Pendekar Mabuk 36 - Tabib Darah Tuak(2)

Dalam hati Pendekar Mabuk berkata,

"Ternyata kenakalan para pendekar semasa mudanya sama saja. Tak jauh dari soal cinta. Dan karma itu telah hadir menimpa Paman Batuk Maragam, yaitu dengan menyaksikan keponakannya hamil tanpa suami.
Ah... itu cerita usang yang memang abadi. Tak perlu terlalu dipikirkan. Hanya saja, apa yang harus kuperbuat nanti jika berte-mu dengan Ratu Rangsang Madu yang membutuhkan darahku? Kalau saja bukan karena mengikuti bujukan Paman Batuk Maragam, aku tidak mau ikut ke Pulau Selayang. Sayang sekali tadi Paman Batuk Maragam memohon-mohon dengan sangat agar aku mau datang, aku tak tega dengan orang yang bersikap baik padaku ini, akhirnya aku mau ikut juga ke sana."

Suto Sinting sempat berkata kepada Batuk Maragam, "Paman, kalau Racun Bulan Madu itu meminta tebusan darahku, berarti aku harus mati untuk Ratu Rangsang Madu?! Padahal aku tidak punya hubungan apa-apa dengan beliau."

"Aku ingin memeriksanya dulu, sejauh mana darahmu dibutuhkan. Kalau toh itu akan membuatmu mati, aku sendiri tak setuju. Tapi jika kau setuju aku pun tak melarangmu untuk mati demi seseorang.""Kurasa itu tak mungkin, Paman Batuk Maragam!"

"Kalau memang tak mungkin mati untuk orang lain, ya sudah. Tak usah mati. Kau akan kularikan dan kulindungi kalau ada yang mencoba memaksa nyawamu!"

Kembali Suto Sinting membatin, "Orang ini kalau ngomong enak saja. Seolah- olah tidak mempunyai beban perasaan apa-apa. Tapi entah bagaimana aku jadi sangat percaya dengan janjinya dan apa saja yang dikatakannya. Sedikit pun aku tak punya curiga jelek kepada Paman Batuk Maragam ini! Aneh sekali. Apakah ini termasuk pengaruh kesaktiannya yang membuat orang seialu percaya dengan apa saja yang dikatakan-nya?"

Di bagian haluan, Pande Bungkus bicara dengan Jelita Bule dan Pesona Indah yang sudah segar bugar seperti tak pernah terluka parah sedikit pun. Tuak Suto itulah yang membuat Pesona Indah menjadi sesegar itu, melebihi segarnya saat belum meminum tuak tersebut.

"Aku tak percaya pemuda setampan dirimu dan de-kat dengan Pendekar Mabuk, tapi tidak punya ilmu apa-apa!" kata Pesona Indah kepada Pande Bungkus.

"Aku hanya punya ilmu membidik dengan ketapel."
"Tapi menurutku kau juga pandai membidik hati wanita," kata Jelita Bule sambii tersenyum-senyum.

"Ah, tidak terlalu pandai. Hanya selalu tepat sasar-an saja," kata Pande Bungkus dengan hati berdebar bangga. la biarkan pipinya dicubit oieh Pesona Indah. la biarkan pula wanita berpakaian sungguh menantang itu kian dekat dengannya. Lalu, la mendengar suara Indah berbisik pelan di telinganya,

"Kamu sudah punya kekasih?"
Belum. Masih kosong. Yang mau masuk silakan saja. Tapi harus mau menerima apa adanya."
"Kamu menggemaskan sekali!"
"Pesona, jangan kelewat batas!" Jelita Bule mengingatkan.

"Aku tak menyentuh batasnya, Jelita Bule. Jangan khawatir." Pesona Indah tertawa seiring dengan tawa tampannya Pande Bungkus.

"Adi sabi lagiter-lagi mudapa!" kata Jelita Bule.
"Arbijasa. Kua frasu nyadapa."

Pande Bungkus ikut-ikutan bicara seperti itu, "Su-pa musi-musi, muntah!"

"Apa Itu artinya?"
Kepalaku puyeng!" jawab Pande Bungkus hadirkan tawa bagi mereka bertiga.

Tawa tersebut segera terhenti ketika Batuk Maragam berseru, "Hei, lihat di sebelah timur sana, ada kapal yang mendekati kita!"

Semua mata tertuju ke arah timur. Ternyata apa kata Batuk Maragam memang benar. Sebuah kapal bertiang layar dua dengan bendera merah di ujung tiap-tiap layarnya sedang bergerak ke arah perahu mereka.

"Bajak taut!" teriak Pande Bungkus dengan tegang.

Tetapi Batuk Maragam terdengar menggumamkan sepotong nama yang tidak dikenal oleh mereka.

"Syakuntala!"

Gumam yang didengar mereka membuat Batuk Maragam menjadi pusat perhatian semua mata. Pandangan mereka membuat Batuk Maragam bagai dipaksa untuk menjelaskan siapa Syakuntala itu.

"Syakuntala adalah Perwira Tanah Hindus berilmu tinggi. Dia musuh lamaku. Pernah kutumbangkan dalam suatu pertarungan. Tapi pernah membuatku hampir mati kalau tidak ditolong oieh seorang sahabat."

Pande Bungkus berkata, "Kalau begitu, dia menghampiri kita untuk bikin perhitungan tersendiri dengan Paman??"

"Aku tidak tahu apa maksudnya. Kita lihat saja nanti."

Suto Sinting angkat bicara, "Apakah tidak sebaik-nya kita hindari saja?"

"Ke mana pun kita menghindar dia dapat mengejar dalam jarak seperti sekarang ini. Percuma saja kita menghindar, uhuk, uhuk, uhuk, ihiiikk...!"

Kapal berwarna hitam kehijauan karena lumut itu turunkan jangkarnya dalam jarak sekitar empat tombak dari perahu berlayar satu. Orang-orang kapal tersebut berjajar di geladak dengan senjata masing-masing. Mereka berkulit hitam dan masing-masing kenakan rompi warna merah dan kuning. Celana mereka pada umumnya berwarna hitam. Kalaupun ada yang kenakan ceiana biru, hanya beberapa orang saja yang mondar-mandir lakukan kesibukan lain di atas kapal tersebut. Pandangan mata mereka yang bercelana hitam tertuju ke kapal Suto Sinting yang tidak bisa bergerak bagai ditahan oieh suatu kekuatan gaib.

Seorang berkepala gundul tapi bercambang dan berkumis tebal muncul dari salah satu barak. Orang tersebut bertubuh kekar, baju putihnya tanpa lengan. Ceiana putihnya terikat di bagian bawah betisnya. la mengenakan anting-anting bundar di kedua daun telinga. la mempunyai sepasang mata bundar lebar, mempunyai ketajaman sinar pandangnya dan mempunyai kekuatan aneh yang membuat hati Jelita Bule, Pesona Indah, dan Pande Bungkus bergetar hati.

Hanya Pendekar Mabuk dan Batuk Maragam yang kelihatan tenang. Bahkan Pendekar Mabuk dengan santainya menenggak tuak beberapa teguk bagai tidak hiraukan orang-orang di atas kapal tersebut.

"Masih ingat aku, Batuk Maragam?!" seru orang gundul itu.

"Rasanya cukup sulit melupakanmu, Syakuntala!" balas Batuk Maragam berseru juga. "Apa maksudmu menahan perahu kami?!"

Kau masih berhutang satu kelingking denganku, Batuk Maragam!"

Syakuntala angkat tangan kirinya dan memperhatikan kelingkingnya yang hilang bagaikan bekas terpotong lama itu. Batuk Maragam terkekeh panjang.

"Apakah kau ingin menuntutku sekarang juga?! Kurasa kali ini aku tak akan sisakan lagi jari-jari tanganmu jika memang kau menghendaki pertarungan dl te­ngah lautan ini!"

"Seharusnya memang demikian. Tapi sayang sekali kali ini aku punya tugas lain. Kuselesaikan dulu tugasku, baru kutuntut hutangmu!"

Jika begitu, silakan selesaikan tugasmu dulu, Syakuntala. Aku siap menerima tuntutanmu kapan saja!" lalu Batuk Maragam terbungkuk-bungkuk karena keluarkan batuknya. Batuk itu membuat kapal besar tersebut tiba-tiba menjadi terguncang- guncang dan dua-tiga prajurit yang berdiri di tepiannya jatuh terpelanting, bahkan ada yang hampir tercebur ke laut. Rupanya Batuk Maragam keluarkan tenaga dalam yang menyerang kapal itu melalui suara batuknya.

Syakuntala rapatkan telapak tangan dl dada. Lalu kedua tangan itu bergerak mengembang dengan pelan-pelan. Tiba-tiba sebuah getaran dirasakan pula oieh pa­ra penghuni perahu kecil tersebut. Perahu tersebut bagaikan diguncang suatu kekuatan yang akhirnya menjadi oleng tak karuan gerakannya. Batuk Maragam jatuh terduduk di buritan.

Jelita Bule dan Pesona Indah pegangi tiang layar. Pande Bungkus nyaris terpelanting, tapi tubuhnya langsung ditangkap Pesona Indah hingga pria itu bagai berada dalam pelukan si cantik berambut hitam. Sementara itu, Suto Sinting hanya berdiri diam tanpa ikut terguncang. la bagaikan pilar besi yang taktergoyahkan. Namun matanya memandang tajam ke arah si Perwira Tanah Hindus itu. Dan tiba-tiba jari tangannya menyentil.

Teeess... !

Brruukk...! Syakuntala jatuh ke belakang dengan terkejut. la tak tahu kalau akan mendapat serangan tenaga dalam yang cukup besar. Bahkan ia tidak melihat bahwa jari tangan pemuda tampan yang membawa bumbung bambu tuak itu bergerak menyentil sebagai gerakan lepaskan jurus 'Jari Guntur' yang mempunyai kekuatan sentak seperti kekuatan tendangan kuda.

Syakuntala bergegas bangkit dan melihat beberapa orangnya menarik busur panah, slap lepaskan panahnya ke arah Batuk Maragam, karena mereka menyangka Batuk Maragam-lah yang menyerang Syakuntala dengan kekuatan tenaga dalam.

"Tahan!" seru Syakuntala kepada para pemanah itu. Kemudian ia berseru kepada Batuk Maragam yang sudah berdiri tegak karena perahu sudah tidak oleng hebat seperti tadi. Namun keadaan perahu masih tertahan oieh suatu kekuatan yang diduga datangnya dari kapal besar itu.

"Batuk Maragam! Kau tak perlu tunjukkan bahwa kekuatanmu masih ada. Aku bisa rasakan kau masih mempunyai kekuatan seperti dulu, dan aku pun merasa dapat tumbangkan dirimu dengan lebih mudah lagi dari yang dulu. Tapi aku punya kepentingan tersendiri dengan dirimu, Batuk Maragam!"

"Apa kepentinganmu selain menuntut balas pada-ku?!"
"Dari jauh kucium bau tuak yang aneh. Kurasa salah satu dari orang-orangmu itu ada yang sedang kucari-cari!"

"Apa yang kau, uhuk, uhuk, ihiiik... ihiiik... heoik!" Batuk Maragam benar-benar terbatuk tanpa sengaja. la terpaksa ulangi kata-katanya tadi.

"Apa yang kau cari, Syakuntala?!"
"Seorang tabib ampuh yang kondang dengan nama Tabib Darah Tuak!"

Bule terperanjat, demikian pula Pesona Indah. Kedua gadis cantik itu memandang ke arah Pendekar Mabuk yang masih diam berdiri tak jauh dari mereka. Pande Bungkus Ikut-ikutan memandang Pendekar Mabuk, karena la pernah mendengar nama julukan Tabib Darah Tuak yang disebutkan dua gadis itu kepada Suto Sinting. Sementara Suto Sinting sendiri mulai merasa sedang diperhatikan oleh ekor mata Syakuntala, karena ia ingat sebutan yang didengarnya dari mulut Jelita Bule tentang dirinya.

Syakuntala, kami tidak mempunyai tabib di sini!" seru Batuk Maragam.

"Apakah aku harus percaya dengan ucapanmu, Pendusta Tua?!" kata Syakuntala menandakan tidak percaya dengan kata-kata Batuk Maragam. "Bagaimana dengan pemuda berbaju coklat itu, Batuk Maragam?"

"O, dia hanya seorang pedagang arak yang kebetulan menumpang perahuku!" jawab Batuk Maragam bermaksud menutupi siapa diri Suto sebenarnya. Jelita Bule dan Pesona Indah setuju dengan jawaban Itu. Tetapi Pande Bungkus yang ingin tetap bersama pendekar kebanggaannya itu segera dekati Suto Sinting dan berseru kepada Syakuntala,

"Kalian tidak bisa membawa Kang Suto! Karena Pendekar Mabuk kami Ini bukan Tabib Darah Tuak!"

Namun ucapan Pande Bungkus itu justru membuat Syakuntala serukan tawanya. Hati kedua gadis dan Batuk Maragam sempat kesal atas seruan Pande Bungkus. Slkap itu justru menunjukkan bahwa Suto Sinting adalah Tabib Darah Tuak.

"Batuk Maragam, orangmu telah mengakul bahwa pemuda ini bukan seorang pedagang arak, melainkan dialah Tabib Darah Tuak yang kami cari-cari itu!"

Jelita Bule segera menarik Pande Bungkus dengan mencengkeram rompinya.

"Kau ternyata mata-mata mereka, Pande Bungkus!" geram Jelita Bule. Tentu saja anak muda yang polos itu menjadi bingung dan merasa takut melihat wajah Jelita Bule tampak berang.

Suto Sinting segera berkata pelan, "Dia bukan mata-mata. Dia hanya melepas kepolosannya yang cenderung berkesan bodoh."

"Tidak bisa! Dia pasti orang kapal itu yang menyamar menjadi pemuda bodoh!" geram Jelita Bule lagi tanpa memandang Suto melainkan menatap tajam ke wajah Pande Bungkus.

"Paman," kata Pesona Indah. "Apa pun yang terjadi kami akan pertahankan Suto Sinting agar tak berurusan dengan Syakuntala!"

"Tenanglah dulu kalian ini. Jangan tampakkan ketegangan sendiri di depan Syakuntala. Nanti dia akan manfaatkan ketegangan di antara kita," kata Batuk Ma­ragam yang tak jadi lanjutkan ucapannya karena Syakuntala telah berseru dengan suaranya yang lantang.

"Aku akan membawa Tabib Darah Tuak itu ke Tanah Hindus, Batuk Maragam! Beritahukan kepada orang-orangmu agar tak menghalangi niatku jika mau selamat!"

"Orang-orangku tak akan menghalangi, tapi akulah yang akan menghalangi niatmu itu, Syakuntala!"

"Batuk Maragam," geramnya keras sekali. "Jangan memancing kemarahanku saat ini! Kita punya waktu sendiri untuk sallng lepaskan dendam. Sekarang kumohon kau tidak mempersulit niatku agar perahumu itu tidak pecah dan perjalananmu tidak terganggu!"

Paman, ini sebuah ancaman!" kata Pesona Indah. "Saya akan hadapi ancaman Itu demi kesembuhan sang Ratu!"

Jelita Bule pun menimpali, "Kami berdua akan menyerangrrya, Paman!"

"Jangan! Tahan dulu. Kalian tak perlu ikut berurusan dengannya!" kata Batuk Maragam dengan suara pelan.

Akhirnya Suto Sinting bicara juga setelah melihat orang-orang perahu saling bersitegang."

Pendekar Mabuk segera melangkah ke tempat yang lebih tinggi dan berseru kepada Syakuntala,

"Apa maumu, Syakuntala?!"

"Membawa Pendekar Mabuk yang menjadi Tabib Darah Tuak ke Tanah Hindus. Raja kami dalam keadaan sakit parah dan membutuhkan pertolonganmu, Tabib!"

"Aku bukan tabib! Aku manusia biasa!"

Syakuntala diam saja, matanya memandang tajam kepada Pendekar Mabuk. Tiba-tiba tangannya menyentak ke depan bagai membuang sesuatu. Ternyata sekilas sinar hijau kecil melesat dari tangan itu menghantam perut Pande Bungkus yang sedang kebingungan mencari tempat berlilndung. Claapp...! Bllesss...!

"Aahg...!" Pande Bungkus terpekik tertahan. Matanya sempat terbellak sebentar, lalu ia pun roboh dl ba-wah tiang layar. Brrukk...! Semua mata memandang ke arahnya dan menjadi tegang karena meiihat tubuh Pande Bungkus keluarkan asap putih dengan kullt bergerak-gerak ingin mengelupas berwarna merah matang.

Syakuntala berteriak dalam tawa,

"Ha, ha, ha, ha...! Anak muda Itu telah terkena Racun Llur Naga-ku. Dalam dua puluh hitungan dia akan mati terkelupas dan matang tubuhnya. Seperti kau ketahui, Batuk Maragam, bahwa Racun Llur Naga tak pernah ada penangkalnya dan hanya bisa dlsembuhkan oieh tuak sakti milik seorang tokoh tua yang tinggal di Jurang Lindu. Konon tokoh tua itu adalah murid si Tabib Darah Tuak. Jika begitu, maka anak muda itu akan tertolong nyawanya se-andainya Tabib Darah Tuak segera menyembuhkannya!"

Batuk Maragam tampak tegang walau tetap berusaha ditutup-tutupi. Tapi kedua gadis utusan Negeri Malaga itu tak bisa menutupi kecemasan dan ketegangannya. Mata mereka tertuju kepada Suto Sinting seakan ingin meiihat apa yang akan dilakukan Suto Sinting terhadap Pande Bungkus.

Suto Sinting hanya membatin, "Dia menjebakku! Pandai sekali caranya membuktikan kebenaran dugaannya tentang diriku. Sial! Mau tak mau aku harus sembuhkan Pande Bungkus agar anak muda itu tak menjadi korban sia-sia."

Pendekar Mabuk bergegas dekati Pande Bungkus, tapi langkahnya dihadang oieh Jelita Bule. Gadis itu pegangi dada Suto Sinting dan berkata,

"Jangan lakukan apa-apa terhadap Pande Bungkus, nanti dia tahu kalau kau adalah Tabib Darah Tuak!"

"Aku tak pedull dia tahu atau tidak, tapi Pande Bungkus tak boleh mati sia-sia. Dia tidak bersalah kepada kita atau kepada mereka. Kasihan kalau dia harus jadi korban."

"Kumohon jangan lakukan demi sembunyikan jati dirimu!" Pesona Indah menimpali dalam ucapan bisik-blsik.

Tetapi Suto Sinting agaknya tidak mau pedulikan cegahan mereka. Tubuh Jelita Bule segera disingkirkan dengan menepiskan tangan penahannya. Lalu tubuh itu didorong ke samping dengan sentakan kecil, Suto Sinting dekati Pande Bungkus yang kulit tubuhnya mulai terkelupas di sana-sini. Anak muda itu mengerang kesakitan dengan suara lirih. Suto Sinting buru-buru tuangkan tuaknya ke mulut Pande Bungkus hingga tuak tertelan dan Pande Bungkus terbatuk-ba-tuk. Sementara itu Batuk Maragam jadi ikut-ikutan batuk karena mendengar suara Pande Bungkus yang ter-sedak dan terbatuk-batuk.

Syakuntala dan orang-orang kapal memusatkan pandangan mata ke arah Suto Sinting. Mereka meiihat asap yang mengepul dari tubuh Pande Bungkus mulai berkurang. Warna merah matang pada tubuh Pande Bungkus pun mulai pudar. Sementara itu, Pendekar Mabuk segera temui Batuk Maragam dan berkata,

"Maafkan aku, Paman! Aku harus lakukan penghajaran kepada Syakuntala!"

"Dia berbahaya," bisik Batuk Maragam bernada tegang. "Bisa-bisa yang lain menjadi korban murka. Tapi kuharap kau tidak turuti keinginannya untuk membawa- mu ke Tanah Hindus. Sebab jika sudah sampai sana mustahil kau dllepaskan dan bisa kembali. Mereka akan menawanmu dan memaksamu menjadi Tabib Darah Tuak yang akan mendampingi Raja setiap saat. Raja Kulana Baham mempunyai tiga puteri cantik-cantik, salah satunya mirip dengan kekasihmu; Dyah Sari-ningrum, yang pernah kulihat melalui teropong batinku itu. Kau akan terpikat dengannya karena mereka dibekali ilmu pemikat hati yang amat tinggi."

"Jika begitu aku harus gunakan siasat untuk me-nundukkannya," gumam Pendekar Mabuk seperti bicara dengan diri sendiri. Gumaman itu didengar oleh Jelita Bule dan Pesona Indah. Kedua gadis itu hanya saling pandang tanpa bicara apa pun.

Pande Bungkus tampak segar, ia sudah bisa bangkit dan duduk dalam keadaan tubuhnya pulih seperti sediakala. Keadaan itu membuat senyum Syakuntala kian lebar, wajah para anak buahnya juga tampak cerah ceria.

"Tak salah dugaanku, ternyata memang Tabib Darah Tuak ada di perahu itu!" seru Syakuntala kepada anak buahnya, tapi maksud seruan itu ditujukan kepada Batuk Maragam. Sambungnya lagi,

"Sebaiknya sekarang juga jemput pemuda tampan itu dan pindahkan ke kapal kita! Lakukan...!"

"Tunggu...!* seru Pendekar Mabuk yang membuat dua orang yang ditugaskan menjemput Suto itu menjadi berhentl tak lanjutkan gerak. Syakuntala memandang Pendekar Mabuk dengan jumawanya.

Syakuntala! Aku mau kau bawa ke Tanah Hindus jika kau bisa kalahkan diriku dalam pertarungan satu lawan satu!"

"Kau hanya membuang-buang waktu, Tabib Darah Tuak!"

"Kalau kau tak berani menghadapi tantanganku, berarti kau berilmu rendah dan tak pantas dihormati oleh para anak buah! Aku mau dibawa ke Tanah Hindus asalkan dijemput orang tersakti di Tanah Hindus."

"Akulah penjemputmu, Tabib Darah Tuak!"

Syakuntala kelihatan mulai terpancing oleh keangkuhannya sendiri. Pendekar Mabuk sengaja membangkitkan kemarahan Syakuntala untuk mengatur siasat. Suto pun berseru kembali,

"Raja Kulana Baham salah pilih. Mestinya dia mengutus orang yang bisa unggul dalam pertarungan melawan Pendekar Mabuk, bukan orang yang besar mulut tapi tak mempunyai kemampuan menundukkan Pendekar Mabuk"

"Kau pikir aku perwira biasa, hah?! Aku adalah Panglima Pasukan Tanah Hindus, bukan sekadar manusia berderajat perwira biasa!" nada bicara Syakuntala mulai meninggi dengan mata mulai mendelik lebar.

Itulah yang diharapkan Suto Sinting sehingga Suto pun berseru lagi,

"Jika benar kau seorang panglima terpercaya, tentunya kau bersedia menerima tantangan kesatriaanku, Syakuntala! Kurasa kau hanya mengaku-aku sebagai panglima biar disegani dan dihormati oieh orang-orang di sekelilingmu itu. Buktinya kau berusaha menghin-dari pertarungan denganku." Syakuntala menggeram penuh kemarahan karena pada saat itu beberapa orang yang menjadi prajuritnya memandang ke arahnya, seakan ingin mengetahui ke putusan Syakuntala dalam menghadapi tantangan tersebut. Dengan wajah semburat merah karena menahan malu dan marah, Syakuntala pun berseru,

"Baikl Kuterima tantanganmu, Tabib Darah Tuak! Tentukan di mana tempatnya kita lakukan pertarungan, dan kapan waktunya?!"

Pendekar Mabuk berbisik kepada Batuk Maragam yang bersebelahan dengan Jelita Bule, sedangkan Pande Bungkus dalam pengawasan Pesona Indah.

"Berapa lama kita akan tiba di Negeri Malaga dan berapa hari kita akan berada di sana, Paman??"
"Perjalanan akan sampai tujuan esok pagi," jawab Jelita Bule. Batuk Maragam menimpali,
"Tentang waktu di sana kau bisa perkirakan sendiri."

Setelah diam sesaat, Pendekar Mabuk berseru kepada Syakuntala, "Syakuntala! Lima hari lagi kita bertemu di Bukit Mata Laut, yang ada di pesisir utara tanah Jawa! Kurasa kau dapat temukan bukit itu dengan mudah jika kapalmu berlayar lurus ke arah selatan."

"Baik. Kubuktikan kemampuanku menundukkan dirimu di bukit itu!"

PELAYARAN menjelang matahari tenggelam sung-guh merupakan pelayaran yang sangat indah. Mentari berubah menjadi merah dan sinarnya membentuk cahaya indah juga yang memancar mero-nai langit dengan warna-warna tembaga berkilauan. Cakrawala kelihatan menghitam bagaikan bibir raksasa yang siap menelan sang mentari. Pelayaran senja membuat para penghuni perahu kecil itu memandang terpesona ke arah cakrawala, kecuali Batuk Maragam. Tokoh tua Ini justru diam dan menyendiri di buritan dengan berlipat tangan di dada, rambutnya meriap-riap dipermainkan oieh hembusan angin laut.

Batuk Maragam ituliah orang pertama yang meiihat sebuah titik bergerak menuju ke perahunya dengan kecepatan tinggi. Titik hitam itu makin lama semakin jelas bentuknya. Ternyata ia adalah seorang perempuan yang berdiri di atas selembar daun kelapa hijau. Daun kelapa hijau bergerak cepat bagaikan dikendalikan oieh kekuatan tenaga dalamnya yang terpancar dari kedua kaklnya. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin daun kelapa yang masih hijau itu mampu digu-nakan alas berdiri dan tidak tenggelam menahan beban tubuh si perempuan tersebut.

Pandangan mata Batuk Maragam semakin dipertajam untuk mengenali siapa perempuan yang seolah-olah unjuk kesaktiannya di atas daun kelapa hijau itu. Pakaiannya ketat warna ungu muda model angkin sampai dada, celana beludrunya berhias benang emas pada tepiannya. Jubah yang dikenakan adalah jubah ungu tua. la adalah seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, tapi sebenarnya sudah lanjut usia. la menyandang pedang yang dibalut kain ungu di punggungnya. Rambutnya disanggul sebagian sisanya me-riap-riap dihembus angin kecepatan geraknya. Semakin dekat semakin terlihat bentuk kecantikannya yang berhidung mancung dan bermata indah tapi berkesan galak.

Gemuruh ombak yang ditimbulkan dari gerakan laju daun kelapa itu menimbulkan daya tarik sendiri bag! Suto Sinting dan dua utusan Negeri Malaga itu untuk berpaling memandang ke arah depan perahu. Suto Sinting terkesiap dalam pandangan herannya, sedangkan dua gadis utusan Ratu Rangsang Madu itu segera ke-rutkan dahi dan bergegas dekati arah buritan perahu.

Jelita Bule ucapkan kata kepada Pesona Indah dengan tetap pandangi gadis yang menuju ke perahu mereka itu,

"Rasa-rasanya kita kenal dengan wanita itu, Pesona Indah!"

"Ya. Aku tidak lupa dengannya. Dia adalah Pelangi Sutera, orang andalan Ratu Asmaradani dari Negeri Kencana Ringgit yang ada di dasar laut!"Memang benar, wanita itu adalah Pelangi Sutera yang mempunyai nama asli Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat. Suto Sinting kenal betul dengan perempuan cantik itu, sebab perempuan cantik itu pernah nyatakan cinta kepada Suto dan ingin bersuamikan Pendekar Mabuk.

Suto juga tahu bahwa Pelangi Sutera dulu memang panglima negeri dasar laut yang dipimpin oieh seorang ratu cantik bernama Ratu Asmaradani, tapi sekarang Sumbaruni sudah tinggalkan negeri itu dan tidak menjadi panglima lagi. la membaur dalam kancah persilatan sebagai tokoh yang sering membantu Pendekar Mabuk dalam menghadapi kesulitan demi cintanya dan rasa tak ingin kehilangan murid sinting si Gila Tuak itu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Ratu Tanpa Tapak").

"Ada apa dia menyusulku kemari? Apakah Guru sedang sakit?" pikir Suto, karena ia tahu bahwa Sumbaruni belakangan ini memang sering adakan pertemuan dengan gurunya; Gila Tuak dan Bidadarl Jalang. Barangkali pendekatan terhadap gurunya Suto Sinting itu mempunyai maksud agar Sumbaruni dapat membujuk sang Guru supaya memaksa muridnya mengawini Sumbaruni. Tapi hal seperti itu hanya merupakan dugaan semata yang terlintas di benak Suto Sinting.

Kehadiran Sumbaruni memang menimbulkan pertanyaan batin bagi Batuk Maragam. Wajah cantik perempuan itu tampak muram dan memendam kemarahan. Ketika sudah mendekati perahu, tubuh Sumbaruni segera melompat dan bersalto satu kali di udara, lalu dengan sigap kakinya menapak di atas atap barak pe-lindung yang ada di perahu itu, sehingga ia berada di-ketinggian tempat. Daun kelapa hijau dibiarkan tera-pung-apung dipermainkan ombak sore; tapi tak hanyut terbawa ombak, melainkan bagaikan mengikutl laju perahu layar putih itu. Sepertinya Sumbaruni tanamkan satu kekuatan pada daun kelapa satu pelepah utuh itu sebuah kekuatan yang dapat menglkutinya ke mana pun ia pergi bersama perahu tersebut.

"Sumbaruni, apa maksudmu datang kemari?!" sapa Batuk Maragam dari tempatnya. Perempuan cantik itu diam saja, pandangi wajah Jelita Bule dan Pesona Indah. Sikap memandangnya itu berkesan penuh permusuhan, walau sebenarnya antara Negeri Malaga dengan Negeri Kencana Ringgit tak punya masalah apa-apa. Tapi agaknya kali ini Sumbaruni pribadi merasa punya masalah dengan kedua orangnya Ratu Rangsang Madu itu.

"Apa maksudmu memandangiku begitu, Pelangi Sutera?!" sapa Jelita Bule dengan nada menghardik.

"Aku hanya ingin melihat wajah orang lancang, yang berniat mengorbankan jiwa tak bersalah sebagai tumbal kesembuhan orang lain!" kata Sumbaruni dengan ketus.

"Apa maksudmu berkata begitu?!" sentak Pesona Indah yang tampak siap menyerang sewaktu-waktu.

"Aku tak Izinkan Pendekar Mabuk pergi ke Pulau Selayang! Aku mendengarnya dari Setan Arak, bahwa ratu kalian terkena Racun Bulan Madu milik Nyai Sunti Rahim. Aku bisa mengetahui kekuatan racun itu, tak akan bisa disembuhkanoleh siapa pun kecuali oieh darah Pendekar Mabuk. Itu sama saja kalian menghendaki kematian Suto Sinting sebagai tumbal kesembuhan ratu kalian! Aku tak rela kalau Pendekar Mabuk kalian jadikan tumbal. Bila perlu aku akan hadapi ratu kalian dengan caraku sendiri untuk menegur perintah ke-jinya itu!"

Sraangng...! Pesona Indah cabut pedang lebih dulu.

Sraang...! Sumbaruni juga mencabut pedangnya. Sementara itu Jelita Bule masih belum menghunus pedangnya, tapi tangan sudah menggenggam gagang pe­dang. la mundur dua langkah seakan berikan tempat buat Pesona Indah untuk lakukan serangan terhadap Sumbaruni yang dianggap berani menantang ratu mereka itu.

Tapi Suto Sinting segera melompat dan kini ada diatas atap barak juga.

"Sumbaruni, tahan kemarahanmu!"

"Kau pendekar bodoh!" geramnya dalam sentakan pelan. "Kau mau dijadikan tumbal kesembuhan Ratu Rangsang Madu, mengapa kau tidak menolak dan melawan niat mereka?!"

"Aku datang ke sana hanya untuk melihat sejauh mana kekuatan Racun Bulan Madu, dan dengan cara apa bisa disembuhkan tanpa menggunakan darahku! Kalau toh harus gunakan darahku, sebanyak apa yang dibutuhkannya. Jika hanya setetes dua tetes, apa sa-lahnya jika aku menoiong seseorang dengan memberikan darahku?"

"Darah yang dibutuhkan untuk memusnahkan racun itu adalah separo dari jumlah darah yang ada dalam tubuhmu. Dan itu berarti kau akan mati kehabisan da­rah, Suto!"

"Dari mana kau mengetahuinya?"

"Aku mempunyai iimu 'Getar Sukma' yang bisa mengukur kekuatan ilmu seseorang dan jenis-jenis iimu itu dengan hanya mendengar namanya saja. Tidak- kah kau ingat tentang iimu 'Getar Sukma'-ku itu, Suto Sinting?!"

Pendekar Mabuk segera tarik napas dalam-dalam. la terbungkam sesaat merenungi kata-kata itu. Jelita Bule berbisik kepada Pesona Indah,

"Rangse jasa, arbi dakti kinbi bibta bahru rankirpi!"
"Gutung ludu. Hatlih nyasantuspu."

Sementara itu Sumbaruni berkata kepada Suto, "Pikirkanlah langkahmu yang bodoh itu. Jangan kau ke-cewakan guru-gurumu hanya karena kematian murid bodohnya. Sebaiknya pulang saja, jangan mau peduli lagi tentang mereka!"

"Aku penasaran, ingin meiihat seperti apa kekuatan Racun Buian Madu di tanganku. Benarkah harus dengan cara mengorbankan jiwaku atau...."

"Pulang saja!" potong Sumbaruni dengan tegas, "Atas perintah gurumu, aku harus memaksamu pulang, Suto Sinting!"

"Sumbaruni!" seru Batuk Maragam. "Aku yang bertanggung jawab tentang keseiamatan Pendekar Mabuk selama di Pulau Selayang!"

"Kau tak tahu banyak tentang kekuatan Racun Bulan Madu itu, Brajamusti!" geram Sumbaruni dengan berani karena sebenarnya ia berusia sama dengan Batuk Maragam yang bernama asli Brajamusti itu.

"Tahu ataupun tidak tahu, aku yang bertanggung jawab atas keselamatan murid si Gila Tuak! Jadi kurasa kau tak perlu memaksanya untuk puiang!"

"Aku diperintahkan oieh si Gila Tuak!" sentak Sumbaruni. "Kalau kau mau berurusan dengan si Gila Tuak silakan saja! Aku tak mau ikut campur! Kalau kau tetap ingin bawa Suto Sinting ke Pulau Selayang, kau harus meminta izin kepada Gila Tuak dan Bidadari Jalang lebih dulu, Brajamusti!"

"Waktunya terlalu sempit," Brajamusti beralasan, setelah itu terbatuk-batuk sebentar, lalu berkata lagi, "Aku akan berurusan dengan Gila Tuak dan Bidadari Jalang sepulang kami dari Pulau Selayang!"

"Aku tetap tidak izinkan kalian membawa Suto ke sana!"

"Kaiau begitu aku harus memaksamu puiang sendiri dengan kekerasan, Pelangi Sutera!" ujar Pesona Indah dengan mata menyipit penuh tantangan.

Sumbaruni menatap Pesona Indah, tajam sekali tatapannya itu. Ternyata tatapan mata tersebut mempunyai gelombang tenaga dalam yang terpancar dan membuat Pesona indah bagai dibakar sekujur tubuhnya. Panas dan menyakitkan. Tetapi Pesona Indah sadar akan hal itu, maka ia segera kerahkan tenaga hawa dinginnya secara diam-diam untuk meiawan gelombang hawa panas itu. Tubuh Pesona Indah menjadi gemetar dan urat-urat iengannya tampak mengencang.

Jelita Bule tahu bahwa temannya sedang diserang. Maka dengan cepat ia lepaskan sinar kuning emasnya ke arah Sumbaruni. Ciaapp...! Suto Sinting yang meii­hat kiiatan cahaya kuning emas mengancam nyawa Sumbaruni. ia sendiri tak mau Sumbaruni menjadi korban perkara itu. Maka dengan sentakan cepat ia mendorong tubuh Sumbaruni hingga terjatuh, sementara Suto sendiri mundur dalam satu sentakan cepat.

Wuuuttt...!

Brruukk...!

Sumbaruni jatuh terpelanting tepat sinar kuning emas melintas di tempat berdiri semula, sedangkan Pendekar Mabuk yang menyentak mundur itu tak perhitungkan langkah hingga ia jatuh ke laut. Byuuurr...!

Sumbaruni yang merasa telah diserang terang-te-rangan segera lepaskan pukuian peiumpuh yang beru-pa sinar kuning berbentuk seperti bintang dengan cara melemparkannya menggunakan tangan kiri. Slaapp...! Slaapp...! Sinar kuning itu bergerak dengan cepat. Jika bukan orang berilmu tinggi seperti Batuk Maragam atau Pendekar Mabuk, tak bisa meiihat bentuk sinar kuning itu. Ternyata sinar kuning tersebut tepat kenai uiu hati dan pinggang kedua utusan tersebut. Jeebs, jleebs...!

Brruukk...! Kedua utusan Pulau Selayang roboh di tempat bagaikan kehilangan seluruh tenaganya. Tak satu jari pun bisa digerakkan oleh Jelita Bule maupun Pesona Indah. Bahkan ketika mereka mengerang, suara mereka lirih sekali karena seluruh tenaganya bagaikan lenyap seketika itu. Brruss...!

Sesosok tubuh melompat dari kedalaman air dan hinggap di tepian lambung perahu. Sosok tubuh itu adalah Pendekar Mabuk yang tadi terjatuh karena bergerak mundur tanpa perhitungan. Kemunculan Suto dari dalam laut sebenarnya ingin mencegah terjadinya pertarungan yang membahayakan kedua utusan tersebut. Sebab Suto Sinting tahu bahwa Sumbaruni mempunyai ilmu lebih tinggi daripada ilmu yang dimiliki Jelita Bule dan Pesona indah. Tetapi agaknya dia sudah terlambat. Kedua utusan itu telanjur lumpuh mendadak bagai kehilangan seluruh ilmunya.

"Sumbaruni!" sentak Suto. "Aku tak setuju kau mempergunakan pukulan 'Anak Rembuian'-mu itu! Kau curang!"

"Aku tak peduli! Tugasku hanya membawa kau pulang dan menghadapkan kepada kedua gurumu yang sekarang berkumpul di Jurang Lindu!" kata Sumbaruni hanya sekadar mempengaruhi pikiran Suto, padahal ia tidak mempunyai perintah apa-apa, bahkan bertemu dengan Gila Tuak pun tidak, selain hanya bertemu si Setan Arak alias Bongkok Sepuh.

Pande Bungkus yang melihat Pesona Indah jatuh lumpuh segera mencari simpanan batu kerikiinya yang sudah dipersiapkan sebelum perahu berlayar dari pantai. Batu itu ada yang disembunyikan di buritan, galang-an, bawah tiang layar dan di beberapa tempat iainnya. Batu itu segera diambilnya salah satu, lalu dipasang pa- da ketapelnya. Dengan berlindung tiang layar, Pande Bungkus melepaskan ketapelnya ke arah Sumbaruni. Breeett...! Weess...!

Sumbaruni menyangka mendapat serangan berbahaya, ia segera kibaskan pedangnya ke samping. Trrrilng...! Batu Itu berhasil dibelah dengan pedangnya sambii tubuh meliuk ke samping untuk hindari batu tersebut. Karena tak ada ledakan apa pun, maka Sumbaruni tahu batu itu hanyalah batu biasa tanpa tenaga dalam. Matanya segera memandang tajam ke arah Pande Bungkus yang ketakutan dan bersembunyi di balik tiang. Sumbaruni melompat turun ke geladak dan ingin hampiri Pande Bungkus. Tetapi Batuk Maragam segera lompat ke depan dan tegak dl hadapan Sumbaruni. Langkah wanita cantik berkesan galak itu pun terhenti dan mata menatap tajam pada Batuk Maragam.

"Jangan sangka aku mundur walau kau yang maju, Brajamusti!" geram Sumbaruni. "Bagaimanapun juga aku akan berusaha membawa puiang Suto Sinting!"

"Agaknya memang harus begitu; kita berhadapan dan saling pertahankan pendirian masing-masing, Sumbaruni!"

Setelah berkata demikian, Brajamusti pun lepaskan suara batuknya yang mengandung kekuatan tenaga dalam, "Uhuk, uhuk, ehek, ohok, ihuk, Ihuk, ihiikk!"

Tubuh Sumbaruni terpental ke sana-sini bagai menghindarl gelombang getaran tenaga dalam yang memekakkan telinganya dan menyambar tubuhnya kian kemari. Telinga Sumbaruni hampir saja pecah jika ia tidak imbangi dengan suara siulan dari mulutnya yang dinamakan jurus 'Siulan Hantu' itu.

"Siiuutt... ! siuuttt... siiuuutt...!"
Krrraaak... ! Braaakk... !

Tiang layang patah dan tumbang ke buritan. Hampir saja tubuh Pande Bungkus terhimpit tiang layar itu. Siulan tersebut hadirkan kekuatan tenaga dalam cukup besar hingga dapat patahkan tiang layar. Tentu saja Batuk Maragam merasakan sentakan kuat di telinganya kala siulan itu melengking tinggi.

Suto Sinting yang baru saja mau tuangkan tuak ke mulut Jelita Bule menjadi terkejut dan tersentak mendengar siulan itu. ia bahkan sempat mundur selangkah dari jongkoknya dan segera tahan napas untuk kerahkan tenaga pembendung suara itu. Dengan demikian Pendekar Mabuk bisa atasi gelombang suara bertenaga pemecah gendang telinga. Telinganya tidak mengalami luka, namun ia segera meiihat darah mengaliir dari lubang telinga Jelita Bule, juga lubang telinga Pesona Indah. Sedangkan Pande Bungkus sibuk membebaskan diri dari layar yang membungkus tubuhnya dan robek di beberapa tempat itu.

"Bahaya! Sumbaruni mengamuk kepada Paman Batuk Maragam yang jadi korban pihak lain! Kutunda dulu pengobatan kepada Jelita Bule dan Pesona indah...!" pikir Suto segera bangkit dan menutup bumbung tuaknya.

Batuk Maragam lepaskan pukuian tanpa sinar dari jarak jauh ke tubuh Sumbaruni yang sudah berada di atas atap barak lagi itu. Wuuutt...! Pukuilan dari sodokan empat jari tangan kanannya itu segera ditahan dengan tangan kiri Sumbaruni yang merentangkan telapak tangannya tepat di ulu hati. Deeb...! Telapak tangan itu langsung berasap dan melepuh karena tak kuat menahan hawa panas tinggi dari pukulan jarak jauh Batuk Maragam.

Sumbaruni buru-buru mengibaskan tangannya sambil sentakkan kaki dan meienting di udara. ia ber-saito satu kali, hingga di tepian lambung, menyentak-kan kaki lagi sehingga tubuhnya melesat bagaikan ter-bang sambii mengibaskan pedangnya ke arah Batuk Maragam. Weesss...! Trang, trang, trang...!

Tiga kali tebasan pedang Sumbaruni hanya ditang-kis dengan kelebatan tangan kanan-kiri. Lengan Batuk Maragam bisa mengeras seperti baja yang mampu memercikkan bunga api ketika beradu dengan pedang Sumbaruni.

Plaakk ..! Tangan itu berkelebat menampar wajah Sumbaruni dan dalam satu tamparan saja wajah perempuan cantik itu menjadi biru legam separo bagian. Tu­buhnya terlempar, jatuh membentur dinding barak. Braakk...! Dinding barak dari kayu jati pecah sebagian akibat benturan tubuh Sumbaruni.

"Celaka! Dia benar-benar kerahkan tenaga untuk membunuhku?" pikir Sumbaruni dengan mengibaskan kepalanya karena pandangan matanya menjadi buram dan rasa panas menyengat sekujur kepala. Sumbaruni ingin lepaskan tenaga daiamnya dari tangan kiri, tetapi tangan kirinya sudah telanjur meiepuh dan berwarna merah matang. Namun ia segera bangkit dan masih berusaha menghadapi Batuk Maragam dengan pedang di tangan kanannya.

Batuk Maragam bergerak tak terlihat. Tahu-tahu sudah berada di belakang Sumbaruni. Naiuri perempuan itu terpasang dengan peka, sehingga ketika ia rasakan ada hembusan udara panas dari arah belakang, ia segera putarkan tubuh dan kakinya berkelebat menendang.

Wuuu...! Wuuuss...! Plookk...!

Wajah Batuk Maragam tertampar oleh tendangan kaki Sumbaruni. Sementara pukulan tenaga dalam yang keluar dari telapak tangan Batuk Maragam melemparkan tubuh Sumbaruni jatuh ke perairan laut. Byuurrr...! Batuk Maragam sendiri teriempar ke samping, membentur dinding barak dengan keras. Braakkk...!

"Celaka kalau begini!" gumam Suto sendirian. "Bagaimana aku harus meleraikan pertarungan mereka?! Mereka tampak menggunakan jurus-jurus maut! Salah-salah nyawaku bisa jadi korban kemurkaan mereka."

"Kang, tolong aku, Kang!" terdengar suara Pande Bungkus sedang berkutat keblngungan keluar dari kain iayar yang membungkusnya. Suto Sinting terpaksa membantunya keluar dari selubung kain layar itu. Perahu itu terapung-apung dipermainkan ombak yang kian membesar akibat senja semakin tua, matahari tinggal mengintip separo bagian dl cakrawala merah sana.

Brruusss...! Sumbaruni melompat dari kedalaman laut, langsung hinggap di tepian perahu. Kemunculan-nya segera disambut oleh Batuk Maragam dengan ge­rakan tubuh yang melayang menerjang cepat. Wuusss...! Tetapi tubuh itu pun segera disongsong oieh jurus pedang Sumbaruni yang membuat tubuhnya Ikut melayang menerjang lawan. Akibatnya, ujung pedang Sumbaruni dihujamkan ke dada Batuk Maragam dengan telak sekali dan terlihat jelas oleh Pendekar Mabuk.

Suutt...!
Traaang...!

Telapak tangan Batuk Maragam menghadang tepat di ujung pedang. Telapak tangan itu pun berubah bagaikan baja yang tak mampu ditembus ujung pedang Sumbaruni. Benturan ujung pedang dengan telapak tangan membuat Sumbaruni terpental mundur kembali, demikian pula tubuh Batuk Maragam. Tapi keduanya mendaratkan kakinya di tepian lambung perahu saling berseberangan.

"Sumbaruni! Hentikan pertarungan ini! Hentikan...!" teriak Pendekar Mabuk. "Paman, jangan teruskan pertarungan ini! Berhentilah kalian!"

Rupanya teriakan Suto Sinting tak dihiraukan oleh mereka. Terbukti tubuh mereka saling melesat sama-sama melayang di udara dan saling berbenturan kem­bali. Kali ini tangan Batuk Maragam menyala merah bara keduanya. Berkelebat dengan cepat memainkan jurus dalam keadaan melayang, sedangkan Sumbaruni sendiri mempunyai pedang yang juga menyala merah bara karena disaluri tenaga dalam yang tinggi. Bau besi terbakar menyebar karena arah angin menuju ke tempat Suto Sinting berdiri.

Ketika keduanya saling beradu kecepatan tangan dl udara menimbulkan suara denting bergemerincing, Pendekar Mabuk menerjang dengan satu gerakan me­lompat cepat ke arah mereka bagaikan angin berkelebat. Wuusss...!

Beeenggg...!

Tubuh Suto Sinting terlempar sebelum menyentuh tubuh mereka. Gelombang tenaga dalam terpancar dari tubuh kedua tokoh yang bertarung itu. Rupanya gelom­bang tenaga dalam yang terpancar itu sama-sama besar dan kuatnya, sehingga ketika tubuh Pendekar Mabuk menerjangnya bersama bumbung tuak di pundak kiri, kekuatan terjang Suto Sinting itu menimbulkan benturan keras dengan gelombang tenaga dalam itu.

Byuuurrr...! Pendekar Mabuk jatuh ke lautan dalam jarak tiga tombak dari perahunya. Bumbung tuaknya teriempar lepas dari tangan.

"Kang Sutooo...!" teriak Pande Bungkus sekuat tenaga. Teriakan itu membuat Batuk Maragam dan Sumbaruni yang berdiri di tepian lambung perahu setelah sama-sama tersentak mundur itu memandang dengan kaget. Mereka sama-sama hentikan serangan dan memperhatikan arah jatuhnya Pendekar Mabuk.

"Kalian jahat! Kalian membuat Kang Suto tenggelam!" teriak Pande Bungkus kepada Batuk Maragam dan Sumbaruni yang terengah-engah dengan wajah ha-ngus sebelah. Mereka tetap membisu dan memandang cemas ke arah jatuhnya bumbung bambu dan ke arah jatuhnya tubuh Pendekar Mabuk.

Mereka semakin lebih cemas lagi karena sampai sekian lama Pendekar Mabuk tidak muncul, bumbung tuaknya pun tenggelam tak terlihat kemunculannya lagi. Sumbaruni sempat membatin,

"Ada apa di dasar laut sana? Mengapa Suto tidak muncul lagi? Apakah ia tenggelam atau sengaja bersembunyi di bawah sana? Tapi sudah sangat lama ia sembunyi di sana, mampukah ia menahan napasnya selama ini?"

Batuk Maragam pun membatin, "Jangan-jangan ia tergencet celah karang dan tak bisa keluar dari sana? Hmm...! Bumbung tuaknya terpisah darinya. Tapi mengapa tenggelam terus? Mestinya bumbung tuak itu muncul lagi di permukaan air. Ah, aku jadi curiga dengan nasibnya! Aku bisa celaka kalau dia benar-benar dalam bahaya besar di sana! Gila Tuak pasti akan murka kepadaku dan aku tak akan sanggup menandingi ilmunya Gila Tuak!"

Wajah cemas Batuk Maragam kian jelas. la bergegas ke buritan, Sumbaruni pun ke sana. Keduanya berdiri berjajar menunggu kemunculan Pendekar Mabuk.SAMPAI tengah malam mereka menunggu kemunculan Pendekar Mabuk dan mencarinya berulang kali, tapi Pendekar Mabuk dan bumbung tuaknya tidak ditemukan oieh mereka. Hampir saja Sumbaruni beradu nyawa dengan Batuk Maragam karena saling salah-menyalahkan. Untung keduanya segera sadar bahwa pertengkaran mulut mereka tidak membawa hasil yang diharapkan, yaitu kemunculan Suto Sinting kembali.

"Baiklah kita akui semua ini kesalahan kita berdua!" kata Batuk Maragam. "Sebaiknya kita pula yang ber-tanggung jawab atas hilangnya Pendekar Mabuk!"

"Kalau sudah begini apa yang harus kita lakukan?!" tanya Sumbaruni sambii hempaskan napas kekesalan hatinya. ia sudah berhasil sembuhkan luka meiepuh di tangannya itu, dan luka hangus di sebagian wajahnya pun mampu disembuhkan sendiri dengan mengerah-kan hawa murninya ke bagian yang terluka. Bahkan atas bujukan Batuk Maragam, Sumbaruni sembuhkan Jeiita Buie dan Pesona indah dari kelumpuhan dengan menggunakan jurus 'Lidah Mentari' yang berupa sinar putih dari telunjuknya itu.

Hampir saja Jelita Buie marah besar mendengar Suto Sinting hilang bagaikan tertelan ombak lautan. Untung Batuk Maragam segera berkata,

"Kalian tak perlu khawatir, tak akan disalahkan oleh Ratu Rangsang Madu. Aku akan bicara dengannya dan bertanggung jawab atas hilangnya Tabib Darah Tuak itu! Kalau ratu kalian mau marah, biarlah marah kepadaku!"

"Itu bisa saja diatur," kata Jelita Bule. "Tapi bagaimana dengan nasib ratu kami yang terserang Racun Bulan Madu itu?!"

"Beliau akan kecewa sekali karena hanya darah Tabib Darah Tuak yang diharapkan dapat menawarkan racun tersebut," timpal Pesona Indah dengan melirik dongkol kepada Sumbaruni. "Gara-gara kau semuanya jadi kacau!"

"Aku hanya tak rela kalau ia mati!" kata Sumbaruni dengan nada dingin.

Ada dua pihak yang kehendaki hadirnya Suto Sinting; Ratu Rangsang Madu dan Raja Kulana Baham dari Tanah Hindus. Keduanya sama-sama membutuhkan penyembuhan yang hanya bisa dilakukan oleh Pende-kar Mabuk. Keduanya sama- sama mendengar nama Tabib Darah Tuak dari mulut orang-orang yang kagum ke­pada cara penyembuhan Pendekar Mabuk itu. Sementara Pendekar Mabuk sendiri menolak dirinya dikatakan sebagai tabib.

Tetapi agaknya ada pihak lain yang membantu Ratu Rangsang Madu. Pihak lain itu tentunya punya maksud tersendiri untuk kepentingan pribadi atau kepentingan perguruannya. Maksud tersebut tak jelas dan tak mudah dipahami, karena Suto merasa habis mengalami masa pingsan yang panjang. Begitu sadar ia sudah berada di depan gerbang sebuah istana megah.

"Siapa yang membawaku kemari?" pikirnya dengan heran dan memandang ke sana-sini.

Pemandangan pagi di sebuah tempat yang asing baginya itu telah mem­buat Suto Sinting seperti pemuda bodoh yang clingak-clinguk sambil garuk-garuk kepala. la pun terkejut ketika melihat bumbung tuaknya ada di balik pohon itu, disandarkan dalam keadaan berdiri. Padahal seingatnya ketika ia terlempar dari perahu, bumbung tuaknya terlepas dan terlempar entah ke mana.Mata Pendekar Mabuk terkesiap ketika memandang ke arah bangunan megah berbenteng putih dan berpintu gerbang warna hijau muda. Bangunan itu jelas sebuah istana. Jaraknya dengan tempat tersebut sekitar lima puluh langkah. Bangunan istana itu tampak asing bagi Pendekar Mabuk, sehingga terdengar gumam dari mulutnya yang seolah-olah bicara dengan diri sendiri.

"Istana Muara Singa? Oh, bukan! Istana Negeri Kencana Ringgit? Juga bukan! Lalu aku ini ada di depan istana apa?"

Bluub...! Tiba-tiba segumpal asap berhembus dari sebuah letupan yang terjadi di tanah samping kiri Suto Sinting. Kala itu Pendekar Mabuk baru saja selesai menenggak tuak dan menutup bumbung bambunya. Asap itu lama-lama memudar dan sesosok tubuh tua dengan keadaan serba putih terlihat jelas berdiri di sana. Suto Sinting berkerut dahi dengan rasa kaget dan heran.

"Kakek serba putih...?!" ucapnya dalam hati. "Aneh. Orang tua ini sepertinya seialu mengikutiku. Apa maksudnya?"

Kakek serba putih yang tak lain adalah Setan Merakyat, kakak dari si Bongkok Sepuh itu, tampak sunggingkan senyum tuanya dan berjalan pelan, tertatih-tatih dekati Pendekar Mabuk.

"Akhirnya kau sampai juga kemari, Anak Muda."

"Kaukah yang selamatkan aku dari laut dan membawanya kemari?" tanya Suto dengan nada pelan karena masih tercekam rasa heran.

"Aku sekadar selamatkan calon muridku saja," kata Setan Merakyat yang membuat dahi Suto kian berkerut.

"Aku tak paham maksud kata-katamu, Kakek Setan Merakyat."
"Oho, ho, ho, ho... rupanya kau sudah mengetahui namaku, Suto?"
"Ki Bongkok Sepuh atau si Setan Arak yang mem-beritahukan namamu."

"Bagus sekali! Sudah kuduga kau akan mengetahui namaku tanpa mendengar dari mulutku sendiri!" Setan Merakyat kian dekat, lalu pundak Suto ditepuk-te- puknya. la memaparkan wajah bangganya.

"Maukah kau menjelaskan apa maksudmu membawaku kemari, Keek?"
"Aku membawamu kemari karena di sinilah tempat tujuan perjalananmu."
"Maksudnya perjalanan apa?"
"Bukankah kau dan Brajamusti sedang menuju Pulau Selayang, untuk menemui Ratu Rangsang Madu?"

"Benar. Apakah ini Negeri Malaga, tempat sang Ratu Rangsang Madu bertakhta?" tanya Suto dengan nada bimbang. Setan Merakyat manggut-manggut.

'Kau cerdas menyimpulkan perkataan seseorang, Anak Muda. Aku sengaja membawamu kemari ketika kau pingsan di dalam lautan, karena aku pun inginkan kau sembuhkan Ratu Rangsang Madu dari cekaman Racun Bulan Madu itu."

"Mengapa kau menginginkan demikian pula?"
"Ratu itu adalah anak angkatku."
"Maksudmu, Mustikasari adalah anak angkatmu?"
"Yang menjadi ratu di negeri ini sekarang bukan Mustikasari, tetapi anaknya yang bernama Indriani Puspita Dewi."

Suto Sinting tertegun sejenak, mengingat-ingat cerita yang dituturkan oleh Batuk Maragam tentang anak gadis Mustikasari yang dibuang itu. Bahkan Pendekar Mabuk berani membantah kata-kata Setan Merakyat atas dasar cerita itu.

"Bukankah anak itu sudah dibuang oieh Mustikasari, dan menjadi tugas Batuk Maragam untuk menemu-kannya kembali jika hubungan mereka ingin berlanjut?" "Memang dibuang. Dan akulah yang menemukan anak itu, lalu tanpa setahu siapa pun kubesarkan anak Itu di Puncak Gunung Kemuning, kudidik sebagai muridku, namun tak sampai tamat ia sudah telanjur ingin menemui ibunya. Ketika kuantarkan kemari, Mustikasari dalam keadaan sakit parah. Anak itu sempat hidup bersama Ibunya selama delapan bulan. Setelah ibunya meninggal, ia mewarisi takhta kerajaan dan diminta untuk tetap menggunakan nama Ratu Rangsang Madu. Karena kedua perempuan itu ternyata sama-sama menyukai madu lebah hutan. Wajah mereka tidak jauh berbeda, tapi beberapa slfatnya memang ada yang berbeda."

Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala menandakan telah mengerti keadaan sang Ratu yang sebenarnya. Setan Merakyat kelihatan senang sekali melihat Suto Sinting memahami ceritanya. Sedangkan Suto sendiri segera ajukan tanya,

"Apakah Setan Arak juga mengetahui siapa Ratu yang sekarang?"

"Tidak," jawab Setan Merakyat. "Selama aku mendidik anak itu aku tak pernah keluar dari pesanggrahan. Tak seorang pun yang tahu aku mendidik anak itu, karena tak seorang pun yang bisa temukan diri kami di Puncak Gunung Kemuning itu."

"Mengapa segalanya bersifat rahasia?"

"Karena aku takut adikku tersinggung dan meng-anggapku ikut campur urusan pribadinya. Tentunya kau sudah mendengar bahwa Mustikasari hamil tanpa suami?"

"Benar. Aku sudah mendengarnya."

"Waktu itu Setan Arak bermusuhan dengan Batuk Maragam. Jika aku merawat anaknya Batuk Maragam maka Setan Arak akan menganggapku memihak Batuk Maragam. Padahal hal itu kulakukan semata-mata karena kasihan kepada sang bayi. Jadi untuk menghindari pertengkaran antara aku dengan adikku, maka terpak-sa segalanya kulakukan secara diam-diam."

Pendekar Mabuk manggut-manggut kembali. Setan Merakyat berkata,

"Sekarang secara pribadi aku memohonmu menyembuhkan anak angkatku itu dari keganasan Racun Bulan Madu. Jika dia takterkena Ra-cun Bulan Madu, mungkin aku masih diam di pertapa-anku itu."

Setelah diam sesaat, Pendekar Mabuk pun berkata, "Kakek Setan Merakyat, benarkah racun itu hanya bisa dipunahkan oleh darah tuakku?"

"Benar."
"Apakah itu akan membawa kematianku?"

"Tidak, Anak Muda. Memang pada dasarnya racun itu hanya bisa disembuhkan oleh darahmu, tetapi se-sungguhnya bukan karena darah racun itu menjadi ta-war, melainkan karena darahmu sudah mengandung tuak sakti, sehingga tuak itulah yang sebenarnya menyembuhkan atau menawarkan racun tersebut. Jadi, mereka agaknya punya salah penafslran. Bukan darahmu yang menyembuhkan sang Ratu nantinya, melainkan tuakmu. Siapa pun orangnya yang telah pernah meminum tuak saktimu ia akan mempunyal darah ber-jenis darah tuak. Darah mereka bisa menawarkan racun itu jika diminum sang Ratu. Dan hanya itu kelebihan orang yang punya darah mengandung tuak saktimu, tak bisa untuk kepentingan yang lain. Tetapi siapa orangnya yang mau berkorban diminum darahnya agak ba-nyak walau darahnya itu mengandung tuak racunmu. Dia akan mati."

"Jadi... sebenarnya tuakku inilah yang dlbutuhkan untuk menawarkan Racun Bulan Madu I tu?"
" Benar! Sebaiknya pergilah sekarang juga dan te-muilah sang Ratu. Aku tak bisa mengantarmu sampai ke istana."

"Apa sebabnya?" tanya Suto yang selalu ingln tahu.

"Aku sudah dilupakan oleh Indriani Puspita Dewi," jawabnya dengan nada sedikit sendu. "Sejak ia menjadi ratu, ia tak pernah menengokku, tak pernah kirlm utus-an padaku atau mengundangku untuk datang. Aku me-rasa telah dilupakan olehnya, dan aku tak akan datang jika tidak diundangnya."

Hati Pendekar Mabuk seketika menjadi haru, seakan ia dapat rasakan kesedihan Setan Merakyat pada saat itu juga. Barangkali Setan Merakyat klrimkan rasa ke kalbu sang pendekar, sehingga sang pendekar lang-siing menangis dalam hatinya.

"Mengapa kau masih mau mempedulikan kesela-matan anak yang melupakan dirlmu itu, Kakek Setan Merakyat?"

"Rasa kasih tidak mengenal pembalasan. Rasa kasih hanya mengenal kasih dan sayang tanpa benci dan murka di dalamnya. Karena sifat bumi yang ada padaku sangat menyatu dengan sifat air yang selalu ingin kucurahkan padanya."

"Apa maksudnya sifat bumi dalam ucapanmu, Kek?"

"Bumi adalah kedamaian. Pernahkah kau melihat bumi melawanmu ketika ia kau injak atau kau cangkuli? Bukankah bumi justru tetap memberikan kehidupan pa­da saat ia dicangkuli hingga hancur?"

"Lalu sifat air yang kau maksudkan?"

"Air adalah kesejukan. la mampu memadamkan api yang ada di dalam diri kita, yaitu api kemarahan dan api murka. Jika kesejukan dan kebeningan itu berkuasa dalam dirimu, maka kau hanya akan mengenal kasih dan sayang yang senantiasa ingin kau curahkan kepada setiap orang."

Pendekar Mabuk segera menunduk, sedikit membungkuk sebagai rasa hormat atas pelajaran baru yang diterimanya diluar dugaan. la merasa bangga menerima pelajaran tersebut, sehingga mengerti bagaimana seharusnya mengendaiikan hidup di padang kehidupan ini. Pelajaran yang sederhana itu diterimanya sebagai pelajaran yang amat berharga, melebihi sebuah jurus dahsyat pelebur gunung.

"Manusia adalah bagian dari keempat sifat; bumi, air, angin, dan api. Jika sifat api dan angin lebih besar, maka kau akan dikuasai oieh tindak angkara murka yang membahayakan bagi kepentingan hidupmu mau-pun kepentingan orang lain. Hendaknya memang keempat sifat Itu tumbuh dalam jiwamu secara bersama-an, karena manusia yang kehiiangan sifat apinya, ia tidak mampu mempertahankan kehidupannya. Di dalam api itu ada kehidupan, tapi di dalam kehidupan Itu ter-dapat banyak ragam api yang membahayakan jika tidak terkendali secara baik."

"Terima kasih atas wejanganmu, Kakek Setan Merakyat! Seperti mimpi aku menerima wejangan yang amat berharga seperti ini," tutur Suto penuh hormat.

"Apakah gurumu tak pernah menjabarkan makna keempat unsur dalam diri kita itu, Anak Muda?"
"Tidak segamblang ini, Kakek Setan Merakyat!"

"Barangkali Gila Tuak belum sempat menjabarkan secara gamblang tapi kau sudah lebih dulu turun gunung menembus belantara kehidupan," kata Setan Me­rakyat dengan sikap menutupi keiemahan gurunya Suto Sinting. Dan sikap itu pun mendapat pujian di hati sang murid.

Pendekar Mabuk akhirnya melangkah menuju istana Malaga. Seorang penjaga gerbang mengantarkan Pendekar Mabuk sampai ke serambi istana. Dari sana Suto diantar memasuki bangsal pertemuan setelah seorang pengawal lainnya memberitahukan kedatangan Suto Sinting kepada sang Ratu.

Rasa risi menggeluti hati.Suto Sinting ketika menunggu kemunculan sang Ratu, karena para pengawal maupun pelayan istana yang pada umumnya terdiri dari gadis-gadis cantik itu saling membisikkan kata kepada temannya, memandangi Suto Sinting sambii berkasak-kusuk cekikikan. Bahkan ada yang tertawa lepas hingga mengundang perhatian Suto Sinting untuk menoleh kepadanya, dan prajurit pengawai istana itu menjadi malu, menyembunyikan wajahnya di punggung teman sendiri.

"Apakah kau tidak datang bersama Jelita Bule dan Pesona Indah?" tanya seorang pengawal istana yang bertugas menerima setiap tamu sebelum Ratu mene- mui tamu tersebut.

"Tidak. Pada mulanya aku bersama mereka, tapi kami berpisah di perjalanan."
"Mengapa?"

"Aku bergerak lebih cepat dari mereka berdua," jawab Suto menutupi keadaan yang bisa membuat orang-orang istana Malaga akan marah jika disebutkan tentang rintangan yang datang dari Sumbaruni.

Seorang wanita cantik berusja sekitar dua puluh deiapan tahun, berwajah bulat telur tapi bermata sayu menggemaskan, muncul dari salah satusisi. Wanita itulah yang bernama Ratu Rangsang Madu atau Indriani Puspita Oewi. Tak heran jika para pejabat istana dan para pengawal lainnya segera menghaturkan sembah kepada si cantik bermahkota emas.

Suto Sinting lupa tak memberikan hormat karena terpukau memandang penampilan sang Ratu yang melebihl para prajurit atau pengawalnya. Jika para pengawalnya berpakaian seperti Jelita Bule dan Pesona Indah, maka sang Ratu lebih tipis lagi pakaiannya.

"Bisa mati kehabisan getaran jantung jika aku terlalu lama ada di sini," pikir Pendekar Mabuk dengan mata tak berkedip.

Sang Ratu berambut putih perak, lembut, dan halus. la mengenakan jubah hijau muda tertutup depan beiakang, tapi sangat tipis hingga bagian dalamnya terlihat jelas-jelas. Padahal bagian dalamnya hanya ditutup dengan kain secukupnya saja dari bahan kain emas. Dadany a mempunyai bentuk yang amat bagus, dan kain emas menutup hanya di ujung-ujungnya saja.

Demikian pula bagian bawahnya hanya tertutup kain emas secukupnya. Sangat kecil penutup itu, dan dihubungkan dengan tali benang emas yang juga tipis serta kecil. Padahal kulit tubuhnya putih mulus tanpa cacat dan mempunyai bentuk yang gempal tapi indah, mem-bangkitkan hasrat setiap lelaki yang memandangnya, termasuk Suto.

Karenanya Suto Sinting segera menyadari sikapnya dan tak berani terlalu sering memandang sang Ratu, sebab jubah hijau tipis itu mempunyai belahan setinggi hampir mencapai pinggul. Bila duduk, belahan kain itu menylngkap dan tampaklah paha yang dapat membuat kepala Suto menjadi berkunang-kunang. Sang Ratu sendiri sebenarnya dapat membawa diri sehingga tampH dengan tenang, penuh kharisma dan cahaya anggun yang memukau. Lehernya yang jenjang dan berkulit putih itu mengenakan kalung batuan ber-warna bening dalam bentuk seperti tetesan air. Ukuran batu bening itu sebesar ujung jarinya.

Batu itu bernama Batu Combong Raos. Warnanya bisa berubah-ubah tergantung perasaan si pemakainya. Kali Ini batu itu berwarna hijau, menandakan perasaan tertarik atau kasmaran bagi hati sang Ratu. Jika batu itu berwarna putih, berarti perasaan sang Ratu tenteram atau bahagia. Jika batu itu berubah warna biru, menandakan sang Ratu sedang sedih hatinya. Warna merah, sedang memendam kemarahan dalam hatinya.

Dalam beberapa saat setelah sang Ratu pandangi Suto Sinting, batuan itu berubah warna dari hijau menjadi ungu. Menurut cerita Setan Merakyat sebelum me- lepas kepergian Suto Sinting ke istana, jika batuan itu berwarna ungu, Suto harus cepat-cepat aiihkan pan­dangan matanya, sebab warna ungu menandakan hati sang Ratu sedang dicekam rasa bergairah ingin bercumbu. Tatapan mata sang Ratu dapat meluluhkan hati lelaki sekeras apa pun, jadi harus segera dihindari. Karenanya Suto Sinting buru-buru tundukkan pandang-annya, menatap bagian kaki indah sang Ratu yang mengenakan gelang kaki dari emas murni.

"Benarkah kau datang tanpa bersama Jelita Bule dan Pesona Indah, Pendekar Mabuk?" tanya sang Ratu dengan suara sedikit serak, bagai suara pemancing gairah lelaki.

"Benar," jawab Suto seraya memandangi wajah-wajah para pengawal dan pejabat istana yang mengelilinginya. "Aku datang tanpa mereka. Karena aku merasa ada orang yang sangat membutuhkan diriku. Aku harus cepat tiba di sini."

"Aku tak menyangka kalau kau mempunyai perasaan setajam itu, Pendekar Mabuk," kata sang Ratu. "Hanya saja, aku ingin tahu bagaimana caramu bisa sampai ke pulau ini dan langsung tiba di istanaku?"

"Seseorang memanduku datang kemari."
"Siapa orang tersebut?"

"Tokoh berusia lanjut yang sangat sayang kepadamu dan mendesakku agar cepat lakukan penyembuhan terhadap dirimu, Ratu."

Ratu Rangsang Madu yang memang pantas mempunyai nama itu, segera berkerut dahi mencari jawaban yang pasti. Tetapi karena ia tak punya jawaban yang pasti tentang seseorang yang amat sayang padanya itu, maka ia pun ajukan tanya,

"Siapa orang yang sayang sekali kepadaku itu?"

"Orang yang sayang kepadamu adalah orang yang membuatku menjadi mau mengorbankan apa saja demi kesembuhanmu, demi melepaskan dirimu dari Racun Bulan Madu yang berbahaya itu."

"Sebutkan siapa orangnya!" sang Ratu tak sabar, sehingga warna batunya berubah menjadi merah samar-samar.

Suto Sinting baru berani menatap karena batu sudah berubah merah samar- samar. Lalu dengan tegas ia berkata,

"Aku ingin kau mengingat dan mengenang seseorang yang amat berjasa dalam hidupmu. Jika kau tidak mengingatnya, aku tidak akan melakukan penyembuhan apa-apa pada dirimu, Indriani Puspita Dewil"
Ratu Rangsang Madu terkejut mendengar nama aslinya disebutkan oieh Suto Sinting. Seketika itu pula ia terbayang wajah tua seseorang yang berambut putih dan tinggal di Puncak Gunung Kemuning. Batu yang menjadi hiasan kalungnya itu berubah warna menjadi biru, menandakan hati sang Ratu sedang sedih.

"Bapa Guru Murdawira? Alias... si Setan Merakyat?"
"Kurasa ingatan seorang anak angkat masih cukup tajam untuk mengenang nama ayah angkatnya."
"Ya...," jawab sang Ratu semakin duka hatinya karena batu di kalungnya semakin berwarna biru.

"Aku... aku selama ini memang telah melupakan beliau. Tak pernah kirim kabar atau menjenguknya. Lalu... lalu di mana beliau?"

"Ada di luar, jauh dari gerbang istana."
"Mengapa tidak kau ajak datang bersamamu kemari?"
"Ki Setan Merakyat tak mau datang sebelum kau mengundangnya."

Ratu Rangsang Madu segera tarik napas, lalu memandang kepada pengawalnya dan ucapkan perintah, "Cari orang berambut putih dan berpakaian serba putih. Bawa beliau kemari, pergunakan tandu emas untuk menjemput beliau!"

Suto Sinting pun ikut hempaskan napas sebagai kelegaan dan rasa senang melihat sikap sesal sang Ratu. Ketika para pengawal pergi tunaikan tugas, sang Ratu pun berkata kepada Suto Sinting dengan mata kian sayu.

"Aku lalai. Aku memang salah. Kupikir Bapa Guru tidak mau menikmati kehidupan di istana yang masih bersifat duniawi ini. Aku tak pikirkan bahwa undangan-ku memang tak terlalu penting, tapi kehadiranku men-jenguk beliau di Puncak Gunung Kemuning adalah se-suatu yang amat berharga dalam hidup beliau."

"Aku bersyukur dan merasa senang melihat penye-salanmu. Kurasa memang sudah waktunya aku melihat kau tersenyum menyambut kedatangan Ki Setan Me­rakyat itu, Ratu Rangsang Madu."

"Barangkali untuk awalnya aku perlu tersenyum padamu sebagai ucapan terima kasih atas teguran halusmu tadi, Tabib Darah Tuak," ujarnya sambil menyunggingkan senyum dan Suto Sinting membalas dengan senyumannya yang biasa membuat hati wanita berdebar-debar itu. Terbukti batu di kalung sang Ratu berubah warna menjadi hijau kembali, sebagai lambang hati yang kasmaran.

"Ah, kenapa hatiku menjadi gundah dalam keindahan?" pikir Suto Sinting. "Mungkinkah karena aku telah memandang sorot matanya dalam keadaan ia sedang tersenyum? Celaka! Kalau sampai aku terpikat pada-nya, lalu mau dikemanakan calon istriku tercinta Dyah Sariningrum itu?"

Seorang pengawal gerbang datang menghadap dengan terburu-buru. Telinganya terpotong satu, darah pun bercucuran dari luka tersebut. Tentu saja kehadiran pengawal itu mengejutkan mereka yang tergabung dalam ruang pertemuan. Sang Ratu pun terperanjat te-gang walau sikapnya tetap tenang.

"Gusti Ratu... orang gila itu datang lagi dan mende-sak masuk kemari!" ujar si pengawal yang menahan rasa sakit akibat telinganya terpotong itu.

"Orang gila siapa maksudmu?!"
"Nyai Sunti Rahim."

Pendekar Mabuk terperanjat lagi. Sang Ratu segera bangkit berdiri dan serukan perintah kepada para pengawal pilihannya, "Tangkap dia hidup atau mati! Ja-ngan biarkan lolos lagi!"

"Biar aku yang menghadapinya!" sahut Suto Sinting. "Jangan korbankan rakyat dan prajuritmu terlalu banyak untuk menghadapi orang itu."

Kalung itu berubah warna menjadi merah. Mata Ratu Rangsang Madu memandang Suto dengan berbagai perasaan tak menentu, sedangkan Pendekar Mabuk segera berkata sambil menatapnya lekat-lekat,

"Izinkan aku menghadapinya!"
" Baik. Kuizinkan!"

menunggu lebih lama lagi, Suto Sinting segera melesat keluar dari paseban dan tahu-tahu sudah ada di luar benteng istana. Padahal pintu gerbang dalam keadaan tertutup rapat, hanya beberapa prajurit yang berhamburan keluar menahan amukan Nyai Sunti Rahim, setelah mereka berhamburan keluar gerbang ditutup kembali. Tapi ternyata Pendekar Mabuk bisa lekas sampai luar gerbang, karena tak seorang pun melihat gerakan Pendekar Mabuk melompati tembok benteng, melintas di atas kepala penjaga di sana.
Ratu Rangsang Madu menjadi cemas.

"Seharusnya ia tidak kuizinkan menghadapi Nyai Sunti Rahim. Seharusnya kutahan tabib itu agar tak terjadi apa-apa pada dirinya," pikir sang Ratu. "Jika ia sampai mati melawan Sunti Rahim, lalu bagaimana dengan racun yang mengancamku setiap malam ini?"

Lalu ia berseru, "Pengawal, dampingi aku keluar untuk membantu Tabib Darah Tuak agar tak celaka melawan Sunti Rahim!"

Kehadiran Suto Sinting ditandai dengan terlepasnya tenaga dalam dari jurus 'Jari Guntur' yang membuat Nyai Sunti Rahim terpelanting berjungkir balik ke be­lakang pada saat hendak lepaskan serangannya kepada dua prajurit.

Beehg...! Wuuurrt...! Brrukk...!

Nyai Sunti Rahim tak sempat jaga keseimbangan tubuh sehingga ia jatuh bersimpuh. Melihat hal itu para prajurit menjadi heran. Tapi segera menyingkir setelah mereka meiihat Pendekar Mabuk yang mereka kenal sebagai Tabib Darah Tuak muncul dengan gagahnya. Sepuluh prajurit yang mengepung Nyai Sunti Rahim segera melebarkan kepungannya. Mereka tetap berjaga-jaga dengan senjata masing-masing di tangan.

Nyai Sunti Rahim yang masih kelihatan cantik dan mungil itu segera bangkit dari jatuhnya. la sunggingkan senyum tipis begitu meiihat Suto Sinting tampil sebagai lawan tandingnya. Pendekar Mabuk menghadapi dengan tenang, bahkan sempat menenggak tuaknya beberapa teguk.

"Sudah kuduga kau ada di sini, karena kucium bau darah tuakmu, Suto!" ucap Nyai Sunti Rahim sambii hentikan langkah dalam jarak enam tindak di depan Suto Sinting.

"Kudengar kau telah mati masuk ke jurang karena melawan Brajamusti, Nyai!" kata Suto dengan kalem, senyumnya membayang tipis di wajah membuat beberapa prajurit pengepung merasa kagum atas ketenangan sikap Suto dalam menghadapi lawan yang mereka anggap sangat berbahaya itu.

"Kau kira Brajamusti mampu tumbangkan diriku? Hemm...!" Nyai Sunti Rahim mencibir angkuh. "Brajamusti bukan orang tandinganku. Dengan tipuan penyelamat diri seperti itu saja ia sudah terkecoh olehku!"

"Barangkali akulah orang yang menjadi tandingan-mu jika kau masih nekat mengacau kehidupan di Pulau Selayang ini, Nyai. Tapi kita bisa menjadi sahabat jika kau mau tinggalkan sikap angkaramurkamu itu!"

"Bocah kemarin sore sudah berani menasihati orang tua?! Hmm...! Agaknya kau perlu dihajar agar tahu adat bicara dengan orang tua, Suto Sinting! Hiah!"

Sentakan cepat terjadi pada tangan kiri Nyai Sunti Rahim yang ada di samping. Tangan kiri itu menyentak pendek, tapi hasilkan gelombang tenaga dalam jarak jauh yang tak diduga-duga oieh Pendekar Mabuk. Wuuss...! Beeehg...!

Suto Sinting teriempar melambung ke atas. Keseimbangan tubuhnya nyaris hilang karena sentakan itb amat mengejutkan dan perut Suto menjadi mual ingin muntah. Tapi Pendekar Mabuk cepat kuasai diri ketika tubuhnya bergerak turun, sehingga ia mampu menangkis pukuian kedua dari Nyai Sunti Rahim yang keluar dari telapak tangan kanan berupa sinar hijau lurus. Claaap...!

Traakk...! Sinar hijau kenai bumbung tuak, memantul balik lebih cepat dan lebih besar, sehingga Nyai Sunti Rahim terkejut dan berjumpalitan meninggalkan tempatnya berpijak.

Daarrr...! Sinar itu menghantam tanah, tanah menyembur ke atas dan membentuk lubang besar berwarna hitam dan mengepulkan asap putih tebal. Suto Sinting segera kejar Nyai Sunti Rahim dengan lompatan secepat kilat. Ziaap...! Tapi pada saat itu rupanya Nyai Sunti Rahim juga gunakan gerakan cepatnya untuk me­nerjang Pendekar Mabuk. Slaapp...! Breess...! Mereka bertabrakan di udara. Keduanya sama-sama terpental ke belakang dan saling jatuh tanpa keseimbangan ba-dan. Namun dalam sekejap keduanya sama-sama berdiri lagi.

Nyai Sunti Rahim sunggingkan senyum sinis sambil berkata, "Pulanglah, Nak. Tak perlu kau tawarkan racun itu karena bukan urusanmu!"

"Urusanku adalah urusan perdamaian. Jika kau mau berdamai aku pun akan meninggalkan tempat ini, Nyai!''

"Kau akan kehilangan masa depan jika tetap ngotot melawanku!"

"Aku sudah siap kehilangan apa saja demi membela kebenaran!" ujar Pendekar Mabuk dengan kalem namun bernada tegas.

"Apakah kau tak melihat di dadamu telah membekas dua totokan jari tanganku yang menghitam itu? Sebentar lagi kau pun akan terkena Racun Bulan Madu, Suto! Rasakanlah akibatnya setelah matahari terbenam," sambil senyum sinisnya diperlebar sedikit.

Suto Sinting sedikit terperanjat ketika melihat bekas totokan dua jari di dada kirinya yang menghitam,agak kebiru-biruan. Berarti pada waktu berbenturan di udara tadi Nyai Sunti Rahim berhasil totokkan dua Jarinya ke dada Suto dan totokan itu mengandung Racun Bulan Madu. Tapi Suto Sinting tak terlalu cemas karena sudah mengetahui penangkal racun itu. Kini Pendekar Mabuk berkata,

"Aku tak pernah gentar dengan racun apa pun yang kau miliki, Nyai Sunti Rahim. Tapi perhatikaniah dirimu sendiri yang sebentar lagi akan membusuk karena pukulanku yang membekas di tengah dadamu itul"

Nyai Sunti Rahim segera memperhatikan dadanya. Ternyata kain penutup dada montoknya bolong dan membekas bentuk telapak tangan. Bekas telapak ta­ngan itu terlihat membiru legam di permukaan kulit dada, tepat di pertengahan gumpalan besarnya, Nyai Sunti Rahim jelas-jelas terbelalak kaget karena ia tak merasakan pukulan tersebut, tahu-tahu membekas sehebat itu.

"Kurang ajar!" geram Nyai Sunti Rahim dengan ke-marahan yang meluap. "Dasar murid binal Bidadari Jalang! Kulumatkan seluruh tubuhmu sekarang juga! Heaaah...!"

...! Kaki Nyai Sunti Rahim menghentak bumi, dan dari matanya keluar beberapa jarum beracun yang mampu menghancurkan batu karang dan sangat ber­bahaya bagi nyawa manusia. Jarum itu jumlahnya lebih dari sepuluh batang. Menerjang ke arah Pendekar Mabuk secara bersamaan. Zraab...! Pada waktu itu Pendekar Mabuk baru saja menenggak tuaknya. Begitu melihat jarum-jarum itu menyerangnya, langsung tuak dalam mulut disemburkan sambil tubuhnya melenting ke atas dan melampaui ketinggian jarum-jarum itu.

Brruusss...!
Tar, tar, tar, pletar, traak... taar... tar, taaar...!

Jarum-jarum itu saling meletus hingga timbulkan suara berisik karena terkena semburan tuak Pendekar Mabuk. Hal itu membuat Nyai Sunti Rahim semakin jengkel, maka dilepaskanlah pukuian berbahaya yanng mampu membuat tubuh manusia hilang lenyap seketika jika terkena sinar merah yang melebar dari atas ke ba-wah. Wuuuttt...! Slaaapp...!

Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus pukuian 'Guntur Perkasa' yang mampu menembus dan sekaligus memadamkan sinar merah lebar itu. Claapp...! Weerrb! Sinar hijau dari tangan Suto Sinting itu berkelebat menghantam dada Nyai Sunti Rahim walau sudah memadamkan sinar merahnya lawan. Blaarrr...! Suara gelegar aneh terdengar bagaikan kilat mengamuk dalam pelariannya.

Pukulan itu tak bisa dihindari lagi oieh Nyai Sunti Rahim, sehingga perempuan itu diam mematung di tempat. Wajah dan beberapa tubuhnya tampak menghitam, yang lainnya kelihatan biru legam. la jatuh terkulai lemas dalam keadaan bersimpuh. Lama-lama jatuh terpuruk tak berdaya lagi. Kian lama bau busuk pun menyebar dan tubuh Nyai Sunti Rahim pun mulai ditumbuhi beiatung sebagai tanda bahwa tubuh itu cepat menjadi busuk dan tak bernyawa.

Para pengepung bersorak serentak sebagai tanda kemenangan di pihak pendekar tampan itu. Pintu gerbang pun dibuka, dan beberapa prajurit, pejabat, dan pengawal istana menghambur keluar menyambut kemenangan Pendekar Mabuk. Ratu Rangsang Madu sendiri ikut keluar dengan wajah ceria dan kebanggaan yang tiada tara. Batuan di kalungnya berwarna putih, menandakan hatinya sedang senang atau bahagia.

"Terima kasih, kau sungguh telah berbuat sesuatu yang amat besar bagi kehidupanku," kata sang Ratu setelah Pendekar Mabuk mengajarinya meneguk tuak dari bumbung. Walau sempat terbatuk-batuk, dan ditertawakan para abdinya, tapi sang Ratu merasakan kelegaan yang damai karena yakin bahwa Racun Bulan Madu akan lenyap dalam beberapa waktu lagi.

"Aku tak tahu harus bagaimana membalas jasamu, Tabib Darah Tuak!"

"Balaslah dengan bersikap baik kepada orang yang sedang diusung dengan tandu emas dan menuju kemari itu," kata Pendekar Mabuk seraya menunjuk ke arah selatan. Ternyata para pengusung tandu emas telah berhasil temukan Setan Merakyat dan sedang membawanya mendekati sang Ratu yang masih ada di depan pintu gerbang.

Ratu Rangsang Madu langsung bersujud di depan Setan Merakyat dengan air matanya berlinang sebagai tanda penyesalan dan duka. Tak berapa lama kemudian duka mengalir itu harus ditahan dan disimpan oleh sang Ratu, karena dari arah pantai muncul empat orang berlari-lari mendekatinya. Mereka adalah Jelita Bule, Pesona Indah, Batuk Maragam, dan Pande Bungkus. Di belakangnya melesat sesosok tubuh yang melintasi mereka dan lebih dulu tiba di samping Suto. Orang itu adalah Sumbaruni yang segera berkata,

"Syukurlah kau selamat! Hampir saja aku mati kekeringan air mata karena kupikir kau mati tenggelam di lautan."

Pande Bungkus yang terheran-heran meiihat Suto sudah sampai di situ lebih dulu hanya bisa terbengong memandangi Suto, lalu berbisik,

"Kapan kau bertarung dengan Syakuntala, Kang? Sebaiknya biar aku saja yang melawannya! "

Suto hanya tersenyum geli dan menepuk-nepuk pundak anak muda polos itu.
SELESAI
Selanjutnya : RACUN GUGAH JANTAN


        PENDEKAR MABUK