GERIMIS turun rintik-rintik bukan penghalang bagi Kumala Dewi.
Dengai sedan mewahnya berwarna hijau giok, Kumala, Dewi tetap meluncur
menuju kawasan Puncak, didampngi sopir kesayangannya: Sandhi.
Sebuah villa bergaya arsitektur Eropa menjadi sasaran kunjungannya malam
itu. Villa berlantai dua dengar balkon menghadap ke arah Jakarta memang
bukan milik Kumala.
Ia belum berminat untuk membeli sebuah villa, meski pun ia cukup mampu
untuk membeli sekaligus dua buah.
"Pakai saja villa itu. Berapa lama kau mau memakainya, terserah. Yang
penting, jangan sampai rubuh atau hancur akibat kesaktianmu."
"Terima kasih atas bantuanmu, Nik."
"Udahlah, nggak usah basa-basi begitu. samatkan dulu cowokmu itu, dan
tangani masalah mu sampai tuntas."?
Begitu kata si pemilik villa yang sekarang sudah menjadi selebritis
terkenal, pembawa acara termahal untuk masa kini. Dia sukses besar melalui
sebuah acara tayangan televisi yang bernuansa mistik: Lorong Gaib. Berkat
bantuan Kumala Dewi juga kesuksesan itu diraihnya hingga sekarang.
Padahal ia dulu mantan pacarnya Kumala.
Tapi hubungan cinta mereka belum terlalu dalam, dan sudah harus berakhir
karena ketulusan hatinya ternoda oleh bujukan mecum seorang paranormal
wanita. Meski demikian, hingga sekarang ia belum berminat untuk hidup
berumah tangga.
Hubungannya dengan Kumala justru semakin akrab, hingga seperti saudara
sendiri. Cowok muda bergaya trendy dan sering bertingkah konyol itu tak lain
adalah Niko Madawi, (Baca serial Dewi Ular claim?? episode: "ILUSI ALAI
KUBUR").
Cukup banyak Niko terlibat dalam petualangan gaibnya sang Dewi Ular alias
Kumala Dewi.
Cukup banyak yang diketahui Niko tentang putri tunggal Devva Pèrrnana dan
Dewi Nagadini yang dibuang ke bumi akibat kasus skandal di Kahyangan
sana.
Maka, wajar saja kalau hubungannya dengan Kumala sudah seperti saudara
kandung sendiri, saling curhat dan saling membantu adalah hal yang sering
mereka lakukan.
Dulu, Niko pernah mati, tapi dihidupkan kembali oleh Kumala Dewi, (Baca
serial Dewi Ular dalam episode: "PEMBURU TUMBAL ASMARA").
Tapi tanpa disengaja Niko pun pernah menyelamatkan nyawa Kumala dari
ancaman maut Nini Cupangayu, (Baca serial Dewi 'Ular dalam episode:. "TEROR
DARI NERAKA"). Jadi, praktis tali persaudaraan mereka semakin erat semakin
dekat, sehingga Kumala dewi taak segan-segan meminta bantuan Niko untuk
meminjamkan villanya.
"Aku butuh tempat yang terasing, untuk menyembunyikan Rayo Pasca," begitu
awal pembicaraannya dengan Niko.
"Ada apa dengan cowokmu? Kok sampai mau disembunyikan? Apakah dia terancam
bahaya? Apakah kamu nggak bisa melumplihkan bahaya itu, Dewi?"
"Ini bukan soal bahaya. Tapi soal harga diri."
Niko menatap dengan heran. "Harga diri?! Maksudmu...?"
"Pokoknya aku butuh tempat untuk menyembunyikan Rayo dari pandangan siapa
saja, Nik. Kalau nggak begitu, Rayo akan menderita malu sekali dan harga
dirinya sebagai lelaki akan hilang dimata masyarakat awam, terutama di mata
orang-orang yang mengenal siapa dia sebenarnya."
Waktu itu Niko menarik napas panjang karena masih bingung dengan penjelasan
Kumala.
"Okey, jelasnya bagaimana? Inti masalahnya saja, apa?!"
Dengan nada berat Kumala pun menjawab pelan. "Rayo hamil."
"Hahh... ??!" Niko hampir terlonjak dari duduknya. Matanya terbelalak,
badannya jadi tegak. Luar biasa kagetnya mendengar jawaban Kumala yang
tampak serius. Wajah cantik jelita itu sedikit murung yang membuat Niko
yakin apa yang dikatakan Kumala bukan sesuatu yang bersifat main-main.
"Cowokmu? Ganteng dan gagali kayak gitu? Kalem tapi romantis begitu? Bisa
hamil? Hamil, maksudmu mengandung?"
"Ya. Dan, pertumbuhan janin yang dikandungnya nggak wajar. Cukup pesat.
Cepat menjadi besar. Dalam waktu relatif singkat dia akan melahirkan."
"O000h, my God ..?!" Niko menepak keningnya sendiri. "Fenomena apa lagi
yang kau alami ini, Dewi?!"
"Jangan coba-coba mengexpose kasus ini ... !"tegas Kumala dengan sorot
pandangan mata yang tajam dan menciutkan nyali siapa pun orang yang
dipandangnya.
"Ya, ya... aku paham maksudmu. Aku akan merahasiakan fenomena ini sekali
pun harganya sangat mahal untuk sebuah infotaiment. Tenang, Dewi. tenang,
aku nggak akan memanfaatkan keadaan kalian untuk sebuah berita, walau pun
itu sebenamya tugasku. Tapi... tolong jelaskan agak detil, kenapa cowokmu
itu bisa hamil? Boleh tahu kan?"
Dewi Ular diam agak lama. Menerawang.
"Biar gue nggak mati penasaran, Dewi," desaknya dengan sangat mengharap.
Dewi Ular mulai menatap tak setajam tadi.
"Dewa-dewa pejabat Kahyangan. ingin mengadakan sidang, dan mereka minta aku
datang ke Kahyangan. Maka, mereka mengirim utusan terhormat untuk
menjemputku, yaitu Dewa Bahakara, seringjuga disebut Dewa Jenaka..."
Sang dewa utusan itu sudah memprediksikan bahwa Kumala pasti akan
menolakUndangan tersebut, mengingat bidadari cantik jelita itu pernah
dikecewakan oleh pihak Kahyangan, yaitu dibuang ke bumi semasa masih bayi,
dan tidak boleh masuk Kahyangan sebelum menemukan cinta sejatinya.
Dewa Bahakara tahu betul riwayat hidup Dewi Ular, karena kedua orang tua
Kumala adalahsohibroa. Bahkan yang menjadi comblang percintaan ayah dan
ibunya Kumala adalah ilia sendiri: si Dewa Jenaka itu.
Tetapi dalam mengemban misi dari Kahyangan ini ia seharusnya tidak boleh
mempertimbangkan hal itu. Dengan cara kasar pun harus ditempuhnya demi tugas
utama, yaitu membawa Dewi Ular dari bumi ke Kahyangan.
Sudah terbayang di benak Dewa Penabur Tawa itu bahwa pembangkangan Kuamala
akan menimbulkan bentrok fisik atau adu kesaktian dengannya.
Dewa Jenaka tak menghendaki bentrokan itu terjadi, karena bagaimana pun
Kumala Dewi adalah putri tunggal teman karibnya. Untuk itu ia menggunakan
siasat dengan cara rnemindahkan janin dalam kandungan seseorang ke dalam
perut Rayo Pasca, sang kekasih pujaan Kumala.
Jika pada akhirnya Kumala memilih bentrok fisik adu kesaktian dan
seandainya ia menang, maka ia akan menanggung persoalan berat, yaitu
mengatasi kehamilan ,dalam perut Rayo. Kandungan itu dibuat sedemikian rupa,
sehingga jika Dewa Jenaka dihajar oleh Kumala, maka semakin sering dihajar
semakin mempercepat tumbuhnya kehamilan dalam perut Rayo.
Dan, kandungan itu tidak akan ada yang bisa merusak atau menyingkirkan
karena telah dibubuhi mantera sakti.
Semakin dirusak dapat mengakibatkan kematian bagi Rayo, (Baca serial Dewi
Ular dalam episode: ("MISTERI. SANTET IBLIS" ).
Singkat cerita , Dewi ular tak akan bisa mengusik kandungan dalam perut
Rayo Pasca. Mau tidak mau ia harus memenuhi undangan. Pihak Kahyangan, dan
menerima jemputan Dewa Jenaka. Semakin cepat semakin baik, karena jika misi
itu terlalu lama selesainya, maka Rayo akan melahirkan seorang bayi, entah
bagaimana caranya.
Dan, tentu saja hal itu sangat memalukan bagi Rayo Pasca. Sebagai pria
jantan sejati akan hancur predikat kejantanannya jika sampai ia terbukti
melahirkan bayi dari kandungannya.
Tapi dalam perjalanannya menuju Kahyangan bersama dewa Jenaka, sang
bidadari cantik bertubuh sangat sexy itu justru terpisah dari Dewa
Jenaka.
Insiden itu terjadi ketika Kumala membantu Dewa Jenaka dalam menghadapi
keganasan si Penguasa Langit Gaib. Pertarungan itu membuat-Kumala terpental
masuk ke alam dimensi lain yang disebut-sebut sebagai ruang hampa
gaib.
Insiden itulah yang membuat perjalanannya ke Kahyangan tertunda, karena
ketika Kumala bisa lobos dari alam tersebut, ia punya masalah baru yang
tidak bisa ditinggal pergi begitu saja, (Baca serial Dewi Ular dalam
episode: "LORONG TEMBUS KUBUR").
Penjelasan itu membuat Niko Madawi prihatin dan iba hati kepada mantan
pacarnya. Itulah sebabnya ia merelakan villanya dipakai untuk menyembunyikan
Rayo Pasca, karena pembengkakan pada perut Rayo Pasca sudah mulai tampak
jelas. Rasa mual, pegal di pinggang, dan hal-hal lain yang biasa dialami
wanita hamil, kali ini sedang dialami oleh Rayo Pasca.
"Aku nggak bisa menjawab apa-apa kalau pihak keluargaku menanyakan tentang
perutku ini, Lala," keluh Rayo dalam kebingungannya.
Kumala Dewi sangat sedih dan cemas sekali. Maka, diputuskan untuk
menyembunyikan Rayo di villanya Niko.
"‘Bersabarlah sesaat, ya Sayang...," ujar Kumala dengan menyembunyikan
kesedihan hatinya. "Aku harus selesaikan dulu urusanku dengan pihak
Kahyangan. Setelah itu akan kudesak Dewa Bahakara untuk mengembalikan
kandungan itu pada pemilik sebenarnya."
"Tapi perutku ini makin bertambah hari semakin bertambah besar. Cepat
sekali prosesnya, Lala."
"Ya, ya... aku tahu," Kumala mengusap-usap kening sang kekasih sebagai
usapan kasih sayang dan berharap penuh kesabaran.
la berkata lagi, "Besok aku akan berangkat sendiri ke Kahyangan, meski pun
tanpa paman Dewa."
"Percuma saja kau selesaikan urusan dengan pihak Kahyangan kalau kau tak
bisa bertemu dengan paman Dewa. Sebab, dialah kunci persoalan memalukan ini,
Lala. Kau harus bisa cari dia dulu sampai ketemu, baru ke Kahyangan."
"Hmmm, ya, ya... benar juga perhitunganmu."
"Dan, kalau perlu berangkatlah hari ini juga, supaya nggak makan waktu
lama. Sebab, makin lama waktu yang kau butuhkan makin besar kandunganku ini,
Lala."
"Aku nggak bisa pergi sebelum ada pihak yang mau merawat Barbie. Kalau aku
pergi begitu saja, dan meninggalkan Barbie di rumah, maka anak itu bisa
bikin ulah yang semakin parah."
Rayo Pasca tarik napas panjang. Memang serba salah bagi Kumala, dan Rayo
menyadari persoalan dilematis yang dihadapi kekasih nya.
Ia tak bisa mendesak Kumala sekehendak hatinya, mengingat Kumala punya
beban lain. Beban itu adalah masalah kecil tapi sangat menjengkelkan dan
bisa membahayakan pihak lain jika tidak segera diatasi.
Seperti yang terjadi tadi siang, hampir saja Kumala marah melihat Buron
hidungnya mengucurkan darah segar tiada hentinya.
Buron adalah asistennya Kumala khusus untuk urusan gaib. Dia adalah jelmaan
dari Jin Layon yang kesaktiannya pernah dilumpuhkan oleh Kumala, sehingga
kini ia mengabdi kepada sang putri tunggal Dewa Permana itu.
Sama halnya dengan Sandhi, Buron pun sudah dianggap -seperti saudara
sendiri oleh Kumala.
Maka? ketika Buron muncul dari belakang menghampiri Kumala yang sedang
bicara lewat telepon dengan seseorang, emosi Kumala sempat meletup melihat
Buron berlumuran darah.
Dari hidungnya keluar darah yang mengucur pelan tapi sukar dihentikan.
"Kenapa kamu, Ron? !"
"Uhhk, uuhk... Ueehi, uehi..."
Makin berkerut dahi si cantik Dewi Ular mendengar Buron bicara dengan
kata-kata tak jelas. "Kamu ngomong apa sih?!"
Dewi Ular buru-buru memegang kening Buron dengan telapak kirinya. Hawa
sakti disalurkan ke dalam. kepala Buron. Beberapa saat kemudian kucuran
darahnya, berhenti.
"Ueehi, uuhk... haiiik, haik...."
Sandhi yang baru keluar dari kamarnya merasa heran juga mendengar Buron
bicara tak jelas.
"Lu kenapa jadi kayak babi mau disembelih begitu, Ron? Haik, haik...
ngomong apaan sih?"
Kumala menatapnya sambil menurunkan letupan emosinya. Buron sibuk mengusap
sisa kucuran darah dari hidung memakai tissue gulungan yang baru saja
diberikan oleh Sandhi.
"Lu mimisan apa miskram sih?" Sandhi masih bicara dengan konyol, karena
memang ia sulit bersikap serius jika Buron sedang dalam masalah. Maklum,
kesehariannya Buron juga sering berulah konyol dan usil kepada Sandhi,
sehingga Sandhi pun selalu memanfaatkan kelemahan Buron untuk membalas
kekonyolannya.
."Auhk, uiih, uuhg, uug.. !" kata Buron sambil tangannya bergerak-gerak
menunjuk ke arah ruang belakang.
"Kok jadi kayak orang gagu dia?" ujar Sandhi kepada Kumala.
"Ada yang menotok pita suaranya, sehingga jadi kusut," kata Kumala dengan
suara pelan dan merasa sangat prihatin.
Tangan kanannya segera memegang leher Buron, seperti mau mencekik, namun
dilakukan dengan lemah lembut. Leher itu diusapnya tiga kali dari atas ke
bawah.
Buron sempat kelojotan seperti orang dicekik. Namun, pada usapan ketiga ia
bisa mengerang dan menghembuskan napas panjang. Lega sekali. Lalu, is dapat
bicara dengan normal kembali.
"Barbie benar-benar anak celaka! Brengsek banget tuh anak!"
"Barbie lagi!" geram Kumala. "Mana anak itu sekarang?"
Buron belum sempat menjawab, Sandhi sudah bertanya.
"Memangnya kenapa?"
"Dia nggak mau kubujuk untuk makan. Kata Kumala, paksain aja kalau tuh anak
nggak mau makan. Eeh, giliran gue paksain, gue dilempar permen karet yang
sedang dikunyahnya. Pluuk... ! Nempel di tulang hidung gue, sakitnya,
seperti dihantam pakai kayu balok. Tenggorokkan gue juga sakit, seperti
disumbat karet busa dengan paksa. Gue jadi nggak bisa ngomong dan... mimisan
terus."
"Waah, emang gawat tuh anak," ujar Sandhi kepada Kumala. "Dan sejak
kedatangannya selalu bikin ulah, selalu merepotkan kami, dan... kalau boleh
aku usul, jangan ditaruh sini deh anak temuanmu itu, Kumala. Kami
kewalahan."
"Kusarankan," timpal Buron, "...kalau kamu jadi berangkat lagi ke
Kahyangan, bawalah anak itu. Jangan bebankan dia kepada kami di sini. Aku
nggak sanggup ngatasin anak itu. Makin lama makin kayak bocah liar!"
Kumala berseru, "Barbie ...!! Baarrbbiiie ..!!!" sambil melangkah sampai di
perbatasan ruangan makan dengan ruang keluarga. Namun yang didengar Kumala
justru suara Mak Bariah, pelayannya untuk urusan dapur.
"Non Malaaa... ! Tolongin saya ! Tolongiiin....!!! "
Sandhi tersentak kaget, "Wah, kenapa tuh Mak Bariah?!"
"Pasti si bocah setan itu lagi!" geram Buron sambil melangkah terburu-buru
menghampiri suara Mak Bariah, sementara Sandhi sudah lebih dulu berlari
menernui Mak Bariah.
Gadis cilik berwajah mungil cantik bak boneka Barbie tertawa-tawa kecil
kegirangan. Ia berdiri di atas sehelai daun talas hias yang berbintik-bintik
merah kuning.
Ia menertawakan Mak Bariah yang berbadan agak gemuk itu sedang kebingungan
karena tak dapat mengangkat kakinya.
Kedua kaki Mak Bariah seperti merekat kuat pada batu taman yang datar dan
berwarna hitam itu. Jangankan mengangkat kaki, menggeser telapak kakinya pun
tak bisa. Telapak kakinya seolah‑olah telah menjadi satu dengan batu
tersebut.
Setiap kakinya disentakkan agar terangkat lepas dari batu, Mak Bariah
justru jatuh terhempas dalam posisi duduk. Atau terpelanting miring. Hal itu
terjadi setelah Mak Bariah menegur si Barbie yang tadi membuat hidung Buron
berdarah.
Mak Bariah juga memaksa Barbie agar segera masuk, menemui Kumala dan
meminta maaf pada Buron. Namun, gadis berusia sekitar 6 tahun yang memiliki
rambut panjang halus lembut dengan bagian depan diponi rata itu menolak
ajakan Mak Bariah.
la kesal ketika Mak Bariah menarik lengannya sedikit kasar.
Dengan tatapan mata beningnya yang tajam si kecil Barbie berkata menyentak
galak.
"Aku nggak mau! iihh... !" seraya telunjuknya menuding ke arah kedua kaki
Mak Bariah, dan, sejak saat itu Mak Bariah tak bisa mengangkat kakinya,
bahkan tak mampu menggeser sedikit pun. Upaya untuk bisa mengangkat kaki
justru membuat Mak Bariah jatuh berkali-kali, dan keadaan itu membuat
keyengkelan si Barbie bagaikan sirna. Berganti tawa geli dan kegirangan,
sehingga is melompat-lompat lalu hinggap di atas sehelai daun talas
hias.
Dewi Ular bertolak pinggang sambil geleng-geleng kepala.
Pandangan matanya tertuju pada Barbie dengan tajam.'Tawagadis kecil itu
perlahan7lahan surut. Namun bukan berarti anak itu merasa takut. Hanya
tampak segan dan sungkan melihat Kumala menatapnya dengan penuh
wibawa.
"Apa yang kamu lakukan, Barbie?"
Gadis kecil itu berlagak tidak mendengar, memandang ke arah lain seraya
tangannya mempermainkan ujung rambut panjangnya.
"Ayo, turun!"
Barbie melompat dari atas daun talas hias. Jatuhnya kaki ke tanah tak
menimbulkan suara sedikit pun, padahal daun talas hias itu tingginya sekitar
70 centimeter, bertangkai kecil, basah, mudah patah.
Jika bocah biasa, tak akan mampu berdiri .di atas daun selunak itu. Jika
tak memiliki keistimewaan ia pun tak mungkin dapat membuat kedua kaki Mak
Bariah terpatri di tempatnya berdiri. Juga, ia tak akan bisa membuat hidung
Buron bercucuran darah dengan lemparan permen karet seandainya si Barbie tak
memiliki kesaktian yang cukup tinggi.
"Buron itu kan jelmaan jin, yang kesaktiannya bukan kesaktian kelas teri,
tapi dia dibuat tak berkutik oleh bocah setan itu. Bayangkan saja, seberapa
tinggi sebenarnya kesaktian yang dimiliki anak itu?!" kata Sandhi kepada Mak
Bariah, setelah perempuan itu terbebas dari pengaruh gaibnya Barbie.
Bukan anak itu yang membebaskan. Ia tak mau membebaskan kaki Mak
Bariah.
Maka, Kumala Dewi segera menepuk punggung Mak Bariah. Tepukan tangan pelan
itu membuat kedua kaki Mak Bariah seperti terlepas dari belenggu yang
menjeratnya kuat-kuat itu.
Kumala Dewi memberi isyarat dengan mata agar Mak Bariah dan yang lain
meninggalkan tempat itu. Lalu,Kumala pun mendekati Barbie yang memetik
bunga‑bunga kecil di tepian kolarn bias.
"Barbie, kamu sudah nggak suka ikut kakak lagi,ya ... ! "
"Suka. Aku masih betah tinggal bersama Kak Mala."
"Kalau masih betah kenapa kamu bikin jengkel kakak terus?"
"Enggak kok, aku coma bikin jengkel Mak Bariah dan Bang Buron."
"Itu sama saja memancing kakak untuk marah!" Barbie menundukkan kepala,
bibir indahnya meruncing lucu.
"Kan kakak udah bilang berkali-kali, Barbie nggak boleh bandel. Harus nurut
sama orang yang lebih tua. Kenapa Barbie nggak mau turuti nasihat kakak
sih?"
"Nggg... nggg... habis, mereka bikin kesel aku sih. Orang aku nggak mau
makan dipaksa, nggak mau ke dalam dipaksa... Aku kan nggak suka
dipaksapaksa begitu, Kak."
"Kamu bis.a jelaskan pada mereka, tapi tidak perlu harus usil, jahil, dan
pamer kesaktian kayak tadi. Nggak boleh takabur. Orang yang takabur akan
jatuh oleh ulahnya sendiri. Ngerti?"
Barbie mengangguk pendek. Ia tak berani pergi dari hadapan Kumala Dewi yang
dianggap sebagai kakaknya sendiri. Padahal mereka bukan kakak beradik.
Bahkan Kumala sendiri tidak tahu siapa orang tua anak itu. Namanya pun
tidak tahu, sebab ketika ia menemukan Barbie di alam lain yang disebut ruang
hampa gaib, keadaan anak itu menyedihkan sekali. la juga terperosok ke
situ-dan mengalami amnesia akibat terbentur-bentur kepalanya, sehingga ia
tak ingat jati dirinya lagi .
Anehnya, ke saktian teropong gaibnya Kurnala tidak dapat untuk menembus
kehidupan anak itu sebelumnya. Kumala juga gagal mengembalikan ingatan anak
itu.
Yang dapat dicapai oleh teropong gaibnya Kumala hanya sebagian batas
kesaktian anak tersebut. Hanya sebagian. Kumala tidak dapat mengukur secara
keseluruhan potensi gaib yang dimiliki Barbie.
Nama Barbie itu sendiri diberikan oleh Kumala sebagai ganti nama yang sama
sekali tak diingatnya. Wajah anak itu cantik mungil seperti wajah boneka,
sehingga Kumala menamainya Barbie.
Dan, peristiwa terjebak dalam ruang hampa gaib merupakan kejadian yang
menyimpan sejarah sendiri bagi Kumala, sehingga ia tak dapat melupakan
Barbie begitu saja.
Hanya Barbie-lah satu-satunya teman Kumala yang bisa diajak bicara dan bisa
diajak mencari jalan keluar dari alam tersebut. Di tambah lagi, secara tak
sadar mereka berdua sudah saling jatuh hati, sehingga Kumala merasa punya
kewajiban melindungi dan .mengembalikan kehidupan Barbie yang
sebenamya.
Andai saja Kumala. tidak sedang berhadapan dengan kasus kehamilan Rayo,
maka ia akan berusaha mempertemukan Barbie dengan orang tua kandungnya.
Sebab ia yakin, Barbie akan lebih bahagia jika hidup bersama kedua
keluarganya sendiri.-
Tetapi persoalannya sekarang menjadi tambah runyam, karena Barbie selalu
bikin ulah menjengkelkan di depan siapa saja. Tidak ada orang yang ia
takuti, selain Kumala. Tidak ada perintah yang ia patuhi, selain perintahnya
Dewi Ular.
Barbie sering menggunakan kesaktiannya untuk `ngerjain' orang lain, tanpa
mempedulikan keselamaran jiwa orang tersebut. Kenakalan Barbie inilah yang
membuat Kumala pusing tujuh keliling. Ia harus berangkat ke Kahyangan ,
Barbie tak mungkin dibawanya.
Tapi jika anak itu ditinggal, siapa yang bersedia mengasuh dan merawatnya?
Tidak ada. Sandhi tidak sanggup. Buron mengaku akan kewalahan menghadapi
anak misteriUS itu, begitu pula halnya dengan Mak Bariah. Semua menyatakan
menyerah. Mereka takut celaka sendiri.
"Gue bisa mati nganggur kalau harus mengasuh dia!" ujar Buron
terang-terangan menolak. "Anak itu punya kesaktian yang nggak jelas
sumbernya tapi kayaknya udah pasti melebihi gue."
Baru sekarang mereka menolak perintah Kumala. Dan, Kumala sendiri tidak
marah, karena sangat memaklumi keadaan yang memaksa mereka terangterangan
menolak perintahnya.
"Saranku, pulangkan saja ke tempat asalnya;'! bisik Sandhi.
"Saran yang bego," ujar Mak Bariah yang ikut dalam pembicaraan tersebut.
"Sudah jelas-jelas Non Mala nggak tahu darimana asal anak itu, eeh pake lu
saranin begitu?" •
"Maksudku... kembalikan saja ke alam gaib sana, tempat is ditemukan."
"Itu nggak mungkin," kata Kumala menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari
ketenangan dalam kebingungannya.
"Tapi kalau kamu menunda-nunda keberangkatanmu ke Kahyangan, nanti 'perut
Rayo keburu makin besar. Ingat, dia bisa melahirkan dalam hitungan hari!!"
sahut Buron mengingatkan.
"Ya, aku hgerti. Aku juga mempertimbangkan hal itu,,Ron."
Semua diam. Semua berpikir dengan serius. Kumala dalam kebimbangan yang
menyiksa batinnya.
"Dititipkan pada Bang Pram, bagaimana?" usul Sandhi dengan menyebutkan nama
Pramuda yang dikenalnya sebagai kakak angkatKumala Dewi sekaligus boss utama
di perusahaan tempat Kumala bekerja.
Maka, dalam benak Kumala terbayang kehidupan Pramuda dengan seorang istri
dan seorang anak, di inana hampir tiada hari tanpa kesibukan bagi
mereka.
Kumala Dewi pun menggeleng. "Nggak bisa.Barbie hanya akan merepotkan atau
bahkan mengacaukan suasana rumah tangganya Pramuda dan Emmafie."
"Titipkan ke yayasan Yatim Piatu saja?" bisik Buron seperti orang
menggerutu.
Setelah termenung sesaat, Kumala menggelengkan kepala lagi.
"Barbie justru semakin liar jika hidup di sana, karena nggak ada orang yang
bisa melarang dan mencegah kenakalannya."
Beban pikiran Kumala Dewi tanpa disadari telah membuat rona kecantikannya
tak memancarkan keindahan pesona sejati. Mirip sebuah cermin yang keruh
akibat hembusan angin berdebu. Senyumnya tampak hambar. Tanpa getaran yang
biasanya dapat membuat jantung, berdesir dan hati berbunga-bunga.
Kedatangan Kumala Dewi pada malam itu membuat Rayo Pasca sering menatap
penuh curiga. Kumala sengaja menyembunyikan beban pikiran yang menyiksa jiwa
itu. Ia tak ingin kekasihnya ikut merasakan siksaan batin tersebut.
Namun, agaknya Rayo segera dapat menerjemahkan makna senyuman hambar
Kumala, sehingga ia berkata dengan tenang dan tetap romantis.
"Sayang, berangkatlah memenuhi undangan itu. Barbie biar bersamaku di
sini."
Wajah cantik berbibir ranum sensual itu mulai terangkat. Ada sedikit
kejutan lembut di hati Kumala begitu mendengar ucapan Rayo. Ia tak menyangka
akin ada penawaran seperti itu dan sang kekasih. Padahal sebelumnya Rayo
pernahmengatakan bahwa kenakalan Barbie yang didengarnya dari cerita Sandhi
dan Buron, adalah bukan kenakalan biasa. Tapi kenakalan yang cukup berbahaya
clan mengandung resiko bagi siapa pun pengasuhnya.
" Kenapa kamu tiba-tiba punya idebegitu, Ray?"
Rayo tersenyum kalem. "Kamu mungkin belum tahu, Barbie sering mainan
telepon rumah. Dia sering telepon kemari, mengajakku main tebak-tebakan,
atau memintaku mendongeng walau sebentar. Sehari bisa sepuluh kali ia
meneleponku meski cuma sekedar ingin menertawakan kebodohatiku, ketika ikut
gagal menjawab tebakannya."
"Tapi hanya sekali dia kepergok sedang mainan telepon, yaitu ketika ia
belum tahu kegunaan telepone Sejak itu, Sandhi selalu mengunci telepon
supaya nomornya nggak bisa dipencet-pencet lagi oleh Barbie."
"Bukankah kamu ,pernah bilang bahwa Barbie punya kesaktian yang unik dan
cukup tinggi? Apakah rnenurutmu ia tidak bisa menelepon tanpa hams memegang
gagang teleponnya, seperti yang string kamu lakukan dan kamar
tidurmu?"
Dewi Ular menarik napas panjang: Ia mengakui hal itu bisa saja dilakukan
Barbie karena memang pada diri gadis kecil itu ditemukan sebentuk kesaktian
serupa dengan kesaktian yang ia miliki, yaitu menyentutisesuatu dari jarak
jauh.
"Jadi menurutku, biarlah dia bersamaku di sini selama kau menyelesaikan
urusan dengan pihak Kahyangan."
"Kau belum tahu seberapa tinggi kenakalan anak itu Ray."
"Setidaknya aku bisa belajar bagainiana mengatasi kenakalan seorang bocah.
Kita kelak juga akan memiliki anak „,seusia dia juga, kan? Jadi.... Kenapa
tidak, Lala?"
Dewi Ular hanya bisa tertegun memandangi kekasihnya. Keharuan yang indah
melintas di hatinya manakala is mendengar Rayo Pasca sudah berkhayal tentang
anak-anak mereka kelak. Tetapi persoalan yang mengganjal di hati Kumala
bukan karena khayalan Rayo, melainkan tawaran Rayo yang masih diragukan
itu.
Kenakalan Barbie dapat membuat kondisi kandungan Rayo mengalami gangguan,
atau bahkan rusak dan membahayakanjiwa pemuda bermata teduh itu. Jika hal
itu sampai terjadi, siapa yang akan bertanggung jawab? Padahal janin yang
dikandung Rayo bukanlakjaninnya sendiri, tapi janin titipan yang diambil
entah dari dalam kandungan wanita mana.
Sampai sepuluh menit lamanya Kumala belum menyatakan setuju dengan usul dan
saran kekasihnya itu.
BULAN sabit menerawang di balik mega. Wajah. malam tak terlalu kelam.
Samar-samar terlihat bayangan pohon jatuh ke tanah kering.
Tanda-tanda kehidupan masih terlihat di beberapa tempat.
Termasuk drdalam sebuah rumah bercorak bangunan lama, namun tak terlalu
tua. Masih kelihatan sinar lampu di dalamnya yang berwama pucat. Bukan dari
jenis neon, tapi dari bohlam biasa.
Sederhana. Begitulah kesan penampilan rumah yang halaman depannya cukup
luas itu. Memiliki beberapa pohon buah yang tumbuh di tempat-tempat
tertentu. Daunnya yang lebat, dahan-dahannya yang mengembang menyerupai
payung, telah membuat rumah itu tampak teduh, namun jugs tnisterius.
Temaramnya cahaya bulan sabit seperti malam ini , membuat rumah itu
seakan-akan memancarkan pesona klasik berbau mistik.
Rumah itu memiliki ruang tamu tak terlalu lebar. Di ruang tamu itu terdapat
pintu setinggi 3 meter. Pintu tersebut menghubungkan ruang tamu dengan ruang
tengah. Lagi-lagi ruang tengahnya juga tidak terlalu lebar. Ada lemari hitam
berukir dengan kaca agak buram. Lemari itu diletakkan di tengahjalan masuk,
sehingga ,keberadaan ruang tengah tak dapat dilihat dengan bebas dan ruang
tamu.
Di balik almari berisi barang pecah belah model lama itu terdapat meja
marmer bundar dengan empat kursi kayu merigelilinginya. 'Perabot yang ada,
itu semuanya tergolong barang kuno dan antik. Di meja marmer tanpa taplak
itulah terjadi pembicaraan serius yang dilakukan oleh dua orang.
Masing-masing duduk di kursi berseberangan meja.
"Yang sangat kusayangkän adalah keterlambatanmu. Kenapa baru tadi siang
kamu.dan istrimu datang meminta bantuanku? Seharusnya saat itu, atau paling
tidak kemarin kalian datang ke mari. Jadi, aku bisa melacaknya dengan
mudah."
"Yaaah, maklum sajalah, Mak... saya dan istri saya sama-sama panik. Mak Ayu
bisa bayangkan sendiri, kayak apa bingungnya kami setelah tahu keadaan yang
sebenarnya. Ranni, istri saya itu, cuma bisa nangis dan ketakutan. Saya
sendiri, sibuk menenangkan dia. Nggak ngerti mesti bagaimana."
"Hmmmmtnm... ," perempuan yang dipanggil Mak Ayu itu manggut-manggut dalam
gumam panjangnya yang lirih. Matanya menatap nanap wajah lelaki di
depannya.
"Apa ada bedanya datang sekarang dengan kemarin, Mak?"
"O, ya beda sekali dong! Kalau kalian datang kemarin, berarti belum lewat
dari tiga hari. Kalau sekarang kan sudah lewat dari tiga hari. Peristiwa
gaib yang terjadi lebih dari tiga hari, maka bekas hawa gaibnya sudah hilang
tuntas. Bersih. Tapi kalau sebelum lewat dari tiga hari, maka bekas hawa
gaibnya masih tertinggal dan rnudah, dilacak siapa pelakunya Mau ke mana
perginya."
Kini ganti lelaki berusia 32 tahun itu yang menggumam dan manggut-manggut.
Raut wajahnya menggambarkan penyesalan hati yang masih terbungkus
kesedihan.
Pria berkulit coklat yang masih tampak muda dan memiliki ciri ketampanan
pria Timur Tengah itu kembali merasa berdebar-debar lagi. Debar-debar kali
ini adalah debar-debar aneh yang ketiga kalinya ia rasakan sejak bicara
empat mata dengan Mak Ayu.
"Kenapa jadi deg-degan lagi sih? Tadi udah nggak, sekarang deg-degan
pikirnya dengan heran. Tak lama kernudian debar-debar yang ia rasakan itu
hilang. Normal kembali. Bertepatan dengan terdengarnya suara Mak Ayu berkata
padanya.
"Kata Astin, teman istrimu yang tadi siang ikut mengantar kalian kemari
itu, sudah sarankan berkalikali agar kalian segera datang kemari. Dia
bilang, sejak peristiwa malang itu menimpa istrimu, dia sudah kasih tahu
tentang keberadaanku dan kemampuanku di dunia gaib. Tapi kalian nggak
tanggapi saran itu, ya? Kalian meragukan kemampuanku, kan?"
"Jujur saja, bukan kemampuan Mak Ayu yang kami ragukan, melainkan
keseriusan Astin yang kami ragukan. Soalnya Astin.suka becanda " .
"Fardan...," potong Mak Ayu. "Aku lebih bertoleransi pada orang yang berani
mengakui kesalahan atau kelemahannya, daripada orang yang berbelit-belit
cuma mau cari alasan buat menutupi kebodohannya."
Pria berambut agak ikal itu akhirnya tersenyum malu.
"Maafkan kami, Mak Ayu. kalau toh waktu itu saya dan Ranni menyangsikan
kernampu an Mak Ayu, saya rasa itu hal yang wajar. Karena saya dan Ranni
belum pernah kenal Mak Ayu dan informasi tentang Mak Ayu hanya kami dapatkan
dari Astin."
"Karena aku pernah .membantu Astin mendapatkan sesuatu yang diimpikan dalam
hidupnya. Tanpa bantuanku, Astin nggak akan kawin dengan anak pengusaha
besar yang sekarang jadi suaminya itu."
Fardan menggumam dalam hatinya, "O000 rupanya begitulah rahasia perkawinan
Astin dengan anak pengusaha kaya itu? Jadi... Rangga mengawini Astin bukan
karena cinta, tapi karena dipelet oleh Astin melalui kemampuannya mak
Ayu?"
Pikiran itu segera disingkirkan dari benak Fardan. Ia datang ke rumah itu
bukan untuk mengungkap rahasia perkawinan Astin dengan Rangga, tapi untuk
suatu kepentingan nasib rumah tangganya dengan Ranni.
" Sekali, lagi, saya dan istri saya mohon maaf kalau sempat meragukan Mak
Ayu," ulang Fardan dengan merendah, dan agaknya hal itu disukai Mak Ayu yang
manggut-manggui lagi sambil melepaskan napasnya.
"Kembali ke masalah saya, Mak Ayu... kata Fardan lagi. "Jadi, seperti yang
Mak Ayu bilang tadi siang, bahwa kandungan istri saya bukannya hilang tapi
memang ada yang mencurinya, begitu kan?"
"Ya. Dan, kalau kalian datang sebelum tiga hari dari hilangnya kandungan
istrimu, maka aku bisa dengan mudah melacak di mana sebenarnya janin dalam
kandungan istrimu herada, dan siapa pelakunya pun bisa kulihat dengan
mudah."
"Saya paham, Mak Ayu. Sekarang keadaan sudah begini, Sudah lebih dari tiga
hari kandungan istri saya hilang. Apakah berarti karni nggak bisa dapatkan
kembali janin keturunan kami itu, Mak Ayu?"
"Sulit, Far..."
‘Kalau memang nggak bisa, lalu untuk apa Mak Ayu tadi siang suruh saya
datang lagi pada malam ini? Kenapa saya hams datang, tanpa membawa istri
saya, dan tanpa diantar oleh Astin?"
Lelaki berkumis tipis dan sedikit bercambang itu menatap dengan kesan
protes. Rasa jengkel mulai tumbuh dalam hatinya. Tadi siang ia datang
bersama istrinya, diantar oleh Astin.
Keluhannya sudah disampaikan, dan Mak Ayu sudah menjelaskan dengan sangat
meyakinkan, bahwa hilangnya kandungan Ranni adalah akibat kejahatan gaib,
yaitu ada pihak yang mencuri kandungan itu dengan tujuan yang belum
jelas.
Tadi siang Mak Ayu menyatakan akan berusaha membantu mengembalikan
kandungan Ranni, tapi is minta Fardan datang lagi pada malarn harinya untuk
pembicaraan lebih lanjut. Dan, sekarang Fardan sudah datang tapi Mak Ayu
justru terkesan -semakin menghancurkan harapan Fardan bersama
istrinya.
Protes kecil itu ditanggapi Mak Ayu dengan tenang.
"Secara perhitungan waktu, kandungan istrimu yang hilang itu memang sudah
tidak bisa dilacak lagi keberadaannya. Tetapi masih ada satu cara lagi yang
bisa kulakukan untuk mendapatkan kembali kandungan istrimu itu."
Wajah kesal Fardan mulai mengendur. Lama-lama wajah itu memancarkan
keceriaan. Seolah-olah tunas- tunas harapan mulai tumbuh lagi di ladang hati
Fardan. Semangatnya untuk merebut kembali calon anak pertamanya itu terlihat
mulai berkobar lagi.
"Terima kasih, Mak... terima kasih sekali kalau Mak Ayu masih mau membantu
saya mendapat kan kembali kandungan istri saya, rnelalui cara lain yang Mak
Ayu katakan itu. Sampai kapan pun saya tetap penasaran dan akan berusaha
dengan berbagai cara. untuk mendapatkan kembali kandungan istri saya. Sebab
yang ada dalam kandungannya itu adalah anak pertama kami, Mak Ayu. Saya
tidak mau kehilangan .anak pertama! Karena saya masih berpegang pada adat
kepercayaan dari leluhur yang menyebutkan, bahwa.. anak pertama adalah
mahkota bagi keluarga."
Adat kepercayaan itulah yang membuat Fardan nyaris pingsan ketika mendapat
penjelasan dari dokter yang memeriksa kandungan Ranni, bahwa janin yang
dikandung Ranni:hilang tak berbekas. Bahkan hasil pemeriksaan lebih lanjut
menyebutkan, perangkat kehamilan dalam perut Ranni juga ikut hilang. Ranni
tak ubahnya seperti kaum laki, tanpa perangkat kehamilan di dalam
perutnya.
Secara medis hal itu sulit dijelaskan. Tetapi secara magis peristiwa itu
mudah dijelaskan oleh Mak Ayu. Menurutnya ada pihak yang punya kepentingan
dengan kandungan Ranni.
Ia mencurinya dan menyembunyikan di suatu tempat yang tidak mudah dilacak
oleh siapa pun, selain oleh mereka yang memiliki kekuatan gaib kelas atas
atau kesaktian tingkat tinggi.
Maka, begitu rnendengar Mak Ayu masih punya satu caralagi u uk
mengembalikan kandu ngan Ranni, Fardan mulai berdebar-debar penuh harap.
Senyum . harapan ceria mulai membayang diwajah bercambang halus dan
tipis.
Ia menunggu Mak Ayu melanjutkan penjelasannya, tapi yang ditunggu justru
tak segera bicara. Mak Ayu menatap Fardan dengan tatapan mata yang makin
lama dirasakan Fardan semakin aneh.
"Kenapa dia memandangku begitu?" pikir fardan mulai salah tingkah. Ia coba
untuk menenangkan sikapnya. Namun hati tetap berkecamuk bagaikan berbisik di
telinganya sendiri.
"Sorot pandangan matanya menjadi sayu. Senyum kecil yang tersungging di
sudut bibirnya seperti mengandung maksud tertentu? Wah, gawat! Kenapa jadi
begini; ya?"
Fardan tak mungkin memungkiri pendapat hatinya yang mengatakan, bahwa Mak
Ayu memang sosok perempuan yang ayu. Ia masih muda, sekitar 35 tahun.
Sebenarnya belum pantas dipanggil Mak. Tapi mungkin panggilan itu punya
makna sendiri, sehingga menjadi pantas apabila ia dipanggil: Mak Ayu.
Dari tadi Fardan terganggu kecantikan Mak Ayu yang bertubuh sekal, padat
berisi, dengan sepasang dada yang montok. Mengundang selera lelaki untuk
melamun jorok. Dengan alis yang tebal namun tersusun rapi, dan rambut ikal
yang panjang selewat bahu, Mak Ayu sering membuat jantung Fardan
berdetak-detak dan hati berdesir-desir. Tatapan mata yang agak besar namun
melentur. sayu itu bagaikan pisau asmara yang siap rnerobek hati lawan
jenisnya dengan rintihan mesra.
"Dan tadi tatapan matanya sering membuatku merasa melambung dan
melayang-layang dalam keindahan. Jangan-jangan tatapan matanya itu
mengandung kekuatan magis? aku hams hati-hati nih. Jangan sampai kena ilmu
peletnya dia," bisik hati Fardan untuk mengingatkan dirinya sendiri.
Tetapi yang dirasakannya semakin lama semakin jelas, bahwa hasrat
kejantanannya bertambah besar. Nyaris mengalahkan kesadaran batinnya. Fardan
pun merasakari kegelisahan yang kian menjadi-jadi dalam hatinya. Apalagi
sekara4 suara Mak Ayu tidak setegas tadi, tapi terdengar lebih lembut, lebih
mendayu, dan lebih sering disertai desahan napas tipis.
"Dari sorot matamu, aku menemukan bayangan 'keberhasilan.. Keberhasilan
mendapatkan kmbali anak pertamamu."
"Oh, ya? Benarkah?" Fardan semakin berseri-seri.
"Tapi aku harus gunakan cara yang sangat berat. Maksudku, berat
dikerjakannya, dan berat syaratnya. Mungkin kamu nggak sanggup memenuhi
syarat itu. Padahal syarat itu adalah maharnya. Mahar ini tebusan."-
Kata-kata yang diucapkan dengan pelan, lirih, dan bercampur sedikit desah
napas itu membuat Fardan tertegun menatap tak berkedip. Bukan hanya
kata-kata Mak Ayu yang diperhatikan Fardan, tapi gerakan bibirnya juga
sangat diperhatikan. Bibir yang sedikit tebal tapi sangat sensual itu setiap
kali bergerak bagaikan ajakan mesra menuju ranjang cinta.
"Mau tambah minumanmu?"
Fardan menggeragap. Ia tidak lagi terlena. "Hmm, eeh... nggak usah, Mak.
Ini kan masih ada..."
"Pelayanku tadi ke mana, ya? Udah tidur kali?"
Mak Ayu bangkit dari duduknya. Ia pergi ke belakang. Mencari pelayannya,
tapi agaknya si pelayan sudah tidur, sehingga ia kembali lagi ke tempat
semula.
Namun kali ini is tidak duduk di kursi yang tadi. Ia berdiri di samping
Fardan, agak menyandarkan pinggulnya di tepian meja.
Fardan beiusaha tetap tenang, tapi sebenarnya darahnya mengalir deras
akibat mencium aroma wangi, parfum yang dipakai Mak Ayu. Wewangian itu
semakin membius jiwa. Sulit dijinakkan. Agar tak ketahuan salah tingkahnya,
Fardan menutupinya dengan sebuah pertanyaan yang bemada series.
"Apa, syarat yang hams saya penuhi, Mak?"
"Aku sangsi, apa kau sanggup memenuhinya."
"Demi mendapatkan kembali janin anak pertama saya, seberat apapun
syaratnya, saya akan berusaha memenuhinya, Mak."
Dalam keadaan masih berdiri santai kurang 'dad satu jangkauan Fardan, Mak
Ayu menyunggingkan senyuman tipi; yang lebih terkesan seperti senyum
pembangkit gairah.
"Benar, kau akan memenuhi syarat itu?"
Fardan menatap sambil mengangguk. "Ya, akan saya penuhi. Katakan saja, apa
syarat atau mahamya?"
Mereka beradu pandang dalam kebisuan selama lima detik. Kemudian terdengar
suara Mak Ayu menjawab pertanyaan tadi.
"Bercinta."
Seperti tersundut puntung rokok hati Fardan. Tersentak jantungnya, lalu
bergemuruh suara detaknya di dalam dada. Jawaban itu sebenarnya didengar
dengan jelas, namun Fardan berlagak sangsi dengan pendengarannya sendiri. la
kerutkan dahi tanda tak jelas dengan jawaban Mak Ayu.
"Tak ada mahar lain yang dapat menggantikannya. Karena, di puncak kepuasan
bercintaku itulah kudapatkan kekuatan untuk menembus lapisan dimensi gaib,
dan mencari kandungan istrimu di sana. Bahkan akan kutangkap pencurinya dan
kuhancurkan dia di depan matamu. Jadi, kau harus bisa memuaskan hasrat
cintaku, Fardan. Apakah kau keberatan?"
Fardan sungguh sulit melontarkan kata. Kerongkongannya terasa kering.
Sekujur tubuhnya terasa gemetar. Maka, yang dapat is lakukan hanya
tersenyum-senyum tak jelas maksudnya.
Mak Ayu sedik4 membungkuk agar lebih dekat lagi.
"Atau kau tak mampu memuaskan gairahku?" "Hmm, eehh . kalau... kalau soal
itu sih... hmm saya ragu.. ."
Karena ia menundukkan wajah, maka Mak Ayu meraih dagunya, kemudian
mengangkatnya hingga saling beradu pandang. Jarak wajah kedu anya sangat
dekat. Mak Ayu tidak perlu bersuara keras. Cukup dengan berbisik mendesah
sudah pasti dapat didengar oleh telinga Fardan.
"Buktikan kalau kau memang mampu memuaskan hasratku... Terbangkan aku di
puncak kepuasanku, maka akan kucari janin anak pertamamu yang hilang
itu..."
"Mak...." Fardan pun bersuara desah.
"Lakukan... Fardan..."
(cut : page trouble no jelas )
Gemuruh jantung Fardan semakin kuat, setelah ia tahu bahwa ternyata Mak Ayu
hanya mengenakan gaun itu, tanpa selembar kain lagi di dalamnya. Mungkin
kain yang harusnya ada di balik gaun sudah ia lepaskan ketika ia berlagak
mencari pelayannya tadi. Fardan dapat merasakan apa yang selama ini ditutupi
oleh gaun itu, sehingga sentuhannya semakin membuat Mak Ayu mendesah dan
mengerang berkali-kali.
( trouble again page gurem no jelas )
Meja bundar tak seberapa besar. Namun permukaan meja itu masih bisa
digunakan Mak Ayu untuk membaringkan badannya setelah semua pakaian
dibuangnya ke lantai. Rambutnya yang panjang betjuntai berayun-ayun di
tepian meja, akibat gerakan tubuhnya yang mengamuk di saat Fardan
menjelajahinya dengan mulutnya.
Mak Ayu sengaja tak mau membawanya ke ranjang, karena ia menyukai emosi
spontan yang dapat membangkitkan gairah semakin liar.
Tak ada orang lain di rumah itu kecuali mereka dan pembantu yang sudah
tidur. Maka, Mak Ayu merasa sebagai penguasa kebebasan, sehingga ia dapat
berbuat apa saja yang ia mau. Dan, anehnya, Fardan tak pernah bisa menolak
.apa saja yang diperintahkan Mak Ayu.
Jari tangan Mak Ayu kini menjentik. Seperti memanggil seekor burung.
Kliik... ! Seketika itu semua lampu menjadi padam. Termasuk lampu yang ada
di dapur. Dalam kegelapan itulah Mak Ayu memperbudak Fardan semakin gila
lagi. Pria berwajah Timur Tengah itu menjadi patuh dan setia melayani
keinginan sang dukun sexy, meski pun sebenarnya ia telah letih, namun toh ia
tak mampu menghindari tuntutan mesra Mak Ayu.
Yang terbayang di benak Fardan hanyalah amukan birahi dan janin anak
pertamanya. Rasa sesal akibat telah mengkhianati sang istri dipendamnya
jauh-, jauh ke lubuk hati. Biarlah ia rela melakukan semua ini asalkan ia
dapatkan kembali kandungan istrinya, yang akan melahirkan anak pertamanya
itu.
Namun, benarkah Mak Ayu mampu memenuhi janjinya? Apakah Mak Ayu bisa
mengetahui dimana kandungan itu berada *Clan siapa pencurinya?
Tak seorang pun tahu persis, siapa Mak Ayu ini sebenamya ? Dilihat dari
caranya mematikan semua lampu hanya dengan menjentikkan jari, maka dalam
hati Fardan mengakui kehebatan MakAyu. Perempuan itu mempunyai kekuatan gaib
yang cukup meyakinkan.
Tapi seandainya Fardan tahu bahwa yang mencuri kandungan istrinya itu
adalah Dewa Jenaka, utusan dari Kahyangan, apakah ia akan yakin bahwa Mak
Ayu dapat menangkap pencurinya ? Apakah Mak Ayu punya kesaktian yang cukup
untuk menandingi kesaktian Dewa Bahakara alias Dewa Jenaka itu ?
Andai benar Mak Ayu bisa menemukan kandungan istri Fardan berada di perut
Rayo Pasca, apakah ia akan merampas kandungan itu dengan merusak perut Rayo?
Apakah ia juga rnemiliki kesaktian yang cukup untuk berhadapan dengan Dewi
Ular alias Kumala Dewi itu?
HUTAN pinus menghampar luas di kaki bukit. Bukit itu tak seberapa tinggi.
Lebih menyerupai gundukan tanah, namun panjang dan membentang menyerupai
benteng pertahanan alarni.
Hutan pinus itu ada di seberang sungai. Dan seberang sungai dapat dilihat
jelas keindahan hutan pinus itu. Sungguh mengagumkan.
Setiap pohon pinus tumbuh menjulang tinggi, melebihi ketinggian pohon pinus
pada umumnya. Dari bawah sampai atas daunnya tumbuh rapi berbentuk prisma.
Pucuknya yang paling tinggi meruncing tapi tidak meliuk turun.
Tetap tegak mirip besi penangkal petir. Keindahan hutan pinus itu terletak
pada warnanya.
Setiap pohon mempunyai daun berwarna utuh. Ada Yang daunnya berwarna biru,
ada yang semua daunnya berwarna merah, ada pula yang berwarna jingga dan
sebagainya. Semua warna ada di hutan pinus itu. Dan, hebatnya, tidak ada dua
pohon yang memiliki warna sama tumbuh bersebelahan, Selalu
berselang-seling, sehingga komposisi warnanya memiliki tata seni yang
tinggi.
Hutan pinus itu memiliki tanah yang tertutup bulu. Sebenarnya rumput,
tetapi saking lernbutnya jadi menyerupai bulu-bulu halus. Semua rumput bulu
tumbuh rata denganwarna ungu. Ketebalan warna ungunya pun rata semua. Selain
itu di atas permukaan tanah terdapat kabut tipis, bening, dan memancarkan
warna hijau. Mirip fosfor.
Kabut itu hanya melayang-layang setinggi dua jengkal dari permukaan tanah
berumput ungu. Kabut itu pun merata sampai ke atas perbukitan di seberang
sana. Ketinggiannya stabil. Agaknya kabut itu menyebarkart keharuman yang
lembut dan hangat. Begitu Pula batang-batang pinus yang tumbuh beijarak
renggang itu memiliki wewangian sendiri.
Keharuman batang pinus dan kabut hijau bercampur menjadi sate, membentuk
aroma keharuman yang tajam tapi menyegarkan. Tidak menyengat, tidak kasar.
Kelembutan aroma wanginya yang elegan dapat membuai jiwa, bahkan- mampu
memaksa siapa pun untuk berkhayal tentang keromantisan, terutama bagi 'yang
belum pernah datang ke hutan pinus itu.
"Berhenti di sini dulu, ah... ," ujar sebuah suara hati yang baru saja tiba
di seberang sungai.
Sungai itu. sangat lebar. Rentang tebingnya mencapai sekitar 100 meter
lebih. Hanya mereka yang memiliki kemampuan terbang saja yang bisa melompati
rentang sungai untuk mencapai hutan pinus yang indah itu. Siapa pun yang
gagal melompati sungai dan jatuh ke bawah, maka ia akan menghadapi kesulitan
kedua, yaitu memanjat tebingnya yang memiliki permukaan datar, halus, dan
licin seperti permukaan cermin.
Kedalaman sun-gai itu tidak dapat diperkirakan. Talc terlihat bagian
dasarnya, karena airnya berwarna hitam kental seperti aspal mendidih.
Arusnya cukup deras. Bergolak seperti lahar panas. Mengeluarkan uap seperti
belerang. Tapi tak berbau. Diperkirakan jarak tepian sungai sampai ke
permukaan air mencapai sekitar 100 meter juga. Sebenarnya sungai itu lebih
tepat dikatakan sebagai jurang. Hanya saja, sebagian penghuni Kahyangan
justru menyebut tempat itu dengan istilah parit
Mungkin bagi para dewa, melompati sungai lebar itu semudahmelompati parit,
sehingga mereka lebih suka menyebutnya parit. Dan, parit yang mengerikan itu
adalah tapal batas wilayah Kahyangan yang kedua. Jika di bumi akan disebut
Sektor II.
Pada saat itu Dewi Ular sengaja berhenti di tepi sungai tersebut. Setelah
tadi ia berhasil melintasi perbatasan pertama dengan mudah, tanpa gangguan
apapun dan tanpa dilihat siapa pun, maka kini ia tiba di perbatasan kedua
dalam keraguan. Apakah ia harus melanjutkan perjalanannya? Berarti la harus
melompati sungai dan memasuki hutan pinus indah itu. Atau diam di situ saja
tak perlu memasuki hutan pinus?
"Kalau aku nekat masuk tanpa Dewa Jenaka, bagaimana, ya?" pikir dewi Ular.
"Ntar jadi ribut kalau aku masuk tanpa dia? Huuhh, ke mana sih dia?
Sepanjang perjalananku sampai sini nggak kutemukan jejak gaibnya. Lalu
sekarang... , ngapain aku di sini bengong saja? Kok jadi kayak orang bego
sih aku ini?"
Mungkin karena pikiran Kumala sedang kusut, bingung memikirkan kekasihnya
yang hamil, akibatnya ia merasa serba salah dalam setiap langkah dan
tindakannya. Untuk itu, Kumala segera melakukan terapi kejiwaan bagi dirinya
sendiri. Melalui olah napasnya Kumala menenangkan pikirannya yang simpang
siur, dan mengembalikan ketenangan batinnya.
Terapi olah napas itu bisa ia lakukan sambil apa saja, termasuk sambil
memperhatikan seekor burung yang baru saja hinggap di salah satu pohon pinus
seberang sungai. Burung itu berbulu indah, warna-wami dan berkilauan.
Ekornya panjang berjuntai ke bawah, mirip burung Cendrawasih.
Tapi kepalanya memiliki bulu tegak menyerupai mahkota yang warnanya merah
memancarkan cahaya berpendar-pendar. Kadang redup, kadang terang. Burung itu
tidak terlalu besar, hanya seukuran burung kakatua. Tapi karena bulunya
lebat, maka kelihatan .gemuk.
"Aiih, bagus sekali burung itu?! Warnanya indah, bentuknya lucu, bikin
gemes aja!" Kumala menggeram gemas dan senang. Matanya tampak berbinar-binar
memandangi burung aneh yang berpindah-pindah dari dahan yang satu ke dahan
yang lainnya itu.
"Aku ingin membawanya pulang ke rumah. Barbie pasti suka dengan burung lucu
itu!"
Sebagai putri dewa, Kumala punya cara sendiri untuk menangkap seekor
burung. Tidak sulit. Selama niat utamanya bukan untuk mencelakai hewan itu,
maka sangatlah mudah untuk dapat menangkapnya.
-"Apa benar kau bisa menangkapku?"
Tiba-tiba terdengar suara seperti berbisik di telinga Kumala. Sempat
berpaling ke sana-sini wajah Kumala mencari pemilik suara itu, namun jelas
tak ada yang bicara dengannya. Mulailah hati Kumala curiga dan radar gaibnya
pun mulai diaktifkan.
"Kalau kau benar-benar bisa menangkapku, coba lakukan sekarang juga."
Suara seperti bebek itu terdengar lagi. Tidak terlalu brisik, tapi cukup
jelas di telinga Kumala. Ia pun tersenyum setelah menemukan gelombang suara
gaib yang ternyata berasal dari burung indah itu.
Dengan menggunakan kesaktiannya Kumala pun mengirimkan suara batinnya
kepada burung indah di seberang sana .
"Kaukah yang bicara padaku, Burung indah?"
"0, kamu bisa mendengar suaraku ya? Wah, hebat kamu."
"I'amu lebih hebat dariku. Apa kamu punya nama, Kawan?"
"Punya Tapi namaku bukan Kawan."
Di seberang sini Kumala tertawa kecil nyaris tanpa suara.
Burung bersuara seperti bebek itu berkata lagi.
"Kau bisamemanggilku: Jelita."
"Jelita? Ooh, nama yang bagus sekali itu. Sesuai dengan keindahan
bulumu."
"Jangan memuji begitu, nanti aku lupa daratan. Kalau aku lupa daratan nanti
aku terbang terus. Capek kan. 0, ya... kamu juga punya nama?"
"Panggil saja aku: Kumala."
""Siapa? Kumala? "
"Kau,pernah mendengar nama itu?"
"Hmmun, Kumala... ? Waduuh. aku nggak ingat lagi, pernah apa belum, ya?
Kayaknya pernah, tapi kayaknya belum."
"Ya sudahlah... nggak perlu dibahas. Yang jelas, sekarang aku ingin
membawamu pulang ke rumahku. Apakah kau mau, Jelita?"
"Selama kamu bisa menangkapku, aku akan tunduk pada perintahmu, Kumala.
Datanglah kemari dan tangkaplah aku, hek, hek, hek, hek... !"
Burung indah itu tertawa bernada menantang. Kumala jadi semakin geregetan.
Ia ingin buktikan kemampuannya biar si Jelita tak meledeknya lagi.
Tetapi baru saja Kumala ingin bergerak menyeberang, tiba-tiba muncul seekor
burung hitam yang cukup besar, seperti seekor burung rajawali.
Burung hitam itu melayang muncul dari sebatang pohon tinggi .berdaun lebat,
mirip pohon beringin. Tapi batangnya yang menjulang tinggi mirip batang
pohon jati. Pohon itu tumbuh di sisi kanannya Kumala, berjarak sekitar 50
meter dari tempat Kumala berada.
Agaknya burung hitam bercakar tajam itu mengincar sesuatu dari balik
kelebatan potion tersebut.
Ketika ia melesat terbang menimbulkan suara gemuruh. Daun-daun pohon itu
seperti diterjang angin badai. Suara gemuruh itu memancing perhatian Kumala
Dewi.
"Burung apa itu? Hemmm, sepertinya burung itu sangat liar dan ganas? Oooh,
dia bukan menuju ke arahku, tapi... tapi mau menuju ke tempat si
Jelita?!"
Burung besar bérkepala hitam seperti jelaga itu memiliki sepasang mata yang
lebar. Menyeramkan. Tampang angkernya terlihat jelas ketika ia terbang ,
pelan-pelan mendekati arah sungai besar itu. Bahkan sempat memutar arah
dulu, mengelilingi pohon tempat persembunyiannya tadi.
Sepertinya ia agak ragu untuk langsung menuju hutan pinus, seolah-olah ia
tahu bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh Kumala.
"Hei, Jelita... pergilah dulu ke lain tempat. Ada burung angker sedang
mengincarmu," kata Kumala.
Si Jelita seperti tak menghiraukan anjuran tersebut. Ia melompat dari dahan
yang satu ke dahan ya: ig lain dengan lincah, seperti sedang
bersenang-senang sendirian. Tiba-tiba burung angker itu muncul dengan
kecepatan terbang cukup tinggi. Sasarannya jelas-jelas menuju ke tempat si
Jelita. berada. Wuussst .... !! .
"Oh, gawat! " Dewi Ular sedikit kaget melihat burung itu tahu-tahu sudah
melesat menyeberang sungai besar Jelita terancam. Kumala tak bisa diatn. Ia
lepaskan pukulan sinar hijaunya dari tangan kanan. Tetapi sebelum tindakan
itu dilakukan, lagi-lagi Kumala dibuat tercengang kaget oleh keadaan burung
angker itu.
Zuuuubb, wuuusss... !
"Keakk !!"
Burung angker itu memekik tak bisa keras tak bisa panjang. Sangatpendek.
Karena ketika ia melayang di atas sungai besar, tiba-tiba tubuhnya terbakar
dan terbungkus api. Api yang membungkusnya sangat cepat; hanya dua detik,
kemudian padam.
Burung itu memang masih melayang tapi sudah tak punya bulu, tak punya
daging dan tak punya apa-apa, selain tinggal kerangka tulang-tulangnya
saja. Berwarna hitam arang. Kerangka tulang burung itu akhirnya berantakan
dan berjatuhan di kedalaman sungai besar itu.
"Gila... ?! Hanya dalam sekejap burung itu berubah jadi tulang-belulang,
dan akhirnya hancur berantakan. Wah, wah, wah... sungai ini mengandung uap
beracun yang sangat gangs?! Beruntung bukan aku duluan yang menyeberang ke
sana. Coba kalau aku duluan, oooh... pasti aku sudah menjadi seperti
dia?!"
Dewi Ular menarik napas dalam-dalam. Ia merasa bersyukur dan lega, karena
merasa lolos dari jebakan yang mematikan. Sekarang ia bisa menyimpulkan
bahwa sungai besar itu memang dijadikan parit pertahanan bagi pihak
Kahyangan. Jika ada pihak yang bermaksud jahat ingin menyelinap ke wilayah
Kahyangan, mereka akan mati hangus saat melintasi parit maut itu.
"Kalau begitu..," pikir Kumala. Untuk sesaat is menutup jalur gaibnya
supaya kata-kata dalam benak atau batinnya tidak didengar dari seberang
sana.
"Kalau begitu,Jelita tadi sengaja memancingku agar menyeberang ke sana,
,dan aku akan terblakar seperti burung tadi dong? Wah, kalau begitu.. jahat
sekali hati burung indah itu?"
Kini jalur gaibnya dibuka lagi. Ia langsung mendengar suara si Jelita yang
tampak masih terbang pendek berpindah-pindah dahan.
"Hey, Kumala. katanya kau mau tangkap aku? Aku sudah lama menunggumu. Ayo,
tangkap aku! Kalau aku jenuh menunggu, aku pindah ke tempat lain yang jauh
dari sini. Kau kehilangan kesempatan untuk menangkapku, Kumala. Ayo, cepat
tangkap aku kalau memang kau mampu, hek, hek, hek, hek... !"
"Jelita, rupanya kau memang bertugas menarik perhatian pihak lawan agar
menyeberangi sungai ini. Ketika ia menyeberang, maka saat itulah ia mati
karena tipu dayamu. Hmm.... Caramu menghancurkan lawan sangat halus, Jelita.
Tapi cara itu adalah kebusukan bagi -pihak yang ingin berteman
denganmu."
"Hek, hek, hek, hek... cerdas juga kau rupanya. Tapi kau belum tahu,
Kumala... bahwa bagiku tidak ada teman yang berada di seberang sana. Semua
temanku pasti berada di seberang sini, bukan di tempatmu berada, Kumala.
Jadi, kalau ada yang berada di tempatmu, berarti dia adalah lawan yang harus
kuhancurkan."
"Kau punya kelicikan. Tapi tidak semua kelicikanmu selalu berhasil. Aku
akan mengalahkan kelicikanmu, Jelita."
Burung itu menertawakan kata-kata Kumala.
"Jangan sesumbar di tepi neraka, Kumala: Dan tadi kau hanya bisa sesumbar
terus, tanpa ada bukti-bukti kemampuanmu. Untuk apa? Lama-lama Parit
Kematian yang ada di depanmu akan menghisap semua darahmu hingga kering
kerontang. Kalau kau memang punya kemampuan menangkapku, buktikan sekarang
juga! Jangan hanya bisa koar-koar dari seberang sana ..!! "
"Rupanya kau belum tabu siapa aku, Jelita."
"Belum. Apa kau hebat? Tunjukkan kehebatanmu padaku! Ayo, tunjukkan..
"
Dewi Ular diam, menggumam dalam hati. Menganggap hebat si Jelita, karena
setiap kata-katanya menimbulkan rasa penasaran pihak lain, sehingga pihak
lain akan menyeberangi Parit Kematian dan hancur seperti burung angker tadi.
Kumala mengakui •kepandaian si Jelita dalam mempengaruhi.pikiran lawan, dan
membuat lawan tahu-tahu terjerumus daiam kematiannya.
"Heeey, Kumala cantiiik... kalau kau tak punya kemampuan menangkapku untuk
apa kau berdiri di situ terus? Pulang sajalak Nak. Cuci tangan, cuci kaki,
terus bobo, ya Sayang. Kamu masih anak ingusan. Nggak baik main sampai ke
tempat ini, Nak. hek, hek, hek, hek..."
Dalam hatinya Dewi Ular tersenyum tenang. Jelita sengaja memancing emosi
lawannya lewat penghinaan. Bisa saja Kumala segera pergi dan tidak
terpengaruh dengan ejekan apapun yang dilontarkan si Jelita. Tapi dia datang
ke situ karena ada tujuan. Bukan sekedar ingin jadi penyusup murahan. ada si
Jelita atau pun tidak, Kumala tetap harus menyeberangi Parit Kematian.
Maka, kata hatinya pun berseru kepada si Jelita.
"Aku akan datang ke tempatmu, Jelita!"
"O,.ya? Ornong kosong yang keberapa kalinya ini? Hek, hek, hek, hek...
!"
Si Jelita rupanya memang belum tahu siapa yang sedang dihadapi di seberang
sana. Ia juga tidak tahu bahwa Kumala Dewi mempunyai kesaktian yang bernama
Aji Cakra Saiju, anti panas dan anti beku. Kesaktian itu is dapatkan dari
Dewa Nathalaga yang kesohor angker dan disegani di kalangan para dewa. Maka,
kali ini Kumala menggunakan kesaktiannya si Dewa Perang itu, kemudian
melesat cepat menyeberangi Parti Kematian.
Wuuubb, wuuussshh... !
Dewi Ular yang kali ini sengaja tidak merubah diri dalam bentuk sinar
hijau, seperti biasanya, kini tampak jelas melayang melintasi pertengahan
Parit Kematian. Dan semburan gas panas mengandung api segera menerjang
tubuhnya. Dalam sekejap saja ia sudah terbungkus api, lalu dalam sekejap
pula api itu padam. Zuuub... ! .
Berubah menjadi gumpalan asap hitam yang menyentak ke atas satu kali,
kemudian lenyap tak berbekas.
Tapi pada saat itu sosok tubuh sexy dan kecantikan Kumala masih tampak
melayang, tanpa luka bakar- sedikit pun. Bahkan tidak sehelai rambut pun
yang terbakar oleh semburan gas berapi tadi. Hal itu membuat si Jelita diam
tertegun di atas dahan pinus. Sampaisampai ia, tak menyadari kalau Kumala
Dewi sudah menapakkan kakinya ke tanah berbulu ungu, dan berdirl di bawah
pohon tempat si Jelita bertengger.
Saat itu si Jelita tampak masih memandang lures ke arah parit. Diam
tak-bergerak bagaikan seekor burung yang sudah di- air keras dan dipakai
sebagai pajangan.
"Hey, burung kejam... ! Aku di bawahmu nih!"
Kumala menegur dengan suara mulut. Burung indah itu tampak terkejut dan
menggeragap. Hampir saja jatuh. Tapi kepakan sayapnya membuat
keseimbangannya terjaga hingga ia tak jadi jatuh.
Jelita memandang ke bawah. Lalu segera terbang dan hinggap di dahan lebih
tinggi, di pohon yang berbeda. Ia ketakutan melihat Kumala sudah, ada di
bawahnya. Tanpa luka sedikit pun.
"Hey, kenapa kamu kabur?" ejek Kumala lewat suara gaibnya. "Katanya kamu
menunggu kedatanganku, dan sekarang aku sudah datang padamu, tapi kamu mau
kabur? Rupanya kamu cuma keren dalam penampilanmu saja, tapi jiwamu jiwa
pengecut. Nggak pantas kamu jadi penjaga perbatasan ini, Jelita."
"Aku.. aku... eehh... aku bukan pengecut. Aku hanya... hanya merasa
heran...Eeehm, ya, hem..."
"Bicaramu sudah nggak beres. Nggak usah banyak bicaralah. Sekarang
turunlah. Aku sudah melupakan penghinaanmu tadi. Kita berteman saja, okey?
Ayo, turunlah... !"
seraya tangan kanan Kumala diulurkan ke atas, berharap dapat sambutan damai
dari si Jelita. Tapi ternyata burung itu termasuk burung bergengsi
tinggi.
"Tidak semudah itu menurunkan diriku, Kumala. Aku bukan burung yang lemah
dan..."
Suuut... ! Dewi Ular menarik tangan yang sudah terulur ke atas itu dalam
satu sentakan mundur. Maka, seketika itu juga Jelita seperti terhisap
pusaran badai, langsung jatuh ke bawah tanpa sempat melanjutkan
katakatanya. Wuuut...!.
Kumala Dewi segera menangkap Jelita dengan dua tangannya..Huuup... ! Burung
itu meronta sesaat, lalu ia diam setelah sadar berada di tangan
Kumala.
Seandainya tidak ditangkap oleh Kumala, ia akan terhempas membentur tanah
keras-keras.
"Naaah, sekarang aku benar-benar berhasil menangkapmu, bukan? Kalau sudah
begini kau mau apa, hm?!"
Kumala berkata dengan suara mulut, sambil tersenyum-senyum riang, tak
menampakkan ekspresi permusuhan sedikit pun. Namun hal itu justru membuat
Jelita jadi bertambah ketakutan. Merasa berada dalam genggaman lawan. Merasa
dirinya tertangkap musuh.
"Aku... kau mau... mau minta maaf. Jangan... jangan sakiti aku ampunilah
aku, Kumala..."
"Hey, burung cengeng kau ini. Kenapa kau ketakutan? Bukankah sudah kubilang
aku ingin bersahabat denganmu. Aku nggak akan menghukummu, nggak akan
menyakitimu. Paham."
"Taa... tapi... tapi ... "
" Baiklah, supaya kau percaya kalau aku nggak bermaksud jahat padamu,
naafi::. kulepaskan kau..."
Kumala Dewi merendahkan badan, agak jongkok, dan melepaskan burung itu ke
tanah. Tapi di luar dugaan begitu kaki burung menyentuh tanah, terjadilah
letupan kecil namun menyemburkan asap tebal. Wuuusssh ! Dewi Ular kontan
melompat mundur hingga hampir saja jatuh terjengkang.
"Ooh, rupanya dia nggak boleh menyentuh tanah?!" ujar hati Kumala yang
masih ferpengang.
Mata indah Kumala masih belum berkedip, karena asap hasil letupan tadi
telah hilang dan kini yang ada di depannya bukan seekor burung melainkan
sesosok tubuh tegap, gagah dan berwajah tampan. Wajah tampannya yang masih
muda sangat pantas jika menjadi coverboy sebuah majalah remaja.
"Maafkan aku, sekali lagi... maafkan aku."
Cowok ganteng yang bertampang imut itu berlutut satu kaki di depan Kumala
dengan kepala tertunduk, badan sedikit membungkuk. la tak mengenakan baju,
tapi mengenakan selempang emas, serta pakaian bawah yang ketat terlilit
angkin warna emas pula.
Rambutnya sebahu dijepit dengan ikat kepala yang mirip mahkota, berhias
batu-batu indah.
"Ooo, karnu cowok ya?" gumam Kumala saat mengakhiri masa terbengongnya. "
Bangunlah, nggak perlu hormat begitu. Aku bukan rajamu dan bukan musulunii.
Kitalemenan aja, ya?"
Pemuda berhidung mancung dengan mata kebiru-biruan itu perlahan-lahan
berdiri, masih bersikap. hormat dan kikuk.
"Terima kasih ata skebaikanmu... eeh. ."
"Tetap saja panggil aku: Kumala," potong Dewi Ular karena ia lihat anak
muda itu tampak raga-ragu untuk menyebut namanya.
Lalu, Kumala berkata lagi, "Tapi kamu nggak pantas kalau kupanggil: Jelita.
Kamu bukan cewek, tapi cowok. Jadi,pantasnya..."
"Aku Perwira Muda penjaga wilayah Parit Kematian. Namaku bukan cowok. Kamu
salah sangka, Kumala."
"Cowok itu lelaki, atau jantan. Bukan sebuah nama."
Sambil berkata begitu Kumala tersenyum geli. Lesung pipit dan keindahan
bibimya membuat si Perwira Muda tertegun mengaguminya sesaat. Lalu, ia
buru-buru tersipu sendiri.
"Jadi siapa namamu?"
"Namaku... Ekapaksi."
"Hmmm, eka itu satu, paksi itu burung. Berarti kamu..."
"Satu-satunya burung yang ada di wilayah sini. Maksudku... di tanah
Kahyangan ini," sahut Ekapaksi sambil masih kikuk karena sikap hormatnya
masih ada.
"Tugasmu menjaga tanah kahyangan ini agar tak dimasuki pihak asing,
bukan?"
"Benar ! Selama ini belum pernah ada pihak lain yang berhasil menyeberangi
Parit Kematian."
"Kalau sampai ada yang berhasil, bagaimana?" sindir Kumala dengan mata
melirik cantik.
" aku terpaksa harus mengusirnya."
"Kalau yang diusir nggak mau pergi, bagaimana?"
"Aku... hmrn, yaah... aku terpaksa membunuhnya."
"0, begitu? Jadi, sekarang kamu mau mengusirku?"
"Seharusnya begitu."
"Aku nggak mau pergi."
Kumala melengos dengan kedua tangan terlipat di dada. Sengaja menggoda hati
Ekapaksi agar serba salah dan kebingungan dalam mengambil sikap.
Ternyata Ekapaksi masih bisa tenang. Ia berkata dengan lembut namun
memiliki ketegasan sikap sebagai Perwira Muda.
"Kalau kau tak mau pergi dari sini... terpaksa aku harus membunuhmu,
Kumala."
Dewi Ular terperanjat. Wajahnya cepat berpaling menatap tajam. Serius dan
mulai tampak berwibawa.
"Karmu mau membunuhku? Aku mengajakmu berteman, bukan bermusuhan."
"Tidak ada temanku yang berasal dari seberang "
"Kau belum tentu menang melawanku, Ekapaksi. Bagaimana kalau ternyata kau
kalah dalam pertarungan denganku-nanti?"
"Aku harus bunuh diri , Itu sudah menjadi sumpah perwiraku."
Terbungkam mulut Kumala melihat Ekapaksi yang tetap tenang tapi juga
semakin tampak ketegasannya. Kedua mata Ekapaksi menatap tegar, mulai
memancarkan cahaya permusuhan.
Kumala Dewi masih diam, karena masih menimbang-nimbang, apakah tantangan
permusuhan itu harus ia layani, atau ia tinggalkan dengan konsekuensi harus
pergi dari wilayah itu.
***
Emoticon