Pendekar Mabuk 38 - Telur Mata Setan(2)

5
KABUT menebal di puncak Gunung Kundalini. Kabut putih membawa hawa salju itu merambah di permukaan tanah sebatas mata kaki, di sisi lain ada yang tinggi ketebalannya sampai sebatas betis.

Pesanggrahan yang dibangun di puncak gunung itu dalam ukuran kecil dan sangat sederhana. Di pesanggrahan itulah seorang wanita cantik mengasingkan diri ditemani oleh bekas muridnya dari Perguruan Merpati Wingit. Perempuan itu tak lain adalah Nyai Guru Betari Ayu, dan murid setianya adalah Selendang Kubur. Kedatangan Suto Sinting membuat Nyai Guru Betari Ayu berwajah cerah ceria, walau ia menyimpan keharuan atas cinta yang terpendam dan sampai saat itu tak bisa dihancurkan. Sekalipun demikian, cinta itu hanya bisa diendapkan di dasar hati dan tak ingin dicurahkannya seperti dulu, karena Nyai Guru Betari Ayu sadar bahwa Suto Sinting adalah calon suami adiknya; Dyah Sariningrum.
Untuk sesaat Nyai Guru Betari Ayu termenung melamunkan masa-masa perpisahannya dengan Pendekar Mabuk, setelah ia serahkan Kitab Wedar Kesuma sebagai pelengkap mas kawin yang diminta Dyah Sarinigrum, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Utusan Siluman Tujuh Nyawa").
Betari Ayu adalah sosok perempuan yang bijak dan lembut. Penampilannya masih belum berubah. Tetap cantik, anggun dan berkharisma tinggi. Jubahnya kuning, pakaian dalamnya biru. Rambutnya panjang, dengan ikat kepala dari tali merah bintik-bintik kuning emas. Ujung tali itu ada logam kuning seperti mata tombak, dan memang bisa digunakan sebagai senjata di kala itu.
Ia tak berani menatap Pendekar Mabuk terlalu lama, sebab jika memandang terlalu lama dadanya bergemuruh dan hatinya berdebar-debar nyeri. Ada cinta yang dibuang dan dilupakan. Rasa cinta itulah yang sering membuatnya nyeri. Betari Ayu tak mau mengenangnya. Sebab itu ia tak mau hanyut dalam lamunan yang terlalu dalam.
Teratai Kipas duduk bersila jauh di belakang Suto, sedangkan Selendang Kubur ada di samping kanan Pendekar Mabuk. Bocah Sumbaruni yang telah siuman ikut duduk di samping kiri Suto Sinting, ia seperti bocah baru bisa berjalan, lucu dan menggemaskan. Tapi caranya duduk bersila menunjukkan sikap kedewasaannya yang tidak ikut susut termakan Racun Ludah Naga.
"Kudengar kau mencari Telur Mata Setan untuk pulihkan keadaan Sumbaruni?"
"Benar, Nyai. Petunjuk itu kuperoleh dari Bongkok Sepuh dan Nyai Paras Murai!" jawab Suto Sinting dengan kalem. "Tapi menurut keterangan Teratai Kipas dan Selendang Kubur, telur itu hanya ada dalam dongeng anak-anak saja. Aku tak tahu mana yang benar dari kenyataan itu."
"Selama itu Telur Mata Setan memang hanya ada dalam dongeng. Artinya, dongeng tentang Telur Mata Setan menjadi dongeng ciri khas rakyat di sekitar Gunung Kundalini."
"Tetapi ketika kami menuju kemari, kami dihadang oleh Resi Pakar Pantun yang juga menghendaki Telur Mata Setan."
"Resi Pakar Pantun?!" Nyai Guru Betari Ayu kerutkan dahi, diam sebentar bagai meneropong seseorang di kejauhan sana, setelah itu menatap Suto lagi.
"Resi Pakar Pantun adalah gurunya Tuanku Nanpongoh, penguasa Pulau Intan."
"Benar. Menurut pengakuannya, Tuan Nanpongah sempat bentrok dengan Syakuntala dan ia terkena Racun Ludah Naga juga. Kabarnya sampai sekarang Tuanku Nanpongoh sudah menjadi bayi yang hanya bisa ngompol dan menangis."
Nyai Guru Betari Ayu manggut-manggut. Suto Sinting menceritakan pertemuannya dengan Resi Pakar Pantun. Orang berusia sekitar delapan puluh tahun itu hadir bersama gempa kirimannya. Untung Suto Sinting segera dapat melacak keberadaan tokoh sakti itu melalui Ilmu 'Lacak Jantung'-nya, sehingga ia bisa kirimkan pukulan tenaga dalam dan membuat Resi Pakar Pantun hentikan gangguannya dan muncul dari persembunyiannya.
Orang berjenggot putih panjang dengan mengenakan pakaian model biksu yang berupa kain abu-abu membungkus badan dan melilit pundak kanannya itu tampak malu ketika persembunyiannya dibongkar Pendekar Mabuk. Orang berkepala botak dengan rambut uban tipis itu tidak datang sendirian, tetapi mengajak pelayannya yang bertubuh agak pendek, kurus, berwajah tua, namun tak punya kumis dan jenggot. Usianya sekitar empat puluh tahun. Mengenakan pakaian hijau tua dan ikat kepala kain putih. Pelayannya itu mengaku punya julukan si Kadal Glnting.
"Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Resi Pakar Pantun?" tanya Suto setelah memperkenalkan diri masing-masing.
"Tikar rombeng ditambal dengan ketan
Bau sedikit tapi berkesan
Tak ada lain kupunya tujuan
Kecuali mencari si Telur Mata Setan."
Resi Pakar Pantun yang jarang mau lepas dari syair pantunnya menjawab pertanyaan Suto itu dengan santai.
"Apa hubungannya dengan mengganggu perjalananku?" tanya Suto lagi.
"Tikar rombeng dibakar nyebar.
Ambil sabuk buat bantalan.
Telah kudengar kabar tersebar
Pendekar Mabuk pun cari Telur Mata Setan."
"Lalu, kau sangka aku sudah mendapatkannya?"
"Tikar rombeng dibuat bendera
Jatuh ke bumi bikin sengsara
Jika betul kau belum mendapatkannya
Kumohon jangan lanjutkan pencariannya."
Suto Sinting tersenyum tipis sambil pandangi Teratai Kipas yang masih kaku menerima kehadiran Resi Pakar Pantun dan pelayannya itu. Suto sempat berbisik kepada Teratai Kipas,
"Kita punya saingan, agaknya cukup berbahaya juga."
"Aku yakin kau sanggup kalahkan si tua pantun itu."
"Akan kucoba untuk berembuk saja. Jangan biasakan diri dengan kekerasan."
Kemudian Suto Sinting memandang Resi Pakar Pantun yang tampak tenang, namun sebenarnya sedang pelajari ketinggian ilmu Pendekar Mabuk melalui teropong batinnya. Suto Sinting berkata dengan sikap tidak bermusuhan.
"Resi Pakar Pantun, ternyata di antara kita punya tujuan yang sama, yaitu mencari Telur Mata Setan. Kurasa kita harus berlomba dan beradu kecepatan mendapatkan benda tersebut. Kau tak perlu mengusirku, tak perlu memusuhiku. Toh belum tentu kau sendiri bisa temukan Telur Mata Setan itu. Aku pun belum tentu berhasil mendapatkannya. Jadi kurasa tantangan halusmu itu harus kau cabut lagi agar hubungan kita tidak saling bermusuhan dalam hati."
"Tikar rombeng di...."
"Maaf Eyang Resi...," potong Kadal Ginting yang suaranya cempreng. "Lainnya tikar rombeng apa tidak ada?"
"Apa maksudmu?"
"Dari tadi pantunnya tikar rombeeeng... terus! Sekali-sekali muka rombeng atau apa, gitu!"
"Mukamu itu yang muka rombeng!" hardik Resi Pakar Pantun sambil bersungut-sungut. Suto Sinting dan Teratai Kipas sempat menutup mulut karena menahan tawa geli. Lalu terdengar lagi Resi Pakar Pantun bicara kepada Suto,
Muka rombeng dibuat gilasan.
Rompal sedikit asin rasanya.... 
"Kik, kik, kik, kik, kik...!" Kadal Ginting tertawa cekikikan membuat pantun itu terhenti. Sang Resi menghardik lagi,
"Kenapa tertawa?!"
"Saya geli, Eyang Resi! Yang benar sajalah. Masa muka rombeng dipakai gilasan? Sudah itu, rompal sedikit rasanya asin. Siapa yang mau cicipi rompalan papan penggilasan, Eyang Resi? Kok sepertinya kurang kerjaan saja itu orang?"
"Ini pantun, Bodoh!" bentaknya menggeram.
"Iya, iya... teruskan sajalah!" sambil Kadal Ginting geleng-geleng kepala dan agak menjauh dalam senyum geli yang masih tersisa. Teratai Kipas sendiri sempat mengikik tertahan mati-matian dan ia sembunyikan wajah di punggung Pendekar Mabuk yang juga terguncang-guncang karena tawa tanpa suara itu. Sedangkan sang Resi masih tetap tenang, serius, tanpa senyum sedikit pun.

"Muka rombeng tak jadi dibuat gilesan
Rompal sedikit dibiarkan saja
Jika memang kau punya nyali tak beralasan
Ada baiknya kita berlomba saja!"
"Baik. Aku setuju!" kata Suto Sinting dengan tegas.
Kadal Ginting menyela kata, "Tikar rombeng dimakan pakai sambal...."
"Apa artinya?" tanya sang Resi.
"Rakus!" jawab Kadal Ginting dengan tertawa dan menjauh. Tiba-tiba tangan Resi Pakar Pantun menghentak. Wuuuttt..! Pukulan jarak jauh dihantamkan ke punggung Kadal Ginting. Orang pendek kurus itu terbang dan wajahnya membentur pohon. Bruuuss...!
"Aoouuh...!" pekik Kadal Ginting kesakitan.
Resi Pakar Pantun segera pergi tinggalkan Suto Sinting dan Kadal Ginting mengikutinya sambil mengusap-usap wajahnya yang merah itu. Mendengar cerita Pendekar Mabuk tadi, Nyai Guru Betari Ayu tersenyum tipis. Senyumnya sungguh manis menawan. Suto memandanginya karena senyum itu mengingatkan dirinya pada senyuman milik Dyah Sariningrum. Berdebar hati Suto dibuatnya. Berdebar pula hati Betari Ayu ketika melihat Suto tersipu, karena ia ingat peristiwa yang pernah dialami Suto Sinting ketika sang pendekar tampan itu mengobati dirinya yang terkena pukulan Regang Pati dari Bidadari Jalang. Cara pengobatan yang menggunakan semadi cumbu itulah yang sampai sekarang masih berkesan di hati Nyai Guru Betari Ayu. Cara pengobatan itu dinamakan ilmu Kamajiwa, dan baru kepada Nyai Guru Betari Ayu ilmu itu digunakan oleh Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Sesat").
Betari Ayu membuang bayangan itu dengan berkata,  "Aku mendengar detak jantung yang bergemuruh, seperti jantung orang yang sedang cemburu."
Sumbaruni kecil segera membuang pandangan ke arah lain. Suto Sinting melirik Sumbaruni dan tersenyum geli. Betari Ayu ikut tersenyum dan melirik Sumbaruni. Merasa dilirik tak enak. Sumbaruni kecil berkata dengan suara bocahnya yang bernada dewasa.
'"Bicarakan saja tentang Telur Mata Setan, tak perlu menyindir diriku!"
"Aku tak salahkan dirimu kalau kau menyimpan kecemburuan, karena memang pria yang satu ini sinting! Imunya sinting, ketampanannya sinting dan sikapnya juga sinting!"
"Aku hanya ingin kepastian apakah Telur Mata Setan itu benar-benar tidak ada atau memang ada di suatu tempat yang tersembunyi?" tanya Sumbaruni mendesak. Betari Ayu tarik napas dalam-dalam, termenung beberapa saat bagai orang melamun. Suto Sinting sempat melirik gadis kecil yang imut-imut lucu dan sebenarnya bekas istri jin itu. Sang gadis kecil bersungut-sungut dan melengos tak mau pandangi Suto Sinting. Hal itu membuat Suto geli lalu mencubit pipi gadis kecil tanpa nafsu dan hasrat tak senonoh. Cubitan itu adalah cubitan canda terhadap seorang bocah yang menggemaskan.
"Ah...!" Sumbaruni menepiskan tangan Suto yang menggoda dan masih tetap bersungut-sungut buang muka. Menggelikan sekali sikapnya.
Agaknya suatu teropong batin telah dilakukan oleh Betari Ayu. Sikapnya yang merenung tadi kini dilepaskan dan ia memandang Suto Sinting seraya berkata pelan, penuh kharisma.
"Telur Mata Setan memang ada!"
Kalimat itu membuat Selendang Kubur terperanjat. Wajahnya terangkat memandangi Nyai Guru Betari Ayu. Sementara di belakang sana, Teratai Kipas juga merasa kaget dan mengangkat wajahnya menatap wanita anggun dan bijaksana itu. Suto Sinting diam tak berucap kata, sedangkan Sumbaruni menatap pula penuh harap.
"Aku melihat Telur Mata Setan ada di sebelah timur dari tempat ini. Bentuknya sedikit lebih besar dari telur puyuh, kulitnya berwarna kuning emas. Keras bagaikan besi. Telur itu hanya bisa dilubangi dengan suatu kekuatan tenaga dalam yang bersumber dari napas putih."
"Apakah napas putih bisa diartikan hawa murni, Guru?" tanya Selendang Kubur, kali ini memberanikan bicara karena yang dibicarakan bukan soal pribadi.
"Pengertiannya bisa begitu. Napas putih bisa berarti hawa murni, bisa juga berarti napas tuak," tutur Betari Ayu langsung memandang Suto Sinting.
"Lalu di mana aku harus mengambil Telur Mata Setan itu?"
"Lereng sebelah timur. Di sana ada gua yang sedang dipergunakan untuk bertapa oleh seorang raja. Di dalam gua itulah terdapat Telur Mata Setan. Tersembunyi dalam batu berongga."
Suto Sinting pandangi Sumbaruni yang memancarkan cahaya berbinar-binar karena punya harapan akan pulih seperti sediakala. Sebelum Suto berkata, Betari Ayu bicara lebih dulu,
"Cari gua itu sebelum Resi Pakar Pantun mendapatkannya lebih dulu!"
"Kalau begitu aku harus berangkat sekarang juga."
"Itu lebih baik."
"Aku titip Sumbaruni."
"Baik. Tapi biarkan Teratai Kipas mendampingimu untuk pemandu jalan."
Sumbaruni berseru, "Tidak. Aku harus ikut!"
"Sumbaruni," kata Suto Sinting. "Pikiranmu memang dewasa, tapi sosokmu berbeda. Sadarilah itu dan tetaplah di sini sampai aku mendapatkan obat itu untukmu. Jangan mempersulit keadaan. Kalau aku gagal, yang celaka kau sendiri, Sumbaruni!"
Sumbaruni tak bisa membantah, karena ia segera menyadari bahwa ia tidak bisa banyak berbuat dalam keadaan sekecil itu. Ia takut keikutsertaannya justru akan menggagalkan rencana tersebut. Akhirnya ia hanya berkata pelan kepada Suto, terutama setelah melirik Teratai Kipas sebentar.
"Baiklah, aku tinggal di sini. Tapi jangan macam-macam dengan gadis itu!"
Suto Sinting berbisik di telinga bocah kecil itu, "Kurangi perasaan burukmu dan kecemburuanmu. Yang ada dalam hatiku hanya Dyah Sariningrum, bukan Teratai Kipas!"
"Aah...!"
Plok...!
Tangan bocah kecil itu menabok wajah Suto sambil cemberut dan buang muka. Rupanya hati Sumbaruni tak suka mendengar nama Dyah Sariningrum. Tapi Suto hanya tertawa, karena suatu saat Sumbaruni pasti bisa diberi pengertian tentang hubungan cinta Suto Sinting dengan Dyah Sariningrum.
Betari Ayu ikut melepas kepergian Suto Sinting. Sumbaruni kecil digendong oleh Selendang Kubur. Perasaan yang ada pada Selendang Kubur adalah menggendong anak kecil yang masih polos. Karena ia belum pernah bertemu Sumbaruni dalam keadaan besar, maka ia tak terbayang akan keadaan yang sebenarnya. Bahkan Sumbaruni pun melambaikan tangan kepada Pendekar Mabuk ketika sang pendekar melangkah melintasi pintu batas pesanggrahan.
Selama Sumbaruni menjadi bocah kecil, pakaiannya masih tetap seperti semula. Pedangnya mengecil pula, tetap ada di punggung. Seperti pedang mainan. Seandainya dicabut atau dihunus dari sarungnya pun tidak menimbulkan kesan berbahaya. Bahkan ketika di Perguruan Tongkat Sakti, Sumbaruni sempat memainkan pedang itu. Tapi tanpa jurus dan tanpa kesaktian apa pun, sehingga terlihat seperti seorang anak kecil sedang bermain pedang-pedangan.
Betari Ayu mengetahui bahwa Sumbaruni punya rasa cinta kepada Suto Sinting, tapi ia tidak mau melarang Sumbaruni. Menurutnya, Suto Sinting bukan pria yang mudah terbujuk dan terayu. Betari Ayu tetap yakin, hati pendekar tanpa pusar itu hanya tertuju kepada adiknya; Dyah Sariningrum. Siapa pun akan kecele jika mengharapkan balasan cinta dari murid si Giia Tuak itu.
Sepeninggalan Pendekar Mabuk, beberapa saat kemudian pesanggrahan itu kedatangan dua orang tamu yang tadi diceritakan oleh Suto Sinting. Orang itu adalah Resi  Pakar Pantun dan pelayannya; Kadal Ginting. Sebelum Resi Pakar Pantun bicara, Betari Ayu sudah  mengetahui maksud kedatangannya. Tapi tamu tersebut tetap saja disambut dengan baik dan dipersilakan duduk di ruang pertemuan khusus untuk para tamu yang singgah di puncak gunung itu.
"Tikar rombeng disangka sabuk kain
Digulung-gulung dipakai untuk selamatan
Aku datang tak punya maksud lain
Kecuali ingin tahu di mana tempat Telur Mata Setan."
"Resi Pakar Pantun," kata Betari Ayu dengan kalem dan ramah. "Mengapa kau datang menemuiku untuk menanyakan tentang Telur Mata Setan?"
"Tikar rombeng dipakai untuk membungkus peti
Burung perkutut hinggap di pucuk-pucuk daun singkong
Aku tahu kau seorang petapa sakti
Sekali kutanya kau tak mungkin berbohong."
Selendang Kubur memperhatikan kedua tamunya penuh curiga. Sumbaruni berbisik kepada Selendang Kubur, "Orang inilah yang diceritakan Suto tadi! Jangan beri tahukan padanya di mana benda itu berada. Nanti direbut olehnya."
"Nyai Guru tak bisa berbohong. Apa yang dia tahu, dia jawab tahu. Yang tidak tahu ya dijawab tidak tahu."
"Celaka! Kalau Betari Ayu kasih tahu tempatnya, bisa-bisa aku menjadi bayi dan tak bisa apa-apa lagi. Resi ini ilmunya cukup tinggi. Aku cemas, takut kalau Suto Sinting tak bisa mengalahkannya."
"Kita lihat saja apa kebijakan guruku dalam menjawab pertanyaannya."
Terdengar pula Nyai Guru Betari Ayu berkata, "Resi Pakar Pantun... aku memang tahu di mana letak Telur Mata Setan itu, tapi itu sudah menjadi haknya seseorang. Aku tak mungkin memberitahukan tempatnya karena menghindari pertikaian antara kau dengan orang tersebut."
"Tikar rombeng berlumur ribuan paku
Merebus kentang di mulut sang tamu
Jika kau tak mau menolongku
Bagaimana kalau aku menantangmu?"
"Aku tak mau lakukan pertarungan lagi, Resi Pakar Pantun. Tapi jika kau ingin mengadu kesaktian denganku, aku punya satu permainan...!" kata Betari Ayu dengan tetap tenang. Kemudian ia melangkah ke bawah pohon, mengambil sehelai daun kuning yang jatuh karena layu. Daun itu lebarnya sedikit lebih besar dari daun telinga manusia dewasa. Betari Ayu mendekati gugusan batu hitam yang ada di sudut pekarangan. Batu itu tingginya melebihi tinggi manusia dewasa. Dengan gerakan lemah lembut, daun itu ditancapkan ke batu hitam tersebut. Sleep...! Seperti ia menancapkan lidi ke atas agar-agar.
"Resi Pakar Pantun, tantanganmu kuterima dengan cara mencabut daun ini."
"Apa maksudmu, Betari Ayu?"
"Jika kau bisa mencabut daun ini, maka akan kuberitahukan tempat Telur Mata Setan itu. Tapi jika kau tak mampu mencabut daun ini, berarti ilmumu masih rendah, tak akan mampu melawan orang yang sudah lebih dulu kuberitahu tempat Telur Mata Setan itu."
"Tikar rombeng dicabik-cabik lalu ditenun
Banteng di lumpur sering disangka barisan keluarga kutu
Jangan remehkan ilmu si Pakar Pantun
Gunung ini pun mampu kucabut dengan tangan satu."
Nyai Betari Ayu tersenyum lagi dan manggut-manggut, lalu tangannya memberi isyarat dan mulutnya berkata sopan,
"Silakan, Resi...!"
"Kadal Ginting!"
"Saya di sini, Eyang Resi!"
"Cabut daun itu dari batu tersebut!"
"Baik, Eyang Resi. Bolehkah memakai 'tikar rombeng' segala, Eyang Resi!"
"Terserah! Yang penting cabut daun itu!"
Kadal Ginting berjalan limbung seperti orang mabuk, ia dekati batuan besar itu. Ia pejamkan mata beberapa saat, lalu tangannya bergerak lamban naik ke atas dan mulutnya berkata,
"Tikar rombeng dipakai membuat baju... miskin namanya! Hiaaat...!"
Wuuut...! Tangan menyambar daun itu, tapi daun bagaikan terpatri kuat dan tak mampu dicabut. Bahkan dengan mengerahkan tenaga dalam hingga tangan dan tubuh bergetar semua, tapi daun tetap menancap di batu itu. Akhirnya Kadal Ginting terengah-engah dan jatuh duduk terkulai.
"Bagaimana, Kadal Ginting? Mengapa daunnya masih menancap di batu?" tegur Resi Pakar Pantun.
"Maaf, Eyang Resi... mungkin mantera tikar rombeng tidak mempan buat cabut daun itu. Ganti pakai tikar yang tidak rombeng saja, ya?"
Plakkk...! Kadal Ginting disepak pelan. Sepakan pelan di bagian paha itu membuat tubuh Kadal Ginting bergeser sejauh dua tombak. Tentu saja sepakan kaki itu sudah disertai dorongan tenaga dalam yang lumayan besar.
"Betari Ayu..., tikar rombeng digondol kucing ke sana-sini.
Menyimpan pusaka jangan di dalam saku
Kalau memang aku tak bisa mencabut daun ini
Kuakui ilmumu lebih tinggi dari ilmuku."
Kemudian Resi Pakar Pantun pun pejamkan mata sebentar, lalu daun itu diusapnya pelan-pelan bagaikan dibelai-belai. Dan tiba-tiba tangan itu mencabut daun tersebut dalam satu sentakkan mengagetkan. Suuutt...!
"Nah, kena...! Dan... dan...," Resi Pakar Pantun terbengong, karena yang ada di tangannya bukan daun melainkan rumput hijau yang entah di peroleh dari mana. Sedangkan daun itu masih melekat di batu tersebut, menyelip bagian ujungnya saja.
"Kurang ajar! Kenapa yang kudapatkan hanya sehelai rumput?!" gerutunya. Lalu ia mengulangi lagi dengan kerahkan tenaga dalam hingga tangannya bergetar, dan ia pun lakukan gerakan menyambar daun itu. Wuuuttt...!
"Nah, kena... ken... ken...?!" mata Resi Pakar Pantun terbelalak, ia jadi terbengong, karena yang ada di tangannya bukan daun melainkan beberapa helai rambut pendek, ia bertanya pada diri sendiri, "Rambutnya siapa ini?!"
"Ram... rambut saya, Eyang! Tadi Eyang Resi mencabutnya," kata Kadal Ginting sambil meringis, mengusap-usap kepalanya.
Betari Ayu, Selendang Kubur, dan Sumbaruni hanya tersenyum-senyum geli. Perlahan-lahan tokoh tua itu mendekati Betari Ayu dan menggeram jengkel.
"Kau memang unggul! Sekarang aku kalah. Tapi kelak aku akan datang untuk menebus kekalahanku ini dengan cara lain! Permisi!"
Resi Pakar Pantun segera pergi, Kadal Ginting mengikutinya sambil masih mengusap-usap kepalanya yang tadi terasa sakit karena rambutnya dicabut dari jarak jauh.
*
* *


6
PERJALANAN menuju ke arah timur terhalang oleh tumbangnya beberapa pohon yang saling rubuh menutup jalan. Langkah Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas terhenti seketika. Mereka sama-sama berpendapat, tak mungkin pohon itu tumbang dengan sendirinya dan arahnya pun sama. Pasti ada orang berilmu tinggi yang menumbangkannya dari kejauhan dan sengaja menahan langkah Suto dan Teratai Kipas.
"Jangan-jangan orang yang kita temui di kedai tadi?" bisik Teratai Kipas. "Orang berbaju putih yang duduk di meja seberang kita itu tampaknya tertarik sekali dengan percakapan kita tentang Telur Mata Setan."
"Kurasa bukan dia," jawab Suto Sinting dalam bisik sambil membayangkan seorang pembeli yang ditemuinya di dalam sebuah kedai, ketika Suto mengisi bumbung tuaknya.
"Kau yakin bukan dia?"
"Ya, sebab kurasakan tak ada getaran tenaga dalam pada dirinya. Dia penduduk desa lerang yang biasa-biasa saja. Hanya tertarik dengan cerita Telur Mata Setan, tapi tidak bermaksud memilikinya," tutur Suto menjelaskan. Mata pendekar tampan itu melirik ke sana-sini mencari siapa orang yang mengganggu perjalanannya dengan menumbangkan pohon-pohon itu.
"Kita lewat arah kiri saja," bisik Teratai Kipas. Maka mereka pun sedikit memutar arah melalui jaian kiri. Tetapi beberapa saat kemudian, jalan itu pun tertutup lagi oleh tumbangnya empat pohon; dua dari kiri dan dua lagi dari kanan. Buuurrkk...! Keempat pohon itu tumbang bersamaan. Langkah mereka pun terhenti kembali dan kewaspadaan terpasang tajam-tajam.
Ilmu 'Lacak Jantung' dipergunakan oleh Suto Sinting. Detak jantung orang lain terdengar ada di arah selatan. Suto Sinting berbisik pelan,
"Arahnya ada di selatan, jumlahnya lebih dari satu orang!"
"Geser ke kanan sedikit. Kita pancing di tempat yang lega itu," Teratai Kipas melangkah lebih dulu dan Suto Sinting mengikutinya dengan sikap santai, seolah-olah tidak merasa terganggu apa pun juga.
Sampai di tempat yang lebih lega, mereka mulai diserang dengan cahaya merah berlarik-larik bagaikan menyergap secara bersamaan. Suto Sinting yang berjalan di belakang Teratai Kipas segera berseru,
"Teratai...! Awas!"
Wuuutt, wuuttt...! Mereka saling melesat tinggi dan hinggap di dahan pohon secara bersamaan. Sinar-sinar merah yang jumlahnya lebih dari tiga larik itu menghantam bumi dan menimbulkan ledakan dahsyat yang mengguncang alam sekitarnya. Blegaarr...! Tanah menyembur ke atas, lubang besar menganga bagaikan tempat pembuangan sampah untuk satu desa.
"Gila! Dahsyat juga pukulannya?!"
"Tetaplah di sini," kata Suto Sinting. "Aku akan memancing mereka keluar dari persembunyiannya!"
Setelah berkata begitu, Pendekar Mabuk melompat turun dari pohon dan sengaja berdiri di tempat yang mudah terlihat dari berbagai arah. Kejap berikutnya melesat kembali satu sinar merah berbentuk seperti bola api sebesar genggaman manusia dewasa. Wuuusss...! Suto Sinting segera menggerakkan bumbung tuaknya ke depan dada, dan sinar merah itu menghantam bumbung tuak. Deess...! Sinar itu membalik arah dengan gerakan lebih cepat dan wujud lebih besar lagi. Wuuusss...! Blegaaarrr...!
Dari balik dua pohon berjajar yang hancur dihantam sinar merah itu muncul sesosok tubuh yang bersalto ke atas. Kaki orang itu menjejak pohon besar, dan tubuhnya berbelok arah, melesat ke tempat lega itu. Wuuutt!
Jleeg...! Orang itu mendarat dengan kaki tegak. Ternyata ia adalah orang bertubuh kurus kering dengan wajah cekung, tulangnya bertonjolan. Tapi ia  mempunyai kumis panjang, sedangkan rambutnya juga panjang sepunggung tapi tidak begitu lebat.
Orang itu mengenakan pakaian loreng hitam-merah, celana dan bajunya sama. Bajunya berlengan tanggung, longgar, tidak dikancingkan, sehingga tulang iganya yang bertonjolan keluar karena kekurusannya itu terlihat jelas bagi orang yang berdiri di depannya. Orang itu diperkirakan Suto berusia sekitar enam puluh tahun. Rambutnya ditumbuhi uban tidak merata. Pinggangnya bersabuk hitam, dan di sabuknya itu terselip sebuah senjata; cambuk hitam-putih yang cukup panjang, digulung dalam satu bentuk gulungan longgar, ujungnya tampak diberi logam runcing warna putih mengkilap.
Belum sempat Suto Sinting menyapa, dua sosok lagi muncul dalam satu lompatan bersama. Dua sosok itu tak lain adalah Neraka Berjalan dan Roh Seribu Dewa. Maka seketika itu pula Pendekar Mabuk dapat mengerti bahwa mereka adalah orang-orang Bukit Kopong.
Melihat kemunculan Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan, gadis di atas pohon tidak mau tinggal diam. Tak tega jika harus melihat Suto Sinting menghadapi mereka sendirian. Teratai Kipas segera berdiri dua langkah di samping kiri Suto Sinting, siap menghadapi mereka bertiga.
"Kita bertemu lagi, Teratai Kipas!" kata Roh Seribu Dewa dengan suaranya yang berat. Kumisnya yang mirip sayap kelelawar itu diusap-usap, satu tangannya lagi bertolak pinggang.
"Apakah Tiga Pengawal Iblis sudah ganti anggota satu orang?" kata Teratai Kipas sambil melirik orang berpakaian loreng hitam-merah itu.
"Si Kumis Tengkorak memang menggantikan Japrak Kurap yang kau bunuh ketika itu. Dan kini dia datang untuk membalas dendam atas kematian iparnya!" ucap Neraka Berjalan dengan rasa bangga dapat menghadirkan si Kumis Tengkorak yang ilmunya lebih tinggi dari mereka berdua.
"Mana yang tempo hari kau bilang unjuk gigi atas kebolehannya bermain jurus cambuk itu, Neraka Berjalan?" tanya Kumis Tengkorak dengan suara sedikit serak dan besar.
"Si tampan itulah yang pamer ilmu cambuknya!" jawab Neraka Berjalan sambil melirik Pendekar Mabuk yang tampak tenang-tenang saja.
Kumis Tengkorak berkata, "Kalau begitu, mundurlah kalian berdua, biar kuhadapi anak ingusan itu!" Setelah bicara begitu ia pun maju dua langkah.
"Siapa namamu, Bocah Ingusan?!"
Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis,matanya memandang tajam namun tak berkesan ganas. Si Kumis Tengkorak yang bermata cekung dan dingin berkesan bengis itu tampak tak sabar menunggu jawaban dari Suto Sinting, ia segera membentak dengan mata menjadi lebar.
"Kutanya siapa namamu, mengapa kau diam saja, hah?! Apakah kau tuli?!"
Suto Sinting kian melebarkan senyum berkesan geli. Matanya memandang Teratai Kipas sebentar, dan Teratai Kipas yang menjawab pertanyaan itu.
"Namanya Suto Sinting! Apakah kau belum pernah mendengar nama itu, Kumis Tengkorak?!"
"Tutup mulutmu, Gadis borokan! Aku bertanya kepada bocah tolol itu! Bukan kepadamu!" bentak si Kumis Tengkorak sambil maju selangkah.
"Sebelum menuju kepadanya, harus melalui aku. Karena akulah pengawalnya!" Teratai Kipaa sengaja memancing kemarahan.
Kumis Tengkorak menggeram jengkel. "Mulut lancang! Berani-beraninya kau menjadi pengawal bocah tolol itu. Kau akan mati terbelah oleh cambukku, Teratai Kipaai"
"Tak jadi soal. Tapi sebelumnya aku ingin tahu, mengapa kau marah-marah kepada Suto Sinting? Ada persoalan apa?"
"Kau tak perlu tahu! Yang jelas kau telah membunuh iparku dan aku berhak menuntut balas kepadamu. Hanya satu syarat yang bisa membebaskan tuntutanku padamu, yaitu menukarnya dengan Tongkat Tulang Barong milik mendiang gurumu; Ki Selo Gantung!"
"Siapa pun tak akan mendapatkan tongkat itu!" kata Teratai Kipas dengan tegas dan berani. Kedua tangannya bertolak pinggang, wajahnya terangkat tegak.
Si Kumis Tengkorak menggeram lagi. Setelah menatap tajam-tajam, Kumis Tengkorak berkata dengan kasar, tangannya menuding-nuding Teratai Kipas.
"Hati-hati...! Kupecahkan batok kepalamu tanpa ampun lagi, Betina tolol! Heaaah...!" Tangannya bergerak cepat menghempas ke depan. Wuuttt...! Gelombang tenaga dalam tak bersinar dilepaskan sebagai uji coba kekuatan Teratai Kipas. Tapi gadis itu pun tak kalah sigap, ia pun melepaskan pukulan jarak jauh tak bersinar. Bueeng...! Dua pukulan tenaga dalam beradu di pertengahan jarak.
Teratai Kipas tersentak mundur dua langkah, sedangkan Kumis Tengkorak hanya oleng ke kiri sedikit, tapi tidak bergeser dari tempatnya. Saat ia bergerak oleng itulah tiba-tiba jari tangan Suto menyentil dari jarak jauh secara diam-diam. Dees...! Jurus 'Jari Guntur' dilepaskan. Jurus itu mempunyai kekuatan dua kali tenaga kuda. Ternyata sentilan bertenaga dalam itu tepat kenai rusuk si Kumis Tengkorak.
Wuuutt...! Brrruk...!
Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan terperanjat melihat tubuh si Kumis Tengkorak terlempar terbang dan membentur sebuah pohon dengan kerasnya. Tubuh itu bagaikan sesuatu yang tidak terpakai lagi dan dicampakkan begitu saja. Padahal Roh Seribu Dewa tahu bahwa si Kumis Tengkorak adalah orang Bukit Kopong yang tersulit ditumbangkan. Jarang jatuh dalam pertarungan melawan siapa pun. Tetapi kali ini Kumis Tengkorak dengan mudahnya dapat ditumbangkan, bahkan dilemparkan dengan ringan sekali.
"Bangsaaatt...!" geram Kumis Tengkorak dengan mata mendelik dan kedua tangan mengejang kuat-kuat. Ia melangkah dekati Suto Sinting sambil mencabut cambuknya.
"Biar kuhadapi dia," kata Teratai Kipas.
"Mundurlah, ini bagianku," kata Pendekar Mabuk dengan tetap kalem. Teratai Kipas menurut dan ia menepi ke bawah sebuah pohon di belakang Suto.
Kumis Tengkorak kibaskan cambuknya ke udara sebagai gertakkan dan unjuk kepandaian. Satu kali sabetan cambuk, suaranya menggelegar ke mana-mana.
Duaaarr...! Ujung cambuk itu memercikkan bunga api warna merah. Daun-daun banyak yang berjatuhan karena getaran suara cambuk tadi. Tapi hal itu justru membuat Suto Sinting tersenyum lebar. Matanya melirik ke arah Roh Seribu Dewa dan Neraka Berjalan, sebentar kemudian memandang Kumis Tengkorak lagi.
"Aku tahu kau yang menyerangku!" kata Kumis Tengkorak dengan tangan kiri menuding ke arah Pendekar Mabuk. "Kau mau main licik rupanya! Menyerang secara diam-diam sungguh perbuatan yang amat memalukan, Bocah tolol! Jika kau jantan, lakukan serangan secara terang-terangan sepertiku ini, hweeeah...!
Duaar...! Cambuk dilecutkan tepat ke arah pundak Suto Sinting. Dengan jelas sekali Teratai Kipas melihat cambuk yang memercikkan bunga api itu menyabet pundak kiri Suto Sinting. Tetapi yang disabet diam saja dan tidak memberi perlawanan, juga tidak menghindar  atau menangkisnya. Hal itu membuat Kumis Tengkorak semakin penaaaran dan amarahnya berkobar.
"O, kau mau unjuk kesaktian sebagai orang kebal? Baik! Terimaiah jurus 'Cambuk Gagak Biru' ini!Hiaaah...!"
Duaar...! Cambuk itu memercikkan sinar biru dari ujung sampai pangkalnya. Tampak cepat gerakan lecutnya, jelas sekali menghantam dada Suto Sinting. Tapi sang pendekar tampan itu tetap diam dalam senyum lembut, tak bergeming sedikit pun.
Tetapi di sisi sana, Neraka Berjalan tersentak dan terpekik tertahan,
"Aahg...!" ia memegangi dadanya yang mulai luka bagai terkoyak kuku-kuku beruang ganas. Roh SeribuDewa menjadi heran dan kebingungan. Sementara itu, si Kumis Tengkorak semakin jengkel. Maka cambuknya pun melesat berulangkali, menghantam tubuh Suto bagai menghujani dengan ledakan-ledakan bersinar biru itu.
Duar, duar, duar, duarrr...!
Pundak, punggung, perut, paha, sampai kaki Suto Sinting dijelajahi dengan sabetan cambuk. Suaranya saja sempat membuat tumbuh-tumbuhan di sekitarnya bergetar. Tapi sang Pendekar Mabuk hanya diam saja, tak bergeming sedikit pun. Hanya saja, di sisi belakang Kumis Tengkorak terdengar raung pekikan beberapa kali.
"Aahhg...! Uuhg...! Aaahg...! Oooggh...! Uuhg...!"
Neraka Berjalan tersentak ke sana-sini dalam keadaan koyak dan berdarah. Hal itu membuat Roh Seribu Dewa berteriak yang membuat lecutan si Kumis Tengkorak berhenti seketika.
"Hentikan! Hentikaaan...!"
Si Kumis Tengkorak terperangah memandang dua arah bolak-balik; ke Neraka Berjalan dan kepada Suto. Hatinya pun segera membatin, "Edan! Yang kuhajar bocah ingusan Itu, tapi kenapa yang kelojotan temanku sendiri?! Luka-lukanya tepat di tempat yang kucambukkan ke tubuh bocah ingusan itu?!"
Suto Sinting menenggak tuaknya. Tenang dan kalem, seakan tak terjadi apa-apa pada dirinya. Mereka tak tahu bahwa Suto telah pergunakan jurua ilmu 'Alih Raga', yang membuat seluruh luka diderita orang yang mendapat pindahan raga dan rasa dari Pendekar Mabuk. Dengan menggunakan pandangan mata yang tadi dilakukan sebelum dicambuk Kumis Tengkorak, Suto Sinting telah memindahkan rasa dan raganya kepada Neraka Berjalan, sehingga yang merasakan sakit dan luka parah adalah Neraka Berjalan, walau yang dicambuk adalah raganya sendiri.
"Kau telah melukai teman sendiri, Kumis Tengkorak!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bingung. Sementara itu Neraka Berjalan jatuh terkapar. Pakaiannya tercabik-cabik.
Kumis Tengkorak berang, tak mau dituduh melukai teman sendiri.
"Aku memukul bocah bodoh itu! Bukan memukulkan cambuk kepada Neraka Berjalan! Kalau tak percaya, lihat... kuhancurkan kepala bocah itu!"
Wuutt...!
Duaaar...!
"Jangaaan...!" teriak Roh Seribu Dewa panjang sekali. Tapi teriakan itu terlambat. Kumis Tengkorak sudah lebih dulu mencambukkan cambuknya ke arah kepala Suto Sinting. Ujung cambuk itu menyala biru terang dan kepala Neraka Berjalan pun hancur seketika dalam keadaan yang amat mengerikan.
Teratai Kipas tertegun di tempat bagaikan patung. Jurus yang digunakan Pendekar Mabuk telah membuat matanya tak bisa berkedip karena kagumnya. Jurus itu dulu pernah diceritakan oleh gurunya; Selendang Kubur, dan baru sekarang menjadi kenyataan di depan hidungnya. Tak heran jika Teratai Kipas terbengong melompong tak bisa bilang apa-apa ketika kepala Neraka Berjalan hancur bagaikan mewakili kepala Suto Sinting yang dicambuk dengan kekuatan tenaga dalam itu.
Tentu saja Neraka Berjalan tak mau bernyawa lagi karena kepalanya hancur. Seandainya bernyawa pun percuma, karena ia tak akan bisa cuci mata lagi dalam keadaan sudah  hancur remuk begitu. Dan keadaan tersebut makin membuat Kumis Tengkorak murka, Roh Seribu Dewa cemas, takut kalau berikutnya giliran kepalanya yang dihancurkan teman sendiri.
"Jangan serang dia! Jangan...!" teriak Roh Seribu Dewa. Tapi seruan itu tidak dihiraukan oleh Kumis Tengkorak yang sudah terselubung murka.
Cambuk diputar-putar di atas kepala. Makin lama semakin menimbulkan suara menggaung. Lalu busa-busa salju bertebaran seirama dengan arah putaran cambuk loreng hitam-putih itu. Jelas yang akan terjadi adalah lecutan bertenaga salju pembeku darah dan penghenti detak jantung manusia.
Sayangnya sebelum cambuk itu dilecutkan, tiba-tiba seberkas sinar kuning menyerupai bintang melesat dari balik semak dan menghantam dada Kumis Tengkorak. Wuuttt...! Kumis Tengkorak dengan cepat mengarahkan lecutan cambuk ke arah gerakan sinar kuning tersebut.
Tepat mendekati dirinya, ujung cambuk menghantam sinar kuning.
Blaaammm...!
Gelegar dentuman sungguh dahsyat. Sinar kuning kemerahan memercik lebar ketika ujung cambuk menghantam sinar tersebut. Hentakan daya ledak sangat kuat. Tubuh si Kumis Tengkorak terlempar lima tombak jauhnya, melayang bagaikan sampah kering tersapu badai. Sedangkan tubuh Roh Seribu Dewa juga terlempar hingga membentur seonggok batuan cadas.
Bruusss...!
Tubuh itu terasa remuk. Seluruh tulangnya bagaikan patah-patah. Sedangkan tubuh Kumis Tengkorak mengepulkan asap tipis, pakaiannya tercabik-cabik, rusak berat. Rambutnya menjadi keriting sebagian karena terbakar. Rupanya sinar kuning tadi menyemburkan gelombang hawa panas yang tinggi pada waktu meledak dihantam cambuk. Beberapa pohon menjadi berkulit keriput karena dilanda hawa panas menyerupai panasnya lahar gunung berapi.
Suto Sinting dan Teratai Kipas juga tersentak mundur walau jaraknya tak terlalu dekat dari tempat terjadinya ledakan dahsyat tadi. Hawa panas sempat dirasakan oleh mereka, namun tak begitu parah. Mereka segera saling berdekatan, dan Teratai Kipas berbisik, "Ada yang memihak kita."
"Ya, aku tahu. Tahu siapa orangnya?" balas Suto Sinting dalam bisikan.
Kejap berikut dari arah datangnya sinar kuning tadi melesat dua sosok manusia yang sama-sama telah dikenal pihak Suto serta pihak Kumis Tengkorak. Dua orang itu tak lain adalah Menak Goyang bersama gurunya; si Malaikat Miskin yang memegangi tongkat bercabang tiga pada ujungnya.
Menak Goyang berdiri di samping gurunya, agak ke belakang. Pinggulnya bergerak-gerak tak mau diam sebentar pun. Tapi senyum dan pandangan matanya tampak sedikit angkuh, seakan merasa bangga atas serangan dari gurunya terhadap Kumis Tengkorak yang dapat membuat alam sekitarnya menjadi layu dan berkeriput kering.
"Malaikat Miskin...!" bisik Teratai Kipas. "Mengapa dia memihak kita?"
"Kita lihat saja apa yang terjadi," kata Suto Sinting dengan pelan.
Malaikat Miskin yang berusia sekitar delapan puluh tahun dengan rambut putih dan jubah abu-abu itu memandangi Kumis Tengkorak dan Roh Seribu Dewa. Saat itu, keadaan Roh Seribu Dewa masih bisa bangkit dan berdiri tegak, sedangkan Kumis Tengkorak terhuyung-huyung dengan wajah hangus sebagian dan berdirinya berpegangan pada pohon.
Roh Seribu Dewa berseru, "Paman Malaikat Miskin...! Mengapa Paman ikut mencampuri urusan kami?! Mengapa Paman Malaikat Miskin memihak mereka?!"
Malaikat Miskin menjawab dengan suara dingin, "Haruskah aku memihak para pencuri pusaka?!"
"Hati-hati dalam bicara, Paman! Jika Guru kami Cukak Tumbila mendengar ucapan Paman, bisa-bisa beliau murka kepada Paman Malaikat Miskin!"
"Bilang pada gurumu, aku akan datang mengobrak-abrik Bukit Kopong!" tegas Malaikat Miskin dengan berwibawa. Orang yang gemar memakai pakaian bertambal-tambal walau tampak warna aslinya, segera mendekati Roh Seribu Dewa dalam keadaan wajah tak bersahabat.
"Kuperintahkan kepada kalian untuk pulang sekarang juga dan bilang kepada Cukak Tumbila, bahwa aku akan mengobrak-abrik tempatmu itu! Lekas!"
Roh Seribu Dewa kebingungan dan gemetaran kakinya. Tetapi si Kumis Tengkorak yang masih memegangi cambuknya itu segera mencoba melawan dengan melecutkan cambuk ke arah Malaikat Miskin.
Duaaar...!
Tongkat bercabang tiga pada ujungnya diangkat, cambut melilit di bawah cabang tongkat. Kemudian tongkat itu disentakkan mundur. Wuuuttt...! Treess...! Cambuk loreng hitam-putih itu putus menjadi beberapa bagian. Kumis Tengkorak terbengong melompong. Kemudian dengan gerakan bagaikan terbang miring, wajah Kumis Tengkorak menjadi sasaran telak tendangan kaki Malaikat Miskin yang punya gerakan secepat kilat itu. Bruuuss...!
"Auuffh...!"
Gigi orang itu langsung rontok, mulutnya berdarah, bibirnya pecah. Jelas tendangan itu bertenaga dalam tinggi, karena jika tidak bertenaga dalam tinggi, mulut Kumis Tengkorak tak akan sampai serontok itu. Tentu saja Kumis Tengkorak mengerang sambil memaki tapi tak jelas ucapan makiannya itu.
"Fuh, ahf... fuu, fah... uah, uah, hufiih...!"
"Bahasa mana yang dipakainya?" bisik Suto kepada Teratai Kipas.
Gadis itu menjawab, "Bahasa monyet purba," lalu tawanya terdengar mendesis. Sementara itu, Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak segera larikan diri sambil membawa pergi mayat Neraka Berjalan. Malaikat Miskin tidak mengejarnya, melainkan berbalik arah dan melangkah dengan penuh wibawa menuju tempat Suto Sinting dan Teratai Kipas berkasak-kusuk.
"Mereka bukan lawan kalian!" katanya berkesan mengecilkan ilmu Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas. "Lain kali jangan coba-coba melawan orang-orang seperti itu tanpa ada diriku bersama kalian. Mereka tak segan-segan mencabut nyawa orang dan tak pernah pandang bulu dalam membantai siapa pun!"
"Terima kasih atas pertolonganmu, Malaikat Miskin," kata Suto Sinting bersikap merendah. "Tapi jika boleh aku ingin tahu apa gerangan yang membuatmu mau menolong kami, sampai-sampai melepaskan jurus mautmu untuk mengusir mereka itu?"
Sebenarnya Teratai Kipas ingin membantah pernyataan Malaikat Miskin tadi. Ia merasa diremehkan dengan ucapan seperti itu, ia ingin unjuk kekuatan dan memamerkan ilmunya Suto Sinting. Tetapi melihat sikap Suto merendah, Teratai Kipas urung melakukan bantahan apa pun di depan Malaikat Miskin.
Menak Goyang masih menggerak-gerakkan kaki kirinya dalam bertolak pinggang satu tangan, ia menjawab pertanyaan Suto tadi sebelum gurunya bicara lebih banyak lagi.
"Jika bukan karena budi baik Guru, kalian tak akan ditolong dari ancaman maut Kumis Tengkorak dan Roh Seribu Dewa itu!"
"Gurumu baik sekali, Menak Goyang," ujar Suto. "Cuma sayang belum bisa menangkap pencuri pisau pusakanya sendiri."
Malaikat Miskin segera menyahut kata, "Justru itu aku menyingkirkan mereka berdua agar tak mengusik nyawa kalian, karena aku bermaksud mengajak kalian bergabung menangkap pencuri Pisau Tanduk Hantu!"
"Lho, bukankah selama ini sayalah yang dicurigai sebagai pencurinya?" kata Suto Sinting dengan berpura-pura heran.
"Setelah kupertimbangkan baik-baik, ternyata apa yang kau katakan kepada muridku; Menak Goyang itu memang benar. Bukit Kopong adalah pusat Maling! Jadi kurasa memang orang-orang Bukit Kopong itulah yang mencuri Pisau Tanduk Hantu-ku itu."
"Jika kau menyerang Bukit Kopong berarti kau akan berhadapan dengan Cukak Tumbila, saudara seperguruanmu sendiri, Malaikat Miskin!" kata Teratai Kipas tanpa basa-basi lagi.
"Itu sudah kuperhitungkan. Karenanya aku tak perlu  membawa sepasukan muridku untuk menyerang ke Bukit Kopong. Cukup kita berempat, mereka akan kita buat morat-marit tak bernyawa lagi."
"Kita berempat?" sahut Suto Sinting bernada heran. "Maksudmu aku dan Teratai Kipas harus ikut menyerang orang-orangnya Cukak Tumbila?!"
"Kejahatan dibalas dengan kejahatan, dan kebaikan pun dibalas dengan kebaikan. Jika aku tadi telah menolong kalian dari ancaman maut si Kumis Tengkorak, apa salahnya jika kalian membalas pertolonganku itu dengan membantuku menyerang Bukit Kopong?"
Teratai Kipas mencibir dan membatin, "Hmmm...licik sekali dia! Padahal tanpa bantuannya, sebenarnya Suto Sinting dapat menyingkirkan Kumis Tengkorak dengan mudah sekali! Malaikat Miskin hanya sekadar cari dukungan, dan agaknya ia tahu bahwa Suto Sinting punya ilmu cukup tinggi yang bisa diandalkan untuk menghadapi Cukak Tumbila."
Tetapi Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak tuaknya menjawab dengan bahasa yang rendah.
"Apakah kau tak salah pilih, Malaikat Miskin? Kami melawan Kumis Tengkorak saja tak mampu, apalagi harus melawan orang-orang Bukit Kopong?"
Malaikat Miskin merasa terpojok oleh kata-katanya sendiri, ia menarik napas sambil mencari alasan kuat untuk membujuk Suto Sinting. Akhirnya ia berkata dengan jarak lebih dekat lagi,
"Kau dan Teratai Kipas memang tak seberapa tinggi ilmunya, tapi jika kekuatan kalian digabungkan dengan kekuatanku , maka akan menjadi kekuatan besar yangmaha dahsyat! Cukak Tumbila dan orang-orangnya tak akan bisa menandingi kekuatan kita!"
Suto Sinting tertawa kecil seperti mereka tersipu malu.
"Kau hanya membesarkan hatiku saja, Malaikat Miakin. Seperti anggapanmu sendiri, aku bukan orang hebat yang punya ilmu tinggi, ilmuku tidak ada sekuku hitam dari ilmumu. Penggabungan ini hanya akan sia-sia saja, Malaikat Miskin. Kurasa kau bisa menempuhnya dengan cara lain, yaitu berunding baik-baik dengan Cukak Tumbila, meminta pisaumu dikembalikan, mendesaknya agar memaksa salah satu orangnya untuk mengaku sebagai pencuri pisau pusaka itu."
Wajah tokoh tua yang licik itu tampak gelisah. Agaknya bujukannya nyaris menemui jalan buntu. Bahkan di hatinya sempat timbul niat untuk memaksa dengan sebuah ancaman baru; menyandera Teratai Kipas agar Suto mau ikut menyerang ke Bukit Kopong.
Namun sebelum niat itu dijalankan, tiba-tiba Malaikat Miskin terpaksa membalikkan badan seketika dan menyentakkan tangan kirinya. Ternyata ada kilatan cahaya hijau bening yang menyambar ke arahnya dari belakang. Cahaya hijau bening itu dihantam dengan cahaya merah yang keluar dari tengah telapak tangan kanannya. Wuuutt...!
Blegaaar...!
Pepohonan bergetar karena gelombang ledakan yang besar. Asap hitam mengepul dari hasil ledakan tadi. Ketika asap hitam lenyap, tampaklah dua sosok tubuh berdiri di seberang sana memandang ke arah Malaikat Miskin. Mereka adalah Resi Pakar Pantun dan pelayannya, Kadal Ginting.
Teratai Kipas mengeluh di samping Suto, "Yaaah... si tikar rombeng lagi!"
Suto Sinting hanya tertawa geli tanpa suara. Matanya melirik Teratai Kipas yang juga menahan tawa dalam senyum dan geleng-gelengkan kepala.
Terdengar suara Resi Pakar Pantun mengawali sapaannya,
"Tikar rombeng dibuat alas bertapa
Sekali bertapa mudah tertawa
Cukup lama kita tidak berjumpa
Sekali berjumpa harus mengadu nyawa."
Di sisi lain Teratai Kipas kembali berbisik kepada Suto, "Benar apa kataku, bukan?! Tikar rombeng lagi...!"
"Ssst...! Diamlah. Kita ingin tahu apa masalah yang membuat sang Resi ingin mengadu nyawa dengan Malaikat Miskin. Setelah tahu masalahnya kita pergi diam-diam, tak perlu ikut campur urusan ini."
Suara Malaikat Miskin menggelegar lantang, "Apa maksudmu berpantun demikian, Resi Pakar Pantun?!
Kau menantangku beradu nyawa?!"
"Tikar rombeng terpaksa harus disewa
Robek sedikit tak akan ada pembeli
Hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa
Hutang pusaka harus direbut kembali!"
Kemudian Resi Pakar Pantun melangkah lebih dekat lagi dan berkata,
"Kau telah membunuh adikku beberapa tahun yang silam dan merebut pusaka Pisau Tanduk Hantu. Pusaka itu adalah pusaka warisan dari leluhur kami. Cukup lama aku mencarimu, Malaikat Miskin, baru sekarang tiba saatnya kita bertemu. Maka jangan heran jika aku ingin mengadu nyawa denganmu demi membalas kematian adikku dan merebut pusaka leluhur kami itu!"
"Pusaka itu telah hilang, tidak di tanganku lagi!" bentak Malaikat Miskin dengan garang.
"Tikar rombeng hanyut di air berbusa
Burung camar lupa akan induknya
Tampang miskinmu memang harus dipaksa
Agar pusaka kembali ke tangan pemiliknya!"
Malaikat Miskin menggeram penuh kemarahan, lalu berseru, "Menak Goyang, habisi mereka!"
Resi Pakar Pantun pun berkata, "Kadal Ginting, hadapi dia!"
"Tikar rombeng dipakai...."
"Hadapi diaaa...!" bentak sang Resi.
"Baik, Eyang! Hiaaatt...!" Kadal Ginting melompat bersalto dua kali. Begitu mendaratkan kakinya ke tanah di sambut tendangan berputar oleh Menak Goyang. Wuuukk...! Kadal Ginting merendah dan merunduk sehingga kaki itu lolos dari kepalanya. Kedua tangan segera bertumpu di tanah, dan kakinya menyabet berputar ke depan. Wuuutt...! Plak...! Kaki Kadal Ginting menyambar kaki Menak Goyang.
Brruus...! Menak Goyang jatuh terpelanting, dan Kadal Ginting segera melompat berdiri tegak dengan satu kaki diangkat dan dua tangan yang menguncupkan jari-jarinya itu merentang ke samping bagaikan sayap burung perkasa.
"Jurus tikar rombeng...!" serunya, lalu tangannya berkelebat sibuk sendiri memainkan gerakan jurus yang tak dimengerti lawan. "Heeaaat...!"
Selebihnya Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tak mengetahui, siapa yang unggul dalam pertarungan itu. Karena kejap berikutnya Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas telah jauh dari mereka, meninggalkan tempat itu menuju sebuah gua yang menjadi tempat penyimpanan Telur Mata Setan.
Teratai Kipas tak tahu persis, gua yang mana yang dimaksud oleh Nyai Guru Betari Ayu itu. Tetapi ia tahu bahwa di lereng timur gunung tersebut memang terdapat banyak gua yang biasa digunakan untuk bertapa.
"Kita harus menemukan gua itu dan mendapatkan Telurnya sebelum si Tikar Rombeng selesai bertarung dengan Malaikat Miskin," kata Suto kepada Teratai Kipas. Gadis itu hanya menggumam, dan segera hentikan langkahnya dengan merentangkan tangan sebagai tanda bahwa Suto pun diperintahkan untuk berhenti.
"Ada apa?" tanya Suto dengan heran.
"Semak di depan sana bergerak-gerak aneh. Aku curiga di semak-semak itu ada seseorang yang menunggu kedatangan kita!"
Pendekar Mabuk pandangi semak-semak yang  dimaksud, dan ia hanya menggumam lirih sambil manggut-manggut. Lalu ia berkata pelan,
"Dugaanmu memang benar. Aku mendengar detak jantung lebih dari dua orang!"
"Siapa mereka dan apa maunya menghadang kita? Padahal kita sudah dekat dengan lereng gua-gua yang akan kita tuju itu."
*
* *


7
EMPAT orang berpakaian sama muncul dari balik semak belukar itu. Empat orang tersebut agaknya empat prajurit yang mempunyai tugas tersendiri di tempat itu. Mereka mengenakan celana kuning bergaris merah dengan rompi kuning bertepian benang berenda merah. Masing-masing berusia sekitar dua puluh lima tahun. Hanya satu yang agak tua dan berkumis tebal, usianya sekitar tiga puluh tahun lebih sedikit. Si kumis tebal itulah yang mendekati Pendekar Mabuk dan bicara mewakili ketiga rekannya.
"Apakah kau tahu siapa mereka?" bisik Suto Sinting kepada Teratai Kipas.
"Hmm... eh... tidak," jawab Teratai Kipas dengan cemas dan gelisah. "Tapi dilihat dari pakaian seragamnya, mereka pasti prajurit dari sebuah negeri yang... yang... entahlah dari negeri mana. Coba kau tanyakan saja padanya!"
Si kumis lebat yang bersenjatakan pedang di pinggang itu menyapa dengan suara tegas dan lantang.
"Maaf, Tuan muda...! Siapakah Tuan dan ada keperluan apa datang ke wilayah ini? Mohon Tuan sudi menjelaskannya."
"Namaku Suto, aku mau mencari gua untuk bertapa," jawab Suto Sinting sekadar melegakan hati si penanya.
"Kumohon Tuan jangan melintasi wilayah ini, karena wilayah ini tertutup untuk sementara. Raja kami sedang bertapa. Silakan Tuan muda mencari tempat lain yang diperlukan."
Suto Sinting berbisik kepada Teratai Kipas, tapi agak terkejut melihat Teratai Kipas ada di bawah pohon, bagai menyembunyikan diri di sana. Suto Sinting terpaksa mendekatinya, memandangi wajah cemas si gadis cantik itu.
"Teratai..., kenapa kau? Takut menghadapi mereka?"
"Tid... tidak. Aku tidak takut."
"Mengapa kau gelisah dan sedikit pucat?"
"Hmm... anu... terus terang saja, prajurit yang memegang tombak berujung pedang itu mirip sekali dengan bekas kekasihku. Aku tak mau melihatnya. Kau saja yang berhadapan dengan mereka."
Suto Sinting tersenyum geli. "Hatimu terlalu lembut untuk sebuah kenangan lama, Teratai Kipas. Tapi...baiklah akan kuhadapi sendiri. Hmmm... o, ya...bukankah Nyai Guru Betari Ayu menyebut-nyebut gua yang dipakai untuk bertapa seorang raja?"
"Hmm... iya, benar. Di dalam gua itulah Telur Mata Setan berada."
"Tapi mereka melarang kita ke sana! Apakah aku harus menerjang larangan itu? Menurutmu bagaimana, Teratai Kipas?"
"Menurutku ya... ya terjang saja. Terserah kamu," Teratai Kipas menjawab tanpa pertimbangan apa-apa hanya sekadar menutupi keadaan dirinya yang dicekam kegelisahan.
Sebelum kembali menemui prajurit berkumis lebat, Suto Sinting menenggak tuaknya dulu. Tiga tegukan sudah cukup baginya. Badan terasa segar dan wajahnya berseri-seri. Dengan senyum tipis ia berkata kepada  prajurit itu.
"Aku harus menemui rajamu."
Prajurit itu terkejut. "Apa maksudmu sebenarnya, Tuan muda?"
"Ada yang ingin kuambil dari gua tempat rajamu bertapa!"
"Oh, itu sangat tidak mungkin, Tuan muda. Tugas kami adalah menjaga Prabu Wiloka yang sedang bertapa agar tidak terganggu. Sekarang Tuan muda justru datang ingin bertemu Prabu Wiloka, itu tidak mungkin, Tuan muda!"
Prajurit itu sekalipun berkumis lebat namun tergolong prajurit yang sopan dalam tutur katanya. Karena itu Suto Sinting tak berani bersikap kasar sedikit pun, ia bahkan bersikap lebih merendahkan diri dan hati-hati.
"Barangkali jika Prabu Wiloka  mengetahui keperluanku, beliau akan memaklumi, mengapa aku datang mengunjungi beliau dan mengganggu bertapanya. Aku butuh pertolongan Prabu Wiloka, karena aku manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan, masih membutuhkan bantuan pihak lain. Jadi izinkan aku menemui Prabu Wiloka. Ini sangat penting!"
Prajurit itu gelengkan kepala dengan senyum tipis. "Tetap tidak bisa, Tuan muda. Jangan memaksa!"
"Bagaimana jika aku nekat menemui beliau?"
"Dengan penuh sesal kami akan bertindak sedikit keras, Tuan muda!"
"Kalau begitu, baiklah. Aku akan nekat menemui beliau."
Suto Sinting melangkah maju, prajurit itu segera bergerak cepat menendangkan kakinya ke arah samping. Wuuut...! Plaak...! Suto Sinting menangkisnya dengan kibasan tangan ke belakang. Kaki itu terbuang, sentakannya keras sekali hingga orang berkumis lebat itu terpelanting. Brrukk...! ia jatuh dan dibiarkan oleh Suto, tidak diserang lagi. Padahal jika Suto mau, sekali serangan saja orang itu bisa lumpuh selamanya
Tiga prajurit bersenjata tombak segera menyerang Suto Sinting dari belakang. Mereka melompat dan berteriak bersama-sama.
"Heeeaah...!"
"Hentikan!" bentak Suto Sinting.
Buurrrtk...! Mereka hentikan lompatan dan saling berjatuhan sendiri-sendiri. Suto Sinting dipandang oleh mereka, termasuk si kumix lebat.
"Jangan ada yang melarangku! Mengerti?!"
"Mengerti!" jawab mereka serentak, termasuk kumis lebat.
Di balik pohon, Teratai Kipas memandang penuh keheranan. Hatinya berkecamuk membatin keanehan yang dilakukan Suto Sinting itu.
"Ilmu apa lagi yang digunakan Suto? Prajurit-prajurit itu menjadi takut, menunduk dan menurut dengan perintahnya? Ini benar-benar aneh. Padahal mereka dididik pantang menyerah. Tapi hanya dengan satu kali bentakan, mereka menjadi seperti dikebiri, tak punya keberanian menyerang sedikit pun?"
Teratai Kipas tak tahu bahwa Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu mempunyai ilmu yang aneh-aneh, sehingga disebutnya 'sinting'. Di sinilah salah satu letak dari kesintingan Suto. Ia menguasai ilmu 'Sentak Bidadari'. Dengan getaran gelombang suara yang menyerang jiwa seseorang, Suto Sinting bisa membuat orang itu tunduk, keberaniannya menjadi surut. Ilmu itu hanya bisa digunakan untuk orang-orang yang tidak berilmu tinggi. Jika para prajurit bisa dibuat tunduk dan menurut, berarti mereka tidak berilmu tinggi.
"Antarkan aku menemui Raja! Katakan bahwa aku punya masalah penting dan sangat membutuhkan bantuannya demi menyelamatkan jiwa seseorang!"
"Baik, Tuan muda!" jawab prajurit berkumis lebat.
Suto Sinting melambaikan tangan kepada Teratai Kipas, tapi gadis itu tak mau jalan. Suto terpaksa mendekatinya dan berkata pelan,
"Jiwa mereka sudah kukuasai. Mereka akan antarkan kita ke goa itu!"
"Pergilah sendiri."
"Teratai...?! Mengapa kau jadi begini?"
"Aku... aku akan melintasi jalan lain. Kalau sewaktu-waktu kau dalam bahaya, aku bisa datang membantumu. Kalau kita bersama-sama, kita akan terperangkap dan tersergap bersama pula. Kita berpencar, tapi aku tak akan jauh-jauh darimu. Percayalah! Aku tak akan lari meninggalkan dirimu, Sutol"
"Suatu pemikiran yang bagus," kata Suto Sinting sambil tersenyum. Tapi batinnya berkata lain, "Aku tahu, kau menderita batin jika berjalan dengan prajurit yang mirip kekasihmu itu. Aku tak mau menyiksamu. Aku tahu betul rasanya derita batin yang timbul karena kenangan masa lalu. Baiklah, Teratai... jaga dirimu juga agar jangan sampai terperangkap hal-hal yang tidak kita inginkan bersama...."
Teratai Kipas segera pergi tinggalkan tempat itu ketika Suto Sinting berjalan didampingi keempat prajurit tadi. Ilmu 'Sentak Bidadari' membuat Suto seperti seorang tamu agung yang dikawal ketat dan dijaga keselamatannya. Sampai akhirnya mereka tiba di depan sebuah gua yang rupanya punya penjagaan lebih ketat lagi. Sejumlah prajurit berkeliaran di sana, malah ada yang mendirikan tenda untuk giliran tugas jaga. Jumlah prajurit yang ada di sana lebih dari dua puluh orang.
Melihat kedatangan Suto Sinting didampingi empat prajurit, mereka menyangka keempat prajurit menemukan seorang mata-mata. Para prajurit lainnya segera bergerak cepat. Dalam waktu singkat mereka sudah mengurung Suto Sinting dan keempat prajurit itu. Dua orang berbadan tinggi besar yang menjaga pintu gua memandang ke arah kepungan tersebut. Salah satu yang berbadan kekar, berkepala gundul dan mengenakan rompi hitam, celana hitam, segera datang mendekati kepungan. Orang itu menyandang pedang besar tanpa sarung yang diselipkan di sabuk hitamnya. Wajah orang itu tampak menyeramkan. Alisnya tebal, matanya lebar. Barangkali dia adalah pengawai Prabu Wiloka yang terpercaya dan berilmu tinggi.
"Gutomo!" seru si gundul berkumis lebat juga itu."Mata-mata dari mana yang kalian tangkap itu?"
Gutomo, prajurit yang berkumis lebat dan tadi sempat dijatuhkan oleh Suto Sinting itu berkata dengan sedikit cemas.
"Dia bukan mata-mata. Tuan muda ini bermaksud baik, Mugowira! Tuan muda ini bernama Suto Sinting dan ingin bertemu dengan Prabu Wiloka."
"Goblok!"
Glepoook...! Gutomo ditampar keras oleh Mugowira yang berbadan kekar itu. Sekali tampar ditanggung melintir tiga kali. Wajah Gutomo merah bagaikan buah yang matang di pohon.
"Sudah kuingatkan, jangan sampai ada orang yang mendekati gua ini! Mengapa kau malah membawa orang?! Goblok sekali kau, Gutomo!"
"Mak... maksudnya... Tuan muda ini ingin minta bantuan kepada Prabu Wiloka untuk menyelamatkan jiwa seseorang!"
"Tak peduli apa pun alasannya, pulangkan dia!" bentak Mugowira.
"Ak... aku... aku tidak berani menyuruhnya pulang, Mugowira."
"Pengecut! Prajurit macam kau pantasnya digits saja! Huhh...!" tangan Mugowira menghantamkan tinjunya ke wajah Gutomo. Namun sebelum tinju itu menyentuh wajah, Suto Sinting kirimkan sentilan 'Jari Guntur'-nya yang tepat kenai pergelangan tangan Mugowira. Tees...! Duub...!
"Aauh...!" pekiknya kaget sampai melonjak dengan wajah menyeringai. Tangan itu bagaikan ditendang kuda dan bengkak sampai ujung siku.
"Jahanam kau!" geram Mugowira penuh dendam, ia segera tarik napas dalam-dalam dan menggerakkan tangan kirinya menjadi keras, menyalurkan hawa murni untuk kurangi rasa sakit pada tangan kanannya itu. Sementara para prajurit lainnya sudah bersiap-siap melepaskan tombak dan senjata apa pun yang bisa dilemparkan ke arah Suto Sinting. Namun kali ini, ilmu 'Sentak Bidadari' digunakan lagi oleh Suto untuk mengurangi pertikaian yang akan membawa korban.
"Letakkan semua senjata kalian! Letakkan!" bentak Suto Sinting.
Satu demi satu mereka mundur. Perlahan-lahan senjata mereka diletakkan di tanah bagaikan dalam keraguan. Mugowira memandang dengan heran, ia mencoba memberi semangat kepada para prajurit dengan berseru,
"Serang dia, Seraaang...!"
Para prajurit segera ambil senjata masing-masing yang sudah telanjur ditaruh di tanah. Tapi begitu mereka mau mengambilnya, suara Suto Sinting terdengar lagi berseru membentak,
"Mundur semua!"
Wuuurrt...! Dengan serentak mereka mundur tinggalkan senjata maaing-masing. Mugowira mulai paham siapa yang dihadapi. Pasti bukan pemuda sembarangan. Dan Suto Sinting pun mulai menyadari bahwa orang gundul bertubuh kekar itu tentunya orang berilmu tinggi, buktinya ilmu 'Sentak Bidadari' tidak berhasil mempengaruhi jiwanya menjadi takut dan penurut seperti para prajurit lainnya itu.
"Apa maksudmu bikin keributan di sini?!" sentak Mugowira kepada Suto.
"Seperti kata Gutomo tadi, aku butuh bantuan Prabu Wiloka."
"Tidak seorang pun boleh menemui Prabu Wiloka!"
"Aku sangat butuh bantuan sang Prabu."
"Apa pun alasanmu, sebaiknya kau pulang saja!"
"Aku tidak mau pulang sebelum bertemu sang Prabu Wiloka!"
"Kalau begitu aku harus memaksamu dengan cara kasar!"
"Aku menerima caramu, Mugowira!"
Mugowira melangkah ke samping mencari kelengahan Suto Sinting. Dengan tenang Suto Sinting sengaja menenggak tuak memancing kelengahan supaya diserang. Pancingannya berhasil, Mugowira melepaskan pukulan jarak jauh dengan sinar putih berkerilap dari tangan kanannya. Claaap...! Suto Sinting segera berlutut. Bumbung tuak dihadangkan ke arah lajunya sinar putih itu. Maka sinar tersebut menghantam bumbung tuak. Deeb...! Ternyata sinar itu memantul balik lebih cepat dan lebih besar lagi. Wuuuutt...! Mugowira kaget. Kaki segera menyentak ke tanah, tubuh melayang naik. Wuuss...! Sinar putih menghantam dinding tebing berjarak lima tombak dari pintu gua.
Blegaaaarr...!
Beberapa prajurit terpental karena sentakan daya ledak yang menggema dahsyat itu. Mugowira terbengong melihat sinar putihnya nyaris meruntuhkan dinding batu tebing. Sebagian bebatuan di atas sana bergulir longsor. Seorang penjaga yang tinggal di mulut gua sendirian memandang kagum pada apa yang terjadi. Penjaga itu semula berdua dengan Mugowira, tapi ketika mendengar gelegar yang dahayat, ia menjadi ragu-ragu untuk datang membantu Mugowira. Jika ia ke sana berarti ia meninggalkan mulut gua. Padahal mulut gua harus tetap dijaga supaya tidak dimasuki pihak lain yang akan mengganggu tapa sang Prabu Wiloka. Orang itu jadi gelisah dan salah tingkah, mondar-mandir di depan pintu gua dengan tubuhnya yang juga kekar sudah siap mencabut pedang di punggungnya.
"Edan! Pukulanku bisa berbalik arah dan menjadi sedahsyat itu?! Padahal pukulan tadi hanya akan membuatnya lumpuh, tak bisa menghancurkan benda apa pun. Tapi... kenyataannya pukulanku tadi hampir saja membelah dinding batuan sekeras itu?!" pikir Mugowira dengan terheran-heran.
Suara dentuman tadi ternyata membangunkan masa bertapa sang Prabu Wiloka, raja Negeri Majageni. Melihat sang Prabu keluar dari gua, semua prajurit menunduk dalam ketakutan dan penuh hormat. Wajah sang Prabu yang berpakaian putih mirip pendita itu kelihatan sedang menahan marah, ia melangkah didampingi penjaga pintu gua yang berpakaian merah dengan hiasan rompi biru tua, rambut panjang sepundak diikat dengan ikat kepala kain biru pula.
"Mugowira! Apa yang terjadi hingga membatalkan tapaku?!"
Mugowira membungkukkan badan penuh hormat, "Ampun, Prabu... seorang anak muda memaksa ingin bertemu Kanjeng Prabu dan membuat keonaran di sini!"
Prabu Wiloka memandang tajam kepada Suto, yang dipandang justru membungkukkan badan memberi hormat sebagai tanda kesopanannya juga. Setelah Suto Sinting berdiri dengan tegak lagi, Prabu Wiloka menyapa dengan suara tegas, bernada geram sebagai tanda kemarahan yang terpendam.
"Siapa dirimu, sehingga berani mengganggu masa bertapaku?!"
"Namaku Suto Sinting, sang Prabu! Aku...."
"Tunggu!" sergah Prabu Wiloka tanpa mahkota. "Sepertinya nama itu pernah kudengar dari mulut para tokoh sakti yang berkunjung ke Negeri Majageni!"
"Mungkin hanya kesamaan nama yang secara kebetulan saja, Prabu. Yang jelas, kedatangan saya kemari ingin masuk ke gua itu untuk mengambil sesuatu yang amat berharga bagi jiwa orang lain."
"Lancang betul maksudmu?!"
"Maafkan saya, Prabu Wiloka. Saya terpaksa lakukan demi menolong jiwa seorang sahabat yang terkena Racun Ludah Naga!"
Prabu Wiloka tersentak kaget. Cepat-cepat ia sentakkan tangannya ke arah mulut gua. Dan tiba-tiba sinar kuning melesat dari tangan itu, menghantam tepian pintu gua, lalu menyebar membentuk seperti jala. Craaab...! Sinar kuning itu tetap menyala sebagai penghalang masuk ke dalam gua. 
"Kalau kau berani masuk ke dalam gua, maka  tubuhmu akan hangus seketika oleh sinar kuning penjerat sukma itu!" kata Prabu Wiloka.
"Apa maksud Prabu Wiloka memasang sinar penjerat sukma itu?!"
"Tak kuizinkan siapa pun memasuki gua yang sedang kugunakan untuk bertapa itu! Jika ia nekat masuk, berarti ia nekat bertaruh nyawa!"
"Rasa-rasanya saya memang terpaksa mempertaruhkan nyawa demi sahabat yang menderita Racun Ludah Naga itu, Prabu!"
"Racun Ludah Naga hanya dimiliki oleh Syakuntala, Panglima dari tanah Hindus!" katanya mencoba membeberkan pengetahuannya.
"Memang benar. Syakuntala itulah yang membuat tubuh sahabat saya menyusut dan kian lama kian menjadi seperti bocah cilik, Prabu. Tetapi di dalam gua itu ada obat yang harus kuambil dan diminumkan kepada sahabat saya itu!"
Prabu Wiloka diam sesaat, ia mulai bimbang. Setelah berjalan mondar-mandir beberapa saat, Prabu Wiloka berkata,
"Tidak! Siapa pun tetap tidak kuizinkan masuk. Kalau kau nekat, kau akan berhadapan dengan Mugowira dan Mahesa Sulung," sambil menunjuk penjaga berpedang di punggung dan berpakaian merah dengan rambutnya yang panjang itu.
"Kalau memang saya harus diadu dengan mereka, saya tidak keberatan, Prabu. Tapi saya mohon kerelaan Prabu jika sampai kedua pengawal Prabu cedera atau bahkan tewas di tangan saya!"
"Jangan sesumbar dulu, Suto Sinting!" geram Prabu Wiloka. "Mahesa Sulung, Mugowira... hadapi dia!"
Mugowira maju lebih dulu. Ia melompat dari sisi kanan ke tengah lingkaran pengepung, karena para prajurit masih mengelilingi Suto Sinting membentuk pagar betis berlingkaran lebar. Prabu Wiloka sendiri undurkan diri, memberi tempat lega untuk pertarungan Suto dan Mugowira.
Tangan Mugowira mengeras membentuk cakar. Lalu jurus-jurus cakar harimau dimainkan dengan gesit. Sementara itu Suto Sinting diam saja dengan bumbung tuaknya ada di tangan kanan, melilit talinya di tangan itu.
"Hiaaat...!" Mugowira menyerang dengan pukulan bercakar secara beruntun. Tapi Suto Sinting tetap diam di tempat, menghindar dengan cara meliuk-liukkan tubuhnya seperti gerakan orang mabuk. Kadang ia menangkis dengan kibasan tangan seperti orang mau jatuh. Dan pada satu kesempatan, tangan kiri Suto menghantam masuk ke dada Mugowira. Buuehg...!
"Huuhgg...!" Mugowira terpekik berat, tubuhnya yang besar terpental terbang hingga ke tepian garis lingkar, nyaris menjatuhi seorang prajurit. Tubuh besar itu bagaikan terbanting dengan telak. Suara jatuhnya pun menimbulkan bunyi berdebum yang membuat tengkuk para prajurit merinding.
Darah keluar dari mulut. Tak seberapa banyak, namun memancing kemarahan Mugowira lebih besar lagi. Maka ia pun segera bangkit dan mencabut pedang besarnya yang bergagang ukir dengan rumbai-rumbai benang merah.
"Hiaaatt...!" teriakannya memanjang, ia berlari sambil siap-siap menebaskan pedangnya. Dan dalam jarak tertentu ia melompat cepat, wuuuttt...! Pedangnya ditebaskan ke leher Suto Sinting. Wuuung...! Duaaar...!
Terdengar bunyi ledakan yang mengejutkan Prabu Wiloka. Ledakan itu timbul akibat gerakan pedang besar dihadang oleh bumbung tuak. Pedang besar itu langsung patah menjadi dua bagian. Mugowira terbelalak bengong. Saat itulah kaki Suto Sinting menendang ulu hati Mugowira dengan telak. Duuuss...!
"Nggekkk...!" tubuh besar itu melengkung ke depan, punggungnya ke belakang. Tubuhnya melayang lagi sambil memuntahkan darah merah. Brrukk...! ia jatuh dalam keadaan terkulai lemas.
"Prabu Wiloka!" seru Suto. "Kumohon jangan timbulkan korban lagi. Kedatanganku bukan untuk membuat kematian di antara para pengawalmu!"
"Mahesa Sulung, maju...!" teriak Prabu Wiloka yang agaknya semakin marah melihat salah satu dari dua pengawal andalannya dirobohkan oleh Suto.
Mahesa Sulung segera mencabut pedangnya dari punggung, ia tampak lebih kalem dari Mugowira. Jurus pedang segera dimainkan di depan Suto Sinting. Tetapi agaknya Suto Sinting ingin perlihatkan tingkatan ilmunya yang lebih tinggi lagi dari jurus yang sudah digunakan untuk melawan Mugowira tadi. Suto Sinting sengaja menenggak tuaknya, memancing kelengahan agar segera diserang lawan. Kali ini ia menyisakan tuak di dalam mulut, dikumur-kumurnya sebelum akhirnya ia terpaksa harus melompat bersalto mundur ketika Mahesa Sulung menebaskan pedangnya yang bergerak bagaikan kilat itu.
Wut, wut, wut, wut, siaap...!
Beberapa tebasan berhasil dihindari Suto Sinting, dan satu kesempatan bagus diperoleh sang pendekar tampan. Tuak dalam mulutnya disemburkan ke arah pedang Mahesa Sulung. Bwweerrsss...!
Claap...!
Mahesa Sulung terbengong seketika, diam bagaikan patung dengan tangan hampa, tanpa pedang tanpa senjata apa pun. Pedang itu lenyap setelah disembur oleh Suto menggunakan tuak dalam mulutnya. Jurus 'Sembur Siluman' digunakan Suto Sinting untuk memberi peringatan kepada pihak Prabu Wiloka bahwa pertarungan tak perlu terjadi dan saling menolong sangat dibutuhkan.
Prabu Wiloka sendiri diam tak bergerak ketika melihat pedang Mahesa Sulung bisa lenyap dalam sekali sembur. Hatinya segera membatin,
"Luar biasa hebatnya dia! Mahesa Sulung akan sia-sia jika tetap melawannya. Setidaknya kucoba dengan jurus 'Pancasurya', apakah ia masih bisa menandingi jurus andalanku ini?!"
Lalu sang Prabu berseru, "Mahesa Sulung, minggirlah! Biar kuhadapi sendiri orang ini!"
Mahesa Sulung segera menyingkir walau masih dengan wajah seperti orang pikun yang habis kehilangan pedangnya. Prabu Wiloka maju empat tindak, dan Suto Sinting tetap berdiri tegak menenteng bumbung tuaknya.
"Suto Sinting, terimalah jurus 'Pancasurya' ini, hiaaah...!"
Wuuutt...! Kedua tangan Prabu Wiloka berjari lurus dan rapat, disentakkan ke tanah. Dari tanah di depannya keluar lima larik sinar biru sebesar lidi.
Craaip...!
Lima larik sinar merah menyerang Pendekar Mabuk. Dengan cepat bumbung tuak melintang di depan dada, dipegang ujung-ujungnya dengan dua telapak tangan saling menekan. Drrrub...! Sinar itu menghantam bumbung dan lima-limanya berbalik dengan cepat dan lebih besar ragi. Lima sinar biru besar itu menghantam tanah tempat Prabu Wiloka berpijak.
Blegaaarr...!
Prabu WHoka tersentak melesat ke atas. Hampir saja kakinya buntung jika Suto Sinting tidak sedikit mengarahkan lebih ke bawah, dengan begitu sinar biru tersebut menghantam tanah di depan kaki sang Prabu, bukan tepat pada kedua kakinya.
Semua orang yang ada di situ terkejut. Terbengong, terperangah dan berdebar-debar melihat sang Prabu bersalto di udara satu kali, lalu berhasil mendarat lagi, sedikit terkilir dan jatuh bersimpuh. Mahesa Sulung segera menolongnya bangkit.
"Ouh... kakiku...!" rintih sang Prabu dengan terpincang-pincang.
"Biar saya hadapi lagi orang itu, Kanjeng Prabu!"
"Jangani Dia bukan orang sembarangan! Biar aku saja yang hadapi dia!" kata sang Prabu, lalu matanya memandang lurus ke arah Suto Sinting. Sebelum ia bicara, Pendekar Mabuk yang tampak tetap tenang itu berkata,
"Prabu, jangan mendesakku untuk membuat korban nyawa di sini! Kumohon kerelaanmu untuk mengizinkan diriku masuk ke gua itu dan mengambil Telur Mata Setan yang ada di sana!"
Prabu Wiloka terperanjat. Mulutnya membungkam, matanya tak berkedip. Rupanya ia mempertimbangkan keputusannya. Kejap berikut barulah terdengar suaranya berkata dengan nada tak segarang tadi.
"Jauh-jauh aku menemukan tempat bertapa yang paling baik dan berkekuatan gaib cukup tinggi. Haruskah kubiarkan tempat itu kau acak-acak, Anak Muda?! Terus terang, aku sendiri tidak tahu kalau di dalam gua itu ada Telur Mata Setan yang setahuku hanya ada dalam dongeng belaka. Tapi ketahuilah, bahwa aku tak ingin tempat itu kau acak-acak sebelum tapaku rampung."
"Apa yang Prabu cari dalam bertapa itu?" tanya Suto Sinting.
"Aku bertapa bukan untuk mencari Telur Mata Setan. Perlu kau ketahui, aku hanya mempunyai dua orang anak, satu lelaki, satu lagi perempuan. Dan anak lelakiku sudah mati bunuh diri karena gila cinta. Tinggal anak perempuanku yang kuharapkan menjadi pewaris tahta Negeri Majageni. Tetapi sejak kecil anak itu telah minggat dan tak pernah pulang karena aku menikah lagi. ia tidak setuju dengan pernikahanku yang baru. ia tidak mau mempunyai seorang ibu tiri. Ia pergi dan hatiku pun selama sepuluh tahun ini menjadi kosong tanpa kebahagiaan...."
Sang Prabu menarik napas, bagaikan menekan perasaan duka. Lalu ucapannya dilanjutkan lagi setelah ia melihat Suto Sinting selesai menenggak tuaknya.
"Aku bertapa hanya untuk mendapatkan anakku kembali. Tapi kau mengacau kehadiran dewa yang ingin memberikan petunjuk padaku tentang di mana anak gadisku itu. Kau akan kuizinkan masuk ke gua dan mengambil Telur itu jika kau bisa menemukan anakku yang hilang sepuluh tahun lamanya, bahkan lebih dari sepuluh tahun."
"Siapa nama anak itu?"
"Roro Padmi!"
Tiba-tiba melesat sesosok bayangan yang segera mendarat dari gerakan saltonya ke depan Suto Sinting. Orang itu adalah Teratai Kipas, langsung bersujud di kaki Prabu Wiloka sambil menghamburkan tangis,
"Ayah... ampunilah aku!"
Prabu Wiloka dan Suto sama-sama kaget serta terheran-heran. Teratai Kipas dibimbing berdiri oleh sang Prabu dan dipandangi beberapa saat, lalu terucaplah kata mengharu dari mulut sang Prabu,
"Kaukah putriku; Roro Padmi...?!"
"Be... benar. Benar, Ayah! Akulah Roro Padmi Wulinting!"
"Anakku...! Anakku...?!"
Brrruk...! Teratai Kipas dipeluknya. Sang Prabu menitikkan air mata ketika putrinya yang selama ini pergi dari istana menangis terisak-isak dalam pelukannya. Pendekar Mabuk buru-buru buang muka, karena tak tahan melihat keharuan itu. Ia tak mau ikut menangis seperti beberapa prajurit yang ada di kanan kiri sang Prabu.
"Selama ini aku memang tidak pulang, tapi aku sebenarnya sering kembali tanpa setahu siapa pun, Ayah. Karenanya aku tahu kalau Arya Wuka, adikku, mati bunuh diri karena dibuat gila asmara oleh Nyai Sapu Lanang!" tutur Roro Padmi Wulintang alias Teratai Kipas.
Suto Sinting tertegun setelah tahu bahwa Teratai Kipas ternyata putri seorang raja. Pantas jika Teratai Kipas merasa cemas dan gelisah ketika bertemu dengan keempat prajurit. Ternyata bukan karena salah satu prajurit mirip kekasihnya, melainkan karena ia tahu akan berhadapan dengan para prajurit ayahnya sendiri, itu sebabnya Teratai Kipas memisahkan diri dari Suto dengan alasan yang kuat karena ia sebenarnya tak ingin berhadapan dengan ayahnya sendiri. Namun demi mendapatkan Telur Mata Setan yang dicari-cari Suto Sinting, akhirnya Teratai Kipas tampakkan diri dan berlutut di kaki orangtuanya.
Telur Mata Setan kini benar-benar didapatkan oleh Suto Sinting. Seperti apa kata Nyai Guru Betari Ayu, Telur itu memang ada di dalam batu berongga di antara  salah satu batu dalam gua tersebut. Pantas saja kalau gua itu mempunyai pengaruh kekuatan gaib cukup tinggi dan cocok untuk dipakai bertapa karena ada kekuatan gaib Telur Mata Setan. Telur itu berwarna emas, kulitnya keras seperti dari besi, besarnya sedikit lebih besar dari Telur burung puyuh. Ternyata bukan setiap orang bisa memegang Telur itu kecuali yang mempunyai tenaga dalam cukup tinggi. Bagi yang tidak, Telur itu beratnya bagaikan melebihi berat sebatang pilar baja sebuah istana.
Teratai Kipas diizinkan oleh Prabu Wiloka untukmengantarkan Suto Sinting ke Puncak Gunung Kundalini, menyelesaikan masalah Telur Mata Setan yang akan diminumkan kepada Sumbaruni. Sang Prabu bahkan berbisik kepada Teratai Kipas,
"Apakah dia kekasihmu? Jika benar, Ayah akan segera nikahkan kalian! Ayah sangat setuju dan gembira sekali jika mempunyai menantu sesakti dia!"
Teratai Kipas tersenyum, "Tidak, Ayah. Dia hanya sahabatku. Dia sudah mempunyai calon istri sendiri, tahukah Ayah siapa dia sebenarnya?"
"Siapa?"
"Dia adalah muridnya si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk!"
"Hahh...?!" Prabu Wiloka membelalak kaget dan merinding seketika.

SELESAI
PENDEKAR MABUK
Segera terbit!!!
PISAU TANDUK HANTU