Trio Detektif - Misteri Kuda Tanpa Kepala(1)



Alfred Hitchcock
& Trio Detektif dalam:
MISTERI KUDA TANPA KEPALA
Alihbahasa: Agus Setiadi


DAFTAR ISI
Alfred Hitchcock Menghidangkan: Kuda Tanpa kepala!
1. Pertemuan yang Sangar
2. Harga Diri Keluarga Alvaro
3. Kebakaran!
4. Kuda Tanpa Kepala
5. Pencarian Dimulai
6. Kabar Buruk
7. Peta Kuno
8. Puri Nasar
9. Sheriff Bertindak
10. Gagasan Baru
11. Menjenguk Pico di Penjara
12. Temuan di Tengah Reruntuhan
13. Bahaya di Ranch
14. Keadaan Semakin Genting
15. Tempat Persembunyian
16. Lumpur Longsor!
17. Sarang Rajawali
18. Pesan Rahasia
19. Akhirnya Jupiter Mengerti
20. Pedang Cortes
21. Kebenaran Menang Juga Akhirnya
ALFRED HITCHCOCK MENGHIDANGKAN:
KUDA TANPA KEPALA!
SELAMAT datang di tengah lingkungan Trio Detektif! Kita berjumpa lagi dengan
ketiga penyelidik remaja yang rajin dan ketekunannya benar-benar luar biasa.
Sudah berkali-kali aku mendapat kehormatan untuk memperkenalkan kasus
mereka. Dan baru saja mereka menyelesaikan kasus terbaru, suatu petualangan
yang sangat menarik. Aku yakin, petualangan itu pasti akan memikat perhatian
kalian.
Bayangkan — mereka menyelidiki suatu misteri yang berpangkal pada perang
yang pernah terjadi antara Amerika Serikat dan Meksiko, hampir satu setengah
abad yang silam! Misteri itu melibatkan seekor kuda tanpa kepala, pedang terkenal
yang bertatahkan permata, serta kawanan bandit yang terdiri dari tiga orang. Trio
Detektif harus melacak jejak mereka, padahal sementara itu sudah lebih dari 130
tahun waktu berlalu! Kesulitan ditambah lagi dengan adanya dokumen-dokumen
bersejarah yang sudah kuno, tapi isinya tidak selalu memaparkan kebenaran.
Setidak-tidaknya, untuk memahami maksud yang sebenarnya, diperlukan
kemampuan menangkap makna yang tersirat!
Begitulah wujud kerumitan misteri yang dihadapi ketiga remaja sahabat kita itu,
dan yang lika likunya bisa kita ikuti dalam halaman-halaman berikut. Mereka
melakukannya dengan alasan yang pantas ditiru. Tanpa memikirkan keuntungan
bagi diri sendiri, mereka ingin membantu keluarga Alvaro, suatu keluarga balkbalk
yang sangat menjaga harga diri selaku keturunan pendatang-pendatang
pertama di kawasan California. Di samping itu, ketiga anggota Trio Detektif
memang selalu menggemari petualangan yang asyik. Dan dalam menangani kasus
terbaru mereka ini, mereka kembali memamerkan ketabahan dan kecerdikan yang
membuat nama mereka termasyhur di kalangan penggemar misteri di seluruh
dunia.
Apa? Baru sekali ini mendengar nama Trio Detektif? Wah, itu tidak bisa dibiarkan.
Perlu lekas-lekas kuperkenalkan ketiga anggotanya, kalau begitu!
Pemimpin mereka bernama Jupiter Jones, seorang remaja yang pintarnya sudah
nyaris keterlaluan. Kehebatan otaknya hanya bisa ditandingi bobot tubuhnya, yang
— yah, pokoknya tidak bisa dibilang langsing! Ia didampingi oleh Pete Crenshaw,
seorang remaja bertubuh kekar dan berwatak riang, tapi cepat merasa gelisah.
Teman satunya lagi Bob Andrews yang berwatak tenang dan tekun. Mereka bertiga
tinggal di Rocky Beach, sebuah kota di California. Letaknya di tepi pantai
Samudra Pasifik, tidak jauh dari kota pusat perfilman, Hollywood. Mereka
berkantor di sebuah karavan tua yang sudah tidak dipakai lagi. Letak karavan itu
tersembunyi di tengah-tengah timbunan barang bekas di Jones Salvage Yard,
sebuah pangkalan tempat penimbunan barang bekas.
Nah! Sekarang tidak ada lagi yang bisa mengatakan belum mengenal Trio Detektif.
Selamat menyimak petualangan mereka yang terbaru!
ALFRED HITCHCOCK
Bab 1
PERTEMUAN YANG SANGAR
“HE, Jupe!” seru Pete begitu Ia keluar lewat gerbang depan bangunan Rocky
Beach Central School. Sekolah baru saja bubar. Kedua sahabatnya, Jupiter Jones
dan Bob Andrews sudáh lebih dulu keluar. Mereka menunggunya di depan
sekolah.
“Kau kenal dia?" tanya Bob pada Jupiter.
“Kenal betul sih, tidak,” jawab Jupiter. “Kami sama-sama anggota Perkumpulan
Sejarah California, tapi anak itu kelihatannya tidak suka bergaul. Mau apa dia,
Pete?”
“Aku tidak tahu. Ia tadi cuma meminta agar kau mau menjumpainya dekat gerbang
masuk ke lapangan, sehabis sekolah — kalau kau punya waktu, katanya. Ia
bersikap seolah-olah urusannya penting sekali.”
“Barangkali Ia memerlukan bantuan Trio Detektif,” kata Jupe dengan nada
berharap. Ketiga remaja itu anggota suatu tim penyelidik yang mereka bentuk
sendiri beberapa waktu yang lalu. Dan sudah agak lama juga mereka tidak
menjumpai kasus yang bisa ditangani.
“Mungkin saja,” kata Pete sambll mengangkat bahu. "Tapi Diego tadi mengatakan,
kau yang ingin ditemuinya.”
"Kita bersama-sama menemuinya,” kata Jupe dengan tegas.
Pete dan Bob mengangguk, lalu mengikuti teman mereka itu, yang langsung saja
berjalan. Mereka sudah biasa menuruti saja kemauan pemimpin Trio Detektif yang
bertubuh bulat dan berotak cerdas itu. Memang biasanya Jupe-lah yang mengambil
keputusan di antara mereka bertiga. Sekali-sekali pernah juga kedua temannya
mencoba membantah. Pete, yang bertubuh tinggi langsing tapi kekar, tidak
menyukai kebiasaan Jupe yang seakan-akan nekat apabila menghadapi risiko
bahaya dalam kasus yang sedang ditangani. Bob, yang bertubuh kecil dan berwatak
tekun, mengagumi ketangkasan Jupe dalam berpikir. Tapi kadang-kadang ia sebal
juga menghadapi sikap Jupe yang suka main perintah. Walau begitu kalau anak
gendut itu ada, kehidupan selalu asyik. Jupe itu seolah-olah mempunyai bakat
istimewa, bisa mencium adanya misteri dan petualangan. Mereka bertiga
bersahabat karib — pada umumnya!
Jupiter berjalan mendului, menuju ke suatu jalan samping yang sepi dan berpagar
pepohonan, yang terdapat di balik sudut bangunan sekolah. Jauh di depan nampak
gerbang masuk ke lapangan atletik yang masih termasuk kompleks sekolah
mereka. Ketiga remaja itu berjalan sambil membenamkan tubuh dalam jaket
hangat mereka. Saat itu hari Kamis siang pada bulan November. Walau matahari
bersinar cerah, tapi angin yang bertiup membuat mereka kedinginan. Maklumlah,
musim gugur!
"Mana Diego? Aku tidak melihatnya,” kata Bob,
ketika mereka sudah dekat ke gerbang lapangan. la memicingkan mata, di balik
lensa kaca matanya.
“Tapi lihat, siapa yang ada,” kat Pete sambil mengeluh.
Sebuah mobil pengangkut berukuran kecil diparkir di depan lapangan, dekat pintu
gerbang. Mobil itu setengah pick-up dan setengah mobil penumpang. Mobil jenis
begitu dikenal dengan nama ranch wagon. Seorang pria berbahu lebar dan
bertubuh kekar, dengan topi koboi, jaket, dan celana jeans, duduk menongkrong di
atas spatbor depan. Kakinya terbungkus sepatu koboi yang berlaras tinggi. Di
sampingnya berdiri seorang remaja kurus tinggi dengan hidung panjang. Ia
bersandar dengan sikap malas-malasan ke badan mobil, yang pintunya dihiasi
dengan tulisan anggun berwarna emas: “Norris Ranch”.
“Skinny Norris!” Tampang Bob langsung masam. "Mau apa dia— "
Sebelum Bob sempat menyelesaikan kalimatnya, remaja kurus tinggi itu sudah
melihat mereka lalu berseru, “Wah, wah—Sherlock Holmes Gendut datang,
dengan kedua anjing pelacaknya yang goblok!"
Skinny tertawa jelek.
Skinny, yang nama lengkapnya E. Skinner Norris, adalah musuh bebuyutan ketiga
anggota Trio Detektif. Ayahnya pengusaha yang berada. Skinny yang biasa
dimanjakan ayahnya itu, mempunyai kebiasaan jelek. Selain suka pamer, ia juga
selalu ingin membuktikan bahwa ia lebih pintar daripada Jupiter. Walau selalu
tidak berhasil, tapi ketiga penyelidik remaja itu tetap saja merasa terganggu karena
perbuatannya. Ada satu kelebihan Skinny, dibandingkan dengan ketiga anggota
Trio Dpektif. Karena umurnya beberapa tahun lebih tua, ia sudah memiliki Surat
lzin Mengemudi. la juga memiliki sebuah mobil model sport, hadiah dari ayahnya.
Jupiter dan kedua sahabatnya merasa iri melihat Skinny yang bisa dengan leluasa
ke mana-mana dengan mobilnya itu, di samping membenci sikapnya yang sok
jago.
Penghinaan yang baru saja dilontarkan oleh Skinny tidak bisa dibiarkan saja oleh
Jupiter. Ia berhenti berjalan dekat gerbang, lalu berkata dengan sikap heran, "Kau
baru saja mendengar ada orang bicara atau tidak, Bob?”
“Aku tidak melihat siapa-siapa,” jawab Bob dengan nada serupa.
“Tapi aku mencium bau orang,” kata Pete sambil mengendus-endus. “Atau
mungkin juga sesuatu. Yang jelas, baunya tidak enak!”
Pria kekar berpakaian koboi yang duduk di atas spatbor tertawa, lalu memandang
Skinny. Air muka remaja kurus tinggi itu berubah, menjadi merah padam
warnanya. Ia melangkah maju menghampiri Trio Detektif, sambil mengepalkan
tinju dengan sikap mengancam. Mulutnya sudah begerak untuk mengatakan
sesuatu, ketika tiba-tiba terdengar suara seseorang berseru, “Jupiter Jones! Maaf,
aku terlambat. Aku ingin minta bantuanmu.”
Seorang remaja bertubuh langsing dengan rambut dan mata berwarna hitam masuk
ke lapangan lewat pintu gerbang. Sikapnya berjalan sangat tegak, sehingga ia
kelihatan lebih tinggi dari yang sebenarnya. Ia memakai celana jeans sempit yang
sudah tidak baru lagi, serta kemeja putih longgar yang dihiasi dengan sulaman
berwarna-warni. Sepatunya berlaras sampai ke sisi bawah betis. Sepatu seperti itu
biasa dipakai penunggang kuda. Bahasa Inggrisnya mulus dan tanpa logat tertentu.
Tapi tingkah lakunya yang serba resmi menunjukkan bahwa Ia berdarah Spanyol,
dan keluarganya masih memegang teguh adat kebiasaan mereka yang lama.
“Bantuan apa, Diego?” tanya Jupiter.
Skinny tertawa mengejek.
“He, kau sekarang bersahabat dengan pendatang gelap rupanya, Gendut!” serunya.
“Cocok! Kenapa tidak kaubantu dia, pulang ke Meksiko? Ayolah, kami semua
pasti akan berterima kasih.”
Diego Alvaro berpaling dengan cepat. Gerakannya begitu gesit, sehingga sebelum
Skinny berhenti tertawa tahu-tahu Diego sudah berdiri di hadapan remaja kurus itu.
“Kau harus minta maaf atas ucapanmu itu,” kata Diego.
Ia berdiri dengan sikap tegar di depan Skinny yang sekepala lebih tinggi, lebih tua,
dan juga lebih berat badannya. Diego menatap remaja itu dengan sikap gagah,
segagah bangsawan Spanyol.
“Persetan!” tukas Skinny. “Aku tidak sudi minta maaf pada kunyuk Meksiko."
Tahu-tahu Diego menampar muka Skinny yang masih cengar-cengir.
“Eh, berani—!”
Diego jatuh ke tanah, dipukul oleh Skinny. Dengan cepat anak yang lebih kecil itu
berdiri lagi, sambil mengayunkan tinju untuk memukul lawannya. Tapi sekali lagi
Ia terjerembab, dipukul Skinny. Hal itu terjadi berulang-kali. Skinny sudah tidak
cengar-cengir lagi. Didorongnya Diego menjauh, ke arah jalan, sambil memandang
berkeliling seolah-olah minta agar ada yang melerai perkelahian yang tidak
seimbang itu.
“He, suruh setan kecil ini—”
Pete dan Jupiter bergerak menghampiri kedua remaja yang sedang berkelahi itu.
Koboi yang selama itu duduk di atas spatbor tertawa, lalu meloncat turun.
“Sudahlah, Alvaro,” katanya. “Nanti kau cedera."
“JANGAN!”
Semua terkejut mendengar seruan itu. Tahu-tahu muncul seorang pria, yang mirip
dengan Diego. Meski lebih tua dan lebih tinggi, tapi perawakannya serupa. Samasama
langsing tapi tegap, dan rambut serta matanya pun berwarna hitam. Pria itu
juga memakai jeans yang sudah pudar, sepatu berlaras agak tinggi yang sudah
tidak baru lagi, serta kemeja hitam yang juga sudah tidak baru, dengan sulaman
benang merah dan kuning. Kepalanya ditudungi sombrero berwama bitam. Topi
Meksiko bertudung lebar dan melengkung tepinya ke atas itu dihiasi simpai yang
terbuat dan bulatan-bulatan perak yang dirangkai sambung-menyambung.
Wajahnya angkuh, sedang matanya menatap dengan sinar tajam dan dingin.
"Tidak ada yang boleh ikut campur,” bentak pria yang baru datang itu. “Biarkan
keduanya menyelesaikan urusan mereka sendiri.”
Koboi yang tadinya sudah melerai mengangkat bahu, lalu menyandar ke mobil.
Jupe dan kedua sahabatnya juga tidak berani berbuat apa-apa, karena segan
menghadapi kegalakan pria yang baru datang. Skinny memandang ke arah mereka
semua dengan marah, lalu berpaling untuk menghadapi Diego yang berdiri di
tengah jalan. Remaja yang lebih kecil tubuhnya itu melangkah maju, siap untuk
menghadapi lawannya.
“Oke! Sekarang kau akan tahu rasa!” sergah Skinny sambil turun dan trotoar.
Kedua remaja itu bergulat di tempat sempit antara ranch wagon dan mobil yang
diparkir di sebelahnya. Tiba-tiba Skinny meloncat ke belakang. Maksudnya hendak
mengambil ancang-ancang, untuk melontarkan pukulan yang akan menghabisi
Diego.
“Awas!” seru Bob dan Pete serempak.
Loncatan Skinny ke belakang menyebabkan Ia tepat berada pada arah yang dituju
sebuah mobil yang saat itu datang. Karena perhatiannya terarah pada Diego,
Skinny tidak melihat bahaya itu.
Terdengar bunyi rem mendecit-decit. Tapi mobil yang datang itu takkan mungkin
bisa berhenti pada waktunya.
Diego bereaksi secepat kilat. Ia melompat ke arah Skinny dan menubruk remaja
kurus itu dengan bahunya, untuk menyingkirkan dari arah gerak mobil. Mereka
jatuh berguling-guling di jalan, sementara mobil lewat dengan gerakan oleng, dan
akhirnya berhenti dengan mengejut lima meter lebih jauh!
Diego dan Skinny terkapar di jalan. Yang lain- lain bergegas menghampiri dengan
perasaan kecut.
Saat itu Diego bergerak, lalu berdiri dengan lambat-lambat, sambil tersenyum. Ia
tidak cedera! Skinny tennyata juga tidak apa-apa. Ia selamat, berkat tindakan
Diego yang mendorongnya menepi.
Sambil nyengir gembira, Bob dan Pete menepuk-nepuk punggung Diego,
sementara pengemudi mobil yang nyaris menubruk tadi bergegas mendatangi.
“Untung reaksimu cepat, Nak!” kata orang itu. “Kau tidak cedera?"
Diego menggeleng. Orang itu mengucapkan terima kasih, lalu pergi lagi setelah
menanyakan keadaan Skinny. Remaja itu masih terkapar di aspal. Nampak jelas
bahwa ia sangat kaget. Mukanya pucat-pasi.
“Mujur! Benar-benar mujur!" gumam pria yang berpakaian koboi, sambil
membantu Skinny berdiri.
“Ia... ia menyelamatkan nyawaku,” kata Skinny.
“Betul!” kata Pete. “kau harus berterima kasih padanya!”
Skinny mengangguk. Walau nampak jelas bahwa ia sebetulnya enggan. "Terima
kasih, Alvaro.”
"Cuma begitu saja?" tanya Diego.
“Apa?" Skinny tercengang.
“Aku belum mendengar kau minta maaf,” kata Diego dengan tegas.
Skinny hanya bisa melongo saja.
“Kau harus menarik kembali kata-katamu yang tadi,” kata Diego mantap.
Skinny nampak merasa tidak enak.
“Jika itu begitu penting bagimu, baiklah, kutarik kembali kata-kataku itu. Aku...”
“Itu sudah cukup,” ujar Diego. Ia berbalik, lalu pergi.
“He, sebentar—” Skinny tidak meneruskan kalimatnya, karena melihat Bob, Pete,
dan Jupiter memandangnya sambil nyengir. Mukanya yang kurus merah lagi, tapi
sekali ini karena marah. Dengan langkah buru-buru Ia pergi ke mobilnya.
"Cody!" serunya memanggil pria yang berpakaian koboi. “Kita pergi!”
Koboi itu memandang Diego dan pria galak yang tadi tahu-tahu muncul, dan kini
tegak di sisi remaja itu.
“Kalian berdua mencari penyakit,” kata oräng yang bernama Cody itu, lalu
menyusul Skinny masuk ke ranch wagon. Mobil itu melesat pergi, meninggalkan
tempat itu.
Bab 2
HARGA DIRI KELUARGA ALVARO
KATA-KATA Cody yang mengandung ancaman masih terngiang dalam telinga
ketiga anggota Trio Detektif. Mereka melihat Diego memperhatikan mobil yang
pergi itu dengan wajah kecut.
“Ah, kenapa aku tadi sok menjaga harga diri,” keluhnya. “Sekarang hancurlah
kita!”
“Tidak, Diego!” tukas pria yang berdiri di sisinya. “Sikapmu tadi tepat. Bagi
seorang Alvaro, harga diri dan kehormatan selalu lebih penting daripada yang lainlainnya."
Diego memandang ketiga anggota Trio Detektif.
"Ini abangku, Pico. Ia kepala keluarga kami. Dan ini teman-temanku, Jupiter Jones,
Pete Crenshaw, dan Bob Andrews.”
Pico Alvaro menanggapi perkenalan itu dengan sikap serius dan resmi, dengan
membungkukkan badan. Umurnya tidak lebih dari dua puluh lima tahun. Tapi
penampilannya seperti bangsawan Spanyol dan zaman dulu, walau saat itu Ia
berpakaian lusuh.
“Senores. Kesediaan kalian untuk datang, merupakan kehormatan bagi kami.”
“De nada,” jawab Jupiter berbasa-basi, sambil membungkukkan badan pula
sebagai penghormatan.
“Ah kau bisa berbahasa Spanyol, Jupiter?” Pico. tersenyum.
“Secara pasif, ya,” jawab Jupiter agak malu, “tapi kalau bicara, cuma sedikitsedikit
saja. Tidak sebaik kalian berbahasa Inggris.”
“Kau tidak perlu bicara dalam dua bahasa,” kata Pico dengan sopan. “Kami bangga
akan asal-usul kami, dan karena itu kami masih selalu memakai bahasa Spanyol.
Tapi kami ini orang Amerika, seperti kalian juga. Jadi Inggris juga merupakan
bahasa kami.”
Sebelum Jupiter sempat menjawab, Pete sudah mendului.
“Apa maksud orang yang bernama Cody tadi, ketika Ia mengatakan bahwa kalian
berdua mencari penyakit?"
“Itu hanya asal bicara saja,” tukas Pico. “Tidak berarti apa-apa!"
“Belum tentu, Pico,” kata Diego dengan nada agak cemas. "Mr. Norris... "
“Jangan kaubebani orang lain dengan urusan kita, Diego.”
”Kalian dalam kesulitan?” tanya Jupiter. “Dengan Cody dan Skinny Norris?”
“Soal sepele,” kata Pico.
“Mencuri ranch kita bukan soal sepele!" tukas Diego.
“Tanah pertanian kalian?” Bob dan Pete melongo. "Bagaimana... "
“Tenang dulu, Diego,” ujar Pico. “Kita tidak boleh cepat menuduh orang mencuri.”
“Apa sebetulnya yang terjadi?” tanya Jupiter. Pico merenung sebentar, sebelum
menjawab. “Beberapa bulan yang lalu, Mr. Norris membeli pertanian di sebelah
ranch kami. Ia berniat membeli rancho-rancho lainnya yang berdekatan, lalu
digabungkan menjadi sebuah ranch yang besar. Kurasa sebagai penanaman modal.
Ia ingin membeli rancho kami. Tapi itu satu-satunya milik kami. Walau Ia
menawarkan harga yang tinggi, kami tidak mau menjual. Mr. Norris marah sekali."
“Marahnya seperti kuda jantan. yang dijerat,” kata Diego sambil nyengir.
“Soalnya, di pertanian kami ada bendungan dan waduk, di Santa Inez Creek,
sebuah sungai kecil,” kata Pico melanjutkan penjelasannya. “Mr. Norris
memerlukan air itu, untuk mengairi tanah pertaniannya yang luas. Ketika kami
menolak, ia menaikkan penawarannya. Lalu ketika kami tetap menolak, Ia lantas
berusaha membuktikan bahwa hak kami atas tanah itu berdasarkan pemberian pada
zaman orang Spanyol masih menguasai daerah California, sebenarnya tidak sah.
Tapi Ia tidak berhasil. Tanah itu memang milik kami yang sah.”
“Ia bahkan menyuruh Cody melapor pada sheriff rancho kami berbahaya jika
terjadi kebakaran, karena pekerja kami tidak mencukupi,”tukas Diego.
"Cody itu siapa sebenarnya?" tanya Bob.
"Tangan kanan Mr. Norris, yang mengelola ranch-nya,” kata Pico. “Norris sendiri
tidak tahu apa-apa tentang pertanian, karena dia kan usahawan."
“Tapi sheriff tidak mau begitu saja percaya bahwa rancho kalian tidak aman dan
bahaya kebakaran?" kata Pete. “Jadi hak kalian terhadapnya tidak bisa diutikutik?"
Pico mendesah.
"Kami bisa menutupi kebutuhan sendiri, tapi uang yang masuk sedikit sekall,”
katanya. “Sebagai akibatnya, kami terpaksa menunggak pembayaran pajak. Itu
berhasil diketahui oleh Mr. Norris. Ia lantas berusaha agar pemerintah daerah
menyita tanah kami, agar kernudian Ia bisa membelinya dari pemerintah. Kami
harus lekas-lekas melunasi pajak kami yang terutang, jadi...”
“Anda menghipotekkan rancho Anda pada bank,” kata Jupiter menebak.
“Hipotek?" tanya Pete dengan kening berkerut. "Apa itu, Jupe?”
“Pinjaman uang dengan jaminan rumah atau tanah, atau kedua-duanya,” kata
Jupiter menjelaskan. “Jika pinjaman kemudian tidak bisa dilunasi, bank menyita
rumah atau tanah yang dijadikan jaminan."
“Maksudmu,” kata Pete, “pinjaman pada bank itu untuk membayar pajak agar
ranch tidak disita oleh pemerintah daerah, tapi pinjaman harus dilunasi agar bank
tidak sampai menyita ranch itu? Itu kan namanya lepas dari mulut harimau, jatuh
ke mulut buaya!”
“Tidak,” kata Jupiter. “Pajak harus dilunasi sekaligus, sedang pinjaman bisa dicicil
sedikit sedikit . Pembayaran kembali pinjaman lebih banyak dan jumlah semula,
karena pinjaman ada bunganya. Tapi dengannya bisa ada kelonggaran waktu, dan
pembayaran cicilan yang sedikit-sedikit juga tidak begitu berat.”
“Tapi,” kata Pico bernadá marah, “orang Amerika keturunan Meksiko di California
yang memiliki tanah tapi tidak punya uang, jarang bisa memperoleh pinjaman dari
bank. kami mendapat pinjaman dari seorang tetangga yang juga kenalan lama
kami, Emiliano Paz, untuk membayar tunggakan pajak kami. Tapi sekarang kami
tidak bisa membayar kembali pinjaman itu. Karena itulah kau kami hubungi,
Jupiter.’
“Kenapa aku?"
"Selama aku masih hidup, takkan ada lagi tanah milik Alvaro yang kami jual,” kata
Pico dengan sengit. “Tapi dari sekian keturunan keluarga Alvaro, banyak sekali
terkumpul barang-barang seperti perabot rumah tangga, karya-karya seni, bukubuku,
pakaian, perkakas, dan macam- macam lagi. Tidak enak rasanya harus
melepaskan barang-barang yang merupakan bagian dari sejarah keluarga. Tapi
utang harus kami bayar dan kini waktunya untuk melepaskan apa saja yang bisa
kami jual. Kudengar pamanmu, Titus Jones, mau membeli barang-barang seperti
itu dengan harga pantas."
“Bukan mau lagi!” kata Pete bersemangat “Dan semakin kuno barangnya, semakin
gembira dia!
"Ya, kurasa Paman Titus pasti senang,” ujar Jupiter. “Yuk, kita ke sana!”
Jupiter tinggal di daerah pinggir kota Rocky Beach bersama paman dan bibinya,
Paman Titus dan Bibi Mathilda, karena orang tuanya sudah meninggal dunia. Di
seberang rumah mereka yang kecil terdapat perusahaan Paman Titus dan Bibi
Mathilda, sebuah pangkalan tempat berjual beli barang bekas, yaltu The Jones
Salvage Yard. Pangkalan yang hebat itu terkenal di seluruh kawasan pesisir
California Selatan. Bukan barang barang bekas yang biasa saja yang ada di situ
seperti misalnya pipa-pipa dan balok-balok tua, perabot murah, serta berbagai
peralatan yang sudah pernah dipakai, tapi juga bermacam-macam barang menarik
yang dikumpulkan oleh Paman Titus: papan-papan berukir, perlengkap kamar
mandi model kuno dan marmer, terali hias yang dibuat dari besi tempa.
Urusan menjalankan perusahaan sehari-hari diserahkan Paman Titus pada istrinya.
Ia sendiri lebih berminat mencari-cari barang yang bisa dijual lagi. Segala jenis
pelelangan pasti dihadirinya. Dan tidak ada yang lebih disukainyà selain mendapat
peluang untuk membeli barang kuno yang merupakan warisan keluarga. Dan
seperti sudah diduga oleh Jupiter, pamannya itu langsung bersemangat begitu
mendengar tawaran kedua Alvaro bersaudara.
"Tunggu apa lagi kita?" katanya dengan mata bersinar-sinar.
Beberapa menit kemudian truk perusahaan sudah menuju ke utarä, ke tempat tanah
pertanian keluarga Alvaro yang terletak di pedalaman, dibalik bukit-bukit
pegunungan yang berderet-deret panjang pesisir barat. Kendaraan itu dikemudikan
oleh Hans, satu dari kedua pemuda Jerman bertubuh besar yang bekerja di
pangkalan. Paman Titus duduk di sisinya, berdampingan dengan Diego. Jupe, Pete,
Bob, dan juga Pico, duduk di bak belakang yang terbuka. Matahari masih bersinar
sore itu, tapi awan gelap nampak mulai bergumpal di atas bukit-bukit.
"Kalau melihat awan gelap itu, kemungkinannya akan ada hujan atau tidak?” tanya
Bob. Hujan sudah tidak pernah turun lagi sejak bulan Mei. Jadi sudah enam bulan!
Tapi hujan musim dingin bisa saja turun sewaktu-waktu.
Pico mengangkat bahu.
"Mungkin saja," katanya. "Itu bukan awan gelap pertama yang nampak selama
musim gugur sekarang ini. Tidak lama lagi kami akan memerlukan hujan. Rancho
kami masih mujur, karena memiliki waduk. Tapi persediaan di situ harus diisi
kembali setiap tahun. Saat ini permukaan air sudah rendah sekali."
Pico berpaling, memandang tanah gersang kecoklatan yang di sana-sini ditumbuhi
pohon ek, yang daunnya berwama hijau kusam.
.“Dulu,” katanya, “seluruh daerah ini pernah merupakan milik keluarga Alvaro. Ke
utara dan ke selatan sepanjang pesisir, dan sampai jauh di balik pegunungan. Lebih
dari delapan ribu hektar."
“Alvaro Hacienda.” Bob mengangguk. “Kami mendengarnya dalam pelajaran
sejarah di sekolah. Tanah yang dihadiahkan oleh Raja Spanyol.”
“Ya, betul,” kata Pico. “keluarga kami sudah lama ada di kawasan Benua Baru ini.
Juan Cabrillo, orang Eropa pertama yang menemukan California pada tahun 1542,
menyatakan daerah ini menjadi milik Spanyol. Tapi Carlos Alvaro sudah ada di
Amerika sebelum waktu itu! Ia ikut sebagai prajurit dalam pasukan Hernando
Cones, yang mengalahkan Kerajaan Aztek dan menaklukkan kawasan Meksiko
bagian selatan pada tahun 1521.”
“Wah, itu seabad sebelum orang-orang Eropa pertama dan Inggris yang pindah
untuk memulai kehidupan baru di benua ini mendarat di Plymouth Rock!” kata
Pete kagum.
“Lalu, kapan keluarga Alvaro mulai menetap di California?” tanya Jupiter.
“Itu baru kemudian,” jawab Pico. “Lebih dari dua abad setelah California
ditemukan oleh Cabrillo, barulah orang Spanyol datang untuk bermukim di sini.
California jauh sekali dari ibukota Spanyol Baru, yang sekarang menjadi Mexico
City. Daerah yang terbentang di antaranya sangat sulit medannya, ditambah lagi
adanya bahaya yang menghadang, yaltu orang-orang Indian yang galak-galak.
Pada mulanya, orang Spanyol hanya bisa dengan perahu saja datang ke California."
“Dan mereka bahkan mulanya menyangka bahwa California ini merupakan suatu
pulau, kan?” kata Jupiter.
Pico mengangguk.
“Betul, memang begitulah sangkaan mereka selama beberapa waktu. Kemudian,
pada tahun 1769, Kapten Gaspar de Portola memimpin sebuah ekspedisi ke utara,
yang kemudian sampai di daerah yang kini menjadi kota San Diego, lewat jalan
darat. Moyangku, Letnan Rodrigo Alvaro ikut dalam ekspedisi itu. Alvaro
meneruskan perjalanan, menemukan teluk yang kini bernama Teluk San Francisco,
dan akhirnya membuat pemukiman di Monterey. Itu pada tahun 1770. Dalam
perjalanan ke utara itu, moyangku Rodrigo melihat daerah yang kini menjadi
Rocky Beach, dan ia kemudian memutuskan untuk menetap di sini. Ia mengajukan
permohonan untuk meminta tanah pada Gubernur Propinsi California pada waktu
Itu. Permohonannya diluluskan, dan pada tahun 1784. Ia dianugerahi sebidang
tanah yang luas.”
“Kusangka tanah itu anugerah Raja Spanyol,” kata Pete.
Pico mengangguk.
“Itu betul, secara tidak langsung!.Seluruh tanah jajahan di Spanyol Baru, resminya
memang milik raja. Tapi para gubernur Meksiko dan California berhak
menganugerahkan tanah atas namanya. Rodrigo menerima lebih dari delapan ribu
hektar. Tapi dari tanah seluas itu, yang masih merupakan milik kami sekarang
tinggal sekitar 40 hektar saja”
“Kenapa sampai bisa begitu?" tanya Bob.
“Hm?” Pico tidak langsung menjawab. Ia memandang tanah luas yang terbentang
di sisi jalan yang sedang dilewati. "Mungkin itulah yang namanya keadilan! Kami,
orang Spanyol, merebut tanah ini dari orang Indian, lalu kemudian orang lain
merebutnya dari kami. Keturunan Alvaro banyak, dan tanah dibagi-bagi di antara
mereka. Ada sebagian yang dijual, dan ada pula yang dihadiahkan pada orang lain.
Lalu ada pula yang direbut secara licik oleh musuh-musuh serta pejabat-pejabat
kolonial. Tapi kesemuanya itu tidak diributkan, karena tanah yang ada begitu luas.
“Setelah kawasan California menjadi bagian dari wilayah Amerika Serikat pada
tahun 1848, luas tanah kembali menyusut karena perselisihan-perselisihan
mengenai pemilikan, serta penjualan yang terpaksa dilakukan untuk melunasi
pajak. Lambat-laun rancho kami menjadi kecil sekali, sehingga tidak bisa memberi
keuntungan lagi. Tapi warisan yang berasal dari zaman kekuasaan Spanyol di
Meksiko tetap merupakan kebanggaan keluarga kami. Nama depanku misalnya, itu
berasal dari Pio Pico, Gubernur Meksiko yang terakhir di California. Dan sebuah
patung Cortes, tokoh penakluk itu, sampai sekarang masih tegak di tanah kami!
Kami, keluarga Alvaro, harus terus menjalankan usaha sebagai ranchero, sebagai
petani.”
"Tapi kini Mr. Norris ingin memiliki tanah kalian yang masih tersisa itu!” kata
Pete.
“Ia takkan bisa memperolehnya,” kata Pico dengan mantap. “Tanah kami tidák
subur, dan luasnya tidak lagi mencukupi untuk memelihara ternak sapi. Tapi kami
beternak kuda beberapa ekor, serta bercocok tanam buah alpukat dan kebun
sayuran. Ayah dan pamanku dulu sering harus bekerja di kota untuk memperoleh
uang yang diperlukan guna meneruskan usaha pertanian kami. Kini, setelah
keduanya tidak ada lagi, aku dan Diego sudah bertekad, jika perlu akan berbuat
seperti mereka.”
Selama itu truk yang membawa mereka terus meluncur ke anah utara, melewati
daerah berbukit-bukit. Akhirnya mereka sampai di suatu dataran yang luas. Jalan
yang dilewati melengkung ke kiri, menuju arah barat. Di tengah-tengah bagian
yang melengkung itu ada sebuah jalan tanah yang menyimpang ke kanan.
Pico menuding ke arah jalan itu.
“Kalau hendak ke Norris Ranch, ke pertanian milik Mr. Norris, harus lewat jalan
itu..”
Bangunan-bangunan pertanian itu nampak di kejauhan. Tapi Jupiter dan kedua
sahabatnya tidak bisa mengenali, apakah ada kendaraan bermotor di sana. Mereka
bertanya-tanya dalam hati, apakah sementara itu Skinny dan Cody sudah kembali.
Pada ujung bagian jalan yang melengkung ke barat, terdapat sebuah jembatan kecil
yang terbentang di atas sungal yang tidak ada airnya.
“Inilah Santa Inez Creek — batas tanah milik, kami,” kata Pico. “Airnya baru ada
apabila hujan sudah turun nanti. Bendungannya terdapat di sebelah utara, sekitar
satu mil dari sini—di pangkal bukit-bukit rendah ini.”
Bukit-bukit itu terjal dan sempit, dan berakhir tidak jauh dari sungai kering, di sisi
kanannya. Bentuknya seperti jari-jari panjang yang menjulur dari pegunungan di
sebelah utara.
Pico menuding ke puncak bukit yang terakhir, ketika truk yang mereka naiki sudah
melewati tempat itu. Jupiter, Bob, dan Pete melihat sebuah patung besar yang
nampak gelap di depan latar belakang langit. Patung orang menunggang kuda yang
kedua kaki depannya terangkat. Salah satu lengan orang itu terangkat, seakan-akan
memberi aba-aba pada pasukan yang tidak nampak untuk bergerak maju.
"Cortes, Sang Penakluk,” kata Pico dengan nada bangga. “Lambang dari pahlawan
keluarga Alvaro. Patung itu dibuat orang Indian, hampir dua abad yang lampau."
Setelah melewati bukit rendah terakhir, tanah datar kembali. Jalan yang dilewati
menyeberangi sebuah jembatan lagi, yang terbentang di atas cekungan yang dalam.
"Itu juga sungai?" tanya Pete.
"Sayangnya bukan, cuma sebuah arroyo saja, jawab Pico. “kalau ada hujan lebat,
air tertampung di situ. Tapi tidak ada sumber di pegunungan yang mengalirinya,
seperti pada Santa Inez Creek.”
Kini truk membelok ke kanan, memasuki jalan tanah yang diapit pohon-pohon
alpukat. Beberapa saat kemudian membelok lagi ke kanan, ke sebuah pekarangan
yang luas dan kosong.
“Selamat datang di Hacienda Alvaro,” kata Pico.
Para anggota Trio Detektil berlompatan turun dari mobil. Mereka melihat sebuah
rumah petani yang panjang dan rendah, terbuat dari batu bata mentah. Jendelajendelanya
masuk ke dalam tembok tebal yang dikapur putih, sedang atapnya yang
landai bergenteng merah. Atap yang ditopang balok-balok dan tiang-tiang
berwarna coklat kehitaman menaungi beranda yang melebar sepanjang bagian
depan rumah. Beranda itu rata dengan tanah sekelilingnya, dan dialasi batu bata Di
sebelah kiri rumah terdapat sebuah bangunan batu bata bertingkat satu, tempat
menaruh kuda. Pekarangan di depannya dipagari, membentuk semacam kandang
terbuka. Pohon-pohon ek yang meliuk-liuk batangnya tumbuh di sekeliling
kandang dan bangunan itu. Dahan-dahannya menaungi hicienda. Segala-galanya
yang ada di situ kelihatan tua dan kusam.
Tidak jauh di belakang rumah petani, yang dalam bahasa Spanyol disebut
hacienda, nampak arroyo yang tadi dilewati dalam perjalanan. Dan di belakang
cekungan yang hanya berair pada waktu musim hujan itu nampak barisan bukit
yang rendah. Jupiter menunjukkan patung Cortes pada pamannya.
“Itu dijual?” tanya Paman Thus dengan cepat pada Pico.
“Tidak,” jawab Pico, “tapi masih banyak barang lain-lainnya di dalam gudang. Ia
menunjuk ke arah bangunan yang terdapat di belakang kandang terbuka.
Hans memundurkan truk ke kandang itu, sementara yang selebihnya bergegas
melintasi pekarangan yang berdebu, lalu masuk ke dalam gudang. Keadaan di
dalamnya remang-remang. Pico melemparkan topinya ke sangkutan, agar ia bisa
lebih leluasa menunjukkan barang-barang warisan keluarganya. Paman Titus
tercengang melihat apa saja yang ada di situ. Begitu pub halnya dengan ketiga
anggota Trio Detektif.
Separuh dari bangunan panjang itu berisi istal-istal kuda serta perlengkapan yang
biasa terdapat di pertanian. Tapi bagian yang separuh lagi dijadikan gudang.
Bermacam-macam barang ada di situ, ditumpuk-tumpuk sampai menyentuh langitlangit.
Meja, kursi, peti, meja tulis, koper besar dan kayu, lampu minyak, perkakas,
kain gorden, berbagai jenis mangkuk dan basi, kendi, ember, tong, bak, dan bahkan
sebuah kereta kuno beroda dua! Paman Titus melongo melihat kumpulan barang
berharga yang begitu berlimpah ruah.
“Dulu, banyak rumah yang dimiliki keluarga Alvaro,” kata Pico menjelaskan.
“Sekarang tinggal hacienda ini saja, tapi perlëngkapan yang berasal dari rumahrumah
yang lain itu semuanya ada di sini.
“kuborong semuanya, sekarang ini juga!” seru Paman Titus bersemangat.
“Lihat!” kata Bob. “Pakaian perang zaman dulu! ketopong dan pelat pelindung
dada!”
"Pedang-pedang, dan sebuah pelana dengan hiasan dan perak!” kata Pete
menimbrung.
Mereka mengacak-acak dengan asyik dalam gudang yang berisi benda-benda kuno
itu, sementara Paman Titus mulai mencatat. Tahu-tahu terdengar suara seseorang
berteriak di luar. Paman Titus menoleh. Kini dua orang yang berteriak-teriak.
Semua yang ada di dalam memasang telinga. Suara-suara tadi terdengar lagi, kali
ini lebih jelas.
“Api! Api!”
Api! Pasti ada kebakaran! Semua bergegas lari menuju pintu.
Bab 3
KEBAKARAN!
SEMENTARA mereka menghambur ke luar, tercium samar bau asap. Dua orang
pria berdiri di pekarangan, sambil berteriak-teriak dan menunjuk-nunjuk.
“Pico! Diego! Itu, di sana!”
“Di belakang bendungan!”
Pico langsung pucat mukanya. Nampak kepulan asap tebal menjulang naik ke
langit berawan, dan bukit-bukit gersang kecoklatan di sebelah utara. Dengan
segera semuanya menyadari maknanya. Itu tanda bahaya yang paling menakutkan
di kawasan ngarai California Selatan yang ditumbuhi semak belukar. Kebakaran
hutan!
“Kami sudah menelepon pemadam kebakaran dan pos penjaga hutan!” seru salah
seorang pria tadi. “Cepat, ambil sekop dan kapak!”
“Kita harus ke sana!” seru pria yang satu lagi. “Keluarkan kuda-kuda kalian!”
“Pakai saja truk kami!” teriak Jupiter.
“Baik!” kata Pico. “Peralatan sekop dan kapak ada di dalam gudang!”
Hans berlari untuk menghidupkan mesin truk, sementara yang lain-lain bergegas
mengambil peralatan dari dalam gudang. Diego dan Paman Titus meloncat masuk
ke kabin mobil, mengambil tempat di samping Hans, sedang yang selebihnya buruburu
naik ke bak belakang. Mereka berpegangan erat-erat ke sisi kendaraan itu,
yang melesat pergi meninggalkan tempat itu. Dengan napas masih memburu, Pico
memperkenalkan kedua pria yang tadi memberi tahu.
“Ini teman-teman kami, Leo Cuerra dan Porfirio Huerta. Sudah sejak beberapa
keturunan keluarga mereka bekerja di Hacienda Alvaro. Kini Leo dan Porfirlo
memiliki rumah sendiri, tidak jauh dari sini. Mereka bekerja di kota, tapi masih
suka membantu-bantu kami.”
Kedua pria bertubuh pendek dan berambut hitam legam itu mengangguk dengan
hormat, lalu memalingkan kepala kembali ke depan untuk memandang ke arah
kebakaran dengan wajah gelisah, sementara Hans mengémudikan truk di jalan
tanah yang sempit, melintasi tanah pertanian Alvaro. kecemasan terbayang di
wajah Leo dan Porfirio yang kering dan penuh kerut ditempa cuaca. Mereka
menggosok-gosokkan telapak tangan mereka ke kain celana jeans mereka yang
sudah lusuh dan penuh tambalan.
Truk meluncur terus menuju utara. Asap nampak semakin tebal. Matahari yang
sudah samar karena tertutup awan, nyaris tidak kelihatan lagi karenanya. Dan atas
truk yang mehntas dengan cepat, secara samar Jupe dan kedua sahabatnya masih
bisa mengenali kebun sayur yang luas dengan parit-parit pengairan, dan
segerombolan kuda di sebuah lapangan. Ternak itu berlari menuju ke selatan.
Jalan tanah yang dilalui mula-mula sejajar arahnya dengan arroyo serta bukit-bukit
rendah. Kemudian, ketika sudah sampai di pegunungan sebelah depan, jalan itu
bercabang. Nampak jelas bahwa kebakaran terjadi di salah satu tempat di sebelah
kanan. Hans membanting setir, dan truk membelok masuk ke cabang sebelab
kanan, menuju ke arah asap yang mengepul ke segala arah. Jalan yang dilalui
menukik masuk ke arroyo, dan tidak lama kemudian berakhir di kaki sebuah bukit
yang tinggi dan berbatu-batu. Bukit itu sendiri berakhir tidak jauh dari situ. Truk
berjalan terus, dan kemudian lewat dekat sebuah bendungan tua dari batu yang
terdapat di kanan jalan. Di sebelah bawah bendungan itu, dasar Santa lnez Creek
yang kering mengikuti garis kaki bukit di sebelah sana, melengkung ke arah
tenggara. Sedang di sebelah atas nampak waduk, yang saat itu hanya berupa kolam
sempit di kaki sebuah gunung yang tidak tinggi. Sementana truk terus melaju
mengitari kolam, nampak lidah api kebakaran di depan, menjilat-jilat dari balik
tirai asap yang tebal.
“Berhenti di sini!” seru Pico dari bak belakang.
Truk direm dan benhenti, tidak sampai seratus meter dari api yang menjalar maju.
Semuanya bergegas turun dari kendaraan itu.
“kita harus menyebar!” kata Pico menginstruksikan. “Gali parit membentuk
penghalang. Lemparkan tanah galian ke arah api. Mungkin kita bisa mendesak api
agar bergerak ke arah kolam. Cepat!”
Nyala api yang berkobar merambat dengan bentuk setengah lingkaran yang
melebar pada kedua sisi sungal kecil di sebelah atas waduk. Kelihatannya aneh dan
sekaligus menyeramkan. Jejak hitam tanah yang hangus merayap maju, dengan
kobaran api yang melonjak-lonjak serta kepulan asap menjulang tinggi diatasnya.
Tempat yang semula ditumbuhi belukar berwarna hijau kusam, detik berikutnya
sudah berubah menjadi tanah dan abu hitam.
“Untung saat ini tidak banyak angin!” seru Pete. “Ayo, kita harus buru-buru
menggali parit!”
Rombongan menyebar ke arah kiri sungai, menyongsong api yang merayap dengan
lambat, lalu mulai menebangi pohon-pohon yang kecil, merambah semak,
menggali parit yang dangkal, dan melemparkan tanah ke arah api.
“He, itu Skinny serta tangan kanan ayahnya, Cody!” seru Bob, sambil menuding ke
sebenang sungai.
Dua buah truk dan mobil ranch wagon dari pertanian Norris muncul di sana.
Skinny dan Cody meloncat dan kendaraan mereka, disertai banyak laki-laki lagi
yang membawa kapak dan sekop.
Dengan segera mereka mulai memerangi api di sebelah sana. Jupiter melihat
bahwa Mr. Norris juga ada di antara mereka. Ia berteriak-teriak memberi petunjuk,
sambil sibuk menunjuk-nunjuk.
Kedua rombongan di kédua sisi sungai, yang nyaris tidak bisa saling melihat
karena tertutup asap dan kobaran api, sibuk sendiri-sendiri berusaha menangkis
api. Rasanya sudah berjam-jam lamanya mereka bekerja. Tapi melihat letak
matahari yang sekali-sekali nampak di balik asap dan awan yang semakin menebal,
ternyata bahwa paling-paling baru setengah jam waktu berlalu, ketika segenap
barisan pemadam kebakaran dari wilayah itu berdatangan.
Para petugas dinas kehutanan muncul dengan tangki-tangki berisi bahan kimia
serta buldoser. Para pembantu sheriff menggabungkan diri dengan para pekerja
dari pertanian Norris. Mobil-mobil pemadam kebakaran dari segenap lingkungan
Rocky Beach dan sekitarnya bermunculan dengan bunyi menderu-deru di kedua
sisi sungai, menerobos semak belukar kering. Mobil-mobil penyedot air bergerak
mundur mendekati waduk serta sungai, dan dengan segera semburan air yang
memancar dengan kuat sudah diarahkan ke api.
Truk-truk yang ada di kedua sisi sungai dikerahkan untuk mengangkut tenaga
sukarelawan yang sudah siap. Hans berangkat dengan truk perusahaan Paman
Titus. Di seberang sungai, kendaRraan-kendaraan dan pertanian Norris melaju ke
selatan.
Helikopter-kelikopter dan pesawat-pesawat pembom peninggalan masa Perang
Dunia II melayang rendah di atas api dan asap, lalu menjatuhkan air bertangkitangki
serta bahan-bahan kimia pemadam api. Beberapa di antara pesawat-pesawat
itu beraksi di atas lokasi-lokasi kebakaran di balik gunung, dan ada pula yang
terbang rendah tepat di atas orang-orang yang sedang berusaha memadamkan api
di tepi sungai. Air yang dihamburkan dan atas menyebabkan mereka basah kuyup.
Sudah sejam usaha pemadaman berlangsung, tapi api masih terus saja menjalar.
Orang-orang beraksi sambil bergerak mundur, agar tidak mengalami cedera karena
pengaruh asap. Tapi tidak adanya angin, ditambah reaksi yang cepat oleh orangorang
dan pertanian Alvaro dan Norris, ternyata membawa hasil juga akhirnya.
Walau api masih terus berkobar dan segenap lingkungan sudah penuh dehgan asap,
tapi kebakaran sudah tidak menjalar lebih jauh. Seakan-akan pasukan tentara yang
tidak bisa maju karena dihadang musuh.
Tapi selama api belum padam, bahaya masih terus mengancam! Truk-truk masih
terus mondar-mandir antara lokasi kebakaran dan jalan daerah yang lumayan jauh
letaknya, mengangkuti lebih banyak lagi tenaga sukarelawan.
“Jangan berhenti!" teriak para kapten barisan pemadam kebakaran dengan tegang.
“Api masih tetap bisa berkobar lagi setiap saat!”
Sepuluh menit kemudian Jupiter menegakkan tubuhnya, untuk mengusap mukanya
yang penuh keringat. Saat itu Ia merasa ada sesuatu yang basah mengenai pipinya.
"Hujan!” serunya. "Pico! Paman Titus! Hujan turun!”
Butir-butir air yang besar-besar mulai berjatuhan dengan lambat. Barisan panjang
orang-orang yang selama itu sibuk memerangi api langsung berhenti bekerja, lalu
mendongak. Saat itu langit seolah-olah terbelah, dan guyuran air dari atas
membasahi wajah-wajah mereka yang hitam karena asap. Orang-orang bersorak
gembira, ditimpali desisan api. Uap air mulai mengepul.
“Hujan!” seru Bob dengan gembira. Wajahnya yang coreng-moreng ditengadahkan
ke arah air yang membanjir dari langit. Sekali-kali terdengar dentaman bunyi
guntur.
Di mana-mana ada asap mengambang, dan di sana-sini masih ada nyala menjilati
lereng yang hangus. Tapi bahaya sudah berlalu. Para sukarelawan berkemas-kemas
lalu pergi, sementara barisan pemadam kebakaran dan para petugas dinas
kehutanan sibuk membereskan sisa-sisa kebakaran.
Rombongan dari pertanian Alvaro berkumpul di jalan tanah dekat waduk.
Semuanya basah kuyup, letih, dan wajah-wajah mereka kotor kena asap dan jelaga.
Hans masih belum kembali dari kepergiannya yang terakhir dengan truk
perusahaan. Hujan saat itu mulai berkurang lebatnya, berubah menjadi gerimis
yang merata. Langit sore mulai nampak agak cerah.
“Yuk, kita berjalan kaki saja pulang,” kata Pico. “Jarak rumah dari sini tidak
sampai satu mil, dan badan kita bisa menjadi hangat kembali karenanya.”
Dengan tubuh letih dan basah, tapi dengan perasaan bahagia, Jupe beserta kedua
sahabatnya berjalan kembali ke pertanian Alvaro, bersama yang lain-lainnya. Jalan
tanah yang sempit dan becek berlumpur karena hujan, saat itu penuh dengan truktruk
serta rombongan sukarelawan. Semuanya bergerak dengan lamban, menuju
selatan. Di depan menjulang punggung bukit yang memisahkan Santa Inez Creek
dan arroyo yang kering.
Pete memperhatikan jalan becek yang penuh dengan orang dan kendaraan, lalu
mengajak rombongannya menyimpang ke arah kiri.
“Ada jalan lain untuk kembali ke hacienda, yang lebih cepat” katanya menjelaskan
pada anak-anak dan Paman Titus. “Lewat situ kita tidak perlu bersesak-sesak.”
Setelah mengitari bendungan, rombongan itu tiba di sebuah bukit rendah di dasar
bukit yang tinggi. Bukit rendah yang ditumbuhi semak itulah yang menghalangi
arroyo pada sisi barat bukit yang tinggi. Sebuah jalan setapak yang tidak nampak
jelas menuju ke dasar sungai kecll, sekitar sepuluh meter di bawah bendungan.
Sebelum menuruni jalan itu, semua berpaling sebentar. Hanya kehitaman tanah dan
belukar hangus saja yang nampak di daerah perbukitan di kiri-kanan sungai.
“Tanah gundul dan hangus seperti itu takkan bisa menampung air,” kata Leo
Guerra dengan wajah suram. “Kalau hujan turun terus, pasti nanti akan terjadi
banjir.”
Dengan perasaan kecut, rombongan itu menuruni bukit, lalu menyusuri tepi sungai
kecil yang kini nampak becek berlumpur. Di tepi seberang terdapat jalan tanah
yang melintasi Norris Ranch. Jalan itu pun penuh dengan kendaraan berisi
rombongan pemadam kebakaran yang bergerak menuju jalan daerah. Anak-anak
melihat ranch wagon Norris Ranch bergerak lewat dengan pelan. Skinny duduk di
belakang dengan beberapa orang lagi. Ia melihat anak-anak yang sedang berjalan
di dasar sungai sebelah seberang. Tapi Ia tidak berbuat apa-apa. Rupanya Ia juga
sudah sangat capek.
“Apakah tanah di seberang sana itu sudah termasuk pertanian Norris?” tanya Bob.
Pico mengangguk
“Sampai sedikit sebelum bendungan, Santa Inez Creek ini merupakan batas tanah
kami dengan jalan daerah. Kemudian batasnya mengarah ke timur laut, sampai ke
pegunungan. Bendungan dan sungai di atasnya termasuk lingkungan tanah kami.”
Bukit berbatu-batu di sisi kanan rombongan yang sedang berjalan pulang itu kini
sudah rendah. Di belakangnya nampak sederetan punggung bukit yang mengarah
ke selatan. Pico mengajak mereka meninggalkan dasar sungai, lalu mengikuti jalan
setapak berumput yang melintasi punggung-punggung bukit yang nampak itu.
Rombongan berjalan berderet satu-satu, sambil menikmati pemandangan tanah
yang selamat dari amukan api. Semak rendah tumbuh jarang, di sela-sela bebatuan
coklat. Asap masih mengambang di mana-mana, tapi hujan sudah hampir berhenti.
Matahari masih muncul sejenak di sela-sela awan, lalu terbenam.
Pete rupanya masih mempunyai cadangan tenaga, sementara Jupiter tidak suka
bersantai-santai jika sedang ada urusan. Dengan segera kedua remaja itu sudah
berjalan pada posisi paling depan. Ketika sampai di jalan yang mendaki lereng
bukit terakhir, mereka sudah sekitar dua puluh meter di depan yang lain-lainnya.
“Jupe!” seru Pete dengan tiba-tiba. Ia menuding ke depan.
Di punggung bukit jauh di atas mereka, di balik asap yang mengambang, nampak
seseorang menunggang kuda besar berwarna hitam. Di tengah keremangan senja,
Jupe dan Pete memandang kuda yang kedua kaki depannya terangkat dengan
kepala...
“K-kuda—” kate Jupiter tergagap, “—kuda itu t-tidak punya k-kepala!”
Kuda yang nampak di punggung bukit itu memang tidak berkepala!
“Lari!” teriak Pete.
Bab 4
KUDA TANPA KEPALA
KUDA itu seakan-akan hendak menerjang ke arah mereka, menembus asap!
Sementara Pete dan Jupiter sudah berpaling hendak lari. Bob dan Diego berlari-lari
menyongsong mereka. Lebih jauh ke belakang, Paman Titus, Pico, Leo Guerra,
dan Porfirio Huerta bergegas menyusuri jalan setapak.
“Kuda itu tidak berkepala!" seru Pete panik. “Lari! Ada hantu!”
Bob berhenti berjalan. Ia mendongak, memandang kuda hitam serta
penunggangnya yang nampak di balik asap. Matanya melebar.
“Jupe, Pete, itu kan cuma—” katanya.
Diego terbahak-bahak.
“Itu kan patung Cortes, Teman—teman!” katanya dengan geli. “karena asap,
kelihatannya seperti sedang bergerak!”
“Tidak mungkin!” seru Pete. “kuda pada patung kalian kan ada kepalanya!”
“Kepala?" Diego terkejut. “He, kepala kudanya tidak ada! Ada yang merusak
patung kami! Pico!”
“Aku juga sudah mellhatnya,” kata Pico, yang saat itu tiba bersama rombongan
selebihnya. “kita periksa saja!"
Beramai-ramai mereka naik ke atas bukit yang terseluburig asap itu, mendatangi
patung yang terbuat dari kayu. Badan kuda serta penunggangnya dipahat secara
kasar dan kayu gelondongan, sementara tungkai, lengan, pedang, serta pelana
dibuat sendiri-sendiri lalu disambungkan ke bagian tubuh. Kudanya dicat hitam,
dengan tambahan warna merah dan kuning.Itu warna-warna lambang Kastilia,
kerajaan Spanyol zaman dulu. Bagian punggung kuda di bawah pelana diberi
warna-warna, untuk menunjukkan bahwa di situ ada selubung penghias.
Penunggangnya juga dicat hitam keseluruhannya, kecuali jenggot yang diberi
warna kuning, mata biru, serta hiasan warna merah pada pakaian perangnya.
kesemua warna itu sudah pudar.
“Dulu patung ini setiap kali diberi lapisan cat baru,” kata Diego menjelaskan, “tapi
sementara ini sudah cukup lama juga kami tidak sempat merawatnya. kurasa
kayunya kini pasti sudah lapuk."
Kepala patung kuda itu, tergeletak di tengah rumput di dekat kakinya. Mulutnya
yang terbuka dicat merah, juga sudah pudar. Pico menuding sebuah bejana berat
dari logam yang terletak di dekat situ.
“Tempat bahan kimia pemadam api itulah yang menyebabkan kepalanya terpental.
Rupanya terjatuh dari pesawat terbang atau helikopter sewaktu melintas di atas
patung ini.”
Pete berjongkok, untuk mengamat-amati kepala yang terlepas itu. Potongan
kayunya panjang, dan merupakan sebagian besar dari leher pula. Bekas patahannya
mulus. kepala maupun leher berongga sebelah dalamnya. Kelihatannya pembuat
patung itu hendak mengurangi bobot kayu, sebelum memasangkannya ke tubuh
kuda:
Nampak sesuatu menonjol sedikit dari ujung bagian leher. Pete merogoh ke dalam,
lalu menarik benda itu ke luar.
"Apa ini?” tanyanya.
"Coba kulihat," kata Jupiter. Diambilnya benda yang terbuat dari kulit itu. Benda
berbentuk tabung pipih panjang dan dengan tambahan-tambahan yang terbuat dari
logam yang sudah tidak mengkilat lagi.
"Kelihatannya seperti sarung pedang,” kata Jupiter lambat-lambat, sambil
memperhatikan. "Cuma— "
“Cuma rongga di sebelah dalamnya terlalu besar," kata Bob mendului. "Pedang
pasti longgar letaknya dalam sarung seperti itu.”
“Lagi pula, tidak ada bagiannya yang untuk digantungkan ke ikat pinggang,” kata
Jupe menambahkan.
“Coba kulihat” kata Pico, sambil mengambil tabung kulit itu. Kemudian Ia
mengangguk. “Jupiter benar, tapi untuk sebagian saja. Ini memang untuk tempat
pedang, tapi bukan sarungnya. Ini pembungkus pedang dan sarungnya sekaligus,
untuk melindungi pedang yang berharga apabila tidak sedang dipakai. Bungkus ini
sudah kuno juga kelihatannya.”
“Kuno? Berharga!” Tiba-tiba Diego bersemangat. "Jangan-jangan itu pembungkus
Pedang Cortes! He, Pete, coba kauperiksa dalam kepala—"
Sementara itu Pete sudah memeriksa bagian sebelah dalam dari kepala kuda yang
terlepas. Setelah itu ia berdiri, lalu memeriksa seluruh patung. Akhirnya ia
menggeleng.
“Tidak ada apa-apa lagi, balk di dalam kepala maupun bagian leher! Sedang
bagian-bagian tubuh dan tungkai, semua terbuat dari kayu yang utuh.”
"Jangan mimpi, Diego,” tukas Pico. “Pedang Cortes sudah sejak lama lenyap!”
“Pedang berharga?" tanya Pete.
“Begitulah kata orang,” jawab Pico. “Tapi aku sendiri sangsi. Mungkin itu cuma
pedang biasa saja, yang menjadi terkenal karena legendanya. Barang itu sudah
lama sekali ada pada keluarga kami.”
“Tapi dulunya benar-benar merupakan Pedang Cortes?" tanya Bob.
“Begitulah menurut hikayat keluarga kami,” kata Pico. “Moyang kami Don Carlos
Alvaro, tokoh Alvaro pertama di benua Amerika ini, pernah menyelamatkan
pasukan Cortes dari sergapan musuh. Sebagai tanda terima kasih, Cortes
menganugerahkan pedangnya pada Don Carlos. Menurut kisahnya, pedang itu
khusus untuk upacara, yang dihadiahkan Raja Spanyol pada Cortes. Masih
menurut kisah itu, gagangnya terbuat dari emas murni. Seluruh pedang itu
bertatahkan permata. Gagang dan sarungnya, dan bahkan pedangnya sendiri pun
dihiasi dengan batu-batu mulia. Rodrigo Alvaro membawanya kemari, ketika Ia
memutuskan untuk bermukim di sini.”
“Apa yang kemudian terjadi dengannya?" tanya Jupiter.
“Hilang pada tahun 1846, saat Perang Meksiko pecah, yaltu ketika tentara Yankee
datang di Rocky Beach.”
“Maksud Anda, pedang itu dicuri tentara Amerika?” seru Pete kaget.
“Mungkin,” kata Pico. “Sudah menjadi kebiasaan bagi tentara mana pun juga
untuk—yah, bilang saja mengumpulkan benda-benda berharga apabila menyerbu
negeri musuh. Para pejabat kemiliteran kemudian berkeras mengatakan, mereka
bahkan belum pernah mendengar tentang Pedang Cortes. Dan mungkin itu benar!
Don Sebastian Alvaro, kakek dan kakekku, ditembak pihak Amerika dalam
usahanya melarikan diri ketika akan ditangkap. Ia jatuh ke laut, dan tubuhnya tidak
pernah ditemukan. Menurut perkiraan komandan pasukan Yankee di Rocky Beach,
kemungkinannya pedang itu ikut jatuh ke dalam laut. Yang jelas, sejak itu pedang
tadi lenyap. Tapi mungkin saja hanya orang saja yang membesar-besarkan
kehebatannya. Bisa saja moyangku itu membawa pedang yang biasa-biasa saja
ketika ia berusaha melarikan diri."
“Tapi,” kata Jupiter sambil merenung, “tidak ada yang benar-benar tahu apa yang
terjadi dengan pedang itu, dan rupanya kemudian ada yang memasukkan selubung
pedang kuno itu ke dalam mulut patung kuda ini, dan—”
“Pico! Hacienda kita!”
Diego berdiri di tepi sebelah seberang dan punggung bukit itu. Yang lain-lain lari
menghampirinya, lalu memandang ke arah hacienda dengan perasaan kecut.
Rumah pertanian keluarga Alvaro terbakar!
“Gudang juga terbakar!” teriak Paman Titus.
“Cepat!” seru Pico.
Semua berlari menuruni lereng lalu melintas padang, menuju ke arah api yang
berkobar-kobar. Asap dari bangunan-bangunan yang terbakar bercampur dengan
sisa-sisa asap yang berasal dari kebakaran di pegunungan. Sebuah mobil pemadam
kebakaran nampak di pekarangan hacienda yang berdebu, sementara regu
pemadam kebakaran dengan wajah coreng-moreng berusaha mendekati rumah
dengan membawa selang air. Tapi saat kedua Alvaro bersaudara tiba di pekarangan
itu bersama kawan-kawan mereka, atap rumah dan gudang ambruk. Tidak ada
yang tersisa lagi kini, kecuali puing-puing yang terbakar!
“Percuma,” kata kapten barisan pemadam kebakaran pada Pico. “Apa boleh buat,
Alvaro. Rupanya ada percikan api kebakaran tadi yang melayang kemari.
“Bagaimana mungkin itu terjadi?” tanya Pete dengan heran. “Kan selama ini boleh
dibilang tidak ada angin bertiup.”
“Dekat ke tanah memang hampir tidak ada,” jawab kapten itu. “Tapi sedikit di
sebelah atasnya sering ada angin yang lumayan kencangnya. Hawa panas dan
kebakaran naik ke atas dengan membawa percikan api, lalu percikan itu
diterbangkan angin yang bertiup pada lapisan atas. Percikan-percikan begitu bisa
cukup jauh juga terbangnya. Aku sudah sering melihat kejadian seperti itu. Dan
percikan api sedikit saja sudah cukup untuk membakar kayu atap yang kering dan
bangunan seperti ini. Dan begitu api sudah merambat ke bawah atap, hujan takkan
bisa memadamkannya lagi. Coba kami lebih lekas melihat kobaran api di sini tadi,
ada kemungkinan masih ada sesuatu yang bisa diselamatkan. Tapi dengan kepulan
asap yang begitu tebal...”
Kalimat kapten itu terputus, karena saat itu dua dinding bangunan hacienda yang
sudah tua itu roboh. Setelah itu api padam dengan cepat, karena tidak ada lagi yang
masih bisa terbakar. Pico dan Diego hanya tegak saja sambil memandang. Keduaduanya
membisu. Anak-anak dan Paman Titus tidak bisa berbuat apa-apa selain
ikut memandang dengan perasaan kecut.
“Barang-barang di gudang!” seru Pete dengan tiba-tiba.
Paman Titus, Bob, dan Jupiter menoleh serempak, memandang ke arah gudang.
Bangunan itu pun tinggal reruntuhan berasap belaka. Beberapa bagian dindingnya
masih tegak, tapi segala barang yang ada di dalamnya musnah dimakan api. Semua
yang hendak dibeli Paman Titus dari keluarga Alvaro!
"Segala-galanya musnah," kata Pico. "Sedang kami tidak dilindungi asuransi.
Habislah riwayat keluarga Alvaro sekarang!”
“kita bangun lagi hacienda kita!” kata Diego bersemangat.
“Itu bisa saja,” kata Pico, “tapi dengan apa kita membayar utang? Bagaimana kita
bisa mempertahankan tanah ini? Kalau tanah disita, lalu di mana hacienda akan
kita bangun?”
“Paman Titus?” kata Jupiter dengan tiba-tiba. “kita tadi kan sudah setuju hendak
membeli barang-barang di gudang itu, jadi sejak itu semuanya boleh dibilang
sudah menjadi kepunyaan kita. Kurasa kita harus tetap membayar, walau
semuanya kini musnah terbakar.”
Paman Titus nampak agak ragu. Tapi kemudian ia mengangguk
“Ya, kurasa kau benar, Jupiter. Kesepakatan yang sudah diikat, harus ditepati.
Pico—”
Pico menggeleng.
“Tidak, Teman-teman,” katanya, “kami tidak bisa menerima kemurahan hati
kalian. Terimakasih banyak, tapi walau kami tidak punya apa-apa lagi, kami harus
mempertahankan harga diri dan martabat keluarga. Tidak, kami akan menjual
tanah kami kepada Mr. Norris, dan uangnya akan kami serahkan pada tetangga
kami sebagal pembayar utang, sedang kami sendiri akan mencari tempat tinggal
dan pekerjaan di kota. Atau mungkin kini sudah waktunya bagi kami untuk
kembali ke Meksiko."
“Tapi kalian kan orang Amerika!” kata Bob. “keluarga Alvaro sudah sejak dulu
bermukim di sini, jauh lebih lama daripada warga yang mana.
juga!”
"Bagaimana kalau kalian mengusahakan uang yang diperlukan itu dari tempat
lain,” kata Jupiter lambat-lambat.
Pico tersenyum sedih.
“Kemungkinan untuk itu sama sekali tidak ada,
Jupiter,” katanya.
"Mungkin masih ada," kata pemimpin Trio Detektif yang bertubuh montok itu.
“Walau kecil, tapi... Apakah kalian harus dengan segera melunasi pinjaman itu?
Dan adakah kemungkinan bagi kalian untuk menumpang di rumah orang, untuk
sementara waktu?"
“Kami bisa tinggal di rumah tetangga kami, Senor Paz!” kata Diego.
“Ya, betul,” kata Pico sambil mengangguk, “dan kurasa utang kami masih bisa
ditangguhkan pelunasannya selama beberapa minggu lagi, Jupiter. Tapi apa—?”
“Sejak tadi aku berpikir-pikir tentang Pedang Cortes,” kata Jupiter menjelaskan.
“Jika pedang itu dicuri saat Perang Meksiko dalam waktu lebih dari seabad yang
sudah berlalu ini, barang itu mestinya pernah muncul di salah satu tempat. Aku
merasa yakin, kalau senjata itu benar dicuri prajurit Amerika waktu itu, mereka
pasti waktu itu juga menjualnya, untuk mendapat uang. Tapi kenyataannya, barang
itu tidak pernah muncul, di mana pun juga. Ini menyebabkan aku bertanya-tanya,
jangan-jangan memang tidak pernah dicuri. Mungkin juga disembunyikan di suatu
tempat, seperti pembungkus pedang yang tadi kita temukan!”
“He, Pico!” kate Diego bersemangat, “kurasa kata-katanya itu benar! Kita—”
“Jangan berkhayal!” bentak Pica “Banyak sekali alasan yang mungkin, kenapa
pedang itu tidak pernah muncul lagi! Bisa saja tercebur ke laut bersama Don
Sebastian, atau dimusnahkan secara tidak disengaja. Mungkin juga prajurit-prajurit
yang mencurinya kemudian menjualnya pada seseorang, dan keluarga orang itu
selama ini menyimpannya tanpa menceritakannya pada siapa-siapa. Bisa saja
benda itu kini ada di Cina. Siapa tahu, kan? Karena menemukan pembungkus
pedang tadi, kalian lantas cepat-cepat saja menarik kesimpulan. Tapi siapa bisa
memastikan, yang ditemukan tadi itu memang pembungkus Pedang Cortes. Tidak!
Niat ingin menemukan pedang itu merupakan angan-angan yang kekanakkanakan!
Dan kita tidak bisa menyelamatkan pertanian kita dengan angan-angan.”
"Semuanya itu mungkin saja,” kate Jupiter mengakui, “tapi pembungkus pedang
itu tidak mungkin secara tidak sengaja masuk ke dalam patung. Dengan adanya
tentara musuh di dalam kota, cukup besar alasan bagi Don Sebastian untuk
menyembunyikan pedang itu. Kurasa tidak ada salahnya jika kalian setidaktidaknya
mencari warisan itu. Dan kami bisa membantu kalian. Kami, maksudku
aku, Pete, dan Bob, kami berpengalaman dalam mencari barang-barang sampai
ketemu.”
“Mereka ini detektif, Pico,” kata Diego. “Tunjukkan padanya, Teman-teman.”
Bob menyodorkan kartu nama Trio Detektif pada Pico. Pada kartu itu tertulis:
TRIO DETEKTIF
“Kami Menyelidiki Apa Saja”
? ? ?
Penyelidik Satu ........ Jupiter Jones
Penyelidik Dua ......... Peter Crenshaw
Data dan Riset ........ Bob Andrews
Jupiter menyusul dengan kartu yang diperoleh dari Chief Reynolds, kepala polisi
Rocky Beach, yang menyatakan bahwa Ia beserta kedua temannya merupakan
tenaga pembantu polisi setempat. Hal itu dilakukannya karena melihat bahwa Pico
bersikap kurang percaya.
“Kalian benar-benar detektif rupanya,” kata Pico mengakui, “tapi walau begitu aku
tetap berpendapat, gagasan itu gila-gilaan. Siapakah yang masih bisa menemukan
pedang yang sudah lebih dari satu abad hilang tak berbekas?”
“Beri kesempatan pada mereka untuk mencoba, Pico." desak Diego.
“Kan tidak ada yang rugi karenanya,” kata Paman Titus menimpali.
Pico tidak langsung menjawab. Ia memandang ke arah hacienda yang kini tinggal
reruntuhannya saja, lalu mendesah.
“Baiklah, coba saja kalau kalian mau,” katanya. “Aku akan membantu sebisabisaku,
tapi kalian harus bisa mengerti kalau aku tidak bersemangat seperti kalian.
Misalnya saja, dari mana kita memulainya? Dengan cara bagaimana, dan dengan
apa? Di mana?”
"Itu akan kami pikirkan,” kata Jupiter dengan samar-samar.
Tidak lama setelah itu Hans tiba dengan truk perusahaan Paman Titus. Diego dan
Pico ikut dengan Guerra dan Huerta ke tetangga mereka, Emiliano Paz, sedang
Trio Detektif kembali ke kota bersama Paman Titus, naik truk. Ketika sudah dalam
perjalanan pulang, Pete bertanya, “He, Jupe! Dari mana kita akan memulai
pencarian kita?”
“Jawabannya ada di tanganmu,” jawab Jupe sambil nyengir.
“Di tanganku?” Pete memandang tangannya. Ia memegang pembungkus pedang
yang sudah tua itu.
“Aku tadi memang sengaja tidak bicara secara tegas, karena tidak ingin
menimbulkan harapan yang belum tentu benar,” kata Jupiter menjelaskan dengan
bergairah. “Tapi aku melihat sesuatu yang menarik. Pada tambahan-tambahan yang
terbuat dari logam ada simbol-simbol yang kecil ukurannya. Kita nanti
menghubungi Mr. Hitchcock. Mungkin Ia bisa menyebut seseorang yang mampu
mengenali makna simbol-simbol itu. Saat ini aku sudah punya dugaan
mengenainya," katanya menyambung dengan mata bersinar-sinar, “dan kalau
dugaanku itu nanti ternyata benar, maka kita akan berada pada jalan yang tepat
untuk menemukan Pedang Cortes!”
Bab 5
PENCARIAN DIMULAI
“BUKAN main!” seru Profesor Marcus Moriarty. Matanya bersinar-sinar. “Tidak
mungkin keliru lagi, Anak muda—simbol-simbol ini menandakan lambang
Kerajaan Kastilia!”
Saat itu hari Jumat sore. Ketiga anggota Trio Detektif sedang berada di ruang kerja
Profesor Moriarty, di Hollywood. Paginya, ketika Jupiter menelepon Alfred
Hitchcock, sutradara film yang kenamaan itu lantas menyebutkan nama Marcus
Moriarty. Menurut Mr. Hitchcock, kawannya itu tokoh yang paling ahli tentang
sejarah Spanyol dan Meksiko di Los Angeles. Kemudian Mr. Hitchcock
menelepon kawannya itu, memintakan waktu bagi Trio Detektif untuk bertemu
dengannya. Setelah sekolah bubar hari itu, anak-anak berhasil membujuk Hans
agar mengantar mereka dengan mobil ke rumah profesor itu.
"Tidak ada keraguan lagi pembungkus pedang ini sudah pasti berasal dari masa
awal abad keenam belas, dan semula merupakan milik Raja Spanyol,” kata
Profesor Moriarty melanjutkan. "Di mana kalian menemukannya?”
Secara ringkas, Jupiter bercerita tentang patung Cortes.
“Apakah pembungkus itu cukup tua, sehingga mungkin dulunya merupakan
pembungkus Pedang Cortes yang diwarisi keluarga Alvaro?” tanya Jupiter
kemudian.
“Pedang Cortes?" Profesor Moriarty mengangkat alisnya. “Ya, memang,
pembungkus ini berasal dari masa yang sama dengan pedang itu. Tapi di pihak
lain, Pedang Cortes ikut hilang bersama Don Sebastian Aivaro, ketika itu tercebur
ke laut pada tahun 1846. Nanti dulu! Kalian juga menemukan pedang itu?”
“Tidak, Sir,” kata Bob.
"Tepatnya belum." kata Pete menimpali dengan wajah berseri-seri.
“Profesor,” kata Jupiter, “di manakah kami bisa memperoleh keterangan jelas
tentang apa sebetulnya yang terjadi dengan Don Sebastian Alvaro pada tahun 1846
itu? Dan di manakah terdapat arsip laporan tentang kejadian-kejadian lainnya pada
masa itu?"
“Kalau tidak salah, Perhimpunan Sejarah Rocky Beach menyimpan segala suratsurat
peninggalan keluarga Alvaro,” kata profesor itu. “Mereka juga memiliki
salinan dokumen-dokumen tertentu dari Angkatan Bersenjata Amerika Serikat
yang berasal dari Perang Meksiko, yaitu yang bertalian dengan kawasan di sini.
Dan sudah dengan sendirinya jika kalian mencari arsip yang paling lengkap
tentang sejarah setempat sejak masa-masa awal perkembangannya, lembaga
sejarah itulah tempatnya.”
Anak-anak mengucapkan terima kasih padanya, lalu bersiap untuk minta diri.
“Nanti kalian akan melihat bahwa tahun 1846 itu merupakan kurun waktu yang
menarik untuk dipelajari,” kata Profesor Moriarty menambahkan. “Perang
Meksiko merupakan babak yang aneh dalam sejarah California—dan juga sejarah
Amerika -“
“Kenapa begitu?” tanya Bob.
“Pemerintah Amerika Serikat menyatakan perang pada Meksiko, pada bulan Mei
1846,” ujar Profesor Moriarty menjelaskan maksudnya. “Kebanyakan orang
menyangka, tindakan itu hanya merupakan usaha untuk merebut wilayah dari
Meksiko, termasuk pula kawasan California. Waktu itu banyak warga California
yang merasa tidak senang hidup di bawah kekuasaan Meksiko. Kebanyakan dari
mereka itu pemukim-pemukim yang berasal dari bagian timur, tapi ada juga
beberapa ranchero, jadi pengusaha pertanian berkebangsaan Spanyol yang
berperasaan begitu. Ketika kapal-kapal perang Amerika Serikat merebut
pelabuhan-pelabuhan California yang penting-penting pada saat awal peperangan,
mereka boleh dibilang sama sekali tidak menjumpai perlawanan. Setelah itu di
sepanjang garis pesisir ditempatkan tentara, yang kebanyakan merupakan
sukarelawan dari salah satu ekspedisi penjelajahan Benua Amerika di bawah
pimpinan John C. Fremont. Saat itu Fremont kebetulan sedang berada di
California. Kelompoknya beraksi sebagai pasukan penyerbu, padahal saat itu
belum ada pernyataan perang.”
“Kami sudah tahu tentang Mayor Fremont dari pelajaran sejarah di sekolah,” kata
Bob.
“Nah, seperti kukatakan tadi, di pelabuhan-pelabuhan tidak ada perlawanan, dan
segala-galanya kelihatan tetap tenang. Tentu saja banyak di antara ranchero
berkebangsaan Spanyol yang tidak menyukai kejadian itu, tapi mereka tidak
memberikan perlawanan bersenjata. Itu keadaan pada mulanya. Tapi kemudian
komandan pasukan sukarelawan Amerika yang oleh Fremont ditempatkan sebagai
pimpinan di Los Angeles melakukan tindakan yang sangat tidak bijaksana. Ia
memerintahkan penangkapan ranchero-ranchero setempat. Mereka dihina olehnya
dengan tidak semena-mena. Sebagai akibatnya, penduduk setempat langsung
mengangkat senjata. Kurasa Don Sebastian Alvaro merupakan salah seorang
korban kekeliruan tindakan komandan itu. Jika Don Sebastian tetap hidup waktu
itu, aku yakin ia pasti akan terjun ke dalam pertarungan bersenjata yang kemudian
pecah. Keluarga Alvaro bersikap setia pada negeri asal mereka, Meksiko. kalau
tidak salah, putra-putranya menggabungkan diri dengan balatentara Meksiko,
untuk menghadapi pasukan-pasukan Amerika Serikat yang menyerbu masuk ke
Meksiko.”
Profesor Moriarty berhenti sebentar, lalu meneruskan, “Pokoknya, pertikaian
bersenjata di California hanya berlangsung selama beberapa bulan saja. Dengan
cepat Amerika Serikat berhasil sepenuhnya menguasai kawasan ini. Lalu pada
tahun 1848 saat peperangan berakhir, Meksiko resmi menyerahkannya pada
Amerika Serikat.
“Wah,” kata Pete, “keadaan di sini pasti mengasyikkan, waktu itu. Bayangkan—
ada perang di sekeliling kita!”
Profesor Moriarty menatap Pete dengan sikap mengecam.
“Mungkin saja perang itu mengasyikkan,” tukasnya, “tapi tidak pernah
menyenangkan, jika harus mengalaminya sendiri. Kau perlu mengucap syukur,
bisa hidup dalam zaman yang lebih tenteram.”
Melihat Pete nampak malu, profesor itu lantas melunakkan nada bicaranya.
"Tapi kurasa walau hidup di zaman sekarang ini pun, kalian masih sering
mengalami kejadian yang mengasyikkan. Betulkah penangkapanku, kalian ini
merasa punya alasan untuk memperkirakan bahwa Pedang Cortes mungkin masih
ada di Rocky Beach? Dan saat ini kalian berusaha menemukannya?"
“Yah, kami sebetulnya main tebak saja, Sir,” kata Jupiter berterus-terang.
“Oh,” kata Profesor Moriarty. Matanya berkilat-kilat. “Karena pedang itu sudah
begitu lama lenyap, selama ini aku selalu berpendapat bahwa itu cuma legenda
belaka. Atau paling banyak, kisah yang dibesar-besarkan. Walau begitu, aku tetap
sangat tertarik pada apa saja yang nanti mungkin kalian temukan dalam usaha
pencarian ini.”
“Dengan senang hati kami akan memberi tahu Anda, Sir,” kata Jupiter, lalu sekali
lagi mengucapkan terima kasih pada profesor itu atas bantuannya.
Di luar, sementara itu sudah turun hujan gerimis. Hans belum kembali dan tugas
yang harus dilakukannya untuk Paman Titus. Jadi ketiga remaja itu terpaksa
menunggu. Mereka berteduh di bawah sebatang pohon.
“Profesor Moriarty tadi kelihatannya bergairah sekali tentang pedàng itu,” kata
Pete. “Tapi kurasa banyak orang yang juga akan begitu sikapnya.”
“Ya, memang." Jupiter mengerutkan keningnya. “Kurasa lain kali lebih baik
jangan kita sebut-sebut Pedang Cortes, jika tidak benar-benar perlu, karena aku
khawatir itu hanya akan mengakibatkan segala macam orang akan ikut mencaricari
ke mana-mana. Kenyataan bahwa Profesor Moriarty mengenali asal-usul
pembungkus pedang, sedikit-banyak merupakan pemastiannya sebagai bagian dari
Pedang Cortes. Jadi tidak mustahil pedang itu nanti ternyata masih ada di Rocky
Beach.”
“Lalu, kita sekarang ke Perhimpunan Sejarah?" tanya Bob.
"Ya, kurasa itulah langkah kita yang selanjutnya,” jawab JupIter.
“Apa sebenarnya yang harus kita cari, Jupe?" tanya Pete.
“Apa tepatnya, aku juga tidak tahu,” kata Jupiter berterus terang, “tapi jika
dugaanku benar, kita sekarang memerlukan sesuatu yang membuktikan bahwa
kejadian-kejadian pada tahun 1846 sebenarnya tidak berlangsung seperti perkiraan
orang selama ini."
Ketika Hans akhirnya tiba untuk menjemput mereka, hujan sudah bertambah lebat.
ketiga remaja itu buru-buru masuk ke dalam kabin truk, dan duduk berdesak-desak
di samping pemuda Jerman yang bertubuh besar itu. Setiba di Rocky Beach,
mereka dlturunkan di depan gedung Perhimpunan Sejarah, sementara Hans terus
untuk menyelesaikan tugas lain. Anak-anak berlari dalam hujan, masuk ke dalam
gedung.
Saat itu hanya asisten ahli sejarah saja yang ada di ruang-ruang sepi yang dipenuhi
dengan rak-rak berisi buku dan bahan-bahan arsip. Ketiga anggota Trio Detektif
serta ketangguhan mereka selaku penyelidik sudah diketahui asisten itu. Ia
menyambut mereka dengan senyuman bercanda.
“Nah, apa lagi yang sedang diselidiki detektif-detektif remaja yang hebat ini?”
katanya dengan nada bertanya. "Ada yang kehilangan kucing kesayangan, atau
kalian sedang melacak urusan yang lebih hebat dan itu?”
“Hebat sih tidak, cuma Pe—” Pete tidak menyelesaikan kalimatnya yang
menyombong itu. Ia mengaduh kesakItan, karena kakinya dengan diam-diam
diinjak Jupiter.
“Maaf," kata Jupiter sambil tersenyum ramah, seolah-olah tidak berbuat apa-apa.
“kami saat ini bukan sedang menangani kasus tertentu—cuma membantu Bob saja,
yang sedarig menangani proyek riset untuk pelajaran sejarah, mengenai keluarga
Alvaro."
“kami punya arsip tentang keluarga itu,” kata asisten itu.
“Mungkinkah di sini juga ada arsip laporan tentara Amerika Serikat mengenai Don
Sebastian Alvaro?" tanya Jupiter dengan gaya sambil lalu.
Asisten itu mengambilkan kedua arsip yang ditanyakan. Masing-masing arsip
berwujud kotak kardus yang besar, penuh berisi kertas. Anak-anak memandang
kedua kotak besar itu dengan perasaan kecut.
“Ini baru arsip tahun 1846 saja,” kata asisten ahli sejarah itu sambil nyengir.
"Tentara masa itu gemar sekali menulis laporan."
Anak-anak membawa kedua kotak itu ke suatu sudut yang terpencil.
“Aku meneliti arsip keluarga Alvaro,” kata Jupiter memutuskan, "sedang kalian
berdua memeriksa dokumen-dokumen militer. Dokumen-dokumen itu dalam
bahasa inggris.”
Selama dua jam selanjutnya mereka sibuk mempelajari kertas-kertas dokumen
dalam kedua kotak itu, mencari-cari sesuatu yang ada hubungannya dengan Don
Sebastian Alvaro atau dengan Pedang Cortes. Sementara.itu asisten yang bertugas
di situ juga sibuk, mencatat setumpuk bahan baru. Selama dua jam itu, tidak ada
orang lain masuk ke ruangan sepi yang penuh dengan buku itu. Hanya desahan
Pete saja yang sekali-sekali terdengar, setiap kali Ia selesai membaca secara
sepintas lalu laporan kesekian yang sedikit pun tidak menarik.
Setelah dua jam berlalu, akhirnya ketiga remaja itu selesai juga meneliti seluruh
dokumen dalam kedua kotak kardus, dan kini siap untuk memaparkan hasil temuan
mereka. Bob dan Pete menemukan tiga dokumen yang merupakan salinan yang
dibuat kemudian dari dokumen-dokumen tentara Amenika Serikat yang berasal
dan tahun 1846. Sedang Jupiter hanya memegang secarik kertas yang sudah kuning
warnanya.
“Ini surat dari Don Sebastian pada anak laki-lakinya,”kata Jupiter menjelaskan.
“Aku cuma menemukan ini saja, yang nampaknya penting. Don Sebastian
menulisnya saat ditahan dalam sebuah rumah di Rocky Beach. Sementara anak
laki-lakinya itu perwira balatentara Meksiko, dan berada di Mexico City.”
“Apa isinya, Jupe?” tanya Pete.
“Bahasanya Spanyol gaya lama, jadi sulit bagiku untuk memaharninya,” kata
Jupiter mengakui dengan sedih. "Dari apa yang bisa kupahami, aku cuma bisa
menarik kesimpulan bahwa Don Sebastian dikurung oleh tentara Amerika yang
menangkapnya dalam sebuah rumah, dekat laut. Lalu ada keterangan mengenai
beberapa orang yang datang menjenguk, lalu selebihnya baik-baik saja, serta ia
berharap anak laki-lakinya akan menang melawan pihak penyerbu. Mungkln juga
ada disinggung-singgung tentang melarikan diri, tapi tentang itu aku tidak bisa
mengatakarinya secara pasti. Surat ini bertanggal 13 September 1846. Sama sekali
tidak disebut-sebut tentang pedang di dalamnya."
“Jangan lupa, Jupe, saat itu Ia kan dalam tahanan,” kata Pete. “Mungkin saja Ia
menggunakan bentuk sandi, supaya tidak diketahui oleh lawan."
“Ya, kemungkinan itu memang ada,” kata Jupiter sependapat. “Lebih balk kita
minta tolong saja pada Pico untuk menerjemahkan surat ini kata demi kata, lalu—”
“Mungkin juga itu tidak perlu, Teman-teman,” kata Bob. Ia mengacungkan
selembar dokumen tentara. “Surat ini dari balatentara Amerika Serikat, ditujukan
pada anak laki-laki Don Sebastian, Jose, ketika Ia kembali kemari sehabis perang.
Isinya menyatakan bahwa pemerintah Amerika Serikat menyesali kematian Don
Sebastian yang tragis ketika Ia berusaha melarikan diri pada tanggal 15 September
tahun 1846. Dikatakan di sini bahwa tidak ada pilihan lain bagi pihak tentara
Amenika, mengingat saat itu Don Sebastian membawa senjata, dan berusaha
melawan. Ia jatuh ke laut ketika tentara menembaknya. Kejadian penembakan
dilaporkan oleh seorang sersan bernama James Brewster, dan diperkuat oleh
kesaksian kopral William McPhee dan Prajurit S. Crane. Merekalah yang sedang
bertugas menjaga di rumah tempat Don Sebastian ditawan.”
“Kesemuanya itu sudah kita ketahui, karena diceritakan oleh Pico,” kata Pete.
“Tapi surat itu tidak menegaskan keseluruhan cerita Pico,” kata Jupiter agak heran.
“Bagaimana dengan —
“Dokumen laporan Sersan Brewster dilampirkan pada surat ini,” kata Bob dengan
lesu. “Laporan itu memaparkan fakta-fakta yang serupa dengan yang tertera dalam
surat ini. Hanya pada laporan itu juga dikatakan bahwa Don Sebastian saat itu
bersenjatakan — pedang!”
Pete dan Jupiter memandang Bob dengan kecut. “Menurut dugaan Sersan
Brewster, pedang itu diselundupkan oleh seseorang ketika menjenguk Don
Sebastian," kata Bob melanjutkan. "Jadi kurasa Don Sebastian memang tercebur ke
laut bersama pedangnya."
Jupiter menatap ke arah jéndela, menatap hujan lebat di luar. Selama beberapa
waktu Ia membisu, karena sibuk berpikir. Akhirnya Ia bertanya, “Apa yang
kautemukan, Pete?”
“Untuk waktu yang itu, tidak banyak,” jawab Pete dengan murung. “Cuma
sepucuk surat saja tertanggal 23 September, dan seorang komandan tentara, yang
menanyakan tentang serangan pasukan Meksiko yang terjadi pagi itu terhadap
garnisun Los Angeles, dengan tambahan penyebutan nama beberapa orang yang
pergi tanpa izin sejak tanggal 16 September. Mereka itu dinyatakan melakukan
desersi olehnya. Sama sekali tidak disinggung-singgung tentang Don Sebastian
atau pedang yang mana pun juga, jadi—"
“Siapa-siapa saja prajurit yang melakukan
desersi itu, Pete?” tanya Jupiter memotong. Sikapnya berubah, nampak waspada.
Pete membaca dokumen yang ada di tangannya.
“Sersan Brewster, kopral McPhee, dan Prajurit — "
“Crane!” seru Bob mendului.
Asisten ahli sejarah yang sedang sibuk bekerja di seberang ruangan memandang ke
arah mereka dengan kesal. Tapi anak-anak tidak menyadarinya.
“Brewster, McPhee, dan Crane!” ujar Jupiter dengan sikap puas. “Menghilang,
setelah tanggal 16 September 1846!”
“Betul, tapi—” Pete terbelalak. “He! Mereka itu kan yang menembak Don
Sebastian!"
“Yang mengaku melakukan penembakan terhadap Don Sebastian,” kata Jupiter.
“Menurutmu, mereka berbohong, Jupe?” tanya
Bob.
“Menurutku,” kata Jupiter dengan serius, “luar biasa kebetulannya bahwa orangorang
yang melaporkan penembakan terhadap Don Sebastian, keesokan harinya
minggat dan sejak itu tidak pernah kembali lagi."
“Apakah itu berarti mereka mencuri pedangnya?” tanya Pete.
“Itu mungkin saja! Tapi lalu siapa yang menyembunyikan pembungkus pedang itu
di dalam patung, dan untuk apa hal itu dilakukan? Kurasa kita perlu bicara sedikit
dengan Pico.”
“Wah, hari sudah malam, Jupe,’ kata Pete. “Aku harus pulang, karena ditunggu
untuk makan malam.”
“Aku juga,” kata Bob.
“Kalau begitu besok pagi-pagi sekali kita bersepeda mendatangi Pico."
Ketiga anggota Trio Detektif itu membuat fotokopi dari keempat dokumen yang
mereka temukan, dengan meminjam alat yang tersedia di gedung Perhimpunan
Sejarah. Setelah itu mereka pergi, tanpa lupa mengucapkan terima kasih pada
asisten ahli sejarah yang bertugas. Hujan masih terus turun. Ketiga remaja itu
berlari-lari ke pangkalan barang bekas di mana Pete dan Bob meninggalkan
sepeda-sepeda mereka. Untuk kedua kalinya dalam waktu dua puluh ernpat jam,
mereka menjadi basah kuyup.
Sesampainya di pangkalan, mereka melihat sebuah mobil model sport berwarna
merah diparkir di depan gerbang masuk ke The Jones Salvage Yard.
“Basah kuyup dan biru kedinginan, seperti biasa,” seru Norris mengejek dari dalam
mobilnya.
“Biar, asal tidak masih hijau dan ingusan seperti yang ngomong,” balas Pete
menukas.
Sindiran itu rupanya cukup menusuk, karena nada suara Skinny langsung berubah.
“Aku kemari ini untuk menolong kalian,” tukasnya. “Aku hendak memberi tahu,
jauhi kedua Alvaro bersaudara itu."
“Kau mengancam, ya?!” tanya Jupiter.
"Ayahmu takkan berhasil merebut pertanian mereka!” sergah Pete dengan sengit.
“Bisa apa kalian bertiga untuk mencegahnya?" ejek Skinny.
“Kami akan mencari—” kata Pete, tapi Jupiter cepat-cepat menendang kakinya.
“Kami akan mencari jalan untuk itu, Skinny,” kata Jupiter.
“Cepat-cepat saja berpikir!” Skinny tertawa mengejek. “Dalam waktu satu minggu,
pertanian itu sudah akan jatuh ke tangan kami. Kalau sudah begitu, mau apa lagi
kalian, hah? Dan kedua Alvaro itu sebentar lagi akan mengalami kesulitan besar,
jadi kalian jangan ikut-ikutan dengan mereka! Jangan campuri urusan ayahku!”
Setelah itu Skinny pergi. Mobilnya langsung dikebut, sehingga bannya berdecitdecit.
Anak-anak yang ditinggal hanya bisa memandang dengan kecut. Suara
Skinny tadi terdengar begitu yakin.
Bab 6
KABAR BURUK
HARI Sabtu itu Jupiter bangun pagi-pagi sekali, walau hujan masih saja terus
turun. Tapi beberapa saat kemudian Ia mendengar bahwa kunjungan ke kedua
Alvaro bersaudara yang sudah direncanakan malam sebelumnya, terpaksa
ditangguhkan. Soalnya, ada tugas yang masih harus diselesaikan baik oleh Bob
maupun Pete, di rumah masing-masing. Setelah itu Jupiter melakukan kekeliruan
yang sangat besar. Ia tetap tinggal di rumah, karena hujan masih juga belum
berhenti. Bibi Mathilda yang melihat keponakannya itu ada di rumah tanpa berbuat
apa-apa, langsung menyuruhnya bekerja.
“Daripada termenung-menung, hanya karena hujan sedikit saja!” ujar Bibi
Mathilda bergembira, dengan suaranya yang lantang.
Jupiter mengeluh. Dalam hati Ia berjanji bahwa bibinya takkan mungkin
memergokinya lagi berada di rumah pada hari Sabtu, wàlau angin topan sedang
mengamuk di luar. Dengan lesu Ia bekerja sepanjang pagi, menyortir barangbarang
bekas di bagian pangkalan yang dinaungi atap. Ketika sudah tengah hari, Ia
diizinkan pulang untuk makan siang. Jupiter makan dengan terburu-buru, lalu
menyellnap pergi ke kantor Trio Detektif yang tersembunyi letaknya. Wujudnya
berupa sebuah karavan tua dan sudah rusak, tertimbun di bawah tumpukan barang
bekas di salab satu sudut pangkalan itu. Paman dan bibinya sudah lama lupa bahwa
karavan itu ada di situ.
Tidak lama kemudian Bob dan Pete tiba pula, lalu mereka bergegas keluar lewat
belakang, menuju ke tempat sepeda-sepeda mereka. Tidak lama kemudian mereka
sudah menyusur jalan daerah, berselubung mantel untuk melindungi tubuh dari
siraman hujan yang tidak begitu lebat. Jupe membawa peta jalanan, untuk berjagajaga
jika mereka nanti ternyata tersesat di daerah perbukitan. Mereka melewati
tanah pertanian keluarga Alvaro yang bangunan-bangunannya tinggal puing-puing
reruntuhan. Pertanian buah alpukat yang tidak besar milik Emillo Paz yang
bertetangga dengan keluarga Alvaro berhasil mereka temukan dengan mudah.
Rumah itu sudah tua, terbuat dari kayu, dengan sebuah gudang yang besar serta
dua buah pondok kecil di belakangnya. ketika Jupiter beserta kedua kawannya
datang, Diego sedang berhujan-hujan dekat salah satu pondok itu, sibuk memotong
kayu bakar.
“Pico ada di rumah?”
“Ada, dalam pondok,” kata Diego. “kalian berhasil —”
Jupiter mengajak masuk ke pondok kecil itu. Di dalamnya hanya ada dua buah
kamar serta sebuah dapur yang kecil. Pico baru saja menyalakan api di dalam
pendiangan di kamar duduk. Ia berdiri untuk menyambut kedatangan ketiga
anggota Trio Detektif.
“Ah, detektif-detektif kita datang.” Ia tersenyum. “Kalian hendak menyampaikan
laporan?"
Jupiter menyampaikan keterangan Profesor Moriarty tentang pembungkus pedang
pada Pico dan Diego.
“Hampir dapat dipastikan bahwa pembungkus itu berasal dari Pedang Cortes,” kata
Jupiter
mengakhiri laporannya.
“Dan Don Sebastian sama sekali tidak ditembak sewaktu hendak melarikan diri!”
seru Pete menimpali.
“Setidak-tidaknya, ada kemungkinan bahwa kejadian yang sebenarnya bukan
begitu,” kata Bob mengoreksi ucapan Pete.
Jupiter memperlihatkan dokumen-dokumen yang dibawa pada kedua Alvaro
bersaudara. Salinan surat dari tentara Amerika Serikat pada Jose Alvaro, laporan
asli Sersan Brewster mengenai kematian Don Sebastian, serta taporan tentang
minggatnya Sersan Brewster, kopral McPhee, dan Prajurit Crane.
“Lalu?" kata Pico menanggapi. "Dokumen-dokumen ini sedikit pun tidak
mengubah fakta yang sekarang ada. Kami mendapat keterangan bahwa Don
Sebastian ditembak—dan tidak ada satu alasan pun yang ada bagi kami untuk
meragukan hal itu. Dan laporan sersan ini secara tidak langsung menyatakan
bahwa ketika Don Sebastian tercebur ke laut, pedangnya ada padanya. Itu pula
yang dikatakan komandan pasukan Yankee waktu itu pada keluarga kami.”
“Kalian tidak menilainya mencurigakan bahwa orang-orang yang melaporkan
peristiwa penembakan terhadap moyang kalian ketika Ia berusaha melarikan diri,
sehari kemudian meninggalkan pasukan tanpa izin?" tanya Jupiter. “kalau cuma
satu orang saja yang minggat, itu masih mungkin merupakan kebetulan. Tapi
ketiga-tiganya sekaligus?"
"Baiklah, kalau begitu kejadian sebenarnya seperti yang kuduga selama ini,” kata
Pico. “Pedang itu tidak lenyap tercebur ke laut. Ketiga orang itu mencurinya,
sebelum mereka menembak Don Sebastian. Setelah itu mereka membuat laporan.
Lalu minggat dengan membawa pedang itu.”
"Mungkin begitulah kejadiannya,” kata Jupiter seperidapat. “Tapi lalu bagaimana
dengan pembungkusnya? Siapa yang menyembunyikannya dalam patung? Besar
sekali kemungkinannya bahwa pelakunya pasti Don Sebastian, dan satu-satunya
alasan untuk melakukannya adalah untuk menyembunyikannya agar jangan
ditemukan orang-orang Amerika. Tapi karena salah satu alasan, dipisahkannya
pedang serta sarungnya dan pembungkus itu.”
"Bisa saja pembungkus itu disembunyikan oleh orang yang menyelundupkan
pedang itu ke tempat Don Sebastian ditawan,” kata Pico.
“Itu satu hal lagi yang juga terasa aneh,” kata Jupe. “Untuk apa menyelundupkan
pedang yang berharga, apabila bisa dibilang pasti bahwa akhirnya akan jatuh ke
tangan musuh? Jika Don Sebastian memerlukan senjata, kenapa bukan senjata api
yang diselundupkan? Memberikan perlawanan dengan pedang upacara berhiaskan
permata—itu kan hal yang aneh!”
Pico hanya mengangkat bahu.
“Kita tidak tahu pasti, apakah pedang itu bertatahkan permata,” katanya singkat.
“Nah, inilah yang menurut pendapatku mungkin terjadi waktu itu,” kata Jupiter.
“Tentara Amerika sebenarnya menawan Don Sebastian dengan maksud hendak
merampas pedang warisan Cortes. Ya, Bob, aku masih ingat apa yang dikatakan
oleh Profesor Moriarty,” kata Jupiter menyela penjeiasannya, ketika melihat Bob
hendak membantah, “tapi bisa saja kan, di samping ingin mengendalikan
pemimpin-pemimpin penduduk setempat, pasukan di bawah pimpinan Fremont
jugä bertindak karena menginginkan harta. Para prajurit yang ditempatkan di
Rocky Beach waktu itu bisa saja mendengar cerita orang tentang pedang legendaris
yang dimiliki Don Sebastian. Nah, sekarang katakanlah, Don Sebastian
menyembunyikan pedang itu dalam patung. Ketika Ia kemudian berhasil
meloloskan diri, Sersan Brewster beserta kedua konconya mengejar. Saat itu
timbul niat mereka untuk merebut pedang itu untuk dimiliki sendiri. Karenanya
mereka lantas mengarang -ngarang peristiwa penembakan, untuk menutupi
perbuatan mereka. Setelah itu mereka minggat, lalu pergi mencari Don Sebastian
serta pedangnya. Don Sebastian takut kalau-kalau ketiga orang itu nanti berhasil
menemukan pedang itu di tempat penyembunyiannya saat itu. Lalu benda berharga
itu diambil olehnya, dan disembunyikan di tempat lain. Sedang pembungkusnya
dibiarkan tetap berada di dalam patung—mungkin untuk membingungkan. ”
“Lalu apa yang kemudian terjadi dengan Don Sebastian?" kata Pico.
“Tentang itu aku tidak tahu,” kata Jupiter dengan suara lemah.
“Tidak banyak yang kauketahui, Jupiter,’ kata Pico sambil menggeleng-geleng,
"dan segala-galanya yang kaukatakan sampai sejauh ini, semuanya hanya
merupakan dugaan samar belaka. Dan katakanlah sebagian dari kata-katamu itu
benar, dan moyangku berhasil melarikan diri dengan selamat—lalu di manakah
pedang itu disembunyikan olehnya dan dengan cara bagaimana kau akan bisa
menemukannya?"
“Bagaimana dengan surat dari Don Sebastian itu, Jupe?" kata Bob.
Jupiter mengangguk dengan cepat, lalu menyodorkan salinan surat itu pada Pico.
“Tolong terjemahkan, Pico,” katanya, sambil memberi isyarat pada Bob. “Kaucatat
terjemahannya, Bob!”
Pico menyimak isi surat Don Sebastian.
“Aku kenal surat ini,” katanya. “Kakekku dulu sering menyimaknya untuk
mencari-cari petunjuk tentang pedang yang lenyap itu. Tapi ía tidak berhasil.”
Setelah itu diterjemahkannya isi surat itu: “Puri Nasar, tanggal 13 September 1846.
Anakku Jose, mudah-mudahan saat ini kau berada dalam keadaan sehat, dan
memenuhi kewajibanmu selaku seorang patriot Meksiko. Orang-orang Yankee
menduduki kota kita, dan aku ditawan. Mereka tidak mau mengatakan alasannya,
tapi kurasa aku bisa menduganya, ya? Aku ditawan di rumah Cabrillo di tepi laut,
dan mereka tidak mengizinkan siapa pun juga menjengukku. Bahkan berbicara
dengan aku pun tidak boleh. Para anggota keluarga kita yang selebihnya dalam
keadaan baik, dan selebihnya aman semua. Aku yakin, sebentar lagi kita akan
berjumpa kembali, dalam kemenangan!”
Bob membaca catatan terjemahan itu, yang ditulisnya datam buku catatannya.
“Mengenai dugaan Don Sebastian tentang alasan kenapa ia ditawan,” katanya.
“Mungkinkah kalimat itu berarti bahwa pihak tentara Amerika menginginkan
pedang itu, seperti yang tadi dikatakan oleh Jupiter?”
“Dan bagaimana dengan bagian kalimat, 'dan selebihnya aman'?” kata Pete
bersemangat. “Mungkin dengannya ia hendak mengatakan pada Jose bahwa
pedang itu sudah diamankan olehnya.
“Coba kulihat,” kata Jupe, sambil mengambil buku catatan Bob. “Mungkin kalian
berdua benar. Entahlah, aku tidak tahu. Tapi aku yakin sekarang, Sersan Brewster
berbohong dalam laporannya!”
“Apa yang menyebabkan kau berpendapat begitu, Jupiter?” tanya Pico.
“Dalam laporannya tentang kasus penembakan Don Sebastian ketika berusaha
melarikan diri, Sersan Brewster mengatakan bahwa Don Sebastian bersenjatakan
pedang yang diselundupkan padanya oleh seseorang yang datang menjenguk! Tapi
dalam surat Don Sebastian sendiri tertera bahwa Ia tidak diizinkan menerima
kunjungan siapa pun juga. Jadi tidak mungkin ada yang berpeluang
menyelundupkan pedang! Itu cuma karangan Brewster saja sebagai alasan untuk
membenarkan kisahnya tentang peristiwa penembakan, dan untuk membuat orangorang
mengira pedang itu lenyap karena jatuh ke laut. Aku yakin seluruh laporan
itu isapan jempol saja, untuk menutupi niatnya bersama kedua kawannya!”
Pico membaca surat moyangnya sekali lagi, dengan cermat.
“Ya, aku mengerti sekarang, tapi aku tetap—” Saat itu terdengar bunyi berdebam
di luar, seperti ada barang jatuh, disusul bunyi batang-batang kayu yang terguling.
"He, kau! Jangan lari!" seru seseorang, sementara terdengar bunyi langkah orang
lari menjauh.
Ketiga anggota Trio Detektif lari ke luar, bersama kedua Alvaro bersaudara.
Mereka masih sempat melihat seekor kuda lari menderap, pergi dari sisi kiri
bangunan gudang. Seorang pria tua bertubuh kecil dan berambut putih berdiri di
pekarangan, di tengah hujan yang masih belum berhenti.
“Tadi ada orang mengintip dari balik jendela, Pico!” seru pria itu. “Aku kemari
karena perlu bicara sedikit denganmu. Saat itu aku melihatnya. Rupanya Ia
mendengar aku datang, lalu lari. Karena buru-buru, kakinya tersandung tumpukan
kayu. Ia berdiri lagi, lalu lari ke balik gudang. Ternyata di sana ada kudanya.”
“Anda sempat mengenali orangnya?" seru
Diego.
Pria berambut putih itu menggeleng.
“Mataku sudah tidak setajam dulu lagi, Diego,” katanya. “Apakah orang dewasa
atau anak-anak, aku tidak tahu.”
“Silakan masuk, Don Emiliano,” kata Pico. Kata-kata maupun sikapnya
menunjukkan bahwa ia sangat menghormati pria yang sudah berumur itu. “Anda
akan basah kuyup, kalau di luar terus.”
Begitu berada di dalam pondok, Pico menyilakan pria tua itu duduk dekat
pendiangan, lalu memperkenalkannya pada Jupiter serta. kedua kawannya.
Emiliano Paz tersenyum pada mereka.
“Lamakah orang tadi berada di luar, Sir?” tanya Jupiter.
“Aku tidak tahu. Aku baru saja keluar dari rumah.”
“Siapakah dia menurutmu, Satu?” tanya Bob pada Jupiter. “Kenapa ia menguping
di balik jendela pondok ini?’
“Entah, aku juga tidak tahu,” jawab Jupiter. “Tapi aku ingin tahu, apakah orang itu
tadi mendengar kita membicarakan Pedang Cortes.”
“Kalau ya, kenapa?" tanya Pete.
“Menurut dugaanku, Mr. Norris serta orang-orangnya tidak menginginkan kite
berhasil menemukan pedang yang berharga” kata Jupiter dengan geram. "Skinny
kemarin malam nampaknya sangat berminat untuk mengetahui apa yang kita
kerjakan selama ini."
“Menurutku itu tidak apa, Jupiter,” kate Pico menyela. “Katakanlah segenap
dugaanmu ternyata benar, tapi semuanya masih saja tidak memberi keterangan
apa-apa tentang di mana kemungkinannya pedang itu berada, atau bahkan apakah
memang masih ada sekarang ini.”
“Aku yakin, Don Sebastian tahu bahwa ketiga prajurit itu menginginkan
pedangnya, dan bahwa karena itu ia menyembunyikannya,” kata Jupiter berkeras.
“Dan aku juga yakin, ia pasti meninggalkan salah satu petunjuk bagi anak lakilakinya.
Dan itu jika tidak di dalam surat, pasti di tempat lain. Tapi mestinya ada
semacam petunjuk dalam surat itu. ketika menulisnya ia sedang ditawan dan —
berada dalam bahaya, jadi tentunya Ia mengira itu satu-satunya kemungkinan
baginya untuk memberitahu Jose, di mana ía harus mencari pedang itu.”
Beramai-ramai mereka menyimak surat itu lagi. Pico dan Diego membaca surat
yang asli, sementara para anggota Trio Detektif meneliti terjemahannya yang
dicatat oleh Bob.
"Jika disini ada semacam sandi, yang jelas aku tidak mengenalinya,” kata Pete.
“Ini surat yang biasa saja, Jupiter,” kata Pico sambil menggeleng. “Aku sama
sekali tidak melihat sesuatu yang mungkin merupakan petunjuk, atau sandi, dalam
bahasa Spanyol.”
“Mungkin kecuali bagian yang mengatakan bahwa 'selebihnya aman semua',” kata
Diego.
“Jupe!” seru Bob dengan tiba-tiba. “kepala surat ini—di atas tanggalnya! Puri
Nasar. Apa itu? Kau tahu, Pico?”
“Tidak,” kata Pico lambat-lambat Kelihatan bahwa ía juga heran. “Mungkin nama
tempat! Banyak orang waktu itu menuliskan tempat di mana mereka menulis surat
pada bagian atas surat mereka. Tempat itu bisa kota, bisa hacienda, atau rumah.
Kebiasaan begitu sekarang pun masih ada yang melakukannya.”
“Tapi,” kata Bob, “Don Sebastian kan menulis surat ini di rumah Cabrillo.”
"Sedang rumahnya, hacienda kalian sekarang," kata Jupiter menambahkan.
“Pernahkah tempat itu dinamakan Puri Nasar?”
“Tidak,” jawab Pico. “Sejak dulu namanya Hacienda Alvaro."
“Kalau begitu kenapa Ia menuliskan Puri Nasar di bagian atas suratnya?” kata Pete
dengan sikap bingung. “Pasti itu petunjuk! Suatu tempat tertentu, yang diketahui
oleh Jose!”
Jupiter mengeluarkan peta yang dibawanya, lalu membentangkannya untuk
dipelajari. Yang lain-lain ikut meneliti sambil memandang dan belakang
punggungnya. Akhirnya Jupe mendesah, lalu bersandar ke punggung kursi.
"Tidak ada Puri Nasar di sini,” katanya dengan lesu. Tapi dengan tiba-tiba Ia
mendongák. “He, nanti dulu! Ini peta modern! Peta dan tahun 1846 mungkin —“
“Aku punya peta kuno dari daerah ini,” kata Emiliano Paz.
Pria tua itu keluar, sementara yang selebihnya menunggu denqan tidak sabar.
Akhirnya Senor Paz kembali dengan sebuah peta kuno yang sudah kuning
warnanya. Peta itu dibuat tahun 1844, dengan keterangan yang ditulis dalam
bahasa Spanyol dan Inggris. Pico dan Jupiter mempelajari peta itu dengan
seksama.
“Di sini pun tidak tertera tempat yang bernama Puri Nasar,” kata Pico kemudian.
“Ya, tidak ada.” kata Jupiter mengiakan.
“Semuanya ini cuma kekonyolan saja, seperti sudah kukatakan!" tukas Pico.
Wajahnya membayangkan kekecewaan. “Kita tidak bisa menyelamatkan pertanian
kita dengan angan-angan. Tidak! Kita harus menemukan suatu —"
“Mungkin tidak ada jalan lain lagi bagi kalian,
Pico,” kata Emiliano Paz dengan sedih. “Apa boleh buat, tapi aku sebenarnya
kemari ini dengan berita buruk. Kau sudah terlalu banyak menunggak utangmu.
Bagiku uang itu tidak sedikit, dan sebentar lagi aku sendiri juga harus membayar
utang-utangku. Waktu itu aku meminjamkan seluruh uang yang kumiliki padamu.
Tapi sekarang, setelah segenap harta milikmu habis terbakar, kau tidak bisa lagi
melunasi utangmu padaku. Sedang aku perlu sekali uang itu. Mr. Norris
menawarkan untuk menebus utangmu. Aku kemari ini untuk memberi tahu bahwa
aku tidak bisa terlalu lama lagi bertahan. Aku akan terpaksa menjual surat utangmu
itu padanya.”
“Itu rupanya yang dimaksudkan oleh Skinny kemarin malam,” bisik Pete pada
Jupiter.
“Terima kasih atas kesediaan Anda datang memberi tahu, Don Emiliano,” kata
Pico. “Apa boleh buat, Anda harus memikirkan keluarga Anda sendiri.”
“Aku ikut merasa sedih mengingat nasib kalian. Kuharap kalian masih mau tetap
tinggal di pondokku ini."
“Tentu saja, Don Emiliano,” kata Pico. “Kita tetap bersahabat.”
Pria tua itu mengangguk, lalu meninggalkan pondok dengan langkah lambat.
Kepalanya tertunduk, ketika melintasi pekarangan di tengah hujan. Pico masih
memperhatikan kepergiannya sebentar, lalu Ia pun keluar. Sesaat kemudian anakanak
mendengarnya sibuk membelah kayu.
“Tamatlah riwayat kami,” kata Diego dengan nada putus asa.
“Belum!” tukas Jupiter dengan tandas. “Kita pasti berhäsil menemukan Pedang
Cortes, Diego!”
“Ya, pasti!” ujar Bob menimpali.
“Kita pasti berhasil!” kata Pete. “Kita akan... kita akan... wah, Jupe, apakah yang
akan kita lakukan sekarang?"
“Besok, kita harus mengumpulkan sebanyak mungkin peta kuno,” kata pemimpin
Trio Detektif dengan mantap. “Puri Nasar itu pasti merupakan - semacam petunjuk
rahasia, dan kita pasti akan berhasil menemukannya. Kalau perlu, kita teliti
segenap peta kuno yang ada di Rocky Beach!”
"Dan aku akan membantu kalian," seru Diego.
Keempat remaja itu berpandang-pandangan sambil tersenyum.
Bab 7
PETA KUNO
HARI Minggu pagi hujan masih terus turun, tapi tidak lebat lagi. Hanya rintikrintik
saja. Diego meminjam sepeda dan mantel hujan dari keluarga Emiliano Paz,
lalu pergi ke kota. Ia berjumpa dengan Jupiter di depan gedung Perhimpunan
Sejarah, sekitar tengah hari.
“Bob saat ini sedang mencari-cari di perpustakaan,” kata Jupiter, "sedang Pete
berhasil mendapat izin khusus yang diusahakan oleh ayahnya untuk memeriksa
peta-peta di Kantor Agraria Daerah.”
“Kita pasti berhasil menemukan Puri Nasar," kata Diego dengan mantap. “Aku
yakin!”
Keduanya bergegas masuk ke gedung. Di dalam nampak orang-orang sibuk
bekerja atau membaca pada meja-meja yang tersedia di ruangan-ruangan tenang
yang penuh dengan rak-rak buku. Asisten ahli sejarah yang kemarin juga kelihatan
sibuk. Tapi sambil menunjukkan ruang peta pada Jupiter dan Diego, Ia masih
sempat mengatakan, “Ada orang lain yang juga menaruh minat pada dokumendokumen
keluarga Alvaro. Orangnya tidak jauh lebih tua dari kalian, bertubuh
kurus tinggi. Ia kelihatannya berminat khusus pada kertas-kertas yang kaubuat
fotokopinya, Jupiter. Tentu saja aku tidak mengatakan apa-apa padanya."
“Itu Skinny!” kata Jupiter, ketika Ia dan Diego sudah agak jauh dari asisten itu.
“kegiatan kita rupanya benar-benar menggelisahkan hatinya.”
“Itu pasti karena Ia tahu bahwa kalian berhasil menemukan berbagai benda
berharga dalam menangani kasus-kasus selama ini,” kata Diego, “dan kini ia
khawatir, kalian juga akan menemukan harta dalam membantu kami.”
"Ya, mudah-mudahan saja,” kata Jupiter. “Tapi waktu kita yang tersisa tidak
banyak.”
Tidak ada orang dalam ruang peta yang mereka masuki. Mereka menemukan
kurang lebih lima puluh lembar peta buatan sekitar tahun 1846. Beberapa di
antaranya merupakan peta daerah, sedang yang lainnya khusus menampakkan
kawasan Rocky Beach saja. Tapi Puri Nasar tidak tertera pada satu pun dari sekian
banyak péta itu.
“Ini ada peta khusus dari tanah pertanian Alvaro saja," kata Jupiter.
“Lihatlah, betapa luas tanahnya waktu itu!” kata Diego dengan nada sedih.
“Tapi di sini pun tidak ada Puri Nasar!”
“Dan cuma inilah peta-peta yang berasal dari masa Don Sebastian."
“Baiklah,” kata Jupiter. Ia tidak begitu gampang menyerah. “Kalau begitu kita
teliti setiap peta Rocky Beach, tidak peduli betapa barunya peta itu!” -
“Atau tua!” kata Diego.
Perhimpunan Sejarah ternyata tidak banyak menyimpan peta buatan zaman
sekarang. Sedang yang berasal dari masa sebelum tahun 1840-an juga hanya
sedikit. Dan Puri Nasar tidak ada pada satu pun dari peta-peta itu. Akhirnya Jupiter
dan Diego terpaksa kembali ke kantor Trio Detektif di pangkalan barang bekas,
dengan tangan hampa.
“Mungkin Bob atau Pete bisa menemukan sesuatu,” kata Jupiter berharap.
Diajaknya Diego ke kantor dengan melewati jalan masuk utama, berupa pipa besar
yang menjulur di bawah tumpukan barang-barang bekas yang membukit dan
berujung pada sebuah pintu tingkap yang terdapat di lantai karavan. Karavan itu
sendiri tidak nampak dari luar, karena terlindung tumpukan barang bekas.
“Jalan masuk ini kami namakan Lorong Dua,” kata Jupiter menjelaskan, sementara
ia merangkak di depan Diego, menyusur lubang pipa yang besar. “Kecuali ini
masih ada lagi beberapa jalan lain. Tapi ini yang paling sering kami pakai,
sementara yang lain-lainnya untuk keperluan mendesak.”
“Wah!” seru Diego kagum, ketika ia muncul lewat lubang tingkap ke dalam
karavan. Ia melihat berkeliling, memandang meja tulis, pesawat telepon, mesin
ketik, rak-rak arsip, peralatan elektronik, kamar gelap tempat mencuci foto,
kandang-kandang burung, patung-patung yang terbuat dan bahan gips, serta segala
perkakas dan cenderamata lainnya yang dikumpulkan oleh Jupiter serta kedua
kawannya, hasil kegiatan mereka selaku penyelidik selama itu.
“Ini benar-benar hebat!” kata Diego memuji.
“Kurasa perlengkapan kami sudah benar-benar memadai sekarang,” kata Jupiter
dengan nada agak sok. "Kesemuanya ini hasil buatan dan pengumpulan kami
sendiri."
“Pantas kalian bisa dengan begitu gampang memecahkan misteri yang sulit-sulit!”
"Tidak semua kasus gampang bagi kami,” kata Jupiter, kini dengan suram.
"Menemukan petunjuk sehubungan dengan Pedang Cortes, rasanya sulit sekali!”
“Bob, atau Pete, pasti akan berhasil menemukan sesuatu,” kata Diego
membesarkan hati.
Sambil menunggu dengan perasaan tidak sabar, Diego berkeliling ruang kantor itu,
memperhatikan benda-benda yang ada di situ. Ia tidak bisa melihat ke luar, karena
jendela-jendela karavan yang kecil-kecil ukurannya itu tertutup barang-barang
bekas yang ditimbun bertumpuk-tumpuk. Sementara itu Jupiter duduk termenung.
Raut mukanya yang bundar saat itu ada kemiripannya dengan patung Alfred
Hitchcock yang sedang termenung, yang diletakkan di atas lemari arsip di
belakang remaja itu.
Beberapa waktu kemudiari pintu tingkap terangkat, dan Bob muncul dari bawah
lantai.
“Kosong!” kata anggota Trio Detektif yang menangani tugas-tugas catatan dan
riset itu. Ia menghenyakkan tubuhnya pada sebuah kursi. Tampangnya muram,
semuram wajah Jupiter. “Padahal semua buku tentang daerah sini yang ada di
perpustakaan sudah kuteliti.”
Ketika Pete akhirnya muncul lewat lubang tingkap, ketiga remaja yang sudah lebih
dulu di dalam karavan hanya perlu melihat air mukanyá saja. Mereka tidak usah
bertanya lagi.
“Jika Puri Nasar memang benar-benar punya makna tertentu, Teman-teman,” kata
Pete, “kurasa itu hanya diketahui oleh Don Sebastian dan Jose saja”
"Kita menghadapi jalan buntu, Satu." kata Bob menarik kesimpulan.
“Jangan menyerah, Teman-teman,” kata Diego. Kasihan Ia hampir tidak bisa lagi
menahan
tangis. "Kita— "
Tiba-tiba Pete kaget.
“Ssst! Dengar!” desisnya.
Selama beberapa saat keempat remaja itu membisu. Ruang karavan sunyi sepi.
Kemudian mereka semua mendengarnya: bunyi samar logam yang digeser.
Datangnya dari luar. Kemudian bunyi itu terdengar lagi, tapi kini berpindah sedikit
lokasinya. Lalu disusul bunyi mengetuk-ngetuk.
“Ssst!” desis Jupiter, sambil menempelkan telunjuk ke bibir.
Bunyi serupa terdengar kembali, datang dari tempat lain.
“Ada orang berkeliaran sambil memeriksa barang-barang bekas yang bertumpuk di
luar,” kata Bob lirih. “Seseorang yang menduga bahwa kita ada di sini!”
“Kalian tadi ada yang membuntuti?" tanya Jupiter dengan suara pelan.
“Tidak ada,” bisik Bob menjawab.
“Aku... aku tidak tahu pasti,” kata Pete. “Tadi aku buru-buru, jadi tidak sempat
mengecek.”
“Jangan ada yang bicara atau bergerak” kata Jupiter memberi instruksi.
Bunyi mengetuk-ngetuk dan menarik-narik di tengah tumpukan barang bekas
masih terdengar terus selama beberapa menit. Kemudian bunyi itu berhenti.
“Coba kaulihat, Bob,” bisik Jupiter.
Dengan hati-hati Bob menghampiri teropong buatan sendiri yang menjulur ke atas,
menembus atap karavan. Dan luar, teropong itu kelihatannya seperti sepotong pipa
usang biasa yang mencuat di sebelah atas tumpukan barang bekas. Bob mengintai
ke luar.
"Wah, itu Cody, manajer itu!” kata Bob melaporkan. “Ia melintasi pekarangan
sekarang, pergi dari sini. Tapi masih terus celingukan, mencari-cari. Nah, sekarang
dia meninggalkan pangkalan. Ia sudah pergi lagi, Teman-teman!”
Bob berpaling, memandang kawan-kawannya. “Rupanya Ia tadi membuntuti salah
seorang dari kita, untuk mengintai gerak-gerik kita. He, Jupe, jangan-jangan dia
yang kemarin menguping di tempat Emiliano Paz!”
“Dugaanku memang begitu,” kata Jupiter sambil merenung. “Skinny dan Cody
nampaknya ingin sekali mengetahui segala perbuatan kita. Aku ingin tahu,
mungkinkah mereka punya alasan lain untuk itu, di samping membantu Mr. Norris.
merebut tanah pertanian keluarga Alvaro.”
“Mungkin ada sesuatu yang mereka ketahui tentang pedang itu, dan kini ingin
menemukannya untuk dimiliki sendiri!” kata Diego.
"Itu bisa saja, Diego"
“Jika ada sesuatu yang mereka ketahui, itu berarti mereka sudah lebih berhasil
daripada kita,” ujar Pete.
Jupiter mengangguk dengan murung. “Padahal aku sudah begitu yakin, kita pasti
bisa berhasil menemukan peta kuno yang mengandung keterangan tentang apa
sebenarnya Puri Nasar itu, dan di mana letaknya.”
“Mungkin yang kita perlukan adalah peta kuno buatan orang Indian, ditambah
dengan orang Indiannya sekaligus yang bisa menjelaskan makna yang tertera di
situ,” kata Pete. Ia tertawa.
“Lucu,” tukas Bob dengan sebal “Lelucon tidak ada gunanya bagi kita untuk—”
“Nanti dulu!” seru Jupiter. “Kurasa kau berhasil menemukan jawabannya, Pete!”
Melihat reaksi Pete yang nampaknya mengira bahwa Ia diejek, Jupiter buru-buru
menyambung, “Sungguh, aku tidak main-main! Kurasa mungkin memang itulah
jawabah yang tepat! Ck, benar-benar tolol aku ini!”
“Jawaban yang mana maksudmu, Satu?” tanya Pete bingung.
“Peta yang benar-benar kuno! Soalnya, jika Don Sebastian waktu itu menggunakan
nama yang bisa ditemukan siapa saja pada peta buatan masa itu, maka orang-orang
Amerika pasti juga akan bisa! Don Sebastian sadar bahwa pihak yang menawan
dirinya pasti akan memeriksa suratnya itu. Karenanya Ia lantas menggunakan nama
yang diambil dari sebuah peta yang pada tahun 1846 pun sudah sangat kuno dan
jarang bisa diperoleh làgi, sehingga mungkin cuma dia sendiri serta Jose saja yang
mengenal nama itu! Tak terpikir olehku selama ini untuk menanyakan peta-peta
yang benar-benar kuno pada asisten di Perhimpunan Sejarah! Peta-peta begitu
sangat berharga, sehingga pasti disimpan baik-baik, tidak ditaruh begitu saja di
ruang peta. Yuk kita kembali ke sana!”
Keempat remaja itu bergegas keluar lewat Lorong Dua. Sesampainya di ujungnya
mereka merneriksa keadaan sekeliling dulu dengan seksama. Mereka bersikap
waspada, karena tidak ingin ada orang lain tahu mereka ada di situ. Apalagi jika
orang lain itu Cody! Setelah pasti bahwa keadaan aman, Jupiter mendului lari
menuju ke tempat sepeda-sepeda ditaruh.
Ketika mereka hendak meninggalkan pangkalan itu dengan sepeda masing-masing,
tahu-tahu terdengar suara lantang berseru dan seberang jalan.
“JUPITER!”
Bibi Mathilda berdiri di tangga depan rumahnya. Kelihatan jelas bahwa Ia marah.
“Ke mana saja kau ini, Bandel! Tidak ingat perayaan ulang tahun Paman Matthew
rupanya, ya?! Lima belas menit lagi kita sudah harus berangkat! Ayo pulang!
Cepat, ganti pakaianmu dengan yang rapi. Lain kali saja keluyuran dengan kawankawanmu
itu!”
“Aduh, aku benar-benar lupa!” keluh Jupiter. “Sekarang ini hari ulang tahun Kakek
Matthews yang kedelapan puluh,” katanya menjelaskan pada teman-temannya.
“Ada pesta keluarga untuknya, tempatnya jauh di seberang kota Los Angeles. Mau
tidak mau aku harus ikut ke sana, dan aku tahu pasti kami baru akan kembali larut
malam nanti. Apa boleh buat, kalian terpaksa sendiri saja meneruskan
penyelidikan.”
“Jupiter!” seru Bibi Mathilda sekali lagi. Nada suaranya kini mengandung
ancaman.
Jupiter bergegas ke seberang, sambil melambai dengan sedih ke arah ketiga
temannya.
“Apa yang kita lakukan sekarang?” kata Pete.
“Kita ke Perhimpunan Sejarah, tentu saja," jawab Bob. Tidak lama kemudian
ketiga remaja itu sudah melupakan Jupiter, karena terdesak semangat yang kembali
timbul. Mereka harus mencari peta yang benar-benar kuno, di mana mungkin
tertera keterangan mengenai Puri Nasar!
Asisten ahli sejarah yang bertugas diperpustakaan Perhimpunan Sejarah Rocky
Beach berpikir sebentar setelah mendengar pertanyaan ketiga remaja itu.
“Peta daerah sini, yang kuno sekali.” katanya. “Ya, kami memang punya satu,
dalam koleksi dokumen langka kami. Peta itu termasuk yang paling tua, berasal
dan tahun 1790. keadaannya sudah sangat rapuh, jadi kami jarang sekali
mengeluarkannya dari tempat penyimpanan.”
“Bolehkah kami melihatnya, Sir?” tanya Bob dengan nada memelas. “Kami akan
sangat berhati-hati!”
Asisten itu agak sangsi. Tapi kemudian Ia mengangguk. Diajaknya mereka ke
belakang. Dibukanya sebuah pintu, lalu diajaknya mereka masuk ke sebuah
ruangan yang tidak ada jendelanya. Ruangan itu dilengkapi dengan alat pengatur
hawa. Dokumen-dokumen yang disimpan di situ ditaruh dalam kotak-kotak kaca,
atau dalam rak-rak dengan pintu kaca. Asisten itu memeriksa sebentar catatan pada
arsip. Setelah itu ia membuka kunci sebuah lemari dan menarik sebuah kotak kaca
yang panjang dan pipih dari dalamnya. Di dalam kotak itu ada selembar péta yang
kelihatannya sudah sangat tua. Kertasnya tebal dan sudah kuning warnanya,
sedang garis-garis gambar petanya berwarna coklat. Peta itu sangat sederhana
buatannya.
"Lihat saja dari balik kacanya,” kata asisten itu.
Ketiga remaja itu membungkuk, mempelajari peta kuno yang menampakkan
kawasan Rocky Beach.
“Itu dia yang kita cari-cari” kata Diego terharu sambil menuding. “Puri Nasar, tapi
dalam bahasa Spanyol."
“Di sana rupanya letaknya!” kata Bob bergairah.
“Ya, di tanah pertanian Alvaro, jika garis bengkok-bengkok ini maksudnya sungai,
yaitu Santa Inez Creek,” kata Diego.
“Tunggu apa lagi kita sekarang?” seru Pete.
Mereka mengucapkan terima kasih pada asisten ahli sejarah lalu bergegas keluar,
meninggalkan petugas itu yang hanya melongo saja.
Bab 8
PURI NASAR
HUJAN sudah reda. Tapi awan gelap masih berarak rendah di atas pegunungan
ketika Bob, Pete, dan Diego memacu sepeda mereka melalul jalan tanah di
pertanian Alvaro. Mereka menuju ke bendungan tua, tempat mereka memerangi
api dalam peristiwa kebakaran yang lalu. Ketika tiba di bagian jalan yang menurun
ke sisi cekungan kering serta punggung bukit rendah sebelum sampai di
bendungan, Diego berhenti.
“Jika aku tidak keliru membaca peta tadi, maka yang namanya Puri Nasar itu
puncak karang yang terdapat di ujung punggung bukit yang terakhir ini,” kata
remaja berlubuh langsing itu. “Santa Inez Creek terletak langsung di belakangnya.”
Mereka meninggalkan sepeda-sepeda mereka di tempat yang tersembunyi dalam
semak di tepi jalan, lalu merambah belukar lebat sampai ke tepi arroyo, yaitu
cekungan sempit dan dalam itu. Dan tempat mereka saat itu, bendungan tidak
nampak. Letaknya di sisi kiri mereka, di balik bukit rendah bersemak lebat yang
menutup ujung arroyo.
Anak-anak memandang ke puncak punggung bukit yang terbentang di seberang
cekungan. Di ujung kiri, tidak jauh sebelum punggung bukit itu menukik dan
berakhir pada bukit rendah, nampak sebuah cadas yang tinggi menjulang.
“Pasti itu dia yang kita cari!” kata Diego lagi. “Tepat pada posisi yang ditunjukkan
dalam peta.”
“Apa namanya sekarang?” tanya Pete, sementara mereka merangkak-rangkak turun
ke dalam arroyo lalu mendaki sisi bukit di seberang.
“Sepanjang pengetahuanku, cadas itu tidak ada namanya,” jawab Diego.
Lereng bukit yang tinggi itu terbagi dalam dua bagian. Bagian sebelah bawah
sampai dua pertiganya landai, dengan batu-batu besar dan belukar bertaburan.
Sedang sepertiga bagian sebelah atas lebih curam dan hampir seluruhnya terdiri
dari batu-batu, tanpa ada semak sama sekali. Napas anak-anak sudah tersengal
sengal ketika mereka akhirnya berdiri di atas cadas raksasa yang merupakan
puncak punggung bukit yang panjang itu.
“Puri Nasar,” ujar Bob. Ia terpesona.
Dari atas cadas besar itu nampak seluruh daerah di sekeliling kecuali bagian
sebelah utara, di mana terdapat gunung-gunung yang menjulang. Tapi di depannya
nampak bendungan serta sungai kecil di belakangnya, dengan belukar yang hangus
di kedua sisinya.
“Air sungai sebelah atas bendungan sudah bertambah,” kata Diego sambil
menunjuk. “Waduk sudah penuh, sehingga airnya melimpah sedikit lewat tepi atas
bendungan. Kalau masih hujan terus, tidak lama lagi batang sungai di bawah juga
akan berair”
Bob menunjuk ke bawah, ke arah bukit kecil yang terdapat di bagian kaki bukit
yang memanjang. “Lihatlah, betapa bukit kecil itu memisahkan arroyo dan sungai
kecil serta bendungan,” katanya. “Jika bukit itu tidak ada, arroyo itu juga akan
menjadi sungai pula."
Anak-anak membalikkan tubuh, lain mengamat-amati pemandangan pada sisi yang
lain. Di sebelah barat nampak jalan serta arroyo dalam yang memanjang ke arah
selatan, menuju ke puing-puing rumah pertanian keluarga Alvaro yang letaknya
hampir satu mil dari situ. Tepat di arah selatan terdapat sejumlah bukit memanjang
lagi yang memencar. Lalu jauh di belakangnya, nampak kota Rocky Beach dan
Samudra Pasifik, yang kelihatan berwarna kelabu gelap pada hari yang mendung
itu. Di selatan, di balik punggung bukit memanjang yang tinggi, kelihatan sungai
kecil yang bernama Santa Inez Creek, melengkung ke tenggara. Sungai itu tidak
kelihatan kering lagi sekarang. Di seberang batang sungai yang datar itü terbentang
dataran yang ditumbuhi belukar. Jauh di belakang, sekitar satu mil jauhnya, anakanak
melihat bangunan-bangunan ranch milik Mr. Norris. Jalan yang melintasi
tanah pertanian ayah Skinny itu dari selatan menuju ke bendungan, lalu
menghilang ke arah utara, masuk ke daerah pegunungan.
"Kenapa ya, tempat ini dinamai Puri Nasar,” tanya Pete ingin tahu. “Aku tidak
melihat ada burung nasar di sini”
“Kau boleh mengucap syukur,” kata Bob sambil tertawa. “Burung nasar itu kan
pemakan daging. Biasanya memang bangkai yang disikat, tapi siapa tahu—
mungkin mereka juga mau melahap dagingmu!”
“Mungkin,” kata Diego menduga, “nama itu timbul karena pandangan lapang yang
nampak dari sini. Burung nasar kan selalu hinggap di tempat-tempat tinggi, supaya
bisa melihat kalau ada bangkai di kejauhan."
“Itu bisa saja,” kata Bob, “tapi sekarang ini kita jangan merepotkan nama. Kita
kemarii ini untuk mencari Pedang Cortes! Menurut kalian, kira-kira di mana Don
Sebastian rnenyembunyikannya,
“Mestinya ada tempat penyembunyian di atas sini,” jawab Pete. “Sebuah lubang
atau celah di sela batu, atau mungkin bahkan sebuah gua. Yuk, kita cari saja!”
Ketiga remaja itu memencar untuk mencari di bagian atas cadas itu. Tapi dengan
segera mereka tahu bahwa di situ sama sekali tidak ada lubang, atau celah. Sisi atas
cadas itu rata permukaannya, hampir serata batu marmer. Mereka memeriksa
sambil mengentak-entakkan kaki, dan meraba-raba sepanjang sisi tebingnya yang
curam, sejauh jangkauan lengan mereka. Tapi hanya batu mulus semata-mata yang
terasa.
"Tidak ada apa pun juga yang disembunyikan di atas cadas ini!” kata Pete. “Kita
coba saja sekarang di bagian bawähnya, di lereng bukit.”
Bob mengangguk.
“Oke! Kau mencari di bagian sungai, Pete, sedang aku dan Diego di sisi arroyo.”
Ketiga remaja itu bergegas menuruni puncak itu, lalu melanjutkan pencarian. Pete
mencari sambil menuruni lereng di sebelah atas Santa lnez Creek yang saat itu
sudah mulal berisi air. Pencarian dilakukannya dengan gerakan melingkar, yang
semakin melebar ke bawah. Ia menemukan sejumlah batu yang longgar letaknya.
Tapi tilak ada celah atau lubang. Tidak ditemukannya tempat yang aman, di mana
mungkin disembunyikan sebilah pedang.
Akhirnya Pete putus asa. Ia mengambil jalan mengitari ujung utara punggung
bukit, untuk menggabungkan diri dengan Bob dan Diego. Sementara itu keduanya
sudah hampir selesai memeriksa lereng di bagian mereka.
“Sama sekali tidak ada lubang atau celah yang bisa dijadikan tempat
menyembunyikan sesuatu, Dua,” kata Bob mengeluh.
“Mungkin pedang itu dikubur dalam tanah oleh Don Sebastian,". ujar Diego.
Pete mengerang.
“Aduh, kalau benar begitu” katanya, “kita terpaksa menggali seluruh permukaan
bukit ini. Sampai tua!”
“Kurasa Don Sebastian tidak menguburkannya, Diego,” kata Bob sambil berpikirpikir.
“Jika Jupiter benar dengan teorinya, yaitu bahwa Don Sebastian berhasil
meloloskan diri dari kejaran lalu pergi menyembunyikan pedangnya, maka
waktunya tidak mungkin banyak untuk melakukannya secara cermat. Coba
bayangkan, jika kalian jadi dia. Ia tahu bahwa dirinya dalam keadaan gawat dan
mungkin tidak bisa kembali untuk mengambil pedangnya. Ia menyadari bahwa ada
kemungkinan Jose baru lama kemudian bisa kembali. Ia juga tahu bahwa Ia sudah
hampir tersusul oleh Sersan Brewster beserta konco-konconya. Jika dalam keadaan
begitu Don Sebastian masih memutuskan untuk menyembunyikan pedang itu
dengan jalan menguburnya dalam tanah, maka tempat itu perlu diberinya tanda
dengan jelas agar bisa ditemukan oleh Jose. Sebab kalau tidak, pasti akan lenyap
untuk selama-lamanya. Tapi jika Ia membuat tanda, Sersan Brewster yang
mengejar pasti juga akan melihatnya, den bisa menebak maknanya.” Bob
menggeleng, lalu melanjutkan, “Tidak, aku yakin Don Sebastian tidak
menguburkan pedang itu. Yang lebih mungkin adalah menyembunyikannya di
suatu tempat dekat Puri Nasar. Di suatu tempat yang pasti akan terpikir oleh Jose.
Tempat itu harus tidak perlu dipersiapkan dulu, karena itu akan memakan waktu.
Dan juga tidak perlu diberi tanda secara khusus.”
“Tapi di mana?” kata Pete, sambil memandang berkeliling.
“Yah, bisa dibilang kita sudah bisa memastikan, pedang itu tidak ada di dekatdekat
Puri Nasar, di atas punggung bukit ini,” kata Bob. “Jadi cadas itu kita
pikirkan saja sebagai tanda, sebagal petunjuk untuk lingkungan sini. Mestinya di
dekat-dekat sini ada suatu tempat yang sering didatangi oleh Don Sebastian dan
Jose. Diego, adakah—”
“Bagaimana dengan bendungan?” kata Diego menyarankan. “Bendungan itu sudah
ada waktu itu."
“Bendungan?” kata Bob. “Ya, kenapa tidak?”
Diego berjalan mendului, menyusur sisi punggung bukit lalu melintasi bukit
rendah di ujungnya. Bukit kecil itu menjorok ke sudut sebelah kiri bendungan. Air
memancur dari pintu bendungan yang sebelah tengah dan jatuh berhamburan di
dasar sungai kecil yang terletak sekitar sepuluh meter di bawah. Anak-anak
bergegas ke bawah dari bukit kecil lalu meloncat turun ke sungai, tanpa peduli
bahwa dengan begitu kaki mereka menjadi basah. Mereka memeriksa seluruh
permukaan bendungan, sejauh kemampuan lengan mereka menjangkau.
Bendungan itu terbuat dari batu-batu yang jumlahnya ratusan, mungkin bahkan
ribuan. Batu-batu itu disusun saling merapat dan diikat dengan semacam semen.
Tidak ada batu yang longgar letaknya pada permukaan bendungan. Tidak ada
lubang atau celah di situ.
“Bendungan ini benar-benar padat, seperti
baja,” kata Pete.
“Orang-orang Indian setempat yang membuatnya hampir dua abad yang lalu, atas
permintaan keluargaku waktu itu,” kata Diego.
“Yang jelas, hasil pekerjaan mereka sangat baik. Sama sekali tidak ada celah pada
permukaannya, di mana mungkin disembunyikan sebuah pedang,” kata Bob.
“Setidak-setidaknya pada bagian sebelah bawah sini. Jika di sebelah atas sana ada,
diperlukan tangga untuk mencapainya, dan Don Sebastian kemungkinannya waktu
itu tidak membawa tangga. Tapi kita coba saja memeriksa bagian sebelah atas
sana.”
Mereka kembali mendaki bukit rendah. Berulang kali kaki mereka terbenam di
bagian-bagian yang becek karena air hujan. Dari bukit kecil mereka naik ke sisi
atas bendungan. Sisi atas itu lebarnya hampir dua meter, dan juga terbuat dari batubatu
yang .disusun rapat. Tapi di tempat itu terdapat lubang-lubang serta celahcelah.
Anak-anak lantas memencar untuk melakukan pencarian. Tapi setengah jam
kemudian mereka terpaksa menyerah.
“Jika pedang itu ada di bendungan ini,” tukas Pete dengan geram, “untuk bisa
menemukannya kita harus membongkar bendungan."
“Don Sebastian waktu itu tidak mungkin punya waktu untuk mencari tempat
penyembunyian yang aneh-aneh,” kata Bob mengingatkan. “Kurasa kita sekarang
bisa mengatakan dengan pasti, pedang itu tidak disembunyikan di sini. Dan itu
berarti kita menghadapi jalan buntu. kita terpaksa mencari petunjuk lain.”
“Mencarinya di mana, Bob?” tanya Pete. “Segenap dokumen tentara sudah kita
teliti dengan cermat. Dan Don Sebastian pada waktu itu hanya menulis satu surat
yang itu saja.”
“Dia tokoh penting, dan mestinya banyak temannya di kawasan sini," kata Bob.
"Mungkin ia dibantu orang lain, atau mungkin juga ada orang yang melihatnya hari
itu. Kita perlu menemukan sesuatu yang bisa memberi keterangan lebih banyak
tentang apa yang dilakukannya, atau bahkan barang sesuatu yang dikatakannya.”
"Wah," kata Diego dengan sikap sangsi, "kejadiannya kan sudah zaman dulu,
Bob.”
“Memang betul, tapi pada masa itu, ketika telepon belum ada, orang lebih sering
menulis surat dan lebih banyak yang dibicarakan dalam surat-surat mereka,” kata
Bob. “Selain itu, banyak. orang yang memiliki buku harian. Mungkin pula waktu
itu pun sudah ada surat kabar. Kurasa kita akan bisa menemukan bahan-bahan
yang berguna di—”
“Ya, ya, kau tidak perlu mengatakannya lagi,” kata Pete sambil mengeluh. “kita
kembali ke Perhimpunan Sejarah! Ih, pekerjaan detektif kadang-kadang
membosankan!”
Bob tertawa mendengar keluhan itu..
“Kurasa kau nanti tidak perlu membacanya, Pete, karena kebanyakan dokumen
kuno itu mungkin ditulis dalam bahasa Spanyol! Tapi lebih baik urusan itu kita
tangguhkan saja sampai besok, apabila Jupiter sudah ada lagi untuk membantu kita
mengadakan pelacakan. Kecuali itu, aku sama sekali belum sempat membuat PR
selama akhir pekan ini."
Pete mengeluh lagi, karena saat itu baru teringat bahwa ada tugas-tugas sekolah
yang masih harus dikerjakan.
Ketiga remaja itu berjalan lewat sisi atas bendungan, hendak menuju sepedasepeda
mereka yang ditaruh di tepi jalan. ketika mereka baru saja turun dari
bendungan, tiba-tiba Pete berhenti.
“He, Diego,” katanya, sambil memandang ke arah kanan, “di tanah pertanianmu
ada yang memiliki empat ekor anjing besar berbulu hitam?"
"Anjing?" kata Diego. “Tidak, aku —"
"Aku melihat anjing-anjing yang kaumaksudkan, Dua,” kata Bob dengan nada
agak cemas.
Keempat anjing hitam yang besar-besar itu nampak di kejauhan, di bagian hulu
waduk dan di belakang daerah yang terbakar pada sisi sungai kecil yang termasuk
tanah keluarga Alvaro. Keempat ekor binatang itu berjalan mondar-mandir dengan
sikap gelisah di depan segerombol pohon dan belukar lebat. Lidah mereka yang
merah terjulur keluar, sedang mata mereka nampak berkilat-kilat.
“Wah,” kata Bob gugup, “kelihatannya galak-galak, dan— "
Saat itu terdengar suitan melengking, yang entah dari mana datangnya. Pete
berbalik dengan cepat, lalu menuding ke seberang bendungan yang baru saja
mereka lewati.
“Itu isyarat! Cepat, lari ke seberang. Kita harus berlindung ke atas pohon-pohon
yang di sana itu!”
Keempat ekor anjing yang kellhatan di kejauhan itu lari menuju bendungan.
Mereka menyeringai memamerkan taring, siap untuk menerkam! Anak-anak lari
pontang-panting menyeberangi bendungan lagi, lalu melintasi bagian yang
berbatu-batu menuju sederet pohon ek yang sudah tua, sekitar lima puluh meter
dari bendungan.
“Ter... terlalu... jauh... jaraknya!” kata Bob terputus-putus.
“Ki.. kita... tidak... mungkin... bisa... mencapainya!” keluh Diego dengan napas
tersengal-sengal.
“Percepat lari kalian!” desak Pete.
“Pete!” teriak Diego sambil menoleh ke belakang. “Mereka berenang!”
Keempat anjing yang nampak galak-galak itu ternyata tidak mengambil jalan yang
lebih cepat bagi mereka, yaitu mengitari waduk lalu melintasi bendungan! Tidak,
mereka langsung mencebur ke dalam waduk, lalu berenang menuju seberang.
Mereka berenang dengan tangkas, dan tidak lama kemudian sudah melompat ke
luar lagi dari air dan meneruskan pengejaran. Tapi keterlambatan karena harus
berenang itu sudah cukup bagi ketiga remaja yang dikejar!
Pete dan kedua temannya sampai di bawah pohon-pohon ek lalu buru-buru
memanjat ke atas. Mereka duduk di dahan-dahan yang kekar, memandang keempat
anjing yang meloncat-loncat sambil menggeram-geram di bawah kaki mereka.
Ketiga remaja itu tidak bisa ke mana-mana lagi!