LIMA
Seorang laki-laki tampak duduk bersila di ruang tengah rumahnya sambil
memejamkan kedua mata. Tubuhnya yang kurus tampak masih terlihat gagah.
Padahal rambut di kepalanya telah memutih semua. Lebih dari setengah hari
dia bersikap demikian. Dan ketika pendengarannya yang tajam merasakan
kehadiran seseorang di tempatnya, matanya dibuka dan langsung menatap tajam
ke depan.
Tampaklah halaman luas dan lebar dipenuhi pepohonan. Suasananya tampak
sepi. Sesekali angin bertiup menerbangkan dedaunan kering yang sudah layu
dan menguning kecoklatan. Kelelawar tampak beter-bangan satu persatu dari
tempatnya, mengisyaratkan sesaat lagi senja akan berganti malam.
“Nawang Sari, kaukah itu...?”
Tak lama seseorang masuk dari pintu depan dengan langkah lesu. Wajahnya
tertunduk dalam-dalam. Tanpa banyak bicara tubuhnya langsung disandarkan ke
dinding dekat pintu.
“Kenapa wajahmu begitu kusut? Ada persoalan yang membebani pikiranmu?”
tanya orang tua itu. Gadis yang tak lain Nawang Sari itu diam tak
menjawab.
“Kau bentrok lagi dengan orang lain?”
Nawang Sari tetap membisu. Sementara orang tua yang sebenarnya bernama Ki
Paladiga itu beranjak dari duduknya dan mendekati Nawang Sari.
“Sudah berapa kali kukatakan, jangan suka mengganggu orang lain. Sikapmu
itu amat buruk dan tak terpuji. Cobalah menjadi orang baik dengan menjaga
segala tingkah lakumu....”
“Bukan karena persoalan itu, Eyang...!” sahut Nawang Sari, kesal.
“Lalu apa?”
“Eyang harus membantuku!”
Ki Paladiga menggeleng pelan. Murid satu- satunya ini memang amat
disayanginya. Bahkan sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Tapi, Nawang
Sari memang sangat bengal dan suka sekali memamerkan kepandaian ilmu silat
yang dipelajari untuk menguji orang lain. Di samping itu, sifatnya juga tak
terpuji. Dia suka mencuri barang-barang berharga milik orang lain. Telah
beberapa kali Ki Paladiga mendapat teguran dari berbagai kalangan, atas
kelakuan muridnya. Untungnya, kebanyakan dari mereka hanya memandang siapa
dirinya, sehingga mau menyelesaikan persoalan secara baik-baik.
“Persoalan apa lagi yang kini menyusahkan hatimu? Kau mencuri barang
berharga lagi?”
“Bukan!”
“Lalu apa?” desah Ki Paladiga.
“Eyang harus menghajar seorang pemuda yang sangat ku benci!”
“Hm, ini pasti salahmu!”
“Apakah Eyang tak percaya padaku? Pemuda itu sangat kurang ajar. Dia...,
dia telah menodaiku!”
“Apa?!” sepasang alis orang tua itu kontan terangkat tinggi mendengar
penuturan muridnya.
“Aku sama sekali tak mengganggunya. Datang-datang, dia menghajar dan
bermaksud meringkusku. Tentu saja aku melawan. Tapi kepandaiannya sangat
tinggi, sehingga dengan leluasa nafsu kotornya dilampiaskan kepadaku...,”
lanjut Nawang Sari sambil menitikkan air mata.
“Kurang ajar! Katakan, siapa pemuda itu?!”
Dengan terisak-isak, Nawang Sari berusaha menyebut nama seseorang. “Dia
dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti...!”
“Apa?!” untuk kedua kalinya Ki Paladiga dibuat terkejut oleh penuturan
muridnya. Setahunya, Pendekar Rajawali Sakti bukanlah orang sembarangan.
Rasanya, tak seorang pun tokoh-tokoh persilatan yang tak mengenal julukan
itu. Ki Paladiga jadi terdiam beberapa saat lamanya. Rasanya, Pendekar
Rajawali Sakti tak mungkin akan berbuat hina yang dituturkan muridnya.
Apakah Nawang Sari berdusta, dan hanya ingin memancingnya untuk membela?
Siapa tahu dia hanya mencari gara-gara lebih dulu, lalu dengan mudah
dikalahkan pemuda itu. Dan kini, dia mengadu yang tidak-tidak? Tapi,
jangankan Nawang Sari. Dia sendiri rasanya belum tentu mampu melawan pemuda
yang julukannya kian menjulang dan disegani tokoh-tokoh persilatan.
“Bagaimana, Eyang? Kau tentu mau menghajarnya, bukan?”
“Nawang, aku curiga....”
“Heh! Apakah kali ini Eyang tak percaya kalau aku berkata yang
sebenarnya?!” Nawang Sari sudah langsung memotong ucapan gurunya dengan nada
ketus.
“Dengarlah, Nawang. Pendekar Rajawali Sakti bukanlah orang sembarangan. Aku
memang sayang padamu. Tapi dalam hal ini, aku tak bisa berbuat apa-apa. Ada
beberapa hal yang menyebabkannya. Pertama, aku tak begitu yakin dengan
ceritamu. Dan yang kedua, meskipun kukerahkan seluruh kepandaianku, rasanya
tak akan mampu mengalahkannya,” ujar Ki Paladiga.
“Huh! Percuma saja aku memiliki guru yang berilmu tinggi, kalau hanya
menghadapi Pendekar Rajawali Sakti saja sudah ciut nyalinya!” dengus Nawang
Sari kesal.
“Nawang, jaga mulutmu! Sejak kapan kau berani berkata kasar begitu pada
gurumu?! Hm.... Semakin lama segala tingkahmu kubiarkan, kelihatannya malah
semakin buruk saja. Mulai sekarang, kau tak boleh lagi keluar dari tempat
ini!” bentak Ki Paladiga tegas.
“Apakah Eyang bermaksud menyekapku selama bertahun-tahun di sini?”
terdengar sinis suara Nawang Sari.
“Kalau kurasa perlu, mengapa tidak?!”
“Tidak! Kau tak berhak melarangku. Lebih baik, bunuh saja aku daripada
disekap terus- menerus. Hidupku pun kini sudah tak berguna lagi. Aku tak
takut mati, Eyang. Ayo, bunuhlah aku. Daripada kau menyekapku di sini!”
teriak gadis itu, kalap.
“Nawang Sari, diamlah! Diam...!” Ki Paladiga mencoba menenangkan
muridnya.
“Aku tak akan diam selama persoalanku belum beres! Tak malukah Eyang
mengetahui muridnya dinodai orang lain secara paksa?! Apakah Eyang akan
berdiam diri saja dan menunggu tokoh-tokoh persilatan mempermalukan Eyang?!”
sentak Nawang Sari lagi, bernada memohon.
“Baiklah. Tenanglah dulu. Persoalan ini akan kuselesaikan nanti dengan
pikiran jernih....”
“Tidak! Aku ingin mendengar keputusan Eyang sekarang juga. Apakah Eyang
akan mendiamkan persoalan ini, atau menyelesaikannya sampai tuntas?”
“Baiklah. Kita akan membereskan sampai tuntas....”
“Eyang akan menghajarnya?” Ki Paladiga menghela napas pendek.
“Sudah kukatakan tadi, percuma saja seluruh kepandaianku di hadapan
Pendekar Rajawali Sakti. Tapi kalau memang begitu keras niatmu untuk
membalas perlakuannya, aku bisa menunjukkan padamu orang yang tepat untuk
melakukannya....”
“Apa maksud Eyang?”
“Ada seorang tokoh berilmu tinggi yang telah lama mengasingkan diri dari
dunia persilatan. Rasanya, saat ini hanya orang itulah yang mampu
mengalahkan Pendekar Rajawali Sakti. Namanya, Ki Sembung Prana. Mintalah
padanya agar dia mau mengajarimu beberapa jurus ilmu silat Jika dia tak mau
membantumu, kau harus membujuknya. Tapi ingat, orang tua itu tak mudah
dibujuk. Jadi, kau harus pandai-pandai membujuknya...,” jelas Ki
Paladiga.
Wajah Nawang Sari kontan berseri-seri senang mendengar penjelasan gurunya.
Dicatatnya baik-baik pesan gurunya. Terutama, tentang tempat tinggal orang
yang dimaksud Ki Paladiga.
***
Sementara itu, di lain tempat, Sidarta terus berlari membawa dendam di
hatinya. Rasa sakit akibat dicundangi Pendekar Rajawali Sakti seperti tak
dirasakannya. Di suatu tempat di ujung Desa Kutipan, Sidarta tersungkur
persis di muka sebuah halaman rumah yang tak terlalu luas. Dia berusaha
bangkit sambil berjalan tertatih-tatih menuju rumah itu.
“Guru...!” panggil Sidarta lirih. Pintu ternyata tak terkunci. Dan Sidarta
terus melangkah ke dalam. Tapi baru saja hendak membuka pintu, sesosok tubuh
tinggi besar telah berdiri tegak di muka pintu. Sorot matanya tampak tajam
dan wajahnya terlihat seram. Tampak bopeng-bopeng memenuhi seluruh permukaan
kulit wajahnya.
“Guru, tolonglah aku...,” lirih suara Sidarta.
“Hm, kenapa kau?” suara laki-laki berusia lebih dari lima puluh tahun itu
terdengar keras dan berat.
“Aku telah dihajar dan dihina seseorang....”
“Duduklah. Tenangkan hatimu, dan ambil napas perlahan-lahan. Baru setelah
itu, ceritakan apa yang terjadi.”
Sidarta menghela napas. Dia beringsut lebih ke dalam, kemudian duduk
bersila sambil mengatur pernafasannya. Orang tua itu sendiri duduk tepat di
hadapannya sambil memperhatikan muridnya tanpa berkedip. Sebenarnya orang
tua yang wajahnya penuh bopeng dan berambut kaku ini adalah Wangsa Naraya.
Dia adalah salah seorang tokoh persilatan golongan hitam yang memiliki gelar
Gagak Hitam Pemakan Bangkai. Ilmunya sangat tinggi dan disegani orang-orang
persilatan. Sifatnya garang dan gampang naik darah. Dan dia tak ingin orang
lain memiliki kelebihan dari dirinya.
“Nah, ceritakan apa yang telah menimpamu?” tanya Ki Wangsa Naraya setelah
melihat wajah Sidarta lebih tenang dari semula.
“Seseorang telah merebut Nawang Sari...!”
“Hm, aku tak heran. Dari semula, gadis itu tak menyukaimu. Tapi, kenapa kau
masih bersikeras juga...?”
“Tapi ini sangat menyakitkan, Guru. Dia pergi bersama seorang pemuda yang
berkepandaian tinggi. Bahkan sengaja menghinaku!”
“Lalu kau dapat dikalahkan?”
Sidarta mengangguk lemah sambil menundukkan wajah lesu.
“Hm.... Ini lebih tak mengherankan lagi. Kau memang murid yang malas dan
tak sabaran. Ilmumu belum seberapa. Apalagi, pelajaran yang kuberikan masih
kurang. Tapi, mengapa kau sudah berani mengumbarnya di luar sana. Kau hanya
mempermainkanku saja!” dengus Ki Wangsa Naraya.
“Tapi ini bukan sekadar mempermalukan ku saja, Guru. Tapi juga menyangkut
dirimu!” sahut Sidarta, memulai memutar otak untuk mencari alasan memancing
kemarahan gurunya.
“Apa maksudmu?”
“Orang itu tahu kalau aku adalah muridmu. Ala-sannya mengalahkanku bukan
sekadar karena Nawang Sari, melainkan karena ingin menjatuhkan namamu...!”
kata Sidarta, berdusta.
“Apa katamu?! Kurang ajar! Siapa orang itu? Ayo, cepat katakan! Biar
kupatahkan batang lehernya!” bentak Ki Wangsa Naraya murka.
Sidarta tersenyum-senyum kecil dalam hati, melihat gurunya terpancing
ceritanya. Sidarta tahu betul, bagaimana caranya agar gurunya mau ikut
campur dalam urusannya.
“Aku..., aku tak sempat menanyakannya, Guru. Tapi kalau kusebutkan
ciri-cirinya, mungkin Guru mengenalnya...,” sahut Sidarta kembali.
“Ayo, cepat katakan! Siapa tokoh persilatan yang tak kukenal?!”
Sidarta lalu menyebutkan ciri-ciri pemuda yang telah mengalahkannya. Kening
Ki Wangsa Naraya tampak berkerut dalam, berusaha mengingat-ingat ciri-ciri
yang disebutkan muridnya. Namun tak berapa lama....
“Hm, pantas saja kau tak mampu mengalahkannya....”
“Kenapa, Guru? Apakah Guru mengenalnya...?”
“Pemuda yang kau hadapi itu adalah Pendekar Rajawali Sakti!”
Sidarta terpaku beberapa saat lamanya mendengar keterangan gurunya.
“Dia memang berilmu tinggi dan sulit diukur kepandaiannya...!”
“Jadi bagaimana, Guru? Apakah kau akan mendiamkan saja dirimu dihina begitu
rupa? Dia bahkan berani menantangmu!”
“Huh! Percuma aku dijuluki Gagak Hitam Pemakan Bangkai kalau menghadapi
bocah ingusan itu saja nyaliku sudah ciut. Justru kesempatan inilah yang
sangat kutunggu-tunggu. Telah lama aku ingin mematahkan kesombongan pemuda
itu. Tapi, tak punya alasan tepat untuk menantangnya. Dan kebetulan dengan
adanya persoalanmu ini, aku mempunyai alasan tepat untuk menjajalnya!” geram
Ki Wangsa Naraya.
“Kalau begitu, buat apa ditunda lagi, Guru?”
“Diam kau! Kau pikir bisa mengakaliku? Kalau aku menghajar pemuda itu,
bukan karena ingin membelamu. Tapi, karena memang sudah lama aku menunggu
saat-saat seperti ini!”
Nyali Sidarta mengkeret mendengar bentakan gurunya. Tapi, apa pun yang
dikatakan gurunya tak dipedulikan. Yang jelas, pemuda yang telah
mempermalukannya di depan Nawang Sari harus mampus. Cepat atau lambat, tak
perlu dipersoalkan. Dan dia tahu betul watak gurunya. Kalau ada sesuatu yang
mengganjal hatinya, tak pernah sampai ditunda sekian lama. Pasti akan
diselesaikan segera. Dan Pendekar Rajawali Sakti adalah
ganjalannya!
***
ENAM
Rasa cinta Nawang Sari pada Rangga perlahan-lahan berubah menjadi rasa
benci yang meluap-luap dalam hatinya. Selama ini, siapa laki-laki yang tak
tunduk terhadap rayuannya? Wajahnya cantik dan tubuhnya menggiurkan. Setiap
laki-laki waras pasti akan berusaha mendekati dan berharap memilikinya. Dan
Nawang Sari yang cerdik dan nakal, senang sekali melihat banyak lelaki yang
tergila-gila padanya. Bahkan dia malah sengaja mempermainkan mereka. Tapi
dengan Rangga, Nawang Sari betul-betul kena batunya.
Pemuda itu kelihatan tak begitu menggebu terhadapnya. Bahkan sampai dia
sendiri yang menyatakan cintanya. Namun, dengan seenaknya pula pemuda itu
menolak. Bukan main panasnya hati Nawang Sari. Padahal, rasa cintanya kepada
Rangga bukanlah cinta pura-pura semata. Hatinya betul-betul jatuh cinta pada
Rangga, pemuda yang bergelar Pendekar Rajawali Sakti. Maksud hati Nawang
Sari meminta bantuan gurunya bukanlah untuk membunuh pemuda itu. Melainkan,
untuk meringkusnya. Dia ingin membuat pembalasan yang menyakitkan.
Tapi karena gurunya merasa tak mampu menghadapi Pendekar Rajawali Sakti,
hatinya sedikit kecewa. Untunglah Ki Paladiga menunjukkan tempat seseorang
yang bernama Ki Sembung Prana berada. Konon menurut gurunya, Ki Sembung
Prana adalah seorang tokoh tua yang selama malang melintang dalam dunia
persilatan tak pernah terkalahkan.
"Tapi, bagaimana aku harus menaklukkannya jika menurut guru Ki Sembung
Prana sama sekali tak mau peduli dengan segala urusan dunia persilatan"
Gumam Nawang Sari dalam hati ragu-ragu, setelah dalam perjalanan menuju
tempat orang yang disebutkan gurunya itu.
Sepanjang jalan, Nawang Sari memeras otak. Dicarinya cara untuk membujuk
orang tua itu agar mau membantu atau mengajarkan barang beberapa jurus ilmu
olah kanuragan, agar bisa mengalahkan dan meringkus Pendekar Rajawali
Sakti.
“Hm, walau bagaimanapun, aku harus mendapatkan sesuatu darinya. Dengan cara
apa pun!” gumam Nawang Sari membulatkan tekadnya.
Setelah berjalan kira-kira dua hari lamanya, Nawang Sari tiba di suatu
perbukitan sunyi yang jauh dari keramaian manusia. Nawang Sari ragu
melangkah. Matanya beredar ke sekeliling tempat itu yang kelihatan permai,
namun sedikit menyeramkan. Banyak terdapat pepohonan besar yang batangnya
tak bisa dipeluk dua tangan orang dewasa sekalipun.
Selain sunyi, tempat itu pun tak terlalu terang karena terlindungi oleh
cabang serta ranting-ranting pohon yang banyak bergerumbul. Dan di satu
sudut yang berdekatan dengan sebatang pohon besar, tampaklah sebuah pondok
kecil yang hanya satu-satunya di tempat itu. Nawang Sari segera melangkah
mendekati.
“Sampurasun, adakah orang di dalam? Aku pengelana tersesat yang ingin
menumpang menginap barang satu atau dua hari...!” sapa Nawang Sari, dengan
suara sedikit keras.
Baru saja kata-katanya selesai, tiba-tiba sudah berdiri tegak seseorang di
belakangnya sambil menepuk bahunya. Kehadiran orang itu sama sekali tak
diketahuinya. Bahkan lebih halus dari angin yang bertiup. Tentu saja hal itu
membuat Nawang Sari terlonjak kaget dan buru-buru menoleh.
“Heh?!”
“Siapa kau, Nduk Dan, apa yang kau kerjakan di tempat sunyi ini?”
“Eh, ng.... Apa..., apakah Kakek pemilik pondok ini?” tanya Nawang Sari
gugup.
Di hadapan gadis itu telah berdiri seorang laki-laki tua berusia sekitar
tujuh puluh tahun lebih. Walau begitu, tubuhnya masih terlihat kekar, meski
beberapa bagian terlihat keriput-keriput yang tak bisa disembunyikan.
Wajahnya bersih dengan kumis tipis yang sudah memutih seperti rambut di
kepalanya. Namun sorot matanya lembut, menusuk sanubari orang yang
melihatnya. Seperti apa yang dirasakan Nawang Sari saat ini. Orang tua itu
mengangguk.
“Kau belum menjawab pertanyaanku?” tegur orang tua itu, mengingatkan dengan
suara lembut.
“Ah! Aku Nawang Sari. Ada pun tujuanku ke sini mencari seseorang yang
bernama Ki Sembung Prana....”
“Cah ayu, kau tengah berhadapan dengan orang yang kau maksudkan saat
ini...!”
“Oh! Jadi, kakekkah orang yang bernama Ki Sembung Prana?! Terimalah salam
hormatku...!” Nawang Sari menjatuhkan diri dan bersujud di dekat kaki orang
tua itu.
“Berdirilah, Cah Ayu! Aku tak mengerti, untuk apa hal ini kau
lakukan....”
“Aku tak akan berdiri, sebelum mendengar penegasanmu untuk mengangkatku
menjadi muridmu...!” sahut Nawang Sari langsung.
Ki Sembung Prana terdiam. Terdengar helaan nafasnya yang halus lewat kedua
bahunya yang terangkat pelan. “Sayang sekali, Cah Ayu. Kalau kau hendak
berguru, maka kau telah datang pada orang yang salah. Aku tak memiliki
apa-apa untuk menurunkan kepandaianku...!”
“Tolonglah aku, Ki. Aku berjanji akan menjadi muridmu yang berbakti dan
mematuhi segala perintahmu. Apa pun yang kau perintahkan padaku, akan
kulakukan segera....”
“Aku tak meragukan tekadmu itu, Cah Ayu. Tapi perlu kukatakan sekali lagi
agar kau ketahui, bahwa kau telah datang pada orang yang salah. Aku orang
tua lemah yang bodoh, dan tak memiliki apa-apa untuk kuajarkan padamu.
Mudah-mudahan, kau bisa mengerti...,” sahut Ki Sembung Prana arif.
“Ki Sembung Prana! Namamu telah termahsyur di mana-mana. Dan hal itu
bukanlah nama kosong belaka. Setiap orang yang mendengar namamu, pasti akan
menghormatinya. Kau disegani seluruh kalangan persilatan. Lalu, apakah kau
masih ingin mengatakan lagi kalau kau orang tua yang lemah dan
bodoh...?”
“Hm.... Dari mana kau dapatkan cerita kosong itu?”
“Ki, itu bukan cerita kosong. Semua orang sudah tahu....” Ki Sembung Prana
mengerutkan dahi untuk beberapa saat Lalu tanpa banyak bicara, dilewatinya
gadis itu dan terus melangkah ke dalam.
“Ki Sembung Prana, aku mohon kemurahan hatimu...!” Nawang Sari tersekat.
Dicobanya untuk menyusul orang tua itu ke dalam.
“Maaf, Cah Ayu. Kukira ucapanku tadi sudah jelas!” potong orang tua itu
sambil menutup pintu.
Nawang Sari berusaha mengetuknya beberapa kali. “Ki Sembung Prana, aku akan
menunggu di muka pintu ini sampai kau bersedia mengangkatku menjadi
muridmu...!”
Tak terdengar sahutan dari dalam. Sementara, Nawang Sari mulai gelisah.
Kalau di perjalanan hatinya merasa yakin akan mampu menaklukkan hati orang
tua itu, maka kali ini dia sedikit kecewa. Orang tua inilah satu-satunya
harapan untuk membalaskan sakit hatinya pada Pendekar Rajawali Sakti. Walau
bagaimanapun, dia harus mampu membujuknya. Tapi dengan cara bagaimana?
Nawang Sari melangkah pelan dan duduk di atas sebuah batu yang tak jauh
dari pintu itu, sambil memikirkan apa yang akan dilakukannya untuk membujuk
orang tua itu. Apakah dia akan menunjukkan kekerasan hatinya dengan terus
menunggu di muka pintu ini?
Bagaimana kalau ternyata hati orang tua itu tetap keras kepala dan tak
peduli? Gadis itu terus berpikir keras. Dan kini, ingatannya tertuju pada
Bunga Asmara Dewa. Dan bunga itu memang dari hasil curiannya. Nawang Sari
memang terkenal nakal dan suka mencuri benda-benda berharga milik seseorang.
Dan gurunya sendiri, Ki Paladiga, tahu akan hal itu.
Di antara orang-orang atau tokoh-tokoh persilatan yang mengetahui kalau
gadis itu muridnya, maka sudah langsung mendatanginya untuk meminta
pertanggung-jawaban. Dan kalau sudah demikian, Nawang Sari tak punya pilihan
lagi selain mengembalikan barang-barang yang dicurinya. Tapi banyak juga
yang gentar oleh kebesaran nama Ki Paladiga. Sehingga bila Nawang Sari
berhasil mencuri barang-barang milik mereka, jarang sekali bisa kembali
lagi.
Sementara tentang Bunga Asmara Dewa, bunga itu memang sangat berkhasiat
untuk membangkitkan nafsu birahi seseorang. Dan ketika itu, banyak orang
memperebutkannya karena nilainya sangat mahal. Tidak hanya sulit dicari,
tapi juga tak sembarang orang mengetahui tempatnya. Dan suatu saat, Nawang
Sari secara kebetulan bertemu dua orang yang tergesa-gesa memacu
kudanya.
Niat Nawang Sari pada mulanya hanya sekadar merampok, karena melihat kedua
penunggang kuda itu membawa sebuah buntalan. Disangkanya, mereka memiliki
barang berharga. Maka langsung dicegatnya dua orang penunggang kuda itu.
Lalu, dengan paksa direbutnya buntalan itu dari tangan mereka.
Meskipun keduanya mempertahankan mati-matian, tapi Nawang Sari berhasil
melumpuhkan mereka dan merampas buntalan itu. Dan dia memang tak berniat
membunuh. Gadis itu langsung melarikan diri. Dan setelah jauh dari mereka,
barulah buntalan itu dibukanya. Ternyata, isinya adalah sekuntum bunga yang
bening di antara kepingan uang emas.
Dan sebenarnya, Nawang Sari tak tahu kalau bunga itulah yang dicari-cari
orang. Belakangan, barulah diketahui, ketika mendengar cerita orang mengenai
ciri-cirinya yang sama persis dengan bunga yang kini berada di
tangannya.
“Hm.... Apakah perlu bunga ini kugunakan untuk menaklukkannya?” kata Nawang
Sari pelan, mengakhiri lamunannya. Nawang Sari masih ragu melakukannya.
Karena kalau hal itu harus dilakukan, berarti mempertaruhkan harga dirinya.
Gadis cerdik itu masih berharap Ki Sembung Prana mau berubah pikiran. Maka
seharian itu hatinya dikeraskan untuk tetap tak beranjak dari tempat
itu.
Tapi apa yang diharapkan rasanya tak akan terwujud. Buktinya sampai jauh
malam, Ki Sembung Prana sedikit pun tak membuka pintu, tanpa peduli dengan
apa yang dilakukannya. Nawang Sari menggigil kedinginan karena udara di
tempat itu memang amat dekat dengan pegunungan. Dan ketika malam tiba,
dinginnya bukan kepalang.
“Orang tua sial! Dia sama sekali tak peduli padaku. Rasanya meskipun aku
sampai mati di sini, dia tetap tak akan peduli. Tapi aku harus bisa
menaklukkannya. Aku harus bisa mendapatkan kepandaiannya!” tegas Nawang Sari
membulatkan tekad di hatinya.
Sudah tidak dipikirkan lagi akibat apa pun, selain keinginannya tercapai.
Nawang Sari beranjak, lalu mengulurkan sesuatu dari balik bajunya. Kini,
sekuntum bunga yang telah berwarna kuning kecoklatan tergenggam dalam
tangannya. Bunga itulah yang disebut Bunga Asmara Dewa, yang telah lama
disimpan hingga menjadi layu. Tapi meski begitu, khasiatnya tetap tak
berubah.
Gadis itu lalu membuat perapian dengan bantuan batu pemantik, setelah
mengumpulkan ranting-ranting kering. Begitu api berkobar, satu persatu
kelopak Bunga Asmara Dewa itu diceburkan ke dalam gejolak nyala api. Dan
sesaat saja, tercium bau harum semerbak di sekitar tempat itu, sehingga
mampu membuat seseorang terhanyut dalam khayalan yang memabukkan.
Sementara itu, Ki Sembung Prana tengah duduk bersila memusatkan pikiran
seperti yang telah biasa dilakukannya setiap malam. Kelopak matanya terpejam
dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dalam keadaan begitu, aliran
darahnya terasa mengalir teratur ke seluruh bagian tubuh. Dan lewat
pernapasan yang teratur, dikumpulkannya hawa murni yang berpusat di bawah
perut untuk dialirkan ke seluruh bagian tubuh. Dalam keadaan demikian,
pikirannya seakan-akan kosong sehingga mampu menenangi jiwanya.
“Heh?!” Ki Sembung Prana tersentak kaget ketika penciumannya mengendus
sesuatu dan langsung merasuk dalam pikirannya. Bau harum itu begitu
semerbak, dan dengan cepat membangkitkan gairah kelelakiannya.
“Celaka!” Ki Sembung Prana tersentak kaget.
Laki-laki tua itu berusaha menahan pengaruh yang mulai menjalar di setiap
pembuluh darahnya. Namun semakin mencoba untuk menahan, perasaan tak menentu
seperti tak tertahan terus menyerang. Tubuhnya mulai gemetar dan helaan
nafasnya mulai tak beraturan. Perlahan-lahan orang tua itu bangkit dan
berjalan menuju pintu depan.
Memang, setinggi apa pun ilmu seseorang, tak bakalan mampu mengalahkan
pengaruh harumnya Bunga Asmara Dewa. Akibatnya, tak heran kalau Ki Sembung
Prana menjadi kalang-kabut menerima pengaruh itu.
“Ki Sembung Prana! Aku kedinginan di luar. Tidak adakah sedikit belas
kasihanmu untuk mempersilakanku masuk...?” lirih suara Nawang Sari di depan
pintu.
Ki Sembung Prana membuka pintu. Ditatapnya gadis itu beberapa saat dengan
sorot mata aneh. “Masuklah...!” ujar orang tua itu lembut.
Nawang Sari melangkah pelan. Sedang Ki Sembung Prana membimbingnya sambil
memegangi bahunya. “Kau tentu lelah seharian berada di luar. Istirahatlah di
tempat tidurku...,” lanjut Ki Sembung Prana lagi, begitu telah berada di
dalam kamarnya.
Lagi-lagi Nawang Sari tak membantah. Tubuhnya lalu dibaringkan di tempat
tidur, sementara Ki Sembung Prana menyelimutinya. Tapi dalam benaknya mulai
bergejolak pikiran-pikiran tak menentu terhadap gadis itu. Ki Sembung Prana
berusaha sekuat mungkin menahannya, dan bermaksud meninggalkan gadis itu
sendirian.
“Ki, aku takut sendirian. Kamar ini gelap dan me-nyeramkan. Kau di sinilah
menemaniku,” ujar Nawang Sari, yang mulai dirasuki khasiat Bunga Asmara Dewa
sambil mencekal pergelangan tangan Ki Sembung Prana. Ki Sembung Prana diam
mematung sambil menatap Nawang Sari. Sorot matanya semakin menunjukkan
kegelisahan. Dan helaan nafasnya semakin tak terkendali lagi. Apalagi ketika
Nawang Sari mulai menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya. Lalu
perlahan-lahan bajunya mulai dibuka sambil memandang Ki Sembung Prana dengan
tatapan mesra.
“Ki Sembung, aku kedinginan sejak di luar tadi. Maukah kau menemaniku tidur
di sini...?”
Ki Sembung Prana tetap mematung. Pandangannya mulai kosong, tanpa berkedip
ketika melihat tubuh Nawang Sari yang tanpa sehelai benang pun. Apalagi saat
Nawang Sari mendekat, dan mulai membuka pakaian orang tua itu satu persatu.
Ki Sembung Prana seperti tak kuasa mencegahnya. Urat syarafnya kian menegang
dan aliran darahnya kian mengalir hingga membuat jantungnya berdetak lebih
cepat.
“Cah ayu...!” terdengar lirih suara orang tua itu. Ki Sembung Prana menepis
kedua tangan gadis itu. Lalu dengan cepat pakaiannya dibuka sendiri.
Sepasang matanya jalang menatap keindahan lekuk-lekuk tubuh Nawang Sari.
Kemudian dengan satu gerakan cepat, disambarnya tubuh molek itu dan
dihempaskannya ke tempat tidur. Nawang Sari sendiri seperti tak kuasa
menolak. Dia hanya bisa mendesah pelan sambil sesekali merintih lirih.
“Ki Sembung, cepatlah berikan sesuatu padaku. Bangkitkanlah gairahmu....
Reguklah kenikmatan di malam dingin ini....”
Ki Sembung Prana diam tak menjawab. Hanya dari mulutnya saja yang
mengeluarkan geraman halus. Tak dipedulikan lagi erangan-erangan gadis itu.
Tubuhnya langsung menghimpit, seperti hendak menyatu dengan gadis itu.
Berkali-kali mulutnya menggeram hebat, diiringi rintihan halus Nawang
Sari.
Di luar, malam semakin kelam dan dingin merasuk tulang. Suara burung malam
terdengar berbaur teriakan penghuni hutan yang tak jauh dari pondok itu.
Beberapa kelelawar yang tadi hinggap di tepi atap, tiba-tiba melesat terbang
sambil mengeluarkan suara.
Dari luar terdengar helaan napas memburu dan jerit kecil seseorang yang
berbaur derit kayu dipan yang beraturan. Kemudian ketika terdengar lenguhan
panjang, suasana kembali sepi. Dari dalam satu ruangan dalam pondok itu
hanya terdengar helaan napas lelah!
***
Pagi-pagi sekali saat terbangun, Ki Sembung Prana tersentak kaget mendapati
dirinya tidur tanpa sehelai benang pun. Sedang di sebelahnya tertidur
seorang gadis cantik yang kemarin berdiri di muka pintu pondoknya. Tubuhnya
pun dalam keadaan sama. Ki Sembung Prana mulai mengingat-ingat peristiwa
yang terjadi semalam.
“Astaga?! Apa yang telah kulakukan tadi malam?!” sentak Ki Sembung
Prana.
Nawang Sari mulai sadar dari tidurnya, begitu mendengar seruan kaget orang
tua itu. Dan ketika mendapati dirinya dalam keadaan polos, buru-buru
disambarnya selimut untuk menutupi tubuhnya. Matanya langsung memandang
lekat ke arah Ki Sembung Prana dengan rasa kemarahan yang meluap.
“Kau..., kau.... Apa yang telah kau lakukan terhadap diriku? Ki Sembung
Prana! Tak kusangka, kau telah memperdayakan diriku. Kukira kau tokoh
terhormat yang menjunjung tinggi kesusilaan. Tapi kini, terbukti bahwa kau
tak lebih dari seorang laki-laki hidung belang terkutuk!” maki Nawang Sari,
mulai menyusun siasatnya.
Dan sebenarnya dia sadar, kalau dirinya juga telah tersirep harum Bunga
Asmara Dewa. Gadis itu juga mendekap wajahnya, dan menangis
tersedu-sedu.
“Cah ayu! Jangan sembarangan bicara! Semua ini karena ulahmu sendiri.
Kaulah yang menyebabkan semua ini terjadi!” bantah Ki Sembung Prana
sengit.
“Mustahil! Kau hanya mencari-cari alasan. Kaulah yang membawaku masuk ke
sini, dan memaksaku melakukan perbuatan terkutuk itu. Dan kini, dengan
seenaknya berusaha mengelak!”
“Hm.... Kau sungguh cerdik, Cah Ayu. Kau pikir, aku tak tahu apa yang kau
perbuat. Bau harum yang memabukkan itu semalam bukan bau harum biasa. Tapi,
berasal dari suatu bunga yang berkhasiat untuk membuat pikiran manusia
dikacaukan hawa nafsunya sendiri....”
“Kau bisa saja bicara apa pun. Tapi yang jelas, kau telah memaksaku untuk
melakukan perbuatan terkutuk itu. Dan kau harus mempertanggungjawabkannya.
Kalau tidak, aku akan katakan pada seluruh tokoh persilatan tentang apa yang
kau lakukan malam tadi terhadapku!” ancam Nawang Sari.
Ki Sembung Prana tercekat. Padahal, selama ini dia mengasingkan diri dari
dunia persilatan, adalah untuk menjauhkan diri dari segala fitnah dan
cerita-cerita buruk yang bisa menjatuhkan namanya. Laki-laki tua itu adalah
tokoh terpandang dan disegani. Semua tokoh persilatan dari berbagai golongan
menaruh hormat padanya, karena sikap dan perbuatannya yang selalu adil dan
bijaksana. Di samping itu, telah banyak orang yang menjadikannya sebagai
tokoh panutan. Dan kini, bila gadis ini betul-betul melaksanakan ancamannya,
habislah nama baiknya. Dan dia bakal jadi sorotan orang banyak serta
mendapat caci-maki. Lalu, ingin ditaruh di mana mukanya?
“Kau tak bisa melakukan itu...,” lirih suara Ki Sembung Prana.
“Kenapa tidak? Hidupku kini terhina dan menjadi orang yang terbuang, akibat
perbuatanmu itu. Sedangkan kau, jangankan mau bertanggung jawab, tapi malah
berusaha balik menuduhku yang tidak-tidak!” sahut Nawang Sari sengit.
Ki Sembung Prana terdiam beberapa saat lamanya memikirkan kata-kata gadis
itu.
“Kau boleh saja tak mau bertanggung jawab atas segala perbuatanmu itu, asal
dengan satu syarat Kau harus mengajarkan kepandaianmu kepadaku! Kalau
menolak, maka sepulang dari tempat ini aku akan mengadukan hal ini dan
menyebarkannya kepada semua orang...,” ancam Nawang Sari, memecah
keheningan.
Ki Sembung Prana tersenyum kecil. Mengertilah dia kini. Ternyata, gadis ini
memang sengaja menjebaknya. Tapi keadaannya kini semakin terpojok. Kalaupun
mau bertanggung jawab dengan mengawini gadis ini, maka berarti tetap saja
akan membuat nama baiknya tercemar. Tokoh-tokoh persilatan tentu akan
bertanya-tanya, apa gerangan sebabnya sehingga orang setua dirinya mengawini
seorang gadis belia yang cantik? Banyak orang tahu, bahwa sejak masih muda
dia tak pernah memiliki seorang istri. Dan kini, kenapa tiba-tiba pada usia
setua ini pikirannya berubah? Bukankah nanti orang akan menyangka kalau
dirinya telah berubah?
“Hm.... Setelah sekian lama, kini terpaksa aku harus membatalkan janji
untuk tidak mencampuri segala urusan dunia persilatan. Baiklah, Cah Ayu. Kau
menang. Aku tak punya pilihan lain. Tapi, kau harus pegang
janjimu....”
Mendengar itu, bukan main senangnya hati Nawang Sari. “Kau tak perlu
khawatir, Ki. Setelah selesai pelajaran yang kau berikan padaku, maka saat
itu pula aku tak akan pernah mengungkit-ungkit persoalan tadi malam. Dan kau
terbebas dari segala tanggung jawab serta ancamanku tadi!”
***
TUJUH
Sudah tiga hari lebih Pandan Wangi berkelana dari satu desa ke desa lain
untuk mencari jejak Rangga. Namun sejauh ini jejak pemuda itu belum juga
ditemuinya. Pandan Wangi tahu betul, ke mana tujuan Rangga. Pendekar
Rajawali Sakti tak lain ingin membantu para pejuang untuk mengusir
orang-orang asing dari negeri ini. Setiap desa yang disinggahinya, telah
diperkirakan sebagai tempat yang dituju orang-orang asing itu.
Namun kebanyakan dari tempat yang disinggahi, hanya sedikit pejuang yang
tersisa. Dan itu pun kebanyakan dari mereka akan kembali ke induk
pasukannya. Dari cerita-cerita penduduk desa itulah Pandan Wangi mendengar
sepak terjang Rangga. Dan hal ini diam-diam membuatnya merasa bangga. Mereka
selalu memuji-muji pemuda bergelar Pendekar Rajawali Sakti itu, karena
berhasil membuat orang-orang asing yang menjarah desa lari
tunggang-langgang.
Siang ini, matahari teras panas menyengat Tanah menjadi kering dan
daun-daun layu di pepohonan beterbangan, manakala angin bertiup kencang.
Pandan Wangi kini bersandar di bawah sebatang pohon sambil melepas lelah.
Kulit tubuhnya yang putih kini terlihat kemerah-merahan. Beberapa tetes
peluh tampak membasahi kening dan tubuhnya.
“Hm.... Ke manakah Kakang Rangga?” bisik gadis itu lirih.
Batin Pandan Wangi terasa getir. Dan rasa cemburu tak terasa menyusup dalam
hati bila membayangkan saat ini Rangga tengah berduaan dengan Nawang Sari.
Rasa penyesalannya timbul dan tak habis-habis mengutuk diri sendiri. Kenapa
dia mau saja disuruh Rangga untuk pergi ke Karang Setra?
“Amboi...! Seorang gadis cantik tengah termenung-menung sendiri di siang
terik begini...!” tiba-tiba terdengar suara yang menyentak lamunan Pandan
Wangi.
“Heh?!” Pandan Wangi langsung menoleh ke arah sumber suara. Tiba-tiba di
belakangnya telah berdiri seorang laki-laki cebol yang tingginya hanya
sebatas pinggang. Melihat dari raut wajahnya, tampak laki-laki ini masih
muda. Matanya tajam seperti hendak menelanjangi seluruh tubuh gadis itu. Dan
senyumnya selalu terkembang nakal. Tapi melihat cara berpakaian dan raut
wajahnya, tampaknya dia bukan penduduk asli sini. Bahkan lebih mirip
orang-orang asing yang dulu pernah dihajar Rangga.
"Siapa kau?!” tanya Pandan Wangi bernada tak suka.
“He he he...! Perkenalkan. Namaku, Ceng Ho. Orang-orang di tempatku
menyebutku sebagai Dewa Cebol Periang. Sebaliknya, siapa kau. Dan, kenapa
siang-siang melamun di tempat ini? Bukankah lebih baik kalau menemaniku? He
he he...! Tak kusangka di negeri ini aku bisa menemukan bidadari
secantikmu!” sahut laki-laki yang mengaku bernama Ceng Ho atau Dewa Cebol
Periang itu.
Walaupun kata-kata yang diucapkan Ceng Ho enteng saja, tapi Pandan Wangi
tetap tak menyukainya. Orang ini sepintas terlihat seperti orang baik-baik.
Namun siapa tahu di balik itu menyimpan maksud-maksud buruk.
“He, Ceng Ho.... Namaku Pandan Wangi. Nah! Karena tak ada urusan denganmu,
aku harus pergi. Ada sesuatu yang harus kukerjakan secepatnya....”
“Eee, mau ke mana? Kenapa harus buru-buru? Kau pasti berbohong padaku. Mana
mungkin ada urusan, kalau ternyata kau masih menyempatkan diri
termenung-menung di sini. Ayo, temanilah aku sejenak,” ajak Ceng Ho sambil
menghalangi langkah Pandan Wangi yang ingin berlalu darinya.
Pandan Wangi menaikkan alis. Wajahnya sudah tak ramah seperti tadi, tapi
lebih mirip rasa kesal dan jengkel. “Kisanak! Aku tak ada waktu untuk
menemanimu. Harap kau maklum saja. Lagi pula, siapa bilang aku
bermenung-menung? Aku hanya sedang berpikir. Dan hal itu tak ada urusannya
sedikit pun denganmu!” sahut Pandan Wangi cepat.
“Ha ha ha...! Gadis cantik yang cerdas. Aku semakin suka saja kepadamu. Dan
kalau Ceng Ho sudah suka, maka kau tak boleh ke mana-mana sebelum
kuizinkan.”
“Apa maksudmu?”
“Sederhana saja. Kau tak boleh pergi ke mana-mana, sebelum aku
mengizinkannya!” tegas Ceng Ho dengan wajah mulai sungguh-sungguh.
“Heh! Apa hakmu berkata begitu?” tanya Pandan Wangi geram.
“Rasanya tak perlu hak untuk bicara begitu. Tapi cukup kau ketahui, kau tak
akan bisa pergi ke mana-mana sebelum menemaniku beberapa saat!”
“Cebol! Aku tak mengerti maumu. Tapi kalau kau hendak bermain kekerasan,
maka kau boleh berbuat sesuka hatimu setelah aku jadi mayat!” dengus Pandan
Wangi kesal.
“Baik! Rupanya kau memang perlu dikerasi!” Maka dengan gerakan gesit, Ceng
Ho melesat cepat bagai kilat, hendak menyambar Pandan Wangi. Namun, gadis
itu cepat waspada. Langsung saja dia membuang diri, menghindari serangan
laki-laki cebol itu.
“Yeaaa...!”
Wuuut!
Serangan Ceng Ho luput. Dan Pandan Wangi cepat bangkit kembali. Kini mereka
saling menatap tajam. Kecepatan gerak orang bertubuh cebol itu sungguh
membuat kagum Pandan Wangi. Dan diam-diam hatinya merasa khawatir. Satu
jurus saja baru berlangsung, namun sudah terasa ada tekanan berat yang
dilakukan orang bertubuh cebol itu.
Gadis itu segera menyadari kalau orang cebol ini tak bermaksud melukainya.
Karena dari beberapa serangannya, terlihat dia hanya melancarkan gerakan
totokan saja. Agaknya, orang itu bermaksud meringkusnya hidup-hidup. Di
samping itu, Pandan Wangi merasa kalau ilmu kedigdayaannya masih di bawah
Ceng Ho. Namun, di hatinya tidak ada kegentaran sedikit pun.
“Hm.... Boleh juga kepandaianmu. Tapi coba tahan jurus ‘Burung Penari
Menghina Elang’ ku!” kata Ceng Ho sambil terkekeh.
“Huh! Keluarkanlah seluruh kepandaianmu. Aku tak akan gentar sedikit pun!”
dengus Pandan Wangi.
“Hiyaaat..!”
Tubuh Ceng Ho bergerak cepat menyerang, membuat Pandan Wangi terkesiap.
Kali ini, lawan agaknya betul-betul mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Namun Pandan Wangi bukanlah gadis sembarangan. Ilmu silatnya juga sudah
cukup tinggi, kendati sedikit di bawah lawannya. Dan kalau Pandan Wangi
gadis lemah, mungkin sudah sejak tadi berhasil dijatuhkan lawan. Namun,
rupanya kini kepandaian Pandan Wangi tak berarti banyak saat Ceng Ho
mengeluarkan jurus ‘Burung Penari Menghina Elang’.
Dari awal jurus itu saja, sudah terlihat kalau Pandan Wangi mulai terpojok.
Gadis itu berusaha sekuat tenaga untuk menghindari serangan lawan dengan
mengerahkan seluruh kemampuannya. Tapi gerakan Ceng Ho luar biasa cepatnya
dan sulit sekali diimbangi. Dalam suatu kesempatan, Ceng Ho terus
melancarkan serangan-serangannya.
Dan dengan suatu gerak tipu manis, tangan kirinya bergerak menyambar leher.
Maka cepat-cepat Pandan Wangi memapak dengan tangan kanan. Namun sebelum
terjadi benturan, Ceng Ho telah menarik pulang serangannya. Akibatnya tubuh
Pandan Wangi jadi melintir, menyambar angin kosong. Sementara, kesempatan
itu digunakan Ceng Ho untuk melesat ke atas. Tak ada kesempatan bagi Pandan
Wangi untuk menghindar. Maka....
“Jatuh...!”
Tuk!
“Ohhh...!”
Pandan Wangi mengeluh pelan. Memang, Ceng Ho berhasil menotok urat bahunya
hingga gadis itu ambruk tak berdaya. Kemudian, kakinya telah mendarat di
tanah.
“Ha ha ha...! Sudah kukatakan, kau tak akan bisa pergi ke mana-mana. Tapi,
kau masih juga tak percaya!” kata Ceng Ho sambil terkekeh dan bertolak
pinggang menatap gadis itu.
“Keparat! Lepaskan aku! Aku masih sanggup menghadapimu dalam seribu jurus
sekalipun!” teriak Pandan Wangi marah.
“Ha ha ha...! Kau memang gadis yang memiliki kepandaian hebat. Dan aku
percaya kata-katamu itu. Tapi saat ini, aku tak tertarik untuk bertarung
denganmu. Karena, ada hal lain yang membuatku lebih tertarik. Aku ingin
menikmati tubuhmu yang menggiurkan!” sahut Ceng Ho sambil tertawa-tawa
kecil.
Kemudian dengan tiba-tiba, Ceng Ho menubruk tubuh Pandan Wangi, hingga kini
telah berada dalam pondongannya. Dan langsung dibawanya tubuh Pandan Wangi
berlari dari tempat itu.
“Cebol keparat! Lepaskan aku! Mau kau bawa ke mana aku?! Lepaskan...?!”
Pandan Wangi hanya bisa berteriak-teriak memaki.
Ceng Ho menghentikan langkahnya ketika tiba di suatu tempat yang banyak
ditumbuhi semak-semak. Dibaringkannya tubuh Pandan Wangi di tanah. Dan
sambil menyeringai lebar, tangannya mulai meraba-raba beberapa bagian tubuh
gadis itu.
“He he he...! Tenang-tenang sajalah. Aku sedang mencari tempat aman untuk
kita berdua. Nah! Kukira, di sini cukup aman!” sahut Ceng Ho.
“Keparat busuk! Hentikan perbuatan kotormu! Keparat..! Hentikan...! Aow,
setan laknat!” Pandan Wangi semakin kalap, berteriak dan memaki-maki Ceng
Ho.
Pandan Wangi semakin keras menjerit ketika pada bagian dadanya yang
mencuat, seenaknya digerayangi tangan-tangan nakal laki-laki cebol itu. Ceng
Ho agaknya sudah tak bisa menahan gejolaknya lagi. Tanpa mempedulikan
teriakan dan makian gadis itu, dirabanya dengan kasar tubuh gadis itu. Tentu
saja Pandan Wangi semakin menjerit-jerit tak karuan. Sumpah serapah dan
makian tak terhitung lagi keluar dari mulutnya.
Tapi, Ceng Ho malah semakin kurang ajar saja. Dengan geram dan penuh nafsu,
digumulnya gadis itu. Teriakan dan makian gadis itu seperti membuat nafsunya
kian bergejolak saja. Hati Pandan Wangi sudah mulai putus asa. Percuma saja
menjerit-jerit, namun Dewa Cebol Periang semakin tambah beringas saja. Air
matanya mulai menetes membasahi pipi.
Tapi sebelum semuanya menimpa gadis itu, tiba-tiba terlihat tubuh Dewa
Cebol Periang melayang ke depan sambil menjerit keras. Dan sebelumnya,
memang ada sekelebat bayangan putih yang melesat cepat.
“Aaakh...!”
Dan tahu-tahu saja di dekat Pandan Wangi telah berdiri tegak seorang pemuda
tampan berbaju rompi. Rambutnya panjang terurai. Tampak di punggungnya
tersampir sebuah gagang pedang berhulu kepala burung. Siapa lagi orang itu
kalau bukan Pendekar Rajawali Sakti?
Rangga tampak berdiri tegang dengan napas menderu. Dadanya turun naik, dan
wajahnya memerah. Mulutnya mendesis geram, dengan geraham bergemeletuk.
Jelas, kemarahannya telah sampai ke ubun-ubun melihat Pandan Wangi
diperlakukan tidak senonoh. Siapa yang tidak geram melihat kekasihnya dibuat
seperti itu?
“Kakang...! Oh, syukurlah kau cepat datang...!”
Pendekar Rajawali Sakti segera melepaskan totokan gadis itu. Dan Pandan
Wangi tak tahu, bagaimana caranya menumpahkan rasa haru di hatinya. Begitu
merasa terbebas, langsung dirangkulnya Rangga seperti ingin menumpahkan
gejolak hatinya. Dan gadis itu menangis sesenggukan di bahu Pendekar
Rajawali Sakti.
“Pandan..., kau.., kau...?” tiba-tiba Rangga mele-paskan pelukannya.
“Kenapa, Kakang?”
“Pakaianmu....”
“Oh!” Pandan Wangi terperanjat kaget. Baru disadari kalau saat itu
pakaiannya sudah tak karuan bentuknya. Buru-buru dia berlari dan bersembunyi
di balik semak untuk merapikan pakaian.
Sementara itu, Ceng Ho yang tadi terpental terkena tendangan Rangga,
langsung bangkit kembali. Wajahnya garang dengan sorot mata tak suka melihat
kehadiran Rangga yang tiba-tiba.
“Setan! Siapa kau, hingga berani mencampuri urusanku?!” bentak Ceng Ho
keras.
“Aku?! Biadab busuk! Aku yang akan mencabut nyawamu!” balas Rangga begitu
geram melihat Pandan Wangi diperlakukan tidak senonoh.
Dan sudah menjadi janjinya dalam hati, akan membunuh siapa saja bila ada
yang berbuat kurang ajar terhadap Pandan Wangi. Hatinya memang sangat geram
melihat tingkah si cebol itu. Lebih-lebih ketika tampangnya mirip
orang-orang asing yang beberapa hari lalu dihajarnya. Maka rasa kesal di
hatinya kini bercampur perasaan geram dan marah.
“Keparat! Jiwamu benar-benar licik, dan hanya berani main belakang!”
“Kini kita sudah saling berhadapan. Apa lagi yang ditunggu? Dan yang pasti,
kau harus mampus di tanganku!” tantang Rangga tak peduli ejekan lawan.
“Huh! Bocah dungu, terimalah bagianmu...!” Selesai berkata begitu, Ceng Ho
langsung melompat sambil mengirim satu serangan bertenaga dalam kuat ke arah
Rangga.
“Yeaaa...!”
Sekilas Rangga sudah bisa merasakan kalau serangan lawan bukan sembarangan.
Makanya, dia tak mau menganggap remeh. Dan tubuhnya langsung bergerak cepat
menghindar. Namun, Ceng Ho yang bertubuh cebol bagaikan bola karet
gerakannya cepat dan gesit. Akibatnya, untuk beberapa saat Rangga sedikit
terdesak. Namun itu tidak berlangsung lama. Kini Pendekar Rajawali Sakti
mulai membalas serangan sambil mengeluarkan rangkaian jurus Rajawali
Sakti.
“Hiyaaa...!”
Pada suatu kesempatan tubuh Ceng Ho berputar sambil mengayunkan sebelah
kakinya ke rahang Pendekar Rajawali Sakti. Namun dengan gesit, Rangga
mengelak. Langsung ditangkapnya pergelangan kaki lawan.
Plak!
Wut!
Dan dengan kekuatan penuh, Rangga memutar-mutar tubuh Ceng Ho.
Lalu....
Des!
“Akh!”
Ceng Ho terpekik nyaring ketika tubuhnya dihantamkan ke sebatang pohon yang
cukup besar. Begitu Rangga melepaskan pegangannya, maka tubuh Dewa Cebol
Periang langsung jatuh ke tanah. Namun, laki-laki cebol itu cepat bangkit
berdiri, walaupun agak sempoyongan. Tubuhnya terasa sakit bukan main.
Pernafasannya pun sedikit sesak. Bahkan beberapa kali memuntahkan darah
segar. Tulang dadanya terasa nyeri dan isi perutnya seperti
diaduk-aduk.
Dan belum juga Ceng Ho bersiap, Rangga telah bergerak cepat Langsung
dikirimkannya serangan keras berupa tendangan bertenaga dalam tinggi. Ceng
Ho yang belum dap betul menjadi terkesiap bukan kepalang.
“Hiyaaa..."
Begkh!
“Aaah...!”
Kembali Dewa Cebol Periang terpekik nyaring, dan kembali jatuh bergulingan
di tanah. Tampak begitu tubuhnya berhenti bergulingan, Ceng Ho kembali
memuntahkan darah. Sementara Rangga berdiri memandangi dengan sikap
sinis.
“Kisanak! Seharusnya kau mampus! Kau telah begitu berani bermaksud kotor
terhadap kekasihku. Namun, rupanya Sang Hyang Widhi menghendaki lain!” kata
Rangga, geram.
Ceng Ho memandang Rangga sekilas, lalu menundukkan wajahnya. “Kau memang
hebat dan aku mengaku kalah. Kau boleh berbuat apa saja padaku. Dan sebelum
aku mati, sebutkan julukanmu!” sahut Ceng Ho mantap.
“Orang menjulukiku Pendekar Rajawali Sakti...!”
Ceng Ho mendongakkan kepala, dan langsung memandang Rangga seperti tak
percaya apa yang baru didengarnya. “Hm.... Kaukah orangnya? Kedatanganku ke
sini justru hendak menemuimu, karena kau membuat gentar prajurit-prajurit
kerajaanku. Tapi, tak disangka kau mengalahkanku dengan mudah. Nah, Kisanak.
Kalau kau berniat membunuhku, aku sudah siap. Bagiku untuk hidup pun saat
ini sudah tak berguna lagi. Aku tak mampu menyelesaikan tugas yang diberikan
kepadaku untuk membunuhmu,” kata Ceng Ho.
“Kisanak, terlalu enak bagimu untuk kubunuh. Tiga jalan darah di tubuhmu
akan kutotok. Sehingga darahmu berhenti mengalir. Dan kau akan merasakan
kesakitan yang hebat. Tapi kalau kau memiliki tenaga dalam kuat, pasti bisa
membebaskan diri sebelum sore nanti!
Hiyaaat!”
Tuk! Tuk! Tuk!
“Ohhh...!”
Ceng Ho mengeluh pelan dengan suara lirih. Tubuhnya kontan terasa lemas tak
bertenaga, dan tak mampu digerakkan. Segera diketahui kalau pemuda itu
memang tidak membunuhnya. Namun, tiga kali totokan yang dilakukan pemuda itu
begitu kuat menyengatnya.
“Pendekar Rajawali Sakti! Lebih baik bunuh saja aku daripada disiksa
begini!” lirih suara Ceng Ho.
Tapi Rangga sudah tak mempedulikannya lagi. Tubuhnya cepat berkelebat
bersama Pandan Wangi, meninggalkan tempat itu. Sementara Ceng Ho hanya
berteriak-teriak memanggilnya. Namun keduanya telah menghilang jauh.
Laki-laki cebol itu terus berteriak-teriak, ketika merasakan sakit yang amat
sangat di tubuhnya!
***
DELAPAN
Di sebuah pinggiran hutan, Pendekar Rajawali Sakti dan Pandan Wangi
berjalan bersama-sama. Begitu bertemu sebuah sungai yang airnya sangat
jernih, mereka berhenti. Dan Rangga segera membasuh wajah sambil meneguk
air, sekadar membasahi tenggorokannya yang terasa kering.
Sementara, Pandan Wangi diam memperhatikan sambil bersandar di bawah pohon.
Suasana di tempat ini begitu sunyi. Namun kesunyian itu tiba-tiba dipecahkan
oleh kehadiran dua sosok tubuh yang berkelebat cepat menghampiri. Rangga
langsung bangkit dan bersiaga, ketika dua sosok itu telah berada tepat di
hadapannya. Salah seorang memang pernah dikenalnya.
Pemuda itulah yang pernah dicundanginya ketika sedang jalan bernama Nawang
Sari. Sedang di sebelahnya terlihat seorang laki-laki berusia sekitar lima
puluh tahun. Wajahnya penuh bopeng, dan tubuhnya tinggi besar.
“Sidarta! Bocah inikah yang kau ceritakan itu?!” tanya orang tua itu pada
pemuda di sampingnya.
“Benar, Guru. Pemuda sok jago inilah yang telah menghinamu!”
“Hm...!” orang tua itu mendehem kecil sambil menatap Rangga dengan sorot
mata tajam menusuk.
“Kisanak! Siapakah kau sebenarnya, dan ada urusan apa ke tempat ini?” tanya
Rangga, datar. Rangga sebenarnya sudah bisa membaca gelagat buruk, tapi
pura-pura tak tahu.
“Pendekar Rajawali Sakti! Sungguh gegabah kau berani menghina dan
menantangku! Aku Wangsa Naraya yang bergelar Gagak Hitam Pemakan Bangkai.
Memang tak termahsyur julukanmu. Tapi, hari ini jangan harap kau bisa
bertingkah di depan hidungku!”
Rangga tak merasa heran kalau mendengar kemarahan orang tua itu, sebab
kedatangan orang yang berjuluk Gagak Hitam Pemakan Bangkai itu bersama
pemuda yang bernama Sidarta. Pemuda itulah yang pernah menaruh dendam
padanya. Tapi, ada urusan apa hingga orang tua itu mengatakan kalau Rangga
meng-hina dan menantangnya? Jelas, Sidartalah yang melebih-lebihkan
ucapannya agar orang tua itu mau turun tangan dan membalaskan sakit
hatinya.
“Kisanak! Tak kusangka hari ini mendapat kehormatan bisa bertemu Gagak
Hitam Pemakan Bangkai yang terkenal itu. Tapi, agaknya kau salah sangka. Aku
sama sekali tak pernah menghinamu, apalagi berani menantangmu,” sahut
Rangga.
“Huh! Setelah bertemu denganku, kini nyalimu mulai ciut dan berkata begitu.
Tapi jangan harap kata-katamu bisa kupercayai. Bersiap dan cabutlah
pedangmu. Siapa pun orangnya yang berani menghina dan menantangku, tak akan
luput dari kematian!” dengus Ki Wangsa Naraya, kalem.
Setelah berkata begitu, Ki Wangsa Naraya langsung membuka jurus tangan
kosongnya. Sedangkan Rangga mendesah kecil sambil memberi isyarat pada
Pandan Wangi agar waspada.
“Guru! Hajarlah pemuda sombong itu, sementara biarlah gadis di sebelahnya
menjadi bagianku!” ujar Sidarta sambil menyeringai buas kepada Pandan
Wangi.
“Kisanak! Agaknya kau memang tak bisa diajak bicara baik-baik, meski
kepalamu telah memutih. Silakan mulai. Dan aku akan menghadapimu dengan
tangan kosong saja sepertimu!” sahut Rangga mulai geram melihat tingkah
mereka.
“Ha ha ha...! Bagus! Ingin kulihat, sampai di mana kesombongan dan
kehebatanmu yang sering digembar-gemborkan orang!” Ki Wangsa Naraya tertawa
girang.
Mereka mulai bersiap memasang kuda-kuda. Begitu juga halnya Pandan Wangi
ketika Sidarta bersiap-siap akan meringkusnya. Gadis itu tersenyum sekilas
melihat wajah lawannya yang penuh keyakinan akan dapat mengalahkannya.
Namun sebelum terjadi pertarungan di antara mereka, tiba-tiba melesat
sesosok tubuh ramping di tempat itu. Dan tahu-tahu telah berdiri tegak
seorang ga-dis di dekat mereka.
“Ki Wangsa Naraya! Minggirlah! Aku punya urusan pribadi yang harus
kuselesaikan dengan Pendekar Rajawali Sakti!”
“Heh?!”
“Nawang Sari...!” seru keempat orang itu nyaris bersamaan.
Sosok tubuh yang baru tiba itu memang Nawang Sari. Dan pandangannya
langsung menghunjam tajam ke arah Rangga dan Pandan Wangi bergantian.
Kemudian, kakinya melangkah pelan mendekati Pendekar Rajawali Sakti.
“Kau! Aku bersumpah akan membunuhmu. Maka hari ini, terimalah kematianmu!”
tuding Nawang Sari ke arah Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti sebenarnya menyadari, apa yang membuat gadis itu
berubah. Apa lagi kalau bukan soal cinta? Dan Rangga sebenarnya bukan hanya
kesal. Bahkan dia sudah mulai tidak suka melihat tingkah laku gadis itu.
Tapi sebelum Rangga menyahut, dan sebelum Nawang Sari melakukan serangan, Ki
Wangsa Naraya telah melompat sambil mengirimkan serangan ke arah gadis
itu.
“Gadis liar tak tahu sopan! Sejak kapan kau berani bertingkah di depanku?!”
bentak Ki Wangsa Naraya geram.
“Yeaaa...!”
Gagak Hitam Pemakan Bangkai langsung melepaskan serangan berupa kibasan
tangan. Ki Wangsa Naraya begitu yakin akan mampu menjatuhkan gadis itu.
Sebab selama ini, dia tahu betul kalau kepandaian Nawang Sari tak berbeda
jauh dengan Sidarta. Tapi....
Plak!
“Akh...?!
Alangkah terkejutnya orang tua itu ketika merasakan tenaga dalam kuat dari
gadis itu. Begitu habis menangkis, tangannya kontan terasa seperti
kesemutan. Bahkan tubuhnya sempat terjajar beberapa tombak. Kesempatan ini
cepat digunakan Nawang Sari untuk menyodok dada orang tua itu, sehingga
terdengar suara tulang berderak patah.
Prak!
Belum lagi Ki Wangsa Naraya menyadari apa yang terjadi, tubuh gadis itu
terus mencelat menyerangnya kembali. Maka walaupun dalam keadaan kepayahan,
orang tua itu berusaha menghindarkan diri, dengan berjungkir balik. Namun
agaknya Nawang Sari tak main-main dengan serangannya.
“Yeaaa...!”
Dan begitu Ki Wangsa Naraya bangkit, Nawang Sari melepaskan tendangan lurus
ke arah dagunya.
Diegkh!
“Aaa...!”
Kembali Ki Wangsa Naraya menjerit nyaring ketika tubuhnya bagai seonggok
karung yang melayang terkena tendangan gadis itu. Dan begitu ambruk ke
tanah, dari mulutnya menyembur darah segar berkali-kali. Wajahnya pucat
pasti dan nafasnya memburu tak berdaya. Ki Wangsa Naraya menggeliat, lalu
diam tak berkutik lagi. Mati.
“Perempuan sial! Kau harus bayar nyawa guruku!” bentak Sidarta sambil
melompat menyerang Nawang Sari.
Gadis itu hanya perlu sedikit berkelit, maka serangan Sidarta hanya
menyambar angin kosong. Begitu tubuh Sidarta lewat, langsung dilepaskannya
satu pukulan telak ke dada.
Begkh!
“Aaakh...!”
Sidarta menjerit keras ketika tubuhnya terbanting, begitu terkena pukulan
Nawang Sari. Seketika dadanya terasa nyeri. Dan kini gadis itu tahu-tahu
telah berdiri di depannya.
“Pergi kau dari sini, dan jangan mencampuri urusanku! Kalau tidak, kau akan
mampus lebih dulu!” ujar Nawang Sari.
Sidarta meringis kesakitan sambil bangkit berdiri. Dipandanginya gadis itu
dengan sinar mata tak percaya. Dengan sekali hajar, dia dapat dijatuhkan
dengan mudah. Kini baru disadari. Kalau gurunya saja dapat dibuat tak
berdaya, apalagi dirinya? Maka dengan tertatih-tatih, Sidarta berlalu dari
situ sambil membopong tubuh gurunya yang telah tewas.
Sementara, Nawang Sari sama sekali tak peduli. Kini langsung ditatapnya
Rangga dengan sorot mata penuh kebencian, tanpa mempedulikan Sidarta yang
membawa mayat gurunya pergi dari situ.
“Kini giliranmu!” dengus Nawang Sari dingin.
“Nawang Sari! Apa-apaan kau ini?! Tiba-tiba datang, malah bermaksud buruk
pada orang yang pernah menolongmu. Apakah kau tak tahu berterima kasih?!”
sentak Pandan Wangi. Dan memang, gadis itu tak tahu masalahnya kalau Nawang
Sari menyimpan dendam dan kebencian di hati.
“Diam kau! Tahu apa kau tentang persoalanku dengan kekasihmu ini. Dia harus
mampus di tanganku!” potong Nawang Sari langsung dengan bentakan.
Bukan main geramnya Pandan Wangi mendengar jawaban gadis itu. Dia sudah
langsung bergerak mendekati sambil menuding garang. “Nawang Sari! Kau boleh
sombong dengan kepandaian yang kau miliki saat ini. Tapi, bukan berarti aku
takut setelah kau berhasil menghajar kedua orang itu!”
“Hei? Apa maumu?! Kau ingin mampus di tanganku? Sinilah maju!”
“Setan!”
“Tahan, Pandan!” teriak Rangga mencegah kekasihnya.
“Biarkan, Kakang. Gadis liar ini mesti diberi pelajaran agar tak seenaknya
buka mulut!”
“Sabarlah. Dia bukan Nawang Sari yang pernah kau kenal dulu. Gadis ini
telah dipenuhi nafsu dalam dadanya untuk membunuh semua orang. Aku tak mau
kau terbawa-bawa dendamnya nanti!” Pandan Wangi tak bisa berbuat apa-apa
mendengar kata-kata Rangga, meski hatinya kesal bercampur geram.
Rangga lalu menatap tajam Nawang Sari. “Nawang Sari! Apakah aku pernah
bermusuhan denganmu? Apakah karena persoalan itu kau bermaksud membunuhku?
Kulihat perkembanganmu beberapa hari saja telah jauh pesat. Entah apa yang
kau lakukan. Namun, agaknya kau bersungguh-sungguh ingin membunuhku.
Kenapa?”
“Jangan banyak bicara, Pendekar Rajawali Sakti! Yang jelas, aku telah
mengorbankan harga diriku, agar dapat membunuhmu. Dan hari ini, kalaupun
mesti mati, aku tak peduli. Asal, kau pun mati bersamaku!” dengus Nawang
Sari.
“Nawang Sari! Sampai sejauh itukah dendammu padaku? Apakah tak sedikit pun
kau bisa mengerti? Cobalah....”
“Aku tak perlu khotbahmu, tapi nyawamu! Yeaaa...!”
Rangga menghentikan ucapannya ketika tiba-tiba gadis itu menyerang dengan
cepat.
“Uts...!”
Bukan main terkejutnya Rangga melihat serangan yang begitu tiba-tiba. Tidak
ada waktu lagi baginya, kecuali menangkis pukulan gadis itu.
Plak!
“Heh?!”
Kembali Pendekar Rajawali Sakti menjadi terkejut ketika tangannya terasa
kesemutan luar biasa. Sudah bisa diduga, kehebatan tenaga dalam Nawang Sari
saat ini. Buktinya, tubuhnya sempat terjajar beberapa langkah.
“Hiyaaa...!” Nawang Sari seperti orang kesetanan. Diserangnya Rangga
bertubi-tubi sambil mengerahkan segenap kepandaian yang dimiliki saat ini.
Agaknya, gadis itu benar-benar menghendaki nyawanya.
Melihat itu tentu saja Rangga tak bisa mendiamkannya begitu saja.
Berkali-kali gadis itu coba diperingatkan. Namun, Nawang Sari sama sekali
tak mengindahkannya. Bahkan terus menyerangnya tanpa henti. Sementara,
Rangga sendiri tak bisa terus-terusan menghindar. Angin serangan Nawang Sari
terasa kuat sekali. Bahkan mampu membuat kulit tubuhnya seperti diiris-iris.
Rangga sendiri tak mengerti, dengan cara apa gadis ini memperoleh kemajuan
yang begitu pesat dalam beberapa hari saja.
Kalau saja pemuda itu tahu, dia tak menjadi heran. Kenyataannya, Ki Sembung
Prana memang telah menyalurkan seluruh tenaga dalam yang dimiliki kepada
gadis itu, di samping ilmu olah kanuragan lainnya. Dalam ilmu silat, orang
tua itu hanya memberi jurus-jurus terpenting saja. Dan memang, Nawang Sari
merasa kalau jurus-jurus lainnya tak begitu penting, karena bermaksud
cepat-cepat menamatkan pelajarannya. Dan tujuannya sudah tentu agar bisa
membalaskan sakit hati pada Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga bukannya tak menyadari kelemahan gadis itu. Meskipun tenaga dalamnya
kuat, tapi kecepatan geraknya masih kalah setingkat di bawahnya. Lagi pula,
gerakan-gerakan yang dilakukan gadis itu masih terlihat kaku. Kalau orang
yang mempunyai kepandaian rendah, tentu tak akan bisa melihat kekurangan
gadis itu. Tapi pandangan Pendekar Rajawali Sakti yang jeli langsung
memanfaatkan kelemahan gadis itu. Dan pada satu kesempatan, langsung
dikirimkannya serangan bertenaga kuat, diiringi bentakan nyaring.
“Yeaaa...!”
Namun, Nawang Sari tidak tinggal diam. Kedua tangannya cepat dijulurkan ke
depan dengan telapak terbuka. Langsung disambutnya serangan Pendekar
Rajawali Sakti. Maka....
Blar!
“Aaakh...!”
Rangga menjerit keras ketika pukulannya seperti menghantam dinding baja
yang sangat tebal. Tubuhnya kontan terpental, lalu jatuh berdebuk keras di
tanah.
“Kakang...!”
“Pandan! Awas jangan mendekat!” teriak Rangga memperingatkan. Pandan Wangi
buru-buru menghentikan langkahnya.
Sementara Nawang Sari terus bergerak mengirim serangan ke arah Pendekar
Rajawali Sakti. Melihat hal ini, Pandan Wangi bertindak nekat. Maka
buru-buru dia bergerak kembali untuk melindungi pemuda itu dari serangan
lawan. Tapi Nawang Sari sudah bisa membaca gelagat itu. Seketika,
serangannya pada Pendekar Rajawali Sakti dihentikan. Lalu, langsung
dipapaknya serangan Pandan Wangi.
Plak!
“Aaakh...!”
Pandan Wangi terpekik. Dan tubuhnya kontan terlempar keras sejauh dua
tombak sambil memuntahkan darah segar. Tenaga dalam yang dikerahkan Nawang
Sari dalam papakan tadi memang bukan sembarangan. Seluruh tenaga dalamnya
telah dikerahkan, sehingga Pandan Wangi sampai terpental dan memuntahkan
darah segar.
“Pandan...!
Hup!”
Rangga menjerit mencemaskan nasib Pandan Wangi. Tapi Nawang Sari sudah
kembali menyerang. Maka terpaksa Pendekar Rajawali Sakti menyelamatkan diri
dengan melenting ke udara dan bersalto beberapa kali. Padahal, rasa nyeri
terasa di dadanya. Kemudian dengan satu gerakan manis, Pendekar Rajawali
Sakti berhasil bertengger di cabang pohon. Tak terdengar suara sedikit pun
saat kakinya bertengger. Nawang Sari tak memberi kesempatan lagi. Langsung
dikejarnya Rangga ke atas.
“Yeaaa...!”
Prak!
Cabang-cabang pohon itu kontan hancur berentakan terkena hajaran gadis itu.
Tapi, tubuh Rangga telah lebih dulu mencelat dan menukik turun. Bukan main
geramnya gadis itu. Kembali dia turun ke bawah. Tampak Rangga telah berdiri
tegak dengan sorot mata tajam. Masih terlihat bekas tetesan darah di sudut
bibirnya yang telah dihapus.
“Nawang Sari, kau sudah kelewat batas. Aku tahu, kau memiliki aji ‘Selubung
Naga’. Dan ajian itu hanya dimiliki oleh satu orang, yaitu Ki Sembung Prana.
Memang hebat ajian itu. Bahkan tak ada tandingan. Tak heran bila pukulanku
tadi balik menyerangku. Tapi sayang, justru ajian itu kau gunakan untuk
mengumbar nafsu iblismu. Balas dendam mengumbar kebencian bukan satu-satunya
cara untuk menyelesaikan masalah, Nawang. Ada cara lain yang lebih baik,
jika kau mau berpikir jernih,”
Rangga mencoba menasihati kembali. Nawang Sari hanya membisu saja. Namun,
matanya tatap nyalang ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Kelihatannya, dia
sudah tidak sabar ingin melenyapkan Pendekar Rajawali Sakti.
“Hm, kau pasti telah berhasil mengecoh Ki Sembung Prana. Sebegitu murahkah
dirimu? Sudahlah, Nawang. Urungkan saja niatmu itu. Aku sudah tahu kelemahan
ajian itu. Terus terang, aku tak mau bertarung denganmu,” lanjut Rangga
dengan suara lunak, namun mengandung ketegasan.
“Huh! Mengocehlah sesuka hatimu. Tapi, jangan harap aku akan mengurungkan
niatku. Sekarang, terimalah kematianmu!” sentak Nawang Sari.
Rangga mendesah kesal sambil menggelengkan kepala melihat tingkah Nawang
Sari yang keras kepala. Lalu....
Cring!
Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut pedang dengan cepat. Dan saat itu
juga terlihat seberkas sinar biru menerangi tempat itu. Lalu dengan cepat,
Rangga menggosok-gosok mata pedangnya dari pangkal hingga ke ujungnya.
Perlahan-lahan dari mata pedang keluar gumpalan cahaya biru bersama asap
putih bergulung-gulung. Tak lama kemudian, gumpalan cahaya biru itu telah
menyebar ke tangan Pendekar Rajawali Sakti. Lalu....
Cring!
Pedang Pusaka Rajawali Sakti kembali dimasukkan Pendekar Rajawali Sakti ke
dalam warangkanya di punggung.
“Bersiaplah menghadapi aji pamungkas ku. Hiyaaa!” Nawang Sari sudah melesat
cepat sambil melepaskan aji Selubung Naga
Sementara, Pendekar Rajawali Sakti hanya berdiri tegak menanti. Dan begitu
serangan lawan mendekat, maka... “Aji Cakra Buana Sukma...!”
Pendekar Rajawali Sakti langsung menghentakkan kedua tangannya yang
terbuka, begitu serangan Nawang Sari meluncur tiba. Dan...
Glarrr!
“Aaakh...!”
Satu ledakan keras terjadi begitu dua kekuatan dahsyat beradu pada satu
titik. Tubuh Pendekar Rajawali Sakti terjajar dua langkah ke belakang.
Sedangkan tubuh Nawang Sari terlempar beberapa tombak, diiringi pekik
kesakitan. Kemudian, dengan keras tubuhnya jatuh berdebuk di tanah. Tubuh
gadis itu masih terbungkus sinar biru dari aji Cakra Buana Sukma yang
dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti.
Sesaat Nawang Sari menggelepar kesakitan, kemudian diam tak bergerak lagi.
Dan begitu sinar biru itu hilang perlahan-lahan, tubuh Nawang Sari langsung
meledak dan hancur berkeping-keping. Rangga diam mematung sambil memandangi
serpihan-serpihan. tubuh gadis itu. Tatapannya seperti tak percaya kalau
Nawang Sari telah dibunuhnya.
“Sudahlah, Kakang. Dia memang menginginkannya. Sebaiknya, lekas kita
tinggalkan tempat ini...,” hibur Pandan Wangi, sambil menahan rasa nyeri di
dadanya.
Rangga mengangguk lemah. Kemudian, diraihnya pundak Pandan Wangi. Lalu,
mereka sama-sama meninggalkan tempat itu sambil berangkulan. Ada tugas lain
yang masih menanti bagi kedua pendekar dari Karang Setra itu.
TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA:
Emoticon