Pendekar Mabuk 37 - Racun Gugah Jantan(2)

Pendekar Mabuk sengaja pandangi keadaan sekeliling dengan sikap tenang. Saat itu terdengar suaranya berucap pelan tapi terdengar jelas oleh Nyai Sapu La­nang yang mendekatinya lagi dua tindak.


"Untuk apa kau menghentikan langkahku? Apakah kau juga muridnya Malaikat Miskin dan bermaksud menghalangi pengejaranku?"

"Tidak. Aku kenal dengan si Malaikat Miskin, tapi aku bukan muridnya. Kalau mau justru Malaikat Miskin seharusnya belajar dan berguru kepadaku."

"Jadi kau ada di pihak mana?"

"Tak punya pihak," jawab Nyai Sapu Lanang.

"Tapi kalau kau bermaksud menemui Malaikat Miskin, aku bisa mengantarmu ke Perguruan Tongkat Sakti."

Tiba-tiba wajah Suto Sinting yang semula memandang ke arah lain kini cepat berpaling mengatap Nyai Sapu Lanang. Yang ditatap sengaja sunggingkan senyum penjerat hati. Namun Suto Sinting lebih tertarik dengan kata-katanya.

"Benarkah kau bisa membawaku menemui Malaikat Miskin?!"
"Ya, tapi ada syaratnya!"
"Sebutkan!"

Nyai Sapu Lanang tidak segera menjawab, melainkan justru mengadu pandangan mata beberapa saat. Suto Sinting membatin, "Hmm...! Dia menyerangku dengan halus melaiui pandangan matanya. Oh, rupanya dia ingin menjerat hatiku?! Aku harus bisa melawan dan melumpuhkan kekuatan matanya Itu."

Suto Sinting menarik napas panjang dengan pelan-pelan hingga tak terlihat secara nyata. Tetapi saat itulah sebenarnya Suto Sinting menahan serangan halus penjerat hati. Tak heran jika Nyai Sapu Lanang segera berkata dalam hatinya, "Kuat juga pemuda ini! Agaknya ia mampu menahan daya pikatku melaiui mata.

Padahal biasanya hati pria mana pun akan luluh jika kugunakan jurus "Mata Peri'-ku ini!"

Terdengar Suto Sinting berkata, "Kusuruh kau sebutkan syaratnya mengapa kau justru diam dan menjerat hatiku dengan tatapan matamu?"

Nyai Sapu Lanang tersipu sendiri dan membatin, "Sial! Dia tahu kalau sedang kuserang secara diam-diam."
Tapi di mulut berbibir menggemaskan itu sebaris kata terucap lirih,

"Syaratnya tak sulit. Kau pasti bisa lakukan. Kau hanya menuruti keinginanku untuk membawamu pulang ke pondokku. Aku butuh keturunan."

"Butuh keturunan? Mengapa kau bicarakan padaku?"

"Sekian lama kupertahankan kecantikanku, kemolekanku, keelokan tubuhku, hanya untuk mencari pria yang mampu berikan keturunan padaku. Sebab ilmu-ilmuku tidak bisa diberikan kepada orang lain kecuali kepada keturunanku sendiri. Tapi sampai sekian lama aku berkelana, ternyata tak ada pria yang sanggup memberikan keturunan padaku. Sampai sekarang aku masih membutuhkan pria seperti apa pun untuk mencoba memberikan keturunan padaku. Jadi aku hanya membutuhkan dirimu untuk membuatku mempunyai keturunan. Kita pulang ke pondokku dan layanilah aku seperti apa yang kubutuhkan. Maka akan kubantu kau menemui Malaikat Miskin, bila perlu kubantu kau menyerangnya."

Setelah diam beberapa saat, Suto Sinting berkata, "Syaratmu terlalu berat bagiku, Nyai Sapu Lanang!"

Wanita cantik dan menggoda hati itu gelengkan kepala. "Tidak terlalu berat untuk seorang lelaki seperti kau, Suto! Justru aku akan merasa bahagia dan ingin mengulanginya lagi jika sudah merasakan keindahan yang dapat kita capai bersama."

"Tidak, aku tidak bisa melakukannya. Aku tak sanggup memenuhi keinginanmu, Nyai Sapu Lanang. Carilah lelaki lain yang mampu melakukannya!"

Mata jeli berbulu lentik itu mulai nakal dalam memandang. Senyum itu masih membias di bibir ranum dan selalu tampak basah. Sesaat setelah diam sang nyai pun perdengarkan suaranya, "Kau mampu! Kurasakan ada kekuatan yang maha dahsyat dalam asmaramu, Suto."

"Memang aku mampu melakukannya, karena aku lelaki yang sehat. Tapi aku tak mau menodai kesetiaanku terhadap calon istriku, Nyai Sapu Lanang."

"Calon istrimu tak mungkin dapat meneropong apa yang kita lakukan, karena aku mempunyai kekuatan yang mampu mengembalikan daya teropong seseorang. Kau tak perlu takut ketahuan siapa-siapa. Tak ada .yang mengetahui perbuatanmu di pondokku, Suto!" sambil berkata begitu sang nyai semakin mendekati Suto. Bahkan tangannya berani meraih lengan Suto Sinting dan tubuhnya kian mendekat.

Pandangan mata yang menjadi mulai sayu itu dipandangi pula oleh Suto Sinting dalam hiasan senyum menawan. Justru sang nyai yang menjadi makin terjerat serta penasaran untuk tundukkan kekuatan Suto Sinting dalam bertahan dari getaran api asmaranya.

"Sebaiknya tinggalkanlah aku, dan biarkan kucari sendiri Perguruan Tongkat Sakti itu. Aku masih mampu menemukannya tanpa bantuanmu, Nyai."

"Oh, kau mengecewakan hatiku jika selalu menolak, Suto Sinting."

"Kau tak perlu kecewa karena pada dasarnya kita memang bukan pasangan bercinta, Nyai. Kita hanya saling bertemu di perjalanan dan tidak harus melakukan perbuatan yang hina dan rendah di mata hati kita sendiri."

"Aku inginkan dirimu, Suto. Aku inginkan sekarang juga!" bisik Nyai Sapu Lanang dalam desah tipisnya. Tapi Suto Sinting gelengkan kepala sambil tetap sunggingkan senyumnya.

"Jangan paksa aku, Nyai. Berbahaya bagi dirimu jika aku meronta!"

"Tak akan mungkin berbahaya!" kata sang nyai, lalu tiba-tiba dari pandangan mata sang nyai melesat sinar biru bening yang amat tipis dan menghunjam masuk ke mata Suto Sinting. Claaap...! Suto Sinting tak sempat menghindar karena jaraknya teramat dekat. Suto hanya rasakan adanya kejutan yang menyentakkan kepala ke belakang dan matanya terpejam seketika.

Ketika ia buka mata kembali, tiba-tiba jantungnya berdetak-detak karena memandang segalanya serba gelap. Tetapi gemuruh dalam dadanya kian riuh. Darah-nya bagai dibakar api asmara yang menggelisahkan. Suto Sinting mundur dua langkah dan dibiarkan oleh Nyai Sapu Lanang, hanya dipandangi saja dengan se­nyum penuh harapan atas kemenangannya.

"Nyai, kau apakan diriku ini...?!" napas Suto Sinting mulai terengah-engah. Hasrat bercumbunya kian dirasakan menyentak-nyentak dan menuntut batin.

"Jangan kau fawan hasratmu, Suto. Kau telah terkena 'Racun Gugah Jantan' yang tak dapat dihindari oleh siapa pun. Jika kau melawan hasratmu maka kau akan menjadi lekas tua! Racun itu hanya bisa terobati jika kau salurkan hasratmu padaku, karena akulah yang memiliki penawar racun tersebut. Tak akan kau dapatkan pada orang lain, Suto Sinting!"

Buru-buru Pendekar Mabuk menenggak tuaknya. Glek, glek, glek...! Tetapi anehnya hasrat bercumbunya kian berkobar-kobar. Rupanya kekuatan dari 'Racun Gugah Jantan' itu tak dapat dikalahkan dengan tuak sakti dalam bumbung tersebut. Suto Sinting dibuat panas-dingin. Keringatnya mulai bercucuran dan ia bersandar di pohon dengan tubuh gemetar karena melawan hasratnya sendiri.

"Percuma kalau kau tetap melawannya, Suto! Percuma! Sebaiknya mari pergi ke pondokku dan lepaskanlah hasratmu itu agar aku bisa mempunyai keturunan darimu. Mungkin saja kaulah pria yang cocok menjadi ayah dari keturunanku!"

"Tidak! Jauhilah aku! Jauhi aku, Nyai...!" kata Suto Sinting dengan terengah-engah, bahkan sempat pe-jamkan kuat-kuat karena menahan gejolak bercumbu yang luar biasa besarnya itu.

"Kau akan menjadi lekas tua! Ingat, Suto... kau akan cepat tua jika hasrat itu selalu kau tahan dan tak tercurahkan. Aku tak kan menawarkan racun itu jika kau tak melayaniku! Hik..hi... hik..J Kau akan cepat menua, Suto.

Suto Sinting hanya terengah-engah diguncang kebimbangan mengambil keputusan.PONDOK berdinding kayu dibangun di bawah sebuah pohon besar jenis beringin gajah. Beringin itu usianya sudah ratusan tahun hingga tumbuh besar, daun dan dahannya menyerupai payung raksasa. Akar-akar gantungnya sebesar lengan manu-sia dewasa, pada umumnya akar-akar itu menembus tanah dari atas ke bawah. Sebagian akar kecil-kecilnya bergelantungan bagai rambut-rambut raksasa hutan.

Di belakang pondok itu terdapat tanah lega tak seberapa luas, berkeadaan sedikit miring. Bebatuan tumbuh di sana-sini bagaikan kepala raksasa yang tersum-bul dari dasar bumi. Di salah satu batu datar selebar punggung kerbau, berdiri sesosok tubuh yang memiliki rambut putih lurus sepanjang lewat pundak sedikit. Lelaki berambut putih uban itu mempunyai potongan tubuh yang sedikit kurus. Urat-uratnya bertonjolan bagai ingin keluar dari lapisan kulit yang tampak agak keriput itu. Urat-Urat tersebut menandakan bahwa dulunya lelaki itu berperawakan tegap, gagah, dan berotot kekar.

Kerutan wajahnya terlihat jelas. Dahinya sedikit terlipat karena kulitnya mengendur. Alis matanya mulai ditumbuhi uban, tapi jenggot dan kumisnya bersih tanpa selembar rambut atau uban. Pakaiannya tetap berwarna sama; baju coklat tanpa lengan, celana putih kusam dan ikat pinggang dari kain merah. Usianya sekitar enam puluh tahun.

itu sedang berlatih jurus-jurus silatnya dengan menggunakan gerakan lamban namun penuh curahan tenaga dalam. Gerakan jurus tangan kosong itu membuat tubuhnya meliuk ke sana-sini seperti orang mabuk yang terhuyung-huyung. Kadang ia melengkung ke depan hendak jatuh, namun ternyata justru berguling di tanah dengan menggunakan punggung-nya sebagai bahan hentakan yang membuat ia melenting bangkit dan berdiri lagi dengan cepat. Kadang ia limbung ke kiri seperti mau jatuh, tapi ternyata menggunakan kaki kirinya untuk menyentak ke tanah dan tubuh itu melesat ke kiri, lompat ke atas batu sambil lepaskan tendangan berputar cepat.

Sepasang mata memperhatikan gerakan silat lelaki itu dengan rasa heran. Sepasang mata yang bersembunyi itu sempat membatin dalam hatinya,

"Gerakannya sangat aneh. Sepertinya mudah di-tumbangkan. Kuda-kudanya tampak lemah. Tapi kurasa kenyataannya tidak demikian. Hmm...! Siapa orang itu? Mengapa ia ada di sini?"

Ketika lelaki itu hentikan latihan gerakan jurus tangan kosongnya, barulah terlihat siapa dia sebenarnya. Karena pada saat itu, lelaki tersebut segera mengambil bumbung tuak yang diletakkan di samping batu besar, lalu menenggak tuak beberapa teguk. Kebiasaan itu tak lain adalah kebiasaan murid sinting si Gila Tuak yang dikenal dengan julukan Pendekar Mabuk. Bagi yang tidak tahu perkara sebenarnya, pasti akan terheran-heran melihat Suto Sinting dalam keadaan setua itu. la menjadi lelaki yang usianya dua kali lipat dari usia sebenarnya. Mungkin malah seperti tiga kali lipat usia aslinya.

Semua itu terjadi karena Pendekar Mabuk masih dalam pengaruh 'Racun Gugah Jantan' dari Nyai Sapu Lanang.Tiga hari ia berada di pondok Nyai Sapu Lanang. Namun sang nyai belum mau memberikan obat penawar racun itu, karena Suto Sinting belum mau melayani keinginan sang nyai. Yang dilakukan Suto Sinting selama tiga hari empat malam di pondok itu adalah membujuk Nyai Sapu Lanang agar mau berikan obat penawar racun dengan berbagai cara. Sayang wanita yang berhasrat ingin mendapat keturunan dari Suto Sinting itu tetap tidak mau berikan obat itu.

"Sebelum kau mau melayani hasratku, kau tak akan kuberi obat penawar 'Racun Gugah Jantan'."

"Nyai, sekalipun aku mau melayani gairahmu, belum tentu akan membuatmu hamil dan mempunyai keturunan dari benihku, Nyai. Jangan terlalu yakin bahwa aku bisa memberikan keturunan padamu. Siapa tahu kau memang ditakdirkan hidup tanpa keturunan. Biar semua lelaki memberikan benihnya padamu, kau belum tentu bisa menjadi hamil, Nyai. Jadi sebaiknya lepaskanlah aku dari pengaruh racunmu itu!" bujuk Pendekar Mabuk kala itu.

"Memang belum tentu. Tapi setidaknya aku ingin mencoba menanamkan benihmu dalam rahimku. Siapa tahu justru benihmu itulah yang mampu menjadikan aku berketurunan, Suto Sinting. Karenanya aku hanya memohon padamu untuk membuktikan kebenaran dugaan kita masing-masing. Mencoba beberapa kali tak ada jeleknya daripada tidak mencoba yang berarti tidak berusaha!"

Pendekar Mabuk tetap gelengkan kepala. Sekaiipun 'Racun Gugah Jantan' selalu membangkitkan gairah Pendekar Mabuk, tapi gairah itu selalu ditahannya kuat-kuat. Suto Sinting tak ingin memberikan kemesraan batinnya kepada perempuan lain.

"Hanya Dyah Sariningrum yang boleh memiliki kemesraan batinku ini. Aku tak ingin berikan kepada siapa pun, kecuali kepada wanita yang amat kucintai itu," pikir Suto Sinting. "Bagaimanapun juga aku harus berusaha melawan gairahku sendiri tanpa harus melampiaskannya kepada Nyai Sapu Lanang. Aku percaya suatu saat bujukanku akan berhasil. Nyai akan mau berikan obat penawar racun itu. Setidaknya aku akan mendapat akal agar ia mau pulihkan keadaanku. Sekarang memang belum ada akal dan siasat yang tepat untuknya, tapi lambat laun aku pasti akan menemukannya. Yang penting aku jangan jauh-jauh darinya dan menjaga keselamatan jiwanya, sebab jika ia mati maka racun Ini akan bekerja terus dalam tubuhku dan menyiksaku lebih keji lagi. Ketuaanku semakin cepat tiba dan tak punya harapan menjadi muda seperti usia sebenarnya jika Nyai Sapu Lanang tak ada di sampingku."

Sementara itu, Nyai Sapu Lanang sendiri sering membatin di hatinya, "Orang ini benar-benar bandel. Kuat sekali la menahan gairahnya yang hampir setiap saat menuntut kepuasan batin. Padahal gairah yang tertahan itu sangat menyiksa jiwanya. Gairah yang tertahan itu melemaskan otot-ototnya dan membuyarkan ketenangannya.

Tapi ia tabah menghadapi dan kuat menjalani siksaan batin itu? Sampai kapan ia akan mampu bertahan dari godaan 'Racun Gugah Jantan'? Hmm...! Tak akan lama. Tak akan lebih dari tujuh hari ia mampu menahan hasratnya yang selalu berkobar-kobar itu. Cepat atau lambat, pada akhirnya nanti ia akan tak mampu lagi bertahan, lalu ia akan pasrah dan teng-gelam dalam pelukanku. Oh, aku menjadi lebih yakin, kekuatannya menahan hasrat itu merupakan tanda-tanda kekuatan benihnya yang dapat membuahkan janin dalam rahimku nanti! Pasti dialah lelaki yang cocok dengan kesuburanku."

Suto Sinting mempunyai berbagai cara untuk menahan gejolak gairahnya jika sang gairah mulai mencekam batin kuat-kuat. la dapat lakukan dengan semadi pernapasan atau membuangnya dengan berlatih gerakan-gerakan bertenaga. Jika keletihan tiba, maka gairahnya itu menjadi pudar sesaat. Hasrat ingin bercumbu lenyap pada saat ia melakukan latihan jurus tangan kosong hingga keluarkan keringat. Tak heran jika selama tiga hari di pondok itu Suto Sinting sering lakukan latihan jurus tangan kosong yang bersifat menguras tenaga.

Sayangnya, walaupun gairah itu bisa dibendung dengan meletihkan badan, tapi pengaruh racun yang membuat ketuaannya cepat tiba dan tak bisa terbendung. Semakin sering menahan gairah semakin cepat pertumbuhan ketuaannya. Tak heran jika dalam waktu empat malam saja Suto Sinting mencapai tingkat ketuaan seperti seorang kakek. Itu disebabkan karena terlalu seringnya menahan gairah kemesraannya.

Nyai Sapu Lanang sendiri sengaja sering menggoda dengan berbagai cara agar setiap waktu gairah Suto Sinting terpancing. Kedua orang tersebut saling menyimpan harapan, sehingga mereka secara tak langsung tak mau berpisah. Suto sendiri berharap bujukannya akan berhasil membuat Nyai Sapu Lanang berikan obat penawar racun. Sedangkan Nyai Sapu Lanang sendiri berharap agar kelemahan Suto Sinting pada akhirnya akan tiba juga, sehingga ia dapat menikmati dan memperoleh apa yang diharapkan dan diyakininya itu.

Tetapi pada hari keempat itu, agaknya Nyai Sapu Lanang terperangkap oleh godaannya sendiri. Kekerasan hati Suto Sinting yang tak mau memberikan setitik kehangatan membuat gairah sang nyai bangkit menuntut jiwa. Akhirnya sang nyai harus pergi tinggalkan pondok untuk mencari lelaki lain sebagai pemuas harapannya. Suto Sinting biarkan perempuan itu pergi, karena ia yakin akan kembali lagi. la juga tahu bahwa kekalahannya sedang ditunggu-tunggu oleh sang nyai. Jadi tak mungkin Nyai Sapu Lanang pergi selamanya tinggalkan mangsa di pondoknya.

Pada saat sang nyai pergi itulah, Suto Sinting pergunakan waktu untuk berlatih jurus tangan kosongnya sambil membuang hasrat yang bergolak akibat 'Racun Gugah Jantan'. Namun ketika ia selesai menenggak tuaknya, tiba-tiba sepasang mata yang dari tadi meng-intipnya dari balik celah dedaunan semak itu berkelebat muncul dan berdiri di depan Suto Sinting. Kemunculannya membuat Suto Sinting sempat terperanjat sesaat. Matanya memandang dengan sedikit mengecil karena pandangan mata Suto pun mengalami keburaman karena penuaannya itu.

"Jurus-jurusmu cukup aneh sekali, Kek! Kalau boleh kutahu, siapa dirimu? Apakah kau kakeknya Nyai Sapu Lanang?!"

Orang yang menyapa Suto Sinting itu adalah seorang wanita berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, berpotongan tubuh menggiurkan, dadanya mon-tok,mengenakan pinjung penutup dada ketat warna hijau muda berhias benang emas kuning.

Celananya juga ketat berwarna hijau muda dengan hiasan benang emas pada tepian celana. Pakaian itu dibungkus dengan baju jubah tanpa lengan yang panjangnya sampai betis. Jubah itu berwarna kuning kunyit. Di pinggangnya terselip kipas warna kuning emas. Rambutnya lepas terurai sepanjang punggung, dililit dengan hiasan kepala berwarna kuning emas.

Seraut wajah cantik yang pandangi Suto Sinting tanpa kesan terpikat itu segera didekati oleh sang pendekar beruban. Wajah berhidung mancung dan ber-mata bening ditatapnya lebih dalam lagi, kemudian barulah Suto perdengarkan suaranya yang bergetar bagai suara orang lanjut usia.

"Siapakah dirimu, Nona Cantik?"

"Namaku Teratai Kipas. Kurasa Nyai Sapu Lanang mengenal namaku.Dan sekarang pun aku ingin bertemu dengannya."

"Untuk apa kau ingin menemuinya, Nona?"

"Bikin perhitungan dengannya! Kuharap kau jangan menghalangi niatku, Kakek Tua. Aku tak ingin melibatkan dirimu dalam urusanku dengan Nyai Sapu La­nang!" kata Teratai Kipas dengan nada tegas. Dari ucapannya yang tegas itu terpancar dendam yang tersembunyi di dalam dada wanita cantik berkulit putih itu.

"Boleh kutahu masalahnya, Nona?" tanya Suto Sinting dengan sikap ramah.
"Siapa dirimu sebenarnya? Sebutkan dulu!"
"Namaku Suto Sinting. Aku bukan kakeknya Nyai Sapu Lanang."

Wanita itu tercenung sesaat sambil menggumam, "Suto...? Suto Sinting...?!"
"Ada yang menyangsikan dirimu, Nona Teratai Kipas?"

"Tidak ada," jawab Teratai Kipas jelas-jelas. "Aku hanya merasa pernah mendengar nama Suto Sinting, tapi... kurasa bukan kau orangnya."

Pendekar Mabuk yang menyerupai seorang kakek itu tersenyum kecil. Matanya masih memandang Teratai Kipas yang menatap penuh curiga. Kejap berikut terdengar Teratai Kipas perdengarkan suaranya yang lembut namun punya ketegasan tersendiri di dalamnya.

"Nyai Sapu Lanang berhutang nyawa padaku. Dia yang membuat adikku menjadi gila dan akhirnya bunuh diri karena kasmaran kepadanya tiada berkesudahan! Kekuatan ilmu pemikatnya membuat kematlan adikku; Arya Wuka yang masih berusia dua puluh tahun itu. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini dan harus membalas dengan kematian Nyai Sapu Lanang sendiri. Jadi, urusan ini tak ada sangkut pautnya denganmu, Ki Suto Sinting. Kuharap kau jangan mencampuri urusanku ini."

Terasa aneh hati Suto Sinting mendengar dirinya dipanggil 'Ki Suto Sinting'. Ada rasa janggal, malu, dan sedih yang tipis. Batinnya bertanya, "Sudah setua itukah diriku sehingga dipanggil 'Ki Suto Sinting' oleh si cantik ini? Padahal usianya mungkin sejajar denganku. Tapi haruskah aku tersinggung karena dipanggil 'Ki Suto Sinting' olehnya? Oh, kenyataan ini, ketuaan ini yang membuatku mendapat panggilan 'Ki Suto Sinting'. Aku tak salahkan dirinya, karena memang sosokku sudah tampak tua."

Terdengar lagi Teratai Kipas berkata, "Kumohon padamu, Ki Suto... panggillah Nyai Sapu Lanang, dan suruh dia berhadapan denganku. Aku ingin bertarung dengannya secara hormat. Bukan dengan mengamuk kasar dan liar. Tapi kalau kau tak mau memanggilnya keluar dari pondok itu, maka jangan salahkan diriku jika pondok itu kuhancurkan bersama dirinya. Nyai Sapu Lanang pantas dimusnahkan agar tidak menjadi perusak kaum lelaki lainnya!"

Sinting masih tampak tenang. Matanya memandang sebentar ke arah pondok yang dipunggunginya, lalu kembali menatap Teratai Kipas dengan sikap ramahnya yang masih ada, senyum tipis yang masih menghiasi wajah tuanya.

"Nyai Sapu Lanang tidak ada. Dia sedang pergi."
"Aku tidak percayal" tegas Teratai Kipas.
"Aku berkata yang sebenarnya, Teratai Kipas."

"Kalau begitu aku harus menggeledah pondok itu!" Teratai Kipas segera berkelebat menuju ke dalam pondok. Tapi Suto Sinting bergerak lebih cepat hingga ta-hu-tahu sudah berada di depan pintu menghadang langkah Teratai Kipas. Wajah dan sikapnya masih tampak tidak bermusuhan, walaupun wanita cantik itu kelihatan geram dan memendam kedongkolan yang besar di hatinya.

"Percayalah, sekalipun kau obrak-abrik isi pondok ini kau tak akan menemui Nyai Sapu Lanang, Nona! Dia pergi sejak tadi pagi."

"Menyingkirlahl" ucapnya bernada ketus dan memandang sinis.

Suto Sinting tarik napas dengan senyum kalem. Melihat kepenasaran Teratai Kipas, akhirnya Pendekar Mabuk menyingkir dari depan pintu dan membiarkan Teratai Kipas lakukan penggeledahan di dalam pondok. Suto Sinting sengaja menunggu di luar pondok sambil meneguk tuaknya kembali. Beberapa saat kemudian, Teratai Kipas keluar kembali dengan wajah cemberut bagaikan menemukan kekecewaan yang kian menjengkelkan hati.

"Pergi ke mana dia?!" tanyanya mulai semakin ketus. Suto Sinting angkat bahu pertanda tidak tahu. Tapi Teratai Kipas tak percaya dan semakin jengkel karena menganggap dipermainkan oleh Suto.

"Kalau kau tak mau sebutkan ke mana perginya, aku akan bicara dengan tangan dan mungkin senjata kipasku akan merobek kulit tuamu, Ki Suto!"

"Aku memang tidak tahu ke mana perginya."
"Baiklah. Jawaban itu berarti memaksaku untuk melakukan kekerasan agar kau buka mulut!"

Wuuut...! Teratai Kipas segera bergerak. Tangannya berkelebat bagaikan menampar dalam jurus cakar. Weees...! Hampir saja wajah tua Suto Sinting terkena cakaran kuku yang tak seberapa panjang tapi runcing tajam itu. Jaraknya yang hanya satu langkah telah membuat Teratai Kipas kembali mencakar bagai ingin merobek dada Suto Sinting. Wuuuss...! Deeb...! Tangan itu ditangkis oleh lengan kiri Suto Sinting.

Perpaduan tulang lengan dengan pergelangan tangan membuat Teratai Kipas hentikan serangannya sejenak. Hatinya sempat membatin,

"Gila! Sudah setua itu tapi tulangnya masih keras. Tenaga dalamnya tersalur dengan baik. Pergelangan tanganku menjadi linu, bahkan sampai ke pangkal pundak rasa linunya. Aku harus hati-hati dengannya!"
Pendekar Mabuk perdengarkan suaranya yang masih tetap kalem, "Kumohon jangan paksa diriku untuk mengatakan ke mana kepergian perempuan itu. Aku benar-benar tidak bisa menolongmu. Jangan gunakan kekerasan untuk hal yang tidak kuketahui, Teratai Kipas!"

"Omong kosong! Kau pasti tahu!"
"Baiklah. Sekalipun misalnya aku mengetahuinya, aku tidak akan sebutkan di mana dia berada!"
"Kau memang perlu mendapat pelajaran dan tidak menganggapku sebagai anak kecil, Suto Sinting!

Hiaaah...!"

Teratai Kipas berkelebat arahkan tendangannya ke dada Suto Sinting. Gerakan kaki lurus itu ternyata hanya sebuah tipuan, karena kejap berikut ia menyentak naik dan kaki kirinya yang berkelebat dari samping menendang tepat kenai bagian bawah ketiak Suto Sinting.

Duuuhg... !

"Uhg...!" Suto Sinting terlempar ke samping walau tak sampai jatuh. Tapi ia mulai rasakan patah tulang ru-suknya karena tendangan kaki kiri itu disaluri tenaga dalam tinggi. Untung Suto Sinting dapat segera tarik napas dalam-dalam dan salurkan hawa murninya sendiri ke tempat yang sakit, sehingga rasa tulang rusuk patah itu segera berkurang.

"Hiaaat...!" Teratai Kipas berkelebat menerjang Suto dalam satu lompatan. Suto Sinting terpaksa menyambutnya sekadar memberi bukti bahwa dirinya memang tidak tahu ke mana kepergian perempuan penyapu kaum lelaki itu. Suto Sinting melompat dengan bumbung tuak menggantung di pundak. Lalu di udara mereka saling beradu telapak tangan. Plak, plak...! Wuuuut...! Brruk...! Teratai Kipas seperti mendapat daya hentak dari tendangan seekor banteng yang sedang mengamuk. Hentakan gelombang tenaga dalam dari telapak tangan Pendekar Mabuk membuatnya terpental jauh, sekitar delapan langkah baru jatuh terseret mundur dalam keadaan duduk miring tak bisa jaga keseimbangan tubuh. Hampir saja bagian belakang kepala Teratai Kipas membentur sebongkah batu jika tak segera menahan napas agar gerakan terseretnya terhenti.

"Orang tua nakal kau rupanya!" geram Teratai Kipas. "Jangan sangka aku jera dengan kekuatan tenaga dalammu itu, Ki Suto! Terimalah jurus kipasku ini!" Seet...! Kipas emas dicabut dari pinggang. Dalam satu lompatan kipas itu dikibaskan ke arah depan. Wuuus...! Lalu berhamburanlah serbuk-serbuk hitam yang menyebar ke arah Suto Sinting.

"Racun...!" pikir Suto Sinting seketika itu. Maka ia pun segera gunakan 'Gerak Siluman'-nya hingga mampu berkelebat pergi menghindari kibasan kipas yang menghadirkan serbuk-serbuk hitam itu. Zlaaap...!

Serbuk hitam itu jatuh menghujani bongkahan batu yang tadi ada di belakang Suto Sinting. Batu itu menjadi retak perlahan-lahan dan akhirnya terbelah menjadi beberapa bagian. Belahan-belahan itu segera berubah menjadi serbuk halus bagaikan ditumbuk dengan palu go-dam raksasa.

"Beruntung kau dapat hindari 'Serbuk Pelebur Nyawa' dariku. Kalau tidak kau akan menjadi tepung lembut seperti batu itu, Pak Tua!" kata Teratai Kipas dengan wajah memancarkan keberangan.

"Sekarang kau tahu aku tidak main-main lagi, Ki Suto! Jadi sebaiknya kau pun jangan anggap remeh pertanyaanku tadi. Katakan ke mana perginya Nyai Sapu Lanang itu?!"

"Jawabanku tetap sama walaupun kau kerahkan seluruh ilmumu untuk menyerangku, Nona Cantik! Sudah kukatakan, seandainya aku tahu tetap tidak akan kukatakan, apalagi dalam keadaan aku benar-benar tidak tahu, tetap tidak bisa kukatakan ke mana perginya si perempuan pemburu lelaki itu!"
"Jika begitu, mungkin inilah kunci pembuka mulutmu! Hiaaat...!"

Teratai Kipas melemparkan kipasnya dalam keadaan terbuka. Kipas emas bergambar bunga teratai itu melayang cepat menerjang Suto Sinting. Wuuus...! Tepian kipas itu menyala merah, bagaikan dikelilingi oleh kawat membara. Kipas itu bergerak memutar dengan cepat hingga tepiannya yang menyala merah bara itu memercikkan bunga-bunga api satu arah putaran.

Sinting segera menghantam kipas itu dengan bumbung tuaknya. Wuuut.... Blegaaar...! Cahaya terang warna merah berkelebat besar. Kilatan cahaya merah dari hasil benturan kipas dengan bumbung tuak sampai nyaris menjilat dedaunan di atas pohon. Tentu saja hentakan daya ledaknya cukup besar dan membuat Suto Sinting serta Teratai Kipas sama-sama terpental ke belakang bagaikan terlempar oleh kekuatan maha dahsyat.

Sekitar dua-tiga dahan patah seketika dan tumbang dengan sendirinya. Sedangkan kedua orang tersebut sama-sama terkapar dalam jarak sekitar enam tombak jauhnya dari tempat mereka berdiri semula.

Dedaunan semak dan ranting pohon kecil diterabas oleh lemparan tubuh mereka hingga rusak bagaikan dilanda seekor kerbau yang mengamuk membabi buta.

Kekuatan tenaga dalam pada kipas emas itu sangat besar. Jika tidak, daya ledaknya tak mungkin sehebat itu. Sementara di sisi lain Teratai Kipas sendiri berkeyakinan bahwa bumbung tuak itu menyimpan tenaga sakti yang amat besar. Jika tidak tentunya benturan tadi tak akan hadirkan gelombang daya ledak yang begitu kuat.

"Dadaku terasa sakit sekali, seperti habis terhimpit pilar besar!" kata Teratai Kipas sambil berusaha bangkit berdiri. Ucapannya itu dilanjutkan lewat kata hati seraya ia berusaha bersandar pada sebuah pohon berukuran sedang.

"Oh... panas sekali. Cuih...!" Teratai Kipas meludah, ternyata yang diludahkan segumpal darah kental. "Aku terluka dalam. Aduuuh... panasnya dadaku. Napas terasa mengandung hawa panas. Oh, bahaya sekali luka dalamku ini! Benar-benar gila bumbung tuak itu. Biasanya kipasku justru mampu memotong pohon besar dalam sekali lempar, ini justru tak mampu memotong bambu yang besarnya hanya dua genggaman tangan!"

Mata wanita cantik itu melirik ke arah terjadinya benturan kipas dengan bumbung tuak. Ternyata kipas itu dalam keadaan tergeletak di tanah tanpa rusak se­dikit pun. Tapi nyala pijar merah di tepiannya telah padam. Tanah di tempat terjadinya ledakan dahsyat tadi menjadi cekung ke dalam bagaikan habis kejatuhan batu besar dari puncak pohon cemara.

Dengan terhuyung-huyung Teratai Kipas menghampiri senjatanya dan memungutnya kembali. Saat memungutnya ia hampir saja tersungkur jika tidak se­gera menopang tubuh dengan tangan kiri dan lutut kirinya. Sedangkan Suto Sinting berjalan dari tempatnya terkapar dalam keadaan sehat. Langkahnya sedikit lamban dan kurang gagah karena pengaruh ketuaannya. Rupanya ia tadi sudah segar kembali.

"Teratai Kipas, kau terluka dalam cukup parah. Kusarankan minumlah tuakku ini beberapa teguk untuk mengobati luka dalammu itu!"

"Hmm...!" Teratai Kipas bangkit dengan limbung, lalu berusaha untuk berdiri tegak walau kedua kakinya tampak bergetar samar-samar. la memandang dengan sikap curiga ketika Suto Sinting menyodorkan bumbung tuaknya.

"Kau pikir aku lawan yang mudah kau jebak dengan racun tuakmu itu?" katanya sebagai pelampiasan sikap curiga kepada tuak tersebut.

Suto Sinting tersenyum tipis. Masih tidak menampakkan sikap bermusuhan. Sementara hati Teratai Kipas segera membatin, "Dia tetap segar dan tak menjadi pucat sedikit pun. Hebat sekali?! Apakah karena ia meminum tuaknya?"

Pendekar Mabuk segera melangkah pergi pelan-pelan sambil berkata, "Kalau tak mau disembuhkan ya sudah! Aku tak akan memaksamu."

"Tunggu!" sergah Teratai Kipas. la bergegas mendekati Pendekar Mabuk yang sengaja hentikan langkah sambil melirik ke belakang.

"Apa sangsinya jika ternyata kau meracuniku dengan tuak ini?"

"Tak ada sangsinya! Aku tak jadi berikan tuakku untukmu!" jawab Suto Sinting sambil lanjutkan langkah hendak masuk ke dalam pondok yang salah satu dinding kayunya jebol akibat gelombang ledakan dahsyat tadi. Tapi karena dada Teratai Kipas semakin panas, dan ia meludahkan darah kental lagi dari mulutnya, maka kecemasan yang mencekam hati telah membuatnya bergegas mengejar Suto kembali, lalu mencekal pundak Pendekar Mabuk yang tidak dikenalinya itu.

"Berikan tuakmu!" katanya masih tak ramah. "Jangan, Nanti kalau kau mati aku yang dituntut arwahmu," goda Suto Sinting.

"Aku percaya padamu, Ki Suto!" Suto Sinting berbalik badan, kini wajah pucat pasi itu dipandanginya dalam senyum ramah seorang lelaki tua. Bumbung tuak diberikan, dan Teratai Kipas segera menenggaknya.

Beberapa saat setelah itu, Teratai Kipas merasakan ada perubahan dalam dadanya. Dada yang panas menjadi dingin. Dada yang sakit menjadi lega dan sehat. Tubuhnya yang lemas menjadi kuat kembali.

Tapi wanita cantik itu menjadi tertegun merasakan perubahan yang cepat itu. la merasa heran dan terkagum-kagum dalam hati, karena ia merasakan tubuhnya segera menjadi lebih segar dari sebelum melakukan pertarungan dengan si tua aneh itu.

Ki Suto..., siapa sebenarnya dirimu dan ada hubungan apa dengan Nyai Sapu Lanang itu? Tolong je laskan agar aku tak salah anggapan terhadapmu!"SEBATANG kayu kering terbujur di samping pondok, letaknya tepat di bawah sebongkah batu sebesar rumah yang tersumbul dari kemiringan tanah lereng. Cahaya matahari terpayungi batu besar itu. Batang pohon yang sudah lama tumbang itu menjadi tempat duduk Suto Sinting dan Teratai Kipas yang telah saling berdamai setelah Suto jelaskan mengapa ia berada di pondok itu. Tapi Suto Sinting belum memberitahukan apa tujuannya datang ke Gunung Kundalini dan siapa sebenarnya dirinya itu.

"Adikku diculik oleh Menak Goyang, muridnya Malaikat Miskin dari Perguruan Tongkat Sakti. Saat aku mengejar Menak Goyang itulah aku dihadang oleh Nyai Sapu Lanang dan terkena racun tersebut, sehingga keadaanku menjadi setua ini."

"Bukankah 'Racun Gugah Jantan' hanya berguna untuk membangkitkan gairah seorang lelaki agar bersemangat mengarungi lautan cinta bersamanya?"

"Benar. Tapi apabila gairah itu tertahan, maka sifatnya berubah menjadi racun penua raga. Apabila aku mau layani perempuan itu, aku tidak akan lekas menjadi tua seperti ini. Walau gairahku tetap melonjak-lonjak asalkan tetap disalurkan kepadanya, penuaan tidak akan terjadi pada diriku."

Teratai Kipas manggut-manggut. "Kalau begitu selama ini kau menolak ajakan bercintanya?"
"Benar. Aku tak mau melayaninya walau satu kali saja."

"Mengapa kau sebodoh itu? Seharusnya kau mau melayaninya demi keselamatan ragamu agar tak menjadi lekas tua begini! Kau sudah terkena racun itu dan hanya dia yang mempunyai obat penawarnya. Mengapa kau tak mau menyerah saja?"

"Aku tak tega menodai cinta. Aku harus menjaga kesucian cintaku kepada seseorang yang amat kusayangi. Sebab itu aku memilih bertahan berada di dekatnya dengan harapan suatu saat dapat membujuknya memberikan obat penawar itu. Dan aku terpaksa menjaga keselamatan jiwanya, sebab kalau dia mati, aku tak akan dapatkan obat penawa racun itu. Dia sendiri berharap aku menyerah dan pasrah padanya padanya jika setiap saat dibangkitkan gairahnya dan aku harus tersiksa menahan gejolak batin."

Teratai Kipas diam termangu beberapa saat. Batinnya sempat berkecamuk sendiri tiada yang tahu.

"Alangkah setianya Suto Sinting ini kepada orang yang dicintainya. Jarang sekali ada lelaki sesetia dia! Padahal seandainya ia mau layani Nyai Sapu Lanang, toh kekasihnya tidak mengetahuinya. Tapi agaknya ia membenci pengkhianatan diri pribadi. la tidak mau berbuat tak senonoh dengan perempuan lain walau sang kekasih tak melihatnya. Oh, alangkah agung dan mulianya cinta orang ini. Hanya saja... mengapa Nyai Sapu Lanang sangat berharap dan penasaran sekali kepada orang ini, hingga melepaskan 'Racun Gugah Jantan'? Apakah orang ini sebelum mengalami penuaan berwajah tampan? Hmm...! Seperti apa ketampanannya itu, sampai sang nyai dibuat penasaran? Kurasa wajar-wajar saja. Ketampanannya tidak akan melebihi Raden Panji, kekasihku yang mati terbunuh di tangan lawannya itu.Ah... entah seperti apa ketampanannya, aku tak akan tertarik. Aku hanya merasa kasihan dengan nasibnya yang menjadi tua begini sementara adik nya ada dalam penawanan si Malaikat Miskin."

Pendekar Mabuk meneguk tuaknya lagi. Setelah itu terdengar suara Teratai Kipas ajukan tanya, "Mengapa adikmu diculik Menak Goyang?"

"Aku dituduh mencuri pisau pusaka milik Malaikat Miskin!"
"Maksudmu, Pisau Tanduk Hantu?"
"Ya. Rupanya kau tahu tentang pisau itu?!"

"Aku kenal Malaikat Miskin. Aku kenal orang-orang perguruan itu, karena almarhum kekasihku dulu memang orang Perguruan Tongkat Sakti."

"Kalau begitu kau tentunya tahu di mana letak Perguruan Tongkat Sakti?!"

"Sangat tahu!" jawab Teratai Kipas. "Kau ingin agar aku mengantarmu ke sana dan membantu merebut adik kecilmu itu?"

"Hanya menunjukkan tempatnya saja. Soal merebut adikku itu urusanku. Aku bisa menanganinya sendiri."

"Apa keuntunganku jika mengantarmu ke sana?"

Suto Sinting diam sambil tersenyum tanpa memandang Teratai Kipas. la segera angkat pundak dan berkata, "Aku tak tahu apa yang kau harap dari jasamu nanti. Kau punya keinginan apa, Teratai Kipas?"

"Membalaskan dendamku pada Nyai Sapu Lanang! Aku tahu dia cukup sakti, ilmuku kalah tinggi dengannya. Walau aku punya siasat sendiri untuk menumbangkannya, tapi aku akan cedera melawannya. Kalau kau kutolong pergi ke Perguruan Tongkat Sakti, tentunya aku berharap kau membantuku dalam melapiaskan dendamku kepada Nyai Sapu Lanang."

"Apakah dendam itu cara penyelesaian yang baik?"

"Menurutku memang begitu! Aku tak peduli apa anggapan orang tentang dendam. Yang jelas, jiwaku menjadi dituntut terus, seakan didesak oleh roh adikku untuk membalaskan sakit hatinya kepada Nyai Sapu Lanang."

Keras sekali kemauan wanita cantik itu. Suto Sinting merasa percuma menyadarkan Teratai Kipas agar jangan menuruti nafsu dendam. Karena dilihatnya, bagi Teratai Kipas tak ada cara lain untuk membalaskan sakit hatinya kecuali dengan melampiaskan dendam. Maka Pendekar Mabuk pun segera berkata,

"Aku bisa membantumu jika Nyai Sapu Lanang sudah memberiku obat penawar 'Racun Gugah Jantan'. Jika ia belum memberiku obat penawar, aku masih bersikap menjadi pelindungnya. Kurasa kau bisa memahami mengapa aku bersikap demikian."

"Ya, aku bisa memahaml maksudmu."

Suto Sinting tarik napas dalam-dalam karena ia mulai merasakan hasratnya meletup-letup. Pandangan matanya sudah berusaha dihindarkan dari gumpalan dada putih sekal, tapi bayangan sebentuk kehangatan di dada itu masih sesekali menggoda benak dan membangkitkan gairah. Suto Sinting yang cepat dibakar api asmara itu menjadi geiisah. Napasnya terasa mulai tidak teratur. la pun berucap kata dalam batinnya,

"Celaka! Hasratku timbul kembali karena terlalu lama berdekatan dengan Teratai Kipas. Ah, gawat juga kalau begini! Aku membayangkan sedang bercumbu dengan Teratai Kipas. Mati aku, Mak...! Jantungku berdetak cepat dan jiwaku memberontak menuntut pemu-asan batin. Apa yang harus kulakukan jika begini? Apa...?!" Suto Sinting menjadi bingung sendiri dan dicekam kegeiisahan yang menjengkelkan.

Terdengar pula suara Teratai Kipas berkata, "Aku mau membantumu, tapi kau harus berjanji akan membantuku menumbangkan Nyai Sapu Lanang jika kau telah dipulihkan dalam keadaan raga sebenarnya. Kau mau berjanji, Suto?"

"Baik. Aku berjanji!" jawab Suto dengan napasnya tampak memberat dan keringat dinginnya mulai membersit di kening.

Teratai Kipas memandang heran melihat perubahan sikap Suto Sinting yang geiisah dan resah itu. Maka terlontarlah pertanyaan dari mulut berblbir mungil dan sedikit tebal menggemaskan itu,

"Ada apa?! Mengapa wajahmu menjadi pucat, na-pasmu menjadi cepat dan kau tampak tak tenang. Ada apa sebenarnya?"

"Hmm... eeh... tidak apa-apa," jawab Suto Sinting dengan rasa malu. "Sebaiknya sekarang juga kita pergi ke Perguruan Tongkat Sakti. Kau bersedia?" tanya Suto Sinting dengan suara semakin lirih.

"Baik. Aku bersedia!" tegas Teratai Kipas. "Tapi jelaskan dulu mengapa kau menjadi sepucat itu?"
"Hmm... penjelasannya nanti saja. Apakah... apakah kau sanggup berlari cepat seperti anak panah lepas dari busurnya?"

Tentu saja aku bisa lakukan hal itu. Apa maksudmu bertanya demikian?"

"Kita adu kecepatan lari. Tentukan arah yang harus kita tuju, dan kita akan berlomba kecepatan lari ke arah sana!"

Teratai Kipas sunggingkan senyum tipis, namun wajah cerianya terpapar jelas di mata Suto Sinting. Senyuman itu mempunyai lesung pipit, walau tak seberapa jelas namun cukup mengingatkan pikiran Suto Sinting kepada seraut wajah pemilik lesung pipit. Wajah itu tak lain adalah wajah kekasihnya; Dyah Sariningrum. Semakin tergoda kasmaran hati Suto Sinting, semakin mencekam hasrat bermesraannya membakar darah.

Maka, Suto pun segera mengawali adu kecepatan berlari. Karena dengan begitu ia akan menjadi leiah dan kelelahan itulah yang mampu membuat darah kemes-raannya menjadi dingin, tak sepanas saat itu. Teratai Kipas tak tahu maksudnya, ia hanya menyangka Suto Sinting ingin unjuk kebolehan dalam kecepatan berlarinya. Padahal Suto berlari tidak dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam penuh. la juga tidak pergunakan ilmu peringan tubuhnya, sehingga ia tertinggal jauh oleh Teratai Kipas. Tapi justru keadaan itulah yang membuat Suto terhindar dari gairahnya.

Perguruan Tongkat Sakti ternyata terletak di lereng Gunung Kundalini juga. Letaknya agak tinggi dari tempat pondoknya Nyai Sapu Lanang. Lebih tepatnya sebelah utara saat Suto Sinting pertama kali bertemu dengan Nyai Sapu Lanang. Sebenarnya saat itu Suto tinggal beberapa waktu lagi sudah mencapai Perguruan Tongkat Sakti. Tapi karena terhalang Nyai Sapu Lanang ia jadi menunda waktu datang ke perguruan tersebut.

Perguruan itu dikeliiingi oleh benteng kayu yang rapat dan kokoh. Pada tiap sudut terdapat menara pengawas yang dijaga oleh satu orang untuk satu menara.

Hal itu mempersempit kemungkinan pencuri masuk ke bangunan pusat perguruan yang ada di tengah benteng kayu itu. Anehnya justru perguruan itu sedang dilanda musibah dengan masuknya seorang pencuri yang berhasil membawa lari Pisau Tanduk Hantu. Sudah pasti pencurinya orang berilmu tinggi karena bisa menerobos masuk ke benteng yang dijaga ketat itu.

"Bagaimana caranya masuk tanpa menimbulkan korban?" tanya Suto Sinting kepada Teratai Kipas.

"Itu yang sedang kupikirkan," jawab Teratai Kipas dengan mata pandangi benteng perguruan itu. "Jika benar Pisau Tanduk Hantu dicuri orang, maka mereka juga akan mencurigai diriku sebagai pencurinya. Sebab akulah orang yang dulu sering keluar-masuk benteng itu selama menjadi kekasih Raden Panji. Ini yang mem-buatku agak ragu untuk mendekati secara baik-baik."

Pendekar Mabuk mau ucapkan kata, tapi tiba-tiba niatnya diurungkan karena melihat sekelabat bayangan biru melintas menuju gerbang benteng. Mata tua Suto sempat menangkap seraut wajah yang dikenalnya sebagai milik Menak Goyang. Maka dengan gerakan cepat ia pun menghadang langkah gadis berjubah biru itu.

Zlaaap...!

Melihat Suto Sinting menghadang seseorang, Teratai Kipas ikut menyusulnya dengan gerakan cepat pula. ia sempat merasa heran melihat Suto Sinting mampu bergerak lebih cepat dari saat beradu lari tadi, namun pikiran tersebut segera dihilangkan. Kini perhatian Teratai Kipas terpusat pada Menak Goyang yang terkejut melihat Suto Sinting menghadang langkahnya.

"Siapa kau? Mau apa menghadangku?" tanya gadis itu sambil kakinya bergoyang-goyang tak bisa diam. Rupanya ia tidak mengenali Suto Sinting karena penampilan Suto yang seperti seorang kakek itu.
"Kita masih punya urusan yang belum selesai, Menak Goyang."

Gadis itu kerutkan dahinya. Tapi semakin heran ketika dilihatnya Teratai Kipas muncul dan mengambil tempat di samping Suto Sinting. Seakan Teratai Kipas tunjukkan sikap memihak kepada Pendekar Mabuk yang masih belum dikenal oleh Menak Goyang itu.

"Teratai Kipas...?! Apa maksudmu membawa kakek tua ini datang kemari?!"

"Jika tak ada urusan penting denganmu tak mungkin dia datang kemari," jawab Teratai Kipas dengan tenang.

"Siapa Pak Tua ini sebenarnya?! Aku merasa tak punya urusan dengannya!"

Suto Sinting segera menjawab, "Bukalah matamu baik-baik, Menak Goyang. Walau keadaanku menjadi setua ini tapi tentunya kau masih ingat dengan seseorang yang kau sebut-sebut sebagai Pencuri Tampan?!"

Setelah mempertegas penglihatannya, Menak Goyang terperanjat jelas-jelas. Matanya melebar mulutnya ternganga. Sebentar kemudian terdengar ia berucap,

"Kau rupanya...?!"

"Benar! Aku orang yang kau tuduh pencuri pusaka gurumu! Aku datang untuk mengambil adikku yang kau bawa lari itu!"

"Apakah pisau itu sudah kau bawa juga sekarang ini?"
"Selamanya aku tak pernah memiliki pisau itu, karena bukan aku pencurinya!"

"Kalau kau datang tanpa membawa Pisau Tanduk Hantu, kami tak akan mau serahkan adikmu yang aneh itu!" kata Menak Goyang.

Teratai Kipas menengahi dengan sikap tenangnya, "Menak Goyang, kau salah orang. Kau hanya bikin penyakit saja. Dia bukan pencuri pisau itu!"

"Kau tak perlu ikut campur, Teratai Kipas. Guru akan marah kepadamu kalau kau ikut campur urusan Ini. Kecuali jika ternyata kaulah pencurinya, maka urusan ini memang menjadi urusanmul"

"Jangan menuduh sembarangan, Menak Goyang! Aku bisa marah padamu!" Menak Goyang justru mendekat dengan sikap me-nantang. "Apakah kalau kau marah lantas aku takut padamu?!"

Kalau kau tak takut padaku, coba serang aku lebih dulu!" pancing Teratai Kipas dengan mata jell menatap calon lawannya.

"Rupanya kau ingin bukti keberanianku? Terlmalah ini, hiaaah...!"

Menak Goyang lepaskan tendangan memutar dengan cepat. Sasaran kaki yang berkelebat adalah wajah Teratai Kipas. Namun dengan cekatan tangan Teratai Kipas menghantam mata kaki itu dengan kepalan kerasnya. Dees...!

"Aauh...!" Menak Goyang terpekik ketika tubuhnya terpelanting dan jatuh di samping Suto Sinting.

Ketika ia berusaha bangkit, Suto Sinting segera menyentakkan tangannya. Kedua tangan yang menguncup itu menghantam dengan gerakan limbung seperti orang sedang mabuk. Pukulan itu mengenai tubuh Menak Goyang dengan cepat dan beruntun, sulit dilihat oleh mata orang biasa. Des, des, des, des...! Serangkaian jurus totokan mengenai sasaran dengan te-lak. Menak Goyang jadi terkulai lemas bagai kehilangan seluruh urat tubuhnya. Tulang-tulangnya seakan telah remuk dan tak bisa digerakkan sedikit pun. Namun kesadarannya masih ada, masih bisa merintih dan bicara.

Suto Sinting menakut-nakuti dengan kata, "Mudah sekali bagiku untuk membuat kau kehilangan kepala. Sekarang pun bisa kulakukan. Tapi kuberi kesempatan padamu untuk membawa kami menghadap gurumu; si Malaikat Miskin itu. Jangan ada pihakmu yang menyerang kami. Jaminannya adalah nyawamu. Sekali totok lagi, nyawamu akan lenyap dari raga!"

"Bbba... baik... baik akan kubawa kalian menghadap Guru, tapi bebaskan dulu totokan ini!"
"Tidak bisa! Kau akan kami seret sampai di depan gurumu!" kata Suto Sinting tanpa senyum sedikit pun walau wajahnya tidak berkesan angker.

Dengan cara menyeret Menak Goyang, mereka mendekati pintu gerbang benteng. Teratai Kipas menyangga ketiak kanan Menak Goyang dan Suto Sinting menyangga ketiak kiri gadis itu. Kaki Menak Goyang terseret bagian telapaknya karena tak mampu menapak sedikit pun.

"Menak Goyang...!" seru penjaga pintu gerbang. Empat orang itu segera mengepung Suto Sinting dan Teratai Kipas. Mereka bersiap melepaskan serangan. Tetapi Menak Goyang melirik tangan Suto Sinting tetap menguncup berarti siap lepaskan satu pukulan yang akan mencabut nyawanya. Menak Goyang ngeri, dan segera berseru kepada keempat penjaga gerbang,

"Jangan serang mereka! Nyawaku terancam! Buka pintu gerbang dan bawa kami menghadap Guru!"

"Tapi...."

"Jangan membantah perintahku!" sergah Menak Goyang dengan kepala masih bisa bergerak-gerak tak mau diam.

Teratai Kipas sempat menggerutu pelan, "Dasar Menak Goyang, biar ditotok masih saja bisa goyang-goyangkan kepala!"

Pintu gerbang dibuka, Suto Sinting membawa masuk Menak Goyang bersama Teratai Kipas. Semakin banyak murid perguruan yang melihat keadaan itu semakin banyak yang mengepung dari kejauhan. Wajah-wajah mereka tampak tegang, karena Menak Goyang yang dikenal sebagai murid tertinggi di situ bisa dilumpuhkan oleh dua tamu tak diundang, berarti kedua tamu itu berilmu tinggi. Begitu setidaknya jalan pikiran para murid Malaikat Miskin itu.

Seorang lelaki berambut rata, kurus dan tinggi, matanya cekung, tulang pipinya bertonjolan, muncul menghadang langkah Suto Sinting dan Teratai Kipas yang hendak memasuki ruang pertemuan.

Teratai Kipas bUikkan kepada Suto, "Pak Tua yang memakai jubah abu-abu itu si Malaikat Miskin."

Suto Sinting hanya anggukkan kepala sambil masih tetap menopang tubuh Menak Goyang. Matanya memandang orang yang memakai jubah abu-abu ber-tambal kain warna-warni hingga nyaris tak terlihat lagi warna abu-abunya.

Malaikat Miskin yang berpakaian mirip gelandangan itu mengenakan ikat kepala hitam dengan bertambal kain kecil-kecil. Celananya pun hitam dengan tambalan di sana-sini. la mempunyai mata cekung yang memandang dengan dingin. Menggenggam tongkat putih yang ujungnya bercabang tiga pendek-pendek. Sepertinya tongkat dari kayu pohon biasa. Tanpa ukiran dan hiasan apa pun.

Menak Goyang segera dilemparkannya dan jatuh terpuruk bagaikan sarung basah. Melihat Menak Goyang terlempar jatuh di depan kakinya, Malaikat Miskin memandang dengan lebih tajam lagi. Giginya tampak sedang menggeletuk menahan amarah. Mata tajam itu segera berpindah dari Suto ke Teratai Kipas. Suara Malaikat Miskin terdengar berat.

"Apa maksudmu datang kemari secara bermusuhan, Teratai Kipas?!"

"Aku mengantarkan orang ini, Eyang Guru!" jawab Teratai Kipas masih menghormat Malaikat Miskin seperti saat menjadi kekasih Raden Panji dengan sebutan Eyang Guru.

"Apa perlunya datang kemari dengan melumpuhkan Menak Goyang muridku?!" tanyanya lagi dengan nada datar dan suara berat.

Suto Sinting yang menyahut, "Aku datang untuk mengambil adikku!"

"Siapa adikmu?!"

Belum sempat dijawab, tiba-tiba dari arah dalam ruang pertemuan muncul gadis kecil berlari-lari. Gadis itu berusia sekitar empat tahun. Dan Suto Sinting terbe­lalak kaget melihat bocah kecil itu ternyata adalah Sumbaruni yang sudah semakin menyusut. la mirip bocah berusia empat tahun yang belum bisa berlari dengan tegar. Malaikat Miskin segera menyambar Sumbaruni dan dalam waktu sekejap sudah berada di gendongannya. Kedua tangan Sumbaruni tersekap hingga tak bisa meronta-ronta.

Sedangkan Malaikat Miskin lemparkan pandangan tajamnya ke wajah bocah itu yang membuat sang bocah tak berani meronta lagi. Penuh rasa takut.

"Runi...?!" ucap Suto Sinting lirih.

Bocah kecil itu memandangi Suto Sinting dengan heran. Makin lama semakin lebar matanya, lalu terdengar bocah itu bicara seperti orang dewasa.

"Suto,..?! Kaukah itu...?!"
"Ya. Aku Suto... kakakmu!"

"Ooh...?!" Sumbaruni tercengang sejenak. Wajah ciliknya tampak penuh haru dan ketakutan. "Mengapa... mengapa kau bisa menjadi setua itu, Suto?!"

"Ceritanya panjang, Runi...."

Suto Sinting belum selesaikan kata, Malaikat Miskin sudah menyuruh anak buahnya untuk membawa masuk Sumbaruni. Anak itu pindah gendongan dan dibawa lari masuk. Suto Sinting mendengar suara teriakan Sumbaruni yang mengiris hati, "Tidak mau...! Tidak mau...! Aku mau pulang! Aaauh... Sutooo...!"

Berkelebatlah Pendekar Mabuk dengan menggunakan Gerak Siluman'-nya untuk mengejar Sumbaruni. Tapi gerakan cepat itu tertangkap mata Malaikat Miskin. Kaki orang jangkung itu menendang tak sampai menyentuh tubuh Suto. Wuuut...!

Beeehg... !

Ulu hati Suto Sinting bagaikan dihantam dengan pilar baja yang besar. Mata tua Pendekar Mabuk menjadi mendelik dan kontan memuntahkan darah segar dari mulutnya. Tubuh itu terjengkang ke belakang dan terkapar dengan napas tersendat-sendat. Gelombang tenaga dalam yang amat besar dilepaskan dari kaki Malaikat Miskin dan membuat Pendekar Mabuk mengalami luka memar tepat di ulu hatinya. Biru legam di sekitar bawah dada. Bumbung tuak mengganjal punggung karena belum diambil dari tempatnya.

Teratai Kipas sengaja tidak ikut menyerang Malaikat Miskin untuk membuktikan bahwa ia hanya mengantarkan Suto Sinting tiba di tempat itu. Tetapi Malaikat Miskin berkata kepada Teratai Kipas,

"Bawa pergi orang ini jika belum membawa Pisau Tanduk Hantu milikku! Katakan padanya, dalam waktu satu malam jika ia tidak membawa pisau itu kemari, maka adik kecilnya akan kujadikan korban pengganti pusaka, dan ia sendiri akan mati membusuk karena jurus Tendangan Melarat'-ku tadi!"

Tapi dia bukan pencurinya, Eyang Guru."

Tahu apa kau, hah?! Hanya dia orang asing yang ada di wilayahku saat pisau pusaka itu hilang. Berarti dialah pencurinya!"

"Belum tentu!"

"Jangan membantah keputusanku kalau kau tak ingin kuanggap bersekongkol dengan orang itu!" sambil Malaikat Miskin menuding Suto Sinting yang terkapar dengan wajah kian memucat .

Teratai Kipas tak berani membantah lagi. la sadar bahwa ilmunya kalah tinggi. Malaikat Miskin bukan tandingannya. Jika ia melawan hanya untuk membela Suto Sinting itu sama saja ia mati konyol tanpa arti. Maka segera saja tubuh Suto Sinting diangkat dengan menggunakan ilmu tenaga dalamnya hingga tubuh itu terasa ringan. la memanggul tubuh Suto Sinting dan melesat pergi tinggalkan perguruan tersebut.

"Waktumu hanya semalam untuk menebus adikmu Itu dengan Pisau Tanduk Hantu," kata Teratai Kipas ketika merasa sudah jauh dari Perguruan Tongkat Sakti.

"Ja... jangan bicara dulu.... Beri aku... tuak...! Tuak...!" Suto sulit bicara karena sekujur tubuhnya bagaikan berubah menjadi kayu keras.TUAK sakti itu pula yang selamatkan Pendekar Mabuk dari pembusukan yang dikarenakan jurus Tendangan Melarat' si Malaikat Miskin itu. Jika Teratai Kipas terlambat memberikan tuak kepada Suto Sinting, maka pembusukan akan segera berlangsung dan itu berarti mereka terlambat melawan pengaruh kekuatan jurus Tendangan Melarat' tersebut.

"Apa rencanamu sekarang?1' tanya Teratai Kipas. "Membalas budi baikmu yang telah selamatkan aku dari pembusukan. Tapi ketuaanku ini masih belum bisa hilang," jawab Suto Sinting sambil membuka tutup bumbung tuak dan meneguk tuak lagi dua tegukan.

"Apakah kau ingin kembali ke pondoknya Nyai Sapu Lanang?" tanya gadis itu.
"Aku belum punya keputusan. Aku ingin beristirahat di sini dulu."

Suto Sinting sengaja duduk melonjor dengan punggung bersandarkan batang pohon. Angin berhembus menghadirkan semilir kesejukan yang membuat orang terkantuk-kantuk. Tetapi agaknya baik Suto maupun Teratai Kipas tak mau hanyut tertidur di situ. Teratai Kipas ikut duduk bersandar, berhadapan dengan Suto Sinting. Punggung Teratai Kipas bersandar pada sebongkah batu cadas berlumut tipis. Kakinya tidak melonjor, melainkan menapak ke tanah hingga kedua lututnya terlipat naik. Sikap duduknya seperti seorang lelaki yang mampu bergerak dengan gesit dan cekatan.

Suto Sinting memandang lurus pada permukaan tanah di depannya. la menerawang dengan wajah sendu tanpa keceriaan. Teratai Kipas dapat menduga apa yang membuat Suto Sinting menerawang sedih.

"Kurasa yang lebih utama adalah menyelamatkan adikmu itu dulu!" kata Teratai Kipas memecah kebisuan mereka yang berlangsung beberapa saat lamanya. Sambungnya lagi, "Bocah itu tidak berdosa. Kulihat ia menangis sedih saat dibawa lari. la rindu padamu. Cuma anehnya, ia bicara seperti orang dewasa. Lucu dan menyedihkan. Padahal jika ia berhasil kita bawa keluar dari sana, aku ingin sekali menggendongnya."

Pendekar Mabuk yang mulai membungkuk karena pengaruh ketuaannya itu hanya bisa tarik napas dalam-dalam. Kejap berikutnya terdengar suaranya pelan,

"Ya, memang lucu...."

"Aku jadi heran padamu, mengapa bocah sekecil itu kau bawa-bawa sampai ke kaki gunung ini? Seharusnya anak seperti dia tidak boleh ikut melintasi hutan di pegunungan. Jangan ajak anak sekecil dia untuk berkelana mengikuti langkahmu yang tak pasti itu."

"Sebenarnya kedatanganku ke Gunung Kundalini punya maksud tertentu yang berkaitan dengan si kecil Runi itu."

"Apa maksud tertentumu itu?"
"Mencari Telur Mata Setan."

Seeet...! Wajah Teratai Kipas terangkat tegak dan menatap Suto Sinting yang menunduk. Sekalipun dalam keadaan menunduk, tapi ekor mata Suto dapat melihat gerakan cepat wajah yang menjadi tegak dan sedikit tegang itu. Maka Pendekar Mabuk pun segera menatap Teratai Kipas."Kami membutuhkan Telur Mata Setan. Kabarnya ada di Gunung Kundalini, tapi kami tak tahu di mana letaknya yang tepat."

Teratai Kipas masih tertegun tanpa gerak dan tanpa kedip. Suto Sinting merasa heran dan akhirnya bertanya, "Apakah kau tahu letak Telur Mata Setan?"

Teratai Kipas cepat-cepat hembuskan napas, sunggingkan senyum tipisnya. Pandangan mata beralih ke arah lain sebentar, lalu kembali lagi memandang Suto. Kepalanya menggeleng-geleng pelan sambil masih tersenyum berkesan meremehkan pertanyaan Pendekar Mabuk tadi.

"Jika kau tahu, bantulah aku mendapatkan Telur Mata Setan itu."

Si lesung pipit segera menjawab dengan hiasan senyumnya, "Kau seperti anak kemarin sore saja."

"Apa maksudmu berkata begitu?" Suto Sinting kerutkan dahi.
"Lupakan tentang Telur Mata Setan!"

"Mengapa harus kulupakan, sedangkan aku sangat membutuhkannya untuk suatu kepentingan yang sangat penting."

Tawa kecil terdengar dari mulut si cantik beralis sedikit lebat itu.

"Telur Mata Setan itu tidak ada," katanya tegas-tegas. "Telur Mata Setan hanya ada dalam dongeng anak-anak desa sekitar kaki Gunung Kundalini. Dongeng itu dituturkan para orang tua menjelang sang anak tidur. Dongeng Telur Mata Setan memang menarik bagi alam pikiran anak-anak, sehingga nama Telur Mata Setan menjadi kondang. Tapi sesungguhnya telur itu tidak ada."

Suto Sinting terperangah bengong sampai beberapa saat lamanya tak terdengar berucap kata apa pun.

Teratai Kipas menertawakan, tampak geli melihat wajah seorang kakek menjadi terbengong seperti itu.

"Telur itu... telur itu tidak ada?! Hanya sebuah dongeng?!"

"Ya, hanya sebuah dongeng menjelang bobo' saja. Kusarankan, jangan mencari Telur Mata Setan lagi. Lebih baik kau mencari teiur mata sapi, itu banyak terjual di kedai-kedai atau di pasar tak jauh dari sini.

Hik, hik, hik...!"

Suto Sinting kembali terbengong. Jauh-jauh ia memburu Telur Mata Setan sampai mengalami nasib menjadi cepat tua seperti itu, ternyata telur itu hanya ada dalam dongeng belaka. Alangkah sia-sianya waktu dan tenaga yang telah dicurahkan untuk mengejar telur dalam dongeng? Rasa kecewa bercampur dengan rasa sesal. Percampuran kedua rasa itu membuat hati Suto Sinting menjadi jengkel. Belum lagi jika ia memikirkan 'Racun Gugah Jantan' yang belum terobati dari tubuhnya itu, semakin besar saja kedongkolan hati Pendekar Mabuk menerima kenyataan itu.

"Sekali lagi kusarankan, lupakan tentang dongeng Telur Mata Setan. Kau tidak akan berhasil mendapatkannya walaupun sampai masuk ke liang lahat. Jika kau nekat ingin mencarinya, kau harus masuk ke alam negeri dongeng. Tapi itu pun sesuatu yang amat mustahil!"

Tarikan napas Pendekar Mabuk tampak memberat. Kejap berikutnya suaranya mulai terdengar lirih tapi jelas di telinga Teratai Kipas.

"Permainan siapa sebenarnya yang kujalankan ini? Nyai Paras Murai atau si Bongkok Sepuh?!"
Wajah cantik itu terperanjat, "Kau mengenal Nyai Paras Murai?"

"Ya. Aku berkenalan di tengah jalan dan ia memberitahukan tentang Telur Mata Setan itu. Katanya telur tersebut ada di Gunung Kundalini. Maka kami segera lari kemari."

"Aku juga mengenai nama Nyai Paras Murai. Ketika aku menjadi kekasih Raden Panji, aku pernah melihat Malaikat Miskin bertarung dengan Nyai Paras Murai, tapi perempuan itu kalah dan melarikan diri. Tapi kuanggap ia tokoh perempuan yang punya kesaktian cukup lumayan."

Pendekar Mabuk bangkit berdiri bagai tak hiraukan kata-kata Teratai Kipas. Matanya memandang jauh ke satu arah membayangkan kesia-siaannya datang ke kaki Gunung Kundalini. Dalam sikap punggung sedikit bungkuk ia dekati Teratai Kipas dalam dua langkah.

"Aku akan kembali ke Perguruan Tongkat Sakti! Akan kukerahkan semua ilmuku untuk merebut Sumbaruni dari tangan Malaikat Miskin."

Dengan sentakan cepat Teratai Kipas bangkit berdiri dan wajahnya menegang.

"Kau juga mengenai nama Sumbaruni?! Bukankah dia perempuan sakti yang terkenal sebagai istri Jin Kazmat dan tinggal di gua Pantai Semberani? Kesaktiannya melebihi Nyai Paras Murai!"

"Dari mana kau mengetahuinya?"
"Guruku banyak bercerita tentang Sumbaruni!"
"Siapa gurumu itu?"

"Namanya tak terlalu penting bagimu. Tapi jika kau ingin mengetahuinya, maka kau dapat mengingat sebuah nama...."

Belum sempat nama itu terucap, tiba-tiba Suto Sinting segera menarik tangan Teratai Kipas ke arah pe-lukannya, karena dari samping kiri gadis itu tampak sinar' hijau berkelebat cepat menuju kepada gadis itu.

Claaaap...!
Wuuut...! Brruk!

Suto Sinting sampai terjengkang karena benturan badannya dengan badan Teratai Kipas. Mereka jatuh bertumpuk-tumpuk. Sinar hijau tadi menghantam pohon dan pohon itu menjadi retak tiga bagian dari bawah ke atas. Krraak...! Tak ada dentuman yang terdengar ledakan kecuali letupan kecil.

"Apa yang kau lakukan padaku, hah?!" sentak Teratai Kipas menjadi merah wajahnya menahan malu dan marah. Tetapi begitu mendengar suara pohon retak, ke-marahannya segera sirna dan berubah menjadi ketegangan yang mengejutkan.

"Seseorang ingin membunuhmu dari jarak jauh!"

"Ya, ya... aku tahu!" Teratai Kipas bergegas bangkit. Tapi tabrakan tubuh dengan tubuh itu membuat Suto Sinting berdesir hati karena sempat rasakan keha-ngatan badan Teratai Kipas. Desiran hati membuat gairah cumbu Suto Sinting hampir saja meledak-ledak lagi. Untung ia segera dapat alihkan perhatiannya kepada munculnya sesosok tubuh sintal berpakaian merangsang syaraf, namun juga merangsang permusuhan terpendam. Orang itu tak lain adalah Nyai Sapu Lanang.

"Biadab kau, Suto!" makinya dengan geram tertahan di mulut. "Rupanya hasrat bercumbumu sengaja tidak ingin kau berikan padaku karena kau punya maksud ingin memberikannya kepada di betina itu?!"

"Nyai Sapu Lanang!" sentak Teratai Kipas. "Kau boleh seenaknya menuduhku punya maksud tak senonoh dengan si tua Suto ini! Tapi sebelumnya perkenalkan dulu, aku adalah Teratai Kipas, kakak dari Arya Wuka yang menjadi gila karena asmara bercumbumu dan akhirnya mati bunuh diri karena tak jumpa lagi denganmu. Kini aku menuntut pembalasan! Nyawa adikku hanya bisa kautebus dengan nyawamu sendiri, Nyai Sapu Lanang!"

"Hmm...!" Nyai Sapu Lanang sunggingkan senyum sinis, sebagai senyum penghinaan terhadap kemampuan Teratai Kipas yang dianggapnya sepele itu.

Katanya setelah itu, "Aku tak peduli apakah kau kakaknya Arya Wuka atau bukan, yang jelas kau telah membuatku benci kepadamu karena bermesraan di sini dengan Suto Sinting! Tanpa kau tuntut nyawaku, aku pun akan menuntut nyawamu karena kau berani bertumpuk-tumpuk dengan lelaki yang kuharapkan menjadi benih keturunanku!"

"Apa maumu sekarang, hah?!" bentak Teratai Kipas tak ada takutnya sama sekali. Melihat keadaan membahayakan Teratai Kipas, Suto Sinting segera menengahi pertentangan itu. la bergegas maju ke pertengahan jarak di antara kedua perempuan tersebut yang masing-masing tak ingin dilihat tewas di mata Suto.

"Redakan kemarahanmu, Nyai...! Redakan dendammu, Teratai Kipas. Ingat sesuatu hal yang perlu kau pertimbangkan masak-masak."

Teratai Kipas mendengus kesal. la tahu maksud Suto Sinting, tak boleh mencelakakan Nyai Sapu Lanang sebelum obat penawar racun diberikannya. Tapi gemuruh dendam sudah telanjur mendesak dada. Sulit untuk dibendung lagi. Karenanya gadis itu segera berkata kepada Suto Sinting berambut putih,

"Urusanmu adalah urusanmu. Aku akan mengurus masalahku sendiri! Menyingkirlah dari hadapanku, karena aku tak ingin kau menjadi korban dendamku!"

"Teratai..., sadar! Jangan gegabah. Pandanglah siapa yang kau lawan!" bujuk Suto Sinting.

Selagi Suto membujuk Teratai Kipas agar kurangi niat membalas dendam pada saat-saat sekarang, tiba-tiba Nyai Sapu Lanang lepaskan senjata rahasianya berbentuk bintang segi enam dari lempengan baja putih. Slaap...! Dub! Ziing...! Benda itu dilemparkan ke arah pohon dan memantul cepat menuju kepala Teratai Kipas. Pantulan cahaya matahari pada benda pipih itu terlihat oleh mata Suto Sinting yang memunggungi Nyai Sapu Lanang. Dengan cepat tangan Suto Sinting menyentak ke arah benda tersebut. Claaap...!

Seberkas sinar biru dari jurus 'Tangan Guntur' melesat melalui pertengahan telapak tangan Suto Sinting.

Sinar biru itu menghantam benda mengkilap itu sebelum benda tersebut mendekati kepala Teratai Kipas. Duaaar....! Tentu saja benda itu hancur. Tubuh Teratai Kipas melenting di udara dengan hentakan kaget yang membuat kakinya menyentak ke tanah secara naluriah.

"Keparat kau, Suto! Kau ternyata ada di pihak perempuan lacur itu, hah?!" bentak Nyai Sapu Lanang. Kemudian ia melesat dalam satu lompatan ke punggung Suto Sinting. Wuuut...!

Suto Sinting sendiri cepat putarkan bumbung tuaknya. Dan bumbung itu melesat terbang ke arah tubuh Nyai Sapu Lanang. Bumbung itu bagaikan terbang membawa Suto Sinting. Ujung bambu menyodok ke depan dan dihantam dengan kepalan tangan Nyai Sapu Lanang.

Duus...! Duaaar...!

Ledakan cukup keras kembali terdengar saat pukulan bertenaga dalam tinggi itu mencoba memecahkan bumbung tuak sakti tersebut. Ledakan tersebut membuat tubuh Nyai Sapu Lanang terpental melayang ke belakang dan jatuh terbanting dengan punggung membentur gumpalan batu. Blluhk...!

"Heegh...!" pekik tertahan terdengar dari mulut Nyai Sapu Lanang.

Rupanya pukulan itu membalik keras menghantam tubuh Nyai Sapu Lanang sendiri. Pukulan tenaga dalam yang berbalik dalam keadaan lebih besar dari aslinya itu membuat sekujur tubuh Nyai Sapu Lanang menjadi biru legam. Matanya cenderung menjadi merah bagai ingin keluarkan darah. Tetapi mulut dan hidungnya sudah lebih dulu mengucurkan darah sebelum ia jatuh terbanting.

Melihat Nyai Sapu Lanang terkapar dalam keadaan luka parah dan boleh jadi dikatakan sedang sekarat, Teratai Kipas segera cabut senjatanya. Sreet...! Lalu dengan teriakan penuh dendam ia melintasi pohon di depan Suto Sinting, berkelebat ke arah tubuh yang tak berdaya itu. Wuuut...!

"Hiaaah...!"

"Terataiii...!" teriak Suto Sinting sangat ketakutan kalau sampai kipas itu menghabisi nyawa Nyai Sapu Lanang. Maka dengan gerakan nyaris tak terlihat lagi karena cepatnya, Suto Sinting segera menyambar tubuh Nyai Sapu Lanang tepat ketika ujung kipas menge luarkan mata pisau tajam dan siap dihunjamkan ke tubuh Nyai Sapu Lanang. Tapi karena tubuh itu lebih dulu disambar Suto Sinting, maka pisau yang keluar dari ujung kipas hanya menancap di tanah dekat batu yang mengganjal tubuh Nyai Sapu Lanang tadi.

Juubb...!

Dalam sekejap Suto Sinting telah jauh dari Teratai Kipas. la berdiri membungkuk sambil memanggul tubuh Nyai Sapu Lanang. Dari tempatnya ia berseru,

"Teratai..., maafkan aku! Kau tak boleh membunuhnya sebelum urusanku selesai! Aku terpaksa harus selamatkan dia lebih dulu, Teratai! Sampai jumpa di lain waktu!"

"Sutooo...! Serahkan dia padaku atau kau ikut menjadi korbanku?! Sutooo...!"

Teriakan itu tak dihiraukan. Suto Sinting bagai lenyap ditelan bumi karena gerakannya begitu cepat. Te ratai Kipas penasaran dan segera lari mengejarnya.DEMI mendapatkan obat penawar racun, Suto Sinting terpaksa larikan musuhnya dan mengobatinya dengan tuak. Mulut perempuan itu dingangakan dan dituangi tuak sedikit demi sedikit. Hal itu sengaja dilakukai oleh Suto Sinting tidak di pondok Nyai Sapu Lanang, melainkan di suatu tempat tersembunyi.

Karena Suto Sinting punya dugaan akan dikejar oleh Teratai Kipas ke arah pondok. Maka ia lakukan penyembuhan itu di tempat lain. Dan ternyata dalam beberapa waktu kemudian setelah Nyai Sapu Lanang berhasil meneguk tuak beberapa kali, ternyata keadaannya mulai membaik. Nyawa sang nyai tertolong oleh tuak Suto.

Nyai Sapu Lanang hanya pandangi wajah Suto Sinting yang berdiri bersandar pada sebuah pohon. Samar-samar ia masih sempat mengingat saat disambar oieh Suto Sinting dan dipaksakan meminum tuaknya. Kini rasa sakit terbakar di sekujur tubuh telah lenyap, dan Nyai Sapu Lanang sadar bahwa kesembuhannya berkata pertolongan Suto Sinting.

"Ternyata kau lebih setia padaku daripada terhadap gadis itu, Suto!" katanya sambil mendekati Suto Sinting. la menggerak-gerakkan tangan dan kakinya, tubuh diliukkan ke sana-sini, ternyata sangat enteng dan tidak merasakan ngilu sedikit pun.

"Bumbung tuakmu itu ada isinya?"
"Tentu. isinya tuak," jawab Suto Sinting seenaknya saja.

"Maksudku mempunyai hawa sakti tersendiri yang bisa memantulkan pukulankutadi. Hampir saja aku mati oleh tenaga dalamku sendiri."

"Apakah kau ingat siapa yang menyelamatkan nyawamu dari bahaya kematian?"

"Tentunya kaulah orangnya," jawab Nyai Sapu Lanang dengan mengusap-usap lengan Suto, senyumnya membias berkesan nakal. "Kau pasti menyadari bahwa akulah wanita yang kau butuhkan dalam hidupmu. Tentunya kau tak rela jika melihat aku mati terbakar oleh tenaga dalamku sendiri sementara kau belum merasakan kehangatan yang kumiliki di sela kemesraanku."

"Kau keliru, Nyai...," sambil Suto Sinting melangkah berpindah pohon. "Kalau aku menyelamatkan nyawamu, lantaran aku ingin agar kau sadar bahwa aku tidak menaruh kebencian padamu. Kau telah kutolong, maka sebaiknya kau pun membalas pertolonganku ini dengan memberikan obat penawar racunmu ini!"

Nyai Sapu Lanang mendekat dengan senyum masih tetap nakal. "Lupakanlah tentang obat penawar racun itu, Suto. Kau tak akan mendapatkannya sebelum kau mau turuti hasratku. Biasanya, lelaki yang sulit diperoleh adalah lelaki yang mampu memberikan keturunan lebih dari sepuluh anak! Hik, hik, hik, hik...!"

Suto Sinting menggeram jengkel dalam hatinya. "Nyai, aku sudah menyelamatkan nyawamu. Tidakkah kau ingin menyelamatkan nyawaku juga dari racunmu yang mempercepat ketuaanku ini?!"

Nyai Sapu Lanang gelengkan kepala. "Aku tak menyuruhmu menyelamatkan nyawaku. Semua kau lakukan karena gagasanmu sendiri, bukan atas permohonanku. Jadi aku merasa tak punya hutang budi padamu."

"Benar-benar buta mata hatimu, Nyai! Seumur-umur baru sekarang kutemukan manusia yang tak tahu balas budi!""Akulah orangnya!" kata Nyai Sapu Lanang dengan membusungkan dada. la justru merasa bangga dikatakan sebagai manusia tak tahu balas budi. Suto Sinting tambah jengkel. Kalau tak ingat perempuan itu adalah kunci kesembuhannya dari 'Racun Gugah Jantan', sejak tadi sudah dihabisi oleh Suto Sinting dengan ditantang bertarung secara terhormat.

Nyai Sapu Lanang berkata lagi, "Jangan menolong orang yang tak tahu balas budi, nanti hatimu kecewa dan menyesal! Tetapi berbuatlah keindahan kepada orang yang mempunyai sejuta kehangatan, maka kau akan bahagia dalam pelukannya, Suto. Kalau kau tak percaya, kau bisa mencobanya sekali-dua kali."

"Muak aku mendengar rayuanmu, Nyai!" sentak Suto Sinting lalu buang muka sambil mendenguskan napas lewat hidung. Semak berduri yang berjarak lima langkah darinya terhempas bagai ditiup angin kencang.

Angin itu adalah angin napas yang keluar dari hidung Suto Sinting. Dalam keadaan marah seperti itu, Suto Sinting mampu hadirkan angin badai yang amat dahsyat karena ia mempunyai ilmu 'Napas Tuak Setan' yang amat berbahaya dan jarang dipergunakan itu.

Nyai Sapu Lanang bagaikan tidak menghiraukan kejengkelan Suto Sinting. la makin merayapkan tangannya dengan nakal. Suto Sinting walau sudah berwujud seorang kakek beruban rata, namun masih cepat menggerakkan tangannya menepis tangan Nyai Sapu Lanang. Plaak...!

"Jangan memancing kemarahanku, Nyai!" ancamnya dengan suara pelan tapi sorot matanya menatap tajam.

"Apakah kau tak ingin menjadi muda seperti usia aslimu?"
"Siapa orangnya yang mau cepat tua?"

"Menjadikanmu muda kembali adalah hal yang mudah. Tinggal kesanggupanmu dan tekadmu. Hanya dengan beberapa kali mengarungi samudera cinta bersamaku, kau akan kembali muda dan mungkin juga akan melihat ketampanan dari keturunanmu yang kulahirkan sembilan bulan kemudian, Suto."

"Aku tak butuh rayuanmu lagi, tahu?!" bentak Suto Sinting dengan gusar. Napas yang terlepas dari mulutnya ternyata cukup besar dan kencang. Tubuh Nyai Sapu Lanang sempat terhempas delapan tombak jauhnya. Wuuusss...!

Suto Sinting sendiri terkejut karena ia tak sengaja membuat Nyai Sapu Lanang terpental. Ketika mengu-capkan kata: "Tahu...." maka 'Napas Tuak Setan'-nya ikut terlepas karena keadaan hati sedang marah.

'Napas Tuak Setan' itulah yang menerbangkan tubuh Nyai Sapu Lanang dan menumbangkan tiga pohon kecil yang ada di depannya. Semak-semak di balik pohon itu pun rusak, sebagian bagaikan tercabut dari akarnya.

"Celaka! Aku harus mengendalikan amarahku biar tak menimbulkan bencana di sekitar sini! Hampir saja kaki gunung itu dilandai badai hebat karena napasku terlepas dalam keadaan marah," pikirnya dengan rasa sesal di hati.

Nyai Sapu Lanang yang terlempar jauh itu segera bangkit. la mulai dibakar oleh hawa marahnya. Merasa dipermainkan oleh Suto Sinting, maka ia segera mene­mui Suto kembali dengan mata membelalak garang.

"Sekarang kau terang-terangan ingin menantangku, Suto!"
"Maafkan aku, Nyai! Jangan marah padaku! Jangan pancing kemarahanku!"

"Persetan dengan dirimu! Kau telah permainkan aku seenakmu dengan sentakan napasmu. Kau pikir hanya kau yang mempunyai kekuatan seperti itu?

"Napasku tak sengaja terlepas keluar, Nyai. Maafkan aku," Suto merendah untuk menghindari perselisihan dengan perempuan pemegang obat penawar racun rtu. Tetapi agaknya perempuan itu berang dan tersinggung sekali dilemparkan bagaikan seonggok sampah.

Maka dengan cepat kakinya menerjang Suto Sinting dalam satu lompatan bersuara keras,

"Heaaah...!"

Brrrus...! Suto Sinting diterjang dengan kekuatan tendangan bertenaga dalam. Suto Sinting tidak melawan dan menerima tendangan itu secara rela. Tubuhnya terlempar sejauh enam langkah ke belakang. la jatuh berguling-guling, terpental ke sana-sini. Rupanya Nyai Sapu Lanang ingin membalas perlakuan Suto tadi dengan pengerahan tenaga dalam di kakinya.

Pendekar Mabuk hanya menyeringai karena tulang iganya seperti mengalami keretakan. la berusaha bangkit pelan-pelan dan tidak lakukan pembalasan apa pun. la bahkan menenggak tuaknya dua teguk, lalu menutup bumbung tuak itu agar tak tumpah ke mana-mana. Tapi begitu selesai menenggak tuak, tiba-tiba Nyai Sapu Lanang menyentakkan kedua tangannya ke depan dengan jari membentuk cakar harimau.

"Terimalah pembalasanku ini, Suto! Heaaah...!"

Wuuuttt...! Tenaga dalam tak bersinar terlepas dari kedua tangan itu. Tenaga dalam bergelombang panas itu .amat besar dan membuat tubuh Suto Sinting ter-jungkal di udara saat terhempas terbang ke belakang.

Tubuh itu jatuh sambil memeluk bumbung tuaknya yang hampir terlepas dari pegangannya. Akibat terbanting-banting, pelipis Suto menjadi berdarah karena membentur batu runcing di tanah. Pelipis itu robek, namun tak dihiraukan oleh Suto.

"Cukuplah murkamu, Nyai. Jangan marah lagi padaku," bujuk Suto Sinting yang masih tetap berusaha untuk mengalah. Sebab jika ia lakukan penyerangan, ia takut akan menewaskan Nyai Sapu Lanang.

"Kau mau menuruti keinginanku atau harus menerima hajaran seperti ini, hah?!" bentak sang nyai semakin gusar dan berang karena tak ada perlawanan dari Pendekar Mabuk.

Sosok tua yang tampak rapuh itu hanya menjawab, "Hentikan amarahmu dan jangan lagi memaksaku untuk melayanimu, Nyai."

"Setan! Kalau begitu kau memang layak dihajar sampai akhirnya kau tahu bahwa memenuhi harapanku itu lebih enak daripada menerima hajaranku! Hiah!"

Dada Suto Sinting dihantam dengan pangkal telapak tangan. Tubuh Suto yang telah mengurus dimakan 'Racun Gugah Jantan' itu terdorong keras ke belakang dengan darah muncrat dari mulutnya. Tubuhnya sempat melayang empat langkah dan jatuh terpelanting membentur pohon dalam keadaan bersimpuh. Tapi bumbung tuak masih ada di tangannya, dipegang kuat-kuat. Hasrat untuk melawan ditekan kuat-kuat walau sangat menyiksa batinnya.

Wuuut...!

Tiba-tiba sekelebat bayangan muncul melintasi pertengahan jarak di antara mereka berdua. Sosok yang hadir di antara mereka itu tak lain adalah kakek serba putih yang dulu pernah dianggap sebagai tokoh misterius. Orang tersebut adalah si Setan Merakyat, kakak dari Bongkok Sepuh. Rambutnya panjang berwarna putih rata, pakaiannya serba putih, dan ketika berkelebat datang seperti gumpalan salju yang terhempas angin.

"Setan Merakyat...?!" Nyai Sapu Lanang terkejut karena ia mengenali tokoh tua berilmu tinggi itu (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tabib Darah Tuak").

Tetapi Setan Merakyat tidak menanggapi sapaan itu, melainkan justru menyingkir dari pertengahan jarak dan berkata kepada Suto Sinting yang masih dikenalinya,

"Mengapa tak kau lawan? Kau hanya akan menjadi bulan-bulanan oleh si binal berhati keji itu! Lawan dia, tunjukkan harga dirimu sebagai lelaki!"

"Aku terkena racun, Bapa Setan Merakyat! Hanya dia yang bisa sembuhkan racun itu! Jika dia mati...."

Setan Merakyat menyahut, "Jika dia mati aku yang akan sembuhkan 'Racun Gugah Jantan' itu!"
Mendengar ucapan Setan Merakyat, Suto Sinting tergugah keberaniannya untuk lakukan sesuatu yang pantas dilakukan. Nyai Sapu Lanang berwajah beri-ngas memandang Setan Merakyat.

"Kau tidak berhak mencampuri urusanku, Setan Merakyat!"

"Karena kau sudah kelewat batas, Waryanti!" kata Setan Merakyat yang agaknya mengenai nama asli Nyai Sapu Lanang. "Kau pertahankan kecantikanmu, kau pertahankan kemudaanmu, tapi tindakanmu semakin menyerupai iblis dari neraka. Layaklah jika Suto Sinting meleburkan jasadmu agar menyatu dengan apinya neraka, Waryanti!"

"Keparat kau, Murdawira! Heeeaaah...!"

Nyai Sapu Lanang baru saja ingin serang Setan Merakyat dengan jurus andalannya, namun Suto Sinting sudah lebih dulu melepaskan jurus 'Manggala' yang mampu melesatkan beberapa puluh pisau kecil dari tangannya yang disentakkan ke depan dalam keadaan miring. Zlap, zlap, zlap, zlap...! Zrrrreeeb...!

Pisau-pisau kecil itu menghunjam tubuh Nyai Sapu Lanang. Mata sang nyai terbelalak, berdirinya tegak dan diam tak bergerak dengan mulut ternganga. Sampai beberapa saat ia masih diam bagaikan mematung. Tapi ketika angin berhembus, tubuh itu berhamburan menjadi debu-debu lembut yang tak bisa dikumpulkan lagi. Nyai Sapu Lanang akhirnya mati menjadi debu oleh jurus 'Manggala' milik Pendekar Mabuk, pemberian dari Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya yang menjadi penguasa sebuah negeri di alam gaib; Negeri Puri Gerbang Surgawi.

Setan Merakyat selesai memandangi tubuh Nyai Sapu Lanang yang berhamburan menjadi debu-debu lembut itu. la segera menatap Suto Sinting, tundukkan kepala sedikit sebagai hormat samar-samar.

"Sudah seharusnya sejak dulu aku menghormat padamu, karena kulihat noda merah di keningmu sebagai tanda kehormatan tertinggi yang layak dihormati oleh para tokoh berilmu tinggi. Kutunggu tuntutanmu, tapi kau tidak menuntutku. Berarti kau bukan orang yang gila hormat. Dan aku suka dengan murid yang tidak gila hormat, Anak Muda!"

"Jangan memanggilku 'anak muda' dalam keadaan seperti ini, Bapa. Aku malu! Keadaanku hampir sama tuanya dengan Bapa Setan Merakyat."

"Itu hanya pengaruh 'Racun Gugah Jantan'. Kuperhatikan seluruh sikapmu dari Gunung Kemuning, ternyata kau memang lelaki sejati yang mampu menghargai kepercayaan dan cinta kasih kepada seorang calon istri. Aku menaruh hormat padamu, Anak Muda; Manggala Yudha Kinasih."

"Sudahlah, Bapa... jangan berlebihan memujiku.

Sebaiknya tolong bantu aku menawarkan 'Racun Gugah Jantan' ini. Aku tak mau cepat tua, Bapa!"

"Tak ada yang sulit bagiku demi menyelamatkan calon muridku nanti."

"Bapa, tempo hari kita jumpa di Pulau Selayang, Bapa bilang aku adalah calon muridmu. Apa sebenarnya yang terjadi dan terencana dalam benak Bapa Setan Merakyat?"

Tokoh tua berilmu tinggi itu tersenyum.

"Ada sebuah ilmu yang akan kuturunkan pada seseorang. Tapi hanya orang yang tanpa pusar saja yang bisa menerimanya, selain itu tak bisa. Dan orang tanpa pusar itu adalah kau. Maka ilmu itu akan kuturunkan padamu jika waktunya telah tiba. Sebab itulah aku membayang-bayangimu terus sampai akhirnya kita bertemu di sini, Suto."

"Ilma..?" Suto Sinting menggumam. "Apakah kau tak bersedia?"

"Hmm... eh... tentu saja bersedia, Bapa Setan Merakyat. Tapi... agaknya yang kubutuhkan saat ini bukan ilmu itu tapi Telur Mata Setan untuk memulihkan keadaan Sumbaruni yang terkena 'Racun Ludah Naga' dari Syakuntala, Bapa!"

"Akan kubantu mencarinya. Karena secara pasti aku sendiri tak tahu di mana Telur Mata Setan itu berada. Tapi aku tahu, di Gunung Kundalini ada seorang pertapa yang pasti mengetahui di mana telur keramat itu berada. Kau bisa tanyakan kepadanya,"

"Siapa nama pertapa itu, Bapa?"

"Calon kakak iparmu sendiri!" jawab Setan Merakyat. Tiba-tiba matanya memancarkan sinar hijau terang menerjang Suto Sinting. Suto merasa silau. Dan tiba-tiba sinar hijau itu lenyap seketika. Setan Merakyat pun lenyap tak diketahui ke mana arah kepergiannya.

Tapi Suto Sinting segera terbelalak girang ketika melihat wujudnya telah pulih menjadi muda seperti sedia-kala dengan kegagahan dan ketampanan yang akan membuat banyak wanita bertekuk lutut di depannya.

SELESAI