Dewi Ular - Parit Kematian(2)

S
EBELUM berangkat menembus dimensi gaib, Kumala sempat berpesan pada si mungil Barbie.

"Selama kakak pergi, kamu tinggal di sini bersama Kak Ray, ya? Dan,ingat jangan nakal, jangan bikin ulah dan... pokoknya jangan macem­macem. Ngerti?"

Barbie mengangguk, tapi juga bernada komplein.

"Di sini sepi, Kak. Lebih baik Kak Ray .yang pindah ke rumah kita, kan ada Bang Sandhi, ada Bang Buron dan ada Emak."

"Kak Ray sedang sakit. Makanya dia di sini buat istirahat."

"Tapi tadi aku lihat Kak Ray sehat-sehat aja kok? Sakit apaan sih, Kak?"
"Sakit bagian dalamnya. Nggak bisa kelihatan,"

"Ooo... sekarang aku tahu maksud Kak Mala suruh aku tinggal di sini,"

Barbie tersenyum-senyum sambil matanya melirik lucu. Sok tua.

"Tahu apa maksudmu?"

"Aku disuruh jagain Kak Ray yang sedang sakit kan? Kalau aku tinggal bersama Bang Sandhi di rumah sana, maka Kak Ray nggak ada yang menjaganya, begitu kan?"

Sama sekali tak terlintas ide seperti itu di benak Kumala. Tapi setelah dicerna sesaat, bagus juga ide seperti itu. Kumala pun mengangguk dengan berpura­pura tersenyum malu.

"Kamu memang anak pinter, Barbie. Nggak bisa dibohongi."

"Iya dong, kan adiknya Kak Mala, harus pinter. Ya, kan?"

"Benar, benar... ," Kumala manggut-manggut menyenangkann hati gadis kecil itu. Katanya lagi, "Habis, nggak ada orang lain yang kakak percayai untuk menjaga sakitnya Kak Ray kalau bukan kamu, Barbie.Tapi, kakak takut Barbie kesel kalau kakak terang­terangan suruh Barbie jagain Kok Ray."

"Aku nggak kesel kok. Kakak tenang aja deh. Kalau soal jagain sakitnya Kak Ray, aku bisa kok. Jangan kuatir dijamin aman deh," sambil mengacungkan jempol.

Lagaknya lucu, membuat Kumala geli dan merasa sedikit tenang. Setidaknya kenakalan Barbie untuk sementara tidak terlalu mengkhawatirkan.

Biar pun nakalnya bukan main, tapi anak itu ternyata punya kecenderungan untuk bertanggung jawab terhadap tugas dan janjinya.

Terbukti sejak kepergian Kumala ia tak pernah bikin ulah yang menjengkelkan Rayo. Ia justru tampak riang dan betah tinggal di villa itu. Mungkin karena Rayo sendiri'pandai mengambil hati Barbie, memahami kemauan anak, mengerti keji-waan bocah, sehingga anak itu merasa mendapat teman sebaya sepermainan.

Sejujurnya Rayo mengakui bahwa ia justru terhibur- di pengasingan bersama Barbie. Anak itu lucu dan menyenangkan baginya. Sesekali ada kebandelan itu hal yang biasa bagi seorang anak. Rayo dapat memakkuni. Tapi dalani banyak hal Barbie bisa bersikap patuh dan bisa memahami kemauan Rayo.

"Nah, sekarang Barbie mandi dulu karena sudah sore, ya?"

"Tapi habis mandi, Kak Ray dongeng lagi, ya?"

"Dan habis mandi, Sayang Habis maem aja dongengnya."

"Iya deh, habis makan aja."

Menurut pengamatan Rayo, anak itu punya sifat tidak mau diperintah secara paksa: Ada semacam gengsi yang tumbuh dalam jiwa anak itu jika diperintah secara paksa, atau diperlakukan sebagai anak kecil yang harus patuh pada semua perintah. Barbie itu anak yang cerdas, tapi juga kritis dan ceriwis.

Rasa ingin tahunya terhadap persoalan apa saja telah membuat anak itu menjadi kritis dan ceriwis. Jika ditanggapi dengan kesabaran, maka secara otomatis ia akan merasa puas. Dan, jika ia sudah puas maka ia akan hargai lawan bicaranya.

Seperti halnya ketika Barbie menanyakan sakitnya Rayo, sebelum ia mendapat penjelasan yang bisa diterima oleh logika anak-anaknya, maka ia akan bertanya-tanya terus.

"Aku heran, kata Kak Mala, Kak Ray sakit. Tapi kok aku. lihat Kakak makannya banyak. Kalau jalan masih tegak, nggak lemes, dan nggak merintih-rintih., Sebenarnya Kak Ray sakit apa?"

Setelah berpikir sejeriak Rayo memberikan jawab yang sangat sederhana dan mudah dipahami.

"Kak Ray sakit perut, Sakitnya kadang datang, kadang ilang. Jadi nggak setiap saat Kak Ray merintih-­rintih"

"Ooo... ," Barbie mengangguk-anggukkan kepala. Menandakan bahwa keterangan itu bisa diterima oleh logjka anak-anaknya.

"Kakak udah periksa ke dokter, lalu dokter bilang bahwa kakak sakit karena kecapekan bekerja. Jadi, kakak diharuskan untUk beristirahat. Kalau kakak tinggal di rumah sana, kakak nggak bisa istirahat. Pasti ada teman datang yang ngajak main atau ngajak kerja. Jadi, kakak memilih istirahat di tempat itu."

"Ooo...," Barbie manggilt-manggut lagi. "Kak Ray mau nggak aku pijitin, biar capeknya hilang."

"Mad. Tapi besok saja. Sekarang udah malam. Udah jam... sepuluh," sambil menunjuk jam dinding yang ada di kamar tidur itu. "Karena sudah larut malam, jadi Barbie hams bobo. Supaya besok bisa bangun pagi, bisa dengerin Kakak mendongeng lagi. Ya?"

"He,eh... ! Besok aja dipijitnya yang, Kak."

Seandainya saat itu ada Kumala, atau Sandhi, Buron, atau Mak Bariah, maka mereka akan tercengang heran melihat kepatuhan Barbie kepada Rayo.

Tanpa banyak protes lagi Barbie berbaring sambil memeluk boneka Panda-nya. Rayo menyelimutinya dengan rapi, lalu memberi ciuman di kening bersarnaan dengan ucapan selamat tidur. Setelah mematikan lampu utama clan menyalakan lampu tidur, Rayo pun berbaring di samping anak itu.

Walau sebenarnya Rayo belum mengantuk sedikit pun, namun is hams berpura-pura tidur juga supaya Barbie merasa diperlakukan setara dengan diri Rayo.

Jika anak itu sudah tertidur nyenyak, Rayo baru turun meninggalkan ranjang, mengerjakan sesuatu yang nienjadi urusan pribadinya.

Udara dingin dan suasana sepi di villa itu sering membuat Rayo tak betah melek sampai lewat pukul dua belas tengah malam. Padahal jika ia di rumahnya sendiri, ia jarang tidur sebelum lewat satu malam. Sekarang di villa itu ia menjadi orang yang cepat mengantuk. Dia perkirakan hal itu berhubungan dengan kondisi kehamilannya.

"Terserah, mau ada hubungannya atau nggak, sebaiknya nggak usah kubahas sendiri. Bukankah Lala sudalr,berpesan agar aku jangan mernikirkan kehamilanku ini, karena menurutnya hal itu hanya akan buang-buang energi. Cuma bikin pusing aja. Toh sebentar lagi Lala akan lesaikan urusannya dengan pihak Kahyangan dan janin yang kukandung ini akan dikembalikan kepada pemilik sebenarnya, sesuai janji. paman Dewa Jenaka."

Benar. Rayo tidak mau berpikir tentang. keganjilannya itu. Ia merasa lebih baik mengikuti hawa kantuknya daripada harus mengalami tekanan batin akibat memikirkan kehamilannya. Maka; pukul sebelis lewat, Rayo sudah tidak ingat apa-apa lagrHanyut ke alam tnimpinya. Nyenyak.

Hanya saja, kenyenyakan tidur itu kali ini terganggu 'oleh tangan Barbie yang mengguncang­guncang lengannya. Barbie membangunkan tidur Rayo dengan satu alasan klise.

"Aku pengen pipis, Kak."

"Ya, ke kamar mandi sana. Jangan lupa nanti diguyur ya?"

"Anterin, Kak. takut."

"Aduuh, Barbie... kemarin malam kamu kehiar­masuk kamar mandi sendirian nggak takut. Masa' sekarang talcut?!" tapi Rayo tetap saja bangun melayani kemanjaan Barbie.

Selesai buang air kecil, Barbie mendapat teguran dari Rayo.

"Lain kali kalau maupipis nggak usah bangunin kakak, ya? Soaffiya, kalau kakak sudah tidur, lalu dibangunkan, maka akan sulit untuk tidur kembali."

"Iya, Kak."

"Nggak usah pakai alasan takut lagi. Kakak tahu, Barbie anak pemberani. Nggak pemah punya rasa takut pada siapa pun. Jadi, Barbie jangantohongin kakak lagi dengan alasan takut, ya?"

Barbie mengangguk "Iya. Sebenarnya aku bangunkan Kakak bukan karena takut ada setae."

"Tuh ! , bener kan. Lantas, karena apa?"

"Karena aku mau kasih tahu Kakak,b tapi takut kalau nggak dipercaya."

"Mau kasih tahu apa maksudmu?"

"Hmmrn, mau kasih tahu... di luar rumah ada orang, Kak."

Diam sebentar Rayo menyirnpulkan ucapan anak .

"Dia mau dekatin rumah ini, Kak."

"Orang... orang apa maksudmu?"

"Orang itu mau jahat sama Kakak."

Makin berkerut dahi Rayo, makin tajam matanya mernandang Barbie. Yang dipandang sebentar-sebentar memperhatikan ke arah pintu. Hal itu membuat Rayo bertambah curiga.

"Barbie, kamu sungguh-sungguh bicara begitu?"

"Kalau nggak percaya, coba Kakak intip dari balik gordyn depan. Kakak akan lihat seorang perempuan berdiri di depan pintu gerbang sana. Dia pakai topi, kayak anak lelaki."

Penasaran hati Rayo jadinya. Ia ingin buktikan kata-kata anak itu, sebab ia sudah punya banyak informasi tentang kelebihan bocah berwajah boneka ini.

Dengan hati-hati sekali Rayo keluar dari kamar, diikuti oleh Barbie. Mereka menuju ruang tamu yang sengaja tidak dinyalakan lampunya.

Dalam keadaan gelap Rayo menyingkap sedikit gordyn penutup dinding kaca yang menghadap ke arah depan. Dari situ ia dapat memandang ke arah pintu gerbang yang berjarak 30 meter dari tempatnya berada.

"Astaga...?!" ucap Rayo.

Ternyata yang dikatakan Barbie memang benar. Ada orang yang berdiri di depan pintu gerbang. Orang itu sendirian, mengenakan celana jeans, jaket, dan mengenakan topi biru. Cahaya lampu taman membias sampai sana, sehingga siapa pun yang berdiri di sada akantelihatan dan tempat Rayo mengintig.

"Dia bukan perempuan, tapi lelaki," bisik Rayo.

"Bukan lelaki, Kak. Dia itu perempuan. Tapi dia pakai topi dan celana panjang, jadi seperti lelaki."

"0, gitu?" Rayo mengintai kembali.

Orang tersebut masih berdiri di tempatnya dengan kedua tangari dimasukkanke dalam saku jaketnya. Lalu, Rayo kembali bicara pada Barbie.

"Menurutmu dia itu. siapa? Pencuri atau perampok?"

"Nggak tahu. Pokoknya, dia punya niat jahat. Dia bukan orang biasa. Dia punya ilmu juga, seperti Kak Mala."

"Oh, dia punya kekuatah gaib?!"'

"iya. Punya kekuatan gaib. Sebentar lagi dia akan buat semua listrik di sini padam."

"Wah, gawat! Sebaiknya kita...,"

Blaaap... ! Rayo belum selesai bicara, listrik sudah padam lebih dulu. Semua tempat menjadi gelap. Bukan hanya lampu di villa itu saja yang padam, tapi lampu jalanan dan di villa lain juga padam.

"Barbie, sini ikut kakak ke kamar. Kakak mau ambil HP buat telepon polisi." Rayo berusaha rnenggenggam tangan Barbie untuk dibawa masuk ke kamar.

"Nggak usah telepon orang lain, Kak. Tenang aja, aku mau nyalakan semua lampu yang padam in."

"Barbie, kamu. .."

Kaki anak kecil itu menghentak ke lantai satu kali sebelum Rayo selesai bicara.

Duugh... !

Maka, seketika itu juga semua lampu meniadi menyala. Bahkan lampu yang semula memang dipadamkan ternyata ikut menyala juga. Lampu jalanan yang padam sejak tiga hari yang lalu, kini menyala terang. Semua lampu menyala dua kali lipat lebih terang dari aslinya.

Rayo sempat tertegun kagum memandangi Barbie. Tapi dia segera ingat tentang orang misterius di gerbang sana, maka ia pun buru-buru mengintip lagi dari balik gordyn yang tadi.

"Orang itu masih ada!" bisik Kayo. "Tapi dia sudah berada di halaman kita. Belum jauh dari pintu gerbang sih, dari mana dia bisa masuk, padahal pintu gerbang terkunci dan tampaknya tidak dirusak sedikit pun?"

"Kakak heran, ya?"

Teguran pelan Barbie membuat Rayo sadar bahwa keajaiban seperti itu mestinya sudah bukan sesuatu yang mengherankan lagi baginya. Pasti perempuan bertopi biru itu menggunakan kekuatan gaibnya untuk bisa menembus gerbang besi tinggi 'itu.

"Bie..., sekarang dia sedang kebingungan memandang ke sana-sini. Heran melihat lampu menyala semua, kali ya?"

Barbie ikut ngintip lewat celah gordyn itu juga.

"Dia bukan bingung melihat semua lampu menyala, Kak. Tapi dia sedang mencari siapa yang menyalakan lampu-lampu ini,"

Berbie tertawa cekikikan, tapi sangat pelan. Tangan Rayo buru-buru membungkamnya, karena khawatir didengar perempuan tersebut.

Blaab... !

Lampu padam lagi.

Sebelumnya Rayo sempat melihat perempuan itu menjentikkan jarinya, lalu semua lampu menjadi padam. Maka, Barbie pun segera menghentakkan kakinya ke lantai seperti tali.

Duugh... !

Dan, semua lampu menyala kembali secara serentak. Rayo melihat perempuan bertopi itu terperangah kesal. Lalu, ia berjalan dengan langkah cepat menuju teras.

"Kak, Kak... orang itu mendekati kita!"

"Ssst, iya... kakak tahu. Sebaiknya kakak keluar saja untuk temui dia dan menanyakan apa maunya."

"Jangan, Kak! Nanti orang itu celakai Kakak."

" Kalau kakak bersikap baik-baik, mungkin dia.. ."

"Pokoknya jangan keluar. Orang itu memang cari Kakak."

"Terus, gimana dong?"

"Aku aja yang temui dia," jawab Barbie dengan ucapan cepat.

Rayo tak sempat melontarkan kata pencegahan, tahu-tahu anak itu sudah berkelebat pergi. Menembus pintu.

Bluuuss... !

Rayo hanya bisa tercengang melihat kejadian gaib yang dilakukan bocah sekcil Barbie.

Timbul rasa khawatirnya terhadap Barbie. Rayo tak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan pada diri anak itu, maka ia segera menyusulnya keluar. Tapi rupanya pintu tak bisa dibuka..Kunci pinta itu tak berfungsi .

"Pasti dibuat begini oleh Barbie, biar aku nggak bisa keluar! Sialan tuh anak!" sambil tangan Rayo menyingkap kembali kain gordyn tempatnya mengintip dari tadi.

Dilihatnya anak itu sedang duduk di tepian ternbok teras yang tingginya hanya satu meter kurang.

Barbie duduk dengan santai, mengayun-ayunkan kedua kakinya. Tenang sekali. Tak merasa kedinginan sedikit pun, padahal ia hanya mengenakan rok bertali di pundaknya tanpa lengan.

Perempuan bertopi itu memperlambat langkahnya setelah menyadari ada seorang anak duduk di teras. Kedua tangan yang tadi dimasukkan saku jaket, kini dikeluarkan dengan jari-jari sedikit renggang. Sepertinya ia bersiap melakukan satu tindakan yang bersifat menyerang. Atau berjaga-jaga menghadapi bahaya yang sewaktu-waktu datang menyerangnya.

Semakin dekati teras, semakin lambat langkahnya. Dari tempat pengintaiannya Rayo bisa melihat jelas raut wajah perempuan itu. Bahkan ekspresi keheranan perempuan itu pun bisa terlihat jelas oleh Rayo.

"Mau cari siapa, Bibi?" tegur Barbie dengan tengil.

Perempuan itu tidak langsung menjawab, tapi menghentikan langkahnya dan menaikkan topinya sedikit, agar penglihatannya lebih jelas lagi. Barbie cengar-cengir seenaknya. Tetap tenang.

"Bibi mau cari siapa? Kok nggak jawab sih?"

"Kamu tinggal di sini?"

"He,eh. Kenapa?"

"Mama kamu mana ?"

"Mama itu apa? Ibu, ya? Kalau ibu, nggak ada."

"Lalu, siapa orang yang sedang hamil di rumah ini?"

Rayo terkejut mendengar pertanyaan itu. Ia mengusap perutnya dengan dahi berkerut, karena hatinya bertanya-tanya, apa maunya orang itu dan mengapa bertanya tentang kehamilan.

"Hamil itu apa sih? Lapar?"

Perempuan itu makin mendekat lagi. Sengaja membungkuk biar beradu pandangan dengan Barbie.

"Hamil itu perutnya mengandung bayi. Siapa yang sedang mengandung bayi di rumah ini?"

"Bukan aku kok. Aku kan masih kecil. Mana bisa perutku dimasuki bayi."

"Aku tahu kalau bukan kamu, tapi siapa?"

"Yaaa, nggak tahu. Tanya aja sama yang lain. Aku orang baru di sini, Bi."

"Kalau begitu aku akan menggeledah rumah ini, dan mengambil kandungan orang yang sedang hamil."

Wuuut... !

Tahu-tahu gadis kecil itu sudah berdiri menghadang langkah perempuan bertopi, yang tak lain adalah Mak Ayu.

Keberadaan Barbie yang tahu-tahu menghadang di depannya sempat membuat Mak Ayu semakin curiga. Ia tak melihat anak itu berdiri dari duduknya, bahkan tidak melihat anak itu bergerak turun dari tempatnya semula, tapi dia bisa dengan cepatnya berada di depan pintu masuk.

"Anak ini bukan sembarang anak," pikir Mak Ayu. " Tapi kenapa nggak ada getaran energi apapun yang kurasakan darinya?"

"Bibi nggak boleh masuk!" Barbie merentangkan kedua tangan saat Mak Ayu maju selangkah.

"Sepertinya aku pemah melihatmu, Nak."

"Aku belum pernah tuh," jawab Barbie dengan spontan sekali.

Mak Ayu menarik napas panjang.

"Kalau kamu meng,halangi langkahku, kamu akan menyesal. Jadi, sebaiknya kamu jangan sok tahu begitu, Nak. Menyingkirlah!"

"Nggak mau."

Barbie bertolak pinggang. Lagaknya semakin tengil. MakAyu menjadi bertambah geram. Rayo sangat khawatir melihat Barbie bertingkah begitu. Tapi ia hanya bisa kebingungan sendiri di dalam karena tak bisa membuka pintu depan. Bahkan ketika ia mencoba mau lewat belakang, lalu memutar ke samping untuk sampai teras, temyata pintu belakang pun sulit dibuka. Pintu tembus garasi sama sekali tak hisa bergerak handienya.

"Hey, anak kecil nggak baik berlagak begitu sama orang tua. Kurangajar itu namanya."
"Biarin."

Mak Ayu menggeram, "Kamu benar-benar memaksaku marah ya?,Haah ... ? ! "

Mak Ayu mengayunkan tangannya untuk menampar wajah Barbie, tapi ayunan itu tak mengenai apapun selain udara kosong.

Sekali lagi Mak Ayu maju selangkah agar tangannya bisa menjangkau Barbie. Kemudian, tangan itu diayunkan kuat-kuat dengan sasaran wajah Barbie.

Wuuuut... !

Kencang sekali. Tapi Mak Ayu seperti menampar udara. Tanpa mengenai apa-apa.

"Kamu lagi ngapain, Bi? Hi hi hi hi... ! " Barbie menertawakin.

Kemarahan tak dapat ditahan-tahan lagi. Mak Ayu meraih kepala Barbie, menjambak rambutnya, kemudian dengan sadis ia lemparkan anak itu membentur tiang teras.

Wuuusst... !

"Hahh ..?! " Mak Ayu terbelalak kaget. Ternyata ia tidak melemparkan apa-apa.

Barbie masih berdiri di tempatnya sambil cekikikan sendiri.

"Kurangajar! Kau berani mempermainkan aku, Bocah busuk ... !!"

Kini dengan kedua tangannya Mak Ayu menjambak rambut Barbie, satu tangannya mencengkeram lengan Barbie. Anak itu diangkat dan dibantingkan ke arah pilar teras lagi.

Wuussst... !

Kejadiannya sama seperti tadi. Tidak ada yang dibanting oleh kedua tangan Mak Ayu. Padahal tadi dia yakin betul telah berhasil menjambak rambut dan mencengkeram lengan anak itu. Tapi kenyataannya ia hanya seperti membanting udara kosong dengan sekuat tenaga. Suara Barbie terdengar cekikikan di belakangnya.

Mak Ayu makin dibakar kemarahan. Napasnya tampak terengah-engah. Dadanya naik-turun dengan jelas sekali. Tatapan matanya menjadi liar dan beringas,

"Hi hi hi hi... Bibi habis ngapain? Kok ngos-­ngosan ?"

"Jangan ngeledek kamu, haaagggrrh ... !!"

Tangan kanan Mak Ayu diangkat melebihi kepalanya Telapak tangan itu seperti terbakar di bagian tengahnya. Menyala merah seperti bara. Energi gaibnya itulah yang akan dihantamkan ke tubuh Barbie tanpa ragu-ragu lagi. Sedikit pun sudah tak ada belas kasihan lagi terhadap anak itu.

Tapi sebelum tangannya Mengayun, Barbie sudah .lebih dulu menudingkan jari telunjuk ke arah Mak Ayu sambil tetap cekikikan.

"Hi, hi, hi, hi... Bibi tangannya lucu, ada lampunya . Hihihi ... !"

Wuuuuussss... !.

Tahu-tahu tubuh Mak Ayu seperti diterjang badai paling ganas. Terlempar ke belakang dengan sangat kuat. Topinya terlepas dari kepala, rambutnya tampak terurai panjang. Mak Ayu tak mampu menguasai keseimbangan badannya: Melayang-layang di udara bebas dalam posisi telentang. Suaranya mengerang panjang.

Gumprrrraaang , ... !!!!

"Aaahhk ... ! " pekik Mak Ayu, karena hempasan itu membuat kepalanya beradu keras dengan pintu gerbang besi. Ia terbanting di sana, lalu terkapar sambil mengerang kesakitan.

Bukan hanya kepalanya yang berdarah dan dipegangi tangannya, tapi tangan yang satunya juga memegangi dada yang terasa sakit sekali itu.

Sekujur tubuhnya terasa sakit semua. Tundingan jari Barbie tadi temyata mengandung kekuatan gaib yang sangat besar, hingga Mak Ayu terlempar jauh dan membentur gerbang besi dengan sangat kuat.

Bahkan ketika ia sempatkan melirik dadanya, ternyata jaketnya telah berlubang sebesar uang logam, dengan sisa hangus di bagian tepinya. Lubang itu bukan hanya pada jaket, namun tembus sampai ke baju dalamnya, bahkan sampai melubangi kulit serta daging di bagian dada itu. Masih ada asap yang mengepul dari lubang di dada tersebut.

Mak Ayu benar-benar kesakitan. Nyaris lumpuh akibat luka bakar di dadanya seperti ikut memutuskan urat-urat di sekujur tubuhnya. darah yang keluar dari lubang itu berwarna hitam.

Mungkin darah tersebut ikut terbakar hangus juga.

Rayo berhasil keluar dari rumah dengan cara memecahkan kaca jendela di ruang makan. Ia segera menghampiri Barbie dengan sangat tdgang. Langsung memeluk Barbie dalam posisi jongkok.

"Kamu nggak apa-apa, Bie?! Kamu nggak terluka kan?!"

"Nggak. Bibi yang di sana itu yang terluka. Hi, hi, hi... tadi dia terbang kayak bungkus rot kena angin,Kak! Lucu sekali."

Rayo Pasca tak bisa ikut tertawa. Ke­tegangan dan kecemasan membuatnya tersenyum pun sulit.

"Mana orang itu sekarang, hah? Mana? Kalau dia mati bagaimana? Kita jadi kena perkara, Barbie. Kita bisa ditangkap polisi dan dipenjara kalau sampai orang itu tadi mati! Di mana dia sekarang?!"

"Tuuuh, di pintu gerbang... ! Yuk, lihat dia yuk, Kak!" Barbie berlari-lari kecil sambil menarik tangan Rayo.

Namun sampai di sana mereka tak menemukan Mak Ayu. Tidak ada seorang pun yang terlihat melintas di jalanan depan pintu gerbang itu. Tapi mereka menemukan sisa tetesan darah hitam di tanah beraspal. Salah satu besi pintu gerbang juga tampak berlumuran darah yang warnanya hitam.

"Ke mana perginya orang itu, Barbie?! Kemana, hah?!"

"Nggak tahu. Tadi aku lihat dia jatuh di sini."

Sambil terengah-engah Rayo memeriksa sekeliling gerbang. Tapi tidak ada tenda-tanda yang mencurigakan. Hanya saja, bulu kuduk Rayo jadi merinding lagi, karena tiba-tiba ia mencium bau wangi kembang sewaktu angin berhembus pelan menerpanya.

"Bau kembang dari mana ini? Apakah dari tanaman asli,atau dari alam sana? Hmm, jangan-jangan ini bau wangi kembangnya orang mati?"

Rayo clingak-­clinguk, lalu tiba-tiba ia membungkuk sambil menyeringai menahan sakit.

"Uhhkk .. !! "

"Kak... ? Kenapa ? "

"Oouuhhkkk... Cepat kita masuk ke dalam, Bie.. ! Ayo, lekas."

"Tapi... tapi Kak Ray kenapa? Sakitnya kambuh, ya ?"

"Iyy, iya... ! Ouuhhff... !"

Rayo tak sanggup lari. Perutnya seperti diremat-­remat dan dipelintir-plintir dengan kasar. Belum pernah ia merasakan sakit perut seperti ini, meski sejak ia mengalami kehamilan gaib itu. Entah mengapa sekarang perutnya menjadi sangat sakit, sampai keringat dinginnya bercucuran membasahi wajah, leher dan dada.

"Aauuhh... ! Aaahhhkk... !"

Barbie membuka pintu rumah dengan mudah sekali. Tanpa kunci atau benda apapun. Ia menarik tangan Rayo agar segera masuk, lalu menutup, pintu itu. Lubang kunci diusap memakai tangan kanannya. Pintu itu telah terkunci lagi seperti semula.

Saat itu Rayo meringkuk di sofa panjang sambil mengerang kesakitan. Kadang tubuhnya mengejang demi menahan rasa sakit yang seharusnya dilampiaskan dengan teriakan keras-keras.

"Kak...? Kak Ray... ?" suara Barbie tak terhiraukan lagi .

Rayo sibuk menahan rasa sakit itu. Tapi nada suara Barbie temyata makin lama makin meninggi.

"Kok Ray... ?! Kenapa perut Kakak jadi besar... ?! Kak... lihat tuh, perut Kakak jadi besar... !"

Rayo sibuk melawan rasa sakit, Barbie kebingungan sendiri melihat perut Rayo makin membengkak dan terus membengkak.

ooooOOOoooo

KETAMPANAN milik Perwira Muda itu sangat disayangkan oleh Kumala Dewi kalau sampai habis terbakar gas beracunnya Parit Kernatian. Sejujurnya saja, Kumala menyukai wajah tampan milik Ekapaksi. Imut.dan terkesan lugu.

Biasanya wajah-wajah seperti itu awet muda. Dalam perkiraan Kumala, sang Perwira Muda itu baru berusia sekitar 23 tahun. Tapi dalam kenyataannya mungkin lebih.- Di Kahyangan banyak dewa-dewi yang kelihatan masih muda belia; tapi sebenarnya sudah berusia ratusan tahun.

"Sayang sekali dia terlalu disiplin dalam tugasnya. Terlalu kokoh memegang sumpah jabatannya. Aku jadi bingung harus berbuat apa kalau begini," ujar hati Kumala dengan menutup jalur gaibnya supaya tak didengar Ekapaksi.

Katanya lagi, "Dia tetap mengusirku dari tempat ini. Kalau aku benar-benar keluar dari batas wilayah Kahyangan ini, aku merasa sangat dilecehkan olehnya. Terhina sekali kalau sampai aku diusir keluar dari Kahyangan untuk yang kedua kalinya. Tapi kalau kulayani tantangannya, dia pasti kalah. Dan, kalau dia merasa kalah berhadapan denganku, maka dia akan nekat bunuh diri. Duhhh, harus bagaimana aku kalau begini ... !!"

Dewi Ular sudah jelaskan, bahwa dia sebenarnya adalah warga Kahyangan juga, anak dari Dewa Permana dan Dewi Nagadini. Tetapi agaknya Ekapaksi tidak mudah mempercayai penjelasan yang datang dari pihak luar .

"Siapa pun bisa saja-mengaku anaknya paman Permana, atau anaknya dewa yang lain. Pengakuan palsu seperti itu mudah dilakukan oleh siapa saja. Tapi jangan harap aku mempercayainya. Karena jika satu kali aku percaya oleh pengakuan dari pihak luar, maka selanjutnya aku akan mempunyai kebiasaan begitu. Pada akhirnya nanti aku akan tertipu oleh penuturan lawan,sehingga perbatasan ini akan mudah dilalui oleh siapa saja clan dais i aiam mania saja. Karena itu, aku mohon rnaaf... belum bisa mempercayai pengakuanmu , Kumala "

Juga ketika Kumala Dewi-menjelaskan bahwa dia datang ke Kahyangan karena diundang oleh para dewa senior, dia dijemput oleh utusan terhormat yaitu Dewa Jenaka, tapi karena suatu, halangan maka ia terpisah dari Dewa Jenaka.

Penjelasan itu hanya ,membuat Ekapaksi tersenyum sangat tipis. Menandakan bahwa hatinya sedikit pun tidak mempercaya penjelasan tersebut.

"Siapa saja bisa mengaku kenal dengan Dewa Bahakara, atau dewa lainnya. Tapi sekali lagi aku mohon maaf yang sebesar-besarnya, karena aku belum bisa mernpercayai pengakuan seperti itu. Jadi, sebaiknya cepatlah tinggalkan perbatasan ini, Kumala. Atau, kita tentukan sekarang juga siapa yang harus mati di sini."

Menyedihkan sekali.

"Dia telah menginjak-injak harga diriku dengan halus dan sangat sopan," pikir Kumala. "Daripada aku pergi karena usirannya, lebih baik kucoba untuk melumpuhkan dia, tapi jangan sampai ia merasa kalah dan bunuh diri. bagaimana caranya?"

Dari mulut berbibir sensual itu terucap kata-kata bernada keras yang ditujukan pada Ekapaksi.
kulayani tantanganmu. Kita tentukan siapa yang mati di sini demi tugas dan harga diri; kau, atau aku."

Sambil melangkah ke samping untuk mengatur jarak, Kumala masih terus berpikir mencari jalan yang terbaik. Dan, tiba-tiba ia dapatkan satu gagasan yang tidak terlalu cemerlang namun lumayan untuk mengatasi kebimbangannya sejak tadi.

"Kulumpuhkan dia, tapi jangan sampai mati. Akan kubuat dia terpuruk tanpa bisa berbuat apa-apa, sehingga tak punya kesernpatan untuk melakukan bunuh diri."

Ekapaksi pun melangkah ke samping, meneambil jarak pertarungan, sambil matanya memperhatikan Kumala lekat-lekat. Seperti sedang mencari tahu, di. mana kira-kira titik kelemahan lawannya itu.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh seperti gunung runtuh. Suara itu ,menggema ke mana-mana.

Gluuuurrrrrr .... !

Pohon pinus bergetar. Tebing Parit Kematian juga bergetar, menimbulkan suara aneh tersendiri.

Menyeramkan. Kumala Dewi melirik ke sana-sini mencari tahu suara apa yang terjadi saat itu. Ekapaksi pun tidak memperhatikan lawannya lagi, namun justru memandang ke seberang parit penuh selidik.

Suara gemuruh yang panjang itu kini disusul dengan suara dentuman kecil, tapi membuat tanah sekitarnya menyentak-nyentak dalam guncangan lebih hebat lagi.

Jduuur, jduuur, jduuur... !!

Tubuh mereka berdua ikut terlonjak-lonjak tiga kali. Seperti menaiki truck bak terbuka lalu melintasi polisi tidur tiga kali. Begitulah kira-kira sentakan tubuh mereka yang membuat keduanya sama-sama tegang, namun bukan untuk saling menyerang. Justru tanpa sadar mereka saling berdekatan dengan pandangan. mata nanar penuh waspada.

"Gemuruh dari mani itu tadi?" tanya Kumala setelah suara gemuruh hilang dan getaran alam berhenti.

"Entahlah. Tapi sepertinya terjadi di dekat-dekat sini."

Belum sempat Kumala mengajukan usul untuk sama-sama Memeriksa. situasi perbatasan, tahu-tahu suara gemuruh itu datang lagi walau tak sekeras tadi-.

Kali ini suara gernuruh itu sangat pelan dengan getaran alam sekelilingnya juga pelan. Mereka berdua menjadi seperti berada di atas sebuah ayakan raksasa. Bergetar terus dalam posisi apa saja. Bahkan kadang oleng seperti mau jatuh. Jika-bicara suara mereka menjadi bergetar, mirip vibrasi seorang vocalis yang sedang menyanyikan sebuah lagu.

"Pertarungan kita tunda dulu, Kumala."

"Aku setuju. Kalau boleh kubantu kau merneriksa keadaan sekitar wilayah perbatasan ini."

"Untuk apa kau mau membantuku?"

"Sudah kubilang, ayah-ibuku ada di sini dan .. "

Kumala mengalihkan pembicaraan sebentar sambil memegangi lehernya.

"Aduuh, suara kita kok jadi kayak gini, ya? Kayak kaset lagu yang pitanya udah kriting."

Dewi Ular tersenyum geli, membuat Ekapaksi pun merasa geli setelah menyadari suara mereka sama-sama bergetar. Hanya saja, Ekapaksi tak mau menonjolkan senyuman gelinya. Mungkin demi menjaga keseriusannya sebagai seorang Perwira Muda yang tetap menganggap Kumala musuhnya,maka ia merasa tak layak tampil cengar-cengir pada saat itu.

Kumala Dewi kembali ke pembicaraan semula,

"Bagairnana dengan usulku tadi? Boleh aku ikut merneriksa keadaan wilayah ini?"

Ekapaksa tidak menjawab. Diam. Tapi tampak sedang berpikir mempertimbangkan usulan tersebut. Pada saat itu, Kumala melihat dua kelebat bayangan melintas di belakang Ekapaksi.

Wuuut, wuuut . !

Ekapaksi dalam bahaya, pikimya. Maka, dengan secepat kilat Kumala meraih tangan Ekapaksi dan menariknya dalam satu sentakkan kuat.

Weess... !

Ekapaksi terpelanting di belakang Kumala sementara itu kedua tangan Kumala segera menyentak ke depan dalam posisi satu kaki berlutut.

Buuhk, buttuhk.. "Aaahkk... !"

"Uh,hk.k....!"

Dua pekikan pendek terdengar setelah Kumala Dewi melepaskan pukulan hawa sakti ke arah dua kelebat bayangan tadi. Pukulan itu mengenai sasaran. Keduanya terkapar sambil bersandar pada batang pohon pinus. Mereka mengerang kesakitan. Dewi Ular mendekati dua pemuda yang sama-sama mengenakan rompi hitam berhias, benang emas. Wajah mereka tampan-tampan walau tidak setampan wajah Ekapaksi.

"Tahan, Kumala. . !"

sergah Ekapaksi yang menyangka Kumala akan menghajar kedua pemuda itu.

"Mereka menyelinap mau menyerangmu dari belakang."

"Bukan. Mereka anak buahku."

" Ooh ...!!? "

Kumala merasa menyesal bercampur malu. Kedua anak buah Ekapaksi itu segera dihampiri. Wajahnya sudah membiru akibat pukulan hawa sakti yang mengenai dada mereka: Kondisi mereka segera dipulihkan oleh Kumala Dewi menggunakan hawa murni penyembuh segala macam luka.

"Maafkan aku., Sekali lagi, maafkah nggak tahu kalau kau punya anak buah, Paksi."

"Sebagai orang asing, kurasa kau tak perlu mengetahui hal itu agar kau tak tahu seberapa besar kekuatan penjagaan di sini."

Ekapaksi membantu salah seorang untuk berdiri. Getaran alam dan suara gemuruh sudah berhenti. Suara Ekapaksi terdengar jelas saat menyebut nama kedua anak buahnya itu.

"Azoma, Hasta... bahaya apa yang,kalian hadapi di ujung parit sana? Jelaskan."

"Tidak ada bahaya dari pihak luar, Paksi, " jawab Azoma sambil sesekali melirik Kumala penuh curiga.

"Yang muncul adalah bahaya Bari dalam," timpal Hasta.

Kedua-alis tebalnya Ekapaksi mengernyit tajam.

"Bahaya dari dalam? Maksudmu suara gernuruh dan getaran tadi berasal dari pihak kita sendiri?"

"Benar, Paksi," Azoma yang. menjawab, dan agaknya ia lebih banyak mendapat informasi ketimbang Hasta.

Katanya lagi, "Hyang Dewa Nathalaga sedang marah. Suasana di Balai Sidang menjadi kacau. Bubar semua."

"Dewa Perang marah?! Gawat!" gumarn Kumala, tapi terdengar oleh Ekapaksi, sehingga Kumala pun sempat dipandangi oleh Ekapaksi dengan nada heran.

Ekapaksi tak menyangka kalau Kumala mengetahui bahwa Dewa Nathalaga adalah Dewa Perang.

Namun agaknya Ekapaksi tak mau menunjukkan rasa heran itu secara lerang-terangan dan berkepanjangan. Ekapaksi segera beraling pandangan kepada Azoma.

"Lanjutkan keteranganmu, Azoma."

"Mungkin saat ini kemarahan Hyang Nathalaga sudah reda, karena saat kulinggal kabur ke ujung parit menghampiri Hasta, Hyang Nathalaga sedang dibujuk dan ditenangkan oleh beberapa dewa sepuh kita, termasuk Hyang Dewa Murkajagat."

"Apa yang membuat Dewa Nathalaga marah?" tanya Ekapaksi.
"Kabar yang kudengar, kernarahan itu dikarenakan utusan yang beliau kirimkan ke bumi sampai batas waktu ini belum kembali. Utusan itu adalah Dewa Bahakara, alias Dewa Jenaka."

Ekapaksi melirik sekilas ke wajah Kumala Dewi yang tampak serius mendengarkan keterangan Azoma. Ekapaksi teringat pengakuan Kumala tadi. Narnun is belum mau membahasnya, karena masih ingin mendengar penjelasan Azoma selanjutnya.

"Dewa Jenaka diutus menjemput putri tunggalnya Dewa Permana yang dulu dibuang ke bumi. Sampai sekarang keduanya belum menghadap beliau. Padahal sesuai hasil sidang para dewa senior beberapa waktu yang lalu, seharusnya hari ini dilakukan upacara agung di Sasana Dewantara. Dalam upacara agung itu Sang Hyang Maha Dewa akan hadir secara resmi..."

"Tunggu, tunggu. ," potong Ekapaksi. "Upacara agung itu untuk keperluan apa?"

"Untuk acara penobatan Manggalayudha...."

"0, siapa yang mau diangkat menjadi senopati perang?"

"Yaaa, putrinya Dewa Permana itulah," sahut Hasta yang sudah sangat paham, karena sudah lebih dulu mendapat penjelasan hal itu dari Azoma.

"Begitulah, Paksi Tapi sampai saat ini Dewa Jenaka belum kembali ke Kahyangan, padahal seharusnya sudah dari kemarin Dewa Jenaka datang bersama putrinya Dewa Permana itu. Rencana upacara penobatan agaknya gagal dilaksanakan saat sekarang ini, sedangkan Dewa Perang dan jajarannya sudah mempersiapkan upacara agung secara besar-­besaran. "

"Termasuk upacara untuk menyambut kedatangan sang calon senopati perang kita itu,"

tirnpal Hasta. "Dengar-dengar upacara penyambutannya saja akan dilakukan secara besar-besaran dan meriah. Jadi,menurutku . . wajar saja kalau Dewa Nathalaga merasa kecewa atas kelambatan kerja Dewa Jenaka, yang seharusnya sudah berada di Balai Sidang bersama sang calon senopati itu."

"Tali kudengar," sambung Azoma, "Hyang Dewa Nathalaga mau nekat turun ke bumi sendiri menjemput dan membujuk putrinya Dewa Permana itu untuk dibawa ke sini. Tapi sepertinya tadi niat itu dicegah oleh Hyang Dewa Murkajagat. Entah bagaimana keputusan terakhir, aku sudah pergi lebih dulu."„

Dewi,Ular diam saja. Bahkan berlagak seolah-­olah tidak tahu menahu tentang hal itu. Tapi dari tadi diam-diam Ekapaksi menyimpan kegelisahan di hatinya. Sampai akhirnya ia bertanya dengan suara pelan kepada Azoma, namun suara itu tetap terdengar sampai di telinga Kumala Dewi.

"Apa kamu tahu, -siapa nama-putrinya Dewa Permana yang mau dinobatkati sebagai senopati perang kita itu?"

"Apa kamu tidak tahu? Seharusnya kamu lebih tahu dariku."

"Banyaknya anak dewa sepuh kita, mana mungkin kuhapal semua namanya? Kalau kau tahu, katakan siapa namanya?"

"Hrnnirnm..., kalau tidak salah namanya... Dewi Ular, karena ia terakhir dari kandungannya Dewi Nagadini, ibunya."

Hasta menimpali, "Aku juga pernah mendengar nama Dewi Ular dan beberapa kisah petualangannya. Kalau tidak salah, dia hidup di bumi dengan nama... Kumala. hmmm... Kumala Dewi."

Deegh... ! Seperti ada yang menendang jantung Ekapaksi ketika kedua anak buahnya menyebutkan nama-nama itu. Matanya melirik cepat ke arah Kumala, dan kala itu Kumala berlagak cuek, memandang sekeliling ternpat itu dengan bertolak pinggang.

"Ssst... , apa kalian pernah melihat seperti apa wajah atau si Dewi Ular itu?"

"Belum," jawab Hasta, dan Azoma menimpali. "Aku juga belum pernah melihat seperti apa wajahnya."

"Hemm, kalau... kalau wajah dan ciri-cirinya Kumala Dewi, kalian pernah lihat?"

"Juga belum," jawab keduanya harnpir bersamaan.

Ekapaksi kembali memperhatikan Kumala yang saat itu sedang, memunggungiriya. Padahal saat itu Kumala sedang tersenyum menertawakan pertanyaan Ekapaksi yang dianggap sebagai pertanyaan bodoh, tapi menggelikan.

"Kalau dia?" bisik Azoma. "Dia itu siapa, dan mengapa ada di sini bersamamu?"

Ekapaksi kebingungan menjawabnya. Mendesah beberapa kali sambil sebentar-sebentar melirik ke arah Kumala yang sekarang sudah dalam posisi berhadapan dengan mereka bertiga. Kumala sengaja menatap Ekapaksi. Tatapannya lembut, tenang, tapi membuat. Ekapaksi semakin salah tingkah sendiri.

"Pssst... !" Azoma mendesis sambil mencolek, lengan Ekapaksi. "Kamu belum jawab pertanyaanku. Dia itu siapa?!"

Ekapaksi garuk-garuk kepala.

"Tadi memang dia mengaku, bernama Kumala Dewi, alias Dewi Ular. Juga mengaku sebagai anaknya Dewa Permana dan Dewi Nagadini, dan mengaku dijemput Dewa Jenaka untuk dibawa ke sini tapi terpisah dengan Dewa Jenaka dalam perjalanan."

"Oohh, jadii... jadi dia adalah..."

"Itu pengakuannya!" potong Ekapaksi, sambil menghindari tatapan mata Kumala dari jarak sekitar sepuluh langkah.

Tambahnya lagi, "Tidak semua pengakuan adalah kebenaran yang sejati. Banyak yang celaka akibat pengakuan dusta."

"Dan, lebih celaka lagi orang yang selalu berusaha menutupi kebodohannya," sahut Kumala sambil berlagak melihat-lihat arah lain, namun ekor matanya tetap tertuju pada Ekapaksi.

Tiba-tiba terdengar suara Hasta menyentak. "Hey, lihat itu... !"

Semua terkejut, termasuk Kumala. Hast menunjuk ke satu arah. Pandangan mata segera tertuju ke arah tersebut.

Oh, ternyata ada seberkas sinar biru cerah sedang. melintas di atas perbukitan pinus. Sinar itu bergerak zig­zag di antara batang-batang pohon pinus.

Dia bergerak menjauhi tempat pertemuan Kumala dan Ekapaksi itu. Karena munculnya dari balik perbukitan, maka Ekapaksi tak perlu mengejar, karena ia yakin sinar itu bukan datang dari pihak lawan.

"Dewa siapa yang pergi itu?" Azoma bertanya lirih tak ditujukan pada siapa pun kecuali pada diri sendiri. Tapi dijawab pula oleh Ekapaksi dengan suara pelan.

"Dilihat dari kecerahan warna birunya, sepertinya dia panglima kita, Zom."

"Dewa Ardhitaka maksudmu? Ah, sinar birunya tidak secerah itu kok. Ya, kan?" ia berpaling pada Hasta.

"Kalau beliau sedang gusar memang begitu warna sinarnya," sahut Kumala, membuat kedua anak buah Ekapaksi tertegun memandangnya, sementara Ekapaksi tersenyurn tipis, terkesan meremehkan pendapat Kurnala tadi.

"Kalau kau masih berada di sini, sebaiknya jangan sok tahu."

Kumala mau menyangkal, tapi sudah didului suara Azoma.

"Eh, dia kembali lagi! Lihat itu..."

"Iya, dia menuju kemari," timpal Hasta.

Mereka menunggu dengan rasa ingin tahu. Sinar biru itu meluncur cepat ke arah mereka.

Pada jarak tertentu sinar tersebut pecah dan padam.

Blaab... !

Lalu, tampaklah seraut wajah tua berjubah putih dan mengenakan ikat kepada dari kain putih sederhana. Dari raut wajahnya Kumala sangat mengenalinya, sementara Ekapaksi dan kedua anak buahnya segera membungkuk sarnbil rnenyilangkan tangan kanan di dada-.

Begitulah cara mereka memberi penghormatan kepada yang lebih senior.

"Paman Ardhitaka . .. ?!" sebut Kumala sambil tersenyum dengan sedikit membungkukkan badan, tapi tak sampai menukik seperti yang dilakukan Ekapaksi dan anak buahnya.

"Syukurlah kau sudah berada di sini, Kumala Dewi," ujar sang dewa senior, Dewa Bencana.

Dialah komandan pasukan wilayah perbatasan. Praktis dia sebagai atasannya Ekapaksi.

Oleh sebab itu, Ekapaksi dan anak buahnya bersikap sangat hormat menyambut kedatangan Dewa Ardhitaka,yarig kali ini mengenakan pakaian serba putih.

Ekapaksi sempat berdebar-debar cemas ketika mendengar Kumala menyapa Dewa Ardhitaka dengan sebutan `paman', dan dengan tetap berdiri tenang, bahkan wajahnya berseri-seri. Lalu, debar-debar yang dialami Ekapaksi bertambah kuat dengan kecemasan semakin membuat kakinya gemetar setelah Dewa Ardhitaka menyebut nama Kumala Dewi tanpa keraguan lagi.

"Mati aku! Kalau begitu, dia memang benar Kumala Dewi," keluh hati Ekapaksi sambil menelan ludahnya sendiri.

"Paman, kenapa kali ini Paman mengenakan pakaian serba putih? Tumben amat?" sambil Kumala memandangi dari jarak cukup dekat.

"Ketahuilah, Kumala... Nathalaga sekarang sedang marah, karena si Bahakara atau Dewa Jenaka belum pulang juga, padahal dia mendapat tugas untuk menjemputmu "

"Ya, aku sudah mendengar ceritanya dari Azoma baru raja tadi, Paman," seraya Kumala menunjuk Azoma yang segera grogi dan salah tingkah. Dia tak menyangka namanya akan disebutkan oleh Kumala.

Sementara itu, Kumala pun menjelaskan secara garis besar tentang peristiwa yang membuat dirinya terpisah dari Dewa jenaka, dan sampai sekarang belum berhasil berternu dengan Dewa Penabur Tawa itu.

"Akibat dati keterlambatan ini," kata Dewa Ardhitaka, "Kakang Nathalaga akan menjatuhkan hukuman berat kepada si Bahakara, jika nanti Bahakara sudah kembali."

"Itu tidak adil, Paman. Sebab ..."

"Aku juga sependapat begitu. Tapi, soal itu akan kupikirkan nanti saja. Sekarang yang perku kau ketahui adalah... Nathalaga menunjukku untuk menggantikan tugasnya Bahakara, yaitu menjemput dirimu dalam waktu hanya satu hari menurut hitungan bumi! Hanya satu hari!"

'Paman menyanggupi?"

"Kalau aku menolak tugas itu, Nathalaga semakin murka. Dikhawatirkan akan merusak kedamaian di Kahyangan. Oleh sebab itu, aku menyanggupi tugas tersebut. Tetapi lagi-lagi si Dewa Perang itu memberi ancaman yang memberatkan bagiku."

"Ancaman apa, Paman?"

"Kalau aku gagal menjemputmu atau terlambat membawarnu ke Balai Sidang, maka hukuman yang akan kuterima adalah.... Hukuman mati!"

"Ya, ampuuun... segitu marahnya Eyang Nathalaga, ya?!" gumam Kumala, lalu geleng-geleng kepaia sambil berdecak.

"Oleh sebab itu, aku mengenakan pakaian serba putih ini sebagai tanda bahwa Au sedang berada di ambang kematian. Sebab ketika aku menerima tugas itu, aku sendiri belum yakin akan berhasil menjemputmu. Bertemu denganmu pun itu belum bisa-kupastikan. Tapi.... Dewa Ardhitaka menarik napas panjang.

la berkata lagi, "Tapi, sekarang aku merasa tidak berada di ambang kematian, karena tak disangka-­sangka ternyata kau sudah berada di wilayah Kahyangan, dan sedang bercanda, dengan Perwira Mudaku ini, ya? Bagus, bagus, bagus... !"

Dewa Ardhitaka menepuk-fiepuk pundak Ekapaksi. Sang Perwira Muda sangat tidak enak Kati karena disangka sedang bercanda dengan Kumala, sementara Kumala Dewi hanya bisa menarik napas,mernendam rasa kesal, Sebenarnya is ingin mengadukan sikap Ekapaksi terhadapnya sejak tadi, tapi keinginan itu segera disingkirkan jauh-jauh, mengingat ada persoalan besar yang membentang di depan matanya, yaitu penobatan dirinya sebagai Manggalayudha atau Senopati Perang dan Kahyangan.

"Paman, dulu aku pernah memberi tanda di telapak tangan Paman, bukan?"

"Ya, sampai sekarang masih ada. ," Dewa Ardhitaka menunjukkan telapak tangannya yang mempunyai tato gambar naga hijau. Kecil. Siapa pun yang diberi tato seperti itu oleh Kumala, berarti dia harus dibebaskan dari hukuman apapun.

Ketentuan tersebut konon sudah tertulis dalam KUHK, Kitab. Undang ­Undang Hukum Kahyangan. Dulu memang Dewa Ardhitaka pernah mendapat tato bebas hukuman dari Kumala, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "BULAN BERDARAH").

Dewa Ardhitaka berkata kepada Ekapaksi dan anak buahnya.

"Siapa yang mendapat tato ini dari Dewi Ular,maka is dibebaskan dari segala hukuman. Tapi hanya berlaku untuk tugas yang sedang dikerjakan pada saat itu. Bukan berlaku selamanya."
Ekapaksi manggut-manggut, semakin malu kepada Kumala.

"Sekarang mana tangannya yang satu lagi, Paman. Coba aku lihat sebentar."

"Untuk apa?" Dewa Ardhitaka menyodorkan tangan yang satunya dengan ragu dan heran. "Mau apa kau periksa tanganku yang tidak bertato ini, Kumaia?"

Kumla tersenyum-senyum. Telapak tangan itu diperhatikan. Dan, tiba-tiba dari jari tangan Kumala keluar sinar hijau kecil yang sangat cepat gerakannya.

Claaap !

Dewa Ardhitaka terkejut, menarik tangannya dengan cepat pula. Tapi tangan itu segera dilihatnya kembali. Ternyata telapak tangan yang semula kosong, sekarang sudah ada tato baru. Tato gambar naga kecil warna hijau. Tato itulah sebenarnya jawaban dari pertanyaan Dewa Ardhitaka tadi. Sang Dewa berkerut dahi tajam sekali.

"Apa maksudmu memberikan satu tato lagi padaku, Kumala?"

"Supaya Paman Ardhitaka bebas dari hukuman mati."

"Oh, Kumala, Kumala... rupanya kamu belum paham, ya? Tugasku bukan mencari tanda bebas hukuman, tapi menjemputmu dan membawamu menghadap Dewa Perang, biar dinobatkan dengan upacara agung Kahyangan sebagai Senopati Perang! Nantinya kau harus berhadapan melawan anaknya Dewa Kegelapan yang memiliki kesaktian sangat membahayakan pihak Kahyangan maupun kehidupan di muka bumi, yaitu Athila Darapura! Ngerti?!"

"0, ya, aku sangat mengerti, Paman. Tapi tolong sampaikan kepada. Eyang Nathalaga, aku menolak penobatan itu!"

"Apa ... !!! "

"Hahh ... !! "

Dewa Ardhitaka dan Ekapaksi dengan kedua anak buahnya, sama-sama tercengang kaget mendengar pernyataan tegas Kumala.

"Kamu menolak penobatan itu, Kumala?!"

"Ya„ Paman. Aku tidak suka diagung-agungkan."

"Itu bukan mengagungkan kamu, tapi meresmikan kamu sebagai senopati perang kami!"

"Aku nggak butuh jabatan resmi kayak gitu, Paman. Aku datang kemari semula hanya ingin menyelamatkan Rayo dari kehamilannya, dan membantu paman Dewa Jenaka agar tak kena sangsi hukurnan atas tugasnya. Tapi aku tidak tahu kalau akan dinobatkan sebagai Manggalayu dha atau Senopati Perang. Kalau aku tahu akan ada upacara agung dan pesta.penobatan besar-besaran, aku tidak akati datang, Paman. Aku tidak akan nekat menyeberangi Parit Neraka itu dan berselisih dengan Ekapaksi."

Dewa Ardhitaka terbengong dengan mulut melompong. Ekapaksi dan kedua anak buahnya hanya bisa saling pandang tanpa suara. Mereka tak menyangka bahwa Kumala akan menolak mentah-mentah acara bergengsi itu:

"Paman, sampaikan salamku kepada semua yang ada di Balai Sidang nanti. Katakan, bahwa tanpa penobatan seperti itu, aku tetap maju sebagai senopati perang jika Khayangan diserang Laskar Iblisnya si Lokapura. Dan, satu hal lagi... tanpa penobatan resmi begitu, aku tetap akan tampil sebagai lawan utamanya si Athila Darapura. Setinggi apaptin kesaktian anak itu, kalau dia akan merusak kehidupan di bumi dan di Kahyangan, maka akulah yang akan maju menghadapinya, Paman."

Semua masih diam tertegun. Terkesima oleh perkataan tegas dari bidadari cantik jelita itu.

"Nah, cuma itu pesanku untuk Para leluhurku, Paman. Tolong sampaikan segera. Terima kasih. Selamat tinggal, Paman Ardhitaka... Selamat tinggal Ekapaksi, Azom dan Hasta... Damai sejahtera menyertai hidup kalian dimana saja."

Claaap... !'

Tiba-tiba. Kumala Dewi berubah menjadi seberkas sinar hijau berbentuk seperti naga kecil. Sinar hijau itu melesat dengan kecepatanmelebihi Vat. Melintasi Parit Kematian tanpa mengalami luka apapun. Kemudian lenyap dan pandangan mereka.

Sang senopati harus segeia pergi, karena masih banyak kasus yang harus ditangani secepatnya.

Terutama kehamilan Rayo Pasca. Jika ternyata Dewa Jenaka hilang entah kemana dan tak ditemukan lagi, lalu apa yang hams dilakukan Kumala untuk menyelamatkan kekasihnya dari kehamilan bayi titipan itu?

Dalam kisah berikutnya, Dewi Ular akan membongkar kedok jati dirinya Mak Ayu, yang sampai sekarang mash menderita luka akibat berhadapan dengan si kecil Barbie. Dalam kisahnya nanti Kumala juga akan berhasil menemukan jei dirinya Barbie, serta mengetahui datimana anak itu memperoleb kesaktian yang cukup tinggi itu.

Nantikan kehadiran Dewi' Ular dalam per­tandingannya dengan musuh utama: Athila Darapura.

SELESAI