Pendekar Rajawali Sakti 96 - Penghuni Lembah Neraka(2)

LIMA
Matahari sudah hampir tenggelam di kaki langit sebelah barat, saat Rangga sampai di bagian utara Desa Tegalan, jauh di luar perbatasan. Pendekar Rajawali Sakti jadi bingung juga, karena sama sekali tidak melihat adanya lembah di sekitar daerah ini. Sedangkan tadi, Setan Bukit Jagal mengatakan kalau Lembah Neraka letaknya tidak jauh dari Desa Tegalan sebelah utara. Dan kini setelah berjalan cukup jauh dari perbatasan desa itu, tapi belum juga terlihat adanya sebuah lembah satu pun juga.

“Hm.... Apakah Setan Bukit Jagal hanya ingin memperolokku saja...?” gumam Rangga. "Tapi, rasanya mustahil kalau dia mendustaiku.”

Rangga memandang matahari yang sudah hampir tenggelam di ufuk barat. Tampak langit sebelah barat jadi kelihatan memerah seperti jelaga. Begitu indah. Tapi saat ini, sama sekali tidak bisa menarik minat Rangga untuk menikmati keindahan alam ini. Pikirannya masih terpusat pada Pandan Wangi yang sampai saat ini belum juga diketahui di mana rimbanya.

“Ada orang di sana. Baiknya, kutanya saja. Barangkali dia tahu di mana Lembah Neraka,” ujar Rangga perlahan, begitu melihat seseorang berada tidak seberapa jauh dari tempatnya berdiri.

Bergegas Pendekar Rajawali Sakti melangkah menghampiri, dan langsung memberi salam begitu dekat. Sementara laki-laki tua berusia lanjut yang tengah sibuk mengikat tumpukan ranting-ranting kayu kering itu segera mengangkat kepalanya, begitu mendengar ucapan salam lembut dari Pendekar Rajawali Sakti. Kelopak matanya terlihat agak menyipit, memandangi Rangga dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Maaf, Ki. Boleh mengganggu sebentar pekerjaanmu...,” ujar Rangga ramah.

“Hm, ada apa?” tanya laki-laki tua itu datar.

“Aku ingin bertanya sedikit, Ki.”

“Silakan. Tanya saja, barangkali aku bisa menjawab.”

“Ki, apakah kau tahu letak Lembah Neraka...?”

Laki-laki pengumpul ranting itu jadi terdiam mendengar pertanyaan Rangga. Seketika dipandanginya pemuda itu dengan sinar mata yang menjadi tajam, penuh bernada menyelidik. Kembali dipandanginya Pendekar Rajawali Sakti dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sikap orang tua ini membuat Rangga jadi bertanya-tanya. Tapi dia hanya diam saja, menunggu jawaban atas pertanyaannya yang sudah terlontar tadi.

“Untuk apa kau tanyakan tempat setan itu?” dengus laki-laki tua itu balik bertanya.

“Aku ada urusan di sana, Ki. Adikku semalam diculik. Dan katanya, yang melakukan orang dari Lembah Neraka. Maka aku ingin membebaskan adikku dari sana, Ki,” sahut Rangga sedikit berbohong.

Tentu saja Pendekar Rajawali Sakti tidak mengatakan, siapa Pandan Wangi sesungguhnya. Walaupun kejadiannya memang bisa dikatakan benar. Sedangkan untuk mengatakan tentang Pandan Wangi sesungguhnya, hal itu tidaklah mungkin.

“Sebaiknya lupakan saja, Anak Muda. Kau hanya akan mengantarkan nyawa saja kalau pergi ke sana,” ujar laki-laki tua pengumpul ranting kayu itu.

“Aku sudah bertekad akan ke sana, Ki. Walau apa pun yang akan terjadi,” tegas Rangga.

“Kalau hanya memiliki sedikit kepandaian, sebaiknya kau relakan saja adikmu. Tapi kalau memang punya kepandaian tangguh..., ah! Belum pernah aku dengar ada orang bisa kembali lagi hidup-hidup setelah masuk ke sana. Seorang pendekar tangguh sekali pun, tidak akan sanggup menghadapinya. Dia bukan lagi manusia, tapi iblis dari neraka. Sudahlah, Anak Muda.... Sebaiknya pulang saja. Tidak ada gunanya datang ke sana,” ujar laki-laki tua itu lagi.

“Terima kasih atas peringatanmu, Ki. Tapi langkahku tidak bisa surut lagi. Apa pun yang akan terjadi, aku akan tetap ke sana,” tegas Rangga.

Laki-laki tua pengumpul ranting kayu itu mendesah panjang, sambil menggelengkan kepala beberapa kali. Sorot matanya yang tadi terlihat tajam, kini berubah seperti merasa kasihan terhadap tekad pemuda ini. Seakan-akan, dia tidak ingin pemuda berbaju rompi putih ini jadi santapan cacing tanah di Lembah Neraka. Sedangkan Rangga sendiri sudah menunjukkan kemantapan hatinya, dari sorot mata yang begitu nyalang tanpa berkedip sedikit pun juga.

“Bisa kau tunjukkan tempatnya, Ki. Atau beri tahu saja, ke mana arah yang harus kutempuh,” pinta Rangga mendesak.

“Kau benar-benar ingin ke sana, Anak Muda?” tanya laki-laki tua itu lagi. Rangga mengangguk mantap. “Hhh...!” laki-laki tua itu menghembuskan napas panjang. Terasa berat sekali hembusan nafasnya, seakan juga berat untuk mengatakan letak Lembah Neraka. Sedangkan Rangga terus sabar menunggu.

“Letaknya tidak jauh lagi dari sini. Berjalan saja terus menuju matahari tenggelam, maka kau akan menemukan dua buah batu kembar, dari celah batu itulah pintu masuk ke Lembah Neraka. Tapi, tidak mudah untuk masuk ke sana. Penjagaannya sangat ketat. Dan tak seorang pun diperbolehkan masuk ke sana, kecuali memang ingin mengantarkan nyawa saja,” kata laki-laki tua itu, akhirnya memberi tahu juga letak Lembah Neraka.

“Terima kasih, Ki,” ucap Rangga senang.

“Hati-hatilah. Kalau merasa tidak sanggup, lebih baik kembali saja. Dan, relakanlah adikmu.”

Rangga hanya tersenyum. Setelah berbasa-basi sebentar, Pendekar Rajawali Sakti kemudian berpamitan. Kembali perjalanannya dilanjutkan menuju Lembah Neraka, diiringi pandangan mata laki-laki tua pengumpul ranting kering. Sedangkan Rangga terus berjalan tanpa berpaling lagi sedikit pun. Sebentar kemudian, Pendekar Rajawali Sakti sudah tidak terlihat lagi, terhalang pepohonan yang tumbuh rapat.

***

Malam ini, bulan bersinar penuh. Begitu indah dipandang mata. Langit tampak cerah, sedikit pun tak terlihat awan menggantung. Serangga-serangga malam pun bergerit menambah semaraknya suasana. Tapi, semua itu sama sekali tidak dapat dinikmati Rangga yang dikenal sebagai Pendekar Rajawali Sakti. Pemuda berbaju rompi putih itu duduk mematung memandangi dua batu berbentuk kembar, di antara batu-batu cadas yang bertumpukan seperti sebuah benteng.

Begitu rapat pepohonan yang tumbuh di sana. Bahkan hamparan semak berduri terlihat luas, seakan menghalangi siapa saja yang mencoba masuk ke sana. Dan di balik semua itu, terdapat sebuah lembah yang dikenal sebagai Lembah Neraka. Di lembah itulah Rangga memperkirakan keberadaan Pandan Wangi. Namun sungguh tidak diketahuinya, untuk apa para penghuni Lembah Neraka menculik Pandan Wangi. Padahal selama ini, dia tidak pernah berurusan dengan mereka.

“Hm.... Sepuluh orang...,” gumam Rangga pelan sambil memandangi orang-orang yang menjaga gerbang masuk ke dalam Lembah Neraka.

Tapi Pendekar Rajawali Sakti tidak mau menganggapnya ringan. Langsung diingatnya kata-kata yang diucapkan laki-laki tua pengumpul ranting kering. Dan kalau dilihat dari penampilannya, sepuluh orang itu tentu memiliki kepandaian yang tidak rendah. Cukup lama juga Rangga mengamati keadaan sekitar tempat itu. Dan dengan cermat sekali, dipelajarinya suasana dan keadaan sekitarnya. Hingga larut malam, Pendekar Rajawali Sakti belum juga beranjak dari tempat persembunyiannya.

“Hm, ada yang datang,” gumam Rangga perlahan.

Memang sangat luar biasa ketajaman pendengaran Pendekar Rajawali Sakti. Telinganya bisa mendengar suara sekecil dan sejauh apa pun juga. Dan hal itu sangat sulit dilakukan oleh orang biasa. Kini, pandangannya langsung tertuju ke arah datangnya suara ayunan langkah kaki yang begitu ringan, dan hampir saja tidak tertangkap pendengarannya. Rangga langsung saja dapat menduga kalau orang itu memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi.

Dan tak lama kemudian, terlihat sebuah bayang-bayang tubuh seseorang dari balik kepulan kabut. Namun, masih terlalu jauh untuk bisa memastikan. Kabut yang menyelimuti sekitar Lembah Neraka ini memang sangat tebal. Maka Rangga segera mengerah-kan aji ‘Tatar Netra’, agar bisa melihat lebih jelas lagi walau dalam keadaan berkabut dan jarak yang sangat jauh.

“Wanita. Hm..., siapa dia...?” gumam Rangga perlahan.

Orang yang datang itu memang semakin jelas. Dan dia memang seorang wanita bertubuh ramping. Bahkan bisa dikatakan kecil, seperti seorang gadis berusia sekitar tiga belas tahun. Tapi dari raut wajahnya, usia wanita itu sudah seperti lebih dari dua puluh tahun. Rangga terus mengamati dengan mata tidak berkedip sedikit pun juga.

“Siapa dia? Dan apa maksudnya datang ke Lembah Neraka...?” kembali Rangga bergumam, bertanya sendiri dalam hati.

Jelas sekali terlihat kalau wanita itu berhenti tepat di balik sebongkah batu yang cukup besar, untuk melindungi dirinya. Tapi, jaraknya tidak seberapa jauh lagi dari dua batu kembar yang menjadi gerbang masuk Lembah Neraka. Dan tampaknya, dia juga mengamati para penjaga gerbang masuk ke Lembah Neraka. Dan tentu saja sikapnya menarik perhatian Pendekar Rajawali Sakti.

“Hm, aku akan coba mendekatinya. Mudah- mudahan saja tujuannya sama denganku,” ujar Rangga kembali dalam hati.

Setelah mendapat pikiran begitu, cepat Pendekar Rajawali Sakti melesat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkatan sempurna. Begitu cepat, sehingga bayangan tubuhnya pun sama sekali tidak terlihat mata biasa. Dan tahu-tahu, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada sekitar satu setengah batang tombak di belakang wanita berbaju kuning gading ini.

“Heh...?!” Wanita itu jadi terkejut setengah mati. Cepat tubuhnya diputar, dan tangan kanannya langsung mengebut ke arah Pendekar Rajawali Sakti. Seketika itu juga, terlihat sebuah benda kecil seperti sebilah pisau melesat begitu cepat bagai kilat.

“Hup!” Hanya sedikit saja Rangga mengegoskan tubuhnya, maka benda seperti pisau kecil itu lewat di samping pinggangnya. Dan dengan kecepatan luar biasa sekali, tangan kiri Pendekar Rajawali Sakti mengibas cepat. Dan tahu-tahu, pisau kecil yang dilemparkan wanita itu sudah berada dalam jepitan dua jari tangannya.

“Tahan...!” sentak Rangga cepat-cepat, begitu melihat wanita itu sudah kembali bersiap hendak menyerang.

Dan wanita itu tidak jadi menyerang. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, sikapnya tetap berjaga-jaga dari segala kemungkinan. Bahkan tangan kanannya sudah menggenggam gagang pedang yang tergantung di pinggang.

“Tunggu dulu, Nisanak. Aku rasa di antara kita mempunyai tujuan sama, sehingga datang ke Lembah Neraka ini,” kata Rangga mencoba menenangkan.

“Siapa kau?” tanya wanita berbaju kuning gading itu tegas.

“Namaku Rangga,” sahut Rangga seraya memberi senyum persahabatan.

“Hm... Mau apa kau berada di sini?”

“Adikku menjadi tawanan di sana. Dan kedatanganku untuk membebaskannya,” terdengar kalem sekali nada suara Rangga.

“Kau bukan Penghuni Lembah Neraka itu...?”

Rangga menggelengkan kepala disertai senyum manis di bibirnya. Lalu perlahan kakinya melangkah menghampiri, dan berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan wanita bertubuh ke-cil ini.

“Boleh aku tahu namamu, Nisanak...?” pinta Rangga ramah.

“Andini,” singkat sekali jawaban wanita itu.

“Dan kau sendiri, untuk apa datang ke tempat ini?” tanya Rangga lagi.

“Mereka menculik ayahku. Dan aku harus membebaskannya, sebelum mereka jadikan korban seperti pendekar-pendekar lainnya,” sahut Andini, memberi alasan.

“Siapa ayahmu?” tanya Rangga.

“Ki Carmat, Kepala Desa Tegalan.”

“Aneh.... Untuk apa mereka menculik para pendekar...?” desis Rangga seperti bertanya pada diri sendiri.

“Adikmu juga pendekar, Kisanak?”

“Ya,” sahut Rangga seraya mengangguk.

“Aku juga tidak mengerti. Tapi yang ku tahu, mereka selalu mengadakan upacara persembahan dengan mengorbankan sedikitnya lima orang pendekar dalam setiap bulan purnama,” jelas Andini.

“Setiap bulan purnama...?”

“Ya, setiap bulan purnama.”

Tanpa sadar, Rangga mendongakkan kepala ke atas. Dia tahu, dua hari lagi tepat bulan purnama. Dan itu berarti para penghuni Lembah Neraka akan mengadakan upacara persembahan, mengorbankan lima orang pendekar yang telah diculik. Dan selagi mereka terdiam, tiba-tiba saja terdengar suara-suara ribut, tepat dari arah belakang Pendekar Rajawali Sakti.

Sesaat mereka saling berpandangan, kemudian secara bersamaan berlompatan naik ke atas pohon. Seperti direncana, mereka hinggap pada dahan pohon yang sama. Tak berapa lama kemudian, terlihat sekitar enam orang berpakaian serba hitam tengah berlari-lari cepat ke arah gerbang masuk ke Lembah Neraka. Dan salah seorang tampak tengah memanggul seorang yang tengah tidak sadarkan diri.

Sementara, Rangga dan Andini masih tetap berada di atas pohon. Dan mereka baru turun, setelah orang-orang berpakaian serba hitam itu melewati gerbang batu kembar yang menjadi pintu masuk Lembah Neraka. Kini Suasana pun kembali sunyi, tanpa ada seorang pun yang berbicara lagi. Dan pandangan mereka kini tertuju lurus ke arah dua batu kembar yang menjadi gerbang masuk ke Lembah Neraka.

“Mereka mendapatkan korban lagi, Ka.... Eh, boleh aku memanggilmu Kakang...?” ujar Andini agak tersipu.

“Kenapa tidak...?” sambut Rangga diiringi senyum manisnya.

Andini membalas senyum Pendekar Rajawali Sakti itu dengan pandangan matanya yang indah dan bening.

“Bagaimana ceritanya sampai ayahmu diculik? Padahal, waktu aku pergi meninggalkan Desa Tegalan, tidak ada peristiwa apa-apa di sana,” tanya Rangga jadi ingin tahu.

“Kemarin, ayah mencoba mencari keterangan tentang pembunuhan yang terjadi di desa, yang menimpa Satria Seruling Emas dan Pendekar Tangan Besi. Dan malamnya, ayah didatangi beberapa orang yang lebih dulu melumpuhkan penjaga, kemudian membawanya pergi. Dalam keadaan tertotok lewat satu pertarungan, ayah dibawa para penculiknya ke Lembah Neraka ini. Aku baru tahu kalau tempat ini Lembah Neraka, setelah berhasil mendapat keterangan kalau yang membunuhi para pendekar adalah orang-orang Lembah Neraka.”

Rangga hanya diam mendengarkan. Namun di dalam hatinya, dia jadi heran juga. Bagaimana mungkin para pendekar bisa dibunuh dan diculik sedemikian mudah?

“Aku kagum pada pengorbananmu, Andini. Sulit mendapat orang yang mau berkorban nyawa demi ayahnya,” ujar Rangga.

“Terima kasih, Kakang,” ucap Andini sendu.

Sesaat mereka terdiam membisu. Namun sebenarnya, Rangga jadi berpikir, apakah Andini memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi untuk menghadapi para Penghuni Lembah Neraka? Tapi dari cara kedatangannya, gadis itu rasanya memang memiliki kepandaian yang bukan hanya cukup. Buktinya tingkat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sudah sangat tinggi.

Sedangkan tadi, ketika Rangga baru menemuinya, lemparan pisau gadis itu sungguh luar biasa cepatnya. Bahkan hampir saja Rangga tidak bisa menghindarinya. Rangga yakin, Andini memiliki bekal yang cukup untuk menghadapi para Penghuni Lembah Neraka. Dan rasanya, memang tidak perlu lagi menyangsikan kepandaiannya.

Hanya saja, Rangga harus berpikir keras, untuk mencari jalan yang termudah agar bisa masuk ke sana. Dan Pendekar Rajawali Sakti benar-benar merasa sangsi apakah bisa menerobos gerbang masuk yang dijaga sangat ketat itu. Terlebih lagi, mereka hanya berdua saja. Sedangkan mereka tidak tahu, berapa banyak jumlah Penghuni Lembah Neraka.

“Andini! Kau sadar kalau kita hanya berdua saja...?” ujar Rangga seraya menatap wajah gadis itu.

“Sendiri pun, aku akan masuk ke sana, Kakang. Aku rela mengorbankan nyawa demi ayahku,” sahut Andini mantap.

“Kau tahu, jumlah mereka di dalam sana?” tanya Rangga lagi.

“Aku tidak tahu pasti, Kakang. Tapi rata-rata memiliki tingkat kepandaian tinggi. Bahkan banyak orang yang mengatakan kalau mereka itu para siluman. Dan selama ini, tidak ada seorang pun yang bisa keluar dalam keadaan hidup, kalau sudah masuk ke dalam lembah itu,” jelas Andini.

Rangga mengangguk-angguk. Dan hatinya kembali cemas, kala mengingat Pandan Wangi berada di dalam lembah itu. Sudah seringkali Pendekar Rajawali Sakti mengarungi bahaya, tapi belum pernah secemas ini. Entah kenapa, hatinya jadi begitu gundah. Namun, rasa cemas dalam hatinya cepat-cepat dihilangkan. Dia tidak ingin Andini tahu kalau sedang mencemaskan Pandan Wangi. Gadis yang sebenarnya bukanlah adiknya, tapi kekasihnya.

Sementara malam terus merayap semakin larut. Sementara penjagaan di sekitar gerbang masuk ke dalam Lembah Neraka yang berbentuk dua buah batu kembar itu kelihatan semakin rapat saja. Dan kini, ada sekitar tiga puluh orang bersenjata lengkap sudah berjaga di sana. Itu berarti semakin sulit bagi Rangga dan Andini untuk masuk ke sana. Memang, terlalu besar bahayanya jika menerobos penjagaan yang sangat ketat itu.

“Rasanya, kita harus menunggu sampai pagi, Andini. Tidak mungkin menerobos masuk ke dalam sana sekarang,” kata Rangga, dengan otak terus berputar keras.

“Kau punya rencana, Kakang?” tanya Andini.

Mata gadis itu terus memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Sedangkan yang dipandangi malah mengarahkan pandangan ke gerbang masuk Lembah Neraka. Rangga tidak segera menjawab pertanyaan itu. Dan dia sendiri sebenarnya memang belum punya satu rencana pun yang bisa digunakan untuk menerobos masuk ke dalam lembah itu. Benar-benar sulit, sehingga membuat otak Pendekar Rajawali Sakti terus bekerja keras.

“Kita tunggu sampai pagi, Andini,” hanya itu yang bisa diucapkan Rangga.

Andini hanya mengangkat bahunya saja. Dan mereka jadi terdiam membisu, dengan pikiran terus berkecamuk untuk mencari jalan agar bisa masuk ke dalam Lembah Neraka. 

***
ENAM
Rangga memandangi Andini yang kelihatannya tertidur pulas, di balik sebatang pohon yang sangat besar dan rapat oleh semak belukar. Perlahan-lahan Pendekar Rajawali Sakti melangkah meninggalkannya. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kakinya terayun. Dan Pendekar Rajawali Sakti baru berlari cepat, setelah jaraknya cukup jauh dari tempat Andini tertidur pulas.

Sementara, sekarang ini malam sudah hampir berganti pagi. Walaupun matahari belum lagi menampakkan diri, namun sesekali sudah terdengar ayam jantan berkokok. Dan udara pun sudah mulai terasa berganti. Rangga terus berlari dengan kecepatan sangat tinggi, dan baru berhenti setelah sampai di tempat yang agak lapang.

“Terpaksa, aku harus meminta bantuan Rajawali Putih,” gumam Rangga perlahan.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak, lalu menarik napas dalam-dalam beberapa kali. Dan kepalanya segera mendongak ke atas, memandang langit yang masih kelihatan gelap menghitam. Kemudian....

“Suiiit…!”

Begitu nyaring dan melengking tinggi siulan Pendekar Rajawali Sakti. Dan nadanya juga terdengar sangat panjang, serta begitu aneh ditangkap telinga. Beberapa saat lamanya pemuda berbaju rompi putih itu menunggu, kemudian kembali memperdengarkan siulannya.

“Suiiit..!”

Dan kali ini cukup lama juga Rangga menunggu. Kepalanya masih terus menengadah ke atas, meman-dangi langit yang kini mulai kelihatan memerah. Ke-mudian, bibirnya terlihat menyunggingkan senyuman saat melihat sebuah titik hitam bercahaya keperakan di angkasa.

“Suiiit...! Kemari, Rajawali...!” seru Rangga keras, disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

“Khraaagkh...!”

Tampak seekor burung rajawali berbulu putih keperakan meluncur secepat kilat di angkasa. Dari sebuah titik yang terlihat kini tampak jelas bentuknya.

Wut!

Sebentar saja burung rajawali putih raksasa itu mendarat tidak jauh di depan Pendekar Rajawali Sakti. Walaupun tubuhnya hampir sebesar bukit, tapi ketika mendarat terasa begitu ringan. Rangga bergegas menghampiri, dan memeluk leher burung raksasa itu.

“Khrrr...!”

“Aku perlu bantuanmu membebaskan Pandan Wangi, Rajawali,” kata Rangga.

“Khragkh!”

“Ayolah, kita tidak punya waktu banyak. Hup...!”

Ringan sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat ke punggung Rajawali Putih. Dan begitu lehernya ditepuk tiga kali, secepat kilat Rajawali Putih melesat, melambung tinggi ke angkasa. Dan dalam sekejapan mata saja, Rajawali Putih sudah berada di atas awan.

“Khraaagkh...!”

“Ke arah sana, Rajawali...!” seru Rangga sambil menunjuk.

“Khragkh!”

“Jangan terlalu tinggi, Rajawali!”

Rajawali Putih segera merendahkan terbangnya, sehingga Rangga bisa melihat jelas ke bawah. Dan sebentar saja, mereka sudah berada di atas Lembah Neraka. Agak tertegun juga Pendekar Rajawali Sakti saat itu. Ternyata yang dinamakan Lembah Neraka hanya sebuah lembah kecil yang tidak begitu menarik untuk dilihat. Yang ada dalam lembah itu hanya batu-batuan saja. Tapi, di tengah-tengahnya terdapat sebuah bangunan yang sangat besar ukurannya, mirip sebuah istana.

Tapi bangunan itu sama sekali tidak dikelilingi tembok, sebagaimana layaknya sebuah istana. Dan yang menjadi benteng bangunan itu hanya dinding-dinding lembah yang terdiri dari bebatuan saja. Tapi, itu juga sudah merupakan benteng pertahanan yang sukar sekali ditembus. Namun yang menjadi perhatian Pendekar Rajawali Sakti adalah keadaan di sekitar lembah yang kelihatan sunyi tanpa penghuni. Sementara, matahari sudah mulai menampakkan cahayanya di ufuk timur. Bias cahayanya menghangatkan udara di pagi ini.

“Hm.... Ke mana para penjaga gerbang itu...?” gumam Rangga bertanya sendiri.

Pendekar Rajawali Sakti memang tidak melihat seorang penjaga pun di sekitar gerbang masuk ke dalam lembah yang berbentuk dua buah batu kembar. Padahal, semalam gerbang masuk itu dijaga ketat Sedangkan pagi ini, tak seorang penjaga pun terlihat.

“Heh...?!”

Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti jadi terkejut, begitu melihat Andini mengendap-endap, mendekati gerbang masuk yang kini sudah tidak lagi dijaga. Gadis itu kelihatan sudah dekat dengan dua batu kembar yang menjadi pintu masuk satu-satunya ke Lembah Neraka ini. Sementara, Rangga terus mengawasi dari angkasa.

“Turunkan aku di dalam lembah itu, Rajawali. Dan kau boleh cepat pergi, tapi jangan terlalu jauh dari sini,” ujar Rangga. Agak keras suaranya, untuk menghilangkan angin yang menderu kencang di telinganya.

“Khraaagkh...!”
“Hup!”

Dengan gerakan ringan sekali, Rangga melompat turun dari punggung Rajawali Putih. Lalu, burung rajawali raksasa itu kembali melambung tinggi ke angkasa dengan kecepatan bagai kilat. Sebentar Rangga mendongak ke atas, menatap Rajawali Putih yang berputar-putar mengelilingi lembah ini. Dan bibirnya segera tersenyum, melihat Rajawali Putih masih tetap menungguinya dari angkasa.

Kemudian, pandangannya beredar ke sekeliling. Rajawali Putih memang telah menurunkannya tepat di depan bangunan besar dari tembok batu bagai istana, yang ada tepat di tengah-tengah Lembah Neraka ini. Dan belum lagi Pendekar Rajawali Sakti bisa ber-buat sesuatu, tiba-tiba saja dari sekelilingnya berhamburan anak-anak panah ke arahnya. Sesaat pemuda berbaju rompi putih itu jadi terkesiap, kemudian....

“Hup! Yeaaah...!”

Sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat sempurna, Rangga melenting ke atas. Lalu dengan cepat sekali, kedua tangannya dikembangkan ke samping. Dan bagai kilat, kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti bergerak mengibas, menangkis anak-anak panah yang berhamburan di sekitar tubuhnya. Dari gerakan-gerakannya yang begitu cepat, jelas kalau Rangga tengah mengerahkan jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’ tingkat terakhir.

Begitu cepat gerakan-gerakan yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga sangat sulit terlihat oleh mata biasa. Dan yang terlihat hanya bayangan putih berkelebat, menyambar anak-anak panah yang berhamburan di sekitarnya. Akibatnya, anak-anak panah itu berpentalan ke segala arah. Bahkan tidak sedikit yang berpatahan menjadi beberapa bagian.

“Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Rajawali Sakti terus melenting mendekati bangunan besar bagai istana di tengah-tengah Lembah Neraka ini. Lalu dengan gerakan manis sekali, tubuhnya melambung tinggi ke atas dan hinggap di atas tembok bangunan istana yang paling tinggi. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sedikit pun tidak menimbulkan suara saat kedua kakinya mendarat.

Dan pada saat itu juga, anak-anak panah yang tadi berhamburan di sekitar tubuhnya berhenti menyerang. Dan Rangga tetap berdiri tegak di atas tembok bangu-nan itu. Pandangan matanya beredar ke sekeliling, tapi tak seorang pun yang terlihat. Yang ada di sekelilingnya hanya pohon dan bebatuan saja. Begitu sunyi keadaan di dalam Lembah Neraka ini.

“Hm....” Perlahan Rangga menggumam.

Dan kelopak matanya jadi menyipit, begitu melihat Andini masuk ke dalam lembah ini, melewati gerbang yang berbentuk dua buah batu kembar. Gadis itu melangkah hati-hati sekali. Di tangan kanannya, sudah tergenggam sebilah pedang yang berkilatan tertimpa cahaya matahari! Dan begitu gadis itu berada tepat di depan bangunan berbentuk istana ini, mendadak saja puluhan batang anak panah berhamburan ke arahnya. Akibatnya gadis itu jadi terkesiap setengah mati.

“Hup! Hiyaaat..!”

Belum juga Andini dapat berbuat sesuatu, Rangga sudah melesat begitu cepat bagai kilat, mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepat gerakannya, sehingga dalam sekejap mata saja tubuh Andini sudah disambarnya, dan langsung dibawa ke atas tembok bangunan besar ini.

“Kakang...!” desis Andini terkejut.

Rangga tidak sempat lagi memperhatikan gadis ini, karena sibuk memperhatikan arah datangnya anak-anak panah yang tadi juga menyerang dirinya, tepat di tempat Andini berdiri tadi.

“Hm...,” kembali Rangga menggumam perlahan. Jelas sekali, Pendekar Rajawali Sakti melihat kalau anak-anak panah itu muncul dari balik batu-batu dan pepohonan yang banyak tersebar di sekitar Lembah Neraka ini. Tapi dari tempat munculnya, tidak terlihat seorang pun. Dan ini membuat kelopak mata Pendekar Rajawali Sakti jadi menyipit.

“Kau tunggu di sini, Andini. Jangan ke mana-mana dulu sampai aku kembali,” pesan Rangga.

Belum juga Andini bisa membuka mulutnya, Pendekar Rajawali Sakti sudah melesat cepat bagai kilat. Dan ini membuat Andini jadi terlongong bengong, seperti bermimpi melihat kecepatan melesat pemuda tampan berbaju rompi putih ini. Begitu cepatnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah berada di atas sebongkah batu, tempat anak-anak panah yang menyerangnya terlihat muncul tadi.

“Edan...!” Rangga jadi mendesis geram.

Ternyata anak-anak panah itu berasal dari sebuah alat yang bisa meluncurkan sendiri anak panah. Dan ketika melihat ratusan anak panah sudah kembali terpasang dan siap dilepaskan, Pendekar Rajawali Sakti sudah kembali melenting cepat dan ringan sekali. Lalu, kakinya hinggap dari satu batu ke batu lain dan dari satu pohon ke pohon lain. Begitu banyak sekali alat pelontar anak panah yang ditemui. Dan semuanya, terarah ke depan bangunan besar itu. Sambil mendesis geram, Rangga menghancurkan alat-alat pelontar panah menggunakan pukulan-pukulan dahsyat.

“Huh!” Pendekar Rajawali Sakti berdiri tegak di atas batu, setelah menghancurkan alat-alat pelontar anak panah itu. Kemudian dengan satu lesatan indah dan ringan sekali, Pendekar Rajawali Sakti berpindah ke depan pintu bangunan besar seperti istana ini. Kini tidak lagi terlihat adanya serangan anak panah, begitu kakinya menjejak tanah yang berumput cukup tebal ini. Kepalanya segera mendongak ke atas, menatap Andini yang masih berdiri di atas tembok.

“Kau bisa turun ke sini, Andini...!” seru Rangga, agak keras suaranya.

“Hup!”

Andini langsung saja melenting ke bawah, tanpa menjawab kata-kata Pendekar Rajawali Sakti lagi. Beberapa kali tubuhnya berputaran dengan gerakan indah sekali. Kemudian, kedua kakinya mendarat tepat di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Rangga hanya tersenyum sedikit melihat kelincahan gadis ini. Telinganya yang tajam, masih sempat mendengar adanya suara saat kedua kaki Andini menjejak tanah tadi. Dan itu, berarti ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Andini masih berada di bawahnya. Tapi dalam hati, Rangga sudah mengakui kalau gadis ini memiliki kepandaian yang cukup bisa diandalkan.

“Kita sudah berada dalam sarang mereka, Andini. Dan kuminta, kau harus lebih berhati-hati lagi,” pesan Rangga.

“Tapi, Kakang.... Kenapa keadaannya sepi begini?” tanya Andini, sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Entahlah...,” sahut Rangga agak mendesah. "Tapi dalam keadaan bagaimanapun juga, jangan bertindak gegabah. Mungkin saja keadaan yang sepi seperti ini malah lebih berbahaya.”

“Baik, Kakang,” sahut Andini seraya mengangguk.

Beberapa saat mereka terdiam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Memang benar-benar sunyi keadaan di sekitar Lembah Neraka ini. Sama sekali tidak ada seorang pun yang terlihat di sini. Bahkan suara binatang pun sama sekali tidak terdengar. Hanya desir angin saja yang terdengar, mengusik gendang telinga.

Diam-diam Rangga mengerahkan aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’. Sebuah ilmu kesaktian yang digunakan hanya untuk menajamkan pendengaran, agar bisa menangkap suara-suara sekecil apa pun lebih jelas lagi. Bahkan bisa memilah-milah suara yang diinginkan.

Namun, kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut dalam, karena tidak mendengar suara apa-apa yang menandakan kalau di Lembah Neraka ini ada kehidupan. Dan hanya terdengar desir angin saja. Maka, Rangga segera menarik kembali aji kesaktiannya.

“Apakah sebaiknya kita masuk saja, Kakang? Barangkali saja ada sesuatu yang bisa ditemukan, dan bisa menjadi petunjuk,” ujar Andini memberi saran.

“Baiklah. Tapi harus hati-hati. Barangkali saja di sekitar bagian dalam bangunan ini telah dipasangi banyak jebakan seperti tadi,” kata Rangga masih memperingatkan gadis itu.

Andini hanya tersenyum saja. Entah apa arti dari senyumannya. Sementara Rangga sudah mulai mengayunkan kakinya, mendekati pintu gerbang masuk istana yang terbuat dari kayu jati berukuran sangat besar dan tebal. Sedangkan Andini hanya mengikuti dari belakang, berjarak sekitar satu tombak. Saat itu, Rangga sudah berada tepat sekitar tiga langkah lagi di depan pintu. Sebentar diamatinya pintu kayu jati yang berukuran sangat besar, tebal, dan kokoh ini.

“Hm....” Perlahan Rangga menjulurkan tangannya, dan mulai mendorong pintu itu. Aneh.... Pintu itu tidak terkunci sama sekali, sehingga mudah sekali Pendekar Rajawali Sakti mendorongnya hingga terbuka. Bunyi bergerit terdengar keras menggiris telinga. Rangga kembali melangkah perlahan-lahan, sambil terus mendorong pintu itu, agar terbuka lebih lebar lagi.

Sedikit demi sedikit, pintu itu terus bergerak terbuka. Dan Rangga berhenti melangkah, setelah sampai tepat di ambang pintu. Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengamati keadaan bagian dalam bangunan besar bagai istana ini. Begitu luas bagian dalamnya, tapi kelihatannya tidak pernah terawat. Dan sepertinya, lantai bangunan yang keras dan berkilat ini tidak pernah terinjak kaki manusia.

Jelas sekali terlihat kalau lantai itu sudah terlapisi debu cukup tebal. Dan pada langit-langitnya, dipenuhi sarang laba-laba. Sementara, Andini yang sudah berada di sebelah kanan Pendekar Rajawali Sakti segera mengedarkan pandangan untuk mengamati bagian dalam bangunan besar bagai istana ini.

“Ayo masuk, Kakang,” ajak Andini.

“Tunggu dulu...!” cegah Rangga cepat sambil merintangkan tangannya, mencegah Andini yang akan melangkah masuk ke dalam bangunan istana ini.

Andini jadi memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti. Dia jadi tidak mengerti, kenapa Rangga mencegahnya. Padahal, tujuan mereka datang ke lembah ini sama-sama ingin membebaskan orang yang dicintainya. Tapi, kelihatannya Rangga sekarang justru ragu-ragu.

“Kau tidak melihat adanya keanehan di sini, Andini...?” ujar Rangga bernada seperti bertanya pada diri sendiri.

“Hm...,” Andini hanya menggumam perlahan saja. Kening gadis itu jadi berkerut. Dan kelopak matanya pun kelihatan menyipit.

Sebentar dipandanginya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti di sampingnya. Kemudian, pandangannya beredar ke sekeliling, dan kembali ke wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Pada saat yang sama, Rangga juga berpaling menatapnya. Hingga, tatapan mata mereka bertemu untuk beberapa saat. Tapi, Andini cepat berpaling ke arah lain. Entah kenapa, tiba-tiba saja dadanya berdegup kencang, saat pandangannya bertemu pandangan mata Pendekar Rajawali Sakti.

“Kita akan terus berdiri di sini sampai malam, Kakang...?” desis Andini, agak dalam nada suaranya terdengar.

Rangga jadi tersenyum. “Kau jangan jauh-jauh di belakangku, Andini,” ujar Rangga meminta.

Andini hanya menganggukkan kepala saja. Entah kenapa, dia jadi begitu percaya akan kemampuan pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih ini. Mungkin saja karena tadi nyawanya sempat diselamatkan dari serbuan anak panah yang terlontar melalui suatu alat yang bisa bekerja sendiri.

Sementara, Rangga mulai mengayunkan kakinya, memasuki bangunan besar bagai istana di tengah-tengah Lembah Neraka ini. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tidak berkedip sedikit pun merayapi sekelilingnya. Juga, dikerahkannya aji ‘Pembeda Gerak dan Suara’ agar pendengarannya lebih tajam lagi.

Sedangkan Andini benar-benar tidak jauh di belakang Pendekar Rajawali Sakti. Dan tangan kanannya juga masih tetap menggenggam pedang yang melintang di depan dada. Rangga terus berjalan perlahan-lahan, menyeberangi ruangan depan bangunan besar yang sangat luas ini. Tidak terlihat satu pun adanya perabotan. Ruangan yang kelihatan lapang ini tampak begitu kotor berdebu.

Pendekar Rajawali Sakti memperlambat ayunan kakinya, setelah dekat dengan sebuah tangga berbentuk setengah melingkar dari batu yang disusun rapi. Sebentar kepalanya mendongak ke atas. Ditelitinya keadaan, kalau-kalau ada jebakan lagi yang sewaktu-waktu bisa datang mengambil nyawanya. Setelah merasa aman, baru Pendekar Rajawali Sakti kembali melangkah perlahan-lahan.

Satu persatu mulai dinaikinya anak tangga yang terbuat dari batu ini. Sikapnya masih terus waspada. Mereka terus melangkah, meniti anak-anak tangga ini. Sampai di tengah-tengah, tidak juga ditemukan adanya jebakan. Dan Rangga terus saja melangkah meniti anak-anak tangga ini, sampai akhirnya tiba di ujung atas tangga.

Rangga terus saja melangkah. Pandangan matanya tertuju langsung ke sebuah pintu yang tertutup rapat. Kembali langkahnya berhenti setelah melewati tangga batu yang setengah melingkar ini. Kepalanya berpaling sedikit, menatap Andini yang masih berada di belakangnya.

“Kau pernah masuk ke dalam sini, Andini?” tanya Rangga dengan suara begitu pelan.

“Belum,” sahut Andini seraya menggeleng.

“Tapi aku sering mendengar cerita tentang lembah ini.”

“Lalu, bagaimana menurutmu?” pancing Rangga ingin tahu.

“Terus terang, tidak seperti bayanganku semula,” sahut Andini seraya mengangkat bahu sedikit.

Rangga hanya tersenyum saja mendengar jawaban gadis itu. Kemudian kakinya kembali terayun, mendekati pintu. Dengan tangan kiri, diberinya isyarat agar Andini tidak mengikutinya. Maka, gadis itu tidak jadi melangkah mendekati. Hanya diperhatikannya saja Pendekar Rajawali Sakti yang sudah mulai mendorong pintu perlahan-lahan. Suara bergerit kembali terdengar menggiris.

“Ada yang kau temukan, Kakang...?” tanya Andini, setelah melihat pintu itu terbuka setengahnya.

“Kosong.... Tidak ada apa-apa di sini,” sahut Rangga seraya berbalik.

“Periksa yang lainnya, Kakang,” pinta Andini setengah merengek.

“Hm, ayolah...,” sahut Rangga setengah menggumam.

Tanpa bicara lagi, mereka mulai membuka satu persatu pintu-pintu yang ada di dalam bangunan besar seperti istana ini. Dan keadaannya benar-benar kosong. Debu begitu tebal melapisi lantai. Bangunan ini benar-benar seperti sudah bertahun-tahun tidak pernah lagi diinjak kaki manusia. Semua pintu sudah diperiksa, dan semuanya dalam keadaan kosong. Memang tidak ada yang bisa ditemukan.

Mereka kembali menuju tangga, dan terus bergerak turun. Dititinya anak-anak tangga dari batu yang setengah melingkar ini, setelah semua sudut di lantai atas ini diperiksa. Tidak sedikit pun ditemukan adanya tanda-tanda kehidupan. Bahkan satu barang pun sama sekali tidak ditemukan.

***
TUJUH
Dengan sikap dan ayunan langkah hati-hati sekali, Rangga dan Andini terus memeriksa setiap ruangan serta sudut bagian dalam bangunan berukuran sangat besar bagai istana ini. Tapi sudah seluruh ruangan dijelajahi, tidak juga ditemukan adanya tanda-tanda kehidupan. Bahkan sedikit pun tidak terlihat adanya jejak-jejak kaki manusia. Seluruh lantai di dalam bangunan ini dipenuhi debu yang cukup tebal. Dan dari keadaan seperti itu, bangunan istana ini seakan-akan sudah tidak dihuni sama sekali.

“Edan...! Ke mana Penghuni Lembah Neraka ini...?” dengus Rangga agak mendesis.

Nadanya seperti bertanya pada diri sendiri. Sementara, Andini hanya diam saja. Dia juga tidak mengerti, kenapa bangunan istana di Lembah Neraka ini jadi kosong, tidak berpenghuni sama sekali. Padahal semalam, jelas sekali terlihat kalau lembah ini dijaga ketat. Bahkan ada beberapa orang yang datang ke lembah ini, membawa seorang pendekar yang akan dijadikan tumbal persembahan pada bulan purnama nanti.

Tapi sekarang.... Sulit dimengerti. Lembah Neraka ini benar-benar kosong tidak berpenghuni lagi. Seluruh ruangan di dalam bangunan istana ini juga sudah diperiksa, tapi tak satu manusia pun dijumpai. Bahkan semut pun tidak juga terlihat. Dan hal ini membuat Rangga dan Andini jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Benar-benar aneh Lembah Neraka dan penghuninya ini.

Rangga jadi teringat cerita-cerita mengenai Lembah Neraka ini. Tidak sedikit orang yang mengatakan kalau Lembah Neraka dihuni siluman yang keluar hanya pada malam hari saja. Tapi, Rangga tidak percaya kalau mereka adalah makhluk-makhluk halus yang bersembunyi pada siang hari, dan baru keluar dari sarangnya kalau malam menjelang.

Dia berpikir, di dalam bangunan besar bagai istana ini pasti memiliki satu pintu dan tempat yang sangat rahasia. Hingga, tidak seorang pun yang bisa mengetahuinya, kecuali para Penghuni Lembah Neraka ini.

Dan selagi mereka berdua diliputi berbagai macam pertanyaan yang membingungkan, tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh terdengarnya langkah kaki beberapa orang dari arah depan. Sesaat Rangga dan Andini saling berpandangan, kemudian....

“Ikuti aku, Andini. Hup...!”

Cepat sekali Rangga melompat ke atas, dan begitu ringannya mendarat tepat di jendela batu yang cukup besar untuk tubuhnya. Saat itu, Andini juga sudah melesat mengikuti. Gadis ini hinggap tepat di samping kanan Pendekar Rajawali Sakti. Dan tak berapa lama kemudian, terlihat seorang wanita tua berjalan yang diikuti seorang laki-laki berusia setengah baya, dan dua orang pemuda berpakaian serba merah. Dari lubang jendela yang cukup tersembunyi letaknya, Rangga langsung bisa mengenali orang-orang yang baru datang itu.

Mereka tidak lain Nyai Balung Wungkul yang dikenal berjuluk Iblis Tongkat Permata. Sedangkan laki-laki setengah baya berbaju merah menyala adalah Suro Gading. Sementara dua orang pemuda berbaju merah yang berjalan paling belakang adalah dua orang pengikut Suro Gading. Mereka berja-lan cepat-cepat, seperti sedang diburu sesuatu. Tanpa ada yang tahu, tepat di atas jendela yang mereka lewati, Rangga dan Andini bersembunyi.

“Siapa mereka, Kakang?” tanya Andini, berbisik.

“Nyai Balung Wungkul dan Suro Gading. Sedangkan dua orang lagi pengikut Suro Gading,” sahut Rangga.

“Mau apa mereka datang ke sini, Kakang? Apakah tujuan mereka sama...?” tanya Andini lagi, masih dengan suara berbisik perlahan.

Rangga hanya diam saja, tidak menjawab pertanyaan gadis itu. Dia sendiri tidak tahu, untuk apa Nyai Balung Wungkul ada di Istana Lembah Neraka ini. Dan tampaknya, mereka tahu betul seluk-beluk bangunan istana ini. Tanpa bersuara sedikit pun, Pendekar Rajawali Sakti segera melompat turun. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian manis sekali kedua kakinya menjejak tanah.

Andini bergegas mengikuti Pendekar Rajawali Sakti. Gadis itu juga melompat turun dengan gerakan indah dan manis sekali. Entah kenapa, Rangga jadi tersenyum setelah gadis itu menjejakkan kakinya dengan ringan di sebelahnya. Andini sempat melihat senyuman tersungging di bibir pemuda itu, jadi mendelik dan mendengus kecil.

“Kenapa kau tersenyum, Kakang?” dengus Andini menegur.

“Tidak apa-apa,” sahut Rangga seenaknya.

Andini hanya memberengut saja. Dia tahu, pemuda tampan berbaju rompi putih itu tadinya mengira kalau dirinya tidak bisa apa-apa. Tapi kenyataannya, ilmu meringankan tubuh yang dikuasainya saja sudah tinggi. Dan tentu ilmu olah kanuragannya juga tidak bisa dipandang ringan lagi. Mungkin inilah yang membuat Pendekar Rajawali Sakti jadi tersenyum.

“Ayo, jangan sampai kita kehilangan jejak mereka. Barangkali saja, mereka membawa kita ke tempat persembunyian para Penghuni Lembah Neraka,” ajak Rangga.

Andini hanya menganggukkan kepala saja, kemudian melangkah mengikuti ayunan langkah kaki Pendekar Rajawali Sakti. Dan langkah kakinya disejajarkan di sebelah kiri. Sementara, Rangga terus berjalan tanpa menoleh lagi sedikit pun juga. Dan pandangannya yang tajam terus tertuju pada Nyai Balung Wungkul, Suro Gading, dan dua orang anak muda pengikutnya yang berjalan cukup jauh di depan.

Mereka berjalan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, sehingga sedikit pun tidak terdengar suara hentakan kakinya. Sesekali mereka berhenti dan cepat-cepat berlindung di balik dinding tembok bangunan istana ini, bila Nyai Balung Wungkul atau Suro Gading berpaling ke belakang.

“Sepertinya mereka sudah merasa kalau sedang diikuti, Andini,” bisik Rangga pelan, saat bersembunyi di balik dinding tembok.

Sementara matanya tidak berkedip, terus memperhatikan orang-orang itu.

“Biarkan saja mereka jauh dulu, Kakang,” ujar Andini memberi usul.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit.

Mereka melihat, orang-orang yang diikuti berbelok, masuk ke dalam sebuah kamar. Suro Gading yang membuka pintu kamar itu. Sementara dua orang pengikutnya tetap berada di luar. Mereka menjaga pintu yang kembali tertutup rapat, setelah Nyai Balung Wungkul dan Suro Gading berada di dalam. Di lain tempat, Rangga dan Andini tetap memperhatikan dan menunggu dari balik dinding batu tembok tempat persembunyian.

Cukup lama mereka menunggu, tapi Nyai Balung Wungkul dan Suro Gading tidak keluar lagi dari dalam kamar yang pintunya tertutup rapat itu. Dan mereka sudah tidak sabar lagi menunggu. Sedangkan dua orang pengikut Suro Gading, tetap saja menjaga di depan pintu.

“Kau pancing mereka, Andini. Aku akan menyelinap dari belakang,” kata Rangga.

“Baik Tapi, hati-hati,” sahut Andini.

“Hup!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Rangga segera melesat diikuti pandangan mata gadis itu. Dan ketika Rangga lenyap di balik tikungan lorong ini, Andini segera menutupi kepala dan sebagian wajahnya dengan kain kerudung berwarna jingga. Kemudian kakinya melangkah ringan menghampiri dua orang pengikut Suro Gading yang menjaga pintu. Kedua pemuda itu agak terkejut juga saat melihat ada wanita berjalan seorang diri dalam lorong bangunan istana ini.

Sementara, Andini terus saja berjalan semakin dekat. Sengaja sebagian wajahnya ditutupi, agar tidak terlihat jelas oleh kedua pemuda pengikut Suro Gading itu. Dan secara sengaja pula jalannya dibuat perlahan-lahan, sambil menunggu Rangga yang mengambil jalan memutar dari belakang.

“Hei, berhenti...!” bentak salah seorang pemuda itu, begitu Andini tinggal sekitar satu batang tombak lagi jaraknya.

Andini segera berhenti. Sedangkan kedua pemuda itu saling melemparkan pandangan sejenak, kemudian salah seorang melangkah hendak menghampiri gadis ini. Tapi baru juga berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja....

Diegkh!
Hegkh!
“Heh...?!”
“Hih!”
Buk!
“Ugkh...!”

Begitu cepat terjadinya, karena tahu-tahu saja kedua pemuda pengikut Suro Gading itu sudah ambruk ke lantai, tidak bergerak-gerak lagi. Andini segera membuka kain kerudung yang menutupi kepalanya. Dan bibirnya segera tersenyum melihat Rangga sudah berdiri di depan pintu, di antara dua pemuda yang tergeletak tak bergerak-gerak lagi. Entah apa yang dilakukan Pendekar Rajawali Sakti, Andini sendiri sampai tidak sempat melihat. Begitu cepat tindakannya, sehingga sangat sulit diikuti pandangan mata biasa.

“Kau masuk lebih dulu, Andini...?” Rangga menawarkan.

“Kau saja, Kakang,” sambut Andini seraya tersenyum.

Rangga juga membalas senyuman gadis itu, kemudian menghampiri pintu yang terbuat dari kayu jati berukuran tebal ini. Sebentar diamati, kemudian perlahan-lahan tangannya menjulur ke depan. Lalu hati-hati sekali mulai didorongnya pintu yang tertutup rapat itu. Suara bergerit terdengar, membuat hati yang mendengarnya jadi terasa tergiris.

“Kosong...?!” desis Rangga hampir tidak terdengar suaranya.

“Mustahil...!” Andini juga mendesis, seraya menjulurkan kepala masuk ke dalam kamar yang pintunya sudah terbuka lebar. Dan memang, di balik pintu kayu jati berukuran tebal itu terdapat sebuah ruangan yang berukuran cukup luas. Tapi tidak ada seorang pun di dalam ruangan ini. Bahkan tidak terlihat ada satu benda pun di dalam sana. Benar-benar sebuah ruangan yang kosong, tanpa isi satu benda pun juga. Dan tak hanya Andini yang terlongong bengong, bahkan Rangga juga jadi keheranan.

Sungguh sulit dimengerti semua yang dialaminya di Lembah Neraka ini. Belum juga rasa keheranan mereka bisa hilang, mendadak saja dari arah belakang berdesir hembusan angin yang begitu kuat. Akibatnya kedua anak muda itu jadi tersentak kaget setengah mati. Namun, hembusan angin itu demikian kuat, sehingga mereka tidak sempat lagi bertindak. Dan....

Bruk!

Mereka jatuh bergulingan di lantai kamar ini. Dan keras sekali punggung Rangga menghantam dinding tembok. Akibatnya dinding batu itu hancur berkeping-keping. Untung saja Pendekar Rajawali Sakti sudah cepat bisa menguasai diri, dan langsung melompat sambil menyambar tubuh Andini yang masih saja menghantam tiang batu di tengah-tengah ruangan ini.

“Hap!”

Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga mudah dan manis sekali bisa menjejakkan kalanya di lantai. Lalu diturunkannya tubuh mungil gadis itu.

“Ha ha ha...!”

“Siapa itu yang tertawa, Kakang...?” tanya Andini, seperti untuk diri sendiri.

“Hm....” Belum juga pertanyaan Andini bisa terjawab, tiba-tiba saja di depan mereka mengepul asap cukup tebal dari dalam lantai. Dan begitu asap putih bergumpal itu menghilang, tahu-tahu di depan kedua anak muda ini sudah berdiri sekitar dua puluh orang laki-laki berusia muda, dengan senjata pedang terhunus berkilatan, tergenggam di tangan masing-masing.

“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”

Tanpa ada yang bicara, mereka langsung saja berlompatan menyerang. Akibatnya, kedua anak muda itu jadi terkejut untuk sesaat. Namun pada saat sebilah pedang berkelebat cepat bagai kilat, Rangga cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang sedikit, dan langsung berputaran sambil melepaskan satu tendangan keras disertai pengerahan tenaga dalam sempurna.

“Yeaaah...!”
Desss!

Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti, sehingga tidak dapat dibendung lagi. Maka pemuda yang menyerangnya seketika terpental deras ke belakang, sambil mengeluarkan pekikan keras melengking tinggi. Nyawanya langsung melayang seketika, begitu tubuhnya keras sekali menghantam lantai.

“Hiyaaat..!”

Pada saat yang bersamaan, Andini sudah bergerak cepat sekali sambil mencabut pedangnya, dan langsung dikebutkan lewat pengerahan tenaga dalam tinggi. Begitu cepat kebutannya sehingga dua orang yang berada di dekatnya tidak dapat lagi menghindar. Jeritan panjang melengking pun seketika terdengar begitu menyayat. Terlihat dua orang pemuda itu terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang sobek mengucurkan darah.

“Hiyaaa...!”

Tanpa membuang-buang waktu lagi, Andini segera melenting. Dan sambil berputaran, pedangnya dikebutkan beberapa kali dengan kecepatan luar biasa sekali. Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi pun langsung terdengar kembali, bersamaan berkelebatnya pedang di tangan gadis itu.

Sementara, Rangga yang tidak mengeluarkan senjatanya juga tidak kalah dahsyat. Setiap pukulan dan tendangan yang dilepaskan, selalu menimbulkan korban. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja, pemuda-pemuda yang bermunculan dari segumpal asap itu sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Kini, tak seorang pun yang terlihat masih bisa berdiri.

“Hup!”

Andini cepat-cepat melompat menghampiri Rangga yang berdiri di ambang pintu kamar ini. Sesaat mereka merayapi tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Darah tampak mengucur, menggenangi lantai yang keras dan berkilat ini.

“Hm...,” sedikit Rangga menggumam, sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayo kita keluar. Andini.”

Tapi belum juga mereka melangkah keluar dari ruangan berukuran cukup besar ini, tiba-tiba saja pintu kamar itu bergerak menutup sendiri. Maka kedua anak muda itu jadi tersentak kaget setengah mati. Begitu terkejutnya, sampai-sampai terlompat ke belakang beberapa langkah. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, tiba-tiba saja dinding-dinding kamar ini bergerak melesak masuk ke dalam tanah, membuat lantai yang dipijak jadi bergetar bagai diguncang gempa.

“Ada apa ini...?” desis Andini tidak mengerti.

Belum juga Andini bisa menjawab pertanyaan itu, dari balik dinding yang bergerak turun bermunculan orang-orang yang masih berusia muda bersenjata pedang yang terlintang di depan dada. Sebentar saja, seluruh ruangan ini sudah terkepung puluhan pemuda yang bersenjata pedang.

Sekitar tiga batang tombak jauhnya di depan Rangga, berdiri seorang pemuda berwajah tampan. Bajunya dari sutera halus yang sangat indah sekali. Dan kehadirannya ternyata juga didampingi Nyai Balung Wungkul dan Suro Gading. Pemuda berwajah tampan berbaju sutera halus berwarna biru muda itu melangkah beberapa tindak ke depan. Walaupun wajahnya terlihat tampan, tapi sorot mata dan bentuk bibirnya memancarkan kebengisan.

“Siapa kalian? Berani mengacau istanaku...!” terdengar dingin dan dalam sekali nada suara pemuda itu.

“Aku Rangga, dan ini Andini. Kami datang bukan untuk mengacau, tapi untuk meminta kembali orang-orang yang kami cintai, yang kau culik ke sini!” tegas Rangga.

“Ha ha ha...!”

pemuda itu tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti. Seakan-akan, kata-kata Rangga tadi menggelitik tenggorokannya. Sehingga, membuatnya jadi tertawa terbahak-bahak seperti itu.

Sedangkan Rangga dan Andini hanya diam saja, menatap pemuda itu dengan sinar mata tajam.

“Kembalikan ayahku, Iblis!” bentak Andini lantang menggelegar.

“Ha ha ha...! Kau bisa galak juga, Perempuan Keparat! Asal kau tahu saja. Aku hanya membutuhkan tenaga mereka saja untuk kuambil kesaktiannya. Dan kau.... Datang ke sini hanya mengotori istanaku saja. Sebaiknya, kau mampus lebih dulu. Hih!”

Cepat sekali gerakan tangan pemuda itu. Begitu selesai berkata, secepat itu pula tangannya mengibas ke depan. Dan dari telapak tangannya yang terbuka, melesat sebuah benda bulat kecil berwarna merah menyala bagaikan titik api.

“Haiiit..!” Wuk!

Andini cepat-cepat mengebutkan pedangnya, menangkis serangan pemuda tampan berbaju dari bahan sutera halus itu.

Tring! “Ikh...?!”

Andini jadi terpekik, begitu pedangnya membentur benda kecil merah seperti titik api itu. Bahkan tubuhnya sampai terdorong dua langkah ke belakang. Dan semakin terkejut lagi, begitu melihat pedangnya terpenggal menjadi dua bagian.

“Keparat..! Kubunuh kau, Iblis!” desis Andini menggeram marah. “Hiyaaat..!”

Sambil membuang pedangnya yang sudah buntung, cepat sekali gadis itu melompat. Dan langsung dilepaskannya beberapa pukulan keras bertenaga dalam tinggi secara beruntun. Tapi dengan gerakan-gerakan tubuh yang begitu indah, pemuda tampan itu bisa menghindari serangan yang dilancarkan Andini. Bahkan tanpa menggeser kakinya sedikit pun juga. Malah tak satu serangan pun yang dilancarkan Andini, bisa menyentuh tubuhnya. Bahkan....

“Hih!” Plak! “Akh...!”

Tiba-tiba saja Andini terpekik dan terpental ke belakang, begitu pemuda itu mengebutkan tangannya. Keras sekali gadis itu jatuh telentang ke lantai batu yang berkilat ini. Tampak dia memuntahkan darah kental berwarna agak kehitaman. Namun tubuhnya cepat bergelimpangan dan segera melompat bangkit berdiri sambil menyambar sebatang pedang yang tergeletak di lantai. Sayang, tubuhnya jadi terhuyung, begitu kedua kakinya menjejak lantai.

“Hoeeekh...!” Kembali Andini memuntahkan darah kental agak kehitaman. Sedangkan sebelah tangan kirinya memegangi dada, dan nafasnya jadi tersengal.

Melihat keadaan gadis itu, Rangga bergegas menghampiri. Tanpa bicara apa-apa lagi, langsung saja diberikannya beberapa totokan ringan di sekitar dada.

“Ukh...!”

“Kau tidak apa-apa, Andini?” tanya Rangga.

“Tidak,” sahut Andini masih dengan napas tersengal.

“Menyingkirlah dulu. Kau terkena pukulan beracun di dadamu,” ujar Rangga.

“Ukh...!”

Andini segera menyingkir beberapa langkah ke belakang. Gadis itu terus berusaha menyalurkan hawa murni, sambil mengatur jalan pernafasannya. Dia terus menghilangkan pengaruh racun, akibat terkena pukulan beracun yang dilepaskan pemuda tampan berbaju sutera biru muda itu.

***
DELAPAN
Sementara, Rangga sudah melangkah beberapa tindak mendekati pemuda yang jadi Penguasa Lembah Neraka ini.

“Kau sudah keterlaluan, Kisanak. Siapa kau sebenarnya?” desis Rangga dingin.

“Aku Gandapati, penguasa seluruh Lembah Neraka ini. Dan kau.... Kau tidak akan bisa keluar dari istanaku ini hidup-hidup, Keparat!” sahut pemuda tampan berbaju sutera biru muda, yang ternyata bernama Gandapati, tidak kalah dingin.

“Kita lihat saja. Aku, atau kau yang akan hancur,” dengus Rangga menantang.

“Phuih!”

Baru saja Gandapati menggerakkan tangannya di depan dada, Suro Gading sudah melangkah mendekati.

“Izinkan hamba memberi sedikit pelajaran padanya, Gusti,” ujar Suro Gading meminta.

“Hm...,” Gandapati menggumam sedikit Kemudian, kakinya ditarik ke belakang tiga langkah. Suro Gading segera melangkah mendekati Rangga beberapa tindak.

“Hm.... Apa maksudmu menjadi pengikut iblis itu, Suro Gading?” kata Rangga, sinis.

“Bukan urusanmu, Keparat!”

“Aku tahu, kau terlalu takut bila bertarung secara jantan melawan pendekar golongan putih. Makanya, kau memilih menjadi budak iblis untuk membunuhi dan menculik para pendekar,” sindir Rangga.

“Kalau kau sudah tahu, kenapa mesti bertanya, Pendekar Rajawali Sakti!”

“Kau memang pantas menjadi penghuni neraka Suro Gading!”

“Bangsat! Hiyaaat!”

Tanpa bicara lagi, langsung saja Suro Gading melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali dilepaskannya pukulan bertenaga dalam tinggi. Namun, hanya dengan meliuk-liukkan tubuhnya saja, Rangga berhasil menghindari semua serangan laki-laki setengah baya berbaju serba merah itu. Dan...

“Hiyaaat!”

Sambil berteriak keras menggelegar, tiba-tiba saja Rangga melenting ke udara. Lalu cepat bagai kilat, tubuhnya menukik deras dengan kaki bergerak begitu cepat, seperti berputar. Saat itu, Rangga mengerahkan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’. Begitu cepat jurus yang dikeluarkannya, sehingga Suro Gading jadi terperangah. Dan tubuhnya cepat-cepat mengegos, mencoba menghindar. Tapi....

“Yeaaah...!”

Tanpa dapat diduga sama sekali, mendadak saja Rangga memutar tubuhnya dua kali. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, kaki kanannya bergerak mengibas ke kepala laki-laki setengah baya itu. Begitu cepat gerakan kaki Pendekar Rajawali Sakti, sehingga Suro Gading tidak dapat lagi berkelit menghindar. Dan....

Plak! “Akh...!”

Terdengar jeritan panjang melengking tinggi, begitu kaki kanan Rangga menghantam kepala Suro Gading. Akibatnya, laki-laki setengah baya itu terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi kepalanya. Tampak darah merembes keluar dari kepalanya yang pecah, akibat terhantam tendangan dahsyat dari jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’ tadi.

“Hiyaaa...!”

Selagi tubuh Suro Gading terhuyung-huyung ke belakang, Rangga sudah melesat cepat. Dan seketika itu juga, dilepaskannya satu tendangan keras menggeledek, tepat menghantam dada laki-laki setengah baya berbaju merah menyala itu. Kembali Suro Gading menjerit keras. Dan tubuhnya kontan terpental jauh ke belakang. Begitu keras tendangan yang dilepaskan Rangga, hingga dinding batu yang terhantam punggung Suro Gading hancur berkeping-keping. Hanya sedikit saja Suro Gading menggeliat, kemudian meregang nyawa. Mati!

“Keparat! Kubunuh kau, Bocah! Hiyaaat!”

Melihat Suro Gading terkapar tewas, Nyai Balung Wungkul tidak dapat lagi menahan amarahnya. Sambil berteriak keras menggelegar, perempuan tua itu melesat menyerang Pendekar Rajawali Sakti.

“Haiiit...!”

Kembali Rangga harus berhadapan dengan pengikut Gandapati, menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah Ajaib’. Dan memang, Nyai Balung Wungkul tidak lagi memberi kesempatan pada pemuda berbaju rompi putih ini untuk balas menyerang.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Sambil berteriak keras menggelegar, Nyai Balung Wungkul terus menyerang cepat Pukulan-pukulannya begitu dahsyat, membuat Rangga harus berjumpalitan menghindarinya. Tapi setelah lewat beberapa jurus, kembali Pendekar Rajawali Sakti melenting ke udara. Dan dengan kecepatan tinggi sekali, tubuhnya menukik deras menggunakan jurus ‘Rajawali Menukik Menyambar Mangsa’.

“Hiyaaat..!”

Tapi, rupanya Nyai Balung Wungkul sudah tahu arah serangan Pendekar Rajawali Sakti. Maka dengan cepat perempuan tua itu melompat ke belakang, sambil mengegoskan kepala. Namun tanpa diduga sama sekali, mendadak saja Rangga cepat memutar tubuhnya. Dan begitu kakinya menjejak tanah, secepat kilat tangan kanannya menghentak ke depan dalam pengerahan jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.

“Yeaaah...!”

“Heh...?!” Nyai Balung Wungkul jadi kaget setengah mati. Dan belum juga bisa menyadari apa yang dilakukan Rangga, tahu-tahu....

Begkh! “Aaakh...!”

Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi bersamaan terpentalnya tubuh Nyai Balung Wungkul ke belakang. Begitu kerasnya pukulan Pendekar Rajawali Sakti tadi, membuat punggung Nyai Balung Wungkul menghantam dinding tembok. Dan seketika itu juga, perempuan tua itu menggelepar di antara kepingan dinding batu yang hancur terlanda tubuhnya. Tapi tak berapa lama tubuhnya mengejang, lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Tamatlah riwayat perempuan tua itu.

Sementara Rangga sudah berdiri tegak, tepat sekitar satu batang tombak di depan Gandapati. Tampak Penghuni Lembah Neraka itu mendelik geram, melihat dua orang pembantu kepercayaannya tewas hanya da-lam waktu sebentar saja.

“Hih!” Tiba-tiba saja Gandapati menghentakkan tangan kanannya ke depan. Dan seketika itu juga, dari telapak tangannya melesat beberapa buah benda bulat kecil berwarna merah menyala bagai titik api, langsung meluruk deras menyambar tubuh Rangga.

“Hup! Hiyaaa...!”

Namun manis sekali Rangga melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali menghindari serangan pemuda itu. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya meluruk deras sambil melepaskan satu pukulan dahsyat dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’ tingkat terakhir.

“Heh! Hup! Yeaaah...!”

Gandapati jadi terhenyak kaget setengah mati, lalu cepat-cepat melesat ke udara dan berputaran beberapa kali. Namun belum juga kakinya menjejak lantai, Rangga sudah kembali melepaskan beberapa pukulan keras menggeledek yang begitu cepat dari jurus ‘Pukulan Maut Paruh Rajawali’.

“Hiyaaat..!”

Gandapati terpaksa harus berjumpalitan di udara, menghindari serangan-serangan maut Pendekar Rajawali Sakti. Bahkan Rangga tidak hanya mengerahkan satu jurus saja. Lima jurus maut dari rangkaian lima jurus ‘Rajawali Sakti’ digabungkannya begitu sempurna dan sangat cepat Sehingga, sulit sekali untuk diketahui perbedaannya. Dan ini, membuat Gandapati jadi semakin kelabakan saja. Beberapa kali serangan Rangga hampir menghantam tubuhnya, untungnya dia masih bisa menghindar. Walaupun, agak kelabakan juga menghindarinya.

“Hup!”

Tiba-tiba saja Gandapati melompat cepat ke belakang, tepat di saat Rangga tengah menyerangnya melalui jurus ‘Sayap Rajawali Membelah Mega’.

“Hap! Seraaang...!”

Begitu kakinya menjejak lantai, Gandapati langsung saja memerintahkan pengikut-pengikutnya untuk menyerang Pendekar Rajawali Sakti itu.

“Hup! Cepat-cepat Rangga melompat ke belakang, mendekati Andini. Kemudian.... “Aji Bayu Bajra. Yeaaah....!”

Bet! Wusss...!

“Aaa...!” “Akh...!”

Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar, begitu Rangga mengerahkan aji Bayu Bajra. Sebuah aji kesaktian yang bisa menimbulkan badai topan sangat dahsyat. Dari kedua telapak tangannya yang terkembang ke depan, menyembur hembusan angin yang begitu kuat, membuat para pengikut Gandapati jadi beterbangan seperti daun-daun kering terhempas angin.

Ruangan ini pun jadi bergetar bagai diguncang gempa. Tampak batu-batu atap mulai berguguran, menghantam mereka yang jadi kalang-kabut menghadapi serangan Pendekar Rajawali Sakti. Batu-batu mulai berguguran menghantam. Dan Rangga terus mengerahkan aji kesaktiannya yang sangat dahsyat.

Sementara, Andini yang berada di belakang Pendekar Rajawali Sakti jadi terlongong bengong, kagum melihat ilmu kedigdayaan yang begitu dahsyat ini. Belum pernah disaksikannya ada orang yang bisa menciptakan badai topan begitu dahsyat. Hingga dalam waktu sebentar saja, sudah tidak ada seorang pun yang bisa bangkit berdiri lagi. Bahkan dinding-dinding ruangan yang terbuat dari batu hampir roboh, terkena hempasan angin badai yang begitu dahsyat.

Rangga baru menarik kembali aji Bayu Bajra setelah tidak ada lagi lawannya yang masih berdiri. Hanya Gandapati saja yang masih tetap bertahan, walaupun sudah berpindah sekitar dua batang tombak.

“Haaap...!”

Rangga langsung bersiap hendak mengerahkan satu serangan dari ilmu kedigdayaannya lagi. Dan dari sikapnya, jelas kalau Pendekar Rajawali Sakti hendak mengerahkan aji Cakra Buana Sukma.

Sementara Gandapati kelihatan masih belum bisa berbuat sesuatu. Dan belum juga Penghuni Lembah Neraka itu bertindak, Rangga sudah menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil berteriak keras menggelegar.

“Aji Cakra Buana Sukma. Yeaaah...!”

Slap!
“Heh...?!”

Gandapati hanya mampu terbeliak saja. Dan belum juga bisa berbuat sesuatu, seluruh tubuhnya sudah terselubung cahaya biru yang memancar dari kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti. Gandapati hanya bisa menggeliat, sambil berteriak-teriak seperti kesakitan. Sedangkan Rangga mulai mengayunkan kakinya perlahan-lahan, mendekatinya. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar dua langkah lagi dari Penghuni Lembah Neraka itu, mendadak saja....

“Yeaaah...!”

Bagaikan kilat Rangga menghentakkan tangan kanannya ke atas. Lalu....

Cring!
Bet!
Cras!
“Aaa...!”

Gandapati hanya bisa menjerit melengking, begitu Pedang Rajawali Sakti berkelebat membabat lehernya. Sedikit pun Penghuni Lembah Neraka itu tidak mampu lagi menghindar. Dan dia hanya berdiri tegak dengan kedua mata terbeliak lebar serta mulut terbuka. Sementara, Rangga berdiri tegak memegang pedang yang memancarkan cahaya biru terang menyilaukan mata.

“Hih!”

Hanya didorong sedikit saja, tubuh Gandapati sudah jatuh tersungkur ke lantai. Kepalanya seketika menggelinding terpisah dari leher. Darah pun muncrat deras sekali dari leher yang tertebas.

Cring!

Indah sekali gerakan tangan Rangga saat memasukkan Pedang Rajawali Sakti ke dalam warangkanya. Perlahan tubuhnya diputar menatap Andini yang masih terlongong bengong, seperti melihat sesosok dewa pada Pendekar Rajawali Sakti.

“Ayo, Andini. Kita cari tempat penyekapan para pendekar yang diculik,” ajak Rangga.

“Eh.... Ayo...,” sahut Andini tergagap.

Mereka segera bergegas meninggalkan ruangan itu. Tapi baru saja keluar, dari ujung lorong terlihat Pandan Wangi dan beberapa orang pendekar berlari kecil menuju ke arahnya. Andini segera menghambur berlari begitu melihat ayahnya bersama Pandan Wangi dan yang lain.

“Kakang...!”

Pandan Wangi langsung memeluk Rangga. Sementara Andini juga berpelukan dengan ayahnya. Sedangkan pendekar-pendekar lain hanya bisa memandangi. Sebentar Rangga melepaskan pelukan si Kipas Maut itu.

“Bagaimana kau bisa bebas, pandan?” tanya Rangga.

“Aku menghajar para penjaga, saat Gandapati, Nyai Balung Wungkul, dan Suro Gading pergi. Aku tidak tahu kalau mereka akan menghadapimu. Dan aku ke sini juga karena mendengar suara ledakan-ledakan saja,” jelas Pandan Wangi.

“Ayo kita keluar dari sini,” ajak Rangga.

Saat itu, seluruh bangunan istana ini sudah mulai bergetar berderak-derak. Rangga bergegas mengajak yang lain meninggalkan Lembah Neraka ini. Dan begitu mereka berada di luar, bangunan istana itu langsung ambruk. Akibatnya, seluruh Lembah Neraka ini jadi bergetar bagai diguncang gempa. Musnah sudah keangkaramurkaan yang selama ini ditakuti seluruh penduduk desa yang ada tidak jauh dari Lembah Neraka ini. Namun belum juga mereka jauh berjalan, tiba-tiba....

“Ha ha ha...!”

Seketika, mereka semua jadi terkesiap kaget. Bahkan Pendekar Rajawali Sakti langsung berbalik, memandang ke arah bangunan yang ambruk.

“Ha ha ha.... Kuakui, kali ini aku kalah, Pendekar Rajawali Sakti! Kau memang lawan tangguhku. Tapi, ingat! Pertarungan belum selesai. Suatu saat nanti, kekalahan ini akan terbalas!”

Terdengar sebuah suara, sehingga semua yang ada di situ jadi terlongong bengong. Pendekar Rajawali Sakti tahu, itu adalah suara Gandapati. Dan belum lagi ada yang menyadari, tiba-tiba dari puing-puing bangunan itu melesat sebuah bayangan hitam ke angkasa. Begitu cepat, sehingga hanya Pendekar Rajawali Sakti saja yang melihat.

“Suara siapa itu, Kakang?” tanya Pandan Wangi yang tahu-tahu telah berada di samping Pendekar Rajawali Sakti.

“Dasar siluman!” kata Rangga.

“Siluman?”

“Ya, siluman. Gandapati memang sebangsa siluman!”

“Hhh...!” Pandan Wangi hanya mendesah saja.

Lalu, mereka berbalik dan melangkah pergi, mengikuti yang lainnya.

TAMAT
EPISODE BERIKUTNYA: