Pendekar Gila 22 - Kutukan Berdarah(2)



Lima Hantu Berkedok yang dikalahkan Pende-
kar Gila dan Mei Lie kini masih berlari memasuki Hu-
tan Parang Pesisir tempat markas mereka. Mereka ber-
lima tahu, Sugali sang Pemimpin tengah menunggu
kedatangan kelima anak buahnya. Akhirnya Lima Han-
tu Berkedok sampai di markas. 
Dari dalam sebuah bangunan yang terbuat dari 
papan kayu keluar seorang pemuda berwajah tampan, 
tapi agak bengis. Mata pemuda berpakaian merah itu,  
memandang ke Lima Hantu Berkedok yang berlari-lari 
tanpa membawa seorang gadis. 
"Mana gadis itu, Kedok Hitam?!" bentak Sugali 
keras dengan mata menyorot tajam ke wajah lima anak 
buahnya yang langsung terdiam dengan kepala tertun-
duk. "Kedok Hitam, mana gadis itu, heh?! Apakah kau 
sudah bisu?!" 
"Ampun, Ketua! Sesungguhnya kami telah 
mendapatkan gadis yang Ketua kehendaki," tutur Ke-
dok Hitam dengan kepala masih menunduk. 
"Lalu...?" tanya Sugali. Nadanya masih menun-
jukkan kemarahan. Sedang matanya menatap tajam 
wajah Kedok Hitam. "Hei, jawab...?!" 
"Ampun, Ketua! Sesungguhnya, kami memang 
telah mendapatkan gadis yang Ketua kehendaki. Na-
mun di tengah jalan, kami dihadang Pendekar Gila," 
jawab Kedok Ungu dengan suara bergetar. Ada pera-
saan takut di hatinya. 
"Apa?! Pendekar Gila...?!" membelalak mata Su-
gali mendengar anak buahnya mengatakan telah ber-
temu dengan Pendekar Gila. Wajah Sugali seketika be-
rubah membara. Tangan kanannya mengepal, memu-
kuli telapak tangan yang kiri. 
"Benar, Ketua," timpal Kedok Merah, "Karena 
Pendekar Gila dan kekasihnya, sehingga kami gagal 
membawa gadis itu ke hadapan Ketua." 
Sugali mengangguk-anggukkan kepala dengan 
wajah masih menunjukkan kegarangan. Gigi-giginya 
saling beradu. Telah lama dirinya mencari-cari Pende-
kar Gila. Kini tak ada pilihan lain, kecuali mencari 
pendekar itu, untuk menuntut balas atas kematian 
kedua orangtuanya. 
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku!" 
dengus Sugali marah, ketika tiba-tiba teringat kembali 
kedua orangtuanya yang mati di tangan pendekar itu. 
"Aku akan mengadu nyawa denganmu!" 
Kelima anak buahnya hanya diam, tak ada 
yang berani menanggapi ucapan Sugali. Kelima Hantu 
Berkedok hanya saling mencuri pandang, mendengar 
ancaman ketua mereka. Hati mereka bertanya-tanya. 
Mampukah pimpinan mereka menghadapi Pendekar 
Gila yang sakti, karena mereka telah merasakan sendi-
ri kehebatannya. Belum lagi menghadapi gadis Cina 
yang memiliki pedang sakti itu. Pedangnya mampu 
mengeluarkan sinar kuning kemerahan yang mampu 
membuat jantung setiap lawan berdebar keras. Pedang 
itu seakan memiliki kekuatan gaib, yang mampu 
membuat lawan bergetar ketakutan serta merasa di-
bayang-bayangi malaikat pencabut nyawa. 
"Kalian nanti malam ikut aku! Kita harus men-
cari gadis yang diminta Datuk Raja Karang. Kalau kita 
bertemu dengan Pendekar Gila, akulah yang akan 
menghadapinya," ujar Sugali dengan tegas. Matanya 
membelalak dan memerah karena marah. 
"Baik, Ketua...!" sahut kelima anak buahnya 
sambil menjura. Tak seorang pun berani beradu pan-
dang dengan sang Ketua mereka. 
"Sekarang kalian boleh pergi! Ingat, malam 
nanti kita harus mencari seorang gadis!" tegas Sugali 
mengingatkan pada kelima anak buahnya. 
"Baik, Ketua," sahut Lima Hantu Berkedok 
sambil menjura. Kemudian kelimanya segera mening-
galkan markas, untuk mencari makanan. Tampak me-
reka membuka kedok masing-masing. Seketika terli-
hatlah wajah-wajah yang sebenarnya. Lima Hantu 
Berkedok ternyata lima lelaki berwajah buruk. Wajah 
mereka buruk seperti bekas luka bakar yang daging 
wajah mereka gosong dan terkelupas. Mengerikan! 
*** 
Mentari di ufuk barat tampak merangkak turun 
dengan perlahan. Sebentar lagi, malam akan tiba 
membawa kegelapan. Dua orang muda-mudi nampak 
tengah menyelusuri jalanan yang membelah Desa Jati 
Sanga. Kedua remaja yang ternyata Pendekar Gila dan 
kekasihnya Mei Lie atau Bidadari Pencabut Nyawa, 
tengah berusaha mencari tempat untuk bermalam. 
Meski Mei Lie cukup lama hidup di hutan, Pendekar 
Gila tak ingin kekasihnya harus tidur menggelantung 
di pepohonan atau kedinginan diterpa angin malam. 
Itu sebabnya Sena berusaha mencari penginapan. 
"Kakang, kita teruskan saja perjalanan!" usul 
Mei Lie. 
Sena mengerutkan kening dan menghentikan 
langkahnya. Ditatapnya Mei Lie dalam-dalam. Kemu-
dian dengan bibir tersenyum, pemuda berambut gon-
drong itu, menggeleng-gelengkan kepala. 
"Tidak, Mei! Udara malam terlalu jahat untuk-
mu. Kau harus istirahat, karena perjalanan menuju 
Goa Setan masih jauh. Kita memerlukan waktu sekitar 
tiga sampai empat hari," ujar Sena menjelaskan, beru-
saha memberi pengertian pada kekasihnya.  
"Tapi aku kuat, Kakang." "Aku tahu. Tapi kau 
perlu istirahat," tukas Sena. Mei Lie hanya diam, dita-
tapnya wajah Pendekar Gila yang tampan. Gadis itu te-
rasa damai jika berada di sampingnya. Sebenarnya dia 
tak ingin berpisah dengan pemuda tampan yang seper-
ti orang gila ini. Namun dirinya tetap harus sabar me-
nunggu sampai habis pengembaraan Pendekar Gila 
untuk menjalin sebuah rumah tangga yang dicita-
citakan. 
"Ayo, Mei! Kita harus segera mencari pengina-
pan," ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie. 
Gadis itu pun menurut. Keduanya kembali melangkah, 
menyelusuri Desa Jati Sanga untuk mencari pengina-
pan. 
Setelah beberapa lama berjalan menyusuri ja-
lan desa, akhirnya Sena menemukan sebuah pengina-
pan yang sederhana. Penginapan itu tak terlalu ramai 
dan besar. Hanya seukuran rumah biasa, kamarnya 
pun hanya lima buah. Di sampingnya ada sebuah ke-
dai yang juga tak seberapa luas. 
Seorang lelaki berusia setengah baya bertubuh 
gemuk datang menghampiri Pendekar Gila dan Mei Lie. 
Dengan tatapan menyelidik, dipandangi kedua orang 
tamunya. Seakan lelaki gemuk berkumis tebal itu, tak 
percaya dengan Pendekar Gila yang cengengesan den-
gan tingkah laku seperti orang gila. 
"Aha, sepertinya kau meragukan kami, Ki," tu-
kas Sena sambil cengengesan dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala. Hal itu membuat pemilik kedai dan 
penginapan semakin menajamkan matanya penuh se-
lidik. 
"Kalian mau menginap?" tanyanya dengan nada 
tak percaya. 
"Benar," sahut Mei Lie mendahului. Mulutnya 
yang tipis tersenyum manis. 
"Hm, apakah kalian bawa uang?" 
Mata Mei Lie membelalak kesal, mendengar 
pertanyaan yang dilontarkan pemilik penginapan. Di-
rinya merasa seperti dihina. Mata Mei Lie melotot me-
nentang mata pemilik penginapan yang menatap me-
reka dengan sikap merendahkan. 
"Kau minta berapa?!" tanya Mei Lie dengan sua-
ra tajam, membuat pemilik penginapan tersentak. Di-
rinya tak menyangka, kalau gadis Cina itu berani 
membentak. 
"Kau?!" tergagap ucapan pemilik kedai. 
"Ya! Jangan sembarangan, Ki! Berapa pun kau 
minta, bila perlu penginapan ini kubeli, aku sanggup!" 
ujar Mei Lie ketus. Ucapan gadis cantik itu membuat 
pemilik penginapan bertambah kaget 
"Sombong sekali kau, Nisanak! Lancang benar 
mulutmu!" bentak pemilik penginapan. Kemudian tan-
gannya bertepuk dua kali. Dari dalam, muncul dua 
orang lelaki bertelanjang dada dengan tubuh kekar. 
Nampaknya kedua lelaki bertampang beringas itu tu-
kang pukul si pemilik penginapan. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali! Mengapa kau suruh 
dua ekor kerbau dungu untuk melayani kami?" tanya 
Sena sambil cengengesan dengan kepala menggeleng-
geleng. Sementara tangannya menggaruk-garuk kepa-
la. 
"Bocah gila! Kuharap kau dan gadis Cina ini se-
gera pergi, atau kedua tukang pukul ku akan menen-
dang kalian sampai keluar!" ancam Ki Gendo sambil 
mengerlingkan mata pada dua orang tukang pukulnya. 
Kedua lelaki beringas itu menyeringai, seakan mere-
mehkan Pendekar Gila dan Mei Lie. 
"Aha, sambutanmu tak pantas, Ki. Inikah sam-
butan pemilik penginapan pada tamunya?" ejek Sena 
dengan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala. Sedangkan Mei Lie kini nampak memasang wa-
jah bengis, kemarahannya sudah memuncak. Nam-
paknya Mei Lie benar-benar tersinggung mendengar 
ucapan Ki Gendo. 
"Orang tua tak tahu diri!" dengus Mei Lie, "Ru-
panya kau benar-benar mencari penyakit!" 
"Oh..., kau jauh lebih galak daripada pemuda 
gila temanmu ini, Nisanak! Hm, aku semakin tertarik, 
apakah di tempat tidur pun kau akan segalak ini?" sa-
hut Ki Gendo dengan senyum sinis mengembang di bi-
birnya. Matanya memandang nakal ke wajah Mei Lie, 
membuat gadis cantik itu bertambah geram. 
"Orang tua, mulanya aku hendak menghorma-
timu. Tetapi, rupanya kau lelaki tak tahu malu!" ben-
tak Mei Lie keras dengan mata melotot 
"Sorpa dan Jawir, kau hadapi dan bereskan 
pemuda gila itu! Biar aku bisa bermesraan dengan ga-
dis ini," perintah Ki Gendo sambil menatap penuh naf-
su pada Mei Lie. Gadis itu tampak tenang dengan mata 
tajam mengawasi gerak-gerik lelaki gendut yang mata 
keranjang itu. 
"Baik, Juragan!" sahut keduanya. Kemudian 
dengan mulut menyeringai, Sorpa dan Jawir melang-
kah mendekati Pendekar Gila yang masih cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Hi hi hi...! Dua kerbau dungu ini, mengapa 
kau suruh melayani aku, Ki?" tanya Sena sambil ter-
tawa cekikikan dan menggaruk-garuk kepala. 
Betapa marah Sorpa dan Jawir dikatakan ker-
bau dungu. Napas mereka mendengus. Lalu masing-
masing merentangkan tangan ke atas dengan jari-jari 
siap mencengkeram. 
"Grrr! Kubunuh kau, Bocah Edan!" dengus 
Sorpa dengan mata menatap garang pada Pendekar Gi-
la. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, Sor-
pa bergerak maju. Kedua tangannya yang sudah diren-
tangkan, kini siap menghantam ke tubuh Pendekar Gi-
la. "Remuk kepalamu! Heaaa...!" 
Wrt! 
"Aits...!" 
Dengan cepat Pendekar Gila merundukkan tu-
buh. Sehingga pukulan kedua tangan Sorpa melintas 
di atas kepalanya. Kemudian dengan cepat pula, Pen-
dekar Gila langsung menyerudukkan kepalanya ke pe-
rut Sorpa. 
Dukg! 
"Ukh!" tubuh Sorpa langsung terhuyung-
huyung ke belakang terkena serudukan Pendekar Gila. 
Matanya membelalak, melotot semakin garang. 
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pemuda Gila!" 
bentak Jawir sambil melangkah maju. Tangannya dilu-
ruskan ke depan, kemudian ditarik dengan jari-jarinya. 
Lalu setelah diletakkan di pinggang, Jawir langsung 
menghentakkan pukulan kedua tangannya ke tubuh 
Pendekar Gila, "Heaaa...!" 
Dengan cepat Pendekar Gila berkelit ke samp-
ing, sambil mengangkat kaki kanan. Kemudian dengan 
cepat disertai setengah tenaga dalam, ditendangnya 
perut Jawir. Seketika tubuhnya doyong ke depan. 
"Hea!"  
Begk! 
"Ukh...!" keluh Jawir sambil terhuyung mun-
dur. Perutnya terasa mual akibat tendangan Pendekar 
Gila "Hoak! Hoak..!" 
"Hi hi hi...! Lucu sekali, ada dua kerbau dungu 
sedang mabuk," ujar Sena sambil cengengesan dan 
menggaruk-garuk kepala. 
Sementara Mei Lie nampak. masih berusaha 
berkelit dari Ki Gendo yang berusaha merenggut tu-
buhnya. Bahkan kini lelaki setengah baya berperut 
gendut itu tampak jatuh tersungkur, mencium tanah 
karena tak dapat memeluk Mei Lie.  
Brak! 
"Hi hi hi..!" Mei Lie tertawa cekikikan, menyak-
sikan Ki Gendo terjatuh karena dia mengelit ketika le-
laki itu hendak memeluknya.  Hal itu menjadikan Ki 
Gendo semakin penasaran. Lelaki gendut mengenakan 
pakaian kuning itu, langsung bangun. Kemudian den-
gan masih beringas, Ki Gendo segera merangsek tubuh 
Mei Lie, berusaha memeluk Mei Lie. 
"Ayo, tangkaplah aku!" tantang Mei Lie dengan 
senyum meledek di bibirnya. Ki Gendo bertambah naf-
su untuk dapat menangkap Mei Lie. 
"He he he...! Rupanya kau bukan gadis semba-
rangan, Nisanak Aku semakin penasaran," ujar Ki 
Gendo sambil melangkah mendekati tubuh Mei Lie. 
Kedua tangannya mengembang, siap untuk memeluk 
Mei Lie. 
"Ayo, Ki! Tangkaplah aku!" tantang Mei Lie den-
gan senyum masih mengembang di bibirnya. Wajah 
gadis Cina itu bertambah cantik  
"Heaaa...!" 
Ki Gendo langsung menubruk tubuh Mei Lie. 
Namun dengan cepat gadis itu berkelit ke samping kiri. 
Hal itu membuat tubuh Ki Gendo terhuyung karena 
meleset tubrukannya. Saat itu pula, Mei Lie men-
dorong tubuh lelaki setengah baya itu dengan keras 
dan cepat Tubuh Ki Gendo semakin cepat menyeru-
duk. Sehingga, karena tak mampu mengatasi dorongan 
tangan Mei Lie, tubuhnya yang gendut itu menabrak 
dinding kamar depan penginapannya. 
"Aaa...!" 
Brak! 
Dinding kayu kamar itu ambruk. Seketika itu 
pula tampaklah pemandangan di dalam kamar itu. Ma-
ta Pendekar Gila dan Mei Lie terbelalak kaget. Di dalam 
kamar itu, ada lima gadis cantik dalam keadaan telan-
jang. Kelima gadis cantik yang ditampung di dalam 
kamar itu, nampaknya sangat tertekan dan ketakutan. 
"Aha. Rupanya penginapan ini hanya kedok ba-
gi kalian," ujar Pendekar Gila sambil berkelit menge-
lakkan serangan kedua orang tukang pukul Ki Gendo. 
Kemudian dengan cepat, kedua tangannya bergerak 
menghantam tubuh kedua lawan. 
Degk! 
"Akh...!" kedua orang tukang pukul Ki Gendo 
langsung menjerit, terkena pukulan dan tendangan 
Pendekar Gila. Tubuh keduanya yang mirip dua ekor 
kerbau, langsung terpelanting dan menabrak dinding 
papan rumah penginapan itu. 
Brak! 
Suara berderak seketika terdengar disusul hi-
ruk-pikuk orang-orang yang berlarian dari dalam ka-
mar. Beberapa pasang lelaki-perempuan tampak kaget 
dan berhamburan keluar hanya  dengan mengenakan 
pakaian dalam. Nampaknya mereka tengah melang-
sungkan perbuatan maksiat di kamar-kamar pengina-
pan itu. 
"Aha, rupanya penginapan ini tempat terlak-
nat...!" gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk 
kepala. Matanya agak terpicing karena keheranan me-
nyaksikan apa yang terjadi di dalam rumah pengina-
pan itu. Dia tidak menyangka, kalau Ki Gendo rupanya 
seorang germo. Seorang penyelenggara tempat perca-
bulan. 
Melihat kedua tukang pukulnya dapat dikalah-
kan oleh Pendekar Gila. Ki Gendo seketika berlutut 
meminta ampun. Wajahnya pucat-pasi ketakutan, 
mengharap ampunan dari kedua pendekar muda itu.  
"Ampuni nyawaku!" ratap Ki Gendo. 
"Aha, kau benar-benar manusia keji, Ki! Men-
jual kehormatan dan harga diri wanita. Hi hi hi...! Se-
mua terserah pada Mei Lie. Bagaimana, Mei?" tanya 
Sena.  
"Lelaki seperti ini tak dapat diampuni, Kakang. 
Kalaupun kita mengampuni, setelah kita pergi tentu 
dia akan tetap seperti ini. Dia akan melakukan hal se-
perti ini juga," jawab Mei Lie dengan senyum sinis. 
Mendengar jawaban itu, Ki Gendo tampak semakin ke-
takutan. 
"Ampun, Nisanak! Sungguh aku akan sadar," 
ratap Ki Gendo sambil terisak. Hatinya benar-benar 
merasa takut, mendengar ucapan Mei Lie. Bagaimana 
pun Ki Gendo telah tahu kehebatan kedua anak muda 
di hadapannya. 
"Aha, benarkah ucapanmu bisa kami pegang, 
Ki?" tanya Sena dengan tingkah laku masih seperti 
orang gila. Mulutnya cengengesan dengan tangan 
menggaruk-garuk kepala. 
"Sungguh, Tuan. Saya akan sadar." 
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Kau tadi seperti raksa-
sa yang punya taring. Kini kau seperti seekor kerbau 
yang kehilangan tanduk," ujar Pendekar Gila dengan 
menggeleng-geleng kepala. Dipandangnya Mei lie, "Ba-
gaimana, Mei?" 
"Baik. Untuk kali ini kuampuni. Tetapi, jika ke-
lak kudengar kau masih memperdagangkan kehorma-
tan kaumku dengan cara seperti ini, aku tak akan 
memberi ampun bagimu!" tegas Mei Lie. 
"Terima kasih, Nisanak. Terima kasih...!" Ki 
Gendo hendak bersujud, tetapi Pendekar Gila dengan 
cepat melarangnya. 
"Ah ah ah, sudahlah, Ki! Kau manusia seperti 
kami Tak pantas manusia menyembah manusia," kata 
Pendekar Gila sambil menyuruh Ki Gendo untuk ban-
gun, "Bangunlah, Ki!" 
Dengan hati masih dilanda ketakutan, Ki Gen-
do menurut bangun. Kini lelaki setengah baya yang 
semula sinis itu, hanya mampu menundukkan kepala. 
Ki Gendo tak berani beradu pandang dengan kedua 
pendekar muda itu. 
"Baiklah, Ki. Kurasa kami harus pergi," kata 
Sena, yang membuat Ki Gendo membelalakkan mata. 
"Kenapa tak menginap saja, Tuan? Sungguh, 
kami ingin menimba ilmu dan budi pekerti dari Tuan 
Pendekar," ucap Ki Gendo penuh harap. 
"Aha, ilmu dan akal budi, sesungguhnya ada 
pada setiap manusia, Ki. Kau pun sebenarnya telah bi-
sa, tinggal bagaimana kau melakukannya," jawab Pen-
dekar Gila seraya tersenyum. "Camkanlah itu, Ki! Jika 
kau selalu ingat itu, kau akan tetap pada jalur hidup 
yang benar." 
"Baiklah, Tuan. Segala apa yang Tuan katakan 
akan saya ingat," sahut Ki Gendo seraya menggaruk-
garuk kepala, tanpa menatap wajah Pendekar Gila. 
"Aha, kurasa aku dan temanku harus segera 
pergi, Ki. Ayo, Mei Lie!" ajak Sena. 
"Ayo, Kakang!" 
Kedua pendekar muda itu pun segera beranjak 
meninggalkan penginapan Ki Gendo yang sekaligus 
tempat mesum itu. Ki Gendo mengiringi Pendekar Gila 
dan Mei Lie sampai depan pagar halaman penginapan-
nya. Tatapan mata lelaki setengah baya itu nampak 
menyiratkan rasa kagum pada kedua pendekar muda 
itu. Hati Ki Gendo menyesali tindakannya, juga sifat-
nya. Seharusnya dirinya yang sudah tua, menyadari 
kalau perbuatannya selama ini merupakan suatu ke-
sesatan. 
*** 
"Tolong! Tolong! Tolooong...!" Malam yang sunyi 
dan sepi, seketika dipecahkan oleh suara jeritan seseo-
rang wanita meminta tolong. 
Jeritan keras itu membuat para penduduk De-
sa Suluh Pring terbangun. Mereka berlarian dari ru-
mah masing-masing membawa obor, ingin tahu apa 
yang sedang terjadi. Suara kentongan pun bersahut-
sahutan, mengisyaratkan kalau malam ini terjadi pen-
culikan di Desa Suluh Pring. 
"Tolong...! Culik..!" seorang wanita setengah 
baya berteriak-teriak, ditingkahi hiruk-pikuk dan 
bunyi kentongan di kegelapan malam. 
"Ada apa, Nyai?" tanya seorang lelaki berbadan 
sedang dengan wajah nampak penuh wibawa. Lelaki 
berusia lima puluh tahun yang ternyata Kepala Desa 
Suluh Pring itu diapit dua pengawalnya. 
"Anak saya, Ki Lurah," jawab wanita setengah 
baya itu terbata di sela tangisnya. 
"Kenapa dengan anakmu, Nyai?" 
"Santini diculik orang-orang berkedok, Ki," sa-
hut wanita itu masih dengan tangisnya. 
"Ke mana mereka pergi?" tanya Ki Lurah Sanu-
si. 
"Ke sana, Ki." 
"Rojak, Sali, kejar mereka! Warga semua, ikut 
aku!" ajak Ki Lurah Sanusi. Seketika itu pula, Ki Lurah 
Sanusi dan kedua tangan kanannya serta warga desa 
memburu ke barat yang ditunjuk wanita setengah baya 
tadi. 
Dalam kegelapan malam, Ki Lurah Sanusi me-
lihat enam lelaki berjalan ke barat Salah seorang lelaki 
memanggul wanita yang tentunya Santini, anak Nyi 
Darmi. Gadis itu nampak meronta, berusaha mele-
paskan diri dari lelaki muda yang memanggulnya. 
"Berhenti kalian!" bentak Ki Lurah Sanusi den-
gan keras. Keenam lelaki berkedok itu seketika berhen-
ti. Mereka serentak menoleh, memandang tajam pada 
Lurah Sanusi dan beberapa warga desa yang mengejar 
mereka. 
"Hm, rupanya ada juga orang yang berani 
menghentikan langkahku," geram salah seorang di an-
tara keenam lelaki yang tak berkedok. Mata lelaki ber-
pakaian merah itu menatap tajam pada Ki Lurah Sa-
nusi dan kedua tangan kanannya. 
"Penculik biadab! Lepaskan gadis itu!" bentak 
Ki Lurah Sanusi tegas, tak takut menghadapi keenam 
begundal yang telah menculik salah seorang gadis 
warganya. 
"He he he..., berani juga kau membentakku, 
Ki," gumam Sugali sambil tertawa terkekeh. "Rupanya 
kau sudah bosan hidup, berani menentangku." 
"Cuih!" Ki Lurah Sanusi meludah. "Menghadapi 
iblis macam kalian, mengapa aku harus takut!" 
"Oooh, bagus! Dengan begitu, kami tak akan 
segan-segan mencabut nyawa kalian," ujar Sugali den-
gan senyum sinis masih melekat di bibirnya. Kemudian 
dengan menggerakkan tangan, Sugali memerintahkan 
pada Lima Hantu Berkedok agar menyerang. 
"Heaaa...!" 
Kelima Hantu Berkedok segera melompat ke 
depan. Mereka dengan beringas langsung melakukan 
serangan pada Ki Lurah Sanusi dan tangan kanannya 
yang dibantu para warga desa. 
"Tangkap mereka...!" perintah Ki Lurah Sanusi 
pada kedua tangan kanannya. Rojak dan Sali diikuti 
para warga Desa Suluh Pring langsung menghadapi se-
rangan Lima Hantu Berkedok  
"Heaaa...!"  
"Heaaa...!" 
"Tangkap...! Serang...!" 
Dengan penuh kemarahan, warga desa dibantu 
kedua tangan kanan Ki Lurah Sanusi langsung meng-
hadang kelima manusia berkedok. Dengan senjata 
yang berupa golok, parang, dan lain-lainnya, mereka 
langsung menggebrak Warga desa bagaikan tak men-
genal takut, membabatkan golok dan parang mereka 
menyerang kelima lelaki berkedok 
"Hea!" 
"Yea!" 
Serangan warga Desa Suluh Pring tampak 
menggebu-gebu. Namun karena tidak dilandasi ilmu 
silat, serangan mereka bagaikan tiada arti. Dengan 
mudah, serangan warga desa dapat dipatahkan kelima 
manusia berkedok 
"Hea...!" 
Dukkk! Plakkk! 
"Aaakh...!" 
Sekali kelima manusia berkedok menggebrak 
dengan pukulan dan tendangan, beberapa orang warga 
memekik terkena tendangan dan pukulan mereka. 
"Heaaa...!" 
Wrettt! Trang! 
"Heaaa...!" 
Walau telah banyak korban berjatuhan di pihak 
warga Desa Suluh Pring, nampaknya mereka tak me-
rasa gentar barang sedikit pun. Pertarungan itu sema-
kin seru. Kemarahan warga Desa Suluh Pring bertemu 
dengan kejengkelan Lima Hantu Berkedok karena me-
rasa terhalangi niat mereka. Namun tiba-tiba.... 
"Hua ha ha...! Rupanya para kecoa itu ada di 
sini, Mei!" 
Suara tawa menggelegar terdengar dari arah se-
latan. Para warga dan Lima Hantu Berkedok sempat 
tersentak kaget 
"Pendekar Gila...!" pekik Lima Hantu Berkedok 
dengan mata membelalak, setelah tahu siapa pemilik 
suara tawa itu. Sementara Sugali yang masih me-
manggul gadis culikannya, seketika menaruh tubuh 
gadis itu ke tanah. Matanya langsung memandang ke 
asal suara tawa itu. 
*** 
Benar, dari arah selatan, muncul dua sosok 
manusia. Seorang wanita dengan pakaian hijau, se-
dangkan di sampingnya seorang lelaki bertingkah laku 
seperti orang gila. Pemuda berpakaian rompi kulit ular 
itu cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk ke-
pala. Matanya menatap tajam Lima  Hantu Berkedok 
yang tampak menyurut mundur, melihat kedua pen-
dekar muda itu. 
"Siapa mereka, Kedok Hitam?" tanya Sugali. 
"Dia Pendekar Gila, Ketua," jawab Kedok Hitam 
dengan mata nanar menatap Pendekar Gila. Dirinya 
kecut karena pernah bentrok dengan pemuda gila itu. 
"Hm, kebetulan! Memang dialah yang kucari se-
lama ini," ujar Sugali sambil melangkah maju. Tatapan 
matanya memancarkan api dendam kepada Pendekar 
Gila. Nafasnya mendengus keras, bagaikan menyimpan 
amarah di dadanya. Hal itu karena tiba-tiba teringat 
orangtuanya mati di tangan pemuda gila itu. "Pendekar 
Gila, aku memang sengaja mencarimu!" 
Pendekar Gila yang belum kenal siapa pemuda 
sebayanya yang mengatakan mencarinya, menge-
rutkan kening. Dipandangi Sugali dengan penuh seli-
dik. Kemudian mulutnya cengengesan sambil mengga-
ruk-garuk kepala. 
"Aha, ada keperluan apa kau mencariku, Kisa-
nak?" tanya Sena masih dengan mata memandang pe-
nuh selidik, mengawasi Sugali dari ujung kaki sampai 
ke ujung rambut. 
"Cuih! Kau masih tak mau menyadari kesala-
hanmu, Pendekar Gila!" dengus Sugali setelah melu-
dah ke tanah. Matanya bagaikan terbakar, menatap ta-
jam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Aha, kurasa aku tak pernah kenal denganmu," 
gumam Sena. Tingkah lakunya tampak makin konyol. 
Jari telunjuknya memegang kening seakan tengah 
memikirkan sesuatu. Namun mulutnya cengengesan 
Sementara itu, Mei Lie tampak tengah memban-
tu warga Desa Suluh Pring menghadapi Lima Hantu 
Berkedok. Dengan kehadiran Mei Lie, warga desa yang 
semula terdesak  mulai bertambah semangat. Bahkan 
mereka tampak mulai dapat mendesak Lima Hantu 
Berkedok. 
"Jangan banyak omong, Pendekar Gila! Masih 
ingatkah kau dengan suami-istri yang kau bantai tiga 
purnama yang silam di Desa Babakan?!" bentak Sugali 
sengit. Hatinya tampak jengkel mendengar dan melihat 
kekonyolan Pendekar Gila. 
"Aha, aku ingat. Hi hi hi...! Jadi kau anak me-
reka?" tanya Pendekar Gila sambil tertawa-tawa lucu. 
"Benar! Dan aku hendak menuntut balas atas 
kematian kedua orangtua ku!" ujar Sugali semakin 
membara amarahnya. Seakan dendam di dadanya tak 
akan padam, sebelum dapat membunuh Pendekar Gila 
yang telah membunuh kedua orangtuanya. 
"Aha, kebetulan sekali. Hi hi hi...! Kurasa aku 
pun sedang mencarimu, Kisanak," sahut Pendekar Gila 
sambil cengengesan. "Kau murid yang paling durhaka, 
Kisanak Baik pada gurumu yang kau bunuh, maupun 
pada kedua orangtua mu." 
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Pende-
kar Gila! Bersiaplah untuk mati!" dengus Sugali. 
Srang! 
Pedang Dewa Naga dicabut dari warangkanya. 
Nampaknya Sugali tak mau menyia-nyiakan perte-
muan ini. Pemuda itu, sepertinya hendak menghabisi 
nyawa Pendekar Gila secepatnya. Pedang yang menge-
luarkan sinar hijau bagaikan haus darah. 
"Aha, di samping durhaka, kau pun ternyata 
pencuri, Kisanak," ujar Pendekar Gila yang membuat 
Sugali bertambah marah. Matanya menatap semakin 
tajam pada Pendekar Gila. 
"Setan alas! Kubunuh kau, Pendekar Gila! 
Heaaa...!" dengan menggunakan jurus 'Naga Menga-
rungi Samudera' Sugali langsung menggebrak Pende-
kar Gila. Pedang di tangannya bergerak cepat, memba-
bat dan menusuk tubuh lawan. 
Wrt! Wuttt! 
Mendapat serangan begitu cepat, Pendekar Gila 
tak tampak keder atau kewalahan. Bahkan sambil ma-
sih cengengesan, tubuhnya bergerak mengelak. Kali ini 
gerakannya seperti orang mabuk. Itulah jurus 'Dewa 
Mabuk Menjerat Sukma' yang membuat lawan penasa-
ran dan ingin terus memburu. Hal itu karena gerakan 
Pendekar Gila tampak terhuyung-huyung, seperti tak 
memiliki keseimbangan. 
"Heaaa...!" 
Sugali kembali membabatkan pedangnya ke tu-
buh Pendekar Gila yang masih seperti orang gila. Na-
mun dengan gerakan aneh Pendekar Gila mengelitkan 
serangan lawan. Sehingga babatan pedang Sugali me-
lesat beberapa rambut di samping tubuh Pendekar Gi-
la.  
Wrt! 
"Aha, pedangmu hasil curian, sehingga kau tak 
becus menggunakannya, Kisanak," ejek Pendekar Gila 
dengan tingkah laku seperti orang gila. Mulutnya cen-
gengesan dengan tangan sesekali menggaruk-garuk 
kepala. Lalu tertawa cekikikan, yang membuat kema-
rahan Sugali semakin menjadi-jadi. 
"Bedebah! Kubunuh kau, Pendekar Gila! 
Heaaa...!" 
Dengan menggunakan jurus 'Naga Menggeliat 
Mengulur Raga', Sugali melakukan serangan cepat Pe-
dang Dewa Naga di tangannya bergerak cepat, menu-
suk, dan membabat. Direntangkan kedua tangan, se-
hingga jangkauan tusukan dan babatan pedang ber-
tambah dekat dengan sasaran. 
"Hi hi hi..!" sambil tertawa cekikikan, Pendekar 
Gila segera berkelit menggunakan jurus 'Gila Menari 
Menepuk  Lalat. Tubuhnya meliuk-liuk dengan lincah 
bagaikan menari. Sepintas gerakan tariannya sangat 
pelan dan lemah, tetapi Sugali tak juga mampu me-
nyarangkan serangannya ke tubuh Pendekar Gila. 
Bahkan dirinya semakin dibuat penasaran. Pemuda 
berpakaian merah itu telah mengerahkan setengah le-
bih tenaganya untuk memburu Pendekar Gila, tapi ge-
rakan Pendekar Gila yang aneh tak mampu dikejar. 
"Hih...!" 
Dengan masih bergerak seperti orang menari, 
Pendekar Gila melepaskan tepukan tangannya ke tu-
buh lawan. Tubuhnya agak dibungkukkan dan agak 
mendoyong ke depan. Gerakan menepuk yang dilaku-
kan Pendekar Gila kelihatan lamban dan lemah, tetapi 
cukup menyentakkan Sugali. 
Plak! 
"Heh?!" 
Dengan cepat Sugali menarik serangannya. Di-
lentingkan tubuhnya ke atas, berusaha mengelakkan 
serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun ke-
tika kakinya baru saja hendak mendarat di tanah, 
Pendekar Gila telah memburunya. 
"Gila! Dasar gila...!" 
Sugali mencaci-maki sendiri, karena tepukan-
tepukan tangan Pendekar Gila yang nampaknya tak 
memiliki tenaga dapat memburu gerakan tubuhnya. 
Bukan itu saja, tepukan tangan Pendekar Gila yang 
tampak pelan, ternyata mampu menimbulkan desiran 
angin yang sangat keras. Hampir saja Sugali terkena 
pukulan telapak tangan Pendekar Gila, kalau saja tak 
segera menarik serangannya dan melentingkan tubuh 
mengelakkan tepukan itu. 
Sugali terus berusaha mengelakkan pukulan 
telapak tangan Pendekar Gila yang memburunya. Pe-
muda itu telah berusaha mengeluarkan segenap tena-
ga untuk mengelak. Namun serangan yang dilancarkan 
lawan ternyata begitu cepat, walau kelihatannya san-
gat lambat. 
"Hea!" 
Sugali berusaha membabatkan pedang ke tan-
gan lawan yang melesat ke tubuhnya. Namun dengan 
gerakan aneh, Pendekar Gila menarik serangannya. 
Tubuhnya berputar ke arah kiri lalu dengan cepat ka-
kinya menendang. Itulah jurus 'Gila Melepas Lilitan 
Benang'. 
"Hea!" 
Wusss! 
"Heh?!" 
Sugali tersentak kaget. Dirinya tak menyangka 
kalau lawan akan mampu membalas serangan dengan 
begitu cepat Sugali berusaha mengelak ke samping. 
Namun tangan kiri Pendekar Gila dengan cepat mema-
paki tubuhnya. Dan.... 
Degk! 
"Akh...!" Sugali menjerit. Tubuhnya terpental ke 
samping kanan. Dari sela-sela bibirnya, mengalir da-
rah merah. Matanya memandang penuh kemarahan 
pada Pendekar Gila yang tampak hanya cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
Saat itu, tiba-tiba sesosok bayangan merah me-
lesat menuju tempat pertempuran. Ternyata sesosok 
lelaki tua dengan jenggot putih yang telah begitu dike-
nali oleh Sugali. Bayangan lelaki berpakaian mirip resi 
dengan rambut digelung ke atas yang tak lain Ki Pra-
manu tersenyum sinis menatap Sugali. Tentu saja pe-
muda itu terbelalak kaget melihat sosok bayangan gu-
runya muncul di depan mata. 
"Hukum pertama akan segera tiba, Gali. Kutuk-
ku yang pertama, akan menyambutmu," suara itu ter-
dengar dari mulut bayangan Ki Pramanu. "Kau tentu 
masih ingat, bukan...?" 
"Tidak! Aku tak akan kalah di tangan Pendekar 
Gila! Hhh..., dialah yang akan mati di tanganku!" den-
gus Sugali sengit. Matanya yang merah membara 
menghujam tajam ke wajah bayangan Ki Pramanu 
yang masih tersenyum. 
"He he he...! Kau tak dapat menentang suratan, 
Gali. Kau tak akan bisa lepas dari kutuk orang yang 
mengucapkan dalam keadaan sekarat," ujar bayangan 
Ki Pramanu yang semakin membuat Sugali kalap. 
"Orang tua keparat! Minggir! Jangan banyak 
bacot! Tempatmu bukan di dunia, tetapi di neraka!" 
dengus Sugali sambil membabatkan pedang memburu 
Ki Pramanu yang seketika itu pula menghilang dari 
pandangan. 
Lenyapnya bayangan Ki Pramanu, menambah 
kemarahan Sugali. Kini Pendekar Gila jadi sasaran se-
rangannya. Dengan cepat Pendekar Gila bergerak 
mengelakkan serangan yang dilancarkan Sugali. Di-
renggangkan kaki kirinya ke samping sambil men-
doyongkan tubuh. Pedang Sugali pun meleset menderu 
di samping kanan. 
"Hea!" 
Dengan cepat Pendekar Gila menarik kaki ka-
nan, lalu diangkatnya ke atas. Sehingga tepat meng-
hantam perut Sugali. 
Degk! 
"Ukh...!" Sugali memekik tertahan. Tubuhnya 
terpental ke depan dan bergulingan dengan mulut me-
ringis. Perutnya yang terkena lutut Pendekar Gila dira-
sakan mulas. Namun cepat-cepat Sugali bangkit berdi-
ri. Matanya yang merah menatap tajam pada Pendekar 
Gila penuh kebencian. Sementara Pendekar Gila justru 
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
Di pihak lain, Mei Lie yang dibantu Ki Lurah 
Sanusi dan dua tangan kanannya serta warga desa te-
lah mampu mendesak Lima Hantu Berkedok. Kelima 
Hantu Berkedok kini hanya dapat bertahan dari gem-
puran-gempuran yang dilakukan Mei Lie dan Ki Lurah 
Sanusi serta warga desa. 
Kalau saja tak ada Mei Lie, Ki Lurah Sanusi 
dan warganya mungkin tak akan sanggup mendesak 
kelima manusia berkedok. Ilmu yang dimiliki Lima 
Hantu Berkedok ternyata tak bisa dianggap remeh. Je-
las jauh lebih tinggi jika dibanding Ki Lurah Sanusi 
serta kedua orang tangan kanannya. 
"Hea...!" dengan jurus-jurus 'Bidadari'-nya Mei 
Lie terus bergerak menggempur Lima Hantu Berkedok 
yang kian terjepit. Kelimanya terus berusaha bertahan 
dari gempuran si Bidadari Pencabut Nyawa bersama 
warga desa. Namun rupanya serangan Mei Lie dan Ki 
Lurah Sanusi serta kedua tangan kanannya cukup 
dahsyat. Sampai akhirnya.... 
"Hea...!" 
Cras! 
"Akh...!" Kedok Biru menjerit keras, ketika pe-
dang milik Ki Lurah Sanusi membabat tangan kanan-
nya, yang seketika  buntung. Darah deras keluar dari 
tangannya yang terpotong. 
"Bunuh semuanya...!" seru Ki Lurah Sanusi 
memerintah pada warga desa serta kedua tangan ka-
nannya. 
"Hea!" 
"Cincang mereka...!" 
Seketika terdengar suara hiruk-pikuk, jeritan, 
dan teriakan kemarahan memecah suasana malam. 
Para warga Desa Suluh Pring yang telah marah tam-
paknya tak mampu lagi menahan kemarahan. Mereka 
langsung menyerbu Lima Hantu Berkedok. Dengan 
senjata berupa golok, parang, dan arit para warga 
menggebrak lawan yang tampak mulai kendor dalam 
melakukan serangan dan pertahanan. 
Wrt wrt wrt..! 
Jrabs! 
"Akh...!" Kedok Kuning menjerit, ketika golok di 
tangan salah seorang penduduk desa menghujam ke 
perutnya. Sesaat tubuhnya menggelepar, kemudian 
ambruk bersimbah darah. 
Kini Lima Hantu Berkedok tinggal empat orang. 
Dengan tewasnya Kedok Kuning jelas mengurangi ke-
kuatan mereka. Namun untuk kabur mereka tak bera-
ni, karena warga Desa Suluh Pring telah mengepung. 
"Mampus kalian!" dengus Ki Lurah Sanusi 
sambil menusukkan pedangnya ke dada Kedok Merah. 
Sementara dari belakang, penduduk desa pun menye-
rang dengan membabatkan golok serta arit mereka. 
"Hea!" 
Jrabs! 
"Akh...!" Kedok Merah menjerit ketika pedang Ki 
Lurah Sanusi menembus dadanya. Darah menyembur 
keluar, ketika pedang itu dicabut. Belum juga pedang 
Ki Lurah Sanusi tercabut, dari samping kanan dan kiri 
Kedok Merah, golok dan sabit warga desa berkelebat 
membabat 
"Hih...!" 
Bret! 
Wrt! 
Tubuh Kedok Merah menggelepar dengan perut 
hampir putus terbabat golok dan arit warga desa. Se-
kejap kemudian tubuh terbalut pakaian merah itu te-
lah tewas. 
Semakin bertambah ketakutan tiga orang ber-
kedok itu. Apalagi Kedok Hitam kini sudah mulai le-
mah, karena banyak mengeluarkan darah. Sementara 
serangan dari Mei Lie yang dibantu warga desa; sema-
kin bertambah cepat dan garang. Sehingga ketiga Han-
tu Berkedok kian terjepit. Sampai akhirnya.... 
"Hea!" 
Wrt! 
Pedang di tangan Mei Lie yang digerakkan den-
gan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung' 
membabat leher Kedok Ungu. 
Cras! 
"Akh...!" 
Kedok Ungu memekik ketika Pedang Bidadari 
Mei Lie menyambar lehernya, hingga hampir putus. 
Kini semakin bertambah ciut nyali Hantu Ber-
kedok yang tinggal dua orang. Kedok Biru benar-benar 
terdesak hebat, sedangkan Kedok Hitam kini menjadi 
bulan-bulanan kemarahan warga. Mei Lie yang sudah 
menunjukkan siapa dirinya, terus menyerang Kedok 
Biru dengan jurus 'Tebasan Bidadari Batin'. Sebuah 
jurus pamungkas yang sangat dahsyat 
"Hea!" 
Wrt! 
Cras! 
"Akh...!" Kedok Biru memekik, ketika pedang si 
Bidadari Pencabut Nyawa Iblis membabat lehernya. 
Namun keanehan terjadi Leher Kedok Biru tetap utuh. 
Dan beberapa saat kemudian, ternyata tubuh Kedok 
Biru hancur menjadi debu. 
*** 
Sementara itu, Pendekar Gila masih terus me-
ladeni serangan-serangan yang dilancarkan Sugali. 
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila berkelit. 
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali 
tangannya menepuk ke tubuh lawan. 
"Hea...!" 
"Yea...!" 
Pertarungan Pendekar Gila melawan Sugali ber-
langsung seru. Sampai saat itu, dirinya masih men-
gandalkan tangan kosong. Hal itu menjadikan Sugali 
tampak bertambah nafsu untuk menyerang dengan te-
basan dan tusukan Pedang Dewa Naga-nya. 
Dengan jurus 'Naga Merangkak Gunung', Sugali 
terus bergerak begitu cepat laksana terbang sambil 
membabatkan pedangnya memburu lawan. Pedang di 
tangannya, diarahkan untuk membabat dada dan leh-
er Pendekar Gila. 
Namun dengan menggunakan jurus 'Gila Mena-
ri Menepuk Lalat', Sena terus bergerak mengelitkan se-
tiap serangan lawan. Tubuhnya yang meliuk-liuk lak-
sana menari, ternyata mampu mengelakkan serangan 
gencar pedang lawan  yang sangat cepat dan memati-
kan. Padahal sepintas gerakan meliuk yang dilakukan 
Pendekar Gila, kelihatan lamban dan lemah. Hal itu 
membuat Sugali semakin bertambah nafsu, ingin sege-
ra mengakhiri pertarungan itu.  
"Hea!" 
"Uts! He he he...!" dengan tertawa terkekeh, 
Pendekar Gila berkelit dari tusukan pedang lawan. Tu-
buhnya merunduk, kemudian dengan cepat tangannya 
bergerak menepuk lurus ke dada lawan. 
Wrt! 
"Heh?!" Sugali kaget mendapat serangan sece-
pat itu. Dengan mata membelalak, pemuda itu melom-
pat ke samping. Namun dengan cepat pula, Pendekar 
Gila memburu. 
Mei Lie dan warga desa yang sudah mengakhiri 
pertarungan mereka melawan Lima Hantu Berkedok, 
kini membuat lingkaran menyaksikan pertarungan 
Pendekar Gila melawan Sugali. 
"Hea!" 
Sugali yang sudah dapat lepas dari kejaran 
Pendekar Gila, langsung melancarkan serangan. Pe-
dang Dewa Naga di tangan kanannya, menusuk dan 
membabat dengan jurus 'Naga Hitam Mengibas Ekor'. 
Sedangkan tangan kirinya, kini berada di pinggang se-
belah kiri dengan jari-jari terbuka siap menyerang. 
"Yea!" 
Sugali menusukkan pedangnya ke dada lawan. 
Namun dengan cepat Pendekar Gila mendoyongkan 
tubuh ke samping. Namun rupanya tusukan itu hanya 
sebagai pancingan semata. Ketika tubuh Pendekar Gila 
miring ke kiri, dengan cepat kaki kanan Sugali berge-
rak menendang ke muka. 
"Hea!" 
Degk! 
"Ukh...!" Sena memekik tertahan. Tubuhnya 
terhuyung-huyung tiga tindak ke belakang. Dari bibir-
nya keluar darah. "Cuih!" 
Setelah meludah, membuang darah yang mele-
leh. Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Sakti-
nya. Kemudian dengan cepat, melesat melakukan se-
rangan. 
"Hea!" 
Dengan Suling Naga Sakti di tangannya, Pen-
dekar Gila mengembangkan jurus 'Gila Terbang Men-
cengkeram Mangsa'. Tubuhnya melayang ke atas. Ke-
mudian dengan cepat menukik sambil memukulkan 
Suling Naga Sakti ke kepala Sugali. 
Wrt! 
Melihat Pendekar Gila memukulkan Suling Na-
ga Sakti-nya, dengan cepat Sugali mengangkat Pedang 
Dewa Naga untuk memapaki serangan lawan. 
Wuttt! 
Trang! 
"Ukh!" Sugali memekik tertahan. Tangannya 
tergetar hebat, dirasakan seperti  dialiri hawa panas. 
Pedang Dewa Naga yang tergenggam di tangannya, ter-
pental jauh. Setelah berbenturan dengan Suling Naga 
Sakti. Hal itu membuat Sugali terkejut dan ketakutan. 
Wajahnya seketika berubah pucat-pasi. Sementara itu 
di telinga terdengar suara gurunya, Ki Pramanu yang 
telah dibunuhnya. 
"Kini saatnya, Sugali! Terimalah kutukku yang 
pertama!" 
Bersamaan dengan lenyapnya suara Ki Prama-
nu, Pendekar Gila tiba-tiba bergerak menyerang den-
gan pukulan 'Gila Melebur Gunung Karang'. 
"Hea!" 
Sugali yang tersentak kaget, dengan cepat me-
rundukkan tubuhnya untuk mengelak. Namun ternya-
ta pukulan yang dahsyat itu harus mengena bagian 
mukanya. Tanpa ampun lagi.... 
Jret! 
"Akh...!" 
Sugali menjerit setinggi langit. Wajahnya han-
cur berantakan. Darah menetes keluar dari wajahnya 
yang hancur. Bagaikan kesetanan, Sugali melompat 
menubruk tubuh Pendekar Gila melakukan serangan. 
Namun dengan cepat, Pendekar Gila bergerak menge-
lak. Kemudian, tangan kanannya bergerak cepat den-
gan telapak tangan memukul ke punggung Sugali. 
"Hea!" 
Degk! 
"Akh...!" kembali Sugali menjerit Tubuhnya ber-
gulingan ke tanah dengan cepat bagaikan didorong su-
atu tenaga yang sangat kuat. Tubuh berpakaian merah 
itu terus berguling hingga belasan tombak jauhnya. 
Namun di luar dugaan, tiba-tiba ada sesosok bayangan 
hitam berkelebat menyambar tubuh Sugali dan mem-
bawanya pergi. 
"Datuk Keparat! Tunggu...!" teriak Pendekar Gi-
la sambil melesat untuk mengejar. Namun sosok ber-
jubah hitam yang ternyata Datuk Raja Karang, telah 
melemparkan sesuatu ke tempat Pendekar Gila berdiri. 
Slats! 
Glarrr...! 
Suara ledakan keras terdengar. Bersamaan 
dengan itu, keluar asap mengepul yang menutupi pan-
dangan Pendekar Gila. Dan ketika asap itu lenyap, Da-
tuk Raja Karang telah tak ada di tempat itu. Tampak-
nya ketika mata Pendekar Gila terhalangi asap tebal 
tokoh penolong Sugali telah melesat kabur dari tempat 
pertarungan. 
"Licik!" maki Sena gusar. 
"Kita harus mengejarnya, Kakang. Bukankah 
datuk itu yang telah membunuh Mbakyu Bangil?" de-
sak Mei Lie tak sabar. 
"Aha, kau benar, Mei Lie. Dialah yang menjadi 
sumber petaka di Lembah Lamur," sahut Sena. "Hhh, 
rupanya selama ini dia bersembunyi." 
"Kita cari dia, Kakang!" ajak Mei Lie. 
"Ya," jawab Sena, "Ki Lurah, kurasa kami harus 
segera pergi dari desamu ini." 
"O, mengapa tergesa-gesa, Tuan Pendekar? Se-
benarnya kami ingin menjamu kalian barang dua atau 
tiga hari," jawab Ki Lurah Sanusi. 
"Ah, terima kasih! Gampang lain waktu, Ki," 
sahut Mei Lie. 
Ki Lurah Sanusi tak dapat memaksa keduanya. 
Dirinya menyadari kalau mereka pendekar yang dibu-
tuhkan banyak manusia. 
"Kalau memang begitu, kami tak dapat memak-
sa. Kami atas warga Dewa Suluh Pring, hanya mampu 
mengucapkan terima kasih pada kalian," ujar Ki Lurah 
Sanusi. 
"Aha, tak perlu kau berkata begitu, Ki! Izinkan 
kami pergi!" ujar Pendekar Gila seraya tersenyum. 
"Semoga kalian dalam lindungan Hyang Widi." 
Pendekar Gila dan Mei Lie pun segera pergi dari 
tempat itu untuk mengejar Datuk Raja Karang yang 
selama ini juga tengah dicari-cari oleh mereka. (Untuk 
mengetahui siapa Datuk Raja Karang, silakan ikuti 
serial Pendekar Gila dalam episode: 'Titisan Dewi Kwan 
Im'). 
Pagi telah datang, tak lama setelah Pendekar 
Gila dan Mei Lie meninggalkan Desa Suluh Pring. 
*** 
Datuk Raja Karang yang membawa tubuh Su-
gali kini telah sampai di tepi Laut Selatan. Sugali yang 
berada di pundak kanan lelaki berusia tujuh puluh ta-
hun itu, terdengar merintih-rintih menahan sakit. Wa-
jahnya yang hancur, terus mengeluarkan darah bagai-
kan tak akan mengering. Kutukan sang Guru, Ki Pra-
manu benar-benar terbukti. Sugali tak mati terkena 
hantaman pukulan jurus 'Gila  Melebur Gunung Ka-
rang'. Hanya wajahnya yang hancur. Namun jelas luka 
itu merupakan siksaan yang sangat perih sekali. 
"Tenanglah, Anak Muda! Aku akan berusaha 
menolongmu," ujar Datuk Raja Karang berusaha 
menghibur Sugali yang terus merintih kesakitan. 
"Datuk, aku tak berhasil," keluh Sugali. 
"Tak perlu kau pikirkan itu! Kini yang harus 
kau pikirkan, bagaimana membalas semuanya pada 
Pendekar Gila," sahut Datuk Raja Karang terus beru-
saha membesarkan hati pemuda itu. "Dia memang he-
bat Namun kelak kita akan bahu-membahu mengalah-
kannya." 
Lelaki tua berjubah hitam itu dengan ringan 
melangkah di permukaan air. Aneh! Air laut yang diin-
jaknya seketika berubah membeku. Sehingga permu-
kaan air bagaikan daratan. 
"Kita akan mencari dia, jika kau telah sembuh 
dari lukamu," kata Datuk Raja Karang. 
"Mungkinkah kita mampu menghadapinya, Da-
tuk?" tanya Sugali. Nadanya kurang yakin akan ke-
mampuan dirinya, setelah kini mengalami kekalahan 
yang menyakitkan. 
"Jangan berkata begitu, Tolol! Apakah kau akan 
putus asa dan membiarkan arwah kedua orangtua mu 
penasaran?!" bentak Datuk Raja Karang. "Dengan per-
sekutuan kita, maka tak akan ada pendekar yang 
mampu mengalahkan kita." 
"Benarkah itu, Datuk?" tanya Sugali masih be-
lum percaya. 
"Ya! Kau telah mewarisi ilmu Ki Pramanu. Se-
benarnya ilmu gurumu bukan ilmu sembarangan. 
Sayang kau tak dapat menggunakannya dengan baik. 
Kalau saja kau dapat menggunakannya dengan baik, 
kurasa Pendekar Gila tak akan mudah mengalahkan-
mu," sanjung Datuk Raja Karang, berusaha memulih-
kan semangat Sugali yang mulai ciut setelah kekala-
han ini.  
Sugali hanya diam. Rasa sakit akibat wajahnya 
yang hancur dan terus mengeluarkan darah, semakin 
terasa menyiksa. Dendamnya pada Pendekar Gila se-
makin membara. Dia harus dapat membalas semua 
yang dialami olehnya. Juga dendam atas kematian ke-
dua orangtuanya oleh Pendekar Gila. 
Datuk Raja Karang telah sampai di tepian pu-
lau karang, tempat persembunyiannya selama ini dari 
kejaran Pendekar Gila semenjak kejadian di Lembah 
Lamur. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun yang 
merupakan tokoh sesat itu, nampak melangkah den-
gan ringan sambil memanggul tubuh Sugali. Datuk Ra-
ja Karang kemudian masuk ke sebuah goa yang ada di 
pulau karang itu. 
Goa karang itu cukup besar. Di dalamnya tak 
tampak kegelapan sebagaimana layaknya goa, melain-
kan gemerlapan seperti mengandung emas dan mutia-
ra. Di bagian tengah ruangan goa tampak ada sebuah 
baru besar berbentuk datar dan panjang. Tampaknya 
batu itu memang bisa digunakan untuk pembaringan. 
Datuk Raja Karang meletakkan Sugali di atas batu da-
tar itu. 
Setelah membaringkan tubuh Sugali, dan me-
notok beberapa urat nadi di tubuhnya. Datuk Raja Ka-
rang pun melangkah menuju sebuah ruangan lain da-
lam goa itu. Matanya memandangi satu persatu tabung 
bambu yang tergantung di dinding goa. Sepertinya ten-
gah mencari sesuatu obat, untuk menghilangkan rasa 
sakit yang diderita Sugali. 
"Hm, ini dia," gumam Datuk Raja Karang sam-
bil mengambil tabung yang berisikan serbuk kunyit 
ireng. Dibawanya tabung itu keluar. Kemudian Datuk 
Raja Karang menuju batu datar tempat Sugali masih 
terbaring dengan rintihan-rintihan kesakitannya. 
"Datuk.. o, sakit sekali," rintih Sugali. Darah te-
rus keluar dari luka wajahnya, seakan-akan tak dapat 
mengering. Sehingga tampak keadaan wajah Sugali 
semakin bertambah mengerikan. 
"Sabar, Anak Muda! Ini sebuah bukti, bahwa 
Pendekar Gila benar-benar menghinamu," ujar Datuk 
Raja Karang berusaha menumbuhkan dendam di hati 
Sugali. 
"Tidak, Datuk! Ini sebuah kutukan guruku." 
"Hua ha ha...!" Datuk Raja Karang tertawa ter-
bahak-bahak. "Kutuk? Hm, kau kira gurumu itu orang 
suci yang bisa mengutuk. Ini bukan kutuk, Sugali. Ini 
hinaan dari Pendekar Gila. Bukankah dengan keadaan 
seperti sekarang ini, kau dapat dikucilkan dari pergau-
lan?" 
Sugali menarik napas dalam-dalam. Seakan di-
rinya berusaha mencerna kata-kata Datuk Raja Ka-
rang. Dendamnya pada Pendekar Gila semakin menja-
di-jadi. Hati Sugali membenarkan kata-kata lelaki tua 
yang telah menolongnya itu. 
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku! Ka-
lau kau bisa menghancurkan mukaku, maka aku akan 
menghancurkan tubuhmu!" dengus Sugali dalam hati. 
Matanya yang tertutup darah, mengerjap-ngerjap. 
"Bagaimana? Apa masih percaya kalau semua 
yang kau alami merupakan kutukan?" tanya Datuk 
Raja Karang dengan senyum kecut menghias bibirnya. 
"Aku percaya dengan ucapanmu, Datuk. Akan 
kubalas semua hinaan ini! Akan kuhancurkan dia...!" 
teriak Sugali dengan keras penuh dendam. Tangan ka-
nannya mengepalkan tinju ke atas, sepertinya ber-
sumpah. 
"Hua ha ha...!" Datuk Raja Karang tertawa se-
nang. "Bagus! Memang itulah yang harus kita lakukan. 
Kita harus menyingkirkan Pendekar Gila!" 
"Tapi, Datuk..." 
"Apa lagi?" tanya Datuk Raja Karang. 
"Ilmuku belum seberapa." 
"Itu masalah mudah. Setelah kau pulih, aku 
akan mengajarkan padamu sebuah ilmu silat yang 
maha sakti," ujar Datuk Raja Karang dengan disertai 
gelak tawa. 
"Terima kasih, Datuk!" 
"Kini, gunakan hawa murnimu! Aku akan men-
coba mengobati luka di wajahmu," perintah Datuk Raja 
Karang. 
Sugali segera menurut. Disalurkan hawa murni 
ke mukanya, agar bisa menahan rasa sakit. 
Melihat Sugali sudah menyalurkan hawa mur-
ni, Datuk Raja Karang pun segera menaburkan bubuk 
kunyit ireng. 
"Aaaouw...! Aaakh...! Sakit.. sakit!" 
Sugali meraung-raung kesakitan, ketika bubuk 
kunyit itu menempel di lukanya. 
"Tenang, Sugali! Hanya dengan kunyit ireng ini, 
kau akan terbebas dari rasa sakit," ujar Datuk Raja 
Karang sambil terus menaburkan bubuk kunyit ireng 
ke luka di wajah Sugali. Hal itu membuat pemuda itu 
semakin memekik keras. Rasa perih dan sakit, terasa 
semakin hebat mendera di wajahnya. Dari wajahnya 
yang ditaburi obat tampak mengepulkan asap. 
"Akh...!" 
Sugali menggelepar-gelepar bagaikan sekarat. 
Dari wajahnya semakin bertambah banyak asap hitam 
mengepul. Sedangkan darah yang mengalir, belum ju-
ga mau berhenti, terus keluar dari lukanya. 
"Oh, apa aku salah mengambil obat?" tanya Da-
tuk Raja Karang dalam hati bimbang dan cemas, me-
nyaksikan bagaimana keadaan Sugali saat itu. Bubuk 
kunyit ireng yang seharusnya mampu menghentikan 
aliran darah, ternyata tak berguna sama sekali bagi 
luka yang dialami Sugali 
Datuk Raja Karang memperhatikan tabung 
bambu yang dipegangnya. Namun hatinya merasa ya-
kin, kalau tabung itu memang berisikan bubuk kunyit 
ireng. 
"Obat ini benar. Hai, kenapa kunyit ireng tak 
berguna?" gumam Datuk Raja Karang nampak cemas, 
karena Sugali semakin sekarat 
Beberapa kali Datuk Raja Karang memandangi 
bergantian ke tabung dan wajah Sugali. Wajahnya 
menggambarkan kecemasan. Keningnya mengerut, 
berlipat-lipat. Hatinya masih tak mengerti, mengapa 
darah yang keluar dari luka di muka Sugali tetap men-
galir. Padahal seharusnya mengering setelah ditaburi 
serbuk kunyit ireng. 
"Akh...! Tobat...!" 
Sugali terus menjerit-jerit, merasakan sakit 
yang hebat. Tubuhnya menggelepar-gelepar, bagaikan 
seekor ayam yang disembelih.  Jemari tangannya 
menggenggam, sepertinya berusaha mencari pegangan 
dan kekuatan. Kemudian diam membisu. 
"Mati...?" tanya Datuk Raja Karang dengan ken-
ing mengerut. Dirabanya dada Sugali. "Ah, masih hi-
dup!" 
Datuk Raja Karang segera meninggalkan tem-
pat itu, untuk melakukan semadi. Dia melangkah me-
nuju sebuah ruangan lain yang tertutup. Di tempat 
itulah, Datuk Raja Karang melakukan semadi, memin-
ta kekuatan pada arwah-arwah yang dipujanya. 
Tangan Datuk Raja Karang bergerak ke kanan 
dan ke kiri. Seketika itu, pintu batu bergeser membu-
ka. Dan kini nampaklah sebuah ruangan yang cukup 
luas. Ada sebuah perapian besar, yang di atasnya ter-
dapat sebuah arca berbentuk manusia buaya. 
Datuk Raja Karang melangkah mendekat. Pintu 
kembali bergerak menutup. Sang Datuk kini duduk 
bersila di dekat perapian, menghadap  arca manusia 
buaya berada. Mulut sang Datuk komat-kamit memba-
ca mantera. Matanya terpejam, dengan kepala agak 
tertunduk  
Wesss! 
Dari arca manusia buaya, keluar asap hitam 
bergulung-gulung. Perlahan-lahan, dari asap keluar 
sosok bayangan samar-samar. Lama-kelamaan, terli-
hat jelas sosok itu. Sosok wanita berkepala buaya. 
"Hik hik hik..! Ada apa kau mengundangku, Ra-
ja Karang?" terdengar suara wanita. Ucapan itu keluar 
dari mulut manusia buaya. 
"Ampun, Sri Ratu sembahan hamba! Hamba 
memohon pertolongan darimu." 
"Tentang apa?" 
"Hamba mempunyai masalah."  
"Dengan Pendekar Gila?"  
"Itu yang pertama, Sri Ratu."  
"Ada lagi...?"  
"Benar, Sri Ratu."  
"Katakan, apa." 
"Hamba memiliki teman yang habis bertarung 
dengan Pendekar Gila. Dia terluka di wajahnya. Tetapi 
anehnya, darah terus mengalir. Apa yang sebenarnya 
terjadi, Sri Ratu?" tanya Datuk Raja Karang meminta 
petunjuk 
"Dia mendapat kutuk berdarah dari gurunya. 
Dia memang tak akan mati ketika bertarung untuk 
pertama kali melawan Pendekar Gila. Dia akan mati, 
oleh kekasih Pendekar Gila," tutur Ratu Siluman 
Buaya. 
"Ampun, Sri Ratu! Lalu bagaimana untuk 
menghadapi Pendekar Gila dengan kekasihnya?" tanya 
Datuk Raja Karang. 
"Aku akan membantumu." 
"Terima kasih, terima kasih, Sri Ratu." 
"Ada lagi, Raja Karang?" tanya Ratu Siluman 
Buaya. 
"Bagaimana dengan pemuda itu?" 
"Raganya akan kugunakan. Dengan begitu, tak 
akan ada yang tahu kalau aku hadir ke dunia," ujar 
Ratu Siluman Buaya. "Kapan kau akan mencari Pen-
dekar Gila?" 
"Jika Sri Ratu berkenan, secepatnya!" 
"Aku telah siap. Beri penutup di mukanya. Agar 
tak diketahui orang," perintah Ratu Siluman Buaya. 
"Baik, Sri Ratu." 
Setelah memberi perintah, Ratu Siluman Buaya 
pun menghilang. Asap tebal kembali bergulung. Ke-
mudian perlahan-lahan asap itu masuk ke arca manu-
sia buaya yang ada di atas perapian. 
Datuk Raja Karang kembali menyembah. Ke-
mudian bangkit dari duduk bersilanya. Kakinya me-
langkah menuju pintu keluar. Tangannya digerakkan. 
Kali ini gerakannya dari kiri ke kanan. Saat itu pula, 
pintu penutup terbuka. Datuk Raja Karang segera ke-
luar melangkah menuju tempat tubuh Sugali yang 
nampak bergerak-gerak. Sepertinya Sugali telah sadar. 
"Raja Karang, carikan kain penutup wajah!" pe-
rintah Sugali yang kini suaranya telah berubah. Bukan 
suara lelaki, melainkan suara Ratu Siluman Buaya. 
"Daulat, Sri Ratu," jawab Datuk Raja Karang. 
Kemudian Datuk Raja Karang bergegas mencari 
kain yang diminta Ratu Siluman Buaya yang sudah 
merasuk ke tubuh Sugali. Tak lama kemudian, Datuk 
Raja Karang telah kembali dengan membawa secarik 
kain hitam yang cukup lebar dan mampu menutupi se-
luruh wajah. 
"Ikatkan ke kepala," perintah Sri Ratu Siluman 
Buaya. 
Tanpa membantah, Datuk Raja Karang segera 
mengikatkan ujung kain hitam itu ke kepala Sugali. 
Seketika wajah menyeramkan yang terus mengalirkan 
darah itu, tertutup kain hitam. Namun darah tetap sa-
ja mengalir, keluar dari luka-luka di wajahnya. Seben-
tar saja kain hitam itu telah basah darah yang terus 
mengalir. 
"Bagus! Dengan begini, kita akan bebas berge-
rak," ujar Ratu Siluman Buaya. 
"Tetapi, darah masih keluar. Dan bau amis ma-
sih tercium, Sri Ratu,." sahut Datuk Raja Karang men-
gingatkan. 
"Itu bukan masalah, Raja Karang. Aku akan 
mengeluarkan ajian 'Raga Wangi', agar bau amis darah 
akan hilang." Setelah berkata begitu, Ratu Siluman 
Buaya yang menyusup ke dalam raga Sugali, nampak 
bersidekap. Tak lama kemudian, bau wangi bunga 
cendana, menyebar keluar dari segenap tubuhnya. 
Dan benar juga, bau amis dan anyir darah hilang. Kini 
yang tercium hanyalah bau wangi bunga cendana. 
"Bagaimana, Raja Karang?" 
"Sri Ratu benar-benar sakti. Bau anyir darah, 
kini telah hilang. Yang tercium, kini bau wangi kem-
bang. Tapi, mengapa mesti bunga cendana? Apakah 
nanti tak akan membuat orang ketakutan di malam 
hari, mencium bau seperti ini?" tanya Datuk Raja Ka-
rang. 
"Tak menjadi masalah. Ayo kita berangkat!" 
ajak Ratu Siluman Buaya. 
"Baik, Sri Ratu." 
Datuk Raja Karang pun segera mengiringi lang-
kah Ratu Siluman Buaya yang telah menyusup ke raga 
Sugali. Keduanya melangkah keluar meninggalkan goa 
karang. Dengan entengnya, keduanya melangkah me-
napaki air lautan. 
*** 
Kehadiran Datuk Raja Karang dengan lelaki 
bercadar hitam yang basah oleh darah, seketika men-
jadi bahan pembicaraan  setiap orang. Baik di kedai, 
maupun di sawah. Juga di tempat-tempat orang ber-
kumpul lainnya. Sepak-terjang mereka benar-benar 
mengerikan. Mereka membuat keonaran di setiap tem-
pat yang disinggahi. 
Sore itu, Datuk Raja Karang dan lelaki berselu-
bung kain hitam yang dari tubuhnya mengeluarkan 
aroma wangi nampak melangkah melintasi Desa Alu 
Lanang. 
Kehadiran kedua manusia berilmu tinggi itu, 
telah membuat resah warga Desa Alu Lanang. Warga 
desa segera berdatangan ke rumah kepala desanya, 
melaporkan kedatangan dua tokoh sakti itu. 
"Ki Lurah, dua orang yang menurut kabar ada-
lah orang-orang jahat dan kejam telah sampai di desa 
kita," lapor seorang warga berusia sekitar empat puluh 
tahun. Nafasnya tersengal-sengal, setelah berlari-lari. 
"Maksudmu, San?" tanya Ki Lurah Pare Gobang 
belum mengerti. 
"Dua orang tokoh sakti, Ki Lurah. Yang satu be-
rusia sekitar tujuh puluh tahun dengan jubah hitam, 
dan seorang pemuda yang wajahnya tertutup kain hi-
tam berlumuran darah," Kasan menjelaskan. 
"Hm, mau apa mereka ke desa kita?" gumam KI 
Lurah Pare Gobang sambil mengelus-elus jenggotnya 
yang telah memutih. Kemudian diliriknya dua orang 
tangan kanannya, "Depa dan kau Suka! Selidiki, mau 
apa mereka! Kalau bisa, tangkap mereka!" 
"Baik, Ki Lurah," sahut kedua lelaki berusia se-
kitar empat puluh tahun dengan tubuh tegap itu. Ke-
mudian dengan diikuti beberapa warga yang melapor, 
Depa dan Suka melangkah meninggalkan rumah Kepa-
la Desa Alu Lanang itu. Namun belum juga mereka 
melangkah jauh, tiba-tiba dihadang dua orang manu-
sia yang disebutkan Kasan tadi. 
"Tak perlu kalian mencari kami. Kami telah da-
tang, untuk menemui lurah kalian!" sentak Datuk Raja 
Karang, yang membuat Depa dan Suka serta warga de-
sa tersentak kaget dengan mata membelalak 
"Siapa kalian?! Dan mau apa datang ke desa 
kami?!" bentak Depa berusaha menunjukkan kebera-
niannya sebagai seorang jawara di Desa Alu Lanang. 
Matanya tajam, menatap penuh selidik pada lelaki tua 
berjubah hitam dan pemuda dengan muka tertutup 
kain hitam berbercak darah. Kumis Depa yang lebat, 
bergerak turun naik Sedang matanya yang tajam terus 
menatap kedua tamu desa itu. 
"Pertanyaan yang bodoh! Kami datang tentunya 
untuk memerintahkan pada lurahmu agar menyembah 
dan takluk di bawah kekuasaan kami!" dengus Datuk 
Raja Karang. 
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Orang 
Tua! Jangan harap kami akan membiarkan kalian me-
lakukan hal itu!" dengus Suka tak kalah garang. 
"Hm, kau mencari penyakit, Orang Tolol! Se-
baiknya katakan saja pada lurahmu, kalau kami me-
merintahkan padanya agar memberikan upeti!" perin-
tah Datuk Raja Karang. 
"Enak sekali mulutmu bicara, Orang Tua! Cuih! 
Langkahi mayat kami, sebelum kau bertemu dengan Ki 
Lurah!" tantang Depa. 
"He he he...! Rupanya kalian mencari mati. 
Baik, bersiaplah untuk mati!" 
"Kami telah siap! Hea...!" Depa dengan dibantu 
Suka serta sepuluh warga desa, serentak bergerak me-
nyerang dengan senjata di tangan masing-masing. 
"Hea!" 
"Cuih! Kecoa-kecoa busuk macam kalian, bera-
ni menantang Datuk Raja Karang!" dengus Datuk Raja 
Karang sambil menggerakkan tangan kanannya ke 
arah orang-orang yang hendak menyerangnya. Seketi-
ka itu pula, kedua belas lawannya terpelanting berja-
tuhan bagaikan dibanting. 
Bugk! 
"Aaakh...!" 
"Aduh!" 
Kedua belas lawannya menjerit dan meringis-
ringis kesakitan. Namun Suka dan Depa cepat segera 
bangun. Lalu dengan penuh amarah, kedua jawara de-
sa itu langsung menyerang dengan goloknya. 
"Hea!" 
"Yea!" 
Melihat kedua orang jawara itu hendak kembali 
menyerang, Datuk Raja Karang tertawa terkekeh. Di-
miringkan tubuhnya ke samping, kemudian dengan 
cepat mencekal kedua tangan lawan yang memegang 
golok. 
Trep! 
"Hea!" bagaikan mengangkat kapas, Datuk Raja 
Karang langsung mengangkat tubuh kedua jawara de-
sa. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, Da-
tuk Raja Karang langsung membanting kedua jawara 
itu dengan keras. 
"Heaaa...!" 
Brug! 
Breg! 
"Akh!" keduanya menjerit Tubuh kedua jawara 
desa itu seketika meregang sekarat dengan darah 
muncrat dari mulut Sesaat kemudian, tubuh kedua 
jawara itu diam, mati! 
Melihat kedua jawara desa mati dalam sekali 
gebrak saja, nyali para warga desa seketika menciut 
Kesepuluh warga desa itu hendak lari, namun dengan 
cepat lelaki muda yang wajahnya tertutup kain hitam 
langsung mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh. 
"Hea!" 
Zrttt! 
Jret! Jret! Jret! 
"Akh...!" lolongan kematian kembali menggema, 
memecah kesunyian sore menjelang malam. Kesepuluh 
warga desa yang terkena hantaman itu, langsung am-
bruk dengan tubuh menghitam gosong. 
Dengan sinis, Datuk Raja Karang memandangi 
mayat-mayat warga desa yang bergeletakan di tanah 
rerumputan. Kemudian dengan menendang tubuh sa-
lah seorang dari warga desa, Datuk Raja Karang kem-
bali melangkah diikuti manusia yang wajahnya tertu-
tup kain hitam. Langkah keduanya kini menuju rumah 
Ki Lurah Pare Gobang. 
Ki Lurah Pare Gobang yang menyaksikan ba-
gaimana kedua manusia sesat itu membunuh kedua 
tangan kanannya dan sepuluh warga desa, semakin 
takut. Apalagi kini kedua orang sesat dan kejam itu 
menuju rumahnya. Cepat-cepat Ki Lurah Pare Gobang 
mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Dirinya tak in-
gin bertemu dengan kedua manusia jahat dan kejam 
itu. 
"Celaka! Mereka bukan orang sembarangan," 
gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil menyandarkan 
tubuhnya di pintu yang telah dikunci. Keringat dingin 
keluar deras membasahi keningnya. Ki Lurah Pare Go-
bang yang memang tak memiliki ilmu silat gemetaran. 
Matanya memandang ke sekelilingnya dengan tegang. 
Belum juga rasa takut hilang dari hati Ki Lurah Pare 
Gobang, tiba-tiba.... 
"Ki Lurah, keluar kau! Jangan bersembunyi 
macam tikus tanah yang ketakutan!" terdengar dari 
luar seruan seseorang lelaki tua tapi tegas dan keras, 
yang membuat tubuh Ki Lurah Pare Gobang bertam-
bah menggigil ketakutan. 
"Celakalah aku!" keluh Ki Lurah Pare Gobang 
hampir menangis. Matanya berkaca-kaca. Tubuhnya 
semakin gemetaran dilanda perasaan takut yang men-
dera jiwanya. 
"Ki Lurah, keluarlah! Atau ku dobrak pintu ru-
mahmu!" kembali dari luar terdengar suara Datuk Raja 
Karang berseru, yang semakin membuat Ki Lurah Pare 
Gobang bertambah ketakutan. Keringat dingin sema-
kin deras bercucuran membasahi tubuhnya. 
*** 
Dengan masih ketakutan, Ki Lurah Pare Go-
bang membuka kunci pintu rumahnya yang terbuat 
dari palang kayu. Tangannya tampak gemetar tak 
mampu menahan rasa takut, yang membuat pintu itu 
turut bergetar. Keringat dingin semakin membasahi 
sekujur tubuh Ki Lurah Pare Gobang. Lelaki berusia 
sekitar enam puluh tahun itu merasa tak mampu ber-
buat apa-apa. Perlahan-lahan Ki Pare Gobang membu-
ka daun pintu rumahnya. Mengintip keluar. Di hala-
man rumah Kepala Desa Alu Lanang, tampak berdiri 
tubuh Sugali yang mengenakan pakaian merah dan 
tertutup kain hitam di wajahnya. Di sampingnya Datuk 
Raja Karang yang mengenakan jubah hitam. 
"Ki Lurah, cepat keluar! Atau kami terpaksa 
menghancurkanmu beserta rumah...!" ancam Datuk 
Raja Karang. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali. Pucuk dicinta, ulam 
tiba. Lama sekali kucari kau. Akhirnya kau kutemu-
kan sedang gembar-gembor di sini!" 
Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara seo-
rang pemuda, diikuti  tawa yang keras dan bergema. 
Suara tawa itu menyentakkan Datuk Raja Karang, 
sampai-sampai tanpa sadar dari mulutnya terucap 
nama gelar pemuda itu. 
"Pendekar Gila!" 
"Diakah pendekar itu, Raja Karang?" tanya Ra-
tu Siluman Buaya yang telah merasuk ke tubuh Suga-
li. 
"Benar, Sri Ratu. Itu suaranya." 
"Kebetulan," gumam Ratu Siluman Buaya. 
"Hi hi hi...! Mei Lie, rupanya datuk bangkong ini 
ada di sini." Suara itu kembali terdengar. Sekejap ke-
mudian, muncul satu sosok lelaki muda berompi kulit 
ular. Di samping seorang gadis cantik berpakaian hi-
jau. Melihat kedatangan kedua sosok itu mata Datuk 
Raja Karang terbelalak kaget 
"Siapa gadis itu, Raja Karang?" tanya Ratu Si-
luman Buaya. 
"Dia Titisan Dewi Kwan Im, yang bergelar Bida-
dari Pencabut Nyawa," tutur Datuk Raja Karang menje-
laskan. 
"Kau takut pada mereka, Raja Karang?" 
"Tidak," sahut Datuk Raja Karang. 
Pendekar Gila yang kini berdiri lima tombak di 
hadapan Datuk Raja Karang dan Ratu Siluman Buaya, 
masih cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk ke-
pala. Diambilnya Suling Naga Sakti dari ikat pinggang-
nya, kemudian dengan acuh ditiupnya. 
Suara Suling Naga Sakti mengalun dengan 
lembut, mendendangkan syair yang menceritakan ten-
tang perjalanan hidup manusia. Hal itu menjadikan 
Datuk Raja Karang dan Ratu Siluman Buaya tersen-
tak. 
"Pendekar Gila, apa maksudmu menyindirku?!" 
bentak Datuk Raja Karang keras. Matanya menatap ta-
jam wajah Pendekar Gila yang seketika menghentikan 
tiupan Suling Naga Saktinya. Pendekar Gila menoleh 
ke wajah Mei Lie dengan mulut masih cengengesan. 
Disimpannya  Suling Naga Sakti di ikat pinggang, di-
ganti dengan mengambil bulu burung. Kemudian diko-
rek telinganya dengan bulu burung itu. Seketika mu-
lutnya cengar-cengir kegelian. 
"Hi hi hi... aneh! Aneh sekali...! Kadang orang 
menyadari kekeliruannya. Tetapi orang itu tak mau 
mengakui kesalahannya. Hi hi hi... lucu!" gumam Pen-
dekar Gila sambil terus mengorek telinganya dengan 
bulu burung. 
"Pendekar Gila, rupanya kau benar-benar ha-
rus kami singkirkan!" ancam Datuk Raja Karang. 
"Aha, hebat! Hebat sekali ucapanmu, Datuk 
Bangkong! Hi hi hi...! Mei Lie, kurasa kita tak akan 
membiarkan dia melakukannya, bukan?" tanya Pende-
kar Gila dengan masih cengengesan. 
"Bukan kita yang akan tersingkir, tetapi datuk 
keparat itu yang akan kusingkirkan!" dengus Mei Lie 
dengan ketus. Matanya menatap penuh kebencian pa-
da Datuk Raja Karang, kemudian berganti pada lelaki 
bercadar hitam. 
"Cuih! Meski kau bergelar Bidadari Pencabut 
Nyawa, aku Datuk Raja Karang tak takut padamu!" 
dengus Datuk Raja Karang setengah menggeram. Se-
mentara lelaki yang wajahnya tertutup kain hitam, 
nampak masih tenang. 
"Hm, begitu...?" gumam Mei Lie dengan senyum 
sinis mengembang di bibirnya. "Ingat Datuk Raja Ka-
rang, kau telah membunuh saudara-saudaraku di 
Lembah Lamur. Bagaimanapun, aku mencarimu untuk 
menagih hutang itu." 
"Wuah, jangan sombong, Bidadari Pencabut 
Nyawa! Meski nama julukanmu mampu menggetarkan 
rimba persilatan, tetapi Datuk Raja Karang tak takut 
padamu!" 
"Bagus kalau begitu," sahut Mei Lie. "Bersiap-
lah!" 
"He he he...! Mari kita main-main! Hea...!"  
"Yea...!" 
Datuk Raja Karang melesat dengan tangan ka-
nan siap memukul. Begitu pula dengan Mei Lie, tu-
buhnya melesat memapaki serangan yang dilancarkan 
Datuk Raja Karang. Kedua tangan Mei Lie terentang 
dengan tubuh agak miring. Kemudian kedua tangan-
nya digerakkan turun naik, bagaikan kepakan-
kepakan selendang. 
"Hea!" 
Mei Lie kini membuka jurus 'Selendang Bidada-
ri Mengusir Kabut'. Dari kepakan kedua tangannya, 
menderu angin kencang. Hal itu membuat Datuk Raja 
Karang tersentak kaget. Dirinya tak menyangka, kalau 
gadis Cina ini memiliki ilmu silat yang tinggi. 
"Yea!" 
Dengan menggunakan jurus 'Buana Graha' Da-
tuk Raja Karang segera bergerak mengelakkan seran-
gan yang dilakukan Mei Lie. Kemudian dengan cepat, 
bergerak menyerang. Tangannya yang mengepal, ber-
gerak memukul dari bawah ke atas. Susul-menyusul, 
yang dilanjutkan dengan gerakan hantaman gencar te-
lapak  tangannya. Kaki-kakinya pun tak tinggal diam, 
bergerak menyapu dan menendang ke kaki Mei Lie. 
"Hea!" 
"Yea!" 
Dengan jurus-jurus andalan, mereka terus ber-
kelebat untuk berusaha saling menjatuhkan lawan. 
Gerakan keduanya sama-sama lincah dan cepat. 
Memburu laksana seekor rajawali dan harimau, dari 
mengelak laksana burung seriti dan trenggiling. 
Sementara itu, Pendekar Gila yang masih men-
gorek telinga, matanya mengawasi sosok yang wajah-
nya tertutup kain hitam. Mulutnya masih cengenge-
san, dengan tangan kiri sesekali menggaruk-garuk ke-
pala. 
"Hi hi hi...! Kenapa kau tutupi mukamu?" tanya 
Pendekar Gila. "Aha, tapi bagaimanapun, kau tak bisa 
menyembunyikan siapa dirimu sebenarnya,  Murid 
Durhaka." 
"Hhh!" Hanya dengus kecil keluar dari wajah 
tertutup kain hitam, yang ternoda darah. Sepertinya 
sosok Sugali tak mau berkata-kata. Ada sesuatu yang 
tersembunyi. Hal itu membuat Pendekar Gila menge-
rutkan kening. Kemudian dengan melakukan semadi 
berdiri, dirinya berusaha melihat keanehan itu. 
"Aha, kau rupanya Siluman Buaya," desah Se-
na. "Ah ah ah! Meski kau menutup wajah barumu, kau 
tak bisa menyembunyikan batinmu, Siluman!" 
Tersentak kaget Sugali yang memang dirasuki 
Ratu Siluman Buaya mendengar seruan Pendekar Gila. 
Ratu Siluman Buaya sama sekali tak menyangka, ka-
lau Pendekar Gila akan dapat mengetahui siapa dia 
sebenarnya. 
"Hi hi hi...! Untuk apa kau main sembunyi-
sembunyian, Siluman?" tanya Pendekar Gila dengan 
tertawa cekikikan. Tangannya menutupi mulut. Dige-
leng-gelengkan kepala, sepertinya melihat hal lucu. 
"Keluarlah dari sembunyimu di raga Sugali!" 
"Hm, ternyata nama besarmu bukan nama ko-
song, Pendekar Gila! Karena kau telah tahu siapa aku, 
maka kini tak ada alasan lain bagiku. Aku memang in-
gin membantu pemuda yang raganya kupakai, untuk 
membalas dendam padamu. Bersiaplah, Pendekar Gila! 
Hea...!" dengan melompat laksana seekor harimau, Ra-
tu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali menye-
rang Pendekar Gila. Tangan-tangannya bergerak men-
cengkeram dan mencakar ke tubuh Pendekar Gila 
dengan jurus 'Cakar Buaya Merayap'. Gerakan kedua 
tangannya bergerak susul-menyusul dari bawah ke 
atas. 
"Hi hi hi..! Hea...!" dengan masih cengengesan, 
Pendekar Gila bergerak cepat mengelak. Dengan meng-
gunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' tubuh 
Pendekar Gila bergerak meliuk-liuk laksana menari, 
diselingi tepukan-tepukan tangannya yang membuat 
Ratu Siluman Buaya tersentak kaget 
Prak! 
"Heh?!" 
Ratu Siluman Buaya segera menggeser kaki ki-
rinya ke samping. Kemudian dengan memiringkan tu-
buh ke kiri, tangannya bergerak memapaki tepukan 
tangan Pendekar Gila. 
"Yea...!" 
Plak! 
"Aaakh...!" 
Dua tangan yang mengandung kekuatan tenaga 
dalam itu saling beradu. Tubuh keduanya terdorong 
mundur ke belakang. Pendekar Gila mundur dua tin-
dak ke belakang. Wajahnya cengengesan. Tangan ka-
nannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan 
kirinya menepuk-nepuk pantatnya. 
Sementara Ratu Siluman Buaya terhuyung lima 
langkah ke belakang. Tubuhnya agak tergetar, seakan 
tak mampu menahan getaran kekuatan yang keluar 
dari telapak tangan Pendekar Gila. 
"Kau memang hebat, Pendekar Gila. Tetapi aku 
tak mungkin kalah olehmu!" dengus Ratu Siluman 
Buaya geram. Hatinya marah karena ternyata seran-
gannya dapat ditahan Pendekar Gila. Bahkan dadanya 
terasa sakit akibat benturan keras tadi. 
"Hua ha ha...! Kurasa, masalah menang dan 
kalah dalam bertarung bukan kuasa seseorang, Silu-
man. Ah ah ah! Aku hanya heran, mengapa kau ikut 
campur dalam urusan manusia," gumam Pendekar Gi-
la sambil cengengesan. 
"Itu urusanku." 
"Aha, baik! Kalau memang itu yang kau kehen-
daki." 
"Cuih! Kau kira kau akan menang, Pendekar 
Gila! Terimalah jurus 'Buaya Mengibas Ekor'. Hea...!" 
dengan tenaga dalam penuh, Ratu Siluman Buaya 
kembali bergerak menyerang. Tangan dan kakinya ber-
gerak memukul dan menyerampang. Namun dengan 
cepat Pendekar Gila melompat menghindarkan seran-
gan lawan. 
"Hea!" 
Dengan menggunakan jurus 'Gila Terbang 
Mencengkeram Mangsa' Pendekar Gila berkelebat me-
nyerang. Tubuhnya mencelat ke udara laksana ter-
bang. Kemudian dengan cepat menukik dengan tangan 
membuat cengkeraman memburu lawan. 
"Yea!" 
Melihat Pendekar Gila menyerang dari atas, Ra-
tu Siluman Buaya segera mencelat ke atas. Kemudian 
dengan cepat ditangkisnya serangan yang dilancarkan 
Pendekar Gila dengan kedua tangan yang digerakkan 
dari pinggang, menyatu dan membelah ke atas. 
"Hea!" 
Trak! 
"Hea!" dengan cepat Pendekar Gila menarik ka-
ki kanannya ke depan, diikuti dengan tangan kanan 
ditarik ke belakang. Kemudian dengan tubuh bergerak 
memutar, kaki kirinya menendang lurus ke tubuh Su-
gali itu. 
"Yea!" 
Plak! 
"Hih?!" dengan cepat Ratu Siluman Buaya yang 
menghuni raga Sugali bergerak merunduk. Kemudian 
tangan kanannya memukul ke selangkangan Pendekar 
Gila. "Hea...!" 
"Uts! Hih...!" Pendekar Gila segera melemparkan 
tubuh ke belakang, dan bersalto di udara beberapa 
kali. Kemudian dengan kembali bersalto, Sena kembali 
menyerang dengan cengkeraman tangan dan tendan-
gan kaki kanannya. 
"Yea!" 
"Hea!" 
Pertarungan antara Pendekar Gila melawan Ra-
tu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali semakin 
berjalan seru. Keduanya sama-sama lincah dan gesit 
dalam menyerang maupun mengelak. Tubuh keduanya 
bergerak cepat, sehingga kini yang nampak hanya ke-
lebatan bayangan merah dan kekuningan saling kejar 
di udara. 
*** 
Sementara itu, Mei Lie yang menghadapi Datuk 
Raja Karang pun masih terus bergerak menyerang 
dengan jurus 'Tarian Bidadari Merayu Dewa'. Tubuh-
nya meliuk-liuk, disertai gerakan-gerakan tangannya 
yang lemah gemulai. Namun dari gerakan-gerakan ke-
dua tangannya itu, keluar angin besar menderu-deru, 
menyentakkan Datuk Raja Karang. 
"Hebat! Tak percuma kau menyandang gelar 
Bidadari Pencabut Nyawa!" seru Datuk Raja Karang 
sambil bergerak mengelitkan serangan Mei Lie. "Tapi 
untuk menghadapi Datuk Raja Karang, ilmumu belum 
seberapa. Hea...!" 
"Jangan banyak omong, Datuk Setan! Hea...!" 
Keduanya kembali berkelebat cepat untuk me-
nyerang. Tangan dan kaki keduanya turut bergerak, 
saling pukul dan tendang. Sementara tangan dan kaki 
yang lain bergerak menangkis serangan dan sapuan 
kaki dan tangan lawan. 
"Hea!" 
"Yea!" 
Trak! 
Setelah terjadi benturan tenaga, keduanya me-
lentingkan tubuh ke belakang. Berjumpalitan di udara 
beberapa kali, kemudian turun dengan enteng ke atas 
tanah. Mata keduanya saling pandang, berusaha men-
jajaki sampai seberapa ilmu lawan. 
"Bagaimana, Bidadari? Apa akan kita teruskan 
dengan senjata?" tanya Datuk Raja Karang menantang. 
"Terserah!" sahut Mei Lie dengan suara dingin. 
"He he he...! Kali ini kau akan kukirim ke akherat! Ber-
siap-siaplah!"  
Srrt 
Datuk Raja Karang mencabut senjatanya yang 
berbentuk arit bermata dua sehingga membentuk hu-
rup Y. Digerakkan senjata itu dengan cepat. Dari mata 
arit mengeluarkan gulungan asap merah yang men-
gandung racun. 
"Hm...," gumam Mei Lie dengan mata menatap 
tajam, menyaksikan senjata lawan yang mengeluarkan 
asap merah. Tangan kanannya bergerak meraba ga-
gang Pedang Bidadari. Kemudian perlahan-lahan dita-
riknya pedang sakti itu. 
Srt! 
Pedang Bidadari kini telah berada di tangannya. 
Seketika sinar kuning kemerahan keluar dari pedang 
itu. Sementara itu dari rumahnya, Ki Lurah Pare Go-
bang terbelalak menyaksikan sinar dari pedang Mei 
Lie. 
"Ck ck ck..! Bukan senjata sembarangan," gu-
mam Ki Lurah Pare Gobang sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Matanya membuka lebar, meman-
dang pedang di tangan Mei Lie. Hatinya berharap, se-
moga kedua pendekar muda itu mampu mengalahkan 
lawan-lawannya yang terkenal kejam dan biadab. 
Suasana di pekarangan rumah Ki Lurah Pare 
Gobang yang semula sunyi, seketika berubah menjadi 
riuh. Penduduk desa tampak berdatangan untuk meli-
hat apa yang sebenarnya terjadi. Mereka segera men-
gepung halaman rumah kepala desa. 
Seperti halnya Ki Lurah Pare Gobang yang 
mengintip dengan harap-harap cemas, penduduk Desa 
Alu Lanang pun mengharapkan hal yang serupa. Me-
reka berharap Pendekar Gila dan Mei Lie akan meme-
nangkan pertarungan itu. 
Mei Lie kini telah mengeluarkan pedang sakti, 
yang sampai saat ini belum ada tandingannya setelah 
Suling Naga Sakti. Matanya menatap tajam Datuk Raja 
Karang, bagaikan sepasang mata Pencabut Nyawa. 
Dan kini Mei Lie benar-benar telah menjadi Bidadari 
Pencabut Nyawa, yang siap menyabut nyawa iblis ma-
cam apa pun. 
Hati Datuk Raja Karang tergetar, menyaksikan 
Pedang Bidadari. Sepertinya sinar kuning kemerahan 
yang keluar dari pedang itu, menyentakkan hati Datuk 
Raja Karang. Matanya masih terbelalak. 
"Hm, pedang itu bukan pedang sembarangan. 
Sinarnya mampu menggetarkan sukmaku," gumam 
Datuk Raja Karang dalam hati dengan mata menatap 
tajam Mei Lie yang sedang memegang Pedang Bidadari-
nya di depan wajahnya. 
"Bagaimana, Datuk Iblis?" tanya Mei Lie. 
"Hm, jangan kira dengan pedang itu, kau akan 
mampu mengalahkanku?" dengus Datuk Raja Karang 
sambil terus menggerakkan arit bermata dua yang se-
makin bertambah banyak mengeluarkan asap merah. 
Asap itu bergulung-gulung, semakin banyak. "Hea...!" 
Melihat Datuk Raja Karang melesat menyerang, 
Mei Lie pun tak mau diam. Dengan menggunakan ju-
rus 'Tebasan Bidadari Batin', Mei Lie melesat menye-
rang, memapaki serangan Datuk Raja Karang. Ma-
tanya terpejam. Gerakan pedangnya tampak teratur 
dan berirama. 
"Hea!" 
Tubuh keduanya melesat ke udara, saling 
menggerakkan senjata masing-masing.  
"Hea!"  
"Yea!"  
Wrt! Wrt! 
Keduanya serentak menggerakkan senjata me-
reka masing-masing, berusaha membabat tubuh la-
wan. Kedua senjata di tangan mereka bergerak cepat 
Trang! 
Prak! 
Bret! 
"Akh...!" jeritan keras membumbung tinggi ter-
dengar dari mulut Datuk Raja Karang ketika Pedang 
Bidadari di tangan Mei Lie membabat tubuhnya. Se-
mua orang yang melihat membelalakkan mata. Pedang 
Bidadari di tangan Mei Lie benar-benar membabat 
pinggang Datuk Raja Karang dari kanan sampai keluar 
ke kiri. Namun tubuh Datuk Raja Karang tak terpeng-
gal. Tubuh sang Datuk tetap utuh. Terluka pun tidak! 
"Heh?!" 
"Hah?!" 
Semua warga Desa Alu Lanang keheranan. Me-
reka tak percaya dengan apa yang terjadi. Rasa tegang 
menyelimuti hati warga desa, termasuk Ki Lurah Pare 
Gobang. Mereka mengira kalau Datuk Raja Karang be-
nar-benar sakti, sehingga dibabat pedang Mei Lie pun 
tak mempan. Namun sesaat kemudian mereka kembali 
tersentak kaget dan keheranan. 
"Heh?!" 
"Hah?!" 
Tubuh Datuk Raja Karang yang semula utuh, 
seketika hancur menjadi debu. Hal itu pula yang 
membuat semua warga Desa Alu Lanang dan Ki Lurah 
Pare Gobang membelalakkan mata, bercampur dengan 
suka cita dan rasa kagum pada Mei Lie. 
"Ck ck ck..! Benarkah apa yang kulihat?" gu-
mam Ki Lurah Pare Gobang dengan mata hampir ke-
luar, menyaksikan kejadian yang dilihatnya. Hatinya 
benar-benar tak percaya, melihat kenyataan yang ada. 
Tubuh Datuk Raja Karang yang semula utuh, dalam 
seperempat minum teh saja telah hancur menjadi de-
bu. 
Mei Lie segera melangkah mendekat ke tempat 
pertarungan Pendekar Gila melawan manusia dengan 
wajah tertutup kain hitam. 
"Kakang, apakah aku perlu maju?" tanya Mei 
Lie. 
"Aha, kurasa tak perlu, Mei. Hanya aku pinjam 
pedangmu. Karena hanya dengan pedangmu, siluman 
ini dapat dibinasakan!" seru Pendekar Gila. 
"Terimalah ini, Kakang!" 
Mei Lie segera melemparkan Pedang Bidadari 
pada Pendekar Gila yang dengan cepat melenting ke 
atas, kemudian dengan cepat menyambar pedang itu. 
Trep! 
"Aha, masihkah kau tetap bertahan, Siluman? 
Hea...!" dengan menggunakan Pedang Bidadari, Pende-
kar Gila segera menggebrak Ratu Siluman Buaya yang 
bercokol di dalam raga Sugali. 
"Heh?!" 
Ratu Siluman Buaya tersentak, menyaksikan 
pedang bersinar kuning kemerahan di tangan Pende-
kar Gila. Sepertinya ada sesuatu yang menyentakkan-
nya. 
Wrt! 
Bret! 
"Akh...!" terdengar pekikan menyayat. Namun 
pekikan itu suara lelaki. Suara Sugali sebenarnya. 
Saat itu juga, tubuh Sugali lebur. Kini tinggal sesosok 
tubuh manusia buaya yang menyeramkan. 
"Grrr! Kubunuh kau, Pendekar Gila!" dengus 
Ratu Siluman Buaya yang telah keluar dari raga Sugali 
yang hancur menjadi debu. Dengan penuh amarah, 
Ratu Siluman Buaya menyerang. 
Pendekar Gila tak mau tinggal diam, segera di-
lemparkan Pedang Bidadari kembali kepada Mei Lie. 
Lalu dengan  cepat tubuhnya bergerak mengelakkan 
serangan-serangan Ratu Siluman Buaya yang dahsyat. 
Tampaknya Ratu Siluman Buaya telah menggunakan 
jurus-jurus andalannya. Jurus-jurus pamungkas 
'Siluman Buaya'. 
"Yea! Grrr...!" 
"Aha, rupanya kau pun harus segera pulang ke 
asalmu, Siluman!" 
Usai berkata, Pendekar Gila segera mencabut 
Suling Naga Sakti-nya. Kemudian setelah melompat, 
segera ditiupnya suling itu. Suara suling mulanya 
mengalun lembut dan mendayu, yang membuat Ratu 
Siluman Buaya terkesima diam. Matanya menatap 
sayu pada Pendekar Gila. 
Namun alunan Suling Naga Sakti semakin lama 
semakin keras, melengking. Dan kemudian, dari sepa-
sang mata kepala naga keluar sinar merah. Lankan si-
nar merah itu, melesat memburu tubuh Ratu Siluman 
Buaya. 
Status! 
Glarrr...! 
"Wua...!" Ratu Siluman Buaya menjerit. Tubuh-
nya terbungkus api yang menyala-nyala. Kemudian so-
sok berbentuk manusia buaya itu hilang tanpa bekas. 
"Hidup Pendekar Gila!" 
"Hidup Bidadari Pencabut Nyawa...!" 
Sorak-sorai warga Desa Alu Lanang terdengar, 
menyambut kemenangan Pendekar Gila dan Mei Lie. 
Mereka serentak mengerubungi kedua pendekar muda 
itu. 
"Hi hi hi...!" Pendekar Gila  tertawa cekikikan 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Aha, seben-
tar lagi pagi, Mei! Tuan-tuan, izinkan kami mene-
ruskan perjalanan." 
"Apa  tak sebaiknya singgah di rumahku dulu, 
Tuan?" tanya Ki Lurah Pare Gobang. 
"Hi hi hi..! Aha, terima kasih, Ki. Sebenarnya 
aku senang sekali kalau dapat menuruti ajakanmu. 
Namun kami harus segera meneruskan perjalanan," 
kata Pendekar Gila. "Ayo, Mei!" 
"Baiklah kalau memang begitu. Terima kasih 
atas pertolongan kalian." 
"Ah, tak perlu kau pikirkan. Ini sudah menjadi 
kewajiban setiap manusia," sambut Mei Lie. 
Kedua pendekar sejoli itu menjura, kemudian 
melangkah meninggalkan Desa Alu Lanang diikuti ta-
tapan kagum Ki Lurah Pare Gobang dan warga de-
sanya. 
"Benar-benar pendekar utama," gumam Ki Lu-
rah Pare Gobang sambil menggeleng-gelengkan kepala. 
Matanya memandang penuh kekaguman pada Pende-
kar Gila dan Mei Lie yang terus melangkah semakin 
jauh menuju selatan. Sampai akhirnya keduanya 
menghilang. "Semoga kalian senantiasa dalam lindun-
gan Hyang Widi" 
Ki Lurah Pare Gobang pun meninggalkan tem-
pat itu, diikuti warganya. 
SELESAI 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa 
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
keras dengan mata menyorot tajam ke wajah lima anak 
buahnya yang langsung terdiam dengan kepala tertun-
duk. "Kedok Hitam, mana gadis itu, heh?! Apakah kau 
sudah bisu?!" 
"Ampun, Ketua! Sesungguhnya kami telah 
mendapatkan gadis yang Ketua kehendaki," tutur Ke-
dok Hitam dengan kepala masih menunduk. 
"Lalu...?" tanya Sugali. Nadanya masih menun-
jukkan kemarahan. Sedang matanya menatap tajam 
wajah Kedok Hitam. "Hei, jawab...?!" 
"Ampun, Ketua! Sesungguhnya, kami memang 
telah mendapatkan gadis yang Ketua kehendaki. Na-
mun di tengah jalan, kami dihadang Pendekar Gila," 
jawab Kedok Ungu dengan suara bergetar. Ada pera-
saan takut di hatinya. 
"Apa?! Pendekar Gila...?!" membelalak mata Su-
gali mendengar anak buahnya mengatakan telah ber-
temu dengan Pendekar Gila. Wajah Sugali seketika be-
rubah membara. Tangan kanannya mengepal, memu-
kuli telapak tangan yang kiri. 
"Benar, Ketua," timpal Kedok Merah, "Karena 
Pendekar Gila dan kekasihnya, sehingga kami gagal 
membawa gadis itu ke hadapan Ketua." 
Sugali mengangguk-anggukkan kepala dengan 
wajah masih menunjukkan kegarangan. Gigi-giginya 
saling beradu. Telah lama dirinya mencari-cari Pende-
kar Gila. Kini tak ada pilihan lain, kecuali mencari 
pendekar itu, untuk menuntut balas atas kematian 
kedua orangtuanya. 
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku!" 
dengus Sugali marah, ketika tiba-tiba teringat kembali 
kedua orangtuanya yang mati di tangan pendekar itu. 
"Aku akan mengadu nyawa denganmu!" 
Kelima anak buahnya hanya diam, tak ada 
yang berani menanggapi ucapan Sugali. Kelima Hantu 
Berkedok hanya saling mencuri pandang, mendengar 
ancaman ketua mereka. Hati mereka bertanya-tanya. 
Mampukah pimpinan mereka menghadapi Pendekar 
Gila yang sakti, karena mereka telah merasakan sendi-
ri kehebatannya. Belum lagi menghadapi gadis Cina 
yang memiliki pedang sakti itu. Pedangnya mampu 
mengeluarkan sinar kuning kemerahan yang mampu 
membuat jantung setiap lawan berdebar keras. Pedang 
itu seakan memiliki kekuatan gaib, yang mampu 
membuat lawan bergetar ketakutan serta merasa di-
bayang-bayangi malaikat pencabut nyawa. 
"Kalian nanti malam ikut aku! Kita harus men-
cari gadis yang diminta Datuk Raja Karang. Kalau kita 
bertemu dengan Pendekar Gila, akulah yang akan 
menghadapinya," ujar Sugali dengan tegas. Matanya 
membelalak dan memerah karena marah. 
"Baik, Ketua...!" sahut kelima anak buahnya 
sambil menjura. Tak seorang pun berani beradu pan-
dang dengan sang Ketua mereka. 
"Sekarang kalian boleh pergi! Ingat, malam 
nanti kita harus mencari seorang gadis!" tegas Sugali 
mengingatkan pada kelima anak buahnya. 
"Baik, Ketua," sahut Lima Hantu Berkedok 
sambil menjura. Kemudian kelimanya segera mening-
galkan markas, untuk mencari makanan. Tampak me-
reka membuka kedok masing-masing. Seketika terli-
hatlah wajah-wajah yang sebenarnya. Lima Hantu 
Berkedok ternyata lima lelaki berwajah buruk. Wajah 
mereka buruk seperti bekas luka bakar yang daging 
wajah mereka gosong dan terkelupas. Mengerikan! 
*** 
Mentari di ufuk barat tampak merangkak turun 
dengan perlahan. Sebentar lagi, malam akan tiba 
membawa kegelapan. Dua orang muda-mudi nampak 
tengah menyelusuri jalanan yang membelah Desa Jati 
Sanga. Kedua remaja yang ternyata Pendekar Gila dan 
kekasihnya Mei Lie atau Bidadari Pencabut Nyawa, 
tengah berusaha mencari tempat untuk bermalam. 
Meski Mei Lie cukup lama hidup di hutan, Pendekar 
Gila tak ingin kekasihnya harus tidur menggelantung 
di pepohonan atau kedinginan diterpa angin malam. 
Itu sebabnya Sena berusaha mencari penginapan. 
"Kakang, kita teruskan saja perjalanan!" usul 
Mei Lie. 
Sena mengerutkan kening dan menghentikan 
langkahnya. Ditatapnya Mei Lie dalam-dalam. Kemu-
dian dengan bibir tersenyum, pemuda berambut gon-
drong itu, menggeleng-gelengkan kepala. 
"Tidak, Mei! Udara malam terlalu jahat untuk-
mu. Kau harus istirahat, karena perjalanan menuju 
Goa Setan masih jauh. Kita memerlukan waktu sekitar 
tiga sampai empat hari," ujar Sena menjelaskan, beru-
saha memberi pengertian pada kekasihnya.  
"Tapi aku kuat, Kakang." "Aku tahu. Tapi kau 
perlu istirahat," tukas Sena. Mei Lie hanya diam, dita-
tapnya wajah Pendekar Gila yang tampan. Gadis itu te-
rasa damai jika berada di sampingnya. Sebenarnya dia 
tak ingin berpisah dengan pemuda tampan yang seper-
ti orang gila ini. Namun dirinya tetap harus sabar me-
nunggu sampai habis pengembaraan Pendekar Gila 
untuk menjalin sebuah rumah tangga yang dicita-
citakan. 
"Ayo, Mei! Kita harus segera mencari pengina-
pan," ajak Sena sambil menggandeng tangan Mei Lie. 
Gadis itu pun menurut. Keduanya kembali melangkah, 
menyelusuri Desa Jati Sanga untuk mencari pengina-
pan. 
Setelah beberapa lama berjalan menyusuri ja-
lan desa, akhirnya Sena menemukan sebuah pengina-
pan yang sederhana. Penginapan itu tak terlalu ramai 
dan besar. Hanya seukuran rumah biasa, kamarnya 
pun hanya lima buah. Di sampingnya ada sebuah ke-
dai yang juga tak seberapa luas. 
Seorang lelaki berusia setengah baya bertubuh 
gemuk datang menghampiri Pendekar Gila dan Mei Lie. 
Dengan tatapan menyelidik, dipandangi kedua orang 
tamunya. Seakan lelaki gemuk berkumis tebal itu, tak 
percaya dengan Pendekar Gila yang cengengesan den-
gan tingkah laku seperti orang gila. 
"Aha, sepertinya kau meragukan kami, Ki," tu-
kas Sena sambil cengengesan dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala. Hal itu membuat pemilik kedai dan 
penginapan semakin menajamkan matanya penuh se-
lidik. 
"Kalian mau menginap?" tanyanya dengan nada 
tak percaya. 
"Benar," sahut Mei Lie mendahului. Mulutnya 
yang tipis tersenyum manis. 
"Hm, apakah kalian bawa uang?" 
Mata Mei Lie membelalak kesal, mendengar 
pertanyaan yang dilontarkan pemilik penginapan. Di-
rinya merasa seperti dihina. Mata Mei Lie melotot me-
nentang mata pemilik penginapan yang menatap me-
reka dengan sikap merendahkan. 
"Kau minta berapa?!" tanya Mei Lie dengan sua-
ra tajam, membuat pemilik penginapan tersentak. Di-
rinya tak menyangka, kalau gadis Cina itu berani 
membentak. 
"Kau?!" tergagap ucapan pemilik kedai. 
"Ya! Jangan sembarangan, Ki! Berapa pun kau 
minta, bila perlu penginapan ini kubeli, aku sanggup!" 
ujar Mei Lie ketus. Ucapan gadis cantik itu membuat 
pemilik penginapan bertambah kaget 
"Sombong sekali kau, Nisanak! Lancang benar 
mulutmu!" bentak pemilik penginapan. Kemudian tan-
gannya bertepuk dua kali. Dari dalam, muncul dua 
orang lelaki bertelanjang dada dengan tubuh kekar. 
Nampaknya kedua lelaki bertampang beringas itu tu-
kang pukul si pemilik penginapan. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali! Mengapa kau suruh 
dua ekor kerbau dungu untuk melayani kami?" tanya 
Sena sambil cengengesan dengan kepala menggeleng-
geleng. Sementara tangannya menggaruk-garuk kepa-
la. 
"Bocah gila! Kuharap kau dan gadis Cina ini se-
gera pergi, atau kedua tukang pukul ku akan menen-
dang kalian sampai keluar!" ancam Ki Gendo sambil 
mengerlingkan mata pada dua orang tukang pukulnya. 
Kedua lelaki beringas itu menyeringai, seakan mere-
mehkan Pendekar Gila dan Mei Lie. 
"Aha, sambutanmu tak pantas, Ki. Inikah sam-
butan pemilik penginapan pada tamunya?" ejek Sena 
dengan masih cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala. Sedangkan Mei Lie kini nampak memasang wa-
jah bengis, kemarahannya sudah memuncak. Nam-
paknya Mei Lie benar-benar tersinggung mendengar 
ucapan Ki Gendo. 
"Orang tua tak tahu diri!" dengus Mei Lie, "Ru-
panya kau benar-benar mencari penyakit!" 
"Oh..., kau jauh lebih galak daripada pemuda 
gila temanmu ini, Nisanak! Hm, aku semakin tertarik, 
apakah di tempat tidur pun kau akan segalak ini?" sa-
hut Ki Gendo dengan senyum sinis mengembang di bi-
birnya. Matanya memandang nakal ke wajah Mei Lie, 
membuat gadis cantik itu bertambah geram. 
"Orang tua, mulanya aku hendak menghorma-
timu. Tetapi, rupanya kau lelaki tak tahu malu!" ben-
tak Mei Lie keras dengan mata melotot 
"Sorpa dan Jawir, kau hadapi dan bereskan 
pemuda gila itu! Biar aku bisa bermesraan dengan ga-
dis ini," perintah Ki Gendo sambil menatap penuh naf-
su pada Mei Lie. Gadis itu tampak tenang dengan mata 
tajam mengawasi gerak-gerik lelaki gendut yang mata 
keranjang itu. 
"Baik, Juragan!" sahut keduanya. Kemudian 
dengan mulut menyeringai, Sorpa dan Jawir melang-
kah mendekati Pendekar Gila yang masih cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Hi hi hi...! Dua kerbau dungu ini, mengapa 
kau suruh melayani aku, Ki?" tanya Sena sambil ter-
tawa cekikikan dan menggaruk-garuk kepala. 
Betapa marah Sorpa dan Jawir dikatakan ker-
bau dungu. Napas mereka mendengus. Lalu masing-
masing merentangkan tangan ke atas dengan jari-jari 
siap mencengkeram. 
"Grrr! Kubunuh kau, Bocah Edan!" dengus 
Sorpa dengan mata menatap garang pada Pendekar Gi-
la. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, Sor-
pa bergerak maju. Kedua tangannya yang sudah diren-
tangkan, kini siap menghantam ke tubuh Pendekar Gi-
la. "Remuk kepalamu! Heaaa...!" 
Wrt! 
"Aits...!" 
Dengan cepat Pendekar Gila merundukkan tu-
buh. Sehingga pukulan kedua tangan Sorpa melintas 
di atas kepalanya. Kemudian dengan cepat pula, Pen-
dekar Gila langsung menyerudukkan kepalanya ke pe-
rut Sorpa. 
Dukg! 
"Ukh!" tubuh Sorpa langsung terhuyung-
huyung ke belakang terkena serudukan Pendekar Gila. 
Matanya membelalak, melotot semakin garang. 
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Pemuda Gila!" 
bentak Jawir sambil melangkah maju. Tangannya dilu-
ruskan ke depan, kemudian ditarik dengan jari-jarinya. 
Lalu setelah diletakkan di pinggang, Jawir langsung 
menghentakkan pukulan kedua tangannya ke tubuh 
Pendekar Gila, "Heaaa...!" 
Dengan cepat Pendekar Gila berkelit ke samp-
ing, sambil mengangkat kaki kanan. Kemudian dengan 
cepat disertai setengah tenaga dalam, ditendangnya 
perut Jawir. Seketika tubuhnya doyong ke depan. 
"Hea!"  
Begk! 
"Ukh...!" keluh Jawir sambil terhuyung mun-
dur. Perutnya terasa mual akibat tendangan Pendekar 
Gila "Hoak! Hoak..!" 
"Hi hi hi...! Lucu sekali, ada dua kerbau dungu 
sedang mabuk," ujar Sena sambil cengengesan dan 
menggaruk-garuk kepala. 
Sementara Mei Lie nampak. masih berusaha 
berkelit dari Ki Gendo yang berusaha merenggut tu-
buhnya. Bahkan kini lelaki setengah baya berperut 
gendut itu tampak jatuh tersungkur, mencium tanah 
karena tak dapat memeluk Mei Lie.  
Brak! 
"Hi hi hi..!" Mei Lie tertawa cekikikan, menyak-
sikan Ki Gendo terjatuh karena dia mengelit ketika le-
laki itu hendak memeluknya.  Hal itu menjadikan Ki 
Gendo semakin penasaran. Lelaki gendut mengenakan 
pakaian kuning itu, langsung bangun. Kemudian den-
gan masih beringas, Ki Gendo segera merangsek tubuh 
Mei Lie, berusaha memeluk Mei Lie. 
"Ayo, tangkaplah aku!" tantang Mei Lie dengan 
senyum meledek di bibirnya. Ki Gendo bertambah naf-
su untuk dapat menangkap Mei Lie. 
"He he he...! Rupanya kau bukan gadis semba-
rangan, Nisanak Aku semakin penasaran," ujar Ki 
Gendo sambil melangkah mendekati tubuh Mei Lie. 
Kedua tangannya mengembang, siap untuk memeluk 
Mei Lie. 
"Ayo, Ki! Tangkaplah aku!" tantang Mei Lie den-
gan senyum masih mengembang di bibirnya. Wajah 
gadis Cina itu bertambah cantik  
"Heaaa...!" 
Ki Gendo langsung menubruk tubuh Mei Lie. 
Namun dengan cepat gadis itu berkelit ke samping kiri. 
Hal itu membuat tubuh Ki Gendo terhuyung karena 
meleset tubrukannya. Saat itu pula, Mei Lie men-
dorong tubuh lelaki setengah baya itu dengan keras 
dan cepat Tubuh Ki Gendo semakin cepat menyeru-
duk. Sehingga, karena tak mampu mengatasi dorongan 
tangan Mei Lie, tubuhnya yang gendut itu menabrak 
dinding kamar depan penginapannya. 
"Aaa...!" 
Brak! 
Dinding kayu kamar itu ambruk. Seketika itu 
pula tampaklah pemandangan di dalam kamar itu. Ma-
ta Pendekar Gila dan Mei Lie terbelalak kaget. Di dalam 
kamar itu, ada lima gadis cantik dalam keadaan telan-
jang. Kelima gadis cantik yang ditampung di dalam 
kamar itu, nampaknya sangat tertekan dan ketakutan. 
"Aha. Rupanya penginapan ini hanya kedok ba-
gi kalian," ujar Pendekar Gila sambil berkelit menge-
lakkan serangan kedua orang tukang pukul Ki Gendo. 
Kemudian dengan cepat, kedua tangannya bergerak 
menghantam tubuh kedua lawan. 
Degk! 
"Akh...!" kedua orang tukang pukul Ki Gendo 
langsung menjerit, terkena pukulan dan tendangan 
Pendekar Gila. Tubuh keduanya yang mirip dua ekor 
kerbau, langsung terpelanting dan menabrak dinding 
papan rumah penginapan itu. 
Brak! 
Suara berderak seketika terdengar disusul hi-
ruk-pikuk orang-orang yang berlarian dari dalam ka-
mar. Beberapa pasang lelaki-perempuan tampak kaget 
dan berhamburan keluar hanya  dengan mengenakan 
pakaian dalam. Nampaknya mereka tengah melang-
sungkan perbuatan maksiat di kamar-kamar pengina-
pan itu. 
"Aha, rupanya penginapan ini tempat terlak-
nat...!" gumam Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk 
kepala. Matanya agak terpicing karena keheranan me-
nyaksikan apa yang terjadi di dalam rumah pengina-
pan itu. Dia tidak menyangka, kalau Ki Gendo rupanya 
seorang germo. Seorang penyelenggara tempat perca-
bulan. 
Melihat kedua tukang pukulnya dapat dikalah-
kan oleh Pendekar Gila. Ki Gendo seketika berlutut 
meminta ampun. Wajahnya pucat-pasi ketakutan, 
mengharap ampunan dari kedua pendekar muda itu.  
"Ampuni nyawaku!" ratap Ki Gendo. 
"Aha, kau benar-benar manusia keji, Ki! Men-
jual kehormatan dan harga diri wanita. Hi hi hi...! Se-
mua terserah pada Mei Lie. Bagaimana, Mei?" tanya 
Sena.  
"Lelaki seperti ini tak dapat diampuni, Kakang. 
Kalaupun kita mengampuni, setelah kita pergi tentu 
dia akan tetap seperti ini. Dia akan melakukan hal se-
perti ini juga," jawab Mei Lie dengan senyum sinis. 
Mendengar jawaban itu, Ki Gendo tampak semakin ke-
takutan. 
"Ampun, Nisanak! Sungguh aku akan sadar," 
ratap Ki Gendo sambil terisak. Hatinya benar-benar 
merasa takut, mendengar ucapan Mei Lie. Bagaimana 
pun Ki Gendo telah tahu kehebatan kedua anak muda 
di hadapannya. 
"Aha, benarkah ucapanmu bisa kami pegang, 
Ki?" tanya Sena dengan tingkah laku masih seperti 
orang gila. Mulutnya cengengesan dengan tangan 
menggaruk-garuk kepala. 
"Sungguh, Tuan. Saya akan sadar." 
"Hi hi hi...! Lucu sekali. Kau tadi seperti raksa-
sa yang punya taring. Kini kau seperti seekor kerbau 
yang kehilangan tanduk," ujar Pendekar Gila dengan 
menggeleng-geleng kepala. Dipandangnya Mei lie, "Ba-
gaimana, Mei?" 
"Baik. Untuk kali ini kuampuni. Tetapi, jika ke-
lak kudengar kau masih memperdagangkan kehorma-
tan kaumku dengan cara seperti ini, aku tak akan 
memberi ampun bagimu!" tegas Mei Lie. 
"Terima kasih, Nisanak. Terima kasih...!" Ki 
Gendo hendak bersujud, tetapi Pendekar Gila dengan 
cepat melarangnya. 
"Ah ah ah, sudahlah, Ki! Kau manusia seperti 
kami Tak pantas manusia menyembah manusia," kata 
Pendekar Gila sambil menyuruh Ki Gendo untuk ban-
gun, "Bangunlah, Ki!" 
Dengan hati masih dilanda ketakutan, Ki Gen-
do menurut bangun. Kini lelaki setengah baya yang 
semula sinis itu, hanya mampu menundukkan kepala. 
Ki Gendo tak berani beradu pandang dengan kedua 
pendekar muda itu. 
"Baiklah, Ki. Kurasa kami harus pergi," kata 
Sena, yang membuat Ki Gendo membelalakkan mata. 
"Kenapa tak menginap saja, Tuan? Sungguh, 
kami ingin menimba ilmu dan budi pekerti dari Tuan 
Pendekar," ucap Ki Gendo penuh harap. 
"Aha, ilmu dan akal budi, sesungguhnya ada 
pada setiap manusia, Ki. Kau pun sebenarnya telah bi-
sa, tinggal bagaimana kau melakukannya," jawab Pen-
dekar Gila seraya tersenyum. "Camkanlah itu, Ki! Jika 
kau selalu ingat itu, kau akan tetap pada jalur hidup 
yang benar." 
"Baiklah, Tuan. Segala apa yang Tuan katakan 
akan saya ingat," sahut Ki Gendo seraya menggaruk-
garuk kepala, tanpa menatap wajah Pendekar Gila. 
"Aha, kurasa aku dan temanku harus segera 
pergi, Ki. Ayo, Mei Lie!" ajak Sena. 
"Ayo, Kakang!" 
Kedua pendekar muda itu pun segera beranjak 
meninggalkan penginapan Ki Gendo yang sekaligus 
tempat mesum itu. Ki Gendo mengiringi Pendekar Gila 
dan Mei Lie sampai depan pagar halaman penginapan-
nya. Tatapan mata lelaki setengah baya itu nampak 
menyiratkan rasa kagum pada kedua pendekar muda 
itu. Hati Ki Gendo menyesali tindakannya, juga sifat-
nya. Seharusnya dirinya yang sudah tua, menyadari 
kalau perbuatannya selama ini merupakan suatu ke-
sesatan. 
*** 
"Tolong! Tolong! Tolooong...!" Malam yang sunyi 
dan sepi, seketika dipecahkan oleh suara jeritan seseo-
rang wanita meminta tolong. 
Jeritan keras itu membuat para penduduk De-
sa Suluh Pring terbangun. Mereka berlarian dari ru-
mah masing-masing membawa obor, ingin tahu apa 
yang sedang terjadi. Suara kentongan pun bersahut-
sahutan, mengisyaratkan kalau malam ini terjadi pen-
culikan di Desa Suluh Pring. 
"Tolong...! Culik..!" seorang wanita setengah 
baya berteriak-teriak, ditingkahi hiruk-pikuk dan 
bunyi kentongan di kegelapan malam. 
"Ada apa, Nyai?" tanya seorang lelaki berbadan 
sedang dengan wajah nampak penuh wibawa. Lelaki 
berusia lima puluh tahun yang ternyata Kepala Desa 
Suluh Pring itu diapit dua pengawalnya. 
"Anak saya, Ki Lurah," jawab wanita setengah 
baya itu terbata di sela tangisnya. 
"Kenapa dengan anakmu, Nyai?" 
"Santini diculik orang-orang berkedok, Ki," sa-
hut wanita itu masih dengan tangisnya. 
"Ke mana mereka pergi?" tanya Ki Lurah Sanu-
si. 
"Ke sana, Ki." 
"Rojak, Sali, kejar mereka! Warga semua, ikut 
aku!" ajak Ki Lurah Sanusi. Seketika itu pula, Ki Lurah 
Sanusi dan kedua tangan kanannya serta warga desa 
memburu ke barat yang ditunjuk wanita setengah baya 
tadi. 
Dalam kegelapan malam, Ki Lurah Sanusi me-
lihat enam lelaki berjalan ke barat Salah seorang lelaki 
memanggul wanita yang tentunya Santini, anak Nyi 
Darmi. Gadis itu nampak meronta, berusaha mele-
paskan diri dari lelaki muda yang memanggulnya. 
"Berhenti kalian!" bentak Ki Lurah Sanusi den-
gan keras. Keenam lelaki berkedok itu seketika berhen-
ti. Mereka serentak menoleh, memandang tajam pada 
Lurah Sanusi dan beberapa warga desa yang mengejar 
mereka. 
"Hm, rupanya ada juga orang yang berani 
menghentikan langkahku," geram salah seorang di an-
tara keenam lelaki yang tak berkedok. Mata lelaki ber-
pakaian merah itu menatap tajam pada Ki Lurah Sa-
nusi dan kedua tangan kanannya. 
"Penculik biadab! Lepaskan gadis itu!" bentak 
Ki Lurah Sanusi tegas, tak takut menghadapi keenam 
begundal yang telah menculik salah seorang gadis 
warganya. 
"He he he..., berani juga kau membentakku, 
Ki," gumam Sugali sambil tertawa terkekeh. "Rupanya 
kau sudah bosan hidup, berani menentangku." 
"Cuih!" Ki Lurah Sanusi meludah. "Menghadapi 
iblis macam kalian, mengapa aku harus takut!" 
"Oooh, bagus! Dengan begitu, kami tak akan 
segan-segan mencabut nyawa kalian," ujar Sugali den-
gan senyum sinis masih melekat di bibirnya. Kemudian 
dengan menggerakkan tangan, Sugali memerintahkan 
pada Lima Hantu Berkedok agar menyerang. 
"Heaaa...!" 
Kelima Hantu Berkedok segera melompat ke 
depan. Mereka dengan beringas langsung melakukan 
serangan pada Ki Lurah Sanusi dan tangan kanannya 
yang dibantu para warga desa. 
"Tangkap mereka...!" perintah Ki Lurah Sanusi 
pada kedua tangan kanannya. Rojak dan Sali diikuti 
para warga Desa Suluh Pring langsung menghadapi se-
rangan Lima Hantu Berkedok  
"Heaaa...!"  
"Heaaa...!" 
"Tangkap...! Serang...!" 
Dengan penuh kemarahan, warga desa dibantu 
kedua tangan kanan Ki Lurah Sanusi langsung meng-
hadang kelima manusia berkedok. Dengan senjata 
yang berupa golok, parang, dan lain-lainnya, mereka 
langsung menggebrak Warga desa bagaikan tak men-
genal takut, membabatkan golok dan parang mereka 
menyerang kelima lelaki berkedok 
"Hea!" 
"Yea!" 
Serangan warga Desa Suluh Pring tampak 
menggebu-gebu. Namun karena tidak dilandasi ilmu 
silat, serangan mereka bagaikan tiada arti. Dengan 
mudah, serangan warga desa dapat dipatahkan kelima 
manusia berkedok 
"Hea...!" 
Dukkk! Plakkk! 
"Aaakh...!" 
Sekali kelima manusia berkedok menggebrak 
dengan pukulan dan tendangan, beberapa orang warga 
memekik terkena tendangan dan pukulan mereka. 
"Heaaa...!" 
Wrettt! Trang! 
"Heaaa...!" 
Walau telah banyak korban berjatuhan di pihak 
warga Desa Suluh Pring, nampaknya mereka tak me-
rasa gentar barang sedikit pun. Pertarungan itu sema-
kin seru. Kemarahan warga Desa Suluh Pring bertemu 
dengan kejengkelan Lima Hantu Berkedok karena me-
rasa terhalangi niat mereka. Namun tiba-tiba.... 
"Hua ha ha...! Rupanya para kecoa itu ada di 
sini, Mei!" 
Suara tawa menggelegar terdengar dari arah se-
latan. Para warga dan Lima Hantu Berkedok sempat 
tersentak kaget 
"Pendekar Gila...!" pekik Lima Hantu Berkedok 
dengan mata membelalak, setelah tahu siapa pemilik 
suara tawa itu. Sementara Sugali yang masih me-
manggul gadis culikannya, seketika menaruh tubuh 
gadis itu ke tanah. Matanya langsung memandang ke 
asal suara tawa itu. 
*** 
Benar, dari arah selatan, muncul dua sosok 
manusia. Seorang wanita dengan pakaian hijau, se-
dangkan di sampingnya seorang lelaki bertingkah laku 
seperti orang gila. Pemuda berpakaian rompi kulit ular 
itu cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk ke-
pala. Matanya menatap tajam Lima  Hantu Berkedok 
yang tampak menyurut mundur, melihat kedua pen-
dekar muda itu. 
"Siapa mereka, Kedok Hitam?" tanya Sugali. 
"Dia Pendekar Gila, Ketua," jawab Kedok Hitam 
dengan mata nanar menatap Pendekar Gila. Dirinya 
kecut karena pernah bentrok dengan pemuda gila itu. 
"Hm, kebetulan! Memang dialah yang kucari se-
lama ini," ujar Sugali sambil melangkah maju. Tatapan 
matanya memancarkan api dendam kepada Pendekar 
Gila. Nafasnya mendengus keras, bagaikan menyimpan 
amarah di dadanya. Hal itu karena tiba-tiba teringat 
orangtuanya mati di tangan pemuda gila itu. "Pendekar 
Gila, aku memang sengaja mencarimu!" 
Pendekar Gila yang belum kenal siapa pemuda 
sebayanya yang mengatakan mencarinya, menge-
rutkan kening. Dipandangi Sugali dengan penuh seli-
dik. Kemudian mulutnya cengengesan sambil mengga-
ruk-garuk kepala. 
"Aha, ada keperluan apa kau mencariku, Kisa-
nak?" tanya Sena masih dengan mata memandang pe-
nuh selidik, mengawasi Sugali dari ujung kaki sampai 
ke ujung rambut. 
"Cuih! Kau masih tak mau menyadari kesala-
hanmu, Pendekar Gila!" dengus Sugali setelah melu-
dah ke tanah. Matanya bagaikan terbakar, menatap ta-
jam wajah Pendekar Gila yang masih cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Aha, kurasa aku tak pernah kenal denganmu," 
gumam Sena. Tingkah lakunya tampak makin konyol. 
Jari telunjuknya memegang kening seakan tengah 
memikirkan sesuatu. Namun mulutnya cengengesan 
Sementara itu, Mei Lie tampak tengah memban-
tu warga Desa Suluh Pring menghadapi Lima Hantu 
Berkedok. Dengan kehadiran Mei Lie, warga desa yang 
semula terdesak  mulai bertambah semangat. Bahkan 
mereka tampak mulai dapat mendesak Lima Hantu 
Berkedok. 
"Jangan banyak omong, Pendekar Gila! Masih 
ingatkah kau dengan suami-istri yang kau bantai tiga 
purnama yang silam di Desa Babakan?!" bentak Sugali 
sengit. Hatinya tampak jengkel mendengar dan melihat 
kekonyolan Pendekar Gila. 
"Aha, aku ingat. Hi hi hi...! Jadi kau anak me-
reka?" tanya Pendekar Gila sambil tertawa-tawa lucu. 
"Benar! Dan aku hendak menuntut balas atas 
kematian kedua orangtua ku!" ujar Sugali semakin 
membara amarahnya. Seakan dendam di dadanya tak 
akan padam, sebelum dapat membunuh Pendekar Gila 
yang telah membunuh kedua orangtuanya. 
"Aha, kebetulan sekali. Hi hi hi...! Kurasa aku 
pun sedang mencarimu, Kisanak," sahut Pendekar Gila 
sambil cengengesan. "Kau murid yang paling durhaka, 
Kisanak Baik pada gurumu yang kau bunuh, maupun 
pada kedua orangtua mu." 
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Pende-
kar Gila! Bersiaplah untuk mati!" dengus Sugali. 
Srang! 
Pedang Dewa Naga dicabut dari warangkanya. 
Nampaknya Sugali tak mau menyia-nyiakan perte-
muan ini. Pemuda itu, sepertinya hendak menghabisi 
nyawa Pendekar Gila secepatnya. Pedang yang menge-
luarkan sinar hijau bagaikan haus darah. 
"Aha, di samping durhaka, kau pun ternyata 
pencuri, Kisanak," ujar Pendekar Gila yang membuat 
Sugali bertambah marah. Matanya menatap semakin 
tajam pada Pendekar Gila. 
"Setan alas! Kubunuh kau, Pendekar Gila! 
Heaaa...!" dengan menggunakan jurus 'Naga Menga-
rungi Samudera' Sugali langsung menggebrak Pende-
kar Gila. Pedang di tangannya bergerak cepat, memba-
bat dan menusuk tubuh lawan. 
Wrt! Wuttt! 
Mendapat serangan begitu cepat, Pendekar Gila 
tak tampak keder atau kewalahan. Bahkan sambil ma-
sih cengengesan, tubuhnya bergerak mengelak. Kali ini 
gerakannya seperti orang mabuk. Itulah jurus 'Dewa 
Mabuk Menjerat Sukma' yang membuat lawan penasa-
ran dan ingin terus memburu. Hal itu karena gerakan 
Pendekar Gila tampak terhuyung-huyung, seperti tak 
memiliki keseimbangan. 
"Heaaa...!" 
Sugali kembali membabatkan pedangnya ke tu-
buh Pendekar Gila yang masih seperti orang gila. Na-
mun dengan gerakan aneh Pendekar Gila mengelitkan 
serangan lawan. Sehingga babatan pedang Sugali me-
lesat beberapa rambut di samping tubuh Pendekar Gi-
la.  
Wrt! 
"Aha, pedangmu hasil curian, sehingga kau tak 
becus menggunakannya, Kisanak," ejek Pendekar Gila 
dengan tingkah laku seperti orang gila. Mulutnya cen-
gengesan dengan tangan sesekali menggaruk-garuk 
kepala. Lalu tertawa cekikikan, yang membuat kema-
rahan Sugali semakin menjadi-jadi. 
"Bedebah! Kubunuh kau, Pendekar Gila! 
Heaaa...!" 
Dengan menggunakan jurus 'Naga Menggeliat 
Mengulur Raga', Sugali melakukan serangan cepat Pe-
dang Dewa Naga di tangannya bergerak cepat, menu-
suk, dan membabat. Direntangkan kedua tangan, se-
hingga jangkauan tusukan dan babatan pedang ber-
tambah dekat dengan sasaran. 
"Hi hi hi..!" sambil tertawa cekikikan, Pendekar 
Gila segera berkelit menggunakan jurus 'Gila Menari 
Menepuk  Lalat. Tubuhnya meliuk-liuk dengan lincah 
bagaikan menari. Sepintas gerakan tariannya sangat 
pelan dan lemah, tetapi Sugali tak juga mampu me-
nyarangkan serangannya ke tubuh Pendekar Gila. 
Bahkan dirinya semakin dibuat penasaran. Pemuda 
berpakaian merah itu telah mengerahkan setengah le-
bih tenaganya untuk memburu Pendekar Gila, tapi ge-
rakan Pendekar Gila yang aneh tak mampu dikejar. 
"Hih...!" 
Dengan masih bergerak seperti orang menari, 
Pendekar Gila melepaskan tepukan tangannya ke tu-
buh lawan. Tubuhnya agak dibungkukkan dan agak 
mendoyong ke depan. Gerakan menepuk yang dilaku-
kan Pendekar Gila kelihatan lamban dan lemah, tetapi 
cukup menyentakkan Sugali. 
Plak! 
"Heh?!" 
Dengan cepat Sugali menarik serangannya. Di-
lentingkan tubuhnya ke atas, berusaha mengelakkan 
serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. Namun ke-
tika kakinya baru saja hendak mendarat di tanah, 
Pendekar Gila telah memburunya. 
"Gila! Dasar gila...!" 
Sugali mencaci-maki sendiri, karena tepukan-
tepukan tangan Pendekar Gila yang nampaknya tak 
memiliki tenaga dapat memburu gerakan tubuhnya. 
Bukan itu saja, tepukan tangan Pendekar Gila yang 
tampak pelan, ternyata mampu menimbulkan desiran 
angin yang sangat keras. Hampir saja Sugali terkena 
pukulan telapak tangan Pendekar Gila, kalau saja tak 
segera menarik serangannya dan melentingkan tubuh 
mengelakkan tepukan itu. 
Sugali terus berusaha mengelakkan pukulan 
telapak tangan Pendekar Gila yang memburunya. Pe-
muda itu telah berusaha mengeluarkan segenap tena-
ga untuk mengelak. Namun serangan yang dilancarkan 
lawan ternyata begitu cepat, walau kelihatannya san-
gat lambat. 
"Hea!" 
Sugali berusaha membabatkan pedang ke tan-
gan lawan yang melesat ke tubuhnya. Namun dengan 
gerakan aneh, Pendekar Gila menarik serangannya. 
Tubuhnya berputar ke arah kiri lalu dengan cepat ka-
kinya menendang. Itulah jurus 'Gila Melepas Lilitan 
Benang'. 
"Hea!" 
Wusss! 
"Heh?!" 
Sugali tersentak kaget. Dirinya tak menyangka 
kalau lawan akan mampu membalas serangan dengan 
begitu cepat Sugali berusaha mengelak ke samping. 
Namun tangan kiri Pendekar Gila dengan cepat mema-
paki tubuhnya. Dan.... 
Degk! 
"Akh...!" Sugali menjerit. Tubuhnya terpental ke 
samping kanan. Dari sela-sela bibirnya, mengalir da-
rah merah. Matanya memandang penuh kemarahan 
pada Pendekar Gila yang tampak hanya cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
Saat itu, tiba-tiba sesosok bayangan merah me-
lesat menuju tempat pertempuran. Ternyata sesosok 
lelaki tua dengan jenggot putih yang telah begitu dike-
nali oleh Sugali. Bayangan lelaki berpakaian mirip resi 
dengan rambut digelung ke atas yang tak lain Ki Pra-
manu tersenyum sinis menatap Sugali. Tentu saja pe-
muda itu terbelalak kaget melihat sosok bayangan gu-
runya muncul di depan mata. 
"Hukum pertama akan segera tiba, Gali. Kutuk-
ku yang pertama, akan menyambutmu," suara itu ter-
dengar dari mulut bayangan Ki Pramanu. "Kau tentu 
masih ingat, bukan...?" 
"Tidak! Aku tak akan kalah di tangan Pendekar 
Gila! Hhh..., dialah yang akan mati di tanganku!" den-
gus Sugali sengit. Matanya yang merah membara 
menghujam tajam ke wajah bayangan Ki Pramanu 
yang masih tersenyum. 
"He he he...! Kau tak dapat menentang suratan, 
Gali. Kau tak akan bisa lepas dari kutuk orang yang 
mengucapkan dalam keadaan sekarat," ujar bayangan 
Ki Pramanu yang semakin membuat Sugali kalap. 
"Orang tua keparat! Minggir! Jangan banyak 
bacot! Tempatmu bukan di dunia, tetapi di neraka!" 
dengus Sugali sambil membabatkan pedang memburu 
Ki Pramanu yang seketika itu pula menghilang dari 
pandangan. 
Lenyapnya bayangan Ki Pramanu, menambah 
kemarahan Sugali. Kini Pendekar Gila jadi sasaran se-
rangannya. Dengan cepat Pendekar Gila bergerak 
mengelakkan serangan yang dilancarkan Sugali. Di-
renggangkan kaki kirinya ke samping sambil men-
doyongkan tubuh. Pedang Sugali pun meleset menderu 
di samping kanan. 
"Hea!" 
Dengan cepat Pendekar Gila menarik kaki ka-
nan, lalu diangkatnya ke atas. Sehingga tepat meng-
hantam perut Sugali. 
Degk! 
"Ukh...!" Sugali memekik tertahan. Tubuhnya 
terpental ke depan dan bergulingan dengan mulut me-
ringis. Perutnya yang terkena lutut Pendekar Gila dira-
sakan mulas. Namun cepat-cepat Sugali bangkit berdi-
ri. Matanya yang merah menatap tajam pada Pendekar 
Gila penuh kebencian. Sementara Pendekar Gila justru 
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
Di pihak lain, Mei Lie yang dibantu Ki Lurah 
Sanusi dan dua tangan kanannya serta warga desa te-
lah mampu mendesak Lima Hantu Berkedok. Kelima 
Hantu Berkedok kini hanya dapat bertahan dari gem-
puran-gempuran yang dilakukan Mei Lie dan Ki Lurah 
Sanusi serta warga desa. 
Kalau saja tak ada Mei Lie, Ki Lurah Sanusi 
dan warganya mungkin tak akan sanggup mendesak 
kelima manusia berkedok. Ilmu yang dimiliki Lima 
Hantu Berkedok ternyata tak bisa dianggap remeh. Je-
las jauh lebih tinggi jika dibanding Ki Lurah Sanusi 
serta kedua orang tangan kanannya. 
"Hea...!" dengan jurus-jurus 'Bidadari'-nya Mei 
Lie terus bergerak menggempur Lima Hantu Berkedok 
yang kian terjepit. Kelimanya terus berusaha bertahan 
dari gempuran si Bidadari Pencabut Nyawa bersama 
warga desa. Namun rupanya serangan Mei Lie dan Ki 
Lurah Sanusi serta kedua tangan kanannya cukup 
dahsyat. Sampai akhirnya.... 
"Hea...!" 
Cras! 
"Akh...!" Kedok Biru menjerit keras, ketika pe-
dang milik Ki Lurah Sanusi membabat tangan kanan-
nya, yang seketika  buntung. Darah deras keluar dari 
tangannya yang terpotong. 
"Bunuh semuanya...!" seru Ki Lurah Sanusi 
memerintah pada warga desa serta kedua tangan ka-
nannya. 
"Hea!" 
"Cincang mereka...!" 
Seketika terdengar suara hiruk-pikuk, jeritan, 
dan teriakan kemarahan memecah suasana malam. 
Para warga Desa Suluh Pring yang telah marah tam-
paknya tak mampu lagi menahan kemarahan. Mereka 
langsung menyerbu Lima Hantu Berkedok. Dengan 
senjata berupa golok, parang, dan arit para warga 
menggebrak lawan yang tampak mulai kendor dalam 
melakukan serangan dan pertahanan. 
Wrt wrt wrt..! 
Jrabs! 
"Akh...!" Kedok Kuning menjerit, ketika golok di 
tangan salah seorang penduduk desa menghujam ke 
perutnya. Sesaat tubuhnya menggelepar, kemudian 
ambruk bersimbah darah. 
Kini Lima Hantu Berkedok tinggal empat orang. 
Dengan tewasnya Kedok Kuning jelas mengurangi ke-
kuatan mereka. Namun untuk kabur mereka tak bera-
ni, karena warga Desa Suluh Pring telah mengepung. 
"Mampus kalian!" dengus Ki Lurah Sanusi 
sambil menusukkan pedangnya ke dada Kedok Merah. 
Sementara dari belakang, penduduk desa pun menye-
rang dengan membabatkan golok serta arit mereka. 
"Hea!" 
Jrabs! 
"Akh...!" Kedok Merah menjerit ketika pedang Ki 
Lurah Sanusi menembus dadanya. Darah menyembur 
keluar, ketika pedang itu dicabut. Belum juga pedang 
Ki Lurah Sanusi tercabut, dari samping kanan dan kiri 
Kedok Merah, golok dan sabit warga desa berkelebat 
membabat 
"Hih...!" 
Bret! 
Wrt! 
Tubuh Kedok Merah menggelepar dengan perut 
hampir putus terbabat golok dan arit warga desa. Se-
kejap kemudian tubuh terbalut pakaian merah itu te-
lah tewas. 
Semakin bertambah ketakutan tiga orang ber-
kedok itu. Apalagi Kedok Hitam kini sudah mulai le-
mah, karena banyak mengeluarkan darah. Sementara 
serangan dari Mei Lie yang dibantu warga desa; sema-
kin bertambah cepat dan garang. Sehingga ketiga Han-
tu Berkedok kian terjepit. Sampai akhirnya.... 
"Hea!" 
Wrt! 
Pedang di tangan Mei Lie yang digerakkan den-
gan jurus 'Tebasan Bidadari Memenggal Gunung' 
membabat leher Kedok Ungu. 
Cras! 
"Akh...!" 
Kedok Ungu memekik ketika Pedang Bidadari 
Mei Lie menyambar lehernya, hingga hampir putus. 
Kini semakin bertambah ciut nyali Hantu Ber-
kedok yang tinggal dua orang. Kedok Biru benar-benar 
terdesak hebat, sedangkan Kedok Hitam kini menjadi 
bulan-bulanan kemarahan warga. Mei Lie yang sudah 
menunjukkan siapa dirinya, terus menyerang Kedok 
Biru dengan jurus 'Tebasan Bidadari Batin'. Sebuah 
jurus pamungkas yang sangat dahsyat 
"Hea!" 
Wrt! 
Cras! 
"Akh...!" Kedok Biru memekik, ketika pedang si 
Bidadari Pencabut Nyawa Iblis membabat lehernya. 
Namun keanehan terjadi Leher Kedok Biru tetap utuh. 
Dan beberapa saat kemudian, ternyata tubuh Kedok 
Biru hancur menjadi debu. 
*** 
Sementara itu, Pendekar Gila masih terus me-
ladeni serangan-serangan yang dilancarkan Sugali. 
Dengan masih cengengesan, Pendekar Gila berkelit. 
Tubuhnya meliuk-liuk laksana menari, sambil sesekali 
tangannya menepuk ke tubuh lawan. 
"Hea...!" 
"Yea...!" 
Pertarungan Pendekar Gila melawan Sugali ber-
langsung seru. Sampai saat itu, dirinya masih men-
gandalkan tangan kosong. Hal itu menjadikan Sugali 
tampak bertambah nafsu untuk menyerang dengan te-
basan dan tusukan Pedang Dewa Naga-nya. 
Dengan jurus 'Naga Merangkak Gunung', Sugali 
terus bergerak begitu cepat laksana terbang sambil 
membabatkan pedangnya memburu lawan. Pedang di 
tangannya, diarahkan untuk membabat dada dan leh-
er Pendekar Gila. 
Namun dengan menggunakan jurus 'Gila Mena-
ri Menepuk Lalat', Sena terus bergerak mengelitkan se-
tiap serangan lawan. Tubuhnya yang meliuk-liuk lak-
sana menari, ternyata mampu mengelakkan serangan 
gencar pedang lawan  yang sangat cepat dan memati-
kan. Padahal sepintas gerakan meliuk yang dilakukan 
Pendekar Gila, kelihatan lamban dan lemah. Hal itu 
membuat Sugali semakin bertambah nafsu, ingin sege-
ra mengakhiri pertarungan itu.  
"Hea!" 
"Uts! He he he...!" dengan tertawa terkekeh, 
Pendekar Gila berkelit dari tusukan pedang lawan. Tu-
buhnya merunduk, kemudian dengan cepat tangannya 
bergerak menepuk lurus ke dada lawan. 
Wrt! 
"Heh?!" Sugali kaget mendapat serangan sece-
pat itu. Dengan mata membelalak, pemuda itu melom-
pat ke samping. Namun dengan cepat pula, Pendekar 
Gila memburu. 
Mei Lie dan warga desa yang sudah mengakhiri 
pertarungan mereka melawan Lima Hantu Berkedok, 
kini membuat lingkaran menyaksikan pertarungan 
Pendekar Gila melawan Sugali. 
"Hea!" 
Sugali yang sudah dapat lepas dari kejaran 
Pendekar Gila, langsung melancarkan serangan. Pe-
dang Dewa Naga di tangan kanannya, menusuk dan 
membabat dengan jurus 'Naga Hitam Mengibas Ekor'. 
Sedangkan tangan kirinya, kini berada di pinggang se-
belah kiri dengan jari-jari terbuka siap menyerang. 
"Yea!" 
Sugali menusukkan pedangnya ke dada lawan. 
Namun dengan cepat Pendekar Gila mendoyongkan 
tubuh ke samping. Namun rupanya tusukan itu hanya 
sebagai pancingan semata. Ketika tubuh Pendekar Gila 
miring ke kiri, dengan cepat kaki kanan Sugali berge-
rak menendang ke muka. 
"Hea!" 
Degk! 
"Ukh...!" Sena memekik tertahan. Tubuhnya 
terhuyung-huyung tiga tindak ke belakang. Dari bibir-
nya keluar darah. "Cuih!" 
Setelah meludah, membuang darah yang mele-
leh. Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga Sakti-
nya. Kemudian dengan cepat, melesat melakukan se-
rangan. 
"Hea!" 
Dengan Suling Naga Sakti di tangannya, Pen-
dekar Gila mengembangkan jurus 'Gila Terbang Men-
cengkeram Mangsa'. Tubuhnya melayang ke atas. Ke-
mudian dengan cepat menukik sambil memukulkan 
Suling Naga Sakti ke kepala Sugali. 
Wrt! 
Melihat Pendekar Gila memukulkan Suling Na-
ga Sakti-nya, dengan cepat Sugali mengangkat Pedang 
Dewa Naga untuk memapaki serangan lawan. 
Wuttt! 
Trang! 
"Ukh!" Sugali memekik tertahan. Tangannya 
tergetar hebat, dirasakan seperti  dialiri hawa panas. 
Pedang Dewa Naga yang tergenggam di tangannya, ter-
pental jauh. Setelah berbenturan dengan Suling Naga 
Sakti. Hal itu membuat Sugali terkejut dan ketakutan. 
Wajahnya seketika berubah pucat-pasi. Sementara itu 
di telinga terdengar suara gurunya, Ki Pramanu yang 
telah dibunuhnya. 
"Kini saatnya, Sugali! Terimalah kutukku yang 
pertama!" 
Bersamaan dengan lenyapnya suara Ki Prama-
nu, Pendekar Gila tiba-tiba bergerak menyerang den-
gan pukulan 'Gila Melebur Gunung Karang'. 
"Hea!" 
Sugali yang tersentak kaget, dengan cepat me-
rundukkan tubuhnya untuk mengelak. Namun ternya-
ta pukulan yang dahsyat itu harus mengena bagian 
mukanya. Tanpa ampun lagi.... 
Jret! 
"Akh...!" 
Sugali menjerit setinggi langit. Wajahnya han-
cur berantakan. Darah menetes keluar dari wajahnya 
yang hancur. Bagaikan kesetanan, Sugali melompat 
menubruk tubuh Pendekar Gila melakukan serangan. 
Namun dengan cepat, Pendekar Gila bergerak menge-
lak. Kemudian, tangan kanannya bergerak cepat den-
gan telapak tangan memukul ke punggung Sugali. 
"Hea!" 
Degk! 
"Akh...!" kembali Sugali menjerit Tubuhnya ber-
gulingan ke tanah dengan cepat bagaikan didorong su-
atu tenaga yang sangat kuat. Tubuh berpakaian merah 
itu terus berguling hingga belasan tombak jauhnya. 
Namun di luar dugaan, tiba-tiba ada sesosok bayangan 
hitam berkelebat menyambar tubuh Sugali dan mem-
bawanya pergi. 
"Datuk Keparat! Tunggu...!" teriak Pendekar Gi-
la sambil melesat untuk mengejar. Namun sosok ber-
jubah hitam yang ternyata Datuk Raja Karang, telah 
melemparkan sesuatu ke tempat Pendekar Gila berdiri. 
Slats! 
Glarrr...! 
Suara ledakan keras terdengar. Bersamaan 
dengan itu, keluar asap mengepul yang menutupi pan-
dangan Pendekar Gila. Dan ketika asap itu lenyap, Da-
tuk Raja Karang telah tak ada di tempat itu. Tampak-
nya ketika mata Pendekar Gila terhalangi asap tebal 
tokoh penolong Sugali telah melesat kabur dari tempat 
pertarungan. 
"Licik!" maki Sena gusar. 
"Kita harus mengejarnya, Kakang. Bukankah 
datuk itu yang telah membunuh Mbakyu Bangil?" de-
sak Mei Lie tak sabar. 
"Aha, kau benar, Mei Lie. Dialah yang menjadi 
sumber petaka di Lembah Lamur," sahut Sena. "Hhh, 
rupanya selama ini dia bersembunyi." 
"Kita cari dia, Kakang!" ajak Mei Lie. 
"Ya," jawab Sena, "Ki Lurah, kurasa kami harus 
segera pergi dari desamu ini." 
"O, mengapa tergesa-gesa, Tuan Pendekar? Se-
benarnya kami ingin menjamu kalian barang dua atau 
tiga hari," jawab Ki Lurah Sanusi. 
"Ah, terima kasih! Gampang lain waktu, Ki," 
sahut Mei Lie. 
Ki Lurah Sanusi tak dapat memaksa keduanya. 
Dirinya menyadari kalau mereka pendekar yang dibu-
tuhkan banyak manusia. 
"Kalau memang begitu, kami tak dapat memak-
sa. Kami atas warga Dewa Suluh Pring, hanya mampu 
mengucapkan terima kasih pada kalian," ujar Ki Lurah 
Sanusi. 
"Aha, tak perlu kau berkata begitu, Ki! Izinkan 
kami pergi!" ujar Pendekar Gila seraya tersenyum. 
"Semoga kalian dalam lindungan Hyang Widi." 
Pendekar Gila dan Mei Lie pun segera pergi dari 
tempat itu untuk mengejar Datuk Raja Karang yang 
selama ini juga tengah dicari-cari oleh mereka. (Untuk 
mengetahui siapa Datuk Raja Karang, silakan ikuti 
serial Pendekar Gila dalam episode: 'Titisan Dewi Kwan 
Im'). 
Pagi telah datang, tak lama setelah Pendekar 
Gila dan Mei Lie meninggalkan Desa Suluh Pring. 
*** 
Datuk Raja Karang yang membawa tubuh Su-
gali kini telah sampai di tepi Laut Selatan. Sugali yang 
berada di pundak kanan lelaki berusia tujuh puluh ta-
hun itu, terdengar merintih-rintih menahan sakit. Wa-
jahnya yang hancur, terus mengeluarkan darah bagai-
kan tak akan mengering. Kutukan sang Guru, Ki Pra-
manu benar-benar terbukti. Sugali tak mati terkena 
hantaman pukulan jurus 'Gila  Melebur Gunung Ka-
rang'. Hanya wajahnya yang hancur. Namun jelas luka 
itu merupakan siksaan yang sangat perih sekali. 
"Tenanglah, Anak Muda! Aku akan berusaha 
menolongmu," ujar Datuk Raja Karang berusaha 
menghibur Sugali yang terus merintih kesakitan. 
"Datuk, aku tak berhasil," keluh Sugali. 
"Tak perlu kau pikirkan itu! Kini yang harus 
kau pikirkan, bagaimana membalas semuanya pada 
Pendekar Gila," sahut Datuk Raja Karang terus beru-
saha membesarkan hati pemuda itu. "Dia memang he-
bat Namun kelak kita akan bahu-membahu mengalah-
kannya." 
Lelaki tua berjubah hitam itu dengan ringan 
melangkah di permukaan air. Aneh! Air laut yang diin-
jaknya seketika berubah membeku. Sehingga permu-
kaan air bagaikan daratan. 
"Kita akan mencari dia, jika kau telah sembuh 
dari lukamu," kata Datuk Raja Karang. 
"Mungkinkah kita mampu menghadapinya, Da-
tuk?" tanya Sugali. Nadanya kurang yakin akan ke-
mampuan dirinya, setelah kini mengalami kekalahan 
yang menyakitkan. 
"Jangan berkata begitu, Tolol! Apakah kau akan 
putus asa dan membiarkan arwah kedua orangtua mu 
penasaran?!" bentak Datuk Raja Karang. "Dengan per-
sekutuan kita, maka tak akan ada pendekar yang 
mampu mengalahkan kita." 
"Benarkah itu, Datuk?" tanya Sugali masih be-
lum percaya. 
"Ya! Kau telah mewarisi ilmu Ki Pramanu. Se-
benarnya ilmu gurumu bukan ilmu sembarangan. 
Sayang kau tak dapat menggunakannya dengan baik. 
Kalau saja kau dapat menggunakannya dengan baik, 
kurasa Pendekar Gila tak akan mudah mengalahkan-
mu," sanjung Datuk Raja Karang, berusaha memulih-
kan semangat Sugali yang mulai ciut setelah kekala-
han ini.  
Sugali hanya diam. Rasa sakit akibat wajahnya 
yang hancur dan terus mengeluarkan darah, semakin 
terasa menyiksa. Dendamnya pada Pendekar Gila se-
makin membara. Dia harus dapat membalas semua 
yang dialami olehnya. Juga dendam atas kematian ke-
dua orangtuanya oleh Pendekar Gila. 
Datuk Raja Karang telah sampai di tepian pu-
lau karang, tempat persembunyiannya selama ini dari 
kejaran Pendekar Gila semenjak kejadian di Lembah 
Lamur. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun yang 
merupakan tokoh sesat itu, nampak melangkah den-
gan ringan sambil memanggul tubuh Sugali. Datuk Ra-
ja Karang kemudian masuk ke sebuah goa yang ada di 
pulau karang itu. 
Goa karang itu cukup besar. Di dalamnya tak 
tampak kegelapan sebagaimana layaknya goa, melain-
kan gemerlapan seperti mengandung emas dan mutia-
ra. Di bagian tengah ruangan goa tampak ada sebuah 
baru besar berbentuk datar dan panjang. Tampaknya 
batu itu memang bisa digunakan untuk pembaringan. 
Datuk Raja Karang meletakkan Sugali di atas batu da-
tar itu. 
Setelah membaringkan tubuh Sugali, dan me-
notok beberapa urat nadi di tubuhnya. Datuk Raja Ka-
rang pun melangkah menuju sebuah ruangan lain da-
lam goa itu. Matanya memandangi satu persatu tabung 
bambu yang tergantung di dinding goa. Sepertinya ten-
gah mencari sesuatu obat, untuk menghilangkan rasa 
sakit yang diderita Sugali. 
"Hm, ini dia," gumam Datuk Raja Karang sam-
bil mengambil tabung yang berisikan serbuk kunyit 
ireng. Dibawanya tabung itu keluar. Kemudian Datuk 
Raja Karang menuju batu datar tempat Sugali masih 
terbaring dengan rintihan-rintihan kesakitannya. 
"Datuk.. o, sakit sekali," rintih Sugali. Darah te-
rus keluar dari luka wajahnya, seakan-akan tak dapat 
mengering. Sehingga tampak keadaan wajah Sugali 
semakin bertambah mengerikan. 
"Sabar, Anak Muda! Ini sebuah bukti, bahwa 
Pendekar Gila benar-benar menghinamu," ujar Datuk 
Raja Karang berusaha menumbuhkan dendam di hati 
Sugali. 
"Tidak, Datuk! Ini sebuah kutukan guruku." 
"Hua ha ha...!" Datuk Raja Karang tertawa ter-
bahak-bahak. "Kutuk? Hm, kau kira gurumu itu orang 
suci yang bisa mengutuk. Ini bukan kutuk, Sugali. Ini 
hinaan dari Pendekar Gila. Bukankah dengan keadaan 
seperti sekarang ini, kau dapat dikucilkan dari pergau-
lan?" 
Sugali menarik napas dalam-dalam. Seakan di-
rinya berusaha mencerna kata-kata Datuk Raja Ka-
rang. Dendamnya pada Pendekar Gila semakin menja-
di-jadi. Hati Sugali membenarkan kata-kata lelaki tua 
yang telah menolongnya itu. 
"Pendekar Gila, tunggulah pembalasanku! Ka-
lau kau bisa menghancurkan mukaku, maka aku akan 
menghancurkan tubuhmu!" dengus Sugali dalam hati. 
Matanya yang tertutup darah, mengerjap-ngerjap. 
"Bagaimana? Apa masih percaya kalau semua 
yang kau alami merupakan kutukan?" tanya Datuk 
Raja Karang dengan senyum kecut menghias bibirnya. 
"Aku percaya dengan ucapanmu, Datuk. Akan 
kubalas semua hinaan ini! Akan kuhancurkan dia...!" 
teriak Sugali dengan keras penuh dendam. Tangan ka-
nannya mengepalkan tinju ke atas, sepertinya ber-
sumpah. 
"Hua ha ha...!" Datuk Raja Karang tertawa se-
nang. "Bagus! Memang itulah yang harus kita lakukan. 
Kita harus menyingkirkan Pendekar Gila!" 
"Tapi, Datuk..." 
"Apa lagi?" tanya Datuk Raja Karang. 
"Ilmuku belum seberapa." 
"Itu masalah mudah. Setelah kau pulih, aku 
akan mengajarkan padamu sebuah ilmu silat yang 
maha sakti," ujar Datuk Raja Karang dengan disertai 
gelak tawa. 
"Terima kasih, Datuk!" 
"Kini, gunakan hawa murnimu! Aku akan men-
coba mengobati luka di wajahmu," perintah Datuk Raja 
Karang. 
Sugali segera menurut. Disalurkan hawa murni 
ke mukanya, agar bisa menahan rasa sakit. 
Melihat Sugali sudah menyalurkan hawa mur-
ni, Datuk Raja Karang pun segera menaburkan bubuk 
kunyit ireng. 
"Aaaouw...! Aaakh...! Sakit.. sakit!" 
Sugali meraung-raung kesakitan, ketika bubuk 
kunyit itu menempel di lukanya. 
"Tenang, Sugali! Hanya dengan kunyit ireng ini, 
kau akan terbebas dari rasa sakit," ujar Datuk Raja 
Karang sambil terus menaburkan bubuk kunyit ireng 
ke luka di wajah Sugali. Hal itu membuat pemuda itu 
semakin memekik keras. Rasa perih dan sakit, terasa 
semakin hebat mendera di wajahnya. Dari wajahnya 
yang ditaburi obat tampak mengepulkan asap. 
"Akh...!" 
Sugali menggelepar-gelepar bagaikan sekarat. 
Dari wajahnya semakin bertambah banyak asap hitam 
mengepul. Sedangkan darah yang mengalir, belum ju-
ga mau berhenti, terus keluar dari lukanya. 
"Oh, apa aku salah mengambil obat?" tanya Da-
tuk Raja Karang dalam hati bimbang dan cemas, me-
nyaksikan bagaimana keadaan Sugali saat itu. Bubuk 
kunyit ireng yang seharusnya mampu menghentikan 
aliran darah, ternyata tak berguna sama sekali bagi 
luka yang dialami Sugali 
Datuk Raja Karang memperhatikan tabung 
bambu yang dipegangnya. Namun hatinya merasa ya-
kin, kalau tabung itu memang berisikan bubuk kunyit 
ireng. 
"Obat ini benar. Hai, kenapa kunyit ireng tak 
berguna?" gumam Datuk Raja Karang nampak cemas, 
karena Sugali semakin sekarat 
Beberapa kali Datuk Raja Karang memandangi 
bergantian ke tabung dan wajah Sugali. Wajahnya 
menggambarkan kecemasan. Keningnya mengerut, 
berlipat-lipat. Hatinya masih tak mengerti, mengapa 
darah yang keluar dari luka di muka Sugali tetap men-
galir. Padahal seharusnya mengering setelah ditaburi 
serbuk kunyit ireng. 
"Akh...! Tobat...!" 
Sugali terus menjerit-jerit, merasakan sakit 
yang hebat. Tubuhnya menggelepar-gelepar, bagaikan 
seekor ayam yang disembelih.  Jemari tangannya 
menggenggam, sepertinya berusaha mencari pegangan 
dan kekuatan. Kemudian diam membisu. 
"Mati...?" tanya Datuk Raja Karang dengan ken-
ing mengerut. Dirabanya dada Sugali. "Ah, masih hi-
dup!" 
Datuk Raja Karang segera meninggalkan tem-
pat itu, untuk melakukan semadi. Dia melangkah me-
nuju sebuah ruangan lain yang tertutup. Di tempat 
itulah, Datuk Raja Karang melakukan semadi, memin-
ta kekuatan pada arwah-arwah yang dipujanya. 
Tangan Datuk Raja Karang bergerak ke kanan 
dan ke kiri. Seketika itu, pintu batu bergeser membu-
ka. Dan kini nampaklah sebuah ruangan yang cukup 
luas. Ada sebuah perapian besar, yang di atasnya ter-
dapat sebuah arca berbentuk manusia buaya. 
Datuk Raja Karang melangkah mendekat. Pintu 
kembali bergerak menutup. Sang Datuk kini duduk 
bersila di dekat perapian, menghadap  arca manusia 
buaya berada. Mulut sang Datuk komat-kamit memba-
ca mantera. Matanya terpejam, dengan kepala agak 
tertunduk  
Wesss! 
Dari arca manusia buaya, keluar asap hitam 
bergulung-gulung. Perlahan-lahan, dari asap keluar 
sosok bayangan samar-samar. Lama-kelamaan, terli-
hat jelas sosok itu. Sosok wanita berkepala buaya. 
"Hik hik hik..! Ada apa kau mengundangku, Ra-
ja Karang?" terdengar suara wanita. Ucapan itu keluar 
dari mulut manusia buaya. 
"Ampun, Sri Ratu sembahan hamba! Hamba 
memohon pertolongan darimu." 
"Tentang apa?" 
"Hamba mempunyai masalah."  
"Dengan Pendekar Gila?"  
"Itu yang pertama, Sri Ratu."  
"Ada lagi...?"  
"Benar, Sri Ratu."  
"Katakan, apa." 
"Hamba memiliki teman yang habis bertarung 
dengan Pendekar Gila. Dia terluka di wajahnya. Tetapi 
anehnya, darah terus mengalir. Apa yang sebenarnya 
terjadi, Sri Ratu?" tanya Datuk Raja Karang meminta 
petunjuk 
"Dia mendapat kutuk berdarah dari gurunya. 
Dia memang tak akan mati ketika bertarung untuk 
pertama kali melawan Pendekar Gila. Dia akan mati, 
oleh kekasih Pendekar Gila," tutur Ratu Siluman 
Buaya. 
"Ampun, Sri Ratu! Lalu bagaimana untuk 
menghadapi Pendekar Gila dengan kekasihnya?" tanya 
Datuk Raja Karang. 
"Aku akan membantumu." 
"Terima kasih, terima kasih, Sri Ratu." 
"Ada lagi, Raja Karang?" tanya Ratu Siluman 
Buaya. 
"Bagaimana dengan pemuda itu?" 
"Raganya akan kugunakan. Dengan begitu, tak 
akan ada yang tahu kalau aku hadir ke dunia," ujar 
Ratu Siluman Buaya. "Kapan kau akan mencari Pen-
dekar Gila?" 
"Jika Sri Ratu berkenan, secepatnya!" 
"Aku telah siap. Beri penutup di mukanya. Agar 
tak diketahui orang," perintah Ratu Siluman Buaya. 
"Baik, Sri Ratu." 
Setelah memberi perintah, Ratu Siluman Buaya 
pun menghilang. Asap tebal kembali bergulung. Ke-
mudian perlahan-lahan asap itu masuk ke arca manu-
sia buaya yang ada di atas perapian. 
Datuk Raja Karang kembali menyembah. Ke-
mudian bangkit dari duduk bersilanya. Kakinya me-
langkah menuju pintu keluar. Tangannya digerakkan. 
Kali ini gerakannya dari kiri ke kanan. Saat itu pula, 
pintu penutup terbuka. Datuk Raja Karang segera ke-
luar melangkah menuju tempat tubuh Sugali yang 
nampak bergerak-gerak. Sepertinya Sugali telah sadar. 
"Raja Karang, carikan kain penutup wajah!" pe-
rintah Sugali yang kini suaranya telah berubah. Bukan 
suara lelaki, melainkan suara Ratu Siluman Buaya. 
"Daulat, Sri Ratu," jawab Datuk Raja Karang. 
Kemudian Datuk Raja Karang bergegas mencari 
kain yang diminta Ratu Siluman Buaya yang sudah 
merasuk ke tubuh Sugali. Tak lama kemudian, Datuk 
Raja Karang telah kembali dengan membawa secarik 
kain hitam yang cukup lebar dan mampu menutupi se-
luruh wajah. 
"Ikatkan ke kepala," perintah Sri Ratu Siluman 
Buaya. 
Tanpa membantah, Datuk Raja Karang segera 
mengikatkan ujung kain hitam itu ke kepala Sugali. 
Seketika wajah menyeramkan yang terus mengalirkan 
darah itu, tertutup kain hitam. Namun darah tetap sa-
ja mengalir, keluar dari luka-luka di wajahnya. Seben-
tar saja kain hitam itu telah basah darah yang terus 
mengalir. 
"Bagus! Dengan begini, kita akan bebas berge-
rak," ujar Ratu Siluman Buaya. 
"Tetapi, darah masih keluar. Dan bau amis ma-
sih tercium, Sri Ratu,." sahut Datuk Raja Karang men-
gingatkan. 
"Itu bukan masalah, Raja Karang. Aku akan 
mengeluarkan ajian 'Raga Wangi', agar bau amis darah 
akan hilang." Setelah berkata begitu, Ratu Siluman 
Buaya yang menyusup ke dalam raga Sugali, nampak 
bersidekap. Tak lama kemudian, bau wangi bunga 
cendana, menyebar keluar dari segenap tubuhnya. 
Dan benar juga, bau amis dan anyir darah hilang. Kini 
yang tercium hanyalah bau wangi bunga cendana. 
"Bagaimana, Raja Karang?" 
"Sri Ratu benar-benar sakti. Bau anyir darah, 
kini telah hilang. Yang tercium, kini bau wangi kem-
bang. Tapi, mengapa mesti bunga cendana? Apakah 
nanti tak akan membuat orang ketakutan di malam 
hari, mencium bau seperti ini?" tanya Datuk Raja Ka-
rang. 
"Tak menjadi masalah. Ayo kita berangkat!" 
ajak Ratu Siluman Buaya. 
"Baik, Sri Ratu." 
Datuk Raja Karang pun segera mengiringi lang-
kah Ratu Siluman Buaya yang telah menyusup ke raga 
Sugali. Keduanya melangkah keluar meninggalkan goa 
karang. Dengan entengnya, keduanya melangkah me-
napaki air lautan. 
*** 
Kehadiran Datuk Raja Karang dengan lelaki 
bercadar hitam yang basah oleh darah, seketika men-
jadi bahan pembicaraan  setiap orang. Baik di kedai, 
maupun di sawah. Juga di tempat-tempat orang ber-
kumpul lainnya. Sepak-terjang mereka benar-benar 
mengerikan. Mereka membuat keonaran di setiap tem-
pat yang disinggahi. 
Sore itu, Datuk Raja Karang dan lelaki berselu-
bung kain hitam yang dari tubuhnya mengeluarkan 
aroma wangi nampak melangkah melintasi Desa Alu 
Lanang. 
Kehadiran kedua manusia berilmu tinggi itu, 
telah membuat resah warga Desa Alu Lanang. Warga 
desa segera berdatangan ke rumah kepala desanya, 
melaporkan kedatangan dua tokoh sakti itu. 
"Ki Lurah, dua orang yang menurut kabar ada-
lah orang-orang jahat dan kejam telah sampai di desa 
kita," lapor seorang warga berusia sekitar empat puluh 
tahun. Nafasnya tersengal-sengal, setelah berlari-lari. 
"Maksudmu, San?" tanya Ki Lurah Pare Gobang 
belum mengerti. 
"Dua orang tokoh sakti, Ki Lurah. Yang satu be-
rusia sekitar tujuh puluh tahun dengan jubah hitam, 
dan seorang pemuda yang wajahnya tertutup kain hi-
tam berlumuran darah," Kasan menjelaskan. 
"Hm, mau apa mereka ke desa kita?" gumam KI 
Lurah Pare Gobang sambil mengelus-elus jenggotnya 
yang telah memutih. Kemudian diliriknya dua orang 
tangan kanannya, "Depa dan kau Suka! Selidiki, mau 
apa mereka! Kalau bisa, tangkap mereka!" 
"Baik, Ki Lurah," sahut kedua lelaki berusia se-
kitar empat puluh tahun dengan tubuh tegap itu. Ke-
mudian dengan diikuti beberapa warga yang melapor, 
Depa dan Suka melangkah meninggalkan rumah Kepa-
la Desa Alu Lanang itu. Namun belum juga mereka 
melangkah jauh, tiba-tiba dihadang dua orang manu-
sia yang disebutkan Kasan tadi. 
"Tak perlu kalian mencari kami. Kami telah da-
tang, untuk menemui lurah kalian!" sentak Datuk Raja 
Karang, yang membuat Depa dan Suka serta warga de-
sa tersentak kaget dengan mata membelalak 
"Siapa kalian?! Dan mau apa datang ke desa 
kami?!" bentak Depa berusaha menunjukkan kebera-
niannya sebagai seorang jawara di Desa Alu Lanang. 
Matanya tajam, menatap penuh selidik pada lelaki tua 
berjubah hitam dan pemuda dengan muka tertutup 
kain hitam berbercak darah. Kumis Depa yang lebat, 
bergerak turun naik Sedang matanya yang tajam terus 
menatap kedua tamu desa itu. 
"Pertanyaan yang bodoh! Kami datang tentunya 
untuk memerintahkan pada lurahmu agar menyembah 
dan takluk di bawah kekuasaan kami!" dengus Datuk 
Raja Karang. 
"Kurang ajar! Lancang sekali mulutmu, Orang 
Tua! Jangan harap kami akan membiarkan kalian me-
lakukan hal itu!" dengus Suka tak kalah garang. 
"Hm, kau mencari penyakit, Orang Tolol! Se-
baiknya katakan saja pada lurahmu, kalau kami me-
merintahkan padanya agar memberikan upeti!" perin-
tah Datuk Raja Karang. 
"Enak sekali mulutmu bicara, Orang Tua! Cuih! 
Langkahi mayat kami, sebelum kau bertemu dengan Ki 
Lurah!" tantang Depa. 
"He he he...! Rupanya kalian mencari mati. 
Baik, bersiaplah untuk mati!" 
"Kami telah siap! Hea...!" Depa dengan dibantu 
Suka serta sepuluh warga desa, serentak bergerak me-
nyerang dengan senjata di tangan masing-masing. 
"Hea!" 
"Cuih! Kecoa-kecoa busuk macam kalian, bera-
ni menantang Datuk Raja Karang!" dengus Datuk Raja 
Karang sambil menggerakkan tangan kanannya ke 
arah orang-orang yang hendak menyerangnya. Seketi-
ka itu pula, kedua belas lawannya terpelanting berja-
tuhan bagaikan dibanting. 
Bugk! 
"Aaakh...!" 
"Aduh!" 
Kedua belas lawannya menjerit dan meringis-
ringis kesakitan. Namun Suka dan Depa cepat segera 
bangun. Lalu dengan penuh amarah, kedua jawara de-
sa itu langsung menyerang dengan goloknya. 
"Hea!" 
"Yea!" 
Melihat kedua orang jawara itu hendak kembali 
menyerang, Datuk Raja Karang tertawa terkekeh. Di-
miringkan tubuhnya ke samping, kemudian dengan 
cepat mencekal kedua tangan lawan yang memegang 
golok. 
Trep! 
"Hea!" bagaikan mengangkat kapas, Datuk Raja 
Karang langsung mengangkat tubuh kedua jawara de-
sa. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam, Da-
tuk Raja Karang langsung membanting kedua jawara 
itu dengan keras. 
"Heaaa...!" 
Brug! 
Breg! 
"Akh!" keduanya menjerit Tubuh kedua jawara 
desa itu seketika meregang sekarat dengan darah 
muncrat dari mulut Sesaat kemudian, tubuh kedua 
jawara itu diam, mati! 
Melihat kedua jawara desa mati dalam sekali 
gebrak saja, nyali para warga desa seketika menciut 
Kesepuluh warga desa itu hendak lari, namun dengan 
cepat lelaki muda yang wajahnya tertutup kain hitam 
langsung mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh. 
"Hea!" 
Zrttt! 
Jret! Jret! Jret! 
"Akh...!" lolongan kematian kembali menggema, 
memecah kesunyian sore menjelang malam. Kesepuluh 
warga desa yang terkena hantaman itu, langsung am-
bruk dengan tubuh menghitam gosong. 
Dengan sinis, Datuk Raja Karang memandangi 
mayat-mayat warga desa yang bergeletakan di tanah 
rerumputan. Kemudian dengan menendang tubuh sa-
lah seorang dari warga desa, Datuk Raja Karang kem-
bali melangkah diikuti manusia yang wajahnya tertu-
tup kain hitam. Langkah keduanya kini menuju rumah 
Ki Lurah Pare Gobang. 
Ki Lurah Pare Gobang yang menyaksikan ba-
gaimana kedua manusia sesat itu membunuh kedua 
tangan kanannya dan sepuluh warga desa, semakin 
takut. Apalagi kini kedua orang sesat dan kejam itu 
menuju rumahnya. Cepat-cepat Ki Lurah Pare Gobang 
mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Dirinya tak in-
gin bertemu dengan kedua manusia jahat dan kejam 
itu. 
"Celaka! Mereka bukan orang sembarangan," 
gumam Ki Lurah Pare Gobang sambil menyandarkan 
tubuhnya di pintu yang telah dikunci. Keringat dingin 
keluar deras membasahi keningnya. Ki Lurah Pare Go-
bang yang memang tak memiliki ilmu silat gemetaran. 
Matanya memandang ke sekelilingnya dengan tegang. 
Belum juga rasa takut hilang dari hati Ki Lurah Pare 
Gobang, tiba-tiba.... 
"Ki Lurah, keluar kau! Jangan bersembunyi 
macam tikus tanah yang ketakutan!" terdengar dari 
luar seruan seseorang lelaki tua tapi tegas dan keras, 
yang membuat tubuh Ki Lurah Pare Gobang bertam-
bah menggigil ketakutan. 
"Celakalah aku!" keluh Ki Lurah Pare Gobang 
hampir menangis. Matanya berkaca-kaca. Tubuhnya 
semakin gemetaran dilanda perasaan takut yang men-
dera jiwanya. 
"Ki Lurah, keluarlah! Atau ku dobrak pintu ru-
mahmu!" kembali dari luar terdengar suara Datuk Raja 
Karang berseru, yang semakin membuat Ki Lurah Pare 
Gobang bertambah ketakutan. Keringat dingin sema-
kin deras bercucuran membasahi tubuhnya. 
*** 
Dengan masih ketakutan, Ki Lurah Pare Go-
bang membuka kunci pintu rumahnya yang terbuat 
dari palang kayu. Tangannya tampak gemetar tak 
mampu menahan rasa takut, yang membuat pintu itu 
turut bergetar. Keringat dingin semakin membasahi 
sekujur tubuh Ki Lurah Pare Gobang. Lelaki berusia 
sekitar enam puluh tahun itu merasa tak mampu ber-
buat apa-apa. Perlahan-lahan Ki Pare Gobang membu-
ka daun pintu rumahnya. Mengintip keluar. Di hala-
man rumah Kepala Desa Alu Lanang, tampak berdiri 
tubuh Sugali yang mengenakan pakaian merah dan 
tertutup kain hitam di wajahnya. Di sampingnya Datuk 
Raja Karang yang mengenakan jubah hitam. 
"Ki Lurah, cepat keluar! Atau kami terpaksa 
menghancurkanmu beserta rumah...!" ancam Datuk 
Raja Karang. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali. Pucuk dicinta, ulam 
tiba. Lama sekali kucari kau. Akhirnya kau kutemu-
kan sedang gembar-gembor di sini!" 
Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara seo-
rang pemuda, diikuti  tawa yang keras dan bergema. 
Suara tawa itu menyentakkan Datuk Raja Karang, 
sampai-sampai tanpa sadar dari mulutnya terucap 
nama gelar pemuda itu. 
"Pendekar Gila!" 
"Diakah pendekar itu, Raja Karang?" tanya Ra-
tu Siluman Buaya yang telah merasuk ke tubuh Suga-
li. 
"Benar, Sri Ratu. Itu suaranya." 
"Kebetulan," gumam Ratu Siluman Buaya. 
"Hi hi hi...! Mei Lie, rupanya datuk bangkong ini 
ada di sini." Suara itu kembali terdengar. Sekejap ke-
mudian, muncul satu sosok lelaki muda berompi kulit 
ular. Di samping seorang gadis cantik berpakaian hi-
jau. Melihat kedatangan kedua sosok itu mata Datuk 
Raja Karang terbelalak kaget 
"Siapa gadis itu, Raja Karang?" tanya Ratu Si-
luman Buaya. 
"Dia Titisan Dewi Kwan Im, yang bergelar Bida-
dari Pencabut Nyawa," tutur Datuk Raja Karang menje-
laskan. 
"Kau takut pada mereka, Raja Karang?" 
"Tidak," sahut Datuk Raja Karang. 
Pendekar Gila yang kini berdiri lima tombak di 
hadapan Datuk Raja Karang dan Ratu Siluman Buaya, 
masih cengengesan. Tangannya menggaruk-garuk ke-
pala. Diambilnya Suling Naga Sakti dari ikat pinggang-
nya, kemudian dengan acuh ditiupnya. 
Suara Suling Naga Sakti mengalun dengan 
lembut, mendendangkan syair yang menceritakan ten-
tang perjalanan hidup manusia. Hal itu menjadikan 
Datuk Raja Karang dan Ratu Siluman Buaya tersen-
tak. 
"Pendekar Gila, apa maksudmu menyindirku?!" 
bentak Datuk Raja Karang keras. Matanya menatap ta-
jam wajah Pendekar Gila yang seketika menghentikan 
tiupan Suling Naga Saktinya. Pendekar Gila menoleh 
ke wajah Mei Lie dengan mulut masih cengengesan. 
Disimpannya  Suling Naga Sakti di ikat pinggang, di-
ganti dengan mengambil bulu burung. Kemudian diko-
rek telinganya dengan bulu burung itu. Seketika mu-
lutnya cengar-cengir kegelian. 
"Hi hi hi... aneh! Aneh sekali...! Kadang orang 
menyadari kekeliruannya. Tetapi orang itu tak mau 
mengakui kesalahannya. Hi hi hi... lucu!" gumam Pen-
dekar Gila sambil terus mengorek telinganya dengan 
bulu burung. 
"Pendekar Gila, rupanya kau benar-benar ha-
rus kami singkirkan!" ancam Datuk Raja Karang. 
"Aha, hebat! Hebat sekali ucapanmu, Datuk 
Bangkong! Hi hi hi...! Mei Lie, kurasa kita tak akan 
membiarkan dia melakukannya, bukan?" tanya Pende-
kar Gila dengan masih cengengesan. 
"Bukan kita yang akan tersingkir, tetapi datuk 
keparat itu yang akan kusingkirkan!" dengus Mei Lie 
dengan ketus. Matanya menatap penuh kebencian pa-
da Datuk Raja Karang, kemudian berganti pada lelaki 
bercadar hitam. 
"Cuih! Meski kau bergelar Bidadari Pencabut 
Nyawa, aku Datuk Raja Karang tak takut padamu!" 
dengus Datuk Raja Karang setengah menggeram. Se-
mentara lelaki yang wajahnya tertutup kain hitam, 
nampak masih tenang. 
"Hm, begitu...?" gumam Mei Lie dengan senyum 
sinis mengembang di bibirnya. "Ingat Datuk Raja Ka-
rang, kau telah membunuh saudara-saudaraku di 
Lembah Lamur. Bagaimanapun, aku mencarimu untuk 
menagih hutang itu." 
"Wuah, jangan sombong, Bidadari Pencabut 
Nyawa! Meski nama julukanmu mampu menggetarkan 
rimba persilatan, tetapi Datuk Raja Karang tak takut 
padamu!" 
"Bagus kalau begitu," sahut Mei Lie. "Bersiap-
lah!" 
"He he he...! Mari kita main-main! Hea...!"  
"Yea...!" 
Datuk Raja Karang melesat dengan tangan ka-
nan siap memukul. Begitu pula dengan Mei Lie, tu-
buhnya melesat memapaki serangan yang dilancarkan 
Datuk Raja Karang. Kedua tangan Mei Lie terentang 
dengan tubuh agak miring. Kemudian kedua tangan-
nya digerakkan turun naik, bagaikan kepakan-
kepakan selendang. 
"Hea!" 
Mei Lie kini membuka jurus 'Selendang Bidada-
ri Mengusir Kabut'. Dari kepakan kedua tangannya, 
menderu angin kencang. Hal itu membuat Datuk Raja 
Karang tersentak kaget. Dirinya tak menyangka, kalau 
gadis Cina ini memiliki ilmu silat yang tinggi. 
"Yea!" 
Dengan menggunakan jurus 'Buana Graha' Da-
tuk Raja Karang segera bergerak mengelakkan seran-
gan yang dilakukan Mei Lie. Kemudian dengan cepat, 
bergerak menyerang. Tangannya yang mengepal, ber-
gerak memukul dari bawah ke atas. Susul-menyusul, 
yang dilanjutkan dengan gerakan hantaman gencar te-
lapak  tangannya. Kaki-kakinya pun tak tinggal diam, 
bergerak menyapu dan menendang ke kaki Mei Lie. 
"Hea!" 
"Yea!" 
Dengan jurus-jurus andalan, mereka terus ber-
kelebat untuk berusaha saling menjatuhkan lawan. 
Gerakan keduanya sama-sama lincah dan cepat. 
Memburu laksana seekor rajawali dan harimau, dari 
mengelak laksana burung seriti dan trenggiling. 
Sementara itu, Pendekar Gila yang masih men-
gorek telinga, matanya mengawasi sosok yang wajah-
nya tertutup kain hitam. Mulutnya masih cengenge-
san, dengan tangan kiri sesekali menggaruk-garuk ke-
pala. 
"Hi hi hi...! Kenapa kau tutupi mukamu?" tanya 
Pendekar Gila. "Aha, tapi bagaimanapun, kau tak bisa 
menyembunyikan siapa dirimu sebenarnya,  Murid 
Durhaka." 
"Hhh!" Hanya dengus kecil keluar dari wajah 
tertutup kain hitam, yang ternoda darah. Sepertinya 
sosok Sugali tak mau berkata-kata. Ada sesuatu yang 
tersembunyi. Hal itu membuat Pendekar Gila menge-
rutkan kening. Kemudian dengan melakukan semadi 
berdiri, dirinya berusaha melihat keanehan itu. 
"Aha, kau rupanya Siluman Buaya," desah Se-
na. "Ah ah ah! Meski kau menutup wajah barumu, kau 
tak bisa menyembunyikan batinmu, Siluman!" 
Tersentak kaget Sugali yang memang dirasuki 
Ratu Siluman Buaya mendengar seruan Pendekar Gila. 
Ratu Siluman Buaya sama sekali tak menyangka, ka-
lau Pendekar Gila akan dapat mengetahui siapa dia 
sebenarnya. 
"Hi hi hi...! Untuk apa kau main sembunyi-
sembunyian, Siluman?" tanya Pendekar Gila dengan 
tertawa cekikikan. Tangannya menutupi mulut. Dige-
leng-gelengkan kepala, sepertinya melihat hal lucu. 
"Keluarlah dari sembunyimu di raga Sugali!" 
"Hm, ternyata nama besarmu bukan nama ko-
song, Pendekar Gila! Karena kau telah tahu siapa aku, 
maka kini tak ada alasan lain bagiku. Aku memang in-
gin membantu pemuda yang raganya kupakai, untuk 
membalas dendam padamu. Bersiaplah, Pendekar Gila! 
Hea...!" dengan melompat laksana seekor harimau, Ra-
tu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali menye-
rang Pendekar Gila. Tangan-tangannya bergerak men-
cengkeram dan mencakar ke tubuh Pendekar Gila 
dengan jurus 'Cakar Buaya Merayap'. Gerakan kedua 
tangannya bergerak susul-menyusul dari bawah ke 
atas. 
"Hi hi hi..! Hea...!" dengan masih cengengesan, 
Pendekar Gila bergerak cepat mengelak. Dengan meng-
gunakan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat' tubuh 
Pendekar Gila bergerak meliuk-liuk laksana menari, 
diselingi tepukan-tepukan tangannya yang membuat 
Ratu Siluman Buaya tersentak kaget 
Prak! 
"Heh?!" 
Ratu Siluman Buaya segera menggeser kaki ki-
rinya ke samping. Kemudian dengan memiringkan tu-
buh ke kiri, tangannya bergerak memapaki tepukan 
tangan Pendekar Gila. 
"Yea...!" 
Plak! 
"Aaakh...!" 
Dua tangan yang mengandung kekuatan tenaga 
dalam itu saling beradu. Tubuh keduanya terdorong 
mundur ke belakang. Pendekar Gila mundur dua tin-
dak ke belakang. Wajahnya cengengesan. Tangan ka-
nannya menggaruk-garuk kepala, sedangkan tangan 
kirinya menepuk-nepuk pantatnya. 
Sementara Ratu Siluman Buaya terhuyung lima 
langkah ke belakang. Tubuhnya agak tergetar, seakan 
tak mampu menahan getaran kekuatan yang keluar 
dari telapak tangan Pendekar Gila. 
"Kau memang hebat, Pendekar Gila. Tetapi aku 
tak mungkin kalah olehmu!" dengus Ratu Siluman 
Buaya geram. Hatinya marah karena ternyata seran-
gannya dapat ditahan Pendekar Gila. Bahkan dadanya 
terasa sakit akibat benturan keras tadi. 
"Hua ha ha...! Kurasa, masalah menang dan 
kalah dalam bertarung bukan kuasa seseorang, Silu-
man. Ah ah ah! Aku hanya heran, mengapa kau ikut 
campur dalam urusan manusia," gumam Pendekar Gi-
la sambil cengengesan. 
"Itu urusanku." 
"Aha, baik! Kalau memang itu yang kau kehen-
daki." 
"Cuih! Kau kira kau akan menang, Pendekar 
Gila! Terimalah jurus 'Buaya Mengibas Ekor'. Hea...!" 
dengan tenaga dalam penuh, Ratu Siluman Buaya 
kembali bergerak menyerang. Tangan dan kakinya ber-
gerak memukul dan menyerampang. Namun dengan 
cepat Pendekar Gila melompat menghindarkan seran-
gan lawan. 
"Hea!" 
Dengan menggunakan jurus 'Gila Terbang 
Mencengkeram Mangsa' Pendekar Gila berkelebat me-
nyerang. Tubuhnya mencelat ke udara laksana ter-
bang. Kemudian dengan cepat menukik dengan tangan 
membuat cengkeraman memburu lawan. 
"Yea!" 
Melihat Pendekar Gila menyerang dari atas, Ra-
tu Siluman Buaya segera mencelat ke atas. Kemudian 
dengan cepat ditangkisnya serangan yang dilancarkan 
Pendekar Gila dengan kedua tangan yang digerakkan 
dari pinggang, menyatu dan membelah ke atas. 
"Hea!" 
Trak! 
"Hea!" dengan cepat Pendekar Gila menarik ka-
ki kanannya ke depan, diikuti dengan tangan kanan 
ditarik ke belakang. Kemudian dengan tubuh bergerak 
memutar, kaki kirinya menendang lurus ke tubuh Su-
gali itu. 
"Yea!" 
Plak! 
"Hih?!" dengan cepat Ratu Siluman Buaya yang 
menghuni raga Sugali bergerak merunduk. Kemudian 
tangan kanannya memukul ke selangkangan Pendekar 
Gila. "Hea...!" 
"Uts! Hih...!" Pendekar Gila segera melemparkan 
tubuh ke belakang, dan bersalto di udara beberapa 
kali. Kemudian dengan kembali bersalto, Sena kembali 
menyerang dengan cengkeraman tangan dan tendan-
gan kaki kanannya. 
"Yea!" 
"Hea!" 
Pertarungan antara Pendekar Gila melawan Ra-
tu Siluman Buaya yang menghuni raga Sugali semakin 
berjalan seru. Keduanya sama-sama lincah dan gesit 
dalam menyerang maupun mengelak. Tubuh keduanya 
bergerak cepat, sehingga kini yang nampak hanya ke-
lebatan bayangan merah dan kekuningan saling kejar 
di udara. 
*** 
Sementara itu, Mei Lie yang menghadapi Datuk 
Raja Karang pun masih terus bergerak menyerang 
dengan jurus 'Tarian Bidadari Merayu Dewa'. Tubuh-
nya meliuk-liuk, disertai gerakan-gerakan tangannya 
yang lemah gemulai. Namun dari gerakan-gerakan ke-
dua tangannya itu, keluar angin besar menderu-deru, 
menyentakkan Datuk Raja Karang. 
"Hebat! Tak percuma kau menyandang gelar 
Bidadari Pencabut Nyawa!" seru Datuk Raja Karang 
sambil bergerak mengelitkan serangan Mei Lie. "Tapi 
untuk menghadapi Datuk Raja Karang, ilmumu belum 
seberapa. Hea...!" 
"Jangan banyak omong, Datuk Setan! Hea...!" 
Keduanya kembali berkelebat cepat untuk me-
nyerang. Tangan dan kaki keduanya turut bergerak, 
saling pukul dan tendang. Sementara tangan dan kaki 
yang lain bergerak menangkis serangan dan sapuan 
kaki dan tangan lawan. 
"Hea!" 
"Yea!" 
Trak! 
Setelah terjadi benturan tenaga, keduanya me-
lentingkan tubuh ke belakang. Berjumpalitan di udara 
beberapa kali, kemudian turun dengan enteng ke atas 
tanah. Mata keduanya saling pandang, berusaha men-
jajaki sampai seberapa ilmu lawan. 
"Bagaimana, Bidadari? Apa akan kita teruskan 
dengan senjata?" tanya Datuk Raja Karang menantang. 
"Terserah!" sahut Mei Lie dengan suara dingin. 
"He he he...! Kali ini kau akan kukirim ke akherat! Ber-
siap-siaplah!"  
Srrt 
Datuk Raja Karang mencabut senjatanya yang 
berbentuk arit bermata dua sehingga membentuk hu-
rup Y. Digerakkan senjata itu dengan cepat. Dari mata 
arit mengeluarkan gulungan asap merah yang men-
gandung racun. 
"Hm...," gumam Mei Lie dengan mata menatap 
tajam, menyaksikan senjata lawan yang mengeluarkan 
asap merah. Tangan kanannya bergerak meraba ga-
gang Pedang Bidadari. Kemudian perlahan-lahan dita-
riknya pedang sakti itu. 
Srt! 
Pedang Bidadari kini telah berada di tangannya. 
Seketika sinar kuning kemerahan keluar dari pedang 
itu. Sementara itu dari rumahnya, Ki Lurah Pare Go-
bang terbelalak menyaksikan sinar dari pedang Mei 
Lie. 
"Ck ck ck..! Bukan senjata sembarangan," gu-
mam Ki Lurah Pare Gobang sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Matanya membuka lebar, meman-
dang pedang di tangan Mei Lie. Hatinya berharap, se-
moga kedua pendekar muda itu mampu mengalahkan 
lawan-lawannya yang terkenal kejam dan biadab. 
Suasana di pekarangan rumah Ki Lurah Pare 
Gobang yang semula sunyi, seketika berubah menjadi 
riuh. Penduduk desa tampak berdatangan untuk meli-
hat apa yang sebenarnya terjadi. Mereka segera men-
gepung halaman rumah kepala desa. 
Seperti halnya Ki Lurah Pare Gobang yang 
mengintip dengan harap-harap cemas, penduduk Desa 
Alu Lanang pun mengharapkan hal yang serupa. Me-
reka berharap Pendekar Gila dan Mei Lie akan meme-
nangkan pertarungan itu. 
Mei Lie kini telah mengeluarkan pedang sakti, 
yang sampai saat ini belum ada tandingannya setelah 
Suling Naga Sakti. Matanya menatap tajam Datuk Raja 
Karang, bagaikan sepasang mata Pencabut Nyawa. 
Dan kini Mei Lie benar-benar telah menjadi Bidadari 
Pencabut Nyawa, yang siap menyabut nyawa iblis ma-
cam apa pun. 
Hati Datuk Raja Karang tergetar, menyaksikan 
Pedang Bidadari. Sepertinya sinar kuning kemerahan 
yang keluar dari pedang itu, menyentakkan hati Datuk 
Raja Karang. Matanya masih terbelalak. 
"Hm, pedang itu bukan pedang sembarangan. 
Sinarnya mampu menggetarkan sukmaku," gumam 
Datuk Raja Karang dalam hati dengan mata menatap 
tajam Mei Lie yang sedang memegang Pedang Bidadari-
nya di depan wajahnya. 
"Bagaimana, Datuk Iblis?" tanya Mei Lie. 
"Hm, jangan kira dengan pedang itu, kau akan 
mampu mengalahkanku?" dengus Datuk Raja Karang 
sambil terus menggerakkan arit bermata dua yang se-
makin bertambah banyak mengeluarkan asap merah. 
Asap itu bergulung-gulung, semakin banyak. "Hea...!" 
Melihat Datuk Raja Karang melesat menyerang, 
Mei Lie pun tak mau diam. Dengan menggunakan ju-
rus 'Tebasan Bidadari Batin', Mei Lie melesat menye-
rang, memapaki serangan Datuk Raja Karang. Ma-
tanya terpejam. Gerakan pedangnya tampak teratur 
dan berirama. 
"Hea!" 
Tubuh keduanya melesat ke udara, saling 
menggerakkan senjata masing-masing.  
"Hea!"  
"Yea!"  
Wrt! Wrt! 
Keduanya serentak menggerakkan senjata me-
reka masing-masing, berusaha membabat tubuh la-
wan. Kedua senjata di tangan mereka bergerak cepat 
Trang! 
Prak! 
Bret! 
"Akh...!" jeritan keras membumbung tinggi ter-
dengar dari mulut Datuk Raja Karang ketika Pedang 
Bidadari di tangan Mei Lie membabat tubuhnya. Se-
mua orang yang melihat membelalakkan mata. Pedang 
Bidadari di tangan Mei Lie benar-benar membabat 
pinggang Datuk Raja Karang dari kanan sampai keluar 
ke kiri. Namun tubuh Datuk Raja Karang tak terpeng-
gal. Tubuh sang Datuk tetap utuh. Terluka pun tidak! 
"Heh?!" 
"Hah?!" 
Semua warga Desa Alu Lanang keheranan. Me-
reka tak percaya dengan apa yang terjadi. Rasa tegang 
menyelimuti hati warga desa, termasuk Ki Lurah Pare 
Gobang. Mereka mengira kalau Datuk Raja Karang be-
nar-benar sakti, sehingga dibabat pedang Mei Lie pun 
tak mempan. Namun sesaat kemudian mereka kembali 
tersentak kaget dan keheranan. 
"Heh?!" 
"Hah?!" 
Tubuh Datuk Raja Karang yang semula utuh, 
seketika hancur menjadi debu. Hal itu pula yang 
membuat semua warga Desa Alu Lanang dan Ki Lurah 
Pare Gobang membelalakkan mata, bercampur dengan 
suka cita dan rasa kagum pada Mei Lie. 
"Ck ck ck..! Benarkah apa yang kulihat?" gu-
mam Ki Lurah Pare Gobang dengan mata hampir ke-
luar, menyaksikan kejadian yang dilihatnya. Hatinya 
benar-benar tak percaya, melihat kenyataan yang ada. 
Tubuh Datuk Raja Karang yang semula utuh, dalam 
seperempat minum teh saja telah hancur menjadi de-
bu. 
Mei Lie segera melangkah mendekat ke tempat 
pertarungan Pendekar Gila melawan manusia dengan 
wajah tertutup kain hitam. 
"Kakang, apakah aku perlu maju?" tanya Mei 
Lie. 
"Aha, kurasa tak perlu, Mei. Hanya aku pinjam 
pedangmu. Karena hanya dengan pedangmu, siluman 
ini dapat dibinasakan!" seru Pendekar Gila. 
"Terimalah ini, Kakang!" 
Mei Lie segera melemparkan Pedang Bidadari 
pada Pendekar Gila yang dengan cepat melenting ke 
atas, kemudian dengan cepat menyambar pedang itu. 
Trep! 
"Aha, masihkah kau tetap bertahan, Siluman? 
Hea...!" dengan menggunakan Pedang Bidadari, Pende-
kar Gila segera menggebrak Ratu Siluman Buaya yang 
bercokol di dalam raga Sugali. 
"Heh?!" 
Ratu Siluman Buaya tersentak, menyaksikan 
pedang bersinar kuning kemerahan di tangan Pende-
kar Gila. Sepertinya ada sesuatu yang menyentakkan-
nya. 
Wrt! 
Bret! 
"Akh...!" terdengar pekikan menyayat. Namun 
pekikan itu suara lelaki. Suara Sugali sebenarnya. 
Saat itu juga, tubuh Sugali lebur. Kini tinggal sesosok 
tubuh manusia buaya yang menyeramkan. 
"Grrr! Kubunuh kau, Pendekar Gila!" dengus 
Ratu Siluman Buaya yang telah keluar dari raga Sugali 
yang hancur menjadi debu. Dengan penuh amarah, 
Ratu Siluman Buaya menyerang. 
Pendekar Gila tak mau tinggal diam, segera di-
lemparkan Pedang Bidadari kembali kepada Mei Lie. 
Lalu dengan  cepat tubuhnya bergerak mengelakkan 
serangan-serangan Ratu Siluman Buaya yang dahsyat. 
Tampaknya Ratu Siluman Buaya telah menggunakan 
jurus-jurus andalannya. Jurus-jurus pamungkas 
'Siluman Buaya'. 
"Yea! Grrr...!" 
"Aha, rupanya kau pun harus segera pulang ke 
asalmu, Siluman!" 
Usai berkata, Pendekar Gila segera mencabut 
Suling Naga Sakti-nya. Kemudian setelah melompat, 
segera ditiupnya suling itu. Suara suling mulanya 
mengalun lembut dan mendayu, yang membuat Ratu 
Siluman Buaya terkesima diam. Matanya menatap 
sayu pada Pendekar Gila. 
Namun alunan Suling Naga Sakti semakin lama 
semakin keras, melengking. Dan kemudian, dari sepa-
sang mata kepala naga keluar sinar merah. Lankan si-
nar merah itu, melesat memburu tubuh Ratu Siluman 
Buaya. 
Status! 
Glarrr...! 
"Wua...!" Ratu Siluman Buaya menjerit. Tubuh-
nya terbungkus api yang menyala-nyala. Kemudian so-
sok berbentuk manusia buaya itu hilang tanpa bekas. 
"Hidup Pendekar Gila!" 
"Hidup Bidadari Pencabut Nyawa...!" 
Sorak-sorai warga Desa Alu Lanang terdengar, 
menyambut kemenangan Pendekar Gila dan Mei Lie. 
Mereka serentak mengerubungi kedua pendekar muda 
itu. 
"Hi hi hi...!" Pendekar Gila  tertawa cekikikan 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Aha, seben-
tar lagi pagi, Mei! Tuan-tuan, izinkan kami mene-
ruskan perjalanan." 
"Apa  tak sebaiknya singgah di rumahku dulu, 
Tuan?" tanya Ki Lurah Pare Gobang. 
"Hi hi hi..! Aha, terima kasih, Ki. Sebenarnya 
aku senang sekali kalau dapat menuruti ajakanmu. 
Namun kami harus segera meneruskan perjalanan," 
kata Pendekar Gila. "Ayo, Mei!" 
"Baiklah kalau memang begitu. Terima kasih 
atas pertolongan kalian." 
"Ah, tak perlu kau pikirkan. Ini sudah menjadi 
kewajiban setiap manusia," sambut Mei Lie. 
Kedua pendekar sejoli itu menjura, kemudian 
melangkah meninggalkan Desa Alu Lanang diikuti ta-
tapan kagum Ki Lurah Pare Gobang dan warga de-
sanya. 
"Benar-benar pendekar utama," gumam Ki Lu-
rah Pare Gobang sambil menggeleng-gelengkan kepala. 
Matanya memandang penuh kekaguman pada Pende-
kar Gila dan Mei Lie yang terus melangkah semakin 
jauh menuju selatan. Sampai akhirnya keduanya 
menghilang. "Semoga kalian senantiasa dalam lindun-
gan Hyang Widi" 
Ki Lurah Pare Gobang pun meninggalkan tem-
pat itu, diikuti warganya. 
SELESAI 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa