Pendekar Mabuk 42 - Keranda Hitam(2)

Bagian 2


4
GEMERICIK suara aliran arus sungai seperti irama pengantar hening. Dalam hening itu Pendekar Mabuk mulai menemukan satu titik kesimpulan tentang misteri mayat tanpa kepala itu.

"Ternyata ada pihak yang tidak menghendaki aku hidup lebih lama lagi. Malaikat Tiga Wajah itu terang-terangan menyatakan tidak setuju jika aku hidup. Tapi, kupikir wajar saja kalau mereka bertiga menghendaki begitu, sama seperti para musuhku juga tidak suka melihat aku masih hidup. Mereka menghendaki aku mati. Sebab jika aku mati, sepak terjang mereka tidak ada yang menghalangi lagi. Jadi aku ini sebenarnya dipandang sebagai lawan berat bagi mereka. Baru sadar kalau aku ini ternyata sakti juga, ya? He, he, he, he...!"
Pemuda tampan itu cengar-cengir sendiri di pinggir sungai bernaung pohon rindang. Kakinya yang kiri dibiarkan disampar aliran air sungai yang dingin dan bening itu. Sementara itu angin yang berhembus bagaikah meninabobokan siapa saja yang menikmati kesejukan dan keteduhan di pinggir sungai itu.
"Malaikat Tiga Wajah menyangka aku sudah mati, dan menjadi berang melihat aku dalam keadaan hidup. Mereka menduga aku ingin memperkuat Negeri Tanjung Samudera. Mengapa mereka menjadi waswas begitu? Alasannya karena mereka takut kalau Negeri Tanjung Samudera merebut wilayahnya? Apa benar Ratu Dewi Giok punya rencana mau merebut Bukit Rempoa, wilayah mereka? Lalu, apakah Malaikat Tiga Wajah ada hubungannya dengan Anak Petir yang diduga mencuri mayat mirip aku itu?"
Suto belum menemukan kebenaran dugaan itu. Bahkan ia sendiri belum yakin betul bahwa mayat tanpa kepala itu dicuri oleh Anak Petir.
Tetapi secara jujur Suto Sinting mengakui kehebatan ilmu Malaikat Tiga Wajah. Jurus maut yang dikatakan sebagai jurus perkenalan itu hampir saja merenggut nyawa Bulan Sekuntum jika perawan itu tidak segera diselamatkan memakai tuak sakti. Padahal luka yang diderita Bulan Sekuntum hanya akibat sentakan gelombang ledak perpaduan tenaga dalam mereka. Apalagi jika Bulan Sekuntum sampai terkena langsung ketiga sinar orang kembar itu, seperti apa jadinya?
"Orang kembar itu memang perlu diwaspadai dan tak boleh dianggap enteng," ujar Suto membatin sambil berpaling menengok ke bawah pohon. Rupanya si cantik Bulan Sekuntum sudah mulai bangun dari tidurnya. Setelah Suto berhasil meminumkan tuaknya ke mulut Bulan Sekuntum, perempuan itu segera tertidur. Dengan demikian bagian dalam tubuhnya yang terkena racun benar-benar beristirahat dan saat bangun nanti kekuatan dan tenaganya sudah pulih kembali.
Buktinya sekarang gadis itu tampak segar bugar. Bahkan ia merasa lebih segar dari saat sebelum bertemu dengan Malaikat Tiga Wajah. Rasa lelah akibat perjalanan dan adu lari dengan Suto itu pun sirna tak berbekas sedikit pun.
Ia segera mendekati Suto Sinting yang masih duduk di atas sebuah batu dengan satu kaki menyentuh air sungai. Pedangnya ditenteng dengan tangan kiri, matanya yang bening indah itu memandang sekeliling penuh waspada. Sampai di dekat Suto, ia berhenti dan tetap berdiri memandangi tanggul berhutan ilalang.
"Mengapa kau tenang-tenang saja? Apakah kau yakin betul bahwa Malaikat Tiga Wajah tidak akan menemukan tempat kita ini?" tanyanya sambil tetap memandang ke arah lain.
"Setahuku mereka mengejar salah arah. Aku sudah berhasil mengecohkan mereka dengan berlagak ke barat, padahal aku lari ke utara."
"Hmm...!" Bulan Sekuntum menggumam pendek sambil senyum sinis. "Kau memang punya banyak kelicikan rupanya."
"Tapi bukan untuk kejahatan."
Bulan Sekuntum sunggingkan senyum tipis lagi, berkesan dingin dan kaku. Suto Sinting memandangnya dengan mendongak, karena ia masih dalam keadaan duduk di atas batu.
"Tempat ini sudah dekat dengan perbatasan Tanjung Samudera, sebaiknya kita lanjutkan perjalanan kita. Selagi tak ada yang menghalangi langkah kita." .
Barulah Suto Sinting berdiri dan berkata, "Baik. Tapi bagaimana menurutmu tentang Malaikat Tiga Wajah itu? Haruskah mereka kulumpuhkan jika menghalangi kita lagi?"
"Lumpuhkan saja! Habisi riwayat mereka biar tidak menjadi duri bagi negeri yang damai, seperti negeriku."
"Menjadi duri? Apakah mereka sering mengganggu negeri yang damai? Bukankah mereka justru khawatir wilayahnya akan direbut oleh orang-orangmu?"
"Itu hanya alasan saja. Sebenarnya Malaikat Tiga Wajah sudah lama mengincar kelengahan kami. Mereka ingin menguasal wilayah Tanjung Samudera. Mereka khawatir jika kekuatanmu disatukan dengan kekuatan Gusti Ratu Dewi Giok, maka usaha mereka merebut Tanjung Samudera akan semakin sulit."
Bulan Sekuntum mendului melangkah, sehingga Suto mengikutinya.
"Tiga manusia kembar itu haus kekuasaan. Mereka ingin melebarkan sayap. Setiap negeri berusaha ditaklukkan untuk mendapatkan pengikut. Mereka ingin Perguruan Tiga Malaikat menjadi besar dan tersebar di mana-mana. Tetapi sampai sekarang mereka masih mencari-cari negeri mana yang mudah mereka taklukkan. Caranya mempelajari kelemahan sebuah negeri dengan melakuan gangguan-gangguan kecil, sehingga kekuatan negeri itu dapat diperkirakan besar-kecilnya. Salah satu negeri yang diincarnya adalah Tanjung Samudera."
"Mengapa mereka mengincar Tanjung Samudera?"
"Tanahnya subur, dekat pantai, kekayaan alamnya dapat menjadi modal mendirikan perguruan terbesar di Tanah Jawa."
"Kalau begitu...," ucapan Suto Sinting tidak dilanjutkan karena ia terperanjat dengan munculnya seorang perempuan berjubah jingga. Bulan Sekuntum juga kaget melihat perempuan itu muncul dari balik pohon besar dan melangkah ke pertengahan jalan yang akan dilalui mereka berdua.
"Siapa lagi ini?" bisik Suto Sinting kepada Bulan Sekuntum.
Bisikan itu belum mendapat jawaban, karena Bulan Sekuntum sedang adu pandang dengan perempuan berjubah jingga. Usia perempuan itu sekitar tiga puluh lima tahun. Punya kecantikan yang menantang gairah lelaki.
Bibir dan matanya berkesan jalang. Rambutnya dibiarkan meriap lepas, berikat kepala dari bahan logam emas berhias batuan putih intan. Jubahnya yang terbuka bagian depan menampakkah bentuk dadanya yang sekal montok, lebih besar dari milik Bulan Sekuntum. Dada itu terlihat lebih jelas karena ia tidak mengenakan pinjung rapat, melainkan mengenakan penutup dada dari bahan sutera tipis warna biru tua, dan hanya bagian tertentu yang ditutupnya. Sedangkan bagian bawahnya mengenakan kain sutera tipis warna biru muda juga yang hanya dililitkan asal-asalan sebatas paha. Sesekali ainnya menyingkap ke mana-mana jika dihembus angin, membuat bagian dalamnya sempat tertangkap oleh mata Pendekar Mabuk.
"Gila! Tubuhnya menantang gairah sekali. Kalau tak kuat hati, bisa luluh aku di depannya. Untung aku ingat calon istriku Dyah Sariningrum, sehingga hatiku tak mudah tergoda oleh penampilannya," pikir Suto Sinting sebelum Bulan Sekuntum akhirnya menjawab bisikannya tadi.
"Dia yang punya nama Ratu Kelabang Setan, alias Untari."
"Punya urusan juga denganmu pribadi?"
"Dengan negeriku. Bukan denganku pribadi," jawab Bulan Sekuntum semakin pelan. Matanya tak lepas dari Ratu Kelabang Setan. Sedangkan mata perempuan berjubah jingga itu tak mau berkedip memandang Pendekar Mabuk dengan seulas senyum jalang memancing gairah sang pendekar.
"Kalau tak salah ingatanku, ciri-ciri ketampanan seperti itu adalah ciri ketampanan muridnya Gila Tuak; Pendekar Mabuk," katanya dengan suara agak serak. "Benarkah kau murid si Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk itu?"
"Benar!" jawab Suto tegas dan jelas. "Aku murid Gila Tuak. Apa perlumu menghentikan langkahku?"
"Bukankah kau sudah mati?" Ratu Kelabang Setan justru balik bertanya.
"Dari mana kau mendapat kabar itu?"
"Kabar itu sudah menyebar ke mana-mana. Anak Petir membawa jenazahmu dalam perjalanan ke tempat persinggahan gurumu; Gila Tuak."
"Celaka!" gumam Suto dalam hati. "Berita itu bisa menyesatkan alam pikiran Guru. Seharusnya aku mengejar Anak Petir dan mencegah agar mayat orang yang mempunyai ciri seperti aku itu tidak sampai ke tangan Guru!"
Suto Sinting tampak gelisah. Kegelisahannya itu dipandangi terus oleh Ratu Kelabang Setan dengan senyum menggoda. Bulan Sekuntum menyipitkan mata pertanda benci dengan sikap genitnya Ratu Kelabang Setan.
"Untari!" sapa Bulan Sekuntum dengan tak ramah.
"Sebutkan keperluanmu menghadang perjalananku, atau kusingkirkan kau dengan caraku sendiri?!"
Gadis cantik yang tak pernah punya rasa takut dan sulit bersikap ramah kepada lawan itu menampakkan sikap menantang, ia bagaikan tak sabar menunggu pertarungan. Baginya, tak ada lawan yang harus disingkirkan secara halus. Pertarungan merupakan bagian dari darahnya, sehingga tiap kata yang dilontarkan selalu bernada menantang murka lawan.
Tetapi Ratu Kelabang Setan masih bisa menahan diri untuk bersikap tenang, kalem, dan murah senyum. Hal itu lantaran Bulan Sekuntum bersebelahan dengan pria tampan yang baginya amat menggairahkan, ia harus menunjukkan sikap manis di depan pria tampan yang membuat hatinya bergetar karena tak sabar ingin lebih dekat lagi.
"Apakah dia kekasihmu, Bulan Sekuntum?" Mata jelinya melirik Suto sekejap.
"Bukan!" jawab Bulan Sekuntum dengan tegas. "Tapi kau tetap tak kuizinkan mengganggu sahabatku ini!"
"Sahabat...?!" Suto Sinting menggumam lirih, ia dilirik Bulan Sekuntum dengan cemberut. Ketika mau melangkah maju, ia dihadang tubuh Bulan Sekuntum yang bergeser tepat di depannya dengan mata tetap terarah pada Untari.
"Biarkan dia bicara dulu padaku," bisik Suto Sinting.
"Ini urusanku! Akan kuselesaikan sendiri dengan caraku!" kata Bulan Sekuntum dengan nada ketus dan wajah cemberut.
"Untari! Apa maumu sekarang?!"
"Memenggal kepalamu sebagai bukti pada ratumu bahwa aku tidak bisa diremehkan olehnya. Jika Dewi Giok tidak mau menyerahkan Pusaka Gelang Naga Dewa, maka orang-orangnya akan kuhabisi satu persatu!"
"Keparat busuk kau! Kalau begitu mari kita tentukan siapa yang berhak kehilangan kepala sekarang juga. Hiaaat ..!"
Bulan Sekuntum melesat maju dengan satu lompatan yang membawanya bagaikan terbang. Tentu saja sentakan kakinya ke bumi tadi menggunakan kekuatan tenaga dalam yang sudah terkendali. Wuttt...! Wesss...!
Ratu Kelabang Setan pun bergerak maju dengan satu lompatan yang membuatnya bagaikan terbang. Sampai di pertengahan jarak, mereka saling melepaskan pukulan dan tendangan dengan gerakan cepat sekali.
Plak, plak, plok, dugg, prak, blarrr...! Pertarungan di udara yang hanya sekejap itu telah menghasilkan berbagai serangan melalui kaki dan tangan. Namun semua pukulan dan tendangan Bulan Sekuntum berhasil ditangkis oleh Ratu Kelabang Setan. Yang terakhir mereka saling mengadu kekuatan tenaga dalam yang tersalur melalui telapak tangan.
Benturan kedua telapak tangan mereka itu menghasilkan ledakan yang cukup dahsyat bersamaan dengan memerciknya sinar merah terang dari pertemuan telapak tangan mereka. Akibatnya, Bulan Sekuntum terpental ke arah balik dengan tubuh terjungkal, sedangkan Ratu Kelabang Setan hanya terpental mundur dan jatuh dalam posisi kedua kaki menapak di tanah dengan tegak.
Bruss...! Bulan Sekuntum jatuh di semak-semak. Pendekar Mabuk terperanjat, lalu segera menghampirinya untuk memberi pertolongan.
"Bulan, kau tak apa-apa?!" tanyanya cemas.
Bulan Sekuntum menarik napas setelah berdiri, ia menyentakkan tangan yang dipegang Suto, seakan tak mau ditolong untuk bangkit.
"Minggirlah, Suto! Perempuan itu harus kuhabisi dengan pedangku!"
Srekk...! Pedang dicabut, Bulan Sekuntum segera maju menyerang dengan memainkan jurus-jurus pedang yang menurut penglihatan Suto cukup aneh. Gerakannya pelan seperti orang menari, tapi mendadak menjadi cepat dan ganas, lalu berhenti dan pelan kembali, setelah itu bergerak cepat lagi bagai tak bisa diikuti oleh pandangan mata.
Ratu Kelabang Setan juga mencabut pedangnya. Wertt..! Pedang yang lurus runcing dan tajam di kedua sisinya itu digenggam tegak di depan wajahnya. Ketika Bulan Sekuntum menebaskan pedangnya ke arah leher Ratu Kelabang Setan, pedang tegak lurus itu tiba-tiba meliuk dengan cepat, menangkis kuat, trang...! Kemudian memutar cepat dan dihunjamkan ke dada Bulan Sekuntum. Wuttt...!
Plakk...!
Ujung pedang ditahan dengan telapak tangan Bulan Sekuntum yang mengeras di depan dadanya.
Sementara itu, pedang Bulan Sekuntum pun segera menebas lengan kanan Ratu Kelabang Setan. Wuttt...!
Plakkk...!
Gerakan pedang itu tak sampai menyentuh lengan, karena kaki kiri Ratu Kelabang Setan bergerak cepat menendang ke atas, ujung telapak kakinya diadu dengan mata pedang Bulan Sekuntum.
Tentu saja Ratu Kelabang Setan mengerahkan tenaga dalamnya di ujung kaki, seperti Bulan Sekuntum mengerahkan tenaga dalamnya di telapak tangan. Akibatnya, pedang yang tertendang itu terpental lepas dari genggaman pemiliknya. Wess...!
Bulan Sekuntum terperanjat sekejap, lalu tak menghiraukan pedangnya lagi. Telapak tangan kirinya masih menahan ujung runcing pedang lawan yang makin disentakkan maju dengan penuh curahan tenaga dalam. Lalu, dengan mengeraskan tangan kanannya yang sudah tak bersenjata lagi itu, pedang lawan dihantamnya dalam satu gerakan cepat. Wuttt...!
Duarrr...!
Ternyata perpaduan tenaga dalam pada pedang dan tenaga dalam pada tangan membuat satu ledakan yang menyentakkan tubuh Bulan Sekuntum terpental ke samping dan jatuh terpelanting di bawah pohon.
"Mampus kau, Monyet betina...! Hiaaat...!" Ratu Kelabang Setan menerjang Bulan Sekuntum dengan tebasan pedangnya pada saat Bulan Sekuntum bangkit dari kejatuhannya.
"Hiaah...!" Bulan Sekuntum melompat hingga pedang lawan lewat bagian bawah kakinya. Kaki itu segera menjejak batang pohon, dan tubuh Bulan Sekuntum melayang di udara dengan bersalto melintasi kepala lawan. Begitu ia mencapai bagian belakang Ratu Kelabang Setan, kedua tangannya menghantam punggung lawan menggunakan telapak tangan. Des, dess...!
"Aahg...!" Ratu Kelabang Setan tersedak, dari mulutnya keluar segumpal darah merah. Tubuhnya segera berbalik sambil menebaskan pedangnya. Wuttt...!
Bulan Sekuntum melompat mundur, tapi terlambat. Ujung pedang telah merobek perut Bulan Sekuntum. Brett...!
"Aaahhg...!" pekiknya sambil meyeringai kesakitan.
"Bulan...!" pekik Suto secara tak sadar. Pendekar tampan itu menjadi tegang.
Pada saat itu Ratu Kelabang Setan semakin ganas melihat lawannya terluka. Tangan kirinya segera mengeras, lalu menyentak ke depan. Dari ujung jarinya melesat sinar merah sebesar lidi yang lurus ke arah kepala Bulan Sekuntum. Melihat bahaya seperti itu, Pendekar Mabuk segera melesat menerjang perbatasan jarak kedua perempuan itu. Zlappp...! Bumbung tuaknya digunakan menghadang kecepatan sinar merah.
Debbb...! Wusss...!
Sinar merah menghantam bumbung tuak, lalu membias balik membentuk satu sinar merah besar yang melesat ke arah dada Ratu Kelabang Setan.
"Hiiaat...!" Ratu Kelabang Setan menghindari sinar merah yang lebih besar dari aslinya itu dengan melesat ke atas dan bersalto ke samping. Akibatnya sinar merah besar itu menghantam sebatang pohon besar di kejauhan sana. Blarrr...! Werrr...!
Seluruh pohon berguncang, tanah pun ikut bergetar bagai ingin retak. Pohon yang dihantam sinar merah itu menjadi serpihan lembut, tak berbentuk sepotong kayu pun. Hal itu membuat Ratu Kelabang Setan terbelalak heran dan takjub.
"Gila! Biasanya jurus 'Lidah Kelabang' hanya bisa membuat pohon pecah menjadi delapan bagian, sekarang malah membuat pohon pecah menjadi serpihan selembut itu?! Untung aku segera menghindari, bukan menahan dengan jurus lain. Seandainya aku menahannya memakai jurus 'Tameng Candra', pasti akan jebol juga."
Sementara Ratu Kelabang Setan masih terkagum-kagum dengan kedahsyatan sinar merahnya tadi, Suto Sinting buru-buru meminumkan tuak ke dalam mulut Bulan Sekuntum.
"Lekas minum! Minum sebanyak-banyaknya!"
Walaupun tuak menghambur membasahi wajah dan bagian tubuh lainnya, tapi Bulan Sekuntum berhasil meneguk beberapa kali. Rasa sakit akibat perutnya robek lebar mulai berkurang.
"Kau ikut campur urusanku, Pendekar Mabuk! Itu sama saja mambuatku semakin bernafsu untuk menghancurkan tubuh gadismu! Hiaaah...!"
Clapp...!
Dari telapak tangan kiri Ratu Kelabang Setan melesat sinar biru berpijar-pijar bagaikan bola bekel. Sinar biru itu hendak menghantam punggung Bulan Sekuntum yang sedang ditopang tangan Suto Sinting untuk meminum tuak. Suto tak sempat bertindak karena keadaannya yang tak memungkinkan, ia hanya bisa bergeser ke belakang dan menyediakan punggungnya sendiri yang dijadikan perisai tubuh Bulan Sekuntum. Desss...! Zrrabb...!
"Aaaahg...!" Suto terpekik dengan tubuh mengejang. Sinar biru mengenal punggungnya dengan telak.
"Bodoh! Kenapa kau tutup punggungnya dengan tubuhmu! Bodoh kau!" bentak Ratu Kelabang Setan dengan nada sesal dan jengkel.
Suto Sinting segera berpaling dengan menyeringai menahan sakit. Kemudian sebuah pukulan jarak jauh sempat dilepaskan. Jurus itu bernama 'Pukulan Gegana' berupa sinar kuning patah-patah yang melesat dari kedua jarinya yang dikeraskan.
Clap, clap, clap...!
Ratu Kelabang Setan kaget, dan segera menahan sinar kuning itu dengan pedangnya. Sinar kuning patah-patah itu pun menghantam pertengahan pedang yang disaluri tenaga dalam tinggi.
Blegarrr...!
Ratu Kelabang Setan terlempar bagaikan terbang. Tubuhnya menghantam sebuah pohon dengan keras. Buhkk ! Durrr...! Pohon itu berguncang hebat. Hampir sebagian besar daunnya rontok akibat ditabrak tubuh Ratu Kelabang Setan. Bisa dibayangkan betapa kerasnya tubuh itu melayang dan membentur pohon tersebut.
"Uuhg...!" Ratu Kelabang Setan menyeringai, mulutnya berdarah, hidungnya juga mengeluarkan darah, termasuk dari lubang telinganya. Tapi pedangnya masih utuh, hanya hangus pada bagian tengahnya.
"Mati aku! Tulangku remuk semua. Kalau tidak kutahan pakai pedang, bisa hancur sekujur tubuh-ku!
Ooh... celaka! Kalau tak segera berusaha lari dari sini bisa-bisa nyawaku dihabisi oleh si Pendekar Mabuk itu!"
Wuttt...! Ratu Kelabang Setan bekelebat ke balik pohon, ia sempat berseru dengn suara tertahan,
"Tunggu saat pertemuan berikutnya, Pendekar Mabuk! Kau akan lebih dekat lagi dari pelukanku!"
Selesai bicara begitu, Ratu Kelabang Setan melesat masuk ke semak-semak ilalang dan gemerisik gerakannya terdengar makin lama semakin menjauh. Suto Sinting tak sanggup mengejarnya karena tubuhnya segera terkulai lemas berlutut di tanah. Bumbung tuaknya digunakan untuk menyangga tubuhnya hingga tak sempat roboh akibat sinar birunya lawan tadi.Sementara itu, Bulan Sekuntum yang sudah menenggak tuak beberapa kali tadi semakin tidak merasakan sakit lagi. Perutnya yang robek perlahan-lahan bergerak mengering dan mengatup sendiri.
"Suto...?! Suto...?!" ia memekik dengan napas masih terasa sesak, ia segera meraih kepala Suto Sinting, namun tubuh Suto sudah semakin lemas dan akhirnya jatuh terkulai. Bumbung tuaknya yang belum sempat ditutup itu pun jatuh terlempar ke samping. Tuak di dalamnya tumpah keluar dan nyaris habis semua.
"Suto...?! Oh, kau terkena jurus beracun! Racun itu berbahaya sekali!" Bulan Sekuntum berusaha menolong Suto dengan tenaga yang belum pulih betul, ia tampak sangat cemas dan sedikit panik setelah mengetahui bahwa Suto terkena jurus pukulan beracun yang berbahaya.
*
* *
5
BUMBUNG tuak sempat diselamatkan oleh Bulan Sekuntum, tapi air tuak sudah habis. Bulan Sekuntum penasaran, bumbung tuak dijungkirbalikkan dengan harapan mendapatkan setetes dua tetes tuak untuk diminum Suto. Tapi yang keluar dari dalam bumbung hanyalah sebuah cincin.
Bulan Sekuntum tidak tahu bahwa cincin itu adalah Cincin Manik Intan, sebuah pusaka yang mempunyai kedahsyatan dapat mengeluarkan tenaga dalam seratus kali lipat dari tenaga pemakainya, bisa memancarkan sinar tenaga dalam tanpa disadari pemakainya kalau si pemakai memendam kemarahan besar, (Baca serial Pendekar Mabuk episode: "Murka Sang Nyai").
Hanya karena melihat bentuk batu cincinnya yang berwarna putih intan, Bulan Sekuntum  merasa tertarik dan segera memakainya di jari tangan kanannya. Sementara itu, Pendekar Mabuk yang tak mampu bergerak karena pingsan itu mulai mengalami perubahan akibat pukulan beracun tadi.
"Suto dalam keadaan bahaya sekali. Pukulan itu kukenal sebagai pukulan yang mengandung racun 'Siksa Kubur'. Bintik-bintik hitam yang keluar dari kulitnya merupakan ciri dari penderitaan pukulan racun 'Siksa Kubur'. Dulu temanku juga pernah mengalami nasib seperti ini, dan akhirnya mati dalam keadaan tubuhnya hancur membusuk. Mengerikan sekali."
Dalam keadaan tegang Bulan Sekuntum sempat berpikir mencari obat penyembuhnya. Namun ia juga sempat merasa heran karena kulit tubuh Suto mulai mengeluarkan gelembung-gelembung seperti bisul.
"Dulu temanku tidak mengeluarkan gelembung seperti ini, tapi mengalami keretakan pada kulit tubuhnya, akhirnya robek bagai tercabik-cabik sedikit demi sedikit dan akhirnya membusuk dalam waktu kurang dari sehari. Tapi kenapa sekarang tubuh Suto tidak mengalami keretakan dan tidak seperti tercabik-cabik? Apakah hal ini dikarenakan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya? Dulu temanku juga tak sampai pingsan, sehingga ia mengerang dan merintih kesakitan. Barangkali kekuatan tenaga dalam Suto yang membuat ia jatuh pingsan."
Tanpa banyak pertimbangan lagi, Bulan Sekuntum segera memanggul tubuh Pendekar Mabuk ke pundaknya. Dalam hatinya masih berkata penuh ungkapan rasa sedih.
"Aku harus segera membawanya kepada Gusti Ratu. Walaupun aku tahu obat penawar racun hanya dimiliki oleh Ratu Kelabang Setan, tapi siapa tahu Gusti Ratu dapat memberi pertolongan sekadarnya!"
Racun 'Siksa Kubur' memang tak bisa disembuhkan oleh orang lain kecuali oleh pemiliknya sendiri; Ratu Kelabang Setan. Itulah sebabnya racun tersebut dianggap racun paling berbahaya karena jika pemiliknya tidak mau memberikan obat penawarnya maka korbannya tak akan bisa selamat lagi. Bulan Sekuntum berharap ratunya dapat memberi pertolongan alakadarnya, setidaknya dapat memperpanjang usia pendekar tampan itu hingga tidak bernasib seperti temannya dulu.
Namun lagi-lagi langkahnya terhalang oleh kemunculan Malaikat Tiga Wajah yang sengaja mencarinya ke berbagai arah, terutama ke arah perbatasan Tanjung Samudera.
Manusia berwajah kembar tiga itu melompat turun dari arah bukit cadas tak seberapa tinggi itu. Bukit cadas tersebut masih di luar batas wilayah Tanjung Samudera, sehingga seseorang dapat bertindak sekehendak hatinya tanpa mengikuti undang-undang yang berlaku di dalam wilayah Tanjung Samudera.
Melihat kemunculan Malaikat Tiga Wajah, perempuan cantik yang lukanya telah lenyap tanpa bekas itu segera meletakkan tubuh Suto Sinting dan bumbungnya di bawah sebuah pohon.
"Tiga keparat ini memang harus kulenyapkan dulu agar tak merintangi langkahku berikutnya!" geram Bulan Sekuntum sambil melangkah maju mendekati tiga orang berwajah sama Itu.
"Rupanya bumi ini sempit sekali bagimu, Bulan Sekuntum. He, he, he...," Malaikat Biru mengejek dengan tawanya yang jelek.
"Tak seorang pun bisa lari dan bersembunyi dari incaran Malaikat Tiga Wajah," timpal Malaikat Kuning. "Mau ke mana saja kau pasti akan terkejar oleh kami, Bulan Sekuntum!"
"Memang dunia ini sempit. Karenanya nasib kalian sangat malang, karena ke mana saja akan jumpa denganku, dan itu artinya umur kalian tak akan pernah bisa lebih panjang lagi!" kata Bulan Sekuntum tanpa rasa takut, ia bicara dengan tolak pinggang, sehingga Malaikat Merah yang mudah terpancing kemarahannya menjadi geram dan segera melepaskan serangan pertamanya.
"Mulut perempuan kotor seperti kau memang harus dihancurkan, Bulan Sekuntum! Terimalah pukulan 'Raja Karang'-ku ini! Heeeahh...!"
Claap...! Sinar merah lurus sebesar kelingking melesat dari kepalan tangan Malaikat Merah yang dihantamkan ke depan dalam jarak lima langkah itu.
Dengan gesit Bulan Sekuntum melompat ke samping sehingga sinar merah itu menghantam pohon di kejauhan sana. Blaarr...! Pohon itu tumbang, pecah menjadi dua bagian. Bisa dibayangkan, seandainya sinar merah itu tepat mengenai mulut Bulan Sekuntum, entah apa jadinya.
Lompatan perempuan itu disambut oleh serangan Malaikat Biru yang menghempaskan telapak tangannya ke depan dan mengeluarkan gelombang hawa panas berasap putih. Wuusss...!
Tetapi pada saat itu Bulan Sekuntum sudah mendaratkan kakinya ke tanah, sehingga dengan merendahkan badan, satu kaki berlutut ke tanah, ia melepaskan pukulan jurus 'Racun Baja' yang berupa seberkas sinar biru itu.
Claappp...!
Blaarrr...!
Terjadi ledakan cukup besar akibat sinar biru menghantam gelombang hawa panas tersebut. Ledakan itu membuat Bulan Sekuntum terjungkal ke belakang dua kali. Namun ia cepat bangkit dan pasang kuda-kuda kembali.
"Keparat busuk kalian semua!" geramnya penuh kemarahan.
Saat itu tanpa disadari dari tangan Bulan Sekuntum melesat seberkas sinar berkecepatan tinggi. Zlaapp...!
Kecepatan sinar itu tak dapat ditahan dan dihindari. Sinar tersebut langsung menembus tubuh Malaikat Kuning. Brruuss...! Jebol sampai menembus bagian punggung.

"Malaikat Kuning...?!" sentak Malaikat Merah dengan mendelik melihat saudara kembarnya bolong ulu hatinya sampai ke bagian punggung.
Sedangkan Malaikat Biru yang berdiri di belakang Malaikat Kuning juga ikut terbengong melompong.Karena sinar putih itu setelah menembus dan menjebolkan tubuh Malaikat Kuning, ternyata masih memancar terang dan bergerak lurus hingga mengenai dada Malaikat Biru.
Bruuss...! Jebol juga sampai menembus punggung dan keluar masih melesat lalu menghantam sebongkah batu besar di kaki bukit cadas. Blegaarr...! Batu itu tampaknya lenyap seketika, padahal menjadi debu yang beterbangan ke mana-mana.
Bruk...! Malaikat Kuning roboh tak bernyawa. Disusul oleh robohnya Malaikat Biru yang berwajah tegang itu. Bruuk...!
"Bangsaaat...!" Malaikat Merah kian murka melihat kedua saudara kembarnya sudah tak bernyawa. Sedangkan Bulan Sekuntum masih bingung dengan sinar putih yang keluar dari tangannya itu. Ia merasa tidak memiliki jurus sedahsyat itu.
Sebelum Malaikat Merah mencabut senjatanya, Bulan Sekuntum mulai sadar bahwa sinar putih dahsyat itu ternyata berasal dari cincin yang dipakainya: Cincin Manik Intan.
"Luar biasa?! Rasanya cincin ini berkekuatan dahsyat sekali?!" gumam hati Bulan Sekuntum.
Saat ia tertegun memandangi cincin tersebut, Malaikat Merah segera melepaskan murkanya dengan menerjang membabatkan goloknya. Wuuuss...!
Golok itu nyaris memenggal kepala Bulan Sekuntum. Kalau saja ia tak segera melompat mundur, maka lehernya akan menjadi sasaran senjata lawan. Sekali tebas kepala akan menggelinding ke tanah.
Dengan melompat mundur menjaga jarak, Bulan Sekuntum bukan saja berhasil menghindari maut namun juga berhasil melepaskan tendangan ke arah pinggang lawan.
"Hiaaah...!"
Buuk! Krrak...!
"Uuah...!" Malaikat Merah terpental empat langkah ke belakang, ia sempat jatuh terduduk, namun cepat-cepat sigap kembali. Dengan satu sentakan pinggang yang terasa patah salah satu tulang rusuknya itu, tubuh Malaikat Merah melesat bagaikan terbang ke arah pepohonan.
Bulan Sekuntum mengeraskan tangannya yang mengenakan cincin pusaka itu. Tangan tersebut segera disentakkan ke arah tubuh Malaikat Merah yang sedang melambung di udara. Dan tak ayal lagi Cincin Manik Intan keluarkan kesaktiannya; sinar putih melesat lurus dan cepat menghantam tubuh Malaikat Merah. Claapp...! Brruus...! Blegaarr...!
"Aaahg...!" Malaikat Merah memekik dengan suara serak tertahan di tenggorokannya. Perutnya jebol diterjang sinar Cincin Manik Intan itu. Sisa sinar yang lolos lewat punggung Malaikat Merah menghantam pepohonan dan membuat pepohonan itu berhamburan selembut pasir.
Brrukkk...! Tubuh Malaikat Merah roboh ke tanah dalam keadaan telentang. Matanya mendelik, mulutnya terperangah, napasnya sudah tidak ada lagi setelah mengalami kejang-kejang sesaat.
Alam menjadi sepi. Angin berhembus bagai tak berani mengguncangkan pepohonan, seolah-olah takut dengan kedahsyatan Cincin Manik Intan itu. Si cantik Bulan Sekuntum memandangi cincin itu hingga beberapa saat lamanya. Hatinya dipenuhi oleh kebanggaan dan rasa keberanian yang klan bertambah besar.
"Tak kusangka aku dapat merobohkan Malaikat Tiga Wajah dalam waktu sesingkat ini. Padahal mereka mempunyai jurus-jurus sakti yang belum sempat dikeluarkan. Oh, kalau begini caranya, Anak Petir pun bisa kutumbangkan seperti ketiga wajah kembar itu. Cincin ini akan kupakai untuk melawan si Anak Petir! Aku akan meminjamnya kepada Suto dan... oh, ke mana Suto?!"
Perempuan berhidung bangir Itu terkejut sekali melihat Suto tidak ada di tempat. Tapi bumbung tuaknya masih ada di sana. Hati Bulan Sekuntum pun berdebar-debar penuh ketegangan, ia segera berlari ke berbagai arah dengan mata memandang liar sekelilingnya. Tapi Pendekar Mabuk yang tadi dalam keadaan pingsan itu tidak ditemukan juga.
"Sutooo...!" teriak Bulan Sekuntum. "Suto Sinting...! Di mana kau...?!"
Wajah perempuan itu kelihatan sekali kalau sedang ketakutan. Takut kehilangan Pendekar Mabuk. Dan rasa takutnya itu membuatnya mulai panik, ia berlari naik ke bukit cadas dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya. Tiga kali sentakan kaki ia sudah sampai di puncak bukit cadas. Tab, tab, tab...!
"Ke mana dia? Pergi sendiri atau ada yang mencurinya?" pikir Bulan Sekuntum dengan napas terengah-engah, ia tak sadar bahwa kepanikannya itu menghadirkan amarah dalam dada. Amarah itu memancar melalui mata Cincin Manik Intan sehingga sesekali cincin itu mengeluarkan sinar dan menghantam bebatuan atau pepohonan yang sejajar dengan arah mata cincin tersebut.
Blaar.... Duaarr...! Blaarr...!
"Oh, cincin ini mengeluarkan tenaga sendiri?!  Rupanya jika hatiku diliputi kejengkelan atau kemarahan, maka ia dapat mengeluarkan kekuatan tanpa terkendali? Oh, bahaya sekali. Kalau begitu aku harus memakainya dalam keadaan kubalik saja, biar mata cincinnya selalu ada dalam genggamanku!" ucap hati Bulan Sekuntum.
Setelah memutar mata cincin menjadi ada dalam telapak tangannya, Bulan Sekuntum berpikir kembali kepada hilangnya Suto Sinting. Bahkan ia segera turun lagi dari atas bukit cadas itu, menuju ke tempat di mana Suto diletakkan bersama bumbung tuaknya, ia memeriksa tempat itu dengan lebih teliti lagi.
"Bumbung tuaknya tidak ikut pergi? Berarti ada orang yang mencuri tubuh Suto dan tidak peduli dengan bumbung tuak ini?! Hmmm..., sebaiknya aku harus segera mencari Suto Sinting dan bumbung tuak ini harus tetap kubawa. Kulihat Suto bisa menggunakan bumbung ini untuk menangkis serangan lawan. Siapa tahu berguna bagiku juga."
Sebelum langkah pencarian diawali, Bulan Sekuntum memandang penuh curiga pada tanah di balik pohon tersebut. Tanah berumput tipis itu mempunyai kejanggalan. Rumputnya rebah pada bagian tertentu, menandakan habis diinjak oleh seseorang. Rumput yang merebah membentuk telapak kaki itu menuju ke arah kerimbunan semak. Tak ada pilihan lain bagi Bulan Sekuntum kecuali mengikuti jejak tapak kaki tersebut.
"Arahnya ke utara, menuju ke perbataaan negeriku. Apakah mungkin yang membawa lari Suto adalah orang dari negeriku sendiri?" kata Bulan Sekuntum dalam hatinya, ia mulai menerabas masuk ke semak ilalang yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya itu. Bumbung tuak disilangkan ke punggung, kedua tangannya siap siaga menghadapi serangan atau bahaya yang bisa datang sewaktu-waktu.
Langit mulai kusam. Cahaya mentari kian memudar. Senja sebentar lagi akan beralih menjadi petang. Pandangan mata kian terbatas karena kere-mangan senja.
Bulan Sekuntum masih terus melangkah mencari Suto karena ia belum menemukan gagasan baru tentang apa yang harus dilakukannya. Yang ada dalam hatinya adalah rasa tanggung jawab atas hilangnya Suto Sinting, ia harus bisa menemukan pria tampan itu untuk dibawa menghadap kepada ratunya sebagai pernyataan bahwa Pendekar Mabuk belum mati.
Tiba di sebuah lembah yang menjadi ujung dari perbatasan negeri Tanjung Samudera, langkah Bulan Sekuntum terpaksa terhenti karena kepekaan nalurinya mengatakan ada sesuatu yang berbahaya datang dari arah belakangnya. Bulan Sekuntum segera sentakkan kaki. Tubuhnya melayang di udara dan bersalto satu kali. Pada saat itu seberkas sinar kuning berbentuk seperti bintang melesat menghantam tempat berdirinya tadi. Duaaar...!
Sinar itu meledak ketika mengenai sebongkah batu. Batu tersebut pecah dan memercik ke udara hingga sebagian percikannya mengenai kaki Bulan Sekuntum.
"Auh...!" perempuan itu memekik karena mata kakinya bagaikan dilempar dengan batu kerikil. Tak seberapa sakit tapi cukup mengejutkan.
Jleeg...! Kedua kaki Bulan Sekuntum mendarat ke bumi dengan sigap. Matanya memandang ke arah datangnya sinar kuning tadi.
"Keluar kau, Setan! Jangan hanya berani membokong saja! Hadapi aku kalau kau memang merasa berilmu lebih tinggi dariku!" aeru Bulan Sekuntum dengan wajah memancarkan kemarahannya. Tangan kanannya menggenggam kuat, merasakan hawa panas yang bisa diduga datangnya dari cincin yang dikenakan. Genggaman itu siap dilepaskan untuk menghantam lawan yang menyerangnya dari belakang tadi.
Namun ketika dari kerimbunan semak di balik pohon besar itu muncul sesosok tubuh berjubah sutera ungu tua, Bulan Sekuntum menahan gerakan tangannya, ia justru terperanjat dan memandang dengan dahi berkerut.
Si jubah ungu itu adalah seorang perempuan cantik yang tampak masih muda tapi sebenarnya usianya sudah puluhan tahun, ia mengenakan pakaian dalam berupa pinjung ketat warna ungu muda dan celana ketat beludru ungu muda juga dengan hiasan benang emasnya. Kecantikannya senilai dengan Bulan Sekuntum, hanya saja perempuan yang pedangnya dilapisi kain beludru ungu pula itu sedikit berkesan lebih nakal dan lebih menggoda, matanya berkesan lebih galak lagi.
Keheranan di hati Bulan Sekuntum membuat mulutnya berucap kata dalam gumam yang tak seberapa jelas didengar dari jarak tujuh langkah. "Pelangi Sutera...?!"
Perempuan cantik yang saat ini berwajah sama angkuhnya dengan Bulan Sekuntum itu melangkah lebih dekat lagi. Ia adalah Pelangi Sutera, mantan panglima Negeri Ringgit Kencana yang akrab dikenal dengan nama aslinya; Sumbaruni. Bekas istri jin yang berilmu tinggi itu sengaja menampakkan sikap permusuhannya di depan Bulan Sekuntum, sehingga Bulan Sekuntum menjadi ragu-ragu untuk melayani sikap permusuhan itu.
Hawa panas dalam genggaman Bulan Sekuntum segera dilemparkan ke arah pepohonan di belakangnya. Blaarrr...! Pohon itu pun hancur menjadi debu. Hal itu dilakukan Bulan Sekuntum untuk membuang tenaga dalam yang sudah telanjur tertahan dalam genggaman akibat rasa marahnya tadi. Namun diartikan oleh Sumbaruni sebagai tindakan pamer kehebatan, sehingga Sumbaruni mencibir sinis dan berkata dengan ketus.
"Kau pikir hanya kau sendiri yang bisa menghancurkan sebatang pohon?!"
Sumbaruni segera menyentakkan jari tengahnya. Claapp .! Seberkas sinar merah terang melesat dari ujung jari itu dan menghantam sebatang pohon. Begitu sinar itu menyentuh pohon tersebut, tiba-tiba pohon itu bagaikan lenyap.
Blaap...!
Hilang tak berbekas. Yang tersisa hanya bau kayu bakar tanpa asap sedikit pun. Sumbaruni mencibir sinis memandang ke arah Bulan Sekuntum yang sedang tertegun kagum.
"Aku pun bisa melakukannya dengan mudah, Bulan Sekuntum!" kata Sumbaruni sambil melangkah kalem mendekati Bulan Sekuntum.
"Sumbaruni, aku tidak bermaksud pamer ilmu di depanmu!" ujar Bulan Sekuntum karena ia tahu bahwa Sumbaruni mempunyai ilmu lebih tinggi darinya. Bulan Sekuntum selalu hormat kepada Sumbaruni, sebab ia tahu bahwa Sumbaruni bekas panglima yang menurut kedudukan punya jabatan lebih tinggi dari jabatan yang disandang Bulan Sekuntum di Negeri Tanjung Samudera.
Dalam keremangan cahaya senja, Bulan Sekuntum dapat melihat kedua mata indah Sumbaruni saat itu sedang dalam keadaan bengkak. Bukan karena suatu pertarungan, melainkan karena suatu tangis. Namun tangis karena apa, Bulan Sekuntum tak berani menanyakan.
"Sumbaruni, apa maksudmu menyerangku tadi? Apakah aku punya dosa kepadamu?!"
"Entah kau atau ratumu, harus berhadapan denganku dan bertarung sampai mati!" geram Sumbaruni dengan mata kian memancarkan permusuhan. Sambungnya lagi,
"Bila perlu semua orang Tanjung Samudera akan kupenggal habis tanpa terkecuali, termasuk kau juga, Bulan Sekuntum!"
Dahi yang berkerut semakin tajam menandakan keheranan Bulan Sekuntum kian meninggi, ia benar-benar tak menyangka kata-kata itu akan terlontar dari mulut Sumbaruni. Seingatnya, selama ini antara pihak Tanjung Samudera dan pihak Ringgit Kencana tak terjadi permusuhan apa-apa. Kedua ratu kakak-beradik itu justru saling membantu dan bukan saling bermusuhan. Sumbaruni sendiri, sekalipun sudah keluar dari Negeri Ringgit Kencana, tidak pernah bikin masalah dengan orang-orang Tanjung Samudera, demikian pula sebaliknya.
Karenanya, Bulan Sekuntum segera bertanya dengan suara pelan, bagaikan tak percaya mendengar kata-kata Sumbaruni tadi.
"Mengapa kau berkata begitu? Ada persoalan apa sebenarnya?"
"Persoalannya sudah jelas, kau pasti sudah mengetahuinya! Aku menuntut kematian murid si Gila Tuak, Suto Sinting!"
Seketika itu pula wajah Bulan Sekuntum terperangah tegang, ia belum tahu bahwa Sumbaruni sangat mencintai Pendekar Mabuk. Walaupun ia tahu Suto Sinting sudah mempunyai calon Istri di Pulau Serindu yang bergelar Gusti Mahkota Sejati; Dyah Sariningrum, tapi Sumbaruni tidak pernah mau peduli akan hal itu. Sekalipun Suto Sinting pernah menolak cintanya secara halus, namun Sumbaruni tidak bisa menghentikan rasa cintanya itu kepada sang murid Gila Tuak tersebut.
Kabar kematian Pendekar Mabuk agaknya mengguncang hati Sumbaruni dan menimbulkan murka yang terpendam. Melacak arah datangnya kabar itu, Sumbaruni segera menuju ke Negeri Tanjung Samudera untuk mengadakan perhitungan nyawa.
"Kudengar pihak Tanjung Samudera yang membawa mayat Suto Sinting ke Jurang Lindu. Firasatku mengatakan, pihakmulah yang menewaskan Pendekar Mabuk, orang yang amat kucintai itu!"
"Sumbaruni, kau salah paham! Tenangkan dulu hatimu. Dengarkan keteranganku."
Air mata Sumbaruni mulai menggenang di pelupuk matanya. Sikapnya semakin dingin. Kedua tangannya mengeras dengan gigi menggeletuk.
"Aku tak butuh alasan apa pun. Aku hanya butuh membalas kematian Suto Sinting pada Dewi Giok dan orang-orangnya. Kaulah orang pertama yang kujumpai, Bulan Sekuntum! Maka terimalah kematianmu sebelum matahari lenyap dari permukaan bumi!"
"Tunggu...! Tunggu dulu, Sumbaruni...!" Bulan Sekuntum menahan gerakan Sumbaruni, namun agaknya gerakan itu tak bisa ditahan lagi.
Sumbaruni melepaskan pukulan bertenaga dalam tinggi dari telapak tangannya. "Heeeaaahh...!" ia berteriak liar dan buas sekali.
Wuuusss...! Sinar biru yang amat berbahaya itu dihantamkan ke arah Bulan Sekuntum. Yang diserang ragu-ragu untuk melayaninya. Tapi karena sinar biru itu sudah telanjur menuju ke arahnya, mau tak mau Bulan Sekuntum menyentakkan telapak tangan kanannya yang terbuka ke depan. Maka sinar putih dari Cincin Manik Intan pun melesat, diadu dengan sinar biru tersebut.
Zlaapp...!
Blaarr... blegaarrr...!
Dentuman itu bagai kan bunyi langit runtuh di hari klamat. Bumi berguncang hebat. Pohon-pohon saling tumbang. Batu-batuan pecah dan menggelinding ke berbagai arah, bahkan ada yang beterbangan. Tanah di sekeliling mereka menjadi retak dan membentuk jurang kecil. Langit senja yang merah tiba-tiba menjadi hitam dengan awan yang bergulung-gulung mengerikan. Angin berhembus bagaikan badai musim penghujan.
Kedua tubuh perempuan itu saling terpental, terbang ke mana-mana tak tentu arah. Mereka berpisah jarak dan saling berusaha menyelamatkan diri dari amukan alam.
*
* *

6
PERTARUNGAN itu agaknya memang menuntut harus ada korban. Tetapi Bulan Sekuntum tidak mau hal itu terjadi, karena ia tahu persis duduk perkaranya. Kesalahpahaman akan membawa kematian sia-sia dan kemenangan tanpa arti. Sebab itulah Bulan Sekuntum berseru ketika Sumbaruni yang murka itu ingin melepaskan jurus andalannya lagi.
"Tahan seranganmu, Sumbaruni! Suto tidak mati! Suto masih hidup!"
Seruan itu membuat Sumbaruni hentikan gerakannya. Matanya memandang tajam kepada Bulan Sekuntum.
"Pendekar Mabuk masih hidup! Kau dan aku sama- sama tertipu oleh suatu tindakan yang sengaja atau tidak sengaja!"
Bulan Sekuntum maju mendekati Sumbaruni yang siap lepaskan jurus andalannya itu. Dalam jarak lima langkah ia berhenti dan berkata dengan kedua tangan membuka.
"Bunuhlah aku jika aku berbohong padamu. Aku berani bersumpah, Suto masih hidup! Lihatlah bumbung tuaknya ada padaku!"
"Lalu di mana dia sekarang?!" Sumbaruni berdebar-debar tegang mendengar pengakuan itu.
"Aku sendiri sedang mencarinya, karena ia hilang dalam keadaan pingsan dan terluka oleh pukulan racun 'Siksa Kubur'."
"Hahhh...?! Racun 'Siksa Kubur'...?! Bukankah itu racunnya Ratu Kelabang Setan alias si Untari?!"
"Benar!" jawab Bulan Sekuntum, kemudian ia menceritakan seluruh peristiwa yang dialaminya bersama Pendekar Mabuk. Dari sejak bertemu dalam iring-iringan jenazah sampai terakhir kali melawan Malaikat Tiga Wajah.
"Begitukah kejadian yang sebenarnya?!"
"Betul, Sumbaruni! Aku tak keberatan jika harus bertarung denganmu, tapi kalau hanya karena kesalahpahaman itu lebih baik mengalah. Pertarungan kita hanya akan memakan korban sia-sia. Kau atau aku nantinya akan kecewa jika salah satu ada yang korban."
Sumbaruni merenung dengan punggung bersandar pada sebuah pohon, ia tampak letih karena menahan duka dan murka.
"Kalau begitu, mayat siapa yang dibawa ke Jurang Lindu itu?!"
"Apakah kau melihat mayat tanpa kepala itu?"
"Ya. Dan kubiarkan seseorang membawanya kepada Gila Tuak. Aku lebih mementingkan mengejar dendamku ke Tanjung Samudera, karena kupikir orangmu yang membunuh Suto Sinting!"
"Siapa yang membawa mayat itu ke Jurang Lindu?"
"Serombongan orang pengagum Pendekar Mabuk. Di antara mereka kulihat juga Kelana Cinta dan beberapa orang lainnya yang pernah terlibat peristiwa dengan Suto. Yang jelas berita kematian Pendekar Mabuk telah menyebar ke seluruh rimba persilatan dalam waktu yang amat cepat. Dan nama Tanjung Samudera dibawa-bawa dalam berita tersebut. Banyak orang menyangka pihakmulah yang membunuh Pendekar Mabuk."
"Celaka!" gumam Bulan Sekuntum dengan mata menerawang. "Sebaiknya kita bicarakan dengan gusti ratuku saja."
"Tidak. Aku mau mencari Suto. Aku akan menemui Ratu Kelabang Setan. Dugaanku mengatakan, bahwa dialah orang yang mencuri tubuh Suto, karena dia bisa memanfaatkan Suto untuk memuaskan hasratnya dengan terlebih dulu memberikan obat penawar racun 'Siksa Kubur' itu!"
"Kalau begitu aku ikut denganmu!"
Ratu Kelabang Setan menempati perbukitan yang bernama Lembah Ladang Racun, karena di sana banyak tanaman, akar dan binatang yang beracun ganas. Mulanya ia memang seorang ratu dari sebuah negeri. Tapi karena negeri itu dilanda bencana alam, pulau tempat negeri itu berada tenggelam ke dasar laut, maka Untari menyelamatkan diri dengan beberapa anak buahnya ke perbukitan tersebut. Di sana ia mendirikan sebuah perguruan, namun tak bisa bertahan lama karena para muridnya enggan mengikuti jejak sang guru yang gemar bercumbu dengan lawan jenisnya itu.
Untari hidup sebagai ratu tanpa rakyat. Namun kesaktiannya cukup diperhitungkan oleh orang-orang rimba persilatan, terutama ilmu racunnya yang ditakuti oleh beberapa orang berilmu tanggung. Sumbaruni sudah lama mengenal Untari, sejak belum menempati Lembah Ladang Racun. Karenanya Sumbaruni tahu persis seberapa kekuatan Ratu Kelabang Setan.
Namun sebelum mereka bergegas pergi menuju Lembah Ladang Racun, tiba-tiba mata mereka tertuju ke arah utara dengan masing-masing dahi berkerut. Gumpalan asap hitam membubung tinggi, mengepul dari balik gundukan sebuah bukit. Asap itu menandakan adanya kebakaran di daerah seberang bukit.
"Hatiku jadi tak enak, Sumbaruni," ujar Bulan Sekuntum. Tapi tidak mendapat tanggapan dari Sumbaruni, sebab Sumbaruni sendiri diam-diam menyimpan perasaan tak enak dalam hatinya. Seperti ada firasat yang mengatakan bahwa kepulan asap hitam itu adalah sesuatu hal yang perlu diketahui.
Sebelum mereka memutuskan untuk peduli atau tidak peduli dengan kepulan asap tersebut, tiba-tiba dari arah depan mereka tampak sekelebat bayangan menerjang semak melintasi celah-celah pepohonan. Sosok bayangan itu tampak sedang berusaha mendaki lereng tempat mereka berada.
"Bulan Sekuntum...! Bulaaan...!" teriak orang yang berlari mendekati mereka itu.
"Astaga?! Wanasida...?!"
"Siapa itu Wanasida?" tanya Sumbaruni.
"Penjaga wilayah perbatasan negeriku!" jawab Bulan Sekuntum.
Lelaki bernama Wanasida itu bertubuh kurus tapi bukan kerempeng, ia mengenakan rompi hijau dan celana hitam. Ikat kepalanya dari kain warna hijau pula.
"Ada apa, Wanasida?!"
Pria berusia sekitar tiga puluh tahun itu terengah-engah dan berwajah tegang. Setelah napasnya mampu dikendalikan sedikit, ia pun mulai bicara kepada Bulan Sekuntum.
"Istana diserang, menara sudut dibakar!"
"Siapa yang melakukan?!"
"Entah. Mereka menuntut kematian Pendekar Mabuk kepada pihak kita. Mereka sangka kitalah yang membunuh Pendekar Mabuk secara keji. Jadi menurut dugaanku, mereka adalah para pengagum Pendekar Mabuk."
"Celaka!" geram Bulan Sekuntum, ia memandang ke arah Sumbaruni. Yang dipandang jadi tak enak hati.
"Bukan aku yang menggerakkan mereka. Jangan menuduhku menjadi penyulut api permusuhan itu!" kata Sumbaruni dengan sedikit gusar. "Sebaiknya segeralah temui mereka. Jelaskan bahwa Pendekar Mabuk belum mati. Tunjukkan bumbung tuak dan ceritakan segalanya kepada mereka!"
"Bagaimana jika kau ikut membantu meredam kemarahan mereka?"
"Aku akan menemui Ratu Kelabang Setan! Secepatnya aku akan membawa Suto ke Tanjung Samudera sebagai bukti kepada mereka bahwa Pendekar Mabuk masih hidup!"
"Baik! Kita berpisah dulu sekarang!"
Sumbaruni yang yakin betul bahwa orang yang mencuri Suto Sinting itu adalah Ratu Kelabang Setan, segera melesat pergi ke Lembah Ladang Racun. Tak peduli hari menjadi malam, ia menerabas hutan dan melewati lereng pegunungan untuk mempersingkat waktu. Sekalipun malam, tapi suasana alam cukup cerah karena rembulan menyinari bumi penuh keindahan.
Pintu pesanggrahan yang terbuat dari balok-balok kayu itu ditendang oleh Sumbaruni. Gubraaak...! Satu kali tendangan membuat pintu gerbang itu menjadi hancur berantakan. Sumbaruni sudah tak sabar lagi,takut Suto Sinting terperangkap cinta dalam pengaruh racun asmaranya Ratu Kelabang Setan.
Pada waktu Sumbaruni tiba di pesanggrahan Lembah Ladang Racun, keadaan Ratu Kelabang Setan sudah mengurai rambutnya, melepas perhiasannya. Bahkan ia hanya mengenakan jubah tipis tanpa pelapis apa pun di dalamnya. Sumbaruni semakin yakin bahwa Ratu Kelabang Setan yang dikabarkan terluka oleh serangan Suto itu sudah berhasil sembuhkan lukanya, dan segera mencuri Suto dalam keadaan tak berdaya.
Maka begitu Untari menyambut kedatangan Sumbaruni di pelataran, Sumbaruni langsung membentak dengan berang.
"Serahkan Pendekar Mabuk padaku, atau kuhancurkan tempat ini bersama tubuhmu!"
Ratu Kelabang Setan tertawa sinis. "Sumbaruni... ada persoalan apa sehingga kau datang-datang marah padaku, Sobat?!"
"Tak perlu banyak bicara!" bentak Sumbaruni. "Mana murid si Gila Tuak itu?!"
"O, aku tidak membawanya!" Untari berlagak polos.
"Kalau kupaksa kau pasti akan mengatakannya!
Hiaaah...!"
Sumbaruni bagaikan terbang. Tubuhnya melesat cepat ke arah Ratu Kelabang Setan. Kedua tangannya diluruskan ke depan dengan telapak tangan terbuka. Dari kedua telapak tangan itu memancar sinar merah bagai semburan api mengganas.
Wuuusss...!
Ratu Kelabang Setan mengadu kekuatan tenaga dalamnya dengan melepaskan sinar biru dari telapak tangannya. Wuuusss...!
Kedua sinar itu akhirnya saling berbenturan di pertengahan jarak. Blaarrr...!
Ledakan besar membuat Untari terlempar dan jatuh membentur pilar serambi.
"Uuhg...!" Untari memekik tertahan. Wajahnya menjadi pucat pasi.
Kesempatan itu digunakan oleh Sumbaruni untuk melepaskan jurus 'Anak Rembulan' yang berupa sinar kuning seperti bintang dalam satu gerakan tangan melempar cepat.
Claap...! Deeessb...!
"Aauh...!" Sinar kuning itu tepat kenai lambung Ratu Kelabang Setan.
Akibatnya, perempuan berambut panjang meriap itu tak bisa bangkit lagi. Ia terpuruk lemas di tempat bagaikan kehilangan seluruh urat dan tulangnya. Jurus 'Anak Rembulan' telah membuat Untari lumpuh, sehingga ketika Sumbaruni menerjang masuk ke dalam rumah, memeriksa kamar demi kamar, Untari tak bisa mencegahnya lagi. Bahkan untuk berteriak keras pun tak mampu.
"Sutooo...! Sutooo...!" teriak Sumbaruni tak sabar, ia berharap mendapat jawaban dari Suto Sinting, namun jawaban itu tidak kunjung tiba. Hampir-hampir Sumbaruni sangsi dan menduga Suto tidak ada di situ.
Namun ketika ia masuk ke ruang semadi, hatinya menjadi lega, karena Suto Sinting ada di dalam ruang semadi. Mungkin ia memang disembunyikan di situ oleh Ratu Kelabang Setan.
"Sutooo...?!" Sumbaruni segera kaget melihat keadaan Suto yang menyedihkan. Tubuh Suto dipenuhi oleh benjolan seperti bisul. Ada yang kecil, ada yang berukuran besar. Bahkan tulang pipi sebelah kanan dan rahang kiri membengkak besar, dagunya pun menggelembung ke bawah, keningnya juga bengkak ke samping, sehingga wajah Suto Sinting sudah tidak kelihatan tampan lagi. Kepalanya membengkak ke kiri cukup besar, sebagian rambutnya ada yang rontok.
"Keparat! Kubunuh kau Untari! Racunmu telah membuat pemuda ini menjadi berubah dan sangat menderita!" seru Sumbaruni sambil mencoba memapah Suto Sinting.
Keadaan Suto sudah siuman, tapi masih lemas.
Rupanya Untari telah melakukan penyembuhan, namun belum sepenuhnya.
"Keparat! Sembuhkan dia secepatnya! Hei, Untari...ke mana kau?!"
Sumbaruni kebingungan mencari Untari. Di serambi depan tempatnya jatuh terkulai karena lumpuh ternyata sudah kosong. Untari tak ada di sana. Gerutu dan makian Sumbaruni menyertai pencariannya. Tapi ternyata orang yang dicarinya memang tak ada di sekitar tempat itu.
"Persetan dengan dia! Yang penting aku harus membawa Suto keluar dari sini lebih dulu! Urusan dia bisa kutangani belakangan saja kalau Suto sudah sembuh!" pikir Sumbaruni.
"Suto, kau kuat berjalan?!"
Suto Sinting yang masih lemas itu menggelengkan kepala. Sumbaruni menangis dalam hatinya melihat keadaan Suto Sinting semenderita itu.
"Dia... sedang pulihkan... kekuatanku, belum... sembuhkan... racun," kata Suto Sinting dengan suara lemah dan lamban. Sumbaruni menarik napas menahan kesedihan, ia tahu maksudnya, bahwa Ratu Kelabang Setan baru memulihkan kekuatan Suto tapi belum menawarkan racun 'Siksa Kubur'. Itulah sebabnya keadaan Suto masih bengkak-bengkak tak karuan bentuknya. Bukan di kepala saja, tapi di bagian tangan, lengan, dada, sampai ke kaki.
Sumbaruni tidak mau banyak bicara lagi, ia segera memanggul Suto Sinting dengan kekuatan tenaga dalamnya dan melesat pergi tinggalkan tempat itu. Ia menerobos cahaya rembulan, bagai seorang pencuri menggendong hasil curiannya.
Arah pelarian Sumbaruni ke Tanjung Samudera. Karena ia pun memikirkan nasib Tanjung Samudera yang mendapat tuduhan dari para pengagum Pendekar Mabuk sebagai pembunuh sang pendekar. Sumbaruni sempat bicara tentang hal itu dalam perjalanan malamnya kepada Suto Sinting, tetapi Suto tidak bisa memberikan jalan keluar. Keadaannya yang masih lemah dengan pembengkakan yang semakin terkena angina semakin membesar itu membuat Suto hanya punya satu keinginan.
"Tuak... tolong bumbung tuak...."
"Bumbung itu ada pada Bulan Sekuntum."
"Aku... butuh tuak dari... dari bumbungku.... Itu... kekuatanku."
Sumbaruni mengerti maksudnya, ia pun jadi ingat bahwa tuak dari bumbung itu pasti dapat memulihkan kekuatan Suto. Bahkan mungkin bukan saja memulihkan kekuatan, tapi juga menawarkan racun yang bekerja dalam tubuh Suto.
Berpikir tentang bumbung tuak, langkah Sumbaruni semakin cepat walau masih tetap memanggul Suto Sinting.
Sampai di Istana Tanjung Samudera hari sudah pagi. Tapi matahari di ambang cakrawala. Keadaan Istana Tanjung Samudera bagian depannya porak poranda. Para prajurit berkeliaran menjaga setiap sisi Istana. Dua menara pengawas tampak menghitam, menandakan sebagai sisa pembakaran. Bahkan pintu gerbang pun tampak habis dibakar, namun tidak habis seluruhnya. Asap masih mengepul di sana-sini.
"Sumbaruni...?!" seru Bulan Sekuntum menyambut kedatangan Sumbaruni yang memanggul Suto Sinting.
"Ke mana mereka? Sudah berhasil kalian usir semua?"
"Mereka pergi untuk sementara. Tengah malam mereka meninggalkan tempat ini dengan ancaman masih ingin kembali lagi sebelum kami menyerahkan Gusti Ratu Dewi Giok. Sebab mereka menuntut kematian Gusti Ratu sebagai ganti kematian Pendekar Mabuk."
"Apakah kau tak bisa memberi penjelasan kepada mereka?" tanya Sumbaruni.
"Aku kehabisan cara. Mereka tetap tidak percaya dan menuduh pihakku yang membunuh Pendekar Mabuk dengan cara memenggalnya."
"Sekarang ratumu di mana?"
"Kami sembunyikan di suatu tempat. Kami tidak ingin Gusti Ratu melawan, karena semua ini hanya kesalahpahaman."
Bulan Sekuntum trenyuh hatinya melihat keadaan Suto Sinting separah itu. Wajahnya sudah tak kelihatan sebagai pendekar tampan yang dikagumi para wanita itu.
Suto cenderung mirip orang cacat.
"Isi bumbung itu dengan tuak, biar diminum olehnya!" perintah Sumbaruni kepada Bulan Sekuntum.
"Di sini sulit mencari tuak. Kami melarang penduduk meminum tuak. Ini terjadi sejak dulu."
"Pokoknya cari tuak ke mana saja! Suruh orangmu mencari keluar dari wilayah ini! Tanpa tuak, Suto tidak akan bisa bertindak menolong kalian!"
Tiga orang prajurit berkuda berangkat mencari tuak. Tapi sampai pagi kian berubah siang, mereka belum pulang juga. Sedangkan keadaan Suto Sinting semakin membengkak. Kepalanya menjadi besar, bentuk matanya sudah tidak karuan. Tapi kekuatannya bertambah sedikit. Bicaranya agak lancar dan suaranya agak keras, walau belum seperti biasanya.
"Bulan Sekuntum...! Mereka datang lagi dengan jumlah lebih banyak!" seru seorang pengawal istana. Sumbaruni dan Bulan Sekuntum segera bergegas ke luar benteng untuk menghadapi mereka. Ternyata jumlahnya memang lebih banyak. Sekitar lima puluh orang lebih.
Beberapa orang ada yang dikenal oleh Sumbaruni, di antaranya: Citradani, Kirana, Putri Kunang, Delima Gusti, Batu Sampang, Palupi atau si Tandu Terbang, Hantu Tari, Camar Sembilu, Teratai Kipas. Dewa Angora dan beberapa orang lainnya yang pada umumnya adalah wanita pengagum Pendekar Mabuk. Bahkan Jelita Bule utusan dari Ratu Rangsang Madu pun tampak hadir di situ.
Menurut Sumbaruni, peristiwa ini bisa menjadikan perang antar negeri jika tidak segera dikendalikan. Karena di situ tampak pula Muria Wardani yang dikenal dengan nama Telaga Sunyi dan beberapa prajurit dari Kadipaten Madusari yang siap menyerang istana Tanjung Samudera.
"Kita serang saja mereka jika ratunya tidak mau bertanggung jawab atas kematian Suto!" seru salah seorang dengan suara keras. Orang itu tak lain adalah Kirana, yang pernah menjadi sahabat akrab Suto Sinting.
"Kirana! Apa maksudmu mengerahkan orang sebanyak ini?!" bentak Sumbaruni dengan berani.
"Jadi kau sekarang memihak Ratu Dewi Giok?! Aku tidak takut, Sumbaruni! Kematian Suto harus ditebus dengan nyawa Dewi Giok!"
"Suto tidak mati! Suto ada di sini!"
"Suruh dia keluar kalau memang tidak mati!" teriak yang lain saling bersahutan.
Sumbaruni menyuruh Bulan Sekuntum untuk membawa Suto. Namun ketika Suto hadir di depan mereka, ternyata mereka tidak mau percaya.
"Omong kosong! Itu bukan Pendekar Mabuk! Lihat saja, wajahnya begitu buruk! Suto Sinting bukan pendekar berwajah buruk!"
"Ini sama saja penghinaan terhadap Pendekar Mabuk!" teriak yang lain.
"Dia bukan Suto! Singkirkan dia! Singkirkan...!"
Mereka melempari Suto dan Sumbaruni. Bulan Sekuntum tak luput pula dari lemparan batu.
Walaupun Suto berkata, "Akulah murid Gila Tuak!
Aku Suto Sinting...." Tapi mereka tetap tidak percaya karena setahu mereka Suto tidak seburuk itu, kepalanya tidak sebesar itu. Repotnya mereka tidak mau mendengarkan penjelasan Sumbaruni tentang mengapa Suto jadi begitu.
Mereka nyaris menyerang habis istana Tanjung Samudera. Untung pembawa tuak datang, tuak segera dimasukkan dalam bumbung bambu. Kemudian diminum oleh Suto Sinting. Dalam beberapa waktu kemudian, bengkak-bengkak di tubuh Suto mengempes secara berangsur-angsur. Kekuatan Suto pulih kembali. Racun 'Siksa Kubur' telah lenyap.
Keributan di depan istana masih berlangsung. SutoSinting segera tampil dalam keadaan aslinya; tampan, gagah, segar dan menawan.
"Hentikaaan...!" seru Suto dengan suara lantang.
Tiba-tiba semua gerakan terhenti. Semua mata memandang ke arah Suto yang ada di atas tembok benteng.
"Ooohh...?!" mereka sama-sama menggumam kagum.
"Jangan teruskan tindakan kalian! Kalian hanya terpancing siasat seseorang yang punya maksud tertentu. Mayat yang tanpa kepala itu hanya mayat seseorang yang tubuhnya serupa denganku. Tapi wajahnya tidak sama dengan wajahku."
"Oh, dia masih hidup! Dia masih hiduuup...!" seru mereka kegirangan.
Suto menenggak tuak dari bumbung bambu itu, kemudian berkata lagi kepada mereka.
"Siapa yang membawa mayat itu kepada guruku?!"
"Aku...!" seru seseorang sambil mengacungkan pedangnya. Ternyata orang itu adalah Intan Selaksa, gadis cantik berpakaian kuning gading dengan rompi ungu. Intan Selaksa adalah juru kunci Kuil Swanalingga, murid mendiang Begawan Sangga Mega yang pernah terlibat dalam satu peristiwa bersama Suto Sinting, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pedang Guntur Biru").
"Dari mana kau memperoleh mayat tanpa kepala itu, Intan Selaksa?!"
"Dari sahabatku: Anak Petir!" jawab Intan Selaksa.
Bulan Sekuntum berkata pelan, hanya bisa didengar oleh Suto dan Sumbaruni,
"Berarti biang keladi huru-hara ini adalah Anak Petir."
"Apa maksudnya bikin huru-hara ini?!"
Bulan Sekuntum diam sesaat untuk berpikir, lalu berkata, "Mungkin karena dia tak bisa mengalahkan kekuatan kami, maka dia memancing murka orang-orang pengagum Pendekar Mabuk dengan memasang mayat tanpa kepala. Tentunya ia mencari orang yang perawakannya serupa dengan Suto. Lalu ia dandani dan ia lengkapi dengan bumbung tuak. Untuk menghilangkan kesan bahwa mayat itu bukan Suto, kepala korban dipenggal dan dibuang di suatu tempat yang tersembunyi. Dengan meletakkan mayat di wilayah Tanjung Samudera, Anak Petir punya perkiraan bahwa orang-orang itu akan mencurigai dan menuduh pihak Tanjung Samudera yang membunuh Pendekar Mabuk. Sudah tentu ia punya perhitungan, para pengagum Pendekar Mabuk akan menyerang negeri ini, dan kami akan dihancurkan oleh orang-orang Itu!"
"Licik sekali dia!" geram Suto Sinting.
"Intan Selaksa, benarkah Anak Petir yang menyerahkan mayat orang tanpa kepala yang mirip aku itu?"
"Benar, Suto!"
"Kalau begitu, cari Anak Petir dan katakan bahwa aku menantang pertarungan dengannya!"
"Cariii Anak Petir...!" seru mereka bersahutan, kemudian mereka pun bubar dengan sendirinya. Semangat mereka sekarang adalah semangat mencari Anak Petir.
"Hancurkan dia! Penggal kepala si Anak Petir yang bikin kita hampir tersesat!" teriak mereka penuh kemarahan kepada Anak Petir.
"Suto, maaf ada sesuatu yang harus kukembalikan padamu. Kutemukan dari dalam bumbung tuakmu saat bumbung itu kosong tanpa tuak!" kata Bulan Sekuntum. Suto Sinting kaget dan baru sadar bahwa Cincin Manik Intan ternyata ada di tangan Bulan Sekuntum. Untung si cantik pemberani itu punya kejujuran yang terpuji, jika tidak... lenyap sudah cincin pusaka maha sakti itu.
"Bulan, sekarang masalahnya sudah beres. Aku ingin bertemu dengan gusti ratumu itu."
Tapi Sumbaruni menyahut agak ketus dengan nada cemburu, "Tak perlu. Lain kali saja. Cari saja si Anak Petir itu!"
Suto Sinting hanya tertawa pelan. Bulan Sekuntum mencibir sinis, lalu meninggalkan mereka.
"Aku hanya ingin berkenalan dengan sang Ratu."
"Itu soal gampang. Cari dulu si Anak Petir dan selesaikan urusanmu dengannya. Bukankah kau tadi sesumbar ingin menantang pertarungan dengan si Anak Petir?"
"Bagiku itu bukan suatu keharusan. Kalau memang aku bisa bertemu, dan terpaksa harus lakukan pertarungan, aku bersedia. Tapi jika ia meminta maaf kepadaku, apakah aku harus tetap menantang pertarungan dengannya?"
"Seorang pendekar harus setia pada janjinya, terutama janji pertarungan!" gumam Sumbaruni.
"Kalau yang ditantang takut, bagaimana? Apakah harus tetap menyerang orang yang sudah merasa tak berdaya? Jadi sekarang yang penting aku ingin bertemu dengan Ratu Dewi Giok dan berkenalan dengannya."
"Kusarankan kapan-kapan saja!"
"Kenapa kau cemburu kepadanya?" kata Suto apa adanya membuat wajah Sumbaruni merah dadu menahan malu.
Dengan mata memandang dingin, Sumbaruni berkata, "Aku bukan cemburu padanya, hanya malas mengantarmu bertemu dengan Ratu Dewi Giok."
"Ada masalah apa kau dengan Ratu Dewi Giok? Tampaknya kau sungkan padanya?" desak Pendekar Mabuk.
Setelah diam sesaat Sumbaruni berkata, "Aku pernah bentrok dengannya perkara Pusaka Gelang Naga Dewa. Tapi akhirnya aku malu sendiri karena memang itu salahku."
"O, ya... aku ingat. Ratu Kelabang Setan juga ingin merebut Pusaka Gelang Naga Dewa! Mungkinkah dia sekarang sedang menyusun kekuatan untuk menyerang Ratu Dewi Giok?"
"Aku akan di pihak Ratu Dewi Giok kalau memang benar Untari mau merebut pusaka Gelang Naga Dewa!"
"Kenapa begitu?"
"Karena Ratu Dewi Giok-lah yang berhak memiliki pusaka itu."
Esok harinya, Suto dan Sumbaruni mendengar kabar bahwa seorang ibu mengaku kehilangan anak sulungnya yang kerjanya menebang pohon. Potongan tubuh anak sulungnya itu serupa dengan Suto Sinting.
"Mungkinkah anak ibu itu yang menjadi korbannya Anak Petir?" tanya Bulan Sekuntum kepada Sumbaruni.
"Belum tentu. Bisa saja ibu itu hanya mengaku-aku supaya namanya menjadi dikenal karena terkait dalam peristiwa ini."
"Agaknya perlu diselidiki lebih teliti lagi. Jika memang benar korban tanpa kepala itu adalah anak dari ibu itu tadi, tentu saja ia bisa mengenali pembunuhnya. Mungkin dengan menanyakan tentang Anak Petir, ia bisa memberi kesaksian memang si Anak Petir yang layak dicurigai sebagai pembunuh orang yang mirip aku itu," ujar Suto sebelum meninggalkan Istana Tanjung Samudera.
Tapi pada sore harinya, seorang nelayan menemukan potongan kepala manusia di pantai, di antara sela-sela bebatuan karang. Penemuan itu sempat bikin geger penduduk pantai. Setelah ditanyakan kepada ibu yang mengaku kehilangan anaknya, ternyata kepala itu memang milik anak sulungnya.
"Kini yang kupikirkan," kata Sumbaruni. "Kemana perginya Ratu Kelabang Setan pada malam itu? Tak mungkin ia bisa lari cepat karena terkena jurus 'Anak Rembulan' yang melumpuhkan seluruh syaraf manusia."
"Pasti ada yang menyelamatkan dan membawanya lagi," kata Suto.
"Siapa orang itu?"
"Entahlah. Kita cari saja siapa orangnya!" ujar Pendekar Mabuk dengan rasa penasaran.

SELESAI
PENDEKAR MABUK
Segera terbit!!!
GELANG NAGA DEWA

Pendekar Mabuk