Pendekar Gila 15 - Durjana Berparas Dewa(2)




"Benar, Kanjeng." 
"Suruh dia masuk!" 
Kembali terdengar suara Adipati Sepa Woroagung 
memerintah prajuritnya agar memberi jalan pada Ga-
lapati. 
"Silakan masuk!" kata Raka. 
"Terima kasih." 
Dengan bibir mengurai senyum, Galapati me-
langkah masuk. Seketika matanya tertumbuk pada 
sepasang mata lembut milik seorang wanita berparas 
cantik. Wanita itu tak lain Getri Anitia. 
Hm.... Inikah yang bernama Getri Anitia? Tanya 
Galapati dalam hati. Sungguh cantik wajahnya. Tak 
kusangka, akhirnya kutemukan juga wanita secantik 
ini. 
"Anak muda, apakah benar kau murid Rama 
Kayaputaka?" tanya Adipati Sepa Woroagung, menyen-
takkan Galapati dari lamunannya. 
Sesaat Galapati terdiam. Matanya mencuri pan-
dang ke wajah Getri Anitia yang juga tengah meman-
dang dirinya dengan kening berkerut. Sepertinya wani-
ta cantik itu tengah berpikir, mencoba mengingat-
ingat para murid ayahnya. 
Dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui 
Adipati Sepa Woroagung, Galapati berusaha memberi 
isyarat agar wanita cantik itu menganggukkan kepala 
jika nanti ditanya suaminya.  
"Benar, Kanjeng."  
"Siapa namamu, Anak Muda?"  
"Galapati, Kanjeng." 
"Hm...," gumam Adipati Sepa Woroagung sambil 
mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian wajahnya 
menoleh dan memandang istrinya. "Diajeng, apa benar 
murid Rama ada yang bernama Galapati?" 
Getri Anitia terdiam sesaat. Matanya melirik Ga-
lapati yang mengedipkan mata. Hal itu membuat Getri 
Anitia nampak bingung. Darahnya berdesir halus, ke-
tika beradu pandang dengan pemuda itu. 
Getri Anitia masih terdiam bimbang. Dia ingin 
mengatakan tidak. Tapi entah mengapa, setelah mena-
tap wajah pemuda tampan itu, tiba-tiba hatinya terle-
kat rasa belas kasihan. Bahkan Getri Anitia merasa 
takut kalau pemuda itu akan mendapat hukuman. 
Bahkan mungkin dihukum gantung.  
Kembali Getri Anitia mencuri pandang ke arah 
Galapati yang menganggukkan kepala. 
"Bagaimana, Diajeng? Apakah kau ingat kalau di 
perguruan Rama ada nama Galapati?" tanya Adipati 
Sepa Woroagung.  
"Ya. Hamba ingat Kangmas." 
"Jadi ada?" 
"Benar, Kangmas." 
"Hm...," kembali Adipati Sepa Woroagung bergu-
mam tak jelas. Lalu pandangannya kembali tertuju 
pada Galapati yang masih berdiri menunggu keputu-
sannya.  "Galapati, Rama baru saja pulang. Kedatan-
gannya ke sini, semata-mata untuk meminta padaku 
agar kau diterima bekerja di sini. Tapi aku belum ta-
hu, jabatan apa yang sekiranya cocok untukmu." 
"Ampun, Kanjeng Adipati...! Kalau memang di-
perkenankan, hamba ingin menjadi ketua prajurit di 
kadipaten ini," kata Galapati, menyentakkan Adipati 
Sepa Woroagung. Sungguh di luar dugaannya kalau 
pemuda tampan yang kelihatannya pemuda biasa dan 
berilmu tidak begitu tinggi, meminta jabatan begitu 
tinggi. Sedangkan Ki Kayaputaka saja belum tentu 
sanggup menjabat pimpinan prajurit kadipaten. 
"Apakah kau tidak bergurau, Galapati?" tanya 
Adipati Sepa Woroagung dengan kening berkerut dan 
mata menyipit. Hatinya sungguh bingung dan tak 
mengerti mendengar permintaan pemuda tampan itu. 
"Tidak, Kanjeng." 
"Kau tahu, bagaimana beratnya tugas pimpinan 
prajurit?" 
"Sendika, Kanjeng," jawab Galapati seraya men-
ganggukkan kepala.  
"Hm...." 
Adipati Sepa Woroagung kembali bergumam tak 
jelas mendengar ucapan Galapati. Matanya masih menatap tajam wajah Galapati, seperti berusaha meyakinkan hatinya akan kemampuan pemuda tampan di 
hadapannya. 
"Galapati...." 
"Daulat, Kanjeng." 
"Sesungguhnya di sini telah ada pimpinan praju-
rit. Namun, jika kau mampu mengalahkannya, aku 
akan menerima permintaanmu," ujar Adipati Sepa Wo-
roagung. 
Sebenarnya maksud Adipati Sepa Woroagung 
hanyalah mau menyingkirkan pemuda ini. Hatinya tak 
suka dengan apa yang ditunjukkan pemuda itu. 
Hanya saja karena Adipati Sepa Woroagung meman-
dang pada mertuanya, maka hanya dengan cara halus 
bisa menyingkirkan pemuda tampan ini. 
Kalau Adipati Sepa Woroagung menyingkirkan 
Galapati dengan kekerasan, jelas dia tak ingin mertu-
anya marah. Tapi jika dengan adu tanding melawan 
Kebo Wulung, bukankah dia bisa bertanggung jawab 
pada mertuanya? Adipati Sepa Woroagung akan men-
gatakan kalau Galapati mati dalam ujian. Itu sebabnya 
dia bermaksud mengadu Galapati dengan Kebo Wu-
lung. 
"Bagaimana, Galapati?"  
"Hamba sanggup, Kanjeng."  
"Hm, begitu...?"  
"Daulat, Kanjeng," 
"Baik Bersiaplah di pelajaran!" perintah Adipati 
Sepa Woroagung. 
"Sendika...!" 
Galapati sekali lagi mencuri pandang ke wajah 
Getri Anitia yang menjadikan wanita cantik istri Adipa-
ti Sepa Woroagung kembali berdesir dadanya. Sesaat 
kemudian pemuda itu melangkah dengan mantap me-
nuju pelataran. Tenang sekali pemuda itu melangkah. 
Sementara itu, hati Getri Anitia semakin bergetar 
hebat. Wanita itu bingung dan tak mengerti mengapa 
getaran itu terus melanda hatinya. Tiba-tiba pula ada 
rasa takut, kalau-kalau pemuda tampan itu akan 
mengalami kekalahan. 
Getri Anitia tahu persis siapa Kebo Wulung. Seo-
rang tokoh persilatan yang sakti dan kejam. Kebo Wu-
lung tak pernah melepaskan lawannya dalam keadaan 
hidup. Itu sebabnya selama puluhan tahun, Kebo Wu-
lung masih memegang pimpinan prajurit dan belum 
terkalahkan. 
Di samping itu, Kebo Wulung juga teman dekat 
Adipati Sepa Woroagung. Tentunya sang Adipati akan 
membelanya, jika keadaan memang mendesak. 
Kini, seorang pemuda yang kelihatannya tak 
memiliki kepandaian tinggi dan mengaku murid Ki 
Kayaputaka telah dengan berani menantang Kebo Wu-
lung. Bukankah pemuda itu hanya mencari mati saja? 
Pikir Getri Anitia, antara cemas dan berharap 
pemuda itu segera membatalkan kesanggupannya. 
Galapati tak mencabut ucapannya. Bahkan se-
makin bertambah mantap melangkah ke pelataran Hal 
itu membuat hati Getri Anitia bertambah was-was. En-
tah mengapa, sejak pandangan pertama, hatinya me-
rasakan sesuatu keanehan. Getri Anitia begitu terpe-
sona melihat ketampanan pemuda itu. 
Adipati Sepa Woroagung dan Getri Anitia serta 
dua dayang melangkah menuju tempat duduk yang 
disediakan khusus untuk menyaksikan pertarungan. 
"Prajurit...!" seru Adipati Sepa Woroagung me-
manggil para prajuritnya yang tengah berkumpul di 
bangsal prajurit 
Seketika dari bangsal sisi kanan bangunan uta-
ma kadipaten, bermunculan puluhan prajurit lengkap 
dengan senjata. Mereka langsung menghadap Adipati 
Sepa Woroagung dan menyembah. "Buat lingkaran!"  
"Daulat, Kanjeng!" 
Tanpa diperintah dua kali, puluhan prajurit itu 
langsung membuat lingkaran. Sedangkan Kebo Wu-
lung kini berdiri di samping tempat duduk Adipati Se-
pa Woroagung. Lelaki bertubuh tinggi tegap dan ber-
mata tajam itu bersidekap. Wajahnya yang garang 
dengan cambang bauk dan hidung besar menatap pe-
nuh kebencian pada Galapati. Napas Kebo Wulung 
mendengus keras. Mulutnya menyeringai sinis. 
"Kuremukkan batok kepalamu, Bocah Sombong!" 
dengus Kebo Wulung sambil memukul-mukulkan ke-
palan tangannya ke telapak tangan yang lainnya. "Kau 
rupanya mencari mampus!" 
"Kebo Wulung, seperti apa yang tadi kukatakan, 
jika pemuda itu mampu mengalahkanmu, maka dialah 
pengganti mu. Kau mengerti, Kebo Wulung?" tanya 
Adipati Sepa Woroagung sambil mengedipkan mata 
pada Kebo Wulung memberi isyarat 
Getri Anitia yang mengerti isyarat suaminya, se-
makin berdebar jantungnya. Rasa cemas dan takut 
kalau Galapati tewas di tangan Kebo Wulung, mem-
buatnya gelisah. Bahkan keringat dingin kini telah 
membasahi keningnya. 
"Daulat, Kanjeng. Akan kuremukkan batok kepa-
lanya yang sombong itu!" dengus Kebo Wulung murka. 
"Kau telah siap, Galapati?" tanya Adipati Sepa 
Woroagung. 
"Hamba telah siap sejak tadi, Kanjeng. Ingin se-
kali hamba melabrak kerbau dungu itu," ujar Galapati 
sinis dengan suara sombong. 
Kebo Wulung tentu saja bertambah geram. Tak 
sabar menunggu pertarungan dimulai. 
"Sombong kau, Bocah! Bersiaplah untuk mam-
pus!" geram Kebo Wulung. Matanya semakin tajam, 
penuh bara api amarah terhadap Galapati. 
"Kalian tak perlu sesumbar yang tidak-tidak. 
Yang penting, kalian harus bisa mengalahkan lawan. 
Karena siapa yang menang, dialah yang akan menjadi 
pimpinan prajurit," ujar  Adipati Sepa Woroagung. 
"Nah, mulailah!" 
Mendengar perintah itu, Kebo Wulung yang su-
dah marah sejak mendengar ejekan dan tingkah laku 
Galapati langsung melesat, menggebrak dengan seran-
gan dahsyat 
"Jaga kepalamu, Bocah! Heaaa...!" 
Dengan jurus 'Tanduk Kerbau Menjegal Nyawa', 
Kebo Wulung bergerak menyerang. Kedua tangannya 
mengepal, bagaikan sepasang tanduk Kemudian silih 
berganti menyerang dengan pukulan-pukulan keras 
disertai tenaga dalam. Deru angin pukulannya saja 
mampu menyentakkan lawan. 
"Haits! Hih...!" 
"Yeaaa!" 
Melihat lawan menyerang dengan jurus andalan, 
tanpa sungkan-sungkan Galapati pun langsung me-
mapaki serangan lawan dengan jurus andalan yang 
bernama 'Tan Jidor Maut'. 
"Yeaaa...!" 
Kedua tangannya bergerak laksana menari. Satu 
di belakang, satunya menyerang ke depan begitu cepat 
dan beruntun. Tubuhnya agak merendah dengan sa-
lah satu kaki setengah ditekuk. Gerakannya mirip ta-
rian jaipongan. Namun hentakan-hentakan tangannya 
yang menyerang ke depan diikuti tenaga dalam yang 
sempurna, hingga menimbulkan angin pukulan men-
deru keras. 
"Heaaa...!"    
"Yeaaa...!" 
Kebo Wulung memajukan tangan kanannya, me-
nyeruduk dengan pukulan keras. Namun, dengan ce-
pat Galapati berkelit ke samping. Tubuhnya agak me-
runduk. Kemudian dengan cepat pula, pemuda tam-
pan itu balas menyerang dengan hentakan punggung 
tangan kanan ke dada lawan.  
Wrt! 
"Heits! Hih...!" 
"Heaaa...!" Dengan gerakan memutar, Kebo Wu-
lung melancarkan sapuan kaki kanannya mengarah ke 
kaki Galapati. 
"Haits! Hap!" Galapati segera melompat ke atas 
menghindari sapuan kaki lawannya. 
Kebo Wulung cepat menarik tangan kanannya. 
Lalu segera memiringkan tubuh ke samping, memben-
tuk setengah lingkaran. Tangan kirinya dihentakkan, 
membentuk siku dari bawah ke atas, menangkis hen-
takan tangan kanan lawan. Kemudian dengan gerak 
memutar, Kebo Wulung melancarkan sapuan kaki ka-
nannya mengarah ke kaki Galapati. 
"Heaaa...!" 
"Haits! Hap!" 
Bergantian keduanya saling menyerang dengan 
pukulan dan tendangan yang disertai tenaga dalam. 
Gerakan tubuh mereka begitu cepat. Sehingga tubuh 
keduanya tampak tak jelas. Kini yang tampak hanya 
bayangan warna pakaian mereka. Bayangan ungu dan 
biru tua berkelebat saling serang. Kedua bayangan itu 
berusaha mendesak lawan dengan serangan-serangan 
dahsyat dan mematikan. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaat...!" 
Wut! 
Semua mata yang menonton, melotot tak berke-
dip menyaksikan pertarungan seru itu. Pelataran ka-
dipaten yang semula rapi dan bersih, kini berantakan. 
Rerumputan berserakan terinjak-injak kaki mereka. 
Suasana yang tenang pun terpecah oleh pekikan-
pekikan dari keduanya yang bertarung, maupun dari 
para prajurit yang menyaksikan 
*** 
Pertarungan masih berlangsung seru, meski sua-
sana alam mulai gelap. Mentari telah tenggelam di ba-
lik bumi sebelah barat. Meski begitu, tak menghambat 
keduanya untuk tetap bertarung. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa....'" 
Galapati kini bergerak dengan jurus 'Tari Tipak 
Tilu'. Sebuah gerak gabungan antara tangan dan kaki. 
Tangan Galapati menyilang membentuk gunting. Ka-
kinya pun melakukan hal yang sama, saling menyi-
lang. Kemudian dengan tangan dibuka mengembang 
ke samping, kaki kiri pun ditarik ke samping memben-
tuk siku. 
"Yeaaa...!"  
"Heaaa...!" 
Melihat lawan membuka serangan dengan jurus 
baru, Kebo Wulung pun segera mengeluarkan jurus 
yang tak kalah hebatnya. Jurus 'Kerbau Menanduk 
Gunung' yang merupakan jurus pamungkas mulai di-
gerakkan! 
Kedua tangannya menggenggam, kemudian dige-
rakkan dari bawah ke atas laksana menanduk. Dis-
usul dengan pukulan keras kedua tangan lurus ke de-
pan. Kedua kakinya pun bergerak, merentang lebar, 
lalu ditarik dan diletakkan ke depan. 
"Yeaaa...!"  
"Heaaa...!" 
Keduanya kembali bergerak, berusaha saling 
mengalahkan. Dengan jurus-jurus andalan, tangan 
mereka bergerak cepat melakukan serangan. Galapati 
menepiskan tangan kanan dengan tepukan pertama. 
Disusul dengan gerakan tangan kiri menepuk, begitu 
seterusnya secara beruntun. 
Kebo Wulung pun tak kalah diam. Tangan ka-
nannya dihentakkan dari arah bawah, membentuk si-
ku mengarah ke wajah lawan. Lalu disusul dengan 
tangan kirinya, memukul lurus ke dada lawan. 
Plak! 
"Hih!" 
"Ahhh...!" 
Secara bergantian menyerang dan menangkis 
keduanya terus bergerak menyerang. Hal itu membuat 
para prajurit yang menyaksikan semakin tercengang. 
Adipati Sepa Woroagung berdecak kagum. Tak me-
nyangka kalau Galapati yang masih muda dan keliha-
tannya belum berpengalaman ternyata mampu men-
gimbangi setiap serangan yang dilancarkan Kebo Wu-
lung.  Apalagi selama ini mereka mengenal Kebo Wu-
lung sebagai kepala prajurit yang ganas dan tak per-
nah terkalahkan. 
"Ck ck ck...! Sungguh pertarungan yang hebat. 
Pantas Galapati berani sesumbar. Ternyata pemuda 
itu patut diperhitungkan," gumam Adipati Sepa Wo-
roagung sambil mengangguk-anggukkan kepala. 
Sementara Getri Anitia yang hatinya telah ter-
paut pada ketampanan Galapati, kini berharap pemu-
da itu dapat mengalahkan Kebo Wulung. Entah men-
gapa, hatinya bersorak girang melihat Galapati mam-
pu mengimbangi serangan-serangan yang dilancarkan 
Kebo Wulung. Rasa cemas akan kekalahan pemuda 
itu, seketika lenyap, berganti dengan rasa kagum. Bi-
birnya mengurai senyum. Senyum yang penuh arti. 
Sementara, Kebo Wulung terbelalak kaget ketika 
mengetahui tenaga dalam lawan ternyata mampu 
mengimbangi tenaga dalamnya. Seluruh tenaga da-
lamnya dikerahkan, untuk menarik tangannya yang 
dalam cengkeraman tangan Galapati. 
"Hih...!" 
Bret! 
Akibat tarikan disertai tenaga dalam yang kuat, 
seketika itu juga daging tangan Kebo Wulung terkelu-
pas. Darah mengucur keluar dari luka besetan itu. 
Semua mata terbelalak, tak percaya menyaksi-
kan kejadian di hadapan mereka. Baru kali ini mereka 
menyaksikan kulit terbeset oleh cengkeraman tangan. 
Tentunya cengkeraman tangan itu dikerahkan dengan 
tenaga dalam yang lebih kuat, sehingga mampu mem-
beset kulit tangan lawan. 
"Akh...!" 
Kebo Wulung memekik tertahan. Tubuhnya ter-
huyung ke belakang. Matanya yang tajam terbelalak, 
menatap tegang tangannya yang mengucurkan darah. 
"Bagaimana, Kebo Wulung? Apakah kau belum 
mengakui kekalahanmu?" tanya Galapati bertambah 
congkak. Bibirnya tersenyum sinis, mengejek Kebo 
Wulung. 
"Kurang ajar! Cuih! Jangan harap Kebo Wulung 
menyerah begitu saja! Mari kita teruskan!" tantang 
Kebo Wulung. Kemudian tangannya bergerak cepat, 
menyambar senjata yang tersandar di tembok. Sebuah 
senjata berbentuk kapak dengan gagang panjang. Ka-
pak besar bermata dua itu telah banyak merenggut 
korban. Tak ada lawan yang dapat selamat dari kapak 
itu. 
Menyaksikan lawan telah mengeluarkan senjata, 
dengan bibir masih mengurai senyum Galapati pun 
mulai menarik senjata dari balik bajunya. 
Srt! 
Sebuah kipas besar berwarna ungu kini telah 
terbuka lebar di tangan Galapati. Dengan senyum si-
nis, pemuda tampan itu mengipas-ngipaskan senja-
tanya ke tubuh. Hal itu menjadikan Kebo Wulung ber-
tambah marah, merasa diejek dan diremehkan. 
"Cuih! Kau kira kipas butut macam itu akan 
mampu menghadapi Kapak Mata Malaikat ku," dengus 
Kebo Wulung. 
"Hm, kita buktikan, Kebo Wulung!" 
"Cuh! Kubelah kepalamu, Bocah Sombong! 
Yeaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Dengan kapak besar bermata dua Kebo Wulung 
kini melesat. Kapaknya diangkat ke atas, kemudian 
dengan cepat diayunkan ke tubuh Galapati. Namun 
belum juga kapak besar itu menurun, Galapati telah 
lebih dahulu menggerakkan kipas mautnya.  
Wrt! 
Swing, swing...! 
Kebo Wulung tersentak mendapat serangan ce-
pat dan begitu tiba-tiba. Dengan cepat lelaki bertubuh 
besar itu menarik serangannya. Diputarnya kapak 
bermata dua membentuk baling-baling untuk melin-
dungi tubuhnya dari ancaman pisau-pisau kecil yang 
melesat ke tubuhnya. 
Trak, trak! 
Wrt! 
Trak! 
"Heaaa...!" 
Setelah pisau-pisau kecil itu berguguran tersapu 
kapaknya, Kebo Wulung yang semakin bernafsu, den-
gan cepat mengayunkan kapaknya. 
Wrt! 
"Haits!" 
Galapati membuang tubuh ke samping dengan 
melompat. Kemudian dengan tubuh masih agak mir-
ing Galapati balas menyerang dengan kibasan kipas-
nya. 
Wrt! 
Asap ungu bergulung-gulung keluar dari kipas 
maut. Asap itu bergerak mengejar tubuh Kebo Wu-
lung, membuat lelaki bertubuh tinggi besar dan ber-
wajah garang itu berubah pucat. Matanya terbelalak, 
setelah tahu asap apa yang keluar dari kipas maut itu.  
"Racun Kelabang Ungu...!"  
Ketika lawan dalam keadaan terkejut menyaksi-
kan racun yang berbentuk asap ungu yang keluar dari 
kipas mautnya, dengan cepat Galapati melesat. Kemu-
dian dengan cepat pula kipasnya dikebutkan ke leher 
lawan. 
Bret! 
Cras! 
"Wuaaa...!" lolongan kesakitan seketika terdengar 
dari mulut Kebo Wulung. Sesaat tubuh lelaki bertu-
buh besar itu bergetar hebat. Lalu ambruk dengan tu-
buh membiru. Lehernya terkoyak hampir putus! 
Tepuk sorak terdengar dari para penonton. Na-
mun, ada di antara mereka yang terdiam, tak senang 
menyaksikan kejadian itu. Seperti halnya Adipati Sepa 
Woroagung yang terbungkam dengan mengulum bibir. 
Dia mengira Kebo Wulung akan mampu mengalahkan 
Galapati, ternyata justru keadaannya terbalik. Kebo 
Wulung harus menerima kematian. 
Saat itu juga, pengangkatan pimpinan prajurit 
dilangsungkan. Senyum mengembang di bibir Galapa-
ti, begitu pula dengan Getri Anitia. Keduanya dengan 
mencuri pandang, berusaha saling mengisyaratkan se-
suatu yang ada dalam hati mereka. 
*** 
Sementara itu, kelima lelaki tua berjubah yang 
tengah mencari Galapati tiba di Desa Kembar Pacung. 
Kelima lelaki tua sakti yang juga guru Galapati, pagi 
itu tengah melintasi persawahan di sebelah utara Desa 
Kembar Pacung, ketika terdengar suara isak tangis 
seorang wanita. 
"Hei, kudengar ada seorang wanita menangis," 
seru Ki Gendala. 
"Hm, benar. Pagi-pagi begini ada suara tangis," 
ujar Ki Wilatika. 
"Bagaimana kalau kita cari?" ajak Ki Gondra. 
Kelima lelaki tua itu pun segera menuju asal su-
ara tangis itu. Tak lama kemudian, mereka menemu-
kan seorang gadis berpakaian hijau sedang menangis 
sesenggukan seorang din di tepi sungai,  di sebuah 
dangau yang ada di persawahan itu. 
"Kenapa kau menangis seorang diri di sini, Nak?" 
tanya Ki Gendala sambil mendekati gadis cantik ber-
pakaian hijau yang ternyata Arum Sari. 
Arum Sari menyeka air matanya. Kemudian, di-
pandanginya kelima orang tua di hadapannya. 
"Aku..., aku.... Oh, aku sudah tak ada artinya, 
Ki!" keluh Arum Sari. 
"Heh, apa maksudmu?" tanya Ki Wilakupa den-
gan kening berkerut 
"Aku..., aku benci pada pemuda itu. Dialah yang 
telah menghancurkan masa depanku. Aku ingin men-
cari seorang guru, agar dapat membalas sakit hatiku," 
ujar Arum Sari sambil terus terisak-isak 
"Siapa pemuda yang kau maksud, Nak?" tanya Ki 
Sandika. 
"Galapati, Ki. Dia telah menghancurkan masa 
depanku. Hu hu hu...!" 
"Hhh...! Bocah keparat itu lagi! Ng.... Siapa na-
mamu? Dan dari mana asalmu, Nak?" tanya Ki Kara-
dena. 
"Namaku Arum Sari, Ki. Aku berasal dari Desa 
Swargadana." 
Terbeliak mata kelima lelaki tua berjubah itu 
mendengar ucapan Arum Sari. Seketika mereka terin-
gat akan ucapan Pendekar Gila, yang menceritakan 
kalau putri Kepala Desa Swargadana pun telah men-
jadi korban Galapati. 
"Heh, apa kau putri Kepala Desa Swargadana?" 
tanya Ki Gendala. 
"Benar, Ki. Dari mana kau tahu?" Arum Sari ba-
lik bertanya. 
"Kami tahu dari Pendekar Gila, bahwa putri Ke-
pala Desa Swargadana telah menjadi korban bocah 
keparat itu," jawab Ki Wilakupa. 
"Ki, tolonglah aku! Tunjukkan padaku, di mana 
aku dapat menemukan guru yang sakti. Aku ingin 
membalas dendam pada pemuda biadab itu," pinta 
Arum Sari. 
"Benarkah kau mau berguru?" tanya Ki Gendala.  
"Benar, Ki." 
"Hm..,," Ki Gendala menggumam tak jelas. Ma-
tanya menoleh dan menatap keempat rekannya, seper-
tinya Ki Gendala bermaksud minta pendapat teman-
temannya. Mereka mengangguk, menyetujui apa yang 
direncanakan Ki Gendala. 
"Baiklah, Nak. Kami akan mengangkatmu seba-
gai murid. Kami akan mengajarkan semua ilmu yang 
kami miliki padamu. Kelak setelah selesai mempelajari 
semua, kami mengharap kau mau mencari Galapati. 
Bocah laknat itu harus ditangkap," ujar Ki Wilakupa. 
"Ah..., benarkah?" Arum Sari tersentak gembira 
mendengar ucapan Ki Wilakupa. 
"Ya. Kami terima kau sebagai murid," tegas Ki 
Gondra. 
"Oh, terimalah hormatku, Guru! Akan kulaksa-
nakan perintah Guru." 
Arum Sari segera bersujud di hadapan kelima le-
laki tua berjubah di depannya. 
"Bagaimana kalau kita langsung menggembleng 
bocah ini?" usul Ki Wilakupa. 
"Setuju...!" sahut yang lainnya. 
"Nah, apakah kau sanggup berlatih sekarang?" 
tanya Ki Wilakupa. 
"Sanggup, Guru," jawab Arum Sari penuh se-
mangat 
"Baiklah. Kita berlatih sekarang. Nah, ikut aku!" 
ajak Ki Wilakupa. 
Ki Wilakupa mengajak Arum Sari ke tanah la-
pang yang ada di tempat itu. Sementara yang lain 
membuat rumah dari kayu dan jerami. Mereka ingin 
membuat tempat itu sebagai pesanggrahan sementara, 
selama mencari Galapati sekaligus mendidik Arum Sa-
ri. Karena untuk kembali ke perguruan mereka, terlalu 
jauh bagi Arum Sari. 
Mulai saat itu Arum Sari berlatih. Ki Wilakupa 
memperagakan jurus-jurus ilmu silatnya, sedangkan 
Arum Sari mengikutinya. Didorong semangat dan den-
dam dalam jiwanya, Arum Sari dapat mengikuti gera-
kan ilmu silat yang diperagakan Ki Wilakupa. 
"Heaaa...!"  
"Yeaaa...!" 
Tubuh keduanya bergerak cepat, dalam jurus-
jurus ilmu silat. Bahkan ketika Ki Wilakupa berhenti, 
Arum Sari masih terus melakukan gerakan, mempela-
jari jurus-jurus yang tadi diberikan Ki Wilakupa. 
Secara bergantian kelima lelaki tua itu memberi-
kan jurus-jurus ilmu silatnya. Tak jemu-jemunya 
Arum Sari menerimanya. Semakin lama bahkan gadis 
itu tampak semakin memperlihatkan semangatnya. 
Terus-menerus berusaha keras mempelajari jurus-
jurus silat dari kelima lelaki tua berpakaian jubah 
yang telah mengangkat Arum Sari sebagai murid. 
*** 
Keesokan paginya, di Bukit Semut Abang tampak 
seorang pemuda berpakaian rompi kuning keemasan 
tengah melangkah tenang di bawah sinar matahari pa-
gi yang hangat. Di punggung pemuda berusia sekitar 
dua puluh lima tahun itu tersandang sebilah pedang. 
Dilihat dari pedang dan pakaian yang dikenakan, pe-
muda itu tentunya orang persilatan. 
Pemuda itu bernama Sunatra, murid Ki Kayapu-
taka yang hendak menuju Kadipaten  Blambangkara. 
Dia pergi ke sana atas perintah gurunya, yang kemarin 
lusa datang ke Kadipaten Blambangkara. 
Sunatra tengah melangkah melintasi Bukit Se-
mut Abang, ketika tiba-tiba dari arah samping kanan 
berdesing puluhan anak panah. 
Swing, swing...!  
"Hop! Heaaa...!" 
Sunatra cepat melompat dan bersalto, mengelak-
kan serangan tak terduga yang meluncur ke arahnya. 
Tubuhnya berjumpalitan di udara beberapa kali, sebe-
lum kemudian mendarat dengan mulus di tanah. Tan-
gannya dengan cekatan berhasil menangkap beberapa 
anak panah. Matanya yang tajam, mengawasi sekeli-
lingnya, berusaha mencari asal serangan itu. 
"Pengecut! Keluarlah kalian!" bentak Sunatra 
sengit 
Swing, swing...! 
Jawaban dari seruan Sunatra, berupa puluhan 
anak panah melesat memburu tubuhnya. Melihat se-
rangan itu, Sunatra kembali melompat dan berjumpa-
litan untuk mengelak. 
"Hop! Kurang ajar! Hih...!" 
Dengan tubuh masih berjumpalitan di udara, 
tangannya dengan cepat melolos pedang yang tersan-
dang di punggung. 
Srt! 
"Heaaa...!"  
Wrt! 
Trak, trak...! 
Dalam sekali kebut, puluhan anak panah terba-
bat pedang dan berpentalan di tanah. 
"Pengecut! Keluarlah kalian!" seru Sunatra sam-
bil mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu! 
Seketika, dari balik semak-semak tak jauh dari Suna-
tra berada, bermunculan puluhan prajurit Kadipaten 
Blambangkara yang dipimpin seorang pemuda berwa-
jah tampan mengenakan pakaian ungu. 
"Apa maksud kalian menyerangku?!" tanya Su-
natra. 
"Kau harus dibunuh!" dengus pemuda berpa-
kaian ungu yang tak lain Galapati.    
"Hm.... Antara kita tak pernah terjadi sengketa. 
Guru malah menyuruhku untuk menemui Kanjeng 
Adipati," ujar Sunatra merasa heran dan tak mengerti. 
"Untuk apa? Dan siapa gurumu?" tanya Galapati. 
"Guruku Ki Kayaputaka." 
"Bohong! Rupanya kau hendak menipu kami! 
Prajurit bunuh dia! Dialah si hidung belang itu...!" se-
ru Galapati. 
Sunatra tersentak kaget mendengar perintah dan 
tuduhan padanya sebagai si durjana. Sunatra hendak 
membantah, tapi puluhan prajurit telah menyerang, 
hingga dia tak sempat berkata lagi. Hanya ada satu ja-
lan, menghadapi mereka. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Sunatra segera menggerakkan pedangnya den-
gan jurus 'Badai Mendera Buana'. Pedangnya bergerak 
laksana badai yang kencang, memapaki serangan go-
lok dan tombak yang dilancarkan para prajurit Kadi-
paten Blambangkara. 
Wrt! 
Trang! 
Prak!  
"Ihhh...!" 
Dalam sekali sabetan, beberapa senjata di tan-
gan para prajurit itu patah menjadi dua. Kenyataan itu 
membuat para prajurit terbelalak dan melompat mun-
dur. 
"Kurang ajar! Akulah lawanmu! Yeaaa...!" 
Galapati yang melihat anak buahnya tak mampu 
mengalahkan Sunatra, segera melesat menyerang pe-
muda murid Ki Kayaputaka itu. Serangannya tak 
tanggung-tanggung lagi. Langsung dikeluarkannya ju-
rus andalannya yang bernama jurus 'Tari Ronggeng 
Menjerat'. Tangannya bergerak menari, dengan kipas 
maut berwarna ungunya. 
Wrt! 
Dari gerakan kipas itu, keluar gulungan asap 
ungu yang melesat mengejar Sunatra. Sunatra tersen-
tak kaget, ketika tahu asap yang keluar dari kipas 
maut itu. 
"Racun Kelabang Ungu...?!" pekiknya sambil me-
lompat mundur, kemudian dengan cepat pedangnya 
diputar dengan jurus 'Kincir Menyapu Kabut'. Pedang 
di tangan kanan Sunatra bergerak cepat, berputar lak-
sana kincir. 
Wrt! 
Asap ungu beracun seketika tersapu. Cahaya 
gemerlap terbias ketika pedang Sunatra berputar begi-
tu cepat dan keras. 
"Heaaa...!"  
"Yeaaa....!" 
Galapati melesat memburu lawan. Kipas maut-
nya dikibaskan dengan tenaga dalam penuh. Kemu-
dian dengan secepat kilat dihentakkan. 
Wrt! 
Swing, swing...! 
Puluhan pisau-pisau kecil terlontar dan melesat. 
Sunatra tersentak kaget. Belum sempat dirinya terbe-
bas dari serangan Racun Kelabang Ungu, mendadak 
harus menghadapi serangan pisau-pisau kecil yang 
keluar dari kipas besar di tangan lawan. 
"Hais! Hih...!" 
Tubuh Sunatra melompat dengan berjumpalitan 
di udara, mengelakkan serangan pisau-pisau kecil itu! 
Pedangnya terus berkelebat cepat, berputar laksana 
kincir untuk menangkis serangan pisau-pisau kecil, 
sekaligus menepiskan asap beracun yang juga terus 
memburu dirinya. 
Wut! Wut! 
"Heaaa...!" 
Sunatra terus mengelakkan pedangnya sambil 
berjumpalitan mengelakkan serangan lawan. Dia kini 
benar-benar kewalahan menghadapi gempuran lawan 
yang tak henti-hentinya. Serangan lawan begitu terpa-
du, antara racun dan asap, pisau-pisau, dan kibasan-
kibasan kipasnya yang begitu cepat dan keras. 
"Heaaa...!" 
Wrt! Wrt! 
Galapati terus memburu lawan dengan kipas 
mautnya yang mengeluarkan asap beracun ganas. 
Keadaan ini semakin membuat Sunatra bertambah ke-
labakan. Sampai pada suatu ketika....  
Wrt!  
Swing!  
Jlep! 
"Akh...!" 
Tubuh Sunatra terhuyung-huyung, ketika pa-
hanya tertancap pisau maut Wajahnya memucat den-
gan mata terbelalak tegang. Tubuh pemuda itu terus 
limbung ke belakang. Sekujur tubuhnya terasa terge-
tar hebat akibat hunjaman pisau beracun itu. 
"Ha ha ha...! Mampuslah kau....' Hiaaa....!"  
Galapati melesat hendak menghabisi nyawa Su-
natra. Tubuhnya berkelebat cepat memburu Sunatra. 
Kipas maut di tangannya bergerak cepat dan melebar, 
membentuk mata kapak besar yang siap memenggal 
leher lawan.  
"Hiaaa...!" 
"Oh, matilah aku!" keluh Sunatra dengan wajah 
semakin bertambah pucat 
Kipas maut itu semakin mendekat ke tubuh Su-
natra yang sudah dalam keadaan terdesak hebat. Se-
saat lagi, tentunya nyawa Sunatra akan melayang. Ta-
pi.... 
"Hi hi hi....! Orang jahat! Heaaa....!" Ketika nyawa 
Sunatra dalam keadaan terancam, tiba-tiba tampak 
sesosok bayangan pemuda berambut panjang dengan 
pakaian rompi kulit ular berkelebat dan menghantam-
kan suling berkepala naga ke kipas maut Galapati.  
Wut! Bret!  
"Akh!" 
Galapati tersentak. Tubuhnya terdorong bebera-
pa tindak ke belakang. Matanya membelalak,  karena 
pinggir kipasnya rusak akibat berbenturan dengan 
Suling Naga Sakti di tangan pemuda bertingkah laku 
seperti orang gila yang tak lain Pendekar Gila. 
"Hi hi hi...! Tikus busuk! Rupanya tindakanmu 
benar-benar busuk! Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Kau?!" mata Galapati terbelalak setelah tahu 
siapa yang telah merusakkan kipas mautnya. 
"Hi hi hi.... Mau lari ke mana kau, Tikus Bu-
suk?!" dengus Sena dengan gerak-gerik yang masih 
seperti orang gila. 
"Kurang ajar! Kau harus mampus, Pendekar Gila! 
Serang dia!" perintah Galapati pada prajurit-prajurit 
kadipaten, yang seketika itu bergerak menyerang Pen-
dekar Gila. 
"Ukh...!" Sunatra mengeluh, merasakan dadanya 
sakit. Hal itu membuat Pendekar Gila yang hendak 
memapaki serangan lawan segera mengurungkan 
niatnya. Dengan bertingkah laku seperti kera, Pende-
kar Gila melesat ke arah tubuh Sunatra, lalu dibo-
pongnya tubuh murid Ki Kayaputaka itu. 
"Hi hi hi...! Kurasa belum saatnya kau ku jitak, 
Tikus Busuk! Aku harus menolong dia dulu," Sena 
pun dengan cepat melesat meninggalkan tempat itu 
sambil memondong tubuh Sunatra. 
"Bedebah! Jangan lari...!" bentak Galapati sambil 
memburu Sena. Namun, Pendekar Gila yang menggu-
nakan ilmu lari 'Sapta Bayu' dalam sekejap telah le-
nyap dari pandangan. Kini tinggal Galapati yang men-
caci-maki seorang diri. "Kita pulang...!" 
Prajurit-prajurit Kadipaten Blambangkara menu-
rut, kembali ke kadipaten meninggalkan Bukit Semut 
Abang. 
Pendekar Gila terus membopong tubuh Sunatra 
meninggalkan Bukit Semut Abang. Kini dia terus me-
nuju barat. Pendekar Gila berusaha mencari tempat 
aman untuk menyelamatkan nyawa pemuda itu dari 
racun ganas yang menjalar di tubuhnya. 
"Hi hi hi...! Tahanlah sedikit, Sobat! Kerahkan 
tenaga murnimu agar kau bisa bertahan sampai di 
tempat yang aman," pinta Sena sambil terus menge-
rahkan ilmu lari 'Sapta Bayu', yang membuat tubuh-
nya bagaikan angin melesat kencang. 
"Kisanak, kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?" 
tanya Sunatra sambil berusaha menahan jalan darah-
nya. Tangannya bergerak menotok urat di pahanya 
yang terkena pisau beracun. 
"Hua ha ha...! Terlalu tinggi sebutan itu untuk-
ku, Sobat. Ah, hanya orang-orang saja yang menye-
butku begitu," sahut Sena masih terus berlari. 
"Oh, beruntung sekali aku bisa bertemu den-
ganmu, Pendekar Gila. Selama ini, aku membayang-
kan kalau kau sudah tua dengan rambut putih pan-
jang dan jenggot putih." 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak menden-
gar penuturan Sunatra yang membayangkan kalau di-
rinya telah tua. Kepalanya digeleng-gelengkan, kemu-
dian tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. 
"Tak kusangka, kalau pendekar yang namanya 
tersohor di tanah Jawa Dwipa ini masih begitu muda. 
Seusia denganku," lanjut Sunatra. 
Pendekar Gila kembali tertawa sambil terus me-
lesat membawa tubuh Sunatra semakin jauh dari kaki 
Bukit Semut Abang. 
Tak begitu lama kemudian, Pendekar Gila yang 
masih membopong tubuh Sunatra tiba di sebuah pe-
gunungan. Mereka kini berada di dekat sebuah sungai 
membentang lebar yang membagi dua wilayah. Itulah 
Sungai Cipakuyu. Di sebelah timur, tempat kini Pen-
dekar Gila berada merupakan Desa Cipatukan. Se-
dangkan di sebelah barat, di seberang sungai adalah 
batas Desa Cibalawa. Sungai itu sangat lebar, tapi tak 
ada satu pun rakit. 
Hm.... Tak ada jalan lain, kecuali dengan ilmu la-
ri di atas air! Gumam Sena  dalam hati. "Hop! 
Heaaa...!" 
Enak sekali Pendekar Gila menerjunkan tubuh 
ke sungai. Mata Sunatra terbelalak, ketika melihat ka-
ki Pendekar Gila menapak di atas permukaan air, tak 
terendam apalagi tenggelam bersama tubuhnya. Itulah 
kelebihan Pendekar Gila dengan ilmunya yang berna-
ma 'Peringan Raga'. Ilmu yang dapat membuat tubuh-
nya seringan kapas itu diperoleh dari gurunya, Singo 
Edan, ketika Sena digembleng di Goa Setan. 
Ck ck ck..! Benar-benar pendekar sejati. Segala 
jenis ilmu dimilikinya. Gumam Sunatra berdecak ka-
gum dalam hati, menyaksikan betapa ringannya tubuh 
Pendekar Gila melangkah di atas air sungai. Padahal 
pundaknya memanggul tubuh Sunatra, yang berbadan 
kekar, sama seperti badan Pendekar Gila. Namun ba-
gaikan tanpa beban barang sedikit pun. 
Pendekar Gila melangkah sambil tertawa-tawa. 
Tangan kirinya menggaruk-garuk kepala. Sesekali ka-
kinya melompat-lompat, kemudian melejit bagaikan 
terbang dan hinggap di tepian sungai sebelah barat 
"Hop!" 
"Wuah, baru kali ini mataku terbuka, Pendekar 
Gila. Sungguh selama ini aku tak tahu tingginya gu-
nung dan dalamnya laut. Rupanya kau benar-benar 
pendekar sejati," gumam Sunatra memuji. 
"Aha, jangan terlalu memujiku, Sobat! Tingginya 
gunung, tentu masih ada yang lebih tinggi, Dalamnya 
laut, tentu masih ada yang lebih  dalam. Begitu juga 
dengan ilmu yang dimiliki manusia. Setinggi-tingginya 
ilmu manusia, tentu ada lagi yang lebih tinggi. Hanya 
Hyang Widhi yang berada di atas segalanya," tutur 
Pendekar Gila, semakin membuat Sunatra bertambah 
kagum mendengarnya. Tak pernah dia sangka, Pende-
kar Gila yang ilmunya bagaikan setinggi langit masih 
tetap merendah. Padahal kalau pendekar lainnya, ten-
tu akan merasa sombong. 
"Sungguh baru kali ini kutemui seorang pende-
kar yang berhati mulia sepertimu, Pendekar Gila." 
"Aha, panggil saja aku Sena, Sobat," ujar Sena. 
"Ya. Baru kali ini kutemui orang sepertimu, Se-
na. Meskipun ilmumu bagaikan setinggi langit, tapi 
kau tetap berbudi luhur." 
"Hi hi hi..! Ilmu tinggi bisa menyesatkan, Sobat."  
"Namaku Sunatra." 
"Ya, ilmu tinggi dapat menyesatkan pemiliknya, 
Sunatra. Sedangkan budi pekerti yang tinggi, akan se-
nantiasa mengingatkan kita pada Hyang Widhi, yang 
telah mencipta alam semesta ini. Sehingga kita akan 
selalu merasa kecil, jika dibandingkan dengan kekua-
saan-Nya." 
Sunatra semakin bertambah kagum mendengar 
tutur kata Pendekar Gila. 
"Aha, kita sudah sampai. Kurasa tempat ini 
aman untuk mengobati lukamu, Sunatra," ujar Sena 
ketika keduanya sampai di Hutan Waru Kerap. 
Pendekar Gila meletakkan tubuh Sunatra di se-
batang pohon dan beralaskan rerumputan. Kemudian 
tubuhnya melesat ke dalam hutan untuk mencari 
daun waru ungu, yang bisa menyembuhkan Racun 
Kelabang Ungu. 
"Aha, kita sudah sampai. Kurasa tempat ini aman 
untuk mengobati lukamu, Sunatra," ujar Sena ketika  
keduanya sampai di Hutan Waru Kerap  
Pendekar Gila meletakkan tubuh Sunatra dengan 
sangat hati-hati di bawah sebatang pohon yang bera-
laskan rerumputan. 
Tak lama kemudian, Pendekar Gila telah kembali 
membawa beberapa helai daun waru ungu. Daun waru 
berwarna ungu itu digilasnya dengan telapak tangan 
sampai hancur dan berair. Segera Sena meneteskan 
air dari remasan daun waru ungu di paha Sunatra 
yang masih tertancap pisau beracun. 
"Akh...!" 
Sunatra terpekik. Pahanya yang terkena tetesan 
air daun waru ungu dirasakan bagai terbakar. Tubuh-
nya menggelepar-gelepar menahan rasa sakit yang tia-
da tara. 
Sena cengengesan. Kemudian disobeknya celana 
Sunatra di sekitar bagian paha sebelah kiri.  
Bret! 
"Hm...," gumam Sena. Tangannya dengan cepat 
mencabut pisau kecil beracun. Dan setelah pisau ter-
cabut,  daun waru yang sudah hancur kembali di-
usapkan ke sekeliling bekas pisau beracun itu menan-
cap. 
"Akh...!" 
Sunatra kembali memekik keras, merasakan rasa 
sakit yang hebat. Tubuhnya menggelepar-gelepar, lalu 
diam pingsan. 
"He he he...!" Sena tertawa, kemudian dihelanya 
napas panjang-panjang. Setelah itu segera pergi men-
jauh dari tempat itu. Duduk di bawah sebatang pohon 
waru yang rindang sambil meniup Suling Naga Sakti 
dengan merdu. Suara itu mendendangkan lagu peng-
hayatan pada alam yang diteruskan dengan lagu ke-
rinduan akan pertemuan. 
Aku ibarat sebuah perahu 
Yang tengah mengarungi samudera luas 
Terombang-ambing ombak dan gelombang 
Tapi perahu kecil Hu terus berlabuh.... 
Saat itu Sunatra tampak menggeliat, sadar dari 
pingsannya. Murid Ki Kayaputaka itu tersenyum ceria. 
Nampaknya luka beracun yang tadi dirasakan, kini te-
lah hilang. Bahkan bekas biru racun telah lenyap sa-
ma sekali. 
Sunatra bangun dengan tertatih-tatih, melang-
kah mendekati Pendekar Gila yang masih hanyut den-
gan tiupan Suling Naga Saktinya.  
"Merdu  sekali suara yang kau dendangkan, Se-
na." 
"Aha, rupanya kau telah pulih, Sunatra. Syukur-
lah kalau begitu!" 
"Apakah kita akan meneruskan perjalanan, Se-
na?" tanya Sunatra. 
"Hm, kurasa tidak. Kau harus memulihkan tena-
ga dahulu," jawab Sena dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Matanya menatap ke timur, tampak 
mentari merangkak naik. "Mungkin lusa kita baru be-
rangkat"  
"Tapi, aku telah pulih, Sena."  
"Ah, sabarlah! Kita dalam kedudukan yang sulit. 
Bisa saja tikus busuk itu akan mengerahkan seluruh 
prajurit untuk memusuhi kita. Aha, sejak tadi kita tak 
tahu dari mana asal kita," tukas Sena mengalihkan 
pembicaraan. 
Sunatra tersenyum, senang hatinya melihat ting-
kah laku Pendekar Gila. Kemudian setelah duduk di 
sampingnya, Sunatra pun menceritakan siapa dirinya 
dan asalnya. Juga diceritakan tempat yang hendak di-
tuju hingga bertemu dengan Galapati. 
"Guru  mengutus ku  pergi ke Kadipaten Blam-
bangkara, karena guru ingin aku bisa menjaga pu-
trinya Getri Anitia yang menjadi istri Kanjeng Adipati 
Blambangkara. Namun rupanya guru tak tahu, kalau 
ada seorang lelaki durjana yang telah mengaku seba-
gai muridnya, hingga Kanjeng Adipati menerimanya." 
"Kau yakin Galapati mengaku sebagai murid Ki 
Kayaputaka?" tanya Sena. 
"Ya, karena guru mengatakan bahwa hanya mu-
ridnyalah yang akan diterima di Kadipaten Blambang-
kara." 
"Hm, kurasa ada maksud lain, mengapa tikus 
busuk itu mengaku murid gurumu," gumam Sena 
dengan tangan kembali menggaruk-garuk kepala. 
"Ya! Mungkinkah...." 
"Tepat!" sentak Sena seraya bangun dari duduk-
nya. "Tentu tikus itu mengincar istri Kanjeng Adipati. 
Keparat! Ini tak boleh dibiarkan!" 
"Ya. Maka itu, kita lanjutkan saja perjalanan ki-
ta!" ajak Sunatra. 
"Hm, baiklah. Ayo!" ajak Sena. 
Keduanya pun segera melangkah, meninggalkan 
Hutan Waru Kerap untuk menuju Kadipaten Blam-
bangkara. 
"Apakah Kanjeng Adipati akan percaya?" tiba-
tiba Sena menghentikan langkah. "Kurasa jika hanya 
kita, Kanjeng Adipati tak akan percaya. Bisa-bisa ma-
lah kita yang dituduh hendak membuat keonaran." 
Sunatra tercenung dengan kepala mengangguk-
angguk. Apa yang dikatakan Pendekar Gila memang 
ada benarnya. Adipati Sepa Woroagung belum menge-
nalnya. Begitu juga Getri Anitia, tentunya tak yakin 
bahwa dirinya murid Ki Kayaputaka, ayahnya. 
"Kau benar, Sena. Tentu kalau kita yang ke sana, 
sulit sekali untuk dipercaya," kata Sunatra. 
"Lalu bagaimana?" 
"Bagaimana kalau kita menemui guruku?"  
"Aha, usul yang bagus!" sahut Sena. "Ayo, jangan 
buang-buang waktu!" 
Keduanya yang tadi berhenti melangkah, kini 
meneruskan langkah kakinya. Tapi mereka kini tak 
bermaksud ke Kadipaten Blambangkara, melainkan 
hendak menemui guru Sunatra, Ki Kayaputaka. 
*** 
Sementara di lain tempat di Desa Kembar Pa-
cung, nampak seorang gadis berpakaian pendekar 
berwarna hijau, tengah berlatih ilmu silat. Semangat 
yang didorong dendam terhadap Galapati, membuat 
gadis cantik bernama Arum Sari itu bagaikan tak 
mengenal lelah sedikit pun. Dia terus saja berlatih, 
tiada hentinya. 
"Heaaa...!" 
Tubuh gadis itu melompat ke sana kemari, 
menggerakkan jurus-jurus ilmu silat yang diajarkan 
kelima lelaki tua yang mengangkatnya sebagai murid. 
Bahkan kelima lelaki tua berjubah itu kini mengawasi 
Arum Sari dalam berlatih. Kelimanya mengangguk-
anggukkan kepala, melihat perkembangan ilmu silat 
yang dipelajari sang Murid. 
"Hm, tak kusangka dia akan begitu cepat menye-
rap ilmu-ilmu silat kita " gumam Ki Karadena yang pe-
dangnya tengah digunakan untuk latihan Arum Sari. 
Pedang berlekuk tiga yang bernama Ki Weling Giling 
itu semakin bertambah hebat dalam genggaman tan-
gan Arum Sari. 
"Ya. Tak kita sangka kalau gadis itu begitu ber-
semangat. Ilmu silat yang seharusnya dipelajari dalam 
satu purnama, dia mampu menguasai dalam beberapa 
hari saja...," tambah Ki Wilakupa. 
"Mungkin karena dendamnya pada Galapati, 
yang membuatnya begitu bersemangat dalam mempe-
lajari ilmu-ilmu silat yang kita berikan. Bagaikan tak 
mengenal lelah," gumam Ki Gendala. 
Gadis itu berkelebat cepat, menggerakkan jurus-
jurus yang dipelajari dari kelima lelaki tua berilmu 
tinggi. Arum Sari bagaikan tak mengenal lelah sedikit 
pun. Dia terus berlatih tiada henti. Hal itu menambah 
senang dan kagum kelima gurunya.  
"Heaaa...!" 
Dengan jurus 'Tarian Ronggeng Melempar Bunga' 
Arum Sari kembali bergerak. Kedua tangannya mena-
ri-nari dengan lincah, seperti seorang ronggeng yang 
sedang menari. Pedang berkeluk tiga bergerak menu-
suk dan membabat ke depan, seperti sedang menye-
rang ke arah lawan.  
"Hup! Heaaa....!"  
Wrt! 
Arum Sari terus menekuni jurus-jurus 'Tarian 
Ronggeng Melempar Bunga'. Tangannya terus bergerak 
menari-nari, diikuti liukan tubuhnya yang lemah ge-
mulai. Tapi dari gerakan-gerakan kedua tangan dan 
tubuhnya, mengeluarkan angin kencang yang mende-
ru dan menerpa keras. Sampai-sampai rerumputan 
yang ada di sekelilingnya bergoyang keras. 
"Yeaaa....!"  
Wut! Wut...! 
Tubuh Arum Sari terus meliuk-liuk dengan in-
dah, menari-nari  disertai sabetan-sabetan pedangnya 
yang menderu. Dalam sekejap saja, tubuhnya telah 
menghilang, terbungkus gerakan tarian yang gemulai 
dan cepat 
"Hm, tinggal memperdalam tenaga dalamnya. 
Bocah itu benar-benar akan menjadi seorang pendekar 
yang tak dapat diremehkan," gumam Ki Wilakupa 
sambil mengangguk-anggukkan kepala. Hatinya mera-
sa kagum menyaksikan kelincahan gerakan silat yang 
sedang diperagakan muridnya. 
"Ya. Jika dia benar-benar telah memperdalam te-
naga dalamnya, kurasa akan menjadi gadis berilmu 
tinggi. Ah, rupanya jurus-jurus yang kita ciptakan, 
memang cocok untuk seorang wanita, bukan seorang 
lelaki," sambung Ki Gondra. 
"Ya ya. Jurus-jurus itu memang cocok untuk 
seorang wanita. Dan rupanya kita telah menemukan-
nya," gumam Ki Sandika. 
Begitulah, setiap hari Arum Sari berlatih dengan 
tekun tanpa mengenal lelah. Bahkan hari ini, dia ba-
gaikan tak merasakan lelah sedikit pun. Gadis itu te-
rus memperdalam semua ilmu yang diajarkan kelima 
gurunya, dengan harapan secepat mungkin akan da-
pat mengalahkan Galapati, membalas sakit hatinya 
atas tindakan Galapati yang telah menghancurkan 
masa depannya. 
Mentari pagi telah mulai tinggi pertanda hari te-
lah siang. Tapi Arum Sari bagaikan tak mau berhenti. 
Dia terus berlatih dan berlatih. Keringat telah bercu-
curan membasahi tubuh dan tenaganya pun telah ter-
kuras. Namun, tampaknya gadis itu tak menghirau-
kannya. 
Kelima gurunya semakin mengerutkan kening, 
menyaksikan latihan murid mereka yang tak hendak 
berhenti. Meski mentari terik memanggang tubuh, 
Arum Sari tetap saja berlatih. 
Baru ketika hari menjelang sore, Arum Sari 
nampak menghentikan latihannya. Tubuhnya terlihat 
sangat letih, membuat kelima gurunya merasa iba. 
"Arum, jangan kau paksa tenagamu, Nak! Berla-
tihlah yang wajar saja!" tutur Ki Gendala. 
"Benar, Nak. Tanpa memaksa tenagamu, asalkan 
giat berlatih, dalam waktu singkat kau akan mampu 
menguasai semua ilmu yang kami ajarkan," sambung 
Ki Wilakupa. 
"Tapi, Guru. Saya ingin segera mencari pemuda 
laknat itu. Rasanya hati saya tak tenteram jika belum 
membuat perhitungan dengannya," sahut Arum Sari. 
Kelima gurunya menggeleng-gelengkan kepala. Di 
bibir mereka tersungging senyuman. Mereka bangga 
bercampur tak suka jika ilmu yang mereka turunkan 
hanya untuk melampiaskan dendam. 
"Arum, ilmu bukanlah untuk balas dendam. Jika 
kau ingin menjadi pendekar seperti Pendekar Gila, il-
mu hanyalah untuk menolong yang lemah," kembali Ki 
Gendala bertutur. "Tak ada artinya ilmu manusia jika 
dibandingkan dengan ilmu Hyang Widhi, Nak" 
Arum Sari menundukkan kepala mendengar pe-
nuturan Ki Gendala. Hatinya diliputi dendam yang da-
lam. Dendam terhadap pemuda laknat yang telah me-
renggut keperawanannya dengan seenaknya. Dia telah 
menyerahkan hatinya, juga segenap jiwa raga, bahkan 
kehormatannya, tapi pemuda itu malah mencampak-
kan begitu saja, seperti sampah tak berguna. 
"Apakah tak boleh membalas dendam, Guru?" 
tanya Arum Sari. 
"Boleh, tapi harus ada batasnya, Nak," sahut Ki 
Wilakupa. 
"Baiklah, Guru. Saya akan selalu mengingat hal 
itu." 
"Kita istirahat Ayo!" ajak Ki Gendala. 
Mereka  berlalu  meninggalkan tempat itu, ketika 
matahari tampak telah tergelincir di balik bumi sebe-
lah barat. 
Hubungan cinta gelap antara Galapati dengan 
Getri Anitia terus berlanjut. Meski hubungan itu ma-
sih berkisar antara pandangan mata dan berbincang-
bincang secara sembunyi-sembunyi, tapi cukup mem-
buat hati Getri Anitia senantiasa bergetar hebat. Tata-
pan mata pemuda tampan itu laksana panah asmara, 
menusuk lubuk hatinya. 
Pagi bertemu, malam mereka selalu dilanda ke-
rinduan yang hebat. Selama itu, Getri Anitia selalu 
menolak setiap kali Galapati mengajaknya berhubun-
gan sebadan. Hal itu karena Getri Anitia takut kalau 
suaminya mengetahui perbuatan mereka. 
Keduanya tak tahu, kalau sebenarnya hubungan 
mereka telah diketahui secara diam-diam oleh Adipati 
Sepa Woroagung. Tapi sejauh itu, Adipati Sepa Woroa-
gung berusaha menyembunyikannya. Hal itu dikare-
nakan belum ada tanda-tanda kalau keduanya menju-
rus pada perbuatan yang jauh. 
Suatu hari, Adipati Sepa Woroagung yang ingin 
menjebak keduanya, memanggil Galapati dan para 
prajurit Kadipaten Blambangkara. Mereka dikumpul-
kan di bangsal kadipaten. 
"Para prajurit sekalian, Baginda Raja Arwa Muda 
memanggilku untuk membicarakan sesuatu hal. Un-
tuk itu, aku diharapkan datang ke istana kerajaan. 
Jadi selama aku di kerajaan, tampuk pimpinan kadi-
paten kuserahkan pada Panglima Galapati," kata Adi-
pati Sepa Woroagung. "Bagaimana, Galapati?" 
"Sendika mengemban tugas, Kanjeng," sahut Ga-
lapati. 
"Yang kedua, aku diundang hanya seorang diri, 
karena mungkin masalah ini sangat rahasia sekali. 
Jadi istriku tak boleh ikut bersamaku. Kembali aku 
berikan tanggung jawab sepenuhnya pada Galapati. 
Bagaimana, Galapati? Kau sanggup...?" tanya Adipati 
Sepa Woroagung dengan mata menatap tajam Galapati 
yang menundukkan kepala. 
"Sanggup, Kanjeng." 
"Bagus. Dengan kekuasaan di tanganmu, kuper-
caya kau akan menjalankan semua tugas dengan baik. 
Nah, Diajeng. Aku mohon pamit. Mungkin dua atau ti-
ga hari aku berada di kerajaan," ujar Adipati Sepa Wo-
roagung pada istrinya. 
"Baik, Kangmas." 
"Galapati, kupercayakan semuanya padamu. Ja-
ga kadipaten dan isinya dengan sebaik mungkin."  
"Sendika, Kanjeng." 
Dengan diantar lima orang prajurit pilihan yang 
memang tak suka pada Galapati, Adipati Sepa Woroa-
gung pun meninggalkan kadipaten. Sebenarnya dia 
bukan mau ke kerajaan, melainkan ingin menyelidiki 
desas-desus mengenai hubungan pimpinan prajurit-
nya dengan sang Istri. 
Selama ditinggal Adipati Sepa Woroagung, untuk 
sementara tampuk pimpinan di Kadipaten Blambang-
kara berada di tangan Galapati. 
Saat itu, ketika hari menjelang sore, Galapati 
yang  menjadi pimpinan di Kadipaten Blambangkara 
menggantikan Adipati Sepa Woroagung memanggil pa-
ra prajuritnya yang berjumlah dua puluh orang. Mere-
ka berkumpul di bangsal, di tempat Adipati Sepa Wo-
roagung tadi mengundang mereka berkumpul. 
"Prajurit, kuperintahkan pada kalian untuk 
mengadakan penyerangan ke Desa Swargadana. Cari 
orang yang bernama Ki Baya Kitri. Sebagian lagi, cari 
Pendekar Gila. Bunuh dia kalau melawan," katanya 
memerintahkan pada kedua puluh prajuritnya. 
Para prajurit kadipaten tersentak kaget menden-
gar perintah itu. Mereka tahu, Ki Baya Kitri adalah 
Kepala Desa Swargadana. Hanya mereka tak mau be-
rurusan dengan Pendekar Gila, yang sudah sering di-
dengar kehebatannya. Tapi untuk membantah, mereka 
juga tak berani. 
"Panglima, kalau boleh hamba tahu, untuk apa 
kita menangkap Ki Baya Kitri?" tanya salah seorang 
prajurit 
"Jangan banyak tanya!" bentak Galapati marah. 
"Di sini akulah yang menjadi pimpinan kalian. Maka 
itu, kuharap kalian jangan membantah!" 
"Ampun, Panglima. Bukannya hamba bermaksud 
membantah, tapi apa yang Panglima katakan dan pe-
rintahkan, tak pernah kami dengar dari Kanjeng Adi-
pati, " prajurit bertubuh tegap dengan kumis tebal 
kembali berbicara. Sepertinya dia tak takut sedikit 
pun pada panglimanya. 
"Cuih! Berani benar kau, Wangga! Sekali lagi kau 
berani menentangku, tak akan kuampuni! Cepat ker-
jakan perintahku, jangan sampai aku marah!" dengus 
Galapati mengancam. 
Para prajurit yang memang sudah tahu bagai-
mana kehebatan ilmu Galapati ketika menghadapi Ke-
bo Wungu, akhirnya mereka takut juga. Mereka tak 
ingin nyawanya menjadi seperti Kebo Wungu. 
Dengan menggerutu dalam hati, kedua puluh 
prajurit itu pun menurut Mereka segera meninggalkan 
kadipaten untuk menjalankan perintah yang dikata-
kan Galapati, selaku pemegang tampuk pimpinan Ka-
dipaten Blambangkara. 
Sepeninggal kedua puluh prajuritnya, Galapati 
segera mengunci pintu gerbang kadipaten. Di bibirnya 
tersungging senyuman, karena sudah terbayang ba-
gaimana di akan puas bergelut dengan Getri Anitia 
yang cantik itu. Berulang kali dia telah mencoba, tapi 
selama ini Getri Anitia berusaha menolaknya. Dan se-
lama ini Galapati hanya mampu mengkhayal, mem-
bayangkan kemesraan bersama wanita cantik itu. 
"Akhirnya kudapatkan juga tubuhmu, Getri. Ah, 
telah lama aku mengkhayalkan saat-saat seperti ini. 
Akhirnya tercapai juga cita-citaku," gumam Galapati 
sambil melangkah masuk ke kadipaten yang kini sepi. 
Tak ada siapa-siapa di kadipaten, kecuali dirinya dan 
Getri Anitia beserta dayang-dayang yang berjumlah 
empat orang. 
Urusan para dayang itu gampang. Mereka diben-
tak saja pasti takut. Atau diberi sedikit imbalan mere-
ka akan menurut tutup mulut. Apalagi, nampaknya 
para dayang juga memberi angin pada Galapati yang 
tampan. Asal mereka diberi bagian, sudah barang ten-
tu mereka akan senang.  
Galapati kini melangkah menuju kamar Getri 
Anitia. Sejak kepergian suaminya, Getri Anitia belum 
muncul juga. Sepertinya wanita cantik itu, berusaha 
menunjukkan pengabdian dan kesetiaan pada sang 
Suami. 
Tanpa permisi lebih dahulu, Galapati yang sudah 
bernafsu  sekali ingin bisa secepatnya merenggut ke-
puasan dari istri adipati itu mendorong pintu kamar. 
Hal itu menjadikan keempat dayang yang sedang 
membantu Getri Anitia berdandan tersentak kaget 
"Kau, Galapati. Ada apa...?" tanya Getri Anitia 
dengan mata membelalak. Dia tak menduga kalau Ga-
lapati akan berani masuk ke kamarnya. Mulutnya 
ternganga, dengan kepala menggeleng-geleng. 
"Hm...," Galapati menggumam tak jelas. Di bibir-
nya mengurai senyum, yang semakin menambah ke-
tampanan wajahnya. Kakinya melangkah masuk, 
mendekati Getri Anitia yang semakin terperanjat me-
nyaksikan perbuatan Galapati. 
"Galapati, jangan sembrono! Ini kamar Kanjeng 
Adipati," ujar Getri Anitia berusaha menyadarkan Ga-
lapati dari segala tindakannya yang telah lancang, ma-
suk ke kamar Adipati Sepa Woroagung. 
Galapati bagaikan tak mendengar peringatan Ge-
tri Anitia. Ditutupnya pintu kamar itu, lalu dikun-
cinya. Kemudian dibuangnya anak kunci itu keluar 
lewat kisi-kisi jendela. Hal itu semakin membuat Getri 
Anitia mengerutkan kening, tak mengerti apa sebenar-
nya yang dikehendaki  Galapati. Sedangkan keempat 
dayang kini hanya mampu terdiam, menyudutkan tu-
buh ke sudut kamar itu. 
"Galapati, apa-apaan kau?!" bentak Getri Anitia, 
berusaha menyadarkan pemuda itu. Dia memang me-
naruh hati pada pemuda itu, namun untuk melaku-
kan perbuatan yang melanggar susila, Getri Anitia 
masih berpikir. Namun kini, Galapati mendatangi ka-
marnya, dengan tatapan mata penuh birahi. Menjadi-
kan Getri Anitia kaget, tak menyangka kalau semua 
akan berjalan begitu rupa. Dia tak menyangka kalau 
tanggapan Galapati lebih dari sekadar main mata, ter-
senyum, berbincang-bincang. 
Galapati tak berkata. Kakinya semakin mendekat 
ke tubuh Getri Anitia. Sorot matanya tajam, mengan-
dung nafsu yang membara. Kemudian tangannya ber-
gerak, menotok keempat dayang. 
Tuk, tuk, tuk...! 
"Ukh!" 
"Akh...!" 
Keempat dayang itu mengeluh lirih, seketika tu-
buh mereka mematung dengan mulut tak mampu di-
gerakkan. Hanya mata mereka saja yang masih mem-
buka, memandang tegang ke arah Galapati yang me-
nyeringai dan semakin dekat dengan Getri Anitia. 
"He he he...! Kalian menontonlah dulu. Hm, Ge-
tri.  Ku tahu  selama ini kau menginginkan saat-saat 
seperti ini, bukan? Mengapa kau sepertinya tak bu-
tuh? Ku tahu, suamimu tak mampu memberimu ke-
puasan...," kata Galapati sambil membuka bajunya. 
"Tidak, Gala. Jangan kau lakukan ini!" keluh Ge-
tri Anitia berusaha mundur. Namun, ruangan kamar 
itu terasa sempit, membuat gerakan tubuh Getri Anitia 
terbentur di tempat tidur. 
Galapati tersenyum menyeringai. Kakinya sema-
kin melangkah maju, mendekati Getri Anitia yang 
membelalakkan mata. Wanita itu memang mencintai 
Galapati, tapi tak mengharapkan hal seperti ini. Ha-
tinya masih sadar, bahwa dia bersuami. Tak pantas 
seorang wanita bersuami melakukan hubungan ba-
dan, bukan dengan suaminya sendiri. 
"Jangan, Gala! Ku mohon, jangan lakukan itu! 
Aku memang mencintaimu, tapi janganlah kau mela-
kukannya," ratap Getri Anitia sambil naik ke tempat 
tidur. 
"He he he...! Mengapa ada kesempatan hendak 
kita sia-siakan, Getri? Kau dan aku saling mencintai, 
bukan? Ayolah, Manis! Kita nikmati kesempatan ini" 
Galapati segera menerkam tubuh Getri Anitia. 
Wanita itu menjerit, berguling ke samping untuk men-
gelitkan terkaman itu. 
"Auw, tidak...! Gala, ku mohon  jangan lakukan 
itu! Aku takut, Kanjeng Adipati datang," ratap Getri 
Anitia berusaha menyadarkan Galapati yang sudah 
bernafsu dan kerasukan setan. 
"Tak peduli. Aku tak takut dengan lelaki tua itu. 
Aku harus mendapatkanmu, Getri," gumam Galapati 
sambil mengulurkan tangannya menangkap tangan 
Getri Anitia. 
Ditariknya tangan lembut itu, kemudian direng-
gutnya tubuh wanita istri Adipati Sepa Woroagung ke 
atas tempat tidur. 
"Gala, jangan! Nanti Kanjeng Adipati datang," ke-
luh Getri Anitia berusaha menyadarkan Galapati. Na-
mun pemuda itu tetap tak peduli. Dia telah diburu 
nafsu birahi yang menggebu-gebu. Bahkan dengan be-
ringas dan kelihatan tak sabar, ditariknya pakaian Ge-
tri Anitia. 
Bret! 
"Awu! Nakal kau, Gala!"  
"Aku tak sabar, Manis."  
Bret! 
"Uh, jangan kasar begitu, Gala!" 
Melihat Getri Anitia kini nampak menurut, Gala-
pati semakin bertambah nafsu. Matanya menatap ta-
jam ke mata Getri Anitia yang redup, membalas tata-
pan mata pemuda itu. Bahkan kini Getri Anitia mulai 
mendekatkan wajahnya ke wajah pemuda itu. Getri 
Anitia seakan-akan pasrah. Apalagi dalam hatinya ju-
ga tersimpan kerinduan akan kejantanan seperti yang 
kini ditunjukkan Galapati. 
*** 
"Rupanya kau harus kukerasi, Getri," bisik Gala-
pati sambil menciumi wajah wanita cantik istri Adipati 
Sepa Woroagung yang kini telah pasrah dan membiar-
kan pakaiannya dilucuti. 
"Kau nekat, Gala...," desis Getri Anitia. 
"Hm, karena dirimu, Sayang. Kaulah yang mem-
buatku nekat. Sejak pertama kali bertemu, setiap ma-
lam aku tak dapat tidur, Getri," tutur Galapati me-
rayu. Tangannya membelai-belai rambut Getri Anitia 
yang panjang terurai bergelombang. Matanya yang ta-
jam menatap penuh nafsu ke mata Getri Anitia yang 
redup. 
"Aku pun begitu, Gala. Oh, kalau saja kita ber-
temu dulu, sebelum aku dilamar Kanjeng Adipati, ten-
tunya kita tak main kucing-kucingan seperti ini, Gala." 
Galapati tersenyum sambil tangannya bergerak 
liar, membelai-belai dan meremas dua buah bukit 
montok di dada Galapati, yang menjadikan wanita 
cantik istri Adipati Sepa Woroagung mendesis kenik-
matan. 
"Kini pun, kita akan menikmatinya, Sayang," 
rayu Galapati dengan tangan masih terus bergerak 
liar, merambah ke sekujur tubuh  wanita cantik itu. 
Mulutnya pun dengan lincah terus mencium dan men-
jilati tubuh mulus Getri Anitia. 
"Tapi, bagaimana dengan keempat dayang itu, 
Gala? Aku takut, mereka akan menuturkan pada Kan-
jeng Adipati," desak Getri Anitia merasa was-was, ka-
rena di kamar itu ada empat saksi mata. Meskipun da-
lam keadaan tertotok, jelas mereka melihat apa yang 
dilakukannya bersama Galapati. 
"Mereka masalah gampang, Getri," gumam Gala-
pati. Kemudian wajahnya didekatkan. Keduanya saling 
kulum. Lalu dilanjutkan dengan gelutan-gelutan yang 
mengundang birahi.  
"Jangan, Gala...!" desis Getri Anitia, ketika Gala-
pari hendak melangkah lebih jauh. 
Sementara itu, di luar kamar Pendekar Gila dan 
Sunatra serta gurunya yang bernama Ki Kayaputaka 
melesat ke kadipaten. Ketiganya datang dari arah ba-
rat. 
Dari arah utara, muncul Arum Sari dan kelima 
lelaki tua gurunya. Sedangkan dari arah timur muncul 
Adipati Sepa Woroagung bersama para prajuritnya. 
Rupanya mereka tidak pergi ke Desa Swargadana, me-
lainkan menyusul sang Adipati yang bersembunyi di 
Desa Karajenar. 
"Kanjeng Adipati...!" seru para pendekar melihat 
Adipati Sepa Woroagung berada di luar. 
"Ssst...! Jangan ribut," desis Adipati Sepa Woroa-
gung mengingatkan mereka. "Tentunya durjana itu 
tengah berbuat tidak senonoh. Aku harus segera ma-
suk." 
"Baiklah, Kanjeng. Kami akan berjaga-jaga di 
luar kadipaten." 
Adipati Sepa Woroagung pun segera melesat ma-
suk, diikuti para prajuritnya. Seketika nafasnya mem-
buru dengan jantung berdebar, tak mampu menahan 
amarah mendengar desah dan rintihan dari kamarnya. 
Kedua manusia yang diburu nafsu iblis itu terus 
menggebu-gebu. Sampai akhirnya, keduanya menge-
luh panjang dengan tubuh meregang. Sesaat kemu-
dian, keduanya terkulai dengan keringat membanjir. 
Tiba-tiba.... 
"Bedebah! Rupanya kau benar-benar iblis! Tang-
kap durjana itu...!" 
Dari luar terdengar suara teriakan Adipati Sepa 
Woroagung memerintahkan para prajuritnya. 
Galapati dan Getri Anitia tersentak mendengar 
seruan itu. Wajah Getri Anitia pucat pasi ketakutan. 
Namun Galapati bagaikan tak menghiraukannya. Ma-
lah dengan tenang pakaiannya dikenakan, lalu tanpa 
mempedulikan Getri Anitia, Galapati segera pergi lewat 
jendela kamar. 
"Selamat tinggal, Getri! Ha ha ha...! Akhirnya aku 
puas. Terima kasih atas pelayananmu!" 
"Bajingan! Hu hu hu...! Durjana!" maki Getri Ani-
tia sambil menangisi semua yang telah terjadi. Dia 
hendak memburu Galapati, tapi tiba-tiba.... 
Swing, swing...!  
Jlep! 
"Aaakh...!" 
Getri Anitia terpekik keras, ketika dua pisau kecil 
yang keluar dari kipas maut Galapati menghunjam tu-
buhnya yang masih telanjang. Sesaat tubuh Getri Ani-
tia mengejang, lalu ambruk tanpa nyawa. 
Adipati Sepa Woroagung yang mendengar jeritan 
istrinya langsung mendobrak pintu kamar. Matanya 
terbelalak ketika menyaksikan istrinya tewas dengan 
tubuh tertancap dua bilah pisau beracun. 
"Kurang ajar! Prajurit..!" 
"Daulat Kanjeng!" 
"Cari bajingan itu dan bunuh!" perintah Adipati 
Sepa Woroagung.  
"Daulat, Kanjeng!" 
Prajurit-prajurit itu pun segera berlompatan ke-
luar mengejar Galapati. Mereka segera menyebar ke 
segenap arah di sekitar kadipaten. Namun mereka tak 
menemukan adanya Galapati di sekitar kadipaten. Se-
pertinya pemuda itu telah pergi jauh, meninggalkan 
Kadipaten Blambangkara. 
"Kejar keluar...!" perintah salah seorang prajurit 
pada teman-temannya. Mereka segera memburu ke-
luar lingkungan kadipaten. 
"Itu dia! Tangkap durjana itu...!" teriak para pra-
jurit ketika melihat Galapati melompat keluar melalui 
pagar tembok yang mengelilingi lingkungan kadipaten. 
"Heaaa...!" 
Para prajurit yang sudah marah terhadap Gala-
pati dan terlebih dengan kejadian itu, langsung mem-
buru Galapati. Tapi belum juga sampai, Galapati den-
gan cepat mengibaskan kipasnya ke arah mereka. 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
Swing, swing...!  
Jlep, jlep...!  
"Aaakh...!"  
"Wuaaa...!" 
Pekikan-pekikan kematian seketika terdengar ke-
tika puluhan pisau maut menghujani tubuh para pra-
jurit Galapati hendak melesat pergi, ketika tiba-tiba.... 
"Mau lari ke mana kau, Iblis?!" 
Seorang gadis cantik berpakaian hijau dan be-
rambut dikepang ekor kuda telah menghadang lang-
kah Galapati dengan pedang lekuk tiga di tangan. Di 
belakang gadis itu, berdiri lima lelaki tua yang sangat 
mengejutkan Galapati. Sedangkan di samping kanan 
sebelah gadis berbaju hijau itu, berdiri seorang pemu-
da bertingkah laku seperti orang gila yang cengenge-
san sambil menggaruk-garuk kepala. 
Di samping Pendekar Gila, berdiri dengan sorot 
mata tajam lelaki muda berusia sebaya dengan Gala-
pati. Lelaki berpakaian rompi kuning keemasan itu tak 
lain Sunatra, murid Ki Kayaputaka. 
Berdiri di samping kiri Arum Sari, seorang lelaki 
tua berjubah kuning keemasan. Lelaki tua itu ternyata 
Ki Kayaputaka, ayah Getri Anitia, istri Adipati Sepa 
Woroagung. 
"Hm..., bagus! Rupanya kalian telah kumpul 
menjadi satu. Itu memang yang kuinginkan. Dengan 
begitu, aku tak susah-susah membinasakan kalian!" 
dengus Galapati, sepertinya tidak merasa takut sedikit 
pun terhadap mereka, yang terdiri dari para pendekar 
rimba persilatan dan berilmu tinggi. 
"Hi hi hi.... Hebat! Hebat sekali keberanianmu, 
Kisanak. Padahal kau seperti tikus yang sedang dike-
pung kucing. Ah ah ah.... Ternyata tikus itu sangat be-
rani. Hi hi hi...!" 
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. Matanya memandang tajam ke 
arah Galapati yang balas memandang ke arahnya. 
"Pendekar Gila, kuharap kau jangan ikut campur 
dengan urusanku!" bentak Galapati. 
"Aha, kurasa jika kau mau menyerah dan mene-
rima hukuman apa yang kau jalani, aku tak akan tu-
rut campur, Tikus Busuk! Hua ha ha...!" Sena tertawa 
terbahak-bahak sambil berjingkrakan seperti seekor 
monyet 
"Kurang ajar! Kau yang pertama harus kubunuh, 
Pendekar Gila! Heaaa...!" 
Amarah Galapati yang terdesak oleh keadaan 
meledak seketika. Dengan kipas maut, segera dis-
erangnya Pendekar Gila. 
Wrt! 
"Hi hi hi...! Kurasa malam ini tidak panas, Tikus 
Busuk. Untuk apa kau main-main dengan kipas bu-
tutmu?" ejek Sena sambil berkelit ke samping, menge-
lakkan serangan yang dilancarkan Galapati. Tubuhnya 
meliuk cepat, melompat ke sana kemari bagaikan me-
nari. 
Melihat Pendekar Gila membiarkan Galapati me-
nyerang, Arum Sari yang dendamnya pada pemuda itu 
tak tertahankan lagi kini melompat maju. Pedang ber-
keluk tiga yang ada di tangannya bergerak menyerang 
Galapati. 
"Pendekar Gila, biar iblis ini bagianku!" dengus 
Arum Sari sambil membabatkan pedangnya menye-
rang Galapati.  
Wrt! Trang!  
"Hih!"  
"Aits...!" 
Galapati terdorong dua langkah ke belakang. Be-
gitu juga dengan Arum Sari. Matanya terbelalak, me-
rasakan hawa panas ketika berbenturan dengan kipas 
maut di tangan Galapati. Namun dendamnya yang 
membara, tak membuatnya takut. Bahkan semakin 
bertambah nafsu, Arum Sari berusaha membunuh la-
wan secepat mungkin. 
"Keparat! Kubunuh kau! Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Dengan jurus ‘Tarian Sinden Maut’ Arum Sari 
langsung menggebrak Galapati. Tubuhnya meliuk-liuk 
laksana menari, diikuti gerakan kedua tangannya 
yang lembut dan lemah gemulai. Kemudian pedang di 
tangannya mulai berkelebat menusuk dan membabat 
ke tubuh lawan. 
"Hih!" 
"Yeaaa...!" 
Melihat Arum Sari mengeluarkan jurus-jurus 
yang telah dikenalnya, seketika Galapati tersenyum 
mengejek. Dia menganggap jurus-jurus itu tiada ar-
tinya sama sekali dibandingkan dengan jurus-jurus 
miliknya. Meskipun sama-sama dari didikan kelima 
orang tua sakti. Apalagi dengan kipas beracun di tan-
gannya, tak perlu dia takut Kipas itu telah terbukti 
kehebatannya. 
"Percuma kau mengeluarkan jurus bututmu, 
Arum! Ha ha ha...!" ejek Galapati sambil balas menye-
rang. Kipas di tangannya dikebutkan dengan pengera-
han tenaga dalam penuh. Bersamaan dengan itu, dari 
kebutan kipas itu melesat asap ungu bergulung dan 
memburu Arum Sari. 
"Awas, Arum! Racun itu sangat berbahaya!" seru 
Ki Gendala mengingatkan muridnya. 
"Ha ha ha...! Orang tua tolol! Kenapa tak sekalian 
maju, biar aku lebih cepat mengirim kalian ke akhe-
rat!" teriak Galapati sombong. Kipas maut di tangan-
nya dikebutkan semakin cepat, membuat asap ungu 
semakin banyak keluar dari kebutan kipas itu. 
"Keparat! Kubunuh kau...!" 
Adipati Sepa Woroagung yang begitu marah aki-
bat nasib yang diterima istrinya, segera melesat me-
nyerang Galapati. Di tangan kanannya tergenggam se-
buah senjata berupa gada berduri yang langsung di-
hantamkan ke arah Galapati dari belakang. 
Wrt! 
"Remuk kepalamu, Keparat! Hih...!" 
"Haits!" Galapati segera memiringkan tubuh ke 
samping. Gada itu meleset di sisi kanannya. Kemudian 
dengan cepat, kipas mautnya dikebutkan ke tubuh 
Adipati Sepa Woroagung. 
Wrt! 
Swing! 
Tiga pisau kecil beracun melesat ke arah lawan. 
Adipati Sepa Woroagung yang tersentak kaget berusa-
ha mengelakkan serangan, tapi tubuhnya yang terlalu 
gemuk membuat gerakannya agak lamban. 
"Celaka!" pekik Adipati Sepa Woroagung dengan 
mata terbelalak tegang, menyaksikan dua bilah pisau 
melesat ke tubuhnya. Namun, ketika nyawa Adipati 
Sepa Woroagung terancam, Pendekar Gila yang sigap 
segera melentingkan tubuh ke atas. Bersalto beberapa 
kali di udara, lalu dengan cepat tubuhnya menukik ke 
bawah sambil memukulkan Suling Naga Sakti. 
Wut! 
Trang! 
Pluk, pluk! 
Dua bilah pisau beracun itu terpental, karena 
tersambar Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila. 
"Oh, terima kasih, Tuan Pendekar. Pemuda dur-
jana itu harus segera kubunuh! Dia telah membunuh 
istriku, setelah merayu dan menyetubuhinya!" seru 
Adipati Sepa Woroagung hendak kembali menyerang. 
Tapi Pendekar Gila segera mencegahnya. 
"Kanjeng Adipati tak usah turun tangan. Biarkan 
kami yang mencoba mengatasi," ujar Sena. 
"Tapi dia telah menghancurkan semuanya, Tuan 
Pendekar." 
"Hi hi hi...! Ah ah ah.... Aku pun tahu itu, Kan-
jeng. Tenanglah! Hanya ketenangan yang akan menye-
lesaikan masalah ini tanpa harus merenggut banyak 
korban," tutur Sena. Kemudian tubuhnya kembali me-
lesat ke arah para pendekar yang tengah menyaksikan 
pertarungan antara kakak beradik seperguruan kare-
na dendam. 
Mendengar putrinya tewas di tangan Galapati, Ki 
Kayaputaka mendengus marah. Tanpa menghiraukan 
kalau Galapati kini tengah bertarung melawan Arum 
Sari, Ki Kayaputaka langsung melesat menyerang den-
gan senjatanya yang berupa tombak bermata dua. 
"Kubunuh kau, Iblis Laknat! Heaaa...!" 
Kini pertarungan semakin bertambah seru, den-
gan masuknya Ki Kayaputaka ke arena. Arum Sari 
yang tadi terdesak gempuran-gempuran Galapati, kini 
agak terbebas karena serangan Galapati tertuju pada 
Ki Kayaputaka. 
"Hm, kau pun harus mampus, Orang Tua! 
Hih...!"  
Wrt! 
Galapati mengibaskan kipas mautnya. Dan saat 
itu juga, gumpalan asap ungu mengandung racun se-
makin bertambah banyak. Asap ungu itu terus melu-
ruk ke tubuh Ki Kayaputaka. Orang tua berjubah kun-
ing keemasan itu tersentak kaget. Nafasnya  terasa 
agak sesak, akibat racun yang keluar dari kipas maut 
di tangan lawan. 
Ki Kayaputaka berusaha menyerang dengan me-
nyodokkan mata tombak ke tubuh lawan. Tapi dengan 
cepat Galapati membabatkan kipasnya memapak tom-
bak lawan. 
Wrt! 
Trak! 
"Akh...!" Ki Kayaputaka tersentak kaget dengan 
mata terbelalak, menyaksikan senjata andalannya ter-
babat kipas besar berwarna ungu di tangan lawan. 
Belum juga Ki Kayaputaka hilang kagetnya, Ga-
lapati telah kembali mengebutkan kipas besarnya ke 
tubuh orang tua berjubah kuning keemasan itu. 
Wrt! 
"Celaka!" pekik Ki Kayaputaka dengan mata ter-
belalak, ketika ujung kipas yang tajam berkelebat ke 
lehernya. Orang tua itu telah pasrah ketika tiba-tiba 
Arum Sari membabatkan pedang lekuk tiganya mema-
paki kipas yang mengancam nyawa Ki Kayaputaka. 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
Trang! 
"Akh...!" 
Arum Sari terpekik, tubuhnya terhuyung-huyung 
ke belakang dengan dada terasa sakit. Matanya mem-
belalak tegang, menatap tajam pada Galapati yang 
hanya tergontai dua langkah. Tampak di mulut gadis 
itu meleleh darah merah, yang menandakan kalau ga-
dis itu terluka dalam. 
Melihat muridnya terluka, kelima orang tua sakti 
berjubah itu segera memburu Arum Sari. Kelimanya 
segera membawa gadis itu agar menjauh dari pertem-
puran. 
"Pendekar Gila, tak ada waktu lagi. Hanya kau-
lah yang kami harapkan bisa meringkus bocah kepa-
rat itu!" seru Ki Gendala sambil membawa tubuh mu-
ridnya menjauh. 
"Hi hi hi...! Apakah tidak sebaiknya kalian?" 
tanya Sena dengan tingkah lakunya yang konyol. "Bu-
kankah kalian guru-gurunya?" 
"Kami tak ada waktu lagi! Kupasrahkan keparat 
itu padamu," sahut Ki Wilakupa.  
"Hi hi hi.... Lucu sekali kalian ini! Aha, tapi baik-
lah. Bagaimanapun juga, aku berkewajiban menga-
mankan tikus busuk ini," ujar Sena, yang membuat 
Galapati mendengus marah. 
"Jangan banyak omong, Pendekar Gila! Mari kita 
buktikan! Yeaaa...!" 
Galapati langsung menggebrak dengan jurus an-
dalannya 'Tari Tipak Tilu'. Tangannya bergerak cepat, 
menepak bergantian  dengan tenaga dalam penuh ke 
arah Pendekar Gila. 
*** 
Mendapat serangan lawan yang bersenjatakan 
kipas maut beracun, tak membuat Pendekar Gila gen-
tar. Meski dia tahu kipas besar itu bukan senjata 
sembarangan, Pendekar Gila dengan tenang bergerak 
mengelak. Tubuhnya meliuk-liuk bagaikan menari, 
mengimbangi gerakan lawan. Hanya saja kalau lawan 
bergerak cepat dan garang, Pendekar Gila bergerak 
lamban dan halus. Sesekali tangannya menepuk ke 
dada lawan. Itulah jurus 'Si Gila Menari Menepuk La-
lat'. Salah satu jurus dari 'Ilmu Silat Si Gila' yang san-
gat aneh dan dahsyat 
"Hi hi hi...! Mau nubruk kodok, Tikus Busuk? Hi 
hi hi...!"  
Dengan masih tertawa cekikikan, Pendekar Gila 
terus berkelit dengan tubuh meliuk-liuk seperti mena-
ri. Tubuhnya agak dibungkukkan ke bawah, kemudian 
ketika melihat kesempatan, tangannya ditepukkan ke 
dada lawan. 
"Yeaaa...!"  
"Heaaa...!" 
Kini semuanya tak ada yang berani ikut campur. 
Semua hanya bisa menyaksikan bagaimana Pendekar 
Gila bergerak mengelakkan serangan-serangan gencar 
yang dilancarkan Galapati. 
Sekeliling Kadipaten Blambangkara yang semula 
hening dan sepi, seketika berubah menjadi riuh. Ba-
nyak pepohonan yang gugur daunnya akibat kibasan-
kibasan maut di tangan Galapati. 
Serangan Galapati semakin bertambah keras dan 
garang, setelah beberapa kali serangannya tak mampu 
bersarang di tubuh lawan. Serangannya yang ganas, 
bagaikan tak berarti sama sekali bagi Pendekar Gila, 
hal itu membuat Galapati kian penasaran, apalagi me-
lihat gerakan ilmu silat Pendekar Gila yang aneh. Ge-
rakan ilmu silat Pendekar Gila sepertinya lemah, tapi 
ketika menyerang sentakannya terasa sangat kuat.  
"Yeaaa...!"  
"Heaaa...!"  
Wrt! 
Galapati terus mengibaskan kipas mautnya den-
gan cepat. Kebutannya mengeluarkan angin panas, 
menderu keras ke tubuh Pendekar Gila. Tapi dengan 
cepat Pendekar Gila berkelit, meliukkan tubuhnya ke 
bawah. Kemudian disusul dengan tepukan yang me-
nyentakkan lawan. 
"Kurang ajar! Aku akan bertaruh nyawa den-
ganmu, Pendekar Gila! Heaaa...!"  
Wrt! 
"Uts! Hi hi hi...! Apa maumu, kuterima, Tikus 
Busuk. Hi hi hi...!" 
Dengan masih bertingkah laku seperti orang gila, 
Sena terus berkelit mengelakkan kibasan kipas maut 
lawan yang dia tahu cukup berbahaya. Kemudian se-
telah terbebas dari kipas lawan, dengan cepat Pende-
kar Gila balas menyerang dengan jurus 'Si  Gila Me-
lempar Batu'. 
Tangan Pendekar Gila bergerak bagaikan melem-
par dengan cepat dan susul-menyusul. Galapati ter-
sentak kaget. Dari gerakan tangan lawan, angin men-
deru susul-menyusul, menghujani tubuhnya. 
Mendapatkan serangan aneh itu, Galapati tak 
tinggal diam. Kipasnya semakin dibuka lebar-lebar. 
Lalu dengan mengerahkan tenaga, kipasnya diki-
baskan dengan jurus 'Ekor Merak Merintang Angin'. 
"Yeaaa...!" 
Wrt! 
Glarrr...! 
Dua kekuatan bertemu, menimbulkan suara 
menggelegar. Tanah di atas pertemuan dua kekuatan 
itu hancur bagai terkena ledakan. Baik Pendekar Gila 
maupun Galapati melompat lima langkah ke belakang. 
Sesaat keduanya saling bertatapan dengan pandangan 
mata tajam. 
"Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan dengan tan-
gan menggaruk-garuk kepala. Tingkahnya  semakin 
membuat Galapati bertambah marah. Tubuhnya ber-
jingkrakan seperti seekor kera kegirangan sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pendekar Gila! 
Heaaa...!" 
Tubuh Galapati melesat memburu Pendekar Gila. 
Kipas mautnya kini siap untuk  dikibaskan. Dengan 
jurus 'Braga Wreda' yang mengandalkan kipas maut-
nya, Galapati menerjang Pendekar Gila. 
"Heaaa...!" 
"Hi hi hi...! Ada juga tikus bisa loncat," ejek Pen-
dekar Gila. Lalu dengan cepat tubuhnya digerakkan 
memutar ke kiri dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan'. 
"Yeaaa...!" 
Wrrrs...! 
"Yeaaa...!" 
Wrt! 
Kipas maut dikibaskan cepat dan menghentak ke 
tubuh Pendekar Gila yang berputar dengan cepat. Me-
lihat lawan mengibaskan kipasnya, Pendekar Gila 
yang tak mau mati percuma, segera mencabut Suling 
Naga Sakti. Kemudian dengan cepat kipas lawan dipa-
pakinya. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Wrt! 
Prak! 
"Akh...!" 
Galapati tersentak. Tubuhnya terlontar ke bela-
kang. Bersalto beberapa kali di udara, kemudian den-
gan agak terhuyung mendarat di tanah. Matanya ter-
belalak,  menyaksikan ujung kipasnya hancur akibat 
berbenturan dengan Suling Naga Sakti di tangan Pen-
dekar Gila. 
"He he he...! Kenapa kau masih memegangi kipas 
bututmu, Tikus?" ejek Sena sambil cengengesan. 
"Cuh! Jangan kira aku dapat kau kalahkan, Pen-
dekar Gila! Mari kita tentukan, siapa yang melayang 
ke akherat!" dengus Galapati marah. 
"Hi hi hi...! Rupanya kau tak betah hidup di du-
nia ini, Tikus Busuk?" sahut Sena, yang membuat Ga-
lapati kian bertambah marah. Napas Galapati men-
dengus keras. Gigi-giginya beradu, menimbulkan sua-
ra gemerutuk keras. Wajahnya memerah, terbakar api 
amarahnya. 
"Bedebah! Kubunuh kau, Pendekar Gila! 
Yeaaa...!"    
Wrt! 
Swing, swing...! 
Puluhan pisau kecil beracun, seketika melesat 
dari kipas maut beracun yang ujungnya telah hancur. 
Pisau-pisau kecil itu meluncur dan memburu Pende-
kar Gila. 
"Edan! Permainanmu rupanya masih ada, Tikus 
Busuk! Hi hi hi...!" 
Sambil melompat ke atas mengelakkan serangan-
serangan pisau-pisau maut itu, Pendekar Gila mengi-
rimkan pukulan saktinya ke arah lawan. 
'"Inti Api'. Heaaa...!" 
Wsss...! 
Segulungan api membara melesat ke tubuh Ga-
lapati. Pemuda berpakaian ungu itu tersentak, lalu 
dengan cepat menggerakkan kipasnya ke atas untuk 
menangkis serangan itu. 
Wrt! 
Protsss! 
'Inti Api' yang dilancarkan Pendekar Gila tak 
bermanfaat sama sekali. Pukulan sakti itu musnah, 
tersapu kibasan kipas Galapati. Bahkan kini deru ki-
pas itu kembali memburu Pendekar Gila. 
"Yeaaa...!" 
Wrt, wrt...! 
Galapati melesat cepat dengan kipas maut di 
tangannya, membabat Pendekar Gila yang masih me-
layang di udara. Kipas yang mengeluarkan angin pu-
kulan panas, terus memburu leher Pendekar Gila. 
Melihat Galapati menyerang dengan cepat dan 
ganas Sena segera memapaki serangan lawan. Suling 
Naga Sakti yang sejak tadi telah tergenggam di tan-
gannya, segera ditempelkan di bibir. Kepala Naga Sakti 
diarahkan ke tubuh lawan. Kemudian ditiupnya den-
gan suara melengking tinggi.  
Slarts...! 
Dua larik sinar merah kecil keluar dari kedua 
mata kepala Naga Sakti. Kedua sinar merah itu terus 
melesat memburu Galapati. 
Melihat dua larik sinar merah memburu dirinya, 
dengan cepat Galapati merundukkan tubuh. Kemu-
dian dengan cepat pula kipasnya dikibaskan, berusa-
ha menghalau kedua sinar merah itu. 
"Yeaaa...!"  
Slarts!     
Glarrr...! 
Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika 
sepasang sinar merah menghantam kipas maut di 
tangan Galapati. Tubuh Galapati terlempar ke bela-
kang tiga tombak. Matanya terbelalak, menyaksikan 
kipas mautnya hancur berantakan, bahkan hangus 
terbakar sinar merah yang keluar dari kepala Naga 
Sakti. 
Bukan hanya Galapati yang membelalakkan ma-
ta, tapi semua orang yang menyaksikan kehebatan 
Suling Naga Sakti di tangan Pendekar Gila, turut tak-
jub dan kagum dengan mulut melongo. 
Merasakan kipas mautnya tak ada manfaatnya 
lagi, seketika ciutlah nyali Galapati. Pemuda itu beru-
saha lari meninggalkan arena pertarungan, namun 
Arum Sari yang sudah pulih dari luka dalamnya sege-
ra mengejar. 
"Mau lari ke mana, Bajingan?!" 
Kejar-mengejar antara Arum Sari dengan Galapa-
ti pun terjadi. Diikuti para pendekar yang sejak tadi 
menyaksikan pertarungan itu. Bahkan Adipati Sepa 
Woroagung turut berlari mengikuti mereka. 
*** 
Galapati yang sudah tak memiliki kehebatan se-
telah senjata andalannya hancur berantakan, terus 
berlari. Dia tak hendak mati konyol. 
"Jangan lari, Pengecut!" seru Arum Sari sambil 
terus mengejar Galapati yang terus berlari. 
Pendekar Gila terus mengikuti mereka yang 
memburu Galapati. Sebenarnya Galapati bisa saja di-
kejarnya, namun Pendekar Gila menyadari kalau kini 
yang berurusan dengan Galapati tak lain Arum Sari 
dan kelima gurunya serta Adipati Sepa Woroagung, 
dan juga Ki Kayaputaka. Sehingga Pendekar Gila 
hanya mengikuti gerakan mereka mengejar Galapati. 
Arum Sari yang sudah marah terus mempercepat 
larinya, disusul kelima gurunya dan Adipati Sepa Wo-
roagung serta Ki Kayaputaka. Sedangkan Pendekar Gi-
la dan Sunatra nampak berada di belakang mereka. 
Galapati yang ketakutan terus berlari, sampai 
akhirnya dia kini tiba di tepi laut Kecemasan semakin 
membayang di wajahnya, karena kini tak ada lagi ba-
ginya untuk kabur. Di hadapannya terbentang lautan 
luas. 
"Tak ada tempat bagimu, Biadab!" bentak Arum 
Sari dengan sengit. 
Merasa tak ada lagi jalan untuk meloloskan diri, 
Galapati dengan nekat menyerang Arum Sari.  
"Kalian harus mampus! Heaaa....!" 
"Yeaaa....!" 
Wrt! 
Arum Sari yang sudah kalap, dengan cepat me-
mapaki serangan Galapati dengan babatan pedangnya. 
Hingga Galapati yang menyerang disertai rasa cemas, 
tak mampu mengelak dari tebasan pedang Arum Sari. 
Cras! 
"Aaakh...!"  
Galapati terpekik, ketika tangan kanannya ter-
babat pedang berlekuk tiga di tangan Arum Sari. Tidak 
hanya sampai di situ, dengan geram Arum Sari kem-
bali membabatkan pedangnya ke leher Galapati. 
"Kubunuh kau, Bajingan! Heaaa...!" 
Wrt! 
Crak! 
"Aaa...!" 
Lolongan kematian terdengar dari mulut Galapa-
ti, ketika pedang berlekuk tiga menebas lehernya. Se-
ketika kepala Galapati menggelinding. Tubuhnya yang 
berlumur darah sesaat meregang, kemudian ambruk 
tanpa nyawa. 
"Ha ha ha...! Kini aku puas! Puas...!" teriak Arum 
Sari bagaikan orang gila sambil mencengkeram kepala 
Galapati. Lalu dibawanya kepala pemuda itu berlari 
meninggalkan para pendekar yang terlongong ben-
gong. 
Semua menghela napas, merasa iba menyaksi-
kan beban batin yang diderita Arum Sari. Bahkan 
Pendekar Gila nampak sedih menyaksikan penderi-
taan Arum Sari. Gadis cantik itu akhirnya harus men-
galami guncangan jiwa yang berat. 
"Hyang Jagat Dewa Batara, semoga Kau memberi 
ketabahan padanya," gumam Sena masih terpaku di 
tempat itu bersama Adipati Sepa Woroagung, Ki Kaya-
putaka dan muridnya serta para prajurit Kadipaten 
Blambangkara. Sementara, kelima orang tua sakti kini 
mengejar Arum Sari. 
Gelombang laut terdengar pilu, ketika dari ufuk 
timur lamat-lamat terlihat sinar kuning kemerahan 
muncul di atas permukaan laut. 
Pendekar Gila, Adipati Sepa Woroagung, dan Ki 
Kayaputaka  serta Sunatra melangkah perlahan me-
ninggalkan pesisir laut pasir putih. 
SELESAI 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa