Pendekar Mabuk 40 - Asmara Berdarah Biru(1)

Pembuat E-book:
DJVU & E-book (pdf): Abu Keisel
Edit: Paulustjing

1
CAHAYA langit senja berwarna tembaga. Seolah-olah atap bumi itu sedang dipanggang api raksasa yang menebarkan panas kemana-mana.

Namun nyatanya warna merah tembaga di langit tidak membuat pemuda tampan berbadan kekar itu menjadi hangus. Padahal sudah sejak tadi ia berada di tempat terbuka, ia bertelanjang dada, duduk bersila di atas sebongkah batu datar warna hitam. Kedua tangannya menengadah ke kanan-kiri. Kedua tangan itu masing-masing menyangga dua bongkahan batu yang masing-masing ukurannya sebesar gentong.
Otot-ototnya saling bertonjolan, membuat dadanya tampak keras bagaikan baja. Lengannya pun membengkak karena otot yang dikeraskan sejak tadi. Tapi tak setetes keringat pun yang keluar dari pori-pori kulit tubuhnya.
"Pengerasan otot dan pengerahan tenaga untuk jurus ini tidak boleh menggunakan kekuatan luar. Tetapi kekuatan batinmu yang harus bekerja untuk mengeluarkan tenaga sebesar gunung."
Seorang lelaki tua berkata begitu kepada si pemuda tampan tersebut. Lelaki tua berjubah kuning dengan pakaian dalamnya berwarna hijau itu mempunyai rambut sepundak. Rambut, jenggot, dan kumisnya berwarna putih uban. Wajahnya berkesan bijak, tegas, dan berkharisma tinggi. Lelaki tua itulah yang dikenal dengan nama si Gila Tuak. Dia adalah gurunya Pendekar Mabuk; Suto Sinting. Dan tentu saja pemuda tampan yang bersila di atas batu dengan telanjang baju itu tak lain adalah murid si Gila Tuak sendiri.
Rupanya kali ini Pendekar Mabuk sempatkan diri 'pulang kandang' untuk beberapa saat. Perjalanannya keliling rimba persilatan dalam memburu Siluman Tujuh Nyawa  telah membuat Suto perlu berkunjung ke kediaman gurunya, sekalian beristirahat menyusun langkah barunya. Dan pada saat itulah Gila Tuak merasa perlu menurunkan satu ilmu lagi kepada muridnya sebagai tambahan bekal untuk sang murid.
"Sebenarnya jurus 'Sentuh Sentak' ini harus sudah kau pelajari dari dulu. Tapi aku lupa memberikannya, karena banyaknya ilmu yang kuturunkan padamu," kata si Giia Tuak sebelum jurus 'Sentuh Sentak' diturunkan kepada Pendekar Mabuk.
Hati sang murid sinting berdebar girang. Sekalipun ia sadar jurus yang akan diturunkan oleh gurunya itu adalah jurus yang tersisa, alias jurus yang ketinggalan, tapi Suto merasa cukup gembira. Setidaknya jurus itu akan menjadi pelengkap dari sekian banyak jurus sakti yang sudah dimilikinya. Maka dengan wajah berseri-seri penuh semangat, ia mengikuti langkah sang Guru saat membawanya ke tempat yang berbatu-batu. Pepohonan mengitarinya dalam jarak dua puluh tombak berkeliling. Tempat itu menjadi suatu tempat yang menyerupai arena berlatih dengan pagar dikelilingi pepohonan hidup berdaun lebat.
"Jurus yang ini lain dari yang lain, Suto."
"Maksudnya bagaimana, Guru?"
"Kekuatan batin yang disalurkan melalui kekuatan otot dapat menghasilkan sebentuk kekuatan tenaga yang mampu menghancurkan bagian dalam tubuh lawanmu. Tanpa menggunakan kekerasan. Seakan tidak membutuhkan gerakan cepat, namun cukup dengan sekali sentuh lawanmu bisa terluka bagian dalamnya. Karena itu dalam latihan nanti kau tidak boleh menggunakan napas keras. Tapi gunakan kekuatan batin untuk mengencangkan otot-ototmu, sedangkan napasmu harus bisa tetap teratur. Seakan kau sedang tidur."
"Aneh juga ilmu ini, Guru. Aku sangat ingin segera bisa menguasainya."
"Tidak boleh dengan nafsu," potong sang Guru. "Untuk menguasai jurus 'Sentuh Sentak' hati kita harus tenang dan bersih, tidak boleh dikuasai oleh nafsu atau keinginan yang menggebu-gebu. Sebab keinginan yang menggebu-gebu hanya akan membuat pancaran kekuatan batinmu tidak terarah."
Itulah sebabnya sebelum mengawali berlatih jurus 'Sentuh Sentak', Pendekar Mabuk diperintahkan untuk lakukan semadi sehari-semalam. Pendekar Mabuk lakukan perintah itu tanpa ada rasa kesal atau gerutu dalam hati, sebab hal-hal seperti itu memang sering dialaminya jika ingin menerima pelajaran dari si Gila Tuak.
Latihan itu dimulai dari terbitnya matahari sampai tenggelamnya sang surya. Pada mulanya Pendekar Mabuk hanya duduk bersila, kedua tangannya menengadah ke samping dan masing-masing dibebani batu sebesar kepalan tangannya.
Menyangga batu sebesar kepalan tangan tanpa menggunakan tenaga otot merupakan hal yang mudah bagi siapa saja. Tetapi jika tiap hari ganti hari ganti pula ukuran besar batu di tangannya, siapa orangnya yang akan sanggup menyangga tanpa menggunakan kekuatan otot? Namun toh Pendekar Mabuk mampu lakukan itu; menyangga batu yang makin lama makin besar dengan kekuatan batin dan pemusatan pikiran sangat tajam.
"Tujuh hari sudah kau lakukan latihan beban. Sekarang kau harus lakukan latihan tanpa beban, tapi rasanya seperti menyangga beban paling berat, melebihi berat batu terakhir yang kau gunakan kemarin," kata Gila Tuak kepada sang murid di pagi hari berikutnya.
Latihan tanpa beban tapi menggunakan kekuatan tenaga batin merupakan sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Dari pagi hingga sore, Suto harus duduk bersila dengan kedua tangan menengadah ke samping dan mengerahkan tenaga batin, seakan sedang menyangga batu sebesar bukit.
Pada hari pertama latihan tanpa beban, Sutomengalami kegagalan. Sampai matahari mau tenggelam, ia masih belum merasakan menyangga beban berat. Akibatnya yang diperoleh hanyalah rasa pegal pada kedua sikunya.
"Ke mana pikiranmu? Aku tidak melihat kekuatan batin tersalur dari batinmu!" Giia Tuak menegur dengan sikap memarahi sang murid. "Sekalipun aku ada di tempat jauh, memandangimu dari tepian sungai sana, tapi aku melihat semburan tenaga batinmu sama sekali tidak ada. Pikiranmu tidak terpusat pada satu titik kekuatan batin, Suto!"
Pendekar Mabuk tundukkan kepala, "Memang, Guru." ia tak bisa menyangkal kata-kata sang Guru.
"Mengapa justru pancaran dendam yang kulihat memancar dari dalam batinmu! Mengapa begitu, Suto?!"
"Tiba-tiba aku terbayang wajah musuhku, Guru!"
"Durmala Sanca, maksudmu?"
"Benar, Guru. Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa membayang terus dalam ingatanku, sehingga batinku memancarkan dendam dan kejengkelan. Aku gemas sekali dan ingin buru-buru mencarinya lagi, Guru!"
Gila Tuak menarik napas, mencoba memaklumi perasaan muridnya yang sudah lama mengejar-ngejar Siluman Tujuh Nyawa, sang tokoh aliran hitam yang sering dijuluki manusia paling sesat itu. Si Gila Tuak pun berkata kepada muridnya dengan memunggungi sang murid.
"Itu memang tugasmu; menghancurkan kelaliman, meleburkan manusia sesat demi menyelamatkan umat manusia di bumi. Tetapi seharusnya kau bisa mengendalikan pikiranmu dan bisa menempatkan kapan saatnya kau berpikir tentang Siluman Tujuh Nyawa, kapan saatnya kau memusatkan pikiranmu dan pelajaran ini! Kelak jika jurus 'Sentuh Sentak' ini mampu kau kuasai dengan baik, Durmala Sanca pun bisa kau tumbangkan dengan jurus ini! Tanpa harus menggunakan gerak pukulan keras, cukup kau tepuk pelan saja dia akan hancur dari dalam."
Dalam dada Suto Sinting terasa ada yang bergolak. Sesuatu yang bergolak itu adalah semangat yang secara tak sadar telah dibakar oleh penjelasan Gila Tuak. Semangat untuk menghancurkan Siluman Tujuh Nyawa membuat Suto Sinting akhirnya berlatih kembali dengan lebih tekun dan lebih keras, ia bahkan minta waktu satu hari khusus untuk bersemadi menenangkan pikirannya agar terpusat pada kekuatan batinnya.
Gila Tuak sudah menduga, "Kalau dia tidak diganggu oleh pikiran dendamnya, dia dapat selasaikan pekerjaan ini dalam waktu singkat. Mudah-mudahan saja sekarang dia sudah mampu mengendalikan daya pikirnya."
Dugaan sang Guru memang benar. Jika bukan Suto Sinting, tak mungkin dapat selesaikan pelajaran jurus 'Sentuh Sentak' dalam waktu satu bulan. Kekuatan batin Suto yang sudah terlatih sejak dulu mempercepat selesainya pelajaran tersebut, sehingga Gila Tuak merasa bahwa jurus itu sudah merasuk dalam jiwa muridnya.
"Tepuklah batu itu!" perintahnya untuk menguji kemampuan sang murid.
Pendekar Mabuk segera menepuk batu sebesar anak sapi dengan gerakan pelan. Sebelumnya Gila Tuak sempat berkata,
"Pusatkan batin dan pikiranmu untuk menghancurkan batu itu menjadi beberapa bagian, terserah kehendakmu mau menjadi berapa bagian!"
"Aku paham, Guru!"
Maka, bagaikan melakukan gerakan menepuk dengan malas-malasan, batu itu pun dijadikan kelinci percobaan. Pluk...! Pendekar mabuk menepuknya dan batu itu pun retak dalam waktu dua helaan napas kemudian.
Kraaak...!
Ternyata batu itu terbelah menjadi empat bagian, sehingga Suto pun membatin, "Jumlah belahan-nya sama dengan keinginan batinku! Gila! Ini ilmu ringan yang mengandung bahaya sangat besar!"
Pemuda tampan berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala itu tersenyum bangga. Tapi sang Guru tetap memandangi batu tanpa senyum, kemudian menatap Suto dan berkata dengan penuh wibawa,
"Masih kurang!"
Tentu saja sang murid terbengong dan memendam rasa kecewa. Menurutnya gerakan tepuk pelan pada batu dan bisa batu terbelah menjadi empat bagian seperti yang dikehendaki batinnya, adalah suatu gerakan jurus yang sudah hebat. Tapi nyatanya sang Guru mengatakan: masih kurang.
"Lalu bagaimana seharusnya, Guru?" tanya Suto setelah menarik napas menyimpan rasa kecewanya.
"Seharusnya batu itu pecah atau terbelah setelah hatimu mengatakan: 'harus terbelah'. Sebelum hatimu mengatakan: 'sekaranglah saatnya terbelah', batu itu tak boleh terbelah lebih dulu."
"Jadi... jadi harus bisa diatur kapan saatnya batu itu terbelah setelah kutepuk. Guru?!'
"Benar! Dan kau harus mengikat batu itu dengan kekuatan batinmu setelah kau menepuknya. Ikatan batin itu kau lepaskan jika sudah waktunya kau kehendaki batu itu terbelah."
"Alangkah sukarnya?"
"Karena kau belum melakukan dan belum mencoba maka kau bilang sukar! Bukankah sejak kecil kau kudidik untuk tidak bilang 'sukar' terhadap suatu pekerjaan sebelum kau mencobanya dan menemui kegagalan sampai tiga kali?!"
Pendekar Mabuk nyengir dan garuk-garuk kepala, ia membenarkan kata-kata gurunya. Memang seharusnya ia tidak mengatakan hal itu adalah sesuatu yang sukar sebelum ia mencoba dan menemui kegagalan sampai tiga kali. Karena itu, Suto Sinting pun mulai mencoba apa yang seharusnya dilakukan dalam penggunaan jurus 'Sentuh Sentak' itu.
Dengan tambahan waktu lima hari, jurus 'Sentuh Sentak' itu akhirnya benar-benar dikuasai oleh si murid sinting itu. Sekalipun demikian, senyum Gila Tuak nyaris tak terlihat, padahal Suto berharap sang Guru tersenyum dan merasa bangga terhadap kemampuan sang murid. Gila Tuak hanya tersenyum sangat tipis dan manggut-manggut samar.
"Bagus. Kau sudah berhasil. Tetapi ingat, jangan gunakan jurus itu untuk melawan orang yang tidak punya salah padamu. Jurus itu hanya bisa digunakan untuk orang yang bersalah padamu atau diam-diam mempunyai kesalahan padamu. Jika orang tak punya salah padamu, lalu kau gunakan jurus itu untuk mencelakai orang itu, maka jurus itu tidak akan berguna sedikit pun. Tepukanmu hanya sebatas tepukan tangan tanpa kekuatan tenaga batin! Mengertikah kau, Muridku?!"
"Mengerti, Guru!" jawab Suto Sinting dengan sikap lebih dewasa dari hari-hari sebelumnya.
"Tahukah apa yang harus kau lakukan sekarang ini, Suto?"
"Makan, Guru!"
"Makan melulu pikiranmu!" gerutu sang Guru dengan bersungut-sungut. Suto Sinting nyengir sambil mengusap-usap perutnya yang melilit lapar. Gila Tuak berkata, "Sekarang yang harus kau...." Zuuubbb...!
Sesuatu berkelebat ke arah Gila Tuak, membuat ucapan Gila Tuak terhenti. Benda yang bergerak cepat dari arah belakangnya itu segera dihindari dengan gerakan kepala membungkuk ke depan sambil berseru,
"Awas...!"
Dengan membungkuknya Gila Tuak, benda yang meluncur cepat itu menjadi mengarah ke dada Pendekar Mabuk. Gila Tuak bagaikan menyerahkan urusan itu kepada sang murid, sehingga dengan gerak tangkasnya Suto Sinting segera memiringkan badan dan mengelebatkan tangannya ke depan. Teeb...!
Sesuatu yang bergerak itu kini terjepit di antara dua jari tangan Suto. Dengan wajah tegang Suto Sinting memandangi benda tersebut yang ternyata sebatang paku berwarna hitam baja. Panjang paku itu seukuran sekelingking orang dewasa. Ujungnya runcing dan memancarkan sinar hijau kecil mirip kunang-kunang.
"Suto, kejar orang yang menyerang kita dari kerimbunan seberang sungai itu! Dia adalah lawan utamamu!"
"Maksud Guru... dia adalah Siluman Tujuh Nyawa?"
"Benar. Karena hanya Siluman Tujuh Nyawa yang mempunyai senjata 'Pasak Iblis' itu! Dan ia menggunakannya hanya dalam keadaan terpaksa, jika lawannya sukar ditumbangkan."
Dada Suto Sinting lebih berdetak dari semula. Melihat gurunya diserang orang saja sudah cukup membuat dada terasa panas, apalagi mendengar si penyerangnya adalah Siluman Tujuh Nyawa, tentu saja dada Suto Sinting terasa ingin pecah karena memendam kemarahan besar.
Zlaaap...! Pendekar Mabuk pun segera melesat menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi kilat itu. Sungai lebar diseberangi dengan lompatan dari batu ke batu yang nyaris tak bisa terlihat mata siapa pun.
Sementara itu, di seberang sungai ada bayangan hitam yang bergerak dengan kecepatan sama seperti kecepatan Suto Sinting, itulah gerakan jubah hitamnya Siluman Tujuh Nyawa, karena hanya tokoh sesat itu yang mempunyai gerakan cepat nyaris sama dengan gerakan Pendekar Mabuk.
"Durmala Sanca! Tunggu aku...! Hadapi aku, Keparat!" teriak Suto Sinting menggema ke mana-mana.
Zaaab...! Bayangan hitam itu tiba-tiba bergerak bagaikan menghilang. Suto tahu, Siluman Tujuh Nyawa mempunyai kemampuan masuk ke alam gaib, sehingga saat itu sang tokoh sesat itu dapat dipastikan berlari menghindari kejaran Suto Sinting, masuk ke alam gaib.
Pendekar Mabuk segera mengusap keningnya. Noda merah pemberian Ratu Kartika Wangi, calon mertuanya itu, dapat digunakan untuk masuk ke alam gaib.
Tetapi di alam gaib pun Suto kehilangan jejak lawannya lagi. Yang ditemui bukan Siluman Tujuh Nyawa, tapi Iblis dan setan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perkara tersebut. Suto Sinting penasaran, melesat keluar dari alam gaib dan mencari lawannya yang diduga sudah keluar dari alam gaib saat ia menyusul masuk ke alam tersebut.
Itulah saatnya Pendekar Mabuk mulai mengembara lagi. Sasarannya adalah sang tokoh sesat itu, tapi yang ditemuinya lebih sering orang sesat tanggung.
Tapi dengan munculnya bayangan Siluman Tujuh Nyawa dalam ingatan Suto selama mempelajari jurus 'Sentuh Sentak' itu, apakah itu suatu pertanda bahwa kali ini ia akan berhasil berhadapan lagi dengan Siluman Tujuh Nyawa dan melakukan pertarungannya yang terakhir? Mungkinkah bayangan yang muncul dalam ingatan Suto kemarin itu adalah perlambang bahwa kali ini pertarungannya dengan Durmala Sanca akan menghasilkan suatu keputusan; siapa yang mati di antara mereka berdua?
"Celaka! Aku akan menghadapi kesulitan cukup berbahaya jika bumbung tuakku kosong begini! Ah, sayang sekali waktu aku pergi tidak sempat mengisi bumbung tuak ini. Padahal kulihat Guru masih menyimpan tuak di sudut belakang. Dan lagi... uh, perutku lapar sekali. Kalau tiba-tiba ada musuh bagaimana? Kalau aku terpaksa mati di tangan musuh, alangkah menderitanya mati dalam keadaan lapar dan kekurangan tuak?!"
Pemuda tampan berdada bidang itu membatin  dalam perjalanannya.
*
* *


2
PERUT kosong masih bisa ditahan, tapi bumbung tuak kosong tak bisa lagi dibiarkan. Karena bumbung tuaknya sudah kosong, maka Pendekar Mabuk sempatkan diri singgah di sebuah kedai. Pemuda berambut lurus lewat pundak itu masuk ke kedai tersebut dengan tenang. Ada lima bangku kosong lengkap dengan mejanya. Pemuda tampan berbaju coklat tanpa lengan dan celana putih berikat pinggang merah itu mengambil tempat duduk agak ke tengah. Beberapa pasang mata para pembeli yang sudah lebih dulu ada di kedai itu saling memandangi si pemuda yang datang membawa bumbung tuak.
Beberapa orang saling berbisik, "Itu yang namanya Suto Sinting, kan?"
"Mungkin saja. Tapi kok dia nggak sinting kayak si Parmin, ya?"
"Parmin itu bukan sinting, tapi memang gila sejak dalam kandungan. Eh, ternyata orangnya biasa-biasa saja, ya? Kupikir yang namanya Suto Sinting itu berbadan besar, punya otot saling bertonjolan, wajahnya sangar dan... pokoknya menyeramkan. Eh, ternyata malah seperti anak kemarin sore, ya?"
"Biar begitu muda tapi ilmunya tinggi lho. Hampir sama dengan tingginya ilmu Ki Wuyung Rabi! Kalau dipikir-pikir, Ki Wuyung Rabi itu usianya sudah mencapai tujuh puluh delapan tahun. Tapi bocah muda itu punya ilmu bisa menyamai Ki Wuyung Rabi. Berarti dia kan lebih hebat dari Ki Wuyung Rabi. Iya, toh?!"
Di meja lain ada yang berkasak-kusuk sambil sesekali melirik ke arah Pendekar Mabuk. Yang berbaju kuning berkata kepada yang berbaju hitam,
"Sepertinya aku pernah melihat anak muda itu. Siapa dia, ya?"
"Apa kau tak ingat bahwa ciri-ciri pemuda yang membawa bumbung tuak itu tak lain adalah Pendekar Mabuk?!"
 "O, iya! Dia yang namanya Suto Sinting, murid si Gila Tuak itu, ya?" orang berbaju kuning tampak ceria."Aku mau berkenalan, ah!"
"E, e, eh...! Jangan berani-berani dekati dia lho! Bisa kena kepret modar kau!"
"Memangnya kepalaku ini tungku, kok mau dikepret?! Aku cuma mau kenalan sama dia. Soalnya aku sering mendengar cerita kependekarannya dan aku sangat mengagumi tokoh muda itu!"
Sebenarnya Suto Sinting mendengar kasak-kusuk orang berbaju kuning itu, tapi Suto diam saja dan berlagak tidak mendengarnya, ia memesan tuak dalam cangkir, lalu menyuruh pemilik kedai mengisi bumbung bambu tuaknya sampai penuh.
"Diisi tuak apa air teh, Nak?" tanya si pemilik kedai berusia lima puluh tahun.
"Diisi tuak, Paman. Saya tidak terbiasa minum teh."
"O, ya...! Baik. Sabar sebentar, ya Nak? Tidak terburu-buru pergi toh?"
Dengan senyum ramahnya Suto menjawab, "Sekalian saya istirahat kok, Paman. Saya tidak terburu-buru."
"O, baiklah kalau begitu. Hmmm... apa Kisanak mau menikmati nasi pecel?"
"Kalau ada... boleh!" jawab Suto Sinting bersemangat.
Orang berbaju kuning tadi akhirnya benar-benar mendekati Suto dan menyapa dengan keramahan dan kesopanan seorang pengagum.
"Maaf, apakah kau yang bernama Suto Sinting, Pendekar Mabuk itu?"
"Benar," jawab Suto dengan senyum tipis. "Kau siapa?"
"Aku pengagummu. Namaku; Panurata."
Suto Sinting menyambut uluran tangan si Panurata, mereka bersalaman. Panurata tampak senang sekali menerima sikap ramah Suto Sinting, karena semula ia menyangka Suto Sinting orang yang sombong karena pengaruh namanya yang kondang itu.
"Boleh aku duduk di sini?"
"O, silakan! Aku senang kalau ada teman yang mau kuajak ngobrol."
"Aku tidak mengganggumu, bukan?"
"O, tidak!" Suto tepuk-tepuk pundak Panurata sebagai ungkapan kegembiraan hatinya menerima persahabatan itu. "Kau mau minum tuak?"
"Terima kasih. Aku memang suka minum tuak."
"Wah, kalau begitu kita bisa semalam suntuk duduk di sini, ya? Aku paling betah ngobrol kalau ada teman minumnya!"
Pendekar Mabuk segera melambaikan tangan kepada pemilik kedai, ia memesan sepoci tuak untuk diminum berdua. Melihat keadaan menyenangkan begitu, teman Panurata yang berbaju hitam jadi ikut bergabung. Suto menerima teman Panurata dengan senang hati pula. Orang itu bernama Kadasiman. Mengaku seorang nelayan yang kehilangan perahunya karena disapu gelombang ombak yang membadai beberapa waktu yang lalu. Panurata pun bernasib serupa dengan Kadasiman; kehilangan perahunya hingga tak bisa bekerja lagi sebagai nelayan pencari ikan.
Tiba-tiba saja Suto merasakan ada perubahan pada dirinya.
"Panas sekali badanku?" pikir Suto Sinting. "Wah, bahaya ini! Ulu hatiku rasanya seperti ditusuk-tusuk duri. Sejak berjabat tangan dengan Panurata hawanya panas sekali. Sejak berjabat tangan dengan Kadasiman ulu hatiku seperti ditusuk-tusuk duri. Agaknya kedua orang ini punya cara berkenalan yang berbeda dengan yang lain. Hmm... boleh, boleh!" Suto manggut-manggut sendiri, ia meneguk tuak. Kali ini tuak yang diteguk adalah tuak dari dalam bumbung bawaannya yang baru saja diserahkan oleh pemilik kedai, dan sudah terisi penuh itu.
"Di poci msslh ada tuak, kenapa ambil tuak dari bumbung, Suto?" ujar Kadasiman.
"Bau tuak bercampur bambu lebih sedap bagiku," jawab Suto dengan ramah. Padahal ia melakukan pengobatan untuk dirinya sendiri. Terbukti setelah ia menenggak tuak dari bumbung rasa sakit di ulu hati hilang, rasa panas di dalam dada pun lenyap.
"Kudengar namamu makin lama semakin kondang saja, Suto. Tentunya kau sangat bangga punya nama yang dikenal oleh hampir seluruh tokoh rimba persilatan!" kata Panurata.
Suto Sinting tertawa pelan sambil menepuk pundak Panurata. "Jangan punya anggapan seperti itu. Jadi orang terkenal itu malah susah."
"Susahnya?"
"Segala ruang gerak kita diperhatikan oleh masyarakat. Kita mau buang air di pinggir jalan saja pasti dikecam orang. Misalnya aku buang air di pinggir jalan, orang akan bilang; 'Wah, Pendekar Mabuk kok buang airnya sembarangan? Memalukan': Nah, kebebasan kita terganggu, bukan? Coba kalau orang tidak banyak yang mengenalku sebagai Pendekar Mabuk, aku buang air di tengah jalan sekalipun, tidak ada yang mau memberi tanggapan seperti itu. Iya, toh?"
"Ha, ha, ha...! Ceritamu ada-ada saja, Suto!" ujar Kadasiman sambil tertawa seperti halnya Panurata. Tambahnya lagi, "Tapi yang jelas, satu kali lirik delapan gadis yang kau buat jungkir balik, kan?"
Suto menepuk lengan Kadsslman sambil tertawa dan berkata, "Bukan hanya delapan gadis, tapi tiga nenek ikut jungkir balik dan langsung pingsan!"
"Hua, hah, hah, hah, hah...!" Panurata meledakkan tawa yang membuat orang di sekitar situ memandang ke arah mereka.
Kata Suto lagi, "Jadi orang terkenal juga repot. Apalagi terkenal karena kesaktiannya, hhmmm... tak ada amannya!"
"Apa benar begitu?"
"Iya. Di mana-mana selalu dicoba orang. Ilmu kita dicoba oleh mereka baik secara terang-terangan maupun diam-diam!"
Panurata agak salah tingkah walau masih tertawa pelan. Kadasiman tampak sedikit gelisah juga Pendekar Mabuk justru meneguk tuak dari cangkirnya.
"Ada yang berlagak baik, tapi sebenarnya mencoba ilmuku. Ada pula yang berlagak jahat, tapi sebenarnya... memang jahat! Tapi itu semua kuhadapi sebagai latihan sehari-hari. Latihan mempertajam tingkat kewaspadaan."
"Apa benar pernah ada yang mencobamu secara diam-diam?" tanya Kadasiman berlagak tak berdosa.
"O, pernah! Tidak hanya satu kali dua kali, tapi sering. Biasanya aku tidak melayani cobaan itu. Kadang-kadang aku sedikit memberi pelajaran kepada mereka dengan menyalurkan salah satu jurusku yang membuat telinganya berdarah. Namanya jurus 'Sentuh Sentak". Satu sentuhan saja menimbulkan satu sentakan kuat yang tak dirasakan oleh lawanku. Hanya saja, tahu-tahu telinganya berdarah, atau hidungnya yang berdarah."
"Aneh sekali ilmu seperti itu," ujar Kadasiman. Tapi Pendekar Mabuk melihat gelagat Panurata semakin tidak tenang. Ada sesuatu yang ingin diperiksanya, tapi ia ragu-ragu melakukannya.
Suto berkata, "Jurus 'Sentuh Sentak' itu hanya bisa diderita oleh orang yang memang merasa bersalah padaku, atau yang melakukan kesalahan secara diam-diam. Kalau orang itu tidak punya salah padaku, jurus 'Sentuh Sentak' tidak akan bikin ia terluka sedikit pun."
"Apakah itu jurus warisan dari gurumu; si Gila Tuak itu?"
"Ya. Dan itu jarang kupakai kalau aku tidak dicobai orang lebih dulu," jawab Suto dengan tenang sambil memperhatikan perubahan air muka kedua kenalan barunya itu.
Kadasiman tampak lebih tenang dari Panurata. Ia ajukan tanya lagi pada Suto, "Kalau misalnya...!" tapi pertanyaan itu tidak jadi diteruskan. Mata Kadasiman melebar manakala ia melihat ada cairan merah mengalir lamban dari telinga Panurata.
"Panurata, kenapa telingamu berdarah...?!"
Panurata berlagak kaget. Memeriksa telinganya, dan ternyata memang berdarah. Panurata bingung menjawab, hanya senyum-senyum kikuk salah tingkah. Tapi ia segera berkata pula dengan wajah terperanjat,
"Kadasiman, telingamu juga berdarah!"
Kadasiman ikut salah tingkah dan beralasan, "Mungkin aku menderita panas dalam!"
Suto Sinting tersenyum lebar, langsung berkata pada pokok masalah sebenarnya.
"Kurasa kalian tak perlu mencobai diriku. Akibatnya akan buruk bagi kalian sendiri."
"Hmmm... anu... sebenarnya... anu...." Panurata tak bisa bicara.
Kata Suto lagi, "Kalau mau kenalan denganku tak perlu pakai cara begitu. Nanti malah memperburuk persahabatan. Betul kan, Kadasiman?"
"Iyy... Iya, betul!" jawsb Kadasiman yang secara tak langsung mengakui perbuatannya.
"Itu baru kubalas dengan ilmu ringan. Kalau kubalas dengan yang berat dan secara diam-diam, bagaimana? Kalau kusalurkan kekuatanku yang membuatmu jatuh tak bernyawa setelah sampai rumah, kan yang rugi keluarga kalian juga? Benar kan, Panurata?"
"Hmmm... iya, benar juga. Hmmm... maafkan aku, Suto. Aku cuma sekadar ingin menguji apakah aku masih punya ilmu atau tidak."
"Aku juga hanya ingin tahu, seberapa kekuatan ilmuku untuk melukai orang yang terkenal sakti itu," timpal Kadasiman.
Rupanya mereka saling menyadari bahwa sentuhan Suto yang dilakukan sambil bercanda tadi adalah penggunaan jurus 'Sentuh Sentak' yang dilakukan akibat merasa dirinya dicobai. Di dalam hati mereka secara jujur mengakui kelebihan Pendekar Mabuk yang merasa tenang dan tak mengalami luka apa pun. Padahal ilmu yang disalurkan melalui berjabat tangan itu termasuk ilmu cukup tinggi di perguruan mereka; Perguruan Banteng Kedaton.
Setelah mereka meminta maaf kepads Pendekar Mabuk, suasana akrab pun kembali dimiliki oleh mereka. Canda mereka menghadirkan tawa, sampai dua-tiga orang ikut nimbrung. Makin seru canda mereka, mskin banyak yang ikut bergabung. Suasana kedai menjadi lebih ramai lagi. Pembeli yang baru datang pun berani ikut nimbrung dalam kelakar mereka.
Sampai akhirnya muncul seorang tamu berperawakan tinggi, tegap, berdada bidang, dan kekar. Lelaki itu mengenakan pakaian biru tua dengan ikat kepala merah. Usianya sekitar tiga puluh tahun, berkumis sedang, bersenjatakan kapak. Ujung kapak itu berbentuk mata pisau yang sedikit melengkung namun tajam sekali.
Orang berbaju biru itu langsung menggebrak meja dan berkata dengan lantang, "Mana yang namanya Suto Sinting?! Kamu...?!" Ia menuding Suto.
"Ya, aku Suto Sinting. Ada apa, Kawan?!"
Orang berbaju biru itu menggeram, matanya memandang penuh permusuhan. Beberapa orang yang ada di situ saling bungkam. Sebagian yang ada di dekat orang tersebut segera menyingkir, takut jadi tempat pelampiasan amarahnya. Bahkan sebagian yang sudah mengenal orang itu segera menjauh seakan tak pernah ikut berkelakar dengan Pendekar Mabuk.
"Hari ini aku minta kepastian darimu, Suto Sinting! Kau atau aku yang msti!"
Pendekar Mabuk justru tersenyum geli, tetap berpenampilan tenang. "Apa masalahnya, Kawan? Mengapa kau langsung tentukan demikian, sedangkan kita belum saling kenal? Kau memang mengenal namaku, tapi aku tidak tahu siapa dirimu, Kawan!"
Sambil menepuk dada mirip menabuh bedug, orang itu menyebutkan namanya keras-keras.
"Ini yang bernama Karto Dupak, kalau kau ingin tahu! Akulah orangnya!"
Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu apa urusannya denganku? Mengapa datang-datang kau menantangku begitu?"
"Jelas aku menantangmu, karena kaulah yang menjadi penghalangku untuk mempersunting Muria Wardani!"
Dahi si tampan Suto itu berkerut tajam dengan masih menyimpan sejuta gelinya. Kejadian itu dianggap peristiwa aneh tapi lucu. Tak kenal siapa yang datang, tahu-tahu ditantang adu tanding. Tak kenal siapa Muria Wardani, tahu-tahu dianggap sebagai penghalang orang yang ingin mempersunting perempuan itu. Pendekar Mabuk jadi geleng-geleng kepala sendiri saking herannya.
"Aku tidak kenal dengan nama wanita itu, Karto Dupak," ucap Suto dengan tenang dan suara tetap ramah.
"Tak perlu berlagak bodoh kau, Suto Sinting! Sekarang juga keluar dari kedai ini dan hadapi aku! Kalau kau tak berani menghadapi aku, berarti kau pendekar palsu yang punya nyali seujung kutil! Sekarang juga kutunggu kau di luar!"
"Tunggu dulu. Aku...."
"Keluar kau! Aku menunggu sekarang juga!" bentaknya sambil melangkah pergi.
Suto Sinting terbengong dalam senyuman geli yang tiada surutnya. Semua mata memperhatikan ke arah Suto, seakan menuggu keputusan dan ingin tahu keberanian sang pendekar tampan itu. Tantangan di depan umum sungguh suatu hal yang sulit ditolak buat Pendekar Mabuk. Kalau saja tidak terjadi di depan umum, barangkali Suto Sinting berusaha untuk tidak melayani tantangan Karto Dupak. Tapi karena terjadinya di depan umum, dan mereka memandang penuh tuntutan atas sikap kesatrianya Suto, mau tak mau Suto pun melangkah keluar menemui Karto Dupak. Mereka pun tampak girang dan setengah bersorak. Masing-masing berlarian keluar dengan penuh harap dapat menyaksikan pertarungan tokoh muda yang sedang kondang itu.
"Apa maunya sebenarnya? Hanya menguji ilmu, atau memang punya unsur dendam pribadi padaku? Tapi aku tak pernah jumpa dengannya dan tak pernah kenal nama Muria Wardani?! Jangan-jangan ini sebuah kesalahpahaman?"
Karto Dupak memilih tempat di luar batas desa. Di sana ada sebuah bukit yang pantas dikatakan sebagai gundukan tanah tinggi. Karena ketinggiannya dapat dicapai dengan sekitar tiga puluh langkah. Kelihatannya Karto Dupak bersungguh-sungguh menghendaki pertarungan tersebut.
Repotnya bagi Suto, ia benar-benar tak bisa menghindari tantangan itu. Sebab Panurata dan beberapa orang lainnya berteriak-teriak mengumumkan pertarungan tersebut. Para penduduk desa keluar dari rumah mereka karena tertarik ingin saksikan pertarungan antara Karto Dupak dengan pendekar terkenal; Suto Sinting.
"Hoi, hoi... mau nonton pertarungan apa tidak?! Pendekar Mabuk mau bertarung melawan Karto Dupak!" seru Panurata. Yang lain ikut-ikutan berlari sambil berseru,
"Saksikanlah! Banjirilah! Pertarungan hebat antara Karto Dupak melawan Pendekar Mabuk! Ayo, jangan lewatkan! Kesempatan yang jarang terjadi ini akan menimbulkan kesan tersendiri bagi kehidupan Anda! Saksikanlah beramai-ramai, pertarungan hebat yang akan menggemparkan dunia persilatan! Ayo, ayo... mumpung gratis!"
"Konyol orang itu!" gerutu Suto Sinting, tapi ia tak bisa mencegah sebab orang itu berlari terus keluar masuk gang di antara rumah-rumah penduduk.
Mereka yang tertarik menyaksikan pertarungan itu segera meninggalkan kesibukan masing-masing. Yang sedang mandi, buru-buru handukan dan pakai pakaiannya lalu berkelebat mengikuti rombongan Suto Sinting. Yang sedang menanak nasi, langsung dimatikan apinya. Yang sedang menggendong bayi, langsung dimatikan bayinya, eh... langsung diletakkan bayinya.
Akibat banyaknya para peminat, Suto Sinting berjalan menuju tempat yang ditentukan Karto Dupak dengan diarak oleh masyarakat penggemarnya. Tua, muda, kecil... semua ikut mengarak Suto Sinting sambil berseru: "Suto, Suto, Suto, Suto...!"
"Suto Babat!"
"Husy! Itu soto babat! Plesetan terus kau ini kalau bicara!" tegur seseorang pada temannya yang konyol.
Suto Sinting sendiri membatin, "Wah, kok malah jadi begini?! Pertarungan ini bisa menyebar ke mana-mana dan aku bingung mengambil sikap kalau begini!"
"Kang Suto... Kang... minta cap jempolnya, Kang!" seru seorang gadis remaja yang cantik imut-imut itu.
"Untuk apa cap jempol?"
"Untuk kenang-kenangan, Kang! Aku pengagum beratmu lho, Kang!"
Ada-ada saja. Sempat-sempatnya mereka berpikir mengabadikan cap jempolnya Pendekar Mabuk. Rupanya masyarakat desa tersebut sudah banyak mendengar cerita tentang kehebatan Pendekar Mabuk, sehingga mereka banyak yang mengagumi kehebatan sang pendekar. Suto Sinting menjadi buah pujaan masyarakat desa tersebut, baik yang perempuan ataupun yang lelaki, baik yang muda ataupun yang tua. Desa itu adalah desa persinggahan yang terletak antara Bandar Pantai dengan wilayah pedalaman. Siapa pun yang mendarat di pantai atau ingin berlayar, selalu singgah di desa tersebut untuk bermalam. Karenanya desa itu cukup padat penduduknya, banyak yang membangun rumah petak untuk disewa-sewakan.
Tak heran jika di desa itu pun ada seorang tokoh tua yang punya nama di rimba persilatan. Tokoh tua itu bernama Ki Wuyung Rabi, dari golongan pengelana yang kini menetap di desa persinggahan itu. Tokoh tua yang usianya hampir mencapai delapan puluh tahun itu berusaha menerabas arak-arakan dan menemui Suto Sinting sambil tetap berjalan.
"Suto Sinting! Aku Ki Wuyung Rabi, pernah ditolong oleh gurumu, Ki Sabawana alias si GilaTuak!'
"O, salam hormatku untukmu, Ki Wuyung Rabi!"
"Terima kasih. Tapi ngomong-ngomong apa benar kau mau bertarung sama Karto Dupak?"
"Dia menantangku, Ki! Aku sendiri tidak jelas persoalannya! Tapi ia mendesakku agar melayani tantangannya."
"Hati-hati saja! Dia muridnya Nyai Kucir Setan."
"Siapa itu Nyai Kucir Setan?!"
"Tokoh sesat yang baru bangkit dari kuburnya setahun yang lalu. Kabarnya di alam kubur sana ia memperoleh ilmu kesaktian yang amat tinggi, hingga mampu bangkit dari kematiannya yang sudah sepuluh tahun itu."
"Wah, seram juga, Kang!" ujar seorang anak remaja yang mengikuti percakapan itu di belakang Suto.
"Sebaiknya urungkan saja pertarungan ini," kata Ki Wuyung Babi. "Jangan sampai kau berurusan dengan Nyai Kucir Setan. Ilmunya sangat tinggi. Sudah bukan ilmu manusia lagi yang digunakan, namun semuanya serba ilmu setan!"
"Diurungkan...?!" Suto hentikan langkah dan menggumam. Mulai merenungkan usul Ki Wuyung Rabi. Tapi beberapa orang yang mengikutinya saling berseru,
"Ayo, cepatlah! Kau sudah ditunggu Karto Dupak di Bukit Bogel itu, Suto!"
"Iya! Jangan takut. Maju terus pantang mundur, kecuali kepepet!"
"Jangan ragu, Suto! Jangan kecewakan kami. Kami mendukungmu! Hancurkan murid Nyai Kucir Setan yang sering semena-mena terhadap penduduk desa kami ini!"
"Iya, Suto! Habisi saja dia. Kalau perlu dibuat rujak tumbuk sekalian!"
Suto Sinting bingung, seakan masyarakat menuntutnya untuk tetap melangsungkan pertarungan. Malahan ada yang mengejek dari jauh,
"Yeaah... baru mendengar nama Nyai Kucir Setan saja sudah ciut nyalimu! Percuma punya gelar Pendekar Mabuk! Kalau takut, mabuklah dulu, Suto!"
"Iya. Mabuk lagi saja! Mabuk lagi, Suto!"
Serombongan orang berseru dalam lagu, "Mabuk lagiii, ah...! Mabuk lagi...! Tarung lagiii... ah! Tarung lagi!"
Suto Sinting hanya bisa geleng-geleng kepala.
*
* *

3
KARTO DUPAK tampak tak sabar. Matanya memandang tajam dan bengis ketika Suto Sinting tiba di depannya. Orang-orang berkerumun mengelilingi mereka membentuk satu arena. Ki Wuyung Rabi juga ada di antara orang-orang itu. Matanya memandang tajam kepada Karto Dupak, memancarkan kebencian yang terpendam. Sedangkan Suto Sinting masih tetap tenang, bersikap tak tegang sedikit pun. Malahan ia sempatkan diri menenggak tuaknya. Glek, glek, glek...! Orang-orang berseru,
"Nah, begitu! Mabuk dulu!" lalu mereka tepuk tangan bersama. Suto Sinting jadi semakin tak enak hati. Ia ingin jelaskan bahwa sekalipun ia minum tuak satu tabung penuh dihabiskan, ia tidak akan mabuk, karena tuak baginya bukan alat untuk mabuk namun obat untuk kesehatan badannya. Kesempatan untuk menjelaskan hal itu tak ada, sebab Karto Dupak sudah mulai bicara dengan nada geram.
"Kalau kau bisa unggul melawanku, aku akan mundur dari pinanganku. Tapi kalau aku unggul melawanmu, aku akan tetap melamar Muria Wardani. Kau mati atau cacat, tak boleh menghalangi lamaranku lagi!"
"Muria Wardani itu siapa? Jelaskan dulu, Karto Dupak!"
"Banyak omong kau! Tentukan saja siapa yang mati. Beres!"
"Tidak. Aku tidak mau awali pertarungan ini jika kau tidak mau jelaskan siapa Muria Wardani itu, sebab aku memang tidak kenal dengannya!"
"Cuih! Lagakmu memang memuakkan. Bikin hatiku makin cemburu dan ingin membunuhmu! Terima saja jurus 'Elang Seribu' ini! Heaaah...!"
Karto Dupak angkat kedua tangannya melewat batas kepala, lalu kedua tangan yang melebar mirip seekor elang ingin menyambar mangsa itu dihentakkan dalam satu hentakan pendek. Deeb...! Dan dari kedua telapak tangan yang membentuk cakar itu keluar serpihan serbuk warna biru mengkilap, mirip percikan bunga api. Zrraaaab...!
Serpihan serbuk biru itu menjadi satu dan mengarah pada Suto Sinting, seolah-olah ribuan serbuk beling ingin menerjang pori-pori tubuh Suto. Tapi dengan tenang Suto Sinting memegang tali bumbung tuaknya, lalu bumbung tuak itu diputar ke atas kepala. Wuuung...!Wuuung...! Wuuung...!
Angin putaran bumbung menyebar, membuyarkan serbuk biru, menerbangkan tiap butiran serbuk hingga menempel pada daun-daun pohon sekeliling mereka. Sementara itu, Karto Dupak sendiri tanpa sadar tubuhnya ikut berputar bagaikan terbawa angin putaran bumbung tuak. Semakin cepat putaran bumbung tuak, semakin cepat pula tubuh Karto Dupak berputar, ia berusaha menghentikannya, tapi sulit sekali mengendalikan gelombang putaran yang terasa amat kuat itu.
Orang-orang tertawa dan bertepuk tangan melihat Karto Dupak berputar-putar seirama dengan ayunan putar bumbung tuak. Mereka tampak kegirangan melihat Karto Dupak dipermainkan Suto Sinting. Bahkan ada yang berseru dengan lantang,
"Putar terus sampai pagiii...!"
Suto Sinting segera hentikan permainan jurus 'Pusar Pusing' itu. Ketika bumbung tuak sudah berada dalam genggaman Suto, tubuh Karto Dupak masih berputar bagaikan masih hanyut terbawa gelombang putaran di sekelilingnya. Orang-orang tertawa sambil menuding-nuding Karto Dupak. Salah seorang berseru,
"Hoi...! Berhenti! Bambunya sudah tidak diputar lagi kok masih mutar terus? Ngigau kali tuh orang, ya?"
Brruk...! Karto Dupak jatuh terpuruk dalam keadaan duduk, ia menggeram karena merasa pusing sekali. Sementara itu, beberapa mata penonton tertuju pada daun-daun pohon di sekeliling mereka. Daun-daun yang terkena serbuk biru tadi saling mengering dan berkeriputan bagai tak pernah kena sinar matahari. Bahkan beberapa helai daun ada yang langsung rontok, seakan sudah lama menjadi kering di atas sana. Berarti jika tadi serbuk biru itu ada yang mengenai kulit manusia, maka kulit orang itu akan berkeriput kering seperti nasib daun-daun pohon tersebut.
"Ayo, bangun! Baru begitu kok sudah loyo?! Bangun, Karto...!' teriak beberapa orang penonton.
Karto Dupak malu sekali dipermainkan seperti itu di depan umum. Ia paksakan diri untuk bangkit dan wajahnya dibuat kian angker, ia menuding salah seorang penonton yang berbaju coklat.
"Jangan bangga dulu dengan permainan konyolmu, Suto! Kubalas kau dengan permainan mautku!"
"Hoi, yang dituding kok aku?!" kata orang itu. "Suto Sinting di sana! Di belakangmu!"
"Huah, ha, ha, ha, ha...!" para penonton tertawa geli melihat Karto Dupak salah tuding. Rupanya pengaruh pusing membuat Karto Dupak memandang seseorang dengan mata buram. Begitu dilihatnya baju warna coklat, langsung orang itu disangka Suto Sinting.
Pendekar Mabuk sendiri tersenyum karena tak kuat menahan geli. Pikirnya, "Sebaiknya tak perlu kutanggapi serius. Cukup kuberi berbagai pelajaran konyol saja biar dia jera sendiri dan tak mau menantangku lagi!"
Karto Dupak kejap-kejapkan matanya. Setelah bisa melihat dengan lebih terang lagi, barulah ia menghadap Suto Sinting dan berkata, "Hmm...! Cepat sekali kau pindah tempat. Kau pikir aku heran dengan ilmumu itu?!"
Yang menjawab penonton di belakang Suto, "Siapa yang pindah tempat, orang dari tadi dia di sini kok. Weeee...!"
"Diam kau!" bentak Karto Dupak pada orang yang berani bicara itu. Sebagai pelampiasan rasa malunya, orang itu dihantam dengan pukulan jarak jauh tanpa sinar. Wuuuut...! Suto Sinting merasakan ada hawa panas melesat menuju orang di belakangnya. Langsung saja Suto ayunkan bumbung tuaknya berkelebat. Wuuus...! Angin dari ayunan bumbung tuak itu bertabrakan dengan gelombang hawa panas yang dilepaskan Karto Dupak. Duaar...!
"Eh, kuda, kambing, ayam, kalkun, monyet, bagong, petruk, iih... bikin kaget saja!"
Terjadi ledakan tak seberapa kuat namun suaranya cukup mengejutkan, membuat salah seorang penonton yang latah mengoceh tak karuan. Orang itu akhirnya malu sendiri.
Karto Dupak semakin jengkel, ia segera melompat menerjang Suto dengan gerakan cepat bagaikan angin berkelebat.
"Heaaat...!"
Wuuut...!
Buuuhk...!
Pendekar Mabuk tersentak mundur dua tindak ketika tangannya menangkis tendangan telapak kaki Karto Dupak yang menjejak. Rupanya jejakan kaki itu punya tenaga dalam besar, sehingga tangan Suto yang menangkisnya terasa ngilu sekali. Seakan tulang-tulangnya dicekam hawa dingin melebihi dinginnya es balok. Para pengagumnya sempat cemas melihat Suto tersentak mundur.
"Lumayan juga tenaga dalamnya! Kalau aku bertahan untuk tetap di tempat, bisa patah tulang tanganku ini!" pikir Suto Sinting dengan menarik napas untuk menghilangkan rasa ngilu di tulang tangannya itu.
Sementara itu, Karto Dupak bagaikan mendapat semangat untuk menyerang lebih gesit lagi, sehingga kapaknya pun segera dicabut dari pinggang.
Wuuut...!
"Sudah bukan saatnya untuk main-main, Bangsat!" geramnya penuh nafsu untuk membunuh.
Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Seorang penonton ada yang berkata, "Lho, mau dibunuh kok malah minum dulu? Benar-benar sinting anak itu!"
Tentu saja kesempatan tersebut dipergunakan oleh Karto Dupak untuk menyerang Suto Sinting yang dianggap lengah. "Heaaat...!"
Satu lompatan menerjang Suto Sinting. Kapak besar berujung pisau ditebaskan ke arah Pendekar Mabuk, membelah kepala sang pendekar. Wuuung...! Tapi dengan kaki merendah Suto melintangkan bumbung tuak yang buru-buru ditutup itu. Bumbung tuak dipegang dua tangan, lalu kapak itu menghantam bumbung tuak. Traaang...! Kapak itu bagai menghantam besi baja. Kepala Suto mundur satu sentakan, kalau tidak akan terkena pisau di ujung kapak itu. Dan pada saat itu juga mulut Suto yang masih menampung air tuak belum ditelan segera disemburkan. Bruuusss...!
"Ha, ha, ha, ha, ha...!" para penonton tertawa, dianggapnya itu sudah kekonyolan Suto Sinting. Kesannya memang seperti meremehkan lawan, tapi sebetulnya semburan tuak itu adalah jurus maut juga yang dinamakan jurus 'Sembur Siluman'.
Karto Dupak terpaku di tempat saat ia menyadari tangannya sudah tidak menggenggam kapak lagi. Matanya membelalak lebar, celingak-celinguk mencari senjatanya. Orang-orang pun ikut mencari dengan
pandangan mata keheranan. Tapi Ki Wuyung Rabi tampak tersenyum-senyum saja, karena ia tahu jurus 'Sembur Siluman' bisa melenyapkan senjata atau barang yang terkena semburan tuak tersebut.
"Bangsat kurap! Kau kemanakan kapakku, hah?!" sentak Karto Dupak dengan sangat berang.
"Kapakmu ada di alam gaib. Kupindahkan ke sana karena membahayakan keselamatan orang banyak!"
"Setan cingur! Kembalikan kapakku atau kuhabisi nyawamu dengan jurus andalanku yang kali ini! Kembalikan!"
"Tidak!" jawab Suto sambil menggeleng dan tersenyum tipis. Tentu saja hati Karto Dupak dongkol sekali, karena merasa dipermainkan untuk bahan tertawaan para penonton. Maka, Karto Dupak tidak mau tanggung-tanggung lagi. Jurus andalannya dilepaskan berupa dua sinar biru yang melesat dari matanya. Claaap...! Suto Sinting menangkis sinar biru itu dengan bumbung tuak. Sifat kesaktian bumbung tuak itu adalah memantulkan serangan lawan membuat serangan itu dua kali lebih besar dari aslinya dan bergerak lebih cepat. Maka sepasang sinar biru itu pun memantul balik setelah menghantam bumbung tuak tersebut.
Zraaab...! Blaaar...!
Karto Dupak terkejut melihat sinar birunya memantul balik dalam keadaan lebih besar dari aslinya. Keadaan kaget Karto Dupak membuatnya tak sempat menghindar atau menangkis dengan jurus lain. Akibatnya dia menjadi korban senjatanya sendiri. Terhempas melambung tinggi dan jatuh bagaikan nangka busuk dibanting dari pohon setelah terdengar ledakan menggelegar tadi. Bruukk...! Prook..!
"Aaaa...!"
Bukan Karto Dupak yang menjerit, tapi beberapa penonton wanita yang tidak tega melihat keadaan Karto Dupak. Sebagian penonton memalingkan wajah, tak berani memandang Karto Dupak, karena tubuh Karto Dupak langsung terpotong-potong menjadi beberapa bagian akibat terkena sinarnya sendiri. Potongan tubuhnya bukan dalam keadaan utuh, melainkan dalam keadaan hangus. Barangkali saja sinar biru itu sebenarnya membuat lawannya menjadi hangus. Tapi karena memantul balik lebih besar, akhirnya si korban bukan saja hangus melainkan juga terpotong-potong menjadi beberapa bagian.
"Senjata makan tuan itu namanya!" kata salah seorang kepada temannya. Mereka saling berkasak-kusuk, menggaung seperti ratusan lebah. Sedangkan Suto Sinting diam tertegun dengan wajah penuh sesal. Bahkan sampai KI Wuyung Rabi mendekatinya, Suto masih diam saja.
"Sudahlah, jangan kau sesali, karena ini sudah kehendak Karto Dupak sendiri."
"Seharusnya tidak perlu sampai begini!" ujar Suto dengan nada pelan, penuh rasa sesal yang amat dalam. "Dia bukan musuh beratku. Dia bukan orang paling berbahaya. Tak perlu pertarungan ini harus memakan korban jiwanya. Seharusnya cukup kuberi pelajaran saja biar ia jera. Tapi...."
"Tinggalkan tempat ini sebelum Nyai Kucir Setan mengetahui kabar kematian muridnya."
"Aku malah ingin temui dia untuk jelaskan perkara kematian muridnya ini!"
"Apakah kau sudah siap menghadapi murkanya?" tanya Ki Wuyung Rabi. "Perempuan itu bukan orang yang mudah diajak bicara, sulit diberi pengertian. Kalau ia murka padamu, kau bisa kewalahan menghadapinya. Salah-salah nyawamu bisa melayang di tangannya! Dia mempunyai beberapa jurus maut yang amat dahsyat dan sukar ditandingi."
"Apa pun jadinya, akan kuhadapi sebagai akibat dari keteledoranku dalam pertarungan ini!"
Ki Wuyung Rabi menarik napas dalam-dalam. Seseorang yang sengaja mendengarkan percakapan itu berkata kepada temannya,
"Yang unggul dia kok malah dia yang merasa teledor?"
"Iya. Padahal kita sangat bangga melihat kemenangannya, tapi dia malah tampak menyesal atas kemenangan ini, ya? Aneh sekali dia itu!"
Ki Wuyung Rabi berkata kepada Suto Sinting, "Kalau memang kau ingin temui Nyai Kucir Setan, kau bisa berjalan dari sini ke arah timur. Nanti kau akan jumpai Bukit Kelabang. Di dalam hutan Bukit Kelabang itu kau akan temukan sebuah pondok. Di situlah Nyai Kucir Setan bermukim."
"Kalau begitu aku harus ke sana sekarang. Kubatalkan perjalananku untuk sowan ke pondoknya Resi Wulung Gading."
"Pertimbangkan mana yang lebih penting menurutmu. Yang jelas, aku ingin pergi ke Jurang Lindu untuk temui gurumu, sekadar silaturahmi. Sudah sangat lama aku tidak jumpa gurumu!"
"Guru dalam keadaan baik-baik saja, Ki. Kurasa beliau bisa kau temui di Jurang Lindu. Jika tak ada di sana, mungkin beilau ada di tempat Bibi Guru Bidadari Jalang, di Lembah Badai!"
Pendekar Mabuk berpisah dengan Ki Wuyung Rabi. Ia bergegas menuju ke arah timur, mencari Bukit Kelabang. Tetapi perjalanan itu rupanya ada yang mengikuti dari belakang. Seseorang mengikuti Suto secara diam-diam dengan sesekali menyelinap di balik pohon. Setiap Suto menengok ke belakang, orang itu lebih dulu lenyap di balik persembunyiannya. Gerakannya cepat sekali, sehingga Pendekar Mabuk tak bisa memergoki keberadaan orang tersebut.
"Ilmunya lumayan tinggi," gumam Suto Sinting dalam hati. "Entah apa maksudnya, tapi sejauh ini kulihat ia hanya mengikutiku saja. Mungkin ia akan menjebakku di suatu tempat. Tapi mungkin saja ia sekadar ingin tahu perjumpaanku dengan Nyai Kucir Setan. Yang jelas, orang itu pasti tadi ada di antara para penonton. Hmmm... sebaiknya kujebak dia di balik tikungan itu saja!"
Suto Sinting segera membelokkan arah langkahnya ke tikungan gugusan cadas yang membukit. Orang yang mengikutinya tampak bergegas lebih cepat lagi karena takut kehilangan jejak. Pendekar Mabuk bersembunyi di atas sebuah pohon berdaun lebat. Ia berdiri di antara ranting-ranting kecil, yang jika diinjak manusia biasa akan roboh dan patah. Tapi karena Suto menggunakan ilmu peringan tubuhnya, maka ranting dan daun itu bagai tak mengalami tekanan apa pun.
Ternyata yang mengikuti Suto adalah seorang perempuan berjubah hijau tua. Jubahnya dari bahan kain mengkilap dengan hiasan bunga putih kecil-kecil. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, berwajah cantik, berkulit putih mulus. Ia mengenakan pinjung kain jenis sutera transparan warna merah jambu.
Suto Sinting tersenyum geli melihat gadis bertubuh sekal dan berdada montok itu kebingungan mencari mangsanya. Sudah lari ke sana, kembali lagi ke sini. Lari ke tempat datangnya tadi, kembali lagi ke bawah pohon, ia seperti seorang ibu kehilangan anak susuannya.
Akhirnya Suto Sinting menampakkan diri ketika gadis itu duduk termenung di atas batu setinggi lutut. Wajahnya tampak sedih dan Suto Sinting tak tega melihat kemurungan di wajah cantik itu. Dengan gerakan cepat menerabas dedaunan tapi dedaunan tidak merasa diterabas, Pendekar Mabuk tahu-tahu sudah ada di belakang gadis itu, agak menyamping.
Suto berlagak batuk-batuk kecil membuat gadis itu kaget dan cepat berpaling.
"Kau mencariku, Nona?" sapa Suto dengan senyum keramahan. Gadis itu terperangah sesaat memandangi ketampanan yang menggetarkan hati itu. Namun ia buru-buru kuasai diri dengan menarik napas dan menyunggingkan senyum sinis.
"Aku tidak mencarimu!" katanya. "Kebetulan saja aku kehilangan arah jadi bingung sendiri."
"O, kehilangan arah," kata Suto berpura-pura mempercayai jawaban itu, tapi senyumnya makin lebar pertanda merasa kian geli dengan sikap si gadis yang serba salah.
"Kalau begitu aku mengganggu ketenanganmu, ya? Sebaiknya aku permisi saja, Nona! Maafkan kehadiranku ini!"
"Tunggu...!" gadis itu menahan ketika Suto Sinting ingin pergi. Padahal Suto hanya berpura-pura untuk memancing perasaan si gadis.
"Apakah kau tak ingin menolongku?"
"Menolong dalam hal apa?" tanya Suto Sinting dengan nada suara yang lembut dan selalu menyejukkan hati para gadis itu.
"Aku... aku kehilangan arah menuju pulang ke rumah."
"Kau tinggal di mana?"
Sambil menunggu jawaban si gadis, Suto Sinting meneguk tuaknya sedikit sebagai pembasuh mulut dan bibir. Dengan begitu bibirnya tampak ranum segar karena basah. Tentu saja mata si gadis semakin terpana tak berkedip. Ketika Suto tertawa tanpa suara, si gadis baru sadar kalau dirinya telah hanyut dalam kekaguman hatinya sendiri.
"Kutanyakan tadi, kau tinggal di mana, Nona Cantik?"
"Lereng gunung."
"Gunung apa? Di sini banyak gunung. Bahkan gunung yang paling dekat denganku pun ada!"
Wajah gadis itu menjadi semburat merah dadu. Mata pendekar tampan itu nakal. Si gadia jadi malu. Untuk menutup perasaan kikuknya, si gadis buru-buru menjawab, "Aku tinggal di lereng Gunung Siwalan."
"Gunung Siwalan?!" Suto Sinting kerutkan dahi.
"Aku baru dengar nama gunung itu. Gunung Siwalan atau Gunung Sialan?"
"Hmmm... yang mana saja, terserah kau!" jawabnya membuat Suto kian perpanjang tawa. Kali ini terdengar seperti gumam memanjang. Gadis itu tundukkan wajah tanda malu perlihatkan senyumnya.
Mata Suto Sinting belum mau lepas pandangi kecantikan yang ada di depannya. Hidung bangir, mata bulat indah, bibir mungil menggairahkan, dada membusung, rambut disanggul kecil di tengah sisanya meriap sepanjang punggung. Ah, semua itu benar-benar rangkaian dari sebentuk kecantikan yang memukau hati. Gadis itu mengenakan gelang hijau giok dan kalung berbandul batuan hijau giok juga dikelilingi oleh butiran mutiara kecil. Perhiasan itu menambah kecantikan yang berkesan mahal bagi mata setiap lelaki.
"Aku tak mengerti di mana letak Gunung Siwalan itu. Barangkali kau bisa kasih tahu ciri-cirinya?"
"Ciri-cirinya... ada pohon, ada batunya, ada...."
"Ada monyetnya?" sahut Suto.
"Tidak ada. Sebab sekarang sedang berada di depanku!" jawabnya sambil tersenyum geli. Suto perdengarkan tawa sedikit keras namun tampak sopan dan menawan.
"Kalau begitu akulah monyet Gunung Siwalan!" kata Suto menambah kelakar di bawah pohon peneduh itu. Tapi dalam hati Suto punya kata-kata sendiri,
"Dia ingin mengakrabkan diri denganku. Dia mencoba berkelakar, agaknya suka dengan kelakar seperti itu. Hmm... anak siapa dia sebenarnya kok cantiknya seperti ini? Aku jadi ingat calon istriku: Dyah Sariningrum. Dia juga punya kecantikan seperti ini. Tapi, ah... rasa-rasanya janggal sekali gadis secantik dia tersesat di tempat seperti ini. Pasti dia punya keperluan denganku."
Kemudian Pendekar Mabuk bertanya, "Siapa namamu, Nona?"
"Menurutmu siapa?"
"Konyol juga si cantik ini!" gumam Suto dalam hatinya. Tawa Suto yang mengguncangkan pundak itu membuat si gadis semakin berani sunggingkan senyum melebar.
"Namaku.... Telaga Sunyi."
"Wow...! Nama julukan yang cantik sekali. Pas untuk gadis secantik kau!"
Hati sang gadis berkata dalam hati, "Ah, dia selalu bikin jantungku berdebar-debar. Dia pandai memikat hati. Mungkin seribu gadis sudah pernah jatuh dalam pelukannya. Tapi... biarlah, semuanya biar berlalu, dan aku pun barangkali akan berlalu."
Lalu terdengar suara Suto Sinting berkata, "Seandainya aku punya nama seperti itu, akan kuukir pada setiap pohon sepanjang Tanah Jawa ini. Sayangnya namaku tak seindah namamu. O, ya... kau perlu tahu namaku?"
"Sudah tahu! Namamu Suto Sinting, bukan? Kau murid si Gila Tuak dan Bidadari Jalang, bukan? Kau punya gelar Pendekar Mabuk, bukan?"
"Rupanya kau lebih banyak tahu tentang diriku. Pasti kau ada di antara penonton yang mengelilingi pertarunganku dengan Karto Dupak tadi!"
"Memang."
"Lalu apa maksudmu mengikutiku? Aku yakin kau punya maksud tertentu! Katakan saja, barangkali aku bisa membantumu!"
"Ayahku sakit. Aku butuh seorang tabib. Kudengar kau juga dijuluki sebagai Tabib Darah Tuak. Aku ingin mengundangmu datang ke rumah untuk mengobati ayahku. Tapi aku tak berani mendekatimu."
"Kenapa tak berani?"
"Takut kau sangka aku terpikat olehmu dan mengada-ada!"
"Kalau toh benar begitu aku tak akan marah!"
"Ah, tidak sebenar itu! Aku hanya butuh bantuanmu sebagai tabib."
"Sakit apa ayahmu?"
"Kata beberapa orang pintar, beliau terkena Ilmu 'Teluh Cakar Buntung'. Sudah tiga belas tabib yang menanganinya, tapi tak ada yang mampu membereskan ilmu teluh itu."
"Teluh Cakar Buntung'...!" gumam Suto. Lalu tersenyum tipis setelah berkerut dahi, "Aneh sekali namanya. Umumnya kalau tangan buntung itu tidak bisa dipakai untuk mencakar. Tapi ini malah 'cakar buntung'?!"
Telaga Sunyi angkat pundak tanda tak mengerti maunya si pemilik ilmu hingga memberi nama seperti itu. Gadis itu akhirnya setengah mendesak Suto dengan pertanyaan halus, "Sudikah kau menolong ayahku?"
Setelah menghempaskan napas panjang Pendekar Mabuk pun menjawab. "Demi menyelamatkan jiwa seseorang, aku tak pernah keberatan memberikan pertolongan."
"Berapa upah yang harus kuberikan padamu sebagai tabib?"
"Terlalu mahal untuk dibayar, terlalu murah untuk diremehkan. Yang jelas aku bukan tabib. Aku seorang pendekar! Kalau toh ada yang mengatakan aku tabib, itu hak mereka sebagai manusia yang bebas berpendapat."
"Enak sekali bicaranya," pikirnya si gadis.
"Barangkali yang bikin menarik adalah senyumannya. Senyum kejantanan yang sering kuimpikan, namun tidak untuk kumiliki! Karena tak mungkin dia mau kumiliki. Jadi lebih baik aku tidak perlu berharap untuk bisa memiliki dia!'
Begitulah hati Telaga Sunyi yang menentang perasaannya sendiri. Sebab itu ia tak berani berjalan terlalu dekat dengan Suto Sinting, ia selalu jaga jarak, karena jika terlalu dekat hasrat hatinya selalu ingin menggandeng lengan sang pendekar tampan itu. Ia membatasi diri demi menyelamatkan hatinya agar tak timbul luka oleh harapannya sendiri.
Pendekar Mabuk tak merasa kecewa menunda niatnya bertemu Nyai Kucir Setan, karena menurutnya ada hal yang lebih perlu lagi untuk dilakukan. Bertamu dengan ayahnya Telaga Sunyi merupakan suatu pengalaman baru baginya. Karena ia akan bertemu dengan orang yang menderita Ilmu 'Teluh Cakar Buntung', ia sangat penasaran, seperti apa korban 'Teluh Cakar Buntung' itu? Apakah ia mampu menyembuhkannya, atau malah membuat si penderita semakin parah? Secara jujur diakui hati Suto, bahwa ia ingin menjajal kemampuannya dalam melawan ilmu teluh semacam itu. ia pun ingin mengukur, sebesar apa kekuatan ilmu teluh tersebut.
Sayang sekali mereka tak bisa cepat tiba di rumah Telaga Sunyi, karena tiba-tiba sebatang anak panah melesat dari arah samping Suto Sinting. Zlaaap...!
Tangan Suto berkelebat ke samping dengan sedikit gerak pundak serong ke arah datangnya anak panah. Teeb...! Dalam waktu sekejap, dengan gerak yang nyaris tak terlihat, anak panah itu sudah tertangkap dalam genggaman Pendekar Mabuk.
Telaga Sunyi kaget melihat anak panah bermata emas itu. Ia mulai gusar, dan Suto menangkap kegusaran itu sebagai kecemasan yang amat dalam. Suto pun berbisik,
"Bersembunyilah! Akan kuhadapi sendiri orang ini!"
*
* *

4
MUNCULNYA seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun membuat Pendekar Mabuk berkerut dahi. Tentu saja Suto heran dengan pemuda berkumis tipis yang punya ketampanan lumayan itu. Ia belum pernah jumpa dengan pemuda berambut pendek yang mengenakan ikat kepala dari logam emas, tengahnya berhias batu merah bening. Penampilannya cukup memukau, ia berpakaian merah, baju panjang warna putih berkancing emas, rompi merah dan celana merah bersulam benang emas pada tepiannya. Tangan kirinya menggenggam busur panah yang terbuat dari kayu berlapis emas pada ujung-ujungnya. Sedangkan anak panah ada di dalam kantong kulit yang bertali, dan talinya diselempangkan di dada. Tempat anak panah itu ada di sebelah kiri.
"Gagah sekali dia. Berkesan mewah. Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Bukan seorang pengelana dan bukan pula seorang dari rimba persilatan," pikir Suto Sinting dengan sikap memandang penuh selidik. Pemuda itu kalem-kalem saja. Caranya memandang juga kalem, tapi punya kesan bermusuhan dengan Suto Sinting.
Ia berhenti tepat di depan Suto dalam jarak lima langkah. Keduanya sama-sama berdiri tegak, kedua kaki sedikit merenggang. Tingginya sama, besar badannya juga sama. Yang beda cuma ketampanannya dan pakaiannya. Suto Sinting lebih kumuh dari pemuda itu. Tangan Suto masih menggenggam anak panah yang tadi ditangkapnya. Dengan alasan itu Suto Sinting mengawali percakapannya.
"Kau pemilik anak panah ini?""Benar!" jawabnya tegas, sama tegasnya dengan nada suara Suto Sinting.
"Kau sengaja membidikkan anak panah ini kepadaku?"
"Sengaja!"
"Apa alasanmu? Kita belum pernah saling kenal."
"Namaku Pangeran Kertapaksi dan kau Pendekar Mabuk; Suto Sinting! Sekarang kita sudah saling kenal!"
"Dari mana kau tahu namaku?"
"Ciri-cirimu sangat jelas dan kucatat dalam otakku!"
"Syukurlah kalau kau masih punya otak," ujar Suto sambil tersenyum bernada melecehkan. Pangeran Kertapaksi tersenyum sinis. Hanya ujung bibir kanannya yang ditarik naik sedikit. Matanya tetap menatap tajam berkesan dingin.
"Mengapa kau ingin membunuhku, Kertapaksi?"
"Syarat untuk meminang Putri Muria Wardani adalah menyingkirkan kau dalam hidupnya!"
Pendekar Mabuk kerutkan dahi. "Tadi Karto Dupak juga menyinggung-nyinggung nama perempuan itu, sekarang Kertapaksi juga menyinggung nama itu. Siapa pemilik nama itu sebenarnya? Mengapa dihubungkan dengan diriku?!" pikir Suto Sinting bingung sendiri. Kala ia berpikir, Kertapaksi berucap kata dengan nada ketus.
"Buatku adalah hal yang paling mudah menyingkirkan dirimu. Tapi aku akan beri kebijaksanaan padamu. Jika kau mau menyingkir dari kehidupan Muria Wardani, aku tak akan memusuhimu. Bahkan aku ingin bersaudara denganmu. Tapi jika kau tak mau mundur, aku terpaksa menyatakan perang padamu, Suto Sinting!"
"Nanti dulu!" sergah Suto. "Sejujurnya kukatakan padamu, aku tidak kenal siapa Muria Wardani itu!"
Kertapaksi sunggingkan senyum sinis lagi sebagai tanda tak percaya. Sekali lagi Pendekar Mabuk dibuat heran melihat senyum tidak percaya itu, sebab Karto Dupak pun tidak mau percaya dengan pernyataannya itu.
"Ada apa sebenarnya?" gumam murid sinting si Gila Tuak, seakan bicara pada dirinya sendiri. Tapi Kertapaksi menanggapinya dengan nada ketus,
"Apa maksudmu berpura-pura bingung? Apakah kau takut melawanku? Kalau kau takut, kau mundur saja.  Putuskan hubungan cintamu dengan Muria Wardani!"
"Ini lebih edan lagi!" gerutunya dalam hati. Lalu, Suto berkata dengan suara jelas, "Aku tidak punya hubungan cinta dengan Muria Wardani. Jangan libatkan aku dalam urusan ini!"
Senyum Kertapaksi kian lebar, kian berkesan sinis dan melecehkan. "Kalau saja Muria Wardani mendengar sendiri ucapanmu, pasti kau akan ditamparnya dan mungkin dia akan sakit hati padamu seumur hidup!"
"Kau orang yang sulit diberi penjelasan, Kertapaksi!"
"Karena aku bukan anak kecil yang mudah kau tipu dengan gayamu itu, Pendekar Mabuk!" Kali ini ucapan Kertapaksi agak keras, sebagai tanda bahwa ia mulai jengkel kepada lawan bicaranya.
"Barangkali memang sudah menjadi gayamu, karena kau memegang gelar pendekar, maka kau selalu merendahkan diri di depan siapa saja. Tapi sikapmu itu semata-mata untuk menghindari pertarungan denganku. Sikapmu itu termasuk suatu kelicikan, Suto! Tak pantas seorang pendekar kondang bersikap licik seperti itu!" Kertapaksi berjalan memutari Suto Sinting. Sambungnya lagi,
"Aku bisa meraba siasatmu. Kau berlagak tak kenal dengan Muria Wardani supaya terhindar dari permusuhan denganku. Tapi diam-diam kau telah punya rencana untuk membawa lari Muria Wardani di saat aku lengah dan tak menduga begitu!"
Kertapaksi tiba di tempat semula dan berhenti, menghadap Suto Sinting dengan tegap lagi. Ia menuding menggunakan busurnya,
"Kau pengecut! Tak pantas jadi seorang pendekar! Kalau kau takut bertarung, jangan menyandang gelar pendekar!"
"Bukan pertarungan yang kutakuti, tapi kekalahanmu itu yang kucemaskan, Kertapaksi!" kata Suto dengan nada balas mengejek lawannya.
"Kalau begitu kita buktikan siapa yang unggul di antara kita!"
"Apakah itu perlu?" ujar Suto dengan maksud menghindari pertarungan seperti menghadapi Karto Dupak tadi.
"Kurasa itu memang perlu," ujar Kertapaksi sedikit mendesak. "Kita perlu saling membuktikan, siapa yang unggul di antara kita, dan siapa yang berhak mengawini Murla Wardani."
Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala sambil tersenyum tenang. Bukan berarti dia tak mau menerima tantangan itu, tapi merasa heran mengapa Kertapaksi sengotot itu kepadanya. Kertapaksi diam tak bergerak, tapi dari kedua matanya memancarkan sinar kebencian yang begitu kuat. Suto Sinting merasakan kebencian itu menembus sampai ke dasar hatinya, ia hanya menarik napas sebagai rasa iba melihat sikap Kertapaksi yang dianggap keliru itu.
"Cobalah dinginkan kepalamu, Kertapaksi. Kau salah sasaran. Barangkali bukan aku orang yang patut kau benci!"
"Kau...!" jawab Kertapaksi dengan tegas sekali.
Pendekar Mabuk sengaja tertawa dalam gumam. Kemudian ia membuka bumbung tuaknya untuk meneguk tuak. Namun baru saja ia mau melepas tutup bumbung itu, tiba-tiba tangan Kertapaksi yang kanan menghentak ke depan. Wuuut...! Wuuus...! Deeb!
Pukulan tenaga dalam padat menghantam pinggang Suto Sinting. Pukulan itu sebenarnya dapat membuat tubuh Suto mental sekitar lima langkah ke belakang, karena cukup besar dan berat. Hanya saja, Suto Sinting masih bisa menahan dengan mengencangkan perutnya saat menerima pukulan itu, sehingga ia hanya menggeloyor ke belakang dua tindak. Tapi napasnya terasa sesak dan berat untuk dihela. Bumbung tuaknya masih dalam keadaan terangkat mau dibuka tutupnya. Bumbung tuak itu akhirnya berkelebat ke samping kiri ketika Kertapaksi lepaskan pukulan bercahaya merah dari ujung busur yang disodokkan ke depan. Claap...!
Draak! Wuuus....
Sinar merah itu membentur bumbung tuak dan berbalik arah. Wuuut...!
Kertapaksi tersentak kaget dan gerakkan nalurinya menghentakkan kaki hingga ia melesat ke atas dalam gerakan salto. Wuk, wuk...! Dan sinar merah yang berubah lebih besar itu menghantam sebuah pohon dengan kerasnya. Blegaar...!
Kraaak...! Bruuussk...!
Pohon itu tumbang seketika, pecah dalam keadaan terbelah menjadi lima bagian memanjang. Mata pemuda berkumis tipis itu sempat terperanjat melihat pohon itu menjadi terbelah begitu dalam keadaan keluarkan asap yang menghanguskan bagian kulitnya.
"Edan! Jurusnya siapa itu? Jurusku tidak sedahsyat itu. Jurusku hanya bisa membakar kulit tubuh lawan, tidak sampai memecahkan pohon sebesar itu," pikir Kertapaksi dengan menelan ludahnya sendiri, merasa ngeri membayangkan seandainya yang terkena sinar merah itu adalah manusia, entah seperti apa jadinya.
Namun pemuda beralas kaki sandai lilit itu tetap tunjukkan sikap tenangnya, ia tak mau dilihat keheranannya oleh lawan. Bahkan ia sempat tersenyum sinis, seakan memamerkan kekuatan ilmunya yang bisa memecahkan pohon sebesar itu.
"Kurasa kau sudah cukup mengenali ilmuku, Suto Sinting. Seperti itulah kira-kira ilmuku. Untung kau tadi bisa menangkisnya dengan bumbung tuakmu, jika tidak kau akan bernasib seperti pohon itu, tahu?!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis. Kemudian segera meneguk tuaknya, ia lebih kalem dan lebih tenang dari Kertapaksi. Setelah meneguk tuaknya, suaranya segera terdengar dengan jelas.
"Kuakui kau punya ilmu yang hebat, dan pasti lebih tinggi dariku. Jadi, kurasa kau bukan lawan tandingku. Kuakui kehebatanmu, Kertapaksi. Puas?!"
"Apakah kau ingin halangi niatku mempersunting Muria Wardani?"
"O, tidak! Silakan saja!"
"Kau mau memutuskan hubungan cintamu dengannya?"
"Dengan senang hati, karena memang aku tak punya hubungan apa-apa!"
"Hmm...!" Kertapaksi mencibir sinis. Setelah diam sesaat dalam beradu pandang, Kertapaksi akhirnya berkata,
"Rasa-rasanya belum puas hatiku mendengar jawaban dan pernyataanmu! Kubaca hatimu, kau punya siasat licik untuk mengecohkan diriku!"
"Percayalah! Aku tak akan menemui Muria Wardani lagi!"
"Kupandangi matamu dan kutemukan sorot kebohongan yang amat besar! Rupanya kau perlu dibuat jera dengan membuatmu terluka dulu!"
"Kertapaksi, kumohon jangan menyerangku!"
"Tidak bisa! Kau harus menerima pukulan 'Racun Gempur Tulang' ini, heeah...!"
Rupanya pemuda berkulit tipis itu penasaran sekali melihat Suto Sinting masih segar bugar, ia ingin melukai Suto sebagai tindakan yang lebih nyata lagi atas kesaktian ilmunya. Maka dilepaskanlah pukulan bersinar kuning memutar seperti angin puting beliung dari telapak tangan kanannya. Wusst...! Sinar kuning memutar itu menghantam Suto Sinting. Tetapi keadaan Suto Sinting cukup siap. Tangan kirinya segera mengembang dengan jari merapat. Lalu tangan itu menghentak ke depan dan keluarlah sinar ungu sebesar lidi. Sinar itu melesat lurus membentur sinar kuning besar. Tapi sinar kuning itu tertahan di pertengahan jarak. Makin lama gerakannya semakin mundur karena terdesak oleh sinar ungunya Suto.
Kertapaksi menahan sinar kuningnya agar tetap memancar hingga tubuhnya bergetar. Suto Sinting hanya bergetar bagian tangan yang memancarkan sinar ungu itu. Lalu, kaki Suto menghentak ke tanah satu kali, seakan melepaskan tenaga dalam jurus itu secara tuntas. Duuuk...!
Wuuut...! Sinar kuning terdesak mundur dengan cepat dan menghantam tangan pemiliknya sendiri. Blaam...! Keadaan sinar itu sudah bercampur dengan sinar ungunya Suto, sehingga Kertapaksi pun memekik kesakitan.
"Aaahg...!" tubuhnya terlempar ke belakang manakala sinar-sinar itu padam, seakan telah menghantam tubuh Kertapaksi. Kejap berikutnya Kertapaksi mengejang dan menggeliat-geliat dengan mata mendelik dan mulut ternganga-nganga. Dari mulutnya keluar asap, juga dari hidung dan telinga. Asap itu berwarna kuning, sebagai pertanda jurus 'Racun Gempur Tulang' telah mengenai pemiliknya sendiri.
Pada saat itu terdengar suara langkah kaki kuda mendekati tempat tersebut. Dari deru irama langkahnya, Suto yakin ada dua ekor kuda yang menuju ke tempat itu. Untuk melihat siapa yang datang, Suto Sinting segera hentakkan napas ke bawah, perut menjadi keras dan tubuh pun melesat naik dalam keadaan seperti berdiri tegak. Lalu menerabas dedaunan dan hinggap di salah satu ranting sebesar pensil tulis.
Wuuut! Wruus...!
Suto diam di sana sambil memperhatikan ke arah bawah. Ternyata dugaannya memang benar. Dua orang penunggang kuda datang bersama kuda mereka masing-masing. Kedua orang itu mengenakan pakaian seragam yang warna dan potongannya sama. Hanya senjata mereka yang berbeda.
"Sepertinya mereka prajurit sebuah negeri?!' pikir Suto Sinting dari atas pohon.
Kedua orang itu terkejut melihat keadaan Kertapaksi kejang-kejang dengan asap kuning tipis masih mengepul dari lubang mulut, hidung, dan telinganya. Salah satu ada yang berseru sambil melompat turun dari punggung kuda,
"Gusti Pangeran...?!"
Yang satunya ikut turun dengan tegang dan berkata, "'Racun Gempur Tulang'?! Ya, aku tahu persis asap kuning itu pasti kekuatan 'Racun Gempur Tulang'!"
"Bukankah yang mempunyai racun itu Gusti Kertapaksi sendiri?!"
"Memang. Tapi... kok bisa mengenai diri sendiri, ya?"
"Sudahlah dibicarakan nanti saja. Sekarang angkut Gusti Kertapaksi ini dan bawa pulang. Jangan sampai  terlambat, nanti racun itu terlanjur mencapai jantung, habislah riwayatnya!"
"Wah, wah, wah... dikasih tahu jangan berburu di daerah hutan sini kok masih nekat! Gusti Kertapaksi tidak mau percaya omonganku, bahwa hutan sini itu angker! Tak baik untuk berburu. Tapi, ah... dasar bandel!"
"Sudah, angkat dan naikkan ke kudamu!" sentak temannya yang bersenjata trisula kembar di pinggangnya.
Pendekar Mabuk menggumam sendiri, "Kurang apa aku mengalah padanya? Tapi dasar orang bodoh, sudah diakui kehebatannya masih saja mau lukai diriku! Yah, akibatnya tanggung sendirilah! Bukan salahku, kan?!"
Suto Sinting lompat turun dari atas pohon tanpa timbulkan suara. Ia memandang ke arah kepergian lawannya yang sudah tidak kelihatan itu. Ia membatin kata,
"Ternyata pecahan dari jurus 'Surya Dewata'-ku tadi cukup lumayan jika digunakan sewaktu-waktu. Dapat kalahkan kekuatan tenaga dalam lawan. Padahal itu hanya pecahan jurus 'Surya Dewata', apalagi kalau jurus itu kugunakan secara utuh, wah... kasihan si Kertapaksi, bisa tak bernyawa seketika tadi. Eh, tapi... ngomong-ngomong si Telaga Sunyi tadi ke mana?!"
Suto Sinting celangak-celinguk mencarinya. Tiba-tiba yang dicari sudah muncul di belakangnya dan langsung menyapa mengagetkan Suto,
"Apakah kau mencariku, Pendekar Tampan?"
"Ah, kau...! Kukira kau diculik setan hutan sini!"
"Setannya takut sama kamu!" jawab Telaga Sunyi sambil tersenyum. Kejap berikut senyuman itu hilang. Telaga Sunyi mengajak teruskan langkah menuju ke rumahnya. Sambil meneruskan langkah, Telaga Sunyi bicara tentang kejadian tadi.
"Kertapaksi memang seorang pangeran. Aku kenal dengannya. Dia anak Raja Digdayuda Kerajaan Bumiloka. Kegemarannya berburu, ia seorang jago panah. Kabarnya jika berburu ia selalu menggunakan panah berujung emas untuk menghargai kematian hewan buruannya. Negeri Bumiloka memang kaya akan hasil tambang emas dan perak."
"Tapi aku baru kali ini jumpa dengannya," ujar Suto. "Bahkan aku tidak menyangka sama sekali kalau ia benar-benar bernafsu untuk mencelakaiku."
"Aku sendiri tidak menduga kalau dia akhirnya tumbang oleh kekuatannya sendiri. Padahal 'Racun Gempur Tulang' itu merupakan ilmu tinggi yang menjadi salah satu ilmu andalannya. Orang yang terkena 'Racun Gempur Tulang' akan mengalami kelumpuhan sekujur tubuh selamanya. Obatnya hanya dimiliki oleh gurunya sendiri."
"Siapa gurunya Kertapaksi itu?"
"Hmmm .," gadis cantik itu berkerut dahi mengingat sebentar. "Kalau tak salah gurunya berjuluk Resi Pakar Pantun."
"Hei...?!" Suto hentikan langkah karena kaget mendengar nama itu. Ia segera berkata penuh semangat, "Aku kenal dengan Resi Pakar Pantun. Tapi setahuku, Resi Pakar Pantun hanya mempunyai murid Tuanku Nanpongoh."
"Siapa bilang? Resi Pakar Pantun punya murid lebih dari lima. Kalau tak salah ada tujuh murid. Tapi mereka tidak bersatu. Artinya tidak berkumpul dalam satu perguruan. Resi Pakar Pantun itu menurunkan ilmunya kepada orang-orang tertentu, terutama orang-orang keturunan bangsawan."
Pendekar Mabuk teruskan langkah setelah menggumam dan manggut-manggut. Bayangannya segera tertuju pada seraut wajah tua berambut uban tipis, nyaris botak. Tokoh tua berjenggot putih yang gemar bermain pantun dalam bicaranya itu pernah diselamatkan oleh Suto Sinting ketika melakukan pertarungan melawan Maling Sakti beberapa waktu yang lalu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pisau Tanduk Hantu"). Dan Suto sama sekali tidak menduga kalau Kertapaksi adalah murid si tua Pakar Pantun itu.
Namun hal yang paling mengganjal hati Pendekar Mabuk bukan nama sang Resi, melainkan nama seorang gadis yang dianggap sebagai kekasihnya. Kedua lawannya sama-sama menyebutkan nama itu sedangkan Suto merasa asing sekali dengan nama Murla Wardani.
"Sebetulnya aku tidak punya persoalan dengan Pangeran Kertapaksi itu," katanya kepada Telaga Sunyi bersifat meluruskan anggapan sang gadis. Karena Suto yakin sang gadis mengikuti percakapan dan pertarungannya dengan Kertapaksi. Sambungnya lagi,
"Sebenarnya aku tidak ingin melawan dia. Pertama, karena aku belum tahu siapa dia sebenarnya, kalau kutahu dia murid Resi Pakar Pantun aku tambah sungkan. Karena hubunganku dengan Resi Pakar Pantun sangat baik. Kedua, karena aku tidak merasa menjadi kekasihnya gadis bernama Muria Wardani."
"Betulkah? Jangan-jangan kau dusta?" Telaga Sunyi tersenyum menggoda.
"Sungguh. Aku tidak dusta. Aku belum pernah bertemu dengan yang bernama Muria Wardani. Malahan  mendengar namanya saja baru hari ini melalui Karto Dupak dan Kertapaksi itu."
Telaga Sunyi senyum-senyum saja walau kepalanya manggut-manggut. Ada kesan tidak percaya, tapi juga ada kesan geli mendengar masalah yang dihadapi Pendekar Mabuk itu.
"Apakah kau kenal dengan gadis yang dimaksud Kertapaksi tadi?"
"Setahuku Kertapaksi memang naksir berat pada Muria Wardani. Dia pernah melamar Muria Wardani tapi ditolak. Aku tak tahu apa sebabnya, yang jelas sejak itu Kertapaksi tak mau keluar dari Istananya. Hidupnya murung terus, sampai akhirnya sang ayah sendiri, yaitu Prabu Digdayuda menemui orangtua Muria Wardani dan melamarnya untuk yang kedua kali. Tapi... tapi juga ditolak atau, entah bagaimana aku tak jelas soal lamaran yang kedua itu."
"Apakah kau tahu siapa Muria Wardani itu?"
Telaga Sunyi diam sejenak walau masih tetap melangkah. Sesaat kemudian ia berkata tanpa memandang Suto Sinting,
"Aku memang kenal dengan Muria Wardani."
Baru sampai di situ, ucapan Telaga Sunyi terputus karena tiba-tiba sebuah sinar melesat ke arahnya, dan Suto Sinting berkelebat menghadang sinar itu. Wuuut...!
Sinar yang datang dari arah belakang itu berwarna hijau muda seperti bintang berekor. Saat Pendekar Mabuk mengetahui kelebatan sinar tersebut, ia buru-buru berbalik arah dan bergeser menutupi punggung Telaga Sunyi. Maksudnya ingin menghantam sinar itu dengan jurus 'Surya Dewata' juga, tetapi gerakannya terlambat. Sinar hijau itu justru mengenai dadanya dengan telak. Dees...!
"Aaahg...!" Pendekar Mabuk tersentak dan mengejang, kemudian limbung ke kiri dan jatuh. Bruuk...!
"Sutooo...?!" pekik Telaga Sunyi yang terlambat menyambar tubuh Pendekar Mabuk. Gadis itu menjadi tegang melihat Pendekar Mabuk mengerang dengan wajah mulai membiru. Napas ditahan kuat-kuat untuk imbangi rasa panas yang membakar bagian dalam tubuhnya, ia tak bisa berbuat apa-apa ketika diseret ke bawah pohon oleh Telaga Sunyi.
"Sutooo...?! Ada apa? Kenapa kau?!"
Tentu saja Telaga Sunyi bertanya demikian karena ia tidak melihat datangnya sinar hijau. Tahu-tahu ia dikejutkan dengan gerakan Suto yang berkelebat ke arah belakangnya dan sebelum rasa kaget itu lenyap ia sudah temukan Suto Sinting jatuh terhempas ke tanah.
"Ad... ada orang yang... yang ingin menyerangmu!" ucap Suto Sinting dengan suara berat dan susah karena tenggorokannya mulai terasa panas, terlalu sakit untuk keluarkan suara.
Telaga Sunyi makin membelalakkan mata ketika melihat kulit tubuh Suto kian membiru. Bintik-bintik merah mulai keluar dari pori-pori tubuh si pendekar tampan. Telaga Sunyi segera berucap dengan nada tegang,
"Pukulan 'Inti Bara'...?! Oh, celaka! Kulitmu akan terkelupas dalam waktu beberapa saat lagi, Suto! Kau tak boleh terkena sinar matahari! Sinar itu akan membakar bagian dalam tubuhmu, dan...."
Sebuah suara menyahut dari arah belakang Telaga Sunyi,
"Dan dia akan mati dalam keadaan tanpa kulit, lalu bagian dalam tubuhnya akan mengering hangus secara perlahan-lahan!"
Telaga Sunyi cepat palingkan wajah dan menggeram marah melihat orang yang bicara itu. Sudah pasti orang itulah yang mempunyai jurus 'Inti Bara' yang dikenali oleh Telaga Sunyi itu. Dengan gigi menggeletuk Telaga Sunyi bangkit berdiri dan menggeram penuh kebencian,
"Kaaauu...! Sudah kuduga kaulah orangnya!"
Orang itu hanya tersenyum sinis bersikap menantang.
*
* *Lanjut ke bagian 2