Pendekar Mabuk 40 - Asmara Berdarah Biru(2)

5
PEMILIK pukulan 'Inti Bara' itu adalah seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengenakan jubah tanpa lengan warna ungu. Pinjung penutup dadanya berwarna merah menyala, sangat ketat hingga tampak tersumbul belahan dadanya yang membengkak kencang berkulit kuning langsat itu.
Perempuan tersebut mempunyai senjata cakra, bentuknya seperti anak panah dengan ujung bergerigi. Senjata itu lebih menyerupai bentuk kilatan petir yang terbuat dari besi putih anti karat. Dengan rambut disanggul seluruhnya, jatuh ke tengkuk bagaikan ekor kuda gemulai ia tampil dalam kecantikan yang matang. Matanya bening dengan tepian mata berwarna hitam, mengesankan kejalangannya. Hidungnya mancung kecil, sesuai dengan bibirnya yang sedikit tebal namun berbentuk indah menggairahkan.
Perempuan bertahi lalat kecil di dagu kiri itu dikenal oleh Telaga Sunyi sebagai kakak seperguruannya yang berhati sirik. Perempuan itu berjuluk Dewi Gapit Mesra. Perempuan berkalung batuan hijau giok sama seperti Telaga Sunyi itu dikenal pula sebagai murid yang liar, bahkan ia dianggap sebagai murid murtad oleh sang Guru, sehingga tak diizinkan masuk ke wilayah perguruannya lagi.
"Apa maksudmu mencelakai pemuda ini dengan pukulan 'Inti Bara', Aryani?!" sentak Telaga Sunyi dengan menyebut nama asli Dewi Gapit Mesra.
"Seharusnya kau yang terkena pukulan itu. Sayang sekali di tampan bodoh berlagak menjadi pelindungmu, akhirnya ia sendiri kena batunya!"
Pendekar Mabuk saat itu dalam keadaan sadar, tapi tak bisa berbuat apa-apa karena merasakan sekujur tubuhnya bagaikan sedang dibeset-beset untuk dikuliti. Namun pikiran dan pendengarannya masih tertuju pada percakapan tersebut. Matanya sempat memandang samar-samar wajah cantik yang penuh gairah untuk bercinta itu.
"Rupanya kau masih ingin lanjutkan persoalan masa lalu kita, Dewi Gapit Mesra?!"
"Itu persoalan usang yang sudah kulupakan. Persoalan baru adalah lebih penting daripada persoalan lama."
"Persoalan baru apa maksudmu?"
"Kau telah membunuh Ranu Palwa. Padahal kau tahu bahwa Ranu Palwa adalah kekasihku!"
"Ranu Palwa ingin memperkosaku dan selalu mengejarku ke mana saja aku pergi. Mau tak mau aku membereskannya setelah ia berhasil menodai adikku yang membuat adikku akhirnya bunuh diri karena merasa malu telah ternoda!"
"Omong kosong! Ranu Palwa tidak akan serakus itu, karena ia telah mendapatkan kemesraan dariku lebih dari cukup!"
"Anggapanmu selama ini tentang Ranu Palwa adalah keliru! Dia bukan lelaki yang setia kepada kekasihnya. Dia adalah lelaki buaya, yang tak pernah puas mempermainkan cinta satu wanita saja."
"Persetan dengan alasanmu! Aku menuntut kematiannya, dan kau harus menebusnya dengan nyawa, Telaga Sunyi!"
"Kalau itu maumu, aku siap melayanimu, Dewi Gapit Mesra! Tapi perlu kau ketahui, bahwa kau dan Ranu Palwa sebenarnya sama-sama makhluk yang rakus cinta. Tak pernah ada puasnya walau selalu berganti-ganti pasangan!"
"Tutup mulutmu!" bentak Dewi Gapit Mesra. "Terima saja ajalmu sekarang juga! Hiaaat...!"
Dewi Gapit Mesra langsung cabut senjata cakranya dan ia melompat menerjang Telaga Sunyi. Wuuus...! Sedangkan Telaga Sunyi tak kalah sigap menghadapi serangan kakak seperguruannya. Kakinya menyentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara sambil mencabut pedangnya. Sreeet...!
Trang, trang, blaaar...!
Kedua senjata beradu di udara, yang akhirnya saling lepaskan sinar sama-sama berwarna merah. Kedua sinar dari senjata masing-masing itu saling membentur dan menimbulkan ledakan yang lumayan kuatnya. Kedua perempuan itu saling terpental mundur. Tapi Telaga Sunyi terpental lebih jauh hingga jatuh ke semak-semak. Gusraak...! Ia buru-buru bangkit karena mendengar seruan Dewi Gapit Mesra yang bergegas menyerangnya kembali.
"Hiaaat...!" Lompatannya kali ini menyerupai seekor singa betina yang buas dan sangat bernafsu terhadap mangsanya. Senjata cakra bergerigi itu dikibaskan ke arah dada Telaga Sunyi yang baru saja berdiri. Namun pedang Telaga Sunyi menangkisnya dengan cepat. Trang... duaaar...! Tubuh Telaga Sunyi terpelanting hingga memutar. Kesempatan itu dimanfaatkan untuk melayangkan tendangannya hingga kepala Dewi Gapit Mesra tersabet kaki Telaga Sunyi dengan keras. Plook...! Wuuut...! Tubuh Dewi Gapit Mesra terlempar ke samping. Jatuh dengan pundak membentur pohon cukup keras. Duurr...! Pohon pun bergetar sebagai tanda bahwa benturan itu mempunyai tenaga dalam cukup tinggi. Tab, tab, tab, tab...!
Telaga Sunyi berjungkir balik di tanah dengan lincah dan cepat, tahu-tahu tubuhnya melayang dan mendarat di tanah datar tak jauh dari samping Suto Sinting. Jaraknya dengan Dewi Gapit Mesra sekitar tujuh langkah.
Mata gadis itu melirik Suto Sinting, ia menjadi cemas melihat keadaan Suto semakin parah. Sebagian kulitnya sudah mulai tersayat dan ingin mengelupas. Telaga Sunyi segera berpikir,
"Aku harus segera menyelamatkan dia, membawanya ke tempat yang tidak terkena sinar matahari!"
Dewi Gapit Mesra mengibaskan kepalanya membuang kunang-kunang di mata akibat tendangan Telaga Sunyi tadi. Kini ia berdiri dengan kaki merentang dan senjata cakranya disentakkan ke depan. Craang...! Gerigi di ujung senjata itu berputar cepat memercikkan bunga api. Lalu dengan gerakan cepat senjata itu dikibaskan dari kanan ke kiri. Craaang...! Slaaap...!
Sinar merah keluar dari putaran gerigi tersebut. Sinar itu berbentuk biasan cahaya yang mengarah kepada lawan.
Telaga Sunyi tahu bahwa bias sinar merah itu tak boleh ditangkis karena tak ada kekuatan yang bisa untuk menangkis biasan sinar merah lebar itu. Maka Telaga Sunyi sentakkan kakinya lagi dan melambung di udara dengan cepat. Wuuut...! Dalam sekejap ia sudah berada di atas dahan sebuah pohon. Dari sana ia lepaskan pukulan bersinar biru yang melesat melalui telapak tangan kirinya. Claaap...!
Blaaar...! Sinar merahnya Aryani tadi menghantam sebongkah batu, dan batu itu langsung hancur tak tahu menyebar ke mana serpihannya. Sedangkan sinar birunya Telaga Sunyi segera ditangkis dengan gerakan lurus senjata cakra tersebut. Gerakan lurus itu menghasilkan sinar merah sama besar dan sama lurusnya dengan sinar biru. Lalu keduanya saling bertabrakan dalam jarak lebih dekat ke arah Dewi Gapit Mesra.
Blegaaar...!
Dahsyat sekali bunyi ledakan yang timbul dari bentrokan dua sinar tersebut. Dewi Gapit Mesra terjungkal ke belakang bagaikan terbang, dan jatuh dalam keadaan telungkup dengan keras, seakan terbanting dari sebuah ketinggian. Bruuus...!
"Aaahg...!" Dewi Gapit Mesra memekik. Sebatang tonggak kayu runcing berukuran satu jengkal, menancap di bagian tepi pinggang kanannya. Jruuus...!
Tonggak kayu kering itu memang tidak sampai merobek lambung, namun cukup parah melukai kulit pinggang. Dewi Gapit Mesra menyeringai sambil menyentakkan tubuh untuk bangit. Srrub...! Ia pun lolos dari tonggak kayu runcing itu.
Pada saat itu ia menjadi kebingungan melihat Telaga Sunyi sudah tak ada di tempat. Pemuda yang tadi dilihatnya terkapar terkena pukulan 'Inti Bara' itu juga hilang dari tempatnya. Padahal Dewi Gapit Mesra akan melepaskan pukulan berbahaya itu lagi untuk menumbangkan Telaga Sunyi. Sayangnya sang lawan sudah lebih dulu menghilang entah ke mana arah perginya.
"Setan licik! Ke mana kau, Telaga Sunyiii...!" teriaknya dengan murka. Tangannya masih menggenggam luka berdarah yang membasahi jubbah ungunya itu. Dengan kegeraman yang meluap, Dewi Gapit Mesra akhirnya melesat pergi mencari Telaga Sunyi yang diduga belum jauh dari tempat itu.
Telaga Sunyi sendiri merasa sedang dikejar oleh Dewi Gapit Mesra. Maka ia segera mencari tempat bersembunyi yang aman dari lawannya dan aman dari sinar matahari. Sebab tubuh yang dipanggul di pundak kirinya dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam itu membutuhkan tempat yang tak boleh kena sinar matahari. Dan satu-satunya tempat yang layak untuk menyelamatkan Suto Sinting dari ancaman maut pukulan 'Inti Bara' itu adalah sebuah gua. Maka dengan memanggul tubuh Suto Sinting dan menenteng bumbung tuak sang pendekar tampan, Telaga Sunyi menuju ke lereng perbukitan untuk mencari sebuah gua.
Sebuah gua ditemukan oleh Telaga Sunyi di lereng sebuah bukit. Gua itu bermulut kecil. Untuk masuk ke dalam gua itu dalam keadaan tidak membawa beban saja harus dengan merundukkan kepala agak rendah, apalagi sambil memanggul beban tubuh Pendekar Mabuk.
Mau tak mau Telaga Sunyi harus meletakkan tubuh Suto dulu ke tanah, lalu menariknya pelan-pelan agar masuk ke dalam gua. Sesampai di dalam gua, ternyata atap gua tidak serendah bagian mulutnya. Di situ Suto Sinting dibaringkan dalam keremangan cahaya.
Telaga Sunyi berusaha sembuhkan Suto Sinting dengan hawa murninya yang disalurkan berulang kali. Tetapi keadaan luka Suto belum juga membaik. Kesadaran Suto masih tersisa sedikit walau ia sudah tak mampu menggerakkan anggota badannya sekalipun untuk menggerakkan jari.
"Jurus pukulan keparat! Memang benar apa kata Guru, jurus pukulan 'Inti Bara' sulit dijinakkan, sulit disembuhkan, dan karenanya Guru berpesan agar aku pun tidak sembarangan dalam menggunakan jurus pukulan 'Inti Bara'. Tetapi si keparat Aryani itu mengumbar jurus ini seenaknya saja! Pantas kalau dia dinyatakan sebagai murid murtad yang tak pernah mau ikuti peraturan perguruan," ucap Telaga Sunyi sebagai ungkapan rasa kesalnya, ia tampak kebingungan menghadapi luka-luka Pendekar Mabuk. Duduknya di atas batu samping Suto yang tingginya hanya sebetis kurangiItu tampak loyo. Suaranya sering bercampur dengan desah penyesalan dan kesedihan.
"Sayang sekali Guru belum turunkan Ilmu 'Penyerap Luka' seperti yang sudah diajarkan kepada Dewi Gapit Mesra itu. Kalau saja Ilmu 'Penyerap Luka' sudah kumiliki, maka menghadapi keadaan Suto seperti ini bukan hal yang sulit lagi bagiku."
Ucapan lirih itu masih sempat didengar oleh Pendekar Mabuk secara samar-samar. Dengan susah payah Pendekar Mabuk akhirnya berusaha bicara kepada Telaga Sunyi.
"Tu... tuak...! Tuuak...!"
"Kau dalam keadaan terluka separah ini, jangan pikirkan tuak dulu!"
Suto Sinting mengeluh lirih dan tipis sekali. Telaga Sunyi tak tahu khasiat tuak dari dalam bumbung itu. Gadis itu malahan memarahi Suto yang dianggap lebih mementingkan tuak daripada lukanya. SebenarnyaPendekar Mabuk ingin jelaskan khasiat tuaknya itu, tapi ia tidak mempunyai tenaga untuk bicara panjang lebar, ia hanya mengucap kata terpatah-patah lagi,
"Tu... tuak...! Tooo... tolong, tuuak...!"
"Pikirkan dulu bagaimana cara menyembuhkan dirimu, setelah itu mau minum tuak sampai mabuk nungging terserah situ!" omel Telaga Sunyi, seperti seorang istri mengomel kepada suaminya. Suto makin jengkel. Kalau saja ia punya kekuatan untuk membentak, ia akan membentak. Karena dalam keadaan terluka seperti itu justru tuaklah yang dibutuhkannya.
Sekali lagi Suto mencoba bicara, "Toloong... tuuak...  tuakku!"
"Aaah, dasar bandel kau ini!" gerutu Telaga Sunyi, kemudian ia mengambil bumbung tuak itu dan menuangkan pelan-pelan ke mulut Suto yang ternganga kecil itu. Cuuurr...! Gleek, glek, glek...!
"Sudah. Cukup begitu saja. Jangan banyak-banyak!" kata Telaga Sunyi. Sekalipun masih belum puas, namun hati Suto sudah agak lega.
Telaga Sunyi memeriksa keadaan dalam gua yang agaknya mempunyai lorong gelap menjauh ke dalam. Gua itu mempunyai bebatuan jenis batu pualam. Warna hitam dan ada yang sebesar anak sapi. Lantai bagian dalam lembab. Demikian pula dindingnya. Tapi di dalam lorong yang gelap itu, yang arahnya membelok ke kiri dari tempatnya menaruh Suto Sinting, Telaga Sunyi seperti melihat titik putih di kejauhan sana. Titik putih itu mirip cahaya matahari yang ada di sebuah mulut gua.
"Barangkali gua ini punya jalan tembus menuju ke suatu tempat?" pikir Telaga Sunyi. Kemudian ia segera berbalik menemui Suto Sinting untuk memberitahukan adanya kemungkinan tersebut.
Tapi ketika ia mendekati Suto, ia sangat terkejut melihat kulit tubuh Suto yang tadi retak tersayat telah banyak yang merapat kembali. Wajah Suto sendiri tidak kelihatan sebiru tadi. Semakin penasaran lagi gadis itu setelah melihat bagian kulit lengan yang tadi sudah terkoyak hampir terkelupas, kini menempel lekat kembali. Bahkan ada bagian luka yang memar-memar  pulih seperti sediakala. Napas Suto Sinting tidak terlalu berat dihelanya. Suaranya mulai terdengar sedikit lebih keras dari yang tadi.
"Tolong... tuakku! Aku harus meminumnya agak banyak."
"Apakah... apakah tak akan tambah memperburuk keadaan kesehatanmu?"
"Tidak. Tuak itulah... obat yang akan kuberikan kepada ayahmu juga. Buktikan keampuhannya dengan meminumkannya padaku."
Sayang sekali Pendekar Mabuk belum punya tenaga untuk mengangkat bumbung tuak sendiri, ia masih berbaring tak peduli tempat itu agak lembab.
Telaga Sunyi menuangkan tuak pelan-pelan ke mulut Suto Sinting. Tangannya sedikit gemetar karena ingin membuktikan kata-kata Suto yang sempat menegangkan hati itu. Getaran tangan membuat tuak tertuang kadang di mulut, kadang di hidung. Telaga Sunyi tertawa tertahan melihat Suto gelagapan tersiram tuak wajahnya.
Cukup banyak tuak yang diminum oleh Suto Sinting. Telaga Sunyi duduk di batu yang tadi sambil memperhatikan perubahan pada luka-luka tersebut. Beberapa saat kemudian, ia melihat sendiri bukti kata-kata Suto Sinting tadi. Luka sayat dan bagian yang koyak mulai bergerak-gerak merapat secara ajaib. Semakin lama semakin jelas gerakannya. Warna biru legam pun kian menyusut dan sekarang tinggal menipis.
Telaga Sunyi tersenyum girang bercampur kagum.
"Luar biasa. Ternyata tuakmu itu benar-benar tuak sakti. Rupanya tuak itulah yang membuatmu dapat julukan dari beberapa orang sebagai Tabib Darah Tuak."
"Mungkin," jawab Suto pendek. Kini pendekar tampan itu sudah mulai bisa tersenyum. Telaga Sunyi benar-benar merasa lega melihat perubahan yang begitu pesat itu.
Ketika Suto Sinting merasakan tubuhnya mulai segar, ia pun berusaha bangkit. Tapi ia berlagak tak kuat mengangkat kepala. Telaga Sunyi buru-buru menopang kepala Suto Sinting dengan lengannya. Hal itu membuat tubuh Suto bagai terpeluk oleh si gadis beraroma wangi cendana itu. Jarak mata dengan dada si gadis cukup dekat, sehingga mata Suto sempat melirik nakal dan geli dalam hatinya.
"Terima kasih atas bantuanmu," kata Suto setelah berhasil didudukkan. Padahal dia bisa bangkit duduk sendiri. Bahkan kalau mau melonjak-lonjak pun sudah bisa. Tapi dasar murid sintingnya si Gila Tuak, keadaan seperti itu dimanfaatkan untuk memperoleh beberapa sentuhan dari Telaga Sunyi. Si gadis sendiri tidak menduga kalau kelemahan Suto yang kali ini adalah kepura-puraan. Bahkan dengan penuh kelembutan ia memeriksa bekas luka di kening Suto. Mengusapnya pelan-pelan sambil berkata,
"Masih sakit?"
"Hmmm... sedikit," jawab Suto tetap membiarkan keningnya diusap oleh jari-jari lentik itu. Telaga Sunyi memeriksa lebih teliti lagi dengan cara memandang lebih dekat karena cahaya kurang terang. Keadaan itu membuat Suto Sinting dapat memperhatikan kehalusan kulit wajah dan kecantikan yang alami lebih jelas lagi.
"Cepat sekali pulihnya?" ucap Telaga Sunyi lirih, saat berkata begitu wajahnya tepat di depan Suto Sinting.
"Berkat pertolonganmu, luka separah apa pun dapat sembuh dengan cepat."
"Aku tak banyak membantu dalam hal ini," kata Telaga Sunyi sambil matanya menatap Suto Sinting. Jari-jari tangannya masih merayapi pipi pemuda tampan itu, tapi bukan untuk memeriksa luka yang pulih kembali. Jari-jari itu bergerak pelan merayap ke bibir Suto, kemudian mulut Suto pun menangkap jari itu. Menggigitnya pelan, dan sang gadis gemetar sekujur tubuhnya.
"Jangan. Jangan, Suto...," ucapnya lirih sekali ketika jari itu tak mau dilepaskan oleh mulut Suto Sinting. Wajah cantik pun berubah menjadi bentangan kegelisahan yang menggundah di dada. Suto Sinting dapat rasakan getaran tangan si gadis saat bibir si gadis digigitnya sendiri.
Suto tahu apa yang timbul di hati gadis itu. Siksaan batin. Itulah yang dirasakan si gadis. Karenanya, Pendekar Mabuk tak mau menyiksa terlalu lama. Gigitannya segera dilepaskan pelan-pelan, Telaga Sunyi menariknya dengan perlahan sekali. Seakan setiap sentuhan jari yang bergerak keluar itu dirasakan betul desirannya.
Ada rasa malu dan girang di dalam dada Telaga Sunyi. Kedua rasa yang mendebarkan hati itu segera  dibuang dengan cara menjauhi Suto dan menuju mulut gua. Pada saat itu Suto Sinting pun segera merubah suasana mesra menjadi suasana lebih serius. Ia perdengarkan suaranya sambil bangkit berdiri.
"Siapa Dewi Gapit Mesra tadi, Telaga Sunyi?"
"Kakak seperguruanku," jawab Telaga Sunyi, kemudian baru bergerak mendekati Suto Sinting, ia melanjutkan penjelasannya di depan Suto dalam jarak satu langkah. Persoalan yang sebenarnya dibeberkan kepada Suto, sehingga sang pendekar tampan itu manggut-manggut memahami persoalan tersebut.
"Apakah dia ada hubungannya dengan Muria Wardani?" tanya Suto setelah ingat pertanyaannya soal Muria Wardani tadi belum terjawab tuntas. Padahal Suto yakin, Telaga Sunyi pasti bisa menjelaskan siapa Muria Wardani itu, karena tadi Telaga Sunyi menyatakan diri mengenal Muria Wardani.
Maka, gadis berdada indah itu pun menjawab ulang pertanyaan Pendekar Mabuk, "Aku memang kenal dengannya. Tapi... kurasa Dewi Gapit Mesra tak ada hubungannya dengan masalahmu itu."
"Maksudmu, Muria Wardani bukan Dewi Gapit Mesra?"
"O, bukan! Aku berani pastikan, dia bukan Muria Wardani. Gadis yang bernama Muria Wardani ada sendiri. Dia putri seorang adipati di Kadipaten Madusuri. Ayahnya bernama Adipati Jayengrana. Kalau tak salah dia putri tunggal dari sang Adipati Jayengrana."
"Apakah dia cantik?"
"Kalau cantik kau mau apa?" Telaga Sunyi ganti bertanya tanpa senyum. Justru Suto Sinting yang tersenyum geli.
"Aku hanya bertanya. Tak punya maksud apa-apa."
Barulah Telaga Sunyi tersenyum sambil menghembuskan napas panjang. Setelah itu ia berkata lagi dengan mengambil sikap duduk di batu setinggi pahanya itu. Ia biarkan mata si tampan Suto Sinting mengikutinya terus, sementara ia sendiri tak mau terlalu lama memandang mata yang penuh daya pesona itu.
"Menurut penilaian para lelaki, Muria Wardani itu cantik sekali. Makanya banyak lelaki yang ingin mempersunting dirinya."
"Cantik mana sama kamu?" potong Suto nakal.
Telaga Sunyi melirik ketus, kemudian bersikap biasa lagi dan melanjutkan kata-katanya tanpa menjawab pertanyaan Suto yang dianggap iseng itu.
"Salah satu pria yang tergila-gila dengan kecantikan Muria Wardani adalah Pangeran Kertapaksi. Menurut kabar yang kuterima, Muria Wardani sudah dilamar lebih dari sepuluh lelaki, tapi tak satu pun ada yang diterima, termasuk Karto Dupak. Tapi lelaki yang paling penasaran ingin memperistri Muria Wardani adalah Penguasa Teluk Neraka."
"Apakah dia tokoh sesat?"
"Benar! Tapi kesaktiannya luar biasa. Dia mampu masuk ke istana kadipaten tanpa melewati pintu gerbang."
"Lalu lewat mana? Lewat genteng?"
"Menembus dinding benteng istana."
"Aih, Gila! Yang begini yang seru. Teruskan, teruskan...!" Suto Sinting bersemangat sekali.
"Setahuku hanya itu. Tak ada yang bisa kuteruskan. Yang jelas, ancaman terberat bagi Muria Wardani adalah si Penguasa Teluk Neraka. Kabarnya ayah Muria Wardani pernah diancam akan dibuat sengsara seumur hidup apabila lamaran Penguasa Teluk Neraka ditolak. Sedangkan sang Ayah tak bisa berbuat banyak karena memang putri tunggalnya tak mau menikah dengan Penguasa Teluk Neraka. Kudengar juga, Penguasa Teluk Neraka mengancam siapa saja yang mendekati Muria Wardani akan dibunuhnya. Terbukti sudah ada dua pemuda yang mati di tangan Penguasa Teluk Neraka."
"Kenapa Kertapaksi dan Karto Dupak tidak mati di tangan Penguasa Teluk Neraka?"
"Mereka belum bertemu Penguasa Teluk Neraka.Coba kalau Kertapaksi bertemu dengan Penguasa Teluk Neraka, pasti dihajar habis oleh Penguasa Teluk Neraka itu."
"Lalu, apa hubungannya denganku? Mengapa Kertapaksi dan Karto Dupak menyangka aku adalah kekasihnya Muria Wardani?"
"Mungkin kau memang kekasihnya? Mana kutahu?!"
"Sumpah setan tujuh warna, aku bukan kekasihnya! Aku tidak kenal sama Muria Wardani."
"Betul?"
"Yaah... masa' kau belum percaya juga. Aku toh sudah bersumpah! Mau sumpah apa lagi? Sumpah biar mati disambar lalat? Boleh!"
Telaga Sunyi tertawa kecil. "Lelaki mana saja memang paling berani kalau disuruh bersumpah. Buat lelaki, sumpah adalah bunga bibir."
"Terserah apa katamu, yang jelas aku tidak kenal dengan Muria Wardani."
"Bagaimana kalau kutemukan dengan Muria Wardani? Berani?"
"Berani!" jawab Suto bersemangat.
"Berani tidak ikut-ikutan tertarik padanya?"
"Berani... maksudnya berani tidak tertarik untuk ikut-ikutan jadi perempuan, begitu kan?"
"Hmmm...!" Telaga Sunyi mencibir menahan geli.
"Pertemukan aku dengan Muria Wardani. Akan kutanyakan pula mengapa mereka menuduhku punya hubungan cinta dengannya? Ini merepotkan diriku!"
"Akan kupertemukan setelah kau sembuhkan sakit ayahku!"
"Baik! Kalau begitu...."
Tiba-tiba terdengar suara menggema yang mengagetkan. Blaaam...!
Gelap seketika datang. Mereka menjadi tegang. Telaga Sunyi berseru, "Pintu gua ada yang menutup dengan batu!"
Mereka mulai mendekati pintu gua. Dirabanya benda yang menghalangi pintu gua itu. Ternyata sebongkah batu besar memancarkan hawa panas yang makin lama makin menyengat. Tapi batu itu sendiri tidak mempunyai sinar apa-apa. Bau sesuatu yang hangus mulai tercium oleh mereka. Pasti hawa panas dari batu besar itu.
"Celaka! Ada orang yang usil dan ingin mengurung kita dalam gua ini, Telaga Sunyi!" ucap Pendekar Mabuk.
"Kurasa memang begitu. Tapi siapa orangnya?"
"Mungkin kakak seperguruanmu itu; Dewi Gapit Mesra."
"Tidak mungkin. Dia tidak punya ilmu yang bisa membuat batu sebesar itu memancarkan panas yang, aduuuh... makin menyengat kulit saja rasanya," Telaga Sunyi melangkah mundur.
"Akan kucoba untuk menghancurkan batu itu!" Pendekar Mabuk mulai meneguk tuaknya. Sebagian ditelan, sebagian disisakan di muiut untuk disemburkan.
*
* *

6
JURUS 'Sembur Siluman' tak bisa membuat batu itulenyap seperti benda-benda lain yang terkena semburan tuak Suto itu. Ini menandakan bahwa batu penutup pintu gua itu dilapisi tenaga gaib yang cukup tinggi. Bahkan ketika Suto ingin mencoba menggunakan jurus 'Sembur Siluman' untuk yang kedua kalinya, tahu-tahu ia terpental ke belakang dengan kuat hingga membentur sebongkah batu yang ada di belakangnya. Suto terbatuk-batuk karena tersedak tuak dalam mulutnya sendiri.
"Sutooo...?!" seru Telaga Sunyi dalam kegelapan itu.
"Suto kau di mana?"
"Di sini!" seru Suto dengan suara berat.
"Kau jatuh?"
"Ya. Sepertinya batu itu mengeluarkan tenaga dalam cukup besar. Aku terlempar keras sekali. Dadaku terasa panas!"
"Kita keluar lewat jalan lain saja, Suto! Aku seperti melihat titik terang di arah kiri kita. Tapi kita harus masuk lebih dalam sedikit. Suto, di mana kamu?"
"Aku di sini," jawab Suto segera menyentuh pundak Telaga Sunyi tanpa disengaja. Telaga Sunyi pun segera memegangi lengan Suto.
"Jangan jauh dariku, Suto. Aku takut!"
"Aku juga," jawab Suto seenaknya sambil menghempaskan napas, memperlega jalannya pernapasan. "Aku akan mencoba menghancurkan batu itu dengan jurus lain!"
"Tapi...," Telaga Sunyi ingin menyatakan kecemasannya, ingin melarang rencana itu, namun ia sangsi tak jadi melakukannya.
"Mundurlah ke arah belakangku, biar aku bisa mencarimu sewaktu-waktu. Agak jauh sedikit, ya?"
Hawa di dalam gua semakin panas, mengucurkan keringat. Tapi Pendekar Mabuk tak mau menyerah, ia mulai bersiap-siap pergunakan jurus penggempurnya yang dinamakan jurus 'Pecah Raga', yang biasanya membuat raga lawan pecah menjadi serpihan kecil.
Tapi sebelum tangan Suto bergerak, tiba-tiba hempasan tenaga kuat datang menerjangnya kembali.Wuuut...! Blaaam...!
Kali ini tubuh Suto memancarkan cahaya merah dalam sekejap. Tubuh itu tampak terbang terpelanting tak tentu arah. Telaga Sunyi sempat melihat sendiri saat sinar merah berkerliap dalam sekejap. Maka gadis itu pun kemblii serukan kecemasannya.
"Suto...?! Sutooo...?!" ia mulai melangkah meraba dalam gelap. Kakinya terantuk batu. Dug, brruk...! "Auh...!" Telaga Sunyi memekik kesakitan karena jatuh tersungkur, ia segera bangkit ketika mendengar suara erangan memberat dari mulut Suto Sinting, ia meraba semakin hati-hati menuju suara erangan itu.
"Suto, kau terluka...?!"
"Iiiya...! Dadaku... sakit sekali!"
"Bumbung tuakmu di mana?!"
"Jat... jatuh dii... dii...."
"Oh, ini kutemukan!" seru Telaga Sunyi dengan girang. Kemudian dengan hati-hati sekali ia mendekati Suto dan menyerahkan bumbung tuak itu. Pendekar Mabuk segera menenggaknya, dan lambat laun rasa sakit di dada mulai mereda.
"Kurang ajar! Batu apa itu sebenarnya?! Belum diserang sudah menyerang lebih dulu!"
"Sepertinya kekuatan itu datang dari tokoh sakti yang ada di sekitar gua ini. Mungkin dia ada di luar gua sana!"
Pendekar Mabuk diam berpikir. Beberapa saat kemudian ia berkata pelan, seperti bicara pada diri sendiri. "Baru niat mau menyerang saja dia sudah tahu. Gawat! Pasti ilmunya lebih tinggi dariku!"
"Kita lewat jalan lain saja. Jangan memaksakan diri menghancurkan batu itu, nanti malah kepalamu sendiri yang hancur. Kalau kepalamu hancur mau diganti pakai apa?"
"Pakai kepala ayam juga bisa!" jawab Suto Sinting membuat suasana agar tak terlalu dicekam ketegangan.
Tak ada cara lain kecuali mengikuti saran Telaga Sunyi. Titik putih yang tadi dilihat Telaga Sunyi saat Suto masih terkapar itu sekarang masih ada. Titik putih itu bagaikan ada di ujung lorong. Dan mereka pun bergerak menyusuri lorong tersebut dengan saling bergandengan, karena suasana gelap membuat mereka sulit saling berhubungan jika terjadi bahaya secara mendadak.
Tetapi anehnya titik putih itu semakin lama bukan semakin dekat, namun semakin terasa menjauh. Pendekar Mabuk segera hentikan langkah dan berkata kepada Telaga Sunyi,
"Kita terjebak. Itu bukan titik sinar mulut gua! Perhatikan saja, sejak tadi jaraknya masih tetap jauh dan bahkan lebih jauh dari yang pertama kita lihat, bukan?"
"Benar juga. Jadi, kita tersesat di mana ini, Suto?"
"Akan kucoba untuk melihat alam lain. Mungkin ada yang mengganggu kita, sehingga kita terkurung di sini tanpa jalan keluar."
Pendekar Mabuk segera mengusap keningnya dengan tangan kiri. Kening Suto mempunyai titik merah, suatu tanda gaib pemberian dari Ratu Kartika Wangi, Ibu dari Dyah Sariningrum yang menjadi ratu di alam gaib itu. Jika titik merah yang hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi itu diusap dengan tangan kiri, maka Suto dapat melihat kehidupan di alam gaib. Makhluk yang tak tampak menjadi tampak bagi matanya.
Dan ketika Suto mengusap titik merah itu dengan tangan kirinya, maka pandangan matanya segera melihat di dalam kegelapan yang bercahaya merah samar-samar. Seolah-olah lorong itu memancarkan cahaya merah sehingga dapat melihat bentuk batu dan keadaan sekeliling.
"Apa yang kau lihat, Suto?" tanya Telaga Sunyi setelah sebelumnya mendapat penjelasan tentang kekuatan titik merah di kening Suto.
"Aku tidak melihat apa-apa kecuali lorong bercahaya merah," jawab Suto Sinting sambil memandang ke sana-sini. "Tak ada bentuk aneh yang bisa kulihat. Mungkin karena memang tak ada apa-apa. Tapi... tapi kelihatannya di depan sana keadaan lorong ini menjadi melebar. Coba kita ke arah sana, Telaga Sunyi!"
Apa yang dikatakan Pendekar Mabuk memang benar. Lorong itu makin jauh makin melebar sampai membentuk suatu ruangan besar dengan tiga lorong di tiga arah. Dengan menggunakan kekuatan gaib dari pandangan matanya itu, Pendekar Mabuk masih bisa melihat seluruh ruangan besar itu sampai pada lekuk-lekuk bebatuan pada dindingnya.
"Di sini tidak ada apa-apa juga, Telaga Sunyi. Tapi aku melihat ada tiga pintu lorong, depan, kiri, dan kanan. Dan... oh, tunggu!"
"Ada apa?!" Telaga Sunyi ikut tegang, karena nada suara Suto pun terdengar menegang. Telaga Sunyi menggunakan firasatnya, ia merasa ada bahaya datang yang dilihat oleh Suto Sinting.
"Suto, ada apa?" bisiknya dengan tetap berpegangan baju Suto.
"Seseorang muncul dari lorong depan. Mundurlah."
"Mundur ke mana? Aku tak bisa melihat apa-apa, Suto!"
"Oh, dia mendekati kita, Telaga!"
"Jin atau raksasa?"
"Manusia biasa," jawab Suto Sinting, "Ikuti perintahku supaya kau tidak tersandung batu. Mundur dua langkah. Ya, terus... terus...." Suto jadi seperti tukang parkir memberi aba-aba Telaga Sunyi agar langkahnya tidak tersandung batu. Telaga Sunyi mengikuti saja apa kata Suto karena dalam keadaan seperti itu tak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti Suto.
"Ke kiri sedikit. Awas ada batu di kananmu. Geser, geser lagi, ya cukup! Mundur terus, terus, terus... ya, cukup. Di situ saja, ya? Aku akan temui orang yang baru muncul dari lorong depan itu."
"Bicaralah terus supaya aku tahu di mana kau berada. Jangan diam kalau kupanggil, Suto!"
Kata-kata itu tak ditanggapi oleh Pendekar Mabuk, karena murid si Gila Tuak itu semakin tertarik dengan orang yang ada dalam penglihatannya itu. Orang tersebut adalah perempuan berbusana pinjung ungu dengan kain bawah longgar berwarna ungu berbunga-bunga emas. Rambutnya terurai panjang mencapai bagian pantatnya yang menonjol sekal itu. Perempuan tersebut berhenti melangkah, matanya yang memancarkan keindahan itu memandangi Suto Sinting dengan sedikit sayu dan bersifat menantang. Semakin Suto mendekat, semakin jelas bibirnya menyunggingkan senyum nakal. Pendekar Mabuk melangkah terus hingga akhirnya berdiri dalam jarak tiga langkah di depan si cantik berdada besar itu.
"Oh, gila betul! Matanya memandang penuh pancaran gairah. Hatiku guncang dan napasku menjadi sesak. Haruskah aku mendekat lebih rapat lagi?"
Tangan perempuan itu terulur. Gelang kerincingnya berdenting-denting. Jarinya yang lentik dengan kuku runcing rapi bercat ungu muda itu bergerak-gerak memberi isyarat agar Suto lebih mendekat lagi. Napas Pendekar Mabuk ditahan beberapa saat untuk meredakan gejolak yang akan menggelora jika berada lebih dekat lagi dari perempuan itu.
Hanya satu langkah Suto bergerak maju, lalu ia menyapa lebih dulu dengan suara lembutnya, "Siapakah kau sebenarnya?"
"Aku orang yang kau cari pada mula perjalananmu menuju ke timur."
Suto Sinting kerutkan dahi karena tak jelas maksud jawaban tersebut. Lalu dengan suara makin pelan ia bertanya, "Maukah kau sebutkan namamu?"
"Nyai Kucir Setan!"
"Ooh...?!" Pendekar Mabuk terperanjat, suaranya tak sadar menjadi keras, membuat Telaga Sunyi cemas di tempatnya.
"Sutooo...?! Ada apa di sana, Suto?!"
"Hmm... eh... tak ada apa-apa. Aku baik-baik saja!" jawab Suto Sinting dengan menggeragap kikuk.
Perempuan yang mengaku bernama Nyai Kucir Setan itu tersenyum sinis dan berkata, "Gadismu sangat mengkhawatirkan kau, Suto. Tapi jangan hiraukan dia! Ikutlah aku masuk ke lorong itu!"
"Tidak. Aku... aku mau keluar dari gua ini, Nyai."
"Bukankah kau ingin menemuiku?"
"Ya, tapi bukan untuk hal-hal lain. Aku hanya ingin meminta maaf atas... atas peristiwa yang menimpa muridmu, si Karto Dupak itu! Aku tak sengaja membunuhnya. Dia sendiri yang menantangku dan melepaskan jurus mautnya itu. Aku hanya menangkis  dan... dan...."
"Dan dia sekarang mati. Aku sudah memakamkannya begitu kau melangkah meninggalkan desa itu!"
"Oh...?" Suto bernada heran.
"Itu memang kesalahan muridku sendiri. Sekalipun begitu, seharusnya kau tetap harus menebusnya dengan nyawa. Tapi jika kau mau melayaniku, kau akan kuangkat sebagai murid baru, Suto!"
"Hmmm... maksudmu... maksudmu melayani bagaimana, Nyai?"
"Ah, kau berlagak bodoh. Aku tahu kau punya gairah begitu memandangku. Sekarang pun gairahmu meluap-luap! Ayolah, ikut aku ke lorong itu!"
"Hmmm... eeh... anu... tidak. Aku hanya ingin meminta maaf padamu, Nyai. Terserah kau mau memaafkan atau tidak, yang penting aku sudah meminta maaf padamu."
"Peluklah aku, maka segala kesalahanmu akan kumaafkan, Suto!"
"Tid... tidak...," Suto geleng-geleng kepala. "Aku... aku sudah punya istri, walaupun belum resmi menjadi pengantin. Tapi... tapi aku sudah berjanji akan mengawininya dan aku tak mau menodai cinta kami. Aku tak mau berkhianat padanya!"
"Dyah Sariningrum itu maksudmu? Oh, kau bodoh sekali, Suto. Dyah Sariningrum di sana juga berbuat serong dengan pria lain. Hanya saja karena dia ratu, maka segala tingkah lakunya tak ada yang berani membicarakannya. Dyah Sariningrum saat ini sedang bercumbu dengan seorang ksatria dari sebuah negeri!"
"Ooh...?! Ben... benarkah?!"
"Apakah kau tak bisa merasakan getaran cemburumu? Manakala hatimu dan pikiranmu dilintasi oleh kecemburuan walau hanya sekejap, maka pada saat itulah Dyah Sariningrum sedang bercumbu dengan pria lain."
Darah Suto terasa mendidih. Panas di bagian dada terasa naik sampai ke kepala. Pendekar Mabuk mulai dibakar oleh kecemburuan yang amat menyiksa batin. Tubuhnya sempat gemetar dan hasratnya untuk segera pergi justru menjadi kuat. Dengan tegas ia berkata,
"Kau yang membuat pintu gua ini tertutup! Sekarang kuminta buka pintu gua ini, aku akan keluar dan pergi menemui dia!"
"Kau harus melayaniku dulu, Suto. Kau harus menebus kematian muridku itu, dan menebus kunci pembuka gua!"
"Iblis betina kau!" geram Pendekar Mabuk yang telah dibakar kecemburuan begitu besar, sehingga murkanya mencari tempat untuk pelampiasan.
"Kalau kau tak mau melayaniku, maka kau harus menebus kematian muridku dengan nyawamu, Suto!"
"Lakukanlah kalau memang kau mampu!"
Suto membentak keras karena luapan amarahnya, ia lupa bahwa napasnya mengandung Napas Tuak Setan. Jika sedang marah, hembusan napasnya bisa keluarkan angin badai yang mengerikan. Dan pada saat ia membentak tadi, angin badai pun keluar dari mulutnya. Wuusss...!
Gua itu berguncang. Telaga Sunyi ketakutan.
"Sutooo...! Suto ada gempa bumi, Suto! Cepat kita keluar dari sini!"
Rambut Nyai Kucir Setan meriap ke belakang bersama jubahnya. Tapi tubuhnya tetap di tempat dan tak bergerak. Sementara itu gelombang badai menghantam dinding gua dan membuat salah satu lorong menjadi runtuh tertimbun atapnya. Glegeer...! Buuurrk...!
"Sutooo...! Ada yang roboh di sana!" seru Telaga Sunyi dicekam rasa takut karena tak bisa melihat apa-apa tapi mendengar suara yang menyeramkan.
Suto tidak peduli seruan itu. Matanya memandang tajam penuh kemarahan kepada Nyai Kucir Setan yang tidak berkuncir sedikit pun itu.
"Kau berani menyerangku dengan napas badaimu. Sekarang giliranku menyerangmu dengan napas apiku! Hiaaah...!"
Wuuusss...!
Api menyembur besar dari mulut perempuan cantik itu. Pendekar Mabuk tak punya waktu untuk menghindar. Terpaksa ia pun gunakan Napas Tuak Setan-nya lagi.
"Haahhh...!"
Wuuutt...! Badai menerjang kuat, membalikkan kobaran api dari mulut Nyai Kucir Setan. Kobaran api itu justru membungkus tubuh Nyai Kucir Setan, sedangkan tubuh sang Nyai sendiri kali ini terhempas kuat membentur dinding berbatu runcing. Jraab...! Tubuh itu menancap dalam keadaan terbungkus api. Dari ulu hatinya muncul batu runcing yang menembus punggung. Nyai Kucir Setan menggeliat-geliat dengan gerakan liarnya. Tapi yang terlihat hanya kobaran api dan sesekali tangan atau kakinya keluar dari kobaran api tersebut.
Akibat sentakan Napas Tuak Setan Suto, dinding gua itu bergetar hebat. Batu-batu berjatuhan, langit gua nyaris roboh menimpa Telaga Sunyi dan Suto sendiri. Sedangkan dinding gua yang lainnya mulai retak, bahkan sisi kanan tumbang dalam keadaan hancur bagai diterjang seribu banteng.
Keadaan di dalam gua nyaris seperti mau kiamat. Hanya Suto Sinting yang melihat kejadian yang mengerikan itu. Ia segera sadar dari cekaman amarahnya. Melihat Telaga Sunyi menjerit-jerit sambil menghindari reruntuhan atap gua, Suto segera berkelebat menyambarnya. Wuuut...! Gadis itu segera dibawa lari ke lorong semula.
Gemuruh suara atap gua runtuh semakin mengerikan. Di sana-sini bagaikan hujan batu paling kecil seukuran kepala Suto. Dan keadaan itu dapat membuat mereka berdua mati tertimbun reruntuhan gua jika tak segera keluar.
Suto masih gunakan pandangan gaibnya. Jika tidak begitu ia tak bisa berlari cepat sambil memanggul Telaga Sunyi yang menjerit-jerit dalam kengerian.
Ketika mereka tiba di tempat semula, mulut gua masih tertutup batu besar. Suto Sinting menggunakan napas tuaknya karena dadanya masih diliputi oleh gemuruh kecemburuan atas kata-kata Nyai Kucir Setan itu. Dalam sekali sentakan napas, batu besar itu pun terbang dan terbelah menjadi tiga bagian.
Blaar...!
Wuuus...! Cahaya matahari pagi masuk ke dalam gua, sementara dinding gua semakin bergetar. Langit-langit gua pun bertambah hancur karena badai dari mulut Pendekar Mabuk itu. Dengan gerakan cepat Pendekar Mabuk melesat keluar dari mulut gua yang menjadi lebar akibat sebagian dindingnya jebol oleh badai Napas Tuak Setan itu.
Sampai di luar gua, ternyata hari sudah pagi. Embun masih ada di daun-daun yang hancur akibat terhempas badai. Beberapa pohon tumbang saling silang, bahkan ada yang pecah menjadi beberapa bagian. Badai dari Napas Tuak Setan kembali menelan korban kehidupan alam sekeliling gua itu, sementara gua itu sendiri segera bergemuruh menggelegar. Runtuh dan menimbulkan getaran hebat, seakan bukit tersebut ingin amblas ke bumi. Suto Sinting tak mau berhenti terlalu lama. Dengan masih memanggul tubuh Telaga Sunyi, ia melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kecepatan anak panah, bahkan nyaris melebihi kecepatan hembusan angin badai dari mulutnya sendiri itu. Zlaaap...!
Ketika tiba di tempat yang aman, jauh dari bukit itu, Suto Sinting segera menurunkan tubuh Telaga Sunyi, ia mengendalikan napasnya, menahan gejolak kecemburuannya. Dan akhirnya ia terkejut melihat kepala Telaga Sunyi berlumur darah.
"Oh, kenapa kau, Telaga Sunyi? Hei... Telaga Sunyi...?! Telaga!"
Gadis yang kepalanya tertimpa bongkahan batu itu diam saja. Suto Sinting menjadi tegang. Buru-buru memeriksa denyut nadi dan jantungnya.
"Celaka! Jangan-jangan dia mati kena batu kepalanya?!" pikir Suto Sinting saat ingin memeriksa denyut nadinya.
*
* *


7
BERUNTUNG sekali bumbung tuak Suto tidak tertinggal. Dengan tuak dalam bumbung itu, akhirnya Telaga Sunyi dapat disembuhkan dari lukanya. Gadis itu diam termenung mengenang kiamat di dalam gua yang mengerikan. Seakan bayangan mengerikan itu masih belum bisa terhapus dari ingatannya.
Pagi kembali cerah. Telaga Sunyi memandang alam sekeliling. Gua tersebut sudah tidak kelihatan karena jauhnya jarak pandang. Tetapi ada keheranan yang masih menyertai Telaga Sunyi.
"Mengapa hari sudah pagi? Berapa lama kita ada di dalam gua itu sebenarnya?"
"Perbedaan waktu antara di dalam gua dan di luar gua ternyata sangat menyolok. Di dalam gua mungkin waktu bergerak dengan lambat. Tetapi di luar gua waktu bergerak cepat seperti biasanya. Jadi mungkin kita berada di dalam gua sehari semalan, walau rasanya hanya beberapa saat saja."
"Sebuah pengalaman yang baru pertama kali kujalani," gumam Telaga Sunyi. "Apa yang sebenarnya terjadi, Suto?"
"Aku bertemu dengan Nyai Kucir Setan dalam keadaan cantik jelita."
"Apakah dia memang tokoh sesat yang cantik?"
"Aslinya barangkali tidak secantik itu. Tapi mungkin dia pergunakan semacam ilmu siluman yang mampu membuatnya tampak cantik, padahal tua, kempot, peot, dan rambutnya berkuncir, itu bayanganku saja. Yang jelas, aku bertarung melawannya. Untung aku punya penglihatan gaib, jika tidak mungkin aku tak tahu apa yang bakai kita alami di dalam gua itu."
"Apakah sekarang kau masih menggunakan penglihatan gaib?"
Pendekar Mabuk tersenyum. "Tidak. Tapi aku tetap melihat sesuatu yang gaib."
"Apa yang kau lihat gaib itu?"
"Kecantikanmu!" jawab Suto Sinting dengan senyum kian melebar. Telaga Sunyi melengos, bukan benci, bukan muak, tapi tak berani menanggung akibatnya jika terlalu lama menikmati senyuman itu. Ia hanya berkata,
"Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita. Aku yakin Ayah sudah mencemaskan keadaanku."
"Baik. Kita menemui ayahmu dulu, tapi jangan lupa janjimu. Setelah itu kau harus antarkan aku untuk bertemu dengan Muria Wardani!"
"Janjiku tak akan kuingkari! Asal janjimu pun tak akan kau ingkari."
"Janji apa?"
"Tidak akan tertarik kepada Muria Wardani."
Suto Sinting tertawa sambil meneruskan langkah. "Memangnya kenapa kalau aku tertarik kepada Muria Wardani?" pancing Suto.
"Tidak apa-apa. Itu hakmu. Tapi aku akan kecewa."
"Oleh sebab apa kecewa?"
"Kau tak perlu tahu!" jawabnya bernada ketus, tapi lucu bagi Pendekar Mabuk.
Perjalanan menuju rumah Telaga Sunyi melewati tiga  desa. Sepanjang perjalanan desa, mata para penduduk tertuju kepada Suto dan Telaga Sunyi. Mereka memandang dengan kagum dan senang. Bahkan ada yang berkasak-kusuk sampai di telinga Suto dan Telaga Sunyi.
"Cocok sekali pasangan itu, ya? Yang pria ganteng, yang wanita cantik. Hmmm... anak-anak mereka seperti apa nantinya, ya?"
"Kau dengar bisikan mereka?" tanya Suto Sinting kepada Telaga Sunyi.
"Itu bukan bisikan tapi igauan!"
"Aneh. Orang-orang di sini belum tidur banyak yang sudah mengigau, ya?" canda Suto menghadirkan tawa kecil Telaga Sunyi. Gadis itu mencubit lengan Suto sambil tetap teruskan langkah.
Setelah mereka melintasi desa ketiga, perjalanan terhenti kembali karena munculnya seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun yang menghadang langkah mereka. Lelaki itu bertubuh sedikit gemuk, mempunyai kumis lebat. Tampak gagah namun berwajah culas, ia mengenakan pakaian merah berlengan tanggung sampai lewat siku. Senjata yang dibawanya adalah golok lebar bergelang-gelang tiga buah pada bagian sisinya. Rambutnya yang panjang dijepit dengan ikat kepala warna merah juga.
"O, ini orangnya?!" kata lelaki berkumis. "Ha, ha, ha, ha... rupanya hanya seorang bocah kemarin sore yang belum bisa buang ingus!"
"Apa maksudmu? Siapa kau sebenarnya?" tanya Suto dengan heran.
"Apakah si manis itu belum sebutkan namaku?" sambil orang itu menuding Telaga Sunyi. "Sayang, ayo perkenalkan diriku kepada bocah ingusan itu!"
"Siapa dia, Telaga?" bisik Suto Sinting kepada Telaga Sunyi. Gadis itu agak gugup, tapi akhirnya menjawab pertanyaan tadi.
"Dia yang bernama Sulang Dongo, bekas pengawalnya sang Adipati yang juga jatuh cinta pada Putri Muria Wardani."
Suara bisikan pelan dari mulut Telaga Sunyi itu membuat Suto manggut-manggut dan mulai bisa meraba apa alasan Sulang Dongo menghadangnya. Maka Pendekar Mabuk pun langsung berkata kepada Sulang Dongo,
"Kau pasti menyangka aku menjadi penghalang cintamu kepada Putri Muria Wardani!"
"Tepat sekali! Karena memang demikianlah keadaannya!"
"Kujelaskan satu kali saja, aku sudah bosan mendengar alasan seperti itu! Ketahuilah, aku tidak kenal dengan Muria Wardani Rui Aku bukan kekasihnya!"
"Huah, hah, hah, hah...!" Sulang Dongo tertawa keras. Perutnya terguncang-guncang. Suto Sinting berkerut dahi sambil memendam rasa dongkol, ia berbisik kepada Telaga Sunyi yang ada di sampingnya.
"Kenapa dia tak percaya?"
"Karena dia orang dungu!" jawab Telaga Sunyi.
Sulang Dongo berseru, "Bocah ingusan, kau pikir mataku buta dan telingaku tuli? Kau pikir aku bayi yang baru lahir sehingga mudah kau kelabui?"
"Kalau kau bayi baru lahir, siapa yang mau menjadi dukun beranaknya? Ngeri melihat gigimu yang sebesar kapak itu!" kata Suto dengan hati kesal. "Minggirlah, jangan halangi langkahku. Aku tak punya hubungan dengan Muria Wardani!"
"Tak mudah berlalu begitu saja! Aku sakit hati atas penolakan lamaranku, dan aku akan buktikan bahwa aku bisa memenggal kepalamu, Pendekar Mabuk!"
Suto sedikit heran mendengar namanya disebutkan, tapi segera ingat bahwa ciri-cirinya sebagai Pendekar Mabuk tentunya sudah dikenal orang banyak. Terutama orang-orang yang punya minat melamar Muria Wardani pasti sudah memegang ciri-ciri sosok Pendekar Mabuk. Hanya saja, mengapa mereka bisa memburu Suto dan dianggap sebagai kekasih Muria Wardani? Ini yang masih menjengkelkan hati Pendekar Mabuk.
"Sulang Dongo, aku tak ingin terlibat apa pun denganmu. Tapi kalau kau bermaksud tak baik padaku, aku akan melayanimu dengan sangat terpaksa!"
"Tak perlu banyak mulut! Terima saja penggalan golokku ini, heeaaah...!"
Wuuut...! Wuuung...!
Golok besar itu lewat di atas kepala Suto Sinting pada saat Suto Sinting merendahkan badan, menghindari tebasan ke arah lehernya. Rupanya Suto Sinting tak mau buang-buang waktu, ia segera menghantamkan bumbung tuaknya ke kaki lawannya. Wuuut...! Prrrok...! Tepat mengenai tempurung lutut.
"Aaow...!" Sulang Dongo menjerit sekuat tenaga. Tempurung lututnya remuk bagaikan dihantam gada besi. Ia tak tahu kalau bumbung tuak itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang mampu untuk menebang pohon, tergantung penyaluran tenaga dari Suto saat itu.
Melihat lawannya terbungkuk-bungkuk sambil memegangi tempurung lututnya, Pendekar Mabuk segera kasih peringatan lagi,
"Sekali lagi kau menggangguku, kuremukkan kakimu yang satunya lagi!"
"Bangsat kau, heaaat...!"
Sinar kuning melesat dari tangan Sulang Dongo. Claaap...! Arahnya ke punggung Suto Sinting. Tetapi kelebatan sinar itu diketahui oleh Telaga Sunyi. Dengan cepat Telaga Sunyi bergerak lepaskan pukulan bersinar merah yang menghantam sinar kuning tersebut. Slaap...!
Blaarr...!
Ledakan cukup keras terjadi di depan wajah Sulang Dongo yang sedang merunduk memegangi lutut dengan satu tangan itu.
Cahaya ledakan itu menghantam wajah Sulang Dongo dan membuat orang berkumis itu terpental berjungkir balik sambil meraungkan suara kesakitan dengan keras.
"Aaaaa...!" ia berguling-guling kelojotan, wajahnya hitam hangus, karena ledakan yang terjadi tadi mempunyai kekuatan menyamai kilatan cahaya petir. Rambut Sulang Dongo menjadi keriting karena terbakar hawa panas. Matanya menjadi merah, bibirnya pun pecah, ia menggelepar dalam keadaan sekarat. Namun agaknya semangat cintanya kepada Muria Wardani masih menyala-nyala sehingga ia merintih memanggil-manggil nama putri adipati itu sambil berusaha merangkak.
"Muria...! Muria, tolong aku...! Muriaaa...!" sambil tangannya terulur ke arah Telaga Sunyi. Gadis itu tercekam dalam kebingungan. Pendekar Mabuk segera mendekati Sulang Dongo dan berkata, "Aku akan obati kau, tapi jangan memusuhiku lagi. Setuju?"
"Aku... aku tidak butuh kau, Bang... sat! Aku butuh dia... Muria Wardani!" sambil menuding Telaga Sunyi. Dan hal itu membuat Suto menjadi bingung sesaat. Dipandangi wajah cantik Telaga Sunyi itu. Tapi tak bisa lama-lama karena kejap berikutnya Suto harus berpaling memandang keadaan Sulang Dongo yang mengerang panjang, kemudian menghembuskan napas terakhir dalam keadaan telungkup.
"Muri... ooohh...!"
Habis sudah napas Sulang Dongo. Ia tak bernyawa lagi. Suto Sinting menyesalkan kekerasan hati Sulang Dongo yang tak mau ditolong itu. Seandainya ia mau ditolong dan menyetujui perjanjiannya dengan Pendekar Mabuk, setidaknya sampai saat ini pun Sulang Dongo masih bisa menyebutkan nama Muria Wardani.
Suto Sinting segera mendekati Telaga Sunyi yang tundukkan kepala di bawah pohon. Dengan mata memandang tak berkedip suara Pendekar Mabuk pun terdengar jelas di telinga gadis itu.
"Mengapa dia mengulurkan tangan padamu, Telaga Sunyi? Mengapa dia memanggilmu Muria...?"
Telaga Sunyi pun akhirnya tarik napas panjang- panjang dan berkata, "Memang akulah Muria Wardani!"
Kini Pendekar Mabuk yang terperangah dengan pandangan mata tak berkedip sedikit pun. Mulut berbibir basah oleh tuak itu tak bergerak juga. Seakan ada sesuatu yang menyumbat tenggorokan Pendekar Mabuk.
"Akulah Muria Wardani, dan akulah putri sang Adipati itu!"
"Ajaib sekali!" gumam Suto Sinting. "Ajaib sekali, mengapa otakku bisa menjadi sebodoh ini selama bersamamu?!"
"Itulah sebabnya aku banyak tahu tentang Kertapaksi dan kehidupan Muria Wardani, karena sebenarnya akulah orangnya. Tapi di kalangan perguruan aku memang dikenal sebagai Telaga Sunyi. Guruku sendiri juga memanggilku Telaga Sunyi."
Pendekar Mabuk tarik napas dalam-dalam. Bahkan sempatkan diri menenggak tuaknya beberapa teguk sebagai penenang jiwa. Apa yang dirasakan Suto adalah campuran dari rasa malu, kecewa, senang, marah, dan geli. Ternyata sejak kemarin ia bersama putri adipati, sementara sang Putri Adipati sendiri tidak mau menyebutkan siapa dirinya sehingga Suto sempat berkata agak kasar, menyatakan tidak kenal dengan Muria Wardani, tidak cinta, dan menyuruh Kertapaksi mengambil Muria Wardani.
"Pantas kalau Sulang Dongo merasa tertawa terbahak-bahak ketika kukatakan bahwa aku tidak kenal dengan Muria Wardani. Tentu saja pernyataanku ini dianggap suatu lelucon yang paling konyol, sebab pada saat itu aku bersama Muria Wardani."
"Maafkan aku, Suto. Aku sendiri tak bermaksud memasukkan dirimu dalam lingkaran dendam dan kebencian. Kupikir dengan mengaku sebagai kekasihmu dan sebentar lagi akan menikah denganmu, orang-orang itu tak ada yang berani melamarku lagi"
"Jadi... jadi kau mengaku kekasihnya Pendekar Mabuk dan akan menikah dengan Suto Sinting, begitu?"
Muria Wardani alias Telaga Sunyi menganggukkan kepala. "Aku hanya menakut-nakuti mereka. Tapi ternyata mereka bukannya takut, melainkan justru memburumu karena dianggap penghalang niat."
"Kenapa tak kau katakan sejak tadi?"
"Aku malu. Malu sekali!"
Sekali lagi napas Suto ditarik dalam-dalam. Kemudian ia berkata sambil meraih tangan Muria Wardani,
"Kau benar-benar tak mau menikah dengan mereka?"
"Benar!"
"Agaknya kau pun takut berhadapan dengan Penguasa Teluk Neraka?"
"Ya, memang aku takut. Ilmuku kalah tinggi dengannya."
"Baiklah! Akan kuhadapi mereka. Tapi, jujurlah
padaku... apakah ayahmu memang sakit?"
"Memang. Dia memang terkena ilmu 'Teluh Cakar Buntung'. Aku tak bohong untuk yang satu ini!"
"Kalau begitu, cepat kita temui ayahmu dan ada beberapa hal yang ingin kubicarakan dengan beliau."
Pendekar Mabuk menganggap peristiwa itu suatu keusilan seorang gadis cantik putri seorang adipati. Tentu saja gadis tidak memikirkan akibatnya akan parah bagi Suto Sinting. Tetapi sang pendekar tampan itu tidak terlalu sakit hati. Justru kadang merasa geli membayangkan gagasan konyol si gadis putri adipati itu.
"Banyak dari mereka yang kutolak, akhirnya meninggalkan ancaman. Maka siasatku dengan mengaku sebagai kekasihmu, membuat mereka tidak akan sembarangan meninggalkan ancaman pada keluargaku. Setidaknya mereka berpikir seratus kali jika ingin mencelakai keluargaku, karena calon menantunya adalah pendekar kondang yang terkenal kesaktiannya itu," tutur Telaga Sunyi dalam perjalanan, dan Suto Sinting hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
Mereka disambut dengan hormat oleh para punggawa    kadipaten. Wajah-wajah berseri tampak menyebar di lingkungan istana kadipaten. Mereka merasa gembira dan bangga setelah melihat sosok pendekar kondang datang bersama sang putri. Bahkan seorang inang pengasuh sempat berkata kepada Telaga Sunyi,
"Mudah-mudahan memang inilah jodoh Tuan Putri! Pegang erat-erat, jangan sampai terbang ke mana-mana. Nanti hinggap di sembarang tempat, Tuan Putri sendiri yang akan sakit hatinya."
"Kamu ini ngomong apa, Mbok! Sudah ke belakang sana!" ujar Telaga Sunyi yang merasa malu kepada Pendekar Mabuk. Sang pendekar hanya senyum-senyum saja.
Suto Sinting dipertemukan dengan Adipati Jayengrana. Sang Adipati memang sakit. Bagian kedua kakinya menderita luka semacam cakar berbisa. Baunya busuk dan memualkan perut. Luka membusuk seperti bekas cakaran itu terdapat sampai batas lutut. Padahal, sebelum itu luka tersebut hanya di bagian kedua jempol kakinya, tapi makin lama semakin merayap sebanyak itu. Tidak menutup kemungkinan suatu saat akan mencapai bagian leher dan kepala, akhirnya mati tanpa bisa dimandikan jenazahnya.
"Penyakit ini datang setelah aku mencoba menolak lamaran si Penguasa Teluk Neraka, ia mengancam akan membuatku menderita kalau tak mau menikahkan Muria dengannya. Ternyata inilah ancaman itu," ujar sang Adipati.
"Kanjeng Adipati mau minum tuak?"
"Jika memang itu syarat untuk sembuh, akan kulakukan!"
"Kita coba saja. Barangkali tuak saya ini dapat mengusir kekuatan jahat dari Ilmu 'Teluh CakarBuntung' itu," kata Suto dengan hormat, penuh kelembutan dalam bicaranya.
Sang Adipati pun menenggak tuak dari bumbung. Hanya beberapa teguk saja tuak itu ditelannya, lalu ia berkata,
"Cukup sajalah. Aku tak berani banyak-banyak karena takut mabuk!"
Luka memborok yang akan membuntungkan kedua kaki sang Adipati itu ternyata tidak langsung sembuh.
Pendekar Mabuk sedikit cemas. Sampai beberapa waktu lamanya mereka menunggu ternyata luka itu belum tampak tanda-tanda akan mengering. Terpaksa Suto membujuk sang Adipati agar mau minum tuak lebih banyak lagi.
"Demi kesembuhan, tak apalah ayahmu minum tuak terlalu banyak. Yang penting kedua kakinya tidak menjadi buntung karena penyakit teluh itu," ujar sang Ibu kepada Telaga Sunyi.
"Baru sekarang ada adipati disuruh minum tuak dari bumbung," ujar seorang pelayan kepada sesama pelayan. Mereka menertawakan kejadian aneh itu.
"Barangkali tabib ganteng ini punya cara penyembuhan tersendiri. Siapa tahu ampuh!" kata pelayan satunya lagi.
Terlalu banyak minum tuak sang Adipati akhirnya menderita pusing kepala. Puyeng. Namun sejauh ini luka memborok itu masih belum kelihatan akan sembuh. Sampai akhirnya sang Adipati pun tertidur karena puyengnya.
Pendekar Mabuk dan Telaga Sunyi cemas. Mereka ada di taman belakang sambil membicarakan tentang kemungkinan-kemungkinan lain. Menurut Suto, hanya Penguasa Teluk Neraka yang bisa sembuhkan luka seperti itu, karena ia yakin 'Teluh Cakar Buntung' adalah kiriman dari Penguasa Teluk Neraka.
"Kalau ia diminta menyembuhkan, pasti bersedia asal upahnya dikawinkan denganmu."
"Upah itulah yang berat bagiku!" kata Telaga Sunyi.
"Jika begitu, aku harus memaksanya agar sembuhkan ayahmu dengan cara keras! Barangkali aku harus bertarung dengannya!"
"Jangan. Aku takut kau celaka. Dia berilmu tinggi, Suto!"
"Kita coba saja dulu. Kalau ternyata aku kalah, aku akan mengakui kekalahanku sebelum ia membunuhku!"
Telaga Sunyi diam mempertimbangkan langkah itu. Ketika itu, sore mulai datang, senja mulai menjelang. Sebentar lagi petang akan tiba. Dan seorang pelayan berlari-lari menghampiri mereka di taman sambil  berkata,
"Tuan Putri... Tuan Putri..., Kanjeng Adipati sudah bangun!"
"Biar saja! Memangnya kenapa kalau sudah bangun? Apakah aku dipanggil beliau?"
"Anu... maksud saya... begitu bangun tidur ternyata lukanya itu sudah hilang. Lenyap tak berbekas!"
"Hahh...?!" Telaga Sunyi terbelalak girang. Maka mereka segera menghambur ke kamar sang Adipati, dan ternyata memang benar. Luka itu hilang, tanpa bekas apa pun. Bahkan bau busuk yang mestinya menempel di selimut pun tak ada. Kedaan itu amat menggembirakan keluarga sang Adipati.
"Terima kasih, Suto! Terima kasih!" Telaga Sunyi girang sekali sampai memeluk Suto Sinting. Yang dipeluk hanya cengar-cengir dengan hati berdebar-debar.
Keceriaan mereka menjadi surut ketika seorang penjaga gerbang menyerahkan sepucuk surat yang dibawa oleh utusan dari Penguasa Teluk Neraka. Surat dari Penguasa Teluk Neraka itu mengatakan:
Ada yang ikut campur urusanku. Bagaimanapun juga aku harus dapatkan putrimu, Kanjeng Adipati. Muria Wardani harus kawin denganku. Nyawa keluargamu sebagai penggantinya jika sampai perkawinan ini gagal.
"Suto, bagaimana ini?!" Telaga Sunyi cemas membaca surat itu. Suto Sinting diam sesaat lalu berkata, "Akan kuselesaikan besok siang!"
Mereka yang mendengar ketegasan itu menjadi tertegun diam, antara lega dan sangsi. Benarkah besok siang masalah Penguasa Teluk Neraka dapat diselesaikan Suto dengan secepat itu?
Sang pendekar tampan berkata, "Maukah kau pura- pura jadi pengantin denganku, Telaga Sunyi?!"
"Hahhh...?!" Telaga Sunyi atau Muria Wardani justru semakin terbengong mendengar pertanyaan itu. Sang Ayah pun terbengong, sedangkan sang Ibu hanya menggumam,
"Mengapa hanya pura-pura?"

SELESAI
Pendekar mabuk
Segera terbit!!!
PENGUASA TELUK NERAKA

Pendekar Mabuk