S
EBELUM berangkat menembus dimensi gaib, Kumala sempat berpesan pada si
mungil Barbie.
"Selama kakak pergi, kamu tinggal di sini bersama Kak Ray, ya? Dan,ingat
jangan nakal, jangan bikin ulah dan... pokoknya jangan macemmacem.
Ngerti?"
Barbie mengangguk, tapi juga bernada komplein.
"Di sini sepi, Kak. Lebih baik Kak Ray .yang pindah ke rumah kita, kan ada
Bang Sandhi, ada Bang Buron dan ada Emak."
"Kak Ray sedang sakit. Makanya dia di sini buat istirahat."
"Tapi tadi aku lihat Kak Ray sehat-sehat aja kok? Sakit apaan sih,
Kak?"
"Sakit bagian dalamnya. Nggak bisa kelihatan,"
"Ooo... sekarang aku tahu maksud Kak Mala suruh aku tinggal di sini,"
Barbie tersenyum-senyum sambil matanya melirik lucu. Sok tua.
"Tahu apa maksudmu?"
"Aku disuruh jagain Kak Ray yang sedang sakit kan? Kalau aku tinggal
bersama Bang Sandhi di rumah sana, maka Kak Ray nggak ada yang menjaganya,
begitu kan?"
Sama sekali tak terlintas ide seperti itu di benak Kumala. Tapi setelah
dicerna sesaat, bagus juga ide seperti itu. Kumala pun mengangguk dengan
berpurapura tersenyum malu.
"Kamu memang anak pinter, Barbie. Nggak bisa dibohongi."
"Iya dong, kan adiknya Kak Mala, harus pinter. Ya, kan?"
"Benar, benar... ," Kumala manggut-manggut menyenangkann hati gadis kecil
itu. Katanya lagi, "Habis, nggak ada orang lain yang kakak percayai untuk
menjaga sakitnya Kak Ray kalau bukan kamu, Barbie.Tapi, kakak takut Barbie
kesel kalau kakak terangterangan suruh Barbie jagain Kok Ray."
"Aku nggak kesel kok. Kakak tenang aja deh. Kalau soal jagain sakitnya Kak
Ray, aku bisa kok. Jangan kuatir dijamin aman deh," sambil mengacungkan
jempol.
Lagaknya lucu, membuat Kumala geli dan merasa sedikit tenang. Setidaknya
kenakalan Barbie untuk sementara tidak terlalu mengkhawatirkan.
Biar pun nakalnya bukan main, tapi anak itu ternyata punya kecenderungan
untuk bertanggung jawab terhadap tugas dan janjinya.
Terbukti sejak kepergian Kumala ia tak pernah bikin ulah yang menjengkelkan
Rayo. Ia justru tampak riang dan betah tinggal di villa itu. Mungkin karena
Rayo sendiri'pandai mengambil hati Barbie, memahami kemauan anak, mengerti
keji-waan bocah, sehingga anak itu merasa mendapat teman sebaya
sepermainan.
Sejujurnya Rayo mengakui bahwa ia justru terhibur- di pengasingan bersama
Barbie. Anak itu lucu dan menyenangkan baginya. Sesekali ada kebandelan itu
hal yang biasa bagi seorang anak. Rayo dapat memakkuni. Tapi dalani banyak
hal Barbie bisa bersikap patuh dan bisa memahami kemauan Rayo.
"Nah, sekarang Barbie mandi dulu karena sudah sore, ya?"
"Tapi habis mandi, Kak Ray dongeng lagi, ya?"
"Dan habis mandi, Sayang Habis maem aja dongengnya."
"Iya deh, habis makan aja."
Menurut pengamatan Rayo, anak itu punya sifat tidak mau diperintah secara
paksa: Ada semacam gengsi yang tumbuh dalam jiwa anak itu jika diperintah
secara paksa, atau diperlakukan sebagai anak kecil yang harus patuh pada
semua perintah. Barbie itu anak yang cerdas, tapi juga kritis dan
ceriwis.
Rasa ingin tahunya terhadap persoalan apa saja telah membuat anak itu
menjadi kritis dan ceriwis. Jika ditanggapi dengan kesabaran, maka secara
otomatis ia akan merasa puas. Dan, jika ia sudah puas maka ia akan hargai
lawan bicaranya.
Seperti halnya ketika Barbie menanyakan sakitnya Rayo, sebelum ia mendapat
penjelasan yang bisa diterima oleh logika anak-anaknya, maka ia akan
bertanya-tanya terus.
"Aku heran, kata Kak Mala, Kak Ray sakit. Tapi kok aku. lihat Kakak
makannya banyak. Kalau jalan masih tegak, nggak lemes, dan nggak
merintih-rintih., Sebenarnya Kak Ray sakit apa?"
Setelah berpikir sejeriak Rayo memberikan jawab yang sangat sederhana dan
mudah dipahami.
"Kak Ray sakit perut, Sakitnya kadang datang, kadang ilang. Jadi nggak
setiap saat Kak Ray merintih-rintih"
"Ooo... ," Barbie mengangguk-anggukkan kepala. Menandakan bahwa keterangan
itu bisa diterima oleh logjka anak-anaknya.
"Kakak udah periksa ke dokter, lalu dokter bilang bahwa kakak sakit karena
kecapekan bekerja. Jadi, kakak diharuskan untUk beristirahat. Kalau kakak
tinggal di rumah sana, kakak nggak bisa istirahat. Pasti ada teman datang
yang ngajak main atau ngajak kerja. Jadi, kakak memilih istirahat di tempat
itu."
"Ooo...," Barbie manggilt-manggut lagi. "Kak Ray mau nggak aku pijitin,
biar capeknya hilang."
"Mad. Tapi besok saja. Sekarang udah malam. Udah jam... sepuluh," sambil
menunjuk jam dinding yang ada di kamar tidur itu. "Karena sudah larut malam,
jadi Barbie hams bobo. Supaya besok bisa bangun pagi, bisa dengerin Kakak
mendongeng lagi. Ya?"
"He,eh... ! Besok aja dipijitnya yang, Kak."
Seandainya saat itu ada Kumala, atau Sandhi, Buron, atau Mak Bariah, maka
mereka akan tercengang heran melihat kepatuhan Barbie kepada Rayo.
Tanpa banyak protes lagi Barbie berbaring sambil memeluk boneka Panda-nya.
Rayo menyelimutinya dengan rapi, lalu memberi ciuman di kening bersarnaan
dengan ucapan selamat tidur. Setelah mematikan lampu utama clan menyalakan
lampu tidur, Rayo pun berbaring di samping anak itu.
Walau sebenarnya Rayo belum mengantuk sedikit pun, namun is hams
berpura-pura tidur juga supaya Barbie merasa diperlakukan setara dengan diri
Rayo.
Jika anak itu sudah tertidur nyenyak, Rayo baru turun meninggalkan ranjang,
mengerjakan sesuatu yang nienjadi urusan pribadinya.
Udara dingin dan suasana sepi di villa itu sering membuat Rayo tak betah
melek sampai lewat pukul dua belas tengah malam. Padahal jika ia di rumahnya
sendiri, ia jarang tidur sebelum lewat satu malam. Sekarang di villa itu ia
menjadi orang yang cepat mengantuk. Dia perkirakan hal itu berhubungan
dengan kondisi kehamilannya.
"Terserah, mau ada hubungannya atau nggak, sebaiknya nggak usah kubahas
sendiri. Bukankah Lala sudalr,berpesan agar aku jangan mernikirkan
kehamilanku ini, karena menurutnya hal itu hanya akan buang-buang energi.
Cuma bikin pusing aja. Toh sebentar lagi Lala akan lesaikan urusannya dengan
pihak Kahyangan dan janin yang kukandung ini akan dikembalikan kepada
pemilik sebenarnya, sesuai janji. paman Dewa Jenaka."
Benar. Rayo tidak mau berpikir tentang. keganjilannya itu. Ia merasa lebih
baik mengikuti hawa kantuknya daripada harus mengalami tekanan batin akibat
memikirkan kehamilannya. Maka; pukul sebelis lewat, Rayo sudah tidak ingat
apa-apa lagrHanyut ke alam tnimpinya. Nyenyak.
Hanya saja, kenyenyakan tidur itu kali ini terganggu 'oleh tangan Barbie
yang mengguncangguncang lengannya. Barbie membangunkan tidur Rayo dengan
satu alasan klise.
"Aku pengen pipis, Kak."
"Ya, ke kamar mandi sana. Jangan lupa nanti diguyur ya?"
"Anterin, Kak. takut."
"Aduuh, Barbie... kemarin malam kamu kehiarmasuk kamar mandi sendirian
nggak takut. Masa' sekarang talcut?!" tapi Rayo tetap saja bangun melayani
kemanjaan Barbie.
Selesai buang air kecil, Barbie mendapat teguran dari Rayo.
"Lain kali kalau maupipis nggak usah bangunin kakak, ya? Soaffiya, kalau
kakak sudah tidur, lalu dibangunkan, maka akan sulit untuk tidur
kembali."
"Iya, Kak."
"Nggak usah pakai alasan takut lagi. Kakak tahu, Barbie anak pemberani.
Nggak pemah punya rasa takut pada siapa pun. Jadi, Barbie jangantohongin
kakak lagi dengan alasan takut, ya?"
Barbie mengangguk "Iya. Sebenarnya aku bangunkan Kakak bukan karena takut
ada setae."
"Tuh ! , bener kan. Lantas, karena apa?"
"Karena aku mau kasih tahu Kakak,b tapi takut kalau nggak dipercaya."
"Mau kasih tahu apa maksudmu?"
"Hmmrn, mau kasih tahu... di luar rumah ada orang, Kak."
Diam sebentar Rayo menyirnpulkan ucapan anak .
"Dia mau dekatin rumah ini, Kak."
"Orang... orang apa maksudmu?"
"Orang itu mau jahat sama Kakak."
Makin berkerut dahi Rayo, makin tajam matanya mernandang Barbie. Yang
dipandang sebentar-sebentar memperhatikan ke arah pintu. Hal itu membuat
Rayo bertambah curiga.
"Barbie, kamu sungguh-sungguh bicara begitu?"
"Kalau nggak percaya, coba Kakak intip dari balik gordyn depan. Kakak akan
lihat seorang perempuan berdiri di depan pintu gerbang sana. Dia pakai topi,
kayak anak lelaki."
Penasaran hati Rayo jadinya. Ia ingin buktikan kata-kata anak itu, sebab ia
sudah punya banyak informasi tentang kelebihan bocah berwajah boneka
ini.
Dengan hati-hati sekali Rayo keluar dari kamar, diikuti oleh Barbie. Mereka
menuju ruang tamu yang sengaja tidak dinyalakan lampunya.
Dalam keadaan gelap Rayo menyingkap sedikit gordyn penutup dinding kaca
yang menghadap ke arah depan. Dari situ ia dapat memandang ke arah pintu
gerbang yang berjarak 30 meter dari tempatnya berada.
"Astaga...?!" ucap Rayo.
Ternyata yang dikatakan Barbie memang benar. Ada orang yang berdiri di
depan pintu gerbang. Orang itu sendirian, mengenakan celana jeans, jaket,
dan mengenakan topi biru. Cahaya lampu taman membias sampai sana, sehingga
siapa pun yang berdiri di sada akantelihatan dan tempat Rayo
mengintig.
"Dia bukan perempuan, tapi lelaki," bisik Rayo.
"Bukan lelaki, Kak. Dia itu perempuan. Tapi dia pakai topi dan celana
panjang, jadi seperti lelaki."
"0, gitu?" Rayo mengintai kembali.
Orang tersebut masih berdiri di tempatnya dengan kedua tangari dimasukkanke
dalam saku jaketnya. Lalu, Rayo kembali bicara pada Barbie.
"Menurutmu dia itu. siapa? Pencuri atau perampok?"
"Nggak tahu. Pokoknya, dia punya niat jahat. Dia bukan orang biasa. Dia
punya ilmu juga, seperti Kak Mala."
"Oh, dia punya kekuatah gaib?!"'
"iya. Punya kekuatan gaib. Sebentar lagi dia akan buat semua listrik di
sini padam."
"Wah, gawat! Sebaiknya kita...,"
Blaaap... ! Rayo belum selesai bicara, listrik sudah padam lebih dulu.
Semua tempat menjadi gelap. Bukan hanya lampu di villa itu saja yang padam,
tapi lampu jalanan dan di villa lain juga padam.
"Barbie, sini ikut kakak ke kamar. Kakak mau ambil HP buat telepon polisi."
Rayo berusaha rnenggenggam tangan Barbie untuk dibawa masuk ke kamar.
"Nggak usah telepon orang lain, Kak. Tenang aja, aku mau nyalakan semua
lampu yang padam in."
"Barbie, kamu. .."
Kaki anak kecil itu menghentak ke lantai satu kali sebelum Rayo selesai
bicara.
Duugh... !
Maka, seketika itu juga semua lampu meniadi menyala. Bahkan lampu yang
semula memang dipadamkan ternyata ikut menyala juga. Lampu jalanan yang
padam sejak tiga hari yang lalu, kini menyala terang. Semua lampu menyala
dua kali lipat lebih terang dari aslinya.
Rayo sempat tertegun kagum memandangi Barbie. Tapi dia segera ingat tentang
orang misterius di gerbang sana, maka ia pun buru-buru mengintip lagi dari
balik gordyn yang tadi.
"Orang itu masih ada!" bisik Kayo. "Tapi dia sudah berada di halaman kita.
Belum jauh dari pintu gerbang sih, dari mana dia bisa masuk, padahal pintu
gerbang terkunci dan tampaknya tidak dirusak sedikit pun?"
"Kakak heran, ya?"
Teguran pelan Barbie membuat Rayo sadar bahwa keajaiban seperti itu
mestinya sudah bukan sesuatu yang mengherankan lagi baginya. Pasti perempuan
bertopi biru itu menggunakan kekuatan gaibnya untuk bisa menembus gerbang
besi tinggi 'itu.
"Bie..., sekarang dia sedang kebingungan memandang ke sana-sini. Heran
melihat lampu menyala semua, kali ya?"
Barbie ikut ngintip lewat celah gordyn itu juga.
"Dia bukan bingung melihat semua lampu menyala, Kak. Tapi dia sedang
mencari siapa yang menyalakan lampu-lampu ini,"
Berbie tertawa cekikikan, tapi sangat pelan. Tangan Rayo buru-buru
membungkamnya, karena khawatir didengar perempuan tersebut.
Blaab... !
Lampu padam lagi.
Sebelumnya Rayo sempat melihat perempuan itu menjentikkan jarinya, lalu
semua lampu menjadi padam. Maka, Barbie pun segera menghentakkan kakinya ke
lantai seperti tali.
Duugh... !
Dan, semua lampu menyala kembali secara serentak. Rayo melihat perempuan
bertopi itu terperangah kesal. Lalu, ia berjalan dengan langkah cepat menuju
teras.
"Kak, Kak... orang itu mendekati kita!"
"Ssst, iya... kakak tahu. Sebaiknya kakak keluar saja untuk temui dia dan
menanyakan apa maunya."
"Jangan, Kak! Nanti orang itu celakai Kakak."
" Kalau kakak bersikap baik-baik, mungkin dia.. ."
"Pokoknya jangan keluar. Orang itu memang cari Kakak."
"Terus, gimana dong?"
"Aku aja yang temui dia," jawab Barbie dengan ucapan cepat.
Rayo tak sempat melontarkan kata pencegahan, tahu-tahu anak itu sudah
berkelebat pergi. Menembus pintu.
Bluuuss... !
Rayo hanya bisa tercengang melihat kejadian gaib yang dilakukan bocah
sekcil Barbie.
Timbul rasa khawatirnya terhadap Barbie. Rayo tak ingin terjadi sesuatu
yang membahayakan pada diri anak itu, maka ia segera menyusulnya keluar.
Tapi rupanya pintu tak bisa dibuka..Kunci pinta itu tak berfungsi .
"Pasti dibuat begini oleh Barbie, biar aku nggak bisa keluar! Sialan tuh
anak!" sambil tangan Rayo menyingkap kembali kain gordyn tempatnya mengintip
dari tadi.
Dilihatnya anak itu sedang duduk di tepian ternbok teras yang tingginya
hanya satu meter kurang.
Barbie duduk dengan santai, mengayun-ayunkan kedua kakinya. Tenang sekali.
Tak merasa kedinginan sedikit pun, padahal ia hanya mengenakan rok bertali
di pundaknya tanpa lengan.
Perempuan bertopi itu memperlambat langkahnya setelah menyadari ada seorang
anak duduk di teras. Kedua tangan yang tadi dimasukkan saku jaket, kini
dikeluarkan dengan jari-jari sedikit renggang. Sepertinya ia bersiap
melakukan satu tindakan yang bersifat menyerang. Atau berjaga-jaga
menghadapi bahaya yang sewaktu-waktu datang menyerangnya.
Semakin dekati teras, semakin lambat langkahnya. Dari tempat pengintaiannya
Rayo bisa melihat jelas raut wajah perempuan itu. Bahkan ekspresi keheranan
perempuan itu pun bisa terlihat jelas oleh Rayo.
"Mau cari siapa, Bibi?" tegur Barbie dengan tengil.
Perempuan itu tidak langsung menjawab, tapi menghentikan langkahnya dan
menaikkan topinya sedikit, agar penglihatannya lebih jelas lagi. Barbie
cengar-cengir seenaknya. Tetap tenang.
"Bibi mau cari siapa? Kok nggak jawab sih?"
"Kamu tinggal di sini?"
"He,eh. Kenapa?"
"Mama kamu mana ?"
"Mama itu apa? Ibu, ya? Kalau ibu, nggak ada."
"Lalu, siapa orang yang sedang hamil di rumah ini?"
Rayo terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia mengusap perutnya dengan dahi
berkerut, karena hatinya bertanya-tanya, apa maunya orang itu dan mengapa
bertanya tentang kehamilan.
"Hamil itu apa sih? Lapar?"
Perempuan itu makin mendekat lagi. Sengaja membungkuk biar beradu pandangan
dengan Barbie.
"Hamil itu perutnya mengandung bayi. Siapa yang sedang mengandung bayi di
rumah ini?"
"Bukan aku kok. Aku kan masih kecil. Mana bisa perutku dimasuki
bayi."
"Aku tahu kalau bukan kamu, tapi siapa?"
"Yaaa, nggak tahu. Tanya aja sama yang lain. Aku orang baru di sini,
Bi."
"Kalau begitu aku akan menggeledah rumah ini, dan mengambil kandungan orang
yang sedang hamil."
Wuuut... !
Tahu-tahu gadis kecil itu sudah berdiri menghadang langkah perempuan
bertopi, yang tak lain adalah Mak Ayu.
Keberadaan Barbie yang tahu-tahu menghadang di depannya sempat membuat Mak
Ayu semakin curiga. Ia tak melihat anak itu berdiri dari duduknya, bahkan
tidak melihat anak itu bergerak turun dari tempatnya semula, tapi dia bisa
dengan cepatnya berada di depan pintu masuk.
"Anak ini bukan sembarang anak," pikir Mak Ayu. " Tapi kenapa nggak ada
getaran energi apapun yang kurasakan darinya?"
"Bibi nggak boleh masuk!" Barbie merentangkan kedua tangan saat Mak Ayu
maju selangkah.
"Sepertinya aku pemah melihatmu, Nak."
"Aku belum pernah tuh," jawab Barbie dengan spontan sekali.
Mak Ayu menarik napas panjang.
"Kalau kamu meng,halangi langkahku, kamu akan menyesal. Jadi, sebaiknya
kamu jangan sok tahu begitu, Nak. Menyingkirlah!"
"Nggak mau."
Barbie bertolak pinggang. Lagaknya semakin tengil. MakAyu menjadi bertambah
geram. Rayo sangat khawatir melihat Barbie bertingkah begitu. Tapi ia hanya
bisa kebingungan sendiri di dalam karena tak bisa membuka pintu depan.
Bahkan ketika ia mencoba mau lewat belakang, lalu memutar ke samping untuk
sampai teras, temyata pintu belakang pun sulit dibuka. Pintu tembus garasi
sama sekali tak hisa bergerak handienya.
"Hey, anak kecil nggak baik berlagak begitu sama orang tua. Kurangajar itu
namanya."
"Biarin."
Mak Ayu menggeram, "Kamu benar-benar memaksaku marah ya?,Haah ... ? !
"
Mak Ayu mengayunkan tangannya untuk menampar wajah Barbie, tapi ayunan itu
tak mengenai apapun selain udara kosong.
Sekali lagi Mak Ayu maju selangkah agar tangannya bisa menjangkau Barbie.
Kemudian, tangan itu diayunkan kuat-kuat dengan sasaran wajah Barbie.
Wuuuut... !
Kencang sekali. Tapi Mak Ayu seperti menampar udara. Tanpa mengenai
apa-apa.
"Kamu lagi ngapain, Bi? Hi hi hi hi... ! " Barbie menertawakin.
Kemarahan tak dapat ditahan-tahan lagi. Mak Ayu meraih kepala Barbie,
menjambak rambutnya, kemudian dengan sadis ia lemparkan anak itu membentur
tiang teras.
Wuuusst... !
"Hahh ..?! " Mak Ayu terbelalak kaget. Ternyata ia tidak melemparkan
apa-apa.
Barbie masih berdiri di tempatnya sambil cekikikan sendiri.
"Kurangajar! Kau berani mempermainkan aku, Bocah busuk ... !!"
Kini dengan kedua tangannya Mak Ayu menjambak rambut Barbie, satu tangannya
mencengkeram lengan Barbie. Anak itu diangkat dan dibantingkan ke arah pilar
teras lagi.
Wuussst... !
Kejadiannya sama seperti tadi. Tidak ada yang dibanting oleh kedua tangan
Mak Ayu. Padahal tadi dia yakin betul telah berhasil menjambak rambut dan
mencengkeram lengan anak itu. Tapi kenyataannya ia hanya seperti membanting
udara kosong dengan sekuat tenaga. Suara Barbie terdengar cekikikan di
belakangnya.
Mak Ayu makin dibakar kemarahan. Napasnya tampak terengah-engah. Dadanya
naik-turun dengan jelas sekali. Tatapan matanya menjadi liar dan
beringas,
"Hi hi hi hi... Bibi habis ngapain? Kok ngos-ngosan ?"
"Jangan ngeledek kamu, haaagggrrh ... !!"
Tangan kanan Mak Ayu diangkat melebihi kepalanya Telapak tangan itu seperti
terbakar di bagian tengahnya. Menyala merah seperti bara. Energi gaibnya
itulah yang akan dihantamkan ke tubuh Barbie tanpa ragu-ragu lagi. Sedikit
pun sudah tak ada belas kasihan lagi terhadap anak itu.
Tapi sebelum tangannya Mengayun, Barbie sudah .lebih dulu menudingkan jari
telunjuk ke arah Mak Ayu sambil tetap cekikikan.
"Hi, hi, hi, hi... Bibi tangannya lucu, ada lampunya . Hihihi ... !"
Wuuuuussss... !.
Tahu-tahu tubuh Mak Ayu seperti diterjang badai paling ganas. Terlempar ke
belakang dengan sangat kuat. Topinya terlepas dari kepala, rambutnya tampak
terurai panjang. Mak Ayu tak mampu menguasai keseimbangan badannya:
Melayang-layang di udara bebas dalam posisi telentang. Suaranya mengerang
panjang.
Gumprrrraaang , ... !!!!
"Aaahhk ... ! " pekik Mak Ayu, karena hempasan itu membuat kepalanya beradu
keras dengan pintu gerbang besi. Ia terbanting di sana, lalu terkapar sambil
mengerang kesakitan.
Bukan hanya kepalanya yang berdarah dan dipegangi tangannya, tapi tangan
yang satunya juga memegangi dada yang terasa sakit sekali itu.
Sekujur tubuhnya terasa sakit semua. Tundingan jari Barbie tadi temyata
mengandung kekuatan gaib yang sangat besar, hingga Mak Ayu terlempar jauh
dan membentur gerbang besi dengan sangat kuat.
Bahkan ketika ia sempatkan melirik dadanya, ternyata jaketnya telah
berlubang sebesar uang logam, dengan sisa hangus di bagian tepinya. Lubang
itu bukan hanya pada jaket, namun tembus sampai ke baju dalamnya, bahkan
sampai melubangi kulit serta daging di bagian dada itu. Masih ada asap yang
mengepul dari lubang di dada tersebut.
Mak Ayu benar-benar kesakitan. Nyaris lumpuh akibat luka bakar di dadanya
seperti ikut memutuskan urat-urat di sekujur tubuhnya. darah yang keluar
dari lubang itu berwarna hitam.
Mungkin darah tersebut ikut terbakar hangus juga.
Rayo berhasil keluar dari rumah dengan cara memecahkan kaca jendela di
ruang makan. Ia segera menghampiri Barbie dengan sangat tdgang. Langsung
memeluk Barbie dalam posisi jongkok.
"Kamu nggak apa-apa, Bie?! Kamu nggak terluka kan?!"
"Nggak. Bibi yang di sana itu yang terluka. Hi, hi, hi... tadi dia terbang
kayak bungkus rot kena angin,Kak! Lucu sekali."
Rayo Pasca tak bisa ikut tertawa. Ketegangan dan kecemasan membuatnya
tersenyum pun sulit.
"Mana orang itu sekarang, hah? Mana? Kalau dia mati bagaimana? Kita jadi
kena perkara, Barbie. Kita bisa ditangkap polisi dan dipenjara kalau sampai
orang itu tadi mati! Di mana dia sekarang?!"
"Tuuuh, di pintu gerbang... ! Yuk, lihat dia yuk, Kak!" Barbie berlari-lari
kecil sambil menarik tangan Rayo.
Namun sampai di sana mereka tak menemukan Mak Ayu. Tidak ada seorang pun
yang terlihat melintas di jalanan depan pintu gerbang itu. Tapi mereka
menemukan sisa tetesan darah hitam di tanah beraspal. Salah satu besi pintu
gerbang juga tampak berlumuran darah yang warnanya hitam.
"Ke mana perginya orang itu, Barbie?! Kemana, hah?!"
"Nggak tahu. Tadi aku lihat dia jatuh di sini."
Sambil terengah-engah Rayo memeriksa sekeliling gerbang. Tapi tidak ada
tenda-tanda yang mencurigakan. Hanya saja, bulu kuduk Rayo jadi merinding
lagi, karena tiba-tiba ia mencium bau wangi kembang sewaktu angin berhembus
pelan menerpanya.
"Bau kembang dari mana ini? Apakah dari tanaman asli,atau dari alam sana?
Hmm, jangan-jangan ini bau wangi kembangnya orang mati?"
Rayo clingak-clinguk, lalu tiba-tiba ia membungkuk sambil menyeringai
menahan sakit.
"Uhhkk .. !! "
"Kak... ? Kenapa ? "
"Oouuhhkkk... Cepat kita masuk ke dalam, Bie.. ! Ayo, lekas."
"Tapi... tapi Kak Ray kenapa? Sakitnya kambuh, ya ?"
"Iyy, iya... ! Ouuhhff... !"
Rayo tak sanggup lari. Perutnya seperti diremat-remat dan
dipelintir-plintir dengan kasar. Belum pernah ia merasakan sakit perut
seperti ini, meski sejak ia mengalami kehamilan gaib itu. Entah mengapa
sekarang perutnya menjadi sangat sakit, sampai keringat dinginnya bercucuran
membasahi wajah, leher dan dada.
"Aauuhh... ! Aaahhhkk... !"
Barbie membuka pintu rumah dengan mudah sekali. Tanpa kunci atau benda
apapun. Ia menarik tangan Rayo agar segera masuk, lalu menutup, pintu itu.
Lubang kunci diusap memakai tangan kanannya. Pintu itu telah terkunci lagi
seperti semula.
Saat itu Rayo meringkuk di sofa panjang sambil mengerang kesakitan. Kadang
tubuhnya mengejang demi menahan rasa sakit yang seharusnya dilampiaskan
dengan teriakan keras-keras.
"Kak...? Kak Ray... ?" suara Barbie tak terhiraukan lagi .
Rayo sibuk menahan rasa sakit itu. Tapi nada suara Barbie temyata makin
lama makin meninggi.
"Kok Ray... ?! Kenapa perut Kakak jadi besar... ?! Kak... lihat tuh, perut
Kakak jadi besar... !"
Rayo sibuk melawan rasa sakit, Barbie kebingungan sendiri melihat perut
Rayo makin membengkak dan terus membengkak.
ooooOOOoooo
KETAMPANAN milik Perwira Muda itu sangat disayangkan oleh Kumala Dewi kalau
sampai habis terbakar gas beracunnya Parit Kernatian. Sejujurnya saja,
Kumala menyukai wajah tampan milik Ekapaksi. Imut.dan terkesan lugu.
Biasanya wajah-wajah seperti itu awet muda. Dalam perkiraan Kumala, sang
Perwira Muda itu baru berusia sekitar 23 tahun. Tapi dalam kenyataannya
mungkin lebih.- Di Kahyangan banyak dewa-dewi yang kelihatan masih muda
belia; tapi sebenarnya sudah berusia ratusan tahun.
"Sayang sekali dia terlalu disiplin dalam tugasnya. Terlalu kokoh memegang
sumpah jabatannya. Aku jadi bingung harus berbuat apa kalau begini," ujar
hati Kumala dengan menutup jalur gaibnya supaya tak didengar Ekapaksi.
Katanya lagi, "Dia tetap mengusirku dari tempat ini. Kalau aku benar-benar
keluar dari batas wilayah Kahyangan ini, aku merasa sangat dilecehkan
olehnya. Terhina sekali kalau sampai aku diusir keluar dari Kahyangan untuk
yang kedua kalinya. Tapi kalau kulayani tantangannya, dia pasti kalah. Dan,
kalau dia merasa kalah berhadapan denganku, maka dia akan nekat bunuh diri.
Duhhh, harus bagaimana aku kalau begini ... !!"
Dewi Ular sudah jelaskan, bahwa dia sebenarnya adalah warga Kahyangan juga,
anak dari Dewa Permana dan Dewi Nagadini. Tetapi agaknya Ekapaksi tidak
mudah mempercayai penjelasan yang datang dari pihak luar .
"Siapa pun bisa saja-mengaku anaknya paman Permana, atau anaknya dewa yang
lain. Pengakuan palsu seperti itu mudah dilakukan oleh siapa saja. Tapi
jangan harap aku mempercayainya. Karena jika satu kali aku percaya oleh
pengakuan dari pihak luar, maka selanjutnya aku akan mempunyai kebiasaan
begitu. Pada akhirnya nanti aku akan tertipu oleh penuturan lawan,sehingga
perbatasan ini akan mudah dilalui oleh siapa saja clan dais i aiam mania
saja. Karena itu, aku mohon rnaaf... belum bisa mempercayai pengakuanmu ,
Kumala "
Juga ketika Kumala Dewi-menjelaskan bahwa dia datang ke Kahyangan karena
diundang oleh para dewa senior, dia dijemput oleh utusan terhormat yaitu
Dewa Jenaka, tapi karena suatu, halangan maka ia terpisah dari Dewa
Jenaka.
Penjelasan itu hanya ,membuat Ekapaksi tersenyum sangat tipis. Menandakan
bahwa hatinya sedikit pun tidak mempercaya penjelasan tersebut.
"Siapa saja bisa mengaku kenal dengan Dewa Bahakara, atau dewa lainnya.
Tapi sekali lagi aku mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena aku belum bisa
mernpercayai pengakuan seperti itu. Jadi, sebaiknya cepatlah tinggalkan
perbatasan ini, Kumala. Atau, kita tentukan sekarang juga siapa yang harus
mati di sini."
Menyedihkan sekali.
"Dia telah menginjak-injak harga diriku dengan halus dan sangat sopan,"
pikir Kumala. "Daripada aku pergi karena usirannya, lebih baik kucoba untuk
melumpuhkan dia, tapi jangan sampai ia merasa kalah dan bunuh diri.
bagaimana caranya?"
Dari mulut berbibir sensual itu terucap kata-kata bernada keras yang
ditujukan pada Ekapaksi.
kulayani tantanganmu. Kita tentukan siapa yang mati di sini demi tugas dan
harga diri; kau, atau aku."
Sambil melangkah ke samping untuk mengatur jarak, Kumala masih terus
berpikir mencari jalan yang terbaik. Dan, tiba-tiba ia dapatkan satu gagasan
yang tidak terlalu cemerlang namun lumayan untuk mengatasi kebimbangannya
sejak tadi.
"Kulumpuhkan dia, tapi jangan sampai mati. Akan kubuat dia terpuruk tanpa
bisa berbuat apa-apa, sehingga tak punya kesernpatan untuk melakukan bunuh
diri."
Ekapaksi pun melangkah ke samping, meneambil jarak pertarungan, sambil
matanya memperhatikan Kumala lekat-lekat. Seperti sedang mencari tahu, di.
mana kira-kira titik kelemahan lawannya itu.
Tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gunung runtuh. Suara itu
,menggema ke mana-mana.
Gluuuurrrrrr .... !
Pohon pinus bergetar. Tebing Parit Kematian juga bergetar, menimbulkan
suara aneh tersendiri.
Menyeramkan. Kumala Dewi melirik ke sana-sini mencari tahu suara apa yang
terjadi saat itu. Ekapaksi pun tidak memperhatikan lawannya lagi, namun
justru memandang ke seberang parit penuh selidik.
Suara gemuruh yang panjang itu kini disusul dengan suara dentuman kecil,
tapi membuat tanah sekitarnya menyentak-nyentak dalam guncangan lebih hebat
lagi.
Jduuur, jduuur, jduuur... !!
Tubuh mereka berdua ikut terlonjak-lonjak tiga kali. Seperti menaiki truck
bak terbuka lalu melintasi polisi tidur tiga kali. Begitulah kira-kira
sentakan tubuh mereka yang membuat keduanya sama-sama tegang, namun bukan
untuk saling menyerang. Justru tanpa sadar mereka saling berdekatan dengan
pandangan. mata nanar penuh waspada.
"Gemuruh dari mani itu tadi?" tanya Kumala setelah suara gemuruh hilang dan
getaran alam berhenti.
"Entahlah. Tapi sepertinya terjadi di dekat-dekat sini."
Belum sempat Kumala mengajukan usul untuk sama-sama Memeriksa. situasi
perbatasan, tahu-tahu suara gemuruh itu datang lagi walau tak sekeras
tadi-.
Kali ini suara gernuruh itu sangat pelan dengan getaran alam sekelilingnya
juga pelan. Mereka berdua menjadi seperti berada di atas sebuah ayakan
raksasa. Bergetar terus dalam posisi apa saja. Bahkan kadang oleng seperti
mau jatuh. Jika-bicara suara mereka menjadi bergetar, mirip vibrasi seorang
vocalis yang sedang menyanyikan sebuah lagu.
"Pertarungan kita tunda dulu, Kumala."
"Aku setuju. Kalau boleh kubantu kau merneriksa keadaan sekitar wilayah
perbatasan ini."
"Untuk apa kau mau membantuku?"
"Sudah kubilang, ayah-ibuku ada di sini dan .. "
Kumala mengalihkan pembicaraan sebentar sambil memegangi lehernya.
"Aduuh, suara kita kok jadi kayak gini, ya? Kayak kaset lagu yang pitanya
udah kriting."
Dewi Ular tersenyum geli, membuat Ekapaksi pun merasa geli setelah
menyadari suara mereka sama-sama bergetar. Hanya saja, Ekapaksi tak mau
menonjolkan senyuman gelinya. Mungkin demi menjaga keseriusannya sebagai
seorang Perwira Muda yang tetap menganggap Kumala musuhnya,maka ia merasa
tak layak tampil cengar-cengir pada saat itu.
Kumala Dewi kembali ke pembicaraan semula,
"Bagairnana dengan usulku tadi? Boleh aku ikut merneriksa keadaan wilayah
ini?"
Ekapaksa tidak menjawab. Diam. Tapi tampak sedang berpikir mempertimbangkan
usulan tersebut. Pada saat itu, Kumala melihat dua kelebat bayangan melintas
di belakang Ekapaksi.
Wuuut, wuuut . !
Ekapaksi dalam bahaya, pikimya. Maka, dengan secepat kilat Kumala meraih
tangan Ekapaksi dan menariknya dalam satu sentakkan kuat.
Weess... !
Ekapaksi terpelanting di belakang Kumala sementara itu kedua tangan Kumala
segera menyentak ke depan dalam posisi satu kaki berlutut.
Buuhk, buttuhk.. "Aaahkk... !"
"Uh,hk.k....!"
Dua pekikan pendek terdengar setelah Kumala Dewi melepaskan pukulan hawa
sakti ke arah dua kelebat bayangan tadi. Pukulan itu mengenai sasaran.
Keduanya terkapar sambil bersandar pada batang pohon pinus. Mereka mengerang
kesakitan. Dewi Ular mendekati dua pemuda yang sama-sama mengenakan rompi
hitam berhias, benang emas. Wajah mereka tampan-tampan walau tidak setampan
wajah Ekapaksi.
"Tahan, Kumala. . !"
sergah Ekapaksi yang menyangka Kumala akan menghajar kedua pemuda
itu.
"Mereka menyelinap mau menyerangmu dari belakang."
"Bukan. Mereka anak buahku."
" Ooh ...!!? "
Kumala merasa menyesal bercampur malu. Kedua anak buah Ekapaksi itu segera
dihampiri. Wajahnya sudah membiru akibat pukulan hawa sakti yang mengenai
dada mereka: Kondisi mereka segera dipulihkan oleh Kumala Dewi menggunakan
hawa murni penyembuh segala macam luka.
"Maafkan aku., Sekali lagi, maafkah nggak tahu kalau kau punya anak buah,
Paksi."
"Sebagai orang asing, kurasa kau tak perlu mengetahui hal itu agar kau tak
tahu seberapa besar kekuatan penjagaan di sini."
Ekapaksi membantu salah seorang untuk berdiri. Getaran alam dan suara
gemuruh sudah berhenti. Suara Ekapaksi terdengar jelas saat menyebut nama
kedua anak buahnya itu.
"Azoma, Hasta... bahaya apa yang,kalian hadapi di ujung parit sana?
Jelaskan."
"Tidak ada bahaya dari pihak luar, Paksi, " jawab Azoma sambil sesekali
melirik Kumala penuh curiga.
"Yang muncul adalah bahaya Bari dalam," timpal Hasta.
Kedua-alis tebalnya Ekapaksi mengernyit tajam.
"Bahaya dari dalam? Maksudmu suara gernuruh dan getaran tadi berasal dari
pihak kita sendiri?"
"Benar, Paksi," Azoma yang. menjawab, dan agaknya ia lebih banyak mendapat
informasi ketimbang Hasta.
Katanya lagi, "Hyang Dewa Nathalaga sedang marah. Suasana di Balai Sidang
menjadi kacau. Bubar semua."
"Dewa Perang marah?! Gawat!" gumarn Kumala, tapi terdengar oleh Ekapaksi,
sehingga Kumala pun sempat dipandangi oleh Ekapaksi dengan nada heran.
Ekapaksi tak menyangka kalau Kumala mengetahui bahwa Dewa Nathalaga adalah
Dewa Perang.
Namun agaknya Ekapaksi tak mau menunjukkan rasa heran itu secara
lerang-terangan dan berkepanjangan. Ekapaksi segera beraling pandangan
kepada Azoma.
"Lanjutkan keteranganmu, Azoma."
"Mungkin saat ini kemarahan Hyang Nathalaga sudah reda, karena saat
kulinggal kabur ke ujung parit menghampiri Hasta, Hyang Nathalaga sedang
dibujuk dan ditenangkan oleh beberapa dewa sepuh kita, termasuk Hyang Dewa
Murkajagat."
"Apa yang membuat Dewa Nathalaga marah?" tanya Ekapaksi.
"Kabar yang kudengar, kernarahan itu dikarenakan utusan yang beliau
kirimkan ke bumi sampai batas waktu ini belum kembali. Utusan itu adalah
Dewa Bahakara, alias Dewa Jenaka."
Ekapaksi melirik sekilas ke wajah Kumala Dewi yang tampak serius
mendengarkan keterangan Azoma. Ekapaksi teringat pengakuan Kumala tadi.
Narnun is belum mau membahasnya, karena masih ingin mendengar penjelasan
Azoma selanjutnya.
"Dewa Jenaka diutus menjemput putri tunggalnya Dewa Permana yang dulu
dibuang ke bumi. Sampai sekarang keduanya belum menghadap beliau. Padahal
sesuai hasil sidang para dewa senior beberapa waktu yang lalu, seharusnya
hari ini dilakukan upacara agung di Sasana Dewantara. Dalam upacara agung
itu Sang Hyang Maha Dewa akan hadir secara resmi..."
"Tunggu, tunggu. ," potong Ekapaksi. "Upacara agung itu untuk keperluan
apa?"
"Untuk acara penobatan Manggalayudha...."
"0, siapa yang mau diangkat menjadi senopati perang?"
"Yaaa, putrinya Dewa Permana itulah," sahut Hasta yang sudah sangat paham,
karena sudah lebih dulu mendapat penjelasan hal itu dari Azoma.
"Begitulah, Paksi Tapi sampai saat ini Dewa Jenaka belum kembali ke
Kahyangan, padahal seharusnya sudah dari kemarin Dewa Jenaka datang bersama
putrinya Dewa Permana itu. Rencana upacara penobatan agaknya gagal
dilaksanakan saat sekarang ini, sedangkan Dewa Perang dan jajarannya sudah
mempersiapkan upacara agung secara besar-besaran. "
"Termasuk upacara untuk menyambut kedatangan sang calon senopati perang
kita itu,"
tirnpal Hasta. "Dengar-dengar upacara penyambutannya saja akan dilakukan
secara besar-besaran dan meriah. Jadi,menurutku . . wajar saja kalau Dewa
Nathalaga merasa kecewa atas kelambatan kerja Dewa Jenaka, yang seharusnya
sudah berada di Balai Sidang bersama sang calon senopati itu."
"Tali kudengar," sambung Azoma, "Hyang Dewa Nathalaga mau nekat turun ke
bumi sendiri menjemput dan membujuk putrinya Dewa Permana itu untuk dibawa
ke sini. Tapi sepertinya tadi niat itu dicegah oleh Hyang Dewa Murkajagat.
Entah bagaimana keputusan terakhir, aku sudah pergi lebih dulu."„
Dewi,Ular diam saja. Bahkan berlagak seolah-olah tidak tahu menahu tentang
hal itu. Tapi dari tadi diam-diam Ekapaksi menyimpan kegelisahan di hatinya.
Sampai akhirnya ia bertanya dengan suara pelan kepada Azoma, namun suara itu
tetap terdengar sampai di telinga Kumala Dewi.
"Apa kamu tahu, -siapa nama-putrinya Dewa Permana yang mau dinobatkati
sebagai senopati perang kita itu?"
"Apa kamu tidak tahu? Seharusnya kamu lebih tahu dariku."
"Banyaknya anak dewa sepuh kita, mana mungkin kuhapal semua namanya? Kalau
kau tahu, katakan siapa namanya?"
"Hrnnirnm..., kalau tidak salah namanya... Dewi Ular, karena ia terakhir
dari kandungannya Dewi Nagadini, ibunya."
Hasta menimpali, "Aku juga pernah mendengar nama Dewi Ular dan beberapa
kisah petualangannya. Kalau tidak salah, dia hidup di bumi dengan nama...
Kumala. hmmm... Kumala Dewi."
Deegh... ! Seperti ada yang menendang jantung Ekapaksi ketika kedua anak
buahnya menyebutkan nama-nama itu. Matanya melirik cepat ke arah Kumala, dan
kala itu Kumala berlagak cuek, memandang sekeliling ternpat itu dengan
bertolak pinggang.
"Ssst... , apa kalian pernah melihat seperti apa wajah atau si Dewi Ular
itu?"
"Belum," jawab Hasta, dan Azoma menimpali. "Aku juga belum pernah melihat
seperti apa wajahnya."
"Hemm, kalau... kalau wajah dan ciri-cirinya Kumala Dewi, kalian pernah
lihat?"
"Juga belum," jawab keduanya harnpir bersamaan.
Ekapaksi kembali memperhatikan Kumala yang saat itu sedang,
memunggungiriya. Padahal saat itu Kumala sedang tersenyum menertawakan
pertanyaan Ekapaksi yang dianggap sebagai pertanyaan bodoh, tapi
menggelikan.
"Kalau dia?" bisik Azoma. "Dia itu siapa, dan mengapa ada di sini
bersamamu?"
Ekapaksi kebingungan menjawabnya. Mendesah beberapa kali sambil
sebentar-sebentar melirik ke arah Kumala yang sekarang sudah dalam posisi
berhadapan dengan mereka bertiga. Kumala sengaja menatap Ekapaksi.
Tatapannya lembut, tenang, tapi membuat. Ekapaksi semakin salah tingkah
sendiri.
"Pssst... !" Azoma mendesis sambil mencolek, lengan Ekapaksi. "Kamu belum
jawab pertanyaanku. Dia itu siapa?!"
Ekapaksi garuk-garuk kepala.
"Tadi memang dia mengaku, bernama Kumala Dewi, alias Dewi Ular. Juga
mengaku sebagai anaknya Dewa Permana dan Dewi Nagadini, dan mengaku dijemput
Dewa Jenaka untuk dibawa ke sini tapi terpisah dengan Dewa Jenaka dalam
perjalanan."
"Oohh, jadii... jadi dia adalah..."
"Itu pengakuannya!" potong Ekapaksi, sambil menghindari tatapan mata Kumala
dari jarak sekitar sepuluh langkah.
Tambahnya lagi, "Tidak semua pengakuan adalah kebenaran yang sejati. Banyak
yang celaka akibat pengakuan dusta."
"Dan, lebih celaka lagi orang yang selalu berusaha menutupi kebodohannya,"
sahut Kumala sambil berlagak melihat-lihat arah lain, namun ekor matanya
tetap tertuju pada Ekapaksi.
Tiba-tiba terdengar suara Hasta menyentak. "Hey, lihat itu... !"
Semua terkejut, termasuk Kumala. Hast menunjuk ke satu arah. Pandangan mata
segera tertuju ke arah tersebut.
Oh, ternyata ada seberkas sinar biru cerah sedang. melintas di atas
perbukitan pinus. Sinar itu bergerak zigzag di antara batang-batang pohon
pinus.
Dia bergerak menjauhi tempat pertemuan Kumala dan Ekapaksi itu. Karena
munculnya dari balik perbukitan, maka Ekapaksi tak perlu mengejar, karena ia
yakin sinar itu bukan datang dari pihak lawan.
"Dewa siapa yang pergi itu?" Azoma bertanya lirih tak ditujukan pada siapa
pun kecuali pada diri sendiri. Tapi dijawab pula oleh Ekapaksi dengan suara
pelan.
"Dilihat dari kecerahan warna birunya, sepertinya dia panglima kita,
Zom."
"Dewa Ardhitaka maksudmu? Ah, sinar birunya tidak secerah itu kok. Ya,
kan?" ia berpaling pada Hasta.
"Kalau beliau sedang gusar memang begitu warna sinarnya," sahut Kumala,
membuat kedua anak buah Ekapaksi tertegun memandangnya, sementara Ekapaksi
tersenyurn tipis, terkesan meremehkan pendapat Kurnala tadi.
"Kalau kau masih berada di sini, sebaiknya jangan sok tahu."
Kumala mau menyangkal, tapi sudah didului suara Azoma.
"Eh, dia kembali lagi! Lihat itu..."
"Iya, dia menuju kemari," timpal Hasta.
Mereka menunggu dengan rasa ingin tahu. Sinar biru itu meluncur cepat ke
arah mereka.
Pada jarak tertentu sinar tersebut pecah dan padam.
Blaab... !
Lalu, tampaklah seraut wajah tua berjubah putih dan mengenakan ikat kepada
dari kain putih sederhana. Dari raut wajahnya Kumala sangat mengenalinya,
sementara Ekapaksi dan kedua anak buahnya segera membungkuk sarnbil
rnenyilangkan tangan kanan di dada-.
Begitulah cara mereka memberi penghormatan kepada yang lebih senior.
"Paman Ardhitaka . .. ?!" sebut Kumala sambil tersenyum dengan sedikit
membungkukkan badan, tapi tak sampai menukik seperti yang dilakukan Ekapaksi
dan anak buahnya.
"Syukurlah kau sudah berada di sini, Kumala Dewi," ujar sang dewa senior,
Dewa Bencana.
Dialah komandan pasukan wilayah perbatasan. Praktis dia sebagai atasannya
Ekapaksi.
Oleh sebab itu, Ekapaksi dan anak buahnya bersikap sangat hormat menyambut
kedatangan Dewa Ardhitaka,yarig kali ini mengenakan pakaian serba
putih.
Ekapaksi sempat berdebar-debar cemas ketika mendengar Kumala menyapa Dewa
Ardhitaka dengan sebutan `paman', dan dengan tetap berdiri tenang, bahkan
wajahnya berseri-seri. Lalu, debar-debar yang dialami Ekapaksi bertambah
kuat dengan kecemasan semakin membuat kakinya gemetar setelah Dewa Ardhitaka
menyebut nama Kumala Dewi tanpa keraguan lagi.
"Mati aku! Kalau begitu, dia memang benar Kumala Dewi," keluh hati Ekapaksi
sambil menelan ludahnya sendiri.
"Paman, kenapa kali ini Paman mengenakan pakaian serba putih? Tumben amat?"
sambil Kumala memandangi dari jarak cukup dekat.
"Ketahuilah, Kumala... Nathalaga sekarang sedang marah, karena si Bahakara
atau Dewa Jenaka belum pulang juga, padahal dia mendapat tugas untuk
menjemputmu "
"Ya, aku sudah mendengar ceritanya dari Azoma baru raja tadi, Paman,"
seraya Kumala menunjuk Azoma yang segera grogi dan salah tingkah. Dia tak
menyangka namanya akan disebutkan oleh Kumala.
Sementara itu, Kumala pun menjelaskan secara garis besar tentang peristiwa
yang membuat dirinya terpisah dari Dewa jenaka, dan sampai sekarang belum
berhasil berternu dengan Dewa Penabur Tawa itu.
"Akibat dati keterlambatan ini," kata Dewa Ardhitaka, "Kakang Nathalaga
akan menjatuhkan hukuman berat kepada si Bahakara, jika nanti Bahakara sudah
kembali."
"Itu tidak adil, Paman. Sebab ..."
"Aku juga sependapat begitu. Tapi, soal itu akan kupikirkan nanti saja.
Sekarang yang perku kau ketahui adalah... Nathalaga menunjukku untuk
menggantikan tugasnya Bahakara, yaitu menjemput dirimu dalam waktu hanya
satu hari menurut hitungan bumi! Hanya satu hari!"
'Paman menyanggupi?"
"Kalau aku menolak tugas itu, Nathalaga semakin murka. Dikhawatirkan akan
merusak kedamaian di Kahyangan. Oleh sebab itu, aku menyanggupi tugas
tersebut. Tetapi lagi-lagi si Dewa Perang itu memberi ancaman yang
memberatkan bagiku."
"Ancaman apa, Paman?"
"Kalau aku gagal menjemputmu atau terlambat membawarnu ke Balai Sidang,
maka hukuman yang akan kuterima adalah.... Hukuman mati!"
"Ya, ampuuun... segitu marahnya Eyang Nathalaga, ya?!" gumam Kumala, lalu
geleng-geleng kepaia sambil berdecak.
"Oleh sebab itu, aku mengenakan pakaian serba putih ini sebagai tanda bahwa
Au sedang berada di ambang kematian. Sebab ketika aku menerima tugas itu,
aku sendiri belum yakin akan berhasil menjemputmu. Bertemu denganmu pun itu
belum bisa-kupastikan. Tapi.... Dewa Ardhitaka menarik napas panjang.
la berkata lagi, "Tapi, sekarang aku merasa tidak berada di ambang
kematian, karena tak disangka-sangka ternyata kau sudah berada di wilayah
Kahyangan, dan sedang bercanda, dengan Perwira Mudaku ini, ya? Bagus, bagus,
bagus... !"
Dewa Ardhitaka menepuk-fiepuk pundak Ekapaksi. Sang Perwira Muda sangat
tidak enak Kati karena disangka sedang bercanda dengan Kumala, sementara
Kumala Dewi hanya bisa menarik napas,mernendam rasa kesal, Sebenarnya is
ingin mengadukan sikap Ekapaksi terhadapnya sejak tadi, tapi keinginan itu
segera disingkirkan jauh-jauh, mengingat ada persoalan besar yang membentang
di depan matanya, yaitu penobatan dirinya sebagai Manggalayudha atau
Senopati Perang dan Kahyangan.
"Paman, dulu aku pernah memberi tanda di telapak tangan Paman,
bukan?"
"Ya, sampai sekarang masih ada. ," Dewa Ardhitaka menunjukkan telapak
tangannya yang mempunyai tato gambar naga hijau. Kecil. Siapa pun yang
diberi tato seperti itu oleh Kumala, berarti dia harus dibebaskan dari
hukuman apapun.
Ketentuan tersebut konon sudah tertulis dalam KUHK, Kitab. Undang Undang
Hukum Kahyangan. Dulu memang Dewa Ardhitaka pernah mendapat tato bebas
hukuman dari Kumala, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "BULAN
BERDARAH").
Dewa Ardhitaka berkata kepada Ekapaksi dan anak buahnya.
"Siapa yang mendapat tato ini dari Dewi Ular,maka is dibebaskan dari segala
hukuman. Tapi hanya berlaku untuk tugas yang sedang dikerjakan pada saat
itu. Bukan berlaku selamanya."
Ekapaksi manggut-manggut, semakin malu kepada Kumala.
"Sekarang mana tangannya yang satu lagi, Paman. Coba aku lihat
sebentar."
"Untuk apa?" Dewa Ardhitaka menyodorkan tangan yang satunya dengan ragu dan
heran. "Mau apa kau periksa tanganku yang tidak bertato ini, Kumaia?"
Kumla tersenyum-senyum. Telapak tangan itu diperhatikan. Dan, tiba-tiba
dari jari tangan Kumala keluar sinar hijau kecil yang sangat cepat
gerakannya.
Claaap !
Dewa Ardhitaka terkejut, menarik tangannya dengan cepat pula. Tapi tangan
itu segera dilihatnya kembali. Ternyata telapak tangan yang semula kosong,
sekarang sudah ada tato baru. Tato gambar naga kecil warna hijau. Tato
itulah sebenarnya jawaban dari pertanyaan Dewa Ardhitaka tadi. Sang Dewa
berkerut dahi tajam sekali.
"Apa maksudmu memberikan satu tato lagi padaku, Kumala?"
"Supaya Paman Ardhitaka bebas dari hukuman mati."
"Oh, Kumala, Kumala... rupanya kamu belum paham, ya? Tugasku bukan mencari
tanda bebas hukuman, tapi menjemputmu dan membawamu menghadap Dewa Perang,
biar dinobatkan dengan upacara agung Kahyangan sebagai Senopati Perang!
Nantinya kau harus berhadapan melawan anaknya Dewa Kegelapan yang memiliki
kesaktian sangat membahayakan pihak Kahyangan maupun kehidupan di muka bumi,
yaitu Athila Darapura! Ngerti?!"
"0, ya, aku sangat mengerti, Paman. Tapi tolong sampaikan kepada. Eyang
Nathalaga, aku menolak penobatan itu!"
"Apa ... !!! "
"Hahh ... !! "
Dewa Ardhitaka dan Ekapaksi dengan kedua anak buahnya, sama-sama tercengang
kaget mendengar pernyataan tegas Kumala.
"Kamu menolak penobatan itu, Kumala?!"
"Ya„ Paman. Aku tidak suka diagung-agungkan."
"Itu bukan mengagungkan kamu, tapi meresmikan kamu sebagai senopati perang
kami!"
"Aku nggak butuh jabatan resmi kayak gitu, Paman. Aku datang kemari semula
hanya ingin menyelamatkan Rayo dari kehamilannya, dan membantu paman Dewa
Jenaka agar tak kena sangsi hukurnan atas tugasnya. Tapi aku tidak tahu
kalau akan dinobatkan sebagai Manggalayu dha atau Senopati Perang. Kalau aku
tahu akan ada upacara agung dan pesta.penobatan besar-besaran, aku tidak
akati datang, Paman. Aku tidak akan nekat menyeberangi Parit Neraka itu dan
berselisih dengan Ekapaksi."
Dewa Ardhitaka terbengong dengan mulut melompong. Ekapaksi dan kedua anak
buahnya hanya bisa saling pandang tanpa suara. Mereka tak menyangka bahwa
Kumala akan menolak mentah-mentah acara bergengsi itu:
"Paman, sampaikan salamku kepada semua yang ada di Balai Sidang nanti.
Katakan, bahwa tanpa penobatan seperti itu, aku tetap maju sebagai senopati
perang jika Khayangan diserang Laskar Iblisnya si Lokapura. Dan, satu hal
lagi... tanpa penobatan resmi begitu, aku tetap akan tampil sebagai lawan
utamanya si Athila Darapura. Setinggi apaptin kesaktian anak itu, kalau dia
akan merusak kehidupan di bumi dan di Kahyangan, maka akulah yang akan maju
menghadapinya, Paman."
Semua masih diam tertegun. Terkesima oleh perkataan tegas dari bidadari
cantik jelita itu.
"Nah, cuma itu pesanku untuk Para leluhurku, Paman. Tolong sampaikan
segera. Terima kasih. Selamat tinggal, Paman Ardhitaka... Selamat tinggal
Ekapaksi, Azom dan Hasta... Damai sejahtera menyertai hidup kalian dimana
saja."
Claaap... !'
Tiba-tiba. Kumala Dewi berubah menjadi seberkas sinar hijau berbentuk
seperti naga kecil. Sinar hijau itu melesat dengan kecepatanmelebihi Vat.
Melintasi Parit Kematian tanpa mengalami luka apapun. Kemudian lenyap dan
pandangan mereka.
Sang senopati harus segeia pergi, karena masih banyak kasus yang harus
ditangani secepatnya.
Terutama kehamilan Rayo Pasca. Jika ternyata Dewa Jenaka hilang entah
kemana dan tak ditemukan lagi, lalu apa yang hams dilakukan Kumala untuk
menyelamatkan kekasihnya dari kehamilan bayi titipan itu?
Dalam kisah berikutnya, Dewi Ular akan membongkar kedok jati dirinya Mak
Ayu, yang sampai sekarang mash menderita luka akibat berhadapan dengan si
kecil Barbie. Dalam kisahnya nanti Kumala juga akan berhasil menemukan jei
dirinya Barbie, serta mengetahui datimana anak itu memperoleb kesaktian yang
cukup tinggi itu.
Nantikan kehadiran Dewi' Ular dalam pertandingannya dengan musuh utama:
Athila Darapura.
SELESAI
next : Terjerat Asmara Mistik
Emoticon