Pendekar Gila 18 - Dendam Mahesa Lanang(2)


"Maksudku, aku juga melihat kejadian itu.
Wuah, tak kusangka kalau masih muda begitu mampu
mengalahkan lima jawara sekaligus. Padahal kelima
jawara itu orang-orang pilihan," ujar Ki Jenar sambil
menggeleng-gelengkan kepala, sepertinya merasa ka-
gum akan kehebatan pemuda itu.

Nyi Awing mengerutkan kening, matanya masih
menatap tajam Ki Jenar yang terduduk dengan helaan
napas panjang. Seakan-akan berusaha hendak me-
nunjukkan bagaimana perasaannya menyaksikan ke-
jadian kemarin malam itu, agar istrinya tak lagi mena-
ruh perasaan curiga.
"Lalu mengapa kau gelisah?" tanya Nyi Awing
masih belum juga percaya pada suaminya. Seakan ra-
sa curiga masih tetap membelit di hati wanita berpa-
kaian kebaya kuning itu.
"Gelisah? Ah, kurasa aku tak gelisah," kilah Ki
Jenar berusaha menutupi perasaannya. Dicobanya un-
tuk tersenyum, walau sangat terpaksa. Pikirannya ma-
sih berkecamuk tentang pemuda yang mengaku berju-
luk Banteng Sumenep.
Nyi Awing menggeleng-gelengkan kepala dengan

bibir tersenyum tipis, menyaksikan tingkah laku sua-
minya.
"Kalau tak memikirkan apa-apa, tidurlah! Su-
dah malam. Udara tak baik untuk kesehatanmu, 
Kang," ujar Nyi Awing, berusaha menasihati suaminya 
yang tampak masih gelisah. 
Ki Jenar menghela napas, berusaha perlahan-
lahan hendak merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. 
Namun, tiba-tiba.... 
Brak! 
Terdengar  suara pintu rumah Ki Jenar dido-
brak dari luar. Suami istri itu tersentak kaget. Ki Jenar 
yang semula hendak membaringkan tubuh untuk ti-
dur, terlonjak kaget. Begitu juga dengan Nyi Awing. 
"Hei, siapa itu?!" teriak Ki Jenar seraya bangun 
dari tempat tidur. Disambarnya tongkat bergagang 
ular, kemudian diikuti istrinya Ki Jenar melangkah ke-
luar untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. 
Mata Ki Jenar terbelalak, ketika seorang pemu-
da bertelanjang dada telah berdiri di dalam rumahnya. 
"Selamat malam, Ki Jenar...!" sapa pemuda itu 
dengan senyum mengembang, seakan menunjukkan 
keramahan. Namun, dilihat dari matanya yang merah 
membara, jelas pemuda itu tengah diliputi perasaan 
marah. Hal itu yang membuat Ki Jenar dan Nyi Awing 
mengerutkan kening, memandang tajam pemuda yang 
berdiri sekitar tiga tombak di hadapan mereka. 
"Siapa kau, Anak Muda? Mengapa malam-
malam begini datang, dengan cara yang aneh?" tanya 
Ki Jenar agak marah. Anak muda itu dianggapnya ter-
lalu berani dan kurang ajar. 
"Aku...?" pemuda bertubuh tegap dan bertelan-
jang dada itu balik bertanya, seakan tak mendengar je-
las apa yang ditanyakan Ki Jenar. "Aku Banteng Su-
menep." 
 
Terbelalak mata Ki Jenar dan Nyi Awing, sete-
lah tahu siapa pemuda yang berdiri di hadapan mere-
ka. Sedangkan Banteng Sumenep malah tersenyum-
senyum, seakan menghina dan mengejek lelaki tua itu. 
"Jadi, kau...?" 
Belum juga Ki Jenar habis berkata, pemuda 
bertubuh tegap itu telah mendahului. 
"Ya! Akulah Banteng Sumenep, yang akan men-
cabut nyawa busukmu!" bentak pemuda yang bernama 
asli Mahesa Lanang itu. 
Semakin membelalak mata Ki Jenar, menden-
gar ucapan Mahesa Lanang. Apalagi Nyi Awing. Wanita 
tua itu semakin pucat pasi wajahnya. Meskipun saat 
itu sedang benci pada suaminya yang tua-tua keladi, 
tapi mendengar ancaman pemuda itu, rasa kesetiaan 
sebagai seorang istri tiba-tiba menyeruak dalam ha-
tinya. Bagaimanapun juga, hatinya merasa takut kalau 
harus ditinggal mati Ki Jenar. 
"Lancang sekali mulutmu, Bocah! Ada urusan 
apa denganku?!" bentak Ki Jenar antara kaget dan ma-
rah. 
Mata lelaki tua yang menjadi seorang dukun itu 
melotot garang. Sepertinya tak merasa takut sedikit 
pun pada Mahesa Lanang. 
Mahesa Lanang atau Banteng Sumenep menci-
bir. Matanya yang merah, menatap tajam wajah Ki Je-
nar. Seolah-olah dengan tatapan itu Mahesa Lanang 
ingin menusuk dada lelaki tua bertubuh bungkuk itu. 
"Sudah kukatakan, aku datang untuk menca-
but nyawa busukmu, Orang Tua!" 
"Apa urusan kita?!" bentak Ki Jenar masih be-
lum mengerti alasan Mahesa Lanang hendak membu-
nuhnya. Padahal dia dan pemuda itu belum pernah 
ada sangkut paut apa pun. 
"Hm, masih saja kau tak ingat, Tua Bangka! Ti-
 
dak ingatkah kau dengan peristiwa dua puluh tahun 
yang silam? Ketika terjadi pembunuhan terhadap seo-
rang lelaki di arena pertandingan karapan? Kejadian 
itu telah menyebabkan seorang anak berusia lima ta-
hun hidup terlunta-lunta!" tutur Mahesa Lanang men-
jelaskan. 
Ki Jenar dan Nyi Awing terdiam, tak berkata 
sepatah kata pun. Tampaknya lelaki tua itu tengah be-
rusaha mengingat-ingat kejadian dua puluh tahun 
yang silam. Namun Ki Jenar tak juga dapat mengingat 
peristiwa yang dimaksud Mahesa Lanang. Dia merasa 
tak pernah melakukan kekejian itu. 
"Aku tak ingat. Siapa nama lelaki yang terbu-
nuh itu?" tanya Ki Jenar masih diliputi ketidakmenger-
tian, serta rasa jengkel pada pemuda yang mengaku 
Banteng Sumenep.  
"Simbar Kanginan.... Kau ingat dengan nama 
itu, Orang Tua Keparat?!" dengus Mahesa Lanang. Ma-
tanya semakin tajam, menatap lekat Ki Jenar. Sedang-
kan lelaki tua itu masih terpaku dengan kening berke-
rut, tengah berusaha mengingat-ingat apa yang dika-
takan Mahesa Lanang. 
"Simbar Kanginan...?" desis Ki Jenar, berusaha 
mengingat-ingat nama itu. 
"Ya! Simbar Kanginan, seorang juragan di Su-
menep yang kalian bantai pada saat pertandingan ka-
rapan sapi, dua puluh tahun silam," dengus Mahesa 
Lanang, berusaha mengingatkan kejadian-kejadian 
yang pernah terjadi dua puluh tahun silam, yang juga 
mengakibatkan dirinya terkatung-katung hidup tanpa 
orang tua. 
Semakin mengerut kening Ki Jenar, mendengar 
penuturan Mahesa Lanang. Dia merasa tak pernah 
melakukan semua itu, atau barangkali tidak ingat sa-
ma sekali. Namun Ki Jenar merasa tak pernah mela-
 
kukan tindakan biadab itu. Tak ada tindakan pemban-
taian yang melibatkan dirinya, pada dua puluh tahun 
yang silam. 
Mengapa bocah ini datang-datang menuntut 
balas? Hm, kurasa ada yang tak beres. Mungkin ada 
yang bermaksud mengadu domba antara bocah ini 
denganku, juga dengan Tarbiun! Gumam Ki Jenar da-
lam hati. Matanya masih menatap tajam pada Mahesa 
Lanang. 
"Bagaimana, Ki? Apakah kau telah siap untuk 
mati..." tanya Mahesa Lanang dengan suara penuh ke-
bencian pada lelaki tua di depannya. Matanya semakin 
tajam, menatap bengis wajah Ki Jenar. 
"Cuih, sombong! Jangan kira aku takut meng-
hadapimu, Anak Muda!" dengus Ki Jenar sengit, se-
mentara istrinya masih diam. Ada perasaan takut me-
nyelinap di benak Nyi Awing. Melihat tatapan mata 
Mahesa Lanang, Nyi Awing sudah menduga kalau pe-
muda itu bukan pemuda sembarangan. 
"Bagus kalau memang begitu," ujar Mahesa La-
nang dengan suara sinis. "Bersiaplah! Apakah kau 
akan menyerangku dulu, Ki? Silakan...." 
"Sombong!" dengus Ki Jenar. "Kau kira dirimu 
dewa, terlalu besar kepala kau, Anak Muda!" 
"Aku tidak besar kepala, Ki. Jika aku yang me-
nyerang lebih dahulu, takkan ada kesempatan bagimu 
membalas seranganku," ujar Banteng Sumenep den-
gan senyum sinis masih mengembang di bibir-nya. 
"Huh, baik kalau itu maumu, Bocah! Bersiap-
lah!"  
 
*** 
 
Ki Jenar menyurut mundur tiga langkah, diiku-
ti istrinya yang khawatir terhadap nasib suaminya. 
 
Meski dia tahu suaminya bukan orang sembarangan, 
tetapi dibandingkan dengan usia lawannya, jelas tena-
ga suaminya berada jauh di bawah pemuda itu. 
"Hati-hati, Kang! Kulihat hawa membunuh ter-
pancar dari matanya," bisik Nyi Awing, berusaha men-
gingatkan suaminya agar tidak gegabah menghadapi 
pemuda itu. 
"Hm, jangan khawatir, Nyi! Akan kurobek mu-
lut besarnya," dengus Ki Jenar sengit 
"Hm, kenapa kau masih diam, Ki? Apa akan 
kau biarkan nyawamu melayang...?" tanya Mahesa La-
nang masih dengan senyum sinis menghias di bibir-
nya. 
"Cuih! Kurang ajar! Bersiaplah! Heaaa...!" 
Ki Jenar kemudian melesat menyerang Mahesa 
Lanang dengan memutar tongkat berkepala ularnya. 
Tongkat itu bergerak cepat, hingga mengeluarkan an-
gin yang menderu-deru dan terasa panas. Namun Ma-
hesa Lanang masih tetap tenang, dengan bibir masih 
mengulas senyum. Pemuda itu sama sekali tak takut 
menghadapi gebukan tongkat Ki Jenar.  
"Heaaa...!" 
Wrt! 
Tongkat di tangan Ki Jenar terus berputar, ke-
mudian dengan keras menghantam ke tubuh Mahesa 
Lanang. 
Begk! Begk! 
"Ukh...!" 
Ki Jenar tersentak kaget, dan segera melompat 
ke belakang, ketika melihat apa yang terjadi. Mahesa 
Lanang hanya tersenyum, seakan tak merasakan apa-
apa. Meskipun lelaki tua itu menghantamkan tongkat-
nya dengan tenaga dalam penuh. Padahal, dulu per-
nah sebuah batu karang sebesar kerbau dapat dihan-
curkan dengan tongkat kayu bergagang ular itu. Tapi 
 
kini, Ki Jenar harus membuka mata lebar-lebar. Is-
trinya juga terperangah menyaksikan apa yang terjadi. 
Dia seakan berada di alam mimpi, menyaksikan keja-
dian itu. Bocah itu tak mempan digebuk tongkat sak-
tinya! 
Nyi Awing tahu kehebatan tongkat suaminya, 
namun kini tongkat itu tak berarti sama sekali. Tubuh 
pemuda itu seperti baja yang sangat kuat tak mempan 
dipukul tongkat kayu berwarna hitam itu. 
"Kang...!" desis Nyi Awing menyaksikan sua-
minya limbung beberapa langkah ke belakang dengan 
wajah pucat. Wanita tua itu segera menubruk tubuh 
suaminya, takut kalau Ki Jenar mengalami hal-hal 
yang tak diinginkan. "Kau tak apa-apa, Kang?" 
"Tidak, Nyi. Hm, dia bukan pemuda sembaran-
gan, Nyi. Tubuhnya seperti kebal terhadap segala ma-
cam senjata," desis Ki Jenar dengan napas terengah, 
bagaikan habis berlari kencang. 
"Bagaimana, Ki? Apakah kau masih ingin me-
nyerang lagi? Karena kuberi kau kesempatan tiga kali," 
ujar Mahesa Lanang dengan keangkuhannya. 
"Cuih! Jangan dikira kau sudah menang, Bo-
cah! Bersiaplah menghadapi seranganku yang kedua. 
'Wilang Waling'. Heaaa...!" 
Tubuh Ki Jenar kembali melesat dengan tangan 
bergerak cepat bagaikan berputar. Telapak tangannya 
mendadak berubah hijau kekuningan. 
"Hm, ilmu kuno kau gunakan, Ki," ujar Mahesa 
Lanang. Kemudian tenaga dalamnya disalurkan ke se-
luruh tubuh. 
"Heaaa...!" 
Tubuh Ki Jenar semakin melesat dengan cepat, 
memburu tubuh Mahesa Lanang. Tangannya yang me-
nyala dan berwarna hijau kekuningan telah terbuka, 
lalu bergerak memutar begitu cepat laksana baling-
 
baling. 
"Heaaa...!"  
Degk! Degk! 
"Ukh!" Ki Jenar kembali terpekik pendek, tu-
buhnya terlontar ke belakang. Meleleh darah segar dari 
mulutnya. Matanya membelalak tegang, tak percaya 
pada apa yang tengah dialami. 
"Kakang...!" 
Nyi Awing berseru kaget, menyaksikan tubuh 
suaminya terpelanting ke belakang. Beruntung Ki Je-
nar masih bisa mengendalikan keseimbangan tubuh-
nya, sehingga tak menghantam dinding rumahnya. 
Dengan berjumpalitan beberapa kali, Ki Jenar menda-
rat di lantai. Sesaat tubuhnya terhuyung tiga langkah 
ke belakang. 
"Kau...!" 
Mahesa Lanang tersenyum kecut. Matanya ma-
sih menatap tajam wajah Ki Jenar. Wajah lelaki tua itu 
semakin pucat pasi, seperti tanpa dialiri darah. Puku-
lan 'Wilang Waling'nya yang terkenal mampu melebur-
kan dan memporak-porandakan hutan, tak berarti 
sama sekali bagi tubuh Mahesa Lanang. 
"Bagaimana, Ki? Kau masih ada satu kesempa-
tan lagi untuk menyerangku," kata Mahesa Lanang 
dengan senyum datar, menunjukkan kesombongan-
nya. Dadanya semakin dibusungkan, seakan hendak 
menunjukkan kekokohan tubuhnya. 
"Cuih! Kini giliranmu, Bocah! Aku telah siap!" 
kata Ki Jenar marah, merasa direndahkan. 
"Hm, begitu...?" 
"Ya! Aku siap!" 
"Bagus! Bersiaplah untuk mati, Ki." Mahesa 
Lanang menarik napas dalam-dalam, kemudian den-
gan tenang kakinya melangkah mendekati Ki Jenar 
yang tegang. Begitu pula Nyi Awing, dicekam ketegan-
 
gan menyaksikan apa yang bakal terjadi pada sua-
minya. 
Mahesa Lanang terus melangkah, kemudian 
kedua tangannya direntangkan. Telapak tangannya di-
buka saling berhadapan. Lalu dengan mengerahkan 
tenaga dalam, Mahesa Lanang menghentakkan kedua 
telapak tangannya. 
"Heaaa!" 
Prak! 
"Akh...!" 
"Kakang...!" Nyi Awing menjerit, ketika menyak-
sikan kepala suaminya hancur berantakan terhantam 
telapak tangan pemuda itu. "Bajingan! Kubunuh kau, 
Bocah Edan!" 
Mahesa Lanang tersenyum, lalu melesat pergi 
tanpa menghiraukan kemarahan Nyi Awing yang se-
senggukan menangisi kematian suaminya. 
 
*** 
 
 
Tak lama setelah kepergian Mahesa Lanang da-
ri rumah Ki Jenar, tampak dua orang muda berjalan 
menyelusuri keremangan malam. Kedua orang muda 
itu tak lain Pendekar Gila dan Kinanti yang sejak ke-
marin mengikutinya. Malam itu mereka masih berjalan 
dalam usaha mencari tempat penginapan. Tiba-tiba 
keduanya tersentak kaget, ketika mendengar suara 
isak tangis seorang wanita di tengah malam. 
"Sena, suara apa itu?" keluh Kinanti seraya me-
rapatkan diri ke tubuh Pendekar Gila. Seakan-akan 
gadis cantik itu merasa takut, mendengar suara rinti-
han tangis seorang wanita tua. 
 
"Hi hi hi...!" Sena tertawa sambil menggeleng-
gelengkan kepala. "Ah ah ah, kenapa kau takut, Kinan-
ti? Kurasa wanita itu sedang sedih. Ayo, kita cari dari 
arah mana suara itu!" 
"Tidak, Sena! Aku takut" 
"Takut..? Aha, takut  kenapa? Bukankah seha-
rusnya yang kau takuti justru seorang lelaki sepertiku. 
Hi hi hi...!" 
Sena tertawa cekikikan, membuat Kinanti cem-
berut. Lalu dengan gemas dicubitnya pinggang Pende-
kar Gila hingga bertambah cekikikan. 
"Ah ah ah, sudahlah! Kita harus segera melihat, 
apa yang terjadi pada wanita tua itu," ajak Sena sambil 
menggandeng tangan Kinanti menuju ke tempat asal 
suara tangisan. 
Suara isak tangis Nyi Awing masih terdengar, 
menunjukkan kesedihan. Namun tangisnya terhenti, 
ketika terdengar suara Pendekar Gila menyapa. 
"Selamat malam, Nyai. Kenapa Nyai menangis 
di tengah malam begini?" tanya Sena. 
Nyi Awing menatap tajam wajah Pendekar Gila. 
Sepertinya hendak menyelidiki siapa pula pemuda ber-
tingkah laku seperti orang gila itu. 
"Aha, kau tak perlu cemas, Nyai. Aku bukan 
pemuda jahat..," ujar Sena ketika menyaksikan sorot 
mata ketakutan Nyi Awing. 
"Siapa kalian?" tanya Nyi Awing masih mem-
perhatikan kedua muda-muda itu. "Apakah kalian te-
man pemuda yang telah membunuh suamiku?" 
Pendekar Gila dan Kinanti mengerutkan ken-
ing, kemudian saling pandang. Mereka tampaknya be-
rusaha ingin tahu, siapa pemuda yang dimaksudkan 
Nyi Awing. 
"Aha, apakah tadi memang ada seorang pemu-
da datang ke rumahmu, Nyai?" tanya Sena masih cen-
 
gengesan. Tiba-tiba Pendekar Gila membelalakkan ma-
ta, ketika melihat sesosok tubuh lelaki tua tergeletak di 
depan wanita berusia sekitar lima puluh tahun itu. 
Kepala lelaki tua itu pecah, sampai keluar otaknya 
bercampur dengan darah. 
"Ya, tadi seorang pemuda bertelanjang dada da-
tang. Dia mengaku berjuluk Banteng Sumenep. Dan..., 
dia membunuh suamiku...! Hu hu hu...!" Nyi Awing 
menceritakan apa yang telah terjadi dan menimpa su-
aminya. Pendekar Gila dan Kinanti kembali menge-
rutkan kening saling pandang. 
"Banteng Sumenep...?" gumam Kinanti. 
"Benar, Nini," tegas Nyi Awing. 
"Aha, kau kenal nama itu, Kinanti?" tanya Se-
na. 
Kinanti mengulum bibir dalam-dalam, seper-
tinya hendak menahan perasaannya yang dalam. Dia 
kenal betul siapa sebenarnya Banteng Sumenep, yang 
tiada lain Mahesa Lanang. Kinanti tak habis pikir, 
mengapa Mahesa Lanang harus membunuh orang? 
Padahal setahunya, Mahesa Lanang bukan seorang 
pembunuh. Dahulu kakak seperguruannya itu sangat 
pengalah. 
"Ya," jawab Kinanti sambil menganggukkan ke-
pala. 
"Siapa, Kinanti?" tanya Sena penasaran.  
"Kakang Mahesa Lanang," jawab Kinanti. Pen-
dekar Gila tersentak kaget mendengar jawaban Kinan-
ti. 
"Aha, benarkah Banteng Sumenep itu kakak 
seperguruanmu...?" tanya Sena belum yakin dengan 
yang dikatakan Kinanti. Matanya memandang gadis 
itu, dengan tangan masih menggaruk-garuk kepala. 
Mulutnya cengengesan, seakan merasa lucu. Itulah 
tanda kalau Pendekar Gila tengah merasakan kebin-
 
gungan. 
"Ya. Kakang Mahesa Lanang memang mendapat 
julukan Banteng Sumenep, karena dia berasal dari De-
sa Sumenep," tutur Kinanti berusaha meyakinkan 
Pendekar Gila. 
Sena semakin nyengir dan menggaruk-garuk 
kepala, mendengar keterangan Kinanti. Pikirannya ber-
tambah tak mengerti, mengapa murid Ki Windu Ajar 
melakukan perbuatan sekeji itu? Apa alasan Mahesa 
Lanang membunuh orang? Itu yang menjadi perta-
nyaan Pendekar Gila. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali dunia ini," gumam Pen-
dekar Gila sambil menggeleng-gelengkan kepala. Tan-
gannya kembali menggaruk-garuk kepala. Malah kini 
garukannya semakin cepat. "Lucu, bagaimana mung-
kin Mahesa Lanang berbuat sekeji itu?" 
"Itulah yang sedang kupikirkan, Sena," sahut 
Kinanti setengah bergumam. "Selama ini, aku tak per-
nah melihat keganjilan-keganjilan Kakang Mahesa. Ta-
pi kini, sepertinya aku bagaikan mimpi." 
Pendekar Gila tersenyum-senyum sambil meng-
geleng-gelengkan kepala. Dia merasa dihadapkan pada 
masalah yang aneh dan sulit untuk diselesaikan. Se-
hingga teringat kembali kejadian yang dialami di Kera-
jaan Telaga Emas. Di mana Joko Galing pun mengala-
mi kesesatan. Padahal guru Joko Galing beraliran lu-
rus (Untuk lebih jelasnya, silakan ikuti serial Pendekar 
Gila dalam episode "Pengkhianatan Joko Galing"). 
Ah ah ah, mungkinkah masalahnya sama den-
gan yang dialami Joko Galing? Gumam Sena dalam ha-
ti. Pendekar Gila belum mengerti, kenapa Ki Windu 
Ajar yang terkenal bijaksana dan merupakan tokoh tua 
yang disegani di Pulau Madura, mempunyai murid 
durjana seperti Mahesa Lanang. 
"Nyai, bisakah kau menunjukkan ciri-ciri pe-
 
muda itu yang lain?" tanya Kinanti, ingin meyakinkan 
dugaannya. Hal itu dikarenakan banyak pemuda di 
Pulau Madura yang bertubuh tegap dan bertelanjang 
dada. 
Siapa tahu ada pemuda lain yang mengaku-aku 
sebagai Mahesa Lanang. 
"Ciri-cirinya, dia memakai kalung berbandul 
bulat terbuat dari kayu," kata Nyi Awing menjelaskan 
apa yang sempat dilihatnya pada pemuda itu. 
"Apakah bandulnya ada gambar timbulnya, 
Nyai?" tanya Kinanti lagi. 
"Be..., benar. Kau begitu tahu, Nisanak. Hm, 
kau temannya, ya?" tanya Nyi Awing kembali merasa 
takut kalau-kalau kedua anak muda itu teman pemu-
da yang telah membunuh suaminya. 
"Aha, jangan takut, Nyai. Bagaimanapun juga, 
orang yang telah membunuh suamimu harus ditang-
kap," tukas Sena berusaha menenangkan hati wanita 
setengah baya itu. 
"Benar, Nyai. Meski teman kami, tetapi dia ber-
salah. Kami harus menangkapnya," sambung Kinanti, 
membuat Nyi Awing nampak agak tenang. 
"Aha! Kami rasa, kami harus segera mengejar-
nya, Nyai. Ah, maafkan kami kalau tak bisa membantu 
untuk mengubur mayat suamimu," ujar Sena sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
"Benar, Nyai. Kami harus cepat mengejarnya," 
sambung Kinanti. "Tapi, apa alasan Banteng Sumenep 
membunuh suamimu, Nyai?" 
Nyi Awing tidak menyahut, kepalanya mengge-
leng karena tak tahu mengapa Banteng Sumenep me-
musuhi suaminya. 
"Jadi Nyai tak tahu?" desak Kinanti. 
"Tidak. Aku hanya mendengar, Banteng Sume-
nep mengatakan tentang kejadian dua puluh tahun 
 
yang silam di pertandingan karapan sapi. Menurutnya 
Ki Jenar terlibat," tutur Nyi Awing. 
"Apa? Ki Jenar?!" tanya Kinanti kaget "Jadi su-
ami Nyai ini bernama Ki Jenar...?" 
"Benar, Nini. Kau seperti kaget, kenapa?" tanya 
Nyi Awing ingin tahu, ketika mendengar suara Kinanti 
yang nampaknya kaget mendengar nama suaminya. 
"Hm, Ki Jenar yang menjadi dukun itu?" tegas 
Kinanti. 
"Ya, lihatlah sendiri, Nisanak!" Kinanti mende-
kati mayat lelaki tua yang tergeletak dengan kepala pe-
cah. Matanya terbeliak, setelah tahu kalau lelaki tua 
agak bungkuk itu benar Ki Jenar. "Heran, mengapa 
Kakang Mahesa membunuh Ki Jenar?" gumam Kinan-
ti. Seakan pertanyaan itu ditujukan pada diri sendiri.  
Sementara Pendekar Gila hanya cengengesan 
mendengar gumaman Kinanti. Dia pun tak habis pikir 
mengapa Mahesa Lanang yang dididik Ki Windu Ajati 
melakukan perbuatan keji. Padahal gurunya bukan 
orang bodoh dan sesat. 
Ah! Manusia memang aneh! Gumam Sena da-
lam hati. Jadi semua tergantung dari jiwanya. Sehebat 
apa pun guru mendidik, kalau orang itu memang ber-
jiwa sesat tak akan mungkin bisa dirubah! 
Pendekar Gila cengengesan sambil menggeleng-
gelengkan kepala. Dia masih tak habis pikir. Mahesa 
Lanang pernah menunjukkan keangkuhannya. Namun 
tak tampak di wajahnya gambaran seseorang yang 
membunuh secara keji. 
"Mungkin Juragan Tarbiun dan kelima jawa-
ranya juga dibantai Mahesa Lanang, Kinanti," tukas 
Sena. 
"Tentunya begitu, karena kudengar pelakunya 
juga Banteng Sumenep. Sayang, aku belum melihat 
dengan mata kepalaku sendiri," gumam Kinanti. "Ka-
 
lau saja melihat secara langsung, aku tak akan tinggal 
diam." 
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil meng-
garuk-garuk kepala. Matanya memandang ke atas ru-
mah. Genteng rumah tampak samar-samar dalam ke-
gelapan. Kemudian tatapan matanya dialihkan pada 
sosok Ki Jenar. 
"Aha, kalau benar semua ini perbuatan Mahesa 
Lanang, kita harus segera ke padepokanmu, Kinanti," 
usul Pendekar Gila sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Untuk apa, Sena?" 
"Hi hi hi...! Kau ini lucu sekali, Kinanti. Jelas 
kita harus segera memberi tahu Ki Windu Ajar tentang 
kejadian ini. Bukan begitu, Anak Manis?" seloroh Pen-
dekar Gila yang membuat Kinanti cemberut. Mulutnya 
bersungut-sungut. Melihat hal itu Pendekar Gila se-
makin menjadi-jadi menggodanya. 
"Ayo Sena, kita harus segera ke padepokan!" 
ajak Kinanti sambil menggandeng tangan Sena. "Nyai, 
kami permisi." 
Kedua muda-mudi itu pun melesat, meninggal-
kan rumah Ki Jenar. Tak lama kemudian warga Desa 
Bangkalan berdatangan ke rumah Ki Jenar. 
 
*** 
 
Pagi yang sejuk dihembus angin semilir basah. 
Desa Wetan Progo yang berada di sebelah timur Desa 
Bangkalan nampak ramai. Sudah banyak orang yang 
berlalu lalang untuk melakukan tugas mereka sehari-
hari. 
Sebuah kedai yang terletak di sebelah selatan 
Desa Wetan Progo dibuka dan nampak telah ada satu 
dua pengunjungnya.  Tak lama kemudian, kedai itu 
ramai dikunjungi para pengunjung yang mungkin 
 
bermaksud sarapan pagi. 
Pendekar Gila dan Kinanti yang dalam perjala-
nan ke Pegunungan Blige kini nampak melangkah dari 
arah barat. Keduanya baru saja keluar dari perbatasan 
antara Desa Wetan Progo dan Desa Bangkalan. 
"Wuah, kurasa kita harus istirahat dulu, Kinan-
ti. Perutku lapar sekali," usul Sena sambil menepuk-
nepuk perutnya yang terasa lapar. 
Semua mata orang yang lewat di jalanan Desa 
Wetan Progo, segera tertuju pada Pendekar Gila dan 
Kinanti. Mereka sepertinya heran, melihat seorang wa-
nita muda dan cantik berjalan dengan seorang pemuda 
gila. Bahkan hampir semua orang yang berpapasan 
dengan Pendekar Gila tersenyum-senyum melihat 
tingkah laku Sena yang persis orang gila. 
"Kok mau-maunya ya, gadis cantik jalan sama 
pemuda tak waras," celoteh seorang lelaki muda ber-
pakaian kuning loreng hijau. 
"Iya, ya? Seperti tak ada pemuda lain. Yang wa-
ras dan gagahkan banyak," sahut temannya yang 
mengenakan baju rompi coklat kehitaman. "Atau den-
gan aku...." 
Mereka tertawa-tawa, membuat Kinanti tersing-
gung dan hampir marah. Beruntung Pendekar Gila se-
gera menasihati agar Kinanti menahan diri. 
"Aha, biarkan apa kata mereka! Hi hi hi..., me-
mang dunia ini gila," ujar Sena dengan tertawa cekiki-
kan sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Tapi mereka kurang ajar, Sena." 
"Aha, sudahlah! Perutku sudah sangat lapar," 
ajak Sena sambil menggandeng tangan Kinanti. Gadis 
itu hanya menggerendeng. Masalahnya, Kinanti masih 
jengkel mendengar ucapan orang-orang tadi. 
"Kau terlalu halus, Sena!" rungut Kinanti. 
"Orang-orang seperti itu harus dihajar." 
 
"Aha, mengapa kau yang marah, Kinanti? Ah, 
sudahlah...! Yang penting mereka tak menginjak-injak 
harga diri, bukan?" tukas Sena sambil terus menggan-
deng tangan gadis itu, menjauhi orang-orang yang ma-
sih tertawa-tawa memperhatikan tingkah lakunya. 
Dengan masih bersungut-sungut, Kinanti me-
nuruti Pendekar Gila. Keduanya menuju ke kedai. 
Kinanti dan Sena sampai di kedai. Keduanya la-
lu masuk dan mencari tempat duduk. Seperti di luar 
tadi, semua mata orang di dalam kedai pun kini tertu-
ju pada Sena dan Kinanti. Mereka juga bergumam ke-
tika melihat wanita cantik yang bergandeng tangan 
dengan orang gila. Namun berbeda dengan orang-
orang di luar, mereka hanya berani menggerendeng pe-
lan, khawatir kedua muda-muda itu tersinggung lalu 
menimbulkan keributan di dalam kedai. 
Seorang pelayan mendatangi tempat duduk 
Pendekar Gila dan Kinanti. Pelayan itu pun menge-
rutkan kening, melihat tingkah laku pemuda yang per-
sis orang gila. 
"Aha, kenapa kau diam, Ki?" tanya Sena sambil 
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. Kemudian 
diliriknya Kinanti yang hanya terdiam menundukkan 
kepala. Mungkin hatinya tak enak melihat orang-orang 
di kedai itu memperhatikan dirinya. 
"Pesan apa Tuan?" 
"Aha, kami pesan makanan apa saja yang ada 
di sini," jawab Sena. 
Pelayan kedai mengerutkan kening, mendengar 
permintaan Pendekar Gila. Begitu pula dengan Kinanti, 
hatinya terkejut mendengar permintaan itu. 
"Aha, mengapa masih diam, Ki? Cepatlah sedi-
kit! Aku sudah lapar  sekali," ujar Sena dengan suara 
agak membentak, membuat pelayan kedai bertambah 
mengkerut. Cepat-cepat lelaki berusia sekitar empat 
 
puluh tahun itu langsung bergegas pergi untuk men-
gambilkan pesanan tamunya yang seperti orang gila 
itu. 
Tidak lama kemudian, pelayan kedai telah 
muncul dengan membawa senampan besar makanan 
yang dipesan. Kinanti terbelalak melihat makanan itu. 
"Hei, siapa yang mau makan sebanyak itu?!" 
tanya Kinanti kaget seraya menoleh ke wajah Pendekar 
Gila yang tertawa sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Aha, tak apa. Bukankah hari ini kita mau pes-
ta? Hua ha ha.... Aha, ayo kita makan!" ajak Sena. "Ta-
ruh di meja, Ki!" 
Pelayan kedai yang masih heran melihat ting-
kah laku Pendekar Gila, hanya mampu bengong dan 
menuruti apa yang diperintahkan. 
Setelah meletakkan semua makanan pesanan, 
pelayan kedai pun berlalu meninggalkan kedua ta-
munya sambil menggeleng-gelengkan kepala dan ter-
senyum. 
"Dasar bocah edan," gumam pelayan kedai itu 
seraya melangkah meninggalkan Pendekar Gila dan 
Kinanti yang mulai menyantap makanan. Semua yang 
ada di kedai kini memperhatikan Pendekar Gila yang 
masih cengengesan sambil menyantap makanan. 
"Hi hi hi...! Aha, nikmat sekali. Hm, kenyang 
perutku!" gumam Sena seraya mengusap-usap perut-
nya. Sementara Kinanti semakin melotot, gemas meli-
hatnya. 
Tiba-tiba dari pintu luar, masuk lima sosok le-
laki berwajah garang. Kelima lelaki berusia sekitar tiga 
puluh sampai empat puluh tahun itu mengenakan pa-
kaian merah saga. Wajah mereka dihiasi dengan cam-
bang bauk, dan rata-rata hampir sama garang serta je-
leknya. Mereka terkenal dengan sebutan Lima Iblis da-
ri Gempolan. 
 
Semua orang yang ada di kedai seketika mem-
belalakkan mata tegang, melihat kehadiran mereka. 
Hanya Sena dan Kinanti yang kelihatan tenang, sea-
kan-akan tak peduli dengan kehadiran kelima lelaki 
berwajah garang itu. 
"Lima Iblis dari Gempolan...!" desis orang-orang 
di kedai dengan mata melotot tegang.     
 
*** 
 
 
Orang-orang di dalam kedai seperti dihantui pe-
rasaan takut, melihat Lima Iblis dari Gempolan. Semua 
telah kenal benar siapa kelima lelaki itu. Kelimanya 
terkenal sangat garang dan bengis. Lima Iblis dari 
Gempolan juga sering melakukan pemerasan terhadap 
siapa saja, tak pandang bulu. 
"Jangan pergi! Kami tak akan membiarkan seo-
rang pun pergi dari kedai ini!" seru Sarpajani, atau le-
bih dikenal dengan sebutan Iblis Bersenjatakan Cakar. 
Karena dia memang menggunakan senjata berbentuk 
cakar terbuat dari baja murni. 
Beberapa orang yang semula hendak angkat 
kaki dari kedai itu seketika kembali duduk. Tak seo-
rang pun yang berani bangun dari bangkunya. 
Lima Iblis dari Gempolan melangkah masuk, 
mata mereka menatap garang ke sekeliling ruangan 
kedai. Sepertinya ada seseorang yang sedang dicari. 
"Siapa di antara kalian yang dikenal dengan se-
butan Pendekar Gila?!" tanya Sarpajani dengan suara 
ditekan berat. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali, pagi-pagi begini ada 
kecoa berkoar. Ah ah ah, membuat perutku yang ke-
 
nyang jadi mual," gumam Sena sambil tertawa terba-
hak-bahak. Kemudian tubuhnya berbalik dan tetap 
duduk sambil menatap Lima Iblis dari Gempolan. 
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?!" bentak 
Sarpajani. 
"Hi hi hi...? Kau gila! Ah ah ah, mengapa kau 
gila masuk-masuk ke kedai?" sahut Sena sambil terta-
wa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Lalu 
dengan cengengesan, kepalanya digeleng-gelengkan. 
Matanya masih menatap tajam lima lelaki berwajah ga-
rang yang kini melangkah mendekat ke tempat duduk-
nya. 
"Rupanya pemuda sinting ini yang kita cari," 
tukas Sarpajani pada keempat rekannya. 
"Benar, tak salah lagi," sahut Kurutuma. "Ciri-
ciri yang dikatakan pimpinan kita memang sama." 
"Ya. Tak salah lagi," sambung Karasenta. 
"Hm, Bocah Sinting. Bersiaplah untuk mam-
pus!" dengus Sarpajani, membuat Pendekar Gila terta-
wa terbahak-bahak sambil menggeleng-menggeleng 
kepala. Lalu dengan cengengesan, rambut di belakang 
telinganya digaruk-garuk. 
"Ah, mengapa kalian minta mampus cepat-
cepat...?" tanya Sena, membalikkan kata-kata mereka. 
Lima Iblis dari Gempolan membelalakkan mata, 
mendengar jawaban konyol Pendekar Gila. Napas me-
reka mendengus, menahan geram. 
"Bocah edan! Rupanya kau belum kenal siapa 
Lima Iblis dari Gempolan. Sehingga mulutmu lancang 
sekali!" dengus Karasenta dengan mata memerah ka-
rena marah. 
"Hi  hi...! Bukankah kalian kecoa-kecoa busuk 
yang  suka mengganggu ketenangan orang. Hi hi...!" 
Sena tertawa cekikikan, sementara Kinanti telah ban-
gun dari duduknya. Matanya menatap marah pada Li-
 
ma Iblis dari Gempolan yang menunjukkan kebengi-
san. 
 
 
"Kaukah yang berjuluk Pendekar Gila?!" bentak 
Sarpajani, salah seorang anggota Lima Iblis dari Gem-
polan. 
"Hi hi...? Kau gila? Ah ah ah, mengapa orang gila 
masuk-masuk ke kedai?!" sahut Sena cekikikan. Sambil 
berkata demikian, matanya terus menatapi lima lelaki 
berwajah garang yang melangkah mendekatinya. 
 
 
"Hei, Bajingan! Jangan sembarangan bicara!" 
bentak Kinanti tak kalah garang. "Siapa yang menyu-
ruh kalian? Katakan cepat, sebelum pedangku berbica-
ra!" 
Lima Iblis dari Gempolan tertawa terbahak-
bahak mendengar bentakan Kinanti. Kinanti tentu saja 
bertambah sengit melihat sikap kelima lelaki di hada-
pannya.  
"Kurang ajar! Kubunuh kalian!" dengus Kinanti 
semakin marah, merasa diremehkan. Tangannya ber-
gerak, meraba ke gagang pedang. 
Cring! 
"Aha, tenang dulu, Kinanti! Biarkan kecoa-
kecoa busuk itu pergi dulu!" kata Sena, menyabarkan 
Kinanti. "Hi hi hi...! Kuperintahkan pada kalian, pergi-
lah! Wuah, mual perutku melihat tampang kalian." 
"Cuih! Jangan kira kami akan pergi sebelum 
membawa kepalamu, Bocah Edan!" dengus Sarpajani 
sengit. 
"Hm, atau kau berikan saja gadis itu pada ka-
mi! Maka nyawa busukmu yang tak ada artinya akan 
kami lepaskan," sambung Kumara Gupa. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak men-
dengar permintaan Kumara Gupa. Kemudian sambil 
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala, diliriknya 
Kinanti yang melotot marah. 
"Aha, mereka menginginkanmu, Kinanti." 
"Cuih! Jangan bermimpi di siang bolong, Ku-
nyuk! Cepat angkat kaki dari sini, atau terpaksa pe-
dangku membabat leher kalian!" bentak Kinanti ga-
rang.  
"Ah, galak sekali kau, Nisanak. Semakin mem-
buatku penasaran. Apa di atas tempat tidur kau juga 
galak begitu?" sahut Kumara Gupa. Matanya nakal, 
 
memandang tubuh Kinanti yang memang sintal. 
"Kurang ajar! Rupanya bukan leher, melainkan 
mulutmu yang harus kurobek dengan pedangku!" den-
gus Kinanti. Kemudian dengan didahului pekikan ke-
ras, gadis cantik itu melesat menyerang Kumara Gupa.  
"Kubunuh kau, Iblis! Heaaa...!" 
Wrt! 
Dengan jurus 'Kembang Mayang' Kinanti mem-
babat dan menusukkan pedang ke tubuh lawan. Ku-
mara Gupa yang tidak menyangka kalau gadis cantik 
itu memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi tersentak. 
Dengan cepat tubuhnya berkelit ke samping kiri, sam-
bil melancarkan pukulan tangan kosong ke dada Ki-
nanti. 
"Yeaaat! Galak juga kau, Ni."  
"Jangan banyak mulut! Kurobek mulutmu, Ib-
lis! Hih...!" 
Kinanti menusukkan pedang ke wajah Kumara 
Gupa, lalu dengan cepat dihentakkan ke samping. Di-
lanjutkan dengan sabetan ke kanan, kemudian di-
arahkan dari atas ke bawah. Sebuah gerak ilmu silat 
yang lincah dan begitu cepat. Melihat gerakan pedang 
yang berkelebat di depannya, Kumara Gupa kembali 
tersentak. 
Wrt! 
"Haits! Boleh juga permainan pedangmu, Nisa-
nak...!" gumam Kumara Gupa sambil mengegoskan 
kaki kanan ke samping, lalu menggerakkan kaki kiri 
ke belakang. Sedangkan tangannya kini diletakkan 
menyilang dengan telapak tangan terbuka lalu memu-
kul ke dada Kinanti. Inilah jurus ‘Seling Belikat Iblis’. 
"Yeaaa...!" 
Wrt! 
Kinanti yang sudah marah terus berusaha me-
nyerang dengan gencar, bagaikan seekor macan betina 
 
mengamuk. Pedang di tangannya terus berkelebat me-
nusuk dan membabat dengan keras dan mengarah pa-
da bagian-bagian yang mematikan. 
Hm, ilmu pedang gadis ini bukan sembarangan. 
Untung dia belum berpengalaman! Kalau saja dia su-
dah berpengalaman, celakalah aku! Gumam Kumara 
Gupa dalam hati sambil terus berkelit mengelakkan 
serangan-serangan yang dilancarkan Kinanti. 
"Heaaa...!" 
Wrt! 
Kinanti terus bergerak, menyerang dengan sa-
betan dan babatan pedangnya. Namun karena terlalu 
bernafsu, mengakibatkan serangannya tak terarah. 
Kumara Gupa jelas melihat kelemahan itu. Sehingga 
tanpa menyia-nyiakan kesempatan, dia bergerak me-
nyerang ke dada Kinanti. 
"Hih!" 
Degk! 
"Akh!" Kinanti memekik tertahan. Tubuhnya 
terpental deras ke belakang. 
Melihat tubuh Kinanti melayang, Pendekar Gila 
melompat. Lalu dengan cepat ditangkapnya tubuh ga-
dis itu. 
"Aha, kalian hanya berani dengan seorang wa-
nita, Kecoa-kecoa Busuk!" dengus Sena marah. "Pergi-
lah kalian dari sini!" 
"Cuih! Jangan kira kami takut denganmu, Bo-
cah Edan!" dengus Sarpajani sengit 
"Hua ha ha...! Rupanya kalian kecoa-kecoa 
yang sudah bosan hidup! Enyahlah kalian dari hada-
panku! Muak sekali aku melihat tampang kalian!" ben-
tak Sena benar-benar marah, ketika tahu kalau Kinan-
ti ternyata terluka dalam. Wajahnya tampak merah 
dan bersinar-sinar, bagaikan diliputi api membara. 
"Hah?!" 
 
Semua yang ada di kedai tersentak kaget. Mata 
mereka terbelalak heran melihat perubahan  wajah 
Pendekar Gila. Orang-orang tak mengira, kalau pemu-
da bertingkah laku gila itu ternyata memiliki ilmu yang 
tinggi. Wajahnya bisa berubah diselimuti bara api. Se-
buah pemandangan yang aneh dan mengerikan. 
Namun Lima Iblis dari Gempolan bagaikan tak 
peduli pada perubahan wajah Pendekar Gila yang ber-
sinar merah membara. Bahkan kini dari ubun-ubun 
pemuda bertingkah laku gila itu mengeluarkan asap 
ungu. 
"Hua ha ha...! Rupanya kalian memang kecoa-
kecoa busuk yang bandel! Cepat minggat dari sini, se-
belum kesabaranku hilang!" bentak Sena masih me-
mondong tubuh Kinanti yang pingsan akibat ter-
hantam pukulan Kumara Gupa. 
"Sudah kukatakan, kami tak akan pergi sebe-
lum membawa kepalamu, Pendekar Gila!" bentak Sar-
pajani. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali kalian, Kecoa-kecoa 
Busuk! Aneh. Rupanya kalian mencari penyakit," ujar 
Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Tubuhnya sema-
kin membara merah. Kini dengan tenang kakinya me-
langkah mendekati kelima lawannya. Matanya yang 
menyala merah, menyorot tajam Lima Iblis dari Gem-
polan. 
"Huh, jangan kira kami takut dengan ilmu si-
hirmu, Bocah Edan!" dengus Kurutuma.  
Srt! 
Kurutuma mencabut cluritnya, lalu nekat mele-
sat dan menyerang Pendekar Gila. Cluritnya dis-
abetkan ke tubuh Pendekar Gila dengan jurus 'Clurit 
Sambar Nyawa'. 
Wrt! 
Jleg! 
 
"Hei,  dia menghilang!" seru Kurutuma, ketika 
tiba-tiba Pendekar Gila raib dari pandangannya. Hal 
itu membuatnya kebingungan. Begitu juga keempat 
temannya, mereka kelabakan mencari Pendekar Gila. 
"Dia bisa menghilang?" gumam Sarpajani kehe-
ranan. 
"Hua ha ha...! Aku ada di sini! Lucu sekali ka-
lian, mengapa kebingungan...?" ejek Sena sambil ter-
tawa-tawa. Di tangannya tak ada lagi tubuh Kinanti, 
entah ditaruh di mana gadis itu. Hal itu membuat Li-
ma Iblis dari Gempolan semakin kebingungan. 
Bukan hanya Lima Iblis dari Gempolan yang 
tersentak kaget menyaksikan kejadian aneh itu. Se-
mua yang ada di kedai membelalak keheranan dan 
seakan tak percaya pada apa yang baru dilihat. Pemu-
da bertingkah laku seperti orang gila itu menghilang, 
dan tiba-tiba muncul lagi tanpa tubuh Kinanti. 
"Ck ck ck...! Siapa sebenarnya bocah edan itu?" 
tanya seorang pengunjung kedai berdecak kagum, me-
nyaksikan tingkah laku Pendekar Gila. 
 
*** 
 
"Huh, ilmu sihir! Jangan kira kami seperti anak 
kecil, Bocah Edan. Kami tak bisa ditakut-takuti ilmu 
sihirmu!" dengus Sarpajani sengit 
"Hi hi hi..., sihir? Ah, kalau kalian punya ilmu 
sihir, ingin sekali aku menontonnya," ejek Sena see-
naknya, yang membuat Lima Iblis dari Gempolan ber-
tambah marah. 
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah! Serang 
dia...!" perintah Kurutuma. 
Srt! Srt..! 
Lima Iblis dari Gempolan mencabut senjata 
masing-masing. Sarpajani dengan senjata berupa ca-
 
kar. Kurutuma dengan cluritnya. Kumara Gupa den-
gan tongkat peraknya. Sedangkan kedua orang lainnya 
menggunakan pedang dan golok. 
"Aha, bahaya kalian bermain-main dengan sen-
jata. Bukankah sebaiknya kalian simpan...?" ujar Sena 
sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala. 
"Cuih! Jangan banyak omong! Serang...!" perin-
tah Sarpajani seraya melesat menyerang Pendekar Gi-
la, diikuti keempat temannya. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaat..!"  
"Putus lehermu, Bocah Edan! Heaaa...!" 
Kelima lelaki beringas itu serentak menyerang 
dengan gerakan memutar cepat membentuk lingkaran. 
Mereka mengitari tubuh Pendekar Gila yang masih ter-
tawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Heaaa...!" 
Kurutuma membabatkan cluritnya ke tubuh 
Pendekar Gila. Namun dengan cepat, Pendekar Gila 
berkelit ke samping. Kemudian berputar dengan jurus 
'Si Gila Melepas Lilitan' sambil tangannya bergerak ce-
pat menyerang dengan tamparan dan hantaman. 
"Yeaaa...!" 
Wrt! 
"Hi hi hi...!" 
Dengan masih cekikikan, Pendekar Gila terus 
bergerak mengelitkan serangan kelima lawannya. Tu-
buhnya berputar bagai gasing ke arah kiri. Tangan dan 
kakinya tak diam, bergerak menyerang lawan. 
Wrt! 
Plak! 
"Aduh!" Sarpajani terpekik ketika pipinya mera-
sakan hawa panas akibat tamparan tangan Pendekar 
Gila. Tubuh lelaki itu terhuyung beberapa langkah ke 
belakang dengan tangan kiri memegangi pipi yang me-
 
rah berbekas telapak tangan Pendekar Gila. 
Keempat rekannya berusaha menyerang, tapi 
Pendekar  Gila dengan jurus ‘Si Gila Menari Menepuk 
Lalat’ telah mendahului. Sambil meliuk-liuk tubuhnya 
bergerak merangsek lawan. 
"Heaaa...!" 
"Yeaaa...!" 
Wrt! 
"Haits! Hi hi hi.,..!" 
Sena meliukkan tubuh, untuk mengelakkan se-
rangan. Kemudian dengan cepat tangannya bergerak 
menepuk dada Kurutuma. 
"Celaka! Jurus siluman!" maki Kurutuma ter-
sentak kaget. Dia tak menyangka kalau jurus silat 
yang dilakukan lawan ternyata sangat berbahaya. Ka-
rena gerakan yang dilakukan Pendekar Gila kelihatan-
nya pelan dan lemah, tapi nyatanya mampu mengejar 
tubuhnya. 
"Heaaa!" 
Degk! 
"Wuaaa...!" Kurutuma terpekik, ketika telapak 
tangan Pendekar Gila mendarat di dadanya. Gerakan 
menepuk yang tampaknya pelan itu, seketika mampu 
mendorong tubuh Kurutuma sampai terpental jauh. 
Tubuh lelaki gagah itu terus melayang. Dan.... 
Brak! 
"Akh...!" 
Tubuh Kurutuma menjebol dinding kedai. Jeri-
tan kematian menandai kematiannya. Tubuhnya re-
muk setelah menghantam pohon besar di belakang ke-
dai. 
Melihat Kurutuma tewas di tangan Pendekar 
Gila, semakin memuncak kemarahan keempat orang 
dari Lima Iblis dari Gempolan. 
"Kurang ajar! Kubunuh kau, Bocah Edan! 
 
Heaaa...!" 
Sarpajani yang sudah merasakan tamparan 
Pendekar Gila, kini nekat melakukan serangan. Ketiga 
temannya pun tak tinggal diam, segera membantu. 
Keempatnya serentak merangsek dengan ganas. Senja-
ta di tangan mereka berkelebatan cepat membabat dan 
menusuk ke sekujur tubuh Pendekar Gila. 
Mendapat serangan begitu cepat dan secara se-
rentak, tidak membuat Pendekar Gila merasa kewala-
han. Bahkan mulutnya terus tertawa mengejek lawan. 
Tentu saja orang-orang yang ada di kedai terbengong-
bengong menyaksikan tingkah laku konyol itu. Meng-
hadapi keroyokan empat orang yang terkenal buas, 
pemuda bertingkah laku gila itu masih sempat tertawa 
terbahak-bahak. Seakan-akan tak menghiraukan se-
rangan lawan mengancam nyawanya. 
"Hi hi hi...! Heit! Galak sekali kalian. Hi hi hi...!" 
Pendekar Gila terus berkelebat, mengelakkan 
serangan dengan jurus 'Kera Berayun Menyerang 
Mangsa'. Tubuhnya melompat ke sana kemari bagai-
kan berayun, lalu disusul cengkeraman tangannya. 
Gerakan itu dilakukan dengan tertawa-tawa, sambil 
sesekali kakinya menendang ke belakang. 
Dugk! 
"Ukh! Setan...!" maki Jalaparang, ketika bagian 
belakang kepalanya terkena tendangan Pendekar Gila. 
Tubuhnya tersuruk ke arah pengunjung kedai yang 
segera berhamburan menghindar. 
Brak! 
Akhirnya, tubuh Jalaparang menghantam meja. 
Mulutnya berdarah setelah membentur tepi meja yang 
terbuat dari kayu jati itu. 
"Hi hi hi...! Kenapa kau makan meja, Kecoa! 
Hua ha ha...!" Sena tertawa cekikikan sambil terus me-
lompat, lalu mencengkeram jenggot lawan di hadapan-
 
nya. 
Bret! 
"Wadauw...!" Kumara Gupa menjerit keras, ke-
tika jenggotnya dihentakkan tangan Pendekar Gila 
hingga tercabut. Darah mengucur keluar dari dagunya. 
Kumara Gupa berputar-putar, sambil  memegangi da-
gunya yang berdarah. 
Membelalak mata Sarpajani dan Jarapala, me-
nyaksikan kedua temannya kini terluka parah hanya 
karena tendangan dan cakaran pemuda bertingkah la-
ku gila. Seketika nyali keduanya ciut. Tanpa berkata 
lagi mereka pun melesat meninggalkan kedai, tanpa 
menghiraukan bagaimana nasib kedua temannya. 
Pendekar Gila tertawa terkekeh-kekeh sambil 
melangkah mendekati kedua musuhnya yang masih 
mengerang-erang kesakitan. Sambil menggaruk-garuk 
kepala, dipegangnya pundak Jalaparang. 
"Aha, katakan siapa yang menyuruh kalian 
membunuhku?" 
Melihat Pendekar Gila hendak memaksa Jala-
parang agar menjawab, Kumara Gupa yang marah ka-
rena jenggotnya tercabut, segera melesat menyerang 
Pendekar Gila dengan senjata terhunus. 
"Mampus kau, Bocah Setan! Heaaa...!" 
Pendekar Gila menggeser kakinya ke samping, 
sambil menarik tubuh Jalaparang. Tak pelak lagi, tu-
buh Kumara Gupa menghantam meja. Dagunya yang 
berdarah, membentur tepian meja. 
Dugk! 
"Wadauw...!" Kumara Gupa menjerit keras, me-
rasakan sakit yang hebat. Tubuhnya menggelepar-
gelapar, lalu pingsan.  
"Aha, lihat hasil ulah temanmu! Katakan, siapa 
yang menyuruhmu?!" bentak Sena dengan wajah be-
ringas, memancarkan sinar merah membara. 
 
"Banteng..., Sumenep," jawab Jalaparang. Ma-
tanya memandang ke sekeliling dengan perasaan ta-
kut, kalau orang yang menyuruhnya ada di tempat itu. 
"Aha, sudah kuduga. Nah, kau boleh pergi. Ce-
pat bawa temanmu pergi dari hadapanku!" bentak Se-
na garang, membuat mereka semakin ketakutan. Tan-
pa dibentak dua kali, lelaki bertubuh besar itu segera 
memanggul tubuh temannya. Lalu melesat meninggal-
kan kedai, diikuti gelak tawa Pendekar Gila. 
Semua orang yang ada di kedai, kini menun-
dukkan kepala. Mereka sepertinya takut, setelah tahu 
bagaimana pemuda bertingkah laku seperti orang gila 
itu dapat mengalahkan Lima Iblis dari Gempolan. 
"Aha, maafkan atas semuanya, Ki! Kalau boleh 
kuganti, berapa semuanya?" tanya Sena, hendak 
membayar semua kerusakan di kedai itu. 
"O, tak usah, Tuan. Tak apa-apa. Biarlah se-
mua nanti saya yang menanggungnya. Tetapi, saya 
mengharap cepatlah Tuan pergi. karena, kami takut 
teman-teman mereka datang," ujar lelaki pemilik kedai. 
"Aha, kenapa takut, Ki? Kalau kau benar, tak 
perlu takut. Tapi baiklah, aku akan segera pergi. Izin-
kan aku mengambil teman wanitaku yang kusembu-
nyikan di kamarmu," ujar Sena. 
Pemilik kedai membelalakkan mata, tak per-
caya dengan apa yang dikatakan Pendekar Gila baru-
san. 
Hei, bagaimana mungkin pemuda ini menaruh 
temannya di kamar? Tak kulihat tadi dia masuk! Gu-
mam pemilik kedai, dalam hati. Hatinya heran dengan 
apa yang dilakukan Pendekar Gila. "Jadi...?" 
"Ya. Terpaksa aku memasukkan temanku di 
kamarmu, Ki. Aha, maafkan atas kelancanganku!"  
"Tak apa. Ambillah!" sahut pemilik kedai.  
"Aha, terima kasih, Ki." 
 
Pendekar Gila segera melesat mengambil Kinan-
ti yang disembunyikan di kamar pemilik kedai. Sesaat 
kemudian dia telah kembali keluar dengan memon-
dong tubuh Kinanti. 
"Terima kasih, Ki!" 
Pendekar Gila menjura, kemudian melesat me-
ninggalkan kedai itu. Semua mata yang ada di kedai, 
menatap penuh kekaguman pada pemuda bertingkah 
laku gila itu. 
 
*** 
 
 
Sambil membawa tubuh Kinanti, Pendekar Gila 
terus berlari dengan mengerahkan ajian 'Sapta Bayu'. 
Hal itu dilakukan, karena harus secepatnya sampai di 
Padepokan Gedangan Lor, yang terletak di Desa Ka-
rang Tengah di lereng Pegunungan Blige. Sena harus 
menjumpai Ki Windu Ajar untuk memberitahukan apa 
yang kini terjadi di Pulau Madura. Pendekar Gila ingin 
menaruh Kinanti. Hatinya merasa rikuh dan jengah, 
kalau harus terus berjalan didampingi seorang gadis. 
'"Sapta Bayu'. Heaaa...!" 
Wsss! 
Pendekar Gila melesat melebihi kecepatan an-
gin, sehingga dalam sekejap saja tubuhnya telah mele-
sat jauh meninggalkan Desa Wetan Progo. Kini jarak 
Pegunungan Blige, tinggal beberapa ratus pal lagi. 
"Hm, sebentar lagi sampai," gumam Sena. Lalu 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, melesat 
naik ke lereng Pegunungan Blige. 
Ki Windu Ajar tersentak kaget ketika melihat 
Pendekar Gila kembali dengan membawa Kinanti yang 
 
terluka dalam. 
"Oh, apa yang terjadi, Sena?" tanya Ki Windu 
Ajar. 
"Maafkan aku, Ki! Ternyata aku telah menun-
jukkan ketidakmampuanku menjaga Kinanti," sahut 
Sena. 
"Ayo masuk," ajak Ki Windu Ajar. Dengan ma-
sih membopong tubuh Kinanti, Pendekar Gila melang-
kah masuk mengikuti Ki Windu Ajar. Kemudian tubuh 
Kinanti dibaringkan di atas sebuah tempat tidur. 
Ki Windu Ajar segera memeriksa pukulan yang 
mengena di dada muridnya. Sedangkan Pendekar Gila, 
kini duduk di ruang depan menunggu sampai sele-
sainya pengobatan yang dilakukan Ki Windu Ajar. 
Tidak lama kemudian, Ki Windu Ajar telah 
kembali keluar dengan wajah kelihatan letih. Nampak-
nya orang tua itu telah mengerahkan tenaga dalam, 
untuk menyembuhkan luka dalam muridnya. Ki Win-
du Ajar duduk di depan Pendekar Gila yang bersila. 
"Apa yang telah terjadi dengan Kinanti, Sena?" 
tanya Ki Windu Ajar pada Pendekar Gila yang mengga-
ruk-garuk kepala sambil cengengesan. Kemudian den-
gan masih menggaruk-garuk kepala, Pendekar Gila 
menceritakan apa yang terjadi pada Kinanti. 
Diceritakan pada Ki Windu Ajar, kalau mereka 
telah bentrok dengan Lima Iblis dari Gempolan yang 
diperintah seseorang untuk membunuhnya. Kinanti 
bertarung, sampai akhirnya terkena pukulan. 
"Kau tahu, siapa yang telah memerintah kelima 
iblis itu, Sena?" 
"Aha, entahlah. Aku tak berani menduga," sa-
hut Sena. Kemudian terdiam dengan wajah memen-
dam sesuatu yang sepertinya hendak disampaikan. Hal 
itu membuat Ki Windu Ajar mengerutkan keningnya. 
"Sepertinya ada yang hendak kau tuturkan, Se-
 
na. Katakanlah!" pinta Ki Windu Ajar, setelah memper-
hatikan wajah Pendekar Gila yang seakan memendam 
sesuatu. 
"Aha, memang benar apa yang kau katakan, Ki. 
Sebenarnya aku hendak menunggu sampai Kinanti sa-
dar. Biar dialah yang menceritakan semuanya," ujar 
Sena sambil menggaruk-garuk kepala. "Tetapi, tak 
apalah aku yang menceritakan semuanya." 
Sena menggaruk-garuk kepalanya, kemudian 
diambilnya Suling Naga Sakti. Dipandanginya suling 
itu dengan pandangan mata seperti sendu. 
"Suling ini sebagai tanda jiwaku. Apabila aku 
salah, maka suling inilah yang akan menghukumku," 
ujar Sena sambil meletakkan Suling Naga Sakti di di-
pan. Hal itu membuat Ki Windu Ajar mengerutkan 
kening, tak mengerti mengapa Pendekar Gila melaku-
kan sumpah di depan senjata pusakanya. 
"Aha, mengapa kau bersumpah, Sena? Aku 
percaya pada apa yang akan kau katakan. Simpanlah 
suling saktimu itu," perintah Ki Windu Ajar. 
"Aha, tidak mengapa, Ki. Soalnya hal ini me-
nyangkut kebenaran dan kejujuran. Juga menyangkut 
masalah muridmu," kata Sena. 
"Masalah muridku...?" tanya Ki Windu Ajar se-
tengah bergumam dengan kening berkerut "Katakan-
lah, apa yang sebenarnya terjadi, Sena?" 
Pendekar Gila terdiam sesaat. Wajahnya keliha-
tan gelisah, seperti ada sesuatu yang sedang berkeca-
muk dalam dadanya. 
"Sebenarnya ini masalahmu, Ki. Salah seorang 
muridmu, yang bernama Mahesa Lanang." 
"Mahesa Lanang? Apa yang telah terjadi dengan 
Mahesa Lanang?" tanya Ki Windu Ajar. Matanya sema-
kin tajam menatap wajah Pendekar Gila. Seakan ingin 
tahu, apa yang sedang dipikirkannya. 
 
"Aha, itulah yang sedang kupikirkan, Ki. Aku 
tak habis pikir, mengapa Mahesa Lanang berlaku keji," 
tukas Sena sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Keji? Keji bagaimana?"  
"Mahesa Lanang telah membunuh, Ki." Seketi-
ka Ki Windu Ajar tersentak kaget mendengar ucapan 
Pendekar Gila. Bagaikan disengat kalajengking, tu-
buhnya terlonjak dengan mata menatap tajam Pende-
kar Gila. 
"Dia telah  membunuh...?" gumam Ki Windu 
Ajar seperti tak percaya. 
"Benar, Guru. Kakang Mahesa telah membu-
nuh Ki Jenar dan Ki Tarbiun serta lima jawaranya," 
sahut Kinanti yang telah keluar dan langsung angkat 
bicara. Hal itu membuat Ki Windu Ajar kembali tersen-
tak. Sedangkan gadis itu kini duduk di samping Pen-
dekar Gila yang masih tersenyum-senyum. 
"Oh, celakalah dia!" desah Ki Windu Ajar ma-
rah, setelah mendengar kalau muridnya telah melaku-
kan sebuah kekejian. Mata lelaki tua itu memandang 
ke atas. Dihelanya napas panjang-panjang, seakan be-
rusaha menyabarkan hatinya. "Hhh...! Aku tak pernah 
menduga, kalau dia akan terpengaruh pamannya."  
"Maksud, Guru...?" tanya Kinanti. 
"Mahesa Lanang datang ke padepokan ini dian-
tar seorang bernama Supramarta. Dia pimpinan Bajak 
Laut Selat Madura. Orang itu memang punya hubun-
gan kekerabatan dengan ayah Mahesa Lanang. Su-
pramarta dan ayah Mahesa Lanang memang bersikap 
baik terhadapku. Mereka senantiasa berusaha meng-
hormati. Itu sebabnya Supramarta datang ke Padepo-
kan Gedangan Lor mengharapkan agar Mahesa Lanang 
dapat dididik di sini." 
Ki Windu Ajar menceritakan riwayat Ki Windu 
Ajar. 
 
"Sebelumnya, antara Supramarta denganku te-
lah terjadi kesepakatan perjanjian. Perjanjian itu berisi 
bahwa Supramarta tak boleh mengganggu-gugat Ma-
hesa Lanang. Dia juga tak boleh memberi tahu siapa 
sebenarnya orangtua anak itu...." 
"Aha, apakah benar ayah Mahesa Lanang di-
bantai ketika pertandingan karapan sapi itu, Ki?" selak 
Sena ingin tahu. 
"Sebenarnya itu salah, Sena. Ayah Mahesalah 
yang mendahului membuat keributan. Entah menga-
pa, tiba-tiba dia mengamuk, setelah sapinya kalah. Dia 
membunuh banyak orang. Karapatra, Tarbiun, Ki Je-
nar yang juga berada di tempat itu akhirnya berusaha 
menenangkan Ki Simbar Kanginan, ayah Mahesa," tu-
tur Ki Windu Ajar. Dihelanya napas panjang-panjang, 
seakan hendak menenangkan perasaan. 
"Ah ah ah....! Kalau begitu, tentunya ada hal 
lain tentang Kakang Mahesa, Ki?" 
Sena semakin ingin tahu banyak tentang siapa 
sebenarnya Mahesa Lanang dan mengapa pemuda itu 
membunuh Tarbiun dan Ki Jenar. 
Ki Windu Ajar akhirnya menuturkan semua 
yang pernah terjadi sekitar dua puluh tahun silam. 
Simbar Kanginan yang tak dapat ditenangkan, akhir-
nya mati di tangan Tarbiun, Ki Jenar, dan Karapatra. 
Mungkin itulah yang menjadi alasan Mahesa membu-
nuh mereka. Dendam. Ya, dendam kesumat atas ke-
matian orangtuanya. 
"Hm.... Tapi, kurasa ada yang tak beres. Mung-
kin Supramarta bermaksud mempengaruhi kemena-
kannya...," ujar Ki Windu Ajar mengakhiri ceritanya. 
"Ini tak bisa dibiarkan, Sena!" 
"Siapakah yang telah memberi  tahu Mahesa 
tentang kematian ayahnya...?" tanya Sena setelah ter-
diam mendengar cerita Ki Windu Ajar. 
 
Ki Windu Ajar sesaat terdiam. Dihelanya napas 
dalam-dalam. kemudian pandangannya dilayangkan 
ke halaman padepokan. 
"Memang dulu aku pernah memberitahukan 
padanya, tentang kejadian yang dialami keluarganya. 
Tetapi aku pun menegaskan, bahwa semua adalah sa-
lah orangtuanya. Aku juga menekankan, agar dia tidak 
menyimpan dendam," kata Ki Windu Ajar. 
"Aha, apakah Mahesa menurut?" tanya Sena 
semakin ingin tahu. 
"Ya. Mahesa sangat penurut padaku. Itu pula 
yang membuatku sayang padanya. Sehingga tanpa ra-
gu-ragu aku menurunkan aji 'Kepala Baja' pada-nya," 
tutur Ki Windu Ajar. 
Pendekar Gila menarik napas dalam-dalam, se-
telah mendengar semuanya. 
Mungkinkah pamannya yang mempengaruhi? 
Menurut Ki Windu Ajar, pamannya seorang bajak laut. 
Hm, bisa jadi. Tetapi, mungkin ada yang lainnya yang 
mempengaruhi dia? Tanya Sena dalam hati, bimbang 
untuk menuduh siapa yang berhak disalahkan dalam 
hal ini. 
"Aha, kalau begitu, mungkinkah  pamannya 
yang mempengaruhi, Ki?" tanya Sena. 
"Mungkin juga," gumam Ki Windu Ajar. "Tetapi 
kini yang lebih penting, kita harus segera menyadar-
kan Mahesa. Kalau dia menuruti kata-kata pamannya, 
tentunya semua orang di Madura ini menjadi musuh-
nya. Karena saat itu, hampir semua orang menonton 
karapan sapi. Dan pada waktu itu, memang semua tu-
rut serta menyerang Simbar Kanginan yang mengamuk 
membabi-buta." 
Sena nyengir dengan tangan menggaruk-garuk 
kepala, mendengar penuturan Ki Windu Ajar. Seper-
tinya Pendekar Gila merasa bingung dengan semua 
 
yang terjadi. Jelas kalau masalah dendam, siapa pun 
akan senantiasa terbakar hatinya. Sulit bagi orang 
yang mendendam melupakan dendamnya. Malah ter-
kadang dendam akan terbawa sampai mati. 
"Kita harus segera mencegahnya, Sena," usul Ki 
Windu Ajar. 
"Aha, memang itu yang sedang kupikirkan, Ki. 
Bagaimanapun juga dia muridmu. Kaulah yang lebih 
bertanggung jawab akan semuanya," ujar Pendekar Gi-
la. Mulutnya masih nyengir dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala. 
Ki Windu Ajar mengangguk-anggukkan kepala, 
membenarkan apa yang dikatakan Pendekar Gila; Ba-
gaimanapun juga, dialah yang paling bertanggung ja-
wab atas tindakan yang dilakukan muridnya. 
"Ya ya, aku mengerti maksudmu, Sena. Me-
mang akulah yang harus bertanggung jawab atas se-
mua perbuatan muridku. Marilah kita cari Mahesa! 
Sudah tiga hari dia tak pulang," ajak Ki Windu Ajar se-
raya bangkit dari duduknya. Kemudian mereka bertiga 
pun melangkah meninggalkan padepokan. 
 
*** 
 
Sementara itu, di Hutan Ganggang Palang 
nampak Mahesa Lanang tengah mendamprat keempat 
orang suruhannya yang tergolong dalam kelompok Li-
ma Iblis dari Gempolan. Lima Iblis dari Gempolan tak 
mampu membunuh Pendekar Gila. Bahkan salah seo-
rang di antara mereka tewas di tangan Pendekar Gila. 
"Bodoh! Menghadapi seorang pemuda gila saja 
kalian tak becus...!" maki Mahesa Lanang marah. 
"Mengapa kalian tidak ikut mampus saja bersama Ku-
rutuma?!" 
Keempat lelaki bertampang garang dengan 
 
cambang bauk tebal, terdiam menundukkan kepala. 
Mereka tak berani menjawab bentakan Mahesa La-
nang. Bahkan beradu pandang pun mereka tak berani. 
Mahesa Lanang menarik napas dalam-dalam. 
Kakinya melangkah memutari keempatnya yang ter-
tunduk diam. Matanya menatap tajam keempat orang 
anggota Lima Iblis dari Gempolan yang diam membisu. 
"Kenapa kalian hanya diam?! Kenapa kalian la-
ri? Tidak ikut saja mampus bersama Kurutuma?!" ben-
tak 
Mahesa Lanang sengit, dengan mata melotot 
penuh kebencian. "Percuma kalian hidup, karena ka-
lian sudah tahu apa hukuman bagi kalian." 
Keempat lelaki berwajah garang itu tersentak 
kaget. Mata mereka terbelalak ketakutan, mendengar 
ancaman Mahesa Lanang. Mereka tahu siapa Mahesa 
Lanang. Setiap ucapannya tak pernah main-main. Jika 
Mahesa Lanang mengatakan hukuman, sudah barang 
tentu mereka akan menerima hukuman yang sangat 
berat. Tak ada pilihan bagi mereka, kecuali kematian 
yang mengerikan. Percuma saja mereka melawan, ka-
rena Mahesa Lanang tak mempan pukulan atau senja-
ta apa pun. 
"Ampunilah kami, Mahesa. Biarkan kami beru-
saha sekali lagi," ratap Sarpajani mencoba mengharap 
ampunan dari Mahesa Lanang. Dia berpikir, lebih baik 
mati bertarung melawan pemuda bertingkah laku gila, 
daripada harus mati dihukum Mahesa Lanang. 
Mahesa Lanang mencibir, mendengar ratapan 
Sarpajani. Matanya menatap tajam wajah Sarpajani, 
yang seketika kembali menundukkan kepala, tak be-
rani beradu pandang dengannya. 
"Siapa lagi yang mau meminta ampunan?" 
tanya Mahesa Lanang dengan suara pelan. Seakan-
akan ampunan itu akan diberikan pada mereka be-
 
rempat. 
"Kami, Mahesa...!" sahut ketiga teman Sarpaja-
ni bersamaan. 
"Hm, bagus!" kata Mahesa Lanang dengan bibir 
menyunggingkan senyum sinis. Kakinya melangkah 
mendekati keempat anggota Lima Iblis dari Gempolan 
itu. Lalu.... 
"Ini ampunan untukmu, Sarpa!"  
Trep! 
Mahesa Lanang merenggut pundak Sarpajani, 
lalu dengan segenap kekuatan, kepalanya diadu den-
gan kepala Sarpajani. Maka.... 
Prak! 
"Aaa...!" Sarpajani memekik keras, ketika kepa-
lanya diadu dengan kepala Mahesa Lanang. Dalam se-
kali adu saja, kepalanya hancur berantakan. Dan keti-
ka tangan Mahesa Lanang melepas cengkeraman-nya, 
tubuh Sarpajani terhuyung dengan kepala hancur. Da-
rah dan otak berhamburan keluar. 
Bruk! 
Tubuh Sarpajani jatuh, kemudian mengejang 
sesaat sebelum diam dan mati. Hal itu membuat ketiga 
temannya terbelalak semakin ketakutan. 
"Ampunilah kami!" ratap mereka seraya bersu-
jud dan menyembah di kaki Mahesa Lanang. Ketiganya 
menangis, mengharap ampunan. 
Mahesa Lanang tersenyum sinis, menunjukkan 
keangkuhan dan kesombongannya. Matanya masih 
menatap tajam tiga lelaki bercambang bauk yang ma-
sih meratap tangis sambil mencium kakinya. Tangan 
Mahesa Lanang kini menangkap pundak Kumara Gu-
pa. 
Trep! 
"Ampun..., ampunilah nyawaku!" ratap Kumara 
Gupa dengan tangis ketakutan. Matanya menatap pe-
 
nuh ketakutan ke wajah Mahesa Lanang yang masih 
tersenyum sinis.  
"Aku ampuni kau, Kumara Gupa. Ini ampunan 
dariku...!"  
Wrt!  
Prak! 
"Aaakh...!" jerit Kumara Gupa melengking ting-
gi, ketika kepalanya dibenturkan ke kepala Mahesa 
Lanang. Darah muncrat bersamaan dengan otaknya. 
Tubuhnya terhuyung mundur jatuh ke tanah, berkelo-
jotan sesaat sebelum sampai ajalnya. 
Kedua orang rekannya yang menyaksikan hal 
itu, tak kuasa lagi melihatnya. Keduanya segera lari 
untuk menyelamatkan diri. 
"Mau lari ke mana kalian, Bangsat?!" dengus 
Mahesa Lanang seraya melesat mengejar keduanya. 
Mahesa Lanang semakin marah  melihat kedua orang 
itu lari. Dengan segenap tenaga, terus dikejarnya ke-
dua lelaki yang ketakutan setengah mati itu. 
Bruk! 
Kedua orang anggota Lima Iblis dari Gempolan 
itu tersentak kaget, ketika tubuh mereka menabrak se-
sosok tubuh yang sedang melangkah dan hendak me-
nuju ke arah yang berlawanan dengan mereka. 
"Aduh! Kau...?!" 
Membelalak mata Karasenta ketika melihat sia-
pa yang ditabraknya. Seorang pemuda bertingkah laku 
seperti orang gila yang tak lain Pendekar Gila. Di sam-
pingnya, seorang lelaki tua berusia tujuh puluh tahun 
dengan jubah seperti resi yang tiada lain Ki Windu 
Ajar. Satu lagi gadis cantik yang tak lain Kinanti, ten-
gah melotot sengit menatap keduanya. Dan yang te-
rakhir dan berdiri di belakang adalah seorang lelaki 
berusia sekitar lima puluh tahun dengan wajah bengis. 
Namun, matanya menggambarkan ketenangan 
 
dan kesabaran. Lelaki berpakaian rompi biru laut ini 
tak lain paman Mahesa Lanang. Dialah pimpinan Ba-
jak Laut Selat madura, yang bernama Supramarta. 
"Hi hi hi.... Mengapa kalian seperti cecurut di-
kejar kucing? Sampai tak melihat ada orang...?" tanya 
Sena sambil tertawa cekikikan dengan tangan mengga-
ruk-garuk kepala. 
"Di mana Mahesa?!" bentak Supramarta, pa-
man Mahesa Lanang. 
Rupanya sebelum menuju ke Hutan Ganggang 
Palang, Pendekar Gila dan Ki Windu Ajar serta Kinanti 
menuju kediaman Supramarta. Supramarta yang me-
rasa tidak mempengaruhi Mahesa Lanang dan merasa 
malu, langsung marah mendengar cerita dari Ki Windu 
Ajar. Pemimpin Bajak Laut Selat Madura itu sengaja 
datang hendak menghajar kemenakannya. 
"Dia sedang mengejar kami," jawab Karasenta 
dengan wajah masih ketakutan. 
"Aha, mengapa kalian dikejarnya? Ah ah ah...! 
Mungkin kalian mencuri. Hi hi hi...!" tanya Sena sam-
bil menggaruk-garuk kepala. 
"Tidak. Kami tak mencuri apa-apa. Dia marah, 
setelah kami tak berhasil membunuh Tuan," jawab Ka-
rasenta sambil memandang wajah Pendekar Gila, yang 
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Hm, jadi selama ini kau diburu kecoa-kecoa 
ini, Sena?" tanya Supramarta dengan mata membela-
lak marah. Merasa malu atas tindakan kemenakannya, 
Supramarta hendak menghajar kedua orang itu. Na-
mun dengan cepat Pendekar Gila mencegahnya. 
"Aha, sudahlah! Kurasa mereka pun tak akan 
melakukannya jika tak ada yang menyuruh." 
"Ampunilah kami! Kami benar-benar takut, ka-
rena Mahesa hendak membunuh kami," kata Karasen-
ta. "Dua orang teman kami telah dibunuhnya." 
 
"Hm...," gumam Supramarta tak jelas. Dihe-
lanya napas dalam-dalam. "Apa yang sebenarnya dike-
hendaki Mahesa?" 
"Dia bermaksud mendirikan kerajaan, untuk 
memberontak pada Kerajaan Banyuwangi," tutur Kara-
senta. "Dia merasa tahu kalau masih ada Pendekar Gi-
la, usahanya akan terhalang. Untuk itu, dia selalu be-
rusaha menyingkirkan Pendekar Gila." 
"Kurang ajar! Dasar anak setan! Di mana dia 
sekarang?!" bentak Supramarta. Dia hendak berlari 
memburu ke Hutan Ganggang Palang, ketika Ki Windu 
Ajar mencegahnya. 
"Sabar, Supramarta. Menghadapi Mahesa, kita 
tak boleh gegabah. Apalagi kini dia memiliki aji 
'Banteng Kranda' yang membuat tubuhnya kebal dari 
senjata dan pukulan sakti," tutur Ki Windu Ajar. 
Semua mata membelalak, mendengar penutu-
ran Ki Windu Ajar. Hanya Pendekar Gila yang tampak 
tenang. Bahkan cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala. Walau Sena tahu kehebatan ajian yang dimiliki 
Mahesa Lanang, tapi sehebat apa pun manusia, tentu 
ada kelemahannya. 
"Lalu apa yang harus diperbuat, Guru?" tanya 
Kinanti. 
Ki Windu Ajar menghela napas panjang, seper-
tinya dia pun dalam kebimbangan. 
"Memang aku yang salah, memberinya ajian 
itu. Tetapi, bagaimanapun juga kita harus bisa menji-
nakkan Mahesa. Sangat berbahaya jika dia dibiarkan 
dengan cita-citanya itu," gumam Ki Windu Ajar seten-
gah mengeluh, merasa berdosa atas tindakan murid-
nya. 
"Apakah tidak ada kelemahannya, Ki?" tanya 
Supramarta. 
"Aha, Hyang Widi menciptakan manusia atas 
 
kelebihan dan kekurangannya, Ki Supra," sahut Sena. 
"Bagaimanapun juga, semua manusia memiliki keku-
rangan." 
"Benar apa yang kau katakan, Sena. Tetapi, dia 
hanya bisa dikalahkan dengan ajian yang aneh saja. 
Sebuah jurus yang mungkin tidak masuk di akal," kata 
Ki Windu Ajar setengah bergumam, sepertinya dirinya 
tak yakin kalau ajian itu masih ada di dunia ini. 
"Aha, ajian apa itu, Ki?" tanya Sena. 
"Ajian itu dimiliki bangsa kera. Sedangkan kera 
yang memiliki pukulan itu, sering disebut Kera Sak-
ti...." 
"Kera Sakti..,?" tanya Sena dengan kening ber-
kerut 
"Ya," sahut Ki Windu Ajar. 
"Aha, apakah nama ajian itu, Ki?" 
'"Tamparan Sukma'," sahut Ki Windu Ajar. 
"Hi hi hi...!" Sena tertawa cekikikan sambil 
menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat semua 
yang ada di tempat itu memandang dengan penuh ke-
tidakme-ngertian. 
"Ada apa, Sena? Apakah kau tahu pukulan 
itu?" tanya Ki Windu Ajar. 
"Aha, sedikit, Ki. Ah, tapi akan kucoba dengan 
cara yang baik. Bagaimanapun juga, kita sama-sama 
manusia. Kita harus saling sayang-menyayangi," ujar 
Sena yang membuat semuanya mengerutkan kening, 
tak percaya kalau pemuda gila itu bisa bertutur kata 
bagus. Ada rasa kagum tergambar di wajah mereka 
pada Pendekar Gila. 
"Kau benar, Sena. Hyang Widi mencipta kita, 
memang untuk mengasihi satu sama lain. Tetapi jika 
orang yang hendak dikasihi tak mau dan malah mela-
wan, apa salahnya kita bertindak?" tanya Ki Windu 
Ajar. 
 
"Ayo, kita ke tempatnya!" ajak Ki Supramarta. 
Belum juga mereka melangkah, terdengar suara 
Mahesa Lanang berseru menyuruh mereka jangan ikut 
campur urusannya. 
"Jangan bergerak! Kuharap kalian tak perlu tu-
rut campur urusanku, kalau tak ingin mampus!" an-
cam Mahesa Lanang, yang menjadikan semuanya ter-
sentak kaget. Hanya Sena yang tertawa terbahak-
bahak sambil menggeleng-gelengkan kepala. 
 
*** 
 
 
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Mahesa. Kami 
masih hidup, bagaimana mungkin tak bergerak?!" seru 
Sena sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan mu-
lut masih cengengesan. 
Mahesa Lanang yang memang sudah tak suka 
pada Pendekar Gila mendengus sengit Matanya mena-
tap tajam penuh kebencian. 
"Huh, rupanya kau hanya seorang pengecut, 
Pendekar Gila! Apa kau kira aku takut dengan kau 
panggil mereka? Hm, jangan harap aku akan takut!" 
dengus Mahesa Lanang dengan mata semakin tajam, 
diliputi hawa permusuhan dan kebencian yang menda-
lam. Seakan-akan dirinya tak senang melihat kehadi-
ran Pendekar Gila di Pulau Madura. 
Ki Windu Ajar, Kinanti, dan Ki Supramarta 
mendengus marah mendengar ucapan Mahesa Lanang. 
Bagaimanapun juga, ucapan pemuda itu pada Pende-
kar Gila sangat keterlaluan. Mahesa Lanang seakan ti-
dak memandang sebelah mata pun pada Sena, yang 
namanya sangat disegani di rimba persilatan. 
 
"Lancang sekali mulutmu, Mahesa!" bentak Ki 
Supramarta marah. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil 
tangannya menggaruk-garuk kepala. Seakan-akan  di-
rinya tak tersinggung atau marah dihina seperti itu. 
Bahkan tingkah lakunya yang konyol, semakin menja-
di-jadi. Kini tubuhnya bagaikan seekor kera, ber-
jingkrak-jingkrak sambil menggaruk kepala dan tubuh. 
Kemudian tangannya menepuk-nepuk pantat. 
"Ah ah ah...! Kurasa bukanlah aku yang penge-
cut. Aha, mungkin kau yang pengecut, Mahesa. 
Sayang sekali kau berilmu tinggi, kalau besar kepala 
seperti itu," ujar Sena yang membuat Mahesa Lanang 
semakin bertambah marah. 
"Cuih! Kuperingatkan padamu, cepat pergi dari 
sini, sebelum hilang kesabaranku!" bentak Mahesa La-
nang dengan wajah membara. Dari hidung dan telin-
ganya, keluar angin, layaknya seekor banteng marah. 
"Aha, rupanya kaulah Banteng Sumenep itu, 
Mahesa! Ah ah ah...! Sepantasnya kau bukan banteng, 
tetapi seekor  kerbau sombong," ejek Sena sambil ter-
senyum-senyum dengan tangan masih menggaruk-
garuk kepala. Hal itu membuat Mahesa Lanang sema-
kin marah, mendengus dengan mengeluarkan angin 
semakin keras dari hidung dan telinganya. 
"Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!" 
Mahesa Lanang segera bergerak menyerang ke 
arah mereka. Sambil menyeruduk dengan kepala, tan-
gannya bergerak memukul. 
"Aha, kau mirip seekor kerbau! Hi hi hi...!" 
"Awas...!" seru Kinanti mengingatkan pada se-
muanya untuk mengelak. Seketika semuanya berlom-
patan, mengelitkan serangan Mahesa Lanang dengan 
jurus 'Banteng Ketaton Menanduk'. 
Wrt! 
 
Brak! 
Kepala Mahesa Lanang membentur sebatang 
pohon. Pohon itu ambruk terseruduk kepala Mahesa 
Lanang. Sedangkan kepalanya bagaikan tak mengala-
mi apa-apa. Sesaat kemudian pemuda berjuluk Ban-
teng Sumenep itu kembali mendengus dan menatap 
penuh kebencian pada Pendekar Gila. 
"Kuhancurkan tubuhmu, Pendekar Gila! 
Heaaa...!" 
"Aha, lucu sekali kau, Mahesa! Ah ah ah, pan-
tas namamu Kerbau Dungu. Tak tahunya kau memang 
dungu...!"  ejek Sena sambil bergerak mengelitkan se-
rangan yang dilancarkan Mahesa Lanang. Tubuhnya 
melompat ke atas dengan jurus 'Si Gila Terbang Men-
cengkeram Mangsa'. 
Wsss! 
Tubuh Mahesa Lanang yang menyerang, me-
nyuruk maju ke depan. Dengan cepat Pendekar Gila 
mengelak dengan lompatan ke atas. Kemudian secara 
cepat pula, ditendangnya pantat lawan. 
Begk! 
"Heaaa...!" 
Tangan Pendekar Gila mendorong tubuh lawan, 
yang membuat Mahesa Lanang terus melaju dan tak 
mampu berhenti. Dan.... 
Brak! 
Suasana Hutan Ganggang Palang seketika riuh. 
Banyak pohon hancur terkena serangan-serangan Ma-
hesa Lanang. Namun kepala pemuda itu bagaikan tak 
mengalami sakit atau luka. Padahal pohon-pohon be-
sar itu bertumbangan terseruduk kepalanya.  
"Kurang ajar! Heaaa...!"  
"Aha, kau seperti kerbau dungu yang kian tolol 
Mahesa!" seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak. 
Tingkah lakunya kian konyol, membuat kemarahan 
 
lawan semakin memuncak. Banteng Sumenep menye-
rang dengan membabi-buta. Tangannya bergerak ce-
pat, menghantam ke sana kemari. 
"Awas! Mundur...!" seru Ki Windu Ajar, mengin-
gatkan pada Kinanti dan Ki Supramarta agar mundur. 
Lelaki tua itu tahu kehebatan serangan Mahesa La-
nang. Hal itu dapat dilihat dari pohon-pohon yang 
hancur dan tumbang. 
Mereka benar-benar mengkhawatirkan Pende-
kar Gila yang kelihatannya masih tenang-tenang saja. 
Padahal serangan yang dilancarkan Mahesa Lanang 
sudah mencapai puncaknya. 
"Heaaa...!" 
Mahesa Lanang kembali menyerang dengan 
pukulan-pukulan mautnya yang mampu menghancur-
kan pohon besar. Namun, dengan cepat Pendekar Gila 
bergerak mengelit ke samping. Sehingga serangan la-
wan kembali lolos. Hampir saja tubuh Mahesa Lanang 
kembali menubruk pohon, kalau saja tak segera mem-
balik. 
"Bedebah! Jangan hanya bisa mengelak saja, 
Kunyuk!" maki Mahesa Lanang dengan geram, karena 
sejak tadi Pendekar Gila hanya bergerak menghindar. 
Seakan-akan tak berani beradu dengannya secara ksa-
tria. 
"Aha, jadi apa maumu, Kerbau Dungu? Hi hi 
hi...!" 
"Pengecut! Ternyata namamu hanya kecoa bu-
suk!" dengus Mahesa Lanang. 
"Hi hi hi...! Kau ingin aku menyerangmu, Mahe-
sa?!" 
"Ya! Kita buktikan, siapa yang kuat!" tantang 
Mahesa Lanang dengan mata membelalak tajam, me-
natap penuh kebengisan pada Pendekar Gila. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali kau, Mahesa! Ah ah 
 
ah, kesombongan itu yang akan mencelakakanmu." 
"Cuih! Jangan banyak omong. Mari kita berta-
rung secara ksatria!" bentak Mahesa Lanang menan-
tang. 
"Aha, boleh." 
Pendekar Gila melangkah mendekati Mahesa 
Lanang dengan masih cengengesan. Tangannya kem-
bali menggaruk-garuk kepala, seperti tak merasa takut 
sama sekali. Hal itu membuat Ki Windu Ajar dan Ki 
Supramarta serta yang lainnya terbelalak kaget. Mere-
ka benar-benar tak mengerti, mengapa Pendekar Gila 
malah menerima tantangan Mahesa Lanang. 
"Celaka Sena!" desis Kinanti dengan wajah ce-
mas. Matanya tak berkedip memandang Pendekar Gila 
yang masih cengengesan sambil melangkah mendekati 
Mahesa Lanang. "Guru, kita harus membantu Sena!" 
"Tenanglah, Kinanti! Kita lihat saja apa yang 
akan dilakukan Sena...," ujar Ki Windu Ajar berusaha 
menenangkan muridnya yang kelihatan sangat gelisah, 
takut kalau-kalau Pendekar Gila mendapat celaka. 
"Apakah itu tak membahayakan dirinya, Ki?" 
tanya Ki Supramarta. "Aku khawatir akan keselamatan 
Pendekar Gila." 
"Tenanglah, Ki! Kalaupun Pendekar Gila kalah, 
itu berarti kita pun akan mengalami nasib yang sama," 
tutur Ki Windu Ajar dengan mencoba tersenyum, beru-
saha menenangkan keadaan orang-orang di sekeliling-
nya. 
Semua menarik napas panjang-panjang, kemu-
dian menghentikannya ketika melihat Pendekar Gila 
semakin bertambah dekat dengan Mahesa Lanang. 
Pendekar Gila masih saja cengengesan sambil berting-
kah laku konyol, seakan tak takut sama sekali. Hal itu 
membuat Mahesa Lanang bertambah geram. 
"Hi hi hi...! Apa yang kau inginkan, Mahesa?" 
 
tanya Sena.  
"Kita tentukan dengan cara ksatria." 
"Maksudmu...?" 
"Jangan pura-pura bodoh! Kita tentukan den-
gan sepuluh kali pukulan. Jika dalam sepuluh kali 
pukulan kau bisa menahannya, maka aku kalah," ujar 
Mahesa Lanang menunjukkan kejantanannya. Ma-
tanya menatap tajam penuh kebencian pada Pendekar 
Gila yang masih cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala. 
"Aha, baiklah. Siapa yang akan memulai, Ma-
hesa?" tanya Sena dengan tingkah laku konyol. Mulut-
nya masih cengengesan. Tangan kanannya mengga-
ruk-garuk kepala, sedangkan tangan kirinya mengorek 
telinga. 
"Kita bergantian," sahut Mahesa Lanang tegas.  
"Hi hi hi...!" Sena tertawa. "Aha, baiklah. Lalu 
siapa yang akan mendahului?"  
"Kau!" 
"Aku? Aha, baiklah. Kuharap kau siap, Mahe-
sa."  
"Huh, sombong! Lakukanlah...!" tantang Mahe-
sa Lanang. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Kakinya 
bergerak mundur selangkah. Matanya masih menatap 
tajam Mahesa Lanang. 
Aku tahu, dia kebal terhadap pukulan. Tapi 
akan kucoba dengan jurus 'Si Gila Melebur Gunung 
Karang'. Gumam Sena dalam hati dengan mata masih 
menatap lekat wajah Mahesa Lanang. 
"Lakukanlah, Pendekar Gila! Aku ingin tahu, 
seberapa hebat pukulanmu!" tantang Mahesa Lanang. 
"Baik. Bersiaplah! Heaaa...!" 
Wrt! 
Degk! 
 
Sena membelalakkan mata, menyaksikan apa 
yang terjadi. Pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' 
yang dahsyat tak berarti sama  sekali bagi lawan. Tu-
buh Mahesa Lanang jangankan hancur lebur, luka pun 
tidak. Mahesa Lanang hanya tergontai tiga langkah ke 
belakang dengan mulut menyungging senyum. 
"Ha ha ha...! Ternyata hanya segitu kemam-
puanmu, Pendekar Gila! Hua ha ha...!" Mahesa Lanang 
tertawa mengejek. 
"Hua ha ha...!" 
Sena turut tertawa sambil berjingkrakan den-
gan tangan menggaruk-garuk kepala. Hal itu membuat 
semua yang ada di tempat itu bengong keheranan, tak 
mengerti dengan tingkah lakunya yang konyol. Mahesa 
Lanang pun seketika terdiam. Sejenak memeriksa tu-
buhnya. Sepertinya takut kalau-kalau ada yang luka. 
"Diam!" bentak Mahesa Lanang marah, setelah 
melihat tubuhnya tak mengalami apa-apa. "Kini gili-
ranku, Pendekar Gila!" 
"Hi hi hi...! Aha, kurasa pukulanmu pun serin-
gan kapas!" ejek Sena sambil tertawa cekikikan. 
"Kurang ajar! Terimalah 'Laksa Gempa'ku. 
Heaaa...!" 
Wrt! 
Degk! 
"Ukh...!" Sena mengeluh. Tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang. Darah meleleh di bibirnya. Ma-
tanya terasa berkunang-kunang. Namun meski dalam 
keadaan luka, mulutnya masih cengengesan sambil 
menggaruk-garuk kepala. 
"Celaka, Guru! Kita harus mencegahnya!" sen-
tak Kinanti tak sabar. Gadis itu hendak melompat, tapi 
dengan cepat Ki Windu Ajar mencegahnya. 
"Jangan, Kinanti! Ku yakin Sena tak apa-apa." 
"Tapi dia kelihatannya luka dalam, Guru," ban-
 
tah Kinanti. 
"Tenanglah, Kinanti! Kita lihat saja. Kau lihat, 
Sena masih cengengesan. Itu tandanya dia belum pa-
rah." 
"Apakah harus menunggu parah?" tanya Kinan-
ti cemas. "Kita harus menolongnya, Guru!" 
"Sudah kukatakan, percuma kau menolongnya. 
Mahesa bukan lawan kita. Kalau sampai Sena tewas, 
akulah yang akan menyerang Mahesa lebih dahulu, 
untuk menebus dosa-dosaku," sahut Ki Windu Ajar be-
rusaha menenangkan muridnya. 
Kinanti menurut diam, memperhatikan apa 
yang bakal terjadi dengan hati gelisah dan berdebar-
debar. 
 
*** 
 
Sementara Sena kini dengan masih cengenge-
san berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya. 
Sedangkan Mahesa Lanang semakin tergelak tawanya, 
merasa telah menang dan mampu membuat Pendekar 
Gila luka dalam. 
"Ha ha ha...! Itu belum seberapa, Pendekar Gi-
la!" seru Mahesa Lanang. 
"Hua ha ha...! Aku juga belum merasakan sebe-
rapa, Mahesa," balas Sena tertawa terbahak-bahak tak 
kalah keras. Lalu melangkah mendekati Mahesa La-
nang yang mendengus marah. 
"Kini giliranmu!" dengus Mahesa Lanang. 
"Aha, menyenangkan sekali! Bersiaplah...!" 
Sena melangkah setindak ke belakang. Ditarik-
nya kedua tangan ke belakang, kemudian digerakkan 
ke atas. Itulah jurus 'Si Gila Membelah Awan'. Mulut-
nya dimonyongkan, seirama dengan gerakan kedua 
tangan. Kemudian kembali kedua tangannya ditarik 
 
dan diletakkan di pinggang 
"Heaaa...!" 
Bleg! 
Pukulan Pendekar Gila tak berarti sama sekali. 
Mahesa Lanang tertawa terbahak-bahak, seperti kege-
lian. Hal itu membuat semua yang melihat membela-
lakkan mata kian lebar. Namun Pendekar Gila malah 
ikut-ikutan tertawa keras. 
"Bersiaplah, Pendekar Gila! Kini kau harus 
mampus di tanganku!" 
Usai berkata begitu, Mahesa Lanang segera 
mencengkeram pundak Sena. Hal itu membuat semua 
yang melihat tersentak kaget. Mahesa Lanang kini te-
lah mempersiapkan serangan mautnya dengan ajian 
'Kepala Baja'nya yang mampu menghancurkan batu 
karang. 
"Celaka, Guru!" pekik Kinanti tegang, menyak-
sikan Mahesa Lanang telah mengeluarkan ajian pa-
mungkasnya yang sangat berbahaya. 
Sena yang telah melindungi seluruh bagian tu-
buhnya dengan tenaga inti gabungan, ‘Inti Salju’, ‘Inti 
Api’, dan 'Inti Bayu' nampak melangkah tenang. Seper-
tinya Pendekar Gila kini merasa percaya diri akan ke-
mampuannya. Matanya memandang dengan tajam ke 
arah Mahesa Lanang, yang mendengus laksana ban-
teng terluka. 
Ki Windu Ajar dan Ki Supramarta hanya mam-
pu menggigit bibir. Mereka pun merasakan ketegangan 
yang mendera jiwa, takut kalau kepala Pendekar Gila 
akan pecah. Namun Pendekar Gila malah kelihatan 
masih tenang, bahkan tertawa-tawa. 
"Heaaa!" 
"Heaaa...!" 
Brak! 
Dua kepala itu saling berbenturan dengan ke-
 
ras, menjadikan keduanya terlontar beberapa tombak 
ke belakang, dan membentur pohon. Beberapa batang 
pohon besar bertumbangan terhantam tubuh Mahesa 
Lanang dan Pendekar Gila. 
Glarrr! 
Brakkk! 
Terdengar ledakan keras diiringi tumbangnya 
beberapa pohon besar. Semua mata membelalak, tak 
percaya kalau Pendekar Gila mampu menahan diri. 
Kepalanya tak pecah, seperti apa yang mereka 
takutkan. Bahkan Mahesa Lanang yang kini nampak 
meringis-ringis, menahan sakit. 
"Hua ha ha...! Bagaimana, Mahesa? Masihkah 
kau akan meneruskan sampai sepuluh kali?!" tanya 
Sena sambil tertawa terbahak-bahak, dengan tangan 
menggaruk-garuk kepala yang agak pusing akibat ben-
turan dengan kepala Mahesa Lanang.  
"Huh! Kau pun tak akan mampu membunuh-
ku, Pendekar Gila!" dengus Mahesa Lanang sengit. 
"Aha, kau terlalu sombong, Mahesa! Kusaran-
kan, lebih baik kau menyerah pada gurumu untuk 
mempertanggungjawabkan perbuatanmu!" 
"Cuih! Jangan mengguruiku, Pendekar Gila! 
Ayo, kita tentukan siapa yang harus melayang ke akhi-
rat!" tantang Mahesa Lanang dengan sengit. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak men-
dengar tantangan Mahesa Lanang yang sombong itu. 
Lalu kepalanya digeleng-gelengkan dengan mulut cen-
gengesan. 
"Aha, kau terlalu sombong dan takabur, Mahe-
sa. Baiklah kalau itu yang kau inginkan." 
Setelah berkata begitu, Pendekar Gila pun me-
langkah beberapa tindak ke belakang. Matanya terpe-
jam, dicabutnya Suling Naga Sakti yang terselip di 
pinggang. Ditiupnya suling itu, mengalunkan suara 
 
yang mendayu-dayu. Sedangkan kakinya bergerak 
dengan langkah-langkah yang teratur. Itulah jurus 
'Tamparan Sukma'. 
Semua mata terbelalak, menyaksikan apa yang 
dilakukan Pendekar Gila. 
"Jurus 'Tamparan Sukma'!" seru Ki Windu Ajar 
kaget. "Dia menguasai jurus itu...!"  
"Heaaa...!" 
Dengan mengandalkan sukmanya, Pendekar 
Gila bergerak menyerang tubuh Mahesa Lanang. Tan-
gan kanannya menampar pelan, sementara tangan ki-
rinya masih memegang Suling Naga Sakti yang ditiup 
dengan suara melengking tinggi. 
Mahesa Lanang tersentak. Tubuhnya hendak 
mengelit, namun terlambat. Tanpa ampun lagi.... 
Glarrr...! 
"Wuaaa...! Tobaaat...!"  
Glarrr! 
Tubuh Mahesa Lanang meledak dan hancur-
lebur. Orang-orang terbelalak kaget bukan kepalang 
Pendekar Gila terdiam sesaat, kemudian kem-
bali bertingkah konyol dengan kepala menggeleng-
geleng. Lalu dengan pelan, duduk bersila, meniup Sul-
ing Naga Sakti dengan irama yang sedih, menuturkan 
betapa malangnya kehidupan manusia. 
"Sena...!" seru Kinanti sambil berlari mendekati 
Pendekar Gila yang duduk sambil meniup Suling Naga 
Sakti yang berirama duka. Seakan dirinya merasa se-
dih, atas kemungkaran Mahesa Lanang. 
Mentari perlahan-lahan merangkak semakin 
tinggi, menandakan hari telah siang. Ketika terik men-
tari memanggang bumi, Pendekar Gila dengan diiringi 
tatapan sendu Kinanti berlalu meninggalkan Hutan 
Ganggang Palang. 
"Sena...!" seru Kinanti. 
 
Sesaat Sena menghentikan langkahnya, terse-
nyum sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian me-
lambaikan tangan dan meneruskan langkah untuk 
mengembara. 
"Semoga dia senantiasa dalam lindungan Hyang 
Widi!" gumam Ki Windu Ajar. "Sudahlah, Kinanti! Dia 
memang bukan milikmu. Kau harus rela berpisah den-
gannya." 
Kinanti hanya mengangguk dan menurut, keti-
ka gurunya mengajak meninggalkan tempat itu. Kaki 
gadis cantik itu melangkah lesu meninggalkan Hutan 
Ganggang Palang dengan perasaan haru. 
 
SELESAI 
 
Scan/E-Book: Abu Keisel 
Juru Edit: Fujidenkikagawa