Pendekar Rajawali Sakti 98 - Asmara Bernoda Darah(2)

LIMA
Seorang laki-laki tampak duduk bersila di ruang tengah rumahnya sambil memejamkan kedua mata. Tubuhnya yang kurus tampak masih terlihat gagah. Padahal rambut di kepalanya telah memutih semua. Lebih dari setengah hari dia bersikap demikian. Dan ketika pendengarannya yang tajam merasakan kehadiran seseorang di tempatnya, matanya dibuka dan langsung menatap tajam ke depan.

Tampaklah halaman luas dan lebar dipenuhi pepohonan. Suasananya tampak sepi. Sesekali angin bertiup menerbangkan dedaunan kering yang sudah layu dan menguning kecoklatan. Kelelawar tampak beter-bangan satu persatu dari tempatnya, mengisyaratkan sesaat lagi senja akan berganti malam.

“Nawang Sari, kaukah itu...?”

Tak lama seseorang masuk dari pintu depan dengan langkah lesu. Wajahnya tertunduk dalam-dalam. Tanpa banyak bicara tubuhnya langsung disandarkan ke dinding dekat pintu.

“Kenapa wajahmu begitu kusut? Ada persoalan yang membebani pikiranmu?” tanya orang tua itu. Gadis yang tak lain Nawang Sari itu diam tak menjawab.

“Kau bentrok lagi dengan orang lain?”

Nawang Sari tetap membisu. Sementara orang tua yang sebenarnya bernama Ki Paladiga itu beranjak dari duduknya dan mendekati Nawang Sari.

“Sudah berapa kali kukatakan, jangan suka mengganggu orang lain. Sikapmu itu amat buruk dan tak terpuji. Cobalah menjadi orang baik dengan menjaga segala tingkah lakumu....”

“Bukan karena persoalan itu, Eyang...!” sahut Nawang Sari, kesal.

“Lalu apa?”

“Eyang harus membantuku!”

Ki Paladiga menggeleng pelan. Murid satu- satunya ini memang amat disayanginya. Bahkan sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Tapi, Nawang Sari memang sangat bengal dan suka sekali memamerkan kepandaian ilmu silat yang dipelajari untuk menguji orang lain. Di samping itu, sifatnya juga tak terpuji. Dia suka mencuri barang-barang berharga milik orang lain. Telah beberapa kali Ki Paladiga mendapat teguran dari berbagai kalangan, atas kelakuan muridnya. Untungnya, kebanyakan dari mereka hanya memandang siapa dirinya, sehingga mau menyelesaikan persoalan secara baik-baik.

“Persoalan apa lagi yang kini menyusahkan hatimu? Kau mencuri barang berharga lagi?”

“Bukan!”

“Lalu apa?” desah Ki Paladiga.

“Eyang harus menghajar seorang pemuda yang sangat ku benci!”

“Hm, ini pasti salahmu!”

“Apakah Eyang tak percaya padaku? Pemuda itu sangat kurang ajar. Dia..., dia telah menodaiku!”

“Apa?!” sepasang alis orang tua itu kontan terangkat tinggi mendengar penuturan muridnya.

“Aku sama sekali tak mengganggunya. Datang-datang, dia menghajar dan bermaksud meringkusku. Tentu saja aku melawan. Tapi kepandaiannya sangat tinggi, sehingga dengan leluasa nafsu kotornya dilampiaskan kepadaku...,” lanjut Nawang Sari sambil menitikkan air mata.

“Kurang ajar! Katakan, siapa pemuda itu?!”

Dengan terisak-isak, Nawang Sari berusaha menyebut nama seseorang. “Dia dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti...!”

“Apa?!” untuk kedua kalinya Ki Paladiga dibuat terkejut oleh penuturan muridnya. Setahunya, Pendekar Rajawali Sakti bukanlah orang sembarangan. Rasanya, tak seorang pun tokoh-tokoh persilatan yang tak mengenal julukan itu. Ki Paladiga jadi terdiam beberapa saat lamanya. Rasanya, Pendekar Rajawali Sakti tak mungkin akan berbuat hina yang dituturkan muridnya.

Apakah Nawang Sari berdusta, dan hanya ingin memancingnya untuk membela? Siapa tahu dia hanya mencari gara-gara lebih dulu, lalu dengan mudah dikalahkan pemuda itu. Dan kini, dia mengadu yang tidak-tidak? Tapi, jangankan Nawang Sari. Dia sendiri rasanya belum tentu mampu melawan pemuda yang julukannya kian menjulang dan disegani tokoh-tokoh persilatan.

“Bagaimana, Eyang? Kau tentu mau menghajarnya, bukan?”

“Nawang, aku curiga....”

“Heh! Apakah kali ini Eyang tak percaya kalau aku berkata yang sebenarnya?!” Nawang Sari sudah langsung memotong ucapan gurunya dengan nada ketus.

“Dengarlah, Nawang. Pendekar Rajawali Sakti bukanlah orang sembarangan. Aku memang sayang padamu. Tapi dalam hal ini, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ada beberapa hal yang menyebabkannya. Pertama, aku tak begitu yakin dengan ceritamu. Dan yang kedua, meskipun kukerahkan seluruh kepandaianku, rasanya tak akan mampu mengalahkannya,” ujar Ki Paladiga.

“Huh! Percuma saja aku memiliki guru yang berilmu tinggi, kalau hanya menghadapi Pendekar Rajawali Sakti saja sudah ciut nyalinya!” dengus Nawang Sari kesal.

“Nawang, jaga mulutmu! Sejak kapan kau berani berkata kasar begitu pada gurumu?! Hm.... Semakin lama segala tingkahmu kubiarkan, kelihatannya malah semakin buruk saja. Mulai sekarang, kau tak boleh lagi keluar dari tempat ini!” bentak Ki Paladiga tegas.

“Apakah Eyang bermaksud menyekapku selama bertahun-tahun di sini?” terdengar sinis suara Nawang Sari.

“Kalau kurasa perlu, mengapa tidak?!”

“Tidak! Kau tak berhak melarangku. Lebih baik, bunuh saja aku daripada disekap terus- menerus. Hidupku pun kini sudah tak berguna lagi. Aku tak takut mati, Eyang. Ayo, bunuhlah aku. Daripada kau menyekapku di sini!” teriak gadis itu, kalap.

“Nawang Sari, diamlah! Diam...!” Ki Paladiga mencoba menenangkan muridnya.

“Aku tak akan diam selama persoalanku belum beres! Tak malukah Eyang mengetahui muridnya dinodai orang lain secara paksa?! Apakah Eyang akan berdiam diri saja dan menunggu tokoh-tokoh persilatan mempermalukan Eyang?!” sentak Nawang Sari lagi, bernada memohon.

“Baiklah. Tenanglah dulu. Persoalan ini akan kuselesaikan nanti dengan pikiran jernih....”

“Tidak! Aku ingin mendengar keputusan Eyang sekarang juga. Apakah Eyang akan mendiamkan persoalan ini, atau menyelesaikannya sampai tuntas?”

“Baiklah. Kita akan membereskan sampai tuntas....”

“Eyang akan menghajarnya?” Ki Paladiga menghela napas pendek.

“Sudah kukatakan tadi, percuma saja seluruh kepandaianku di hadapan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kalau memang begitu keras niatmu untuk membalas perlakuannya, aku bisa menunjukkan padamu orang yang tepat untuk melakukannya....”

“Apa maksud Eyang?”

“Ada seorang tokoh berilmu tinggi yang telah lama mengasingkan diri dari dunia persilatan. Rasanya, saat ini hanya orang itulah yang mampu mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Namanya, Ki Sembung Prana. Mintalah padanya agar dia mau mengajarimu beberapa jurus ilmu silat Jika dia tak mau membantumu, kau harus membujuknya. Tapi ingat, orang tua itu tak mudah dibujuk. Jadi, kau harus pandai-pandai membujuknya...,” jelas Ki Paladiga.

Wajah Nawang Sari kontan berseri-seri senang mendengar penjelasan gurunya. Dicatatnya baik-baik pesan gurunya. Terutama, tentang tempat tinggal orang yang dimaksud Ki Paladiga. 

***

Sementara itu, di lain tempat, Sidarta terus berlari membawa dendam di hatinya. Rasa sakit akibat dicundangi Pendekar Rajawali Sakti seperti tak dirasakannya. Di suatu tempat di ujung Desa Kutipan, Sidarta tersungkur persis di muka sebuah halaman rumah yang tak terlalu luas. Dia berusaha bangkit sambil berjalan tertatih-tatih menuju rumah itu.

“Guru...!” panggil Sidarta lirih. Pintu ternyata tak terkunci. Dan Sidarta terus melangkah ke dalam. Tapi baru saja hendak membuka pintu, sesosok tubuh tinggi besar telah berdiri tegak di muka pintu. Sorot matanya tampak tajam dan wajahnya terlihat seram. Tampak bopeng-bopeng memenuhi seluruh permukaan kulit wajahnya.

“Guru, tolonglah aku...,” lirih suara Sidarta.

“Hm, kenapa kau?” suara laki-laki berusia lebih dari lima puluh tahun itu terdengar keras dan berat.

“Aku telah dihajar dan dihina seseorang....”

“Duduklah. Tenangkan hatimu, dan ambil napas perlahan-lahan. Baru setelah itu, ceritakan apa yang terjadi.”

Sidarta menghela napas. Dia beringsut lebih ke dalam, kemudian duduk bersila sambil mengatur pernafasannya. Orang tua itu sendiri duduk tepat di hadapannya sambil memperhatikan muridnya tanpa berkedip. Sebenarnya orang tua yang wajahnya penuh bopeng dan berambut kaku ini adalah Wangsa Naraya. Dia adalah salah seorang tokoh persilatan golongan hitam yang memiliki gelar Gagak Hitam Pemakan Bangkai. Ilmunya sangat tinggi dan disegani orang-orang persilatan. Sifatnya garang dan gampang naik darah. Dan dia tak ingin orang lain memiliki kelebihan dari dirinya.

“Nah, ceritakan apa yang telah menimpamu?” tanya Ki Wangsa Naraya setelah melihat wajah Sidarta lebih tenang dari semula.

“Seseorang telah merebut Nawang Sari...!”

“Hm, aku tak heran. Dari semula, gadis itu tak menyukaimu. Tapi, kenapa kau masih bersikeras juga...?”

“Tapi ini sangat menyakitkan, Guru. Dia pergi bersama seorang pemuda yang berkepandaian tinggi. Bahkan sengaja menghinaku!”

“Lalu kau dapat dikalahkan?”

Sidarta mengangguk lemah sambil menundukkan wajah lesu.

“Hm.... Ini lebih tak mengherankan lagi. Kau memang murid yang malas dan tak sabaran. Ilmumu belum seberapa. Apalagi, pelajaran yang kuberikan masih kurang. Tapi, mengapa kau sudah berani mengumbarnya di luar sana. Kau hanya mempermainkanku saja!” dengus Ki Wangsa Naraya.

“Tapi ini bukan sekadar mempermalukan ku saja, Guru. Tapi juga menyangkut dirimu!” sahut Sidarta, memulai memutar otak untuk mencari alasan memancing kemarahan gurunya.

“Apa maksudmu?”

“Orang itu tahu kalau aku adalah muridmu. Ala-sannya mengalahkanku bukan sekadar karena Nawang Sari, melainkan karena ingin menjatuhkan namamu...!” kata Sidarta, berdusta.

“Apa katamu?! Kurang ajar! Siapa orang itu? Ayo, cepat katakan! Biar kupatahkan batang lehernya!” bentak Ki Wangsa Naraya murka.

Sidarta tersenyum-senyum kecil dalam hati, melihat gurunya terpancing ceritanya. Sidarta tahu betul, bagaimana caranya agar gurunya mau ikut campur dalam urusannya.

“Aku..., aku tak sempat menanyakannya, Guru. Tapi kalau kusebutkan ciri-cirinya, mungkin Guru mengenalnya...,” sahut Sidarta kembali.

“Ayo, cepat katakan! Siapa tokoh persilatan yang tak kukenal?!”

Sidarta lalu menyebutkan ciri-ciri pemuda yang telah mengalahkannya. Kening Ki Wangsa Naraya tampak berkerut dalam, berusaha mengingat-ingat ciri-ciri yang disebutkan muridnya. Namun tak berapa lama....

“Hm, pantas saja kau tak mampu mengalahkannya....”

“Kenapa, Guru? Apakah Guru mengenalnya...?”

“Pemuda yang kau hadapi itu adalah Pendekar Rajawali Sakti!”

Sidarta terpaku beberapa saat lamanya mendengar keterangan gurunya.

“Dia memang berilmu tinggi dan sulit diukur kepandaiannya...!”

“Jadi bagaimana, Guru? Apakah kau akan mendiamkan saja dirimu dihina begitu rupa? Dia bahkan berani menantangmu!”

“Huh! Percuma aku dijuluki Gagak Hitam Pemakan Bangkai kalau menghadapi bocah ingusan itu saja nyaliku sudah ciut. Justru kesempatan inilah yang sangat kutunggu-tunggu. Telah lama aku ingin mematahkan kesombongan pemuda itu. Tapi, tak punya alasan tepat untuk menantangnya. Dan kebetulan dengan adanya persoalanmu ini, aku mempunyai alasan tepat untuk menjajalnya!” geram Ki Wangsa Naraya.

“Kalau begitu, buat apa ditunda lagi, Guru?”

“Diam kau! Kau pikir bisa mengakaliku? Kalau aku menghajar pemuda itu, bukan karena ingin membelamu. Tapi, karena memang sudah lama aku menunggu saat-saat seperti ini!”

Nyali Sidarta mengkeret mendengar bentakan gurunya. Tapi, apa pun yang dikatakan gurunya tak dipedulikan. Yang jelas, pemuda yang telah mempermalukannya di depan Nawang Sari harus mampus. Cepat atau lambat, tak perlu dipersoalkan. Dan dia tahu betul watak gurunya. Kalau ada sesuatu yang mengganjal hatinya, tak pernah sampai ditunda sekian lama. Pasti akan diselesaikan segera. Dan Pendekar Rajawali Sakti adalah ganjalannya! 

***
ENAM
Rasa cinta Nawang Sari pada Rangga perlahan-lahan berubah menjadi rasa benci yang meluap-luap dalam hatinya. Selama ini, siapa laki-laki yang tak tunduk terhadap rayuannya? Wajahnya cantik dan tubuhnya menggiurkan. Setiap laki-laki waras pasti akan berusaha mendekati dan berharap memilikinya. Dan Nawang Sari yang cerdik dan nakal, senang sekali melihat banyak lelaki yang tergila-gila padanya. Bahkan dia malah sengaja mempermainkan mereka. Tapi dengan Rangga, Nawang Sari betul-betul kena batunya.

Pemuda itu kelihatan tak begitu menggebu terhadapnya. Bahkan sampai dia sendiri yang menyatakan cintanya. Namun, dengan seenaknya pula pemuda itu menolak. Bukan main panasnya hati Nawang Sari. Padahal, rasa cintanya kepada Rangga bukanlah cinta pura-pura semata. Hatinya betul-betul jatuh cinta pada Rangga, pemuda yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Maksud hati Nawang Sari meminta bantuan gurunya bukanlah untuk membunuh pemuda itu. Melainkan, untuk meringkusnya. Dia ingin membuat pembalasan yang menyakitkan.

Tapi karena gurunya merasa tak mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti, hatinya sedikit kecewa. Untunglah Ki Paladiga menunjukkan tempat seseorang yang bernama Ki Sembung Prana berada. Konon menurut gurunya, Ki Sembung Prana adalah seorang tokoh tua yang selama malang melintang dalam dunia persilatan tak pernah terkalahkan.

"Tapi, bagaimana aku harus menaklukkannya jika menurut guru Ki Sembung Prana sama sekali tak mau peduli dengan segala urusan dunia persilatan" Gumam Nawang Sari dalam hati ragu-ragu, setelah dalam perjalanan menuju tempat orang yang disebutkan gurunya itu.

Sepanjang jalan, Nawang Sari memeras otak. Dicarinya cara untuk membujuk orang tua itu agar mau membantu atau mengajarkan barang beberapa jurus ilmu olah kanuragan, agar bisa mengalahkan dan meringkus Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm, walau bagaimanapun, aku harus mendapatkan sesuatu darinya. Dengan cara apa pun!” gumam Nawang Sari membulatkan tekadnya.

Setelah berjalan kira-kira dua hari lamanya, Nawang Sari tiba di suatu perbukitan sunyi yang jauh dari keramaian manusia. Nawang Sari ragu melangkah. Matanya beredar ke sekeliling tempat itu yang kelihatan permai, namun sedikit menyeramkan. Banyak terdapat pepohonan besar yang batangnya tak bisa dipeluk dua tangan orang dewasa sekalipun.

Selain sunyi, tempat itu pun tak terlalu terang karena terlindungi oleh cabang serta ranting-ranting pohon yang banyak bergerumbul. Dan di satu sudut yang berdekatan dengan sebatang pohon besar, tampaklah sebuah pondok kecil yang hanya satu-satunya di tempat itu. Nawang Sari segera melangkah mendekati.

“Sampurasun, adakah orang di dalam? Aku pengelana tersesat yang ingin menumpang menginap barang satu atau dua hari...!” sapa Nawang Sari, dengan suara sedikit keras.

Baru saja kata-katanya selesai, tiba-tiba sudah berdiri tegak seseorang di belakangnya sambil menepuk bahunya. Kehadiran orang itu sama sekali tak diketahuinya. Bahkan lebih halus dari angin yang bertiup. Tentu saja hal itu membuat Nawang Sari terlonjak kaget dan buru-buru menoleh.

“Heh?!”

“Siapa kau, Nduk Dan, apa yang kau kerjakan di tempat sunyi ini?”

“Eh, ng.... Apa..., apakah Kakek pemilik pondok ini?” tanya Nawang Sari gugup.

Di hadapan gadis itu telah berdiri seorang laki-laki tua berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih. Walau begitu, tubuhnya masih terlihat kekar, meski beberapa bagian terlihat keriput-keriput yang tak bisa disembunyikan. Wajahnya bersih dengan kumis tipis yang sudah memutih seperti rambut di kepalanya. Namun sorot matanya lembut, menusuk sanubari orang yang melihatnya. Seperti apa yang dirasakan Nawang Sari saat ini. Orang tua itu mengangguk.

“Kau belum menjawab pertanyaanku?” tegur orang tua itu, mengingatkan dengan suara lembut.

“Ah! Aku Nawang Sari. Ada pun tujuanku ke sini mencari seseorang yang bernama Ki Sembung Prana....”

“Cah ayu, kau tengah berhadapan dengan orang yang kau maksudkan saat ini...!”

“Oh! Jadi, kakekkah orang yang bernama Ki Sembung Prana?! Terimalah salam hormatku...!” Nawang Sari menjatuhkan diri dan bersujud di dekat kaki orang tua itu.

“Berdirilah, Cah Ayu! Aku tak mengerti, untuk apa hal ini kau lakukan....”

“Aku tak akan berdiri, sebelum mendengar penegasanmu untuk mengangkatku menjadi muridmu...!” sahut Nawang Sari langsung.

Ki Sembung Prana terdiam. Terdengar helaan nafasnya yang halus lewat kedua bahunya yang terangkat pelan. “Sayang sekali, Cah Ayu. Kalau kau hendak berguru, maka kau telah datang pada orang yang salah. Aku tak memiliki apa-apa untuk menurunkan kepandaianku...!”

“Tolonglah aku, Ki. Aku berjanji akan menjadi muridmu yang berbakti dan mematuhi segala perintahmu. Apa pun yang kau perintahkan padaku, akan kulakukan segera....”

“Aku tak meragukan tekadmu itu, Cah Ayu. Tapi perlu kukatakan sekali lagi agar kau ketahui, bahwa kau telah datang pada orang yang salah. Aku orang tua lemah yang bodoh, dan tak memiliki apa-apa untuk kuajarkan padamu. Mudah-mudahan, kau bisa mengerti...,” sahut Ki Sembung Prana arif.

“Ki Sembung Prana! Namamu telah termahsyur di mana-mana. Dan hal itu bukanlah nama kosong belaka. Setiap orang yang mendengar namamu, pasti akan menghormatinya. Kau disegani seluruh kalangan persilatan. Lalu, apakah kau masih ingin mengatakan lagi kalau kau orang tua yang lemah dan bodoh...?”

“Hm.... Dari mana kau dapatkan cerita kosong itu?”

“Ki, itu bukan cerita kosong. Semua orang sudah tahu....” Ki Sembung Prana mengerutkan dahi untuk beberapa saat Lalu tanpa banyak bicara, dilewatinya gadis itu dan terus melangkah ke dalam.

“Ki Sembung Prana, aku mohon kemurahan hatimu...!” Nawang Sari tersekat. Dicobanya untuk menyusul orang tua itu ke dalam.

“Maaf, Cah Ayu. Kukira ucapanku tadi sudah jelas!” potong orang tua itu sambil menutup pintu.

Nawang Sari berusaha mengetuknya beberapa kali. “Ki Sembung Prana, aku akan menunggu di muka pintu ini sampai kau bersedia mengangkatku menjadi muridmu...!”

Tak terdengar sahutan dari dalam. Sementara, Nawang Sari mulai gelisah. Kalau di perjalanan hatinya merasa yakin akan mampu menaklukkan hati orang tua itu, maka kali ini dia sedikit kecewa. Orang tua inilah satu-satunya harapan untuk membalaskan sakit hatinya pada Pendekar Rajawali Sakti. Walau bagaimanapun, dia harus mampu membujuknya. Tapi dengan cara bagaimana?

Nawang Sari melangkah pelan dan duduk di atas sebuah batu yang tak jauh dari pintu itu, sambil memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk membujuk orang tua itu. Apakah dia akan menunjukkan kekerasan hatinya dengan terus menunggu di muka pintu ini?

Bagaimana kalau ternyata hati orang tua itu tetap keras kepala dan tak peduli? Gadis itu terus berpikir keras. Dan kini, ingatannya tertuju pada Bunga Asmara Dewa. Dan bunga itu memang dari hasil curiannya. Nawang Sari memang terkenal nakal dan suka mencuri benda-benda berharga milik seseorang. Dan gurunya sendiri, Ki Paladiga, tahu akan hal itu.

Di antara orang-orang atau tokoh-tokoh persilatan yang mengetahui kalau gadis itu muridnya, maka sudah langsung mendatanginya untuk meminta pertanggung-jawaban. Dan kalau sudah demikian, Nawang Sari tak punya pilihan lagi selain mengembalikan barang-barang yang dicurinya. Tapi banyak juga yang gentar oleh kebesaran nama Ki Paladiga. Sehingga bila Nawang Sari berhasil mencuri barang-barang milik mereka, jarang sekali bisa kembali lagi.

Sementara tentang Bunga Asmara Dewa, bunga itu memang sangat berkhasiat untuk membangkitkan nafsu birahi seseorang. Dan ketika itu, banyak orang memperebutkannya karena nilainya sangat mahal. Tidak hanya sulit dicari, tapi juga tak sembarang orang mengetahui tempatnya. Dan suatu saat, Nawang Sari secara kebetulan bertemu dua orang yang tergesa-gesa memacu kudanya.

Niat Nawang Sari pada mulanya hanya sekadar merampok, karena melihat kedua penunggang kuda itu membawa sebuah buntalan. Disangkanya, mereka memiliki barang berharga. Maka langsung dicegatnya dua orang penunggang kuda itu. Lalu, dengan paksa direbutnya buntalan itu dari tangan mereka.

Meskipun keduanya mempertahankan mati-matian, tapi Nawang Sari berhasil melumpuhkan mereka dan merampas buntalan itu. Dan dia memang tak berniat membunuh. Gadis itu langsung melarikan diri. Dan setelah jauh dari mereka, barulah buntalan itu dibukanya. Ternyata, isinya adalah sekuntum bunga yang bening di antara kepingan uang emas.

Dan sebenarnya, Nawang Sari tak tahu kalau bunga itulah yang dicari-cari orang. Belakangan, barulah diketahui, ketika mendengar cerita orang mengenai ciri-cirinya yang sama persis dengan bunga yang kini berada di tangannya.

“Hm.... Apakah perlu bunga ini kugunakan untuk menaklukkannya?” kata Nawang Sari pelan, mengakhiri lamunannya. Nawang Sari masih ragu melakukannya. Karena kalau hal itu harus dilakukan, berarti mempertaruhkan harga dirinya. Gadis cerdik itu masih berharap Ki Sembung Prana mau berubah pikiran. Maka seharian itu hatinya dikeraskan untuk tetap tak beranjak dari tempat itu.

Tapi apa yang diharapkan rasanya tak akan terwujud. Buktinya sampai jauh malam, Ki Sembung Prana sedikit pun tak membuka pintu, tanpa peduli dengan apa yang dilakukannya. Nawang Sari menggigil kedinginan karena udara di tempat itu memang amat dekat dengan pegunungan. Dan ketika malam tiba, dinginnya bukan kepalang.

“Orang tua sial! Dia sama sekali tak peduli padaku. Rasanya meskipun aku sampai mati di sini, dia tetap tak akan peduli. Tapi aku harus bisa menaklukkannya. Aku harus bisa mendapatkan kepandaiannya!” tegas Nawang Sari membulatkan tekad di hatinya.

Sudah tidak dipikirkan lagi akibat apa pun, selain keinginannya tercapai. Nawang Sari beranjak, lalu mengulurkan sesuatu dari balik bajunya. Kini, sekuntum bunga yang telah berwarna kuning kecoklatan tergenggam dalam tangannya. Bunga itulah yang disebut Bunga Asmara Dewa, yang telah lama disimpan hingga menjadi layu. Tapi meski begitu, khasiatnya tetap tak berubah.

Gadis itu lalu membuat perapian dengan bantuan batu pemantik, setelah mengumpulkan ranting-ranting kering. Begitu api berkobar, satu persatu kelopak Bunga Asmara Dewa itu diceburkan ke dalam gejolak nyala api. Dan sesaat saja, tercium bau harum semerbak di sekitar tempat itu, sehingga mampu membuat seseorang terhanyut dalam khayalan yang memabukkan.

Sementara itu, Ki Sembung Prana tengah duduk bersila memusatkan pikiran seperti yang telah biasa dilakukannya setiap malam. Kelopak matanya terpejam dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dalam keadaan begitu, aliran darahnya terasa mengalir teratur ke seluruh bagian tubuh. Dan lewat pernapasan yang teratur, dikumpulkannya hawa murni yang berpusat di bawah perut untuk dialirkan ke seluruh bagian tubuh. Dalam keadaan demikian, pikirannya seakan-akan kosong sehingga mampu menenangi jiwanya.

“Heh?!” Ki Sembung Prana tersentak kaget ketika penciumannya mengendus sesuatu dan langsung merasuk dalam pikirannya. Bau harum itu begitu semerbak, dan dengan cepat membangkitkan gairah kelelakiannya.

“Celaka!” Ki Sembung Prana tersentak kaget.

Laki-laki tua itu berusaha menahan pengaruh yang mulai menjalar di setiap pembuluh darahnya. Namun semakin mencoba untuk menahan, perasaan tak menentu seperti tak tertahan terus menyerang. Tubuhnya mulai gemetar dan helaan nafasnya mulai tak beraturan. Perlahan-lahan orang tua itu bangkit dan berjalan menuju pintu depan.

Memang, setinggi apa pun ilmu seseorang, tak bakalan mampu mengalahkan pengaruh harumnya Bunga Asmara Dewa. Akibatnya, tak heran kalau Ki Sembung Prana menjadi kalang-kabut menerima pengaruh itu.

“Ki Sembung Prana! Aku kedinginan di luar. Tidak adakah sedikit belas kasihanmu untuk mempersilakanku masuk...?” lirih suara Nawang Sari di depan pintu.

Ki Sembung Prana membuka pintu. Ditatapnya gadis itu beberapa saat dengan sorot mata aneh. “Masuklah...!” ujar orang tua itu lembut.

Nawang Sari melangkah pelan. Sedang Ki Sembung Prana membimbingnya sambil memegangi bahunya. “Kau tentu lelah seharian berada di luar. Istirahatlah di tempat tidurku...,” lanjut Ki Sembung Prana lagi, begitu telah berada di dalam kamarnya.

Lagi-lagi Nawang Sari tak membantah. Tubuhnya lalu dibaringkan di tempat tidur, sementara Ki Sembung Prana menyelimutinya. Tapi dalam benaknya mulai bergejolak pikiran-pikiran tak menentu terhadap gadis itu. Ki Sembung Prana berusaha sekuat mungkin menahannya, dan bermaksud meninggalkan gadis itu sendirian.

“Ki, aku takut sendirian. Kamar ini gelap dan me-nyeramkan. Kau di sinilah menemaniku,” ujar Nawang Sari, yang mulai dirasuki khasiat Bunga Asmara Dewa sambil mencekal pergelangan tangan Ki Sembung Prana. Ki Sembung Prana diam mematung sambil menatap Nawang Sari. Sorot matanya semakin menunjukkan kegelisahan. Dan helaan nafasnya semakin tak terkendali lagi. Apalagi ketika Nawang Sari mulai menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Lalu perlahan-lahan bajunya mulai dibuka sambil memandang Ki Sembung Prana dengan tatapan mesra.

“Ki Sembung, aku kedinginan sejak di luar tadi. Maukah kau menemaniku tidur di sini...?”

Ki Sembung Prana tetap mematung. Pandangannya mulai kosong, tanpa berkedip ketika melihat tubuh Nawang Sari yang tanpa sehelai benang pun. Apalagi saat Nawang Sari mendekat, dan mulai membuka pakaian orang tua itu satu persatu. Ki Sembung Prana seperti tak kuasa mencegahnya. Urat syarafnya kian menegang dan aliran darahnya kian mengalir hingga membuat jantungnya berdetak lebih cepat.

“Cah ayu...!” terdengar lirih suara orang tua itu. Ki Sembung Prana menepis kedua tangan gadis itu. Lalu dengan cepat pakaiannya dibuka sendiri. Sepasang matanya jalang menatap keindahan lekuk-lekuk tubuh Nawang Sari. Kemudian dengan satu gerakan cepat, disambarnya tubuh molek itu dan dihempaskannya ke tempat tidur. Nawang Sari sendiri seperti tak kuasa menolak. Dia hanya bisa mendesah pelan sambil sesekali merintih lirih.

“Ki Sembung, cepatlah berikan sesuatu padaku. Bangkitkanlah gairahmu.... Reguklah kenikmatan di malam dingin ini....”

Ki Sembung Prana diam tak menjawab. Hanya dari mulutnya saja yang mengeluarkan geraman halus. Tak dipedulikan lagi erangan-erangan gadis itu. Tubuhnya langsung menghimpit, seperti hendak menyatu dengan gadis itu. Berkali-kali mulutnya menggeram hebat, diiringi rintihan halus Nawang Sari.

Di luar, malam semakin kelam dan dingin merasuk tulang. Suara burung malam terdengar berbaur teriakan penghuni hutan yang tak jauh dari pondok itu. Beberapa kelelawar yang tadi hinggap di tepi atap, tiba-tiba melesat terbang sambil mengeluarkan suara.

Dari luar terdengar helaan napas memburu dan jerit kecil seseorang yang berbaur derit kayu dipan yang beraturan. Kemudian ketika terdengar lenguhan panjang, suasana kembali sepi. Dari dalam satu ruangan dalam pondok itu hanya terdengar helaan napas lelah!

***

Pagi-pagi sekali saat terbangun, Ki Sembung Prana tersentak kaget mendapati dirinya tidur tanpa sehelai benang pun. Sedang di sebelahnya tertidur seorang gadis cantik yang kemarin berdiri di muka pintu pondoknya. Tubuhnya pun dalam keadaan sama. Ki Sembung Prana mulai mengingat-ingat peristiwa yang terjadi semalam.

“Astaga?! Apa yang telah kulakukan tadi malam?!” sentak Ki Sembung Prana.

Nawang Sari mulai sadar dari tidurnya, begitu mendengar seruan kaget orang tua itu. Dan ketika mendapati dirinya dalam keadaan polos, buru-buru disambarnya selimut untuk menutupi tubuhnya. Matanya langsung memandang lekat ke arah Ki Sembung Prana dengan rasa kemarahan yang meluap.

“Kau..., kau.... Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku? Ki Sembung Prana! Tak kusangka, kau telah memperdayakan diriku. Kukira kau tokoh terhormat yang menjunjung tinggi kesusilaan. Tapi kini, terbukti bahwa kau tak lebih dari seorang laki-laki hidung belang terkutuk!” maki Nawang Sari, mulai menyusun siasatnya.

Dan sebenarnya dia sadar, kalau dirinya juga telah tersirep harum Bunga Asmara Dewa. Gadis itu juga mendekap wajahnya, dan menangis tersedu-sedu.

“Cah ayu! Jangan sembarangan bicara! Semua ini karena ulahmu sendiri. Kaulah yang menyebabkan semua ini terjadi!” bantah Ki Sembung Prana sengit.

“Mustahil! Kau hanya mencari-cari alasan. Kaulah yang membawaku masuk ke sini, dan memaksaku melakukan perbuatan terkutuk itu. Dan kini, dengan seenaknya berusaha mengelak!”

“Hm.... Kau sungguh cerdik, Cah Ayu. Kau pikir, aku tak tahu apa yang kau perbuat. Bau harum yang memabukkan itu semalam bukan bau harum biasa. Tapi, berasal dari suatu bunga yang berkhasiat untuk membuat pikiran manusia dikacaukan hawa nafsunya sendiri....”

“Kau bisa saja bicara apa pun. Tapi yang jelas, kau telah memaksaku untuk melakukan perbuatan terkutuk itu. Dan kau harus mempertanggungjawabkannya. Kalau tidak, aku akan katakan pada seluruh tokoh persilatan tentang apa yang kau lakukan malam tadi terhadapku!” ancam Nawang Sari.

Ki Sembung Prana tercekat. Padahal, selama ini dia mengasingkan diri dari dunia persilatan, adalah untuk menjauhkan diri dari segala fitnah dan cerita-cerita buruk yang bisa menjatuhkan namanya. Laki-laki tua itu adalah tokoh terpandang dan disegani. Semua tokoh persilatan dari berbagai golongan menaruh hormat padanya, karena sikap dan perbuatannya yang selalu adil dan bijaksana. Di samping itu, telah banyak orang yang menjadikannya sebagai tokoh panutan. Dan kini, bila gadis ini betul-betul melaksanakan ancamannya, habislah nama baiknya. Dan dia bakal jadi sorotan orang banyak serta mendapat caci-maki. Lalu, ingin ditaruh di mana mukanya?

“Kau tak bisa melakukan itu...,” lirih suara Ki Sembung Prana.

“Kenapa tidak? Hidupku kini terhina dan menjadi orang yang terbuang, akibat perbuatanmu itu. Sedangkan kau, jangankan mau bertanggung jawab, tapi malah berusaha balik menuduhku yang tidak-tidak!” sahut Nawang Sari sengit.

Ki Sembung Prana terdiam beberapa saat lamanya memikirkan kata-kata gadis itu.

“Kau boleh saja tak mau bertanggung jawab atas segala perbuatanmu itu, asal dengan satu syarat Kau harus mengajarkan kepandaianmu kepadaku! Kalau menolak, maka sepulang dari tempat ini aku akan mengadukan hal ini dan menyebarkannya kepada semua orang...,” ancam Nawang Sari, memecah keheningan.

Ki Sembung Prana tersenyum kecil. Mengertilah dia kini. Ternyata, gadis ini memang sengaja menjebaknya. Tapi keadaannya kini semakin terpojok. Kalaupun mau bertanggung jawab dengan mengawini gadis ini, maka berarti tetap saja akan membuat nama baiknya tercemar. Tokoh-tokoh persilatan tentu akan bertanya-tanya, apa gerangan sebabnya sehingga orang setua dirinya mengawini seorang gadis belia yang cantik? Banyak orang tahu, bahwa sejak masih muda dia tak pernah memiliki seorang istri. Dan kini, kenapa tiba-tiba pada usia setua ini pikirannya berubah? Bukankah nanti orang akan menyangka kalau dirinya telah berubah?

“Hm.... Setelah sekian lama, kini terpaksa aku harus membatalkan janji untuk tidak mencampuri segala urusan dunia persilatan. Baiklah, Cah Ayu. Kau menang. Aku tak punya pilihan lain. Tapi, kau harus pegang janjimu....”

Mendengar itu, bukan main senangnya hati Nawang Sari. “Kau tak perlu khawatir, Ki. Setelah selesai pelajaran yang kau berikan padaku, maka saat itu pula aku tak akan pernah mengungkit-ungkit persoalan tadi malam. Dan kau terbebas dari segala tanggung jawab serta ancamanku tadi!”

***
TUJUH
Sudah tiga hari lebih Pandan Wangi berkelana dari satu desa ke desa lain untuk mencari jejak Rangga. Namun sejauh ini jejak pemuda itu belum juga ditemuinya. Pandan Wangi tahu betul, ke mana tujuan Rangga. Pendekar Rajawali Sakti tak lain ingin membantu para pejuang untuk mengusir orang-orang asing dari negeri ini. Setiap desa yang disinggahinya, telah diperkirakan sebagai tempat yang dituju orang-orang asing itu.

Namun kebanyakan dari tempat yang disinggahi, hanya sedikit pejuang yang tersisa. Dan itu pun kebanyakan dari mereka akan kembali ke induk pasukannya. Dari cerita-cerita penduduk desa itulah Pandan Wangi mendengar sepak terjang Rangga. Dan hal ini diam-diam membuatnya merasa bangga. Mereka selalu memuji-muji pemuda bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu, karena berhasil membuat orang-orang asing yang menjarah desa lari tunggang-langgang.

Siang ini, matahari teras panas menyengat Tanah menjadi kering dan daun-daun layu di pepohonan beterbangan, manakala angin bertiup kencang. Pandan Wangi kini bersandar di bawah sebatang pohon sambil melepas lelah. Kulit tubuhnya yang putih kini terlihat kemerah-merahan. Beberapa tetes peluh tampak membasahi kening dan tubuhnya.

“Hm.... Ke manakah Kakang Rangga?” bisik gadis itu lirih.

Batin Pandan Wangi terasa getir. Dan rasa cemburu tak terasa menyusup dalam hati bila membayangkan saat ini Rangga tengah berduaan dengan Nawang Sari. Rasa penyesalannya timbul dan tak habis-habis mengutuk diri sendiri. Kenapa dia mau saja disuruh Rangga untuk pergi ke Karang Setra?

“Amboi...! Seorang gadis cantik tengah termenung-menung sendiri di siang terik begini...!” tiba-tiba terdengar suara yang menyentak lamunan Pandan Wangi.

“Heh?!” Pandan Wangi langsung menoleh ke arah sumber suara. Tiba-tiba di belakangnya telah berdiri seorang laki-laki cebol yang tingginya hanya sebatas pinggang. Melihat dari raut wajahnya, tampak laki-laki ini masih muda. Matanya tajam seperti hendak menelanjangi seluruh tubuh gadis itu. Dan senyumnya selalu terkembang nakal. Tapi melihat cara berpakaian dan raut wajahnya, tampaknya dia bukan penduduk asli sini. Bahkan lebih mirip orang-orang asing yang dulu pernah dihajar Rangga.

"Siapa kau?!” tanya Pandan Wangi bernada tak suka.

“He he he...! Perkenalkan. Namaku, Ceng Ho. Orang-orang di tempatku menyebutku sebagai Dewa Cebol Periang. Sebaliknya, siapa kau. Dan, kenapa siang-siang melamun di tempat ini? Bukankah lebih baik kalau menemaniku? He he he...! Tak kusangka di negeri ini aku bisa menemukan bidadari secantikmu!” sahut laki-laki yang mengaku bernama Ceng Ho atau Dewa Cebol Periang itu.

Walaupun kata-kata yang diucapkan Ceng Ho enteng saja, tapi Pandan Wangi tetap tak menyukainya. Orang ini sepintas terlihat seperti orang baik-baik. Namun siapa tahu di balik itu menyimpan maksud-maksud buruk.

“He, Ceng Ho.... Namaku Pandan Wangi. Nah! Karena tak ada urusan denganmu, aku harus pergi. Ada sesuatu yang harus kukerjakan secepatnya....”

“Eee, mau ke mana? Kenapa harus buru-buru? Kau pasti berbohong padaku. Mana mungkin ada urusan, kalau ternyata kau masih menyempatkan diri termenung-menung di sini. Ayo, temanilah aku sejenak,” ajak Ceng Ho sambil menghalangi langkah Pandan Wangi yang ingin berlalu darinya.

Pandan Wangi menaikkan alis. Wajahnya sudah tak ramah seperti tadi, tapi lebih mirip rasa kesal dan jengkel. “Kisanak! Aku tak ada waktu untuk menemanimu. Harap kau maklum saja. Lagi pula, siapa bilang aku bermenung-menung? Aku hanya sedang berpikir. Dan hal itu tak ada urusannya sedikit pun denganmu!” sahut Pandan Wangi cepat.

“Ha ha ha...! Gadis cantik yang cerdas. Aku semakin suka saja kepadamu. Dan kalau Ceng Ho sudah suka, maka kau tak boleh ke mana-mana sebelum kuizinkan.”

“Apa maksudmu?”

“Sederhana saja. Kau tak boleh pergi ke mana-mana, sebelum aku mengizinkannya!” tegas Ceng Ho dengan wajah mulai sungguh-sungguh.

“Heh! Apa hakmu berkata begitu?” tanya Pandan Wangi geram.

“Rasanya tak perlu hak untuk bicara begitu. Tapi cukup kau ketahui, kau tak akan bisa pergi ke mana-mana sebelum menemaniku beberapa saat!”

“Cebol! Aku tak mengerti maumu. Tapi kalau kau hendak bermain kekerasan, maka kau boleh berbuat sesuka hatimu setelah aku jadi mayat!” dengus Pandan Wangi kesal.

“Baik! Rupanya kau memang perlu dikerasi!” Maka dengan gerakan gesit, Ceng Ho melesat cepat bagai kilat, hendak menyambar Pandan Wangi. Namun, gadis itu cepat waspada. Langsung saja dia membuang diri, menghindari serangan laki-laki cebol itu.

“Yeaaa...!”
Wuuut!

Serangan Ceng Ho luput. Dan Pandan Wangi cepat bangkit kembali. Kini mereka saling menatap tajam. Kecepatan gerak orang bertubuh cebol itu sungguh membuat kagum Pandan Wangi. Dan diam-diam hatinya merasa khawatir. Satu jurus saja baru berlangsung, namun sudah terasa ada tekanan berat yang dilakukan orang bertubuh cebol itu.

Gadis itu segera menyadari kalau orang cebol ini tak bermaksud melukainya. Karena dari beberapa serangannya, terlihat dia hanya melancarkan gerakan totokan saja. Agaknya, orang itu bermaksud meringkusnya hidup-hidup. Di samping itu, Pandan Wangi merasa kalau ilmu kedigdayaannya masih di bawah Ceng Ho. Namun, di hatinya tidak ada kegentaran sedikit pun.

“Hm.... Boleh juga kepandaianmu. Tapi coba tahan jurus ‘Burung Penari Menghina Elang’ ku!” kata Ceng Ho sambil terkekeh.

“Huh! Keluarkanlah seluruh kepandaianmu. Aku tak akan gentar sedikit pun!” dengus Pandan Wangi.

“Hiyaaat..!”

Tubuh Ceng Ho bergerak cepat menyerang, membuat Pandan Wangi terkesiap. Kali ini, lawan agaknya betul-betul mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Namun Pandan Wangi bukanlah gadis sembarangan. Ilmu silatnya juga sudah cukup tinggi, kendati sedikit di bawah lawannya. Dan kalau Pandan Wangi gadis lemah, mungkin sudah sejak tadi berhasil dijatuhkan lawan. Namun, rupanya kini kepandaian Pandan Wangi tak berarti banyak saat Ceng Ho mengeluarkan jurus ‘Burung Penari Menghina Elang’.

Dari awal jurus itu saja, sudah terlihat kalau Pandan Wangi mulai terpojok. Gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk menghindari serangan lawan dengan mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi gerakan Ceng Ho luar biasa cepatnya dan sulit sekali diimbangi. Dalam suatu kesempatan, Ceng Ho terus melancarkan serangan-serangannya.

Dan dengan suatu gerak tipu manis, tangan kirinya bergerak menyambar leher. Maka cepat-cepat Pandan Wangi memapak dengan tangan kanan. Namun sebelum terjadi benturan, Ceng Ho telah menarik pulang serangannya. Akibatnya tubuh Pandan Wangi jadi melintir, menyambar angin kosong. Sementara, kesempatan itu digunakan Ceng Ho untuk melesat ke atas. Tak ada kesempatan bagi Pandan Wangi untuk menghindar. Maka....

“Jatuh...!”
Tuk!
“Ohhh...!”

Pandan Wangi mengeluh pelan. Memang, Ceng Ho berhasil menotok urat bahunya hingga gadis itu ambruk tak berdaya. Kemudian, kakinya telah mendarat di tanah.

“Ha ha ha...! Sudah kukatakan, kau tak akan bisa pergi ke mana-mana. Tapi, kau masih juga tak percaya!” kata Ceng Ho sambil terkekeh dan bertolak pinggang menatap gadis itu.

“Keparat! Lepaskan aku! Aku masih sanggup menghadapimu dalam seribu jurus sekalipun!” teriak Pandan Wangi marah.

“Ha ha ha...! Kau memang gadis yang memiliki kepandaian hebat. Dan aku percaya kata-katamu itu. Tapi saat ini, aku tak tertarik untuk bertarung denganmu. Karena, ada hal lain yang membuatku lebih tertarik. Aku ingin menikmati tubuhmu yang menggiurkan!” sahut Ceng Ho sambil tertawa-tawa kecil.

Kemudian dengan tiba-tiba, Ceng Ho menubruk tubuh Pandan Wangi, hingga kini telah berada dalam pondongannya. Dan langsung dibawanya tubuh Pandan Wangi berlari dari tempat itu.

“Cebol keparat! Lepaskan aku! Mau kau bawa ke mana aku?! Lepaskan...?!” Pandan Wangi hanya bisa berteriak-teriak memaki.

Ceng Ho menghentikan langkahnya ketika tiba di suatu tempat yang banyak ditumbuhi semak-semak. Dibaringkannya tubuh Pandan Wangi di tanah. Dan sambil menyeringai lebar, tangannya mulai meraba-raba beberapa bagian tubuh gadis itu.

“He he he...! Tenang-tenang sajalah. Aku sedang mencari tempat aman untuk kita berdua. Nah! Kukira, di sini cukup aman!” sahut Ceng Ho.

“Keparat busuk! Hentikan perbuatan kotormu! Keparat..! Hentikan...! Aow, setan laknat!” Pandan Wangi semakin kalap, berteriak dan memaki-maki Ceng Ho.

Pandan Wangi semakin keras menjerit ketika pada bagian dadanya yang mencuat, seenaknya digerayangi tangan-tangan nakal laki-laki cebol itu. Ceng Ho agaknya sudah tak bisa menahan gejolaknya lagi. Tanpa mempedulikan teriakan dan makian gadis itu, dirabanya dengan kasar tubuh gadis itu. Tentu saja Pandan Wangi semakin menjerit-jerit tak karuan. Sumpah serapah dan makian tak terhitung lagi keluar dari mulutnya.

Tapi, Ceng Ho malah semakin kurang ajar saja. Dengan geram dan penuh nafsu, digumulnya gadis itu. Teriakan dan makian gadis itu seperti membuat nafsunya kian bergejolak saja. Hati Pandan Wangi sudah mulai putus asa. Percuma saja menjerit-jerit, namun Dewa Cebol Periang semakin tambah beringas saja. Air matanya mulai menetes membasahi pipi.

Tapi sebelum semuanya menimpa gadis itu, tiba-tiba terlihat tubuh Dewa Cebol Periang melayang ke depan sambil menjerit keras. Dan sebelumnya, memang ada sekelebat bayangan putih yang melesat cepat.

“Aaakh...!”

Dan tahu-tahu saja di dekat Pandan Wangi telah berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju rompi. Rambutnya panjang terurai. Tampak di punggungnya tersampir sebuah gagang pedang berhulu kepala burung. Siapa lagi orang itu kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti?

Rangga tampak berdiri tegang dengan napas menderu. Dadanya turun naik, dan wajahnya memerah. Mulutnya mendesis geram, dengan geraham bergemeletuk. Jelas, kemarahannya telah sampai ke ubun-ubun melihat Pandan Wangi diperlakukan tidak senonoh. Siapa yang tidak geram melihat kekasihnya dibuat seperti itu?

“Kakang...! Oh, syukurlah kau cepat datang...!”

Pendekar Rajawali Sakti segera melepaskan totokan gadis itu. Dan Pandan Wangi tak tahu, bagaimana caranya menumpahkan rasa haru di hatinya. Begitu merasa terbebas, langsung dirangkulnya Rangga seperti ingin menumpahkan gejolak hatinya. Dan gadis itu menangis sesenggukan di bahu Pendekar Rajawali Sakti.

“Pandan..., kau.., kau...?” tiba-tiba Rangga mele-paskan pelukannya.

“Kenapa, Kakang?”

“Pakaianmu....”

“Oh!” Pandan Wangi terperanjat kaget. Baru disadari kalau saat itu pakaiannya sudah tak karuan bentuknya. Buru-buru dia berlari dan bersembunyi di balik semak untuk merapikan pakaian.

Sementara itu, Ceng Ho yang tadi terpental terkena tendangan Rangga, langsung bangkit kembali. Wajahnya garang dengan sorot mata tak suka melihat kehadiran Rangga yang tiba-tiba.

“Setan! Siapa kau, hingga berani mencampuri urusanku?!” bentak Ceng Ho keras.

“Aku?! Biadab busuk! Aku yang akan mencabut nyawamu!” balas Rangga begitu geram melihat Pandan Wangi diperlakukan tidak senonoh.

Dan sudah menjadi janjinya dalam hati, akan membunuh siapa saja bila ada yang berbuat kurang ajar terhadap Pandan Wangi. Hatinya memang sangat geram melihat tingkah si cebol itu. Lebih-lebih ketika tampangnya mirip orang-orang asing yang beberapa hari lalu dihajarnya. Maka rasa kesal di hatinya kini bercampur perasaan geram dan marah.

“Keparat! Jiwamu benar-benar licik, dan hanya berani main belakang!”

“Kini kita sudah saling berhadapan. Apa lagi yang ditunggu? Dan yang pasti, kau harus mampus di tanganku!” tantang Rangga tak peduli ejekan lawan.

“Huh! Bocah dungu, terimalah bagianmu...!” Selesai berkata begitu, Ceng Ho langsung melompat sambil mengirim satu serangan bertenaga dalam kuat ke arah Rangga.

“Yeaaa...!”

Sekilas Rangga sudah bisa merasakan kalau serangan lawan bukan sembarangan. Makanya, dia tak mau menganggap remeh. Dan tubuhnya langsung bergerak cepat menghindar. Namun, Ceng Ho yang bertubuh cebol bagaikan bola karet gerakannya cepat dan gesit. Akibatnya, untuk beberapa saat Rangga sedikit terdesak. Namun itu tidak berlangsung lama. Kini Pendekar Rajawali Sakti mulai membalas serangan sambil mengeluarkan rangkaian jurus Rajawali Sakti.

“Hiyaaa...!”

Pada suatu kesempatan tubuh Ceng Ho berputar sambil mengayunkan sebelah kakinya ke rahang Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gesit, Rangga mengelak. Langsung ditangkapnya pergelangan kaki lawan.

Plak!
Wut!

Dan dengan kekuatan penuh, Rangga memutar-mutar tubuh Ceng Ho. Lalu....

Des!
“Akh!”

Ceng Ho terpekik nyaring ketika tubuhnya dihantamkan ke sebatang pohon yang cukup besar. Begitu Rangga melepaskan pegangannya, maka tubuh Dewa Cebol Periang langsung jatuh ke tanah. Namun, laki-laki cebol itu cepat bangkit berdiri, walaupun agak sempoyongan. Tubuhnya terasa sakit bukan main. Pernafasannya pun sedikit sesak. Bahkan beberapa kali memuntahkan darah segar. Tulang dadanya terasa nyeri dan isi perutnya seperti diaduk-aduk.

Dan belum juga Ceng Ho bersiap, Rangga telah bergerak cepat Langsung dikirimkannya serangan keras berupa tendangan bertenaga dalam tinggi. Ceng Ho yang belum dap betul menjadi terkesiap bukan kepalang.

“Hiyaaa..."
Begkh!
“Aaah...!”

Kembali Dewa Cebol Periang terpekik nyaring, dan kembali jatuh bergulingan di tanah. Tampak begitu tubuhnya berhenti bergulingan, Ceng Ho kembali memuntahkan darah. Sementara Rangga berdiri memandangi dengan sikap sinis.

“Kisanak! Seharusnya kau mampus! Kau telah begitu berani bermaksud kotor terhadap kekasihku. Namun, rupanya Sang Hyang Widhi menghendaki lain!” kata Rangga, geram.

Ceng Ho memandang Rangga sekilas, lalu menundukkan wajahnya. “Kau memang hebat dan aku mengaku kalah. Kau boleh berbuat apa saja padaku. Dan sebelum aku mati, sebutkan julukanmu!” sahut Ceng Ho mantap.

“Orang menjulukiku Pendekar Rajawali Sakti...!”

Ceng Ho mendongakkan kepala, dan langsung memandang Rangga seperti tak percaya apa yang baru didengarnya. “Hm.... Kaukah orangnya? Kedatanganku ke sini justru hendak menemuimu, karena kau membuat gentar prajurit-prajurit kerajaanku. Tapi, tak disangka kau mengalahkanku dengan mudah. Nah, Kisanak. Kalau kau berniat membunuhku, aku sudah siap. Bagiku untuk hidup pun saat ini sudah tak berguna lagi. Aku tak mampu menyelesaikan tugas yang diberikan kepadaku untuk membunuhmu,” kata Ceng Ho.

“Kisanak, terlalu enak bagimu untuk kubunuh. Tiga jalan darah di tubuhmu akan kutotok. Sehingga darahmu berhenti mengalir. Dan kau akan merasakan kesakitan yang hebat. Tapi kalau kau memiliki tenaga dalam kuat, pasti bisa membebaskan diri sebelum sore nanti!

Hiyaaat!”
Tuk! Tuk! Tuk!
“Ohhh...!”

Ceng Ho mengeluh pelan dengan suara lirih. Tubuhnya kontan terasa lemas tak bertenaga, dan tak mampu digerakkan. Segera diketahui kalau pemuda itu memang tidak membunuhnya. Namun, tiga kali totokan yang dilakukan pemuda itu begitu kuat menyengatnya.

“Pendekar Rajawali Sakti! Lebih baik bunuh saja aku daripada disiksa begini!” lirih suara Ceng Ho.

Tapi Rangga sudah tak mempedulikannya lagi. Tubuhnya cepat berkelebat bersama Pandan Wangi, meninggalkan tempat itu. Sementara Ceng Ho hanya berteriak-teriak memanggilnya. Namun keduanya telah menghilang jauh. Laki-laki cebol itu terus berteriak-teriak, ketika merasakan sakit yang amat sangat di tubuhnya! 

***
DELAPAN
Di sebuah pinggiran hutan, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi berjalan bersama-sama. Begitu bertemu sebuah sungai yang airnya sangat jernih, mereka berhenti. Dan Rangga segera membasuh wajah sambil meneguk air, sekadar membasahi tenggorokannya yang terasa kering.

Sementara, Pandan Wangi diam memperhatikan sambil bersandar di bawah pohon. Suasana di tempat ini begitu sunyi. Namun kesunyian itu tiba-tiba dipecahkan oleh kehadiran dua sosok tubuh yang berkelebat cepat menghampiri. Rangga langsung bangkit dan bersiaga, ketika dua sosok itu telah berada tepat di hadapannya. Salah seorang memang pernah dikenalnya.

Pemuda itulah yang pernah dicundanginya ketika sedang jalan bernama Nawang Sari. Sedang di sebelahnya terlihat seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun. Wajahnya penuh bopeng, dan tubuhnya tinggi besar.

“Sidarta! Bocah inikah yang kau ceritakan itu?!” tanya orang tua itu pada pemuda di sampingnya.

“Benar, Guru. Pemuda sok jago inilah yang telah menghinamu!”

“Hm...!” orang tua itu mendehem kecil sambil menatap Rangga dengan sorot mata tajam menusuk.

“Kisanak! Siapakah kau sebenarnya, dan ada urusan apa ke tempat ini?” tanya Rangga, datar. Rangga sebenarnya sudah bisa membaca gelagat buruk, tapi pura-pura tak tahu.

“Pendekar Rajawali Sakti! Sungguh gegabah kau berani menghina dan menantangku! Aku Wangsa Naraya yang bergelar Gagak Hitam Pemakan Bangkai. Memang tak termahsyur julukanmu. Tapi, hari ini jangan harap kau bisa bertingkah di depan hidungku!”

Rangga tak merasa heran kalau mendengar kemarahan orang tua itu, sebab kedatangan orang yang berjuluk Gagak Hitam Pemakan Bangkai itu bersama pemuda yang bernama Sidarta. Pemuda itulah yang pernah menaruh dendam padanya. Tapi, ada urusan apa hingga orang tua itu mengatakan kalau Rangga meng-hina dan menantangnya? Jelas, Sidartalah yang melebih-lebihkan ucapannya agar orang tua itu mau turun tangan dan membalaskan sakit hatinya.

“Kisanak! Tak kusangka hari ini mendapat kehormatan bisa bertemu Gagak Hitam Pemakan Bangkai yang terkenal itu. Tapi, agaknya kau salah sangka. Aku sama sekali tak pernah menghinamu, apalagi berani menantangmu,” sahut Rangga.

“Huh! Setelah bertemu denganku, kini nyalimu mulai ciut dan berkata begitu. Tapi jangan harap kata-katamu bisa kupercayai. Bersiap dan cabutlah pedangmu. Siapa pun orangnya yang berani menghina dan menantangku, tak akan luput dari kematian!” dengus Ki Wangsa Naraya, kalem.

Setelah berkata begitu, Ki Wangsa Naraya langsung membuka jurus tangan kosongnya. Sedangkan Rangga mendesah kecil sambil memberi isyarat pada Pandan Wangi agar waspada.

“Guru! Hajarlah pemuda sombong itu, sementara biarlah gadis di sebelahnya menjadi bagianku!” ujar Sidarta sambil menyeringai buas kepada Pandan Wangi.

“Kisanak! Agaknya kau memang tak bisa diajak bicara baik-baik, meski kepalamu telah memutih. Silakan mulai. Dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong saja sepertimu!” sahut Rangga mulai geram melihat tingkah mereka.

“Ha ha ha...! Bagus! Ingin kulihat, sampai di mana kesombongan dan kehebatanmu yang sering digembar-gemborkan orang!” Ki Wangsa Naraya tertawa girang.

Mereka mulai bersiap memasang kuda-kuda. Begitu juga halnya Pandan Wangi ketika Sidarta bersiap-siap akan meringkusnya. Gadis itu tersenyum sekilas melihat wajah lawannya yang penuh keyakinan akan dapat mengalahkannya.

Namun sebelum terjadi pertarungan di antara mereka, tiba-tiba melesat sesosok tubuh ramping di tempat itu. Dan tahu-tahu telah berdiri tegak seorang ga-dis di dekat mereka.

“Ki Wangsa Naraya! Minggirlah! Aku punya urusan pribadi yang harus kuselesaikan dengan Pendekar Rajawali Sakti!”

“Heh?!”

“Nawang Sari...!” seru keempat orang itu nyaris bersamaan.

Sosok tubuh yang baru tiba itu memang Nawang Sari. Dan pandangannya langsung menghunjam tajam ke arah Rangga dan Pandan Wangi bergantian. Kemudian, kakinya melangkah pelan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.

“Kau! Aku bersumpah akan membunuhmu. Maka hari ini, terimalah kematianmu!” tuding Nawang Sari ke arah Rangga.

Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya menyadari, apa yang membuat gadis itu berubah. Apa lagi kalau bukan soal cinta? Dan Rangga sebenarnya bukan hanya kesal. Bahkan dia sudah mulai tidak suka melihat tingkah laku gadis itu. Tapi sebelum Rangga menyahut, dan sebelum Nawang Sari melakukan serangan, Ki Wangsa Naraya telah melompat sambil mengirimkan serangan ke arah gadis itu.

“Gadis liar tak tahu sopan! Sejak kapan kau berani bertingkah di depanku?!” bentak Ki Wangsa Naraya geram.

“Yeaaa...!”

Gagak Hitam Pemakan Bangkai langsung melepaskan serangan berupa kibasan tangan. Ki Wangsa Naraya begitu yakin akan mampu menjatuhkan gadis itu. Sebab selama ini, dia tahu betul kalau kepandaian Nawang Sari tak berbeda jauh dengan Sidarta. Tapi....

Plak!
“Akh...?!

Alangkah terkejutnya orang tua itu ketika merasakan tenaga dalam kuat dari gadis itu. Begitu habis menangkis, tangannya kontan terasa seperti kesemutan. Bahkan tubuhnya sempat terjajar beberapa tombak. Kesempatan ini cepat digunakan Nawang Sari untuk menyodok dada orang tua itu, sehingga terdengar suara tulang berderak patah.

Prak!

Belum lagi Ki Wangsa Naraya menyadari apa yang terjadi, tubuh gadis itu terus mencelat menyerangnya kembali. Maka walaupun dalam keadaan kepayahan, orang tua itu berusaha menghindarkan diri, dengan berjungkir balik. Namun agaknya Nawang Sari tak main-main dengan serangannya.

“Yeaaa...!”

Dan begitu Ki Wangsa Naraya bangkit, Nawang Sari melepaskan tendangan lurus ke arah dagunya.

Diegkh!
“Aaa...!”

Kembali Ki Wangsa Naraya menjerit nyaring ketika tubuhnya bagai seonggok karung yang melayang terkena tendangan gadis itu. Dan begitu ambruk ke tanah, dari mulutnya menyembur darah segar berkali-kali. Wajahnya pucat pasti dan nafasnya memburu tak berdaya. Ki Wangsa Naraya menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi. Mati.

“Perempuan sial! Kau harus bayar nyawa guruku!” bentak Sidarta sambil melompat menyerang Nawang Sari.

Gadis itu hanya perlu sedikit berkelit, maka serangan Sidarta hanya menyambar angin kosong. Begitu tubuh Sidarta lewat, langsung dilepaskannya satu pukulan telak ke dada.

Begkh!
“Aaakh...!”

Sidarta menjerit keras ketika tubuhnya terbanting, begitu terkena pukulan Nawang Sari. Seketika dadanya terasa nyeri. Dan kini gadis itu tahu-tahu telah berdiri di depannya.

“Pergi kau dari sini, dan jangan mencampuri urusanku! Kalau tidak, kau akan mampus lebih dulu!” ujar Nawang Sari.

Sidarta meringis kesakitan sambil bangkit berdiri. Dipandanginya gadis itu dengan sinar mata tak percaya. Dengan sekali hajar, dia dapat dijatuhkan dengan mudah. Kini baru disadari. Kalau gurunya saja dapat dibuat tak berdaya, apalagi dirinya? Maka dengan tertatih-tatih, Sidarta berlalu dari situ sambil membopong tubuh gurunya yang telah tewas.

Sementara, Nawang Sari sama sekali tak peduli. Kini langsung ditatapnya Rangga dengan sorot mata penuh kebencian, tanpa mempedulikan Sidarta yang membawa mayat gurunya pergi dari situ.

“Kini giliranmu!” dengus Nawang Sari dingin.

“Nawang Sari! Apa-apaan kau ini?! Tiba-tiba datang, malah bermaksud buruk pada orang yang pernah menolongmu. Apakah kau tak tahu berterima kasih?!” sentak Pandan Wangi. Dan memang, gadis itu tak tahu masalahnya kalau Nawang Sari menyimpan dendam dan kebencian di hati.

“Diam kau! Tahu apa kau tentang persoalanku dengan kekasihmu ini. Dia harus mampus di tanganku!” potong Nawang Sari langsung dengan bentakan.

Bukan main geramnya Pandan Wangi mendengar jawaban gadis itu. Dia sudah langsung bergerak mendekati sambil menuding garang. “Nawang Sari! Kau boleh sombong dengan kepandaian yang kau miliki saat ini. Tapi, bukan berarti aku takut setelah kau berhasil menghajar kedua orang itu!”

“Hei? Apa maumu?! Kau ingin mampus di tanganku? Sinilah maju!”

“Setan!”

“Tahan, Pandan!” teriak Rangga mencegah kekasihnya.

“Biarkan, Kakang. Gadis liar ini mesti diberi pelajaran agar tak seenaknya buka mulut!”

“Sabarlah. Dia bukan Nawang Sari yang pernah kau kenal dulu. Gadis ini telah dipenuhi nafsu dalam dadanya untuk membunuh semua orang. Aku tak mau kau terbawa-bawa dendamnya nanti!” Pandan Wangi tak bisa berbuat apa-apa mendengar kata-kata Rangga, meski hatinya kesal bercampur geram.

Rangga lalu menatap tajam Nawang Sari. “Nawang Sari! Apakah aku pernah bermusuhan denganmu? Apakah karena persoalan itu kau bermaksud membunuhku? Kulihat perkembanganmu beberapa hari saja telah jauh pesat. Entah apa yang kau lakukan. Namun, agaknya kau bersungguh-sungguh ingin membunuhku. Kenapa?”

“Jangan banyak bicara, Pendekar Rajawali Sakti! Yang jelas, aku telah mengorbankan harga diriku, agar dapat membunuhmu. Dan hari ini, kalaupun mesti mati, aku tak peduli. Asal, kau pun mati bersamaku!” dengus Nawang Sari.

“Nawang Sari! Sampai sejauh itukah dendammu padaku? Apakah tak sedikit pun kau bisa mengerti? Cobalah....”

“Aku tak perlu khotbahmu, tapi nyawamu! Yeaaa...!”

Rangga menghentikan ucapannya ketika tiba-tiba gadis itu menyerang dengan cepat.

“Uts...!”

Bukan main terkejutnya Rangga melihat serangan yang begitu tiba-tiba. Tidak ada waktu lagi baginya, kecuali menangkis pukulan gadis itu.

Plak!
“Heh?!”

Kembali Pendekar Rajawali Sakti menjadi terkejut ketika tangannya terasa kesemutan luar biasa. Sudah bisa diduga, kehebatan tenaga dalam Nawang Sari saat ini. Buktinya, tubuhnya sempat terjajar beberapa langkah.

“Hiyaaa...!” Nawang Sari seperti orang kesetanan. Diserangnya Rangga bertubi-tubi sambil mengerahkan segenap kepandaian yang dimiliki saat ini. Agaknya, gadis itu benar-benar menghendaki nyawanya.

Melihat itu tentu saja Rangga tak bisa mendiamkannya begitu saja. Berkali-kali gadis itu coba diperingatkan. Namun, Nawang Sari sama sekali tak mengindahkannya. Bahkan terus menyerangnya tanpa henti. Sementara, Rangga sendiri tak bisa terus-terusan menghindar. Angin serangan Nawang Sari terasa kuat sekali. Bahkan mampu membuat kulit tubuhnya seperti diiris-iris. Rangga sendiri tak mengerti, dengan cara apa gadis ini memperoleh kemajuan yang begitu pesat dalam beberapa hari saja.

Kalau saja pemuda itu tahu, dia tak menjadi heran. Kenyataannya, Ki Sembung Prana memang telah menyalurkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki kepada gadis itu, di samping ilmu olah kanuragan lainnya. Dalam ilmu silat, orang tua itu hanya memberi jurus-jurus terpenting saja. Dan memang, Nawang Sari merasa kalau jurus-jurus lainnya tak begitu penting, karena bermaksud cepat-cepat menamatkan pelajarannya. Dan tujuannya sudah tentu agar bisa membalaskan sakit hati pada Pendekar Rajawali Sakti.

Rangga bukannya tak menyadari kelemahan gadis itu. Meskipun tenaga dalamnya kuat, tapi kecepatan geraknya masih kalah setingkat di bawahnya. Lagi pula, gerakan-gerakan yang dilakukan gadis itu masih terlihat kaku. Kalau orang yang mempunyai kepandaian rendah, tentu tak akan bisa melihat kekurangan gadis itu. Tapi pandangan Pendekar Rajawali Sakti yang jeli langsung memanfaatkan kelemahan gadis itu. Dan pada satu kesempatan, langsung dikirimkannya serangan bertenaga kuat, diiringi bentakan nyaring.

“Yeaaa...!”

Namun, Nawang Sari tidak tinggal diam. Kedua tangannya cepat dijulurkan ke depan dengan telapak terbuka. Langsung disambutnya serangan Pendekar Rajawali Sakti. Maka....

Blar!
“Aaakh...!”

Rangga menjerit keras ketika pukulannya seperti menghantam dinding baja yang sangat tebal. Tubuhnya kontan terpental, lalu jatuh berdebuk keras di tanah.

“Kakang...!”

“Pandan! Awas jangan mendekat!” teriak Rangga memperingatkan. Pandan Wangi buru-buru menghentikan langkahnya.

Sementara Nawang Sari terus bergerak mengirim serangan ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Melihat hal ini, Pandan Wangi bertindak nekat. Maka buru-buru dia bergerak kembali untuk melindungi pemuda itu dari serangan lawan. Tapi Nawang Sari sudah bisa membaca gelagat itu. Seketika, serangannya pada Pendekar Rajawali Sakti dihentikan. Lalu, langsung dipapaknya serangan Pandan Wangi.

Plak!
“Aaakh...!”

Pandan Wangi terpekik. Dan tubuhnya kontan terlempar keras sejauh dua tombak sambil memuntahkan darah segar. Tenaga dalam yang dikerahkan Nawang Sari dalam papakan tadi memang bukan sembarangan. Seluruh tenaga dalamnya telah dikerahkan, sehingga Pandan Wangi sampai terpental dan memuntahkan darah segar.

“Pandan...!
Hup!”

Rangga menjerit mencemaskan nasib Pandan Wangi. Tapi Nawang Sari sudah kembali menyerang. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti menyelamatkan diri dengan melenting ke udara dan bersalto beberapa kali. Padahal, rasa nyeri terasa di dadanya. Kemudian dengan satu gerakan manis, Pendekar Rajawali Sakti berhasil bertengger di cabang pohon. Tak terdengar suara sedikit pun saat kakinya bertengger. Nawang Sari tak memberi kesempatan lagi. Langsung dikejarnya Rangga ke atas.

“Yeaaa...!”
Prak!

Cabang-cabang pohon itu kontan hancur berentakan terkena hajaran gadis itu. Tapi, tubuh Rangga telah lebih dulu mencelat dan menukik turun. Bukan main geramnya gadis itu. Kembali dia turun ke bawah. Tampak Rangga telah berdiri tegak dengan sorot mata tajam. Masih terlihat bekas tetesan darah di sudut bibirnya yang telah dihapus.

“Nawang Sari, kau sudah kelewat batas. Aku tahu, kau memiliki aji ‘Selubung Naga’. Dan ajian itu hanya dimiliki oleh satu orang, yaitu Ki Sembung Prana. Memang hebat ajian itu. Bahkan tak ada tandingan. Tak heran bila pukulanku tadi balik menyerangku. Tapi sayang, justru ajian itu kau gunakan untuk mengumbar nafsu iblismu. Balas dendam mengumbar kebencian bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah, Nawang. Ada cara lain yang lebih baik, jika kau mau berpikir jernih,”

Rangga mencoba menasihati kembali. Nawang Sari hanya membisu saja. Namun, matanya tatap nyalang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Kelihatannya, dia sudah tidak sabar ingin melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm, kau pasti telah berhasil mengecoh Ki Sembung Prana. Sebegitu murahkah dirimu? Sudahlah, Nawang. Urungkan saja niatmu itu. Aku sudah tahu kelemahan ajian itu. Terus terang, aku tak mau bertarung denganmu,” lanjut Rangga dengan suara lunak, namun mengandung ketegasan.

“Huh! Mengocehlah sesuka hatimu. Tapi, jangan harap aku akan mengurungkan niatku. Sekarang, terimalah kematianmu!” sentak Nawang Sari.

Rangga mendesah kesal sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Nawang Sari yang keras kepala. Lalu....

Cring!

Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut pedang dengan cepat. Dan saat itu juga terlihat seberkas sinar biru menerangi tempat itu. Lalu dengan cepat, Rangga menggosok-gosok mata pedangnya dari pangkal hingga ke ujungnya. Perlahan-lahan dari mata pedang keluar gumpalan cahaya biru bersama asap putih bergulung-gulung. Tak lama kemudian, gumpalan cahaya biru itu telah menyebar ke tangan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu....

Cring!

Pedang Pusaka Rajawali Sakti kembali dimasukkan Pendekar Rajawali Sakti ke dalam warangkanya di punggung.

“Bersiaplah menghadapi aji pamungkas ku. Hiyaaa!” Nawang Sari sudah melesat cepat sambil melepaskan aji Selubung Naga

Sementara, Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri tegak menanti. Dan begitu serangan lawan mendekat, maka... “Aji Cakra Buana Sukma...!”

Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua tangannya yang terbuka, begitu serangan Nawang Sari meluncur tiba. Dan...

Glarrr!
“Aaakh...!”

Satu ledakan keras terjadi begitu dua kekuatan dahsyat beradu pada satu titik. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terjajar dua langkah ke belakang. Sedangkan tubuh Nawang Sari terlempar beberapa tombak, diiringi pekik kesakitan. Kemudian, dengan keras tubuhnya jatuh berdebuk di tanah. Tubuh gadis itu masih terbungkus sinar biru dari aji Cakra Buana Sukma yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.

Sesaat Nawang Sari menggelepar kesakitan, kemudian diam tak bergerak lagi. Dan begitu sinar biru itu hilang perlahan-lahan, tubuh Nawang Sari langsung meledak dan hancur berkeping-keping. Rangga diam mematung sambil memandangi serpihan-serpihan. tubuh gadis itu. Tatapannya seperti tak percaya kalau Nawang Sari telah dibunuhnya.

“Sudahlah, Kakang. Dia memang menginginkannya. Sebaiknya, lekas kita tinggalkan tempat ini...,” hibur Pandan Wangi, sambil menahan rasa nyeri di dadanya.

Rangga mengangguk lemah. Kemudian, diraihnya pundak Pandan Wangi. Lalu, mereka sama-sama meninggalkan tempat itu sambil berangkulan. Ada tugas lain yang masih menanti bagi kedua pendekar dari Karang Setra itu.

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: