Pendekar Mabuk 36 - Tabib Darah Tuak(1)

GEMURUH yang terdengar adalah suara curahan air sungai yang mengalir deras. Banjir datang dari kulon. Tiga hari lamanya hujan turun di wilayah barat tanpa henti, sehingga mendatangkan banjir yang melanda beberapa perkampungan penduduk. Ada pun air sungai dibagian utara yang berlimpah-limpah itu adalah banjir kiriman dari barat.


Banjir bukan hanya mengirimkan air saja, tapi juga mengirimkan bangkai ternak yang hanyut disapu sang banjir. Selain bangkai ternak juga ada mayat manusia yang tak sempat tertolong oleh ganasnya sang banjir.

Atap rumah juga terapung-apung ikut hanyut bersama meja, bangku, almari, bakul nasi, centongnya tidak kelihatan, lalu... tempayan juga Ikut hanyut ke muara. Tikar yang hanyut dalam keadaan robek sana-sini, ada juga keranjang tempat rumput, dipan tanpa kasur, celengan dan masih banyak barang-barang lain yang dihanyut-kan oieh sang banjir.

Beberapa penduduk di perkampungan dekat muara menyambut meriah acara banjir itu, karena mereka dapat mengambll barang-barang yang bisa dlpakal. Ada yang mengambilnya menggunakan galah panjang untuk meralh barang di tengah sungai, ada yang nekat berenang memunguti barang-barang itu dengan tubuh diikat tambang dan tambangnya diikat pada pohon, jadi ia tak bisa terbawa arus sungai yang kencang itu. Sebuah jembatan bambu di pedalaman menjadi rendah karena permukaan air sungai naik setengah tanggul.

Di jembatan bambu itu, berdiri seorang kakel berusia sekitar dclapan puluh tahun lebih, mungkin juga sembilan puluh tahun lebih. Pokoknya tua, renta dan kempot. Kakek itu berdiri memperhatikan arus banjir yang menghanyutkan tetek-bengek. la geleng-geleng kepala dengan wajah sedih memperhatikan bencana alam itu. Jubah putihnya melambai-lambai disapu angin. Rambut putihnya yang panjang jatuh meriap-riap dipermainkan angin. Untung bukan Angin Betina yanc mempermainkan rambut itu.

Sang kakek agaknya memang menyukai warna putih. Selain jubahnya putih, celananya juga putih. Ikat pinggangnya putih, ikat kepalanya putih. Tapi ikat kepala itu sudah dibuang sejak muda, jadi sekarang ia tidak memakai ikat kepala. Alisnya putih, kuiitnya putil pucat, matanya juga putih, tapi ada hitamnya di bagiai tengah. Mata itu cekung, tulang pipinya tampak me iengkung. Kalau berjalan tertatih-tatih menampakkan ketuaannya.

Saat ia lanjutkan langkah sampai ke pertengaha. jembatan bambu, seorang pemuda tampan berpakaian coklat tanpa lengan muncul dari ujung jembatan. Ia ingin melintasi jembatan itu, dan terhenti sejenak karena melihat sang kakek yang serba putih itu.

Sang kakek memperhatikan ke arah banjir. Pemuda berparas tampan, dengan bumbung tuak menyilang di punggung, menjadi tertarik untuk ikut perhatikan banjir dan barang-barang hanyutannya itu. Pemuda berambut panjang, lurus, lemas, sebatas lewat pundak itu tak lain adalah si Pendekar Mabuk, murid sintingnya Gila Tuak dan Bidadari Jalang.

Dia itulah yang dikenal pula dengan nama Suto Sinting.Tokoh tua itu pasti berilmu tinggi. Angin sekencang ini tak bisa membuat tubuhnya yang kurus terpelanting terbang.

Setidaknya ia punya kekuatan tenaga dalam yang sukar ditumbangkan," pikir Suto Sinting sambil memperhatikan dan melangkah pelan-pelan mendekati sang kakek. Entah mengapa tiba-tiba hati Pendekar Mabuk merasa dipanggil oleh sang kakek, padahal sang kakek tidak memperhatikan ke arahnya.

Ada satu kekuatan aneh yang membuat Pendekar Ma­buk semakin mendekati sang kakek dan akhirnya ber-henti dua langkah di samping sang kakek. Bahkan tiba-tiba Suto Sinting punya naiuri aneh yang membuat-nya membungkuk memberikan hormat kepada sang kakek.

"Kenapa aku menghormat kepadanya?' pikir Suto Sinting dengan bingung. Sang kakek sendiri acuh tak acuh, seakan tidak tahu ada orang menghormat dl sampingnya. Anehnya lagi, Suto Sinting bingung mengawali percakapannya. Apa yang harus diucapkan untuk menyapa sang kakek, ia tidak tahu. Akhirnya Suto hanya diam, ikut pandangi arus banjir yang deras itu.

Tiba-tiba mata Suto melihat seseorang sedang hanyut dan tenggelam di sungai itu. Orang tersebut datang dari arah belakang Suto, lewat kolong jembatan dan terus menuju ke arah muara. Orang itu tak terlihat wajahnya. la menggapai- gapaikan tangannya yang muncul dari permukaan air sungai. Anehnya sang kakek yang serba putih itu hanya melambaikan tangannya dengan tenang. Saat ituiah timbul gagasan di benak Suto untuk menegur sang kakek.

"Kenapa kau hanya melambaikan tangan saja, Kek?!"

"Lho, dia orang ramah. Biar tenggelam masih sempat melambaikan tangan kepadaku. Maka aku harus ramah juga, harus membalas lambaian tangannya."

"Dia bukan melambai karena ramah. Dia melambaikan tangan untuk minta tolong?!"

"Ooo... kalau begitu, tolonglah dia," kata sang kakek tenang sekali, seperti tanpa perasaan apa-apa.

Suto Sinting segera berkelebat terjun ke sungai. Tapi badannya tidak amblas ke dalam air sungai. Kaki Suto menapak pada papan-papan yang hanyut, melompat ke sana kemari dengan ilmu peringan tubuhnya. Tab, tab, tab...! Wuuttt...! Tangan itu disambarnya, lalu berkelebat cepat dan sulit diikuti oleh pandangan mata. Tahu-tahu Suto sudah ada di atas tanggul sungai dan seorang pemuda direbahkannya di rerumputan tanggul.

Kakek berpakaian serba putih itu tepuk tangan sendiri dari jembatan. Seakan ia memuji kehebatan Pendekar Mabuk dalam bergerak menyelamatkan pemuda yang tenggelam itu. Suto Sinting memandang sang kakek dari tanggul. la tidak pedulikan lagi. la lebih pedulikan pemuda yang terbatuk-batuk sambil menyemburkan air. Perutnya ditekan-tekan hingga air yang terminum keluar semua.

Pemuda itu bercelana hitam, mengenakan rompi merah dan berkalung ketapel. Ditaksir oleh Suto, usianya sekitar delapan belas tahun. Masih sangat muda, tapi mempunyai wajah yang tampan. Bulu matanya lentik dan lebat untuk ukuran se­orang pemuda. Hidungnya bangir, kulitnya coklat sawo matang. Rambutnya ikal bergelombang, agak panjang, diikat dengan kain putih. Ikat kepala itu hampir sa«a ikut terbawa hanyut. Untung masih sempat tersangkut di bawah telinga.

"Apakah dia selamat?" tegur sebuah suara yang mengejutkan Suto, sebab suara itu datang dari belakangnya. Ketika Suto palingkan wajah, ternyata kakek serba putih ituiah yang menegurnya.

Suto Sinting yang heran itu segera membatin, "Cepat sekali ia tiba di belakangku? Padahal jarak jembatan dengan tempat ini cukup jauh. Apakah dia terbang melintasi permukaan air sungai? Hmmm... tak salah dugaanku, dia pasti orang berilmu tinggi."

Kemudian Suto Sinting menjawab sapaan tadi, "Dia selamat, Kek. Curna, napasnya masih terengah-engah dan tubuhnya lemas."

"Berilah minum tuakmu biar cepat segar kemball."

Suto Sinting terkejut, segera bangkit dari jongkoknya dan menatap sang kakek. Yang ditatap acuh tak acuh, memandangi pemuda yang masih terkapar dan terengah-engah itu. Suto Sinting bertanya dengan suara pelan,

"Bagaimana kau tahu kaiau tuakku bisa menyembuhkan keadaan seperti ini?"

"Hanya kira-kira saja. Tubuhnya kedinginan. Tuak bersifat memanaskan badan. Jadi kalau dia minum tuak, maka hawa dinginnya akan terusir dan tubuhnya akan menjadi segar," sang kakek bertutur secara masuk akal.

Suto Sinting tak bisa membantah atau berkata apa pun. la segera meminumkan tuaknya yang selalu tersimpan dalam bumbung bambu warna coklat muda itu. Tuak tersebut adalah tuak sakti yang mampu sembuhkan luka atau kembalikan tenaga yang lemah lesu. Tuak dari mana pun jika sudah masuk ke bumbung bambu itu akan menjadi tuak mujarab, sehingga Suto tadi terkejut mendengar kata-kata kakek serba putih itu yang seolah-oiah mengetahui kemujaraban tuaknya.

Seperti apa kata sang kakek, pemuda itu cepat menjadi segar kembali setelah meneguk tuaknya Suto Sinting. Napasnya lega, badannya tak terasa lemas, bahkan wajahnya yang pucat pasi menjadi cerah segar. Luka goresan di lengan kirinya, yang mungkin terkena benda tajam pada waktu terbawa arus air tadi, tiba-tiba mengering dan kian lama kian menutup. Luka itu menjadi hilang dan kulit tersebut menjadi halus bagai tak pernah terluka. Itulah kesaktian tuak dari bumbung bambu milik Pendekar Mabuk.

Kakek tanpa kumis tanpa jenggot itu berkata kepa-da anak muda berompi merah,

"Kau harus berterima kasih kepada Pendekar Mabuk ini! Karena dialah yang selamatkan nyawamu. Jangan bengong saja begitu. Nanti disambar lalat bisa te-was kau!"

"Pen... pendekar... Pendekar Mabuk? Oh, maksudnya... kau yang bernama Suto Sinting itu, Kang?" tanya pemuda yang berkesan masih sangat muda itu.

"Ya, aku Suto Sinting; Pendekar Mabuk. Dari mana kau tahu namaku?"

"Oh, Kang... aku merindukan ingin bertemu de-nganmu! Aku sering mendengar namamu dibicarakan orang di kedai-kedai. Oh, terima kasih, Kang! Terima kasih kau telah menyelamatkan nyawaku dari banjir. Padahal aku tadi hanya mengambil sebuah pedang yang hanyut, tapi aku justru terseret oleh banjir. Terima kasih, Kang...!"

Anak muda itu berlutut dan mengangguk-angguk memberi hormat atas rasa terima kasihnya. Suto Sinting menyuruhnya berdiri dengan menarik lengannya dan berkata,

"Tak perlu sampai berlutut begitu. Menoiong itu sudah kewajiban semua orang. Menolong bukan saja perbuatan dewa, tapi juga perbuatan kita semua yang cinta damal dan saling menghormati sesama."

Kakek itu terkekeh-kekeh membuat Suto Sinting segera menatapnya, sang anak muda juga ikut memandang dengan heran.

"Kenapa tertawa, Keek?" tanya Suto Sinting pelan.
"Kata-katamu lucu sekali, Pendekar Mabuk. Lucu sekali."
"Di mana letak lucunya, Keek?"

"Kau bilang cinta damai, tapi kau sendiri jika dipukul orang pasti akan membalas! Apakah itu namanya cinta damaf"

"Kita punya hak mempertahankan hidup. Jika kita dipukul dan kita membalas itu hanya semata-mata kita bertahan untuk tetap hidup, Kek!"

"Apakah kedamaian itu bukan berarti suatu kehidupan?"

"Kedamaian bisa berarti kehidupan atau kematian. Karena dalam kematian pun seseorang bisa merasakan kedamaian di alam sana!"

"He, he, he, he...!" kakek serba putih itu terkekeh lagi, kail ini sambil manggut- manggut. "Boleh, boleh, boleh...l Pengetahuanmu tentang hidup dan kehidupan cukup lumayan. Aku sengaja memancing pengetahuanmu untuk memastikan sejauh mana kepandaian murid si Gila Tuak itu."

Suto Sinting kerutkan dahi mendengar nama gurunya disebutkan. "Apakah Kakek mengenal guruku?"

"Sangat kenal," jawabnya sambii melengos, me-mandang ke arah banjir.
"Siapa sebenarnya dirimu, Keek?"

"Carllah sendiri siapa diriku. Kau pasti mampu mencarinya, karena kau murid sinting si Gila Tuak."

"Apakah aku harus datang kepada Guru hanya untuk menanyakan nama seseorang?"

"Tidak perlu! Murid si Gila Tuak tidak dididik untuk menjadi sebodoh itu! Aku hanya merasa bangga mendengar keharuman namamu, Pendekar Mabuk. Aku juga berterima kasih atas bantuanmu yang telah menolong adikku."

"Siapa adikmu itu?" tanya Suto Sinting dengan penasaran. Tapi kakek serba putih itu tiba-tiba hentakkan kakinya ke bumi. Buukk...! Buuusss...! Asap mengepul sangat tebal. Putih warnanya, membungkus sekujur tu-buh sang kakek. Ketika Itu Suto Sinting dan anak muda yang tertolong segera sentakkan kaki untuk mundur. Bahkan anak muda itu sempat berlari ke baiik pohon dengan rasa takut dan mata melotot.

Asap putih itu lenyap. Mata Suto Sinting siap memandang apa yang timbul dari asap putih itu. Sosok seperti apa yang akan dilihatnya dari perubahan si kakek serba putih tadi.

"Hilang...?" gumam anak muda dari balik pohon. Suto Sinting hanya kerutkan dahi semakin tajam meiihat sosok kakek tersebut lenyap bagaikan terbawa asap yang terbang entah ke mana. Maka membatinlah hati sang Pendekar Mabuk,

"Tokoh sakti dari mana dia sebenarnya? Dia bilang aku telah menolong adiknya? Siapa adiknya itu? Apakah anak muda yang nyaris tenggelam itu?"

Suto Sirting segera dekati anak muda itu, matanya memandang tajam penuh selidik. Batinnya berkata lagi, "Sepertinya tak mungkin sekali. Jika kakaknya setua tadi, masa adiknya semuda itu? Jauh lebih muda dari-ku."

Rasa penasaran Suto Sinting akhirnya dinyatakan dalam bentuk pertanyaan,

"Apakah kau adik kakek itu tadi?"
Anak muda itu gelengkan kepala. "Aku tidak punya kakak hantu, Kang."
"Hantu...?"

"Kakek tua itu tadi pasti hantu. Buktinya dia bisa berubah jadi asap dan lenyap begitu saja!" katanya dengan wajah masih menegang.

"Tidak. Dia bukan hantu. Dia orang berilmu tinggl," kata Suto Sinting.
"ilmu apa itu tadi, Kang?"

Sambil membuka tutup bumbung tuaknya Suto menjawab, "Itu namanya ilmu Lesu Diri," kemudian ia meneguk tuak dengan santalnya.

"Hebat sekali?!" gumam anak muda itu. "Apa artinya ilmu Lesu Diri Itu?"

"Lesu Diri artinya Lenyap Susah Dicari!" sambii Suto sunggingkan senyum geli karena ia memang asai ja-wab saja. Tapi anak muda itu menggumam sambii manggut-manggut seakan percaya betul dengan jawaban Suto Sinting.

"Ooo... Lesu Diri...? Lenyap Susah.... Dicari? Aneh juga namanya."

"Nama aneh karena kita baru mendengarnya. Kalau sudah sering mendengar menjadi tidak aneh iagi. Sama halnya dengan namaku; Suto Sinting. Kalau orang baru mendengarnya pasti merasa aneh, tapi kalau sudah sering mendengarnya perasaan aneh itu sudah tidak ada lagi. Hmmm... siapa namamu?"

"Pande Bungkus, Kang."

Suto Sinting tertawa kecil. "Setahuku yang ada Pande Besi, artinya tukang bikin senjata dari besi atau perabot dari besi. Kalau Pande Bungkus itu apa?"

"Yaa... ya pandai membungkus, Kang?" jawabnya dengan geli sendiri. "Soalnya dulu ibu saya pedagang nasi bungkus, Kang. Dan saya membantunya, tugas saya membungkus nasi-nasi itu."

"Aneh juga namamu."

"Karena masih baru, Kang. Kalau sudah lama ya tidak aneh lagi," kata Pande Bungkus mengutip keterangan Suto tadi. Pendekar Mabuk tertawa tanpa suara. Baru saja Suto ingin berkata lagi, tiba-tiba mulutnya terbungkam rapat dan tangannya berkelebat menarik anak muda itu. Wuuuttt...! Anak muda itu terpelanting bersama Pendekar Mabuk, jatuh ke tanah pada saat sebuah pisau melesat nyaris menancap di punggung anak muda itu. Wess...!

Jreeb...!

Pisau itu menancap di pohon yang tak jauh dari ka-ki Suto Sinting. Mata mereka memandang lebar ke arah pisau itu, lalu kaki Suto Sinting menendang batang pohon dengan kekuatan tenaga dalamnya. Duuug...! Claaak...! Pisau yang menancap terpental balik ke arah datangnya. Weesss...! Gusraak...! Sebuah suara aneh terdengar dari semak bambu. Lalu sekelebat bayangan tampak melesat dari sana, menghindari pisau tersebut. Jleegg...! Bayangan itu menjadi wujud utuh di depan Suto dan Pande Bungkus.

Ternyata si pelempar pisau itu seorang lelaki gemuk agak pendek berkumis lebat, bercambang tebal, rambutnya ikal pendek berikat kepala kuning. Lelaki gemuk itu kenakan kalung dari tulang tengkorak bu-rung yang dililit tali hitam.

Bajunya yang merah longgar tidak dikancingkan, sehingga perutnya yang gendut itu tampak menonjol jelas ke atas celana birunya. Di pinggang si gendut itu melingkar sabuk hitam penuh dengan pisau seukuran satu jengkal.

Pande Bungkus tampak terperangah meiihat orang itu, wajah takutnya kian jelas terlihat oieh Suto Sinting. Sikapnya berdiri di belakang Suto menandakan niatnya berlindung dari sesuatu yang menakutkan.

"Pande Bungkus!" gertak orang gendut itu. "Mana pedang pusaka itu?!"
"Buk... bukan aku, Kang! Bukan aku yang dapatkan pedang pusaka itu!"

"Bohong! Kulihat kau tadi berenang mengejar pedang pusaka itu!" sentak orang beralis tebal menyeramkan itu.

"Tapi... tapi aku tidak berhasil mendapatkannya, Kang. Aku lupa bahwa diriku sebenarnya tidak bisa berenang. Sumpah! Aku tidak dapatkan pedang pusaka itu, Kang Gembong Alas!"

"Pasti kau serahkan kepada orang itu! Mengakulah daripada kurobek jantungmu dengan pisau terbangku!" hardik orang yang disebut Gembong Alas itu. la maju dua tindak dengan berang, tapi tangan Suto memberi isyarat agar langkahnya dihentikan. Pendekar Mabuk bicara dengan tenang.

"Sabar. Tahan amarahmu, Sobat!"

"Kau mau meiindungi dia? Kau mau jadi pahlawannya?! Kau belum tahu siapa si Gembong Alas ini, hah?!" bentak orang gemuk itu.

"Aku memang belum tahu siapa dirimu. Tapi aku hanya sarankan agar jangan mengumbar amarah yang belum tentu benar," kata Suto Sinting. "Tadi aku melihat Pande Bungkus hanyut dan hampir mati. Lalu dia kutolong, kuangkat kemari tanpa membawa pedang atau barang apa pun kecuali barangnya sendiri!"

"Barang apa maksudmu?!"

"Sebuah ketapel yang dipakai buat kalung itu!" Suto menjelaskan sambil menuding ketapel di dada Pande Bungkus. Tapi Gembong Alas menggeram penuh ke jengkelan dan ketidakpercayaan.

"Omong kosong! Pedang itu pasti sudah berhasil didapatkannya!"

"Berani sumpah serapah, Kang! Pedang itu hanyut ke dalatm air sungai dan aku sendiri banyut tak terkendali!" kata Pande Bungkus dengan takut.

"Aku tidak percaya dengan murid Gelung Gesang! Kau rupanya haru kupaksa dengan"kekerasan, Pande Bungkus! Heaaah...!'

Gembong Alas nekat melompat hendak menerjang Pande Bungkus yang ada di belakang Suto. Tentu saja gerakan itu ditahan oieh Suto Sinting dengan sentak kan tangannya yang menyentikkan jemari. Tuuuss...! Buugh...! Terdengar suara benda besar menghantam perut Gembong Alas. Orang itu terpental melayang ke belakang dan membentur pohon tak seberapa besar. Beehg...! Bruukkk...!

Jurus 'Jari Guntur' yang keluarkan tenaga dalam dari sentilan jari Pendekar Mabuk telah membuat Gembong Alas mendelik sekejap, lalu setelah jatuh ia menyeringai menahan perut dengan tangan. Berdiri pun tak bisa tegak lagi, sedikit membungkuk ke depan dan kedua kakinya merapat.

"Kurang ajar! Uuh... celaka kalau begini!" gumamnya penuh gerutu.

Pande Bungkus memandang penuh heran kepada Gembong Alas yang clingak- clinguk dengan pantat songgeng ke belakang. Bahkan.tiba-tiba ia berlari melesat menuruni tanggul, mencari tempat yang enak untuk buang air besar.

"Kenapa dia tadi, Kang?"
"Mules!" jawab Suto Sinting. "Sebaiknya tinggalkan dia sekarang juga!"

"Aku tak tahu harus pergi ke mana, Kang. Rumahku kebanjiran, hanyut sampai atap-atapnya segala, Kang. Hmmm... bagaimana kalau aku ikut kau saja, Kang?"

"Ke mana arah pergiku belum tentu sama dengan arahmu."

"Ke mana saja aku ikutlah! Ibuku sudah tiada, ayahku juga sudah tiada. Aku tidak punya kakak tak punya adik. Rumah pun sekarang sudah tak punya. Jadi ke mana saja aku pergi tak ada yang melarang, tak ada yang kupikirkan lagi!"

"Terserah kau kalau mau ikut aku!" Suto Sinting segera bergegas pergi dengan berjalan kaki menyusuri tepian tanggul. Pande Bungkus mengikutinya Semen-tara itu terdengar seruan Gembong Alas yang sedang nongkrong di tepi sungai dengan kesibukannya yang tak bisa ditinggalkan lagi itu.

"Hoooiii...! Tunggu! Jangan pergi kau! Kau harus menerima balasanku! Akan kubuat perutmu lebih mules dari perutku iiiinni...!" sambii napas menghentak ba- gaikan menemukan kelegaan. Pande Bungkus hanya tertawa geli.

Pendekar Mabuk sempat bertanya dalam perja-lanannya, "Gembong Alas menuduhmu mendapatkan pedang pusaka. Apa benar kau sedang mengejar pedang pusaka? Dan pedang apa itu namanya? Siapa pemiliknya?"

"Memang benar, Kang. Pedang itu bernama Pedang Panah Aji, milik seorang ketua perampok bernama si Darah Hitam. Beberapa waktu yang lalu, kabarnya Darah Hitam sudah mati terbunuh oieh orang-orang I Perguruan Pisau Kilat, yaitu perguruannya Gembong Alas. Lalu, pedang itu buat rebutan orang-orang Perguruan Pisau Kilat. Mereka bertarung sendiri-sendiri sampai akhirnya pedang itu jatuh ke ngarai, hanyut terbawa banjir. Aku melihatnya, lalu kukejar dengan cara menceburkan diri ke sungai. Aku lupa kalau aku ini tidak bisa berenang. Maka pedang itu tenggelam entah ke mana dan aku sendiri juga tenggelam entah bagaimana."

"Hmmm...," Suto Sinting manggut-manggut. "Apa keistimewaan pedang itu?"

"Kabarnya, kalau pedang itu disentakkan ke de-pan, bisa keluarkan panah dalam bentuk sinar merah. Kalau kena orang bisa bikin orang itu hancur jadi debu. Cuma itu kehebatan Pedang Panah Aji, tapi banyak yang ingin memiiikinya."

"Termasuk kau sendiri?"

Pande Bungkus tersenyum malu. "lya, Kang. Mak-sudku, kalau aku punya Pedang Panah Aji, aku bisa jadi orang sakti, Kang. Tak takut melawan siapa pun."

"Apa kau pandai main pedang?"
"Ah, Kang Suto ini menghina apa menyindir? Mana bisa aku bermain pedang?"

"Apakah gurumu tidak mengajarkan bermain pedang? Bukankah kudengar tadi kau adalah murid Gelung Gesang?!"

"Memang guruku bernama Gelung Gesang, tapi tak pernah ajarkan iimu silat apa-apa, Kang."
"Lho, jadi apa yang kau pelajari dari si Gelung Gesang itu?"

"Aku belajar membaca, Kangl" jawab Pande Bungkus polos sekaii. "Dan sekarang aku menjadi pemuda yang sudah bisa membaca, Kang!" la tampak bangga.

Pendekar Mabuk manggut-manggut sambii menahan tawa geli. Tawa itu terhenti bersama langkah Suto dan Pande Bungkus, karena tiba-tiba di depannya su­dah berdiri dua sosok tubuh yang agaknya sengaja menghadang Suto. Tapi Suto bertanya dalam hatinya, "Siapa yang dihadang? Aku atau Pande Bungkus?"KALI ini Pande Bungkus tidak merasa takut sedikit pun walau dihadang oleh dua orang di depannya. Karena kedua orang penghadang itu adalah gadis-gadis cantik yang punya bentuk tubuh aduhai dan pakaiannya sangat membuat kepala nyut0nyutan.

Suto Sinting berbisik kepada Pande Bunykus, "Kau kenal mereka?" "Belum, Kang. Tapi aku sanggup kenalan dengan mereka lebih dulu."

Suto Sinting menggerutu tak jelas, Pande Bungkus hanya cengar cengir malu, tapi matanya seakan tak mau lepas dari pandangan ke depannya. Karena di depan sanalah sebentuk keindahan yang mendebarkan hati bagaikan dipamerkan oieh kedua gadis cantik itu.

Mereka sama-sama mengenakan pakaian jubah tipis membayang. Bentuk bagian dalam jubah itu terlihat samar-samar, sebagai bagian penutup dada mereka hanya kecil saja. Hanya menutup bagian yang membu-sung saja, sedangkan tali pengikatnya kain berukuran kecil. Demikian pula penutup bawahnya kecil saja, se­akan hanya menutup bagian yang perlu saja. Semua penutup itu berwarna kuning. Bukan hanya bentuk tubuh mereka yang tampak samar-samar tapi warna kulit mereka yang putih mulus pun terlihat jelas.

Yang satu berambut panjang warna kuning keemasan. Si rambut pirang itu kenakan jubah tipis warna merah jambu. Rambutnya yang panjang lurus sebatas punggung itu dililit ikat kepala dari tali sutera warna hitam, mempunyai bandul batu hijau giok di keningnya sebesar biji sawo. ia bersabuk rantai emas lebar. Sa-buk itu digunakan untuk menyelipkan pedang pendek. Gagang dan sarung pedang terbuat dari gading polos tanpa ukiran. Ujung gagangnya dihiasi ronce-ronce benang sutera warna merah. Celana panjang yang dikenakan seperti kain tipis karena berukuran longgar, komprang-komprang.

Satunya lagi berambut hitam lembut dan tampak berkilauan, panjangnya selewat pundak, bagian depannya diponi. Jubah tipisnya berwarna biru muda, celana tipisnya juga biru muda, penutup bagian-bagian yang penting berwarna kuning, juga hanya tertutup seperlunya saja. Pedangnya berwarna perunggu dengan ujung gagangnya beronce-ronce benang biru. Kepalanya tanpa tali pengikat dan batuan giok.

Keduanya sama-sama berhidung mancung, hanya saja yang berambut pirang berbibir sedikit tebal tapi menggoda hati lelaki, yang berambut hitam berbibir mungi! menggemaskan hati lelaki. Yang berambut pirang punya mata kebiru-biruan, yang berambut hitam punya mata hitam bening dan mengenakan kalung dari tali sutera warna hitam dengan bandul batuan giok hijau, seperti yang diikatkan di kepala si rambut pirang.

Tipisnya pakaian mereka membuat Pande Bungkus sering lupa kedipkan mata. Secara jujur Pendekar Mabuk akui bahwa hatinya bergetar meiihat penampilan dua gadis seronok berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu. Tubuh mereka tinggi, sesuai dengan sekalnya tubuh, tapi tidak lebih tinggi dari Suto. Sejajar dengan tingginya badan Pendekar Mabuk.Mereka tampil bersebelahan dengan kaki merenggang dan kedua tangan dikaitkan pada sabuk rantai di depan pusarnya yang tampak samar-samar itu. Gaya berdirinya yang tenang berkesan menantang hasrat lelaki, sehingga Pande Bungkus berulangkali berdecak lirih, membuat telinga Suto menjadi risi.

"Jangan berdecak begitu! Memalukan!" bisik Suto Sinting daiam hardikan.

Kemudian ia kembali menatap wajah cantik dua gadis di depannya yang tampak kalem-kalem saja itu. Si pirang segera berkata dengan mata tertuju pada Pendekar Mabuk.

"Siapa di antara kalian berdua yang bergelar Pendekar Mabuk?"

Pande Bungkus menjawab, "Terserah kalian. Yang mana saja boleh. Dia boleh, aku juga boleh!"

Suto menyikut rusuk Pande Bungkus dengan gerakan tak terlihat. Pande Bungkus menyeringai dan undurkan diri satutindak. Suto Sinting bertanya, "Ada perlu apa kau mencari Pendekar Mabuk?"

"Ada suatu keperluan penting yang tak perlu diketahui orang iainl" jawab si rambut pirang. "Katakan saja, yang mana yang bernama Pendekar Mabuk?"

Si rambut hitam menyahut, "Atau keduanya bukan Pendekar Mabuk?"

Suto Sinting diam sejenak dan membatin, "Kellhat-annya mereka sangat penasaran dan ingin bertemu denganku. Tapi apa perlunya? Kalau dilihat dari caranya bersikap yang sedikit ketus walaupun kalem, agaknya dua orang itu punya masalah denganku. Tapi aku tidak mengenal mereka? Hmm... sebaiknya kuakui saja siapa Pendekar Mabuk. Kalau mereka ternyata macam-macam, kulumpuhkan juga nantinya. Tapi... rasa-rasanya sayang sekali kalau harus memukul dua tubuh aduhai itu."

Kenakalan pikiran Suto Sinting adalah kenakalan yang wajar terjadi pada pemuda seusianya. Namun kenakalan pikiran itu akhirnya cepat-cepat disingkirkan dari benaknya, dan Suto Sinting segera menjawab pertanyaan tadi.

"Aku yang bergelar Pendekar Mabuk!"

Dua gadis cantik yang menggiurkan hati itu sama-sama diam. Tidak ada gerakan apa pun kecuali saling memandang satu arah, yaitu ke wajah Suto Sinting. Tentu saja Suto merasa aneh, dan Pande Bungkus pun merasa heran. Baru saja Pande Bungkus mau berbisik kepada Suto Sinting, tiba-tiba tangan kanan si rambut hitam menyodok ke depan dalam keadaan empat jari merapat terbuka, telapak tangan menghadap tanah, jempolnya terlipat ke samping. Suuuttt...!

Clap, clap...!

Dua sinar kuning emas melesat dari ujung jari tangan tersebut. Keduanya sama-sama mengarah ke dada Suto Sinting. Pande Bungkus cepat gulingkan badan ke samping dengan rasa takut dan kagetnya. Tapi Pendekar Mabuk tetap berdiri di tempat. Tangannya berkelebat, bumbung tuaknya tahu-tahu sudah meng-hadang di depan dada dalam genggaman satu tangan. Dua sinar kuning emas itu menghantam bumbung tuak tersebut. Tuub, tuub...! Sinar-sinar itu membalik arah dalam bentuk lebih besar dan lebih cepat.

Zraab, zraab...!

Kedua gadis cantik itu tersentak kaget, lalu keduanya segera melesat ke samping kanan kiri dan dua sinar kuning emas itu menghantam satu pohon besar yang tumbuh berjarak delapan langkah dari mereka. Blegaarrr...!

Pohon besar itu hancur menjadi serbuk coklat yang berhamburan. Tak sehelai daun pun yang tersisa utuh. Kedua gadis itu memandang dengan mata melebar penuh rasa heran dan kagum, sebab mereka tak menyangka kalau sinar kuning emasnya bisa membuat pohon besar menjadi lembut dalam sekejap. Padahal biasanya sinar kuning emas itu jika mengenai pohon hanya akan membuat pohon itu terbakar hangus seketika, menjadi arang yang masih tegak menunggu hembusan angin kencang baru roboh.

Dua gadis itu segera berpaiing kemball ke arah Suto Sinting. Wajah mereka masih menampakkan sisa ter-cengang. Tapi sikap mereka sudah meiunak, tidak se- kaku tadi. Hanya saja, tiba-tiba si rambut pirang berkelebat ke samping dalam satu lompatan dan tangannya menyambar sesuatu yang meleset melayang dengan cepat menuju ke dada Suto Sinting Wuuuttt...! Teebbb...!

Sebilah pisau terbang tertangkap di tangan kirinya. Meiihat bentuk pisau yang berukuran satu jengkai itu, Suto Sinting dan Pande Bungkus segera tahu bahwa si pelemparnya pasti Gembong Alas. Mungkin orang gemuk itu sudah selesai dengan kesibukannya di tepi sungai tadi, lalu menyusul mengejar Suto dan Pande Bungkus.

Si rambut poni berkata kepada si rambut pirang, "Jarha rango tui!"

"Ngomong apa dia, Kang?"

"Entah!" Suto Sinting angkat bahu. Tapi mereka berdua sama-sama melihat si rambut pirang menghentamkan kedua tangannya ke arah tanah semak belukar. Wuuusss...! Tenaga dalam bergelombang besar dilepaskan dan membuat semak belukar itu bagaikan tercabut dan tersentak ke atas. Terdengar pula suara orang memekik tertahan dari balik semak.

"Uuhhg...!"

Kemudian terlihat sekelebat tubuh gemuk terlempar dari semak itu, jatuh berguling di depan kaki si rambut pirang. Gembong Alas tak bisa bersembunyi lagi. la terkapar di depan si rambut pirang. Dan kaki si rambut pirang segera diangkat untuk menginjak dada Gembong Alas.
"Tahan...!" seru Suto Sinting yang membuat kaki berbetis indah itu tak jadi dihentakkan ke dada Gembong Alas.

Pendekar Mabuk bergegas dekati rambut pirang. Saat itu tangan si rambut pirang mencengkeram baju Gembong Alas dan mengangkatnya dengan ringan sekali hingga Gembong Alas berdiri. Pande Bungkus terperangah dan membatin,

"Gila! Dia angkat Gembong Aias yang gemuk begitu seperti mengangkat jemuran jatuh saja?! Pakai tenaga apa gadis itu, ya?"

Tangan kiri rambut pirang ingin menghantam dada Gembong Alas, tapi Pendekar Mabuk segera cekal tangan itu dari samping. Taab...! Mereka beradu pandang.

"Jangan!" kata Suto.
"Dia ingin membunuhmu!"

Dia tidak sadar akan kesalahannya. Lepaskan dia. Kalau masih membandel, biar kuberi pelajaran yang lebih berat dari pelajaran pertamaku tadi."

Gembong Alas terengah-engah dengan wajah pucat. la melirik si rambut pirang dengan cemas, kemudian melirik Suto Sinting lebih cemas lagi. Suto Sinting hanya berkata,

"Kau ingin ke tepi sungai lagi? "

Gembong Alas gemetar dan geleng-geleng kepala dengan mulut melongo.

Kuharap kau tidak menggangguku lagi, juga tidak mengganggu Pande Bungkus. Apa yang kau cari benar-benar tak ada pada kami. Paham?l"

"Iiy... iya... paham sajalah!" jawabnya sambii meng-angguk-angguk takut.

"Apa yang kau cari ada di dalam sungai, mungkin hanyut, mungkin tenggelam di tempatnya jatuh. Cari saja di sana I"

"Iiy... iya... permisl...!" Gembong Alas menunduk-nunduk dalam langkahnya meninggalkan tempat itu. Menengok ke arah dua gadis cantik sebentar, ketika didekati si rambut pirang,

Gembong Alas jera dan cepat larikan diri menerabas semak ilalang. Brruus...! Duugh...!

Aaauw...!" pekiknya dari dalam semak ilalang. la tak tahu kalau di balik kerimbunan semak itu ada gugusan batu setinggi tubuh Suto Sinting. Keningnya membentur gugusan batu itu dan membuatnya membelok arah dengan serangkaian sumpah serapah tak jelas.

Kini sang pendekar tampan memandang si pirang dengan wajah tetap tidak bermusuhan. Pendekar Mabuk berusaha menenangkan getaran hatinya akibat pandangan matanya yang beradu dengan si pirang ber-mata kebiruan itu.

"Siapa kalian sebenarnya? Mengapa tadi menyerangku dan sekarang membelaku?" tanya Suto Sinting sambii biarkan Pande Bungkus mendekatinya dari arah samping kanan.

"Aku bernama Jelita Buleningtyas," kata si rambut pirang bermata biru. "Panggil saja Jelita Bule. Dan dia temanku bernama...."

"Pesona Indah," jawab si rambut hitam yang tadi menyerang Suto. Pande Bungkus tertawa pelan dan berkata takut-takut, "Namanya mirip nama perkampungan orang-orang kadipaten. Pesona Indah. Hi hi hi hi "

"Siapa namamu, Bocah Tampan?" tanya Pesona Indah kepada Pande Bungkus sambii tersenyum bagai menyindir sinis.

"Namaku...? Hmmm... namaku Arya Suteja Laksana."

"Kudengar tadi Pendekar Mabuk memanggiimu Pande Bungkus?!"senyum Pesona Indah makin mengejek. Pande Bungkus tersipu malu, sedikit tundukkan wajah.

"Hmmm... ya, memang. Tapi itu nama kecilku. Nama yang sekarang...."

Pesona Indah cabut pedang separo bagian. Mata Pande Bungkus membelalak seketika. Lalu dengan gugup ia menjawab, "Iiiiy... iya! Memang namaku yang se­karang ya tetap Pande Bungkus. Jangan marah dulu, Nona!"

Craakk...! Pedang perunggu dimasukkan kembaii dalam satu sentakan diiringi senyum geli Pesona Indah. Anak muda itu sangat malu dtertawakan oieh Jelita Bule dan Suto Sinting.
Kemudian terdengar suara Pesona Indah berkata kepada Pendekar Mabuk,

"Maaf atas seranganku tadi. Aku hanya ingin meyakinkan apakah kau benar-benar Pendekar Mabuk yang asli atau palsu. Sebab kami tak mau terkecoh oleh tipuan beberapa orang yang pernah kami temui."

Apakah kalian pernah temui orang yang mengaku Pendekar Mabuk?"

"Ya," jawab Jelita Bule. "Empat orang pemuda mengaku bernama Pendekar Mabuk, tapi sebenarnya bukan, dan mereka hanya ingin melampiaskan hasratnya kepada kami. Ketika kami coba dengan jurus "Kencana Lepas', mereka terluka dan kami terpaksa obati luka mereka lalu meninggalkannya."

Pesona Indah menimpali, "Kabar yang pernah kami dengar, Pendekar Mabuk bisa kembalikan serangan dengan lebih cepat dan lebih dahsyat. Ketika kucoba menyerangmu, ternyata kau bisa kembalikan jurusku dengan lebih dahsyat. Maka kami percaya bahwa kau adalah Pendekar Mabuk. Ciri-cirimu pun persis seperti apa kata orang-orang yang kami dengar di rimba persilatan Ini."

"Nyatater pantam gaju!" kata Pesona Indah kepada Jelita Bule.
"Vangsa dakti tehbo taki dago!"

"He-eh...," jawab Pesona Indah sambii tersenyum kecil. Keduanya jika tersenyum sama-sama bertambah cantik dan menjerat hati.

"Ngomong apa dia itu, Kang?" bisik Pande Bungkus yang penasaran dengan bahasa kedua gadis itu.

"Mungkin mereka gunakan bahasa Purba Kunol Aku tak tahu bahasa itu," bislk Suto Sinting pelan sekali.

Kedua gadis itu memang punya bahasa sendiri, yaitu bahasa yang berlaku di negeri mereka. Bahasa tersebut sebenarnya tidak sulit dlartikannya, karena suku katanya hanya dibalik saja. Sebuah kata 'Sayang' diucapkan menjadi 'Yangsa dan begitu seterusnya. Pendekar Mabuk tidak menyangka kalau bahasa itu hanya bahasa pembalikan suka kata, sehingga ia hanya diam saja ketika kedua gadis itu membicarakan ketam-panannya.

"Baik, sekarang apa mau kalian setelah bertemu denganku?" tanya Suto agar tidak dijadlkan bahan percakapan rahasia lagi.

Jelita Bule menjelaskan, "Kami mendengar kabar bahwa Pendekar Mabuk adalah juga seorang tabib sakti yang cukup ampuh dalam penyembuhannya."

Pendapat itu terlalu berlebihan. Aku bukan tablb. Aku hanya seorang penegak keadilan dan pembela kebenaran," kata Suto dengan senyum merendah diri.

"Aku tak percaya," kata Jelita Bule. Senyumnya mekar menylmpulkan sanjungan batln untuk Suto Sinting. "Banyak orang berkata, Pendekar Mabuk adalah Tabib Darah Tuak.

Kesembuhannya dijamin cepat dan mujarab. Kebetulan sekarang ratu kami sedang dalam ke-adaan sakit karena terkena Racun Bulan Madu."

"Apa...?!" Pande Bungkus menyela kata dalam nada heran.
"Racun Bulan Madu" tegas Pesona Indah.

"Jangan-jangan ratu kalian hanya terkena sawan pengantin?!" ujar Pande Bungkus dengan sungguh-sungguh.

Suto segera memotong percakapan Pande Bungkus dengan berkata kepada Pesona Indah,

"Siapa ratu kalian? Dan dari negeri mana kalian berdua sebenarnya?"
"Ratu kami adalah Ratu Rangsang Madu yang berkuasa dl Negeri Malaga."
"Di mana itu Negeri Malaga?"
"Di Pulau Selayang," jawab Jelita Bule.

Suto Sinting berkerut dahi, karena merasa asing dengan nama Pulau Selayang. Sementara itu, Pande Bungkus yang selalu ingin terlibat pembicaraan dengan kedua gadis cantik itu menyela kata kembali,

"Ratu Rangsang Madu terkena Racun Bulan Madu? Wah, pas itu! Cocok sekali dengan namanya!"

"Bulan madu bukan berarti madu yang harus diminum oieh sang rembulan!" gerutu Pesona Indah dengan cemberut jengkel kepada Pande Bungkus. Anak muda itu hanya menghindari tatapan mata sambii terki-kik pelan. Pesona Indah yang diam- diam sering mencuri pandang terhadap ketampanan Pande Bungkus itu segera mengulum senyum dalam kecemberutannya.

"Apa yang terjadi pada diri seseorang yang terkena Racun Bulan Madu?" tanya Suto Sinting. Jelita Bule yang menjawab dengan suaranya yang bernng,

"Racun Bulan Madu membuat seseorang menjadi gila. Setiap malam tiba, sejak matahari tenggelam, ia selalu bernafsu memakan tubuhnya sendiri. Apa yang ada di tubuhnya selalu ingin dikunyah dan ditelannya. Karena itu setiap menjelang matahari tenggelam, kami selalu memasung ratu kami agar ia tidak bisa berontak untuk memakan anggota tubuhnya sendiri."

"lih...!" Pande Bungkus bergidik sendiri.

Suto Sinting hanya berkerut dahi, lalu bertanya, "Siapa pemilik Racun Bulan Madu Itu?"
"Tokoh sakti beraliran hitam; Nyai Sunti Rahim."

Suto Sinting tersentak kaget mendengar nama itu, sebab ia ingat bahwa Nyai Sunti Rahlm adalah guru dari Perawan Maha Sakti yang memiiiki ilmu 'Darah Gaib' dan ilmu 'Bias Dewa'. Kedua ilmu itu memang telah dilenyapkan oieh siasat Suto Sinting, tapi agaknya sang Nyai sendiri membahayakan bagi orang lain. Ilmunya dapat membuat setiap orang mati bunuh diri karena Racun Bulan Madu itu, (Baca serial Pendekar Mabuk episode: "Perawan Maha Sakti").

"Apa yang membuat Ratu Rangsang Madu diserang Nyai Sunti Rahim?"

"Nyai Sunti Rahim mengincar para prajurit Negeri Malaga yang masih gadis. la ingin turunkan ilmu yang hanya bisa dimiliki oleh para gadis yang benar-benar masih perawan "

"'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa'?!" sahut Suto. "Tepat sekali. Rupanya kau sudah mengenal kedua jurus itu?!" kata Jeiita Bule.

"Hanya mengenal namanya saja," kata Suto Sinting tak mau tonjolkan diri bahwa ia pernah melenyapkan kedua jurus itu dengan sebuah siasat.

Pesona Indah menyambung kata, "Pihak kami tak ada yang mau menjadi murid Nyai Sunti Rahim. Sang Ratu pun menentangnya, hingga terjadi pertarungan yang membuat sang Ratu terkena Racun Bulan Madu."

Jelita Bule menambahkan kata lagi, "Racun itu tak bisa disembuhkan dengan cara apa pun. Menurut para tabib yang pernah kami mintai bantuannya, juga para peramal yang kami temu, Racun Bulan Madu kalahnya dengan darah seorang pendekar tanpa pusar. Yang kami dengar, pendekar tanpa pusar itu berjuluk Pendekar Mabuk."

Suto Sinting terkesiap memandang kedua gadis cantik yang berpakaian menggoda iman itu. Mulutnya terbungkam sesaat. la dipandangl oleh Pande Bung­kus. Kejap berikutnya terdengar suara Pande Bungkus berbisik,

"Jangan mau ke sana, Kang. Nanti kau mati diambil darahnya!"

Pendekar Mabuk masih diam membisu, berdiri mematung dengan bumbung tuak menggantung di pundak kanan dan kedua tangannya terlipat di dada. Lengan tangannya tampak kekar dan berotot. Kakinya sedikit me-renggang bagaikan tak akan tergoyahkan walau terhempas badai.

"Dengan rendah hati kami mohon kau mau datang untuk sembuhkan ratu kami," Jelita Buie memohon dengan suara lembut.

"Kami tidak terlalu banyak memohon kerelaanmu," ujar Pesona Indah. "Kami hanya memohon darahmu. Toionglah ratu kami itu, Pendekar Mabuk yang budiman"

Suto Sinting masih diam. la membatin, "Meinbutuhkan darahku berarti membutuhkan kematianku? ini sebuah tantangan atau permohonan? Tak jelas maksudnya. Kalau hanya setetes dua tetes, mungkin bisa kuberikan. Tapi kalau dia menginginkan semua darahku, sa-ma saja dia menginginkan kematianku? Apakah aku harus turuti; berkorban demi ratu mereka yang tidak punya hubungan apa-apa denganku itu?"

Renungan Pendekar Mabuk menjadi buyar mendadak karena tiba-tiba dari arah belakang kedua gadis itu melesat sebuah sinar merah bergelombang- gelombang. Sinar itu melebar sehingga satu hantaman bisa kenai kedua gadis utusan Ratu Rangsang Madu.

Suto Sinting yang melihat kelebatan sinar merah itu segera sentakkan napas ke perut, tubuhnya terbang melayang ke atas dan bersalto satu kali melintasi kepala dua gadis itu. Wuuukkk...!

Begitu tiba di belakang gadis itu secara beradu punggung, Suto Sinting segera lepaskan pukulan 'Tangan Guntur'-nya yang memancarkan sinar biru besar dari telapaknya itu.

Claaapp...! Blegaarrr...!

Dentuman hebat terjadi. Gelombang panas meng-hentak kuat, membuat tubuh Suto Sinting tersentak ke belakang menabrak tubuh dua gadis itu, dan tubuh dua gadis itu melayang jungkir balik dengan cepatnya. Jleg, jleg...! Keduanya mampu kuasai keseimbangan dengan cepat dan berdiri dengan tegak. Sedangkan Pande Bungkus terlempar jauh masuk ke semak-semak dan mengerang di sana.

Suto Sinting terjungkal ke tanah dengan wajah membiru dan darah keluar dari lubang hidungnya. ia mengerang panjang saat berusaha untuk bangkit.

Rupanya sinar bergelombang-gelombang tadi mempunyai kekuatan amat dahsyat sehingga jurus 'Tangan Guntur' tak mampu menahannya di pertengahan jarak. Gelombang ledakannya masih mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi, sehingga Suto Sinting terluka dalam, wajahnya pucat membiru.

Sebentar kemudian ia segera memuntahkan darah kental dari mulutnya saat berusaha berlutut dengan satu kaki. Bumbung tuaknya sendiri sempat terpentai lepas dari pundak dan tergeletak dalam jarak dua jangkauan dari tempatnya berlutut.

"Rangse honpo bubam tui!" (Serang pohon bamboo itu).

Maka Jelita Bule dan Pesona Indah segera lepaskan jurus 'Kencana Lepas' yang berwarna kuning keemasan itu. Slaaapp...! Blegaarrr...!Dari semak belukar itu muncul sesosok tubuh ramping dengan pakaian kuning gading. Pakaian itu dilapisi jubah longgar berwarna abu-abu. Seorang perempuan berambut putih uban merata berdiri tegak di depan kedua gadis utusan Ratu Rangsang Madu. Wajahnya masih cantik, hidungnya kecii bangir, bi-birnya mungil, tubuhnya sekai montok, tapi sebenarnya usia sudah cukup banyak. Di atas tujuh puluh tahunan. Rambut uban rata yang meriap ituiah bukti bahwa ia sudah berusia lanjut.

"Nyai Sunti Rahim!" geram Pesona Indah. "Apa maksudmu menyerang Pendekar Mabuk, hah?!"
Nyai Sunti Rahim sunggingkan senyum sinis. "Pancinganku mengenai sasaran," katanya.

"Kalau yang kuserang dia, maka dia punya banyak waktu untuk bergerak dan bertimbang pikir dalam menangkis seranganku. Tapi jika yang kuserang kalian berdua, maka dia akan berusaha selamatkan kaiian dengan ge-rakan naluri yang tak sempat bertimbang pikir lagi. Ter-nyata perhitunganku tidak meleset! Dia akan mati oieh 'Racun Garang'-ku!"

"Kejam kau!" geram Pesona Indah yang sangat bernafsu ingin membaiasnya.

Suto Sinting mendengar semua ucapan itu walau pandangan matanya samar- samar karena sedang dihancurkan oleh racun sinar bergelombang merah tadi. la berusaha meraih bumbung tuaknya. Tetapi Nyai Sunti Rahim berkelebat cepat menendang bumbung tuak itu. Duuss...! Bumbung tuak jatuh ke jurang, di mana dasar jurang itu adalah aliran sungai yang membanjir tadi.

"Aaahhg...!" Suto Sinting mengerang sambii ter-sungkur karena tangannya tak berhasii meraih bumbung tuak itu. Wajahnya kian membiru dan matanya sudah mulai semburat merah.
Jelita Bule segera lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar ke arah Nyai Sunti Rahim. Tetapi dengan cepat Nyai Sunti Rahim sentakkan tangan kirinya bagaikan menepis sesuatu. Sentakan itu mengeluarkan gelombang tenaga dalam tanpa sinar juga, sehingga kedua gelombang tenaga dalam itu saling berbenturan di udara. Baangg...!

Tapi dua jari Nyai Sunti Rahim segera disentakkan ke depan. Dua jari kanan itu melesatkan sinar merah lurus ke arah Jelita Bule. Slaapp...! Pesona indah segera menerjang sinar merah itu dengan tangan menyentak ke depan melepaskan sinar hijau lebar. Biaarrr...!

"Uuhg...!"

Pesona Indah terlempar ke atas, melayang dl udara dalam keadaan tak berkutik lagi.  Darah  menetes  dari  mulutnya.  Jelita  Bule  segera  sentakkan  kak i dan melompat menyambar tubuh Pesona Indah. Wuuusss...! Tetapi gerakan melesat naik ternyata lebih cepat dilakukan oleh Nyai Sunti Rahim. Wuuutt...!

Dalam kejap berikutnya, tubuh Pesona Indah sudah di tangan Nyai Sunti Rahim. Kaki Nyai Sunti Rahim yang masih melayang Itu segera lepaskan tendangan ke arah dada Jelita Bule yang juga dalam keadaan masih melayang tak berhasii menyambar tubuh temannya.

Deegh...!"Ahhg...!" tubuh Jelita Bule tersentak ke belakang karena tendangan bertenaga dalam besar itu. Begitu ia jatuh ke tanah terpuruk di bawah sebuah pohon, ia langsung muntahkan darah segar dari mulutnya. Sementara Pesona indah sudah berada di atas pundak Nyai Sunti Rahim.

"Lepaskan dia!" Jelita Bule masih bisa berseru mengancam dengan mencoba bangkit dan sempoyongan. ia segera jatuh terhuyung bagaikan tanpa tenaga.

"Aku tidak akan lepaskan temanmu Ini! Aku yakin dia masih perawan dan akan kujadikan muridku untuk menerima ilmu andalanku! Kalian nanti akan dlbunuh semua oleh gadis Ini. Dia akan menjadi muridku yang menurut apa kataku!"

"Keparat kau, Sunti Rahim!" geram Jelita Bule yang berusaha bangkit lagi, namun kakinya bagaikan tak bertulang. Brruk...! la jatuh kembali dengan darah semakin banyak yang keluar dari mulutnya.

"Dan kau, Pendekar Mabuk...!" Nyai Sunti Rahim menuding Suto Sinting yang menggeliat kesakitan. "Seharusnya kau mati di depan gurumu karena muridku Perawan Maha Sakti Itu akhirnya tak tertolong juga karena ulahmu melenyapkan kedua ilmu itu, dan melenyapkan nyawa muridku. Aku tak sabar meiihat lagakmu yang seolah-olah tersakti dl seluruh jagat ini! Kau akan matl membusuk dalam waktu singkat! Gurumu akan kukabari 'Jalur Batin', biar dia tahu bahwa Nyai Sunti Rahim bukan orang selemah dulu! Kau tak akan bisa sembuhkan Ratu Rangsang Madu jika darahmu sudah membusuk bersama ragamu!"

Slaaap...!

Nyai Sunti Rahim lenyap bagal ditelan bum! sambii memanggul Pesona Indah. Gerakannya yang begitu cepat hanya bisa dilihat oleh mata kebiruan si Jelita Bule sebagai sinar kuning yang lenyap begitu saja.

"Kaaang...! Kang Sutooo...!" ratap suara di semak-semak. Pande Bungkus merangkak keluar dari semak-semak itu dengan wajah pucat. Hanya dia yang tidak keluarkan darah dari bagian tubuhnya karena hanya terkena sisa hentakan gelombang berdaya ledak tinggi tadi. la hanya merasakan mual, pusing, dan lemas di sekujur tubuh.

la merangkak mendekati Suto Sinting bersamaan dengan gerakan Jelita Bule yang duduk merayap mendekati Suto juga. Jelita Bule mencoba mengangkat kepala Suto Sinting yang kian membiru itu. Napas Suto Sinting tinggal sedikit. Bau busuk mulai menyebar keluar dari pori-pori tubuh Pendekar Mabuk.

Jelita Bule segera kerahkan tenaga hawa murninya untuk sembuhkan luka parahnya Pendekar Mabuk. Tetapi ketika ia lakukan hal itu, tiba-tiba kepalanya tersentak dan darah keluar dari mulutnya lagi. Brruuss.,.! Arahnya tepat di depan wajah Pande Bungkus yang merangkak itu. Akhirnya wajah Pande Bungkus tersembur darah dan menjadi merah berlumuran
"Nasib...!" ucapnya dengan sedih dan suara berat.

Agaknya Jelita Bule tak bisa gunakan hawa murninya karena tendangan tadi tepat kenai jantung dan pernapasan. la menjadi tambah bingung meiihat Suto Sin­ting semakin meredupkan mata. Bagian telinganya mulai tampak menghitam.

"Celaka...!" ucap Jelita Bule dengan nada sedih. "Dia... akan membusuk dan mati...!"

"Kaaang...!" rengek Pande Bungkus dengan hati iba. "Jangan mati sekarang, Kang Suto. Nanti-nanti saja...!"

Jelita Bule tarik napas pelan-pelan dengan mena-han rasa sakit di dada. Kemudian ia berusaha memangku kepala Suto Sinting yang sudah tak ingat apa-apa lagi itu. Napas yang terengah-engah berat dipakainya untuk bicara pelan kepada Pande Bungkus.

"Lekas, cari obat untuknya! Cari...!"

"Obat apa?" tanya Pande Bungkus dengan nada suara sedih bagai mau menangis.

"Apa saja! Apa yang kau tahu tentang pengobatan, cobalah untuk mengobati Pendekar Mabuk ini! Lekas...!"

"Bagaimana... bagaimana kalau daun jambu batu? Kulihat di sebelah sana tadi ada pohon jambu batu! Pucuk-pucuk daun yang masih muda biasanya buat menyumbat orang yang sakit buang-buang air. Siapa tahu bisa untuk menyumbat darah Kang Suto Sinting biar tak keluar terus."

"Tidak bisa! Daun itu tidak berguna. Dia akan membusuk karena racun itu!" Jelita Bule bicara dengan susah payah. "Cari seekor uiar!"

"Apa?! Ular...?! Hiii...!" Pande Bungkus bergidik dan gelengkan kepala. "Lainnya ular saja, Nona!"

"Tak bisa, Pande! Harus ular berbisa. Akan kuambil bisa ular itu dan kumasukkan untuk melawan racun dalam tubuh Pendekar Mabuk ini!"

"Aku tidak berani pegang ular, Nona. Tidak berani! Lainnya ular saja. Kalau... kalau ayam hutan bagaimana?!"

"Cari ular, iekaasss...!" Jelita Bule jengkel dan membentak sebisa-bisanya. Pande Bungkus ketakutan, apalagi Jelita Bule mendelik dan menyemburkan darah lagi. Maka Pande Bungkus pun segera pergi dengan langkah terhuyung-huyung masuk ke rimbunan semak.

"Pendekar Mabuk...! Pendekar Mabuk, sadarlah...!" Jeiita Bule tampak cemas sekali. la menepuk-nepuk pipi Suto Sinting, tapi mata Suto Sinting hanya bisa terbuka sedikit, lalu meredup lagi, tak bisa bicara atau mengerang.

Tiba-tiba dari arah jurang melesat sesosok bayangan putih yang melenting tinggi dan bersalto satu kali. Wuukkk...! Bayangan putih itu menapakkan kaki-nya ke tanah tanpa suara. Jelita Buie memandangl dengan terpana. Hal yang membuatnya heran lagi adalah bumbung tuak itu ternyata sudah ada di tangan orang tersebut.

Dia adalah seorang kakek berpakaian serba putih. Kakek misterius itu muncul lagi membawa bumbung tuaknya Suto yang tadi ditendang Nyai Sunti Rahim masuk ke jurang. Dari tempatnya berpijak, kakek serba putih melangkah tertatih-tatih dengan lamban. Begitu tiba di depan Jelita Bule, ia menyodorkan bumbung tuak itu sambii berkata,

"Berikan minuman ini untuknya. Masukkan ke mulut, jangan ke mata...!" Jelita Bule bagaikan bisu sejenak. ia hanya mengangguk-angguk dalam keadaan masih tertegun memandangi kakek yang tak dikenalnya itu. Setelah menerima bumbung tuak, maka dengan pelan-pelan Jelita Buie menuangkan tuak ke mulut Suto Sinting yang ternganga sedikit untuk jalan napasnya itu.

"Siapa yang membuatnya menjadi seperti ini?"

"Nyai Sunti Rahim," jawab Jelita Bule pelan dengan hentikan meminumkan tuak ke mulut Suto Sinting.

Kakek serba putih itu melangkah ke belakang Jeiita Bule sambii berucap kata pelan, "Sunti Rahim...?! Ternyata dia menjadi murka dan penasaran!"

Jelita Bule tidak hiraukan ucapan itu karena ia coba memasukkan tuak lagi ke mulut Pendekar Mabuk. Seteguk dua teguk tuak terminum oieh Suto.

Terdengar lagi suara kakek misterius itu berkata di belakang Jelita Bule,

"Kau juga... minumlah tuak itu. Tapt jangan banyak-banyak nanti kau mabuk." Gadis berambut kuning pirang itu tidak menjawab, namun ia menuruti saran itu. la meneguk tuak dengan menenggak beberapa saat. Selesal itu, ia merasakan kepala Pendekar Mabuk yang ada di pangkuannya itu bergerak pelan. Jelita Bule buru-buru memperhatikannya. la sedikit kaget meiihat daun telinga yang semula sudah menghitam itu kini menjadi biru samar-samar. Dada Suto Sinting muiai tampak bergerak lebih jelas lagi, sepertinya pernapasan agak lancar dari sebelum minum tuak itu.

Kian lama terjadi perubahan semakin nyata. Jelita Bule sendiri merasa dadanya yang tadi sesak dan sakit jika dipakai bernapas kini tidak sakit lagi. Bahkan ber- tambah lama bertambah enak dipakai untuk bernapas. Suto Sinting yang biru legam mulai pulih, dan napasnya pun kian teratur. Bahkan ketika ia membuka matanya, ia terkejut menyadari terbaring di pangkuan si gadis rambut pirang dan bermata kebiruan itu. ia buru-buru bangkit, dan gerakan itu bisa dilakukan dengan cepat.

Wuuttt...!

"Jelita...? Apa yang telah terjadi pada diriku tadi?"
"Apakah kau tak ingat diserang Nyai Sunti Rahim?!"

"Sunti Rahim...?!" Suto Sinting menggumam lirih dan mencoba mengingat- ingat. Peristiwa itu kini terba-yang lagi dalam benak Pendekar Mabuk yang segera menggumam dan manggut-manggut.

"Ya, aku ingat sekarang. Tapi... seingatku bumbung tuak ini ditendang olehnya sampai jatuh ke jurang sana!"

"Ada yang membawanya kemari, muncul dari kedaiaman jurang itu."
"Siapa yang membawanya?"

"Beliau ini yang...," Jelita Bule terhenti kaget, gerakan tangan yang menunjuk ke belakang diam tak bergerak lagi. Matanya memandang sekeliling dengan wajah penuh keheranan.

"Orang itu tadi ada di belakangku!"
"Seperti apa orangnya?"

"Seomng kakek berpakaian serba putih dengan rambut putih semua. Dia yang menyuruhku meminumkan tuak ke mulutmu dan menyarankan agar aku memi- numnya pula. Tapi... aneh?! Ke mana perginya si kakek serba putih tadi?"

"Kakek serba putih?" renung Pendekar Mabuk yang segera ingat perjumpaannya dengan kakek misterius di jembatan bambu tadi. Tubuh segar Jelita Bule membuat gadis itu mencari sang kakek di beberapa tempat, lalu kembaii lagi dengan tangan hampa.

"Dia tak kutemukan. Tapi menurutku dia belum jauh dari sini. Sebab tadi kulihat jalannya tertatih-tatih lamban sekali." . Suto Sinting tarik napas panjang, iaiu berkata, "Sudahlah. Tak perlu dicari lagi. O, ya... mana Pande Bungkus tadi?!"

Sebelum Jelita Bule menjawab, Pande Bungkus keiuar dari semak-semak dengan wajah pucat. Tangan kirinya pegangi siku kanan. Tangan kanan itu mengejang kaku dalam keadaan bengkak membiru. Wajah tampan Pande Bungkus tampak sedih bercampur takut.

"Kenapa tanganmu, Pande Bungkus?!" tegur Suto Sinting.

Sekalipun hati Pande Bungkus sebenarnya kaget juga meiihat Suto Sinting sudah sehat seperti sediakala, tapi la menjawab dengan nada sedih,

"Tanganku dipatuk ular, Kang!"
"Kenapa bisa begitu?"

"Ular sedang bertelur dipegang ekornya, eeh... kepalanya mengibas. Pletuk! Kena jempol tanganku."

"Ada-ada saja kau ini! Minum tuakku, lekas!" Suto Sinting menyodorkan bumbung bambunya. Pande Bungkus menenggak tuak dengan satu tangan.

"Aku yang menyuruhnya mencari ular," kata Jelita Bule. "Kupikir, ular itu akan kuambil racunnya dan akan kumasukkan ke tubuhmu biar bertarung melawan 'Racun Garang'-ku Nyai Sunti Rahim. Sebab... keadaanmu sangat parah dan sudah hampir membusuk."

"Pande Bungkus pemuda yang tidak bisa apa-apa, jangan kau suruh lakukan hal-hal berbahaya. O, ya... mana Pesona Indah?"

"Dibawa lari oieh Nyai Sunti Rahim!"

Pendekar Mabuk terkesiap sejenak, lalu menggumam, "O, benar. Aku ingat samar-samar saat ia bicara padaku dengan memanggul Pesona Indah."

"Aku harus bebaskan Pesona Indah sebelum dia dijadikan murid Nyai Sunti Rahim!"
"Itu tergantung Pesona Indah. Dia bisa menolaknya dengan berbagai cara!"
"Aku... aku takut dia dibunuh perempuan jahat itu!"
"Kenapa?"

"Sebab... sebab Pesona Indah sudah tidak... tidak pantas dan tidak bisa menerima dua ilmu andalan tersebut!" jawab Jelita Bule dengan bahasa halus. "Dia tidak sama denganku," tambahnya lagi.

Suto Sinting paham betul dengan bahasa halus tersebut. Pesona Indah sudah tidak perawan lagi. Berbeda dengan Jelita Bule yang masih perawan. Begitulah klra- kira maksud si rambut pirang.

"Kang, tanganku sembuh, Kang...!" seru Pande Bungkus sesaat setelah minum tuak dan tangannya yang bengkak menjadi kempes. la tampak girang.

"Tuak itu mujarab sekali, ya Kang?"

Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis. Tapi pada saat itu ia tersentak kaget dengan berkelebatnya Jelita Bule yang menerabas pepohonan kecil itu. Wrrrsss...! Mata Suto Sinting segera terbelalak.

"Jelita! Mau ke mana kau?!"

Tak ada jawaban yang didengar. Suto Sinting hanya mengejar beberapa langkah, lalu berhenti karena merasa sia-sia. Masih ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan olehnya.
Pande Bungkus berkata, "Pasti dia lapor sama gurunya, Kang!"

"Tidak. Dia pergi membebaskan Pesona Indah yang dibawa Nyai Sunti Rahim!"
"Lho... jadi si rambut hitam itu dibawa kabur oleh... oleh siapa tadi?"
"Nyai Sunti Rahim!"

"O, penyerangnya seorang perempuan?" Pande Bungkus memang tak meiihat kemunculan Nyai Sunti Rahim karena ia terperosok jatuh ke semak belukar, tak bisa melihat apa-apa dalam sejenak, tak ingat suara apa pun untuk sesaat.

"Sunti... Rahim...?!" Pande Bungkus mengeja nama itu sambii berpikir. "Sepertinya aku pernah dengar nama itu, Kang." "Dari siapa?"

"Dari seseorang yang bicara dengan temannya sewaktu ibuku masih hidup dan berjualan nasi di pintu masuk pasar. Kalau tak salah... kalau tak salah nama itu pernah diucapkan oleh mulut seorang pengemis, Kang. Hmmm... ya, benar. Aku ingat, seorang pengemis yang mengucapkan nama itu."

"Lupakan saja. Sebaiknya...."

Kata-kata Suto Sinting terhenti karena melihat sekelebat bayangan kuning melesat di sela-sela pepohonan. Suto Sinting tertegun sejenak. Gerakan mata mengikuti gerakan bayangan kuning itu yang ternyata berbelok arah menuju ke tempatnya berdiri.

Wuutt...! Jleegg...!

Tokoh tua muncul di depan kedua pemuda itu membuat Pande Bungkus terpekik kaget dan lari ke belakang Suto Sinting. la menggeragap mencari batu dan setelah ditemukan sebutir batu langsung dipasang di ketapelnya. Karet ketapel direntangkan ke arah tokoh tua itu dengan wajahnya yang tegang.

Melihat yang muncul kali itu adalah tokoh tua berambut putih digulung sebagian di tengah kepala, ber-dirinya membungkuk dengan bertopang tongkat yang ujungnya berbentuk bola licin hitam, Suto Sinting langsung berkata kepada Pande Bungkus dengan tegas.

"Turunkan ketapelmu, Pande Bungkus!"
"Orang ini pasti bahaya juga, Kang! Biar kuhajar pakal ketapelku. Pasti tepat di dahinya!"

"Turunkan!" hardik Suto Sinting dengan memandang tajam. Pande Bungkus takut, ketapel pun diturunkan dan dikendurkan.

Orang tua berpakaian kuning lusuh hampir kecoklatan itu hanya tersenyum tipis sekali sambii pandangi Pande Bungkus, lalu ia bertanya kepada Suto,

"Apakah dia muridmu, Suto?"

"Bukan, Ki Bongkok Sepuh. Dia seorang teman baru," jawab Suto Sinting dengan memanggil orang tersebut Ki Bongkok Sepuh. Sebab orang tua itu memang si Bongkok Sepuh yang oieh para tokoh persilatan dikenal dengan nama Setan Arak. Hanya Suto Sinting yang mengenal nama Bongkok Sepuh, sebab pada waktu berkenalan dengan Suto Sinting, ia sudah tidak doyan arak lagi dan ingin menghapus julukan Setan Arak, di-ganti dengan si Bongkok Sepuh, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Maha Sakti").

Bongkok Sepuh masih pandangi Pande Bungkus yang jadi salah tingkah itu.

"Kulihat ia punya harapan untuk menjadi muridmu, Suto."

Pendekar Mabuk hanya melirik Pande Bungkus sebentar sambii tersenyum tipis tak pedulikan ucapan itu, kemudian ia kembali menatap Bongkok Sepuh.

"Bekas istrimu hampir saja membunuhku, Bongkok Sepuh."

Mata si Setan Arak itu terkesiap pandangi Suto Sinting, "Aku baru saja mau sampaikan berita penting untukmu tentang Sunti Rahim, makanya aku mencari- carimu ke mana-mana. dan kutemukan di sini."

"Berita apa?"

"Muridnya tak tertolong. Sunti Rahim marah besar kepadamu. Dia mengancam nyawamu. Tapi dia kudengar berusaha mencari murid baru untuk turunkan kedua ilmu itu. Yang menjadi sasaran adalah orang-orang Negeri Malaga, karena para prajuritnya Ratu Rangsang Madu pada umumnya berilmu tinggi, jadi Sunti Rahim hanya akan tambahkan dua iimu dahsyat itu saja; 'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa'. Tapi dia terhalang oieh kekuatan Ratu Rangsang Madu, dan sang Ratu sekarang menderita Racun Bulan Madu yang berbahaya bagi dirinya sendiri!"

"Semua sudah kudengar dari dua utusannya yang mencariku, Ki Bongkok Sepuh. Tapi ketika Nyai Sunti Rahim menyerang kami, ia berhasil membawa lari satu utusan Ratu Rangsang Madu yang akan dijadikan muridnya."

Bongkok Sepuh melangkah ke samping sambil berpikir. Kemudian ia kembali perdengarkan suaranya, "Kau sudah berhadapan dengan Sunti Rahim?!" nadanya berkesan tidak percaya.
"Sudah. Bahkan seperti kubilang tadi, aku hampir saja mati membusuk! Untung ada seorang kakek aneh yang selamatkan aku."

"Kakek aneh siapa?"
"Entah. Dia tidak mau sebutkan namanya."

Pande Bungkus menyahut, "Rambutnya putih, alisnya putih, pakaiannya putih, pokoknya serba putih!"

"Apakah jalannya tertatih-tatih?"
"Benar!" kata Suto Sinting bersemangat. "Kau mengenalnya, Ki?"
"Hmmm... ya, aku mengenalnya. Dia yang bernama Setan Merakyat."
"Setan Merakyat? Aneh sekali namanya?" gumam Suto Sinting.

"Kalau dulu aku dijuluki Setan Arak, maka dia dljuluki Setan Merakyat, karena ramah dan baik kepada siapa saja, sekalipun kepada petani desa. Dia adalah kakakku sendiri."

Pendekar Mabuk terperanjat. Maka teringatlah Suto Sinting pada kata-kata kakek serba putih itu yang mengucapkan terima kasih atas pertolongan Suto kepada adiknya. Rupanya si Setan Arak alias Bongkok Sepuh itulah adiknya.

"Untuk apa dia muncul? Ada masalah apa?" gumam Bongkok Sepuh bagai menyimpan teka-teki yang mencemaskan hati menegangkan pikiran.Panorama pantai menjelang sore dihiasi cahaya merah tembaga. Matahari yang mulai di ambang cakrawala menyiramkan cahayanya bagai sedang melukis langit dengan warna merah lembayung.

Di atas gugusan batu karang dalam ketinggian tebing yang cukup curam, sesosok tubuh berdiri tegak mematung, pandangannya terlempar pada gugusan pulau nun jauh di sana hingga merupakan sebuah titik hitam mendekati batas cakrawala. Angin pantai menerpa rambutnya yang putih berpotongan model Suto Sinting. Rambut itu meriap hingga sebagian menutup wajahnya. Jubah kuningnya yang sebagian membungkus ceiana biru tanpa baju itu juga melambai bagaikan ben- dera sebuah kapal perampok. Sekalipun sudah berusia lanjut, tapi berdirinya masih tegak, kedua kakinya masih tampak kokoh berpijak.

Tokoh tua yang sesekali terdengar batuknya ber bagai irama itu sempat membatin dalam kebisuannya.

"Kalau saja Raja Maut tidak mengingatkanku untuk mengatur rencana lebih matang lagi, sudah kuhancurkan Pulau Intan itu! Tapi agaknya aku harus bersabar menunggu waktu yang baik untuk menyerang Tuanku Nanpongoh, menunggu kelengahan orang-orang Pulau Intan yang biadab itu! Kasihan sekali adikku; si Cakradayu, kehilangan istri dan anak-anaknya, belum lagi menghadapi nasib Dewi Angora, si anak sulungnya yang hamil tanpa seorang ayah. Terlalu berat beban itu bagi seorang lurah seperti Cakradayu. Keluhannya yang sering terlontar di depanku secara tak sadar, telah membuatku semakin sayang kepadanya!"

Sesaat kemudian terdengarlah suara batuknya yang aneh, "Uhuk, uhuk, ehek. uhuk, ihik, hik, hiiikkk... hoek! Cuih!"

Irama batuk seperti itu hanya dimiliki oleh tokoh sakti tingkat tinggi yang dikenal dengan nama Batuk Maragam. Meski wajahnya sering berkesan cengengesan, tapi ia sebenarnya tokoh tua yang punya wibawa tersembunyi di depan tokoh-tokoh seangkatan dengannya.

Sikapnyayang cenderung sebagai pengasuh bagi yang muda, sering membuatnya menjadi dikagumi dan digemari oleh para tokoh muda di rimba persilatan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Peri Sendang Keramat").

Ki Lurah Cakradayu, ayah dari Dewi Angora, bermaksud membalas dendam atas kematian istri dan tiga anaknya di tangan Tuanku Nanpongoh. Tetapi Batuk Maragam sebagai sang kakak selalu menahan hasrat Ki Lurah Cakradayu. Begitu sayangnya ia kepada adiknya, sehingga ia bertekad membalaskan seluruh sakit hati sang adik kepada Tuanku Nanpongoh yang lamar-annya ditolak oieh Dewi Angora.

Tetapi banyak tokoh tua seangkatan Batuk Maragam memberi saran agar tidak melakukan penyerangan ke Pulau Intan dalam waktu dekat ini. Beberapa tokoh yang memberi saran seperti itu adalah Raja Maut, Setan Arak, bahkan gurunya Suto Sinting pun menyarankan demikian.

"Jika kau menyerang ke Pulau Intan sekarang-sekarang ini, maka kau akan terjebak oieh maut yang sudah dipersiapkan untukmu di sana. Tuanku Nanpongoh mempunyai sejumlah pasukan kuat dan memegang pusaka Gada Rujak Pala, yang konon merupakan pusaka peninggalan zaman pewayangan, milik Raden Bima. Entah kabar itu benar atau tidak, tapi beberapa orang pernah menjadi korban pusaka Gada Rujak Pala itu. Jadi hati-hatilah sebelum bertindak," tutuk Ki Sabawana yang dikenal dengan nama si Gila Tuak.

"Apa kehebatan pusaka Gada Rujak Pala itu?" tanya Batuk Maragam seusai menghadiri undangan Peri Sendang Keramat di Bukit Rongga Bumi.

Gila Tuak yang dikenal tokoh teratas di antara para tokoh itu menjawab dengan pelan dan tegas, "Gada Rujak Pala dapat menghancurkan kepalamu dari jarak jauh dengan cara menghantamkannya ke bekas telapak kakimu! Itu salah satu kehebatan pusaka Gada Rujak Pala."

Saat saran-saran mereka direnungkan, tiba-tiba mata tua Batuk Maragam meliihat sekelebat bayangan muncul dari hutan pantai dan berhenti di tepian. Mata tua itu sedikit terkeslap, kemudian membatin kata dl ha-tinya.

"Sunti Rahim! Mau apa dia bawa-bawa tubuh seorang gadis di pundaknya? Hmmm... firasatku menangkap niat tak beres pada diri Sunti Rahim!"

Slaapp...! Tubuh Batuk Maragam bagaikan menghilang. Dalam sekejap ia sudah berada di belakang Nyai Sunti Rahim tanpa suara. Maka terdengarlah suara batuknya yang sempat mengejutkan Nyai Sunti Rahim.

"Uhuk, uhuk, ehek, ehek, hhooek...l Cuih!"

Berpalinglah Nyai Sunti Rahim ke belakang, berkerutlah kening perempuan tua yang masih berwajah cantik itu. Lalu terdengar ia menyapa Batuk Maragam de­ngan suara bernada ketus.

"Mau membokongku, Batuk Maragam?!"

"Apa kau suka diserang dari belakang?" Batuk Maragam ganti bertanya dengan sikapnya yang tenang. "Aku hanya ingin menyapamu saja, Sunti Rahim. Siapa gadis yang ada di pundakmu itu?"

"Siapa pun dia ini bukan urusanmu, Batuk Maragam!"

"Memang. Tapi jika sudah menyangkut kedamaian orang banyak, mau tak mau aku terlibat secara tak langsung dalam urusanku. Uhuk, uhuk, ahak, ahak, ahiiik... ahh!"

Nyai Sunti Rahim terpaksa turunkan tubuh Pesona Indah karena dilihatnya Batuk Maragam bermaksud ingin menahan langkahnya. Gadis itu dibaringkan di pasir pantai dalam keadaan tubuh setengah bersandar pada sebongkah batu hitam.

"Apa maumu sebenarnya, Brajamusti?!" Nyai Sunti Rahim sebutkan nama asli Batuk Maragam.

Tokoh tua yang separo lebih dari usianya dihabiskan untuk bergu-ru di Pegunungan Sojiyama itu mendekati gadis yang terbaring dan memandanginya. Lalu, ia menggumam tertuju kepada Nyai Sunti Rahim.

"Cantik juga anak ini. Apakah dia muridmu, Sunti Rahim?"
"Calon muridku."
"Calon...?!"
"Muridku yang asli; Perawan Maha Sakti telah mati karena ulah Pendekar Mabuk."

"Ooo... ya, ya! Sekarang aku ingat tentang itu," kata Batuk Maragam sambii manggut-manggut. Gara-gara muridmu kau bekali ilmu 'Darah Gaib' dan ilmu 'Bias Dewa', hampir saja Suto Sinting mati karena iimu itu. Aku pernah mendengar ceritanya dari yang bersangkutan. Jadi, sekarang aku bisa menangkap maksudmu. Kau ingin turunkan kedua iimu berbahaya itu kepada gadis ini!"

"Pikiran tuamu masih lumayan juga, Brajamusti!" Nyai Sunti Rahim sunggingkan senyum sinis. Di balik senyum itu terbias kesan bangga atas kehebatan dirinya yang mampu turunkan dua ilmu dahsyat itu.

"Aku tidak setuju dengan rencanamu, Sunti Rahim!" kata Batuk Maragam dengan tegas. "Kedua ilmu itu hanya akan mengacaukan kehidupan di permukaan bumi."

"Lalu apa maumu?" tantang Nyai Sunti Rahim yang merasa tak punya rasa takut sedikit pun kepada Batuk Maragam, walau ia tahu Batuk Maragam tokoh berilmu tinggi.

"Hentikan niatmu itu, tinggalkan gadis itu, biar kubawa pulang ke tempat asalnya. Uhuk, uhuk, uhuk, ihiiik... aah!"

"Jika kau bermaksud menghalangi niatku, sama saja kau ingin menjajagi ilmuku, Brajamusti!"

"Tidak. Tidak begitu," jawabnya dengan sabar dan kalem. Aku hanya ingin sampaikan kesepakatan para tokoh seangkatan kita setelah kami hadiri undangan di Bukit Rongga Bumi itu, bahwa kami bersepakat agar kedua iimu itu tidak dipergunakan lagi oieh satu orang. Boleh diturunkan dan dimiliki oieh seorang gadis, tapi hanya salah satu saja. Tak boleh keduanya dimiliki oieh satu orang, karena hal itu akan membuat orang tersebut menjadi seorang angkara murka yang bertindak semena-mena."

"Persetan dengan kesepakatan kalian! Aku tetap akan lakukan hal itu!"
"Berarti kau menentang undang-undang persilatan!"
"Itu urusanku."

"Tak bisa. Jika kau menentang undang-undang persilatan, kau akan berurusan denganku pula, Sunti Rahim!"

"Aku tak merasa takut jika harus bertarung denganmu, Brajamusti!"

Batuk Maragam memandang mata Nyai Sunti Rahim dengan tajam. Yang dipandang juga memberi balasan serupa. Tiba-tiba kedua mata Nyai Sunti Rahim melesat dua benda logam putih kemilau. Slaaapp...! Batuk Maragam cepat menahan napas. Beesss...! la bagaikan lenyap, dan tahu-tahu sudah ada di sisi lain.

Dua logam yang ternyata jarum berkekuatan tenaga dalam sangat tinggi itu melesat tak kenai sasarannya, melainkan menghantam dua gugusan batu karang yang berjarak sepuluh tindak dari tempat Batuk Maragam berdiri semula.

Sraab...! Blaaarr...! Dua batu itu pun pecah memercik ke berbagai arah. Menjadi serpihan- serpihan lembut yang mempunyai panas api membara.

"Uhuk, uhuk, uhuk...!" Batuk Maragam mulai beraksl. Suara batuknya mempunyai getaran gelombang tenaga dalam yang segera mengguncangkan pepohonan hutan pantai dan menggetarkan dinding tebing karang. Brrr...!

"Uhuk, ehek, ehek, ehek, ehek, ehek...!"

Nyai Sunti Rahim menutup kedua telinganya. Suara-batuk itu bagaikan menembus masuk kedua gendang telinganya dan ingin memecahkan gendang telinga itu. Nyai Sunti Rahim menahannya dengan mata terpejam kuat-kuat dan tubuh mulai limbung ke sana-sini.

"Ehek, ehek, ehek, ahaak... ahak, ohok, ahak, ahok, ahak, ohooooeek...!"
Brrrukk...!

Nyai Sunti Rahim jatuh berlutut dengan napas terengah-engah dan telinganya merembeskan darah. Wajah menjadi pucat dan kedua tangan yang memegangi telinga itu gemetaran.

Suara batuk itu juga memecahkan empat bongkah-an batu hitam sebesar kerbau, dan beberapa gugusan batu karang yang ada di sekitar tempat itu menjadi re-tak. Bahkan ada yang terbelah menjadi dua atau tiga bagian. Dinding tebing karang rontok, sebagian ada yang merekah bagai ingin terbelah.

"Heeeaaatt...!" Nyai Sunti Rahim kerahkan tenaga murkanya. la melesat dalam keadaan seperti terbang. Tubuh Batuk Maragam yang masih terbungkuk-bungkuk dan keluarkan batuk lagi itu diterjangnya. Breesss...! Wuut...! Tubuh tua itu terlempar jauh dan terbanting menghantam batu karang runcing.

Tetapi sebelum tubuh itu menyentuh batu karang runcing, tiba-tiba ada asap menyentak dari tangan Batuk Maragam dan asap itu menguap tebal membungkus diri.

Buuusss...!

Tubuh Batuk Maragam tak terlihat lagi begitu asap hilang terhembus angin. Nyai Sunti Rahim yang kesa-kitan pada kedua telinganya mencoba mencari sosok Batuk Maragam. Ternyata tokoh berambut abu-abu itu sudah berada di atas tebing karang, tempatnya berdiri semula.

"Keparat kau, Brajamusti!" teriak Nyai Sunti Rahim dengan amat murka. Karena dilihatnya tubuh Pesona Indah sudah ada di pundak Batuk Maragam. Gerakan cepat Batuk Maragam dalam menyambar tubuh Pesona Indah sempat tidak terlihat oieh mata Nyai Sunti Rahim.

"Heeeaaat...!" Nyai Sunti Rahim berkelebat bagaikan angin lewat.

Buusss...!

Asap putih mengepul lagi dengan tebal membungkus tubuh Batuk Maragam sebelum Nyai Sunti Rahim tiba di atas tebing karang itu. Ketika perempuan tersebut sampai di sana, ternyata Batuk Maragam sudah lenyap bersama Pesona Indah. Nyai Sunti Rahim mencarinya dengan napas terengah-engah. Ta-hu-tahu dilihatnya sosok Batuk Maragam sudah berada di pantai tempat pertarungan mereka tadi.

"Uhuk, uhuk, hoooaaak...! Hoooaaak...!"
Glegeeer...!

Guntur menggelegar, langit berkerilap bagaikan mau pecah. Awan hitam menggumpal-gumpal di angkasa. Tanah bergetar meruntuhkan dinding tebing ka­rang. Dan saat ituiah tubuh Nyai Sunti Rahim jatuh ter-jungkal ke jurang karang. Tubuh itu melayang-layang sambii serukan teriakan liar,

"Kubalas kau, Brajaaa...!"

Batuk Maragam diam dalam pandangan ke arah dasar jurang yang penuh dengan bebatuan runcing itu. Alam sudah tidak lagi bergetar karena Suara batuk bergelombang tenaga dalam tinggi itu. Batuk Maragam berkata lirih,

"Aku tahu kau tak akan mati di sana, Sunti Rahim! Tapi kalau kau masih nekat mau menerjang undang-undang persilatan yang telah disepakati bersama oleh kami, kau tetap akan berhadapan denganku dan mungkin akan menderita lebih parah lagi!"

Setelah berkata bagaikan bicara sendirian itu, Batuk Maragam cepat tinggalkan tempat itu menyusuri pantai. Langkah pertama yang dilakukan adalah membawa gadis yang terluka parah itu ke pondoknya. Wajah sang gadis sudah sangat pucat, bibirnya membiru, tubuhnya dingin.

Namun sebelum mencapai tempat kediamannya yang kala itu ditunggui oleh bekas murid Peri Sendang Keramat yang telah murtad dari ajaran sang Peri, yaitu Camar Sembilu, tiba-tiba langkah Batuk Maragam terhadang oieh sebuah kilatan sinar kuning emas yang melesat dari arah kirinya. Claaap...! Blaar!

Sinar kuning emas itu dihindari Batuk Maragam dengan sentakkan kaki yang membuat tubuhnya melesat naik dalam keadaan tetap memanggul Pesona Indah. Sinar tersebut menghantam gugusan batu karang yang jauh dari pantai, dan batu karang putih itu mendadak menjadi hitam dan berasap, bagai seonggok arang me­nunggu rapuh karena terjangan ombak.

Batuk Maragam mencari penyerangnya. Tiba-tiba dari belakang melesat sesosok tubuh yang berkelebat cepat melancarkan tendangan miringnya. Wuuuttt...! Batuk Maragam cepat putar badan dan kaki kanannya juga berkelebat bagai kipas.

Wuuusss...! Praakk...!
"Auhg...!"
Brrruk...!

Tubuh si rambut pirang jatuh tersungkur. la menyeringai karena tulang kakilnya bagaikan patah ataupun remuk sebagian. la merasa seperti menen- dang pilar besi sekencang-kencangnya.

"Mengapa kau menyerangku, Nona Cantik?! Uhuk, uhuk uhuk...!" suara batuk itu tanpa saluran tenaga dalam.

Jelita Bule berusaha bangkit dengan terpincang-pincang. Matanya masih mencoba memandangi Batuk Maragam dengan sikap bermusuhan.

"Serahkan gadis di pundakmu itu!"
"Apakah kau anak buah Nyai Sunti Rahim?!"
"Apakah kau ada di pihaknya, Pak Tua?!" Jelita Bule ganti bertanya.
"Kalau kau ada dipihaknya, kau layak menerima pembelaanku ini. Hiaaah.. I"

Claaap...!

Dari tangan yang disentakkan melesat selarik sinar hijau lurus, arahnya ke dada kanan Batuk Maragam. Tetapi tangan Batuk Maragam segera menghadang. Telapak tangannya dipakai sebagai penghadang sinar hijau itu. Jeeeb...!

Rupanya Batuk Maragam ingin kembalikan sinar hijau itu dengan tenaga dalamnya yang mendorong sinar tanpa putus tersebut, sedangkan Jelita Bule ber­usaha menekan sinar itu agar tembus ke telapak tangan lawannya. Mereka saling kerahkan tenaga, saling berusaha menumbangkan, hingga akhirnya seberkas sinar merah melesat dari samping bagaikan memotong sinar hijau lurus itu. Blaarr...!

Jelita Bule terpental terbang ke belakang dan jatuh terpuruk di semak. Batuk Maragam hanya mundur dua tindak dalam sentakan yang hampir membuatnya menggeloyor jatuh. Tapi tubuh Pesona Indah masih ada di pundaknya, dipegang kuat-kuat. Batuk Maragam segera memandang ke arah datangnya sinar merah kecil itu.

"Setan Arak...?!" sapa Batuk Maragam yang segera terbatuk-batuk sesaat.

Bongkok Sepuh dan Suto Sinting datang hampiri Batuk Maragam. Mata gadis berambut pirang memandang dengan hati lega. Sebab ia merasa seandainya tidak dihentikan oleh kehadiran Suto Sinting, ia akan kalah hadapi Batuk Maragam yang mampu menahan sinar hijaunya dengan tangan telanjang dan tanpa luka sedikit pun. Bagi Jelita Bule keadaan itu sudah menandakan bahwa lawannya berilmu lebih tinggi darinya.

Pande Bungkus datang menyusul setelah beberapa saat Suto Sinting dan Bongkok Sepuh berada di tempat itu. Bongkok Sepuh langsung menyapa Batuk Maragam,

"Mengapa kau lawan gadis semuda itu, Brajamusti? Jelas dia bukan tandinganmu. Kalau tidak kupatahkan dengan sinar merahku, bisa hancur tubuh gadis cantik itu, Brajamusti!"

"Dia ingin mengambil orang yang kupanggul ini. Tapi dia terlalu kasar dan berani menyerangku. Aku hanya bertahan saja, tidak memberi serangan balasan!"

" Pesona Indah...?" gumam Pendekar Mabuk setelah memperhatikan gadis yang dipanggul Brajamusti.

"Apakah kau kenal dengan gadis culikan Sunti Rahim ini, Suto?"
"Sangat kenal. Dia teman gadis berambut kuning yang menyerangmu itu!"
"Ooo... pantas! He he he he... uhuk, uhuk, uhuk, uhuk!"
"Hentikan tawamu supaya lenyap batukmu, Brajamusti," kata Bongkok Sepuh.

Jelita Bule dekati Suto Sinting dengan terpincang-pincang. Pande Bungkus meiihat Jelita Bule berjalan dengan susah, maka ia segera membantu, memapahnya tanpa canggung-canggung lagi. Jelita Bule tidak menolak, dan ia diantarkan untuk mendekati Suto.

"Beri aku tuak, sakit sekali kakiku!"

Suto Sinting sunggingkan senyum sambii sodor-kan bumbung tuaknya. la sempat berkata pelan, "Hati-hati, jangan sampai ketagihan sepertikul"

Batuk Maragam bertanya kepada Suto Sinting, "Siapa sebenarnya gadis ini, juga gadis rambut aneh itu?"

"Utusan dari Ratu Rangsang Madu," jawab Suto Sinting, dan jawaban itu membuat Batuk Maragam berkerut dahi.

"Ada urusan apa sehingga ia mengirimkan dua utusannya?"
"Dia terkena Racun Bulan Madu, kiriman dari Nyai Sunti Rahim!"

"Gawat!" gumam Batuk Maragam dengan cemas. Pesona Indah diletakkan di atas rumpun. "Tolong beri dia tuak dulu biar tidak terlambat!"

Jelita Bule yang memberikan tuak kepada Pesona Indah. Menuangkan ke mulutnya pelan-pelan. Sementara itu Batuk Maragam berkata,

"Setan Arak, aku ingin bicara denganmu sebentar!"

Suto Sinting berkerut dahi walau tetap tersenyum. Matanya pandangi dua tokoh tua yang berkasak-kusuk di bawah pohon, sekitar tujuh langkah dari orang- orang muda itu. Agaknya ada pembicaraan rahasia yang dila-kukan oieh dua tokoh tua itu. Suto Sinting mencoba mencuri dengar dengan iimu Sadap Suara' yang dimi- likinya dari Bidadari Jalang.

"Apakah kau akan datang ke Pulau Selayang?" tanya Batuk Maragam.

"Tidak. Aku tidak mau ikut ke sana. Bukan karena aku tak kasihan kepada bekas kekasih lamaku sebelum beristril Nyai Sunti Rahim, tapi... aku tidak mau mengulang kenangan lama. Kau sajalah yang ke sana menengoknya. Mungkin kau bisa mengobatinya juga."

Aku tak pernah tahu apa obat untuk Racun Bulan Madu itu! Dan lagi kalau aku ke sana, aku takut dia akan tahu tentang diriku dan menuntut haknya!"

"Kasihan kalau dia tak kau tengok. Sudah berapa lama kau tak menengoknya?"
"Hampir empat puluh tahun lebih."

"Kurasa dia masih punya hati padamu, karenanya sampai sekarang belum mau menikah dengan siapa pun."

"Tidak, Setan Arak! Aku yakin dia masih mengharapkan kau kembali padanya!"
"Aku tidak bersedia! Aku sudah terlalu melukainya."
"Justru sekaranglah saatnya kau mengobati lukanya."

Bongkok Sepuh diam termenung beberapa saat. Suara bisik bisik mereka terdengar jelas di telinga Suto Sinting, karena Pendekar Mabuk mempunyai iimu 'Sadap Suara'. Karenanya dahi Suto pun berkerut kala mencoba menyimpulkan percakapan kedua tokoh tua itu.
Terdengar lagi Bongkok Sepuh berkata, "Bagaimana kalau kita datang berdua?"

Itu akan melukainya, karena ia tak bisa curahkan perasaan kepada kita secara bersamaan."

"Tapi... ah, tidak. Aku tidak mau datang. Kau saja yang datang dan kupaksa agar datang menemuinya! Setidaknya membantunya menyembuhkan Racun Bulan Madu!"

"Kau tak sakit hati kalau aku datang?" bisik Batuk Maragam setelah mengerutkan keningnya beberapa saat untuk mempertimbangkan langkah.

"Tidak. Kita sudah sama-sama tua. Yang tersisa hanya kenangan masa muda! Datanglah kepadanya, dan sampaikan salamku padanya. Kau memang lebih berhak menemuinya, karena kau sampai sekarang pun belum beristri lagi, bukan?"

"Hmmm... ya. Terus terang saja, karena aku masih terpaku oieh kenangan masa muda bersamanya."

"Bawalah Suto Sinting ke sana. Mustikasari membutuhkan bantuan Suto!"
"Baiklah kalau kau memang tak punya rasa apa-apa terhadapku."

Bongkok Sepuh tepuk-tepuk pundak Batuk Maragam. "Aku sudah tak seperti dulu. Tak pernah punya rasa cemburu kepada teman yang bisa dapat kekasih cantik. Lupakan semua masa lalu kita yang buruk-bu ruk. Kenang saja yang indah-indah!"

Pendekar Mabuk berkata dalam hatinya, "Sepertinya mereka berdua punya hubungan dekat dengan Ratu Rangsang Madu? Agaknya hubungan mereka sangat pribadi dengan sang Ratu yang punya nama asli... Mustikasari itu. Tapi hubungan yang bagaimana sebenarnya? Hak apa yang akan drtuntut oieh sang Ratu jika Batuk Maragam datang menemuinya? Aku jadi ingin tahu kisah lalu orang-orang seperti mereka Itu"Desakan Suto Sinting membuat Batuk Maragam tak bisa sembunyikan rahasia masa lalunya. Dalam perjalanan menuju Pulau Selayang, Suto Sinting sempat mengancam dalam candanya,

"Kalau Paman tidak mau ceritakan masalah Ratu Rangsang Madu, saya akan loncat dari perahu ini dan pulang ke Jurang Lindu. Tak mau ikut ke Pulau Selayang!"

"Kau sama nakalnya dengan gurumu semasa mudanya, Suto!" gerutu Batuk Maragam.

Keduanya tetap berdiri dl bagian buritan perahu.

"Semasa mudanya, Ratu Rangsang Madu bernama Mustikasari. Dia adalah wanita tercantik di rimba persilatan. Ketika ia berdekatan dengan Setan Arak, atau si Bongkok Sepuh, aku merebutnya. Aku iatuh cinta pada Mustikasari. Aku juga mengadukan hubungan cinta Setan Arak dengan Mustikasari kepada guru si Setan Arak, yaitu Nyai Sunti Rahim sendiri. Akhirnya Nyai Sunti Rahim ikut mendukungku, menjauhkan Setan Arak dengan Mustikasari. Setan Arak dikuasai oieh gurunya, lalu menikahlah mereka sebelum akhirnya bercerai karena Setan Arak tergoda oieh rayuan Bidadari Jalang."

"Lalu hubungan Paman dengan Mustikasari tetap berlanjut?"

"Ya. Tapi waktu itu aku masih nakal," Batuk Maragam tertawa sendiri, lalu terbatuk-batuk. "Usia mudaku membuat aku nekat menghanyutkan diri dalam pelukan Mustikasari, sampai akhirnya ia hamil dan punya anak. Tapi waktu itu aku sudah telanjur meneruskan pelajaranku, pergi ke Pegunungan Sojiyamadi Negeri Matahari Terbit itu. Kudengar Mustikasari melahirkan anak perempuan, yang kemudian dibuang olehnya. Tugasku harus menemukan anak perempuan itu dan menyerahkan kembali kepadanya jika aku ingin kembali hidup bersamanya."

"Lalu anak perempuan itu sudah Paman temukan?" "Belum. Karena memang aku tidak mencarinya. Aku berusaha melupakan Mustikasari, sebab aku merasa berdosa besar kepadanya. Penyesalanku sudah kian menua, hingga tak terasa lagi menduka di hati."

***Lanjut ke bagian 2


PENDEKAR MABUK