SATU
Sret!
Cring!
“Hiyaaa...!”
Bret!
“Aaa...!”
Sebuah teriakan keras menggelegar terdengar memecah keheningan malam,
disusul jeritan panjang melengking tinggi. Suara-suara itu menggema, sampai
menyusup ke dalam hutan terbawa angin malam. Sementara tiga orang yang
tengah bermalam di dalam hutan itu jadi terkejut. Mereka saling berpandangan
sejenak, lalu bergegas bangkit dan melangkah cepat menuju ke arah datangnya
teriakan dan jeritan tadi.
“Cepat. Arahnya dari sebelah sana...!” seru seorang laki-laki tua berjubah
putih yang berjalan paling depan.
Usia orang tua itu jelas lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi ayunan
langkahnya begitu cepat dan ringan, pertanda tingkat kepandaiannya sudah
sangat tinggi. Sebatang tongkat kayu berwarna hitam legam terayun-ayun di
tangan kanannya. Sementara dua orang lagi yang berusia sekitar dua puluh
lima tahun, mengikuti dari belakang. Mereka berusaha menyamai langkah orang
tua berjubah putih itu, tapi tetap saja tertinggal di belakang.
Malam yang begitu pekat, memang cukup menyulitkan bagi mereka untuk
bergerak lebih cepat lagi. Terlebih, pepohonan yang tumbuh di dalam hutan
ini begitu rapat. Namun, akhirnya mereka tiba juga di sebuah dataran dengan
hamparan rumput yang tidak begitu luas. Dan mereka tampak terkejut begitu
melihat sesosok tubuh tergeletak di tengah-tengah padang rumput ini. Maka,
bergegas mereka menghampirinya. Dan begitu dekat...
“Pendekar Golok Api...,” desis laki-laki tua berjubah putih.
Bergegas laki-laki tua itu mendekati tubuh seorang laki-laki tegap berotot
yang tergeletak dengan kening kepala terbelah. Orang tua berjubah putih itu
segera mengangkat tubuh laki-laki tegap yang dikenalinya sebagai Pendekar
Golok Api, dan meletakkannya dalam pangkuannya.
“Dia masih hidup, Ki Anjir?” tanya salah seorang yang mengikuti laki-laki
tua berjubah putih itu.
Laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil Ki Anjir hanya menggeleng saja
perlahan. Kemudian dibaringkannya tubuh Pendekar Golok Api. Perlahan dia
bangkit berdiri dengan wajah terlihat mendung. Sinar matanya begitu redup
memandangi sosok tubuh Pendekar Golok Api yang terbujur kaku tak bernyawa
lagi. Darah yang keluar dari kepala Pendekar Golok Api yang pecah seperti
terbabat pedang, masih terasa hangat. Ini berarti baru beberapa saat saja
kematiannya. Dan untuk beberapa saat, tidak ada yang bicara. Mereka semua
membisu dengan kepala tertunduk, memandangi tubuh Pendekar Golok Api yang
terbujur kaku tak bernyawa lagi.
“Melihat dari lukanya, jelas kalau ini perbuatan manusia iblis keparat
itu...!” desis Ki Anjir terdengar geram nada suaranya.
“Huh! Lagi-lagi dia!” dengus salah seorang yang berbaju warna biru pekat.
“Sudah sepuluh pendekar yang tewas di tangannya. Hhh...! Berapa orang lagi
yang akan mati kalau tidak segera dicegah,” desah Ki Anjir perlahan, seakan
bicara pada diri sendiri.
“Ki.... Aku jadi ragu, apakah kita bertiga mampu menghadapinya...?” desis
seorang lagi yang berbaju hijau.
“Kenapa kau jadi punya pikiran begitu, Kamdan?” sorot mata Ki Anjir jadi
tajam.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun dan berbaju hijau yang
bernama Kamdan jadi tertunduk. Berat rasanya membalas sorotan mata Ki Anjir
yang begitu tajam menusuk. Sementara, pandangan Ki Anjir beralih pada orang
satunya lagi, yang berdiri di sebelah kanan Kamdan.
“Kau juga akan mengundurkan diri, Julak?” terdengar dalam sekali nada suara
Ki Anjir.
“Aku tidak akan meninggalkanmu, Ki,” sahut laki-laki berbaju biru yang
dipanggil Julak, mantap.
“Hm, bagus! Aku senang melihat tekad dan semangatmu yang besar. Jangan
sampai kita kalah sebelum bertarung,” sambut Ki Anjir memberi semangat Ki
Anjir kembali menatap Kamdan.
Sedangkan yang dipandangi masih tetap tertunduk. Dan matanya melirik
sedikit pada temannya yang tadi baru menyatakan tetap mengikuti laki-laki
tua itu untuk mengejar orang yang telah membantai sepuluh orang pendekar
dalam beberapa hari ini, dan sudah menggemparkan seluruh rimba persilatan.
Hingga, bukan hanya mereka saja yang mengejar, tapi masih banyak para
pendekar tangguh yang ingin membasmi tukang jagal itu.
“Aku tetap ingin kembali, Ki. Maafkan aku,” ujar Kamdan tidak berani
mengangkat kepala sedikit pun juga.
“Hhh...!” Ki Anjir hanya menghembuskan napas beratnya saja.
Beberapa saat orang tua itu terdiam, memandangi Kamdan yang sudah beberapa
hari ini mengikutinya mengejar pembunuh para pendekar itu. Memang beberapa
pendekar tangguh yang ditemui sudah tewas dengan luka sama persis, sehingga
membuat hati siapa saja yang melihat tidak akan tahan. Sedangkan Ki Anjir
menyadari kalau Kamdan dan Julak bukan pendekar. Kepandaian yang dimiliki
juga belum bisa dikatakan tinggi. Bahkan jauh berada di bawah tingkat
kepandaian Ki Anjir sendiri. Wajar saja kalau Kamdan merasa gentar.
Terlebih lagi, sekarang dia sudah menyaksikan sendiri mayat Pendekar Golok
Api. Pendekar Golok Api adalah seorang pendekar tangguh dan digdaya. Bahkan
julukannya sudah terkenal di jagat raya ini. Bahkan tokoh-tokoh persilatan
manapun juga akan menyanjungnya. Tapi sekarang, Pendekar Golok Api sudah
menggeletak tak bernyawa lagi dengan kening terbelah. Luka yang sama dengan
yang ditemui pada para pendekar lainnya.
“Baiklah, Kamdan. Aku tidak bisa memaksamu untuk terus melangkah maju. Kau
berhak memilih. Pulanglah...,” kata Ki Anjir dengan nada suara terasa begitu
berat.
“Maafkan aku, Ki,” ucap Kamdan penuh penyesalan.
Ki Anjir hanya tersenyum saja, dan menepuk lembut pundak Kamdan. Setelah
memberi salam penghormatan dengan membungkukkan tubuhnya, Kamdan kemudian
melangkah pergi meninggalkan orang tua itu. Sementara, Ki Anjir dan Julak
hanya bisa memandangi. Memang tidak mungkin mencegah kepergian Kamdan kalau
itu memang sudah menjadi pilihannya yang terbaik. Tidak ada seorang pun di
dunia ini yang ingin menyerahkan nyawanya sia-sia. Terlebih lagi, kalau yang
akan dihadapi sudah jelas memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi.
Pilihan Kamdan memang tepat, karena menyadari kemampuannya sendiri.
“Kau belum terlambat kalau ingin mengikuti jejak Kamdan, Julak,” kata Ki
Anjir.
“Apa pun yang terjadi, aku tetap bersamamu, Ki,” sambut Julak mantap. “Aku
harus membalaskan dendamku!”
Ki Anjir tersenyum seraya menepuk pundak Julak. Kemudian mereka melangkah
meninggalkan jasad Pendekar Golok Api yang terbujur kaku dengan kening
terbelah mengucurkan darah.
***
Malam terus merayap semakin larut. Terasa sunyi sekali di dalam hutan
sekitar lereng Gunung Granggang ini. Kamdan yang memisahkan diri dari Ki
Anjir dan Julak, terus melangkah tanpa berpaling sedikit pun ke belakang.
Obor bambu yang dibawanya memang cukup untuk menerangi jalan yang dilalui.
Dan tampaknya, dia juga tidak tergesa-gesa. Memang masih jauh untuk sampai
ke desa terdekat. Tapi Kamdan tidak perlu khawatir. Dia tahu betul
seluk-beluk hutan di sekitar lereng Gunung Granggang ini.
“Hhh! Dinginnya...,” dengus Kamdan agak menggigil.
Udara malam ini memang terasa sangat dingin. Angin bertiup kencang, membuat
api obor meliuk- liuk seakan-akan hampir padam. Namun Kamdan tidak
mempedulikannya, dan terus berjalan dengan ayunan kaki mantap, menembus
lebatnya hutan. Sampai akhirnya, laki-laki itu tiba di jalan setapak di
dalam hutan yang sangat lebat ini. Dia tahu, jalan ini sering dilalui
penduduk desa yang tidak seberapa jauh lagi letaknya.
Kerlip lampu pelita dari rumah-rumah sebuah desa sudah mulai terlihat.
Kamdan semakin mempercepat ayunan kakinya. Udara dingin yang menggigilkan
ini sudah tidak tertahankan lagi. Tubuhnya terus-menerus menggigil, menahan
hawa dingin yang sangat menusuk kulit.
“Mudah-mudahan saja masih ada rumah penginapan yang buka. Hhh...! Dinginnya
sudah tidak tertahan lagi,” keluh Kamdan.
Desa di depannya sudah semakin jelas terlihat, walaupun kabut yang turun
cukup tebal. Kamdan terus melangkah cepat menuju desa itu. Tapi belum juga
sampai, mendadak saja....
Wusss!
“Heh...?!”
Kedua bola mata Kamdan jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba di depannya
berkelebat sebuah bayangan yang begitu cepat. Dan belum lagi hilang rasa
terkejutnya, tahu-tahu di depannya sudah berdiri seseorang bertubuh tinggi
dan ramping. Sebilah pedang tergenggam di tangan kirinya. Cukup sulit bisa
melihat wajahnya. Karena selain kabut yang tebal, orang itu juga
membelakangi cahaya pelita dari rumah-rumah penduduk desa yang sudah tidak
seberapa jauh lagi jaraknya. Dan malam itu juga sedikit pun tidak terlihat
cahaya bulan. Hingga, Kamdan sama sekali tidak bisa melihat jelas wajah
orang yang tiba-tiba saja muncul di depannya.
“Sss..., siapa kau...?” terdengar bergetar suara Kamdan.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Monyet Jelek!”
Terdengar kasar sekali nada suara orang itu, membuat Kamdan jadi tersedak
kaget setengah mati. Begitu terkejutnya, hingga sampai terlompat ke belakang
beberapa langkah.
Srettt...!
“Oh...?” Seketika Kamdan merasakan tenggorokannya jadi kering, saat orang
itu mencabut pedangnya perlahan-lahan. Cahaya keperakan pedang itu membuat
kedua bola mata Kamdan jadi terbeliak tidak berkedip. Saat itu juga
disadari, dengan siapa Kamdan berhadapan.
“Kau..., kau...,” sulit sekali Kamdan membuka suaranya. Seluruh tubuh
laki-laki itu jadi bergetar menggigil. Bukan lagi karena udara yang dingin,
tapi rasa takut yang amat sangat. Dia tahu siapa orang ini, walaupun
wajahnya tidak kelihatan.
“Jangan..., jangan bunuh aku.... Aku mohon! Jangan bunuh aku...,” rengek
Kamdan memelas.
“Bukankah kau memburuku...? Kenapa sekarang jadi seperti tikus melihat
kucing...? Sekarang, aku ada di sini. Nah! Hadapilah aku, Monyet Jelek!”
dengus orang itu dingin.
“Tid..., tidak! Aku..., aku....”
“Huh! Aku muak melihat orang sepertimu. Hih...!”
Wuk!
Cras!
“Akh...!”
Kamdan hanya bisa terpekik kecil, begitu pedang yang berkilat keperakan itu
berkelebat begitu cepat ke wajahnya. Dan seketika itu juga, dia jadi terpaku
diam dengan bola mata terbeliak lebar dan mulut ternganga.
Cring!
Tepat di saat orang itu memasukkkan kembali pedangnya, saat itu juga Kamdan
jatuh ke tanah. Hanya sebentar saja tubuhnya menggelepar, kemudian mengejang
kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak darah mengalir keluar dari
batok kepalanya yang hampir terbelah menjadi dua bagian.
“Phuih...!”
Orang berpakaian gelap yang sangat ketat itu menyemburkan ludahnya sambil
mendengus berat. Kemudian tubuhnya berputar dan seketika itu juga melesat
bagai kilat. Begitu cepatnya, hingga dalam sekejap mata saja sudah lenyap
tak terlihat lagi. Sementara, Kamdan menggeletak tak bernyawa terselimut
kabut, tidak jauh lagi dari desa di kaki lereng Gunung Granggang ini.
Dan malam terus merayap semakin larut. Tidak ada seorang pun yang
mengetahui peristiwa itu. Bahkan pekikan Kamdan yang terakhir pun sama
sekali tidak terdengar, walaupun keadaan malam sangat sunyi. Hanya
serangga-serangga malam saja yang menjadi saksi dari peristiwa mengerikan
ini. Baru pada pagi harinya, seluruh penduduk Desa Granggang jadi gem-par
menemukan mayat Kamdan tergeletak tidak jauh di jalan desa itu.
Kematian Kamdan cepat sekali menyebar, dan langsung menjadi buah bibir
semua orang di Desa Granggang. Di desa yang letaknya agak terpencil dan
terkenal tenang itu, seakan baru pertama kali terjadi peristiwa pembunuhan
yang sangat mengiriskan ini. Batok kepala Kamdan hampir terbelah terbagi
dua. Jelas, kepalanya tersabet pedang yang sangat tajam! Dan yang pasti
dilakukan oleh orang yang memiliki kekuatan tenaga dalam tinggi.
“Aku benci ada pembunuh berkeliaran di desa ini...!” dengus Ki Langkas,
Kepala Desa Granggang geram.
Hari itu juga Ki Langkas mengumpulkan pemuka-pemuka desa. Ada enam orang
laki yang semuanya hadir berpakaian jubah putih hadir di bagian beranda
depan rumahnya. Tampak semuanya laki-laki berusia lanjut, dan bukanlah
orang-orang sembarangan. Ini terlihat jelas dari raut wajah dan sinar mata
mereka. Walaupun sudah penuh kerutan, tapi masih memancar tajam.
Dan mereka juga membawa senjata dengan bentuk berbeda. Ki Langkas juga
mengenakan baju jubah panjang berwarna putih. Dia sendiri sudah berusia
lebih dari tujuh puluh tahun. Tapi tubuhnya masih kelihatan gagah dan kekar,
walaupun sebuah tongkat berkepala ular tidak pernah terlepas dari
tangannya.
“Aku ingin pembunuh itu ditangkap secepatnya, sebelum kematian menyebar di
desa ini,” sambung Ki Langkas tegas.
“Tapi, Ki. Orang yang terbunuh itu bukan warga desa ini. Bahkan tidak ada
seorang pun yang mengenalnya,” selak salah seorang yang memegang cambuk
kulit warna hitam.
“Dan lagi, kelihatannya orang itu dari kalangan persilatan. Aku rasa wajar
kalau dia sampai terbunuh,” sambung seorang lagi yang membawa senjata
pedang.
“Didalam dunia persilatan, dibunuh atau terbunuh itu sudah biasa. Aku
yakin, pembunuhnya sudah tidak ada lagi di sini. Mereka pasti bertarung
semalam. Hanya saja, kita semua tidak ada yang tahu,” kata seorang
lagi.
“Apa pun namanya, aku tidak ingin desa ini ada pembunuh berkeliaran. Dan
kuminta pada kalian semua, agar mengawasi siapa saja yang masuk ke desa ini.
Tidak peduli apakah, laki-laki atau perempuan. Tidak peduli berapa usianya.
Siapa saja yang datang, dan ternyata bukan warga desa ini, patut dicurigai.
Paham...!” agak keras terdengar suara Ki Langkas.
Semua yang ada hanya mengangguk kepala saja. Mereka tahu betul watak kepala
desa itu. Tegas dan segala perintahnya tidak bisa dibantah lagi. Di Desa
Granggang ini, Ki Langkas bagaikan seorang raja kecil saja. Segala
perintahnya harus ditaati, tanpa ada yang boleh membantah. Tapi walaupun
wataknya sangat keras, dia tidak segan- segan turun-tangan membantu yang
lemah. Tak heran kalau semua orang di desa ini menyukainya, dan tetap
mempertahankannya sebagai kepala desa. Padahal usianya sudah sangat
lanjut.
“Tugaskan pada murid-murid kalian untuk selalu waspada. Dan ketatkan
penjagaan keamanan di desa ini,” perintah Ki Langkas lagi.
“Baik, Ki.” Serempak enam orang tua itu menyahut.
“Laporkan padaku secepatnya, siapa-siapa saja orang asing yang ada di desa
ini sekarang. Dan aku akan menanyainya langsung pada mereka,” kata Ki
Langkas lagi.
“Ki...,” selak laki-laki tua yang membawa pedang.
“Ada apa, Ki Adong?” tanya Ki Langkas, seraya menatap laki-laki tua
bersenjata pedang yang bernama Ki Adong.
“Aku rasa, hal itu terlalu berlebihan, Ki. Belum saatnya kita begitu
menaruh kecurigaan pada para pendatang. Kalaupun harus dicurigai, jangan
sampai mereka merasa dicurigai. Kita atasi saja secara diam-diam. Dan itu
lebih memudahkan kita, kalau memang pembunuh itu masih berkeliaran di desa
ini,” kata Ki Adong, tidak setuju pada keinginan kepala desa itu.
“Benar, Ki. Kita tidak perlu terlalu memaksakan diri. Lagi pula, baru satu
orang yang terbunuh. Dan orang itu juga bukan warga desa ini. Jadi, kurasa
tidak perlu terlalu mencurigai para pendatang,” sambung yang lain menyetujui
saran Ki Adong.
Kepala Desa Granggang itu hanya diam saja. Dalam hati, diakuinya juga
kebenaran jalan pikiran para pembantunya ini. Dia memang terlalu larut
terbawa amarah oleh terjadinya pembunuhan di desanya yang selama ini selalu
tenang dan damai. Bertahun-tahun dia menjadi kepala desa, baru kali ini ada
peristiwa pembunuhan. Dan tentu saja membuatnya jadi merasa panas
sendiri.
“Baiklah, lakukan saja apa yang menurut kalian baik,” ujar Ki Langkas
mengalah juga.
Enam orang pembantu kepala desa itu sama-sama menarik napas lega. Baru kali
ini Ki Langkas bisa mengalah. Biasanya, mana mau? Dan tak berapa lama
kemudian, enam orang tetua desa itu meninggalkan rumah kepala desa ini.
Sementara Ki Langkas mengantarkan mereka sampai di depan pintu pagar
rumahnya yang hanya terbuat dari belahan bambu. Sampai mereka semua pergi,
baru orang tua itu kembali masuk ke dalam rumahnya. Di dalam ruangan depan
yang berukuran cukup luas, seorang gadis bertubuh mungil menghadangnya,
dengan wajah seperti seorang anak berusia tiga belas tahun. Padahal, usianya
sudah delapan belas tahun.
“Ayah....”
“Jangan ikut campur. Ini bukan urusanmu!” sentak Ki Langkas cepat, sebelum
gadis itu bisa membuka suaranya lebih banyak lagi.
Gadis itu langsung terdiam. Dan Ki Langkas terus saja melangkah masuk
melewati ruangan depan itu. Sementara, gadis manis yang berbaju kuning muda
dengan potongan cukup ketat itu hanya memandangi saja, sampai punggung
ayahnya lenyap dari penglihatannya.
“Hhh...!”
***
DUA
Matahari sudah hampir tenggelam di belahan bumi bagian barat. Sinarnya
tidak lagi terik, dan terasa begitu lembut menyentuh kulit seorang gadis
muda yang tengah memperhatikan seekor kelinci merumput di semak belukar.
Perlahan-lahan gadis itu mengendap mendekati. Dan begitu dekat, langsung
melompat hendak menerkam kelinci itu.
“Kena...!” serunya girang, begitu berhasil menangkap kelinci yang sangat
gemuk ini.
Gadis itu bangkit berdiri dengan wajah cerah. Pakaiannya kotor berdebu,
penuh rerumputan kering. Dipandanginya kelinci yang berada di dalam
cengkeraman tangannya yang mungil. Bibirnya menyunggingkan senyuman lebar.
Bergegas kakinya melangkah dengan gerakan begitu ringan.
“Ayah...! Aku dapat kelinci...!” teriaknya riang. Gadis itu terus
berlari-lari kecil sambil berteriak-teriak riang memanggil ayahnya.
Tapi tak terdengar sahutan sedikit pun juga. Dan mendadak saja, gerakan
kakinya terhenti dengan kedua bola mata jadi terbeliak lebar.
“Ayah...!” Gadis itu jadi terpekik, begitu melihat sesosok tubuh
tertelungkup dengan kepala hampir terbelah dua. Darah tampak mengucur
membasahi rerumputan. Kelinci yang berada dalam genggaman tangannya langsung
terlepas. Gadis itu tidak menghiraukannya lagi, dan cepat berlari serta
menubruk tubuh laki-laki tua yang tergeletak tidak bernyawa lagi.
“Ayah...!”
“Dia sudah mati....”
“Oh...?!”
Gadis manis itu tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja terdengar suara dari
depannya. Cepat wajahnya diangkat. Dan kedua bola matanya seketika jadi
terbeliak lebar, begitu melihat seseorang tahu-tahu sudah berdiri tidak jauh
di depannya. Seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Wajahnya
kelihatan cukup tampan, tapi sorot matanya begitu tajam. Bibirnya yang agak
memerah, menyunggingkan sebuah senyuman lebar. Tapi di mata gadis manis itu,
senyuman pemuda ini bagaikan sebuah seringai serigala yang melihat anak
domba gemuk. Sorot matanya memancarkan cahaya yang begitu dingin!
“Sungguh beruntung. Sudah terlalu lama aku tidak pernah lagi menyentuh
wanita.”
“Oh...?!” Gadis itu jadi terperanjat mendengar kata-kata yang bisa
mendirikan bulu kuduk. Cepat dia bangkit berdiri, dan melangkah mundur.
Seketika wajahnya memucat, dan seluruh tubuhnya menggeletar. Naluri
kewanitaannya saat itu juga mengatakan kalau dirinya dalam bahaya.
“Jangan takut, Manis. Aku tidak akan menyakitimu. Justru aku akan membawamu
mengarungi lautan indah yang tidak akan bisa kau lupakan,” kata pemuda itu
dengan bibir terus menyeringai lebar.
“Oh, tidak....”
Perlahan pemuda yang berbaju biru gelap itu melangkah mendekati. Sedangkan
gadis berwajah manis ini terus melangkah mundur dengan tubuh bergetar hebat.
Dan tiba-tiba saja, pemuda itu melompat cepat sekali. Akibatnya gadis
berusia sekitar delapan belas tahun itu jadi terpekik kaget setengah mati.
Tapi belum lagi hilang rasa keterkejutannya, mendadak saja pergelangan
tangannya sudah dicekal erat pemuda itu.
“Ouwh...! Lepaskan!” sentak gadis itu ketakutan.
“He he he...!”
“Auwh...!”
Hanya sekali sentak saja, gadis itu sudah berada dalam pelukan. Dia meronta
sambil menjerit-jerit, berusaha melepaskan diri. Tapi, pelukan pemuda itu
sangat kuat. Dan....
Brukkk!
“Akh...!”
Mereka jatuh bergulingan di tanah berumput ini. Tapi pelukan pemuda itu
tidak juga terlepas. Bahkan semakin erat saja memeluk pinggang ramping ini.
Mereka bergulingan beberapa kali. Dan sebentar kemudian, pemuda itu sudah
menghimpit tubuh mungil gadis ini dengan tubuhnya yang kekar.
“Diamlah, Manis. Kau akan merasakan sesuatu yang membuat dirimu melambung
ke langit tingkat tujuh...,” desah pemuda itu dengan napas mulai
memburu.
“Tidak! Jangaaan...!”
“He he he...!”
Bret!
“Auw...!”
“Aaah...!
Tidak kusangka, ternyata kau memiliki tubuh yang indah sekali...,” desah
pemuda itu. Bola matanya tampak liar merayapi bagian dada yang terbuka
membusung lembut, dengan jakun turun naik.
“Jangan...,” gadis itu hanya bisa merintih, memohon belas kasihan. Tapi,
kedua bola mata pemuda itu sudah semakin menjilati gumpalan daging terbalut
kulit putih halus yang berbentuk indah setelah baju bagian dada gadis ini
berhasil direnggutnya. Sinar matanya semakin terlihat liar saja. Dengan
brutal, diterkamnya gadis itu. Lalu dengan sikap kasar sekali, di
cabik-cabiknya seluruh pakaiannya, hingga tidak ada lagi sehelai benang pun
yang melekat.
“Jangan.... Aku mohon, jangan sakiti aku...,” rintih gadis itu
memelas.
Air mata gadis malang ini sudah berlinang deras membanjiri pipinya yang
putih halus. Tapi, pemuda itu tidak mempedulikan rintihannya. Bahkan semakin
brutal saja. Kedua tangannya terus bergerak liar mene-lusuri setiap lekuk
tubuh berkulit putih halus ini. Akibatnya, gadis itu jadi menggelinjang dan
merintih lirih memohon belas kasihan. Gadis itu memejamkan matanya
rapat-rapat, saat pemuda yang menindihnya mulai melepaskan pakaiannya
sendiri. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk memberontak melepaskan
diri. Dia hanya dapat merintih dan menangis memohon belas kasihan. Tapi
semua itu hanya membuat gemuruh di dada pemuda ini menggelegak. Nafasnya
sudah mulai mendengus memburu. Jari-jari tangannya semakin liar, merayap ke
seluruh tubuhnya.
“Tolong..., jangan....” Sia-sia saja gadis itu merintih dan memohon, ketika
pemuda itu tidak bisa lagi mengendalikan diri.
Nafsunya sudah demikian membara, melihat tubuh putih halus yang polos tanpa
penutup sedikit pun juga. Sama sekali tidak dihiraukannya rintihan gadis
ini. Setan memang telah menguasai seluruh jiwanya. Hingga akhirnya....
“Aaakh...!”
Diiringi jeritan panjang yang melengking tinggi, gadis itu seketika
mengejang kaku dengan mata terbeliak lebar. Dan saat itu juga, tubuhnya jadi
lemas bagaikan sekuntum bunga yang dipetik oleh tangan jahil. Air matanya
semakin deras mengalir, membasahi pipinya. Dia merasakan sesuatu yang sama
sekali belum pernah dialami. Rasa nyeri yang amat sangat di antara lipatan
kedua pahanya. Ada sesuatu yang telah hilang pada dirinya, sehingga membuat
seluruh hatinya hancur berkeping-keping. Lemas sudah seluruh tubuhnya
menghadapi kenyataan ini. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali hanya
menangis dan meringis merasakan nyeri. Bukan saja pada bagian lipatan kedua
pahanya, tapi seluruh tubuhnya juga.
Sedangkan pemuda itu semakin liar saja. Bahkan seluruh tubuhnya sudah
bersimbah keringat, dan nafasnya semakin keras memburu. Namun tidak berapa
lama kemudian, dia melenguh panjang. Seluruh tubuh mengejang kaku, lalu
jatuh lunglai di samping tubuh berkulit putih halus itu. Hanya beberapa saat
pemuda itu menggeletak mengatur pernapasannya kembali, kemudian bergegas
mengenakan pakaiannya. Bibirnya tampak tersenyum lebar melihat tubuh putih
halus yang polos tergolek disampingnya.
“He he he...!” “Iblis! Binatang...! Kubunuh kau...!” jerit gadis itu jadi
kalap.
Dan tiba-tiba saja, gadis itu bangkit. Langsung diterkamnya pemuda ini.
Tapi pada saat yang bersamaan, pemuda itu cepat sekali mengibaskan tangan
kanannya. Hingga...
Plak!
“Akh...!”
Gadis manis itu terpekik kecil, begitu tangan kanan pemuda ini menghantam
tepat di wajahnya. Seketika tubuhnya terlempar ke belakang, sejauh beberapa
langkah.
“Huh! Kau memang tidak ada gunanya! Hih...!”
Sambil mendengus, pemuda itu kembali me-ngebutkan tangan kanannya. Dan saat
itu juga, dari tangannya melesat cepat sebuah benda berbentuk pisau kecil.
Dan....
Crab!
“Aaa...!”
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar begitu menyayat,
ketika pisau kecil itu menancap dalam di dada gadis manis ini. Hanya
sebentar gadis itu bisa bergerak, sesaat kemudian sudah mengejang kaku dan
diam tak bergerak-gerak lagi.
“Setan keparat...! Tidak ada seorang pun yang bisa berguna untukku!” dengus
pemuda itu bernada kesal.
Sebentar dia memandangi dua tubuh yang tergeletak tak bernyawa lagi,
kemudian cepat melangkah pergi, tanpa menghiraukan dua sosok tubuh tak
bernyawa itu. Sebentar saja, keadaan di tepian hutan kaki lereng Gunung
Granggang ini jadi sunyi.
***
Desa Granggang yang berada di bawah kaki Gunung Granggang, kembali gempar
setelah ditemukannya dua mayat, tidak jauh dari perbatasan desa yang
merupakan tepian hutan. Dan lebih gempar lagi ketika mengetahui kalau dua
mayat yang ditemukan ternyata warga desa itu. Lebih-lebih, salah satu mayat
ternyata seorang gadis dalam keadaan tubuh tidak berpakaian sama sekali.
Sedangkan mayat satunya lagi, semua orang tahu kalau laki-laki tua itu
adalah ayahnya.
“Keterlaluan...! Ini benar-benar keterlaluan!” geram Ki Langkas, begitu
mendapat laporan tentang dua mayat di tepi hutan itu.
Kepala desa itu benar-benar berang dibuatnya. Belum lama mereka digemparkan
oleh ditemukannya mayat seorang laki-laki tidak dikenal, dan sekarang dua
orang penduduk desa itu tewas dalam keadaan mengenaskan sekali. Tentu saja
kejadian ini membuat Ki Langkas jadi berang setengah mati.
Sementara, enam orang tua pemuka Desa Granggang hanya diam saja dengan
kepala tertunduk lesu. Mereka juga tidak tahu, apa sebenarnya yang sedang
terjadi di desa ini. Sudah tiga orang ditemukan tewas secara mengenaskan,
dalam dua hari ini. Peristiwa pembunuhan yang membuat semua penduduk desa
ini dicekam rasa ketakutan. Dan hari itu juga, suasana desa jadi sunyi
senyap, tanpa ada seorang pun yang berani lagi keluar rumah. Mereka takut
kalau-kalau pembunuh biadab itu muncul dan membantainya dengan kejam.
“Aku minta, kalian semua cari pembunuh keparat itu. Dan aku ingin agar dia
dihukum mati!” perintah Ki Langkas dengan wajah memerah geram.
Enam orang tua yang menjadi pembantunya hanya menganggukkan kepala
saja.
“Tutup desa ini dari pendatang. Aku tidak mau ada seorang pun yang datang
ke desa ini, sebelum pembunuh keparat itu ditangkap!” perintah kepala desa
itu lagi.
Setelah mendapat beberapa perintah lagi, enam orang laki-laki tua yang
menjadi pembantu kepala desa itu meninggalkan rumah Ki Langkas. Setelah
tamunya pergi semua, Ki Langkas bergegas masuk ke dalam kamarnya. Diambil
pedang kesayangannya, dan diikatkan ke pinggang. Tanpa disadari, anak
gadisnya terus memperhatikan. Ki Langkas baru tahu setelah tubuhnya diputar
berbalik. Anak gadisnya yang bernama Intan sudah berada di ambang pintu
kamar ini.
“Dengar, Intan. Ini persoalan pelik. Aku tidak ingin kau ikut campur,” kata
Ki Langkas cepat, sebelum anak gadisnya membuka mulut.
“Aku tidak takut terhadap pembunuh itu, Ayah,” tegas Intan mantap.
“Tapi aku tidak ingin kau ikut campur!” sentak Ki Langkas tegas.
“Ayah....”
“Cukup! Kau di rumah saja. Jaga ibumu.”
Intan langsung bungkam mendengar bentakan ayahnya yang cukup keras itu. Dia
tahu, kalau ayahnya sudah berkata sekasar itu, pasti persoalan yang
dihadapinya tidak ringan. Dan tentunya tidak mungkin bisa didesak lagi.
Intan hanya bisa diam, berdiri memandangi ayahnya yang sudah melangkah cepat
keluar dari kamar ini.
***
Suasana di Desa Granggang semakin kelihatan sunyi. Hanya beberapa orang
saja yang masih kelihatan berada di luar rumah. Itu pun hanya laki-laki. Dan
di pinggang mereka terselip sebilah golok. Sementara Itu, matahari sudah
condong ke arah barat. Sinarnya tidak lagi terik menyengat kulit seperti
tadi. Hanya rona merah jingga saja yang terlihat menyembur di balik bukit.
Begitu indah dipandang mata.
Tapi semua keindahan itu sama sekali tidak dapat dirasakan seluruh penduduk
desa ini. Saat itu, terlihat dua orang laki-laki berjalan perlahan-lahan
dari arah utara Desa Granggang ini. Seorang tampak sudah berusia lanjut. Dan
seorang lagi kelihatan masih muda. Mungkin usianya sekitar dua puluh lima
tahun. Mereka berjalan beriringan tanpa berkata sedikit pun juga. Namun
langkah mereka terhenti, begitu hampir memasuki desa yang kelihatan sunyi
ini.
“Ada apa, Ki? Kenapa berhenti...?” tanya pemuda yang berada di sebelah kiri
laki-laki tua berjubah putih.
“Sepi sekali desa ini. Seperti tidak berpenduduk. Hmmm...,” laki-laki tua
itu hanya menggumam kecil, seakan tidak mendengar pertanyaan pemuda di
sebelahnya.
“Sudah sore, Ki. Barangkali semua orang sudah masuk ke dalam rumah
masing-masing.”
“Tidak.... Aku merasakan....”
Belum lagi selesai kata-kata orang tua berjubah putih itu, tiba-tiba saja
dari balik gerumbul semak belukar dan belakang pohon bermunculan anak-anak
muda dengan senjata terhunus. Mereka langsung saja membentuk barisan,
seperti berusaha menghadang dua orang itu untuk memasuki desa ini. Dan
berdiri paling depan, terlihat enam orang laki-laki berusia sekitar tujuh
puluh tahun lebih, yang semuanya mengenakan baju jubah panjang warna
putih.
Yang membedakan pada penampilan mereka hanya senjata saja. Mereka adalah
para Tetua Desa Granggang ini. Seorang dari mereka yang membawa pedang,
melangkah ke depan beberapa tindak. Dialah Ki Adong, salah seorang pemuka di
desa ini.
“Maaf, siapa kalian berdua. Dan hendak ke mana tujuan kalian..?” tanya Ki
Adong dengan sikap dibuat ramah.
“Aku Ki Anjir. Dan ini Julak. Kami dua orang pengembara yang kebetulan
lewat dan hendak mencari tempat untuk bermalam,” sahut laki-laki tua yang
ternyata Ki Anjir. Sikap dan tutur katanya juga dibuat sopan, mengimbangi
pertanyaan Ki Adong barusan.
“Sayang sekali. Desa ini sudah tertutup bagi para pendatang. Maaf, kami
tidak bisa mengizinkan kalian bermalam di sini,” sambut Ki Adong tegas,
namun masih terdengar ramah.
“Hm, sejak kapan desa ini tertutup...?” agak menggumam suara Ki
Anjir.
“Beberapa hari ini, sering terjadi pembunuhan aneh yang sangat kejam. Dan
kami terpaksa menutup desa ini sampai pembunuh itu tertangkap,” jelas Ki
Adong singkat.
“Pembunuh aneh...?!” Ki Anjir kelihatan terkejut mendengar penjelasan Ki
Adong barusan. Cepat digamitnya tangan Julak sam-pai merapat
dengannya.
“Kalian bukan penduduk desa ini. Maka kuminta pengertian dari kalian
berdua, untuk secepatnya meninggalkan desa ini. Kami tidak ingin terjadi
sesuatu pada kalian,” kata Ki Adong lagi, masih dengan sikap dan kata-kata
sopan.
“Kalau boleh aku tahu, apakah ada ciri-ciri yang sama pada setiap korban
pembunuhan itu...?” tanya Ki Anjir, tanpa menghiraukan pengusiran secara
halus pada dirinya.
“Kenapa kau bertanya seperti itu, Kisanak?” Ki Adong malah balik bertanya.
Kening orang tua itu kelihatan berkerut. Dan sorot matanya memancar lurus ke
bola mata Ki Anjir. Jelas sekali kalau dia menaruh kecurigaan pada Ki
Anjir.
“Terus terang, kami berdua sebenarnya sedang mengejar seseorang. Dia
pembunuh kejam yang sudah banyak menelan korban dengan pedangnya. Dan semua
korbannya tewas akibat tebasan pedang yang hampir membelah kepalanya,” jelas
Ki Anjir singkat.
“Oh...?!” Ki Adong jadi tersentak dan langsung berpaling. Pandangannya
segera dilemparkan pada yang lain. Bukan hanya Ki Adong sendiri yang
terkejut mendengar penjelasan Ki Anjir barusan. Tapi lima orang tua yang
sebaya dengannya, dan berada di belakangnya juga jadi tersentak kaget.
Beberapa saat mereka terdiam dan saling melemparkan pandangan satu sama
lain. Sebentar kemudian Ki Adong kembali menatap Ki Anjir. Kakinya pun
melangkah tiga tindak ke depan, mendekati laki-laki tua berjubah putih yang
datang bersama seorang pemuda itu. Dan untuk beberapa saat lamanya, mereka
semua terdiam. Tidak ada yang bicara sedikit pun juga. Terdengar helaan
napas Ki Adong beberapa kali.
“Beberapa pembunuhan yang terjadi di sini, semua korbannya memang tewas
akibat luka yang hampir membelah kepalanya,” terdengar pelan suara Ki Adong,
seakan bicara untuk diri sendiri.
“Oh, benarkah...?!” kali ini Ki Anjir yang terkejut. Padahal, sejak tadi Ki
Anjir sudah menduga kalau orang yang selama ini dikejarnya ada di Desa
Granggang. Tapi, tetap saja dia jadi terkejut. Terlebih lagi, setelah Ki
Adong menceritakan tanpa diminta. Kali ini yang menjadi korban bukan hanya
para pendekar, tapi juga orang-orang biasa yang tidak mengenal ilmu olah
kanuragan. Hal inilah yang membuat Ki Anjir jadi terpaku diam. Dan kembali
mereka terdiam membisu.
Sementara, matahari sudah semakin jauh tenggelam ke balik cakrawala sebelah
barat. Keremangan mulai terasa menyelimuti seluruh Desa Granggang ini.
Sedangkan Ki Anjir masih tetap terpaku dengan kening kelihatan berkerut
begitu dalam. Beberapa kali nafasnya ditarik dalam-dalam, dan dihembuskannya
kuat-kuat. Sementara Julak yang sejak tadi tidak beranjak dari samping
laki-laki tua itu hanya membisu saja, entah apa yang ada dalam pikirannya.
Pemuda itu beberapa kali memperhatikan raut wajah Ki Anjir lewat sudut ekor
matanya.
“Ki...,” terdengar agak tersekat suara Julak. Ki Anjir berpaling sedikit,
langsung menatap laki-laki di sebelahnya ini.
“Sebaiknya kita memang tidak perlu masuk ke desa ini. Kita tunggu saja dia
di sana,” kata Julak memberi usul, sambil menunjuk ke arah hutan.
“Hm...,” Ki Anjir hanya menggumam saja sedikit. Sebentar orang tua itu
memandangi Julak, kemudian beralih pada Ki Adong dan lima orang laki-laki
tua yang masih berdiri berjajar di belakang Ki Adong. Sementara, puluhan
anak-anak muda masih tetap berada di belakang mereka. Semuanya sudah
menggenggam senjata yang terhunus dari warangka.
“Ayo kita pergi, Julak,” ujar Ki Anjir akhirnya. Setelah berbasa-basi
sebentar, Ki Anjir mengajak Julak meninggalkan perbatasan Desa Granggang
itu.
Sementara, Ki Adong dan yang lain masih tetap berada di sana memandangi
kepergian dua orang itu. Tampak jelas sekali dari pandangan mata, kalau Ki
Adong sebenarnya tidak ingin mencegah Ki Anjir dan Julak masuk ke desa ini.
Dia percaya, kedua orang itu bukanlah pembunuh biadab yang sudah
menggemparkan Desa Granggang ini. Tapi, dia tidak bisa berbuat lebih banyak
lagi. Apalagi, menentang keputusan yang sudah ditetapkan kepala desa.
“Kalian sebaiknya pulang saja. Biar aku yang menjaga di sini,” ujar Ki
Adong tanpa berpaling sedikit pun.
“Aku akan menggantikanmu nanti setelah gelap, Ki,” ujar seorang laki-laki
tua di belakangnya yang membawa senjata berupa tombak pendek.
Ki Adong hanya tersenyum saja. Begitu tipis senyumannya, sehingga hampir
tidak terlihat. Dan dia masih tetap berdiri tegak tidak bergeming sedikit
pun. Tapi telinganya masih mendengar langkah-langkah kaki di belakang yang
semakin menjauh meninggalkannya.
***
TIGA
Malam terus merambat, menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Granggang.
Kesunyian begitu terasa mencekam. Hanya jerit serangga malam saja yang
terdengar. Tapi keadaan di desa itu kelihatan terang-benderang, seperti
tengah mengadakan sebuah pesta. Obor-obor terlihat menyala, terpancang di
setiap sudut dan jalan-jalan di desa itu. Bahkan tidak satu rumah pun yang
tidak menyalakan pelita.
Namun suasananya begitu sunyi. Hanya beberapa orang saja yang terlihat. Dan
itu pun tengah berjaga-jaga dengan senjata golok atau tombak. Mereka semua
adalah anak muda yang menjadi murid enam orang pemuka desa ini. Suasana desa
yang tidak biasanya ini, menjadi perhatian seorang laki-laki berusia sekitar
tiga puluh tahun. Dia tampak berdiri tegak di atas bukit sebelah timur Desa
Granggang.
Pakaian laki-laki itu terlihat bersih dan bagus. Dan tampaknya, terbuat
dari bahan sutera yang sangat halus berwarna putih keperakan. Tampak sebilah
pedang tergantung di pinggangnya yang ramping, namun sangat berotot dan
padat berisi. Sorot matanya terlihat sangat tajam, memandangi keadaan Desa
Granggang dari atas bukit ini. Memang, terlihat jelas sekali keadaan desa
itu dari atas bukit ini.
“Hm.... Ada enam orang yang harus kuhadapi di sana. Tapi..., yang paling
utama adalah kepala desanya. Hmmm.... Dia bisa belakangan. Yang penting,
pembantu-pembantunya dulu yang enam orang itu...,” gumam pemuda itu bicara
pada diri sendiri.
Pandangannya tertuju lurus pada sebuah rumah berukuran cukup besar.
Berhalaman sangat luas, dan dipagari belahan bambu. Rumah itu kelihatan
terang oleh cahaya pelita dan obor yang terpancang di setiap sudut halaman.
Terlihat juga beberapa orang bersenjata golok tengah berjaga-jaga di sekitar
halaman rumah itu.
“Ki Manik..., tunggulah. Aku akan datang malam ini,” kembali pemuda itu
menggumam perlahan.
Beberapa saat dia masih berdiri tegak di atas bukit itu, dan sebentar
kemudian menghembuskan napas berat. Lalu bagaikan kilat, tubuhnya melesat
turun dari puncak bukit yang tidak seberapa tinggi itu. Sungguh cepat sekali
gerakannya, sehingga dalam waktu sekejapan mata saja sudah berada di kaki
bukit ini. Dan hanya tinggal beberapa batang tombak lagi jaraknya, gerbang
perbatasan yang dijaga sekitar enam orang anak muda bersenjata tombak sudah
terlihat. Pemuda itu berhenti sebentar, memandangi enam orang pemuda yang
menjaga gerbang masuk ke Desa Granggang dari sebelah timur ini.
Kemudian....
“Hup!” Hanya sekali lesatan saja, pemuda itu meluncur bagaikan sebatang
anak panah lepas dari busurnya. Begitu tinggi ilmu meringankan tubuhnya,
sehingga gerakannya bisa seperti angin. Bahkan kedua telapak kakinya seperti
tidak menjejak tanah sama sekali, seakan-akan berlari di atas angin.
“Hei, berhenti...!”
Baru saja pemuda tampan itu mendekati gerbang perbatasan ini, sudah
terdengar bentakan yang cukup keras dan mengejutkan. Seketika gerakan
larinya berhenti. Dan saat itu juga, terlihat enam orang anak muda yang
menjaga gerbang perbatasan desa ini berlari-lari kecil menghampiri. Mereka
baru berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi di depan
pemuda berbaju putih keperakan ini.
“Siapa kau?! Mau apa kau malam-malam datang ke sini...?!” tanya salah
seorang dengan nada suara agak membentak.
“Hm...,” pemuda itu hanya menggumam saja sedikit. Sorot matanya terlihat
begitu tajam, merayapi enam orang di depannya yang sudah mengarahkan tombak
dan langsung diarahkan ke dada. Tapi pemuda berwajah cukup tampan dan
memiliki sorot mata sangat tajam ini hanya diam saja, tanpa bergeming
sedikit pun juga. Padahal, enam buah ujung mata tombak begitu dekat di
dadanya.
“Heh! Ditanya malah mendelik...!” bentak pemuda yang berada paling
depan.
“Minggir! Aku tidak punya urusan dengan kalian!” pemuda berbaju putih
keperakan itu malah balik membentak.
“Heh...?!” Enam orang pemuda itu jadi tersentak. Seketika mereka
berlompatan ke belakang sejauh tiga langkah, mendengar bentakan yang begitu
dingin dan datar sekali. Membuat jantung mereka seketika jadi
bergetar.
“Minggir kataku! Jangan sampai kesabaranku hilang...!” bentak pemuda itu
lagi, sedikit mengancam.
“Setan...! Berani kau kurang ajar di...!”
“Huh!” Belum juga habis bentakan itu, pemuda berbaju putih keperakan ini
sudah mendengus. Dan tiba-tiba saja dia melesat begitu cepat sambil mencabut
pedangnya. Bagaikan kilat, pedangnya dikebutkan beberapa kali ke arah enam
orang pemuda itu. Begitu cepat gerakannya sehingga enam orang pemuda yang
berjaga di gerbang perbatasan ini hanya bisa terperangah saja.
Wuk! Bet!
Tidak terdengar lagi suara sedikit pun juga. Dan tahu-tahu enam orang anak
muda berusia sekitar dua puluh tahun itu sudah ambruk bergelimpangan,
setelah kepalanya terbabat hampir terbelah menjadi dua bagian. Seketika
tanah tersiram darah yang mengucur deras dari kepala-kepala yang terbelah
itu.
Cring!
“Huh!”
Sambil mendengus berat, pemuda berbaju putih keperakan ini memasukkan
pedangnya kembali ke dalam warangka di pinggang. Kemudian kakinya melangkah
tenang memasuki Desa Granggang, tanpa sedikit pun berpaling ke arah enam
orang korbannya yang bergeletakan dengan kepala terbelah berhamburan darah.
Ayunan kakinya begitu mantap dan tenang. Dan sorot matanya tidak berkedip
sedikit pun juga, menatap lurus ke sebuah rumah berukuran cukup besar
berhalaman luas yang dipagari belahan bambu.
Sejak dari atas bukit tadi, perhatiannya memang tidak terlepas dari rumah
yang kelihatan terang-benderang oleh cahaya pelita dan obor ini. Dia baru
berhenti melangkah, setelah tiba di bagian samping halaman rumah yang
berpagar belahan bambu ini. Sebentar matanya beredar ke sekeliling, merayapi
sekitarnya.
Pemuda itu berdiri tegak di balik sebatang pohon yang cukup besar, sehingga
melindungi dirinya dari gemerlapnya cahaya api obor dan pelita. Malam ini,
langit pun kelihatan begitu cerah, bertaburkan bintang dan cahaya bulan.
Tapi sosok tubuh pemuda itu terlindung bayang-bayang pohon. Beberapa saat
dia masih berdiri tegak di sana merayapi keadaan sekitarnya. Dan sebentar
kemudian....
“Hup!”
Begitu tinggi ilmu meringankan tubuh yang dimiliki pemuda itu. Sehingga
hanya sekali lesatan saja, dia sudah bisa mencapai atap rumah ini. Namun
baru saja menjejakkan kakinya di atas atap dengan ringan, sudah terdengar
bentakan keras dari dalam rumah.
“Siapa itu...?!”
Pemuda berbaju putih keperakan itu jadi tersentak kaget setengah mati.
Padahal, tadi ilmu meringankan tubuhnya sudah dikerahkan penuh. Bahkan
sedikit pun tidak terdengar suara saat kakinya menjejak atap tadi. Tapi,
rupanya masih saja ada yang mendengar. Dan belum juga rasa keterkejutannya
bisa dihilangkan mendadak saja....
“Heh...?!”
Brus!
Brak!
“Hup...!”
Cepat sekali pemuda berbaju putih keperakan itu melenting, tepat ketika
telinganya mendengar suara hembusan angin yang begitu kencang dari bawah
atap ini. Dan pada saat itu juga, terlihat atap bangunan rumah besar itu
hancur berkeping-keping, berhamburan tinggi ke udara dan menyebar ke segala
arah.
Sementara pemuda itu berputaran beberapa kali di udara, lalu manis sekali
menukik turun. Dan tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kembali sepasang
kakinya menjejak tanah. Namun pada saat yang bersamaan, terlihat sebuah
bayangan putih berkelebat cepat keluar dari atas atap. Bayangan putih itu
berputaran beberapa kali di udara. Lalu dengan gerakan cepat dan indah
sekali bayangan itu menukik turun, dan langsung mendarat manis sekitar dua
batang tombak dari pemuda berbaju putih keperakan ini.
Ternyata bayangan yang baru keluar dari dalam rumah dengan menjebol atap
tadi seorang laki-laki berusia lebih dari tujuh puluh tahun. Bajunya jubah
panjang berwarna putih. Dan dia adalah salah seorang Tetua Desa Granggang
ini. Dan semua orang mengenalnya sebagai Ki Manik. Seutas cambuk berwarna
hitam dan berbulu halus, tergenggam menggulung di tangan kanannya.
“Siapa kau...?!” terdengar begitu dalam nada suara Ki Manik.
“Aku malaikat yang akan mencabut nyawamu!” sambut pemuda itu. Jawabannya
terdengar dingin sekali.
“Heh...?!” Ki Manik jadi terlonjak kaget. Begitu terkejutnya, sampai-sampai
terlompat beberapa langkah ke belakang. Kedua bola matanya jadi berputaran,
memandangi seluruh tubuh pemuda di depannya, seakan-akan tidak percaya
dengan penglihatannya sendiri.
“Bersiaplah menerima kematianmu, Ki Manik. Malaikat Pencabut Nyawa sudah
datang menunaikan tugas,” kata pemuda itu, masih dengan nada dingin
sekali.
“Phuih! Walaupun berganti nama seribu kali, aku tahu kau yang sebenarnya,
Randataka!” dengus Ki Manik agak gusar.
“Bagus...! Aku senang masih ada yang bisa mengenaliku. Buatlah kematianmu
senyaman mungkin, Ki Manik. Malam ini juga, aku akan mencabut
nyawamu.”
Sret!
Cring!
Setelah berkata demikian, pemuda berbaju putih keperakan yang dikenali Ki
Manik bernama Randataka langsung meloloskan pedangnya yang tergantung di
pinggang. Pedang bercahaya keperakan itu seketika membuat kelopak mata Ki
Manik jadi berkerut menyipit.
“Sambutlah kematianmu sekarang, Ki Manik! Hiyaaat...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Randataka melompat cepat mengebutkan
pedangnya mengarah ke leher. Begitu cepat sekali sabetan pedangnya, hingga
membuat Ki Manik jadi terperangah sesaat. Tapi cepat sekali kepalanya
diegoskan, hingga tebasan pedang pemuda itu hanya lewat sedikit saja di
depan tenggorokannya.
“Hup!”
Ki Manik cepat-cepat melompat ke belakang, dan langsung saja mengebutkan
cambuknya ke depan, tepat di saat Randataka yang memperkenalkan diri sebagai
Malaikat Pencabut Nyawa sudah melesat sambil memutar pedangnya dengan
kecepatan luar biasa.
Ctar!
“Haiiit...!”
Bet!
“Heh...?!”
Ki Manik jadi tersentak kaget setengah mati, begitu melihat Randataka malah
memapak kebutan cambuknya dengan pedang. Dan cepat-cepat cambuknya ditarik
kembali. Tapi, gerakannya memang sudah terlambat. Dan....
Tes!
“Ikh...!”
Ki Manik jadi terpekik kecil, begitu melihat cambuknya terpenggal tepat di
tengah-tengahnya. Dan belum lagi hilang rasa keterkejutannya, pemuda
berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa itu sudah melesat cepat. Dan saat itu juga
pedangnya dikebutkan ke arah kepala laki-laki tua Tetua Desa Granggang
itu.
“Hiyaaat...!”
“Hah...?!”
Ki Manik hanya bisa terperangah dengan kedua bola mata terbeliak dan mulut
ternganga lebar. Dan saat itu juga....
Cras!
“Hegkh...!”
Hanya keluhan kecil saja yang terdengar, ketika batok kepala Ki Manik
terbabat pedang tepat pada bagian tengah keningnya. Untuk sesaat, orang tua
itu masih bisa berdiri. Namun sebentar kemudian tubuhnya jadi limbung, lalu
ambruk menggelepar di tanah dengan kepala terbelah menjadi dua bagian. Darah
langsung berhamburan membanjiri tanah yang sedikit berumput ini. Ki Manik
menggelepar beberapa saat, kemudian diam mengejang kaku tak bergerak-gerak
lagi. Nyawanya langsung melayang saat itu juga. Sementara, Randataka tetap
berdiri tegak memandangi.
“Huh!”
Sambil mendengus berat, Malaikat Pencabut Nyawa melesat begitu cepat
mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Begitu cepatnya, hingga dalam sekejap mata saja bayangan tubuhnya sudah
lenyap tak terlihat lagi. Dan pada saat itu juga, murid-murid Ki Manik
berdatangan. Mereka kontan jadi terperanjat setengah mati begitu melihat
gurunya sudah tergeletak tak bernyawa lagi dengan kepala terbelah berlumur
darah.
“Ki...!”
Seluruh penduduk Desa Granggang kembali digemparkan oleh kematian Ki Manik.
Ki Langkas yang menjadi kepala desa juga jadi geram setengah mati. Belum
lagi pembunuh itu bisa dibekuk, kini salah seorang pembantunya sudah tewas
dengan kepala terbelah menjadi dua bagian pada keningnya. Sungguh kematian
yang sangat mengenaskan!
Dari beberapa orang murid, Ki Langkas tahu kalau Ki Manik bertarung dengan
seseorang semalam. Sayangnya, tidak ada seorang pun dari murid-murid Ki
Manik yang melihat jalannya pertarungan. Mereka semua mengatakan kalau
pertarungan berjalan cepat. Dan begitu mereka sampai, Ki Manik sudah
mengeletak tak bernyawa lagi. Sedangkan orang yang bertarung dengannya sudah
lenyap, entah ke mana.
Kegemparan yang terjadi di Desa Granggang dan kematian Ki Manik yang begitu
mengenaskan, sempat juga didengar Ki Anjir dan Julak yang tetap berada tidak
jauh dari batas Desa Granggang ini. Mereka mengetahui semua itu dari seorang
perambah hutan yang tinggal di desa ini.
“Sepertinya ada yang dicarinya di desa ini, Ki,” kata Julak setelah
perambah hutan itu tidak terlihat lagi, tenggelam ke dalam hutan yang cukup
lebat membatasi desa.
“Desa Granggang memang terkenal, karena banyak melahirkan pendekar muda dan
tangguh. Dan kau tahu, Julak. Mereka yang mencegat kita di perbatasan desa
adalah orang-orang tua yang berilmu sangat tinggi. Dari tangan merekalah
banyak lahir pendekar tangguh yang kini tersebar hampir di seluruh jagat
ini,” jelas Ki Anjir memberi tahu.
“Tapi, apa maksudnya dia membantai di desa ini, Ki?” tanya Julak
lagi.
“Mungkin dia beranggapan, desa ini adalah sumber dari para penegak
keadilan. Dan kau tahu, Malaikat Pencabut Nyawa ingin menumpas habis para
pendekar. Sehingga mereka yang berjalan pada aliran hitam bisa bebas berbuat
semaunya,” kembali Ki Anjir menjelaskan.
“Huh! Seperti hanya dia saja yang paling jago di dunia ini, Ki,” terdengar
agak mendengus nada suara Julak.
“Tapi memang harus diakui, Malaikat Pencabut Nyawa memiliki kepandaian
sangat tinggi. Aku sendiri rasanya belum tentu unggul bila berhadapan
dengannya,” Ki Anjir mengakui tulus.
“Kalau merasa sudah tidak mampu, kenapa masih saja mengejarnya, Ki?” tanya
Julak.
Ki Anjir tidak langsung menjawab. Ditariknya napas panjang-panjang, lalu
dihembuskannya kuat-kuat. Pandangannya jadi lurus ke depan. Begitu kosong
cahaya matanya. Sementara, Julak hanya memandangi saja dari sebelah kanan.
Dia duduk di atas sebatang kayu yang sudah tumbang, agak jauh dari Ki Anjir.
Orang tua itu duduk di atas rerumputan di bawah pohon beringin yang cukup
besar dan lebat daunnya, hingga melindungi dirinya dari sengatan sinar
matahari.
Perlahan Ki Anjir bangkit berdiri. Sementara, Julak masih tetap duduk
memandangi orang tua itu. Dia tidak mengerti, kenapa Ki Anjir begitu ingin
bertemu orang yang selama ini dikejar, yang selalu menjuluki diri sebagai
Malaikat Pencabut Nyawa. Dan setiap kali hal itu ditanyakan, Ki Anjir selalu
tidak bisa menjawab. Bahkan raut wajahnya kelihatan jadi begitu mendung,
seperti ada sesuatu yang tengah terjadi pada dirinya. Sesuatu yang mungkin
berhubungan dengan si Malaikat Pencabut Nyawa.
“Ayo kita ke Desa Granggang, Julak,” ajak Ki Anjar.
“Untuk apa, Ki? Penduduk desa itu tidak mau menerima kita di sana. Malah,
bisa-bisa kita yang dituduh,” tolak Julak tegas.
“Aku akan menemui kepala desanya. Mudah-mudahan saja, dia mau mengerti.
Lagi pula, tujuan kedatangan kita justru ingin membantu mereka membebaskan
diri dari cengkeraman si Malaikat Pencabut Nyawa,” kata Ki Anjir mencoba
meyakinkan.
“Tapi, Ki....”
“Kau tidak mau ikut...?”
Julak jadi ragu-ragu juga. Sungguh mati, dia tidak sudi ditinggal sendirian
dalam hutan ini. Apa lagi dia tahu, Kamdan yang juga teman seperjalanan ini
sudah tewas di tangan si Malaikat Pencabut Nyawa itu. Dan itu diketahui
setelah mendapat keterangan dari beberapa penduduk Desa Granggang. Makanya,
dia tidak ingin nasibnya sama seperti Kamdan.
Entah kenapa, selama berjalan bersama orang tua itu, mereka sama sekali
tidak pernah bertemu Malaikat Pencabut Nyawa yang telah membantai puluhan
orang. Dan kebanyakan yang dibantainya adalah para pendekar-pendekar kondang
dalam kalangan rimba persilatan. Tapi kali ini, Malaikat Pencabut Nyawa
sudah menjarah Desa Granggang. Bahkan sudah mencabut beberapa nyawa penduduk
di desa ini. Lalu, Kamdan pun ikut jadi korban.
Sementara, Ki Anjir sudah melangkah meninggalkan tepian hutan ini. Dan
Julak bergegas bangkit berdiri, lalu berjalan cepat mengikuti. Sebentar
saja, dia sudah berada di sebelah kanan orang tua itu. Ayunan kakinya
disejajarkan agar tidak tertinggal. Walaupun Ki Anjir usianya jauh lebih
tua, tapi tingkat kepandaian yang dimiliki memang jauh di atasnya. Tidak
heran kalau Julak sebentar-sebentar harus berlari kecil agar tidak
tertinggal.
“Mereka pasti tidak mau menerima kita lagi, Ki,” kata Julak seperti
mengingatkan kejadian kemarin.
Mereka memang pernah datang ke desa itu kemarin, tapi telah lebih dulu
dicegat dan tidak boleh masuk ke sana. Waktu itu, Ki Anjir memang mengalah.
Dia tidak ingin terjadi keributan, walaupun di dalam hati merasa kecewa
juga. Tapi semua kekecewaan itu ditelannya, dan berusaha untuk memahami
keadaan yang tengah terjadi di sana.
“Mudah-mudahan kali ini mereka mau mengerti, Julak. Aku merasa kalau di
desa ini kita bisa bertemu Malaikat Pencabut Nyawa,” tegas Ki Anjir.
“Kalau memang tetap menolak, Ki...?” tanya Julak ingin tahu.
Ki Anjir tidak menjawab, dan terus melangkah tanpa membuka suara lagi.
Sementara, Julak juga tidak mendesak. Dan kini, mereka sudah tiba di
perbatasan desa. Sungguh mengherankan, tidak ada seorang pun dijumpai di
sini. Padahal mereka kemarin dicegat puluhan orang. Ki Anjir menghentikan
langkahnya. Keningnya seketika terlihat berkerut saat melihat seorang pemuda
dan seorang gadis tengah duduk di bawah pohon sambil menikmati makanan yang
terbungkus daun waru.
Tidak jauh dari mereka duduk, terlihat dua ekor kuda sedang merumput. Dari
pakaian dan senjata yang disandang, bisa dipastikan kalau mereka dari
kalangan rimba persilatan. Dan kehadiran Ki Anjar dan Julak, membuat kedua
anak muda itu menghentikan makannya. Bahkan yang pemuda segera bangkit
berdiri, setelah membersihkan tangannya dari air di dalam kendi tanah liat.
Kemudian, kakinya melangkah tenang menghampiri. Sedangkan gadis yang tadi
makan bersamanya, segera membereskan bekas-bekas mereka.
“Kenapa kalian makan di sini?” Ki Anjir langsung saja bertanya, begitu
pemuda berwajah tampan berbaju rompi putih itu sudah berada dekat di
depannya. Pemuda itu menjura dengan membungkuk sedikit, memberi salam
penghormatan. Ki Anjir segera membalas dengan membungkukkan tubuhnya juga.
Tampak sebilah gagang pedang berbentuk kepala burung tersembul dari
punggungnya, saat pemuda itu menjura tadi.
“Sebenarnya kami ingin makan di kedai. Tapi, beberapa orang mencegat dan
melarang kami masuk ke desa itu,” sahut pemuda itu lembut, sambil menunjuk
ke arah Desa Granggang yang sudah terlihat
“Dan makanan itu, dari mana kalian dapatkan?” tanya Ki Anjir lagi.
“Pemilik kedai yang mengantarkannya, setelah aku mengatakan hanya ingin
singgah sebentar dan mencari kedai.”
Ki Anjir mengangguk-anggukkan kepala sebentar. “Kau bukan orang sini?”
tanya orang tua itu lagi.
“Benar. Kami berdua pengembara yang kebetulan saja lewat.”
“Hm....”
“Ada apa, Ki?” tanya pemuda itu.
Ki Anjir tidak langsung menjawab. Dipandanginya pemuda di depannya ini dari
ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara, gadis yang bersama pemuda itu
sudah berdiri disebelah kanannya. Ki Anjir juga memandangi gadis berwajah
cantik berbaju biru muda itu. Tampak di balik ikat pinggangnya terselip
sebuah kipas yang terbuat dari baja putih keperakan. Dan di punggungnya juga
tersandang sebilah pedang bergagang kepala seekor naga berwarna hitam
berkilatan.
“Siapa nama kalian...?” tanya Ki Anjir.
“Rangga. Dan ini adikku. Namanya, Pandan Wangi.”
Kembali Ki Anjir mengangguk-anggukkan kepala. Dia juga kemudian
memperkenalkan diri, dan memperkenalkan Julak yang berada di sebelah
kirinya. Sementara itu, tidak jauh di dalam desa, terlihat beberapa anak
muda terus mengamati mereka berempat. Dan di antara anak-anak muda yang
jumlahnya sekitar dua puluh orang itu, terlihat Ki Adong bersama Ki Langkas.
Kedua orang itu seperti tengah berbincang-bincang. Tapi, perhatian mereka
terus tertuju pada keempat orang yang berada di pinggiran desa
itu.
***
EMPAT
Pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga dan lebih dikenal sebagai
Pendekar Rajawali Sakti, mengajak Ki Anjir dan Julak untuk duduk di bawah
pohon beringin yang cukup rindang. Sehingga, mereka terlindung dari sengatan
cahaya matahari yang begitu terik siang ini. Mereka duduk membentuk setengah
lingkaran.
Sementara Pandan Wangi yang di kalangan rimba persilatan dikenal berjuluk
si Kipas Maut, menyediakan arak manis dari sebuah bumbung bambu yang didapat
dari pemilik kedai di Desa Granggang. Mereka bukannya tidak tahu kalau
terus-menerus diawasi dari desa. Tapi, Ki Anjir sudah mengatakan agar tidak
mempedulikan. Dan ini membuat kening Rangga jadi berkerut. Pendekar Rajawali
Sakti benar-benar tidak mengerti sikap semua orang di Desa Granggang ini.
Tadi, dia dicegat dan tidak diizinkan masuk ke dalam desa itu. Dan sekarang,
Ki Anjir memintanya agar tidak mempedulikan mereka yang tengah
mengawasi.
“Sebenarnya apa yang sedang terjadi di desa itu, Ki?” tanya Pandan Wangi
seraya melirik ke arah Desa Granggang.
“Pembunuhan...,” sahut Ki Anjir pelan, terdengar seperti terputus
suaranya.
“Pembunuhan...?” kening Pandan Wangi jadi berkerut.
“Malaikat Pencabut Nyawa merajalela. Sudah puluhan orang yang dibunuh. Dan
kebanyakan dari korbannya adalah pendekar,” selak Julak cepat, sebelum Ki
Anjir bisa membuka suaranya.
Sementara Pandan Wangi menatap Rangga yang sejak tadi diam saja. Entah, apa
yang ada dalam kepala Pendekar Rajawali Sakti itu. Keningnya kelihatan
sedikit berkerut, pertanda tengah memikirkan sesuatu. Sementara, Ki Anjir
jadi terdiam membisu. Wajahnya lalu berpaling ke arah Desa Granggang. Dan
pandangannya jadi terpaku saat melihat seorang laki-laki berusia sebaya
dengannya berjalan menghampiri.
Sementara, beberapa orang terlihat mengawasi dari kejauhan. Rangga juga
mengangkat kepala begitu telinganya yang tajam mendengar ayunan langkah kaki
menuju ke arah pohon ini. Pandangan Pandan Wangi juga terarah pada laki-laki
tua berjubah putih yang membawa tongkat berkepala ular di tangan
kanannya.
Dialah Ki Langkas, Kepala Desa Granggang ini. Mereka segera berdiri, begitu
Ki Langkas sudah dekat, dan berhenti melangkah setelah jaraknya sekitar satu
batang tombak lagi. Kepala desa itu membungkukkan tubuhnya sedikit, dan
langsung disambut dengan bungkukan tubuh pula.
“Maaf. Apakah kehadiran kami di sini mengganggu, Ki?” tanya Ki Anjir
membuka suara lebih dahulu.
“Sebenarnya, tidak. Itu kalau mau berterus-terang, siapa kalian sebenarnya.
Dan apa tujuan datang ke sini,” sambut Ki Langkas ramah.
“Namaku Ki Anjir. Dan mereka adalah teman- temanku. Kami para pengembara
yang kebetulan lewat di sini,” sahut Ki Anjir langsung memperkenalkan diri,
yang disusul orang-orang di sebelahnya.
Sementara, Ki Langkas mengangguk-anggukkan kepala setelah mengetahui
nama-nama mereka semua. Sekilas matanya melirik Pandan Wangi. Di dalam
hatinya, mungkin Pandan Wangi seumur dengan anak gadisnya. Tapi hatinya
mengakui kalau Pandan Wangi berkulit lebih putih dan berwajah lebih cantik,
seperti bidadari turun dari kayangan.
“Lalu, tujuan kalian datang ke sini?” tanya Ki Langkas lagi.
“Terus-terang, Ki. Aku sampai datang ke sini, karena mengejar seseorang
yang mungkin saja telah membuat keonaran di desa ini,” sahut Ki Anjir
berterus-terang.
“Maksudmu...?” Ki Langkas meminta penjelasan.
Sebentar Ki Anjir menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya
kuat-kuat. Sementara Rangga dan Pandan Wangi hanya diam saja, karena
sebenarnya memang hanya kebetulan saja berada di tempat ini. Sedangkan Ki
Anjir dan Julak punya tujuan tertentu, hingga tiba di Desa Granggang
ini.
“Begini, Ki...,” terputus suara Ki Anjir.
“Langkas ... Namaku Langkas, kepala desa di sini,” Ki Langkas cepat-cepat
memperkenalkan diri.
Memang sejak tadi dia belum memperkenalkan siapa dirinya. Dan dirinya baru
diperkenalkan setelah mendengar nada suara Ki Anjir yang terputus.
“Aku dan Julak sebenarnya datang dari jauh. Dan kedatanganku ke desa ini,
sebenarnya tidak sengaja. Dan lagi, semula sebenarnya kami bertiga. Tapi
yang seorang lebih dulu putus asa dan memutuskan untuk pulang. Lalu...,” Ki
Anjir tidak melanjutkan.
“Teman kami tewas beberapa hari lalu, tidak jauh dari desa ini, Ki,” selak
Julak.
“Oh...?!” Ki Langkas tampak terkejut. "Temanmu yang mana...?”
“Seusiaku, Ki. Dia tewas dengan...,” sahut Julak terputus.
“Ya..., ya aku tahu,” kata Ki Langkas seraya menganggukkan kepala.
“Jadi, itu teman kalian...?”
“Benar, Ki,” sahut Ki Anjir.
“Hm.... Lalu, kau datang ke sini hendak mencari pembunuhnya?” tanya Ki
Langkas lagi.
“Sudah lama kami mengejarnya, Ki. Bahkan sudah lebih dari dua purnama kami
mengembara mengejarnya, hingga sampai ke desa ini,” sahut Ki Anjir
menjelaskan lagi.
“Ahhh.... Kenapa tidak kau katakan saja sejak kemarin...?” desah Ki Langkas
seperti menyesali.
“Sebenarnya aku ingin menjelaskan, Ki. Tapi...,” kembali Ki Anjir terputus
kata-katanya. Dan matanya diarahkan ke gerbang Desa Granggang.
“Sudahlah..., maafkan atas sikap mereka,” ujar Ki Langkas, seperti mengerti
arti tatapan Ki Anjir.
Ki Anjir hanya tersenyum saja seraya menganggukkan kepala sedikit. Saat
itu, Ki Langkas menatap Rangga dan Pandan Wangi yang sejak tadi hanya diam
saja mendengarkan semua pembicaraan ini.
“Kalau kalian berdua, Anak Muda...?” tanya Ki Langkas. “Aku lihat, kalian
datang terpisah. Apakah kalian juga bertujuan sama dengan Ki Anjir?”
“Tidak, Ki,” sahut Rangga cepat. “Sebenarnya kami hanya sekadar lewat saja.
Dan tujuan kami juga tidak menentu.”
“Hm..., kalian pendekar pengembara?” tanya Ki Anjir agak menggumam nada
suaranya. Dan jelas sekali kalau nada pertanyaan tengah menyelidik.
“Kami memang pendekar pengembara, Ki,” selak Pandan Wangi menyahuti. “Dan
kami bukan orang jahat. Justru kamilah yang selalu memerangi kejahatan dan
keangkaramurkaan.”
Ki Langkas mengangguk-anggukkan kepala beberapa kali mendengar penjelasan
Pandan Wangi. Kemudian kembali ditatapnya Ki Anjir dan Julak yang berdiri
agak terpisah dari Rangga dan Pandan Wangi. Beberapa saat mereka terdiam,
seakan-akan tengah menunggu apa yang akan diucapkan kepala desa itu.
“Mari! Kalian kuundang ke rumahku,” ajak Ki Langkas semakin ramah.
“Terima kasih, Ki,” ucap Ki Anjir menyambut gembira.
“Silakan....” Ki Langkas merentangkan tangannya, mempersilakan Ki Anjir
berjalan lebih dulu.
Setelah menganggukkan kepala sedikit pada kepala desa itu, Ki Anjir
melangkah yang kemudian diikuti Julak. Sementara Rangga dan Pandan Wangi
hanya diam saja. Ki Langkas yang sudah melangkah beberapa tindak, jadi
berhenti dan berbalik memandang dua pendekar muda itu.
“Kenapa kalian diam saja...? Ayo! Aku juga mengundang kalian berdua,” kata
Ki Langkas.
“Terima kasih, Ki. Aku...,” Rangga Ingin menolak. Tapi Pandan Wangi sudah
menyikut pinggang Pendekar Rajawali Sakti, hingga langsung terdiam.
“Ayolah.... Kalian tentu bisa memaklumi sikap kami semua tadi,” desak Ki
Langkas.
Rangga mengangkat bahu sedikit, kemudian menghampiri kudanya. Diambilnya
tali kekang dua ekor kuda itu, dan dituntunnya. Yang satu kemudian
diserahkan Pandan Wangi. Mereka kemudian berjalan mengikuti Ki Langkas yang
berjalan di sebelah kanan Ki Anjir. Sementara, Julak berada di belakang
kedua orang tua itu.
Sikap Ki Langkas yang langsung berubah memang bisa dimengerti. Saat ini,
dia memang membutuhkan orang-orang berkepandaian tinggi untuk menghadapi
pembunuh gelap yang telah menewaskan salah seorang pembantunya. Terlebih
lagi, setelah kepala desa itu tahu maksud kedatangan Ki Anjir yang secara
jujur dan terus-terang diutarakannya.
Dia berharap Ki Anjir dan yang lain bisa menghadapi pembunuh gelap yang
sekarang sudah diketahui namanya, walaupun hanya berupa julukannya saja.
Tapi itu juga sudah membuat bergetar hati siapa saja yang mendengarnya.
Malaikat Pencabut Nyawa....
Seperti pada malam-malam sebelumnya, Desa Granggang terbias oleh cahaya
lampu pelita dan obor yang terpancang di setiap sudut dan jalan. Bahkan
susananya juga tidak kelihatan sunyi. Beberapa orang laki-laki terlihat
menggerombol di tempat-tempat yang dijadikan pos penjagaan.
Di dalam sebuah kamar di rumah Ki Langkas, terlihat Rangga berdiri mematung
di depan jendela. Ki Langkas memang menyediakan kamar untuk mereka yang
dianggap sebagai tamunya. Rumah kepala desa itu memang sangat besar, dan
memiliki banyak kamar yang tidak terisi. Sehingga, mereka yang diundang bisa
menempatinya.
Entah sudah berapa lama Rangga berdiri mematung di depan jendela yang
dibiarkan terbuka lebar. Pandangannya lurus ke depan, seakan-akan tengah
mengamati beberapa orang yang menggerombol tidak jauh di depan halaman rumah
kepala desa ini. Namun, sebenarnya Pendekar Rajawali Sakti tidak memandang
ke sana. Entah apa yang tengah menjadi perhatiannya. Bahkan sepertinya tidak
bernapas, tanpa terlihat adanya gerakan pada dadanya.
“Hhh...!” Terdengar berat sekali hembusan nafasnya. Perlahan Pendekar
Rajawali Sakti memutar tubuhnya berbalik. Tapi belum juga berbalik, mendadak
saja.... “Heh...?!”
Rangga jadi tersentak kaget, ketika tiba-tiba saja sekilas terlihat sebuah
bayangan berkelebat begitu cepat melintasi jalan di depannya.
“Hup!”
Tanpa berpikir panjang lagi, Pendekar Rajawali Sakti langsung melesat
keluar dari jendela kamar ini. Begitu sempurna sekali ilmu meringankan tubuh
yang dikuasai, sehingga bentuk tubuhnya lenyap. Dan hanya bayangan putih
saja yang terlihat berkelebat begitu cepat bagai kilat. Dalam sekejapan mata
saja, Pendekar Rajawali Sakti sudah berada jauh dari rumah kepala
desa.
Dan larinya berhenti tepat di depan sebuah rumah yang berukuran cukup besar
berhalaman luas. Sekilas matanya masih melihat bayangan yang tadi sempat
membuatnya terkejut menghilang di sekitar rumah ini. Dia tahu, rumah itu
adalah rumah Ki Rampat, salah seorang pemuka desa yang membantu Ki Langkas
memimpin penduduk Desa Granggang ini.
“Hmmm....”
Perlahan Rangga mengayunkan kakinya memasuki halaman rumah itu. Agak heran
juga dia, karena rumah ini kelihatan sunyi dan tidak ada dijaga oleh seorang
pun. Sedangkan yang diketahuinya, setiap rumah tetua desa memiliki penjaga
yang terdiri dari murid-murid mereka. Tapi rasa heran di hati Pendekar
Rajawali Sakti tidak berlangsung lama, begitu melihat sesosok tubuh
tergeletak di beranda depan rumah. Bergegas dihampirinya sosok tubuh
itu.
“Eh...?!”
Pendekar Rajawali Sakti jadi tersentak, begitu melihat sosok tubuh itu
ternyata sudah tidak bernyawa lagi. Dan dari kepalanya yang terbelah,
mengucurkan darah segar yang masih hangat. Ini berarti orang itu belum lagi
lama tewas. Saat Rangga baru saja hendak menjamah tubuh itu, tiba-tiba
saja....
“Tolooong...!”
“Heh...?! Hup!”
Cepat sekali Pendekar Rajawali Sakti melompat begitu mendengar teriakan
dari dalam rumah. Pintu yang tertutup rapat, seketika ambruk diterjangnya.
Rangga langsung melesat masuk ke dalam. Tapi baru saja menjejakkan kakinya
di ruangan depan yang cukup luas ini, mendadak saja terlihat sebuah bayangan
putih berkelebat begitu cepat sekali ke arahnya.
“Hup...!”
Hampir saja bayangan putih itu menerjang, kalau saja Rangga tidak
cepat-cepat berkelit ke samping. Dan seketika itu juga seluruh tenaganya
dikempos.
Slap!
Bagaikan kilat, pemuda berbaju rompi putih yang dikenal berjuluk Pendekar
Rajawali Sakti langsung melesat keluar, mengejar bayangan putih itu.
“Berhenti...!” bentak Rangga dengan suara keras menggelegar, karena
disertai pengerahan tenaga dalam sempurna. Bayangan putih itu langsung
berhenti berkelebat Dan secepat itu pula tubuhnya berputar. Dan....
“Hih!”
Wusss...!
“Heh...?! Hup!”
Cepat Rangga melenting ke udara, ketika tiba-tiba saja melesat sebuah benda
kecil berwarna putih keperakan ke arahnya. Dan benda yang meluruk deras itu
hanya lewat di bawah kaki Rangga. Sementara Pendekar Rajawali Sakti segera
meluruk deras ke arah orang berbaju serba putih keperakan yang berdiri tegak
di halaman depan rumah Ki Rampat.
“Hap!”
Manis sekali Rangga menjejakkan kakinya di tanah, tepat sekitar satu
setengah tombak di depan sosok tubuh yang dikejarnya tadi. Dan ternyata dia
seorang pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun. Bajunya warna putih
keperakan, dengan wajah cukup tampan. Tapi, sorot matanya sangat tajam
menusuk. Dan guratan-guratan wajahnya mencerminkan guratan kekerasan serta
kekejaman. Agak terkesiap juga Rangga begitu menatap sorot mata yang begitu
tajam menusuk.
“Siapa kau...?!” agak mendesis suara Rangga.
“Aku Malaikat Pencabut Nyawa,” sahut pemuda itu dingin sekali nada
suaranya.
“O.... Jadi, kau yang selama ini membuat kekacauan di sini...?” desis
Rangga jadi dingin.
“Kau sudah tahu maka menyingkirlah sebelum kubelah kepalamu!” dengus
Malaikat Pencabut Nyawa tetap dingin nada suaranya.
“Justru akulah yang menginginkan agar kau pergi dari desa ini. Atau, kau
akan menghadapi pengadilan dari perbuatan-perbuatanmu!” sambut Rangga tidak
kalah dinginnya.
“Keparat..! Berani kau menantangku, heh...!” geram Malaikat Pencabut
Nyawa.
Sret!
Cring!
Langsung saja Malaikat Pencabut Nyawa mencabut pedangnya yang memancarkan
cahaya putih keperakan. Rangga sempat kagum juga melihat pamor pedang yang
dahsyat itu. Dan kedua tangannya sudah terkepal, siap menghadapi serangan
pemuda yang mengaku berjuluk Malaikat Pencabut Nyawa.
“Sebut nama leluhurmu sebelum kukirim ke neraka!” desis Malaikat Pencabut
Nyawa.
“Hm...,” Rangga hanya menggumam saja sedikit.
“Hap! Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Malaikat Pencabut Nyawa langsung
melompat menerjang bagai kilat. Pedangnya dikebutkan disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi ke arah kepala Pendekar Rajawali Sakti.
“Hap!”
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepalanya, Rangga bisa menghindari
tebasan pedang itu. Tapi dia agak terkejut juga, karena angin tebasan pedang
itu memancarkan hawa panas yang sangat menyengat. Maka cepat-cepat Pendekar
Rajawali Sakti melompat ke belakang beberapa langkah.
“Hih! Yeaaah...!”
Tapi pemuda berbaju putih keperakan yang menjuluki diri sebagai Malaikat
Pencabut Nyawa, tidak berhenti sampai di situ saja. Belum lagi Rangga bisa
menegakkan tubuhnya, pemuda itu sudah kembali menyerang. Beberapa kali
pedangnya dikebutkan, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi, hingga
menimbulkan desir angin menderu menggetarkan jantung. Tapi, Rangga bukanlah
lawan yang bisa dianggap enteng. Dengan menggunakan jurus ‘Sembilan Langkah
Ajaib’, tidak satu serangan pun yang berhasil menyambar tubuhnya.
“Phuih!”
Malaikat Pencabut Nyawa jadi geram melihat semua serangannya kali ini bisa
dihindari. Bahkan terasa sulit sekali untuk mendesak lawan. Gerakan-gerakan
menghindar yang dilakukan Rangga juga sungguh aneh baginya. Memang, Pendekar
Rajawali Sakti seperti orang kebanyakan minum arak. Gerakan-gerakannya tidak
beraturan sama sekali. Bahkan terkadang tubuhnya begitu miring, sampai
hampir jatuh.
Tapi tetap saja tidak mudah bagi Malaikat Pencabut Nyawa membabatkan
pedangnya. Setiap kali pedangnya hampir menebas bagian tubuh lawan, manis
sekali Pendekar Rajawali Sakti bisa berkelit. Dan ini membuat Malaikat
Pencabut Nyawa jadi semakin bertambah berang. Dia merasa kalau sedang
dipermainkan pemuda berbaju rompi putih ini.
“Hup!”
Malaikat Pencabut Nyawa melompat ke belakang menghentikan pertarungan.
Sementara, Rangga kembali berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di
depan dada disertai senyuman tipis tersungging di bibir.
“Setan keparat! Siapa kau, heh...?!” bentak Malaikat Pencabut Nyawa jadi
ingin tahu.
Selama ini, Malaikat Pencabut Nyawa dengan mudah bisa mengalahkan
lawan-lawannya. Padahal rata-rata lawannya memiliki kepandaian tinggi dan
sudah terkenal dalam rimba persilatan. Dan kini setelah lima jurus
dikerahkan, tapi tubuh pemuda berbaju rompi putih itu belum juga bisa
dilukai sedikit pun.
“Aku rasa itu tidak penting, Malaikat Pencabut Nyawa. Bukankah kau juga
membantai siapa saja yang dianggap sebagai penghalang...? Nah, sekarang aku
akan menghalangi setiap gerakmu. Jadi, juga harus membunuhku lebih dulu
sebelum merasa menjadi raja di jagat raya ini,” sambut Rangga dingin sekali
suaranya.
“Phuih! Lagakmu seperti yang paling jago saja di kolong langit. Katakan,
siapa namamu sebelum batok kepalamu kutebas!” dengus Malaikat Pencabut
Nyawa.
“Rangga,” sahut Rangga singkat.
“Huh! Julukanmu...!” Malaikat Pencabut Nyawa masih juga belum merasa
puas.
Tapi belum juga Rangga bisa membuka mulut, terdengar suara-suara langkah
menghampiri. Dan terlihat beberapa orang berlari-lari menghampiri sambil
membawa obor. Malaikat Pencabut Nyawa mendengus kecil, setelah melihat
begitu banyak orang berdatangan menghampiri.
“Huh! Nyawamu masih terlindungi, Keparat! Tapi lain kali, kau tidak akan
lolos dari kematian!” dengus Malaikat Pencabut Nyawa terdengar kesal nada
suaranya.
Setelah berkata begitu, cepat sekali tubuhnya melesat pergi sambil
menyarungkan kembali pedangnya. Begitu cepat lesatannya, sehingga Rangga
tidak sempat lagi mencegah. Terlebih lagi, jarak mereka memang ada sekitar
dua batang tombak lebih. Pendekar Rajawali Sakti hanya bisa berdiri mematung
menatap arah kepergian Malaikat Pencabut Nyawa.
Sementara, mereka yang datang sudah sampai di halaman depan rumah ini. Dan
di antara mereka terlihat Pandan Wangi, Ki Anjir, Julak, dan Ki Langkas
bersama empat orang tua pembantunya. Mereka langsung menghampiri Rangga,
kecuali empat orang tua berjubah putih yang menjadi orang kepercayaan Ki
Langkas.
“Ada apa, Kakang?” tanya Pandan Wangi langsung.
“Aku tidak tahu. Aku belum sempat masuk ke dalam,” sahut Rangga.
“Kau tidak apa-apa, Rangga?” tanya Ki Langkas.
“Tidak...,” sahut Rangga seraya tersenyum dan menggelengkan kepala.
Saat itu keluar salah seorang yang tadi langsung masuk ke dalam rumah. “Ki
Langkas, ke sini cepat...!”
Ki Langkas bergegas menghampiri, diikuti Rangga, Ki Anjir dan Pandan Wangi.
Sedangkan Julak dan yang lain tetap menunggu di luar. Mereka langsung saja
menerobos masuk ke dalam. Rangga yang memang baru sempat masuk sampai ke
ruangan depan tadi, jadi tersedak begitu melihat ke dalam rumah ini.
Keadaannya sangat berantakan dan banyak darah berceceran di lantai.
Dan begitu mereka sampai di dalam sebuah ruangan tidur, terlihat tiga tubuh
tergeletak tak bernyawa lagi dengan kepala terbelah hampir menjadi dua
bagian. Mereka adalah Ki Rampat dan istrinya, serta seorang lagi yang
dikenal adik Ki Rampat.
Rangga bergegas memeriksa ke ruangan-ruangan lain di rumah ini, dan
menemukan beberapa tubuh lagi bergeletakan dengan kepala terbelah
berhamburan darah.
Malam itu kembali Desa Granggang gempar. Ki Rampat dan seluruh keluarga
serta muridnya tewas terbantai dengan luka sama, terbelah pada kepala hingga
hampir menjadi dua bagian. Kekejaman ini bukan saja membuat penduduk menjadi
marah. Bahkan Rangga juga jadi geram setengah mati. Baru kali ini
disaksikannya sebuah pembantaian yang begitu keji!
“Iblis...!” tanpa sadar Rangga mengeram.
***
Emoticon