Pendekar Mabuk 39 - Pisau Tanduk Hantu(1)

 1
GUNUNG Kundalini dilapisi kabut tebal. Kabut pembawa hawa dingin itu menyelimuti puncak gunung.
Dari gumpalan kabut tersebut muncul sesosok tubuh berlari menuruni lereng terjal. Gerakannya cukup lincah dan cepat. Dalam waktu singkat ia sudah mencapai kaki gunung tersebut.


Orang yang meluncur dari puncak gunung tersebut ternyata seorang wanita muda yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, tapi sebenarnya sudah berusia tiga kali lipat dari usia tersebut. Ilmu awet ayu dan awet muda membuatnya tampak tetap segar, cantik, dan menggairahkan setiap lelaki.

Ia mengenakan pakaian model angkin ketat dan celana ketat warna ungu berhias benang emas. Dadanya yang sekal tampak mencuat mau keluar dibungkus pinjung ungu ketat itu.

Gumpalan daging pada belahan dada terlihat mulus, membuat pria mana pun menelan ludah sendiri jika melihatnya. Pakaian menantang saraf lelaki itu dibungkus dengan jubah lengan panjang yang longgar berwarna ungu tua tanpa kancing. Pedang di punggungnya dibungkus pula oleh kain beludru warna ungu.

Siapa lagi tokoh cantik yang gemar berpetualang dengan pakaian serba ungu itu kalau bukan Pelangi Sutera alias Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat yang juga bekas panglima negeri dasar laut: Ringgit Kencana.

Perempuan ini bukan perempuan sembarangan.
Kesaktiannya cukup tinggi, karena ia menerima warisan seluruh ilmu yang ada pada diri seorang pertapa sakti kala ia menjadi pelayannya. Pertapa itu adalah Eyang Bayudana.

Kesaktiannya itu membuat ia dikenal di kalangan tokoh tua berilmu tinggi, karena sebenarnya Sumbaruni adalah tokoh sakti yang masuk dalam aliran putih. Jika ia mau membuka perguruan sendiri, maka muridnya ditanggung banyak kaum lelaki.

Tapi ia tidak mau membuka perguruan. Ilmunya hanya akan diturunkan kepada anaknya yang semata wayang, yaitu Logo. Anak jin yang bertubuh tinggi besar, berbadan kekar, gundul berkuncir tengah melengkung ke belakang, kegemarannya hanya mengenakan cawat, selebihnya polos tapi tidak merangsang. Kasih sayangnya kepada anak tunggalnya itu membuat Sumbaruni enggan mewariskan ilmunya kepada siapa pun.

Tetapi kesaktiannya itu pernah dilumpuhkan oleh 'Racun Ludah Naga' yang membuatnya menjadi kecil, semakin lama semakin seperti bocah. 'Racun Ludah Naga' adalah milik Syakuntala, Panglima Tanah Hindus, utusan Raja Kulana Baham. Ketika Syakuntala mengadu pertarungan dengan Pendekar Mabuk; Suto Sinting, Sumbaruni mendahului menyerang Syakuntala sebagai pembelaan diri dan unjuk kesetiaan terhadap Suto, sebab sebenarnya ia menyimpan hati dan cinta terang-terangan kepada si pendekar tampan muridnya Gila Tuak itu.

Saat melakukan pertarungan itulah, Sumbaruni terkena 'Racun Ludah Naga'.

Tubuhnya makin lama semakin menyusut. Obatnya hanya dengan menelan Telur Mata Setan. Pendekar Mabuk-lah yang berusaha mencari Telur Mata Setan ke Gunung Kundalini.

Dengan didampingi Teratai Kipas yang sebenarnya anak raja dari negeri Majageni itu, akhirnya Telur Mata Setan berhasil diperoleh Pendekar Mabuk, walaupun ada pihak lain yang menginginkannya, yaitu Resi Pakar Pantun, gurunya Tuanku Nanpongoh, penguasa Pulau Intan yang juga terkena 'Racun Ludah Naga'. Tetapi bagaimanapun Pendekar Mabuk lebih beruntung dan dapat membawa Telur Mata Setan ke pesanggrahan Nyai Guru Betari Ayu, di puncak Gunung Kundalini, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Racun Gugah Jantan").

Setelah meminum Telur Mata Setan yang berisi cairan hijau manis, dan hanya bisa dilubangi dengan sinar tenaga dalam dari Suto Sinting itu, Sumbaruni yang sempat menjadi bocah cilik seperti berusia dua tahun kurang itu segera tertidur nyenyak. Pengaruh cairan hijau dalam telur berkulit kuning emas itu membuat Sumbaruni tertidur selama sehari semalam penuh.

Pada saat ia tertidur itulah tubuh kecilnya mengalami perubahan semakin besar, semakin menjadi dewasa, dan akhirnya menjadi seperti semula. Ketika ia bangun dari tidurnya, ia telah menemukan tubuhnya pulih kembali, lengkap dengan kecantikannya dan kepadatan dadanya yang montok menggemaskan itu.

"Di mana Suto Sinting sekarang, Betari Ayu?" tanyanya kepada Nyai Guru Betari Ayu yang dalam urutan usia tergolong lebih muda dari Sumbaruni.

"Suto Sinting telah pergi," jawab Betari Ayu dengan kalem dan bijak.

"Mengapa dia tinggalkan diriku di puncak gunung ini? Lelaki macam apa dia itu? Tidak tanggung jawab! Bawa-bawa anak orang kemari lalu ditinggalkan begitu saja?! Apa dia sangka aku ini barang titipan?!"

Sumbaruni ngomel dan menggerutu tak jelas bedanya. Betari Ayu yang berpenampilan anggun dan tenang, namun nilai kecantikannya tak kalah dengan Sumbaruni itu hanya senyum-senyum saja. Ia tahu Sumbaruni sewot karena ia merasa ditinggalkan Suto.

Padahal Sumbaruni suka sama Suto. Sedangkan Suto dijamin tidak punya cinta untuk Sumbaruni, sebab Betari Ayu sang pertapa itu yakin bahwa Suto hanya punya cinta kepada seorang penguasa Puri Gerbang Surgawi yang amat cantik jelita; Dyah Sariningrum, adik Betari Ayu sendiri. Tapi toh Betari Ayu tidak banyak cemburu dan curiga kepada hubungan Suto dengan Sumbaruni.

"Cinta bisa tumbuh di mana saja dan kapan saja, juga oleh siapa saja. Cinta yang tumbuh bukan suatu kesalahan, karena cinta adalah bagian dari naluri dan kodrat. Sukar diatur pertumbuhannya. Setiap manusia punya benih cinta yang sewaktu-waktu dapat tumbuh merimbun indah. Tetapi tidak banyak orang yang mengerti hakikat dari sebuah cinta yang sejati. Hanya adikku yang tahu persis hakikat cinta yang sejati, sehingga layaklah ia dijuluki sebagai Gusti Mahkota Sejati," tutur Betari Ayu di depan murid setianya;
Selendang Kubur. Pada waktu itu Sumbaruni berada di pekarangan, lalu masuk lagi dan menemui Betari Ayu.

"Ke mana perginya si pemuda sinting itu?"
"Mengantar Teratai Kipas ke Negeri Majageni!"

"Brengsek!" sentaknya menggeram. Rasa cemburu tumbuh di hati Sumbaruni. "Untuk apa dia mengantar gadis itu? Mengapa harus ke Majageni segala?"

"Karena Teratai Kipas ternyata putri raja Majageni yang bernama Prabu Wiloka. Gadis itu harus pulang untuk kelak mewarisi takhta kerajaan tersebut," kata Betari Ayu dengan jujur, karena dia adalah wanita yang tak pernah berbohong, terutama semenjak menjadi seorang guru di Perguruan Merpati Wingit. Apalagi sekarang ia sudah menjadi pertapa di pengasingannya, ia sama sekali pantang melakukan kebohongan. Melakukan pertarungan pun sudah tak mau.

"Aku akan menyusul ke Negeri Majageni dan mengobrak-abrik istananya!" kata Sumbaruni dengan kecemburuan berapi-api.

"Tak perlu bersikap begitu," kata Betari Ayu lembut sekali. "Kecemburuan jika tidak dikendalikan akan menjadi mata pedang yang tertajam bagi leher kita sendiri."

"Ah, tidak peduli! Pokoknya aku harus menyusul Suto Sinting ke sana!"

"Menyusul itu boleh-boleh saja, tapi tak perlu buat keonaran di sana. Kasihan prajurit Majageni yang tidak punya kecemburuan jadi korban juga."

Itulah sebabnya Sumbaruni terburu-buru menuruni lereng gunung untuk mengejar Suto Sinting. Harapannya bisa bertemu dengan Pendekar Mabuk itu di perjalanan, sehingga ia akan cegah si Pendekar Mabuk untuk tidak mengantarkan Teratai Kipas sampai ke Majageni.

Banyak wanita yang tergila-gila dengan Suto Sinting dan menjadi benar-benar sinting.

Tapi yang sintingnya kelewat batas hanya ada dua wanita; Sumbaruni dan Angin Betina. Kecemburuannya sangat tinggi, nyawanya siap dikorbankan demi kecemburuan dan kesetiaan.

Kepada dua wanita itu Pendekar Mabuk sudah berterus terang bahwa ia tak bisa membalas cinta dan kemesraan mereka, yang dapat dilakukan hanya persahabatan yang amat erat. Kepada keduanya juga sudah dijelaskan bahwa Suto Sinting hanya mencintai satu wanita di dunia yaitu Dyah Sariningrum.

Tetapi mereka berdua tetap nekat mencintai Suto Sinting. Cinta itulah yang dianggap cinta asmara sinting yang tak mau tahu kepada siapa hati Suto tertuju penuh kesetiaan. Mereka hanya berharap, moga-moga di perjalanan cinta Suto kandas dan beralih kepada mereka.
Padahal Suto Sinting yakin betul bahwa cintanya kepada Dyah Sariningrum tak akan kandas di tengah jalan. Ketika Teratai Kipas menanyakan padanya,

"Apakah betul kau akan menikah dengan Dyah Sariningrum?"

Suto Sinting menjawab,

"Ya. Tapi aku harus kalahkan dulu Siluman Tujuh Nyawa, si tokoh sesat yang tak akan insaf itu. Kepala tokoh sesat yang amat keji itulah maskawin yang akan kupersembahkan kepada Dyah Sariningrum."

"Bagaimana jika kau gagal memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa?"

"Tak akan gagal!" jawab Suto penuh keyakinan.
"Cepat atau lambat, Siluman Tujuh Nyawa harus dibinasakan agar tidak mengganggu kedamaian di muka bumi ini!"

"Apakah kau tak ingin beralih kepada perempuan lain?"
"Mengapa kau tanyakan begitu?"
"Sekadar ingin tahu, sebagai bekal jawabanku nanti kepada ayahku."
"Ada apa dengan ayahmu?"
"Dia ingin punya menantu sepertimu!" jawab Teratai Kipas terang-terangan.

"Kalau begitu kau harus mencari seorang calon suami yang berjiwa sepertiku; artinya memerangi kejahatan dan keangkaramurkaan. Jangan mencari calon suami yang beraliran hitam!"

"Ya, aku akan mencarinya walau hal itu sangat sulit!"

Suto Sinting tertawa kecil.

"Tidak sulit kalau kau mau tekun mencarinya. Di muka bumi ini bukan hanya aku pendekar beraliran putih yang punya ilmu tinggi dan berbudi baik. Bahkan ada yang lebih sakti dariku, ada yang lebih baik dariku, ada yang lebih tampan dariku."

"Tapi tidak ada yang lebih sinting darimu!" sahut Teratai Kipas sambil tertawa, Suto Sinting pun melepas tawa wibawa yang menawan hati.

Mereka melangkah menyusuri pantai, karena jalan
tercepat sedikit hambatan untuk menuju Majageni adalah melalui jalan pantai. Tapi karena terik matahari membakar bumi tidak tanggung-tanggung, Suto Sinting memberi usul untuk beristirahat di bawah pohon rindang di depan langkah mereka itu. Teratai Kipas setuju karena semakin lama berjalan dengan Suto Sinting semakin lama pula ia menyimpan kebanggaan dalam hatinya.

Pendekar Mabuk menenggak tuaknya beberapa teguk untuk menghapus dahaga. Teratai Kipas sudah mulai terbiasa meminum tuaknya Suto yang sebenarnya tidak memabukkan itu. Tuak tersebut tersimpan dalam bumbung bambu yang punya kadar tenaga sakti tersendiri, sehingga membuat tubuh menjadi segar, membuat luka menjadi cepat hilang, namun tidak membuat mabuk. Teratai Kipas juga meneguknya beberapa kali, dan badannya terasa lebih segar, rasa lelahnya hilang.

"Lama-lama aku akan ketagihan tuakmu kalau begini caranya," kata Teratai Kipas yang mempunyai nama asli Roro Padmi Wulintang.

"Carilah aku di rimba persilatan jika kau rindu dengan tuakku," kata Suto Sinting sambil duduk di atas batu sebatas lutut. Teratai Kipas ingin mengatakan sesuatu namun urung karena ada suara yang didengar oleh mereka.

"Pendekar muda... tolonglah aku!"

Suara itu sangat jelas didengar oleh telinga mereka. Tapi mereka bingung mencari suara tersebut. Siapa yang bicara, dari mana arahnya, masih belum jelas. Suto
Sinting hanya pandangi Teratai Kipas dan berkata pelan,

"Apakah aku tidak salah dengar?"

"Aku sendiri mendengar suara orang minta tolong padamu. Tapi di mana orangnya? Akan kuperiksa di kerimbunan pohon sebelah sana...!"

Baru saja Teratai Kipas hendak bergerak tiba-tiba suara itu terdengar lagi, kali ini arahnya justru berlawanan dengan arah yang hendak dituju oleh Teratai Kipas.

"Aku di sini, Pendekar Muda. Tolonglah aku...!"

Pendekar Mabuk celingak-celinguk mencari sumber suara. Tak ada manusia di sekeliling mereka. Yang ada hanya gugusan batu-batu pantai, ada yang tingginya sampai sebatas dada manusia dewasa, ada yang hanya setinggi mata kaki saja. Suto Sinting penasaran hingga melompat ke atas batu yang agak tinggi. Wuuut...!

Jleeg...! Dari ketinggian itu ia memandang sekeliling mencari si pemilik suara, tapi ia tidak menemukan siapa-siapa di sana.

"Apakah kau melihat seseorang di balik bebatuan sana?" tanya Teratai Kipas yang masih ada di bawah.

"Tidak ada siapa pun di sana-sini!"

Wuuut...!

Suto Sinting pindah ke batu lain dengan lompatan yang amat cepat karena menggunakan ilmu peringan tubuh. Dari batu ke batu ia melompat mencari sumber suara tadi, namun hasilnya tetap nihil. Ia kembali berada di depan Teratai Kipas. Gadis yang mengenakan pakaian sebatas dada warna hijau muda dan dibungkus jubah kuning kunyit itu sengaja pandangi Suto Sinting dengan curiga. Lalu ia berkata pelan dalam jarak satu langkah dari hadapan Suto Sinting.

"Jangan-jangan kau yang bikin lelucon sekonyol ini?"
"Apakah kau pikir mulutku bergerak saat kita mendengar suara tadi? Perhatikan saja mulutku terus."
"Aku tidak mau," jawab Teratai Kipas sambil tersenyum.
"Kenapa?"
"Semakin lama memperhatikan bibirmu semakin gemetar tubuhku."
"Apa sebabnya?"
"Ingat bibir kekasihku yang telah tiada."

Suto Sinting tersenyum. "Apakah bibirku sama dengan bibir kekasihmu?"

"Justru jauh berbeda, makanya aku jadi ingat dia!" Jawab Teratai Kipas seenaknya saja dalam menjawab.

Padahal yang benar bibir Suto jika terlalu lama dipandang terlalu cepat hadirkan debar-debar keindahan hati yang akan menuntut batin untuk mengecupnya pelan-pelan. Teratai Kipas tak mau terpikat, karena ia tahu tak akan mendapatkannya walau sekejap pun.

Suara aneh terdengar lagi pada saat Teratai Kipas kepergok senyuman Suto Sinting yang menawan hati itu.

"Pendekar muda, hentikan kemesraanmu, tolonglah aku! Tolonglah...!"

Sekali lagi Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas tengok sana-sini dan tetap tak ada manusia lain kecuali mereka berdua. Di laut hanya ada ombak yang tidak terlalu besar. Tak ada manusia berdiri di atas gelombang lautan.
Akhirnya Suto Sinting mencoba bicara dengan si pemilik suara itu.

"Apakah kau mendengar suaraku juga?"
"Aku sangat mendengarnya, Pendekar Muda!"

Jawaban itu membuat Suto kembali beradu pandang dengan Teratai Kipas. Kemudian Pendekar Mabuk berbisik, "Jangan-jangan ada orang yang menggunakan Ilmu 'Suara Gaib', yaitu bicara dari jarak jauh melalui getaran angin."

"Apakah ilmu semacam itu memang ada?"

"Ya. Ada beberapa tokoh tua yang dulu mempunyai ilmu itu. Ada yang sudah hilang, ada yang masih menjaga keutuhan suara seperti itu. Salah satu di antaranya adalah Palupi, yang dulu dikenal dengan nama Tandu Terbang, murid dari Pendeta Arak Merah dari Tibet."

Rupanya percakapan itu didengar oleh seseorang yang tadi bicara, sehingga orang itu berkata kepada Suto Sinting,

"Aku tidak memiliki ilmu 'Suara Gaib' seperti itu, Pendekar Muda! Aku ada di dekatmu. Di pantai ini juga!"

Tentu saja kata-kata itu membuat Suto dan Teratai Kipas sama-sama terperanjat. Mereka kembali tengok sana-sini, namun tetap saja tak melihat sesosok manusia lain di situ.

"Suaranya jelas suara lelaki tapi wujudnya tak bisa kulihat?" bisik Teratai Kipas. "Cobalah bicara terus dengannya aku akan melacak sumber suara tersebut. Pancing dia agar jangan berhenti bicara."

Suto Sinting mengangguk. Terdengar suara Suto bicara tak jelas arah pandangannya.

"Siapa namamu, Sobat?"
"Aku yang berjuluk Bancak Doya!"
"Apakah kau mengenalku juga?"
"Tidak. Tapi melihat perawakanmu aku yakin kau seorang pendekar budiman."
"Kau terlalu memujiku, Bancak Doya! Kalau boleh kutahu, kau orang mana? Apa nama perguruanmu?"
"Aku ketua Perguruan Beruang Maut."

"O, ketua perguruan?! Lantas apa maksudmu mendatangiku dengan keadaan tak mau menunjukkan dirimu, Bancak Doya?"

Sementara itu, Teratai Kipas berjalan pelan-pelan menyusuri datangnya suara Bancak Doya itu. Semakin ke arah pantai semakin jelas suara yang didengarnya.
Terdengar pula Bancak Doya berkata,

"Aku bukan tak mau menunjukkan diriku, tapi... Inilah kesulitanku, Pendekar Muda. Justru itu aku ingin minta tolong padamu."

"Apa yang harus kuperbuat untuk menolongmu?"
"Sempurnakanlah kematianku."
"Apa...?!" Suto Sinting terkejut.

Teratai Kipas berlari mendekati Suto dengan tegang. Kedua wajah tegang itu saling beradu pandang. Teratai Kipas berbisik,

"Kulihat bayangannya di balik batu itu. Tapi tak ada wujud manusianya."
"Dia sembunyi di batu yang lain!" bisik Suto juga.
"Tidak ada. Yang kulihat hanya bayangannya di tanah."

Suto Sinting bergegas ke tempat yang dimaksud Teratai Kipas. Matanya memandang ke arah pasir pantai. Di sana memang ada bayangan manusia berdiri. Tapi wujud manusia itu sendiri tidak terlihat mata mereka.

Orang yang tampak bayangannya itu bertubuh kurus dan agak jangkung. Benarkah begitu? Suto Sinting memandang ke langit karena menduga orang itu ada di angkasa atau di atas pohon. Mungkin saja berdiri di atas selembar daun.

"Aku tidak terlihat, Pendekar Muda," kata suara Bancak Doya, kali ini amat dekat dengan Suto Sinting, seakan ada di samping kanannya. Suto yang terheran-heran segera menyipitkan mata untuk memandang sesuatu yang mungkin tak bisa terlihat oleh mata telanjang. Tetapi sesuatu itu tidak ada dalam pandangannya.

"Bancak Doya, apa sebenarnya yang terjadi pada dirimu?" tanya Suto.

"Kematianku tidak sempurna, Pendekar Muda.Tolonglah sempurnakan kematianku agar tak membuatku bergentayangan begini."

Teratai Kipas bergidik merinding, tapi ia ikut bertanya, "Kematian yang bagaimana sebenarnya? Maukah kau menceritakannya kepada kami?"

Untuk sesaat yang terdengar hanyalah debur ombak siang. Bayangan hitam di pasir pantai bergerak. Lama-lama bayangan itu lenyap tak berbekas.

"Bayangannya hilang?!" ucap Teratai Kipas dengan nada heran dan tegang.

Tapi suara Bancak Doya terdengar kembali, "Aku ada di bawah pohon, jadi bayanganku tak terlihat, Nona. Jika aku di bawah terik matahari maka bayanganku akan timbul lagi."

"Mengapa bisa begitu?" tanya Suto Sinting mulai menenangkan diri.
"Aku tidak tahu mengapa bisa begini, yang jelas aku merasa telah mati akibat suatu pertarungan."
"Kau bertarung melawan siapa, Bancak Doya?"

Suara yang bernada tua tapi belum terlalu lanjut usia itu terdengar lagi,

"Seorang pencuri ingin menjarah harta pusakaku. Aku melawannya, tapi ilmunya cukup tinggi. Tenaga dalamnya besar sekali. Lima anak buahku mati dalam satu gebrakan. Aku sendiri berhasil dilumpuhkannya."

"Bagaimana caranya mengalahkan dirimu? Bukankah kau ketua perguruan? Berarti ilmumu tinggi."

"Pencuri itu mempunyai ilmu lebih tinggi dariku. Dia menikamkan pisaunya ke punggungku. Sebenarnya tak terlalu parah. Tikamannya sempat kuhindari, tapi punggungku tergores pisau itu. Dan tahu-tahu aku tak bisa menyentuh benda apa pun. Aku melarikan diri menabrak pohon. Tapi pohon itu ternyata bisa kutembus dengan tubuhku. Aku terkejut, lalu menyadari bahwa sisa anak buahku tak bisa melihatku lagi. Mereka menganggapku telah mati tanpa meninggalkan jasad. Mayatku tak ada, sehingga mereka tak bisa
menguburku."

Nada suara itu kian lama semakin terdengar mengharu. Suto Sinting tarik napas dalam-dalam, demikian pula Teratai Kipas. Setelah diam beberapa saat Suto Sinting berkata,

"Menyedihkan sekali nasibmu. Tapi kau bisa melihatku dengan jelas?"

"Jelas sekali," jawab Bancak Doya. "Selama tujuh hari beberapa orang masih bisa melihatku, namun tak bisa menyentuhku, juga tak bisa kusentuh. Aku seperti bayangan tanpa raga. Lewat dari tujuh hari barulah mereka merasa kehilangan aku, dan aku hanya bisa melihat bayanganku. Aku berusaha mencari kesempurnaan dalam kematianku, tapi tak seorangpun mampu menyempurnakan kematian ini. Jika kau bisa,tolonglah aku, Pendekar Muda! Sempurnakan kematianku ini jika memang aku harus mati, dan jika memang aku masih hidup, pulihkanlah keadaanku seperti semula."

"Aku...," Suto Sinting diam sebentar, seperti ragu mengatakan sesuatu. Sesaat kemudian barulah ia berkata, "Aku tak mengerti apa yang harus kulakukan untuk dirimu, Bancak Doya. Tapi... sebaiknya akan kucoba menggunakan Ilmu 'Sembur Siluman' yang kumiliki! Bergeraklah ke bawah sinar matahari biar kulihat bayanganmu."

Maka terdengarlah suara napas Bancak Doya yang bergerak menuju tempat panas. Bayangannya terlihat dibatu setinggi dada. Suto Sinting segera menenggak tuaknya. Sebagian ditelan, sebagian disisakan di mulut.
Tuak yang di mulut segera disemburkan ke arah bayangan yang menempel pada batu itu.

Bwwruus...!

Bayangan itu lenyap. Suto Sinting dan Teratai Kipas menunggu kemunculan wujud raga Bancak Doya, tetapi hingga beberapa saat wujud raga itu tak terlihat. Suto Sinting mencoba bertanya, "Bancak Doya, kau masih melihatku?!"

Tak ada jawaban, tak ada suara. Suto Sinting heran dan bertanya dalam hati, "Mungkinkah kematiannya telah menjadi sempurna?"

***2
NAPAS Sumbaruni terengah-engah. Bukan karena lelah berlari menyusul Pendekar Mabuk, tapi karena diburu oleh kecemburuan yang membuatnya terpaksa menahan napas, menahan kemarahan sendiri. Ia berhenti pada satu ketinggian tebing. Dari atas tebing landai itu ia dapat memandang ke bawah, mencari kemungkinan kelebatannya si pendekar tampan itu. Tapi yang dicari tidak kelihatan selintas bayangannya pun.

"Mungkinkah mereka sudah sampai ke Istana Majageni? Apakah Teratai Kipas juga mampu imbangi gerak lari cepatnya Pendekar Mabuk? Hmm... menurut teropong batinku, Teratai Kipas tidak mampu imbangi kecepatan Suto Sinting. Aku sendiri sering tertinggal jika mengikuti gerak larinya yang sinting itu!" pikir Sumbaruni sambil menatap ke sana-sini.

Kejap berikut wanita yang masih tampak muda dan cantik itu terperanjat oleh suara langkah kaki yang berhenti di belakangnya, ia buru-buru palingkan wajah sambil siap-siap lepaskan pukulan jarak jauhnya. Tapi niat melepaskan pukulan jarak jauh tertahan begitu tahu siapa orang yang muncul di belakang.

"Celana kolor masuk ke tungku Hangat sebentar disangka nasi Kalau tak salah dugaanku Engkaulah si cantik Sumbaruni.''

Napas bekas istri jin itu terhempas lega. Ternyata orang itu adalah Resi Pakar Pantun yang sudah mengenal Sumbaruni sejak dulu. Di belakang sang Resi berdiri seorang lelaki kurus pendek berusia sekitar empat puluh tahun. Sumbaruni mengenal lelaki itu yang tak lain adalah pelayan si Resi Pakar Pantun yang bernama Kadal Ginting, (Tentang Resi Pakar Pantun, baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Telur Mata Setan").

"Apa maksudmu menemuiku di sini, Pakar Pantun?!"

"Hanya kebetulan saja," jawab sang Resi dengan santai. "Aku mencari si Malaikat Miskin. Dia lari dari pertarungannya denganku. Apakah kau melihat gelagat si Malaikat Miskin, Sumbaruni?"

"Tidak," Jawab Sumbaruni pendek dan tegas. Tapi hati Sumbaruni segera membatin, "Resi Pakar Pantun mencari Malaikat Miskin? Ada persoalan apa sehingga Malaikat Miskin dibuatnya lari terbirit-birit?"

Terdengar suara sang Resi bicara pada Kadal Ginting,

"Rupanya musuh kita lari ke liang semut, Kadal Ginting!"

"Tak boleh dibiarkan begitu saja, Eyang Resi! Harus dicari sampai dapat daripada kelak bikin duri dalam hidup kita setelah kita mendapatkan Telur Mata Setan!"

Sumbaruni terperanjat dalam hatinya. Ia segera ingat bahwa Resi Pakar Pantun juga mencari Telur Mata Setan untuk sembuhkan sakit muridnya yang juga terkena 'Racun Ludah Naga' itu. Maka dengan cepat Sumbaruni berkata,

"Jika kalian ingin mencari Telur Mata Setan, sama saja kalian mencari bulu angin. Artinya, apa yang kalian cari tidak akan kalian dapatkan, karena Telur Mata Setan sudah kutelan dan membuatku menjadi seperti sediakala begini. Tidakkah kalian tahu bahwa bocah kecil yang digendong Selendang Kubur saat kalian datang ke pesanggrahan Betari Ayu itu adalah aku?"

"Ooo... pantas, pantas...," kata Resi Pakar Pantun.

"Aku memang merasa pernah melihatmu belum lama ini, tapi di mana? Dan baru kuingat ternyata kau telah menjadi kecil dan digendong-gendong oleh Suto Sinting serta Selendang Kubur!" Resi Pakar Pantun mangigut-manggut.

Kadal Ginting menyahut kata, "Eyang Resi... kalau begitu kita gagal mencarikan obat penawar racun yang diderita Tuanku Nanpongoh?!"
Wajah tua Resi Pakar Pantun yang berbaju biksu warna abu-abu itu menjadi murung. Kecerahannya pudar berganti selaput duka membias di mata. Mata itu memandang jauh bagai menerawang di gumpalan awan duka. Tak lama terdengar pula suaranya yang lirih, seakan bicara pada dirinya sendiri.

"Celana kolor robek tengahnya Ditambal nasi masih terbuka jua Bagaimanapun kita hanya bisa berusaha Tapi kematian bukan kita penentunya."

Sumbaruni masih diam saja, bagaikan sedang merenungi pantun sang Resi. Tapi kejap berikutnya ia mendengar suara Kadal Ginting yang ikut-ikutan bermain pantun dalam wajah duka pula.

"Celana kolor dibungkus pisang daun Robek daunnya tinggal pisangnya...."

Lalu diam sesaat bagai berpikir. Resi Pakar Pantun tertarik dan segera bertanya pelan,

"Apa maksudmu, Kadal Ginting?"
"Maksudnya yaaah... cuma sekadar memberi tahu kalau pisang itu bisa dibungkus dengan daun. Itu saja!"

Plaaak...! Tiba-tiba tangan Resi Pakar Pantun menampar wajah Kadal Ginting. Tamparan pelan tapi tenaga besar, tak heran membuat Kadal Ginting terjungkal ke samping sambil mengerang keaakitan.

"Lain kali kalau bikin pantun harus ada artinya!" hardik Resi Pakar Pantun. "Misalnya begini: " Celana kolor dibungkus pisang daun, robek daunnya tinggal pisangnya. Biar kecewaku sampai ke ubun-ubun, tapi masih ada pikiran untuk tugas lainnya'. Begitu, Tolol!"

"O, jadi begitulah contoh pantun tolol, Eyang Resi?"

"Hmmrrr...!" sang Resi menggeram jengkel karena penjelasannya disalahartikan. Tapi ia segera tidak pedulikan lagi akan kebodohan Kadal Ginting. Matanya menatap Sumbaruni kembali yang sejak tadi ingin tertawa tapi ditahan terus hingga mengulum senyum dan buang muka.

"Sumbaruni, maukah kau membantuku mencari Malaikat Miskin dan muridnya si Menak Goyang?"

"Apa persoalannya?"

"Baru sekarang kuingat bahwa Malaikat Miskin membunuh adikku dan merebut pusaka Pisau Tanduk Hantu. Aku harus membalaskan kematian adikku dan merebut kembali pisau tersebut."

"Itu urusan pribadimu, mengapa kau ingin melibatkan diriku juga?"

"Jujur saja kukatakan padamu, aku belum tahu di mana tempat Malaikat Miskin membangun perguruannya. Daripada aku membuang waktu, lebih baik aku minta bantuanmu untuk mengantarku ke perguruannya. Barangkali saja kau tahu di mana letak perguruan si Malaikat Miskin itu. Tapi jika kau tidak tahu, aku tidak memaksamu dan akan kucari sendiri tempatnya itu."

Sumbaruni diam berpikir, ia masih ingat di mana letak Perguruan Tongkat Sakti yang diketuai oleh Malaikat Miskin itu. Ketika ia berubah menjadi bocah, ia pernah disandera di perguruan itu, sehingga ia masih ingat jalan menuju tempat tersebut. Hal yang dipikirkan Sumbaruni adalah: Haruskah ia ikut terlibat dalam perburuan pusaka Pisau Tanduk Hantu itu?

Menunggu jawaban dari Sumbaruni tak kunjung tiba, Resi Pakar Pantun berkata,

"Celana kolor bersulam benang paku Digondol anjing dibuat jamu Tak ada ruginya kau menolongku Hadiah besar kan kuberikan padamu."

Sungging senyum tipis berkesan sinis mekar di bibir manis Sumbaruni. Ia tak begitu tertarik dengan janji sang Resi. Tetapi ia penasaran dan ingin tahu bentuk hadiah yang akan diberikan padanya.

"Apa hadiah yang akan kau berikan padaku? Aku ingin tahu."

Resi Pakar Pantun menjawab, "Kunikahkan kau dengan pelayanku yang ganteng ini; Kadal Ginting!"

"Ah, Jangan begitu, Eyang...!" Kadal Ginting bersungut-sungut malu.

Sumbaruni menarik napas sesak dan berkata,

"Apakah kau bicara menggunakan mulut dan pikiran? Atau hanya menggunakan mulut dan gigimu, Pakar Pantun?"

"Mengapa kau tersinggung? Apakah kau tak melihat bahwa wujud Kadal Ginting ini tak berapa jauh bedanya dengan Pendekar Mabuk?"

"Memang tak seberapa jauh, tapi untuk menjangkaunya bagaikan harus uluran tangan dari sini ke rembulan. Kau menghinaku jika menawarkan hadiah seperti kepompong retak itu, Pakar Pantun!"

"Jangan menghinaku, Sumbaruni!" bentak Kadal Ginting. "Aku bukan seperti kepompong retak!"

"Maaf, aku jengkel dengan tuanmu itu, Kadal Ginting!" sesal Sumbaruni.

Kadal Ginting segera berpantun,

"Celana kolor tersangkut getek Hanyut terbawa air singgah di benua Biar begini rupaku yang jelek Tapi sekali lirik, perawan sedesa ikut semua."

Resi Pakar Pantun sebenarnya ingin tertawa mendengar rangkaian syair pantun itu, tapi karena bayangan kegagalannya kian nyata, rasa tawa itu terpendam amat dalam, rasa murka tumbuh membara. Sasaran murkanya tertuju pada Malaikat Miskin, sehingga ia pun segera berkata kepada Sumbaruni,

"Sumbaruni, aku mempunyai pusaka Jarum Jungkir Juling. Jika kau mau antarkan aku ke tempat Malaikat Miskin, kuberikan Jarum Jungkir Juling kepadamu."

Resi Pakar Pantun segera mengambil pusaka yang dimaksud. Caranya dengan mengurut jari tengah kanannya. Satu kali urut pelan-pelan, dari ujung jari itu muncul sepucuk Jarum warna putih mengkilat. Wut...!

Jarum itu dicabut dari ujung jari tengah. Panjang jarum hanya seukuran tinggi kelingking.

"Jarum Jungkir Juling ini," katanya sambil mendekat dan menunjukkan Jarum tersebut, "...jika kau sentakkan dengan menahan napas di dada, maka akan keluar dari ujung jari tengahmu tiada habis-habisnya. Orang yang terkena Jarum Jungkir Juling punya dua kemungkinan; kalau tidak terjungkir langsung mati, ya matanya jadi juling seumur hidup. Tak ada ruginya kau memiliki jarum ini. Hanya dalam keadaan terpaksa saja kau bisa pergunakan secara diam-diam, tanpa diketahui oleh lawan."

Kepala gadis yang sudah bukan gadis itu manggut-manggut empat hitungan. Suaranya terdengar pelan,bagaikan malas-malasan terucapkan,

"Boleh, boleh, boleh... lumayan juga kesaktian jarummu ini, Resi!"

"Akan kuberikan padamu jika kita sudah tiba di depan perguruannya Malaikat Miskin. Aku berjanji dan tak akan ingkar padamu, Sumbaruni!"

Terbayang selintas kekasaran Malaikat Miskin saat Sumbaruni kecil ada di tangannya, yang menangis mencari Suto Sinting tapi justru ditampar mulutnya oleh Malaikat Miskin, maka Sumbaruni pun menyetujui perjanjian tersebut.

"Tugasku hanya mengantarmu sampai di perguruan
itu, aku tak mau ikut campur di dalamnya!"

"Baik. Begitu saja sudah cukup menolongku!" kata
Resi Pakar Pantun.

"Tapi..., tunggu dulu," kata Sumbaruni sebelum mereka bergegas pergi. "Seingatku aku ditawan oleh Malaikat Miskin karena ia menuduh Suto Sinting sebagai pencuri pusakanya. Jadi kurasa Pisau Tanduk Hantu tidak ada di tangan Malaikat Miskin. Pisau itu di tangan seorang pencuri, entah siapa pencurinya. Yang jelas bukan Suto Sinting, sebab kala ia dituduh mencuri pusaka itu, ia ada bersamaku dan mencuri bukan merupakan sifat yang dimiliki oleh Suto Sinting!"

"Pikiranmu masih muda, Sumbaruni. Tak tahukah kau bahwa Malaikat Miskin itu orang licik? Mungkin saja ia sebarkan kabar tentang hilangnya Pisau Tanduk Hantu supaya orang-orang anggap ia sudah tidak berpusaka Pisau Tanduk Hantu. Dengan begitu tak ada orang yang mengusik ketenangannya dalam memiliki pusaka itu. Padahal sebenarnya Pisau Tanduk Hantu masih ada di tangannya, entah disembunyikan di mana!"

"Kalau memang menurut keyakinanmu begitu, terserah. Tapi tugas membawamu sampai di depan gerbang Perguruan Tongkat Sakti akan kukerjakan, dan jika kau ingkar janji tentang Jarum Jungkir Juling itu, kau akan berurusan denganku lebih parah lagi, Pakar Pantun!" ancam Sumbaruni yang merasa masih mampu menandingi kesaktian Resi Pakar Pantun.

Sumbaruni dan Resi Pakar Pantun tak mengerti bahwa kala itu Malaikat Miskin berpisah arah dengan muridnya; Menak Goyang. Sang murid kembali ke perguruan dan kerahkan bala bantuan untuk menyerang Bukit Kopong, sedangkan sang Guru sempatkan diri mencari Suto Sinting dan ingin membujuknya agar ikut membantu menyerang orang-orang Bukit Kopong.

Sebab dalam hatinya, Malaikat Miskin punya keyakinan bahwa pencuri pisau pusaka itu dari tangannya adalah salah satu orang Bukit Kopong yang dipimpin oleh Cukak Tumbila, saudara seperguruannya sendiri.
Sedangkan Malaikat Miskin sendiri belum berhasil melacak kepergian Suto Sinting si Pendekar Mabuk, murid si Gila Tuak itu, karena ia salah arah. Ia pergi ke arah barat, sedangkan Suto Sinting dan Teratai Kipas ke utara. Biar sampai buntung semua jari kakinya tidak akan ketemu jika salah satu tidak membelok arah yang sama.

Pendekar Mabuk bukan malah bertemu dengan Malaikat Miskin, melainkan justru bertemu dengan gadis berambut pirang. Jubahnya warna merah jambu transparan, hingga terbayang jelas bagian di balik jubah itu. Pakaian dalamnya hanya menutup bagian dada yang terpenting saja, juga bagian lain yang terpenting.

Kain kuning yang menutup bagian terpenting itu hanya seukuran setelapak tangan saja, sisanya tali melingkari tubuh sebagai pengikat kain kuning. Gadis berambut pirang panjang dan bertubuh elok menantang selera itu tak lain adalah Jelita Bule, anak buah Ratu Rangsang Madu yang pernah diutus untuk mencari Suto Sinting pada saat sang Ratu terkena 'Racun Bulan Madu' dari Nyai Sunti Rahim, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam serial : "Tabib Darah Tuak").

Melihat pelarian Jelita Bule yang tampak terburu-buru dan masih menggenggam pedang di tangannya, Pendekar Mabuk segera tanggap dan mengetahui adanya kesulitan yang dialami oleh Jelita Bule. Ia segera melesat dan menghadang langkah Jelita Bule. Tentu saja gadis berusia dua puluh tiga tahun yang bermata kebiru-biruan itu terhenti dengan kaget, tapi segera menjadi lega setelah mengetahui orang yang menghadangnya adalah Pendekar Mabuk.

"Oh, syukurlah aku bertemu denganmu, Suto Sinting!" ujar Jelita Bule dengan napas terengah-engah diburu ketegangan. Matanya yang berbulu lentik indah itu melirik Teratai Kipas dengan curiga.

Teratai Kipas sendiri punya cara memandang yang kurang bersahabat, sehingga Suto Sinting terpaksa menjelaskan kepada Teratai Kipas tentang siapa Jelita Buie itu, dan menjelaskan kepada Jelita Bule tentang siapa Teratai Kipas. Hal itu dilakukan Pendekar Mabuk supaya tidak timbul saling salah paham dalam bersikap.

"Tampaknya kau dalam ketegangan yang mencekam, Jelita Bule. Apa yang telah terjadi pada dirimu?" tanya Pendekar Mabuk setelah meneguk tuaknya.

"Seseorang ingin membunuhku!" jawab Jelita Bule setelah tarik napas panjang-panjang. Sambungnya lagi.

"Sebetulnya aku diutus mencarimu oleh Gusti Ratu Rangsang Madu untuk sampaikan undangan perkawinan beliau. Tapi di perjalanan aku dan Pesona Indah dihadang oleh orang dekil yang ingin perkosa kami berdua. Kami melawan, tapi rupanya orang itu cukup sakti. Akhirnya aku segera melarikan diri, karena merasa ilmuku tak bisa tandingin ilmunya."

"Orang dekil?!" gumam Pendekar Mabuk sambil tundukkan kepala dan kerutkan dahi. Sebentar kemudian ia pandangi Teratai Kipas, seakan ingin minta pendapat pada Teratai Kipas tentang si orang dekil itu. Tapi Teratai Kipas tidak memberikan jawaban apa-apa.
Suto Sinting segera bertanya, "Lalu di mana Pesona Indah? Kau tinggalkan?"

"Dia terluka, tapi dia pun lari ke arah lain dan orang itu masih mengejar Pesona Indah. Hanya saja ketika ia melihatku, ia berbalik mengejarku dan aku harus segera selamatkan diri. Dia...."

Kata-kata itu terhenti, berubah menjadi kata-kata kaget, "Itu dia...!"

Teratai Kipas sempat terlonjak kaget dan cepat pasang kuda-kuda untuk menghadang bahaya, sebab yang dituding Jelita Bule adalah arah belakangnya.

Namun ketika Teratai Kipas berbalik ke belakang dan mengetahui yang datang adalah seorang gadis berpakaian tipis membayang seperti Jelita Bule, Teratai Kipas segera yakin bahwa gadis itu pasti teman Jelita Bule yang namanya sedang dipertanyakan oleh Pendekar Mabuk itu.

"Pesona Indah...?! Kau tidak apa-apa?!" Jelita Bule menghampirinya.

Pesona Indah mundur selangkah dan berkata, "Jangan dekati aku!"

Kata-kata itu bernada tegas tapi mengandung kesedihan. Pendekar Mabuk mendekati Jelita Bule yang terhenti seketika dalam jarak empat langkah sebelum mencapai Pesona Indah yang tampak berpakaian dalam warna kuning dan jubah tipisnya warna biru, berwajah mungil cantik, berambut hitam sepundak dengan poni di depan merata rapi.

Mereka heran melihat Pesona Indah yang murung itu
tak mau didekati. Jelita Bule segera berkata, "Aku tahu kau terluka. Tapi kurasa kita sudah jumpa dengan Tabib Darah Tuak dan lukamu akan disembuhkan, Pesona Indah. Mengapa kau larang kami untuk mendekatimu?"

"Tuak itu tak ada gunanya lagi bagiku! Tak akan bisa menolongku karena...," Pesona Indah diam, dan akhirnya menangis dengan tundukkan wajahnya.

"Karena apa, Pesona Indah?!" desak Suto Sinting penasaran.

"Karena... karena aku tak bisa menelan tuak lagi," Jawab Pesona Indah bersama tangisnya.

"Aku tak mengerti maksud kata-katamu. Jelaskan, Pesona Indah!" desak Pendekar Mabuk sambil maju dua langkah.

Gadis itu tidak menjawab, tapi ia menghampiri pohon yang ada di sampingnya. Lalu ia menggerakkan tangannya memukul pohon besar itu dengan gerakan lambat sekali. Bluuusss...! Tangan itu menembus pohon.

Mata mereka yang memandang menjadi terbelalak kaget dan heran. Mereka semakin tertegun setelah melihat Pesona Indah melangkah dan mampu menembus pohon tanpa mengguncangkan pohon itu sedikit pun. Ia menembus pohon bagai sesosok bayangan tanpa raga.

"Apa yang terjadi pada dirimu sebenarnya, Pesona Indah?!" gumam Jelita Bule dengan terheran-heran.

"Aku sudah tidak mempunyai raga lagi."
"Kau menjadi manusia tembus pohon?!"

"Lebih parah dari itu, aku tidak bisa menyentuh apa pun. Tak bisa merasakan memegang pedang atau memegang batu. Lihatlah...!"

Pesona Indah mengangkat batu seukuran kepalanya, tapi batu itu tidak bisa terangkat karena tidak terpegang oleh Pesona Indah.

Tangannya bagaikan bayangan yang dapat menembus batu, sehingga batu itu tak mampu disentuhnya sedikit pun.

"Ya, ampuuun... kau... kau...," Jelita Bule sukar bicara karena tegangnya.

Teratai Kipas yang sejak tadi diam saja dan ikut terheran-heran itu segera tarik napas panjang-panjang dan berkata, "Aku tahu apa yang telah terjadi."

Suto Sinting dan Jelita Bule pandangi Teratai Kipas dengan masing-masing dahi berkerut. Tapi sebelum Teratai Kipas bicara, tiba-tiba mereka mendengar suara tanpa rupa yang berkata;

"Nasibmu sama dengan nasibku, Nona!" Sekali lagi mereka terkejut. Tapi Pendekar Mabuk yang cerdas itu cepat menghapal suara tersebut, sehingga ia berseru,

"Bancak Doya...?! Kaukah yang bicara itu?!"
"Benar, Pendekar Muda! Aku Bancak Doya!"
"Bukankah kematianmu telah kusempurnakan dengan semburan tuakku?"

"Belum, Pendekar Muda! Semburan tuakmu hanya dapat melenyapkan bayanganku. Tapi suaranya masih bisa kau dengar, bukan? Berarti kematianku belum sempurna, Pendekar Muda!"

"Suto, siapakah orang yang bicara tanpa rupa itu?" tanya Jelita Bule.
Pendekar Mabuk belum sempat menjelaskan sudah terdengar suara Bancak Doya yang agaknya bicara pada Pesona Indah,

"Nona jubah biru, apakah kau melihatku saat ini?"
"Tid... tidak...!"

"Nanti kau akan melihatku kalau kau sudah berbentuk bayangan, dan mungkin juga setelah bayanganmu hilang. Ketahuilah, Nona jubah biru, dulu aku juga menjadi manusia tembus benda. Tak bisa memegang apa-apa. Tapi dalam tujuh hari kemudian orang-orang tak bisa melihatku, hanya bisa melihat bayanganku saja dan mendengar suaraku. Sekarang bayanganku sudah tidak terlihat lagi, tapi rupanya suaraku masih bisa didengar. Percayalah Nona jubah biru... kau akan mengalami urutan kejadian seperti yang kualami."

Pesona Indah semakin menangis, semua orang yang ada di situ bisa melihat sosok Pesona Indah tundukkan kepala dalam wajah dukanya. Suto Sinting dan dua wanita cantik yang berdiri di kanan-kirinya itu sama-sama tertegun, sepi dan hening beberapa saat lamanya, sampai akhirnya terdengar lagi suara Bancak Doya yang berkata kepada mereka semua,

"Nasib Nona jubah biru itu tak akan bisa tertolong lagi. Sebaiknya relakan saja ia mengalami hal yang sedang kualami ini."

"Akan kusembur dengan tuakku!" sambil Suto Sinting buru-buru hendak menenggak tuaknya. Tetapi suara Bancak Doya terdengar lagi,

"Percuma, Pendekar Muda...! Semburan tuakmu akan mempercepat Nona Jubah biru menjadi bentuk bayangan. Kau sembur lagi bayangan itu akan lenyap, dan suaranya tetap ada. Entah sampai kapan suaranya bisa kau dengar terus, seperti suaraku saat ini."

Pendekar Mabuk ragu, akhirnya tak jadi semburkan tuaknya. Pesona Indah berkata, "Aku harus menghadap Guru! Kuadukan hal ini kepada Guru!"

Plaaasss...! Pesona Indah berlari menembus pepohonan dan semak, apa saja diterjangnya tanpa menimbulkan angin dan gerakan lain.

"Ilmu apa yang membuat nasibnya menjadi seperti itu?" tanya Suto Sinting sambil matanya memandang Teratai Kipas.

***3
SEPERTI dugaan Teratai Kipas, sebuah pisau telah menggores lengan Pesona Indah. Memang begitulah menurut pengakuan Jelita Bule. Lawannya yang disebut sebagai laki-laki dekli itu bersenjatakan sebuah pisau.

Ciri-ciri pisau itu adalah bergagang tanduk rusa purba warna kuning kecoklatan. Mata pisau runcing dari logam baja hitam. Panjangnya dari ujung sampai gagang sekitar dua jengkal. Sarung pisau itu juga terbuat dari tanduk rusa purba yang berukir.

"Itulah yang dinamakan Pisau Tanduk Hantu!" kata Teratai Kipas membuat suasana menjadi sepi sejenak karena mereka saling terkesima.

Jelita Bule bertanya, "Dari mana kau tahu tentang Pisau Tanduk Hantu?"

"Bekas guruku; Ki Selo Gantung, pernah menceritakan Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh Malaikat Miskin. Tapi menurut Guru, pisau itu dulu bekas milik seseorang yang berhasil direbut oleh Malaikat Miskin."

"Apakah kau tahu kehebatannya?"
"Tentu saja tahu," jawab Teratai Kipas dengan tegas.

"Pisau itu cukup digoreskan pada tubuh lawan. Sedikit goresan saja sudah bisa membuat lawan menderita luka seperti yang dialami oleh Pesona Indah dan Bancak Doya. Siapa pun yang tergores Pisau Tanduk Hantu tubuhnya akan berubah menjadi bayangan selama tujuh hari. Ia bisa dilihat tapi tak bisa disentuh dan juga tak bisa menyentuh apa pun. Selama tujuh hari menjadi bayangan, ia tetap bisa kirimkan suaranya kependengaran kita. Setelah tujuh hari, bayangan itu akan lenyap dan orang tersebut hanya bisa didengar suaranya saja tanpa bisa dilihat bentuknya. Setelah tujuh hari lagi, orang tersebut tak akan bisa didengar lagi suaranya karena ia sudah berada di alam kelanggengan. Alam kematian yang abadi!"

"Kenapa baru kau katakan sekarang?" tanya Suto Sinting bernada gerutu.

"Aku baru ingat kata-kata mendiang guruku setelah melihat dua korban; Bancak Doya dan Pesona Indah itu," jawab Teratai Kipas.
"Lalu, siapa pemilik pisau itu?"
"Si orang dekil itu!" kata Jelita Bule menyahut dengan geram tertahan.

"Seperti apa ciri-cirinya?" tanya Teratai Kipas.

"Mungkin Bancak Doya mengenalnya," kata Suto Sinting. "Sayang sekali dia sudah pergi mengejar Pesona Indah. Mudah-mudahan ia bisa menenangkan hati Pesona Indah yang sangat menderita itu."

"Aku masih ingat ciri-cirinya," sambar Jelita Bule sambil berpaling menatap Suto Sinting dan Teratai Kipas.

"Coba sebutkan apa yang kau ingat, Jelita Bule!"

"Namanya tak kuketahui, tapi yang jelas wajahnya jelek, tak ada manisnya sedikit pun. Rambutnya abu-abu, kepala depan botak, celana merah, bajunya hitam, pendek, dan...."

"Si Maling Sakti!" sergah Teratai Kipas memutus kata-kata Jelita Bule.

"Maling Sakti?!" gumam Suto Sinting.
"Apakah namanya Maling Sakti?"

"Banyak yang memberi julukan begitu. Tapi nama aslinya Durjana Belang. Sebab kalau ia marah wajahnya menjadi merah separo bagian."

"Kalau begitu dugaan kita dulu benar, Teratai," kata Suto Sinting.

"Memang orang itulah yang melarikan Sumbaruni kecil dan mencuri pusaka dari tangan Malaikat Miskin!"

Lalu terbayang kembali wajah si Maling Sakti di benak Suto Sinting. Teratai Kipas pernah dibuatnya hampir mati gara-gara melawan sosok pendek berwajah lugu tapi ternyata berilmu tinggi itu. Lebih lekat lagi bayangan si Maling Sakti setelah Jelita Bule berkata,

"Dia tidak bisa dibunuh, karena berulang kali pedangku menebas dadanya, namun ternyata ia kebal senjata. Kekuatan tenaga dalamnya sangat besar."

"Tentu saja, karena dia telah menelan Batu Sembur Getih!" sahut Teratai Kipas yang segera ingat saat Suto Sinting menuangkan tuaknya untuk obati si Maling Sakti, dan dari dalam bumbung bambunya itu keluar Batu Sembur Getih yang disimpan Suto dalam bumbung itu. Akibatnya batu tersebut tertelan oleh si Maling Sakti, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Telur Mata Setan").

"Maling Sakti bisa menjadi orang berbahaya sekali," kata Suto Sinting bagai menggumam pada diri sendiri.

Tapi setelah itu ia memandang Teratai Kipas dan menyambung ucapannya,

"Selain dia menjadi kebal serta bertenaga dalam ganda karena menelan Batu Sembur Getih, dia juga bersenjata Pisau Tanduk Hantu. Ini sangat berbahaya bagi orang lain. Pasti sikapnya akan semena-mena terhadap siapa saja!"

"Kalau begitu, kita cari dia untuk kita tumbangkan!" kata Jelita Bule.

"Pada dasarnya memang begitu, tapi bagaimana cara melawan orang yang berkekuatan ganda seperti Durjana Belang itu?" ujar Teratai Kipas. "Aku sendiri merasa semakin tak mampu untuk kalahkan ilmunya."
"Aku yang akan menghadapinya!" kata Suto Sinting dengan tegas dan yakin sekali akan kemampuannya.

Tiga sosok itu melesat menuju ke arah sungai. Karena menurut pengakuan Jelita Bule, Maling Sakti bertarung dengannya di tanggul sebuah sungai dan berhasil melukai Pesona Indah di sana juga.

Harapan mereka sebelum mencapai tanggul sungai mereka sudah bisa bertemu dengan si Maling Sakti, sebab Maling Sakti tadi mengejar Jelita Bule. Tapi ternyata yang mereka temui bukan si Maling Sakti, melainkan dua orang yang pernah berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Dua orang itu adalah orang-orang Bukit Kopong juga, anak buah dari Cukak Tumbila yang sangat penasaran untuk dapatkan pusaka peninggalan mendiang Ki Selo Gantung; bekas gurunya Teratai Kipas.

Kedua orang itu adalah Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Dalam kisah Telur Mata Setan' telah diceritakan bahwa Roh Seribu Dewa mulanya bersatu dengan Neraka Berjalan dan Jeprak Kurap. Mereka adalah para pemburu pusaka untuk diperjual-belikan.

Mereka menamakan diri: Tiga Pengawal Iblis. Tetapi setelah kematian Jeprak Kurap di tangan Teratai Kipas, mereka mengambil si Kumis Tengkorak untuk bergabung menjadi Tiga Pengawal iblis. Namun dalam satu pertempuran dengan Pendekar Mabuk, Neraka Berjalan dibunuh oleh Malaikat Miskin, karena Malaikat Miskin ingin menciptakan budi supaya dibalas oleh Suto dengan cara bergabung menyerang orang-orang Bukit Kopong.

Kini yang dinamakan Tiga Pengawal Iblis tinggal dua, yaitu Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Dan agaknya mereka masih penasaran untuk dapatkan pusaka Tongkat Tulang Barong. Mereka menganggap kunci mendapatkan Tongkat Tulang Barong ada di tangan Teratai Kipas.

Tak heran jika mereka menyerang Teratai Kipas untuk mencederai wanita cantik itu karena mereka melihat tiga bayangan berkelebat. Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh si Kumis Tengkorak yang kurus kerempeng mirip tengkorak tapi kumisnya panjang melengkung sampai lewat dagu.

Pukulan jarak jauh itu bersinar hijau lurus tertangkap oleh mata Jelita Bule yang posisinya tertinggal di belakang. Dengan cepat tangan Jelita Bule menyentak dan terlepaslah Jurus 'Kencana Lepas'-nya yang berwarna kuning keemasan. Sinar kuning itu menghantam sinar hijau setelah seruan Jelita Bule terdengar keras,

"Teratai, awaaas...!"

Blaaarrr...!

Ledakan keras terdengar saat kedua sinar itu berbenturan. Gelombang ledakan itu menghempas kuat, membuat tubuh Teratai Kipas yang sedang melompat itu terpelanting terbang dan jatuh tak terjaga keseimbangan tubuhnya. Bruus! Pendekar Mabuk dan Jelita Bule segera menghadap ke arah datangnya sinar hijau tadi.

Teratai Kipas menggerutu tak jelas sambil berdiri kembali tanpa luka dan cacat apa pun.

Dua orang muncul dari balik pepohonan jati besar. Si Kumis Tengkorak yang berbaju loreng hitam-merah dengan rambut ditumbuhi uban tidak merata, muncul lebih dulu. Disusul kemudian Roh Seribu Dewa yang berwajah angker tanpa ikat kepala karena rambutnya pendek, kumisnya lebat seperti sayap kelelawar, bajunya hitam, senjata di pinggangnya adalah trisula bergagang panjang. Kedua tokoh hitam yang berusia sekitar lima puluh tahun itu sama-sama menatap Teratai Kipas yang tengah berjalan mendekati Suto.

"Rupanya kalian masih penasaran denganku?!" kata Suto Sinting.

"Sebelum gadis ini buka mulut tentang di mana pusaka Tongkat Tulang Barong disembunyikan, kami tetap akan mengganggu ketenangan kalian!" kata Roh Seribu Dewa yang bersuara berat.

Si Kumis Tengkorak menimpali, "Tapi kalau yang lainnya mau ikut-ikut cari perkara dengan kami, kami siap sedia melayaninya tanpa rasa gentar sedikit pun."

Matanya melirik ke arah Jelita Bule yang berhidung mancung dan berkulit putih itu. Pandangan mata itu jelas pandangan mata nakal, karena keelokan tubuh Jelita Bule terlihat jelas dari balik pakaian tipisnya.
Teratai Kipas segera maju selangkah dari samping Suto dan berkata tanpa rasa takut sedikit pun,

"Sampai mayatku ke liang kubur pun kalian tak akan dapatkan keterangan dari mulutku tentang Tongkat Tulang Barong itu!"

"Perempuan keras kepala akan dimakan rayap dalam waktu singkat!" ujar Kumis Tengkorak dengan nada tegas namun berkesan dingin.

"Apa maumu sekarang?!" bentak Teratai Kipas.

Roh Seribu Dewa menjawab, "Melumpuhkan dirimu agar mau bicara!"

"Biar aku saja yang menghadapi!" kata Jelita Bule.
"Jangan! Ini urusanku!" kata Teratai Kipas agak pelan.
Roh Seribu Dewa segera berkata, "Terlalu banyak berunding kalian ini! Heaaah...!"

Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh Roh Seribu Dewa. Sasarannya ke perut Teratai Kipas.

Dengan cepat Teratai Kipas melompat ke atas dan pukulan bersinar biru bagai bola kecil itu melesat di tempat kosong. Tetapi karena di belakang Teratai Kipas ada Suto Sinting, maka Suto-lah yang menjadi sasaran bola biru itu.

Wuuut...!
Deeeb...! Weees...! Blaaar...!

Sinar biru itu ditangkis dengan bumbung tuaknya Suto Sinting. Sinar itu membalik arah lebih besar bentuknya dan lebih cepat gerakannya. Roh Seribu Dewa tercengang melihat pukulannya membalik arah. Ia bagaikan terpaku di tempat. Untung kaki si Kumis Tengkorak segera menendangnya dari samping.

Duuug...!
Wuuus...! Brrruk...!

Roh Seribu Dewa jatuh terjengkang karena tendangan itu, tapi ia selamat dari pukulan sinarnya yang membalik itu. Sinar tersebut menghantam pohon jati di
belakangnya dan pohon itu langsung pecah menjadi berantakan. Duaaar!

"Auh...!" Roh Seribu Dewa terpekik kesakitan karena sepotong dahan pohon yang hancur jatuh menimpa ubun-ubunnya.

"Hiaaat...!" si Kumis Tengkorak melompat menyerang Teratai Kipas. Tangannya bergerak cepat membingungkan pandangan mata lawannya. Tapi Teratai Kipas segera bersalto mundur dua kali, dan dengan kaki berlutut satu, ia telah mencabut kipasnya.

Lalu kipas itu disentakkan ke depan dan dari ujung kipas yang masih terkatup itu keluar sinar merah lurus.

Claaap...!

"Huaaah...!" si Kumis Tengkorak menyentakkan kedua tangannya ke depan dalam keadaan terbang di udara. Dari tangan itu keluar asap biru yang menghadang sintar merah.
Blaaarrrr...!

Ledakan yang timbul cukup hebat. Daya hempasnya bagaikan badai menyentak tubuh yang melayang itu. Tak urung tubuh si Kumis Tengkorak terpental menghantam salah satu pohon. Duuugh...!

"Oohg...!" Kumis Tengkorak terpekik. Tulang punggungnya terasa patah.

Tahan...!" seru Suto Sinting ketika Jelita Bule hendak bergerak menyerang Roh Seribu Dewa yang sudah cabut trisulanya. Seruan itu disangka tertuju pula kepada Teratai Kipas yang hendak menerjang si Kumis Tengkorak dengan kipasnya yang telah terbentang.
Gerakan Teratai Kipas pun terhenti seketika. Padahal maksud Suto Sinting mengingatkan Jelita Bule agar tidak ikut campur dalam perkara tersebut.

Karena tak ada serangan dari pihak Teratai Kipas, maka Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak pun hentikan serangannya. Mereka bersifat menunggu, dengan mata tertuju pada Pendekar Mabuk, menyangka ada sesuatu yang ingin dikatakan oleh Pendekar Mabuk.

Tapi setelah Pendekar Mabuk sendiri diam karena bingung merasa semuanya bungkam seketika, maka Roh Seribu Dewa pun berkata kepadanya,

"Kalau kau ingin membelanya, majulah! Aku yang akan merajang tubuhmu, Bocah Kampung!'

"Tidak. Aku tidak akan mau melawanmu lagi. Aku kasihan kepadamu. Jika melawan Teratai Kipas saja kalian keteter, mengapa kalian berharap melawanku? Kusarankan hilangkan saja harapan kalian untuk melawanku!"

"Kau sangka kami kalah melawanmu, hah?!" bentak Roh Seribu Dewa. "Coba terima jurus 'Trisula Kubur' ini, hiaaah...!"

"Heeeaaah...!" si Kumis Tengkorak ikut-ikutan menyerang Suto Sinting dalam satu lompatan. Namun baru saja mereka bergerak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sekelebat bayangan yang melintas di depan mereka seperti angin berhembus. Wuuut...!

Craasss...!

Bruuus...! Bayangan itu masuk ke semak-semak.

Kemudian terdengar seperti berlari meninggalkan tempat itu dengan menerabas semak belukar dengan cepatnya.

Suara gemerisik terdengar makin lama semakin
menjauh.

Bukan hanya kedua tokoh hitam itu saja yang terkejut, melainkan Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu juga terperanjat melihat gerakan cepat sesosok bayangan yang segera menghilang itu. Lebih terkejut lagi setelah melihat perut si Kumis Tengkorak terluka kecil bagai tergores benda tajam. Sementara itu dada Roh Seribu Dewa juga tergores kecil, seperti terkena bulu bambu yang tajam. Darah yang keluar sangat sedikit. Bahkan luka itu sempat digaruk-garuk oleh Roh Seribu Dewa sambil menggeram marah,

"Setan mana tadi yang lewat di depan kita itu, Kumis Tengkorak? Kurang ajar! Apa maksudnya menghentikan gerakan kita?!"

Kumis Tengkorak hanya menjawab, "Entah!" tapi matanya tertuju pada Suto Sinting yang tadi sempat melompat mundur sekitar dua tindak. Tanpa menunggu kata-kata lainnya, Kumis Tengkorak melompat kembali menerjang Suto Sinting.

"Hiaaat...!"

Suto Sinting lompat ke depan juga sambil kibaskan bumbung tuaknya ke arah badan Kumis Tengkorak.

Wuuut...! Wuuusss...! Bumbung bambu itu terlihat jelas-jelas menghantam pinggang Kumis Tengkorak. Tapi bumbung bambu itu bagaikan menghantam bayangan.
Bahkan tubuh itu masih bisa bergerak menerjang Pendekar Mabuk. Blaaass...!
"Lho...?!" terdengar suara kaget Kumis Tengkorak setelah berhasil berdiri di belakang Suto Sinting. Semua menjadi heran dan tegang, termasuk Suto sendiri.

"Kumis Tengkorak?!" seru Roh Seribu Dewa. "Kau bisa menembus raga si bocah kampungan itu?! Hebat...!

Hebat sekali kau! Ha, ha, ha, ha...!"

"Hebat gundulmu!" sentak Kumis Tengkorak.

Pendekar Mabuk, Teratai Kipas, dan Jelita Bule segera mundur jauhi mereka berdua. Roh Seribu Dewa dihampiri oleh si Kumis Tengkorak dan terdengar pula ia berkata,

"Bukan aku yang sakti, tapi bocah kampungan itu yang sakti. Raganya tak bisa disentuh!"

"O, kukira kau yang menjadi sakti?! Ha, ha, ha, ha...! Minggir, biar kuhadapi sendiri si bocah kampungan yang mata keranjang itu!"

Sambil berkata demikian, tangan Roh Seribu Dewa menepiskan tubuh Kumis Tengkorak. Wuuusss...!

Tangan itu bagaikan menepis bayangan. Tubuh si Kumis Tengkorak tak tersentuh oleh Roh Seribu Dewa. Tangan tersebut nyeplos dari lengan si Kumis Tengkorak sampai ke dada dan keluar lagi.

Langkah kaki Roh Seribu Dewa terhenti, ia pandangi temannya yang kurus kering bermata cekung itu.

"Kau...?!" katanya dalam nada heran. "Kau yang sakti. Buktinya aku tak bisa menyentuh tubuhmu, Kumis Tengkorak!"

"Jangan ngomong sembaranganl Aku belum sesakti itu!" sentak Kumis Tengkorak.
Ia mencoba menampar wajah Roh Seribu Dewa.

Wuuut..., plooos...! Tamparan itu tidak mengenai sasaran, melainkan berkelebat tembus melintasi pertengahan wajah Roh Seribu Dewa. Keduanya sama-sama kaget.

"Ternyata kau yang sakti, Roh Seribu Dewa! Aku tak bisa menamparmu! Lihat!" Plos... wuuus... plos...!

Kumis Tengkorak menampar wajah Roh Seribu Dewa, tapi selalu nyeplos seperti memukul asap. Roh Seribu Dewa terperangah dalam wajah bangga, lalu ia tertawa terbahak-bahak.

"Huah, ha, ha, ha, ha...! Ternyata kita berdua menjadi sakti, tak bisa disentuh siapa pun! Hua, hah, hah, hah, haaa...!"

Plos, plos, plos, plos...!

Roh Seribu Dewa menendang dan memukul teman sendiri berulang kali untuk membuktikan dugaannya.

Ternyata ia seperti memukul dan menendang asap.

"Lihat... buktinya kau pun tak bisa kupukul, Kumis Tengkorak! Dan lihat betapa saktinya kita...."

Roh Seribu Dewa berlari menembus pohon. Blees...!

Plaaas...! Ploos...!

Setiap pohon diterjangnya, dan tubuh Roh Seribu Dewa dapat menembusnya dengan mudah bagaikan gumpalan asap menerjang pepohonan, ia tertawa terbahak-bahak sambil lari sana-sini sengaja menabrak pohon atau gugusan batu.

"Huah, hah, ha, ha, ha, ha...! Kita menjadi sakti, Kumis Tengkorak! Lihat... lihat aku bisa menembus
pohon! Tak ada getarannya sedikit pun. Lihat kesaktianku ini, sama dengan kau juga. Kalau tak percaya cobalah sendiri!"

Kumis Tengkorak penasaran. Tak peduli jadi tontonan tiga lawannya, ia berlari menembus pohon.

Mulanya agak ragu. Kepalanya dulu yang dibenturkan ke pohon. Busss...! Kepala itu nongol di balik pohon sementara badannya masih ada di depan pohon.

"He, he, he..., iya! Bisa begini?!"

Akhirnya Kumis Tengkorak tak segan-segan menembus pohon. Mereka berdua berlari-lari menerjang pepohonan dengan bangga dan gembira sekali.

Blas, blus... blas, blus... blas, blus...!

"Hiiaah, hiaah, hiaaahhh...! Kita bisa menembus pohon," Kumis Tengkorak jejingkrakan seperti anak kemarin sore. Mereka berdua bersuka ria dengan gembira, seakan memamerkan kesaktiannya yang baru di depan Suto Sinting.

Terdengar suara Teratai Kipas berkata lirih, hanya Suto dan Jelita Bule yang mendengarnya,

"Manusia goblok! Dirinya sudah menjadi bayangan kok bangga? Disangkanya sakti?! Hmm...!"

"Menurutmu," kata Jelita Bule, "Orang yang berkelebat tadi adalah si Maling Sakti dengan pisaunya?"

"Benar," kata Teratai Kipas. "Pasti mereka telah tergores pisau si Maling Sakti. Lihat saja luka goresan di dada dan perut mereka itu!"

Suto Sinting tersenyum geli melihat Roh Seribu
Dewa dan Kumis Tengkorak jejingkrakan lari sana-sini bahkan saling berbenturan tapi selalu lolos bagai dua asap beradu. Wuuus...! Dan mereka justru tertawa terbahak-bahak. Tawa dan kegembiraan mereka itulah yang membuat Suto Sinting menjadi geli melihatnya.

"Hei, Bocah Kampungan!" seru Roh Seribu Dewa,

"Sekarang saatnya kita bertarung untuk menentukan mana yang boleh tetap hidup dan mana yang harus mati lebih dulu!"

Pendekar Mabuk lebarkan senyumnya, ia maju tiga langkah, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule tetap di tempat.

"Perlu kau ketahui, Roh Seribu Dewa," kata Suto Sinting, "Kalian bukan menjadi sakti, tapi justru kebalikannya! Kalian akan menderita dan sedih, karena sebentar lagi kalian tidak akan bisa dilihat siapa-siapa!"

"Itulah kehebatan kami!" teriak Roh Seribu Dewa dengan bangga.

Kumis Tengkorak yang ada di samping kanan Roh Seribu Dewa segera berkata,

"Kalau kau mulai takut, segeralah menyingkir dari hadapan kami, Bocah ingusan! Biar kami akan paksa Teratai Kipas untuk buka mulut!"

"Menyedihkan sekali!" kata Pendekar Mabuk.

"Kalian berdua sebenarnya sudah mati karena tergores pisau orang yang berkelebat di depan kalian tadi!"

"Gundulmu iyu yang mati!" umpat Kumis Tengkorak sambil mengusap-usap kumisnya dengan bangga.

"Ambillah batu dan lemparkan padaku. Kalau kalian bisa mengambil batu, aku akan berguru kepada kalian!"
kata Suto Sinting.

"Kurang ajar! Berani betul kau merendahkan ilmu orang sakti seperti kami ini, hah?! Akan kubuktikan...!" seru Roh Seribu Dewa. Lalu, ia mengambil batu yang tergeletak tidak jauh darinya.

Wuuut... ploos...! Ploos...!

Roh Seribu Dewa diam dalam keheranan memandangi batu itu. Kumis Tengkorak pun memandang dari tempatnya dengan dahi berkerut.

Tangan Roh Seribu Dewa mendekati batu itu pelan-pelan bagai ingin menangkap kupu-kupu atau seekor capung. Lalu tangan itu bergerak cepat menyambar batu segenggam.

Wuut...!

Ploos...! Tangan menggenggam tapi batu masih tertinggal di tempatnya.

Temannya berseru, "Goblok! Ambil batu saja tak becus!" Ia bergegas mendekat dan memungut batu itu.

Bluus...! Sekali lagi ia menyambar batu itu.

Ploos...!

"Kok tidak bisa?!" si Kumis Tengkorak mulai heran dan curiga, ia bicara pada Roh Seribu Dewa, "Kita tak bisa menyentuh apa-apa?!"

"Entahlah. Sebenarnya kita ini sama-sama sakti atau sama-sama goblok?!"

Lalu, Suto Sinting berkata, "Percayalah padaku, kalian sebentar lagi akan menjadi manusia tanpa raga! Kalian telah terkena kekuatan sakti dari Pisau Tanduk Hantu yang dimiliki oleh Durjana Belang alias si Maling Sakti itu!"
Roh Seribu Dewa menjadi gusar. "Tidak mungkin! Pisau Tanduk Hantu dimiliki oleh Malaikat Miskin dan...."

"Dan dicuri oleh teman kalian yang bernama si Maling Sakti!" sahut Teratai Kipas sambil mendekati Suto. Jelita Bule ikut mendekat pula.

"Dalam tujuh hari kalian akan tinggal bayangan dan suara saja!" sambung Jelita Bule menimpali ucapan Suto dan Teratai Kipas.

Roh Seribu Dewa saling pandang dengan Kumis Tengkorak.

"Benarkah Durjana Belang sudah berhasil mencuri pisau Tanduk Hantu dari tangan si Malaikat Miskin?!"

Kumis Tengkorak berkata, "Mungkin saja, karena kudengar ada tokoh lain yang berani membayar Pisau Tanduk Hantu dengan harga mahal sekali!"

"Tap... tapi... tapi kenapa dia melukai kita? Kita kan teman?" Roh Seribu Dewa mulai tampak sedih.

"Entahlah," si Kumis Tengkorak tundukkan kepala dengan sedih pula. "Mungkin Durjana Belang tak suka pada kita yang selalu dipuji oleh sang Ketua!" sambil berkata begitu, tangannya mencoba memegang ranting-ranting semak, ternyata ranting itu tak tersentuh sedikit pun.

"Tak mungkin. Durjana Belang tak mungkin berhasil mencuri pisau itu. Kalau toh memang benar dia telah berhasil mencuri pisau itu, pasti dia tak akan melukai kita. Selama ini hubungan kita dengannya baik-baik saja, Kumis Tengkorak...! Kita tak pernah nakal padanya," suara Roh Seribu Dewa semakin parau bagai orang mau menangis.

"Mungkin...," Kumis Tengkorak semakin sedih.

"Mungkin dia ingin menumpas habis kita, dan.. dan ingin merebut kekuasaan untuk menggantikan kedudukan Cukak Tumbila sebagai penguasa Bukit Kopong!"

"Kalau begitu... kita harus cepat-cepat menghadap sang Ketua!"
"Baik. Kita adukan tindakan Maling Sakti yang membuat kita begini!"

Blaass...!

Kedua orang itu pergi tanpa pamit, menembus pohon, menembus semak, menembus apa saja yang dilintasinya. Sementara itu, Suto Sinting dan kedua gadis cantik itu memandang dengan tertegun sesaat, lalu Teratai Kipas berkata, "Benarkah Maling Sakti bernafsu ingin menggantikan kedudukan Cukak Tumbila sebagai penguasa Bukit Kopong?!"

"Entahlah. Kita kejar saja dia!" ujar Suto sambil bergegas pergi.

***4
MENJELANG senja, lereng bertanah datar menjadi tempat pertemuan yang menegangkan. Di situ ada gugusan bukit cadas yang tak seberapa tinggi. Mudah dicapai dengan kekuatan tenaga peringan tubuh. Dinding bukit cadas kecil itu berbentuk datar, dalam arti tegak lurus. Bagian atas bukit kecil itu juga datar, tanpa pepohonan kecuali semak pendek dan bebatuan.

Dari atas bukit kecil itulah Pendekar Mabuk melompat turun dan bersalto dua kali, sementara Teratai Kipas dan Jelita Bule tetap ada di atas. Suto Sinting mendaratkan kakinya tanpa bunyi karena mampu mengendalikan ilmu peringan tubuh yang digabungkan dengan jurus 'Layang Raga'.

Kemunculan Pendekar Mabuk yang menyerupai dewa turun dari langit itu mengejutkan langkah kaki seseorang. Langkah itu terhenti seketika dalam jarak tujuh tindak di depannya sang pendekar tampan, murid sinting si Gila Tuak dan Bidadari Jalang itu.

"Eeh... kamu?" ujar orang itu sambil nyengir.

Wajahnya lucu-lucu konyol. Enak ditampar. Lagaknya bagai orang tak berdosa apa pun. Barangkali itulah salah satu kemahiran si Maling Sakti, mampu menipu lawan dengan lagaknya yang seperti orang polos tanpa bersalah sedikit pun.

Tetapi sang pendekar tampan tetap waspada dan pandangi Maling Sakti dengan mata tak berkedip walau di bibirnya tersungging senyum tipis, ia melangkah tenang dekati Maling Sakti. Empat langkah kemudian berhenti.

"Hebat. Kau sekarang menjadi orang hebat, Maling Sakti!"

"Ah, jangan begitu," Maling Sakti bersungut-sungut malu bagai merendahkan diri. "Soal hebat itu kan sudah lama, masa' baru kau tegur sekarang? Aku jadi malu sendiri."

"Mestinya kehebatanmu itu kau pergunakan untuk kebajikan, Maling Sakti."

"O, tentu! Tentu begitu, Suto Sinting!"

"Tapi tindakanmu belakangan ini konon lebih liar lagi dari sebelumnya. Mengapa kau bertindak lebih liar lagi?"

"Baru saja mau pulang ke tempat tinggalku. Kalau kau mau ikut singgah, aku tak keberatan kau singgah di tempat tinggalku."

"Hei, yang kutanyakan, mengapa kau bertindak lebih liar?!" tegas Suto.

"O, kau tanya begitu? Kudengar kau tanya dari mana aku sejak kemarin? Hmm... ah, kau mungkin salah tanya. Mengapa kau menganggap aku bertindak liar, Suto Sinting?"

"Karena kau telah melukai beberapa orang dengan
pusaka curianmu itu!"

"Pusaka? Pusaka apa?!" Maling Sakti berwajah bingung, dahinya berkerut, matanya menatap tajam. Suto Sinting melirik ke arah atas bukit cadas itu. Maling Sakti ikut-ikutan memandang ke atas, menatap Jelita Bule dan Teratai Kipas. Lalu ia nyengir sendiri dan berkata,

"Rupanya kau semakin lengket dengan gadis mantan murid Ki Selo Gantung itu, Suto. Hmm... boleh juga!"

Maling Sakti manggut-manggut. "Tapi menurutku lebih cantik yang berkulit putih dan berambut emas itu. Siapa dia, Suto?!"
"Apakah kau belum mengenal gadis itu?"
"O, menilai kecantikan itu merupakan keahlianku, Suto!"

"Yang kutanyakan, apakah kau tidak mengenal gadis itu?!" Suto agak keras lagi dalam bicaranya, sedikit bernada jengkel.

"Ooo... begitu? Ah, mana aku kenal dia? Bertemu pun baru sekarang!"
"Kau bohong, Maling Sakti!"

"Ya, ampuuun...! Berani sumpah disambar tumpeng, aku belum pernah bertemu dengan gadis itu sebelum ini! Eh, ngomong-ngomong dia memakai pakaian atau tidak, Suto? Kok kelihatannya... anu sekali?! Hi, hi, hi, hi...!" Maling Sakti cengengesan.

Dari atas sana, percakapan itu terdengar oleh kedua wanita tersebut. Maka Teratai Kipas memberi isyarat kepada Jelita Bule agar turun bersama. Anggukan kepala Teratai Kipas membuat Jelita Bule segera melompat turun bagai seekor burung kehilangan bulunya.

Wuuus...!

Mata Maling Sakti terbelalak nakal. "Wow...!" ucapnya sambil tarik napas memandangi keadaan Jelita Bule yang berpakaian sangat tipis itu. Kedua wanita tersebut ada di sebelah kanan Suto Sinting dalam jarak empat langkah. Jelita Bule langsung menyapa si Maling Sakti,

"Kau jangan berlagak tak mengenaliku, Monyet Miskin! Kau telah bertarung denganku dan dengan temanku. Kau bermaksud mau memperkosa kami sekaligus! Kau telah melukai temanku dengan pisau pusakamu!"

"Hei, hei...?!" Maling Sakti kian bingung mirip pria linglung. "Kau bicara soal apa sebenarnya? Aku tidak penah bertarung denganmu dan tidak pernah bermaksud memperkosamu. Aku tidak punya pisau pusaka.

Senjataku hanya golok, tapi itu pun sudah pecah ketika beradu dengan bumbung tuaknya Suto! Jangan mengada-ada, Nona aduhai!"

Pendekar Mabuk mengernyitkan alis, mengecilkan matanya. Dipandangi tubuh Maling Sakti secara diam-diam. Tak terlihat ada pisau di pinggangnya. Sementara itu Teratai Kipas berkata dalam nada pelan kepada Jelita Bule.

"Apa kau tak salah lihat? Sudah yakin bahwa dia orangnya?"

"Ya. Dia orangnya! Dia yang mempunyai Pisau Tanduk Hantu itu!" jawab Jelita Bule dengan suara keras dan tegas.

"Maling Sakti," kata Suto Sinting, "Serahkan pisau itu, karena pusaka tersebut bukan milikmu!"

"Aku tidak memiliki pisau itu, Suto!" Maling Sakti bernada jengkel.

"Omong kosong!" bentak Jelita Bule. "Pasti kau sembunyikan di balik bajumu itu! Mengaku sajalah kau!"

"Belum. Belum pernah melihatnya," kata Maling Sakti salah dengar.

"Dia bilang; mengaku sajalah kau!" bentak Suto memperjelas.

"O, dia minta aku mengaku? Baik...! Nih, aku mengaku!" tubuh Maling Sakti dikeraskan. Dari kaki sampai kepala kaku semua.

Jelita Bule merasa dipermainkan. Maka dihampirinya Maling Sakti dan ditampar pipi orang itu dengan keras.

Plaaak...!

"Auh...!" Maling Sakti terpelanting memutar dua kali. Ia meringis sambil mengusap-usap pipinya. "Katanya suruh mengaku! Begitu tubuhku sudah kubuat kaku, malah ditampar?! Bagaimana kau ini, Nona? Gilakah kau sebenarnya?!"

Teratai Kipas ikut jengkel dan menjelaskan, "Jangan berlagak bodoh, Durjana Belang! Yang dimaksud mengaku itu berkata jujur! Bukan tubuhnya dibuat menjadi kaku seperti kau tadi!"

"Tunggu dulu...," bisik Jelita Bule saat mereka berada di dekat Suto. "Dia bisa kutampar. Padahal waktu bertarung denganku dan Pesona Indah, tubuhnya bagaikan baja. Jangankan ditampar, ditendang saja tak bergeming sedikit pun. Sekarang... lihat, pipinya menjadi merah karena tamparanku?!"

"Coba lepaskan pukulan tenaga dalam yang tidak berbahaya!" bisik Teratai Kipas. Maka dengan serta-merta Jelita Bule lepaskan pukulan tenaga dalam dari arah samping ketika Suto mengajak bicara Maling Sakti.

Wuuut...! Sentakan tangan kiri Jelita Bule mempunyai hentakan tenaga dalam tanpa sinar yang hanya akan membuat orang terpukul dan tumbang. Beeeg...!
Wuuusss... brruk...!

Tubuh Maling Sakti terlempar empat tindak dari tempatnya dan jatuh terjungkal dengan berteriak kesakitan karena tulang sikunya membentur batu.

"Wadaaaow...! Kampret busuk!" Ia bergegas bangkit dan menjadi marah, tapi warna merah di wajahnya yang kanan hanya samar-samar, berarti kemarahannya tak seberapa tinggi.

"Perempuan kebo! Kalau berani jangan membokong! Hadapi aku secara jantan!" umpat dan tantang si Maling Sakti. Tapi Jelita Bule tidak layani tantangan itu. Ia bahkan berbisik kepada Suto dan Teratai Kipas.

"Waktu bertarung denganku, dia tak bisa dihantam seperti tadi. Bahkan kugunakan jurus 'Kencana Lepas' ku, tapi tak mampu menembus atau melukai kulit tubuhnya. Sekarang kenapa dia bisa terjungkal hanya dengan pukulan tenaga dalam seringan itu?"

"Akan kugeledah dia!" ujar Suto pelan, lalu tinggalkan dua gadis itu dan dekati Maling Sakti.
"Maling Sakti, jika kau benar tidak membawa Pisau Tanduk Hantu, maukah kau kugeledah?"
"Untuk apa kau membedahku?"
"Kugeledah!" tegas Suto lagi.

"O, mau menggeledahku? Boleh saja! Boleh...! Silakan!" Maling Sakti angkat kedua tangannya. Suto memeriksanya sampai kedua kaki dirabanya.

"Kalau perlu periksa juga mulutku ini. Haaa...?!"
Maling Sakti buka mulutnya lebar-lebar. Suto Sinting mendengus dan berpaling wajah.
"Tak perlu. Aku belum terbiasa mencium bau pete!" ujar Suto Sinting sambil mendengus lagi lewat
hidungnya, dan segera meninggalkan Maling Sakti.

"Bagaimana?" tanya Teratai Kipas.

"Tidak ada! Dia tidak menyelipkan pisau di mana-mana! Tak ada senjata apa pun kecuali senjatanya pribadi."

"Ah, itu tak kubutuhkan!" kata Jelita Bule. "Tapi... siapa tahu disimpan pada sekitar 'senjata pribadinya itu?"

Teratai Kipas ingin tertawa geli, "Coba kau yang geledah di daerah sekitar itu," ucapnya kepada Jelita Bule.

"Ih, amit-amit! Kau saja yang periksa kalau kau mau!"

Suto Sinting berkata, "Sudah, sudah.... Sudah kuperiksa di sekitar situ juga tidak ada. Jangan-jangan memang bukan dia?"

"Suto...," seru Maling Sakti. "Apakah kau sudah puas menggeledahku?"

Suto Sinting diam, tak bisa menjawab. Sebab hatinya masih penasaran dan diiiputi keragu-raguan. Tapi akhirnya ia berkata juga, "Dari mana kau tadi?"

"Memang aku jarang gosok gigi," jawab Maling Sakti salah dengar.
"Kutanya; dari mana kau tadi?!"

"O, dari... dari mencari dua temanku; Roh Seribu Dewa dan si Kumis Tengkorak. Apakah kalian ada yang melihatnya?"
Tiga orang itu saling pandang. Teratai Kipas yang menjawab, "Ya, kami melihat mereka berdua. Tapi sekarang mereka sudah menjadi bayangan, tak bisa disentuh dan tak bisa menyentuh apa pun."

"Ah, kau bercanda saja! Yang kutanyakan, apakah kalian melihat mereka? Bukan menanyakan tentang cita-cita kalian!"

"Aku sudah menjawab pertanyaanmu! Bukan bicara soal cita-cita!" bentak Teratai Kipas, lalu Suto Sinting mengulangi jawaban Teratai Kipas tadi. Dan si Maling Sakti tampak terbengong heran.

"Mereka menjadi bayangan?! Ah, mana mungkin? ilmu mereka tak setinggi itu!"

"Karena seseorang telah menggoreskan Pisau Tanduk Hantu di tubuh mereka!" kata Suto lebih memperjelas lagi.

"Siapa yang menggunakan pisau itu? Hmmm..., si Malaikat Miskin maksudmu?"
"Kurasa bukan dia."

"Ah, pasti dia! Aku harus bikin perhitungan dengannya sekarang juga!" Maling Sakti bergegas pergi.
"Hei, mau ke mana kau?!"

"Ke Perguruan Tongkat Sakti, bikin perhitungan dengan si Maiaikat Miskin!"

"Kau tak akan bisa masuk ke pintu gerbangnya. Penjagaannya sangat ketat!" seru Teratai Kipas. Dari
kejauhan si Maling Sakti berseru pula,

"Tak ada yang tak bisa kutembus walau seketat apa pun penjagaan di sana! Kalau kau tak percaya, kepalanya Malaikat Miskin akan kubawakan untukmu!" sambil langkahnya makin cepat dan akhirnya berlari menyelusup di balik semak.

Kepergian Maling Sakti membuat Suto Sinting dan kedua wanita itu tertegun beberapa saat. Masing-masing sibuk dengan kecamuk batinnya. Tiba-tiba terdengar suara Jelita Bule berkata lirih bagai tertuju untuk dirinya sendiri,

"Mungkinkah ada Maling Sakti kembar?"

Pendekar Mabuk dan Teratai Kipas sama-sama memandang Jelita Bule dengan cepat. Dahi mereka masih berkerut. Jelita Bule tambahkan kata lagi,

"Sebab setahuku memang dialah orangnya. Tapi mengapa dia bisa kupukul dan tidak membawa pisau tersebut?"

"Penipuan...," ucap Teratai Kipas pelan dan datar, seperti orang bicara sambil menerawang ke mana-mana.

"Penipuan bagaimana?" tanya Suto Sinting. Tapi Teratai Kipas tidak lanjutkan kata. Ia hanya tarik napas dalam-dalam dan berkata kepada Suto Sinting,

"Keadaannya sudah seperti ini. Sekarang kita mau bagaimana menurutmu?"

Ganti si Pendekar Mabuk yang tarik napas, lalu menjawab dengan ketegasan yang masih bernada lembut,

"Kurasa Jelita Bule pulang saja, sambil menjelaskan masalah ini kepada Ratu Rangsang Madu."

"Tapi aku harus meminta kepastianmu bahwa kau akan datang pada saat perkawinan Gusti Rangsang Madu nanti!"

" Kapan hal itu dilakukan?"
" Tepat malam purnama nanti. Tinggal beberapa hari lagi."
" Baik. Akan kuusahakan untuk datang. Tapi... siapa calon suaminya?"
" Calon suami Ratu Rangsang Madu tak lain adalah si tampan Pande Bungkus!"
" Hah...?!" Suto Sinting terkejut, matanya terbelalak.
" Pande Bungkus? Si bocah polos tanpa ilmu apa pun itu?!"

"Benar. Kepolosannya itu yang membuat Gusti Ratuku terpikat olehnya!" kata Jelita Bule sambil tersenyum, lalu Suto Sinting termenung dan akhirnya tertawa sendiri sambil geleng-gelengkan kepala.

Terbayang wajah Pande Bungkus yang tampan, bertubuh kekar, berambut ikal selewat pundak diikat dengan kain putih, tapi di balik sosok penampilannya yang menawan itu dia adalah pemuda usia delapan belas tahun yang lugu, bahkan berkesan bodoh. Tak ada ilmu apa pun pada diri Pande Bungkus kecuali ilmu membidik sasaran dengan ketapelnya. Ketapel itu selalu menjadi kalung kebanggaan dan ke mana pun ia pergi selalu dibawanya.

Pemuda desa yang dulu mempunyai ibu seorang pedagang nasi bungkus itu dikenal Suto Sinting pada saat terjadi banjir yang menerjang rumah pemuda tersebut. Pada mulanya Pande Bungkus ingin menjadi murid Pendekar Mabuk, sehingga dengan penuh kesetiaan mendampingi Suto Sinting melakukan perjalanan ke Pulau Selayang, menyembuhkan Ratu Rangsang Madu. Tapi agaknya ia terjerat cinta di Pulau Selayang dan memilih menjadi suami sang Ratu ketimbang menjadi murid sang pendekar tampan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Tabib Darah Tuak").

"Setiap manusia mempunyai keberuntungan sendiri-sendiri. Keberuntungan itu sendiri tak bisa direncanakan sematang mungkin, karena keberuntungan itu datang dari luar kemampuan daya pikir manusia," kata Suto Sinting menjelaskan kepada Teratai Kipas tentang siapa Pande Bungkus dan siapa Ratu Rangsang Madu sebenarnya.

"Apakah keberuntunganku pun akan datang tak disangka-sangka? Terutama soal jodohku nanti?" pancing Teratai Kipas saat Jelita Bule sudah pergi sejak tadi. Dan Suto Sinting memandangnya dalam senyuman yang lembut menawan.

"Jodoh tidak bisa diatur sesuai dengan hasrat kita. Jodoh sudah punya kodrat sendiri. Kita hanya bisa menerka-nerka dan mencoba apakah seseorang yang kita cintai itu memang jodoh kita atau bukan. Jika bukan, maka perpisahan pun akan segera datang walau hati kita menaruh cinta sebesar gunung."

"Berarti hubunganmu dengan Dyah Sariningrum juga belum tentu merupakan jodohmu sepanjang masa?"

"Kira-kira begitu. Tapi kemungkinan melesat sangat kecil. Sebab guruku; si Gila Tuak sudah mengetahui wanita yang bagaimana yang akan menjadi jodohku nanti. Apabila dalam semadiku aku sampai menangis dan mencucurkan air mata darah ketika terbayang seorang wanita, maka dia itulah calon jodohku kelak,walaupun seribu wanita berteman dekat denganku."

"Apakah kau pernah mencucurkan air mata berdarah?"

"Ya. Saat kuterbayang wajahnya yang menderita dalam cengkeraman Siluman Tujuh Nyawa," jawab Suto terang-terangan sambil termenung membayangkan saat ia lakukan semadi di tempat tinggal gurunya, sebelum ia turun sebagai seorang pendekar penegak kebenaran dan keadilan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Darah Asmara Gila").

Percakapan yang dilakukan sambil jalan-jalan tiba-tiba terhenti bersama langkah mereka. Baik Suto Sinting maupun Teratai Kipas sama-sama terperanjat manakala mereka tahu-tahu melihat seorang kakek berdiri di atas sehelai daun sereh liar yang mirip seperti ilalang itu.

****