Dalam hati Pendekar Mabuk berkata,
"Ternyata kenakalan para pendekar semasa mudanya sama saja. Tak
jauh dari soal cinta. Dan karma itu telah hadir menimpa Paman Batuk Maragam,
yaitu dengan menyaksikan keponakannya hamil tanpa suami.
Ah... itu cerita usang
yang memang abadi. Tak perlu terlalu dipikirkan. Hanya saja, apa yang harus
kuperbuat nanti jika berte-mu dengan Ratu Rangsang Madu yang membutuhkan
darahku? Kalau saja bukan karena mengikuti bujukan Paman Batuk Maragam, aku
tidak mau ikut ke Pulau Selayang. Sayang sekali tadi Paman Batuk Maragam
memohon-mohon dengan sangat agar aku mau datang, aku tak tega dengan orang yang
bersikap baik padaku ini, akhirnya aku mau ikut juga ke sana."
Suto Sinting sempat berkata kepada Batuk Maragam, "Paman, kalau
Racun Bulan Madu itu meminta tebusan darahku, berarti aku harus mati untuk Ratu
Rangsang Madu?! Padahal aku tidak punya hubungan apa-apa dengan beliau."
"Aku ingin memeriksanya dulu, sejauh mana darahmu dibutuhkan.
Kalau toh itu akan membuatmu mati, aku sendiri tak setuju. Tapi jika kau setuju
aku pun tak melarangmu untuk mati demi seseorang.""Kurasa itu tak
mungkin, Paman Batuk Maragam!"
"Kalau memang tak mungkin mati untuk orang lain, ya sudah. Tak
usah mati. Kau akan kularikan dan kulindungi kalau ada yang mencoba memaksa
nyawamu!"
Kembali Suto Sinting membatin, "Orang ini kalau ngomong enak saja.
Seolah- olah tidak mempunyai beban perasaan apa-apa. Tapi entah bagaimana aku
jadi sangat percaya dengan janjinya dan apa saja yang dikatakannya. Sedikit pun
aku tak punya curiga jelek kepada Paman Batuk Maragam ini! Aneh sekali. Apakah
ini termasuk pengaruh kesaktiannya yang membuat orang seialu percaya dengan apa
saja yang dikatakan-nya?"
Di bagian haluan, Pande Bungkus bicara dengan Jelita Bule dan Pesona
Indah yang sudah segar bugar seperti tak pernah terluka parah sedikit pun. Tuak
Suto itulah yang membuat Pesona Indah menjadi sesegar itu, melebihi segarnya
saat belum meminum tuak tersebut.
"Aku tak percaya pemuda setampan dirimu dan de-kat dengan Pendekar
Mabuk, tapi tidak punya ilmu apa-apa!" kata Pesona Indah kepada Pande
Bungkus.
"Aku hanya punya ilmu membidik dengan ketapel."
"Tapi menurutku kau juga pandai membidik hati wanita," kata
Jelita Bule sambii tersenyum-senyum.
"Ah, tidak terlalu pandai. Hanya selalu tepat sasar-an saja,"
kata Pande Bungkus dengan hati berdebar bangga. la biarkan pipinya dicubit oieh
Pesona Indah. la biarkan pula wanita berpakaian sungguh menantang itu kian
dekat dengannya. Lalu, la mendengar suara Indah berbisik pelan di telinganya,
"Kamu sudah punya kekasih?"
Belum. Masih kosong. Yang mau masuk silakan saja. Tapi harus mau
menerima apa adanya."
"Kamu menggemaskan sekali!"
"Pesona, jangan kelewat batas!" Jelita Bule mengingatkan.
"Aku tak menyentuh batasnya, Jelita Bule. Jangan khawatir."
Pesona Indah tertawa seiring dengan tawa tampannya Pande Bungkus.
"Adi sabi lagiter-lagi mudapa!" kata Jelita Bule.
"Arbijasa. Kua frasu nyadapa."
Pande Bungkus ikut-ikutan bicara seperti itu, "Su-pa musi-musi,
muntah!"
"Apa Itu artinya?"
Kepalaku puyeng!" jawab Pande Bungkus hadirkan tawa bagi mereka
bertiga.
Tawa tersebut segera terhenti ketika Batuk Maragam berseru, "Hei,
lihat di sebelah timur sana, ada kapal yang mendekati kita!"
Semua mata tertuju ke arah timur. Ternyata apa kata Batuk Maragam
memang benar. Sebuah kapal bertiang layar dua dengan bendera merah di ujung
tiap-tiap layarnya sedang bergerak ke arah perahu mereka.
"Bajak taut!" teriak Pande Bungkus dengan tegang.
Tetapi Batuk Maragam terdengar menggumamkan sepotong nama yang tidak
dikenal oleh mereka.
"Syakuntala!"
Gumam yang didengar mereka membuat Batuk Maragam menjadi pusat
perhatian semua mata. Pandangan mereka membuat Batuk Maragam bagai dipaksa
untuk menjelaskan siapa Syakuntala itu.
"Syakuntala adalah Perwira Tanah Hindus berilmu tinggi. Dia musuh
lamaku. Pernah kutumbangkan dalam suatu pertarungan. Tapi pernah membuatku
hampir mati kalau tidak ditolong oieh seorang sahabat."
Pande Bungkus berkata, "Kalau begitu, dia menghampiri kita untuk
bikin perhitungan tersendiri dengan Paman??"
"Aku tidak tahu apa maksudnya. Kita lihat saja nanti."
Suto Sinting angkat bicara, "Apakah tidak sebaik-nya kita hindari
saja?"
"Ke mana pun kita menghindar dia dapat mengejar dalam jarak
seperti sekarang ini. Percuma saja kita menghindar, uhuk, uhuk, uhuk,
ihiiikk...!"
Kapal berwarna hitam kehijauan karena lumut itu turunkan jangkarnya
dalam jarak sekitar empat tombak dari perahu berlayar satu. Orang-orang kapal
tersebut berjajar di geladak dengan senjata masing-masing. Mereka berkulit
hitam dan masing-masing kenakan rompi warna merah dan kuning. Celana mereka
pada umumnya berwarna hitam. Kalaupun ada yang kenakan ceiana biru, hanya
beberapa orang saja yang mondar-mandir lakukan kesibukan lain di atas kapal
tersebut. Pandangan mata mereka yang bercelana hitam tertuju ke kapal Suto
Sinting yang tidak bisa bergerak bagai ditahan oieh suatu kekuatan gaib.
Seorang berkepala gundul tapi bercambang dan berkumis tebal muncul dari
salah satu barak. Orang tersebut bertubuh kekar, baju putihnya tanpa lengan.
Ceiana putihnya terikat di bagian bawah betisnya. la mengenakan anting-anting
bundar di kedua daun telinga. la mempunyai sepasang mata bundar lebar,
mempunyai ketajaman sinar pandangnya dan mempunyai kekuatan aneh yang membuat
hati Jelita Bule, Pesona Indah, dan Pande Bungkus bergetar hati.
Hanya Pendekar Mabuk dan Batuk Maragam yang kelihatan tenang. Bahkan
Pendekar Mabuk dengan santainya menenggak tuak beberapa teguk bagai tidak
hiraukan orang-orang di atas kapal tersebut.
"Masih ingat aku, Batuk Maragam?!" seru orang gundul itu.
"Rasanya cukup sulit melupakanmu, Syakuntala!" balas Batuk
Maragam berseru juga. "Apa maksudmu menahan perahu kami?!"
Kau masih berhutang satu kelingking denganku, Batuk Maragam!"
Syakuntala angkat tangan kirinya dan memperhatikan kelingkingnya yang
hilang bagaikan bekas terpotong lama itu. Batuk Maragam terkekeh panjang.
"Apakah kau ingin menuntutku sekarang juga?! Kurasa kali ini aku
tak akan sisakan lagi jari-jari tanganmu jika memang kau menghendaki
pertarungan dl tengah lautan ini!"
"Seharusnya memang demikian. Tapi sayang sekali kali ini aku punya
tugas lain. Kuselesaikan dulu tugasku, baru kutuntut hutangmu!"
Jika begitu, silakan selesaikan tugasmu dulu, Syakuntala. Aku siap menerima
tuntutanmu kapan saja!" lalu Batuk Maragam terbungkuk-bungkuk karena
keluarkan batuknya. Batuk itu membuat kapal besar tersebut tiba-tiba menjadi
terguncang- guncang dan dua-tiga prajurit yang berdiri di tepiannya jatuh
terpelanting, bahkan ada yang hampir tercebur ke laut. Rupanya Batuk Maragam
keluarkan tenaga dalam yang menyerang kapal itu melalui suara batuknya.
Syakuntala rapatkan telapak tangan dl dada. Lalu kedua tangan itu
bergerak mengembang dengan pelan-pelan. Tiba-tiba sebuah getaran dirasakan pula
oieh para penghuni perahu kecil tersebut. Perahu tersebut bagaikan diguncang
suatu kekuatan yang akhirnya menjadi oleng tak karuan gerakannya. Batuk Maragam
jatuh terduduk di buritan.
Jelita Bule dan Pesona Indah pegangi tiang layar. Pande Bungkus nyaris
terpelanting, tapi tubuhnya langsung ditangkap Pesona Indah hingga pria itu
bagai berada dalam pelukan si cantik berambut hitam. Sementara itu, Suto
Sinting hanya berdiri diam tanpa ikut terguncang. la bagaikan pilar besi yang
taktergoyahkan. Namun matanya memandang tajam ke arah si Perwira Tanah Hindus
itu. Dan tiba-tiba jari tangannya menyentil.
Teeess... !
Brruukk...! Syakuntala jatuh ke belakang dengan terkejut. la tak tahu
kalau akan mendapat serangan tenaga dalam yang cukup besar. Bahkan ia tidak
melihat bahwa jari tangan pemuda tampan yang membawa bumbung bambu tuak itu
bergerak menyentil sebagai gerakan lepaskan jurus 'Jari Guntur' yang mempunyai
kekuatan sentak seperti kekuatan tendangan kuda.
Syakuntala bergegas bangkit dan melihat beberapa orangnya menarik busur
panah, slap lepaskan panahnya ke arah Batuk Maragam, karena mereka menyangka
Batuk Maragam-lah yang menyerang Syakuntala dengan kekuatan tenaga dalam.
"Tahan!" seru Syakuntala kepada para pemanah itu. Kemudian ia
berseru kepada Batuk Maragam yang sudah berdiri tegak karena perahu sudah tidak
oleng hebat seperti tadi. Namun keadaan perahu masih tertahan oieh suatu
kekuatan yang diduga datangnya dari kapal besar itu.
"Batuk Maragam! Kau tak perlu tunjukkan bahwa kekuatanmu masih
ada. Aku bisa rasakan kau masih mempunyai kekuatan seperti dulu, dan aku pun
merasa dapat tumbangkan dirimu dengan lebih mudah lagi dari yang dulu. Tapi aku
punya kepentingan tersendiri dengan dirimu, Batuk Maragam!"
"Apa kepentinganmu selain menuntut balas pada-ku?!"
"Dari jauh kucium bau tuak yang aneh. Kurasa salah satu dari
orang-orangmu itu ada yang sedang kucari-cari!"
"Apa yang kau, uhuk, uhuk, ihiiik... ihiiik... heoik!" Batuk
Maragam benar-benar terbatuk tanpa sengaja. la terpaksa ulangi kata-katanya
tadi.
"Apa yang kau cari, Syakuntala?!"
"Seorang tabib ampuh yang kondang dengan nama Tabib Darah
Tuak!"
Bule terperanjat, demikian pula Pesona Indah. Kedua gadis cantik itu
memandang ke arah Pendekar Mabuk yang masih diam berdiri tak jauh dari mereka.
Pande Bungkus Ikut-ikutan memandang Pendekar Mabuk, karena la pernah mendengar
nama julukan Tabib Darah Tuak yang disebutkan dua gadis itu kepada Suto
Sinting. Sementara Suto Sinting sendiri mulai merasa sedang diperhatikan oleh
ekor mata Syakuntala, karena ia ingat sebutan yang didengarnya dari mulut
Jelita Bule tentang dirinya.
Syakuntala, kami tidak mempunyai tabib di sini!" seru Batuk
Maragam.
"Apakah aku harus percaya dengan ucapanmu, Pendusta Tua?!"
kata Syakuntala menandakan tidak percaya dengan kata-kata Batuk Maragam.
"Bagaimana dengan pemuda berbaju coklat itu, Batuk Maragam?"
"O, dia hanya seorang pedagang arak yang kebetulan menumpang
perahuku!" jawab Batuk Maragam bermaksud menutupi siapa diri Suto
sebenarnya. Jelita Bule dan Pesona Indah setuju dengan jawaban Itu. Tetapi
Pande Bungkus yang ingin tetap bersama pendekar kebanggaannya itu segera dekati
Suto Sinting dan berseru kepada Syakuntala,
"Kalian tidak bisa membawa Kang Suto! Karena Pendekar Mabuk kami
Ini bukan Tabib Darah Tuak!"
Namun ucapan Pande Bungkus itu justru membuat Syakuntala serukan
tawanya. Hati kedua gadis dan Batuk Maragam sempat kesal atas seruan Pande
Bungkus. Slkap itu justru menunjukkan bahwa Suto Sinting adalah Tabib Darah
Tuak.
"Batuk Maragam, orangmu telah mengakul bahwa pemuda ini bukan
seorang pedagang arak, melainkan dialah Tabib Darah Tuak yang kami cari-cari
itu!"
Jelita Bule segera menarik Pande Bungkus dengan mencengkeram rompinya.
"Kau ternyata mata-mata mereka, Pande Bungkus!" geram Jelita
Bule. Tentu saja anak muda yang polos itu menjadi bingung dan merasa takut
melihat wajah Jelita Bule tampak berang.
Suto Sinting segera berkata pelan, "Dia bukan mata-mata. Dia hanya
melepas kepolosannya yang cenderung berkesan bodoh."
"Tidak bisa! Dia pasti orang kapal itu yang menyamar menjadi
pemuda bodoh!" geram Jelita Bule lagi tanpa memandang Suto melainkan
menatap tajam ke wajah Pande Bungkus.
"Paman," kata Pesona Indah. "Apa pun yang terjadi kami
akan pertahankan Suto Sinting agar tak berurusan dengan Syakuntala!"
"Tenanglah dulu kalian ini. Jangan tampakkan ketegangan sendiri di
depan Syakuntala. Nanti dia akan manfaatkan ketegangan di antara kita,"
kata Batuk Maragam yang tak jadi lanjutkan ucapannya karena Syakuntala telah
berseru dengan suaranya yang lantang.
"Aku akan membawa Tabib Darah Tuak itu ke Tanah Hindus, Batuk
Maragam! Beritahukan kepada orang-orangmu agar tak menghalangi niatku jika mau
selamat!"
"Orang-orangku tak akan menghalangi, tapi akulah yang akan
menghalangi niatmu itu, Syakuntala!"
"Batuk Maragam," geramnya keras sekali. "Jangan
memancing kemarahanku saat ini! Kita punya waktu sendiri untuk sallng lepaskan
dendam. Sekarang kumohon kau tidak mempersulit niatku agar perahumu itu tidak
pecah dan perjalananmu tidak terganggu!"
Paman, ini sebuah ancaman!" kata Pesona Indah. "Saya akan
hadapi ancaman Itu demi kesembuhan sang Ratu!"
Jelita Bule pun menimpali, "Kami berdua akan menyerangrrya,
Paman!"
"Jangan! Tahan dulu. Kalian tak perlu ikut berurusan
dengannya!" kata Batuk Maragam dengan suara pelan.
Akhirnya Suto Sinting bicara juga setelah melihat orang-orang perahu
saling bersitegang."
Pendekar Mabuk segera melangkah ke tempat yang lebih tinggi dan berseru
kepada Syakuntala,
"Apa maumu, Syakuntala?!"
"Membawa Pendekar Mabuk yang menjadi Tabib Darah Tuak ke Tanah
Hindus. Raja kami dalam keadaan sakit parah dan membutuhkan pertolonganmu,
Tabib!"
"Aku bukan tabib! Aku manusia biasa!"
Syakuntala diam saja, matanya memandang tajam kepada Pendekar Mabuk.
Tiba-tiba tangannya menyentak ke depan bagai membuang sesuatu. Ternyata sekilas
sinar hijau kecil melesat dari tangan itu menghantam perut Pande Bungkus yang
sedang kebingungan mencari tempat berlilndung. Claapp...! Bllesss...!
"Aahg...!" Pande Bungkus terpekik tertahan. Matanya sempat
terbellak sebentar, lalu ia pun roboh dl ba-wah tiang layar. Brrukk...! Semua
mata memandang ke arahnya dan menjadi tegang karena meiihat tubuh Pande Bungkus
keluarkan asap putih dengan kullt bergerak-gerak ingin mengelupas berwarna
merah matang.
Syakuntala berteriak dalam tawa,
"Ha, ha, ha, ha...! Anak muda Itu telah terkena Racun Llur
Naga-ku. Dalam dua puluh hitungan dia akan mati terkelupas dan matang tubuhnya.
Seperti kau ketahui, Batuk Maragam, bahwa Racun Llur Naga tak pernah ada penangkalnya
dan hanya bisa dlsembuhkan oieh tuak sakti milik seorang tokoh tua yang tinggal
di Jurang Lindu. Konon tokoh tua itu adalah murid si Tabib Darah Tuak. Jika
begitu, maka anak muda itu akan tertolong nyawanya se-andainya Tabib Darah Tuak
segera menyembuhkannya!"
Batuk Maragam tampak tegang walau tetap berusaha ditutup-tutupi. Tapi
kedua gadis utusan Negeri Malaga itu tak bisa menutupi kecemasan dan
ketegangannya. Mata mereka tertuju kepada Suto Sinting seakan ingin meiihat apa
yang akan dilakukan Suto Sinting terhadap Pande Bungkus.
Suto Sinting hanya membatin, "Dia menjebakku! Pandai sekali
caranya membuktikan kebenaran dugaannya tentang diriku. Sial! Mau tak mau aku
harus sembuhkan Pande Bungkus agar anak muda itu tak menjadi korban
sia-sia."
Pendekar Mabuk bergegas dekati Pande Bungkus, tapi langkahnya dihadang
oieh Jelita Bule. Gadis itu pegangi dada Suto Sinting dan berkata,
"Jangan lakukan apa-apa terhadap Pande Bungkus, nanti dia tahu
kalau kau adalah Tabib Darah Tuak!"
"Aku tak pedull dia tahu atau tidak, tapi Pande Bungkus tak boleh
mati sia-sia. Dia tidak bersalah kepada kita atau kepada mereka. Kasihan kalau
dia harus jadi korban."
"Kumohon jangan lakukan demi sembunyikan jati dirimu!" Pesona
Indah menimpali dalam ucapan bisik-blsik.
Tetapi Suto Sinting agaknya tidak mau pedulikan cegahan mereka. Tubuh
Jelita Bule segera disingkirkan dengan menepiskan tangan penahannya. Lalu tubuh
itu didorong ke samping dengan sentakan kecil, Suto Sinting dekati Pande
Bungkus yang kulit tubuhnya mulai terkelupas di sana-sini. Anak muda itu
mengerang kesakitan dengan suara lirih. Suto Sinting buru-buru tuangkan tuaknya
ke mulut Pande Bungkus hingga tuak tertelan dan Pande Bungkus terbatuk-ba-tuk.
Sementara itu Batuk Maragam jadi ikut-ikutan batuk karena mendengar suara Pande
Bungkus yang ter-sedak dan terbatuk-batuk.
Syakuntala dan orang-orang kapal memusatkan pandangan mata ke arah Suto
Sinting. Mereka meiihat asap yang mengepul dari tubuh Pande Bungkus mulai
berkurang. Warna merah matang pada tubuh Pande Bungkus pun mulai pudar.
Sementara itu, Pendekar Mabuk segera temui Batuk Maragam dan berkata,
"Maafkan aku, Paman! Aku harus lakukan penghajaran kepada
Syakuntala!"
"Dia berbahaya," bisik Batuk Maragam bernada tegang.
"Bisa-bisa yang lain menjadi korban murka. Tapi kuharap kau tidak turuti
keinginannya untuk membawa- mu ke Tanah Hindus. Sebab jika sudah sampai sana
mustahil kau dllepaskan dan bisa kembali. Mereka akan menawanmu dan memaksamu
menjadi Tabib Darah Tuak yang akan mendampingi Raja setiap saat. Raja Kulana
Baham mempunyai tiga puteri cantik-cantik, salah satunya mirip dengan
kekasihmu; Dyah Sari-ningrum, yang pernah kulihat melalui teropong batinku itu.
Kau akan terpikat dengannya karena mereka dibekali ilmu pemikat hati yang amat
tinggi."
"Jika begitu aku harus gunakan siasat untuk me-nundukkannya,"
gumam Pendekar Mabuk seperti bicara dengan diri sendiri. Gumaman itu didengar
oleh Jelita Bule dan Pesona Indah. Kedua gadis itu hanya saling pandang tanpa
bicara apa pun.
Pande Bungkus tampak segar, ia sudah bisa bangkit dan duduk dalam
keadaan tubuhnya pulih seperti sediakala. Keadaan itu membuat senyum Syakuntala
kian lebar, wajah para anak buahnya juga tampak cerah ceria.
"Tak salah dugaanku, ternyata memang Tabib Darah Tuak ada di
perahu itu!" seru Syakuntala kepada anak buahnya, tapi maksud seruan itu
ditujukan kepada Batuk Maragam. Sambungnya lagi,
"Sebaiknya sekarang juga jemput pemuda tampan itu dan pindahkan ke
kapal kita! Lakukan...!"
"Tunggu...!* seru Pendekar Mabuk yang membuat dua orang yang
ditugaskan menjemput Suto itu menjadi berhentl tak lanjutkan gerak. Syakuntala
memandang Pendekar Mabuk dengan jumawanya.
Syakuntala! Aku mau kau bawa ke Tanah Hindus jika kau bisa kalahkan
diriku dalam pertarungan satu lawan satu!"
"Kau hanya membuang-buang waktu, Tabib Darah Tuak!"
"Kalau kau tak berani menghadapi tantanganku, berarti kau berilmu
rendah dan tak pantas dihormati oleh para anak buah! Aku mau dibawa ke Tanah
Hindus asalkan dijemput orang tersakti di Tanah Hindus."
"Akulah penjemputmu, Tabib Darah Tuak!"
Syakuntala kelihatan mulai terpancing oleh keangkuhannya sendiri.
Pendekar Mabuk sengaja membangkitkan kemarahan Syakuntala untuk mengatur
siasat. Suto pun berseru kembali,
"Raja Kulana Baham salah pilih. Mestinya dia mengutus orang yang
bisa unggul dalam pertarungan melawan Pendekar Mabuk, bukan orang yang besar
mulut tapi tak mempunyai kemampuan menundukkan Pendekar Mabuk"
"Kau pikir aku perwira biasa, hah?! Aku adalah Panglima Pasukan
Tanah Hindus, bukan sekadar manusia berderajat perwira biasa!" nada bicara
Syakuntala mulai meninggi dengan mata mulai mendelik lebar.
Itulah yang diharapkan Suto Sinting sehingga Suto pun berseru lagi,
"Jika benar kau seorang panglima terpercaya, tentunya kau bersedia
menerima tantangan kesatriaanku, Syakuntala! Kurasa kau hanya mengaku-aku
sebagai panglima biar disegani dan dihormati oieh orang-orang di sekelilingmu
itu. Buktinya kau berusaha menghin-dari pertarungan denganku." Syakuntala
menggeram penuh kemarahan karena pada saat itu beberapa orang yang menjadi
prajuritnya memandang ke arahnya, seakan ingin mengetahui ke putusan Syakuntala
dalam menghadapi tantangan tersebut. Dengan wajah semburat merah karena menahan
malu dan marah, Syakuntala pun berseru,
"Baikl Kuterima tantanganmu, Tabib Darah Tuak! Tentukan di mana
tempatnya kita lakukan pertarungan, dan kapan waktunya?!"
Pendekar Mabuk berbisik kepada Batuk Maragam yang bersebelahan dengan
Jelita Bule, sedangkan Pande Bungkus dalam pengawasan Pesona Indah.
"Berapa lama kita akan tiba di Negeri Malaga dan berapa hari kita
akan berada di sana, Paman??"
"Perjalanan akan sampai tujuan esok pagi," jawab Jelita Bule.
Batuk Maragam menimpali,
"Tentang waktu di sana kau bisa perkirakan sendiri."
Setelah diam sesaat, Pendekar Mabuk berseru kepada Syakuntala,
"Syakuntala! Lima hari lagi kita bertemu di Bukit Mata Laut, yang ada di
pesisir utara tanah Jawa! Kurasa kau dapat temukan bukit itu dengan mudah jika
kapalmu berlayar lurus ke arah selatan."
"Baik. Kubuktikan kemampuanku menundukkan dirimu di bukit
itu!"
PELAYARAN menjelang matahari tenggelam sung-guh merupakan pelayaran
yang sangat indah. Mentari berubah menjadi merah dan sinarnya membentuk cahaya
indah juga yang memancar mero-nai langit dengan warna-warna tembaga berkilauan.
Cakrawala kelihatan menghitam bagaikan bibir raksasa yang siap menelan sang
mentari. Pelayaran senja membuat para penghuni perahu kecil itu memandang
terpesona ke arah cakrawala, kecuali Batuk Maragam. Tokoh tua Ini justru diam
dan menyendiri di buritan dengan berlipat tangan di dada, rambutnya meriap-riap
dipermainkan oieh hembusan angin laut.
Batuk Maragam ituliah orang pertama yang meiihat sebuah titik bergerak
menuju ke perahunya dengan kecepatan tinggi. Titik hitam itu makin lama semakin
jelas bentuknya. Ternyata ia adalah seorang perempuan yang berdiri di atas
selembar daun kelapa hijau. Daun kelapa hijau bergerak cepat bagaikan
dikendalikan oieh kekuatan tenaga dalamnya yang terpancar dari kedua kaklnya.
Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin daun kelapa yang masih hijau itu
mampu digu-nakan alas berdiri dan tidak tenggelam menahan beban tubuh si
perempuan tersebut.
Pandangan mata Batuk Maragam semakin dipertajam untuk mengenali siapa
perempuan yang seolah-olah unjuk kesaktiannya di atas daun kelapa hijau itu.
Pakaiannya ketat warna ungu muda model angkin sampai dada, celana beludrunya
berhias benang emas pada tepiannya. Jubah yang dikenakan adalah jubah ungu tua.
la adalah seorang gadis yang usianya sekitar dua puluh lima tahun, tapi sebenarnya
sudah lanjut usia. la menyandang pedang yang dibalut kain ungu di punggungnya.
Rambutnya disanggul sebagian sisanya me-riap-riap dihembus angin kecepatan
geraknya. Semakin dekat semakin terlihat bentuk kecantikannya yang berhidung
mancung dan bermata indah tapi berkesan galak.
Gemuruh ombak yang ditimbulkan dari gerakan laju daun kelapa itu
menimbulkan daya tarik sendiri bag! Suto Sinting dan dua utusan Negeri Malaga
itu untuk berpaling memandang ke arah depan perahu. Suto Sinting terkesiap
dalam pandangan herannya, sedangkan dua gadis utusan Ratu Rangsang Madu itu
segera ke-rutkan dahi dan bergegas dekati arah buritan perahu.
Jelita Bule ucapkan kata kepada Pesona Indah dengan tetap pandangi
gadis yang menuju ke perahu mereka itu,
"Rasa-rasanya kita kenal dengan wanita itu, Pesona Indah!"
"Ya. Aku tidak lupa dengannya. Dia adalah Pelangi Sutera, orang
andalan Ratu Asmaradani dari Negeri Kencana Ringgit yang ada di dasar
laut!"Memang benar, wanita itu adalah Pelangi Sutera yang mempunyai nama
asli Sumbaruni, bekas istri Jin Kazmat. Suto Sinting kenal betul dengan
perempuan cantik itu, sebab perempuan cantik itu pernah nyatakan cinta kepada
Suto dan ingin bersuamikan Pendekar Mabuk.
Suto juga tahu bahwa Pelangi Sutera dulu memang panglima negeri dasar laut
yang dipimpin oieh seorang ratu cantik bernama Ratu Asmaradani, tapi sekarang
Sumbaruni sudah tinggalkan negeri itu dan tidak menjadi panglima lagi. la
membaur dalam kancah persilatan sebagai tokoh yang sering membantu Pendekar
Mabuk dalam menghadapi kesulitan demi cintanya dan rasa tak ingin kehilangan
murid sinting si Gila Tuak itu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Ratu Tanpa Tapak").
"Ada apa dia menyusulku kemari? Apakah Guru sedang sakit?"
pikir Suto, karena ia tahu bahwa Sumbaruni belakangan ini memang sering adakan
pertemuan dengan gurunya; Gila Tuak dan Bidadarl Jalang. Barangkali pendekatan
terhadap gurunya Suto Sinting itu mempunyai maksud agar Sumbaruni dapat
membujuk sang Guru supaya memaksa muridnya mengawini Sumbaruni. Tapi hal seperti
itu hanya merupakan dugaan semata yang terlintas di benak Suto Sinting.
Kehadiran Sumbaruni memang menimbulkan pertanyaan batin bagi Batuk
Maragam. Wajah cantik perempuan itu tampak muram dan memendam kemarahan. Ketika
sudah mendekati perahu, tubuh Sumbaruni segera melompat dan bersalto satu kali
di udara, lalu dengan sigap kakinya menapak di atas atap barak pe-lindung yang
ada di perahu itu, sehingga ia berada di-ketinggian tempat. Daun kelapa hijau
dibiarkan tera-pung-apung dipermainkan ombak sore; tapi tak hanyut terbawa
ombak, melainkan bagaikan mengikutl laju perahu layar putih itu. Sepertinya
Sumbaruni tanamkan satu kekuatan pada daun kelapa satu pelepah utuh itu sebuah
kekuatan yang dapat menglkutinya ke mana pun ia pergi bersama perahu tersebut.
"Sumbaruni, apa maksudmu datang kemari?!" sapa Batuk Maragam
dari tempatnya. Perempuan cantik itu diam saja, pandangi wajah Jelita Bule dan
Pesona Indah. Sikap memandangnya itu berkesan penuh permusuhan, walau
sebenarnya antara Negeri Malaga dengan Negeri Kencana Ringgit tak punya masalah
apa-apa. Tapi agaknya kali ini Sumbaruni pribadi merasa punya masalah dengan
kedua orangnya Ratu Rangsang Madu itu.
"Apa maksudmu memandangiku begitu, Pelangi Sutera?!" sapa
Jelita Bule dengan nada menghardik.
"Aku hanya ingin melihat wajah orang lancang, yang berniat
mengorbankan jiwa tak bersalah sebagai tumbal kesembuhan orang lain!" kata
Sumbaruni dengan ketus.
"Apa maksudmu berkata begitu?!" sentak Pesona Indah yang
tampak siap menyerang sewaktu-waktu.
"Aku tak Izinkan Pendekar Mabuk pergi ke Pulau Selayang! Aku
mendengarnya dari Setan Arak, bahwa ratu kalian terkena Racun Bulan Madu milik
Nyai Sunti Rahim. Aku bisa mengetahui kekuatan racun itu, tak akan bisa
disembuhkanoleh siapa pun kecuali oieh darah Pendekar Mabuk. Itu sama saja
kalian menghendaki kematian Suto Sinting sebagai tumbal kesembuhan ratu kalian!
Aku tak rela kalau Pendekar Mabuk kalian jadikan tumbal. Bila perlu aku akan
hadapi ratu kalian dengan caraku sendiri untuk menegur perintah ke-jinya itu!"
Sraangng...! Pesona Indah cabut pedang lebih dulu.
Sraang...! Sumbaruni juga mencabut pedangnya. Sementara itu Jelita Bule
masih belum menghunus pedangnya, tapi tangan sudah menggenggam gagang pedang.
la mundur dua langkah seakan berikan tempat buat Pesona Indah untuk lakukan
serangan terhadap Sumbaruni yang dianggap berani menantang ratu mereka itu.
Tapi Suto Sinting segera melompat dan kini ada diatas atap barak juga.
"Sumbaruni, tahan kemarahanmu!"
"Kau pendekar bodoh!" geramnya dalam sentakan pelan.
"Kau mau dijadikan tumbal kesembuhan Ratu Rangsang Madu, mengapa kau tidak
menolak dan melawan niat mereka?!"
"Aku datang ke sana hanya untuk melihat sejauh mana kekuatan Racun
Bulan Madu, dan dengan cara apa bisa disembuhkan tanpa menggunakan darahku!
Kalau toh harus gunakan darahku, sebanyak apa yang dibutuhkannya. Jika hanya
setetes dua tetes, apa sa-lahnya jika aku menoiong seseorang dengan memberikan
darahku?"
"Darah yang dibutuhkan untuk memusnahkan racun itu adalah separo
dari jumlah darah yang ada dalam tubuhmu. Dan itu berarti kau akan mati
kehabisan darah, Suto!"
"Dari mana kau mengetahuinya?"
"Aku mempunyai iimu 'Getar Sukma' yang bisa mengukur kekuatan ilmu
seseorang dan jenis-jenis iimu itu dengan hanya mendengar namanya saja. Tidak-
kah kau ingat tentang iimu 'Getar Sukma'-ku itu, Suto Sinting?!"
Pendekar Mabuk segera tarik napas dalam-dalam. la terbungkam sesaat
merenungi kata-kata itu. Jelita Bule berbisik kepada Pesona Indah,
"Rangse jasa, arbi dakti kinbi bibta bahru rankirpi!"
"Gutung ludu. Hatlih nyasantuspu."
Sementara itu Sumbaruni berkata kepada Suto, "Pikirkanlah
langkahmu yang bodoh itu. Jangan kau ke-cewakan guru-gurumu hanya karena
kematian murid bodohnya. Sebaiknya pulang saja, jangan mau peduli lagi tentang
mereka!"
"Aku penasaran, ingin meiihat seperti apa kekuatan Racun Buian
Madu di tanganku. Benarkah harus dengan cara mengorbankan jiwaku atau...."
"Pulang saja!" potong Sumbaruni dengan tegas, "Atas
perintah gurumu, aku harus memaksamu pulang, Suto Sinting!"
"Sumbaruni!" seru Batuk Maragam. "Aku yang bertanggung
jawab tentang keseiamatan Pendekar Mabuk selama di Pulau Selayang!"
"Kau tak tahu banyak tentang kekuatan Racun Bulan Madu itu,
Brajamusti!" geram Sumbaruni dengan berani karena sebenarnya ia berusia
sama dengan Batuk Maragam yang bernama asli Brajamusti itu.
"Tahu ataupun tidak tahu, aku yang bertanggung jawab atas
keselamatan murid si Gila Tuak! Jadi kurasa kau tak perlu memaksanya untuk
puiang!"
"Aku diperintahkan oieh si Gila Tuak!" sentak Sumbaruni.
"Kalau kau mau berurusan dengan si Gila Tuak silakan saja! Aku tak mau
ikut campur! Kalau kau tetap ingin bawa Suto Sinting ke Pulau Selayang, kau
harus meminta izin kepada Gila Tuak dan Bidadari Jalang lebih dulu,
Brajamusti!"
"Waktunya terlalu sempit," Brajamusti beralasan, setelah itu
terbatuk-batuk sebentar, lalu berkata lagi, "Aku akan berurusan dengan
Gila Tuak dan Bidadari Jalang sepulang kami dari Pulau Selayang!"
"Aku tetap tidak izinkan kalian membawa Suto ke sana!"
"Kaiau begitu aku harus memaksamu puiang sendiri dengan kekerasan,
Pelangi Sutera!" ujar Pesona Indah dengan mata menyipit penuh tantangan.
Sumbaruni menatap Pesona Indah, tajam sekali tatapannya itu. Ternyata
tatapan mata tersebut mempunyai gelombang tenaga dalam yang terpancar dan
membuat Pesona indah bagai dibakar sekujur tubuhnya. Panas dan menyakitkan.
Tetapi Pesona Indah sadar akan hal itu, maka ia segera kerahkan tenaga hawa
dinginnya secara diam-diam untuk meiawan gelombang hawa panas itu. Tubuh Pesona
Indah menjadi gemetar dan urat-urat iengannya tampak mengencang.
Jelita Bule tahu bahwa temannya sedang diserang. Maka dengan cepat ia
lepaskan sinar kuning emasnya ke arah Sumbaruni. Ciaapp...! Suto Sinting yang
meiihat kiiatan cahaya kuning emas mengancam nyawa Sumbaruni. ia sendiri tak
mau Sumbaruni menjadi korban perkara itu. Maka dengan sentakan cepat ia
mendorong tubuh Sumbaruni hingga terjatuh, sementara Suto sendiri mundur dalam
satu sentakan cepat.
Wuuuttt...!
Brruukk...!
Sumbaruni jatuh terpelanting tepat sinar kuning emas melintas di tempat
berdiri semula, sedangkan Pendekar Mabuk yang menyentak mundur itu tak
perhitungkan langkah hingga ia jatuh ke laut. Byuuurr...!
Sumbaruni yang merasa telah diserang terang-te-rangan segera lepaskan
pukuian peiumpuh yang beru-pa sinar kuning berbentuk seperti bintang dengan
cara melemparkannya menggunakan tangan kiri. Slaapp...! Slaapp...! Sinar kuning
itu bergerak dengan cepat. Jika bukan orang berilmu tinggi seperti Batuk
Maragam atau Pendekar Mabuk, tak bisa meiihat bentuk sinar kuning itu. Ternyata
sinar kuning tersebut tepat kenai uiu hati dan pinggang kedua utusan tersebut.
Jeebs, jleebs...!
Brruukk...! Kedua utusan Pulau Selayang roboh di tempat bagaikan
kehilangan seluruh tenaganya. Tak satu jari pun bisa digerakkan oleh Jelita
Bule maupun Pesona Indah. Bahkan ketika mereka mengerang, suara mereka lirih
sekali karena seluruh tenaganya bagaikan lenyap seketika itu. Brruss...!
Sesosok tubuh melompat dari kedalaman air dan hinggap di tepian lambung
perahu. Sosok tubuh itu adalah Pendekar Mabuk yang tadi terjatuh karena
bergerak mundur tanpa perhitungan. Kemunculan Suto dari dalam laut sebenarnya
ingin mencegah terjadinya pertarungan yang membahayakan kedua utusan tersebut.
Sebab Suto Sinting tahu bahwa Sumbaruni mempunyai ilmu lebih tinggi daripada
ilmu yang dimiliki Jelita Bule dan Pesona indah. Tetapi agaknya dia sudah
terlambat. Kedua utusan itu telanjur lumpuh mendadak bagai kehilangan seluruh
ilmunya.
"Sumbaruni!" sentak Suto. "Aku tak setuju kau mempergunakan
pukulan 'Anak Rembuian'-mu itu! Kau curang!"
"Aku tak peduli! Tugasku hanya membawa kau pulang dan menghadapkan
kepada kedua gurumu yang sekarang berkumpul di Jurang Lindu!" kata
Sumbaruni hanya sekadar mempengaruhi pikiran Suto, padahal ia tidak mempunyai
perintah apa-apa, bahkan bertemu dengan Gila Tuak pun tidak, selain hanya
bertemu si Setan Arak alias Bongkok Sepuh.
Pande Bungkus yang melihat Pesona Indah jatuh lumpuh segera mencari
simpanan batu kerikiinya yang sudah dipersiapkan sebelum perahu berlayar dari
pantai. Batu itu ada yang disembunyikan di buritan, galang-an, bawah tiang
layar dan di beberapa tempat iainnya. Batu itu segera diambilnya salah satu,
lalu dipasang pa- da ketapelnya. Dengan berlindung tiang layar, Pande Bungkus
melepaskan ketapelnya ke arah Sumbaruni. Breeett...! Weess...!
Sumbaruni menyangka mendapat serangan berbahaya, ia segera kibaskan
pedangnya ke samping. Trrrilng...! Batu Itu berhasil dibelah dengan pedangnya
sambii tubuh meliuk ke samping untuk hindari batu tersebut. Karena tak ada
ledakan apa pun, maka Sumbaruni tahu batu itu hanyalah batu biasa tanpa tenaga
dalam. Matanya segera memandang tajam ke arah Pande Bungkus yang ketakutan dan
bersembunyi di balik tiang. Sumbaruni melompat turun ke geladak dan ingin hampiri
Pande Bungkus. Tetapi Batuk Maragam segera lompat ke depan dan tegak dl hadapan
Sumbaruni. Langkah wanita cantik berkesan galak itu pun terhenti dan mata
menatap tajam pada Batuk Maragam.
"Jangan sangka aku mundur walau kau yang maju, Brajamusti!"
geram Sumbaruni. "Bagaimanapun juga aku akan berusaha membawa puiang Suto
Sinting!"
"Agaknya memang harus begitu; kita berhadapan dan saling
pertahankan pendirian masing-masing, Sumbaruni!"
Setelah berkata demikian, Brajamusti pun lepaskan suara batuknya yang mengandung
kekuatan tenaga dalam, "Uhuk, uhuk, ehek, ohok, ihuk, Ihuk, ihiikk!"
Tubuh Sumbaruni terpental ke sana-sini bagai menghindarl gelombang
getaran tenaga dalam yang memekakkan telinganya dan menyambar tubuhnya kian
kemari. Telinga Sumbaruni hampir saja pecah jika ia tidak imbangi dengan suara
siulan dari mulutnya yang dinamakan jurus 'Siulan Hantu' itu.
"Siiuutt... ! siuuttt... siiuuutt...!"
Krrraaak... ! Braaakk... !
Tiang layang patah dan tumbang ke buritan. Hampir saja tubuh Pande
Bungkus terhimpit tiang layar itu. Siulan tersebut hadirkan kekuatan tenaga
dalam cukup besar hingga dapat patahkan tiang layar. Tentu saja Batuk Maragam
merasakan sentakan kuat di telinganya kala siulan itu melengking tinggi.
Suto Sinting yang baru saja mau tuangkan tuak ke mulut Jelita Bule
menjadi terkejut dan tersentak mendengar siulan itu. ia bahkan sempat mundur
selangkah dari jongkoknya dan segera tahan napas untuk kerahkan tenaga
pembendung suara itu. Dengan demikian Pendekar Mabuk bisa atasi gelombang suara
bertenaga pemecah gendang telinga. Telinganya tidak mengalami luka, namun ia
segera meiihat darah mengaliir dari lubang telinga Jelita Bule, juga lubang
telinga Pesona Indah. Sedangkan Pande Bungkus sibuk membebaskan diri dari layar
yang membungkus tubuhnya dan robek di beberapa tempat itu.
"Bahaya! Sumbaruni mengamuk kepada Paman Batuk Maragam yang jadi
korban pihak lain! Kutunda dulu pengobatan kepada Jelita Bule dan Pesona
indah...!" pikir Suto segera bangkit dan menutup bumbung tuaknya.
Batuk Maragam lepaskan pukuian tanpa sinar dari jarak jauh ke tubuh
Sumbaruni yang sudah berada di atas atap barak lagi itu. Wuuutt...! Pukuilan
dari sodokan empat jari tangan kanannya itu segera ditahan dengan tangan kiri
Sumbaruni yang merentangkan telapak tangannya tepat di ulu hati. Deeb...!
Telapak tangan itu langsung berasap dan melepuh karena tak kuat menahan hawa
panas tinggi dari pukulan jarak jauh Batuk Maragam.
Sumbaruni buru-buru mengibaskan tangannya sambil sentakkan kaki dan
meienting di udara. ia ber-saito satu kali, hingga di tepian lambung,
menyentak-kan kaki lagi sehingga tubuhnya melesat bagaikan ter-bang sambii
mengibaskan pedangnya ke arah Batuk Maragam. Weesss...! Trang, trang, trang...!
Tiga kali tebasan pedang Sumbaruni hanya ditang-kis dengan kelebatan
tangan kanan-kiri. Lengan Batuk Maragam bisa mengeras seperti baja yang mampu
memercikkan bunga api ketika beradu dengan pedang Sumbaruni.
Plaakk ..! Tangan itu berkelebat menampar wajah Sumbaruni dan dalam
satu tamparan saja wajah perempuan cantik itu menjadi biru legam separo bagian.
Tubuhnya terlempar, jatuh membentur dinding barak. Braakk...! Dinding barak
dari kayu jati pecah sebagian akibat benturan tubuh Sumbaruni.
"Celaka! Dia benar-benar kerahkan tenaga untuk membunuhku?"
pikir Sumbaruni dengan mengibaskan kepalanya karena pandangan matanya menjadi
buram dan rasa panas menyengat sekujur kepala. Sumbaruni ingin lepaskan tenaga
daiamnya dari tangan kiri, tetapi tangan kirinya sudah telanjur meiepuh dan
berwarna merah matang. Namun ia segera bangkit dan masih berusaha menghadapi
Batuk Maragam dengan pedang di tangan kanannya.
Batuk Maragam bergerak tak terlihat. Tahu-tahu sudah berada di belakang
Sumbaruni. Naiuri perempuan itu terpasang dengan peka, sehingga ketika ia
rasakan ada hembusan udara panas dari arah belakang, ia segera putarkan tubuh
dan kakinya berkelebat menendang.
Wuuu...! Wuuuss...! Plookk...!
Wajah Batuk Maragam tertampar oleh tendangan kaki Sumbaruni. Sementara
pukulan tenaga dalam yang keluar dari telapak tangan Batuk Maragam melemparkan
tubuh Sumbaruni jatuh ke perairan laut. Byuurrr...! Batuk Maragam sendiri
teriempar ke samping, membentur dinding barak dengan keras. Braakkk...!
"Celaka kalau begini!" gumam Suto sendirian. "Bagaimana
aku harus meleraikan pertarungan mereka?! Mereka tampak menggunakan jurus-jurus
maut! Salah-salah nyawaku bisa jadi korban kemurkaan mereka."
"Kang, tolong aku, Kang!" terdengar suara Pande Bungkus
sedang berkutat keblngungan keluar dari kain iayar yang membungkusnya. Suto
Sinting terpaksa membantunya keluar dari selubung kain layar itu. Perahu itu
terapung-apung dipermainkan ombak yang kian membesar akibat senja semakin tua,
matahari tinggal mengintip separo bagian dl cakrawala merah sana.
Brruusss...! Sumbaruni melompat dari kedalaman laut, langsung hinggap
di tepian perahu. Kemunculan-nya segera disambut oleh Batuk Maragam dengan
gerakan tubuh yang melayang menerjang cepat. Wuusss...! Tetapi tubuh itu pun
segera disongsong oieh jurus pedang Sumbaruni yang membuat tubuhnya Ikut melayang
menerjang lawan. Akibatnya, ujung pedang Sumbaruni dihujamkan ke dada Batuk
Maragam dengan telak sekali dan terlihat jelas oleh Pendekar Mabuk.
Suutt...!
Traaang...!
Telapak tangan Batuk Maragam menghadang tepat di ujung pedang. Telapak
tangan itu pun berubah bagaikan baja yang tak mampu ditembus ujung pedang
Sumbaruni. Benturan ujung pedang dengan telapak tangan membuat Sumbaruni
terpental mundur kembali, demikian pula tubuh Batuk Maragam. Tapi keduanya
mendaratkan kakinya di tepian lambung perahu saling berseberangan.
"Sumbaruni! Hentikan pertarungan ini! Hentikan...!" teriak
Pendekar Mabuk. "Paman, jangan teruskan pertarungan ini! Berhentilah
kalian!"
Rupanya teriakan Suto Sinting tak dihiraukan oleh mereka. Terbukti
tubuh mereka saling melesat sama-sama melayang di udara dan saling berbenturan
kembali. Kali ini tangan Batuk Maragam menyala merah bara keduanya. Berkelebat
dengan cepat memainkan jurus dalam keadaan melayang, sedangkan Sumbaruni
sendiri mempunyai pedang yang juga menyala merah bara karena disaluri tenaga
dalam yang tinggi. Bau besi terbakar menyebar karena arah angin menuju ke
tempat Suto Sinting berdiri.
Ketika keduanya saling beradu kecepatan tangan dl udara menimbulkan
suara denting bergemerincing, Pendekar Mabuk menerjang dengan satu gerakan
melompat cepat ke arah mereka bagaikan angin berkelebat. Wuusss...!
Beeenggg...!
Tubuh Suto Sinting terlempar sebelum menyentuh tubuh mereka. Gelombang
tenaga dalam terpancar dari tubuh kedua tokoh yang bertarung itu. Rupanya
gelombang tenaga dalam yang terpancar itu sama-sama besar dan kuatnya,
sehingga ketika tubuh Pendekar Mabuk menerjangnya bersama bumbung tuak di
pundak kiri, kekuatan terjang Suto Sinting itu menimbulkan benturan keras
dengan gelombang tenaga dalam itu.
Byuuurrr...! Pendekar Mabuk jatuh ke lautan dalam jarak tiga tombak
dari perahunya. Bumbung tuaknya teriempar lepas dari tangan.
"Kang Sutooo...!" teriak Pande Bungkus sekuat tenaga.
Teriakan itu membuat Batuk Maragam dan Sumbaruni yang berdiri di tepian lambung
perahu setelah sama-sama tersentak mundur itu memandang dengan kaget. Mereka
sama-sama hentikan serangan dan memperhatikan arah jatuhnya Pendekar Mabuk.
"Kalian jahat! Kalian membuat Kang Suto tenggelam!" teriak
Pande Bungkus kepada Batuk Maragam dan Sumbaruni yang terengah-engah dengan
wajah ha-ngus sebelah. Mereka tetap membisu dan memandang cemas ke arah
jatuhnya bumbung bambu dan ke arah jatuhnya tubuh Pendekar Mabuk.
Mereka semakin lebih cemas lagi karena sampai sekian lama Pendekar
Mabuk tidak muncul, bumbung tuaknya pun tenggelam tak terlihat kemunculannya
lagi. Sumbaruni sempat membatin,
"Ada apa di dasar laut sana? Mengapa Suto tidak muncul lagi?
Apakah ia tenggelam atau sengaja bersembunyi di bawah sana? Tapi sudah sangat
lama ia sembunyi di sana, mampukah ia menahan napasnya selama ini?"
Batuk Maragam pun membatin, "Jangan-jangan ia tergencet celah
karang dan tak bisa keluar dari sana? Hmm...! Bumbung tuaknya terpisah darinya.
Tapi mengapa tenggelam terus? Mestinya bumbung tuak itu muncul lagi di permukaan
air. Ah, aku jadi curiga dengan nasibnya! Aku bisa celaka kalau dia benar-benar
dalam bahaya besar di sana! Gila Tuak pasti akan murka kepadaku dan aku tak
akan sanggup menandingi ilmunya Gila Tuak!"
Wajah cemas Batuk Maragam kian jelas. la bergegas ke buritan, Sumbaruni
pun ke sana. Keduanya berdiri berjajar menunggu kemunculan Pendekar
Mabuk.SAMPAI tengah malam mereka menunggu kemunculan Pendekar Mabuk dan
mencarinya berulang kali, tapi Pendekar Mabuk dan bumbung tuaknya tidak
ditemukan oieh mereka. Hampir saja Sumbaruni beradu nyawa dengan Batuk Maragam
karena saling salah-menyalahkan. Untung keduanya segera sadar bahwa
pertengkaran mulut mereka tidak membawa hasil yang diharapkan, yaitu kemunculan
Suto Sinting kembali.
"Baiklah kita akui semua ini kesalahan kita berdua!" kata
Batuk Maragam. "Sebaiknya kita pula yang ber-tanggung jawab atas hilangnya
Pendekar Mabuk!"
"Kalau sudah begini apa yang harus kita lakukan?!" tanya
Sumbaruni sambii hempaskan napas kekesalan hatinya. ia sudah berhasil sembuhkan
luka meiepuh di tangannya itu, dan luka hangus di sebagian wajahnya pun mampu
disembuhkan sendiri dengan mengerah-kan hawa murninya ke bagian yang terluka.
Bahkan atas bujukan Batuk Maragam, Sumbaruni sembuhkan Jeiita Buie dan Pesona
indah dari kelumpuhan dengan menggunakan jurus 'Lidah Mentari' yang berupa
sinar putih dari telunjuknya itu.
Hampir saja Jelita Buie marah besar mendengar Suto Sinting hilang
bagaikan tertelan ombak lautan. Untung Batuk Maragam segera berkata,
"Kalian tak perlu khawatir, tak akan disalahkan oleh Ratu Rangsang
Madu. Aku akan bicara dengannya dan bertanggung jawab atas hilangnya Tabib
Darah Tuak itu! Kalau ratu kalian mau marah, biarlah marah kepadaku!"
"Itu bisa saja diatur," kata Jelita Bule. "Tapi
bagaimana dengan nasib ratu kami yang terserang Racun Bulan Madu itu?!"
"Beliau akan kecewa sekali karena hanya darah Tabib Darah Tuak
yang diharapkan dapat menawarkan racun tersebut," timpal Pesona Indah
dengan melirik dongkol kepada Sumbaruni. "Gara-gara kau semuanya jadi kacau!"
"Aku hanya tak rela kalau ia mati!" kata Sumbaruni dengan
nada dingin.
Ada dua pihak yang kehendaki hadirnya Suto Sinting; Ratu Rangsang Madu
dan Raja Kulana Baham dari Tanah Hindus. Keduanya sama-sama membutuhkan
penyembuhan yang hanya bisa dilakukan oleh Pende-kar Mabuk. Keduanya sama- sama
mendengar nama Tabib Darah Tuak dari mulut orang-orang yang kagum kepada cara
penyembuhan Pendekar Mabuk itu. Sementara Pendekar Mabuk sendiri menolak
dirinya dikatakan sebagai tabib.
Tetapi agaknya ada pihak lain yang membantu Ratu Rangsang Madu. Pihak
lain itu tentunya punya maksud tersendiri untuk kepentingan pribadi atau
kepentingan perguruannya. Maksud tersebut tak jelas dan tak mudah dipahami,
karena Suto merasa habis mengalami masa pingsan yang panjang. Begitu sadar ia
sudah berada di depan gerbang sebuah istana megah.
"Siapa yang membawaku kemari?" pikirnya dengan heran dan
memandang ke sana-sini.
Pemandangan pagi di sebuah tempat yang asing baginya itu telah membuat
Suto Sinting seperti pemuda bodoh yang clingak-clinguk sambil garuk-garuk
kepala. la pun terkejut ketika melihat bumbung tuaknya ada di balik pohon itu,
disandarkan dalam keadaan berdiri. Padahal seingatnya ketika ia terlempar dari
perahu, bumbung tuaknya terlepas dan terlempar entah ke mana.Mata Pendekar
Mabuk terkesiap ketika memandang ke arah bangunan megah berbenteng putih dan
berpintu gerbang warna hijau muda. Bangunan itu jelas sebuah istana. Jaraknya
dengan tempat tersebut sekitar lima puluh langkah. Bangunan istana itu tampak asing
bagi Pendekar Mabuk, sehingga terdengar gumam dari mulutnya yang seolah-olah
bicara dengan diri sendiri.
"Istana Muara Singa? Oh, bukan! Istana Negeri Kencana Ringgit?
Juga bukan! Lalu aku ini ada di depan istana apa?"
Bluub...! Tiba-tiba segumpal asap berhembus dari sebuah letupan yang
terjadi di tanah samping kiri Suto Sinting. Kala itu Pendekar Mabuk baru saja
selesai menenggak tuak dan menutup bumbung bambunya. Asap itu lama-lama memudar
dan sesosok tubuh tua dengan keadaan serba putih terlihat jelas berdiri di
sana. Suto Sinting berkerut dahi dengan rasa kaget dan heran.
"Kakek serba putih...?!" ucapnya dalam hati. "Aneh.
Orang tua ini sepertinya seialu mengikutiku. Apa maksudnya?"
Kakek serba putih yang tak lain adalah Setan Merakyat, kakak dari si
Bongkok Sepuh itu, tampak sunggingkan senyum tuanya dan berjalan pelan,
tertatih-tatih dekati Pendekar Mabuk.
"Akhirnya kau sampai juga kemari, Anak Muda."
"Kaukah yang selamatkan aku dari laut dan membawanya kemari?"
tanya Suto dengan nada pelan karena masih tercekam rasa heran.
"Aku sekadar selamatkan calon muridku saja," kata Setan
Merakyat yang membuat dahi Suto kian berkerut.
"Aku tak paham maksud kata-katamu, Kakek Setan Merakyat."
"Oho, ho, ho, ho... rupanya kau sudah mengetahui namaku, Suto?"
"Ki Bongkok Sepuh atau si Setan Arak yang mem-beritahukan
namamu."
"Bagus sekali! Sudah kuduga kau akan mengetahui namaku tanpa
mendengar dari mulutku sendiri!" Setan Merakyat kian dekat, lalu pundak
Suto ditepuk-te- puknya. la memaparkan wajah bangganya.
"Maukah kau menjelaskan apa maksudmu membawaku kemari, Keek?"
"Aku membawamu kemari karena di sinilah tempat tujuan
perjalananmu."
"Maksudnya perjalanan apa?"
"Bukankah kau dan Brajamusti sedang menuju Pulau Selayang, untuk
menemui Ratu Rangsang Madu?"
"Benar. Apakah ini Negeri Malaga, tempat sang Ratu Rangsang Madu
bertakhta?" tanya Suto dengan nada bimbang. Setan Merakyat
manggut-manggut.
'Kau cerdas menyimpulkan perkataan seseorang, Anak Muda. Aku sengaja
membawamu kemari ketika kau pingsan di dalam lautan, karena aku pun inginkan
kau sembuhkan Ratu Rangsang Madu dari cekaman Racun Bulan Madu itu."
"Mengapa kau menginginkan demikian pula?"
"Ratu itu adalah anak angkatku."
"Maksudmu, Mustikasari adalah anak angkatmu?"
"Yang menjadi ratu di negeri ini sekarang bukan Mustikasari,
tetapi anaknya yang bernama Indriani Puspita Dewi."
Suto Sinting tertegun sejenak, mengingat-ingat cerita yang dituturkan
oleh Batuk Maragam tentang anak gadis Mustikasari yang dibuang itu. Bahkan
Pendekar Mabuk berani membantah kata-kata Setan Merakyat atas dasar cerita itu.
"Bukankah anak itu sudah dibuang oieh Mustikasari, dan menjadi
tugas Batuk Maragam untuk menemu-kannya kembali jika hubungan mereka ingin
berlanjut?" "Memang dibuang. Dan akulah yang menemukan anak itu, lalu
tanpa setahu siapa pun kubesarkan anak Itu di Puncak Gunung Kemuning, kudidik
sebagai muridku, namun tak sampai tamat ia sudah telanjur ingin menemui ibunya.
Ketika kuantarkan kemari, Mustikasari dalam keadaan sakit parah. Anak itu
sempat hidup bersama Ibunya selama delapan bulan. Setelah ibunya meninggal, ia
mewarisi takhta kerajaan dan diminta untuk tetap menggunakan nama Ratu Rangsang
Madu. Karena kedua perempuan itu ternyata sama-sama menyukai madu lebah hutan.
Wajah mereka tidak jauh berbeda, tapi beberapa slfatnya memang ada yang
berbeda."
Pendekar Mabuk angguk-anggukkan kepala menandakan telah mengerti
keadaan sang Ratu yang sebenarnya. Setan Merakyat kelihatan senang sekali
melihat Suto Sinting memahami ceritanya. Sedangkan Suto sendiri segera ajukan
tanya,
"Apakah Setan Arak juga mengetahui siapa Ratu yang sekarang?"
"Tidak," jawab Setan Merakyat. "Selama aku mendidik anak
itu aku tak pernah keluar dari pesanggrahan. Tak seorang pun yang tahu aku
mendidik anak itu, karena tak seorang pun yang bisa temukan diri kami di Puncak
Gunung Kemuning itu."
"Mengapa segalanya bersifat rahasia?"
"Karena aku takut adikku tersinggung dan meng-anggapku ikut campur
urusan pribadinya. Tentunya kau sudah mendengar bahwa Mustikasari hamil tanpa
suami?"
"Benar. Aku sudah mendengarnya."
"Waktu itu Setan Arak bermusuhan dengan Batuk Maragam. Jika aku
merawat anaknya Batuk Maragam maka Setan Arak akan menganggapku memihak Batuk
Maragam. Padahal hal itu kulakukan semata-mata karena kasihan kepada sang bayi.
Jadi untuk menghindari pertengkaran antara aku dengan adikku, maka terpak-sa
segalanya kulakukan secara diam-diam."
Pendekar Mabuk manggut-manggut kembali. Setan Merakyat berkata,
"Sekarang secara pribadi aku memohonmu menyembuhkan anak angkatku
itu dari keganasan Racun Bulan Madu. Jika dia takterkena Ra-cun Bulan Madu,
mungkin aku masih diam di pertapa-anku itu."
Setelah diam sesaat, Pendekar Mabuk pun berkata, "Kakek Setan
Merakyat, benarkah racun itu hanya bisa dipunahkan oleh darah tuakku?"
"Benar."
"Apakah itu akan membawa kematianku?"
"Tidak, Anak Muda. Memang pada dasarnya racun itu hanya bisa
disembuhkan oleh darahmu, tetapi se-sungguhnya bukan karena darah racun itu
menjadi ta-war, melainkan karena darahmu sudah mengandung tuak sakti, sehingga tuak
itulah yang sebenarnya menyembuhkan atau menawarkan racun tersebut. Jadi,
mereka agaknya punya salah penafslran. Bukan darahmu yang menyembuhkan sang
Ratu nantinya, melainkan tuakmu. Siapa pun orangnya yang telah pernah meminum
tuak saktimu ia akan mempunyal darah ber-jenis darah tuak. Darah mereka bisa
menawarkan racun itu jika diminum sang Ratu. Dan hanya itu kelebihan orang yang
punya darah mengandung tuak saktimu, tak bisa untuk kepentingan yang lain.
Tetapi siapa orangnya yang mau berkorban diminum darahnya agak ba-nyak walau
darahnya itu mengandung tuak racunmu. Dia akan mati."
"Jadi... sebenarnya tuakku inilah yang dlbutuhkan untuk menawarkan
Racun Bulan Madu I tu?"
" Benar! Sebaiknya pergilah sekarang juga dan te-muilah sang Ratu.
Aku tak bisa mengantarmu sampai ke istana."
"Apa sebabnya?" tanya Suto yang selalu ingln tahu.
"Aku sudah dilupakan oleh Indriani Puspita Dewi," jawabnya
dengan nada sedikit sendu. "Sejak ia menjadi ratu, ia tak pernah
menengokku, tak pernah kirlm utus-an padaku atau mengundangku untuk datang. Aku
me-rasa telah dilupakan olehnya, dan aku tak akan datang jika tidak
diundangnya."
Hati Pendekar Mabuk seketika menjadi haru, seakan ia dapat rasakan
kesedihan Setan Merakyat pada saat itu juga. Barangkali Setan Merakyat klrimkan
rasa ke kalbu sang pendekar, sehingga sang pendekar lang-siing menangis dalam
hatinya.
"Mengapa kau masih mau mempedulikan kesela-matan anak yang
melupakan dirlmu itu, Kakek Setan Merakyat?"
"Rasa kasih tidak mengenal pembalasan. Rasa kasih hanya mengenal
kasih dan sayang tanpa benci dan murka di dalamnya. Karena sifat bumi yang ada
padaku sangat menyatu dengan sifat air yang selalu ingin kucurahkan
padanya."
"Apa maksudnya sifat bumi dalam ucapanmu, Kek?"
"Bumi adalah kedamaian. Pernahkah kau melihat bumi melawanmu
ketika ia kau injak atau kau cangkuli? Bukankah bumi justru tetap memberikan
kehidupan pada saat ia dicangkuli hingga hancur?"
"Lalu sifat air yang kau maksudkan?"
"Air adalah kesejukan. la mampu memadamkan api yang ada di dalam diri
kita, yaitu api kemarahan dan api murka. Jika kesejukan dan kebeningan itu
berkuasa dalam dirimu, maka kau hanya akan mengenal kasih dan sayang yang
senantiasa ingin kau curahkan kepada setiap orang."
Pendekar Mabuk segera menunduk, sedikit membungkuk sebagai rasa hormat
atas pelajaran baru yang diterimanya diluar dugaan. la merasa bangga menerima
pelajaran tersebut, sehingga mengerti bagaimana seharusnya mengendaiikan hidup
di padang kehidupan ini. Pelajaran yang sederhana itu diterimanya sebagai pelajaran
yang amat berharga, melebihi sebuah jurus dahsyat pelebur gunung.
"Manusia adalah bagian dari keempat sifat; bumi, air, angin, dan
api. Jika sifat api dan angin lebih besar, maka kau akan dikuasai oieh tindak
angkara murka yang membahayakan bagi kepentingan hidupmu mau-pun kepentingan
orang lain. Hendaknya memang keempat sifat Itu tumbuh dalam jiwamu secara
bersama-an, karena manusia yang kehiiangan sifat apinya, ia tidak mampu
mempertahankan kehidupannya. Di dalam api itu ada kehidupan, tapi di dalam
kehidupan Itu ter-dapat banyak ragam api yang membahayakan jika tidak
terkendali secara baik."
"Terima kasih atas wejanganmu, Kakek Setan Merakyat! Seperti mimpi
aku menerima wejangan yang amat berharga seperti ini," tutur Suto penuh
hormat.
"Apakah gurumu tak pernah menjabarkan makna keempat unsur dalam
diri kita itu, Anak Muda?"
"Tidak segamblang ini, Kakek Setan Merakyat!"
"Barangkali Gila Tuak belum sempat menjabarkan secara gamblang
tapi kau sudah lebih dulu turun gunung menembus belantara kehidupan," kata
Setan Merakyat dengan sikap menutupi keiemahan gurunya Suto Sinting. Dan sikap
itu pun mendapat pujian di hati sang murid.
Pendekar Mabuk akhirnya melangkah menuju istana Malaga. Seorang penjaga
gerbang mengantarkan Pendekar Mabuk sampai ke serambi istana. Dari sana Suto
diantar memasuki bangsal pertemuan setelah seorang pengawal lainnya
memberitahukan kedatangan Suto Sinting kepada sang Ratu.
Rasa risi menggeluti hati.Suto Sinting ketika menunggu kemunculan sang
Ratu, karena para pengawal maupun pelayan istana yang pada umumnya terdiri dari
gadis-gadis cantik itu saling membisikkan kata kepada temannya, memandangi Suto
Sinting sambii berkasak-kusuk cekikikan. Bahkan ada yang tertawa lepas hingga
mengundang perhatian Suto Sinting untuk menoleh kepadanya, dan prajurit
pengawai istana itu menjadi malu, menyembunyikan wajahnya di punggung teman
sendiri.
"Apakah kau tidak datang bersama Jelita Bule dan Pesona
Indah?" tanya seorang pengawal istana yang bertugas menerima setiap tamu
sebelum Ratu mene- mui tamu tersebut.
"Tidak. Pada mulanya aku bersama mereka, tapi kami berpisah di
perjalanan."
"Mengapa?"
"Aku bergerak lebih cepat dari mereka berdua," jawab Suto
menutupi keadaan yang bisa membuat orang-orang istana Malaga akan marah jika
disebutkan tentang rintangan yang datang dari Sumbaruni.
Seorang wanita cantik berusja sekitar dua puluh deiapan tahun, berwajah
bulat telur tapi bermata sayu menggemaskan, muncul dari salah satusisi. Wanita
itulah yang bernama Ratu Rangsang Madu atau Indriani Puspita Oewi. Tak heran
jika para pejabat istana dan para pengawal lainnya segera menghaturkan sembah
kepada si cantik bermahkota emas.
Suto Sinting lupa tak memberikan hormat karena terpukau memandang
penampilan sang Ratu yang melebihl para prajurit atau pengawalnya. Jika para
pengawalnya berpakaian seperti Jelita Bule dan Pesona Indah, maka sang Ratu
lebih tipis lagi pakaiannya.
"Bisa mati kehabisan getaran jantung jika aku terlalu lama ada di
sini," pikir Pendekar Mabuk dengan mata tak berkedip.
Sang Ratu berambut putih perak, lembut, dan halus. la mengenakan jubah
hijau muda tertutup depan beiakang, tapi sangat tipis hingga bagian dalamnya
terlihat jelas-jelas. Padahal bagian dalamnya hanya ditutup dengan kain
secukupnya saja dari bahan kain emas. Dadany a mempunyai bentuk yang amat
bagus, dan kain emas menutup hanya di ujung-ujungnya saja.
Demikian pula bagian bawahnya hanya tertutup kain emas secukupnya.
Sangat kecil penutup itu, dan dihubungkan dengan tali benang emas yang juga
tipis serta kecil. Padahal kulit tubuhnya putih mulus tanpa cacat dan mempunyai
bentuk yang gempal tapi indah, mem-bangkitkan hasrat setiap lelaki yang
memandangnya, termasuk Suto.
Karenanya Suto Sinting segera menyadari sikapnya dan tak berani terlalu
sering memandang sang Ratu, sebab jubah hijau tipis itu mempunyai belahan
setinggi hampir mencapai pinggul. Bila duduk, belahan kain itu menylngkap dan
tampaklah paha yang dapat membuat kepala Suto menjadi berkunang-kunang. Sang
Ratu sendiri sebenarnya dapat membawa diri sehingga tampH dengan tenang, penuh
kharisma dan cahaya anggun yang memukau. Lehernya yang jenjang dan berkulit
putih itu mengenakan kalung batuan ber-warna bening dalam bentuk seperti
tetesan air. Ukuran batu bening itu sebesar ujung jarinya.
Batu itu bernama Batu Combong Raos. Warnanya bisa berubah-ubah
tergantung perasaan si pemakainya. Kali Ini batu itu berwarna hijau, menandakan
perasaan tertarik atau kasmaran bagi hati sang Ratu. Jika batu itu berwarna
putih, berarti perasaan sang Ratu tenteram atau bahagia. Jika batu itu berubah
warna biru, menandakan sang Ratu sedang sedih hatinya. Warna merah, sedang
memendam kemarahan dalam hatinya.
Dalam beberapa saat setelah sang Ratu pandangi Suto Sinting, batuan itu
berubah warna dari hijau menjadi ungu. Menurut cerita Setan Merakyat sebelum
me- lepas kepergian Suto Sinting ke istana, jika batuan itu berwarna ungu, Suto
harus cepat-cepat aiihkan pandangan matanya, sebab warna ungu menandakan hati
sang Ratu sedang dicekam rasa bergairah ingin bercumbu. Tatapan mata sang Ratu
dapat meluluhkan hati lelaki sekeras apa pun, jadi harus segera dihindari.
Karenanya Suto Sinting buru-buru tundukkan pandang-annya, menatap bagian kaki
indah sang Ratu yang mengenakan gelang kaki dari emas murni.
"Benarkah kau datang tanpa bersama Jelita Bule dan Pesona Indah,
Pendekar Mabuk?" tanya sang Ratu dengan suara sedikit serak, bagai suara
pemancing gairah lelaki.
"Benar," jawab Suto seraya memandangi wajah-wajah para
pengawal dan pejabat istana yang mengelilinginya. "Aku datang tanpa mereka.
Karena aku merasa ada orang yang sangat membutuhkan diriku. Aku harus cepat
tiba di sini."
"Aku tak menyangka kalau kau mempunyai perasaan setajam itu,
Pendekar Mabuk," kata sang Ratu. "Hanya saja, aku ingin tahu
bagaimana caramu bisa sampai ke pulau ini dan langsung tiba di istanaku?"
"Seseorang memanduku datang kemari."
"Siapa orang tersebut?"
"Tokoh berusia lanjut yang sangat sayang kepadamu dan mendesakku
agar cepat lakukan penyembuhan terhadap dirimu, Ratu."
Ratu Rangsang Madu yang memang pantas mempunyai nama itu, segera
berkerut dahi mencari jawaban yang pasti. Tetapi karena ia tak punya jawaban
yang pasti tentang seseorang yang amat sayang padanya itu, maka ia pun ajukan
tanya,
"Siapa orang yang sayang sekali kepadaku itu?"
"Orang yang sayang kepadamu adalah orang yang membuatku menjadi
mau mengorbankan apa saja demi kesembuhanmu, demi melepaskan dirimu dari Racun
Bulan Madu yang berbahaya itu."
"Sebutkan siapa orangnya!" sang Ratu tak sabar, sehingga
warna batunya berubah menjadi merah samar-samar.
Suto Sinting baru berani menatap karena batu sudah berubah merah samar-
samar. Lalu dengan tegas ia berkata,
"Aku ingin kau mengingat dan mengenang seseorang yang amat berjasa
dalam hidupmu. Jika kau tidak mengingatnya, aku tidak akan melakukan penyembuhan
apa-apa pada dirimu, Indriani Puspita Dewil"
Ratu Rangsang Madu terkejut mendengar nama aslinya disebutkan oieh Suto
Sinting. Seketika itu pula ia terbayang wajah tua seseorang yang berambut putih
dan tinggal di Puncak Gunung Kemuning. Batu yang menjadi hiasan kalungnya itu
berubah warna menjadi biru, menandakan hati sang Ratu sedang sedih.
"Bapa Guru Murdawira? Alias... si Setan Merakyat?"
"Kurasa ingatan seorang anak angkat masih cukup tajam untuk
mengenang nama ayah angkatnya."
"Ya...," jawab sang Ratu semakin duka hatinya karena batu di
kalungnya semakin berwarna biru.
"Aku... aku selama ini memang telah melupakan beliau. Tak pernah
kirim kabar atau menjenguknya. Lalu... lalu di mana beliau?"
"Ada di luar, jauh dari gerbang istana."
"Mengapa tidak kau ajak datang bersamamu kemari?"
"Ki Setan Merakyat tak mau datang sebelum kau mengundangnya."
Ratu Rangsang Madu segera tarik napas, lalu memandang kepada
pengawalnya dan ucapkan perintah, "Cari orang berambut putih dan
berpakaian serba putih. Bawa beliau kemari, pergunakan tandu emas untuk
menjemput beliau!"
Suto Sinting pun ikut hempaskan napas sebagai kelegaan dan rasa senang
melihat sikap sesal sang Ratu. Ketika para pengawal pergi tunaikan tugas, sang
Ratu pun berkata kepada Suto Sinting dengan mata kian sayu.
"Aku lalai. Aku memang salah. Kupikir Bapa Guru tidak mau
menikmati kehidupan di istana yang masih bersifat duniawi ini. Aku tak pikirkan
bahwa undangan-ku memang tak terlalu penting, tapi kehadiranku men-jenguk
beliau di Puncak Gunung Kemuning adalah se-suatu yang amat berharga dalam hidup
beliau."
"Aku bersyukur dan merasa senang melihat penye-salanmu. Kurasa
memang sudah waktunya aku melihat kau tersenyum menyambut kedatangan Ki Setan
Merakyat itu, Ratu Rangsang Madu."
"Barangkali untuk awalnya aku perlu tersenyum padamu sebagai
ucapan terima kasih atas teguran halusmu tadi, Tabib Darah Tuak," ujarnya
sambil menyunggingkan senyum dan Suto Sinting membalas dengan senyumannya yang
biasa membuat hati wanita berdebar-debar itu. Terbukti batu di kalung sang Ratu
berubah warna menjadi hijau kembali, sebagai lambang hati yang kasmaran.
"Ah, kenapa hatiku menjadi gundah dalam keindahan?" pikir
Suto Sinting. "Mungkinkah karena aku telah memandang sorot matanya dalam
keadaan ia sedang tersenyum? Celaka! Kalau sampai aku terpikat pada-nya, lalu
mau dikemanakan calon istriku tercinta Dyah Sariningrum itu?"
Seorang pengawal gerbang datang menghadap dengan terburu-buru.
Telinganya terpotong satu, darah pun bercucuran dari luka tersebut. Tentu saja
kehadiran pengawal itu mengejutkan mereka yang tergabung dalam ruang pertemuan.
Sang Ratu pun terperanjat te-gang walau sikapnya tetap tenang.
"Gusti Ratu... orang gila itu datang lagi dan mende-sak masuk
kemari!" ujar si pengawal yang menahan rasa sakit akibat telinganya
terpotong itu.
"Orang gila siapa maksudmu?!"
"Nyai Sunti Rahim."
Pendekar Mabuk terperanjat lagi. Sang Ratu segera bangkit berdiri dan
serukan perintah kepada para pengawal pilihannya, "Tangkap dia hidup atau
mati! Ja-ngan biarkan lolos lagi!"
"Biar aku yang menghadapinya!" sahut Suto Sinting.
"Jangan korbankan rakyat dan prajuritmu terlalu banyak untuk menghadapi
orang itu."
Kalung itu berubah warna menjadi merah. Mata Ratu Rangsang Madu
memandang Suto dengan berbagai perasaan tak menentu, sedangkan Pendekar Mabuk
segera berkata sambil menatapnya lekat-lekat,
"Izinkan aku menghadapinya!"
" Baik. Kuizinkan!"
menunggu lebih lama lagi, Suto Sinting segera melesat keluar dari
paseban dan tahu-tahu sudah ada di luar benteng istana. Padahal pintu gerbang
dalam keadaan tertutup rapat, hanya beberapa prajurit yang berhamburan keluar
menahan amukan Nyai Sunti Rahim, setelah mereka berhamburan keluar gerbang
ditutup kembali. Tapi ternyata Pendekar Mabuk bisa lekas sampai luar gerbang, karena
tak seorang pun melihat gerakan Pendekar Mabuk melompati tembok benteng,
melintas di atas kepala penjaga di sana.
Ratu Rangsang Madu menjadi cemas.
"Seharusnya ia tidak kuizinkan menghadapi Nyai Sunti Rahim.
Seharusnya kutahan tabib itu agar tak terjadi apa-apa pada dirinya," pikir
sang Ratu. "Jika ia sampai mati melawan Sunti Rahim, lalu bagaimana dengan
racun yang mengancamku setiap malam ini?"
Lalu ia berseru, "Pengawal, dampingi aku keluar untuk membantu
Tabib Darah Tuak agar tak celaka melawan Sunti Rahim!"
Kehadiran Suto Sinting ditandai dengan terlepasnya tenaga dalam dari
jurus 'Jari Guntur' yang membuat Nyai Sunti Rahim terpelanting berjungkir balik
ke belakang pada saat hendak lepaskan serangannya kepada dua prajurit.
Beehg...! Wuuurrt...! Brrukk...!
Nyai Sunti Rahim tak sempat jaga keseimbangan tubuh sehingga ia jatuh
bersimpuh. Melihat hal itu para prajurit menjadi heran. Tapi segera menyingkir
setelah mereka meiihat Pendekar Mabuk yang mereka kenal sebagai Tabib Darah
Tuak muncul dengan gagahnya. Sepuluh prajurit yang mengepung Nyai Sunti Rahim
segera melebarkan kepungannya. Mereka tetap berjaga-jaga dengan senjata
masing-masing di tangan.
Nyai Sunti Rahim yang masih kelihatan cantik dan mungil itu segera
bangkit dari jatuhnya. la sunggingkan senyum tipis begitu meiihat Suto Sinting
tampil sebagai lawan tandingnya. Pendekar Mabuk menghadapi dengan tenang,
bahkan sempat menenggak tuaknya beberapa teguk.
"Sudah kuduga kau ada di sini, karena kucium bau darah tuakmu,
Suto!" ucap Nyai Sunti Rahim sambii hentikan langkah dalam jarak enam
tindak di depan Suto Sinting.
"Kudengar kau telah mati masuk ke jurang karena melawan
Brajamusti, Nyai!" kata Suto dengan kalem, senyumnya membayang tipis di
wajah membuat beberapa prajurit pengepung merasa kagum atas ketenangan sikap
Suto dalam menghadapi lawan yang mereka anggap sangat berbahaya itu.
"Kau kira Brajamusti mampu tumbangkan diriku? Hemm...!" Nyai
Sunti Rahim mencibir angkuh. "Brajamusti bukan orang tandinganku. Dengan
tipuan penyelamat diri seperti itu saja ia sudah terkecoh olehku!"
"Barangkali akulah orang yang menjadi tandingan-mu jika kau masih
nekat mengacau kehidupan di Pulau Selayang ini, Nyai. Tapi kita bisa menjadi
sahabat jika kau mau tinggalkan sikap angkaramurkamu itu!"
"Bocah kemarin sore sudah berani menasihati orang tua?! Hmm...!
Agaknya kau perlu dihajar agar tahu adat bicara dengan orang tua, Suto Sinting!
Hiah!"
Sentakan cepat terjadi pada tangan kiri Nyai Sunti Rahim yang ada di
samping. Tangan kiri itu menyentak pendek, tapi hasilkan gelombang tenaga dalam
jarak jauh yang tak diduga-duga oieh Pendekar Mabuk. Wuuss...! Beeehg...!
Suto Sinting teriempar melambung ke atas. Keseimbangan tubuhnya nyaris
hilang karena sentakan itb amat mengejutkan dan perut Suto menjadi mual ingin
muntah. Tapi Pendekar Mabuk cepat kuasai diri ketika tubuhnya bergerak turun,
sehingga ia mampu menangkis pukuian kedua dari Nyai Sunti Rahim yang keluar
dari telapak tangan kanan berupa sinar hijau lurus. Claaap...!
Traakk...! Sinar hijau kenai bumbung tuak, memantul balik lebih cepat
dan lebih besar, sehingga Nyai Sunti Rahim terkejut dan berjumpalitan
meninggalkan tempatnya berpijak.
Daarrr...! Sinar itu menghantam tanah, tanah menyembur ke atas dan
membentuk lubang besar berwarna hitam dan mengepulkan asap putih tebal. Suto
Sinting segera kejar Nyai Sunti Rahim dengan lompatan secepat kilat. Ziaap...!
Tapi pada saat itu rupanya Nyai Sunti Rahim juga gunakan gerakan cepatnya untuk
menerjang Pendekar Mabuk. Slaapp...! Breess...! Mereka bertabrakan di udara.
Keduanya sama-sama terpental ke belakang dan saling jatuh tanpa keseimbangan
ba-dan. Namun dalam sekejap keduanya sama-sama berdiri lagi.
Nyai Sunti Rahim sunggingkan senyum sinis sambil berkata,
"Pulanglah, Nak. Tak perlu kau tawarkan racun itu karena bukan
urusanmu!"
"Urusanku adalah urusan perdamaian. Jika kau mau berdamai aku pun
akan meninggalkan tempat ini, Nyai!''
"Kau akan kehilangan masa depan jika tetap ngotot melawanku!"
"Aku sudah siap kehilangan apa saja demi membela kebenaran!" ujar
Pendekar Mabuk dengan kalem namun bernada tegas.
"Apakah kau tak melihat di dadamu telah membekas dua totokan jari
tanganku yang menghitam itu? Sebentar lagi kau pun akan terkena Racun Bulan
Madu, Suto! Rasakanlah akibatnya setelah matahari terbenam," sambil senyum
sinisnya diperlebar sedikit.
Suto Sinting sedikit terperanjat ketika melihat bekas totokan dua jari
di dada kirinya yang menghitam,agak kebiru-biruan. Berarti pada waktu
berbenturan di udara tadi Nyai Sunti Rahim berhasil totokkan dua Jarinya ke
dada Suto dan totokan itu mengandung Racun Bulan Madu. Tapi Suto Sinting tak
terlalu cemas karena sudah mengetahui penangkal racun itu. Kini Pendekar Mabuk
berkata,
"Aku tak pernah gentar dengan racun apa pun yang kau miliki, Nyai
Sunti Rahim. Tapi perhatikaniah dirimu sendiri yang sebentar lagi akan membusuk
karena pukulanku yang membekas di tengah dadamu itul"
Nyai Sunti Rahim segera memperhatikan dadanya. Ternyata kain penutup
dada montoknya bolong dan membekas bentuk telapak tangan. Bekas telapak tangan
itu terlihat membiru legam di permukaan kulit dada, tepat di pertengahan
gumpalan besarnya, Nyai Sunti Rahim jelas-jelas terbelalak kaget karena ia tak
merasakan pukulan tersebut, tahu-tahu membekas sehebat itu.
"Kurang ajar!" geram Nyai Sunti Rahim dengan ke-marahan yang
meluap. "Dasar murid binal Bidadari Jalang! Kulumatkan seluruh tubuhmu
sekarang juga! Heaaah...!"
...! Kaki Nyai Sunti Rahim menghentak bumi, dan dari matanya keluar
beberapa jarum beracun yang mampu menghancurkan batu karang dan sangat
berbahaya bagi nyawa manusia. Jarum itu jumlahnya lebih dari sepuluh batang.
Menerjang ke arah Pendekar Mabuk secara bersamaan. Zraab...! Pada waktu itu
Pendekar Mabuk baru saja menenggak tuaknya. Begitu melihat jarum-jarum itu
menyerangnya, langsung tuak dalam mulut disemburkan sambil tubuhnya melenting
ke atas dan melampaui ketinggian jarum-jarum itu.
Brruusss...!
Tar, tar, tar, pletar, traak... taar... tar, taaar...!
Jarum-jarum itu saling meletus hingga timbulkan suara berisik karena terkena
semburan tuak Pendekar Mabuk. Hal itu membuat Nyai Sunti Rahim semakin jengkel,
maka dilepaskanlah pukuian berbahaya yanng mampu membuat tubuh manusia hilang
lenyap seketika jika terkena sinar merah yang melebar dari atas ke ba-wah.
Wuuuttt...! Slaaapp...!
Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus pukuian 'Guntur Perkasa' yang
mampu menembus dan sekaligus memadamkan sinar merah lebar itu. Claapp...!
Weerrb! Sinar hijau dari tangan Suto Sinting itu berkelebat menghantam dada
Nyai Sunti Rahim walau sudah memadamkan sinar merahnya lawan. Blaarrr...! Suara
gelegar aneh terdengar bagaikan kilat mengamuk dalam pelariannya.
Pukulan itu tak bisa dihindari lagi oieh Nyai Sunti Rahim, sehingga
perempuan itu diam mematung di tempat. Wajah dan beberapa tubuhnya tampak
menghitam, yang lainnya kelihatan biru legam. la jatuh terkulai lemas dalam
keadaan bersimpuh. Lama-lama jatuh terpuruk tak berdaya lagi. Kian lama bau
busuk pun menyebar dan tubuh Nyai Sunti Rahim pun mulai ditumbuhi beiatung
sebagai tanda bahwa tubuh itu cepat menjadi busuk dan tak bernyawa.
Para pengepung bersorak serentak sebagai tanda kemenangan di pihak
pendekar tampan itu. Pintu gerbang pun dibuka, dan beberapa prajurit, pejabat,
dan pengawal istana menghambur keluar menyambut kemenangan Pendekar Mabuk. Ratu
Rangsang Madu sendiri ikut keluar dengan wajah ceria dan kebanggaan yang tiada
tara. Batuan di kalungnya berwarna putih, menandakan hatinya sedang senang atau
bahagia.
"Terima kasih, kau sungguh telah berbuat sesuatu yang amat besar
bagi kehidupanku," kata sang Ratu setelah Pendekar Mabuk mengajarinya
meneguk tuak dari bumbung. Walau sempat terbatuk-batuk, dan ditertawakan para
abdinya, tapi sang Ratu merasakan kelegaan yang damai karena yakin bahwa Racun
Bulan Madu akan lenyap dalam beberapa waktu lagi.
"Aku tak tahu harus bagaimana membalas jasamu, Tabib Darah
Tuak!"
"Balaslah dengan bersikap baik kepada orang yang sedang diusung
dengan tandu emas dan menuju kemari itu," kata Pendekar Mabuk seraya
menunjuk ke arah selatan. Ternyata para pengusung tandu emas telah berhasil
temukan Setan Merakyat dan sedang membawanya mendekati sang Ratu yang masih ada
di depan pintu gerbang.
Ratu Rangsang Madu langsung bersujud di depan Setan Merakyat dengan air
matanya berlinang sebagai tanda penyesalan dan duka. Tak berapa lama kemudian
duka mengalir itu harus ditahan dan disimpan oleh sang Ratu, karena dari arah
pantai muncul empat orang berlari-lari mendekatinya. Mereka adalah Jelita Bule,
Pesona Indah, Batuk Maragam, dan Pande Bungkus. Di belakangnya melesat sesosok
tubuh yang melintasi mereka dan lebih dulu tiba di samping Suto. Orang itu
adalah Sumbaruni yang segera berkata,
"Syukurlah kau selamat! Hampir saja aku mati kekeringan air mata
karena kupikir kau mati tenggelam di lautan."
Pande Bungkus yang terheran-heran meiihat Suto sudah sampai di situ
lebih dulu hanya bisa terbengong memandangi Suto, lalu berbisik,
"Kapan kau bertarung dengan Syakuntala, Kang? Sebaiknya biar aku
saja yang melawannya! "
Suto hanya tersenyum geli dan menepuk-nepuk pundak anak muda polos itu.
SELESAI
Selanjutnya : RACUN GUGAH JANTAN
PENDEKAR MABUK
Emoticon