Pendekar Gila 20 - Tragedi Berdarah Di Ponorogo(1)



Firman Raharja  
Serial Pendekar Gila  
dalam episode:  
Tragedi Berdarah Di Ponorogo
Pertunjukan Reog Ponorogo itu nampak meriah 
sekali. Sore itu, Desa Ponorogo kelihatan temaram in-
dah. Mentari telah menyusup di balik rimbun pepoho-
nan, dan tak lama lagi akan segera tenggelam di ufuk 
barat. Di depan rumah Warok Gandu Pala, suasana 
nampak ramai. Hal itu karena di pelataran luas rumah 
besar itu tengah berlangsung pagelaran reog, di bawah 
asuhan Warok Gandu Pala sendiri. 
Warok Gandu Pala sengaja menggelar hiburan, 
dengan maksud menarik perhatian seluruh warga, 
berhubungan dengan pencalonan dirinya sebagai kepa-
la desa. Sejak tiga bulan yang lalu Desa Ponorogo me-
mang kosong kekuasaan, setelah kepala desa yang la-
ma diketemukan mati terbunuh. 
Penonton berjubel-jubel menyaksikan pagela-
ran itu. Macan Barong, yang menjadi tokoh utama da-
lam reog, tampak meliuk-liuk mengepakkan bulu-bulu 
merak yang lebar dan indah. Anak-anak kecil berlari 
menyingkir karena ketakutan, ketika Macan Barong 
menggerakkan kepalanya ke bawah. Diiringi suara ge-
melan yang menghentak-hentak dan bersemangat 
mengiringi para pemain reog terus menari, bagaikan 
tak menghiraukan senja yang semakin merayap. 
Seorang lelaki berbadan tinggi tegap dengan 
wajah ditumbuhi kumis tebal, melangkah ke tengah 
arena  mendekati  Macan Barong yang tengah meliuk-
liuk. Di tangan lelaki berusia sekitar lima puluh lima 
tahun itu, tergenggam sebuah cambuk besar berwarna 
hitam. 
Cletar! 
Tiba-tiba suara lecutan cambuk terdengar ke-
ras menggelegar dan memekakkan telinga, ketika lelaki 
berpakaian serba hitam itu melecutkan cambuknya. 
Sebuah lecutan yang luar biasa. Tampaknya lelaki be-
rikat kepala kain hitam itu begitu mahir memainkan 
cambuk yang digenggamnya. 
"Ayo Macan Barong, tunjukkan kebolehan mu!" 
seru lelaki bermuka garang itu sambil melecutkan 
kembali cambuk di dekat kaki-kaki penari yang men-
genakan topeng. 
Cletar! Cletar...!  
Macan Barong kembali meliukkan kepala den-
gan kuat dan berirama. Sehingga bulu-bulu merah di 
atas kepala meriap memantulkan cahaya matahari 
senja. Begitu indah gemulai tarian Macan Barong yang 
disertai jurus-jurus silat. Penari Macan Barong yang 
memikul topeng kepala macan dan rangkaian bulu-
bulu merak itu seakan-akan tak merasakan beban se-
dikit pun. 
"Bagus! Tunjukkan lagi kebolehan mu!" lelaki 
berkumis yang memegang cambuk hitam kembali me-
merintahkan Macan Barong agar terus menari. Cam-
buk hitam besar dan panjang di tangannya, sesekali 
dilecutkan ke sekitar kaki penari Macan Barong. 
Cletar! 
Lecutan keras itu seakan-akan membelah alu-
nan gamelan. Tiupan terompet dan pukulan gendang 
yang menghentak-hentak penuh semangat terus ter-
dengar, mengiringi tarian Macan Barong. 
Sementara itu di antara para penonton, nam-
pak seorang pemuda berambut gondrong dengan pa-
kaian rompi kulit ular, turut menyaksikan reog itu. 
Pemuda tampan itu tak lain Sena Manggala atau yang 
lebih  dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Sena 
nampak cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
Sesekali tangan dan kakinya turut bergerak, mengikuti 
alunan gamelan yang menghentak dan bersemangat. 
Sesaat kemudian terdengar suara tawa cekikikan dari 
mulutnya yang mengundang perhatian penonton lain. 
"Hi hi hi...! Lucu...! Ha ha ha...!" Sena tertawa-
tawa sambil tangan dan kakinya terus bergerak-gerak, 
mengikuti gerakan Macan Barong. 
Cletar! Cletarrr...! 
Terdengar kembali suara lecutan cambuk, sea-
kan memecah suasana senja temaram, di antara alu-
nan gamelan. Namun, perhatian para penonton, kini 
tidak semua tertuju pada pagelaran reog. Mereka tiba-
tiba saja beralih pada Pendekar Gila yang bertingkah 
laku seperti orang gila, tertawa-tawa sendiri sambil 
mengikuti gerak-gerik silat Macan Barong. 
"Aha, ternyata kau menggerakkan jurus silat!" 
gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepa-
la. Mulutnya cengengesan, lalu tertawa dan mengge-
leng-gelengkan kepala. Tingkah lakunya yang konyol 
itu menyebabkan perhatian sebagian besar penonton 
dan kebanyakan anak kecil tertuju pada dirinya. 
"Hai, orang gila! Sana pergi...!" bentak lelaki 
pemegang cambuk besar hitam dengan mata melotot 
menatap Pendekar Gila. Lelaki yang ternyata Warok 
Gandu Pala merasa jengkel atas tingkah laku Pendekar 
Gila, karena menyebabkan perhatian sebagian penon-
ton beralih dari pertunjukan reog. 
"Hi hi hi...! Kenapa kau marah, Ki? Apakah tak 
boleh aku menonton...?" tanya Pendekar Gila sambil 
tertawa cekikikan dan menggaruk-garuk kepalanya. 
"Kukatakan pergi! Cepat..!" bentak Warok Gan-
du Pala semakin garang dengan mata melotot 
"Hi hi hi...! Ah ah ah, galak sekali kau, Ki! Bu-
kankah kau mengadakan pertunjukan untuk diton-
ton?" tanya Pendekar Gila dengan mulut cengengesan.  
"Kurang ajar! Sudah kukatakan, cepat pergi! 
Hiburan ini bukan untuk orang gila sepertimu!" bentak 
Warok Gandu Pala semakin marah, karena Pendekar 
Gila tak segera beranjak dari tempat itu. Malah kini 
tertawa terbahak-bahak. 
"Ah ah ah, galak sekali kau, Ki! Aneh..., kau 
menggelar hiburan tapi tak boleh ditonton," gumam 
Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepalanya. 
"Sinting...! Hi hi hi...! Gila kau, Ki." 
"Bedebah! Masih juga kau membandel, Pemuda 
Gila! Cepat pergi, sebelum hilang kesabaranku!" ben-
tak Warok Gandu Pala sengit. 
"Aha, baiklah. Kurasa, kau menyimpan sesua-
tu, Ki...," tukas Pendekar Gila seraya mengeloyor me-
ninggalkan tempat itu. Namun tiba-tiba terdengar sua-
ra seorang wanita memanggilnya. 
"Hai, tunggu...!" 
Karena merasa ada yang memanggil, Pendekar 
Gila seketika menghentikan langkah. Sambil mengga-
ruk-garuk kepala, dibalikkan tubuhnya. Mulutnya ter-
senyum dengan cengengesan, ketika dilihatnya seo-
rang gadis cantik berambut terurai panjang dengan 
ikat kepala kain merah melangkah menghampiri. 
"Aha, kau memanggilku, Ni Sanak?" tanya Pen-
dekar Gila dengan mulut cengengesan dan tangan ka-
nannya menggaruk-garuk kepala. Matanya menatap 
tajam wajah gadis dua puluh dua tahunan itu. Kemu-
dian Sena mengerutkan kening, ketika melihat cara ja-
lan gadis itu. Kaki agak terbuka, sehingga langkahnya 
agak menegang. 
"Ya," jawab gadis cantik bermuka bulat telur 
dan berhidung mancung. Mata gadis berpakaian kun-
ing itu menatap wajah Pendekar Gila, kemudian me-
rayap turun sampai ke kaki. Gadis itu sepertinya hen-
dak menilai Pendekar Gila. 
Melihat sikap gadis di hadapannya, Sena nyen-
gir. Keningnya semakin berkerut, tak mengerti apa 
yang dicari gadis itu pada dirinya. 
"Aha,  ada apa kau memandangi ku  begitu, Ni 
Sanak?" tanya Sena seolah merasa risi. Tangannya 
kembali menggaruk-garuk kepala. Dengan kening ber-
kerut karena heran, Pendekar Gila menatap wajah ga-
dis cantik itu yang juga tengah menatap dirinya. 
Gadis cantik berambut panjang itu tersenyum 
manis, membuat Pendekar Gila semakin tak mengerti 
apa arti senyum sang Gadis. Senyum itu seperti me-
nyimpan misteri, yang terasa sulit untuk dibuka. 
"Tak ada apa-apa," sahut gadis cantik itu, yang 
membuat Sena bertambah heran, tak mengerti mak-
sud sebenarnya gadis itu. "Aku hanya ingin tahu, be-
narkah kau yang bernama Sena Manggala atau Pende-
kar Gila?" 
Pendekar Gila tersenyum cengengesan sambil 
kembali menggaruk-garuk kepala, semakin heran den-
gan tingkah laku gadis itu. 
"Aha, memang namaku Sena Manggala. Ada 
apa gerangan?" tanya Sena ingin tahu. 
"Ah, tidak. Terima kasih," usai berkata begitu 
gadis cantik berpakaian kuning muda itu melangkah 
meninggalkan Pendekar Gila yang semakin bertambah 
heran. Dirinya benar-benar tak tahu, mengapa gadis 
cantik itu hanya ingin tahu namanya, lalu pergi lagi. 
"Ah ah ah, dunia ini semakin aneh...!" gumam 
Pendekar Gila sambil masih cengengesan. Kemudian 
digeleng-gelengkan kepalanya, merasa heran melihat 
tingkah laku gadis tadi. Dengan masih cengengesan, 
Sena kembali melanjutkan langkahnya. 
Mentari semakin condong ke barat, tapi pagela-
ran Reog Ponorogo masih berlanjut Penonton bahkan 
bertambah banyak berdatangan memadati pelataran 
depan rumah Warok Gandu Pala. Pagelaran reog tam-
pak semakin bertambah seru. Warok Gandu Pala ber-
teriak-teriak, memerintahkan Macan Barong untuk 
menari dan meliuk-liukkan bulu merah yang dipang-
gulnya. Seirama dengan suara gamelan yang terus 
mengalun. Para penabuh gamelan pun nampak begitu 

bersemangat sambil bertepuk tangan menimbulkan 
irama khas reog ditingkahi teriakan-teriakan mulut 
mereka. 
Cletar! 
"Oe...a! Oe...a! Oe...a! 
Cambuk hitam besar di tangan Warok Gandu 
Pala terus menggelegar, memecahkan suasana senja. 
Diikuti liukan-liukan tubuh Macan Barong dan teria-
kan-teriakan para penabuh gamelan yang disebut pan-
jak 
"Ayo, Barong! Tunjukkan kebolehan mu!" seru 
Warok Gandu Pala sambil memutar cambuk dan 
menghentak-hentakkan kaki ikut menari. Sementara 
itu terdengar pula sorak-sorai dan tepuk tangan para 
penonton memberi semangat para pemain  reog. Sua-
sana senja benar-benar hanyut dalam kegembiraan. 
Sementara itu pula, gadis berpakaian kuning 
yang tadi memanggil Pendekar Gila, tampak meng-
hampiri Warok Gandu Pala. Kemudian dengan perla-
han gadis itu membisikkan sesuatu pada Warok Gan-
du Pala. 
"Jadi dia Pendekar Gila...?" tanya Warok Gandu 
Pala dengan suara setengah berbisik. Di wajahnya ada 
gambaran rasa terkejut 
"Benar, Paman," sahut gadis cantik itu.  
"Hm, celaka! Bisa berantakan rencana kita, Se-
kati." 
"Apa yang harus kita lakukan, Paman?" tanya 
gadis yang ternyata bernama Sekati. Matanya menatap 
tajam pada Warok Gandu Pala yang dipanggilnya den-
gan sebutan paman. 
Warok Gandu Pala terdiam sejenak, seolah-olah 
tengah memikirkan, apa yang hendak dilakukan agar 
bisa berhasil rencananya. 
"Kita singkirkan Pendekar Gila itu," ujar Warok 
Gandu Pala setengah mendengus. "Dia akan memper-
sulit kita." 
"Tapi dia bukan orang sembarangan, Paman," 
tukas Sekati 
"Aku tahu. Maksudku, kita tidak menghada-
pinya secara terang-terangan, Kati." 
"Lalu...?" tanya Sekati ingin tahu. 
"Lihat saja, nanti malam!" sahut Warok Gandu 
Pala. 
Sekati hanya diam, ketika pamannya kembali 
masuk ke arena untuk melanjutkan pagelaran itu. Ga-
dis cantik itu menghela napas panjang-panjang. Ke-
mudian berlalu meninggalkan tempat itu. 
*** 
Malam telah datang, membawa kegelapan yang 
mencekam. Suasana Desa Ponorogo dan sekitarnya 
nampak sunyi dan sepi. Rumah-rumah penduduk te-
lah tertutup rapat, mungkin penghuninya telah terle-
lap dalam tidurnya. 
Dari arah selatan Desa Ponorogo, muncul sepu-
luh sosok lelaki yang semuanya bertubuh tinggi tegap 
dan berwajah garang. Mereka mengenakan pakaian 
serba hitam dan berikat kepala kain hitam pula. Mata 
mereka menatap garang dan begitu liar mengawasi ke 
sekeliling desa yang sunyi dan sepi. 
"Kita harus hati-hati. Ingat baik-baik, jika ke-
pergok tak ada pilihan lain kecuali membunuh!" ujar 
seorang lelaki bermuka persegi dengan rambut gon-
drong, memperingatkan rekan-rekannya. 
"Baik!" 
"Kita juga harus ingat apa yang diperintahkan 
kepada kita. Juga tentang tulisan itu!" tambah  lelaki 
berkumis tebal  bernama  Sumogiri. Dialah pimpinan 
kesembilan lelaki berpakaian serba hitam itu. 
Kesembilan anak buahnya menanggapi dengan 
anggukan kepala. Mereka terus melangkah menembus 
gelap malam. 
"Kita harus tetap pada kesepakatan bersama. 
Bahwa kita harus memilih orang itu sebagai pimpinan 
di Ponorogo ini. Jika dia berhasil menjadi lurah, kita 
akan jaya," sambung Sumogiri sambil mengurai se-
nyum. 
"Benar! Kalau dia berhasil menjadi lurah, kita 
akan bebas berkeliaran. Kita akan jaya dan disegani 
seluruh warga Desa Ponorogo," tambah Sumogara, 
adik dari Sumogiri. Keduanya menamakan diri dengan 
julukan 'Sepasang Walet Merah'. 
"Ayo kita mulai! Ingat, malam ini kita menya-
troni Ki Renu Jalna!" ujar Sumogiri sambil menggerak-
kan tangan, memerintahkan rekan-rekannya agar se-
gera bergerak. 
Kesepuluh lelaki berpakaian hitam terus me-
langkah memasuki Desa Ponorogo. Mata mereka yang 
tajam, memandang ke sekelilingnya. Tak lama kemu-
dian kawanan berpakaian hitam itu telah sampai di 
depan rumah Ki Renu Jalna. 
"Mungkin ini rumahnya," ujar Sumogiri seraya 
memperhatikan sebuah rumah besar menghadap sela-
tan. Sumogara dan rekan-rekannya mengangguk. Ke-
mudian melangkah mendekati pintu depan rumah Ki 
Renu Jalna, salah seorang yang juga mencalonkan diri 
sebagai Lurah Desa Ponorogo. 
Sumogiri berdiri paling depan. Matanya men-
gawasi ke sekeliling rumah yang nampak sepi itu. 
Sudah merupakan kebiasaan orang-orang za-
man dulu, kalau mau menjadi lurah pasti akan mem-
bawa jawara atau centeng untuk menjaga rumahnya. 
Namun, Ki Renu Jalna nampaknya tak melakukan hal 
itu. Rumah besar itu tampak sepi tanpa penjagaan. 
Sepertinya Ki Renu Jalna merasa tenang-tenang saja, 
tak takut terhadap bahaya yang setiap saat dapat 
mengancam jiwa atau kedudukannya sebagai seorang 
calon lurah. 
Mungkin karena Ki Renu Jalna menganggap 
pemilihan lurah masih cukup lama. Sehingga baginya 
terlalu  dini untuk mengadakan penjagaan di rumah. 
Apalagi dirinya sangat disenangi warga Desa Ponorogo. 
Tak ada masalah baginya. Bahkan mungkin Ki Renu 
Jalna merasa yakin, dialah yang bakal memenangkan 
pemilihan lurah. Hal itu karena hampir semua warga 
mendukung dirinya sebagai calon lurah. Sementara 
para saingannya, seperti Ki Randu Paksa, Ki Banjar 
Guling, dan Warok Gandu Pala hanya mendapat pen-
dukung sedikit. Nampaknya mereka tak banyak memi-
liki harapan untuk menang dalam pemilihan lurah kali 
ini. 
Di samping mendapat dukungan yang besar 
dari warga Desa Ponorogo, Ki Renu Jalna juga dido-
rong terus oleh para sesepuh Desa Ponorogo. Di antara 
sesepuh desa, terdapat tiga warok sakti, yang cukup 
ditakuti dan disegani penduduk Ponorogo. Ketiga wa-
rok itu adalah Warok Singa Lodra, Warok Sura Pati, 
dan Warok Sito Kuta.  
Tok, tok, tok! 
Sumogiri mengetuk pintu rumah Ki Renu Jal-
na. Kemudian memerintahkan rekan-rekannya agar 
segera menutupi wajah mereka dengan kain hitam 
yang telah disiapkan. 
"Siapa?!" dari dalam terdengar suara Ki Renu 
Jalna. Kemudian disusul suara langkah-langkah kaki 
mendekati pintu depan. 
"Aku, Ki," sahut Sumogiri. 
"Aku siapa?" tanya Ki Renu Jalna. 
"Aku warga Desa Ponorogo." 
"Ada apa, malam-malam begini datang?" tanya 
Ki Renu Jalna masih di dalam, belum membukakan 
pintu. Tampaknya lelaki tua itu sudah agak curiga, se-
hingga merasa bimbang untuk membuka pintu ru-
mahnya. 
"Perlu penting, Ki. Bukalah pintunya...!" pinta 
Sumogiri, berusaha mempengaruhi Ki Renu Jalna agar 
membukakan pintu. 
Kreeek! 
Pintu terbuka. Saat itu juga, muncul lelaki se-
tengah baya bertubuh kurus dengan wajah menggam-
barkan kesabaran dan ketenangan. Dialah Ki Renu 
Jalna, calon Lurah Desa Ponorogo. 
"Siapa kalian?!" bentak Ki Renu Jalna dengan 
mata membelalak, ketika melihat sosok-sosok berpa-
kaian hitam dengan wajah setengah tertutup. Dilihat 
dari sorot mata, kesepuluh lelaki itu jelas tidak ber-
maksud baik. Hal itu terbaca jelas dalam batin Ki Renu 
Jalna. 
"Siapa pun kami, yang jelas harus menyingkir-
kan mu," dengus Sumogiri sambil mencabut golok lalu 
mengarahkannya ke depan Ki Renu Jalna. 
"He, apa alasannya?!" sentak Ki Renu Jalna 
sambil mundur dua langkah. Matanya menatap tajam 
pada sepuluh lelaki bermata garang yang kini telah 
masuk ke rumahnya dengan tangan memegang golok 
"Kau tak pantas menjadi lurah di Ponorogo," 
sahut Sumogiri. 
Terbelalak mata Ki Renu Jalna, mendengar 
ucapan Sumogiri. Sambil menatap tajam wajah lelaki 
bersenjata golok di depannya Ki Renu Jalna menden-
gus, karena tiba-tiba menyadari, bahwa ada di antara 
para saingan yang tidak senang kalau dirinya menjadi 
lurah. 
"Cuih! Lancang sekali mulut kalian! Semua 
warga Desa Ponorogo menghendaki aku menjadi lu-
rah!" bentak Ki Renu Jalna sengit dengan mata sema-
kin tajam, menatap penuh kemarahan kepada kesepu-
luh lelaki berpakaian hitam yang telah berada di ru-
mahnya. 
"Hua ha ha...! Mereka boleh saja memper-
cayaimu untuk menjadi Kepala Desa Ponorogo. Tapi 
bagi kami, kau tak ada artinya dan harus disingkir-
kan," sahut Sumogiri dengan suara tawanya yang si-
nis. Matanya semakin tajam, menatap wajah Ki Renu 
Jalna. 
Dari dalam muncul Nyi Tumirah, istri Ki Renu 
Jalna. Wanita berusia sekitar empat puluh lima tahun 
itu kaget mendengar suara ribut di ruang depan. Nyi 
Tumirah membeliak,  melihat suaminya dalam anca-
man orang-orang bercadar hitam. Apalagi ketika meli-
hat golok-golok tajam di tangan mereka. 
"Ki, siapa mereka...?" tanya Nyi Tumirah den-
gan kening mengerut karena rasa takut, melihat para 
lelaki berwajah garang itu. Dihampirinya sang Suami 
yang tengah menyurut mundur dengan mata menatap 
tajam pada kesepuluh lelaki bersenjata golok yang juga 
menatapnya. 
"Entah, Nyi. Mereka bermaksud jahat terhadap 
kita," bisik Ki Renu Jalna. 
"Jangan banyak omong, Ki! Tangkap dia...!" pe-
rintah Sumogiri sambil memberi isyarat dengan tan-
gan. Kesepuluh anak buahnya langsung melangkah 
maju, bermaksud menangkap. 
"Cuh! Jangan seenaknya kalian bertingkah di 
rumahku, Bajingan!" bentak Ki Renu Jalna geram. Di-
cabutnya keris yang terselip di pinggang belakang, ke-
mudian dengan mata garang menghadang kesepuluh 
lelaki garang yang hendak menangkapnya. 
"Ki Renu, Jangan ladeni mereka! Biar kita men-
galah, daripada mati, Ki!" saran Nyi Tumirah yang se-
makin ketakutan, menyaksikan suaminya dalam an-
caman maut 
"Hm, begitu memang baik, Ki. Turutilah apa ka-
ta istrimu! Menyerahlah, jangan sampai kami menu-
runkan tangan jahat padamu!" dengus Sumogiri seten-
gah mengancam. Tangan kirinya diangkat, memberi 
isyarat pada rekan-rekannya agar berhenti. 
Sumogiri kemudian melangkah maju, mendeka-
ti Ki Renu Jalna yang masih menatap tajam wajahnya. 
Mata lelaki garang itu pun menghujam ke wajah Ki 
Renu Jalna. 
"Kuharap kau menurut, Ki! Di belakang kami, 
Pendekar Gila. Siapa yang berani dengannya?!" ancam 
Sumogiri. 
Mendengar ucapan Sumogiri Ki Renu Jalna ter-
sentak kaget. Hatinya hampir tak percaya nama Pen-
dekar Gila disebut sebagai dalang dari tindakan seka-
wanan berpakaian hitam itu. 
"Bohong! Aku tahu siapa Pendekar Gila. Dia tak 
mungkin berteman dengan kalian, Bangsa Bajingan!" 
dengus Ki Renu Jalna seraya membelalakkan mata ga-
rang. Keris di tangannya ditudingkan ke muka Sumo-
giri, yang semakin dekat. 
"Terserah padamu! Mau percaya atau tidak, 
yang pasti kami diperintah Pendekar Gila untuk me-
nangkapmu," tegas Sumogiri. 
Ki Renu Jalna tercengang. Hatinya benar-benar 
tak percaya, kalau semua ini tindakan yang dilakukan 
Pendekar Gila. Baginya tak masuk akal kalau pende-
kar yang namanya begitu tersohor dan sangat disegani 
itu akan berbuat sekeji ini. 
"Kuharap kau jangan melawan, Ki! Kalau kau 
melawan kematianlah yang akan kau dapatkan," an-
cam Sumogiri. 
"Ya! Ikutlah kami!" sambung Sumogara. 
Ki Renu Jalna nampak masih bimbang. Hatinya 
antara percaya dan tidak. Bagaimanapun, setahunya 
Pendekar Gila tak pernah melakukan hal-hal yang keji. 
Jangankan menangkap orang semena-mena, berlaku 
tak senonoh terhadap orang yang tak salah pun, Pen-
dekar Gila tak pernah. Namun kini, tiba-tiba ada orang 
yang mengaku utusan Pendekar Gila untuk meringkus 
dirinya. 
"Benarkah pendekar yang berbudi luhur dan 
pembela kebenaran serta keadilan memerintah mere-
ka?" tanya Ki Renu Jalna dalam hati. "Apa salahku? 
Hm, kurasa aku tak melakukan kesalahan. Atau 
mungkin ini gurauan pendekar itu. Biasanya dia me-
mang suka bercanda." 
"Bagaimana, Ki? Apakah kau akan menuruti 
kata-kata kami?" tanya Sumogiri mendesak. Ki Renu 
Jalna tersentak bimbang. Dirinya belum mengerti, 
mengapa Pendekar Gila berbuat aneh-aneh, tidak se-
suai dengan kebiasaannya. 
"Jangan terlalu lama berpikir, Ki! Pendekar Gila 
sudah tak sabar menunggumu!" sentak Sumagara. 
"Kang, ikuti saja!" saran istrinya. 
"Baiklah, aku ikut kalian," akhirnya Ki Renu 
Jalna menurut. Dirinya ingin tahu, apakah benar Pen-
dekar Gila yang memerintahkan mereka untuk me-
nangkapnya? "Lalu kalau memang benar, ada maksud 
apa Pendekar Gila berbuat begitu?" pikir Ki Renu Jalna 
masih diliputi kebimbangan. 
"Hua ha ha...! Bagus! Memang itulah yang baik. 
Bawa dia...!" perintah Sumogiri pada rekan-rekannya 
yang segera maju menangkap Ki Renu Jalna. 
"Aku ikut!" Nyi Tumirah memegangi tangan Ki 
Renu Jalna. 
"Tak perlu, Nyi! Tak  lama aku akan kembali," 
ujar Ki Renu Jalna. 
"Tidak, Ki. Aku ikut!" ujar Nyi Tumirah memak-
sa. 
"Bawa dia sekalian!" perintah Sumogiri. Para 
anak buah menurut dan langsung menarik kedua su-
ami-istri itu. Setelah mengikat tangan serta menutup 
mata dan mulut Ki  Renu Jalna dan istrinya, mereka 
segera membawa suami-istri itu meninggalkan rumah. 
*** 
Kawanan berpakaian serba hitam di bawah 
pimpinan Sumogiri terus membawa Ki Renu Jalna dari 
istrinya. Mulut kedua suami-istri itu masih disumbat. 
Tampak kedua suami-istri itu terus berusaha beron-
tak, karena merasa diperlakukan sewenang-wenang. 
Namun mereka tak dapat berbuat banyak, karena di 
samping tangan terikat, mata, dan mulut keduanya di-
tutup rapat 
Entah akan dibawa ke mana, Ki Renu Jalna 
dan istrinya tak tahu jalan yang ditempuh. Yang jelas 
kawanan yang mengaku diutus Pendekar Gila berjalan 
ke selatan, menjauh dari Desa Ponorogo. Setelah cu-
kup lama berjalan mereka sampai di tengah Hutan Pa-
lapiring. Kemudian, tampak gerombolan berpakaian 
serba hitam itu berjalan menuju sebuah rumah di ten-
gah hutan. Rumah itu terbuat dari bilik. Letaknya yang 
sangat tersembunyi mempersulit orang biasa mene-
mukan rumah tersebut. 
"Masuk!" terdengar suara dari dalam rumah. 
Orang yang berada di dalam rumah bilik itu sepertinya 
tahu kalau di luar ada orang. 
Gret! 
Pintu terbuka. Ki Renu Jalna dan istrinya be-
lum sempat melihat orang yang berada di dalam, keti-
ka tubuh mereka telah didorong dari belakang. Kedua-
nya jatuh terjerembab di lantai tanah. Di hadapan me-
reka tampak berdiri seorang lelaki bertubuh tinggi dan 
tegap. Pakaiannya serba hitam, dengan ikat kepala mi-
rip blangkon dari kain hitam. Tampak bibirnya terse-
nyum sambil mencibir penuh kebencian. 
"Buka tutup mata mereka!" perintah lelaki itu 
pada Sumogiri. Pimpinan gerombolan itu pun segera 
membuka dengan kasar penyumbat mulut dan mata Ki 
Renu Jalna. 
"Hah...! Kau?!" desis Ki Renu Jalna, begitu ter-
kejut ketika melihat lelaki yang di depannya ternyata 
Warok Gandu Pala. 
"Hua ha ha...! Ya, aku. Selamat datang di tem-
patku, Renu Jalna...!" sapa Warok Gandu Pala sambil 
tertawa terbahak-bahak penuh kemenangan. Senyum 
sinis di bibir menyempurnakan gambaran keangkuhan 
di wajahnya. 
"Kau...!? Apa maksudmu...?!" tanya Ki Renu 
Jalna dengan mata terbelalak marah dan heran. Di-
rinya merasa telah dibohongi dan diperdaya kesepuluh 
lelaki yang ternyata utusan Warok Gandu Pala. Me-
nyaksikan kebingungan Ki Renu Jalna, kesepuluh le-
laki itu tertawa terbahak-bahak. 
"Hua ha ha...! Mengapa kau tanyakan hal itu, 
Ki?" Warok Gandu Pala balik bertanya dengan senyum 
sinis. "Seharusnya tak perlu kau tanyakan hal itu, ka-
rena kau tahu siapa aku bukan?!" 
"Cuih! Iblis keparat! Licik...!" maki Ki Renu Jal-
na dengan sengit, menyadari kenapa dirinya diculik. 
"Hua ha ha...! Memakilah sepuasmu, Ki! Kau 
boleh mengutukku dengan sesuka hatimu, sebelum 
masuk ke penjara bawah tanah. Dengan hilangnya kau 
dari Ponorogo, maka tak akan ada lagi yang bisa 
menghalangiku menjadi lurah. Hua ha ha...!" Warok 
Gandu Pala tertawa terbahak-bahak bagaikan telah 
memenangkan pertandingan yang menggembirakan. 
Satu saingan berat telah dapat disingkirkan. Dirinya 
menganggap Ki Renu Jalna sebagai saingan terberat 
dan selalu menjadi penghalang untuk menduduki kur-
si lurah. 
"Iblis pengecut! Terkutuklah kau!" dengus Ki 
Renu Jalna sambil mencabut kerisnya. Karena  telah 
terbebas dari ikatan tangan dan mulut serta mata, di-
rinya berusaha melawan. Namun belum sempat tu-
buhnya bangun, Sumogara telah menendangnya, 
Duggg...!  
"Ukh!" Ki Renu Jalna memekik, tubuhnya kem-
bali jatuh tersungkur mencium tanah. 
"Iblis! Jangan siksa suamiku!" bentak Nyi Tu-
mirah. Wanita setengah baya itu menatap penuh ke-
bencian pada Sumogara. 
"Kau tak perlu galak seperti itu, Nyai! Jangan 
sampai tanganku menampar mulutmu!" bentak Sumo-
gara. 
"Huh, apa dikira aku takut, Bajingan!" bentak 
Nyi Tumirah kesal dan marah. Matanya terbelalak me-
natap tajam wajah Sumogara. 
"Wanita lancang! Kurobek mulutmu!" Sumogara 
hendak memukul mulut Nyi Tumirah ketika Warok 
Gandu Pala mencegah dengan mengangkat tangan ka-
nannya, yang membuat Sumogara menghentikan niat-
nya. Lelaki berusia tiga puluh lima tahun, bermuka ga-
rang itu menyurut mundur. Lalu Warok Gandu Pala 
melangkah mendekati Ki Renu Jalna dan istrinya. 
"Kini kalian ada dalam kekuasaanku. Sekali 
kuperintahkan, anak buahku akan menghabisi nyawa 
kalian!" tutur Warok Gandu Pala sambil mencibirkan 
bibir mengejek Ki Renu Jalna. "Pikirkan baik-baik! Ka-
lian kuberi kesempatan hidup, asal bersedia mendu-
kungku menjadi lurah." 
"Cuih! Lebih baik bunuh saja aku, Warok Kepa-
rat!" bentak Ki Renu Jalna bagaikan tak takut sedikit 
pun menghadapi ancaman Warok Gandu Pala. 
"Hm, begitu...?" tanya Warok Gandu Pala. 
"Huh! Jangan kira kami takut mati, Warok Se-
sat! Kalau sampai Paman Warok Singo Lodra tahu, kau 
tak akan mendapat ampun!" dengus Nyi Tumirah sen-
git. Matanya menatap tajam dan garang pada wajah 
Warok Gandu Pala yang tertawa terbahak-bahak 
"Hua ha ha...! Ki Singo Lodra, tak akan pernah 
menyangka akulah pelakunya, Nyai. Ki Singo Lodra, 
akan menuduh Pendekar Gila pelaku semua ini...," 
ujar Warok Gandu Pala sambil tersenyum penuh ke-
menangan. 
"Pengecut! Fitnah keji...!" dengus Ki Renu Jal-
na. Matanya kian membara, menatap tajam. Warok 
Gandu Pala yang tengah terbahak-bahak 
"Hua ha ha...! Memakilah sesukamu, karena 
sebentar lagi kau tak akan dapat memaki lagi!" ejek 
Warok Gandu Pala. Lelaki gagah itu kemudian meng-
gerakkan kepala memberi perintah kepada anak buah-
nya, membawa Ki Renu Jalna pergi dari tempat itu. 
"Lepaskan...!" sentak Ki Renu Jalna sengit 
sambil memberontak. Namun kesepuluh anak buah 
Warok Gandu Pala tak peduli. Mereka semakin ken-
cang men-cengkeram kedua suami-istri itu, meskipun 
terus meronta-ronta. 
"Lepaskan aku...!" 
"Jangan melawan!" bentak Sumogiri dengan 
mendengus. Sikutnya dihentakkan ke tubuh Ki Renu 
Jalna, yang membuat lelaki setengah baya itu tersen-
tak lalu sempoyongan dan jatuh berlutut di tanah. 
"Bangsat! Mengapa kau menyiksa suamiku!" 
dengus Nyi Tumirah dengan mata melotot sengit. Wa-
nita setengah baya ini pun nampaknya tak merasa ta-
kut. "Bunuhlah kami sekalian!" 
"He he he...! Sabar, Nyai! Sabar sedikit! Kalian 
memang akan mati," sahut Warok Gandu Pala dengan 
senyum mencibir sinis. 
Mendengar ucapan Warok Gandu Pala, mata Ki 
Renu Jalna memerah karena marah. Nafasnya tersen-
gal-sengal menahan perasaan yang menggelegak di 
rongga dada. 
"Pengecut! Kita bertarung satu lawan satu!" 
tantang Ki Renu Jalna dengan garang. Dicabutnya ke-
ris yang terselip di pinggang belakang. Matanya garang 
menatap tajam wajah Warok Gandu Pala. 
Kesepuluh anak buah hendak meringkus Ki 
Renu Jalna, tapi Warok Gandu Pala mengisyaratkan 
agar mereka membiarkan saja. 
"Tampaknya kau tak sabar untuk mati, Ki!" 
ujar Warok Gandu Pala dengan senyum mengejek. 
Dengan tenang, kakinya melangkah mendekati Ki Re-
nu Jalna. Matanya yang lebar dan merah menatap ta-
jam wajah Ki Renu Jalna yang juga membalasnya den-
gan tajam pula. 
"Huh! Kau kira aku takut padamu, Warok Ke-
parat!" bentak Ki Renu Jalna geram. Keris di tangan-
nya telah diacungkan ke muka Warok Gandu Pala. Ma-
tanya semakin garang, menatap penuh kebengisan dan 
marah terhadap Warok Gandu Pala. 
"Hm, begitu? Lakukanlah jika kau berani!" tan-
tang Warok Gandu Pala. 
"Kurang ajar! Hea...!" Ki Renu Jalna langsung 
menyerang Warok Gandu Pala dengan tusukan keris-
nya ke dada lawan. Namun hanya dengan menggeser 
kaki kiri sambil menarik tubuh, Warok Gandu Pala 
berhasil mengelakkan serangan. 
Sementara itu pula dengan cepat tangannya 
menghantam punggung Ki Renu Jalna. 
"Hih!"  
Degk! 
"Ukh!" Ki Renu Jalna terpekik. Tubuhnya sem-
poyongan, kemudian ambruk mencium tanah. Hal itu 
membuat Nyi Tumirah menggeram marah. Dicabut tu-
suk kondenya, kemudian sambil mendengus wanita itu 
bergerak menyerang. 
"Hea!" 
Nyi Tumirah menyambar dengan tusuk konde 
ke tubuh lawan, tetapi dengan cepat Warok Gandu Pa-
la berkelit. Lalu dengan cepat tangannya menampar 
wajah wanita itu. 
Plak! 
"Akh...!" pekik Nyi Tumirah dengan tubuh sem-
poyongan. Tangannya memegangi pipi yang terkena 
tamparan. Wanita itu terjatuh ke samping, "Ki..., ke-
napa kita harus begini?" 
Ki Renu Jalna mendengus marah. Matanya se-
makin garang menatap tajam wajah Warok Gandu Pala 
yang masih tertawa penuh ejekan. 
"Bagaimana, Ki? Kau masih ingin mene-
ruskan?" tanya Warok Gandu Pala sambil mencibir pe-
nuh kesombongan. Matanya tak memandang sebelah 
mata pun kepada Ki Renu Jalna. 
"Cuh! Aku belum kalah!" bentak Ki Renu Jalna.  
"Hea...!" 
Bagaikan macan marah kelaparan, Ki Renu 
Jalna langsung bangkit berdiri. Tangannya yang meng-
genggam keris, digerakkan menyabet dan menusuk ke 
tubuh Warok Gandu Pala. Namun Warok Gandu Pala 
dengan tenang sambil tertawa-tawa bergerak meng-
elakkan serangan itu. Kemudian tangannya bergerak 
menangkap tangan Ki Renu Jalna. Lalu dengan cepat 
pula ditekuknya ke arah perut lawan. 
"Hih!" 
Trep! 
Crab! 
"Akh...!" jerit kematian  terdengar, ketika keris 
Ki Renu Jalna menghujam ke perutnya sendiri. Mata 
lelaki setengah baya berpakaian adat Jawa warna pu-
tih itu membelalak. Tampak darah segar menyembur. 
"Ki...!" pekik Nyi Tumirah sambil memburu tu-
buh suaminya yang sekarat. Kemudian tangannya ber-
gerak menusukkan tusuk konde ke tubuh Warok Gan-
du Pala. "Iblis! Kubunuh kau...!" 
Wrt! 
"Eit!" Warok Gandu Pala berkelit Kemudian 
dengan cepat kaki kanannya menendang ke punggung 
Nyi Tumirah. 
Degk! 
"Ukh!" Nyi Tumirah terpekik. Tubuhnya ter-
huyung-huyung beberapa langkah, kemudian ambruk 
mencium tanah. Namun wanita separo baya itu bagai-
kan seekor macan betina, dengan cepat bangun dari 
jatuhnya. Lalu dengan menggeram marah, tubuhnya 
melesat bergerak menyerang. "Kubunuh kau, Warok 
Iblis! Hea...!" 
Wrt! Wrt! 
Tusuk konde di tangan Nyi Tumirah bergerak 
cepat menusuk dan menyabet ke tubuh Warok Gandu 
Pala. Namun dengan cepat dan enteng lelaki berpa-
kaian serba hitam itu berkelit sambil melancarkan pu-
kulan keras ke tubuh wanita itu. 
"Hih!" 
Prak! 
"Akh,..!" Nyi Tumirah menjerit keras. Tulang 
punggungnya dirasakan remuk terhantam pukulan 
Warok Gandu Pala. "Kau...?! Kau..., Akh...!" 
Nyi Tumirah pun tergeletak mati dengan mulut 
melelehkan darah. Matanya melotot. 
"Seret mayat mereka! Kembalikan ke rumahnya 
lagi. Ingat, beri tulisan kalau yang melakukan Pende-
kar Gila!" perintah Warok Gandu Pala. 
"Baik, Ki," sahut Sumogiri. 
Dengan menggerakkan tangan, Sumogiri me-
merintahkan pada rekan-rekannya agar menyeret tu-
buh Ki Renu Jalna dan istrinya menuju Desa Ponoro-
go. 
*** 
Keesokan harinya, semua warga Desa Ponorogo 
gempar. Ki Renu Jalna dan istrinya ditemukan tewas 
di rumahnya dalam keadaan mengenaskan. Namun 
yang lebih membuat semua warga terkejut, adanya tu-
lisan di samping kedua mayat yang berbunyi: 
Siapa pun yang berani ikut campur dengan ke-
matian kedua orang ini. Maka akan berurusan dengan 
Pendekar Gila. 
Pendekar Gila. 
"Kurang ajar! Jelas, ini  penghinaan bagi kita!" 
dengus Warok Sura Pati geram. Nafasnya turun naik, 
karena didesak kemarahan yang menggelegak. Ma-
tanya yang tajam menatap nanar pada kedua mayat Ki 
Renu Jalna dan istrinya. "Jelas, ini sebuah tantangan 
bagi kita, Ki." 
Ki Warok Singo Lodra dan Ki Warok Sito Kuta 
menarik napas dalam-dalam. Sesaat keduanya saling 
pandang, kemudian menatap kembali ke wajah Warok 
Sura Pati. Sepertinya kedua warok itu belum yakin, 
kalau kejahatan itu dilakukan Pendekar Gila. 
"Kita tak boleh gegabah, Sura. Aku tahu, siapa 
Pendekar Gila. Mungkin ini bukan perbuatannya. Ada 
orang yang hendak mengadu domba kita dengan Pen-
dekar Gila," tutur Warok Singo Lodra. 
"Benar. Kita harus menyelidiki lebih dahulu," 
sambung Warok Sito Kuta. Kedua orang tua berwajah 
tenang dengan cambang bawuk menghias pipi itu den-
gan sabar berusaha menyabarkan Warok Sura Pati.  
"Tapi, Ki...," ujar Warok Sura Pati terputus. 
"Aku tahu maksudmu. Tapi kau tentu melihat tulisan 
itu, bukan?" sela Warok Singo Lodra. 
"Benar, Ki," sahut Warok Sura Pati. Lelaki ku-
rus, berpakaian abu-abu ini mengangguk-angguk. Ma-
tanya yang cekung menatap Warok Singo Lodra. 
Warok Singo Lodra tersenyum menggeleng-
gelengkan kepala, seakan-akan hendak berusaha me-
nyadarkan rekannya agar tidak sembarangan berpra-
sangka buruk. 
"Kau harus ingat, Sura! Sebagai warok, kita 
merupakan orang-orang yang terhormat. Kita telah di-
kenal sebagai orang bijak. Janganlah sembarangan 
menuduh," tuturnya dengan penuh wibawa. 
"Maafkan aku! Bukan aku bermaksud menu-
duh. Tetapi kejadian ini sungguh di luar pikiran kita," 
gumam Warok Sura Pati sambil membelai-belai jeng-
got. 
Lelaki berusia sekitar enam puluh tahun ini, 
memang masih ada hubungan kerabat dengan Nyi 
Tumirah. Sudah sepantasnya kalau dirinya begitu ma-
rah, mengetahui saudaranya terbunuh. 
"Apa tidak mungkin ada orang telah mempera-
lat Pendekar Gila?" tanya Warok Sura Pati kembali. Pi-
kirannya masih diliputi kegelisahan dan berprasangka 
terhadap Pendekar Gila. 
Warok Singo Lodra dan Warok Sito Kuta men-
gerutkan kening, mendengar pertanyaan itu. Keduanya 
seakan berusaha memikirkan hal itu. Sambil menge-
lus-elus jenggot, keduanya memandang ke arah lain. 
"Mungkin juga," gumam Warok Sito Kuta den-
gan kepala manggut-manggut. Matanya yang bulat dan 
lebar itu memperhatikan kedua mayat yang di sam-
pingnya tergeletak selembar daun lontar tertera nama 
Pendekar Gila. 
"Kurasa, kita tidak boleh asal menuduh," tukas 
Warok Singo Lodra sambil menggeleng-gelengkan ke-
pala. "Aku tahu persis siapa Pendekar Gila. Dia akan 
bertindak, jika orang sudah tak dapat disadarkan dari 
perbuatan dosanya." 
"Tapi dia juga manusia, Ki," sela Warok Sura 
Pati. 
"Ya," sambung Warok Sito Kuto. 
Warok Singo Lodra tersenyum. 
"Memang, dia manusia seperti kita. Namun se-
lama ini, kita belum pernah mendengar kalau Pende-
kar Gila melakukan perbuatan keji  seperti sekarang 
ini," ujar Warok Singo Lodra tenang. "Bukannya kita 
takut menghadapinya. Tetapi yang perlu kita pikirkan, 
benarkah dia pelakunya?" 
Kedua warok rekannya terdiam. Hati mereka 
pun sebenarnya masih ragu menjatuhkan tuduhan 
bahwa Pendekar Gila adalah pelaku kejahatan ini. Hati 
mereka masih bertanya-tanya. Untuk apa Pendekar Gi-
la membunuh Renu Jalna dan istrinya? Mungkinkah 
Ki Renu Jalna mempunyai kesalahan yang tak dapat 
diampuni, sehingga Pendekar Gila membunuhnya? 
Sulit bagi ketiga warok menjawab pertanyaan 
itu. Mereka tahu siapa sebenarnya Pendekar Gila Se-
mua orang pun tahu Pendekar Gila berhaluan lurus. 
Bah-kan telah mendapat sebutan Pendekar Penegak 
Kebenaran dan Keadilan. Namun di lain sisi, kenya-
taan membukakan siapa pelaku pembantaian calon lu-
rah itu. Di samping mayat Ki Renu Jalna dan istrinya, 
ter-dapat tulisan yang tertera nama Pendekar Gila. Hal 
itu sebagai bukti, kalau Pendekar Gila pelaku atau 
yang mengutus orang membunuh Ki Renu Jalna. 
"Kurasa tak mungkin Pendekar Gila berbuat 
sepengecut itu. Menyuruh orang untuk membunuh," 
gumam Warok Singo Lodra dalam hati, merasa tak ya-
kin kalau Pendekar Gila pelaku pembunuhan keji yang 
menimpa Ki Renu Jalna. 
"Aku tak percaya, kalau pendekar yang berbudi 
luhur itu melakukan kekejian ini!" gumam hati Warok 
Sito Kuta dengan kepala mengangguk-angguk. "Mung-
kin ada orang yang hendak menghancurkan nama baik 
Pendekar Gila." 
"Kalau benar Pendekar Gila yang melakukan-
nya, untuk apa? Kurasa Ki Renu Jalna tak pernah ber-
sengketa dengan Pendekar Gila," gumam Warok Sura 
Pati dalam hati. Tampaknya lelaki tua ini mulai me-
nyadari. Matanya masih memperhatikan dengan teliti 
kedua mayat kemenakannya. Keris Ki Renu Jalna, 
menghujam di perutnya sendiri. Sedangkan Nyi Tumi-
rah tulang punggungnya remuk, seperti bekas terkena 
hantaman.  
"Jelas Ki Renu Jalna dan Nyi Tumirah mengha-
dapi lawan yang bukan orang sembarangan. Hm...! 
Siapa sebenarnya dalang kejahatan ini?" 
Ketiga warok ini masih terdiam membisu belum 
mengerti apa penyebab malapetaka yang menimpa Ki 
Renu Jalna. Calon kepala desa yang sudah dipastikan 
akan menduduki jabatan lurah Ponorogo itu dikete-
mukan mati persis sepekan menjelang pemilihan lu-
rah. 
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang, 
Ki?" tanya Warok Sito Kuta pada Warok Singo Lodra, 
yang dianggap tertua dan sangat dihormati penduduk 
dan warok-warok di Desa Ponorogo. 
Warok Singo Lodra menghela napas dalam-
dalam, merasa bimbang dengan apa yang mesti dila-
kukan. Dirinya belum tahu cara apa yang harus diper-
buat untuk menanggulangi agar kejadian ini tak teru-
lang pada calon lurah yang lain. 
"Sebaiknya kita selidiki, apakah benar semua 
ini dilakukan Pendekar Gila...?" usul Warok Singo Lo-
dra dengan diikuti desahan nafasnya yang gelisah. Di-
rinya tak habis pikir, mengapa calon kepala desa yang 
menurutnya baik, diketemukan mati. Sepertinya ada 
semacam tindakan yang sengaja merintangi cita-cita Ki 
Renu Jalna menjadi kepala desa di Desa Ponorogo. 
"Baiklah kalau itu cara yang baik, Ki. Tetapi ki-
ta mesti ingat, kalau pemilihan kepala desa hanya ada 
waktu tujuh hari lagi," sambut Warok Sura Pati. 
"Benar. Kurasa, kita mulai dari sini," tukas Wa-
rok Sito Kuta menambahkan, "Jago kita telah mati. 
Sebaiknya, untuk mengetahui pelaku yang membunuh 
Ki Renu Jalna, kita harus menjagokan satu orang lagi." 
Warok Singo Lodra sesaat terdiam. Kemudian 
diangguk-anggukkan kepalanya, tanda menyetujui apa 
yang direncanakan kedua rekannya. 
"Bagaimana, Ki...?" tanya Warok Sito Kuta. 
"Pendapat yang bagus," gumam Warok Singo 
Lodra seraya membelai-belai jenggotnya yang panjang. 
Kepalanya diangguk-anggukkan dengan bibir mengurai 
senyum. "Kita akan menjebak pelaku dengan cara 
mengangkat calon yang bakal menang. Aku yakin, ten-
tunya si pelaku akan menyingkirkan jago kita." 
Kedua warok lainnya manggut-manggut dengan 
senyum mengembang di, bibir mereka. 
*** 
Pagi itu Pendekar Gila tengah menyelusuri pe-
sisir pantai, sekaligus menikmati udara pagi yang tera-
sa sangat sejuk. Sejak kemarin, ketika bertemu dengan 
gadis cantik di tempat pagelaran Reog Ponorogo, di-
rinya masih diliputi rasa ketidak mengertian. Perta-
nyaan gadis itu sangat aneh. Karena tampaknya hanya 
ingin meyakinkan kalau dialah Pendekar Gila. 
"Ah, aneh! Dunia semakin lama menjadi sema-
kin aneh...," gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-
garuk kepala, merasa tak mengerti dengan semua yang 
dialami kemarin. Bukan gadis cantik bergaun kuning 
saja yang aneh. Baginya Pimpinan Reog Ponorogo pun 
aneh. Sang Pimpinan Reog tampak tak suka akan ke-
hadirannya menonton. 
Pendekar Gila terus melangkah sambil cen-
gengesan. Matanya memandang ke langit, seakan ada 
sesuatu yang dicari di atas sana. Dia terus melangkah, 
menyelusuri tepian pesisir selatan. 
Saat itu Pendekar Gila tengah berada di Desa 
Wanacaya, berjalan menuju Desa Ngadireja dalam 
usahanya menuju tempat Mei Lie berada. Hatinya su-
dah kangen, ingin bertemu dengan gadis itu, setelah 
sekian lama mereka berpisah. 
"Ah, Mei Lie. Sedang apa kau di sana?" gumam 
Pendekar Gila dengan menghela napas dalam-dalam, 
ketika kembali teringat Mei Lie. Gadis yang senantiasa 
berada di dalam hati, meski kini jauh di mata. 
Sebuah pohon kelapa yang telah tumbang, me-
lintang di hadapan Pendekar Gila. Nampaknya pohon 
itu rapuh dimakan usia, atau mungkin karena dihem-
paskan angin kencang. Tampak akar-akarnya turut 
ter-cabut ke atas. 
Sena seketika berkeinginan untuk duduk di 
atas pohon yang tumbang itu. Kakinya segera mem-
percepat langkah kemudian duduk di batang pohon 
itu. Kemudian diambilnya Suling Naga Sakti dan di-
tiupnya dengan lembut, mengalunkan suara yang 
merdu. 
Pendekar Gila terus meniup Suling Naga Sak-
tinya, seolah-olah hendak mencurahkan perasaan rin-
du pada sang Gadis yang jauh di mata. Suara suling 
yang mendayu, seakan-akan membuat alam sekeli-
lingnya seketika berubah sendu. Burung-burung yang 
semula bernyanyi riang, tiba-tiba diam. Seakan-akan 
turut merasakan kerinduan yang dialami Pendekar Gi-
la. 
Angin pagi bertiap lembut, turut mengiringi 
alunan suling. Debur ombak laut selatan yang bi-
asanya besar, seketika mereda. Yang ada hanya riak-
riak kecil, menghempaskan busa putih ke tepi pantai. 
Pendekar Gila masih menikmati tiupan suling-
nya, ketika matanya melihat dua sosok bayangan ber-
kelebat melintas di hadapannya. Kedua sosok bayan-
gan itu ternyata sepasang muda-mudi yang tengah 
bercanda ria sambil berkejaran. Sebenarnya bukan ka-
rena keduanya tengah asyik memadu kasih yang 
membuat mata Pendekar Gila terbelalak, melainkan 
karena melihat gadis itu. Dirinya hampir tak percaya 
dengan yang dilihat. Seketika dihentikan tiupan su-
lingnya. 
"Hai, bukankah itu gadis yang kemarin mene-
gurku?" gumam Sena dengan kening berkerut, berusa-
ha mengingat-ingat gadis  cantik berpakaian kuning 
itu. 
Gadis cantik bertubuh semampai yang tiada 
lain Sekati tampak semakin menunjukkan kemesraan-
nya ketika melihat Pendekar Gila memandang mereka. 
Sekati seakan-akan bermaksud menggoda, agar pemu-
da tampan bertingkah laku seperti orang gila itu mem-
perhatikan dirinya yang sedang bermesraan dengan 
pemudanya. 
"Hi hi hi...! Ah ah ah, mengapa kalian berpaca-
ran di tempat seperti ini?" tanya Pendekar Gila sambil 
memain-mainkan sulingnya sebelum dimasukkan ke 
balik ikat pinggang. Kemudian dengan menggeleng-
gelengkan kepala, dirinya turun dari batang kelapa. 
"Hi hi hi...! Kau ingin, Pendekar Gila?" tanya 
Sekati sambil mempererat pelukannya di pinggang pe-
muda berkumis tipis di hadapannya.  Wajah pemuda 
bertubuh tegap itu tersenyum memandang wajah Pen-
dekar Gila, seakan hendak mengejek. 
Melihat tingkah kedua sejoli itu Pendekar Gila 
tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk ke-
pala. Kemudian digeleng-gelengkan kepala, seolah-olah 
merasa lucu dengan apa yang dilihatnya. 
"Ah ah ah, mengapa aku harus ingin? Hi hi 
hi...! Lucu sekali kalian!" gumam Pendekar Gila seraya 
melangkah, hendak meninggalkan tempat itu. Tetapi 
Sekati segera mengejarnya. 
"Pendekar Gila, tunggu...!" 
"Ahe, mengapa kau memanggilku, Nisanak? 
Bukankah kau akan bermesraan? Ah ah ah,  kurasa 
tak enak orang berpacaran harus diganggu, bukan...?" 
tanya Pendekar Gila dengan tingkah lakunya yang ko-
nyol. Mulutnya cengengesan dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala. 
"Kau tak ingin berduaan denganku...?" rayu 
Sekati sambil melangkah mendekati Pendekar Gila. 
Kemudian dengan nakal tangannya membelai janggut 
Pendekar Gila. Matanya yang lentik, menatap tajam 
wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
"Aha, kurasa kau salah, Nisanak. Aku tak se-
perti pemudamu itu," tukas Pendekar Gila sambil me-
nepis tangan Sekati yang hendak menggayut di leher-
nya. "Aha, aku pamit, karena harus pergi. Kurasa ka-
lau aku di sini terus, kenikmatan kalian akan tergang-
gu." 
Dengan cengengesan sambil menggeleng-
gelengkan kepala Pendekar Gila melangkah mening-
galkan tempat itu. Namun, tiba-tiba sesosok tubuh 
berkelebat menghadang langkahnya. Ternyata pemuda 
tampan berkumis tipis kekasih Sekati. Pemuda berusia 
sekitar dua puluh lima tahun itu, tersenyum sinis. Dan 
matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila. 
"Jangan seenaknya saja kau pergi, Pendekar 
Gila...!" bentak Caraka Wanda dengan tatapan tajam, 
sepertinya hendak menghunjam dada Pendekar Gila. 
"Aha, bukankah tadi aku pamit?" Sena balik 
bertanya. Tingkah lakunya masih seperti orang gila. 
Mulutnya cengengesan, tapi matanya memandang ke 
langit yang biru. Seakan-akan tak peduli dengan pe-
muda di hadapannya. 
"Aku tak peduli dengan pamitmu. Kalau aku 
tak mengizinkan yang jelas kau tak akan bisa pergi!" 
ancam Caraka Wanda tegas. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Ki Sanak! Kau 
bukan penguasa di sini. Mengapa kau berlagak seperti 
penguasa? Ah ah ah, tingkahmu malah seperti seekor 
tikus sawah, Ki Sanak. Hi hi hi...!" Pendekar Gila ter-
tawa cekikikan sambil menggeleng-gelengkan kepala 
dengan tangan kanan menutupi mulutnya yang terta-
wa-tawa. Hal itu membuat Caraka Wanda mendengus 
sengit. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila 
penuh api amarah. 

"Pendekar Gila, rupanya kau belum tahu siapa 
aku?!" bentak Caraka Wanda sengit. 
"Hi hi hi...! Bukankah kau tikus sawah itu, Ki 
Sanak? Masih kau bertanya. Hi hi hi...! Lucu sekali 
kau," ejek Pendekar Gila dengan cengengesan. Tan-
gannya menggaruk-garuk kepala, kemudian mulutnya 
dimonyongkan mengejek Caraka Wanda. 
"Kurang ajar! Sombong kau, Pendekar Gila!" 
bentak Caraka Wanda sengit. Matanya semakin tajam 
menatap penuh kebencian pada Pendekar Gila yang 
masih cengar-cengir seperti kera. "Meski namamu ter-
sohor. Tetapi Caraka Wanda, anak Warok Sito Kuta tak 
akan takut padamu!" 
Mendengar nama Warok Sito Kuta disebut, 
Pendekar Gila bukannya takut. Tetapi justru terbahak-
bahak tawanya sambil berjingkrakan seperti kera. 
Tangannya menggaruk-garuk kepala. Mulutnya nyen-
gir, matanya memandang ke atas. Seolah ada yang 
menarik perhatian di atas sana. 
"Hua ha ha...! Sungguh tak pantas. Tak pantas 
sekali. Anak seorang warok, bertingkah seperti cecurut 
bau. Ah..., bahkan seperti tikus sawah!" ujar Pendekar 
Gila dengan kepala menggeleng-geleng. 
Semakin geram Caraka Wanda mendengar uca-
pan Pendekar Gila. Nafasnya  mendengus keras. Ma-
tanya memandang tajam tak berkedip, seakan hendak 
menusuk jantung Pendekar Gila. Sementara itu Sekati 
hanya tersenyum-senyum, menyaksikan dua pemuda 
tampan saling bertengkar. Gadis cantik itu merasa se-
nang menyaksikan pertengkaran keduanya. Dirinya 
merasa jadi rebutan kedua pemuda itu. 
"Kurang ajar! Kau berani menghina ayahku, 
Pendekar Gila!" dengus Caraka Wanda. 
Pendekar Gila semakin tertawa terbahak-bahak 
dengan kepala menggeleng-geleng mendengar ucapan 
Caraka Wanda. Sambil cengengesan tangannya meng-
garuk-garuk kepala. Dihelanya napas dalam-dalam, 
seakan-akan berusaha menenangkan perasaan. 
"Ah ah ah...! Pintar sekali kau berkata, Ki Sa-
nak. Kaulah yang menghina persatuan warok, karena 
kau anak warok, tetapi tingkah lakumu tak mencer-
minkan sifat ksatria...," tutur Pendekar Gila  masih 
dengan cengengesan dan kepala menggeleng-geleng. 
Sepertinya dirinya tak habis pikir, kenapa anak seo-
rang warok yang disegani dan dihormati bertingkah la-
ku seperti Caraka Wanda. 
"Cuih! Jangan banyak omong, Pendekar Gila!" 
bentak Caraka Wanda sambil membuang ludah ke ta-
nah. Matanya masih menatap garang ke wajah Pende-
kar Gila. "Jangan bawa-bawa ayahku!" 
Pendekar Gila kembali tertawa terbahak-bahak 
sambil menggeleng-gelengkan kepala, mendengar uca-
pan Caraka Wanda. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Ki Sanak! Bu-
kankah yang membawa-bawa ayahmu kau sendiri? Ah, 
dasar tikus pikun," gumam Pendekar Gila sambil cen-
gengesan dengan tangan masih menggaruk-garuk ke-
pala. Mendengar ucapan itu tentu saja Caraka Wanda 
bertambah marah. 
"Kurang ajar! Kau harus dihajar, Pendekar Gi-
la!" 
"Sudahlah, mengapa kalian mesti berteng-
kar...?" Sekati dengan bibir mengurai senyum, berusa-
ha mencegah keduanya agar tidak bertengkar. 
"Tapi dia perlu dihajar, Sekati," sahut Caraka 
Wanda. Matanya masih menatap garang pada Pende-
kar Gila yang masih cengengesan sambil mendongak 
ke atas. Tingkahnya sangat konyol dan lucu. Namun, 
bagi Caraka Wanda yang sudah marah, tingkah laku 
Pendekar Gila justru membuatnya bertambah marah. 
"Sudahlah, Caraka! Toh dia tak bermaksud ja-
hat terhadap kita," ujar Sekati dengan bibir mengurai 
senyum pada Pendekar Gila yang masih cengengesan. 
Namun pandangan Pendekar Gila tetap mengarah ke 
langit, dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
Caraka Wanda hanya mendengus, kemudian 
dengan sinis meninggalkan tempat itu diikuti Sekati. 
Pendekar Gila hanya mampu menggeleng-gelengkan 
kepala, merasa heran melihat tingkah laku Caraka 
Wanda yang aneh. Tak ada angin dan tak ada hujan, 
pemuda berkumis tipis itu tiba-tiba memusuhinya. 
"Ah ah ah... dunia ini semakin lucu! Manusia 
kian aneh. Tak  ada sebab pasti tiba-tiba memusuhi 
orang lain. Hanya masalah cemburu. Hi hi hi...!"  
Pendekar Gila menggeleng-gelengkan kepala 
sambil cengengesan. Kemudian dilangkahkan kakinya, 
berlalu meninggalkan pesisir itu ke arah timur. 
Sepeninggal Pendekar Gila, Sekati nampak ma-
sih memperhatikan ke mana pendekar itu pergi. 
"Ingat, kita harus terus mengikutinya," ujar Se-
kati pada Caraka Wanda. 
"Ya! Kita memang harus mengikutinya," sahut 
Caraka Wanda. 
"Ayo!" ajak Sekati. 
Keduanya segera berlalu meninggalkan pesisir, 
untuk mengikuti Pendekar Gila. Tujuan mereka hen-
dak membuktikan kalau Pendekar Gila benar-benar ti-
dak ke Ponorogo lagi. 
*** 
Pendekar Gila masih melangkah, menyusuri ja-
lanan di Desa Gemeng, yang terletak di sebelah utara 
Desa Ngadirejo. Siang yang panas, cahaya matahari 
memanggang bumi, sehingga beberapa kali Pendekar 
Gila harus meniup nafasnya untuk menghilangkan ra-
sa panasnya. Mulutnya masih cengengesan, dengan 
tangan mengorek kuping yang sebelah kanan. 
"Ah, panas sekali siang ini!" gumam Pendekar 
Gila sambil mengorek telinga dengan bulu burung yang 
memang senantiasa dia selipkan di ikat pinggang sebe-
lah kanan. Karena di ikat pinggang sebelah kiri, terse-
lip Suling Naga Sakti. 
Pendekar Gila terus melangkah, untuk mencari 
sebuah kedai. Siang itu perutnya terasa sangat lapar, 
minta diisi. Akhirnya sampai di sebuah kedai yang saat 
itu nampak masih sepi. Padahal biasanya di siang hari 
kedai banyak pengunjungnya. Seorang lelaki tua ter-
bungkuk-bungkuk sedang menata meja dan kursi-
kursinya. Nampak susah-payah sekali orang tua itu 
menata meja kursinya. Hal itu membuat Pendekar Gila 
merasa iba melihatnya. 
"Aha, bolehkah saya bantu, Pak?" tanya Pende-
kar Gila menawarkan jasa. Suara itu mengejutkan le-
laki tua itu, sehingga segera berhenti dari pekerjaan-
nya. Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila. 
Perlahan mata tua itu menyipit seakan hendak mem-
pertegas pandangannya yang sudah agak kabur. 
"Siapakah engkau, Anak Muda?" tanya Pak Tua 
itu dengan suaranya yang berat. Lelaki berusia tujuh 
puluh tahunan itu, nampak masih memperhatikan 
Pendekar Gila dengan seksama. 
"Aha, siapa diriku, itu tak penting, Ki. Yang je-
las aku ingin sekali menolongmu, kalau boleh," kata 
Pendekar Gila sambil mengorek telinganya dengan bu-
lu burung. Mulutnya masih cengengesan, dengan mata 
memandang ke langit 
"Benarkah kau mau menolongku, Anak Muda?" 
"Aha, kau nampak masih ragu, Ki. Lucu seka-
li...! Tapi, aku memang ingin menolongmu," ujar Pen-
dekar Gila sambil menyelipkan bulu burung ke ikat 
pinggangnya. Kemudian dengan cengengesan, kakinya 
melangkah masuk, mendekati orang tua pemilik kedai. 
"Kau ingin kubayar, Anak Muda?" 
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki. Ah ah ah, mana 
mungkin aku tega meminta bayaran padamu? Kedai-
mu saja masih sepi. Sudahlah, aku ingin menata kur-
si-kursi ini. Setelah itu, tolong ambilkan sapu." 
Tanpa menunggu Pak Tua itu berkata, Pende-
kar Gila langsung bekerja dengan cepat. Tubuhnya 
berkelebat dengan tangan bergerak cepat bekerja. Da-
lam beberapa saat saja semua kursi panjang dan meja-
meja telah tertata rapi. 
Pak Tua pemilik kedai membeliakkan mata, 
menyaksikan bagaimana pemuda bertingkah laku se-
perti orang gila itu bekerja. Hatinya hampir tak per-
caya, menyaksikan Pendekar Gila bekerja dengan ce-
pat. Seakan tubuhnya terdiri dari puluhan orang, yang 
seketika bergerak bersama menata ruangan kedai. Se-
hingga dalam sekejap saja ruangan kedai sudah rapi. 
"Ck ck ck...! Benarkah apa yang kulihat?" ter-
dengar decak kagum dari mulut pemilik kedai, me-
nyaksikan cara kerja Pendekar Gila yang sangat cepat 
itu. "Siapa sebenarnya pemuda ini? Silumankah...?" 
"Aha, mengapa masih diam, Ki? Cepat ambilkan 
sapu, biar kusapu tempat ini. Ah, pantas kalau kedai 
ini tak ada yang mengunjungi. Hi hi hi... kotor sekali! 
Seperti pasar saja, Ki," gumam Pendekar Gila sambil 
menggeleng-gelengkan kepala dengan bibir tersenyum-
senyum, menyaksikan keadaan kedai yang kotor seka-
li. Sampah berserakan di sana-sini. 
"Eh, tunggu sebentar!" dengan tertatih-tatih 
dan terbungkuk-bungkuk Pak Tua segera meninggal-
kan ruangan kedai, untuk mencari sapu lidi. Tidak be-
gitu lama kemudian, Pak Tua telah kembali membawa 
sapu lidi yang diminta Pendekar Gila. 
"Aha, terima kasih, Ki." 
Sena kembali tak banyak kata. Sambil ber-
nyanyi-nyanyi sesuka hati, tangannya langsung beker-
ja membersihkan seluruh ruangan kedai. Bahkan 
sampai ke balai-balai dan sisi kanan kiri kedai yang 
juga kotor. Dikumpulkan sampah itu di belakang ke-
dai, kemudian dibakarnya. 
"Ck ck ck...! Kalau begitu, dia bukan pemuda 
gila sembarangan. Sayang sekali dia gila!" gumam Pak 
Tua itu sambil menggeleng-gelengkan kepala, menyak-
sikan cara kerja Pendekar Gila. 
"Hi hi hi...! Bagaimana, Ki! Bukankah kalau 
bersih seperti ini sangat enak dipandang? Aha, kurasa 
nanti banyak orang yang datang," ujar Pendekar Gila 
sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Di-
taruhnya sapu di sudut ruangan kedai, kemudian den-
gan masih cengengesan segera duduk di sebuah bang-
ku. Tingkah lakunya yang persis orang gila, membuat 
Pak Tua pemilik kedai  menggeleng-gelengkan kepala 
merasa heran. 
Pak Tua pemilik kedai melangkah menghampiri 
Sena. Matanya yang tertutup alis mata putih panjang, 
memperhatikan Pendekar Gila yang cengengesan du-
duk tenang sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Kau tentu lapar, Anak Muda?" tanya Pak Tua. 
"Aha, kau benar, Ki. Apakah kau sudah mema-
sak..?" tanya Pendekar Gila. 
Wajah Pak Tua itu seketika berubah sedih, 
mendengar pertanyaan tamunya. Ada penderitaan 
yang menggurat di wajah tuanya. Hal itu membuat 
Pendekar Gila mengerutkan kening. Lalu, tangannya 
kembali menggaruk-garuk kepala. 
"Ah ah ah, maafkan kelancanganku, Ki! Tak 
kusangka, kalau pertanyaanku akan membuatmu se-
dih," ujar Pendekar Gila sambil menarik napas dalam-
dalam. Matanya menatap tajam wajah Pak Tua yang 
kini nampak mengibakan. 
"Oh, tidak apa-apa. Hanya...," Pak Tua pemilik 
kedai tak meneruskan ucapannya. Sepertinya ada ke-
raguan yang menekan jiwanya. Wajahnya pun tampak 
bertambah muram, dan semakin menunjukkan kese-
dihan. 
Pendekar Gila merasa tambah heran, menyak-
sikan wajah Pak Tua yang semakin murung. Diperha-
tikannya dengan seksama wajah pemilik kedai seakan 
ingin menyelami jiwanya. Ingin tahu, apa yang menye-
babkan lelaki tua itu ragu untuk menuturkan sesuatu 
padanya. 
"Aha, kau sepertinya menyimpan sesuatu, Ki? 
Katakanlah, tak usah kau ragu! Mungkin aku bisa 
menolongmu," pinta Sena sambil menggaruk-garuk 
kepalanya dengan mulut nyengir kuda. 
Pak Tua itu terdiam. Dihelanya napas dalam-
dalam. Sepertinya ada yang masih mengganjal dalam 
batin. Matanya menatap ke sekeliling kedai. Seakan-
akan ada yang dikhawatirkan kalau ada yang menden-
garnya. Hal itu membuat Pendekar Gila semakin men-
gerutkan kening, tak tahu apa yang membuat Pak Tua 
itu ketakutan. 
"Hi hi hi...! Kau seperti ketakutan, Ki. Ah ah ah, 
ada apa gerangan, Ki?" tanya Sena semakin penasa-
ran, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sehingga,    
pemilik kedai itu tampak begitu ketakutan untuk men-
ceritakan. 
Diam-diam Pendekar Gila mengedarkan pan-
dangan matanya ke sekeliling tempat itu. Namun tak 
dilihatnya seorang manusia pun yang patut dicurigai. 
Memang banyak orang yang lalu-lalang di depan kedai, 
tetapi tak ada orang yang perlu dicurigai.  
"Aneh Pak Tua ini. Dia seperti ketakutan. Siapa 
yang ditakutkan olehnya?" tanya Pendekar Gila dalam 
hati. Dirinya belum mengerti mengapa pemilik kedai 
itu tampak ketakutan. Kembali matanya mengawasi ke 
sekeliling kedai, tapi tetap tak melihat hal yang mencu-
rigakan. 
"Aha, tak ada yang perlu kau takutkan. Menga-
pa kau mesti cemas, Ki...?" tanya Pendekar Gila den-
gan mulut nyengir sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Bukan hanya aku yang takut, Anak Muda. 
Hampir semua penduduk Desa Ngadireja ini, setiap 
purnama dicekam rasa takut. Itu pula yang membua-
tku tak memasak untuk jualan," tutur pemilik kedai. 
Mendengar penuturan itu Pendekar Gila men-
gerutkan kening. 
"Kenapa begitu, Ki?" tanya Pendekar Gila. 
"Panggil saja namaku yang tua renta ini, Lam-
pit," sela lelaki tua yang ternyata bernama Lampit den-
gan menghela napas dalam-dalam. Matanya masih 
mengawasi dengan cemas ke sekelilingnya. Seolah-olah 
masih ada yang ditakutkan. Entah apa yang membuat 
Ki Lampit ketakutan, bagaikan ada mata-mata yang 
mengintainya. 
"Ah, baiklah Ki Lampit. Sebenarnya ada apa di 
desa ini?" tanya Sena semakin ingin tahu. 
Ki Lampit tak langsung menjawab. Kembali dia 
menghela napas dalam-dalam. Seakan orang tua itu 
tengah memikul beban penderitaan yang sangat berat. 
Kemudian dengan lirih dan suara berat, Ki Lampit 
menceritakan apa yang sebenarnya menimpa Desa 
Ngadireja ini. 
"Kejadian ini, terjadi tiga purnama yang lalu...," 
tutur Ki Lampit membuka cerita. Sementara Sena 
mendengarkan dengan cengengesan sambil mengga-
ruk-garuk kepala. "Bermula dengan gegernya kabar 
akan diadakan pemilihan Kepala Desa Ponorogo." 
Pendekar Gila mengerutkan kening menggaruk-
garuk kepala. Namun pikirannya nampak mulai mem-
perhatikan dengan seksama apa yang bakal dicerita-
kan Ki Lampit. 
"Ki Lurah Ponorogo suatu hari diketemukan 
mati. Di dadanya, tertembus sebatang tombak. Entah 
siapa yang membunuh Ki Lurah Pandarsuna. Menurut 
kabar, Pendekar Gila yang membunuhnya. Hal itu 
membuat warok di Desa Ponorogo berusaha menyelidi-
kinya. Antara para warok itu terjadi pertengkaran sen-
git.  Sebagian berpendapat kalau Pendekar Gila yang 
melakukannya. Sebagian lagi menentangnya." 
Pendekar Gila tersentak kaget mendengar cerita 
Ki Lampit. 
"Aneh... lucu sekali! Semua orang sudah gila. 
Mengapa aku menjadi sasaran fitnah keji itu?" gumam 
Pendekar Gila dalam hati sambil menggeleng-
gelengkan kepala. 
"Lalu apa yang kemudian terjadi, Ki?" tanya 
Pendekar Gila semakin ingin tahu. 
"Akhirnya berkat kecerdikan Warok Singo Lo-
dra, pelaku dapat ditangkap. Tetapi pelaku mengaku 
kalau dia diutus Pendekar Gila untuk membunuh Ki 
Lurah." 
"Atas dasar apa...?" tanya Pendekar Gila dengan 
kening berkerut. 
"Entahlah. Yang jelas, masalahnya kabur lalu 
tak terdengar lagi. Tetapi akhir-akhir ini, gerombolan 
anak buah Pendekar Gila menjarah di desa ini," tutur 
Ki Lampit. 
"Gerombolan Pendekar Gila?!" tanya Pendekar 
Gila kaget dengan mata membeliak. 
"Ya!" sahut Ki Lampit, "Kau kenal, Anak Muda?" 
Dengan cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala, Pendekar Gila menggelengkan kepala. Hatinya 
benar-benar marah, merasa nama baiknya telah dice-
mar. "Kurang ajar! Hm, siapakah yang telah berani 
memfitnahku?" gumam Pendekar Gila dalam hati. Di-
rinya tak habis pikir, mengapa julukannya dijadikan 
alat penakut bagi warga desa. "Hi hi hi...! Dunia ini 
semakin gila. Nama gelar seseorang dijadikan alat pe-
nakut. Lucu sekali...!" 
Lelaki tua pemilik kedai diam. Matanya mena-
tap tajam Pendekar Gila yang tampak cengengesan dan 
cekikikan sendiri. 
"Aha, jadi kau takut dengan gerombolan tengik 
yang mengaku anak buah Pendekar Gila, Ki?" tanya 
Pendekar Gila. Hatinya masih penasaran ingin tahu 
apa alasan warga Desa Ngadireja menakuti gerombolan 
itu. 
"Anak Muda, sebenarnya kami tak takut terha-
dap gerombolan itu. Yang kami takutkan, kalau-kalau 
pemimpin mereka, Pendekar Gila datang. Tentunya 
kau pun yang sama-sama gila  tahu, siapa Pendekar 
Gila sebenarnya. Pendekar yang cukup disegani kawan 
maupun lawan." 
Pendekar Gila tertawa cekikikan, mendengar 
penuturan Ki Lampit. Tangannya menggaruk-garuk 
kepala. 
"Ah ah ah, aku semakin tertarik, ingin tahu se-
perti apa tampang anak buah Pendekar Gila," gumam 
Pendekar Gila sambil masih menunjukkan tingkahnya 
yang seperti orang gila, "Bolehkah aku ikut menginap 
di kedaimu, Ki?" 
"Kau seperti bukan pemuda sembarangan. Dan 
kau seperti orang gila yang juga bukan sembarangan. 
Siapa kau sebenarnya, Anak Muda?" tanya Ki Lampit 
dengan kening berkerut, serta mata menyipit meman-
dang wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan. 
"Hi hi hi...! Bukankah sudah kukatakan, siapa 
diriku tidak penting. Yang jelas, aku ingin melihat se-
perti apa kecoa-kecoa busuk yang mengaku anak buah 
Pendekar Gila," kata Pendekar Gila dengan tangan ma-
sih menggaruk-garuk kepala. 
"Baiklah, Anak Muda. Aku pun tak menolak. 
Kau boleh istirahat di kedaiku," jawab Ki Lampit 
"Aha, terima kasih, Ki! Berapa satu malam ha-
rus kubayar?" 
"Tidak usah, Anak Muda. Aku senang, kalau 
kau mau menginap di kedai buruk ini," kata Ki Lampit 
"Aha, terima kasih! Kalau begitu, biarlah aku 
akan memasak nasi untuk kau jual. Kebetulan sekali, 
aku pun bisa memasak." 
Ki Lampit tersenyum senang, mendengar uca-
pan pemuda yang mirip orang gila itu. Pendekar Gila, 
langsung memasak nasi dan lauk-pauknya! Begitu ce-
pat tangannya bekerja. Dalam sekejap saja, semua te-
lah selesai. 
*** 
Malam datang menggantikan siang. Sinar ma-
tahari yang semula menyinari bumi, telah menghilang 
di ufuk barat Kegelapan pun datang menyelimuti bumi, 
membuat suasana Desa Ponorogo nampak sepi. 
Namun di antara kesepian itu. Ada empat ru-
mah yang masih nampak ramai dan terang-benderang. 
Mereka masih banyak menerima tamu sehubungan 
dengan pemilihan lurah pekan depan. Keempat rumah 
itu tak lain rumah Warok Gandu Pala, Ki Renda Paksa, 
Ki Banjar Guling, dan Ki Jali. Nama terakhir ini yang 
menggantikan Ki Renu Jalna sebagai calon lurah. Di-
rinya merupakan calon yang dijagokan oleh Tiga Warok 
Bercambuk Sakti, sesepuh Desa Ponorogo. Hal itu di-
lakukan, untuk menjebak pelaku pembunuhan terha-
dap Ki Renu Jalna. 
Rumah Ki Jali dijaga ketat beberapa jawara, hal 
itu dimaksudkan agar kejadian yang dialami Ki Renu 
Jalna tidak terulang lagi. Para tamu yang berkunjung 
ke rumah calon kepala desa ini pun nampak banyak, 
melebihi calon lurah lain. 
Sementara itu di rumah Warok Gandu Pala, ju-
ga diselenggarakan suatu jamuan untuk mengundang 
orang-orang yang mendukung dirinya. Banyak juga 
orang yang datang. Namun kebanyakan hanya berpu-
ra-pura, karena sebenarnya mereka sebenarnya para 
kepeng, dari Ki Jali.  
Warok Gandu Pala malam itu kedatangan Tiga 
Warok Bercambuk Sakti. Mereka tak lain Warok Singo 
Lodra, Warok Sura Pati, dan Warok Sito Kuta. Sebagai 
sesama warok, mereka memang masih ada ikatan. Se-
hingga tak akan berusaha memecahkan satu sama 
lain. Juga tak mau saling menyingkirkan, walaupun 
sebenarnya mereka bertiga tak suka dengan Warok 
Gandu Pala. 
"O, sungguh suatu penghormatan besar, kalian 
sudi datang ke rumahku!" ujar Warok Gandu Pala, ke-
tika menyambut ketiga rekannya sesama warok. Di bi-
birnya mengurai senyum, meski di dalam hati terpen-
dam kebencian. 
"Ah, rupanya Kakang Warok yang datang," Nyai 
Rukimah, istri Warok Gandu Pala turut menyambut 
kedatangan ketiga tamu, yang dianggap sebagai sauda-
ra tua dari suaminya. Di situlah letak ikatan para wa-
rok. Mereka menganggap satu sama lain masih ada 
ikatan kekerabatan. 
"Ah, bisa saja Dimas dan Diajeng. Bukankah 
setiap saat kita sering bertemu?" sela Warok Singo Lo-
dra dengan bibir tersenyum ramah, setelah memberi 
penghormatan pada tuan rumah. 
"Benar apa dikatakan Ki Singo. Bukankah se-
tiap saat kita memang sering bertemu?" sambung Wa-
rok Sura Pati juga dengan tersenyum, berusaha me-
nunjukkan rasa gembira, karena bisa memberikan se-
dikit arti bagi sesama warok. 
Semua tertawa lepas, seperti tak memikul be-
ban pikiran. Keakraban tergambar saat itu, meski da-
lam hati Warok Gandu Pala, warok yang paling muda 
di antara mereka, tersimpan dendam dan perasaan 
benci terhadap ketiga warok lainnya. 
Warok Gandu Pala tahu kalau, ketiga warok itu 
sebenarnya tidak menjagokan diri. Bahkan mereka be-
rusaha menghalangi niatnya untuk menjadi Kepala 
Desa Ponorogo. Padahal mereka bertiga merupakan to-
koh yang banyak pengikutnya. Mereka dihormati dan 
disegani sebagai sesepuh Desa Ponorogo. Berbeda den-
gannya yang hanya pimpinan perkumpulan Reog Pono-
rogo. 
Perasaan rendah diri itulah yang membuat Wa-
rok Gandu Pala semakin berambisi menjadi kepala de-
sa. Padahal ketiga warok yang juga dianggap sesepuh 
desa itu tidak pernah menaruh curiga seperti itu. Keti-
ganya menganggap Warok Gandu Pala sama dengan 
mereka. Tak ada rasa saling merendahkan satu sama 
lain. 
"Silakan duduk, Kakang Warok!" ajak Warok 
Gandu Pala mempersilakan ketiga tamunya untuk 
mengambil tempat duduk yang telah disiapkan. 
"Ah, terima kasih," sahut ketiganya. Kemudian 
mereka duduk, ditemani tuan rumah, Warok Gandu 
Pala. 
"Sungguhkah engkau ingin menjadi kepala de-
sa, Adi Gandu Pala?" tanya Warok Singo Lodra setelah 
duduk. Matanya menatap dengan tersenyum pada Wa-
rok Gandu Pala, yang juga tersenyum-senyum. 
"Begitulah, Kakang Singo." 
"Hm," gumam Warok Singo Lodra tak jelas. Ke-
mudian dihelanya napas dalam-dalam, seakan hendak 
membuang kegelisahan. 
"Apakah ini menyalahi aturan, Kakang?" tanya 
Warok Gandu Pala dengan mata menatap tajam pada 
Warok Singo Lodra yang tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan kepala. 
"Tidak, Adi Gandu. Tetapi, apakah tidak ada 
niat yang lain? Misalnya mendirikan padepokan...?" 
tanya Warok Singo Lodra. 
"Benar, Adi Gandu. Mungkin dengan mendiri-
kan padepokan, bisa membuatmu akan merasa te-
nang," tambah Warok Sito Kuta. 
"Apakah Kakang-Kakang Warok melihat, sela-
ma ini aku tak tenang...?" tanya Warok Gandu Pala 
dengan kening mengerut, mendengar ucapan Warok 
Sito Kuta. "Kurasa selama ini aku pun tenang, Kakang 
Sito. Hanya saja, ingin sekali aku bisa memberikan arti 
bagi Desa Ponorogo. Aku ingin Ponorogo yang kita cin-
tai ini, maju dan bisa terpandang. Bahkan kalau 
mungkin, bisa menjadi sebuah ketemanggungan" 
Ketiga warok itu saling pandang, mendengar ci-
ta-cita Warok Gandu Pala yang terlalu tinggi bagi me-
reka. Belum juga dirinya jadi kepala desa di Ponorogo, 
sudah berkhayal setinggi langit 
"Gandu Pala, janganlah suka menjadi pungguk 
yang merindukan bulan! Kalau memang tercapai cita-
citamu, kami akan merasa  senang. Tetapi jika gagal, 
kami takut kau akan kecewa," tutur Warok Singo Lo-
dra dengan bijaksana. "Kalau hanya kecewa dan dapat 
kau kendalikan, itu tak menjadi masalah. Yang kuta-
kutkan, kau akan melampiaskan kekecewaanmu da-
lam kesesatan. Itu yang tidak kami harapkan. Kau ta-
hu kita sebagai warok. Orang yang menjadi panutan 
bagi warga. Kau harus ingat itu, Gandu Pala." 
"Aku akan selalu ingat, Kakang Singo. Tadi aku 
hanya berkhayal," ujar Warok Gandu Pala disertai se-
nyum. "Ah, silakan dicicipi makanannya." 
"Terima kasih." 
Ketiga warok itu pun segera mencicipi makanan 
yang dihidangkan Nyi Rakimah. 
"Hm, lezat sekali, Gandu. Siapa yang mem-
buat..?" tanya Warok Singo Lodra sambil mengangguk-
anggukkan kepala, merasa nikmatnya makanan yang 
dihidangkan Warok Gandu Pala. 
"Adikmu Rakimah, Kakang," jawab Warok Gan-
du Pala. 
"Diajeng Rakimah pintar juga memasak," selo-
roh Warok Sito Kuta yang membuat Nyi Rakimah ter-
senyum-senyum. Matanya memandang wajah sua-
minya yang juga tersenyum. 
"Bukan aku saja yang membuat, Kakang Sito. 
Tetapi anak Kakang Singo Lodra pun turut serta," kata 
Nyi Rakimah. 
"Sekati di sini...?" tanya Warok Singo Lodra 
dengan kening mengerut. 
"Benar, Kakang," jawab Warok Gandu Pala, 
"Juga Caraka Wanda, dan Surotama, turut membantu 
di sini." 
Ketiga warok itu saling pandang mendengar 
anak-anak mereka berada di rumah Warok Gandu Pa-
la. Kening ketiganya mengerut, sepertinya merasa he-
ran kalau anak-anak mereka justru mendukung Warok 
Gandu Pala untuk menjadi kepala desa. 
"Syukurlah kalau memang mereka turut mem-
bantu. Ah, semoga jalinan antar warok semakin erat. 
Sehingga Ponorogo tak akan dapat diremehkan!" ujar 
Warok Singo Lodra sambil tersenyum. "Kami titip a-
nak-anak kami padamu, Gandu." 
"Akan kami perhatikan, Kakang," jawab Warok 
Gandu Pala. "Oh ya, Kakang Singo. Saya mengharap 
dukunganmu, agar saya bisa menjadi kepala desa di 
Ponorogo ini." 
"Aku dan kedua saudara warok mendukungmu, 
Adi Gandu. Tetapi, jadi atau tidaknya seseorang men-
jadi kepala desa, semua terserah warga desa. Mereka-
lah yang memilihnya, Gandu," jawab Warok Singo Lo-
dra berpura-pura mendukung Warok Gandu Pala, 
meskipun dirinya telah memiliki jago sendiri, Ki Jali. 
Karena menurut pandangan ketiga warok itu Ki 
Jali lebih pantas menjadi kepala desa. Hal itu didasar-
kan pada tindak-tanduknya yang ramah, baik,  dan 
mudah bergaul dengan siapa saja! 
"Aku tahu, Kang. Tetapi paling tidak, jika Ka-
kang Warok bertiga mendukungku, niscaya aku akan 
menang. Karena hampir semua penduduk Desa Pono-
rogo menghormati kalian," ujar Warok Gandu Pala. 
Ketiga warok itu sesaat terdiam. Mereka saling 
menarik napas dalam-dalam mendengar ucapan Warok 
Gandu Pala. Bagaimanapun, apa yang baru saja dika-
takan Warok Gandu Pala merupakan suatu beban. Ke-
tiganya tak mau menekan warga, agar mau memilih 
Warok Gandu Pala. Mereka bukan raja yang dalam se-
tiap sabdanya akan ditaati warga, melainkan warga bi-
asa. Hanya saja, warga Ponorogo, menaruh hormat dan 
segan terhadap mereka, terutama Warok Singo Lodra. 
"Maafkan aku! Kalau aku disuruh memaksakan 
kehendak, aku tak bisa Gandu. Hak seseorang, tak 
mungkin dapat ditekan. Karena itu hak mendasar ma-
nusia, yang diberikan Hyang Widhi," kata Warok Singo 
Lodra berusaha memberi pengertian pada Warok Gan-
du Pala. 
"Dengan kata lain, Kakang Warok tak mau 
mendukungku?" tanya Warok Gandu Pala. 
"Jangan salah sangka, Adi Gandu Pala!" Warok 
Sura Pati yang dari tadi diam angkat bicara, melihat 
Warok Gandu Pala nampak agak kecewa. "Kami men-
dukungmu. Tetapi, apa yang dikatakan Warok Singo 
Lodra benar. Hak hidup manusia, tak mungkin kita 
paksa. Karena, itu menyalahi aturan Hyang Widhi. Bi-
arlah para warga memilih dengan kemauan mereka. 
Jika kau dipercaya warga tentu mereka akan memi-
lihmu sebagai kepala desa!" 
Warok Gandu Pala terdiam. Begitu pula dengan 
istrinya. Dalam hatinya memaki sengit pada ketiga wa-
rok tamunya. Tampaknya Warok Gandu Pala tahu ka-
lau mereka bertiga tidak menghendaki dirinya menja-
bat kepala desa. Padahal dirinya telah berusaha mena-
rik perhatian warga, dengan cara membuat nama Pen-
dekar Gila sebagai pelaku pembunuhan terhadap calon 
lurah yang dijagokan warga Desa Ponorogo. 
Hal itu dilakukan, karena semua warga Ponoro-
go tahu, kalau Pendekar Gila penegak kebenaran dan 
keadilan. Dengan membunuh Ki Renu Jalna, Warok 
Gandu Pala berharap warga akan berbalik mendu-
kungnya. Karena warga menyangka Ki Renu Jalna 
orang tak baik, hingga Pendekar Gila membunuhnya. 
"Gandu Pala, jangan kau berkecil hati! Kami 
akan mendukungmu. Kuharap, kau akan senantiasa 
tenang dalam menghadapi hal ini," ujar Warok Singo 
Lodra berusaha menasihati. 
"Benar, Dimas. Dalam keadaan seperti ini, ba-
nyak orang yang menggunakan kesempatan dalam ke-
sempitan...," sambut Warok Sura Pati. "Pandai-
pandailah menjaga diri dan waspada! Jangan sampai 
seperti Ki Renu Jalna." 
"Ya. Ki Renu Jalna kurang waspada, sehingga 
orang yang tak suka padanya, dapat dengan mudah 
membunuhnya," tambah Warok Sito Kuta. 
"Bukankah Pendekar Gila yang melakukan-
nya?" tanya Warok Gandu Pala pura-pura kaget. Ke-
ningnya mengerut dengan mata menyipit. Sepertinya 
dia merasa kaget, mendengar kabar akan kematian Ki 
Renu Jalna.  
"Entahlah. Memang kami menemukan surat 
yang tertera Pendekar Gila. Tetapi kami belum yakin. 
Tentunya kau masih ingat dengan kejadian yang me-
nimpa Ki Lurah Pandarsuna. Ternyata yang membu-
nuh bukan Pendekar Gila, tetapi Maling Kalabendana," 
desah Warok Sito Kuta seraya menarik napas dalam-
dalam. Seakan ingin membuang perasaan pahit, yang 
terjadi tiga purnama silam, ketika Ki Lurah Pandarsu-
na ditemukan mati di dalam kamarnya bersama sang 
Istri. Juga kedua pengawalnya. 
Warok Gandu Pala terdiam dengan wajah nam-
pak sedih mendengar berita yang telah lama terjadi. 
Seakan dirinya merasa berduka, atas kematian Ki Lu-
rah Pandarsuna. 
"Baiklah, Gandu Pala. Kami mohon pamit, ka-
rena malam sudah larut," ujar Warok Singo Lodra me-
wakili kedua rekannya minta diri. 
Dengan diantar Warok Gandu Pala dan istrinya 
ketiga warok meninggalkan rumah besar itu. Warok 
Gandu Pala tersenyum sambil menarik napas dalam-
dalam. Kemudian dengan menggeleng-gelengkan kepa-
la, kakinya melangkah masuk bersama istrinya. 
*** 
Malam semakin gelap, seakan hendak mena-
burkan mimpi-mimpi bagi mereka yang telah tidur. 
Dari arah selatan tampak segerombolan lelaki 
berpakaian serba hitam bergerak memasuki Desa Po-
norogo. Mereka tampak tergesa-gesa melangkah, seper-
tinya tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tu-
juan. Sesekali gerombolan serba hitam itu bergerak ce-
pat menyelinap di balik pepohonan ketika terlihat dua 
orang petugas ronda malam melangkah mendekat ke 
arah mereka. 
"Pala Ageng dan kau, Asta Dawa, bereskan pe-
tugas ronda itu!" perintah pimpinan, yang ternyata 
Sumogiri pada kedua rekannya. 
"Baik," sahut kedua lelaki bertubuh tegap dan 
tinggi. Keduanya langsung melesat menuju ke tempat 
ke dua peronda yang masih melangkah semakin dekat. 
"Kau yang gemuk, Pala Ageng." 
"Beres. Kau yang ceking. Ingat, jangan sampai 
mengeluarkan suara!" ujar Pala Ageng mengingatkan 
Asta Dawa. 
"Beres." 
"Mereka semakin dekat." 
"Ya." 
"Kita mulai!" 
Pala Ageng dan Asta Dawa berkelebat bagaikan 
seekor burung hantu menyambar mangsa. Kedua pe-
tugas ronda tersentak kaget. Mereka bermaksud men-
jerit, tetapi  dengan cepat mulut keduanya telah dis-
ekap. Belum sempat peronda itu menyadari apa yang 
terjadi tiba-tiba... 
Jlep! 
Jlep! 
Dua bilah belati telah menghunjam dada kedu-
anya tepat di hati dan jantung. 
"Ukh!"  
"Akh!" 
Kedua petugas ronda yang malang itu, dalam 
sekejap menggeliat sekarat. Mereka tak dapat berteriak 
atau berontak. Hanya mata mereka yang melotot, un-
tuk selanjutnya terkulai tewas. 
"Bagus! Kalian telah menjalankan tugas dengan 
baik," ujar Sumogiri tersenyum. "Kita harus berpencar! 
Ingat, kita harus bisa menyingkirkan Ki Renda Peksa 
tanpa mengeluarkan suara!" 
"Baik," sahut para anak buah. 
"Ayo kita jalan!" perintah Sumogiri. 
Kesepuluh lelaki bertampang garang yang men-
genakan pakaian rompi hitam dan rata-rata tubuh ke-
kar itu kembali meneruskan perjalanan. Tujuan mere-
ka hanya satu, menyingkirkan Ki Renda Peksa. 
Gerombolan itu kini berpencar menjadi dua ba-
gian. Satu dari arah barat, sedangkan yang lain dari 
arah timur. Mereka sama-sama menuju rumah Ki 
Renda Peksa. 
Rumah Ki Renda Peksa ternyata tidak seperti 
rumah Ki Renu Jalna. Setelah kematian Ki Renu Jalna, 
Ki Renda Peksa pun membayar jawara untuk berjaga-
jaga di rumahnya. Hal itu karena untuk menjaga ke-
mungkinan bakal terjadinya petaka seperti yang di-
alami Ki Renu Jalna. 
Empat orang lelaki berbadan tegar dengan ku-
mis melintang berusia tiga puluh tahunan nampak 
mondar-mandir di sekitar rumah Ki Renda Peksa. 
Keempat lelaki berpakaian hijau lengan panjang den-
gan ikat kepala terbuat dari kain batik membentuk 
blangkon itu, di pinggangnya terselip golok. Tangan 
mereka memakai gelang terbuat dari akar bahar. 
Bagai burung hantu, para jawara itu mengawa-
si dengan waspada penuh, ke sekelilingnya. Mereka 
memeriksa sekeliling rumah secara bergantian. Dua 
orang bertugas di depan. Sedangkan yang lain di bela-
kang rumah. 
Tanpa sepengetahuan mereka, sepuluh pasang 
mata tengah mengawasi mereka dari balik semak-
semak. Gerombolan serba hitam itu menatap garang 
dan penuh nafsu membunuh. 
"Cakala dan Cikili, bereskan dua orang di de-
pan! Sedangkan Julaga dan Juligi, bereskan yang di 
belakang!" perintah Sumogiri sambil menggerakkan 
tangan kanannya, memberi isyarat keempat anak buah 
segera bertindak. 
"Baik!" sahut mereka. Kemudian dengan cepat, 
keempatnya meraba sesuatu dari balik rompi. Empat 
buah pisau kecil, kini telah berada di tangan mereka. 
Dan..., 
Swing! Swing...! 
Empat pisau maut itu melesat begitu cepat, 
laksana anak panah yang dilepas dari busurnya.  
"Heh?!"  
"Hah?!" 
Kedua orang yang berjaga di depan rumah ter-
sentak kaget. Mereka hendak berkelit, tetapi pisau-
pisau beracun itu lebih cepat. Sehingga.... 
Jlep! Jlep! 
"Hekkk...!"  
"Ukh...!" 
Kedua orang jawara memekik tertahan. Tenggo-
rokan mereka terhunjam pisau-pisau kecil. Dengan 
mata melotot, tubuh keduanya mengejang, kemudian 
ambruk dan tewas. 
Mendengar suara berisik. Kedua jawara yang 
sedang memeriksa ke belakang rumah tersentak kaget. 
Keduanya hendak membalikkan tubuh bermaksud lari 
ke depan. Tetapi..., 
Swing! Swing! 
Jlep! Crab! 
"Ukh!" 
"Akh!" 
Kedua jawara itu memekik tertahan, karena 
tenggorokan mereka terhunjam pisau. Dengan mata 
mendelik, mereka menatap penuh amarah pada dua 
orang yang menyerangnya.  
Srt! Srt! 
Kedua jawara itu mencabut golok mereka. Na-
mun dengan cepat Julaga dan Juligi telah mendahului. 
Dengan pedang tajam, keduanya membabat kedua ja-
wara yang telah dalam keadaan sekarat itu. 
Wrt! 
Bret! 
Cras! 
"Ukh! Keduanya kembali memekik tertahan 
dengan perut koyak akibat babatan pedang. Kemudian 
ambruk bergelimpangan berlumuran darah. 
Melihat keempat jawara itu ambruk, Sumogiri 
segera memerintahkan semua anak buah agar keluar 
dari persembunyian. Mereka langsung mendekat ke 
pintu rumah Ki Renda Peksa. 
Tok! Tok! Tok! 
Sumogiri mengetuk pintu rumah Ki Renda Pek-
sa. Matanya mengawasi ke sekelilingnya, berusaha 
meyakinkan kalau keadaan memang telah sepi. Kemu-
dian Sumogiri mengisyaratkan pada semua anak buah 
agar segera menutup wajah mereka. 
"Siapa...?" dari dalam terdengar suara berat 
orang lelaki. 
"Saya, Ki," sahut Sumogiri. 
"Ada apa, Gunta? Mengganggu orang tidur sa-
ja!" omel Ki Renda Peksa. Lelaki itu menyangka kalau 
yang mengetuk pintu Gunta, salah seorang jawara 
yang disewanya. 
"Ada tamu, Ki," sahut Sumogiri. 
"Sebentar." 
Terdengar suara kaki melangkah menuju pin-
tunya rumah. Sumogiri segera memberi isyarat pada 
para anak buah agar siap.  
Grrrettt..! 
Pintu terbuka, seketika itu dari dalam muncul 
seraut wajah lelaki berusia lima puluh tahunan. Mata 
lelaki setengah baya itu membelalak, ketika melihat 
orang-orang bercadar kain hitam telah mengepung di 
depan pintu. 
"Siapa kalian?!" 
"Kami anak buah Pendekar Gila! Kami diutus 
untuk membunuhmu!" sahut Sumogiri. "Bersiaplah!"  
Crab! 
"Akh...!" Ki Renda Peksa memekik keras, ketika 
pedang Sumogiri membabat dadanya. Lelaki setengah 
baya itu terhuyung ke belakang dengan darah ber-
hamburan. Secepat itu pula, Sumogiri melemparkan 
selembar daun lontar ke samping kiri tubuh Ki Renda 
Peksa yang masih sekarat. 
"Kita pergi!" ajak Sumogiri pada anak buahnya. 
Kesepuluh lelaki bermuka garang itu pun berla-
lu meninggalkan rumah Ki Renda Peksa, menembus 
kegelapan malam. Sedangkan Ki Renda Peksa nampak 
masih sekarat Tangannya berusaha mengapai-gapai 
mencari pegangan, hingga akhirnya mampu meraih 
kaki kursi. 
Brak! 
Kursi itu jatuh terguling. Suara itu membuat is-
tri Ki Renda Peksa terbangun. Wanita berusia sekitar 
empat puluh tahun yang masih kelihatan cantik itu, 
bergegas lari menuju ruang depan. Seketika Nyi Sela-
sih menjerit, saat melihat tubuh suaminya tergeletak 
berlumuran darah. 
"Kakang...!" Nyi Selasih langsung memeluk tu-
buh Ki Renda Peksa yang sudah tak bernyawa. Wanita 
itu menangis sejadi-jadinya, seakan tak rela sang Su-
ami harus mati. 
Mendengar jeritan Nyi Selasih, para tetangga 
yang tengah tidur langsung terbangun. Mereka seren-
tak berdatangan ingin tahu, apa yang terjadi. Mata me-
reka membelalak, setelah tahu kejadian yang menimpa 
Ki Renda Peksa. 
*** 
"Ini tidak bisa dibiarkan, Kakang!" dengus Wa-
rok Sito Kuta yang ditujukan pada kedua warok lain-
nya, yang saat itu telah berada di rumah Ki Renda 
Peksa, calon lurah yang juga menjadi korban pembu-
nuhan. 
Sama dengan yang terjadi pada Ki Renu Jalna, 
Ki Renda Peksa pun di sampingnya terdapat tulisan se-
larik kalimat yang cukup membuat ketiga warok itu 
menarik napas dalam-dalam. Tulisan setengah men-
gancam itu atas nama Pendekar Gila. Tokoh muda 
yang akhir-akhir ini namanya sangat kesohor dan 
menjadi buah bibir setiap orang. Pendekar yang dis-
egani dan ditakuti lawan maupun kawan. 
Tulisan itu berbunyi : 
Jangan sekali-kali berani menentangku! 
Pendekar Gila. 
Warok Singo Lodra dan Warok Sura Pati mena-
rik napas dalam-dalam. Tampaknya kedua warok itu, 
berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dua 
calon lurah telah jadi korban. Keduanya mati di tangan 
Pendekar Gila. 
"Benarkah semua ini Pendekar Gila yang mela-
kukan?" desis Warok Singo Lodra dalam hati. Dirinya 
tetap merasa belum yakin kalau semua kejadian itu 
Pendekar Gila yang melakukan. 

"Kita harus mencari dia, Kakang," kembali Wa-
rok Sito Kuta berkata. Dari suaranya, hatinya nampak 
tak sabar untuk mencari Pendekar Gila. Ingin rasanya 
dia bisa bertarung dengan Pendekar Gila yang kini ti-
dak mencerminkan sikap kependekarannya. Pendekar 
yang telah membuat keonaran, dengan membunuh pa-
ra calon kepala desa. 
"Sabar dulu, Adi Sito! Bagaimanapun, kita be-
lum ada bukti untuk menangkapnya," ujar Warok Sin-
go Lodra berusaha menyabarkan rekannya. Kembali 
dihelanya napas dalam-dalam. Lalu  tangannya me-
mungut daun lontar yang tergeletak di tanah. Kembali 
dibacanya. Tulisan itu setengah menantang pada se-
mua warga Ponorogo dan mengancam, agar warga De-
sa Ponorogo tidak ikut campur dalam urusan ini. 
"Bukankah surat itu buktinya, Kakang?" tanya 
Warok Sura Pati dengan kening berkerut. Hatinya pun 
sudah tak sabar. Ingin secepatnya dapat menghajar 
Pendekar Gila yang lancang dan telah menyimpang da-
ri alirannya yang lurus. 
"Kalian jangan terpengaruh dengan surat ini, 
Adi Sura. Kita mesti ingat kejadian tiga bulan lalu, ke-
tika Ki Lurah Pandarsuna mati. Di samping tubuh Ki 
Lurah, juga terdapat tulisan yang mengatakan Pende-
kar Gila pelakunya. Tetapi kenyataannya, bukan Pen-
dekar Gila," ujar Warok Singo Lodra, berusaha menya-
barkan kedua rekannya agar tidak diburu nafsu. Kare-
na, jika asal bertindak tanpa disadari bukti nyata, bi-
sa-bisa mereka sendiri yang akan disalahkan kaum 
rimba persilatan. Karena Pendekar Gila merupakan to-
koh yang sangat dihormati dan disegani siapa pun. 
"Tapi kalau kita biarkan terus menerus, si pe-
laku akan semakin menginjak kita, Kang," kata Warok 
Sito Kuta tak sabar melihat kematian demi kematian 
dilakukan orang yang sama. Sebagai seorang warok di 
Ponorogo, dirinya merasa telah ditantang. 
"Kau benar," ujar Warok Singo Lodra, "Tetapi 
kita tak boleh asal menuduh. Harus mampu membuk-
tikan dengan mata kepala kita, kalau pelakunya benar 
Pendekar Gila." 
Mendengar penjelasan Warok Singo Lodra, ke-
dua rekannya terdiam. Bagaimanapun, mereka meng-
hargai semua yang menjadi buah pikir orang tua beru-
sia  tujuh puluh tahun yang memang pimpinan para 
warok di Ponorogo. 
Mereka masih bercakap-cakap, ketika dari arah 
timur nampak seorang lelaki bertubuh tinggi tegap 
dengan cambang bawuk lebat. Lelaki itu memegang 
cambuk hitam besar di tangannya. Lelaki itu tak lain 
Warok Gandu Pala. 
"Ada apa, Kakang Warok?" tanya Warok Gandu 
Pala, melihat ketiganya berkumpul di rumah Ki Renda 
Peksa. Matanya menyipit, ketika melihat mayat-mayat 
bergelimpangan di rumah Ki Renda Peksa. "Sepertinya 
telah terjadi sesuatu di sini, Kakang Warok?"     
"Benar. Ki Renda Peksa dan empat jawaranya 
mati," jawab Warok Singo Lodra. 
"Siapa pelakunya, Kakang?" tanya Warok Gan-
du Pala ingin tahu. 
Warok Singo Lodra menyodorkan selembar 
daun lontar yang tergeletak di samping mayat Ki Renda 
Peksa. Warok Gandu Pala segera membacanya. 
"Kurang ajar! Berani benar dia mengancam ki-
ta, Kakang!" dengus Warok Gandu Pala marah. Ma-
tanya menatap tajam mayat-mayat yang bergelimpan-
gan. "Jelas ini tak bisa dibiarkan, Kakang. Aku akan 
mencari dia." 
"Tunggu Gandu! Jangan gegabah terhadapnya!" 
cegah Warok Singo Lodra. Warok Gandu Pala yang 
hendak pergi meninggalkan rumah Ki Renda Peksa se-
gera menghentikan langkahnya. 
"Ada apa, Kakang Warok?" 
"Sabar dulu, Gandu Pala! Kita tak boleh bertin-
dak sembarangan. Kita sebagai warok, harus dapat 
menunjukkan jiwa kewarokan kita yang menjadi panu-
tan warga," tutur Warok Singo Lodra. 
"Lalu apa yang harus kita lakukan, Kakang? 
Jelas sudah Pendekar Gila yang melakukan semuanya. 
Hm, rupanya seminggu yang lalu dia di sini, ada mak-
sud tertentu...," gumam Warok Gandu Pala. 
Warok Singo Lodra mengeleng-gelengkan kepa-
la, sepertinya tidak setuju dengan tuduhan yang dilon-
tarkan Warok Gandu Pala. Bibirnya menyungging se-
nyum. Kemudian dihelanya napas dalam-dalam, sea-
kan hendak membuang perasaan gundahnya yang 
bergayut di dalam hati. Pikirannya masih diliputi keti-
dakmengertian, siapa sebenarnya pelaku pembunuhan 
dua calon lurah itu. 
"Nanti malam kita bagi tugas. Kau, Gandu Pala, 
berjaga di sebelah timur Ponorogo. Sito, berjaga dan 
awasi di sebelah selatan. Suro, awasi daerah barat de-
sa. Sedangkan aku, akan mengawasi di sebelah utara 
desa," kata Warok Singo Lodra membagi tugas pada 
ketiga warok lainnya. 
"Baik!" sahut ketiganya bersamaan. 
"Tangkap orang yang mencurigakan." 
"Baik, Kakang!" sahut ketiganya. 
"Kakang, apakah tidak sebaiknya kita juga me-
nanyakan pada Pendekar Gila...?" tanya Warok Sito 
Kuta. Dirinya tetap belum yakin kalau Pendekar Gila 
tidak melakukan semuanya. Bagaimanapun pendekar 
itu gila. Dan orang gila biasanya bertingkah yang sulit 
diterima akal sehat 
"Benar, Kakang. Kita harus ingat, kalau pende-
kar muda itu orang gila. Dan biasanya, orang gila akan 
berbuat di luar perhitungan manusia waras," sambung 
Warok Gandu Pala. 
"Kita tunggu saja! Jika nanti malam tidak terja-
di apa-apa, kita akan mencari Pendekar Gila. Aku akan 
mengutus Bari dan Sentir untuk mencari pendekar 
itu," ujar Warok Singo Lodra, yang membuat mata Wa-
rok Gandu Pala membelalak kaget. Sungguh tak me-
nyangka kalau Warok Singo Lodra hanya mengutus 
dua orang tangan kanannya. Sekaligus di dalam benak 
Warok Gandu Pala bersyukur, karena dengan mudah 
dia akan dapat menyingkirkan kedua utusan itu. 
Warok Singo Lodra yang melihat perubahan 
roman muka Warok Gandu Pala mengerutkan kening. 
Diperhatikan dengan seksama wajah Warok Gandu Pa-
la seakan ingin mengorek isi hatinya. 
"Ada apa, Gandu Pala?" tanyanya kemudian. 
"Ah, tidak apa-apa, Kakang. Tetapi, mengapa 
hanya mengutus dua orang? Bukankah dengan begitu 
Pendekar Gila akan mudah membunuh mereka?" 
tanya Warok Gandu Pala sepertinya tak setuju dengan 
rencana yang akan dilakukan Warok Singo Lodra. 
Warok Singo Lodra tersenyum sambil mengge-
leng-gelengkan  kepala. Tangan kanannya membelai-
belai jenggot yang panjang sudah memutih. Kemudian 
dihelanya napas dalam-dalam, seakan hendak mene-
nangkan jiwanya. 
"Kalau hal itu memang terjadi, aku dan kedua 
dimas warok akan mencarinya. Karena jika kedua utu-
sanku dibunuhnya juga, berarti dia benar-benar me-
nantangku. Walau dirinya seorang pendekar yang telah 
kesohor kedigdayaannya, Warok Singo Lodra tak akan 
gentar!" ujar Warok Singo Lodra setengah bergumam. 
Matanya yang tua, memandang ke atas, seakan meng-
harapkan kesaksian langit biru pada janji dan tekad-
nya. 
Ketiga warok lainnya terdiam mendengar uca-
pan Warok Singo Lodra. Bagaimanapun ilmu mereka 
masih di bawah Warok Singo Lodra. Mereka juga men-
ganggap kalau pimpinan para warok itu yang harus di-
tuakan karena memang dirinya orang pertama dan 
paling tua di kalangan warok Ponorogo. 
"Kini tak ada persoalan lagi. Kita harus mengu-
burkan mayat-mayat itu!" ujar Warok Singo Lodra. "Ki-
ta sebagai orang-orang tua dan dihormati yang menjadi 
panutan harus memberi contoh baik. Ayo bantu war-
ga!" 
Tanpa membantah, ketiga warok lain segera 
mengikuti Warok Singo Lodra mengurusi mayat-mayat 
di rumah Ki Renda Peksa. 
*** 
Malam kembali bergayut menyelimuti bumi. 
Desa Ngadireja pun sepi, bagaikan desa yang mati. 
Warga Desa Ngadireja tengah dilanda perasaan berka-
bung, duka yang dalam. Selama tiga purnama bela-
kangan ini, desa mereka dijarah gerombolan pengacau 
yang mengaku diperintah Pendekar Gila. 
Sementara itu, Pendekar Gila nampak sedang 
terbaring di atas dipan. Matanya belum terpejam. Se-
jak kemarin dirinya berada di Desa Ngadireja, mengi-
nap di kedai Ki Lampit. Malam kemarin dilalui dengan 
tenang, tak ada tanda-tanda kemunculan gerombolan 
yang mengaku anak buahnya. Seakan mereka tahu, 
kalau Pendekar Gila berada di desa itu. 
Di samping Pendekar Gila di sebuah dipan lain 
tampak Ki Lampit tengah berbaring pula. Orang tua itu 
pun belum tidur. Malam itu Ki Lampit masih bertanya-
tanya dalam hati. Siapa sebenarnya pemuda berting-
kah laku gila yang kerjanya cepat dan tengah mem-
bantunya dalam pekerjaan di kedainya. Semua peker-
jaan diambil alih pemuda bertingkah laku gila itu. 
Kadang kala Ki Lampit ingin tertawa, jika meli-
hat tingkah laku Pendekar Gila yang konyol dan lucu. 
Namun dirinya selalu menahannya, takut kalau-kalau 
pemuda bertingkah laku gila itu akan tersinggung. Ji-
ka hal itu terjadi, dia akan kerepotan seperti kemarin 
lusa. Padahal semenjak Pendekar Gila bersamanya, 
pekerjaan menjadi ringan. 

Lanjutannya ⇢⇢