Pendekar Gila 15 - Durjana Berparas Dewa(1)



Firman Raharja  
Serial Pendekar Gila  
dalam episode:  
Durjana Berparas Dewa
Pagi nampak cerah. Langit biru tak berawan ter-
hampar di atas Desa Swargadana. Di sebelah selatan 
desa itu tampak membentang gunung yang membiru 
indah dari timur sampai ke barat Di sebelah barat, 
rimbun pepohonan yang menghijau menambah asri 
pemandangan. Sedangkan di sebelah timur dan utara, 
sejauh mata memandang tampak tanah persawahan 
hijau yang luas. 
Sungai kecil nampak meliuk-liuk seperti ular 
raksasa, menghiasi Desa Swargadana. Membuat kea-
daan desa itu bertambah indah laksana surga bagi 
penduduknya. 
Penduduk Desa Swargadana sebagian besar 
mencari nafkah dengan berdagang dan bertani. Wajar 
kalau desa itu cukup ramai dikunjungi para pelan-
cong. Di samping ingin melihat keadaan pemandangan 
desa, biasanya mereka juga berdagang di desa itu. 
Desa Swargadana dipimpin seorang kepala desa 
yang cukup disegani. Berbudi pekerti luhur, adil da-
lam memutuskan segala perkara, juga tidak tamak. 
Bahkan sikap rela berkorban bagi kepentingan desa 
melekat erat dalam jiwanya. 
Ki Baya Kitri, nama kepala desa itu. Seorang le-
laki berusia sekitar lima puluh tahun. Bertubuh tinggi 
tegap dengan wajah yang selalu mencerminkan kesa-
baran dan ketenangan jiwanya. Matanya tajam, seta-
jam mata burung elang. Penampilannya sederhana. 
Ki Baya Kitri memiliki seorang anak gadis cantik 
bernama Arum Sari. Kecantikan gadis itu sangat ter-
kenal di seluruh Desa Swargadana. Bukan hanya di 
desa itu saja kecantikan Arum Sari terkenal, tapi bah-
kan sampai ke seluruh Kadipaten Blambangkara yang 
dipimpin Adipati Sepa Waroagung. 
Pagi itu langit tampak cerah. Seorang pemuda 
tampan berusia sekitar dua puluh tujuh tahun berpa-
kaian ungu, melangkah menyelusuri jalanan di Desa 
Swargadana. Saat itu telah ramai orang berjalan me-
nuju Desa Swargadana. 
Hampir semua orang yang berpapasan dengan 
pemuda tampan berpakaian ungu itu menghentikan 
langkah. Mulut mereka berdecak kagum, melihat ke-
tampanannya. Namun, pemuda yang bernama Galapa-
ti itu terus melangkah, seolah tak menghiraukan ke-
kaguman semua orang yang melihatnya. 
"Ck ck ck...! Tampan sekali pemuda itu," gumam 
seorang wanita setengah baya berbaju kuning dengan 
mulut berdecak kagum. "Kalau aku masih muda, ingin 
rasanya aku menjadi kekasihnya." 
"Iya, ya. Pemuda kok tampan begitu," sambung 
temannya, wanita berusia sekitar empat puluh lima 
tahun dengan kening lebar dan berpakaian merah 
muda. 
Galapati tak menghiraukan suara orang-orang 
yang membicarakan dirinya. Kakinya terus saja me-
langkah, menyelusuri jalan ranah di Desa Swargadana 
yang indah dan berudara sejuk. Kini kakinya melang-
kah ke selatan, menuju rumah Kepala Desa Swarga-
dana. 
Tak lama kemudian, Galapati telah sampai di 
depan halaman rumah Ki Baya Kitri. Tampak dua 
orang berpakaian biru tua dengan wajah garang ten-
gah bercakap-cakap. Rambut mereka yang lebat ditu-
tup kain biru mirip blangkon. 
Yang seorang berbadan besar, mukanya dihiasi 
cambang bauk lebat. Sedangkan yang seorang lagi 
hanya dihiasi kumis tebal melintang. 
"Selamat pagi...!" sapa Galapati. 
Kedua orang berbadan tinggi besar yang ten-
tunya pengawal Ki Baya Kitri seketika menghentikan 
percakapan mereka. Keduanya langsung memandang 
orang yang menyapa mereka. Kemudian dengan ken-
ing berkerut dan menatap tajam wajah Galapati, me-
reka mendekat 
"Selamat pagi...!" sahut keduanya hampir bersa-
maan. 
"Ada apa, Kisanak?" tanya lelaki bercambang 
bauk. Matanya masih menatap tajam Galapati yang 
tampak tenang menghadapi kedua orang berwajah ga-
rang itu. 
"Saya mau bertemu kepala desa," sahut Galapati. 
"Kisanak siapa? Dari mana dan ada urusan apa 
ingin bertemu dengan kepala desa?" tanya Raparata, 
orang yang berkumis melintang. 
Galapati tersenyum, masih menunjukkan kete-
nangan. Meski dua orang yang sedang dihadapi ber-
tampang sangar, nampaknya Galapati tak merasa ta-
kut sedikit pun. Sikapnya tenang, bahkan tetap terse-
nyum. Beruntung wajahnya sangat tampan, sehingga 
tak segera membuat kedua pengawal Ki Baya Kitri ma-
rah. Keduanya seakan terpesona melihat ketampanan 
Galapati. 
"Aku ingin melamar kerja," jawab Galapati.  
"Apa kepandaianmu, Kisanak?" tanya Rarapita, 
lelaki bercambang bauk. "Tak pantas orang setampan 
dirimu melamar kerja kasar. Sedangkan di sini tak ada 
kerjaan yang ringan." 
"Apa pun pekerjaannya, aku sanggup. Meski 
mencari rumput sekalipun, aku sanggup. Karena aku 
memang sudah terbiasa melakukannya," jawab Gala-
pati berusaha meyakinkan keduanya. 
Dua orang pengawal Ki Baya Kitri mengerutkan 
kening. Mata mereka memperhatikan dengan seksama 
wajah Galapati, seperti tak percaya mendengar jawa-
ban Galapati. Bagaimana mungkin pemuda tampan 
dengan  tubuh yang tak begitu berotot mampu mela-
kukan pekerjaan kasar? Pikir keduanya, masih belum 
yakin dengan apa yang dikatakan Galapati. 
Galapati tersenyum, seperti mengerti apa yang 
sedang dipikirkan kedua pengawal kepala desa itu. 
"Kalian sepertinya menyangsikan tubuhku," gu-
mamnya menyentakkan kedua pengawal Ki Baya Kitri. 
"Ya. Kami tak yakin, kau akan sanggup bekerja 
keras," tukas Raparata. 
Galapati kembali tersenyum. Kepalanya digeleng-
gelengkan. Lalu setelah menghela napas panjang, den-
gan bibir masih mengurai senyum dia berkata, 
"Kurasa, kalian memandang orang hanya dari 
luar saja." 
"Apa maksudmu, Kisanak?" tanya Rarapita. 
"Ya, kalian menganggap hanya kalian yang 
mampu melakukan pekerjaan berat. Sedangkan 
orang-orang sepertiku, kalian anggap lemah dan tiada 
daya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan berat," 
sahut Galapati dengan tenang. Bahkan senyumnya 
semakin mengembang di bibirnya. 
"Ada apa, Rarapita?" 
Tiba-tiba dari dalam terdengar suara berat yang 
sepertinya keluar dari mulut seorang lelaki tua. Tak 
lama kemudian, muncul seorang lelaki berusia sekitar 
lima puluh tahun. Tubuhnya tinggi tegap, dan berma-
ta tajam. Namun raut wajahnya menggambarkan ke-
tenangan dan kesabaran. Tentunya lelaki berusia seki-
tar lima puluh tahun ini tak lain Ki Baya Kitri, Kepala 
Desa Swargadana. 
"Maaf, Ki. Ada seorang pemuda yang hendak me-
lamar pekerjaan di sini," sahut lelaki bercambang 
bauk yang bernama Rarapita. 

"Hm, mana...?" tanya Ki Baya Kitri. 
"Itu, Ki," sahut Rarapita sambil menunjuk Gala-
pati yang masih berhadapan dengan rekannya. 
Galapati tersenyum, kemudian membungkukkan 
badannya ketika Ki Baya Kitri memandang dirinya. Hal 
itu membuat kepala desa itu membalas tersenyum, 
kemudian melangkah mendekati Galapati. 
"Kau mau melamar kerja di sini, Bocah?" tanya 
Ki Baya Kitri. 
"Benar, Ki." 
"Apa kebisaanmu?" 
"Saya tak bisa apa-apa, Ki. Maka itu, menjadi 
tukang arit rumput pun mau," sahut Galapati. Tindak 
tanduknya yang penuh rasa hormat, membuat Ki Baya 
Kitri semakin mengerutkan kening. Lelaki muda itu 
tampak heran melihat sikap yang ditunjukkan pemu-
da tampan itu. Tindak-tanduknya mencerminkan ka-
lau dirinya bukan orang bodoh, melainkan cermin jiwa 
seseorang yang memiliki ilmu serta budi pekerti. 
Hm, kurasa dia bukan pemuda sembarangan. 
Dari sikap dan tindak tanduknya, jelas dia orang yang 
berpendidikan serta berbudi pekerti baik. Gumam Ki 
Baya Kitri dalam hati. Matanya masih memperhatikan 
secara seksama pemuda tampan di hadapannya. Ke-
palanya manggut-manggut, seakan sedang mendalami 
siapa sebenarnya pemuda itu. 
"Benarkah kau mau menjadi tukang rumput?" 
tanya Ki Baya Kitri belum percaya dengan kesanggu-
pan pemuda tampan yang berdiri dengan sikap hormat 
di hadapannya. Mata lelaki tua itu masih memandang 
penuh selidik terhadap pemuda itu. Tatapannya sea-
kan hendak memastikan siapa sesungguhnya pemuda 
tampan itu. 
"Benar, Ki. Saya memang ingin bekerja demi 
mendapatkan sesuap nasi guna melangsungkan kehi-
dupanku," jawab Galapati sambil membungkukkan 
badan, berusaha meyakinkan Ki Baya Kitri. 
Ki Baya Kitri masih memandangi dengan penuh 
seksama, seperti masih berpikir siapa sebenarnya pe-
muda itu. 
"Hm, baiklah kalau itu yang kau inginkan. Siapa 
namamu, Anak Muda...?" tanya Ki Baya Kitri. 
"Nama saya Galapati," jawab Galapati masih me-
nunjukkan sikap hormat. 
"Dari manakah asalmu, Anak Muda...?" 
"Saya dari Parang Gumilar, Ki," jawab Galapati. 
"Hm.... Baiklah, mulai saat ini kuterima kau 
menjadi tukang rumput di sini." 
"Terima kasih, Ki." 
Tiga kali Galapati membungkukkan badan, men-
jura hormat dan mengucapkan terima kasih atas ke-
sediaan Ki Baya Kitri menerimanya sebagai tukang 
rumput di rumahnya. 
"Raparata dan Rarapita akan menunjukkan tem-
pat tinggalmu. Mereka juga akan memberitahukan pa-
damu aturan-aturan di sini," tutur Ki Baya Kitri. 
"Baik, Ki," sahut Rarapita dan Raparata. 
"Antar dia ke tempatnya!" perintah Ki Baya Kitri. 
"Baik, Ki." 
"Galapati, ikut kami!" ajak Rarapita. 
Galapati pun menurut, mengikuti kedua pen-
gawal Ki Baya Kitri. Mereka akan menunjukkan di 
mana pemuda itu harus tinggal dan segala macam ke-
biasaan, aturan, dan larangan yang berlaku. Pemuda 
tampan itu tersenyum. Entah apa arti senyumnya. 
Kakinya terus melangkah, mengikuti kedua pengawal 
Ki Baya Kitri menuju belakang rumah. 
"Kita tinggal di sini, Gala," ujar Rarapati sambil 
membuka pintu rumah yang ada di belakang rumah Ki 
Baya Kitri. Sebuah rumah yang cukup besar. Di samp-
ing itu, terdapat sebuah kandang kuda. Di dalamnya 
ada tiga ekor kuda besar dan kekar. 
"Hm...," gumam Galapati tak jelas. Matanya me-
mandang ke sekeliling tempat itu, seperti ada sesuatu 
yang tengah dicarinya. 
"Hal-hal yang tak boleh kau langgar antara lain, 
kau tak boleh masuk ke rumah induk. Kedua, jangan 
sekali-kali kau berusaha membuat keributan di sini. 
Karena, jika hal itu terjadi, kau akan berhadapan den-
gan kami," sambung Raparata. 
"Hm, baik," sahut Galapati. 
"Mari masuk!" ajak Rarapita. 
Mereka segera masuk ke rumah itu. Kemudian 
membereskan barang-barang di rumah yang bakal di-
tempati Galapati dan kedua pengawal Ki Baya Kitri. 
*** 
Galapati mengurusi ketiga kuda milik Ki Baya Ki-
tri. Pemuda itu sedang menyikat tubuh kuda dan 
memberi makan, ketika seorang gadis cantik berusia 
sekitar dua puluh dua tahun, bertubuh langsing den-
gan kulit bersih, keluar dari rumah induk. Gadis ber-
pakaian serba hijau itu, mengerutkan keningnya keti-
ka melihat seorang pemuda tampan sedang memberi 
makan dan menyikat tubuh kuda milik ayahnya. 
"Siapa pemuda itu?" tanya gadis cantik yang tak 
lain Arum Sari. Dengan wajah tertegun, Arum Sari me-
langkah mendekati kandang kuda, berusaha melihat 
dari dekat siapa pemuda tampan itu. 
Mara Arum Sari menyipit ketika  semakin dekat 
dengan pemuda tampan itu. Wajah pemuda tampan 
itu bagaikan wajah Dewa Kamajaya. Elok, bersih, dan 
bercahaya terang. Seketika hati Arum Sari tergoda in-
gin berkenalan dengan pemuda itu. 
"Hm...," gumam Arum Sari berusaha menarik 
perhatian, dengan harapan pemuda itu akan meng-
hentikan pekerjaannya dan menoleh padanya. Namun 
ternyata harapannya sia-sia. Pemuda berpakaian ser-
ba ungu yang di kepalanya tertutup kain ungu mem-
bentuk sudut ke atas itu, tetap melakukan pekerjaan-
nya tanpa menghiraukan orang yang menggumam. 
Bahkan pemuda itu kini bekerja semakin giat. 
Gerakan tangannya yang menyikat tubuh kuda, terli-
hat lincah. Hal itu membuat putri Ki Baya Kitri sema-
kin terpesona melihat ketampanan dan cara kerja pe-
muda itu. Hasrat hatinya ingin berkenalan dengan 
pemuda itu kian menggebu. Namun Galapati masih te-
tap tak acuh. Seakan-akan tak melihat kehadiran 
Arum Sari. 
"Ehem...!" Arum Sari mendehem lebih keras. 
Galapati tersentak, seketika dia menghentikan 
kerjanya. Lalu dengan tersipu-sipu sambil menunduk, 
Galapati membungkukkan badannya menghormat 
"Maaf, Den Putri! Hamba tidak tahu," ujar Gala-
pati masih menunjukkan hormatnya. Tangannya dis-
atukan di dada. Kepalanya menunduk, seperti tak be-
rani beradu pandang dengan gadis berpakaian hijau di 
hadapannya. 
"Ah,  tak apa...," sahut Arum Sari sambil terse-
nyum. "Kau orang baru di sini?"  
"Benar, Den Putri." 
"Ah, mengapa kau memanggilku begitu? Panggil 
saja namaku, Arum Sari!" ujar Arum Sari mulai mem-
perkenalkan dirinya. 
"Rasanya tidak pantas, Den Putri Arum Sari. Ba-
gaimanapun juga, Den Putri anak majikan saya. Ma-
nalah mungkin sebagai hamba saya berlaku tak so-
pan?" tutur Galapati, semakin membuat Arum Sari 
bertambah mengerutkan kening.  Mata lembut gadis 
itu memandang tak berkedip pada Galapati. Seakan 
tak percaya mendengar penuturan pemuda tampan 
itu. 
Hm.... Dilihat dari rata caranya dalam berbicara 
dan bertindak-tanduk, jelas dia bukan pemuda keba-
nyakan. Tapi, mengapa dia mau menjadi tukang rum-
put? Gumam Arum Sari dalam hati dengan mata ma-
sih memperhatikan Galapati yang menundukkan ke-
pala. 
"Siapa namamu...?" tanya Arum Sari. 
"Nama hamba yang bodoh ini Galapati, Den Pu-
tri." 
"Galapati, jangan kau panggil aku dengan sebu-
tan Den Putri! Aku bukan anak raja. Panggil saja na-
maku!" pinta Arum Sari dengan bibir masih mengurai 
senyum. 
Ada sesuatu perasaan yang tiba-tiba muncul di 
hati gadis itu, setelah melihat ketampanan pemuda 
itu, serta tindak-tanduknya yang sopan dan santun. 
Mata Arum Sari lebih jelas menatap penuh rasa ka-
gum pada Galapati. Tatapannya tidak sekadar tatapan 
seorang majikan pada kacungnya. Tak jemu-jemunya 
Arum Sari memandang penuh perhatian pada wajah 
pemuda tampan di hadapannya. Sementara itu Gala-
pati pun tampak mulai mencuri-curi pandang. 
"Galapati," desis Arum Sari memanggil nama 
pemuda tampan yang tanpa disadari telah menyentuh 
jiwanya. 
"Hamba, Den Putri." 
"Galapati...," kembali Arum Sari memanggil. 
"Hamba, Den Putri," sahut Galapati masih me-
nundukkan kepala, menjadikan Arum Sari gemas. Dia 
ingin Galapati menatap wajahnya, tanpa membung-
kuk-bungkuk seperti itu. 
"Galapati...," desis Arum Sari lebih keras. 
"Hamba, Den Putri," jawab Galapati. Kali ini ma-
tanya memandang Arum Sari, sehingga mata kedua-
nya saling bertatapan. Darah Arum Sari berdesir ha-
lus, ketika matanya bertatapan dengan mata Galapati. 
Mulutnya terperangah, menyaksikan ketampanan wa-
jah pemuda berpakaian ungu itu. 
Arum Sari terpaku, mematung dengan mata ber-
kedip, memandang Galapati yang berusaha terse-
nyum. Perlahan-lahan Arum Sari membuka mulutnya 
tersenyum malu-malu. Malah kini kepalanya ditoleh-
kan, berusaha tidak melihat tatapan mata pemuda itu. 
Ah! Tampan sekali! Bagaikan dewa yang baru tu-
run dari kahyangan! Desis hati Arum Sari dengan ma-
sih tersipu malu, membuang muka ke bawah. 
Ketika kedua muda-mudi itu tengah terlibat da-
lam getaran aneh di hati mereka, tiba-tiba terdengar 
suara Ki Baya Kitri berseru. 
"Galapati, siapkan kereta dan kudanya...!" 
"Baik, Ki!" sahut Galapati tersentak. 
"Arum, kenapa kau di situ? Ayo masuk...!" perin-
tah Ki Baya Kitri memanggil putrinya agar meninggal-
kan kandang kuda. 
"Baik, Rama," sahut Arum Sari. "Galapati, ku-
tunggu kau." 
Usai berkata begitu, Arum Sari pun segera me-
ninggalkan kandang kuda. 
Sementara Galapati hanya terbengong menden-
gar kata-kata Arum Sari. Kutunggu? Apa maksudnya? 
Tanya Galapati dalam hati, berusaha memahami mak-
sud ucapan Galapati. Mungkinkah dia.... Ah, kurasa 
begitu. 
Galapati tersenyum. Tangannya bergerak cepat, 
melepaskan ikatan tali kuda yang diminta Ki Baya Ki-
tri. Pikirannya masih terus diliputi bayangan gadis 
cantik anak Ki Baya Kitri yang baru saja mengatakan 
hendak menunggu. Meskipun kata-kata itu tak jelas 
maksudnya, Galapati sudah menduga-duga apa yang 
sebenarnya dikehendaki gadis itu. Dan hal itulah se-
benarnya yang ditujunya. Kedatangannya ke Desa 
Swargadana dan melamar kerja di rumah Ki Baya Kitri 
pun sebetulnya hanya kedok belaka. Tujuannya hanya 
satu, mengambil hati gadis cantik anak Ki Baya Kitri! 
Setelah melepaskan tali-temali pengikat kereta 
kuda, Galapati pun segera menuntun kereta kuda itu 
menuju tempat Ki Baya Kitri berada. 
"Ini, Ki."  
"Hm, bagus. Tak percuma kau kuterima kerja di 
sini, Galapati. Tapi perlu kau ketahui, jangan sesekali 
menggoda anakku. Karena Arum tak pantas bersand-
ing denganmu."  
Ki Baya Kitri segera menggandeng istrinya, mem-
bawa naik ke kereta. Tak lama kemudian kuda-kuda 
itu telah berjalan menghela kereta yang dinaiki tuan-
nya. 
"Ck ck ck...! Heaaa...!" 
Galapati hanya tersenyum kecut mendengar an-
caman Ki Baya Kitri, kemudian dia melangkah kembali 
ke rumah di belakang, tempat dirinya berteduh. 
Pucuk dicinta ulam tiba, begitu pepatah menga-
takan. Hal itu pun terjadi pada diri Galapati. Kehadi-
rannya di Desa Swargadana sebenarnya hanya untuk 
memikat anak Ki Baya Kitri yang terkenal cantik jelita. 
Dan apa yang diharapkannya, kini terpenuhi. Meski 
belum sepenuhnya. Namun tanda-tanda keberhasilan 
telah mulai nampak. 
Berawal dari pertemuan di kandang kuda, kedu-
anya merasakan getaran jiwa yang lain. Setiap kali 
mereka berusaha mengadakan pertemuan dengan se-
cara sembunyi-sembunyi, agar tidak diketahui Ki Baya 
Kitri dan kedua pengawalnya yang selalu menjaga ke-
tat Arum Sari jika Ki Baya Kitri pergi. 
Benih-benih asmara terus tumbuh. Di hati Arum 
Sari benih-benih itu tulus dan agung. Sedangkan di 
hati Galapati, hanyalah sebagai sandaran sementara. 
Malam telah larut dengan kegelapan yang menye-
limuti bumi. Angin malam bertiup lembut, membisik-
kan kesyahduan. Bulan purnama bersinar terang, 
menampakkan keindahan di langit biru yang cerah. 
Sesosok tubuh mengendap-endap, keluar dari 
rumah belakang. Matanya memandang liar ke sekeli-
lingnya yang sepi. Samar-samar terdengar suara orang 
bercakap-cakap di depan rumah induk, tempat Arum 
Sari tidur. Suara itu tentu berasal dari pengawal Ki 
Baya Kitri yang tengah berjaga-jaga, karena kepala de-
sa itu sedang pergi menghadiri perkawinan salah seo-
rang warga desa.  
Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara 
gamelan mengalun merdu, berasal dari pesta perkawi-
nan berlangsung. Dan ke tempat itulah Ki Baya Kitri 
pergi untuk menghadiri dan memberi restu atas per-
kawinan salah seorang anak warga desanya.  
Sosok bayangan ungu terus mengendap-endap, 
memperhatikan ke tempat pengawal Ki Baya Kitri be-
rada. Kemudian setelah merasa aman, bayangan ungu 
itu berlari dengan ringan menuju kamar tempat Arum 
Sari berada.  
"Hm, kurasa mereka sedang asyik ngobrol," gu-
mam bayangan ungu yang tak lain Galapati. Matanya 
diarahkan sesaat ke tempat kedua pengawal Ki Baya 
Kitri tengah berjaga. Kemudian setelah yakin kedua-
nya tak melihat, Galapati mulai mendekat ke jendela 
kamar Arum Sari.  
Tok, tok, tok...!  
Pelan sekali suara ketukan jari tangan Galapati 
ke daun jendela di kamar Arum Sari. Dengan harapan 
tak terdengar telinga kedua pengawal Ki Baya Kitri. 
Jendela terbuka pelan. Lalu nampaklah seraut 
wajah cantik yang tak lain Arum Sari. 
"Ayo masuk!" ajak Arum Sari sambil memben-
tangkan daun jendela lebar-lebar. 
"Kau belum tidur?" tanya Galapati. 
"Belum. Aku menunggumu, Gala," desis Arum 
Sari lirih, kemudian membantu Galapati naik ke jen-
dela. Lalu setelah Galapati masuk, pelan-pelan Arum 
Sari menutup jendela kamarnya. 
"Bagaimana kalau ayahmu tahu, Arum?" tanya 
Galapati. 
"Ayah biasanya pulang pagi kalau ada acara be-
gitu. Ayolah, jangan lama-lama!" ajak Arum Sari. 
Gadis yang hatinya sudah dilanda gejolak itu 
tampak tak sabar. Tangannya yang lembut segera 
membuka pakaiannya. Hal itu membuat Galapati ter-
belalak, memandangi tubuh Arum Sari yang kini polos 
tanpa tertutup sehelai benang pun. 
Galapati pun segera mendekap tubuh Arum Sari, 
kemudian dibimbingnya ke tempat tidur. Lalu dengan 
penuh birahi, digelutinya tubuh Arum Sari. 
Keduanya terus bergumul dengan napas membu-
ru dan tersengal-sengal. Desahan-desahan birahi pun 
mulai terdengar dari kedua mulut mereka yang tu-
buhnya terus dibasahi peluh. 
Sementara di luar, kedua orang penjaga rumah 
Ki Baya Kitri nampak masih bercakap-cakap. Kedua-
nya masih belum menyadari apa yang sebenarnya kini 
tengah terjadi di dalam kamar Arum Sari. 
"Kalau saja tak ada bocah itu, tentunya kita bisa 
ikut dengan Ki Baya Kitri, nonton hiburan," gumam 
Raparata. 
"Iya. Padahal Tandak Ki Begol terkenal cantik-
cantik dan bahenol," sambung Rarapita. 
"Ah, udara malam semakin dingin lagi," keluh 
Raparata.  
"Ya, namanya tugas. Kita harus menjalankan 
dengan sebaik mungkin. Eh, ngomong-ngomong, di 
mana anak muda itu? Bukankah lebih baik kita ajak 
ngobrol-ngobrol?"  
"Ayo, kita ajak dia!" ajak Raparata.  
Keduanya beranjak meninggalkan halaman de-
pan rumah Ki Baya Kitri untuk memanggil Galapati. 
Namun, ketika keduanya melintas di samping kamar 
Arum Sari, seketika keduanya menghentikan langkah. 
Mata mereka terbelalak, ketika mendengar suara de-
sah napas dan rintihan-rintihan kenikmatan di dalam 
kamar itu.  
"Hei, suara siapa itu?" gumam Raparata. 
"Kurang ajar! Pasti pemuda itu," dengus Rarapita 
geram. "Kau periksa rumah belakang! Biar aku me-
nunggu di sini." 
Raparata segera melesat cepat menuju rumah 
belakang untuk memeriksa apakah Galapati masih 
ada atau tidak. Seketika matanya membelalak ber-
campur marah, setelah tak mendapatkan Galapati di 
sana. 
"Kurang ajar! Ditolong malah lancang memasuki 
kamar Arum Sari," dengus Raparata. 
Raparata kembali berlari menghampiri Rarapita 
yang menjaga di samping jendela kamar Arum Sari. 
"Bagaimana?" tanya Rarapita. 
"Dia tak ada." 
"Kurang ajar! Galapati, keluar kau...!" bentak Ra-
rapita gusar, setelah yakin kalau yang ada di dalam 
kamar Arum Sari tiada lain pemuda tampan yang ber-
nama Galapati. Dengan geram didobraknya jendela 
kamar itu. 
Mata keduanya membelalak, menyaksikan dua 
sosok tubuh telanjang bulat tengah bergumul di tem-
pat tidur. Seketika mendidih darah kedua pengawal Ki 
Baya Kitri yang sudah ditugasi untuk menjaga rumah 
dan melindungi Arum Sari. 
"Kurang ajar! Lancang sekali kau, Galapati!" ben-
tak Rarapita marah. 
"Kubunuh kau, Pemuda Keparat!" dengus Rapa-
rata. 
Galapati dan Arum Sari tersentak kaget. Kedua-
nya buru-buru mengenakan pakaian. Kemudian Gala-
pati berusaha lari  melalui jendela dengan melompati 
kedua orang penjaga rumah Ki Baya Kitri. 
Wsss! 
"Bangsat! Kubunuh kau...!" maki Rarapita sambil 
merundukkan kepala agar tak tersambar tendangan 
kaki Galapati, yang melesat cepat. Dengan cepat Rara-
pita mencabut golok di pinggangnya. 
Srt! 
Wrt! 
Rarapita membabatkan goloknya ke arah Galapa-
ti yang melesat di atas tubuhnya. Tapi gerakan pemu-
da itu sangat gesit dan cepat, sehingga luput dari ba-
batan golok lawan. 
"Hih!" 
Galapati bersalto beberapa kali di atas kedua 
penjaga rumah Ki Baya Kitri. Kemudian dengan terse-
nyum-senyum tenang, kakinya mendarat di tanah ber-
jarak lima tombak dari kedua pengawal Ki Baya Kitri. 
"Ha ha ha...! Kalian rupanya ngiri, ya?" ejek Ga-
lapati sambil tertawa bergelak-gelak, semakin mem-
buat Rarapita dan Raparata mendengus marah. 
"Bedebah! Rupanya dugaanku selama ini benar. 
Katakan, siapa kau sebenarnya, Bocah Keparat!" ben-
tak Raparata. 
Galapati hanya tersenyum sinis, lalu mencibir 
bibir, mengejek kedua lelaki bertubuh tinggi besar 
pengawal kepala desa itu. 
"Ha ha ha...! Dasar orang-orang berotak kerbau! 
Kini aku puas, kalianlah yang menanggung semuanya. 
Nah, selamat tinggal," usai berkata begitu, Galapati 
bermaksud pergi meninggalkan tempat itu, namun 
dengan cepat kedua pengawal Ki Baya Kitri melesat 
mengejar. 
"Hei, Keparat! Jangan harap kau bisa lari dari si-
ni! Heaaa...!"  
"Yeaaa...!" 
Dengan marah kedua pengawal Ki Baya Kitri me-
lesat mengejar Galapati yang masih tampak tenang. Di 
tangan keduanya golok terhunus siap dibabatkan ke 
tubuh pemuda tampan itu. Kini Raparata dan Rarapi-
ta telah menghadang, lalu dengan cepat pula kedua-
nya membabatkan golok ke tubuh Galapati. 
Wrt! Wrt...! 
"Eits!" 
Dengan gesit Galapati mengelak. Tubuhnya di-
rundukkan, lalu dengan cepat pula diegoskan ke 
samping. Dan golok kedua lawan pun hanya menderu 
di sampingnya. 
"Hih!" 
Galapati yang sudah terlepas dari babatan golok 
lawan, dengan cepat melancarkan tendangan keras 
disertai membalik tubuh dengan cepat 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
Rarapita dan Raparata tersentak menyaksikan 
tendangan lawan yang sangat cepat. Mata mereka 
membelalak lebar, dengan cepat mereka melompat 
mundur mengelakkan tendangan lawan yang keras 
dan cepat 
"Eits!" 
"Kurang ajar! Rupanya kau memang bukan pe-
muda sembarangan, Bocah! Tapi jangan harap kau bi-
sa lolos dari Sepasang Golok Gerhana. Yeaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
*** 
Setelah mengetahui kalau lawan mereka bukan 
pemuda sembarangan, kedua pengawal Ki Baya Kitri 
yang berjuluk Sepasang Golok Gerhana kini tak main-
main lagi. Dengan mengeluarkan jurus 'Golok Gerhana 
Menyeka Mendung' mereka melesat  menyerang Gala-
pati. 
Wut! Wut..! 
Golok di tangan mereka menderu cepat melaku-
kan serangan dari dua arah. Rarapita menyerang dari 
depan. Sedangkan Raparata menyerang dari belakang 
lawan. 
"Buntung lehermu, Keparat!" 
"Hih!" 
Wut! 
Golok Rarapita menderu. Dengan cepat Galapati 
mengelak ke samping, kemudian melancarkan satu 
tendangan kaki kanannya ke lambung lawan. 
"Hih!" 
"Haits!" 
Rarapita tersentak kaget, ketika merasakan an-
gin tendangan yang menderu keras ke arahnya. Dari 
deru angin tendangannya, jelas kalau lawan bukan 
pemuda berilmu rendah. Paling tidak lawan memiliki 
tenaga dalam yang sempurna, setaraf dengannya. 
Melihat Rarapita terdesak, Raparata pun tak 
tinggal diam. Dirinya yang menyerang dari belakang 
segera bergerak dengan tebasan goloknya ke kepala 
lawan. 
"Pecah kepalamu, Bocah Iblis! Hiaaa...!"  
Wrt! 
Galapati menarik mundur serangan terhadap Ra-
rapita. Kemudian dengan memutar cepat tubuhnya, 
tendangan kaki kanan yang cepat dan keras berbalik 
menyerang lawan di belakangnya. Tubuhnya dimiring-
kan ke samping kiri sambil menunduk, mengelakkan 
babatan golok lawan. 
Wut! 
Serangan golok luput, tak mengenai sasaran di 
tubuhnya. Galapati cepat membalas dengan tendan-
gan keras, menggunakan jurus 'Jangka Maut'. Ka-
kinya menderu begitu cepat, memburu tubuh lawan. 
Ke mana lawan lari, kakinya terus mengejar tiada hen-
ti. 
"Hiaaa...!"  
Wrt! 
Raparata terkejut mendapatkan serangan begitu 
gencar. Kaki lawan yang bergerak bagaikan tak men-
genal lelah, terus berkelebat begitu cepat dan keras 
memburu tubuhnya. Ke mana tubuh Raparata menge-
lak, kaki Galapati terus memburu. 
"Celaka! Ilmu setan...!" maki Raparata kaget 
sambil terus bergerak mengelakkan serangan-
serangan yang dilancarkan Galapati yang terus mem-
buru diri-nya. 
Rarapita yang melihat saudara seperguruannya 
terdesak, segera melesat menyerang. Golok di tangan-
nya digerakkan bagaikan baling-baling yang berputar 
cepat, dengan jurus 'Golok Gerhana Mengebut Kabut'. 
"Heaaa...!" 
Wut! Wut! 
"Hancur tubuhmu, Bocah! Yeaaa...!" 
Golok di tangan Rarapita berkelebat begitu cepat, 
membabat dan menusuk ke tubuh lawan. Angin kebu-
tannya terasa menyentak dan menderu keras di atas 
kepala Galapati. 
"Hats! Hih...!" 
Galapati merundukkan tubuhnya ke bawah, ber-
gerak membalik untuk mengelakkan serangan. Kemu-
dian dengan cepat pula Galapati balas menyerang 
dengan pukulan tangan kanan. Sedangkan tangan ki-
rinya, kini bergerak memapak serangan yang datang 
dari belakang. Itulah jurus 'Tarian Jigor Maut'. Sebuah 
jurus yang menyerupai tarian jaipong. Namun, dari 
pukulan tangan Galapati, menderu angin yang sangat 
keras. 
"Yeaaa...!" 
"Heaaa...!" 
"Hih!" 
Kedua pengawal Ki Baya Kitri kini mengeluarkan 
segenap kemampuan mereka untuk dapat mengalah-
kan pemuda tampan yang kini telah berlaku kurang 
ajar terhadap tuannya. Golok di tangan mereka men-
deru keras. Silih berganti menyerang begitu cepat ke 
tubuh lawan yang terus mengelak, memapak, dan se-
sekali balas menyerang. 
Pertarungan terus berlangsung semakin seru. 
Kedua orang pengawal kepala desa itu terus menye-
rang dengan sabetan-sabetan golok mereka yang cepat 
dan mengarah pada bagian-bagian mematikan tubuh 
lawan. 
"Heaaa!" 
"Yeaaa...!" 
Wrt! Wrt! 
"Aits! Hih...!" 
Dengan cepat Galapati berkelit. Tubuhnya me-
runduk, lalu dengan meliuk cepat Galapati mengi-
baskan tangannya ke tubuh lawan. Serangkum angin 
pukulan pun menderu, menyentakkan  kedua lawan-
nya. 
"Hih!" 
"Haits....!" 
Keduanya melompat ke belakang, mengelakkan 
pukulan Galapati. Kemudian kembali menyerang den-
gan gerakan yang lebih cepat dan keras dalam jurus-
jurus pamungkas andalan mereka. 
"'Cinde Buana Purnama'. Heaaa....!" 
"Yeaaa....!" 
Dengan jurus 'Cinde Buana Purnama' keduanya 
melesat cepat, membabatkan golok ke tubuh lawan 
disertai pengerahan tenaga dalam yang sempurna. 
Menyaksikan kedua lawannya telah mengelua-
rkan jurus pamungkas, Galapati segera bergerak men-
cabut sesuatu dari batik bajunya. 
Wrt! 
Sebuah kipas lebar berwarna ungu kini tergeng-
gam di tangan Galapati. Kemudian dengan jurus 
'Kipasan Sayap Kumbang' Galapati memapaki seran-
gan kedua lawannya. Kipas mautnya yang bernama 
Kipas Iblis Racun Kelabang Ungu digerakkan memben-
tuk putaran cepat. 
Wrt! 
Prak, prak! 
"Akh...!" 
"Heh?!" 
Rarapita dan Raparata tersentak kaget, lalu me-
lompat mundur. Mata mereka terbelalak kaget, ketika 
melihat golok di tangan mereka telah patah menjadi 
dua. Keduanya menatap bengis pada lawan yang tam-
pak tersenyum dan mencibirkan bibir.  
"Kini terimalah kematian kalian! Heaaa...!"  
Wrt! 
Sring, sring! 
Kedua pengawal Ki Baya Kitri itu tersentak keti-
ka melihat dari kebutan kipas Galapati, melesat bebe-
rapa bilah pisau kecil berkilatan putih memburu me-
reka. Pisau-pisau itu menyebarkan hawa beracun 
yang sangat menyesakkan dada. 
"Awas!" 
"Celaka!" 
Keduanya melenting dan berjumpalitan di udara, 
mengelakkan serangan-serangan pisau kecil yang 
mengandung racun ganas. Mata Rarapita dan Rapara-
ta terbelalak lebar, ngeri menyaksikan pisau-pisau ke-
cil yang terus memburu tubuh mereka. Sampai akhir-
nya.... 
Jlep, jlep! 
"Akh...!" 
"Aaa...!" 
Keduanya menjerit. Tubuh mereka terhuyung-
huyung ke belakang dengan mata semakin terbelalak 
lebar. Dua bilah pisau kecil menghunjam di paha dan 
perut kedua pengawal kepala desa itu. 
"Ha ha ha...! Mampuslah kalian!" Galapati terta-
wa terbahak-bahak. Kemudian tanpa mengenal belas 
kasihan sedikit pun, pemuda tampan itu kembali 
mengibaskan kipas mautnya ke arah kedua lawannya 
yang sudah tak berdaya. 
Wrt! 
"Kau! Akh...!" keduanya terpekik, lalu ambruk 
dengan leher tergores hampir putus. Darah mengucur 
deras, dari goresan di leher mereka. 
Galapati tertawa terbahak-bahak, lalu dengan 
tenang berlalu meninggalkan tempat itu. 
"Kakang, tunggu...!" seru Arum Sari mengejar. 
"Cuh! Pergi! Aku tak butuh kau lagi. Ha ha ha...!" 
"Kakang...!" 
Arum Sari berusaha memeluk kaki Galapati. 
Namun, dengan kasar pemuda itu mendorong tubuh 
Arum Sari hingga terjengkang dan menangis, meratapi 
nasibnya yang malang. Kegadisannya telah diserahkan 
pada Galapati, tapi dirinya kini dicampakkan begitu 
saja. 
Ki Baya Kitri yang tengah menikmati hiburan be-
rupa tandak tiba-tiba merasakan hatinya tak tenang. 
Batinnya seketika gelisah. Pikiran lelaki berusia lima 
puluh tahun itu, tiba-tiba tertuju ke rumahnya. Fira-
sat hatinya mengatakan ada sesuatu kejadian buruk 
di rumahnya. 
"Ada apa, Kakang?" tanya Sariti, istri Ki Baya Ki-
tri, melihat kegelisahan suaminya. 
Perhatian Sariti kini tertuju ke arah suaminya 
yang semakin kelihatan gelisah. Padahal di tempat itu 
tandak masih terus main. Goyangan pinggul para pe-
nari tandak yang melenggak-lenggok, cukup menggi-
urkan. Namun, suaminya seperti tak bergairah sedikit 
pun untuk turun, menari dengan tandak-tandak yang 
bahenol. 
"Entahlah, Diajeng. Tiba-tiba pikiranku teringat 
di rumah. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang 
terjadi di rumah," gumam Ki Baya Kitri. 
"Apakah mau pulang, Kakang?" tanya Sariti. 
"Ya. Pikiranku tak tenang. Tentu ada kejadian 
yang tak menyenangkan di rumah." 
"Kalau begitu, ayolah kita pulang!" ajak Sariti. 
Keduanya segera berpamitan pada tuan rumah. 
Keduanya bergegas menuju ke kereta. Tak lama ke-
mudian, keduanya telah meninggalkan tempat perka-
winan. Dengan kereta kuda, Ki Baya Kitri dan istrinya 
menembus keremangan malam menjelang pagi menu-
ju rumahnya. 
"Hatiku benar-benar gelisah, Diajeng," kata Ki 
Baya Kitri sambil menghela tali kuda-kudanya yang 
terus melaju menembus kegelapan malam. 
"Tenanglah, Kakang! Semoga tak terjadi apa-apa 
di rumah!" kata istrinya berusaha menenangkan sang 
Suami. 
Kuda-kuda itu terus berjalan menarik kereta, 
menembus malam di bawah keremangan cahaya bu-
lan. Tiba-tiba kuda mereka meringkik, seperti melihat 
sesuatu di hadapannya. Hal itu membuat Ki Baya Kitri 
mengerutkan kening. Kemudian dengan mata meman-
dang ke depan. Tampak sesosok tubuh mengenakan 
pakaian ungu melangkah tenang. Mata Ki Baya Kitri 
semakin terbelalak, ketika tahu siapa pemuda yang 
tengah melangkah menyelusuri kegelapan malam. 
"Galapati...! Hei, mau ke mana kau?" tanya Ki 
Baya Kitri dengan mata terbelalak. 
"Ha ha ha.... Apa yang kau tanyakan, Ki? Jelas 
aku akan pergi sesuai kemauan langkah kakiku!" sa-
hut Galapati tanpa rasa hormat sedikit pun. Bahkan 
kini sikapnya tampak angkuh. Bibirnya mencibir sinis, 
membuat Ki Baya Kitri mendengus marah. 
"Bocah tak tahu diuntung! Ditanya baik-baik, 
malah menjawab dengan pongah. Minggat kau...!" ben-
tak Ki Baya Kitri marah. 
"Ha ha ha...! Itu memang yang kuinginkan, 
Orang Tua Tolol! Aku memang ingin pergi. Muak aku 
bersama kalian!" 
"Bangsat! Lancang sekali mulutmu! Kau perlu 
dihajar, Bocah! Yeaaa...!" Ki Baya Kitri yang muak me-
lihat sikap dan mendengar ucapan Galapati melompat 
menyerang. Hal itu rupanya sudah diduga Galapati, 
yang dengan cepat dan ringan bergerak mengelitkan 
serangan. 
"Hih! Uts!" 
"Kuhancurkan kepalamu yang keras kepala, Bo-
cah! Heaaa...!" 
Ki Baya Kitri kembali bergerak menyerang. Tan-
gannya menyambar-nyambar dengan cepat ke arah 
kepala Galapati. Sambaran tangannya mengeluarkan 
angin pukulan yang keras. Dengan jurus 'Camar Laut 
Memburu Ikan', Ki Baya Kitri terus menyerang. Lelaki 
tua itu berusaha tak memberi kesempatan sekali pun 
pada lawan untuk dapat membalas serangan. 
"Yeaaa...!" 
"Haits! Hih...!" 
Setelah dapat melepaskan diri dari serangan Ki 
Baya Kitri, dengan cepat Galapati balas menyerang. 
Tangan dan kakinya bergerak cepat susul-menyusul, 
menyerang Ki Baya Kitri. Lelaki tua itu tersentak. 
"Eits! Celaka...!" pekik Ki Baya Kitri kaget dengan 
mata melotot, melihat serangan yang dilancarkan pe-
muda tampan berpakaian ungu itu. Selama ini me-
mang telah diduganya kalau Galapati bukan pemuda 
biasa. Namun kini Ki Baya Kitri harus membuka mata. 
Dugaannya yang mengatakan Galapati bukan pemuda 
sembarangan, terbukti sudah. Bahkan dirinya dibuat 
kaget melihat serangan gencar pemuda itu. Gerakan-
gerakan menyerang yang dilancarkan Galapati ternya-
ta dengan jurus-jurus yang tak sembarangan.  
"Heaaa...!" 
"Haits! Bocah iblis! Siapa kau sebenarnya?!" ben-
tak Ki Baya Kitri setelah berhasil mengelakkan seran-
gan yang dilancarkan Galapati. 
"Ha ha ha...! Kini rupanya kau baru membuka 
mata, Orang Tua Dungu! Siapa sebenarnya aku. Yang 
jelas kau harus mampus di tanganku. Heaaa...!" 
Dengan jurus 'Tarian Jigor Maut', Galapati berge-
rak menyerang. Kedua tangannya bergerak laksana 
menari, memapak sambil memukul dengan cepat ke 
tubuh  Ki Baya Kitri yang bergerak mengelakkan se-
rangan-serangan gencar itu. 
Orang tua itu benar-benar tak mengira kalau 
pemuda tampan berpakaian ungu itu memiliki jurus-
jurus yang membahayakan. Beruntung gerakannya 
masih gesit, sehingga serangan lawan yang mematikan 
dapat dielakkan. Nyawanya yang hampir terancam, 
kini terlepas dari maut. Tapi bukan berarti jiwanya te-
rus terbebas dari maut yang kini memburunya. Seran-
gan Galapati tak berhenti, terus mendesak dan mem-
buru tubuhnya. 
"Heaaa...!" 
"Haps!" 
Pertarungan keduanya semakin seru. Malam 
yang semula tenang, seketika berubah riuh karena 
suara-suara jeritan mereka dalam menyerang. 
Melihat suaminya kini tampak kewalahan meng-
hadapi lawan, Sariti berteriak-teriak memanggil pen-
duduk desa. Seketika warga desa berdatangan ke tem-
pat pertarungan. 
"Tolong...! Tolooong...!" 
Orang-orang desa yang tengah menonton tandak 
pun seketika berlarian menuju tempat itu setelah 
mendengar suara teriakan Sariti. Dengan membawa 
senjata berupa golok, warga Desa Swargadana mem-
buru ke arah mereka. 
"Ada apa, Nyi Lurah?" 
"Tolong, Ki Lurah sedang berkelahi," jawab Sariti 
sambil menunjuk ke arah tempat pertarungan. Seketi-
ka warga Desa Swargadana memburu ke asal suara 
pertarungan itu. 
"Tangkap pemuda itu!" seru Ki Baya Kitri setelah 
melihat warga desanya berdatangan. 
"Heaaa...!"  
"Cincang...!" 
"Tangkap!" 
Warga desa yang patuh dan sangat menghormati 
kepala desanya segera menyerbu Galapati. Hal itu 
membuat Galapati kini harus menghadapi keroyokan 
warga Desa Swargadana. 
Pertarungan semakin seru. Penduduk  Desa 
Swargadana terus merangsek, berusaha menangkap 
Galapati. Ketika pertarungan tengah berlangsung seru, 
tiba-tiba dari arah timur tampak seorang gadis berpa-
kaian hijau berlari-lari sambil menangis. 
"Arum...! Ada apa...?" tanya Ki Baya Kitri. 
"Rama....! Oh, Rama. Arum kini tak ada artinya 
lagi, Rama...," keluh gadis itu masih menangis. "Ibu, 
maafkan Arum...." 
"Ada apa, Anakku?" tanya Sariti sambil memeluk 
tubuh anaknya penuh kasih sayang. Dibelai-belainya 
rambut putri satu-satunya itu dengan lembut "Arum 
telah ternoda, Bu."  
"Apa?" terbelalak mata Ki Baya Kitri dan Sariti 
mendengar pengakuan Arum Sari. 
"Siapa yang telah lancang berani menodaimu, 
Arum?" tanya Ki Baya Kitri dengan amarah yang bera-
pi-api. Matanya membelalak lebar penuh amarah. Gi-
ginya saling beradu, mengeluarkan suara gemerutuk  
"Dia..., Galapati...." 
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Galapati! Heaaa....!" 
Ki Baya Kitri yang semakin kalap, melesat dengan ke-
ris terhunus. Keris yang mengeluarkan sinar jingga 
bernama Ki Kebo Werda, berkelebat cepat dan mende-
ru memburu Galapati yang tengah sibuk menghadapi 
keroyokan warga Desa Swargadana.  
"Yeaaa....!" 
"Bunuh bajingan itu!" teriak Ki Baya Kitri sambil 
melesat menyerang Galapati dengan keris pusakanya. 
"Heaaa...!" 
"Hm...," Galapati yang sudah menduga lawan 
akan mengeluarkan senjata pusakanya, tanpa sung-
kan-sungkan lagi segera mencabut kipas mautnya. 
Wrt! 
Sing! Sing...!  
Jlep! Jlep! 
"Wuaaa...!" 
"Aaa...!" 
Pekikan kematian seketika terdengar. Lima orang 
warga desa tersungkur dengan dada tertancap pisau-
pisau maut itu. Tubuh mereka sesaat mengejang, ke-
mudian ambruk tanpa nyawa dengan mata melotot 
mengerikan. 
"Bedebah! Kubunuh kau, Keparat!" maki Ki Baya 
Kitri semakin bertambah kalap, menyaksikan bagai-
mana pemuda itu dengan seenaknya membunuh lima 
warga desanya. 
"Yeaaa...!" 
"Heaaa...!" 
Trang! 
"Ukh!" Ki Baya Kitri terpekik kesakitan. Tubuh-
nya terdorong ke belakang dengan mata melotot te-
gang. Tangannya tergetar hebat ketika kerisnya ber-
benturan dengan senjata Galapati. Keris sakti yang 
bernama Ki Kebo Werda tak berarti menghadapi kipas 
maut berwarna ungu di tangan pemuda tampan itu. 
"Ha ha ha...! Percuma kalian menghadapiku!" te-
riak Galapati sombong. 
Semuanya kini hanya terpaku diam, ketika me-
nyaksikan bagaimana Ki Baya Kitri hampir tergetar 
menghadapi pemuda tampan itu. Nyali mereka seketi-
ka menciut, apalagi setelah melihat lima orang war-
ganya mati mengerikan. 
*** 
"Hua ha ha...!" 
Ketika semua warga Desa Swargadana terdiam 
mematung, takut menghadapi Galapati, mendadak 
mereka dikejutkan suara gelak tawa membahana. 
Suara tawa itu bagaikan berada di sekitar tempat 
itu. Pemilik suara seolah-olah ada di mana-mana. Se-
hingga suara tawa itu terdengar bersahut-sahutan. 
"Hua ha ha...! Kasihan sekali, ada tikus tertang-
kap basah. Hi hi hi...!" suara itu mirip ucapan orang 
gila, menyindir Galapati. 
"Bedebah! Siapa kau?! Keluarlah, tunjukkan 
mukamu!" bentak Galapati marah, merasa ucapan itu 
tertuju padanya. Matanya memandang liar ke sekelil-
ing tempat itu. Kipas maut masih tergenggam di tan-
gannya, siap untuk dikibaskan jika ada orang yang be-
rani menyerang. 

"Hua ha ha...! Rupanya seperti itu mukamu? Hi 
hi hi...!" 
"Setan! Keluar kau?! Tunjukkan mukamu, Pen-
gecut! Hih...!"  
Wrt! 
Swing, swing...! 
Puluhan pisau-pisau kecil meluncur ke pepoho-
nan di sekitar tempat itu, ketika kipas di tangan Gala-
pati dikibaskan. 
"Aha, percuma saja kau membuang-buang mai-
nanmu, Tikus Busuk! Aku ada di belakangmu." 
Bukan hanya Galapati yang tersentak kaget den-
gan mata terbelalak, melainkan semua yang ada di 
tempat itu merasa heran. Mereka benar-benar kaget, 
karena tak melihat berkelebatnya tubuh pemuda ber-
pakaian rompi kulit ular yang bertingkah laku seperti 
orang gila. 
"Pemuda gila! Siapa kau?!" bentak Galapati sen-
git, karena merasa pemuda bertingkah gila itu telah 
turut campur urusannya. 
"Hi hi hi...!" 
Pemuda berpakaian rompi kulit ular yang tak 
lain Sena Manggala atau Pendekar Gila itu tertawa ce-
kikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu dengan 
mulut cengengesan, matanya membeliak. 
"Aha, siapa diriku, kurasa tak jadi masalah. Yang 
pasti, penduduk desa ini benar-benar muak dengan 
tampangmu." 
Terbelalak mata Galapati mendengar ucapan Se-
na.  Nafasnya  mendengus dengan gigi bergemerutuk 
keras. 
"Jangan ikut campur urusanku, Pemuda Gila!" 
dengus Galapati sengit. 
"Aha, aku tak akan ikut campur, kalau tinda-
kanmu tak sewenang-wenang," sahut Sena sambil 
cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk 
kepala. Kemudian diambilnya bulu burung, lalu digu-
nakan untuk mengilik telinganya. Mulutnya semakin 
nyengir, dengan mata terpejam.  
"Benar! Dia harus dihukum...!" seru seorang 
penduduk desa.  
"Dia telah membuat onar di desa ini...!" sambung 
yang lainnya. 
Semakin marah Galapati mendengar penuturan 
Pendekar Gila. Mulutnya mendengus geram. Dengan 
mata terbelalak, pemuda tampan itu menatap liar pe-
nuh kebencian. Sementara itu Sena masih cengenge-
san sambil mengorek telinga dengan bulu burung. 
"Kurang ajar! Kau mencari mampus, Pemuda Gi-
la! Heaaa...!" 
Merasa lawan bukanlah orang sembarangan, Ga-
lapati kini tak tanggung-tanggung menyerang Pende-
kar Gila. Kipas mautnya dikibaskan-kibaskan mende-
ru keras, mengeluarkan racun yang sangat ganas.  
Wrt! 
"Haits! He he he...!" 
Pendekar Gila dengan cengengesan bergerak ce-
pat mengelakkan serangan lawan. Tubuhnya meliuk-
liuk cepat seperti menari, sesekali tangannya menepuk 
ke dada lawan. Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk 
Lalat'. Sebuah jurus 'Ilmu Silat Si Gila' yang amat 
dahsyat. Gerakannya yang seperti orang menari, nam-
paknya lamban dan lemah. Namun ternyata cukup 
mengejutkan lawan, maupun orang-orang desa. 
"Gila! Jurus apa yang dilakukan pemuda itu?" 
gumam Ki Baya Kitri dengan mata terbelalak, menyak-
sikan jurus silat aneh yang dilakukan Pendekar Gila. 
"Gerakannya sangat lamban dan lemah. Tapi mampu 
mengejar gerakan lawan. Benar-benar jurus hebat." 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
Galapati kembali berusaha merangsek dengan 
kibasan kipas mautnya yang mengandung racun kela-
bang ungu. Dari kibasan kipas itu, keluar gulungan 
asap ungu yang memburu Pendekar Gila.  
"Hi hi hi...!" 
Sena masih cengengesan sambil bergerak meli-
ukkan tubuh. Tangannya sesekali menepuk ke dada 
lawan. Dia seperti tak terpengaruh sedikit pun oleh 
asap racun kelabang ungu yang keluar dari kipas 
maut Galapati. Hal itu membuat Galapati menge-
rutkan kening, merasa heran menyaksikan lawannya 
tak terpengaruh asap beracun itu. Padahal kalau 
orang lain, tentu sudah mati berdiri. 
Hei, dia sepertinya tak mempan terhadap racun 
kelabang ungu yang keluar dari kipas ku! Desis Gala-
pati dalam hati dengan mata melotot, tak percaya pada 
apa yang dilihatnya. Mungkin kurang banyak. Akan 
ku coba mengerahkan tenaga dalam. 
"Heaaa...!" 
Wrt, wrt...! 
Kipas maut itu kembali dikibaskan ke arah Pen-
dekar Gila. Kali ini semakin cepat. Asap ungu beracun 
pun semakin bertambah banyak keluar. 
"Haits! He he he...!" 
Pendekar Gila bergerak meliuk ke samping ka-
nan, dengan tubuh miring. Kemudian  dengan cepat 
tangannya menepuk ke arah dada lawan. 
"Hih!" 
"Edan!" maki Galapati kaget sambil melompat 
mundur, ketika angin tepukan tangan lawan begitu 
keras menderu. Baru angin pukulan saja, Galapati te-
lah merasakan hentakan yang sangat keras dan terasa 
panas. 
"Hi hi hi...! Kenapa diam, Tikus Busuk? Hi hi 
hi..!" Sena tertawa cekikikan dengan mulut cengenge-
san. 
"Cuih! Jangan kira aku akan kalah olehmu, Pe-
muda Gila! Heaaa...!"  
Wrt, wrt! 
Galapati kembali mengebutkan kipas mautnya ke 
arah Pendekar Gila. Membelalak mata warga desa me-
lihat kibasan kipas pemuda berparas seperti Dewa 
Kamajaya itu. 
"Hei, dari kipasnya keluar pisau...!" 
"Lihat, ada kabutnya...!" 
"Awas serangan...!" 
Warga Desa Swargadana tersentak kaget, mereka 
berusaha mengelakkan serangan pisau-pisau kecil 
yang keluar dari kipas maut di tangan Galapati. 
Swing, swing...! 
"Setan! Pengecut..!" maki Sena sambil bersalto 
mengelakkan puluhan pisau yang meluncur ke tu-
buhnya. Pisau-pisau itu meleset, tak menerjang di-
rinya. Tapi, senjata-senjata tajam itu meluncur ke 
arah warga desa yang tak sempat bergerak menghin-
dar. Hingga.... 
Jlep, jlep! 
"Wuaaa...!" 
"Akh...!" 
Jeritan-jeritan kematian seketika terdengar dari 
sepuluh warga desa. Di dada dan leher mereka tertan-
cap pisau-pisau kecil beracun. Saat itu juga, pemuda 
berpakaian ungu melesat cepat meninggalkan tempat 
pertarungan, ketika warga desa sibuk mengelakkan 
pisau-pisau beracunnya. 
"Pemuda gila, tunggulah balasan ku!" 
"Kurang ajar! Mau lari ke mana kau, Tikus Bu-
suk!" maki Sena sambil melesat mengejar. Namun 
mendadak puluhan pisau berkelebatan dan menderu 
ke arahnya. 
Swing, swing...! 
"Hop! Setan...! 
Dengan berjumpalitan ke atas, tangan Pendekar 
Gila bergerak cepat, menangkapi pisau-pisau belati 
yang meluruk cepat di depannya. 
Tap, tap...! 
"Kurang ajar! Hi hi hi...! Mainan anak-anak," Se-
na tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ke 
mana kau pergi, Tikus?!" 
Pendekar Gila pun segera berkelebat, memburu 
Galapati. Tak lama kemudian seorang gadis berbaju 
hijau yang tak lain Arum Sari melesat dengan isak 
tangis. 
"Galapati, tunggulah pembalasanku!"  
Malam semakin gelap, ketika Ki Baya Kitri dan 
istrinya serta warga Desa Swargadana mengejar Arum 
Sari. 
"Arum, Anakku! Tunggu...!" seru Sariti.  
Pagi yang cerah. Matahari bersinar menerangi 
bumi. Cahayanya terasa hangat di tubuh. Semilir an-
gin pagi menghembuskan hawa yang menambah sejuk 
suasana. Sementara kicau burung-burung di pepo-
honan semakin menambah tenteram dan damai Hutan 
Jalarak. 
"Hoa...!" seorang pemuda berpakaian rompi kulit 
ular menggeliat dari tidurnya di atas sebuah cabang 
pohon. "Huh, ke mana perginya tikus itu? Cepat seka-
li." 
Pendekar Gila menggeliat, bangun dari tidurnya. 
Lalu duduk di cabang pohon. Mulutnya nyengir, ke-
mudian tangannya menggaruk-garuk kepala. Dibenar-
kan ikat kepalanya yang juga terbuat dari kulit ular. 
"Wua! Pulas sekali aku tidur," gumam Sena. 
Baru saja hendak turun dari cabang pohon, keti-
ka dilihatnya dari kejauhan lima orang lelaki tua ber-
pakaian jubah warna-warni melangkah ke arahnya. 
Wajah mereka menggambarkan ketegangan. Tampak-
nya ada sesuatu yang tengah mereka masalahkan. 
"Aha, ada apa orang-orang tua itu?" tanya Sena 
pada diri sendiri sambil cengengesan. Tangannya 
menggaruk-garuk kepala. Matanya masih memandang 
ke arah lima lelaki tua yang membisu dengan wajah 
menggambarkan ketegangan. 
"Kita tentukan di sini!" lelaki berpakaian merah 
tua membuka suara. Lelaki ini berusia sekitar tujuh 
puluh tahun. Rambutnya sudah memutih dengan ikat 
di atas kepala. Jenggotnya yang panjang telah putih. 
"Heh! Kau kira gampang mengatur pertarungan, 
Gondra!" dengus lelaki berjubah biru yang bernama Ki 
Gendala. Lelaki ini juga berusia sekitar tujuh  puluh 
tahun. Rambutnya terurai lurus. Dan hidungnya yang 
mancung berhias kumis putih. Matanya hampir tertu-
tup alis panjang dan lebat 
"Benar! Menurut perjanjian, kita tak boleh me-
nentukan sendiri-sendiri. Kita harus mencari orang 
lain untuk dijadikan penilai," sambut lelaki berjubah 
coklat. Lelaki ini berusia sekitar enam puluh delapan 
tahun. Rambutnya masih banyak yang hitam. 
"Hm.... Bagaimana mungkin di hutan sepi seperti 
ini kita bisa mencari manusia?" gumam lelaki tua ber-
nama Gondra, yang di tangannya tergenggam senjata 
berupa sapu lidi bertangkai kayu cendana hijau. Dia 
lebih dikenal dengan julukan Sapu Buana. 
"Hm.... Benar juga. Mana ada manusia di Hutan 
Jalarak ini?" sambung lelaki berjubah abu-abu yang 
menggenggam senjata berupa cambuk berekor lima. 
Itu sebabnya dia lebih terkenal dengan julukan Cam-
buk Panca Geni. Kelima ekor cambuknya dapat men-
geluarkan api jika dilecut dengan kekuatan tenaga da-
lam yang sempurna. 
"Hm.... Lalu bagaimana kalau tak ada orang yang 
dijadikan penilai?" tanya lelaki berusia sekitar enam 
puluh enam tahun yang berpakaian jubah warna loan-
ing keemasan. Di tangan lelaki ini tergenggam sebilah 
pedang yang memiliki tiga lekukan. Pedang itu berna-
ma Pedang Weling Giling. 
Melihat kelima lelaki tua itu kebingungan men-
cari penilai, Pendekar Gila yang sejak tadi memperha-
tikan tingkah laku mereka segera melompat turun dari 
atas pohon. 
"Hop! Hi hi hi...!" 
Kelima lelaki tua itu tersentak ketika  tiba-tiba 
seorang pemuda bertampang gila dengan baju rompi 
kulit ular telah berada di antara mereka. 
"Siapa kau, Anak Muda?" tanya lelaki berjubah 
merah. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian. Kalian sudah tua 
seharusnya tinggal memikirkan akherat. Mengapa ma-
sih memikirkan hal-hal duniawi? Hi hi hi... Lucu seka-
li," gumam Sena sambil cengengesan dengan tangan 
menggaruk-garuk kepala. Lalu dengan seenaknya ke-
palanya digeleng-gelengkan dengan mulut masih cen-
gengesan. 
"Bocah, apa urusanmu? Kami memang sedang 
mencari penilai. Kalau kau mau, kami akan mengang-
katmu menjadi penilai," ujar lelaki tua berjubah cok-
lat. Kening lelaki ini berkerut, begitu juga kawan-
kawan-nya. Mereka heran melihat tingkah laku pemu-
da di hadapannya yang seperti orang gila. 
"Penilai...? Hi hi hi.... Penilai apa?" tanya Sena 
masih konyol. Matanya dipelototkan. Kemudian nyen-
gir sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Ah, Bocah Edan! Jelas pengawas pertarungan 
yang akan kami lakukan, Tolol!" sentak lelaki berjubah 
abu-abu. 
"Tolol? Hi hi hi...? Kalian rupanya tolol? Ah, ku-
rasa kalian bukan tolol, tapi pikun. Hua ha ha...!" Se-
na makin menjadi-jadi konyolnya. Sambil berjingkra-
kan yang membuat mata kelima lelaki tua itu melotot 
dengan kening berkerut, Sena menggaruk-garuk kepa-
la. 
"Bocah gendeng!" maki lelaki berjubah biru. "Ka-
lau kau tak mau, pergilah!" 
"Pergi? Aha, enak sekali kau mengusirku, Ki. Hi 
hi hi...! Sejak kapan kau menyewa hutan ini? Hi hi 
hi...!" 
Kelima lelaki tua itu kembali mengerutkan ken-
ing, menyaksikan kekonyolan pemuda di hadapannya. 
Mereka semakin bertambah heran, dan berusaha 
menduga-duga siapa sebenarnya pemuda bertingkah 
laku seperti orang gila itu 
"Bocah sinting, kaukah yang berjuluk Pendekar 
Gila?" akhirnya lelaki tua berjubah biru tua bertanya, 
ketika pikirannya teringat ciri-ciri Pendekar Gila. 
"Hi hi hi..! Gila? Ah, rupanya kalian gila. Kasi-
han, pantas sekali sudah tua kalian mau berkelahi. 
Padahal kalian tinggal menunggu ajal. Seharusnya ka-
lian mengabdi pada Hyang Widhi." 
"Dasar bocah sinting!" dengus lelaki tua berjubah 
merah, jengkel.  "Pendekar Gila, bagaimanapun juga 
kami telah tahu siapa kau sebenarnya. Nah, maukah 
kau menjadi penilai?" 
Pendekar Gila nyengir, kemudian dengan tangan 
menggaruk-garuk kepala mulutnya cengengesan. Ke-
palanya digeleng-gelengkan, seakan-akan tak percaya 
kalau orang-orang tua yang seharusnya sudah tak 
memikirkan keduniawian, masih saja bertingkah se-
perti orang muda. 
"Bagaimana, Pendekar Gila?" tanya lelaki berju-
bah coklat. 
"Aha, baiklah. Tapi, aku mau bertanya dulu pada 
kalian." 
"Tentang apa?" tanya lelaki berjubah biru. 
"Apakah kalian melihat pemuda berusia sekitar 
dua puluh tujuh tahun mengenakan pakaian serba 
ungu? Kepalanya terikat kain ungu pula?" tanya Sena. 
Kelima lelaki tua itu mengerutkan kening. Mulut 
mereka seperti terbungkam mendengar pertanyaan 
Pendekar Gila. Mata mereka menatap wajah Pendekar 
Gila. Hal itu menjadikan Pendekar Gila turut menge-
rutkan kening. Kemudian cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala. 
"Aha, kenapa kalian diam?" 
"Maksudmu, Galapati?" tanya lelaki berjubah 
abu-abu. 
"Aha, aku tak tahu siapa namanya. Tapi mung-
kin dia," sahut Sena. 
"Kalau Galapati yang kau cari, kami pun sedang 
mencarinya. Justru karena anak itu kami hendak sal-
ing bertarung," tutur Ki Gondra. 
"Aha, kenapa kalian hendak saling bertarung?" 
tanya Sena seraya membelalakkan mata. 
"Di antara kami berlima saling menyalahkan." 
"Saling menyalahkan? Hi hi hi...! Lucu sekali!" 
"Ya. Kami merasa murid kami salah," tutur Ki 
Gondra yang berjubah merah? "Kami senantiasa me-
rasa, kalau semua tindakan Galapati disebabkan keti-
dakbecusan kami mendidiknya." 
"Benar. Kami selalu salah-menyalahkan, karena 
merasa di antara kami berlima ada yang bersalah da-
lam mendidiknya," sambung Ki Gendala. 
Pendekar Gila bengong, mendengar penuturan 
orang tua itu. Kemudian mulutnya kembali cengenge-
san sambil menggeleng-gelengkan kepala. 
"Hi hi hi.... Lucu sekali kalian. Mengapa hanya 
karena tikus busuk itu kalian hendak saling bunuh?" 
tanya Sena, tertarik ingin tahu. 
"Karena kami tak mau dituduh sembarangan," 
sahut lelaki berjubah abu-abu yang terkenal dengan 
julukan Cambuk Panca Geni. 
"Aha, kalau boleh ku tahu, siapa sesungguhnya 
kalian ini? Dan ada hubungan apa dengan tikus bu-
suk itu?" tanya Sena. 
"Aku Gendala," lelaki tua berjubah biru memper-
kenalkan diri. 
"Aku Gondra," kata lelaki berjubah merah.  
"Aku Sandika," tambah lelaki berjubah abu-abu. 
"Aku Wilakupa," sambung yang berjubah coklat 
"Dan aku Karadena," terakhir lelaki berjubah 
kuning emas. 
"Baiklah, tentunya kalian telah mengenal nama-
ku," kata Sena. "Kini aku ingin tahu, ada hubungan 
apa kalian dengan Galapati?" 
"Kami adalah gurunya," sahut Gendala. 
"Aha, jadi kalian gurunya? Kebetulan sekali, aku 
harus menangkap kalian," kata Sena. 
"Sabar, Pendekar Gila. Memang kami gurunya. 
Tapi justru kamilah yang kini tengah disibukkan oleh 
tingkah lakunya. Kami mendidik Galapati dengan il-
mu-ilmu yang baik," tutur Sandika. "Tapi, rupanya 
watak anak itu sangat buruk. Dia telah membuat se-
mua pendekar menganggap kami tak ada artinya. 
Bahkan melebihi sampah!" 
"Ya! Semua pendekar menuduh kami yang salah. 
Mereka meminta kami agar menyerahkan bocah kepa-
rat itu," sambung Karadena. 
"Aha, lalu apa maksud kalian hendak saling bu-
nuh?" tanya Sena. 
Sesaat kelima lelaki tua itu diam dan saling ber-
pandangan. Napas mereka terasa sangat berat. Wajah 
mereka seketika berubah muram, seakan merasakan 
beban dalam batin. Beban jiwa sebagai guru, yang te-
lah membuahkan murid laknat. Mereka sebenarnya 
sebagai tokoh tua sakti berhaluan lurus. Tapi murid 
mereka justru bertindak durjana dan menimbulkan 
petaka. 
*** 
"Hm...! Baiklah, Pendekar Gila. Kami akan men-
ceritakan padamu siapa sebenarnya Galapati," akhir-
nya Ki Gendala, orang tertua di antara kelima lelaki 
tua itu membuka suara. 
"Aha, kalau kau memang berkenan, ceritakan-
lah," pinta Sena. 
Sesaat orang tua itu terdiam sambil menghela 
napas panjang-panjang. Kemudian dengan menun-
dukkan kepala sebentar, lalu mendongakkannya ke 
atas, Ki Gendala mulai menceritakan siapa Galapati 
sebenarnya. 
"Lima belas tahun yang lalu, kami menemukan 
seorang anak berusia sekitar dua belas tahun. Bocah 
itu ditemukan ketika kami sedang melakukan perjala-
nan melintas Bukit Kapuran Kuning. Bocah itu kami 
temukan bersama seorang mayat wanita yang kea-
daannya mengenaskan. Nampaknya wanita itu habis 
diperkosa. Di tempat itu juga kami menemukan kereta 
dengan dua ekor kuda yang sudah mati. Kami tak ta-
hu, siapa ayah bocah itu. Namun, akhirnya kami ke-
tahui kalau bocah itu tiada lain bocah hasil hubungan 
gelap. Dan yang telah membunuh ibunya ternyata si 
bocah itu sendiri yang tak ingin masalahnya terbong-
kar...." 
"Hm, menarik sekali. Lalu, mengapa Galapati 
bertabiat buruk seperti itu?" tanya Sena. 
"Itu yang tidak kami mengerti," sahut Ki Gendala 
dengan menarik napas panjang. "Mungkin Galapati 
dendam? Kami tak tahu. Tapi kalau dendam, sekarang 
ayahnyalah yang dijadikan pelampiasan dendam. 
Hm..., kini dia justru menjadi durjana pemetik bunga," 
desah Ki Gendala, setengah mengeluh. 
"Mulanya Galapati hanya mengatakan ingin ker-
ja. Secara diam-diam dia mencuri sebuah kipas besar, 
sebuah senjata sakti," tutur Ki Gandra menambahkan. 
"Benar. Sungguh kami tak menyangka kalau il-
mu yang kami berikan, digunakan untuk kejahatan," 
sambung Ki Wilakupa. 
Pendekar Gila terdiam. Hanya mulutnya yang 
cengengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk 
kepala. Kemudian kepalanya didongakkan ke atas, 
menatap langit pagi yang bening. 
"Pendekar Gila, kalau boleh kami tahu, mengapa 
kau mencari murid durjana itu?" tanya Ki Karadena. 
"Aha, seperti apa yang kalian katakan. Dia telah 
membuat petaka di Desa Swargadana. Galapati telah 
menghancurkan masa depan putri Kepala Desa Swar-
gadana...," tutur Sena. 
"Kurang ajar! Jelas bocah itu tak boleh dibiar-
kan. Celakalah kalau Galapati masih gentayangan!" 
dengus Ki Sandika. Wajahnya nampak memerah kare-
na marah. Nafasnya tersengal-sengal. "Jelas, ini salah 
kalian!" 
"Enak saja kau ngomong!" dengus Ki Wilakupa. 
"Kaulah yang tidak becus mendidiknya." 
"Huh, kau yang memanjakannya!" bantah Ki 
Sandika. 
"Hi hi hi...! Lucu kalian ini. Bagaimana kalian 
akan  menyelesaikan  masalah ini, kalau malah saling 
bertengkar?" tanya Sena. 
"Karena dia yang telah memanjakan bocah lak-
nat itu!" dengus Ki Sandika sambil menuding Ki Wila-
kupa. 
"Kurang ajar! Bukankah kau yang selalu membe-
lanya, sehingga anak itu keras kepala!" dengus Ki Wi-
lakupa tak mau kalah. 
"Aha, kalian benar-benar seperti anak kecil. Hi hi 
hi...! Lucu sekali dunia ini. Semakin tua, kalian malah 
semakin lucu. Kalian persis anak-anak kecil. Saling 
menyalahkan," gumam Sena dengan masih cengenge-
san sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kurasa, ini 
bukan cara yang baik menyelesaikan masalah." 
Kedua lelaki tua yang semula bersitegang dan 
bahkan telah siap untuk melakukan pertempuran, se-
ketika menghentikan perselisihan itu. 
"Lalu, apa yang harus kami lakukan?" tanya Ki 
Karadena. 
"Aha, kenapa kalian seperti orang bodoh? Jelas 
kita harus mencarinya," sahut Sena. 
"Ya ya ya.... Kau benar, Pendekar Gila. Kita ha-
rus segera mencarinya," sambut Ki Wilakupa. 
"Memang benar. Bagaimanapun juga, bocah itu 
harus mendapat hukuman yang setimpal," dengus Ki 
Sandika.   
"Baiklah, Kisanak sekalian. Kini tak ada waktu 
lagi Kita harus secepatnya mencari Galapati. Kuharap 
kalian mau membuang perselisihan itu. Carilah murid 
kalian! Aku pun akan mencarinya. Nah, sampai kete-
mu lagi." 
Usai berkata begitu, Pendekar Gila segera mele-
sat meninggalkan kelima lelaki tua berjubah itu untuk 
melanjutkan perburuannya mencari Galapati. 
"Bagaimana dengan kita?" tanya Ki Gendala ingin 
tahu. 
"Kita pun harus mencarinya," sahut Ki Wilakupa  
"Ayo!" ajak Ki Gendala. 
Kelima lelaki tua itu pun segera meninggalkan 
Hutan Jalarak guna mencari murid mereka yang telah 
murtad. 
*** 
Kadipaten Blambangkara yang berbatasan den-
gan Gunung Bromo dan Desa Kates Kemba di sebelah 
timur serta Hutan Barumba di sebelah barat, sore itu 
tampak tenang. Di depan kadipatenan tampak empat 
orang penjaga pintu gerbang tengah mondar-mandir. 
Keempat penjaga pintu gerbang itu memegang senjata 
berupa tombak. 
Sore itu, Adipati Sepa Woroagung sedang mene-
rima seorang tamu. Tamunya tak lain mertua dan istri 
keduanya yang bernama Getri Anitia. 
Di sebuah ruangan besar tempat yang biasa di-
gunakan Adipati Sepa Woroagung untuk menjamu ta-
mu, nampak seorang lelaki berusia sekitar enam pu-
luh tahun berpakaian jingga. Lelaki tua berwajah te-
nang dan sabar itu tak lain Ki Kayaputaka, mertua 
Adipati Sepa Woroagung. Wajah lelaki tua itu terhias 
kumis dan jenggot putih yang tak terlalu tebal. Dilihat 
dari pakaian yang dikenakan, Kayaputaka tentunya 
orang dari rimba persilatan. 
Duduk di hadapan Ki Kayaputaka, seorang lelaki 
bertubuh gemuk dengan kepala agak botak di atasnya. 
Hidungnya besar dan bercambang bauk lebat. Dialah 
Adipati Sepa Woroagung Sang Adipati berusia sekitar 
lima puluh tahun. Sorot mata yang tajam, mencer-
minkan kewibawaannya. 
Di samping kiri sang Adipati, duduk seorang wa-
nita muda berusia sekitar dua puluh delapan tahun. 
Wajah wanita itu cantik. Matanya yang bening terhias 
bulu-bulu mata lentik dan alis tipis. Wanita berkulit 
mulus yang mengenakan kain setinggi dada atau ang-
kin berwarna hijau tua berhias kuning emas itu, tak 
lain Getri Anitia. Istri kedua sang Adipati, putri Ki 
Kayaputaka. 
"Bagaimana keadaan di perguruan, Rama?" 
tanya Adipati Sepa Woroagung penuh rasa hormat 
"Baik Atas doa restu Kanjeng Adipati, kami selalu 
dalam keadaan sehat, tak kurang satu apa pun...," sa-
hut Ki Kayaputaka. 
"Syukurlah kalau begitu, Rama! Kami merasa 
senang, jika Perguruan Lembah Barada tenang dan 
maju," ujar Adipati Sepa Woroagung. 
"Tentunya Rama datang kemari karena ada ke-
perluan, Kakang," selak Getri Anitia. 
"Benarkah begitu, Rama?" tanya Adipati Sepa 
Woroagung. 
Ki Kayaputaka tersenyum mendengar  ucapan 
anaknya. Sebentar letak duduknya dibetulkan, kemu-
dian setelah menghela napas dalam-dalam, Ki Kayapu-
taka berkata. 
"Apa yang dikatakan istrimu benar, Kanjeng."  
"Kalau boleh aku tahu, apakah yang menjadi ke-
perluan Rama?" 
Kembali Ki Kayaputaka terdiam. Sepertinya ada 
keraguan di hati lelaki tua itu untuk mengutarakan 
maksud kedatangannya ke kadipaten. Melihat kera-
guan mertuanya, Adipati Sepa Woroagung kembali 
berkata, 
"Katakanlah, Rama! Dalam keadaan ini, aku ada-
lah menantumu, bukan Kanjeng Adipati," ujar Adipati 
Sepa Woroagung berusaha meyakinkan sang Mertua. 
"Maaf sebelumnya, kalau nanti ucapanku salah," 
pinta Ki Kayaputaka. 
"Tidak apa, Rama. Katakanlah!" 
"Baiklah. Sebenarnya aku hanya ingin memohon 
kesediaan Kanjeng Adipati untuk menerima murid 
saya bekerja di kadipaten ini saja," kata Ki Kayaputaka 
seraya menundukkan kepala. 
"O, hanya itu. Kukira apa. Baiklah, Rama. Aku 
akan menerimanya. Kapan murid Rama akan datang?" 
tanya Adipati Sepa Woroagung. 
"Mungkin lusa," jawab Ki Kayaputaka. 
"Baiklah, aku akan menyambut dan meneri-
manya." 
"Terima kasih, Kanjeng. Kalau begitu, aku permi-
si." 
"Apa tak sebaiknya Rama menginap barang satu 
malam? Sekalian lusa menyambut kedatangan murid 
Rama?" tanya Adipati Sepa Woroagung. 
"O, terima kasih. Tentunya dia tak akan datang, 
kalau belum kuberi kabar. Rama permisi pulang." 
"Hati-hati, Rama!" pesan Getri Anitia, 
"Apakah perlu prajurit, Rama? Untuk mengawal 
Rama," kata Adipati Sepa Woroagung menawarkan. 
"Ah, tidak usah. Terima kasih." 
Orang tua itu pun berlalu, meninggalkan bangsal 
kadipaten diiringi anak dan menantunya. 

Tak berapa lama setelah keberangkatan Ki Kaya-
putaka, nampak seorang pemuda berpakaian serba 
ungu dengan kepala diikat kain membentuk sudut ke 
atas segitiga berwarna ungu pula melangkah menuju 
Kadipaten Blambangkara. 
Wajah pemuda itu sangat tampan, elok bagaikan 
wajah seorang dewa yang baru turun dari kahyangan. 
Matanya yang bening menambah ketampanan pemuda 
itu. 
Pemuda berpakaian ungu yang tak lain Galapati, 
semakin dekat dengan pintu gerbang Kadipaten Blam-
bangkara. Di bibir Galapati tersungging senyuman. 
Dengan mantap dan tenang kakinya terus melangkah. 
"Siapa kau? Dan ada keperluan apa datang ke-
mari?!!" bentak salah seorang dari prajurit jaga di pin-
tu gerbang kadipaten. 
"Namaku Galapati. Aku murid Ki Kayaputaka," 
jawab Galapati. 
"Apa maksud kedatanganmu?" tanya prajurit 
yang lain. Suaranya tak setajam prajurit pertama, ka-
rena mendengar jawaban bahwa pemuda tampan itu 
murid Ki Kayaputaka. 
"Aku hendak menyusul guru." Keempat prajurit 
jaga itu saling pandang, mendengar jawaban pemuda 
tampan di hadapan mereka. Mereka tak habis pikir. 
Bukankah Ki Kayaputaka baru saja berlalu? Bagaima-
na mungkin pemuda tampan ini tidak bertemu dengan 
gurunya? 
"Anak muda, Ki Kayaputaka baru saja pulang. 
Apakah kau tak bertemu di jalan?" tanya prajurit yang 
berkumis lebat 
"Ah, benarkah?" tanya Galapati pura-pura kaget. 
"Ya!",sahut prajurit berkumis lebat. 
"O, rupanya aku berselisih jalan dengan guruku," 
keluh Galapati. 
"Ada apa, Raka?" 
Tiba-tiba dari dalam terdengar suara Adipati Se-
pa Woroagung. 
"Ampun, Kanjeng! Ada seorang anak muda men-
gaku murid Ki Kayaputaka!" sahut prajurit berkumis 
lebat yang dipanggil Raka. 
"Apa?! Murid Rama?!"