Dewi Ular - Terjerat Asmara Mistik(1)


TERJERAT ASMARA MISTIK
lanjutan Parit Kematian
Oleh : TARA ZAGITA

TERNYATA tidak semua langit berwarna biru. Tidak semua awan berwarna putih. Di atas padang pasir ini ada langit yang berwarna hitam, seperti jelaga. Ada awan yang bergerak lamban berwarna merah terang seperti lahar gunung berapi.

Merahnya warna awan itu bertaburan menyebar ke seluruh bentangan langit hitam.

Langit seperti terbakar. Menyeramkan sekali.

Padang pasir yang ada di bawahnya tidak seperti padang pasir di Gurun Sahara.

Pasir yang menyebar memenuhi alam mistik ini berwarna hitam bening, bak serpihan kaca yang habis terbakar. Paduan warna pasir dan langit membuat alam ini selalu dalam suasana redup. Karena, di sini ternyata tidak ada matahari. Di langit yang menjadi atap gurun hanya ada sepasang bulan kembar.

Sepasang rembulan itu berwarna perak bakar. Putih kehitam-hitaman. Letaknya saling berseberangan.

Pancaran cahayanya tidak seterang bulan purnama, tapi cukup untuk menerangi permukaan langit dan alam mistik di bawahnya.

"Kita berhenti di sini."

"Kenapa berhenti? Apakah kita sudah sampai?"

"Belum. Tapi ada sesuatu yang hams kita lakukan di sini, heh... heh... heh... heh..."

"Hey, Pak Tua... kamu jangan coba-coba memperdaya diriku, ya?!"

"Ooo, jelas itu tidak mungkin, Nyai Dewi. Mana berani aku memperdaya dirimu, karena aku sudah banyak dengar tentang kesaktianmu sebagai Dewi Ular, yang sakti mandraguna, yang..."

"Dan, kamu juga jangan menyanjungku, Pak Tua!" potong Kumala Dewi dengan tegas dan berwibawa sekali. "Ake bukan dewi yang gila hormat dan gila sanjungan. Paham?!"

"Iya, iya... aku paham. Paham sekali, heh, heh, heh, heh... !"

Pak Tua yang berjubah coklat kehitaman itu memperlihatkan sikap hormat dan rasa segannya, karena ia tak ingin bentrok dengan bidadari yang cantik dan sangat sexy itu. Untuk itu ia sangat hati-hati sekali tiap bicara di depan gadis berpakaian ketat serba hijau itu.

Dan, agaknya Dewi Ular punya alasan sendiri mengapa dia harus bersikap tegas dan berwibawa di depan lelaki tua bermata cekung itu. Dengan jenggot pendeknya yang berwarna uban, dan dengan badannya yang sering terbungkuk-bungkuk, ia tak akan dapat menyemburiyikan kebusukan hatinya dengan bermodal penampilan seperti itu. Sebab, sewaktu-waktu Dewi Ular bisa mendengarkan suara hatinya, atau bila perlu membaca jalan pikirannya.

"Tempat apa ini?" tanya Kumala, tapi dilanjutkan dengan ucapan batinnya, "Getaran energi gaibnya kuat sekali. Pasti .. di sini ada iblis."

"Ini yang dinamakan Tanah Ladang Mistik. Dari sinilah cikal bakal seluruh kekuatan mistik yang sekarang beredar di mana-mana."

"Lalu, kenapa kau membawaku kemari, Pak Tua?"

"Kita akan melintasi Ladang Mistik ini. Tapi harus minta izin dulu sama penguasanya. Kalau tidak, kita bisa dianggap musuhnya."

"Siapa penguasa di sini?"

"Penguasanya adalah Ratu Tanah Mistik, yang lebih dikenal lagi dengan nama: Nyai Jalangayu."

Pak Tua mendekat dan berbisik:

"Dia memang ayu. Cantik sekali. Tapi, dia juga ganas dan keji."

Dewi Ular tetap berdiri dengan tegar dan tenang. Matanya yang indah berbulu lentik itu melirik Pak Tua yang ada di samping kanannya.

"Kau kenal dia, bukan?"

"Yaaah, kalau cuma kenal siapa pun yang pernah lewat sini pasti kenal dia. Tapi, sebenarnya...",

"Kenal dekat, kan?"

"Oo, bukan begitu maksudku. Aku hanya..."

"Pasti kamu tahu banyak tentang dia. Aku yakin begitu."

"Hrn,eh... tidak terlalu banyak kok. Sumpah!"

"Jadi, sebenarnya kau ini bukan sekedar pengembara alam gaib, seperti pengakuanmu tadi. Kau lebih dari sekedar pengembara."

Pak Tua bermata cekung salah tingkah. Mulai tampak bingung menghindari tatapan mata Dewi Ular yang lembut, teduh, tapi ketajamannya seakan-akan mampu menembus hingga ke dasar jantung.

"Jujurlah padaku, siapa kau sebenarnya, Pak Tua?"

"Hee, hee, hee, heeh... maaf kalau aku tadi lupa menyebutkan namaku, Nyai Dewi. Aku adalah..."

Tiba-tiba tangan Kumala menyambar jubah Pak Tua dan menariknya dengan sangat kuat.

Wuuut.-.. !

Pak Tua tersungkur hingga wajahnya nyaris terbenam seluruhnya dalam pasir hitam: Pada saat menarik tubuh Pak Tua, kedua kaki Kumala melompat ke atas dan tubuhnya pun melambung di udara dalam gerakan bersalto ke belakang.

Jegaaaaar ..... ! !

Ledakan keras itu terjadi akibat sinar merah sekecil jarum menghantam permukaan pasir, jauh di seberang sana. Sinar merah yang sangat lembut dan kecil itulah yang membuat Dewi Ular menyambar jubah Pak Tua sambil menyelamatkan diri. Beruntung sekali tadi Kumala mengetahui kedatangan sinar itu. Andai tidak, mungkin ia dan Pak Tua akan hancur berkeping-keping terkena sinar tersebut.

"Hampir saja!" gumam hati Kumala sambil menghembuskan napas panjang. Merasa lega.

"Kalau saja deteksi gaibku tak menangkap gerakan energi sinar itu, entahlah apa jadinya. Sinar itu kecil sekali, hampir tak terlihat dengan mata telanjang begini."

"Nyai Dewi, lekas cari tempat untuk sembunyi... !" seru Pak Tua dalam keadaan tegang. Matanya yang cekung memandang ke sana-sini penuh rasa cemas.

Kumala Dewi juga menatap ke sana-sini, mencari si pelaku, namun ia tak temukan siapa pun di padang pasir hitam itu. Tak ada tempat untuk bersembunyi. Tak ada pohon atau batu buat melakukan penyerangan diam-diam seperti tadi. Lalu, di mana kira­kira si penyerang tadi menyembunyikan diri ? .

"Nyai Dewi, lekaslah berlindung. Pasti itu tadi peringatan dari Ratu Tanah Mistik agar kita pergi secepatnya dari sini."

"Mau berlindung ke mana?" gumam suara Kumala pelan dengan mata melirik tajam ke sana-sini.

"Berlindung diii. . . atau buatlah perlindungan dalam bentuk apa saja! Buatlah dengan kesaktianmu, Nyai Dewi... !"

Timbul keheranan kecil di hati Kumala Dewi melihat reaksi takutnya Pak Tua itu. Padahal tadi sewaktu dia coba-coba melawan kesaktian Kumala, dia tampak berani dan nekat sekali. Tapi sekarang dia sangat ketakutan dan cemas sekali, padahal baru satu sinar menyerang mereka dan bertubi-tubi datangnya.

"Apakah penguasa tempat ini kesaktiannya lebih tinggi dariku, sampai si Pak Tua menjadi sangat ketakutan begitu?!" pikir Kumala sambil tetap waspada, sementara Pak Tua berlindung di belakangnya.

Angin datang. Berhembus dari arah kanan. Dengan cepat Dewi Ular berbalik mengadap ke arah kanannya. Angin itu berhembus agak kencangohingga membuat rambut panjang Kumala beterbangan meriap-­riap.

Pak Tua kebingungan karena ujung rambut Kumala mengenai mukanya. Terasa sakit bagai terkena lecutan kecil. Pak Tua pun menyingkit ke samping seraya berbisik dengan napas cepat.

"Ini tanda-tanda kehadirannya. Lakukan sesuatu buat melindungi diri kita, Nyai. Lakukanlah... !"

Dewi Ular tetap diam. Sengaja tak melakukan. apapun. Hanya matanya yang dipertajam meman dang ke arah datangnya angin. Namun sebenarnya ia menggunakan kesaktian dewaninya yang dikenal dengan nama: Aji Mata Dewa.

"Jangan biarkan angin ini menjadi serabut mata pisau! Badan kita bisa habis dicabik-cabiknya, Nyai.Angin ini sebentar lagi akan tajam !"

Bisikan suara Pak Tua tak terdengar di telinga Kurnala, meski pun jaraknya hanya beberapa jengkal. Hal itu disebabkan karena Kumala memusatkan perhatian pada kekuatan matanya, sampai akhirnya ia dapat menemukan lapisan udara yang aneh di depannya. Udari yang dipandang dengan Aji Mata Dewa itu berbentuk seperti permukaan air yang sangat jernih.

" Ooh, di situ dia bersembunyi," gumam hati Kumala.

Dengan cepat Dewi Ular mengibaskan tangan kanannya, seperti melempar belati dari arah kiri ke depan.

Wuuut... !

Dari kedua jarinya melesatlah seberkas sinar hijau. menyerupai mata pisau kecil.

Claaap... !

Belum sempat menyentuh lapisan udara yang dituju, tiba-tiba muncul sinar merah dari balik udara tersebut, lalu beradu dengan sinar hijaunya Dewi Ular.

Craaallp ..... !

Jlegggaaaaaarr-r .....!!

Ladakan lebih kuat terjadi. Tanah pasir di sekitar tempat mereka berada menjadi bergetar. Pasir-pasirnya menyembur naik. Kumala dan Pak Tua terdorong mundur oleh angin ledakan tadi. Namun mereka tak sampai terjatuh. Hanya sama-sama memalingkan wajah ke belakang, karena angin ledakan terasa panas, meski tak menyengat.

Ketika mereka berpaling kembali ke arah semula, pandangan mata mereka menjadi silau, namun hanya sekejap. Cahaya menyerupai kilatan lampu blitz itu segera padam. Dan, tampaklah sosok wanita berparas cantik sudah berdiri di sana dengan kaki tak menyentuh. hamparan pasir.

Wanita itu mengenakan jubah merah beludru yang terbuka di bagian depannya.

Dapat terlihat pula penutup dada dan penutup bagian bawahnya yang berwarna hitam berhias manik-manik putih. Karena jubah panjangnya tersingkap ke belakang, maka wanita itu tampak seperti mengenakan bikini. Pahanya yang mulus dan perutnya yang berpusar kecil dapat terlihat jelas. Termasuk belahan dada montoknya.

"Ooo, ini rupanya yang disebut-sebut Ratu Tanah Mistik?" pikir Kumala Dewi dengan sikap tenang. Sementara itu Pak Tua tampak semakin gugup dan bingung menyembunyikan dirinya di belakang tubuh sintal Dewi Ular.

Wanita cantik yang mengambang di udara setinggi satu meter dari permukaan pasir itu menatap tajam ke arah Kumala Dewi. Ketajaman matanya memancarkan sifat keji dan keganasan dalam dirinya.

Dewi Ular membalas tatapan mata itu dengan biasa-biasa saja. Tapi secara diam-diam ia juga mengerahkan kesaktiannya untuk mengimbangi energi gaib yang dipancarkan melalui pandangan mata tajam itu.

Dari jarak sekitar 50 meter ia mendekat dalam gerakan melayang. Perlahan-lahan merendah dan akhirnya kedua kakinya menyentuh hamparan pasir hitam. Lalu, berhenti dalam jarak sekitar 15 langkah dari tempat Dewi Ular berdiri.

Suaranya pun mulai terdengar agak besar. Hampir menyerupai suara lelaki.

"Untuk apa kau bersembunyi di sana, Maling busuk?!"

Dewi Ular berkerut dahi dan berkata dalam hati, "Siapa yang dimaksud dengan Maling busuk? Oo, Pak Tua ini rupanya."

"Sudah kubilang, ke mana pun kau bersembunyi aku tetap dapat melihat batang hidungmu, Baronggo!"

Kumala kembali membatin.

"Ooo, Pak Tua ini bernama Baronggo. Rupanya ia punya alasan sendiri mengapa sangat ketakutan berada di sini. Ia punya masalah pribadi dengan perempuan itu. Dia merasa bersalah, sehingga sangat ketakutan!"

Tangan perempuan cantik berjubah merah pakai kerah tinggi itu bergerak pendek, seperti mendorong sesuatu di depan pusarnya. Suuut... ! Kumala diam saja, karena tak merasakan ada energi yang menyerang.

Hanya hembusan angin kecil biasa yang ia rasakan. Tetapi, tahu-tahu Pak Tua di belakangnya tersentak dan mengerang kesakitan.

"Uuhk... !Aahhhhkkk... !"

Dewi Ular berpaling ke balakang, melihat Pak Tua memegangi perutnya sambil menggeliat kesakitan, dengan badan makin bungkuk, sampai jatuh berlutut.

Tersedak tiga kali, seperti mau batuk tapi susah. Ketika ia tersedak keempat kalinya, keluarlah gumpalan darah segar dari mulutnya. Darah kental itu bergerak-gerak di pasir. Kemudian dari kedalaman darah muncul binatang kecil yang membuat Kumala tersentak kaget dalam hati.

"Kelabang?!"

Ya. Kelabang kecil seukuran kelingking itu bergerak meninggalkan gumpalan darah, kemudian terbenam masuk ke dalam pasir. Sementara itu, Pak Tua tampak lega, terengah-engah tanpa menyeringai kesakitan iagi sejak ia berhasil menyemburkan darah kental berisi kelabang tadi.

Dalam hatinya Kumala berkata, "Boleh juga ilmunya. Dia menyerang Pak Tua yang ada di belakang­ku, tapi sama sekali tidak mengenaiku. Energi gaibnya dapat menembus badanku tanpa terasa sedikit pun."

Kumala Dewi kembali memandang ke arah semula ketika perempuan berambut putih perak itu berseru dengan nada menggeram.

"Aku bisa mengirimimu seribu kelabang saat ini juga, Baronggo!"

"Jaa... jangan, Nyai! Jangan lampiaskan amarahmu padaku, karena aku punya penjelasan sendiri yang harus kau dengar, Nyai Jalangayu! Dengar dulu penjelasanku... !"

"Aku tidak butuh penjelasanmu!" sentaknya dengan mata sedikit lebih lebar. Menyeramkan. Ia bahkan menuding Kumala Dewi tapi bicaranya kepada Baronggo.

"Biar kau datang ke sini membawa dia sebagai pembelamu, tapi aku tak akan gentar sedikit pun menghadapi gadis ingusan macam dia, Baronggo! , Ngerti?!"

"Iiy, iya... ngerti! Tapi maksudku bukan begitu, Nyai Ratu."

Kumala Dewi melangkah ke sisi samping dengan tetap kalem. Tindakan itu dilakukan untuk memberi kesan pada Nyai jalangayu bahwa dia tidak bermaksud mencampuri urusan mereka.

Dengan berpindahnya posisi berdiri Kumala, maka jalur pandang keduanya menjadi bebas. Tak terhalang tubuh Kumala, seperti tadi.

Nyai Jalangayu mengikuti gerakan Kumala dengan tatapan mata penuh permusuhan. Ketika gerakan itu berhenti, Kumala ganti menatapnya dengan ­teduh.

Tak memancarkan permusuhan sedikit pun dari sorot matanya. Bahkan sempat menyunggingkan senyum tipis ketika bicara dengan kalem.

"Silakan," seraya tangannya diayunkan ke arah Baronggo, seperti mempersilakan seseorang untuk masuk ke rumahnya. "

Sambungnya lagi, "... aku sudah tidak menghalangi kalian, bukan? Silakan hajar dia kalau memang kau ingin menghajarnya. Karena aku bukan pembelanya, dan aku tidak mau terlibat dalam urusan kalian!"
"Lalu, untuk apa kau datang kemari?!" ketus Nyai Jalangayu.

"Aku mau menuju ke suatu tempat. Pak Tua ini memanduku. Menurutnya kami harus melintasi tempat ini kalau ingin sampai ke tujuan kami."

"Ornong kosong! Kau pasti bersekongkol dengan maling busuk itu! Kau yang mengatur semua siasat busuknya selama ini, bukan?!"

Tanah berpasir hitam itu mulai bergetar. Tidak terlalu keras getarannya, tapi cukup terasa di kaki Kumala. Getaran itu timbul setiap kali Nyai Jalangayu bicara dengan nada tinggi. Kumala Dewi mulai dapat mengukur sebera.pa tingkat kesaktian Ratu Tanah Mistik itu, karena emosi kemarahannya marnpu mernbuat tanah di sekitarnya bergetar.

Tuduhan itu ditanggapi dengan tetap tenang oleh Dewi Ular. Lagi-lagi ia tersenyum tipis sebelum mengawali bicaranya.

"Kuharap, Nyai jangan melontarkan tuduhan seperti itu.lagi padaku. Aku dan Pak Tua itu baru kenal beberapa saat tadi. Bahkan aku baru tahu kalau dia bernama Baronggo, ya dari perkataan Nyai sendiri tadi. Aku dan dia punya urusan sendiri, Nyai."

"Urusan bagi-bagi hasil curian, begitu?!"
Bergetar lagi tanah berpasir di sekitar mereka.

"Curian? Apa dia mencuri sesuatu darimu?!"

"Apakah kau belum tabu kalau dia adalah pencuri biadab! Dia dapat julukan Durjana Sesat, karena kerjanya mencuri dan memperkosa roh-roh wanita yang mati muda!"

"Ooh ?! " Kumala segera berpaling menatap Pak Tua yang kini sudah dalam posisi berdiri dengan wajah tertunduk.

"Kau pura-pura belum tahu atau memang bodoh, hah?!"

Tanah pasir bergetar lagi. Kumala selalu saja menghentikan getaran tersebut dengan menyalurkan hawa saktinya secara diam-diam melalui kedua kaki.

"Maaf, boleh aku bertanya padamu, Nyai?" Kumala sengaja tak menanggapi sindiran Nyai Jalangayu, karena ia menjadi sangat ingin tahu setelah merasa apa yang dicurigainya sejak tadi ternyata benar.

"Kalau kau tak keberatan, aku cuma mau bertanya... apa sebenarnya yang ia curi darimu?"

"Jantung muridku!"

"Jantung ,,,,, ?! Dia mencuri jantung muridmu?!"

"Ya. Tapi aku memergokinya, dan ia tinggalkan jantung itu, lalu ia kabur dariku ketika aku sibuk memasang jantung dan menghidupkan kembali muridku "

"Aku bukan mau mencuri, Nyai," sahut Baronggo. "Aku mau cari tahu, bagaimana kau bisa memasang jantung manusia pada raga muridmu yang sudah membusuk itu?"

Plaaak... !

Tiba-tiba terdengar suara tamparan keras tanpa terlihat gerakan tangan Nyai Jalangayu.. Tahu-tahu Pak Tua itu memekik dan jatuh terpuruk sambil mengerang kesakitan. Tangannya mengusap-­usap pipinya. Tampak sepintas. pipi kiri Baronggo menjadi biru kehitam-hitaman. Ada asap tipis mengepul dari pipi itu.

"Kurasa dia cuma pamer kesaktian di depanku," kata Kumala dalam hati.

Sebelumnya ia menutup jalur gaib sesaat, supaya suara hatinya tidak didengar oleh indera keenam orang lain.

Nyai Jalangayu menghampiri Baronggo dan berkata, "Kalau kau tidak bermaksud mencuri, kau tak akan lari terbirit-birit begitu melihat kedatangaku , Iya, kan ..!"

Baronggo yang ketakutan dan masih duduk di tanah itu tidak terlalu diperhatikan Kumala Dewi. Yang paling diperhatikan Kumala saat itu adalah tempat di mana tadi Nyai Jalangayu berdiri. Bekas telapak kakinya mengepulkan asap dan menyebarkan bau sangit.

Melihat pasir terbakar, Kumala Dewi tersenyum lagi. Tipis dan tetap kalem. Ia semakin yakin, bahwa pada saat itu Nyai Jalangayu memang pamer kesaktian secara tak langsung. Tujuannya untuk melakukan shockterapy pada siapa pun yang ada di situ agar ciut nyalinya jika harus adu kekutan dengan Ratu Tanah Mistik.

"Hmh, payah. Permainan kuno masih saja dimainkan," gumam hati Kumala yang sedikit pun tak merasa takut jika harus berhadapan dengan Nyai Jalangayu.

Tapi ia berusaha untuk tidak terjadi pennusuhan, karena sebelumnya tak pemah ada konflik pribadi antara dirinya dengan Ratu Tanah Mistik itu. Hanya saja, kalau memang Nyai Jalangayu tak bisa diajak berdamai, maka Kumala Dewi pun siap melayani apa yang diinginkan oleh Ratu Tanah Mistik itu.

"Bagaimana pun juga, aku masih membutuhkan Pak Tua itu," kata hati Kumala.

"Kalau dia mati atau hancur karena kemarahan Nyai Jalangayu, bagaimana aku bisa menemukan Dewa Jenaka? Pak Tua itu yang tahu di mana paman Dewa Jenaka berada."

Itulah titik persoalan yang sebenarnya. Kumala membutuhkan Dewa Jenaka untuk membebaskan Rayo Pasca dari ancaman yang amat memalukan.

Rayo, kekasihnya, saat ini sedang hamil. Kehamilan itu disebabkan ulah Dewa Jenaka yang memindahkan kandungan seseorang ke dalam perut Rayo Pasca.

Hal itu dilakukan agar Dewi Ular mau dibawa ke Kahyangan, di mana sang Dewa Penyebar Tawa itu bertindak sebagai utusan yang menjemput Kumala dari alam kehidupan manusia, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "Misteri Santet Iblis').

Jika Kumala pada waktu itu tidak mau memenuhi undangan pihak Kahyangan, maka Dewa Jenaka tidak akan membebaskan Rayo dari bencana kehamilan yang
memalukan itu.

Karena, kehamilan itu tak dapat diganggu gugat oleh siapa pun kecuali Dewa Jenaka yang menanganinya. Kumala Dewi terpaksa bersedia dijemput dan dibawa ke Kahyangan. Tapi dalam perjalanan ke sana, mereka terpisah dan akhirnya Dewa Jenaka tak diketahui keberadaannya. (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "Lorong Tembus Kubur").

Dewi Ular terpaksa pergi sendiri ke Kah­yangan, namun ia hanya sampai Parit Kematian, yaitu perbatasan wilayah Kahyangan. Ia menolak keinginan pihak Kahyangan, yang bermaksud menobatkan dirinya sebagai Senopati Perang dengan upacara besar-besaran.

Kumala Dewi pun pergi meninggalkan perbatasan Kahyangan sebagai bukti atas penolakannya itu.

Dalam perjalanannya pulang itulah, Kumala Dewi melihat Pak Tua sedang memainkan kipasnya yang sekali dihentakkan bisa timbulkan ledakan cutup dahsyat. Kipas itu berwarna biru cerah dari semacam kain beludru, berhias bulu-bulu hewan warna indah.

Kumala Dewi langsung menghampiri Pak Tua berjubah coklat dengan kepala tertutup kain jubahnya juga. Melihat kehadiran Kumala langsung saja Pak Tua pasang lagak dan memainkan kipas tersebut. Kumala berhasil melumpuhkannya dalam waktu singkat .

Kipas itu segera dirampas Kumala, karena ia tahu persis kipas itu milik Dewa Bahakara alias Dewa Jenaka. Ia sangat hapal ciri-ciri kipas tersebut.

Pak Tua pun didesak sampai akhirnya mengaku mendapat kipas itu dari seorang lelaki bertampang tua, berbadan kurus dan mengenakan pakaian seperti dewa; jubah biru beraris-garis putih, rambutnya panjang, warna uban.

Tak salah lagi, itu ciri-ciri Dewa Jenaka, pikir Kumala. Pak Tua pun semakin dikorek keterangannya. Karena merasa tak mampu melawan Kumala, ia pun menjelaskan apa yang dilihatnya pada din Dewa Jenaka itu .

Menurutnya, pemilik kipas dalam keadaan tak berdaya di suatu tempat. Kehilangan seluruh kesaktian­nya akibat suatu pertarungan hebat dengan lawan. Sisa kesaktiannya masih tersimpan di kipas, sementara kipas itu tak terjangkau oleh tangannya, sebab di atas tubuh kurusnya sang lawan meletakkan sebuah batu.

"Batu itu kecil, hanya seukuran kepala bayi. Tapi beratnya bukan main. Aku tak sanggup mengangkatnya," tutur Baronggo dengan serius.

-Kata dia, orang kurus yang sudah tak mampu berbuat apa-apa lagi itu menyuruhnya pergi ke mana saja samba membawa kipasnya. Maka, Baronggo pun pergi membawa kipas itu sampai akhirnya bertemu dengan Kumala Dewi. Meski pun Baronggo yang mengaku sebagai pengembara alam gaib itu tidak tahu siapa lawan Dewa Jenaka, tapi dia mengaku masih ingat tempat di mana kipas itu diperolehnya.

"Maukah kau mengantarku ke sana, Pak Tua?"

Setelah kehabisan alasan untuk menolak Pak Tua pun akhimya bersedia mengantar ke tempat tersebut. Dalam perjalanan itulah Pak Tua mengetahui bahwa gadis cantik jelita berbadan harum itu ternyata adalah Dewi Ular yang namanya sedang jadi bahan pem­bicaraan oleh para penghuni alam gaib, alam kubur dan alam-alam lainnya.

Pak Tua merasa bangga dapat menjadi pemandunya Dewi Ular. Bahkan ia merencanakan untuk mengambil jalan terdekat dengan melalui wilayah kekuasaan Ratu Tanah Mistik.

Kisah itu sempat diceritakan kepada Nyai Jalangayu. Tentunya tidak semua yang diceritakan. Hanya garis besarnya saja. Kata-kata Kahyangan pun tak terucap oleh Kumala. Oleh sebab itulah, Nyai Jalangayu belum tahu siapa sebenarnya gadis yang berani bersikap tenang di hadapannya .

"Itulah sebabnya aku 'butuhkan dia, Nyai Jalangayu," kata Kulnala Dewi.

Saat itu ia sedang berusaha menghentikan siksaan sang Nyai atas diri si Durjana Sesat.

Ditambahkan pula olehnya, "Kalau sampai Pak Tua ini mati atau hancur akibat siksaanmu, maka aku akan kehilangan pemandu untuk menemukan pamanku yang dalam keadaan tak berdaya itu, Nyai. Jadi, dengan segala hormat kumohon hentikan siksaanniu."

"Hey, aku penguasa di sini! Aku berhak melakukan apa saja yang mau kulakukan! Tahu?!"

Kumala Devil masih tetap bersikap merendah dan sabar.

"Ya, aku tahu kau penguasa di sini, tapi aku memohon dengan sangat hormat, tolong lepaskan dia! Ampuni kesalahan dia. Paling tidak untuk kali ini saja, Nyai."

"Kalau aku tidak mau mengabulkan permohonanku, kamu mau apa, hah?! Mau apa?!"

Suaranya makin tinggi. Tanah di sekelilingnya makin bergetar. Matanya yang membelalak kini menatap Kumala dalam ketajaman mistis. Artinya, pandangan mata itu membuat seluh bagian kepala Dewi Ular terasa panas. Makin lama semakin panas. Kumala Dewi tetap balas menatapnya walau pun keringat mulai bercucuran dari seluruh bagian kepalanya.

Sambil beradu pandang dan saling kerahkan kesaktian, Kumala Dewi berkata dalam hatinya.

"Dia benar-benar ingin menjajalku rupanya. Terpaksa aku layani sebentar, supaya ia puas telah mencoba mengadu kekuatan dengan Dewi Ular. Oh, ya... tapi sepertinya dia belum tahu siapa diriku. Dari tadi baik aku maupun Pak Tua tidak ada yang menyebut­nyebut nama Dewi Ular kan? Hmm, biarlah... mungkin lebih baik dia tidak perlu tahu siapa aku, biar tak ragu .untuk memamerkan kesaktiannya."

Adu pandangan mata itu mereka lakukan dalam jarak sekitar enam meter. Masing-masing mengerahkan hawa saktinya lewat pandangan mata. Meski pun keringat Kumala semakiTY bercucuran, tapi ekspresi wajahnya tetap tenang. Tidak tegang seperti Nyai Jalangayu. Padahal Nyai Jalangayu wajahnya masih bersih tanpa peluh.

Anehnya, wajah berhidung mancung mirip bule itu justru lebih dulu kelihatan pucat dan semakin lama semakin pucat. Seperti selembar kertas kosong.

Sementara itu, meski pun tadi Kumala sempat terdesak mundur satu langkah, tapi wajahnya masih tampak segar.

Keringat yang mengucur telah membuat alam sekitarnya menjadi beraroma wangi. Sebagai anak dewa yang masih perawan , keringat Kumala berbau harum sekali.

Tidak ada parfum yang bisa menyamai keharuman keringat anak dewa itu. Dan keharuman itu sendiri mempunyai pengaruh gaib, antara lain membuat perasaan takut seseorang menjadi berani, hati yang gelisah menjadi tenang, dan emosi kemarahan menjadi reda.

Tapi agaknya pengaruh itu tidak berlaku bagi Nyai Jalangayu. Emosi kemarahannya masih membara. Hasrat bermusuhan masih tampak jelas. Naluri ingin membunuhnya pun semakin kuat. Terlihat dari bola matanya mulai tampak cahaya merah kecil. Cahaya itu berbinar-binar dan semakin membuat darah di kepala Kumala Dewi menjadi lebih panas lagi. Kumala segera menggunakan Aji Cakra Salju. Dalam sekejap saja hawa panasnya hilang, dan berbalik menyerang Nyai Jalangayu.

"Gila! Ilmu apa ini yang ia gunakan menyerang­ku?!" geram hati Nyai Jalangayu.

"Oohh, badanku menjadi dingin semua?! Ooh, 000h... aku tidak bisa bergerak. Jariku tak bisa kugerakkan. Bahkan... bahkan lidah dan bibirku tidak bisa bergerak sedikit pun?! Aduh... ?! Gawat! Pandanganku jadi semakin gelap?! Semakin... semakin... aaahk ..!! "

Nyai Jalangayu hanya bisa terpekik dalam hati. Itu pun hanya satu kali. Pak Tua yang dari tadi terbengong memperhatikan kedua Wlanita cantik beradu kesaktian, kali ini bola matanya menjadi makin terbelalak lebar. Karena dengan jelas sekali ia melihat tubuh Nyai Jalangayu mulai berembun, lalu tertutupi kerak putih yang sebenarnya adalah bunga es.

Dan, pada akhirnya Nyai Jalangayu diam tak bergerak dalam keadaan seperti patung yang terbuat dari es balok.

Kumala Dewi mengedipkan matanya. Tenang dan tetap kalem. Ia menatap Pak Tua, dan Pak Tua gemetar ketakutan.

"Kita lanjutkan perjalanan kita, Pak Tua!"

Seribu kata tak terucap dari mulut Pak Tua. Mengangguk sulit, menelan ludahnya sendiri pun tak bisa. Bukan hanya rasa kagum pada Kumala yang ada dalam hatinya, tapi juga rasa takut terhadap kesaktian Dewi Ular apabila ia melakukan kesalahan dalam perjalanannya nanti.

Maka, muncullah dalam benaknya sebuah siasat untuk melarikan diri dari jeratan mata gaib Dewi Ular.

###

WANITA muda yang baru menikah dua tahun yang lalu itu masih sering menitikkan air matanya. Terutama jika malam telah tiba dan kesunyian mencekam jiwa, maka hadirlah duka di hati Ranni yang rindu akan tangisan bayi.

Fardan, suaminya yang memiliki ketampanan khas pria Timur Tengah itu memang tak henti-hentinya mencoba menghibur hati sang istri.

Tapi hati Ranni tetap duka karena bayangan dosa yang sebenarnya bukankarena kesalahannya.

"Dua tahun kita menunggu kehadirari buah hati kita, tapi baru sekarana kudapatkan tanda-tanda kehadirannye.Tahukan kamu...," ujarnya di pelukan sang suami. "Aku merasa senang sekali, gembira sekali, ketika dokter menyatakan aku positip hamil. Saat itu aku terasa terbang dan ingin melonjak-lonjak bersamamu..."

"Ya, aku juga merasakan hal yang sama, Ranni. Aku juga..."

" Kamu tahu apa yang membuatku sangat bahagia waktu itu?" Ranni mendongak menatap wajah sang suami.

"... Waktu itu aku merasa menjadi seorang istri yang paling beruntung. Selainmemiliki suami yang penuh kasih sayang dan kehangatan cinta, aku juga memiliki titisan darah cinta kita berdua, yaitu seorang bayi yang pada saatnya nanti akan kulahirkan: Aku bangga sekali jika dapat memberikan sesuatu yang paling istimewa untukmu, Sayang. Karena aku tahu, kau sangat menginginkan seorang anak dariku. Dan, anak itu adalah bukti cintaku padamu..."

Fardan memeluk istrinya erat-erat. Haru hati sang suami mendengar ungkapan duka sang istri yang merasa gagal menggapai harapan cinta. Padahal menurut Fardan, semua ini bukan kesalahan istrinya.

Tapi menurut Ranni, semua ini adalah kesalahan dirinya yang tak pandai menjaga janin dalam kanduligannya dengan doa atau sejenisnya.

"Dengar, Sayang... kalau peristiwa hilangnya bayi kita akibat keguguran, aku baru akan menyalahkan dirimu, kuanggap sebagai seorang istri yang tak pandai merawat kandungan nya. Tapi masalah yang kita hadapi ini bukan semata-mata keteledoranmu, bukan karena kebodohanmu, tapi karena sesuatu yang bersifat mistik. Jadi, kamu nggak perlu merasa bersalah. Siapa pun orangnya, sepandai apapun seorang wanita merawat kehamilannya, maka ia nggak akan bisa mempertahankan janinnya kalau kekuatan mistik yang mengambilnya."

"Bagaimana jika bukan karena kekuatan mistik?"

"Oo, mustahil sekali. Tanpa ada ikut campurnya kekuatan gaib, nggak mungkin kandunganmu hilang tanpa bekas, tanpa pendarahan dan tanpa alasan medis lainnya."

"Jadi, kamu percaya betul dengan apa yang dikatakan Mak Ayu tempo hari itu?"

"Ya, aku percaya."

"Dan, ketika kau datang ke-sana dia bilang dalam waktu paling lama 3 hari kandunganku akan kembali, kau. percaya?"

Fardan diam tertegun. Menarik napas panjang. Dia memahami tuntutan janji sang istri yang disampaikan secara diplomatis itu. Sebab, paranormal wanita yang pernah mereka mintai bantuannya itu menjanjikan waktu 3 hari untuk kembalinya kandungan Ranni. Sedangkan sekarang sudah hari keempat dari janji itu.

"Besok aku akan ke sana menemui Mak Ayu untuk menanyakan hasilnya. Kamu tenang aja. Jangan banyak pikiran. Semuanya akan segera berakhir dengan kemenangan di pihak kita, Sayang..."

"Andai dia tak mampu buktikan janjinya, bagaimana?"

Sekali lagi Fardan terbungkam, karena memang tak tahu harus berbuat apa seandainya janji Mak Ayu tak terbukti. Mungkin ia akan marah sekali, karena ia sudah berikan apa yang Mak Ayu inginkan sebagai syarat mistik. Bukan hanya uang, kemenyan dan pernik-­pernik magis lainnya, tapi juga syarat khusus telah ia berikan pada perempuan berdada montok itu.

Kehangatan, kenikmatan dan kepuasan.

Seandainya janji itu benar-benar tak dipenuhi , haruskan Fardan menuntut Astin, sebagai pihak perantara yang menyarankan sekaligus yang mendesaknya agar meminta bantuan Mak Ayu?.

Hal yang menyedihkan dan juga menjengkelkan Fardan adalah tingkat kesibukannya di kantor yang semakin padat itu. Sebagai marketing manager ia banyak melakukan lobby dengan para klien di beberapa tempat.

Bahkan tadi pagi ketika ia baru saja sampai di ruang kerjanya, seorang rekan telah menyodorkan surat tugas dari atasan. Hari itu ia harus terbang ke Ujungpandang untuk menyelesaikan suatu masalah yang memang sudah menjadi bidangnya.

"Apa nggak ada orang lain yang bisa tangani masalah ini sih? Kenapa selalu harus aku yang menyelesaikannya?!"

Ia bicara pada Samon, yang status jabatannya satu tingkat lebih tinggi. Tapi agaknya. Samon menanggapinya dengan santai sekali.

"Kamu lebih piwai daripada yang lain. Udahlah, terima aja tugas ini. Kalau kamu yang tanganin nggak sampai dua hari, kan?"

"Aku ada urusan keluarga hari ini!"

"Bukankah bekerja di sini juga untuk urusan keluarga?" sambil Samon menepuk pundak Fardan, kemudian pergi ke ruang kerjanya sendiri.

Fardan penasaran dan mengikuti Samon, karena ia yakin Samon dapat mempengaruhi atasan mereka untuk pengalihan tugas tersebut ke orang lain .

"Sam, tolong bantu aku dong. Hari ini aku benar‑benar ada keperluan sangat penting, menyangkut kejiwaan istriku."

"Memangnya, istrimu kenapa? Sakit jiwa?" Samon tertawa kecil.

"Kamu jangan becanda dulu deh. Aku serius. Kamu yang bilang sama Pak Hans untuk serahkan tugas ini sama yang lain; Herman, Ruddy, Pak John atau Linda, kan bisa."

"Boss lebih percaya dengan kemampuanmu daripada kemampuan mereka, tahu? Terus terang saja, yang usulkan penunjukkan tugas ini adalah aku. Jadi, nggak mungkin aku pengaruhi Pak Hans untuk melimpahkan tugas ini ke orang lain."

"Yaah, payah kamu, Sam. Kenapa nggak kompromi dulu denganku waktu kamu diajak rapat sama Pak Hans? Kamu kan tahu kalau aku masih dalam suasana duka begini?"

"Maksudmu, suasana duka bagaimana?" Samon menatap dengan mengernyitkan alisnya.

"Lha, kan udah dari kemarin-ketharin aku bilang kalau istriku kena musibah."

"Astaga?! Musibah apaan?! Aku baru dengar sekarang."

"Ah, masa' sih baru dengar sekarang?"

"Sungguh, Far! Baru sekarang kudengar tentang musibah itu. Kamu tahu kan kalau dalam seminggu penuh ini aku sibuk mondar-mandir Bali-Jakarta untuk proyeknya Bu Inneke?"

"Ooo, jadi kamu belum tahu kalau..."
"Musibah apa yang dialami istrimu?!"

"Kandungannya hilang."

"Maksudmu... keguguran?"

"Bukan!" Fardan agak ngotot.

"Lalu...? hilang bagaimana sih?"

" Hi .... hilang, ! Ya, hilang begitu saja. Lenyap tanpa bekas! Seperti nggak pernah hamil! Bahkan kata dokter... perangkat kehamilan istriku juga nggak ada. Jadi, bukan bayinya saja yang hilang, Sam."

"Ya, ampuuuun...," Samon terbengong sesaat. Pandangi wajah Fardan, dan ia temukan rona keseriusan pada wajah itu. Artinya, ia yakin Fardan bicara hal yang sebenamya. Bukan mengada-ada.

"Nah, nanti sore pulang kantor, aku mau ke rumah dukun itu, yang mengatakan bahwa kandungan istriku dicuri secara gaib dan ia sanggup mencari serta mengembalikan kandungan istriku itu. Janjinya cuma tiga hari. Ini sudah hari ke lima. Makanya..."

"Wah, hati-hati kamu kalau main dukun begitu, Far. Memang gaib harus dilawan dengan gaib. Dan, menurutku gaib itu memang ada. Mistik juga ada. Tapi, kita jangan menjadi bego gara-gara menghadapi masalah mistik. Salah-salah kita bisa jadi korban kelicikan orang-­orang yang mengaku dukun atau paranormal."

"Justru itulah, Sam..."

"Sekarang lagi musim profesi dukun. Hati-hati aja. Ada yang cuma bisa melakukan pengobatan lewat pijat urat saraf, tapi. sudah mengaku sebagai orang pintar atau paranormal yang tahu dunia gaib. Atau ada yang nggak bisa apa-apa tapi mengaku bisa apa-apa. Tujuannya cuma mau dapatkan keuntungan dari orang-orang panik macam kamu. Kadang-kadang bukan cuma uang atau harta lainnya yang dia ambil dari kita, bisa-bisa nyawa kita atau jiwa sanak saudara kita. Malah ada yang cuma pengen dapat kepuasan bercinta dari kita, Far. Ada tuh yang begitu! Nggak percaya kamu? !"

Fardan menjawab pelan sekali, "Percaya sih..."

Suara Fardan memang sangat lemah. Karena,tanpa disengaja perkataan Samon yang terakhir cukup menyengat bagi batinnya. Seperti sebuah sindiran yang telak mengenai lubuk hatinya paling dalam.

Tapi ia yakin, Sam tidak bermakud menyindirnya, karena Sam dan yang lain tidak mengetahui apa yang sudah ia lakukan demi mendapatkan janin anak pertamanya itu.

"Makanya, Sam.... Aku minta tolong sama kamu untuk..."

"Begini saja deh," sahut Samon lagi. "Aku punya kenalan yang memang menguasai sekali dalam bidang mistik atau sejenisnya. Mungkin kamu pemah mendengar namanya...."

Belum selesai Samon bicara, dering telepon di meja kerjanya berbunyi. Samon buru-buru menyambutnya karena telepon itu dari line 1, berarti dari atasannya.

Menjelang makan siang, Fardan terpaksa menghubungi seseorang melalui telepon di mejanya. Karena, upaya pengalihan tugas ke Ujungpandang gagal. Ia tetap harus berangkat ke sana. Ticket pesawat sudah disiapkan atas nama dirinya. Dua jam lagi ia harus sudah tiba di bandara Soekarno-Hatta.

"Sampai sekarang aku belum ke sana lagi, As. Jadi, tolong nanti kamu sempetin ketemu Mak Ayu dan..." Fardan diam sebentar, lalu terdengar suaranya kembali bernada keluh.

"Aduuh, Astiiin.:. kan sudah kubilang tadi, kalau aku nggak pergi ke luar kota, aku akan datang sendiri... Kenapa...? Iya, tapi Ranni nggak sabar, dia minta kepastian hmm? Iya... Pelayanan apa maksudmu? Ah, ngaco aja kamu. Masa aku harus tidur sama Mak Ayu sih...? udah, udah pokoknya gitu aja, aku minta bantuanmu... !"

Fardan buru-buru memutus pembicaraan karena kecemasan yang tiba-tiba datang menghantuinya. Jika telalu lama bicara dengan Astin, ia khawatir ada sejengkal rahasia yang akan terbongkar dari mulut Astin ke telinga Ranni.

Astin teman akrab Ranni sejak mereka kuliah dalam satu kampus hingga sekarang. Astin memang lebih dulu kenal Mak Ayu. Juga, lebih dulu mendapattan bukti kehebatan MakAyu dalam dunia mistik. Ia memperoleh keuntungan besar melalui bantuan gaibnya Mak Ayu. Keuntungan besar itu adalah Rangga, yang sekarang menjadi suaminya. Putra pengusaha kaya itu berhasil ditundukkan hatinya oleh Astin lewat bantuan guna-guna ilmu peletnya Mak Ayu.

Setelah mendapatkan Rangga dan kekayaannya,Astin masih sering mengunjungi MakAyu, membawakan oleh-oleh bermuatan upeti. Bisa makanan, bisa barang, tapi yang paling utama adalah uang. Sebab, Astin takut cinta Rangga luntur dan ia tak bisa membuatnya tunduk lagi apabila ia tak setor upeti kepada Mak Ayu, sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan.

***

Sederhana. Begitulah kesan penampilan rumah yang memiliki corak bangunan model lama itu. Tapi belum bisa dikatakan sebagai rumah tua atau kuno. Rumah itu terletak di perkampungan yang masyarakatnya sudah mulai mengikuti gaya hidup modern, namun masih kampungan dalam pola pikirnya. Rumah berwarna cream lusuh itu terletak di ujung jalan perkampungan. Agak terpisah dari rumah-rumah lainnya, namun bukan berarti terpencil.

Halaman depannya cukup luas. Memiliki. beberapa pohon buah yang tumbuh di tempat-tempat tertentu. Daunnya yang lebat, dahan-dahannya yang mengembang menyempai payung, telah membuat runah itu tampak teduh, namun juga misterius.

Temeramnya cahaya bulan sabit di malam hari, sering membuat rumah itu seakan-akan memancarkan pesona klasik berbau mistik.

Seorang perempuan yang pantasnya berusia 35 tahun tinggal di rumah tersebut bersama seorang pembantunya. Perempuan itu bukan pemilik rumah, tapi warga pendatang yang mengontrak rumah itu sejak beberapa waktu yang lalu. Ia tertarik untuk tinggal di situ karena ia menyukai tempat yang sepi. Hening. Tak terganggu aktivitas tetangga, atau kebisingan hidup pada umumnya.

Masyarakat sekitar tempat itu tidak tahu banyak tentang penghuni rumah tersebut. Mereka hanya tahu bahwa rumah tersebut dikontrak oleh seorang wanita, cantik, sekal, tidak terlalu kaya dan hidup tanpa suami. Mungkin janda, mungkin perawan tua. Sedang­kan anak remaja yang tinggal bersamanya itu bukan­ anaknya melainkan pelayannya.

Hanya itu yang mereka ketahui tentang penghuni rumah ujung. Beberapa orang yang tinggalnya lebih dekat memang ada yang tahu, bahwa perempuan yang selalu tampil sederhana tapi memancarkan kharisma itu dikenal dengan nama Mak Ayu. Tapi mereka tak tahu dengan pasti apa profesi Mak Ayu sebenarnya.

Sementara itu, mereka yang tinggalnya jauh dan perkampungan tersebut, seperti Astin misalnya, justru tahu banyak tentang MakAyu. Mereka tahu bahwa Mak Ayu memiliki kemampuan di bidang supranatural. Kabarnya, kekuatan supranatural yang dimiliki Mak Ayu itu tukup menjanjikan. Bisa dibuktikan, bisa dirasakan dan bisa dipercaya kebenarannya.

Hanya saja, sudah tiga hari ini. Mak Ayu menolak tamu yang ingin bertemu dengannya. Setiap ada yang datang, pelayannya yang menyambut dan mengatakan,

"Maaf, untuk saat ini Mak Ayu tidak bisa menerima tamu. Beliau sedang menjalankan ritual hening."

Sering ditambahkan pula oleh si pelayan, bahwa dalam menjalankan ritual hening itu MakAyu tidak boleh bicara dengan siapa pun dan tidak boleh mendengar pembicaraan dari siapapun. Praktis selama prosesi ritual hening itu Mak Ayu mengunci diri dalam kamarnya. Sampai batas waktu tertentu baru ia berhenti lakukan hal itu dan bisa keluar dan kamarnya.

Dalam disiplin ilmu aliran Mak Ayu, ritual hening memang ada. Tetapi. saat ini dia sebenarnya bukan sedang melakukan ritual hening. Perempuan beralis tebal tapi tersusun rapi itu memang mengurung diri di dalam kamar, tapi tidak terus-terusan di dalam kamar. Ada kalanya ia keluar dari kamar untuk memanggil pelayannya, atau hal-hal lain yang hams dilakukan di luar kamar.

Kemarin, misalnya, Mak Ayu keluar dari kamar untuk mengambil sebuah mangkuk beling putih di dapur Ia berjalan agak limbung. Sesekali menyeringai, menggigit bibir sendiri, menandakan bahWa ia sedang merasakan sesuatu yang menyakitkan.

"Sudah agak sehat, ya?" tegur anak lelaki berusia remaja, pelayan setianya.
"Lumayan."

"Oo, syukurlah. Sepertinya luka di kepala sudah hilang."

". Ya, Yang dikepala mudah hilang. Tapi yang di dadaku ini masih belum bisa kuatasi. Sekujur tubuhku seperti digerogoti hewan kecil-kecil bergigi tajanl. Sakit seamua."

Pelayan berbadan kurus dan berkulit lusuh memandang dengan iba. Ia tampak sekali turut bersedih atas kejadian yang menimpa Mak Ayu belum lama ini.

"Carikan aku darah."

"Baik," Pelayan itu mengangguk patuh.

"Kalau bisa sebelum gelap sudah kau dapatkan."

"Akan saya usahakan secepatnya."

"Tidak perlu harus darah segar, dan tidak perlu. banyak-banyak."

"Baik."

Sang pelayan pergi lewat tengah hari. Menjelang adzan maghrib berkumandang, ia sudah tiba di rumah. Ia berhasil mendapatkan darah manusia meski tak segar. Tapi juga belum membusuk. Bahkan cukup banyak, sedangkan yang dibutuhkan hanya sedikit.

Mak Ayu tak perlu bertanya lagi di mana si pelayan mendapatkan darah tersebut. Dari wadahnya sudah dapat diterka, si pelayan mendapatkan darah dari PMI, dan, sudah pasti ia mencurinya.

Buat Mak Ayu hal itu tidak pernah dipermasalah­kan. Suara adzan maghrib selesai berkumandang, Mak Ayu masuk kamar kembali dan tidak keluar lagi sampai esok harinya.

Saat itulah memang ia melakukan ritual gaib, tapi bukan ritual hening namanya. Ritual yang dilakukan itu pada dasarnya untuk mempercepat proses penyembuhan luka di dada.

Luka itu membentuk satu lubang bundar. Memang sudah tidak mengucurkan darah lagi seperti awalnya,tapi rasa sakit masih belum bisa teratasi sepenuhnya. Sebenarnya bukan hanya dada, tapi juga kepala Mak Ayu terluka berlumuran darah.

Tapi luka dikepala akibat benturan dengan besi pintu gerbang sebuah villa. Tergolong sebagai luka alami. Mak Ayu sudah berhasil mengobati sendiri luka tersebut. Bahkan sekarang kepalanya dalam keadaan bersih, seperti tak pernah terluka apapun. Tentu saja yang membuat luka di kepala itu lenyap adalah kekuatan gaib pada diri Mak Ayu.

Sedangkan luka berlubang di dadanya berasal dari kekuatan hawa gaib lawannya. Luka itu mengandung semacam racun berbahaya yang ternyata sulit ditangkal dengari kekuatan gaibnya Mak Ayu. Berbagai ramuan mistik sudah dicobanya. Tetap gagal.

Dalam hatinya, MakAyu mengagumi gadis kecil yang menjadi lawannya.,Dalam usia sekitar 6 tahun, anak itu sudah bisa melukainya dengan meninggalkan racun yang sukar ditangkal.

Peristiwa itu terjadi ketika Mak Ayu melacak kandungan istri Fardan yang hilang secara gaib itu. Ia merasakan getaran gaib dari kandungan itu di sebuah villa, di Puncak.

Pada saat itu villa tersebut memang ditempati Rayo Pasca, dan pada saat itu memang benar pria tampan, dan gagah yang menjadi kekasih Kumala Dewi itu sedang hamil. Tetapi Mak Ayu tak dapat masuk ke villa itu karena seorang bocah menghalanginya, bahkan bertarung dengannya dan membuat lubang di dada, sehingga Mak Ayu terpaksa melarikan diri, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "Parit Kematian").

Tak disangsikan lagi, gadis cilik berwajah cantik yang menjadi lawan Mak Ayu itu pasti bukan bocah biasa. Mak Ayu mengakui kehebatan bocah itu. Kesaktiannya cukup tinggi.

Mak Ayu sepertinya tak sanggup jika harus melawannya lagi. Maka, untuk mengatasi lukanya itu, Mak Ayu terpaksa melakukan meditasi gaib. Beberapa sarana dijadikan medianya, termasuk darah manusia tadi.

Sekitar pukul 3 dini hari, terdengar suara gemuruh angin kencang mengacaukan alam sekitar rumah Mak Ayu. Angin itu berputar-putar hanya di sekitar rumah tersebut. Beruntung peristiwa aneh itu terjadi pada saat semua penduduk perkampungan sedang nyenyak­nyenyaknya tidur, sehingga tak ada yang melihat gerakan angin aneh di sekitar rumah Mak Ayu.

Meski pun terdengar suara lolongan anjing bersahutan, tapi Mak Ayu sedikit pun tak mempedulikan hal itu. Bukan sesuatu yang aneh baginya. Justru keadaan malam yang ganjil itulah yang menjadi harapan utama dalam meditasi gaibnya.

MakAyu tetap duduk di lantai, bersila, tanpa sehelai benang pun pada tubuhnya. Kamar yang gelap, hanya diterangi oleh sebatang Jilin kecil, kini menjadi bercahaya samar-samar.

Cahaya itu muncul pada setiap sisi dinding kamar. Dinding menjadi seperti lempengan bara. Merah berpendar-pendar. Sesaat kemudian terdengar suara yang tidak asing lagi bagi Mak Ayu.

"Ada apa dengan dirimu,.hah?!"

Suara itu sebenamya cukup pelan, tapi mempunyai tekanan sedikit menyentak. Itu artinya si pemilik suara merasa kesal atas undangan Mak Ayu. Jadi, ternyata beberapa hari ini Mak Ayu berusaha memasuki dimensi gaibnya untuk minta bantuan sehubungan dengan lukanya..Tetapi pintu gaibnya tidak dibuka-buka.

Mak Ayu .menggedor-gedornya setiap saat, sampai si pemilik pintu dimensi itu membukanya dengan rasa jengkel. Terdengarlah suaranya yang mirip suara lelaki itu.
"Apa maksudmu, hah?! Jelaskan apa maksudmu!"

"Mohon ampun sebelumnya, Guru...," kata Mak Ayu. Rupanya yang datang saat itu adalah gurunya.

"Saya memang memaksa Guru untuk datang kemari, karena saya butuh pertolonganmu, Nyai Guru."

"Dasar bodoh!"

"Saya terluka, Guru."

"Ya, itulah kebodohanmu!"

"Saya sudah coba kerahkan seluruh kekuatan, tapi luka ini belum juga bisa ditaklukkan, Guru. Racunnya sangat kuat dan ganas."

"Dasar dungu! Coba rentangkan tanganmu... !"

Sang guru agaknya tipe guru yang temperamental sekali. Galak. Terkesan kasar. Tapi tetap saja ia punya perhatian pada muridnya. Tak tega ia biarkan sang murid terluka tanpa bisa terobati lagi.

Hanya saja, setelah.ia menangani luka itu, ternyata ia sendiri tidak sepenuhnya mampu melenyapkan luka tersebut.

"Siapa yang melukaimu ini?"

"Anak kecil, Guru. Entah anak siapa dia. Saya seperti pernah melihat, tapi juga sepertinya baru kali ini ketemu dia."

"Kalau sudah selesai tugasmu, kasih tahu aku ciri-­cirinya. Biar kubalaskan lukamu ini. Tapi...," suara sang guru merendah.

"Tapi kenapa, Nyai Guru?"

"Lukamu ini sepertinya berasal dari kesaktian... kesaktian...," suara sang guru semakin pelan, membuat Mak Ayu kian penasaran.

"Dari kesaktian apa, Guru? Katakan... !"

Hening sejenak, setelah itu baru terdengar lagi suara sang guru.

"Racunnya sudah kulumpuhkan. Tapi jejak gaibnya masih belum bisa hilang tuntas."

"Apakah tidak ada kekuatan lain untuk dapat menghilangkan jejak gaib ini, Guru? Saya tidak mau luka ini menjadi borok yang mengganggu ruang gerak saya,Guru." ,

"Hmmm, gunakan darah kemesraan. Bisa hilang."

Kata-kata tegas sang guru sangat meyakin­kan sekali, sehingga Mak Ayu merasa lega. Hanya saja, kelegaan tersebut belum lengkap jika is masih diganggu oleh rasa penasaran atas kata-kata gurunya tadi.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Nyai Guru.. , Tapi sebelum Guru pulang, tolong jelaskan -
kesaktian milik siapa sebenarnya yang dapat melukai saya sampai seperti ini? Katakan, kesaktian dari mana yang dimiliki gadis kecil itu, Guru?!"

Sepi. Tapi dinding masih menyala merah bara berpendar-pendar, menandakan bahwa sang guru belum pergi. Rupanya ada sesuatu yang sedang dipertimbang­kan oleh sang guru, hingga akhirnya terdengar.kembali suaranya yang agak besar, seperti suara lelaki itu.

"Kalau kau bertemu dengan bocah itu, lebih baik. jauhi dia secepatnya. Jangan sampai terlibat masalah lagi dengan bocah itu. Dan, jangan coba-coba mengusiknya. Paham?!"

"Jadi... siapa bocah itu sebenarnya, Guru?"

Lama tak ada jawaban. Apakah sang guru punya pertimbangan lain yang membutuhkan waktu berpikir agak lama? Atau, ada sesuatu yang dikeijakan sang gum pada saat itu hingga lupa memberi jawaban?

Yang jelas, ketika Mak Ayu ingin bertanya lagi, tiba-tiba angin besar datang. Cepat dan mengagetkan sekali.

Wuuurrrrsss ... !!

Hanya beberapa detik, lalu hilang secara mendadak.

Wuuzztt... !

Hening lagi. Sepi kembali. Dinding tak menyala seperti tadi. Sudah padam.
"Aaah, brengsek! Guru sudah pergil" geram Mak Ayu setelah menyadari hal itu.

"Kenapa dia nggak mau kasih tahu aku tentang bocah itu, ya?" pikir Mak Ayu seraya mulai berkemas mengenakan pakaian. Rasa sakit pada lukanya sudah tidak ada. Hilang sama sekali.

Tapi lubang luka di dadanya belum bisa hilang. Hanya tampak mulai mengering.

"Sepertinya guru sangat tahu siapa gadis kecil itu. Pasti dia tahu. Dan, pasti sengaja bikin aku penasaran, maka dia nggak mau jawab pertanyaan­ku tadi. Uuuh, masa' bodo... ! Sekarang yang harus kupikirkan adalah mencari darah kemesraan untuk menghilangkan jejak gaib pada luka ini. Hmmm... darah kemesraan siapa yang akan ku­pakai untuk melenyapkan luka ini, ya?"

Mak Ayu mulai bersolek pada hari berikutnya. Ia sudah siap terima tamu kapan saja. Tapi untuk sementara ini ia berpesan pada pelayannya yang sering menjadi penerima tamu itu.

"Utamakan tamu lelaki. Aku butuh obat penghilang luka .."

Sampai lewat tengah hari, belum ada tamu yang datang. Mak Ayu berniat mengaktifkan handphone-nya.

Sejak ia terluka HP pemberian dari Astin itu sengaja tidak diaktifkan. Ia tidak mau diganggu oleh telepon dari kliennya. Dan, sekarang ia butuhkan HP itu untuk mencoba menghubungi beberapa klien lelaki yang pernah dibantu menyelesaikan masalahnya.

Namun, sebelum HP diaktifkan, tiba-tiba HP itu berdering sendiri. Mak Ayu sedikit curiga, namun segera tenang kembali. Ia dapat menduga siapa yang menghubunginya dalam keadaan HP tidak aktif. Tentunya bukan berasal dari kliennya.

"Ya, siapa ini?!" sapanya dengan nada tegas. "Arumpati."

"Kenapa menghubungiiu lewat jalur ini, Arum?. Ada apa?"

"Maaf, aku kehilangan jejakmu. Aku hanya mau kasih kabar, bahwa guru dalam keadaan bahaya."

"Apa maksudmu?"

"Guru tidak bisa bergerak lagi. Kami tidak ada yang bisa melawan pengaruh gaib yang membungkus sekujur tubuh Guru. Tolong pulanglah sebentar, siapa tahu kau bisa membebaskan Guru dari pengaruh itu."

Mak Ayu diam sesaat, tapi hatinya menggumam heran.

"Guru terkena pengaruh gaib? Ironis sekali. Semalam dia habis bebaskan aku dari pengaruh racun, sekarang dia sendiri yang terkena. Hmm, siapa sebenarnya yang bisa membut Guru sampai seperti itu? Apakah aku harus pulang dalam keadaan masih ada luka di dadaku ."

Suara yang masuk melalui saluran telepon itu terdengar lagi.

"Bagaimana, kau bisa pulang sebentar kan?"

"Nanti akan kukabari. Untuk sementara, , sebaiknya kalian segera hubungi Mirahkunti. Suruh dia pulang dan coba bebaskan Guru. Aku akan selesaikan dulu satu persoalan di sini, bare aku pUlang kalau memang Mirahkunti tidak bisa mengatasinya."

"Baik, aku akan hubungi Mirahkunti sekarang juga•"

Handphone berdenging seperti suara babi kena tabrak.

Huuuiik... !

Kemudian lampu layarnya padam, Diam dalam keadaan off seperti tadi. Mak Ayu tidak pikirkan HP-nya, bahkan belum jadi diaktifkan. Yang terpikir olehnya adalah kabar tentang keadaan sang guru itu. Ia nyaris tidak percaya mendengar gurunya dapat dilumpuhkan lawan.

"Siapa yang bisa mengalahkan Guru, ya? Hebat sekali dia. Apa perlu aku berguru sama dia?"

REMBULAN kembar ditinggalkan. Kini si pemandu tua membawa Kumala Dewi ke suatu tempat yang juga masih asing bagi Kumala sendiri. Maldum, alam gaib ternyata sangat luas.

Lebih luas dari alam kehidupan manusia.

"Apakah masih jauh tempatnya?" tanya Kumala Dewi.

"Di balik bukti itu,"

Baronggo menunjuk ke arah perbukitan yang membentang di depah mereka. Perbukitan itu tidak sama seperti per­bukitan di alam manusia. Tidak seperti bukitbarisan di Sumatera.

Perbukitan yang membentang di depan Dewi Ular ,tidak terlaIu tinggi. Mudah dijangkau denganjalan kaki 'bias& Tetapibukit itu.bukan bukit cadas, melainkan bukit karang putih.

Beberapa pohon tampak menjulang tinggi, tapi pohon itu juga berwarna putih karena terdiri dari batuan karang. Sementara di lerengnya tampak anak karang berserakan dalam keadaan runcing-runcing. Ketajaman ujungnya tampak jelas, seperti sedang menunggu mangsa untuk dirobektakinya.

"Nggak ada laut, tapi ada karang sebesar itu?!" gumam lirih Dewi Ular sambil memperhatikan sisi-sisi lain dariperbUkitan itu.

"Tempat kita berdiri ini tadinya lautan. Tapi karena terkena kutukannya si Penghulu Iblis, maka lautan itu menjadi beku begini."

"Penghulu Iblis? Apakah maksudmu, Baho­ddam?" tanya Kumala sambil memperhatikan hamparan batu yang luas tanpa pepohonan itu. Warna merah kehi­taman dimiliki semua bebatuan di situ terrnasuk tanahnya yang keras, serupa dengan kerasnya batu granit.

Setelah Baronggo membenarkan dugaan Kumala tadi, bidadari cantik jelita itu bertanya kembali sambil memperhatikan hamparantanah berbatu itu.

"Jika benar di sini dulu ada lautan, kenapa sekarang hamparan batu dan tanahnya berwarna merah?"

"Karena mernang berasal dari lautan darah:"

"Ooo...," Kumala Dewi manggut-manggut.

"Melintasi hamparan batu ini bukan hal yang sulit. Tetapi mendaki bukit itu bukan sesuatu yang mudah. Keruncingan tanah karang dapat membuat kita terluka dan membusuk secepatnya. Sebab, bukit karang itu mengandung racun yang sangat berbahaya. Tidak ada penangkalnya.Mati membusuk atau hancur jadi debu adalah ancaman dari bukit karang itu. Maka, bukit tersebut sering disebut-sebut sebagai Bukit Neraka."

"Lalu, bagaimana kau bisa meninggalkan Dewa Jenaka dalam keadaan selamat? Tanpa luka beracun sedikit pun."

"Hee, hee, hee, hee... , aku punya jembatan sendiri buat melintasi perbukitan itu, atau tempat-tempat beracun lainnya."

"Jembatan apa maksudmu?"

Pak Tua bermata cekung itu segera merapatkan telapak tangan kanannya ke dada. Kemudian tangan itu disentakkan ke depan dengan sentakan tak terlalu kuat. Seeet.. : Maka, telapak tangan itu membiaskan cahaya pelangi yang makin lama semakin besar. Zuuutizt. ! Dalam sekejap cahaya pelangi itu melampaui bukit tersebut tanpa putus, membentuk satu lengkungan panjang.

"Ini jembatanku, Nyai Dewi..."

"Hebat juga kau rupanya."

"Silakan Nyai Dewi jalan duluan."

"Tidak. Kamu saja yang jalan duluan, Pak Tua."

Cahaya pelangi itu bisa berubah menjadi sesuatu yang padat dan keras, sehingga ketika Pak Tua melompat ke atasnya, tak ada getaran sedikit pun pada cahaya pelangi tersebut. Dewi Ular dan Pak Tua pun meniti pelangi, melintasi bekas lautan berdarah, melintasi puncak perbukitan sampai akhirnya mereka tiba di suatu tempat aneh.

Sebuah hutan membentang di balik Bukit Neraka. Hutan itu bertanah kering. Retak-retak. Bahkan ada yang membentuk celah panjang. Tiap retakan tanahnya mengeluarkan asap putih seperti kabut. Pohon-yohon yang tumbuh di situ dalam keadaan kering semua, baik batang, dahan, ranting, sampai daunnya berwarna coklat kering.

Yang membuat hutan itu tampak lebih aneh lagi adalah munculnya wajah-wajah aneka rupa pada tiap pohon. Seperti sebuah ukiran, setiap pohon kering disitu memiliki bentuk wajah yang rnenyeringai, terbelalak dan berbagai ekspresi lainnya .

Bahkan beberapa pohon memiliki bentuk dahan seperti sepasang tangan yang merentang, seperti mahiduk aneh yang ingin menerkam mangsanya. Wajah yang tersumbui dari batang pohon itu ada yang menyerupai wajah manusia biasa, tapi juga ada yang menyerupai wajah iblis dan sejenisnya.

Sementara batu-batu yang ada di situ rata-rata berwarna hitam kelam. Seperti gundukan arang. Tetapi tiap batu mempunyai bentuk aneh. Ada yang seperti orang meringkuk, ada yang berbentuk orang berlutut, ada Pula yang menyerupai orang nungging, dan yang lainnya. Melihat keadaan seperti itu, Dewi Ular hanya bisa berkata dalam hati.

"Aku merasakan jejak gaib berserakan di sekitar sini. Tapi tidak ada gaib yang masih utuh. Hanya jejaknya saja. Hhrnmmrnm... tempat apa ini sebenarnya?!"

Bertepatan dengan pertanyaan ,dalam hati Kumala, suara Baronggo pun terdengar jelas di sampingnya.

"Ini namanya Hutan Kutukan."

"Pantas aku merasakan jejak gaib banyak di sekitar sini."

"Dulu tempat ini adalah hutan hidup. Siapa masuk kemari, dia akan menjadi makanan pohon dan batu yang ada di sini. Tetapi sekarang sudah menjadi hutan mati, karena penguasa hutan ini kalah bertarung melawan si Penghulu Iblis. Rakyatnya dikutuk oleh Penghulu Iblis, sehingga menjadi pithon berwajah atau batu sekarat Pengaruh kutukan itu sekarang sudah tidak ada, kecuali yang di seberang sana, masih ada pengaruhnya. Jadi, jangan kita melewati hutan seberang sana, karena begitu kita terkena pengaruhnya maka kita akan menjadi pohon atau batu seperti yang ada di sini."

"Terima kasih atas saranmu. Lalu, di mana kau temukan kipasnya paman Jenaka? Apakah masih jauh dari sini?"

"Tidak. Ikuti langkahku!"

Baronggo berjalan lebih dulu dengan melompat-lompat seperti seekor rasa berlari. Kumala Dewi mengikutinya dengan melayang di udara setinggi 1 meter dan permukaan tanah.

Menjelang awal petang tiba, Astin sudah ada di rumah Mak Ayu. Wanita muda yang sudah menjadi menantunya pengusaha besar itu datang dengan mengendarai sedan Vios warna biru me­talik. Dia sendiri yang mengemudikan sedan tersebut.

Dulu dia datang ke situ dengan taksi, atau kadang menggunakan ojek.

"Fardan titip salam, Mak."

"Aku ngerti maksudnya. Bilang sama dia, aku sudah menemukan di mana kandungan istrinya berada. Tapi untuk mengambilnya aku butuh kekuatan baru."

"Maksudnya?"

Mak Ayu membuka kemeja pria yang dikenakan saat- itu. Dua kancing atas dibuka, ia sudah dapat menunjukkan luka berlubangnya.

"Kamu lihat luka ini?"

"Ya, ampuun... kenapa itu, Mak?"

"Saat aku mau merebut kandungan itu, aku bertarung melawan pencurinya. Aku terkena pukulan yang cukup parah. Dia punya kesaktian lebih tinggi satu tingkat denganku. Jadi, aku butuh tenaga baru untuk meningkatkan kesaktianku. Setelah itu aku akan bertarung mengalahkan si pencuri dan merebut kembali kandungan istrinya Fardan."

Astin manggut-manggut kagum. Ia tak tak sadar kalau saat itu ia sedang mendengar bualan yang meyakinkan.

"Lalu, kekuatan baru itu bagaimana maksudnya?"

Mak Ayu mendekatkan wajahnya dan berkata pelan.

"Carikan aku teman kencan malam ini. Fardan juga boleh."
Astin tidak merasa kaget, hanya tersenyum geli. Rupanya ia sudah sering mendengar hal itu. Atau memang sudah sering membantu Mak Ayu dalam hal itu. Jadi bukan hal aneh baginya kalau mendengar Mak Ayu minta dicarikan teman kencan.

"Fardan sedang ke luar kota," kata Astin. "Makanya dia suruh aku datang kemari menanya­kan hasilnya. Kalau dia tidak ditugaskan oleh kantornya ke luar kota, dia sendiri yang mau datang kemari."

"Selain Fardan... ?"

"Selain Fardan, hmmm... siapa, ya?" Astin berpikir serius.

"Tonny yang agak botak itu juga boleh."

"Ah, Tonny udah lama nggak di Jakarta, Mak. Udah pulang ke Balikpapan sejak berhasil menikahi Ernas."

Mak Ayu tarik napas panjang. "Kalau kamil nggak bisa bantu aku lagi ya sudahlah. Nggak usah berlagak pusing memikirkannya."

Kata-kata itu terasa betul menyengat di hati Astin. Ia paling takut kalau Mak Ayu marah atau kecewa padanya. Sebab, ia tetap ingat bahwa Mak Ayu pegang kunci utama dalam perkawinannya dengan Rangga. Kekecewaan dan kejengkelan dapat membuat Mak Ayu melepaskan tali pengikat cintanya Rangga pada Astin.

"Aku ada teman, dia punya masalah. Tapi dia nggak punya uang. Jangan dimintain uang, ya? Ntar dia lcusuruh kemari aja," kata Astin.

"Yang kubutuhkan bukan uangriya. Kau tahu itu kan?"

"Iya, aku tahu. Ya, udah... aku pamit sekarang aja, Mak. Biar nggak terlalu malam. Sebab, kalau ketemu dia terlalu malam, bisa jadi dia nggak mau datang hari ini. Mungkin besok."

"Aku butuh malam ini."

"Ya, udah kalau gitu. Kalau nanti aku nggak sempat antar dia, biar dia cari sendiri alamat rumah sini, ya? Pokoknya, Mak ingetin aja... dia berbadan sedang, berkulit putih, matanya kecil, terus.."

. "Siapa namanya?"

"Jonny, dipanggilnya: Jo."

Ada suatu keharusan bagi Astin untuk memenuhi keinginan Mak Ayu. Bukan soal materi, tapi soal kebutuhan yang sangat pribadi seperti saat itulah yang harus diupayatan oleh Astin. Sadar atau pun tidak, dia sudah terbebani oleh hal-hal yang seharusnya bukan menjadi tuganya. Namun toh sampai sekarang Astin belum pernah mengeluh dalam hati. Hanya menggerutu kesal, itu pun sekedar gerutu kekonyolannya saja.

Aroma therapy mulai menyebar di seluruh ruangan rumah itu. Mak Ayu membakar serbuk kayu cendana yang sudah dikemas menjadi seperti batangan hio. Lampu ruang tamu tetap gelap. Jarang is menyalakan lampu ruang tamu. Rumah itu setiap malarnriya hanya diterangi oleh lampu ruang tengah dan bias lampu dapur yang tetap saja menggunakan watt kecil. Keremangan suasana dalam rumah dapat menimbulkan sugestivitas bagi para tamunya.

Sebelum pukul delapan Mak Ayu menerima telepon dan Astin.

"Mak, si Jo sedang menuju ke situ. Tunggu aja."

Satu jam kemudian, terdengar suara motor ojek berhenti di depan rumah. Pelayan tak jadi menyambut ­kedatangan tamunya, karena Mak Ayu sudah lebih dulu bergegas ke ruang depan begitu mendengar suara ketukan pintu tiga kali.

Benar apa kata Astin tadi. Jonny berkulit putih, bermata kecil, serta berbadan sedang. Tapi Astin lupa sebutkan bahwa Jonny adalah pemuda yang masih hijau. Usianya sekitar 21 tahun. Masih bertampang anak-anak. Dia punya ketampanan, tapi ketampanan yang masih sangat polos dan lugu sekali. Ia mengenakan kacamata baca, pertanda ia lebih. suka membaca daripada bergaul.

"Kok Astin yang menyuruh saya kemari malam ini juga, Mak," katanya dengan sangat sopan.

Mak Ayu membawanya ke ruang tengah. Di meja marmer bundar. Jonny lebih sering menunduk daripada menatap Mak Ayu yang duduk di kursi sebelah kirinya.

Sangat dekat jaraknya, sehingga Mak Ayu .dapat mencium aroma wangi dari badan Jonny.

Aroma wangi itu dikenalnya sebagai wanginya sabun mOndi. Bukan parfum. Sementara Jonny pun dapat mencium aroma wangi parfum yang dikenakan Mak Ayu. Parfum itu begitu lembut wanginya. Nggak ada kesan sangar atau mistik di parfum yang dikenakan oleh Mak Ayu. Wangi parfumnya seperti wangi parfum teman-teman sebaya Jonny.

"Kamu kerja atau...."

"Saya masih kuliah, Mak."

"Sudah punya pacar?"

Jonny tersenyum malu dengan wajah tetap menunduk. Ia tak mau menjawab. Atau memang tidak tahu bagaimana menjawabnya.

"Payah si Astin," gerutu hati Mak Ayu. "dia kirim anak-anak yang masih harus banyak belajar. Huuuuh, dia kira aku suka sama yang terlalu muda begini? Baru ditanya sudah punya pacar atau belum aja sudah malu-malu dan grogi begitu. Tapi, nggak apalah. Daripada nggak ada yang lain. Justru yang seperti ini mudah dipengaruhi jiwanya."

Ketika ditanya persoalannya, Jonny menjawab dengan pandangan mata lebih sering tertuju ke lantai. Seolah-olah ia takut beradu pandang dengan Mak Ayu. Keadaan seperti itu membuat Mak Ayu agak kesulitan mengirim gaib pemikatnya.

Karena energi pemikat hati dan pembangkit gairah lelaki itu mudah dikirimkan lewat adu pandang mata. Mak Ayu terpaksa harus berusaha keras dan memancing dengan berbagai cara agar Jonny mau lebih rileks dan berani untuk berbicara dengan Mak Ayu sambil bertatap mata bukan dengan menunduk ke lantai terus menerus.

"Bilang aja apa adanya, Jo. Jangan rnerasa sungkan atau malu, supaya aku bisa memahami persoalanmu," bujuk Mak Ayu dengan sabar.

"Saya pernah mengeluh sama Kok Astin soal teman saya yang bernama Vidda. Vidda itu judes, sombong dan sangat egois sekali. Saya sakit hati padanya, Mak. Saya sering jadi bahan hinaan dia, dan buat tertawaan di depan teman-temannya. Saya sakit hati sekali."

"Dia cantik?"

"Ya, memang cantik sih."

"Sexy...?"

"Menurut teman-teman cowok saya begitu."

"Kamu suka nggak sama dia?"

"Nggak suka."

"Yang benar...?"‑

"Nggak. Saya tidak mungkin suka sama cewek yang egois dan sombong itu."

"Apakah benar kamu tidak suka sama cewek yang kamu bilang cantik dan sexy itu. Mana mungkin cowok tidak suka dengan cewek yang sexy."

Mak Ayu masih kurang percaya dengan apa yang diucapkan oleh Jonny.

Kali ini Jo menjawab dengan tegas dan cepat sambil memandang Mak Ayu. Tatapan matanya bermaksud meyakinkan Mak Ayu bahwa ia benar-benar tidak menyukai Vidda. Tapi. oleh Mak Ayu kesempatan kilat itu dimanfaatkan untuk mengirim gaib pemikatnya.

"Tapi misalnya dia suka sama kamu, kamu mau kan?"

"Nggak," ia menggeleng sambih masih menatap Mak Ayu.

"Lalu, apa yang bisa kubantu?"

"Saya ingin... saya ingin bikin dia tergila-­gila sama saya, tapi akan saya cuekin. Biar dia kapok dan nggak menghina saya terus-terusan."

Mak Ayu tertawa kecil. Melihat tawa Mak Ayu sebenarnya Jonny merasa malu, tapi tawa itu mempunyai sesuatu yang menarik baginya, sehingga rasa rrillunya dikesampingkan. Lama-lama Donny berani curhat apa adanya kepada Mak Ayu. Pada dasarnya ia ingin merribuat Vidda tergila-gila padanya, dan bertekuk lutut tanpa ampun lagi.

Dengan tatapan mata memancarkan kharisma, Mak Ayu berkata dengan penuh keseriusan, tamunya.

"Ada sesuatu yang membuatmu selalu sial di depan cewek. Aku melihat kabut hitam melapisi aguamu."

"Apakah... apakah itu berbahaya, Mak?"

"Yang jelas akan membuatmu selalu terhina di depan cewek.Kalau kamu kepingin Vidda tergilla-gila pa4iamu, kabut itu harus disingkirkan dul. Bagaimana?"

"Ma... mau, Mak. Mau sekali!"

"Agak berat ritualnya. Tapi bisa kukerjakan malam ini juga kalau kau tidak keberatan."

"Hmm, eeh... pokoknya saya mohon bantuan Mak Ayu untuk... untuk, yang tadi itu, sama untuk-membersihkan diri saya, Mak. Tapi... tapi saya nggak punya uang Mak "ujarnya dengan lugu.

"Kamm nggak usah berpikir soal uang. Aku nggak pernah rhinta uang pada 'siapa.pun yang harus kutolong. Yang penting sekarang, kamu slap nggak melakukan ritual pembersihan diri, dilanjutkan ritual menundukkan hatinya Vidda."

"Mmm... Mau, Saya nurut aja deh apa kata Mak."
"Kalau begitu, kita lakukan sekarang. Yuk, ikut aku... !"

Mak Ayu melangkah masuk ke kamarnya. Jonny mengikuti sesaat, laltr berhdnti di depan pintu kamar. Ia ragu dan takut. Takut salah mengartikan sehingga sangat dipercaya oleh perintah Mak Ayu, takut dsangka kurang ajar dan takut melihat makhluk menyeramkan. Karena, sejak tadi sudah tiga kali is merasa merinding sekujur tubuhnya.

"Jo...? Sini masuk, kok berhenti di depan pintu?!" Suara Mak Ayu terdengar jelas, sehingga Jo merasa yakin bahwa ia tidak salh mengartikan maksud Mak Ayu tadi. la pun masuk ke karnar itu dengan hati berdebar-debar, kaki mulai gemetar.

Nuansa mistik langsung mencekam hati Jonny begitu ia masuk ke kamar yang tidak terlalu lebar itu. Lampunya berwarna merah. Aroma cendana semakin kuat. Di sudut ruangan ada altar kecil dan karpet merah tergelar di depan altar .

Dtak jantung Jonny semakin kuat setelah Mak Ayu menutup pintu kamar.

"Lepaskan kacamatamu."

Dengan tangan gemetar Jo melepaskan kacamatanya. Diserahkannya kacamatanya pada Mak Ayu, dan Mak Ayu meletakkannya di atas meja kecil.

"Nggak usah takut. Di sini nggak ada setan."

"Hmm, iya, iya... Mak."

"Coba kuperiksa dulu bagian kapalamu "

Mak Ayu mendekat. Kepala Jonny dipegang dengan dua tangan .sedkt ditarik merapat ke dadanya. Tangan Mbak Ayu bergerak pelan-pelan mengelilingi kepala.

Sementara itu, tepat di depan mata Jonny ada gumpalan daging besar yang menggiurkan. Meski pun Jo berwajah kekanak-kanakan, lugu dan polos, tapi tetap saja ia lelaki yang normal, yang mengerti bahwa bagian dada itu adalah sesuatu yang sangat indah dan menggiurkan.

"Otakrnu juga terbungkus kabut itu. Siapa yang kirim kabut ini sih? Kejam banget tuh orang."

"Hmm, lalu...liagaimana, Mak? Apakah bisa dibersihkan?"

"Bisa. Asal kamu nurut..Buka bajumu."

Jo benar-benar menurut walau pun badannya gemetar menahan rasa takut dan rasa indah yang berdesir-desir menjamah hatinya. Baju yang kini sudah dibuka itu diletakan di tepi ranjang.

Detak jantung Jo mengguncangkan dadanya sendiri. Karena, pada saat itu kemulusan tubuh
putih Mak Ayu terlihat samar-samar dalam keremangan cahaya merah. Luka di dada tak terlihat oleh Jo karena keremangan lampu merah secara tak langsung menutupinya.

Tempat setanggi dibakar. Jo disuruh duduk di depan, altar. Mak Ayu mengasapi tubuh Jo dengan asap setanggi. Ritual itu sangat meyakinkan Jo, sehingga anak itu tak punya kecurigaan apa-apa. Beberapa prosesi dilkukan, memakan waktu sekitar setengah jam. Mak Ayu berlutut di depan Jo.

"Dan Vidda akan kita tundukkan , dia akan selalu ingat karnu. Mau nggak?"

"Hmm, eeh, iiya...mau..."

Agaknya anak itu benar-benar sudah pasrah.

"Biar kuhisap semua kabut yang membuat­mu sial selama ini."

"Iiyy...iyyaaa, Mak...," jawab Jo dengan napas cepat.

Jo tidak tahu kalau semua itu adalah siasat Mak Ayu untuk mengajaknya berkencan.. Jo tak sadar bahwa dirinya telah semakin terbenam dalam buaian Mak Ayu, sehingga kini Jo tak dapat menghindar lagi ketika harat menuntutnya lebih dari sekedar disentuh tangan Mak Ayu. Jo juga tak dapat menolak ketika ia diperintah Mak Ayu untuk berkencan dengan Mak Ayu.

Malam merayap semakin rnendekati puncak. Tapi di dalam kamar itu Mak Ayu sudah berhasil mencapai maksudnya. Begitu pula halnya dengan Jo. Hanya saja, perempuan itu pandai membakar emosi cinta lawan jenisnya, sehingga Jo menjadi lupa diri.

Dalarn hal ini tentu Mak Ayu bukan hanya menggunakan pengalamannya dalam bercinta. Tentunya juga menggunakan campuran unsur magis yang membuat Jo tak pernah merasa bosan menuruti perintah Mak Ayu. Jo seperti lupa akan tujuannya.semula datang ke tempat itu.

Jo tidak tahu, luka di dada Mak Ayu sudah mulai hilang. Hanya perempuan itu yang tahu persis bahwa ia sudah tak mempunyai luka setitik jarum pun.

Tapi apa setlah luka hilang Mak Ayu benar‑bënar memperoleh kekuatan baru ?
Apakah dia akan berhasil merebut kandungan istri Fardan yang dijaga oleh bocah sakti berwajah boneka ? .

oooOOooo