Pendekar Mabuk 42 - Keranda Hitam(1)


 1
LANGKAH kaki pemuda tampan itu terhenti karena seorang lelaki tua berjenggot abu-abu memanggil beberapa kali dari belakang. "Kisanak... Kisanak...! Berhentilah sebentar. Kisanak... Ki...!"

Suara itulah yang menahan langkah kaki pemuda tampan yang menyandang bumbung tempat tuak di punggungnya. Lelaki berjenggot abu-abu dengan mengenakan jubah putih itu mendekat. Usianya yang diperkirakan sekitar delapan puluh tahun lebih itu membuat langkahnya tertatih-tatih, ia mendekati anak muda itu dengan napas ngos-ngosan.
"Ada apa kau memanggilku, Pak Tua?"
"Bisakah kau menolongku, Kisanak?"
"Apa yang harus kulakukan untukmu?"
Orang bertongkat hitam itu diam sebentar, mengatur pernapasannya. Matanya yang kecil sempat memandangi anak muda yang gagah perkasa itu.
"Aku ingin pergi mengunjungi seorang sahabat lama, tapi aku tak tahu arahnya ke.mana. Bisakah kau menunjukkan arahnya?"
"Yang ingin kau tuju daerah mana namanya, Pak Tua?" tanya Suto mulai heran sendiri.
"Aku mau menemui sahabat lamaku. Tokoh sakti yang disegani tiap orang sesat. Ilmunya tinggi, sulit dikalahkan.''
"Siapa nama tokoh sakti itu, Pak Tua?"
"Sabawana. Hmmm... nama kondangnya si Gila Tuak!"
Anak muda berbaju coklat itu terkejut. Matanya makin tajam memandang Pak Tua yang sedikit terbungkuk-bungkuk itu.
"Apakah kau kenal nama sahabat lamaku itu, Nak? Kalau kau mengenalnya dan tahu tempatnya, tolong bantu aku tunjukkan di mana ia berada. Nanti aku akan bantu kamu juga memberitahukan apa yang belum kamu tahu."
Dengan nada heran Suto bertanya, "Bapak siapa?"
"Namaku Wiryasinder, dikenal dengan julukan si Arak Bayangan. Dulu aku dan sahabatku itu sering berkelana bersama."
"Kebetulan aku muridnya si Gila Tuak, Eyang!"
"Hahh...? Kalau begitu dugaanku tidak salah? Berarti ilmu nujumku masih berlaku walau usiaku sudah setua ini. He, he, he...."
Suto Sinting pun tersenyum ramah dan segera membungkuk memberi hormat, ia ingat cerita gurunya tentang sahabat sang Guru yang sudah lama menghilang dari peredaran. Nama si Arak Bayangan pemah didengar Suto Sinting dari mulut gurunya, sehingga ia perlu memberi hormat kepada Pak Tua itu.
"Bagaimana kabarnya gurumu? Pasti baik-baik saja."
"Benar, Eyang. Guru dalam keadaan baik."
 "Pasti kau murid tunggalnya yang bergelar Pendekar Mabuk?"
"Benar, Eyang. Saya bergelar Pendekar Mabuk. Kok Eyang tahu?"
"Arak Bayangan juga ahli nujum, jadi jangan heran kalau aku bisa mengetahui bahwa kau adalah anak yang tidak punya pusar."
Suto Sinting tersenyum malu. "Memang benar, Eyang. Sayalah bocah tanpa pusar yang kemudian diangkat murid oleh si Gila Tuak...."
"Dan Bidadari Jalang. Benar, bukan?"
"Benar, Eyang. Kok Eyang kenal dengan Bibi Guru saya?"
"He, he, he... aku kan ahli nujum. Masa' begitu saja tidak tahu? Bidadari Jalang dulu juga temanku, tapi dia nakal dan aku malas berteman dengannya. Eh, dulu aku pernah dicium sama si Bidadari Jalang. Aku malu sekali. Maklum waktu itu aku seganteng kamu, jadi bahan rebutan gadis-gadis, ditarik sana, ditarik sini sampai akhirnya kulitku kendur begini dan...."
"Sudah, sudah... kalau Eyang Arak Bayangan ingin menemui Guru, jangan melantur-lantur nanti malah tersesat lagi. Sebaiknya mari saya antar ke Jurang Lindu."
"O, jadi gurumu tinggal di Jurang Lindu? Ooo... alau daerah Jurang Lindu aku sudah hafal. Kalau begitu, aku akan pergi beranjangsana ke Jurang Lindu sekarang juga. Sampai jumpa lagi, Pendekar Mabuk...."
"Tapi Eyang bisa tersesat ke pemukiman para janda kalau tidak saya antarkan ke sana. Tempat itu jauh dari sini."
"Kalau aku tersesat, wajar. Tapi kalau jadi orang sesat, itu kurang ajar. He, he, he...! Sudah, sudah... teruskan perjalananmu. Aku akan ke Jurang Lindu sendiri."
"Baiklah kalau Eyang maunya begitu. Saya permisi dulu, Eyang."
"Jaga dirimu baik-baik. Nak. Salam buat gurumu si Gila Tuak dan...."
"Lho, katanya Eyang mau bertemu guru saya, kenapa masih titip salam segala?"
"O, iya. Aku lupa. Maklum sudah tua. Eh, ada sesuatu yang perlu kau ketahui, Pendekar Mabuk."
Suto Sinting tak jadi memisahkan diri justru mendekat kembali.
"Ada apa, Eyang?"
"Perjalananmu nanti akan menemui kejutan besar yang belum pernah kau alami selama hidupmu."
"Maksud Eyang saya akan bertemu bidadari cantik?"
"Hampir mirip itu. Tapi kejutan besar itu akan membuatmu lebih cerdas dan lebih dewasa lagi. Jangan kaget dan jangan cepat gusar. Terimalah kejutan besar itu dengan hati sabar. Sebab orang sabar disayang Tuhan."
Suto Sinting tersenyum ramah. "Apakah masih ada yang ingin kau katakan, Eyang?"
"Hmmm... tidak ada. Hanya itu. O, ya... hati-hati dengan Keranda Hitam. Dia akan jadi lawanmu."
"Keranda Hitam?" Suto memandang heran.
"Ah, sudah, sudah... lupakan saja. Keranda Hitam tak perlu dibicarakan. Itu ramalan yang kuhafalkan. Nah, kita berpisah, sampai di sini dulu. Lain waktu kita bertemu lagi, Pendekar Mabuk."
Zlappp...! Tiba-tiba Pak Tua itu lenyap bagai ditelan bumi. Suto Sinting terperanjat dan terheran-heran. "Apa maksud pertemuanku dengan si Arak Bayangan ini? Apakah punya arti dalam langkahku mendatang?"
Suto Sinting sempat memikirkan ramalan si Arak Bayangan, ia menduga-duga kejutan apa yang akan dialaminya. Tapi sampai jauh melangkah ia hanya menemukan renungan kosong tanpa makna. Hanya saja dalam hatinya masih timbul keyakinan bahwa ramalan itu akan menjadi kenyataan, entah kapan dan di mana.
*
* *

Gumpalan awan hitam berarak-arak bagai menaungi langkah serombongan manusia yang melintasi kaki bukit cadas. Di atas guguaan cadas lainnya, berdiri seorang pemuda gagah dan tampan yang mengenakan baju coklat tanpa lengan dan celana putih kusam. Pemuda itu baru saja menenggak tuak dari bumbung yang kini melintang di punggung. Siapa lagi dia kalau bukan murid sintingnya si Gila Tuak. Dan siapa lagi murid sintingnya si Gila Tuak kalau bukan Pendekar Mabuk; Suto Sinting.
Mata tajam yang berkesan lembut dan menawan hati lawan jenisnya itu sejak tadi memperhatikan serombongan orang yang melintasi kaki bukit. Rombongan orang yang bergerak itu bukan barisan prajurit kadipaten yang sedang pamer kegagahan, melainkan iring-iringan para pelayat yang hendak memakamkan sesosok jenazah dalam keranda hitam. Iring-iringan jenazah itu makin menjauh, hati Pendekar Mabuk semakin penasaran. Maka ia pun segera menyusul rombongan pengantar jenazah itu dengan menggunakan 'Gerak Siluman' yang mampu membuatnya bergerak melebihi kecepatan anak panah.
Zlappp...!
Tahu-tahu sudah sampai di belakang orang yang ada paling akhir dari barisan pengiring jenazah itu. Orang yang paling akhir itu berbadan agak gemuk, berpakaian serba hijau dan tubuhnya tergolong pendek. Umurnya sekitar empat puluh tahun, sehingga Suto Sinting menyapanya dengan sebutan 'paman'.
"Maaf, Paman. Boleh saya mengganggu sebentar?"
"Kalau ada orang sedang mengiringi jenazah itu jangan diganggu!" hardik orang tersebut dengan suara tertahan.
"Maksud saya, mengganggu untuk menanyakan siapa yang ada dalam keranda hitam itu, Paman."
"Bocah bodoh! Yang ada dalam keranda hitam kok ditanyakan? Tentu saja mayat! Masa' batu koral?!"
Orang berkumis rimbun itu bersungut-sungut. Suto Sinting menahan diri untuk tidak menunjukkan kejengkelannya. Sebab apa yang dimaksud dalam pertanyaannya tidak dipahami oleh orang berbaju hijau itu. Maka dengan sabar Suto Sinting yang ikut berjalan beriringan itu menjelaskan apa maksud pertanyaannya tadi.
"Maksud saya, mayat siapa yang ada di dalam keranda hitam itu, Paman?"
"Ya mayat orang yang sudah mati! Mana mungkin orang masih hidup kok dimasukkan ke dalam keranda dan dianggap mayat?!"
Karena jengkel, Suto Sinting akhirnya berkata, "Barangkali saja Paman kepingin tiduran di dalam keranda, kan bisa saja!"
"Kamu menghinaku?! Jangan bikin perkara lho, ini sedang mengiringi jenazah. Harus hikmat dan penuh curahan ikut berbelasungkawa."
Suto Sinting sunggingkan senyum supaya ketegangan orang itu mengendur.
"Habis Paman ditanya kok jawabannya seenaknya begitu."
"Seenaknya bagaimana? Apa jawabanku tidak sesuai dengan pertanyaanmu?"
"Ya memang sesuai, tapi tidak tepat dengan maksud saya."
"Maksudmu itu bagaimana sih?!"
Salah seorang menghardik. "Ssstt...! Kalian ini kok malah berisik sendiri?! Nanti kalau mayatnya bangun karena keberisikan, bagaimana?! Dicucup ubun-ubunmu baru tahu rasa!"
Orang itu hanya menggerutu tak jelas, kemudian ia mendekati Suto dan berkata dengan nada pelan, "Tuh, dengar kan? Belum jadi mayat saja dia sudah galak, apalagi kalau jadi mayat. Makanya kamu jangan bikin ribut denganku, Anak Muda! Kalau mau ikut melayat ya ikut saja. Tidak perlu pakai berdebat segala."
Sebenarnya Suto ingin tertawa, tapi ia menahan mati-matian sampai akhirnya ia hanya bisa berkata pelan juga, "Yang mengajak ribut itu siapa?"
"Lha kamu tadi...?"
"Saya hanya ingin menanyakan jenazah siapa yang ada di dalam keranda hitam itu?"
"Apa maksudmu bertanya begitu?"
"Karena kulihat jumlah pelayatnya cukup banyak. Aku menduga jenazah itu adalah jenazah orang terpandang, setidaknya orang punya nama, dan aku ingin tahu siapa orang itu. Paham?"
"Ya jelas paham! Pertanyaan seperti itu saja kok dianggap tidak bisa kupahami!" Orang itu bersungut-sungut lagi.
"Jadi, jenazahnya siapa itu, Paman?"
"Jenazahnya seorang pendekar sakti. Kata orang-orang, bagi siapa saja yang ikut memakamkan jenazah pendekar sakti itu, banyak atau sedikit akan mendapat titisan ilmu sang almarhum. Maka aku ikut mengiringi pemakaman ini, supaya dapat titisan ilmunya walau dua-tiga jurus."
"Pendekar sakti siapa, Paman?" Suto berkerut dahi sambil melangkah mengikuti iring-iringan itu.
"Masa' kamu belum bisa menduga siapa nama pendekar sakti itu? Pendekar tersebut sangat kondang seantero jagat. Di rimba persilatan namanya sangat ditakuti oleh banyak tokoh, terutama tokoh sesat yang ilmunya tanggung-tanggung. Malah tokoh sesat yang ilmunya tinggi saja sering gemetar kalau mendengar nama pendekar almarhum itu."
"O, jadi jenazah itu adalah jenazah Pendekar Almarhum?" tanya Suto dengan bingung.
Orang berambut ikal itu tertawa dengan mulut dibekap pakai tangan sendiri.
"Mana ada julukan Pendekar Almarhum?!" katanya kepada Suto. "Namanya bukan Pendekar Almarhum, tapi Pendekar Mabuk!"
Degg...!
Jantung Suto Sinting bagaikan dibetot ke dalam saking kagetnya. Tanpa sadar langkahnya terhenti, tangannya mencekal lengan orang berbaju hijau itu. Orang tersebut pun terpaksa hentikan langkah dan memandang heran kepada Suto.
"Apa maksudmu menahan langkahku, Anak Muda?"
"Aku belum jelas maksudmu, Paman. Kau tadi menyebutkan nama Pendekar Mabuk, sedangkan...."
"Memang nama jenazah itu semasa hidupnya adalah Pendekar Mabuk alias Suto Sinting, muridnya Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Setelah mati julukannya ditambah menjadi 'Almarhum Pendekar Mabuk'. Sudah jelas, bukan?! Kalau sudah jelas ayo kita jalan lagi nanti ketinggalan rombongan!"
"Nanti dulu, Paman. Nanti dulu...." Suto Sinting masih menahan orang tersebut.
"Coba Paman bicara yang betul. Jangan asal bicara begitu," kata Suto sedikit tunjukkan rasa tersinggungnya, karena orang itu menyebutkan nama dan gelarnya.
"Lho, apa kau anggap aku tadi bicaranya ngawur? Aku bicara yang sebenarnya, Anak Muda! Jenazah itu adalah jenazah Pendekar Mabuk. Nama aslinya Suto Sinting. Dia itu muridnya si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Begitulah keterangan yang kudengar dari mulut orang-orang yang ikut melayat di sini. Kalau tidak percaya tanyakan saja kepada mereka."
Suto Sinting gemetar, matanya memandang tajam kepada orang berbaju hijau itu.
"Paman tahu siapa aku ini?"
''Mana aku mengenalmu, habis kau datang-datang bukan memperkenalkan diri malah mengajak berdebat begini?!"
"Akulah yang bernama Suto Sinting, Pamanl"
"Aah... bercanda kamu!" Orang itu tertawa meremehkan dengan wajah melengos.
"Paman, aku ini Suto Sinting yang bergelar Pendekar Mabuk. Akulah murid Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" sambil Suto tepuk dada sendiri.
Orang itu geleng-geleng kepala sambil mencibir. "Jangan mengaku-aku Pendekar Mabuk. Apa kau pikir aku akan kabur tunggang-langgang karena menganggapmu sebagai hantu jika kau mengaku Pendeksr Mabuk? Oh, tidak bisa, Anak Muda. Aku tidak bisa kau tipu, Nak!"
Pengusung keranda hitam makin menjauh, demikian pula para pengiringnya. Orang berbaju hijau itu kaget melihat dirinya tertinggal jauh oleh rombongan, ia segera bergegas menyusul rombongan dengan mulutnya menghamburkan makian dan gerutuan kepada Suto. Sementara itu Suto Sinting sendiri diam termenung dalam keadaan masih berdiri di tempat. Matanya memandang ke arah rombongan yang menjauh dengan hati berkecamuk penuh keheranan.
"Orang itu gila atau goblok? Kata-katanya seperti orang mengigau? Ah, aku jadi sangat penasaran sekali. Apa benar orang-orang itu menganggap mayat dalam keranda hitam adalah mayatku? Apa iya Pendekar Mabuk sudah mati? Lalu aku ini siapa kalau begitu?! Bisa benar-benar sinting kalau kupikirkan terus tanpa kucari kebenarannya. Sebaiknya kutanyakan saja kepada para pengusung jenazah itu!"
Zlapp...!
Dalam waktu dua kejap, Suto Sinting sudah ada di depan rombongan pengusung jenazah, ia berdiri dengan sikap menghadang jalannya iring-iringan tersebut. Tentu saja langkah para pengusung jenazah menjadi terhenti tiba-tiba.
"Hahh...?!" Delapan pengusung jenazah sama-sama terbelalak dengan mata mendelik bagai ingin loncat keluar dari rongganya.
"Maaf, aku mengganggu perjalanan Saudara-saudara yang terhormat...," kata Suto menunjukkan sikap sopannya.
Tapi para pengiring jenazah itu saling terpekik dengan suara tertahan. Yang memanggul keranda gemetaran bagai diserang hawa salju hingga menggigil.
"Aaaaa...!" salah seorang berteriak menjerit lengking, keras sekali. Yang lainnya ikut menjerit pula hingga suasana menjadi gaduh.
"Hantuuuu...!!" teriak salah seorang pengusung jenazah yang baru saja terlepas dari rasa tercekamnya.
Maka rombongan pengiring jenazah itu pun buyar seketika. Mereka saling berteriak dan menjerit tak karuan. Ada yang bersuara jelas, ada yang hanya  terdengar suaranya saja tak jelas ucapannya.
"Settaaaann...!"
"Aaannn...!"
"Hantuuu...!"
Sejumlah empat puluh pengiring saling berlarian ke sana-sini tak tentu arah, saling mencari tempat berlindung, saling berusaha berlari secepat mungkin dan sejauh mungkin. Malah ada yang tersungkur jatuh dan diinjak beberapa orang.
"Wuadoow...! Matii aku, Maaakk...!"
Ada pula yang saking paniknya berlari menabrak pohon hingga batang hidungnya pecah. Salah seorang pingsan karena kejatuhan keranda mayat. Sedangkan yang sangat ketakutan hingga menggigil dengan wajah pucat tetap diam di tempat tak bisa melangkah. Tahu tahu celananya basah.
Tentu saja Suto Sinting menjadi sangat menyesal, namun juga sangat sedih melihat ketakutan mereka. Karena ketakutan itu bagaikan sebuah musibah yang membuat beberapa orang cedera.
Setelah orang yang pingsan ditolong oleh Suto dari tindihan keranda hitam, orang itu pun dicekoki dengan tuak. Tuak saktinya Suto membuat orang itu lekas siuman. Namun begitu siuman, orang itu kaget melihat wajah Suto ada di hadapannya.
"Haahh..." Orang itu pun akhirnya pingsan lagi. Sedangkan orang yang tak bisa lari itu masih menggigil di tempat, tubuhnya limbung ke kiri, kanan, depan, belakang, tapi tidak jatuh-jatuh sejak tadi.
"Uugggrr... uuhhg... uuhhgg... takut... takut...!" terdengar suara lirih orang yang menggigil tak bisa lari itu.
"Mereka benar-benar menganggapku sudah mati?!" pikir Pendekar Mabuk dengan sedih. "Mereka menganggap bertemu dengan hantu. Berati aku dianggap hantunya mayat yang ada dalam keranda hitam itu. Penasaran sekali aku jadinya. Seperti apa mayat dalam keranda itu?"
Pendekar Mabuk dekati keranda yang tutupnya sedikit terbuka itu. Tapi sebelum terlalu dekat, tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang melintas di depan Suto Sinting, arahnya dari belakang Suto.
Wuttt...!
Brrrakkk...! Tutup keranda hitam itu diterjangnya hingga terpental. Keranda hitam bukan saja terbuka tutupnya namun juga rusak karena terjangan orang yang melintas cepat tadi. Mayat yang ada di dalamnya terlempar dua langkah dari pecahan tutup keranda.
Bukan mayat yang jadi sasaran pandangan mata Suto, melainkan wujud sesosok tubuh yang tadi menerjang keranda hitam itu.
Sosok itu adalah sosok wanita cantik bergincu merah. Mengenakan pinjung sebatas dada warna merah  bersulam benang emas. Celananya sebatas lutut warna merah beludru, sama dengan bahan pinjungnya itu. Sebuah pedang disandang di pinggangnya, tak terlalu panjang namun berkesan mewah, karena gagangnya terbuat dari kuningan emas mengkilap yang berukir indah. Sarung pedangnya pun tampak dari lempengan logam kuning emas berukir. Entah emas asli atau palsu.
Perempuan itu sungguh cantik. Bulu matanya lentik, hidungnya bangir, sesuai dengan bentuk bibirnya yang mirip kuncup mawar. Kecil, menggemaskan. Rambutnya disanggul, tapi masih ada sisa sedikit yang dibiarkan jatuh berjuntai di kanan-kirinya.
"Mundur kau, Iblis!" hardik wanita cantik berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu. Suto Sinting hanya berkerut dahi memandang dengan sikap tenang. Sedangkan mata si wanita berkulit kuning langsat itu menatap tajam penuh sikap menantang.
"Berani mendekati jenazah itu, pedangku akan mengusirmu dengan paksa!"
Sett...! Pedang pun dicabut dari sarungnya. Kaki kanannya mundur selangkah, kedua tangan mulai bersiap menyerang dengan pedang. Cukup gagah dan tegap. Kelihatan kalau wanita itu berilmu pedang lumayan. Pandangan mata dan ujung pedang sama-sama tertuju ke satu arah.
Pendekar Mabuk menarik bumbung tuaknya dari punggung, kemudian menenggak beberapa teguk. Sementara itu satu-dua orang memperhatikan dari jarak jauh penuh rasa takut. Bahkan orang yang menggigil itu kini jatuh lemas dan masih tak bisa bicara apa-apa.
Pendekar Mabuk melangkah menjauhi orang yang pingsan, mendekati tempat yang lega dan agak dekat lagi dengan si wanita, sehingga dapat melihat bentuk kecantikannya lebih jelas lagi.
"Siapa kau, Nona cantik?"
"Aku yang akan bertanya begitu padamu. Siapa kau dan Iblis dari mana asalmu?!"
"Aku Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Aku dari...."
"Bohong! Kau hanya menyamar sebagai Pendekar Mabuk! Kau Suto Sinting palsu!"
"Kau yang keliru, Nona. Aku Suto yang asli!"
"Yang asli sudah tewas! Lihat itu...!" ia menuding dengan pedangnya.
Suto Sinting baru menyadari kalau mayat yang terlempar keluar dari dalam keranda itu adalah mayat dirinya. Badannya gempal berotot, dadanya bidang dan kekar. Bajunya coklat tanpa lengan, celananya putih lusuh berlumur darah, ikat pinggangnya merah. Sayang mayat itu tanpa kepala alias buntung.
Tetapi di sisi keranda terdapat bumbung bambu tuak, persis sekali dengan bumbung tuak yang sedang dibawanya di pundak.
"Itu bukan aku," ucap Suto datar, seperti bicara sendiri.
"Memang itu bukan kau! Karena kau bukan Suto Sinting!"
Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala. "Kau keliru...," ucapnya pelan sambil melangkah mendekati mayat tanpa kepala itu. Hatinya membatin, "Ternyata inilah kejutan besar yang dimaksud si Arak Bayangan."
"Jangan mendekat!" bentak perempuan itu.
Bentakan tersebut tak dihiraukan oleh Suto. Akibatnya, sebelum Suto lebih dekat dengan mayat itu, si cantik, berkelebat menyerang dengan pedangnya.
Wuttt...! Tubuh si cantik melayang sebatas kepala Suto. Pedangnya berkelebat mengibas bagai ingin membuntungi kepala Suto. Dengan cekatan Pendekar Mabuk putar badan sambil menyambar bumbung tuaknya untuk digunakan menangkis pedang itu.
Traanng...!
Benturan pedang dengan benturan bumbung bamboo seperti benturan baja dengan baja. Ayunan pedang yang begitu keras memental balik hingga membuat tubuh si cantik yang melayang itu oleng ke belakang terbawa tenaga baliknya. Akibat yang diterima si cantik adalah mendaratkan kaki tak sempurna. Pendekar Mabuk pun segera merendah dan menyapu kaki perempuan itu dengan kaki kanannya.
WUSSS...! Plak...! Bluhgg...!
Perempuan itu jatuh telentang. Tapi dengan serta- merta pinggulnya dihentakkan sehingga tubuhnya melesat naik dan tahu-tahu kedua kakinya sudah memijak tanah dengan kuda-kuda yang kokoh.
Wajahnya segera berpaling ke kanan. Wett...! Matanya memandang tajam pada Suto Sinting. Yang dipandang hanya diam, berdiri dengan mata memandang kalem. Tapi hatinya berkata dengan penuh keheranan.
"Mestinya kakinya patah. Tapi ternyata ia masih bisa berdiri tegak. Berarti sapuan kakiku yang penuh tenaga tadi dapat ditahan dengan tenaga dalamnya yang disalurkan melalui betis indahnya itu. Hebat. Dia punya ilmu yang cukup hebat. Salah besar kalau aku menyepelekannya. Aku harus hati-hati."
Tetapi perempuan yang mempunyai mata indah sedang memandang tajam berkesan galak itu juga berucap kata dalam hatinya.
"Boleh juga jurus si monyet ini?! Tenaganya cukup besar! Sabetan pedangku yang penuh tenaga itu justru memantul balik lebih besar lagi. Tak kusangka dia bisa membalikkan tenagaku dua kali lipat besarnya. Aku harus waspada melawannya. Hanya saja, apa kemauan si monyet ganteng ini?"
Mata bertemu mata. Senyum Suto mengembang penuh pesona. Mestinya perempuan itu luluh hatinya karena Suto melepaskan jurus 'Senyuman Iblis' yang dapat membuat lawan jenis kasmaran dan pasrah. Tetapi jika lawan jenisnya berilmu tinggi, jurus 'Senyuman Iblis' memang tidak berguna sama sekali.
Jika, ternyata perempuan itu masih menampakkan wajah ketus dan matanya memandang galak, maka berarti perempuan itu berilmu tinggi. Suto Sinting mencatat ketinggian ilmu perempuan cantik itu di dalam hatinya, sehingga ia tak mau menggantungkan bumbung tuaknya. Bumbung itu masih dipegang dengan tangan, talinya melilit di telapak tangan, sehingga dapat digerakkan ke mana-mana.
"Apa maumu menghadang kami, hah?!" hardik perempuan itu.
"Hanya membuktikan bahwa mayat itu bukan aku. Pendekar Mabuk adalah aku, Nona. Harap kau percaya."
"Aku tak mau percaya!" katanya dengan sikap menantang.
"Lalu apa maumu jika tak percaya?"
"Aku akan membawa mayat itu!"
"Mau kau bawa ke mana?"
"Kuserahkan kepada gurunya Pendekar Mabuk agar dimakamkan dengan penghormatan tinggi!"
"Apakah kau tahu di mana kediaman gurunya Pendekar Mabuk?"
"Di Jurang Lindu! Di sanalah si Gila Tuak bersemayam, sedangkan Bidadari Jalang mengasingkan diri di Lembah Badai!"
"Dia tahu semua tempat tinggal Guru," pikir Suto. "Berarti dia bukan perempuan liar yang hanya bisa bicara secara ngawur."
Kemudian Suto bertanya, "Dari mana kau tahu letak kediaman guru-guruku itu, Nona?"
"Dari siapa lagi kalau bukan dari gusti ratuku sendiri."
"Siapa gusti ratumu, Nona?"
"Untuk apa kau bertanya? Sebaiknya kau menyingkir saja dan jangan halangi kami membawa jenazah Pendekar Mabuk ini ke Jurang Lindu!"
"Tak kuizinkan kau membawa jenazah ini, karena dapat menggegerkan rimba persilatan!"
"Kalau begitu kau harus bertarung denganku sampai mati!"
"Jangan sampai mati. Sampai ada yang kalah saja. Setuju?!"
"Aku tak akan merasa kalah jika nyawaku masih belum bisa kau cabut!"
Tiba-tiba seberkas sinar merah melesat dari balik celah dua gugusan cadas setinggi rumah itu. Clappp...! Sinar merah itu bergerak dengan cepat seperti bintang berekor. Nyala sinarnya sangat terang. Arahnya jelas ke punggung perempuan cantik itu.
Suto Sinting melompat ke depan sambil berseru, "Awasss...!"
Zlapp...! Tahu-tahu ia sudah beradu punggung dengan perempuan itu. Tepat ketika perempuan itu menengok ke belakang, sinar merah sedang dihadang oleh bumbung tuak Suto. Sinar itu menghantam telak bambu tuak tersebut.
Duarrrr...!
Ledakan keras terjadi. Daya ledaknya membuat tubuh Suto Sinting terpental ke belakang berjungkir balik menabrak perempuan tersebut.
"Keparat...! Mau membokongku kau hah?! Terima pembalasanku ini! Hiaaat...!" geram perempuan itu.
Kemudian si cantik melepaskan pukulan tenaga dalamnya dari telapak tangan kiri. Seberkas sinar hijau melesat dari telapak tangan kirinya itu. Clapp...! Arahnya ke celah dua gugusan cadas.
Blegarr...!
Dua gugusan cadas itu pecah seketika dihantam sinar hijau. Tapi tak ada seorang pun di balik gugusan cadas tersebut, sehingga perempuan itu tak bisa mengetahui siapa orang yang hendak menyerangnya dari belakang tadi.
"Untung iblis ganteng itu bergerak cepat menghadang sinar merah tadi. Kalau tidak, bisa hancur tubuhku dihantam sinar merah."
Perempuan itu memandang ke arah pemuda tampan yang dianggap Suto palsu itu. Ia terperanjat namun tak diperlihatkan.
"Dia pingsan?! Oh, harus kuapakan sekarang?
Kutebas dengan pedangku atau kuselamatkann dulu? Dia menghalangi langkahku membawa jenazah Suto ke Jurang Lindu, tapi dia menyelamatkan nyawaku."
Perempuan itu menggeram jengkel sendiri dililit kebimbangan. Sedangkan Suto Sinting benar-benar pingsan. Sangat cocok jika kepalanya dipakai untuk menggantikan kepala mayat yang terpenggal itu.
*
* *

2
REMBULAN muncul di ujung malam. Bayang-bayang pohon jatuh menghitam di tanah berumput tipis. Di tanah itulah Suto Sinting terkapar dan baru saja sadar dari pingsannya. Rupanya ia pingsan sejak siang dan tak ada yang menolongnya.
"Sial! Perempuan itu ternyata tidak mau menolongku, sehingga aku dibiarkan pingsan sampai malam begini?!" gerutu Suto Sinting dalam hati. Bumbung tuak yang tergeletak di sampingnya segera diraih, kemudian ia menenggak beberapa teguk tuaknya sebagai penguat badan, mengembalikan kekuatannya yang sempat lenyap karena serangan sinar merah tadi siang.
"Rupanya orang yang melepaskan pukulan bersinar merah itu cukup sakti. Terbukti sinar merahnya tak bisa kukembalikan dengan menangkisnya memakai bumbung tuak ini. Padahal biasanya kekuatan sebesar apa pun bisa kukembalikan jika kutangkis memakai bumbung tuakku ini! Hmm.... Siapa orang yang telah menyerang perempuan cantik itu? Dan di mana perempuan itu sekarang? Atau dia...."
Ada suara mengerang samar-samar. Suara orang mengerang lirih itu datang dari balik sebuah pohon yang bayangannya jatuh menutupi Suto. Maka pemuda tampan yang sudah merasa sehat kembali karena sudah meminum tuak saktinya itu segera menuju ke balik pohon.
"Oh, dia...?!" Suto terkejut melihat perempuan cantik itu ternyata masih ada di situ dalam keadaan luka memar di wajahnya.
Rupanya perempuan itu baru saja siuman, entah sejak kapan ia jatuh pingsan di balik pohon. Yang dapat diketahui Suto adalah keadaan memar di wajah dan tubuhnya. Cahaya rembulan membuat luka memar itu terlihat jelas. Bahkan sebagian tulang pipinya tampak membengkak dan kulit bagian bawah leher hampir mencapai dada itu bagaikan luka terbakar.
Ada darah lembab yang membekas dari sudut mulutnya sampai ke rahang. Sedangkan lengannya yang kanan bagaikan habis digores dengan benda tajam sejenis ujung pedang. Lengan itu terluka dan lukanya berwarna merah kehitam-hitaman. Luka itu beracun, sebab yang keluar dari luka bukan saja darah melainkan juga busa putih seperti getah.
"Kenapa kau?! Siapa yang menyerangmu sedemikian parahnya?!"
Tentu saja pertanyaan Suto tidak bisa dijawab, karena keadaan perempuan itu sangat lemah. Matanya memandang sayu, karena di sudut mata kirinya ada luka memar membiru sampai di bagian pelipis. Mata kirinya itu bengkak, sangat menyedihkan. Kecantikannya nyaris hilang karena luka parahnya itu. Rambut acak-acakan, sanggulnya tak tertata rapi lagi.
Akhirnya justru perempuan itu yang ditolong oleh Suto, bukan Suto yang ditolong perempuan itu dari pingsannya. Dengan meminumkan tuak saktinya, Suto Sinting berhasil mengobati luka parah si cantik. Tubuh yang penuh luka itu menjadi segar kembali. Luka terkoyak terkatup rapat lagi setelah minum tuaknya Suto. Warna biru memar pun lenyap, berganti warna kulit asli. Tulang yang bengkak pun mengempes dan kembali ke wujud semula.
Kini kecantikan perempuan itu terlihat nyata lagi, bahkan badannya makin lama terasa semakin segar. Rasa perih di bagian dalam tubuhnya pun tak ada yang membekas. Hal itu sungguh mengagumkan bagi si perempuan. Dalam hatinya ia hanya berkata,
"Luar biasa kehebatan tuaknya. Hampir sama dengan kehebatan tuak Suto Sinting. Apakah dia muridnya Suto Sinting? Kabar yang kudengar, Suto tidak mempunyai murid. Kabar yang kudengar juga mengatakan bahwa Suto dikenal pula dengan julukan Tabib Darah Tuak, karena ia mampu menyembuhkan penyakit dan luka melalui tuaknya. Apakah pemuda ini juga mempunyai kesaktian yang setara dengan tuaknya Pendekar Mabuk itu?"
Perempuan itu bergegas bangkit ketika Suto Sinting memungut pedangnya. Pedang itu tergeletak dalam jarak empat langkah dari tempatnya terkapar tadi. Pedang itu diambil Suto dan diserahkan kepada pemiliknya.
"Siapa orang yang menyerangmu, Nona?"
Dalam keadaan sudah berdiri, perempuan itu menarik napas panjang-panjang. Merasakan kelegaan yang enak sekali, sepertinya ia tak pernah mengalami luka apa pun. Matanya memandang Suto sebentar. Tapi segera ingat sesuatu sehingga pandangan matanya beralih ke arah lain. Kemudian ia tampak sedikit tegang.
Ia berlari ke arah keranda yang berantakan. Wajahnya semakin kelihatan kecewa dan memendam marah. Sinar rembulan menampakkan perubahan wajah itu begitu jelas. Mata indah itu segera memandang ke sana-sini, ternyata keadaan telah sepi.
Suto pun tidak melihat orang yang tadi siang menggigil ketakutan itu. Bahkan orang yang pingsan karena kejatuhan keranda juga sudah tidak ada. Satu pun manusia tak ada di sana kecuali Suto dan perempuan itu.
Bukan hanya para pelayat yang hilang, tapi mayat tanpa kepala itu juga hilang Dan hilangnya mayat itulah yang membuat perempuan cantik itu menggeram penuh kejengkelan. Ketika Suto mendekat, ia mendengar suara perempuan cantik itu menggeram penuh dendam.
"Pasti dia yang mencuri jenazah itu!"
"Maksudmu dia siapa?" tanya Suto sambil memandang ke arah sekeliling, seakan ia bertanya dengan acuh tak acuh.
"Siapa lagi kalau bukan si keparat itu!"
"Iya. Maksudku, siapa nama si keparat itu?" desak Suto kali ini sambil memandang.
"Anak Petir."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi sambil menggumam heran, "Anak Petir...?! Aneh sekali namanya?"
"Kau baru sekarang mendengar nama itu?"
Suto Sinting mengangguk menandakan kejujurannya. Tapi perempuan itu justru tersenyum sinis melecehkan Suto.
"Berarti kau bukan tokoh penting dalam dunia persilatan. Kau boleh saja punya perawakan menyerupai mendiang Pendekar Mabuk, tapi pengetahuanmu sangat cetek. Tertinggal jauh dengan Pendekar Mabuk. Pantas kalau kau tidak mengenal nama Anak Petir."
Perempuan itu bergegas meninggalkan Suto. Maka buru-buru Suto mencegahnya dengan mengejar langkah si perempuan.
"Hel, tunggu...! Apakah kau tak ingin menyebutkan namamu?"
Perempuan itu hentikan langkah, menatap Suto dalam linangan cahaya rembulan, ia menatap agak lama, sepertinya sedang mempertimbangkan jawabannya. Rupanya ia ragu-ragu untuk memperkenalkan diri. Tapi setelah teringat bahwa pemuda yang dihadapinya itu telah menyelamatkan nyawanya dan mengobati lukanya, akhirnya ia putuskan untuk memperkenalkan diri.
"Namaku... Bulan Sekuntum!"
Ia masih memandang ketika Suto manggut-manggut. Senyum Pendekar Mabuk yang membias tipis itu dibiarkan saja, tanpa tanggapan apa pun, tanpa balasan senyum yang serupa. Lalu ia menyarungkan pedangnya yang dari tadi digenggam. Srekk...! Klak...! Mantap sekali caranya memasukkan pedang. Melambangkan sebagai perempuan pemberani.
"Apa lagi yang ingin kau tanyakan?" ujarnya dengan nada angkuh.
"Apakah orang yang melukaimu sampai babak belur itu adalah Anak Petir juga?"
"Ya. Sejak kau pingsan aku bertarung dengannya, karena dia ingin mencuri mayat Pendekar Mabuk. Aku bertarung sampai sore, selewat dari sore aku tak tahu lagi."
"Boleh aku tahu apa urusanmu dengan si Anak Petir itu? Agaknya dia ingin membunuhmu secara pelan-pelan."
"Yang jelas dia musuh kami," jawab Bulan Sekuntum sambil melangkah meninggalkan tempat itu. Mau tak mau Suto Sinting mengikutinya.
"Kau mau ke mana, Bulan?"
"Menemui Ki Sabawana!" langkahnya terhenti dan berpaling memandang Suto. "Pasti kau tidak tahu juga, siapa Ki Sabawana itu?"
Suto Sinting tersenyum meremehkan, sebab itu nama asli gurunya.
"Aku lebih banyak tahu tentang Ki Sabawana daripada kau, Bulan Sekuntum!"
"Hem...!" Bulan Sekuntum mencibir dan melangkah lagi. Suto mengiringinya dari samping kanan.
"Kalau kau tahu, coba sebutkan siapa orang yang bernama Ki Sabawana itu?"
"Dia adalah tokoh sakti yang namanya tertera di urutan paling atas dari nama tokoh-tokoh sakti aliran putih. Nama Ki Sabawana dikenali orang sebagai tokoh yang paling ditakuti yang berjuluk si Gila Tuak. Nama tokoh sakti kedua adalah Bidadari Jalang yang bernama asli Nawang Tresni. Dulu perempuan cantik itu adalah tokoh sesat. Tapi sekarang ia sudah bertobat dan menjadi tokoh aliran putih. Mereka mempunyai guru suami-istri. Gila Tuak adalah murid Eyang Purbapati dan Bidadari Jalang adalah murid istrinya Purbapati yang bernama Eyang Nini Galih. Keduanya mempunyai murid tunggal bernama Suto Sinting yang akhirnya bergelar Pendekar Mabuk."
Bulan Sekuntum hentikan langkahnya, ia memandangi Suto lagi. Kali ini pandangan matanya tidak berkesan meremehkan, melainkan berkesan memuji, ia memanggut-manggut sesast sambil berkata pelan.

"Boleh juga pengetahuanmu. Sama persis dengan apa yang diceritakan ratu gustiku."
"Siapa ratu gustimu itu?"
"Gusti Dewi Giok."
Suto termenung sebentar dengan dahi berkerut tipis.
"Pasti kau tidak mengenalnya, bukan?"
"Ya, aku tidak mengenalnya. Bahkan baru sekarang aku mendengar namanya," jawab Suto jujur sambil mengikuti langkah Bulan Sekuntum lagi.
"Kalau begitu kau hanya secara kebetulan saja mendengar cerita tentang pribadi si Gila Tuak dan Bidadari Jalang," kata Bulan Sekuntum. "Kalau kau tahu banyak tentang mereka, tentunya kau mengenal nama gusti ratuku itu. Sebab Gusti Dewi Giok adalah adik sepupu Bidadari Jalang. Usianya sudah banyak tapi masih awet muda dan...."
"Kalau begitu," potong Suto. "Dewi Giok adalah saudara dari Ratu Ringgit Kencana yang bernama Asmaradani?!"
Bulan Sekuntum kaget lagi. Langkahnya pun mau tak mau terhenti. Kali ini dahinya tampak berkerut saat menatap Suto tanpa berkedip.
 "Itu nama yang jarang bisa dikenal orang," kata Bulan Sekuntum. "Bagaimana kau bisa mengenal nama kakak gusti ratuku?"
Kini Suto Sinting tersenyum tipis berkesan sombong, ia sengaja tersenyum begitu untuk membalas senyuman sombong Bulan Sekuntum yang sejak tadi dipamerkan untuk meremehkan Suto. Bahkan kini Suto yang melangkah lebih dulu, hingga Bulan Sekuntum mengikutinya.
"Asmaradani adalah Ratu Negeri Ringgit Kencana, Negeri itu ada di dasar laut. Untuk masuk ke pulau itu harus melalui Pulau Bayang. Asmaradani juga memiliki kesaktian tinggi, ia mempunyai ilmu yang jarang dimiliki orang, yaitu ilmu 'Rambah Batin'. Dengan ilmu itu ia bisa hadir dalam mimpi seseorang. Selain itu ia juga mempunyai ilmu langka yang bernama 'Latar Bayang', bisa membuat suasana pemandangan di dasar laut seperti di atas bumi, tapi tak punya matahari dan rembulan."
Seketika itu juga lengan Suto dicekal oleh Bulan Sekuntum agar langkahnya terhenti. Perempuan cantik yang sudah menata rambutnya kembali itu memandang semakin heran dan menggumam lirih.
"Bagaimana kau bisa tahu hal itu?!"
"Karena aku pernah datang berkunjung ke Negeri Ringgit Kencana," jawab Suto dengan bangga. "Aku pernah menyelamatkan Asmaradani, juga pernah menyelamatkan Pendeta Agung Dewi Rembulan yang waktu itu terkena kutuk 'Birahi Salju', dan...."
"Tunggu dulu!" sergah Bulan Sekuntum. "Pendeta Agung Dewi Rembulan itu bibiku. Jangan sembarangan bicara kau!"
Suto tersenyum kalem. "Aku tidak bicara sembarangan, Nona cantik. Aku memang pernah menyelamatkan beliau dari kutukan itu. Aku memang kenal beliau, juga kenal Rindu Malam, Kelana Cinta, dan... aku juga kenal dengan bekas panglima Negeri Ringgit Kencana yang berjuluk Pelangi Sutera. Nama aslinya adalah Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang punya anak jin bernama Logo." (Baca serial Pendekar Mabuk episode; "Seruling Malaikat").
Wajah cantik berbibir menggemaskan itu semakin tampak tegang, ia menarik napas dan menghembuskan panjang-panjang untuk menutupi ketegangannya, ia berjalan bertolak pinggang tiga langkah lalu kembali mendekati Suto dan berhenti dalam jarak satu langkah di depan Pendekar Mabuk.
"Begitu banyak kau tahu tentang negeri dari kakak gusti ratuku itu. Siapa kau sebenarnya?"
"Akulah Pendekar Mabuk; Suto Sinting!"
"Mustahil!"
"Mustajab!" sahut Suto dengan jengkel karena masih tidak dipercaya.
"Pendekar Mabuk sudah tewas dalam keadaan kepalanya terpenggal. Kau lihat sendiri tadi siang jenazahnya terlempar dari keranda hitam!"
"Itu bukan jenazahnya Pendekar Mabuk, karena
Pendekar Mabuk adalah aku ini! Masih hidup. Siapa bilang sudah mati?!"
Bulan Sekuntum makin bingung. Langkahnya tetap terayun sampai tiba di sebuah desa. Mereka masuk ke dalam sebuah kedai yang masih buka. Ternyata ke kedai itu juga menyediakan kamar untuk penginapan dengan biaya murah. Mereka memesan dua kamar untuk bermalam.
"Kenapa tidak satu kamar saja?" kata Suto Sinting.
"Kalau hanya satu kamar, lantas kau mau tidur di mana?"
"Ya di kamar itu juga," jawabnya sambil nyengir nakal, sekadar untuk bercanda.
Tapi tangan perempuan itu melayang cepat menampar pipi Suto. Plakk...!
"Kau pikir aku wanita murahan yang bisa kau ajak tidur bersama?!"
"Lho, siapa yang mengajak tidur bersama?" Suto mengusap pipinya dengan wajah sedih.
"Kenapa kau punya maksud mau tidur sekamar denganku?!"
"Aku tidak mengajakmu tidur. Aku mengajakmu melek bersama! Apakah kalau sudah di dalam kamar lantas kita harus tidur berdua? Belum tentu!"
Untung saat itu kedai sudah sepi pembeli, sehingga yang melihat Suto ditampar hanya si pemilik kedai. Orang tua itu pun tidak mau ikut campur dan segera menyingkir ke dapur.
Akhirnya Bulan Sekuntum menyetujui untuk memesan satu kamar. Tapi Suto Sinting digelarkan tikar dan disuruh tidur di lantai, sedangkan si cantik itu tidur di dipan beralaskan jerami lembut.
Sekalipun aturan sudah ditetapkan demikian, toh nyatanya Bulan Sekuntum tidak mau berbaring di atas dipan, ia hanya duduk di tepian dipan karena Suto Sinting masih duduk di tikar bersandar dinding. Mereka masih membicarakan tentang mayat yang dianggap Bulan Sekuntum adalah mayat Pendekar Mabuk.
"Banyak orang di negeriku yang sudah pernah melihat Pendekar Mabuk. Ada juga yang belum pernah melihat langsung, termasuk aku," kata Bulan Sekuntum. "Dan menurut mereka yang pernah melihat sosok Pendekar Mabuk, mayat yang ditemukan di perbatasan negeriku; Negeri Tanjung Samudera, adalah mayat Pendekar Mabuk tanpa kepala. Ciri-ciri pakaiannya dan badannya tidak disangsikan lagi. Terlebih setelah mereka menemukan bumbung tuak yang kesohor sebagai wadah tuak saktinya itu. Gusti Ratu segera mengutusku mengantarkan jenazah Pendekar Mabuk ke Jurang Lindu                                                         untuk diserahkan kepada si Gila Tuak."
Suto Sinting termenung sejenak. Batinnya mengakui kesamaan sosok tubuh mayat yang sempat dilihatnya itu. Menurutnya memang pantas jika orang menduga mayat tanpa kepala itu adalah dirinya. Tetapi jika seandainya mayat itu berkepala, tentunya orang yang pernah mengenalnya tidak akan mengatakan bahwa mayat itu adalah mayat Pendekar Mabuk. Jadi agaknya ada korban pertarungan yang mati terpenggal dan korban itu mempunyai ciri-ciri serupa dengan Pendekar Mabuk. Entah tidak sengaja atau memang sengaja berpakaian serupa dengan Pendekar Mabuk, yang jelas orang itu adalah orang yang bernasib malang.
"Siapa yang memenggal mayat itu?" tanya Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.
Perempuan yang punya tubuh sekal dan dada padat tak begitu montok itu angkat bahu sambil menjawab,
"Tak ada yang tahu. Pengawas perbatasan negeri kami yang menemukan mayat tersebut."
"Lalu, apa hubungannya dengan Anak Petir?"
"Itu pun aku tak tahu."
"Kenapa kau menyangka mayat yang terlempar dari keranda itu dicuri oleh Anak Petir?"
"Sebab sebelum aku bertarung melawannya, Anak Petir menyuruhku meninggalkan mayat itu. Pasti dia punya maksud tertentu dengan mayat tersebut."
Suto Sinting manggut-manggut dan menggumam lirih, kemudian diam karena termenung memikirkan hal itu. Bulan Sekuntum memperhatikan Suto sejak tadi. Dalam hatinya timbul percakapan batin yang tak didengar oleh siapa pun.
"Apa benar pemuda ini yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk? Sekalipun ia mampu menceritakan tentang si Gila Tuak, Bidadari Jalang, dan Gusti Ratu Asmaradani bersama seluruh pejabat istananya, namun aku masih ragu. Jangan-jangan ia hanya mengaku-aku sebagai Pendekar Mabuk untuk maksud-maksud tertentu? Aku harus tetap waspada terhadapnya."
Melihat Suto menenggak tuak, hati Bulan Sekuntum    pun berkata, "Gayanya memang seperti Pendekar Mabuk, yang menurut mereka, sebentar-sebentar minum tuak dari bumbungnya. Tapi belum tentu kesaktiannya sama dengan Pendekar Mabuk. Jika benar dia adalah murid si Gila Tuak, pasti dia bisa membuat pedangku hilang. Sebab menurut cerita Gusti Ratu, hanya murid si Gila Tuak yang bisa melenyapkan benda dengan menggunakan jurus 'Sembur Siluman' memakai tuaknya.Kurasa ada baiknya dia kuuji dengan cara begitu."
Suto Sinting hanya tersenyum ketika Bulan Sekuntum menantangnya menggunakan jurus 'Sembur Siluman'.
"Kau ini memang keras kepala. Sudah kubuktikan dengan berbagai ceritaku tapi masih sangsi dengan kebenaranku," kata Suto bersikap malas-malasan.
"Demi membuktikan kebenaranmu, kau harus sanggup melakukan hal itu. Jika kau beralasan macam-macam, aku terpaksa menyerangmu karena kau telah menipuku! Aku paling benci dengan lelaki yang suka menipu. Karena lelaki begitu akan menjadi pengkhianat bagi kaum wanita, terutama bagi istrinya sendiri."
"Hei, apa hubungannya dengan istri? Yang kita bicarakan ini soal mayat, bukan soal istri!"
Bulan Sekuntum meletakkan pedangnya di atas tikar, ia bagaikan tidak peduli dengan sikap malasnya Suto Sinting.
"Gunakan jurus 'Sembur Siluman'-mu itu, atau aku akan menyerangmu dengan anggapan kau bukan murid si Gila Tuak?!"
Ancaman itu sulit ditolak oleh Suto. Akhirnya dengan cengar-cengir yang membuat Bulan Sekuntum tak yakin, Suto Sinting menuruti keinginan perempuan itu. Ia menenggak tuaknya, kemudian tuak disemburkan dari mulutnya ke arah pedang tersebut.
Brrusss...!
Slabb...! Pedang itu lenyap tak tersisa walau hanya ujungnya saja. Lenyapnya pedang karena semburan Suto membuat Bulan Sekuntum terbelalak kaget. Kemudian mata bundarnya yang terbelalak itu menatap ke arah Suto.
"Rupanya kau seorang tukang sihir?!"
Oh, jengkel sekali hati Suto. Sudah dibuktikan sedemikian rupa masih saja perempuan itu tidak mau mengakui Suto sebagai murid si Gila Tuak. Rasa-rasanya ingin sekali Suto menabok kepala perempuan itu biar sadar akan apa yang terjadi dengannya.
"Coba sekarang munculkan kembali pedangku tadi!" perintahnya dengan wajah penuh keraguan.
"Aku tak bisa!" kata Suto.
'Apaa ..?!" Bulan Sekuntum kaget. "Kau tak bisa membuat pedangku muncul kembali?! Tak mungkin! Jelas tak mungkin. Sebab menurut cerita ratu gustiku, murid Gila Tuak selalu bisa melenyapkan benda dengan semburan tuaknya, juga bisa memunculkan benda itu kembali dengan jurus 'Jelma Siluman'. Kenapa kau tak bisa?!"
"Bukankah menurutmu aku tukang sihir, bukan Pendekar Mabuk?! Kalau aku bukan Pendekar Mabuk, tentunya aku tak bisa membuat pedangmu muncul kembali."
"Jangan bercanda kau!" hardik Bulan Sekuntum.
"Lalu bagaimana dengan pedangku? Itu pedang warisan orangtuaku! Apakah harus hilang selamanya?"
"Yah, itulah nasibmu. Salah sendiri mengapa menyuruhku menghilangkan pedang itu?" kata Suto membuat Bulan Sekuntum menggeram jengkel, kedua tangannya mulai menggenggam kuat-kuat.
Tiba-tiba pintu kamar digedor seseorang dengan kasar. Suara gedoran pintu itu mengagetkan Suto Sinting dan Bulan Sekuntum.
"Siapa yang menggedor pintu itu?!" bentak Bulan Sekuntum.
"Aku...! Utusan dari Ki Lurah Tunggoro!" seru suara di luar kamar.
"Apa maksudmu menggedor kamarku?!"
"Cepat buka pintunya, atau kujebol dengan paksa?!" ancam orang bersuara besar itu.
Suto Sinting berdiri, melangkah mendekati pintu bermaksud membukanya. Tetapi pundaknya segera dicekal kuat oleh Bulan Sekuntum.
"Jangan buka pintunya!"
"Dia akan bikin gaduh tempat ini. Kalau pintu rusak kasihan pemilik kedai ini!"
"Biarkan dia bertindak. Aku ingin tahu, seberapa kehebatannya. Apakah ia mampu menjebol pintu jika kulapisi dengan jurus 'Perisai Matahari'-ku ini!"
Tiba-tiba Bulan Sekuntum menyentakkan kedua tangannya ke depan. Ujung-ujung jari tangan lurus ke arah depan dan memancarkan sebaris sinar putih menyilaukan. Sinar putih itu menghantam pintu tanpa suara dan segera menyebar memenuhi dinding dan pintu.
Kini dinding tempat pintu itu berada menjadi bercahaya pendar-pendar warna putih.
"Buka pintunya!" teriak orang bersuara besar itu.
Bluk, bluk, bluk...! Pintu itu bagaikan tak bergeming ketika ditendang-tendang oleh orang tersebut. Suara gaduh akibat tendangan atau gebrakan bagai teredam masuk ke dalam bias sinar putih tersebut.
"Buka pintunya! Atau kuhancurkan kamar ini sekarang juga!!" teriak orang tersebut. Tapi suaranya seperti ada di kejauhan.
*
* *

3
UTUSAN Ki Lurah Tunggoro bernama Gaung Cablak. Mulutnya besar, suaranya juga besar. Berbadan tinggi besar berotot, kepalanya juga besar, gundul tanpa sehelai rambut pun. Tapi kepala itu diikat pakai pita merah berbintik-bintik hitam. Pakaiannya serba merah, mengenakan gelang bahar besar warna hitam. Ia menyandang goiok lebar yang diselipkan di pinggang kirinya.
Ia didampingi seorang anak buah yang bertubuh kurus kerempeng agak pendek, tapi tengil sekali. Usianya lebih muda dari Gaung Cablak yang berumur empat puluh tahun itu. Orang kerempeng itu berpakaian serba hitam, rambutnya lurus, tipis, panjang, diikat dengan kain warna coklat muda. Ia seorang pengawas buruh perkebunan milik Ki Lurah Tunggoro yang kerjanya berkeliling terus, sehingga dikenal dengan Mandor Gangsing.
Pintu kamar yang tidak bisa dijebol Gaung Cablak membuat mereka penasaran, lalu menunggu di luar kedai. Sedangkan Suto Sinting dan Bulan Sekuntum malam itu akhirnya tertidur dengan sendirinya dalam keadaan berbeda tempat. Pendekar Mabuk sendiri capek memikirkan masalah mayat tanpa kepala itu, hingga tak terasa lelap di atas lantai bertikar.
Ketika mereka keluar dari kedai, hari sudah agak siang. Bulan Sekuntum lupa bahwa pedangnya belum dikembalikan oleh Suto. Maka ketika ia tahu di luar sedang ditunggu oleh utusan Ki Lurah Tunggoro, ia segera mendekati Pendekar Mabuk dan mendesak agar pedangnya dikembalikan.
"Aku hanya seorang tukang sihir. Bisa menghilangkan benda tapi tak bisa memunculkan kembali," sindir Suto Sinting.
"Keparat kau! Kalau kesabaranku hilang kau kuhajar lebih dulu sebelum mereka berdua!" geram Bulan Sekuntum. Suto Sinting hanya tersenyum tenang. "Siapa mereka sebenarnya?"
"Utusan Lurah Turonggo. Aku kenal mereka; yang besar bernama Gaung Cablak, yang kurus bernama Mandor Gangsing."
"Mengapa orang yang bernama Lurah Tunggoro mengirim utusan kemari? Siapa yang mereka cari?"
"Sudah pasti aku! Karena Lurah Tunggoro adalah satu dari sekian lelaki yang tergila-gila padaku. Lamarannya kutolak, maskawinnya kubuang di depan hidungnya. Pasti dia sakit hati padaku dan mengirim kedua orang itu untuk menyeretku menghadapnya!"
"Kalau begitu ini persoalanmu. Aku tidak akan ikut campur."
"Aku tidak butuh campurtanganmu!" ujarnya dengan ketus, kemudian segera menemui Gaung Cablak. Sementara itu, Suto Sinting tertawa pelan sambil memperhatikan dari emperan kedai.
"Mengapa hanya kau yang maju, Bulan Sekuntum! Mengapa pemuda itu tidak ikut maju? Apakah dia takut padaku?!" sambil Gaung Cablak menuding Suto terang-terangan.
"Ini bukan urusannya!" kata Bulan Sekuntum. "Kalian datang untuk berurusan denganku bukan dengan dia!"
"Tapi perintah Ki Lurah Tunggoro kami harus menyeret pemuda itu, karena telah berani bermalam satu kamar denganmu, Bulan Sekuntum!" kata Mandor Gangsing.
"Siapa yang memberi tahu aku ada di sini?"
"Mata-mata kami!" jawab Gaung Cablak. "Tetapi pesan dari Ki Lurah Tunggoro, jika kau bersedia menghadap beliau sekarang juga, maka pemuda itu kami bebaskan dari ancaman kecemburuan!"
"Apakah kau sudah mampu melangkahi mayatku sehingga ingin membawaku menghadap lurah sinting itu?!"

Ucapan Bulan Sekuntum membuat kedua utusan itu saling menggeram. Merasa atasannya dihina, Gaung Cablak yang bertampang sangar itu segera memerintahkan Mandor Gangsing untuk menyerang Bulan Sekuntum.
"Mandor Gangsing, lumpuhkan si mulut angkuh itu!"
"Itu soal kecil," kata Mandor Gangsing sambil mencibir meremehkan. "Kau saja yang maju dulu, kalau kau tak sanggup baru aku yang merampungkan!"
"Kau di bawah perintahku, Goblok!" bentak Gaung Cablak.
Plakk...! Kepala Mandor Gangsing dikeplak. Si kurus kerempeng itu hanya bisa nyengir sambil mengusap-usap kepalanya.
"Serang perempuan angkuh itu!"
"Hiaaaaat...!" Mandor Gangsing berteriak cempreng.
"Hiaaaat..! Hiiiaah...!"
Ia melioncat ke sana-sini tanpa ada gerakan maju menyerang. Hanya suaranya yang makin lama makin  melengking tinggi mengundang perhatian orang dari kejauhan. Tangannya berkelit mencak sana-sini, tapi jaraknya makin jauh dari Bulan Sekuntum.
Gaung Cablak merasa dongkol hatinya, ia hampiri Mandor Gangsing yang bagai sedang memamerkan jurus itu, lalu kakinya ditendang kuat-kuat oleh Gaung Cablak. Bukk...!
Wuuttt, brukk...!
Mandor Gangsing terpental sejauh tujuh jangkah, ia jatuh terjungkir tanpa ampun lagi. Wajahnya mencium tanah hingga bibirnya besot.
"Minggat saja kau!" hardik Gaung Cablak. Kemudian orang tinggi besar itu menghampiri Bulan Sekuntum.
"Kuperingatkan sekali lagi, Bulan Sekuntum... sebaiknya kau menghadap Ki Lurah Tunggoro sekarang juga, supaya pemuda itu tidak menjadi bahan bantalanku!"
"Aku akan menghadap lurahmu kalau sudah tanpa nyawa, jangan harapkan aku sudi menghadap lurahmu!"
"Kalau begitu, jangan salahkan aku jika tulangmu remuk sebagian! Heeaaah...!"
Gaung Cablak menyerang dengan satu lompatan tak seberapa tinggi. Kakinya menerjang wajah Bulan Sekuntum. Tapi kaki besar itu mampu ditangkis oleh Bulan Sekuntum dengan tangan kiri sambil bergeser ke samping berubah arah, lalu memutar dan menendangkan kakinya ke belakang.
Wuttt...! Plokk...!
Tendangan telak itu mengenai wajah Gaung Cablak. Tentu saja tendangan kaki itu bukan sekadar tendangan tanpa tenaga dalam. Begitu besar curahan tenaga dalam pada kaki, sehingga hidung Gaung Cablak pun menjadi berdarah, tulang hidungnya sempat retak.
"Bangsat...!!" geram Gaung Cablak. Ia segera mencabut golok besarnya. Wusss...!
"Kubedah perutmu, Setan!! Heeeaah...!"
Gaung Cablak menebaskan golok besarnya dengan gerakan cepat ke sekelilingnya bagaikan membabi buta. Suara gerakan golok besar menggaung di sekeliling tempat itu.
Wuung, wuung, wuung, wuung...!
Bulan Sekuntum hanya melompat mundur satu langkah. Kemudian tangan kirinya menyangga telapak tangan kanan yang berdiri tegak mengeras. Penyatuan tenaga dari kedua belah sisi disalurkan melalui ujung jari tengah tangan kanannya. Maka ketika Gaung Cablak menerjang maju, Bulan Sekuntum menyentakkan tangannya lurus ke depan. Dari ujung jari melesat sinar biru lurus menerjang kibasan golok besar yang sulit ditembus pukulan lawan itu.
Clappp...!
Prrangng...! Jrubb...!
"Aaaahg...!!" Gaung Cablak memekik keras dan panjang.
Sinar biru lurus itu mampu mematahkan golok besar menjadi empat bagian, juga mampu menembus mengenai dada Gaung Cablak. Akibatnya orang tinggi besar berkulit hitam itu terpental ke belakang sejauh delapan langkah.
Buhhgg...! Ia jatuh berdebam bagaikan pohon rubuh. Dari tiap lubang keluar asap putih. Sebagian kulit tubuhnya mengelupas hangus, terutama bagian dada sampai leher. Wajahnya sendiri menjadi melepuh dan tampak membendung cairan dari dalam tubuh.
"Wah, gawat! Gaung Cablak mati dalam dua jurus?! Apa lagi aku?!" pikir Mandor Gangsing.
Dengan ketakutan yang begitu besar, Mandor Gangsing segera melarikan diri secepat-cepatnya. Tanpa sadar ia berlari lewat di depan Suto Sinting, sehingga secara iseng Suto Sinting menggertaknya sambil menghentakkan kaki. "Heeaah...!!"
"Wuaaaw..! Ampuuunn..!" Mandor Gangsing menjerit kaget dan tambah ketakutan. Larinya salah sasaran hingga menerobos pagar rumah orang.
Brakk.. ! Ia tambah menjerit lagi antara takut dan sakit.
"Aaaaoow...!" Lalu buru-buru bangkit dan lari lagi bagai dikejar setan. Beberapa orang yang melihat dari kejauhan, termasuk Suto sendiri, menertawakan kejadian itu. Tapi bagi Mandor Gangsing lebih baik ditertawakan daripada dibuat seperti Gaung Cablak.
Orang bersuara besar itu tak berkutik, tubuhnya meringkuk di tanah pekarangan rumah orang. Dilihat dari gerakan jari kakinya, Suto Sinting tahu orang bertubuh besar itu belum menghembuskan nyawa.
"Dia masih hidup. Walaupun tinggal sisa nyawa sejengkai, tapi sepertinya aku masih bisa menolongnya!"
Ziapp...! Pendekar Mabuk berkelebat cepat, tahu-tahu sudah ada di samping Gaung Cablak. Ia memandangi korban serangan Bulan Sekuntum sambil geleng-geleng kepala. Hatinya sempat membatin,
"Luar biasa. Satu jurus saja membuat lawan seperti ini. Jika Bulan Sekuntum bisa babak belur melawan Anak Petir, berarti Anak Petir lebih ganas dan lebih berbahaya ilmunya ketimbang Bulan Sekuntum?! Setidaknya orang yang berjuluk Anak Petir itu bisa menghadapi jurus sinar birunya Bulan Sekuntum tadi."
Keadaan Gaung Cablak terlalu parah. Mulutnya ternganga-nganga mencari sisa napasnya. Suto Sinting menuangkan tuak dari bumbungnya hingga mengucur masuk ke mulut lebar itu. Beberapa saat kemudian, Gaung Cablak terbatuk-batuk. Luka bakar yang membuat kulitnya melepuh itu mulai mengempis.
Saat itu Bulan Sekuntum memandang dengan mata memancarkan rasa tak suka terhadap perbuatan Suto Sinting. Tapi ia tak berani menyerang atau melarang, karena ingat bahwa pedangnya belum dikembalikan, ia hanya menggeram jengkel, lalu masuk ke dalam kedai. Duduk di sana dengan napas terengah-engah dan wajah cemberut kesal.
Gaung Cablak mulai merasakan kesembuhannya, ia mengerang bagai membuang napas. Pelan-pelan matanya dibuka dan wajah tampan yang tadi ingin dilawannya itu terlihat jelas di hadapannya. Bahkan kini pemuda tampan itu menarik tangan Gaung Cablak, membantunya berdiri.
"Kaau... kau... yang menyelamatkan aku?!" Gaung Cablak bicara pelan dengan sikap salah tingkah.
"Pulanglah dan katakan kepada lurahmu agar tak perlu mengusik si macan betina itu!" kata Suto pelan juga, takut didengar Bulan Sekuntum.
"Tapi... tapi aku harus berhasil menyeretmu dan...."
"Dan kau kehilangan kesempatan untuk hidup yang kedua kalinya!" sahut Suto Sinting.
Gaung Cablak tak bisa bicara. Akhirnya ia melangkah pergi meninggalkan tempat itu dengan berbagai perasaan; malu, sedih, senang, takut, dan sebagainya.
Bulan Sekuntum hanya memandangi kepergian Gaung Cablak dengan mulut meruncing, ia berdiri di pintu kedai dengan bertolakpinggang dan tampak masih gusar. Namun di sisi lain hatinya menggumam penuh keheranan.
"Baru sekarang kulihat ada orang yang bisa menyelamatkan korban jurus 'Racun Baja'-ku. Yang sudah-sudah tak satu pun ada orang yang berhasil selamat jika sudah terkena jurus 'Racun Baja' tadi. Jurus itu hanya bisa dihindari atau ditangkis dengan senjata khusus. Tapi jika sudah telanjur mengenai kulit tubuh seseorang, maka orang itu tak akan mampu bertahan hidup lebih dari setengah hari."
Bulan Sekuntum geleng-geleng kepala tipis, takut terlihat Suto Sinting yang sedang melangkah mendekati kedai.
"Hanya dengan tuak saja dia bisa menyembuhkan Gaung Cablak dari 'Racun Baja'-ku?! Benar-benar tak masuk akal bagiku. Kalau begitu, dia memang si Tabib Darah Tuak alias Suto Sinting?! Jika dia memang si Pendekar Mabuk, lantas yang mati terpenggal itu siapa?"
Wajah ketus itu semakin berang ketika Suto Sinting sudah ada di depannya.
"Untuk apa kau menyelamatkannya?! Kau bersekongkol dengan Lurah Tunggoro?! Kau komplotannya?!"
Pendekar Mabuk hanya nyengir sambil angkat bahu. "Aku hanya memberi pelajaran padanya, supaya ia bercerita kepada Lurah Tunggoro dan selanjutnya Lurah Tunggoro tak akan berani menganggumu lagi!"
"Bagaimanapun juga ia tetap akan mengusikku jika masih bernyawa, ia pasti akan mengajukan keponakannya."
"Siapa keponakannya itu?!"
"Anak Petir!"
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Jadi ada hubungannya dengan Anak Petir?!"
"Kalau dia tak punya keponakan Anak Petir, mana mungkin dia berani melamarku dengan mengandalkan kesaktiannya yang masih jauh di bawahku itu?!"
"Kalau begitu, apakah menurutmu Ki Lurah Tunggoro juga ada kaitannya dengan hilangnya mayat tanpa kepala yang kau anggap diriku itu?!"
"Entah!" jawabnya masih bernada ketus. "Aku ingin kembali ke Tanjung Samudera untuk membicarakan hal ini kepada Gusti Ratu Dewi Giok. Kurasa beliau bisa memberikan jawaban tentang mayat tanpa kepala yang mirip denganmu itu!"
Suto Sinting tersenyum. Dengan mengatakan 'mayat yang mirip denganmu' Suto merasa sudah diakui sebagai Pendekar Mabuk yang sebenarnya.
"Akhirnya keras kepalanya menjadi lunak kepala," pikir Suto. "Ia tidak bersikeras mengatakan mayat itu adalah Pendekar Mabuk, ia sudah mengakui dirikulah  Pendekar Mabuk sebenarnya. Kurasa sudah waktunya pedang itu kumunculkan kembali. Biar dia semakin yakin bahwa aku adalah muridnya si Gila Tuak."
Pedang itu dimunculkan kembali dengan jurus 'Jelma Siluman'. Saat Suto Sinting menyerahkan pedang itulah kecemberutan Bulan Sekuntum menjadi pudar. Tapi tetap saja wanita cantik berdada sekal itu tak mau sunggingkan senyum yang manis.
"Aku mau pulang ke negeriku. Apakah kau ingin ikut menghadap gusti ratuku?" Ia berlagak bertanya, walau Suto tahu maksudnya adalah mengajak Suto untuk menemui sang penguasa Tanjung Samudera. Caranya mengajak sungguh unik dan lucu, sehingga Suto Sinting menertawakannya beberapa saat.
Setelah itu, Suto berkata dengan gayanya sendiri,
"Aku tidak ingin menghadap ratumu. Untuk apa? Tapi tak ada salahnya kalau aku mengantarmu pulang. Siapa tahu di tengah jalan kau butuh bantuanku lagi."
"Aku tidak butuh seorang pengawal, sebab aku sendiri pengawal Ratu! Kalau kau tak ingin bertemu dengan gusti ratuku, pergilah sana jangan ikut aku!"
"Baiklah. Kalau begitu kita berpisah dari sini. Aku akan ke barat dan kau ke mana?"
Setelah diam sesaat perempuan yang masih ketus itu menjawab pelan,
"Aku juga ke arah barat."
"Kalau begitu aku yang ke timur."
"Baiklah, kita ke timur bersama!"
Suto Sinting tertawa geli. Bulan Sekuntum memalingkan wajah. Agaknya ia menyembunyikan senyum dan tawa yang tak ingin dilihat Suto. Hal itu membuat Suto penasaran sehingga memutar tubuh Bulan Sekuntum hingga berhadapan.
"Aku ikut denganmu!" kata Suto.
"Terserah...!" ucapnya sambil melengos.
Perjalanan menuju Negeri Tanjung Samudera ditempuh dengan jalan kaki. Mulanya Suto Sinting mengajaknya adu kecepatan berlari, supaya mempersingkat waktu di perjalanan. Tetapi ternyata Bulan Sekuntum selalu tertinggal oleh gerakan Suto, sehingga wanita yang mengaku masih belum mempunyai kekasih itu tak mau diajak adu lari lagi.
"Nanti aku kehilangan kau, dan kau kehilangan aku. Akhirnya kau tak akan sampai ke negeriku!" kata Bulan Sekuntum yang sudah mulai ramah walau senyumnya masih setipis kulit bawang. Namun senyum itu sangat indah dan menambah kecantikan wajahnya. Suto suka memandangi senyuman setipis kulit bawang itu.
Perjalanan yang sudah memakan waktu setengah hari itu terpaksa harus berhenti. Bukan karena mereka ingin beristirahat, meiainkan karena tiga orang menghadang langkah mereka. Ketiga orang itu turun dari sebuah bukit, langsung melepaskan pukulan jarak jauh ke arah Suto dan Bulan Sekuntum.
Untung keduanya mampu menghindari dengan satu lompatan bersalto ke atas, sehingga pukulan jarak jauh itu menghantam batu dan batang pohon. Hantaman itu membuat alam sekitar mereka bagai mengalami gempa kecil-kecilan. Itu menandakan pukulan mereka bukan bertenaga ringan, namun cukup mempunyai kekuatan menghancurkan alam sekitarnya.
"Siapa tiga orang berwajah kembar itu?!" bisik Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.
"Mereka yang berjuluk Malaikat Tiga Wajah."
"Apa masalahnya sehingga menyerang kita?"
"Entahlah. Tapi menurut perkiraanku, mereka sangka aku telah menghidupkan mayat yang buntung kepalanya itu. Kaulah yang dianggap mayat yang buntung itu."
"Kurang ajar. Kasih tahu pada mereka, bahwa aku bukan mayat yang buntung kepalanya. Beri tahu pula bahwa Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak masih hidup. Jika ia macam-macam denganmu, aku yang akan hadapi mereka bertiga."
Tiga orang berwajah sama dengan potongan rambut sama pula itu semakin dekat. Dalam satu lompatan terakhir mereka sudah berada dalam jarak tujuh langkah di depan Suto dan Bulan Sekuntum. Mereka berdiri tegak, tegar, dan tampak siap melepaskan serangan sewaktu-waktu.
Mereka mempunyai segala sesuatu serba kembar tiga, termasuk jenis pedang yang mereka gunakan juga bentuk dan ukurannya sama persis satu dengan lainnya. Yang membedakan mereka adalah pakaiannya. Yang satu berpakaian merah, satu lagi kuning, dan yang
satunya lagi berpakaian biru. Tapi rambut mereka sepanjang punggung sama-sama lurus dan diikat memakai kain yang warnanya sesuai dengan pakaian mereka.
Tak sedikit pun wajah mereka ada kelainan. Dari hidung, mata, dagu, kumis yang tipis tapi panjang ke bawah, semuanya sama. Ukuran tinggi badan dan kurusnya badan juga sama persis. Wajah mereka pun sama-sama memancarkan kebengisan dalam usia yang sama-sama sekitar lima puluh tahun.
"Apa yang kalian kehendaki dariku?! Mengapa tahu-tahu menyerangku, hah?!" ketus Bulan Sekuntum, tak kelihatan rasa takut dan gentar sedikit pun. Padahal tiga wajah kembar itu memancarkan kebengisan, bagai orang-orang tak mengenal rasa kasihan sedikit pun terhadap lawannya.
"Kalau kau ingin tahu alasan kami menyerang kalian, jawablah dulu pertanyaanku; mengapa kau hidupkan kembali mayat Pendekar Mabuk itu?" kata Maiaikat Merah.
Malaikat Kuning menimpali kata, "Apakah kau bermaksud ingin memperkuat negerimu untuk menguasai wilayah kami dengan menggunakan kekuatan Pendekar Mabuk?"
"Kalian salah paham!" kata Bulan Sekuntum. "Yang ada bersamaku ini bukan mayat hidup kembali, tapi memang manusia utuh yang belum punya pengalaman menjadi mayat!"
"He, he, he...! Kau tak bisa menipu kami, Bulan Sekuntum!" Maiaikat Biru terkekeh dengan nada menghina. "Mata kami bertiga lebih awas daripada matamu yang hanya sepasang itu."
"Sebaiknya katakan saja, siapa yang telah menghidupkan mayat Pendekar Mabuk itu!" suara Maiaikat Kuning agak menyentak.
"Yang menghidupkan adalah Yang Maha Kuasa!" sahut Suto setelah meneguk arak satu kali.
"Bocah ingusan, sebaiknya kau tutup mulut saja dan jangan memancing kemarahan Malaikat Tiga Wajah! Kau akan menyesal selamanya jika memancing kemarahan kami!" ancam Maiaikat Merah.
"Terus terang saja, apa maksud kalian sebenarnya?!" hardik Bulan Sekuntum tak peduli dengan ancaman apa pun.
"Maksud kami adalah tidak setuju kalau Pendekar Mabuk dihidupkan kembali! Biarkan dia mati dalam keadaan terpancang kepalanya, seperti kala ditemukan oleh orang-orangmu, Bulan Sekuntum! Dan jangan paksakan dia melibatkan diri dengan urusan negerimu, karena kami akan menyerang negerimu sebelum kalian merebut wilayah kekuasaan kami di Bukit Rempoa!"
Melaikat Biru menyambung, "Benar! Untuk itu kalau kau tak mau mengembalikan dia dalam keadaan tanpa kepala seperti saat ditemukan oleh orang-orangmu, maka kami yang akan mengembalikan keadaannya sekarang juga!"
"Kalian bertiga belum ada apa-apanya jika bertarung melawannya," kata Bulan Sekuntum dengan senyum sinis.
"Laknat! Jangan meremehkan Maiaikat Tiga Wajah! Terimalah salam perkenalan kami ini. Heeeaah...!"
Tiga wajah kembar sama-sama melompat ke atas, tapi tangan mereka yang kanan sama-sama melepaskan pukulan sinar merah besar seperti sorot cahaya penerang jalan.
Wuuttt...!
Tiga sinar merah yang mengepung dari tiga arah itu sama-sama menghantam ke arah Pendekar Mabuk. Bukan ke arah Bulan Sekuntum. Tetapi, merasa berhutang budi dan menjadi sahabat, Bulan Sekuntum berkelebat menerjang tiga sinar merah itu dengan melepaskan sinar putih dari ujung-ujung jarinya.
Slabbb...!
Sinar putih dari jurus 'Perisai Matahari' itu menyebar membentuk lapisan penahan serangan lawan. Dan tiga sinar merah itu menghantam lapisan 'Perisai Matahari'.
Blegarrr...!!
Ledakannya sungguh mengguncang alam sekeliling. Tiga pohon langsung rubuh karena terkena daya hentak ledakan yang menimbulkan angin panas berkecepatan tinggi.
Hentakan itu bukan saja mengguncang alam sekeliling, namun juga membuat tubuh Bulan Sekuntum terpental ke belakang dan jatuh persis di samping Suto Sinting dalam keadaan terkapar.
"Uuhg...!" Bulan Sekuntum mengerang tertahan. Ketika hendak bangkit, darah kental menyembur dari mulutnya. Wuuurrss...!
"Bulan...?!" Suto Sinting terkejut, ia segera menolong Bulan Sekuntum sambil membatin,
"Gawat! Ia terkena getaran beracun dari ledakan sinar merah tadi?! Wah bisa mampus dalam beberapa saat anak ini! Aku harus menyelamatkan dia lebih dulu!"
Zlappp...! Suto Sinting tak mau banyak urusan dulu. Ia membawa lari perempuan cantik tersebut dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman'. Gerakan yang kecepatannya melebihi anak panah itu membuat Malaikat Tiga Wajah kebingungan mencari di mana lawan berada.
"Keparat busuk! Itu dia ke arah barat! Kejaaar...!"
Wuurrrsss...! Manusia kembar tiga itu segera mengejar Suto Sinting dengan menggunakan ilmu peringan tubuh hingga mampu bergerak cepat pula.
*
* *
Lanjut ke bagian 2