Pendekar Mabuk 39 - Pisau Tanduk Hantu(2)


Suto Sinting segera tarik napas lega dan hilangkan kekagetannya, tapi Teratai Kipas masih memandang penuh keheranan. Buat Suto Sinting, bukan hal aneh lagi jika ia melihat kemunculan seorang kakek berpakaian serba putih, bahkan rambut, alis, dan bulu-bulu kakinya serba putih uban.
Kakek itu tak lain adalah kakek misterius yang ditemuinya sebelum Suto menyelamatkan Pande Bungkus yang hanyut terbawa arus banjir beberapa waktu yang lalu.

"Siapa orang sakti itu?" bisik Teratai Kipas menganggap kakek itu orang sakti karena mampu berdiri di atas sehelai daun sereh tanpa patah. Suto Sinting segera menjawab,
"Dia itulah yang berjuluk Setan Merakyat, kakak dari si Bongkok Sepuh yang kau kenal lewat cerita-cerita gurumu. Bongkoh Sepuh sendiri dulu dikenal dengan nama si Setan Arak!"

Pendekar Mabuk segera memberikan hormat sekadarnya, Teratai Kipas ikut-ikutan karena merasa takut terkena kutuk sang tokoh tua nan sakti itu. Gerak kemunculannya tidak menimbulkan suara tidak pula menimbulkan hembusan angin. Teratai Kipas yakin, biasanya orang seperti Setan Merakyat dapat menghajar seseorang melalui ucapannya saja.

"Ada keperluan apa Eyang Bapa Guru Murdawira menemuiku di sini?" tanya Suto Sinting dengan menyebutkan nama asli si Setan Merakyat itu.

"Aku hanya ingin tanyakan kesiapanmu. Sudahkah kau siap menerima salah satu ilmuku yang hanya bisa kuturunkan pada pemuda tanpa pusar sepertimu?"

"Aku masih punya masalah, Bapa Guru. Aku belum siap menerima ilmumu."

"Masalahmu belum selesai? Oh, ya... baik. Akan kutunggu sampai masalahmu selesai, dan aku selalu membayang-bayangimu, Anak Muda. Tapi ketahuilah, aku baru saja bertemu dengan gurumu; Gila Tuak dan Bidadari Jalang untuk meminta izin menitipkan ilmuku kepadamu. Kedua gurumu itu setuju dan mengizinkannya. Tapi lebih baiknya lagi, kau memang harus menghadap dan bicara sendiri tentang izin itu kepada kedua gurumu tersebut."

"Nanti jika masalahku sudah rampung, aku akan menghadap kedua guruku ke Jurang Lindu dan ke
Lembah Badai!"

"Baik. Kutunggu kesiapanmu. Tapi perlu kau ketahui, baru saja kau telah lakukan suatu kebodohan besar dalam sejarah hidupmu, Pendekar Mabuk."

Suto Sinting kaget dan memandang Setan Merakyat yang turun dari atas daun sereh liar itu. Suto pun bertanya, "Kebodohan apa yang telah kulakukan?"

"Melepaskan seorang pencuri yang sedang kau kejar-kejar itu."

"Maksudmu...?"

"Durjana Belang kau biarkan lari, padahal memang dialah yang sekarang ini memegang Pisau Tanduk Hantu. Aku merasakan sekali getaran gaib pisau pusaka itu saat ia kulihat sedang bicara denganmu tadi! Cari dia dan paksa supaya dia mengaku siapa dirinya sebenarnya!"

"Tap... tapi pisau itu tidak ada padanya, Eyang Bapa Guru."

"He, he, he, he...! Siapa bilang dia tak memiliki Pisau Tanduk Hantu? Kau telah tertipu mentah-mentah olehnya, Suto. Cari dia dan temukan pisau itu sebelum terlalu banyak makan korban."
***5

PERJALANAN pulang ke Negeri Majageni tertunda beberapa hari gara-gara Teratai Kipas harus membantu Suto Sinting menangani masalah Pisau Tanduk Hantu.

Teratai Kipas sendiri merasa senang bisa mendampingi Pendekar Mabuk karena di balik susah payahnya terselip kebanggaan yang hanya bisa dirasakan oleh dirinya saja.

Tetapi Pendekar Mabuk menjadi tak enak hati atas penundaan itu.

"Apa kata orangtuamu nanti jika kau tidak segera pulang? Prabu Wiloka pasti akan menyangka putri kesayangannya dilarikan oleh Pendekar Mabuk dan tak urung aku mendapat kecaman dari sang Prabu."

"Itu urusanku, biar aku yang menjelaskan kepada ayah tentang keterlambatan ini," ujar Teratai Kipas seakan siap membela Suto mati-matian jika terjadi kecaman atau tuduhan yang dilontarkan dari pihak istana.

Pendekar Mabuk tidak bisa memaksa Teratai Kipas lagi. Gadis itu pun agaknya keras kepala dalam urusan yang satu ini. Tiga hari telah lewat, Teratai Kipas masih tak ingin tinggalkan Suto Sinting.

"Sebelum masalah ini selesai aku belum ingin pulang ke istana," ujar Teratai Kipas. "Aku bukan hanya senang mendampingimu saja, tapi juga penasaran dan ingin tahu siapa pemegang Pisau Tanduk Hantu sebenarnya. Aku ingin ikut membela kebenaran. Setidaknya buat pengalaman hidupku sebelum aku kembali menjadi putri keraton Majageni. Kalau aku sudah menjadi putri keraton dan apalagi sudah menggantikan kedudukan ayahku, aku tak akan mudah ikut membantumu dalam menegakkan kebenaran dan memerangi kejahatan seperti saat ini. Jadi biarkanlah aku ikut untuk yang terakhir kali hidupku sebagai gadis pengembara."

Suto Sinting semakin tak bisa bicara apa-apa, sehingga ia hanya bisa angkat kedua pundak tanda pasrah.

Pengejaran Suto terhadap Maling Sakti tak sengaja membawanya ke arah tempat berdirinya Perguruan Tongkat Sakti. Pengejaran ini terpaksa terhenti karena banyaknya mayat yang bergelimpangan di sana-sini sepanjang jalan menuju Perguruan Tongkat Sakti. Mata Suto dan Teratai Kipas memandang dengan terheran-heran.

Asap mengepul di pusat perguruan. Pintu gerbang perguruan hancur, hangus terbakar dan tinggal sisanya menghitam di sana-sini. Suasananya sepi dan mencekam. Bau daging bakar yang hangus menandakan banyaknya korban manusia yang ikut terbakar dalam reruntuhan itu.

"Seganas inikah Durjana Belang itu menurutmu, Teratai?" tanya Suto kepada Teratai Kipas, karena gadis itu tampak hanyut dalam lamunan ketegangan.

"Mungkin saja Durjana Belang bisa seganas ini.

Entah dendam apa yang ia miliki terhadap Perguruan Tongkat Sakti, yang jelas ia berhasil menghancurkan perguruan ini. Mungkin bukan saja dendam karena kedua temannya; Roh Seribu Dewa dan si Kumis
Tengkorak, dibunuh oleh Malaikat Miskin menggunakan pisau itu. Mungkin ada dendam lain yang...."

"Tunggu, tunggu...," Suto Sinting sengaja hentikan ucapan Teratai Kipas. "Apakah kau yakin bahwa si Maling Sakti punya anggapan bahwa Malaikat Miskin yang menggunakan Pisau Tanduk Hantu untuk membunuh kedua temannya? Bukankah pisau itu ada di tangan Maling Sakti sendiri? Tentunya ia tak akan menduga bahwa Malaikat Miskin-lah yang mencelakai kedua temannya itu?"

"Aku tak yakin dengan kata-kata Setan Merakyat. Sebab kita sudah menggeledah Maling Sakti dan pisau itu tidak ada padanya. Kita sudah coba serang dia melalui tenaga dalam Jelita Bule, tapi toh dia bisa tumbang. Kurasa dia bukan Maling Sakti yang memiliki Pisau Tanduk Hantu!"

"Setan Merakyat lebih tahu dari kita, Teratai. Aku cenderung mempercayai kata-katanya. Ingat, apakah orang yang kala itu menelan Batu Sembur Getih mempunyai perbedaan rupa maupun pakaiannya? Kurasa tidak. Ya dia itulah orangnya."

"Lalu, mengapa kala diserang Jelita Bule ia bisa terpental? Mestinya dia tidak bisa diserang, bahkan wajahnya tak bisa memar merah kala ditampar!"

"Mungkin ia bisa kendalikan kekuatan Batu Sembur Getih, sehingga di depan kita kekuatan Batu Sembur Getih bagaikan tidak berfungsi sama sekali. Di belakang kita kekuatan itu digunakan sebagaimana mestinya."

"Lalu tentang pisau itu?"
"Mungkin ia punya cara sendiri untuk menyembunyikannya."

Teratai Kipas diam, merenungkan pendapat Suto Sinting. Sambil merenungkan kata-kata itu matanya mengawasi reruntuhan Perguruan Tongkat Sakti.

Langkahnya pelan, mengenali setiap mayat yang ada di sekitar tempat itu. Akhirnya terpetiklah gagasan baru dalam pemikiran Teratai Kipas.

"Kurasa ada seseorang yang telah berhasil merebut Pisau Tanduk Hantu dari tangan si Maling Sakti sebelum ia bertemu dengan kita tempo hari itu."

"Maksudmu, Pisau Tanduk Hantu pindah tangan?"

"Ya. Karena jika Maling Sakti mengamuk di sini, maka mayat-mayat ini tidak akan ada. Kalau toh ada hanya beberapa saja. Maling Sakti pasti membuat para korban menjadi manusia bayangan, ia akan menggoreskan pisau pusaka itu kepada para korban di sini. Tak mungkin hanya menggunakan kekuatan tenaga dalamnya saja jika memang Pisau Tanduk Hantu masih menjadi miliknya."

Kini ganti Pendekar Mabuk yang merenungkan kata-kata Teratai Kipas. Menurutnya, memang ada benarnya pendapat Teratai Kipas. Barangkali memang benar bahwa pisau tersebut sudah pindah tangan dan tidak ada pada diri Maling Sakti. Hal yang dipertanyakan adalah; siapa orang yang berhasil merebut Pisau Tanduk Hantu dari tangan Maling Sakti?

"Aneh, di sini tidak ada mayat Malaikat Miskin dan Menak Goyang," ujar Teratai Kipas seraya masih menatap ke sana-sini.

"Barangkali mereka kabur saat melihat kesaktian Durjana Belang menghancur-leburkan tempat ini!"

"Rasa-rasanya janggal sekali kalau Durjana Belang bisa membuat Malaikat Miskin terdesak dan melarikan diri."

"Mengapa janggal? Bukankah Durjana Belang telah menelan Batu Sembur Getih? Tentunya kekuatannya berlipat ganda dan dapat untuk mengalahkan kesaktian si Malaikat Miskin!"

Baru saja Teratai Kipas ingin ucapkan kata, tiba-tiba tubuhnya tersentak naik dan bersalto di udara satu kali.

Wuuk...! Pendekar Mabuk cepat palingkan wajah pandangi gerakan Teratai Kipas. Pada saat itu ia melihat seberkas sinar merah pecah-pecah sedang menerjang tubuh Teratai Kipas. Sinar merah pecah-pecah yang dihindari itu ganti menyerang ke arah Pendeka Mabuk, karena keadaan Suto berdiri sejajar dalam satu arah dengan Teratai Kipas.

Gerakan sinar merah yang cepat itu membuat Suto tak sempat mengambil bumbung tuaknya, sehingga tangan kirinya digunakan sebagai penghadang sinar merah tersebut. Dari tangan kiri Suto Sinting keluar sinar membara warna biru. Belum sempat melesat keluar, baru saja tersumbul dari telapak tangannya sudah harus dihantam oleh sinar merah pecah-pecah itu.

Akibatnya sinar merah tersebut menghantam tangan kiri Suto Sinting dengan menimbulkan ledakan yang cukup besar.
Blaaarrr...!

Tentu saja tubuh Suto Sinting terhempas kehilangan keseimbangan, ia jatuh berjungkir balik di bawah pohon delapan langkah dari tempatnya berdiri semula.

Sedangkan orang yang menyerang dengan sinar merah pecah-pecah itu segera muncul dari tempat persembunyiannya pada saat Teratai Kipas sudah mencabut kipasnya dan Suto Sinting berusaha bangkit dengan lemah.

"Malaikat Miskin...!" seru Teratai Kipas dengan sikap menantang. "Mengapa kau menyerang kami? Apakah kau ingin bikin perkara dengan Pendekar Mabuk?"

"Jangan berlagak bodoh, Kipas Sate!" ejek Malaikat Miskin dengan wajah penuh gumpalan amarah.

Pendekar Mabuk cepat-cepat minum tuaknya untuk menghilangkan rasa sakit dan luka dalam akibat menghadang pukulan jarak jauhnya si Malaikat Miskin tadi. Teratai Kipas sengaja memberikan kesempatan kepada Pendekar Mabuk untuk sembuhkan diri dengan tuak, sehingga untuk sementara Teratai Kipas bertekad melayani kemarahan Malaikat Miskin semampunya.

"Tak kusangka ternyata kalian berdua lebih kejam dari orang-orang Bukit Kopong! Sekian banyak muridku yang tak tahu apa-apa kalian jadikan korban dan perguruanku kalian bumi hanguskan seperti ini!"

"Bicaralah yang benar, Malaikat Miskin! Jangan memandang dengan sebelah mata!" pancing Teratai Kipas agar perhatian Malaikat Miskin tidak tertuju pada Pendekar Mabuk yang disangka masih terluka parah itu.
Padahal Suto Sinting sudah mulai segar kembali setelah menenggak tuaknya. Bahkan ia sudah mampu berdiri dengan tegak dan melangkah dengan gagahnya.

"Kau hanya sekadar mencari kambing hitam untuk melampiaskan kemarahanmu, Malaikat Miskin," kata Teratai Kipas dengan lantang. Tak ada hormat sedikit pun kepada bekas guru kekasihnya yang sudah tiada itu.

"Kalian ingin mengelak? Kalian sudah kepergok, tak mungkin bisa menghindar dari tuduhanku!" suara Malaikat Miskin cukup keras, ia melangkah dengan penuh waspada sambil bertumpu pada tongkatnya yang mempunyai tiga cabang bagian atasnya itu.

"Malaikat Miskin," seru Suto Sinting yang kini sudah berada di samping Teratai Kipas, "Siapa yang lakukan pembumihangusan perguruanmu ini! Apakah kau melihat kami melakukannya?"

"Siapa lagi jika bukan kalian!" bentak Malaikat Miskin yang mengenakan jubah abu-abu bertambal-tambal seperti gelandangan itu. "Ketika aku melihat kepulan asap dari kejauhan sana, aku mulai cemaskan perguruanku. Lalu kuhampiri kemari dan ternyata kutemukan kalian berdua ada di sini! Tentu saja aku tak bisa mengalihkan tuduhan kepada orang lain, sebab yang kutemukan di sini adalah kalian!"

"Justru kami sedang selidiki siapa menghancurkan perguruanmu ini!" sahut Teratai Kipas. Gadis itu tampak ngotot sekali karena hatinya panas dituduh sebagai pembantai orang-orang perguruan tersebut.

"Kalian tak perlu banyak mulut lagi! Sekarang terimalah pembalasanku inil Heaaahhh...!" si Malaikat
Miskin tiba-tiba sentakkan tongkatnya ke depan. Dari tiga ranting di ujung tongkat itu keluar tiga sinar berwarna hijau lurus. Sasarannya tertuju kepada Suto Sinting dan Teratai Kipas; dua ke arah Suto, satu ke arah Teratai Kipas. Tentu saja serangan itu dihadapi oleh kedua orang tersebut. Suto Sinting menangkisnya memakai bumbung tuak, sedangkan Teratai Kipas menghadang sinar hijau dengan bentangan kipas emasnya itu.

Blaaar...! Drrabb...! Wuuurrrss...!

Teratai Kipas terpental karena tak kuat menahan sentakan sinar hijau yang bertenaga besar dan berbahaya itu. Tubuhnya melayang-layang dan membentur pohon.

Sedangkan Suto Sinting masih tegak berdiri karena sinar hijau itu bisa dikembalikan dengan tangkisan bumbung tuaknya. Sekalipun tubuh Suto meliuk bagai orang mabuk hendak jatuh, namun gerakan bumbung tuaknya sangat tepat menangkis dua sinar hijau.

Kedua sinar hijau kembali ke pemiliknya dengan lebih besar dan lebih cepat lagi. Malaikat Miskin menggeragap dan segera melompat ke samping dan berguling-guling di tanah menghindari sinar hijaunya.

Sinar itu akhirnya menghantam reruntuhan bangunan perguruannya yang masih tersisa. Reruntuhan itu hancur menjadi serbuk halus yang tak bisa terlihat lagi ke mana gerakannya. Sedangkan Malaikat Miskin bangkit dengan tongkatnya dan memandang akibat benturan hijau itu dengan mata terbelalak, terheran-heran.
"Sehebat itukah jurus sinar hijauku itu? Rasa-rasanya tak akan sampai membuat bangunan menjadi hancur selembut debu?! Gila! Bumbung tuak bocah itu benar-benar berbahaya!" Malaikat Miskin membatin.

Terdengar pula suara Suto Sinting yang tak mau melepaskan serangan balasan,

"Kuingatkan sekali lagi, Malaikat Miskin..., jangan mengumbar kemarahanmu kepada kami! Kami bukan pelaku penghancuran ini!"

"Aku tak percaya!" geram Malaikat Miskin. Tiba-tiba tangan kirinya menyentak ke depan. Claaap...! Sinar merah lurus melesat ke arah dada Suto Sinting. Dengan cepat pula jurus 'Tangan Guntur' digunakan oleh Suto Sinting. Sinar biru melesat dari tangan Suto dan bertemu di pertengahan jarak dengan sinar merahnya Malaikat Miskin. Sinar-sinar itu tidak meledak tapi saling dorong bagai ingin mendesak ke arah lawan masing-masing.

Pertemuan sinar itu memancarkan sinar lebar memercik-mercik. Kadang bergerak mendekati Suto, kadang bergerak mendekati Malaikat Miskin. Rupanya kedua tokoh itu saling adu kekuatan tenaga dalam, sehingga keduanya sama-sama gemetar, sekujur tubuh mereka bergetar dan urat-urat di leher dan tangan saling bertonjolan keluar, bagai ingin merobek kulit tubuh mereka. Malaikat Miskin langsung bercucuran keringat bagai habis mandi, tapi Suto Sinting hanya berkeringat tipis di keningnya.

Tiba-tiba Malaikat Miskin angkat tongkatnya dan dari salah satu ranting di atas tongkat itu memancarkan sinar hijau lagi. Slaaap...!

Tapi gerakan Suto Sinting masih mampu melebihi kecepatan sinar tersebut. Bumbung tuaknya diarahkan ke depan dan sinar itu menghantam bumbung tuak, memantul balik dan membuat pusat perhatian Malaikat Miskin menjadi guncang. Zlaaap...!

Malaikat Miskin terpaksa harus hindari sinar hijau yang mengarah ke dadanya. Sinar yang membias dari bumbung Suto itu dihindari dengan cara memiringkan badan. Tapi akibat menghindari sinar hijau, adu kekuatan dengan menggunakan sinar merahnya itu menjadi lemah. Akibatnya sinar biru Suto mendesak lebih kuat dan menghantam tubuh Malaikat Miskin.

Blaaarr...! Blegaaar...!

Sinar hijau menghantam pohon, tubuh Malaikat Miskin terpental karena dihantam ledakan kuat dari sinar birunya Suto Sinting. Dada tokoh tua itu menjadi hangus sampai pada kain bajunya yang tampak hitam bagaikan habis dibakar api berdaya panas tinggi.

"Huuuhhg...!"

Malaikat Miskin mengerang di tempatnya jatuh, ia tersandar pada pohon dengan tongkatnya terlepas dari tangan kanan. Kedua tangan memegangi dadanya sambil menggeliat-geliat bagaikan terbakar dadanya.

"Maaf, kau memaksaku berbuat demikian, Malaikat Miskin!"

Tokoh tua itu diam saja. Ia segera ambil sikap berlutut dan memejamkan mata. Sementara itu, Pendekar Mabuk agak terkejut melihat Teratai Kipas terkapar di bawah pohon besar. Tubuhnya mulai mengepulkan asap dan tak bergerak. Dengan cepat dihampirinya tubuh gadis itu. Wajah pucat kebiru-biruan terlihat jelas di permukaan raut muka Teratai Kipas.

"Celaka! Hampir saja aku terlambat!" gumam Suto dengan cemas, lalu ia berusaha meminumkan tuaknya ke mulut Teratai Kipas yang berbibir ranum menggemaskan itu.

Di seberang sana, Malaikat Miskin menggerakkan kedua tangannya pelan-pelan dari dada menuju ke tenggorokan, dan akhirnya ia memuntahkan darah kental warna hitam. Rupanya gerakan tangan itu adalah tenaga pembersih luka yang ada di dalam dadanya. Luka itu terbuang melalui mulut dan dalam bentuk cairan hitam kemerah-merahan, ia menyalurkan hawa murninya beberapa saat dan hal itu sengaja dibiarkan oleh Suto Sinting.

Kalau saja Suto Sinting mau melepaskan pukulan lagi ke arah Malaikat Miskin, pasti tokoh tua itu akan hancur atau tumbang tak bernyawa lagi. Serangan itu akan kena sasaran tanpa meleset. Tapi toh hal itu tidak mau dilakukan oleh Pendekar Mabuk, karena ia tidak harapkan Malaikat Miskin mati di tangannya, ia cenderung mengharapkan kesadaran Maiaikat Miskin tentang salah pahamnya itu.

Setelah beberapa saat kemudian, Teratai Kipas sudah pulih kesehatannya, Malaikat Miskin mampu berdiri tegak lagi, Suto Sinting segera berkata kepada Malaikat Miskin dengan nada tegasnya,

"Percuma saja kau melawanku, karena bukan aku yang bersalah. Seandainya aku mati di tanganmu, kau pun kelak akan menyesal jika mengetahui siapa yang menghancurkan perguruanmu ini, Malaikat Miskin! Kuingatkan sekali lagi, jangan memusuhi aku dan Teratai Kipas. Jika kau ingin membalas dendam, bukan kepada kami."

"Lalu kepada siapa?!" gertak Malaikat Miskin masih menampakkan keberangannya. Matanya masih memandang dengan tajam dan ganas.

"Kami tidak tahu secara pasti siapa pelakunya," kata Suto Sinting. "Tapi cobalah kau bicara dengan Durjana Belang!"

"Si Maling Sakti...?!"

"Benar. Sebab kami melihat beberapa korban yang berubah menjadi menusia bayangan, bahkan ada yang tinggal suaranya saja yang bisa kami dengar, sedangkan sosok tubuhnya lenyap tak terlihat."

"Itu pasti karena Pisau Tanduk Hantu!" sergah Malaikat Miskin dengan tegang, ia mulai tampak lebih gusar lagi. "Apakah pisau pusaka itu ada di tangannya dan dipergunakan olehnya untuk melawan seseorang?"

"Aku tak melihat dengan mata kepala sendiri. Tapi ada korban dan saksi mata yang memberikan keterangan kepadaku, bahwa Durjana Belang memegang Pisau Tanduk Hantu!"

"Keparat, bocah itu!" kegeraman Malaikat Miskin membuat tangannya menggenggam kencang, hingga tak sadar tongkatnya menjadi sedikit retak karena tergencet genggamannya yang beraliran tenaga dalam itu.

Kreek...!
Kejap berikutnya, suara Malaikat Miskin terdengar lagi, "Jadi menurutmu si Maling Sakti itu yang menghancurkan perguruanku?"

"Aku tidak berkata begitu," jawab Suto Sinting.

"Karena aku tidak melihat sendiri saat perguruanmu dihancurkan oleh seseorang. Tetapi perlu kau ketahui, bahwa Maling Sakti menyimpan dendam kepadamu karena menyangka kaulah yang membuat Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak, temannya itu, menjadi manusia bayangan karena tergores pisau pusaka itu.

Pada saat kami menggeledahnya, kami tidak menemukan pisau itu pada tubuhnya. Kami sendiri masih bingung, benarkah Maling Sakti yang menggenggam pisau pusakamu itu, atau ada Maling Sakti kembar yang lainnya?"

"Pantas kalau dia mendendam kepadaku, karena dulu dia pernah kutolak ketika melamar menjadi muridku. Tampangnya yang memang tampang maling itu mengkhawatirkan diriku, maka aku tak mau menerimanya sebagai murid. Beberapa waktu kemudian kudengar ia menjadi muridnya Cukak Tumbila sampai sekarang!" kata Malaikat Miskin dengan wajah masih tampak menahan amarah.

"Satu hal yang ingin kutanyakan padamu, Malaikat Miskin. Apakah Pisau Tanduk Hantu bisa disembunyikan dengan cara lain yang membuat pusaka itu tidak bisa terjamah dan tidak bisa terlihat oleh orang lain?"

Malaikat Miskin diam sebentar, berpikir beberapa saat, setelah itu baru menjawab dengan nada tegasnya.

"Tidak bisa! Pisau itu tidak bisa disembunyikan dengan cara gaib!"

Teratai Kipas bicara pada Suto Sinting dengan suara agak pelan,

"Berarti pisau itu telah dijual kepada pemesannya sebelum ia bertemu kitai"

"Kepada siapa dia menjualnya?!" sergah Malaikat Miskin yang mendengar kata-kata Teratai Kipas, ia maju hingga jaraknya menjadi empat langkah di depan Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas.

"Kami hanya mempunyai dugaan saja," kata Suto Sinting. "Tapi kami belum dapat keterangan, kepada siapa ia menjual pisau itu kalau memang benar dia itulah pencuri Pisau Tanduk Hantu!"

"Ggrrrmm...!" Malaikat Miskin menggeram bagai singa buas. "Aku harus segera melabraknya! Akan kutuntut Cukak Tumbila atas perbuatan muridnya ini!"

Blaasss...!

"Malaikat Miskin!" seru Suto mengejar, "Buktikan dulu apakah benar si Maling Sakti yang terlibat masalah ini atau bukan dia?!"

Tapi Malaikat Miskin sudah menghilang. Seandainya ia mendengar seruan itu, ia tak punya waktu untuk menjawabnya. Dendam dan kemarahan telah menggumpal di dada. Hasrat untuk membalas orang yang mengacak-acak Bukit Kopong semakin membakar jiwa. Suto Sinting dan Teratai Kipas hanya bisa tertegun beberapa helaan napas.
Tak lama kemudian, Pendekar Mabuk menenggak tuaknya dan setelah itu berkata kepada Teratai Kipas.

"Kita ikuti saja gerakan Malaikat Miskin. Kita ingin tahu apa yang terjadi di Bukit Kopong! Setidaknya jika si Maling Sakti benar-benar tidak bersalah, kita bisa selamatkan dia dengan membawanya lari dan menyembunyikannya, biar ia tidak menjadi korban salah sasaran dalam perkara ini!"

"Yang lebih penting adalah mencari tahu siapa sekarang pemegang Pisau Tanduk Hantu itu!" kata Teratai Kipas dengan tegas, dan membuat Suto Sinting hanya bisa mengangguk-anggukkan kepala, menyetujui gagasan tersebut.

***6
TANGAN Teratai Kipas segera ditarik oleh Suto Sinting. Tubuh gadis itu hampir jatuh kalau tidak segera dipeluk sang pendekar tampan. Mereka terbenam di semak-semak. Teratai Kipas berdebar-debar dan membatin,

"Oh, indahnya. Mengapa baru sekarang ia berbuat begini padaku? Padahal sudah cukup banyak semak-semak yang kami lewati. Seandainya di setiap semak-semak dia berbuat begini padaku, alangkah indahnya perjalanan hidup bersamanya."

Teratai Kipas mulai pasrah, ia memejamkan mata, menunggu serangan mesra berikutnya. Tapi sampai lama menunggu tak ada serangan mesra selanjutnya. Teratai Kipas yang sudah pejamkan mata itu segera melek kembali dan berbisik dengan bibir merekah dan suara mendesah,

"Mengapa tak kau lanjutkan?"

"Apanya?" bisik Suto Sinting. "Aku menarikmu ke semak bukan untuk berbuat yang tidak-tidak, tapi membawamu sembunyi secepat mungkin."

"O, jadi... jadi kau mengajakku bersembunyi?"

"Benar. Kita mengintip dua orang yang ada di balik gugusan batu cadas itu!"

Seketika itu merah pula wajah Teratai Kipas menahan rasa malu bercampur kecewa. Hatinya membatin penuh gerutu, "Sial! Kalau tahu diajak sembunyi kenapa harus berdebar-debar penuh harap? Uuh...! Dasar pemuda sinting. Sayang saja dia tampan, kalau tak tampan malas aku menemaninya. Bikin hatiku malu sendiri jika begini!"

Apa yang dimaksud Suto Sinting ternyata adalah sepasang manusia berlainan jenis yang sedang berpelukan di balik gugusan batu cadas. Rupanya pasangan yang sedang berkasih-kasihan itulah yang membuat Suto Sinting hentikan langkahnya dalam perjalanan mencari sang pencuri Pisau Tanduk Hantu.

Teratai Kipas terbelalak kaget melihat pasangan yang sedang saling berpelukan, saling bercanda penuh tawa mengikik dan berbisik. Bukan adegan itu yang membuat Teratai Kipas terkejut dan terheran-heran, melainkan karena ia mengenali siapa pasangan yang berpelukan mesra di balik batuan cadas tersebut. Mulut Teratai Kipas menyebutkan nama mereka dengan lirih dan bernada desah keheranan.

"Menak Goyang...? Oh, dia... dia bercinta dengan si Maling Sakti?!"

"Titik terang mulai tampak nyata di depan kita, Teratai Kipas. Kita dengarkan saja percakapan mereka."

"Tapi... tapi kalau mereka berbuat yang bikin hati syur bagaimana?"

"Pejamkan matamu agar tak terbawa khayalannya," bisik Suto Sinting dengan senyum tipis mekar di bibirnya.

Teratai Kipas bersungut-sungut tak jelas maksudnya. Tapi perhatian Suto Sinting sudah telanjur terlempar ke arah Menak Goyang yang sedang dirangkul Maling Sakti. Menak Goyang yang cantik itu seakan pasrah-pasrah saja ketika dikecup lehernya oleh si Maling Sakti.

Bahkan ia mendongak bagaikan memberi tempat agar bibir si Maling Sakti kian bebas menikmati kemulusan lehernya. Tawa mengikik dan tubuh menggelinjang kegelian membuat si Maling Sakti kian nakal. Hasrat kejantanannya ditampakkan dalam bentuk 'Kerajinan tangan' yang cekatan serta penuh semangat juang.

"Sial! Kenapa kita harus mengintip yang beginian?" gerutu Teratai Kipas yang wajahnya sangat dekat dengan wajah Pendekar Mabuk, sampai-sampai hembusan napas dari hidung Suto terasa menghangat di pipi kirinya.

Teratai Kipas tundukkan kepala, tak berani melihat adegan panas yang dapat membangkitkan semangat kemesraannya, ia takut batinnya menuntut kepada Suto dan Suto tidak mau menuruti tuntutan itu.

Tapi agaknya Menak Goyang dan Maling Sakti sengaja membiarkan hasrat mereka saling menuntut keindahan yang lebih dalam. Menak Goyang tak segan-segan memberikan apa yang diharapkan Maling Sakti.

Gadis itu tiada hentinya bergoyang mengikuti kebiasaannya yang membuatnya dijuluki Menak Goyang. Tak ada waktu untuk diam bagi Menak Goyang, apalagi dalam keadaan sedang bercumbu mesra, sampai-sampai Suto Sinting berkata lirih dalam candanya yang membisik di telinga Teratai Kipas,

"Goyang terus sampai pagiii...!"

"Ssst...!" Teratai Kipas menempelkan telunjuknya di bibir Suto Sinting.

Keduanya sama-sama duduk di rerumputan bawah pohon besar, memunggungi adegan panas yang sedang berlangsung di balik gugusan batu cadas itu. Ilalang memagari pohon itu, sehingga keadaan mereka sangat rapi dan aman dari jangkauan mata sepasang orang yang sedang berkencan tersebut.

Suto Sinting sengaja mengajak bicara Teratai Kipas dengan suara pelan untuk mengalihkan khayalan yang masuk ke otak mereka karena mendengar suara rintihan dan erangan si Menak Goyang.

"Aku tidak menyangka sama sekali."
"Aku juga seperti mimpi melihat mereka di sini," ujar Teratai Kipas. "Aku jadi curiga terhadap Menak Goyang. Kurasa ada hubungannya dengan Pisau Tanduk Hantu."

"Maksudmu, dia bekerja sama dengan Maling Sakti dalam masalah pencurian pisau tersebut?"

"Benar! Pasti dia yang membantu Maling Sakti masuk ke benteng perguruannya. Sedikitnya dialah yang memberikan keterangan dan petunjuk tentang bagai mana caranya mencuri Pisau Tanduk Hantu."

"Masuk akal. Tapi atas dasar apa dia berbuat begitu?"
"Mungkin secara diam-diam dia sudah lama jatuh cinta kepada Maling Sakti?"

"Ya, ya... itu pun masuk akal. Jika memang begitu, berarti sikapnya yang keras hati menuduhku sebagai pencuri Pisau Tanduk Hantu itu adalah untuk mengalihkan perhatian Malaikat Miskin, supaya tidak menuduh dan menaruh curiga kepada Maling Sakti. Aku hanya dijadikan kambing hitam dalam hal ini!"

"Tapi ketika Malaikat Miskin menemui kita bersama Menak Goyang, bukankah Malaikat Miskin menjadi berbalik menuduh orang-orang Bukit Kopong sebagai pencurinya? Pikiran itu timbul karena mendapat laporan dari Menak Goyang dan Menak Goyang mempunyai gagasan itu dari kata-katamu dulu?"

"Benar. Tapi tentunya Menak Goyang tidak menyebutkan nama Maling Sakti sebagai tertuduh utama. Seandainya disebutkan hanya berupa kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti. Jadi dengan begitu Menak Goyang tampak bersungguh-sungguh dalam memihak Malaikat Miskin. Tentu saja hal itu sudah diperhitungkan, seandainya Maling Sakti menjadi tertuduh utama maka Maling Sakti dan Menak Goyang akan melawan Malaikat Miskin secara bersama-sama dengan menggunakan Pisau Tanduk Hantu itu!"

"Licik sekali mereka itu?"

"Cinta jika sudah menggila, membuat orang menjadi licik dan banyak akal."

"Ah, bodoh amat si Menak Goyang itu. Mengapa jatuh cintanya sama Maling Sakti? Apa yang diharapkan dari Maling Sakti itu? Rupa tak punya, kegagahan tak ada, kesaktian pun begitu-begitu saja. Kekayaan sama sekali tak ada!"

"Siapa yang bisa menyelam di hati manusia? Tak ada yang bisa kecuali orang itu sendiri. Tak ada yang tahu mengapa Menak Goyang mau jatuh cinta kepada Maling Sakti. Hanya Menak Goyang sendiri yang punya alasan kuat untuk langkahnya itu."

Percakapan mereka semakin panjang mengupas hubungan Menak Goyang dengan si Maling Sakti.

Dengan memperpanjang percakapan berkasak-kusuk itu suara-suara kemesraan di balik batuan cadas tidak terdengar dan tidak menimbulkan khayalan indah menuntut batin. Tak terasa mereka sudah cukup lama berkasak-kusuk di balik kerimbunan semak, sehingga suara-suara mesra itu pun hilang dan berganti percakapan ringan penuh tawa cekikikan.

"Mereka sudah selesai berlayar. Kita dengarkan percakapannya," bisik Suto Sinting kepada Teratai Kipas, lalu keduanya berbalik arah, menyingkapkan daun-daun ilalang pelan-pelan.
Menak Goyang dan Durjana Belang sama-sama tidak tahu kalau dua pasang mata sedang memperhatikan mereka. Tak aneh lagi jika Menak Goyang bicaranya kelewat batas, sedikit ngeres, karena ingin memancing kemesraan lebih lama dengan Maling Sakti. Agaknya si Maling Sakti sudah cukup puas bercanda dengan nada ngeres, sehingga ia bicara ke masalah Pisau Tanduk Hantu.

"Hampir saja aku tertangkap basah oleh si Pendekar Mabuk kalau saja Pisau Tanduk Hantu tidak kau pimjam untuk mengalahkan lawanmu itu."

"Apakah mereka menggeledahmu?"

"Ya. Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas serta gadis yang bertarung denganku itu sempat menggeledahku. Tentu saja aku tetap tenang karena pisau ada di tanganmu dan kau gunakan membunuh Kadarwati, musuh lamamu yang menjadi anak buah si Bancak Doya itu. Aku sempat cemas dengan kekuatan Batu Sembur Getih. Untung aku mengikuti saranmu; dengan merelakan diri dipukul dan mengendurkan pernapasan, maka tubuhku bisa dipukul seseorang. Dengan begitu Pendekar Mabuk dan dua perempuan itu terbengong bingung melihat aku bisa dibuat jatuh dan bisa kena tampar. Aku sebenarnya ingin tertawa geli melihat kebodohan mereka, tapi aku bisa menahannya kuat-kuat dengan berpura-pura ingin melabrak gurumu. He, he, he, he...!"

"Sekarang bagaimana dengan Pisau Tanduk Hantu itu? Apakah tetap ingin kau jual kepada istri Adipati Kumitir?"

"Menurutmu sendiri bagaimana? Sebab dijual ataupun tidak pisau ini punya keuntungan sendiri bagi kita berdua. Istri Adipati Kumitir; Gusti Permeswari Prananingsih itu, berani membayar mahal pisau ini. Uangnya tak habis dimakan empat keturunan kita. Kita bisa pergi dari sini dan pindah ke Pulau Khayalan, hidup di sana sebagai suami istri yang kaya raya, Menak Goyang. Tapi jika pisau ini tidak kita jual, kita akan menjadi pasangan suami-istri yang ditakuti para tokoh dunia persilatan."

Menak Goyang yang bersandar dalam pelukan Maling Sakti tampak tetap menggoyang-goyangkan kakinya yang melonjor. Pakaian mereka sudah rapi, duduk mereka sedikit bergeser dari tempat cumbuan tadi. Menak Goyang tampak berpikir sebentar, kemudian bertanya,

"Sebenarnya untuk apa Gusti Permeswari Prananingsih ingin memiliki pisau pusaka itu? Apakah beliau bicara padamu?" sambil Menak Goyang memainkan pisau yang ada dalam sarungnya yang terbuat dari tanduk rusa purba itu. Pisau itu jelas ada di tangan Menak Goyang, mata Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas melihatnya jelas-jelas.

Tapi mereka tidak mau segera bertindak. Pendekar Mabuk sendiri bermaksud mendengarkan semua percakapan kedua pencuri tersebut untuk bekal pengetahuan dirinya selanjutnya. Apalagi percakapan itu menyinggung-nyinggung nama Istri Adipati Kumitir.
Seperti diketahui oleh Suto, bahwa istri Adipati Kumitir dulu pernah dihebohkan sebagai istri Adipati yang dibawa lari oleh Suto Sinting. Padahal yang membawa lari adalah Suto palsu. Tetapi Suto asli tahu bahwa istri adipati itu memang tergila-gila oleh ketampanan Suto palsu, sehingga ketika sang Istri Adipati Kumitir bertemu dengan Suto asli, ia mengejar-ngejar dan mengharap belaian kemesraan. Perempuan itu agaknya memang tergila-gila dengan sosok penampilan Suto palsu, hingga lupa akan martabatnya sebagai istri seorang Adipati, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Peri Sendang Keramat").

Durjana Belang yang dikenal si Maling Sakti itu menjawab pertanyaan Menak Goyang,

"Secara pasti aku tak tahu mengapa Gusti Permeswari Prananingsih berkeinginan sekali memiliki Pisau Tanduk Hantu. Tapi dalam salah satu percakapan aku sempat mendengar ia keceplosan bicara, bahwa ia sedang menyimpan dendam dan cinta kepada seorang pemuda tampan. Perempuan itu hanya punya dua pilihan, Jika cintanya tidak dilayani, pemuda itu harus dibunuh. Dan pisau itulah yang digunakan untuk menandingi pemuda tersebut nantinya!"

Kini pisau ada di tangan Maling Sakti, diamat-amati bagai penuh ungkapan sayang untuk melepaskan kepada pembelinya. Tapi di balik kerimbunan semak ilalang, Suto Sinting sempat tarik napas dalam-dalam sambil menyimpan kecemasan, hatinya pun membatin,

"Jangan-jangan akulah pemuda yang sedang diincar oleh istri Adipati itu. Sebab agaknya sang istri Adipati penasaran sekali akan cintanya. Mungkin sampai sekarang ia masih tergila-gila padaku."

Batin ini berhenti berkecamuk, karena perhatian Suto Sinting tertuju kepada Maling Sakti dan Menak Goyang lagi. Waktu itu Maling Sakti mencium pipi Menak Goyang, dan gadis itu tampak kegirangan menerima ciuman tersebut. Setelah itu terdengar lagi si Maling Sakti berkata,

"Kalau bukan karena kebesaran cintamu, kurasa tak mungkin aku bisa mendapatkan Pisau Tanduk Hantu ini."

"Kalau bukan karena kau pandai memberikan kepuasan batin yang amat indah, tak mungkin aku mau mengorbankan diri mencuri pisau pusaka guruku itu!" sambil tangan Menak Goyang mencubit pipi Maling Sakti. Mereka tertawa cekikikan, karena tangan Maling Sakti mulai melakukan 'kerajinan tangan' lagi yang membuat Menak Goyang tanpak senang sekali menerimanya.

Teratai Kipas berbisik kepada Suto, "Ooo... rupanya si Maling Sakti dianggap pandai memberikan kebahagiaan batin, sehingga Menak Goyang cintanya terkojor-kojor kepada Maling Sakti."

"Itulah yang kukatakan tadi, kita tak bisa tahu hati seseorang yang sebenarnya. Hanya orang itulah yang mengetahui mengapa ia mau jatuh cinta kepada seseorang. Dan kebahagiaan batin seperti yang dikatakan Menak Goyang pun belum tentu sama dengan kebahagiaan batin yang kau harapkan. Karena setiap manusia berbeda selera batinnya."

Percakapan Suto Sinting segera berhenti karena tiba-tiba mulutnya didekap oleh tangan Teratai Kipas. Teratai Kipas melirik ke arah kiri. Ternyata lirikan itu merupakan isyarat agar Suto memandang ke arah kiri.

Lalu Pendekar Mabuk terperanjat kaget, hampir saja ia keluar dari persembunyian itu jika tangannya tidak ditahan oleh Teratai Kipas.

"Kita lihat saja dulu dari sini!" bisik Teratai Kipas.

Seseorang muncul dan segera melesat ke arah Menak Goyang dan si Maling Sakti. Orang itulah yang membuat Suto Sinting terkejut, karena orang itu tak lain adalah wanita cantik bekas istri jin.

"Sumbaruni...?!" desah Suto Sinting dalam kecemasan.

Kehadiran Sumbaruni juga mengejutkan Menak Goyang dan Maling Sakti. Mereka cepat-cepat melepaskan diri dari kemesraan. Berpisah dan saling berdiri dengan sikap siap hadapi serangan sewaktu-waktu. Tapi Sumbaruni tampak tenang. Bahkan senyumnya keilhatan mengejek kemesraan yang tadi sempat dipergokinya itu.

Mata Sumbaruni tertuju ke arah Pisau Tanduk Hantu yang ada di tangan si Maling Sakti. Sebelum Sumbaruni bicara, Menak Goyang lebih dulu menyapa,

"Siapa kau?! Mengapa datang menemui kami di sini? Apa maksudmu?"

"Menak Goyang, kau lupa padaku?"
Menak Goyang yang bergerak-gerak pinggulnya itu mengerutkan dahi menatap Sumbaruni. Beberapa saat kemudian terdengar Sumbaruni bicara lagi dengan sikap sinisnya.

"Ketika aku menjadi bocah kecil, kau pernah melarikan aku dari tangan Suto Sinting dan menyanderaku di perguruanmu! Demikian pula kau Durjana Belang, kau pernah menyerobotku dari gendongan orang Perguruan Tongkat Sakti dan menyembunyikan aku saat Siluman Tujuh Nyawa menghendaki diriku sebagai tumbal kesaktiannya. Aku masih ingat kalian."

"Sumbaruni...?" desah Menak Goyang agak ragu.

"Ya, akulah Sumbaruni, Menak Goyang! Dulu waktu aku menjadi bocah kecil kau bisa saja seenaknya memperlakukan diriku, memperdaya Suto Sinting agar mengaku sebagai pencuri Pisau Tanduk Hantu. Tapi ternyata kaulah biang keladi pencurian pusaka tersebut, Menak Goyang. Rupanya kau bekerja sama dengan Durjana Belang dalam pencurian Pisau Tanduk Hantu. Pantas kau ngotot sekali menuduh Suto Sinting sebagai pencurinya, hanya untuk menutupi kekasihmu itu agar tidak masuk dalam kecurigaan gurumu!"

"Tutup mulutmu, Setan!" bentak Menak Goyang merasa malu ditelanjangi kedoknya selama ini. Tapi bentakan itu justru menimbulkan tawa tipis bagi Sumbaruni yang tak merasa gentar sedikit pun menghadapi mereka berdua.

"Terus terang saja, apa maksudmu menemui kami, Sumbaruni?" kata Maling Sakti dengan tenang, tapi matanya tampak memandang nakal ke dada Sumbaruni.

"Aku tidak akan berurusan dengan kalian," ujar Sumbaruni. "Aku hanya ingin mencari seseorang dan kebetulan tersesat kemari. Tapi suatu kebetulan aku bisa bertemu denganmu, Menak Goyang. Aku membawa kabar buruk untukmu."

"Kabar buruk apa? Kau mau menyebar fitnah?"
"Apa untungnya aku memfitnah dirimu?"

"Barangkah kau ingin merebut kekasihku ini dari pelukanku?" sambil Menak Goyang melingkarkan tangannya ke pinggang Maling Sakti.

Sumbaruni hamburkan tawa kecil. "Apa aku ini perempuan sebodoh kamu? Suto Sinting adalah kekasihku. Jika dibandingkan kekasihmu seperti bumi yang diinjak-injak kebo dan langit yang dipenuhi bidadari."

"Sekali lagi kau bicara begitu, kurobek mulutmu, Betina Jalang!"

"Itulah sebabnya kau jangan gede rasa dulu. Tak perlu cemburu padaku. Aku hanya ingin menyampaikan kabar padamu bahwa seseorang sedang mengamuk di perguruanmu. Mungkin sekarang sudah selesai atau mungkin juga sedang berlangsung. Orang itu mencari gurumu dan menuntut kembalinya Pisau Tanduk Hantu itu. Jika kau tidak segera pulang ke perguruanmu, maka perguruanmu akan hancur tak tertolong lagi. Mungkin pula kau tak sempat melihat gurumu menghembuskan napas terakhir. Sebab orang itu mempunyai ilmu lebih tinggi dari ilmunya gurumu; Malaikat Miskin!"

"Siapa orang yang berani berkurang ajar seperti ini?! Sebutkan namanya!"

"Siapa lagi kalau bukan Resi Pakar Pantun!"
"Oh...?!" Menak Goyang terperanjat dan menjadi tegang.

Sumbaruni lanjutkan kata saat Menak Goyang adu pandang dengan Maling Sakti.

"Resi Pakar Pantun merasa sebagai pewaris yang berhak memegang Pisau Tanduk Hantu itu. Pisau tersebut diperoleh gurumu dengan cara merebut dan membunuh adik Resi Pakar Pantun. Tentunya kau sudah paham tentang hal itu, Menak Goyang. Sekarang kusarankan cepatlah kembali ke perguruanmu sebelum Resi Pakar Pantun mengamuk di sana!"

Teratai Kipas berbisik, "Rupanya Sumbaruni dan Menak Goyang belum tahu kalau Perguruan Tongkat Sakti sudah hancur."

"Ya. Dan rupanya bukan Maling Sakti yang menghancurkannya, melainkan si 'Tikar Rombeng' itu."

Percakapan mereka berhenti sejenak, karena saat itu Menak Goyang membentak kepada Sumbaruni,

"Kau tak perlu mengatur langkahku! Pergilah secepatnya! Biarkan kami melanjutkan kemesraan kami berdua! Kehadiranmu hanya mengganggu kemesraan dan kebahagiaan saja!"

Sumbaruni tertawa pelan. Teratai Kipas sempat berbisik pada Suto, "Apakah benar dia kekasihmu? Kudengar dia tadi mengaku sebagai kekasihmu."
"Siapa saja berhak dan boleh mengaku demikian. Tapi kenyataan yang membedakan kebenaran ucapan tersebut!" Jawab Suto Sinting sambil mata tetap mengawasi Sumbaruni, takut kalau tahu-tahu diserang dengan Pisau Tanduk Hantu.

"Aku memang tidak ingin berlama-lama di sini. Aku justru sedang mencari si Pakar Pantun. Dia punya janji padaku yang belum dilunasi! Aku akan menagihnya, jika perlu dengan kekerasan. Mulut orang tua itu memang perlu ditampar dengan pedang biar tidak bicara plin-plan lagi!"

Sumbaruni segera pergi meninggalkan Menak Goyang dan Maling Sakti. Tapi dalam hati Suto Sinting menjadi gundah.

"Dia mencari Resi Pakar Pantun? Mau menagih janji tentang apa? Jika ia sampai bertarung dengan Resi Pakar Pantun, itu sangat membahayakan keselamatannya. Ada baiknya kalau aku mengikuti Sumbaruni dulu dan mencegah niatnya bersikap kasar kepada Resi Pakar Pantun."

Teratai Kipas melihat kegundahan itu dari sorot pandangan mata Pendekar Mabuk. Gadis itu bagaikan cukup peka perasaannya, tahu apa yang dibatin Suto, sehingga ia berkata dengan nada sedikit ketus,

"Kalau kau mengikuti kepergian Sumbaruni, aku tak akan ikut. Biarlah aku pulang ke Majageni sendiri."

"Tapi... tapi Sumbaruni ingin lakukan sesuatu yang berbahaya!"

"Dan kau akan membelanya, bukan? Itu baik. Sebagai seorang kekasih memang bertugas melakukan pembelaan kepada wanita yang mencintainya. Tapi aku tidak bisa, karena aku tidak punya urusan dengan Sumbaruni. Pergilah sana dan biarkan aku pulang sendiri."

"Maksudku begini, Teratai...," ucapan Suto Sinting berhenti karena tiba-tiba ia tertarik dengan percakapan Maling Sakti dengan Menak Goyang.

"Lupakan saja tentang perguruanmu!" kata Maling Sakti. "Kau tak perlu harus kembali ke sana. Yang hancur biarlah hancur, kita melangkah sesuai dengan rencana kita sendiri."

Menak Goyang berkata,

"Baiklah. Aku ikut apa saja rencanamu, asal kau jangan jauh-jauh dariku. Kalau perlu, sekarang juga kita menuju ke kadipaten Kumitir dan menjual pisau pusaka itu. Lalu, kita segera pergi ke Pulau Kayangan dan hidup bahagia di sana. Bukankah itu suatu impian yang indah, Durjana Belang?"

"Ya, Itu impian yang indah," sambil Maling Sakti mencium pipi Menak Goyang, dan sang gadis menyodorkan lebih dari pipi.

Tetapi percintaan dan kemesraan mereka terpaksa terhenti dan buyar oleh datangnya sebuah serangan bersinar merah yang mengarah kepada mereka. Claaap!

Sinar merah itu melintas cepat menghantam punggung Menak Goyang yang sedang mencium Maling Sakti dengan berkobar-kobar.

Jraaab...!
"Aaah...!"

Menak Goyang lepaskan ciumannya, tersentak mundur kepalanya, mengerang dalam keadaan tubuhnya menjadi hangus seketika. Rambutnya pun menjadi keriting dan akhirnya jatuh dalam keadaan kelojotan.

"Bangsaaat...!" teriak Maling Sakti marah besar.

Wajahnya merah separo. Dan saat itu pula muncul di hadapannya sesosok tubuh berjubah tambal-tambal.

"Malaikat Miskin...?!" ucap Suto dengan tegang.
***7
BERULANG KALI Suto Sinting ingin bergerak, tapi selalu ditahan oleh Teratai Kipas. Padahal di hati Suto Sinting sudah tak sabar, ingin segera mengamankan Pisau Tanduk Hantu itu.

"Biarkan mereka berurusan sendiri. Bukan pada tempatnya kalau kita ikut campur urusan mereka! Mereka adalah pemilik dan pencuri," Teratai Kipas memberikan alasan dan pengertian maksud menahannya.

"Tetapi pisau itu membahayakan! Bisa-bisa pisau itu memakan korban lagi kalau tidak segera diamankan. Malaikat Miskin yang menjadi korban berikutnya! Kita harus amankan pisau itu dari tangan si Maling Sakti."

"Kalau Maling Sakti menjadi korban, itu adalah hukumannya yang pernah membunuh adik Resi Pakar Pantun untuk merebut pisau itu!"
Suto Sinting diam termenung, namun matanya masih mengawasi ke arah pertemuan Malaikat Miskin dan Maling Sakti. Sementara itu, Menak Goyang agaknya tidak tertolong lagi. Tubuhnya diam, kaku, hangus, dan tentunya sudah tidak bernapas sedikit pun.

"Kau seorang guru yang kejam, Malaikat Miskin! Muridmu kau bunuh dengan ilmu mautmu sendiri!"

"Membunuh murid murtad tidak ada salahnya!" kata Maiaikat Miskin dengan memandang tajam kepada si Maling Sakti. "Hukuman itu layak diterimanya karena rupanya dialah dalang pencurian pisau pusakaku itu!"

"Kau salah, Malaikat Miskin! Menak Goyang tidak ada sangkut pautnya dengan pisau ini!" sambil pisau pusaka itu ditunjukkan. "Hubunganku dengan Menak Goyang hanya sebatas hubungan cinta semata!"

"Omong kosong!" bentak Malaikat Miskin.

"Sekarang tak perlu banyak bicara, serahkan pisau itu padaku, kau kubebaskan dari segala hukuman dan tuduhan!"

"Ini bukan pisaumu! Kau pun tidak berhak memiliki Pisau Tanduk Hantu. Sekarang aku tahu, bahwa pisau ini sebenarnya milik leluhurnya Resi Pakar Pantun! Kau memiliki pisau ini dari hasil merampasnya, Malaikat Miskin! Jadi aku semakin kuat mempertahankan pisau ini dari jangkauanmu!"

"Keparat! Kau memang bajingan busuk, Durjana Belang! Panggil gurumu dan suruh dia berhadapan denganku!" teriak Malaikat Miskin dengan berang.

Maling Sakti tersenyum sinis,

"Tak perlu kau berhadapan dengan guruku, karena sebentar lagi Cukak Tumbila pun akan kutumbangkan dan aku akan berkuasa di Bukit Kopong! Siapa yang kehendaki pisau ini juga akan kutumbangkan. Durjana Belang harus berkuasa di antara para tokoh rimba persilatan. Dan pisau inilah yang akan mengadili siapa saja yang menentangku!"

"Babi sangit!" geram Malaikat Miskin dengan mulai mengangkat tongkatnya. "Kau berhadapan denganku, sama saja berhadapan dengan malaikat pencabut nyawa, Maling Pikun! Jangan sangka aku merasa gentar dengan senjata itu! Aku masih mampu merebutnya dari tanganmu! Lihat saja nanti!"

"Majulah kalau kau tak sayang nyawamu, Malaikat Gelandangan!"

Seet...! Pisau Itu dicabut dari sarungnya. Sarungnya dimasukkan ke ikat pinggang, sedangkan pisau berbesi baja hitam itu dimainkan dengan satu tangan oleh Maling Sakti. Gerakan jurus-jurus yang dipergunakan Maling Sakti tampak mantap dan meyakinkan, sepertinya ia memang sudah menguasai jurus berpisau tunggal. Lincah dan gesit dalam setiap gerakannya.

Malaikat Miskin segera sentakkan tongkatnya ke tanah.

Duug...!

Dari tanah memercik lidah api menyambar tubuh Maling Sakti. Wuuus...! Tetapi Maling Sakti segera lakukan lompatan dan berjungkir balik di udara. Wuuukk...! Ia menuju Malaikat Miskin dan segera menendangkan kakinya ke arah kepala lawan.

Wuuss...!
Dees...!

Tongkat itu menghantam cepat mata kaki Maling Sakti. Pada saat menghantam, tampak ada sinar
biru memercik sekejap.

Claaap...!
"Auuh...!"

Maling Sakti memekik, ia jatuh terpuruk karena kakinya terasa sakit, mata kaki bagaikan pecah karena hantaman tongkat bertenaga dalam tinggi. Tetapi keadaan itu justru membuat Malaikat Miskin tertegun sekejap.

"Kenapa ia hanya mengaduh sebentar? Mestinya kaki itu hancur dan tak tak bisa dipakai berjalan lagi. Untuk berdiri pun sudah tak mungkin mampu. Tapi ia ternyata masih bisa berdiri. Kakinya seperti merasa keseleo sedikit. Hebat juga kekuatan tenaga penahan luka pada kaki si Bocah Setan ini?!"

Saat tertegun itu, tiba-tiba tubuh Maling Sakti mampu melesat dan mengibaskan pisaunya ke arah dada Maiaikat Miskin. Wuuus...! Wuuut...! Malaikat Miskin tersentak mundur dan menjatuhkan diri di tanah. Jika tidak begitu perutnya akan robek terkena sabetan pisau maut tersebut.

Begitu tubuh sampai di tanah, tiba-tiba tubuh itu berputar dengan menggunakan pinggulnya dan satu sentakan napas membuat tubuh itu melenting naik, lalu bersikap berdiri tegak. Jleeg...! Dan tongkatnya segera menebas ke arah kepala si Maling Sakti.

Wuuut...! Cepat sekali gerakan tongkat itu, sehingga hampir-hampir kepala Maling Sakti remuk terhantam kepala tongkat.

Gerakan lincah si Maling Sakti membuat tubuhnya dalam waktu singkat sudah berada di tanah dalam keadaan tengkurap, ia berguling dengan kaki berputar naik, lalu menjejak perut Malaikat Miskin. Duuhg...!

"Heegh...!" Malaikat Miskin terpekik mendelik.

Tubuhnya bagaikan dilanda badai. Terhempas kuat menghantam gugusan batu cadas yang tadi dipakai untuk bermesraan dengan Maling Sakti dan Menak Goyang.

Bueehg...!

"Hiaaat...!" Tiba-tiba tubuh Maling Sakti melompat bagai seekor harimau hendak menerjang lawannya.

Pisaunya terarah lurus ke tubuh Malaikat Miskin yang sedang merunduk hendak bangkit dengan berpegangan tongkatnya. Tiba-tiba mata Malaikat Miskin melihat gerakan maut yang mengancam jiwanya. Seketika itu ia merebah kembali dan tongkatnya disodokkan ke depan.

Wuuut...! Sodokan ke depan atas mengenai perut Maling Sakti. Duuhg, claap...! Sinar merah memercik dari ujung tongkat yang menyentuh perut Maling Sakti.

"Uhg...!" Maling Sakti hanya terpekik pelan, tubuhnya tertahan dan oleng ke kiri. Bruuk...! Lalu, wajahnya yang masih terangkat disapu oleh tendangan putar kaki Malaikat Miskin. Plook...!

Tendangan itu cukup kuat dan keras, namun hanya membuat kepala Maling Sakti tersentak ke belakang dan membentur tanah empuk. Buuk...! Tapi wajah itu tetap utuh, tanpa luka dan tanpa darah. Malaikat Miskin cepat sentakkan badan dengan bertumpu pada tongkatnya. Badan melesat naik dan bersalto mundur dua kali.

Wuk, wuk...!

"Edan!" gumamnya dalam hati setelah kakinya menapak di tanah dengan tegak.

"Sodokan tongkatku tak membuatnya cedera apa pun?! Padahal biasanya sodokan tongkat membuat benda apa pun menjadi pecah, perut orang bisa jebol karena kualiri tenaga dalam yang bernama jurus 'Naga Beringas'. Tapi kenyataannya ia hanya terpental jatuh tak seberapa parah! Ilmu apa yang dimilikinya, sampai-sampai tendangan 'Sapu Neraka'-ku tidak bisa membuat kepalanya pecah. Mestinya kepalanya hancur saat terkena tendangan 'Sapu Neraka' yang tak pernah ada yang kuat menahannya itu?!"

Maling Sakti berdiri dalam keadaan tegap pula. Ia bagaikan tak mengalami rasa sakit pada kepala atau tubuh lainnya. Ia bahkan tersenyum sinis dan mulai pasang kuda-kuda lagi. Sempat pula si Maling Sakti berkata,

"Jurus-jurusmu tidak berguna buat tubuhku, Malaikat Miskin! Keluarkan semua ilmumu dan aku siap menghadapinya!"

"Keparat! Monyet juling kau! Terimalah jurus 'Dewa Kilat' ini, heaaah...!"

Malaikat Miskin segera putar-putarkan tongkatnya, lalu tongkat menyentak ke depan dengan digenggam dua tangan.

Wuuukkk...! Dari ujung tongkat, tepat di pertengahan tiga ranting pendek itu, melesat sinar biru bergerak zig-zag bagaikan gerakan petir menyambar mangsanya. Zaap, zaap, zaap...!

Maling Sakti mengambil sikap berdiri dengan kaki merapat dan sedikit ditekuk lututnya ke depan. Pisau Tanduk Hantu digenggam di depan wajah, tangan kirinya menyangga tangan kanan yang menggenggam pisau. Kilatan cahaya biru itu masuk mengenai dada Maling Sakti.

Blegaaarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi mengguncangkan alam sekeliling. Ledakan itu menimbulkan cahaya biru besar menyebar dan mengepulkan asap bergumpal-gumpal.

Sebongkah batu yang ada di belakang Maling Sakti itu menjadi hancur berbongkah-bongkah. Pohon pun retak karena daya ledak yang menghempas sangat kuat.

Beberapa tanaman semak tercabut dari akarnya dan menjadi kering dalam waktu empat helaan napas.

Namun ketika asap yang membungkus tubuh Maling Sakti itu mulai sirna, tampaklah samar-samar sosok Maling Sakti yang masih berdiri dengan kaki merapat.

Sedikit pun tak ada yang luka, bahkan pakaiannya robek pun tidak. Tentu saja hal itu membuat si Malaikat Miskin terperangah bengong.

"Benar-benar gila orang ini?!" geram Malaikat Miskin lebih jengkel lagi. "Jurus 'Dewa Kilat' tak mempan menghancurkan tubuhnya? Padahal pohon saja retak, batu saja pecah, itu pun tak terkena langsung oleh kilatan cahaya biruku. Tapi dia... yang jelas-jelas dihantam cahaya biru, masih tetap utuh. Bahkan masih bisa meringis seperti kuda ganjen?! Setan alas!"

Durjana Belang yang wajahnya masih tampak merah separo karena pengaruh amarah dalam hatinya itu kini mengendurkan ketegangan uratnya. Senyumnya makin tampak seperti seringai iblis yang kegirangan menemukan mangsanya. Terucap pula kata-kata sombongnya kepada Malaikat Miskin,

"Apakah masih ada jurusmu yang lebih dahsyat lagi, hah?! Keluarkan semua! Lepaskan padaku, aku akan menahannya!"

"Itu belum seberapa, Maling Kunyuk!" geram Malaikat Miskin. "Kali ini kau tak akan mampu menahan pukulan 'Tongkat Jenazah' yang tak pernah ada tandingannya. Hiaaah...! Hiaaah...!"

Wut, wut, wut...! Tubuh Malaikat Miskin berputar cepat mengelilingi Maling Sakti. Tongkatnya pun diputar cepat di atas kepala dengan kedua tangan. Dari putaran tongkat itu keluar percikan-percikan bunga api dan membuat tongkat itu lama-lama menyala merah bagaikan besi terpanggang api yang membara.

Maling Sakti hanya diam dan terkekeh-kekeh saja. Ia tidak mengikuti gerakan lawan yang mengelilinginya dengan sangat cepat, hampir tak terlihat itu. Jurus itu membuat lawan tak mengerti kapan Malaikat Miskin hentikan gerakannya dan lepaskan jurusnya. Hanya saja, tiba-tiba tubuh itu bergerak lebih cepat lagi, lalu berhenti mendadak di belakang Maling Sakti. Tongkat yang membara merah panas itu dihantamkan ke kepala si Maling Sakti. Wuuut...! Praak!

Blaaarrrr...!

Kembali ledakan dan asap berhamburan membungkus tubuh Maling Sakti. Teratai Kipas dan Suto Sinting sama-sama berpendapat bahwa kepala Maling Sakti pecah, karena terdengar suara benda pecah sebelum suara ledakan bergema menggetarkan
pepohonan sekeliling.

Namun alangkah terkejutnya mereka setelah mengetahui Maling Sakti tetap berdiri tegak dengan kaki sedikit merenggang, dan tertawa bagaikan kekeh tawa seorang kakek. Kepalanya masih utuh. Tapi tongkat andalan Malaikat Miskin pecah. Remuk menjadi beberapa bagian. Malaikat Miskin memandang dengan mata terbelalak tak bisa berkedip.

Dari persembunyiannya Pendekar Mabuk membatin,

"Luar biasa kekebalannya! Dengan bekal ilmu kekebalan dan kelipatgandaan tenaga serta pisau itu, ia bisa menjadi tokoh sesat yang bertindak semena-mena.

Agaknya aku harus bertindak cepat mengamankan pisau itu sebelum Malaikat Miskin menjadi korban."

Tetapi sebelum Suto Sinting bergerak, tiba-tiba ia terkejut melihat Maling Sakti melompat dengan sangat cepat, menerjang tubuh si Malaikat Miskin. Gerakannya itu jelas tak bisa dihindari karena menyerupai hembusan badai.

Wuuusss..!

Tahu-tahu ia sudah berada di seberang sana, dari sisi kanan Malaikat Miskin pindah ke sisi kiri. Tentu saja orang yang dilintasinya menjadi terkejut dan menatapnya penuh keheranan.

"Monyet burik! Gerakannya lebih cepat dari gerakanku. Padahal setahuku, Cukak Tumbila sendiri tak mungkin mampu berkelebat secepat itu?! Dia seperti menghilang dan berbentuk angin lewat di depanku. Dan... dan... oh, celaka?!"
Malaikat Miskin menjadi tegang, karena ketika ia memandang ke bawah, ternyata pakaiannya telah robek dan kulit dadanya tergores benda tajam. Malaikat Miskin terpaku sejenak memandangi lukanya. Tubuhnya segera kelihatan gemetar. Ketegangan wajahnya kian jelas dan sangat menonjol.

Di sisi sana, Maling Sakti tertawa terkekeh-kekeh.

"He, he, he, he.... Jangan kaget, itulah hukuman bagi orang yang nekat ingin melawanku, Malaikat Miskin! Sekarang kau baru percaya bahwa aku bukan tandinganmu. Tenaga dalammu tak akan mampu mencederai tubuhku, karena tanpa sengaja aku telah menelan Batu Sembur Getih yang mampu melipatgandakan tenaga dalamku dan memperkebal tubuhku! He, he, he, he...! Itulah akibatnya jika bandel Pisau Tanduk Hantu akhirnya memakan bekas majikannya sendiri! Kau tak akan bisa menyentuhku lagi, Malaikat Miskin. Kau akan lenyap setelah melewati tiga kali tujuh hari!"

"Bangsaaat...!"

Malaikat Miskin yang sudah kehilangan tongkatnya itu mengamuk, ia menerjang tubuh Maling Sakti. Tapi tubuh itu hanya bisa dilewati saja, ditembus tanpa sentuhan apa pun. Tubuh Malaikat Miskin sudah menjadi bayangan tampak nyata, sebentar lagi akan menjadi bayangan hitam, lalu hanya tinggal suara, dan tujuh hari kemudian lenyap tanpa tinggalkan bekas apa pun. Malaikat Miskin mengamuk sejadi-jadinya, memukul, menghantam, menendang tapi semua itu hanya ditertawakan oleh Maling Sakti. Karena tubuh Maling Sakti tak bisa disentuh oleh Malaikat Miskin.

"Huaaahh...! Bangsat kau, Durjanaaa...!" teriak Malaikat Miskin dengan amat berang dan salah tingkah.

Rasa sesalnya begitu tinggi, sehingga kemarahan yang tak bisa dilampiaskan membuatnya seperti orang kesurupan.

"Terlambat...!" gumam Suto Sinting bernada keluh, lemas, dan lirih.

"Tak perlu kau sesali, karena itulah hukuman bagi si perampas pusaka!" kata Teratai Kipas membujuk hati Pendekar Mabuk yang tampak kecewa dengan kelambatan tindakannya sendiri.

"Orang sedunia bisa dibuatnya menjadi bayangan semua oleh tindakan sewenang-wenangnya! Aku harus segera merampas pisau itu!" kata Suto Sinting, kali ini tanpa banyak memikirkan Teratai Kipas, ia melompat keluar dari balik kerimbunan semak.

Teratai Kipas akhirnya ikut muncul juga dan membuat kejutan tersendiri bagi si Maling Sakti. Sementara itu, bayangan sosok tubuh Malaikat Miskin berlari menerjang pepohonan sambil berseru dengan suara keras dan serak,

"Tunggu pembalasanku...! Kuadukan kau kepada Cukak Tumbila! Tunggu...!"

Maling Sakti tidak hiraukan teriakan yang makin lama semakin menjauh itu. Kini matanya lebih tertarik memperhatikan Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas.

Senyumnya bagaikan seringai bocah tanpa dosa, tapi pisau keramat itu masih nyata-nyata tergenggam oleh tangan kanannya.
Teratai Kipas mendahului bicara, "Kali ini kau tak bisa berlagak bodoh lagi, Durjana Belang! Semua rahasiamu sudah kami ketahui sejak tadi!"

"He, he, he.... Teratai Kipas dan Suto, kalian ingin rasakan juga bagaimana menjadi sosok tanpa raga? Mendekatlah kemari kalau kalian ingin seperti Malaikat Miskin itu! Tapi sebelumnya kuingatkan padamu, tak ada manusia lain yang mampu menandingiku; Batu Sembur Getih dan Pisau Tanduk Hantu telah menyatu dalam diriku! Tentunya kalian tahu bagaimana kehebatan dua pusaka itu jika menyatu dalam tubuh satu orang!"

Pendekar Mabuk masih tenang. Malahan ia sempat menenggak tuaknya beberapa teguk.

Teratai Kipas yang berdiri tak jauh dari samping kiri Pendekar Mabuk segera berkata lagi, "Maling Sakti, kesombonganmu akan hancur jika kau berhadapan dengan Pendekar Mabuk, karena dia tak sama dengan pendekar lainnya! Jangan kau anggap setara dengan kesaktian Malaikat Miskin!"

"Hah, ha, ha, ha, ha, ha...! Benarkah begitu, Suto?"

Dengan kalem Pendekar Mabuk kasih jawaban, "Aku sekadar menegakkan mana yang benar dan melumpuhkan yang salah!"

"Tak perlu berbasa-basi lagi, Suto! Kau boleh bangga bisa mengalahkan Siluman Tujuh Nyawa, tapi belum tentu bisa kalahkan Durjana Belang, si Maling Sakti ini!" sambil ia menepuk dada sendiri. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis, tetap tenang namun penuh waspada.

Tiba-tiba ketika Suto Sinting ingin lepaskan kata, sekelebat bayangan muncul dan langsung menerjang si Maling Sakti. Wuuut...! Brruuuus .!

Tubuh Maling Sakti terbuang dan jatuh membentur pohon. Tapi ia seperti tidak merasakan sakit sedikit pun. Dalam sekejap ia telah bangkit dan berdiri menatap bayangan yang baru datang. Orang tersebut segera disusul pelayannya yang selalu ketinggalan dalam bergerak.

Teratai Kipas berkata lirih kepada Suto, "Yaaah... si Tikar Rombeng muncul lagi! Cari penyakit saja orang ini?!"

Si Tikar Rombeng' alias Resi Pakar Pantun, memang muncul di situ dalam keadaan kebingungan mencari pencuri pusaka leluhurnya. Wajahnya tuanya menjadi ceria ketika ia melihat pisau tersebut ada di tangan Maling Sakti.

"Celana kolor buat bungkus batu Dibuka sedikit baunya langu Tujuh keliling kucari pusaka itu Ternyata ada di tangan bocah dungu!"

Resi Pakar Pantun mengawali lagaknya yang gemar bermain pantun untuk mengungkapkan rasa. Ia tampak tenang dalam sikap berdiri yang masih berkesan gagah walau usianya sudah banyak. Mata Pendekar Mabuk memperhatikan ke arah Resi Pakar Pantun, karena ia ingat Sumbaruni yang tadi mencari orang itu. Rasa khawatirnya membuat Pendekar Mabuk memancing keterangan dengan pertanyaan seakan tanpa maksud yang semestinya.

"Resi Pakar Pantun, beruntung sekali kau datang kemari, karena aku ingin bertanya apakah kau tadi bertemu dengan Sumbaruni?"

"He, he, he, he.... Sumbaruni tak akan bisa mengejarku walau aku punya janji padanya. Aku tak akan penuhi janjiku sebelum berhasil merebut pusaka milik leluhurku itu!"

"Kalau boleh kusarankan, jangan teruskan niatmu Resi Pakar Pantun. Tapi aku berjanji akan merebutkan Pisau Tanduk Hantu itu dari tangannya dan akan kuserahkan padamu!" kata Suto Sinting yang mempunyai dugaan bahwa sang Resi akan tumbang jika melawan Maling Sakti.

"Celana kolor disambung-sambung menjadi sorban Bayi sungsang hendak menuntut ilmu Meski wajahku tua rambut beruban Tapi tak bisa termakan kelicikanmu."

Pendekar Mabuk memandang Teratai Kipas. Gadis itu berkata lirih, "Agaknya ia tak butuh bantuanmu. Dia akan hadapi sendiri si Maling Sakti."

"Tapi dia bisa celaka dan bernasib seperti Malaikat Miskin!"

"Biarkan saja. Itu memang pilihannya."

Terdengar pula suara Maling Sakti bicara dengan Resi Pakar Pantun,

"Bagiku kedatanganmu adalah hal yang menguntungkan, Resi Pakar Pantun! Dengan begitu aku tak perlu susah payah mencari orang yang akan merebut pisau ini. Aku tahu pisau ini milik leluhurmu, tapi karena sudah di tanganku, tentunya menjadi milikku. Aku tahu kau ingin merebutnya kembali, karena itu lakukanlah niatmu sekarang juga, aku akan melenyapkan ragamu seperti mereka yang mencoba menentangku!"

"Celana kolor tersangkut paku...."
"Robek?" potong Kadal Ginting.

"Belum," jawab Resi tak sadar, ia segera mendengus kesal dan mengulangi pantunnya yang ditujukan pada Maling Sakti.

"Celana kolor tersangkut paku Dilihat malu oleh sang tamu Jangan remehkan ketuaanku Sekali tepuk retaklah dadamu!"

Maling Sakti maju tiga langkah, Resi Pakar Pantun pun maju dua langkah. Sikap si Maling Sakti penuh tantangan, sementara Resi Pakar Pantun hanya diam dalam ketenangannya.

Teratai Kipas berbisik pada Suto, "Kali ini judulnya Celana Kolor, bukan Tikar Rombeng lagi...."

Belum sempat Suto menjawab, sudah terdengar suara Resi Pakar Pantun berkata,

"Celana kolor basah ujungnya...."
"Tuh, benar kan? Celana kolor lagi?" bisik Teratai Kipas.

"Ssst...! Diamkan saja, biarkan sepuasnya dia bicara tentang celana kolor!"

"Iya, tapi aku risi membayangkannya."

"Jangan bayangkan bentuk celananya, tapi bayangkan seni pantunnya," bisik Suto Sinting. Kasak-kusuk itu membuat sang Resi berhenti berpantun sebentar.

Matanya melirik tak suka mendengar kasak-kusuk itu.

Maka ia pun mengulang lagi,

"Celana kolor basah ujungnya Dicium perawan pingsan ibunya Serahkan pisau itu kepada pemiliknya Jangan sampai memakan korban pemegangnya."

Tawa Maling Sakti berkesan meremehkan. Tapi tawa itu tiba-tiba lenyap karena mendadak ia mendapat serangan pukulan jarak jauh dari tangan Kadal Ginting.

Claaap...! Seberkas sinar kuning melesat dan menghantam pinggang Maling Sakti.

Duaaar...!

Tubuh Maling Sakti hanya terguncang sedikit, dan sinar kuning itu lenyap seketika setelah membentur pinggang Maling Sakti. Mata sang Resi sedikit terkesiap menahan rasa heran melihat Maling Sakti tak terluka sedikit pun oleh pukulan Kadal Ginting. Bahkan saat itu Kadal Ginting segera berkata pelan,

"Dia kebal pukulan, Eyang! Hati-hati!"

"Aku tahu, dan aku bisa mengatasinya sendiri. Kau mundurlah, Kadal Ginting. Biar kuhadapi sendiri bocah dogol ini!"

Maling Sakti pandangi wajah Kadal Ginting.

Matanya tajam memandang dengan wajah menjadi belang, merah sebelah kanannya karena menahan kemarahan. Tiba-tiba dari mata itu keluar sinar kecil bagaikan benang lurus berwarna merah dan tertuju ke tubuh Kadal Ginting. Slaaap...!

Resi Pakar Pantun menahan dengan telapak tangan menghadang sinar kecil itu. Zeerrrbbb...! Sinar merah kecil bagaikan terkumpul di tangan Resi Pakar Pantun. Tangan itu cepat menggenggam, lalu melemparkan genggaman tersebut ke arah Maling Sakti.

Wuuut...! Claaap...!

Sinar merah terang menggumpal bagaikan bola, terlepas dari genggaman tangan sang Resi. Menghantam tubuh Maling Sakti yang tak sempat melompat menghindarinya.

Jedaaar...!

Ledakan mengejutkan terjadi, melepas hentakan keras. Tubuh Maling Sakti tersentak mundur tiga tindak, namun tak mengalami luka apa pun. Padahal tubuh itu tadi bagaikan dibungkus nyala api dalam sekejap. Tapi sehelai rambut pun tak ada yang terbakar.

Hal itu membuat Resi Pakar Pantun berkerut dahi pertanda memendam perasaan heran. Hatinya pun segera berkata,

"Mestinya dia pecah karena sinarnya tadi. Tapi mengapa masih utuh? Rupanya ia punya ilmu kebal yang tak mempan pukulan tenaga dalam seperti itu tadi? Hmmm... baiklah. Dia boleh bangga punya ilmu kebal, tapi belum tentu bisa menahan jurus 'Tepuk Amai-amai'ku ini...."

Resi Pakar Pantun segera merentangkan kedua tangannya ke atas, lalu tiba-tiba ia bertepuk satu kali.

Plok...! Dari tepukan itu memercik sinar biru ke arah tubuh Maling Sakti. Seberkas sinar biru itu segera ditahan oleh telapak tangan kiri si Maling Sakti.
Claap...! Jleeb...! Sinar itu bagaikan masuk menembus telapak tangan. Tiba-tiba tangan tersebut menyentak ke depan dan keluarlah sinar biru tadi beriringan dengan sinar merah sejajar. Sraaab...!

Melesatnya kedua sinar dihadang oleh kibasan tangan sang Resi yang menghadirkan semburan asap putih.

Sinar-sinar itu masuk ke dalam asap putih, terbungkus menggumpal sekejap, lalu meledak dengan dahsyatnya, sangat diluar dugaan Suto Sinting dan Teratai Kipas.

Glegaaarrrr...!

Gelombang hentakannya begitu kuat, menyebar ke berbagai penjuru, membuat Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas nyaris terpelanting jatuh. Untung keduanya segera saling berpegangan dan bertahan pada batang pohon, sehingga mereka tak sampai terkapar seperti ynng dialami Resi Pakar Pantun. Sedangkan Maling Sakti sendiri tersentak mundur dan membentur dinding gugusan cadas. Jika tidak ia pasti akan jatuh terkapar seperti Resi Pakar Pantun dan Kadal Ginting yang tadi sempat terpekik kaget itu.

Melihat sang Resi jatuh terkapar dan berusaha bangkit lagi, Maling Sakti segera menyerang dengan gerakannya yang amat cepat Wuuut...! Hampir saja gerakan itu tak mampu dilihat oleh Suto Sinting karena cepatnya. Dan sang Resi sendiri nyaris diterjang tubuh Maling Sakti yang telah memasang Pisau Tanduk Hantu di depannya. Untung sang Resi jatuh kembali karena kakinya masih terasa lemas, sehingga terjangan itu mengenai tempat kosong.
Menyadari hal itu, sang Resi menjadi semakin tegang, ia cepat-cepat lepaskan jurusnya dengan memukul tanah satu kali. Blaaak...! Dan dari tanah itu mengalirlah tenaga dalam ke arah kaki si Maling Sakti, sehingga tubuh Maling Sakti terlempar terbang diluar dugaan. Wuuut...!

Resi Pakar Pantun berdiri dengan satu lutut, kemudian ia bertepuk tangan beberapa kali. Plok, plok, plok, plaaak, plak, plok...!

Beberapa sinar kilat menghujani tubuh Maling Sakti yang sedang meluncur turun. Clap, clap, clap, clap...!

Ledakan yang terjadi akibat sinar biru menghantam Maling Sakti itu terdengar beruntun sehingga menjadikan suara bergemuruh sambung-menyambung. Tanah dan pepohonan sekelilingnya ikut bergetar.

Hawa panas menyebar sesuai arah angin berhembus. Tetapi tubuh Maling Sakti masih mampu mendarat dengan sigap dan tak mengalami cedera apa pun juga. Bahkan ia segera melayang bagaikan terbang menuju ke arah sang Resi dengan pisau siap ditorehkan.

"Heaaahh...!"

Sang Resi menangkis gerakan tangan berpisau yang berkelebat hendak menggores wajahnya. Plaaak...! Lalu tangan kanannya dihantamkan ke depan, dan disambut oleh hantaman tangan kiri si Maling Sakti. Plaaak...!

Duaaar...!

Perpaduan kedua telapak tangan itu memercikkan sinar merah terang, dan suara ledakannya menghentak kuat, membuat kedua tubuh sama-sama terpelanting mundur.
Brrruk...!

"Aaaahg...!" Resi Pakar Pantun mendelik dengan tubuh menggeliat, berdiri dengan satu lutut bertumpu di tanah.

Teratai Kipas memandang tegang ke arah Resi Pakar Pantun, karena mulut sang Resi segera memuntahkan darah segar. Wajah sang Resi menjadi pucat pasi, sementara itu wajah Maling Sakti masih segar bugar dan cepat-cepat bangkit dari jatuhnya tadi.

"Keparat busuk kau, Maling Singkong! Hiaaah...!"

Kadal Ginting mencoba melakukan pembalasan atas apa yang diderita oleh majikannya, ia menyerang dengan gerakan tangan berseliweran cepat di depan wajah. Tiba-tiba kedua tangannya menyentak ke depan dan gelombang hawa panas tinggi menerjang tubuh si Maling Sakti.

Wooosss...!

Tetapi orang itu hanya diam bagai dihembus hawa sejuk tanpa rasakan sengatan panas sedikit pun, sedangkan tanaman di belakangnya menjadi lekas layu dan mengering dalam dua kejap saja. Tapi Maling Sakti tak mengalami luka bakar sedikit pun. Bahkan ia maju dalam satu lompatan dan kakinya menendang dada Kadal Ginting. Duuuhg...!

"Huaaahhg...!" Kadal Ginting terpental jauh dan jatuh terkapar di sana dalam keadaan menyemburkan darah dari mulutnya.

"Kalian berdua memang cari mampus!" bentak Maling Sakti. "Sekarang tibalah saatnya merubah nasibmu ini menjadi manusia tanpa raga, Resi Bodoh!
Hiaaah!"

Maling Sakti berkelebat cepat menerjang sang Resi dengan pisau dikibaskan. Namun sebelum pisau itu mengenai tubuh sang Resi, tiba-tiba Suto Sinting bergerak menggunakan jurus 'Gerak Siluman' yang kecepatannya melebihi anak panah dilepaskan dari busurnya itu.

Zlaaap...! Duuusss...!

Kakinya berhasil menendang lengan Maling Sakti. Tubuh itu tersentak ke samping sehingga ketika tangannya berkelebat mengibaskan pisau, yang terkena pisau adalah dinding cadas di samping Resi Pakar Pantun. Jraaasss.,.!

Namun lutut Maling Sakti menyentak maju dan tepat kenai dada sang Resi yang sedang kesakitan. Duuuhg...!

"Uuhhg...!" sang Resi kian mendelik, hidung dan telinganya mengucurkan darah segar. Sodokan lutut itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang amat besar, mampu memecahkan sebongkah batu marmer yang besarnya seperti kerbau. Jika sang Resi tidak dilapisi tenaga dalam kuat, dada itu pasti jebol seketika dan tak ada ampun lagi bagi keselamatan jiwanya. Untung sang Resi berlapiskan tenaga dalam besar, sehingga dada itu hanya mengalami luka dalam yang cukup parah, ia menjadi sukar bernapas, sekali bernapas tersentak-sentak. Wajahnya makin pucat bagaikan kapas putih.

Maling Sakti sangat marah, sebab mestinya ia sudah berhasil menggoreskan pisau itu ke tubuh Resi Pakar Pantun, tapi karena ditendang Pendekar Mabuk, sasarannya jadi meleset. Maka wajahnya yang merah separo itu semakin bertambah merah lagi. Kini Suto Sinting yang menjadi sasaran kemarahannya, karena ia tahu bahwa sang Resi sudah terluka parah dan mudah untuk dibereskan.

"Akhirnya kau ingin minta giliran juga, Suto Sinting!"
"Aku hanya menyelamatkan orang yang memang berhak memiliki pusaka itu!"
"Tak perlu banyak mulut, terimalah pisau maut ini! Hiaaah...!"

Maling Sakti melompat menerjang Pendekar Mabuk.

Pisaunya berkelebat merobek tangan sang pendekar tampan. Tapi gerakan tangan Pendekar Mabuk cukup gesit. Dengan sedikit bergeser ke kanan, pisau itu berhasil membentur bumbung tuak sakti.

Blaaarrr...!

Benturan pisau dengan bumbung tuak mengakibatkan ledakan besar yang mementalkan tubuh Pendekar Mabuk. Tubuh itu kontan ke samping dan kepala sang pendekar tampan membentur batang pohon. Duuurr...!

Pohon besar itu berguncang, daunnya berjatuhan karena mendapat benturan hebat dari kepala Suto Sinting.

Mestinya kepala itu pecah, sedikitnya bocor karena benturannya sangat kuat. Tapi karena kepala itu juga dialiri tenaga dalam, maka yang dialami Suto Sinting hanya pusing dan berkunang-kunang. Pandangan matanya sedikit kabur. Sedangkan tubuh Maling Sakti terpelanting membentur batu hingga batu itu mengalami keretakan di beberapa tempat. Tapi Maling Sakti bagaikan tidak merasakan sakit sedikit pun. Ia cepat bangkit dan segera menyerang Suto lagi.

"Heaaat...!" ia berlari sebentar, lalu melompat sambil mengibaskan pisau ke punggung Suto Sinting yang tengah berusaha bangkit membelakangi.

"Sutooo...! Awaaass...!" teriak Teratai Kipas. Suto Sinting mendengar jelas teriakan itu. Ia segera berbalik dan kakinya bergerak memutar. Plook...!

Dengan tubuh condong ke kiri, kaki itu berhasil menendang wajah Maling Sakti sangat kuat. Akibatnya pisau itu tak sempat bergerak merobek kulit punggung Pendekar Mabuk. Tubuh si Maling Sakti jatuh ke samping dan berguling-guling.

Pendekar Mabuk melompat jauhi lawannya. Tubuhnya bergerak limbung bagaikan orang mabuk yang hampir jatuh. Tapi sebenarnya itulah jurus aneh milik Suto Sinting. Kadang menukik, kadang menggeloyor ke samping, tahu-tahu kakinya menyepak ke belakang dan tepat kenai wajah Maling Sakti yang baru saja hendak bangkit. Plaaak...!

Mau tak mau kepala Maling Sakti tersentak kebelakang dan membentur batang pohon jati dengan keras. Duuuhg...! Pohon itu bergetar karena kuatnya benturan. Tapi kepala Maling Sakti tetap utuh, tanpa luka ataupun lecet sama sekali. Bahkan ia bagaikan tak merasakan pusing sedikit pun, terbukti dapat bangkit dengan segera.

Suto Sinting cepat-cepat tenggak tuaknya. Glek, glek..! Cukup dua tegukan, sisanya disimpan di mulut.

Karena pada waktu itu, Maling Sakti telah datang menyerangnya dengan pisau dihunjamkan ke dada Suto Sinting. Maka, kaki Suto segera menghentak ke tanah dan tubuhnya melenting di udara tepat pada saat pisau itu menghunjam. Wuuut...!

Bruuusss...!

Tuak di mulut disemburkan ke arah tangan yang memegang pisau. Tapi yang terkena semburan tuak bukan tangan saja, melainkan kepala Maling Sakti pun basah oleh air tuak. Jurus 'Sembur Siluman' dipergunakan oleh Suto Sinting. Jurus itu membuat Maling Sakti terbelalak kaget dan terbengong-bengong.

Pisau Tanduk Hantu lenyap dari tangannya. Lenyap tak berbekas apa pun kecuali sarungnya yang masih terselip di pinggang.

"Bangsat...?! Mana pisauku?! Mana pisau itu?!"

Maling Sakti mencari-cari ke rerumputan, disangkanya pisau itu jatuh tak disadarinya. Padahal pisau itu lenyap, karena jurus 'Sembur Siluman' memang berguna melenyapkan benda apa pun yang disemburnya.

"Pisaumu telah lenyap! Tak akan bisa kautemukan lagi, karena jurus 'Sembur Siluman'-ku bertugas melenyapkan apa saja yang berhasil kusembur dengan tuak saktiku! Menyerahlah dan sadarlah, Maling Sakti! Di atas kekuatanmu masih ada kekuatan lain yang lebih tinggi, yaitu kekuatan Yang Maha Kuasa...."

"Persetan dengan celotehmu! Kalau kau tidak mengembalikan pisau itu, kuhancurkan kepalamu sekarang juga, Suto!" bentak Maling Sakti, ia tampak marah besar. Tangannya mulai membentuk cakar harimau, ia akan lepaskan jurus andalannya. Namun sebelum itu, tiba-tiba seberkas sinar biru melesat menghantam punggungnya.

Sinar itu datang dari suara tepukan tangan Resi Pakar Pantun yang agaknya menghabiskan sisa tenaganya untuk mencoba tumbangkan si Maling Sakti.

Sinar biru itu melesat cepat menghantam punggung Maling Sakti. Claap...! Blaaarrr...!

Sinar menyilaukan mengembang. Asap mengepul membungkus tubuh Maling Sakti. Suto Sinting terpental mundur dua tindak, merapat di pohon. Tak lama kemudian terdengar suara merintih tertahan dari dalam kepulan asap itu. Angin bertiup menerbangkan kepulan asap, maka terlihat jelas sosok Maling Sakti yang amat menyedihkan.

Tubuhnya terkelupas, pakaiannya compang-camping, hangus terbakar. Mulutnya keluarkan darah segar, demikian pula hidung dan telinganya. Daging tubuhnya tampak tersayat-sayat mengerikan, ia masih mencoba bertahan, tapi akhirnya tak kuat juga dan jatuh terkapar dengan erangan memanjang.

"Uuugghh...!"

Rupanya jurus 'Sembur Siluman' bukan saja melenyapkan Pisau Tanduk hantu namun juga melenyapkan kekuatan Batu Sembur Getih yang membuat kebal tubuh Maling Sakti. Akibat hilangnya kekebalan itu, maka kilatan cahaya biru dari jurus 'Tepuk Amai-amai' milik Resi Pakar Pantun itu telah berhasil menghancurkan raga si Maling Sakti.

Bahkan dua helaan napas setelah si Maling Sakti jatuh, Suto Sinting yang mau mengobatinya dengan tuak menjadi terhenti langkahnya. Maling Sakti hembuskan napas terakhir, untuk kemudian tak mampu bernapas selama-lamanya. Ia mati dalam keadaan raganya hancur mengerikan.

Pendekar Mabuk segera menolong Resi Pakar Pantun dengan tuaknya. Kadal Ginting pun nyaris terlambat jika Suto tidak segera menuangkan tuak ke mulut si pelayan Resi Pakar Pantun itu. Ketika keadaan mulai membaik, Resi Pakar Pantun pun berkata kepada Suto Sinting,

"Celana kolor digelar di atas meja...."

"Sudah, sudah... pantunnya nanti saja," kata Pendekar
Mabuk melihat napas sang Resi masih belum teratur.

"Sekarang istirahatkan dulu ragamu, juga otakmu, supaya lukamu lekas sembuh dan tenagamu pulih kembali."

"Terima kasih atas bantuanmu... tapi, bagaimana dengan Pisau Tanduk Hantu?"

"Apakah kau masih ingin agar pisau itu menjadi sumber bencana bagi orang yang tak bersalah?"

Resi Pakar Pantun diam, menenangkan engahan napasnya. Teratai Kipas berkata kepadanya,

"Relakan saja pisau itu lenyap daripada menjadi sumber bencana, tak urung kau juga yang menanggung dosanya, karena kau pewarisnya!"

"Ya sudahlah...," ujar sang Resi.

"Celana kolor buat membungkus cincin Golok tajam jangan dipakai gosok gigi Rupanya tak ada lagi pilihan lain Demi perdamaian manusia kurelakan pusaka itu pergi."

Kadal Ginting ikut-ikutan bermain pantun, karena ia
merasakan badannya mulai segar kembali.

"Celana kolor terbang ke angkasa,
Disambar burung, burungnya mati...."

Karena lama tak ada lanjutannya, Resi Pakar Pantun
melirik pelayannya yang ada di samping dan bertanya,

"Lanjutannya bagaimana?"

"Saya hanya ingin kasih tahu ada burung goblok. Sudah tahu celana kolor masih saja disambar, akhirnya menutup mata dan ia menabrak pohon! Mati!"

Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tertawa. Lebih geli lagi melihat kepala Kadal Ginting dikeplak oleh sang Resi. Ploook...!

"Hargailah pantun supaya umurmu panjang!"
"Apa hubungannya, Eyang?"

"Tidak ada!" jawabnya dengan kesal, dan itulah canda sang Resi yang merasa beruntung bertemu dengan Pendekar Mabuk yang ilmunya dianggap ilmu gila-gilaan. Tapi diam-diam sang Resi merasa kagum melihat sikap Suto Sinting yang tak mau gegabah membunuh lawan walau dengan mudah hal itu bisa dilakukan pada saat Maling Sakti kehilangan pisaunya tadi.

"Bukan manusianya yang dibunuh, tapi kejahatannya yang wajib dimatikan!" itulah pedoman Pendekar Mabuk murid si Gila Tuak yang punya tugas menjadi penegak kebenaran di rimba persilatan.
SELESAI
Segera terbit
ASMARA BERDARAH BIRU