang
mengurung bumi. Lolongan anjing hutan beberapa kali terdengar dari kejauhan,
semakin mencekam suasana malam. Sementara angin yang berhembus meniupkan hawa
dingin menusuk tulang sumsum.
Di sebuah goa, yang terletak di Gunung Welirang,
saat itu nampak seorang gadis cantik terbaring di atas sebuah batu persegi
berukuran lebar satu depa dengan panjang dua depa. Tubuh gadis itu dalam
keadaan setengah telanjang. Tangan dan kakinya terbentang, dan masing-masing
terikat pada sudut batu besar itu. Di atas kepala gadis berambut panjang itu
tergantung sebilah golok besar dan tajam.
Cahaya yang berasal dari api obor membuat mata
golok besar itu berkilauan.
Gadis cantik itu kelihatan masih dalam keadaan
pingsan. Tubuhnya masih terbelenggu oleh totokan Datuk Raja Beracun yang
menculiknya.
“Uhhh...”
Terdengar keluhan lirih dari mulut gadis cantik
itu.
Perlahan-lahan matanya membuka.
“Oh, di mana aku? Mengapa kedua tangan dan kakiku
diikat begini?”
Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu
mengerjapkan mata, lalu memperhatikan ke
sekeliling ruangan goa itu. Matanya semakin
membelalak, setelah menyadari kalau dirinya kini berada di dalam sebuah goa
yang sangat asing baginya. Goa itu sepi, bagaikan tak ada penghuninya. “Siapa
yang membawaku ke tempat ini?” tanya gadis cantik itu mencoba mengingat-ingat
apa yang telah dialaminya. Pikirannya hanya ingat kalau sore itu dia sedang
mandi, ketika tiba-tiba seseorang menotok bagian tubuhnya. Setelah itu, dia tak
ingat apa-apa lagi. Dan kini tahu-tahu, tubuhnya telah berada di dalam sebuah
goa, yang sangat sepi dan menyeramkan.
Gadis cantik anak Desa Serotan itu masih
berusaha mengenali goa tempat dirinya berada saat
ini. Namun tetap tak tahu, di mana dia berada.
“Oh, mungkinkah Kang Salim yang membawaku
kemari?” gumam gadis itu mencoba menerka-nerka.
“Mungkin Kang Salim sengaja membawaku pergi, agar
kedua orangtuaku merestui hubungan kami.”
Gadis cantik bernama Jariah itu kembali teringat
akan kata-kata kekasihnya. Salim mengatakan akan membawanya pergi, kalau kedua
orangtua Jariah tak mengizinkan hubungan mereka. Itu pula yang membuat Jariah
menduga-duga kalau Salim-lah yang telah membawanya ke goa itu. Namun, mengapa
Salim mesti mengikat tangan dan kakinya begitu rupa? Dan golok itu? Golok di
atas kepalanya yang sangat tajam itu, untuk apa...?
Bulu kuduk Jariah bergidik merasa takut
menyaksikan golok tajam di atas kepalanya. Dia tak
tahu untuk apa golok itu. Siapa sebenarnya yang membawanya ke goa yang sangat
sepi dan nampak menyeramkan itu.
Belum juga Jariah mengerti apa yang sebenarnya
terjadi pada dirinya, tiba-tiba dari dalam goa terdengar suara gelak tawa yang
membuatnya tersentak. Gadis itu seketika memandang ke arah asal suara tawa itu.
“Hua ha ha...” Dari dalam goa, muncul sesosok tubuh lelaki bermuka garang
berusia sekitar enam puluh tahun.
Mata lelaki tinggi besar berpakaian abu-abu itu
berwarna merah, menatap tajam tubuh Jariah yang tengah menggeliat-geliat
ketakutan.
“Siapa kau, Ki? Oh, di mana aku?” keluh Jariah
dengan mata membeliak tegang memandang dengan penuh rasa takut pada lelaki
tinggi besar itu, yang wajahnya dihiasi cambang bauk tebal. Sehingga keadaannya
sangat menyeramkan. Terlebih dalam keadaan gelap seperti itu. Karena ruangan goa
itu hanya diterangi cahaya obor yang terpancang pada dindingnya.
“Hua ha ha... Tenang, Anak Manis Kau berada di
tempatku. Kau akan menjadi tumbal ketigaku. Hua ha ha...”
“Tidak... Aku tidak mau...” teriak Jariah
ketakutan, mendengar dirinya akan dijadikan tumbal.
Sudah terlintas dalam bayangan, bagaimana
nasibnya jika dijadikan korban.
“Hua ha ha... Percuma kau berteriak-teriak seperti
itu, Manis Tak ada orang yang
mendengarnya,” ujar Datuk Raja Beracun sambil
tertawa-tawa.
Kemudian lelaki tua berambut panjang itu
melangkah mendekati Jariah yang kian ketakutan.
Apalagi sorot mata Datuk Raja Beracun yang
berselimut hawa nafsu, tak berkedip merayapi tubuhnya. Seakan-akan hendak
menelan bulat-bulat tubuhnya yang sudah dalam keadaan setengah telanjang itu.
“Oh, tidak... Aku tak mau...” teriak Jariah sambil
berusaha meronta. Namun karena kaki dan tangan terikat, menyebabkan dirinya tak
mampu berbuat apa-apa. Tubuhnya yang terpentang begitu rupa, sulit untuk
berontak. Bahkan semakin Jariah berusaha berontak, membuat tubuhnya yang montok
tampak lebih menggairahkan. Hal itu semakin membuat mata Datuk Raja Beracun
melebar. Jakunnya turun naik, menahan gejolak birahi yang meletup-letup di
dalam dadanya.
Datuk Raja Beracun duduk di tepi altar batu tempat
tubuh Jariah telentang. Bibirnya menyeringai.
Tangannya bergerak merayap ke paha gadis itu.
Jariah tersentak kaget. Matanya membelalak ngeri.
Ingin sekali muka lelaki bertubuh besar itu diludahinya. Namun karena kedua
tangan dan kakinya terikat sehingga membuatnya tak mampu untuk mengangkat
kepalanya.
“Kurang ajar Lepaskan aku..” teriak Jariah berusaha
berontak. Namun Datuk Raja Beracun tak peduli. Bahkan di bibirnya semakin tersungging
senyum lebar. Dari usapan tangannya, keluar sinar kuning. Rupanya Datuk Raja
Beracun menggunakan
'Racun Birahi' yang mampu membangkitkan nafsu birah
seorang wanita.
“He he he... Kau sekarang bisa memaki, Anak Manis.
Tunggulah sesaat lagi,” ujar Datuk Raja Beracun sambil terus membelai-belai
paha Jariah.
Benar Tidak lama kemudian, mata Jariah yang semula
garang dan penuh amarah, seketika
meredup. Mulutnya mendesis, dengan mata
mengerjap-ngerjap. Sedang tubuhnya mulai menggeliat
halus. Tak ada caci maki keluar dari mulutnya.
Yang terdengar hanya desah dan erangan lirih.
“He he he...”
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Datuk Raja
Beracun terus membelai-belai paha Jariah. Semakin
banyak belaian yang dilakukan Datuk Raja Beracun, semakin keras desisan yang
keluar dari mulut Jariah.
“Oh.... Uh...”
“He he he... Sabar, Manis Sebentar lagi, kau pasti
akan mendapatkan semuanya,” ujar Datuk Raja Beracun. Kemudian tangannya bergerak
merenggut sisa pakaian yang dikenakan gadis itu.
Bret
“Oh Cepatlah, Ki...” rintih Jariah seakan tak kuat
lagi menanggung nafsu yang menggebu-gebu.
Tubuhnya menggeliat-geliat, bagaikan cacing
kepanasan.
Datuk Raja Beracun terkekeh senang, merasa
'Racun Birahi'nya telah bekerja dengan baik. Segera
pakaiannya dibuka. Kemudian dengan senyum
melekat dibibir, tubuh Datuk Raja Beracun merayap
di atas tubuh telanjang Jariah yang masih mendesis dan menggeliat-geliat.
Dalam sekejap saja, pergulatan kedua manusia yang
dilanda nafsu itu pun terjadi. Keduanya saling berpacu untuk mencapai puncak
birahi.
Jariah benar-benar tak sadar kalau dirinya kini
dalam cengkeraman maut. Yang ada dalam pikiran-nya, hanyalah nafsu menggebu-gebu
yang
ditumbuhkan oleh Datuk Raja Beracun. Meski tangan
dan kakinya terikat, tidak menghalangi gadis itu untuk membalas setiap pacuan
Datuk Raja Beracun.
Tubuhnya menggeliat-geliat, seakan tak merasakan
sakit akibat tangan dan kakinya diikat. Bahkan gerakan tubuhnya semakin lama
semakin bertambah kencang, disertai rintihan-rintihan kenikmatan.
Ssampai akhirnya, tubuh Jariah mengejang disertai
jeritan keras. Ada sesuatu yang dirasakan gadis itu, ketika Datuk Raja Beracun
menghentakkan tubuhnya ke bawah.
Sementara di luar goa, mulai terdengar lolongan
anjing-anjing hutan. Seakan-akan binatang-binatang itu turut menyambut atau
mengejek kehadiran Jariah di goa itu.
***
Datuk Raja Beracun melangkah ke luar,
meninggalkan Jariah yang terkulai pingsan. Di bibir
lelaki tua itu tampak terulas senyum. Langkahnya yang lebar, kini menuju ke
luar. Sesampainya di luar, wajahnya ditengadahkan memandang ke langit.
“Hua ha ha... Sesaat lagi, aku akan menjadi orang
yang paling sakti di dunia Tak akan ada yang mampu mengalahkanku” seru Datuk
Raja Beracun, seakan hendak menunjukkan ke seluruh alam kalau dirinya orang
yang paling sakti dan tak tertandingi.
Malam yang diam membisu, sepertinya tak peduli pada
keangkuhan Datuk Raja Beracun. Malam pun sepertinya enggan pada lelaki tua
durjana itu. Hanya untuk memenuhi hasratnya yang sesat dan durjana tega
melakukan kekejaman. Memperkosa gadis-gadis, kemudian membunuhnya. Bukan itu
saja, darah dan jantung gadis yang dibunuhnya dijadikan pencuci muka dan
pelepas dahaganya.
Bintang Pari yang menjadi pedoman bagi Datuk Raja
Beracun, nampak telah berada di atas ubun-ubun. Hal itu menandakan kalau dia
harus melakukan pengorbanan. Tumbal perawan harus segera dipersembahkan.
“Tiga tumbal telah kudapat, empat lagi aku akan
menjadi tokoh maha sakti. Hua ha ha...”
Dengan tertawa terbahak-bahak, Datuk Raja Beracun
melangkah masuk ke goa untuk melakukan persembahan dengan mengorbankan seorang
gadis.
Datuk Raja Beracun melangkah mendekati tubuh Jariah
yang masih terkulai pingsan. Di bibirnya nampak senyum kepuasan. Datuk Raja
Beracun memang puas akan segala-galanya. Di samping bisa mendapatkan
keperawanan gadis yang hendak
dijadikan korbannya, dia pun akan mendapatkan ajian
maha sakti yang bernama 'Walik Akal'. Tak seorang pun tokoh yang pernah
mendalami ajian kesaktian itu. Jangankan bangsa manusia, bangsa siluman pun
belum ada yang dapat melakukannya.
Hanya bangsa manusia yang separo siluman akan mampu
melakukannya. Dan di antaranya, Datuk Raja Beracun, murid Siluman Serigala.
“Hua ha ha... Datuk Raja Beracun akan menjadi orang
paling sakti di rimba persilatan Tak akan ada yang menandingiku” seru Datuk
Raja Beracun. Suara keras dan bergema itu membuat Jariah terbangun dari
pingsannya.
“Bajingan Iblis... Kau benar-benar iblis” maki
Jariah penuh amarah, setelah menyadari dirinya telah terpedaya 'Racun Birahi'
yang dikeluarkan Datuk Raja Beracun lewat usapan tangannya.
Datuk Raja Beracun menyeringai, menunjukkan
gigi-giginya yang kuning kecoklatan. Matanya yang merah, menatap tajam sosok
tubuh telanjang di hadapannya. Kemudian dengan tenang tanpa
menanggapi caci maki Jariah, lelaki tua itu
mendekati tempat golok besar tajam tergantung.
Mata Jariah semakin membeliak, melihat tangan Datuk
Raja Beracun kini mengangkat golok besar dan tajam itu. Rasa takut semakin
menjadi-jadi, tergambar dari raut wajahnya yang pucat pasi. “Tidak...” teriak
Jariah, sambil menggeleng-gelengkan kepala, seakan menghiba pada Datuk Raja
Beracun agar mengurungkan niatnya. “Tidak...
Jangan...”
“He he he...”
Datuk Raja Beracun terkekeh. Matanya yang
merah masih menatap tajam sosok tubuh Jariah yang
masih telentang tanpa penutup. Gadis cantik itu kini semakin ketakutan, membayangkan
bagaimana golok besar dan tajam akan memenggal kepalanya.
“Kau adalah tumbal ilmuku yang ketiga. Hua ha ha...
Setelah tujuh gadis, aku akan menjadi orang tersakti di rimba persilatan. Tak
akan ada seorang manusia atau siluman yang dapat mengalahkanku
Hua ha ha...
Tawa Datuk Raja Beracun menggema di dinding goa,
menjadikan suasana di dalam goa itu semakin menyeramkan. Rasa takut Jariah pun
semakin menjadi-jadi. Keringat dingin mengucur deras membasahi sekujur
tubuhnya. Mata gadis cantik itu membelalak tegang, melihat golok besar yang
kini berada di tangan kanan lelaki tinggi besar itu.
“Tidaaak... Aku tidak mau...” ratap Jariah
menghiba, berusaha meminta belas kasihan dari Datuk Raja Beracun. Namun
sepertinya ratapan gadis itu tiada guna. Datuk Raja Beracun nampaknya tetap
akan menjadikan Jariah sebagai tumbal. Hal itu karena akan melancarkan jalan
untuk mendapatkan ajian yang sangat didambakannya. Ajian maha sakti, yang
selama ini tak seorang pun dapat memilikinya.
“Hua ha ha... Kau tak dapat membujukku, Manis
Terimalah nasibmu Kau merupakan pelancar bagi
jalanku untuk mendapatkan ajian itu....”
Sambil tertawa terbahak-bahak, Datuk Raja Beracun
mengangkat kedua tangannya yang
menggenggam gagang golok besar itu. Matanya yang
merah, semakin berkilat membara dan kelihatan sangat buas.
“Tidaaak...” Jariah menjerit sekuat tenaga. Rasa
takut kian mendera jiwanya. Matanya yang lentik itu, membuka lebar ketakutan,
menatap mata golok besar dan tajam yang telah terangkat.
“Hua ha ha...”
Dengan tertawa terbahak-bahak, Datuk Raja
Beracun mengayunkan golok besarnya.
Wut
“Tidak Jangan...” teriak Jariah menghiba dengan
menggeleng-gelengkan kepala. Namun golok besar di tangan Datuk Raja Beracun
telah melesat cepat.
Dan...
Crab
“Akh...”
Kepala gadis cantik itu seketika terpenggal putus
dari lehernya. Darah segar mengalir membasahi altar batu. Kepalanya terpental
dan jatuh di lantai goa.
Tanpa merasa jijik ataupun iba, Datuk Raja Beracun
segera membasuh wajah dengan darah yang keluar dari leher Jariah.
“Hua ha ha... Guru, terimalah persembahanku
Ini adalah tumbal yang ketiga. Empat kali lagi,
maka aku akan menjadi orang yang sangat sakti, tak tertandingi oleh siapa pun
Hua ha ha...”
Sambil tertawa-tawa seperti orang gila, Datuk Raja
Beracun terus membasuh wajahnya dengan darah Jariah. Setelah itu dengan bengis
lelaki tua itu menghujamkan jemarinya yang berkuku tajam ke dada korbannya.
“Hih...” Crab
Bagaikan terbuat dari baja, jari-jari tangan Datuk
Raja Beracun mampu merobek dada mayat itu.
Kemudian tanpa belas kasihan, dicabik-cabiknya dada
Jariah. Dan ketika tampak jantungnya, dengan buas dicabutnya.
“Hih...”
Bret
“Hua ha ha...”
Sambil tertawa-tawa, dimakannya jantung segar gadis
itu dengan lahap.
“Nyem..., nyem... Hua ha ha...”
Bagaikan orang gila, Datuk Raja Beracun
tertawa-tawa. Seolah-olah hatinya merasa senang atas apa yang habis
diperbuatnya. Jantung gadis itu habis tak tersisa sedikit pun, dimakan dengan
sangat lahapnya.
Setelah selesai melampiaskan kepuasannya,
Datuk Raja Beracun segera mengambil potongan kepala
Jariah. Kemudian dengan cepat membuka ikatan di kedua tangan dan kaki gadis
itu. Setelah ikatan lepas, tanpa mengenai jijik dan iba, dipanggulnya mayat
gadis malang itu.
“Hua ha ha...”
Sambil masih tertawa-tawa, Datuk Raja Beracun
segera melesat meninggalkan goa tempatnya
bersembunyi. Lelaki tua itu terus berlari menuruni
Gunung Welirang, menembus kegelapan malam.
*** 8
Desa Karang Bale kembali digemparkan dengan
hilangnya seorang gadis. Kali ini tidak tanggung-tanggung lagi, anak Ki Lurah
Sentana yang menjadi korban penculikan. Hal itu membuat Kepala Desa Karang Bale
semakin bertambah marah. Selain penculikan itu yang membuat Ki Lurah Sentana
merasa terhina ketika di depan rumahnya tergeletak sesosok mayat perempuan yang
tak dikenal. Keadaan mayat itu sangat mengerikan. Dadanya tercabik-cabik dan
kepalanya terpisah dari tubuh. Namun jelas mayat itu bukan warga Desa Karang
Bale.
“Biadab Datuk Raja Beracun benar-benar biadab
Kita tak bisa berdiam diri dengan kejadian-kejadian
seperti ini” maki Ki Lurah Sentana geram.
“Kita harus mencarinya, Kakang Biarlah aku dan Lima
Walang Sakti yang akan mencari datuk keparat itu” Ki Tunjung Melur pun
kelihatan sangat gusar.
Bagaimanapun Wirani kemenakannya sendiri. Kemenakan
tidak ubahnya anak. Siapa pun orangnya, akan marah jika kemenakan atau anaknya
diculik, apalagi dijadikan korban secara biadab.
“Licik Dia benar-benar licik. Tentunya dia sengaja
menaruh mayat gadis ini di rumahku, dengan harapan kita dapat diadu domba”
gerutu Ki Lurah Sentana. Gigi-giginya saling gemerutukkan menahan amarah.
Tangannya mengepal, kemudian meninju-ninju telapak tangan kirinya.
“Kakang, aku akan mencarinya,” ujar Ki Tunjung
Melur. “Benar, Ki Lurah. Izinkan kami mencari datuk keparat itu” geram Walang
Kejer, selaku orang tertua di antara Lima Walang Sakti.
“Tapi, Pendekar Gila sedang mencarinya.”
“Kita tidak bisa hanya menunggu Pendekar Gila,
Kakang. Datuk Raja Beracun bukanlah orang
sembarangan. Siapa tahu Pendekar Gila mengalami
kematian di tangannya,” selak Tunjung Melur.
Kelihatannya kepercayaan Tunjung Melur pada
Pendekar Gila agak menyusut. Hal itu dikarenakan kemarahan yang tak terbendung
lagi, setelah kemenakannya diculik.
“Jangan berkata begitu, Adi Tunjung Melur”
bentak Ki Lurah Sentana. Kepala desa itu, tampaknya
tak senang kalau adiknya merendahkan dan tak mempercayai itikad baik Pendekar
Gila. “Aku tahu gurunya.”
“Apakah guru dan murid selalu sama, Kakang?”
bantah Tunjung Melur sambil menggeleng-gelengkan
kepala. “Mungkin Singo Edan memang orang yang mementingkan darma. Tetapi
muridnya, kita belum tahu pasti.”
“Diam Tak sepantasnya kau menuduh murid
Singo Edan seperti itu, Tunjung Melur” sentak Ki
Lurah Sentana tak senang. Matanya menatap tajam wajah adiknya yang seketika
menundukkan kepala, tak berani mengadu pandang dengan kakaknya.
Sesaat mereka diam, tak seorang pun yang berani
membuat mulut. Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Tunjung Melur
tampak gelisah. Entah apa yang menjadikan hatinya tak tenang. Bahkan sekilas
kelihatannya merasa cemas. Seakan ada sesuatu yang mengganjal perasaannya.
Seperti ada suatu rahasia tersimpan di hatinya, yang tak seorang pun tahu.
“Datuk Raja Beracun keparat.. Kubunuh kau jika
kutemui” geram Ki Tunjung Melur dalam hati.
Dihelanya napas dalam-dalam. Gigi-giginya saling
beradu menahan kemarahan.
“Kakang, izinkan kami mencari Datuk Raja
Beracun” pinta Ki Tunjung Melur setengah
mendesak. Hati lelaki setengah baya itu sudah tak
sabar ingin segera berangkat bersama Lima Walang Sakti untuk menyelamatkan
Wirani.
Ki Lurah Sentana terdiam. Hatinya merasa
bimbang untuk memutuskan permintaan adiknya.
Bagaimanapun Datuk Raja Beracun bukanlah tokoh
sembarangan. Dia mendapat gelar datuk, tentu karena berilmu tinggi. Mungkinkah
Tunjung Melur dan Lima Walang Sakti mampu menghadapi Datuk Raja Beracun? Tanya
Ki Lurah Sentana dalam hati, khawatir kalau-kalau adiknya dan Lima Walang Sakti
yang menyokong kekuatan dan keamanan desa akan kalah. Bukankah itu merupakan
usaha sia-sia?
“Kalau memang mau mencarinya, bawa beberapa warga,”
ujar Ki Lurah Sentana menyarankan. “Jika terjadi apa-apa pada kalian, usahakan
salah satu bisa menyelamatkan diri untuk melapor padaku.”
“Baiklah, Kakang.”
Setelah mempersiapkan segala sesuatu, Ki
Tunjung Melur bersama Lima Walang Sakti dan sepuluh
warga desa pergi meninggalkan Desa Karang Bale. ***
Sementara itu, Pendekar Gila yang mengejar Sepasang
Banteng Kuning, kini telah sampai di sebelah selatan Desa Gegeran. Dilihatnya
tadi kedua orang utusan Datuk Raja Beracun itu berlari ke selatan melalui Desa
Gegeran.
Sinar mentari pagi terasa mulai menghangatkan.
Dan angin berhembus membelai rambut Pendekar Gila
yang terikat kulit ular. Pemuda tampan berambut gondrong itu tampak
menggaruk-garuk kepala.
Sementara mulutnya terdengar menyenandungkan
nyanyian riang, sambil sekali cengengesan. Sebentar kemudian wajahnya
mendongak, memandang langit biru. “Ah ah ah, mengapa aku begitu tolol? Mengejar
dua ekor tikus saja tak becus,” gumam Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Kakinya terus menelusuri jalan utama Desa Gegeran yang cukup ramai orang hilir
mudik berjalan kaki. Semua orang yang berpapasan dengan Pendekar Gila, seketika
menghentikan langkah dan memperhatikan dengan kening berkerut Banyak di antara
mereka yang iba melihat pemuda gila itu yang bernyanyi-nyanyi dan cengengesan
di jalanan. Namun ada juga yang tertawa merasa lucu menyaksikan tingkah laku
Sena yang konyol, persis orang gila.
“Kasihan ya, pemuda setampan dia harus gila.”
Salah seorang bergumam dengan mata
memandang tak berkedip penuh iba pada Pendekar Gila
yang terus cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala.
“Iya ya? Kasihan sekali. Kalau saja tak gila, aku
mau menjadi orangtuanya,” sahut temannya yang bertubuh gemuk dengan pakaian
seperti seorang juragan. Kepala lelaki gemuk dan agak pendek itu
menggeleng-geleng.
Pendekar Gila yang mendengar pembicaraan kedua
lelaki itu hanya tersenyum. Kakinya terus melangkah menyelusuri jalanan di Desa
Gegeran untuk mencari kedai, guna mengisi perutnya yang lapar.
Tak lama kemudian, Pendekar Gila menemukan sebuah
kedai yang pagi itu nampak sudah ramai.
Matanya tiba-tiba tertumbuk pada dua lelaki
berpakaian kuning lengan panjang dengan punggung tersandang pedang.
“Aha, rupanya mereka ada di sini,” gumam Sena
sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kemudian dengan
tingkah lakunya yang konyol, Sena melangkah menuju pintu kedai.
Dua orang lelaki yang tak lain Banteng Kuning,
masih tenang ngobrol. Keduanya tak menduga kalau Pendekar Gila yang mengejar
mereka telah sampai di Desa Gegeran.
“Hi hi hi... Lucu sekali kalian Mengapa kalian ada
di sini?” tanya Sena sambil cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
Pertanyaan lucu Pendekar Gila itu membuat para pengunjung kedai, termasuk
Sepasang Banteng Kuning menoleh ke pintu kedai.
“Pendekar Gila...” pekik Sepasang Banteng Kuning
hampir bersamaan. Mata mereka terbelalak kaget, tak menyangka kalau Pendekar
Gila telah sampai di kedai itu.
“Apa? Dia Pendekar Gila...”
Suara ramai para pengunjung kedai terkejut setelah
tahu kalau pemuda bertingkah laku konyol dan persis orang gila itu, ternyata
Pendekar Gila.
Orang-orang memang sering mendengar sebutan pemuda
itu. Namun tak akan pernah menyangka, kalau mereka bakal melihat tampang
Pendekar Gila yang sesungguh nya.
“Hi hi hi... Kuharap semuanya tenang. Aku hanya
ingin menangkap kedua tikus tolol itu,” ujar Sena berusaha menenangkan
pengunjung kedai yang riuh setelah tahu kehadirannya.
“Cuih Jangan kau kira mudah menangkap kami,
Pendekar Gila Kami bukan bocah yang gampang digertak olehmu” dengus Pulut
sengit.
“Aha, kurasa memang kalian bukan anak kecil.
Tetapi tikus-tikus tolol,” ledek Pendekar Gila
sambil tertawa terbahak-bahak yang menjadikan Sepasang Banteng Kuning semakin
geram dan marah.
“Kurang ajar Kuremukkan kepalamu, Pendekar Gila”
“Kusobek mulutmu yang besar itu, Bocah Edan”
Sepasang Banteng Kuning seketika melesat
menyerang Pendekar Gila. Keduanya dengan cepat
mencabut pedang dan langsung menggempur dengan tusukan dan babatan dalam jurus
'Sepasang Tanduk Merobek Gunung'.
“Hea...”
Srt
Wrt
“Haits Hea...”
Dengan cepat Pendekar Gila mencelat keluar,
mengelakkan tusukan pedang kedua lawannya yang masih memburu. Nampaknya
Sepasang Banteng
Kuning, tak mau membuang-buang waktu percuma.
Mereka berusaha secepatnya membereskan
Pendekar Gila. Hal itu tampak jelas dari serangan
keduanya yang langsung menggebrak dengan jurus-jurus andalan.
“Hea”
Wret Wret “Mau lari ke mana kau, Bocah Edan” sentak
Pulut sambil terus memburu tubuh Pendekar Gila dengan sabetan dan tusukan
pedangnya.
“Hi hi hi... Kurasa justru akulah yang bertanya
pada kalian. Hendak lari ke mana lagi setelah seharian kalian kabur?” sahut
Pendekar Gila sambil melompat ke sana kemari menghindari tebasan pedang lawan.
“Kurang ajar Hea...”
Sepasang Banteng Kuning segera menambah
kecepatan babatan pedang mereka dari dua arah.
Namun dengan gerakan aneh, Pendekar Gila mampu
mengelak dari serangan. Tubuhnya dibungkukkan ke bawah serendah mungkin.
Kemudian kedua
tangannya yang terlepas dihantamkan ke kanan dan ke
kiri, mencoba membalas serangan lawan.
Wrt
Degk
“Ukh” Sepasang Banteng Kuning melenguh
tertahan. Kedua lelaki berpakaian kuning itu
menyurut mundur tiga tindak, setelah terkena pukulan Pendekar Gila. Perut
mereka terasa sangat mual. Mata tajam mereka menatap nanar pada Pendekar Gila
yang berjingkrakan seperti kera sambil tertawa terbahak-bahak. Sedangkan tangan
kanannya menggaruk-garuk kepala.
“Hua ha ha... Lucu sekali... Lucu sekali kalian”
gumam Sena sambil terus menggaruk-garuk kepala.
“Kurang ajar” dengus Pulut sengit.
“Kubunuh kau, Bocah Edan” maki Wungul.
“Hea”
Sepasang Banteng Kuning kembali menggebrak dengan
ganas. Pedang mereka kembali bergerak membabat dan menusuk dari dua arah. Pulut
menyerang dari depan, sedangkan Wungul dari belakang.
“Hi hi hi...”
Dengan cekikikan, Sena segera membuka
jurusnya yang dinamakan 'Kera Gila Meledek Ular'.
Gerakannya persis seekor kera gila. Kedua tangannya
menggaruk-garuk kepala dan menepuk-nepuk pantat.
Mulutnya dimonyong-monyongkan, yang membuat kemarahan
kedua lawan semakin menggelegak.
“Hea”
Dengan penuh amarah, Sepasang Banteng
Kuning bergerak cepat menyerang dengan sabetan dan
tusukan pedang, Namun dengan gerakan yang konyol, Pendekar Gila menghindari
serangan itu.
Bahkan dengan cepat kaki kanannya menyapu
berputar sambil jongkok.
“Hea”
Wrt
Sepasang Banteng Kuning yang tak menduga
sama sekali akan mendapat serangan dengan
gerakan seperti itu, tersentak kaget. Keduanya
berusaha mengelak dari sambaran kaki lawan.
Namun ternyata sambaran kaki Pendekar Gila lebih
cepat. Tanpa ampun lagi...,
Wret Bruk Bluk
“Aduh...” kedua lelaki berpakaian kuning terpekik
kesakitan. Tubuh mereka langsung jatuh tertunduk dengan mulut meringis.
Sedangkan Pendekar Gila kembali berjingkrakan sambil tertawa cekikikan.
Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu,
keheranan melihat tingkah laku Pendekar Gila.
Mereka hampir tak percaya, kalau jurus-jurus
Pendekar yang seperti bercanda dan main-main, ternyata mampu menjatuhkan kedua
lawan dalam sekali gebrakan saja.
“Ck ck ck... Hebat sekali” gumam pemilik kedai.
“Ya Ternyata nama Pendekar Gila bukan nama kosong,”
sambut seorang pengunjung kedai sambil menggeleng-gelengkan kepala. Hatinya
kagum menyaksikan kehebatan ilmu silat Pendekar Gila.
Pendekar Gila masih cengengesan dengan
tingkah lakunya yang konyol. Dengan langkah
perlahan Pendekar Gila menghampiri kedua lelaki berpakaian kuning yang masih
meringis-ringis kesakitan. Pulut dan Wungul merasa ketakutan ketika lawannya
mendatangi mereka.
“Ampun, jangan bunuh kami” ratap Pulut
mengiba.
“Benar. Ampunilah selembar nyawa kami ini”
tambah Wungul penuh harap.
“Aha, mengapa kalian seperti bocah kecil?
Bukankah tadi kalian mengatakan bukan bocah lagi?”
tanya Sena dengan cengengesan. Tangannya
menggaruk-garuk kepala. Matanya memandang tajam
wajah Sepasang Banteng Kuning, yang semakin ketakutan melihat tingkah laku
Pendekar Gila.
“Ampunilah kami” pinta Pulut
“Hi hi hi... Baiklah, kalian kuampuni, asal katakan
siapa yang menyuruh kalian? Lalu apa yang
sebenarnya kalian lakukan?” tanya Pendekar Gila.
Kedua lelaki berpakaian kuning itu, saling pandang
seperti kebingungan. Ada sesuatu yang ditakutkan oleh mereka.
Pendekar Gila yang melihat keduanya nampak enggan
menjawab pertanyaannya, dengan keras membentak.
“Katakan Atau kalian kukirim ke neraka, heh?”
“Ampun..., jangan Ba... baik, akan kami katakan,”
jawab Pulut dengan kedua telapak tangan di letakkan di kepala, Wajahnya masih
menggambarkan rasa takut. “Kami sebenarnya bukan diperintah Datuk Raja
Beracun.”
“Aha, rupanya kalian bosan hidup. Hi hi hi...
Kalian mau membohongiku. Bukankah kalian
menyebut sendiri nama Datuk Raja Beracun ketika di
Desa Serotan?” tanya Sena tegas.
“Sungguh, kami tidak berbohong. Semua kami lakukan
hanya untuk memancing Tuan Pendekar,”
tutur Wungul. “Kami sebenarnya diperintah oleh
Tunju...”
Belum juga selesai ucapan Wungul, tiba-tiba....
Swing Swing
Beberapa senjata rahasia berbentuk bintang melesat
dari kejauhan. Desingan keras terdengar.
Dengan cepat Pendekar Gila melentingkan tubuh ke
atas sambil menjulurkan tangan.
“Hea”
Trep Trep
Pendekar Gila selamat dari terjangan senjata
rahasia itu. Bahkan tangannya berhasil menangkap empat buah. Namun, Sepasang
Banteng Kuning tampaknya tak mampu bergerak menghindar. Di samping luncuran
senjata rahasia itu begitu cepat tubuh mereka yang tertendang Pendekar Gila
terasa masih sakit. Sehingga sulit untuk bergerak. Maka...
Jlep Jlep
“Akh...”
Pendekar Gila tersentak kaget, mendengar jeritan
kematian itu. Namun dirinya tetap tak sempat menolong. Tubuh keduanya seketika
ambruk, dengan darah hitam meleleh dari mulut. Namun, sebelum mati, Pulut masih
sempat berbisik menyebutkan nama seseorang.
“Tunjung... Me... Lur. Akh...”
“Tunjung Melur...?” gumam Sena dengan mulut nyengir
sedangkan tangannya menggaruk-garuk kepala. Dirinya tak mengerti, mengapa
Sepasang Banteng Kuning menyebut nama adik Kepala Desa Karang Bale.
“Hm, apa sebenarnya yang dikehendaki Ki
Tunjung Melur, sehingga dia memerintah Sepasang
Banteng Kuning dengan menyebarkan Datuk Raja Beracun?” gumam Sena
bertanya-tanya dalam hati.
Pendekar Gila segera melesat meninggalkan
Desa Gegeran. Orang-orang di depan kedai itu
tersentak keheranan melihat gerakan Pendekar Gila.
Beberapa orang bahkan ada yang mengusap-usap mata,
seakan tak percaya apa yang baru saja dilihatnya. Dalam sekejap saja mata
mereka sudah tak mampu melihat sosok tubuh Pendekar Gila.
Nampaknya Pendekar Gila sengaja tak mengejar orang
yang telah membunuh Sepasang Banteng Kuning. Dia sengaja lari menuju Desa
Karang Bale, untuk menanyakan pada Ki Lurah Sentana tentang Ki Tunjung Melur.
*** 8
Pendekar Gila yang berlari menuju Desa Karang Bale
kini tengah melewati kaki Gunung Welirang. Tiba-tiba langkahnya terhenti,
ketika sayup-sayup terdengar suara rintihan seorang gadis yang entah berasal
dari mana. Dengan menggunakan ajian 'Pembeda Rungu'
Pendekar Gila berusaha memperjelas pendengarannya
terhadap suara rintihan itu. Suara itu tampaknya memang jauh dari tempatnya
kini berdiri.
“Ayah..., di mana aku...? Hu hu hu...”
“Aha, suara manusiakah?” tanya Sena tertegun,
setelah jelas sekali suara seorang wanita menangis.
Keningnya berkerut. Tangannya menggaruk-garuk
kepala. “Dari mana suara itu berasal?”
“Hu hu
hu... Ayah, Wirani takut....”
Suara itu kembali terdengar. Kini menyebut namanya
yang menjadikan Pendekar Gila membelalakkan mata.
“Wirani...?” gumamnya lirih. “Ah, bukankah gadis
itu anak Ki Lurah Sentana?”
Pendekar Gila yang semula hendak pergi ke Desa
Karang Bale, kini mengurungkan niatnya. Dia kini berusaha mencari asal suara
tangisan gadis yang menyebut dirinya Wirani. Sekeliling Gunung Welirang
dijelajahi, sampai akhirnya Pendekar Gila melihat sebuah goa.
Sesaat Pendekar Gila bimbang. Dipasang
pendengarannya dengan tajam. Dari dalam, tiba-tiba
terdengar suara bentakan keras. “Manusia lancang mana yang berani datang ke
tempatku?”
“Hua ha ha... Dari suaramu, tentunya kau Datuk Raja
Beracun. Aha, kebetulan sekali” sahut Pendekar Gila berseru. “Kebetulan sekali.
Datuk dungu, keluar kau”
Mendengar seruan Pendekar Gila, Datuk Raja Beracun
seketika melesat ke luar. Matanya
membelalak, ketika tahu siapa yang datang ke
tempatnya.
“Kau?”
“Hi hi hi... Kenapa kau kaget, Datuk Iblis?
Dosamu sungguh tak terampuni” dengus Pendekar Gila.
Mulutnya masih cengengesan, tapi dilihat dari sorot matanya yang tajam, jelas
Pendekar Gila saat itu benar-benar marah.
“Cuih Berani sekali kau berkata begitu di hadapan
Datuk Raja Beracun, Bocah Edan” bentak Datuk Raja Beracun dengan geram, karena
merasa Pendekar Gila selalu ikut campur dengan urusannya.
“Hua ha ha... Lucu sekali kau, Datuk Tolol
Mengapa tak berani? Jangankan aku, kebo-kebo dungu
saja berani mengentutimu. Hua ha ha...”
Sena tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk
kepalanya. Mulutnya dimonyongkan ke depan.
Dan....
“Brut... Hua ha ha...”
Terdengar suara seperti bunyi kentut dari mulut
Pendekar Gila.
Datuk Raja Beracun marah bukan main diejek begitu
rupa. Matanya yang merah, semakin membara, menatap tajam penuh kebencian pada
Pendekar Gila.
Gigi-giginya saling gemerutuk menahan amarah yang
ditahan. “Kurang ajar Lancang sekali mulutmu, Bocah Edan Kuremukkan batok
kepalamu Heaaa...”
Dengan penuh ancaman, Datuk Raja Beracun
melesat melakukan serangan dengan jurus 'Kala Hitam
Menyengat'. Jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan mengandung racun,
bergerak
mencengkeram dan menusuk ke dada Pendekar Gila.
Dari gerakan kedua tangannya, keluar asap hitam
yang mengandung racun.
Wrt Wrrrt
“Uts He he he...”
Dengan mulut cengengesan, Pendekar Gila
segera merenggangkan kaki kanannya sambil
membungkuk. Kemudian dengan jurus 'Gila Menari
Menepuk Lalat', diladeninya serangan Datuk Raja Beracun.
Tubuh Pendekar Gila yang meliuk-liuk, kelihatan
sangat pelan dan lambat. Namun serangan-serangan maut yang dilancarkan Datuk
Raja Beracun, tak mampu mengenai sasarannya. Hal itu menjadikan Datuk Raja
Beracun semakin bertambah penasaran, menyangka kalau dengan gerakan seperti itu
Pendekar Gila tak akan mampu lepas dari
serangannya.
“Kau akan mampus, Bocah Edan Hea...”
Datuk Raja Beracun merasa akan dapat
mengalahkan Pendekar Gila jika menambah
kecepatan serangannya. Maka segera dirinya bergerak
semakin cepat. Tangannya susul-menyusul mencengkeram ke tubuh Pendekar Gila.
Namun setiap kali serangan datang, dengan gerakan aneh Pendekar Gila berkelit.
Serangan Datuk Raja Beracun pun dapat dielakkannya. Hal itu tentu saja membuat
Datuk Raja Beracun semakin penasaran. “Kurang ajar Rupanya kau bukan bocah
sembarangan Tapi, kau tak akan lepas dari Datuk
Raja Beracun Terimalah seranganku ini, 'Lipan Melentik Racun'. Heaaa...”
“Aha, kurasa jurusmu masih kurang lincah, Datuk
Iblis” ejek Pendekar Gila dengan maksud membakar amarah lawan. Dan rupanya
Datuk Raja Beracun terpancing. Serangannya semakin bertambah dahsyat dan cepat.
Bukan hanya tangannya yang bergerak menyerang, tetapi kedua kakinya pun turut bergerak
menyapu dan menendang.
Menghadapi serangan gencar dan mematikan
seperti itu, Pendekar Gila tak kelihatan gugup atau
ketakutan. Bahkan dengan cengengesan, pemuda itu segera merubah jurus. Kini
dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan', Pendekar Gila mengelakkan serangan
lawan. Tubuhnya bergerak memutar, menangkis serangan lawan. Gerakan itu sangat
aneh.
Meski kelihatannya Pendekar Gila tak melihat
gerakan jurus lawannya, tetapi setiap gerakan lawan menyerang dapat ditangkap.
“Heaaa...”
Datuk Raja Beracun mengibaskan kaki kanannya,
menendang punggung lawan. Namun dengan tubuh masih berputar, Pendekar Gila
dengan cepat menggerakkan tangan kiri ke belakang. Lalu tubuhnya berbalik,
disusul dengan tepukan telapak tangan kanan ke dada Datuk Raja Beracun
“Yeaaa...”
Wuuut
“Heh?”
Datuk Raja Beracun tersentak kaget, tak
menyangka kalau dirinya akan mendapat serangan
balasan. Dengan cepat ditangkisnya serangan itu dengan tangan kiri.
Plak
“Ukh”
Datuk Raja Beracun terpekik kaget. Tubuhnya
terdorong tiga langkah ke belakang. Matanya terbelalak kaget, tak percaya kalau
tenaga dalam bocah gila yang menjadi lawannya sangat tinggi.
Tangannya yang berbenturan dengan telapak tangan
Pendekar Gila, dirasakan berdenyut-denyut sakit.
Bahkan sepertinya tulang pergelangan tangannya
retak.
“Hi hi hi...”
Pendekar Gila tertawa cekikikan, tangannya
menggaruk-garuk kepala. Nampaknya pemuda itu tak mengalami luka. Melihat sikap
lawannya, Datuk Raja Beracun semakin keheranan. Padahal serangan yang
dilancarkan tadi disertai dengan pengerahan kekuatan racun 'Menjangan Merah',
salah satu racun dahsyat. Namun pemuda gila itu tak mengalami kesakitan.
Sepertinya Pendekar Gila kebal terhadap segala macam jenis racun.
Datuk Raja Beracun tak tahu, kalau Pendekar Gila
memang kebal terhadap segala macam jenis racun.
Hal itu disebabkan Racun Kabut Ungu dan Darah Ular
Putih yang telah menyatu di dalam tubuhnya. Dua racun itu, selama ini belum ada
tandingannya. Kedua racun itu pun melindungi Pendekar Gila dari segala macam
racun yang menyerang (Mengenai kedua racun itu, silakan baca serial Pendekar
Gila dalam episode “Suling Naga Sakti” dan “Titisan Dewi Kwan Im”).
“Heh? Kau kebal terhadap racunku...?” desis Datuk
Raja Beracun dengan mata terbelalak, menyaksikan Pendekar Gila tak mempan racun
ganasnya.
“Hi hi hi... Lucu sekali kau, Datuk Iblis Kurasa
kau tak pantas bergelar Datuk Raja Beracun. Kau lebih cocok bergelar Datuk Raja
Tolol” ejek Sena terus berusaha membangkitkan amarah Datuk Raja Beracun.
“Cuih Jangan kira kau telah menang, Bocah Edan Kau
kebal terhadap racun, tapi belum tentu mampu mengalahkanku” dengus Datuk Raja
Beracun sengit. Matanya semakin merah membara.
Kakinya melangkah dua tindak ke belakang,
kemudian membuka jurus baru yang bernama
'Kelabang Petir'.
“Hi hi hi...”
Dengan tertawa cekikikan sambil menggaruk-
garuk kepala, Pendekar Gila pun segera membuka
jurus 'Kera Gila Meledek Ular'. Gerakannya seperti seekor kera yang sedang
menggoda ular, dengan harapan ular yang diledeknya akan marah. Pantatnya
ditunggingkan ke depan Datuk Raja Beracun, sambil dielus-elus dengan tangan
kiri. Kemudian dari mulutnya terdengar suara. “Duuut... Hua ha ha...”
Datuk Raja Beracun benar-benar bertambah
marah diperlakukan seperti itu. Dengan menggeram
laksana seekor harimau, Datuk Raja Beracun melompat menyerang.
“Ghrrr Heaaa...”
Kaki Datuk Raja Beracun berjingkat-jingkat aneh.
Namun jingkrakannya sangat cepat. Kemudian tanpa
diduga, tiba-tiba tangannya hampir mencakar wajah Pendekar Gila.
“Uts Hampir saja He he he...” Dengan cepat Pendekar
Gila berguling di tanah mengelakkan serangan pertama. Namun kaki Datuk Raja
Beracun tiba-tiba telah menendang ke tubuhnya yang berguling.
“Remuk igamu Heaaa...”
Wrt
“Celaka”
Pendekar Gila kaget, tak menyangka serangan kedua
akan datang begitu cepat. Tubuhnya segera berguling ke samping kiri dan
tangannya bergerak menangkap kaki kanan sang Datuk yang hendak menendang
iganya.
Trep
“Hih”
Datuk Raja Beracun berusaha menekan kakinya agar
dapat menginjak dada lawan. Namun dengan cepat kaki kiri Pendekar Gila bergerak
menendang ke perut Datuk Raja Beracun.
“Yeaaa...”
“Haits Hih...” Datuk Raja Beracun memiringkan tubuh
ke samping. Kemudian tangannya bergerak hendak menangkap kaki kiri lawan. Namun
dengan cepat Pendekar Gila menarik kaki kirinya ke belakang. Disusul dengan
tendangan kaki kanan.
Wrt
Datuk Raja Beracun yang sudah mata gelap, tak dapat
mengelakkan serangan itu. Dengan cepat tangan kanannya dihantamkan untuk
menangkis kaki Sena.
Wrt
Plak
“Ukh”
Kembali Datuk Raja Beracun terpekik lirih.
Sekujur tangannya dirasakan gemetaran dan nyeri.
Seperti menghantam logam yang sangat kuat. “Hih”
Datuk Raja Beracun berusaha melepaskan kaki
kanannya dari cengkeraman tangan Pendekar Gila.
Sementara tangannya bergerak mengambil sesuatu dari
balik pakaiannya, kemudian ditebarkan ke muka Pendekar Gila.
“Aits Hih...”
Dengan cepat Pendekar Gila melepaskan
cengkeraman tangannya, sambil berguling ke samping.
Lalu dengan cepat bangkit berdiri dan melenting ke atas. Setelah bersalto
beberapa kali di udara, dengan menggunakan jurus 'Si Gila Terbang Menyambar
Mangsa' Pendekar Gila melancarkan serangan cepat pada Datuk Raja Beracun.
“Heaaa...”
Wusss
Tendangan Pendekar Gila menerobos asap merah yang
ditebarkan Datuk Raja Beracun. Tak dapat dielakkan, tendangan itu menghantam
dada Datuk Raja Beracun.
Wreeet Dugk
“Ukh...”
Tubuh Datuk Raja Beracun terhuyung-huyung ke
belakang. Dari sela bibirnya, meleleh darah segar.
Matanya yang tajam menatap garang pada Pendekar
Gila. ***
Pendekar Gila cengengesan sambil menggaruk-garuk
kepala. Sementara Datuk Raja Beracun hanya mampu menatap dengan hati jengkel.
Dadanya tampak turun naik menahan kemarahan. Dibiarkan saja darah yang terus
mengalir lewat bibirnya. Gigi- giginya saling beradu dan napasnya mendengus
keras.
“Hi hi hi...”
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil
menggaruk-garuk kepala. Tubuhnya melompat-
lompat, seperti seekor kera yang kegirangan. Hal
itu membuat kemarahan Datuk Raja Beracun semakin menggelegak. Dan tiba-tiba,
dari mulut lelaki tua berpakaian abu-abu itu keluar suara keras mirip lolongan
anjing hutan.
“Ghrrr Auuu...”
Bersamaan dengan suara lolongan itu, Datuk Raja
Beracun menjatuhkan tubuh lalu bergulingan ke belakang. Dan saat itu pula,
wujudnya berubah menjadi sesosok serigala besar berwarna hitam. Mata binatang
itu tampak menyala buas, menatap tajam wajah Pendekar Gila yang masih diliputi
perasaan terkejut.
“Heh?”
Pendekar Gila menyurut mundur dua tindak.
Matanya membelalak kaget. Namun kemudian
muncul sikap khasnya yang konyol.
“Hi hi hi... Lucu sekali Kenapa kau mau
menakut-nakuti aku dengan barongan seperti itu?”
“Ghrrr Auuu...”
Lolongan keras serigala hitam jelmaan Datuk Raja
Beracun itu terasa menggetarkan. Bahkan dedaunan di sekitar tempat itu bergetar
hebat. Dan pada saat itu pula, dari dalam goa muncul lima orang lelaki gagah.
Semua menatap wajah Pendekar Gila yang cengengesan.
“Heh?” Pendekar Gila tersentak kaget Matanya
terbelalak dengan mulut melongo. Lima lelaki berpakaian biru mengkilap itu
ternyata Lima Walang Sakti “Kalian? Ah ah ah, aneh sekali Kurasa ada yang tak
beres.”
“Tutup mulutmu, Pendekar Gila Kau benar-benar telah
turut campur dengan urusan kami” suara parau itu terdengar dan mulut serigala
hitam itu. “Bunuh dia Dia telah tahu semua tentang kita”
“Aha, kurasa kini kalianlah yang telah membuka
kedok kalian sendiri. Rupanya di balik kebaikan kalian, tersembunyi sifat tamak
dan keji” ujar Pendekar Gila sambil tertawa-tawa, tak merasa takut sedikit pun
menghadapi Lima Walang Sakti dan serigala jejadian itu.
“Kurang ajar Bungkam mulutnya” Kembali
serigala jejadian itu berseru memerintah, yang
dengan segera dikerjakan Lima Walang Sakti.
“Heaaa...”
Dengan jurus 'Paduan Walang Merambah Hutan'
Lima Walang Sakti langsung merangsek Pendekar Gila.
Pedang di tangan mereka bergerak cepat, membabat, dan menusuk tubuh Pendekar
Gila
dengan cepat dari segala arah.
“Heaaa...”
Wrt Wut
Dengan menggunakan jurus 'Si Gila Menari
Menepuk Lalat' Pendekar Gila bergerak mengelakkan
serangan kelima lawannya. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan menari, sambil sesekali
menyerang dengan telapak tangannya ke tubuh lawan.
“Heaaa...”
“Hea...”
Lima Walang Sakti ternyata bukan orang
sembarangan. Apalagi di tangan mereka tergenggam
pedang. Hal itu cukup membuat Pendekar Gila harus menguras tenaga. Tubuhnya
terus bergerak meliuk- liuk, mengelakkan serangan yang datangnya
susul-menyusul.
“Aha, kalau aku begini terus, kurasa sia-sia tenagaku,”
gumam Sena sambil terus bergerak merundukkan tubuh, ketika pedang lawan
berkelebat cepat membabat ke kepalanya. Namun segera
mendoyongkan tubuh ke samping, ketika serangan
susulan datang dari depan.
Pendekar Gila yang tak ingin menganggap remeh lawan-lawannya,
kini segera mencabut senjata saktinya yang berupa suling berkepala naga.
Apalagi ketika melihat serigala jejadian itu melompat masuk ke dalam goa.
Dengan cepat Sena melemparkan Suling Naga Saktinya.
“Aha, mau ke mana kau, Serigala Tolol? Hih...”
Wsss
Suling Naga Sakti melesat ke udara, kemudian jatuh
tepat di depan mulut goa. Saat itu pula, dari Suling Naga Sakti keluar asap
tebal berwarna putih.
Kemudian samar-samar muncul sesosok bayangan dari
kepulan asap. Setelah asap putih itu hilang, nampaklah sosok ular naga besar
berwarna kuning emas.
Wsss
“Ghrrr...”
Serigala jejadian tersentak kaget. Binatang itu
mengurungkan langkahnya masuk, karena pintu goa tertutup sosok tubuh panjang
dan besar. Mata serigala bertubuh besar itu memandang penuh amarah. Naga Sakti
pun melakukan hal sama. Dari mulut keduanya keluar desisan keras dan lolongan
menggelegar membahana.
Serigala jejadian itu segera melesat menubruk ke
Naga Sakti. Pertarungan kedua binatang sakti itu tak terelakkan. Keduanya
saling gulat dan cakar, berusaha membunuh satu sama lain.
Melihat Naga Sakti kini telah menghadapi serigala
hitam jelmaan Datuk Raja Beracun, Pendekar Gila pun dengan tertawa
terbahak-bahak terus meladeni Lima Walang Sakti. Dengan jurus 'Si Gila Terbang
Mencengkeram Mangsa' tubuh Pendekar Gila
berkelebat di udara, mengelitkan babatan dan
tusukan pedang lawan. Kakinya turut bergerak, menjejak dan menendang kepala
lawan.
“Aha, lucu sekali kepala kalian” seru Sena sambil
menjejakkan kakinya ke kepala Walang Kerik, yang menyerangnya dengan penuh
nafsu.
Degk
“Waduh...”
Walang Kerik menjerit kesakitan. Kepalanya yang
dijejak, bagaikan ditindih batu seberat tubuhnya.
Sehingga kepalanya terasa sangat pening. Tubuh
Walang Kerik, nampak sempoyongan seperti
menahan beban yang sangat berat. kemudian
tubuhnya ambruk pingsan.
Pendekar Gila tertawa cekikikan. Tubuhnya yang baru
saja mendarat, langsung berjingkrak-jingkrak sambil menggaruk-garuk kepala. Hal
itu membuat Walang Sakti yang lain semakin marah, merasa diledek dan
diremehkan.
“Kurang ajar Kubunuh kau, Pendekar Gila”
dengus Walang Kejer. Kemudian dengan meng-
gerakkan tangan memerintah ketiga adik
seperguruannya, melakukan serangan serentak pada
Pendekar Gila dari empat arah.
“Heaaa...”
“Yeaaa... Mampus kau, Pendekar Gila...” Melihat
keempat lawan dengan ganas
menyerang, Pendekar Gila segera melompat ke atas.
Kemudian dengan enaknya hinggap di atas dahan pohon
sambil tertawa terbahak-bahak.
“Hua ha ha... Aku di sini, mengapa kalian seperti
orang kebingungan?” seru Sena ketika melihat keempat lawan yang tengah
mencari-cari dirinya.
“Kurang ajar Pengecut Turun kau?” bentak Walang
Keket sambil melesat melakukan serangan.
Tubuhnya melesat terbang bagaikan seekor belalang.
Pedang di tangannya siap membabat Pendekar Gila.
Namun dengan cepat, Pendekar Gila melompat sambil
bersalto meninggalkan cabang pohon ara itu dan hinggap di pohon lain. Hal itu
membuat Walang Keket kehilangan keseimbangan, sehingga menabrak cabang pohon.
Srak Brak
“Ukh”
Tubuh Walang Keket melayang ke bawah,
kemudian jatuh di tanah. Dadanya bolong tertancap
sebatang tonggak kayu. Kejadian itu membuat ketiga Walang Sakti semakin marah.
“Pengecut Kalau kau benar seorang pendekar, turun
dan hadapi kami” tantang Walang Kejer.
“Aha, kurasa kalianlah yang pengecut. Kejarlah aku.
Hi hi hi...”
Sambil tertawa cekikikan, Pendekar Gila menari-nari
di atas sebatang cabang pohon besar. Lidahnya dijulur-julurkan, kemudian
pantatnya ditepuk-tepuk meledek ketiga lawan agar marah. *** Sementara itu,
pertarungan antara Naga Sakti melawan serigala jejadian masih berlangsung seru
Kedua binatang itu saling serang. Naga Sakti mulai dapat membelit tubuh lawan,
yang terus berusaha mencakar dan menggigit. Naga Sakti pun tak mau kalah,
kaki-kakinya yang juga berkuku tajam mencakar muka dan tubuh serigala siluman.
Tubuhnya berguling-guling dan meliuk sambil terus
membelit serigala.
“Auuu... Hrrr”
Serigala besar itu meraung-raung keras seakan-akan
merasa kesakitan karena belitan ular naga.
Namun binatang jelmaan Datuk Raja Beracun itu tak
peduli, terus berusaha mencakar dan menggigit tubuh Naga Sakti yang terus
meringkus tubuhnya.
Sambil mendesis-desis keras, Naga Sakti pun
berusaha mencakar dengan kuku-kukunya yang tajam dan kuat.
Tampaknya tak sia-sia yang dilakukan Naga Sakti.
Serigala bertubuh besar itu melolong keras ketika
cakaran Naga Sakti mencabik wajah dan perutnya.
Darah tampak mengalir dari atas matanya yang
menyala. Kedua binatang jelmaan itu terus bergulat mencakar, menggigit, dan
bergulingan.
Keduanya terus berguling ke bawah, semakin jauh
dari goa tempat pertarungan Pendekar Gila melawan Walang Sakti. Sementara itu,
dari arah barat terdengar suara teriakan-teriakan orang penuh amarah.
“Itu mereka, Ki Lurah...”
“Tangkap pengkhianat-pengkhianat itu...” seru
seorang lelaki berusia sekitar enam puluh tahun yang ternyata Ki Lurah Sentana.
Tiga Walang Sakti yang sedang menunggu
Pendekar Gila turun, kini nampak kebingungan.
Mereka hendak lari ke timur, tetapi tiba-tiba
Pendekar Gila berteriak dengan suara keras menggelegar.
“Hua ha ha... Mau lari ke mana, Tikus-Tikus Busuk?”
Tiga Walang Sakti tersentak kaget. Mereka
semakin ketakutan, tak tahu harus berbuat apa.
Apalagi dari arah barat teriakan-teriakan warga
Desa Karang Bale yang menyertai kepala desa tampak semakin dekat
“Tangkap pengkhianat-pengkhianat itu...”
perintah Ki Lurah Sentana penuh amarah.
Warga Desa Karang Bale yang sudah marah
karena tahu kalau semua kekacauan di desa mereka
akibat tindakan Walang Sakti serta orang yang mengaku bernama Datuk Raja
Beracun, segera mengepung ketiga Walang Sakti.
Dalam keadaan terpepet, Tiga Walang Sakti tak dapat
berbuat banyak menghadapi puluhan warga yang dibantu oleh Pendekar Gila. Dalam
sekejap saja, Tiga Walang Sakti dapat dibantai oleh warga Desa Karang Bale.
Sementara itu, jauh di bawah sana, dua makhluk
jelmaan masih terus bertarung. Namun nampaknya serigala jejadian itu mulai
kehabisan tenaga, karena belitan kuat Naga Sakti. Tulang-tulang tubuhnya, remuk
oleh belitan itu.
“Auuu...”
Terdengar suara keras meraung, bersamaan
dengan melayangnya nyawa serigala besar itu. Sesaat
kemudian, Naga Sakti kembali berubah menjadi sebuah suling emas dan melesat ke
tempat Pendekar Gila berada. Wusss
“Aha, terima kasih”
Pendekar Gila segera menangkap Suling Naga
Saktinya, kemudian diselipkan ke ikat pinggang.
Sementara warga desa dan Ki Lurah Sentana yang tadi
mendengar raungan keras, segera lari ke tempat asal suara itu, untuk melihat
apa sebenarnya yang terjadi.
Di bawah, di hutan yang mengelilingi kaki Gunung
Welirang, tergeletak sesosok tubuh lelaki yang mengaku Datuk Raja Beracun.
Warga desa langsung berlarian mendekati sosok tubuh berpakaian abu-abu itu.
Tanpa ragu-ragu orang-orang segera mengangkat tubuh Datuk Raja Beracun untuk
dibawa naik.
Setelah dibaringkan di tanah, Ki Lurah Sentana
segera menghampiri mayat Datuk Raja Beracun.
Tangannya tiba-tiba bergerak merenggut wajah mayat
itu. Dengan keras, Kepala Desa itu menyentakkan kulit wajah mayat Datuk Raja
Beracun.
Bret
“Hah?”
Pendekar Gila terkejut ketika melihat wajah Datuk
Raja Beracun yang ternyata tertutup kedok kulit.
Matanya semakin terbelalak setelah tahu siapa
sebenarnya datuk itu.
“Ah ah ah, mengapa jadi begini?”
Ki Lurah Sentana tersenyum. Dipegangnya
pundak Pendekar Gila perlahan.
“Aku pun tak pernah menduga, Sena. Namun
salah seorang wargaku yang kutugaskan untuk
menguntit gerak-gerik mereka akhirnya melapor, kalau Datuk Raja Beracun tiada
lain Tunjung Melur.
Dia bukan adikku, dia sebenarnya pembunuh keji.”
“Ah, pusing sekali, Ki. Kalau begitu, siapa dia sebenarnya?” tanya Sena
kebingungan.
“Dia anak Ki Boleng, orang sesat yang sepuluh tahun
silam pernah menggemparkan Desa Karang Bale dengan perbuatan kejinya,” jawab Ki
Lurah Sentana.
“Ah ah ah, aku masih bingung, Ki,” sahut Sena.
“Baiklah...”
“Ayah”
Belum sempat Ki Lurah Sentana bertutur, tiba-tiba
dari dalam goa terdengar suara berseru.
“Hei, Anakku...” Ki Lurah Sentana langsung memburu
ke dalam diikuti Pendekar Gila. Dan mereka melihat Wirani dengan tubuh setengah
telanjang, terikat pada batu besar. Pendekar Gila segera membantu membuka
ikatan pada tangan Wirani. “Oh, syukurlah Kau masih dilindungi Hyang Widi.”
Wirani langsung memeluk ayahnya dan menangis.
“Hampir saja paman memperkosaku, Ayah,” ujar Wirani
di sela isak tangisnya. “Kalau saja tak segera datang Kakang Sena, entah aku
sudah bagaimana.”
“Sudahlah, Anakku Kau harus berterima kasih pada
Sena. Dan perlu kau ketahui, kalau manusia iblis itu bukan pamanmu. Dia anak Ki
Boleng,” ujar Ki Lurah Sentana menjelaskan.
“Bagaimana Ayah tahu?” tanya Wirani. “Nanti di
rumah aku ceritakan,” jawab Ki Lurah Sentana sambil membimbing anaknya keluar
dari dalam goa.
Jubahnya dibuka, kemudian dikenakan ke tubuh
Wirani. “Sena, kuharap kau tak menolak untuk menginap di rumah Akan kuceritakan
siapa
sebenarnya Datuk Raja Beracun yang mengaku Ki
Tunjung Melur.” “Aha, baiklah, Ki. Rasanya aku pun tak bisa menolak ajakanmu,”
jawab Sena sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Dan ketika
matanya melirik Wirani, gadis cantik anak Ki Lurah Sentana itu pun tengah
memandang wajahnya. Bibir gadis itu tersenyum kepada Pendekar Gila. Namun
dengan cepat Sena berbisik dalam hati.
“Ingat, Sena Mei Lie adalah segala-galanya bagimu.
Jangan main api, nanti akan membakar hatimu Mei Lie menanti dirimu, cintamu, serta
kasih sayang yang tulus darimu.”
Sena tertawa terbahak-bahak, kemudian
menggaruk-garuk kepala. Semua warga Desa Karang
Bale yang tengah melangkah di kaki Gunung Welirang ter-sentak kaget. Mereka
langsung menoleh ke wajah Pendekar Gila. Namun kemudian semua turut tertawa
terbahak-bahak, memecah keheningan malam.
Wirani tersipu-sipu. Pipinya merah merona.
Sesampainya di rumah, Ki Lurah Sentana mengajak
Pendekar Gila dan anak gadisnya duduk-duduk di serambi depan. Kemudian kepala
desa itu pun mulai bercerita tentang siapa sebenarnya Tunjung Melur.
“Suatu hari, tiga purnama yang lalu kami
kedatangan seorang yang mengaku sebagai adikku,”
kata Ki Lurah Sentana memulai cerita. “Karena aku
memang mempunyai adik yang berpisah semenjak kecil, aku percaya kalau dia
memang adikku.”
Ki Lurah Sentana menarik napas. Sementara
Pendekar Gila dan Wirani masih diam mendengar
penuturan Ki Lurah Sentana.
“Semenjak kedatangan Tunjung Melur, Desa
Karang Bale memang semakin bertambah tenang.
Namun rupanya di balik semua kebaikan Tunjung
Melur, tersembunyi dendam. Dendam karena ayah- nya, Ki Boleng mati oleh
Pendekar Gila dari Goa Setan yang tak lain Singo Edan. Juga dendam terhadap
warga Desa Karang Bale, yang telah membantu Singo Edan menyingkirkan ayahnya.
Suatu hari, Tunjung Melur pergi. Pulangnya membawa
Lima Walang Sakti yang katanya teman-teman Tunjung Melur. Katanya, mereka ingin
bekerja.
Ternyata Lima Walang Sakti itu, teman-teman Tunjung
Melur yang juga hendak membuat kekacauan di Desa Karang Bale. Bahkan Tunjung
Melur ingin meng-gulingkan diriku sebagai lurah di desa ini.
“Aku semula tak tahu maksud jahat Tunjung
Melur. Sampai akhirnya, semenjak anak Ki Pardi
ditemukan mati, aku mulai menyuruh Ki Sobrah untuk menyelidiki secara
bersembunyi. Akhirnya diketahui, kalau dalang kejadian-kejadian ini tak lain
Tunjung Melur. Lewat teman-teman Ki Sobrah, akhirnya didapat keterangan kalau
Tunjung Melur ternyata anak Ki Boleng.
Karena merasa khawatir, kami segera memburu ke arah
yang dituju Tunjung Melur. Dia katanya hendak mencari Datuk Raja Beracun.
Akhirnya, kami pun menemukannya.”
Begitulah kisah yang diceritakan kepala desa itu
tentang Datuk Raja Beracun kepada Pendekar Gila.
“Ah ah ah, aku kini tahu. Hm, beruntung sekali kau
masih dilindungi Hyang Widi, Wirani. Hi hi hi...
Kalau tidak, tentunya kau sudah menjadi makanan
empuk datuk cabul itu,” goda Pendekar Gila, yang membuat wajah Wirani bersemu
merah. Mata gadis itu melirik wajah Pendekar Gila, kemudian tersipu malu sambil
menundukkan kepala.
Ki Lurah Sentana turut tersenyum. Kemudian secara
diam-diam kepala desa itu meninggalkan serambi rumah. Membiarkan Pendekar Gila
dan anaknya berdua dalam kebisuan. Sampai akhirnya Pendekar Gila dan Wirani
tersenyum, setelah menyadari kalau Ki Lurah Sentana sengaja
meninggalkan mereka berdua.
SELESAI
Emoticon