Pendekar Mabuk 44 - Pusaka Bernyawa(2)


Ia diam sebentar di sana, memandang si rambut botak. Seakan tak peduli Batu Laut memainkan pedang sampai badannya membungkuk ke tanah untuk mencari kesempatan menebas dengan tepat.
Sedangkan Putri Malu sengaja mundur sampai di bawah pohon, ia hanya bersiap-siap melepaskan pukulan jarak jauhnya yang mematikan jika Pendekar Mabuk terdesak dalam bahaya.

"Hiaaaat...!" suara Batu Laut memekik keras seperti suara perempuan murka.

Putri Malu terperanjat tegang, karena Suto Sinting hanya diam saja. Padahal lawannya sudah sangat dekat, pedang sudah menebas-nebas ke kanan-kiri.

"Mundur...! Lekas mundur!" seru Putri Malu kepada Pendekar Mabuk.

Tapi sang Pendekar tetap diam dengan tersenyum tenang. Sampai akhirnya pedang besar itu berkelebat cepat memenggal leher Pendekar Mabuk. Wuuut... ! Craaas... !

"Sutooo...!" teriak Putri Malu dan segera menghambur menyerang Batu Laut dengan melepaskan pukulan bersinar hijau dari telapak tangannya. Claaap... !

Duaaar... !

Batu Laut menangkisnya dengan pedang besar itu. Rupanya ia menyalurkan tenaga dalam melalui pedangnya sehingga ketika menangkis sinar hijau lurus itu sang pedang dikelilingi oleh sinar merah yang mirip cacing berlompatan.

Ledakan itu menghentak dan membuang tubuh Putri Malu ke tempat semula, di bawah pohon. Gadis itu segera bangkit karena ingat Suto ditebas lehernya dengan pedang besar itu.

Namun ketika ia memandang Suto, ternyata Pendekar Mabuk masih bisa tersenyum dan melangkah tenang ke salah satu pohon di dekatnya. Putri Malu terbelalak bengong memperhatikan hal itu.

"Kulihat jelas sekali pedang itu ditebaskan ke lehernya dan kena! Jelas kena, sebab pedang itu sampai lewat di antara kepala dan badannya. Tapi kenapa ia masih bisa berjalan tenang?"
Keheranan itu juga dialami oleh Batu Laut yang menggeram genit. "Iiih masih hidup juga! Benciiii... aku! Benciii...sekali! "

Lelaki berpakaian bola-bola hitam-putih itu juga memandang heran dan kagum sampai ia maju beberapa langkah memperhatikan Pendekar Mabuk. Namun tiba-tiba ia dan yang lain mendengar suara benda jatuh. Bluuuk...! Karena datangnya dari belakang lelaki berpakaian bola-bola hitam-putih maka orang tersebut menengok ke belakang.

"Hahh...?!" Ia terpekik dengan mulut ternganga lebar dan mata membelalak bagai ingin loncat dari kelopaknya.

"Batu Laut...! Mengapa yang terpenggal justru si Pawang Segara?!"

Batu Laut terpekik juga dengan gaya ganjennya, "Haaah... kok Pawang Segara temanku sendiri yang kepalanya putus?! Aduuuh... bagaimana ini?! Bagaimana ini, Lumut Karang?!"

Batu Laut segera memungut kepala si kepala botak itu, dengan gugup kepala itu ingin ditempelkan kembali ke gembungnya yang roboh beberapa saat kemudian. Akhirnya Batu Laut menangis layaknya seorang perempuan mengalami kematian suaminya.

"Lumut Karang... bagaimana ini?! Yang kupenggal kepala bocah itu, tapi kenapa yang putus kepalanya si Pawang Segara?! Adduuuh... kenapa bisa jadi begini, Lumut Karang! Oh, Pawang Segara... maafkan aku. Aku tidak bermaksud memenggalmu, Pawang Segara. Hik, hik, hik, huuuuuu...!"

Putri Malu semakin tak bisa bergerak sedikitpun. Bahkan untuk mengatupkan mulutnya terasa sulit, ia sangat terkesima dan terheran-heran melihat kejadian itu. Tentu saja ia demikian karena ia tak tahu bahwa Suto Sinting mempunyai jurus "Alih Raga' yang mempunyai kehebatan tersendiri.

Serangan apa pun yang ditujukan kepada Pendekar Mabuk, jika kekuatan batinnya dialihkan ke orang lain, maka orang itulah yang akan menderita. Karenanya sejak tadi Suto memandang si kepala botak karena sedang mengalihkan kekuatan batinnya, di mana setiap sentuhan ke tubuhnya tersalur pindah ke tubuh orang yang tadi dipandangnya. Maka ketika leher dipenggal oleh Batu Laut, bukan leher Suto yang merasakan sakit dan merasa disentuh pedang, melainkan leher orang yang ternyata bernama Pawang Segara itu.

"Anak setan keparat kau!" geram Lumut Karang yang berambut pendek dengan ikat kepala merah itu. Ia segera menyerang Suto Sinting dengan kekuatan tenaga dalam. Pedangnya ditancapkan ke tanah dengan satu kaki berlutut. Jrrub...!

Kedua tangannya mengeras dalam keadaan telapak terbuka. Lalu, kedua telapak tangan itu bagaikan mendorong pedang tersebut dengan satu sentakan yang tak sampai menyentuh gagang pedang. Wuuut. . . ! Dan pedang itu pun melayang sendiri bagaikan terbang ke arah Suto Sinting. Weees...!

Suto Sinting terkejut, lalu segera mengelak dengan memiringkan badan ke kanan. Weeet...!

Jruub... ! Pedang itu menancap di batang pohon. Kurang dari setengah jengkal akan menembus daun telinga Pendekar Mabuk.

Pada saat Suto Sinting mengelak itulah, Lumut Karang melepaskan pukulan tenaga dalam jarak jauh, berupa sinar biru dari tengah telapak tangannya. Suuuut...!

"Awaaass...!" teriak Putri Malu dengan tegang.

Suto Sinting menghindar dengan satu lompatan. Tapi gerakannya terlambat sedikit. Kaki Suto Sinting terkena sinar biru itu.

Blaab...!

"Aaauuh...!" Suto Sinting memekik keras karena kaget dan merasakan sakit bukan kepalang, ia pun segera roboh tak mampu berdiri lagi. Kaki kirinya menjadi memar membiru bahkan seperti mau busuk.

"Mampus kau, Cah Bagus. Kupenggal kepalamu, Iiihh... ! "

Batu Laut gemas sekali, ia segera berlari melompat dengan berjungkir balik cepat, lalu tiba di samping Suto.

Pedang besar diangkat, siap untuk ditebaskan. Putri Malu siap lepaskan pukulan jarak jauhnya yang akan mengarah ke punggung Batu Laut.

Namun tiba-tiba tangan Suto Sinting bergerak lebih dulu melepaskan sinar hijau lurus ke dada Batu Laut.

Claaap... !
Blaaar... !

Jurus 'Pecah Raga' terpaksa digunakan Pendekar Mabuk karena keadaan sangat terdesak. Batu Laut lenyap entah ke mana. Temannya yang berjuluk Lumut Karang sempat kebingungan sesaat mencari ke mana perginya Batu Laut.

Kejap berikutnya ia sadar bahwa Batu Laut telah hancur menjadi serpihan kecil-kecil. Bahkan pedangnya pun hancur menjadi serpihan logam yang berantakan ke mana-mana.

Tubuh Lumut Karang gemetar menahan murkanya manakala ia melihat jari kelingking Batu Laut jatuh di depan telapak kakinya. Wajah bengis itu menjadi semakin buas. Giginya bergemeretak penuh luapan amarah.

"Bangsaaat...! Bocah kemarin sore sudah mampu tumbangkan dua temanku! Kubalas kematian itu! Kubalas kau, Bocah Edan! Heeeaaah...!"

Suto Sinting semakin menyeringai menahan sakit. Luka lebam di kakinya itu mendatangkan kebusukan begitu cepat. Dari batas mata kaki, sekarang sudah sampai ke betis. Bau busuk pun tak tertahankan lagi.

Melihat keadaan Pendekar Mabuk menderita seperti itu, Putri Malu segera lepaskan pukulan tenaga dalamnya bersinar hijau ke arah Lumut Karang.

Pada waktu itu Lumut Karang sedang kerahkan melalui kedua tangannya untuk menghancurkan Pendekar Mabuk. Saat dadanya terbuka, sinar hijau Putri Malu datang menghantamnya. Claaap...!

Deess...!
"Aaahg...!"

Lumut Karang tersentak ke belakang. Tubuh besarnya sempat melayang dalam keadaan melengkung ke depan. Namun ketika kakinya menapak ke tanah lagi, kulit tubuhnya menjadi merah matang dari batas dada sampai kepala. Tubuh itu gemetar dengan mata mendelik tertuju ke arah Putri Malu. Tapi mulutnya segera mengeluarkan darah kental warna merah kehitam-hitaman.

Hidungnya juga mengeluarkan darah, sedangkan kedua telinganya pun melelehkan darah kental dengan warna yang sama. Lumut Karang terluka parah bagian dalamnya.

Namun ia masih berusaha menggerakkan tangannya, seakan ingin mengerahkan tenaga untuk menguatkan diri.

"Aaaggghhh...!" mulutnya mendesah seperti seekor ular besar.

Putri Malu tidak mau tinggal diam. Ia tak ingin memberi kesempatan kepada lawannya untuk memperoleh tenaga baru. Maka dengan gerakan cepat, gadis itu melesat bagaikan terbang, dan kedua kakinya menendang dada Lumut Karang secara beruntun.

Duug, duug, duug, duug, duug...!

Tendangan beruntun yang tentunya dialiri tenaga dalam tinggi itu membuat tubuh Lumut Karang tersentak- sentak mundur tak berdaya lagi. Darah yang keluar dari mulut dan hidungnya semakin menyembur-nyembur. Untuk berteriak atau mengerang sudah tak mampu lagi.

Putri Malu segera daratkan kaki ke tanah. Jleeg...! Ia pasang kuda- kuda untuk lakukan serangan lagi.

Namun gerakannya tertahan oleh melimbungnya tubuh Lumut Karang.

Dada orang bertubuh besar itu seperti nangka busuk. Bonyok dan berwarna biru kehitaman. Jelas dada itu telah rusak karena didera oleh tenaga dalam secara beruntun. Tulang dada patah, namun tak dirasakan lagi oleh Lumut Karang. Badan besar itu akhirnya melayang ke kiri dan roboh tanpa ragu-ragu lagi. Bruuuk...!

Putri Malu mengendurkan ketegangan uratnya ketika ia melihat lawannya menghembuskan napas terakhir. Gadis itu ikut menghembuskan napas karena merasa lega.

Namun ketika ia memandang ke arah Pendekar Mabuk, kecemasan menerkamnya kembali, ia berlari ke arah Suto yang tak bisa berdiri lagi itu.

"Suto, bertahanlah! Kau terkena pukulan beracun yang amat berbahaya. Ooh... badanmu bisa busuk semua. Luka itu bergerak merayap dengan liar."

Putri Malu menyingsingkan celana putih Pendekar Mabuk hingga ke batas lutut, ia terperangah sesaat melihat betis Suto telah habis dimakan racun yang membusukkan tulang dan daging.

"Diamlah! Kucoba untuk mengangkat racun ini...!" kata Putri Malu.

Kemudian dengan kedua tangan mengembangkan jarinya, otot-otot tangan mengeras hingga gemetar, Putri Malu melakukan pengobatan sesuai dengan caranya. Tangan itu tak menyentuh luka sama sekali, namun bergerak mengambang di atas luka. Ia seperti menarik beban berat hingga tenaganya dicurahkan dan tubuhnya gemetaran.

Wuuut... ! Putri Malu bagaikan menyambar seekor nyamuk di atas luka membusuk itu. Kemudian sesuatu yang telah digenggamnya itu ditiup dengan kepala mendongak ke langit. Puiiih...!

Hal itu dilakukan lebih dari lima kali, sampai akhirnya seringai di wajah Pendekar Mabuk mulai hilang. Rasa sakit mulai menipis. Namun luka belum bisa sembuh. Pembusukan masih terjadi di batas betis ke bawah. Bahkan sekarang luka itu bagaikan bergerak merayap mendekati lutut.

" Masih terasa sakit?!"
" Tid. . . tidak. Tapi luka ini masih bergerak terus."
" Aku telah membuang rasa sakitnya. Tapi racun itu susah kusedot pakai tenagaku!"
" Kalau saja saat ini bumbung tuakku ada, aku tak akan semenderita ini, Putri Malu."

Hati gadis itu meratap sedih dan penuh penyesalan. Rasa bersalah semakin menghantui jiwanya. Dan kini ia merasa bertanggung jawab terhadap luka Pendekar Mabuk, ia harus bisa menyembuhkan luka berbahaya itu karena gara-gara ulahnya maka luka itu tak bisa dicegah oleh tuak sakti sang Pendekar Mabuk.

"Maaf, aku harus menotok lututmu untuk membendung gerakan racun yang akan menjalar ke sana!"
"Lakukanlah...!"kata Suto Sinting dengan lemas.

Dengan dua jarinya, Putri Malu menghantam lutut Suto Sinting. Dees... ! Satu totokan membuat Suto tersentak dan memekik tertahan.

Dees... ! Deeees... !

Tiga totokan sudah dilakukan Putri Malu. Ternyata gerakan luka terhenti. Namun bagian yang sudah telanjur mengalami pembusukan tulang dan daging itu semakin menyebarkan bau tak sedap, bahkan melelehkan air yang baunya memualkan perut. Putri Malu sempat pergi ke balik pohon dan muntah
di sana.

Kini Suto Sinting bagaikan kehilangan satu kakinya. Ia tidak merasa punya kaki karena peredaran darahnya sudah ditotok oleh Putri Malu. Hati sang Pendekar menjadi sedih, karena ia merasa sebagai pendekar sudah kehilangan daya kekuatan seperti biasanya.

"Tunggu sebentar, kucarikan daun penangkal racun. Mudah-mudahan di sini ada," kata Putri Malu, kemudian ia berlari cepat mencari daun yang dimaksud. Suto Sinting ditinggalkan di situ sendirian.
"Bumbung tuakku, di mana kau?!" kata Suto dalam hatinya. "Siapa sebenarnya pencuri bumbung tuakku itu?! Celaka betul kalau begini, aku bisa mati busuk kalau racun ini tidak bisa ditawarkan dengan cepat. Uuuh... baunya saja bikin perutku mual sekali, apalagi rasanya!"

Suto Sinting ingat tentang bambu wadah tuaknya itu. Bambu bernyawa itu jelmaan maha gurunya yang sering disebutnya Eyang Wijayasura. Gila Tuak, gurunya, memanggil Wijayasura dengan sebutan 'kakek', karena Wijayasura adalah guru dari gurunya si Gila Tuak.

"Tak ada salahnya kalau aku memanggil Guru; Gila Tuak supaya membantuku mencarikan bumbung tuak itu," pikir Suto.

Kemudian ia segera mengambil sikap duduk lebih teratur lagi. Badannya ditegakkan, kaki kirinya yang sehat ditekuk bagai bersila, kaki yang terluka dibiarkan lurus melonjor.

Mata terpejam dan kedua tangan saling merapat di pertengahan dada. Ia memusatkan pikirannya untuk memanggil sang Guru dari jarak jauh. Tetapi usaha itu terhalang oleh keadaan yang tak bisa dihindari lagi.

Dalam keheningannya itu, Suto Sinting merasakan datangnya sekelebat angin dari arah kirinya. Angin kencang itu berhembus cepat ingin menerjangnya. Seketika itu Pendekar Mabuk sentakkan badan hingga terbaring.Tapi karena luka pembusukan, maka segala gerakannya menjadi lamban, tak selincah biasanya.

Wuuuut...! Angin itu menerjangnya dan Suto Sinting terlambat bergerak. Sesuatu menghantam wajahnya. Plook...! Terasa keras dan ingin memecahkan tulang pipi serta tulang rahangnya.
Suto Sinting sempat terpekik sampai jatuh terbaring. Namun ia cepat bangkit terduduk dan memandang ke arah kanan.

Ternyata di sana sudah berdiri sesosok tubuh berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Orang itu berwajah putih dingin tanpa perasaan apa-apa. Ia memegang tongkat El Maut yang ujungnya seperti paruh burung bangau.

Melihat kehadiran orang itu hati Suto Sinting terkejut sekali, sebab ia sadar keadaan dirinya sangat lemah. Suto tahu persis bahwa orang berkerudung kain hitam itu tak lain adalah musuh utamanya yang berjuluk Siluman Tujuh Nyawa.

"Celaka! Dia muncul dalam keadaan aku sedang tak berdaya begini, tanpa bumbung tuak dan tanpa tenaga seperti biasa!" keluh hati Suto Sinting. "Pandangan matanya semakin tajam, bagai ingin menghancurkan jantungku. Haruskah dia kulawan dalam keadaan seperti ini? Oh, benar-benar celaka nasib ku hari ini. Tubuhku terlalu lemah akibat pembusukan ini! Tapi pertarungan ini agaknya tak bisa dihindari lagi. Mudah-mudahan Putri Malu jangan muncul dulu, supaya ia tidak menjadi korban Siluman Tujuh Nyawa itu!"
* * *
5
PENGEMBARAAN Pendekar Mabuk adalah upaya memburu tokoh sesat terkenal yang sukar ditumbangkan. Manusia yang menjalani masa kutukan selama tiga ratus tahun itu tak akan pernah bisa lepas dari dunia hitam, karena ia pernah memperkosa neneknya; Nini Galih, gurunya Bidadari Jalang. Manusia terkutuk itu tak lain adalah Durmala Sanca, yang kemudian dikenal dengan nama Siluman Tujuh Nyawa.

Sekarang usianya baru dua ratus lima belas tahun, tapi Siluman Tujuh Nyawa masih kelihatan muda dan punya ketampanan tersendiri. Wajah putihnya bagai mengenakan bedak tebal itu menampakkan bentuk ketampanan yang tersembunyi. Ketampanan yang pucat semakin terlihat jelas dari warna bibirnya yang biru, matanya tajam dan berkesan dingin, ia satu-satunya orang yang tak pernah tersenyum dan tak mempunyai perubahan air muka.

Tokoh paling keji di antara seluruh tokoh kejam ini diburu Suto Sinting bukan saja karena kejahatannya yang di luar batas, tapi juga merupakan maskawin bagi calon istrinya Suto; Gusti Mahkota Sejati yang berkuasa di negeri Pintu Gerbang Surgawi alam nyata. Dyah Sariningrum, nama asli Gusti Mahkota Sejati, pernah menolak lamaran Siluman Tujuh Nyawa, untuk penolakannya itu Dyah Sarlnlngium nyaris kehilangan nyawa. Untung ia segera ditolong oleh Pendekar Mabuk, yang kemudian mereka saling jatuh cinta. Sebagai dendam pembalasan Dyah Sariningrum, ia minta maskawin kepala Siluman Tujuh Nyawa, sehingga Pendekar Mabuk pun memburu tokoh terkutuk itu untuk memenggalnya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Prahara Pulau Mayat").

Siluman Tujuh Nyawa selain berilmu tinggi juga punya kelicikan yang membuatnya licin seperti belut, sukar diburu dan ditangkap. Namun sekarang tokoh sesat itu ada di depan Suto Sinting, seolah-olah menantang perburuan yang dilakukan Suto selama ini. Sayang sekali keadaan Suto Sinting cukup lemah untuk lakukan perlawanan. Sekalipun Suto tahu bahwa Siluman Tujuh Nyawa hanya akan bisa dibunuh dengan Pedang Kayu Petir, namun setidaknya dalam keadaan bagaimanapun Pendekar Mabuk harus lakukan penyerangan dan perlawanan terhadap orang terkutuk yang membunuh saudara kembarnya, ayah-ibunya dan anaknya sendiri itu. Karenanya, ketika Siluman Tujuh Nyawa diam tak bergerak dalam jarak enam langkah dari Suto dengan mata memandang tajam dan kedinginannya bagai membekukan seluruh darah, Pendekar Mabuk tak mau kalah nyali, ia juga memandang penuh sikap menantang, walaupun keadaan luka di kakinya sebenarnya tidak memungkinkan bagi sang Pendekar untuk melakukan pertarungan.

"Kita bertemu di sini. Kau atau aku yang mati," ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan nada bicara yang datar bagai tak berperasaan. Itulah ciri- ciri Siluman Tujuh Nyawa dalam bicara dan berpenampilan di depan siapa saja. Tiap kata tidak mempunyai tekanan khusus, sehingga datar dan lurus saja tanpa irama.

Pendekar Mabuk membalas ucapan itu dengan nada tegas dan melambangkan keberanian dalam jiwanya.

"Apa yang bisa kau lakukan terhadap diriku? Tak ada! Kedatanganmu sama saja menyongsong ajal, Durmala Sanca!" sambil Suto Sinting siap-siap lepaskan jurus maut dari tangannya. Sebab ia tahu bahwa Siluman Tujuh Nyawa mempunyai jurus maut yang bernama 'Lima Dewa Kilat'.

Jurus tersebut sangat berbahaya; berupa lima larik sinar hijau dari ujung jari. Sinar tersebut harus ditangkis dengan sinar yang keluar bersamaan. Jika lawan terlambat keluarkan sinar penangkis, maka lima larik sinar hij au itu tak mampu ditembus atau ditangkis oleh sinar tenaga dalam apa pun. Jurus 'Lima Dewa Kilat' tak ada yang punya kecuali Siluman Tujuh Nyawa.

Itulah sebabnya mata Suto Sinting tak mau berkedip dan tetap waspada supaya tak kecolongan peluang.

"Masa kejayaanmu sebagai pendekar kondang akan berakhir, Suto! Aku tahu kau dalam keadaan lemah, dan aku tak mau kehilangan kesempatan untuk menghancurkan ragamu!"

"Lakukanlah kalau kau merasa mampu!" tantang Suto Sinting.

Wuuut...!

Tiba-tiba tubuh berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki itu berkelebat seperti angin lewat, ia menerjang Pendekar Mabuk dengan mengarahkan senjata El Maut-nya.

Suto Sinting punya kesempatan bergerak menghindar dengan cepat, ia menyentakkan punggungnya ke belakang hingga badannya jatuh ke tanah dengan cepat. Buuk.. . ! Duuk. . . ! Kepala Suto terantuk batu. Untung tak sampai bocor. Sedangkan terjangan Siluman Tuj uh Nyawa yang mirip angin berkelebat itu melintas di atas tubuh Pendekar Mabuk yang terbaring di tanah. Weess...!

Dengan sekuat tenaga Suto Sinting segera berguling ke arah kanan. Kakinya yang luka terbentur batu. Deeeb... !

"Aaaauh...!" Suto Sinting memekik kesakitan. Wajahnya menyeringai hingga tampak amarahnya.

Durmala Sanca memanfaatkan kesempatan itu untuk menyerangnya dengan jurus 'Lima Dewa Kilat'. Namun begitu tangannya bergerak, sebelum sinar sempat keluar dari kelima ujung jarinya, Suto Sinting cepat sentakkan kedua tangannya ke depan. Seberkas sinar biru besar keluar dari tangan Pendekar Mabuk bersamaan dengan melesatnya sinar hijau dari kelima jari Siluman Tujuh Nyawa. Sinar biru besar itu menghantam kelima larik sinar hijau bersamaan. Jraaab...!

Blegaaarrr... !

Ledakan dahsyat terjadi akibat pertarungan jurus 'Lima Dewa Kilat' dengan jurus 'Tangan Guntur'-nya Pendekar Mabuk. Gelombang ledakan yang menyentak hebat itu bukan saja membuat tubuh Suto Sinting terlempar ke semak- semak, namun juga membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa terlempar kuat membentur dinding batu cadas. Kerasnya lemparan tubuh sang tokoh sesat itu membuat dinding batu cadas menjadi gompal dan bebatuan di atasnya pun runtuh menimbulkan suara bergemuruh. Reruntuhannya menimbun tubuh Siluman Tujuh Nyawa yang ada di bawahnya. Namun dengan sekali sentak, batu-batu itu terbang menyebar ke berbagai arah dan tubuh Siluman Tujuh Nyawa berhasil bangkit tegak kembali dalam sekejap.

Gelombang ledakan itu juga membuat beberapa bongkah batu di sekeliling tempat itu pecah ataupun retak, tanah berguncang mengerikan dan pohon-pohon bergetar hebat. Bahkan ada yang sempat tumbang tercongkel akarnya hingga mencuat ke permukaan tanah.

Suto Sinting mati-matian menahan rasa sakitnya. Kaki yang membusuk itu terasa sangat nyeri saat tergores ilalang dan ranting semak. Sekalipun demikian, ia berusaha keluar dari semak-semak dengan merayap menggunakan kedua tangannya.

Kemarahan yang membakar hati Suto Sinting, mendidihkan darahnya. Napas Tuak Setan mulai bekerja, setiap engahan napasnya menghadirkan angin besar yang sempat membuat tanaman kecil terguncang, rumput-rumput sempat jebol dari akarnya. Suto Sinting menyadari akan hal itu.

Maka ketika Siluman Tujuh Nyawa menggunakan tongkat El Maut-nya untuk lakukan serangan berikutnya, Pendekar Mabuk segera membuka mulut dan mengantarkan suara bersamaan keluarnya Napas Tuak Setan.

"Huaaah...!"
Blegeeerrr... ! Wuuuurrrsss... !

Badai besar berkecepatan tinggi menerj ang apa saja yang ada di depan Suto Sinting. Bumi pun berguncang hebat, langit berawan gelap, kilatan cahaya petir bersahutan di angkasa. Keadaan itu seperti awal kedatangan kiamat.

Pohon-pohon tumbang beterbangan, sekalipun yang berukuran besar maupun kecil. Tumbangnya pohon-pohon itu menimbulkan suara semakin gaduh.

Bebatuan tersapu oleh badai yang melanda tempat itu. Bongkahan batu besar pecah menjadi bongkahan kecil, yang berukuran tanggung pecah menjadi kerikil. Yang berukuran kecil terbang bagaikan kapas terhempas angin.

Siluman Tujuh Nyawa semula bermaksud melawan badai Napas Tuak Setan itu dengan berdiri tegak, tongkatnya ditancapkan ke tanah, ia biarkan angin badai menyapu dirinya, menyingkapkan kerudung hitamnya hingga rambutnya yang panjang tampak meriap- riap tersapu angin badai.

Tetapi pertahanan itu segera tumbang setelah sebatang pohon terbang dan menghantam dirinya. Wuuuss...! Bruuusss. . . ! Tubuh sang tokoh sesat pun ikut terbawa terbang dengan kecepatan tinggi, ia terhempas pada dinding batu cadas. Namun saat itu bukit cadas yang berdinding hampir tegak lurus itu mengalami keruntuhan besar. Sebagian puncaknya bagaikan terkikis dan mengalami kelongsoran.

Siluman Tujuh Nyiiwn tertimbun kelongsoran yang terdiri dari gumpalan-gumpalan batu cadas itu. Ditambah lagi beberapa pohon yang terbang menghantam dirinya. Beberapa batu yang terpental sempat menghantam dirinya pula.

"Dia berdarah...?!" gumam Suto Sinting yang memperhatikan lawannya sejak tadi.

Siluman Tujuh Nyawa memang berdarah pada bagian wajahnya. Kayu pohon dan bebatuan runcing yang menghantamnya sempat menggores atau melukai wajah itu. Sedangkan kekuatan tenaga dalam yang dikerahkan Siluman Tujuh Nyawa untuk menahan agar tak ada benda yang menyentuhnya ternyata jebol juga. Akibatnya ia tergencet antara pepohonan dan bebatuan yang menghantamnya dengan dinding bukit cadas yang ditabraknya.

Dari tumpukan benda-benda yang menimbun tubuh Siluman Tujuh Nyawa itu, tiba-tiba keluar beberapa berkas sinar merah yang memancar melalui celah-celah kosong. Kejap berikutnya, tubuh Siluman Tujuh Nyawa tersentak keluar dari timbunan benda-benda itu.

Braaasss... !

Tubuhnya bersinar merah dalam keadaan melayang di udara dengan tongkat El-Maut masih digenggamnya. Tapi karena hempasan badai masih kencang, maka tubuh yang melayang di udara itu terbuang lagi melayang- layang bagaikan daun kering. Tubuh itu menghantam sebatang pohon besar dan kokoh yang masih berdiri dengan meliukkan pucuknya nyaris menyentuh tanah. Blaaar...!

Ledakan besar terdengar akibat benturan tubuh Siluman Tujuh Nyawa yang memancarkan sinar merah dengan pohon besar. Akibatnya pohon besar itu patah di pertengahan batang. Hancur sebagian dan sisanya menjadi hangus terbakar.

Durmala Sanca bangkit dari jatuhnya. Berdiri tegang menahan hembusan badai yang masih mengamuk itu. Matanya tertuju ke arah Pendekar Mabuk. Tangan kanan Suto mulai bersiap melepaskan pukulan jarak jauhnya. Tapi tiba-tiba Siluman Tujuh Nyawa melesat ke arah lain dan menghilang dalam pelariannya, ia masuk ke alam gaib, karena memang ia mempunyai ilmu yang bisa dipakai untuk keluar-masuk alam gaib.

"Keparat! Dia kabur lagi!" sambil Suto Sinting menghantamkan kepalan tangannya ke tanah. Tanah itu menjadi berongga cukup besar.

"Kalau keadaanku tidak sedang seperti ini, kukejar kau ke alam gaib dan kita selesaikan pertarungan di sana!" kata Suto Sinting bagai bicara pada diri sendiri.

Terhembusnya Napas Tuak Setan menghadirkan bencana alam di sekitar tempat itu, bahkan sampai beberapa jauh. Hutan di seberang sana pun menjadi rusak dilanda angin badai dari tempat Suto Sinting berada. Gelegar petir di angkasa masih saling bersahutan. Dan ketika badai itu hilang, suasana alam menjadi porak- poranda. Tempat itu benar-benar seperti habis dilanda kiamat kecil yng mencengangkan mata seorang gadis. Gadis yang berlari-lari dari arah belakang Suto itu tak lain adalah Putri Malu. Wajah sang gadis bukan saja tercengang memandang keadaan alam di depan Suto, melainkan juga merasa cemas sekali akan keselamatan Pendekar Mabuk.

"Sutooo...?! Kau tidak apa-apa?!" ucap sang gadis menampakkan kecemasannya.

Pendekar Mabuk buru-buru meredakan engahan napasnya, menurunkan getar kemarahannya, ia mencoba untuk tampil dengan tenang dan kalem, walaupun masih tampak kaku.

"Dari mana saja kau?" Suto Sinting berlagak mencemaskan Putri Malu dan merasa agak kecewa karena terlalu lama ditinggal pergi. Padahal kepergian Putri Malu adalah suatu keberuntungan bagi Pendekar Mabuk. Karena dengan demikian Putri Malu tidak menjadi korban salah sasaran serangan Siluman Tujuh Nyawa. Setidaknya gadis itu tidak menjadi korban badai Napas Tuak Setan itu.

"Aku mencari daun penangkal racun itu, tapi sampai ke lembah sana tak kudapatkan. Aku justru mendengar suara gemuruh seperti gempa bumi. Lalu aku berlari ke sini dengan hati cemas, takut kau mengalami celaka yang lebih mengerikan lagi."

Suto Sinting sunggingkan senyum tipis. "Aku baik-baik saja "

Tapi mata gadis itu masih memandang heran ke arah pohon-pohon yang tumbang dan bebatuan yang hancur. Kejanggalan ditemukan oleh sang gadis, sehingga gadis itu membatin dalam hatinya,

"Mengapa yang porak-poranda hanya sebatas bagian depan Suto, sedangkan alam di belakang Suto tidak mengalami kehancuran seperti itu? Apa yang terjadi di sini sebenarnya?"

Ketika hal itu ditanyakan kepada Suto, Pendekar Mabuk itu hanya menjawab, "Aku tak tahu. Aku baru saja siuman dari pingsanku."

"Oh, kau sempat pingsan?!"

"Ya, karena menahan rasa sakit yang datang lagi secara bertubi-tubi ini!" sambil ia menunjuk kakinya yang kian membusuk.

Karena senja semakin temaram, Putri Malu berkata kepada Suto Sinting, "Aku tadi melihat sebuah gua di lereng sebelah selatan sana. Bagaimana kalau kau kubawa ke gua itu, lalu kutinggalkan di sana untuk mencari daun penangkal racun?"

"Apakah gua itu aman untuk kita?"

"Aku sempat memeriksa sebentar. Gua itu aman, hanya sedikit agak kotor. Dan lagi... sebentar lagi petang akan tiba. Kita harus segera dapatkan tempat untuk bermalam. Langit menghitam begitu, pasti akan turun hujan."

Pendekar Mabuk tidak mempunyai pilihan lain, ia terpaksa menerima uluran tangan Putri Malu untuk bangkit dan menuju ke sebuah gua yang dimaksud si gadis tadi.

"Bagaimana kalau kau kupanggul? Aku kuat memanggulmu," kata Putri Malu dengan penuh perhatian.
"Tidak perlu," jawab Pendekar Mabuk. "Aku butuh kayu penyangga tubuh. Aku masih bisa melangkah walau harus terpincang-pincang sambil menahan sakit."

"Gunakan pundakku sebagai kayu penopang. Mari kupapah pelan-pelan menuju gua itu."

Sebenarnya tak sulit mencari sebatang kayu untuk menopang tubuh Suto Sinting, tapi Putri Malu agaknya tak inginkan hal itu. Ia lebih suka pundaknya digunakan sebagai pegangan Suto.

Barangkali dengan cara begitu Putri Malu ingin menunjukkan bahwa ia siap berkorban demi menebus kesalahannya, mencuri bumbung tuak sakti sang Pendekar itu. Sikap mengorbankan diri dan membaktikan diri dimiliki oleh sang gadis yang tentunya punya maksud tertentu, berkaitan dengan masalah pribadi dan hatinya. Mungkin juga dengan menyediakan diri menjadi 'tongkat' sang Pendekar yang terluka, Putri Malu dapat menunjukkan kesetiaannya yang penuh dengan ketulusan hati.

Dengan melalui langkah yang susah payah, akhirnya mereka tiba di sebuah gua. Gua itu tidak begitu besar. Kedalamannya sekitar lima belas langkah dari mulut gua. Jalan masuk ke gua itu agak kecil, hanya cukup untuk masuk dua orang bersamaan. Keadaannya agak kotor. Banyak kotoran binatang yang mengering, tapi umumnya ada di bagian yang paling dalam.

Salah satu sisi lantai gua yang datar tampak bersih dari kotoran. Ada tanda-tanda gua itu bekas dipakai orang, karena tempat datar itu dibersihkan dengan menggunakan sekumpulan ilalang yang kini dalam keadaan kering.

Di situlah Putri Malu menempatkan Pendekar Mabuk untuk beristirahat, ia membimbing sang Pendekar untuk duduk pelan-pelan dan bersandar puda dinding gua.

"Di luar langit mendung semakin gelap," kata Pendekar Mabuk ketika Putri Malu akan mencari daun penangkal racun.

"Aku yakin sebentar lagi hujan akan turun. Sebaiknya kau tak usah pergi dulu, Anggani."

"Aku harus pergi," kata Anggani, si Putri Malu itu. "Racun itu kalau tidak segera diobati akan membuat kakimu terpotong dengan sendirinya. Tapi sebaiknya aku mencari kayu bakar dulu untuk persiapan api unggun."

Suto Sinting tak bisa melarang lagi. Gadis itu mempunyai kemauan keras untuk menyelamatkan Suto. Bahkan seolah-olah ia menyediakan diri untuk menjadi perawat sang Pendekar dengan penuh rasa bertanggung jawab. Diam- diam Suto Sinting memuji kesetiaan itu dan hatinya sempat terharu menerimanya.

"Rasa sakitmu kuambil dulu!" ujarnya sebelum pergi mencari kayu bakar. Suto Sinting membiarkan Putri Malu mengambil rasa sakit pada luka busuknya itu.

Selesai mengobati rasa sakit Suto, gadis itu pun keluar dari gua dan mengumpulkan kayu kering. Berulang kali ia keluar-masuk gua mengumpulkan kayu kering hingga menumpuk di salah satu sisi lantai gua yang tidak begitu lebar itu.

Angin berhembus membawa udara dingin. Butiran hujan mulai terasa meresap ke dalam gua dibawa oleh sang bayu. Gelegar guntur bersahutan di angkasa. Alam menjadi lebih gelap lagi.

Untuk menghalau hawa dingin. Putri Malu menyalakan api unggun. Selain keadaan di dalam gua menjadi hangat, juga menjadi terang. Wajah sedih penuh penyesalan terlihat pada kecantikan si gadis berambut cepak itu. Suto Sinting memperhatikan kecantikan itu dengan mulut terkatup dan badan bersandar sedikit merebah. Pada saat si gadis membungkuk untuk menyusun kayu bakar, belahan dadanya terlihat jelas dari tempat Pendekar Mabuk berada. Dua buah bukit menggantung di sana, tampak segar dan menggoda jiwa.

"Setan...!" gerutu Suto Sinting sambil memalingkan wajah, tak berani terlalu lama memandang kemulusan yang begitu sekal menantang itu.

"Kalau aku bukan kekasih Dyah Sariningrum, akan kubiarkan asmaraku mekar dalam pelukannya. Ah, ini godaan. Kau harus tabah, Suto. Kau harus bisa menahan diri untuk tidak hanyut dalam pemandangan yang menggiurkan itu," kata Suto dalam hatinya, bicara pada diri sendiri.

Api unggun telah menyala. Tapi rintik hujan mulai turun membasahi bumi. Putri Malu bangkit dan tampak memandang ragu ke arah luar. Suto Sinting segera berkata kepadanya,

"Urungkan niatmu untuk sementara, Anggani. Hujan akan menjadi deras. Jika kau basah karena hujan kau akan sakit. Lalu siapa yang akan merawatku kalau kau sakit?"

Kata-kata itu sangat menyentuh hati Anggani. Sepertinya mempunyai makna besar bagi hubungan mereka berdua. Anggani pun segera mendekati Suto dan berkata dengan sikap tegar, walau sebenarnya dalam hatinya merasakan keharuan yang dalam.

"Baiklah, aku menurut dengan saranmu. Kupikir memang ada baiknya aku menjaga diri agar aku bisa merawatmu."

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum tipis. Sorot matanya tertuju ke mata indah Putri Malu. Sorot mata itu merayap ke hidung bangir, lalu ke bibir menggemaskan, lalu ke dada. Sampai di dada sorot mata itu cepat- cepat naik lagi, tak berani terlalu lama memandangi dada berkulit mulus, takut terjadi pemberontakan dalam jiwanya.

"Masih terasa sakit?" tanya Putri Malu dengan suara lembut.

Suto Sinting menggeleng pelan.

"Tapi kau berkeringat, apakah menahan sakit?" sambil keringat di kening Suto segera dihapusnya memakai kain ikat pinggang berwarna kuning. Kain itu dilepas dari pinggang Putri Malu dan digunakan mengeringkan keringat di sekitar kening dan pelipis.

Dengan terlepasnya kain ikat pinggang yang selama ini membuat rompi merah tak berlengan itu menjadi rapat bagian depannya, maka keadaan rompi merah pun menjadi berubah. Rompi itu membuka dan kulit tubuh pun terlihat jelas.

Suto agak risih melihat rompi tanpa kancing itu. Sebab di balik rompi tak ada pelapis tubuh lagi. Namun ia tak berani menegur, karena mungkin jika ditegur Anggani benar- benar menjadi putri malu.

"Barangkali ia punya kebanggaan sendiri memamerkan keadaan seperti itu," pikir Suto Sinting. "Biar sajalah, tak perlu ditegur. Kalau mau ya dipandang kalau tidak mau ya jangan dipanggang, eh... jangan dipandang," lalu Suto tertawa sendiri dalam hatinya.

Malam pun tiba, hujan semakin deras. Namun keadaan Putri Malu berkeringat karena ia habis menyalurkan hawa murninya ke tubuh Suto supaya bisa menghambat keganasan kerja racun di kaki. Hawa murni Putri Malu yang disatukan dengan hawa murni Pendekar Mabuk ternyata tidak menghasilkan perubahan apa-apa pada luka busuk tersebut.

"Cukup sudah usahamu, Anggani. Aku tahu kau sangat menyesal karena mencuri bumbung tuakku, dan kau ingin menebusnya dengan cara merawatku. Aku cukup paham dengan isi hatimu,
Anggani."

Anggani diam termenung memandangi luka tersebut. Tiba-tiba ia perdengarkan suaranya yang enak didengar.

"Kalau kakimu sampai buntung sebelah, bagaimana?"
"Itu namanya takdir."
"Itu hanya anggapanmu saja. Padahal takdirmu belum tentu menghendaki kakimu buntung sebelah."

"Aku selalu beranggapan begitu supaya bisa tetap tenang dan bisa menerima keadaan apa pun tanpa keluh kesah dan jiwa yang lemah. Dengan menerima sang takdir, kita akan memperoleh ketenangan sekalipun dalam keadaan yang menyedihkan. Begitulah caraku mengobati hati jika sedang menghadapi kekecewaan."

"Apakah hatimu pernah dikecewakan oleh seseorang?"
"Sering," jawab Suto kalem.
"Maksudku, seorang wanita."

Suto Sinting tersenyum menawan. "Yang berhubungan dengan masalah cinta?"

Gadis itu ganti tersenyum, tapi kepalanya mengangguk.

"Belum pernah," jawab Suto Sinting. "Aku tak pernah dikecewakan oleh seorang wanita dalam soal cinta. Justru sepertinya akulah yang sering mengecewakan wanita."

"Mengapa begitu?"
"Karena aku sering menolak cinta mereka."
"Apakah kau tak punya selera terhadap wanita?"

"O, sangat tinggi!" jawab Suto cepat sambil tertawa kecil. "Soal selera jangan ditanyakan. Masalah yang kuhadapi bukan soal selera, tapi soal kesetiaan."

"Kesetiaan? ! " Putri Malu berkerut dahi dan mulai curiga. "Apakah kau sudah mempunyai kekasih?"

Suto Sinting menjawab dengan tegas, "Ya. Aku sudah mempunyai seorang calon istri...," kemudian ia menjelaskan tentang Dyah Sariningrum.

Wajah gadis cantik bergiwang kecil warna merah delima itu mulai tampak surut. Keceriaannya bagai terkikis oleh cerita Suto tentang calon istrinya itu. Tapi setelah ia merenung beberapa saat, wajah murung itu mulai tampak berseri kembali. Napasnya ditarik dalam-dalam untuk mengusir kekecewaan. Karena sebenarnya Putri Malu kecewa mendengar Suto Sinting sudah mempunyai calon istri. Walaupun tak diucapkan, namun Suto Sinting mengetahui kekecewaan tersebut.

"Persahabatan kadang lebih kekal daripada percintaan," ujar Suto menghibur hati sang gadis.
"Ya, aku mengerti maksudmu. Aku justru bangga mempunyai seorang sahabat yang punya kesetiaan begitu tinggi terhadap calon istrinya. Jarang sekali kutemui seorang lelaki yang punya kesetiaan sepertimu, Suto."

"Ah, banyak juga. Hanya saja mungkin baru akulah yang kau temui."

Putri Malu sunggingkan senyum kecil. Lalu mereka sepakat untuk tidur setelah Putri Malu berkata,

"Esok pagi aku akan pergi mencari daun penangkal racun. Kurasa esok hari luka busuk ini belum sampai memotong kakimu. Kita masih punya waktu untuk mencari daun penangkal racun."

"Terserah bagaimana caramu merawatku. Aku pasrah," ucap Suto lirih, membuat keteduhan tersendiri di hati sang gadis.

"Sekarang tidurlah, istirahatkan seluruh anggota tubuhmu biar tak membuat racun itu bekerja lebih ganas lagi. Aku akan menjagamu di sini."

"Aku ingin kau tidur juga. Ingat, aku tak ingin kita berdua jadi sama-sama sakit."
"Baiklah, tapi bolehkah aku tidur di sampingmu?"
"Untukmu kuizinkan, tapi untuk perempuan lain akan kutolak."

Putri Malu semakin merasa tenteram, walau ia tahu tak akan bisa mencintai Suto. Ia akhirnya merebah berbantalkan dada kanan sang Pendekar. Suto Sinting merapatkan tangannya, memeluk gadis itu tanpa kenakalan yang mestinya diharapkan oleh sang gadis.

Tidur dengan memeluk Putri Malu terasa nyenyak bagi Pendekar Mabuk. Namun esok paginya, ketika ia terbangun, sesuatu telah terjadi amat mengejutkan. Suto memandang ke samping kanannya, karena ia merasa memeluk Putri Malu semalam. Ternyata yang ada dalam pelukannya, yang bersandar di dada kanannya bukan Putri Malu lagi, melainkan bumbung tuaknya yang hilang itu.

"Hahhh...?! Siapa yang mengembalikan bumbung tuak ini?!" pikir Suto Sinting dengan jantung berdetak-detak karena kegirangan. Matanya sempat memandang ke sisi lain, ternyata Putri Malu tidur sendirian di seberang api unggun.

"Oh, terima kasih, Dewa! Kau telah kembalikan bumbung tuakku dalam keadaan masih penuh. Ooh... terima kasih...!" Suto Sinting bersorak dalam hatinya. Tanpa menunggu lebih lama lagi, ia segera menenggak tuak yang amat dirindukan itu.

Seperti seseorang yang menyimpan dendam cukup lama, tuak itu ditenggak hampir mendekati batas separo bumbung. Akibatnya luka busuk di kaki Suto Sinting mulai mengalami perubahan. Sedikit demi sedikit bau busuknya hilang, cairan yang meleleh menjijikkan itu jadi mengering, warna hitamnya berubah menjadi semakin kecoklatan. Sampai akhirnya luka busuk itu lenyap sama sekali tanpa bekas sedikit pun.

Suto Sinting masih tersenyum- senyum karena kegirangan, ia bahkan lupa membangunkan Putri Malu karena sibuk menciumi bumbung tuaknya.

"Jangan-jangan Putri Malu yang bikin permainan ini? Malam-malam ia bangun dan mengambil bumbung tuak dari persembunyiannya yang asli, lalu ditaruh di dadaku dan ia tidur di seberang sana. Hmmm... tapi kejujuran Putri Malu saat menampakkan penyesalannya itu memang tulus dan tidak dibuat-buat. Atau... Nyai Sumbar Keramat yang mengembalikannya karena melihat aku akur dengan muridnya? Hmm... dari mana dia tahu kami ada di sini? Jangan-jangan bumbung tuak ini jalan sendiri...?!"

Kemudian Suto Sinting ingat peristiwa saat bumbung tuaknya dibuang oleh seseorang ke dalam jurang. Ternyata ketika malamnya ia tidur di dalam gua, bumbung tuak itu kembali berada di dekatnya, karena bumbung itu adalah bumbung bernyawa, yang terjadi akibat kesaktian Eyang Guru Wijayasura dapat menjelma menjadi bambu untuk bumbung tuak.

"Hmmm.. . ya, ya... aku tahu, bumbung tuak ini berjalan sendiri menemuiku walau disembunyikan orang di tempat serapi apa pun!"

Suto Sinting manggut-manggut dan membayangkan peristiwa hilangnya bumbung tuak saat dibuang ke jurang oleh Putri Kunang, murid Dewa Sengat yang kini menjadi penguasa di Pulau
Dadap (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode "Cambuk Getar Bumi").

Putri Malu terbangun dengan sendirinya tanpa dibangunkan oleh Pendekar Mabuk, ia terpekik kaget melihat kaki Suto Sinting sudah pulih seperti sediakala. Bahkan wajah cantik itu sempat menjadi pucat karena kekagetannya. Semakin kaget lagi melihat bambu tuak sudah ada di samping Pendekar Mabuk, ia nyaris tak bisa berkata apa-apa. Lalu, Pendekar Mabuk menjelaskan tentang kesaktian bumbung tuaknya yang sejak kemarin dilupakan itu.

"Kalau begitu kita tak perlu melanjutkan perjalanan ke Bukit Wangi!" kata Putri Malu.
"Betul. Untuk apa kita ke sana? Buat apa menemui gurumu jika bumbung tuak ini sudah ada di tanganku?"

"Jadi sekarang kita berangkat menemui Ratu Sukma Semimpi?"
"Tak ada pilihan lain kecuali menghadapi dia untuk membebaskan Ibumu: si Tabib Getar Bumi."

Paras cantik itu berseri-seri kegirangan. Sorot matanya penuh semangat. Bayangan Ibunya bebas dari tawanan sang Ratu membuatnya berdebar- debar.

"Tapi sang Ratu punya aji pemikat," ujarnya mulai melemah kembali. "Mampukah kau menghadapi aji pemikat yang amat dahsyat itu?!"

"Tahukah kau kelemahan aji pemikat itu?"
"Aku tidak tahu," jawab Putri Malu dengan semangat mengendur.

"Yang penting kita hadapi dulu sang Ratu. Soal mengatasi aji pemikatnya, kita pikirkan setelah berhadapan dengannya. Kita berangkat sekarang saja, Anggani!"

"Aku siap memandumu, Pendekar Tampan!" jawab Anggani mulai bersemangat kembali.

***6

TERSEBUTLAH sebuah wilayah kekuasaan yang dinamakan Tanah Ratu. Tempat itu ada di lereng bukit menghadap ke pantai. Jalanan menuju ke istana berbenteng warna putih itu dibangun begitu rapi dan ditata dengan tanaman hias yang cukup indah.

Di dalam istana berbenteng putih itu bertakhta seorang ratu berusia sekitar empat puluh tahun, namun masih tampak cantik dan menggairahkan. Sayangnya belakangan ini kecantikan tersebut semakin susut akibat kutukan sang Pendeta yang dibunuhnya.

Seperti yang pernah dijelaskan oleh Galak Gantung, Ratu Sukma Semimpi memang tergolong ratu aliran hitam, ia mempunyai ilmu yang dapat menyerap kesaktian seorang lelaki dalam keadaan sedang melakukan percumbuan yang paling dalam. Ayahnya memang bekas seorang ketua perampok, ibunya termasuk perempuan jalang, namun keduanya kini sudah tiada. Darah sesat mewarisi sang anak, hingga jadilah ia seorang Ratu yang hidupnya selalu mementingkan diri sendiri.

Perempuan yang disebut Ratu Sukma Semimpi mempunyai tubuh langsing, sekal, dan termasuk tinggi. Kulitnya putih tanpa cacat, dadanya montok sekali, kegemarannya mengenakan jubah ungu dengan belahan dada lebar dan kain tembus pandang untuk menutup bagian bawahnya. Rambutnya disanggul rapi, namun sesekali diriap untuk memancing minat lelaki.

Namun sekarang keadaan sang Ratu tidak demikian eloknya. Sejak membunuh seorang pendeta dari aliran putih, rambutnya mulai rontok sedikit demi sedikit. Dan akhirnya menjadi gundul tanpa rambut selembar pun. Buah dadanya mengempes, dan nyaris datar seperti seorang lelaki. Kulit tubuhnya mengalami perubahan dari putih mulus menjadi bercak-bercak coklat, seperti akan dipenuhi tahi lalat.

Kesekalan tubuhnya pun mulai mengendor. Betisnya yang semula indah kini menjadi berbusik seperti dilapisi sisik halus. Kekencangan paha dan pinggulnya menjadi seperti balon kekurangan udara. Bulu matanya yang lentik beberapa waktu yang lalu menjadi rontok dan sekarang nyaris tanpa bulu mata. Alis lebarnya yang dulu indah, sekarang tinggal tipis dan tumbuhnya tak beraturan.

Namun demi membanggakan hati, para bawahannya selalu mengatakan bahwa sang Ratu masih tetap cantik.

"Siapa bilang Gusti Ratu berubah? Menurut saya tidak, Gusti Ratu tetap cantik dan menggairahkan para lelaki. Sama seperti dulu, cuma sekarang sedikit kurus karena barangkali Gusti Ratu banyak pikiran!" ujar salah seorang pengawalnya.

Namun sang Ratu sering lemah keyakinan akan dirinya, ia pernah berdiri di depan cermin seharian penuh untuk memperhatikan dirinya, juga meyakinkan batinnya apakah ia masih cantik dan menarik atau sudah tidak sama sekali. Kadang ia merasa sedih jika hati kecilnya mengatakan dirinya sudah tidak menarik, kadang ia merasa yakin bahwa dirinya masih menawan.

Beberapa pemuda dicarinya, ia ingin membuktikan apakah dirinya masih menarik dan menggairahkan bagi seorang lelaki atau tidak. Toh kenyataannya beberapa pemuda yang disuguhkan masih merasa terpikat dan mau melayani sang Ratu.

"Ini menandakan bahwa aku memang masih cantik dan menarik, " kata hati sang Ratu. Padahal para pemuda yang melayaninya itu menjadi tertarik karena ajian pemikat sang Ratu yang terletak pada bibir dan matanya. Tak ada lelaki yang mampu kalahkan kekuatan gaib dari bibir dan mata sang Ratu. Sekali mereka kena pandang, sekali mereka senyum, hati mereka luluh dan keinginan bercumbunya melonjak-lonjak amat tinggi.

Hal itulah yang dikhawatirkan oleh Putri Malu. Karenanya, Suto Sinting mempunyai cara sendiri untuk mengatasi kekuatan aji pemikat sang Ratu. Pendekar Mabuk yang sudah berdampingan dengan bumbung bernyawanya itu juga punya cara sendiri untuk membebaskan Tabib Getar Hati, ibu dari Putri Malu yang menjadi kambing hitam sang Ratu itu.

"Bagaimana hasilnya , Putri Malu?!" sapa sang Ratu dalam pertemuan yang diadakan secara mendadak karena Putri Malu pulang dari tugasnya.

"Mana pemuda tampan yang bergelar Pendekar Mabuk itu?! Mengapa kau datang tidak membawa Suto Sinting, si murid Gila Tuak itu? Apakah kau tak ingin Ibumu selamat? Ingat tujuh hari lagi purnama tiba. Jika kau belum bisa membawa Pendekar Mabuk kemari, maka Ibumu akan kugantung di depan umum!"

"Gusti Ratu," kata Putri Malu sambil menahan kegeraman dalam hatinya. "Saya sudah bertemu dengan Pendekar Mabuk."

"Bagus!" sahut sang Ratu dengan wajah mulai berseri-seri. "Lalu bagaimana?"

"Suto Sinting ada di luar, Gusti!"

"Hah...?! Mengapa tidak kau bawa masuk? Lekas panggil dia, aku sudah tak sabar lagi ingin menikmati kemesraannya!"

"Suto bersedia melayani gairah Gusti Ratu, tapi ia punya syarat sendiri."
"Hmmm... mungkin dia minta upah? Baiklah. Apa syarat yang diminta?"

"Dia ingin dijemput oleh Gusti Ratu sendiri dan berjalan menuju istana berdampingan dengan Gusti Ratu."

"Hik, hik, hik, hik. . . ! Rupanya dia seorang pendekar yang menyukai kemesraan seperti itu. Oh, ya. . . aku tahu maksud hatinya. Suto Sinting seorang pemuda tampan yang manja dengan cinta. Baiklah. Aku akan datang menjemput sang Pendekar! Di mana dia sekarang?"

"Ada di alun alun, menunggu Gusti Ratu di bawah pohon beringin."
"Aha, dia benar-benar pemuda pemalu untuk soal kencan. Hik, hik, hik, hik...!"

Putri Malu segera beranikan diri bicara lagi. "Suto Sinting menghendaki Gusti Ratu membawa ibu saya juga."

Sang Ratu berkerut dahi memandang tajam kepada Putri Malu. Senyum keceriaannya lenyap seketika berganti rona angkuh penuh curiga.

"Mengapa ia menghendaki begitu?"

"Saya ceritakan persoalannya, kemudian dia ingin membebaskan ibu saya. Tapi dia takut Gusti Ratu ingkar janji. Dia inginkan pertukaran secara ksatria. Dia mau melangkah berdampingan bersama Gusti Ratu masuk ke istana, jika Ibu sudah berada di tangan saya."

"Mengapa dia tidak percaya padaku?! Dia pikir aku seorang Ratu yang curang?! Menghina sekali dia?!"

"Maklumilah, Gusti. Sebab dia belum kenal siapa Gusti Ratu. Walaupun saya sudah jelaskan kebaikan Gusti, namun dia ingin buktikan kesungguhan Gusti yang ingin mendapatkan kemesraan dengannya. Sebab dia merasa sudah cukup waktu untuk menikah, namun sampai sekarang belum punya calon istri yang tepat dengan pilihan hati. Ketika saya ceritakan ciri-ciri kecantikan Gusti Ratu, ia tampak gembira dan merasa yakin bahwa Gusti Ratu adalah wanita yang sesuai dengan selera cintanya."

"Hik, hik, hik, hik. .. , " sang Ratu tertawa lagi, hatinya diliputi perasaan bangga. Ini akibat kepandaian Putri Malu menyanjung Ratu Sukma Semimpi, sehingga sang Ratu bagaikan lupa dengan anggapan curang yang tadi sempat membakar hatinya.

"Baiklah. Pengawal..., keluarkan Tabib Getar Hati, dan bawa dia menyambut darah pendekar bersamaku!"

Tabib Getar Hati dikeluarkan dari ruang tahanan bawah tanah. Perempuan berusia lima puluh tahun itu masih tampak segar dan tidak mengalami cedera apa pun. Putri Malu merasa lega melihat ibunya dalam keadaan sehat.

Perempuan yang rambutnya mulai ditumbuhi uban itu segera ditemui oleh anaknya. Putri Malu dipandang dengan mata penuh curiga. Sang Ibu segera bertanya,

"Apakah kau berhasil membujuk Pendekar Mabuk?"
"Ya, aku berhasil, Ibu," jawab Putri Malu dengan menundukkan kepala.

Sang Ibu tampak tidak menyukai keberhasilan itu. "Kau salah langkah, Anggani!" katanya sambil memandang hampa ke arah depan. "Kau menodai rimba persilatan dengan menjadi budak kutukan!"

"Tak ada jalan lain untuk membebaskan Ibu kecuali jalan ini," ujar Putri Malu membela diri dengan wajah penuh sesal.

"Kau sama saja mencoreng muka Ibu di depan Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Ibu kenal betul dengan mereka. Rasa-rasanya Ibu merasa lebih baik digantung daripada harus mengorbankan murid si Gila Tuak itu."

"Maafkan aku, Ibu. Aku tak ingin kehilangan Ibu."

"Apalah artinya seorang perempuan seperti aku? Pendekar Mabuk mempunyai arti lebih besar bagi dunia persilatan ketimbang seorang tabib seperti diriku, Anggani. Aku kecewa dengan langkahmu!" sang Ibu semakin ketus dan datar, wajahnya menampakkan kekecewaan secara jelas-jelas. Kemudian ia melangkah meninggalkan anak gadisnya dengan didampingi dua pengawal istana bersenjata pedang.

Putri Malu menjadi penunjuk jalan, walau sebenarnya tanpa ditunjukkan sang Ratu sudah tahu sendiri mana jalan menuju alun-alun.

Namun sebagai perantara kedua belah pihak, Putri Malu layak berjalan lebih dulu menuju ke alun-alun. Sang Ratu dibawa pakai tandu. Padahal jarak istana dengan alun-alun sangat dekat. Tidak sampai memakan waktu setengah atau seperempat hari. Mungkin hanya lima puluh helaan napas sudah sampai, sebab alun-alun letaknya di depan gerbang istana.

Di sana, seperti kata Putri Malu, seorang pemuda tampan yang bergelar Pendekar Mabuk sudah menunggu di bawah pohon beringin kembar. Dalam kerindangan pohon itu, Pendekar Mabuk tampak berdiri dengan gagah dan perkasa. Namun ketenangannya tetap terjaga.

Bumbung tuaknya diselempangkan di punggung, hingga dari jauh mirip sebuah pedang pusaka yang menambah kegagahan sang Pendekar.

Perempuan yang kini menjadi wanita paling kerempeng seistana itu segera turun dari tandu. Dua pengawal mendampinginya di kanan-kiri.

Kepalanya yang gundul tanpa selembar rambut dipayungi oleh seorang pembawa payung dari belakang. Ratu Sukma Semimpi segera mendekati Suto Sinting dengan pandangan mata yang berbinar- binar. Semakin dekat semakin mekar senyumnya menandakan kegembiraan hatinya saat itu.

"Selamat datang di Tanah Ratu, Pendekar Mabuk; Suto Sinting!" sapa sang Ratu dengan penuh wibawa.

Suto Sinting membungkuk, memberikan hormat ala kadarnya. Karena ia diberi tahu oleh Putri Malu bahwa sang Ratu suka dengan hormat dan sanjungan.

"Salam hormatku untukmu, Gusti Ratu."
"Terima kasih. Kau benar-benar lelaki yang pandai membuat hatiku bangga dan gembira."

Suto Sinting segera sunggingkan senyum. Hati sang Ratu bergetar melihat senyuman itu. Ia tak tahu bahwa Suto Sinting telah gunakan jurus 'Senyuman Iblis' yang mampu membuat lawan kasmaran dan mau tak mau pasrah kepada Suto Sinting. Jurus itu dilepaskan Suto lebih dulu sebelum ia terkena aji pemikat dari sang Ratu. Dengan membentengi diri memakai jurus 'Senyuman Iblis', aji pemikat apa pun terpancar balik kepada pemiliknya, sehingga si pemilik aji pemikat justru akan semakin tergila-gila kepada Pendekar Mabuk.

"Kudengar kau merasa yakin bahwa aku adalah perempuan yang sesuai dengan selera cintamu, Suto."

"Benar sekali, Ratu!" tegas Suto. "Kau satu-satunya perempuan yang mampu membangkitkan semangat cintaku. Baru mendengar cerita dan ciri-cirimu saja gairahku sudah tergugah. Kini setelah aku berhadapan langsung denganmu, semakin tergugah lagi hasrat cintaku."

"Ah, jangan menyanjungku begitu nanti aku lupa daratan. Hik, hik, hik, hiiik...," sang Ratu bagaikan mengambang di udara mendengar sanjungan itu.

"Tapi aku sangsi padamu, Ratu," ucap Suto pelan.
"Apa yang kau sangsikan?"

"Apakah kau mampu melayani cintaku? Sebab cintaku ini berlebihan, tidak seperti lelaki lain. Karenanya belum pernah ada perempuan yang sanggup melayaniku, sehingga aku tak pernah tertarik untuk memperistri mereka."

"O, soal itu kujamin kau tidak akan mau pergi dariku. Kalau tak percaya, mari kita buktikan kemampuan kita masing-masing."

"Baiklah. Tapi aku ingin mengujimu lebih dulu."

Sang Ratu justru tertawa karena mempunyai pengertian yang berbeda dengan maksud kata-kata Suto Sinting. Bahkan ia berkata dengan tawa genitnya,

"Tak mungkin mengujiku di sini. Aku tak mau dilihat oleh para punggawa dan rakyatku yang menyaksikan pertemuan ini di pinggir alun-alun itu."

"Aku bukan ingin menguji ketangguhan bercintamu secara langsung. Cukup dengan permainan dua- tiga jurus aku sudah bisa mengetahui seberapa besar kekuatanmu bertahan dalam pelukanku, Ratu."

"O, jadi kau menghendaki permainan jurusku?!"
"Aku gemar berjudi, Ratu. Mohon kau mau menerimaku apaadanya."

"Tentu aku mau menerimamu. Sebab aku pun gemar berjudi. Apakah kau ingin mengajakku bermain judi?"

"Kalau kau tak keberatan, aku ingin bermain judi dengan jurus-jurus kita."

"Baiklah. Tapi bagaimana aturan mainnya?" tanya sang Ratu semakin merasa tertarik, karena ia belum pernah mendapatkan lelaki yang mempunyai gaya seperti Suto Sinting itu.

"Jika kau bisa menumbangkan aku dalam tiga jurus, aku akan langsung menggendongmu masuk ke kamar tidur. Untuk berikutnya kita akan menjadi pasangan suami-istri."

"Aku setuju. Sangat setuju sekali!" sahut sang Ratu dengan berapi-api.

"Tapi jika kau yang tumbang dalam permainan tiga jurusku, kau harus bebaskan Tabib Getar Hati, dan persoalan kemesraan kita bisa dirundingkan lagi."

"Mengapa kau menghendaki Tabib Getar Hati sebagai bahan taruhanku?!"

"Karena aku juga seorang tabib; Tabib Darah Tuak. Aku tak tega melihat sahabatku sesama tabib harus kau jadikan tawanan. Aku hanya ingin membebaskan dia supaya dia bisa menolong orang lain yang membutuhkan pengobatan. Soal kemesraan kita, bisa diatur lagi dengan perjudian yang lainnya."

Ratu Sukma Semimpi diam termenung beberapa saat. Ia mempunyai berbagai pertimbangan. Suto Sinting tidak mau memberi kesempatan sang Ratu menemukan pertimbangan yang membahayakan keselamatan Tabib Getar Hati. Karenanya pemuda tampan itu mendesak dengan bujukan yang dibumbui senyuman menawan.

"Mengapa kau ragu-ragu, Ratu? Apakah kau tak menghendaki pembuktian di dalam kamar tidurmu nanti? Aku sudah tak sabar, Ratu. Aku ingin segera mengawali kemesraan kita dengan permainan seperti yang kuinginkan itu."

"Baiklah! Aku setuju, karena aku juga sudah tak tahan ingin membuktikan kehebatanmu di dalam kamar tidurku. Hi, hi, hi...!"

Kemudian sang Ratu mengumumkan permainan tersebut kepada para punggawanya, rakyat yang berkerumun di pinggir alun-alun juga mendengarnya. Sang Tabib sempat heran mendengar permainan itu.

"Tiga jurus aku tumbang, tabib itu bebas dari semua hukuman. Tiga jurus Pendekar Mabuk tumbang, dia akan menjadi suamiku selamanya!" seru sang Ratu, kemudian rakyat dan para punggawa negeri menyambutnya dengan sorak dan tepukan. Mereka mengelu- elukan sang Ratu, seakan sangat menjagokan ratu mereka.

Kemudian orang-orang yang ada di dekat sang Ratu segera menyingkir. Mereka membentuk arena pertarungan cukup lebar. Para prajurit dan punggawa negeri lainnya berada dalam jarak sekitar lima belas tombak.

"Hidup Gusti Ratu...! Hidup Gusti Ratu. . . !" teriak mereka memberi semangat sang Ratu.

Dengan tersenyum-senyum sang Ratu yang merasa dibangga-banggakan itu mulai menghadapi Suto Sinting, ia membuka jurus lebih dulu dengan merentangkan kaki kirinya ke belakang dan mengangkat kedua tangannya ke atas pundak. Satu tangannya mengepal, satu lagi terbuka dengan jari merapat. Badannya sedikit membungkuk ke depan, sehingga mudah lakukan gerakan menghindar jika datang serangan secara tiba-tiba.

Namun Suto Sinting bagai tidak memainkan jurus sedikit pun. Ia hanya berjalan pelan mondar-mandir di depan sang Ratu sambil mata memandang dan bibir sunggingkan senyum. Senyum itu tetap merupakan 'Senyuman Iblis' yang membahayakan bagi perempuan mana pun juga.

"Bersiaplah, Kekasihku...!" geram sang Ratu sambil mengubah posisi kuda- kudanya, makin mendekat lagi.

"Seranglah aku jika kau perempuan yang gemar bercinta."

Sang Ratu bagai ditantang kemesraannya. Untuk membuktikan kehebatan bercintanya, sang Ratu segera melepaskan serangan lebih dulu dengan satu lompatan kecil yang mencapai tanah depan Suto Sinting

"Hiiaah...!"
Jleeeg .. !

Lalu mereka beradu kecepatan tangan dalam memukul dan menangkis.

Plak, plak, plak, plak, plak
Zlaaab... !

Suto Sinting bergerak melingkar hingga berada di belakang sang Ratu. Gerakan itu tak diketahui oleh sang Ratu karena Suto menggunakan Juru 'Gerak Silumannya.

Ketika perempuan itu terbengong sejenak menyangka Suto menghilang, maka terdengarlah suara Suto yang kalem di belakangnya.

"Aku di sini, Ratu."

Begitu sang Ratu berpaling ke belakang, Suto Sinting segera hantamkan telapak tangannya dengan kecepatan tangan yang tak dapat dilihat oleh mata telanjang. Wuuut...! Beeehg... !

"Uuuhg...!" sang Ratu terpental ke belakang empat tindak dan terhuyung-huyung. Dadanya terkena pukulan telapak tangan Suto Sinting yang dialiri tenaga dalam sekadarnya itu.

"Uuuh...! Panas sekali pukulanmu."

"Kau pasti sanggup bertahan, Ratu," Suto tetap sunggingkan senyum dan melangkah ke samping pelan-pelan. Sang Ratu bersiaga lagi dengan jurus lainnya. Tubuhnya memutar pelan-pelan karena Suto Sinting mengelilinginya. Jarak mereka hanya tiga langkah.

Tiba-tiba kaki Suto menyentak dan tubuhnya melesat maju dengan tendangan kaki berkelebat ke arah wajah sang Ratu. Wuuut...!

Plak... ! Sang Ratu berhasil menangkisnya. Tapi ia tak tahu kalau Suto akan menyentakkan kaki kirinya ke tanah dan memutar tubuh dengan cepat, lalu kaki kiri itu menampar pipi sang Ratu.

Ploook... !

Suaranya cukup keras. Tendangan itu membuat sang Ratu terpelanting ke samping dan jatuh bersimpuh. Pandangan matanya menjadi berkunang-kunang. Hatinya mulai dibakar kemarahan. Sementara para penonton bergemuruh seperti pasukan lebah yang mencemaskan sang Ratu.

Dengan kalem, Suto Sinting mengulurkan tangan dan membantu sang Ratu berdiri. Namun begitu sang Ratu bangkit, tangannya menghantam dada Suto Sinting dengan sentakkan pangkal telapak tangan. Deees...!

"Huuuhg.. . ! "

Suto Sinting tersentak mundur beberapa langkah dan sempat merasakan dadanya seperti dihantam memakai palu godam berukuran besar.

Melihat Pendekar Mabuk sempoyongan, Ratu Sukma Semimpi segera melompat dan melayang di udara bagaikan terbang ke arah Pendekar Mabuk.

"Heeeeaaat...!"

Pendekar Mabuk pun cepat sentakkan kaki dan tubuhnya melesat naik. Lalu mereka beradu pukulan telapak tangan di udara.

"Hiaaat...!"
Blaaarr... !

Seberkas sinar merah memercik dari perpaduan telapak tangan itu. Ledakan cukup keras menggelegar memenuhi alun-alun. Tubuh Suto Sinting mendarat kembali dengan kaki tegak, sedangkan Ratu Sukma Semimpi terpental dan terguling-guling di udara, lalu jatuh dengan kepala menukik. Bruukk... !

"Ouuh...!" pekiknya dengan suara tertahan.

Suto Sinting tersenyum kalem, ia mengambil bumbung tuaknya dan menenggaknya dua teguk. Badannya kembali segar. Rasa sakit di dadanya pun segera lenyap.

Ketika sang Ratu bangkit dan ingin menyerang lagi, Suto Sinting berseru dengan wajah tetap memamerkan senyumannya.

"Eiiit... Sudah tiga jurus dan kau tumbang dua kali!"
"Aaah... sial!" sang Ratu menggeram gemas.

"Aku masih punya permainan satu lagi untuk membangkitkan selera bercintaku. Kau pasti akan suka jika seleraku sudah berkobar-kobar, karena sepanjang hari aku tak akan melepaskan dirimu dari pelukan cintaku, Ratu!"

"Baiklah. Kuakui sekarang aku kalah. Akan kutebus di permainan yang kedua."
"Bebaskan dulu tabib itu."

Kemudian sang Ratu yang semakin terpikat oleh senyuman Suto itu segera berseru kepada pengawal, "Bebaskan tabib itu sekarang juga! Lekas...!"

Hal itu dilakukan oleh sang Ratu supaya setiap orang, terutama Suto Sinting, mengakui bahwa sang Ratu punya ketegasan dan tidak pernah ingkar janji. Dengan begitu, maka Tabib Getar Hati pun segera dibebaskan, kedua tangannya yang terikat ke belakang itu dilepaskan. Kemudian Putri Malu menyambutnya dengan pelukan kegirangan. Mereka segera berlari menemui Suto Sinting.

"Rencana kedua!" bisik Suto Sinting kepada Putri Malu.
"Baik. Aku akan membawa Ibu menjauh dulu."

Putri Malu membawa ibunya keluar dari alun-alun. Mereka menyaksikan rencana kedua dari kejauhan. Sementara itu, sang Ratu segera berseru kepada Suto dengan hati penasaran.

"Aku akan menebus kekalahan ini. Sekarang kita bermain dalam satu jurus saja. Kalau kau tumbang, kau harus segera memboyongku masuk ke kamar tidurku. Kalau aku yang tumbang, aku yang akan memboyongmu masuk ke kamar."

"Tidak," tolak Suto tegas. "Kita bermain dua jurus. Kalau kau bisa melumpuhkan aku, kau boleh miliki aku semaumu. Tapi kalau aku bisa melumpuhkan dirimu, aku tidak akan melayani kemesraanmu."

"Hei, apa-apaan ini? Mengapa permainannya menjadi begitu?! Aku tidak setuju!" sentak sang Ratu.
"Dalam permainan kedua ini, kau atau aku yang mati! " tegas Suto Sinting lagi.

Sang Ratu terkesiap, kemudian segera menyadari bahwa dirinya telah tertipu oleh permainan Pendekar Mabuk. Amarahnya menjadi lebih besar lagi.

"Kalau begitu kau sebenarnya menghendaki kematianku, hah?!"
"Apa boleh buat, kecuali kau mau bertobat dan menghentikan segala tingkah lakumu yang sesat itu."

"Keparat! Kau belum tahu siapa aku sebenarnya, hah?! Terima ini jurusku yang bukan sekadar permainan anak kemarin sore. Hiaaah...!"

Sang Ratu lepaskan pukulan bersinar biru bagaikan bola berekor. Wuusss...! Sinar biru itu keluar dari telapak tangannya yang dihantamkan ke arah Pendekar Mabuk. Maka sinar biru itu pun meluncur cepat ke arah sang Pendekar.

Melihat kemunculan sinar biru itu, Suto Sinting segera melepaskan pukulan 'Guntur Perkasa' yang memancarkan sinar hijau. Claaap.. .! Sinar hijau segera beradu dengan sinar biru di pertengahan jarak.

Blaab...! Blegaaarr...!

Cahaya ungu berkerilap dari hasil benturan dua sinar tadi. Ledakan menggelegar pun sempat mengguncang tanah lapang alun-alun, membuat orang- orang menjadi gaduh karena ketakutan. Namun di luar dugaan, ternyata sinar ungu itu menguncup dan membentuk gumpalan sinar biru lagi yang melesat ke arah Suto Sinting. Wuuusss...!

"Gila! Sinarnya masih utuh?!" sentak batin Suto. Ia segera bersalto ke belakang beberapa kali untuk menjauhi sinar biru itu. Wuk, wuk, wuk, wuk. . . ! Kecepatan saltonya sukar dilihat. Tahu-tahu Suto Sinting sudah berdiri dengan bumbung tuak menghadang di depan dada. Sinar biru itu ditangkisnya dengan bumbung tuak tersebut. Tuubs...! Wuuusss...!

Sinar biru itu berbalik ke arah pemiliknya dengan lebih besar dan lebih cepat lagi. Tapi karena jarak mereka sudah cukup jauh, maka sang Ratu punya kesempatan melepaskan kesaktiannya kembali.

Tangannya segera bertepuk satu kali di depan kepalanya, lalu kedua tangan saling menyentak ke depan. Bersamaan terbukanya telapak tangan maka keluarlah hembusan angin berasap merah.

Wuuuss...!

Asap merah itu membentang lebar dan dihantam oleh sinar biru. Duubb...! Wuuusss...!

Ternyata asap merah itu menyerupai karet yang mampu memantulkan sinar biru ke arah Suto Sinting lagi. Tentu saja Pendekar Mabuk terperanjat melihat peristiwa yang belum pernah dialami.

"Ilmunya benar-benar gila perempuan itu!" gerutu Suto dalam keadaan tegang. Akhirnya ia berguling di tanah beberapa kali sambil memeluk bumbung tuaknya. Sinar itu pun lolos dari tubuhnya dan menghantam tiga prajurit yang lari pontang-panting begitu tahu sinar tersebut meluncur ke arah mereka.

Blaaar... !

Tiga prajurit itu tidak berbentuk lagi karena hancur dihantam sinar biru yang mempunyai daya ledak cukup tinggi. Namun bersamaan dengan itu, Suto Sinting yang dalam keadaan berdiri dengan satu lutut itu segera merapatkan kedua tangannya di dada dan disentakkan lurus ke depan. Claaap...!

Sinar ungu sebesar lidi melesat ke arah sang Ratu. Keadaan itu tidak disangka-sangka oleh sang Ratu. Ketika ia hendak menghindar, sinar ungu yang bernama jurus 'Surya Dewata' itu telah lebih dulu menghantam pinggangnya. Jluub... !

Bluuus...! Sinar ungu itu menembus pinggang sebelahnya, bahkan masih terus melesat dan akhirnya menghantam pohon beringin yang tadi dipakai Suto menunggu kemunculan sang Ratu.

Blegaaar... !

Pohon itu tumbang seketika dalam keadaan berlubang besar. Jika pohon sekeras itu berlubang besar, bagaimana dengan tubuh sang Ratu?

Ratu Sukma Semimpi tak terdengar suaranya setelah tadi terpekik dengan suara tertahan. Perempuan itu terkapar di rerumputan dalam keadaan bagian perutnya pecah, isinya berhamburan kemana-mana. Tentu saja sang Ratu pun akhirnya mati akibat jurus 'Surya Dewata' dari Pendekar Mabuk.

Melihat ratunya tewas, para pengawal segera mengepung Suto Sinting. Tapi dengan tenang Suto Sinting berkata, "Kalau ratu kalian saja tumbang di tanganku, apalagi kalian?! Sebaiknya kalian jangan bertindak bodoh! Dalam sekejap aku bisa membuat kalian hilang tak berbekas."

Mereka jadi tertegun dan mulai berpikir. Saat itulah, Suto Sinting bergerak cepat menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya. Zlaaap...!

Ia bagaikan menghilang dari hadapan para pengepung yang terpaku di tempat itu. Tahu-tahu si murid sinting Gila Tuak itu sudah ada di depan Putri Malu dan Tabib Getar Hati.

"Cepat kita pergi dari sini!" kata Suto Sinting, lalu Putri Malu dan ibunya bergerak lebih dulu meninggalkan Tanah Ratu, Suto Sinting mengawalnya dari belakang. Sampai di luar batas wilayah Tanah Ratu mereka pun berpisah.

"Terima kasih atas bantuanmu, Suto," ucap Putri Malu dengan lirih.
"Sampaikan salamku kepada gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang, " kata Tabib Getar Hati.
"Baik, akan kusampaikan, Bibi! Selamat jumpa lagi. Anggani, jaga Ibumu baik-baik!"

Lambaian tangan Suto mendatangkan haru di hati kedua perempunn itu. Namun lebih haru hati Putri Malu, karena ia mempunyai kesan indah tersendiri selama menjadi pencuri pusaka bernyawa milik sang Pendekar Mabuk itu.

SELESAI

PENDEKAR MABUK Segera terbit!!!
PERTARUNGAN TANPA AJAL