Pendekar Rajawali Sakti 96 - Penghuni Lembah Neraka(1)

SATU
ALUNAN SERULING terdengar begitu merdu, merasuk sampai mengusik hati siapa saja yang mendengarnya. Alunan seruling itu selalu terdengar setiap sore. Entah sudah berapa lama hal itu berlangsung, tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan semua penduduk Desa Tegalan ini seperti terbiasa mendengarnya tanpa ada seorang pun yang merasa terganggu.

Hanya saja sampai saat ini, tidak ada yang tahu tentang peniup seruling itu. Siapa orangnya, masih menjadi sebuah pertanyaan besar bagi penduduk Desa Tegalan. Tapi memang, setiap pagi alunan merdu seruling itu bagaikan memberi tanda pada seluruh penduduk Desa Tegalan. Dan lama kelamaan, sudah menjadi hal yang biasa di telinga. Mereka seakan-akan belum mau beranjak meninggalkan rumah untuk ke ladang, jika alunan seruling itu belum terdengar.

Tapi dalam beberapa hari ini, alunan seruling itu selalu terdengar setelah matahari muncul. Padahal sebelumnya, walau hari masih gelap, tapi alunan seruling itu sudah terdengar. Perubahan itu tentu saja membuat seluruh penduduk Desa Tegalan jadi bertanya-tanya. Dan semua itu tetap bergayut di dalam kepala mereka saja, tanpa ada yang tahu penyebab perubahan itu.

Dan pagi ini, seluruh penduduk Desa Tegalan semakin heran. Sejak sinar matahari baru tampak di ufuk timur, sampai bersinar penuh seperti ini, suara seruling itu belum juga terdengar. Bahkan Ki Carmat yang menjadi kepala desa itu juga merasa heran dengan menghilangnya alunan seruling yang begitu merdu.

“Andini, kau merasakan adanya keanehan pagi ini...?” tanya Ki Carmat, seraya melirik anak gadisnya yang duduk di lantai beranda depan sambil menganyam tikar.

“Sejak tadi, Ayah,” sahut Andini.

Gadis berwajah manis yang masih berusia delapan belas tahun itu menghentikan pekerjaannya. Kepalanya diangkat, dan langsung ditatapnya wajah ayahnya. Tampak jelas kalau kepala desa yang berusia lebih dari tujuh puluh tahun itu kelihatan gelisah. Pandangannya juga tidak berkedip, tertuju lurus ke puncak bukit yang melatar-belakangi desa ini. Bukit itu masih kelihatan tertutup kabut, walaupun matahari sudah naik cukup tinggi.

“Ayah kelihatan gelisah sekali...,” tegur Andini hati-hati.

“Entahlah, Andini. Aku sendiri tidak tahu. Entah kenapa, tiba-tiba saja hatiku terasa jadi tidak enak. Sepertinya, akan terjadi sesuatu di desa ini,” sahut Ki Carmat.

Suara laki-laki tua itu terdengar begitu pelan, dan hampir saja menghilang ditelan angin. Sementara Andini bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri ayahnya. Kemudian, gadis itu duduk di kursi kayu hitam yang ada di sebelah kiri kursi kepala desa ini. Hanya sedikit saja Ki Carmat melirik ke wajah manis anak gadisnya, kemudian kembali mengarahkan pandangan ke puncak bukit, sambil menghembuskan napas panjang.

Cukup lama juga mereka terdiam membisu, dengan benak masing-masing dipenuhi tanda tanya. Dan beberapa kali Ki Carmat menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Sementara, Andini terus memperhatikan wajah laki-laki tua ini dengan kening berkerut dan mata terlihat agak menyipit.

“Mungkin si peniup seruling itu sedang sakit. Jadi, Ayah tidak perlu memikirkannya...,” ujar Andini. Sua-anya seperti terdengar terputus.

“Justru itu yang menjadi beban pikiranku, Andini,” desah Ki Carmat.

“Kenapa harus dipikirkan? Apakah si peniup seruling itu memang menguntungkan untuk kemajuan desa ini, Ayah? Tanpa si peniup seruling itu pun, desa ini terus berkembang semakin maju. Dan semua ini juga berkat kerja keras Ayah,” kilah Andini.

Ki Carmat jadi tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Ditepuknya pundak gadis itu, lalu bangkit berdiri dari kursinya. Perlahan kakinya terayun ke tepi beranda, lalu berdiri di sana sambil mengetuk-ngetukkan ujung tongkat rotannya ke lantai yang terbuat dari belahan papan.

“Begitu banyak yang telah dilakukannya untuk desa ini. Dan begitu besar artinya irama seruling itu bagi penduduk desa ini. Rasanya irama seruling itu sudah menyatu dengan darah dan jiwa semua orang di sini. Hhh...! Kau lihat, Andini....” Ki Carmat mengulurkan tangannya ke depan, menunjuk orang-orang yang berlalu lalang di depan rumahnya. Andini juga mengarahkan pandangan ke sana. “Mereka seperti kehilangan semangat, sehingga enggan ke ladang. Desa ini akan jauh mundur ke belakang, kalau semua penduduknya sudah kehilangan semangat hidup,” tegas Ki Carmat lagi.

“Itulah jeleknya, Ayah,” ujar Andini, terus memandangi punggung ayahnya.

“Apa maksudmu berkata seperti itu, Andini?” tanya Ki Carmat tidak mengerti.

Tapi Andini tidak langsung menjawab, dan malah bangkit berdiri. Kemudian kakinya melangkah menghampiri laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang dan longgar berwarna putih bersih itu, lalu berdiri di sebelah kanannya. Sementara di depan halaman rumah ini masih terlihat orang-orang berlalu lalang dengan wajah seperti sudah kehilangan semangat hidup lagi.

Setiap orang yang lewat, selalu berhenti sebentar dan menganggukkan kepala pada laki-laki tua itu. Mereka begitu menghormati kepala desanya. Sedangkan Ki Carmat hanya membalasnya dengan senyum kecil disertai anggukan kepala yang juga hanya sedikit saja. Malah senyum tipis dan anggukan kepalanya hampir tidak terlihat.

“Yaaah.... Penduduk desa ini tidak memiliki rasa percaya diri. Mereka selalu tergantung pada orang lain. Dan kalau orang yang menjadi tempatnya bergantung sudah tidak ada lagi, mereka seperti orang buta kehilangan tongkat,” kata Andini, menjelaskan perkataannya.

Diam-diam Ki Carmat tersenyum. Dalam hati, diakuinya kecerdasan otak Andini. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau Andini memiliki pikiran seperti itu. Dan memang diakui, penduduk Desa Tegalan ini selalu saja bergantung pada orang lain, seperti tidak punya rasa percaya diri. Dan yang lebih parah lagi, mereka terlalu mudah dipengaruhi. Ki Carmat sendiri bukannya tidak tahu, tapi memang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menutupi kelemahan yang ada di desanya. Disadari kalau tidak mungkin bisa merubah watak orang lain, tanpa orang itu sendiri yang merubahnya.

Sementara, matahari semakin naik tinggi. Saat itu, terlihat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan memasuki desa ini dari arah timur. Yang seorang adalah pemuda tampan. Dan yang seorang lagi, adalah gadis berwajah cantik. Dari pedang yang tersandang di punggung, sudah dapat diketahui kalau mereka berasal dari kalangan rimba persilatan.

Kedua penunggang kuda itu berhenti tepat di depan sebuah kedai yang tidak begitu ramai pengunjungnya. Bahkan hanya ada sekitar tujuh orang saja di dalam kedai itu. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, sepasang anak muda itu melompat turun dari punggung kuda masing-masing.

Sementara seorang bocah laki-laki berusia sekitar delapan tahun berlari-lari kecil menghampiri. Segera diambilnya tali kekang kedua ekor kuda itu. Pemuda berbaju rompi putih itu mengelus kepala bocah itu sambil tersenyum. Sedangkan gadis cantik yang datang bersamanya, langsung saja melangkah masuk ke dalam kedai.

“Tolong beri makan kudanya, ya...,” pinta pemuda itu ramah.

“Baik, Den,” sahut bocah itu sambil membungkuk sedikit.

Pemuda itu kemudian melangkah masuk mengikuti gadis teman seperjalanannya tadi. Sementara gadis itu tampak sudah duduk di depan sebuah meja yang tidak begitu besar ukurannya. Letaknya agak ke sudut dekat jendela besar yang dibiarkan terbuka lebar. Kemudian pemuda itu duduk di depannya. Tak lama kemudian, seorang wanita bertubuh gemuk datang menghampiri dengan senyum terkembang di bibirnya yang merah. Sikapnya begitu ramah.

“Ingin pesan apa, Den...?” tanya wanita bertubuh gemuk itu ramah. Senyumnya masih terus mengembang, menghiasi bibirnya.

“Sediakan saja makanan enak. Juga seguci arak,” pesan pemuda itu.

“Aku minta air putih saja,” selak gadis cantik berbaju biru yang duduk di depannya.

“Baik, tunggu sebentar.”

Wanita gemuk yang ternyata pemilik kedai, segera meninggalkan anak-anak muda ini, dan menghilang di balik pintu. Sedangkan kedua anak muda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan memang, ada sekitar tujuh orang di dalam kedai ini. Semuanya laki-laki, yang masing-masing menyandang senjata berbagai bentuk dan ukuran. Jelas sekali kalau mereka juga dari kalangan rimba persilatan.

“Desa apa ini namanya, Kakang?” tanya gadis cantik berbaju biru muda itu.

“Desa Tegalan.”

“Kau pernah datang ke sini sebelumnya?”

“Sekali. Tapi, hanya singgah dan tidak sampai bermalam di sini.”

“Sekarang, kita akan bermalam?”

“Tergantung keadaan nanti.”

Mereka kini terdiam. Sementara, wanita gemuk pemilik kedai sudah datang kembali, bersama seorang gadis berkulit hitam manis. Gadis itu membawa baki kayu yang cukup besar, penuh pesanan makanan kedua anak muda ini. Dengan sikap ramah dan sopan, makanan-makanan itu diletakkan di atas meja.

“Silakan...,” ucap wanita gemuk itu, masih dengan sikap yang hormat sekali.

“Terima kasih,” ucap pemuda berbaju rompi putih.

Tanpa banyak bicara lagi, mereka menikmati hidangan itu. Sesekali pandangan mereka beredar ke sekeliling kedai ini. Sejak tadi, tidak ada lagi pengunjung yang datang. Dan tampaknya, pengunjung-pengunjung lain yang sudah ada lebih dulu, juga saling mencuri pandang antara satu dengan yang lain. Sepertinya, mereka saling mencurigai.

“Aku merasakan adanya sikap-sikap aneh, Kakang,” ujar gadis berbaju biru.

Suara gadis itu terdengar kecil sekali, sehingga seperti berbisik saja. Sedangkan pemuda yang diajak bicara, hanya melirik sedikit saja. Bahkan terus menikmati makanan tanpa bicara sedikit pun. Sementara, gadis berbaju biru muda yang berwajah cantik jelita itu terus memperhatikan orang-orang yang ada dalam kedai ini lewat sudut matanya.

Di saat mereka semua yang ada di dalam kedai tengah menikmati makanannya, tiba-tiba saja terdengar teriakan melengking tinggi yang cukup mengejutkan. Serentak mereka semua bangkit berdiri, langsung sama-sama saling melemparkan pandangan sesaat. Tak lama, kembali terdengar teriakan panjang dan melengking, yang jelas sekali kalau datang dari arah sebelah timur.

Wanita gemuk pemilik kedai ini juga keluar dari belakang, diikuti dua orang pembantunya. Mereka rupanya juga terkejut mendengar teriakan melengking tadi.

“Kau bayar makanannya, Pandan,” ujar pemuda berbaju rompi putih buru-buru.

“Heh...?!” Belum lagi gadis cantik berbaju biru muda itu sempat berkata sesuatu, pemuda berbaju rompi putih yang berjalan bersamanya tadi sudah melesat begitu cepat ke luar kedai. Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan putih saja bergerak bagai kilat. Dan bayangan itu langsung lenyap seperti asap tertiup angin.

Gadis cantik yang tadi dipanggil Pandan, segera merogoh saku ikat pinggangnya. Dan dikeluarkannya beberapa keping uang perak. Sambil meletakkan uang perak itu, bergegas kakinya melangkah ke luar. Dan pada saat yang bersamaan, semua pengunjung kedai ini juga melangkah ke luar, setelah membayar makanan dan minuman masing-masing. Mereka juga meletakkan begitu saja uang pembayarannya di atas meja, dan bergegas keluar tanpa berbicara sedikit pun juga.

Sementara gadis berbaju biru muda yang memang Pandan Wangi, sudah berada di punggung kudanya yang putih, tinggi dan tegap. Hatinya agak terkejut juga sejenak, melihat kuda hitam tunggangan pemuda berbaju rompi putih masih ada. Sambil mengambil tali kekang kuda hitam itu, kudanya sendiri digebah perlahan-lahan. Sebentar saja, suasana di desa yang semula terlihat agak sunyi, sudah banyak dipadati orang yang keluar dari dalam rumah masing-masing.

Jeritan melengking yang terdengar sangat tinggi dan menyayat tadi, rupanya juga mengejutkan seluruh penduduk Desa Tegalan ini. Mereka sampai memadati jalan, hingga Pandan Wangi jadi sulit memacu cepat kudanya.

“Hiya! Hiyaaa...!”

Begitu terlepas dari kerumunan orang banyak, Pandan Wangi segera menggebah cepat kudanya. Kuda putih itu langsung meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, lalu melesat cepat bagai kilat membawa gadis penunggangnya ini. Sementara, kuda hitam milik pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga, atau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti mengikuti dari belakang.

Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu menggebah kudanya bagaikan kesetanan saja. Kuda putih itu berlari cepat, membuat debu dan daun-daun kering beterbangan di belakangnya. Arahnya sudah jelas. Arah timur, dan terus mendekati Bukit Jagal.

“Hiya! Hiyaaa...!”

Pandan Wangi terus menggebah kudanya dengan kecepatan yang tinggi. Seakan-akan tidak dipedulikan lagi kuda putihnya yang sudah terengah-engah dipacu cepat. Sementara kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti yang bernama Dewa Bayu terus mengikuti dari belakang. Pandan Wangi menoleh ke belakang, hendak melihat Dewa Bayu. Tapi saat itu, keningnya jadi berkerut.

“Hooop...!” Langsung saja si Kipas Maut menarik tali kekang kudanya, sehingga kuda putih itu berhenti berlari disertai ringkikan yang keras sekali sampai memekakkan telinga. Maka, tali kekang kudanya cepat dikendalikan sebelum sampai terlempar dari punggung tunggangannya.

“Hm.... Siapa yang mengikutiku...?” gumam Pandan Wangi bertanya pada diri sendiri.

Jelas sekali di dalam kepulan debu, terlihat beberapa orang berlari-lari mengikuti jalan yang ditempuhnya. Dan tampaknya, mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepat, hingga dalam waktu sebentar saja sudah dekat dengan gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini. Dan mereka semua yang berjumlah empat orang itu langsung berhenti berlari, sekitar dua batang tombak lagi di depan Pandan Wangi.

“Nisanak, menyingkirlah. Jangan menghalangi jalan kami...!” bentak salah seorang yang berada paling depan.

Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap. Otot-ototnya tampak bersembulan dari kulitnya yang agak kehitaman. Pakaian merah yang dikenakannya begitu ketat, hingga membentuk tubuhnya yang kekar dan berotot Sebilah pedang berukuran cukup panjang tampak tergantung di pinggang kanan. Pandan Wangi menaksir kalau usianya sekitar empat puluh tahun.

Sedangkan tiga orang lainnya, masih kelihatan muda. Mungkin baru berusia sekitar dua puluh tahun. Di pinggang mereka juga tergantung pedang yang bentuk dan ukurannya sama. Mereka juga mengenakan baju ketat berwarna merah menyala, hingga memetakan bentuk tubuh yang tegap berotot. Tampak jelas, pada baju bagian dada kiri mereka tersulam gambar seekor naga yang menyemburkan api.

“Aku tidak akan menghalangi jalan kalian. Tapi kalau boleh tahu, untuk apa kalian menuju ke bukit itu...?” ujar Pandan Wangi seraya menunjuk ke Bukit Jagal yang ada tidak seberapa jauh lagi di belakangnya.

“Apa pedulimu, Nisanak?! Cepat minggir! Atau, kami terpaksa harus memaksamu menyingkir dari sini!” bentak laki-laki bertubuh tegap itu kasar.

“Hm...! Pandan Wangi jadi berkerut keningnya, mendapatkan kata-kata bernada kasar seperti itu. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan-akan hendak menembus langsung bola mata laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun ini. Dan untuk beberapa saat, mereka hanya saling tatap dengan sinar mata yang sama-sama memancar tajam.

“Huh! Keras kepala juga kau rupanya, heh...!” dengus laki-laki berbaju merah itu jadi geram.

Trek!

Begitu ujung jarinya dijentikkan, maka seketika itu juga tiga orang pemuda yang berada di belakangnya langsung berlompatan mengepung Pandan Wangi. Dan tanpa berkata-kata lagi, mereka segera saja mencabut pedang masing-masing.

“Hup!” Pandan Wangi cepat melompat turun dari punggung kudanya. Sungguh indah dan ringan gerakannya, sehingga tidak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah. Dan ketika bokong kudanya ditepak sekali, maka kuda putih itu segera melenggang perlahan menjauh, diikuti kuda hitam yang sejak tadi terus mendampingi. Saat ini, Pandan Wangi sudah dikepung tiga orang dengan pedang sudah terhunus di tangan kanan masing-masing. Dari sudut ekor matanya, diperhatikannya ketiga pemuda itu tajam-tajam. Setiap gerak yang dilakukan mereka menjadi pusat perhatiannya.

“Kuperingatkan sekali lagi, Nisanak. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah percuma. Sebaiknya, segeralah menyingkir sebelum lehermu yang bagus itu terpisah dari badan,” masih terdengar dingin sekali nada suara laki-laki berbaju merah ini.

“Dari sikapmu, aku jadi sulit menggerakkan kaki untuk menyingkir,” sambut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.

“Setan...! Kau ingin mampus, heh...?!”

Pandan Wangi mengangkat pundak sedikit.

“Phuih...!” Sambil menyemburkan ludahnya dengan geram, salah seorang laki-laki berbaju merah itu melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati si Kipas Maut. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam, seakan ingin melumat tubuh ramping gadis itu bulat-bulat. Sementara, Pandan Wangi sendiri kelihatan tenang. Sedikit pun tidak terpengaruh oleh sikap dan sorot mata yang sudah jelas mengancam jiwanya.

“Seraaang...!”

Begitu terdengar suara keras menggelegar, seketika itu juga tiga orang berpakaian serba merah yang memang sejak tadi sudah menunggu perintah, langsung saja berlompatan sambil berteriak-teriak keras menggelegar dahsyat.

“Haiiit…!” Pandan Wangi segera melenting sedikit ke udara. Dan sambil berputaran, senjata kipas mautnya dicabut dan langsung dikebutkan ke arah pemuda berbaju merah yang berada paling dekat dengannya.

Bettt!

“Uts...!” Hampir saja ujung kipas putih keperakan yang runcing itu membelah dadanya. Untung saja pemuda berbaju merah itu segera menarik tubuhnya ke belakang, dan cepat-cepat melompat beberapa langkah sebelum Pandan Wangi bisa melakukan serangan kembali. Saat itu dari arah sebelah kanan, seorang pemuda lain yang juga mengenakan baju merah sudah cepat menebaskan pedang, tepat mengarah ke leher si Kipas Maut.

“Ups...!” Sedikit saja Pandan Wangi mengegos, sehingga tebasan pedang itu berhasil dihindari. Dan pada saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, dilepaskannya satu tendangan menyamping sambil memiringkan tubuhnya, tepat mengarah ke lambung lawan.

“Hiyaaa...!”

Begitu cepat tendangan yang dilepaskan si Kipas Maut, sehingga pemuda berbaju merah ini tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu seluruh pu-sat perhatiannya masih tercurah pada serangannya yang sudah dapat dipatahkan lawan tadi. Dan....

Desss! “Hegkh...!”

***
DUA
Pemuda itu kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh pendek, begitu lambungnya telak sekali terkena tendangan si Kipas Maut. Dan belum juga rasa nyeri di lambungnya bisa dihilangkan, gadis berbaju biru yang berjuluk si Kipas Maut sudah melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.

“Yeaaah...!”
Plak!
“Akh...!”

Begitu cepat pukulan tangan kiri Pandan Wangi, membuat kepala lawan jadi terdongak ke atas disertai pekikan nyaring. Tampak darah muncrat keluar dari mulutnya. Namun Pandan Wangi rupanya belum merasa puas. Sambil berteriak keras menggelegar, seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat tinggi dikerahkan. Lalu bagaikan kilat, kaki kanannya terayun cepat menghantam dada pemuda itu.

“Hiyaaat..!”
Des!
Prak!
“Aaakh...!”

Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, bersama terpentalnya tubuh pemuda itu ke belakang. Keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah, lalu bergelimpangan beberapa kali. Tampak darah dari mulutnya semakin banyak keluar. Sebentar saja tubuhnya menggeliat sambil mengerang memegangi dadanya, kemudian mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya seketika terbang melayang. Dadanya terlihat hancur melesak masuk ke dalam, akibat terkena tendangan dahsyat si Kipas Maut yang bertenaga dalam tinggi.

Perlahan Pandan Wangi memutar tubuhnya sambil mendesis kecil. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus lawan-lawannya. Tampak wajah-wajah terpana tergambar jelas, melihat salah seorang teman mereka tewas di tangan gadis cantik yang kelihatan lemah itu. Mereka seperti tidak percaya kejadian yang baru disaksikan tadi. Sungguh tidak disangka kalau gadis yang kelihatannya lemah ini memiliki kepandaian tinggi. Bahkan bisa menewaskan salah seorang dengan hanya beberapa gebrakan saja.

“Setan...! Kau berhutang nyawa padaku, Bocah...!” geram laki-laki berusia hampir setengah baya.

Sambil menghentakkan kakinya dengan berang, laki-laki itu melangkah menghampiri Pandan Wangi. Sedangkan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu hanya berdiri tegak menanti dengan sikap kelihatan tenang sekali. Kipas mautnya sudah terkembang di depan dada, seakan-akan memang sengaja untuk melindungi diri dari ancaman maut. Meskipun sikapnya kelihatan tenang, tapi sorot matanya terlihat begitu tajam, bagaikan sorot mata singa betina yang sedang melindungi anaknya dari incaran pemburu liar.

“Bocah...! Sebutkan, namamu, sebelum kukirim ke neraka!” bentak laki-laki berbaju merah menyala itu garang.

“Aku si Kipas Maut!” sahut Pandan Wangi datar.

“Phuih! Apa pun julukanmu, kau harus berhadapan dengan Suro Gading!” dengus laki-laki berbaju merah itu yang ternyata bernama Suro Gading.

Namun Pandan Wangi hanya tersenyum kecil saja, namun begitu sinis! Dan sorot matanya masih tetap tajam menusuk. Sesekali diperhatikannya dua orang pemuda yang berada sekitar lima langkah di belakang Suro Gading.

Cring!

Begitu manis dan indah gerakan tangan Suro Gading saat mencabut pedangnya, dan langsung disilangkan ke depan dada. Pandan Wangi sempat menyipitkan matanya, melihat pedang yang berkilatan tersilang di depan dada. Dia merasa, pedang itu bukanlah pedang biasa. Pasti memiliki satu kekuatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.

“Hm....”

“Tahan seranganku, Bocah! Hiyaaat...!”

Bet!

Bagaikan geledek, Suro Gading melompat sambil mengebutkan pedangnya ke arah dada si Kipas Maut. Tapi hanya sedikit saja memiringkan tubuh dan sambil menarik sedikit ke belakang, tebasan pedang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu lewat di depan dadanya. Dan....

“Hih!”

Secepat kilat, Pandan Wangi mengebutkan kipas mautnya, tepat mengarah ke perut. Begitu cepat serangan balasannya, membuat Suro Gading tidak menyangka sama sekali. Dan hatinya jadi terperangah setengah mati. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang, membuat serangan balasan si Kipas Maut itu tidak sampai mengenai sasaran.

“Hup! Yeaaah...!”

Sambil berteriak nyaring melengking, Pandan Wangi melenting ke udara sambil berputar satu kali. Lalu cepat bagai kilat, senjata mautnya yang berupa kipas ba-ja putih dikebutkan, tepat mengarah ke bagian atas kepala Suro Gading.

Bet! “Ikh...?!”

Untuk kedua kalinya, Suro Gading terperanjat setengah mati, melihat serangan Pandan Wangi yang begitu dahsyat luar biasa. Cepat-cepat tubuhnya mengegos ke kanan, sambil menarik kakinya ke belakang selangkah. Tapi tanpa diduga sama sekali, begitu sabetan kipas putih keperakan itu berhasil dihindari, sebuah tendangan lawan yang begitu cepat dan keras meluncur cepat ke arahnya.

“Yeaaah...!”
“Heh...?!”
Begkh!
“Ugkh...!”

Suro Gading benar-benar tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Matanya hanya bisa terbeliak sambil mengeluh pendek begitu tendangan yang dilepaskan Pandan Wangi tepat menghantam dadanya. Seketika, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya dengan tangan kiri. Sementara itu, manis sekali Pandan Wangi menjejakkan kakinya kembali ke tanah, dan berdiri tegak sambil meletakkan senjata kipas mautnya di depan dada.

“Keparat...!” desis Suro Gading geram.

Napas laki-laki setengah baya itu langsung tersengal, mendapat tendangan yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi di dadanya tadi. Pandangan matanya pun jadi berkunang-kunang. Kini dia menggereng sambil menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Dicobanya untuk mengusir rasa pening yang menyerang kepala akibat sesak napas se-telah mendapat tendangan bertenaga dalam tinggi di dadanya ini. Sementara, Pandan Wangi tetap menunggu berdiri tegak dengan sikap begitu tenang. Sedangkan bibirnya terus menyunggingkan senyuman tipis.

“Serang perempuan edan itu! Bunuh dia...!” seru Suro Gading memerintah.

“Hiyaaa...!” “Yeaaah...!”

Tanpa menunggu perintah dua kali, dua orang pemuda pengikut Suro Gading segera berlompatan menyerang Pandan Wangi. Padahal, raut wajah mereka mencerminkan keraguan, setelah melihat Suro Gading yang menjadi pemimpin berhasil mendapat tendangan di dadanya. Sementara, Suro Gading sendiri cepat-cepat melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya, kembali mencoba mengusir rasa sesak yang menghinggapi dada.

Sementara itu, Pandan Wangi sudah harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan dua orang pemuda ini. Mereka seperti sengaja terus-menerus melakukan serangan, sehingga Pandan Wangi terpaksa harus berjumpalitan. Beberapa kali ujung-ujung pedang kedua pemuda itu hampir merobek tubuhnya. Tapi dengan gerakan indah dan manis sekali, semua serangan itu masih bisa dihindari. Hanya saja, dia belum mempunyai kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang.

“Kubunuh kau, Bocah! Hiyaaa...!”

Suro Gading langsung saja melompat, begitu bisa menghilangkan rasa sesak yang menghinggapi dadanya. Langsung dicecarnya si Kipas Maut dengan permainan jurus-jurus pedangnya yang cepat dan dahsyat luar biasa. Akibatnya, Pandan Wangi jadi ber-tambah kerepotan, karena terpaksa harus menghadapi keroyokan dari tiga arah.

Keadaan Pandan Wangi semakin bertambah sulit saja, tanpa memiliki kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Dan gadis itu hanya bisa berjumpalitan sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun dari tiga arah. Dan beberapa kali pula senjata kipasnya beradu dengan pedang-pedang lawan, sehingga menimbulkan percikan bunga api.

“Hiyaaa...!”

Pandan Wangi mencoba melenting tinggi-tinggi ke udara. Tapi belum juga bisa melakukan sesuatu, Suro Gading sudah lebih cepat lagi melesat. Dan pedangnya langsung dibabatkan beberapa kali secara beruntun dengan kecepatan sangat tinggi. Terpaksa, Pandan Wangi harus berputaran di udara dan kembali meluruk turun. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, kembali datang serangan dari dua orang pemuda pengikut Suro Gading.

Maka terpaksa gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu harus berputaran, seraya meliuk-liuk menghindari setiap sambaran pedang yang berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuhnya. Bahkan belum lagi bisa menarik napas, Suro Gading sudah kembali menyerang dengan kemarahan meluap.

Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi ketiga laki-laki itu belum juga bisa menjatuhkan Pandan Wangi. Padahal, kelihatannya gadis itu sudah terus-menerus mendapat desakan hebat, tapi masih saja bisa berkelit. Dan di saat mereka bertarung, tanpa ada yang menyadari tahu-tahu sudah muncul seorang perempuan tua. Tubuhnya bungkuk, terbalut jubah panjang berwarna hijau gelap.

“Hik hik hik...!”
“Heh...?!”
“Oh...?!”

Mereka yang bertarung jadi terkejut setengah mati, begitu mendengar tawa terkikik. Dan mereka langsung berlompatan mundur menghentikan pertarungan. Tapi bagi Pandan Wangi, siapa pun yang tertawa tadi, secara tidak langsung sudah membantunya keluar dari serangan-serangan yang mematikan. Dan kini, dia bisa menarik napas lega, walaupun kelopak matanya jadi berkerut melihat seorang perempuan tua tahu-tahu sudah berada di tempat ini. Wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.

Sedangkan Suro Gading tampak semakin bertambah berang saja, melihat perempuan tua itu. Mulutnya langsung menggereng seperti seekor macan kelaparan yang sudah berhari-hari tidak mendapat buruan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tertuju langsung ke wajah penuh keriput itu.

Tapi, wanita tua yang tajam-tajam dipandangi ini hanya terkikik sambil melangkah beberapa tindak mendekati Pandan Wangi. Dan dia berdiri tepat di tengah-tengah antara Pandan Wangi dengan Suro Gading, dan kedua anak muda pengikutnya. Seakan-akan, dia ingin menjadi penengah saja.

“Nyai Balung Wungkul, minggir kau! Jangan campuri urusanku!” bentak Suro Gading lantang menggelegar.

“Suro Gading! Kenapa kau mengeroyok gadis ini?” tanya wanita tua yang dipanggil Nyai Balung Wungkul, tanpa menghiraukan bentakan Suro Gading sedikit pun.

“Itu bukan urusanmu!” bentak Suro Gading ketus.

“Dan itu juga bukan watakmu yang main keroyok, bukan...?”

“Phuih...!” Suro Gading jadi mendengus kesal melihat sikap Nyai Balung Wungkul. Terlebih lagi, kata-katanya bisa dibalikkan dengan menyakitkan sekali. Dan matanya hanya menatap saja dengan sorot yang begitu tajam, seakan-akan hendak melumatkan tubuh tua renta itu.

Sedangkan Pandan Wangi hanya diam saja sambil per-lahan menggerak-gerakkan senjata kipasnya di depan dada, seakan ingin menyegarkan diri dengan kibasan angin kipas itu. Nyai Balung Wungkul memutar tubuhnya sedikit, lalu berpaling menatap Pandan Wangi. Bibirnya yang keriput tampak menyunggingkan senyuman tipis.

“Simpan kembali senjatamu, Cah Ayu. Dia tidak akan menyerangmu lagi,” ujar Nyai Balung Wungkul, lembut nada suaranya.

“Hm....” Pandan Wangi menutup kipasnya, lalu menyelipkan ke balik ikat pinggangnya setelah menatap sebentar pada perempuan tua ini. Dari sorot matanya yang terlihat lembut, Pandan Wangi merasa kalau perempuan tua ini memang ingin menghentikan pertarungan yang sejak semula sama sekali tidak diinginkannya. Dia pun juga memberi senyum cukup manis. Sementara, Suro Gading jadi menggerutu kesal melihat semua ini. Tapi, tampaknya keberanian untuk bertindak tidak dimilikinya. Hanya ditatapnya tajam-tajam perempuan tua yang menghentikan pertarungannya.

“Hendak ke mana tujuanmu, Cah Ayu?” Tanya Nyai Balung Wungkul, tanpa mempedulikan Suro Gading yang menggerutu seorang diri.

“Menyusul kakakku ke sana,” sahut Pandan Wangi sambil menunjuk ke arah timur.

“Pergilah. Urusanmu dengan Suro Gading sudah selesai.”

“Terima kasih, Nyai,” ucap Pandan Wangi seraya menjura memberi hormat. “Aku juga sebenarnya tidak menginginkan pertarungan ini. Tapi, dialah yang memulainya lebih dulu. Dan aku tidak bisa mencegah jatuh korban. Maafkan aku, Nyai”

“Ah, sudahlah.... Pergilah cepat, sebelum kakakmu jauh.”

“Aku mohon diri, Nyai.” Kembali Pandan Wangi menjura, kemudian juga menjura pada Suro Gading.

Tapi penghormatannya dibalas Suro Gading dengan dengusan berat. Laki-laki itu tampaknya masih belum puas. Sedangkan Pandan Wangi sudah melangkah menghampiri kudanya. Dan dengan gerakan indah dan ringan sekali, dia melompat naik ke punggung kuda putih itu. Lalu, diambilnya tali kekang kuda hitam. Sedikit matanya menatap Nyai Balung Wungkul, kemudian menggebah kudanya hingga berlari cepat meninggalkan tempat itu. Debu langsung beterbangan membubung tinggi ke angkasa, begitu kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi berlari cepat meninggalkan tempat itu. Sebentar saja, gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah lenyap dari pandangan.

Sementara, Nyai Balung Wungkul segera menghampiri Suro Gading, setelah Pandan Wangi benar-benar tidak terlihat lagi.

“Kenapa dia kau biarkan pergi begitu saja, Nyai? Dia sudah membunuh satu orang anak buahku!” dengus Suro Gading kesal.

“Kau membuang-buang waktu saja mengurusi bocah itu, Suro Gading. Mana hasil kerjamu...?” nada suara Nyai Balung Wungkul juga tidak kalah ketusnya.

“Huh!” Suro Gading hanya mendengus saja.

“Kau gagal...?” tebak Nyai Balung Wungkul.

“Kau lihat saja sendiri. Berapa orang yang kubawa, dan berapa sekarang yang masih ada...?”

“Tapi, bagaimana hasilnya?”

“Aku terpaksa membunuhnya.”

“Heh?! Apa...?” Nyai Bedung Wungkul tampak terkejut sekali, sampai-sampai kedua bola matanya terbeliak lebar, seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Dipandanginya dalam-dalam wajah Suro Gading, seakan-akan ingin mendapatkan kebenaran dari jawa-ban yang diinginkannya. Tapi, kelihatannya Suro Gading juga tidak bermain-main. Bahkan membalas tatapan mata perempuan tua itu dengan tajam pula.

“Kalau saja kau ada, pasti tidak akan seterkejut itu, Nyai. Dia tidak seperti perkiraan kita. Aku terpaksa membunuhnya, walaupun aku tahu apa yang akan kuterima nanti,” kata Suro Gading lagi.

“Aku tidak tahu lagi, apa yang akan kukatakan nanti, Suro Gading. Tapi, jangan khawatir. Bagaimanapun juga, aku akan berada di belakangmu,” ujar Nyai Balung Wungkul perlahan.

“Terima kasih, Nyai.”

“Ah, sudahlah.... Ayo kita pergi sekarang.”

Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera meninggalkan tempat itu. Dan tidak berapa lama saja, tempat itu sudah sunyi. Tak terlihat seorang pun di sana, kecuali sesosok mayat seorang anak muda berbaju merah saja yang masih terlihat menggeletak di tanah. Tak ada seorang pun yang mempedulikannya. Hanya angin saja yang masih setia membelai tubuhnya.

***

Sementara itu, Pandan Wangi yang memacu cepat kudanya sudah sampai di kaki Bukit Jagal. Lari kudanya cepat dihentikan karena terhalang sebuah sungai kecil yang berair sangat jernih. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, gadis berjuluk si Kipas Maut itu melompat turun dari punggung kudanya. Lalu dibiarkannya kuda itu melepaskan dahaga di air sungai ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Sesaat keningnya jadi berkerut, begitu melihat seorang pemuda berbaju rompi putih berdiri tegak mematung tidak jauh darinya.

“Kakang Rangga....”

Pandan Wangi langsung mengenali pemuda itu, walaupun berdiri membelakangi. Bergegas pemuda itu dihampirinya. Dan belum sempat ditegur, pemuda itu sudah memutar tubuhnya. Tampak raut wajahnya terlihat berselimut kabut. Pandan Wangi jadi keheranan. Sebentar ditatapnya wajah tampan pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu, kemudian beralih ke arah sebuah gundukan tanah yang tampaknya masih baru. Tidak terlihat ada orang lain lagi di sekitar tempat ini.

“Kuburan siapa itu?” tanya Pandan Wangi.

“Satria Seruling Emas,” sahut pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga. Suaranya terdengar pelan, dan hampir saja tidak terdengar di telinga Pandan Wangi.

“Kelihatannya masih baru...”

“Ya. Baru saja aku selesai menguburkannya.”

“Kau yang menguburkannya, Kakang...?” Pandan Wangi kelihatan terperanjat.

Rangga hanya menganggukkan kepala saja sedikit. Perlahan nafasnya ditarik dalam-dalam, kemudian dihembuskannya kuat-kuat. Sedangkan Pandan Wangi berganti-ganti memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti dan kuburan yang memang masih baru ini.

“Dia sempat mengatakan satu nama dan tempat, sebelum meninggal,” jelas Rangga masih terdengar pelan suaranya.

“Apa?” tanya Pandan Wangi.

“Penghuni Lembah Neraka.”

“Hanya itu...?”

“Dia sempat juga mengatakan kalau sudah lama berada di sini, dan selalu meniup serulingnya setiap pagi sebelum matahari terbit”

“Apa maksudnya, Kakang?”

“Entahlah.... Hanya itu yang dikatakannya padaku. Tidak ada yang lain,” sahut Rangga agak mendesah.

“Penghuni Lembah Neraka...,” gumam Pandan Wangi pelan. Kening gadis itu kelihatan berkerut, seakan tengah berpikir keras sambil menggumamkan kata-kata yang disebutkan Rangga tadi berulang-ulang. Sebentar kemudian kembali ditatapnya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.

“Sepertinya nama itu baru kudengar, Kakang. Memangnya ada tempat yang namanya Lembah Neraka...?” nada suara Pandan Wangi terdengar seperti menggumam, seakan bicara pada diri sendiri.

“Aku kenal, siapa Satria Seruling Emas, Pandan. Aku yakin, perkataannya pasti ada maksudnya. Rasanya, mustahil jika dia sampai tewas kalau tidak ada sebabnya,” sahut Rangga pasti.

“Tapi, apa kau pernah tahu tempat yang bernama Lembah Neraka, Kakang?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Hanya ada satu desa yang terdekat dengan kaki Bukit Jagal ini, Pandan.”

“Desa Tegalan...?”

“Ya, Desa Tegalan.”

“Lalu...?” “Mungkin penduduk desa itu mengenal tempat yang bernama Lembah Neraka itu. Aku rasa, kita bisa menanyakannya pada mereka.”

“Hm...,” Pandan Wangi hanya menggumam perlahan saja. Sementara, Rangga juga terdiam dan tidak berkata apa-apa lagi. 

***
TIGA
Malam sudah larut menyelimuti seluruh Bukit Jagal dan sekitarnya. Bahkan Desa Tegalan yang terletak tidak jauh dari bukit itu, juga sudah terlelap dalam buaian mimpi. Kerlip lampu pelita di depan setiap rumah, terlihat bagaikan kunang-kunang dipermainkan angin. Tak ada seorang pun terlihat berada di luar rumahnya. Kesunyian begitu terasa menyelimuti seluruh desa yang terpencil ini.

Dan sementara di dalam sebuah kamar penginapan, terlihat Rangga dan Pandan Wangi masih duduk berdua di depan jendela yang dibiarkan terbuka lebar, membicarakan tentang Satria Seruling Emas yang tewas secara aneh. Mereka masih belum bisa memahami arti kata-kata terakhir yang diucapkan Satria Seruling Emas. Memang sulit dimengerti, sehingga masih menjadi suatu teka-teki yang sulit dipecahkan.

Dan tiba-tiba saja, kesunyian yang mencekam itu dipecahkan oleh terdengarnya jeritan yang begitu panjang melengking tinggi. Rangga dan Pandan Wangi yang belum bisa memejamkan mata di kamar penginapan, kontan jadi tersentak kaget Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat keluar dari kamar ini melalui jendela.

“Hup!”

Pandan Wangi tidak mau ketinggalan lagi. Bergegas tubuhnya melesat mengikuti Pendekar Rajawali Sakti sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya kedua pendekar muda itu melesat, sehingga sulit sekali melihat bayangan tubuhnya. Sebentar saja, mereka sudah jauh meninggalkan rumah penginapan di Desa Tegalan ini. Mereka terus berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh ke arah sumber jeritan yang tadi terdengar begitu jelas.

“Heh...?!”

Rangga jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat sesosok tubuh terkapar di pinggiran desa bagian timur. Langsung larinya dihentikan. Lalu dihampirinya sosok tubuh yang tergeletak berlumuran darah itu. Dan belum lagi Rangga bisa menjamah, Pandan Wangi sudah datang. Gadis itu juga terperanjat melihat ada seseorang tergeletak dengan dada terbelah lebar, berlumuran darah segar.

“Kakang! Bukankah dia salah seorang yang ada di kedai tadi pagi...?” desis Pandan Wangi seperti bertanya pada diri sendiri.

“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit.

“Ohhh....”

“Oh! Dia masih hidup, Kakang...!” sentak Pandan Wangi.

Rangga buru-buru menghampiri, dan mengangkat tubuh laki-laki tegap dan berotot itu. Ditopangnya tubuh tegap itu dengan sebelah kakinya yang ditekuk. Tampak bibir laki-laki bertubuh tinggi tegap itu bergerak-gerak seperti hendak mengatakan sesuatu. Dan Rangga segera mendekatkan telinganya.

“Mereka.... Penghuni Lembah Neraka....”

“Siapa mereka?” tanya Rangga cepat-cepat

“Mereka harus dicegah sebelum terlambat. Akh...!”

“Tung....”

Rangga langsung menghembuskan napas panjang karena belum sempat bertanya, melihat laki-laki yang tidak dikenalnya ini menghembuskan nafasnya yang terakhir. Perlahan diletakkannya tubuh yang sudah tak bernyawa itu ke tanah lagi, kemudian bangkit berdiri. Langsung pandangannya bertemu dengan tatapan mata Pandan Wangi. Dan untuk beberapa saat mereka jadi terdiam, hanya saling berpandangan saja.

“Kau dengar apa katanya tadi, Pandan...?”

“Ya.”

“Aku merasa ada satu rahasia tersembunyi di desa ini, Pandan. Sudah dua orang tewas. Dan mereka menyebut Penghuni Lembah Neraka. Hm.... Harus dicegah sebelum terlambat. Apa maksudnya?” nada suara Rangga terdengar setengah menggumam, seperti bicara pada diri sendiri. Sedangkan Pandan Wangi hanya membisu saja. Tapi keningnya terlihat berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu yang teramat sulit. Cukup lama juga kedua pendekar muda dari Karang Setra itu terdiam membisu.

“Ada yang datang, Pandan. Ayo, kita pergi dari sini,” ujar Rangga cepat-cepat mengajak.

Telinga Pandan Wangi yang tajam, cepat menangkap adanya suara langkah-langkah kaki orang banyak menghampiri tempat ini. Dan ajakan Pendekar Rajawali Sakti tidak bisa lagi dibantah. Segera kakinya terayun mengikuti Rangga yang sudah berjalan lebih dahulu. Ayunan langkah kakinya begitu cepat, disertai pengerahan ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatannya. Hingga sebentar saja, mereka sudah jauh meninggalkan tempat itu, dan lenyap tak terlihat lagi dalam kegelapan malam.

Tak berapa lama berselang, terlihat orang- orang berdatangan sambil membawa obor dan segala macam senjata tajam. Dari pakaian yang dikenakan, sudah dapat dipastikan kalau mereka adalah penduduk-penduduk Desa Tegalan ini. 

***

Kematian aneh seorang laki-laki yang kemudian dikenal bernama Ki Somali itu, menjadi perbincangan hangat di Desa Tegalan. Terlebih lagi, kematian Ki Somali yang lebih dikenal berjuluk Pendekar Tangan Besi itu sangat mengerikan. Bukan hanya dadanya saja yang terbelah, tapi juga kedua tangannya hampir terbabat buntung. Sebelah kakinya juga sudah buntung, terpisah agak jauh dari tempat ditemukannya. Kematian yang sangat mengenaskan bagi seorang pendekar yang sudah ternama, seperti Pendekar Tangan Besi.

Sementara Rangga dan Pandan Wangi yang masih berada di penginapan, bukan membicarakan kematian Pendekar Tangan Besi. Mereka justru tengah diliputi segudang pertanyaan, mengenai kata-kata terakhir yang diucapkan kedua korban pembunuhan itu.

“Semua orang membicarakan kematian Pendekar Tangan Besi, Kakang,” kata Pandan Wangi, seraya menghempaskan tubuhnya di kursi dekat jendela.

“Dari mana kau tahu kalau orang yang meninggal semalam itu Pendekar Tangan Besi, Pandan?” tanya Rangga.

Memang bukan hanya Rangga saja yang tidak tahu. Tapi, Pandan Wangi sebelumnya juga tidak tahu, siapa orang yang ditemukan tewas semalam. Dan baru tadi si Kipas Maut itu tahu, kalau orang yang ditemukan tergeletak di jalan tidak jauh dari perbatasan sebelah timur desa itu, adalah Pendekar Tangan Besi. Tentu saja hal ini membuat Rangga jadi heran.

“Ki Carmat,” sahut Pandan Wangi singkat.

“Siapa itu Ki Carmat?” tanya Rangga lagi.

“Kepala Desa Tegalan ini. Dan dia juga berjuluk Pendekar Tongkat Hitam,” sahut Pandan Wangi kalem.

“Kau menemuinya?” tanya Rangga lagi.

“Aku tidak bicara langsung. Dan hanya mendengar saja dari pembicaraan orang-orang. Katanya, Ki Carmat mengenali orang itu, dan memang sudah terjalin hubungan persahabatan di antara mereka,” jelas Pandan Wangi singkat.

“Persahabatan. Hm....”

Pandan Wangi terdiam membisu. Pandangan ma-tanya tidak terlepas dari wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti yang duduk tidak seberapa jauh di depannya. Dan untuk beberapa saat, mereka terdiam sambil sesekali saling melemparkan pandangan.

“Kakang, ada yang ingin kukatakan padamu,” Pandan Wangi memecah kebisuan yang terjadi di dalam kamar ini.

“Katakan saja, Pandan. Tentang apa...?” sambut Rangga lembut.

“Kemarin ketika mengejarmu, aku sempat bertarung,“ kata Pandan Wangi, jadi teringat peristiwa pertarungannya kemarin.

“Dengan siapa...?” tanya Rangga agak terkejut.

Dan memang, Pandan Wangi baru sempat menceritakannya sekarang. Tentu saja hal itu membuat Rangga jadi terperanjat. Padahal, semalaman penuh mereka selalu bersama-sama, tapi sama sekali Pandan Wangi tidak menceritakannya. Lalu secara singkat, Pandan Wangi menceritakan asal mula kejadiannya. Sementara Rangga mendengarkan penuh perhatian tanpa sedikit pun menyelak, sampai Pandan Wangi menyelesaikan ceritanya. Dan Pendekar Rajawali Sakti belum juga membuka mulut, ketika Pandan Wangi sendiri sudah tidak bersuara lagi.

“Pandan! Kau kenal salah seorang dari mereka?” tanya Rangga setelah cukup lama membisu.

Pandan Wangi hanya menggelengkan kepala saja. Memang, dia tidak kenal satu orang pun yang menyerangnya, maupun perempuan tua yang menghentikan pertarungannya. Tapi dari apa yang diketahui, disebutkannya ciri-ciri orang itu tanpa menunggu permintaan Rangga terlebih dahulu. Kembali Pendekar Rajawali Sakti mendengarkan penuh perhatian.

Dan kini kening pemuda berbaju rompi putih itu jadi berkerut saat Pandan Wangi mengatakan tentang perempuan tua yang tiba-tiba saja datang dan menghentikan pertarungannya. Lalu, gadis itu langsung saja menghentikan ceritanya. Pandangannya begitu dalam, menatap langsung ke wajah Rangga. Terlihat jelas kalau Pendekar Rajawali Sakti seperti sedang berpikir keras, atau mungkin juga sedang mengingat-ingat sesuatu. Yang pasti, ada hubungannya dengan kejadian yang dialami Pandan Wangi.

Kembali mereka berdua terdiam. Cukup lama juga tidak terdengar suara sedikit pun. Dan kesunyian itu dipecahkan oleh terdengarnya hembusan napas Rangga yang begitu berat dan panjang. Kelopak mata Pandan Wangi semakin terlihat menyipit, memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti. Dia yakin, Rangga sedang berusaha mengingat sesuatu.

“Coba ingat-ingat dulu, bagaimana ciri-ciri perempuan tua yang menghentikan pertarunganmu, Pandan,” pinta Rangga, setelah cukup lama membisu.

“Usianya sekitar tujuh puluh tahun, atau mungkin juga sudah lebih. Bajunya jubah panjang warna hijau gelap, dan membawa sebatang tongkat seperti terbuat dari kayu hitam. Ada semacam batu permata pada bagian kepala tongkatnya. Dan....”

“Nyai Balung Wungkul...,” desis Rangga tanpa sadar, membuat Pandan Wangi berhenti seketika.

“Tepat, Kakang...!” sentak Pandan Wangi agak keras suaranya. “Laki-laki yang bernama Suro Gading, memang menyebut namanya begitu. Maaf, aku terlupa.”

“Hm.... Kau tahu siapa dia, Pandan?” tanya Rangga.

Pandan Wangi hanya menggelengkan kepala saja. Bahkan semakin dalam memandangi wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Namun yang dipandangi malah mengarahkan tatapan matanya ke luar jendela.

“Kau pasti pernah mendengar julukan Iblis Tongkat Permata...,” ujar Rangga terdengar pelan sekali suaranya.

“Iblis Tongkat Permata.... Hm.... Pernah juga aku mendengarnya, Kakang.”

“Wanita tua itulah yang berjuluk si Iblis Tongkat Permata.”

“Siapa...?!” Pandan Wangi jadi terkejut setengah mati, begitu mengetahui kalau perempuan tua yang memisahkan pertarungannya ternyata Iblis Tongkat Permata.

Seorang wanita yang sudah amat ternama di kalangan rimba persilatan. Tingkat kepandaian yang dimiliki sangat tinggi. Tapi sayangnya, dia berada pada jalan salah, hingga para pendekar tidak ada yang menyukainya. Pandan Wangi benar-benar terkejut, karena sama sekali tidak mengenalinya. Sungguh tidak diketahuinya kalau wanita itu adalah si Iblis Tongkat Permata yang julukannya sudah sering terdengar. Dan memang, antara mereka belum pernah bertemu sebelumnya. Jadi, tidak heran kalau Pandan Wangi tidak mengenali. 

***

Malam sudah turun menyelimuti seluruh permukaan Desa Tegalan. Pandan Wangi dan Rangga masih belum juga bisa memejamkan mata. Terlebih lagi, Pen-dekar Rajawali Sakti. Entah kenapa, perasaannya jadi gelisah sendiri, seperti ada sesuatu yang akan terjadi pada dirinya.

Kegelisahan Pendekar Rajawali Sakti tentu saja mendapat perhatian yang penuh dari Pandan Wangi. Tapi si Kipas Maut itu tidak berani menegur, kecuali dia hanya memandangi saja dengan kepala dipenuhi segudang pertanyaan yang tentu saja tidak akan terjawab saat ini.

“Hhh...! Panas sekali udara malam ini,” keluh Rangga sambil menghembuskan napas panjang-panjang.

“Aku malah merasa sebaliknya, Kakang,” ujar Pandan Wangi.

Dan memang, Pandan Wangi merasakan kalau malam ini begitu dingin sekali. Terlebih lagi, kabut begitu tebal menyelimuti seluruh permukaan Desa Tegalan. Tapi sungguh mengherankan melihat keadaan Rangga. Pemuda itu tampak berkeringat seluruh tubuhnya. Dan seakan-akan, memang merasakan kalau udara malam ini begitu panas membakar tubuh.

“Kakang...,” terdengar hati-hati sekali nada suara Pandan Wangi.

“Hm....”

“Kau kelihatan gelisah sekali. Ada apa...?” tanya Pandan Wangi agak ragu-ragu.

“Entahlah...,” desah Rangga, panjang.

“Ada yang mengganggu pikiranmu, Kakang?”

“Aku tidak tahu, Pandan. Tapi, rasanya....”

Belum lagi kata-kata yang diucapkan Rangga selesai, tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti menghentikannya. Dan kepalanya langsung terdongak ke atas, menatap langit-langit kamar penginapan ini. Saat itu juga, Pandan Wangi mendengar adanya suara yang sangat halus, tepat di atas atap kamar penginapan ini. Tapi, suara itu hanya terdengar sesaat saja, karena kemudian menghilang.

Dengan tangannya, Rangga memberi isyarat agar Pandan Wangi tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Dan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini hanya mengangguk saja.

Sementara, perlahan-lahan Rangga mulai menggeser kakinya mendekati jendela. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga seakan-akan kedua telapak kakinya tidak menginjak lantai kamar ini. Bahkan tidak terdengar suara sedikit pun dari gerakan kakinya. Sebentar saja, Rangga sudah berada di dekat jendela. Dan baru saja hendak melompat ke luar, mendadak....

Slap!
“Heh...?! Ups!”
Jleb!

Rangga langsung menarik cepat tubuhnya ke kanan, tepat ketika sebuah benda bercahaya keperakan melesat cepat bagai kilat, menembus jendela kamar penginapan yang terbuka lebar itu. Sedikit sekali benda itu lewat di depan dada Pendekar Rajawali Sakti, dan langsung menancap di tiang yang ada di tengah-tengah ruangan kamar ini.

“Hup!”

Pandan Wangi langsung melompat mendekati tiang. Dengan sedikit mengerahkan tenaga dalam, dicabutnya benda itu dari tiang penyangga kamar ini. Lalu, bergegas dihampirinya Rangga yang sudah berdiri di depan jendela.

“Bintang perak, Kakang,” kata Pandan Wangi memberi tahu, sambil menyodorkan benda keperakan itu.

Rangga hanya melirik saja sedikit. Memang, di atas telapak tangan kanan Pandan Wangi terdapat sebuah benda berbentuk bintang dari perak yang berkilatan.

“Kau di sini saja, Pandan. Aku tidak lama,” kata Rangga pelan.

“Mau ke mana kau, Ka....?”

Slap!

Belum lagi pertanyaan Pandan Wangi selesai, Rangga sudah melesat keluar melalui jendela dengan kecepatan bagai kilat. Dalam sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan. Sedangkan Pandan Wangi hanya berdiri tegak di depan jendela, memandang lurus ke luar menembus kegelapan malam yang berselimut kabut cukup tebal. Pendekar Rajawali Sakti benar-benar sudah tidak terlihat lagi. Entah ke arah mana perginya.

“Hm..., siapa yang melemparkan benda ini...?” gumam Pandan Wangi, bertanya pada diri sendiri. Diamatinya bintang perak yang masih berada di atas telapak tangannya. Sementara, malam terus merayap semakin larut. Perlahan gadis itu memutar tubuhnya berbalik. Tapi pada saat itu juga....

“Heh...?!” Kedua bola mata Pandan Wangi jadi terbeliak lebar. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di dalam kamar ini sudah berdiri seseorang berbaju serba hitam dengan wajah tertutup topeng kayu berbentuk tengkorak. Seluruh kepalanya terselubung kain hitam. Dia berdiri tegak membelakangi pintu. Tampak sebilah pedang tergantung di pinggangnya.

“Siapa kau?! Mau apa kau datang ke sini...?!” tanya Pandan Wangi langsung, begitu keterkejutannya hilang.

“Aku diutus untuk menjemputmu, Pandan Wangi,” sahut orang itu datar.

Suaranya yang besar, jelas sekali terdengar dibuat-buat. Seakan-akan, suaranya yang asli ingin disembunyikannya. Tapi Pandan Wangi sudah bisa menebak kalau orang yang ada di balik topeng kayu tengkorak itu seorang wanita.

“Siapa yang mengutusmu?” tanya Pandan Wangi lagi.

“Sayang, aku tidak bisa memberitahukannya. Kau akan tahu sendiri nanti di sana.”

“Hmmm...,” Pandan Wangi menggumam panjang, sambil memperhatikan orang bertopeng kayu tengkorak di depannya dengan sinar mata tajam.

“Ayolah, Pandan Wangi. Waktuku tidak lama.”

“Maaf. Aku terpaksa menolak, karena harus menunggu Kakang Rangga dulu,” tegas Pandan Wangi.

“Jangan memaksaku untuk bertindak tegas, Pandan Wangi. Aku tidak suka cara-cara paksaan.”

“Heh...?!” Pandan Wangi jadi terkejut. Jelas sekali, kata-kata orang itu bernada mengancam.

“Kau tentu mengerti maksudku, Pandan Wangi. Sebaiknya, jangan berbuat sesuatu yang bisa merugikan dirimu sendiri,” ancam orang bertopeng tengkorak kayu itu lagi.

“Maaf. Aku tetap tidak bisa ikut denganmu,” tegas Pandan Wangi.

“Kalau begitu, aku terpaksa harus memaksamu. Hup...!”

Wusss!
“Haiiit...!” 

***
EMPAT
Sedikit Pandan Wangi terkesiap, begitu tiba-tiba saja orang bertopeng tengkorak kayu itu melompat menerjangnya dengan kecepatan sangat luar biasa. Tapi hanya sedikit saja tubuhnya mengegos, terjangan itu berhasil dihindari. Dan cepat-cepat kakinya bergeser ke samping beberapa langkah.

“Hup!”
“Yeaaah...!"
Plak!

Kedua tangan mereka beradu dengan keras. Dan saat itu, Pandan Wangi merasakan tangannya jadi bergetar kesemutan. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang beberapa langkah, sebelum datang serangan kembali. Tapi tanpa diduga sama sekali, orang bertopeng tengkorak kayu itu sudah melancarkan serangan cepat bagai kilat, membuat Pandan Wangi jadi terperangah sesaat.

“Haiiit..!”

Pandan Wangi cepat-cepat meliuk, menghindari terjangan kedua tangan orang bertopeng tengkorak kayu itu. Dari gerakan-gerakannya, jelas sekali terlihat kalau lawannya hanya ingin melumpuhkan si Kipas Maut ini saja. Tapi, tampaknya Pandan Wangi juga bukanlah orang sembarangan yang begitu mudah bisa ditaklukkan. Gerakan-gerakan yang dilakukan Pandan Wangi juga begitu cepat luar biasa. Sehingga, tidak satu pun serangan orang bertopeng tengkorak kayu itu yang berhasil mengenai tubuh si Kipas Maut ini. Dan tanpa terasa, pertarungan sudah berjalan lima jurus, sehingga membuat keadaan di dalam kamar ini jadi berantakan sekali.

“Hiya! Hiya! Hiyaaa...!”

Orang bertopeng tengkorak kayu itu semakin mempercepat serangan-serangannya. Kedua tangannya bergerak begitu cepat, hingga bagaikan berubah jadi berjumlah banyak. Dan Pandan Wangi tampak mulai kelabakan menghindari serangan-serangan yang datang begitu cepat dan beruntun ini. Tapi gadis itu masih juga berhasil menghindar, walaupun sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang sedikit pun juga. Bahkan untuk mencabut senjata kipas mautnya saja, terasa sulit sekali. Serangan orang bertopeng tengkorak kayu itu memang gencar sekali, tanpa terputus sedikit pun.

“Hih! Yeaaah...!”

Dan begitu memiliki sedikit kesempatan, Pandan Wangi langsung saja menghentakkan tangan kanannya. Langsung diberikannya satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah mencapai tingkat tinggi.

“Hup!”

Tapi tanpa diduga sama sekali, orang bertopeng tengkorak kayu itu melesat ke atas. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya menukik turun ke belakang tubuh si Kipas Maut ini. Kemudian begitu cepat sekali tangan kanannya bergerak, memberi satu totokan tepat di bahu sebelah kiri Pandan Wangi.

Tuk! “Ikh...?!”

Pandan Wangi jadi terpekik kaget. Dan seketika itu juga, terasa ada hawa panas menyelimuti tubuhnya dari bekas totokan di bahu kiri. Tak berapa lama kemudian, seluruh tubuhnya terasa jadi lemas sekali. Dan belum lagi Pandan Wangi bisa menyadari apa yang terjadi, orang bertopeng tengkorak kayu itu sudah bergerak cepat ke depannya. Lalu....

“Hih!” Tuk!

Kembali dilepaskannya satu totokan dengan ujung jari kanannya, tepat di dada Pandan Wangi. Akibatnya, gadis ini langsung jatuh menggeletak di lantai. Tubuhnya jadi lemas tak bertenaga lagi, setelah pusat jalan darahnya tertotok kuat. Sementara orang bertopeng tengkorak kayu itu segera menghampiri. Lalu dipondongnya tubuh si Kipas Maut ini, bagaikan mengangkat sekantung kapuk.

“Maaf. Kau sendirilah yang memilih aku bertindak begitu,” ujar orang bertopeng tengkorak kayu ini.

Dan tanpa membuang-buang waktu lagi, orang bertopeng tengkorak kayu itu melesat cepat, keluar dari jendela sambil membawa Pandan Wangi. Begitu cepat lesatannya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tertelan gelapnya malam yang terselimut kabut tebal. Dan belum lama orang bertopeng tengkorak kayu itu menghilang membawa Pandan Wangi, Rangga baru kembali. Rangga langsung saja masuk melalui jendela yang masih terbuka lebar. Dan mendadak saja, kedua bola matanya jadi terbeliak lebar begitu menjejak lantai kamar penginapan ini.

“Heh?! Ada apa ini...?!” Rangga benar-benar terkejut, melihat keadaan kamar penginapannya berantakan seperti kapal pecah. Pandangannya beredar ke sekeliling, dengan kelopak mata terlihat sedikit menyipit. Namun, mendadak saja hatinya tersentak begitu teringat Pandan Wangi.

“Pandan...!” seru Rangga memanggil, dengan nada suara agak ditahan sedikit. Tak ada sahutan sedikit pun. Rangga bergegas menghampiri pintu, dan membukanya lebar-lebar. Tidak ada seorang pun yang terlihat di lorong kamar-kamar penginapan ini. Kembali ditutupnya pintu kamar itu, dan langsung dikuncinya dari dalam. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling ruangan ini.

“Pasti telah terjadi sesuatu di sini. Hm…” Tapi, di mana Pandan Wangi...?” gumam Rangga perlahan, bertanya-tanya pada diri sendiri.

Selagi Pendekar Rajawali Sakti diliputi berbagai macam pertanyaan, tiba-tiba saja keningnya jadi berkerut saat melihat sebuah benda yang sudah begitu dikenalnya. Sebuah kipas dari baja putih, tergeletak tidak jauh dari ujung kakinya. Segera diambilnya kipas yang dikenali milik Pandan Wangi.

“Pasti telah terjadi sesuatu di sini. Oh..., Pandan...,” desah Rangga berbicara pada diri sendiri.

Digenggamnya erat-erat kipas berwarna keperakan yang menjadi senjata andalan Pandan Wangi. Kemudian, diselipkan ke balik ikat pinggangnya. Sebentar Rangga mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kamar penginapan, kemudian cepat melesat ke luar melalui jendela. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap tak terlihat lagi.

Sementara, malam terus merambat semakin larut. Dan suasana di Desa Tegalan semakin sunyi senyap, bagaikan sebuah desa mati. Hanya suara serangga malam saja yang terdengar, serta sesekali suara kentongan peronda. Sedangkan Rangga sudah lenyap entah ke mana, meninggalkan kamar penginapan yang berantakan seperti kapal pecah terhantam badai di lautan. 

***

Semalaman penuh Rangga mencari Pandan Wangi yang hilang dari kamar penginapan. Sudah seluruh pelosok Desa Tegalan dijelajahi, tapi Pandan Wangi tidak juga bisa ditemukan. Bahkan jejaknya pun sama sekali tidak terlihat Rangga jadi gelisah sendiri, benar-benar mencemaskan nasib Pandan Wangi yang hilang entah ke mana. Terlebih lagi, gadis itu meninggalkan senjata kipas mautnya.

Rangga jadi semakin cemas akan nasib kekasihnya itu. Dia tahu, kalau Pandan Wangi sampai terpisah dari senjata mautnya, pasti tengah dalam keadaan bahaya. Rangga sudah bisa menebak, Pandan Wangi ten-tu tidak pergi begitu saja. Kecemasan hati Pendekar Rajawali Sakti semakin terlihat, saat matahari sudah berada di atas kepala, belum juga mendapatkan tanda-tanda keberadaan Pandan Wangi. Dengan lesu, Rangga kembali ke penginapannya.

Ki Rabit, pemilik penginapan yang terbesar di Desa Tegalan ini, langsung menyambutnya begitu melihat Rangga memasuki pintu depan. Pendekar Rajawali Sakti berhenti melangkah tepat di ambang pintu. Kelopak matanya agak menyipit melihat Ki Rabit tergopoh-gopoh menghampiri. Laki-laki tua yang sudah berusia sekitar tujuh puluh tahun itu langsung saja membungkukkan tubuhnya, begitu tiba di depan Pendekar Rajawali Sakti.

“Ada apa, Ki?” tanya Rangga langsung.

“Tadi ada orang yang mencarimu, Den,” sahut Ki Rabit memberi tahu.

“Siapa?” tanya Rangga lagi. Keningnya semakin dalam berkerut

“Dia tidak mau menyebutkan namanya. Tapi, dia meninggalkan ini. Katanya, Raden bisa tahu, kalau sudah menerimanya.”

Rangga memandangi sebuah bungkusan kain merah yang disodorkan Ki Rabit sebentar. Kemudian diambilnya bungkusan kain merah itu dan langsung diamatinya beberapa saat.

“Terima kasih, Ki,” ucap Rangga. “Ada yang lainnya?”

“Tidak, Den. Orang itu langsung pergi setelah memberikan titipan ini,” sahut Ki Rabit.

“Dia tidak mengatakan apa-apa lagi, Ki?”

“Tidak, Den. Dia hanya mengatakan kalau Raden pasti sudah tahu, jika sudah menerima titipannya ini. Hanya itu saja yang dikatakannya, Den.”

“Baiklah, Ki. Terima kasih.”

Tanpa berkata-kata lagi, Rangga segera melangkah masuk ke dalam rumah penginapan ini. Terus disusurinya lorong yang di kanan dan kirinya terdapat pintu-pintu kamar sewaan. Sementara, Ki Rabit kembali sibuk melayani tamu-tamu yang datang. Karena selain sebagai penginapan, rumah ini juga merangkap kedai.

Rangga langsung saja masuk ke dalam kamarnya yang masih tetap berantakan seperti semalam, ketika ditinggalkannya. Pendekar Rajawali Sakti menarik kursi ke depan jendela. Dia duduk di sana sambil terus mengamati bungkusan kain merah yang diberikan Ki Rabit tadi.

“Hm....” Perlahan Rangga membuka bungkusan kain merah itu, tapi mendadak saja....

“Heh...?!” Bukan main terkejutnya Pendekar Rajawali Sakti, setelah membuka bungkusan kain merah yang diberikan Ki Rabit tadi.

Begitu terkejutnya, sampai Rangga terlompat bangkit dari kursi yang didudukinya. Bahkan kedua bola matanya jadi terbelalak lebar. Ternyata, bungkusan kain merah itu berisi sebuah kotak kayu yang di dalamnya terdapat sebuah tusuk rambut yang sangat dikenalnya. Jelas, tusuk rambut itu milik Pandan Wangi!

Di dalam kotak kayu itu juga berisi selembar daun lontar kering. Segera diambil dan dibukanya gulungan daun lontar itu. Beberapa baris kalimat tertera di sana. Kening Pendekar Rajawali Sakti jadi berkerut dalam begitu membaca tulisan yang tertera pada daun lontar ini. Lamat-lamat dibacanya tulisan pada daun lontar itu.

“Tinggalkan desa ini secepatnya, kalau kau tidak ingin kepala gadismu terpisah dari badan. Gadismu akan kau dapatkan kembali setelah kau melewati tujuh gunung dari desa ini. Ingat, kepala gadismu menjadi taruhannya!”

Rangga langsung meremas lembaran daun lontar itu. Dan tanpa sadar, perasaan itu disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah sempurna, hingga kepalan telapak tangannya sampai mengepulkan asap tipis. Dan begitu kepalannya terbuka, daun lontar itu sudah menjadi abu. Tampak wajah Pendekar Rajawali Sakti memerah, seperti besi terbakar di dalam tungku.

Nafasnya jadi bertambah cepat memburu, mendengus-dengus seperti seekor kuda yang baru saja dipacu cepat seharian penuh. Seluruh tubuhnya jadi bergetar, menahan kemarahan yang meluap, hampir tumpah meledak dalam dada.

“Hup!” Tiba-tiba saja Pendekar Rajawali Sakti melompat cepat bagai kilat, menerobos jendela yang sejak semalam terbuka lebar. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap dari pandangan. Bagaikan asap tertiup angin, tubuhnya langsung menghilang tanpa terlihat bayangannya sedikit pun juga.

Rangga terus berlari secepat angin, ke luar dari Desa Tegalan. Begitu cepat dan sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga kedua telapak kakinya bagaikan tidak menjejak tanah sedikit pun. Pendekar Rajawali Sakti terus berlari, meskipun sudah jauh meninggalkan Desa Tegalan. Tanpa disadari, justru Rangga sampai di kaki Bukit Jagal. Larinya baru berhenti, setelah tiba di lereng bukit ini, di tengah-tengah sebuah padang rumput yang cukup luas dan subur bagai permadani terhampar.

Sebentar Pendekar Rajawali Sakti mengedarkan pandangan ke sekeliling, seakan-akan ada yang tengah dicarinya. Dia berdiri tegak dengan kedua tangan berkacak pinggang. Wajahnya masih tetap kelihatan merah. Dadanya tampak bergerak cepat turun naik. Dan nafasnya terdengar begitu cepat memburu, mendengus-dengus seperti kuda.

“Hm....” Perlahan Rangga mengayunkan kakinya lagi, menyeberangi padang rumput ini. Dia terus berjalan sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat kesempurnaan. Sehingga, sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya melangkah. Bahkan rerumputan yang dipijaknya juga tidak bergerak sedikit pun.

Rangga kembali berhenti melangkah setelah sampai di seberang padang rumput ini. Kembali pandangannya beredar ke sekeliling dengan sikap begitu angker. Sedikit pun tidak terlihat sunggingan senyum pada bibirnya. Dan pandangan matanya kemudian tertumbuk pada sebuah goa batu yang mulutnya tidak begitu besar, tapi kelihatan sangat dalam.

“Setan Bukit Jagal, aku Rangga datang ingin bertemu denganmu...!”

Terdengar lantang sekali suara Rangga. Dan jelas kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga dalam yang sangat sempurna. Akibatnya daun-daun pepohonan di sekitarnya berguguran. Bahkan batu-batu ikut berlompatan! Teriakan Rangga tadi terus menggema, terpental jauh oleh pepohonan dan batu-batuan yang banyak terdapat di sekitar lereng Bukit Jagal ini.

Wusss...!

Belum lagi hilang gema suara Rangga dari pendengaran, terlihat sebuah bayangan hijau berkelebat begitu cepat, keluar dari dalam goa. Dan tahu-tahu, di depan Pendekar Rajawali Sakti sudah berdiri seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia mengenakan baju warna hijau agak ketat, hingga membentuk tubuhnya yang tinggi tegap dan berotot Tampak di pinggangnya tergantung sebilah golok yang berukuran sangat besar. Mungkin besarnya tiga kali dari golok-golok biasa.

“Pendekar Rajawali Sakti, apa maksudmu datang ke sini?” terasa dingin dan berat sekali nada suara laki-laki berbaju hijau yang dikenali Rangga sebagai Setan Bukit Jagal.

“Waktuku tidak banyak, Setan Bukit Jagal. Maka kuharap, jawablah semua pertanyaanku dengan tepat, dan jangan berbelit-belit,” ujar Rangga tegas dan lantang suaranya.

“Hm...,” Setan Bukit Jagal menggumam kecil. Kalau saja bukan Pendekar Rajawali Sakti yang berkata seperti itu, barangkali goloknya sudah langsung berbicara. Tapi yang ada di depannya adalah Pendekar Rajawali Sakti, seorang pemuda yang berilmu sangat tinggi dan sukar sekali dicari tandingannya.

Di antara mereka memang sudah saling mengenal. Bahkan pernah bentrok dan bertarung mengadu jiwa. Dan, Setan Bukit Jagal memang harus mengakui ketangguhan Pendekar Rajawali Sakti. Malah kalaupun pemuda itu mau, bisa saja memenggal lehernya. Tapi, Rangga malah memberi kesempatan hidup baginya. Dan ini yang membuat Setan Bukit Jagal jadi segan. Bahkan tidak punya lagi keberanian untuk menantang bertarung.

“Apa yang ingin kau ketahui dariku, Pendekar Rajawali Sakti?” tanya Setan Bukit Jagal.

“Kau tahu milik siapa ini, Setan Bukit Jagal...?”

Rangga melemparkan sebuah benda berbentuk bintang berwarna putih keperakan, dan tepat jatuh di ujung jari kaki Setan Bukit Jagal. Sebentar laki-laki separuh baya itu menatapnya, kemudian beralih ke wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti. Dan perlahan, tubuhnya membungkuk, memungut bintang berwarna putih keperakan itu.

“Seharusnya kau sudah tahu kalau ini senjata milikku, Pendekar Rajawali Sakti. Lalu, kenapa hal itu ditanyakan lagi...?” ujar Setan Bukit Jagal, masih terdengar berat sekali nada suaranya.

“Itu yang ingin kuketahui, Setan Bukit Jagal. Untuk apa kau menyerangku semalam...?” desis Rangga langsung.

“Menyerangmu...? Edan! Kau jangan sembarangan menuduh, Pendekar Rajawali Sakti. Apa lagi semalam...? Huh...! Semalam aku ada tamu. Dan kalau tidak percaya, tamuku masih ada sampai sekarang. Itu, di dalam sana!”

Setan Bukit Jagal menunjuk ke dalam goa yang menjadi tempat tinggalnya. Saat itu dari dalam goa keluar seorang wanita muda berwajah cantik. Bajunya cukup ketat, berwarna merah muda, sehingga membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Kakinya melangkah lembut sekali, menghampiri Setan Bukit Jagal. Lalu, dia berdiri tepat di samping kiri laki-laki berusia setengah baya ini.

“Ada apa, Kakang? Siapa dia...?” lembut sekali suara wanita itu.

“Pendekar Rajawali Sakti. Dia temanku,” sahut Setan Bukit Jagal, tanpa berpaling sedikit pun. Setan Bukit Jagal terus menatap Rangga. “Kau bisa tanyakan padanya, Pendekar Rajawali Sakti. Bukan hanya semalam saja aku tidak keluar, tapi sudah tiga hari ini tidak pergi ke mana-mana. Mustahil kalau aku sampai menyerangmu semalam. Apalagi dengan benda terkutuk ini. Huh...!”

Setan Bukit Jagal melemparkan bintang perak itu kuat-kuat, dan langsung menancap pada sebongkah batu yang sebesar badan kerbau. Rangga melirik sedikit. Di dalam hatinya, dia merasa kagum juga melihat kehebatan pengerahan tenaga dalam Setan Bukit Jagal. Bintang perak itu menembus dalam sekali ke permukaan batu itu, hingga yang terlihat hanya sedikit ujungnya saja.

“Kau tahu, Pendekar Rajawali Sakti. Sejak pertarungan kita dulu, aku tidak pernah lagi menggunakan senjata seperti itu. Dan selama ini pula, aku tidak pernah keluar dari tempatku ini. Jelas...?” tegas Setan Bukit Jagal meyakinkan.

Rangga hanya diam saja. Sementara, Setan Bukit Jagal memutar tubuhnya. Lalu, tangan kirinya langsung saja merengkuh pinggang wanita cantik itu. Mereka kemudian melangkah kembali, masuk ke dalam goa tanpa menghiraukan Rangga yang masih tetap berdiri mematung sambil memandangi. Sampai mereka lenyap tak terlihat lagi, Rangga masih diam di situ.

Beberapa saat lamanya Pendekar Rajawali Sakti masih berdiri tidak seberapa jauh dari mulut goa tempat tinggal Setan Bukit Jagal. Kemudian, kakinya melangkah menghampiri bintang perak yang tertanam begitu dalam di permukaan batu sebesar badan kerbau. Kening Rangga jadi berkerut melihat bintang perak itu amblas dalam sekali. Padahal, batu ini sangat keras.

“Hm.... Memang berbeda lemparan Setan Bukit Jagal dengan yang semalam. Tapi, apa memang benar pelakunya bukan dia? Lalu siapa...?” gumam Rangga berbicara sendiri.

Rangga memang mengenali kalau senjata rahasia berbentuk bintang itu milik Setan Bukit Jagal. Tapi tadi, pemiliknya sendiri tidak mengakui kalau semalam telah menyerangnya. Dan ini yang membuat Rangga jadi ragu-ragu. Jelas sekali perbedaan lemparan Setan Bukit Jagal tadi, dengan yang semalam. Walaupun hanya sekilas, tapi Rangga sudah bisa melihat perbedaannya. Rangga menatap sebentar ke arah goa, kemudian memutar tubuhnya berbalik. Lalu kakinya diayunkan hendak meninggalkan tempat itu. Tapi baru saja kakinya terayun beberapa langkah....

“Pendekar Rajawali Sakti, ada satu orang lagi yang biasa menggunakan senjata seperti itu. Dan kau bisa bertemu dengannya di Lembah Neraka...!”

“Heh...?!” Rangga jadi tersentak kaget. Cepat tubuhnya diputar dan langsung berhenti melangkah. Ditatapnya mulut goa yang kelihatan gelap itu. Jelas sekali terdengar di telinganya kalau suara itu berasal dari dalam sana. Dan nadanya sama dengan nada suara Setan Bukit Jagal.

“Di mana letak Lembah Neraka?” tanya Rangga lantang.

“Tidak jauh, di sebelah utara Desa Tegalan Orang yang kau cari bernama Gandapati, yang dikenal berjuluk Penguasa Lembah Neraka. Orang itulah yang kau cari sebenarnya, Pendekar Rajawali Sakti...!”

“Baiklah, Setan Bukit Jagal. Untuk sementara aku akan mempercayaimu. Tapi kalau kau berdusta, kepalamu harus direlakan terpisah dari leher!” sahut Rangga sedikit mengancam.

“Ha ha ha...! Sebaliknya, kau akan berterima kasih padaku, Pendekar Rajawali Sakti. Pergilah...! Aku tidak ada waktu lagi untukmu.”

“Hm...!” Sebentar Rangga masih berdiri memandangi mulut goa itu, kemudian memutar tubuhnya. Dan Pendekar Rajawali Sakti langsung berlari cepat mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepat sekali, sehingga dalam waktu sebentar saja sudah sangat jauh meninggalkan tempat tinggal Setan Bukit Jagal. Dan sebentar kemudian, tubuhnya lenyap ditelan lebatnya hutan di lereng Bukit Jagal ini. 

***