Pendekar Mabuk 43 - Gelang Naga Dewa(2)


4
PENGEJARAN malam membuat suasana menjadi
kacau. Kecepatan yang dipakai Pendekar Mabuk pun
mengakibatkan Dinada tertinggal. Semakin jauh semakin
gelap, sampai pada akhirnya mereka terpisah.

"Dasar bodoh. Mengapa dia tidak berteriak kalau
salah arah? Apa dia sengaja memisahkan diri?" Pendekar
Mabuk menggerutu sambil berusaha mencari Dinada.
Ketika malam semakin kelam, embun mulai datang.
Suto Sinting berhasil menemukan sebuah desa. Lebih
beruntung lagi ia dapat melihat sebuah kedai yang masih
buka.
"Kebetulan, tuakku hampir habis. Kuharap kedai itu
menjual tuak," pikir Suto sambil melangkah mendekati
kedai tersebut.
"Maaf, Den. Kedai sudah mau tutup. Sudah terlalu
malam," kata pemilik kedai yang berusia sekitar enam
puluh tahun. Lelaki kurus berpakain putih lusuh itu
berusaha menolak tamu dengan sopan dan sangat hati-
hati.
"Aku hanya ingin menambah tuakku, Pak Tua."
"O, kalau hanya mau tambah tuak saya bisa melayani.
Mari, saya isi bumbung itu. Tapi saya hanya punya tuak
Karangkajen, tidak punya tuak Majalegi."
"Tak apa. Tuak mana saja aku bisa meminumnya."
Pemilik kedai segera mengisi bumbung bambu
dengan tuak persediaannya. Suto Sinting memperhatikan
dari balik meja makan, ia sempat melirik beberapa
makanan yang masih belum terjual habis. Di antaranya
pisang goreng, ketan kelapa, jadah goreng, talas rebus,
dan beberapa lainnya.
"Sebenarnya perutku lapar, Pak. Kalau Bapak tak
keberatan aku ingin makan. Apakah masih ada nasi
jagung dan sayurnya?"
"Hmmm..." pemilik kedai itu menimbang-nimbang
sebentar, ia kasihan dan tak tega menolak melayani tamu
yang satu itu. Akhirnya ia hanya bicara.
"Nasi jagungnya sudah dingin, Den. Sayurnya juga
dingin."
"Tak apa, Pak Tua. Hidangkan satu piring untukku.
Aku bisa memakannya dengan tempe bacam ini."
Di samping tuak dalam bumbung sudah penuh, Suto
juga memesan tuak dalam poci sebagai minumannya
selesai makan nanti. Pak Tua pemilik kedai
menemaninya makan, karena ia terkesan dengan
keramahan dan kesopanan Suto dalam bersikap.
"Aden dari mana mau ke mana? Kok malam-malam
begini baru mengisi perut?"
"Saya sedang mencari seseorang. Teman saya hilang,
terpisah di perjalanan. Apakah Pak Tua melihat gadis
berjubah kuning dengan pakaian dalam merah? Ia
membawa seruling gading."
"Kebetulan sejak siang saya tidak melihat gadis
berciri seperti itu, Den," ujar pemilik kedai. "Di mana
Aden terpisah dengan gadis itu?"
"Di hutan sebelah barat sana."
"Wah, jangan-jangan gadis itu menjadi santapan si
Loreng."
"Harimau maksudmu, Pak Tua?"
"Bukan. Tapi... hm... perampok ganas yang kerjanya
merampok kesucian para gadis. Dia tinggal di hutan
sebelah barat sana, Den. Ia dikenal dengan nama: Dewa
Loreng."
Pak Tua itu juga mengungkapkan rasa kagumnya atas
keberanian Suto Sinting melintasi hutan barat pada
malam hari. Menurut Pak Tua, jika matahari telah
terbenam, tak seorang pun yang berani melintasi hutan
tersebut walaupun hanya melewati bagian tepi hutan
saja.
Percakapan itu terhenti karena tiba-tiba seorang
perempuan datang dan langsung bicara kepada Pak Tua,
"Masih punya sepoci arak?! Aku minta dua poci, Pak
Tua."
"Hmm... ehh... tapi kedai ini sudah mau tutup, Den
Ayu. Saya sudah mau istirahat."
"Aku hanya mau minum sebentar! Jangan khawatir,
berapa pun harga arak itu akan kubayar!"
"Ehmm... bukan soal harga, tapi... tapi...." Karena
mata perempuan itu memandang tajam kepada Pak Tua,
akhirnya Pak Tua ketakutan sendiri. "Tapi baiklah... saya
akan ambilkan pesanan Den Ayu."
Suto Sinting berlagak acuh tak acuh kepada
perempuan yang menyandang pedang di punggungnya.
Rambutnya digelung sampai ke atas, tepian kanan-kiri
dibiarkan terjulur sebagian membentuk spiral.
Diam-diam Suto Sinting mengawasi perempuan yang
duduknya sejajar dengannya. Tapi jaraknya agak jauh.
"Cantik juga," kata Suto dalam hati. Ia sudah selesai
makan dan tinggal menghabiskan tuak dalam poci.
Perempuan itu berusia sekitar tiga puluh tahun.
Kecantikannya sudah matang, tidak seperti gadis belia
secantik Dinada. Perempuan itu mengenakan pakaian
hitam dengan jubah tanpa lengan warna putih sutera.
Pinjung penutup dadanya yang berwarna hitam itu
dihiasi dengan benang perak membentuk bordiran
tersendiri. Pinjungnya ketat sekali, sehingga kelihatan
bentuk dadanya yang montok dan kencang itu. Ia
mengenakan pakaian lengkap, dari kalung, gelang,
cincin, sampai gelang kaki. Hal itu membuat Suto
Sinting dapat menduga bahwa perempuan itu keturunan
bangsawan, setidaknya dari keluarga orang berada. Tak
heran jika ia tadi menyombongkan soal uang di depan
Pak Tua.
Matanya yang sedikit lebar tapi indah itu sesekali
melirik Pendekar Mabuk. Bukan berarti Suto tidak tahu,
tapi berlagak tidak berminat memperhatikan perempuan
tersebut. Dengan tenang dan kalem Suto Sinting
menikmati tuak dari poci.
Tiba-tiba tanpa disentuh sedikit pun poci keramik itu
pecah dengan sendirinya. Trak...! Prakk...!
Suto Sinting kaget. Pak Tua pun terkejut dan segera
mengambil kain untuk membersihkan meja.
"Maaf, Den. Pocinya memang sudah lama sekali, jadi
mungkin sudah rapuh."
"Tak apa. Ada yang iseng saja, Pak. Hmmm... o, ya...
aku minta disediakan sepoci lagi, Pak Tua."
"Baik, Den. Baik...!" pemilik kedai jadi ketakutan
sendiri.
Padahal menurut Suto pecahnya poci bukan karena
poci sudah rapuh. Poci itu pecah karena diusik dengan
tenaga dalam perempuan berjubah putih itu. Suto Sinting
merasakan hawa kuat melintas di depannya dan poci pun
pecah. Namun Suto tetap berlagak tidak memperhatikan
perempuan itu.
"Pak Tua...," seru perempuan itu. "Apakah kau punya
satu kamar kosong untuk kupakai bermalam? Akan
kusewa kamarmu itu, Pak Tua. Berapa kau minta
dibayar untuk satu malam?"
Pak Tua pemilik kedai sedikit gugup saat melayani
perempuan yang bernada angkuh itu.
"Hmmm... ehhh... saya memang punya satu kamar
kosong untuk anak saya kalau sedang pulang kemari.
Hmm... tapi... tapi tempatnya kotor. Tidak pantas dipakai
bermalam oleh Den Ayu."
"Bukankah kau bisa merapikan dan
membersihkannya? Akan kuberi upah sendiri untuk
pekerjaanmu membersihkan kamar itu, Pak Tua!"
"Hmmm... iya. Kalau begitu, baiklah. Saya
persiapkan dulu, Den Ayu."
Pak Tua pergi membersihkan kamar tersebut. Di
ruang makan itu hanya ada Suto dan perempuan
tersebut. Lagi-lagi Suto merasakan hembusan angin
melintas di depannya. Suto hanya membatin,
"Hmmm... dia mengirimkan tenaga dalamnya lagi!"
Jari tangan Suto segera menyentil pelan. Hembusan
hawa bertenaga dalam melesat menghantam hembusan
angin tenaga dalam kiriman perempuan itu.
Drakkk...!
Meja terguncang bagaikan ada yang menggebraknya.
Padahal meja itu berbentuk papan datar yang memanjang
dari depan Suto sampai depan perempuan itu. Akibat
getaran meja, poci di depan perempuan itu terguling dan
isinya tumpah berantakan, demikian pula arak yang ada
di depan si perempuan.
Rupanya perempuan itu juga tahu kalau pemuda
tampan di sampingnya menggunakan tenaga dalam, ia
langsung menegur dengan sikap angkuhnya.
"Mau pamer ilmu? Boleh! Kita adu di luar kedai!"
Suto Sinting sunggingkan senyum tipis. "Aku tidak
bisa apa-apa. Untuk apa adu ilmu di luar kedai? Aku
akan kalah."
Senyum perempuan itu semakin tampak nakalnya.
"Maumu adu ilmu di mana?" ia mendekat.
"Tak perlu adu ilmu. Aku bukan orang berilmu
seperti kau yang bisa memecahkan poci dari jarak jauh."
Senyumnya kian melebar, ia duduk di bangku persis
sebelah Suto.
"Tak perlu merendahkan diri. Aku tahu kau punya
segudang ilmu. Semua orang tahu kalau murid si Gila
Tuak itu ilmunya tinggi."
Suto Sinting terperanjat, namun hanya dalam hati.
"Sial. Rupanya dia tahu siapa diriku."
"Tapi tidak selamanya kebanggaanmu sebagai murid
unggulan si Gila Tuak dapat kau sandang. Barangkali
aku akan menumbangkannya dalam waktu dekat ini,"
kata si perempuan angkuh.
Ucapan itu hanya ditanggapi dengan senyum oleh
Pendekar Mabuk, murid sinting si Gila Tuak itu. Seteguk
tuak dihirupnya dari cangkir kecil.
"Siapa kau, Nona? Mengapa nada bicaramu begitu
padaku? Apakah aku memusuhimu?"
Perempuan itu menarik napas. Matanya memandang
Suto sebentar, kemudian dialihkan ke arah araknya yang
tumpah di meja.
"Aku mungkin terlalu sombong bagimu. Maafkan
aku."
"Kau kemalaman di perjalanan?"
"Ya, dan aku butuh tempat untuk beristirahat."
"Kita punya nasib yang sama. Hanya saja kau lebih
beruntung, karena kau lebih dulu memesan kamar
kepada Pak Tua itu, sedangkan aku belum tahu mau
tidur di mana. Mungkin di atas pohon."
Perempuan cantik berlagak angkuh itu kali ini tertawa
berseri. "Kau seperti kelelawar saja. Tidurnya di pohon."
"Kelelawar tidak pernah tidur malam. Jadi aku bukan
kelelawar."
"Macan kumbang, maksudmu?" lalu perempuan itu
semakin melebarkan senyum memperpanjang tawanya
yang bernada sedikit serak.
"Siapa namamu?" tanya Suto dengan suara kalem
diiringi senyum yang mendebarkan hati lawan jenisnya.
"Namaku? Hmmm... panggil saja aku: Aswarani."
"Nama yang bagus sekali."
"Murid si Gila Tuak kudengar memang suka memuji
wanita."
"Itu hanya kabar bohong. Aku jarang memuji wanita,
kecuali memang wanita itu layak dipuji."
"Berapa orang wanita yang menurutmu layak dipuji?"
"Semuanya," jawab Suto sambil tertawa pelan,
menandakan jawabannya itu sebagai kelakar belaka.
"Apa benar kau tak punya tempat untuk bermalam?"
"Benar," jawab Suto Sinting, ia sudah tahu apa yang
akan dikatakan perempuan bermata nakal itu.
"Kau bisa tidur di kamar yang kusewa."
"Kau sendiri tidur di mana kalau aku tidur di kamar
itu?"
"Apa salahnya kalau aku juga tidur di kamar itu?"
katanya dengan senyuman memperkuat godaan. Suto
Sinting menanggapi dengan kalem, walau hatinya
menggerutu karena merasa tak berani berbuat macam-
macam kepada perempuan lain.
Jika Suto melakukan perserongan dengan perempuan
mana pun, maka calon istrinya yang bergelar Gusti
Mahkota Sejati atau Dyah Sariningrum akan mengetahui
dari tempatnya yang jauh; Pulau Serindu. Ratu dari
negeri Puri Gerbang Surgawi itu dapat memantau
tingkah laku Suto Sinting di mana pun berada. Noda
merah di dahi pemberian Ratu Kartika Wangi, calon
mertuanya itu, juga dapat dipakai sebagai tanda apakah
Suto pernah tidur dengan perempuan lain atau tidak
sama sekali. Karena jika Suto pernah tidur dengan
perempuan lain, maka noda merah di kening yang hanya
bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi itu akan berubah
warna menjadi merah jambu. Sebab itulah ke mana saja
Suto pergi, ia selalu menjaga gairahnya agar tidak
terpancing jatuh dalam pelukan perempuan semontok
apa pun. Ini merupakan ujian berat bagi Suto. Namun
demikian kenyataannya Suto mampu menjaga
prilakunya hingga tidak pernah dikecam oleh calon
istrinya itu.
"Aku akan tidur di bangku ini saja," kata Suto.
"Kurasa Pak Tua pemilik kedai tidak keberatan asal
kuberi uang sewa bangku."
"Pak Tua memang tidak keberatan, tapi aku sangat
keberatan," kata Aswarani.
"Jangan memancingku untuk berbuat yang bukan-
bukan, nanti kau akan menyesal. Sebab aku lelaki yang
tidak pernah mau tanggung jawab terhadap perempuan,"
Suto menakut-nakuti.
"Aku tak akan pernah menyesal terhadap pria yang
tidak bertanggung jawab. Sebab upah perbuatannya itu
bisa kuambil sendiri berupa nyawanya." Aswarani juga
tak mau kalah gertak dengan menunjukkan
keberaniannya untuk membunuh pria yang mencoba
bermain-main dengannya.
"Sudahlah, tak perlu kita lanjutkan percakapan ini.
Nanti membuat hati kita saling panas. Aku ingin
beristirahat, karena esok pagi harus melanjutkan
perjalanan."
"Ke mana arah perjalananmu?"
"Ke... ke Tanjung Samudera," jawab Suto Sinting.
Padahal ia sendiri tak tahu harus ke mana. Jawaban itu
hanya sebagai kesimpulan hatinya dari sejak tadi sore.
Suto menyimpulkan bahwa si Anak Petir akan
menyerang Tanjung Samudera karena sudah mempunyai
pusaka Gelang Naga Dewa.
"Untuk apa kau pergi ke sana, Suto?" tanya Aswarani
bersikap seperti sudah lama mengenal Pendekar Mabuk.
"Aku ingin bertemu dengan ratu negeri itu."
"Dewi Giok, maksudmu?"
"Oh, kau mengenal Dewi Giok?"
Aswarani mengangguk dengan kalem. "Aku juga mau
bertemu dengannya."
"Aku malah belum pernah bertemu. Tapi aku pernah
menyelamatkan negerinya."
"Aneh. Sudah pernah menyelamatkan negerinya tapi
belum pernah bertemu dengan ratunya?! Apa tidak salah
ucap kau, Suto?"
Pendekar Mabuk nyengir. "Seseorang melarangku
bertemu dengan Ratu Dewi Giok. Akibatnya, sebelum
aku bertemu, aku sudah harus pergi untuk keperluan
lain."
Aswarani manggut-manggut dan menggumam lirih.
Entah apa yang ada dalam terawang pikirannya, yang
jelas ia diam agak lama sampai Pak Tua datang
memberitahukan bahwa kamar telah dibersihkan. Suto
pun bicara dengan Pak Tua meminta izin tidur di bangku
panjang itu. Pak Tua malah mempersilakan Suto
menggunakan kamarnya sendiri, sedangkan ia akan tidur
di bangku panjang. Tapi Pendekar Mabuk menolak usul
pemilik kedai yang sangat hormat padanya itu.
"Suto, bagaimana kalau kita esok berangkat bersama?
Kau bersedia?"
"Hmmmm... baiklah! Asal kau jangan menggodaku
dengan lirikan mata dan senyummu yang bikin hatiku
deg-degan dari tadi."
Aswarani tertawa kecil.
Sebelum mereka pergi tidur, tiba-tiba malam yang
sunyi dirobek oleh suara teriakan seorang perempuan.
Jerit perempuan itu terdengar cukup dekat dengan kedai.
Karenanya, Pendekar Mabuk dan Aswarani tersentak
kaget, demikian pula Pak Tua. Namun wajah pemilik
kedai tampak pucat seketika, ia gemetar dan sangat
tegang.
"Jeritan apa itu, Pak Tua?"
"Pasti... pasti Dewa Loreng mencari korban lagi.
Mencuri anak perempuan dan... dan...," belum selesai ia
bicara, Pendekar Mabuk sudah melesat keluar lebih
dulu.
Aswarani juga melesat keluar menyusul Pendekar
Mabuk. Mereka segera tiba di sebuah rumah yang
gaduh.
Dari rumah itu muncul seorang lelaki berpakaian
loreng: putih hitam, mirip seekor kuda zebra. Badannya
besar dan tampak sedang memanggul seorang gadis.
Gadis yang dipanggulnya dalam keadaan diam terkulai
pertanda habis kena totok. Sedangkan yang menjerit-jerit
di dalam rumah adalah ibu gadis itu dan beberapa
keluarga lainnya.
Melihat kemunculan lelaki berpakaian loreng yang
tak lain adalah Dewa Loreng, Suto Sinting bergegas
untuk menghadangnya. Tetapi pundaknya tiba-tiba
dicekal oleh Aswarani. Langkah pun tertahan, dan Suto
mendengar perempuan itu berkata dalam geram yang
lirih.
"Serahkan padaku!"
Suto Sinting terpaksa memberi jalan untuk Aswarani.
Perempuan itu segera maju dan melompat tepat di depan
langkah Dewa Loreng. Hal itu membuat langkah Dewa
Loreng pun terhenti.
Sisa cahaya rembulan yang tinggal sebagian itu masih
menampakkan bayangan si Dewa Loreng yang dengan
gusar segera melompat menerjang Aswarani dengan
tetap memanggul gadis curiannya.
Wuuttt...! Aswarani berkelit ke samping, lalu
tubuhnya memutar dan kakinya menendang ke belakang,
Wuttt...! Behgg...!
Pinggang Dewa Loreng terkena tendangan telak,
hingga tubuh besar itu terhuyung-huyung mundur.
"Bangsat!" geramnya dengan nada gusar, ia segera
meletakkan gadis itu di tanah, lalu berdiri dengan penuh
nafsu untuk membunuh. Goloknya segera dicabut,
matanya mendelik lebar.
"Perempuan peri! Mau cari mampus kau, hah?!"
Aswarani diam tanpa bicara, tapi sudah bersiap-siap
melepaskan pukulannya. Kedua tangan siap di atas dada,
kaki kirinya ke belakang memanjangkan jarak, badannya
merendah dan matanya memandang tajam.
Orang-orang berkumpul di kejauhan karena
mendengar jeritan ibu sang gadis yang kini tergeletak di
tanah itu. Mereka saling berkasak-kusuk mendukung
tindakan Aswarani. Sementara itu, Suto Sinting hanya
diam saja, tapi matanya bekerja mengawasi seluruh
gerak Dewa Loreng.
"Rupanya ada yang ingin jadi pendekar di desa ini!"
sindir Dewa Loreng. "Sayang nasibnya tak sampai
matahari terbit sudah menjadi mayat! Terimalah jurus
'Golok Emas' ini, Setan betina! Hiaaat...!"
Wut, wut...!
Clapp...!
Aswarani bergerak dua kali, tahu-tahu ujung jarinya
keluarkan sinar lurus warna merah. Sinar itu
menghantam dada Dewa Loreng. Jrabb...!
Duarrr...!
Ledakan itu sempat membuat beberapa orang yang
kaget menjerit panjang. Aswarani berdiri dengan kedua
kaki merapat, tapi satu tangannya masih terulur ke
depan, sedang tangan yang satunya merapat di dada.
Dewa Loreng tidak terdengar suaranya. Nyala api
menyambar seluruh pakaiannya. Dadanya berlubang
bekas hantaman sinar merah tadi. Rupanya Dewa Loreng
tak diberi kesempatan menunjukkan ilmunya di depan
Aswarani. Ia bagaikan disambar petir yang membuatnya
tersentak kaku, kemudian rubuh dalam keadaan tubuh
terbakar dan sudah tak bernyawa.
Suasana malam menjadi terang karena kobaran api
yang membakar tubuh Dewa Loreng. Orang-orang
sempat menyerukan sorak kemenangan. Rupanya
mereka senang melihat kematian Dewa Loreng yang
selalu meresahkan hati mereka, terutama yang
mempunyai anak perawan.
Suto Sinting geleng-geleng kepala. Hatinya
membatin, "Cepat sekali gerakannya, ganas sekali
ilmunya. Rupanya ia tidak mau membuang-buang
waktu. Bahaya juga perempuan itu. Siapa yang
melawannya tidak diberi kesempatan untuk bertobat.
Tapi... biarlah, memang ada baiknya Dewa Loreng
menemui ajalnya sekarang juga daripada menimbulkan
korban lebih banyak lagi."
Suto Sinting sebenarnya ingin menghadapi Dewa
Loreng dengan cara tidak seganas Aswarani. Setidaknya
ia ingin menanyakan tentang Dinada yang menurut
dugaan pemilik kedai tersesat di hutan dan tertangkap
Dewa Loreng. Tapi melihat perbuatan Dewa Loreng
malam itu yang mencuri anak perawan, berarti Dinada
tidak jatuh ke tangan Dewa Loreng. Sebab seandainya
Dinada tertangkap Dewa Loreng, tentunya orang
berbadan besar itu tidak akan mencari mangsa pada
malam itu. Setidaknya ia akan sibuk dengan Dinada.
Suto Sinting melangkah masuk ke kedai lebih dulu.
Beberapa saat kemudian Aswarani menyusul masuk
didampingi oleh pemilik kedai yang berceloteh memuji
kehebatan Aswarani.
"Terlalu ganas kau menghadapi Dewa Loreng," kata
Suto Sinting setelah Aswarani berdiri di depannya.
"Tak ada keramahan buat lelaki yang doyan
memperkosa. Tak ada keramahan juga buat perempuan
yang suka merebut kekasih orang. Aku tak pernah
memberi kesempatan kepada mereka untuk
memamerkan jurusnya. Muak sekali aku melihat orang-
orang seperti itu!"
Suto Sinting tersenyum sambil angkat bahu.
Aswarani menambahkan kata, "Demikian juga apabila
kau bermaksud mempermainkan hatiku, nasibmu akan
sama dengan Dewa Loreng."
Suto Sinting berkerut dahi. "Apa maksudmu bilang
begitu?"
Perempuan itu memandang Pendekar Mabuk,
kemudian menarik napas panjang. "Tidak apa-apa,"
ujarnya dengan suara lunak. "Aku hanya
memperingatkan kau agar jangan mempermainkan
hatiku."
"Apakah kau pikir aku akan mempermainkan
hatimu?"
"Kalau aku terpikat olehmu dan kau menolakku, sama
saja kau mempermainkan hatiku."
Pendekar Mabuk tertawa pendek. "Apakah hatimu
terpikat olehku?"
"Belum. Tapi mungkin nanti akan begitu, atau tidak
sama sekali! Tergantung bagaimana sikapmu padaku.
Kalau kau memusuhiku, maka kau pun akan seperti
Dewa Loreng. Karena itu, kuingatkan sebelumnya
padamu agar jangan coba-coba menantangku!"
Hanya tawa kecil yang bisa keluar dari mulut
Pendekar Mabuk. Kepalanya sempat geleng-geleng
karena heran terhadap sikap perempuan itu.
"Apakah aku harus menuruti hatimu kalau hatimu
terpikat olehku?"
"Semua orang harus tunduk padaku!"
"Wah, kalau sudah begini lain lagi persoalannya.
Bisa-bisa kau berhadapan denganku, Aswarani!"
"Boleh. Kapan kau ingin berhadapan denganku?!"
katanya penuh nada menantang.
Suto Sinting buru-buru melunakkan sikap dengan
senyum. "Menantang apa dulu? Pertarungan yang
bagaimana dulu? Yang hangat atau yang keras?"
Aswarani segera sadar sedang digoda oleh Pendekar
Mabuk. Akhirnya ia mengendurkan ketegangannya. Tapi
dalam hati Pendekar Mabuk sempat membatin,
"Sepertinya dia tak mau dikalahkan oleh siapa pun.
Kalau dia tetap bersikap seperti itu, bisa-bisa dia akan
menguasaiku. Jika benar dia bermaksud begitu, maka tak
ada jalan lain kecuali melakukan pertarungan berdarah
antara dia dan aku! Tapi... apakah aku tega bertarung
dengan perempuan secantik dia?"
Aswarani masuk ke kamar, sementara Suto diam di
bangku tempatnya makan tadi. Ia ditemani oleh pemilik
kedai yang menceritakan tentang kekejaman Dewa
Loreng.
Beberapa saat kemudian Aswarani keluar dari kamar,
ia berseru memanggil Suto dari depan kamar yang bisa
terlihat melalui pintu dapur.
Suto Sinting membiarkan panggilan itu karena masih
belum selesai mendengarkan cerita pemilik kedai.
Aswarani jengkel dan menghampirinya sambil
memasang wajah galak.
"Aku memanggilmu, apakah kau tuli tak mendengar
panggilanku? Atau memang tak mau datang padaku?"
Suto Sinting memandang kalem, ucapannya juga
terdengar kalem, namun cukup mengena di hati
Aswarani.
"Kau pikir aku ini apamu sehingga harus taat dengan
panggilanmu? Mengapa kau jadi bersikap begitu
padaku?"
Aswarani diam sebentar dan menarik napas.
Ketegangannya dikendurkan. Kemudian ia bicara
dengan nada pelan.
"Maaf, aku belum puas dengan pertarungan tadi!
Mestinya Dewa Loreng tidak sendirian. Jadi aku bisa
membantai kawanannya hingga hatiku puas! Kalau
sudah telanjur marah begini, rasa-rasanya belum puas
jika belum membunuh tiga-empat orang lagi."
Suto berkerut dahi dan membatin, "Wah, gawat!
Jangan-jangan perempuan ini punya penyakit kejiwaan
yang gemar membunuh orang?! Salah-salah aku pun
akan dibunuhnya kalau terlalu dekat dengannya.
Sebaiknya esok aku pergi sendiri tak perlu bersamanya.
Aku yakin, orang seperti dia banyak musuhnya!"
*
* *
5
TERNYATA rencana Suto tak bisa terlaksana.
Aswarani bangun lebih dahulu pada pagi harinya. Maka
ketika Suto pamit kepada Pak Tua pemilik kedai,
Aswarani pun ikut pamit juga. Mau tak mau mereka
berdua keluar dari kedai bersama.
Suto Sinting tak berani melarang Aswarani agar
jangan bersamanya, ia takut menyinggung perasaan
perempuan itu dan membuat si perempuan menjadi
ganas, sehingga bisa menimbulkan korban tak bersalah.
Bahkan untuk berbohong dengan mengatakan tak jadi
pergi ke Tanjung Samudera pun Suto tak berani, karena
ia tahu perasaan perempuan itu cukup peka dan mampu
melihat rasa tidak suka Suto kepadanya. Akibatnya
Pendekar Mabuk pasrah kepada keadaan dan melangkah
bersama Aswarani.
"Mudah-mudahan Dinada juga menuju ke Tanjung
Samudera, jadi aku bisa bertemu dengannya di sana,"
pikir Suto masih ingat kepada gadis peniup seruling itu.
"Dari mana asalmu, Aswarani?!" tanya Suto dalam
perjalanan.
"Yang kau maksud kelahiranku atau perguruanku?"
"Perguruanmu!" jawab Suto tegas.
"Aku dari Perguruan Bukit Kasmaran."
Suto Sinting terkejut. Langkahnya terhenti sambil
menatap Aswarani.
"Kenapa kau terkejut?"
"Kalau begitu kau kenal dengan Dinada?"
"O, ya! Aku sangat kenal."
"Juga kepada ketua perguruan yang sekarang?"
"Siapa?!" Aswarani berkerut dahi.
"Hmmm... kalau tak salah ingatanku Dinada pernah
bilang bahwa Ketua Perguruan Bukit Kasmaran adalah
Pancasurti yang berjuluk si Merak Cabul."
Aswarani tersenyum, Suto Sinting merasakan senyum
itu punya arti tersendiri.
"Ya. Aku kenal dengannya. Sebaiknya kau tak perlu
bicarakan soal dia."
"Kenapa kau tak suka membicarakan tentang Merak
Cabul?"
Pertanyaan itu belum terjawab, tiba-tiba mereka
dihadang oleh kemunculan dua orang berambut panjang
dengan wajah sama-sama angker. Dua orang berbadan
kurus dan bermata kecil menandakan kekejiannya itu,
masing-masing menggenggam senjata tombak berujung
pedang besar dengan pita merah rumbai-rumbai sebagai
hiasan di pangkal pedang. Sikap mereka jelas tak
bersahabat, sehingga Suto Sinting langsung menaruh
curiga adanya ketidakberesan pada dua penghadang
tersebut.
"Siapa kalian ini?!" hardik Aswarani lebih dulu.
"Kami tidak punya urusan denganmu, Perempuan
jalang!" kata yang berbaju hitam.
Yang berbaju merah menimpali, "Urusan kami
dengan pemuda kacangan itu!" sambil menuding
Pendekar Mabuk.
Aswarani memandang Suto Sinting dengan dahi
sedikit berkerut. Suto Sinting malah berkerut dahi lebih
tajam lagi.
"Aku merasa tidak mengenal mereka," ucapnya pelan
seakan ditujukan pada diri sendiri. Tapi Aswarani
mendengarnya dan langsung berkata,
"Tenang saja. Biar kuurus mereka!"
"Tidak. Biar aku saja!" kata Suto sambil bergegas
maju di depan Aswarani. Perempuan itu bergeser ke sisi
lain dan berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang,
kedua tangan bersidekap di dada. Matanya tertuju tajam
pada kedua orang berambut panjang yang rata-rata
berusia sekitar empat puluh empat tahun.
"Maaf, aku tidak mengenal siapa kalian, mengapa
kalian punya urusan denganku?" kata Suto dengan nada
kalem.
"O, jadi kau ingin kenal kami?! Tentunya kau masih
ingat Penguasa Teluk Neraka yang kau bunuh demi putri
Adipati Jayengrana?!"
"Penguasa Teluk Neraka?!" gumam Suto Sinting
yang segera ingat peristiwa itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episdoe: "Sawan Pengantin").
"Aku Gundaraka, adik kedua Penguasa Teluk Neraka,
dan ini adikku: Sancawisa."
"Kami menuntut balas atas kematian kakak kami!
Kudengar kaulah pembunuhnya; karena bumbung tuak
dan ketampanan wajahmu membuat kami yakin bahwa
kau adalah Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu!"
"Ya, memang benar. Aku yang membunuh Penguasa
Teluk Neraka itu, tapi aku punya alasan kuat. Semua
kulakukan dengan sangat terpaksa dan..."
"Jangan banyak mulut!" bentak Gundaraka. "Hutang
nyawa harus dibayar dengan nyawa!"
Sancawisa menggeram, "Sudah saatnya dendam kami
tercurahkan! Terima saja ajalmu di tangan kami!
Hiaaat...!"
Sancawisa bergerak dengan senjatanya mulai
disabetkan ke tubuh Suto Sinting. Tetapi tiba-tiba
Aswarani bergerak lebih cepat. Wess...! Tahu-tahu sudah
ada di depan Suto Sinting, seakan jadi perisai Pendekar
Mabuk itu.
Senjata tombak berujung pedang lebar itu ditangkap
dengan kedua tangan dalam keadaan miring. Zrabb...!
Kedua telapak menjepit tangan mata pedang, lalu
disentakkan ke bawah.
Trakk...!
Satu kali sentakan mata pedang yang terbuat dari besi
baja mengkilat itu patah menjadi dua bagian.
Gundaraka tak mau tunggu lama-lama. Saat Aswarani
mematahkan mata pedangnya Sancawisa, ia
menyabetkan senjata dari arah samping. Wess...! Srett...!
Pinggang Aswarani terkena sabetan itu. Tapi ternyata
pinggang tersebut tidak mengalami luka sedikit pun.
Bahkan kain jubah Aswarani tidak robek selembar
benang pun.
Suto Sinting terbelalak kagum. "Oh, tinggi juga ilmu
Aswarani itu?! Pantas dia berani tampil menghadapi dua
orang ini? O, ya... aku tahu dia ingin unjuk kesaktian di
depanku. Hmmm... biarlah dulu dia puas unjuk
kesaktian. Mungkin nanti akan dipakai untuk
menggertakku. Sebaiknya kutunggu saja dari bawah
pohon ini."
Belum selesai hati Pendekar Mabuk berkecamuk, dua
orang yang mengaku adik Penguasa Teluk Neraka itu
sudah dibuat tak berkutik oleh Aswarani. Satu lompatan
ke atas membuat Aswarani menyentakkan kedua
tangannya. Dari kedua tangan yang menghentak silih
berganti itu melesat sinar merah lurus, masing-masing
menghantam tubuh Gundaraka dan Sancawisa.
Slapp... slapp...!
Duarr...! Darrr...!
"Aaaaahh...!" Gundaraka menjerit sambil terpelanting
jatuh, sedangkan Sancawisa tidak sempat berteriak
karena kepalanya hancur oleh sinar merahnya Aswarani.
Gundaraka masih menggelepar di tanah karena
dadanya terkena sinar merah tadi, bukan hanya terbakar
hangus, tapi juga berlubang besar. Dada itu pecah tepat
di bagian sebelah kanan. Kejap berikutnya Gundaraka
tidak berkutik lagi. Ia menghembuskan napas terakhir
setelah mengejang sampai perutnya naik ke atas. Begitu
perut terhempas turun, napas pun lepas bersamanya.
"Gerakannya begitu cepat dan tepat pada sasaran!"
pikir Suto Sinting. "Kurasa Penguasa Teluk Neraka
sendiri seandainya masih hidup dan melawan Aswarani
akan tumbang dalam waktu sekejap."
Wajah perempuan itu menegang. Nafsu
membunuhnya masih terlihat membayang melalui
pandangan mata dan helaan napasnya, ia seperti merasa
belum puas dengan hanya membunuh dua orang. Suto
Sinting mulai paham akan hal itu, maka ia pun segera
bicara menenangkan Aswarani.
"Hebat! Hebat sekali gerakanmu. Sangat mematikan.
Kurasa biar sepuluh orang seperti mereka, akan hancur
dalam satu-dua jurus olehmu! Aku sangat kagum dengan
gerakan jurusmu, Aswarani!"
Tampak napas perempuan itu dihempaskan panjang-
panjang. Raut wajahnya memperlihatkan perasaan lega
dan puas. Bahkan senyumnya sempat mekar walau
hanya seulas.
"O, dia ingin dipuji?!" pikir Suto.
Dengan wajah ceria, Aswarani menyingkapkan anak
rambut yang meriap di keningnya. Gelang perhiasan
yang dipakai di kedua tangannya itu gemerincing bagai
irama kelegaan hatinya.
"Tak kubiarkan siapa pun menantangmu."
Suto mulai menangkap makna kata yang punya
tujuan sangat pribadi. Tapi ia berlagak tak mengerti
maksud Aswarani, sehingga yang terlontar hanyalah
ucapan terima kasihnya.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan nyawaku.
Kalau tidak ada kau, mungkin aku mati dihajar mereka
berdua. Setidaknya babak belur dan terluka parah oleh
serangan mereka."
Suto yakin, dengan kata-kata seperti itu Aswarani
akan semakin bangga dan lebih ceria lagi. Terbukti
senyumnya mekar dengan sangat manis dan
mencerminkan keriangan hatinya. Bandul di kalungnya
yang berhias batuan hijau bening itu segera dibetulkan
letaknya. Aswarani mendekati Suto Sinting dan berkata
dengan mata memandang sedikit sayu.
"Kita lanjutkan perjalanan atau beristirahat di semak-
semak sebentar?"
"Hmmm... ehh... terus saja. Aku ingin lekas sampai di
Tanjung Samudera," kata Suto Sinting sambil
mengawali langkahnya. Aswarani terpaksa mengikuti
langkah itu, walaupun Suto tahu hati perempuan itu
memendam rasa kecewa karena Suto memilih
meneruskan perjalanan.
Belum ada seratus langkah, tiba-tiba seberkas sinar
biru bintik-bintik melesat dari arah lereng bukit yang ada
di samping mereka.
Clappp...!
"Aswarani, minggir!" teriak Suto Sinting sambil
lompat ke arah datangnya sinar biru bintik-bintik itu.
Bumbung tuaknya segera dihadangkan untuk menangkis
sinar tersebut.
Jrabb...! Wusss. .!
Sinar itu memantul balik lebih cepat dan lebih besar
dari aslinya setelah menghantam bumbung tuak. Kejap
berikutnya terdengar suara ledakan menggelegar.
Jlegarr...!
Tiga batang pohon besar-besar bukan hanya tumbang
namun lenyap dan menjadi serbuk halus, tak bisa terlihat
oleh mata lagi. Aswarani tampak tertegun memandangi
kejadian tersebut.
Mereka semakin tegang setelah mendengar suara
tawa cekikikan yang berkeliling bagaikan terbang di
udara.
"Hih, hih, hih, hih...!"
"Celaka! Dia datang lagi?!" gumam Suto Sinting.
Dalam benak Pendekar Mabuk segera terbayang wajah
tua keriput dengan bibir masuk ke dalam mulut. Wajah
itu tak lain adalah wajah Nini Kutang Katung.
Bayangan Pendekar Mabuk memang terbukti. Kejap
berikutnya muncul sesosok tubuh bongkok berjubah
abu-abu dengan tongkat hitam yang ujungnya mirip
garpu dua mata, runcing seperti ujung anak panah.
"Hmmm...! Rupanya kau yang bikin ulah, Nini
Kutang Katung!" kata Aswarani yang ternyata sudah
mengenal tokoh tua, gurunya Ratu Kelabang Setan.
"Hi, hi, hi, hi...! Aku senang sekali jumpa kau, Anak
muda!" kata Nini Kutang Katung kepada Suto Sinting.
Ucapan Aswarani bagai tidak digubris.
Aswarani bergerak maju. Namun kali ini Suto Sinting
yang menahan dengan mencekal pundak perempuan itu.
"Biar aku yang menangani! Dia agak berbahaya."
"Tapi dia...."
"Ganti kau yang melihat pertarunganku!" kata Suto
sengaja sedikit menyombongkan diri supaya Aswarani
tidak berhadapan dengan tokoh sakti itu. Sebab Suto
menyangsikan kekuatan Aswarani jika melawan Nini
Kutang Katung. Menurut perkiraan Pendekar Mabuk,
Aswarani tidak akan bisa menang jika melawan tokoh
tua yang satu ini.
"Aku ingin menebus kelancanganmu saat kita di
pantai itu, Anak bagus!" kata Nini Kutang Katung
kepada Suto Sinting. "Setelah itu aku akan membunuh
perempuan lacur itu!" ia menuding Aswarani.
Mendengar hal itu, Aswarani naik pitam dan siap-siap
melepaskan pukulan jarak jauhnya. Tapi Suto Sinting
berhasil menahannya dengan merentangkan tangan dan
berkata penuh ketenangan.
"Jangan terpancing dia! Tenang. Aku akan
menyelesaikan secepat mungkin."
Pendekar Mabuk berkata kepada nenek bongkok itu,
"Kalau kau masih penasaran padaku, kuharap kau jangan
menyesal jika aku sampai bertindak lebih parah dari saat
di pantai itu, Nini!"
"Hih, hih, hih, hih...! Tak perlu bicara begitu padaku,
Bocah bagus! Gertakanmu tidak akan membuat hatiku
goyah dan semangatku lemah. Perlu kau ketahui, bahwa
Raja Hantu sudah berhasil kubinasakan dan sekarang
tinggal namanya. Kalau kau ingin mencari mayatnya,
datanglah ke pantai tempat kita bertemu dulu."
"O, jadi pamannya Dinada sudah tewas di
tangannya?!" kata Suto dalam hati. "Kalau begitu
perempuan tua ini lebih berbahaya dari dugaanku. Aku
harus lebih hati-hati dalam melawannya."
Nini Kutang Katung menggerak-gerakkan mulutnya,
seperti sedang mengunyah robekan sarung. Suto
berfirasat, lawannya sedang membaca mantra. Maka ia
buru-buru menenggak tuaknya satu teguk.
"Bocah bagus, terimalah jurus 'Bumi Lokamurka'
ini!" ujar sang Nenek. Kemudian ia menghentakkan
tongkatnya ke tanah. Dugg...!
Werrrr...! Bumi bergetar. Tiba-tiba dari ujung tongkat
yang dihentakkan ke tanah itu mengeluarkan selarik
sinar merah sebesar lidi melesat ke pertengahan kaki
Pendekar Mabuk.
Srrapp...!
Sinar yang bagaikan menembus permukaan tanah itu
melesat dengan cepat, kemudian tanah tersebut menjadi
retak dan terbelah menjadi dua bagian.
Grrak...! Werrrr...!
Tanah berguncang hebat. Belahan tanah itu
merenggang lebar, sebagian ada yang longsor ke dalam.
Suto Sinting yang tak menduga akan terjadi hal seperti
itu akhirnya ikut terjeblos masuk ke dalam belahan
tanah.
Bruss...!
"Celaka...!" pekiknya dalam hati. Untung ia
menemukan gumpalan tanah agak keras. Kakinya
menjejak gumpalan tanah agak keras itu, wuttt...! Tu-
buhnya segera melenting ke udara, keluar dari keretakan
tanah.
Wukk, wukk...! Ia bersalto dua kali, lalu mendaratkan
kakinya di tanah yang masih utuh. Jlegg...!
Pada saat itu Suto melihat Aswarani terjungkal
karena goncangan tanah yang merekah itu. Namun
keadaan perempuan tersebut masih jauh dari keretakan
tanah. Suto Sinting segera bergerak ke arah lain dengan
menggunakan jurus 'Gerak Siluman'-nya.
Nini Kutang Katung kebingungan mencari Suto
Sinting, ia menggerutu dengan suara tuanya,
"Ke mana si setan ganteng tadi...?!"
"Aku di belakangmu, Nek!" jawab Suto dengan
tenang.
Begitu Nini Kutang Katung membalikkan badan
menghadap ke arah Suto, tangan Pendekar Mabuk segera
menghentak ke depan. Clappp...!
Sinar hijau keluar dari tangan Suto Sinting. Jurus
'Pukulan Guntur Perkasa' digunakan menghantam nenek
sakti itu. Sang Nenek segera mengibaskan tongkatnya
begitu melihat sinar hijau ke arahnya.
Wuttt...!
Duarr...! Tongkat itu patah dihantam sinar hijau.
Bahkan sinarnya masih menembus ke arah sasaran dan
tangan Nini Kutang Katung menahan dengan cara
menghadang memakai telapak tangannya. Jrabb...!
Wuussss...!
Tubuh tua itu terlempar delapan langkah ke belakang,
ia seperti daun kering yang dihembus badai. Jatuhnya
terjungkal beberapa kali, namun keadaan tubuhnya
masih utuh.
"Kuat sekali dia?!" pikir Pendekar Mabuk.
Biasanya lawan yang terkena pukulan 'Guntur
Perkasa' akan memar membiru pada bagian yang terkena
sinar hijau itu. Memar itu akan cepat membusuk, dan
akhirnya sekujur tubuh menjadi membusuk. Tetapi kali
ini agaknya lawan Suto cukup tangguh.
Tokoh tua itu hanya terbatuk-batuk dan
mengeluarkan dahak darah segar. Tangannya masih utuh
tanpa memar biru sedikit pun. Ini menandakan kekuatan
tenaga dalam yang melapisi tubuh Nini Kutang Katung
sangat tinggi. Pendekar Mabuk tidak cukup
menggunakan jurus 'Guntur Perkasa' saja. Harus
menggunakan jurus lain untuk menumbangkan nenek
bongkok itu.
"Sebaiknya kugunakan jurus 'Pecah Raga'. Apakah ia
masih mampu menahan jurus yang satu ini?" pikir
Pendekar Mabuk sambil melangkah ke sisi samping,
matanya memandang setiap gerakan Nini Kutang
Katung yang kebingungan melihat tongkatnya patah
menjadi dua bagian. Namun bagian yang berujung
seperti garpu runcing itu masih tergenggam di tangan
kanannya.
"Heaaah...!" Nini Kutang Katung angkat kedua
tangan dengan tongkat terbawa ke atas. Kedua tangan itu
gemetar. Angin panas mulai terasa samar-samar.
Kemudian debu putih mulai turun dari langit.
"Debu Neraka...?!" pikir Suto Sinting, langsung
teringat debu-debu putih yang mampu membakar setiap
benda yang tertaburi.
Pada saat yang sama, sekelebat bayangan melintas di
depan Pendekar Mabuk. Wuttt...! Jlegg...!
"Dinada...?!" seru Suto bagai tak sadar.
Gadis berjubah kuning itu langsung meniup
serulingnya. Tiupan seruling mendatangkan angin yang
berputar-putar semakin lama semakin cepat. Akibatnya
debu-debu putih itu tak jadi turun, melainkan menyebar
entah ke mana.
"Keparat kau, Mila...!!" geram Nini Kutang Katung
yang merasa jurusnya dikalahkan oleh seruling Dinada.
Ia segera menghentakkan sisa tongkatnya itu. Namun
sebelum ujung runcing tongkat itu keluarkan sinar biru
yang mampu bergerak membingungkan lawan itu,
Aswarani segera melesat dan menendang tangan Nini
Kutang Katung.
Plakk...! Wuttt...!
Tongkat itu terlepas dari genggaman, melesat terbang
dan jatuh di kedalaman semak belukar.
"Rasakan ini, hiih...!" Aswarani menghantamkan
telapak tangannya ke wajah Nini Kutang Katung. Tapi
telapak tangan sang Nenek juga segera menghantam
sehingga mereka beradu telapak tangan. Blarrr...!
Ledakan terjadi ketika tangan mereka beradu.
Ledakan itu membuat Nini Kutang Katung terlempar
lagi dan nyaris jatuh ke rongga tanah yang retak itu.
Sedangkan Aswarani hanya tersentak mundur tiga
tindak.
Tubuh Nini Kutang Katung mengepulkan asap bagai
terbakar bagian dalamnya. Napasnya pun mulai sulit
dihela. Menyadari keadaan seperti itu, Nini Kutang
Katung merasa perlu mundur sesaat untuk sembuhkan
luka dalamnya, ia pun segera melarikan diri tanpa pamit.
Lompatan cepat Nini Kutang Katung dikejar oleh
Aswarani yang bernafsu sekali membunuhnya.
Perempuan itu tak bisa merasa lega dan tenang jika nafsu
membunuhnya sudah sampai ke ubun-ubun tapi
lawannya belum terbunuh.
"Sampai di mana pun akan kukejar kau, Kutang
Katung!!" teriak Aswarani sambil berkelebat cepat.
"Tunggu...!" teriak Dinada, kemudian mengejar
Aswarani. Tapi Suto Sinting bergerak lebih cepat dengan
jurus 'Gerak Siluman'-nya itu.
Zlappp...!
Tahu-tahu ia sudah ada di depan Dinada, menahan
gerakan gadis yang kemarin terpisah darinya itu.
"Tahan. Tak perlu kau kejar, biar diselesaikan oleh
Aswarani!"
"Minggir kau!" bentak Dinada. Ia berusaha lolos dari
hadangan Suto Sinting, namun hal itu sulit dilakukan
karena Suto selalu merintanginya.
"Dinada, tenanglah dulu! Ada berita bagus untuk
dirimu tentang pamanmu; si Raja Hantu itu!"
"Aku akan mengejarnya dulu! Minggir, Suto...!"
"Hei, sabar! Nenek itu tak akan lepas dari kejaran
Aswarani!"
"Bodoh!" sentak Dinada dengan cemberut. Kemudian
ia melemas karena merasa sudah tertinggal jauh, tak
mungkin terkejar lagi. Dinada duduk di atas sebuah batu,
di bawah pohon teduh. Wajahnya cemberut dan tak mau
memandang Suto Sinting.
"Lagak manjanya mulai keluar lagi," gumam Suto
dalam hati. Ia hanya tersenyum tipis lalu mendekati
Dinada pelan-pelan.
"Dari mana saja kau, Dinada?! Mengapa sampai
terpisah dariku?!"
Dinada diam saja. Mulutnya masih meruncing.
Sesekali ia mendesis dengan tangan mengepal kuat
pertanda menahan kejengkelan.
"Aku tak sengaja meninggalkan kau, Dinada. Jangan
marah padaku. Aku sudah mencoba mencarimu keluar-
masuk hutan itu, tapi kau tidak kutemukan. Bahkan aku
memanggilmu berulang-ulang, tapi tak kudengar
jawabanmu. Jangan salahkan aku, Dinada."
"Kau memang bodoh!" sentak Dinada lagi mirip
gadis manja.
"Baiklah. Kuakui kebodohanku. Aku berjanji lain kali
tak akan meninggalkanmu, kecuali aku pamit pergi
memisahkan diri."
"Bukan soal itu!"
Pendekar Mabuk berkerut dahi sambil tersenyum.
"Maksudmu bagaimana, Nona manis?" bujuk Suto.
"Kau telah melakukan hal yang paling bodoh tentang
perempuan itu!"
"Aswarani itu, maksudmu?!"
"Iya!" bentak Dinada dan bibirnya yang mungil
menggemaskan meruncing kembali.
Suto Sinting tertawa pelan. "Tentang Aswarani aku
tidak punya perasaan apa-apa. Aku bertemu dengannya
di kedai. Lalu, kami sama-sama ingin pergi ke Tanjung
Samudera. Hubunganku hanya sebatas teman biasa. Kau
jangan cemburu dulu, Dinada. Kalau saja..."
"Aku tidak mencemburuimu!" potong Dinada dengan
ketus. "Aku hanya menyesali tindakan bodohmu!"
"Di mana letak kebodohanku?"
"Membiarkan dia pergi mengejar Nini Kutang
Katung!"
"Ooo...," Suto Sinting manggut-manggut. "Jadi
mentang-mentang dia orang Perguruan Bukit Kasmaran,
lantas kau menganggap aku harus mendampinginya terus
sekalipun mengejar Nini Kutang Katung?!"
"Bukan itu maksudkuuu...!!" Dinada tampak gemas
sekali.
Pendekar Mabuk kian heran. "Jadi apa maksudmu
sebenarnya, Dinada?!"
"Aswarani adalah nama aslinya, ia menggunakan
nama julukan: Anak Petir!"
"Hahh...?!" Suto Sinting terkejut bukan kepalang.
"Ja... jadi dialah orang yang bernama Anak Petir?!"
"Iya! Apakah kau tidak melihat Gelang Naga Dewa di
tangan kanannya tadi?!"
"Hmmm... eehh... iya, memang aku melihat dia
memakai gelang, tapi bukan hanya satu. Tangan kanan
dan kiri memakai gelang, cincin, kalung, juga gelang
kaki."
"Yang terbuat dari perunggu, berbentuk naga
melingkar dua kali, dengan mata naga berwarna merah
delima, bukankah itu pusaka Gelang Naga Dewa?!"
"Ya ampuun...! Mana kutahu, aku belum pernah
melihat Gelang Naga Dewa dan kau tak pernah
menceritakan ciri-ciri bentuk gelang pusaka itu. Ak...
aku.... Oh, sial!"
Pendekar Mabuk menepuk kepalanya sendiri, ia
berjalan mondar-mandir dengan gusar.
"Dari dulu yang bernama Anak Petir itu kusangka-
lelaki! Aku tak pernah menyangka kalau si Anak Petir
adalah julukan yang dipakai seorang perempuan. Dan...
dan lagi tak pernah ada yang menjelaskan padaku bahwa
Anak Petir itu seorang perempuan. Mungkin mereka
sangka aku sudah tahu hal itu!"
"Lalu, bagaimana kalau sudah begini?!" sentak
Dinada, dan Suto Sinting hanya bisa tertegun bingung
sendiri.
*
* *
6
ANAK mendiang Nyai Guntur Ayu itu ternyata
seorang perempuan, bukan seorang lelaki seperti yang
dibayangkan Suto sejak mula pertama mendengar nama
Anak Petir. Baik Sumbaruni, Bulan Sekuntum, Untari,
dan yang lainnya menyebut-nyebut nama Anak Petir di
depan Suto Sinting. Tetapi tidak ada satu pun yang
menjelaskan bahwa ia seorang lelaki atau perempuan.
Hanya kesimpulan dalam bayangan Suto sendiri yang
menganggap Anak Petir adalah seorang lelaki.
Tentu saja Suto tidak menaruh kecurigaan apa pun
ketika bertemu dengan Aswarani di kedai. Bahkan ketika
melihat Aswarani kebal oleh senjata Sancawisa,
Pendekar Mabuk hanya menganggap biasa saja. Tidak
mempunyai dugaan bahwa kekebalan tubuh itu
dikarenakan Aswarani mengenakan Gelang Naga Dewa.
Juga ketika Suto melihat perhiasan yang dikenakan
Aswarani, tak sedikit pun punya kecurigaan bahwa salah
satu gelang tersebut adalah gelang pusaka yang sedang
diperebutkan beberapa orang.
Pendekar Mabuk merasa seperti ditipu mentah-
mentah oleh Aswarani. Padahal yang menipu adalah
anggapannya sendiri. Jika ia tahu bahwa Aswarani
adalah orang yang bernama Anak Petir, tentu saja sudah
dilumpuhkan sejak pertemuan di kedai.
"Aku yakin Anak Petir tidak bermaksud lari begitu
melihatku," kata Dinada dalam perjalanan mengejar
Aswarani dan Nini Kutang Katung. Sambungnya lagi,
"Untuk apa dia lari karena kedatanganku? Dia tidak
akan takut kepadaku, juga kepada siapa saja. Sebab dia
sudah punya pusaka andalan di tangannya."
"Dia memang hebat, kulihat sendiri gerakannya
dalam melawan Dewa Loreng dan kedua adik Penguasa
Teluk Neraka itu. Tapi sempat timbul rasa heranku
terhadap mendiang pamanmu yang kini telah terbunuh
oleh Nini Kutang Katung itu."
"Mengapa heran?"
"Pada waktu pertarungan pertama; bukankah Raja
Hantu sudah memegang Gelang Naga Dewa? Mengapa
ia tidak bisa tumbangkan Nini Kutang Katung, bahkan
gelang itu dititipkan kepadamu?"
"Tentu saja karena gelang itu baru diperoleh dari
pencuriannya. Gelang itu hanya akan berguna jika
pemakainya sudah lakukan puasa selama tujuh hari
sambil memakai gelang tersebut. Jika belum lakukan
puasa selama tujuh hari, gelang itu tidak bedanya dengan
gelang biasa bagi pemakainya."
"Apakah gelang itu sudah ada tujuh hari di tangan
Anak Petir?"
"Lebih," jawab Dinada cepat. "Tentunya sudah
dipuasai oleh Aswarani."
Percakapan demi percakapan dilakukan sambil
memandang ke sana kemari, mencari suara pertarungan
yang terjadi antara Nini Kutang Katung dan Aswarani.
Tetapi suara pertarungan itu tidak mereka dengar, gerak
bayangan orang berlari pun tidak mereka lihat.
Dinada hampir putus asa. Hatinya kesal
membayangkan kebodohan Pendekar Mabuk. Untung
pendekar tampan itu pandai menghibur hatinya,
sehingga semangat yang nyaris sirna itu mampu
terangkat lagi. Sampai pada akhirnya mereka mendengar
suara ledakan menggelegar di arah selatan.
"Mungkin itu pertarungan mereka!" kata Dinada
dengan semangat penuh.
"Kita harus cepat ke sana sebelum Aswarani
menghilang lagi!" Suto mendului bergerak ke arah
selatan.
Di bawah kaki bukit itu, sebidang tanah bergunduk-
gunduk menjadi tempat pertarungan dua tokoh berilmu
cukup tinggi. Namun di sisi lain, Suto Sinting dan
Dinada melihat sesosok mayat tergeletak dengan luka di
bagian perut. Isi perutnya berhamburan keluar.
Dinada berkerut dahi dan berbisik kepada Suto,
"Mayat siapa itu?"
Suto masih ingat sosok lelaki kurus bertampang
tengil sok berani. Rambutnya panjang tipis diikat dengan
kain warna coklat muda. Lelaki itu memakai pakaian
serba hitam yang sekarang basah oleh darah. Orang yang
sekarang sudah menjadi mayat itu tak lain adalah
Mandor Gangsing, anak buah Ki Lurah Tunggoro.
Mandor Gangsing dan Gaung Cablak pernah
diperintahkan untuk membawa pulang Bulan Sekuntum,
karena Ki Lurah Tunggoro ingin mengawini Bulan
Sekuntum. Tapi pada waktu itu Bulan Sekuntum berhasil
melumpuhkan Gaung Cablak yang bertubuh tinggi besar
itu, hanya saja Suto Sinting segera menolong Gaung
Cablak dengan tuaknya, lalu diperingatkan agar jangan
berani-berani mengganggu Bulan Sekuntum lagi, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Keranda
Hitam").
Dan kini yang ada di pertarungan bukan Aswarani
melawan Nini Kutang Katung, melainkan Bulan
Sekuntum melawan seorang lelaki berkumis lebat
berusia sekitar empat puluh lima tahun, mengenakan
pakaian rapi warna hijau berkrah leher tegak. Ketika
Suto Sinting menjelaskan kepada Dinada tentang mayat
itu, Dinada segera terperanjat dan berkata,
"Oh, ya... aku baru ingat. Kalau begitu lelaki yang
berpakaian hijau dengan senjata keris itu adalah Ki
Lurah Tunggoro."
"Kau kenal dengannya?"
"Aku hanya tahu namanya dan pernah jumpa sekali.
Dia adalah adik bungsu dari kesebelas saudara mendiang
Guru Nyai Guntur Ayu."
"Jika begitu benar kata Bulan Sekuntum, bahwa Anak
Petir adalah keponakan dari Ki Lurah Tunggoro."
"Lalu pertarungan ini apakah karena Gelang Naga
Dewa?"
"Kurasa ini pertarungan pribadi. Ki Lurah Tunggoro
sakit hati lamarannya ditolak oleh Bulan Sekuntum dan
bikin perhitungan sendiri."
"Kita harus membantu Bulan Sekuntum!" kata
Dinada penuh semangat.
"Jangan. Biarkan Bulan Sekuntum menunjukkan
harga dirinya di depan Lurah Tunggoro. Kecuali jika ia
dalam bahaya kita selamatkan dengan segera." kata Suto
Sinting sambil bergeser ke tempat yang lebih enak
dipakai untuk menyembunyikan diri.
Bulan Sekuntum tampak masih tegar dan lincah.
Pedangnya dimainkan ke kanan-kiri sambil maju
mendekati Ki Lurah Tunggoro.
Sementara itu, Ki Lurah Tunggoro yang bersenjata
keris tanpa lengkung itu sedang mencari kesempatan
bagus untuk menyerang Bulan Sekuntum. Agaknya ia
tidak punya pilihan lain; daripada menanggung malu dan
sakit hati karena lamarannya ditolak Bulan Sekuntum,
lebih baik mengadu nyawa untuk menebus
kegagalannya.
Ki Lurah Tunggoro sempat berseru dalam
amarahnya, "Pantang bagiku ditolak oleh perempuan
macam kau, Bulan! Kematianmu adalah tebusan yang
setimpal untuk kelancanganmu menolak lamaranku.
Hiaaah...!"
Keris itu disentakkan ke depan dari jarak lima
langkah. Lalu seberkas sinar putih lurus melesat dari
ujung keris. Slappp...!
Sinar putih itu mengincar ulu hati Bulan Sekuntum.
Dengan menyalurkan tenaga dalam melalui pedangnya,
Bulan Sekuntum menghadang sinar putih tersebut.
Desss...! Sinar itu menghantam pertengahan pedang.
Bulan Sekuntum menahan dengan tubuh bergetar kaki
merendah, pandangan lurus ke arah lawan.
Sinar yang belum mau putus itu bagai memancarkan
kekuatan lebih besar lagi hingga tubuh Bulan Sekuntum
sedikit terdorong ke belakang. Namun tampaknya ia
masih mampu menahan desakan sinar putih tersebut.
Kejap berikut sinar putih itu warnanya berubah pelan-
pelan menjadi kemerah-merahan, dan akhirnya warna
merahnya menjadi terang. Pedang yang ditegakkan itu
mulai berasap. Bulan Sekuntum terdesak, tubuhnya
semakin bergetar kuat
Tiba-tiba ujung pedang Bulan Sekuntum keluarkan
sinar merah yang melesat ke arah tangan Ki Lurah
Tunggoro. Clappp...! Trak, duarrr...!
"Auh...! Setan!" Ki Lurah Tunggoro melompat ke
belakang sambil mengibaskan tangannya. Sinar merah
itu kenai genggaman Ki Lurah Tunggoro hingga
pecahkan gagang keris. Tangan itu sendiri segera
kepulkan asap tanda terbakar. Sementara kerisnya
terlempar jauh tanpa gagang lagi.
Ki Lurah Tunggoro segera keraskan semua urat-
uratnya, mengerahkan tenaga untuk melawan rasa panas
yang membakar tangannya.
Bulan Sekuntum sentakkan kaki dan melesat
menerjang Ki Lurah Tunggoro dengan pedangnya.
Wuuttt...!
Namun tiba-tiba Ki Lurah Tunggoro melemparkan
sesuatu dari tangan kirinya. Ternyata sinar hijau seperti
bola kecil yang diarahkan kepada Bulan Sekuntum.
Pedang pun dikibaskan untuk menangkis tenaga
dalam berbentuk sinar hijau itu. Wusss...! Dam...!
Ledakan tersebut membuat Bulan Sekuntum terpental
tak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya, ia jatuh
terguling-guling sampai dalam jarak tujuh langkah dari
tempatnya.
"Bulan Sekuntum terluka," bisik Dinada. "Lihat,
wajahnya mulai pucat dan kebiru-biruan! Kita harus
segera bertindak."
"Jangan dulu," cegah Suto. "Bulan masih mampu
bangkit, ia pasti akan menyerang kembali."
Tetapi tiba-tiba Ki Lurah Tunggoro mengangkat
kedua tangannya ke atas dalam keadaan telapak tangan
terbuka. Gerakan bertenaga penuh itu ternyata
menghasilkan kilatan cahaya petir yang melesat dari
langit dan menyambar-nyambar ke arah Bulan
Sekuntum.
"Dia gunakan jurus 'Geledek Murak'?!" kata Dinada
dengan suara menegang. "Itu tak boleh digunakan
kecuali orang Perguruan Bukit Kasmaran!"
"Dari mana dia peroleh jurus itu?"
"Entah. Mungkin dari Anak Petir. Yang jelas Guru
tidak pernah mengajarkan jurus itu kepada orang lain,
walaupun kepada adiknya sendiri! Kurang ajar! Pasti
jurus itu telah dijual oleh Anak Petir kepada pamannya,
entah dengan imbalan apa!"
Duarrr...! Blarrr...! Blegarrr...! Duarrr...!
Bulan Sekuntum dihujani puluhan petir, ia melompat
ke sana kemari hindari lidah petir yang menyalakan sinar
biru berkerilap itu.
Melihat Bulan Sekuntum terdesak, Dinada segera
mencabut serulingnya dan meniupnya dengan alunan
lembut namun suaranya melengking tinggi. Alunan
seruling itu menghadirkan angin kencang, dan angin itu
membawa kumpulan mega bergerak di atas mereka.
Mega-mega itu bagaikan menyekap kilatan cahaya petir,
sehingga serangan hujan petir itu terhenti seketika.
"Bangsat! Ada yang mau ikut campur rupanya!"
geram Ki Lurah Tunggoro, sambil teliganya menyimak
suara seruling.
Bulan Sekuntum yang terluka dalam itu juga mulai
memasang telinga dan memandang ke arah datangnya
suara seruling. Hatinya menggumam,
"Kurasakan kehadiran Milasi di sini! Hmm... dia
menolongku dengan serulingnya! Kesempatan ini tak
boleh disia-siakan."
"Aku tahu kau murid Guntur Ayu! Keluar dari
persembunyianmu, Bangsat!" teriak Ki Lurah Tunggoro,
lalu ia melepaskan pukulan jarak jauh ke arah
kerimbunan semak. Pukulan itu berupa sinar hijau
seperti yang dilepaskan untuk Bulan Sekuntum tadi.
Slappp...!
Bulan Sekuntum menjegal cahaya hijau tersebut
dengan sentakkan tangannya yang menghadirkan
gelombang berasap merah. Hal itu dilakukan setelah
melompat dan bersalto cepat menghadang sinar hijau.
Wusss...! Zrabbb...! Blegarr...! Sinar hijau pecah di
pertengahan jarak karena dibungkus pukulan berasap.
Tapi kejap berikutnya Bulan Sekuntum telah melesat
dengan berjungkir balik ke tanah menggunakan satu
tangannya. Tab, tab, tab, tab...!
Begitu cepat gerakan jungkir baliknya itu, tahu-tahu
ia sudah ada di depan Ki Lurah Tunggoro, dan
pedangnya berkelebat menyabet dari kanan ke kiri.
Wuttt...! Crrassss...!
"Aaahg...!" Ki Lurah Tunggoro tersentak kaku,
kepalanya terdongak, lehernya koyak karena sabetan
pedang Bulan Sekuntum.
Suara seruling berhenti. Dua orang di persembunyian
itu memandang tak berkedip ke arah Ki Lurah Tunggoro
yang mulai limbung. Bulan Sekuntum masih pegangi
pedangnya dan diam tak bergerak dalam keadaan habis
menebaskan pedang.
Brrukk...! Ki Lurah Tunggoro akhirnya tumbang, dan
Bulan Sekuntum melepaskan sikap diamnya, ia
menghempaskan napas lega sambil menarik pedang dari
gerakan semula. Matanya memandang lurus pada
lawannya yang sedang meregang nyawa.
"Bukan dia lawanmu, tapi aku...!"
Terdengar seruan dari balik pohon setelah terlihat
sekelebat bayangan melintas cepat. Ternyata Aswarani
baru saja datang dan ia melihat pamannya terkapar tak
berdaya. Bahkan saat Ki Lurah Tunggoro melepaskan
napasnya yang terakhir, Anak Petir itu sedang
menghampirinya.
"Bedebah kau!" geramnya kepada Bulan Sekuntum,
matanya memandang liar dan buas. "Kau telah
membunuh pamanku, kini aku yang harus mencabut
nyawamu, Bulan!"
"Kusiapkan nyawaku untuk menebus gelang itu!"
kata Bulan Sekuntum tak pernah merasa takut kepada
siapa pun.
Dinada dan Suto Sinting menjadi lebih tegang lagi.
"Itu dia...!" bisik Dinada. "Itu si Anak Petir yang kita
cari-cari!"
"Sekarang sudah waktunya kita muncul memihak
Bulan Sekuntum!"
"Tapi dia memakai Gelang Naga Dewa!" Dinada
menampakkan kecemasannya.
"Aku yang akan menghadapinya!" kata Pendekar
Mabuk dengan tegas tapi berkesan tenang, ia meneguk
tuaknya sesaat, kemudian melompat keluar dari balik
semak bersama-sama Dinada.
Suto berseru, "Bulan, mundurlah kau!"
Bulan Sekuntum kaget melihat Suto Sinting ada
bersama Dinada. Tapi hatinya menjadi tenang dan
keberaniannya bertambah. Sedangkan Aswarani segera
memandangi Pendekar Mabuk dengan mata masih
tampak buas dan ganas.
"Suto, menjauhlah dari Bulan agar kau tak menjadi
korban salah sasaran!"
"Justru aku yang akan menghadapimu, Anak Petir!"
kata Suto Sinting membuat Aswarani menyipitkan mata
memancarkan permusuhan.
"O, jadi si gadis laknat itu sudah menceritakan
padamu tentang siapa aku?!" sambil Aswarani menuding
Dinada.
Suto Sinting maju dengan tenang dan berkata,
"Semuanya sekarang sudah kuketahui, kaulah orang
yang kucari dan pernah membuat namaku hampir hilang
karena dianggap mati oleh kalangan dunia persilatan!
Kau punya urusan pribadi denganku, Anak Petir!"
"Baik! Kudengar kau pun juga menantang
pertarungan denganku. Semula aku ingin melupakan
tantangan itu, tak ingin melayaninya. Karena kupikir kau
pemuda yang layak dibelai, bukan layak dihancurkan.
Tapi karena sikapmu sudah tak mau bersahabat lagi
denganku, terpaksa kulayani tantanganmu. Sekarang, di
sini juga, kita awali pertarungan kita. Tunjukkan kepada
perempuan-perempuan itu bahwa kau mampu
mengungguli ilmuku! Tapi tentunya kau tahu bahwa
sekarang aku mengenakan Gelang Naga Dewa ini!"
Aswarani menunjukkan gelang yang dimaksud
dengan mengangkat tangan kirinya, ia menyambung
kata,
"Kau tak akan mampu kalahkan aku jika gelang ini
masih ada di tanganku, Suto!"
"Kusarankan, kembalikan gelang itu pada
pemiliknya!"
Anak Petir tertawa. "Hah, hah, hah, hah...! Kau mau
coba-coba memerintahku, Pendekar Mabuk?! Oh, jangan
harap ucapanmu bisa membuatku tunduk dan menuruti
perintahmu! Gelang ini adalah nyawaku. Kalau memang
kau inginkan gelang ini kembali kepada pemiliknya,
rebutlah dan pertaruhkan dengan nyawamu!"
Sebelum Pendekar Mabuk bergerak, tiba-tiba
terdengar suara dari arah belakang Aswarani.
"Anak Petir, akulah lawanmu!"
Seruan itu ternyata datang dari mulut perempuan
berjubah Jingga. Dia adalah Untari, atau si Ratu
Kelabang Setan, ia datang sambil memanggul sesosok
tubuh yang telah hangus. Sesosok tubuh hangus itu
dilemparkan ke depan Aswarani setelah jaraknya
mencapai empat langkah.
"Kau yang membunuh guruku ini!" sentak Untari.
"Aku tahu persis jurus yang membakar tubuh dengan
lubang besar di dada adalah milikmu, Anak Petir!"
"Tak salah dugaanmu. Memang aku yang membunuh
gurumu!" kata Aswarani dengan tegas.
Rupanya dalam pelariannya yang dikejar Sumbaruni,
Untari sempat bersembunyi dan mengobati lukanya.
Kemudian tempat persembunyian itu diketahui
Sumbaruni dan ia lakukan pertarungan dengan bekas
istri jin itu. Tapi ia terdesak dan lari lagi, Sumbaruni
mengejarnya kembali
Dalam pelariannya itulah ia temukan mayat gurunya
yang dalam keadaan dada berlubang serta hangus
sekujur badan, ia tahu hal itu adalah perbuatan Anak
Petir, karenanya ia mencari Anak Petir sambil
menghindari Sumbaruni. Ternyata ia temukan si Anak
Petir sedang berhadapan dengan Pendekar Mabuk.
Kemarahannya semakin meluap, nafsu untuk membunuh
Anak Petir kian berkobar karena ia tak ingin Suto
Sinting yang ingin dijadikan pasangan bercintanya itu
mendapat celaka dari si Anak Petir.
"Sekarang apa maumu, Untari?!" bentak Aswarani.
"Menghancurkan ragamu, Biadab!" geram Untari,
kemudian ia kerahkan tenaga dalamnya dengan
mengeraskan kedua tangan dan kaki merendah. Tangan
yang diangkat ke atas itu tiba-tiba menyentak ke depan
dan dua berkas sinar merah melesat menghantam dada
Aswarani yang sedang bertolak pinggang.
Wuttt...! Blarrr...!
"Hah, hah, hah, hah...!" Anak Petir tertawa seperti
seorang lelaki. Tubuhnya tak terluka sedikit pun. Hanya
dibungkus asap sekejap, lalu tampak utuh dan tetap
segar. Gelang Naga Dewa membuatnya kebal terhadap
pukulan tenaga dalam apa pun.
Hal itu membuat Suto Sinting berpikir mencari cara
untuk mengalahkan Aswarani. Sementara Untari lakukan
serangan lagi dengan jurus-jurus mautnya, di kejauhan
sana tampak seseorang berlari cepat bagai kilatan cahaya
ungu. Ternyata orang itu adalah Sumbaruni.
"Sumbaruni...!" seru Bulan Sekuntum. "Jangan
campuri dulu urusan mereka. Kita jadi penonton saja!"
"Aku setuju! Hmmm... kulihat gelang pusaka ratumu
ada di tangan Anak Petir. Itu pertanda naas telah tiba
bagi Untari!" kata Sumbaruni yang kemudian mendekati
Suto Sinting dan berbisik,
"Apakah kau ingin melawannya?!"
"Aku harus tumbangkan dia karena dua hal; peristiwa
di Tanjung Samudera dan merebut gelang pusaka itu
untuk dikembalikan kepada pemiliknya!"
"Lakukan dengan hati-hati. Tapi kalau kau terdesak
aku terpaksa ikut campur! Lumpuhkan dulu kekuatan
pada gelangnya!" bisik Sumbaruni, setelah itu bergabung
dengan Dinada serta Bulan Sekuntum di kejauhan sana.
Ratu Kelabang Setan kewalahan, karena semua jurus
andalannya tak bisa menumbangkan Aswarani. Bahkan
ia sempat menghadirkan seribu kelabang yang muncul
dari tanah dan menyerang kaki Aswarani. Namun
dengan sekali hentakkan kaki ke bumi, seluruh kelabang
itu musnah berasap meninggalkan bau tak sedap.
"Sudah puaskah kau menyerangku, hah?!" hardik
Aswarani.
"Tak akan puas sebelum kau mati menebus nyawa
guruku!" jawab Untari sambil bersiap melepaskan
pukulannya lagi.
"Dasar keparat bodoh kau! Hiaaat...!"
Aswarani berguling ke tanah satu kali, lalu begitu
bangkit tangannya keluarkan sinar biru. Clapp...! Sinar
biru itu melesat dan menghantam pinggang Untari.
Gerakan yang begitu cepat itu tak dapat dihindari
oleh Untari, sehingga ia tersentak kaget ketika sinar itu
menghantam pinggangnya.
Jrabb...! Blarrr...!
Ledakan itu membuat Untari terbuang jauh, lalu jatuh
dalam keadaan berselubung asap. Ketika asap menipis
dihembus angin, tubuh Untari sudah tak berbentuk lagi.
Pinggangnya pecah, sekujur tubuhnya hangus seperti
nasib Nini Kutang Katung. Tentu saja tak ada napas lagi
padanya.
"Lihat, Suto...!" kata Aswarani. "Betapa cepatnya
gerakanku, dan betapa dahsyatnya jurusku tadi. Maukah
kau seperti itu, Sayang?!"
"Kau tak akan bisa melakukan terhadap diriku!"
"Mulut besar! Kubuktikan sekarang juga! Hiaaah...!"
Clappp...! Sinar biru melesat menghantam Pendekar
Mabuk. Tapi bumbung tuak segera berkelebat ke depan
dan menghadang sinar biru itu.
Trabb...! Zlapp...!
Sinar itu membalik ke arah pemiliknya lebih cepat
dan lebih besar. Tapi Aswarani sudah pernah melihat
kehebatan bumbung itu, sehingga ia sudah menduga
akan terjadi hal demikian. Maka dengan satu kali
lompatan bersalto, ia lolos dari sinar baliknya itu.
Blegarrr...! Sinar itu menghantam pohon besar. Dua
pohon lenyap berubah menjadi debu.
"Kau boleh bangga dengan bumbung tuakmu, tapi tak
akan mampu menahan jurusku kali ini, haaah...!"
Claappp...! Sinar merah besar terlepas dari tangan
Aswarani. Suto Sinting menghadangnya lagi dengan
bumbung tuak, namun kali ini sinar tidak membalik arah
melainkan meledak di depan Suto.
Blegarrr....
Pendekar Mabuk terbang melambung ke udara.
Peristiwa itu pernah dialaminya ketika ia ingin
menyelamatkan Bulan Sekuntum dalam peristiwa
Keranda Hitam dulu. Kini keadaan Suto terkapar dengan
luka memar di sekujur tubuhnya. Semua yang
menyaksikan hal itu menjadi tegang dan cemas.
Namun kali ini Suto Sinting tak sampai pingsan, ia
segera menenggak tuaknya untuk menyembuhkan luka.
Sisa tuak masih ditampung di mulut.
Ketika itu, Anak Petir melompat dengan mencabut
pedangnya dari punggung. "Sekarang terbukti aku dapat
memenggal kepala Pendekar Mabuk! Hiaaah...!"
Suto Sinting sentakkan kaki ke bumi. Wuuttt...!
Tubuhnya melenting di udara cukup tinggi. Ketika
Aswarani menebaskan pedang di tempat kosong, Suto
Sinting semburkan tuak dari mulutnya.
Brrusss...!
Semburan itu tepat kenai Gelang Naga Dewa.
Tak ayal lagi, jurus 'Sembur Siluman' membuat
gelang itu lenyap dari tangan Anak Petir
"Celaka...?!" Anak Petir menjadi tegang. Matanya
mendelik lebar melihat Gelang Naga Dewa lenyap dari
tangannya.
Pada kesempatan itulah Suto Sinting yang sudah
mendaratkan kaki ke bumi segera melepaskan jurus
pukulan 'Pecah Raga' yang berupa sinar hijau dari
telapak tangannya. Clapp...!
Blegarrr...!
Anak Petir tak sempat menghindar lagi. Sinar hijau
itu menghantam perutnya dan ledakan menggelegar
terdengar begitu dahsyat. Bersamaan dengan itu, tubuh
si Anak Petir pun pecah menjadi serpihan kecil-kecil.
Terdengar suara tepuk tangan dari tiga perempuan
yang menyaksikan pertarungan tersebut. Wajah mereka
berseri-seri dan segera berlarian menghambur diri
mendekati Pendekar Mabuk. Mereka tampak ingin
memeluk Suto sebagai ungkapan rasa gembira mereka.
Suto Sinting kebingungan dan segera sentakkan
kakinya ke bumi lalu tubuhnya pun melenting di udara.
Wuuttt...!
Tebb...! Pendekar Mabuk hinggap di atas pohon tanpa
timbulkan gerakan sedikit pun pada dedaunan pohon itu.
Senyumnya mekar di sana dengan sangat menawan.
"Turunlah! Kenapa kau menghindar!" seru
Sumbaruni.
"Aku takut kalian peluk bertiga!"
Mereka tertawa. Bulan Sekuntum yang jarang tertawa
kali ini ikut tertawa Manis sekali, tapi sama nilai
kemanisannya dengan Dinada dan Sumbaruni.
"Tak ada yang ingin memelukmu! Jangan besar rasa
dulu!" seru Dinada sambil masih memegangi
serulingnya.
Suto Sinting pun segera lompat turun ke bawah
bagaikan seekor burung garuda menampakkan
keperkasaannya. Wuusss...! Jlegg...! Lalu, ketiga
perempuan itu mendekat. Ketiganya menyergap Suto
dalam pelukan.
"Mati aku kalau begini!" gumamnya dalam tawa.
Ketiga perempuan itu buru-buru sadar dengan apa
yang dilakukan.
"Terlalu jauh aku mengungkapkan rasa bahagiaku?!"
pikir Dinada yang segera mengundurkan diri dengan
malu.
"Oh, kenapa aku harus begini? Aku terbawa rasa
gembiraku yang berlebihan! Aduh, memalukan sekali!"
kata Bulan Sekuntum yang cepat-cepat melepaskan
pelukan dan mundur tiga langkah.
Sumbaruni pun berkata, "Ya, ampuun... hangat sekali
tubuhnya. Tapi, tidak begini cara menuangkan
kebanggaanku. Ah, seperti perempuan murahan saja aku
ini," lalu Sumbaruni lepaskan pelukan dan menjauh tiga
langkah juga.
Pendekar Mabuk lepaskan napas lega. Ketiga
perempuan itu saling menyembunyikan senyum sebagai
ungkapan rasa malu.
"Selamat, kau berhasil menumbangkan angkara
murka, Suto," kata Dinada dengan suara pelan dan
senyum menawan.
"Lalu bagaimana dengan gelang pusaka itu?" tanya
Sumbaruni.
"Seperti janjiku, harus dikembalikan kepada
pemiliknya; Ratu Dewi Giok!"
"Jelmakan kembali gelang itu," ujar Bulan Sekuntum.
"Jangan sampai lupa seperti saat kau menyembur
pedangku. Hampir saja kau lupa menjelmakan kembali
kalau tidak kutegur sebelum keluar dari kedai!"
Pendekar Mabuk tertawa kecil ingat peristiwa itu.
Kemudian ia berkata, "Tidak akan kujelmakan di sini.
Kalau ada tokoh jahat lain yang menghendaki bisa jadi
bahan rebutan lagi. Sebaiknya antarkan aku menghadap
Ratu Dewi Giok, Gelang Naga Dewa akan kujelmakan
di sana! Langsung kuserahkan kepada beliau!"
"Aku harus ikut!" sergah Sumbaruni.
"Kenapa kau ngotot sekali kelihatannya?"
"Siapa tahu kau main mata dengan sang Ratu!"
Bulan Sekuntum hanya mencibir lalu melengos, Suto
Sinting tersenyum kian lebar, ia memaklumi
kecemburuan itu, sebab ia tahu Sumbaruni sebenarnya
sangat mencintainya. Sekalipun sudah ditolak namun
tetap nekat. Suto hanya bisa angkat bahu, kemudian
mereka berempat pergi ke Istana Tanjung Samudera.
Dengan jurus yang bernama 'Jelma Siluman', pusaka
Gelang Naga Dewa itu diwujudkan kembali oleh
Pendekar Mabuk di depan Ratu Dewi Giok, kemudian
diserahkan kepada sang Ratu. Mata indah sang Ratu
memandangi Pendekar Mabuk dengan penuh rasa
kagum. Sumbaruni tampak masam menyembunyikan
kecemburuannya. Suto Sinting hanya tersenyum-senyum
sambil melengos ke arah lain.
SELESAI
PENDEKAR MABUK
Segera menyusul!!!
PUSAKA BERNYAWA