Pendekar Mabuk 37 - Racun Gugah Jantan(1)

Suryadi - Pendekar Mabuk Serial
Scan djvu by Abu Keisel
Editting by Aryawinata
Episode - Racun Gugah Jantan - I

SEKELEBAT bayangan melintas menuju arah utara. Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan hingga tak terlihat bentuk dan wajah orang yang berlari itu. Arah yang dituju sangat jelas sebuah bukit di pesisir pantai utara. Bukit itu tak seberapa tinggi, na-mun menjadi patokan bagi para nelayan untuk menandai arah pantai utara. Bukit yang bagian puncaknya berbidang datar mirip tanah lapang yang dikelilingi pohon pada lerengnya itu selalu menjadi incaran orang-orang yang berada di tengah laut.


Jika mereka mulai melihat bukit yang banyak ditumbuhi pohon jati merah, maka itulah pertanda mereka mulai mendekati wilayah pantai utara tanah Jawa. Karenanya bukit itu dinamakan Bukit Mata Laut.

Tak heran jika sekelebat bayangan yang melintas itu dapat dengan mudah menemukan letak Bukit Mata Laut, karena ia menggunakan ciri pepohonannya yang terdiri dari pohon jati merah itu. Dalam waktu singkat sekelebat bayangan tersebut telah mencapai lereng bukit. Kejap berikutnya ia telah mencapai puncak bukit dan berhenti di balik sebuah pohon.

"Oh, ternyata sudah banyak orang? Apakah mereka sekadar ingin menyaksikan pertarungan ini atau juga ingin ikut terjun dalam pertarungan?' pikir sosok bayangan tadi yang ternyata seorang gadis berpakaian kuning gading. Gadis jelita itu berambut pendek, ada poni dikeningnya. Pedang di pinggang berbatu ungu pada gagangnya. Gadis cantik itu mempunyai tato gambar bunga mawar di pergelangan tangan yang menandakan bahwa ia adalah murid Perguruan Mawar Seruni, mendiang gurunya bernama Nyai Punding Sunyi. Gadis cantik itu tak lain adalah Kirana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Lentera Kematian").

Dulu Kirana selalu mendampingi seorang pendekar tampan yang bergelar Pendekar Mabuk yang punya nama Suto Sinting itu. Dia menyimpan perasaan suka pada sang pendekar, tetapl tak pernah dicetuskan melalui kata-kata. Rasa suka kepada sang pendekar disimpannya saja di dalam hati, sebab Kirana tahu Pendekar Mabuk sudah mempunyai kekasih, calon istri yang amat dicintainya, yaitu Gusti Mahkota Sejati yang bernama asli Dyah Sarinlngrum, penguasa negeri Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu. Rasa cinta yang terpendam dan mau mengalah untuk tidak menampakkan tuntutannya itulah yang membuat Kirana nadir di Bukit Mata Laut tersebut.

Ketenaran nama Pendekar Mabuk di kalangan para tokoh persilatan membuat sang pendekar selalu menjadi pusat perhatian dan pembicaraan mereka, sehingga dalam waktu yang amat singkat kabar tersebut me-nyebar dengan cepat menyusupi telinga-telinga mereka.

Kabar itu tak lain adalah kabar tentang pertarungan Pendekar Mabuk yang akan dilakukan di Bukit Mata Laut. Lawannya dari Tanah Hindus, seorang perwira kepercayaan Raja Kulana Baham bernama Syakuntala. Tantangan Syakuntala itu terjadi di tengah laut ketika kapalnya berpapasan dengan perahu yang digunakan Pendekar Mabuk menuju Pulau Selayang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tabib Darah Tuak").

Kabar yang cepat menyebar membuat para tokoh rimba persilatan berdatangan mengunjungi Bukit Mata Laut. Pada umumnya mereka yang datang adalah orang-orang yang sudah mengenal kesaktian Syakuntala dan kehebatan ilmunya Pendekar Mabuk. Mereka ingin menyaksikan dengan matanya sendiri seperti apa pertarungan dua tokoh sakti tersebut. Mereka ingin tahu, siapa yang unggul dalam pertarungan itu.

Tetapi ada pula yang hadir di Bukit Mata Laut untuk mewakili tantangan Pendekar Mabuk dalam menghadapi Syakuntala. Umumnya mereka yang mempunyai perasaan cinta terhadap sang pendekar tampan itu merasa tak rela jika Suto Sinting dilukai oleh Syakuntala. Mereka ingin tampil sebagai perisai sang pendekar. Hasrat seperti itulah yang membuat Kirana hadir di Bukit Mata Laut dengan segenggam harapan dapat membuktikan pembelaan dan kesetiaannya terhadap Suto Sinting.

Tetapi ketika Kirana ingin bergerak mendekati tanah lapang yang sudah dihadiri orang banyak itu, tiba-tiba langkahnya terhentl karena seseorang berkelebat mendekatinya. Kirana sempat terkejut karena kehadiran orang tersebut bagaikan muncul secara tiba-tiba dari arah samping kirinya.

"Kirana," sapa orang itu.

"Oh, kau...!" Kirana hampir berkelebat menendang orang itu karena gerak nalurinya. "Kau sangat mengejutkan diriku, Citradani! Hampir saja aku menendangmu."

"Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkan dirimu, Kirana," ucap Citradani dengan tersenyum kecil. Wanita cantik yang mengenakan pakaian merah jambu itu adalah murid dari Perguruan Bang Putih yang usianya dua puluh empat tahun, sejajar dengan usia Kirana. la pernah bertemu dengan Pendekar Mabuk ketika terusir dari perguruannya karena menghilangkan kalung pusaka 'Lintang Suci' milik sang Guru yang jika nama aslinya disebutkan akan menghadirkan angin badai dan guntur berhamburan.

"Apakah kau datang sendirian, Citradani?"

"Ya. Aku mewakili Guru Embun Salju untuk menyaksikan pertarungan Suto dengan Syakuntala," jawab Citradani sambil melangkah menuju ke arena per­tarungan. la menyambung kata,

"Guru Embun Salju pernah bertempur melawan Syakuntala, jadi beliau tahu persis kekuatan Syakuntala. Menurut beliau, Syakuntala orang berbahaya. Ilmunya cukup tinggi dan bersifat liar. Jika tidak berilmu tinggi ia tidak akan dijadikan panglima Tanah Hindus. Sejujurnya saja, Guru Embun Salju merasa cemas mendengar kabar Syakuntala akan bertarung melawan Suto Sinting. Guru mencemaskan keselamatan Suto Sinting, sebab itu aku dikirim untuk membayang-bayangi Suto jika dalam bahaya yang akan merenggut jiwanya."

"Kudengar Syakuntala itu memang orang berilmu tinggi. Tapi bagaimanapun juga aku merasa masih mampu menghadapi Syakuntala. Tak perlu Suto yang maju. Aku sudah selesaikan pelajaran baru dari Kitab Gatra Lelana. Kurasa Syakuntala cukup menghadapiku saja daripada menghadapi Suto Sinting."

"Hati-hatilah dalam bertindak, Kirana. Guru pun berpesan padaku agar jangan bertindak gegabah terhadap Syakuntala, karena ia mempunyai jurus yang mampu dilepaskan secara tiba-tiba dan sangat di luar dugaan kita."

Kirana hanya tersenyum tipis. Citradani tak tahu bahwa Kirana sekarang sudah diangkat menjadi ketua Perguruan Mawar Seruni sejak berhasil menamatkan pelajaran dari Kitab Gatra Lelana. Tentu saja ilmunya tidak seperti dulu lagi. Karenanya ia merasa sangat yakin dapat tumbangkan Syakuntala dengan bekal ilmu barunya itu.

"Citradani, perhatikan gadis cantik yang didampingi oleh Nyai Paras Murai dan Hantu Tari itu! Apakah kau mengenalnya?"

Mata Citradani tertuju pada gadis bermahkota kecil di kepalanya. Jubahnya ungu, pakaian dalamnya kuning, rambutnya disanggul sebagian. Ada dua pengawal di bagian belakangnya. Salah satu pengawal dikenal oleh Citradani sebagai tokoh yang bernama Batu Sampang.

"Dia yang sekarang menjadi ratu di Muara Singa. Dialah yanq dulu dikenal dengan nama Tandu Terbang."

"Oh...?! Jadi gadis itulah yang ada di dalam Tandu Terbang itu?"

"Benar. Namanya sekarang dikenal sebagai Ratu Galuh Puspanagari. Kabarnya Suto Sintinglah yang merebutkan takhta untuknya dan menjaga dari rencana penggulingan takhta yang akan dilakukan oleh Raja Tumbal. Suto Sinting yang berhasil membunuh Raja Tumbal.

Kabarnya pula ratu itu adalah murid Pendeta Arak Merah dari Tibet. Kesaktiannya sedikit berkurang sejak ia menduduki takhta sebagai Ratu di negeri Muara Singa. Tapi sisa kesaktiannya masih membuatnya d-pandang sebagai tokoh beriimu tinggi juga." (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tandu Terbang").

"Dari mana kau tahu tentang dia?"

"Gusti Guru Embun Salju belum lama ini berkunjung ke negeri Muara Singa, karena punya hubungan baik dengan kakak angkat sang ratu bernama Purnama Laras. Orang yang berjalan paling depan itulah yang bernama Purnama Laras."

"Menurutmu apa rencananya datang kemari?" tanya Kirana penuh selidik.

"Mungkin sama dengan kita, ingin melihat keunggulan Suto Sinting, atau ingin membuktikan siapayang unggul dalam pertarungan nanti."

"Barangkali mereka akan kecewa, karena Suto Sinting tak akan berhadapan dengan Syakuntala. Orang yang akan menumbangkan Syakuntala adalah aku sendiri."

Citradani mendesah, "Ah, jangan sebodoh itu, Kirana. Urungkan niatmu!"

Kirana hanya tersenyum sinis, tapi bukan karena benci kepada Citradani, melainkan bersikap meremehkan nasihat sahabatnya itu. Kirana dan Citradani membaur dalam kerumunan orang-orang yang menunggu saat pertarungan dimulai. Agaknya pihak Syakuntala sudah siap sejak tadi dengan jumlah anak buahnya yang berkumpul di sisi timur.

Ternyata yang ingin menyaksikan pertarungan seru itu bukan hanya Palupl, si Ratu Puspanagari itu, melainkan juga ada tokoh lain yang menaruh simpati dan menyimpan kekaguman terhadap Pendekar Mabuk. Antara lain: Ki Argapura, si jago pedang yang pernah mengajarkan jurus pedangnya kepada Suto. Delima Gusti, putri Adipati Suralaya, yang pernah terlibat masalah bersama Suto dalam peristiwa Cambuk Getar Bumi.

Kelana Cinta, mata-mata dari Ringgit Kencana yang selalu menjadi wakil Ratu Asmaradani. Prasonco alias Raja Maut, sahabat karib gurunya Suto Sinting; si Gila Tuak. Hadir juga di situ Bongkok Sepuh alias si Setan Arak, yang pernah diselamatkan Suto Sinting dari ancaman maut ilmu 'Darah Gaib' dan 'Bias Dewa' itu. Tak ketinggalan pula Batuk Maragam yang bernama asli Brajamusti juga ada di situ bersama gadis yang ingin menjadi muridnya; Camar Sembilu. Serta beberapa tokoh lain yang masing-masing punya rasa kagum kepada kependekaran murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.

Tetapi mereka menyimpan pertanyaan dalam hati karena Suto Sinting belum kelihatan tampil di situ. Bagi mereka, sangat mustahil jika Suto Sinting sebagai Pen­dekar Mabuk yang belakangan ini disebut-sebut sebagai Tabib Darah Tuak itu akan ingkar janji dengan tidak menghadiri pertarungan tersebut. Suto Sinting pasti datang. Tapi mengapa sampai hari menjadi lewat siang sang pendekar tampan itu belum muncul juga? Adakah sesuatu yang menghambat langkahnya menuju Bukit Mata Laut'.

Terdengar percakapan Batuk Maragam dengan Bongkok Sepuh yang ada di samping Ki Argapura dan Raja Maut,

"Suto pasti datang. Sebab saat kami berada di Pulau Selayang, Suto sudah bilang padaku bahwa ia harus penuhi tantangan pertarungan dengan Syakuntala. Mestinya aku yang akan menghadapi Syakuntala, tapi ia wanti-wanti sekali agar aku tidak merusak rencananya menundukkan panglima Tanah Hindus itu.

Uhuk, uhuk, uhuk ..... '

Mendengar batuknya Brajamusti, mata Syakuntala di seberang sana memandang dengan beringas. Batuk Maragam mengetahui sorot pandangan mata bekas lawannya yang pernah dipotong jari kelingkingnya itu, tapi Batuk Maragam tidak melayani sikap tersebut. Karena Raja Maut segera bertanya dan ia harus memberi penjelasan kepada sahabatnya itu,

"Apa yang membuat Suto Sinting harus bertarung dengan Syakuntala di sini?"
"Sebenarnya ini akibat siasat dari, uhuk, uhuk...!"
"Siasat uhuk, uhuk itu yang bagaimana?"

"Aku sedang batuk! Jangan diartikan sebagai bahasa mulut!" gerutu Batuk Maragam. "Sebenarnya ini akibat siasat Suto yang ingin menghindari murka Sya­kuntala terhadap perahu kami. Jika Suto tidak gunakan tantangan seperti ini, maka akan timbul korban tak ber-salah di perahu kami yang kala itu membawa Jelita Bule dan Pesona Indah ditambah si anak desa Pande Bungkus itu."

Batuk Maragam jelaskan pula tujuan perahu mereka menuju pulau Selayang, karena ingin menolong Ratu negeri Malaga yang bernama Ratu Rangsang Madu dari pengaruh racun ganas milik mendiang Nyai Sunti Rahim. Racun itu hanya bisa disembuhkan oleh darah Pendekar Mabuk yang disebut-sebut sebagai Tabib Darah Tuak.

Sedangkan Syakuntala sendiri kala itu juga bermaksud membawa Suto sebagai Tabib Darah Tuak yang harus sembuhkan Raja Kulana Baham, pe-nguasa Tanah Hindus yang menderita sakit tak tersembuhkan, hanya dengan bantuan Tabib Darah Tuaklah penyakit itu bisa disembuhkan. Sedangkan Raja Kulana Baham itu adalah raja yang lalim, licik dan gemar menjajah kemerdekaan negeri lain, (Baca serial Pen­dekar Mabuk dalam episode : "Tabib Darah Tuak").

Tantangan itu menyebutkan, jika Syakuntala bisa kalahkan Suto Sinting dalam pertarungan, maka Suto akan mau dibawa ke Tanah Hindus, tapi jika tidak, maka Syakuntala tidak akan bisa membawa Tabib Darah Tuak. Mau tak mau akan pulang ke Tanah Hindus dengan tangan hampa tanpa sang tabib. Hal itu dilakukan oleh Suto Sinting sebagai pengajaran bagi raja Tanah Hindus sendiri atas perbuatan kejinya selama ini yang mendapat upah penyakit kutukan tak tersembuhkan itu. Pada dasarnya, Batuk Maragam dan Jelita Bule sendiri tidak setuju jika Suto Sinting pergi ke Tanah Hindus, sebab banyak bahaya yang akan membuat Suto Sinting tak dapat keluar dari sana.

Syakuntala tampak tak sabar. Orang bercambang dan berkumis lebat itu mondar-mandir dengan gelisah. Kepalanya yang gundul menjadi mengkilap karena ter-panggang matahari. la mengenakan baju putih tanpa lengan dan celana putih ketat bawah membentuk keke-karan kakinya, seakan kuda-kudanya tak mungkin bisa dipatahkan lawan. Pedang lengkung di pinggang dari perak hias selalu dipegang gagangnya, bagai tak sabar ingin segera mencabutnya. Matanya yang bulat lebar, tubuhnya yang berotot gepal, dua anting di kanan kiri telinganya itu, benar-benar membuat penampilan Syakuntala tampak menyeramkan. la tak merasa malu wa-lau tahu banyak mata yang tertuju pada kelingkingnya yang cacat karena terpotong dalam pertarungan dengan Batuk Maragam itu.

Karena tak sabar, Syakuntala berteriak dengan berangnya, "Mana Pendekar Mabuk itu?! Apakah dia bersembunyi di balik ketiak wanita?! Seharusnya kalau dia takut menghadapiku, datang saja dan bersujud di hadapanku, aku pasti akan mengampuni mulut besarnya yang hanya bisa berkoar-koar penuh sampah itu!"

Mendengar pendekar idamannya dihina, Kirana menjadi panas hati. Memang sebenarnya bukan hanya Kirana saja yang panas hati mendengar hinaan itu. Palupi, Kelana Cinta dan beberapa wanita pengagum Suto Sinting juga merasa hatinya bagaikan disiram air men-didih. Tapi mereka bisa menahan diri. Hanya Kirana yang kurang bisa menahan diri, sehingga dengan Ian-tang ia berseru dari tempatnya,

"Hei, Gundul Kopong...! Bicaralah dengan hati-hati sebelum kepala gundulmu menggelinding ditebas jari kelingking Pendekar Mabuk!"

Mata Syakuntala tertuju kepada Kirana, memandang dengan tajam. la segera tampil di arena yang terbentuk dengan sendirinya karena dikelilingi para penonton yang hadir di situ. Di tengah arena itu Syakuntala menuding Kirana sambil berkata keras-keras,

"Siapa kau, Gadis Peot?! Kalau kau merasa tak senang dengan hinaanku, majulah kemari dan hadapi aku!"

Wuuut...! Kirana tanpa berpikir panjang lagl lang-sung melompat dan tiba-tiba sudah berada di tengah arena. Beberapa mata yang melihat kejadian itu memandang tegang. Beberapa hati berkata, Terlalu bera-ni gadis itu!"

"Aku sudah di sini! Sekarang mau apa kau?!" tantang Kirana dengan tegas.
"Sepertinya kau tak rela jika aku menghina Pendekar Mabuk si Tabib Darah Tuak itu!"

"Tantanganmu itu pun sudah termasuk menghina dan menyinggung perasaanku, Kepompong Gundul! Kau pikir kau bisa unggul menghadapi Pendekar Mabuk? Tidak! Kau akan tumbang dan pulang tinggal nama. Tapi jika kau bertarung melawanku, kau masih punya keuntungan, yaitu dapat pulang bersama nyawamu walau akhirnya di sana pun kau akan kehilangan nyawa juga."

"Mulut lancang!" geram Syakuntala dengan mata melebar ganas. "Apa maumu sebenarnya, Gadis Edan?!"

"Aku mewaklli Pendekar Mabuk! Kau tidak akan bisa bertarung melawannya sebelum mampu menumbangkan diriku, Kepompong Sawah!"

"Jahanam! Hiaaat...!"

Tangan orang gundul itu menyentak tiba-tiba dengan bentuk jari seperti cakar elang. Dari tengah telapak tangannya itu melesat selarik sinar merah. Bentuknya seperti besi panjang yang membara. Slaaap...! Sinar merah itu menuju dada Kirana. Tapi gadis itu dengan cepatnya menyentakkan kakinya ke depan dengan tendangan miring. Dari sisi kaki itu keluar gelombang bersinar biru yang menghantam sinar merah tersebut. Claaap.-.l Wuuusss...! Blaaar...!

Kirana terpental tak seberapa jauh. Tapi ia masih bisa berdiri walau pandangan matanya sedikit buram karena pancaran sinar ledak tadi. la segera tarlk napas dan pandangan matanya kembali normal. Pada saat itulah ia melihat Syakuntala melompat dan mencabut pedangnya untuk ditebaskan dari atas kanan ke bawah kiri. Wuuuttt...!

Traaang...! Kirana mampu bergerak cepat mencabut pedangnya dan menangkis tebasan itu. Kakinya berkelebat lagi menendang wajah Syakuntala. Tetapi kaki itu justru dihantam oleh kepalan tangan kiri Syakuntala. Deees...! Keduanya sama-sama tersentak mundur dua tindak.

"Pukulannya mengandung hawa panas yang tinggi," pikir Kirana. "Kakiku terasa dibakar seketika. Untung hawa murniku cepat tersalur ke bawah. Aku harus hati-hati dengan pukulannya itu."

Syakuntala kembali menyerang dengan jurus pedangnya yang membuat tubuhnya melompat sana-sini membingungkan pandangan lawan. Kirana menghadapinya dengan jurus baru, sebuah jurus pedang yang dilakukan dengan memutar tubuh bagaikan gangsing. Gerakan pedangnya sampai timbulkan bunyi menggaung karena cepatnya. Gerakan memutar itu pun membingungkan Syakuntala karena setiap pedang yang ditebaskan selalu saja mengenai pedang Kirana.

Trang, trang... trang... tring, taaang... trang... !

Sepuluh jurus tebasan pedang tak berhasil lukai tubuh Kirana. Pandangan mata Syakuntala dibuat bingung membedakan mana pedang dan mana baglan tu­buh Kirana. Syakuntala segera mundurkan diri. Wuuut...!

Dalam jarak lima langkah ia berdlri tegak membiarkan Kirana berputar-putar terus tanpa sadar bahwa lawannya sudah berhentl menyerang dan sedang memperhatikan. Salah seorang penonton menjadi pusing dan mual perutnya melihat tubuh Kirana berputar secepat gangsing itu.

Sllaapp...! Kirana akhirnya berhenti berputar cepat. la tidak merasakan pusing sedikit pun, sehingga ia bisa berdiri tegak menghadap Syakuntala. Tapi di luar dugaan, tiba-tiba Syakuntala lepaskan senjata rahasianya berupa logam menyerupai bentuk ujung panah yang melesat cepat dari sentakan tangan kiri.

Zlaaab, zlaaab, zlab...!

Kirana cepat kibaskan pedangnya. Trang, tring...! Jrrub...! Satu dari tiga logam putih itu menghantam tepat di bawah pundak kiri Kirana.

"Aahg...!" Kirana terpekik dan oleng ke belakang. la mundur dengan terhuyung-huyung dan pegangl pundaknya yang terluka itu. Benda tersebut sudah telanjur terbenam di daging bawah tulang pundak.

Sakitnya bukan main. Kirana menjadi pucat pasi dan jatuh terkulai di dekat kaki Bongkok Sepuh.

Citradani segera menuju ke tempat Kirana. Bongkok Sepuh menolong Kirana, tapi wajah Kirana semakin pucat. Tak ada darah yang keluar dari luka itu kecuali warna daging yang memerah saja.

"Celaka! Senjata rahasfa Itu mengandung racun tinggi!" kata Bongkok Sepuh.

"Kirana...! Kau terluka parah. Berbahaya sekali!" kata Citradani. Wajahnya tegang melihat Kirana semakin pucat dan semakin lemas. Kulit tubuh gadis itu mulai membiru di sekitar luka.

"Tengkurapkan dia!" kata Batuk Maragam. Citradani memiringkan tubuh Kirana. Lalu, telapak tangan Batuk Maragam menghantam pundak belakang Kirana dengan satu sentakan mengejutkan. Dddus...!

Slaaap...! Logam putih beracun yang terbenam di tubuh Kirana itu melesat keluar. Barulah darah keluar dari luka tersebut. Tapi darah yang keluar sudah bercampur dengan racun ganas sehingga warnanya bukan merah lagi, melainkan hitam bercampur larutan warna hijau tua.

"Dia terkena 'Racun Getah Mayat' Sulit disembuhkan. Sebentar lagi pasti akan mati," kata Batuk Maragam. "Bawa keluar dari sini, biar kuobati sebisaku! Siapa tahu dia akan uhuk, uhuk, uhuk, ihiiiik ......... heoeek...!"

Batuk Maragam tak bisa lanjutkan kata-katanya karena sakit batuk menyerang lagi. Citradani membawa Kirana keluar dari lingkaran orang-orang yang membentuk arena pertarungan itu.

Sementara Kirana ditangani oleh Batuk Maragam, Syakuntala semula ingin mengejar Kirana dan membunuhnya hingga mati. Tapi gerakan liarnya itu segera ditumbangkan oleh pukulan jarak jauh tanpa sinar.

Wuuut...! Beehg...! Tubuh lelaki berlengan kekar dan berkulit hitam itu tersentak ke arah lain, melayang kehilangan keseimbangan tubuh, lalu jatuh terpelanting di depan kaki tiga anak buahnya. Brruk...!

"Bangsat licik! Siapa yang menyerangku tadi!" bentaknya dengan suara keras dan kasar. Ketiga anak buahnya segera gelengkan kepala saat mata Syakuntala menatap mereka.

"Bukan saya yang menyerangnya, Tuan!"

Plook...! Anak buah yang bicara itu ditampar keras ke kanan hlngga melintir bagai seseorang sedang me-nari. Orang itu lalu jatuh terduduk dengan wajah menyeringai karena pipinya hangus dan berasap. Itu pertanda bahwa Syakuntala benar-benar marah besar hingga tak sadar tenaga dalamnya tersalur keluar melalui telapak tangan yang digunakan menampar tadi.

"Siapa yang menyerangku tadi, hah?!" teriak Syakuntala sambil berjalan ke tengah arena. Lalu, terdengar suara seorang gadis berseru tegas,

"Aku...!" Kemudian gadis itu tampil ke tengah arena. Gadis itu tak lain adalah Palupi, si Ratu Galuh Puspanagari.

"Galuh, tahan dan kendalikan dirimu!" bisik Purnama Laras.

"Akan kulawan dia!" ujarnya sambil melangkah maju ke arena. Batu Sampang ingin bergerak maju, tapi tangannya segera ditahan oleh Purnama Laras.

"Biarkan! Dia ingin lampiaskan perasaannya terhadap Suto dan musuh Suto!"

Palupi tampil sebagai wanita berpakaian indah karena memang ia seorang ratu. Tetapi Nyai Paras Murai, Hantu Tari, Batu Sampang, dan Purnama Laras sendiri menjaga di sekeliling arena untuk segera berikan bantuan jika terjadi sesuatu yang membahayakan ratu mereka.

"Siapa kau, sehingga berani menyerangku dari samping, hah?!" bentak Syakuntala dengan ganas.

"Aku Palupi! Mungkin kita pernah bertemu di suatu tempat manakala kau mengenalku sebagai Tandu Terbang."

Wajah Syakuntala tampak terperanjat kaget mendengar nama Tandu Terbang. la bersuara menggeram,

"O, rupanya kaulah orang yang ada di dalam tandu itu?! Baik. Kita memang pernah bertemu dan mengadu kesaktian ketika di Selat Madagaskar. Waktu itu aku kalah, tapi kali ini aku tak akan kalah lagi!"

"Tebuslah kekalahanmu itu sekarang juga, Syakuntala. Kau memang lebih baik berhadapan denganku daripada dengan Suto Sinting yang hanya akan melenyapkan nyawamu dalam waktu kurang dari lima hitungan!"

"Kutebus kekalahanku dulu, Biadab! Heeeaaah...!" Tandu Terbang yang sekarang lebih senang meng-aku bernama Palupi itu segera menyentakkan dua jarinya ke depan. Suuut...! Tubuh berkepala gundul yang melayang hendak tebaskan pedangnya tersentak mun-dur. Duuss...!

Seberkas sinar kuning kecil menghantam perut Syakuntala. Sinar kuning kecil itu seperti sinar bertenaga lima banteng murka. Syakuntala tak mampu menahan diri, sehingga tubuhnya melayang terbuang ke belakang dan menabrak dua anak buahnya. Brruuusss...!

"Heeg...!" salah satu anak buahnya terpekik tertahan karena tubuhnya terkapar dan kejatuhan badan kekarnya Syakuntala yang berperawakan tinggi besar itu.

Orang itu mendelik bagai tak bisa bernapas. Syakuntala sendiri menahan sakit dengan menggeletukkan gigi dan mengancing mulut rapat-rapat.

Rasa mual yang amat kuat membuat Syakuntala akhirnya tak mampu menahan diri dan muntah di tempatnya jatuh itu. Isi perutnya terkuras keluar tanpa pe-duli muntahnya itu membasahi kaki anak buahnya yang masih terkapar menahan sakit karena tertindih tubuh Syakuntala tadi.

"Kusarankan, batalkan saja pertarungan ini demi keselamatanmu, Syakuntala!" kata Palupi dengan tegas dan berkesan penuh wibawa. Tapi hal itu justru membuat Syakuntala menjadi semakin berang. la segera bangkit dan maju ke arena.

"Jangan punya niat mengguruiku, Tandu Terbang! Kurobek mulutmu sekarang juga dengan pedangku ini! Hiiaaah...!"

Wuuut... wwwuus...!

Pedang itu ditebaskan ke tubuh Palupi. Tapi dengan gerakan cepat Palupi mampu melenting ke atas dan bersalto satu kali. Jleeg...! la telah mendarat di be­lakang Syakuntala dengan kedua kaki merenggang sigap. Syakuntala segera balikkan badan sambil layangkan tendangan kakinya yang bergerak memutar itu.

Wuuss...! Plak, plak, plak! Wuuuss...! Des, dess...!

Dua pukulan telapak tangan Palupi kembali kenai dada Syakuntala. Tubuh kekar itu tersentak mundur tiga tindak dalam keadaan melengkung. Dari mulutnya keluar darah beberapa percik akibat pukulan telapak tangan bertenaga dalam itu.

Namun Syakuntala masih penasaran dan tetap lakukan pembalasan. la meraba pedang lengkungnya dengan tangan kiri dari gagang sampai ke ujung. Lalu pedang itu segera dikibaskan ke arah tubuh Palupi. Kibasan itu memercikan tiga larik sinar merah dari kedua tangan kanan-kirinya itu. Seber-kas sinar putih perak menyatu dalam kelebatan berben-tuk gelombang-gelombang besar.

Blaaar...! Gelegaaaarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi dari benturan dua jenis sinar itu. Palupi terpental jauh dari tempatnya, karena jarak pertemuan dua sinar itu lebih dekat dengan diri-nya. Sedangkan Syakuntala terpental sekitar tiga tindak ke belakang dalam keadaan jatuh terduduk, tidak seperti Palupi yang terkapar dengan wajah memucat, darah keluar dari mulut dan hidungnya.

Ledakan itu timbulkan getaran pada bumi, seakan bukit itu ingin terbelah menjadi dua bagian. Beberapa orang yang ada di situ juga berjatuhan karena guncangan mendadak tersebut.

RAJA MAUT memandang dengan tegang, demikian pula yang lain. Ki Argapura berkata kepada Bongkok Sepuh, "Tandu Terbang agaknya telah kehilangan ilmunya cukup banyak sejak menjadi seorang ratu. Berbahaya sekali jika ia nekat bertarung dengan Syakuntala!"

"Memang. Pertarungan ini tidak seimbang, harus dicegah!" Bongkok Sepuh hendak bergerak maju ke arena, tapi pundaknya segera dicekal oleh Batu Maragam yang berkata,

"Jangan campuri pertarungan ini. Kita hanya sebagai penonton saja, supaya Pendekar Mabuk tidak merasa kecewa andai ia menang melawan Syakuntala. Kalau toh kita harus campuri, akulah yang lebih berhak campur tangan karena Syakuntala bekas musuh lamaku."

"Tapi ratu cantik itu bisa mati kalau masih mencoba melawan Syakuntala!"

Raja Maut segera berseru kepada Nyai Paras Murai yang berdiri tak jauh darinya, "Paras Murai, cegah orangmu agar jangan masuk ke arena!"

Nyai Paras Murai hanya mengangguk. Tapi ketika itu Hantu Tari bergegas mendekatl Purnama Laras dan berkata, "Kalau kita tak turun tangan, sang Ratu bisa binasa di tangan Syakuntala!"

"Sabarlah. Jangan mengumbar kemarahan," kata Purnama Laras berkesan bijak.

Batu Sampang berkata, "Izinkan saya menandingi Syakuntala!"

"Jangan. Sebaiknya kita bawa keluar saja sang Ratu itu!"

Tetapi Hantu Tari tampak geram dan benci sekali memandangi Syakuntala yang bersiap-siap lanjutkan pertarungan, sementara Palupi masih menggeliat dalam keadaan terkapar.

"Aku harus bertindak sekarang juga!" geram Hantu Tari.

Hantu Tari, tahan...!" seru Nyai Paras Murai ketika Hantu Tari berkelebat masuk ke arena hendak menyerang Syakuntala.

Gerakan yang tertahan membuat Hantu Tari jengkel kepada gurunya dan berseru, "Dia melukai Palupi! Ini saat terbaik untuk membalasnya."

"Jangan! Urus dulu sang Ratu, lukanya cukup berbahaya!"

Hantu Tari terpaksa segera angkat tubuh Palupi dan membawanya ke tepi arena. Sementara itu Syakuntala segera bangkit, menggerakkan kedua tangannya dengan kerahan tenaga berotot. Seakan ia sedang lakukan penyembuhan dengan permainan napasnya agar tubuhnya kembali segera seperti sediakala.

"Tandu Terbang! Kau tak bisa hentikan pertarungan Ini sebelum nyawamu kucabut dari raga! Heiaaah...!"

Syakuntala kembali menyerang Palupi, padahal Palupi sudah dalam perlindungan Hantu Tari, Purnama Laras, dan Batu Sampang. Gerakan berbahaya Syakuntala itu segera dipatahkan oleh pukulan tenaga dalam tanpa sinar dari Nyai Paras Murai. Wuuuut...! Buuhg...!

"Uuhg...!" Syakuntala terpekik tertahan. Karena pada saat itu pula muncul serangan tanpa sinar dari jarak jauh. Serangan itu datang bersama melesatnya sesosok tubuh yang masuk ke dalam arena. Jleeg...!Kelana Cinta yang sejak tadi bersedekap menyak-sikan pertarungan itu kini menedahkan kata lirih,

"Sumbaruni...?"

Wanita cantik berpakaian serba ungu itu tak lain adalah Pelangi Sutera, alias Sumbaruni, bekas istri jin, bekas panglima negeri dasar laut: Ringgit Kencana, yang berarti pula bekas atasannya Kelana Cinta.

Melihat lawannya yang maju kali ini, Syakuntala sedikit kecilkan matanya. Tapi pandangannya masih tajam, Kedua pukulan jarak jauh yang mengenai tubuhnya tidak membuatnya lemah setelah menarik napas dan menahannya di rongga dada dan perut.

"Kaukah yang bernama Sumbaruni?!" geram Syakuntala dengan mata kian mengecil menatapi wajah ayu Sumbaruni.

Wajah cantik berkesan gaiak itu tak mau sunggingkan senyum, tapi bicaranya sangat tegas dan jelas.

"Aku memang Sumbaruni, yang dulu pernah melukai rajamu sekian tahun yang lalu. Sekarang agaknya kau ingin mengikuti jejak penyakit rajamu itu, Syakuntala!"

"Aku tak punya urusan denganmu!"
"Sekarang kau mempunyai urusan denganku. Karena Pendekar Mabuk tak kuizinkan bertarung melawanmu!"

"Mengapa kau ikut campur pertarungan ini?! Apa hakmu mencampuri urusanku dengan Tabib Darah Tuak itu!"

"Aku pelindungnya dan pengawal setianya! Jika kau ingin menghadapi Pendekar Mabuk, kau harus melangkahi mayatku lebih dulu!"

"Kulayani keinginanmu, Sumbaruni. Heaaah...!"

Syakuntala tampak semakin ganas melawan musuhnya yang sekarang. Sumbaruni bukan wanita yang mudah ditumbangkan. Ilmunya tinggi dan mampu mengukur kekuatan lawannya dengan ilmu 'Getar Sukma' yang dimilikinya. Syakuntala yakin, Sumbaruni berani tampil dl arena karena wanita itu sudah mengukur ilmu lawannya yang dirasakan lebih rendah darinya. Terbukti, tebasan pedang dan serangan tenaga dalam Syakuntala sejak tadi mampu ditangkis dan dihindari oleh Sumbaruni.

Sampai-sampai, Syakuntala sendiri membatin dalam hatinya,

"Bangsat! Sejak tadi seranganku dipatahkan terus oleh jurus-jurusnya. Kudengar dia mempunyai jurus 'Anak Rembulan' yang dapat melumpuhkan lawan. Aku harus hindari agar ia tidak lepaskan jurus itu. Kudului dengan melepaskan 'Racun Ludah Naga' yang akan membuatnya tak berdaya.Tanpa menggunakan racun itu aku tak bisa melukai tubuhnya!"

Syakuntala memainkan jurus rendah. Tangannya berkelebat ke sana-slnl sambil yang kanan pegangi pedang. Gerakan tangan dan tubuhnya yang meliuk-liuk itu menyerupai gerakan seekor naga sedang mende-kati mangsanya. Tapi tiba-tiba Sumbaruni lepaskan jurus 'Anak Rembulan' berupa sinar kuning seperti bintang yang dilemparkan dari tangan kirinya. Ciaaap...!

Wuuutt...! Tubuh Syakuntala melentak terbang menghindari sinar kuning itu yang segera menghantam tubuh saiah satu anak buahnya. Tapi dalam gerakan menyentak bagaikan terbang itu, tiba-tiba dari mulut Syakuntala keluar cairan hitam yang diiudahkan. Cuuuih...! Ploook...!

Ludah hitam itu kenai leher Sumbaruni walau sudah berusaha untuk dihindari. "Ahh...!" Sumbaruni bagaikan mengeluh dan merasa jijik. Namun kejap berikutnya ia jatuh terkulai berlutut karena seperti kehilangan seluruh tulangnya.

Tubuh itu segera tertunduk lemas bagaikan tak bisa mengangkat kepala. Lehernya membekas hitam tanpa cairan sedikit pun.

"Celakal Dia menggunakan 'Racun Ludah Naga'," ucap Batuk Maragam didengar oleh beberapa orang di sekitarnya. Wajah Batuk Maragam menjadi tegang. Sumbaruni yang terkulai masih berusaha berlutut dengan satu tangan menopang tubuh itu sangat mencemaskan para penonton.

"Saatnya aku melayani mayatmu, Sumbaruni! Hiaaah...!" Syakuntala melompat dengan pedang terangkat di atas. Pedang itu pun segera ditebaskan ke arah leher Sumbaruni. Wuuusss...! Zlaaap...!

Traaak... !

Pedang itu tiba-tiba tertahan oleh sebuah benda yang datangnya tak terlihat mata para penonton. Benda itu adalah bumbung tuak sakti milik Pendekar Mabuk. Dan tiba-tiba tangan Syakuntala yang menghantamkan pedang itu tersentak ke belakang dengan keras, tubuh besar itu pun terpelanting jatuh ke belakang. la bagai mendapat sentakan tenaga yang membalik akibat benturan pedang dengan bumbung tuak.

Suara orang di sekeliling mulai bergumam menggaung bagaikan lebah begitu melihat seorang pemuda berambut lurus panjang sebatas lewat pundak, berpakaian coklat tanpa lengan dan celana putih. Pemuda tampan itu tak lain adalah Pendekar Mabuk. Kedatang-annya membuat para pengagumnya merasa lega, bahkan beberapa orang sempat bertepuk tangan karena girangnya.

Terlambat sedikit saja kedatangan Suto Sinting, maka leher Sumbaruni pasti telah jatuh terpenggal oleh pedang Syakuntala. Sekalipun leher Sumbaruni selamat dari pedang Syakuntala, tapi wanita cantik itu masih tetap terkulai di tanah dalam keadaan bersimpuh dan tertunduk. Tubuhnya menjadi susut beberapa saat setelah terdengar suara Syakuntala berkata kepada Pendekar Mabuk.

"Mengapa baru datang? Apakah kau sengaja ingin menyerangku dari belakang?!"
"Maafkan keterlambatanku, karena aku harus menghadap guruku lebih dulu!"
"Bagus. Berarti kau sudah pamit untuk berangkat ke Tanah Hindus, Tabib Darah Tuak!"
"Justru Guru melarangku pergi ke Tanah Hindus!"

"Gurumu itu memang setan kurang ajar! Akan kupaksa muridnya agar Ikut denganku ke Tanah Hindus!"

"Kalau kau mampu, silakan saja!"

"Kau ingin melawanku dengan senjata atau tanpa senjata?!"
"Terserah mana yang baik menurutmu!"

"Ha, ha, ha, ha...!" Syakuntala tertawa dengan bangga. "Sebaiknya tak perlu gunakan senjata. Kau akan luka dan mati oleh senjataku, nanti bagaimana nasib rajaku jika kau sampai mati? Hmmm.... Bersiaplah menghadapiku, Tabib Darah Tuak!"

Setelah memasukkan pedangnya ke sarung pedang, Syakuntala mulai memamerkan kecepatan gerak tangannya yang menghasilkan tonjolan-tonjolan kuat dan keras pada lengannya. Pendekar Mabuk pun menyelempangkan tali bumbung tuak, sehingga bumbung tuak itu berada di punggungnya dengan aman. Gerakannya cukup sederhana, bahkan bagaikan tak mengeluarkan tenaga dan otot.

Tapi ketika Syakuntala maju menyerang dengan pukulan beruntun, Suto Sinting hanya diam saja. la membiarkan pukulan itu menghantam wajah, dada, serta perutnya beberapa kali. Tapi yang berjeritan dan memekik kesakitan adalah beberapa anak buah Syakuntala. Mereka saling tumbang bagai dihantam pukulan kuatyang membuat mereka memuntahkan darah segar.

"Aahg...!"
"Uuhg...!"
"Hheeg... hoeeek...!"

Syakuntala hentikan serangannya seketika itu pula. la terkejut melihat anak buahnya saling berjatuhan. Ada yang wajahnya memar dan mulutnya pecah bagai habis terhantam pukulan bertenaga dalam. Syakuntala membatin,

"Gila! Yang kuhantam Pendekar Mabuk tapi yang tumbang malah anak buahku?! Kurang ajar! Ilmu konyol apa yang dimiliki si Tabib Darah Tuak ini ? !"

Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum tipis. Syakuntala tak tahu bahwa Suto telah menggunakan ilmu anehnya yang bernama ilmu 'Allh Raga', mengirimkan rasa kepada orang lain, sehingga pada saat dirinya dipukul yang terasa sakit adalah orang lain. Dengan begitu Syakuntala bagaikan menyerang anak buahnya sendiri. la menjadi ragu-ragu menyerang Pendekar Mabuk.

"Kalau kutebas kepalanya dengan pedang, tak urung yang akan menggelinding adalah kepala anak buahku sendiri," pikirnya dengan bingung. "Lalu bagaimana caraku menghadapinya jika begini?"

Pada saat Syakuntala kebingungan itulah, Suto Sinting segera lepaskan pukulannya yang bernama 'Pukulan Gegana'. Seberkas sinar patah-patah warna kuning melesat dari dua jari tangan Pendekar Mabuk.

Clap, clap, clap...!

Syakuntala terhenyak kaget. Buru-buru ia melepaskan pukulan bersinar hijau diri telapak tangannya. Tapi pukulan balasan itu termasuk terlambat karena jaraknya sudah sangat dekat dengan dada.

Blegaaar...!

Kedua sinar itu beradu dan meledak dengan dahsyat. Hentakan gelombang ledaknya yang menghadirkan hawa panas tinggi itu menghantam tubuh Syakuntala. Seketika itu pula tubuh besar berkulit hitam terlempar dalam keadaan tidak beraturan. Tubuh itu menggelinding berguling-guling di tanah sambil terdengar suara erangan memanjang dari mulut Syakuntala.

"Aaaahhh...!"

Orang-orang menyangka Syakuntala mati. Tapi nyatanya tidak. Syakuntala hanya menderita luka bakar yang menghanguskan sekujur tubuhnya. Matanya menjadi merah dan sebagian cambangnya rontok.

Kulitnya kian hitam bagaikan disambar petir. la sempat berusaha bangkit, tapi jatuh tersungkur kembali bagaikan kehilangan seluruh tenaganya.

"Angkat sang Panglima! Larikan dia!" seru saiah satu anak buahnya. Kemudian dua anak buahnya bergegas menyambar tubuh Syakuntala dan membawanya lari meninggalkan Bukit Mata Laut. Anak buah yang lain Ikut-ikutan melarikan diri. Yang terkena ilmu 'Anak Rembulan' tadi disambar oleh temannya dan ikut dibawa larl. Suto Sinting hanya tersenyum memandangi pelarian tersebut dan tidak berminat untuk mengejarnya. Karena ia segera melihat Sumbaruni berubah menjadi lebih kecil dari wujud aslinya.

"Sumbaruni!" sentak Suto Sinting dengan terkejut dan merasa heran.

Batuk Maragam berkata, "Dia terkena racun 'Ludah Naga', tubuhnya akan berangsur-angsur menjadi kecil. Makin lama akan menjadi seperti bocah."

Sumbaruni berkata lirih, "Cepat, berikan tuak-mu...."

Suto Sinting segera menuangkan tuak ke mulut Sumbaruni dengan pelan-pelan. Tetapi beberapa saat kemudian, setelah Suto Sinting juga meminumkan tuaknya untuk Kirana dan Palupi, ternyata tubuh Sumbaruni tidak berubah seukuran tubuh aslinya. Bahkan tampak berubah menjadi lebih susut lagi.

"Tuakmu tidak akan berhasil untuk menawarkan racun 'Ludah Naga', Suto," kata Bongkok Sepuh. "Racun itu hanya bisa ditawarkan dengan Telur Mata Setan."

Sementara Suto Sinting tertegun tegang memandangi Sumbaruni, Nyai Paras Mural segera menimpali kata,

"llmunya akan mengendap dan tak bisa digunakan lagi. Tapi pikirannya masih mampu digunakan sebagai-mana mestinya."

"Suto... tolonglah aku!" Sumbaruni memandang penuh iba. la berusaha berdirl dengan berpegangan jubahnya Batuk Maragam.

Hati Suto Sinting tersentuh haru melihat Sumbaruni lebih pendek dari ukuran sebenarnya. Raut wajahnya pun mulai kian tampak lebih remaja. la seperti anak gadis berusia sekitar tujuh belas tahun.

"Sumbaruni...!" Suto Sinting meralh tangan Sumbaruni dan segera membimbingnya mendekat. "Apa yang harus kulakukan?"

"Carikan aku Telur Mata Setan. Tubuhku akan kian mengecil jika tidak segera menelan telur keramat itu, Suto," ucap Sumbaruni sambil menahan tangis dengan hati cemas dan duka.

"Di mana bisa kudapatkan Telur Mata Setan itu?"

Tak ada jawaban beberapa saat. Mereka saling berpiklr dalam herring. Tapi tiba-tiba Nyai Paras Murai berkata bagai orang menggumam, sepertinya ditujukan kepada dirinya sendiri,

"Kalau tak salah, aku pernah mendengar Telur Mata Setan itu hanya ada di Gunung Kundalini...."
"Gunung Kundalini?!" gumam Suto Sinting sambil berkerut dahi.

"Sumbaruni harus segera menelan Telur Mata Setan," kata Bongkok Sepuh. "Jika tidak, dalam waktu dekat ia dapat berubah menjadi bayi, lama-lama akan mati juga."

Mereka yang mengerumuni Sumbaruni menjadi merenggang karena kemunculan sosok tilnggi-besar berkulit hitam. Sosok berkepala gundul dengan satu kuncir rambut melengkung ke belakang itu tak lain adalah Logo, anak Sumbaruni dari hasil keturunan Jin Kazmat Itu.

"Ibu...! Ibu...?!" Logo mendekati Sumbaruni dan dipandanginya dengan mata yang besar dan wajah yang penuh keheranan. Sumbaruni memandang anaknya dan segera menepuk-nepuk pundak Logo ketika anak jin itu berlutut di hadapannya.

"Apa yang terjadi, ibu? Mengapa Ibu menjadi kecil dan muda begini?"
"Tidak ada apa-apa. Tidak terjadi apa-apa, Logo. Jangan piklrkan Ibu."

"Aku harus tahu apa yang terjadi, Ibu!" bentak Logo mulai kelihatan kasarnya. Bentakan itu hadirkan getaran yang mampu membuat orang tanpa ilmu tersentak mundur.

Melihat Logo mulai menahan kemarahan, Bongkok Sepuh mencoba meredakan kemarahan itu dengan berkata,

"Ibumu baru saja bertanding melawan Syakuntala dari Tanah Hindus. Ibumu menang. Hanya terkena 'Racun Ludah Naga' yang membuatnya menyusut. Tapi orang Tanah Hindus Itu sekarang sudah lari menderita kekalahan. Lukanya pun parah."

"Syakuntala...!"

Logo menggeram dan kedua tangan menggenggam kuat-kuat. Sumbaruni cemas dan berkata dengan suara dipaksakan lebih keras lagi,

"Ibu tidak apa-apa, Logo! Jangan berbuat yang bukan-bukan, Nak!"

"Sebelum dia mati aku tidak akan pulang temui ibu!" kata Logo lalu segera berlari pergi menerjang beberapa orang yang menghadang jalan. Orang-orang itu buyar seketika takut diterjang kaki berpotongan seperti pilar itu.

"Logooo...!" seru Sumbaruni dengan berlari, tapi ia jatuh tersungkur karena masih lemas. Untung tubuhnya segera disambar tangan Suto hingga ia tak sempat mencium tanah.

"Biar aku yang menahannya!" kata Raja Maut, lalu mengejar Logo.

TUJUH hari perjalanan menuju Gunung Kundalini membuat Suto Sinting semakln dicekam rasa haru. Perjalanan itu tidak dilakukan sendirlan. Sumbaruni ngotot ingin ikut agar begitu Telur Mata Setan ditemukan ia bisa cepat-cepat menelannya. Alasan kuat itulah yang membuat Pendekar Mabuk tidak bisa mencegah Sumbaruni mengikutinya.

Keadaan Sumbaruni yang memprihatinkan itulah yang membuat hati Suto Sinting sering digetarkan oleh keharuan. Betapa tidak, karena sekarang Sumbaruni bukan lagi sosok gadis cantik bermata galak.

Sumbaruni bukan lagi wanita yang lincah dan berilmu tinggi. Sumbaruni sudah menjadi seorang bocah yang tingginya hanya sebatas perut Suto Sinting.

Bukan saja sosok tubuhnya yang menyusut, melainkan pakaiannya pun ikut menyusut menyesuaikan badan. Bahkan pedang di punggungnya pun ikut menjadi kecil. Apa saja yang menempel di tubuh Sumbaruni telah berubah menjadi kecil. Itulah kehebatan "Racun Ludah Naga' yang dimiliki Panglima Perwira Tanah Hindus. Konon hanya beberapa orang saja yang mempunyai ilmu 'Racun Ludah Naga'.

Kini dalam keadaan seperti gadis kecil berusia sepuluh tahun, Sumbaruni tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Bahkan terkadang jika ia lelah berjalan, Suto Sinting terpaksa harus menggendongnya. Sikap itu dilakukan Suto Sinting agar Sumbaruni tidak patah semangat dan masih mempunyai gairah hidup.

Betapa pun tabahnya seseorang jika melihat keadaannya makin hari makin menjadi seperti anak kecil, sudah tentu kekecewaannya begitu besar dan mampu mematahkan semangat hidupnya. Namun karena Sumbaruni selalu didampingi Suto Sinting yang gemar mengalihkan kesedihan dengan bercanda, maka semangat mempertahankan hidup masih menyala-nyala di hati sanubari sahabat Gila Tuak itu.

Guntur menggelegar di langit. Awan mendung mulai menutupi mentari sore. Angin berhembus secara alami, bukan karena pengaruh kekuatan gaib apa pun. Hari memang menjadi mendung, sebentar lagi hujan akan turun. Saat itu mereka berdua sudah berada tidak seberapa jauh dari gunung Kundalini. Puncak gunung yang bersalju itu sudah kelihatan dari tempat mereka berjalan.

"Aku yakin di dekat kaki gunung itu ada sebuah desa, Suto. Ada baiknya jika kita mencapai desa Itu sebelum hujan turun dan sore menjadi gelap," kata Sum­baruni.

Walaupun sosok tubuhnya menjadi bocah cilik tapi daya pikir dan kemampuan bicaranya masih seperti orang dewasa. 'Racun Ludah Naga' hanya menyusutkan tubuh dan melenyapkan ilmu, tapi tidak bisa menyusutkan daya pikir dan akal seseorang. Hal itu dianggap sebagai kelemahan 'Racun Ludah Naga', yang konon akan menjadi lebih berbahaya lagi, lebih bisa menyusutkan daya pikir korbannya jika saat dilepaskannya ludah itu keadaan Syakuntala sedang lakukan puasa dan diludahkan dengan hati yang damai.

Tapi karena racun itu diludahkan pada saat hati dibakar Kemarahan dan tidak sedang berpuasa, maka 'Racun Ludah Naga' tak mampu membuat susut pikiran seseorang.Tepat ketika Suto Sinting dan bocah Sumbaruni mencapai sebuah kedai, hujan pun turun dengan deras. Cahaya senja makin remang, tak berapa lagi lagi akan menjadi petang. Hujan itu disertai dengan angin dan badai yang berhembus dengan mengerikan. Kilatan-kilatan cahaya guntur seakan ingin menyambar seluruh permukaan bumi. Kabut menebal di sana-sini, sehingga pemandangan tak bisa terlihat jelas.

"Untung kita sudah tiba di kedai Ini. Jika tidak, pasti kau akan terserang batuk-batuk seperti empat hari yang lalu," kata Suto Sinting kepada bocah Sumbaruni.

"Kalau kau tak menuruti gagasanku untuk mengarah kemari, kau juga tak akan temukan kedai ini, Suto!" bocah Sumbaruni tampak bangga dengan ketepatan gagasannya. Suto Sinting hanya tersenyum sambil manggut-manggut.

"Kau mau makan bubur sayur?" Suto Sinting mena-wari Sumbaruni.

"Perutku sudah telanjur kenyang oleh jadah goreng ini," ujarnya sambil menghabiskan sisa makanan yang sedang dikunyahnya. "Aku minta tuak, ah!"

"Husy! Jangan!" kata Suto Sinting agak berbisik. "Jika kau minum tuak, nanti orang-orang di sini akan mengecammu sebagai bocah nakal. Ingatlah, kau dipandang mereka sebagai bocah, bukan sebagai gadis dewasa."

Sumbaruni tarik napas, ada perasaan sedih jika ingat akan hal itu. la mencoba beralasan, "Aku... aku hanya ingin menghangatkan badan. Tubuhku dingin sekali. Angin badai dan hujan menghadirkan hawa dingin mencekam tubuh, seakan ingin membekukan darahku, Suto. Berilah tuak sedikit saja!"

Alasan itu dipandang masuk akal sekali. Suasana yang membuat Pendekar Mabuk tak bisa menahan keinginan bocah Sumbaruni. Dengan memandang sekeliling, secara diam-diam cangkir tuak diberikan kepada Sumbaruni.

"Minumlah sedikit saja, jangan sampai kelihatan siapa-siapa!" bisik Suto Sinting sambil badannya bergerak miring menutupi gerakan minum tuaknya bocah Sumbaruni.

Sruup...! Srrrup...! Srruupp...!

Bocah Sumbaruni meneguk tuak dari cangkir. Beberapa hirupan tuak membuat Suto Sinting cepat-cepat mencegahnya. "Sudah, jangan banyak-banyak. Nanti kau mabuk, aku malu!"

Tanpa disadari oleh mereka ternyata di belakang Suto Sinting telah berdiri si pemilik kedai yang usianya sudah mencapai enam puluh tahun dan sedikit bungkuk. Pemilik kedai yang dikenal dengan nama Ki Sabarsumo itu terkekeh pelan mengejutkan Suto dan Sumbaruni. Bicaranya yang penuh senyum itu pun terdengar pelan.

"Wah, adik kecil kok sudah doyan tuak? Apakah tidak memabukkan?"

Suto Sinting tersenyum kikuk, demikian pula Sumbaruni yang sunggingkan senyum canggung bernada malu dan jengkel. Suto Sinting segera berkata kepada Ki Sabarsumo,

"Dia memang sudah terbiasa minum tuak karena sering ikut denganku berkelana ke mana-mana."

"Ooo... pantas. Wah, hebat juga anak sekecil dia sudah doyan tuak. Pasti kelak besarnya akan menjadi Pendekar Mabuk wanita, seperti yang sekarang sedang ramai dibicarakan oleh para langgananku itu, Nak."

"Siapa yang sedang santer dibicarakan mereka,Ki?"

"Pendekar Mabuk yang punya ilmu tinggi dan dikagumi orang banyak. Tapi Pendekar Mabuk hanya ada di wilayah kulon, di sebelah barat sana. Cerita tentang kehebatannya lebih banyak dibicarakan oleh orang-orang kulon dan sekitar pesisir utara."

Suto Sinting diam saja walaupun ia tahu yang dibicarakan Ki Sabarsumo itu adalah dirinya. Suto Sinting tidak mau perkenalkan dirinya sebagai Pendekar Mabuk karena untuk menghilangkan kesan sombongkan diri. Baginya biarlah orang tahu dengan sendirinya siapa Pendekar Mabuk dan siapa dirinya itu, ketimbang harus memperkenalkan diri tanpa diminta. Kecuali untuk suatu keperluan penting, Suto Sinting baru mau perkenalkan diri sebagai Pendekar Mabuk, murid dari Gila Tuak dan Bidadari Jalang.

Karenanya ketika bocah Sumbaruni ingin berkata tentang siapa sebenarnya yang diajak bicara Ki Sabarsumo itu, Suto Sinting buru-buru alihkan pembicaraan dengan menanyai bocah Sumbaruni,

"Apakah kau ingin makan nasi pecel?"

"Tidak. Sudah kubilang aku sudah kenyang dengan makan ketan goreng ini!" jawab Sumbaruni merasa dongkol karena niatnya bicara dialihkan Suto Sinting. Ki Sabarsumo berkata sambil membersihkan meja samping Suto, "Apakah dia adikmu, Nak?"

"Benar, Ki," jawab Suto secepatnya. "Dia adikku yang paling kucintai."

"Kulihat sungguh besar kasih sayangmu kepada seorang adik. Andai kata aku dikaruniai keturunan mungkin anakku yang sulung sudah seusiamu dan anakku yang bungsu sudah seusia adikmu itu. O, ya... siapa nama kalian?"

"Aku bernama Suto dan adikku ini bernama Runi," jawab Pendekar Mabuk berkesan menutupi jati diri mereka berdua.

"Apakah kedua orangtua kalian masih ada?"
"Hmmm... sudah meninggal. Kami hanya hidup berdua saja," jawab Suto Sinting.

"Ooo... kasihan sekali, ya? Bagaimana jika kalian tinggal di sini saja bersamaku?" Ki Sabarsumo menawarkan jasa baiknya. "Setidaknya jika kalian berdua tinggal bersama kami, tentunya kami tidak akan kesepian jika kedai ini sudah ditutup. Istriku akan punya hiburan, setidaknya punya teman berbincang-bincang yang dapat menghibur hatinya."

Sumbaruni langsung menyahut kata, "Kami punya tujuan sendiri, Ki."

"Betul," timpal Suto Sinting. "Kami punya jalan hidup sendiri. Sebagai pengelana kami tak bisa bermukim di suatu tempat. Kami hanya bisa singgah di sana-sini dalam waktu sejenak."

"Sayang sekali," ujar Pak Tua berpakaian hitam dengan ikat kepala kaln batik coklat itu.
"Ki, apakah kedai ini menyewakan tempat untuk bermalam?" tanya Sumbaruni.

"Tidak. Tapi jika kalian mau bermalam di sini, aku punya satu kamar lagi yang kusediakan untuk bermalam para sanak saudaraku yang berkunjung kemari. Kalian bisa tempati kamar itu tanpa membayar uang sewanya. Kami justru senang jika kalian mau bermalam di sini. Jangan teruskan perjalanan, agaknya hujan akan menjadi lebih deras lagi menjelang tengah malam."

"lya. Sekarang saja hujannya sudah bercampur badai begini. Kurasa beberapa pohon di sana-sini ada yang tumbang karena amukan angin badai dalam hujan ini," kata Sumbaruni sambil memandang arah luar lewat celah pintu penutup kedai yang belum ditutup rapat itu.

"Biasanya," kata Ki Sabarsumo, "Jika keadaan alam seperti ini, pasti Gunung Kundalini akan kedatangan tamu orang sakti."

"Dari mana kau tahu?" sergah Suto Sinting merasa tertarik dengan ramalan tersebut. Ki Sabarsumo yang murah senyum pun menjawab penuh kesabaran,

"Bagi rakyat desa sekitar kaki Gunung Kundalini sudah mempunyai tanda khusus akan hal itu. Hujan badai sangat jarang turun di sekitar sini, hanya saat-saat menjelang kedatangan tamu sakti yang menuju Gunung Kundalini saja hujan badai datang hampir semalaman. Seakan hujan badai merupakan sambutan ramah dari Gunung Kundalini untuk tampakkan kesegarannya kepada sang tamu."

Suto Sinting hanya mengangguk-anggukkan kepala. la tak tahu kalau Sumbaruni telah habiskan tuak dalam cangkir, bahkan menuangnya sendiri dari poci. Pandangannya yang sejak tadi tertuju pada Ki Sabarsumo dan sesekali memandang ke arah hujan membuat Suto tak melihat gerakan tangan Sumbaruni menuang tuak dan meminumnya. Tak heran jika bocah Sumbaruni itu ini menjadi cegukan dengan mata sedikit merah sayu.

"Kita lanjutkan perjalanan kita, Suto. Jangan takut dengan hujan air! Huk, huk.... Kalau takut air, maka kita akan menjadi manusia kering yang huk, huk...."

"Sumbaruni?! Wah, kacau! Kau pasti mabuk karena kebanyakan minum tuak! Tuak ini agak keras, beda dengan tuak-tuak di tempat lain!"

"Siapa yang mabuk?! Huk...! Huk...! Aku masih bisa melihat wajahmu yang tampan dan mendebarkan hati itu. Huk... huk...! Kapan kau ingin mengawiniku, Suto Sinting?"

"Ssstt...!" Suto Sinting membekap mulut bocah Sumbaruni dengan cemas. Matanya melirik sana-sini.

Untung Ki Sabarsumo sudah pergi mempersiapkan kamar untuk mereka, dan beberapa pengunjung kedai sibuk dengan percakapan masing-masing. Suto Sinting agak lega tak ada orang yang mengetahui celoteh bocah Sumbaruni itu.

"Sumbaruni, sebaiknya kau beristirahat di kamar saja. Kau mabuk!"
"Tidak. Aku tidak mabuk," katanya dengan parau dan nada mengambang.
"Aku masih sehat, huk, huk... huk...!"
"Coba hitung, ini berapa?" Suto Sinting menunjukkan tiga jarinya.

Sumbaruni memandang sebentar dan tersenyum tipis seakan meremehkan.

"Hmmm... begitu saja ditanyakan. Aku tahu itu empat!"
"Salah! Ini tiga!"

"Kau yang bodoh tak bisa menghitung jarimu sendiri," kata Sumbaruni.

Suto Sinting geleng-geleng kepala dengan tersenyum geli. "Coba kau hitung, ada berapa pengunjung di kedai ini?"

Sumbaruni menghitung dengan pandangan mata lalu menjawab, "Sepuluh!"

"Salah. Yang ada di sini ada delapan orang termasuk kita berdua. Bukan sepuluh orang."
"Tadi yang dua sudah pulang sebelum hujan turun. Kau tak tahu, Suto!"

Pendekar Mabuk tertawa geli tanpa suara. Lalu ia segera membawa bocah Sumbaruni ke kamar setelah Ki Sabarsumo memberitahukan bahwa kamar mereka sudah disiapkan. Bocah Sumbaruni sebenarnya masih ingin duduk di situ, tapi Suto Sinting membujuknya untuk ke kamar. Sebab jika bocah Sumbaruni ada di situ dalam keadaan mabuk, maka kata-katanya akan membahayakan bagi diri mereka. Setidaknya banyak orang yang tahu bahwa mereka sedang memburu Telur Mata Setan dan mengetahui siapa Suto dan Sumbaruni sebenarnya.

Hari sudah malam, hujan makin menderu karena derasnya bertambah. Bocah Sumbaruni tak mau diting-gal Suto keluar kamar. la minta ditunggui dengan sikap manjanya. la masih ingin berceloteh tentang perasaan hatinya kepada Suto Sinting. Suara celotehnya agak keras sehingga Suto mengingatkan.

"Ssst...! Jangan bicara keras-keras. Kurangi suaramu itu, biar tak mengganggu pendengaran Ki Sabarsumo dan istrinya."

"Mereka akan merasa senang jika terganggu, karena mereka tak pernah diganggu oleh suara bocah sepertiku. Kau tahu, apa yang dilakukan Ki Sabarsumo kepada istrinya malam ini?"

"Tentunya mereka beristirahat karena sudah seharian bekerja melayani tamu."

"Tidak. Mereka pasti bercengkerama, bermesraan dan saling menemukan kebahagiaan batinnya. Tapi aku...? Aku sudah lama tak mendapatkan kebahagiaan batin karena tak pernah ada lelaki yang bisa membangkitkan gairahku. Sekalipun ada, tapi lelaki itu tak mau memuaskan hasrat kerinduanku terhadap sebentuk kebahagiaan batin. Aku sering merasa benci dengan hidupku yang tak pernah kau jamah dengan kemesraan. Padahal aku berharap sekali mendapatkan kemesraan yang amat hangat darimu, Suto!"

"Sumbaruni, tahan bicaramu! Ingat kau bocah kecil yang tak pantas bicara seperti itu!"

"Kecil orangnya, tapi itunya tetap besar... maksudku pikirannya tetap pikiran orang dewasa! Hik, hik, hik, hik...!" Sumbaruni mengikik sendiri.

Suto Sinting membatin, "Payah! Keadaan mabuknya membuat dia bicara seenaknya saja tanpa pertimbangan apa-apa. Bisa berbahaya jika didengar orang lain. Agaknya aku harus hati-hati menghadapinya walaupun dia berwujud gadis kecil yang sepantasnya menjadi adik bungsuku."

Akhirnya Sumbaruni menangis, karena Suto Sinting tak mau tidur di sampingnya. Suto Sinting memilih tidur di sebuah bangku yang ada di kamar itu. Sumbaruni menderita tekanan batin, dan tangisnya terisak-isak mengharukan Suto.

"Tidurlah di sampingku. Hanya sekadar tidur saja. Aku kedinginan, Suto!" pintanya penuh harap sambil menggigil, karena udara malam memang dingin. Akhir­nya Suto Sinting berbaring di sampingnya dan memeluk Sumbaruni seperti memeluk seorang adik kecil tanpa nafsu dan gairah asmara sedikit pun. Sumbaruni merasa damai dalam pelukan Suto.

Perjalanan diteruskan esok paginya. Tapi semakin bertambah hari semakin susut keadaan tubuh Sumbaruni. Ki Sabarsumo sempat pandangi Sumbaruni dengan rasa heran karena pagi itu ia melihat Sumbaruni seperti bocah berusia tujuh tahun. Lebih muda dari semalam. Tapi keanehan itu hanya dipendam dalam hati Ki Sabarsumo karena takut menyinggung bocah Sumbaruni jika dilontarkan dan dipertanyakan.

Hanya saja setelah Sumbaruni dan Pendekar Mabuk meninggalkan kedai mereka, Ki Sabarsumo berkata kepada istrinya yang juga berambut kelabu itu,

"Aneh sekali bocah gadis itu. Semalam ia kelihatan lebih besar dari pagi ini.Mengapa bisa begitu?"

Istri Ki Sabarsumo pun berkata, "lya. Aku juga merasa heran. Sekarang gadis kecil itu menjadi lebih kecil lagi. Wajahnya lebih mungil dan kecantikannya semakin menggemaskan. Aku jadi ingin punya anak seperti gadis mungil itu."

wajah Sumbaruni sekarang menjadi mungil tapi cantik menggemaskan. Tak ada daya tarik berbau birahi pada dirinya, yang ada daya tarik ingin mencubit pipinya atau menggodanya biar menangis. Bentuk dadanya yang sekal itu pun lenyap sejak empat hari yang lalu. Karenanya, di mata pria Sumbaruni bukan lagi gadis yang menggairahkan dan menimbulkan bayangan indah untuk dicumbu, melainkan sebagai gadis kecil yang lucu tapi menggemaskan.

Langkah kaki Sumbaruni tak bisa cepat dan mudah diserang rasa lelah. Akibatnya, Suto Sinting kembali menggendongnya. Tapi kali ini Sumbaruni tidak mau digendong di belakang.

"Aku mau digendong depan!"

"Ah, kau memang nakai, Sumbaruni!" gerutu Suto Sinting sambil menggendongnya di depan, sementara punggung Suto Sinting digunakan menggantungkan bumbung tuaknya. Sumbaruni tampak kegirangan walau digendong dengan satu tangan oleh Suto, karena dengan digendong depan begitu wajahnya dapat pandangi Suto lebih dekat lagi. Bahkan tangan berjari mungilnya itu sering nakal, memencet hidung Suto sambil tertawa-tawa dan kadang juga menyentil bibir Suto dengan pelan. Tak jarang pipi Suto ataupun rambutnya diusap-usap oleh tangan berjari mungil itu. Suto Sinting membiarkan karena merasa dipermainkan anak kecil, tak ada debar kemesraan sedikit pun yang tergugah di hati Suto Sinting.

"Bawalah aku lari secepat mungkin," kata Sumbaruni dalam bahasa dewasa.
"Kenapa harus begitu?"
"Supaya jika aku tiba-tiba menciummu tak ada orang yang tahu."

"Kalau kau nakal kulemparkan ke atas pohon dan kutinggalkan di Sana!" ancam Suto Sinting sempat merasa risi jika sampai dicium, sebab ia pun tetap sadar bahwa Sumbaruni punya pikiran dewasa bukan kekanak-kanakan. Sumbaruni tertawa geli. la memelukkan tangannya ke leher Suto dan sandarkan kepala ke pundak Suto.

"Baiklah, aku tak akan nakal. Berlarilah dengan cepat supaya kita lekas dapatkan Telur Mata Setan itu."

Zlaaap...! Suto Sinting berlari dengan cepat melebihi gerakan anak panah yang terlepas dari busurnya. Gerakan larinya itu terhenti ketika mereka sudah tiba di kaki Gunung Kundalini.

"Kita sampai di kaki gunung. Sekarang mana arah yang harus kutuju?"

"Jalanlah terus sampai kita bertemu seseorang dan menanyakan tentang Telur Mata Setan itu," saran Sumbaruni. "Tapi sebelumnya antarkan aku ke balik pohon sebelah sana."

"Mengapa kau ingin ke sana?"

Bocah Sumbaruni tersenyum malu dan berblsik, "Aku mau pipis dulu."

Suto Sinting tertawa geli. Lalu segera membawa bocah itu ke balik pohon besar. Suto Sinting memunggungi pohon itu ketika Sumbaruni menyelinap di balik pohon tersebut. Sekalipun wujudnya seperti bocah berusia tujuh tahun, tapi antara Sumbaruni dan Suto Sinting sama-sama merasa malu jika buang air sembarangan.

"Kita mendaki lereng gunung ini!" kata Sumbaruni. "Sekarang aku mau jalan dulu. Tapi nanti kalau lelah kau harus menggendongnya lagi."

"Tapi kalau kau nakal dan tanganmu jahil, aku tidak mau menggendongmu!" sambil Suto Sinting melangkah menggandeng tangan bocah Sumbaruni.

Wuuut...! Tiba-tiba ada angin cepat bergerak melintas di depan langkah mereka. Suto Sinting hentikan langkah. Sumbaruni pun memandang sekeliling de­ngan mata kecilnya yang masih mempunyai ketajaman tersendiri.

"Ada seseorang yang melintas di depan kita," bisik Sumbaruni.

"Ya. Hati-hatilah. Jangan jauh-jauh dariku. Mudah-mudahan orang itu adalah orang baik, jadi kita bisa menanyakan tentang benda yang kita cari itu," kata Suto Sinting dengan pelan juga.

Tiba-tiba seberkas sinar merah kecil melesat dari balik celah dedaunan semak. Slaaap...! Sinar merah kecil itu segera ditangkis dengan gerakan Suto yang membungkuk melepas bumbung tuak dengan cepat dan terhantamlah bumbung tuak oleh sinar merah kecil itu. Daaahk...! Sinar tersebut membalik arah semula menjadi lebih besar dan lebih cepat lagi.

Gusraak...! Duaar...!

Semak-semak pecah berhamburan. Pohon di balik semak-semak itu menjadi retak namun tak sampai roboh. Dari semak-semak itu melesat sesosok bayangan yang agaknya adalah pemilik sinar merah tadi.

Wuuuuss...!
Jleeg...!

Kini mata Pendekar Mabuk dan bocah Sumbaruni melihat sosok tubuh langsing berdada sekal milik seorang gadis yang diperkirakan berusia sekitar dua pu-luh tiga tahun. Gadis itu mengenakan pakaian biru muda dengan rambut diikat ke belakang, sisanya berponi di depan kening. Hidungnya mancung, matanya bulat indah. Tapi berdirinya tak bisa tenang. Tangannya ber-gerak-gerak, kakinya kadang meiiuk ke kiri atau ke kanan. Terkadang ia jalan mondar-mandir dengan tangan bergerak apa saja.

"Siapa kau?! Mengapa menyerangku, Nona?!"

"Aku adalah Menak Goyang, pemburu pencuri pusaka milik guruku!" jawab gadis itu dengan ketus sambil melangkah ke kiri dan ke kanan, kadang menendang rerumputan atau menyambar dedaunan.

"Apa urusannya denganku?"

"Kau pasti pencuri Pisau Tanduk Hantu milik Guru! Karena hanya kaulah orang yang ada di sini! Sejak ke-marin sudah kujelajahi sekeliling kaki gunung ini, tapi akhirnya kaulah orang yang kutemui. Berarti kaulah pencuri pusaka Pisau Tanduk Hantu itu!"

Suto Sinting dan Sumbaruni saling pandang heran. Mereka dituduh mencuri pisau pusaka, sementara mereka tidak tahu bagaimana bentuknya dan seperti apa kehebatan Pisau Tanduk Hantu itu. Agaknya mereka harus berdebat kepada Menak Goyang untuk membuktikan bahwa mereka bukan pencuri yang dimaksud.

PENDKEKAR MABUK enggan melayani kekerasan Menak Goyang. Karenanya, setiap mendapat serangan pukulan jarak jauh selalu dikembalikan dengan cara menangkisnya memakai bambu bumbung tuaknya. Menak Goyang terdesak sendiri oleh pukulannya yang kembali dengan cepat dan dengan lebih besar. Bahkan ia sempat terpental dan jatuh terkapar ketika ia melepaskan gelombang pukulan hawa panas yang keluar dari kedua tangannya. Pukulan itu membalik dan menghantam dirinya sendiri.

"Kurang ajarl Dari tadi pukulanku membalik terus. Uuh...! Dadaku menjadi sakit dan panas karena pukulanku sendiri! Rupanya pencuri itu bukan pencuri sembarangan!" kata Menak Goyang membatin.

Gadis itu berdiri sambil tarik napas dalam-dalam. Tubuhnya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Rupanya Menak Goyang semakin penasaran melihat ilmu Suto Sinting yang begitu-begitu saja tapi sulit ditumbangkan. Sementara itu, Sumbaruni di bawah pohon agak jauh dari Suto Sinting.

Hatinya merasa bercampur aduk tak karuan hingga menjelma menjadi kegelisahan. Sebab ia merasa ingin menyerang tapi tak mempunyai daya dan kemampuan seperti dulu lagi. la hanya bisa memandang benci kepada Menak Goyang.

"Sebaiknya mengaku saja dan kembalikan pisau pusaka itu supaya di antara kita berdua tidak ada saling bermusuhan. Bukankah lebih baik kita saling bersahabat dan mempererat diri ketimbang bermusuhan, Maling Tampan?!" kata Menak Goyang yang membuat Sumbaruni mencibir sirik kepadanya.

"Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu menahu tentang Pisau Tanduk Hantu. Aku bukan pencuri. Kau salah duga, Menak Goyang!"

"Kalau bukan pencuri, mengapa kau berkeliaran di sini? Ini bukan wilayahmu. Ini wilayah perguruanku; Perguruan Tongkat Sakti! Kalau guruku si Malaikat Miskin mengetahuimu, kau tetap saja akan dicurigai."

"Pertemukan aku dengan gurumu; si Malaikat Miskin. Aku akan jelaskan duduk perkaranya mengapa aku sampai memasuki wilayah kalian."

"Tidak perlu. Yang dikehendaki Guru hanya Pisau Tanduk Hantu. Sekarang ini yang lebih penting adalah pusaka itu daripada penjelasanmu."

"Menak Goyang," sapa Suto Sinting dengan maju selangkah, sedangkan yang diajak bicara masih tetap bergoyang badan tak bisa tenang. "Kalau aku punya pisau pusaka itu, barangkali sudah kugunakan untuk melawanmu. Kau tahu sendiri, aku tidak melawanmu menggunakan pisau pusaka itu!"

Suto membentangkan kedua tangannya sambil melangkah dua tindak lagi, kian mendekati Menak Goyang. Yang didekati berjalan ke sana-sini walau hanya dua-tiga tindak.

"Siasatmu memang licik. Kau sengaja tidak keluarkan pisau itu karena kau ingin mengelak dari tuduhanku! Kau pikir aku tak bisa meraba jalan pikiranmu, Ma­ling Ganteng?!"

Mendengar sebutan 'maling ganteng', hati Sumbaruni dibakar oleh kecemburuan. Apalagi dilihatnya Menak Goyang tersenyum tipis dengan mata nakal memandangi Suto Sinting. Bocah Sumbaruni makin diremas rasa cemburu, sehingga ia segera mengambil batu dan melemparkannya ke arah Menak Goyang.

Wuusss...!Menak Goyang tetap diam dengan menggerak-gerakkan pinggulnya ke kanan-kiri. Lemparan batu itu segera dihadang dengan kibasan dua jarinya yang berkelebat keluarkan tenaga dalam tanpa sinar. Wuuut...! Praak...! Batu itu pecah sebelum mencapai tempatnya.

"Adikmu nakal sekali, Maling Tampanl Rupanya kau memang bekerja sama dengan adik kecilmu itu. Atau barangkali pisau pusaka itu tersembunyi di balik tubuh adikmu itu?"

"Menak Goyang, percayalah padaku! Kami tidak mencuri pusaka itu. Tapi jika kau tetap tidak percaya, sekarang apa maumu akan kulayani!"

"Bagus! Kita ke semak-semak sana!"
"Untuk apa?"
"Katamu apa kemauanku akan kau layani?"

"Hei, Gadis Kotor!" teriak bocah Sumbaruni. "Sekali lagi kau merayu dia akan kuhancurkan kepalamu dengan batu ini!" Sumbaruni memperlihatkan batu yang lebih besar dari genggamannya. Menak Goyang tertawa mendengar seruan bocah imut-imut itu."

"Adikmu galak juga. Cukup berani dan pandai bicara, Maling Tampan! Tentunya kau sayang sekali kepadanya. Tapi alangkah sayangnya gadis lucu itu menjadi adik dari seorang pencuri sehina dirimu!"

Sumbaruni makin jengkel. Maka dilemparkanlah batu. itu sambil berlari agak mendekat. Wuuut...! Lalu Sumbaruni berlari kembali ke tempat semula dengan gerakan lari yang lucu. Batu itu hanya dihindari oleh Menak Goyang yang meliukkan badan ke depan. Wees...! Batu itu melayang lewat belakang sasarannya.

Menak Goyang dekati Suto Sinting dalam jarak tiga langkah. Matanya yang jernih dan indah menatap punya makna tersendiri. la bertolak pinggang dengan satu tangan dan badannya bergerak-gerak tak mau diam sedikit pun.

"Kalau aku mengajakmu ke semak-semak sebelah sana itu lantaran aku ingin menggeledahmu, benarkah kau tidak sembunyikan Pisau Tanduk Hantu di tubuhmu. Aku akan memeriksa sekujur tubuhmu. Jika kau periksa di sini, kau pasti malu pada adik kecilmu itu!"

"Kau tak perlu menggeledahku, karena aku tahu tanganmu sudah gemetar karena niat nakal di hatimu!"

Menak Goyang membatin, "Sial! Tahu juga dia dengan maksudku?"

"Hmm...!" Menak Goyang berlagak mencibir. "Biar kau tampan, tapi aku tak punya maksud nakal seperti anggapanmu! Yang kubutuhkan adalah pisau pusaka itu, karena pisau tersebut menjadi kewajiban dan tugasku untuk menemukannya kembali! Jadi, jika kau masih berlagak menjadi orang suci, maka pedangku ini yang akan bicara menggantikan mulutku. Pedangku akan mendesakmu hingga kau mengakui kedurjanaanmu!"

"Cabutlah kalau kau bisa mencabut pedangmu!" tantang Suto Sinting. Tapi setelah berkata demikian jari telunjuknya menyala hijau. Jari itu disentilkan ke arah pedang ketika tangan Menak Goyang bergegas memegang gagang pedang. Selanjutnya, Menak Goyang dibuat terheran-heran karena pedangnya terkunci dan tak bisa dicabut walau dengan mengerahkan tenaga dalamnya.

"Semoga peringatan ini dapat membuatnya jera dan tidak menuduhku lagi sebagai pencuri Pisau Tanduk Hantu," pikir Suto Sinting sambil membiarkan Menak Goyang kerepotan mencabut pedangnya.

"Setan! Dia bikin pedangku terkunci oleh suatu kekuatan gaib yang tak bisa dilolos dari sarungnya?! Kurasa dia memang berilmu tinggi! Berbahaya kalau kulawan secara kasar. Harus menggunakan cara tersendiri!"

Setelah membatin demikian, Menak Goyang berkata kepada Suto dengan nada ketus, "Sekarang aku semakin yakin. Ilmumu tinggi, dan hanya orang berilmu tinggi yang dapat masuk ke kamar Guru untuk mencuri Pisau Tanduk Hantu itu! Kau terpancing oleh tantanganku, Maling Tampan."

Menak Goyang melangkah ke sana-sini sambil mendengarkan perkataan Suto Sinting yang tetap tenang memegangi tali bumbung tuaknya.

"Kalau aku bisa masuk ke kamar gurumu, mungkin bukan hanya Pisau Tanduk Hantu yang kubawa lari. Barangkali juga dirimu akan ikut kubawa lari juga!" goda Suto Sinting sebagai tanda bahwa dirinya tidak menanggapi tuduhan dan kecaman Menak Goyang secara sungguh-sungguh. Menak Goyang hanya tersenyum-senyum sambil buang pandangan mata.

Tiba-tiba ia berkelebat cepat. Wuuuttt...! Deeb...! Dua jarinya menotok punggung bocah Sumbaruni yang terbelalak kaget melihat gerakan cepat menyambar tubuhnya. Bocah Sumbaruni tertotok hingga diam tak bergerak tak bersuara. Bocah itu dalam waktu singkat sudah ada di gendongan Menak Goyang. Suto Sinting terkejut melihat kejadian ini. Matanya terbelalak dan menjadi tegang, karena ia segera bisa menangkap maksud Menak Goyang dalam menyambar bocah Sumbaruni. Menak Goyang sendiri segera lepaskan pukulan bertenaga sinar merah ke arah Suto Sinting, sementara itu Suto Sinting sempat lengah dan terkena pukulan sinar merah pada pundaknya. Desss...!

Pundak itu menjadi hangus. Membekas hitam dan berasap. Suto Sinting memperhatikan luka itu dengan menahan sakit. Sementara mata Suto Sinting ke arah luka, Menak Goyang melesat pergi menjauh dari Pendekar Mabuk sambil membawa lari bocah Sumbaruni. Dari kejauhan ia berseru,

"Bocah ini tak akan kembali padamu jika kau tidak membawa pulang Pisau Tanduk Hantu! Jika kau inginkan adikmu ini, maka kau harus menukarnya dengan Pisau Tanduk Hantu."

Ternyata luka itu membuat urat-urat di tubuh Suto Sinting menjadi lemas. Gerakan mengejarnya tak mampu cepat, bahkan Pendekar Mabuk sempat jatuh tersungkur. Sementara yang dikejar sudah tak terlihat lagi dari tempatnya jatuh. Suto Sinting buru-buru menenggak tuak dalam bumbung. Empat teguk tuak membuat detak jantungnya yang lemah menjadi cepat kembali seperti sediakala.

"Gadis itu benar-benar licik! Aku yakin dia mampu mengukur ilmuku, merasa tak mampu menghadapiku, merasa tak mampu menemukan pisau pusaka itu, maka ia memanfaatkan diriku untuk dapatkan pisau pusaka tersebut dengan menculik Sumbaruni! Gila! Kalau begini aku jadi terlibat urusan dengan orang-orang Pergu­ruan Tongkat Sakti! Hmmm...! Sebaiknya kukejar dia sampai ke perguruannya. Kalau perlu kuhadapi gurunya yang berjuluk Malaikat Miskin itu! Bagaimana pun juga aku harus bisa merebut kembali Sumbaruni yang tak bersalah itu!"

Pendekar Mabuk gunakan ilmu 'Gerak Siluman' yang mampu berlari cepat melebihi kecepatan kilatan petir dari langit. Kecepatan gerakannya itu membuat ia bagaikan bayangan coklat melesat terhempas angin, karena ia mengenakan baju coklat tanpa lengan dan celana putih kusam.

sekali gerakan cepat itu bisa ditangkap oleh pandangan mata seseorang dari kejauhan. Tentunya orang yang bisa melihat gerakan cepat itu adalah orang berilmu tinggi. Jika bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa melihat wujud Pendekar Mabuk bergerak secepat itu.

Claaap...! Seberkas sinar hijau melintas di depannya. Suto Sinting hentikan gerakan larinya karena sinar hijau itu menghantam pohon dan pohon itu langsung tumbang menghadang jalan. Jelas orang yang keluar-kan sinar hijau itu bukan bermaksud melukai Pendekar Mabuk melainkan hanya sekadar ingin menghentikan langkah sang pendekar semata.

Sinting segera pandangi keadaan sekeliling-nya. Luka di pundak telah lenyap akibat tuak yang ditenggak. Badan Suto Sinting sudah segar seperti sediakala. Kini ia siap hadapi bahaya sebesar apa pun dan tak ingin main-main lagi. Karena menurut dugaannya, orang yang melepaskan sinar hijau tadi tentunya orang berilmu tinggi yang punya keperluan sendiri dengannya.

Tak ada orang di sekelilingnya. Ilmu 'Lacak Jantung' dipergunakan untuk mendengar detak jantung di sekitarnya. Tapi ternyata suara detak jantung tak didengarnya. Suto Sinting hanya membatin,

"Pasti orang itu jauh dari sini, namun mampu memandang jelas kemari!"

Angin bertiup. Makin lama semakin bergemuruh. Pendekar Mabuk pandangi daun-daun pohon di sekelilingnya. Ternyata daun-daun pohon bergetar semua. Sebagian ada yang rontok dan berjatuhan.

Gemerisik suara dedaunan bagaikan gerakan angin di atas pepo-honan saja. Sedangkan batang pohon dan tanah tidak ikut bergetar sedikit pun.

"Siapa yang mengirimkan ilmu seperti ini? Pasti dikirim dari jarak jauh, karena detak jantungnya masih belum kudengar," kata batin Pendekar Mabuk.

Dedaunan yang jatuh ke bumi ternyata mengepulkan asap tipis, nyaris tidak terlihat. Tapi karena banyaknya daun yang jatuh maka asap-asap itu menjadi lebih tebal lagi, sehingga tanah bagaikan mengeluar-kan kabut putih berhawa dingin. Suto Sinting segera melipat kedua tangannya di dada, berdiri tegak sambil pejamkan mata. la memusatkan pikirannya dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengimbangi ilmu kiriman tersebut.

Dalam beberapa kejap kemudian, daun-daun yang berguncang itu berhenti. Uap dingin dari sentuhan daun dengan tanah itu tidak lagi terasa membekukan kaki Pendekar Mabuk. Agaknya kekuatan batin Suto mampu meredam kekuatan kiriman dari jauh. Bahkan kekuatan batin itu mampu membuat langit menjadi berawan hitam tapi di sisi barat, timur, selatan, dan utara. Sedangkan langit di atas kepala Pendekar Mabuk masih tampak terang dan cerah.

Beberapa saat kemudian, terdengar angin berhembus kembali dengan menderu. Suto Sinting masih pejamkan mata dalam keadaan berlipat tangan di dada dan berdiri tegak dengan kaki sedikit merenggang. Hembusan angin itu ternyata mengantarkan suara detak jantung yang samar-samar terdengar di telinga Suto Sinting.

Suara jantung itu kian lama kian jelas, sampai akhirnya Suto membuka matanya dan mengetahui sesosok tubuh berdiri di depannya dengan kaki sedikit merenggang dan tampak tegang. Sosok itu tak lain adalah sosok seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun kurang dan mengenakan jubah merah.

Mata Pendekar Mabuk terkesiap memandang perempuan berambut panjang yang digelung di bagian tengahnya. Yang membuat mata terkesiap lagi ialah pa-kaian di balik jubah itu sangat tipis, bagai terbuat dari kain selendang sebatas dada berwarna biru muda. Tipisnya kain pelapis dada itu membuat bayangan samar-samar bentuk dada yang sungguh menantang karena kebesaran dan kesekalannya. Suto Sinting terpaksa tarik napas dalam-dalam.

Wanita itu adalah wanita cantik. Ditambah dengan tahi lalat kecil di dagu sebelah kiri membuat daya pikat tersendiri bagi siapa pun yang memandangnya. Suto Sinting sempat bergetar hatinya melihat bentuk bibir yang melenakan, bagai mempunyai kekuatan khayal cukup tinggi.

Senyumnya yang tipis pun mempunyai daya cekam indah di hati pria yang memandangnya. Suto Sinting menahan diri dan mengendalikan gejolak yang bergemuruh di dadanya.

"Siapa kau, Nyai?" tanya Suto menyapa lebih dulu ketika mereka beradu pandang sudah lebih dari tiga he-laan napas. Jarak mereka hanya empat langkah.

"Barangkali kau belum pernah melihatku, tapi kuyakin kau pasti pernah mendengar namaku; Nyai Sapu Lanang."

Suto Sinting berkerut dahi. la merasa asing dengan nama itu.

"Aku baru sekarang mendengar namamu, Nyai Sapu Lanang."
"Kalau begitu kau bukan orang sekitar sini. Kau pasti datang dari jauh."
"Agaknya dugaanmu itu memang benar, Nyai. Kau pandai menduga seseorang."

Suto Sinting juga sunggingkan senyum kecil sebagai sikap tenang yang dipamerkan. Lalu wanita yang mengaku bernama Nyai Sapu Lanang itu dekati Suto Sinting hingga jarak mereka tinggal dua langkah lagi. Bau harum tercium dari tubuh elok berkulit kuning langsat. Wewangian itu bagaikan menggugah hasrat bercumbu bagi seorang lelaki siapa saja yang didekatinya.

"Dari mana asalmu, dan siapa namamu?"
"Aku dari Jurang Lindu. Namaku Suto Sinting."

Nyai Sapu Lanang kerutkan dahi tipis. "Sepertinya aku pernah mendengar nama Suto Sinting. Ya, pernah! Tapi kapan dan di mana aku telah lupa."

"Aku hanya anak desa. Mungkin kau baru mendengarnya sekarang karena aku hanyalah anak desa yang tak punya kelebihan apa-apa, sehingga tak mungkin namaku kau kenal sebelum ini." Suto Sinting sengaja rendahkan diri supaya perempuan cantik itu tidak ber-andai-andai tentang nama tersebut. Agaknya Suto pun tak ingin Nyai Sapu Lanang mengetahui gelar kependekarannya.

Tetapi Nyai Sapu Lanang bukan orang berotak udang yang bisa dibuat rempeyek. Nyai Sapu Lanang cukup cerdas dalam menyimpulkan sesuatu masalah, sehingga dengan tegas ia pun berkata,

"Kau tak mungkin hanya anak desa biasa! Gerakan larimu kulihat begitu cepat. Itu sudah menandakan kau berilmu tinggi. Ketika kukirimkan jurus 'Gelombang Ba­dai' kau bisa menghentikannya dengan kekuatan batinmu. Je|as lagi bahwa kau orang yang bukan sekadar anak desa biasa, Suto!"

Pendekar Mabuk tarik napas. Meninggalkannya tiga langkah. Di sana ia menenggak tuaknya tiga tegukan. Sikapnya seakan acuh tak acuh kepada Nyai Sapu Lanang, sehingga wanita itu membatin dalam hatinya,

"Agaknya ia sukar ditundukkan dengan penampilanku ini. Tak biasanya seorang lelaki yang kudekati akan menjauh. Pasti akan mendekat. Tapi kali ini agaknya pemuda itu kebalikannya, justru aku yang mendekatinya dan merasa terjerat dalam khayalanku sendiri. Oh, kali ini agaknya kau harus berjuang lebih keras lagi untuk tundukkan mangsaku." Lanjut ke bagian 2
*****

Pendekar Mabuk