Pendekar Rajawali Sakti 97 - Malaikat Pencabut Nyawa(2)

LIMA
Rangga benar-benar menyesal dengan membiarkan Malaikat Pencabut Nyawa melarikan diri. Padahal, bisa saja orang itu dikejarnya tadi. Tapi semua penyesalan itu tidak ada gunanya lagi. Dan entah, berapa orang lagi yang akan menjadi korban kebiadaban Malaikat Pencabut Nyawa.

Semua orang di Desa Granggang ini diliputi kecemasan. Mereka takut kalau-kalau pembantai biadab itu datang lagi dan menghabisi nyawa mereka. Kini, Malaikat Pencabut Nyawa tidak pilih-pilih lagi. Siapa saja yang berusaha menghalangi, tidak ada ampun lagi. Sejak kematian Ki Rampat, sudah tiga orang Tetua Desa Granggang yang tewas secara beruntun dan mengerikan.

Bukan mereka saja yang terbunuh, tapi seluruh keluarga dan murid-murid juga terbantai. Dan sekarang, tinggal Ki Adong saja yang masih hidup bersama Ki Langkas. Sedangkan gerakan yang dilakukan Malaikat Pencabut Nyawa benar-benar sulit diduga. Tidak ada yang bisa menduga, kapan kemunculannya, dan kapan pula perginya. Gerakannya bagaikan hantu yang bisa saja muncul tanpa menghiraukan waktu dan keadaan.

Hal ini tentu saja membuat Ki Langkas semakin bertambah berang. Sementara Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Anjir yang berada di desa itu juga tidak bisa berbuat banyak. Tidak ada seorang pun yang tahu, di mana tempat persembunyian si Malaikat Pencabut Nyawa, jika tidak muncul ke desa ini, yang semakin dicekam ketakutan.

“Tindakannya seperti orang yang sedang membalas dendam...,” gumam Rangga, ketika sedang duduk seorang diri di halaman belakang rumah Ki Langkas.

Sejak pertarungannya dengan Malaikat Pencabut Nyawa malam itu, Rangga terlihat lebih sering menyendiri. Dia berusaha mencari tahu latar belakang tindakan brutal si Malaikat Pencabut Nyawa itu.

“Aku juga menduga begitu, Kakang....”

“Eh...?!”

Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari belakangnya. Cepat kepalanya diputar berpaling. Sungguh tidak diketahuinya kalau ada seorang gadis cantik sudah berdiri dekat sekali di belakangnya, yang memang Intan, putri satu-satunya Ki Langkas.

“Boleh aku menemanimu...?” pinta Intan lembut.

Rangga hanya tersenyum saja, lalu menggeser duduknya sedikit. Intan mengambil tempat agak jauh di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti. Halaman belakang rumah Ki Langkas memang cukup besar. Di situ juga ada beberapa buah bangku panjang dari bambu.

“Maaf, tadi aku mengejutkanmu,” ucap Intan.

“Ah, tidak...,” sahut Rangga seraya tersenyum, membalas senyuman manis gadis itu.

“Aku juga tadi menyebutmu Kakang. Boleh...?”

“Sama sekali aku tidak keberatan. Aku senang kalau kau mau memanggilku begitu,” sambut Rangga terbuka.

“Terima kasih,” ucap Intan seraya tersenyum.

Begitu manis senyumnya. Tapi Rangga tidak sempat lagi memperhatikan. Pandangannya sudah tertuju lurus ke depan, memperhatikan kupu-kupu yang bermain-main di antara kelopak bunga. Intan juga mengarahkan pandangan ke sana. Entah, kenapa dia jadi tersenyum sendiri.

“Aku dengar, kau sempat bertarung melawan Malaikat Pencabut Nyawa. Benar, Kakang...?” ujar Intan lagi, setelah beberapa saat terdiam.

Rangga hanya mengangguk saja sedikit.

“Seperti apa rupanya? Apakah wajahnya mengerikan seperti setan, Kakang...?” tanya Intan lagi.

“Tampan, seperti bayi yang baru lahir dan tidak punya dosa sama sekali,” sahut Rangga seadanya.

“Kepandaiannya juga tinggi?” tanya Intan lagi.

Lagi-lagi Rangga hanya mengangguk saja sedikit.

“Aku jadi penasaran. Seperti apa sih dia...,” desis Intan seperti bicara pada diri sendiri.

“Kau akan tahu nanti, kalau dia sudah tertangkap,” sahut Rangga pelan.

“Justru itu, Kakang. Aku ingin tanganku sendiri yang menangkapnya. Bahkan kalau perlu memenggal kepalanya, untuk membayar nyawa paman-pamanku,” agak terdengar geram nada suara Intan.

“Dia bukan orang sembarangan, Intan. Kepandaiannya sangat tinggi. Aku sendiri tidak yakin, apakah mampu menghadapinya atau tidak. Bahkan mereka yang menjadi korbannya, bukanlah orang-orang sembarangan. Kepandaian mereka sangat tinggi. Dengan demikian dia pasti memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi lagi daripada para korbannya,” kata Rangga mencoba menjelaskan keadaan sebenarnya yang sedang terjadi.

“Setinggi apa pun tingkat kepandaiannya, pasti ada kelemahannya juga, Kakang.”

“Yahhh, memang...,” sahut Rangga mendesah.

“Hm...,” Intan menggumam kecil.

Rangga kini terdiam. Pandangannya terus tertuju ke depan. Gadis yang duduk di sebelahnya juga membisu. Dipandanginya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Entah kenapa, jantungnya jadi berdetak kencang begitu bertemu pandang, setelah Rangga berpaling. Intan buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain, seakan tidak sanggup menerima sorotan mata Pendekar Rajawali Sakti yang sebenarnya terasa begitu lembut. Tapi hal itu justru membuat jantungnya berdetak kencang tak terkendalikan.

“Kakang! Tadi kau mengatakan kalau perbuatannya dilandasi rasa balas dendam. Aku juga berpikir begitu,” kata Intan, untuk menghilangkan gemuruh di dadanya.

“Ini baru dugaan saja, Intan.”

“Tapi ayah tidak mau menerima, Kakang. Aku sudah mengatakannya, malah ayah membentakku dan mengatakan kalau ini bukan urusanku.”

“Ayahmu benar, Intan. Memang sebaiknya kau jangan ikut campur dalam persoalan ini. Tapi....”

“Tapi kenapa, Kakang?”

“Kira-kira, apa yang membuat rasa dendam pada dirinya...?” suara Rangga terdengar menggumam, seperti bertanya pada diri sendiri. Intan hanya membisu saja. Dia sendiri tidak tahu, apa yang menjadi pangkal semua persoalan ini. Sedangkan dia sendiri belum tahu, seperti apa orang yang berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa yang telah menggemparkan Desa Granggang ini, hingga terus-menerus dicekam rasa ketakutan.

“Aku tahu jawabannya, Kakang...!” sentak Intan tiba-tiba.

“Oh, ya...?!” Rangga jadi tersentak kaget. “Apa...?”

“Jawabannya ada pada Ki Anjir.”

“Heh...?! Kenapa begitu?”

“Tanyakan saja padanya, Kakang. Aku yakin, Ki Anjir pasti lebih tahu.”

“Hm....”

Rangga melihat kalau Intan mempunyai otak cerdas. Gadis itu seperti bisa melihat sesuatu yang tidak pernah terpikirkan orang lain. Dan pembicaraannya bersama Intan sore ini di halaman belakang rumahnya, membuat Rangga jadi berpikir keras. Sedangkan Intan sendiri kelihatan tersenyum-senyum, seperti sedang menguji kecerdasan otak Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau sama saja seperti ayah, Kakang. Terlalu memusatkan perhatian pada si Malaikat Pencabut Nyawa, tapi tidak mau melirik sedikit pada hal-hal yang kelihatannya kecil. Padahal, dari sesuatu yang kecil itu bisa didapat yang lebih besar lagi,” kata Intan seperti mengejek.

“Aku benar-benar tidak mengerti maksudmu, Intan,” ujar Rangga berterus-terang.

“Sungguh...?” Intan seperti bermain-main.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja. Pendekar Rajawali Sakti memang benar-benar tidak mengerti semua yang dikatakan gadis itu. Kata-ka-tanya seperti tengah memberi persoalan baru yang tidak kalah rumitnya. Dan Intan malah tersenyum lebar, namun begitu manis.

“Katakan, Intan. Apa maksudmu...?” pinta Rangga.

“Heran.... Padahal, Ki Anjir mengatakannya di depanmu dan yang lainnya. Juga, ayah. Tapi, kenapa tidak ada yang bisa memahami...? Sedangkan aku yang hanya mendengar dari cerita Paman Adong saja, sudah bisa tahu,” ujar Intan masih bermain-main.

“Apa yang dikatakan Ki Anjir?” tanya Rangga ingin tahu.

“Kau tidak ingat apa yang dikatakannya, Kakang...?”

Rangga menggelengkan kepala saja.

“Waktu pertama kali ayah menemuimu dan Ki Anjir di perbatasan desa, dan setelah kau berada di sini bersama Ki Anjir. Pasti kau ingat, apa yang dikatakannya,” kata Intan lagi.

Rangga terdiam merenung. Keningnya terlihat berkerut cukup dalam, berusaha mengingat-ingat perkataan Ki Anjir, dan yang sudah didengarnya. Sesat kemudian, Pendekar Rajawali Sakti menatap tajam wajah Intan. Maka gadis itu jadi tersipu, dan cepat-cepat memalingkan wajahnya yang tiba-tiba saja jadi memerah. Saat itu terdengar suara ayunan langkah kaki yang ringan sekali. Rangga memalingkan wajah perlahan-lahan, dan segera berdiri begitu melihat Ki Langkas datang menghampiri bersama Ki Anjir dan Pandan Wangi. Rangga juga cepat-cepat berdiri, setelah mengetahui ada yang datang.

“Kakang, Ki Anjir sudah menemukan tempat persembunyian si Malaikat Pencabut Nyawa,” kata Pandan Wangi langsung memberi tahu, begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.

“Oh, ya...? Di mana...?” tanya Rangga agak terkejut.

“Sebelah timur dari desa ini. Adanya di dalam hutan, masuk ke dalam lembah kecil,” sahut Ki Anjir.

“Hm, lalu...?"

“Aku akan segera ke sana. Julak masih ada di sana mengawasi,” sahut Ki Anjir lagi.

“Tapi aku mengusulkan agar kita pergi bersama-sama, Kakang,” selak Pandan Wangi.

“Hm, ya.... Memang itu lebih bagus lagi,” sahut Rangga langsung menyetujui.

“Aku ikut..!” selak Intan cepat.

“Tidak! “ sentak Ki Langkas langsung tegas.

Intan langsung memberengut. Gadis itu tidak bisa lagi memaksa, melihat raut wajah ayahnya agak memerah dan kedua bola matanya mendelik, seperti hendak melesat keluar. Dia tahu, kalau raut wajah ayahnya sudah seperti itu, tidak mungkin lagi bisa didesak. Walaupun, dengan sikap dan rayuan manja.

“Sudah sore. Sebaiknya segera saja kita berangkat ke sana,” ujar Ki Langkas sambil melirik tajam anak gadisnya.

“Memang itu keinginanku, Ki. Aku khawatir pada Julak,” sahut Ki Anjir.

“Ayolah,” ajak Ki Langkas lagi. Tanpa bicara lagi, mereka bergegas melangkah meninggalkan halaman belakang rumah kepala desa itu.

Tinggallah Intan yang masih tetap berdiri mematung dengan wajah memberengut kesal. Ingin sekali dia ikut, tapi ayahnya sudah tegas-tegas melarang. Dan dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi, walaupun hatinya begitu kesal. 

***

Matahari terus merayap semakin tenggelam ke arah barat. Cahayanya tidak lagi terik seperti siang tadi. Ki Langkas yang mengikuti Ki Anjir yang berjalan lebih dulu. Mereka sudah cukup jauh meninggalkan Desa Granggang, dan kini menerobos hutan yang cukup lebat.

“Masih jauh tempatnya, Ki?” tanya Pandan Wangi seperti tidak sabar lagi.

“Sebentar lagi,” sahut Ki Anjir. Dan memang, tidak lama mereka berjalan, tibalah di sebuah tempat yang cukup lapang. Pepohonan tidak lagi rapat seperti tadi. Dan di sana Julak sudah menunggu bersama dua orang pemuda yang membawa senjata golok. Mereka langsung menyongsong begitu Ki Anjir datang.

“Dia masih di dalam, Julak?” tanya Ki Anjir langsung.

“Tidak ada yang keluar dari gubuk itu sejak tadi, Ki,” sahut Julak, seraya menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil yang berada di pinggir lembah.

Semua mata langsung mengarah ke gubuk itu. Memang cukup tersembunyi letaknya, karena hampir tertutup batu-batuan yang banyak berserakan di sekitar lembah kecil ini. Dan kelihatanya, tidak terlalu sulit untuk mencapai ke sana, karena hanya menyeberangi lembah yang penuh batu saja. Dan kehadiran mereka juga tidak akan terlihat dari gubuk itu, jika mendekati secara sembunyi-sembunyi dari balik batu-batu besar yang banyak terdapat di sana. Dan diam-diam, Rangga mengamati keadaan sekitar lembah itu.

“Kau tidak salah, Ki?” tanya Rangga seperti ragu-ragu.

“Bukan hanya aku saja yang melihat Malaikat Pencabut Nyawa masuk ke dalam gubuk itu. Mereka juga melihatnya,” sahut Ki Anjir seraya menunjuk Julak dan dua orang pemuda yang bersamanya.

“Benar,” sahut Julak. “Dia masuk ke sana.”

“Dan sampai sekarang, dia belum kelihatan keluar lagi,” sambung seorang pemuda yang berdiri di sebelah kanan Julak.

“Bagaimana, Rangga...?” tanya Ki Langkas.

“Aku akan melihat ke sana,” selak Ki Adong yang sejak dari rumah Ki Langkas tadi diam saja.

Tanpa menunggu jawaban lagi, laki-laki tua berjubah putih yang memang sudah berang terhadap perbuatan si Malaikat Pencabut Nyawa, langsung saja melesat cepat menghampiri gubuk kecil di seberang lembah yang ada di tengah-tengah hutan ini. Gerakannya begitu lincah dan ringan, seperti tidak terpengaruh oleh usianya yang sudah lanjut. Begitu ringannya, sehingga seakan-akan kedua kakinya tidak lagi menjejak bebatuan yang banyak tersebar di lembah ini.

Dan sebentar saja, Ki Adong sudah berada dekat di depan gubuk itu. Sementara yang lain mulai bergerak mendekati perlahan-lahan. Tampak Rangga berjalan paling depan, diikuti Ki Langkas dan Ki Anjir. Sedangkan Pandan Wangi dan yang lain mengikuti dari belakang. Suasana tegang begitu terasa menyelimuti mereka semua. Sementara, Ki Adong sudah berdiri tegak sekitar tiga batang tombak di depan gubuk kecil yang beratapkan daun-daun ilalang kering itu. Tangan kanannya sudah meraba pedangnya, walaupun belum tercabut dari warangka yang tergantung di pinggang.

“Kisanak yang ada di dalam, keluarlah...!” seru Ki Adong dengan suara keras, disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.

Suara orang tua itu bergema ke seluruh lembah ini. Tapi sedikit pun tidak terdengar jawaban, sampai suara Ki Adong lenyap dari pendengaran. Dan suasana kembali sunyi terbalut ketegangan. Sementara, Rangga sudah berada tidak seberapa jauh lagi di belakang Ki Adong. Ayunan langkah kakinya berhenti diikuti yang lainnya.

“Malaikat Pencabut Nyawa...!” Belum lagi Ki Adong selesai berteriak, tiba-tiba saja....

Wusss...!
“Heh...?!
Upts...!”

Cepat-cepat Ki Adong memiringkan tubuhnya ke kanan, begitu terlihat secercah cahaya keperakan meluncur cepat ke arahnya. Cahaya keperakan dari sebuah benda kecil berbentuk pisau lewat sedikit di samping tubuh Ki Adong, dan terus meluncur cepat ke belakangnya.

Rangga yang berada tepat di belakang orang tua itu tetap berdiri tegak, tapi tangan kirinya bergerak begitu cepat. Langsung ditangkapnya pisau bercahaya keperakan itu dengan gerakan tangan kirinya yang manis sekali. Kini, pisau yang meluncur deras dari dalam gubuk kecil tadi berhasil ditangkap dua jari tangan kiri Rangga.

“Gila...! Dia langsung main kasar!” dengus Ki Langkas yang sempat terkejut juga tadi.

“Malaikat Pencabut Nyawa...! Keluar kau! Tempat ini sudah terkepung...!” seru Ki Adong lagi, lebih keras suaranya daripada sebelumnya.

Tetap tidak terdengar jawaban sedikit pun juga. Dan beberapa saat suasana kembali sunyi, tanpa ada seorang pun yang bersuara. Bahkan mereka seperti menahan napas. Hanya Rangga saja yang kelihatannya begitu tenang. Beberapa kali diamatinya pisau kecil keperakan yang tadi berhasil ditangkapnya dengan dua jari tangan. Kemudian, dilemparkannya pisau kecil itu tidak jauh darinya.

“Biar aku yang melihat ke dalam, Ki,” pinta Rangga.

Ki Adong berpaling ke belakang sedikit. Ditatapnya Ki Langkas. Kemudian kakinya bergeser ke kanan beberapa langkah, setelah melihat anggukan kepala Ki Langkas. Rangga langsung saja melangkah ke depan, sampai melewati laki-laki tua berjubah putih yang menyandang sebilah pedang di pinggang.

Rangga terus berjalan perlahan-lahan. Ayunan kakinya ringan sekali, seakan-akan berjalan di atas permukaan tanah berbatu ini. sorot matanya terlihat begitu tajam, memandangi pintu yang tertutup rapat. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru berhenti melangkah, setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi dari pintu gubuk kecil itu.

“Hup!”

Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melompat tinggi ke udara. Lalu, dia menukik tajam sekali ke atas atap gubuk kecil, dan dengan manis sekali hinggap di atas atap. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak bersuara saat kedua kakinya menjejak atap yang terbuat dari rumput ilalang kering itu. Tapi baru saja Pendekar Rajawali Sakti menjejakkan kakinya, mendadak saja....

Brusss!
“Heh?! Hup...!”

Rangga jadi terkejut. Begitu tiba-tiba atap yang dipijaknya jebol seperti terhantam sesuatu dari bawah. Cepat tubuhnya melenting ke udara, sehingga tidak sampai terkena bagian atap yang hancur berantakan itu. Beberapa kali tubuhnya berputaran di udara, lalu manis sekali mendarat di tanah, tepat sekitar lima langkah lagi di depan pintu gubuk kecil itu.

“Hhh...!” Baru saja Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan nafasnya, mendadak....

Glarrr!
“Heh?! Hup!”

Kembali Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba gubuk di depannya meledak, memperdengarkan suara keras menggelegar. Bahkan tanah yang dipijaknya jadi bergetar bagai diguncang gempa. Secepat kilat Pendekar Rajawali Sakti melompat ke belakang, sambil berputaran beberapa kali. Kepingan-kepingan gubuk yang hancur itu bertebaran di sekitar tubuh Pendekar Rajawali Sakti. 

***
ENAM
Tampak api menyemburat membubung tinggi ke angkasa, disertai kepulan awan hitam yang begitu tebal seperti jamur. Setelah beberapa kali berputaran di udara, Rangga kembali menjejakkan kakinya di tanah dengan ringan dan indah sekali.

“Huh...!”

Rangga jadi mendengus, melihat gubuk itu sudah hancur berkeping-keping. Sungguh Pendekar Rajawali Sakti tidak tahu, apa yang menyebabkan gubuk itu jadi hancur. Untung saja tubuhnya cepat melesat ke belakang, sehingga tidak sampai terkena pecahan gubuk itu.

Bukan hanya Rangga saja yang terkejut, tapi juga mereka yang berada cukup jauh dari situ juga tersentak kaget. Mereka langsung berlarian menghampiri pemuda yang selalu mengenakan berbaju rompi putih ini.

“Apa yang terjadi, Rangga?” tanya Ki Langkas langsung, begitu dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti.

“Entahlah...,” sahut Rangga agak mendesah. “Aku sendiri tidak tahu. Tiba-tiba saja gubuk itu hancur.”

“Aneh,” desis Pandan Wangi agak menggumam.

Sementara itu, Ki Anjir dan Ki Adong sudah berada dekat dengan puing-puing reruntuhan gubuk itu. Mereka tampaknya seperti tengah mencari sesuatu di sana.

“Ke sini cepat..!” Tiba-tiba saja Ki Anjir berseru keras, sambil melambaikan tangan.

Rangga, Pandan Wangi, dan Ki Langkas bergegas menghampiri, diikuti Julak dan dua orang pemuda dari Desa Granggang. Sebentar saja, mereka sudah sampai di dekat Ki Anjir berdiri.

“Lihat...” Ki Anjir menunjuk ke depan. Tampak sebuah lempengan besi baja berbentuk bulat tergeletak di tanah, hampir tertutup kayu-kayu reruntuhan gubuk ini.

Rangga bergegas menghampiri, dan menyingkirkan kayu-kayu itu dengan kakinya. Dan setelah seluruh lempengan besi baja hitam itu terlihat tubuhnya kemudian membungkuk. Perlahan Pendekar Rajawali Sakti mulai mengangkat lempengan besi baja hitam berbentuk bundar yang ukurannya cukup besar juga. Dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat sempurna, sedikit demi sedikit lempengan besi baja hitam itu bisa digesernya.

Tampak di balik lempengan besi baja hitam itu terdapat sebuah lubang yang cukup dimasuki satu orang. Dan lubang itu kelihatannya memiliki tangga yang terbuat dari batu. Sebentar Rangga melirik yang lainnya, kemudian melangkah masuk ke dalam lubang itu. Pandan Wangi bergegas mengikuti dari belakang, disusul Ki Langkas, Ki Anjir, Ki Adong, Julak, dan dua orang pemuda dari Desa Granggang. Sebentar saja, mereka semua sudah berada di dalam lubang bawah tanah itu.

“Hati-hati, jalannya licin,” ujar Rangga memperingatkan.

Ternyata, lubang ini cukup dalam juga. Dan dari tangga-tangga batu yang dipijak, bisa dipastikan kalau bentuk lubang ini melingkar Semakin jauh masuk ke dalam, keadaannya semakin bertambah gelap. Hingga akhirnya, mereka tidak bisa melihat apa pun jua. Tapi, tidak demikian halnya Rangga. Pendekar Rajawali Sakti langsung menggunakan aji ‘Tatar Netra’, sehingga bisa melihat jelas sekali, walaupun keadaan di dalam lubang yang seperti goa ini begitu gelap.

Mereka terus berjalan perlahan-lahan meniti anak-anak tangga yang terus turun ke bawah dan berputar. Sesekali Rangga menoleh ke belakang, memastikan tidak ada yang tertinggal seorang pun juga. Pendekar Rajawali Sakti terus berjalan di depan sambil tetap mengerahkan aji ‘Tatar Netra’, dan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’.

Begitu hati-hati sikapnya. Dia khawatir, lubang ini memiliki jebakan-jebakan yang bisa saja mencelakakan mereka semua. Mereka terus bergerak tanpa ada yang bersuara sedikit pun juga. Hingga tarikan napas saja yang bisa terdengar jelas sekali. Dan setelah cukup lama berjalan, akhirnya Rangga berhenti.

“Kenapa berhenti, Kakang?” tanya Pandan Wangi, ketika hampir menabrak Pendekar Rajawali Sakti. Untung saja, Rangga cepat merentangkan tangannya ke belakang, sehingga menyentuh bagian dada Pandan Wangi yang membusung indah.

“Kau tunggu dulu di sini. Juga yang lain,” kata Rangga meminta.

Pandan Wangi hanya menganggukkan kepala saja. Rangga segera melangkah maju, dengan sikap masih terlihat hati-hati sekali. Ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sempurna dikerahkan, hingga ayunan langkah kakinya tidak terdengar sedikit pun juga.

Setelah melewati satu belokan, akhirnya Pendekar Rajawali Sakti tiba di sebuah ruangan yang sangat luas dan terang-benderang. Bagian atas ruangan itu terbuka lebar, sehingga cahaya matahari leluasa menerobos masuk ke dalam ruangan ini. Tidak ada yang bisa didapat, selain ruangan luas yang dinding-dindingnya terbuat dari tanah bercampur batu. Sedikit Rangga mendongakkan kepala ke atas. Cukup tinggi juga untuk mencapai ke atas sana, karena dibutuhkan pengerahan ilmu meringankan tubuh yang lumayan.

“Ke sini kalian...!” seru Rangga keras.

Suara Pendekar Rajawali Sakti yang keras, menggema hingga hampir menggetarkan seluruh dinding-dinding ruangan ini. Kembali Rangga mengedarkan pandang ke sekeliling, memeriksa kalau-kalau ada sesuatu di ruangan ini. Tapi, tak juga ditemukan apa-apa. Ruangan berbentuk lingkaran luas ini benar-benar kosong, seperti sebuah dasar kawah. Dan saat itu, Pandan Wangi serta yang lain sudah sampai. Mereka tampak terheran-heran begitu menyadari berada dalam sebuah ruangan luas seperti dasar kawah.

“Di mana ini...? Seperti berada dalam lubang kawah,” ujar Pandan Wangi seperti untuk diri sendiri.

Mereka semua mengedarkan pandangan ke sekeliling. Jelas, tidak ada satu pun jalan keluar. Dan satu-satunya jalan, hanya melompati bagian atas bibir kawah ini. Dan di saat mereka semua mendongakkan kepala ke atas, saat itu juga terlihat seorang pemuda berbaju putih keperakan tengah berdiri tegak di pinggiran bibir lubang besar bagai lubang kawah ini.

“Malaikat Pencabut Nyawa...,” desis Ki Anjir langsung mengenali.

“Ha ha ha...! Mampuslah kalian semua...!”

Terdengar keras sekali suara pemuda berbaju putih keperakan yang dikenali sebagai si Malaikat Pencabut Nyawa itu. Sikapnya begitu pongah. Kedua tangannya berkacak pinggang. Senyumnya terkembang lebar dan sinar matanya memancarkan kepuasan. Seakan-akan dia berhasil menjebak mereka yang berada di bawah lubang yang sangat lebar ini.

“Hiyaaa...!”

Tiba-tiba saja Malaikat Pencabut Nyawa menghentakkan tangan kanannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari telapak tangannya meluncur secercah cahaya putih keperakan yang langsung menghantam bagian dinding lubang ini.

Glarrr...!

Ledakan keras seketika terdengar bersamaan dengan hancurnya dinding lubang ini. Tampak batu-batu berguguran. Dan dari bekas hantaman pukulan jarak jauh itu, terlihat cairan merah kental yang mengeluarkan api.

“Lahar...!” desis Ki Langkas tersentak kaget setengah mati.

Bukan hanya Ki Anjir saja yang terkejut, tapi yang lain juga jadi tersentak begitu menyadari dari bagian dinding yang dijebol tadi keluar cairan lahar. Sungguh mereka baru menyadari kalau saat ini berada di bagian lubang kawah anak Gunung Granggang.

Sementara itu, Malaikat Pencabut Nyawa semakin congkak memperhatikan lahar yang terus bergerak turun. Sedangkan mereka yang berada di bawah lubang kawah ini bergegas menepi menjauhi lahar itu.

“Ha ha ha...!”

Sambil memperdengarkan tawa yang keras menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa cepat sekali melesat pergi. Dalam sekejap mata saja, pemuda itu sudah lenyap tak terlihat lagi. Sementara di dalam lubang, tidak ada seorang pun yang bisa lagi berbuat sesuatu, cairan lahar itu terus merambat semakin dekat.

“Kalian semua cepat naik ke atas batu itu...!” seru Rangga tiba-tiba, sambil menunjuk ke sebongkah batu yang cukup besar, berada agak ke tepi dari lubang kawah ini.

Tanpa menunggu perintah dua kali, mereka semua bergegas berlompatan naik ke atas batu itu. Sementara, Rangga masih tetap berdiri pada tempatnya.

“Rangga! Kenapa kau masih di situ...?” teriak Ki Langkas.

Namun Pendekar Rajawali Sakti seperti tidak mendengar teriakan kepala desa tadi. Dia tetap berdiri tegak, memandangi lahar yang terus bergerak menyemburkan api dan asap berbau belerang. Lahar itu terus merayap, bergerak perlahan-lahan semakin mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Dan sebentar kemudian, terlihat pemuda berbaju rompi putih itu mendongakkan kepala ke atas.

“Tidak ada jalan lain. Hanya Rajawali Putih yang bisa mengeluarkan kita semuanya dari sini...,” gumam Rangga perlahan. Saat itu juga....

“Suiiit...!”

Dari bibir Rangga yang membentuk bulatan kecil itu terdengar siulan yang sangat nyaring melengking tinggi. Nadanya terdengar begitu aneh, tapi sama sekali tidak menyakitkan telinga yang mendengarnya. Tindakan Pendekar Rajawali Sakti tentu saja tidak dapat dimengerti. Hanya Pandan Wangi saja yang tahu kalau Rangga sedang memanggil Rajawali Putih, seekor burung rajawali raksasa yang berbulu putih keperakan.

Cukup lama juga Rangga menunggu, tapi Rajawali Putih belum juga kelihatan bayangannya. Sementara, lahar yang keluar dari dalam lubang di dinding itu semakin dekat saja ke arah pemuda ini. Sementara bau belereng sudah menguasai seluruh lubang sumur ini. Begitu menyesakkan, membuat pernapasan jadi tersengal.

“Suiiit..!”

Kembali Rangga bersiul nyaring. Dan kali ini, siulannya terdengar lebih panjang dan lebih nyaring. Kepala Pendekar Rajawali Sakti terdongak ke atas menatap langit yang mulai menghitam kelam. Saat itu, memang malam sudah datang menyelimuti sebagian permukaan bumi ini.

“Khraaagkh...!”
“Oh...?!”
“Heh, suara apa itu...?!”

Hanya Pandan Wangi saja yang kelihatan tidak terkejut, dan tenang sekali mendengar suara keras dan serak tadi. Sementara, Rangga cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala.

“Cepat pindahkan mereka ke atas, Rajawali...!” seru Rangga keras menggelegar.

“Khraaagkh...!”

Bersamaan terdengarnya suara keras menggelegar dan serak itu, tiba-tiba saja bertiup hembusan angin yang begitu kencang. Lalu, disusul terlihatnya sebuah bayangan putih keperakan berkelebat begitu cepat. Dari angkasa. Dan belum lagi mereka bisa menghilangkan rasa keterkejutannya, tahu-tahu....

“Akh?!”
“Aaakh...!”

Tiba-tiba saja Julak dan Ki Langkas memekik keras.

“Hei...?! Ki Anjir jadi terkejut setengah mati.

Tapi belum juga bisa berbuat sesuatu. Julak dan Ki Langkas sudah lenyap tanpa dapat diketahui lagi. Namun sebentar kemudian, kembali orang tua itu jadi tersentak kaget Dua orang pemuda yang tadi bersama Julak tiba-tiba juga lenyap, bersamaan kelebatan bayangan putih keperakan yang melesat secepat kilat

“Ada apa ini...?” tanya Ki Anjir tidak mengerti.

“Sahabat Kakang Rangga sedang menyelamatkan kita semua, Ki,” jelas Pandan Wangi.

“Maksudmu...?”

Belum lagi pertanyaan Ki Anjir bisa terjawab, tiba-tiba saja terlihat sebuah bayangan putih keperakan meluncur deras dari angkasa. Dan belum juga laki-laki tua itu bisa menghilangkan keterkejutannya, mendadak saja terasa ada sesuatu yang mencengkeram kuat tubuhnya. Lalu, begitu cepat tubuhnya terangkat naik ke angkasa bersama Ki Adong. Ki Anjir dan Ki Adong sampai menjerit. Namun begitu jeritannya menghilang, bayangan putih keperakan Itu kembali meluncur turun. Dan tahu-tahu...

“Khragkh!”

“Hup!”

Tanpa menunggu waktu lagi, Rangga cepat melesat naik ke atas punggung rajawali raksasa itu. Pandan Wangi yang sejak tadi masih berdiri saja di atas batu, juga segera melompat naik tanpa disuruh lagi.

“Khraaagkh...!”
Wusss!

Hanya sekali kepak saja, Rajawali Putih sudah melambung tinggi ke angkasa dengan kecepatan bagai kilat. Dalam sekejap mata saja, burung rajawali raksasa itu sudah keluar dari dalam lubang kawah ini. Rajawali Putih terus melambung tinggi ke angkasa membawa dua pendekar muda dari Karang Setra itu.

Sementara cakarnya mencengkeram baju Ki Adong dan Ki Anjir. Tapi tidak berapa lama kemudian, rajawali raksasa itu sudah menukik kembali dengan kecepatan tinggi sekali. Sambil memperdengarkan suara keras dan serak menggelegar, Rajawali Putih mendarat ringan. Kedua sayapnya terkembang lebar ke samping. Sementara cakarnya melepaskan cengkeraman pada baju Ki Adong dan Ki Anjir. Sehingga kedua orang tua itu jatuh tersuruk, namun tidak menimbulkan rasa sakit. Hanya saja, napas mereka jadi turun naik akibat rasa terkejut yang amat sangat.

Rangga dan Pandan Wangi juga segera melompat turun dari punggung burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu. Mereka mendarat tepat di depan Ki Langkas, Julak, dan dua orang anak muda yang berdiri terpaku. Mata mereka memandangi, seperti tengah melihat Dewa Wisnu yang baru turun ke bumi dari Swargaloka. Seakan-akan, mereka tengah bermimpi.

Sampai-sampai tidak ada yang menyadari kalau Rangga, Pandan Wangi, Ki Adong, dan Ki Anjir sudah berada begitu dekat. Rangga berpaling sedikit pada Rajawali Putih yang masih mendekam tidak seberapa jauh di belakangnya. Burung rajawali raksasa berbulu putih keperakan itu mengkirik perlahan.

“Pergilah, Rajawali. Terima kasih, atas pertolonganmu pada kami semua,” ucap Rangga.

“Khrrr...!”

“Jangan cemas, Rajawali. Aku tahu, apa yang harus kulakukan,” kata Rangga seperti bisa mengerti.

“Khraaagkh...!”

Setelah memperdengarkan suara yang keras dan serak memekakkan telinga, Rajawali Putih langsung mengepakkan sayapnya yang sangat lebar. Dan sekejap mata saja, burung rajawali raksasa itu sudah melambung tinggi ke angkasa, lalu lenyap ditelan gelapnya malam yang sudah menyelimuti seluruh permukaan Gunung Granggang ini.

“Ayo, kita kembali ke desa,” ajak Rangga.

Seperti tidak mempedulikan keheranan mereka semua, Rangga diikuti Pandan Wangi langsung saja melangkah meninggalkan tempat ini, kembali menuju ke Desa Granggang. Sementara, Ki Langkas dan yang lain, masih tetap diam mematung. Seakan-akan, mereka belum tersadar dari mimpi yang membuatnya jadi terlongong bengong seperti itu.

Mereka baru bisa bergerak, setelah Rangga dan Pandan Wangi cukup jauh berjalan meninggalkan mereka. Ki Langkas yang lebih cepat tersadar, bergegas berjalan mendekati Pendekar Rajawali Sakti. Kemudian ayunan langkah kakinya disejajarkan di samping pemuda berbaju rompi putih itu. Sementara, Pandan Wangi memperlambat jalannya, hingga bersama-sama yang lain di belakang.

“Kau seperti kebingungan, Ki. Ada yang ingin kau tanyakan, Ki...?” Rangga seperti tahu, apa yang ada dalam benak kepala desa itu.

“Ng..., itu...,” Ki Langkas tidak bisa melanjutkan.

“Rajawali Putih...?” tebak Rangga langsung.

Ki Langkas hanya menganggukkan kepala saja. Sedangkan Rangga tersenyum kecil. Belum banyak orang yang tahu kalau Rangga memiliki sahabat seekor burung rajawali raksasa yang bukan saja menjadi tunggangannya, tapi juga gurunya. Rangga bisa memaklumi kalau Ki Langkas meminta penjelasan tentang Rajawali Putih.

Sementara di belakang, Ki Anjir juga meminta penjelasan tentang Rajawali Putih pada Pandan Wangi. Dan gadis cantik berjuluk si Kipas Maut itu juga hanya tersenyum saja. Dia hanya mengatakan, Rangga saja yang bisa menjelaskan. Gadis itu memang tidak ingin banyak bicara mengenai Rajawali Putih, karena takut kalau salah bicara. Walaupun agak kecewa, tapi Ki Anjir menuruti saja anjuran si Kipas Maut.

Bergegas dihampirinya Rangga yang berjalan di depan bersama Ki Langkas. Kini Pendekar Rajawali Sakti diapit dua orang laki-laki tua di kanan dan kirinya. Dan Rangga tidak bisa lagi mengelak saat didesak untuk menceritakan tentang burung rajawali raksasanya. Namun jelas sekali kalau hatinya merasa canggung menceritakannya. Tapi, itu sudah membuat Ki Langkas dan Ki Anjir jadi kagum. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang bersahabat dengan seekor burung raksasa. Bahkan bisa menungganginya.

“Kau pasti mempunyai julukan di kalangan rimba persilatan, Rangga. Kalau boleh tahu, apa julukanmu...?” Ki Langkas jadi ingin semakin tahu tentang diri anak muda yang kini sangat dikaguminya.

“Apakah itu penting, Ki?” Rangga malah balik bertanya.

“Bagi orang-orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, julukan sangat penting artinya,“ kata Ki Langkas bernada mendesak.

“Ah.... Entahlah, Ki,” desah Rangga merasa sungkan.

“Katakan saja, Rangga. Apa nama julukanmu...?” Ki Anjir ikut mendesak.

Rangga terdiam beberapa saat. Terasa sekali kalau julukannya tidak ingin disebutkan. Entah kenapa, Pendekar Rajawali Sakti tidak mau dikatakan ingin menyombongkan diri dengan memperkenalkan julukannya. Baginya, sebuah julukan hanya digunakan orang-orang yang ingin membuat hati lawannya jadi gentar. Tapi Rangga tidak mengingkari, kalau dirinya justru julukannya itu yang lebih dikenal. Dan dia yakin, kedua orang tua ini pasti sudah mendengar julukannya.

Hanya saja, mereka belum pernah saling berjumpa, sehingga tidak bisa mengenali kalau yang dihadapinya sekarang ini Pendekar Rajawali Sakti. Pendekar Rajawali Sakti adalah pendekar muda yang sangat tangguh dan digdaya, dan selalu menjadi buah bibir di kalangan rimba persilatan. Mereka yang berkecimpung dalam dunia persilatan akan berpikir berulang-ulang kali kalau ingin menghadapinya. Rangga memang sangat disegani. Bukan hanya oleh golongan putih, tapi juga oleh orang-orang golongan hitam.

“Kakang Rangga tidak pernah mau mengatakan julukannya, Ki...,” tiba-tiba saja Pandan Wangi menyelak dari belakang.

Ki Anjir dan Ki Langkas langsung berpaling ke belakang, menatap gadis yang dikenal berjuluk d Kipas Maut itu. Pandan Wangi mempercepat ayunan langkah kakinya, hingga kini berada di sebelah kiri Pendekar Rajawali Sakti.

“Kakang Rangga berjuluk Pendekar Rajawali Sakti,” jelas Pandan Wangi.

“Pendekar Rajawali Sakti...?!"

Bukan hanya Ki Anjir yang terkejut, tapi juga Ki Langkas jadi tersentak kaget begitu mengetahui kalau pemuda ini bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan mereka yang berjalan di belakang sampai berhenti dan terjingkat. Tidak ada yang menyangka kalau pemuda tampan berbaju rompi putih yang sangat sederhana itu justru seorang pendekar besar yang sudah sangat ternama dan disegani di kalangan rimba persilatan.

***
TUJUH
Menjelang tengah malam, mereka baru tiba di Desa Granggang. Keadaan desa itu kelihatan sangat sunyi, tidak ada seorang pun terlihat berada di luar rumahnya. Sejak terjadi beberapa pembunuhan yang menewaskan lima orang pemuka desa itu, tidak ada lagi penduduk yang mau keluar dari dalam rumahnya kalau sudah malam. Hingga, keadaan desa itu jadi seperti desa mati yang tidak berpenghuni lagi.

Mereka langsung menuju rumah Ki Langkas yang kelihatan terang-benderang. Tapi, tidak terlihat ada seorang pun di sekitar rumah itu. Keadaan yang sangat sunyi ini, membuat hati Rangga jadi bertanya-tanya. Saat itu juga, timbul satu kecurigaan dalam hatinya.

“Berhenti dulu...,” pinta Rangga, begitu mereka hampir memasuki pintu pagar halaman rumah yang terbuat dari bambu. Mereka langsung berhenti, tanpa membuka suara sedikit pun juga. Di dalam hati masing-masing juga sudah dipenuhi kecurigaan oleh keadaan yang sangat sunyi seperti ini. Saat semua terdiam membisu, tiba-tiba saja Ki Langkas tersentak....

“Mau ke mana, Ki...?!” Rangga langsung mencekal pergelangan tangan kepala desa itu, ketika baru saja hendak melangkah.

“Anakku.... Intan ada di dalam bersama ibunya,” kata Ki Langkas bernada cemas.

“Oh...?!” Rangga jadi tersedak. Baru dia ingat kalau Ki Langkas meninggalkan anak dan istrinya di rumah. Tanpa disadari, Pendekar Rajawali Sakti melepaskan cekalan tangannya. Tapi, Ki Langkas hanya memandangi saja, seakan ingin agar pemuda itu melakukan sesuatu.

“Kalian tunggu di sini. Jangan ada yang mendekati rumah,” kata Rangga, tanpa berpaling sedikit pun.

Setelah berkata begitu, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja melesat mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekap mata saja Pendekar Rajawali Sakti sudah berada dalam beranda rumah kepala desa itu, tepat di depan pintu yang tertutup rapat.

Perlahan Rangga melangkah mendekati pintu. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti menajamkan telinga, mencoba mendengarkan sesuatu dari dalam. Dengan mengerahkan aji Pembeda Gerak dan Suara, dia mendengar tarikan-tarikan napas yang agak memburu dari dalam rumah ini. Sulit untuk bisa menerka, berapa orang yang ada di dalam. Namun dia tahu, di antara tarikan-tarikan napas itu terdengar tarikan napas yang sangat halus, dan hampir saja tidak tertangkap pendengarannya.

“Hm....” Perlahan Rangga menjulurkan tangannya, mendorong pintu yang tertutup rapat itu. Kewaspadaannya semakin meningkat, saat mengetahui kalau pintu itu tidak terkunci. Pintu itu terus didorong perlahan-lahan sampai terbuka lebar. Tapi, tidak terlihat seorang pun di balik pintu ini, kecuali hanya ruangan depan yang cukup luas dan terang-benderang oleh nyala api sebuah pelita yang tergantung di tengah-tengah.

“Intan...,” panggil Rangga dengan suara agak terdengar pelan.

Tidak ada sahutan sedikit pun dari dalam. Rangga mulai mengayunkan kakinya perlahan-lahan memasuki rumah ini. Tapi baru saja melewati ambang pintu, mendadak saja sesosok tubuh terlihat meluncur deras ke arahnya, dari balik pintu penyekat ruangan depan dengan ruangan tengah ini.

“Hap...!”

Rangga cepat-cepat memiring ke kiri, sehingga sosok tubuh itu tidak sampai menghantam tubuhnya. Sosok tubuh itu langsung menghantam daun pintu yang terbuka hanya setengah. Begitu keras sekali, sehingga daun pintu itu sampai hancur berkeping-keping. Sedangkan sosok tubuh itu langsung jatuh terguling di lantai.

“Heh...?!”

Kelopak mata Rangga jadi terbeliak lebar begitu melihat sosok tubuh itu sudah tidak bernyawa lagi. Dan tepat pada bagian tengah kepala dan keningnya tampak terbelah. Darah juga masih mengucur deras sekali, pertanda orang itu belum lagi lama mati. Melihat luka yang menganga lebar dan hampir membelah kepala menjadi dua bagian, Rangga langsung tahu kalau rumah kepala desa ini sudah dikuasai Malaikat Pencabut Nyawa.

Rangga tahu, anak muda yang menggeletak tak bernyawa itu adalah salah seorang penjaga rumah Ki Langkas. Seketika darahnya jadi bergolak mendidih. Perasaannya sudah tidak tahan lagi melihat kekejaman Malaikat Pencabut Nyawa. Dengan wajah memerah menahan kemarahan, Pendekar Rajawali Sakti melangkah mantap melintasi ruangan depan yang cukup luas ini. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, kembali terlihat sesosok tubuh melayang deras ke arahnya.

“Keparat! Hih...!” Rangga jadi mendesis geram, melihat perbuatan si Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan dengan cepat Pendekar Rajawali Sakti menghindari terjangan tubuh yang sudah tidak bernyawa. Jadi, sudah dua orang dilemparkannya dalam keadaan tidak bernyawa lagi.

“Hap! Yeaaah...!”

Kemarahannya benar-benar sudah memuncak sampai ujung kepalanya. Tanpa menghiraukan lagi kalau sedang berada di rumah kepala desa, Pendekar Rajawali Sakti langsung saja menghentakkan kedua tangannya ke depan, sambil berteriak keras menggelegar.

Slap!

Seketika itu juga, dari kedua tangannya yang terkepal meluncur cahaya merah menyala bagai api. Dan cahaya merah itu langsung meluruk deras bagai kilat menerobos pintu penyekat dua ruangan ini. Dan....

Glarrr!

Terdengar ledakan dahsyat, sehingga membuat seluruh dinding rumah ini jadi bergetar bagaikan hendak roboh. Tampak kilatan api menyemburat dari dalam ruangan itu. Rangga cepat melompat ke belakang tiga langkah. Dan pada saat itu juga tubuhnya langsung melesat ke atas menjebol atap, begitu telinganya mendengar desir angin yang sangat halus dari bagian ten-gah rumah ini.

“Hiyaaa...!”
Brak!

Pendekar Rajawali Sakti meluncur cepat bagai kilat keluar dengan menjebol atap. Tepat pada saat itu, sebuah bayangan putih keperakan juga melesa keluar menjebol atap. Tampak dua sosok tubuh melayang di udara secara bersamaan. Dan hampir berbarengan pula, mereka menjejakkan kaki di atas atap rumah kepa-la desa ini.

“Hap!”

Rangga langsung menyilangkan tangan kanannya ke depan dada, begitu melihat di depannya telah berdiri seorang laki-laki berusia tiga puluh tahunan. Bajunya putih keperakan yang cukup ketat Wajahnya terlihat cukup tampan, tapi memiliki sorot mata dan senyuman yang memancarkan kekejaman.

Sret!
Cring!

Saat itu juga, pemuda yang tidak lain si Malaikat Pencabut Nyawa itu mencabut pedangnya. Seketika membersitlah cahaya putih keperakan dari pedang itu. Rangga sedikit melangkah ke belakang dua tindak, karena sudah merasakan bagaimana dahsyatnya pedang itu.

“Huh! Rupanya kau masih bisa hidup juga...!” dengus Malaikat Pencabut Nyawa dingin menggetarkan.

“Dewata belum mengizinkan aku mati, sebelum kau pergi ke neraka,” sambut Rangga tidak kalah dinginnya.

“Phuih! Akan kulihat, sampai di mana kemampuanmu, Setan Keparat!” dengus Malaikat Pencabut Nyawa.

Rangga hanya tersenyum sinis saja. Perlahan kakinya bergeser ke kanan, bersamaan bergeraknya kaki si Malaikat Pencabut Nyawa ke kiri. Jarak mereka hanya sekitar setengah batang tombak saja. Sehingga sorot mata mereka bisa memancar langsung saling menatap, seakan tengah mengukur tingkat kepandaian lawan masing-masing.

“Hap! Yeaaah...!”
Wuk!

Sambil berteriak keras menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa mengebutkan pedangnya ke depan. Rangga mengira kalau lawannya hendak menyerang, hingga cepat menarik kakinya ke belakang satu langkah. Tapi, ternyata si Malaikat Pencabut Nyawa hanya menggertak saja. Dan pada saat Rangga sempat terjebak itu, dengan kecepatan kilat Malaikat Pencabut Nyawa mengebutkan tangan kirinya ke depan. Saat itu juga, dari tangan kirinya mengulur dua buah benda berbentuk pisau kecil berwarna putih keperakan, langsung meluruk deras bagai kilat ke arah Pendekar Rajawali Sakti.

“Hap...!”

Tapi hanya mengegoskan tubuh sedikit saja, Rangga bisa menghindari serangan gelap Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan belum juga tubuhnya bisa ditegakkan kembali, cepat bagai kilat si Malaikat Pencabut Nyawa sudah melompat sambil mengebutkan pedangnya kearah kepala Pendekar Rajawali Sakti disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.

“Hiyaaa...!”
“Haiiit...!”

Cepat-cepat Rangga menarik kepalanya ke belakang, sehingga tebasan pedang bercahaya keperakan itu tidak sampai membelah kepalanya, dan hanya lewat sedikit saja di depan wajahnya. Rangga segera menarik kakinya ke belakang satu langkah, sebelum si Malaikat Pencabut Nyawa melancarkan serangan lagi.

“Hup! Hiyaaat...!”

Rupanya, Malaikat Pencabut Nyawa tidak sudi lagi memberi kesempatan pada Pendekar Rajawali Sakti itu untuk menyiapkan serangan. Begitu Rangga menarik kakinya selangkah, cepat sekali pedangnya diputar sambil melompat ke depan.

“Hap!”

Rangga segera meliukkan tubuhnya, menghindari tebasan pedang yang bergerak secara berputar dengan cepat itu. Lalu tubuhnya segera melenting ke udara, tepat di saat si Malaikat Pencabut Nyawa membabatkan pedangnya ke arah kaki.

“Yeaaah...!”

Secepat kilat, Rangga meluruk deras dengan kedua kaki bergerak cepat pula, mengarah ke bagian atas kepala si Malaikat Pencabut Nyawa. Saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti mengerahkan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’.

“Hap! Yeaaah...!”
Bet!
“Hup!”

Rangga cepat-cepat menarik kakinya, begitu Malaikat Pencabut Nyawa memutar pedangnya ke atas kepala. Dan pada saat itu juga, tubuhnya berputar hingga kepalanya berada di bawah, sedangkan kakinya tegak lurus ke atas. Dan seketika itu juga, dilepaskannya satu pukulan dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.

“Hiyaaa...!”
“Ikh...!”

Malaikat Pencabut Nyawa jadi tersentak kaget setengah mati. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, menghindari pukulan yang dilepaskan Rangga tanpa dapat diduga sama sekali.

“Hap!”

Rangga segera menjejakkan kakinya kembali di atas atap rumah Ki Langkas ini, begitu pukulannya tidak mencapai sasaran. Dan pada saat itu juga, tubuhnya direndahkan. Lalu, cepat sekali tangannya menghentak ke depan dengan telapak tangan terkembang lebar.

“Yeaaah...!”
Slap!
“Heh...?! Hup!”

Untuk kedua kalinya, si Malaikat Pencabut Nyawa jadi tersentak mendapat serangan yang begitu cepat. Bergegas tubuhnya miring ke kanan, saat dari telapak tangan Rangga meluncur secercah cahaya merah bagai api. Pendekar Rajawali Sakti memang mengerahkan jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir, sehingga tangannya jadi berwarna merah bagai terbakar.

“Hiyaaat...!”

Begitu terlepas dari maut, Malaikat Pencabut Nyawa segera melenting ke atas. Lalu, sekali tubuhnya meluruk sambil membabatkan pedang ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.

Bet!
“Haiiit...!”

Rangga cepat-cepat merunduk, hingga tebasan pedang bercahaya keperakan itu hanya lewat sedikit saja di tas kepala. Lalu cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang dua langkah, tepat di saat si Malaikat Pencabut Nyawa menjejakkan kakinya kembali di atas atap ini.

“Hup! Hiyaaa...!”

Saat itu juga, Malaikat Pencabut Nyawa melesat turun ke bawah dengan gerakan cepat dan ringan sekali. Rangga yang kali ini tidak mau lagi kecolongan, langsung saja melesat mengejar. Dan hampir bersamaan, mereka mendarat di tanah, tepat di tengah-tengah halaman depan rumah kepala desa ini.

Sementara Ki Langkas, Ki Adong, Pandan Wangi, Ki Anjir, dan Julak serta dua orang pemuda sudah berada di dalam halaman rumah kepala desa itu. Tapi, mereka tidak mau mendekati dua pemuda yang sedang berdiri tegak berhadapan dengan sikap hendak bertarung. Sejak tadi, mereka tidak berkedip memperhatikan jalannya pertarungan di atas atap. Dan kini, mereka bisa lebih jelas lagi melihat, setelah kedua pemuda itu sudah berdiri tegak di tanah saling berhadapan.

“Cabut senjatamu, Setan Keparat..!” bentak Malaikat Pencabut Nyawa agak kasar terdengar nada suaranya.

“Hhh! Aku belum perlu menggunakan senjata...,” sambut Rangga dingin.

“Phuih! Jangan menyesal kalau kau mampus tanpa sempat memegang senjata, Keparat!” dengus Malaikat Pencabut Nyawa geram, merasa diremehkan.

Tapi memang diakui oleh Malaikat Pencabut Nyawa, kalau tingkat kepandaian yang dimiliki Rangga sangat tinggi. Hingga, dia mendapat kesulitan menghadapinya. Belum pernah dialami, pertarungan yang sampai lebih dari lima jurus begini. Dan biasanya, lawan-lawannya sudah gentar lebih dahulu sebelum pedangnya dicabut.

Tapi menghadapi Rangga, Malaikat Pencabut Nyawa harus menguras tenaganya. Dan dalam beberapa jurus pertarungan di atas atap tadi, sudah membuat tubuhnya bermandikan keringat. Selagi mereka berdiri saling berhadapan dan bertatapan tajam, tiba-tiba saja terdengar suara yang begitu keras dari arah belakang Pendekar Rajawali Sakti.

“Randataka...!”
“Heh...?!”

Malaikat Pencabut Nyawa tampak terkejut begitu melihat Ki Anjir sudah melangkah menghampiri dengan ayunan kaki lebar-lebar dan cepat. Laki-laki tua itu berhenti tepat di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti.

“Kembalikan pedang itu padaku, Randataka. Kau tidak berhak memilikinya. Sadarlah..., semua tindakanmu itu salah. Kau tidak bisa menguasai dunia dengan cara seperti itu,” bujuk Ki Anjir.

“Menyingkirlah, Ki. Jangan ikut campur urusanku...!” agak keras suara Malaikat Pencabut Nyawa yang dipanggil Randataka oleh Ki Anjir tadi.

“Jauh-jauh aku datang hanya untuk bertemu denganmu, Randataka. Aku akan mengajakmu pulang, dan melupakan semua yang telah kau lakukan selama ini. Ingatlah, Randataka. Istrimu menunggu di rumah,” desak Ki Anjir, masih bernada membujuk.

“Jangan coba-coba membujukku, Ki. Pergilah...! Biarkan aku menyelesaikan persoalan dulu. Aku janji, akan menyerahkan pedang ini padamu setelah urusanku selesai di sini,” tolak Randataka.

“Ada urusan apa kau di sini, Randataka?” tanya Ki Anjir jadi ingin tahu.

“Aku sudah bersumpah sejak dulu, Ki. Aku akan membantai mereka semua yang telah menghina seluruh keluargaku. Bahkan menyebabkan ayah ibuku, serta adikku meninggal. Aku akan menagih hutang pada semua orang di desa ini. Dengar itu, Ki. Aku harus menagih hutang nyawa keluargaku...!” keras sekali suara Randataka yang selama ini dikenal berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa.

“Apa sebenarnya yang terjadi, Randataka?” tanya Ki Anjir lagi, meminta penjelasan.

“Tanyakan saja pada orang tua rakus itu!” dengus Randataka sambil menuding Ki Langkas dan Ki Adong yang berdiri berdampingan.

Tampak kedua orang tua itu hanya membisu saja. Mereka seperti tengah bermimpi, begitu Ki Anjir memanggil nama asli si Malaikat Pencabut Nyawa. Seakan-akan, mereka baru tersadar siapa pemuda yang telah membantai lima orang pemuka desa ini serta beberapa penduduk. Bahkan sebelum sampai ke desa ini, Randataka telah membunuh pendekar-pendekar beraliran putih. Bukan hanya dua tiga orang pendekar yang berhasil dikalahkannya, tapi sudah puluhan orang.

“Jangan halangi aku, Ki. Mereka berdua harus mati. Juga, semua orang di desa ini harus mati di tanganku,” agak mendesis suara Randataka.

“Sudah cukup kau menyebarkan kematian, Randataka. Kembalilah..., pulang bersamaku,” kata Ki Anjir tetap membujuk.

“Jangan membuat kesabaranku hilang, Ki. Minggir...!” bentak Randataka kasar.

“Randataka...!”
“Setan...! Hih!”
Bet!
“Awas, Ki...!” seru Rangga.
“Hup!”
Cring!
Wuk!

Tidak ada pilihan lain lagi bagi Rangga untuk menyelamatkan nyawa Ki Anjir dari tebasan pedang Malaikat Pencabut Nyawa. Maka dengan kecepatan kilat, pedangnya dicabut dan langsung dikebutkan untuk menangkis sabetan pedang Malaikat Pencabut Nyawa.

Trang!
“Ikh...?!”

Randataka jadi terpekik kaget. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, begitu pedangnya membentur pedang Rangga yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan. Sementara, Rangga cepat melompat ke depan untuk melindungi Ki Anjir yang jadi terpaku oleh perbuatan Randataka barusan padanya. Sungguh tidak diduga kalau Randataka bisa begitu tega hendak membunuhnya.

“Menyingkirlah, Ki. Biar dia kulumpuhkan,” kata Rangga tanpa berpaling sedikit pun juga.

“Phuih! Setan Keparat...! Mampus kau. Hiyaaat...!”

Randataka jadi geram setengah mati oleh campur tangannya Pendekar Rajawali Sakti. Sambil memaki dan berteriak lantang menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa melesat cepat bagai kilat sambil membabatkan pedang ke arah dada pemuda berbaju rompi putih itu.

Wuk!
“Haiiit..!”
Bet!

Cepat Rangga mengebutkan pedang, menangkis sabetan pedang Malaikat Pencabut Nyawa.

Trang!

Kembali dua pedang yang berpamor dahsyat berbenturan di depan dada Rangga. Dan pada saat itu juga, Pendekar Rajawali Sakti melompat ke depan seraya membabatkan pedang ke arah kepala Malaikat Pencabut Nyawa.

“Hiyaaa...!”
Bet!
“Hup! Yeaaah...!”
Wuk!

Randataka cepat-cepat mengebutkan pedangnya ke atas kepala, menangkis sambaran pedang Pendekar Rajawali Sakti yang memancarkan cahaya biru terang berkilauan. Dan kembali pedang mereka beradu keras, hingga menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke segala arah.

“Hup!”

Rangga cepat-cepat melompat ke belakang sejauh lima langkah. Sementara, Randataka melenting ke belakang dan berputaran tiga kali di udara, sebelum kakinya menjejak tanah lagi.

“Hap!”

Dengan pedang masih tergenggam di tangan kanan, Randataka mulai mengerahkan sebuah ilmu kesaktian. Sementara, Rangga juga sudah menyilangkan pedangnya di depan dada. Lalu, perlahan-lahan telapak tangan kirinya digosokkan pada mata Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Dari gerakannya itu, sudah bisa dipastikan kalau Pendekar Rajawali Sakti tengah mengerahkan sebuah aji kesakitan yang selama ini sukar dicari tandingannya. Aji ‘Cakra Buana Sukma’ yang sangat dahsyat, dan belum pernah ada yang bisa mengalahkannya.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Randataka yang selama ini dikenal berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa menghentakkan pedangnya ke depan. Dan secara bersamaan, tangan kirinya juga dihentakkan. Dan dari mata pedang serta telapak tangan kirinya, seketika itu juga memancar cahaya putih keperakan yang menyilaukan mata. Namun bersamaan dengan itu....

“Aji ‘Cakra Buana Sukma’! Yeaaah...!”
Slap!

Begitu Rangga menghentakkan pedang ke depan, saat itu juga melesat cahaya biru berkilauan yang menggumpal menghambat laju cahaya putih keperakan yang memancar dari pedang dan telapak tangan kiri Malaikat Pencabut Nyawa. Hingga pada titik tengah, kedua cahaya dahsyat itu bertemu. Dan....

Glarrr...!

Satu ledakan dahsyat seketika terdengar bagaikan hendak memecahkan seluruh alam ini. Tampak kilatan api menyambar ke segala arah, disertai kepulan asap putih dan biru membubung tinggi di angkasa. Saat itu juga terlihat Randataka terpental ke belakang sambil memekik keras agak tertahan. 

***
DELAPAN
Sementara, Rangga hanya terdorong sekitar tiga langkah ke belakang. Beberapa kali Randataka berputar di udara, lalu kembali kedua kakinya menjejak tanah. Tapi terlihat tubuhnya sedikit terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya dengan tangan kiri. Tampak darah kental agak kehitaman merembes dari sudut bibir dan lubang hidungnya.

“Phuaaah...!”

Randataka menyemburkan ludah kental yang berwarna agak kehitaman. Beberapa kali kepalanya yang mendadak saja jadi terasa pening digeleng-gelengkan. Dua langkah kakinya berjalan ke depan, tapi ayunannya tidak lagi tegap.

“Keparat..! Kubunuh kau! Hiyaaat...!”

Randataka tidak menghiraukan keadaan dirinya yang sudah terluka akibat mengadu aji kesaktian tadi. Dengan kemarahan menggelegak dalam dada, Malaikat Pencabut Nyawa sudah kembali melompat sambil menghantamkan pedang ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.

“Hap! Yeaaah...!”

Namun Rangga yang masih mengerahkan aji Cakra Buana Sukma tidak tinggal diam begitu saja. Dengan cepat tangan kirinya yang masih berselimut cahaya biru menggumpal bagai kabut dihentakkan. Maka, cahaya biru itu langsung meluruk deras menyambut serangan Randataka.

Slap!
“Akh...!”

Randataka jadi terpekik, ketika cahaya biru yang memancar dari telapak tangan kiri Rangga menghantam tubuhnya. Dan seketika itu juga, seluruh tubuh Malaikat Pencabut Nyawa terselubung cahaya biru terang yang menyilaukan mata.

“Setaaan...! Akh...!”

Randataka menjerit-jerit dan memaki berang. Tubuhnya menggeliat-geliat berusaha melepaskan diri dari selubung cahaya biru yang menyelimutinya. Seluruh tenaga dalamnya segera dikerahkan. Tapi semakin kuat mengerahkan tenaga dalamnya, semakin terasa kuat pula tenaganya tersedot keluar. Randataka tampaknya tidak menyadari kalau aji Cakra Buana Sukma yang dikeluarkan Pendekar Rajawali Sakti justru menghisap kekuatannya sampai habis tak bersisa lagi.

“Yeaaah...! Akh...!”

Randataka terus menggeliatkan tubuhnya sambil berteriak-teriak, mencoba melepaskan diri dari selubung cahaya biru Pendekar Rajawali Sakti. Namun memang sulit baginya untuk bisa keluar. Tenaga dan kekuatannya juga semakin banyak terkuras tanpa dapat dicegah lagi. Semakin keras berusaha, semakin banyak pula kekuatannya yang terhisap.

“Aaakh...!”

Hingga akhirnya Randataka menjerit keras melengking tinggi. Dan pada saat itu juga....

“Yeaaah...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti menghentakkan tangan kanannya yang menggenggam pedang ke depan. Dan dari ujung mata pedang itu memancar sinar biru yang menggumpal berkilauan, langsung menghantam tubuh Randataka. Dan....

Blarrr...!

Satu ledakan dahsyat seketika terdengar begitu keras menggelegar, membuat tanah yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa. Saat itu juga, terlihat Rangga melompat ke belakang sambil mencabut aji kesaktiannya. Dan pada saat yang bersamaan, terlihat tubuh Randataka meledak hancur hingga menjadi kumpulan debu.

“Hhh...!” Rangga menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat.

Cring!

Pendekar Rajawali Sakti kembali memasukkan Pedang Pusaka Rajawali Sakti ke dalam warangka di punggung. Saat itu juga, cahaya biru yang membuat sekitarnya jadi terang-benderang bagai siang hari, lenyap seketika setelah pedang pusakanya tersimpan kembali dalam warangka. Tampak sekitar satu setengah batang tombak di depan Pendekar Rajawali Sakti, seonggok debu dari tubuh si Malaikat Pencabut Nyawa yang hancur akibat terkena ilmu kesaktian aji Cakra Buana Sukma.

Beberapa saat Rangga masih berdiri tegak, memandangi onggokan debu dari tubuh Randataka. Saat itu, terlihat Pandan Wangi berlari-lari kecil menghampiri, diikuti yang lain. Mereka semua berdiri di depan Pendekar Rajawali Sakti, kecuali Pandan Wangi yang langsung mengambil tempat di sebelah kanannya.

“Terima kasih, Rangga. Kau telah menyelamatkan desa ini dari kehancuran,” ucap Ki Langkas, seraya menjura memberi hormat.

Rangga hanya tersenyum saja sedikit, dengan kepala terangguk kecil membalas salam penghormatan kepala desa itu. Namun sesaat kemudian, perhatiannya beralih pada Ki Anjir yang memandangi onggokan debu dari tubuh Malaikat Pencabut Nyawa. Tampak jelas kalau raut wajah orang tua itu terselimut duka yang sangat dalam.

“Kau tidak melihat ke dalam dulu, Ki...? Aku tadi tidak sempat mengetahui keadaan anak dan istrimu,” Rangga mengingatkan Ki Langkas.

“Oh...?!” Ki Langkas tersentak begitu diingatkan. Bergegas kakinya melangkah masuk ke dalam rumahnya tanpa berbicara lagi, diikuti dua orang pemuda yang memang murid Ki Langkas sendiri.

Sementara, Ki Anjir masih berdiri mematung tidak jauh dari tumpukan debu tubuh Malaikat Pencabut Nyawa. Di sebelahnya, tampak Julak juga berdiri mematung. Tapi, pandangan matanya, justru merayapi wajah Ki Anjir yang kelihatan begitu mendung. Rangga segera melangkah menghampiri orang tua ini. Dan tidak jauh, terlihat Ki Adong hanya memandangi saja, tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

“Ki...,” lembut sekali suara Rangga terdengar. Ki Anjir mengangkat wajahnya, dan langsung menatap bola mata Pendekar Rajawali Sakti. “Maaf, aku terpaksa...,” ucap Rangga, terdengar terputus suaranya.

“Aku mengerti, Rangga,” sambut Ki Anjir pelan. “Memang sudah sepantasnya dia menerima ganjarannya.”

“Tapi kelihatannya kau begitu sedih, Ki. Apa hubunganmu dengan Randataka?” tanya Rangga ingin tahu.

“Dia menantuku, Rangga. Juga, murid kesayanganku. Seluruh ilmu yang kumiliki sudah diwarisinya. Bahkan tanpa kuketahui, ilmu-ilmu yang diperolehnya dari sebuah goa yang tidak jauh dari tempat tinggalku dipelajarinya. Aku sendiri tidak tahu, kalau goa itu menyimpan banyak sekali catatan dari ilmu-ilmu kepandaian tingkat tinggi. Dan aku baru tahu, setelah pedang pusaka keturunan leluhurku dicurinya...,” dengan suara pelan dan agak tersendat, Ki Anjir menceritakan.

Rangga mengangguk-angguk beberapa kali. Bisa dipahami, kenapa Ki Anjir jadi kelihatan berduka setelah Randataka yang dikenal berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa tewas jadi debu akibat terkena aji Cakra Buana Sukma tingkat terakhir yang dikerahkan Pendekar Rajawali Sakti. Dan ternyata, Randataka menantu Ki Anjir. Pantas saja orang tua itu selalu memburunya.

Randataka bukan hanya menantu, tapi juga murid terpandainya. Dan dia pergi, setelah mencuri pedang pusaka milik keluarga orang tua itu. Sebuah pedang perak yang sangat dahsyat pamornya. Bahkan, hampir saja Padang Pusaka Rajawali Sakti tidak dapat menandingi. Tapi, masih ada satu ganjalan dalam hati Pendekar Rajawali Sakti, yang tidak bisa ditahan lagi rasa keingintahuannya.

“Ki! Kau tahu, kenapa Randataka ingin menghancurkan desa ini...? Bahkan sepertinya begitu benci pada para pendekar,” tanya Rangga mengungkapkan rasa penasarannya.

“Entahlah...,” desah Ki Anjir perlahan. “Aku sendiri tidak tahu. Aku bertemu dengannya, waktu berusia sekitar sepuluh tahun. Waktu itu, tubuhnya kurus sekali. Dan hampir saja mati kelaparan. Aku tidak pernah tahu asal-usulnya, namun tidak pernah menanyakan. Selama ini, sikapnya selalu baik. Bahkan begitu penurut. Sedikit pun tidak pernah dia membantah setiap yang kukatakan. Aku tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja perangainya jadi berubah begitu. Padahal, istrinya sekarang ini sedang hamil tua....”

Kembali Rangga mengangguk-anggukkan kepala.

“Dia berasal dari desa ini, Ki Anjir...,” selak Ki Adong tiba-tiba.

Bukan hanya Ki Anjir yang cepat berpaling, menatap orang tua Pemuka Desa Granggang ini. Tapi, Rangga dan Pandan Wangi juga langsung menatapnya. Ki Adong melangkah beberapa tindak mendekati, dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar enam langkah lagi di depan Ki Anjir.

“Sebenarnya, dia keturunan orang baik-baik. Orang tuanya petani. Waktu kecil, telah terjadi malapetaka yang membuat seluruh keluarganya tewas...” Ki Adong mulai menceritakan keadaan si Malaikat Pencabut Nyawa.

Sementara Rangga, Pandan Wangi, Ki Anjir, dan Julak hanya diam saja mendengarkan. Memang, Julak sendiri tidak tahu. Dia selama ini ikut bersama Ki Anjir, karena ingin membalas dendam pada Malaikat Pencabut Nyawa itu. Seluruh keluarganya dibantai habis. Padahal, keluarganya adalah dari golongan pendekar. Tapi memang kepandaian yang dimiliki si Malaikat Pencabut Nyawa sangat tinggi, hingga berhasil mengalahkan para pendekar yang ditemui selama perjalanannya ke Desa Granggang.

“Waktu itu, telah terjadi pertarungan antara tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi di sebelah utara Desa Granggang ini. Sedangkan rumah orang tua Randataka, tidak jauh dari tempat pertarungan itu. Entah kenapa, tiba-tiba saja rumah itu terbakar habis. Dan ketika rumah itu terbakar, seluruh keluarga Randataka ada di dalam. Hanya Randataka sendiri yang saat itu berada di luar bersama kami semua, menyaksikan pertarungan antara para pendekar. Randataka berusaha mendekati rumah yang terbakar, namun kami berusaha mencegah demi keselamatan dirinya,” Ki Adong berhenti sebentar.

Sedangkan mereka yang mendengarkan ceritanya tidak mengeluarkan suara sedikit pun juga.

“Sejak peristiwa itu, sikap Randataka jadi berubah. Dia lebih banyak berdiam dan menyendiri. Bahkan sering kali berkelahi dengan teman sebayanya tanpa sebab. Hingga akhirnya, dua orang temannya dibunuh ketika sedang menggembalakan domba. Sejak itu, Randataka tidak pernah lagi terlihat. Kami semua tidak tahu, kalau di dalam hatinya tersimpan dendam yang begitu mendalam. Kematian seluruh keluarganya dianggapnya karena kesalahan kami semua yang tidak melarang para pendekar bertarung di dekat rumahnya. Makanya, dia juga mendendam pada para pendekar yang menyebabkan rumah serta seluruh keluarganya habis terbakar.”

“Aku benar-benar tidak tahu kalau masa lalunya begitu kelam...,” desah Ki Anjir pelan. “Padahal, dia anak baik, rajin, dan penurut. Sungguh tidak kusangka kalau di dalam hatinya tersimpan bara api dendam.”

“Semua sudah terjadi, Ki. Walaupun perbuatannya salah, tapi aku tetap tidak akan menyalahkannya. Semua orang pasti akan berbuat hal yang sama,” ujar Ki Adong bijaksana.

“Ya.... Dendam memang sulit sekali dihilangkan dari dalam hati,” desah Ki Anjir.

Sementara itu, Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja. Dan di saat mereka semua terdiam, muncul Ki Langkas dari dalam rumah. Kepala desa itu langsung menghampiri mereka yang masih berada di halaman depan rumahnya.

“Bagaimana keadaan anak dan istrimu, Ki?” Ki Adong langsung saja melontarkan pertanyaan, begitu Ki Langkas dekat.

“Ketika kutemukan, mereka dalam keadaan terikat. Tapi, tidak apa-apa,” sahut Ki Langkas seraya tersenyum. "Terima kasih, Rangga. Kau telah menyelamatkan nyawa keluargaku. Sedikit saja terlambat, habislah sudah....”

Rangga hanya menyambut dengan senyuman saja. Ki Langkas kemudian mengajak mereka semua masuk ke dalam rumah. Memang tidak ada yang bisa menolak lagi. Sedangkan saat ini, malam sudah begitu jauh menyelimuti seluruh Desa Granggang. Sementara udara di luar juga terasa begitu dingin. Mereka semua kemudian masuk ke dalam rumah kepala desa itu.

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: