Pendekar Gila 23 - Kemelut Di Karang Galuh(2)




Ki Praba menepuk bahu Sena, lalu merangkulnya. 
“Aku bagaikan mimpi bertemu dengan murid Singo 
Edan yang memiliki kepandaian yang sangat tinggi. 
Dan kuharap kau mau tinggal di desa ini sesuka hati, 
Nak Sena...! Bagaimana, Jaya, Purnama!” 
“Kami berdua bukan hanya setuju, Ki. Bahkan 
dengan sangat hormat mengharapkan Pendekar mau 
mengabulkan permohonan kami,” jawab Sanjaya 
dengan wajah berseri-seri penuh harap. 
“Bukankah kita telah saling akrab? Walaupun 
semula kami berdua merasa curiga terhadap 
Pendekar...,” sahut Purnama menyambung kata-kata 
kakaknya. 
 “Benar,” Kembali Sanjaya membenarkan, “Maaf-
kan atas kecurigaan kami itu...!” 
Pendekar Gila hanya tertawa sambil menggaruk-
garuk kepala. Matanya menatap wajah Purnama dan 
Sanjaya dengan mulut cengengesan. 
“Sudah pernah kukatakan kepada Purnama 
bahwa aku tak ingin melihat orang lemah tertindas, 
diperas, dan disakiti. Aku sangat senang dapat 
berkawan, bahkan menjalin persaudaraan dengan 
kalian berdua. Juga semua penduduk di desa ini. Tapi 
aku tak bisa tinggal lebih lama di sini...,” ujar Sena. 
Mendengar ucapan akhir Sena wajah mereka 
nampak berubah, penuh kekecewaan. Harapan 
mereka agar pendekar itu bisa memberikan 
ketenangan bagi warga Desa Karang Galuh. 
Melihat itu, Sena memahami dan harinya 
tergugah. 
“Tapi..., demi Ki Praba dan kalian, serta semua 
penduduk Desa Karang Galuh..., aku setuju. Tapi 
mungkin hanya satu atau dua hari saja...,” ujar Sena 
seraya cengengesan. 
Walaupun merasa kurang puas dengan jawaban 
Sena. Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama nampak 
 
 
sedikit gembira. Setidak-tidaknya mereka dapat 
terhibur. Dan dapat bertukar pikiran dengan Sena 
yang mereka segani dan kagumi. 
Sena merangkul Sanjaya dan Purnama, dengan 
penuh keakraban. 
“Ayolah, kita kembali ke rumah...!” ajak Ki Praba 
kemudian. 
“Bagaimana dengan mayat-mayat ini, Ki?” tanya 
Purnama. 
“Oh, ya. Sebaiknya kita bereskan dan kita kubur 
mereka,” jawab Kepala Desa Karang Galuh itu. 
Maka bergegaslah mereka mengumpulkan para 
penduduk untuk menguburkan mayat-mayat itu. 
*** 
Sore telah berganti malam. Suasana di Desa 
Karang Galuh nampak mulai tenang. Terdengar suara 
gamelan dari salah satu rumah penduduk. Gending 
yang dibawakan begitu meresap, lalu mengalun 
merdu suara seorang wanita yang diiringi gending 
Jawa itu. 
Nyanyian itu menggambarkan kesuburan desa dan 
gagahnya pendekar pelindung kaum lemah. Gamelan 
dan gending mengalun terus sampai jauh malam. 
“Alangkah senang dan tenteramnya hati, jika kita 
dapat merasakan keadaan seperti ini selama-
lamanya...!” ujar seorang lelaki yang duduk di serambi 
rumah bersama beberapa orang warga desa lainnya. 
'Ya..., aku selalu berdoa agar pendekar itu tetap  
tinggal di desa ini...!” sahut seorang pemuda yang 
duduk di sisinya. 
“Tapi, kurasa cukup Den Sanjaya dan Purnama 
saja. Keduanya juga memiliki ilmu yang cukup 
 
 
lumayan,” sahut yang lainnya. 
“Benar. Tapi kau lihat tadi. Kalau saja pendekar itu 
tak cepat bertindak, tentu Den Sanjaya dan Purnama 
akan dapat dikalahkan oleh orang-orang jahat itu. 
Bahkan mungkin juga Ki Lurah,” sahut yang lain lagi. 
“Ya, gerakan dan serangan yang dilakukan sukar 
dilihat dengan mata. Tahu-tahu lawan sudah ambruk, 
mati!” 
Kemudian mereka kembali terdiam, mendengar-
kan gending yang masih tetap berkumandang itu. 
Malam itu Desa Karang Galuh tampak tenang dan 
aman. Walaupun ada sebagian penduduk yang sedih, 
karena suami atau anak mereka tewas dalam 
pertarungan tadi sore. 
Sementara di rumah Ki Praba, tampak Sena, 
Sanjaya, Purnama, dan Ki Praba tengah terlihat 
dalam pembicaraan di ruang tengah. Mereka duduk 
bersila di lantai beralaskan tikar. Meski ada meja 
kursi di ruangan cukup luas itu, mereka memilih 
duduk di lantai. 
Itulah kebiasaan Ki Praba jika sedang merunding-
kan atau membicarakan suatu masalah yang penting. 
Suasana terasa lebih akrab dan tidak kaku. 
Di luar suasana gelap. Angin bertiup lebih 
kencang, menghembuskan hawa dingin. Gemerisik 
dedaunan dan angin menerpa dinding rumah Ki 
Praba terdengar di antara sayup-sayup alunan 
gamelan. 
Lampu-lampu rumah penduduk sudah mulai 
dipadamkan. Hanya obor-obor bambu yang ter-
pancang di depan rumah penduduk masih menyala 
terang. Apinya bergoyang-goyang tertiup angin malam. 
Sementara itu alunan gamelan sudah tak terdengar 
lagi. Suasana berubah sepi. Dingin dan mencekam. 
 
 
Namun di rumah kepala desa masih menyala 
lampu ruangan tengah. Ki Praba masih berbincang-
bincang dengan Sena serta kakak beradik Sanjaya 
dan Purnama. 
“Menurutku kejadian tadi ada hubungannya 
dengan kematian Raden Kumbara. Aku yakin mereka 
orang-orang dari Serigala Hitam pimpinan Kala 
Bendana. Dan kabarnya ia mendapat bantuan dari 
orang-orang aliran hitam lain...,” tutur Ki Praba 
perlahan. 
“Tapi apa sebenarnya maksud tujuan mereka, 
Ki...?” tanya Sanjaya seperti orang bodoh. 
“Kamu ini apa sudah linglung?! Pertama Raden 
Kumbara terbunuh olehmu. Kedua, tampaknya Kala 
Bendana berhasrat tetap ingin menguasai desa kita 
yang subur ini...,” ujar Ki Praba. 
“Tapi, mereka yang lebih dulu mencari gara-gara! 
Memancing kemarahan kita dengan membawa Ranti 
seenaknya tanpa ada basa-basi pada Ki Praba. Dan 
juga pantas Kakang Sanjaya membunuhnya, karena 
Raden Kumbara adalah saudara Beruk Ireng yang 
dengan keji membunuh Kak Lestari,” sahut Purnama 
membela kakaknya. 
“Aku mengerti..., aku mengerti. Tapi desa kita akan 
dibumihanguskan! Mereka kini sangat kuat. 
Bagaimana nanti nasib penduduk desa ini...? Ini yang 
sangat aku khawatirkan! Bukan karena aku takut 
terhadap mereka. Mereka memang harus dimusnah-
kan. Tapi bagaimana caranya untuk melawan 
mereka...?” tutur Ki Praba dengan suara bergetar 
cemas. 
Keempat lelaki itu diam tak bersuara beberapa 
saat. Hanya wajah-wajah mereka yang menunjukkan 
ketegangan dan cemas. 
 
 
Namun Sena tampak tenang. Tangan kanannya 
mengusap-usap kening, lalu menggaruk-garuk kepala, 
sambil mulutnya cengengesan. 
“Apakah ada maksud lain, selain mereka ingin 
menguasai Desa Karang Galuh ini, Ki?” tanya Sena 
membuka kesunyian. 
“Aku rasa tak ada. Memang aku mendengar kabar, 
bahwa mereka telah mengumpulkan kekuatan untuk 
menguasai desa-desa di Jawadwipa ini. Mereka ingin 
memusnahkan tokoh-tokoh aliran putih dengan cara 
mereka,” tutur Kepala Desa Karang Galuh memberi-
kan keterangan. “Menurut kabar, kelompok Serigala 
Hitam pun bersekutu dengan Purba Kelakon. 
Pimpinan orang-orang aliran sesat! Purba Kelakon 
memiliki ilmu dalam tiga puluh dua jurus yang tak 
terlihat; Alias semu! Selain itu dia pun memiliki 
serbuk beracun; yang mematikan. Tak sampai lima 
belas langkah, orang yang terkena serbuk racun 
'Pemunah Jiwa' akan mati! Mungkin hanya Nak Sena 
yang dapat melawan racun ganas itu...,” ujar Ki Praba 
seraya menatap wajah Sena. 
“Aku tak tahu, Ki Lurah. Apa diriku mampu 
melawan racun itu. Walaupun aku menguasai ilmu 
pemunah racun seperti itu. Kekuatan racun ber-
macam-macam...,” jawab Sena kalem. 
Mendengar jawaban Sena, Ki Praba mengangguk-
angguk sambil mengusap jenggotnya. Sementara, 
Sanjaya dan Purnama nampak cemas dan me-
nundukkan kepala. 
Pada saat mereka terdiam tiba-tiba Sena melesat 
ke atas atap rumah, hingga jebol.  
“Hih!”  
Brukkk! 
Sanjaya, Purnama, dan Ki Praba hanya mampu 
 
 
terperangah melihat gerakan Sena melesat. 
Ternyata di atas rumah kepala desa ada sesosok 
tubuh manusia berwajah kera berpakaian serba 
hitam yang tengah berusaha kabur. Rupanya orang 
itu tadi mendengarkan pembicaraan mereka. 
“Kau lagi rupanya!” bentak Sena pada orang 
bermuka kera itu, yang pernah menghadang Sena 
ketika memasuki Desa Karang Galuh tiga hari yang 
lalu. 
Tokoh bermuka kera itu tiba-tiba menyerang Sena 
dengan senjata rahasia. Pendekar Gila terkesiap 
dibuatnya. Namun, karena dirinya memiliki ilmu yang 
cukup tinggi, senjata rahasia yang dilemparkan 
manusia kera itu melesat. Pendekar Gila melenting ke 
udara sambil bersalto berulang kali. Kemudian sangat 
ringan kakinya mendarat di atap rumah di belakang 
manusia berwajah kera itu. Pendekar Gila segera 
membalas dengan tendangan dan pukulan yang 
cepat ke dada dan muka lawannya. 
Plakkk! Blukkk! 
“Ukh...!” 
Lelaki bermuka kera itu terpekik, ketika tendangan 
dan pukulan Pendekar Gila mendarat di punggung-
nya. Namun seakan tak merasa sakit, tubuhnya 
segera bangkit. Kemudian dengan cepat goloknya 
menyabet kaki Pendekar Gila. Secepat kilat Pendekar 
Gila melompat meluncurkan tendangan. 
Plak! 
Kembali tendangan Pendekar Gila mendarat wajah 
lawannya. Karena terdesak, orang bermuka kera itu 
melompat turun sambil bersalto ke tanah. Pendekar 
Gila mengejarnya. Belum sampai kaki orang bermuka 
kera itu menginjak tanah, Pendekar Gila sudah 
mendahului, dengan menendang sambil berputar ke 
 
 
muka dan dada lawan. 
“Heaaa...!” 
Blukkk! 
“Aaa...!” 
Orang bermuka kera itu tersungkur bergulingan di 
tanah. Tangannya memegangi dada. Darah segar 
keluar dari mulutnya. Pendekar Gila segera meng-
hampiri dan memegang baju orang itu. 
“Katakan, apa maksudmu mengintai dan men-
dengarkan kami bicara?! Siapa yang menyuruhmu?!” 
tanya Pendekar Gila dengan geram. 
Pada saat itu Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama. 
Sudah berada di dekat Pendekar Gila, berdiri me-
mandangi orang bermuka kera itu. 
“Ayo, katakan! Kalau tidak kau kubunuh...!” bentak 
Sanjaya dengan keras sambil mengacungkan golok-
nya ke kepala orang bermuka kera itu. 
“Ayo, katakan! Kami tak akan membunuhmu...,” 
kata Sena lagi. Nadanya lebih perlahan. 
Belum sempat orang bermuka kera itu memberi-
kan jawaban, tiba-tiba berontak. Sanjaya bermaksud 
menjambak rambutnya. Namun alangkah terkejutnya 
mereka semua. Ternyata rambut itu lepas dari 
kepalanya. 
“Hah?!” 
Semua membelalakkan mata. Karena ternyata 
orang itu mengenakan topeng. Dan seorang wanita 
muda berparas cantik yang tak lain Ranti tampak 
tersentak pula. 
“Ya, Gusti...!” gumam Ki Praba. 
Belum sempat mereka menanyakan sesuatu pada 
Ranti, tiba-tiba mata gadis itu mendelik dan mulutnya 
terbuka lebar, dengan lidah terjulur panjang. Sesaat 
tubuhnya berkelojotan, tapi kemudian diam tak 
 
 
bergerak. Mati! 
“Ilmu setan...!” gumam Pendekar Gila lirih. 
“Apa hubungan Ranti dengan mereka...?!” tanya 
Sanjaya pada dirinya sendiri. 
“Ranti diperalat oleh Purba Kelakon yang 
menguasai ilmu sesat. Ilmu setan, ilmu sihir! Dan 
Ranti sudah dimasuki pikiran dan kekuatan gaib 
manusia itu. Mengerikan...,” tutur Ki Praba sambil 
menggeleng kepala. 
“Kalau begitu mungkin Nyi Karti juga diperalat 
mereka, Ki,” kata Purnama yang teringat akan Nyi 
Karti, ibunya Ranti. 
“Bisa jadi. Ayo, kita cari Nyi Karti,” ajak Ki Praba. 
Mereka segera pergi dengan cepat ke rumah Nyi 
Karti. 
“Aku yakin mereka juga ingin membunuhku...,” 
ujar Sena dalam hati. 
*** 
Ketika Sanjaya dan Purnama memasuki rumah Nyi 
Karti, ternyata wanita separo baya itu telah mati 
dengan keadaan mengerikan. Dadanya berlubang, 
seperti terhantam senjata tajam. 
“Ya, Gusti...!” gumam Ki Praba. Lelaki itu kembali 
menggeleng-gelengkan kepalanya. 
“Biadab...!” dengus Sanjaya dengan geram. 
“Lalu siapa orang bertopeng kera satu lagi...?!” 
tanya Sena dalam hati. 
Sena menggaruk-garuk kepala. Sepertinya tak 
menghiraukan keadaan yang sudah mulai mencekam 
dan seram itu. Pemuda berompi kulit ular itu nampak 
tak sedikit pun merasa tegang. Dirinya bahkan terus 
cengengesan.    
 
 
“Bagaimana menurut pendapatmu, Nak Sena?” 
tanya Ki Praba yang nampak mulai gelisah. 
Sena menggaruk-garuk kepala. Sejenak matanya 
menatap Sanjaya dan Purnama sambil cengengesan. 
“Sebelum penduduk menjadi korban lagi, 
sebaiknya kita melakukan penyelidikan secepat 
mungkin ke tempat mereka. Apa ada yang tahu di 
mana sarang manusia-manusia keparat itu...?” tanya 
Sena ingin tahu. 
“Kami belum tahu dengan jelas. Karena mereka 
sangat pintar. Tak seorang pun mengetahui sarang 
mereka dengan pasti. Namun menurut perasaanku di 
dua tempat itu. Pertama di seberang, di Pulau 
Neraka. Dan satu lagi di bekas bangunan tempat 
tinggal Pangeran Cakra Sentana. Karena waktu 
Raden Kumbara menculik Ranti, datang dengan 
kereta kuda bekas milik Pangeran Cakra Sentana!” 
kata Sanjaya memberikan keterangan. 
“Hm...!” Sena manggut-manggut sambil meng-
garuk-garuk kepala dan cengengesan. Lalu tertawa-
tawa sendiri, membuat ketiga orang yang me-
nemaninya bingung serta merasa aneh melihat Sena. 
Namun ketiganya segera memaklumi. 
“Kita harus merencanakan sesuatu...!” usul Sena 
sambil melangkah dan menggaruk-garuk kepala 
tanpa mempedulikan ketiga orang yang diajak bicara. 
Melihat Sena yang seperti orang acuh itu, Ki Praba, 
Sanjaya, dan Purnama terpaksa beranjak dari 
tempatnya dan mengikutinya. Sena terus berjalan 
menuju rumah Ki Praba. 
“Pendekar ini memang aneh. Namun menyenang-
kan...,” gumam Sanjaya lirih. 
Tiba-tiba Sena menghentikan langkahnya, demi-
kian juga Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama. 
 
 
“Aku sudah menemukan cara untuk menemukan 
sarang mereka...,” kata Sena dengan wajah ceria 
sambil menggaruk-garuk kepala. “Ssst! Ssst...!” lalu 
Sena membisikkan sesuatu ke telinga Sanjaya. 
Sanjaya mengangguk dan tersenyum. 
Pada saat itu sepasang mata mengamati gerak-
gerik mereka dari balik semak-semak, tak jauh dari 
rumah Ki Praba. Kemudian sepasang mata itu 
melesat hilang di kegelapan malam. 
Sena bersama Ki Praba, Sanjaya, dan Purnama 
lalu masuk rumah Ki Praba. Suasana kembali sunyi, 
sepi, dan makin mencekam. Hanya suara binatang-
binatang malam yang terdengar, memecah ke-
heningan malam yang gelap gulita. 
*** 
 
 
 
 
 
 
Sinar matahari pagi menghangatkan bumi. Suasana 
cerah melingkupi sekitar pantai. Angin yang bertiup 
kencang dari laut menerpa pepohonan. Ombak laut 
tampak bergulung-gulung berkejaran menuju pantai. 
Seakan hendak mendorong sebuah perahu yang 
tengah berlayar perlahan menuju daratan. Tak lama 
kemudian perahu yang tidak terlalu besar itu telah 
sampai di pantai. 
Dari perahu itu tampak berlompatan tiga orang 
lelaki berwajah garang. Baru saja berjalan beberapa 
langkah ketiganya dikejutkan adanya suara seperti 
tiupan suling di kejauhan. 
“Heh, suara suling...!” desis salah seorang dari 
ketiga lelaki yang berusia sekitar empat puluh tahun, 
berpakaian rompi belang merah hitam. 
“Ya! Suara suling itu aneh,” sambung lelaki 
bermuka lonjong, tapi hampir mirip dengan yang 
pertama. Hanya berbeda pada hidungnya yang besar, 
meski mancung. 
“Kurasa itu bukan suling biasa,” sambut lelaki 
berbadan agak pendek dengan cambang bauk lebat. 
Ketiga lelaki itu terkenal dengan julukan 'Tiga Mata 
Setan'. 
Tiga Mata Setan merupakan anak buah Purba 
Kelakon yang ditugaskan untuk datang ke Desa 
Karang Galuh. Orang pertama dari Tiga Mata Setan 
bernama Tangkur Wulung. Yang kedua bernama Braja 
Wulun. Dan yang ketiga bernama Barong Wulung. 
Ketiganya bersenjatakan sama, rantai besi berduri. 
 
 
Sementara itu suara suling makin terdengar jelas 
di telinga mereka. Tiga Mata Setan segera melangkah 
ke darat. 
“Suara suling itu membuat kupingku bisa tuli...!” 
sungut Tangkur Wulung sambil matanya mencari-cari 
dari mana asal suara suling itu. 
“Kenapa kau pusingkan suara suling itu. Tujuan 
kita mencari makan, perempuan, dan harta!” sahut 
Braja Wulung yang berjalan di sisi kirinya. 
Suara suling makin jelas lagi ketika ketiganya telah 
melewati beberapa gubuk milik penduduk di pinggir 
pantai itu dan terus naik ke daratan yang lebih tinggi. 
Tiba-tiba Barong Wulung yang bertubuh paling besar 
itu menghentikan langkah. Sepertinya ada sesuatu 
yang dilihatnya. Hal itu dilakukan pula kedua kawan-
nya. Ketiganya melihat seorang pemuda bertengger di 
pohon besar dan rindang. 
“Sepertinya aku kenal pemuda yang memainkan 
suling di atas cabang pohon itu. Hati-hati, kalau 
dugaanku benar kita harus menangkapnya!” ujar 
Barong Wulung. Matanya terus menatap tajam 
pemuda berpakaian rompi dari kulit ular yang terus 
meniup sulingnya. 
“Siapa pemuda itu Kakang Barong...?!” tanya Braja 
Wulung sambil melemparkan pandangan ke atas 
pohon. 
“Dia Pendekar Gila yang kita cari. Kau lupa bahwa 
Kala Bendana akan memberikan hadiah pada siapa 
pun yang dapat menangkap Pendekar Gila itu hidup 
atau mati, untuk diserahkan padanya...! He he he...!” 
jawab Barong Wulung sambil memelintir kumisnya. 
“Kalau begitu kita segera ringkus pemuda itu..., 
kata Tangkur Wulung yang berbadan lebih kecil dari 
dua temannya. 
 
 
“Kau jangan gegabah! Pemuda itu bukan pendekar 
sembarangan, bisa-bisa kita yang jadi korbannya!” 
jawab Barong Wulung. “Kita berpencar! Kalian berdua 
harus selalu siap dan bergerak cepat jika aku dalam 
kesulitan. Ayo, kita mulai pekerjaan kita!” 
Pemuda yang tengah meniup suling memang tak 
salah lagi, dia Sena Manggala atau lebih dikenal 
dengan julukan si Pendekar Gila. Pemuda tampan 
berambut gondrong itu masih asyik mengalunkan 
lagu merdu dengan Suling Naga Saktinya. Seakan-
akan tak menghiraukan sama sekali ada tiga orang 
yang tengah mengancam jiwanya. Tak bergeming 
sedikit pun dari tempatnya. Tubuhnya dengan enak 
berbaring di sebatang cabang pohon dengan kaki 
terjuntai ke bawah, Barong Wulung makin dekat dari 
tempat Sena berada. Ketika lelaki bertubuh besar 
dan berkumis melintang itu berada sekitar delapan 
tombak dari pohon tiba-tiba melancarkan serangan 
kilat. Tangannya yang kokoh besar melontarkan 
senjata berupa rantai ke tubuh Sena yang masih 
terbaring di atas cabang pohon. 
Srattt! Crakkk...!    . 
Suara yang ditimbulkan dari lontaran senjata itu 
keras sekali, dan senjata yang berupa baja bulat 
berduri itu menghantam batang pohon di dekat 
kepala Pendekar Gila. 
Namun tanpa terkejut sedikit pun, kepala 
Pendekar Gila dengan perlahan menoleh ke Barong 
Wulung yang tertawa terbahak-bahak. Tiba-tiba 
Pendekar Gila ikut tertawa-tawa sambil menggaruk-
garuk kepala. Lalu mulutnya cengengesan persis 
orang gila. 
“Hi hi hi...! Kau rupanya punya mainan yang 
menarik, Kisanak!” seru Pendekar Gila dari atas 
 
 
pohon. Tampak tangannya menggaruk-garuk kepala. 
Mendengar ucapan Pendekar Gila, Barong Wulung 
terbelalak marah. Kemudian dengan geram me-
langkah mendekati pohon tempat Pendekar Gila ber-
tengger. 
“Hei! Kau pemuda gila, turun...! Jangan berlagak 
bodoh kau! Tunjukkan kebolehanmu! Aku sengaja 
datang untuk mencincangmu, Pendekar Gila!” teriak 
Barong Wulung sambil menuding-nudingkan tangan-
nya ke atas pohon. 
“Hi hi hi...! Lucu sekali orang ini! He he he...! Ha ha 
ha...! Pagi-pagi aku bertemu badut berkumis 
melintang! Hi hi hi...!” ejek Pendekar Gila yang kini 
telah duduk di cabang pohon menghadap Barong 
Wulung. 
Sementara itu dari dua arah kiri dan kanan 
Pendekar Gila muncul Tangkur Wulung dan Braja 
Wulung sambil memutar-mutarkan bola baja berduri 
terikat rantai. Keduanya tersenyum sinis dengan 
mata merah membara. 
“Ha ha ha...! Hi hi hi...!” 
Pendekar Gila tertawa-tawa terus sambil meng-
garuk-garuk kepala. Tingkah laku aneh itu membuat 
Tiga Mata Setan semakin geram. 
“Orang gila! Mulutmu perlu merasakan senjataku 
ini...!” 
Selesai berkata begitu, Barong Wulung dengan 
cepat melancarkan serangan dengan menghantam-
kan senjatanya ke kepala Pendekar Gila. 
Srattt! Wrettt! Wusss! 
Hembusan angin dari lontaran ketiga senjata 
berbentuk bola duri itu terasa menyentakkan 
dedaunan. 
Namun Pendekar Gila dengan cepat pula men-
 
 
jatuhkan tubuhnya sambil bersalto ke belakang 
beberapa kali untuk mengelakkan serangan dahsyat 
itu.  
Blarrr! Brakkk! 
Suara ledakan terdengar ketika dua bola berduri 
itu menghantam batang pohon. Seketika batang 
pohon itu hancur dan roboh. Bagai tersambar petir. 
Sementara itu, Pendekar Gila sudah mendaratkan 
kakinya di tanah. Dengan cengengesan tangan 
kanannya menepuk-nepuk pantat sambil gelang-
geleng kepala. Tingkah lakunya yang lucu, persis 
orang gila. 
“Hi hi hi...! Ternyata kalian ini pengecut. Tak cocok 
dengan badan kalian yang seperti kebo,” ejek 
Pendekar Gila. 
Mendengar ejekan itu, wajah Tiga Mata Setan 
berubah merah. Dengan cepat dan geram Braja 
Wulung melontarkan senjatanya menyerang Pendekar 
Gila. Serangan dahsyat kali ini disertai pergerakan 
tenaga dalam yang kuat. 
“Nih rasakan..., mampus kau, Gila! Heaaa...!” 
Bola baja berduri itu melesat cepat. Deru anginnya 
terasa menggetarkan. Namun Pendekar Gila dengan 
cepat mengelak, hanya dengan memiringkan tubuh-
nya ke samping. Kemudian dengan cepat pula 
pemuda itu melancarkan serangan balasan yang tak 
terduga sama sekali. 
“Heaaa...!” 
Wusss! 
Plakkk! 
“Ugkh...!” 
Braja Wulung terpekik ketika pukulan jarak jauh 
yang dilancarkan Pendekar Gila menghantamnya, 
tubuhnya terhuyung beberapa tombak ke belakang. 
 
 
Melihat kawannya terjatuh, Barong Wulung dan 
Tangkur Wulung kaget. Mereka kian murka. Matanya 
membelalak lebar merah menahan geram. Mata itu 
bagai mempunyai kekuatan gaib, mampu mengeluar-
kan sinar merah. Diiringi teriakan keras menggelegar 
Barong Wulung dan Tangkur Wulung bergerak 
menyerang. 
“Heaaa...!”  
“Heaaa...!” 
Melihat sinar merah yang cukup membahayakan 
itu, Pendekar Gila segera mencabut senjata andalan-
nya. Dengan cepat dan kuat Suling Naga Sakti 
dihentakkan untuk memapak sinar merah serta 
gempuran bola baja berduri yang meluncur 
menyerangnya. 
Trakkk! 
Jglarrr. ! 
“Uaaakhhh...!” 
Teriakan panjang terdengar dari kedua Mata Setan 
itu. Karena tangkisan Pendekar Gila dengan Suling 
Naga Saktinya mampu membalikkan serangan 
mereka. Sehingga sinar merah dari mata Barong 
Wulung dan Tangkur Wulung berbalik dan meng-
hantam tubuh mereka. Maka tak ayal lagi, tubuh 
kedua Mata Setan terpental deras sekitar lima 
tombak ke belakang. Sementara itu, Pendekar Gila 
tetap berdiri dengan kuda-kudanya yang mantap. 
Dengan cengengesan matanya menatap kedua lawan 
yang terkapar tak berkutik. Dada kedua lelaki ber-
wajah garang itu hangus terhantam kekuatan senjata 
mereka. 
Sementara itu Barong Wulung yang tadi terkena 
pukulan jarak jauh, berusaha bangkit dan hendak 
menyerang Pendekar Gila. 
 
 
“Hei...! Kalau kau masih ingin hidup jangan coba-
coba melawanku!” ujar Pendekar Gila sambil 
menggaruk-garuk kepala dan cengengesan. “Kau 
rupanya orang-orang Beruk Ireng dan Kala 
Bendana...!” 
Tiga Mata Setan tak menjawab karena masih 
merasa kesakitan. Mereka saling mendekap dada 
dengan mulut meringis-ringis. 
Pada saat itu tiba-tiba muncul Sanjaya dengan 
wajah geram menatap ketiga begundal. Begitu pula 
Purnama yang muncul dari arah lain. 
Sanjaya yang mengenali Tiga Mata Setan dengan 
bengis menatap mereka penuh dendam. 
“Apa benar ketiga orang ini antek-antek Kala 
Bendana dan Purba Kelakon?” tanya Pendekar Gila 
pada Sanjaya. 
“Hm...,benar, Pendekar. Mereka manusia keparat 
yang harus kita hukum setimpal dengan perbuatan 
mereka selama ini. Ketiga orang inilah yang menjadi 
mata-mata serta tukang cari perempuan-perempuan 
desa untuk dipersembahkan kepada Purba Kelakon 
si penganut ilmu setan itu!” tutur Sanjaya dengan 
geram. Seakan-akan sudah tak sabar untuk me-
musnahkan Tiga Mata Setan. 
Sena menggangguk-angguk sambil menggaruk 
kepala dengan cengengesan. Kemudian menyelipkan 
Suling Naga Saktinya di pinggang. 
“Tapi kita tidak boleh menghukum sendiri. 
Sebaiknya mereka kita bawa ke desa agar diadili...!” 
ujar Sena. 
“Hhh... Aku kurang setuju, Sena. Percuma orang 
macam mereka ini diadili. Dan aku punya rencana...,” 
sanggah Purnama yang dari tadi diam. 
Purnama mendekati Sena dan membisikkan 
 
 
sesuatu di telinganya. Sena mengerutkan kening, lalu 
tertawa-tawa sambil menggaruk-garuk kepala. 
Setelah itu tangannya menepuk-nepuk pantat, persis 
seperti kera. 
“Hi hi hi.... He he he...! Ternyata saudara yang satu 
ini punya gagasan baik. Coba kau beritahu 
Sanjaya...!” ujar Pendekar Gila sambil terus meng-
garuk-garuk kepala. 
Purnama pun segera membisikkan hal yang sama 
pada kakaknya. Sanjaya mengerutkan kening lalu 
menganggukkan kepala menyetujui rencana adiknya. 
“Hei! Kalau kalian masih ingin hidup, tunjukkan di 
mana pimpinan kalian bersembunyi saat ini?! Cepat 
katakan atau kalian pilih mati!” perintah Sanjaya 
dengan suara keras. 
Tiga Mata Setan diam, tak menjawab. Seakan-
akan mereka lebih memilih mati daripada hidup. 
Karena mereka pikir sama saja. Tiga Mata Setan 
bungkam sambil menundukkan kepala. 
Melihat ketiganya seperti tak menghiraukan per-
mintaannya, Sanjaya makin marah. Dengan geram 
ditendangnya salah seorang dari Tiga Mata Setan. 
Namun Pendekar Gila cepat melarang ketika Sanjaya 
hendak melakukan lagi. 
“Tunggu Sanjaya! Sabarlah, lebih baik kita lepas 
saja mereka. Tak ada gunanya lagi orang macam 
begini. Biarlah mereka pergi...!” ujar Pendekar Gila 
sambil mengedipkan mata pada Sanjaya. Sanjaya 
mengerti maksud isyarat itu. 
“Tidak, Pendekar. Jangan seenaknya kita melepas 
orang-orang ini! Mereka nanti akan terus berbuat 
seenaknya. Tunggu apa lagi! Sebaiknya kita kubur 
mereka di sini! Atau kita bunuh saja, baru kita ikat di 
pohon, biar semua orang tahu! Dan pasti pimpinan 
 
 
mereka akan murka, lalu kita dapat menangkapnya,” 
ujar Sanjaya dengan penuh emosi dan marah. 
“Tenang, tenang! Kita tak boleh gegabah dan 
bertindak di luar batas. Aku yakin mereka akan 
memberitahukan di mana sarang mereka sebenar-
nya,” sahut Sena dengan kalem sambil cengar-cengir 
dan terus menggaruk-garuk kepala. 
Purnama sudah mengerti maksud Sena. Matanya 
melirik pada Sanjaya dan menghela napas dalam-
dalam. Sena, Sanjaya, dan Purnama sudah mem-
punyai cara dan rencana untuk memancing Tiga Mata 
Setan. 
Sena kemudian berjongkok, dengan perlahan 
bertanya pada Barong Wulung yang tertua dari 
ketiganya. 
“Kisanak, sebaiknya Kisanak memberitahukan, di 
mana Kala Bendana dan Purba Kelakon berada. Kami 
ingin kejujuran Kisanak. Kami akan melepaskan 
kalian bertiga. Percayalah...! Bagaimana?” 
Tiga Mata Setan tetap bungkam, tak mau mem-
beritahu atau buka mulut. Bahkan tiba-tiba mereka 
mengeluarkan sesuatu dari pinggangnya dan dengan 
cepat menelannya. Dan..., tak beberapa lama ke-
mudian Tiga Mata Setan kejang-kejang dan mukanya 
membiru. Matanya melotot bagai mau keluar...! Mati! 
Sena mengetahui maksud mereka. Dengan cepat 
berusaha menghalangi. Namun terlambat karena 
racun yang mereka telan itu telah bekerja dengan 
kecepatan luar biasa. Itulah racun 'Pencabut Nyawa' 
Rupanya Tiga Mata Setan itu sangat setia akan janji 
sumpah mereka. Mungkin karena pengaruh ilmu sihir 
milik Purba Kelakon. 
“Rupanya mereka telah terkena ilmu sihir manusia 
setan itu. Sampai ketiganya rela mati demi sang 
 
 
Pemimpin mereka yang murka itu. Gila! Gila...!” 
dengus Sanjaya geram. Purnama menggeleng-
gelengkan kepala tak mengerti. Sedangkan Sena 
menggaruk-garuk kepala sambil cengar-cengir.... 
“Hhh..! Kita terlambat,” desah Sanjaya merasa 
kecewa sekali, karena tak dapat mengorek 
keterangan dari Tiga Mata Setan. 
“Aha, kau benar! Kita terlambat,” sahut Sena. 
Ketiganya terdiam sesaat, sepertinya sedang 
mencari jalan lain untuk mendapat keterangan 
mengenai markas Purba Kelakon dan Kala Bendana 
berada. 
“Jika mereka senantiasa menghilangkan jejak sulit 
bagi kita untuk dapat menemukan tempat mereka,” 
gumam Purnama sambil menghela napas pelan. 
“Kau benar, Dimas. Kalau mereka selalu bunuh 
diri seperti ini kita tak akan dapat menemukan 
markas mereka,” timpal Sanjaya dengan wajah meng-
gambarkan kejengkelan. Selama ini, dendamnya 
pada Kala Bendana dan para begundalnya yang telah 
membunuh istri dan anaknya beberapa tahun yang 
lalu terus berkobar-kobar di dada. 
Sena nampak masih tak menanggapi ucapan ke-
iua kakak-beradik itu. Dirinya masih berpikir keras 
sendiri. Meskipun mulutnya tampak cengengesan 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Matanya 
memandang lepas ke arah utara, tempat Pulau 
Neraka nerada. Di tempat itu Kala Bendana dan 
antek-anteknya bersembunyi. 
Sebenarnya Sena ingin berangkat ke tempat itu, 
tapi menurut kabar, tempat itu sangat sulit ditempuh. 
Di samping jauh dan keadaannya sangat berbahaya, 
markas mereka pun sangat tersembunyi. 
“Aha, mengapa tak kukirim saja mayat ketiga 
 
 
orang ini?” gumam Sena dalam hati, “Bukankah de 
ngan sampainya ketiga mayat ini ke markas mereka, 
akan dapat membuat Kala Bendana mengirim anak 
buahnya untuk datang lagi?” 
Sena semakin cengengesan dengan tangan 
kembali menggaruk-garuk kepala. Sambil menepuk-
nepuk kening dengan tangan kiri Sena melangkah 
mendekati Sanjaya dan Purnama yang masih diam 
tercenung. Keduanya nampak masih memikirkan 
bagaimana un tuk dapat mengundang Kala Bendana 
dan antek-anteknya datang ke desa itu. 
“Aha, mengapa kalian masih juga melamun?” 
tanya Sena dengan tingkah lakunya yang konyol. 
Mulutnya cengengesan, sedangkan tangannya meng-
garuk-garuk kepala. 
“Kami sedang berpikir, bagaimana caranya dapat 
mengundang Kala Bendana dan Purba Kelakon 
datang ke desa ini,” jawab Sanjaya dengan tangan 
mengepal. 
“Aha, apakah kalian siap kalau mereka datang?' 
tanya Sena, yang membuat kakak-beradik Sanjaya 
dan Purnama mengerutkan kening dan memandai 
lekat wajahnya. 
“Apa maksudmu, Sena?” tanya Purnama. 
“Apa kau mengira kami takut pada Kala Bendana 
dan Purba Kelakon?” sergah Sanjaya, sepertinya me 
rasa tak senang dirinya diremehkan Sena. 
“Aha, kurasa bukan itu maksudku,” tukas Sena. 
Mulutnya tetap cengengesan dengan tangan masih 
menggaruk-garuk kepala. Matanya kembali me-
mandang ke utara. Tampak lautan membentang luas 
dan di tengahnya terdapat sebuah pulau karang yang 
disebut Pulau Neraka. 
“Lalu...?” desak Sanjaya. 
 
 
Sena tak langsung menjawab. Dirinya merenung 
sejenak dengan kening mengerut. Ditengadahkan 
wajahnya memandang ke langit yang biru bening. 
Dihelanya napas dalam-dalam. Kemudian dihempas-
kan secara perlahan. 
“Hi hi hi...! Kalian memang tak takut pada Kala 
Bendana dan Purba Kelakon. Namun, bagaimana 
dengan warga desa ini?” tanya Sena, balik bertanya 
sambil memandang lekat wajah kakak-beradik itu. 
Keduanya terdiam, seakan-akan merenungkan kata-
kata yang diucapkan Sena. 
Apa yang dikatakan Sena benar. Kedua kakak-
beradik itu memang tak akan takut terhadap Kala 
Bendana dan Purba Kelakon. Tetapi, bagaimana 
dengan penduduk desa yang tak berdosa? Tentunya 
Kala Bendana dan Purba Kelakon tak datang 
sendirian. Sudah barang tentu mereka akan mem-
bawa laskar. Dan bukan tak mungkin kalau laskarnya 
akan membuat kerusuhan. Bukankah dengan begitu 
rakyat yang akan menanggung akibatnya? 
Sanjaya menghela napas pelan. Matanya kini 
memandang ke arah Pulau Neraka, tempat markas 
Kala Bendana berada. 
“Kau memang benar, Sena. Memang, kalau Kala 
Bendana datang bersama pasukan sudah barang 
tentu rakyat akan turut terlibat di dalamnya,” desah 
Sanjaya menyadari akan kekeliruannya dalam 
berpikir. Selama ini dirinya selalu diperbudak nafsu 
dan dendam, yang membuatnya tak mampu berpikir 
secara jernih. Yang lipikirkan hanyalah pembalasan 
dendam dan kebencian, serta antipati terhadap Kala 
Bendana dan Purba Kelakon serta antek-anteknya 
yang telah membuat mah tangganya berantakan. 
“Ya. Aku pun merasa ucapan Sena benar. Tetapi, 
 
 
kalau Kala Bendana dan Purba Kelakon belum kita 
tumpas, desa ini tak akan pernah aman,” tutur 
Purnama. 
“Sena tersenyum seraya mengangguk-anggukkan 
kepala. Tangannya kembali menggaruk-garuk kepala. 
Matanya masih menatapi langit yang biru. 
Angin bertiup lembut, menerpa rambut ketiganya. 
Sena dan dua kakak-beradik Sanjaya dan Purnama 
masih berdiri mematung di tempat itu. Mereka masih 
merenungkan bagaimana cara yang baik untuk 
menumpas Kala Bendana dan Purba Kelakon serta 
antek-anteknya tanpa harus melibatkan penduduk 
desa. 
“Bagaimana kalau kita menantang Kala 
Bendana?” tanya Sanjaya meminta saran, tentu 
kepada Sena. Karena tatapan matanya kini tertuju 
kepada Sena yang masih cengengesan dengan 
tangan menggaruki garuk kepala. 
“Bagaimana, Saudara Sena?” tanya Purnama me-' 
minta kepastian pendapat dari Pendekar Gila. 
“Aha, kalau memang itu sudah menjadi keputusan 
kalian, aku hanya setuju,'“, sahut Sena, 'Tapi, apakah! 
kalian yakin Kala Bendana mau datang seorang 
diri?”i Sanjaya dan Purnama kembali diam dan salinjjj 
pandang. Kening keduanya mengerut. Hati mereka 
kembali bimbang. Memang ucapan Sena benar. TentJ 
Kala Bendana yang licik, tak akan bersedia datang 
se»' orang diri. Sudah barang tentu, Kala Bendana 
akan datang bersama anak buahnya. Hal itu sudah 
dapat dipikirkan, karena kebanyakkan tokoh sesat 
berla” seperti itu. Mereka tak akan menghargai jiwa 
ksatria. 
Mereka akan menghalalkan segala macam cara. 
Yang ada dalam benak mereka, hanyalah 
 
 
kemenangan dan kepuasan. 
“Benar juga katamu, Sena. Bukan menjadi rahasia 
umum lagi, kalau tokoh hitam akan menghalalkan 
segala cara,” gumam Sanjaya sambil menggaruk-
garuk kepala. Dihelanya napas panjang-panjang, 
seakan berusaha membuang perasaan gemasnya 
yang selalu melekat di dada. 
“Lalu apa yang harus kita lakukan, Sena? Kami tak 
bisa menunggu sampai datangnya para dewa yang 
akan menolong kami,” ujar Purnama dengan penuh 
harap terhadap gagasan Sena yang akan mampu 
memberi pandangan baik bagi mereka dan warga 
Desa Karang Galuh. 
“Aha, kurasa hanya ada satu jalan,” ujar Sena yang 
langsung mendapat tanggapan dari kakak-beradik itu. 
“Apa itu, Sena?” tanya keduanya bersamaan 
sambil memandang penuh harap ke wajah Sena. 
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya tampak 
cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk 
kepala. Tatapan matanya kini tertuju kepada mayat 
Tiga Mata Setan yang tergeletak tak jauh dari mereka. 
Sepertinya ada sesuatu gagasan untuk menggunakan 
mayat ketiganya dalam menempuh jalan bagi 
mereka. 
“Hi hi hi...! Kalian lihat tiga mayat itu?” 
'Ya,” sahut Sanjaya dengan kening mengerut, tak 
mengerti maksud Sena yang sebenarnya. Begitu pula 
halnya dengan Purnama, dia masih belum mengerti 
maksud Sena. Matanya menatap Sena dengan 
pandangan tak mengerti. Keningnya mengerut, 
berlipat-lipat. Mulutnya bungkam, menunggu jawaban 
dari Sena yang masih cengengesan itu. “Untuk apa 
mayat mereka?” 
“Aha, aku ada akal! Dengan mayat mereka, 
 
 
tentunya Kala Bendana akan marah. Dia akan 
mengirim pasukan. Kita tinggal menunggu mereka,” 
ujar Sena membeberkan gagasannya. 
“Aku belum mengerti,” dengus Sanjaya. 
“Ya! Katakanlah apa sebenarnya rencanamu itu!” 
pinta Purnama yang masih bingung. 
Sena tak langsung menjawab. Mulutnya nyengir 
kuda, sedang matanya memandang lepas ke lautan 
luas. Kemudian tangannya menepuk-nepuk pantat. 
Ditariknya napas dalam-dalam, kemudian dihempas-
kan penahan. 
“Baik..., hi hi hi...! Akan kuterangkan,” ujar Sena. 
Kemudian setelah cengengesan dengan tangan 
kembali menggaruk-garuk kepala sesaat, dirinya 
mulai menjelaskan. “Dengan ketiga mayat itu, kita 
akan memancing Kala Bendana, agar keluar. Kita 
kirim ketiga mayat itu ke Pulau Neraka.” 
“Dengan apa?” sela Sanjaya tak sabar. 
“Ya! Siapa yang akan membawa mereka ke sana?” 
tanya Purnama masih belum mengerti. 
“Aha, kurasa kita tak perlu repot mengutus 
seseorang. Ketiga mayat itu, kita kirim dengan meng-
gunakan peti,” sahut Sena. 
Sanjaya dan Purnama melongo bengong men-
dengar penuturan Sena. Mereka tak menyangka, 
kalau Sena berpikiran begitu tajam. Padahal pemuda 
berpakaian rompi kulit ular itu persis orang gila. 
Namun ternyata pikirannya sangat tajam. 
“Bagaimana, Kisanak?” tanya Sena. 
“Aku setuju,” sahut Sanjaya. 
“Aku juga,” sahut Purnama menimpali. 
“Aha, kini semuanya sudah kita sepakati. Kita 
tinggal meminta pendapat pada Ki Lurah. Bagai-
manapun Ki Praba merupakan orang tua di desa ini. 
 
 
Sudah selayaknya dia kita mintai pendapat,” tutur 
Sena. 
“Bagaimana dengan ketiga mayat itu?” tanya 
Sanjaya, “Aku khawatir ada orang yang akan mem-
bawanya. Bukankah dengan begitu gagal rencana 
kita?” 
Sena memonyongkan mulutnya. Kemudian 
cengengesan dengan tangan kembali menggaruk-
garuk kepala. Matanya menatap ketiga mayat itu, 
kemudian menengadah ke langit, seakan mencari 
sesuatu di atas sana. 
“Aha, kalau begitu, kita harus membawanya,” kata 
Sena sambil menoleh pada Sanjaya dan Purnama 
yang saling pandang. “Bagaimana?” 
“Baiklah.” 
Mereka segera mengangkat seorang satu mayat 
Tiga Mata Setan. Ketiganya kemudian melangkah 
menuju rumah Kepala Desa Karang Galuh, untuk 
meminta pendapat orang tua itu atas rencana 
mereka. 
Di timur, mentari nampak merangkak perlahan 
naik menyinari bumi. Penduduk Desa Karang Galuh 
pun kelihatan mulai sibuk dengan pekerjaan masing-
masing. 
 
*** 
 
 
 
 
 
Siang dengan terik mentari yang panas bagaikan 
hendak memanggang bumi dan seisinya. Namun 
orang-orang penduduk Desa Karang Galuh nampak 
tetap bekerja. Mereka bagaikan tak mengenal lelah, 
terus bekerja untuk mengolah hidup dan kehidupan. 
Mereka bertani sibuk di sawah. Yang nelayan tampak 
tengah mempersiapkan jaring dan perahunya. 
Pemandangan seperti itulah yang tampak setiap hari 
di Desa Karang Galuh yang memang tak jauh letaknya 
dari pantai. 
Di bale-bale bambu di rumah Ki Praba nampak 
empat lelaki duduk bersila. Di hadapan mereka, 
terdapat empat cangkir kopi dengan dua piring ubi 
rebus yang hjngat Keempat lelaki itu, tiga masih 
muda sedangkan seorang lagi tua. Mereka tiada lain 
Ki Praba, Sanjaya, Purnama, dan Sena. Nampaknya 
mereka tengah berbincang-bincang. 
Di ruangan depan rumah Kepala Desa Karang 
Galuh itu tampak tergeletak tiga sosok mayat. Ketiga 
mayat itu tak lain Tiga Mata Setan. Ketiga mayat itu 
sedang dijaga beberapa penduduk desa yang sengaja 
diundang Ki Praba. 
“Apa rencana kalian?” tanya Ki Praba seraya 
mengangkat cangkir kopinya. Matanya memandang 
satu persatu wajah tiga lelaki muda yang ada di 
hadapannya. Kemudian tatapan mata lelaki tua itu, 
tertuju pada wajah Sanjaya. 
“Kami mempunyai rencana mengirim ketiga mayat 
anak buah Kala Bendana, Ki,” sahut Sanjaya. 
 
 
Ki Praba mengerutkan kening. Matanya menyipit, 
masih menatap wajah Sanjaya. Kepalanya meng-
angguk-angguk, sedangkan tangannya membelai-
belai jenggot yang tak begitu panjang dan berwarna 
keputihan. 
“Dengan apa?” 
“Dengan peti kayu, Ki,” sahut Purnama. 
“Untuk apa...?” kini tatapan mata lelaki tua Kepala 
Desa Karang Galuh tertuju pada Purnama yang 
menjawab pertanyaannya tadi. 
“Saudara Sena yang akan menjelaskannya, Ki,” 
ujar Purnama melimpahkan jawaban pada Sena yang 
masih cengengesan sambil menundukkan kepala. 
Sedangkan tangannya kini menggaruk-garuk kepala. 
Sementara tangan kirinya, mempermainkan tikar 
yang terbuat dari-pandan. 
“Katakanlah, Nak Sena!” pinta Ki Praba ingin tahu 
apa yang direncanakan Sena. Pemuda tampan 
berambut gondrong yang mengikat kepalanya dengan 
kulit ular itu masih tampak cengengesan. Setelah 
mengelus-elus rompinya yang juga terbuat dari kulit 
ular, pendekar yang sangat kesohor di rimba per-
silatan itu muiai membuka mulut 
“Aha, begini, Ki. Selama ini, kita tak dapat 
menumpas gerombolan Kala Bendana. Hal itu karena 
kita tak mampu menghadapinya secara langsung. 
Kabarnya persembunyian mereka sulit ditembus. 
Untuk itulah kami bermaksud mengirim mayat Tiga 
Mata Setan. Aku berharap Kala Bendana akan keluar 
dari sarang dan menghadapi kita. Hal ini kuanggap 
cara paling tepat untuk dapat menghadapi dan 
menumpasnya....” 
Ki Praba sejenak terdiam dengan kening mengerut 
Nampaknya lelaki tua itu tengah mempertimbangkan 
 
 
gagasan Sena. Bagaimanapun, sebagai kepala desa 
dirinya harus mempertimbangkan segala sesuatu 
sebelum melakukan tindakan. Karena semuanya 
menyangkut keselamatan hidup warga desanya. 
“Dengan kata lain, kalian akan menantang Kala 
Bendana dan Purba Kelakon ke desa ini?” tanya Ki 
Praba. 
“Begitulah, Ki,” sahut Sanjaya. “Bagaimana jika 
yang datang anak buahnya?” “Aha, itu memang yang 
kami inginkan,” jawab Sena. 
“Maksudmu...?” tanya Ki Praba masih tak 
mengerti. 
“Aha, bukankah dengan kedatangan anak 
buahnya, kita akan semakin ringan? Semakin banyak 
anak buah Kala Bendana yang tertumpas, semakin 
kecil kekuatannya. Cepat atau lambat Kala Bendana 
akan keluar,” ujarnya dengan mulut cengengesan 
sambil tangan kirinya masih mempermainkan tikar 
pandan. 
Ki Praba mengangguk-anggukkan kepala, men-
dengar keterangan Sena. Seulas senyum 
mengembang di bibirnya yang tua. Seakan gagasan 
Sena memberi jalan terang baginya, untuk -dapat 
melepaskan desa dan penduduknya dari ancaman 
Kala Bendana yang selama ini masih terus meng-
hantui. 
“Bagaimana, Ki?” tanya Sanjaya meminta 
kepastian. 
“Gagasan yang bagus!” puji Ki Praba, “Aku setuju.” 
“Aha, terima kasih,” sahut Sena sambil menunduk-
kan kepala. 
“Kalau begitu, kita harus membuat peti untuk 
ketiga mayat itu,” kata Purnama. 
“Benar! Sebaiknya, kita kumpulkan warga desa 
 
 
untuk membantu kita membuat peti,” usul Ki Praba. 
“Kami setuju,” jawab Sanjaya. 
“Kamil...!” seru Ki Praba memanggil salah seorang 
penduduk desanya yang sedang menjaga ketiga 
mayat Tiga Mata Setan. 
“Saya, Ki!” sahut seorang lelaki berusia sekitar 
empat puluh tahunan, dengan perawakan kurus 
tinggi. Lelaki yang dipanggil Kamil melangkah men-
dekati tempat kepala desanya dan Sena serta kakak-
beradik Sanjaya dan Purnama berada. Kemudian 
lelaki itu menjura, memberi hormat, “Ada apa, Ki?” 
“Aku perintahkan agar seluruh warga desa 
berkumpul di sini,” ujar Ki Praba. 
“Baik, Ki. Sekarang juga, Ki Lurah?” sahut Kamil. 
“Ya sekarang. Kapan lagi?” 
“Baik, akan saya laksanakan.” 
Setelah menjura memberi hormat pada keempat 
lelaki yang duduk di bale-bale, Kamil pun beriari-lari 
untuk memberitahukan pada penduduk Desa Karang 
Galuh akan panggilan Ki Praba. Sedangkan temannya 
yang lain, segera membunyikan kentongan panggilan. 
Dalam sekejap saja, semua penduduk desa yang 
mendengar suara kentongan ditabuh dengan keras, 
berduyun-duyun datang ke rumah kepala desa. Di 
wajah mereka, tergambar ketidakmengertian akan 
panggilan itu. 
Ki Praba, Sanjaya, dan Sena atau Pendekar Gila 
sepontan bangun dari duduknya melihat warga desa 
berbondong-bondong datang. Sesaat kemudian 
halaman rumah Kepala Desa Karang Galuh telah 
dipadati warga desa. Terdengar mulut-mulut mereka 
bertanya-tanya. 
“Ada apa Ki Lurah memanggil kami?” salah 
seorang warga bertanya. “Apakah Kala Bendana 
 
 
hendak menyerang desa kita?” 
“Tidak! Bahkan kitalah yang akan menumpas 
gerombolan Kala Bendana!” sahut Ki Praba dengan 
mata berbinar-binar, merasa gembira melihat 
warganya masih menurut dan sangat patuh terhadap 
semua aturan. 
“Apakah kita mampu, Ki Lurah?” warga yang lain 
bertanya. 
Ki Praba tersenyum, kemudian menoleh ke wajah 
Sanjaya, Purnama, dan Sena. 
“Kalian lihat, tiga orang anak buah Kala Bendana 
telah mati di tangan Sena. Berarti kekuatan Kala 
Bendana dapat kita kurangi. Maka itu pula, aku 
mengundang saudara-saudara untuk datang. Aku 
ingin meminta dukungan pada seluruh warga desa 
untuk membuat peti bagi ketiga mayat itu!” ujar Ki 
Praba sambil menunjuk mayat-mayat Tiga Mata Setan 
yang tergeletak di sisi kanan depan rumah dan 
sedang dijaga sepuluh warga desa. 
Semua warga seketika memandang ke arah tiga 
mayat yang ditunjuk Ki Praba. Mata mereka 
membelalak, setelah tahu siapa ketiga mayat itu. 
Tanpa sadar, dari mulut mereka serentak terdengar 
menyebut gelar ketiganya. 
“Tiga Mata Setan...?!” 
“Benar! Mereka Tiga Mata Setan, yang selama ini 
kita takuti. Namun dengan adanya Pendekar Gila di 
desa kita ini, kita tak perlu takut pada mereka,” ujar 
Ki Praba sambil menoleh ke wajah Sena yang 
cengengesan memandang ke langit dengan tangan 
menggaruk-garuk kepala. Seketika semua warga 
kembali tersentak kaget mendengar Ki Praba 
menyebut Pendekar Gila. Tentu saja para warga 
terkejut melihat pendekar muda yang sangat kesohor 
 
 
itu ada di rumah kepala desa. 
“Pendekar Gila?!” seru warga.  
“Ya!” 
“Apakah kau tidak hanya berusaha menenangkan 
hati kami, Ki Lurah?” tanya warga desa tak percaya 
kalau di desa mereka telah datang Pendekar Gila. 
Pendekar yang namanya akhir-akhir ini menjadi 
perbincangan dan sangat dikenal baik di kalangan 
rimba persilatan maupun orang-orang biasa. 
“Tidak! Aku tak pernah berdusta. Lihat oleh kalian 
sendiri! Yang berdiri di sebelah kiri Purnama, adalah 
Pendekar Gila, murid Singo Edan dari Goa Setan,” 
tutur Ki Praba memperkenalkan Sena pada warga 
desanya. Orang-orang semakin membuka mata 
dengan mulut ternganga, setelah tahu kalau selama 
ini orang yang bertingkah laku gila di desanya 
ternyata pendekar sakti. 
Secara serentak semua warga desa menjura, 
padahal tak ada yang memerintah. Mereka baru 
menyadari kalau pemuda berpakaian rompi kulit ular 
itu Pendekar Gila. 
“Terimalah hormat kami, Tuan Pendekar!” seru 
beberapa orang yang di barisan depan. 
“Aha, mengapa kalian berlaku begitu? Aku bukan-
lah dewa, yang patut kalian sembah. Aku manusia 
seperti kalian. Aku datang, karena panggilan nurani-
ku, yang tak suka pada tindak kejahatan. Marilah, 
kita bahu-membahu menghancurkan kejahatan!” ujar 
Sena dengan tingkah lakunya yang konyol persis 
orang gila. Sambil berkata begitu mulutnya 
cengengesa sambil menggaruk-garuk kepala dengan 
tangan kanan. 
“Setuju...!” 
“Kami siap!” 
 
 
“Perintahkan pada kami! Kami telah siap men-
jalankan perintah! Demi keselamatan warga desa...! 
Demi Desa Karang Galuh!” 
“Ya, kita ganyang Kala Bendana!” 
“Kita tumpas kejahatan...!” 
Sorak-sorai yang gemuruh riuh warga desa tampak 
bersemangat menyambut Pendekar Gila, laksana air 
bah yang tak terbendung lagi. Mereka mengeluarkan 
perasaan yang selama ini terpendam, karena tekanan 
rasa takut terhadap Kala Bendana yang mempunyai 
mata-mata di mana-mana. Namun dengan adanya 
Sena, semangat warga desa, yang semula hampir 
padam, kini menyala berkobar. 
“Terima kasih... terima kasih atas kesediaan kali 
an. Namun belum saatnya kita berperang. Aku hanya 
meminta kalian, untuk membuatkan tiga peti. 
Kemudian, kuharap semua warga berwaspada dan 
selalu siap. Karena jika ketiga peti mati itu sampai di 
tempat Kala Bendana, bukan tak mungkin Kala 
Bendana akan mengirim pasukan,” ujar Ki Praba 
penuh wibawa. Peringatan itu tampaknya disambut 
baik seluruh warga desa. Mereka mengangguk-
anggukkan kepala tanda setuju. 
“Kapan kami membuat peti, Ki Lurah?” tanya 
warga. 
“Bila mungkin, saat ini juga!” sahut Sanjaya. “Baik. 
Kami akan membuatnya!” Warga desa dengan hati 
penuh harap agar di nya terbebas dari Kala Bendana, 
segera bekerja. Mereka langsung menebang pohon. 
Ada yang membelah, Ada yang menggergaji. Ada yang 
menghaluskan serta membuat dan merancang. 
Mereka bekerja dengan penuh semangat, bergotong 
royong. 
Ketika mentari bergeser agak ke barat, tiga peti 
 
 
yang diminta kepala desa pun telah selesai dibuat. 
Warga Desa Karang Galuh segera memasukkan 
ketiga mayat itu ke dalam peti. Kemudian mereka 
langsung menggotong ketiga peti itu ke tepi laut 
Dengan menggunakan getek, ketiga peti mati yang 
berisi mayat Tiga Mata Setan dialirkan ke tengah. 
“Kita harus senantiasa siap!” ujar Ki Praba 
kembali memperingatkan warga desanya. 
“Kami siap...!” sahut seluruh warga sambil 
mengangkat ke atas tangan kanan yang memegang 
golok. 
Di laut, getek yang membawa tiga peti mati, 
perlahan-lahan terus bergerak ke tengah. Cepat atau 
lambat getek itu pasti akan ditemukan para anak 
buah Kala Bendana di Pulau Neraka sana. 
*** 
Senja telah datang, sinar mentari redup tak 
sepanas ketika siang. Di Pulau Neraka, nampak dua 
orang prajurit bersenjatakan tombak sedang 
mengawasi sekitar pulau itu. Mata mereka yang 
tajam, memandang ke selatan. Tampaklah samar-
samar daratan tanah Jawa yang hijau. Ketika 
keduanya menajamkan pandangan ke lautan, tiba-
tiba keduanya dikejutkan dengan adanya sebuah 
getek atau rakit yang menuju Pulau Neraka, tempat 
mereka berada. Di atas rakit itu, terdapat tiga peti 
mati. 
“Kala Kuning! Lihat, ada tiga peti di atas rakit!” 
seru Kala Hijau pada temannya sambil menunjuk ke 
laut. Rakit itu bergerak perlahan, semakin mendekat 
ke tepian Pulau Neraka. 
“Hai, benar! Siapakah yang telah mengirim peti 
 
 
mati itu?” gumam Kala Kuning dengan mata masih 
menatap rakit yang di atasnya terdapat tiga peti. 
“Apakah Tiga Mata Setan yang mengirimnya, 
karena mereka telah berhasil membunuh Ki Praba 
serta dua saudara Sanjaya dan Purnama?” tanya Kala 
Hijau menerka-nerka. Matanya terus menatap tajam 
rakit pembawa tiga peti mati. 
“Mungkin juga. Sebaiknya kau lapor pada 
pimpinan, biar aku menunggu di sini!” usul Kala 
Kuning. 
“Baiklah kalau begitu.” 
Kala Hijau pun bergegas meninggalkan tepian 
Pulau Neraka untuk melaporkan hal itu pada 
ketuanya, Kala Bendana. Sementara, Kala Kuning 
menunggu sampai rakit itu menepi, untuk 
mengetahui apa isi peti mati itu. 
Kala Hijau dengan terburu-buru melangkah ke; 
markasnya, di mana tiga pimpinannya berada. Saat 
itu, Kala Bendana, Braga Kunta dan Purba Kelakon 
tengah berkumpul. Nampaknya ketiga pimpinan 
Gerombolan Iblis Merah sedang membicarakan 
sesuatu. 
“Ampun Ketua, Kalau Hijau menghadap,” seru 
lelaki berusia sekitar empat puluh tahun dengan 
wajaH garang berpakaian hijau. Kala Hijau menjura 
hormat. 
Ketiga pimpinan Gerombolan Iblis Merah seketika 
menghentikan pembicaraan mereka. Ketiganya 
langsung menoleh kepada Kala Hijau. 
“Ada apa, Kala Hijau?” tanya lelaki bermuka kasar 
dengan cambang bauk tebal yang tak lain Ka 
Bendana. 
“Kami melihat rakit membawa tiga peti mati,” ujar 
Kala Hijau melaporkan. 
 
 
“Hm, apakah kalian telah memeriksa isinya?” 
tanya lelaki bertubuh gagah berpakaian serba hitam. 
“Belum, Ketua. Itu sebabnya hamba menghadap,” 
jawab Kala Hijau. 
“Baiklah, kami akan segera ke sana,” kali ini yang 
berkata lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun 
dengan jenggot dan kumis tebal yang tak lain Purba 
Kelakon. 
Ketiga lelaki yang memimpin Gerombolan Iblis 
Merah itu melangkah meninggalkan ruang per-
temuan, keluar dari tempat itu. Kala Hijau mengikuti 
di belakang. Mereka melangkah menuju tempat Kala 
Hijau dan Kala Kuning bertugas hari itu. 
“Hm, mungkinkah Tiga Mata Setan telah berhasil 
menunaikan tugasnya?” gumam Kala Bendana. 
“Mungkin juga, Kakang. Tetapi, mengapa hanya 
tiga? Tidak sekalian dengan Pendekar Gila?” tanya 
Braja Kunta, lelaki berusia sekitar enam puluh tahun, 
mengenakan pakaian coklat Pertanyaannya seperti 
bergumam padajdiri sendiri. Matanya memandang ke 
rakit yang semakin mendekat ke pantai. 
“Cepat kau panggilkan teman-temanmu untuk 
menarik rakit itu ke sini!” perintah lelaki berjubah 
ungu dan mengenakan blangkon batik berwarna 
hitam yang bernama Purba Kelakon. 
“Baik, Ketua!” jawab Kala Kuning. Tanpa di-
perintah kedua kalinya, Kala Kuning segera ber-
kelebat pergi untuk memanggil rekan-rekannya. Tidak 
lama kemudian, Kala Kuning telah kembali datang 
dengan dua puluh orang anak buah Gerombolan Iblis 
Merah. Gerombolan Iblis Merah merupakan nama 
baru gabungan antara anak buah Kala Bendana 
dengan Purba Kelakon. 
“Kala Kuning, tarik rakit itu dan angkat peti itu...!” 
 
 
perintah Kala Bendana. 
“Daulat, Ketua!” 
Kala Kuning dan kedua puluh rekannya segera 
menceburkan diri ke laut untuk menarik rakit yang 
jaraknya tinggal lima belas tombak dari daratan. 
Kedua puluh satu anak buah Kala Bendana segera 
berenang mendekati rakit. Kemudian mereka 
menarik dan mendorong rakit kayu itu, semakin 
mendekat ke pimpinan mereka yang menunggu di 
daratan. 
Rakit itu pun sampai. Kala Bendana dan dua ketua 
lainnya segera mendekati anak buah yang meng-
angkat rakit ke daratan. 
Kala Bendana segera membuka satu persatu peti 
mati itu. Seketika mata mereka membelalak, setelah 
tahu isi peti mati itu. Dari mulut mereka mendesis, 
menyebutkan nama ketiga orang yang telah mati. 
“Tiga Mata Setan...!” 
“Kurang ajar! Mereka benar-benar mencari 
penyakit! Berani benar mereka menghinaku!” dengus 
Kala Bendana geram. Gigi-giginya saling beradu, 
menandakan kemarahannya sudah tak terbendung 
lagi. Tangannya mengepal-ngepal; sepertinya siap 
meremukkan batok kepala orang yang telah berani 
mengirim mayat ketiga anak buah kepadanya, “Akan 
kuremukkan batok kepalanya!” 
“Sabar, Adi Kala Bendana! Kita tidak boleh 
terbawa perasaan kita,” ujar Purba Kelakon berusaha 
menyabarkan rekannya yang tampak sudah sangat 
marah, “Kau harus ingat. Tentunya orang yang 
mengirim Tiga Mata Setan bukanlah tokoh sem-
barangan. Tiga Mata Setan bukan orang-orang 
sembarangan. Ilmu mereka jelas tinggi. Namun 
mengapa mereka sampai mati dengan muka 
 
 
gosong?” 
Kala Bendana terdiam. Namun wajahnya masih 
menggambarkan amarah yang meluap-luap. Dia 
benar-benar merasa dihina oleh orang yang mengirim 
ketiga peti mati beserta isinya. 
“Benar, Kakang. Apa yang dikatakan Kakang 
Purba Kelakon memang benar. Jelas yang melakukan 
semua ini, bukan orang sembarangan seperti Ki 
Praba dan dua bersaudara Sanjaya dan Purnama. 
Hm, aku jadi yakin, tentunya pendekar itu ada di Desa 
Karang Galuh,” gumam Braga Kunta, bekas anggota 
Gerombolan Serigala Hitam itu. Braga Kunta adalah 
kawan seperguruan dengan Beruk Ireng yang dibunuh 
Sanjaya dalam pesta gila. 
“Bagaimana kau bisa yakin kalau ini semua 
tindakan Pendekar Gila...?” tanya Kala Bendana 
dengan kening mengerut, belum percaya. 
“Kau lihat wajah mereka seperti terbakar, 
Kakang?” 
“Ya!” 
“Kau tahu, kenapa mereka, Kakang?” 
“Tidak!” sahut Kala Bendana cepat. 
Braga Kunta menarik napas dalam-dalam. 
Matanya menatap tajam pada mayat Tiga Mata 
Setan. Ada dua kemungkinan yang sedang dipikirkan. 
Kala Bendana memandangi wajah adik seperguruan-
nya yang nampak kalem, seakan ada sesuatu yang 
sedang dipikirkan Braga Kunta. 
“Ada dua kemungkinan yang menjadikan ketiga-
nya mati.” 
“Apa itu?” desak Kala Bendana ingin tahu.  
“Pertama, mereka menyerang dengan ilmu Mata 
Setan, dan ditangkis oleh Suling Naga Sakti milik 
Pendekar Gila...,” tutur Braga Kunta. 
 
 
“Ah, bagaimana mungkin hanya sebuah suling bisa 
mengembalikan sinar api mereka?” bantah Kala 
Bendana tak percaya. 
Braga Kunta tersenyum sambil menghela napas, 
kemudian digeleng-gelengkan kepalanya. 
“Memang kalau belum melihat dengan mata 
kepala sendiri, sulit untuk dipercaya, Kakang. Suling 
itu memang merupakan senjata sakti bagi Pendekar 
Gila. Itu pula yang menjadikannya semakin ber-
tambah sakti,” jawab Braga Kunta. 
“Hm,” gumam Kala Bendana tak jelas, “Lalu 
kemungkinan kedua?” 
Braga Kunta tak langsung menjawab. Kembali dia 
menghela napas panjang, berusaha menenangkan 
hatinya. Bagaimanapun dirinya belum pernah bentrok 
melawan Pendekar Gila. Namun setidaknya tokoh 
dalam Serigala Hitam ini sering mendengar sepak 
terjang pendekar muda itu. Dan selama ini, di-
dengarnya kalau pendekar muda itu belum ada yang 
mampu mengalahkannya. Itu juga yang membuat 
Braga Kunta merasa cemas, karena bagaimanapun 
tidak mudah bagi mereka untuk dapat mengalahkan 
pendekar murid Singo Edan penghuni Goa Setan itu 
“Kemungkinan kedua, Tiga Mata Setan terkena 
sinar sakti dari sepasang mata kepala Naga di Suling 
Naga Sakti milik Pendekar Gila.” 
“Heh?!” 
“Hah?!” Kala Bendana dan Purba Kelakon 
tersentak mendengar penuturan Braga Kunta. 
Mereka baru mendengar tentang suling yang mampu 
mengeluarkan sinar sakti. Selama ini, mereka 
menganggap senjata-senjata mereka yang berbentuk 
caping maut dan sangat besar merupakan senjata-
senjata sakti, dan tak ada lagi senjata sakti lainya. 
 
 
“Lalu apa yang harus kita lakukan?” tanya 
Bendana minta pendapat dari adik seperguruannya 
yang lebih cerdas dibandingkan dengan dirinya. 
“Kita kirim pasukan ke Desa Karang Galuh. 
Sebisanya, harus ada yang hidup untuk melaporkan 
pada kita akan apa yang sebenarnya ada di Desa 
Karan Galuh,” usul Braga Kunta. 
“Benar! Aku setuju,” sambut Purba Kelakon. 
“Baiklah kalau begitu. Kala Hijau, kau pimpin d puluh 
orang untuk menyerbu ke Desa Karang Galuh. 
Sebisanya, kau harus memberi laporan ke sini!” pe 
rintah Kala Bendana. 
“Baik, Ketua!” jawab Kala Hijau. Sore itu pula, Kala 
Hijau dengan dua puluh anak buah Gerombolan Iblis 
Merah berangkat untuk mela kukan penyerbuan ke 
Desa Karang Galuh sekali memeriksa benar tidaknya 
kalau Pendekar Gilaa di desa tersebut. 
*** 
 
 
 
 
 
Malam baru saja tiba dengan gelap yang menyelimuti 
bumi. Begitu pula keadaan di Desa Karang Galuh, 
gelap bagaikan sebuah kelambu raksasa yang 
membentang dan menyelimuti desa itu. Namun, lain 
dengan malam-malam biasa yang sepi, malam itu 
Desa Karang Galuh kelihatan masih hidup. Masih 
banyak warga yang berlalu-lalang di pantai. Atau di 
dalam desa yang terletak di pesisir laut itu. 
Semenjak sore Sena, Sanjaya, dan Purnama 
berada di rumah Ki Praba. Seperti biasanya, mereka 
duduk-duduk di bale-bale bambu di ruang tengah. 
Malam itu mereka menyusun rencana untuk dapat 
menghancurkan Gerombolan Iblis Merah. Namun 
saat itu, bukan hanya keempat orang pendekar saja. 
Ada sekitar sepuluh orang warga desa ikut ber-
bincang-bincang bersama kepala desa mereka. 
“Apakah Nak Sena yakin kalau Kala Bendana akan 
mengirim pasukannya?” tanya Ki Praba seperti belum 
yakin, kalau Kala Bendana akan mengirim pasukan. 
“Aha, kurasa begitu, Ki. Dengan kematian tiga 
orang utusannya, Kala Bendana akan marah,” jawab 
Sena dengan mulut cengengesan. 
“Hm, tetapi sudah malam, mereka belum datang,” 
gumam Ki Praba melemparkan pandangan ke utara. 
Jarak rumah Ki Praba dengan pesisir, tidak begitu 
jauh. Hanya sekitar seratus tombak. 
“Mungkin Kala Bendana sedang mengatur siasat. 
“Ya! Kurasa begitu,” Purnama menimpali. “Bagai-
manapun penjagaan di pesisir harus kuat. Kita juga 
 
 
harus siap jika Kala Bendana menggunakan siasat 
yang di luar dugaan kita. Bukan begitu, Kakang 
Sena?” Kali ini Purnama   menyebut kakang terhadap 
Pendekar Gila, sebagai tanda hormatnya. 
“Aha, kau benar, Purnama. Bisa saja Kala 
Bendana melakukan serangan tidak dari laut. 
Mungkin saja dari arah timur, barat, ataupun 
selatan,” jawab Pendekar Gila. Jawaban itu membuat 
Ki Praba mengangguk-anggukkan kepala. 
“Parlan, apakah batas desa telah dijaga ketat?” 
tanya Ki Praba kepada utusannya yang bernama 
Parlan. 
“Sudah, Ki.” jawab Parlan tegas. 
“Bagus! Kurasa kita memang harus waspada. 
Selain licik, mereka terkenal bengis dan buas. Mereka 
tak segan-segan membunuh siapa saja, tanpa 
mengenal belas kasihan,” gumam Ki Praba. 
Tiba-tiba dari arah utara seorang penduduk desa 
nampak berlari-lari menuju rumah. Hal itu membu? 
orang-orang yang berada di rumah kepala desa 
seketika menoleh kepada lelaki, berusia sekitar tiga 
puluh tahun yang menuju ke tempat itu. 
“Musuh datang, Ki Lurah,” seru lelaki kurus ber 
kumis tipis itu dengan napas tersengal-sengal. 
“Hm, benar juga dugaanmu, Nak Sena. Mari, kita 
sambut kedatangan mereka! Parlan, perintahkan 
para para penjaga batas desa untuk ke pesisir!” 
perintah Praba kepada Parlan.  
“Baik, Ki Lurah.” 
“Ah ah ah...! Kurasa malam ini kita akan pesta 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. 
“Kita harus ke pesisir. Ayo...!” ajak Ki Praba. 
Mereka pun segera berlarian menuju pesisir untuk 
menyambut kedatangan anak buah Gerombolan Iblis 
 
 
Merah. Sedangkan Parlan, kini berlari untuk meng-
hubungi rekan-rekannya yang bertugas menjaga di 
perbatasan Desa Karang Galuh. 
*** 
Dari arah utara, masih dalam jarak sekitar seratus 
tombak nampak sebuah perahu berlayar menuju ke 
pesisir. Di dalam perahu itu, terlihat dua puluh satu 
orang mengenakan pakaian serba hitam dengan 
wajah tertutup kain ala ninja. Di punggung mereka, 
bertengger pedang panjang. 
“Jangan kita serang dulu, sebelum mereka turun!” 
perintah Ki Praba pada warga desa yang bersembunyi 
di balik rerumputan tinggi yang tumbuh di pesisir 
pantai. Sedangkan Sena, kini dengan tenang duduk 
bertengger di sebuah cabang pohon besar. 
Mata Sena terus mengawasi gerak-gerik pasukan 
berpakaian hitam yang masih berada di atas perahu. 
Mulutnya cengengesan, tangannya menggaruk-garuk 
kepala. Sengaja Sena naik ke pohon, agar dapat 
memantau gerak-gerik kedua puluh satu orang yang 
semakin bertambah dekat ke pesisir. 
“Aha, kurasa sebentar lagi akan ada pesta besar,” 
jumam Sena dengan mulut cengengesan sambil 
menggaruk-garuk kepala. Matanya kemudian me-
mandang rerumputan yang paling dekat dengan 
pantai, empat Sanjaya dan Purnama, serta Ki Praba 
berada. Orang-orang berpakaian serba hitam itu 
berlompatan turun dari perahu, karena telah sampai 
di depan. Mata mereka memandang tajam ke 
sekeliling tempat itu. Kemudian seorang yang ber-
jalan di depan menggerakkan tangan kanan, me-
merintah pada kedua puluh temannya agar bergerak 
 
 
maju. 
Mereka baru saja berjalan sekitar sepuluh langkah 
meninggalkan perahu ketika tiba-tiba dari semak-
semak terdengar seruan Ki Praba memerintah pada 
warganya untuk menyerang.  
“Serang...!”  
“Hea!”  
“Yea!” 
Dari semak-semak yang lebat, bermunculan warga 
desa dengan senjata terhunus menyerang dua puluh  
satu manusia berpakaian hitam. Pasukan ber-
selubung kain hitam itu tersentak kaget. Lalu segera 
mencabuti pedang yang tersampir di pundak masing-
masing. 
“Serbu!” perintah Kala Hijau terdengar. Tangan-
nnya bergerak memberi isyarat agar menyerang. 
Kedua puluh anak buah segera merangsek maju 
memapak serangan dari warga Desa Karang Galuh. 
Srtttl Srttt! 
“Heaaa...!” 
Trang! Trang! Trang! 
“Heaaa...!” 
Malam itu pun pertarungan seru tak dapat di-
cegah. Mereka membaur dalam persabungan nyawa 
yang menggariskan. Siapa yang lengah, akan 
menemui ajal. Suasana di pesisir yang semula tenang 
dan indah seketika berubah menjadi ajang per-
tarungan. Jeritan-jeritan kematian dan pekikan 
menyerang, terdengar membelah kegelapan malam. 
Kemarahan seluruh warga Desa Karang Galuh seperti 
menemukan tempat pelampiasan. Mereka bertemu 
dengan sepasukan berpakaian hitam yang marah 
karena Tiga Mata Setan terbunuh. 
Sena masih bertengger di atas cabang sebuah 
 
 
pohon sambil cengengesan dengan tangan meng-
garuk-garuk kepala. Matanya terus menyaksikan per-
tarungan seru itu. Digeleng-gelengkan kepalanya, 
seakan berusaha membuang perasaan hatinya yang 
sedih. Sedih melihat nyawa-nyawa manusia harus 
melayang. Sedih melihat keangkaramurkaan se-
nantiasa datang menjarah dan menyusahkan 
manusia yang tidak berdosa. Seperti yang sedang 
dialami warga Desa Karang Galuh. 
“Jagat Dewa Batara! Sampai kapan pertumpahan 
darah berakhir?” gumam Sena sambil menggaruk-
garuk kepala. 
“Bantu Ki Lurah! Serang...!” dari arah timur, dua 
puluh warga langsung membantu Ki Praba meng-
hadapi pasukan yang dikirim Kala Bendana. 
“Hea!” 
Wrttt! 
Trangngng! 
Dentang suara benturan pedang, golok, dan keris 
terus terdengar memecah keheningan malam. 
Teriakan dan pekikan keras penuh kemarahan ber-
baur dengan suara ombak laut. 
Cras! 
“Akh...!” 
Bersamaan jeritan itu, menggelepar sesosok tubuh 
manusia, terbanting di pasir. Sesaat tubuh itu menge-
ang sekarat, kemudian diam bersimbah darah. 
Meski dikeroyok puluhan warga desa, nampaknya 
anak buah Kala Bendana tidak gentar sedikit pun. 
Mereka terus menghadang serangan dengan penuh 
keberanian. Pedang panjang di tangan mereka ber-
gerak cepat membabat dan menangkis seran golok 
warga desa yang juga kalap. Pertarungan semakin 
seru. Seakan-akan tak ada tanda bakal berhenti. 
 
 
Sementara angin laut bertiup kencang. Dingin men-
cekam. 
“Habisi mereka...!” teriak Sanjaya dengan lantang, 
kemudian tubuhnya berkelebat menghadang Kala 
Hijau yang sedang mengamuk sambil menebaskan 
pedangnya menyerang lima warga desa yang 
menyerangnya,  
“Aku lawanmu! Hea...!” 
Dengan penuh kemarahan dan dendam, Sanjaya 
segera menyerang Kala Hijau. Pedang di tangannya 
bergerak cepat dengan jurus 'Tapak-Tapak Dewa Air' 
Gerakan pedang di tangan Sanjaya, tak ubahnya se 
perti air yang mengalir. Sekali serangan gagal, tahu-
tahu pedangnya telah kembali menyerang dengan 
tusukan dan tebasan ke tubuh lawan. Cepat dan 
beruntun! 
“Heaaa...!” 
Wuttt! Wuttt! 
“Aits...!” Kala Hijau tersentak kaget, segera 
dimiringkan tubuhnya ke samping kiri mengelak. Hal 
itu membuat tusukan pedang Sanjaya melesat 
beberapa jari di samping kanannya. Namun belum 
juga Kala Hijau mengubah kedudukan, dengan cepat 
Sanjaya telah mengirimkan sebuah tendangan kaki 
kanannya. 
“Yea!” 
Wrettt! 
“Heh?!” Kala Hijau tersentak kaget, tak 
menyangka kalau lawan akan menyerang dengan 
tendangan! Dirinya berusaha menangkis dengan 
membabatkan pedang ke kaki lawan. 
“Hih...!” 
Wuttt! 
Sanjaya segera menarik kaki kanannya dengan 
 
 
cepat. Kemudian menyusulkan pukulan tangan kiri-
nya ke dada lawan secepat pedang lawan terangkat. 
“Hea!” 
Degk! 
“Ukh...!” Kala Hijau melenguh tertahan. Tubuhnya 
terhuyung-huyung ke belakang. Matanya memandang 
ke sekelilingnya, berusaha mencari Pendekar Gila. 
Namun tak dilihatnya Pendekar Gila berada di tempat 
itu. 
“Hm, aku harus pergi untuk memberitahukan pada 
Ketua, bahwa di sini tak ada Pendekar Gila,” gumam 
hati Kala Hijau sambil berusaha mengelakkan 
serangan-serangan Sanjaya yang cepat dan me-
matikan. 
“Mampuslah kau, Bajingan! Hea...!” dengan di-
landasi perasaan marah dan dendam, Sanjaya terus 
menyerang. Pedang di tangannya menyambar-nyabar 
ke tubuh Kala Hijau. Namun, dengan cepat Kala Hijau 
melentingkan tubuh ke atas. Kemudian dengan 
lompatan ' Harimau'-nya Kala Hijau melesat menuju 
laut. Dan tanpa rasa takut, Kala Hijau langsung men-
cebur ke laut. 
Byurrr! 
“Hai, mau lari ke mana kau, Bajingan!” bentak 
Sanjaya seraya mengejar. Namun tubuh Kala Hijau 
telah menghilang, tenggelam ke dalam laut. Sanjaya 
tak peduli, terus memandangi laut tempat tubuh Kala 
Hijau tenggelam, menunggu sampai Kala Hijau 
muncul. 
Lama sekali Sanjaya menunggu, tetapi Kala Hijau 
tak juga muncul ke permukaan. Kala Hijau bagaikan 
tenggelam di dasar laut Merasa lawan sudah tak aka 
muncul lagi, Sanjaya pun kembali berkelebat ke 
tempat pertempuran. 
 
 
*** 
Pertarungan semakin seru, dengan kehadiran 
Sanjaya yang langsung mengganas. Namun, per-
tempuran kini nampak tak seimbang lagi. Kedua 
puluh lawan, mulai terdesak. Apalagi dengan 
kehadiran Sanjaya. Pedang di tangan pemuda ber-
pakaian kuning itu bagaikan haus darah. Sekali 
berkelebat, seketika itu pula nyawa melayang. 
“Hea!” 
Wrt! 
“Akh...!” satu orang lawan terbabat pedang 
Sanjaya. Perutnya terkoyak dengan usus terburai 
keluar. Tubuh lelaki berpakaian hitam itu meregang. 
Kemudian menggelepar-gelepar dan diam tak 
bernyawa. 
Sanjaya dan Purnama bagaikan dua ekor banteng 
teriuka. Marah! Pedang di tangan mereka, bergerak 
cepat dengan jurus andalan 'Sepasang Pedang Dewa 
Angin'. Jurus itu sangat dahsyat, terbukti pedang di 
tangan kedua kakak-beradik itu bagaikan meng-
hilang. Yang nampak hanya kilatan-kilatan samar. 
“Heaaa!” 
“Yeaaa!” 
Wrt! Wrttt! 
Dengan jurus pemungkas, Sanjaya dan Purnama 
terus merangsek lawan-lawannya. Pedang mereka 
menebas dan menusuk sangat cepat. Sehingga sulit 
bagi lawan untuk dapat mengelakkan serangan 
mereka. 
Wrttt! 
Brettt! 
“Akh...!” kembali pedang di tangan Sanjaya me-
minta korban. Kali ini leher lawannya sebagai 
 
 
sasaran. Leher itu hampir putus. Darah menyembur 
deras. Sesaat tubuh korban menggelepar, kemudian 
diam. Tewas! 
Purnama pun tak mau kalah. Dengan jurus yang 
sama pemuda itu bergerak cepat menusukkan 
pedang ke lawan-lawannya. Gerakan menusuknya 
sangat cepat. Sehingga lawan tak mampu bergerak 
untuk mengelak. 
“Hea!” 
Wrttt! 
Blesss! 
“Aaakh...!” seorang lawan tertembus pedang di 
tangan Purnama sampai ke punggung. Dan ketika 
Purnama mencabut pedangnya, saat itu pula nampak 
tubuh bagian dada lawan berlubang dan menyem-
burkan darah deras, membasahi sekujur tubuh. Lelaki 
berpakaian hitam itu terbelalak. Tubuhnya menge-
jang, kemudian ambruk mencium tanah dan mati. 
Di pihak lain, Ki Praba dan warga desa pun tak 
mau kalah. Mereka mengamuk dengan ganas, men-
desak lawan-lawannya. 
“Bunuh semuanya..!” teriak Ki Praba. 
“Habisi mereka...!” warga menyahuti dengan 
mengangkat senjata mereka. Salah seorang warga 
membawa pentungan sepanjang lengan. Dipentung-
kannya kayu itu ke rubuh manusia berpakaian hitam 
dari belakang. 
Pletakkk! 
“Aduh...!” orang itu menjerit. Pedangnya terlepas. 
Kemudian tangannya langsung memegangi kepala 
yang pecah akibat pentungan salah seorang warga 
desa. Tubuhnya berputar-putar sambil terus men-
dekap kepalanya yang pecah. Darah merembes 
keluar bercampur otak. Tubuhnya melemas, lalu 
 
 
ambruk mencium pasir pantai. 
Pendekar Gila yang masih bertengger di atas 
cabang pohon tak mau tinggal diam. Ketika ada salah 
seorang lawan melenting ke udara, dengan cepat 
tangannya bergerak menyambar pakaian orang itu.  
Trep! 
“Hi hi hi...! Mau lari ke mana, Kawan?” tanya Sena 
sambil cengengesan dengan tangan kiri menggaruk-
garuk kepala. Diangkatnya tubuh orang itu tinggi-
tinggi. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalam 
dilemparkan tubuh orang itu ke atas. 
Werrr! 
“Wuaaa...! Tolooong...!” tubuh orang itu terlontar 
ke atas, kemudian menukik ke bawah dengan cepat 
Kepalanya berada di bawah. Sehingga ketika sampai 
di tanah, tubuh itu langsung menancap dengan 
kepala terbenam di tanah. 
“Hua ha ha...!” Sena tertawa terbahak-bahak 
sambil menggaruk-garuk kepala, menganggap 
kejadian itu sebuah lelucon. “Lucu...! Lucu sekali! Ada 
juga orang yang main akrobat dalam pertempuran 
seperti ini.” 
Sisa pasukan berpakaian hitam yang tinggal lima 
orang itu, kini semakin bertambah ketakutan. Apalagi 
setelah mereka tahu kalau Pendekar Gila ada di situ. 
Mereka merasa telah ditipu mentah-mentah oleh 
Pendekar Gila, yang bersembunyi dan bertengger di 
cabang pohon. 
“Heaaa!” 
Salah seorang dari kelima menusia berpakaian 
hitam itu melesa hendak menyerang Pendekar Gila, 
namun ketika tubuhnya sedang melayang ke atas, Ki 
Praba mendadak membabatkan pedangnya ke atas. 
“Hih!” 
 
 
Wrt! 
Cras! 
“Akh...!” orang yang melayang hendak menyerang 
Pendekar Gila seketika terbanting. Perutnya me-
nganga, tersambar pedang kepala desa itu. 
“Hua ha ha...!” Pendekar Gila tertawa-tawa sambil 
berjingkrakan seperti seekor kera di atas pohon, “Ah 
ah ah, kau telah berjasa padaku, Ki.” 
Ki Praba hanya tersenyum melihat tingkah laku 
Sena yang konyol. Yang lain bertempur, Pendekar Gila 
justru berjingkrakan sambil tertawa terbahak-bahak 
dengan tangan menggaruk-garuk kepala. Kalau saja 
yang bertingkah begitu bukan Pendekar Gila, Kepala 
Desa Karang Galuh itu tentu marah dan menganggap 
orang itu pengecut yang hanya berani sembunyi. 
Pertarungan semakin tak seimbang. Empat orang 
berpakaian hitam terdesak semakin hebat Apalagi 
dua di antara gerombolan itu kini harus menghadapi 
Sanjaya dan Purnama yang berilmu di atas mereka. 
“Hea!” 
Dengan penuh amarah Sanjaya menggebrak. 
Dengan jurus 'Angin Menuai Bunga' pemuda itu 
membabatkan pedangnya ke tubuh lawan yang 
semakin kewalahan. Lawan kini bagaikan tak diberi 
kesempatan sedikit pun untuk melakukan serangan. 
Bahkan kini untuk mengelak pun seperti kehilangan 
ruang geraknya. Ke mana dia melesat, ke situ pula 
pedang Sanjaya memburu. Sampai akhirnya.... 
“Heaaa...!” 
Bret! 
“Akh...! pedang Sanjaya kembali memakan korban. 
Tubuh lawan sesaat menggelepar dengan perut mem-
burai. Kemudian diam tak bernyawa. Bersamaan 
dengan itu pula, Purnama pun menusukkan pedang-
 
 
nya ke leher lawan.  
“Hea!”  
Suiiit! Bret!  
“Akh...!” 
Leher lawan pun seketika tertembus pedang 
Purnama, hingga hampir putus. Dalam sekejap saja, 
kini anak buah Kala Bendana habis tak tersisa lagi. 
Warga Desa Karang Galuh bersorak-sorai penuh 
kemenangan, meski pengorbanan di pihak mereka 
tidak sedikit 
“Hidup Ki Praba...!” 
“Hidup dua pendekar bersaudara...!” 
“Hidup Desa Karang Galuh...!” 
Warga desa segera mengangkat tubuh Ki Praba, 
dan membawanya ke desa. Mereka bagaikan melupa-
kan apa yang baru saja terjadi, bahkan melupakan 
korban-korban yang bergeletakan ke pasir pantai. 
Warga desa terus mengarak kepala desa mereka 
berkeliling desa dengan penuh kegembiraan. 
*** 
 
 
 
 
 
Kala Hijau yang luput dari kematian setelah bertarung 
melawan warga Desa Karang Galuh, dengan ilmu 
'Katak'-nya berhasil mencapai Pulau Neraka. Namun 
begitu, dadanya terasa sakit akibat pukulan Sanjaya. 
Dengan sisa-sisa tenaganya Kala Bendana terus 
berusaha menuju Pulau Neraka, tempat markasnya 
berada. 
“Ukh! Sakit sekali dadaku,” keluh Kala Hijau 
sambil terus berenang. 
“Hai?! Kala Hijau, kaukah itu...?!” terdengar suara 
Kala Kuning berseru. 
“Ukh! Tolong aku, Kuning,” pinta Kala Hijau sambil 
menggapai-gapaikan tangan kanannya. 
Kala Kuning yang saat itu sedang jaga bersama 
Kala Merah dan Kala Biru segera mendekat dan 
menolong Kala Hijau. Mereka memapah tubuh Kala 
Hijau yang lemas ke darat Kemudian ketiganya 
mengantar Kala Hijau menemui pimpinan mereka, di 
dalam markas. 
Saat itu Kala Bendana tengah merenung seorang 
diri, menunggu kedatangan salah seorang anak 
buahnya. Dirinya terkejut, ketika Kala Hijau dengan 
dipapah tiga temannya datang menghadap. 
“Kala Hijau, kau telah pulang. Bagaimana keadaan 
di Desa Karang Galuh...?” tanya Kala Bendana. 
“Ampun, Ketua. Di sana tak ada Pendekar Gila. 
Yang ada hanya Sanjaya dan Purnama. Namun 
begitu, ternyata ilmu silat Sanjaya dan Purnama 
sangat tinggi. Entah bagaimana nasib kedua puluh 
 
 
rekan hamba,” Kala Hijau melaporkan sambil 
meringis-ringis menahan rasa sakit di dadanya. 
“Apakah kau yakin, di sana tak ada Pendekar 
Gila?” tiba-tiba dari dalam muncul Braga Kunta diikuti 
Purba Kelakon. 
“Yakin, Ketua. Hamba telah berusaha mencari 
Pendekar Gila, tapi memang tak ada;” ujar Kala Hijau 
meyakinkan. 
“Hm...!” gumam Braga Kunta tak jelas. Diangguk-
anggukkan kepalanya, seperti percaya. Namun 
kemudian menggeleng-geleng dengan bibir mengurai 
senyum, “Aku tak percaya, Kala Hijau. Betapapun 
kehebatan Sanjaya dan Purnama, mereka tak akan 
mungkin dapat mengalahkan Tiga Mata Setan!” 
ujarnya dengan sinis. 
“Tapi, Ketua...!” 
“Kau tak tahu, kalau Pendekar Gila mungkin 
sengaja sembunyi, dengan harapan dapat me-
mancing kami,” ujar Purba Kelakon dengan senyum 
sinis mengembang di bibirnya. Kepalanya meng-
geleng-geleng, tak percaya. 
“Jelas, Pendekar Gila memang menantang kami!” 
timpal Braga Kunta dengan suara penuh ketegasan. 
“Kita harus ke sana! Masak menghadapi Pendekar 
Gila kita akan kalah?!” dengus Kala Bendana tak 
sabar. Ingin rasanya Kala Bendana segera berangkat 
ke Desa Karang Galuh, untuk bertemu dengan 
Pendekar Gila. Dirinya memang belum pernah ber-
temu dengan Pendekar Gila. Sehingga ingin menjajaki 
sampai sejauh mana ilmu silat pendekar muda, yang 
namanya sangat kesohor itu. 
“Sabar, Kakang! Kita....” 
Belum selesai Braga Kunta berkata, Kala Bendana 
telah menukasnya dengan cepat. 
 
 
“Braga Kunta, sejak kapan kau menjadi pengecut, 
heh?! Kalau kau takut menghadapi Pendekar Gila, 
biar aku sendiri yang menghadapinya! Kau dan 
Kakang Purba Kelakon menghadapi Ki Praba dengan 
dua orang cecunguknya!” sentak Kala Bendana keras 
dan tajam. Sehingga Braga Kunta tak dapat berkata-
kata, untuk membantah. Dirinya tahu bagaimana sifat 
kakak seperguruannya. Jika sudah menentukan, 
maka tak ada yang bakal mampu menghalanginya. 
“Aku tak takut, Kakang!” 
“Kalau begitu, kita segera ke sana!” 
“Malam ini juga...?” tanya Purba Kelakon. 
“Ya! Malam ini juga.” 
Malam itu juga, Kala Bendana dan sepuluh anak 
buahnya berangkat ke Desa Karang Galuh untuk 
melakukan penyerbuan kedua. Kala Bendana tak 
sabar lagi untuk segera menyingkirkan Ki Praba dan 
dua kakak-beradik Sanjaya dan Purnama. Dengan 
menggunakan perahu, mereka pun berangkat 
menyeberangi laut menuju selatan. 
*** 
Di rumah Kepala Desa Karang Galuh, malam itu 
penduduk desa nampak berkumpul. Setelah 
kemenangan atas pertarungan melawan anak buah 
Kala Bendana, mereka hendak melakukan syukuran. 
Mereka sibuk dengan kegiatan di rumah Ki Praba. 
Acara syukuran atas kemenangan mereka ber-
tarung melawan anak buah Kala Bendana baru saja 
hampir dilakukan. Namun ketika Ki Praba hendak 
membaca doa tiba.... 
“Tolooong...! Tolooong...!” 
Dari arah barat, terdengar jeritan ketakutan 
 
 
seorang wanita. Hal itu membuat semua orang yang 
berkumpul di rumah Ki Praba tersentak kaget. 
Serentak mereka saling pandang, kemudian bangkit 
dan segera berhamburan keluar. 
Di sebelah barat nampak api berkobar-kobar. 
Sepertinya tengah terjadi kebakaran. Dari arah yang 
sama, beberapa orang wanita berlarian menuju 
rumah kepala desa. 
“Aha, kurasa itu bukan kebakaran biasa, Ki,” ujar 
Sena dengan mata menyipit serta kening mengerut 
Firasatnya sebagai seorang pendekar, mengatakan 
bahwa kebakaran di sebelah barat Desa Karang 
Galuh, bukan kebakaran biasa. Pasti ada yang 
sengaja membakar. Telinganya yang tajam, men-
dengar suara gelak tawa seseorang yang bersuara 
besar dan keras di tempat kebakaran itu. 
“Maksudmu?” tanya Ki Lurah Praba. 
“Apakah Kala Bendana memiliki suara berat dan 
keras?” Pendekar Gila balik bertanya. 
“Benar,” sahut Sanjaya. 
“Aha, kalau begitu mereka datang, Ki Lurah!” 
“Kala Bendana...?!” hampir semua tersentak kaget 
mendengar, ucapan Sena. 
“Benar! Kala Bendana datang,” jawab Sena tegas. 
Mereka semakin tersentak kaget, ketika lima 
orang wanita yang berlari menuju rumah Ki Lurah 
berteriak-teriak menyebut nama Kala Bendana. 
“Tolong, Ki Lurah! Kala Bendana mengamuk, 
mencari Ki Lurah dan Pendekar Gila...!” salah seorang 
dari wanita penduduk Desa Karang Galuh menutur-
kan dengan wajah cemas. 
“Hm, mengapa tak langsung ke rumahku saja?” 
gumam Ki Lurah Praba. 
“Mereka membakari rumah, memperkosa anak 
 
 
kami,” tutur yang lain. 
“Aha, jelas ini tak bisa didiamkan, Ki. Aku akan ke 
sana,” ujar Sena. Kemudian sebelum Ki Praba 
sempat berkata, tubuhnya telah melesat laksana 
terbang menghilang di kegelapan malam. 
“Kita harus membantunya! Ayo...!” ajak Ki Praba. 
Kini semua bergerak menuju tempat kobaran api 
kebakaran. 
*** 
Kala Bendana dan anak buahnya benar-benar 
melampiaskan kemarahan dengan membakar rumah-
rumah penduduk. Menyeret anak gadis, kemudian 
dengan biadab memperkosa di tempat terbuka, 
disaksikan anak buahnya. 
“Hua ha ha...!” Kala Bendana tertawa terbahak-
bahak setelah melampiaskan nafsu setannya pada 
seorang gadis. “Mana Pendekar Gila, hadapi aku! 
Lihat Pendekar Gila, aku Kala Bendana telah datang 
menantangmu! Keluarlah kau, Pangecut.” 
Braga Kunta saudara seperguruannya hanya 
mampu menghela napas panjang mendengar seruan 
Kala Bendana yang sangat keterlaluan. Bagaimana 
pun, Braga Kunta merasa kalau kakak seper-
guruannya terlalu sombong dan takabur. Apalagi 
dengan memperkosa gadis, yang merupakan 
pantangan baginya. Namun Kala Bendana nampak-
nya tak peduli. Keangkuhan dan kesombongannya, 
telah membuat Kala Bendana merasa, di dunia ini tak 
ada yang sakti, kecu 
“Ayo, keluarlah Pendekar Gila, Pengecut! Hua ha 
ha...! Rupanya Pendekar Gila hanya seekor kecoa 
busuk yang pengecut dan penakut! Hua ha ha...!” 
 
 
Kala Bendana tertawa terbahak-bahak disertai 
dengan ejakan dan hinaan yang ditujukan pada 
Pendekar Gila. 
“Hua ha ha...! Lucu sekali..., lucu sekali! Ada babi 
tolol yang berteriak di tengah malam!” 
Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari kejauhan. 
Hal itu membuat Kala Bendana dan para anak 
buahnya tersentak kaget. Suara itu dirasakan begitu 
keras hingga memekakkan telinga yang mendengar. 
“Pendekar Gila...!” seru Braga Kunta yang merasa 
yakin kalau suara itu milik Pendekar Gila. 
“Cuih! Kalau kau benar Pendekar Gila, keluarlah!” 
tantang Kala Bendana, “Apa kau tak melihat, aku 
memperkosa gadis! Kalau kau memang berani, 
hadapi aku!” teriaknya dengan suara lantang.  
“Aku di sini, Babi Tolol. Hi hi hi...!”  
Kala Bendana dan anak buahnya semakin 
terperanjat. Mata mereka terbelalak ketika entah dari 
mana, tiba-tiba Pendekar Gila telah berdiri di 
belakang Kala Bendana berjarak sekitar tiga tombak. 
Tingkahnya cengengesan sambil menggaruk-garuk 
kepala dengan tangan. 
Dilihat dari cara keluar dan kemunculannya yang 
tiba-tiba dan tak diketahui, seharusnya Kala Bendana 
menyadari kalau ilmu pemuda bertingkah laku gila itu 
tinggi. Namun, kesombongan dan kecongkakan, telah 
menyebabkan Kala Bendana tak mau membuka 
mata. Bahkan dia semakin bertambah angkuh. 
“Hm, jadi kau Pendekar Gila itu?!” bentak Kala 
Bendana dengan mata membelalak tajam pada 
Pendekar Gila. 
Wajah Pendekar Gila pun telah berubah merah. 
Hal itu sebagai tanda kalau hatinya telah marah, 
menyaksikan semua tindakan Kala Bendana yang 
 
 
sangat biadab. 
“Ya! Aku Pendekar Gila,” jawab Sena dengan 
tegas. Meski masih cengengesan, wajahnya yang 
merah membara tak dapat menyembunyikan 
kemarahan. “Percuma kau memiliki ilmu setinggi 
langit, Kala Bendana, kalau kesombongan dan ke-
angkaramurkaan tak dapat kau atasi!” 
“Cuih! Lancang sekali kau berani mengguruiku, 
Bocah Edan!” bentak Kala Bendana, tak menaruh 
rasa takut sedikit pun pada Pendekar Gila yang sudah 
memuncak amarahnya. 
“Hm, jadi kau tak mau sadar, Kala Bendana?!” 
“Phuih...! Lagakmu seperti seorang resi! Hadapi 
aku, jangan banyak mulut! Akan kukirim kau ke 
akherat sana! Dan di sana kau boleh mengajar para 
dedemit! Hua ha ha...!” ejek Kala Bendana yang 
semakin membuat Pendekar Gila bertambah marah. 
“Aku layani tantanganmu, Kala Bendana! 
Waspadalah!” 
Baik Kala Bendana maupun Pendekar Gila kini 
menyurut mundur tiga tindak. Semua orang yang ada 
di situ, kini membentuk lingkaran. Mereka yang 
semula hendak bertarung, kini hanya menjadi 
penonton. Mereka semua hendak menyaksikan duel 
Kala Bendana melawan Pendekar Gila. 
“Bersiaplah untuk mampus, Bocah Edan! Hea...!” 
Kala Bendana langsung menggebrak dengan jurus 
andalannya 'Serigala Iblis Merangsek Rusa'. Tangan-
nya mencengkeram ke sana kemari. Namun dengan 
enteng Pendekar Gila berkelit. Tubuhnya meliuk-iiui 
sana menari, disertai dengan pukulan telapak tangan. 
“Hea!”  
Plakkk! 
“Ukh!” 
 
 
Tubuh Kala .Bendana yang gendut besar itu ter-
huyung-huyung ke belakang, terkena pukulan telapak 
tangan Pendekar Gila. Matanya terbelalak kaget 
Hampir tak percaya kalau pemuda bertingkah laku 
gila itu dalam segebrakan saja mampu menghantam-
kan pukulan aneh ke dadanya. 
“Cuih! Jangan dikira kau akan menang me-
lawanku, Bocah Edan! Terimalah ajian 'Lumpur Maut'-
ku. Hea...!” 
Zrttt! 
“Aits!” dengan cepat Pendekar Gila melentingkan 
tubuh ke atas untuk mengelak. Namun Kala Bendana 
tak mau membiarkan Pendekar Gila lepas dari ajian 
mautnya. Lelaki bertubuh gendut itu mencecar 
dengan ajian 'Lumpur Maut'-nya. 
“Hea!” 
Zrttt! Zrttts! 
“Aits!” Pendekar Gila melompat dan berjumpalitan 
mengelakkan hantaman ajian maut itu. Sehingga 
serangan itu menerjang sebatang pohon. Aneh! 
Pohon yang terhantam ajian itu seketika mengecil 
dan semakin kecil sampai akhirnya hilang. “Demi 
setan! Aku tak bisa terus begini!” dengusnya. 
Pendekar Gila segera mencabut Suling Naga 
Saktinya, kemudian dengan cepat dibabatkan tepat 
pada ajian 'Lumpur Maut' yang meluncur mem-
burunya. 
Zrttt! 
Wrt! 
'Lumpur Maut' itu seketika berbalik ke pemiliknya. 
Kala Bendana tersentak kaget Dengan mata 
terbelalak dirinya berusaha menghindar. Kala 
Bendana sungguh tak menyangka akan mendapat 
serangan balik dari ajiannya. Tanpa ampun lagi, 
 
 
tubuhnya harus menjadi sasaran ajiannya sendiri. 
Zrttt! 
“Tobaaat...!” Kala Bendana menjerit setinggi langit 
dan berusaha melepaskan diri dari lumpur mautnya. 
Namun, lumpur hitam itu telah menggulungnya. 
Kejadian aneh pun terjadi. Tubuh Kala Bendana 
semakin lama semakin kecil dan akhirnya hilang 
bersama lumpur maut itu. 
Melihat pimpinan mereka mati, para anak buah 
Kala Bendana pun segera menyerah. Bahkan Braga 
Kunta yang mendahului menyerah bersama Purba 
Kelakon. 
Mereka digiring ke balai desa, untuk mendapat 
hukuman yang setimpal. 
Pagi telah datang, ketika Pendekar Gila meminta 
izin untuk meneruskan perjalanannya mengembara. 
Ki Praba, Purnama, dan Sanjaya serta warga Desa 
Karang Galuh berusaha mencegah. Namun akhirnya 
mereka melepas juga kepergian Pendekar Gila. 
Mereka memahami tanggung jawab yang diemban 
Pendekar Gila sebagai penegak dan pembela 
kebenaran.... 
 
 
SELESAI