Trio Detektif - Misteri Kemelut Kembar(1)

THE MYSTERY OF THE DEADLY DOUBLE
by Alfred Hitchcock Text by William Arden.

TRIO DETEKTIF MISTERI KEMELUT KEMBAR
Alihbahasa: Agus Setiadi
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama Cetakan ketiga Oktober 1992


Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net

PESAN ALFRED HITCHCOCK
SELAMAT berjumpa, Penggemar petualangan misterius.
Dalam petualangan Trio Detektif kali ini kalian harus bersiap-siap menghadapi kejadian-kejadian yang begitu seram, sehingga bahkan aku pun merinding ketika mendengarnya! Dan yang paling menyeramkan adalah... tidak, aku tidak mampu mengatakannya! Lebih baik aku berbicara tentang kejadian lainnya dalam petualangan yang menegangkan syaraf ini.
Acara pesiar ke suatu taman hiburan terkenal menjelma menjadi pengalaman seram yang sekaligus juga memaksa ketiga anggota tim penyelidik remaja kita untuk mengerahkan segala kemampuan otak dan ketrampilan mereka. Bahaya dan peristiwa membingungkan menghadang di setiap sudut, sementara mereka berusaha membongkar suatu kasus kejahatan keji.
Penculikan! Pesan-pesan aneh! Petunjuk-petunjuk yang disembunyikan di depan hidung ketiga jagoan kita! Berbagai kekeliruan yang berbahaya! Jejak-jejak membingungkan dari seorang remaja yang berusaha melarikan diri! Belum lagi lawan yang nyaris berhasil menerobos masuk ke dalam markas rahasia Trio Detektif! Segala masalah itu nyaris melebihi kemampuan para penyelidik remaja kita.
Kasus kali ini merupakan tantangan bagi kemampuan ketiga remaja itu dalam menggunakan otak. Jupiter Jones yang cerdas dan tubuhnya agak bundar, yang kali ini bingung karena ternyata dijadikan sasaran aksi-aksi para penjahat, tidak bisa secara sepenuhnya memimpin kegiatan timnya. Hal itu menyebabkan Pete Crenshaw yang jangkung dan berotot kekar harus bisa menaklukkan perasaan gamangnya dan mengambil alih pimpinan. Sedang Bob Andrews, yang biasanya lebih banyak disibukkan oleh kegiatan penelitian, sekali ini mendapat peluang untuk membuktikan bahwa kecerdikannya setara dengan kecermatannya meneliti.
Ketiga detektif itu silih berganti diburu dan memburu, dari pangkalan barang-barang bekas milik paman dan bibi Jupiter sampai ke perbatasan Meksiko, dan jawaban yang akhirnya muncul-tidak! Aku masih saja tidak mampu menyebutkan kenyataan yang merupakan kunci penentu dalam petualangan kali ini! Karena bagiku, itu terlalu menyeramkan!
Karenanya kupersilakan agar kalian sendiri yang nanti menjumpainya. Selamat bermisteri!
Alfred Hitchcock

Bab 1
RECOK TANPA ALASAN

"JANGAN bergerak!" seru Pete Crenshaw.
Bob Andrews dan Jupiter Jones langsung bersikap seperti patung. Ketiga remaja itu sedang berada di kantor mereka yang merupakan markas Trio Detektif, perusahaan detektif swasta yang mereka kelola bersama-sama. Karavan tua itu tersembunyi letaknya di bawah rongsokan yang bertumpuk tinggi di dalam pekarangan The Jones Salvage Yard, sebuah perusahaan yang berdagang barang-barang bekas. Walau letaknya tersembunyi, tapi ada saja kemungkinan orang lain secara tidak sengaja menemukan salah satu jalan masuk ke situ. Bob dan Jupe melirik ke sana sini dengan seksama, sambil menajamkan pendengaran.
"A... ada apa, Pete?" tanya Bob berbisik.
Pete menatap kedua temannya dengan pandangan galak.
"Ada yang menyambar roti bekalku untuk makan siang!" tukasnya.
Bob melongo.
"Rotimu?" katanya. "Cuma itu-!"
"Bekal makan siangmu, Dua?" Jupiter ikut bertanya dengan nada bingung, karena merasa mungkin salah dengar. Pete tertawa.
"Aku cuma bercanda," kata remaja bertubuh jangkung itu. "Tapi bukan berarti bekalku itu tidak penting! Perutku sudah mulai protes, ingin cepat-cepat diisi."
"Lelucon yang tidak lucu," tukas Jupiter. "Keisengan seperti itu bisa berbahaya, tahu?! Kau kan kenal cerita anak yang suka menimbulkan kepanikan karena berteriak, 'Ada serigala!' Keisengan seperti itu bisa-"
"Sudah, jangan bicara panjang lebar lagi!" kata Pete memotong. Jupiter, pemimpin Trio Detektif yang berotak cerdas itu kadang-kadang bisa agak sok gayanya, apalagi jika merasa perlu memberi penjelasan panjang lebar. Bob dan Pete sering harus menyadarkan bahwa sikapnya itu menyebalkan bagi orang lain. "Mengaku sajalah, kau tadi pasti tidak bisa menahan diri ketika aku dan Bob sedang berada di luar, di bengkel. Pasti kau sendiri yang menyikat roti bekalku!"
Air muka Jupiter nampak memerah.
"Bukan aku yang mengambil!" tukasnya sengit. Karena tubuhnya tidak langsing, meski juga belum bisa dikatakan benar-benar gemuk, ia paling tidak suka jika ada yang menyindir bahwa ia tidak bisa menahan diri kalau melihat makanan.
"Yah," kata Pete ngotot, "tapi yang jelas, bekalku itu ada yang mengambil."
"Mungkin kau tadi membawanya ke luar, lalu melupakannya di sana," ujar Bob mengajukan dugaan.
"Entah di mana barang itu, nanti saja kita selesaikan urusannya," kata Jupe. Sikapnya sudah seperti biasa lagi. "Kita masih tetap belum mengambil keputusan, mau ke mana kita pesiar besok. Ini kesempatan terakhir bagi kita untuk mengalami sesuatu yang mengasyikkan, sebelum kembali bersekolah lagi. Karena kelihatannya saat ini tidak ada yang memerlukan tenaga kita sebagai penyelidik, dan karena sepanjang liburan musim panas kita sudah sibuk terus bekerja sebagai tenaga suruhan di perusahaan paman dan bibiku ini, kurasa sudah sepantasnya jika besok kita benar-benar melancong sepuas hati. Kita sudah sering ke Disneyland. Jadi bagaimana jika kita kali ini ke Magic Mountain. Aku belum pernah ke sana."
"Aku juga belum," kata Pete. "Ada apa di sana?"
"Tempat itu salah satu taman hiburan yang paling besar dan paling hebat di dunia," kata Bob bersemangat. "Di sana tidak ada barang-barang fantasi seperti di Disneyland. Tapi ada empat permainan kereta luncur di atas rel yang berbelok-belok dan turun naik. Satu di antaranya bahkan dilengkapi dengan belokan yang berbalik seratus delapan puluh derajat. Seram, deh-kepala kita ada di bawah pada saat membelok di situ! Ada pula dua kereta yang meluncur di semacam parit, yang di ujungnya ada kolamnya. Pada saat kereta mencebur ke situ, pakaian kita bisa basah kuyup tersiram! Belum lagi kincir ria jenis istimewa, yang lingkaran rodanya besar sekali. Ada barangkali, satu kilometer! Lalu sekitar tiga puluh tunggangan lainnya-dan semua boleh dinaiki dengan sekali saja membeli karcis masuk."
"Asyik juga kedengarannya," kata Pete.
"Baiklah, kalau begitu," kata Jupiter memutuskan. "Dan supaya lebih asyik lagi, kita ke sana dengan bergaya. Naik mobil Rolls-Royce! Aku sudah menelepon Worthington, katanya tidak ada orang lain memesan mobil itu untuk besok."
"Wow," kata Bob sambil tertawa senang. "Orang-orang yang melihat kita pasti mengira kita ini jutawan! Tak sabar lagi rasanya, ingin kulihat tampang mereka di sana pada saat kita muncul dengan mobil mahal itu."
"Kalau aku masih hidup saat itu." Pete mengerang. "Aduh, tidak sanggup lagi aku menahan lapar. Ayolah, di mana kalian sembunyikan bekal makan siangku?"
"Kami tidak menyembunyikannya, Pete," kata Bob bersungguh-sungguh.
"Tidak ada yang menyentuh makananmu itu, Dua," tukas Jupiter dengan nada sebal. "Mungkin kau tadi memang membawanya ketika pergi ke bengkel kita yang di luar. Kita cari sajalah di sana, karena kalau tidak, rencana pesiar besok bisa tidak selesai-selesai nanti."
Sambil bicara, Jupiter langsung mengangkat pintu tingkap yang terdapat di lantai karavan lalu menyusup ke bawah, masuk ke dalam Lorong Dua. Lorong tersembunyi itu merupakan jalan masuk utama ke kantor Trio Detektif, dan berupa pipa besi berukuran lumayan besar yang menjulur di bawah karavan dan tumpukan barang rongsokan yang ada di sekelilingnya. Pete yang bertubuh tinggi langsing, boleh dibilang harus merayap-rayap agar bisa melewati lorong berbentuk silinder panjang itu. Tapi ia masih lumayan, dibandingkan dengan pemimpin Trio Detektif yang terdengar mendengus-dengus di depan. Sedang Bob yang bertubuh paling kecil di antara mereka bertiga, sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ia bisa merangkak dengan cepat di belakang kedua temannya.
Tidak lama kemudian ketiga remaja itu muncul di ujung lorong. Kini mereka berada di bengkel Jupiter yang terletak di luar, di salah satu sudut sebelah depan dalam kompleks The Jones Salvage Yard. Bengkel itu dinaungi atap miring selebar hampir dua meter yang terpasang sepanjang sisi dalam pagar kompleks perusahaan tempat berjual beli barang-barang bekas itu. Tempat bengkel itu tersembunyi di balik barang rongsokan yang bertumpuk-tumpuk di sekelilingnya. Di situ ada mesin cetak yang mereka betulkan sendiri, serta berbagai perkakas yang mereka perlukan untuk mengutak-utik barang-barang bekas menjadi berbagai perlengkapan yang berguna bagi kegiatan penyelidikan mereka.
Di bengkel itu juga ada sebuah kursi, beberapa peti kayu yang sudah bekas, serta sebuah bangku kerja. Dan Bob melihat kantung bekal makanan yang dicari-cari Pete tergeletak di atas bangku kerja itu. "Nah, ternyata memang ketinggalan di sini," kata Bob.
"Tapi siapa yang memakan bekalku?" tanya Pete, sambil memungut kantung yang sudah robek itu. "Barangkali kau sendiri, cuma kau tidak ingat saja," kata Jupiter dengan sebal.
"Aku?" seru Pete. "Kalau aku sendiri yang memakan roti enak berisi daging itu, mana mungkin bisa lupa?" "Kurasa tikus," kata Bob. Diamat-amatinya kantung itu. Sobekannya nampak tidak rapi. "Segala-galanya mereka makan."
"Kaukira Bibi Mathilda mau membiarkan tikus-tikus berkeliaran di sini? Mustahil!" kata Pete.
"Biar Bibi Mathilda sekali pun, tidak mungkin bisa membuat tempat penimbunan barang rongsokan sebesar ini sama sekali bebas dari gangguan tikus," kata Jupiter sambil tertawa. Bibinya itu wanita yang mengesankan. Ia mengurus perusahaan yang berdagang barang-barang bekas itu dengan sikap yang sangat tegas. Paman Titus, suaminya, lebih sering keluyuran ke mana-mana mencari barang bekas yang bisa dibeli untuk kemudian dijual lagi di perusahaan mereka. Jupe, yang orang tuanya meninggal dunia ketika ia masih sangat kecil, sejak itu tinggal bersama Paman Titus dan Bibi Mathilda. Ia bahkan tidak ingat, kapan ia mulai diasuh oleh mereka.
"Yuk, kita lihat saja apakah cukup makanan yang disediakan Bibi Mathilda untuk kita semua," kata Jupe, lalu mendului berjalan menuju ke kantor perusahaan. Tapi ketika sudah dekat ke gerbang besar tempat ke luar masuk ke kompleks penimbunan barang bekas itu, tiba-tiba langkahnya diperlambat. "He, Teman-teman, pernahkah sebelum ini kalian melihat mobil itu?"
Bob dan Pete menoleh ke arah jalan masuk itu. Sebuah sedan Mercedes berwarna hijau diparkir di seberang jalan, hampir tepat berseberangan dengan gerbang besar. Tidak ada yang muncul dari kendaraan itu.
"Tadi masih berjalan, ketika aku pertama-tama melihatnya," kata Jupiter lambat-lambat. "Jalannya pelan sekali, lalu kemudian berhenti."
"Lalu kenapa kalau begitu, Jupe?" kata Pete. "Masak tidak boleh, memarkir mobil di sekitar sini? Mungkin saja ia ada urusan di sini."
"Itu memang mungkin saja," kata Jupe mengakui, "tapi tidak ada yang turun, dan aku rasa-rasanya melihat mobil itu tadi lewat di depan gerbang. Jalannya pelan sekali."
"He, kurasa aku juga melihatnya tadi," kata Bob. "Dijalan, menyusuri pagar belakang. Kira-kira sejam yang lalu, ketika aku sedang bersepeda."
"Jangan-jangan orang yang naik mobil itu yang mencuri bekal makan siangku!" kata Pete.
"Ya, ya, gerombolan maling internasional, yang pekerjaannya mengincar bekal makan siang!" Bob mengucapkannya sambil mengangkat alis.
"Sudah, jangan diributkan terus bekalmu itu," tukas Jupiter dengan sikap tidak sabar. Ia masih terus mengamati mobil di seberang jalan, yang nampak lewat gerbang yang terbuka. "Kalau kau tidak memakannya, Bob benar- bekalmu itu disambar tikus. Ingin juga rasanya menyelidiki, mau apa orang yang ada di mobil itu."
"Mungkin mereka menunggu kesempatan untuk mencuri roti bekal lagi," sambut Bob sambil nyengir.
"Menurutku, kelihatannya mereka sedang menunggu-nunggu sesuatu, Bob," kata Jupiter. "Yuk, kita lihat saja apakah dugaanku itu benar."
Jupiter memiliki keistimewaan, yaitu bahwa ia bisa melihat ada misteri terkandung dalam hampir setiap hal yang dihadapi. Dan ajaibnya, hampir selalu dugaannya itu kemudian ternyata benar! Bob dan Pete sudah sejak lama sampai pada kesimpulan, tidak ada gunanya meragukan dugaan Jupe, meskipun dugaan itu terasa sangat mengada-ada. Jupe kadang-kadang keliru juga, tapi itu jarang sekali terjadi.
"Pete, kau pergi ke belakang, lalu dari sana menyelinap ke gerbang depan dengan menyusur sisi dalam pagar," kata Jupe. "Kau bersembunyi dekat gerbang, lalu kauamat-amati mobil itu dari situ. Aku dan Bob keluar dari belakang lewat Kelana Gerbang Merah, dan dari situ mengitar dengan menyusur sisi luar pagar. Kau nanti ke kiri, Bob, sedang aku ke kanan. Kita mengamat-amati mobil itu dari segala sisi."
Pete mengangguk. Diperhatikannya kedua temannya menyelinap ke luar kompleks lewat jalan rahasia di pagar belakang. Ketika Bob dan Jupe sudah ke luar, giliran Pete bergerak. Ia menuju ke belakang, mengitari barang-barang rongsokan yang tertumpuk di tengah-tengah kompleks, lalu menyelinap kembali ke arah depan dengan menyusur sisi dalam pagar. Ketika sudah sampai di pinggir gerbang, ia mengintip ke luar. Mobil Mercedes tadi masih nampak diparkir di seberang jalan. Pete cepat-cepat menarik kepalanya ke belakang. Kelihatannya ada dua orang di dalam sedan itu.
Pete bertiarap, lalu merangkak kembali ke gerbang yang terbuka. Sesampai di situ, ia mengintip lagi ke luar. "Kau kehilangan sesuatu? Bisakah aku membantumu?"
Pete terkejut, lalu mendongak. Seorang pria bertubuh gempal dan dengan kulit berwarna coklat kemerahan karena terbakar sinar matahari berdiri di ambang gerbang, persis di depannya. Ia mengenakan stelan dari bahan yang tipis. Rambutnya keriting dan berwarna coklat, sedang matanya kecil dan berwarna biru. Orang itu memandang Pete sambil tersenyum sopan. Ia kelihatan geli melihat Pete merayap-rayap di tanah.
"Saya-saya-" Pete tergagap-gagap. Ia merasa konyol. "Saya kehilangan bo-bola. Saya sedang men-ya, saya sedang mencari bola itu."
"Aku tidak melihat bola di sekitar sini," kata orang itu dengan wajah serius.
"Kalau begitu terpental ke arah lain, rupanya," kata Pete dengan suara pelan, lalu berdiri.
"Yah, sial kalau begitu," kata pria dengan kulit coklat kemerahan itu, lalu menyodorkan sebuah peta jalan. "Mungkin kau bisa membantu. Kelihatannya kami tersesat."
Saat itu tiba-tiba Pete melihat bahwa pintu mobil Mercedes yang di seberang jalan berada dalam keadaan terbuka, dan tinggal satu orang yang ada di dalamnya. Pria bertubuh gempal itu menganggukkan kepala ke arah Mercedes itu.
"Kurasa kami sejak tadi hanya berputar-putar saja di sekitar sini. Payah! Sebenarnya, kami sedang berusaha menemukan lokasi bangunan bersejarah bekas misi Katolik yang menurut peta ini mestinya ada di dekat-dekat sini."
Orang itu berbicara dalam bahasa Inggris dengan logat Inggris. Tapi menurut pendengaran Pete, logatnya itu tidak persis sama dengan logat bicara orang-orang Inggris yang pernah didengarnya. Jadi ternyata penumpang mobil itu cuma wisatawan biasa saja, yang tersesat. Macam-macam saja dugaan Jupe!
"Coba saya tunjukkan sebentar." Pete mengambil peta yang disodorkan, lalu menunjukkan kepada pria gempal itu di mana mereka saat itu berada, dan di mana tempat bangunan misi Katolik Spanyol yang letaknya di tepi jalan raya pesisir. "Tempatnya memang tidak begitu mudah ditemukan."
"Betul." Pria itu mengangguk. "Nah, terima kasih banyak."
Ia kembali ke Mercedes hijau, dan sesaat kemudian sedan itu sudah meluncur meninggalkan tempat itu. Bob dan Jupiter menghampiri Pete sambil berlari-lari. Jupiter mengikuti Mercedes yang kelihatan semakin menjauh dengan matanya.
"Cuma turis saja, Satu," kata Pete dengan sebal, lalu diceritakannya semua yang dialaminya tadi. "Orang itu bicara dengan logat Inggris yang aneh."
"Tersesat?" tanya Jupiter. Suaranya bernada kecewa. "Cuma itu saja?"
"Apa sebetulnya yang kauperkirakan, Satu? Kita kan tidak sedang mengusut kasus," kata Pete menanggapi.
Jupiter berbicara lagi. Suaranya tidak gembira, tapi seperti sedang berpikir.
"Itu bisa saja karena mereka orang asing, tapi-"
"Aduh, Jupe!" keluh Pete. "Mereka benar-benar cuma tersesat!"
"Dan kita masih harus mengatur rencana untuk acara pesiar kita besok!" kata Bob menambahkan. "Betul," sambut Pete. "Sesudah kita selesai makan siang."
Bob dan Jupiter berpandang-pandangan. Dekat gerbang besar ada sebuah peti berisi bola-bola tenis yang sudah tidak terpakai lagi. Bob dan Jupe menghampiri peti itu, lalu melempari Pete dengan bola. Teman mereka itu lari sambil tertawa-tawa.

Bab 2
DICULIK!

BEGITU bangun keesokan paginya, Bob buru-buru berpakaian lalu turun ke tingkat bawah, menuju ke dapur. Ayahnya yang ada di situ meletakkan koran yang sedang dibaca. Sambil tersenyum diperhatikannya Bob yang melahap hidangan sarapannya dengan bergegas-gegas.
"Ada penyelidikan penting pagi ini?" kata Mr. Andrews.
"Hari ini tidak, Ayah. Kami hendak melancong ke Magic Mountain. Naik Rolls-Royce mewah itu. Disupiri Worthington!"
Mr. Andrews bersiul kagum.
"Wah, tiga orang remaja bergengsi, ya? Jangan-jangan kehidupan setelah dewasa nanti akan terasa membosankan bagi kalian."
"Itu tidak mungkin, jika Jupe ada terus bersama kami!"
"Ya, kurasa itu memang tidak mungkin," kata Mr. Andrews sambil tertawa.
"Mungkin nanti kami pulang agak malam Ayah, tapi kami usahakan sudah ada di rumah pada saat makan malam," seru Bob sambil lari ke luar.
Pagi itu matahari bersinar cerah. Bob mengendarai sepedanya menyusur jalan-jalan kota Rocky Beach menuju kompleks perusahaan The Jones Salvage Yard, lalu masuk lewat gerbang besar. Dilihatnya Pete sedang duduk di tangga bangunan yang merupakan kantor perusahaan itu sambil menikmati pemandangan yang mengasyikkan di depannya. Sebuah mobil Rolls-Royce antik, dengan lampu-lampu depan yang sangat besar dan kap mesin yang sangat panjang dan berwarna hitam berkilat-kilat, diparkir di pekarangan. Dengan keadaan begitu saja mobil itu sebenarnya sudah sangat mewah penampilannya. Apalagi dengan lis, pegangan pintu dan berbagai bagian lain yang dilapisi emas. Bahkan bempernya pun berlapis emas kemilau!
"Wow!" kata Bob. "Aku selalu lupa bagaimana indahnya mobil ini, sampai aku melihatnya lagi!"
Seorang pria bertubuh jangkung dan langsing dengan berpakaian seragam supir berdiri di samping Rolls-Royce itu. Ia menggosok-gosok salah satu bagian mobil yang berlapis emas dengan kain lap yang empuk. Senyuman menghias wajahnya yang lonjong dan ramah ketika ia memandang ke arah Bob.
"Perasaan saya juga begitu, Bob, apabila kembali diserahi mobil ini setelah selama beberapa waktu ditugaskan membawa kendaraan lain," kata supir itu.
Mulanya Jupiter memperoleh hak menggunakan mobil antik yang hebat itu dalam suatu sayembara. Setelah waktu berlakunya hak itu habis, seorang hartawan memperpanjangnya sebagai tanda terima kasih karena pernah ditolong oleh Trio Detektif. Dengan begitu ketiga remaja itu memperoleh hak untuk memakai Rolls-Royce itu kapan saja mereka mau. Dan karena supir jangkung itu, yang bernama Worthington, adalah satu-satunya supir yang oleh perusahaan penyewaan kendaraan pemilik Rolls-Royce itu diserahi kepercayaan untuk membawa kendaraan mewah itu, maka kini ia sudah merupakan teman baik ketiga anggota Trio Detektif. Tapi ia masih tetap bersikap hormat terhadap mereka, seolah-olah ketiga remaja itu raja uang berumur lanjut, yaitu kalangan yang biasanya menyewa Rolls-Royce itu.
"Ada kasus penting, Tuan Andrews?" tanya Worthington dengan sinar mata Jenaka.
"Sekali ini tidak, Worthington," jawab Bob. "Kami hanya ingin pesiar ke Magic Mountain, dan rasanya asyik juga jika ke sana dengan naik Rolls-Royce ini."
"Pesiar? Itu gagasan yang baik!" kata Worthington. "Siapa lagi yang lebih pantas bertetirah, kalau bukan Trio Detektif? Sambil menunggu Tuan Jones datang, saya akan pergi sebentar untuk menyampaikan laporan ke kantor mengenai tujuan perjalanan kita, sambil mengisi bensin."
Supir jangkung itu masuk ke Rolls-Royce lalu membawanya pergi meninggalkan pekarangan. Kini Bob menoleh ke arah Pete.
"Ngomong-ngomong, mana Jupe?"
"Di kantor kita, sedang mengatur rencana," jawab Pete. "Tapi dia tidak mau bilang, rencana untuk apa." "Yuk, kita lihat saja ke sana."
Kedua remaja itu masuk ke kantor Trio Detektif lewat Lorong Dua. Sesampai di sana mereka melihat Jupiter sedang sibuk bekerja di meja tulis. Berbagai brosur dengan warna-warna semarak berserakan di sekelilingnya. "Worthington sudah datang tadi, Jupe," kata Bob. "Bagaimana, siap?"
"Sebentar lagi, Bob." Pemimpin mereka yang bertubuh montok itu melanjutkan kesibukannya selama semenit lagi, lalu menyandarkan diri ke punggung kursi dengan wajah puas. "Nah, kurasa sudah beres sekarang." "Apanya yang beres?" tanya Pete dengan nada gelisah.
"Rencana lengkap untuk acara pelancongan kita!" jawab Jupiter dengan air muka berseri-seri. "Kupelajari peta denah Magic Mountain, dan sudah kuatur jalan yang paling baik untuk bisa menikmati sebanyak mungkin hiburan yang ada di sana dalam waktu sesingkat mungkin. Dalam rencanaku ini sudah kuperhitungkan pengulangan pada atraksi-atraksi yang nanti menurut kita sangat mengasyikkan, ditambah berbagai kemungkinan lain jika orang yang antri pada salah satu atraksi terlalu panjang, atau kalau ada atraksi yang ditutup karena gangguan angin atau kerusakan teknik. Kecuali itu aku juga sudah-"
Pete mengerang.
"Aduh, Jupe, kenapa kita nanti tidak mulai saja dari sisi kiri atau kanan pintu masuk, lalu langsung saja menikmati atraksi yang paling dekat? Maksudku, secara acak saja?"
"Ya, anu, tergantung bagaimana nanti saja," kata Bob menimpali.
"Tergantung bagaimana nanti?" Kening Jupiter berkerut. "Itu cara yang paling tidak-"
"Bagaimana kalau kita bersenang-senang saja, tanpa rencana macam-macam," kata Pete menyarankan.
"Yah," kata Jupiter dengan nada tersinggung. "Kalau kalian tidak menyukai rencanaku, terserahlah-kalian tidak perlu menerimanya."
Jupiter memandang rencananya dengan sikap sayang. Kemudian ia mengangkat bahu, lalu dijatuhkannya kertas rencana itu ke dalam keranjang sampah. Pete dan Bob bersorak. Akhirnya Jupiter nyengir juga. Ketiga remaja itu bergegas-gegas ke luar lewat Lorong Dua.
Ternyata mobil Rolls-Royce sudah kembali. Sambil tertawa-tawa ketiga remaja itu berebut-rebut masuk ke dalam kendaraan antik itu, yang dibukakan pintunya oleh Worthington.
"Ke Magic Mountain, Pak Supir," kata Jupiter dengan gaya meniru-niru orang Inggris kalangan tinggi. "Yes, Sir. "Worthington tersenyum. "Baik, Sir. "
Taman hiburan yang bernama Magic Mountain itu terletak di pedalaman, agak jauh juga di sebelah timur kota Rocky Beach. Untuk pergi ke sana, harus melintasi daerah pegunungan pesisir. Worthington mengemudikan mobil antik yang besar itu ke luar kota, melalui jalan raya kawasan pedalaman. Ketika sudah mencapai lereng terdepan dari daerah kaki perbukitan yang gersang berdebu, tiba-tiba Worthington menyapa anak-anak yang duduk dengan santai di jok belakang.
"Kalau tidak salah, Tuan-tuan tadi mengatakan bahwa saat ini tidak sedang terlibat dalam kegiatan penyelidikan." "Sayangnya, itu memang benar," kata Jupiter. "Kenapa Anda-" "Karena-ini kecuali saya keliru-ada yang membuntuti kita!"
"Membuntuti!" seru ketiga remaja itu serempak, sambil berpaling untuk melihat ke belakang. "Mana, Worthington?" kata Bob. "Tidak ada mobil di belakang kita."
"Saat ini memang tidak kelihatan, karena belum melewati tikungan yang baru kita lalui," kata Worthington, "tapi saya sudah langsung melihatnya begitu kita berangkat tadi, dan sejak itu mobil tersebut terus ada di belakang kita. Sedan Mercedes, berwarna hijau."
"Mercedes hijau!" seru Jupiter terkejut. "Anda tidak keliru?"
"Mobil merupakan pekerjaan saya, Tuan Jones," kata Worthington dengan yakin. "Nah, itu dia, dan sekarang semakin mendekat."
Ketiga detektif remaja itu memandang lewat jendela belakang. Tidak mungkin keliru lagi, Mercedes hijau itu berada tepat di belakang mereka, dan dengan cepat berusaha mengejar! "Ya, memang mobil yang sama!" seru Pete.
"Jadi," kata Jupe dengan nada puas, "mereka ternyata bukan cuma turis! Dugaanku benar!"
"Y-ya, kelihatannya memang begitu," kata Pete mengakui dengan gugup. "Tapi siapakah mereka? Mau apa mereka?"
"Aku tidak tahu, Dua," jawab Jupiter. Nada suaranya terdengar tegang. "Dan rasanya lebih baik jika aku tetap tidak tahu."
"Mungkin sebentar lagi kita mau tidak mau akan mengetahuinya!" seru Bob cemas. "Mereka semakin dekat, Jupe!" "Worthington!" seru Jupiter. "Bisakah Anda usahakan agar mereka tidak bisa menyusul?" "Akan saya usahakan," kata Worthington dengan tenang.
Rolls-Royce antik itu melesat maju ketika Worthington menginjak pedal gasnya dalam-dalam sampai menyentuh lantai. Sementara itu mereka sudah berada di tengah daerah perbukitan. Jalan sempit berjalur dua itu berkelok-kelok, sementara di sisinya menganga ngarai dalam berbatu-batu. Worthington mencengkeram setir yang berukuran besar, mengemudikan Rolls-Royce itu melalui tikungan demi tikungan tajam yang menyusur pinggiran jurang.
Mercedes yang di belakang langsung mengejar. Kedua mobil itu berkejar-kejaran, menikung, suara mendecit-decit yang berasal dari roda-roda yang berputar dekat sekali ke tepi tebing. Jika dijalan yang lurus, Rolls-Royce antik itu mungkin akan bisa meninggalkan kendaraan yang mengejar, karena tenaga mesinnya lebih besar. Tapi di segi kelincahan, mobil tua itu kalah unggul dibandingkan dengan Mercedes hijau yang di samping lebih baru juga lebih kecil ukurannya. Jarak yang memisahkan kedua mobil itu semakin rapat.
"Mereka semakin dekat," kata Pete dengan cemas.
"Terlalu berbahaya jika lebih laju lagi di daerah pegunungan seperti ini," kata Worthington. Suaranya tetap tenang. Diperhatikannya jalan yang ada di depan. "Tapi mungkin-"
Worthington menatap ke depan, sambil mencondongkan tubuh ke muka. Saat itu Rolls-Royce mereka baru saja melewati sebuah tikungan tajam, dan untuk sesaat Mercedes yang mengejar tidak kelihatan. Dengan tiba-tiba Worthington mengerem sambil membanting setir sehingga mobil besar itu bergerak ke kanan sampai dekat sekali ke pinggir jurang, lalu memutar setir lagi untuk membawa Rolls-Royce itu ke seberang jalan dan memasuki sebuah jalan tanah yang sempit di sebelah kiri. Seketika itu juga mobil dipacu lagi. Supir yang sangat trampil itu mengemudikan mobil antik yang berkilat-kilat itu masuk ke tengah-tengah kelompok pohon ek dan semak belukar yang tumbuh lebat.
Mercedes hijau yang mengejar melaju lewat dijalan raya, tanpa ikut membelok masuk ke jalan tanah.
"Anda berhasil mengelabui mereka!" seru Bob dan Pete.
"Untuk sementara," kata Worthington. "Tapi mereka akan segera menyadari bahwa kita sudah tidak ada lagi di depan mereka. Kita harus cepat-cepat pergi dari sini."
Dipijaknya pedal gas dalam-dalam. Dikebutnya mobil kekar itu di jalan tanah yang sempit. Tapi kemudian ia mengerem dengan tiba-tiba, sehingga Rolls-Royce itu berhenti dengan seketika.
"Maaf, Anak-anak," kata Worthington kecut.
Jalan tanah itu ternyata berakhir di dalam sebuah ngarai yang buntu ujungnya!
"Kembali ke jalan raya!" seru Jupiter memberi komando. "Cepat! Mungkin mereka belum menyadari kekeliruan mereka!"
Worthington memutar mobil besar itu, lalu mengemudikannya kembali ke jalan yang beraspal.
Mereka nyaris saja menubruk Mercedes yang datang dengan laju dari arah depan ketika baru saja ke luar dari sebuah tikungan tajam! Worthington membanting setir dengan sigap, membuat mobilnya melenceng arahnya sehingga untuk sebagian ke luar dari badan jalan. Tapi sebelum ia sempat bereaksi lebih lanjut dan memutar kendaraan antik itu, dua orang pria meloncat ke luar dari Mercedes dan berlari mendatangi Rolls-Royce. Mereka menggenggam pistol!
"Keluar! Sekarang juga!" bentak satu dari kedua pria itu. Anak-anak belum pernah melihatnya. Tapi Pete mengenali orang yang satu lagi. Dialah yang menanyakan jalan padanya, sehari sebelum itu.
Anak-anak dan Worthington ke luar dari Rolls-Royce, dengan sikap waspada.
"Nanti dulu, Pak," kata Worthington memprotes, "Kami tidak tahu apa-"
"Diam!" bentak pria yang pertama.
Temannya menangkap Jupiter yang tidak bereaksi karena kaget. Ditutupnya mulut remaja itu dengan sapu tangan yang diikatkan ke belakang kepala. Kepala Jupiter disungkup dengan sebuah kantung tebal, lalu ia diseret ke Mercedes! Sementara itu pria yang pertama mengarahkan laras pistolnya dengan sikap mengancam ke arah Bob, Pete, dan Worthington.
"Jangan coba-coba membuntuti kami! Itu jika kalian sayang nyawa, atau ingin melihatnya lagi." Pria itu berbalik lalu lari ke Mercedes, yang kemudian dengan cepat melesat menuju ke jalan raya. Dan Jupiter dibawa oleh mereka!

Bab 3
KEKELIRUAN YANG GAWAT

DENGAN cepat Pete bergerak menuju ke Rolls-Royce. "Kita buntuti mereka!"
"Jangan, Pete!" seru Bob dan Worthington serempak. Pete melongo.
"Tapi kita harus berusaha menolong Jupe!"
"Itu akan kita lakukan," kata Worthington sambil memegang pundak Pete, "tapi kita tidak boleh mengejar mereka. Dalam menghadapi kasus penculikan kita harus berbuat persis seperti yang dikehendaki penculik, lalu dengan segera menghubungi polisi."
"Jika kita membuntuti mereka, itu akan bisa berbahaya bagi Jupe," kata Bob menjelaskan. "Tapi kita bisa berusaha melihat ke arah mana mereka lari, lalu melapor pada polisi! Kedua penculik tadi tidak tahu di dalam Rolls-Royce ada telepon, jadi mereka takkan menduga bahwa kita bisa dengan segera memberi tahu polisi. Cepat, kita naik ke atas bukit itu, sementara Worthington menelepon Chief Reynolds!"
Sementara Worthington lari ke mobil untuk menelepon kepala polisi kota Rocky Beach, Bob dan Pete bergegas mendaki sebuah bukit di dekat situ yang berlereng curam. Dalam beberapa detik mereka sudah berhasil mencapai suatu bagian yang menonjol dan lumayan tinggi letaknya. Dengan napas tersengal-sengal mereka memandang ke arah ujung jalan tanah yang masuk ke jalan raya.
"Itu mereka!" seru Bob.
"Mereka ke selatan, menuju Rocky Beach!" kata Pete menimpali. "Tapi kenapa tidak mengebut?" "Pasti karena tidak ingin menarik perhatian!"
"Jika Chief Reynolds cepat bertindak," seru Pete, "ia akan bisa menghadang mereka! Yuk!"
Kedua remaja itu lari menuruni lereng, terpeleset dan tersandung-sandung, menuju ke Rolls-Royce. Saat itu Worthington sedang menyampaikan keterangan mengenai nomor mobil serta beberapa ciri kedua penculik.
"Katakan pada Chief Reynolds, mereka mengarah ke selatan lewat jalan raya yang memotong celah pegunungan, menuju ke Rocky Beach," kata Pete. "Mungkin dia bisa menghadang, sebelum mereka sempat membelok ke arah lain."
Worthington meneruskan pesan Pete, lalu menyambung setelah mendengarkan sebentar. "Baiklah, Chief. Kami akan tetap di sini sampai Anda datang."
Ia mengembalikan gagang pesawat telepon ke tempatnya, lalu menoleh ke arah Bob dan Pete. "Mau mereka apakan Jupiter?" tanya Worthington. "Kalian yakin, tidak tahu siapa kedua pria itu?" "Kami baru kemarin melihat mereka untuk pertama kali," kata Bob. "Kami tidak tahu apa-apa," keluh Pete.
Mereka bertiga berpandang-pandangan dengan sikap putus asa.
* * *
Jupiter merasa takut. Ia tidak bisa berteriak, karena mulutnya diikat dengan sapu tangan. Kepalanya tersungkup kantung tebal. Ia merasa bahwa Mercedes itu berjalan dengan pelan, bergerak menurun. Jupiter menduga bahwa saat itu mereka mestinya berada dijalan raya pegunungan, dan menuju ke Rocky Beach. Apakah yang dikehendaki kedua orang itu dari dirinya? Siapakah mereka? Logat bahasa Inggris mereka aneh. Dari manakah mereka?
Jupiter menggeliat. Seketika itu juga dirasakannya ujung pistol ditekankan ke rusuknya. Salah satu pria itu duduk dekat sekali di sampingnya.
"Duduk yang tenang," kata orang itu.
Jupiter berusaha mengatakan sesuatu. Tapi kata-katanya tidak bisa ditangkap dengan jelas, karena mulutnya diikat. "Jangan ribut! Duduk saja dengan tenang, seperti selayaknya anak manis."
Orang yang duduk di sebelah Jupiter itu tertawa mengejek. Dari arah depan, tempat duduk pria satu lagi yang mengemudikan Mercedes itu, terdengar suara tawa yang mengejek pula.
Tapi Jupiter berusaha berbicara lagi, untuk menanyakan apa mau mereka. Paman Titus dan Bibi Mathilda tidak tergolong orang yang kaya-raya.
Sapu tangan yang mengikat mulutnya menyebabkan ia tetap tidak mampu mengatakan apa pun juga dengan jelas. Jupiter merasa dirinya saat itu seperti ikan yang menggelepar-gelepar di atas pasir pantai.
"Diam, kataku! Kau kan tidak ingin ayahmu kehilangan putra satu-satunya, kan?"
Jupiter terkejut. Ayahnya? Tapi ia kan tidak punya ayah lagi! Ayahnya meninggal dunia ketika ia masih kecil sekali. Jupiter semakin bingung, dan berusaha menjelaskan hal itu kepada kedua pria yang meringkusnya. Tapi ujung pistol malah bertambah keras ditekankan ke rusuknya.
"Terakhir kalinya kau kuperingatkan!"
" Ummmb... ayahku... hya hehhh..."
Orang yang duduk di sampingnya tertawa lagi.
"Anak ini benar-benar keras kepala seperti ayahnya juga, ya Fred? Aku takkan heran kalau sikapnya juga angkuh." "Mungkin ada baiknya jika dia kita buat bungkam sama sekali, Walt," kata laki-laki satu lagi yang mengemudi. "Hanya kalau terpaksa. Aku tidak kepingin ke mana-mana harus mengangkut anak gemuk seperti dia ini dalam keadaan tidur."
"Tapi mungkin itu lebih baik. Perjalanan pulang kan lumayan jauhnya. Dia harus berada dalam keadaan mulus pada saat kita berhadapan dengan orang penting itu."
Laki-laki yang duduk di samping Jupiter tertawa lagi.
"Aku sudah kepingin sekali melihat tampang Sir Roger begitu mendengar bahwa Ian ada di tangan kita, jadi sebaiknya ia cepat-cepat saja berubah sikap."
Dengan kepala yang masih tersungkup kantung, Jupiter merebahkan punggungnya dengan lambat-lambat ke sandaran jok. Sir Roger? Ian? Saat itu barulah ia sadar apa sebetulnya yang terjadi. Kedua pria itu keliru, mengira dia orang lain. Seorang remaja yang ayahnya tokoh penting! Dan penculikan itu terjadi bukan untuk memperoleh uang tebusan, tapi untuk memeras. Untuk memaksa orang penting yang bernama Sir Roger itu agar mau melakukan sesuatu seperti dikehendaki kedua pria itu. Mereka salah culik! Jupiter berusaha menjelaskan hal itu.
Tapi ia hanya bisa mengeluarkan kata-kata yang sama sekali tidak jelas. Kali ini pria yang duduk di sebelahnya tidak mendorongkan ujung pistol ke rusuk atau menyuruhnya diam. Jupiter merasa jalan kendaraan bertambah laju, karena sudah berada di daerah datar di bawah pegunungan. Tahu-tahu Mercedes itu membelok dengan tajam diiringi bunyi ban berdecit-decit. Gerakan kendaraan yang tiba-tiba itu menyebabkan Jupiter terdorong ke sudut. Kemudian ia mendengar bunyi sirene mengaung-ngaung. Mobil-mobil polisi! Bunyi sirene itu semakin mendekat. Jupiter menahan napas. Mereka pasti akan menyelamatkannya...! Bunyi sirene itu lewat, semakin menjauh ke arah belakang, dan kemudian tak terdengar lagi.
"Nyaris saja!" kata laki-laki yang duduk di samping Jupiter.
"Menurutmu, mereka itu tadi hendak menghadang kita?" kata pria yang berada di jok depan.
"Mestinya! Arahnya menuju pegunungan! Tapi yang aku tidak mengerti, bagaimana mereka bisa begitu cepat tahu?"
Jupiter langsung tahu: pesawat telepon yang ada di mobil Rolls-Royce! Teman-temannya dengan segera memberi tahu polisi. Tapi para penculik berhasil meloloskan diri. Bagaimana polisi akan bisa menemukannya sekarang? Ia harus memberi tahu kedua penculiknya itu bahwa mereka melakukan kekeliruan besar!
"Ada sesuatu yang meleset tadi, Walt," kata orang yang berada di depan dengan suara geram. "Jangan sampai hal seperti itu terjadi lagi. Biar bagaimana, pokoknya aku tidak akan bisa ditangkap."
Tiba-tiba Jupiter merasa seram, karena tahu bahwa ada lagi sesuatu yang meleset. Kedua pria itu meringkus anak lain, tapi mereka belum mengetahuinya. Jupe tidak bisa memberi tahu, karena mulutnya tersumbat. Tapi kalau dipikir-pikir, maukah ia membuat kedua orang itu tahu bahwa mereka melakukan kekeliruan? Karena kalau sudah tahu, apakah yang kemudian akan mereka lakukan terhadap dirinya?
Yang mereka inginkan adalah seorang anak bernama Ian, yang akan dipakai sebagai alat untuk memaksa ayah anak itu menuruti kemauan mereka. Jadi Ian takkan apa-apa di tangan mereka. Tapi bagaimana jika mereka tahu bahwa remaja yang mereka culik tadi bukan Ian, melainkan Jupiter Jones?
* * *
Sebuah mobil polisi kota dan sebuah mobil dengan tulisan Sheriff di pintu melaju dijalan tanah lalu berhenti dengan cepat, menyebabkan debu tebal mengepul. Chief Reynolds dan sheriff yaitu polisi desa, bergegas turun dari mobil masing-masing lalu lari menghampiri Worthington dan kedua remaja yang berdiri di samping Rolls-Royce yang mengkilat.
"Anda melihat mereka tadi?" seru Bob.
"Anda berhasil mencegat mereka?" tanya Pete menambahkan.
Chief Reynolds menggeleng.
"Kami memasang penghalang pada persimpangan pertama, lalu langsung kemari. Tapi kami tidak berpapasan dengan mereka, dan mereka tidak muncul di penghalang jalan."
"Rupanya mereka sudah menyelinap lewat sebelum kami memasang penghalang," kata Sheriff. "Lalu meninggalkan jalan raya pada salah satu persimpangan. Tapi mereka tidak mungkin sudah jauh, dan semua petugas dan mobil yang tersedia kami kerahkan untuk mencari mereka."
"Daerah ini termasuk kawasan luar kota, jadi Sheriff yang sebenarnya berwenang di sini," ujar Chief Reynolds menjelaskan. "Tapi dalam kasus seperti ini kita semua bekerja sama. Kami juga sudah memberi tahu Departemen Kepolisian Kota Los Angeles agar siaga."
"Sekarang," kata Sheriff, "akan kita periksa tempat ini."
Bob menanggapi dengan murung.
"Saya rasa takkan ada sesuatu yang bisa ditemukan, Sir. Para penculik itu hanya sebentar saja di sini, jadi tidak meninggalkan apa-apa yang bisa dijadikan petunjuk."
Ternyata Bob benar. Polisi dan para asisten Sheriff meneliti setiap jengkal jalan tanah di sekitar tempat terjadinya penculikan. Tapi mereka tidak menemukan apa-apa.
"Baiklah, kalau begitu kita kembali ke kantor pusat sekarang," kata Chief Reynolds memutuskan. "Sudah waktunya FBI juga kita beri tahu."
"Setidak-tidaknya ada satu keuntungan kita kali ini," kata Sheriff, "dan itu berkat kalian serta Rolls-Royce itu. Kita bisa langsung bertindak segera setelah penculikan terjadi, dan sekarang semuanya sudah sibuk mencari."
"Betul, Sir, " kata Bob dengan murung, "tapi mencari belum berarti menemukan. Sebuah mobil yang biasa tidak begitu menyolok, kan?"
"Memang, tapi seluruh daerah ini kami awasi dan segenap jalan keluar dijaga. Mereka tidak mungkin bisa meloloskan diri dari daerah ini!"
Bob dan Pete masuk ke Rolls-Royce. Keduanya sama-sama membisu, sementara Worthington mengikuti mobil Chief Reynolds kembali ke Rocky Beach. Mereka hanya berpandang-pandangan dengan wajah cemas. Mereka tahu apa yang sama-sama sedang mereka pikirkan. Para penculik pasti sudah mengatur rencana untuk menghadapi kemungkinan jalan lari dijaga oleh polisi. Suatu jalan lain untuk meloloskan diri dari kepungan. Dan Jupiter ada dalam kekuasaan mereka.

Bab 4
MEMBUNTUTI JEJAK PARA PENJAHAT

MOBIL Mercedes itu berhenti.
Jupiter, yang kepalanya masih selalu tersungkup kantung tebal, berusaha mengikuti gerak-gerik mobil itu, dengan maksud untuk menduga-duga ke mana arah yang dituju. Tapi Mercedes itu terlalu sering membelok dan berubah-ubah arah. Kini ia memasang kuping, berusaha menangkap bunyi-bunyi khas yang mungkin bisa dijadikan petunjuk di mana mereka saat itu berada. Tapi hanya kesunyian saja yang ada. Tidak ada bunyi gerakan sama sekali. Tidak ada bunyi kendaraan lalu lalang, atau suara orang, atau deburan ombak laut.
"Bawa dia ke luar," kata pria yang selama itu menyetir. Suaranya ketus.
Jupiter mendengar bunyi pintu mobil dibuka. Dirasakannya tangan-tangan menyentuh tubuhnya, lalu mendorongnya dengan kasar ke luar. Ia merasa kakinya menginjak tanah yang keras, begitu pula dedaunan dan rumput.
"Buka sungkupnya supaya ia bisa melihat apabila berjalan."
Kantung yang menyelubungi seluruh kepalanya sampai ke dada ditarik dengan kasar. Sinar matahari yang menembus dedaunan yang rimbun sangat menyilaukan. Jupiter mengejap-ngejapkan mata untuk menyesuaikan penglihatannya, sementara sapu tangan yang mengikat mulutnya dilepaskan oleh pria bertubuh gempal dan berambut keriting yang menyapa Pete di The Jones Salvage Yard. Dialah yang duduk di samping Jupe di dalam mobil dan menyodok-nyodok rusuknya dengan laras pistol.
"Sekarang jangan macam-macam, ya!" tukas orang itu sambil mengacungkan pistolnya, untuk menunjukkan bahwa ia tidak main-main.
Jupiter hanya mengangguk saja, tanpa mengatakan apa-apa. Sejak menyadari bahwa ada kemungkinan keselamatannya lebih terancam apabila kedua penculik itu tahu bahwa mereka keliru, ia berharap-harap sapu tangan yang menutupi mulutnya tidak mereka buka. Anak yang mereka kira berhasil mereka culik mestinya berasal dari negeri yang sama dengan mereka, dan kemungkinannya berbicara dengan logat Inggris yang serupa. Jika Jupiter sampai berbicara, kedua orang itu pasti akan langsung tahu bahwa mereka telah salah culik-kecuali jika ia berusaha menirukan logat mereka. Menurut perasaan Jupe ia mampu melakukannya, tapi itu mengandung risiko. Sedikit saja kekeliruan dibuatnya, ia pasti akan langsung ketahuan!
Penculik yang bertubuh gempal memperhatikan Jupiter sesaat, lalu menoleh ke arah temannya yang tadi mengemudikan mobil.
"Keluarkan tas-tas itu, Fred."
Jupiter merasa agak lega. Untuk sementara keadaannya aman. Dengan cepat ia memandang berkeliling. Mereka berada di pinggir sebuah jalan tanah, di tengah-tengah semacam hutan kecil yang ditumbuhi pohon-pohon ek dan belukar lebat. Di dekat situ nampak daerah perbukitan. Tidak ada sesuatu di situ yang dikenal olehnya. Tapi pemandangan seperti itu juga tidak asing baginya. Mereka bisa berada di mana saja di daerah pedalaman, dalam jarak seratus mil di sekitar kawasan Rocky Beach!
"Ayo jalan," kata laki-laki yang bernama Fred. "Ke arah sana!"
Fred bertubuh lebih tinggi dan lebih kurus daripada temannya yang bernama Walt. Rambutnya coklat tua, sementara matanya yang kecil terbenam dalam rongga yang cekung. Kulit mukanya berwarna coklat dan keriput ditempa sinar matahari. Kelihatannya kedua orang itu berasal dari suatu negeri yang panas karena selalu terpanggang sinar matahari.
Mereka berjalan di atas rumput di sisi jalan. Tidak sampai lima puluh meter kemudian, mereka berubah arah dan menuju langsung ke arah perbukitan. Jupiter sama sekali tidak melihat ada jalan di depan mereka. Yang ada hanya semak belukar lebat, nyaris tidak bisa ditembus.
"Kau yang di depan, Fred," kata Walt. "Kau membawa tas-tas, jadi kami nanti mengikuti kecepatanmu berjalan."
Orang yang bernama Fred itu mengangguk. Diletakkannya tas-tas yang dibawanya ke tanah, lalu disingkapkannya salah satu semak lebat yang menghadang. Ternyata di balik semak itu ada jalan setapak yang sempit. Fred menyorong kedua tas yang dibawanya ke balik semak yang masih ditarik ke samping, lalu ia sendiri menyusul.
"Sekarang kau," perintah Walt pada Jupiter.
Jupiter mencari-cari semak tadi. Ditariknya semak itu ke samping, lalu ia melangkah ke jalan setapak yang tersembunyi di belakangnya. Tapi tiba-tiba semak yang berbatang liat dan ranting-rantingnya berduri itu terlepas dari pegangannya. Sambil melindungi muka agar tidak tertusuk duri, Jupiter buru-buru meloncat mundur dan jatuh telentang di luar. Dengan cepat Walt menyentakkannya sehingga berdiri lagi, lalu sambil mengumpat mendorongnya menembus semak.
"Hati-hati, aku bisa gugup!"
Jupiter meneguk ludah, lalu buru-buru melangkah di jalan setapak. Walt berjalan dekat sekali di belakangnya, dengan pistol tetap teracung. Semak penutup tadi kembali ke keadaan semula. Kini jalan setapak itu tidak kelihatan lagi dari luar.
Jupiter bergegas-gegas mengikuti Fred yang berjalan di depan. Ia tidak melihat akar yang melintang di tanah. Tahu-tahu ia sudah terjerembab di tanah, karena kakinya terkait pada akar itu. Jupe tetap tergeletak di tanah dengan napas tersengal-sengal. Tapi ia sudah berhasil berdiri dan melanjutkan langkah lagi, sebelum Walt sampai di tempat itu.
Kedua penculik bergerak dengan cepat di jalan setapak yang merambah daerah bersemak-belukar lebat itu. Kelihatannya mereka sudah pernah melewati jalan itu dan tahu arah yang harus dituju. Jupiter berusaha mengikuti kecepatan mereka di jalan setapak yang nyaris tidak kelihatan itu. Tapi masih dua kali lagi ia terjerembab karena tersandung. Akhirnya ia didorong masuk ke sebuah ngarai buntu yang sempit. Tempat itu gelap, karena berada dalam bayangan gunung.
Sebuah pondok kecil berdinding batu terletak dekat pada tebing ngarai yang curam dan menjulang tinggi. Para penculik membuka pintu pondok, mendorong Jupiter ke dalam, lalu mengunci pintu dari luar. Jupiter berada seorang diri dalam pondok itu.
* * *
Bob dan Pete duduk di sebuah bangku yang dirapatkan ke dinding kantor pusat kepolisian kota Rocky Beach. Paman Titus dan Bibi Mathilda juga ada di situ.
"Coba kita tadi membawa alat isyarat kita," keluh Pete.
"Alat-alat itu kan sedang dibetulkan," kata Bob mengingatkan. "Tapi Jupe pasti akan bisa menemukan salah satu cara untuk menghubungi kita, Dua."
Bibi Mathilda menatap dengan mata melotot ke arah Sheriff dan Chief Reynolds.
"Apakah kita akan duduk-duduk saja di sini sepanjang hari?" tukasnya. "Para penculik itu takkan dengan sendirinya datang menyerahkan diri!"
"Seluruh kawasan kota dan sekelilingnya sudah kita awasi, Mrs. Jones, dan tidak ada gunanya jika kita bergerak kian kemari tanpa tujuan tertentu. Dalam menghadapi kasus penculikan, segala tindakan perlu diatur secara cermat."
"Semua dinas kepolisian di negara bagian California, Nevada, Oregon, dan Arizona sudah disiagakan," kata Sheriff menambahkan. "FBI sudah dihubungi, begitu pula pihak yang berwenang di Meksiko. Nomor mobil Mercedes itu sudah diteruskan lewat teleks kepada segenap dinas kepolisian, dan juga ke Dinas Kendaraan Bermotor."
"Suatu tim spesialis sudah ditugaskan untuk mendatangi tempat kejadian, guna melakukan pelacakan jejak dengan bantuan laboratorium," kata Chief Reynolds menambahkan. "Selama tidak ada yang bisa dijadikan petunjuk, kita belum bisa bertindak lebih lanjut."
"Kalau begitu tidak ada yang menghalangi kalian untuk ikut mencari!" tukas Bibi Mathilda.
"Peluang untuk bisa menangkap mereka dengan cepat akan lebih besar," kata Sheriff, "jika ada suatu pusat yang setiap waktu siap untuk mengatur kegiatan pencarian begitu sudah ditemukan salah satu petunjuk mengenai para penculik itu."
Tapi nampak jelas bahwa mereka tidak berhasil meyakinkan Bibi Mathilda. Sheriff dan Chief Reynolds yang kemudian meninggalkan ruangan diikutinya dengan mata yang menatap marah. Kejengkelannya tidak menjadi berkurang dengan kembalinya tim laboratorium. Mereka tidak menemukan apa-apa di tempat kejadian. Masih tetap belum ada petunjuk sama sekali tentang di mana para penculik dan Jupiter berada.
"Apa mau mereka sebenarnya, menculik Jupiter?" kata Bibi Mathilda marah-marah. Ia menoleh ke arah Bob dan Pete. "Kalian terus terang sajalah, apakah saat ini kalian tidak sedang terlibat lagi dalam kekonyolan kalian? Menyelidik, mengorek-ngorek urusan orang lain?"
"Tidak, Ma'am, " kata Bob dengan tegas. "Kami saat itu sedang dalam perjalanan, hendak melancong ke Magic Mountain."
"Kalian berdua tidak bisa mengira-ngira, apa yang ada di balik kejadian ini?" tanya Paman Titus. "Sayang sekali, tidak," kata Pete.
"Ih, kepingin rasanya bisa berhadap-hadapan dengan penjahat-penjahat itu!" tukas Bibi Mathilda.
Meski sedang bingung saat itu, tapi mau tidak mau Bob dan Pete berpandang-pandangan juga sambil nyengir. Mereka tidak kepingin menjadi kedua penculik itu, apabila sampai jatuh ke tangan Bibi Mathilda! Tapi dengan segera cengiran mereka lenyap. Mereka sadar lagi, bahwa saat itu tidak nampak tanda-tanda bahwa para penculik akan bisa tertangkap!
"Coba ada barang sesuatu petunjuk yang bisa kita jadikan pegangan," kata Bob. "Tapi aku tahu, Jupe pasti akan menemukan salah satu cara sehingga kita bisa menemukannya."
"Itu kalau dia bisa memanfaatkannya," kata Pete. "Para penculik itu kelihatannya sangat cerdik, Bob."
"Sebentar lagi akan kita lihat seberapa cerdiknya mereka," kata Chief Reynolds, yang sementara itu sudah memasuki ruangan lagi. "Anak buah Sheriff yang mencari dengan helikopter sudah menemukan Mercedes mereka. Kendaraan itu diparkir di sebuah jalan lama. Di Rattlesnake Road, tidak sampai tiga mil dari kota!"
"Kita ke sana!" seru Sheriff yang muncul dari sebuah ruang belakang. "Kita sudah menemukan mereka!"
* * *
Jupiter merapatkan telinga ke daun pintu pondok yang terkunci. Ia berusaha menangkap pembicaraan kedua penculik yang berada di luar, sambil bertanya-tanya dalam hati kapan kedua orang itu akan menyadari kekeliruan mereka.
Ia bisa mendengar suara mereka dengan jelas.
Tapi kata-kata mereka hanya sepotong-sepotong saja yang berhasil ditangkap olehnya. Kelihatannya mereka sedang merundingkan rencana perjalanan yang entah ke mana, dan membicarakan seseorang yang tidak ada di situ. Tiba-tiba Jupiter menyadari bahwa mereka sedang menunggu seseorang. Seseorang yang menurut rencana akan datang, serta sesuatu yang akan terjadi.
Tapi siapa, dan kejadian apa, di ngarai yang terpencil letaknya itu?
Jupiter berusaha mendengar lebih jelas. Tapi percuma. Kecemasannya timbul lagi. Bagaimana jika orang yang ditunggu kedatangannya itu lebih mengenal anak yang bernama Ian, dibandingkan dengan kedua pria yang ada di luar itu? Jupe sadar bahwa ia harus menemukan kemungkinan untuk meloloskan diri dari dalam pondok lalu lari.
Ia memandang berkeliling, memperhatikan ruang sebelah dalam pondok kecil itu. Ruangannya hanya ada satu, tanpa perabot sama sekali. Tidak ada lemari di situ, dan hanya ada satu pintu, yang dikunci dari luar. Satu-satunya jendela yang ada berukuran sempit dan berterali. Kelihatannya pondok itu dulunya merupakan tempat menyimpan sesuatu yang berharga. Atau berbahaya. Mungkin dulu di situ disimpan dinamit, untuk keperluan menambang batu. Atau perkakas mahal, untuk mencari minyak bumi.
Tapi saat itu tidak ada apa-apa lagi yang disimpan di dalamnya. Tidak ada sesuatu yang bisa dipakai Jupiter untuk melarikan diri dari situ.
Ia berjalan lambat-lambat menyusur dinding pondok yang terbuat dari batu, mencari-cari bagian yang tidak begitu kokoh. Tapi di mana-mana tebal dinding itu paling tidak tiga puluh senti, dan tidak ada yang kelihatan agak rusak, Jupiter tidak punya apa-apa yang bisa dipakai untuk mendobrak dinding, apalagi perbuatan itu akan terlalu berisik. Tidak! Ia tidak mungkin bisa ke luar lewat dinding. Karenanya ia mengalihkan perhatian pada lantai.
Lantai pondok itu terbuat dari papan yang lebar-lebar dan kasar, sedang tebalnya paling sedikit dua senti. Pemasangannya sangat rapat. Sama sekali tidak ada celah di antara papan-papan itu. Tapi ketika Jupe menekankan bobot tubuhnya, ia merasakan papan-papan itu agak melendut. Dengan segera ia menyadari bahwa lantai itu tidak langsung terletak di tanah, melainkan dipasang di atas balok-balok penunjang. Ada rongga di bawah lantai pondok! Jupiter merangkak-rangkak, memeriksa seluruh permukaan. Ia menemukan papan yang agak lepas di bagian belakang ruangan, dekat dinding! Ia menginjakkan kakinya kuat-kuat pada satu ujung papan pendek itu, lalu menarik ujung yang satu lagi ke atas. Ujung itu berhasil cukup tinggi diangkat olehnya sehingga bisa menyelipkan tangan ke sisi bawahnya lalu menarik papan itu sehingga terlepas seluruhnya. Sekali itu ia mengucap syukur bahwa tubuhnya cukup berbobot!
Setelah papan yang terlepas itu disingkirkan, Jupiter melihat rongga yang terdapat di bawah lantai. Ia berhasil melepaskan selembar papan lagi, tanpa menimbulkan bunyi yang mencurigakan. Setelah itu ia menyusup ke dalam rongga yang ada di bawah lantai lalu memeriksa keadaan di situ dengan merayap kian kemari. Pada satu sisi, tanah di bawah lantai itu miring ke atas. Jupiter hanya bisa merayap pada separuh bagian bawah lantai pondok.
Dengan lesu, Jupiter merangkak naik lagi ke lantai. Sudah cukup banyak yang diketahuinya. Pondok itu dibangun di atas dinding pondasi dari batu, dengan beberapa lubang untuk tempat udara lewat. Tapi lubang-lubang itu sangat kecil ukurannya. Tidak mungkin ia bisa menyusup ke luar lewat situ. Juga tidak, andaikan ia bertubuh langsing!
Tidak ada jalan ke luar dari pondok itu, kecuali lewat pintu. Dan pintu dikunci dari luar!
* * *
Polisi memarkir mobil-mobil dinas mereka tidak jauh di bawah Mercedes itu, di jalan menanjak yang bernama Rattlesnake Road. Dengan sangat cermat mobil yang tidak ada isinya itu mereka periksa.
"Tidak ada apa-apa," kata Chief Reynolds. Terdengar jelas bahwa ia kecewa. "Sama sekali tidak ada apa-apa yang bisa dijadikan petunjuk untuk mengetahui ke mana mereka pergi setelah meninggalkan mobil ini di sini."
"Orang kan tidak bisa menghilang dengan begitu saja," kata Bibi Mathilda berkeras.
Bob, Pete, dan juga Paman Titus mencari-cari di sekeliling mobil yang ditinggalkan itu. Kendaraan itu ditempatkan di pinggiran jalan yang ditumbuhi rumput.
"Tidak ada apa-apa yang kelihatannya merupakan tanda yang ditinggalkan Jupiter," kata Bob dengan nada suram. "Bekas tapak kaki saja pun tidak ada," kata Paman Titus.
"Mereka seakan-akan menghilang," kata Chief Reynolds. Ia memandang berkeliling, ke arah semak lebat dan pegunungan yang menjulang di atas mereka. "Kita tidak bisa mengetahui, ke mana Jupiter mereka bawa. Bisa ke mana saja!"
"Tidak," kata Pete dengan tiba-tiba. "Saya rasa mereka tidak terlalu jauh dari sini!"

Bab 5
LOLOS!

"DARI MANA kau mengetahuinya, Anak muda?" kata Sheriff dengan nada heran. "Kau menemukan petunjuk, Pete?" tanya Chief Reynolds.
Pete berdiri di dekat mobil Mercedes. Ia menunduk, memperhatikan tanah jalanan. Kemudian ia berjongkok, menyentuh tanah di situ dengan tangannya.
"Lihatlah, Sir, " kata remaja bertubuh jangkung itu, sambil menuding tanah di hadapannya. "Pada bagian ini ada jalur pasir lunak yang lebar, menutupi seluruh badan jalan. Bekas roda Mercedes kelihatan jelas di atasnya. Tapi tidak ada bekas ban mobil lain yang masih baru, atau jejak kaki! Tidak ada mobil lain datang kemari hari ini, jadi mereka tidak mungkin pergi dengan mobil. Dan sepanjang yang bisa kulihat, mereka juga tidak melanjutkan perjalanan lewat jalan ini."
Sheriff mengamat-amati keadaan badan jalan di sekitar tempat Mercedes diparkir, lalu mengangguk.
"Jalan ini kering dan berdebu di mana-mana, tapi tidak nampak bekas orang berjalan di atasnya."
"Maksud Anda," kata Bob bersemangat, "dengan begitu mereka mestinya masih ada di sekitar sini?"
"Betul, Bob," kata Pete menjawab. Gaya bicaranya saat itu hampir seperti Jupiter. "Menurut dugaanku mereka tidak menyeberangi jalan, melainkan menuju ke arah pegunungan dengan merambah semak belukar!"
"Nanti dulu," kata Chief Reynolds. "Di pinggir jalan sebelah sini ada rumput. Bisa saja mereka terus menyusur jalan ini, dengan berjalan di atas rumput."
"Kemungkinan itu bisa saja," kata Sheriff. Ia menoleh dan menyapa dua orang asistennya. "Billings! Rodriguez! Kalian berjalan sepanjang tepi berumput ini ke arah yang berlawanan untuk melihat di mana berakhirnya, dan apakah setelah itu nampak bekas kaki dijalan. Sisanya menyebar, untuk memeriksa tanda-tanda bekas orang lewat dan masuk ke dalam belukar. Hati-hati melangkah, jangan sampai terhapus barang sesuatu yang mungkin merupakan petunjuk!"
"Dan harap perhatikan, kalau-kalau ada sesuatu yang kelihatan berbentuk seperti tanda tanya," kata Bob menambahkan. "Atau tumpukan batu, atau ranting yang patah dengan cara aneh! Kami bertiga selalu meninggalkan tanda-tanda seperti itu sebagai petunjuk di antara kami, jika dalam melakukan penyelidikan terpaksa memencar."
Para petugas kepolisian dan asisten-asisten Sheriff menyebar lalu mulai bergerak lambat-lambat sambil meneliti sepanjang sisi jalan yang menghadap ke pegunungan. Kedua asisten Sheriff yang ditugaskan memeriksa sampai seberapa jauh bagian pinggiran yang ditumbuhi rumput dengan segera sudah kembali dan melaporkan bahwa bagian itu hanya sedikit saja, dan bahwa di badan jalan sesudah itu tidak nampak bekas kaki. Salah seorang pencari menemukan setumpuk batu berukuran kecil yang mungkin merupakan tanda yang dibuat oleh Jupiter. Tapi ketika Sheriff memeriksanya, ia melihat bahwa onggokan batu itu dibentuk dengan lumpur yang saat itu sudah kering. Dengan begitu ternyata bahwa tumpukan itu sudah agak lama ada di situ. Seorang polisi menemukan ranting yang patah. Bagiannya yang patah kelihatan seperti menunjuk ke belukar yang lebat. Tapi pemeriksaan yang dilakukan di sekitar tempat yang ditunjuk tidak menampakkan bekas-bekas orang masuk ke dalam belukar. Dan di belakangnya juga tidak ada tanda-tanda bekas dilewati orang.
"Chief!" seru seorang polisi. "Mungkin ini ada artinya!"
Ia menunjuk ke arah sesuatu yang kecil dan berwarna putih, tersangkut pada bagian bawah sebuah semak. Nampaknya seperti sepotong kertas. Bob dan Pete bergegas menghampiri. "Kelihatannya seperti-" kata Bob.
"Kartu nama kita!" kata Pete menyambung dengan cepat, lalu meraih ke dalam semak untuk mengambilnya. "Memang, ini kartu nama kita! Rupanya Jupe tadi dengan diam-diam menjatuhkannya ke dalam semak ini, ketika para penculik sedang tidak melihat!"
"Singkapkan semak itu ke samping!" seru Sheriff.
Asisten-asistennya dengan dibantu para polisi dengan segera menyibak belukar. Sesaat kemudian nampaklah jalan setapak yang tersembunyi di baliknya.
"Ya, itu memang jalan orang," kata Chief Reynolds dengan pasti. "Dan ada yang berjalan di situ beberapa saat yang lalu. Lihatlah, semak-semak kecil itu jelas menunjukkan bekas-bekas dirambah!"
Semua bergegas-gegas menyusur jalan setapak itu.
"Itu, lihatlah!" seru Bob. Ia menunjuk ke arah sebuah semak yang tercabut akarnya. Kelihatannya seperti ada yang tersandung dan jatuh di situ. Di dekatnya, di atas sebuah batu kecil, nampak sebuah tanda tanya yang kecil dan berwarna putih.
"Itu tanda dari Jupe! Ia tidak lupa membawa kapurnya!" kata Pete bersemangat.
"Kita harus cepat-cepat menyusul!" kata Paman Titus dengan nada mendesak. "Mestinya ia ada di depan kita, ke arah pegu-"
Ia tertegun dengan mulut masih ternganga. Kepalanya dimiringkan. Semua mendengar bunyi yang nyaring dan berat, seperti bunyi mesin yang kuat. Bunyi itu makin lama makin nyaring, dan akhirnya seolah-olah ada tepat di atas kepala para pencari. Bibi Mathilda menuding ke atas.
"Ada helikopter!"
"Pesawat kitakah itu?" teriak Sheriff untuk mengatasi kebisingan suara pesawat yang melintas pada ketinggian yang tidak sampai seratus meter di atas mereka, menuju ke arah pegunungan.
"Bukan!" jawab Chief Reynolds dengan berteriak pula. "Mestinya helikopter kawanan penculik! Rupanya dengan cara begitulah mereka berniat meloloskan diri, Sheriff! Helikopter itu hendak menjemput para penculik dan Jupiter!"
Semuanya menatap ke arah helikopter itu, sampai menghilang di balik kerimbunan pepohonan. Bunyinya makin lama makin menjauh ke arah depan.
"Dan Anda mengatakan tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk lari keluar dari daerah ini, Sheriff!" teriak Bibi Mathilda. Ia sangat marah.
"Jalan terus," kata Sheriff dengan geram. "Mereka pasti ada di depan kita, pada lintasan ini."
"Asal kita datang pada waktunya di sana," keluh Pete, "sebelum helikopter itu sempat mendarat dan menjemput mereka."
* * *
Di dalam ngarai yang buntu, kedua penculik memperhatikan helikopter yang mendarat di tengah kepulan debu yang membubung. Gerakan udara yang terdorong putaran baling-baling pesawat itu menyentak-nyentak rambut dan pakaian mereka. Dengan baling-baling masih berputar terus, pilotnya meloncat ke luar dari kabin yang kubahnya berbentuk gelembung dan terbuat dari plastik yang jernih. Lengkap dengan pakaian pilot, helm, dan kaca mata penerbang, ia berlari mendatangi para penculik.
"Tepat pada waktunya!" kata pria gempal yang bernama Walt.
"Kami berhasil menculiknya!" kata Fred menambahkan sambil tertawa nyengir.
Pilot itu tidak membalas cengirannya.
"Banyak sekali mobil polisi dijalan tempat kalian tadi meninggalkan Mercedes!" katanya. "Aku rasanya seperti melihat mereka merambah belukar, menuju kemari!"
"Lewat jalan setapak itu?" Kening Walt berkerut. "Bagaimana mereka bisa begitu lekas menemukannya?"
"Anak itu!" seru Fred. "Ia kan berulangkah terjerembab tadi! Pasti itu cuma siasatnya saja, untuk meninggalkan jejak!"
Walt tertawa.
"Sudahlah, biar saja! Untuk sampai di sini, mereka akan memerlukan waktu paling sedikit setengah jam. Saat itu kita akan sudah melayang-layang di udara, bebas seperti burung."
"Jangan suka menganggap enteng, Walter," tukas pilot itu. "Ambil anak itu sekarang. Kita tidak boleh melakukan kekeliruan sekecil apa pun, karena urusan ini penting sekali artinya bagi tanah air kita."
"Oke," kata Walt, "kitajemput saja dia."
"Di mana dia sekarang?"
"Terkunci di dalam pondok itu."
"Bagus," kata pilot, "tapi sekarang cepatlah!"
Ketiga pria itu berlari-lari melintasi dasar ngarai yang keras. Sesampai di depan pondok, dengan segera Walt membuka pintu.
"Ayo keluar!" serunya ke dalam.
"Walt!" kata Fred berteriak. "Dia tidak ada di dalam!"
Ruang pondok yang remang-remang itu kosong!
"Ia berhasil meloloskan diri!" Pilot itu marah sekali.
"Mustahil," kata Walt. "Tidak ada jalan lain untuk bisa keluar!"
Ketiga pria itu memandang kian kemari, memperhatikan ruangan pondok itu.
"Itu bisa saja benar," kata Fred dengan sengit, "tapi di dalam sini juga tidak ada tempat bersembunyi! Dan yang jelas, dia tidak ada lagi!"
"Entah dengan cara bagaimana, ia berhasil meloloskan diri!" seru pilot helikopter.
"Sudah, jangan buru-buru panik," kata Walt. "Bisa saja ia berhasil keluar dari pondok ini, tapi ia masih ada di dalam ngarai ini. Jalan setapak itu satu-satunya jalan ke luar dari sini, dan itu selalu ada di depan mata kita. Tidak mungkin ia bisa melewati kita tanpa ketahuan, Fred! Jadi ia pasti masih ada di salah satu tempat di dalam ngarai, di bagian belakang pondok!"
Ketiga anggota kawanan penculik itu bergegas memasuki ngarai, lalu memencar untuk mencari.
* * *
Bob dan Pete, polisi, Sheriff dan para asistennya, serta paman dan bibi Jupiter muncul dari jalan setapak yang melintasi belantara semak. Dengan napas terengah-engah mereka memasuki ngarai yang sempit. Sementara itu sudah berlalu waktu dua puluh menit sejak helikopter melintas di atas kepala mereka. Rombongan pencari yang baru muncul itu memandang berkeliling ngarai dengan sikap waspada.
"Itu dia helikopternya!" seru Bob.
Pesawat itu nampak agak jauh di depan mereka, dengan baling-baling berputar. Saat mereka yang baru datang itu masih memandang, pilot helikopter itu bergegas masuk ke kabin pesawatnya. Dengan segera baling-baling berputar lebih cepat. Terdengar bunyi mesin menderu, tampak sudah siap untuk tinggal landas.
"Kejar!" seru Pete. "Jangan sampai dia meloloskan diri!"
Rombongan itu bergerak, lari mengejar ke arah helikopter. Tapi saat itu muncul dua orang dari belakang sebuah pondok berdinding batu. Mereka lari menuju helikopter. Masing-masing menenteng sebuah koper. "Mereka lebih cepat!" seru Chief Reynolds.
"He! Berhenti! Jangan lari!" seru Sheriff sambil lari mengejar. "Kami polisi!"
Tapi kedua pria itu sudah sampai di helikopter, lalu bergegas masuk ke dalam gelembung plastik. Deru mesin semakin bising. Dan di tengah hamburan debu yang beterbangan karena angin yang ditimbulkan baling-baling, helikopter itu membubung ke udara, sementara rombongan pengejar hanya bisa memandang saja tanpa daya. Pesawat itu masih melayang di tempat selama sesaat lalu terbang menjauh dengan gerakan menyapu sisi atas tebing ngarai. Arahnya menuju ke selatan.
Rombongan pengejar hanya bisa menatap langit yang kini kosong.
"Mereka... mereka lolos," kata Paman Titus dengan nada heran kenapa itu bisa terjadi.
"Kalian biarkan mereka lolos lagi!" tukas Bibi Mathilda marah-marah. "Dasar laki-laki! Sekarang bagaimana rencana kalian selanjutnya untuk menyelamatkan keponakanku?"
"Kembali ke mobil!" seru Sheriff. "Sebarkan lewat radio, helikopter itu mengarah ke selatan." Para asistennya berlari kembali memasuki jalan setapak.
"Nanti dulu! Tunggu!" seru Bob. "Aku tadi tidak melihat Jupiter bersama mereka! Hanya kedua penculik saja, dan seorang pilot!"
"Mungkin kemunculan kita menyebabkan mereka ketakutan lalu buru-buru lari!" kata Pete bersemangat. "Mungkin Jupe mereka tinggalkan di dalam pondok itu!"
Chief Reynolds berpaling, lalu mendului rombongan yang dengan segera lari memburu ke arah pondok. Sesampai di sana ia membuka pintu lebar-lebar, dan semuanya bergegas masuk. Semuanya memandang berkeliling ruangan kosong yang hanya ada satu itu.
"Tidak ada!" kata Pete kecewa.
"Mungkin tadi sudah ada di dalam helikopter," kata Bob dengan nada kecut. "Kita yang terlambat!"
"Tidak, Bob!" Semuanya melongo, karena suara yang tiba-tiba terdengar itu tidak ketahuan dari mana datangnya. "Kalian malah datang tepat pada waktunya!"
Dua lembar papan pendek di bagian belakang ruangan itu terangkat, dan Jupiter muncul dari bawah lantai. Ia tertawa lebar.
"Jupiter!" seru semuanya serempak.
"Tentu saja aku," kata remaja bertubuh montok itu dengan gaya santai. "Kalian kira siapa?"

Bab 6
JUPITER MENEMUKAN PETUNJUK

"...jadi sama sekali tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari pondok itu," kata Jupiter di kantor pusat kepolisian, memberi penjelasan kepada para wartawan yang berkerumun di sekelilingnya. "Tapi saya lantas mendapat akal! Karena di dalam pondok tidak ada kemungkinan untuk bersembunyi, maka mungkin saja saya bisa membuat mereka mengira bahwa saya berhasil melarikan diri jika saya bersembunyi di rongga sebelah bawah lantai! Dan ternyata siasat itu berhasil! Tentu saja lama-lama mereka pasti mengetahui tipu muslihat itu-tapi mereka sudah terlebih dulu terpaksa lari ketika rombongan pencari datang."
"Untuk remaja, itu akal yang sangat cerdik," kata salah seorang wartawan mengomentari.
"Jupiter Jones bukan anak biasa," kata Chief Reynolds dengan nada bangga. "Tidak satu pun dari ketiga anggota Trio Detektif bisa disamakan dengan anak-anak yang lain. Mereka detektif! Memang masih remaja, tapi benar-benar detektif! Sudah sering mereka membantu kami dalam menunaikan tugas."
"Wah, itu cerita yang hebat, Chief," kata wartawan yang tadi, sambil memberi isyarat kepada juru fotonya dengan anggukan kepala. "Kita perlu beberapa foto yang bagus, Joe. Masih ada waktu untuk dimuat dalam edisi petang."
Sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan para wartawan yang mewawancarai, Jupiter meneliti buku arsip polisi yang memuat foto-foto dari semua yang pernah ditahan oleh dinas kepolisian Rocky Beach. Di samping itu ia juga masih sempat menuturkan ciri-ciri kedua penculik kepada juru gambar polisi, yang membuat gambar sketsa kedua tersangka.
"Kedua penculik itu sama sekali tidak mengatakan apa yang mereka kehendaki?" tanya seorang wartawan.
"Itu urusan polisi," kata Chief Reynolds memotong. "Tapi ini bisa saya katakan: Mr. Titus Jones bukan orang yang kaya, dan baik dia maupun keponakannya sejauh ini sama sekali tidak mengetahui apa yang mungkin merupakan alasan penculikan itu. Kami memperkirakan dalam waktu dekat akan sudah berhasil mengetahui latar belakang kasus ini dan menangkap para pelakunya."
Sambil menggerutu para wartawan itu pergi, setelah selesai membuat foto-foto mereka. Jupiter tidak berhasil menemukan wajah para penculik dalam buku arsip polisi. Ia juga tidak puas melihat kedua sketsa yang dibuat juru gambar polisi.
"Memang tidak begitu mirip," kata Bob membenarkan.
"Anda berhasil memperoleh informasi baru, Chief?" tanya Pete bergairah. "Pada wartawan tadi Anda mengatakan bahwa Anda memperkirakan akan dapat menangkap para penculik itu dalam waktu dekat."
"Itu tadi hanya alasan agar ada yang bisa ditulis dalam koran, Pete," kata Chief Reynolds berterus terang. "Dalam menghadapi kasus penculikan kita perlu sekali berhati-hati, jangan sampai pers membeberkan hal-hal yang sedang dilakukan polisi."
"Karena itu Anda tidak mengatakan pada mereka tentang keyakinanku bahwa ini bukan kasus penculikan biasa?" tanya Jupiter ingin tahu.
"Betul," kata kepala polisi itu. "Demi kelancaran penyidikan, lebih baik jika para penculik mengira kita sedang meraba-raba dalam gelap."
"O, begitu," kata Jupiter, lalu berpikir sebentar. "Tapi karena salah satu sebab, mereka mengira aku anak salah seorang tokoh penting dari negara mereka, entah negeri mana itu. Dan kurasa kejadian ini ada sangkut-pautnya dengan balas dendam, atau aksi politik, atau bahkan perang. Penculikan terjadi karena mereka memerlukan sandera!"
"Itu mungkin saja," kata Chief Reynolds, "tapi yang penting kau sudah selamat sekarang, dan urusan ini akan kami tangani. Helikopter itu sedang dilacak, dan gambar-gambar ini akan disebarluaskan ke mana-mana. Kau harus berjaga-jaga selama beberapa hari ini. Aku yakin, sementara itu kami pasti sudah berhasil membekuk penjahat-penjahat itu! Nah, karena paman dan bibimu sudah pergi, kalian bertiga akan diantar pulang naik mobil polisi."
Sambil berdiri di depan kantor polisi menunggu kedatangan mobil polisi yang akan mengantar pulang, Jupiter memandang arlojinya dengan kening berkerut.
"Sudah sore, tapi mungkin kita nanti bisa minta tolong diantar dengan truk perusahaan," kata remaja bertubuh montok itu menggumam, seperti berbicara pada dirinya sendiri.
"Diantar ke mana, Jupe?" tanya Pete, lalu ia meneguk ludah. "Jangan, jangan katakan! Mendingan aku tidak tahu!"
"He, Jupe!" seru Bob. "Lihat, itu kan Worthington!"
Supir Rolls-Royce yang bertubuh jangkung itu berdiri di samping kendaraan mewah itu, yang diparkir di pinggir trotoar, sekitar empat mobil dari tempat ketiga remaja itu. Mereka bergegas menghampirinya. "Anda masih ada di sini, Worthington!" kata Jupiter dengan nada heran.
"Pada saya belum dikatakan bahwa tugas saya sudah selesai, Tuan Jones," kata supir itu, "dan saya ingin memastikan diri bahwa Anda selamat, tanpa kekurangan sesuatu apa pun." Mata Worthington berkilat-kilat Jenaka. "Di samping itu terlintas dalam pikiran saya bahwa masih ada waktu lebih dari sejam sebelum pukul lima, dan mungkin saja Anda memerlukan kendaraan untuk pergi ke salah satu tempat."
"Ya, itu memang benar!" seru Jupiter. Ia berlari menghampiri mobil polisi yang saat itu datang menjemput mereka, lalu mengatakan pada pengemudinya bahwa ternyata mereka tidak perlu diantar pulang. Setelah itu dengan riang ia berlari kembali ke mobil Rolls-Royce. "Masuk, Kawan-kawan!"
Ketiga remaja itu bergegas masuk ke dalam kendaraan yang kemilau itu. Worthington menoleh ke belakang dari tempat duduknya di belakang setir.
"Ke mana, Sir?" katanya dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Yah, tentu saja kembali ke ngarai buntu itu, yang di dekat Rattlesnake Road."
"Aduh, ampun," keluh Pete. "Chief Reynolds tadi kan mengatakan bahwa kita harus berhati-hati."
"Kita memang akan berhati-hati," kata Jupiter sambil nyengir. "Kita berangkat, Worthington!"
Saat itu musim panas. Jadi matahari masih tinggi di langit ketika mereka sampai dijalan setapak yang tersembunyi, di sisi Rattlesnake Road. Worthington mengunci pintu-pintu Rolls-Royce, dan sekitar dua puluh lima menit kemudian mereka berempat sudah sampai di dalam ngarai yang dituju.
"Karena aku tadi sudah sempat mengacak-acak dalam pondok itu sehingga mungkin sekarang takkan cukup teliti untuk bisa mengenali sesuatu di situ yang bisa dijadikan petunjuk, kurasa sebaiknya Pete dan Worthington saja yang pergi mencari-cari di dalam dan di sekitar situ," kata Jupiter. "Aku dan Bob akan meneliti tempat di mana helikopter tadi mendarat."
"Apa sebetulnya yang kita cari, Satu?" tanya Bob.
"Di samping kesulitan, maksudnya," kata Pete menggerutu.
"Apa saja yang bisa dijadikan petunjuk, Bob," kata Jupiter, tanpa mempedulikan omelan Pete. "Petunjuk tentang siapa para penculik itu, atau dari mana mereka berasal, atau apa yang sebetulnya mau mereka, atau di mana kemungkinannya mereka sekarang."
Sementara matahari terbenam lambat-lambat di balik gunung dan menyebabkan ngarai sempit itu tenggelam di dalam bayangan, Pete dan Worthington sibuk mencari di dalam dan di sekitar pondok, tapi tanpa menemukan apa-apa. Bob dan Jupe yang memeriksa di tempat helikopter tadi mendarat juga sama saja hasilnya. Kemudian teringat oleh Jupiter bahwa ia yang tadi dikira berhasil meloloskan diri dicari oleh kedua penculik di belakang pondok. Anak-anak dan Worthington lantas menyebar dan pergi mencari-cari sampai ke ujung belakang ngarai. Mereka melakukannya dengan perasaan yang semakin lesu. Tapi tiba-tiba Jupiter membungkuk. Ia memungut sesuatu dan mengamat-amatinya. Yang lain-lain bergegas mendatangi.
"Apa itu?" tanya Bob.
"Aku tidak tahu pasti," jawab Jupiter lambat-lambat. "Lihat saja sendiri!"
Benda kecil yang dipegangnya nampak kemilau kena cahaya matahari sore yang sudah nyaris lenyap. Bentuknya berupa taring gajah berukuran kecil sekali dan kelihatannya dibuat dari gading asli yang dipasang pada jaring dari emas, menempel pada sebuah simpai berukuran kecil yang juga terbuat dari emas.
"Anting-anting, barangkali?" kata Pete menebak.
"Mungkin gantungan jam, atau jimat," kata Bob. "Ya, barangkali semacam jimat pembawa untung, Satu!"
"Apa pun juga benda ini," kata Jupiter, "pemasangannya tidak rapi, dan kelihatannya dibuat dengan tangan. Kurasa ini semacam hasil kerajinan tangan yang berasal dari luar negeri, jadi bukan sesuatu yang tidak aneh jika ditemukan di dalam ngarai ini."
"Menurut perkiraanmu, benda itu milik penculik yang tercecer, Satu?" tanya Pete. Worthington mengambil gading gajah berukuran kecil itu dan mengamat-amatinya sebentar.
"Setelah diingat-ingat, logat para penculik itu menurut saya mirip sekali dengan logat orang-orang yang berasal dari daerah-daerah bekas jajahan Inggris di Afrika! Dan taring kecil ini mirip sekali dengan perhiasan buatan penduduk pribumi di beberapa tempat di sana. Jadi kalau saya diizinkan menyampaikan pendapat, saya rasa benda ini memang milik salah seorang penculik tadi, dan tercecer di sini."
Jupiter langsung bersemangat.
"Kalau begitu kurasa bisa kita selidiki dari mana mereka berasal!"
"Eh, Jupe," kata Pete. Sikapnya gelisah. "Kusangka kita tidak boleh ikut-ikutan dalam kasus ini?" "Kita tidak boleh main-main dengan penculik, Satu," kata Bob memperingatkan.
"Memang, polisi yang harus memburu para penculik itu," kata Jupiter membenarkan pendapat kedua temannya. "Tapi kurasa ada seorang remaja yang saat ini terancam keselamatannya, dan aku yakin remaja itu ada di sini, di Rocky Beach. Kita berkewajiban mencarinya sampai ketemu."
"Mestinya dari semula aku sudah harus tahu bahwa kau pasti bisa menemukan alasan," kata Pete sambil mengeluh.
"Anak itu mungkin bahkan tidak sadar bahwa keselamatannya terancam, Dua. Setidak-tidaknya, kita bisa memberi tahu agar ia waspada," kata Jupiter dengan tegas, lalu menyapa Worthington. "Sekarang antarkan kami pulang, Worthington, lalu setelah itu Anda bisa mengembalikan mobil."
"Baik, Tuan Jones," kata supir itu.
Mereka kembali ke jalan setapak dan berjalan menuju Rattlesnake Road. Kening Pete berkerut. "Bagaimana caranya kita mencari anak itu?" tanyanya.
"Untuk itu banyak caranya, Dua," kata Jupiter bernada yakin. "Tapi sebelumnya, kita harus mencari keterangan lebih banyak dulu tentang dia. Malam ini aku akan melakukan penelitian, dan besok kita berkumpul di markas untuk mengatur rencana!"

Bab 7
KAWAN ATAU LAWAN?

"PETER! Jangan kautelan saja sampanmu," kata Mrs. Crenshaw keesokan paginya. "Maaf, Bu, tapi aku harus buru-buru."
Mr. Crenshaw berpaling dari surat kabar yang sedang dibacanya.
"Mudah-mudahan kau terburu-buru ini tidak ada hubungannya dengan penculikan Jupiter temanmu itu," katanya dengan sikap serius. "Kalian jangan mencampuri urusan seperti itu."
"Tidak, itu juga kami ketahui. Sedapat mungkin kami tidak ingin berurusan dengan para penculik itu." Mr. Crenshaw tersenyum.
"Sukar rasanya membayangkan ada orang bisa keliru, menyangka Jupiter orang lain. Aku takkan menyangka ada orang lain yang mirip Jupiter," katanya.
"Yah, Jupiter tidak mengatakan apa-apa pada mereka, Bu. Maksudku, ia terus bungkam saja." "Oh." Mrs. Crenshaw tertawa lagi. "Dalam hal Jupiter, itu besar sekali artinya!"
Pete membalas dengan cengiran. Setelah selesai sarapan ia bergegas keluar untuk mengambil sepedanya. Hawa pagi masih sejuk ketika ia bersepeda menuju pangkalan barang-barang bekas dan kemudian berhenti di sisi pagar belakang, lima puluh meter dari sudut kompleks itu. Seluruh sisi luar pagar itu dihiasi dengan hasil lukisan sejumlah pelukis Rocky Beach, dan di tempat Pete berhenti di sisi belakang itu terpampang gambar pemandangan dahsyat yang menampilkan peristiwa kebakaran besar yang melanda kota San Francisco pada tahun 1906. Pete mencongkel mata seekor anjing kecil yang dilukiskan sebagai latar depan gambar pemandangan itu. Mata anjing itu sebenarnya mata kayu dari papan pagar. Setelah mata itu tercongkel, Pete merogoh ke dalam lubang untuk menarik gerendel yang terdapat di sisi dalam papan itu. Tiga lembar papan terungkit ke atas, dan ia pun masuk ke dalam.
Ditinggalkannya jalan masuk yang dinamakan Kelana Gerbang Merah itu, lalu pergi mencari Jupiter. Pete menemukannya sedang bekerja di bengkelnya yang terletak di luar. Pemimpin tim detektif remaja itu sibuk dengan beberapa bagian dari tiga buah instrumen kecil yang terserak di atas bangku kerja.
"Banyak yang perlu disetel pada alat-alat isyarat kita," kata Jupiter. "Kau bisa membantuku mengerjakannya, sambil kita menunggu Bob datang."
"Bagaimana dengan penelitianmu, dan rencana untuk mencari anak yang bernama Ian itu?" tanya Pete sambil mengamati-amati berbagai bagian dari alat-alat isyarat yang berserakan di atas bangku. Alat-alat itu dibuat sendiri oleh Jupiter beberapa tahun yang lalu, untuk dipakai dalam pekerjaan mereka. "Kau tidak berhasil menemukan apa-apa?"
"Siapa bilang?" jawab Jupiter sambil nyengir. "Bahkan banyak sekali yang berhasil kuketahui dalam penelitianku tadi malam. Kurasa takkan sulit bagi kita untuk menemukan Ian Carew."
"Ceritakan dong!" seru Pete bersemangat.
"Kita harus menunggu sampai Bob datang dulu," kata Jupiter. "Untuk apa bercerita dua kali!"
Pete mengomel-ngomel karena kesal. Tapi Jupiter hanya nyengir saja, lalu meneruskan pekerjaannya. Ketika akhirnya Bob datang, kedua temannya sudah selesai membersihkan semua bagian dari ketiga alat isyarat mereka dan juga menyetelnya kembali, sehingga tinggal dipasang kembali. Bob bergegas-gegas masuk lewat Gerbang Hijau Satu, yang terdiri dari dua papan berwarna hijau yang terpasang longgar di pagar sebelah depan kompleks pangkalan barang-barang bekas itu.
"Sorry, " katanya dengan napas tersengal-sengal karena habis mengayuh sepedanya cepat-cepat, "tapi aku tadi disuruh ibuku melakukan beberapa pekerjaan dulu di rumah. Bagaimana dengan rencana kita, Jupe? Ada kabar baru dari Chief Reynolds?"
"Ya, ada," jawab Jupiter, "tadi aku meneleponnya. Mereka sudah menemukan helikopter itu. Ditinggalkan begitu saja oleh para penculik di sebuah lapangan, di dekat Ventura."
"Maksudmu, penculik-penculik itu mengelabui kita? Berbalik ke utara, sesudah pura-pura menuju ke selatan?" seru Bob.
Jupiter mengangguk.
"Siasat yang bisa dimengerti, setelah mereka tahu bahwa polisi berhasil menemukan jejak mereka. Menurut Chief Reynolds tadi, polisi tidak menemukan apa-apa-di dalam helikopter itu -yang bisa dijadikan petunjuk. Dan katanya, pesawat itu disewa lewat surat dan pembayarannya juga dilakukan dengan pos. Ketika orang yang kemudian menerbangkannya datang di lapangan terbang pangkalan helikopter itu, ia sudah berpakaian pilot lengkap dengan helm dan kaca mata penerbang, sehingga tidak ada yang bisa mengatakan bagaimana tampangnya. Dan tentu saja surat izin mengemudikan helikopter yang diperlihatkannya palsu, begitu pula nama dan alamatnya."
"Jadi sama sekali tidak ada gunanya," kata Pete menggerutu.
"Bagaimana dengan kedua penculikmu itu?" tanya Bob.
"Sejauh ini belum ada yang berhasil mengetahui siapa mereka, apalagi menangkap," kata Jupiter. "Sidik jari yang ditemukan polisi di dalam helikopter dan mobil Mercedes tidak terdapat dalam arsip FBI di Washington. Dan Mercedes hijau yang mereka pakai, ternyata juga sewaan."
"Jadi sama sekali tidak ada kemajuan, kalau begitu," tukas Pete.
"Dikatakan sama sekali tidak ada juga tidak, Dua." Jupiter tersenyum. "Seperti kukatakan tadi, aku melakukan penelitian tadi malam, dan kurasa kita bisa-"
Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, tahu-tahu terdengar suara yang lantang di belakang mereka.
"Di sini kau rupanya, Jupiter Jones!" Bibi Mathilda berdiri di depan tempat yang dijadikan bengkel itu. Sambil bercekak pinggang, ditatapnya keponakannya dengan mata melotot. "Dua hari yang lalu kau kan berjanji hendak menyelesaikan pekerjaan membersihkan gudang kecil itu? Dan kemarin kau berhasil membujuk-bujuk sehingga
kuizinkan kau menangguhkan dulu pekerjaan itu-ya, kan? Lalu kau berjanji dengan bersungguh-sungguh bahwa pagi ini kau akan langsung mengerjakannya, ya, kan?" "Maaf, Bibi Mathilda," kata Jupiter agak malu.
"Sudah sepantasnya kau minta maaf! Kurasa ini semua karena sekarang ini minggu terakhir sebelum sekolah dimulai lagi. Minggat, bermalas-malasan, menyikat segala makanan yang ada. Lemari pendinginku kelihatannya seperti habis didatangi gerombolan tikus!"
"Tapi aku-aku sama sekali tidak-" kata Jupiter tergagap karena kaget.
"Omong kosong! Lihat saja badanmu, makin lama makin bundar! Bekerja, itu yang bagus untukmu!" Bob dan Pete berusaha memprotes. "Tapi masih ada yang harus kami-"
"Apa pun juga itu, urusannya bisa menunggu! Dan kalian berdua bereskan tempat ini, sementara Jupiter menyelesaikan pekerjaannya yang sudah dimulai. Sekarang cepat, Anak muda!" Jupiter hanya bisa mengeluh.
"Tolong pasangkan kembali alat-alat kita ini, Teman-teman. Aku takkan terlalu lama dengan pekerjaanku itu." "Itu kalau ia tidak sebentar-sebentar berhenti untuk mengisi perut," tukas Bibi Mathilda.
Bob dan Pete mengangguk dengan lesu, sementara Jupiter bergegas menuju ke kantor perusahaan, digiring oleh Bibi Mathilda yang melangkah dengan sikap seperti kapten pelatih Korps Marinir. Kedua remaja itu langsung mulai bekerja, merakit kembali ketiga alat isyarat mereka. Mereka melakukannya sementara dalam hati membara perasaan ingin mengetahui apa yang hendak dikatakan oleh Jupiter tadi.
Pekerjaan yang mereka hadapi tidak dapat dilakukan secara terburu-buru, karena banyak bagian-bagiannya yang berukuran kecil sekali. Apalagi Pete bukan anak yang bisa dibilang cekatan dalam melakukan pekerjaan yang sangat memerlukan ketelitian. Tapi berkat Bob yang lebih trampil, akhirnya mereka selesai juga merakit kembali alat-alat itu.
Kemudian mereka membersihkan tempat kerja itu.
Ketika Jupiter masih juga belum muncul kembali, keduanya lantas menghampiri lubang masuk ke Lorong Dua. Maksud mereka hendak menunggu di dalam markas Trio Detektif. "Tunggu!"
Pete dan Bob keluar lagi dari pipa besar yang dinamakan Lorong Dua, sementara Jupiter bergegas-gegas masuk ke bengkel. Wajahnya merah dan berkeringat, karena baru saja selesai dengan pekerjaannya membereskan gudang. "Bagaimana tentang tadi malam itu, Jupe?" tanya Pete bersemangat. "Apa yang berhasil kautemukan?" sambung Bob. "Yah, aku-" "JUPITER JONES!"
Orang yang berteriak itu Bibi Mathilda. Ia memanggil dari dekat kantor perusahaan.
"Sialan!" keluh Pete.
"Kita bersembunyi saja!" desak Bob.
"Percuma," kata Jupiter.
"Memang," kata Pete dengan sikap putus asa. "Tidak mungkin bisa menyembunyikan diri dari Bibi Mathilda. Dia kan Scotland Yard, FBI, dan Polisi Berkuda Kanada digabungkan menjadi satu! Kurasa lebih baik kita ke sana saja."
Ketiga remaja itu meninggalkan bengkel, lalu berjalan di sela-sela tumpukan barang-barang bekas menuju ke arah kantor yang terletak di depan. Tiba-tiba Bob menuding ke arah Bibi Mathilda, yang berdiri di luar kantor perusahaan.
"Jupe! Ada dua orang laki-laki bersama dia!"
"Jangan-jangan kedua penculik itu!" kata Pete dengan gugup.
"Bukan," kata Bob, "satu di antaranya berkulit hitam."
"Hitam?" seru Jupiter. "Ya, tentu saja, itu masuk akal. Yuk, kita ke sana."
"Masuk akal?" kata Pete. "Apa lagi maksudmu, masuk akal?"
Tapi Jupiter sudah berjalan menuju ke depan. Bob dan Pete berhasil menyusul ketika ia sampai di muka kantor. Bibi Mathilda memandang ketiga remaja yang datang itu dengan sikap curiga.
"Orang-orang ini mengatakan, mereka ingin bicara dengan kalian bertiga," ujarnya. "Hendak menyewa tenaga kalian, kata mereka. Mudah-mudahan saja ini bukan tipu muslihat kalian saja, supaya tidak usah bekerja di sini sampai saat sekolah dimulai lagi!"
"Tidak, Madam, " kata pria asing yang berkulit putih. Orangnya tinggi, berambut pirang, dan kulitnya terbakar sinar matahari, serupa seperti para penculik. "Kami ingin meminta para remaja ini mengadakan penyelidikan sedikit untuk kami."
Ketiga anggota Trio Detektif memandang pria jangkung berambut pirang itu dengan penuh minat. Ia berbicara dengan logat Inggris yang aneh, serupa dengan logat bicara kedua penculik!
"Tapi tugas itu benar-benar harus hanya sedikit saja," tukas Bibi Mathilda. "Minggu depan mereka sudah harus bersekolah kembali! Sudah waktunya, menurutku!"
Sesudah melontarkan dampratan terakhir itu Bibi Mathilda masuk ke kantornya, meninggalkan anak-anak dengan kedua pria tak dikenal itu. Jupiter cepat-cepat memandang berkeliling, lalu memberi isyarat pada kedua pria itu untuk ikut dengan anak-anak, kembali ke bengkel. Setiba di sana, Jupiter berpaling dan menatap kedua pria itu dengan bersemangat.
"Urusannya mengenai penculikan itu, kan?" katanya. "Siapakah tuan-tuan ini?"
"Aku Gordon MacKenzie," kata pria yang berambut pirang, "dan dia ini" - ia mengangguk ke arah pria yang berkulit hitam - "Adam Ndula. Ya, betul, urusannya mengenai penculikan itu."
"Kami memerlukan bantuan detektif setempat yang bermutu," kata pria yang bernama Adam Ndula. "Kami tahu kenapa kau diculik, dan apa sebenarnya yang dikehendaki para penculik itu."
"Tentu saja kami bersedia membantu, Mr. Ndula," kata Jupiter. "Tapi kami sudah tahu apa sebabnya saya diculik, dan apa yang sebetulnya diingini para penculik itu!" Pete melongo. "Kita tahu?" katanya.
"Ya, Dua, itu sudah kita ketahui," kata Jupiter dengan sikap bangga. "Aku diculik karena mirip seorang remaja bernama Ian Carew. Dia itu putra Sir Roger Carew, perdana menteri Nanda, sebuah daerah jajahan Inggris di Afrika Selatan. Saat ini Sir Roger sedang mempersiapkan kemerdekaan Nanda tahun depan, dengan pemerintahan di tangan penduduk kulit hitam yang merupakan mayoritas di sana, bekerja sama dengan golongan penduduk kulit putih yang berhaluan moderat. Tapi ia menghadapi perlawanan yang datang dari suatu gerakan bawah tanah yang menamakan diri Aliansi Bangsa Nanda dan yang anggota-anggotanya terdiri dari penduduk kulit hitam yang radikal. Tujuan mereka adalah mengusir segenap orang kulit putih dari negeri itu. Kecuali itu usahanya juga dirintangi kaum radikal kulit putih yang bergabung dalam Partai Nasional. Mereka ini menghendaki pemerintahan yang mutlak berada di tangan penduduk kulit putih, begitu pula halnya dengan angkatan bersenjata, agar bisa terus menindas penduduk kulit hitam yang merupakan mayoritas."
"Wah, Jupe, dari mana kau bisa mengetahui semuanya itu?" tanya Bob dengan heran.
"Dan apa hubungannya dengan penculikan itu?" kata Pete menambahkan.
"Itu alasannya, Dua," kata Jupiter mantap. "Para penculik itu anggota Partai Nasional yang radikal. Mereka berniat menyandera Ian Carew, agar bisa memaksa Sir Roger mengubah rencananya sehingga Nanda tetap berada di bawah kekuasaan orang kulit putih. Mr. MacKenzie dan Mr. Ndula ini anggota partai moderat pimpinan Sir Roger. Mereka datang untuk menyelamatkan Ian."
Penjelasannya itu disambut dengan kesunyian.
"Ternyata banyak yang kauketahui," kata Adam Ndula kemudian. "Menurutku, terlalu banyak." Tahu-tahu tangannya sudah menggenggam pistol.

Bab 8
"DI TEMPAT DJANGA"

DENGAN mata menyala-nyala, Ndula mengacungkan laras pistolnya lurus-lurus ke arah Jupiter.
"Hanya ada satu kemungkinan kenapa kau bisa mengetahui segala hal itu," kata orang Nanda itu dengan geram. "Hanya ada satu kemungkinan kenapa kau bisa tahu siapa kami. Kau bekerja sama dengan penculik-penculik itu! Kau mata-mata mereka!"
"Tenang, Adam," kata orang yang bernama MacKenzie. Suaranya tenang, tapi sorotan matanya menusuk. "Nah, Anak muda, bagaimana keteranganmu? Dari mana kau sampai bisa tahu begitu banyak tentang kami?"
"Sebenarnya gampang saja, Mr. MacKenzie," kata Jupiter dengan gaya yang sangat tenang. "Saya bukan mata-mata, dan juga tidak tolol. Jika saya bekerja sama dengan para penculik itu, saya takkan begitu tolol dan membuka rahasia sendiri."
"Teruskan." Ndula menatapnya dengan pandangan menyelidik.
"Jelaskan maksudmu dengan kata gampang tadi," ujar MacKenzie.
"Baiklah," kata Jupiter. "Pertama-tama, ketika berada dalam kekuasaan para penculik itu, saya mendengarkan percakapan mereka. Logat mereka asing, dan nampaknya mereka menyangka saya ini seorang remaja bernama Ian, anak salah seorang tokoh penting bernama Sir Roger. Setelah saya berhasil meloloskan diri, kemudian kami kembali ke tempat di mana saya tadi ditawan oleh para penculik. Di sana kami menemukan ini-" Jupiter mengacungkan taring kecil yang terbuat dari gading dan dengan ikatan dari emas. "Worthington, supir kami, merasa yakin bahwa benda ini berasal dari Afrika. Ia juga merasa pasti bahwa para penculik itu berbicara dengan logat orang-orang yang berasal dari salah satu daerah jajahan Inggris di Afrika."
MacKenzie mengambil perhiasan dari gading itu lalu mengamat-amatinya. Setelah itu disodorkannya kepada Ndula. Orang itu menggeleng.
"Kami memiliki perpustakaan yang sangat bermutu di Rocky Beach sini," kata Jupiter melanjutkan penjelasannya. "Saya tidak memerlukan waktu yang terlalu lama untuk mengetahui bahwa Nanda, suatu daerah jajahan Inggris, perdana menterinya bernama Sir Roger Carew, dan saat ini negeri itu sedang mengalami perjuangan kemerdekaan. Para penculik itu jelas merupakan lawan Sir Roger yang berniat menyandera Ian untuk dijadikan alat agar perdana menteri itu terpaksa mengikuti kemauan mereka. Dengan begitu mereka mestinya anggota kelompok kulit putih radikal yang menentang rencana Sir Roger mengenai masa depan negeri itu. Lalu karena Anda berdua juga berbahasa Inggris dengan logat asing, dan karena Anda berdua berlainan warna kulit tapi bekerja sama, maka mudah saja bagi saya untuk menarik kesimpulan bahwa Anda berdua ini pengikut Sir Roger Carew!"
"Wah, ternyata memang gampang sekali," kata Pete kagum.
"Betul, jika yang memberi penjelasan Jones ini," kata MacKenzie sambil tersenyum, lalu melirik Ndula. "Puas, Adam?"
"Ya," kata Ndula. Ia mengembalikan pistol ke sarungnya yang terselip di bawah ketiak. "Ketiga remaja ini nampaknya jujur."
"Dan detektif yang baik," kata MacKenzie menimpali. "Kurasa itulah yang hendak dipamerkan pemuda Jones ini dengan penjelasannya, ya?"
Jupiter nyengir, sementara mukanya menjadi merah.
"Menurut perasaan saya, peragaan kemampuan untuk melakukan penyelidikan mungkin ada gunanya."
"Ya, bahkan sangat berguna," kata MacKenzie. "Kami baru kemarin tiba di Rocky Beach, dan membaca tentang kasus penculikan itu dalam surat kabar petang. Ketika kami melihat fotomu, kami langsung tahu apa yang terjadi. Surat kabar itu menyebutkan hubunganmu dengan Trio Detektif. Karenanya pagi ini kami lantas melakukan penyelidikan sedikit. Ternyata kalian bertiga ini benar-benar detektif. Tapi peragaan kemampuan secara langsung masih lebih baik daripada hanya kata-kata, ya?"
Jupiter mengangguk, lalu dengan bergaya disodorkannya kartu nama Trio Detektif. Kedua warga Nanda itu membaca tulisan yang tertera pada kartu itu:

TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
? ? ?
Penyelidik Satu - Jupiter Jones
Penyelidik Dua - Peter Crenshaw
Data dan Riset - Bob Andrews

"Benar-benar profesional," kata MacKenzie mengomentari. "Jadi Anda mau mengontrak kami!" seru Pete bersemangat.
MacKenzie mengangguk ke arah Ndula. "Bagaimana pendapatmu, Adam? Cocokkah ketiga remaja cekatan ini untuk membantu kita?"
"Kurasa kemampuan mereka memadai, Gordon," jawab Ndula sambil nyengir.
Bob dan Pete menanggapi jawaban itu dengan wajah berseri-seri, sementara Jupiter berpikir-pikir.
"Sampai seberapa jauhkah kemiripan saya dengan Ian Carew, Sir?" katanya.
"Panggil saja aku Mac, dan kau tidak keberatan jika kupanggil dengan nama depanmu, kan? Begini, Jupiter. Kemiripanmu dengan Ian benar-benar luar biasa! Bisa dibilang kalian seperti kembar dua. Mungkin orang yang kenal baik dengan Ian akan bisa melihat perbedaan antara kalian, tapi secara keseluruhan bisa dibilang bahwa kalian seperti
pinang dibelah dua! Selanjutnya, selama beberapa tahun belakangan ini Ian bersekolah di sini, di Amerika Serikat. Dan dalam waktu selama itu banyak sekali perubahan yang bisa terjadi pada seorang remaja. Jadi wajar saja jika para penculik mengira kau ini Ian. Tapi Ian masih tetap berlogat Nanda. Karenanya aku agak heran-"
"Aku sudah menyangka begitu, Mac," kata Jupiter memotong, "dan karenanya aku membungkam terus selama berada di tangan mereka. Aku takut jika aku berbicara mereka akan menyadari kekeliruan mereka, dan kemudian keselamatanku mungkin akan sangat terancam."
"Dugaanmu itu benar," kata Ndula dengan geram. "Dari nama-nama dan keterangan mengenai ciri-ciri mereka kami rasanya tidak mengenal kedua orang itu, tapi golongan kulit putih radikal itu semuanya sangat berbahaya."
"Menurut dugaan kami, taring kecil itu milik salah seorang dari mereka yang tercecer," kata Bob. "Barangkali Anda tahu maknanya?"
"Tidak," kata Ndula, "tapi perhiasan itu jelas buatan Nanda."
"Jadi tidak ada kesangsian lagi bahwa para penculik itu golongan radikal dari Nanda?" kata Jupiter.
"Itu sudah pasti," kata MacKenzie dengan tegas. "Ian disekolahkan di Los Angeles untuk menghindari kemungkinan ia dijadikan alat untuk menekan Sir Roger. Tapi entah dengan cara bagaimana, kaum radikal ternyata berhasil mengetahui di mana Ian berada, lalu seminggu yang lalu berusaha menculiknya di Los Angeles. Ian berhasil melarikan diri, tapi kemudian menghilang. Sir Roger sangat bingung, sampai akhirnya ada kabar dari Ian, lewat Misi Perdagangan Nanda di Los Angeles."
"Apa pesannya?" tanya Jupiter.
"Misi perdagangan? Apa itu?" kata Pete ingin tahu.
"Itu semacam kelompok yang mendapat tugas resmi, untuk meningkatkan hubungan perdagangan antara dua negara," jawab Ndula menjelaskan.
"Sedang pesannya pendek saja, tapi membingungkan," kata MacKenzie. "Hampir tidak ada artinya menurut pendapat kami, kecuali bahwa dalam pesan itu disebutkannya, 'Rocky Beach.' Rupanya Ian khawatir kalau-kalau pihak lawan juga melihat pesan itu. Dan rupanya itu memang terjadi, karena kalau tidak mereka takkan datang mencari kemari."
"Jadi Anda ingin agar kami berusaha menguraikan makna pesan itu!" kata Pete bersemangat. "Coba kami lihat!" seru Bob.
"Kami titipkan di hotel, disimpan dalam lemari besi di sana supaya aman," kata Ndula. "Sekarang juga kami bawa kalian ke sana."
Jupiter dan kedua temannya mengikuti kedua warga Nanda itu keluar, menuju sebuah mobil Cadillac yang panjang dan berwarna hitam. Ketika hendak masuk ke kendaraan itu, tiba-tiba Pete tertegun.
"Jupe!" kata detektif remaja bertubuh jangkung itu dengan sikap tegang. "Itu, di tanah kosong itu!"
Ia menuding ke seberang jalan, ke arah tanah kosong yang bersebelahan letaknya dengan pekarangan rumah Bibi Mathilda dan Paman Titus.
"Ada orang di sana, dekat semak yang di depan itu!" kata Pete. "Aku yakin!"
"Kita periksa sebentar?" kata MacKenzie.
Semuanya menghampiri tanah kosong itu sambil berjaga-jaga. Di depannya terdapat kerumunan semak yang menghalangi penglihatan dari arah jalan. Tapi dengan memandang lewat semak-semak itu orang dapat dengan leluasa melihat sampai blok sebelah. Tidak ada siapa-siapa di tanah kosong itu. Pete memeriksa semak yang di dekatnya menurut perasaannya tadi ada orang. Ia menuding ke tanah. Di situ ada puntung rokok yang masih berasap.
"Memang ada orang di sini tadi!" serunya.
"Barangkali salah seorang pekerja yang beristirahat sebentar sambil merokok," kata Jupiter. Tapi nada suaranya membayangkan kegelisahan.
"Mungkin juga," kata MacKenzie.
"Bagaimanapun juga," ujar Jupiter menambahkan, seakan-akan hendak meyakinkan diri sendiri, "untuk apa orang itu mengintai pangkalan barang bekas? Jika para penculik itu masih ada di sekitar sini, mereka mestinya sudah membaca berita di surat kabar dan karenanya tahu bahwa mereka keliru."
Mereka kembali ke Cadillac, lalu berangkat, Ndula yang mengemudikan.
"Kita harus cepat-cepat menemukan Ian," kata MacKenzie sambil menoleh ke belakang, memandang Jupiter dan kedua temannya. "Mungkin tidak ada orang mengintai kalian tadi dari tanah kosong itu, tapi kukhawatirkan bahwa para penculik saat ini masih ada di sekitar Rocky Beach. Mereka takkan begitu gampang melepaskan niat mereka. Mereka takkan gentar menghadapi polisi, karena besar sekali kepentingan Nanda yang harus mereka pertahankan."
"Manusia bisa melakukan hampir apa saja demi keyakinan mereka," kata Jupiter dengan bersungguh-sungguh.
"Betul, Jupiter," kata MacKenzie. "Dan bukan hanya golongan politik yang radikal saja. Sir Roger sayang pada Ian, Anak-anak, tapi baginya negara lebih penting. Katakanlah komplotan radikal berhasil menculik Ian, Sir Roger tetap saja takkan mau menuruti kemauan mereka. Meski itu berarti nyawa Ian terancam."
Ketiga anggota Trio Detektif meneguk ludah, tapi mereka tidak mengatakan apa-apa. Tidak lama kemudian mobil besar itu memasuki pekarangan Hotel Miramar yang letaknya di tepi pantai. MacKenzie langsung mengajak anak-anak ke kamar, sementara Ndula mengambil surat berisi pesan Ian yang dititipkan dalam lemari besi hotel. Begitu Ndula masuk ke kamar dengan surat itu, dengan cepat MacKenzie mengunci pintu. Setelah itu semua mengerumuni Jupiter, yang membacakan isi pesan Ian:
"Diserang di LA. Takut. Rocky Beach. Tempat Djanga."
Jupiter memandang kedua temannya. Ketiga remaja itu berpandang-pandangan dengan wajah kecut. "Ia boleh dibilang tidak mengatakan apa-apa," kata Pete.
"Dan tidak ada yang rasanya merupakan bahasa sandi," kata Bob menambahkan.
"Ya, memang," kata Jupiter. Ditatapnya isi surat yang seperti teka-teki itu. "Kecuali bagian terakhir-Tempat Djanga. Apa artinya?"
"Kami malah berharap kalian bisa menjelaskannya," kata MacKenzie. "Kami sudah mencari-cari dalam segala buku panduan mengenai Rocky Beach, tapi tidak ada satu pun yang menyinggung-nyinggung kata Djanga. Menurut dugaan kami itu mestinya sesuatu yang sangat bersifat lokal. Hanya orang-orang yang tinggal di sini saja yang mengetahuinya."
"Aku belum pernah mendengar nama itu," kata Bob.
"Aku juga," ujar Pete.
Jupiter hanya menggeleng saja.
"Percuma saja, Gordon," kata Ndula dengan lesu. "Anak-anak ini ternyata tidak bisa membantu kita."

Bab 9
JUPITER PANTANG MENYERAH

"DALAM kamus saya tidak ada kata, 'percuma!'" kata Jupiter dengan mantap. "Kau punya ide, Jupiter?" sambut MacKenzie dengan cepat. "Katakanlah, Satu!" desak Bob.
Jupiter masih memandang pesan yang singkat tapi membingungkan itu.
"Ian ketakutan, setelah terjadi percobaan menculik dirinya di Los Angeles," kata remaja bertubuh montok itu sambil merenung. "Ia lari, dan datang kemari. Kenapa ia memilih bersembunyi di Rocky Beach?"
"Ian biasa kemari dalam masa-masa liburan sekolah," kata Ndula. "Ketika Sir Roger menjenguknya tahun lalu, mereka berlibur seminggu di sini."
"Kalau begitu ia mengenal Rocky Beach," kata Jupiter bergairah.
"Tentu saja, ia kan pernah kemari," kata Pete. "Kenapa hal itu kauanggap menarik?"
"Itu menarik, Pete, karena dengan demikian mungkin ada satu tempat tertentu di mana ia berniat hendak bersembunyi, dan ia hendak memberi tahu Sir Roger di mana ia akan berada. Mestinya itulah yang hendak dilakukannya dengan kata-kata Tempat Djanga. "
"Tapi Sir Roger sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Ian dengannya," ujar Ndula membantah.
"Meski begitu," kata Jupiter berkeras, "mestinya itu merupakan petunjuk tentang di mana ia bersembunyi. Pada waktu menuliskan pesan, Ian sedang ketakutan dan dalam pelarian, jadi tidak mau berpanjang lebar. Pasti ada alasannya kenapa ia menggunakan kata-kata Tempat Djanga, dan karena tidak ada tempat di kawasan Rocky Beach sini yang bernama begitu, lalu kami juga belum pernah mendengar nama itu, maka mestinya itu merupakan penamaan secara tidak langsung! Kata-kata itu dimaksudkan sebagai petunjuk tentang tempat di mana ia bersembunyi."
"Supaya komplotan radikal takkan tahu apabila mereka berhasil membaca pesannya," kata Pete bersemangat.
"Tepat!" kata Jupiter mengiakan. "Mac, kata Djanga rasanya merupakan bahasa Afrika. Apa artinya dalam bahasa Nanda?"
"Justru itulah sulitnya," kata MacKenzie dengan nada murung. "Artinya memang ada, tapi takkan bisa menolong kita. Djanga itu nama pemimpin besar terakhir dari suku Nanda, yang merupakan suku pribumi terbesar di negeri kami. Adam ini berasal dari suku itu."
"Djanga adalah kepala suku terakhir yang mengangkat senjata pada awal tahun 1880-an, memerangi orang-orang Eropa yang datang menyerbu lalu membangun koloni di tanah air kami," kata Ndula menjelaskan. "Namanya bisa berarti 'awan guntur', tapi juga 'deru hujan', tergantung dari penggunaannya dalam kalimat."
"Hanya itu saja?" Jupiter merasa kecewa. "Baiklah, kalau begitu apakah Djanga memiliki salah satu tempat khusus? Atau barangkali ada kejadian tertentu, atau tindakan, atau orang, yang bertalian dengan dia?"
"Tentu saja ada, tapi jumlahnya mungkin sampai ratusan, Jupiter," kata MacKenzie. "Djanga merupakan tokoh legenda di Nanda. Banyak sekali mitos, cerita, pertempuran, orang, begitu pula berbagai kejadian di sana yang ada hubungannya dengan dia. Kita memerlukan waktu berminggu-minggu, jika kesemuanya hendak kita teliti."
"Dan waktu kita tidak sebanyak itu," kata Ndula. "Waktu merupakan faktor yang penting sekali. Kita terdesak waktu!"
"Aduh, kelihatannya kita tidak punya harapan kalau begitu, Jupe," kata Bob.
"Pasti ada jalan!" tukas Jupiter. "Pada saat menuliskan pesan, Ian dalam keadaan terdesak! Jadi karenanya ia memilih kata-kata yang mesti artinya tidak langsung, tapi cukup dikenal hubungannya dengan hal yang sebenarnya dimaksudkan olehnya. Sesuatu yang diyakininya pasti akan langsung timbul dalam pikiran. Mac, barangkali Anda bisa menyebutkan tempat-tempat, kejadian-kejadian, atau tindakan-tindakan paling menonjol yang ada hubungannya dengan Djanga? Sesuatu yang diketahui kebanyakan penduduk Nanda?"
"Yah-" MacKenzie berusaha mengingat-ingat. "Djanga pernah menang secara gemilang dalam pertempuran melawan balatentara Inggris. Itu terjadi di Imbala. Dan kekalahan terakhir yang mengakibatkan ia takluk, terjadi di Zingwala. Jendral yang dikalahkannya bernama Lord Fernwood, sedang akhirnya ia takluk setelah dikalahkan Jendral Audley."
Dengan cepat Bob menuliskan nama-nama itu dalam buku catatannya.
"Pusat kekuatan Djanga terletak di Ulaga," kata Ndula menambahkan. "Setelah takluk, ia kemudian ditawan oleh pihak Inggris di Fort George."
"Ia berhasil melarikan diri, lalu mencoba mengadakan perlawanan lagi," sambung MacKenzie. "Ia menyusun pusat kekuatannya di suatu tempat terpencil, di Lembah Karga."
"Dan ia tewas dalam pertempuran kecil yang terjadi di dekat sebuah desa yang namanya Smith's Ford," kata Ndula lagi.
Jupiter mengangguk.
"Baiklah! Sekarang semua nama yang ada hubungannya dengan Djanga ini harus kita-"
Semuanya terkejut karena saat itu terdengar bunyi pintu diketuk keras-keras, disusul suara wanita yang memanggil-manggil.
"Mr. MacKenzie? Mr. Ndula? Anda ada di dalam?" Dengan cepat MacKenzie menghampiri pintu.
"Itu Miss Lessing, dari misi perdagangan. Wanita itu penghubung kami dengan Sir Roger." "Mungkin Sir Roger sudah berhasil menemukan Ian!" seru Ndula.
MacKenzie membukakan pintu, dan seorang wanita bertubuh tinggi dan berambut coklat tua bergegas masuk. Ia memakai celana panjang kelabu dan baju kaus tebal berwarna biru tua.
"Kalian sudah menemukan dia?" tanyanya dengan cepat. "Kalian mengatakan jangan menggunakan telepon kalau hendak menghubungi kalian, dan ada pesan rahasia yang sangat penting dari Sir Roger-"
Saat itu barulah Miss Lessing melihat Jupiter dan kedua temannya. Ia langsung berhenti berbicara, dan menatap ketiga remaja itu dengan sikap curiga.
"Aku tidak tahu tadi bahwa kalian tidak sendiri di sini, Mr. MacKenzie," katanya kaku. "Pesan dari Sir Roger itu merupakan urusan kenegaraan yang resmi. Saya tidak boleh mengatakannya di depan orang-orang yang tidak dikenal."
"Apakah pesan itu tentang Ian, Miss Lessing?" tanya MacKenzie.
"Apakah Sir Roger sudah menemukannya? Atau mendengar kabar dari dia?" kata Ndula. "Sayangnya, belum!"
"Baiklah," kata MacKenzie lagi. "Anak-anak, kurasa kalian bisa dengan segera mulai melakukan penyelidikan. Ingat, kita harus menemukan Ian secepat mungkin. Beri kabar kemari begitu ada sesuatu yang berhasil kalian temukan."
Jupe, Bob, dan Pete mengangguk, lalu keluar dari kamar hotel itu. Begitu berada di luar, mereka lantas bergegas-gegas meninggalkan hotel, menuju halte bis yang ada di dekat situ. "Di mana kita mulai penyelidikan kita, Satu?" tanya Bob bergairah.
"Nama-nama yang ada hubungannya dengan Djanga kita bandingkan dengan nama-nama yang serupa di buku telepon, buku alamat, peta-peta kota, serta bahan-bahan rujukan lainnya mengenai tempat-tempat di Rocky Beach di mana Ian mungkin bersembunyi," kata Jupiter memberi petunjuk. "Ia menulis kata-kata Tempat Djanga! Jadi kita mulai dengan nama-nama tempat, dan kita memencar. Pete ke Balaikota untuk mengecek pada peta-peta di sana, Bob meneliti nama-nama di buku alamat dan buku telepon, sedang aku akan mencari di Perhimpunan Sejarah."
"Bolehkah aku pulang dulu sebentar, untuk makan?" tanya Pete sambil nyengir.
"Jangan suka iseng, Dua," kata Jupiter sambil mendesah. "Kaubeli jajan saja dijalan, lalu mulai meneliti peta-peta. Kita berkumpul lagi nanti sore, di markas." Saat itu bis datang, dan ketiga remaja itu naik.
Dalam perjalanan menuju pusat kota Rocky Beach, Bob mengeluarkan buku catatannya dan membuat tiga buah daftar dari semua tempat yang ada hubungannya dengan Djanga. Sesampainya di tengah kota, ketiga remaja itu memencar untuk melakukan penelitian sendiri-sendiri, dibekali daftar nama tempat itu.

Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net
* * *
Jupiter meninggalkan gedung Perhimpunan Sejarah dan menuju kantor Trio Detektif yang tersembunyi letaknya di dalam kompleks The Jones Salvage Yard, pangkalan milik paman dan bibinya yang berdagang barang bekas. Saat itu pukul setengah empat lewat beberapa menit. Jupiter sudah meneliti buku-buku panduan setempat serta buku-buku sejarah zaman modern dari Rocky Beach. Tapi ia tidak menemukan nama di dalam buku-buku itu yang ada kemiripannya dengan Imbala, atau Zingwala, atau Ulaga, atau Fort George, atau Lembah Karga, atau Smith's Ford; bahkan nama Fernwood atau Audley juga tidak tertera dalam buku-buku yang ditelitinya.
Bob dan Pete ternyata tidak ada di markas. Jupe memasukkan baterai-baterai baru ke dalam alat-alat isyarat. Ia melakukannya di bengkel luar. Setelah itu disetelnya sebentar ketepatan kerja alat-alat itu. Kemudian ia masuk ke dalam kantor Trio Detektif yang terdapat di dalam karavan tua. Sambil duduk, ia berpikir. Ia berusaha menemukan hubungan antara Djanga, kepala suku Nanda, dengan sesuatu yang ada di Rocky Beach.
Hubungannya harus ada, dan Jupiter merasa yakin bahwa hubungan itu bertalian dengan salah satu tempat terkenal yang ada hubungannya dengan kepala suku itu. Tidak mungkin Ian memilih petunjuk yang terlalu sulit ditebak maksudnya.
Ketika Bob dan Pete akhirnya muncul, hari sudah hampir pukul lima. Dari tampang mereka yang lesu saja sudah dapat diketahui hasil penyelidikan mereka.
"Sama sekali tidak ada," kata Bob sambil mengeluh.
"Kebanyakan dari nama-nama itu berbau Afrika, Satu," kata Pete menambahkan. "Di Rocky Beach sini tidak ada nama-nama yang begitu."
"Kita belum mencari ke semua tempat," kata Jupiter. "Sesudah makan malam nanti kita ke perpustakaan! Kita cari nama Djanga di sana. Siapa tahu, mungkin masih ada nama-nama tempat penting lainnya yang lupa dikatakan oleh MacKenzie dan Ndula."
"Malam ini aku harus pergi, ikut orang tuaku," kata Bob.
"Dan aku ada tugas sehabis makan malam," ujar Pete.
"Baiklah," jawab Jupiter, "kalau begitu aku sendiri saja."
"Jupe," kata Pete dengan lesu, "jangan-jangan penyelidikan ini salah jalan."
"Mungkin Pete kali ini benar, Jupe," ujar Bob menimpali.
"Tidak! Aku yakin, dalam pesannya itu Ian hendak mengatakan di mana ia bersembunyi." Tapi tampang Jupiter tidak mendukung ucapannya.

Bab 10
JUPITER KALAH CERMAT

KEESOKAN paginya Jupiter sarapan dengan sikap enggan, ia tidak begitu merasa lapar. "Wah, wah! Kau sakit, Nak?" tanya Bibi Mathilda dengan suaranya yang menggelegar. "Tidak, Bi," jawab Jupiter, lalu mendesah.
Ia kurang tidur malam sebelumnya, dan pagi-pagi sekali sudah bangun lagi. Selama beberapa waktu ia masih berbaring di tempat tidur, sambil bertanya-tanya dalam hati apakah perasaan Pete sekali ini mungkin benar. Jupiter menemukan sebuah buku di perpustakaan yang seluruh isinya mengenai Nanda. Buku itu dipinjamnya, dan kemudian dibacanya sampai larut malam di kantor Trio Detektif. Tapi ternyata isinya tidak mengandung hal-hal penting di luar nama-nama orang dan tempat yang sudah dikatakan oleh MacKenzie dan Ndula.
"Bagaimana dengan daging panggang? Kau mau kue wafel?" kata Bibi Mathilda menawarkan dengan sikap prihatin, ketika Jupiter akhirnya selesai juga makan bubur yang ada dalam piringnya.
"Ya, kalau sepotong wafel, bolehlah," kata Jupiter. "Dan sedikit daging panggang. Empat atau lima potong saja."
"Lama-lama bisa kurus kering anak itu," kata Paman Titus mengomentari.
Jupiter masih tetap yakin bahwa Ian Carew dengan cara tidak langsung hendak mengatakan di mana ia bersembunyi. Tapi Ian terlalu berhati-hati, atau Jupiter yang tidak bisa menangkap maksud tersembunyi dalam pesan Ian. Sekali ini Jupe terpaksa mengaku bahwa ia menghadapi jalan buntu. Dan yang lebih gawat lagi, ketika sarapannya sudah hampir habis, ia masih belum tahu langkah apa yang harus diambil selanjutnya!
Saat itu telepon berdering. Jupiter yang sedang mengunyah-ngunyah potongan daging panggang yang terakhir, sama sekali tidak bereaksi. Ia sedang termenung, memikirkan kegagalannya.
"Untukmu, Jupiter," kata Bibi Mathilda. "Bob!"
Dengan sikap lesu, Jupiter mengambil gagang telepon yang disodorkan bibinya. "Ya, Bob?"
"Kau berhasil menemukannya, Satu! Kenapa kau tidak menelepon kami?" "Apa?" Mata Jupiter terkejap-kejap. "Apa yang kutemukan?" "Jawabannya, tentu saja! Di mana Ian bersembunyi!"
"Jangan main-main, Bob," sergah Jupiter. "Aku tidak kepingin bercanda pagi ini. Kita terpaksa mendatangi MacKenzie dan Ndula lagi, untuk mencoba mencari jalan lain. Barangkali-" "Maksudmu, kau tidak melihatnya?" Suara Bob bernada heran. "Melihatnya? Melihat apa? Di mana?"
"Dalam buku yang kaupinjam dari perpustakaan kemarin malam."
"Kau ini ngomong tentang apa? Tidak ada hal-hal baru di dalam buku itu. Segenap isinya sudah kuteliti." "Kalau begitu kau kurang cermat! Kami ada di sini, di markas. Cepat!" "Tunggu, Bob-"
Tapi Bob sudah memutuskan hubungan. Potongan kue wafel terakhir ditelannya cepat-cepat, lalu ia bergegas keluar rumah dan pergi ke seberang, masuk ke pangkalan barang bekas. Kedatangannya di kantor Trio Detektif lewat tingkap di lantai disambut oleh Pete dan Bob dengan cengiran yang menjengkelkan.
"Detektif harus selalu awas matanya," kata Pete dengan lagak serius.
"Kau sungguh-sungguh tidak melihatnya, Satu?" tanya Bob sambil terkekeh senang.
"Itu kalau memang ada sesuatu yang perlu dilihat," kata Jupiter dengan suara menggumam.
"Katakan padanya, Bob," desak Pete.
"Yah," kata Bob, "kau tidak ada di sini ketika kami datang tadi. Sementara kami menunggu, Pete melihat bahwa di meja ada buku yang kaupinjam kemarin malam. Kami lantas membaca bagian yang mengenai Djanga-dan kami menemukannya!"
"Menemukan apa?" tanya Jupiter. "Langsung saja kaukatakan, Bob, jangan berputar-putar lagi!"
Bob mengambil buku itu lalu mulai membaca. "Bagi Djanga, tokoh terakhir dari kepala-kepala suku Nanda yang perkasa, timbul harapan besar ketika pasukan-pasukannya yang hebat menumpas suatu pasukan Inggris yang dipimpin oleh komandan yang tidak bermutu dan terdiri dari enam ratus tentara serta seribu prajurit pribumi di Imbala, atau Bukit Singa Merah. Dengan kemenangannya itu gerakan maju bangsa Eropa di Nanda terhambat selama paling sedikit tiga tahun."
Bob berhenti membaca. Ia dan Pete memandang Jupiter sambil tersenyum gembira. Tapi pemimpin mereka membalas tatapan mereka dengan mata terkejap-kejap.
"Lalu?" katanya dengan sikap menunggu. "Kita kan sudah tahu mengenai Imbala-"
"Aduh, Jupe!" seru Bob. "Bukit Singa Merah! Itu kan arti kata Imbala! Masak kau tidak ingat? Singa Merah! Red Lion Ranch, Jupe! Hotel kuno terkenal itu, yang dulu merupakan tempat para bintang film dari Hollywood menginap jika mereka ingin berlibur dengan tenang!"
Sesaat Jupiter kelihatan seperti bingung. Tapi kemudian ia tertawa keras-keras. Ditepuknya punggung Bob.
"Kau berhasil, Bob!" serunya dengan gembira.
"Red Lion Ranch! Sekarang memang sudah tidak begitu dikenal orang lagi, tapi tempat itu masih tetap tenang dan eksklusif. Tempat yang memang cocok bagi Sir Roger, jika ingin berlibur bersama anaknya! Ya, aku sama sekali tidak menangkap arti kata Imbala yang ada dalam buku itu!"
"Keliru itu kan manusiawi," kata Pete dengan gaya sambil lalu, tapi langsung terbahak-bahak bersama Bob. Akhirnya Jupiter terpaksa ikut tertawa.
"Ya deh, ya deh," kata Jupiter. "Sekarang kita telepon MacKenzie dan Ndula!"
Tapi pesawat telepon di kamar kedua warga Nanda itu tidak diangkat-angkat, ketika Jupe menelepon ke sana. "Barangkali sedang sarapan di bawah," kata Jupe. "Kita datangi saja mereka ke sana."
"Lebih baik kita naik bis," kata Bob. "Mungkin nanti kita diajak naik mobil mereka ke Red Lion, lalu harus kita apakan sepeda-sepeda kita?"
"Betul juga katamu itu," kata Pete.
Jupiter mengangguk saja. Dua puluh menit kemudian mereka turun dari bis di halte dekat Hotel Miramar. Mereka mendatangi meja penerimaan tamu, dan mengatakan bahwa mereka ingin berjumpa dengan Mr. MacKenzie dan Mr. Ndula. Pegawai hotel yang didatangi menelepon ke kamar kedua warga Nanda itu, dan diberi tahu agar menyuruh anak-anak datang ke situ.
"Ada kabar baru tentang Ian?" tanya Jupiter, begitu mereka bertiga memasuki kamar.
"Tidak, tapi perkembangan keadaan di Nanda menunjukkan gejala-gejala memburuk," kata MacKenzie. "Dan Sir Roger sangat mengharapkan agar kami berhasil menemukan Ian."
"Kurasa kami mungkin bisa membantu Anda melaksanakan tugas itu," kata Jupiter dengan nada puas, lalu diceritakannya apa yang berhasil mereka temukan.
"Bukit Singa Merah! Aduh, ya, tentu saja!" seru Ndula. "Memang itulah arti kata Imbala! Kalian hebat, Anak-anak. Rasanya kalian benar. Sir Roger terlalu bingung, sehingga tidak menangkap apa yang hendak diberitahukan oleh Ian padanya!"
"Kan sudah kukatakan, mereka ini anak-anak pintar." Wajah MacKenzie berseri-seri. "Kita ke mobil sekarang!"
Semuanya pergi ke pelataran parkir, menuju Cadillac besar yang ditaruh di situ. Dengan segera mereka berangkat. Bob menunjukkan jalan pada MacKenzie yang menyetir, melintas kota dan menuju daerah pinggiran sebelah utara, di kaki bukit-bukit. Hotel kuno yang bernama Red Lion Ranch hampir tidak kelihatan dari jalan raya. Hotel itu terdiri dari bangunan utama bertingkat tiga dan segerombol bangunan kecil dengan dinding plesteran berwarna kuning serta rumah-rumah berkerangka kayu dan berdinding putih. Letaknya di balik pagar perdu oleander dan kembang sepatu yang tinggi. MacKenzie memarkir mobil, lalu mereka masuk beramai-ramai ke bangunan utama.
Pegawai hotel berpakaian stelan hitam yang bertugas di meja penerimaan tamu menoleh ke arah mereka sambil tersenyum sopan. Tapi begitu melihat mereka, senyumannya langsung lenyap.
"Mr. Ember!" serunya.
Sebuah pintu yang terdapat di sebelah belakang meja penerimaan tamu terbuka, dan muncul seorang pria kurus pendek dengan jas model sport berkotak-kotak dan celana panjang santai berwarna coklat. Begitu melihat Jupiter, ia langsung melotot.
"Kau kembali juga akhirnya! Sekarang bayar sewa kamarmu dengan segera, Anak muda!" "Jadi Ian Carew memang pernah ada di sini!" kata Jupiter bergairah. "Anda manajer di sini?" tanya MacKenzie kepada laki-laki pendek itu.
"Ya, saya manajernya," sergah orang yang ditanya sambil terus menatap Jupiter dengan mata melotot. "Aku tidak tahu apa maumu sebenarnya, Anak muda, tapi jika kau tidak segera membayar sewa kamarmu aku terpaksa menghubungi polisi!"
"Itu takkan perlu," kata Ndula dengan suara tenang. "Kami akan membereskannya. Anak muda ini bukan Ian Carew."
"Bukan?" Manajer itu menatap mereka dengan bingung bercampur curiga. "Anda kira saya tidak bisa melihat-" "Remaja ini memang mirip Ian," kata MacKenzie, "tapi percayalah, dia bukan Ian." Lalu dijelaskannya siapa Jupiter.
"Mungkin Anda melihat foto saya terpampang di koran kemarin," kata Jupiter menambahkan, untuk menegaskan siapa dia.
Tapi manajer itu menggeleng.
"Seminggu ini kami sangat sibuk, karena ada konferensi di sini. Aku sama sekali tidak sempat membaca surat kabar." Jupiter ditatapnya lagi lama-lama, dilihatnya pakaian remaja itu yang serba longgar. "Memang," katanya kemudian sambil mengernyitkan hidung, "aku belum pernah melihat Ian Carew berpakaian dengan begitu... yah, santai! Tapi jika kau bukan Ian, apa sebabnya kalian menawarkan diri untuk membayar sewa kamarnya?"
"Saya dan Mr. Ndula ini utusan Sir Roger Carew," kata MacKenzie menjelaskan. "Ini tanda pengenal kami, silakan periksa ke misi perdagangan negeri kami di Los Angeles. Nah, sekarang jika Anda katakan berapa utang Ian di sini, kami akan membayarnya."
Pegawai hotel yang mengenakan stelan hitam-hitam menyodorkan selembar rekening kepada Ndula yang langsung membayar, sementara manajer tadi meneliti tanda pengenal kedua warga Nanda itu. Ia menggeleng-geleng. "Membingungkan," katanya.
"Saya bisa mengerti, dan saya sebetulnya ingin bisa memberikan penjelasan lebih lanjut," kata MacKenzie, "tapi urusannya sangat peka, dan juga sangat mendesak. Jika Ian tidak ada di sini, maka kami harus dengan segera mencarinya. Sudikah Anda menceritakan apa saja yang terjadi di sini sejak ia datang?"
"Bagaimana ya-" Manajer itu nampak agak sangsi. Tapi kemudian ia mengangguk. "Baiklah. Ia tiba di sini sekitar seminggu yang lalu. Saya tentu saja mengenalinya, karena sebelum ini ia pernah menginap di sini bersama ayahnya. Ia mengatakan, ayahnya akan menyusul dalam waktu beberapa hari lagi. Dengan sendirinya kami memberikan layanan sebaik mungkin. Tapi beberapa hari kemudian, dua orang pria muncul mencari dia. Mereka juga mengatakan bahwa mereka suruhan Sir Roger. Ian kelihatannya mereka kenal baik, dan mereka menanyakan nomor kamarnya. Tapi kami tidak pernah memberikan informasi yang demikian, tanpa terlebih dulu memberitahu tamu kami. Karenanya saya lantas menanyakan nama kedua orang itu, lalu menelepon Tuan Carew di kamarnya. Ia meminta saya agar kedua orang itu dipersilakan langsung datang."
"Anda bisa mengatakan ciri-ciri mereka?" tanya Jupiter dengan cepat.
"Itu agak sulit, karena kejadiannya sudah empat hari yang lalu. Tapi satu di antaranya bertubuh gempal dan berambut keriting berwarna coklat, sedangkan yang satu lagi lebih tinggi dan kurus sementara rambutnya coklat tua. Kalau nama-nama mereka, saya tidak ingat lagi."
MacKenzie dan Ndula melirik ke arah Jupiter yang langsung mengangguk. Nampaknya kedua penculik itulah yang datang mencari Ian!
"Lalu apa yang terjadi setelah mereka naik ke atas?" tanya MacKenzie.
"Suatu hal yang aneh, meski saat itu saya sama sekali tidak berpikiran apa-apa mengenainya. Segera setelah kedua orang yang datang itu naik, saya melihat Ian Carew meninggalkan hotel lewat pintu depan. Lalu sekitar lima menit kemudian kedua orang tadi turun lagi dan bergegas keluar."
"Dan itu terakhir kalinya Anda melihat Ian?" tanya Ndula.
"Betul! Sejak itu dia tidak pernah muncul lagi, sementara utangnya di sini belum dibayar!" "Kalau begitu kita kehilangan jejak lagi," kata Ndula dengan nada getir. "Aduh, padahal aku tadi sudah merasa yakin bahwa kita berhasil menemukannya," keluh Bob. Jupiter merenung sejenak.
"Bolehkah kami melihat kamarnya?" tanyanya kemudian.
Manajer hotel itu menoleh sekilas ke arah tempat penyimpanan kunci-kunci kamar.
"Boleh saja, karena kelihatannya saat ini sedang kosong." Ia meraih, mengambil sebuah kunci. "Kamar dua puluh sembilan, lantai dua, di sisi depan. Kalian bisa naik lift di sebelah kanan, atau lewat tangga di samping lift."
Sambil berjalan menuju lift bersama yang lain-lainnya, MacKenzie menggelengkan kepala dengan sikap sangsi.
"Untuk apa melihat kamar itu, Jupiter? Ian kan tidak ada di situ. Kini kita paling-paling hanya bisa mengharapkan bahwa ia akan menghubungi kami lagi."
"Ian kelihatannya merasa curiga terhadap kedua orang yang hendak mendatanginya itu," kata Jupiter sambil menekan tombol lift, "sebab kalau tidak, ia takkan buru-buru lari dari sini. Mestinya ia mengenali bahwa mereka adalah orang-orang yang sebelumnya sudah mencoba menculiknya, di Los Angeles. Dan rupanya ia kembali berhasil meloloskan diri-mungkin sebelum kedua laki-laki itu sampai di kamarnya."
"Lalu, apa gunanya semua hal itu bagi kita?" tanya Ndula.
"Ian berharap bahwa pesannya akan menyebabkan Sir Roger menyusul ke hotel ini," kata Jupiter menjelaskan. "Lalu ketika kemudian ia terpaksa lari lagi, ia pasti menghendaki bahwa orang-orang yang datang untuk menolongnya pergi menyusul! Karenanya kuharapkan bahwa ia meninggalkan semacam pesan di kamarnya, yang mengatakan ke mana ia hendak pergi menyembunyikan diri."
Mereka masuk ke lift yang saat itu datang. Jupiter menekan tombol lantai dua.
"Kalau ia memang meninggalkan pesan, maka itu pasti ditaruhnya dalam kamar itu," katanya lagi.

 Lanjut ke bagian 2