Pendekar Gila 21 - Kitab Ajian Dewa(2)



“Akh...!” pekikan keras terdengar dari orang-orang 
yang terhantam sinar itu. Betapa dahsyat kekuatan  
sinar keperakan dari rambut Purbaya. Kulit tubuh 
yang terkena serangan itu langsung terkelupas dan
gosong seperti terbakar. Mulut mereka mengerang-
erang menahan panas dan rasa sakit yang hebat. 
Melihat kejadian itu, lima orang anak buah Partai 
Kera Hitam yang masih hidup berusaha kabur dari 
tempat pertempuran karena ketakutan. Melihat 
gelagat lawan-lawannya dengan cepat Purbaya segera 
bergerak mencegat mereka. 
“Mau lari ke mana kalian?!” bentak Purbaya 
geram. 
“Ampun! Jangan bunuh kami…!” ratap pimpinan 
mereka sambil bersujud ketakutan, mengharap 
ampunan Purbaya. 
“Hm, manusia macam kalian tak ada ampunan! 
Terimalah kematian kalian! Heaaa...!” 
Dengan cepat Purbaya menggerakkan kepala ke 
arah lima lelaki yang masih memegang pedang dan 
golok. Seketika itu juga rambut panjangnya 
berkelebat memancarkan cahaya berkilauan. Dan 
dari kilatan cahaya menyilaukan itu melesat sinar 
putih keperakan. Itulah ajian 'Rambut Api' Purbaya. 
“Heaaa...!” 
Wuttt! 
Slats! Slats! 
“Akh...!” Lima orang terpekik bersamaan ketika 
sinar yang melesat dari ajian 'Rambut Api' Purbaya 
menghantam telak tubuh mereka. Seketika tubuh 
kelima lelaki beringas itu meleleh hingga ber-
sembulan tulang-belulang dengan cairan merah 
kehitaman. Seketika suasana berubah hening, tak 
ada lagi suara erangan atas atau jeritan kesakitan. 
Karena kelima anak buah Partai Kera Hitam langsung 
mati saat sinar keperakan menghantam tubuh 
mereka. 
Pendekar Gila dan Mei Lie terlonjak kaget. 
Keduanya tidak menduga kalau Purbaya akan 
berbuat seperti itu. Pendekar Gila hanya mampu 
menarik napas, sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. Dirinya sebenarnya tak setuju jika Purbaya 
menghabisi nyawa mereka. Karena orang-orang itu 
tadi telah meratap minta ampun. 
“Ah ah ah...! Kawan, mengapa kau lakukan itu? 
Bukankah mereka sudah minta ampun?” tanya Sena 
dengan meringis sambil menggaruk-garuk kepala. 
“Maafkan aku, Kawan. Hatiku telah terbawa 
perasaan, ketika tiba-tiba teringat kejadian dua puluh 
tahun silam. Manakala orang-orang jahat yang 
mungkin pimpinan mereka membunuh ayah, serta 
membuat keluargaku berantakan,” tutur Purbaya 
seakan menyesali tindakannya. 
Pendekar Gila menghela napas dalam-dalam. 
Kemudian dengan cengengesan sambil tangan kanan 
menggaruk-garuk kepala, diliriknya Mei Lie yang 
hanya diam membisu, seakan tak berniat meng-
ucapkan kata-kata. 
“Adi Purbaya, mungkin jalan hidupmu masih 
lumayan dibandingkan nasibku. Ayah dan ibuku mati 
dibantai. Sedangkan kau masih punya ibu. 
Bersyukurlah, karena kau masih punya kesempatan 
untuk dapat bertemu dengan ibumu,” tutur Sena 
sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. 
“Sedangkan aku, tak punya siapa-siapa. Memang 
menurut cerita paman dan bibiku masih hidup. Tapi..., 
entah di mana.” 
Purbaya terdiam mendengar cerita yang dituturkan 
Pendekar Gila. Hatinya merasa tutur kata pendekar 
itu sangat bijaksana dan menunjukkan ketabahan 
serta kesabaran. Dirinya sendiri baru saja terpancing 
amarah. Padahal penderitaannya, belum seberapa 
dibandingkan yang dialami Pendekar Gila (Untuk lebih 
jelasnya, silakan ikuti serial Pendekar Gila dalam 
episode pertamanya yang berjudul 'Suling Naga 
Sakti'). 
“Ah ah ah, sudahlah! Semua telah terjadi. Tak 
perlu kita sesalkan dan permasalahkan. Oh, aku lupa 
untuk membayar makanan yang tadi kita makan. 
Ayo...!” ajak Sena sambil melangkah menuju ke kedai. 
Setelah membayar makanan yang telah mereka 
makan, Pendekar Gila kembali keluar menemui 
Purbaya yang tengah duduk di serambi depan kedai. 
Mei Lie mengikuti di belakangnya. 
“Sekarang, hendak ke mana kau pergi?” 
“Hm..., sebenarnya aku akan pergi ke Desa 
Kranggan untuk mencari kuburan ayahku.” 
“Desa Kranggan? Bukankah ini Desa Kranggan?” 
balik Mei Lie bertanya, nadanya menjelaskan pada 
Purbaya kalau desa di mana mereka kini berada 
adalah desa yang tengah dicari oleh Purbaya. 
“O, jadi ini Desa Kranggan?” tanya Purbaya. 
“Benar, Adi Purbaya...,” sahut Mei Lie tersenyum 
pada Purbaya. 
“Ke arah manakah kalian hendak melangkah?” 
tanya Purbaya seraya menatap wajah Mei Lie dan 
Pendekar Gila bergantian. 
“Aha, entahlah. Kami berdua hanyalah 
pengembara. Kami pergi tanpa tujuan yang pasti,” 
jawab Sena tersenyum cengengesan sambil menoleh 
ke wajah Mei Lie. Gadis itu tersenyum dan 
mengangguk. 
“Baiklah, kalau begitu. Aku hendak tinggal 
beberapa saat di desa ini. Kalau ada umur panjang, 
mungkin kita akan bertemu lagi. Bukan begitu, Tuan 
Pendekar?” tanya Purbaya. 
“Aha, benar juga katamu, Adi Purbaya. Baiklah, 
aku dan Mei Lie memohon pamit,” ujar Sena. 
“Sampai jumpa lagi, Purbaya,” sahut Mei Lie 
sambil melangkah seiring dengan Sena, meninggal-
kan Purbaya. Pemuda itu berdiri mematung, menatap 
langkah sepasang pendekar meninggalkan tempat 
itu. 
“Sungguh seorang pendekar yang berbudi luhur. 
Meski tingkah lakunya seperti orang gila, jiwanya 
sangat agung. Semoga kita bisa bertemu lagi, Tuan 
Pendekar! Dan semoga aku akan segera men-
dapatkan kitab milikmu,” gumam Purbaya sambil 
melangkah meninggalkan pelataran kedai. 
Orang-orang yang ada di kedai itu tampak 
memperhatikan sambil menggeleng-geleng kepala. 
Mereka semua merasa kagum terhadap kehebatan 
pemuda berambut keperakan itu. 
“'Tuan Pendekar, Tunggu...!” seru gadis cantik yang 
tadi ditolongnya. Gadis itu berlari mengejar Purbaya 
yang seketika berhenti, lalu menoleh ke belakang. 
“Ada apa, Nisanak?” tanya Purbaya.  
“Tadi ku-dengar kau mengatakan dari Desa 
Kranggan ini. Siapakah, kakang...?”  
“Namaku Purbaya.” 
“Hah?! Kau Purbaya...? Purbaya anak Paman Kerto 
Pati?” tanya gadis cantik itu berusaha menegaskan. 
Matanya terbelalak, seakan tak percaya pada apa 
yang baru saja didengar. 
“Benar. Siapakah kau, Nisanak?” tanya Purbaya 
ingin tahu. 
“Aku Suheni, anak Ki Marno. Kepala Desa 
Kranggan ini,” jawab gadis berpakaian biru laut itu. 
“O, jadi kau Suheni? Tak kusangka, kita bisa 
bertemu lagi!” gumam Purbaya sambil menggeleng-
geleng kepala. “Bagaimana kabar Paman Marno dan 
Bibi Sami?” 
“Ayah dan ibu, mati dibantai mereka. Ayah 
menolak memberi upeti pada Partai Kera Hitam yang 
dipimpin Wanara. Orang itu juga yang dulu mem-
bunuh Paman Kerto Pati,” tutur Suheni. Mendengar 
penuturan gadis cantik itu Purbaya tersentak kaget 
dengan mata terbelalak. Orang yang menghabisi 
nyawa ayahnya ternyata masih hidup. Dihelanya 
napas dalam-dalam, seakan-akan berusaha mereda-
kan amarahnya. 
“Sudah kuduga, kalau kesepuluh orang tadi anak 
buah si manusia kera itu,” gumam Purbaya, 
“Beruntung Sena menasihatiku. Kalau tidak mungkin 
aku tak dapat menahan amarah.” 
Purbaya menunduk sedih, ketika teringat pada 
peristiwa yang pernah terjadi dua puluh tahun silam. 
Suheni pun terdiam, seakan mulutnya terasa kelu tak 
dapat berkata lagi. 
“Apakah kau tahu, di mana ibuku?” 
“Entahlah, Purbaya! Aku tak tahu. Tapi, mungkin 
Paman Gendo mengetahuinya,” ujar Suheni. “Sebaik-
nya kau menginap di sini dulu, Purbaya.” 
“Baiklah. Aku akan ke kuburan ayah dulu,” ujar 
Purbaya sambil melangkah diiringi Suheni menuju ke 
arah barat, tempat dulu rumahnya berada. 
Semua orang yang sejak tadi memperhatikan 
Purbaya bercakap-cakap dengan Suheni seketika 
mengikuti langkah pemuda itu. Mereka seketika 
merasa memiliki gairah hidup lagi, setelah tahu siapa 
pemuda berambut putih keperakan itu. 
“Hidup Purbaya...” 
“Hidup Malaikat Berambut Perak...!” 
Para warga mengelu-elukan kedatangan Purbaya 
ke Desa Kranggan. Kini semua harapan warga 
tertumpu pada Purbaya. Mereka mengharap pemuda 
itu akan mampu membela Desa Kranggan dari 
ancaman Partai Kera Hitam. 
“Hidup Purbaya...!” 
“Hidup Malaikat Berambut Perak...!” 
“Hidup anak Kerto Pati...!” 
Warga Desa Kranggan terus mengikuti ke mana 
langkah Purbaya pergi. Orang-orang yang berada di 
dalam rumah pun bermunculan keluar, ingin melihat 
anak Kerto Pati yang telah kembali. Suasana Desa 
Kranggan seketika menjadi riuh. Para penduduk 
seakan-akan merasa baru saja terjaga dari mimpi 
buruk, setelah dua puluh tahun lebih dicekam 
ketakutan. 
*** 
Pendekar Gila dan Mei Lie masih melangkah 
menelusuri jalanan di tepi Sungai Blongkeng yang 
membelah Hutan Kenjer Kuning. Kedua muda-mudi 
itu sekali-sekali bercanda ria sambil menikmati 
indahnya suasana senja yang sejuk. Di atas 
pepohonan di sepanjang tepian sungai terdengar 
suara kicau burung-burung yang hendak pulang ke 
sarangnya. 
Betapa gembiranya Mei Lie saat itu setelah lama 
berpisah dengan Pendekar Gila. Rasa rindu yang 
selama ini dipendamnya, dicurahkan pada pemuda 
tampan namun tingkah lakunya seperti orang gila itu. 
“Ayo kejar, Kakang...!” seru Mei Lie sambil lari, 
setelah mencubit pinggang kekasihnya. Sena tampak 
meringis-ringis kesakitan, akibat cubitan itu. 
“Hi hi hi...! Akan kukejar ke mana pun kau pergi, 
Mei Lie Sayang...!” seru Sena sambil berlari mengejar 
Mei Lie yang berlari sambil tertawa-tawa. 
Kedua sejoli itu terus berkejaran dengan diselingi 
canda ria. Suasana sore itu dirasakan bertambah 
indah. Alam sekelilingnya seakan turut bergembira 
menyaksikan kebahagiaan keduanya. 
“Ayo Kakang, kejar aku...!” Mei Lie kembali berseru 
sambil terus berlari dengan tawanya yang merdu. 
“Aha, akan kukejar!” seru Sena sambil kembali 
berlari mengejar. Keduanya terus berkejar-kejaran. 
Tak terasa keduanya sampai di tengah Hutan Kenjer 
Kuning. Namun tiba-tiba Mei Lie berhenti. Keningnya 
berkerut karena mendadak kupingnya mendengar 
suara kaki-kaki menginjak dedaunan.  
Kresek! Krak! 
“Hm!” gumam Mei Lie sambil memasang telinga 
tajam-tajam, berusaha meyakinkan pendengarannya. 
Matanya yang lembut dan sayu menatap tajam ke 
sekelilingnya. Kepalanya meneleng seakan-akan ingin 
memastikan dari mana asal suara-suara itu. 
“Aha, ada apa, Mei Lie...?” tanya Sena yang 
melihat Mei Lie nampak diam dengan mata terpicing 
dan dahi berkernyit. 
“Ssst!” Mei Lie memberi isyarat pada Pendekar 
Gila agar diam. 
Sena nyengir sambil menggaruk-garuk kepala. 
Kemudian dia pun memasang telinganya dengan 
tajam, untuk mendengar apa yang diisyaratkan 
kekasihnya. 
Kresek! 
Krek! 
Pendekar Gila cengengesan, mendengar suara 
langkah kaki menginjak dedaunan kering. 
“Hi hi hi...! Rupanya ada babi hutannya juga, Mei 
Lie!” tukas Sena sambil menggaruk-garuk kepala. Mei 
Lie melototkan mata gemas. Dicubitnya pinggang 
Sena, yang membuat Sena meringis. 
“Cerewet! Diam dulu...!” sungut Mei Lie dengan 
wajah cemberut. Pendekar Gila semakin 
cengengesan. Tetapi gadis cantik itu, tidak cemberut 
lagi. Bahkan diam sambil tersenyum. “Diam! Nanti 
mereka lari!” 
“Aha, keluarlah kalian jika tidak ingin kulempar 
dengan tanah!” seru Sena yang membuat Mei Lie 
mendengus kesal bercampur geram. 
Seketika dari balik semak-semak muncul lima 
lelaki berpakaian coklat tua lengan panjang. Rambut 
mereka panjang, diikat dengan kain membentuk 
segitiga. Namun wajah kelima lelaki berwajah bersih 
itu tak menggambarkan kebengisan sebagaimana 
layaknya para penjahat. Ada perasaan sabar 
tergambar di wajah mereka. 
“Siapa kalian?!” tanya salah seorang yang 
berkumis tipis. 
“Aha, kami hanya petualang biasa. Kami tak 
membawa apa-apa,” jawab Sena sambil tersenyum-
senyum dan menggaruk-garuk kepala. Kelima lelaki 
muda itu mengerutkan kening, menyaksikan tingkah 
laku Pendekar Gila. 
Sejenak Pendekar Gila dan Mei Lie saling tatap 
dengan kelima lelaki berambut panjang itu. 
“Kami adalah Lima Jelanga dari Sawo Jajar. 
Apakah kalian utusan gerombolan Partai Kera Hitam 
yang ditugaskan untuk mengejar kami?” tanya 
Jelanga Patra, yang merupakan orang tertua dari 
kelimanya. 
“Hi hi hi...! Apakah pantas kami sebagai anak buah 
Partai Kera Hitam?” tanya Sena sambil tersenyum 
dan menggeleng-geleng kepala. Lalu matanya 
memandang Mei Lie yang juga tersenyum sambil 
menggeleng-gelengkan kepala. 
“Kisanak, kami sendiri tak kenal dengan 
gerombolan Partai Kera Hitam itu. Ah, mengapa 
kalian mesti takut pada gerombolan itu?” tanya Mei 
Lie semakin tertarik ingin tahu. 
“Hm, semua orang sepertinya merasa takut pada 
gerombolan Partai Kera Hitam. Apa sebenarnya yang 
terjadi?” tanya Mei Lie dalam hati. Dirinya merasa 
heran karena sudah dua kali ini mendengar Partai 
Kera Hitam disebut. Pertama di Desa Kranggan, 
ketika seorang gadis lari ketakutan hendak diculik 
gerombolan dari Partai Kera Hitam. Dan sekarang, 
kelima orang itu pun sepertinya takut dengan Partai 
Kera Hitam. 
Kelima Jelanga dari Sawo Jajar nampak belum 
percaya. Kelimanya memperhatikan dengan 
seksama, kedua muda-mudi berada lima tombak di 
hadapannya. Mereka merasa pemuda itu mirip orang 
gila. Sedang yang satu lagi seorang wanita yang 
tampaknya bukan bangsa pribumi. 
“Benarkah kalian bukan orang-orang Partai Kera 
Hitam?” tanya Jelanga Patri, seakan-akan ingin 
memastikan, kalau kedua orang itu benar-benar 
bukan anggota Partai Kera Hitam yang terkenal ganas 
dan kejam. 
“Aha, kalian lucu sekali! Kalian tampaknya tak 
percaya pada kami. Kalau begitu, lebih baik kami 
pergi. Ayo Mei Lie!” ajak Sena dengan cengengesan. 
Mendengar nama Mei Lie disebut, kelima Jelanga 
dari Sawo Jajar membelalakkan mata. Kening mereka 
mengerut. Sepertinya mereka sedang mengingat-
ingat sesuatu. Ketika Mei Lie bersama Pendekar Gila 
hendak melangkah pergi, Jelanga Kantra berseru. 
“Bidadari Pencabut Nyawa Iblis, tunggu...!” 
Pendekar Gila dan Mei Lie seketika tersentak 
kaget lalu menghentikan langkah. Keduanya 
mengerutkan kening, mendengar seruan dari Jelanga 
Kantra, yang menyebut gelar Mei Lie. 
Kelima Jelanga dari Sawo Jajar segera memburu 
Mei Lie dan Pendekar Gila. Mereka segera menjura 
hormat bersama. Melihat sikap kelima lelaki yang 
belum dikenalnya itu Pendekar Gila mengernyitkan 
kening. Namun mulutnya kembali cengengesan. 
“Aha, kenapa kalian ini?” tanya Sena sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
“Maafkan kami! Terimalah hormat kami! Sungguh 
hal yang bodoh dan tolol tak tahu kalau di hadapan 
kami telah berdiri dua pendekar sakti,” ujar Jelanga 
Patra, sambil memimpin keempat saudara 
seperguruannya memberi hormat. 
“Aha, sudahlah! Tak perlu kalian berlaku begitu. 
Kami manusia biasa seperti kalian,” ujar Sena 
tersenyum. 
“Benar Kisanak sekalian. Tak perlu Kisanak 
berlaku merendah seperti itu. Oh ya, kalau boleh kami 
tahu, siapa Kisanak sekalian? Dan mengapa ada di 
dalam hutan?” tanya Mei Lie ingin tahu. 
Jelanga Patra menghela napas dalam-dalam 
seraya memejamkan mata, seakan-akan hendak 
menekan perasaannya. Kemudian mulai menuturkan 
kenapa mereka berada di dalam Hutan Kenjer 
Kuning. 
“Kami berlima sedang menjaga Ki Rupaksi, guru 
kami yang terluka parah akibat bentrok dengan 
gerombolan dari Partai Kera Hitam. Wanara ketua 
Partai Kera Hitam terus menginginkan para anak 
buahnya mencari Kitab Ajian Dewa yang berada di 
tangan Ki Rupaksi...” 
Pendekar Gila dan Mei Lie serta keempat adik 
seperguruan Jelanga Patra terdiam. Di wajah kelima 
Jelanga dari Sawo Jajar tampak kedukaan yang 
dalam. 
“Akhirnya guru kami harus mengalami luka dalam 
yang parah...,” lanjut Jelanga Patra. “Sedangkan Kitab 
Ajian Dewa kini telah berpindah ke tangan Wanara... 
Mei Lie tampak mengangguk-anggukkan kepala, 
seakan memahami penuturan murid Ki Rupaksi itu. 
Sementara itu Pendekar Gila hanya cengengesan 
sambil menggaruk-garuk kepala. 
“Dengan luka dalam yang berat, guru kami bawa 
ke tempat ini. Kami berusaha menolong guru, 
menyembuhkan luka dalam, tetapi tak mampu. 
Lukanya terlalu berat. Kalau saja guru sudah bertemu 
dengan Tuan, mungkin kematiannya akan tenang. 
Karena guru pernah berkata, akan sangat menyesal 
jika mati belum bertemu dengan Pendekar Gila. 
Karena Ki Rupaksi merasa berhutang budi, serta 
harus bertanggung jawab pada Pendekar Gila atas 
kitab itu,” ujar Jelanga Patra mengakhiri ceritanya. 
''Aha, kalau begitu Ki Rupaksi ada di sini?” tanya 
Sena. 
“Benar, Tuan Pendekar.” 
“Boleh kami bertemu?” tanya Mei Lie. 
“Tentu saja, mari!” ajak Jelanga Patra. 
Mei Lei dan Sena diantar kelima Jelanga dari Sawo 
Jajar memasuki Hutan Kenjer Kuning, tempat Ki 
Rupaksi berada. Keduanya dibawa ke sebuah gubuk 
yang sangat tersembunyi letaknya hingga sulit 
diketemukan orang Iain. 
Di depan gubuk, terdapat empat orang yang 
berpakaian merah muda lengan panjang dengan ikat 
kepala sama seperti yang dipakai Lima Jelanga dari 
Sawo Jajar. Mereka langsung menjura dan memberi 
jalan, ketika Pendekar Gila dan Mei Lei da tang. 
Di sebuah pembaringan kayu seorang lelaki 
berusia sekitar enam puluh lima tahun tampak 
terkulai lemas, itulah Ki Rupaksi. Di dadanya yang tak 
tertutup nampak terdapat goresan-goresan hitam 
seperti terbakar, karena terpukul ketika bertarung 
melawan anak buah Wanara. 
Pendekar Gila dan Mei Lie mendekati Ki Rupaksi 
yang tampak lemah sekali. 
“Guru..., guru, kami datang,” bisik Jelanga Patra. 
Mata tua Ki Rupaksi perlahan-lahan membuka. 
Kemudian memandang dengan tatapan kosong pada 
sang Murid yang berjongkok di sampingnya. 
“Ada... apa, Patra...?” tanya Ki Rupaksi dengan 
uara berat dan lemah sekali. “Kau...! Oh..., apakah 
gerombolan... itu datang...?” 
“'Tidak, Guru. Kami membawa Pendekar Gila,” 
bisik Jelanga Patra lirih. 
“Pen..., dekar Gila?” tanya Ki Rupaksi lirih. “Huk! 
Huk...!” 
“Benar, Guru. Lihatlah...!” Jelanga Patra pun 
menoleh pada kedua tamunya yang berdiri dua 
tombak dari pembaringan sang Guru. Pendekar Gila 
yang mengerti maksud Jelanga Patra segera 
melangkah mendekati Ki Rupaksi diikuti Mei Lie. 
Sesaat keduanya terdiam, menatapi wajah lelaki tua 
itu. 
“Ki Rupaksi, apa yang terjadi?” tanya Sena. 
“Pendekar... Gila..., huk...! Benar..., kah kau 
Pendekar Gi..., la...?” tanya Ki Rupaksi dengan suara 
terputus-putus. Tangannya memegangi dadanya yang 
terasa sakit. 
“Aku muridnya, Ki,” jawab Pendekar Gila pelan 
sambil mengerahkan tenaga dalam yang disalurkan 
lewat kerongkongannya. Hal itu dimaksudkan untuk 
memberi pendengaran Ki Rupaksi agar jelas. Itulah 
ilmu 'Penyusup Suara'. 
“O..., syukurlah kau akhirnya datang...! Tetapi..., 
aku tak mampu menjaga kitab itu...,” keluh Ki 
Rupaksi lirih, hampir tak terdengar, “Mereka..., 
mereka telah mengambilnya. Aku... minta maaf, 
Pendekar Gila!” 
“Ah, sudahlah, Ki! Kau tak perlu memikirkan hal 
itu. Kalau memang kitab itu jodoh, tentu mereka akan 
mampu mempelajarinya. Tetapi jika tidak, mereka 
pun tak akan mampu memaksakan,” tutur Pendekar 
Gila berusaha menenangkan dan memberi semangat 
pada Ki Rupaksi agar tetap bertahan hidup. 
“Benar, Ki. Dan kalau begitu, kau adalah adik Ki 
Kerto Pati, ayah Purbaya, bukan...?” tanya Mei Lie 
yang juga ingin memberi semangat hidup pada lelaki 
tua yang berbaring lemah dalam sakitnya. 
“Purbaya...? O, sungguh malang nasibnya. Entah di 
mana anak itu kini,” keluh Ki Rupaksi lirih. Dari kedua 
matanya, mengalir air mata. 
“Dia masih hidup, Ki,” ujar Mei Lie, “Bahkan kami 
telah bertemu.” 
“O..., syukurlah.” 
Sesaat mereka terdiam dalam kebisuan dan 
kesedihan, menyaksikan penderitaan Ki Rupaksi. 
Hanya karena Kitab Ajian Dewa yang dititipkan 
Pendekar Gila dari Goa Setan, membuat dirinya kini 
menderita. Sena benar-benar merasa turut prihatin 
terhadap kejadian itu. Namun juga merasa tertarik 
ingin tahu kitab macam apa sebenarnya yang 
dititipkan gurunya, sehingga menjadi rebutan di 
kalangan rimba persilatan.  
“Pendekar Gila...!”  
“Saya, Ki.” 
“Kuminta padamu, jagalah Purbaya. Dialah 
penerus kami satu-satunya, setelah Kerto Pati dan 
aku tak ada. Beritahukan padanya, kalau ibunya 
masih hidup. Kini berada di markas Partai Kera 
Hitam, dijadikan istri Ketua Partai Kera Hitam. 
Uhuk...! Jaga pula Ketawang dan Sungo Karu,” pesan 
Ki Rupaksi kepada Pendekar Gila. 
“Di mana keduanya, Ki?” tanya Sena ingin tahu. 
“Kami akan berusaha.” 
“Keduanya sedang mengemban tugas, menye-
lamatkan Nyi Ambar Sari dari... Wanara. Oh...!” Ki 
Rupaksi terkulai lemas. Nyawanya melayang 
meninggalkan raga. 
“Guru...! Guru, jangan tinggalkan kami...!” para 
murid dari Perguruan Sawo Jajar menangis 
memanggil-manggil sang Guru yang telah pergi untuk 
selamanya. Begitupun lima Jelanga dari Sawo Jajar. 
Mereka tak dapat menahan sedih atas kepergian Ki 
Rupaksi. 
Pendekar Gila dan Mei Lie tampak menundukkan 
kepala sebagai penghormatan pada Ki Rupaksi. 
“Kera Hitam...! Hm, siapakah sebenarnya Pimpinan 
Partai Kera Hitam?” tanya Sena dalam hati. Dia pun 
turut sedih, melihat kematian Ki Rupaksi yang juga 
sahabat gurunya. Sebagai pewaris Kitab Ajian Dewa, 
Pendekar Gila merasa turut bertanggung jawab atas 
kitab itu. “Mengapa guru tak mengatakan padaku, 
kalau dia memiliki Kitab Ajian Dewa yang dititipkan 
pada seseorang? Mungkinkah dia lupa?” 
Sore itu pula, mayat Ki Rupaksi dikebumikan. 
Dengan rasa duka yang dalam para muridnya turut 
menghadiri upacara pemakaman itu. Namun ketika 
mereka tengah melakukan doa terakhir, tiba-tiba.... 
“Heaaa...!” 
*** 
Serangan yang datang tiba-tiba itu, cukup 
menyentakkan semua yang berada di sekitar kuburan 
Ki Rupaksi. Tidak terkecuali Pendekar Gila dan Mei 
Lie. 
“Awas...!” teriak Mei Lie mengingatkan pada murid-
murid Ki Rupaksi yang juga terkejut mendapatkan 
serangan secara tiba-tiba. Perasaan duka cita yang 
dalam serta perhatian yang tertuju pada kuburan Ki 
Rupaksi membuat mereka tak menyadari kalau ada 
yang mengawasi dari jauh. 
“Hea...!” 
“Hea...!” 
Dua puluh lelaki berwajah beringas dan ber-
pakaian sama melakukan serangan mendadak 
dengan pedang. Hal itu membuat kesepuluh murid Ki 
Rupaksi berlompatan dan bergulingan untuk 
mengelakkan serangan itu. Kemudian dengan cepat, 
mereka mencabut senjata masing-masing. 
Srt! 
“Hea!”  
Trang! Trang! 
Suara pekikan keras bercampur dengan dentang 
nyaring dari pedang dan golok yang saling beradu, 
seketika memecahkan suasana hening di Hutan 
Kenjer Kuning. Sesaat kemudian jeritan-jeritan 
kematian menyusul. Suasana hening senja itu 
berubah riuh dan ramai. Perasaan duka cita di hati 
para murid Ki Rupaksi beruah menjadi kemarahan 
yang hebat. Bagaikan banteng-banteng terluka 
mereka menghadang lawan yang ternyata anak buah 
Partai Kera Hitam. Apalagi ketika menyadari di pihak 
mereka ada Pendekar Gila dan si Bidadari Pencabut 
Nyawa Iblis. 
“Hea!” 
“Yea!” 
Trang! Trang! 
Suara dentangan pedang semakin membisingkan. 
Dua puluh anak buah Partai Kera Hitam yang ganas, 
terus menggebrak dengan babatan dan tusukan 
pedang. Namun kesepuluh murid Ki Rupaksi yang 
sudah marah pun tak tinggal diam. Mereka 
menghadang dan membalas serangan dengan tak 
kalah ganas. 
“Hea!” 
“Yea!” 
Mei Lie yang juga menjadi sasaran keberingasan 
orang-orang Partai Kera Hitam tak tinggal diam. 
Segera dicabutnya Pedang Bidadari yang mampu 
mengeluarkan sinar kuning kemerah-merahan. 
Kemudian dengan jurus-jurus 'Bidadari'nya, gadis itu 
berkelebat memapaki serangan lawan-lawannya. 
“Yea!” 
Trang! Trang! 
Dengan pekikan nyaring Mei Lie melompat 
menerjang lawan-lawannya. Tubuhnya melesat ke 
sana kemari menangkis dan menyerang dengan 
cepat. 
Trak! Trak! 
“Hah?!” 
“Heh?!” 
Dua orang yang berhadapan dengan Mei Lie 
tersentak kaget, ketika pedang mereka patah 
terbabat Pedang Bidadari. Mereka sesaat terbelalak 
keheranan, sehingga ketika Mei Lie membabatkan 
pedangnya lagi, tanpa ampun mereka tak sempat 
bergerak mengelak. Dan.... 
“Hea!” 
Wrt! 
Jrab! Jrab! 
“Akh...!” kedua lawannya terpekik keras. Tubuh 
kedua lelaki berwajah beringas itu tampak masih 
utuh, seperti tak berbekas babatan pedang. Mereka 
berdiri tegak mematung. Namun sesaat kemudian, 
ketika ada angin kencang bertiup tubuh mereka tiba-
tiba telah lebur menjadi serpihan-serpihan debu. 
Sementara itu, Pendekar Gila pun tampak dengan 
ringan menghadapi kedua penyerangnya. Sambil 
cengengesan dan sesekali menggaruk-garuk kepala-
nya, Pendekar Gila terus bergerak mengelakkan 
serangan-serangan kedua lawannya. 
“Hea!” 
Wrt! Wrt! 
“Hi hi hi...! Kurang ajar, Kecoa Busuk! Ini untuk 
kalian!” dengan meliukkan tubuh, Pendekar Gila 
segera menepuk dada kedua lawannya yang karena 
melakukan serangan dada mereka terbuka. 
“Hih...!” 
Plak! Plak! 
“Wua...!” 
Pekikan keras seketika terdengar, ketika serangan 
Pendekar Gila mendarat telak di dada kedua 
lawannya. Bagaikan didorong suatu kekuatan tenaga 
yang hebat kedua tubuh lelaki itu terpental deras ke 
belakang. 
Brak! Brak! 
Tubuh keduanya terhenti ketika menerjang pohon-
pohon jati besar. 
“Akh...!” pekik kematian terdengar ketika tubuh 
kedua lelaki itu ambruk. Darah muncrat dari mulut| 
mereka yang hancur karena membentur batang 
pohon jati. Sementara itu Pendekar Gila tampak 
hanya cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
Di pihak murid Ki Rupaksi, nampaknya 
pertarungan mereka malawan keenam belas anak 
buah Partai Kera Hitam berjalan seimbang. Empat 
murid Perguruan Sawo Jajar mati. Sedangkan di pihak 
lawan, delapan orang telah bergelimpangan tewas tak 
jauh dari kuburan Ki Rupaksi. Kini tinggal enam orang 
melawan delapan anggota Partai Kera Hitam. 
Mengetahui teman-temannya banyak yang mati, 
apalagi melihat Pendekar Gila dan Mei Lei telah 
menyelesaikan pertarungan, kedelapan anak buah 
Partai Kera Hitam merasa takut. Pertarungan mereka 
dibebani perasaan takut, kalau-kalau Mei Lie dan 
Pendekar Gila membantu kelima murid Ki Rupaksi 
Hal itu mengakibatkan pertarungan mereka nampak 
kacau dan kurang mantap. 
“Hea...!” 
Cras! 
“Akh!” 
Tiga orang anggota Partai Kera Hitam terbabat 
pedang murid-murid Ki Rupaksi. Tinggal lima orang 
lagi yang masih hidup. Namun, tampaknya nyali 
mereka semakin ciut, sehingga gerakan mereka kian 
tak beraturan. Pertahanan yang mereka lakukan 
pecah dan kian melemah. Sehingga akhirnya dalam 
waktu sebentar mereka telah terbabat habis, jatuh 
bergelimpangan dan tewas. 
“Sayang, semua mati,” gumam Sena sambil 
menggaruk-garuk kepalanya. 
“Ya. Padahal kita mestinya menangkap hidup-
hidup salah satu dari mereka untuk menanyakan di 
mana markas Partai Kera Hitam,” sahut Mei Lie 
sepertinya menyesal, tak dapat menangkap salah 
satu dari anggota Partai Kera Hitam. 
“Kurasa hutan ini sudah tak aman lagi, Kisanak,” 
ujar Sena memberi keterangan. “Sebaiknya kalian 
segera pergi dari sini! Kami akan meneruskan 
perjalanan untuk mencari markas Partai Kera Hitam 
dan sekaligus melaksanakan pesan Ki Rupaksi.” 
“Baiklah, Tuan Pendekar. Selamat jalan dan 
selamat berjuang! Semoga Hyang Widhi senantiasa 
bersama kalian,” ucap Jelanga Patra. 
“Terima kasih,” sahut Mei Lie dengan tersenyum, 
lalu mengajak Pendekar Gila utuk segera beranjak 
meninggalkan tempat itu. Dengan diikuti pandangan 
mata kelima murid Ki Rupaksi, kedua pendekar itu 
melesat meninggalkan Hutan Kenjer Kuning. 
Sepeninggal Pendekar Gila dan Mei Lie, Lima 
Jelanga dari Sawo Jajar nampak masih menatap 
makam gurunya. Perasaan duka masih menggurat di 
wajah mereka. 
“Guru, kami berjanji akan membalas semua ini!” 
ujar Jelanga Patra dengan suara berat menahan 
perasaan. “Tunggulah pembalasan kami, Wanara...!” 
lanjutnya dengan mengepalkan tangan dan meng-
gertakkan gigi. 
Setelah melakukan sembah di depan makam Ki 
Rupaksi Lima Jelanga dari Sawo Jajar itu 
meninggalkan Hutan Kenjer Kuning untuk mencari 
markas Partai Kera Hitam. 
*** 
Betapa marahnya Wanara, setelah mendengar kabar 
banyak anak buahnya yang mati di tangan se-pasang 
pendekar muda. Ditambah pula rencana-ren-cana 
yang senantiasa kandas, karena digagalkan seorang 
pemuda berambut keperakan. Kemarahannya 
semakin menjadi-jadi. Segala rencana yang dijalan-
kan selalu saja telah diketahui orang yang akan di-
jadikan sasaran. Seolah-olah ada pihak tertentu yang 
telah dengan sengaja membocorkan rencana 
Pimpinan Partai Kera Hitam itu. 
“Sodra, Lombang, dan Watu Gunung, kalian kuutus 
untuk memimpin semua anak buah. Sodra, cari 
sepasang pendekar muda-mudi dan pemuda 
berambut keperakan! Lombang, kau dan anak 
buahmu cari tahu, siapa yang telah menjadi musuh 
dalam selimut! Bunuh dia...! Watu Gunung, kau 
kutugaskan untuk meminta upeti kepada semua 
kepala desa yang ada di sekitar Hutan Palapiring ini. 
Bila membangkang, bakar desanya!” 
“Baik, Ketua!” sahut ketiganya serentak. 
“Kerjakan sekarang juga!” 
“Akan kami lakukan,” jawab ketiganya sambil 
menjura. Kemudian ketiga tangan kanan Wanara 
bersama anak buahnya meninggalkan markas Partai 
Kera Hitam. 
Wanara benar-benar dibuat marah atas kejadian-
kejadian merugikan perkumpulannya. Dirinya tak 
habis pikir, siapa sebenarnya tiga pemuda yang telah 
membunuh banyak anak buahnya, serta meng-
gagalkan semua rencananya. Pimpinan Partai Kera 
Hitam juga tak habis pikir, siapa yang telah mem-
bocorkan semua rencananya. 
Dengan terburu-buru, Wanara berjalan menuju 
bangunan yang terletak di sebelah kanan bangunan 
utama, tempat tinggal Ambar Sari istrinya. Tiba-tiba 
ada dorongan untuk bertanya pada Ambar Sari 
tentang kecurigaannya terhadap orang dalam sebagai 
pelaku pembocoran rencana selama ini. 
Ambar Sari tampak duduk di tempat tidur dalam 
kamarnya. Wanita berusia sekitar lima puluh lima 
tahun yang masih menampakkan kecantikan wajah-
nya itu setiap hari selalu mengurung diri. Dirinya tak 
pernah keluar dari kamar jika tak ada hal yang sangat 
penting. Di dalam kamar itu, Ambar Sari ditemani tiga 
orang wanita seusianya, yang ditugaskan Wanara 
untuk menghibur. 
Tok! Tok! Tok! 
Pintu kamar diketuk dari luar. Ketiga dayang yang 
menemani Ambar Sari segera menyingkir ke samping. 
Sesaat kemudian pintu terbuka. Dari luar masuk 
Wanara dengan mata menatap tajam pada Ambar 
Sari. Wanita itu diam, membalas dengan tatapan 
mata sayu. 
“Nyi, kuharap kau jangan menyembunyikan 
sesuatu terhadapku. Katakan, siapa yang selalu 
membocorkan rahasia rencanaku?” tanya Wanara 
dengan napas memburu. Matanya yang merah, terus 
menatap tajam wajah Ambar Sari. Namun wanita itu 
bagaikan tak merasa takut sedikit pun. Matanya yang 
sendu membalas tatapan sang Suami. 
“Aku tak tahu,” sahut Ambar Sari lirih. 
“Bohong! Siapa lagi yang menjadi musuh dalam 
selimut di sini, kalau bukan kau?!” tuduh Wanara 
dengan suara keras. Kakinya melangkah mendekati 
Ambar Sari yang nampak mulai ketakutan. Napas 
lelaki berwajah kera itu tersengal-sengal karena 
diliputi amarah yang meluap-luap. 
“Bunuh aku, kalau kau ingin membunuhku!” 
dengus Ambar Sari. “Aku sudah dari dulu benci 
padamu! Juga orang-orangmu yang telah membunuh 
suamiku, bahkan anakku yang masih kecil!” 
“Diam!” bentak Wanara geram. Matanya mem-
belalak semakin merah membara. “Kau tentu tahu, 
siapa sepasang muda-mudi yang akhir-akhir ini telah 
banyak membantai anak buahku.” 
“Aku tak tahu!” sentak Ambar Sari. 
Plak! 
“Akh...!” sebuah tamparan keras mendarat di pipi 
Ambar Sari. Wanita cantik itu terhempas ke kasur. 
“Katakan, siapa mereka?! Dan siapa pula pemuda 
berambut keperakan yang selalu menggagalkan 
semua rencanaku!” bentak Wanara dengan suara 
keras. 
“Aku tak tahu!” jawab Nyi Ambar dengan suara 
terisak-isak menangis, merasakan rasa sakit di 
pipinya akibat tamparan tangan Wanara. 
“Masih juga kau tak mengaku, Setan Betina! 
Hih...!” Wanara mengangkat tangannya, hendak 
memukul Ambar Sari. Namun.... 
“Ayah! Hentikan...!” 
Dari luar muncul gadis cantik berwajah sinis yang 
tak lain Seruni. Gadis itu langsung memeluk Ambar 
Sari. Kemudian dengan berani matanya menatap 
tajam wajah sang Ayah. Napas gadis itu memburu, 
karena tengah dilanda perasaan marah. 
“Kalau Ayah mau menyakiti ibu, bunuhlah aku! 
Bunuhlah.... Ayah!” tantang Seruni dengan tangan 
masih memeluk tubuh ibunya. 
“Seruni, kau tak boleh berkata begitu, Nak!” sahut 
Ambar Sari menasihati anaknya. “Dia ayahmu.” 
“Aku tahu, Bu. Ibu pun ibuku. Tak rela hatiku jika 
Ibu menderita. Lebih baik aku yang mati, kalau harus 
Ibu yang mati. Ibu telah lama menderita,” sergah 
Seruni sambil terus memeluk tubuh ibunya. 
Kemudian matanya yang tajam menatap lekat 
Wanara sang Ayah yang berwajah kera. Gadis itu 
seakan-akan hendak menentang perbuatan ayahnya 
yang selalu menyakiti sang Ibu. “Ayah! Sekali lagi 
kulihat Ayah menyakiti ibu, aku tak akan tinggal 
diam,” ujarnya seraya menatap tajam. 
Wanara menghela napas. Entah mengapa jika 
gadis cantik itu telah mengancamnya, tiba-tiba 
hatinya melemah. Dirinya memang sangat 
menyayangi Seruni. Bahkan bila anak itu meminta 
bulan dan bintang, mungkin akan diusahakan 
mendapatkannya agar sang Anak senang. 
“Kau tak tahu, Anakku! Ibumu telah mengkhianati 
Partai Kera Hitam,” desah Wanara berusaha memberi 
pengertian pada anak kesayanganya itu. 
“Bohong! Aku tahu, setiap hari ibu berada di dalam 
kamar. Ibu tak pernah pergi ke mana-mana!” bantah 
Seruni tak percaya. “Mungkin anak buah Ayah yang 
telah melakukan pengkhianatan!” 
Wanara kembali menghela napas dalam-dalam. 
Dirinya tak dapat berbuat apa-apa, jika Seruni telah 
ikut campur dengan urusan ini. 
“Ayah jangan menuduh sembarangan. Itu seba-
bnya aku selalu mengingatkan, agar hati-hati ter-
hadap anggota baru. Tetapi Ayah selalu meremehkan 
urusan sepele seperti itu. Ayah menganggap hal itu 
tak berarti bagi Ayah,” ujar Seruni seakan 
memojokkan Wanara. 
Wanara terdiam, dirinya tak mampu mengelak dari 
tuduhan-tuduhan yang dilontarkan anaknya. Bagai-
manapun juga, apa yang dikatakan Seruni ada 
benarnya. Selama ini, dirinya terlalu mempercayakan 
semua anak buahnya. Sehingga seenaknya saja 
menerima anggota baru, tanpa diteliti dengan 
seksama terlebih dahulu. 
“Cobalah Ayah pikir! Apakah tak mungkin, seorang, 
dua orang, atau bahkan lebih dari separuh anggota 
kita menjadi mata-mata,” tukas Seruni berusaha 
menyadarkan sang Ayah. “Janganlah Ayah menuduh 
ibu yang tak tahu apa-apa.” 
“Hm!” Wanara menggumam tak jelas. Ditariknya 
napas dalam-dalam, seakan berusaha menenangkan 
perasaannya yang diliputi kemarahan. Pikirannya 
mulai terbuka untuk mencoba menuruti apa yang 
dikatakan Seruni. 
“Benar juga,” gumam Wanara dalam hati. “Apa 
yang dikatakan anakku, benar. Keparat! Siapa yang 
telah berani menyusup ke dalam markasku?” 
“Bagaimana, Ayah?” tanya Seruni. 
Wanara tak menjawab. Dirinya hanya mampu 
mengangguk-anggukkan kepala. Wanara sepertinya 
membenarkan kata-kata Seruni. Kemudian setelah 
menghela napas panjang, lelaki tua itu melangkah 
keluar meninggalkan kamar Ambar Sari. Pikirannya 
masih diliputi kejengkelan dan kemarahan. Terlebih-
lebih jika ingat akan tiga anak muda yang sepak 
terjangnya sangat membahayakan kedudukan 
Pimpinan Partai Kera Hitam itu. 
Wanara melangkah menuju bangunan utama, yang 
menjadi markas Partai Kera Hitam. Dengan lesu 
dirinya kembali duduk di singgasananya. Matanya 
memperhatikan sekitar ruangan yang cukup luas dan 
sepi, tak ada seorang pun berada dalam ruangan itu 
selain dirinya. 
“Hhh! Mengapa aku harus takut terhadap mereka? 
Wanara tak akan dapat terkalahkan! Hua ha ha...!” 
bagaikan orang gila, Wanara tertawa terbahak-bahak. 
Setelah puas tertawa-tawa. Lelaki berwajah kera 
itu bangkit dari duduknya. Kakinya melangkah ke 
ruangan khusus. Tempat yang hanya dirinya boleh 
memasuki. Tak seorang pun dari para anggota 
maupun ketiga tangan kanannya boleh masuk tanpa 
seizin darinya. Di dalam ruangan khusus itulah. Kitab 
Ajian Dewa yang berhasil direbut dari Ki Rupaksi 
tersimpan. 
Wanara melangkah dengan mantap. Dirinya ingin 
sekali mempelajari isi kitab sakti itu. Jika telah 
mampu memecahkan semua isi Kitab Ajian Dewa. 
Wanara akan menjadi orang yang paling sakti di dunia 
persilatan. Tak seorang pun akan mampu mengalah-
kannya, karena dirinya akan dapat disejajarkan 
dengan dewa. 
Krekkk! 
Wanara membuka pintu. Matanya mengawasi ke 
dalam ruangan khusus tempat menyimpan segala 
macam senjata pusaka dan kitab-kitab sakti. Namun, 
tiba-tiba hatinya tersentak kaget dengan mata 
terbelalak ketika melihat kotak penyimpanan Kitab 
Ajian Dewa telah terbuka. 
“Heh?!” 
Wanara segera berlari untuk melihat isi kotak. 
Betapa marah dan gusarnya lelaki berwajah kera itu, 
ketika melihat isi kotak telah hilang. 
“Kurang ajar! Siapa yang telah berani mencuri 
Kitab Ajian Dewa!” geram Wanara dengan napas 
memburu. Dadanya naik turun karena marah. 
Sementara kedua telapak tangan terkepal, gigi-
giginya bergemeretukan menahan geram. 
Brakkk! 
Dibantingnya pintu kamar khusus itu dengan 
keras, kemudian berlari keluar menuju singgasana. 
Matanya yang merah, semakin membara. Dirinya 
benar-benar murka. Karena Kitab Ajian Dewa yang 
telah didapat dengan perjuangan selama dua puluh 
tahun lebih itu kembali dicuri. 
“Bedebah! Benar apa yang dikatakan Seruni. Ada 
pengkhianatan di dalam Partai Kera Hitam. Hm, 
kuremukkan kepalanya!” dengus Wanara bertambah 
marah dan geram, merasa telah dikhianati. Tangan 
kanan terkepal, lalu memukul-mukul telapak tangan 
kirinya. 
Plok! Plok! 
Wanara bertepuk dua kali. Sesaat kemudian 
berdatangan beberapa anak buahnya yang masih 
berada di lingkungan markas. Mereka langsung 
menyembah, kemudian duduk di lantai dengan 
kepala menunduk. Hanya Ambar Sari dan Seruni yang 
berdiri tanpa rasa takut, meski keduanya mengetahui 
Wanara tengah murka. 
“Katakan, siapa di antara kalian yang tahu pencuri 
Kitab Ajian Dewa? Jawab...!” bentak Wanara dengan 
keras. Matanya yang membara, mengawasi satu 
persatu orang-orang yang berkumpul di ruangan itu. 
“Ampun Ketua, kami tak tahu,” sahut mereka 
serempak. 
“Bodoh...! Percuma kalian hidup! Heaaa...!” 
dengan geram Wanara mengeluarkan ajian 'Sabut 
Beracun'nya. Lalu tanpa diduga sang Pimpinan 
menghantamkan ajian itu. 
Wrt! 
“Ayah! Hentikan...!” teriak Seruni berusaha 
menyadarkan ayahnya. Namun bagaikan kesetanan 
Wanara menghantam semua orang yang ada di 
hadapannya, Seruni dan Ambar Sari. 
Bluk! Bluk! 
“Wuaaa...!” 
“Akh...!'.' 
Lolongan kematian terdengar susul-menyusul. 
Dada mereka, tergurat goresan-goresan hitam legam. 
Tampak dari mulut orang-orang itu menyemburkan 
darah segar. Dalam sekejap saja semua telah ambruk 
bergelimpangan dengan mata membelalak seperti 
menahan rasa sakit yang mendera. 
“Ayah! Mengapa Ayah melakukan ini? Belum tentu 
mereka bersalah!” bentak Seruni menentang 
tindakan sang Ayah yang dianggapnya terlalu biadab 
dan kejam. 
Wanara tak menjawab. Dirinya hanya diam sambil 
menundukkan kepala, karena benar-benar tak 
mampu menahan amarahnya. 
“Tinggalkan aku, Seruni! Tinggalkan Ayah di sini...!” 
desah Wanara dengan suara bergetar. Kemudian 
dihelanya napas dalam-dalam seakan berusaha 
membuang perasaan amarah yang terus-menerus 
membakar jiwa. 
Seruni dan ibunya tak membantah. Keduanya 
segera meninggalkan Wanara yang masih terduduk di 
singgasananya. Sedangkan di hadapannya, terkapar 
kaku puluhan manusia mati. Mereka adalah para 
prajurit dan gadis-gadis yang selama ini dijadikan 
pemuas nafsunya. 
*** 
Senja yang cerah membiaskan cahaya merah di 
langit sebelah barat. Dari arah timur nampak dua 
orang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun berlari-
lari cepat menuju Desa Kendal. Wajah kedua lelaki 
yang ternyata Ketawang dan Sungo Karu menyiratkan 
ketegangan. Di punggung Ketawang, terpondong 
bungkusan yang tak lain Kitab Ajian Dewa. Mereka 
baru saja mengambil dari kamar khusus di markas 
Partai Kera Hitam. 
“Kita harus segera sampai di Desa Kendal dan 
bertemu dengan Ki Jambe Biru,” ujar Ketawang 
dengan napas terengah-engah. Sementara Sungo 
Karu yang berlari di sampingnya seperti tak meng-
hiraukan ucapan itu, karena napasnya juga terus 
memburu. 
“Guru kita kabarnya telah mati, Adi Ketawang,” 
Sungo Karu menyela. 
“Ya! Wanara benar-benar iblis! Ingin rasanya aku 
meremukkan batok kepalanya,” sahut Ketawang 
dengan sengitnya. Sekali-sekali wajahnya menoleh ke 
belakang, takut kalau ada yang mengikuti mereka. 
Kalau saja Wanara dan ketiga tangan kanannya 
tidak turut serta dalam penyerangan ke Padepokan 
Sawo Jajar, tentunya guru mereka, Ki Rupaksi tak 
akan mengalami kematian. Keduanya mungkin juga 
bisa menolong guru mereka dan membasmi 
gerombolan Partai Kera Hitam. Namun, waktu itu 
penyerbuan langsung dipimpin Wanara dan ketiga 
tangan kanannya. 
Keduanya merasa sedih dan menyesal kerena tak 
dapat menyaksikan kematian sang Guru. Selama ini 
mereka diutus Ki Rupaksi untuk menyusup ke markas 
Partai Kera Hitam. Sehingga ketika gerombolan itu 
menyerang guru mereka Ketawang dan Sungo Karu 
tak dapat membantu. 
“Wanara keparat! Tunggulah pembalasanku!” 
dengus Ketawang geram, ketika kembali teringat 
bagaimana dengan kekejian Wanara membokong 
gurunya dengan pukulan 'Sabut Beracun'nya yang 
dahsyat. Mungkin jika tidak dibokong, Ki Rupaksi 
akan mampu mengelakkan serangan itu. 
“Kita harus menitipkan kitab ini terlebih dahulu, 
Ketawang. Nanti malam, kita harus melakukan 
perhitungan dengan Wanara,” saran Sungo Karu. 
“Tapi, bagaimana dengan Nyi Ambar Sari? 
Bukankah kita juga diperintahkan untuk menjaga-
nya?” tanya Ketawang bimbang. “Kalau kita harus 
bentrok dengan mereka, aku khawatir terhadap 
keselamatan Nyi Ambar Sari..., Kakang Sungo.” 
“Itu tak menjadi masalah, Ketawang. Bukankah Nyi 
Ambar Sari belum dicurigai? Kalau sampai kita kalah, 
semoga saja ada pendekar sakti yang akan meng-
hancurkan Partai Kera Hitam biadab itu!” ujar Sungo 
Karu berusaha membesarkan hati saudara se-
perguruannya itu. 
Tidak lama kemudian, Ketawang dan Sungo Karu 
sampai di perbatasan Desa Kendal. Namun, baru saja 
keduanya berlari memasuki Desa Kendal, tiba-tiba 
mereka dikejutkan bentakan keras. 
“Berhenti...!” 
Kedua kakak beradik seperguruan itu tersentak. 
Mata mereka terbelalak mengawasi sekelilingnya. 
Saat itu, dari balik pepohonan dan semak belukar 
muncul anak buah Partai Kera Hitam, diikuti 
pimpinannya yang tiada lain Watu Gulung. 
“Kalian...?!” seru Ketawang tersentak kaget. 
“He he he...! Rupanya kalian berdua pengkhianat 
busuk itu. Tak kusangka,” gumam Watu Gunung 
dengan tertawa terkekeh-kekeh sambil menggeleng-
geleng, “Sayang, kini kalian harus mampus!” 
“Cuih!” Ketawang meludah, “Jangan kira semudah 
itu, Watu Gunung! Kaulah yang harus mampus, 
sebagai penebus nyawa guru kami!” 
“Hm, rupanya kalian murid Ki Rupaksi!” 
“Benar! Kami rela bersabung nyawa guna mem-
basmi manusia-manusia keji macam kalian!” dengus 
Sungo Karu sengit. Matanya menatap tajam dua 
puluh anak buah Partai Kera Hitam yang telah 
mengepung mereka. 
“Huah! Hebat sekali sesumbarmu, Kura-kura 
Jelek!” bentak Watu Gunung. “Habisi mereka...!” 
serunya kepada para anak buah. 
Mendengar perintah dari sang Pimpinan, kedua 
puluh anak buahnya langsung mencabut senjata. 
Kemudian dengan cepat mereka langsung menyerang 
Ketawang dan Sungo Karu. 
“Hea!” 
“Yea!” 
“Tak ada jalan lain, Kang Sungo,” desah Ketawang. 
“Ya! Terpaksa, sekarang pun boleh!”  
Srt! Srt! 
Kedua kakak beradik seperguruan itu langsung 
mencabut senjata masing-masing. Sungo Karu 
dengan cepat melemparkan capingnya yang lebar 
menyerang mereka yang menyerbu. 
“Heaaa...!” 
Wrrr...! 
Caping besar itu berputar cepat, bergerak 
menyerang kedua puluh orang lawannya. Dari 
putaran caping itu, keluar angin besar yang mampu 
menyentakkan lawan. 
“Heaaa!” 
Melihat caping itu berputar cepat hendak 
menyerang, anak buah Partai Kera Hitam secepat 
kilat membabatkan pedang. Namun.... 
Wrt! 
Crakkk! Crakkk! 
“Aaakh...!” empat orang anak buah Partai Kera 
Hitam terpekik keras, ketika caping besar itu 
menerjang tangan mereka yang memegang pedang. 
Empat tangan mereka putus, berjatuhan ke tanah 
dengan, darah menyembur. Tubuh mereka ambruk 
lalu bergulingan kesakitan sambil memegangi tangan 
yang terpotong. 
“Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!” dengan 
penuh amarah, Watu Gunung melesat melakukan 
serangan. Pedang di tangannya, berkelebat cepat 
dalam jurus 'Seribu Tangan Iblis'. Seketika pedang itu 
bagaikan digerakkan seribu tangan. Begitu pula 
dengan serangan-serangan tangan kirinya, sangat 
cepat dan beruntun. 
Sungo Karu dan Ketawang tersentak kaget, 
menyaksikan jurus yang begitu cepat. Keduanya 
segera bergerak mengelak sambil balas menyerang 
dengan senjata masing-masing. 
Ketawang memutar toyanya dengan cepat, hingga 
menimbulkan angin yang keras. Sedangkan Sungo 
Karu terus memutar capingnya di depan tubuh, 
sebagai tameng. 
“Hea!” 
“Yea!” 
Jlegar!” 
“Akh...!” tubuh Ketawang dan Sungo Karu 
terpental ke belakang, melayang bagaikan diterbang-
kan angin. Hampir saja tubuh keduanya membentur 
pohon. Namun tiba-tiba sosok bayangan berkelebat 
cepat menangkap tubuh mereka. Bersamaan dengan 
kejadian itu muncul pula sosok bayangan lain di 
belakang mereka. 
Trep! Trep! 
“Kakang Sena...!” 
“Aha, kita bersua lagi, Purbaya,” sahut Sena ketika 
melihat orang yang menolong lelaki gemuk seperti 
kura-kura ternyata Purbaya. 
“Nini Mei Lie, selamat bertemu lagi!” sapa Purbaya 
seraya tersenyum. 
“Terima kasih,” sahut Mei Lie sambil meng-
hentikan langkahnya. Kini mereka bertiga berdiri tiga 
tombak di hadapan anak buah Partai Kera Hitam. 
Watu Gunung dan para anak buahnya terbelalak 
melihat siapa yang datang menolong kedua peng-
khianat itu. 
“Sepasang pendekar dan pemuda berambut 
keperakan!” gumam mereka dengan mata mem-
belalak. 
*** 
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Purbaya masih berdiri, 
tenang. Pendekar Gila menurunkan tubuh Ketawang 
yang dipondongnya. Begitu pula dengan Purbaya. 
“Mengapa, Kisanak berurusan dengan kera-kera 
iblis itu...?” tanya Purbaya kepada Ketawang. Mata-
nya kemudian menatap para anak buah Partai Kera 
Hitam. Ketika matanya beradu pandang dengan mata 
Watu Gunung, Purbaya menarik napas dalam-dalam. 
Ingatannya tiba-tiba melayang pada peristiwa dua 
puluh tahun silam. Dirinya dan sang Ibu dikejar-kejar 
tiga orang rekan Wanara. Purbaya masih ingat, salah 
satunya Watu Gunung. 
“Mereka orang jahat, Kisanak. Guru kami telah 
mereka bunuh dengan keji,” sahut Sungo Karu 
dengan mata berapi-api, menatap tajam wajah Watu 
Gunung serta anak buahnya. 
“Aha, siapakah guru kalian?” tanya Sena menyela. 
“Ki Rupaksi,” jawab Ketawang seraya menoleh 
wajah Pendekar Gila. 
“Aha, kalau begitu, bukankah kalian Ketawang dan 
Sungo Karu?” tanya Sena berusaha memastikan. 
Ketawang dan Sungo Karu mengerutkan kening. 
Keduanya heran, karena pemuda itu telah mengenal 
mereka. 
“Dari mana Tuan tahu? Siapakah Tuan sebenar-
nya?” tanya Ketawang menatap Pendekar Gila lalu 
beralih ke wajah Mei Lie di sampingnya. 
“Namaku Mei Lie, sedangkan temanku Sena 
Manggala. Kami telah bertemu dengan guru kalian, 
ketika dalam keadaan sekarat. Kemudian Ki Rupaksi 
menceritakan tentang kalian,” tutur Mei Lie. 
Kemudian, dengan singkat Mei Lie menceritakan 
tentang Ki Rupaksi, yang menyangkut juga masalah 
Purbaya. 
“Jadi, pamanku telah meninggal?” sela Purbaya 
dengan wajah sedih, setelah tahu kalau Ki Rupaksi 
ternyata pamannya. Kemudian wajahnya menoleh ke 
Ketawang dan Sungo Karu. “Kalian berdua saudara 
seperguruan,” ujarnya. 
Ketawang dan Sungo Karu merasa terharu dapat 
bertemu dengan anak Ki Kerto Pati, saudara guru 
mereka. Begitu pula Purbaya tak akan mampu 
menahan rasa harunya. Namun...  
“Hea...!” 
Tiba-tiba gerombolan itu merangsek maju 
menyerang dengan ganas. Pendekar Gila dan Mei Lie 
yang ingin membiarkan kawan-kawan mereka 
melepas kerinduan, segera melesat. Keduanya 
bergerak cepat memapaki serangan beringas itu. Tak 
tanggung-tanggung lagi Pendekar Gila dan Mei Lie 
langsung mencabut senjata masing-masing. 
“Hea!” 
“Hea!”Yea!” 
Wrt! Wrt! 
Trang! Trang! 
Mei Lie yang dikenal dengan julukan Bidadari 
Pencabut Nyawa Iblis, dengan Pedang Bidadarinya 
membabat pedang lawan yang menyerangnya. 
Kemudian dengan cepat, melakukan serangan 
balasan. 
“Hea!” 
Wrt! 
Cras! 
“Akh...!” jeritan kematian terdengar, ketika Pedang 
Bidadari yang digerakkan dengan jurus 'Bidadari 
Menebas Gunung' membabat tubuh lawan. 
Sementara itu Pendekar Gila tampak menghadapi 
keroyokan itu. Tingkah lakunya yang konyol, membuat 
lawan-lawannya bertambah penasaran. Sepuluh 
orang serentak menyerbu dengan senjata bergerak 
menebas dan menusuk tubuh Pendekar Gila. 
“Pecah kepalamu...!” 
“Hancur tubuhmu, Bocah Edan! Hih...!” 
Wrt! Wrt! 
“Hi hi hi...! Aha, masih belum, Kisanak!” ejek Sena 
sambil mengelak dengan membungkukkan badan. 
Sementara tangannya memegangi kepala, seakan 
ketakutan. “Wadau...! Galak sekali kalian...!” 
Pendekar Gila bergerak seperti orang mabuk. 
Kemudian tampak tubuhnya memutar mengelakkan 
serangan lawan. Itulah jurus 'Dewa Mabuk Menjerat 
Sukma' yang dipadu dengan jurus 'Si Gila Melepas 
Lilitan Benang'. 
“Hi hi hi...! Weee...!” Pendekar Gila mengejek 
sambil bergerak sempoyongan mirip orang mabuk. 
Gerakan itu membuat kesepuluh lawannya semakin 
nafsu untuk segera dapat mengalahkan Pendekar 
Gila. Secara serentak mereka langsung menyerang 
dengan babatan pedang. 
“Hea...!” 
Wrt! Wrt! 
Dengan cepat Pendekar Gila, menjatuhkan tubuh-
nya ke tanah. Kedua kakinya direntangkan, kemudian 
bergerak menyapu kaki-kaki lawan. Hal itu membuat 
kesepuluh lawannya yang hendak menyerang, 
tersentak kaget. Mereka tak sempat mengelakkan 
sapuan kaki Pendekar Gila yang menggunakan jurus 
'Dewa Mabuk Menjerat Sukma'. 
Wuttt! 
“Wadauw...!” 
Kesepuluh orang lawannya yang hendak 
menyerang, seketika terjengkang ke belakang. Kaki 
mereka diterjang sapuan kaki Pendekar Gila. 
“Hi hi hi...! Lucu sekali kalian! Mengapa kalian tak 
melihat ke bawah?” ejek Sena tertawa cekikikan 
sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara tangan 
kanannya yang masih memegang Suling Naga Sakti 
memukul-mukulkan perlahan suling itu ke pahanya. 
Betapa marahnya kesepuluh orang lawannya, 
diejek Pendekar Gila. Segera mereka bangkit, 
kemudian serentak kembali melakukan serangan. 
“Hea!” 
“Hi hi hi...! Belum kapok juga kalian?!” seru Sena 
sambil melompat ke atas dengan jurus 'Si Gila 
Terbang Mencengkeram Mangsa'. Setelah bersalto 
dengan cepat menotokkan kepala Suling Naga Sakti 
ke kepala lawan-lawannya. “Ini untuk kalian! Hi hi hi!” 
Pletak! 
“Wadauw...!” 
“Hi hi hi...! Ini untukmu!” Pendekar Gila semakin 
cepat bergerak, sambil memukulkan Suling Naga 
Sakti ke kepala lawan-lawannya. 
Pletak! Pletak! 
Suara benturan Suling Naga Sakti yang memukul 
kepala terdengar beberapa kali. Jeritan-jeritan 
kesakitan keluar dari mulut mereka yang terpukul. 
Tangan lawan tampak saling memegangi kepala 
masing-masing seakan membuang rasa sakit. 
“Aduh...!” 
“Tobat!” 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 
menggaruk-garuk kepala. Telunjuknya menuding 
sepuluh orang yang kini meraung-raung kesakitan. 
Purbaya, Ketawang, dan Sungo Karu yang melihat 
tingkah laku Pendekar Gila dan kesepuluh lawannya 
yang kini sedang kesakitan, tak dapat menahan tawa. 
Mereka tertawa terpingkal-pingkal, melihat kelucuan 
dan kekonyolan Pendekar Gila. 
Watu Gunung yang menyaksikan kesepuluh anak 
buahnya dibuat konyol, tampak menggeram marah. 
“Kubunuh kau, Gila! Hea...!” 
Wrt! 
Lelaki tua itu melesat melakukan serangan cepat. 
“Aha, rupanya biang kecoanya turun. Hi hi hi...!” 
ejek Sena sambil berkelit dengan melebarkan kaki 
kiri ke samping. Sedangkan yang kanan ditekuk. 
Namun kemudian dengan cepat tubuhnya berputar 
ke samping. 
Wesss! 
Serangan Watu Gunung meleset beberapa jengkal 
dari rusuk kiri Pendekar Gila. Pendekar Gila cepat 
balas menyerang dengan mengangkat lutut kanannya 
ke atas. Tak ampun tubuh Watu Gunung yang tengah 
melesat tak sempat mengelak. 
Degkh! 
“Ukh...!” Watu Gunung terpekik lirih, ketika 
perutnya terhantam lutut Pendekar Gila. Tubuh lelaki 
tua itu terpental dan jatuh ke tanah. Matanya tampak 
semakin beringas. “Kurang ajar! Kubunuh kau, Gila! 
Heaaa...!” 
“Hi hi hi...!” sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila 
menggerakkan tubuhnya meliuk laksana menari, 
kemudian disertai sebuah tepukan ke dada Watu 
Gunung. 
“Hah?!” Watu Gunung tersentak kaget, merasakan 
ada hawa tepukan dari tangan Pendekar Gila yang 
begitu kuat. Hampir saja dirinya terkena hantaman 
tepukan itu, kalau saja dia tak segera mengelak. 
“Jurus siluman...!” 
“He he he... Lucu sekali kau, Ki!” sahut Sena 
meledak sambil turun bergerak dengan jurus 'Gila 
Menari Menepuk Lalat'. Watu Gunung semakin 
tersentak kaget. Tubuhnya bersalto ke belakang 
mengelak. Namun belum sampai kakinya menginjak 
tanah, tiba-tiba tepukan telah memburunya. 
Plok! 
“Heh?!” Watu Gunung tersentak, dia kembali 
melentingkan tubuhnya mengelakkan serangan yang 
dilancarkan Pendekar Gila. “Seraaang...!” teriak Watu 
Gunung kepada para anak buahnya. 
Serentak kesepuluh anak buah yang sudah tak 
merasa sakit lagi, bergerak menyerang. Namun 
dengan cepat Pendekar Gila melejit ke atas, 
kemudian Suling Naga Sakti kembali mematuki 
kepala lawan satu persatu. 
Pletak! 
“Akh...!” 
Pletak! 
“Waduh!” 
Kesepuluh pengeroyoknya kembali dibuat kalang 
kabut seraya menjerit-jerit kesakitan. Tubuh mereka 
berputaran sambil memegangi kepalanya yang sakit 
dan berdenyut-denyut. 
“Hua ha ha..! Pendekar Gila tertawa terbahak-
bahak. Begitu pula Purbaya, Ketawang, dan Sungo 
Karu, yang tak kuat menahan tawanya melihat 
kejadian lucu itu. 
Sementara itu, di sisi lain Mei Lei masih terus 
bertarung dengan sengitnya. Dua orang kini meng-
gebrak Mei Lei dengan sabetan dan tusukan pedang-
nya. Dengan cepat Mei Lie merundukkan kepala, 
lalu..., menggeser kaki kiri ke samping. Tubuhnya 
bergerak bagaikan menari dengan cepat. Sedangkan 
pedang diarahkan ke dada lawan yang ada di depan. 
Sementara telapak tangan kirinya menghantam ke 
arah selangkangan lawan yang ada di samping. 
“Heaaa!” 
Pekikan keras mengiringi serangan cepat Mei Lie. 
Crab!  
Jrot!  
“Akh!” 
“Wua!” dua orang terpekik keras, yang satu 
dadanya bolong terkena tusukan pedang. Sedangkan 
satunya lagi kini memegangi kemaluannya yang 
terkena hantaman telapak tangan Mei Lie. Keduanya 
langsung sekarat dan mati. 
Melihat rekannya mati, tidak membuat anggota 
Partai Kera Hitam lainnya gentar. Bahkan kini empat 
orang dengan ganas menggebrak Mei Lie, secara 
bersamaan. Mereka menyerang dari empat arah, 
dengan tebasan dan tusukan pedang. Namun, 
dengan cepat Mei Lie mengelak, lalu dengan cepat 
dikeluarkan jurus 'Tebasan Sukma'. Sebuah jurus 
pamungkas yang selama ini belum ada tandingannya 
dalam jurus pedang. 
“Hea!” 
Wut! Wut! 
Pedang Bidadari di tangan Mei Lie bergerak 
memutar. Kelihatan gerakan pedang itu lambat. 
Namun ternyata begitu cepat menggores leher 
keempat lawannya. 
Cras! Cras! 
“Akh?!” 
“Ukh?!” empat lawannya memekik tertahan. 
Mereka pun terbelalak kaget melihat leher masing-
masing tetap utuh bagai tak terluka. 
Bahkan Watu Gunung pun tercengang dengan 
mulut ternganga menyaksikan kejadian yang sangat 
aneh itu. Padahal matanya melihat persis kalau ujung 
pedang di tangan gadis Cina itu membabat leher 
keempat anak buahnya. 
Rasa kaget Watu Gunung belum habis, ketika tiba-
tiba terjadi sesuatu yang lebih mengejutkan lagi. 
Tubuh keempat anak buahnya yang semula berdiri 
tegak dan utuh seketika lebur menjadi debu ketika 
angin bertiup. 
“Hah?! O, ilmu apa yang digunakannya?!” gumam 
Watu Gunung dengan mata membelalak kaget, 
menyaksikan hal aneh yang baru saat ini dilihatnya. 
Dirinya juga jago memainkan pedangnya. Namun, 
baru kali ini dia melihat sebuah jurus pedang yang 
aneh dan sangat hebat. “Celaka...! Jelas gadis ini 
bukan gadis sembarangan! Anak-anak, mundur...!” 
Mendengar perintah dari pimpinan, anak buah 
Partai Kera Hitam segera ambil langkah seribu. 
“Hoi, mau lari ke mana kalian!” bentak Purbaya 
geram. Kemudian digerakkan rambutnya. Seketika itu 
juga melesat sinar putih keperakan dari rambutnya 
yang panjang.  
Slats! Slats! 
Sinar keperakan itu melesat cepat memburu sisa 
gerombolan dari Partai Kera Hitam yang hendak 
melarikan diri. Dalam sekejap dua larik sinar itu 
menerjang orang yang paling belakang. 
Jrat! 
“Akh...!” kesepuluh anak buah Watu Gunung 
mengerang-erang kesakitan. Sinar keperakan yang 
menerjang tadi ternyata begitu dahsyat. Tubuh 
mereka meleleh bagaikan lilin yang terbakar. Melihat 
kejadian itu Ketawang dan Sungo Karu terbelalak 
karena perasaan heran, kaget, dan ngeri 
menyaksikan kejadian menggiriskan itu. 
Melihat Watu Gunung dapat lolos dari hantaman 
'Rambut Api'nya Purbaya hendak mengejar. Namun 
dengan cepat Pendekar Gila mencegah. 
“Biarkan dia hidup. Karena dialah yang akan 
memberitahukan pada Wanara,” cegah Sena sambil 
memegang bahu Purbaya. Pemuda berambut 
keperakan ini menurut. 
''Tapi dia salah seorang pembunuh ayahku, Sena,” 
kata Purbaya. 
“Aha, itu suatu kebetulan. Bukankah dengan 
begitu, tentunya kera-kera jelek yang membunuh 
ayahmu akan keluar. Ah ah ah! Kita tak perlu susah-
susah mencari mereka!” gumam Sena sambil 
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. 
Kemudian diselipkan Suling Naga Sakti ke ikat 
pinggangnya. 
''Kakang Purbaya, siapakah kedua Tuan Pendekar 
ini?” tanya Ketawang. 
“Ini Sena Manggala yang lebih dikenal dengan 
julukan Pendekar Gila. Sedangkan yang ini, Mei Lie 
yang juga berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa Iblis,” 
kata Purbaya memperkenalkan nama dan julukan 
keduanya. 
“O, ampunilah kami, Pendekar Gila! Sungguh dari 
tadi kami tak menyangka kalau di hadapan kami, 
ternyata dua pendekar yang namanya menjadi buah 
bibir semua tokoh rimba persilatan,” desah Ketawang 
sambil menjura hormat, diikuti Sungo Karu. 
“Aha, janganlah Kisanak berdua berlaku begitu 
terhadap kami. Kami juga manusia seperti kalian,” 
sahut Sena sambil cengengesan dan menggaruk-
garuk kepala. 
“Benar, Kisanak. Jangan kalian terlalu memuji 
kami dengan gelar itu. Gelar belum tentu 
menggambarkan sifat manusia yang menyandangnya. 
Kebaikan budi pekerti, itu yang paling utama,” 
sambung Mei Lie. Ketawang dan Sungo Karu semakin 
bertambah kagum terhadap kedua sejoli pendekar 
itu. 
“Pendekar, kebetulan sekali kita bertemu. Guru 
berpesan, jika bertemu Pendekar Gila kami harus 
menyerahkan Kitab Ajian Dewa ini,” Ketawang segera 
melepas kain yang digendong di punggungnya. 
Kemudian diberikannya Kitab Ajian Dewa pada Sena. 
“Ini Kitab Ajian Dewa milik gurumu.” 
Pendekar Gila menerimanya, kemudian sambil 
menggaruk-garuk kepala matanya mengamati dengan 
teliti kitab itu. 
“Sungguh bukan kitab sembarangan. Hm, pantas 
kalau kitab ini menjadi rebutan,” gumam Sena dalam 
hati, merasa kagum melihat kitab yang berisikan 
ajian-ajian sakti. 
“Aha, terima kasih! Betapa telah banyak sekali 
jasa kalian. Sekian lama menjaga kitab ini dengan 
mempertaruhkan jiwa dan nyawa kalian. Aha, dengan 
apa aku harus membalas kebaikan kalian?” tanya 
Pendekar Gila sambil mendesah pelan, lalu 
memperhatikan kembali Kitab Ajian Dewa yang masih 
dalam genggamannya. 
“Oh, tidak mengapa, Pendekar. Bagaimanapun 
antara guru kita telah terjalin persahabatan. Sebagai 
sahabat, sewajarnya kita harus bantu-membantu,” 
sahut Ketawang sambil mengurai senyum, “Oh ya, 
Kakang Purbaya. Bibi Ambar berada di markas Partai 
Kera Hitam.” 
“Heh...?!” 
Purbaya tersentak hatinya mendengar sang Ibu 
masih ada. Perasaan rindu yang selama dua puluh 
tahun dipendam, kembali menyeruak keluar 
mengusik hatinya. Namun sementara itu pula 
jantungnya berdegub keras. Darah di kepala bagaikan 
mendidih karena dendam kesumatnya yang tiba-tiba 
pula terbangkit, ketika teringat peristiwa yang 
mengakibatkan keluarganya berantakan. 
“Apakah ibu dalam keadaan sehat?” tanya 
Purbaya dengan suara bergetar. 
“Bibi dalam keadaan sehat. Bibi pernah bercerita 
pada kami, kalau bibi selalu teringat pada Kakang. 
Bibi menyangka Kakang telah meninggal,” tutur 
Sungo Karu. 
Purbaya menghela napas dalam-dalam. Ingatannya 
kembali melayang ke masa dua puluh tahun yang 
silam. 
“Sudah kuduga, kalau ibu akan menyangka aku 
telah mati!” gumam Purbaya dengan wajah sedih. 
Ingin sekali dirinya menemui sang Ibu untuk 
mencurahkan rasa rindunya. 
“Aha, kurasa kita harus segera mengatur recana. 
Partai Kera Hitam bukan partai kecil. Kita harus hati-
hati dan menghimpun pendukung untuk melakukan 
penyerbuan...!” kata Sena menjelaskan. 
“Benar!” sambut Mei Lie, “Kita harus mengumpul-
kan warga desa yang selama ini menderita, tertindas 
keangkaramurkaan. Kita harus segera membasmi 
kebiadan ini!” seru Mei Lie. 
Tengah mereka berbincang-bincang, dari empat 
penjuru muncul para lurah diikuti warga desanya. 
Kepala Desa Kranggan, Kepala Desa Sangitan, dan 
Kepala Desa Kendal melangkah mendekati Pendekar 
Gila dan kawan-kawannya. Sesaat kemudian muncul 
pula dari utara dan timur beberapa lurah yang juga 
disertai para warga desanya. Ada yang meng-
herankan, entah siapa yang memberitahu mereka 
kalau Pendekar Gila dan Purbaya hendak menyerbu 
markas Partai Kera Hitam. 
“Kami ikut...!” 
“Kami siap membantu kalian!”  
“Kami telah bosan ditindas Partai Kera Hitam!” 
“Tumpas Partai Kera Hitam...!”  
Pendekar Gila, Mei Lie, Purbaya, Sungo Karu, dan 
Ketawang tercengang mendengar ucapan serta 
kesungguhan di wajah orang-orang desa itu. Mereka 
tak tahu, siapa yang telah mengerahkan para kepala 
desa dan warganya untuk memberontak terhadap 
Partai Kera Hitam. 
“Hi hi hi...! Lucu sekali! Baru saja kami hendak 
mengumpulkan kalian. Tetapi kalian telah datang 
sendiri,” gumam Sena sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
“Kami telah dihubungi Lima Jelanga dari Sawo 
Jajar!” seru Ki Jambe Biru, Kepala Desa Kendal. 
“Aha, rupanya murid-murid Ki Rupaksi! Di mana 
mereka?” tanya Sena. 
“Kami di sini, Pendekar!” jawab Lima Jelanga dari 
Sawo Jajar yang baru datang dari arah selatan. 
“Adik Jelanga...!” seru Ketawang dan Sungo Karu 
hampir bersamaan, melihat kelima adik seperguruan 
mereka telah datang. 
“Semua telah berkumpul. Kurasa cukup untuk 
melakukan penyerbuan, Kakang,” kata Mei Lie. 
“Aha, kau benar! Kita tinggal memimpin mereka 
dan membagi menjadi kelompok-kelompk,” usul 
Pendekar Gila dengan cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala. “Bagaimana, Adi Purbaya?” 
“Aku setuju, Tuan Pendekar. Kita memang harus 
secepatnya menumpas Partai Kera Hitam,” sahut 
Purbaya. 
“Setuju...!” sahut para warga desa serentak. 
“Hidup Malaikat Berambut Perak...!” seru warga 
Desa Kranggan yang dipimpin seorang lurah baru. 
“Hidup Penegak Keadilan...!” sambut warga desa 
lainnya. 
“Hi hi hi...! Baiklah, kita bagi menjadi lima. Masing-
masing bergerak dari arah selatan, barat, dan timur. 
Dan satu kelompok lagi bersiap di depan markas,” 
ujar Sena mengatur kelompok-kelompok penye-
rangan. 
“Kakang, apakah tidak sebaiknya kita ke sana 
lebih dahulu?” tanya Mei Lie mengusulkan. 
“Aha, benar. Kami berlima akan berangkat lebih 
dahulu ke sana. Kalian menyusul...!” kata Sena. 
“Setuju...!” sahut semua warga desa. 
“Aha, kita akan memburu kera. Hi hi hi...!” 
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggaruk-
garuk kepala. Kemudian mereka berlima segera 
meninggalkan Desa Kendal. Tidak lama para warga 
desa yang dipimpin Lima Jelanga dari Sawo Jajar pun 
melangkah menyusul. 
*** 
Sementara di Markas Partai Kera Hitam, Wanara 
sedang memimpin anak buahnya yang telah kembali 
setelah melakukan tugas mereka. Dua orang tangan 
kanannya, Sodra dan Lombang, juga ada di situ. 
Hanya Watu Gunung yang belum datang. 
“Ke mana Watu Gunung?” tanya Wanara. 
“Bukankah dia sedang menjalankan tugasnya di 
Kendal, Ketua?” sahut Sodra balik bertanya. 
“Hm, mengapa sampai saat ini belum datang 
juga?” gumam Wanara dengan wajah cemas, 
“Barangkali dia mengalami kesulitan?” 
“Entahlah. Kalau memang benar, tentu ketiga 
anak muda itu berada di Desa Kendal,” sahut 
Lombang. 
“Kalau begitu, kita akan melakukan sapu bersih 
terhadap kelima desa di sekitar Hutan Palapiring. Biar 
mereka tahu siapa kita!” dengus Wanara masih men-
duga ketiga pendekar muda itu kembali membuat 
rencananya berantakan. Belum lagi memikirkan 
pengkhianatan yang telah masuk ke dalam 
markasnya. 
Ketika mereka memikirkan Watu Gunung yang 
mencemaskannya, tiba-tiba dari luar terdengar suara 
penjaga berseru, memberitahukan kalau Watu 
Gunung telah datang. 
“Watu Gunung datang...!” 
“Hm, dia akhirnya datang juga!” gumam Wanara. 
Dari luar, nampak Watu Gunung tergesa-gesa 
melangkah masuk. Wajahnya pucat pasi dilanda rasa 
takut. Hal itu membuat semua yang ada di dalam 
ruangan markas memperhatikan Watu Gunung. 
“Watu Gunung, ke mana anak buahmu?” tanya 
Wanara dengan kening mengerut menatap wajah 
Watu Gunung nampak begitu tegang dan pucat, 
seperti diburu hantu. 
“Ampun Ketua, tiga pendekar muda itu ada di 
Desa Kendal. Kami bentrok dengan mereka. Tetapi 
pemuda berambut keperakan itu sangat hebat. 
Rambut peraknya mampu mengeluarkan sinar yang 
panas laksana petir!” tutur Watu Gunung. 
Semua mata terbelalak, mendengar penuturan 
Watu Gunung. Mereka memang akhir-akhir ini 
mendengar sepak terjang ketiga pendekar muda yang 
di antaranya pemuda berambut keperakan. Namun 
mereka tak menduga, kalau pemuda berambut 
keperakan itu mampu mengeluarkan sinar panas 
membara. 
“Bodoh! Menghadapi anak-anak muda saja kau 
tak becus!” bentak Wanara marah, “Percuma dua 
puluh tahun kau bersamaku, Watu Gunung.” 
“Ampun, Ketua! Mereka memang bukan anak 
muda sembarangan,” ujar Watu Gunung. 
“Bodoh!” bentak Wanara dengan penuh amarah. 
Napasnya mendengus keras. Tangannya mengepal, 
menandakan kalau hatinya sangat merah. “Kau tak 
ada gunanya, Watu Gunung!” 
“'Tapi, Ketua...” 
“Tapi apa?!” sentak Wanara geram, “Kau akan 
mengelak dengan mengatakan mereka itu manusia-
manusia sakti. Hua ha ha...! Tak ada yang lebih sakti 
dari Wanara!” 
Semua terdiam, tak ada yang berani menyahuti. 
Para anak buahnya benar-benar takut, kalau Wanara 
akan semakin bertambah marah. Mereka tahu, kalau 
sang Pimpinan sudah marah, tak ada ampunan lagi. 
Hukuman mati pasti tak terelakan. 
“Sodra, Lombang, kuperintahkan kalian agar mem-
persiapkan pasukan. Kita gempur Desa Kendal! 
Tangkap ketiga pendekar muda itu! Seruni...!”  
“Saya, Ayah,” sahut Seruni. “Kutugaskan kau 
membunuh dua orang pengkhianat itu!” perintah 
Wanara. 
“Siapa yang Ayah maksudkan?” tanya Seruni ingin 
tahu. 
“Ketawang dan Sungo Karu!” sahut Wanara, 
“Dialah yang telah mencuri Kitab Ajian Dewa.” 
“Hm, semula memang sudah kuduga, Ayah. Aku 
sudah tak percaya semenjak mereka hendak menjadi 
anak buah Partai Kera Hitam,” dengus Seruni dengan 
mata menatap tajam. 
Semua anak buah Partai Kera Hitam kembali 
terdiam, tak seorang pun yang berani membuka 
suara. Suasana di tempat itu seketika hening dan 
tegang. Semua dicekam ketakutan kalau Wanara 
sampai murka. Mereka tahu siapa lelaki berwajah 
mirip kera itu. 
Wanara bangkit dari duduknya, lalu melangkah 
hilir mudik dengan tangan mengepal. Wajahnya 
diselimuti amarah yang meluap-luap. Dirinya merasa 
semua sepak terjang Partai Kera Hitam akhir-akhir ini 
banyak gagal akibat ketiga pendekar muda itu. 
“Kuperintahkan pada semuanya, cari dan bunuh 
ketiga pendekar muda itu!” perintah Wanara dengan 
penuh amarah. Seakan tak sabar ingin segera 
melihat ketiga pendekar muda itu mati. 
“Hua ha ha...! Kau tak usah susah-susah mencari 
kami, Wanara! Kami telah datang...!” terdengar suara 
seorang anak muda berseru dari luar. 
“Mereka datang...!” seru Watu Gunung. 
Wanara dan anak buahnya langsung berhamburan 
keluar, untuk melihat siapa yang telah berani ber-
teriak lantang itu. 
*** 
Di halaman markas Partai Kera Hitam telah berdiri 
tenang lima orang muda. Dua di antara mereka yang 
telah dikenal di kalangan perkumpulan itu, Ketawang 
dan Sungo Karu. Sedang tiga orang lagi bagi Wanara 
masih asing, karena baru kali ini dilihatnya. Satu 
pemuda berpakaian rompi kulit ular bertingkah laku 
seperti orang gila. Di sampingnya seorang gadis Cina 
yang cantik dengan pedang tersandang di punggung-
nya. Dan di sebelah kanan gadis cantik itu berdiri 
tegap seorang pemuda bertubuh gagah mengenakan 
jubah putih. Rambutnya yang panjang tergerai, ber-
warna keperakan. 
“Hi hi hi...! Aneh sekali. Sekarang ada monyet 
memimpin manusia,” ujar Sena sambil cengengesan 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
“Cuih! Bocah edan! Kalian berani datang ke 
markas Partai Kera Hitam! Berarti kalian mencari 
mampus!” dengus Wanara geram. Matanya yang 
merah menatap tajam wajah Pendekar Gila yang 
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
“Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Monyet! Kurasa 
kedatangan kami, justru mau berburu monyet 
sepertimu!” seru Sena sambil tertawa terbahak-
bahak. Melihat sikap pemuda gila di depannya. 
Wanara semakin geram dan marah. 
“Bocah edan! Tutup mulutmu...!” bentak Wanara 
dengan suara keras. 
“Aha, lucu sekali! Ada kera bisa berbicara seperti 
manusia. He he he...!” 
“Nguiiik...! Grrr...!” 
Suara lengkingan keras memekakkan telinga, tiba-
tiba keluar dari mulut Wanara, disusul dengan suara 
geraman menggelegar. Pepohonan di sekitar tempat 
markas itu bergetar hebat. Dedaunan berguguran. 
Bumi dan bangunan-bangunan markas terguncang 
seperti terjadi gempa. Sementara itu para anak buah 
Partai Kera Hitam saling menutupi telinga masing-
masing sambil memutar-mutar kepala. Tampaknya 
mereka tak mampu menahan getaran akibat suara 
yang dikeluarkan dengan tenaga dalam sangat kuat 
itu. Beberapa orang di antara mereka terdengar 
merintih dan menjerit kesakitan. 
Mei Lie dan Purbaya tampak mengerahkan tenaga 
dalam untuk menahan getaran suara Wanara. Begitu 
juga yang lainnya. Bahkan yang tak kuat langsung 
jatuh berlutut. Namun, Pendekar Gila justru tertawa 
terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk kepala. 
Dengan cepat dicabutnya Suling Naga Sakti lalu 
ditiupnya. 
Suara Suling Naga Sakti mengalun. Mulanya 
lembut, tetapi semakin lama semakin keras, 
menyentak dan melengking melambung tinggi. 
“Nguiiing...!” 
Glarrr...! 
Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika 
suara Suling Naga Sakti beradu dengan suara jeritan 
Wanara. Tubuh Wanara tampak terhuyung beberapa 
langkah ke belakang dengan mata membelalak 
kaget. Hatinya tak percaya kalau ajian 'Teriakan Kera 
Mengguncang Buana'nya dapat ditandingi suara 
suling pemuda gila itu. 
“Kurang ajar! Bunuh mereka...!” teriak Wanara 
memerintah anak buahnya. Serentak semua anak 
buahnya bergerak maju menyerbu Pendekar Gila dan 
keempat kawannya. 
Melihat lawan mulai menyerang, Mei Lie segera 
mencabut Pedang Bidadari dari punggungnya. Begitu 
juga dengan Ketawang dan Sungo Karu keduanya 
segera melepas senjata mereka lalu memapaki 
serangan lawan. 
“Hea!” 
“Yea!” 
Bagaikan Bidadari Pencabut Nyawa, Mei Lie 
dengan Pedang Bidadari-nya langsung menggempur 
sepuluh orang anak buah Partai Kera Hitam yang 
menyerang dirinya. Pedang di tangannya bergerak 
cepat, membabat ke arah lawan-lawannya. 
Wrt! 
Bret! 
“Akh!” pekikan kematian terdengar, bersamaan 
ambruknya serang anak buah Partai Kera Hitam yang 
menyerang Mei Lie. Lehernya terpenggal. 
Sementara Pendekar Gila yang menghadapi 
keroyokan empat orang tokoh utama Partai Kera 
Hitam, tampak dengan cepat bergerak lincah ke sana 
ke-mari. Serangan-serangan yang dilancarkan Watu 
Gunung, Sodra, Lombang, dan Wanara bukanlah 
serangan enteng. Keempatnya yang telah mendengar 
sepak terjang pendekar muda itu, tak mau bertindak 
ceroboh. Mereka langsung menggebrak dengan 
serangan-serangan dahsyat dan memarikan. 
“Hi hi hi..! Kalian tidak ubahnya kera-kera 
kelaparan!” ejek Pendekar Gila. Mendengar ejekan 
lawan, keempat orang itu semakin sengit dan marah. 
Apalagi Wanara, yang merasa kalau manusia kera itu 
langsung meledak kemarahannya. 
“Grrr! Kurang ajar! Kusobek mulutmu, Bocah Edan! 
Hea...!” 
Dengan jurus 'Cengkeraman Cakar Kera' Wanara 
melesat menyerang Pendekar Gila. Tangannya mem-
bentuk cakar, bergerak mencakar ke tubuh lawan. 
Pendekar Gila segera bergerak mundur serta ber-
gerak ke kanan dan kiri mengelakkan serangan itu. 
Kemudian dengan mulut cengengesan Pendekar Gila 
segera membalas serangan lewat jurus 'Gila Menari 
Menepuk Lalat'. 
“Hea!” 
Wrt! 
Wanara tersentak kaget sambil melompat mundur 
untuk mengelakkan tepukan tangan lawan. Matanya 
terbelalak seakan tak percaya kalau tepukan yang 
kelihatannya pelan, ternyata menimbulkan angin 
keras dan menyentakkan. 
“Haits...! Bedebah! Gila! Jurus gila..!” gumam 
Wanara sambil melompat mundur. Matanya semakin 
membelalak, kaget melihat serangan yang dilancar-
kan lawan. Jurus-jurus yang dilakukan Pendekar Gila 
kelihatan lambat dan pelan, tetapi ternyata mampu 
memburu gerakannya yang cepat. 
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil meng-
garuk-garuk kepala, melihat lawannya terkejut. 
Tingkahnya yang konyol, membuat Wanara ber-
tambah marah. 
“Serang dia...!” teriak Wanara pada ketiga tangan 
kanannya. Sodra, Lombang dan Watu Gunung 
serentak langsung merangsek Pendekar Gila. 
“Hea!” 
“Yea!” 
Watu Gunung dengan jurus 'Gempa Gunung'nya 
bergerak menyerang. Kedua tangannya mengepal, 
lalu secara bersamaan menghantam dada lawan. 
Namun dengan cepat dan masih cengengesan, 
Pendekar Gila merentangkan kaki kiri. Kemudian 
dalam keadaan tubuhnya miring bertumpu pada kaki 
kanan yang di tekuk, Pendekar Gila bergerak cepat 
menepuk. Telapak tangannya yang terbuka 
memapaki pukulan Watu Gunung. 
“Hea!” 
Glarrr...! 
“Ukh...!” pekikan tertahan terdengar diringi 
terpentalnya tubuh Watu Gunung. Dari mulutnya 
muncrat darah merah. Kedua tangannya tampak 
gosong bagaikan terbakar. Tubuh lelaki tua berkepala 
botak itu terus melesat ke belakang. Dan... 
Brak...! 
Seketika kepala Watu Gunung pecah, setelah 
menghantam tembok gapura. Tanpa suara erangan 
tubuh berlumuran darah itu tewas. Kepalanya pecah 
berantakan di atas gapura. 
Wanara, Sodra dan Lombang tersentak kaget 
dengan mata terbelalak. Mereka hampir tak percaya, 
kalau 'Pukulan Gempa Gunung' yang memiliki 
kekuatan penghancur gunung ternyata mampu 
ditahan pukulan pemuda gila itu. Ketiganya meng-
geleng-geleng kepala kagum bercampur heran 
melihat pukulan yang tampaknya begitu lemah dan 
lamban ternyata mengandung kekuatan dahsyat 
sekali. 
“Kurang ajar! Kau telah membunuh anak buahku! 
Kau harus mati! Seraaang...!” teriak Wanara 
memerintah Sodra dan Lombang agar segera 
membunuh Pendekar Gila. 
“Hea!”  
“Yea!” 
Melihat ketiganya melancarkan serangan 
Pendekar Gila dengan cepat bergerak untuk 
menghindari. Kemudian dengan jurus 'Dewa Mabuk 
Menjerat Sukma' dirinya balas menyerang ketiga 
lawannya. Gerakan yang seperti seorang mabuk, 
membuat ketiga lawan tertarik untuk melancarkan 
serangan. Mereka menyangka gerakan Pendekar Gila 
tak memiliki kekuatan untuk bertahan. 
“'Jalaraga'! Heaaa...!” dengan pukulan andalan 
bernama 'Jalaraga' Sodra melesat menyerang. 
Tangannya kini terbalut gulungan sinar biru berkabut 
Kehebatan pukulan itu mampu membunuh lawan 
dalam sekejap. Karena pukulan itu sebenarnya 
mengandung 'Racun Biru' yang sangat ganas. 
“'Palagendana'...! Heaaa...!” Lombang pun tak 
tinggal diam, segera mengerahkan pukulan saktinya 
dengan membuka telapak tangan. Tiba-tiba cahaya 
seperti warna pelangi bergulung-gulung keluar dari 
telapak tangan Lombang. Sinar berwarna-warni dan 
membentuk tali tambang itu melingkar-lingkar di 
seputar tubuh Pendekar Gila. 
Melihat kedua orang lawan telah mengeluarkan 
pukulan sakti, Pendekar Gila justru malah tertawa 
terbahak-bahak. Namun kemudian disatukan kedua 
telapak tangannya di depan dada. Lalu direntangkan 
ke atas, disusul dengan tarikan napas dalam-dalam 
sambil menarik kedua tangan sampai ke pinggang. 
Itulah pembuka jurus sakti 'Si Gila Melebur Gunung 
Karang'. 
“Hea!” 
“Yea!” 
“Heaaa...!” Sodra dan Lombang melesat ber-
samaan melakukan serangan dengan pukulan sakti 
mereka. Pendekar Gila dengan cepat memiringkan 
tubuh untuk mengelak, lalu dengan menyalurkan 
tenaga dalam penuh, dihantamkan telapak tangan-
nya. 
“Hea...!” 
Wrt! 
Glar! 
Suara ledakan terdengar ketika pukulan Pendekar 
Gila mengenai sasaran. 
“Akh...!”  
“Wua...!” 
Sodra dan Lombang menjerit keras diiringi tubuh 
mereka bergetar hebat. Dan tiba-tiba kedua lelaki tua 
itu berubah retak-retak bagaikan patung batu yang 
hampir pecah. Kemudian dengan diikuti jeritan 
menyayat, tubuh mereka hancur menjadi debu dan 
berhamburan di tanah. 
Semua mata yang menyaksikan kejadian itu 
terbelalak ngeri. Kehebatan pukulan 'Si Gila Melebur 
Gunung Karang' memang tak dapat dianggap remeh. 
Jangankan manusia atau hewan, gunung karang saja 
dapat hancur menjadi debu terkena pukulan itu. 
Wanara bertambah murka menyaksikan kedua 
anak buahnya telah mati secara mengerikan. Dengan 
menggeram, tubuhnya melompat melancarkan 
serangan terhadap lawannya. Namun tampaknya 
Pendekar Gila mengetahui gerakan cepat Wanara. 
Dengan cepat tubuhnya bergerak untuk mengelak. 
Serangan-serangan dahsyat saling dilancarkan. 
Keduanya merasa lawan bukan orang sembarangan. 
Sehingga baik Pendekar Gila maupun Wanara tak 
ingin bertindak gegabah. Pukulan demi pukulan yang 
dahsyat dan menggetarkan terus berlangsung seru. 
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu 
menggeleng-geleng kepala kagum. Baru kali ini 
mereka menyaksikan sebuah pertarungan yang 
hebat. Bumi bagaikan terlanda gempa. Bergetar dan 
terguncang. 
*** 
Di sisi lain, pertarungan pun masih berjalan 
dengan seru. Mei Lie terus mengamuk dengan jurus-
jurus 'Bidadari'nya yang sangat ampuh dan dahsyat. 
Pedangnya setiap bergerak, pasti diikuti jeritan-jeritan 
kematian.  
Wrt! Wrt! Cras! 
“Akh...!” dua orang ambruk dengan nyawa 
melayang, tertebas Pedang Bidadari di tangan Mei 
Lei. 
Sementara itu Ketawang dan Sungo Karu pun tak 
kalah hebat, tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini 
untuk menggempur para anak buah Partai Kera 
Hitam. 
Dengan senjata andalan berupa caping Sungo 
Karu terus menggebrak pertahanan lawan. Ketawang 
pun dengan toyanya tampak merajalela membabat 
dan memukul setiap lawan yang menyerang. 
Wuttt! Wuttt...! 
Pletak! 
Wrrrs...! 
Crak! 
“Akh...!” lengkingan kematian terdengar susul-
menyusul, ketika senjata toya dan tudung caping 
menghantam anak buah Partai Kera Hitam. 
Melihat kejadian itu Wanara semakin bertambah 
marah. Dengan menggeram, lelaki berwajah mirip 
kera itu melesat melakukan serangan. 
“Hea! Kubunuh kalian!” dengus Wanara geram 
sambil melompat dengan jurus 'Kera Menerkam 
Mangsa'. Tubuhnya laksana seekor kera, menerkam 
tubuh Pendekar Gila. 
Sementara itu, Seruni dengan pedang terhunus 
telah menyerang Purbaya. 
“Hea!” 
Teriakan keras membubung tinggi mengiringi 
serangan yang dilakukan Seruni. 
“Seruni, jangan! Dia kakakmu...!” 
Tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita 
setengah baya, yang tiada lain Ambar Sari. Wanita tua 
itu merasa yakin, kalau pemuda berambut keperakan 
itu Purbaya, anaknya. Hal itu karena Ambar Sari tiba-
tiba melihat kalung di leher Purbaya berjubah putih. 
Kalung inilah yang mendadak membangkitkan 
ingatannya terhadap sang Anak yang hilang dua puluh 
tahun silam. 
Seruni yang hendak melakukan serangan, ter-
sentak kaget ketika mendengar seruan ibunya. Begitu 
pula dengan Purbaya, hatinya terkejut bukan 
kepalang. Sehingga segera menghentikan serangan. 
Matanya menoleh ke tempat asal suara. Dilihatnya 
seorang wanita setengah baya berlari-lari meng-
hampiri mereka. 
“Hentikan! Dia kakakmu, Seruni! Purbaya, 
Anakku...! Seruni ini adikmu,” ujar Ambar Sari dengan 
suara bergetar. Hal itu karena baru kali ini matanya 
dapat melihat sang Anak. Sementara hatinya masih 
diliputi rasa takut kalau kedua anak itu akan saling 
membunuh. 
“Ibu...!” Seruni dan Purbaya berteriak keras. 
Keduanya langsung memburu Ambar Sari yang jatuh 
lemas. Keduanya segera memeluk tubuh ibu mereka. 
“Ibu, ini Purbaya, Bu!” desah Purbaya berusaha 
meyakinkan kalau wanita setengah baya itu ibunya. 
“Anakku,” dengan tangis berderai, Nyi Ambar Sari 
langsung memeluk Purbaya. 
Seruni hanya mampu menundukkan kepala, tak 
tahu harus berbuat apa, setelah tahu kalau Purbaya 
ternyata kakak kandungnya. Seorang pemuda yang 
selama beberapa hari ini begitu dimusuhi sang Ayah. 
Sementara itu, Mei Lie masih nampak mengamuk. 
Pedang di tangannya bergerak cepat, membabat 
lawan-lawannya dengan jurus 'Tarian Badadari 
Menyapu Gelombang'. 
“Hea!” 
Wrt! Wrt! 
Cras! Cras!  
“Akh...!” 
Sekali Pedang Bidadari di tangan Mei Lie 
berkelebat, seketika tiga orang lawan harus terjatuh. 
Mei Lie benar-benar seperti Bidadari Pencabut 
Nyawa. Pedangnya bergerak cepat hingga tak 
nampak bentuk aslinya. 
Pertarungan masih berjalan dengan seru, ketika 
dari luar tembok markas terdengar suara teriakan 
keras. 
“Seraaang...!” 
“Serbuuu...!” 
“Hancurkan Partai Kera Hitaaam...!” 
“Hancurkan keangkaramurkaan...!” 
Bersamaan dengan seruan itu, pintu gapura 
terjebol. Tidak hanya dari pintu gapura, melainkan 
dari samping dan belakang tembok berlompatan para 
warga desa. Dengan bermacam-macam senjata 
mereka langsung menyerbu ke halaman markas 
Partai Kera Hitam yang menjadi ajang pertarungan. 
Trang! Trang! 
Jleb! 
“Akh!” jeritan kematian terdengar susul-menyusul, 
semakin membuat suasana malam di markas Partai 
Kera Hitam bertambah riuh. Tembok-tembok 
bangunan markas dirobohkan. Markas itu hancur 
berantakan. 
Semakin larut, pertarungan semakin bertambah 
seru. Namun, di pihak Partai Kera Hitam tampaknya 
semakin terdesak. 
Melihat keadaan itu Wanara tampak begitu murka. 
Diiringi suara menggeram keras perlahan-lahan 
tubuhnya membesar. Semakin lama semakin 
membesar, hingga berubah menjadi sesosok makhluk 
menyeramkan. Rambutnya yang panjang tampak 
kumal dan gembel. Wajahnya yang seram dihiasi 
mata merah membara dan sepasang gigi taring 
panjang di mulut 
“Grrr! Kuhancurkan kalian!” seru Wanara dengan 
penuh amarah. Kemudian tangannya bergerak 
menyambar ke tempat pertarungan. Sepuluh warga 
desa seketika tercengang, lalu diremasnya sampai 
remuk. 
Pendekar Gila tersentak kaget, menyaksikan 
kejadian itu. Kakinya segera melangkah mundur. 
“Mundur semua...!” seru Pendekar Gila. 
Mendengar perintah itu, Mei Lie, dan semua warga 
desa langsung bergerak mundur ketakutan. 
“Grrr! Kubunuh kalian semua! Kuhancurkan...!” 
Wrt! Wrt! 
Tangan Wanara yang besar dan berbulu lebat 
hitam kembali menyerang Pendekar Gila. Namun 
dengan cepat, Pendekar Gila melancarkan pukulan 'Si 
Gila Melebur Gunung Karang'. 
“Hea!” 
Wrt! 
Jras! 
Pukulan sakti itu menghantam telapak wajah 
Wanara. Sesaat tubuh besar dan berbulu itu 
terhuyung ke belakang. Namun dengan cepat sosok 
tubuh aneh itu kembali tegak berdiri. Bahkan 
kemudian langsung melancarkan serangan lebih 
cepat. Kedua tangannya yang besar dan kekar serta 
berbulu menyambar cepat. 
Wrt! 
“Setan! Ini untukmu! 'Inti Api'. Heaaa...!” Pendekar 
Gila langsung mengirimkan pukulan sakti 'Inti Api' ke 
wajah Wanara. Dari telapak tangannya keluar 
serangkum api yang langsung memburu Wanara. 
Zrot! 
Byar! 
Api itu seketika membakar wajah Wanara. Sambil 
menggeram, lelaki bertubuh raksasa itu memukul-
mukulkan telapak tangan mematikan apa yang 
menyala di wajahnya. Setelah api padam, dengan 
geram Wanara kembali mengamuk. Tangannya 
semakin cepat menyambar dan mencengkeram tubuh 
para warga desa yang tampak ketakutan. Seketika 
puluhan orang terpelanting dan bergelimpangan di 
tanah. 
Purbaya yang melihat kejadian itu, segera melesat 
melakukan serangan. 
“Wanara, aku lawanmu! Heaaa...!” 
Wrt! 
Rambut Purbaya yang panjang dan keperakan 
dikibaskan dengan kuat. Seketika dari rambut itu 
keluar selarik sinar keperakan, yang langsung 
menerjang tubuh Wanara yang besar dan berbulu. 
Srrrts...! Glarrr...! 
Tubuh Wanara seketika terbakar. Namun, tidak 
meleleh seperti lawan-lawan tubuh Purbaya 
terdahulu. Bahkan dengan cepat Wanara 
memadamkan api yang membakar tubuhnya. Sesaat 
kemudian matanya yang besar dan melotot 
mengeluarkan api yang langsung melesat memburu 
Purbaya. 
Srattt...! 
“Haits! Celaka...!” pekik Purbaya kaget sambil 
melompat mengelakkan serangan ganas itu. 
“Aha, kita harus bersatu, Adi Purbaya. Mari kita 
tumpas iblis ini!” seru Pendekar Gila yang telah 
melesat sambil membawa suling Naga Saktinya. 
“Hea...!” 
Wrt! 
Suling Naga Sakti itu bagaikan hidup, meliuk-liuk 
menghadap ke tubuh Wanara yang besar. Lalu tiba-
tiba menghantam ke dada Wanara. 
Desss! 
“Wua! Kuremukkan tubuhmu, Pendekar Gila! 
Grrr...!''  bentak Wanara sambil menggerakkan tangan 
menyambar tubuh Pendekar Gila yang tengah 
melesat. Namun dari arah kiri Purbaya melancarkan 
serangan dengan 'Rambut Api'nya. 
“Hea!” 
Srat! Srat..! 
Byarrr...! 
“Grrr...! Kurang ajar! Kalian akan kuremukan!” 
Dengan membabi buta, Wanara menggerakkan 
kedua tangan berusaha menangkap kedua lawannya. 
Namun dengan cepat Pendekar Gila dan Purbaya 
saling bergerak ke samping. Sehingga sambaran 
tangan manusia itu tak mengenai sasaran. Hal itu 
menjadikan Wanara semakin geram karena murka. 
“Mundur semua...! Kalian mundur...!” seru 
Pendekar Gila. Dirinya tak ingin teman-temannya dan 
para warga desa menjadi korban keganasan manusia 
kera raksasa itu. 
“Mundur...!” seru Mei Lie turut berteriak. 
Mendengar perintah dari kedua pendekar itu, para 
warga desa berlarian keluar dari lingkungan markas 
Partai Kera Hitam. 
Pertarungan antara Pendekar Gila dan Purbaya 
melawan Wanara semakin bertambah seru. Kedua 
pendekar itu terus melancarkan pukulan-pukulan 
sakti mereka untuk menumpas Wanara yang semakin 
merajalela mengamuk. Namun, semua pukulan sakti, 
bagaikan tiada artinya sama sekali bagi Pimpinan 
Partai Kera Hitam. 
Mei Lie yang melihat hal itu, merasa tak sabar. 
Sambil mengayunkan Pedang Bidadari gadis itu 
segera melompat turut menyerang dengan jurus 
'Tebasan Batin'. Pedangnya berkelebat cepat 
menebas tangan kiri Wanara yang hendak 
menyambar Pendekar Gila. 
“Kakang, kubantu! Heaaa...!” 
Wrt! 
Jrabs...! 
Tebasan Pedang Bidadari mendarat telak di 
tangan kiri Wanara. Penggalan lengan besar dan 
berbulu lebat itu terpental ke tanah. Sesaat 
kemudian, ketika angin bertiup cukup kencang 
lengan itu hancur menjadi debu dan berhamburan. 
“Aha, kau hebat juga, Mei Lie! Hi hi hi...!” seru 
Pendekar Gila sambil tertawa cekikikan dan 
menggaruk-garuk kepala, “Purbaya, tangan kanannya 
bagianku atau baginmu...?” 
“Biar aku, Tuan Pendekar!” jawab Purbaya. 
Kemudian dengan cepat dikibaskan rambutnya. 
Seketika rambut panjang keperakan itu bergerak 
cepat menyabet tangan kanan Wanara. 
Srats! 
Crakkks! 
“Wua! Grrr...!” 
Tangan kanan Wanara putus tersabet rambut 
Purbaya. Dengan hilangnya kedua tangan, tubuh 
Wanara yang besar itu tampak lucu. 
“Aha, kini giliranku!” Pendekar Gila yang telah 
memegang Suling Naga Sakti segera meniup dengan 
suara melengking. Tiba-tiba dari kedua mata Naga 
Sakti keluar selarik sinar merah yang langsung 
melesat memburu tubuh Wanara. 
Srt! 
Brets! 
“Akh...!” 
Pekikan keras menggelegar seketika terdengar 
ketika sinar merah dari mata Naga Sakti menerjang 
tubuh Wanara. Asap putih seketika mengepul diikuti 
lengan melelehnya kulit serta tulang-belulang tubuh 
raksasa Wanara. 
Melihat manusia kera itu binasa, seketika semua 
warga desa kembali menyerbu ke dalam. Mereka 
yang dendam, bagaikan tak menghiraukan pada 
Pendekar Gila, Mei Lie, dan Purbaya. Mereka 
langsung membantai sisa-sisa anggota Partai Kera 
Hitam. Hanya Seruni dan Ambar Sari yang dibiarkan 
hidup. Keduanya kini saling bertangisan dan 
berpelukan dengan Purbaya. 
Saat itu pula, Purbaya diangkat sebagai pimpinan 
di markas bekas Pertai Kera Hitam yang diganti 
dengan sebutan Perguruan Rambut Perak. 
Pagi datang menghembuskan hawa yang dingin, 
ketika Pendekar Gila dan Mei Lie meneruskan 
pengembaraan. 
“Mengapa tidak tinggal beberapa hari di sini, Tuan 
Pendekar?” tanya Purbaya seraya menatap wajah 
Pendekar Gila dan Mei Lie. 
“Aha, masih banyak tugas yang harus kami emban, 
Adi Purbaya. Semoga kita dapat bertemu lagi!” ujar 
Pendekar Gila menggandeng tangan Mei Lie 
melangkah meninggalkan martars Perguruan Rambut 
Perak. 
SELESAI