SATU
SEORANG gadis memacu kencang kudanya sambil sesekali melihat ke belakang.
Pada jarak sepuluh tombak lebih, terlihat lima orang laki-laki bertampang
seram tengah mengejarnya disertai nafsu membunuh di atas kudanya.
“Heaaa...! Hus, hus...!”
“Gadis keparat! Berhenti, dan kembalikan barang-barang yang kau curi!”
teriak seorang laki-laki brewok yang berkuda paling depan di antara keempat
temannya. Suaranya terdengar keras, berusaha mengalahkan gemuruhnya derap
kaki kuda.
“Huh! Ambillah sendiri kalau kalian mampu!”
“Awas kau! Sekali tertangkap, jangan harap bisa lepas dari tanganku!”
“Hi hi hi...! Jangan banyak omong! Kau tak akan mampu menangkapku!” Bukan
main geramnya laki-laki brewok itu mendengar jawaban gadis di
depannya.
Sambil mengeretakkan rahang, kudanya dipacu cepat Keempat orang temannya
pun mengikutinya. Kuda-kuda mereka tampak sudah terengah-engah, namun kelima
orang itu tak mempedulikannya. Bahkan terus menggebahnya, sehingga
hewan-hewan itu berlarian seperti dikejar setan saja. Menyadari kalau
orang-orang itu benar-benar berniat mengejar, hati gadis ini mulai ciut
juga. Dengan berbesar hati kudanya digeprak kuat-kuat, hingga meringkik
kesakitan.
Memang, kuda yang ditunggangi para pengejar berseragam hitam itu adalah
kuda pilihan. Begitu gagah, dan kuat untuk dipacu kencang dalam waktu yang
lama. Sebaliknya kuda yang ditunggangi gadis itu hanyalah kuda biasa. Tak
heran walaupun telah dipacu kencang, tapi masih juga hampir terkejar. Bahkan
hewan itu tiba-tiba meringkik keras dan tersungkur ketika kaki depannya
tersandung sebuah batu sebesar kepala kerbau. Untungnya, gadis itu cepat
melompat Tubuhnya lalu bersalto beberapa kali, dan mendarat manis di atas
tanah.
“Kuda sial!” maki gadis itu kesal. Diliriknya kelima pengejarnya, sebelum
berlari sekencang-kencangnya dari tempat itu. Kudanya yang meringkik-ringkik
kesakitan dan berusaha untuk bangkit kembali pun ditinggalkannya.
“Ha ha ha...! Sekarang mau lari ke mana kau?! Kali ini jangan harap bisa
lolos dariku!” seru laki-laki berwajah brewok sambil tertawa-tawa. Maka
kelima orang bertampang seram itu dengan penuh semangat terus memacu kudanya
untuk mengejar gadis itu. Meskipun telah berlari sekuat tenaga, rasanya
gadis itu tak mungkin bisa lolos dari mereka. Apalagi, ketika laki-laki
brewok itu memerintahkan keempat temannya untuk menyebar dan mengepung si
gadis.
“Setan!” gadis itu memaki ketika melihat dari arah samping, salah seorang
pengejarnya semakin mendekat. Dia berlari ke depan. Tapi dari ujung sebelah
kiri, salah seorang pengejarnya telah menghadangnya. Kemudian berturut-turut
dari samping kanan dan belakang. Kini gadis berbaju merah itu terkepung
rapat. Mulutnya menyumpah serapah tak habis-habisnya. Disembunyikannya
bungkusan kain kecil yang tadi digenggamnya di tangan kiri, ke dalam bajunya
yang agak longgar. Dan langsung pedangnya dicabut, siap menghadapi segala
kemungkinan.
“He he he...! Mau lari ke mana kau sekarang?!” ejek laki-laki brewok.
“Tikoro! Astaga, gadis itu cantik juga rupanya! Sebaiknya jangan buru-buru
dibunuh!” kata seorang teman laki-laki berwajah brewok yang bertubuh kurus
sambil menelan ludah dan wajah penuh nafsu.
“Ha ha ha...! Boyang! Matamu bisa juga melihat gadis cantik. Kau pikir, aku
sebodoh itu dengan buru-buru membunuhnya? Dia akan merasakan kehangatanku
dulu, sebelum mampus!” sahut laki-laki brewok yang dipanggil Tikoro. Dan
melihat penampilannya, kelihatannya orang yang bernama Tikoro adalah
pemimpin laki-laki berseragam hitam ini. Karena kelihatannya, dia begitu
dihormati oleh yang lainnya.
“Ha ha ha...! Bolehlah, Tikoro. Karena kau pemimpin kami, biarlah kau yang
pertama. Dan kami akan rela bila hanya mendapat sisanya!” sahut laki-laki
lain, yang bertubuh pendek.
Hei?! Apakah kau berminat juga pada barang bagus ini, Selarong?” tanya
laki-laki yang dipanggil Boyang dengan nada mengejek.
Sementara dua orang yang lain terbahak mendengar kata-kata itu. Mereka
semua tahu, bahwa laki-laki pendek yang dipanggil Selarong selama ini kurang
perkasa terhadap wanita. Hal itu sering dikeluhkan pada teman-temannya.
Padahal, istrinya dua orang dengan wajah cukup lumayan. Dan kalau
ketidakmampuannya melayani istri-istrinya dikeluhkan, teman-temannya sering
mengejek. Kata mereka, kedua istrinya sudah buruk dan tua, hingga tak mampu
membangkitkan gairahnya lagi. Padahal, itu hanya olok-olok saja. Dan
sebenarnya, kedua istri Selarong justru masih muda.
“Tutup mulut kotor kalian! Cuihhh!” dengus gadis itu sambil meludah dengan
wajah berang.
“Hei? Galak juga dia! Tikoro! Biarkan aku meringkusnya!” seru Boyang yang
agaknya sudah tak sabar. Boyang langsung melompat dari punggung kudanya dan
mencabut keris yang terselip di pinggang.
“Gadis liar! Menyerahlah, agar aku tak berbuat lebih kasar hingga melukai
kulitmu yang halus itu!” kata Boyang keras.
“Phuih! Tutup mulutmu yang bau itu. Kau boleh menangkapku, setelah aku
menjadi bangkai!”
“He he he...! Semakin galak sikapmu, justru membuat semangatku lebih
menggebu untuk memelukmu. Kuperingatkan sekali lagi, lebih baik menyerah
saja. Siapa tahu, Juragan Waluya mau mengampunimu. Kami pasti akan
melindungimu dari hukumannya,” sahut Boyang seraya tersenyum kecil.
“Huh! Jangan harap! Menyingkirlah kau dari hadapanku, Keparat!”
“Sial! Kalau begitu, kau memang tak ingin diperlakukan baik-baik. Awas
kau!” Boyang mendengus garang.
“Hup!” gadis itu bergerak lincah menghindar ketika Boyang cepat
menyerang.
“Hm.... Bagus! Rupanya, kau memiliki sedikit kepandaian. Tapi di depanku,
jangan harap bisa berlagak!” geram Boyang semakin kalap.
“Jangan banyak omong, Anjing Busuk! Ke sinilah kalau tak ingin lehermu
kupenggal!”
“Kurang ajar! Yeaaa...!”
“Uts...!” Boyang semakin kalap saja ketika gadis itu mampu menghindari
serangannya. Bahkan sesekali ujung pedang gadis itu sempat menyambar leher
dan jantungnya. Kalau saja gerakannya tidak gesit, niscaya nyawanya sudah
melayang sejak tadi. Memang, nyata-nyata gadis itu hendak menghabisi
nyawanya.
“Boyang! Apakah aku perlu turun tangan untuk meringkus gadis itu? Kulihat
kau malah bermain-main saja!” kata Tikoro, sinis.
“Tak perlu! Sebentar lagi gadis binal ini pasti akan kuringkus!” sahut
Boyang.
“Huh! Kenapa tidak kalian berlima saja yang maju sekaligus, agar lebih
mudah aku memotes leher kalian!” cetus gadis itu, mengejek.
“Setan! Tikoro, biarkan mulut gadis liar itu ku- bungkam saja!” dengus
Selarong.
Rupanya hatinya sudah langsung panas mendengar ejekan gadis itu. Maka tanpa
mempedulikan larangan Boyang, Selarong sudah langsung melompat dan ikut
menyerang gadis berbaju merah itu.
“Yeaaa...!”
Melihat dirinya dikeroyok dua orang, gadis itu sama sekali tak menunjukkan
ketakutannya. Bahkan perlawanannya semakin gigih dengan putaran pedangnya
yang tertuju ke arah lawan. Boyang sebenarnya tak suka melihat Selarong
membantunya. Tapi dia harus menjaga gengsi di depan Tikoro yang merupakan
pemimpinnya. Karena bisa jadi gadis itu nantinya malah menghajar dirinya.
Buktinya sepintas saja terlihat kalau ilmu alat gadis itu amat lihai. Untuk
itulah dia tak melarang Selarong, dan terus memusatkan perhatian terhadap
gadis itu.
“Jatuh!” sentak Selarong sambil mengayunkan kepalan tangan ke dada gadis
itu. Dan pada saat yang sama, Boyang menusukkan kerisnya ke bahu. Namun,
gadis itu cepat memutar pedangnya, menangkis senjata lawan. Sementara tangan
kirinya memapak serangan Selarong.
Trang!
Plak!
“Akh!”
Terdengar keluhan bernada kesakitan, begitu gadis itu memapak serangan
Selarong. Dari sini bisa dilihat kalau tenaga dalamnya masih kalah dibanding
lawannya.
“Ha ha ha...! Kau pikir dirimu hebat mampu mengalahkan kami? Jangan harap!”
ejek Selarong, ketika melihat gadis itu meringis kesakitan sambil memegang
tangan kirinya.
“Yeaaa...!” Dan belum juga gadis itu mengatur keseimbangan tubuhnya,
tiba-tiba Selarong melesat cepat bagai kilat sambil melepaskan sebuah
pukulan tangan kanan. Tak ada waktu lagi bagi gadis itu untuk menghindar,
kecuali memapaknya dengan tangan kanan, dengan gerakan dari bawah ke atas.
Padahal, kuda-kudanya masih belum sempurna.
Plak
Kembali gadis itu terjajar beberapa langkah ke belakang. Dan kesempatan ini
tidak disia-siakan Selarong. Cepat-cepat tubuhnya meluncur seraya melepaskan
sodokan tangan kiri ke arah dada gadis itu. Dan...
Des!
“Akh!”
Gadis berbaju merah itu menjerit kesakitan ketika sodokan Selarong berhasil
mendarat di dadanya. Kembali gadis itu terhuyung-huyung sambil mendekap
dadanya yang terkena sodokan Selarong dengan tangan kiri. Dan kesempatan itu
tidak disia-siakan Boyang. Senjatanya dengan cepat memapas pedang di
genggaman gadis itu hingga terlepas.
Trang!
“Ugh!”
Gadis itu kembali mengeluh kesakitan. Telapak tangannya kontan terasa perih
akibat papasan senjata lawan. Sementara, pada saat yang sama Selarong
kembali meluruk, dan langsung menotok gadis itu.
Tuk!
“Ahhh...!”
Gadis itu kontan ambruk ke tanah tanpa daya sambil mengeluh. Dadanya masih
terasa nyeri. Sementara, wajahnya tetap menunjukkan kegarangan ketika kelima
orang itu tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha...! Apa kataku?! Percuma saja kau melawan. Kalau sejak semula
menyerah, tentu kami akan memperlakukanmu baik-baik. Tapi sayang, kau telah
membuatku marah. Maka jangan harap kami akan melepaskanmu begitu saja,” kata
Selarong.
“Bagus, Selarong. Kau memang bisa diandalkan,“ sahut Tikoro, seraya turun
dari kudanya dan menghampiri gadis itu. Laki-laki brewok itu lalu berjongkok
dan mengangkat dagu gadis itu. Kemudian dipandanginya gadis itu sambil
menyeringai buas penuh nafsu.
“Sayang! Wanita cantik sepertimu, kenapa harus mencuri....”
“Phuih! Majikanmu tukang peras rakyat! Jadi, sudah sepatutnya aku mengambil
sedikit bagian darinya. Itu lebih terpuji daripada mencekik orang-orang
melarat!”
“He he he...! Siapa yang peduli alasanmu...,” sahut Tikoro pelan.
Pelan-pelan tangan Tikoro menyelusup ke balik baju gadis itu untuk mengambil
kantung kecil yang tadi disembunyikan. Namun sebelum hal itu dilakukan,
tangannya dengan nakal mempermainkan dua buah bukit kecil yang padat berisi,
sehingga merangsang nafsu birahinya.
“Jahanam keparat! Phuih! Hentikan perbuatan kotormu, Anjing Busuk..!
Aouw...!” gadis itu kontan menjerit sambil memaki-maki tak karuan.
“He he he...! Memakilah sepuas hatimu. Tapi sebentar lagi, kau akan
merasakan hal yang lebih dari itu,” kata Tikoro sambil tertawa-tawa kecil
dan melempar kantung yang didapat ke arah Selarong.
“Tikoro, jangan lama-lama bermain dengannya. Kedua lututku sudah gemetar
tak tahan!” sahut Selarong ketika melihat Tikoro telah membopong gadis itu
dan membawanya ke semak-semak.
“Tenanglah, Selarong. Kau akan mendapat giliran setelah aku. Ingin kulihat,
apakah kau mampu menaklukkan gadis liar ini. Mudah-mudahan saja kau nanti
bisa menjadi laki-laki tulen!”
Mendengar itu, meledaklah tawa ketiga teman-temannya. Sementara, Selarong
sendiri hanya bisa tersenyum-senyum kecil di antara teriakan-teriakan gadis
dalam bopongan Tikoro. Wajah keempat orang itu tampak tegang. Masing-masing
menelan ludah, sambil membayangkan kenikmatan yang akan didapat Tikoro.
Bahkan teriakan-teriakan gadis itu terasa membangkitkan gairah kelelakian
mereka. Sementara di balik semak-semak terdengar desah dan dengusan geram.
Meskipun tak terlihat apa yang terjadi, namun keempat orang itu bisa menduga
apa yang sedang terjadi di balik semak-semak. Tikoro memang buas terhadap
wanita. Bahkan tak pernah bermain lembut, sehingga membuat jantung keempat
temannya semakin berdegup kencang.
“Aouw! Keparat busuk, lepaskan aku! Lepaskaaan...! Jahanam! Aku bersumpah
akan membunuhmu...! Aouw...! Lepaskan! Lepaskaaan...!”
“He he he...! Tenanglah, Manis. Nanti setelah segalanya beres, kau akan
kami lepaskan dan pergi bebas ke surga! He he he...!”
“Kisanak, lepaskan gadis itu...!” Tiba-tiba, entah dari mana datangnya,
terdengar suara bentakan.
“Heh?!” Tikoro kontan terkejut, dan langsung menghentikan perlakuannya
terhadap gadis itu. Dan belum juga dia sempat mencari orang yang membentak,
mendadak....
Des!
“Aaakh...!”
Tikoro kontan menjerit kesakitan dan terpental ke belakang ketika sebuah
tendangan menghantam wajahnya. Begitu keras, sehingga membuatnya terjungkal
sampai beberapa tombak.
Sementara keempat teman Tikoro yang tak jauh dari semak-semak itu juga
terkejut menyaksikan tahu-tahu di balik semak-semak berdiri tegak sepasang
muda-mudi. Yang seorang adalah pemuda berambut panjang terurai. Wajahnya
tampan, mengenakan baju rompi putih. Sebatang pedang berhulu kepala burung
tampak menyembul di balik punggungnya.
Sedangkan di sebelahnya seorang gadis cantik berkulit putih. Rambutnya
panjang. Dan bajunya ketat berwarna biru. Tampak sebuah kipas baja putih
terselip di pinggangnya yang ramping. Sementara, di punggungnya menyembul
sebatang pedang bergagang kepala naga.
“Keparat! Ingin mampus rupanya orang ini!” maki Selarong garang.
“Siapa kalian?!” bentak Boyang tak kalah garangnya.
“Kami hanya pengembara yang muak melihat tingkah laku bajingan-bajingan
busuk seperti kalian!” sahut pemuda berbaju rompi putih itu.
Tikoro yang bajunya sudah tak karuan, cepat membenahi dan berdiri tegak di
hadapan kedua orang muda itu. Wajahnya tampak gusar. Sementara masih
terlihat tetesan darah di bibirnya yang pecah terkena tendangan pemuda
berbaju rompi putih itu. Sedangkan sorot matanya tajam penuh kebencian dan
dendam.
“Bocah keparat! Siapa kau, sehingga berani mengganggu kesenangan orang?!
Apa sudah bosan hidup, heh?!”
“Hm.... Rupanya telingamu tuli karena nafsu setanmu sudah sampai ke
ubun-ubun...!” gumam pemuda tampan itu.
“Keparat!” maki Tikoro, mendengar jawaban itu. Dia bermaksud menghajar
pemuda itu dengan mencabut goloknya yang terselip di pinggang.
Tapi....
“Tikoro! Diamlah. Biar aku yang akan menghajar bocah sombong ini,” cegah
Selarong seraya maju ke depan. Langsung ditatapnya pemuda itu dengan
sinis.
“Kakang Rangga, rasanya tanganku sudah gatal ingin menghajar
bajingan-bajingan busuk ini. Izinkanlah aku memberi pelajaran pada mereka,”
sahut gadis berbaju biru kepada pemuda yang tak lain Rangga, alias Pendekar
Rajawali Sakti.
Rangga tersenyum kecil sambil mengangguk. “Baiklah, Pandan. Tapi jangan
terlalu keras. Aku khawatir, mereka malah tak sempat tobat
nantinya....”
“Setan! Majulah kalian berdua. Hadapi aku kalau memang punya kepandaian!”
bentak Selarong semakin kesal saja.
“Hi hi hi...! Manusia cebol! Kau pikir dirimu punya derajat berhadapan
dengannya?! Ke sinilah kau, agar tubuhmu bisa kubuat rata,” ejek Pandan
Wangi atau yang dikenal sebagai si Kipas Maut.
“Huh! Tahan serangan...!”
“Hup! Uts...! Kurang cepat, Cebol!” ejek gadis berbaju biru itu ketika
berhasil menghindari serangan lawan.
“Kuntilanak sial! Jangan menyesal kalau nanti ku telanjangi!”
“Hi hi hi...! Otakmu kotor sekali. Rupanya kau senang menunjukkan
kebugilan. Baiklah, akan ku kabulkan keinginanmu,” sahut Pandan Wangi.
Selesai berkata demikian, si Kipas Maut segera mencabut kipas bajanya.
Langsung diserangnya lawan dengan gencar. Selarong terkejut melihat serangan
gadis itu yang lihai bukan main. Selama bertarung, dia memang jarang sekali
menggunakan senjata. Ilmu silat tangan kosongnya sudah sangat hebat. Dan
walaupun menghadapi lawan bersenjata, dia masih mampu melumpuhkannya. Tapi
menghadapi gadis ini, sungguh merasa kewalahan juga. Dan dalam waktu dua
jurus saja, dia terlihat sudah terdesak hebat.
“Yeaaa...!” “Gadis keparat! Lihat kaki...!”
“Pandan, awas...!” teriak Rangga, ketika lawan melancarkan sebuah tipuan
maut.
Saat itu, Selarong mencoba memapak kibasan kipas maut Pandan Wangi. Namun
papakan itu rupanya hanya tipuan saja. Karena dengan cepat Selarong
menunduk, seraya memberi sapuan kaki. Namun, Pandan Wangi yang mendengar
peringatan Rangga segera mencelat ke atas. Sehingga sambaran kaki lawan
hanya mengenai angin kosong saja. Bahkan Pandan Wangi kembali menukik dengan
putaran kipasnya. Keadaan Selarong memang tak memungkinkan lagi. Untung pada
saat yang tepat, Tikoro langsung melompat untuk melindungi temannya, di
samping menyerang Pandan Wangi.
“Yeaaa....!”
Sementara, Pandan Wangi juga menyadari keadaannya. Maka tubuhnya cepat
berputar bagai gangsing. Dan tanpa bisa dicegah lagi, kipasnya menyambar
baju Selarong hingga koyak. Dan secepat itu pula, Pandan Wangi mengebutkan
kipasnya ke arah Tikoro. Dan....
Cras!
“Aaakh!”
Tikoro menjerit kesakitan ketika kipas maut Pandan Wangi merobek
perutnya.
“Pergilah dari sini kalau masih ingin selamat Jika tidak, maka kepalamu
akan menggelinding saat ini juga!” dengus Pandan Wangi, begitu melihat sinar
kegentaran pada wajah lawan-lawannya.
Sementara Tikoro tampak meringis kesakitan sambil memegangi perutnya yang
robek mengeluarkan banyak darah. Sedangkan Selarong malah seperti orang
bengong, memandangi bajunya yang koyak sehingga hampir telanjang.
***
DUA
Sambil bersungut-sungut geram, Tikoro mengajak teman-temannya untuk pergi
secepatnya. Dia memang tak punya pilihan, selain pergi meninggalkan tempat
itu.
“Nisanak! Ingatlah baik-baik! Urusan kita belum selesai. Suatu saat, aku
akan menagih hutang ini berikut bunganya!” kata Tikoro mengancam, sebelum
berlalu.
“Aku akan menunggu kapan saja kau suka. Nah, pergilah cepat dari hadapanku,
sebelum aku muntah melihat tampang busuk kalian!” bentak Pandan Wangi sambil
menahan geli melihat Selarong yang menutupi bagian tubuhnya yang terbuka di
sana sini, akibat babatan kipas mautnya.
“Hm.... Bagus, Pandan! Kemajuanmu semakin pesat saja...,” puji
Rangga.
“Kalau bukan karena petunjukmu, mana mungkin aku menghadapi mereka,
Kakang,” sahut Pandan Wangi.
“Ah, sudahlah. Mari kita lihat gadis itu,” ujar Rangga, seraya melangkah
hendak menolong gadis yang tadi hendak dinodai Tikoro.
Rangga mengurungkan niatnya untuk mendekati, ketika melihat keadaan gadis
itu yang tampak sudah bugil. Hal itu bisa dimaklumi Pandan Wangi. Maka cepat
dihampiri dan membebaskan totokan gadis itu. Lalu ditutupinya bagian tubuh
terlarang milik gadis itu dengan bekas cabikan bajunya. Namun, tetap saja
pada bagian-bagian tubuh yang lain masih tersingkap jelas.
“Tak apalah bila hanya untuk sementara. Nanti setiba di desa yang terdekat,
kami akan membelikanmu baju yang pantas...,” kata Pandan Wangi
menghibur.
“Oh, terima kasih atas pertolongan kalian. Aku tak tahu, bagaimana harus
membalasnya. Kalau tak ada kalian, entah bagaimana nasibku...,” ujar gadis
itu terharu.
Pandan Wangi tersenyum, lalu mengulurkan tangannya penuh persahabatan.
“Namaku Pandan Wangi. Dan itu temanku. Mari ku perkenalkan kau padanya,”
ajak Pandan Wangi mendekati Pendekar Rajawali Sakti yang duduk di atas
sebatang pohon tumbang, membelakangi mereka.
“Aku Nawang Sari...,” sahut gadis itu memperkenalkan diri sebelum mengikuti
Pandan Wangi dari belakang.
“Kakang....!”
“Hm...,” gumam Rangga seraya berbalik. Pendekar Rajawali Sakti sedikit
terkejut melihat cara berpakaian gadis itu. Tapi mengingat apa yang terjadi
barusan, hal itu bisa dimakluminya.
“Rangga...!”
“Nawang Sari...!” gadis yang bernama Nawang Sari itu mengulurkan tangan,
menyambut uluran tangan Rangga.
Nawang Sari tersekat. Diam-diam dikaguminya ketampanan pemuda itu. Dan tak
terasa, jantungnya berdetak kencang. Ada gejolak hangat yang menjalar pada
setiap pembuluh darahnya, hingga membuatnya tak sadar kalau belum melepaskan
jabatan tangannya.
“Eh, ng.... Maaf...,” Pendekar Rajawali Sakti berucap lirih. Rangga jadi
salah tingkah sendiri dan cepat melepaskan genggaman tangannya. Apalagi di
situ ada Pandan Wangi. Jelas, dia tak mau membuat kekasihnya cemburu. Namun,
Rangga harus mengakui juga kalau Nawang Sari cukup cantik. Bibirnya merah
merekah. Sepasang alis matanya tebal bagai semut beriring. Tubuhnya sintal.
Sempat terlihat oleh Rangga betapa dada gadis itu yang menyembul sedikit di
balik bajunya yang ala kadarnya. Tak heran kalau sifat kelaki-lakiannya
tergoda, sehingga jantungnya sempat berdetak keras.
“Nah, Nawang. Sekarang kau bebas dari ancaman mereka. Apakah kau ingin kami
antarkan pulang...?” tanya Pandan Wangi, menawarkan.
Mendengar itu, terlihat wajah Nawang Sari berubah muram. Tubuhnya lalu
berbalik dengan wajah tertunduk dalam.
“Ada apa? Apakah kau tak ingin pulang?” tanya Pandan Wangi.
“Aku..., aku tak tahu harus ke mana....”
“Kau tak punya keluarga...?”
Nawang Sari menggeleng lemah.
“Orangtua?”
“Aku hidup sebatang kara tanpa sanak saudara. Hidupku berkelana dari satu
tempat, ke tempat lain tanpa tujuan pasti....”
“Hm...,” Pandan Wangi bergumam sambil memandang Rangga. Sementara Rangga
diam tak memberi tanggapan. “Bagaimana, Kakang...?”
“Terserah kau saja....” Pandan Wangi bisa merasakan, apa yang dirasakan
gadis itu. Dan sebenarnya, nasibnya tak jauh beda dengan dirinya sendiri.
“Nawang, kau boleh ikut kami untuk sementara waktu. Tapi setelah itu, kau
mesti menentukan jalan hidupmu sendiri....”
Nawang Sari mengangguk cepat, meskipun tak mengerti apa yang dimaksud gadis
cantik berbaju biru itu. Di hatinya tersembul satu kebahagiaan yang tak bisa
dilukiskan. Dan yang pasti karena untuk beberapa waktu akan merasa aman
berada di tengah-tengah penolongnya.
***
Telaga Sampang dikenal sebagai tempat yang indah dan ramai. Untuk ke tempat
itu hanya setengah hari perjalanan dari Kotaraja Kerajaan Gautama, yang
merupakan kerajaan kecil di bawah kekuasaan Kerajaan Tirtasura. Telaga itu
sendiri memang diketahui sebagai jalur lalu lintas perdagangan. Juga sebagai
jalan pintas dari dan ke Kotaraja Kerajaan Gautama. Tak heran bila tempat
itu banyak dikunjungi, baik oleh pendatang dari luar daerah, maupun dari
negeri asing. Dan letaknya juga sangat dekat dengan pelabuhan, tempat
bersandar kapal-kapal besar dari negeri asing.
Setelah membeli pakaian untuk Nawang Sari, Pendekar Rajawali Sakti, Pandan
Wangi, dan Nawang Sari menuju sebuah kedai. Begitu memasuki kedai yang cukup
ramai itu, semua orang yang ada di dalam kedai serentak memandang mereka.
Namun Rangga tak merasa heran. Bahkan bisa menduga arti pandangan itu.
Tampaknya, mereka iri melihat pemuda berbaju rompi putih itu datang bersama
dua gadis cantik.
“Kakang! Aku jadi risih dengan pandangan orang-orang itu,” bisik Pandan
Wangi, ketika mereka telah duduk pada sebuah meja yang memiliki empat buah
kursi”
“Tenang sajalah. Toh, mereka tak mengganggu kita....”
“Kau bisa tenang. Tapi, kami mana bisa...!” rungut Pandan Wangi setengah
kesal.
Rangga hanya tertawa kecil.
“Betul, Pandan. Kita toh tak punya urusan dengan mereka. Buat apa
dipedulikan!” timpal Nawang Sari.
Pandan Wangi hanya bisa menahan rasa kesal. Sejak tadi, hatinya memang
panas melihat kelakuan Nawang Sari. Sepanjang perjalanan, sepertinya dia
berusaha memancing perhatian Rangga. Nawang Sari selalu berjalan di samping
pemuda itu, sambil mengajak bicara, berkelakar, tertawa-tawa, dan sesekali
mencubit genit. Dan yang membuatnya bertambah kesal, Rangga sepertinya tak
berusaha mengelak atau menunjukkan ketidaksukaannya. Dan ini membuat kobaran
api cemburu dalam dada Pandan Wangi semakin menyala saja.
“Kakang, tadi aku benar-benar terkejut bercampur senang, ketika mengetahui
kalau kau ternyata Pendekar Rajawali Sakti yang kesohor itu. Sudah lama
sekali aku ingin bertemu dan melihat orang yang julukannya amat
menghebohkan. Dan tak sangka kalau hari ini aku bisa bicara berdekatan,”
ujar Nawang Sari dengan bola mata berbinar-binar.
“Nawang, kau mengatakan kalau hanya orang biasa dan sama sekali tak
mengerti orang-orang persilatan. Lalu, bagaimana mungkin bisa tahu kalau
Kakang Rangga adalah Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Pandan Wangi sambil
menyembunyikan kecemburuan hatinya.
“Hm.... Mungkin kalian tak akan percaya kalau kuceritakan bahwa setiap anak
kecil di pelosok desa sekalipun, akan mengenal julukan Pendekar Rajawali
Sakti. Julukan itu tidak hanya dikenal orang-orang persilatan, tapi juga
orang awam seperti aku ini!” sahut Nawang Sari.
Rangga hanya tersenyum enteng saja mendengar pujian gadis itu, yang terasa
berlebihan dan terlalu membesar-besarkan.
“Apakah kau tak tahu kalau julukanku juga dikenal semut-semut yang ada di
lubang paling dalam?” kata Rangga berkelakar.
“Kakang. Aku berkata yang sebenarnya!”
“Ssst! Pelankan nada suaramu sedikit Jangan sampai mengganggu pengunjung
yang lain,” tegur Rangga mengingatkan, ketika melihat gadis itu berusaha
meyakinkan, sehingga tanpa sadar bersuara cukup keras.
Namun, ternyata percuma saja. Ketika mata Pendekar Rajawali Sakti melirik
sekilas, tampak seorang laki-laki bertubuh kekar berkulit coklat
kehitam-hitaman sudah menghampiri mereka. Di punggungnya terlihat sebilah
golok yang besar dan panjang. Dia langsung berdiri di tepi meja sambil
meletakkan telapak tangan kanannya. Sementara matanya menatap tajam ke arah
Nawang Sari.
“Pucuk dicinta ulam tiba! Susah payah aku mencari, ternyata kau datang
menghampiri!” kata laki-laki itu. Suaranya terdengar berat dan bercampur
serak. Rangga jadi tak enak hati. Dan hatinya sudah merasa tak senang
melihat sikap laki-laki berwajah kasar itu.
“Kisanak, tidak bisakah bersikap sedikit sopan?” tegur Rangga, halus.
Laki-laki itu mendengus seraya memandangi Pendekar Rajawali Sakti
tajam-tajam sambil menyeringai buas.
“Bangsat! Apakah kau ingin mampus, heh?!” bentak laki-laki dengan suara
menggelegar, seraya langsung melayangkan kepalan tangannya. Rangga cepat
memiringkan kepala. Langsung dihantamnya pergelangan tangan laki-laki itu
dengan tangan kiri.
Tak!
“Akh!”
Laki-laki itu menjerit kesakitan sambil memegangi pergelangan tangannya
yang terasa akan patah. Sedangkan matanya langsung melotot garang.
“Dasar maling! Sudah sepantasnya kau berteman dengan bajingan! Kalian
bertiga patut mampus!”
Laki-laki itu langsung mencabut goloknya. Dan seketika hendak dihantamkan
ke kepala Rangga. Rangga cepat memiringkan tubuhnya ke kanan untuk
menghindari sambaran senjata lawan.
Wuuut!
Golok itu lewat di depan Pendekar Rajawali Sakti. Dan begitu golok itu
terus melaju, Rangga masih sempat melayangkan sebelah kakinya, untuk mengait
kaki Nawang Sari yang menjadi sasaran golok. Akibatnya, gadis yang sedang
duduk itu jadi terjerembab ke lantai. Tapi dengan begitu, nyawanya selamat
dari ancaman golok. Pandan Wangi sendiri sudah menjatuhkan diri ke lantai,
dan cepat bangkit dengan wajah marah.
“Bajingan tak tahu aturan! Datang mengganggu dan mencari urusan! Apa sudah
bosan hidup, heh?!” bentak Pandan Wangi.
“Huh! Tahu apa kau dengan urusanku?! Kalau tak senang, boleh angkat kaki
dari sini. Tapi, tinggalkan dulu gadis keparat ini untuk kucincang!” dengus
laki-laki berwajah kasar itu sambil menunjuk Nawang Sari.
Semula, Pandan Wangi sudah ingin melabrak laki-laki kasar itu saja. Tapi,
Rangga cepat menahannya. Dan Pendekar Rajawali Sakti segera memandang
laki-laki itu dengan wajah penuh tanda tanya.
“Kisanak! Apa maksudmu akan menahan dan menyakiti temanku ini?”
“Huh, pura-pura tak tahu! Baiklah ku ingatkan lagi, agar semua orang
mengetahui kebusukan temanmu ini. Dia telah mencuri patung kucing yang
dikeramatkan perguruan kami. Dan perlu kalian tahu, patung itu amat berharga
karena keseluruhannya terbuat dari emas murni,” jelas laki-laki itu.
Rangga seketika memandang Nawang Sari. “Benarkah apa yang
dikatakannya?”
“Dusta! Dia penipu. Aku sama sekali tak mengenalnya. Apalagi, perguruannya.
Sungguh mustahil kalau aku mencuri seperti yang dikatakannya!” sanggah
Nawang Sari sengit.
“Keparat! Percuma berdebat dengan kalian! Hei, Perempuan Busuk! Kau pikir
mataku sudah rabun, sehingga tak mengenalmu?!” bentak laki-laki itu seraya
mengayunkan kepalan tangannya.
Rangga tersentak kaget. Nawang Sari akan celaka kalau tak segera ditolong.
Maka....
“Yeaaa...!”
Plak!
“Sabar, Kisanak ...”
Bukan main gusarnya lelaki itu ketika Rangga kembali ikut campur dengan
menangkis serangannya. “Kurang ajar! Majulah semuanya agar aku lebih mudah
memecahkan batok kepala kalian bertiga!”
Maka tanpa mempedulikan cegahan Rangga, laki-laki itu cepat menyerang.
Pertarungan tak dapat dielakkan lagi di dalam ruangan kedai itu. Pemilik
kedai sudah sejak tadi berteriak-teriak cemas melihat kedainya berantakan.
Meja dan kursi jungkir balik tak karuan. Beberapa pengunjung malah sudah
lebih dulu menyelamatkan diri, keluar dari dalam kedai ini.
Sambil berusaha mengelak, berkali-kali Rangga mencoba menyadarkan. Tapi,
agaknya laki-laki itu betul-betul keras kepala. Maka terpaksa Rangga
meladeninya kalau tak ingin celaka disambar golok lawan yang bertubi-tubi
mengincarnya. Lalu dengan satu lompatan ringan, Rangga keluar dari dalam
kedai untuk menghindari kerusakan yang lebih parah lagi.
“Keparat! Jangan harap bisa kabur dariku!” bentak laki-laki bertampang
seram itu seraya menyusul.
“Kisanak! Jangan khawatir. Aku tak akan lari sebelum urusan ini selesai,”
sahut Rangga pendek.
“Mampus!”
Namun, Rangga cepat bergeser ke samping kiri. Tubuhnya seperti akan jatuh
ke tanah, dengan gerakan kaki indah melompat ke sana kemari. Jelas, Pendekar
Rajawali Sakti mempergunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Akibatnya,
golok lawan hanya menyambar-nyambar tempat kosong saja.
“Uts!”
Wut! Wut!
“Setan!”
Laki-laki itu bertambah gusar, menyadari serangannya tak juga membuahkan
hasil. Berkali-kali dia menggeram hebat sambil mengayunkan goloknya.
Sementara dari mulutnya tak henti-hentinya keluar makian kasar.
“Hm.... Ternyata Kakang Rangga memang bukan orang sembarangan. Baru kali
ini aku menyaksikan kehebatannya!” puji Nawang Sari sambil berdecak kagum
melihat pertarungan itu.
Pandan Wangi yang berada di sebelahnya tak memberi tanggapan apa-apa
mendengar pujian itu. Sementara, ada rasa curiga yang mulai tumbuh terhadap
gadis itu. Kenapa laki-laki itu begitu yakin kalau Nawang Sari terlibat
dalam pencurian benda pusaka perguruannya? Diakah yang melakukannya? Ataukah
ada orang lain yang mirip, atau barangkali laki-laki itu mengada-ada?
“Pandan, aku berani bertaruh. Sesaat lagi orang itu pasti akan dapat
dirobohkan Kakang Rangga!” seni Nawang Sari, berseri.
“Kenapa kau begitu yakin? Orang itu memiliki ilmu olah kanuragan yang cukup
tinggi....”
“Hei?! Masak kau tidak melihat? Meskipun dia bersenjata, tapi Kakang Rangga
mampu mendesaknya.“
Apa yang dikatakan Nawang Sari memang benar. Meski lawan bersenjata, tapi
perlahan-lahan Rangga berhasil mendesak. Bahkan kini tubuhnya bergerak
cepat, ketika lawan mengayunkan golok.
“Yeaaa...!”
Plak!
Ayunan golok lawan berhasil dipapak Pendekar Rajawali Sakti dengan kibasan
tangan kiri yang disertai pengerahan tenaga dalam. Senjata itu kontan
terpental dari genggaman saat pergelangan tangannya terkena pukulan Rangga.
Dan belum lagi laki-laki itu menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba satu
tendangan keras menyodok perutnya.
Begkh!
“Aaakh...!”
Laki-laki bertampang kasar itu kontan menjerit kesakitan. Tubuhnya
terjerembab beberapa langkah disrtai suara berdebuk keras. Dia berusaha
cepat bangkit, tapi satu tendangan lagi menghajar rahangnya. Diegkh! Kembali
laki-laki itu tersungkur. Dari mulutnya tampak mengucur darah segar, karena
dua buah giginya tanggal. Laki-laki itu masih berusaha bangkit, tapi telapak
kaki Rangga telah lebih cepat menekan perutnya dengan keras.
“Kisanak! Aku tak mempunyai urusan denganmu. Dan selamanya pun, hal itu tak
kuinginkan. Tapi kau terlalu memaksa. Maka kini pilihan ada di tanganmu.
Kalau kau masih ingin melanjutkan pertarungan, kau akan celaka sekarang.
Tapi bila ingin menyudahinya, kau boleh pergi!” ujar Rangga dengan nada
dingin.
“Huh! Kau boleh membunuhku sesuka hatimu. Tapi, jangan harap aku akan
menyudahi persoalan ini begitu saja!” dengus laki-laki itu.
“Hm, baiklah kalau itu keinginanmu!”
Rangga menggeram sambil menekan perut lawan perlahan-lahan semakin kuat.
Wajah laki-laki itu kontan berkerut menahan sakit. Sementara orang-orang
yang menyaksikan kejadian tak jauh dari tempat itu sudah menduga kalau tak
lama lagi nyawa laki-laki keras kepala itu pasti akan melayang. Sedangkan
Pandan Wangi memalingkan wajah, tak tega melihat semua itu. Beda halnya
dengan Nawang Sari. Gadis itu malah membuka kelopak matanya
lebar-lebar.
“Kakang Rangga, mengapa tak cepat-cepat dihabisi saja nyawanya? Orang itu
jahat dan tak tahu aturan. Kalau kau mengampuninya, tentu dia akan membuat
kekacauan nantinya!” teriak Nawang Sari.
Rangga sebenarnya tak bersungguh-sungguh membunuh lawannya, meski hatinya
geram bukan main melihat kekerasan hati laki-laki itu. Dia hanya ingin
memberi pelajaran, agar laki-laki itu tak main-main dengan ucapannya. Namun
sebelum hal itu berlanjut, sayup-sayup terdengar suara derap kaki kuda yang
bergemuruh memasuki wilayah itu. Orang-orang berteriak-teriak sambil berlari
serabutan menyelamatkan diri.
“Celaka! Orang-orang asing itu menyerang ke sini!”
“Lari! Lari...!”
“Heh?!”
***
TIGA
Rangga terkejut melihat tak lebih dari tiga puluh orang bersenjata golok
besar bergerak cepat memacu kudanya. Bahkan mereka langsung menyerang
penduduk yang berada paling dekat, dan membunuh tanpa ampun. Pekik kematian
disertai bergelimpangannya beberapa tubuh mewarnai tempat itu. Para penduduk
saling menyelamatkan diri. Dan sebagian lagi ragu-ragu untuk bergerak atau
melawan.
“Pandan! Jaga Nawang Sari. Aku akan menghentikan orang-orang gila itu!”
teriak Rangga sambil melompat cepat menghampiri gerombolan itu.
“Hati-hati Kakang...!”
“Yeaaa...!”
Rangga langsung mengamuk sejadi-jadinya, menghantam orang-orang yang sedang
membantai penduduk yang tak tahu apa-apa. Akibatnya beberapa orang yang
memang berkepandaian rendah itu terjungkal disertai jerit kesakitan. Maka
dalam waktu singkat saja Rangga telah menjadi pusat perhatian gerombolan
itu.
“Berhenti...!” Terdengar salah seorang di antara mereka berteriak keras.
Dan tak lama, gerombolan itu terlihat menghentikan kekejamannya. Lalu dengan
patuh, mereka membentuk barisan. Salah seorang penunggang kuda yang
berpakaian mewah dilapisi rompi besi, menghampiri Rangga. Dan kudanya
dihentikan persis ketika jaraknya tinggal lima langkah lagi.
“Hm.... Ternyata ada juga orang yang bernyali macan di tempat ini. Siapa
kau sebenarnya?” tanya orang berbaju lapis rompi besi dengan suara berat dan
serak.
Pada jarak dekat seperti ini, Rangga dapat melihat jelas kalau cara
berpakaian mereka berbeda dengan penduduk negeri ini. Wajah serta kulit
mereka pun amat berbeda. Logat bahasanya pun terdengar asing dan
terpatah-patah. Rangga sudah cepat menduga kalau mereka adalah pendatang
dari suatu negeri yang cukup jauh di seberang lautan. Tapi apa perlunya
mereka ke sini dan membunuh penduduk yang tak tahu apa-apa?
“Kisanak! Aku hanya salah seorang penduduk yang tak suka melihat tindakan
kalian yang biadab!”
“Ha ha ha...! Jawaban polos yang dilakukan pahlawan-pahlawan kesiangan.
Hm.... Kuhargai sikapmu itu. Nah, menyingkirlah dari tempat ini dan jangan
mencampuri urusan kami!”
Rangga tertawa kecil mendengar kata-kata orang itu. “Hm.... Bicaramu
sungguh keterlaluan, Kisanak. Kulihat kau bukan orang negeri ini. Dan kalian
amat asing bagi kami. Seharusnya, kalian yang datang dari jauh bisa menjaga
sikap dan bersikap sopan. Tapi, yang kalian lakukan malah sebaliknya. Jadi
mana mungkin aku bisa mendiamkan begitu saja,” kata Rangga, tenang.
“Huh! Kalau begitu, terimalah kematianmu!” dengus orang itu seraya memberi
isyarat. Seketika, serentak tujuh orang pengikut laki-laki asing itu
bergerak mengepung Rangga dengan senjata terhunus.
“Yeaaa...!”
Rangga segera bergerak lincah memainkan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’
untuk menghindari serangan orang-orang asing itu yang gencar dan teratur.
Kelihatannya jurus-jurus yang mereka mainkan sedikit asing. Terlalu banyak
gerakan yang kelihatannya tak berguna. Namun justru hal itu untuk memancing
lawan agar terkecoh. Sedikit saja Rangga lengah, maka serangan kilat akan
menghabisinya dalam waktu singkat.
Wut!
Dua pasang senjata lawan mengincar leher. Maka Pendekar Rajawali Sakti
cepat menundukkan kepala. Tapi saat itu juga, dua buah senjata lawan kembali
menebas pinggang. Rangga melompat ke samping. Namun pada saat yang sama
mendadak dua buah senjata lawan yang lain menghunus punggung dan dadanya.
Sementara ujung senjata lawan yang lain menyambar kedua kakinya.
“Yeaaa...!”
Tanpa banyak berpikir lagi Rangga cepat melenting ke atas, dan berputaran
beberapa kali. Dan begitu menukik turun, cepat dimainkannya jurus ‘Rajawali
Menukik Menyambar Mangsa’. Dan yang dituju adalah sasaran yang terdekat
dengannya.
Wuttt!
Tak!
Kedua kaki Pendekar Rajawali Sakti cepat bergerak menyambar pergelangan
lawan, sehingga membuat senjata di tangan orang itu terlepas.
“Aaakh...!”
Orang itu kontan memekik kesakitan. Begitu mendarat, Rangga bermaksud
menghajar kepala dengan tendangan kakinya yang lain. Namun, sebuah ayunan
senjata lawan yang lain cepat bergerak hendak memapas tulang kakinya.
Terpaksa Rangga mengangkat kakinya dan langsung menghajar tengkuk satu
lawannya lagi dengan sebelah kakinya.
“Uts...!”
Diegkh!
Orang itu langsung tersungkur sambil menjerit kesakitan. Dan Rangga tak mau
kepalang tanggung lagi. Ketika tubuhnya kembali berkelebat, cepat
dilepaskannya dua pukulan beruntun menggunakan ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’
tahap pertama, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.
“Yeaaa...!”
Plak!
Begkh!
“Aaa...!”
Dua orang kembali terjungkal terkena tendangan dan sodokan kepalan tangan
Pendekar Rajawali Sakti. Begitu berhenti berkelebat, Rangga cepat berdiri
tegak memandang ke arah laki-laki asing yang masih menunggang kuda. Dan
agaknya, dialah pemimpin dari gerombolan ini. Wajahnya terlihat geram.
Sementara kumis tipisnya yang panjang bergerak-gerak menandakan gejolak
hatinya. Mendadak, dengan satu lompatan manis dia telah langsung menyerang
Pendekar Rajawali Sakti.
“Yeaaa...!”
Sebuah serangan kepalan tangan lawan bergerak cepat ke arah wajah Pendekar
Rajawali Sakti. Namun cepat bagai kilat Rangga memiringkan kepala. Lalu
tubuhnya cepat berputar. Dan dengan kepalan kiri, dihantamnya dada
lawan.
“Hiyaaa...!”
“Hup!”
Tapi orang asing itu sudah mencelat ke atas. Sementara kedua kakinya
berputar melepaskan tendangan ke arah Rangga. Namun Rangga cepat membuang
diri hingga rata dengan tanah. Dan dalam keadaan telentang, kakinya memapak
tendangan lawan.
Bugkh!
“Ugh...!”
Terdengar lawan mengeluh kesakitan ketika kedua kakinya beradu dengan kaki
Pendekar Rajawali Sakti. Dan Rangga tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini.
Cepat tubuhnya bangkit dan langsung melenting ringan. Cepat dikejarnya lawan
yang terhuyung-huyung ke belakang. Kepalan tangan kanannya langsung
disodokkan ke arah dada. Namun lawan segera memiringkan tubuhnya. Tapi pada
saat tegak kembali, tendangan Rangga sudah melayang ke arah pinggang
sekeras-kerasnya.
Begkh!
“Aaakh...!”
Pemimpin gerombolan itu kontan menjerit kesakitan ketika tubuhnya terhantam
tendangan Pendekar Rajawali Sakti, hingga tersungkur ke tanah.
“Bunuh dia!” teriak orang itu memberi perintah.
Bagai tanggul jebol yang langsung memuntahkan air bah, maka lebih dari dua
puluh orang asing itu bergerak menyerang. Rangga jadi terkesiap, dan mundur
dua langkah. Seketika pedang pusakanya dicabut. Maka, saat itu juga memancar
sinar biru yang menerangi tempat itu. Melihat hal itu lawan-lawannya
tercekat beberapa saat. Betapa pamor pedang pusaka itu memancarkan perbawa
yang kuat.
Sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti hanya dalam keadaan terpaksa saja bila
mengeluarkan pedang pusakanya. Dan apa yang dilakukan, sebenarnya hanya
untuk menakut-nakuti, agar tidak jatuh korban lagi.
“Mundur...!” perintah pemimpin gerombolan orang asing itu, begitu melihat
pamor Pedang Rajawali Sakti.
Seketika para pengikutnya yang masih tersisa, segera berlari dan melompat
ke punggung kuda masing-masing. Dan mereka langsung melarikan diri dari
tempat itu mengikuti pemimpinnya yang telah lebih dulu menggebah kudanya.
Rangga membiarkan mereka pergi. Namun beberapa penduduk yang sejak tadi
bersembunyi karena takut, tiba-tiba melemparkan senjatanya.
Akibatnya, dua orang yang berada paling belakang kontan terjengkang jatuh
dari kuda, setelah tertembus golok. Sedangkan sisanya berhasil kabur.
Memang, sudah sejak lama para penduduk merasa terkekang dan terancam
keselamatannya oleh gerombolan orang asing itu. Namun, mereka tidak bisa
berbuat banyak, karena memang tidak berdaya. Baru setelah gerombolan itu
dibuat kalang-kabut oleh Pendekar Rajawali Sakti, mereka mulai berani.
Bahkan telah timbul semangat untuk mengusir gerombolan itu
“Kakang, kau tak apa-apa?” Pandan Wangi menghampiri Rangga dengan wajah
cemas. Rangga menoleh, lalu menggeleng lemah. Matanya melirik sekilas pada
Nawang Sari. Gadis itu tampak berjalan ringan, menghampiri Rangga.
“Wah! Kau hebat sekali, Kakang. Gerombolan itu mampu kau hajar sampai
tunggang-langgang!”
Rangga tersenyum kecil. Dilihatnya beberapa orang menghampiri sambil
tersenyum ramah. Salah seorang laki-laki berkumis tipis dan berusia sekitar
tiga puluh tahun, mendekat dan mengulurkan tangan kepada Pendekar Rajawali
Sakti.
“Kisanak! Aku Prawiro Seno. Atas nama teman-teman, aku mengucapkan terima
kasih atas segala bantuanmu dalam mengusir orang-orang asing itu!”
“Tak perlu berterima kasih, Kisanak. Sudah jadi kewajibanku untuk menolong
orang yang lemah. O, ya. Namaku Rangga,” kata Rangga merendah.
“Ah, kami sudah tahu. Kau pasti Pendekar Rajawali Sakti yang tersohor
itu?!”
“Ah! Hanya julukan kosong saja, Kisanak. Sudahlah, yang penting gerombolan
itu sudah terusir.”
Rangga memang jadi rikuh juga mendengar pujian yang dirasanya terlalu
berlebihan. Maka buru-buru pembicaraan itu dialihkannya.
“Kisanak, siapakah orang-orang itu? Dan, apa maksudnya melakukan kekacauan
di sini?”
“Hm.... Rupanya kau belum tahu apa yang sedang terjadi di sini, Pendekar
Rajawali Sakti?”
“Panggil aku Rangga saja,” pinta Rangga.
“Baiklah. Begini, Rangga. Pasukan orang asing dari negeri seberang itu
telah mendarat di sini. Mereka cukup banyak di pantai utara negeri ini.
Tujuan mereka adalah ingin menguasai negeri ini. Mereka lalu memecah
beberapa rombongan untuk menguasai desa satu persatu. Sementara pihak
kerajaan bukannya tak tahu kedatangan mereka. Tapi seperti diketahui, saat
ini prajurit-prajurit kerajaan tengah dikerahkan untuk menghalau serangan
dari kerajaan besar yang berada di sebelah timur pulau ini. Dan rupanya,
kesempatan ini digunakan orang-orang asing itu untuk menyerbu ke
sini.”
Orang yang mengaku bernama Prawiro Seno itu terdiam sesaat. Tampak matanya
membayangkan penderitaan yang amat berat. Sebuah penderitaan dari
orang-orang yang terjajah.
“Maka Gusti Prabu lalu meminta bantuan dari para pemuda dan seluruh rakyat
yang mampu berjuang bahu-membahu dengan prajurit-prajurit kerajaan, untuk
menghalau orang-orang asing itu. Rangga! Kau orang persilatan yang memiliki
kepandaian hebat. Banyak sudah pendekar yang berjuang mengusir orang-orang
asing itu. Dan, apakah kau berminat bergabung bersama mereka?”
Rangga terdiam sejenak mendengar penjelasan Prawiro Seno. Hatinya merasa
tergugah. Dan seketika rasa kemanusiaannya yang tinggi timbul, seiring jiwa
kependekarannya yang mulai berkobar.
“Kisanak! Di mana saja orang-orang asing itu saat ini berada?”
Prawiro Seno segera menjelaskan, sepanjang yang diketahuinya.
“Baiklah. Terima kasih atas penjelasanmu. Jangan khawatir, aku akan
menyumbangkan apa yang bisa kulakukan untuk negeri ini, agar orang-orang
asing itu selekasnya angkat kaki!” sahut Rangga.
“Ah! Aku bersyukur mendengar kata-katamu itu, Rangga. Teman-teman yang lain
tentu akan bangkit semangatnya bila mengetahui kalau pendekar besar
sepertimu turut berjuang membebaskan negeri ini dari ancaman orang-orang
asing itu. Nah, Rangga. Selamat berjuang. Kami harus cepat-cepat bergabung
dengan barisan lainnya!”
Prawiro Seno menyalami tangan Rangga, sebelum berlalu meninggalkan tempat
itu. Beberapa orang yang bersamanya turut pula menjabat tangan Pendekar
Rajawali Sakti. Sementara Rangga hanya memandang mereka sekilas, sebelum
Pandan Wangi menyadarkannya.
“Kau bersungguh-sungguh dengan kata-katamu, Kakang?” tanya Pandan
Wangi.
“Eh, apa?” Rangga tersentak.
Sebelum Pandan Wangi melanjutkan, Nawang Sari telah mendekat. “Kakang
Rangga! Untuk apa bersusah-payah membantu pihak kerajaan? Apakah kau
memperoleh sesuatu dari mereka? Kalau kau tewas dalam pertempuran itu, mana
mungkin mereka nantinya mengurus jenazahmu!” kata Nawang Sari sinis.
“Aku tak pernah mengharap imbalan atas apa yang telah kuperbuat, Nawang.
Semua apa yang kulakukan, tak lebih dari pengabdianku sebagai pendekar.
Sekarang, negeri ini sedang terancam. Dan selama ini, rakyat merasa aman di
bawah pemerintahan raja yang sekarang. Maka, apabila orang-orang asing itu
berhasil merebut negeri ini dan mendirikan kekuasannya, belum tentu mereka
akan memperhatikan rakyat. Bahkan tidak mungkin mereka akan menindas rakyat
dan mengeruk segala kekayaan yang dimiliki. Contoh yang jelas telah kita
lihat tadi. Tanpa belas kasihan, mereka seenaknya menyerbu dan membunuh
penduduk yang tak tahu apa-apa,” kilah Rangga.
Nawang Sari terdiam dan tak meneruskan kata-katanya.
***
Malam telah menyelimuti alam Kotaraja Gautama. Sementara itu, Pendekar
Rajawali Sakti, Pandan Wangi, dan Nawang Sari belum menemukan tempat
menginap. Bahkan perkampungan yang terdekat pun tak terlihat di depan mata.
Maka terpaksa mereka bermalam di tepi sebuah hutan. Kini Rangga tampak
tengah menghadapi api unggun tanpa menoleh pada kedua gadis itu. Pikirannya
masih terpusat pada kejadian tadi siang.
Saat ini, ingin rasanya dia terbang dan menghajar orang asing itu satu
persatu. Tapi dengan adanya kedua gadis ini, langkahnya terasa berat. Hal
inilah yang akan diutarakannya kepada Pandan Wangi. Pendekar Rajawali Sakti
melirik sekilas gadis itu. Tampak Pandan Wangi tertidur nyenyak beralaskan
rumput di sebelahnya. Dan Rangga jadi tak tega untuk meninggalkannya begitu
saja. Dan ketika melihat ke arah Nawang Sari, gadis itu pun juga tertidur
pulas bersama mimpi-mimpinya.
Pendekar Rajawali Sakti menghela napas pendek, kemudian beranjak agak
menjauhi mereka. Bulan di langit terlihat separoh, terselubung awan hitam.
Di sekelilingnya terbias cahaya redup. Sekilas Rangga mendongak, lalu
pandangannya kembali ke arah semula. Dia kini duduk pada sebuah batu yang
cukup besar. Lama Pendekar Rajawali Sakti termenung sendiri.
“Kau belum tidur juga, Kakang?” tiba-tiba sebuah suara memecah
keheningan.
“Heh?!”
“Jangan kaget! Aku hanya....”
“Pandan! Kenapa kau tak tidur? Apa kau tidak merasa letih oleh perjalanan
tadi siang?”
Gadis itu diam tak menjawab, lalu duduk di sebelah Rangga. Dipandanginya
bulan sekilas, sebelum beralih memandang kekasihnya.
“Sejak tadi kuperhatikan, kau nampak gelisah terus. Apakah ada sesuatu yang
mengganggu pikiranmu?”
Rangga mendesah kecil. Sulit baginya untuk mengatakan, apa yang terkandung
dalam hatinya. Selama beberapa lama bersama Pandan Wangi, rasanya ada yang
mengusik hatinya. Entah apa, dia sendiri tidak tahu. Yang jelas, Pendekar
Rajawali Sakti merasa semakin sayang saja pada gadis itu. Kadang, terbayang
dalam benaknya bila berumah tangga dengan Pandan Wangi, dan melupakan
petualangannya. Namun, jiwa kependekarannya menuntut lain. Masih banyak
keangkaramurkaan yang membentang di depan mata, dan mana mungkin
ditinggalkannya? Dan itu membutuhkan tenaganya, ketimbang bersenang-senang
di Kerajaan Karang Setra.
“Apa yang kau pikirkan, Kakang?” tanya Pandan Wangi lembut.
“Pandan, sudah berapa lama kita berpetualang meninggalkan Karang Setara?”
tanya Rangga.
“Cukup lama juga, Kakang. Kurang lebih dua bulan....”
“Hm.... Rasanya aku sudah lama tidak mendengar kabar tentang Karang Setra.
Kalau kau sudi, maukah....”
“Aku mengerti, Kakang...,” potong Pandan Wangi sambil menunduk. Suasana
sepi menyelimuti mereka untuk beberapa saat
“Aku rasa sudah saatnya bagi kita untuk berpisah. Dan aku ingin agar kau
pergi ke Karang Setra. Tunggulah aku di sana. Dan aku sendiri akan pergi
untuk membasmi orang-orang asing yang telah menjajah negeri ini,” ujar
Rangga.
Pandan Wangi memandang wajah kekasihnya dengan wajah muram. “Mengapa kau
tidak mengajakku, Kakang?” tanya Pandan Wangi. Rangga mendesah kecil.
“Maafkan aku, Pandan. Bukannya aku tidak mau mengajakmu. Tapi, aku ingin
mendengar kabar Karang Setra dari mulutmu sendiri. Kau bersedia, kan?”
Pandan Wangi diam membisu. Rangga lalu mendekati gadis itu.
“Aku tak perlu berpamitan pada Nawang Sari. Jelaskanlah esok hari...,” ujar
Rangga.
“Apakah Kakang akan pergi malam ini juga?”
Rangga mengangguk. Pandan Wangi segera berbalik dan menatap pemuda berbaju
rompi putih itu. Ada gejolak perasaan di hatinya yang sulit ditahan.
Sementara, Rangga bisa melihat dengan jelas kedua belah pipi gadis itu yang
basah deh air mata. Dan tiba-tiba saja Pandan Wangi memeluknya erat, dan
memberi ciuman ke bibirnya. Dan Rangga membalasnya tak kalah hangat.
Sebentar mereka saling berpagutan, kemudian saling menatap.
“Pergilah, Kakang. Tugas telah menanti. Jangan kecewakan semua pendekar.
Aku tak bisa menghalangi, meski berat melepaskanmu...,” lirih suara Pandan
Wangi tanpa melepaskan pelukannya.
Rangga tak tahu, apa yang dirasakan gadis itu saat ini. Wajah Pandan Wangi
disandarkan di bahu Rangga yang terasa hangat oleh air mata. Pemuda itu
masih terdiam sampai Pandan Wangi kembali mengangkat wajahnya.
“Pergilah, Kakang...!” ujar Pandan Wangi haru.
“Jaga dirimu baik-baik....”
Pandan Wangi menganggukkan kepala.
“Kau tentu bisa menjelaskan kepada Nawang Sari nanti, bukan?"
“Jangan khawatir, Kakang.”
“Aku pergi, Pandan...”
Pandan Wangi kembali menganggukkan kepala. Kali ini Rangga tak menoleh
lagi. Tubuhnya sudah berkelebat cepat, dan sesaat saja sudah lenyap dari
pandangan. Pandan Wangi lama mematung dengan perasaan tak menentu. Matanya
menatap kosong ke depan, pada kegelapan malam. Suara burung hantu dan kepak
sayap kelelawar seperti ingin mengusiknya dari lamunan. Desir angin malam
menyapu lembut wajah Pandan Wangi.
Hatinya kontan tersentak dari lamunan seraya bergegas melangkah pelan ke
tempatnya. Api unggun telah padam meninggalkan sisa-sisa arang yang masih
membara. Dan pandangannya langsung tertuju ke arah Nawang Sari tadi berada.
Tapi kini gadis itu telah lenyap entah ke mana. Pandan Wangi jadi bingung,
dan memanggil-manggil nama gadis itu dengan suara keras. Tapi, tak juga
terdengar sahutan. Dugaannya, mungkin Nawang Sari tengah buang air kecil.
Namun sampai ditunggu lama, gadis itu belum juga muncul. Pandan Wangi
semakin gelisah.
"Ke mana gadis itu? Apakah ada orang lain yang menculiknya? Ah, mustahil!
Kakang Rangga memiliki ilmu ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Tentu dia bisa
mengetahui kehadiran orang lain di sini. Hei? Jangan-jangan gadis itu
diam-diam mengikuti Kakang Rangga."
Pandan Wangi berkata sendiri dalam hati. Pandan Wangi bingung harus
bertindak apa. Maka diputuskannya untuk menyusul Rangga, dan memastikan
apakah dugaannya itu benar.
***
EMPAT
Apa yang diduga Pandan Wangi memang benar. Tadi, ketika dia bersama Rangga
menjauh dari tempat itu, diam-diam Nawang Sari yang sejak tadi berpura-pura
tidur segera bangkit dan mendengar pembicaraan mereka. Rangga yang saat itu
memang sedang tak memusatkan pikiran padanya, tentu saja tak mengetahui
kehadiran gadis itu. Dan ketika Rangga pergi dari tempat itu, Nawang Sari
sudah langsung mengikutinya.
Namun sejauh itu, meski semua ilmu larinya telah dikerahkan, Rangga belum
bisa terkejar. Nawang Sari kesal. Sepanjang malam gadis itu terus berlari,
sampai akhirnya kehilangan jejak Rangga sama sekali. Tapi dasar gadis liar,
pikirannya langsung menduga kalau Rangga tentu akan langsung menuju tempat
para pejuang di Kotaraja Gautama yang dijarah orang-orang asing.
Maka ke sanalah tujuan Nawang Sari sekarang. Matahari semakin meninggi di
atas cakrawala. Meski belum tepat benar di atas kepala, namun sengatannya
sudah mulai terasa di ubun-ubun. Nawang Sari merasakan matanya telah berat
dan tubuhnya mulai letih. Gadis itu berniat mencari-cari sumber mata air
untuk menyegarkan tubuh. Mujur baginya, sebab tak jauh dari situ terdapat
sebuah sungai yang mengalir bening. Nawang Sari segera mencari tempat yang
agak tersembunyi dari pandangan orang, sambil menyusuri tepian sungai.
Tiba di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pepohonan, dia terkejut sambil
memandang tak percaya. Tampak tidak begitu jauh, seorang pemuda yang sudah
dikenalnya sedang timbul tenggelam berkecipak di air, sambil berenang ke
sana kemari. Nawang Sari buru-buru bersembunyi di balik sebuah batu, sambil
terus memperhatikan dengan seksama. Jantungnya terasa berdegup kencang dan
wajahnya tampak berseri ketika yakin, siapa pemuda itu.
“Kakang Rangga...,” gumam Nawang Sari senang. Gadis itu lalu tersenyum
kecil.
Matanya yang nakal kemudian mencari-cari pakaian pemuda itu. Dan setelah
ditemukannya, dengan mengendap-endap diambilnya. Gadis itu kembali
bersembunyi di tempatnya tadi sambil menunggu pemuda itu selesai mandi.
Memang, setelah seharian berlari menembus malam, Rangga merasa perlu untuk
menyegarkan diri di sungai. Cukup lama tubuhnya berendam, dan kini bersiap
untuk naik.
“Hei?! Ke mana pakaianku? Pedangku? Astaga!” Rangga terkejut begitu melihat
pakaian serta pedangnya yang ditinggal di tepi sungai telah lenyap. Rangga
mencari-cari di ujung sungai kalau-kalau terhanyut, namun tak terlihat juga.
Hatinya mulai curiga. Pendengarannya segera ditajamkan, kalau-kalau
mendengar sesuatu. Dan ternyata tidak salah.
“Sobat yang bersembunyi di balik batu itu, keluarlah. Aku tahu kau di
sana!” Sementara itu, Nawang Sari tersenyum nakal. Sengaja dia diam untuk
beberapa saat.
“Nisanak! Apakah kau yang menyembunyikan pakaianku?” tanya Rangga, sudah
langsung menebak kalau yang bersembunyi di balik batu sebesar badan kerbau
itu seorang wanita. Kali ini, Nawang Sari keluar dari persembunyiannya
sambil tersenyum-senyum dan mengacungkan pakaian serta pedang Pendekar
Rajawali Sakti. Dan Rangga hanya menggelengkan kepala ketika mengenali gadis
itu.
“Nawang Sari, apa-apaan ini? Cepat kembalikan pakaianku!” dengus Rangga,
kesal.
“Hi hi hi...! Kakang, kau seperti tikus dalam got Ambillah sendiri kalau
bisa!”
“Nawang Sari, jangan bercanda. Ayo, cepat kembalikan pakaianku!”
“Tidak!”
“Apa maksudmu? Apakah kau ingin melihatku bugil di depanmu?”
“Hi hi hi...! Apakah kau berani melakukannya? Coba saja!”
Rangga kesal mendengar jawaban yang dirasa mempermainkan dirinya. Pemuda
itu menjadi heran, bagaimana mungkin Nawang Sari berani bicara begitu?
Biasanya, gadis-gadis akan malu dan langsung merah wajahnya bila mendengar
ancaman begitu dari seorang laki-laki. Tapi, Nawang Sari malah senyum-senyum
seperti menantang.
“Sudahlah, Nawang. Kembalikanlah pakaianku. Aku bisa kedinginan kalau
begini terus....”
“Aku akan mengembalikan pakaian dan pedangmu, asal kau mau mengabulkan
permintaanku,” kata Nawang Sari.
“Permintaan apa?”
“Katakanlah dulu kalau Kakang akan mengabulkannya!”
“Bagaimana mungkin aku bisa mengabulkannya sebelum mengetahui apa yang kau
inginkan? Kalau kau mau menyuruhku bunuh diri, bagaimana mungkin
kukabulkan?!”
“Hi hi hi...! Tidak. Aku tak akan menyuruhmu melakukan itu. Ayo, katakan
kalau kau akan mengabulkannya.“
Rangga berpikir sesaat, sebelum menganggukkan kepala.
“Sungguh!”
“Dasar nakal! Tidak cukupkah jawabanku itu?!” Rangga mulai kesal melihat
tingkah gadis itu.
“Apa? Kau memakiku? Lebih baik tak usah kukembalikan pakaian dan pedang
ini!” sahut Nawang Sari sambil memutar tubuh dan melangkah pelan.
“Hei, Nawang! Baiklah. Aku akan mengabulkan permintaanmu!” teriak Rangga
akhirnya. Gadis itu kembali berbalik sambil tersenyum penuh
kemenangan.
“Nah, begitu kan lebih baik....”
“Ayo, cepat katakan. Apa maumu? Dan setelah itu, kembalikan pakaian dan
pedangku!”
“Eit, sabarlah sebentar. Hal ini mungkin berat bagimu. Aku hanya ingin agar
kau mengajakku ke mana saja kau pergi....”
Rangga terdiam mendengar permintaan gadis itu.
“Bagaimana, Kakang? Kau pasti menyanggupinya, bukan?”
“Tak mungkin kalau selamanya.”
“Kalau begitu, baiknya pakaian dan pedangmu ini kubawa saja....”
Rangga berpikir cepat sebelum gadis itu melangkah pergi lagi. “Baiklah. Aku
akan mengabulkan permintaanmu....”
“Sungguhkah?!” bola mata gadis itu berbinar senang.
Rangga menganggukkan kepala, walau terpaksa.
“Kau seorang pendekar besar. Dan aku yakin, kau pasti akan selalu menepati
janji,” kata Nawang Sari, seraya meletakkan pakaian dan pedang Rangga di
tepi sungai.
Rangga melotot garang ketika melihat gadis itu masih memperhatikannya pada
jarak lima langkah.
“Hei! Apakah kau masih penasaran ingin melihatku bugil? Ayo, ke sana dan
jangan menoleh sedikit pun!”
“Eh, apa? Oh, baiklah...,” kata Nawang Sari, tampak gugup dan buru-buru
berbalik. Dia kemudian melangkah menjauhi tempat itu ketika Rangga melompat
dari dalam sungai dan buru-buru berpakaian.
“Sudah...?” Rangga diam saja sambil menyibakkan rambutnya. Gadis itu
menoleh sekilas, dan tersenyum lega. Lalu, dihampirinya Rangga ketika telah
berpakaian.
“Kenapa kau bisa tiba di sini?”
“Hm.... Kebetulan saja, karena langkah kakiku menuntunku ke sini....”
Rangga menatap gadis itu tajam-tajam.
“Kenapa? Ada yang aneh? Pandan Wangi mengatakan kepadaku tentang
kepergianmu. Dan aku pun merasa tak mau mengganggunya. Jadi, aku menentukan
sendiri langkah serta jalan hidupku,” kata Nawang Sari berusaha mengusir
praduga di benak Rangga tentang dirinya.
“Sejak kapan kau pergi?”
“Ya, sejak tadi malam tentunya!” sahut Nawang Sari pendek.
“Dan kau tiba di tempat ini sejak tadi?”
“Kata siapa? Aku baru saja tiba dan melihat kau sedang mandi di
sini.”
Rangga tersenyum tipis, lalu berjalan pelan. Sementara Nawang Sari
mengikuti di sebelahnya. “Nawang! Untuk perempuan lemah yang tak memiliki
kemampuan ilmu olah kanuragan sepertimu, jalan di waktu malam adalah sangat
membahayakan. Kemudian yang kedua, jarak tempat itu ke sini cukup jauh.
Rasanya mustahil kau dapat menempuh perjalanan dalam waktu secepat ini.
Hm.... Apa lagi yang akan kau sembunyikan dariku...?”
“Aku tak menyembunyikan apa-apa darimu. Kenapa? Apakah kau tak mempercayai
ceritaku?”
“Lalu bagaimana caranya kau bisa tiba di sini secepat ini? Atau barangkali
kau ingin mengatakan kalau memiliki ilmu terbang?”
“Aku..., aku. Eh..., aku menunggang kuda....”
“Menunggang kuda?”
“Kenapa? Aneh? Apakah tidak boleh seorang gadis desa dan lemah sepertiku
menunggang kuda?”
“Kau gadis desa yang istimewa dan tak umum. Entahlah. Aku banyak tak
mengerti ceritamu...,” gumam Rangga tersenyum kecil sambil menggeleng
lemah.
“Aku tak memintamu untuk mempercayai ceritaku, Kakang.”
“Lalu apa gunanya memintaku untuk selalu mengajakmu ke mana saja aku
pergi?”
“Karena..., karena..., ah! Begitu kejamkah hatimu terhadap gadis malang
sepertiku? Aku tak tahu, ke mana harus pergi. Dan saat ini, hanya kaulah
satu-satunya yang bisa kupercaya. Apakah aneh bila kemudian aku merasa kalau
kaulah satu-satunya orang yang kuanggap dekat denganku dan memperhatikan
hidupku?”
Rangga terdiam tanpa menghentikan langkahnya.
“Kakang Rangga! Apakah kau keberatan dengan permintaanku itu? Aku
betul-betul tak tahu harus kemana. Berjalan seorang diri bagi gadis lemah
sepertiku sangat membahayakan. Dan itu pernah ku alami. Kalau saja kau tak
cepat datang, entah bagaimana nasibku menanggung malu yang tiada
terkira...,” ratap Nawang Sari lirih dan terisak kecil.
Rangga menoleh sekilas. Tampak gadis itu menutup wajahnya sambil berlari
kecil menjauh. Lalu kesedihannya ditumpahkan di bawah sebatang pohon. Mau
tak mau, Rangga menjadi iba dan menggeleng pelan. Didekati dan ditepuknya
bahu gadis itu lembut.
“Sudahlah, kenapa untuk soal itu saja kau menangis...?”
“Bagimu mungkin tak terlalu memusingkan. Tapi, apakah kau bisa merasakan
bagaimana aibnya bila seorang gadis telah kehilangan kehormatannya? Hidup
pun tak lebih mulia dibanding seonggok sampah yang menjijikkan!” dengus
Nawang Sari sengit di antara isak tangisnya.
Rangga terdiam. Sulit, apa yang harus dilakukannya dalam keadaan begini.
Bicara salah dan diam pun terasa menyiksa. Akhirnya, Rangga hanya bisa
mondar-mandir sambil mendesah pelan dengan wajah bingung. Sesekali
dilihatnya gadis itu. Barangkali saja tangisnya sudah reda. Nawang Sari
terdiam, namun wajahnya masih menekuri batang pohon. Dan Rangga jadi
ragu-ragu untuk menegurnya.
“Sudahlah, Nawang. Maafkan kalau kata-kataku tadi menyinggung
perasaanmu....” Nawang Sari diam tak memberikan jawaban. “Ayolah. Mari kita
lanjutkan perjalanan....”
“Kau harus berjanji dulu.”
“Tadi memenuhi permintaanmu, dan sekarang harus berjanji lagi. Lalu,
sebentar lagi apa?” tanya Rangga bernada kesal.
“Kau pasti sangat membenciku, Kakang...,” lirih suara Nawang Sari, seperti
tak mempedulikan kata-kata Rangga.
“Tidak. Kenapa aku mesti membencimu...?”
“Sungguh, kau tak membenciku?” Nawang Sari berbalik dan langsung menatap
Rangga dalam-dalam.
Dan pemuda itu berusaha tersenyum manis, seraya membalas tatapan Nawang
Sari.
“Jawablah pertanyaanku, Kakang....”
“Aku harus jawab apa?”
“Kau membenciku, bukan?”
“Tidak!”
“Kalau kau tak membenciku, berarti kau..., kau menyukaiku...?”
“Apa maksudmu, Nawang Sari? Bicaramu semakin membuatku bingung saja.
Sudahlah, lupakanlah hal itu...,” Rangga berbalik lalu melangkah
pelan.
Nawang Sari mengikuti kembali di sampingnya. “Apakah Pandan Wangi itu
kekasihmu...?”
“Kenapa kau tanyakan hal itu?”
“Aku hanya ingin tahu. Tidak boleh? Hm, aku semakin yakin kalau kau
mencintai Pandan....”
Rangga tersentak juga mendengar ucapan gadis itu. Dipandangnya Nawang Sari
agak lama. “Nawang Sari. Rasanya aku memang harus berterus terang padamu.
Antara aku dengan Pandan Wangi memang mempunyai hubungan khusus. Dan itu
sudah terjalin cukup lama,” kata Rangga, berterus terang.
“Oh, apa?!” Nawang Sari terkejut seraya memalingkan muka. Makin kuat
dugaannya kalau Pandan Wangi memang kekasih Rangga. Semalam dia telah
melihat Rangga dicium Pandan Wangi. Dan kini, Rangga mengakui kalau sudah
menjadi kekasih Pandan Wangi.
“Nawang! Kau kenapa?!” Tanpa sadar Rangga menarik kedua bahu Nawang Sari
hingga wajah mereka saling bertemu. Namun belum lagi Rangga mendapat
jawabannya, tiba-tiba terdengar bentakan keras.
“Nawang Sari! Hm.... Bagus benar perbuatanmu itu!”
“Heh?!”
“Sidarta...?!” desis Nawang Sari ketika mengenali orang yang hadir di
tempat itu.
Tampaklah seorang pemuda gagah bertubuh tinggi kekar, tengah berdiri tegak
pada jarak sepuluh tombak di belakang mereka. Kedua tangannya disilangkan di
depan dada. Rambutnya yang pendek dan kaku, diikat sehelai kain merah.
Kulitnya sawo matang agak kehitam-hitaman, dan wajahnya terlihat
kasar.
“Nawang Sari, kemari kau!” bentak pemuda itu keras.
“Huh! Sidarta, kau pikir siapa dirimu hingga berani membentak keras
padaku?!” dengus Nawang Sari sengit.
“Hm, bagus. Rupanya kau telah kepincut bocah ini. Asal kau tahu, Nawang.
Siapa pun orang yang telah berani mendekatimu, maka mesti berhadapan
denganku!”
“Hi hi hi...! Sidarta, kau boleh saja bermimpi. Tapi, aku berhak menentukan
jalan hidupku sendiri. Hm.... Kenapa kau merasa menjadi kekasihku. Padahal,
melihat tampangmu saja aku sudah jijik!”
“Kurang ajar!” pemuda yang dipanggil Sidarta itu memaki seraya mendekati.
Sidarta langsung memandang tajam ke arah Rangga, dan menuding sinis.
“He, Bocah? Pergilah dari hadapanku sebelum kuhajar! Karena ulahmu, Nawang
Sari berani berkata kasar begitu. Ayo, pergi! Atau perlu kutendang?!"
“Kisanak, jaga kata-katamu itu. Aku sama sekali....” Kata-kata Rangga
terpaksa berhenti ketika dengan gusar Sidarta sudah langsung mengayunkan
kepalan tangannya.
“Mampus!"
Tapi Rangga cepat memapak pukulan Sidarta dengan telapak tangan kirinya
yang mengembang.
Tap!
Tiba-tiba, Sidarta memutar tubuhnya. Sementara, tangan kirinya mengibas ke
arah pelipis. Namun, Rangga cukup jeli. Cepat-cepat kepalanya ditundukkan
untuk menghindarinya. Mendapat serangannya gagal, Sidarta semakin kalap
saja. Maka langsung tendangannya diayunkan serta pukulan bertubi-tubi.
Melihat serangan bertubi-tubi ini, Rangga jadi kesal juga. Apalagi
sebelumnya sikap pemuda itu begitu sombong. Bahkan sama sekali tak memandang
sedikit pun padanya.
Hal itu sudah cukup membuat Rangga ingin memberi pelajaran. Maka ketika
satu serangan Sidarta meluncur menghantam ke arah muka, Rangga cepat
menangkis dengan tangan kirinya. Bahkan langsung ditangkapnya pergelangan
tangan lawan. Lalu dengan kecepatan yang sulit diduga, lutut kanannya
bergerak menghajar perut lawan, setelah menarik tangan Sidarta.
“Hih!”
Bugk!
“Ugkh...!”
Sidarta mengeluh kesakitan. Dan dalam keadaan tangan masih tergenggam,
Sidarta kontan terbungkuk. Kesempatan ini digunakan Rangga untuk mengangkat
tubuhnya ke belakang. Langsung dibantingnya Sidarta dengan keras ke tanah.
Kembali Sidarta berteriak kesakitan, lalu berusaha bangkit dengan gemas.
Namun Pendekar Rajawali Sakti lebih cepat bergerak. Langsung dilepaskannya
satu tendangan cepat, menghajar dagu Sidarta.
Diegkh!
“Ugkh...!”
Kembali Sidarta tersungkur dengan beberapa buah gigi tanggal serta bibir
pecah mengeluarkan darah. Wajahnya mencium tanah dengan keras.
“Kisanak, kukira cukuplah pelajaran ini agar lain kali kau bisa bersikap
sopan pada orang lain!” dengus Rangga dingin, sambil menatap tajam pemuda
itu.
Sidarta mendengus geram. Hajaran Rangga tadi sudah cukup membuat nyalinya
ciut dan tak berani mencoba menyerang kembali. Sorot matanya tajam
bergantian memandang Rangga dan Nawang Sari. Sambil mengusap darah yang
keluar dari bibirnya, dia mendengus sinis.
“Baiklah. Aku mengaku kalah. Kau boleh berbuat apa saja terhadap Nawang
Sari. Tapi, ingat! Dia tetap milikku. Dan tak kuizinkan seorang pun untuk
mendekatinya. Tidak juga kau! Hari ini kau boleh menang. Tapi nanti, aku
akan datang lagi untuk menagih kepalamu!”
Rangga tak melayani amarah yang dilontarkan Sidarta. Dibiarkannya pemuda
itu pergi, meski Nawang Sari hendak bergerak memungut sebuah batu.
Maksudnya, hendak dilemparkan ke arah Sidarta.
“Kenapa, Kakang? Kau terlalu berbaik hati pada orang yang akan berbuat
kurang ajar padamu!”
“Siapa yang berbuat kurang ajar? Kau terlalu banyak membuat persoalan.
Siapa sebenarnya kau ini?” tanya Rangga kesal, menatap gadis itu
curiga.
Nawang Sari tersedak. Tampak wajah Rangga telah berubah dingin. Dan ini
memang disengaja Rangga, karena tidak ingin memberi harapan pada gadis
itu.
“Nawang Sari, aku tak ada waktu untuk meladenimu. Selamat tinggal!” kata
Rangga langsung berbalik, dan melesat cepat bagai kilat.
Nawang Sari diam saja saat Rangga hilang ditelan lebatnya hutan. Entah apa
yang dirasakan gadis itu saat ini. Matanya kosong menatap ke arah Rangga
yang sudah hilang dari penglihatannya. Tubuhnya berdiri tegak dengan air
mata berlinang pelan membasahi pipinya yang halus.
***
Emoticon