Dewi Ular - Misteri Surat Setan(1)

 

Oleh Tara Zagita

1

Tanpa sebab dan alasan yang jelas, tiba-tiba saja bulu

kuduk Moina meremang tegang. Pori-pori tubuhnya yang

kuning mulus menjadi berbintik-bintik karena merinding.

Maka, sambil memandangi bayangan wajahnya di depan

cermin rias, dahi Moina berkerut tipis.

"Kenapa merinding, ya?!" gumamnya dalam hati.

Moina membantah pendapatnya sendiri. Ia melirik jam

beker di meja tulisnya. Hatinya menggumam lega setelah tahu

malam baru menunjukkan pukul delapan lewat sedikit.

Artinya, saat-saat seperti ini menurutnya bukan saat yang

layak untuk datangnya sebuah misteri.

Beberapa saat kemudian terdengar suara motor berhenti di

depan rumah. Terdengar pula suara klakson motor dalam

keadaan mesin tetap hidup. Moina kembali berkerut dahi,

mencoba mengenali suara motor itu. Suara klakson seperti itu

dapat diartikan sebagai panggilan dari seorang teman yang

ingin berkunjung ke rumahnya. Entah siapa yang dipanggil

oleh sang teman. Mungkin dia sendiri, mungkin juga salah

satu dari kedua adiknya: Desty atau Fahrel.

"Deesss...! Reeel...! Siapa tuh yang datang?!" seru

mamanya dari lantai atas. Tapi agaknya Desty dan Fahrel

tidak ada yang keluar dari kamar masing-masing untuk

menyambut sang tamu. Karena suara klakson berbunyi lagi,

mau tak mau Moina sendiri yang keluar ke teras untuk melihat

siapa yang datang malam itu.

" Hmmm .....?!"

Moina makin berkerut dahi. Heran. Malam-malam begini

ada tukang pos datang. Mau mengantarkan surat atau mau

menanyakan sesuatu, pikir Moina dalam keraguannya untuk

melangkah ke pintu pagar. Tapi karena tukang pos


berseragam dengan wama motor khas kendaraan Pos dan

Giro, maka Moina pun bergegas mengliampirinya.

"Tumben malam-malam masih tugas, Pak?" Pak Pos hanya

menggumam pelan sekali, tanpa senyuman sedikit pun ketika

ia menyerahkan sepucuk surat pada Moina.

"Kenapa nggak besok siang aja nganternya?" seraya Moina

mencoba membaca si pengirim surat. Namun, ia tak

mendengar suara Pak Pos menjawab sepatah kata pun. Ia

mencoba menatap Pak Pos, temyata Pak Pos juga

menatapnya. Dingin. Tatapannya kosong. Bulu kuduk Moina

merinding kembali.

"Hmm, eeh, makasih, Pak..." Moina buru-buru

meninggalkan pagar rumahnya, bergegas masuk ke dalam.

Menutup pintu cepat-cepat. Lalu, mengintip dari celah gordyn

dinding kaca.

"Ooh, ke mana orang itu?!"

Mata pun terbelalak tegang. Pak Pos sudah tidak ada.

Mestinya orang itu masih tampak dari tempat Moina mengintip

walaupun pergi dengan mengendarai motor. Tak mungkin

secepat kilat Pak Pos bisa melintasi tikungan jalan dan

menghilang di sana.

"Aah, mungkin dia memang jago ngebut! Ngapain harus

gue pikirin yang begituan," gumam hati Moina. Ia berusaha

menghindari debar-debar kecurigaan yang dapat menyiksa

batinnya jika dibiarkan berlarut-larut.

"Siapa yang datang tadi, Moi?" tanya Desty yang baru

keluar dari kamar mandi. Ia menyangka teman kampusnya

yang tadi datang .

"Kok malam-malam begini ada yang anterin surat sih?"

Desty bernada heran setelah tahu kakaknya memperhatikan

surat tersebut.

"Nggak tahu tuh. Tapi, pengirimnya kok nggak jelas ya?"


"Surat buat siapa?" Fahrel menyahut dengan pertanyaan

begitu ia keluar dari ruang dapur.

"Buat gue." Setelah menjawab begitu Moina pun bergegas

masuk ke kamarnya. Kamar itu tidak jauh dari ruang tamu.

Jendelanya menghadap ke halaman depan.

Nama dan alamat yang dituju sangat jelas. Moina orang

yang dituju. Tapi pengirimnya tidak jelas. Hanya sebuah nama

yang terdapat di bagian pengirim surat, yaitu: Lexian. Tak ada

alamat atau kode pos si pengirim. Sementara nama itu buat

Moina sangat asing. Ia tak punya teman atau saudara yang

bernama Lexian. Sempat curiga, jangan-jangan surat itu

bukan untuknya. Tapi melihat alamatnya jelas alamat

rumahnya, berarti surat itu memang ditujukan untuknya.

Moina membuka surat itu dan membacanya. Temyata

isinya cukup pendek dan aneh bagi siapapun yang

membacanya.

"Sobatku yang tercinta .....

Aku ingin kau hidup dengan kebahagiaan abadi, penuh

sukacita dan kepuasan pribadi. Jika kau ingin hidup dengan

kebahagiaan abadi, kepuasan pribadi yang selamanya, maka

bacalah mantera ini: shakana marabhun shakanamahozin

dhawoo'. Tunggulah saatnya untuk hidup bahagia.. LEXIAN"

Sekali lagi dahi Moina berkerut. Kali ini lebih tajam lagi

kerutannya. Dalam hatinya bertanya-tanya, apa maksud isi

surat itu.

Mo|na segera memanggil Desty dari pintu kamarnya.

"Des, lu kenal dengan orang yang namanya Lexian?"

"Cewek apa cowok?"

"Nggak tahu. Gue dapat surat dari Lexian, isinya aneh

banget. Soal mantera. Tapi gue nggak punya kenalan Lexian."

"Temannya Fahrel kali. Tanyain aja ama dia."


Moina memanggii adiknya yang masih SMU. Tapi Fahrel

bersumpah-sumpah tidak punya teman yang bernama Lexian .

"Orang iseng aja kali tuh. Udah, nggak usah digubris!

Buang aja tuh surat kalo nggak bener isinya," kata Fahrel

sambil menaiki tanggake lantai atas, karena kamarnya ada di

lantai atas. Bersebelahan dengan kamar mamanya yang sudah

janda.

Moina sependapat dengan Fahrel. Surat dilemparkan di

meja tulis. Tak ingin dibacanya lagi. Rasa dongkol masih

membekas di hati. Apa maksudnya orang menulis surat iseng

seperti itu padanya. Rasa dongkol itu berkembang menjadi

rasa penasaran. Akibatnya surat itu tak dapat dilupakan begitu

saja. Selalu diperdebatkan dalam hati. Mengganggu

ketenangan batinnya. Akhirnya, surat itu dibacanya kembali.

"Lho...?!" mulut Moina terperangah. Dahinya

mengkerutlagi.

"Kok nggak ada tulisannya?! Tadi jelas-jelas ditulis dengan

tinta hitam, menggunakan tulisan tangan yang rapi banget.

Sekarang kok...? Kok tulisannya nggak ada sih? Ya, ampuun...

bekasnya juga nggak ada?! Apa gue salah ambil kertas, ya?!"

Tidak. Moina tidak salah ambil kertas. Kertas warna putih

tak bergaris itu memang kertas surat yang tadi. Hanya saja,

sekarang di kertas itu tidak terdapat setitik tintapun. Tidak ada

tulisan tangan bergaya miring rapi dan bagus seperti tadi.

Bahkan pada amplop surat pun tidak ada tulisan apa-apa.

Putih. Kosong.

"Iihh... bulu kuduk gue jadi merinding kuat banget nih...?!

Detak jantung gue juga... kok jadi kayak gini s ih? Kayak habis

lari jauh? Duh, ada apa nih? Perasaanku jadi nggak enak."

Moina keluar membuka pintu kamar dan memanggil Desty.

Suara panggilan bernada tegang dan berkali-kali itu membuat

Desty dengan cemberut dongkol terpaksa keluar dari

kamarnya, namun tak mau menghampiri kakaknya.


"Apaan sih, teriak-teriak?!"

"Des, lihat sini... surat yang tadi gue terima sekarang nggak

ada tulisannya. Kosong! Nih, lihat...! Sini, lihat...!" sambil

Moina menenteng kertas surat, diangkat sebatas keningnya.

Namun agaknya hal itu tidak menarik buat Desty, sehingga

gadis bermata bundar itu mendesah dan masuk ke kamarnya

kembali. Menutup pintu kamarnya.

"Huuhh...! Kirain ada apaan?!" gerutu Desty setelah berada

di dalam kamarnya sendiri. Ia sama sekali tak tertarik dengan

keanehan yang disebutkan kakaknya.

Gadis berbadan langsing dengan rambut pendek sebatas

tengkuk itu kembali menekuni buku diktatnya. Ia fokuskan

kembali konsentrasinya pada mata kuliah yang sedang

dipelajari dengan tekun itu. Namun, belum sampai lima menit,

konsentrasi belajarnya sudah mulai terganggu lagi. Ia

mendengar suara teriakan Moina yang cukup keras.

"Aaaauuh...!! Desss...! Destyyy...! Fahreeell...!

Aaaauuuh...!!"

Desty mendesah makin kesal. "Huuhh ...!! Udah gila apa

tuh orang, ya?! Syaraf kali dia!"

Hati disabarkan untuk tidak membuat reaksi. Tenang.

sesaat, namun segera terdengar lagi suara Moina yang

menjerit lebih keras.

"Mamaaaaaaa...!! Aaaauuuuwww...!!" Terdengar suara

gaduh samar-samar. Suara itu datang dari kamar Moina, Desty

masih ragu, apakah benar ada sesuatu yang tak beres di

kamar kakaknya, atau hanya keisengan yang semakin

menggila?.

Tapi tak lama kemudian terdengar suara gaduh lagi. Kali ini

suara gaduh terdengar datang dari lantai atas dan tangga

penghubung lantai. Sepertinya suara langkah kaki Fahrel


berlari terburu-buru. Desty pun segera bangkit dari tempat

duduknya dan membuka pintu kamarnya.

"Ada apa,Rel?!"

"Suara Kak Moi...!!" wajah Fahrel tegang. Sepertinya ia

yakin betul bahwa suara teriakan kakaknya itu bukan suatu

keisengan buat 'ngeijain' adik- adiknya. Saat itu juga Desty

berubah sikap dengan cepat, menjadi tegang dan serius

menanggapi teriakan Moina.

"Kak Moi, ada apa??!" sera Fahrel sambil mencoba

membuka pintu kamar Moina tapi pintu itu terkunci. Fahrel

menggedornya berkali-kali.

"Kaaaak...! Kak Moi...!"

Desty ikut menggedor pintu dengan tingkat ketegangan

makin tinggi.

"Moiiii...! Moi, buka pintunyaaaa...!! Moooii...!"

Mamanya yang berusia 62 tahun itu menuruni tangga

dengan hati-hati. Wajah tua sang mama tampak menyimpan

keeemasan yang sangat menegangkan. Sepertinya naluri

seorang ibu telah menangkap adanya tanda-tanda buruk yang

teijadi pada diri anak sulungnya itu.

"Dobrak saja,Rel! Dobrak pintunya!"perintah sang mama

yang berbadan tergolong gemuk itu.

"Susah, Maa...! Dikunci dari dalam!" seru Desty.

"Makanya dobraaak... !! Mama bilang dobrak ya

dobraaak...!!" sang mama semakin beremosi.

Fahrel yang berbadan atletis dengan tinggi 171 centimeter

itu mengambil ancang-ancang mundur. Ia akan menerjangkan

badannya yang kekar ke pintu. Tapi ketika itu terpikirkan oleh

mereka munculnya suasana sepi. Tak ada teriakan Moina. Tak

terdengar suara gaduh seperti perabot porakporanda. Sepi

dan hening.


"Tunggu dulu," cegah Desty merentangkan tangannya. Niat

Fahrel untul berlari menerjang pintu tertahan seketika.

"Tunggu apa?!" hardik mamanya.

"Moi nggak teriak-teriak lagi, Ma. Kita pasti dikeijaindia!"

"Dikeijain gimana sih kamu ini?! Teriakan Moi benar-benar

serius!"

Di saat Desty berdebat dengan mamanya, Fahrel

terperanjat melihat ada kilatan cahaya terang yang bias

sinarnya tampak dari sela-sela bawah pintu. Cahaya itu

berwarna merah terang. Seperti s inar fotocopy yang . melintas

dengan cepat, bolak-balik dua kali.

"Lihat, sinar apa itu, Maaa...!!"

Masih sempat mata Desty dan mamanya tertuju ke bawah

pintu, dan mereka melihat kilatan cahaya merah terang dalam

sekelebatan. Tanpa disadari pada saat itu sekujur tubuh

mereka merinding kuat secara bersamaan. Seperti ada

segenggam pasir ditaburkan mengenai tubuh mereka.

Weeerrrhh.... !!

Meski pun cahaya sekilas telah padam, namun rasa takut

semakin mencekam hati mereka. Debar-debar jantung

bertambah kuat. Perasaan aneh itu membiiat mereka akhimya

saling tertegun, saling pandang, dan saling kebingungan

beberapa saat. Sang mama lebih dulu keluar dari cekaman

perasaan aneh itu dengan berseru memanggil pelayan

lelakinya.

"Aliii...! Aliii...! Ke sini sebentar ! "

Fahrel dan Desty sama-sama tidak tahu mengapa mama

mereka memanggil Ali yang badannya kurus dan tenaganya

tidak terlalu kuat. Maka, Fahrel segera melanjutkan niatnya

untuk melompat menerjang pintu. Namun, kali ini justru


tangan mamanya yang mencegah tindakan tersebut dengan

mencengkeram pundaknya.

"Tahan dulu!"

"Ali nggak akan kuat mendobrak pintu kamar Kak Moi, Ma."

"lya, iya... tapi... tapi jauhi kamar itu! Desty, kamu ke sini!

Jangan dekati kamar Moina!"

Desty menurut dengan hati semakin terheran-heran dan

ketegangan kian bertambah. Fahrel pun ditarik mundur dan

berdekatan dengan Desty.

"Kenapa...?!" Desty bertanya pada mamanya, namun

kalimat tanya itu tak sanggup dilengkapi. Lidahnya menjadi

kaku akibat diliputi rasa takut yang membingungkan

pikirannya sendiri.

"Mama curiga, ada bahaya di balik pintu kamar Moi.." ujar

sang mama sambil menahan air mata. Ia ingin menangis.

Hatinya sudah dicekam kesedihan lebih dulu.

Ali pun datang dengan kaki dan tangan masih basah air

sabun. Ia habis mencuci pakaiannya di kamar mandi belakang.

"Saya di panggil, Nyonya?"

"Dobrak pintu kamarnya Non Moina! Dobrak sekarang

juga!"

"Ba... baik, Nyonya," jawab Ali dengan bingung dan raguragu.

"Tapi... tapi dari pada didobrak, lebih baik dibuka handel

pintunya. Selain kerusakannya nggak seberapa, tenaga saya

pun eukup mampu untuk melakukannya, ketimbang saya

haras mendobraknya, Nyonya."

" Ya, sudah lakukan! Lakukan apa saja, asal pintu itu

terbuka!"

Ali baru saja mau pergi mengambil perkakas tukang, tibatiba

mereka mendengar suara kecil, seperti kunci dibuka.


Klleek...!

Semua mata tertuju pada pintu kamar Moina. Pintu itu

bergerak pelan-pelan. Terbuka sedikit. Sekitar 5 centimeter.

Lalu, berhenti tak bergerak lagi.

"Terbuka sendiri?!" Fahrel mendesis tegang. Namun, ketika

ia hendak maju menuju ke pintu, mamanya kembali mencekal

lengan, menghalangi maksud langkah kakinya.

"Ali , coba periksa kamar itu!"

"Ma, kenapa harus Ali, aku kan..."

"Hati mama semakin merasa nggak enak, Rel. Ooh, nggak

tahu, tumben perasaan mama jadi ketakutan begini. Biarkan

Ali yang memeriksa!"

Pemuda berusia sekitar 23 tahun yang berperawakan kurus

dan berpenampilan lugu itu melangkah dengan hati-hati

mendekati kamar Moina. Ia juga dihinggapi perasaan takut

akibat terpengaruh suasana tegang sang majikan dan kedua

anaknya itu.

"Ada apa sebenarnya?!" pikirAli. "Aduuuh, aku jadi

gemetaran banget, kayak mau ketemu setan aja?!"

Ali mendorong pintu kamar pelan-pelan. Dadanya

bergemuruh karena denyut jantung yang menyentak- nyentak

kuat dan cepat. Pelan-pelan sekali pintu terbuka makin lebar.

"Hahh...?!" Ali terpekik kaget, melompat mundur dengan

wajah menjadi pucat. Pekikan dan gerakan reflek itu membuat

Desty, Fahrel dan mamanya ikut tersentak kaget dan berlari

menjauh.

"Ada apa, Li...?! Ada apa, hah?! Ngomong! Ada apa?!"

desak Desty yang dikuasai oteh perasaan paniknya.

"Da... da... darah..."

"Apa...? Da... darah?!" suara Fahrel menyentak.


"Darah siapa?! hey...., darah apaan?! Bicara yang jelas, Li!

Darah siapa maksudmu?!" desak mamanya.

Tanpa setahu mereka Fahrel telah nekat mcnghampiri pintu

kamar Moina, lalu membuka pintu lebar-lebar. Seketika itu

pula terdengar suara Fahrel terpekik keras-keras. Desty dan

mamanya ikut memandang ke arah kamar tersebut dan

menjerit dengan keras, dilanjutkan dengan tangis yang

membaur dalam kepanikan.

Suasana di dalam kamar itu sungguh mengerikan. Semua

perabot atau barang apapun yang semula ada di dalam kamar

itu, kini lenyap tanpa tertinggal sepotong kayu pun. Tak ada

sesobek kertas pun yang tersisa. Jam dinding, poster, TV,

meja, dan yang lainnya telah hilang dari tempatnya. Dan,

Moinapun tak ada di dalam kamar tersebut. Moina ikut lenyap

tanpa sehelai rambut yangtersisa.

Di dalam kamar yang kosong itu hanya terdapat genangan

darah segar. Darah itu menggenang menutupi semua lantai

kamar. Sebagian ada yang memercik pada dinding, bak

lukisan abstrak yang menyeramkan. Satu-satunya benda yang

tersisa di kamar itu adalah lampu bohlam yang menempel

pada langit-langit kamar. Masih menyala seperti biasa.

Jerit tangis keluarga Moina membuat rumah itu dalam

waktu singkat dipadati para tetangga. Beberapa tetangga

dekat mereka ikut menangis dan diliputi ketakutan setelah

melihat kamar Moina digenangi darah sebanyak itu. Semua

yang menyaksikan kengerian tersebut saling bergidik

merinding dengan jantung berdetak-detak cepat.

Mereka ikut mencari Moina di luar rumah, namun tidak satu

pun menemukan jejak atau tanda-tanda yang dapat dijadikan

petunjuk ke mana perginya Moina.

Jendela tetap terkunci rapat, eternit tetap utuh, lubang

angin tak ada yang jebol, dan tampaknya lantai pun tak ada


yang amblas ke dasar bumi. Lalu, ke mana perginya Moina?

Darah siapa yang menggenang di lantai kamarnya?

"Misterius sekali kejadian ini," ujar salah seorang tetangga

yang sering dipanggil Mama Eka.

"Desty bilang, mula-mula Moina terima surat dari seseorang

yang tidak dikenal. Is i surat itu, katanya, sangat aneh. Ada

manteranya. Terus, tulisannya hilang, dan... tahu-tahu Desty

mendengar kakaknya menjerit-jerit, suara gaduh, sampai

akhirnya... seperti sekarang ini," tutur Pak Rusman, tetangga

seberang rumah.

"Coba telepon Kumala Dewi!" usul Tante Gessy yang

tinggalnya,di ujung jalan, tiga rumah dari tempat tinggal

Moina.

"Siapa itu Kumala Dewi?" tanya Mama Eka.

"Kenalan saya. Dia paranormal cantik. Masih muda. Tapi,

ilmunya tinggi. Dia bisa masuk ke alam gaib. Bisa mengenali

tanda-tanda gangguan roh jahat dari mana pun. Dengardengar

dia anak dewa...."

Sebagian orang ada yang mempercayai kata-kata Tante

Gessy, sebagian lagi menganggap semua itu hanya omong

kosong belaka. Namun bagi Tante Gessy, tentu saja

kehebatan Kumala Dewi bukan hanya sekedar isapan jempol

belaka. Kemampuan gadis cantik jelita itu memang nyata,

karena Tante Gessy pemah mendapat pertolongan dari

Kumala ketika ia kehilangan Hilmon, kekasih gelapnya, yang

nyaris menjadi korban keganasan Nyai Sekatpitu, yaitu utusan

dari pihak Dewa Kegelapan, (Baca serial Dewi Ular dalam

episode: "ANCAMAN IBLIS BETINA").

Kasak-kusuk para tetangga mulai santer. Semakin banyak

yang ingin tahu seperti apa kehebatan gadis cantik yang

bemama Kumala Dewi itu. Atas persetujuan Desty, mereka

sepakat memanggil Kumala Dewi untuk datang malam itu

juga.


Mereka ingin bukti, apakah Kumala Dewi dapat

mengembalikan Moina yang raib secara misterius itu? Atau

setidaknya, dapatkah gadis yang katanya baru berusia 26

tahun, dan memiliki kesaktian seperti dewa, mampu

mengungkap tabir misteri di balik hilangnya Moina yang

sangat menggemparkan itu?

Namun, rencana itu tertahan oleh pernyataan Afen,

sepupunya Desty. Mamanya Desty mempunyai seorang kakak

yang sekarang su'dah meninggal. Kakaknya itu mempunyai

empat orang anak, yang ncmor tiga adalah Afen. Praktis

kedudukan Afen lebih dihormati karena dia termasuk kakak

dari Moina, Desty dan Fahrel.

"Biar nanti teman saya saja yang menangani kasus ini! Kita

nggak perlu minta bantuan siapa-siapa. Teman saya memiliki

kemampuan supranatural yang sangat tinggi, dan pasti

sanggup menemukan Moina."

Tante Gessy tersinggung dengan kesanggupan Afen.

"Sok tahu anak itu!" geramnya ketus saat berhadapan

dengan Mama Eka. "Siapa sih orang yang jadi andalannya

itu?! Belum tahu dia kalau Kumala Dewi itu disegani oleh

paranormal di mana-mana karena tingkat kehebatan ilmu

gaibnya sangat tinggi?!"

Sempat terdengar oleh Mama Eka dan beberapa tetangga

lainnya saat Afen bicara dengan orang yang diteleponnya itu.

"Tolong kamu datang kemari dong sayang ... Yang jadi

korban sepupuku sendiri nih ... !"

Maka, hati merekapun bertanya-tanya , siapa orang yang

menjadi andalan Afen sebenarnya ? Benarkah ia mempunyai

kemampuan seperti yang dikatakan pria lajang yang dulu

berusia 30 tahun .


2

Lelaki kurus berpeci hitam nekat mendatangi rumah indah

berpagar besi warna hijau. Dilihat dari penampilannya yang

sangat sederhana; kemeja dan celananya yang bukan

bermerek, serta kedatangannya yang bukan turun dari mobil

pribadi melainkan turun dari sebuah ojek, maka dapat

dipastikan ia bukanlah orang berada.

Cahaya terang dari pancaran sinar bulan purnama telah

membuat bapak berusia sekitar 60 tahun itu dapat dengan

mudah menemukan rumah yang dituju.

Dengan berbekal sesobek kertas, catatan tentang alamat

rumah tersebut dan ciri-ciri sekitarnya, lelaki berkemeja batik

usang itu menekan bel tamu yang ada di pintu pagar. Ia tak

peduli saat itu waktu telah menunjukkan pukul sepuluh lewat.

Seorang pemuda berperawakan sedang, berambut kucai,

dan hanya mengenakan celana sedengkul dengan kaos oblong

longgar, akhirnya keluar dari rumah indah itu. Menghampiri

bapak beruban lipis yang mununggu di balik pintu pagar.

"Ada apa, Pak?"

"Saya mau bertemu dengan Nona Kumala Dewi. Saya mau

minta tolong karena...."

"Yaah, kagak bisa malem ini, Pak. Bcsok aja ke sini lagi!"

"Aduuuh, persoalan saya ini sangat gawat, Mas. Saya harus

di tolong sekarang juga."

"Nggak bisa. Saat ini kami libur, nggak terima tamu dan

nggak bisa diganggu oleh siapa pun!" si pemuda berambut

kucai mulai sedikit kesal.

"Sebentar saja, Mas. Saya cuma butuh petunjuknya

supaya..."


"Nggak bisa, nggak bisa...! Kami nggak terima tamu. Ini

malam bulan purnama. Kami libur total. Ngerti, Pak?"

"Yaaah .... gimana dong..."

"Terserah Bapak mau bilang apa, tapi itu sudah menjadi

keputusan mutlak dari Kumala Dewi. Silakan Bapak pulang

dulu, besok pagi-pagi sekali datang ke mari, pasti akan kami

terima dengan senang hati. Okey...?"

"Hmm, eeh... tunggu dulu, Mas. Hmm, bagaimana kalau

cuma lima menit saja, Mas. Lima menit kan nggak lama. Saya

rasa..."

"Bapak jangan bikin saya jengkel, ya?!" sahutnya dengan

nada makin ketus. "Saya sudah kasih tahu yang sebenarnya,

Bapak jangan maksa terus. Saya bisa marah, tahu?!"

Hardikan tak seberapa keras telah membuat mulut bapak

itu seperti terkunci persendian rahangnya. Ternganga namun

sulit digerakkan. Tatapan mata pemuda berambut kucai itu

membuat si bapak merasa sesak napas. Dadanya seperti di

himpit dengan benda berat. Bahkan untuk menelan ludah pun

sulit ia lakukan. Hardikan tadi seperti mengalirkan gelombang

suara aneh yang mampu melumpuhkan nyali, menundukkan

kekerasan hati, dan mematikan seluruh akal pikiran yang ada.

Gelombang suara yang bernada menggertak tadi bukan

gelombang suara biasa. Memang memiliki aliran gelombang

gaib yang dapat melumpuhkan kekerasan hati seseorang,

mampu menguasai jiwa seseorang, selama orang itu adalah

orang awam dan polos tanpa kekuatan gaib apapun. Kekuatan

pengaruh gaib seperti itu sering digunakan untuk mengatasi

orang yang suka ngotot dan sulit diajak kompromi.

Dan, tentu saja pemuda berambut kucai itu memiliki

kekuatan seperti itu, karena dia sebenarnya adalah jelmaan

dari Jin Layon, yang pernah ditaklukkan Dewi Ular, lalu

mengabdikan diri pada kehidupan sang dewi. Pemuda itu tak

lain adalah Buron, yang kini menjadi asistennya Kumala Dewi


khusus untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia

mistik.

Wajah tua itu mengibakan hati. Buron melepaskan

pengaruh gaibnya yang terpancar lewat pandangan mata,

juga melalui gelombang suaranya tadi. Bapak berpeci hitam

kini terengah-engah, seperti habis terlepas dari jeratan yang

mempersempit saluran pemapasannya.

"Udah, Bapak pulang saja. Besok pagi boleh datang

kemari."

Si bapak diam saja. Tertegun kecewa Membiarkan ditinggal

pergi s i penerima tamu. Namun, hati kecilnya tetap bersikeras

untuk bisa bertemu Kumala Dewi malam itu juga. Oleh

karenanya, kakinya belum mau melangkah pergi dari depan

pintu gerbang tersebut. Ia bahkan menekan bel kembali

setelah Buron masuk kedalam rumah.

"Siapa sih di luar itu, Ron?!"

"Brengsek juga tuh bapak!"

"Siapa?!" tanya Sandhi, sopirnya Kumala.

"Nggak tahu. Dia ngotot minta ketemu Kumala."

"Kasih tahu dong kalau Kumala nggak bisa terima tamu

selama malam bulan purnama bcgini."

"Udah!" Buron menyentak kesal. "Gue udah jelasin! Tapi

kayaknya dia memang bandel. Nggak ngerti-ngerti apa yang

gue omongin!"

Bel berbunyi lagi. Meresahkan dan mengganggu

ketenangan.

"Ngepet juga tuh orang...!" geram Buron, lalu melangkah

menuju teras, ingin menemui orang itu lagi.

Sandhi yang sudah lama tinggal bersama Buron,

mengetahui gelagat buruk bakal terjadi jika Buron menemui


tamu tersebut. Kemarahan Buron bisa membuat titisan Jin

Layon itu menampakkan sosok aslinya, atau merubah wujud

menjadi makhluk yang sangat mengerikan dan menakutkan.

Dan hal itu bisa membuat sang tamu kehilangan detak jantung

akibat menahan rasa takut yang luar biasa. Maka, sebelum

segalanya teijadi dengan menyedihkan, Sandhi segera

mengambil alili masalah itu.

"Udah biar gue aja yang kasih penjelasan sama orang itu!"

"Sanaaa...!" ujarnya dengan bersungut-sungut kesal, tak

jadi melangkah ke tcras.

"Lu kasar sih kalau sama tamu, jadi penjelasan lu sulit

dipahami!"

Sandhi bicara dengan bapak tua itu lebih ramah

dibandingkan Buron tadi. Bahkan untuk memberi kesan baik

dan penuh rasa hormat, sang tamu dibawanya masuk.

Dipersilakan duduk di teras yang memiliki empat kursi tamu

sederhana, namun cukup elegan dan nyaman.

"Lho, sepatunya dipake aja, Pak. Nggak usah dilepas.

Kayak masuk ke mana aja pake lepas sepatu..."

"Nggak apa-apa, sayang lantainya... nanti kotor,. karena

sepatu saya tadi nginjak tempat becek...," kata si bapak

berusaha untuk sesopan rnungkin. Memposisikan diri serendah

mungkin di rumah yang menurutnya cukup mewah itu.

"Bapak dari mana?"

"Saya tinggal di daerah Tangerang, Mas. Saya datang

kemari mau minta bantuan Non Kumala Dewi yang katanya..."

"Bapak tahu alamat sini dari s iapa?" potong Sandhi.

"Dari... Ibu Shalimah."

Sandhi berkerut dahi scbentar. Mengingat-ingat nama

Shalimah.


"Maksudnya... Ibu Shalimah yang jadi kepala sekolah di

SMP..."

"Iya, iya...! Benar! Wah, rupanya Mas kenal juga sama

beliau, ya?" sambil tersenyum bangga. Lalu, katanya lagi,

"Kalau Bu Shalimah kepala sekolah, naah... saya penjaga

sekolahnya. Saya sudah dua puluh tahun lebih menjadi

penjaga sekolah di s itu."

"Ooo, ya, ya, ya... Maaf, saya lupa memperkenalkan diri,

saya Sandhi, asistennya Non Kumala sckaligus sopir beliau."

"Ooo, Mas Sandhi... kalau saya; Dalman. Tapi lebih

seringdipanggil murid-murid: Pak Maman."

Sandhi menilai tamunya sebagai orang yang lugu dan

sopan. Tapi agaknya si penjaga sekolah itu sedikit punya sifat

keras kepala. Ia terkesan memaksakan keadaan agar bisa

sesuai dengan keinginan hatinya

"Saya disarankan Bu Shalimah untuk minta bantuan Non

Kumala Dewi, makanya saya diberi alamat ini agar bisa sampai

sini, Mas."

"Mohon maaf sebcsar-besarnya; pak Maman... Untuk

malam ini Non Kumala nggak bisa keluar dari kamarnya.

Nggak bisa ketemu siapa-siapa."

"Lho, kata Bu Shalimah, Non Kumala itu orangnya baik hati

dan suka menolong. Bahkan mau berkorban demi keselamatan

jiwa orang lain. Kenapa sama saya nggak mau, ya? Apa

karena saya seorang penjaga sekolah, jadi beliau nggak mau

keluar menemui saya?"

"O, bukan... bukan karena itu, Pak. Tapi karena...," Sandhi

terdiam sesaat. Bingung menjelaskan. Tak mungkin ia

mengatakan hal yang sebenarnya, mengapa Kumala pada

malam bulan purnama begini tidak mau keluar dari kamamya,

tidak mau menemui siapa pun. Jika hal itu diceritakan, sama


saja Sandhi membeberkan rahasia pribadi orang yang

dikaguminya

"Apa bedanya malam bulan purnama dengan malam biasa?

Toh sama-sama malam juga, sama-sama gelap juga, dan

sama-sama nggak ada matahari kecuali bulan. Iya kan?" ujar

Pak Maman menampakkan egonya.

Sandhi masih diam. Seandainya ia katakan, bahwa setiap

malam bulan purnama, Kumala Dewi berubah menjadi seekor

ular hijau besar bersisik emas tapi berkepala manusia,

mungkinkah Pak Maman akan mempercayainya? Andai

dikatakan, bahwa karena kondisi seperti itu maka Kumala

Dewi tiap bulan purnama dari maghrib sampai subuh

mengurung diri di dalam kamarnya dan tidak mau bertemu

siapa pun, mungkinkah Pak Maman akan bisa memakluminya?

Rasa-rasanya tidak. Orang itu tetap akan ngotot minta

bukti. Dan kalau dia melihat sendiri keadaan Kumala Dewi

malam ini, apakah dijamin tidak akan pingsan atau tidak akan

berhenti mendadak detak jantungnya? Belum tentu. Belum

tentu mentalnya kuat melihat keadaan seekor ular besar

berkepala manusia .

"Begini saja, Pak Maman... sejujurnya saya katakan pada

Pak Maman, bahwa setiap tanggal lima belas menurut

kalender Jawa, atau setiap tiba saatnya bulan purnama, Non

Kumala harus mengurung diri dalam kamar dari maghrib

sampai subuh nanti untuk melakukan meditasi.. Dan, pada

saat proses meditasi berlangsung, nggak ada yang boleh

bicara, melihat atau bahkan menyentuh dirinya.lni sudah

menjadi ketentuan kodratnya yang nggak bisa ditawar-tawar

lagi."

Wajah tua Pak Maman semakin murung. Seperti

menyimpan kesedihan dan sejuta kecemasan yang menyiksa

jiwanya.


"Kalau boleh saya tahu, Pak..sebenamya ada masalah apa

sih yang dihadapi Pak Maman sampai Bapak ngotot harus

bertemu dengan majikan saya ? Tolong jelaskan sedikit,

barangkali saya bisa bantu mencarikan jalan keluar yang tidak

harus rnelalui Kumala malam ini."

Dengan suara lemah dan wajah makin murung, penjaga

sekolah itu menjawab pertanyaan Sandhi.

"Anak saya yang pertama; Rimma, tadi siang dapat surat

dari seseorang yang tidak dikenalnya..."

"Surat apa, Pak?"

"Yaah, nggak tahu apa isinya. Tapi, di daerah kami kemarin

malam ada dua orang yang menerima surat dari orang yang

tidak dikenal. Beberapa saat setelah mereka membaca surat

itu, mereka tewas secara mengerikan di dalam kamarnya.

Keduanya sama-sama hilang tanpa secuil daging atau sehelai

rambut. Yang tersisa hanya genangan darah memenuhi kamar

mereka. Kedua orang itu tidak saling kenal tidak berdekatan

rumahnya, tapi kematiannya sama-sama aneh."

"Isi surat itu apa, Pak?" Sandhi berkerut dahi.

"Saya nggak tahu persis, hanya dengar-dengar dari para

tetangga, katanya surat itu berisi ajakan hidup bahagia secara

kekal. Katanya lagi, di dalam surat itu ada bacaan mantera.

Nah, cerita dari keluarga kedua korban itu punya banyak

kesamaan. Pertama surat datang malam hari. Kedua, pengirim

surat tidak jelas. Ketiga, isi surat ada manteranya. Keempat,

mereka sama-sama mati tanpa secuil daging atau sesobek

baju yang tersisa. Kelima....,"

Pak Maman menghentikan ceritanya. Wajah tuanya

memancarkan kecemasan yang sangat menyiksa batinnya.

Pada saat itu tentunya Pak Maman membayangkan nasib

anaknya yang sudah berusia 24 tahun tapi masih melanjutkan

kuliah di sebuah perguruan tinggi swasta.


"Kapan kejadian aneh itu terjadi., Pak?"

"Kemarin! Kemarin malam. Nah, tadi sekitar pukul tujuh

kurang, anak saya: Rimma, menerima surat yang berasal dari

orang yang sama sekali tidak dikenalnya. Saya khawatir akan

terjadi seperti malam sebelumnya, maka surat itu segera saya

amankan. Anak saya nggak saya izinkan membuka atau

membaca surat itu"

"Aneh?!" gumam Sandhi dengan dahi berkerut tajam.

"Sekarang surat itu Bapak bawa?"

"Ya, saya bawa. Tadi sempat saya tunjukkan pada Bu

Shalimah, kebetulan beliau tinggal nggak jauh dari sekolah

kami. Atas saran Bu Shalimah, surat jangan dibuka dan saya

harus ke sini menemui Non Kumala untuk minta saran, apakah

surat ini berbahaya atau tidak. Apakah mengandung ancaman

maut atau tidak."

"Coba iihat suratnya, Pak! Kok aneh amat sih?!"

"Sebentar!..," Pak Maman merogoh saku celananya. Saku

kanan dirogoh lebih dulu, lalu pindah ke saku yang kiri.

Eksprcsi wajahnya mulai kelihatan bingung. la juga merogoh

saku belakang. Saku baju batiknya. Balikan sempat melepas

pecinya untuk diperiksa. Ternyata ia tidak menemukan surat

yang dimaksud.

"Waduh, kok hilang ya?!" gumamnya dengan tegang. Ia

masih kurang percaya, sehingga perlu memeriksa semua saku

pakaiannya sekali lagi. Akhirnya ia terbengong dalam posisi

berdiri.

"Nggak ada tuh, Mas...," katanya dengan meremas setiap

saku.

"Tadi dibawa nggak?"

"Saya bawa! Waktu saya mau turun bis kota, sebelum naik

ojek kemari, saya masih sempat mengeluarkan surat-itu dari

saku kanan ini. Saya juga tadi sempat khawatir kalau surat itu


jatuh di dalam biskota. Ternyata nggak tuh. Ada kok. Terus

saya masukkan ke saku ini lagi," sambil tangannya menepuk

saku samping kanannya.

"Aneh.. ,??!" Pak Maman tertegun bengong seperti orang

pikun.

Sandhi diam juga dengan dahi masih berkerut. Ia bukan

bingung, melainkan dalam keraguan batinnya sendiri.

Benarkah terjadi peristiwa misterius itu, atau Pak Maman

hanya sekedar mengarang cerita picisan ? Karena sejak

kemarin malam pihak Kumala Dewi belum mendapat kabar

tentang munculnya surat misterius yang mendatangkan

kematian bagi s i penerirna suratnya.

Pada saat Sandhi memandangi Pak Maman yang masih

penasaran dan kebingungan itu, dering telepon terdengar

nyaring dari ruang tengah. Buron yang menerima telepon

Sandhi tak menghiraukan lagi. Ia lebih tertarik menganalisa

pengakuan Pak Maman tadi. Tapi beberapa saat kemudian

Buron keluar menemui Sandhi .

"Tante Gessy baru saja telepon. Dia mendesak agar Kumala

segera datang ke rumahnya Di sana ada kejadian aneh. Salah

satu tetangganya terima surat, lalu mati tanpa jasad."

"Naaahh...! Benar kan?!" sentak Pak Maman penuh

semangat. Setidaknya dia merasa dapat dukungan atas

kebenaran ceritanya tadi. Hal itu membuat Sandhi semakin

bungkam termangu-mangu, tapi. hati keeilnya mulai pereaya

dengan cerita Pak Maman tentang surat misterius itu!

Buron menatap Pak Maman dengan sedikit mengerinyitkan

alisnya yang tebal itu. Pak Maman jadi deg-degan, ingat

tatapan aneh yang diterimanya dari Buron tadi.

"Apanya yang benar?" ia bertanya pada Pak Maman. Lalu,

penjaga sekolah itu salah tingkah karena bingung

menjelaskannya. Melihat keadaan Pak Maman serba salah,

Sandhi segera berkata pada Buron.


"Pak Maman ini juga membawa masalah yang sama,

tentang sebuah surat yang dicurigai sebagai surat kematian.

Tetapi surat itu hilang dari saku celananya, entah jatuh atau

dicopet orang, atau hilang secara misterius."

"Benar, suratnya hilang, Pak?"

"Benar, Mas. Tadi saya...,"

"Ssst...! Ssstt...!" Buron memberi isyarat supaya Pak

Maman berhenti bicara. Isyarat yang secara tiba-tiba diikuti

raut wajah Buron sedikit tegang itu membuat Pak Maman

berdebar-debar lagi. la bungkam, Sandhi pun bungkam.

Keduanya kini mengetahui bahwa Buron sedang menyimak

munculnya sebuah suara. Gerak-gerik kepala Buron

menandakan bahwa ia sedang mempertajam pendengarannya

agar bisa mendengarkan scsuatu dengan jelas.

"Ada apa?" tanya Sandhi dengan pelan.

"Derap kaki kuda," jawab Buron dengan suara membisik.

Sandhi dan Pak Maman mencoba mencari suara yang

dimaksud Buron dengan menelengkan kepala kesana-sini.

Namun mereka berdi ia tidak mcmlcngar suara derap kaki

kuda seperti yangdikatakah Buron.

"Jangan-jangan dia cuma mau konyol-konyolan aja?!"

gumam hati Sandhi yang sempat meragukan keseriusan

Buron.

"Gawat!" Buron mendesis, memperkuat ekspresi

tegangnva,

"Apanya yang gawat?"

"Elu nggak dengar suara gemuruh itu?"

"Nggak ada suara apa-apa, ah!"

"iya, saya juga nggak derigar suara apa-apa," timpal. Pak

Maman.


Sandhi hertanya lagi, "Lu serius? Ada apa sebenarnya?"

"Masuklah kalian. Jangan di luar sini."

"Masuk...?!"

"Gue denger suara gemuruh. Itu suara derap kaki kuda.

Jumlahnya lebih dari tiga ekor kuda. Entah pasukan dari

mana, tapi gue merasakan getaran gelombang gaib yang

bukan berasal dari alam ini. Gue rasa mereka mau lewat sini,

San. Makanya, lu berdua sama bapak ini, masuk!"

"Terus, elu...?!"

"Gue mau hadang mereka di sini. Kalau mereka memasuki

wilayah kita, gue terpaksa bertindak tegas, apapun yang

terjadi! Masuk sana!"

Sandhi mulai memahami maksud Buron. Sebagai jelmaan

Jin Layon tentunya Buron memiliki radar gaib yang dapat

menangkap datangnya gelombang gaib dari pihak lain. Wajar

saja jika Buron bisa mendengar suara derap kaki kuda, karena

dia menggunakan kesaktiannya sebagai Jin Layon yang

mampu mendengarkan suara dari alam lain. Maka, tanpa

banyak bertanya lagi Sandhi segera membawa Pak Maman

masuk ke dalam - rumah.

Pak Maman diliputi kebingungan dan keraguan. Akhirnya ia

beranikan diri berbisik pelan pada Sandhi ketika rncrekainasih

di depan pintu masuk.

"Apa benar ada suara kaki kuda sih? Saya nggak dengar

suara itu. Kenapa dia ngotot mendengar suara derap kaki

kuda, Mas?"

"Udahlah, ikuti saja apa kata dia, Pak. Sampean kan nggak

tahu. siapa dia sebenarnya. Jadi, sebaiknya kita ikuti saja

sarannya tadi."

"Mas, memangnya dia itu siapa sih?" Bisikan Pak Maman

semakin lirih. Sandhi tampak ragu-ragu untuk menjawabnya.


Pada Saat itulah, Sandhi dan Pak Maman melihat kerlapkerlip

cahaya merah melintas jalanan di luar pagar. Cahaya

merah itu seperti lidah api kecil-kecil yang jumlahnya puluhan.

Mereka bergerak bagaikan kapas terbakar yang terbang di

udara dalam satu arah. Namun cahaya-cahaya kecil itu tidak

mcnimbulkan bunyi. karena tak ada suara aneh apapun yang

tertangkap oleh pendengaran Pak Maman dan Sandhi.

Buron tampak diam saja. Berdiri dengan kedua tangan

bersidekap di dada. Ia memperhatikan gerakan cahaya-cahaya

itu. Agaknya ia sengaja berjaga-jaga mengamankan kediaman

Dewi Ular tersebut. Ia tak akan bergerak atau melakukan

tindakan jika tidak ada satu cahaya pun yang mencoba

memasuki 'daerah kekuasaannya'.

"Kenapa Buron diam saja, ya?" pikir Sandhi sambil

berdebar-debar karena pengaruh gaib yang dibawa oleh

cahaya-cahaya merah itu.

Sandhi tidak tahu bahwa sebelumnya Buron sudah

mendapat bisikan dari Kumala Dewi yang ada di dalam

kamarnya. Kumala mengirimkan suara gaib kepada Buron, dan

Buron dapat mendengarnya karena ia memiliki kesaktian

sebagai keturunan bangsa jin.

"Surah mereka masuk, Buron..Sandhi dan tamu kita"

Begitu suara bisikan Kurnala yang diterima Buron tadi.

Maka, ia pun menyuruh Sandhi dan Pak Maman masuk.

"Jangan berbuat apapun kalau nggak ada yang memasuki

wilayah kita. Tapi tetaplah berjaga-jaga."

Itu suara bisikan Kumala berikutnya. Lalu, suara bisikan itu

didengar lagi oleh Buron saat cabaya itu lewat di depan

rumah.

"Biarkan mereka lewat. Tetaplah diam di tempatmu."

Di dalam hatinya Buron bertanya, dan suara hati Buron itu

terkirim melalui jalur gaib ke telinga batin Kumala Dewi.


"Siapa mereka ini? Apakah pasukannya Dewa Kegelapan?"

"Mereka roh-roh baru. Belum jelas ke mana arah tujuan

mereka. Karena itulah, setelah mereka semua lewat, ikuti

mereka dari kejauhan. Hati-hati, jangan sampai ada pihak

sana yang mengetahui gerakkanmu."

Maka, setelah barisan sinar merah itu melintas semua, tibatiba

Buron berubah menjadi cahaya kuning. Claaap...! Pak

Maman tersentak kaget. Matanya membelalak dan tak mampu

bicara sepatah kata pun.


3

SEBUAH mobil Audi Quarto warna merah saga berhenti

tepat di depan rumab Moina. Pengemudinya seorang wanita

cantik berusia sekitar 26 tahun.

Perawakannya tinggi, sekal, kulit kuning langsat, rambut

panjang sepupggung diurai lcpas. Kccantikannya sempat .

merflukau bebarapa tetangga yang masih bcrkerumun di

rumah Moina.

"Ooo, ini 'orangpintar' yang dimaksud sepupunya Moina?!"

bisik Tante Gessy dengan sedikit mencibir. Ia tak yakin

dengan kemampuan supranatural wanita berdada tidak terlalu

montok tapi cukup seronok itu.

Afen, sepupunya Moina, segera menyambut kedatangan

tamunya dengan ciuman di pipi. Seakan ia pamerkan kepada

mereka bahwa hubungannya dengan wanita cantik itu sangat

intim. Menurut Afen, wanita itu punya nama seperti nama

mobilnya, yaitu: Audy.

Afen dan Desty berusaha menceritakan kronologis peristiwa

menyedihkan itu kepada Audy. Fahrel dan mamanya ikut


menimpali dengan nada duka yang masih menghiasi rona

wajah dan hati mereka. Audy berdiri di depan pintu kamar

Moina, sementara beberapa petugas kepolisian juga tampak

sibuk melakukan investigasi secara serius.

"Masih ingat bunyi mantera yang tertera di surat itu?"

"Moi nggak bilang. Dia nggak sebutkan mantera itu,"jawab

Desty sambil mengendalikan isak tangisnya.

"Bagus," Audy manggut-manggut. "Beruntung nggak ada

yang tahu bunyi mantera itu. Jadi korbannya cuma satu."

"Apa maksudmu bilang begitu,Honey!"bisik Afen.

Audy tetap tenang.

"Dalam tiga malam berturut-turut sudah ada lebih dari 15

orang menjadi korban surat misterius itu. Aku dapat laporan

dari beberapa rekanku, baik melalui telepon maupun secara

langsung. Cuma, datang langsung ke TKP baru sekarang ini.

Dan agaknya saat ini sedang beredar teror surat kematian.

Isinya mantera aneh yangmembawa bencana bagi si penerima

surat.Aku curiga, mungkin mantera itu juga akan merenggut

nyawa orang lain yang mendengar ucapannya atau ikut

membacanya."

" Pasti begitu?!"

"Dugaanku begitu."

"Bisa kau gunakan indera keenammu untuk mengetahui ke

mana perginya Moina, atau ada apa sebenarnya dengan dia?

Siapa pengirim surat itu dan apa maunya?"

Tampak jelas sekali Afen sangat mengandalkan

kemampuan supranaturalnya Audy. Sementara yang

diandalkan masih belum yakin apakah dirinya mampu betul

menangani kasus tersebut. Dari pandangan matanya yang

sedikit menerawang agaknya Audy merasakan ada sesuatu

yang membahayakan di balik pcristiwa misterius itu. Namun


rasa was-was tersebut tetap ia sembunyikan dari pandangan

orang lain.

"Ayolah, gunakan kehebatanmu sekarang juga, Honey!"

desak Afen. "Aku yakin kamu bisa membawa pulang kembali

sepupuku vang.pajing kucintai itu. Lakukan sekarang,

Honey!Please...!"

Audy bangkit dari duduknya. Ia menghampiri kamar Moina

yang lantainya masih berlumuran darah, yang tadi

beberapakali sudah dilakukan pemotretan oleh pihak

kepolisian. Ketika itu, Fahrel mendampingi mamanya memberi

keterangan yang diperlukan oleh pihak kepolisian. Beberapa

pasangmata memperhatikan gerak-gerik Audy, termasuk

Tante Gessy dan beberapa tetangga yang hanya bisa

memandangi dari lorong menuju dapur.

Darah memang masih segar menggenangi seluruh

permukaan lantaikamar. Tapi tiba-tiba cairan merah

mengerikan itu bergerak perlahan-lahan. Yang berada di

bagian tepi menyusut ke tengah Yang menggenangi bagian

tengah lantai bergerak naik, seperti bentangan karpet yang

ditarik dari bagian tengahnya Hal itu terjadi setelah Audy

memandangi kamar itu tanpa berkedip. Ia tak melakukan

gerakan apa-apa. Bibirnya terkatup rapat, dan bukan komatkamit

selayaknya membaca mantera sakti.

Namun dengan pandangan matanya ia mampu membuat

keanehan yang mencengangkan beberapa orang di situ.

Genangan darah itu makin berkumpul ke tengah. Zuuut,

zuuut, zuuut...! Lama-lama membentuk gumpalan seperti

tanah liat yang menjulang ke atas.

"Gila?! Dia bisa bikin darah-darah itu berkumpul jadi satu?!"

bisik seorang tetangga.

"Wah, nggak sia-sia gadis itu dipanggil kemari. Lihat...,

lantai bekas darah tadi kering kerontang, seperti nggak pernah

basah oleh darah?!"


"Dia memang hebat, ya?" salah seorang menyodokkan

sikutnya kepada Tante Gessy. Tapi janda cantik itu

mencibirkan bibimya.

"Belum seberapa kalau dibandingkan dengan Kumala Dewi,

guru senamku itu "

'Tapi... lihat... lihat itu! Darahnya menggumpal ke atas!

Membentuk seperti patung, eeh... seperti orang... eh, bukan...

seperti... seperti..."

Darah-darah itu memang menjadi satu dan menggumpal.

Gerakkan darah seperti ombak kental. Sepertinya kekuatan

gaib yang dimiliki Audy sedang bcrusaha mengerahkan darah

itu untuk membentuk sesosok makhluk yang tak jelas, apakah

manusia atau bukan.

Ketika gumpalan darah itu membumbung ke atas, hampir

menyeamai sesosok manusia, tiba-tiba dalam satu sentakan

kuat gumpalan itu seperti meledak tanpa suara.

Pyaaaakkk...!Crraaaaattt...!

"Auufh...!!"

Audy terpekik pelan karena darah yang menyembur ke

berbagai arah itu sebagian memercik ke wajahnya. Posisinya

yang berdiri dekat sekali dengan pintu kamar membuat bukan

hanya wajahnya yang terkena percikan darah, namun juga

sebagian badannya. Terutama bagian depan.

"Uuhhkk..'.!" Audy mengerang dengan terhuyung-huyung

mundur. Wajahnya menyeringai kesakitan. Ia memegangi

dadanya. Akhirnya ia jatuh terhempas di sofa dalam posisi

duduk menahan sakit.

"Audy..??! Audyyy...?!" Afen miilai panik. Ia menghampiri

Audy, namun tak tahu apa yang harus dilakukan. Wanita

kebanggaannya itu terengah-engah sambil masih memegangi

dadanya. Menahan rasa sakit. Seperti ada sesuatu yang


mcnghantam dadanya dengan keras dan membuatnya sulit

bernapas.

Darah di kamar kembali menggenang seperti tadi. Namun,

sekarang ada sebagian darah yang memercik mengotori lantai

di luar kamar. Orang-orang yang menyaksikan hal itu

tersentak mundur dengan sendirinya. Mereka dicekam rasa

takut dan kecemasan.

"Audy, kau.. kau mengalami cedera?!" tanyaAfen tegang.

"Jauhi aku dulu. Jangan sentuh aku," suara Audy sangat

berat. Afen mundur dua langkah.

Audy memejamkan matanya dengan badan terbungkuk,

tangan memegangi dada dan perutnya. Badan yang berlumur

darah itu bergetar. Rupanya Audy sedang mengerahkan

tenaga dalam atau sejenisnya untuk mengatasi rasa sakit yang

dideritanya. Ia sempat mengeluarkan suara menggeram besar

dan serak. Menyeramkan bagi yang mendengarnya.

"Hhmmmgggrrrmm.,.!!"

"Tolong ambilkan air minum. Air putih!" seru Afen entah

kepada siapa memang tak jelas. Tetapi pada saat itu Ali, si

pelayan, segera mengambilkan segelas air putih dari meja

makan. Namun, sebelum air putih itu diberikan kepada Afen,

suara geraman Audy sudah hilang. Ia sudah tidak

membungkuk lagi. Menghirup napas panjang, lalu

menghempaskan dengan lega. Ketika Afen menyodorkan

segelas air putih, Audy menolak.

"Aku nggak apa-apa. Okey. Nggak apa-apa. Nggak perlu air

itu."

"Tapi kau..."

"Aku sudah atasi energi setan yang nyaris membuat pecah

jantungku tadi menggunakan hawa saktiku. Tenang, aku

nggak apa-apa, Fen."


Afen menghembuskan napas panjang. Lega. Yang lain ikutikutan

begitu. Mereka melihat kondisi Audy pulih seperti

sediakala. Hanya napasnya masih sedikit terengah-engah, dan

sekarang sedang dalam penormalan kembali.

"Aku mencoba menghimpun bayangan pelakunya Aku

menggunakan kekuatan darah sebagai jejak gaib yang ia

tinggalkan. Tetapi... agaknya jejak gaib itu menyimpan energi

milik si pelaku. Energi itu sangat besar, sehingga nggak cukup

dilawan dengan kekuatanku yang ala kadamya tadi. harus

kugunakan kekuatan jati diriku, dan.., itu nggak bisa dilakukan

sekarang. Aku butuh persiapan khusus."

Bibir sensual Audy mendekati telinga Afen. Ia berbisik.

"Aku butuh energi tambahan darimu."

"Dariku...?!" Afen tampak bingung mengartikan bisikan itu.

Kepala Audy mengangguk dengan mata memandang penuh

makna yang sangat pribadi. Afen mulai dapat meraba maksud

bisikan itu. Dugaannya semakin kuat setelah Audy berbisik

kembali padanya.

"Ikutlah ke apartemenku malam ini juga.''

"Hmm, eeh... apakah harus malam ini?!" Afen semakin lirih.

Audy mengangguk lagi. "Sebelum semuanya menjadi

terlambat dan semakin memakan korban lebih banyak lagi.

Kita harus mencegahnya. lebih cepat lebih baik. Karena itu...,

ikutlah aku!"

"Lalu... urusan ini...?!"

"Kita tangguhkan dulu. Nggak bisa diselesaikan saat ini

juga"

Audy bangkit lebih dulu bersikap mendesak. Dan, hal itu

sulit ditolak oleh Afen, karena ia ditatap dengan pandangan

mata sayu yang menggetarkan hatinya. Darahnya terasa

mengalir dengan deras.


"Setiap kali ia menatapku begitu, kenapa aku selalu

bergairah?! Sulit sekali untuk menahannya?!" gumam Afen

dalam hati.

Sejujumya Afen mengakui, suasana hatinya masih berduka.

Tapi dengan jujur pula hati itu mengakui, ada gemuruh yang

meresahkan manakala ia menerima tatapan sayu Audy.

Gemuruh itu adalah luapan hasrat yang makin ditentang

semakin mengganas, sehingga sulit baginya untuk menolak

atau menghindar dari tantangan mesra Audy.

"Pelakunya memiliki energi gaib sangat besar" kata Audy di

dalam mobil merahnya. Ia sendiri yang mengemudikan mobil

merah saga itu, sementara Afen hanya duduk di samping

kirinya.

"Pengirim surat itu bernama: Lexian, kata Desty. Kau

kenal?"

"Lexian?" gumam Audy. "Nama itu pasti nama samaran.

Aku nggak mengenal nama itu. Aku hanya mengenali jenis

energi gaibnya"

"Maksudmu...?"

"Bukan energi gaib milik manusia atau makhluk penghuni

bumi."

"0,ya?!"

"Energi itu milik penghuni alam lain. Makanya, nggak bisa

kutangani dengan kekuatan ala kadarnya. Energiku sendiri

sudah lama nggak diisi. Kita nggak ketemu sekitar lima hari,

bukan?"

"Enam hari," ralat Afen. "Lima hari aku di Bali, dan kemarin

aku pulang, tapi belum sempat jumpai kamu."

"Ya, ya.... enam hari aku disibukkan dengan persoalan

temanku yang menyita perhatian, sampai aku lupa nggak isi

bensin," lalu Audy tertawa lepas. Tawanya memberi makna


tersendiri atas istilah isi bensin yang digunakan untuk

memancing perhatian khusus Afen. Bujangan berkulit coklat

dengan tangan ditumbuhi rambut agak lebat itu tersenyum

kecil. la sangat memahami apa maksud ucapan tersebut.

"Selama menjalankan tugas kantormu di Bali, nggak ada

bule yang terbenam dalam pelukan malammu, bukan?" Audy

melirik nakal.

"Kamu pikir mereka bisa membuatku bergairah, apa? Hmm,

nggak ada yang bisa membuatku bergairah selain kamu."

"Oh ya?! Tapi kenapa tanganmu diam saja dari tadi,

Sayang?"

Sindiran itu juga sangat dipahami oleh Afen. Maka, dalam

waktu singkat tangan kanannya sudah berada di pangkuan

Audy. Audy mengenakan span ketat dari kain halus dan

lembut. Sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan

tinggi Audy dapat menikmati usapan lembut tangan Afen.

"Ooh, yaaah... aku dapat merasakan getaran cintamu lewat

usapan lembut tanganmu, Sayang. Kamu benar-benar nggak

menyentuh wanita sedikit pun selama di Bali. Aku percaya sekarang."

Audy tertawa kecil; agak parau. Ia menyodorkan pipinya ke

kiri. Afen segera menciumnya.

Ketika mereka berada di dalam lift yang membawa mereka

ke lantai delapan, Afen tak mampu menghindar ciuman

hangat Audy. Karena di dalam lift hanya ada mereka berdua,

maka Audy merasa sangat leluasa menciumAfen.

"Hey, hey... sadar, kita masih di dalam lift, Sayang. Jangan

nekat begini,.. kita di dalam lift, Honey. Nanti kalau..."

Zeebb...! Tiba-tiba lift berhenti. Kata-kata Afen terputus

seketika. Ia sempat menggeragap karena khawatir pintu lift

terbuka dan seseorang yang akan masuk melihat mereka

pacaran. Tetapi ternyata pintu lift tidak terbuka. Bahkan lampu

penunjuk angka lantai yang tadi berwarna merah, sekarang

dalam keadaan padam.

"Astaga...?! Lift berhenti di lantai berapa nih?!" Afen agak

tegang.

"Jangan cemas.. " kata Audy. "Lift berhenti di pertengahan

lantai... Nggak akan ada yang bisa masuk... Kita punya

kesempatan leluasa di s ini."

"Ka... kamu yang menghentikan lift ini?"

"Yaah, aku! Jangan takut. Kau bebas melakukan apa yang

ingin kau lakukan pada diriku, Sayang."

"Gila...!" desis Afen sambil tertawa parau. Hatinya sempat

heran bercampur kagum pada kehebatan Audy, yang mampu

menghentikan lift di pertengahan lantai dengan kekuatan

gaibnya, hanya karena hasrat bercintanya sudah tak

terbendung lagi, maka, tanpa banyak berpikir lagi, Afen

menuruti keinginan Audy.

Selama dua bulan Afen mengenal Audy, ia sering dibuat

kagum oleh inovasi-inovasi bercinta yang di lakukan Audy

terhadap dirinya. Sesuatu yang tak pemah terlintas dalam

khayalan Afen bisa saja terjadi dan dilakukan oleh Audy demi

memenuhi hasratnya.

"Memang asyik sih sama dia," pikir Afen. "Tapi aku bisa

rapuh kalau terus-terusan begini. Dia seperti menghisap

seluruh tenagaku. Aku merasakan sekali hal itu. Lalu...,

kenapa sampai sekarang aku nggak pernah bisat menolaknya,

ya?"

Terrtu saja Afen merasa heran dengan keanehan dalam

dinnya, karena ia tidak tahu siapa sebenamya Audy. Ia hanya

mengenal Audy sebagai sosok wanita muda, cantik, sexy,

penuh daya tarik, dan memiliki kemampuan supranatural

dengan bisnis keseharian yang tak jelas. Tinggal di apartemen


bergengsi dan memiliki banyak relasi. Hanya itu yang

diketahui Afen tentang Audy.

Ia tidak tahu bahwa Audy memiliki kesaktian yang lumayan

tinggi. Untuk memelihara energi saktinya itu ia harus

menverap energi lelaki dengan cara mengajaknya bercinta.

Afen juga tidak tahu bahwa Audy sebenamya wanita jelmaan

yang dulunya menjadi penghuni alam kegelapan. Ia mantan

pengawal kepercayaan Dewa Kegelapan yang memiliki nama

asli: Nyimas Kembangdara.

Karena kecewa kepada Lokapura alias si Dewa Kegelapan,

maka ia memboikot dari kekuasaan alam sana, lalu hidup di

bumi sebagai wanita jelmaan yang tak kalah cantik dengan

wanita sejati. Sosok aslinya sangat mengerikan. Seandainya

Afen melihat sosok asli Audy, maka besar kemungkinan Afen

akan mati berdiri. Setidaknya pingsan di tempat. Tak.akan

sanggup menahan rasa takutnya, (Baca serial Dewi Ular dalam

episode: "KUPU-KUPU IBLIS").

Kini, setelah Audy memperoleh tambahan energi baru

melalui permainan cintanya dengan Afen, apakah ia mampu

menghadapi teror surat kematian yang makin hari makin

mencemaskan masyarakat itu ?

BAGIAN 2