Pendekar Gila 16 - Istana Berdarah(1)


Malam merangkak perlahan, membawa kegelapan 
yang terasa mencekam. Angin semilir menghembus-
kan hawa basah dan dingin yang menusuk tulang
sum-sum. Bulan sabit di langit kelabu, menyusup di 
balik awan-awan berarak yang menghadangnya. 
Malam terus merangkak, gelap menyelubungi 
bumi. Keadaan itu membuat Istana Telaga Mas yang 
terletak di tengah-tengah dan dikelilingi hutan serta 
pegunungan, tampak sepi bagaikan mati. Semua 
penghuni istana itu telah terlelap dalam tidur. Hanya 
sepuluh orang pranjurit jaga yang masih membuka 
mata. Mereka tengah berjaga-jaga di sekitar istana 
dengan bersenjata tombak. 
Meskipun rasa kantuk yang berat menyergap 
mata, mereka tetap berusaha bertahan. Kesetiaan 
dan rasa tanggung jawab terhadap amanat yang di-
bebankan membuat kesepuluh prajurit itu tetap 
menjalani tugas. 
Kesepuluh prajurit yang mengenakan pakaian 
rompi hitam dengan hiasan keemasan di depan dada, 
berjalan-jalan memeriksa keadaan di sekeliling 
istana. Mata mereka yang tajam laksana mata burung 
hantu terus mengawasi segenapa penjuru istana. 
Mereka dibagi menjadi empat kelompok. Tiga di 
depan, tiga di belakang, dua di samping kanan, dan 
dua lagi di samping kiri. Hal itu dimaksudkan, jika 
terjadi sesuatu dari semua penjuru, mereka akan 
segera mengetahui. Kesepuluh prajurit itu terus men-
jaga keamanan lingkungan istana. Sesekali antar 
pemimpin kelompok saling bertemu, untuk melapor-
kan keadaan di tempat jaga masing-masing. 
"Bagaimana keadaan di belakang?" tanya prajurit 
bertubuh tinggi besar dengan kumis melintang. 
Matanya tajam dan lebar, beralis lebat. Lelaki itu 
bernama Kaung. 
"Aman," sahut lelaki bertubuh tinggi kekar. Hidung-
nya besar dan bermulut agak lebar. Kumis tipis meng-
hias di atas bibirnya. Dia bernama Kebir, pimpinan 
jaga di belakang istana. 
"Samping juga aman," tambah kedua prajurit yang 
berjaga di samping. Yang satu bernama Udel, seorang 
lagi bernama Jirin. Keduanya sama-sama bertubuh 
tinggi. 
Kaung mengangguk-anggukkan kepala, men-
dengar laporan ketiga temannya. 
"Bagaimana depan?" tanya Kabir pada Kaung. 
"Beres." 
"Kurasa keadaan memang aman," tukas Udel.  
"Tapi bagaimanapun, kita harus tetap waspada," 
ujar Kaung. 
"Benar! Karena bahaya bisa saja datang setiap 
saat," sambung Kebir. 
"Ya, ya," gumam Udel. 
"Baiklah, kita kembali ke tempat kita masing-
masing!" kata Kaung mengakhiri pertemuan, yang 
senantiasa dilakukan dalam selang waktu yang tidak 
lama, untuk mengetahui keamanan rekan-rekan yang 
lain. 
Mereka pun segera kembali ke tempat tugas, 
berbaur dengan teman-teman yang masih berjaga di 
pos masing-masing. 
Sementara itu dari sebelah barat telaga yang 
mengelilingi Istana Telaga Mas, sesosok tubuh yang 
terbalut pakaian serba hitam dengan muka ditutup 
topeng kain hitam berkelebat menuju tepian telaga 
itu. Gulungan tali besar tersangkut di pundak orang 
itu. 
Dari kedua lubang yang memperlihatkan mukanya, 
tampak kalau sosok itu ternyata seorang lelaki. Mata-
nya yang tajam mengawasi istana yang terletak di 
tengah-tengah telaga itu. Sebentar kemudian me-
natap air telaga yang tampak kekuningan. 
"Hm, mampukah aku menyeberangi telaga seluas 
ini?" gumam lelaki bertubuh tinggi tegap berpakaian 
lengan panjang dan bertopeng selubung hitam. 
Sebentar kemudian sepasang matanya yang tampak 
dari lubang jelalatan memandang ke sana kemari. 
Mata lelaki itu kembali memandang istana. Jika 
dilihat dari belakang dan samping, Istana Telaga Mas 
seolah-olah berada di tengah telaga. Namun dari 
depan, akan tampak terletak di tanah biasa. Hal itu 
karena di depan Istana Telaga Mas memang tanah 
biasa. Bahkan luas tanahnya bisa digunakan sebagai 
alun-alun. 
"Pantas kalau telaga ini dinamakan Telaga Mas. 
Airnya kekuning-kuningan dan berkilauan seperti 
emas," gumam lelaki itu sambil menyapukan 
pandangan ke depan. Benaknya berputar mencari 
jalan, bagaimana caranya untuk dapat menyeberangi 
telaga yang luas itu. 
Lelaki berpakaian serba hitam itu menghela napas 
panjang. Dia masih bingung untuk menyeberangi 
telaga itu. 
"Hm, kalaupun bisa menyeberangi, mampukah aku 
menjalankan tugasku?" dari suaranya tercermin 
keraguan. Seakan ada sesuatu yang membuatnya 
bimbang. "Menurut Rama Mangunda, prajurit di 
Istana Telaga Mas bukan prajurit sembarangan. 
Mereka para prajurit pilihan yang gagah berani...." 
Lelaki itu nampak masih mematung termangu-
mangu memandangi tembok istana yang tinggi. 
Keraguan akan kamampuan dirinya terus bergayut 
dalam hati. Orang-orang kalangan rimba persilatan 
menjuluki dia sebagai Kalong Maut. Namun, entah 
mengapa, kini hatinya bimbang. Padahal selama ini 
sepak terjangnya sebagai pembunuh bayaran, tak 
pernah gagal. 
Kini, untuk melaksanakan perintah dari Rama 
Mangunda, Kalong Maut tiba-tiba kebingungan. 
Apalagi ketika ingat kata-kata Rama Mangunda, 
bahwa prajurit di Istana Telaga Mas bukanlah prajurit 
biasa. 
"Ah, bukan Kalong Maut kalau gagal melakukan 
pekerjaan ini," gumamnya berusaha menepis 
perasaan gelisah dan kebimbangan. 
Kalong Maut terdiam sesaat. Sejurus kemudian 
matanya kembali menatap sekitar Hutan Wiring 
tempat dia kini berada. Lelaki itu kemudian 
melangkah perlahan, seperti mencari-cari sesuatu. 
Tak lama kemudian, di tangannya telah tergenggam 
sebatang cabang pohon.  
Crakkk! 
Dengan golok panjangnya, batang kayu itu 
dipotong menjadi sepanjang lengan.  
Crakkk! 
Satu lagi Kalong Maut memotong kayu sepanjang 
lengannya. Setelah selesai membuat dua kayu 
pendek, Kalong Maut melangkah ke tepi telaga. 
"Hm, dengan kayu ini, mungkin aku bisa 
mengarungi telaga luas ini," gumam Kalong Maut. 
Kemudian dilemparkan kedua kayu itu ke air telaga.  
"Hih...!" 
Pluk! Pluk! 
Kayu itu sesaat tenggelam. Namun, tak lama 
kemudian telah muncul kembali ke permukaan air. 
Sejurus kemudian, Kalong Maut terdiam sambil 
menyatukan kedua telapak tangan di dada. Lalu 
ditariknya napas dalam-dalam. Dan... 
"Hoppp...!" 
Tubuh Kalong Maut melenting ke atas dan bersalto 
dua kali di udara. Kemudian dengan ringan kedua 
kaki Kalong Maut hinggap di atas kedua kayu yang 
mengambang di permukaan air. 
"Ups! Akhirnya bisa juga," gumam Kalong Maut. 
Kedua kayu itu bagaikan tak tertekan beban 
barang sedikit pun, tetap mengapung di atas air. 

Dilihat dari caranya, jelas Kalong Maut memiliki ilmu 
meringankan tubuh yang telah sempurna. 
Dengan ilmu 'Kalong Mengayuh' Kalong Maut 
menjalankan kedua kayu itu. Seketika tubuhnya yang 
berpijak di kedua kayu melesat menuju Istana Telaga 
Mas. Bagaikan sebuah kendaraan yang sangat cepat 
benda itu membawanya menyeberangi air.  
"Heaaa...!"  
Srrrts! 
Kedua kayu terus meluncur dengan cepat. Tubuh 
Kalong Maut bagaikan tak memiliki beban barang 
sedikit pun berdiri memijak di atasnya. 
"Hm, akhirnya aku berhasil. Kini yang harus ku-
pikirkan, bagaimana caranya agar bisa masuk 
istana?" tanya Kalong Maut pada diri sendiri. Dari 
suaranya menunjukkan keraguan kembali menggayut 
di lubuk hatinya. "Ah, itu urusan nanti." 
Kalong Maut berusaha menepiskan kebimbangan 
sambil berusaha meyakinkan diri, kalau selama ini 
usahanya selalu berhasil. Belum pernah sekali pun 
mengalami kegagalan. 
*** 
Kayu yang dinaiki Kalong Maut terus melaju ke 
Istana Telaga Mas dengan cepat bagaikan didorong 
tenaga yang begitu besar. Tak berapa lama 
kemudian, Kalong Maut sampai di tembok belakang 
istana. 
"Aku harus bersembunyi. Hooop...!" lelaki gagah 
berselubung hitam itu melompat lalu menyelinap di 
antara tembok tinggi yang mengelilingi istana. 
"Hm, para prajurit itu tengah berjaga-jaga." 
Mata Kalong Maut sejenak menatap ke atas, 
seakan hendak mengukur ketinggian tembok itu. 
"Akan kucoba melewatinya. Hooop...!" 
Kalong Maut melompat bagaikan terbang. Lalu 
dengan ringan hinggap di atas tembok. Sejenak 
matanya yang tampak dari dua lubang selubung 
hitam, mengawasi ke bawah. 
"Hooop...!" 
Seketika lelaki berpakaian serba hitam melompat 
turun, kembali keluar tembok. Hal itu karena tiba-tiba 
dilihatnya dua orang prajurit jaga berjalan. 
"Untung mereka tak melihatku. Kalau keduanya 
tahu, huhhh..., bagaimana jadinya aku!" rungutnya 
dalam hati. 
"Kakang, aku rasa keadaan aman. Apa tak 
sebaiknya kita ke depan saja?" terdengar suara 
prajurit berkata. 
"Ya. Ke depan saja kalian!" ujar Kalong Maut 
dalam hati. 
"Ah, bukankah di depan sudah ada prajurit jaga? 
Biarlah kita di belakang saja. Toh kita berdua di sini," 
jawab prajurit lainnya. 
"Sial...," sungut Kalong Maut dalam hati. "Prajurit 
ini minta dihajar!" 
Sesaat kemudian tak terdengar lagi pembicaraan 
mereka. Hal itu sempat membuat Kalong Maut 
mengernyitkan keningnya. Sejenak lelaki berselubung 
kepala hitam itu menarik napas sambil 
mengandalkan ilmu menangkap suara, untuk coba 
mendengarkan desah napas para prajurit tadi. 
"Hm, mereka ada di sebelah kiriku," gumam 
Kalong Maut. "Akan kulumpuhkan mereka. Hooop...!" 
Kalong Maut kembali melompat ke atas tembok, 
dengan ringan tanpa menimbulkan suara sedikit pun. 
Dengan tajam matanya mengawasi kedua prajurit 
yang sedang duduk-duduk sambil menghisap rokok 
kawungnya. 
"Aku harus menenangkan mereka. Yeaaa...!" 
Kalong Maut segera melompat menuju dua prajurit 
itu untuk menotok tubuh mereka agar tak ribut. 
Namun tampaknya kedua prajurit itu merasa ada 
seseorang melompat. Seketika mereka memalingkan 
wajah ke belakang. 
"Siapa kau?!" bentak salah seorang dari kedua 
prajurit dengan keras. 
"Setan! Harus cepat dibereskan!" gerutu Kalong 
Maut dalam hati. Dengan cepat tangannya bergerak, 
menotok ke arah kedua prajurit itu. 
"Hih...!" 
Tuk! Tuk! 
"Ukh!" 
"Ekh!" 
Seketika tubuh mereka terkulai lemas, tak mampu 
bergerak sedikit pun. Kemudian terjatuh ke tanah. 
Bentakan keras tadi tampaknya sempat didengar 
prajurit lain. Seketika mereka berhamburan menuju 
belakang istana, tempat kedua rekannya berada. 
"Penjahat! Tangkaaap...!" 
"Jangan biarkan dia lolos...!" 
"Maliiing...! Maliiing...!" 
Seruan-seruan para prajurit, menyentakkan Kalong 
Maut yang sedang menyeret tubuh kedua prajurit 
yang telah ditotoknya. 
"Celaka!" gumam Kalong Kalong lirih. Matanya 
terbelalak, menatap delapan prajurit yang kini 
berhamburan memburu dia dengan senjata siap 
menyerang. Mereka langsung mengepung Kalong 
Maut, yang beringas, nekat karena telah terjepit. 
"Seraaang...!" 
"Tangkap dia...!" 
"Hea!" 
Wuttt! 
Kalong Maut tersentak kaget, ketika tombak salah 
seorang prajurit melesat begitu cepat ke tubuhnya. 
Dengan cepat pula lelaki berpakaian serba hitam itu 
memiringkan tubuhnya untuk mengelakkan serangan 
itu. 
"Uts! Hih...!" 
Tombak yang dilemparkan prajurit, melesat 
beberapa jengkal di sampingnya. Namun dengan 
cepat para prajurit lain melakukan serangan gencar. 
"Celaka! Tak ada pilihan lagi, kecuali harus 
membereskan mereka semua," gumam Kalong Maut 
dalam hati. Kemudian dengan cepat dan lincah 
tubuhnya bergerak mengelak dari serangan tombak 
para prajurit. Kakinya menjejak dan melompat ke 
sana kemari, mengelitkan tusukan dan sabetan 
senjata lawan.  
Wrrrt! 
"Hahhh...!" 
Kalong Maut kembali tersentak kaget, ketika 
sebilah pedang hendak menyambar lehernya. Dengan 
cepat tubuhnya merunduk. Pedang pun melesat di 
atas kepalanya. 
"Edan! Aku benar-benar akan dibikin perkedel!" 
Wrrrt! 
Bugkh! 
Prajurit yang menyerangnya tak mampu 
mengelakkan tendangan lawan yang datang begitu 
cepat. Tak ampun lagi kaki Kalong Maut mendarat 
telak di dadanya. 
"Aaakh...!" 
Prajurit itu terpekik keras. Tubunya terdorong ke 
belakang dan jatuh duduk di tanah. Mulutnya 
meringis karena dada dan tulang pantatnya dirasakan 
nyeri. 
"Bedebah kubunuh kau...!" dengan sisa tenaga 
yang ada, prajurit itu kembali bangkit dan kembali 
menyerang. 
"Heaaa...!" 
"Menyerahlah, Maling!" bentak salah seorang 
prajurit 
"Huh...!" hanya suara itu yang keluar dari mulut 
Kalong Maut. Tampaknya dia benar-benar tak mau 
menyerah. Dia tahu menyerah berarti mati di tiang 
gantungan. Meski tak menyerah, mungkin kematian 
pun dapat merenggutnya. Sebab para prajurit Istana 
Telaga Mas tampak kian bertambah jumlahnya. 
"Bangsat! Kau tak mau menyerah? Seraaang...!" 
Wuttt! Wuttt! 
Beberapa batang tombak dan pedang terus 
memburu dan berkelebat ke tubuh Kalong Maut. 
"Mampus kau, Bangsaaat...!" 
"Cincang tubuhnya...!" teriak prajurit yang 
memegang tombak. Senjatanya menusuk ke perut 
lawan. Namun, dengan cepat dan ringan Kalong Maut 
mengelak dari tusukan itu. Bahkan tangannya yang 
terbungkus pakaian hitam sempat melancarkan satu 
pukulan keras. 
"Ini untuk kalian. Hiaaat...!"  
Wrrrt! Wrrrt! 
Tangan kanan dan kiri Kalong Maut menderu-deru 
begitu cepatnya menyerang. Hal itu begitu 
mengejutkan para prajurit yang tak menyangka akan 
mendapat balasan pukulan cepat dan keras. Mereka 
melompat mundur. Namun ada juga yang dengan 
gagah berani memapaki serangan itu dengan sabetan 
golok besar yang berada di tangannya. 
"Buntung lenganmu, Iblis!" 
Wrrrt! 
Kalong Maut tersentak ketika golok besar di 
tangan prajurit itu membabat tangannya. Dengan 
cepat ditarik kembali serangannya. Namun tiba-tiba 
prajurit yang memegang golok besar kembali 
merengsek dengan tebasan-tebasan goloknya 
mengarah ke tubuh Kalong Maut.  
Wuttt! Wuttt! 
Bertubi-tubi golok besar itu menderu menyerang 
ke tubuh lelaki berpakaian serba hitam. Namun 
dengan gerakan yang tak kalah cepatnya, Kalong 
Maut terus mengelakkan serangan itu. Matanya 
mengawasi gerakan golok lawan sambil mencari 
kesempatan untuk melakukan serangan balik. 
Wuttt...! 
"Eittt...!" 
Kalong Maut melompat ke samping. Kaki kirinya 
berjinjit dengan kaki kanan masih terangkat. Dan 
ketika tubuh prajurit bersenjata golok merangsek, 
segera kaki kanannya melesat ke perut lawan. 
"Ini untukmu! Hih...!" 
Wuttt! 
Prajurit bergolok tersentak, dia bermaksud 
menangkis tendangan Kalong Maut dengan goloknya. 
Namun, ternyata tendangan lawan datang lebih cepat 
dari apa yang dibayangkan. Sehingga.... 
Bugkh! 
"Aaakh...!" 
Prajurit bergolok itu terpekik pendek. Perutnya 
dirasakan nyeri dan mual. Tubuhnya terhuyung ke 
belakang, menjadikan dia kini bagaikan seekor babi 
terlempar. 
Blukkk! 
Lelaki itu terbanting di tanah. Dan... 
"Hoaaakh...! Hoaaakh...!" 
Tampak cairan merah mengalir dari mulutnya. 
Tendangan keras Kalong Maut terasa membuat 
perutnya bagai diaduk-aduk. Mual dan rasa nyeri 
bercampur jadi satu. 
Melihat hal itu, para prajurit lainnya segera 
menyerbu. Namun, Kalong Maut nampak tak gentar 
sedikit pun. Dia kembali melakukan serangan cepat 
dan menangkis setiap serangan yang datang. 
*** 
Pertarungan antara Kalong Maut dengan para 
prajurit di Istana Telaga Mas berlangsung kian seru. 
Seakan-akan tak bakal selesai dalam malam itu. Para 
prajurit semakin bertambah banyak. Mereka 
berdatangan setelah mendengar suara ribut 
pertarungan di belakang istana itu. 
Kalong Maut yang menghadapi keroyokan, 
semakin tegang. Pengeroyoknya bukan hanya 
sepuluh orang, melainkan telah puluhan jumlahnya. 
Dan tampaknya mereka adalah para prajurit pilihan. 
"Tangkap maling itu...!" teriak Patih Arya Denta 
memerintah pada prajuritnya. Sementara Kalong 
Maut terus berusaha melawan prajurit yang berusaha 
mendesaknya. 
"Celaka! Prajurit semakin banyak," gumam Kalong 
Maut dalam hati, sambil berusaha mengelakkan 
tusukan dan babatan senjata lawan. Tubuhnya 
melompat ke sana kemari, menghindari serangan-
serangan cepat yang dilancarkan lawan. 
"Yeaaa...!" 
"Mampus kau!" 
Teriakan-teriakan keras mengiringi setiap 
serangan yang dilancarkan para prajurit.  
Wuttt! 
Sebuah tombak melesat terarah ke perut Kalong 
Maut Hampir menusuk perutnya, kalau saja lelaki 
berpakaian hitam itu tak secepat kilat berkelit ke 
samping dan melompat ke belakang. 
"Uts! Celaka...! Tak ada kesempatan bagiku 
melakukan serangan balas...," gumam Kalong Maut 
sambil terus berusaha mencari celah untuk me-
loloskan diri. Dia merasa tak ada kesempatan lagi. 
Bahkan kini nyawanya dalam ancaman karena terus-
menerus menghadapi kepungan para prajurit Istana 
Telaga Mas yang semakin bertambah jumlahnya. 
"Tangkap dia...!" kembali Patih Arya Denta berseru, 
memerintah pada prajuritnya. 
"Tak ada jalan lain," desis Kalong Maut, "Hanya 
dengan jalan ini. Hih...!" 
Kalong Maut dengan cepat melemparkan sesuatu 
yang diambilnya dari balik bajunya, mendahului 
serangan gencar para prajurit. 
Dummm! Duarrr! 
Ledakan-ledakan yang disertai gulungan asap 
tebal terdengar. Para prajurit tersentak lalu ber-
lompatan mundur, mengelakkan asap hitam itu. 
Seketika itu pula, dengan cepat Kalong Maut melesat 
meninggalkan tempat pertarungan. Tubuhnya me-
lenting ke atas pagar istana, lalu melompat ke air 
telaga yang tampak begitu tenang.  
Byurrr! 
Tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu langsung 
tenggelam, bagai ditelan air telaga yang dalam.  
"Cari dia...!" 
Terdengar suara Patih Arya Denta, memerintah 
pada prajuritnya untuk mencari orang yang telah 
membuat onar. Sepertinya lelaki bertubuh tinggi 
tegap dan berwajah tampan yang dihiasi kumis tipis 
itu sangat marah karena Istana Telaga Mas hampir 
saja kemasukan penjahat. 
Para prajurit serentak berhamburan keluar untuk 
mengejar Kalong Maut. Namun, mereka tak menemu-
kannya. Para prajurit terus menunggu sampai Kalong 
Maut muncul ke permukaan air. Namun sampai men-
jelang pagi, lelaki berselubung kepala dan berpakaian 
serba hitam itu belum juga muncul ke permukaan air 
telaga. 
*** 
Pagi datang membawa kecerahan. Kicau burung 
menambah indahnya suasana pagi. Semilir angin 
yang bertiup mengusir embun, terasa sejuk di badan. 
Mentari baru terbit, ketika seorang pemuda berambut 
gondrong dengan pakaian terbuat dari kulit ular tanpa 
lengan membuka matanya, setelah semalaman tidur 
pulas. 
Pemuda yang tak lain Pendekar Gila, kini menye-
ngirkan mulutnya. Matanya agak menyipit karena di-
terpa cahaya matahari pagi yang telah sepenggalah 
tingginya. Ditutupinya mulut yang terbuka karena 
menguap. 
"Huaaahhh..., enak sekali aku tidur," gumam 
Pendekar Gila sambil cengengesan. Dipicingkan 
matanya, mengintip matahari yang muncul ke per-
mukaan bumi dengan perlahan. 
Pendekar Gila bangun dari tidurnya lalu duduk di 
cabang pohon, tempat semalam dia tertidur. Sena 
termenung menikmati keindahan pagi di Hutan 
Selendang Manyar, yang terletak tak jauh dari Istana 
Telaga Mas yang luas itu. Tangannya menggaruk-
garuk kepala, dengan mulut masih nyengir kuda. 
"Hop! Yeaaa...!" 
Tubuh Pendekar Gila melompat dan bersalto 
beberapa kali di udara, sebelum mendarat begitu 
ringan di bawah pohon itu. Tangannya kembali meng-
garuk-garuk kepala. Mulutnya cengengesan. Kemudi-
an kakinya melangkah menuju telaga yang tak jauh 
dari Hutan Selendang Manyar. 
Diraupnya air telaga yang bening dan bersih itu. 
Dicucinya wajah dengan air telaga itu. Kemudian, 
mulutnya berkumur-kumur untuk menghilangkan rasa 
tak enak yang ada di mulutnya. 
"Wuah, segar sekali!" gumam Pendekar Gila. 
Pemuda tampan itu kemudian bangkit berdiri. Mata-
nya manatap hamparan telaga luas itu. Namun men-
dadak keningnya berkerut. Matanya melihat sesosok 
tubuh terapung di permukaan air yang tampak 
keemasan dan berkilauan diterpa cahaya matahari. 
Mata Sena terbelalak menatap sesosok tubuh 
terapung di permukaan air. Tangannya menggaruk-
garuk kepala, dengan mulut nyengir. 
"Aha, mayat siapa itu?" gumam Pendekar Gila 
masih terus memperhatikan sosok tubuh terbungkus 
pakaian hitam mengapung di air. Tampaknya lelaki itu 
telah menjadi mayat. Sosok tubuhnya terapung dan 
terus terbawa riak air menepi mendekati Pendekar 
Gila. 
Ketika sosok berpakaian hitam kian dekat, 
Pendekar Gila menjejakkan kaki dan melenting ke 
udara. Setelah bersalto beberapa kali, dengan jurus 
'Gila Menyambar' Sena menukik sambil menyambar 
tubuh yang terapung itu. 
"Hih!" 
Direnggutnya tubuh itu dengan tangan kanannya. 
Kemudian Pendekar Gila kembali melenting ke udara. 
Setelah berjumpalitan dua kali di udara, kakinya 
menjejak di atas tanah tepian telaga sambil mem-
bopong tubuh terbungkus kain hitam. 
"Aha, rupanya masih hidup," gumam Pendekar Gila 
setelah memeriksa denyut nadinya. Matanya me-
natapi sosok tubuh yang pingsan tertutup kain hitam. 
Tangannya perlahan-lahan membuka selubung 
kepala orang itu. Seketika tampaklah wajah lelaki 
garang dengan codet menghiasi pipi sebelah kirinya. 
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, matanya 
masih menatap wajah lelaki bercodet yang tak lain 
Kalong Maut. 
"Hm, kurasa lelaki ini bukan orang baik-baik," 
gumam Pendekar Gila dalam hati. Keningnya semakin 
berkerut dengan hati penuh rasa heran melihat 
seorang lelaki pingsan di telaga itu. "Bukankah di 
tengah telaga ini Istana Telaga Mas berdiri? Hm, apa 
yang sebenarnya dilakukan orang ini?" 
Sebagai seorang pendekar, Sena tak memandang 
siapa pun yang perlu pertolongannya. Meski lelaki itu 
orang jahat, Pendekar Gila tetap menolongnya. 
Dibantunya Kalong Maut untuk mengeluarkan air 
yang telah masuk ke perutnya. 
"Hoakkk!" 
"Teruskan, Kisanak! Kau harus mengeluarkan air 
yang telah masuk ke perutmu," ujar Sena sambil terus 
menekan perut Kalong Maut. Ditelungkupkan tubuh 
lelaki berpakaian serba hitam, lalu diangkat perutnya 
berulang-ulang. Sehingga... 
"Hoakkk!" 
Air keluar dari mulut Kalong Maut yang semakin 
bertambah banyak, setelah Pendekar Gila turut 
menopangnya. Perlahan-lahan lelaki berpakaian 
hitam itu mulai siuman dari pingsannya. Matanya 
membuka, memandang ke sekeliling, kemudian 
tertuju ke wajah Pendekar Gila yang tersenyum 
sambil menggaruk-garuk kepala. Keningnya yang 
masih basah berkerut seperti belum yakin kalau dia 
masih dalam keadaan hidup. 
"Di mana aku...?" desisnya. 
"Aha, jelas kau masih hidup, Kisanak," jawab 
Pendekar Gila masih dengan tangan menggaruk-
garuk kepala. Kalong Maut mengerutkan kening, 
merasa heran dengan tingkah laku pemuda yang 
menolongnya. 
"Siapa pemuda ini? Tingkah lakunya seperti orang 
gila. Tapi dilihat dari pakaian dan tubuhnya yang 
bersih, jelas dia bukan orang gila biasa. Hm.... 
Siapakah pemuda bertingkah laku gila ini?" tanya 
Kalong Maut dalam hati. Matanya tak berkedip 
menatap wajah Pendekar Gila yang masih 
cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Anak muda, terima kasih atas pertolonganmu," 
ujar Kalong Maut seraya berusaha bangkit. 
"Aha, sudah sewajarnya semua orang tolong-
menolong dengan sesamanya," tukas Pendekar Gila 
masih cengengesan, gerak-geriknya kian membuat 
Kalong Maut semakin mengerutkan kening. 
"Mungkinkah dia yang berjuluk Pendekar Gila? Ah, 
bahaya sekali jika dia tahu siapa aku?" gumam 
Kalong Maut dalam hati, merasa was-was takut kalau 
pemuda yang diduganya Pendekar Gila sampai tahu 
siapa dirinya. 
Hati Kalong Maut benar-benar gelisah, setelah 
yakin siapa pemuda yang bertingkah laku seperti 
orang gila itu. Rasa takut kalau pendekar itu meng-
hukumnya, membuatnya kelabakan bingung sendiri. 
"Kisanak, kenapa kau sampai pingsan di telaga 
ini?" tanya Pendekar Gila setelah lama terdiam dan 
menatap Kalong Maut yang tampak membisu. 
Kalong Maut semakin was-was mendengar per-
tanyaan yang dilontarkan Pendekar Gila. Rasa takut 
kalau Pendekar Gila akan mengetahui siapa dirinya, 
semakin membuat lelaki berpakaian serba hitam 
bertambah takut. Matanya menatap tak berkedip ke 
wajah Pendekar Gila yang masih berdiri. Degup 
jantungnya semakin memburu kencang. 
"Aha, kau tampak gelisah, Kisanak? Kenapa...?" 
tanya Pendekar Gila seraya menatap tajam wajah 
lelaki yang wajahnya berubah pucat. Kalong Maut 
bagai dihadapkan pada Dewa Pengadilan. Keringat 
dingin pun mengalir di keningnya, meskipun dingin 
masih menyelimuti tubuhnya. Hal itu membuat 
Pendekar Gila semakin mengerutkan kening, 
memandang heran melihat perubahan wajah Kalong 
Maut yang pucat pasi. 
"Ampunilah aku, Pendekar! Memang aku ber-
salah," ujar Kalong Maut merasa takut sendiri. 
Sehingga dia tiba-tiba mengakui kesalahannya. Hal 
itu tentu saja membuat Pendekar Gila semakin heran, 
dengan mata menyipit Sena menatap tajam wajah 
Kalong Maut. 
"Aha, kenapa kau berkata begitu, Kisanak? 
Kurasa, tadi aku tak bertanya tentang kesalahanmu. 
Aku hanya bertanya, mengapa kau sampai pingsan di 
telaga ini?" tanya Pendekar Gila dengan tangan 
menggaruk-garuk kepala. Sedangkan mulutnya tetap 
cengengesan. 
"Ya, semua hendak kukatakan padamu. Meskipun 
aku belum tahu siapa kau sebenarnya, tapi aku yakin 
kalau kaulah yang sering disebut sebagai Pendekar 
Gila. Bukan begitu...?" sahut Kalong Maut mencoba 
menduga-duga siapa sebenarnya pemuda bertingkah 
laku seperti orang gila itu. 
"Aha, terlalu tinggi sebutan itu untukku, Kisanak. 
Ah, sudahlah, tak perlu kau pikirkan nama itu. Kini, 
aku ingin tahu, mengapa kau sampai pingsan di 
telaga ini?" desak Pendekar Gila penasaran. 
Dengan takut-takut Kalong Maut akhirnya me-
nuturkan siapa dirinya. Dan mengapa dia sampai 
pingsan di dalam telaga itu. 
"Saya diperintah seseorang untuk membunuh anak 
dan keluarga Baginda Aji Wardana," tutur Kalong 
Maut mengakhiri ceritanya. 
Pendekar Gila mengerutkan keningnya, men-
dengar penuturan Kalong Maut. 
"Aha, mengapa anak Baginda Aji Wardana harus 
kau bunuh? Dan siapa sebenarnya yang menyuruh 
membunuh...?" tanya Pendekar Gila semakin tertarik. 
"Aku sendiri tak tahu. Aku hanya diperintah 
seseorang untuk membunuhnya dengan imbalan 
cukup besar," jawab Kalong Maut. 
"Aha, rupanya kau pembunuh bayaran. Siapa yang 
menyuruhmu, Kisanak...?" tanya Pendekar Gila ber-
usaha membongkar siapa sebenarnya orang yang 
bermaksud membuat pertumpahan darah di Istana 
Telaga Mas. 
“Yang menyuruhku, Rama...." Belum juga selesai 
ucapan Kalong Maut tiba-tiba.... 
Swing, swing!  
Jrep, jrep!  
"Aaakh...!" 
Kalong Maut memekik tertahan dengan mata 
terbelalak ketika dua bilah senjata rahasia meng-
hujam tenggorokan dan dadanya. Sesaat tubuhnya 
mengejang, kemudian ambruk tanpa nyawa. Hal itu 
membuat Pendekar Gila tersentak kaget. Lalu dengan 
cepat segera mendekati tubuh Kalong Maut Dibalik-
kan tubuh lelaki berpakaian serba hitam itu, 
tampaklah dua bilah senjata berupa bintang kecil 
terbuat dari logam. 
"Ah, siapa pula yang telah membunuhnya?" 
gumam Pendekar Gila sambil mengedarkan 
pandangan ke sekeliling tempat itu. 
Kresek! 
Terdengar dari dalam hutan suara langkah kaki 
berlari. Pendekar Gila menoleh lalu cepat melompat, 
berusaha mengejar orang itu. 
"Hai, jangan lari!" seru Pendekar Gila sambil terus 
melesat mengejar orang yang diduganya telah mem-
bunuh Kalong Maut. "Aha, rupanya kau mau main 
kucing-kucingan denganku. Baik...!" 
Pendekar Gila terus melesat dengan cepat, 
memburu suara orang berlari di dalam hutan itu. 
Pendekar Gila terus mengejar orang yang telah 
membunuh Kalong Maut dengan senjata rahasianya 
yang berupa bintang. Namun sampai di tengah hutan, 
dirinya hanya mendapati kesunyian, tak ada siapa 
pun. Seperti tak ada seorang manusia pun di dalam 
hutan itu. 
"Ah, aneh sekali," gumam Pendekar Gila dengan 
tangan menggaruk-garuk kepala. Keningnya 
mengerut berlipat-lipat, merasa aneh dengan apa 
yang dilihat. "Ah, siapa yang telah menyerang Kalong 
Maut? Tapi yang jelas, pasti orang-suruhan." 
Pendekar Gila masih mengawasi sekeliling hutan 
itu dengan segenap kemampuan penglihatan dan 
pendengaran. Dia berusaha mencari orang yang telah 
menyerang Kalong Maut secara gelap. Namun tetap 
tak berhasil menemukan orang dalam hutan ini. 
"Aha, kenapa menghilang?" gumam Pendekar Gila 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. "Hi hi hi... 
lucu sekali! Orang itu bisa menghilang seperti tuyul." 
Pendekar Gila cengengesan sendiri sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. Matanya masih merayapi 
sekelilingnya, berusaha mencari-cari orang yang dia 
yakini ada dalam hutan ini. Tetap saja tak juga 
dilihatnya siapa pun di dalam hutan ini. 
Tangan kirinya menepuk-nepuk kening. Matanya 
masih memandang ke sekeliling yang sunyi dan sepi, 
tak dilihat adanya tanda-tanda bekas orang lewat di 
hutan ini. 
Pendekar Gila nyengir kuda, tangannya kembali 
menggaruk-garuk kepalanya. 
"Hua ha ha...! Lucu sekali.... Hoi, di mana kau?!" 
serunya berteriak-teriak memanggil. Tapi tak ada 
sahutan. "Hi hi hi...! Tolol sekali aku! Bagaimana 
mungkin orang akan menyahuti teriakanku?" 
Dengan menggeleng-geleng kepala sambil 
cengengesan, Pendekar Gila melangkah keluar hutan. 
Dia bermaksud kembali ke tempat mayat Kalong 
Maut berada. Namun, tiba-tiba terdengar suara orang-
orang berteriak.... 
"Itu dia orangnya!"  
"Tangkap dia...!" 
Mata Pendekar Gila terbelalak, ketika melihat 
siapa yang berteriak-teriak itu. Ternyata para prajurit 
dari Istana Telaga Mas. Keningnya berkerut ketika 
hatinya menyadari bahwa orang-orang itu semua 
menudingkan tangan padanya. 
"Aha, ada apa sebenarnya?" gumam Pendekar Gila 
tak mengerti. 
"Tangkap dia! Jangan sampai lolos...!" seru lelaki 
bertelanjang dada dengan hiasan kalung akar bahar 
yang terjuntai di perutnya. Rambutnya digelung ke 
atas, dengan wajah dihiasi kumis tebal. Dilihat dari 
sosok tubuhnya yang tinggi besar dan pakaian bawah 
yang dipakainya, lelaki berbadan kekar itu tentu 
senopati perang kerajaan. 
Pendekar Gila tersentak kaget. Benaknya semakin 
tak mengerti, mengapa kini dia diburu pihak kerajaan. 
Padahal dia sama sekali tidak tahu apa-apa. 
"Menyerahlah kau, Anak Muda?!" bentak Senapati 
Awong Purbo yang membuat Pendekar Gila semakin 
mengerutkan kening, karena tak tahu apa yang 
sebenarnya terjadi. 
"Aha, ada apa pihak kerajaan memburuku?" tanya 
Pendekar Gila penasaran. 
"Kaulah yang semalam membuat kerusuhan di 
istana! Kau harus ditangkap!" bentak Senapati Awong 
Purbo dengan wajah menggambarkan kemarahan. 
Pendekar Gila tersentak mendengar bentakan 
Senapati Kerajaan Telaga Mas yang menuduhnya 
sebagai perusuh. Namun, Pendekar Gila hanya 
cengengesan, seakan tak menghiraukan ucapan 
Senapati Awong Purbo yang sudah marah. 
"Aha, lucu sekali kau, Senapati? Kenapa kau 
menuduhku sembarangan tanpa bukti?" 
"Cuih! Masih juga kau menyangkal, Bocah Edan! Di 
sini tak ada orang lain, hanya kau! Dan kami tahu, 
perusuh itu lari ke tempat ini setelah menceburkan 
diri ke telaga!" tukas Senapati Awong Purbo semakin 
marah, melihat tingkat laku pemuda yang seperti 
orang gila itu. 
"Aha, apa kalian tak melihat ada sesosok tubuh di 
tepi telaga itu?!" seru Pendekar Gila berusaha 
membela diri. 
"Bedebah! Kau pikir kami dapat dikibuli, Bocah 
Edan! Di sini tak ada siapa-siapa! Keluarlah kau dan 
menyerahlah!" seru Senapati Awong Purbo sengit, 
karena Pendekar Gila belum juga mau menyerah. 
Pendekar Gila mengerutkan kening, merasa aneh 
dengan apa yang terjadi. "Ke mana mayat Kalong 
Maut?" tanya dalam hati. Tangannya menggaruk-
garuk kepala, sepertinya merasa tak mengerti dengan 
apa yang terjadi. 
"Ah, ke mana mayat lelaki bermuka codet tadi?" 
gumam Sena semakin bingung dan heran mendengar 
penuturan senapati yang mengatakan kalau di tepi 
telaga tak ada siapa-siapa dan tak ada mayat. 
"Bocah, keluarlah!" seru Senapati Awong Purbo. 
"Jangan kau di dalam terus dengan tingkah lakumu 
yang memuakkan!" 
"Aha, baiklah, aku akan keluar. Tapi kurasa kalian 
telah salah sangka," tukas Pendekar Gila sambil 
melangkah keluar dari Hutan Selendang Manyar. 
Mata Pendekar Gila terbelalak ketika tak melihat 
lagi sosok mayat lelaki bermuka codet yang tadi 
ditolongnya. 
"Lihat! Kau tak melihat apa-apa, bukan? Masihkah 
kau membantah tuduhan. Kaulah pelaku kekacauan 
yang semalam terjadi di belakang istana?" bentak 
Senapati Awong Purbo dengan mata melotot, 
semakin bertambah galak. Namun Pendekar Gila 
justru cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
"Hi hi hi.... Lucu sekali! Bukankah tadi di sini ada 
mayat lelaki bermuka codet?" tanya Pendekar Gila 
pada senapati dan para prajurit yang telah berada tak 
jauh di depannya. 
"Banyak omong! Tangkap diaaa...!" perintah 
Senapati Awong Purbo pada para prajuritnya. Para 
prajurit Istana Telaga Mas pun segera bergerak 
mengepung Pendekar Gila dengan senjata lengkap. 
Pendekar Gila tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. 
"Ha ha ha...! Lucu sekali kalian? Mau berburu apa 
kalian dengan senjata itu?" tanya Sena berkelakar, 
membuat mata semua prajurit mendelik. Tapi Sena 
yang memang konyol malah cengengesan sambil 
menggaruk-garuk kepalanya. 
"Jangan banyak omong, Bocah Edan! Ikut kami ke 
Istana Telaga Mas!" perintah Senapati Awong Purbo 
sambil menggerakkan tangan kanannya, memerintah 
para prajuritnya untuk menggiring Pendekar Gila ke 
istana. 
"Aha, baiklah, aku menurut. Tapi perlu kalian 
ketahui, aku tak tahu-menahu dengan masalah 
kalian," ujar Pendekar Gila sambil melangkah 
mengikuti perintah senapati. 
Sepeninggal Pendekar Gila yang digiring para 
prajurit kerajaan, tampak sesosok tubuh berpakaian 
merah tersenyum sinis memandangi mereka. Dilihat 
dari bentuknya sosok berpakaian merah itu seorang 
wanita. Senyum bibirnya menggambarkan rasa puas 
atas tertangkapnya Pendekar Gila di tangan prajurit 
Istana Telaga Mas. 
*** 
Pendekar Gila dihadapkan pada sidang para sesepuh 
kerajaan yang dipimpin Baginda Aji Wardana. Meski 
pun dihadapkan pada sidang kerajaan, Sena yang 
memang konyol masih bertingkah laku seperti orang 
gila. Kadang tertawa-tawa seorang diri atau meng-
garuk-garuk kepalanya. Hal itu tentu saja membuat 
para sesepuh kerajaan yang terdiri dari Ki Gede 
Mundu, Ki Gede Semperan, Nyi Ageng Durgageni, dan 
Ki Ageng Martayupa hanya mampu menggeleng-
gelengkan kepala. 
"Siapa namamu, Kisanak?" tanya Ki Gede Mundu 
membuka pertanyaan dalam sidang. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali kalian orang-orang tua? Tapi 
baiklah, namaku Sena Manggala," jawab Pendekar 
Gila memperkenalkan nama dirinya. 
Ki Gede Mundu mengangguk-anggukkan kepala. 
Matanya menatap tajam wajah Pendekar Gila. Lelaki 
berusia sekitar tujuh puluh tahun berpakaian resi dan 
berjenggut panjang itu menatap wajah Pendekar Gila. 
Wajahnya yang tenang menggambarkan kesabaran 
jiwanya. Tatapan matanya seakan tengah menyelami 
jiwa Sena. 
"Sena, benarkah kau telah membuat kerusuhan 
semalam di istana ini?" tanya Ki Gede Semperan. 
Lelaki berusia enam puluh delapan tahun yang 
wajahnya terhias kumis putih lebat. Tatapan matanya 
yang lebar, juga menyiratkan rasa ingin mendalami 
sifat pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila. 
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil meng-
garuk-garuk kepalanya. Kepalanya mendongak ke 
atas seakan ada sesuatu yang dilihatnya di atas 
genting. Kemudian.... 
"Aha, kenapa kau mengintip, Sobat! Hih...!" 
Semua orang yang ada di ruang sidang tersentak 
kaget, ketika tanpa diduga sebelumnya Pendekar Gila 
menghantamkan sebuah pukulan ke atas. 
Wrttt! 
Brak! 
"Wuaaa...!" 
Dari atas genting, sesosok tubuh meluncur dan 
terbanting ke lantai seketika.  
Blukkk...! 
Keempat pemuka istana yang menyidang 
Pendekar Gila terbelalak kaget. Mereka tegang ber-
campur rasa kagum melihat ketajaman naluri 
pemuda gila itu. 
Lelaki yang terbanting di lantai akibat pukulan 
jarak jauh yang dilakukan Pendekar Gila ternyata 
seorang prajurit. 
Mata Baginda Aji Wardana terbelalak, ketika tahu 
siapa yang telah mengintai jalannya persidangan itu. 
Baginda Aji Wardana segera bangkit dari duduknya. 
Dengan mata beringas, dihampirinya prajurit yang 
terkapar di lantai. Kemudian dengan geram dicing-
keramnya pundak sang Prajurit. 
"Siapa yang menyuruhmu?" dengus Baginda Aji 
Wardana marah. 
"Aaa.... Ampun, Baginda..., saya..., saya.... Aaakh!" 
Belum sempat prajurit itu menjawab tiba-tiba 
sebilah senjata rahasia berbentuk bintang meng-
hujam tenggorokannya. Tak seorang pun tahu dari 
mana datangnya senjata rahasia itu. 

 
"Aha, kau ada di sini rupanya!" seru Pendekar Gila 
seraya melesat mengejar ke tempat datangnya 
senjata rahasia itu. Hal itu membuat para sesepuh 
yang ada di tempat itu terkejut. Namun, mereka tak 
dapat berbuat apa-apa, melihat Pendekar Gila 
melesat keluar.  
Mulanya senapati hendak mengejar Pendekar Gila 
yang lari dari tempat sidang. Namun Baginda Aji 
Wardana segera mencegahnya. 
"Senapati, tunggu! Biarkan dia mengejar orang 
yang telah membunuh prajurit ini!" 
"Daulat, Baginda," sahut Senapati Awong Purbo 
seraya mengurungkan niatnya. 
Tak berapa lama kemudian Pendekar Gila telah 
kembali masuk dengan cengengesan sambil meng-
garuk-garuk kepala. Di pundaknya terdapat seorang 
prajurit yang telah ditotoknya. 
"Wredamukta...!" sentak semua orang di ruang 
idang, setelah tahu siapa yang dipanggul Pendekar 
Gila. Mata mereka terbelalak, seperti tak percaya 
kalau pembunuh prajurit yang mengintai itu, pimpinan 
prajurit Istana Telaga Emas. 
Betapa marahnya Baginda Aji Wardana, menyaksi-
kan orang yang telah mengganggu acara sidang, 
ternyata pimpinan prajuritnya. 
"Aha, bagaimana mungkin kalian menyidangku? 
Kalau kalian kini telah tahu sendiri, sesungguhnya di 
istana ini telah menyusup para pemberontak...?" 
tanya Pendekar Gila sambil melemparkan tubuh 
Wredamukta ke depan tempat sidang. 
Semua orang di ruang sidang saling pandang. 
Mata mereka membuka lebar, merasa malu dengan 
apa yang telah terjadi. 
Baginda Aji Wardana semakin murka ketika 
mengetahui bahwa dalam istananya ada prajurit yang 
bersekongkol dengan pemberontak. Dada sang Raja 
bergerak turun naik. Hatinya diliputi amarah yang 
meluap-luap. 
"Hukuman gantung buat dia!" perintah Baginda Aji 
Wardana dengan penuh amarah. 
"Ampun.... Ampunilah hamba, Baginda," ratap 
Wredamukta. 
"Bawa dia pergi!" perintah Baginda Raja Wardana 
pada Senapati Awong Purbo. 
"Daulat, Baginda," jawab Senapati Awong Purbo. 
Kemudian setelah menyembah, Senapati Awong 
Purbo segera menyeret Wredamukta. 
"Ampunkanlah nyawa hamba, Baginda," ratap 
Wredamukta berusaha memohon ampunan dari 
Baginda Aji Wardana. Namun Senapati Awong Purbo 
telah menyeretnya, bagaikan tak menghiraukan 
ratapan Wredamukta. 
Baginda Aji Wardana menghela napas panjang, 
lalu kembali duduk. Matanya kini menatap sosok 
pemuda yang bertingkah laku seperti orang gila, 
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk 
kepala. 
"Bocah edan! Bisakah kau membuktikan kalau di 
Istana ini telah dimasuki kaum pemberontak?!" 
bentak Baginda Aji Wardana. 
"Aha, kurasa Baginda yang bijaksana nanti akan 
mengetahui sendiri. Untuk apa prajurit itu mengintai 
jalannya sidang, kemudian untuk apa pula pimpinan 
prajurit ini membunuh anak buahnya?" kilah 
Pendekar Gila mengajukan pendapat. 
Semua kepala mengangguk-angguk, tampaknya 
memahami apa yang dikemukan Pendekar Giia. 
Namun mereka tak mau percaya begitu saja. 
Bagaimana pun, Pendekar Gila orang asing dan baru 
di tempat ini. Wajar kalau mereka mencurigai setiap 
orang baru. 
"Baiklah, Kisanak! Kali ini kau kubebaskan. Tapi 
dengan satu sarat," ujar Baginda Aji Wardana. 
"Aha, apakah saratnya, Baginda?" tanya Sena ingin 
tahu. 
"Jangan sesekali kau berkeliaran di sekitar wilayah 
kerajaan ini," jawab Baginda Aji Wardana tegas. 
"Aha, bagaimana kalau kebetulan aku lewat di 
wilayah ini, Baginda...?" tanya Sena yang merasa 
keputusan Baginda Aji Wardana kurang adil. 
"Kau akan kami tangkap," sahut Baginda Aji 
Wardana tegas. 
"Hm, baiklah. Tapi perlu kuingatkan pada kalian. 
Sesungguhnya banyak pemberontak yang menyusup 
di kerajaan ini. Hati-hatilah!" ujar Sena memperingat-
kan Baginda Aji Wardana. 
"Tutup mulutmu! Pergi cepat dari sini, jangan 
sampai pikiranku jadi berubah!" bentak Baginda Aji 
Wardana sengit. Bagaimanapun dia merasa malu 
karena pemuda itu seakan-akan memberi petuah 
padanya. Padahal sebenarnya Pendekar Gila ber-
maksud baik. Dia tak ingin raja yang sudah tua 
usianya itu menghadapi perebutan kekuasaan 
dengan pertumpahan darah. 
"Baiklah, hamba mohon pamit," kata Sena sambil 
berkelebat meninggalkan ruang sidang. Namun 
hatinya tetap merasa tak bisa meninggalkan wilayah 
Istana Telaga Emas begitu saja. Dia merasa Baginda 
Aji Wardana kini dalam ancaman pemberontak yang 
siap menggulingkan kekuasaannya. 
"Hm, siapakah pimpinan pemberontak itu? 
Rama...? Ah..., sayang lelaki bermuka codet itu hanya 
menyebut nama Rama. Rama siapa...?" tanya Sena 
sambil terus melangkah meninggalkan Istana Telaga 
Emas. Pikirannya masih diliputi ketidakmengertian 
akan semua yang terjadi di istana itu. Kelihatannya 
ada penjahat yang berusaha menggulingkan tahta 
Baginda Aji Wardana. 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak, seperti 
kegirangan. Kakinya terus melangkah, semakin jauh 
dari istana. Namun, hatinya tetap berjanji akan terus 
berusaha mengawasi Istana Telaga Emas. Dia merasa 
yakin, kalau ada orang-orang yang bertujuan hendak 
menggulingkan tahta Baginda Aji Wardana. 
"Ah, bagaimana aku harus menyelidiki semuanya?" 
pikir Sena kebingungan. "Aku tak ingin bentrok 
dengan pihak kerajaan. Tapi, aku juga tak boleh 
tinggal diam. Bagaimanapun kerajaan itu harus bisa 
diselamatkan dari ancaman penggulingan ke-
kuasaan." 
Dengan masih berpikir-pikir, bagaimana cara 
terbaik agar bisa menyelamatkan keluarga Baginda 
Aji Wardana, Pendekar Gila terus melangkah. 
Benaknya masih ingat kata-kata Kalong Maut yang 
mengatakan hendak membunuh keturunan dan 
keluarga Baginda Aji Wardana. 
"Aha, aku ada akal...! Baiklah, aku akan 
menyelidiki dari kejauhan secara sembunyi-
sembunyi," gumam Sena sambil terus melangkah 
meninggalkan Istana Telaga Emas yang semakin jauh. 
*** 
Malam datang dengan perlahan, menggantikan 
siang. Kegelapan menyelimuti bumi persada. 
Semenjak terjadinya usaha pembunuhan Kalong 
Maut dan peristiwa di ruang sidang yang berhasil 
digagalkan Pendekar Gila, penjagaan Istana Telaga 
Emas semakin diperketat 
Malam telah semakin larut, nampak sesosok 
bayangan bergerak berjalan mengendap-endap 
menuju sebuah bangunan di samping kiri istana. 
Bangunan itu tempat anak-anak Baginda Aji Wardana 
tidur. Sepertinya ada sesuatu yagn hendak dilakukan 
sosok bayangan itu. Sehingga jalannya dia harus 
mengendap-endap untuk mendekati bangunan besar 
di samping kiri istana. 
Lingkungan istana kerajaan memang dibagi 
menjadi lima bagian. Bagian pertama istana, diapit 
dua bangunan. Sebelah kiri bangunan tempat tidur 
bagi anak-anak sang Raja, serta para emban. Sebelah 
kanan, untuk tidur sang Raja dan permaisuri serta 
selirnya. 
Di belakang istana, ada dua bangunan yang 
disediakan bagi para sesepuh dan pembesar istana. 
Malam itu, Baginda Aji Wardana tengah berada di 
kamar permaisuri yang bernama Dewi Ayu Tunjung 
Sari. Sehingga dengan leluasa, Nyi Mas Lindri keluar 
meninggalkan kamarnya. 
"Hm, rupanya semua telah tidur. Para prajurit itu 
kurasa tak menjadi masalah. Mereka merupakan 
orang-orang yang telah memihak padaku," gumam 
orang itu. Dilihat dari nada suara dan bentuk 
tubuhnya jelas sosok itu seorang wanita muda. 
Pakaian yang dikenakannya merah jambu. 
Wanita itu terus mengendap-endap, mendekat ke 
bangunan tempat anak-anak Baginda Aji Wardana 
malam itu telah terlelap dalam tidurnya. 
"Hm, dengan matinya Sulara, baginda akan 
menjadi lemah jiwanya. Bukankah dengan begitu, aku 
akan bisa mempengaruhinya?" gumam wanita ber-
pakaian serba merah jambu sambil terus mengendap-
endap semakin mendekat ke bangunan itu. 
Sesaat matanya mengawasi ke sekeliling tempat 
itu. Kemudian, setelah merasa tak seorang pun yang 
melihatnya, wanita berwajah terselubung kain merah 
jambu itu perlahan-lahan membuka jendela salah 
satu kamar pada bangunan besar itu. 
Kreeettt...! 
Meski jendela itu dibuka dengan pelan sekali, 
suara terbukanya daun jendela masih terdengar. Hal 
itu membuat wanita itu sesaat menghentikan 
gerakannya. Matanya mengawasi sekeliling tempat 
itu. Kemudian dengan perlahan-lahan, kembali 
dibukanya jendela kamar tempat Sulara. 
"Hm, aman...," gumam wanita itu. Kemudian degan 
ringannya tubuh wanita itu melompat masuk lalu 
dengan hati-hati ditutupnya kembali jendela kamar 
itu. 
Pemuda berwajah tampan dengan rambut terurai 
yang masih teradur pulas itu, nampaknya tidak 
terjaga oleh kedatangan seseorang yang tak 
diundang ke dalam kamarnya. 
Wanita berpakaian merah jambu menyunggingkan 
senyum di bibir. Tangan kanannya mengambil 
sesuatu dari balik pakaiannya. Dan kini tergenggam 
di tangannya sebilah pisau tajam dan runcing, berkilat 
putih. 
"Mampuslah kau, Sulara!" dengus wanita 
berpakaian merah jambu itu sambil melangkah, 
mendekati tubuh Sulara, yang tersentak kaget dan 
bangun. 
"Siapa kau...?!" 
Wrrrt! 
Wanita itu menghujamkan pisau di tangannya ke 
dada Sulara.  
Jrebbb!  
"Aaakh...!" 
Malam yang semula sepi, seketika dipecahkan 
suara jeritan kematian dari mulut Sulara. Bersamaan 
dengan itu, sosok bayangan merah jambu berkelebat 
meninggalkan kamar Sulara. Begitu cepat bayangan 
itu melesat, sehingga dalam sekejap saja bayangan 
itu telah menghilang di kegelapan malam. 
Para prajurit yang mendengar teriakan, serentak 
berhamburan menuju kamar tempat Sulara. Mereka 
berteriak-teriak. 
"Pembunuhan...! Pembunuhaaan...!" 
Dalam sekejap saja, seluruh penghuni istana 
berhamburan keluar. Mereka semua terkejut bukan 
kepalang. Baginda Raja Wardana tergesa-gesa berlari 
ke kamar putranya. Seketika mata sang Raja ter-
belalak lebar, ketika melihat apa yang terjadi. 
"Sulara...!" pekik Baginda Aji Wardana, setelah 
melihat tubuh putranya telah terkapar berlumur 
darah. Dadanya terhujam belati yang mengandung 
racun. Sedangkan permaisuri Dewi Ayu Bitari, 
seketika pingsan. Wanita itu tampaknya tak kuat 
menahan kesedihan atas kematian putra sulung, 
yang diharapkan bakal menggantikan suaminya 
sebagai raja. 
Baginda Aji Wardana benar-benar murka atas 
kematian anaknya. Matanya menatap tajam ke 
seluruh prajurit yang jaga malam itu. Napasnya 
tersengal-sengal, diliputi amarah yang meluap-luap. 
"Prajurit-prajurit bodoh! Tak ada gunanya kalian 
berjaga!" bentak Baginda Aji Wardana murka. 
Dicabutnya keris pusaka yang ada di pinggang. 
Sret! 
"Kalian harus mati, sebagai pengganti anakku!" 
Bagaikan banteng terluka sang Raja hendak 
mengamuk dan bermaksud menyerang sepuluh 
prajurit jaga malam itu. Beruntung Ki Gede Mundu 
segera datang menyabarkanya. 
"Sabar, Anak Agung. Tak baik kau menuruti nafsu 
amarah. Mereka memang salah. Tapi sebagai 
seorang raja, kau tak boleh berlaku menuruti nafsu 
angkara murkamu. Mereka hanya lalai dalam 
menjalankan tugas," tutur Ki Gede Mundu terus 
berusaha menyabarkan Baginda Aji Wardana. 
"Tapi putra mahkota telah mati, Ki Gede. Dan 
semua ini karena kelalaiannya mereka," kilah 
Baginda Aji Wardana masih kelihatan marah. Keris 
pusaka yang mengeluarkan sinar kuning bernama 
Kyai Peget, masih tergenggam di tangannya. 
"Aku tahu, Anak Agung. Kami pun turut berduka 
cita atas kematian putra mahkota. Kini, cari 
pembunuh itu...!" kata Ki Gede Mundu setengah 
memerintah para prajurit untuk mencari pelaku 
pembunuhan terhadap putra mahkota. 
Prajurit yang dari tadi diam, serentak beranjak 
untuk mencari pelaku pembunuh Sulara. Seluruh 
lingkungan istana mereka lacak, tapi mereka tak 
menemukan tanda-tanda kalau pembunuh masih 
berada di dalam lingkungan istana. 
"Lingkungan istana telah kami lacak, tetapi kami 
tak menemukan tanda-tanda kalau pembunuh masih 
berada di lingkungan istana," lapor senapati kerajaan 
yang memimpin langsung pelacakan terhadap pelaku 
pembunuhan. 
"Bodoh! Cari di luar...!" bentak sang Raja gusar. 
Matanya terbelalak marah, menerima laporan 
senapatinya. Sedangkan permaisuri masih pingsan. 
Memang masih ada tiga anak lagi. Tetapi permaisuri 
merasa sedih, karena anak sulungnya harus mati. 
"Daulat, Baginda," Senapati Awong Purba 
menyembah, kemudian bersama puluhan prajurit 
segera melanjutkan tugas pelacakan di luar istana. 
Mereka kembali menelusuri tepian Telaga Mas, 
tempat mereka menemukan Pendekar Gila siang tadi. 
Hingga menjelang pagi mereka terus menyelidiki 
Telaga Mas dalam usahanya mencari orang yang 
patut dicurigai sebagai pelaku pembunuhan. Namun, 
mereka tak dapat menemukan jejak pembunuh. 
Meski begitu mereka tak mau putus asa. Mereka 
terus menelusuri tepian Telaga Mas, dengan mata 
mengawasi telaga. 
Kalau-kalau pelaku yang kabur tercebur di air 
telaga dan akan muncul. 
*** 
Tanpa mereka ketahui, Pendekar Gila mem-
perhatikan gerak-gerik para prajurit dari kejauhan. 
Sena yang sudah menaruh curiga kalau akan terjadi 
sesuatu di Istana Telaga Mas, sengaja tak mau 
meninggalkan wilayah sekitar telaga itu. Dengan 
sembunyi-sembunyi, Sena berusaha mengawasi apa 
yang bakal terjadi di stana itu. 
"Hm, rupanya telah terjadi sesuatu di istana. 
Mungkinkah apa yang dikatakan Kalong Maut 
benar?" jumam Sena lirih. "Tampaknya pembunuhan 
terhadap keluarga Baginda Aji Wardana telah terjadi." 
*** 
"Cari pembunuh itu...!" teriak Senapati Awong 
Purbo pada para prajuritnya. "Kita harus segera 
nenangkap pembunuh itu!" 
"Tapi, Kanjeng Senapati, nampaknya tak ada 
tanda-tanda kalau pelaku itu mencebur ke telaga ini," 
salah seorang prajurit menjawab. 
"Aha, rupanya benar apa yang kuduga. Di istana 
telah terjadi sesuatu," gumam Sena sambil meng-
garuk-garuk kepala. "Kurasa di dalam istana telah 
dimasuki para pemberontak." 
Pendekar Gila terus memperhatikan gerak-gerik 
para prajurit yang dipimpin Senapati Awong Purbo. 
Mereka masih mencari pelaku pembunuhan di 
sekeliling Telaga Mas. Sesekali wajahnya tampak 
termenung, seperti sedang berusaha memikirkan 
siapa sebenarnya yang dimaksud Kalong Maut. 
"Rama.... Ah, Rama siapakah? Lelaki bercodet itu 
seakan hendak mengatakan nama seseorang. 
Sayang, dia telah terbunuh," gumam Sena sambil 
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk 
kepala. "Aku harus menolong keluarga istana dari 
ancaman maut. Hm. Jelas sekali, kalau pelaku 
pembunuhan berada dalam istana. Sudah dari tadi 
aku di sini mengawasi Istana Telaga Mas, tapi belum 
kulihat ada orang yang mencurigakan." 
Sementara dari kejauhan, masih terlihat Senapati 
Awong Purbo dan para prajuritnya terus berusaha 
mencari orang yang dicurigai di sekitar Telaga Mas. 
Tapi sampai pagi mereka tak juga menemukan tanda-
tanda kalau orang yang dicari akan muncul. 
"Tak ada, Kanjeng Senapati...!" seru salah seorang 
prajurit. 
"Ya! Nampaknya pembunuh itu tak keluar," gumam 
Senapati Awong Purbo sambil mengangguk-angguk 
kepala. "Jelas pelakunya berada di dalam istana." 
Pendekar Gila mengangguk-anggukkan kepala, 
mendengar ucapan Senapati Awong Purbo. Mulutnya 
tersenyum-senyum, dengan tangan menggaruk-garuk 
kepalanya. 
"Aha, apa yang kau katakan benar, Senapati. Ah, 
sayang sekarang kalian tak mengizinkan aku ke 
istana. Kalau saja aku diperbolehkan ke istana, ingin 
rasanya aku menangkap pengkhianat itu," geram 
Sena. Kemudian dengan cepat tubuhnya melesat 
meninggalkan tempat itu, ketika Senapati Awong 
Purbo dan para prajuritnya juga meninggalkan tepian 
Telaga Mas. 
Di ufuk timur, mentari merangkak naik perlahan. 
Diikuti kicau burung, berdendang riang. 
*** 
Pendekar Gila yang berusaha mencari tahu dalang 
dari pelaku pembunuhan di Istana Telaga Mas, 
tampaknya menemui kesulitan. Karena sumber yang 
dapat dimintai keterangan tak ada. Orang yang 
semula dapat dijadikan sumber telah tewas sebelum 
menjelaskan siapa sebenarnya tokoh yang berdiri di 
balik peristiwa pembunuhan di Istana Telaga Mas. 
Pagi itu, Pendekar Gila telah sampai di Desa 
Kembang Puan, yang terletak di sebelah selatan 
Istana Telaga Mas. Saat itu, di sebuah kedai yang 
terletak di persimpangan jalan di Desa Kembang 
Puan, ramai pengunjung berdatangan. Nampaknya 
kedai itu sangat disukai orang-orang yang kebetulan 
lewat. Di antara mereka juga ada yang sengaja 
datang ke kedai itu. 
Tampaknya ada sesuatu yang menarik di kedai itu, 
hingga mampu mengundang kehadiran banyak orang, 
terutama kaum lelaki. Baik dari kalangan persilatan, 
maupun orang-orang biasa. 
Ketika Pendekar Gila masuk, keningnya berkerut 
menyaksikan banyaknya orang yang mengunjungi 
kedai itu. Sehingga ruangan kedai penuh sesak. 
Kehadiran Sena yang tingkah lakunya seperti 
orang gila, membuat orang-orang menoleh padanya. 
Ada yang mengerutkan kening, ada yang tersenyum-
senyum. Bahkan ada yang menggerutu seakan tak 
suka melihat kehadiran Pendekar Gila di kedai ini. 
"Bocah edan, mau apa dia masuk kedai ini?!" dengus 
lelaki berhidung mancung dan bermata sipit dengan 
alis melengkung ke atas. 
Tampaknya lelaki dari Jepang yang bernama 
Takakira itu tak suka atas kehadiran Pendekar Gila di 
kedai itu. Mata lelaki berusia tiga puluh lima tahun 
itu, menatap tajam wajah Pendekar Gila. 
"Hi hi hi.... ha ha ha! Banyak sekali orang di sini! 
Sepertinya ada pesta," gumam Sena cengengesan 
sambil tangannya menggaruk-garuk kepala. Tingkah 
lakunya yang seperti orang gila, membuat pengunjung 
kedai yang tak suka padanya bertambah kesal dan 
benci. 
"Bocah edan, mau apa kau kemari?!" sentak 
seorang wanita tua berusia sekitar enam puluh tahun 
berpakaian abu-abu. Tangannya memegang sebuah 
payung yang gagangnya terbuat dari kayu. Dilihat dari 
payung yang dipegangnya wanita tua itu tak lain Nyi 
Pinggi Weni atau si Payung Sakti dari Walaparu. 
"Aha, yang jelas aku pun ingin ikut berpesta 
dengan kalian semua," sahut Pendekar Gila sambil 
berusaha mencari tempat duduk di antara padatnya 
pengunjung kedai itu. Gerak-geriknya masih seperti 
orang gila. Orang-orang pun muak melihat tingkah 
lakunya. 
"Huh! Bocah edan sepertimu, tahu apa dengan 
urusan kita. Cepat pergi dari kedai ini!" bentak 
seorang lelaki tua dengan pakaian seperti resi 
berwarna ungu. Rambut digelung ke atas, tangan 
memegang sebuah senjata berbentuk tasbih ungu. 
Matanya yang tajam, menatap penuh selidik terhadap 
pendekar gila. 
"Hi hi hi.... Kenapa kau galak sekali, Ki? Bukankah 
aku kemari untuk ikut berpesta dengan kalian? Ha ha 
ha, kupikir di sini akan ada pesta besar. Rasanya, tak 
ada salahnya aku turut serta untuk menghabiskan 
sisa makanan yang tak habis kalian santap," ujar 
Sena sambil duduk di bangku yang masih kosong. 
"Bocah edan! Aku tak mengundangmu. Enyahlah 
dari sini!" bentak lelaki tua berusia enam puluh tahun 
itu bengis. Sepotong paha ayam dilemparkan ke arah 
pendekar gila. 
Swit! 
Paha ayam itu melesat cepat, seperti mengandung 
kekuatan tenaga dalam. Menderu keras dekat muka 
Pendekar Gila. 
"Eit!" 
Trep! 
Dengan sedikit merundukkan kepala serta tangan 
kanan bergerak cepat, Pendekar Gila menyambar 
paha ayam itu. Hal itu membuat lelaki tua berkumis 
putih serta semua orang di kedai itu terbelalak. 
"Hi hi hi...! Terima kasih, Ki! Kau baik sekali," 
dengan tak acuh Sena segera menyantap paha ayam 
itu hingga habis. Lelaki tua itu semakin geram, 
setelah tahu kalau pemuda yang bertingkah laku gila 
mampu menangkap lemparan yang disertai tenaga 
dalam. 
"Hm, bocah itu bukan orang sembarangan. Tapi 
aku ingin tahu, sampai seberapa kehebatan tenaga 
dalamnya," gumam lelaki tua itu dalam hati. 
Tangannya segera mengambil guci arak yang ada di 
hadapannya. 
"Minum ini! Hik...!"  
Wusss! 
Guci arak itu melesat berputar-putar dengan cepat 
ke arah Pendekar Gila yang masih menggerogoti sisa-
sisa daging paha ayam. Sementara tangan kanan 
memegang tulang paha ayam di mulutnya, sedangkan 
tangan kirinya diangkat... 
Trap! 
Dengan ringan dan mudah sekali Pendekar Gila 
menangkap guci yang melesat begitu cepat, karena 
dilemparkan dengan kekuatan tenaga dalam. 
"Ha ha ha! Kau ternyata baik sekali, Ki," Sena 
langsung menuang arak dari guci. Hal itu membuat 
mata semua orang yang ada di kedai semakin 
terbelalak. Semua orang yang tahu siapa lelaki tua 
yang melemparkan guci arak, hanya melongo 
bengong melihat Pendekar Gila dengan mudah 
menangkap lemparannya. 
Lelaki tua berpakaian ungu itu menelan ludah. 
Matanya terbelalak, menyaksikan barang yang 
dilemparkannya, dengan mudah ditangkap pemuda 
bertingkah laku gila itu. 
"Hm, benar apa yang kuduga. Ternyata pemuda itu 
bukan orang sembarangan," desis hati lelaki tua ang 
tiada lain Rama Mangunda. "Bahaya, kalau bocah itu 
tahu siapa aku dan hendak apa kami berkumpul di 
kedai ini." 
"Aha, terima kasih atas jamuanmu, Ki! Kukembali-
kan guci arakmu." 
Pendekar Gila segera mendorong guci arak dengan 
sentilan jari tangannya ke arah Ki Rama Mangunda. 
Wrrr! 
Guci arak itu berputar keras seperti gasing, 
melesat menuju Ki Rama Mangunda. Mata lelaki tua 
itu terbelalak. Ki Rama Mangunda tak menyangka, 
kalau telaga dalam pemuda itu sangat hebat. 
Buktinya, hanya dengan menyentilkan jari tangannya, 
dia mampu membuat guci arak yang berat itu melesat 
dan berputar cepat seperti gasing, menderu ke 
tubuhnya. 
Wrrr! 
Guci arak masih berputar dengan cepat, menderu 
dekat Ki Rama Mangunda. Lelaki tua itu tersentak 
kaget, merasakan hawa panas yang menderu. Dia tak 
berani menangkap guci itu. Segera dimiringkan 
tubuhnya ke samping agak merendah, mengelakkan 
terjangan guci arak itu. 
"Celaka! Bocah ini bukan orang gila biasa!" pekik 
Ki Rama Mangunda sambil mengelakkan sambaran 
guci arah yang terus menderu ke arahnya. 
Wrrr! 
Guci arak itu melesat beberapa jari di atas 
kepalanya, terus menderu dengan putaran cepat 
seperti gasing. Akhirnya guci itu pun menghantam 
kayu penyangga kedai. 
Brakkk! 
Duarrr...! 
Ledakan menggeiegar terdengar bersamaan 
dengan getaran dahsyat yang terasa meng-
guncangkan kedai. Guci pecah berantakan, araknya 
muncrat dan langsung menyiram orang-orang yang 
berada dekat tiang penyangga kedai. 
Crattt! 
"Aduh...!" 
Mereka yang terkena percikan arak itu terpekik 
kesakitan. Pakaian yang terkena arak, seketika 
mengeluarkan asap bagai terbakar. Hal itu membuat 
Ki Rama Mangunda terbelalak heran. Begitu juga 
dengan lelaki berhidung seperti betet dan si Payung 
Sakti. 
"Bocah edan! Berani lancang kau bertingkah di 
sini!" bentak si Hidung Betet geram. Lelaki bersenjata 
sepasang pedang itu langsung bangkit dari tempat 
duduknya, melangkah mendekati Pendekar Gila yang 
masih cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala. 
Pemuda berompi dari kulit ular itu masih tenang-
tenang saja, padahal si Hidung Betet telah 
menunjukkan kemerahannya. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Ki? Mukamu pucat 
seperti tikus. Ha ha ha...!" dengan suara lepas, 
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak mengejek 
Rama Mangunda yang kian bertambah marah 
mendengar ejekan Sena. 
"Bocah edan! Siapa kau?!" bentak Rama 
Mangunda marah. Wajahnya yang pucat, kini merah 
bagai terbakar api amarahnya yang meluap-luap. Dia 
merasa telah dipermainkan Pendekar Gila di depan 
para pengikutnya. 
"Kurang ajar! Kupecahkan batok kepalamu!" 
bentak si Hidung Betet. Tangannya dengan kekuatan 
tenaga dalam penuh, menyambar cepat kepada 
Sena. 
Wuttt 
Dengan masih cengengesan sambil menggaruk-
garuk kepala, Sena bagaikan tak melihat serangan 
lawan, begitu cepat merundukkan tubuh. Hal itu 
mengakibatkan serangan si Hidung Betet meleset di 
atas kepala. 
"Wua kau galak sekali, Betet Jelek!" 
Setelah berkata begitu, Pendekar Gila men-
dorongkan kedua telapak tangannya ke dada lelaki 
berhidung seperti paruh betet yang rambutnya diikat 
ekor kuda. 
Bukkk! 
"Ukh!" 
Si Hidung Betet yang tak menyangka kalau bocah 
gila itu menyerangnya, tak mampu mengelak. Tak 
ampun lagi, tubuhnya terdorong kuat ke belakang, 
dan baru berhenti, setelah menghantam salah satu 
meja di kedai itu. 
Brakkk...! 
"Hua ha ha...!" Sena tertawa terbahak-bahak 
sambil berjingkrakkan seperto monyet "Lucu..., hi hi 
hi...! Lucu sekali kau, Betet! Kenapa kau seperti 
mabuk?! Hua ha ha...!" 
"Ukh..., Setan! Kubunuh kau, Bocah Gila!" maki si 
Hidung Betet sengit, merasa telah dipermainkan. 
Dengan cepat tubuhnya bangun. Tangannya menarik 
dua pedang yang berada di punggung. 
Srekkk! 
Sena semakin tertawa terbahak-bahak, melihat si 
Hidung Betet telah mengeluarkan kedua pedang 
kembarnya. Tangannya masih menggaruk-garuk 
kepala. Tubuhnya berjingkrakan tak ubahnya seperti 
monyet. 
"Hi hi hi...! Kau benar-benar seperti burung betet 
marah," gumam Sena yang membuat si Hidung Betet 
bertambah marah. 
"Kurencah tubuhmu, Bocah Edan!" 
Si Hidung Betet segera bergerak menyerang 
dengan kedua senjatanya, memburu Sena yang tetap 
tenang sambil cengengesan. 
"Putus lehermu! Hih...!" 
Lelaki berpakaian seperti pesilat Jepang yang 
bernama Takakira membabatkan pedangnya ke 
tubuh lawan. Namun dengan cepat Pendekar Gila 
merunduk, hingga pedang Takakira melesat di atas 
tubuhnya. Kemudian dengan cepat pula, me-
lancarkan dengan pukulan telapak tangan kirinya ke 
dada lawan.  
"Hih!" 
"Uts!" lelaki Jepang itu tersentak melihat serangan 
yang datang secara tiba-tiba. Dengan cepat dia 
membabatkan pedang di tangan kirinya ke bawah, 
berusaha melindungi dadanya dari serangan lawan. 
*** 
Pendekar Gila dengan jurus 'Gila Menari Menepuk 
Lalat' bergerak meliuk-liuk menyerang dan terus 
mendesak Takakira. Lelaki berhidung betet itu 
tersenak kaget melihat gerakan ilmu silat yang 
dilancarkan Sena. Gerakan meliuk-liuk tubuh 
Pendekar Gila, seperti orang menari. Kemudian 
gerakan menepuknya, seperti main-main. 
Bukan hanya si Hidung Betet yang mengerutkan 
kening dengan mata terbelalak, melainkan semua 
orang yang ada di situ termasuk Rama Mangunda 
dan si Payung Sakti. Mereka dibuat kaget melihat 
gerakan ilmu silat Pendekar Gila. Gerakannya aneh, 
sekilas seperti main-main dan sangat lemah. Namun, 
dengan gerakan seperti itu, mampu membuat 
Takakira harus kerepotan menghadapi gempuran 
yang dilancarkan Sena. 
"Celaka! Bocah itu bukan bocah gila 
sembarangan." desis Rama Mangunda dalam hati, 
merasa tegang menyaksikan bagaimana Takakira 
yang menjadi salah satu andalannya terdesak terus 
menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan 
Pendekar Gila. Bahkan kalau Pendekar Gila mau, 
sudah sejak tadi Takakira dapat dikalahkan. 
Rama Mangunda tak ingin berlarut-larut. Melihat 
pertarungan Takakira dengan bocah gila itu segera 
melesat mendekati keduanya. 
"Hentikan!" bentaknya keras. 
Takakira dan Pendekar Gila segera melompat ke 
belakang, menghentikan pertarungan itu. 
"Aha, mengapa kau menyuruh berhenti, Ki? 
Bukankah di sini memang akan ada pesta? Apakah 
tak sebaiknya pesta itu didahului oleh arak? Hi hi hi...! 
Seperti pesta yang lainnya?" ujar Sena sambil 
cekikikan dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
Rama Mangunda benar-benar marah dan ter-
singgung dengan sikap Pendekar Gila. Namun 
ketajaman pikiran dan perasaannya dapat membaca 
siapa sesungguhnya pemuda yang bertingkah laku 
seperti orang gila itu. Menghadapi pemuda ber-
pakaian rompi dari kulit ular itu berarti mencari 
penyakit Rama Mangunda bermaksud melerai 
bahkan ingin membujuknya agar dapat diajak bekerja 
sama. 
"Kisanak, di sini tak ada pesta. Kalau kau mau 
makan, mintalah! Biar nanti aku yang membayarnya," 
ujar Rama Mangunda berusaha membujuk Sena. 
"Aha, ternyata kau tak seburuk temanmu, Orang 
Tua. Ha ha ha perutku memang lapar sekali. Paha 
ayam yang kau berikan, rasanya kurang mengganjal 
perutku. Begitu juga dengan arak yang kau beri, 
belum cukup menghilangkan rasa hausku," jawab 
Sena dengan cengengesan. 
Rama Mangunda tersenyum-senyum, lalu 
mengedipkan mata pada Takakira dan si Payung 
Sakti. Tangannya menepuk-nepuk pundak Pendekar 
Gila. 
"Kisanak, kau boleh minta sesuka hatimu. Setelah 
itu, kau boleh pergi dari sini! Pak Tua, beri dia 
makanan yang enak-enak!" perintah Rama Mangunda 
sambil mengedipkan mata, memberi isyarat pada 
pemilik kedai agar makanan yang akan disajikan 
pada Pendekar Gila dibubuhi racun. 
Pemilik kedai ternyata tersenyum dan meng-
anggukkan kepala. Hal itu tertangkap Pendekar Gila 
yang hanya cengengesan sambil terus menggaruk-
garuk kepala. Sepertinya Sena tak tahu, niat buruk 
Rama Mangunda itu. 
"Kisanak, duduklah di kursiku. Sebentar lagi kau 
akan menikmati makanan enak," ujar Rama 
Mangunda sambil mengiringi Sena yang masih 
bertingkah laku seperti orang gila menuju ke 
bangkunya. 
"Hi hi hi...! Lucu sekali jenggotmu, Ki! Seperti 
jenggot kambing...," celoteh Sena sambil menunjuk 
jenggot Rama Mangunda, "Aha, ada kutunya, Ki!" 
Pret! 
"Aaakh...!" 
Tangan Sena mencabut jenggot Rama Mangunda 
dengan keras, membuat lelaki tua itu terpekik 
kesakitan dengan mata terbelalak marah. Hampir 
saja Takakira dan si Payung Sakti melabrak pemuda 
bertingkah laku konyol dan seperti orang gila itu, 
kalau saja Rama Mangunda tak segera melarangnya. 
Lelaki tua itu mengedipkan mata, memberi isyarat 
agar tak usah melawan bocah gila itu, karena 
menurutnya Sena tentu akan mati oleh racun yang 
ditaburkan di makanan. 
"Hi hi hi...! Sakit, Ki...? Ah, maaf! Aku hanya ingin 
mengambil kutunya," kata Sena dengan seenaknya, 
bagaikan tak bersalah. 
Rama Mangunda tersenyum terpaksa sambil 
menganggukkan kepalanya, meski dalam hatinya 
memaki sengit dan merutuki perbuatan Pendekar Gila 
yang dianggapnya terlalu kurang ajar. 
"Bocah edan! Sebentar lagi kau akan mampus, 
masih bisa bertingkah!" geram Rama Mangunda 
dalam hati. 
"Ah, rupanya makanan sudah siap, Kisanak. 
Kuharap kau dapat menyantapnya dengan sepuas 
hatimu!" ujar Rama Mangunda berusaha menunjuk-
kan keramahan, agar pemuda itu tak curiga, kalau 
makanan yang dihidangkan padanya mengandung 
racun ganas. Racun yang bagi manusia biasa tak 
mungkin mampu bertahan hidup seketika. 
"Aha, kelihatannya sangat enak, Ki! Apakah kau 
tak ikut bersantap denganku? Ayolah!" ajak Sena, 
yang membuat mata Rama Mangunda terbelalak, 
dengan wajah pucat pasi. Bagaimanapun dirinya tahu 
racun apa yang ditaburkan pada makanan itu. 
Rama Mangunda kelabakan, bingung mendengar 
ajakan Sena. Ditelan ludahnya beberapa kali, ber-
usaha membasahi kerengkongannya yang kering. 
"Aha ayolah, Ki!" ajak Sena sambil menarik tangan 
Rama Mangunda untuk makan bersama. "Kurasa 
antara kita telah terjalin rasa kesetiakawanan. Kau 
telah memberiku makanan yang enak-enak. Bukan-
kah sebaiknya kita makan bersama?" 
"Ah, tidak..., terima kasih! Kami sudah makan tadi. 
Bagaimana kami bisa makan lagi? Nanti aku tak kuat 
jalan," jawab Rama Mangunda berusaha menolak. 
"Benar, Sobat. Kami tadi habis makan," sambung 
Takakira berusaha meyakinkan Pendekar Gila. 
"Aha, jadi kalian tak makan?" tanya Sena sambil 
cengengesan. "Baiklah, kumakan sendiri." 
Dengan lahap Sena menyantap makanan itu. Dia 
yang kebal segala macam racun dan tahu kalau 
makanan itu beracun, pura-pura merasakan pening. 
Kemudian tergeletak tidur. Hal itu dilakukan karena 
ingin tahu, apa yang sebenarnya hendak direncana-

kan mereka selanjutnya. 
"Mampuslah kau, Bocah!" dengus Rama 
Mangunda sambil tersenyum kecut, "Buang Dia...!" 
perintahnya pada anak buahnya. 
Empat lelaki berbadan kekar dengan kepala botak 
melangkah menghampiri tubuh Pendekar Gila 
kemudian bagaikan menenteng bangkai, keempatnya 
membawa tubuh Pendekar Gila yang dianggap 
mereka orang gila. 
*** 
Keempat lelaki berkepala botak dan berbadan kekar 
itu terus membawa tubuh Pendekar Gila menuju 
perbatasan Desa Kembang Puan. Di sana ada sebuah 
sungai yang cukup besar dan deras airnya. 
"Kita buang saja ke sungai ini," usul salah seorang 
dari mereka. 
"Aha, enak sekali kalian ngomong," tiba-tiba Sena 
bangun. 
Keempat lelaki yang memegangi tangan dan kaki 
Pendekar Gila tercekat kaget bukan kepalang. 
Mereka mengira pemuda yang dibawanya benar-
benar telah mati oleh racun. Apalagi ketika tiba-tiba 
tubuh Pendekar Gita melenting ke atas dan berputar 
cepat sekali. 
Krakkk! 
Kretek! 
Suara gemeretak seperti tulang patah terdengar 
bersama berputarnya tubuh Pendekar Gila.  
"Aduh!"  
"Aaakh...!" 
Keempat lelaki berbadan tegap dengan kepala 
botak itu terpekik keras, ketika tulang tangannya 
bagaikan patah akibat hentakan tubuh Pendekar Gila. 
Tangan mereka yang memegang tangan dan kaki 
Sena, seketika lepas. Bahkan kini keempat lelaki 
berkepala botak itu meringis-ringis kesakitan. 
"Hua ha ha...! Kalian kena tipu! Hi hi hi...!" Sena 
tertawa-tawa sambil berjingkrakkan seperti seekor 
monyet. Tangannya menggaruk-garuk kepala. Hal itu 
membuat geram keempat lelaki berkepala botak. 
"Kurang ajar! Kupecahkan kepalamu, Bocah edan!" 
dengus lelaki berkepala botak dengan hidung besar 
sambil meluruk ke tubuh Pendekar Gila dengan 
kepalan tangannya yang besar.  
Wuttt! 
"Eit! Ada kebo ngamuk! Ha ha ha...!" 
Sambil tertawa-tawa dan menggaruk-garuk kepala, 
Sena menarik kaki kanannya ke samping. Kemudian 
menekuknya ke bawah. Dan ketika lelaki berkepala 
botak itu menyerang, dengan cepat Sena me-
miringkan tubuhnya ke samping sambil mengangkat 
kaki kirinya ke atas. 
Deggg! 
Serangan lawan luput, malah lutut Pendekar Gila 
menghantam keras ke dada lawan. Tak ampun lagi, 
tubuh besar itu terjungkal ke tanah dan langsung 
terpelanting ke sungai yang deras airnya. 
Byurrr! 
"Happp! Tolooong...!" lelaki berhidung besar itu 
berteriak. Tangannya berusaha menggapai-gapai, 
mencari pegangan. Namun, arus sungai yang deras, 
terus menyeret tubuhnya yang besar. 
Ketiga temannya yang menyaksikan kejadian itu, 
seketika marah. Mata mereka menatap penuh 
kebengisan pada Pendekar Gila yang masih 
cengengesan dan menggaruk-garuk kepalanya, bagai-
kan tak menghiraukan kemarahan ketiga lawannya.  
"Bocah edan. Kubunuh kauuu...!" lelaki beralis 
lebat dan mata lebar membentak. Kemudian 
ketiganya serentak menyerang Pendekar Gila dengan 
pukulan dan sambaran tangan mereka yang besar 
dan kekar. 
Wrrrt!