Dewi Ular - Parit Kematian(1)

GERIMIS turun rintik-rintik bukan penghalang bagi Kumala Dewi.

Kesunyian malam yang serupa dengar hang kubur juga tak membuatnya berubah niat.

Dengai sedan mewahnya berwarna hijau giok, Kumala, Dewi tetap meluncur menuju kawasan Puncak, didampngi sopir kesayangannya: Sandhi.

Sebuah villa bergaya arsitektur Eropa menjadi sasaran kunjungannya malam itu. Villa berlantai dua dengar balkon menghadap ke arah Jakarta memang bukan milik Kumala.

Ia belum berminat untuk membeli sebuah villa, meski pun ia cukup mampu untuk membeli sekaligus dua buah.

"Pakai saja villa itu. Berapa lama kau mau memakainya, terserah. Yang penting, jangan sampai rubuh atau hancur akibat kesaktianmu."

"Terima kasih atas bantuanmu, Nik."

"Udahlah, nggak usah basa-basi begitu. samatkan dulu cowokmu itu, dan tangani masalah mu sampai tuntas."?

Begitu kata si pemilik villa yang sekarang sudah menjadi selebritis terkenal, pembawa acara termahal untuk masa kini. Dia sukses besar melalui sebuah acara tayangan televisi yang bernuansa mistik: Lorong Gaib. Berkat bantuan Kumala Dewi juga kesuksesan itu diraihnya hingga sekarang.

Padahal ia dulu mantan pacarnya Kumala.

Tapi hubungan cinta mereka belum terlalu dalam, dan sudah harus berakhir karena ketulusan hatinya ternoda oleh bujukan mecum seorang paranormal wanita. Meski demikian, hingga sekarang ia belum berminat untuk hidup berumah tangga.

Hubungannya dengan Kumala justru semakin akrab, hingga seperti saudara sendiri. Cowok muda bergaya trendy dan sering bertingkah konyol itu tak lain adalah Niko Madawi, (Baca serial Dewi Ular claim?? episode: "ILUSI ALAI KUBUR").

Cukup banyak Niko terlibat dalam petualangan gaibnya sang Dewi Ular alias Kumala Dewi.

Cukup banyak yang diketahui Niko tentang putri tunggal Devva Pèrrnana dan Dewi Nagadini yang dibuang ke bumi akibat kasus skandal di Kahyangan sana.

Maka, wajar saja kalau hubungannya dengan Kumala sudah seperti saudara kandung sendiri, saling curhat dan saling membantu adalah hal yang sering mereka lakukan.
Dulu, Niko pernah mati, tapi dihidupkan kembali oleh Kumala Dewi, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "PEMBURU TUMBAL ASMARA").

Tapi tanpa disengaja Niko pun pernah menyelamatkan nyawa Kumala dari ancaman maut Nini Cupangayu, (Baca serial Dewi 'Ular dalam episode:. "TEROR DARI NERAKA"). Jadi, praktis tali persaudaraan mereka semakin erat semakin dekat, sehingga Kumala dewi taak segan-segan meminta bantuan Niko untuk meminjamkan villanya.

"Aku butuh tempat yang terasing, untuk menyem­bunyikan Rayo Pasca," begitu awal pembicaraannya dengan Niko.

"Ada apa dengan cowokmu? Kok sampai mau disembunyikan? Apakah dia terancam bahaya? Apakah kamu nggak bisa melumplihkan bahaya itu, Dewi?"
"Ini bukan soal bahaya. Tapi soal harga diri."

Niko menatap dengan heran. "Harga diri?! Maksudmu...?"

"Pokoknya aku butuh tempat untuk menyembunyikan Rayo dari pandangan siapa saja, Nik. Kalau nggak begitu, Rayo akan menderita malu sekali dan harga dirinya sebagai lelaki akan hilang dimata masyarakat awam, terutama di mata orang-orang yang mengenal siapa dia sebenarnya."

Waktu itu Niko menarik napas panjang karena masih bingung dengan penjelasan Kumala.

"Okey, jelasnya bagaimana? Inti masalahnya saja, apa?!"

Dengan nada berat Kumala pun menjawab pelan. "Rayo hamil."

"Hahh... ??!" Niko hampir terlonjak dari duduknya. Matanya terbelalak, badannya jadi tegak. Luar biasa kagetnya mendengar jawaban Kumala yang tampak serius. Wajah cantik jelita itu sedikit murung yang membuat Niko yakin apa yang dikatakan Kumala bukan sesuatu yang bersifat main-main.

"Cowokmu? Ganteng dan gagali kayak gitu? Kalem tapi romantis begitu? Bisa hamil? Hamil, maksudmu mengandung?"

"Ya. Dan, pertumbuhan janin yang dikandungnya nggak wajar. Cukup pesat. Cepat menjadi besar. Dalam waktu relatif singkat dia akan melahirkan."

"O000h, my God ..?!" Niko menepak keningnya sendiri. "Fenomena apa lagi yang kau alami ini, Dewi?!"

"Jangan coba-coba mengexpose kasus ini ... !"tegas Kumala dengan sorot pandangan mata yang tajam dan menciutkan nyali siapa pun orang yang dipandangnya.

"Ya, ya... aku paham maksudmu. Aku akan merahasiakan fenomena ini sekali pun harganya sangat mahal untuk sebuah infotaiment. Tenang, Dewi. tenang, aku nggak akan memanfaatkan keadaan kalian untuk sebuah berita, walau pun itu sebenamya tugasku. Tapi... tolong jelaskan agak detil, kenapa cowokmu itu bisa hamil? Boleh tahu kan?"

Dewi Ular diam agak lama. Menerawang.

"Biar gue nggak mati penasaran, Dewi," desaknya dengan sangat mengharap. Dewi Ular mulai menatap tak setajam tadi.

"Dewa-dewa pejabat Kahyangan. ingin mengadakan sidang, dan mereka minta aku datang ke Kahyangan. Maka, mereka mengirim utusan terhormat untuk menjemputku, yaitu Dewa Bahakara, seringjuga disebut Dewa Jenaka..."

Sang dewa utusan itu sudah memprediksikan bahwa Kumala pasti akan menolakUndangan tersebut, mengingat bidadari cantik jelita itu pernah dikecewakan oleh pihak Kahyangan, yaitu dibuang ke bumi semasa masih bayi, dan tidak boleh masuk Kahyangan sebelum menemukan cinta sejatinya.

Dewa Bahakara tahu betul riwayat hidup Dewi Ular, karena kedua orang tua Kumala adalahsohibroa. Bahkan yang menjadi comblang percintaan ayah dan ibunya Kumala adalah ilia sendiri: si Dewa Jenaka itu.

Tetapi dalam mengemban misi dari Kahyangan ini ia seharusnya tidak boleh mempertimbangkan hal itu. Dengan cara kasar pun harus ditempuhnya demi tugas utama, yaitu membawa Dewi Ular dari bumi ke Kahyangan.

Sudah terbayang di benak Dewa Penabur Tawa itu bahwa pembangkangan Kuamala akan menimbulkan bentrok fisik atau adu kesaktian dengannya.

Dewa Jenaka tak menghendaki bentrokan itu terjadi, karena bagaimana pun Kumala Dewi adalah putri tunggal teman karibnya. Untuk itu ia menggunakan siasat dengan cara rnemindahkan janin dalam kandungan seseorang ke dalam perut Rayo Pasca, sang kekasih pujaan Kumala.

Jika pada akhirnya Kumala memilih bentrok fisik adu kesaktian dan seandainya ia menang, maka ia akan menanggung persoalan berat, yaitu mengatasi kehamilan ,dalam perut Rayo. Kandungan itu dibuat sedemikian rupa, sehingga jika Dewa Jenaka dihajar oleh Kumala, maka semakin sering dihajar semakin mempercepat tumbuhnya kehamilan dalam perut Rayo.

Dan, kandungan itu tidak akan ada yang bisa merusak atau menyingkirkan karena telah dibubuhi mantera sakti.

Semakin dirusak dapat mengakibatkan kematian bagi Rayo, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: ("MIS­TERI. SANTET IBLIS" ).

Singkat cerita , Dewi ular tak akan bisa mengusik kandungan dalam perut Rayo Pasca. Mau tidak mau ia harus memenuhi undangan. Pihak Kahyangan, dan menerima jemputan Dewa Jenaka. Semakin cepat semakin baik, karena jika misi itu terlalu lama selesainya, maka Rayo akan melahirkan seorang bayi, entah bagaimana caranya.

Dan, tentu saja hal itu sangat memalukan bagi Rayo Pasca. Sebagai pria jantan sejati akan hancur predikat kejantanannya jika sampai ia terbukti melahirkan bayi dari kandungannya.

Tapi dalam perjalanannya menuju Kahyangan bersama dewa Jenaka, sang bidadari cantik bertubuh sangat sexy itu justru terpisah dari Dewa Jenaka.

Insiden itu terjadi ketika Kumala membantu Dewa Jenaka dalam menghadapi keganasan si Penguasa Langit Gaib. Pertarungan itu membuat-Kumala terpental masuk ke alam dimensi lain yang disebut-sebut sebagai ruang hampa gaib.

Insiden itulah yang membuat perjalanannya ke Kahyangan tertunda, karena ketika Kumala bisa lobos dari alam tersebut, ia punya masalah baru yang tidak bisa ditinggal pergi begitu saja, (Baca serial Dewi Ular dalam episode: "LORONG TEMBUS KUBUR").

Penjelasan itu membuat Niko Madawi prihatin dan iba hati kepada mantan pacarnya. Itulah sebabnya ia merelakan villanya dipakai untuk menyembunyikan Rayo Pasca, karena pembengkakan pada perut Rayo Pasca sudah mulai tampak jelas. Rasa mual, pegal di pinggang, dan hal-hal lain yang biasa dialami wanita hamil, kali ini sedang dialami oleh Rayo Pasca.

"Aku nggak bisa menjawab apa-apa kalau pihak keluargaku menanyakan tentang perutku ini, Lala," keluh Rayo dalam kebingungannya.

Kumala Dewi sangat sedih dan cemas sekali. Maka, diputuskan untuk menyembunyikan Rayo di villanya Niko.

"‘Bersabarlah sesaat, ya Sayang...," ujar Kumala dengan menyembunyikan kesedihan hatinya. "Aku harus selesaikan dulu urusanku dengan pihak Kahyangan. Setelah itu akan kudesak Dewa Bahakara untuk mengembalikan kandungan itu pada pemilik sebenarnya."

"Tapi perutku ini makin bertambah hari semakin bertambah besar. Cepat sekali prosesnya, Lala."
"Ya, ya... aku tahu," Kumala mengusap-usap kening sang kekasih sebagai usapan kasih sayang dan berharap penuh kesabaran.

la berkata lagi, "Besok aku akan berangkat sendiri ke Kahyangan, meski pun tanpa paman Dewa."

"Percuma saja kau selesaikan urusan dengan pihak Kahyangan kalau kau tak bisa bertemu dengan paman Dewa. Sebab, dialah kunci persoalan memalukan ini, Lala. Kau harus bisa cari dia dulu sampai ketemu, baru ke Kahyangan."

"Hmmm, ya, ya... benar juga perhitunganmu."

"Dan, kalau perlu berangkatlah hari ini juga, supaya nggak makan waktu lama. Sebab, makin lama waktu yang kau butuhkan makin besar kandunganku ini, Lala."

"Aku nggak bisa pergi sebelum ada pihak yang mau merawat Barbie. Kalau aku pergi begitu saja, dan meninggalkan Barbie di rumah, maka anak itu bisa bikin ulah yang semakin parah."

Rayo Pasca tarik napas panjang. Memang serba salah bagi Kumala, dan Rayo menyadari persoalan dilematis yang dihadapi kekasih nya.

Ia tak bisa mendesak Kumala sekehendak hatinya, mengingat Kumala punya beban lain. Beban itu adalah masalah kecil tapi sangat menjengkelkan dan bisa mem­bahayakan pihak lain jika tidak segera diatasi.

Seperti yang terjadi tadi siang, hampir saja Kumala marah melihat Buron hidungnya mengucurkan darah segar tiada hentinya.

Buron adalah asistennya Kumala khusus untuk urusan gaib. Dia adalah jelmaan dari Jin Layon yang kesaktiannya pernah dilumpuhkan oleh Kumala, sehingga kini ia mengabdi kepada sang putri tunggal Dewa Permana itu.

Sama halnya dengan Sandhi, Buron pun sudah dianggap -seperti saudara sendiri oleh Kumala.

Maka? ketika Buron muncul dari belakang menghampiri Kumala yang sedang bicara lewat telepon dengan seseorang, emosi Kumala sempat meletup melihat Buron berlumuran darah.

Dari hidungnya keluar darah yang mengucur pelan tapi sukar dihentikan. "Kenapa kamu, Ron? !"

"Uhhk, uuhk... Ueehi, uehi..."

Makin berkerut dahi si cantik Dewi Ular mendengar Buron bicara dengan kata-kata tak jelas. "Kamu ngomong apa sih?!"

Dewi Ular buru-buru memegang kening Buron dengan telapak kirinya. Hawa sakti disalurkan ke dalam. kepala Buron. Beberapa saat kemudian kucuran darahnya, berhenti.

"Ueehi, uuhk... haiiik, haik...."

Sandhi yang baru keluar dari kamarnya merasa heran juga mendengar Buron bicara tak jelas.

"Lu kenapa jadi kayak babi mau disembelih begitu, Ron? Haik, haik... ngomong apaan sih?"

Kumala menatapnya sambil menurunkan letupan emosinya. Buron sibuk mengusap sisa kucuran darah dari hidung memakai tissue gulungan yang baru saja diberikan oleh Sandhi.

"Lu mimisan apa miskram sih?" Sandhi masih bicara dengan konyol, karena memang ia sulit bersikap serius jika Buron sedang dalam masalah. Maklum, kesehariannya Buron juga sering berulah konyol dan usil kepada Sandhi, sehingga Sandhi pun selalu memanfaatkan kelemahan Buron untuk membalas kekonyolannya.

."Auhk, uiih, uuhg, uug.. !" kata Buron sambil tangannya bergerak-gerak menunjuk ke arah ruang belakang.

"Kok jadi kayak orang gagu dia?" ujar Sandhi kepada Kumala.

"Ada yang menotok pita suaranya, sehingga jadi kusut," kata Kumala dengan suara pelan dan merasa sangat prihatin.

Tangan kanannya segera memegang leher Buron, seperti mau mencekik, namun dilakukan dengan lemah lembut. Leher itu diusapnya tiga kali dari atas ke bawah.

Buron sempat kelojotan seperti orang dicekik. Namun, pada usapan ketiga ia bisa mengerang dan menghembuskan napas panjang. Lega sekali. Lalu, is dapat bicara dengan normal kembali.

"Barbie benar-benar anak celaka! Brengsek banget tuh anak!"

"Barbie lagi!" geram Kumala. "Mana anak itu sekarang?"

Buron belum sempat menjawab, Sandhi sudah bertanya.

"Memangnya kenapa?"

"Dia nggak mau kubujuk untuk makan. Kata Kumala, paksain aja kalau tuh anak nggak mau makan. Eeh, giliran gue paksain, gue dilempar permen karet yang sedang dikunyahnya. Pluuk... ! Nempel di tulang hidung gue, sakitnya, seperti dihantam pakai kayu balok. Tenggorokkan gue juga sakit, seperti disumbat karet busa dengan paksa. Gue jadi nggak bisa ngomong dan... mimisan terus."

"Waah, emang gawat tuh anak," ujar Sandhi kepada Kumala. "Dan sejak kedatangannya selalu bikin ulah, selalu merepotkan kami, dan... kalau boleh aku usul, jangan ditaruh sini deh anak temuanmu itu, Kumala. Kami kewalahan."

"Kusarankan," timpal Buron, "...kalau kamu jadi berangkat lagi ke Kahyangan, bawalah anak itu. Jangan bebankan dia kepada kami di sini. Aku nggak sanggup ngatasin anak itu. Makin lama makin kayak bocah liar!"

Kumala berseru, "Barbie ...!! Baarrbbiiie ..!!!" sambil melangkah sampai di perbatasan ruangan makan dengan ruang keluarga. Namun yang didengar Kumala justru suara Mak Bariah, pelayannya untuk urusan dapur.

"Non Malaaa... ! Tolongin saya ! Tolongiiin....!!! "

Sandhi tersentak kaget, "Wah, kenapa tuh Mak Bariah?!"

"Pasti si bocah setan itu lagi!" geram Buron sambil melangkah terburu-buru menghampiri suara Mak Bariah, sementara Sandhi sudah lebih dulu berlari menernui Mak Bariah.

Gadis cilik berwajah mungil cantik bak boneka Barbie tertawa-tawa kecil kegirangan. Ia berdiri di atas sehelai daun talas hias yang berbintik-bintik merah kuning.

Ia menertawakan Mak Bariah yang berbadan agak gemuk itu sedang kebingungan karena tak dapat mengangkat kakinya.

Kedua kaki Mak Bariah seperti merekat kuat pada batu taman yang datar dan berwarna hitam itu. Jangankan mengangkat kaki, menggeser telapak kakinya pun tak bisa. Telapak kakinya seolah‑olah telah menjadi satu dengan batu tersebut.

Setiap kakinya disentakkan agar terangkat lepas dari batu, Mak Bariah justru jatuh terhempas dalam posisi duduk. Atau terpelanting miring. Hal itu terjadi setelah Mak Bariah menegur si Barbie yang tadi membuat hidung Buron berdarah.

Mak Bariah juga memaksa Barbie agar segera masuk, menemui Kumala dan meminta maaf pada Buron. Namun, gadis berusia sekitar 6 tahun yang memiliki rambut panjang halus lembut dengan bagian depan diponi rata itu menolak ajakan Mak Bariah.

la kesal ketika Mak Bariah menarik lengannya sedikit kasar.

Dengan tatapan mata beningnya yang tajam si kecil Barbie berkata menyentak galak.

"Aku nggak mau! iihh... !" seraya telunjuknya menuding ke arah kedua kaki Mak Bariah, dan, sejak saat itu Mak Bariah tak bisa mengangkat kakinya, bahkan tak mampu menggeser sedikit pun. Upaya untuk bisa mengangkat kaki justru membuat Mak Bariah jatuh berkali-kali, dan keadaan itu membuat keyengkelan si Barbie bagaikan sirna. Berganti tawa geli dan kegirangan, sehingga is melompat-lompat lalu hinggap di atas sehelai daun talas hias.

Dewi Ular bertolak pinggang sambil geleng-geleng kepala.

Pandangan matanya tertuju pada Barbie dengan tajam.'Tawagadis kecil itu perlahan7lahan surut. Namun bukan berarti anak itu merasa takut. Hanya tampak segan dan sungkan melihat Kumala menatapnya dengan penuh wibawa.

"Apa yang kamu lakukan, Barbie?"

Gadis kecil itu berlagak tidak mendengar, memandang ke arah lain seraya tangannya mempermainkan ujung rambut panjangnya.

"Ayo, turun!"

Barbie melompat dari atas daun talas hias. Jatuhnya kaki ke tanah tak menimbulkan suara sedikit pun, padahal daun talas hias itu tingginya sekitar 70 centimeter, bertangkai kecil, basah, mudah patah.

Jika bocah biasa, tak akan mampu berdiri .di atas daun selunak itu. Jika tak memiliki keistimewaan ia pun tak mungkin dapat membuat kedua kaki Mak Bariah terpatri di tempatnya berdiri. Juga, ia tak akan bisa membuat hidung Buron bercucuran darah dengan lemparan permen karet seandainya si Barbie tak memiliki kesaktian yang cukup tinggi.

"Buron itu kan jelmaan jin, yang kesaktiannya bukan kesaktian kelas teri, tapi dia dibuat tak berkutik oleh bocah setan itu. Bayangkan saja, seberapa tinggi sebenarnya kesaktian yang dimiliki anak itu?!" kata Sandhi kepada Mak Bariah, setelah perempuan itu terbebas dari pengaruh gaibnya Barbie.

Bukan anak itu yang membebaskan. Ia tak mau membebaskan kaki Mak Bariah.

Maka, Kumala Dewi segera menepuk punggung Mak Bariah. Tepukan tangan pelan itu membuat kedua kaki Mak Bariah seperti terlepas dari belenggu yang menjeratnya kuat-kuat itu.

Kumala Dewi memberi isyarat dengan mata agar Mak Bariah dan yang lain meninggalkan tempat itu. Lalu,Kumala pun mendekati Barbie yang memetik bunga‑bunga kecil di tepian kolarn bias.

"Barbie, kamu sudah nggak suka ikut kakak lagi,ya ... ! "

"Suka. Aku masih betah tinggal bersama Kak Mala."

"Kalau masih betah kenapa kamu bikin jengkel kakak terus?"

"Enggak kok, aku coma bikin jengkel Mak Bariah dan Bang Buron."

"Itu sama saja memancing kakak untuk marah!" Barbie menundukkan kepala, bibir indahnya meruncing lucu.

"Kan kakak udah bilang berkali-kali, Barbie nggak boleh bandel. Harus nurut sama orang yang lebih tua. Kenapa Barbie nggak mau turuti nasihat kakak sih?"

"Nggg... nggg... habis, mereka bikin kesel aku sih. Orang aku nggak mau makan dipaksa, nggak mau ke dalam dipaksa... Aku kan nggak suka dipaksa­paksa begitu, Kak."

"Kamu bis.a jelaskan pada mereka, tapi tidak perlu harus usil, jahil, dan pamer kesaktian kayak tadi. Nggak boleh takabur. Orang yang takabur akan jatuh oleh ulahnya sendiri. Ngerti?"

Barbie mengangguk pendek. Ia tak berani pergi dari hadapan Kumala Dewi yang dianggap sebagai kakaknya sendiri. Padahal mereka bukan kakak beradik.

Bahkan Kumala sendiri tidak tahu siapa orang tua anak itu. Namanya pun tidak tahu, sebab ketika ia menemukan Barbie di alam lain yang disebut ruang hampa gaib, keadaan anak itu menyedihkan sekali. la juga terperosok ke situ-dan mengalami amnesia akibat terbentur-bentur kepalanya, sehingga ia tak ingat jati dirinya lagi .

Anehnya, ke saktian teropong gaibnya Kurnala tidak dapat untuk menembus kehidupan anak itu sebelumnya. Kumala juga gagal mengembalikan ingatan anak itu.

Yang dapat dicapai oleh teropong gaibnya Kumala hanya sebagian batas kesaktian anak tersebut. Hanya sebagian. Kumala tidak dapat mengukur secara keseluruhan potensi gaib yang dimiliki Barbie.

Nama Barbie itu sendiri diberikan oleh Kumala sebagai ganti nama yang sama sekali tak diingatnya. Wajah anak itu cantik mungil seperti wajah boneka, sehingga Kumala menamainya Barbie.

Dan, peristiwa terjebak dalam ruang hampa gaib merupakan kejadian yang menyimpan sejarah sendiri bagi Kumala, sehingga ia tak dapat melupakan Barbie begitu saja.

Hanya Barbie-lah satu-satunya teman Kumala yang bisa diajak bicara dan bisa diajak mencari jalan keluar dari alam tersebut. Di tambah lagi, secara tak sadar mereka berdua sudah saling jatuh hati, sehingga Kumala merasa punya kewajiban melindungi dan .mengembalikan kehidupan Barbie yang sebenamya.

Andai saja Kumala. tidak sedang berhadapan dengan kasus kehamilan Rayo, maka ia akan berusaha mempertemukan Barbie dengan orang tua kandungnya. Sebab ia yakin, Barbie akan lebih bahagia jika hidup bersama kedua keluarganya sendiri.-

Tetapi persoalannya sekarang menjadi tambah runyam, karena Barbie selalu bikin ulah menjengkelkan di depan siapa saja. Tidak ada orang yang ia takuti, selain Kumala. Tidak ada perintah yang ia patuhi, selain perintahnya Dewi Ular.

Barbie sering menggunakan ke­saktiannya untuk `ngerjain' orang lain, tanpa mem­pedulikan keselamaran jiwa orang tersebut. Kenakalan Barbie inilah yang membuat Kumala pusing tujuh keliling. Ia harus berangkat ke Kahyangan , Barbie tak mungkin dibawanya.

Tapi jika anak itu ditinggal, siapa yang bersedia mengasuh dan merawatnya? Tidak ada. Sandhi tidak sanggup. Buron mengaku akan kewalahan menghadapi anak misteriUS itu, begitu pula halnya dengan Mak Bariah. Semua menyatakan menyerah. Mereka takut celaka sendiri.

"Gue bisa mati nganggur kalau harus mengasuh dia!" ujar Buron terang-terangan menolak. "Anak itu punya kesaktian yang nggak jelas sumbernya tapi kayaknya udah pasti melebihi gue."

Baru sekarang mereka menolak perintah Kumala. Dan, Kumala sendiri tidak marah, karena sangat memaklumi keadaan yang memaksa mereka terang­terangan menolak perintahnya.

"Saranku, pulangkan saja ke tempat asalnya;'! bisik Sandhi.

"Saran yang bego," ujar Mak Bariah yang ikut dalam pembicaraan tersebut. "Sudah jelas-jelas Non Mala nggak tahu darimana asal anak itu, eeh pake lu saranin begitu?" •

"Maksudku... kembalikan saja ke alam gaib sana, tempat is ditemukan."

"Itu nggak mungkin," kata Kumala menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari ketenangan dalam kebingungannya.

"Tapi kalau kamu menunda-nunda keberangkatanmu ke Kahyangan, nanti 'perut Rayo keburu makin besar. Ingat, dia bisa melahirkan dalam hitungan hari!!" sahut Buron mengingatkan.

"Ya, aku hgerti. Aku juga mempertimbangkan hal itu,,Ron."

Semua diam. Semua berpikir dengan serius. Kumala dalam kebimbangan yang menyiksa batinnya.

"Dititipkan pada Bang Pram, bagaimana?" usul Sandhi dengan menyebutkan nama Pramuda yang dikenalnya sebagai kakak angkatKumala Dewi sekaligus boss utama di perusahaan tempat Kumala bekerja.

Maka, dalam benak Kumala terbayang kehidupan Pramuda dengan seorang istri dan seorang anak, di inana hampir tiada hari tanpa kesibukan bagi mereka.

Kumala Dewi pun menggeleng. "Nggak bisa.Barbie hanya akan merepotkan atau bahkan mengacaukan suasana rumah tangganya Pramuda dan Emmafie."

"Titipkan ke yayasan Yatim Piatu saja?" bisik Buron seperti orang menggerutu.

Setelah termenung sesaat, Kumala meng­gelengkan kepala lagi.

"Barbie justru semakin liar jika hidup di sana, karena nggak ada orang yang bisa melarang dan mencegah kenakalannya."

Beban pikiran Kumala Dewi tanpa disadari telah membuat rona kecantikannya tak memancarkan ke­indahan pesona sejati. Mirip sebuah cermin yang keruh akibat hembusan angin berdebu. Senyumnya tampak hambar. Tanpa getaran yang biasanya dapat membuat jantung, berdesir dan hati berbunga-bunga.

Kedatangan Kumala Dewi pada malam itu membuat Rayo Pasca sering menatap penuh curiga. Kumala sengaja menyembunyikan beban pikiran yang menyiksa jiwa itu. Ia tak ingin kekasihnya ikut merasakan siksaan batin tersebut.

Namun, agaknya Rayo segera dapat menerjemahkan makna senyuman hambar Kumala, sehingga ia berkata dengan tenang dan tetap romantis.

"Sayang, berangkatlah memenuhi undangan itu. Barbie biar bersamaku di sini."

Wajah cantik berbibir ranum sensual itu mulai terangkat. Ada sedikit kejutan lembut di hati Kumala begitu mendengar ucapan Rayo. Ia tak menyangka akin ada penawaran seperti itu dan sang kekasih. Padahal sebelumnya Rayo pernahmengatakan bahwa kenakalan Barbie yang didengarnya dari cerita Sandhi dan Buron, adalah bukan kenakalan biasa. Tapi kenakalan yang cukup berbahaya clan mengandung resiko bagi siapa pun pengasuhnya.

" Kenapa kamu tiba-tiba punya idebegitu, Ray?"

Rayo tersenyum kalem. "Kamu mungkin belum tahu, Barbie sering mainan telepon rumah. Dia sering telepon kemari, mengajakku main tebak-tebakan, atau memintaku mendongeng walau sebentar. Sehari bisa sepuluh kali ia meneleponku meski cuma sekedar ingin menertawakan kebodohatiku, ketika ikut gagal menjawab tebakannya."

"Tapi hanya sekali dia kepergok sedang mainan telepon, yaitu ketika ia belum tahu kegunaan telepone Sejak itu, Sandhi selalu mengunci telepon supaya nomornya nggak bisa dipencet-pencet lagi oleh Barbie."

"Bukankah kamu ,pernah bilang bahwa Barbie punya kesaktian yang unik dan cukup tinggi? Apakah rnenurutmu ia tidak bisa menelepon tanpa hams memegang gagang teleponnya, seperti yang string kamu lakukan dan kamar tidurmu?"

Dewi Ular menarik napas panjang: Ia mengakui hal itu bisa saja dilakukan Barbie karena memang pada diri gadis kecil itu ditemukan sebentuk kesaktian serupa dengan kesaktian yang ia miliki, yaitu menyentutisesuatu dari jarak jauh.

"Jadi menurutku, biarlah dia bersamaku di sini selama kau menyelesaikan urusan dengan pihak Kahyangan."

"Kau belum tahu seberapa tinggi kenakalan anak itu Ray."

"Setidaknya aku bisa belajar bagainiana mengatasi kenakalan seorang bocah. Kita kelak juga akan memiliki anak „,seusia dia juga, kan? Jadi.... Kenapa tidak, Lala?"
Dewi Ular hanya bisa tertegun memandangi kekasihnya. Keharuan yang indah melintas di hatinya manakala is mendengar Rayo Pasca sudah berkhayal tentang anak-anak mereka kelak. Tetapi persoalan yang mengganjal di hati Kumala bukan karena khayalan Rayo, melainkan tawaran Rayo yang masih diragukan itu.

Kenakalan Barbie dapat membuat kondisi kandungan Rayo mengalami gangguan, atau bahkan rusak dan membahayakanjiwa pemuda bermata teduh itu. Jika hal itu sampai terjadi, siapa yang akan bertanggung jawab? Padahal janin yang dikandung Rayo bukanlakjaninnya sendiri, tapi janin titipan yang diambil entah dari dalam kandungan wanita mana.

Sampai sepuluh menit lamanya Kumala belum menyatakan setuju dengan usul dan saran kekasihnya itu.

BULAN sabit menerawang di balik mega. Wajah. malam tak terlalu kelam. Samar-samar terlihat bayangan pohon jatuh ke tanah kering.

Tanda-tanda kehidupan masih terlihat di beberapa tempat.

Termasuk drdalam sebuah rumah bercorak bangunan lama, namun tak terlalu tua. Masih kelihatan sinar lampu di dalamnya yang berwama pucat. Bukan dari jenis neon, tapi dari bohlam biasa.

Sederhana. Begitulah kesan penampilan rumah yang halaman depannya cukup luas itu. Memiliki beberapa pohon buah yang tumbuh di tempat-tempat tertentu. Daunnya yang lebat, dahan-dahannya yang mengembang menyerupai payung, telah membuat rumah itu tampak teduh, namun jugs tnisterius. Temaramnya cahaya bulan sabit seperti malam ini , membuat rumah itu seakan-akan memancarkan pesona klasik berbau mistik.

Rumah itu memiliki ruang tamu tak terlalu lebar. Di ruang tamu itu terdapat pintu setinggi 3 meter. Pintu tersebut menghubungkan ruang tamu dengan ruang tengah. Lagi-lagi ruang tengahnya juga tidak terlalu lebar. Ada lemari hitam berukir dengan kaca agak buram. Lemari itu diletakkan di tengahjalan masuk, sehingga ,keberadaan ruang tengah tak dapat dilihat dengan bebas dan ruang tamu.

Di balik almari berisi barang pecah belah model lama itu terdapat meja marmer bundar dengan empat kursi kayu merigelilinginya. 'Perabot yang ada, itu semuanya tergolong barang kuno dan antik. Di meja marmer tanpa taplak itulah terjadi pembicaraan serius yang dilakukan oleh dua orang.

Masing-masing duduk di kursi berseberangan meja.

"Yang sangat kusayangkän adalah keterlambatanmu. Kenapa baru tadi siang kamu.dan istrimu datang meminta bantuanku? Seharusnya saat itu, atau paling tidak kemarin kalian datang ke mari. Jadi, aku bisa melacaknya dengan mudah."

"Yaaah, maklum sajalah, Mak... saya dan istri saya sama-sama panik. Mak Ayu bisa bayangkan sendiri, kayak apa bingungnya kami setelah tahu keadaan yang sebenarnya. Ranni, istri saya itu, cuma bisa nangis dan ketakutan. Saya sendiri, sibuk menenangkan dia. Nggak ngerti mesti bagaimana."

"Hmmmmtnm... ," perempuan yang dipanggil Mak Ayu itu manggut-manggut dalam gumam panjangnya yang lirih. Matanya menatap nanap wajah lelaki di depannya.

"Apa ada bedanya datang sekarang dengan kemarin, Mak?"

"O, ya beda sekali dong! Kalau kalian datang kemarin, berarti belum lewat dari tiga hari. Kalau sekarang kan sudah lewat dari tiga hari. Peristiwa gaib yang terjadi lebih dari tiga hari, maka bekas hawa gaibnya sudah hilang tuntas. Bersih. Tapi kalau sebelum lewat dari tiga hari, maka bekas hawa gaibnya masih tertinggal dan rnudah, dilacak siapa pelakunya Mau ke mana perginya."

Kini ganti lelaki berusia 32 tahun itu yang menggumam dan manggut-manggut. Raut wajahnya menggambarkan penyesalan hati yang masih terbungkus kesedihan.

Pria berkulit coklat yang masih tampak muda dan memiliki ciri ketampanan pria Timur Tengah itu kembali merasa berdebar-debar lagi. Debar-debar kali ini adalah debar-debar aneh yang ketiga kalinya ia rasakan sejak bicara empat mata dengan Mak Ayu.

"Kenapa jadi deg-degan lagi sih? Tadi udah nggak, sekarang deg-degan pikirnya dengan heran. Tak lama kernudian debar-debar yang ia rasakan itu hilang. Normal kembali. Bertepatan dengan terdengarnya suara Mak Ayu berkata padanya.

"Kata Astin, teman istrimu yang tadi siang ikut mengantar kalian kemari itu, sudah sarankan berkali­kali agar kalian segera datang kemari. Dia bilang, sejak peristiwa malang itu menimpa istrimu, dia sudah kasih tahu tentang keberadaanku dan kemampuanku di dunia gaib. Tapi kalian nggak tanggapi saran itu, ya? Kalian meragukan kemampuanku, kan?"

"Jujur saja, bukan kemampuan Mak Ayu yang kami ragukan, melainkan keseriusan Astin yang kami ragukan. Soalnya Astin.suka becanda " .

"Fardan...," potong Mak Ayu. "Aku lebih bertoleransi pada orang yang berani mengakui kesalahan atau kelemahannya, daripada orang yang berbelit-belit cuma mau cari alasan buat menutupi kebodohannya."

Pria berambut agak ikal itu akhirnya tersenyum malu.

"Maafkan kami, Mak Ayu. kalau toh waktu itu saya dan Ranni menyangsikan kernampu an Mak Ayu, saya rasa itu hal yang wajar. Karena saya dan Ranni belum pernah kenal Mak Ayu dan informasi tentang Mak Ayu hanya kami dapatkan dari Astin."

"Karena aku pernah .membantu Astin mendapatkan sesuatu yang diimpikan dalam hidupnya. Tanpa bantuanku, Astin nggak akan kawin dengan anak pengusaha besar yang sekarang jadi suaminya itu."

Fardan menggumam dalam hatinya, "O000 rupanya begitulah rahasia perkawinan Astin dengan anak pengusaha kaya itu? Jadi... Rangga mengawini Astin bukan karena cinta, tapi karena dipelet oleh Astin melalui kemampuannya mak Ayu?"

Pikiran itu segera disingkirkan dari benak Fardan. Ia datang ke rumah itu bukan untuk mengungkap rahasia perkawinan Astin dengan Rangga, tapi untuk suatu kepentingan nasib rumah tangganya dengan Ranni.

" Sekali, lagi, saya dan istri saya mohon maaf kalau sempat meragukan Mak Ayu," ulang Fardan dengan merendah, dan agaknya hal itu disukai Mak Ayu yang manggut-manggui lagi sambil melepaskan napasnya.

"Kembali ke masalah saya, Mak Ayu... kata Fardan lagi. "Jadi, seperti yang Mak Ayu bilang tadi siang, bahwa kandungan istri saya bukannya hilang tapi memang ada yang mencurinya, begitu kan?"

"Ya. Dan, kalau kalian datang sebelum tiga hari dari hilangnya kandungan istrimu, maka aku bisa dengan mudah melacak di mana sebenarnya janin dalam kandungan istrimu herada, dan siapa pelakunya pun bisa kulihat dengan mudah."

"Saya paham, Mak Ayu. Sekarang keadaan sudah begini, Sudah lebih dari tiga hari kandungan istri saya hilang. Apakah berarti karni nggak bisa dapatkan kembali janin keturunan kami itu, Mak Ayu?"
"Sulit, Far..."

‘Kalau memang nggak bisa, lalu untuk apa Mak Ayu tadi siang suruh saya datang lagi pada malam ini? Kenapa saya hams datang, tanpa membawa istri saya, dan tanpa diantar oleh Astin?"

Lelaki berkumis tipis dan sedikit bercambang itu menatap dengan kesan protes. Rasa jengkel mulai tumbuh dalam hatinya. Tadi siang ia datang bersama istrinya, diantar oleh Astin.

Keluhannya sudah disampaikan, dan Mak Ayu sudah menjelaskan dengan sangat meyakinkan, bahwa hilangnya kandungan Ranni adalah akibat kejahatan gaib, yaitu ada pihak yang mencuri kandungan itu dengan tujuan yang belum jelas.

Tadi siang Mak Ayu menyatakan akan berusaha membantu mengembalikan kandungan Ranni, tapi is minta Fardan datang lagi pada malarn harinya untuk pembicaraan lebih lanjut. Dan, sekarang Fardan sudah datang tapi Mak Ayu justru terkesan -semakin menghancurkan harapan Fardan bersama istrinya.

Protes kecil itu ditanggapi Mak Ayu dengan tenang.

"Secara perhitungan waktu, kandungan istrimu yang hilang itu memang sudah tidak bisa dilacak lagi keberadaannya. Tetapi masih ada satu cara lagi yang bisa kulakukan untuk mendapatkan kembali kandungan istrimu itu."

Wajah kesal Fardan mulai mengendur. Lama-lama wajah itu memancarkan keceriaan. Seolah-olah tunas- tunas harapan mulai tumbuh lagi di ladang hati Fardan. Semangatnya untuk merebut kembali calon anak pertamanya itu terlihat mulai berkobar lagi.

"Terima kasih, Mak... terima kasih sekali kalau Mak Ayu masih mau membantu saya mendapat kan kembali kandungan istri saya, rnelalui cara lain yang Mak Ayu katakan itu. Sampai kapan pun saya tetap penasaran dan akan berusaha dengan berbagai cara. untuk mendapatkan kembali kandungan istri saya. Sebab yang ada dalam kandungannya itu adalah anak pertama kami, Mak Ayu. Saya tidak mau kehilangan .anak pertama! Karena saya masih berpegang pada adat kepercayaan dari leluhur yang menyebutkan, bahwa.. anak pertama adalah mahkota bagi keluarga."

Adat kepercayaan itulah yang membuat Fardan nyaris pingsan ketika mendapat penjelasan dari dokter yang memeriksa kandungan Ranni, bahwa janin yang dikandung Ranni:hilang tak berbekas. Bahkan hasil pemeriksaan lebih lanjut menyebutkan, perangkat kehamilan dalam perut Ranni juga ikut hilang. Ranni tak ubahnya seperti kaum laki, tanpa perangkat kehamilan di dalam perutnya.

Secara medis hal itu sulit dijelaskan. Tetapi secara magis peristiwa itu mudah dijelaskan oleh Mak Ayu. Menurutnya ada pihak yang punya kepentingan dengan kandungan Ranni.

Ia mencurinya dan menyembunyikan di suatu tempat yang tidak mudah dilacak oleh siapa pun, selain oleh mereka yang memiliki kekuatan gaib kelas atas atau kesaktian tingkat tinggi.

Maka, begitu rnendengar Mak Ayu masih punya satu caralagi u uk mengembalikan kandu ngan Ranni, Fardan mulai berdebar-debar penuh harap. Senyum . harapan ceria mulai membayang diwajah bercambang halus dan tipis.

Ia menunggu Mak Ayu melanjutkan penjelasannya, tapi yang ditunggu justru tak segera bicara. Mak Ayu menatap Fardan dengan tatapan mata yang makin lama dirasakan Fardan semakin aneh.

"Kenapa dia memandangku begitu?" pikir fardan mulai salah tingkah. Ia coba untuk menenangkan sikapnya. Namun hati tetap berkecamuk bagaikan berbisik di telinganya sendiri.

"Sorot pandangan matanya menjadi sayu. Senyum kecil yang tersungging di sudut bibirnya seperti mengandung maksud tertentu? Wah, gawat! Kenapa jadi begini; ya?"

Fardan tak mungkin memungkiri pendapat hatinya yang mengatakan, bahwa Mak Ayu memang sosok perempuan yang ayu. Ia masih muda, sekitar 35 tahun. Sebenarnya belum pantas dipanggil Mak. Tapi mungkin panggilan itu punya makna sendiri, sehingga menjadi pantas apabila ia dipanggil: Mak Ayu.

Dari tadi Fardan terganggu kecantikan Mak Ayu yang bertubuh sekal, padat berisi, dengan sepasang dada yang montok. Mengundang selera lelaki untuk melamun jorok. Dengan alis yang tebal namun tersusun rapi, dan rambut ikal yang panjang selewat bahu, Mak Ayu sering membuat jantung Fardan berdetak-detak dan hati berdesir-desir. Tatapan mata yang agak besar namun melentur. sayu itu bagaikan pisau asmara yang siap rnerobek hati lawan jenisnya dengan rintihan mesra.

"Dan tadi tatapan matanya sering membuatku merasa melambung dan melayang-layang dalam keindahan. Jangan-jangan tatapan matanya itu mengandung kekuatan magis? aku hams hati-hati nih. Jangan sampai kena ilmu peletnya dia," bisik hati Fardan untuk mengingatkan dirinya sendiri.

Tetapi yang dirasakannya semakin lama semakin jelas, bahwa hasrat kejantanannya bertambah besar. Nyaris mengalahkan kesadaran batinnya. Fardan pun merasakari kegelisahan yang kian menjadi-jadi dalam hatinya. Apalagi sekara4 suara Mak Ayu tidak setegas tadi, tapi terdengar lebih lembut, lebih mendayu, dan lebih sering disertai desahan napas tipis.

"Dari sorot matamu, aku menemukan bayangan 'keberhasilan.. Keberhasilan mendapatkan kmbali anak pertamamu."

"Oh, ya? Benarkah?" Fardan semakin berseri-seri.
"Tapi aku harus gunakan cara yang sangat berat. Maksudku, berat dikerjakannya, dan berat syaratnya. Mungkin kamu nggak sanggup memenuhi syarat itu. Padahal syarat itu adalah maharnya. Mahar ini tebusan."-

Kata-kata yang diucapkan dengan pelan, lirih, dan bercampur sedikit desah napas itu membuat Fardan tertegun menatap tak berkedip. Bukan hanya kata-kata Mak Ayu yang diperhatikan Fardan, tapi gerakan bibirnya juga sangat diperhatikan. Bibir yang sedikit tebal tapi sangat sensual itu setiap kali bergerak bagaikan ajakan mesra menuju ranjang cinta.

"Mau tambah minumanmu?"

Fardan menggeragap. Ia tidak lagi terlena. "Hmm, eeh... nggak usah, Mak. Ini kan masih ada..."

"Pelayanku tadi ke mana, ya? Udah tidur kali?"

Mak Ayu bangkit dari duduknya. Ia pergi ke belakang. Mencari pelayannya, tapi agaknya si pelayan sudah tidur, sehingga ia kembali lagi ke tempat semula.

Namun kali ini is tidak duduk di kursi yang tadi. Ia berdiri di samping Fardan, agak menyandarkan pinggulnya di tepian meja.

Fardan beiusaha tetap tenang, tapi sebenarnya darahnya mengalir deras akibat mencium aroma wangi, parfum yang dipakai Mak Ayu. Wewangian itu semakin membius jiwa. Sulit dijinakkan. Agar tak ketahuan salah tingkahnya, Fardan menutupinya dengan sebuah pertanyaan yang bemada series.

"Apa, syarat yang hams saya penuhi, Mak?"

"Aku sangsi, apa kau sanggup memenuhinya."

"Demi mendapatkan kembali janin anak pertama saya, seberat apapun syaratnya, saya akan berusaha memenuhinya, Mak."

Dalam keadaan masih berdiri santai kurang 'dad satu jangkauan Fardan, Mak Ayu menyunggingkan senyuman tipi; yang lebih terkesan seperti senyum pembangkit gairah.

"Benar, kau akan memenuhi syarat itu?"

Fardan menatap sambil mengangguk. "Ya, akan saya penuhi. Katakan saja, apa syarat atau mahamya?"

Mereka beradu pandang dalam kebisuan selama lima detik. Kemudian terdengar suara Mak Ayu menjawab pertanyaan tadi.

"Bercinta."

Seperti tersundut puntung rokok hati Fardan. Tersentak jantungnya, lalu bergemuruh suara detaknya di dalam dada. Jawaban itu sebenarnya didengar dengan jelas, namun Fardan berlagak sangsi dengan pendengarannya sendiri. la kerutkan dahi tanda tak jelas dengan jawaban Mak Ayu.

"Tak ada mahar lain yang dapat menggantikannya. Karena, di puncak kepuasan bercintaku itulah kudapatkan kekuatan untuk menembus lapisan dimensi gaib, dan mencari kandungan istrimu di sana. Bahkan akan kutangkap pencurinya dan kuhancurkan dia di depan matamu. Jadi, kau harus bisa memuaskan hasrat cintaku, Fardan. Apakah kau keberatan?"

Fardan sungguh sulit melontarkan kata. Kerongkongannya terasa kering. Sekujur tubuhnya terasa gemetar. Maka, yang dapat is lakukan hanya tersenyum-senyum tak jelas maksudnya.

Mak Ayu sedik4 membungkuk agar lebih dekat lagi.
"Atau kau tak mampu memuaskan gairahku?" "Hmm, eehh . kalau... kalau soal itu sih... hmm saya ragu.. ."

Karena ia menundukkan wajah, maka Mak Ayu meraih dagunya, kemudian mengangkatnya hingga saling beradu pandang. Jarak wajah kedu anya sangat dekat. Mak Ayu tidak perlu bersuara keras. Cukup dengan berbisik mendesah sudah pasti dapat didengar oleh telinga Fardan.

"Buktikan kalau kau memang mampu memuaskan hasratku... Terbangkan aku di puncak kepuasanku, maka akan kucari janin anak pertamamu yang hilang itu..."

"Mak...." Fardan pun bersuara desah.

"Lakukan... Fardan..."

(cut : page trouble no jelas )

Gemuruh jantung Fardan semakin kuat, setelah ia tahu bahwa ternyata Mak Ayu hanya mengenakan gaun itu, tanpa selembar kain lagi di dalamnya. Mungkin kain yang harusnya ada di balik gaun sudah ia lepaskan ketika ia berlagak mencari pelayannya tadi. Fardan dapat merasakan apa yang selama ini ditutupi oleh gaun itu, sehingga sentuhannya semakin membuat Mak Ayu mendesah dan mengerang berkali-kali.

( trouble again page gurem no jelas )

Meja bundar tak seberapa besar. Namun permukaan meja itu masih bisa digunakan Mak Ayu untuk membaringkan badannya setelah semua pakaian dibuangnya ke lantai. Rambutnya yang panjang betjuntai berayun-ayun di tepian meja, akibat gerakan tubuhnya yang mengamuk di saat Fardan menjelajahinya dengan mulutnya.

Mak Ayu sengaja tak mau membawanya ke ranjang, karena ia menyukai emosi spontan yang dapat membangkitkan gairah semakin liar.

Tak ada orang lain di rumah itu kecuali mereka dan pembantu yang sudah tidur. Maka, Mak Ayu merasa sebagai penguasa kebebasan, sehingga ia dapat berbuat apa saja yang ia mau. Dan, anehnya, Fardan tak pernah bisa menolak .apa saja yang diperintahkan Mak Ayu.

Jari tangan Mak Ayu kini menjentik. Seperti memanggil seekor burung. Kliik... ! Seketika itu semua lampu menjadi padam. Termasuk lampu yang ada di dapur. Dalam kegelapan itulah Mak Ayu memperbudak Fardan semakin gila lagi. Pria berwajah Timur Tengah itu menjadi patuh dan setia melayani keinginan sang dukun sexy, meski pun sebenarnya ia telah letih, namun toh ia tak mampu menghindari tuntutan mesra Mak Ayu.

Yang terbayang di benak Fardan hanyalah amukan birahi dan janin anak pertamanya. Rasa sesal akibat telah mengkhianati sang istri dipendamnya jauh-, jauh ke lubuk hati. Biarlah ia rela melakukan semua ini asalkan ia dapatkan kembali kandungan istrinya, yang akan melahirkan anak pertamanya itu.

Namun, benarkah Mak Ayu mampu memenuhi janjinya? Apakah Mak Ayu bisa mengetahui dimana kandungan itu berada *Clan siapa pencurinya?

Tak seorang pun tahu persis, siapa Mak Ayu ini sebenamya ? Dilihat dari caranya mematikan semua lampu hanya dengan menjentikkan jari, maka dalam hati Fardan mengakui kehebatan MakAyu. Perempuan itu mempunyai kekuatan gaib yang cukup meyakinkan.

Tapi seandainya Fardan tahu bahwa yang mencuri kandungan istrinya itu adalah Dewa Jenaka, utusan dari Kahyangan, apakah ia akan yakin bahwa Mak Ayu dapat menangkap pencurinya ? Apakah Mak Ayu punya kesaktian yang cukup untuk menandingi kesaktian Dewa Bahakara alias Dewa Jenaka itu ?

Andai benar Mak Ayu bisa menemukan kandungan istri Fardan berada di perut Rayo Pasca, apakah ia akan merampas kandungan itu dengan merusak perut Rayo? Apakah ia juga rnemiliki kesaktian yang cukup untuk berhadapan dengan Dewi Ular alias Kumala Dewi itu?

HUTAN pinus menghampar luas di kaki bukit. Bukit itu tak seberapa tinggi. Lebih menyerupai gundukan tanah, namun panjang dan membentang menyerupai benteng pertahanan alarni.

Hutan pinus itu ada di seberang sungai. Dan seberang sungai dapat dilihat jelas keindahan hutan pinus itu. Sungguh mengagumkan.

Setiap pohon pinus tumbuh menjulang tinggi, melebihi ketinggian pohon pinus pada umumnya. Dari bawah sampai atas daunnya tumbuh rapi berbentuk prisma. Pucuknya yang paling tinggi meruncing tapi tidak meliuk turun.

Tetap tegak mirip besi penangkal petir. Keindahan hutan pinus itu terletak pada warnanya.

Setiap pohon mempunyai daun berwarna utuh. Ada Yang daunnya berwarna biru, ada yang semua daunnya berwarna merah, ada pula yang berwarna jingga dan sebagainya. Semua warna ada di hutan pinus itu. Dan, hebatnya, tidak ada dua pohon yang memiliki warna sama tumbuh bersebelahan, Selalu berselang-­seling, sehingga komposisi warnanya memiliki tata seni yang tinggi.

Hutan pinus itu memiliki tanah yang tertutup bulu. Sebenarnya rumput, tetapi saking lernbutnya jadi menyerupai bulu-bulu halus. Semua rumput bulu tumbuh rata denganwarna ungu. Ketebalan warna ungunya pun rata semua. Selain itu di atas permukaan tanah terdapat kabut tipis, bening, dan memancarkan warna hijau. Mirip fosfor.

Kabut itu hanya melayang-layang setinggi dua jengkal dari permukaan tanah berumput ungu. Kabut itu pun merata sampai ke atas perbukitan di seberang sana. Ketinggiannya stabil. Agaknya kabut itu menyebarkart keharuman yang lembut dan hangat. Begitu Pula batang-batang pinus yang tumbuh beijarak renggang itu memiliki wewangian sendiri.

Keharuman batang pinus dan kabut hijau bercampur menjadi sate, membentuk aroma keharuman yang tajam tapi menyegarkan. Tidak menyengat, tidak kasar. Kelembutan aroma wanginya yang elegan dapat membuai jiwa, bahkan- mampu memaksa siapa pun untuk berkhayal tentang keromantisan, terutama bagi 'yang belum pernah datang ke hutan pinus itu.

"Berhenti di sini dulu, ah... ," ujar sebuah suara hati yang baru saja tiba di seberang sungai.

Sungai itu. sangat lebar. Rentang tebingnya mencapai sekitar 100 meter lebih. Hanya mereka yang memiliki kemampuan terbang saja yang bisa melompati rentang sungai untuk mencapai hutan pinus yang indah itu. Siapa pun yang gagal melompati sungai dan jatuh ke bawah, maka ia akan menghadapi kesulitan kedua, yaitu memanjat tebingnya yang memiliki permukaan datar, halus, dan licin seperti permukaan cermin.

Kedalaman sun-gai itu tidak dapat diperkirakan. Talc terlihat bagian dasarnya, karena airnya berwarna hitam kental seperti aspal mendidih. Arusnya cukup deras. Bergolak seperti lahar panas. Mengeluarkan uap seperti belerang. Tapi tak berbau. Diperkirakan jarak tepian sungai sampai ke permukaan air mencapai sekitar 100 meter juga. Sebenarnya sungai itu lebih tepat dikatakan sebagai jurang. Hanya saja, sebagian penghuni Kahyangan justru menyebut tempat itu dengan istilah parit

Mungkin bagi para dewa, melompati sungai lebar itu semudahmelompati parit, sehingga mereka lebih suka menyebutnya parit. Dan, parit yang mengerikan itu adalah tapal batas wilayah Kahyangan yang kedua. Jika di bumi akan disebut Sektor II.

Pada saat itu Dewi Ular sengaja berhenti di tepi sungai tersebut. Setelah tadi ia berhasil melintasi perbatasan pertama dengan mudah, tanpa gangguan apapun dan tanpa dilihat siapa pun, maka kini ia tiba di perbatasan kedua dalam keraguan. Apakah ia harus melanjutkan perjalanannya? Berarti la harus melompati sungai dan memasuki hutan pinus indah itu. Atau diam di situ saja tak perlu memasuki hutan pinus?

"Kalau aku nekat masuk tanpa Dewa Jenaka, bagaimana, ya?" pikir dewi Ular. "Ntar jadi ribut kalau aku masuk tanpa dia? Huuhh, ke mana sih dia? Sepanjang perjalananku sampai sini nggak kutemukan jejak gaibnya. Lalu sekarang... , ngapain aku di sini bengong saja? Kok jadi kayak orang bego sih aku ini?"

Mungkin karena pikiran Kumala sedang kusut, bingung memikirkan kekasihnya yang hamil, akibatnya ia merasa serba salah dalam setiap langkah dan tindakannya. Untuk itu, Kumala segera melakukan terapi kejiwaan bagi dirinya sendiri. Melalui olah napasnya Kumala menenangkan pikirannya yang simpang siur, dan mengembalikan ketenangan batinnya.

Terapi olah napas itu bisa ia lakukan sambil apa saja, termasuk sambil memperhatikan seekor burung yang baru saja hinggap di salah satu pohon pinus seberang sungai. Burung itu berbulu indah, warna-wami dan berkilauan. Ekornya panjang berjuntai ke bawah, mirip burung Cendrawasih.

Tapi kepalanya memiliki bulu tegak menyerupai mahkota yang warnanya merah memancarkan cahaya berpendar-pendar. Kadang redup, kadang terang. Burung itu tidak terlalu besar, hanya seukuran burung kakatua. Tapi karena bulunya lebat, maka kelihatan .gemuk.

"Aiih, bagus sekali burung itu?! Warnanya indah, bentuknya lucu, bikin gemes aja!" Kumala menggeram gemas dan senang. Matanya tampak berbinar-binar memandangi burung aneh yang berpindah-pindah dari dahan yang satu ke dahan yang lainnya itu.

"Aku ingin membawanya pulang ke rumah. Barbie pasti suka dengan burung lucu itu!"

Sebagai putri dewa, Kumala punya cara sendiri untuk menangkap seekor burung. Tidak sulit. Selama niat utamanya bukan untuk mencelakai hewan itu, maka sangatlah mudah untuk dapat menangkapnya.

-"Apa benar kau bisa menangkapku?"

Tiba-tiba terdengar suara seperti berbisik di telinga Kumala. Sempat berpaling ke sana-sini wajah Kumala mencari pemilik suara itu, namun jelas tak ada yang bicara dengannya. Mulailah hati Kumala curiga dan radar gaibnya pun mulai diaktifkan.

"Kalau kau benar-benar bisa menangkapku, coba lakukan sekarang juga."

Suara seperti bebek itu terdengar lagi. Tidak terlalu brisik, tapi cukup jelas di telinga Kumala. Ia pun tersenyum setelah menemukan gelombang suara gaib yang ternyata berasal dari burung indah itu.

Dengan menggunakan kesaktiannya Kumala pun mengirimkan suara batinnya kepada burung indah di seberang sana .

"Kaukah yang bicara padaku, Burung indah?"

"0, kamu bisa mendengar suaraku ya? Wah, hebat kamu."

"I'amu lebih hebat dariku. Apa kamu punya nama, Kawan?"

"Punya Tapi namaku bukan Kawan."

Di seberang sini Kumala tertawa kecil nyaris tanpa suara.

Burung bersuara seperti bebek itu berkata lagi.

"Kau bisamemanggilku: Jelita."

"Jelita? Ooh, nama yang bagus sekali itu. Sesuai dengan keindahan bulumu."

"Jangan memuji begitu, nanti aku lupa daratan. Kalau aku lupa daratan nanti aku terbang terus. Capek kan. 0, ya... kamu juga punya nama?"

"Panggil saja aku: Kumala."

""Siapa? Kumala? "

"Kau,pernah mendengar nama itu?"

"Hmmun, Kumala... ? Waduuh. aku nggak ingat lagi, pernah apa belum, ya? Kayaknya pernah, tapi kayaknya belum."

"Ya sudahlah... nggak perlu dibahas. Yang jelas, sekarang aku ingin membawamu pulang ke rumahku. Apakah kau mau, Jelita?"

"Selama kamu bisa menangkapku, aku akan tunduk pada perintahmu, Kumala. Datanglah kemari dan tangkaplah aku, hek, hek, hek, hek... !"

Burung indah itu tertawa bernada menantang. Kumala jadi semakin geregetan. Ia ingin buktikan kemampuannya biar si Jelita tak meledeknya lagi.

Tetapi baru saja Kumala ingin bergerak menyeberang, tiba-tiba muncul seekor burung hitam yang cukup besar, seperti seekor burung rajawali.

Burung hitam itu melayang muncul dari sebatang pohon tinggi .berdaun lebat, mirip pohon beringin. Tapi batangnya yang menjulang tinggi mirip batang pohon jati. Pohon itu tumbuh di sisi kanannya Kumala, berjarak sekitar 50 meter dari tempat Kumala berada.

Agaknya burung hitam bercakar tajam itu mengincar sesuatu dari balik kelebatan potion tersebut.

Ketika ia melesat terbang menimbulkan suara gemuruh. Daun-daun pohon itu seperti diterjang angin badai. Suara gemuruh itu memancing perhatian Kumala Dewi.

"Burung apa itu? Hemmm, sepertinya burung itu sangat liar dan ganas? Oooh, dia bukan menuju ke arahku, tapi... tapi mau menuju ke tempat si Jelita?!"

Burung besar bérkepala hitam seperti jelaga itu memiliki sepasang mata yang lebar. Menyeramkan. Tampang angkernya terlihat jelas ketika ia terbang , pelan-pelan mendekati arah sungai besar itu. Bahkan sempat memutar arah dulu, mengelilingi pohon tempat persembunyiannya tadi.

Sepertinya ia agak ragu untuk langsung menuju hutan pinus, seolah-olah ia tahu bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh Kumala.

"Hei, Jelita... pergilah dulu ke lain tempat. Ada burung angker sedang mengincarmu," kata Kumala.

Si Jelita seperti tak menghiraukan anjuran tersebut. Ia melompat dari dahan yang satu ke dahan ya: ig lain dengan lincah, seperti sedang bersenang­-senang sendirian. Tiba-tiba burung angker itu muncul dengan kecepatan terbang cukup tinggi. Sasarannya jelas-jelas menuju ke tempat si Jelita. berada. Wuussst .... !! .

"Oh, gawat! " Dewi Ular sedikit kaget melihat burung itu tahu-tahu sudah melesat menyeberang sungai besar Jelita terancam. Kumala tak bisa diatn. Ia lepaskan pukulan sinar hijaunya dari tangan kanan. Tetapi sebelum tindakan itu dilakukan, lagi-lagi Kumala dibuat tercengang kaget oleh keadaan burung angker itu.

Zuuuubb, wuuusss... !

"Keakk !!"

Burung angker itu memekik tak bisa keras tak bisa panjang. Sangatpendek. Karena ketika ia melayang di atas sungai besar, tiba-tiba tubuhnya terbakar dan terbungkus api. Api yang membungkusnya sangat cepat; hanya dua detik, kemudian padam.

Burung itu memang masih melayang tapi sudah tak punya bulu, tak punya daging dan tak punya apa-­apa, selain tinggal kerangka tulang-tulangnya saja. Berwarna hitam arang. Kerangka tulang burung itu akhirnya berantakan dan berjatuhan di kedalaman sungai besar itu.

"Gila... ?! Hanya dalam sekejap burung itu berubah jadi tulang-belulang, dan akhirnya hancur berantakan. Wah, wah, wah... sungai ini mengandung uap beracun yang sangat gangs?! Beruntung bukan aku duluan yang menyeberang ke sana. Coba kalau aku duluan, oooh... pasti aku sudah menjadi seperti dia?!"

Dewi Ular menarik napas dalam-dalam. Ia merasa bersyukur dan lega, karena merasa lolos dari jebakan yang mematikan. Sekarang ia bisa menyimpulkan bahwa sungai besar itu memang dijadikan parit pertahanan bagi pihak Kahyangan. Jika ada pihak yang bermaksud jahat ingin menyelinap ke wilayah Kahyangan, mereka akan mati hangus saat melintasi parit maut itu.

"Kalau begitu..," pikir Kumala. Untuk sesaat is menutup jalur gaibnya supaya kata-kata dalam benak atau batinnya tidak didengar dari seberang sana.

"Kalau begitu,Jelita tadi sengaja memancingku agar menyeberang ke sana, ,dan aku akan terblakar seperti burung tadi dong? Wah, kalau begitu.. jahat sekali hati burung indah itu?"

Kini jalur gaibnya dibuka lagi. Ia langsung mendengar suara si Jelita yang tampak masih terbang pendek berpindah-pindah dahan.

"Hey, Kumala. katanya kau mau tangkap aku? Aku sudah lama menunggumu. Ayo, tangkap aku! Kalau aku jenuh menunggu, aku pindah ke tempat lain yang jauh dari sini. Kau kehilangan kesempatan untuk menangkapku, Kumala. Ayo, cepat tangkap aku kalau memang kau mampu, hek, hek, hek, hek... !"

"Jelita, rupanya kau memang bertugas menarik perhatian pihak lawan agar menyeberangi sungai ini. Ketika ia menyeberang, maka saat itulah ia mati karena tipu dayamu. Hmm.... Caramu menghancurkan lawan sangat halus, Jelita. Tapi cara itu adalah kebusukan bagi -pihak yang ingin berteman denganmu."

"Hek, hek, hek, hek... cerdas juga kau rupanya. Tapi kau belum tahu, Kumala... bahwa bagiku tidak ada teman yang berada di seberang sana. Semua temanku pasti berada di seberang sini, bukan di tempatmu berada, Kumala. Jadi, kalau ada yang berada di tempatmu, berarti dia adalah lawan yang harus kuhancurkan."

"Kau punya kelicikan. Tapi tidak semua kelicikanmu selalu berhasil. Aku akan mengalahkan kelicikanmu, Jelita."

Burung itu menertawakan kata-kata Kumala.

"Jangan sesumbar di tepi neraka, Kumala: Dan tadi kau hanya bisa sesumbar terus, tanpa ada bukti-­bukti kemampuanmu. Untuk apa? Lama-lama Parit Kematian yang ada di depanmu akan menghisap semua darahmu hingga kering kerontang. Kalau kau memang punya kemampuan menangkapku, buktikan sekarang juga! Jangan hanya bisa koar-koar dari seberang sana ..!! "

"Rupanya kau belum tabu siapa aku, Jelita."

"Belum. Apa kau hebat? Tunjukkan kehebatanmu padaku! Ayo, tunjukkan.. "

Dewi Ular diam, menggumam dalam hati. Menganggap hebat si Jelita, karena setiap kata-katanya menimbulkan rasa penasaran pihak lain, sehingga pihak lain akan menyeberangi Parit Kematian dan hancur seperti burung angker tadi. Kumala mengakui •kepandaian si Jelita dalam mempengaruhi.pikiran lawan, dan membuat lawan tahu-tahu terjerumus daiam kematiannya.

"Heeey, Kumala cantiiik... kalau kau tak punya kemampuan menangkapku untuk apa kau berdiri di situ terus? Pulang sajalak Nak. Cuci tangan, cuci kaki, terus bobo, ya Sayang. Kamu masih anak ingusan. Nggak baik main sampai ke tempat ini, Nak. hek, hek, hek, hek..."

Dalam hatinya Dewi Ular tersenyum tenang. Jelita sengaja memancing emosi lawannya lewat penghinaan. Bisa saja Kumala segera pergi dan tidak terpengaruh dengan ejekan apapun yang dilontarkan si Jelita. Tapi dia datang ke situ karena ada tujuan. Bukan sekedar ingin jadi penyusup murahan. ada si Jelita atau pun tidak, Kumala tetap harus menyeberangi Parit Kematian.

Maka, kata hatinya pun berseru kepada si Jelita.

"Aku akan datang ke tempatmu, Jelita!"

"O,.ya? Ornong kosong yang keberapa kalinya ini? Hek, hek, hek, hek... !"

Si Jelita rupanya memang belum tahu siapa yang sedang dihadapi di seberang sana. Ia juga tidak tahu bahwa Kumala Dewi mempunyai kesaktian yang bernama Aji Cakra Saiju, anti panas dan anti beku. Kesaktian itu is dapatkan dari Dewa Nathalaga yang kesohor angker dan disegani di kalangan para dewa. Maka, kali ini Kumala menggunakan kesaktiannya si Dewa Perang itu, kemudian melesat cepat menyeberangi Parti Kematian.

Wuuubb, wuuussshh... !

Dewi Ular yang kali ini sengaja tidak merubah diri dalam bentuk sinar hijau, seperti biasanya, kini tampak jelas melayang melintasi pertengahan Parit Kematian. Dan semburan gas panas mengandung api segera menerjang tubuhnya. Dalam sekejap saja ia sudah terbungkus api, lalu dalam sekejap pula api itu padam. Zuuub... ! .

Berubah menjadi gumpalan asap hitam yang menyentak ke atas satu kali, kemudian lenyap tak berbekas.

Tapi pada saat itu sosok tubuh sexy dan kecantikan Kumala masih tampak melayang, tanpa luka bakar- sedikit pun. Bahkan tidak sehelai rambut pun yang terbakar oleh semburan gas berapi tadi. Hal itu membuat si Jelita diam tertegun di atas dahan pinus. Sampai­sampai ia, tak menyadari kalau Kumala Dewi sudah menapakkan kakinya ke tanah berbulu ungu, dan berdirl di bawah pohon tempat si Jelita bertengger.

Saat itu si Jelita tampak masih memandang lures ke arah parit. Diam tak-bergerak bagaikan seekor burung yang sudah di- air keras dan dipakai sebagai pajangan.

"Hey, burung kejam... ! Aku di bawahmu nih!"

Kumala menegur dengan suara mulut. Burung indah itu tampak terkejut dan menggeragap. Hampir saja jatuh. Tapi kepakan sayapnya membuat keseim­bangannya terjaga hingga ia tak jadi jatuh.

Jelita memandang ke bawah. Lalu segera terbang dan hinggap di dahan lebih tinggi, di pohon yang berbeda. Ia ketakutan melihat Kumala sudah, ada di bawahnya. Tanpa luka sedikit pun.

"Hey, kenapa kamu kabur?" ejek Kumala lewat suara gaibnya. "Katanya kamu menunggu kedatanganku, dan sekarang aku sudah datang padamu, tapi kamu mau kabur? Rupanya kamu cuma keren dalam penampilanmu saja, tapi jiwamu jiwa pengecut. Nggak pantas kamu jadi penjaga perbatasan ini, Jelita."

"Aku.. aku... eehh... aku bukan pengecut. Aku hanya... hanya merasa heran...Eeehm, ya, hem..."

"Bicaramu sudah nggak beres. Nggak usah banyak bicaralah. Sekarang turunlah. Aku sudah melupakan penghinaanmu tadi. Kita berteman saja, okey? Ayo, turunlah... !"

seraya tangan kanan Kumala diulurkan ke atas, berharap dapat sambutan damai dari si Jelita. Tapi ternyata burung itu termasuk burung bergengsi tinggi.

"Tidak semudah itu menurunkan diriku, Kumala. Aku bukan burung yang lemah dan..."

Suuut... ! Dewi Ular menarik tangan yang sudah terulur ke atas itu dalam satu sentakan mundur. Maka, seketika itu juga Jelita seperti terhisap pusaran badai, langsung jatuh ke bawah tanpa sempat melanjutkan kata­katanya. Wuuut...!.

Kumala Dewi segera menangkap Jelita dengan dua tangannya..Huuup... ! Burung itu meronta sesaat, lalu ia diam setelah sadar berada di tangan Kumala.

Seandainya tidak ditangkap oleh Kumala, ia akan terhempas membentur tanah keras-keras.

"Naaah, sekarang aku benar-benar berhasil menangkapmu, bukan? Kalau sudah begini kau mau apa, hm?!"

Kumala berkata dengan suara mulut, sambil tersenyum-senyum riang, tak menampakkan ekspresi permusuhan sedikit pun. Namun hal itu justru membuat Jelita jadi bertambah ketakutan. Merasa berada dalam genggaman lawan. Merasa dirinya tertangkap musuh.

"Aku... kau mau... mau minta maaf. Jangan... jangan sakiti aku ampunilah aku, Kumala..."

"Hey, burung cengeng kau ini. Kenapa kau ketakutan? Bukankah sudah kubilang aku ingin bersahabat denganmu. Aku nggak akan menghukummu, nggak akan menyakitimu. Paham."

"Taa... tapi... tapi ... "

" Baiklah, supaya kau percaya kalau aku nggak bermaksud jahat padamu, naafi::. kulepaskan kau..."

Kumala Dewi merendahkan badan, agak jongkok, dan melepaskan burung itu ke tanah. Tapi di luar dugaan begitu kaki burung menyentuh tanah, terjadilah letupan kecil namun menyemburkan asap tebal. Wuuusssh ! Dewi Ular kontan melompat mundur hingga hampir saja jatuh terjengkang.

"Ooh, rupanya dia nggak boleh menyentuh tanah?!" ujar hati Kumala yang masih ferpengang.

Mata indah Kumala masih belum berkedip, karena asap hasil letupan tadi telah hilang dan kini yang ada di depannya bukan seekor burung melainkan sesosok tubuh tegap, gagah dan berwajah tampan. Wajah tampannya yang masih muda sangat pantas jika menjadi coverboy sebuah majalah remaja.

"Maafkan aku, sekali lagi... maafkan aku."

Cowok ganteng yang bertampang imut itu berlutut satu kaki di depan Kumala dengan kepala tertunduk, badan sedikit membungkuk. la tak mengenakan baju, tapi mengenakan selempang emas, serta pakaian bawah yang ketat terlilit angkin warna emas pula.

Rambutnya sebahu dijepit dengan ikat kepala yang mirip mahkota, berhias batu-batu indah.

"Ooo, karnu cowok ya?" gumam Kumala saat mengakhiri masa terbengongnya. " Bangunlah, nggak perlu hormat begitu. Aku bukan rajamu dan bukan musulunii. Kitalemenan aja, ya?"

Pemuda berhidung mancung dengan mata kebiru­-biruan itu perlahan-lahan berdiri, masih bersikap. hormat dan kikuk.

"Terima kasih ata skebaikanmu... eeh. ."

"Tetap saja panggil aku: Kumala," potong Dewi Ular karena ia lihat anak muda itu tampak raga-ragu untuk menyebut namanya.

Lalu, Kumala berkata lagi, "Tapi kamu nggak pantas kalau kupanggil: Jelita. Kamu bukan cewek, tapi cowok. Jadi,pantasnya..."

"Aku Perwira Muda penjaga wilayah Parit Kematian. Namaku bukan cowok. Kamu salah sangka, Kumala."

"Cowok itu lelaki, atau jantan. Bukan sebuah nama."

Sambil berkata begitu Kumala tersenyum geli. Lesung pipit dan keindahan bibimya membuat si Perwira Muda tertegun mengaguminya sesaat. Lalu, ia buru-buru tersipu sendiri.

"Jadi siapa namamu?"

"Namaku... Ekapaksi."

"Hmmm, eka itu satu, paksi itu burung. Berarti kamu..."

"Satu-satunya burung yang ada di wilayah sini. Maksudku... di tanah Kahyangan ini," sahut Ekapaksi sambil masih kikuk karena sikap hormatnya masih ada.

"Tugasmu menjaga tanah kahyangan ini agar tak dimasuki pihak asing, bukan?"

"Benar ! Selama ini belum pernah ada pihak lain yang berhasil menyeberangi Parit Kematian."

"Kalau sampai ada yang berhasil, bagaimana?" sindir Kumala dengan mata melirik cantik.

" aku terpaksa harus mengusirnya."

"Kalau yang diusir nggak mau pergi, bagaimana?"

"Aku... hmrn, yaah... aku terpaksa mem­bunuhnya."

"0, begitu? Jadi, sekarang kamu mau mengusirku?"

"Seharusnya begitu."

"Aku nggak mau pergi."

Kumala melengos dengan kedua tangan terlipat di dada. Sengaja menggoda hati Ekapaksi agar serba salah dan kebingungan dalam mengambil sikap.

Ternyata Ekapaksi masih bisa tenang. Ia berkata dengan lembut namun memiliki ketegasan sikap sebagai Perwira Muda.

"Kalau kau tak mau pergi dari sini... terpaksa aku harus membunuhmu, Kumala."

Dewi Ular terperanjat. Wajahnya cepat berpaling menatap tajam. Serius dan mulai tampak berwibawa.

"Karmu mau membunuhku? Aku mengajakmu berteman, bukan bermusuhan."

"Tidak ada temanku yang berasal dari seberang "

"Kau belum tentu menang melawanku, Ekapaksi. Bagaimana kalau ternyata kau kalah dalam pertarungan denganku-nanti?"

"Aku harus bunuh diri , Itu sudah menjadi sumpah perwiraku."

Terbungkam mulut Kumala melihat Ekapaksi yang tetap tenang tapi juga semakin tampak ketegasannya. Kedua mata Ekapaksi menatap tegar, mulai memancarkan cahaya permusuhan.

Kumala Dewi masih diam, karena masih menimbang-nimbang, apakah tantangan permusuhan itu harus ia layani, atau ia tinggalkan dengan konsekuensi harus pergi dari wilayah itu.

***